Ceritasilat Novel Online

Elang Terbang Di Dataran Luas 9

Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id Bagian 9


di masa silam. "Tak nyana kau masih kenal padaku aku."
Sambil memeluk kepala kudanya, Siau-hong berbisik,
bagaimana pun dia masih tetap memiliki teman, teman
yang selamanya tak terpisahkan.
Asalkan dia teman sejati, apa salahnya kendati dia hanya
seekor kuda"
Kang-lam berada sangat jauh, sejauh dalam impian.
Malam yang panjang pun baru dimulai, saat itu bayangan
punggung yang remang telah lenyap, namun dari kejauhan
sana sudah terlihat sinar bintang yang berkilauan.
Biarpun dataran luas tak berperasaan, cahaya bintang
masih tetap lembut dan berkilauan.
Cahaya bintang di Kang-lam pun seperti itu.
Kau adalah orang baik, tapi sayang kau kelewat lemah,
manusia semacam dirimu pada hakikatnya tak berguna
bagiku. Kini Lu-sam pun menganggap kau tak berguna lagi,
setiap saat dia dapat melenyapkan dirimu, aku pun tak
perlu membuang banyak tenaga untuk melindungi
seseorang yang tak berguna, karena itu lebih baik kau pergi
saja. Kata-kata semacam itu tak sampai diutarakan
Pancapanah, dia pun tak perlu mengutarakannya. Siauhong
cukup mengerti sampai di mana bobot dirinya dalam
penilaian orang lain.
Selama ini sikap Pancapanah terhadap dirinya sangat
baik, namun sejak pertemuan pertama, ia sudah tahu
mereka tak bakal menjadi sahabat, Pancapanah tak pernah
menganggapnya sebagai seorang sahabat.
Karena pada hakikatnya Pancapanah memandang
sebelah mata terhadap dirinya.
Kecuali terhadap Po Eng, mungkin dalam sejarah
hidupnya Pancapanah tak pernah pandang sebelah mata
terhadap orang lain.
Po Eng, di manakah kau"
Rumah demi rumah terlalui, di manakah jalan untuk
kembali" Kang-lam berada jauh di ujung dunia, tapi Siau-hong
tidak terburu-buru untuk menempuhnya, dia tak berencana
menikmati musim semi di wilayah Kang-lam.
Setelah balik ke sana, apa pula yang akan dilakukan"
Untuk siapa musim semi dinikmatinya"
Lapisan salju di atas puncak bukit belum lagi mencair,
jalanan becek dan basah. Meski bayangan kota telah
muncul di depan mata, namun cuaca sudah mulai berubah
jadi gelap. Seorang pemuda yang tampaknya tidak terlalu kekar
sedang mendorong kereta beroda tunggal berjalan di
depannya. Di atas kereta duduk istri dan putrinya, di
samping mereka terlihat buntalan dan peti kuno, sang istri
dengan tatapan mata lembut dan penuh rasa kasihan
mengawasi suaminya yang sedang bersusah-payah
mendorong kereta melewati tanah yang becek.
Kereta beroda tunggal sangat jarang dijumpai di tempat
ini, sepasang suami istri ini pasti datang dari tempat jauh,
bisa jadi mereka datang dari Kang-lam dan ingin mencari
kehidupan baru di tempat yang asing ini.
Mereka masih muda, tidak takut hidup susah, mereka
masih memiliki cita-cita dan harapan sebagai orang muda.
Ketika Siau-hong mengikut di belakang mereka,
kebetulan terdengar sang istri sedang bertanya kepada
suaminya, "Long-ko, mau istirahat sebentar?"
"Aku tidak apa-apa."
Yang dikuatirkan sang suami bukan dirinya, ia bertanya
pada bininya, "Kau sendiri tidak apa-apa, bukan?"
Ternyata dialek yang mereka pergunakan adalah dialek
Kang-lam yang sangat kental, ketika terdengar oleh Siauhong,
ia segera merasakan kehangatan yang luar biasa.
Hampir saja dia tak tahan untuk berhenti, menanyakan
kabar tentang Kang-lam, bertanya apakah mereka
membutuhkan bantuannya.
Tapi dia tidak berhenti karena secara tiba-tiba satu
pikiran yang aneh dan sangat menakutkan muncul dalam
hati kecilnya. Siapa tahu sepasang suami-istri ini adalah pembunuh
yang dikirim Lu-sam, bisa jadi di balik kereta beroda
tunggal itu tersembunyi senjata yang mematikan,
kemungkinan besar sang putri dan istrinya yang duduk
dalam kereta akan melancarkan serangan senjata rahasia
yang mematikan, membidik mati kuda tunggangannya.
Hanya orang yang terjangkit penyakit curiga baru akan
memiliki pemikiran semacam ini, bertemu siapa pun selalu
waspada dan menaruh rasa curiga yang amat besar.
Sebetulnya Siau-hong bukan termasuk manusia semacam
ini, namun setelah mengalami begitu banyak kejadian yang
menakutkan, mau tak mau dia harus lebih hati-hati dalam
menghadapi setiap keadaan.
Oleh karena itu dia sama sekali tidak berhenti, juga sama
sekali tak berpaling, saat ini dia hanya ingin meneguk
secawan arak beras yang tidak terlalu memabukkan.
Kota ini merupakan sebuah kota yang ramai dan cukup
besar, ketika tiba dalam kota itu waktu sudah menjelang
malam, saat semua orang mulai memasang lampu.
Di tepi jalan besar dekat pintu kota terdapat sebuah
warung arak, warung arak pertama yang akan terlihat oleh
siapa pun yang memasuki kota itu.
Ketika dua cawan arak telah mengalir masuk ke dalam
perutnya, tiba-tiba Siau-hong merasa jalan pikirannya tadi
sangat menggelikan.
Bila suami-istri tadi adalah pembunuh yang diutus Lusam
untuk menghabisi nyawanya, seharusnya merupakan
kesempatan terbaik bagi mereka untuk turun tangan.
Tiba-tiba Siau-hong merasa sedikit menyesal, bisa
bertemu orang sedusun di suatu tempat yang ribuan li
jauhnya merupakan suatu kejadian langka dan tak mudah.
Mungkin inilah alasan mengapa dia memilih warung
arak itu, bisa jadi dia ingin menunggu kedatangan mereka,
mencari tahu berita tentang desanya, bisa mendengar dan
menikmati dialek desanya.
Tapi sayang ia tak menemukan orang yang ditunggu.
Padahal jalan itu tak ada simpangannya, sedang suami
istri itu jelas sedang menuju ke kota itu. Sekalipun
perjalanan mereka tempuh dengan sangat lamban, menurut
perkiraan Siau-hong, seharusnya mereka sudah tiba di sana.
Namun mereka tak pernah muncul, tak pernah terlihat.
Sebagai perantau yang berada di negeri orang, seringkali
seorang perantau memiliki perasaan yang sukar dilukiskan
dengan perkataan terhadap perantau lainnya, apalagi
perantau yang berasal dari dusun yang sama. Kendati Siauhong
tidak kenal sepasang suami-istri itu, namun dia tetap
menguatirkan keselamatan jiwanya.
Mengapa mereka belum juga tiba" Mungkinkah telah
terjadi peristiwa yang tak diinginkan"
Mungkinkah sang suami yang telah menempuh
perjalanan ribuan li sudah tak sanggup mempertahankan
diri, ataukah putrinya yang cantik terserang penyakit"
Siau-hong memutuskan untuk menunggu beberapa saat
lagi, jika mereka belum datang juga, dia akan balik ke
jalanan semula untuk melihat keadaan.
Kembali ia menunggu selama setengah jam lamanya,
namun belum nampak juga bayangan tubuhnya.
Orang yang berlalu-lalang di jalanan semakin sedikit,
karena bagi orang awam, saat dan kondisi seperti ini sudah
tak cocok lagi untuk melakukan perjalanan.
Siau-hong bukan manusia biasa, sinar matanya jauh
lebih tajam dan terang dibandingkan orang pada umumnya.
Ia tidak menjumpai sepasang suami-istri itu, tapi melihat
seorang gadis yang menunggang keledai seorang diri.
Biarpun langit sudah gelap, namun ia masih dapat
melihat gadis itu bukan saja masih muda dan cantik,
bahkan sangat anggun dan menawan.
Dipandang sepintas, usianya paling baru enam-tujuh
belas tahunan, memakai baju berwarna hijau. Sambil duduk
di atas pelana, ia gunakan sebelah tangan memegang tali les
keledai sedang tangan yang lain digunakan memegang
rambut sendiri yang berkibar terhembus angin. Sewaktu
berjumpa Siau-hong, dia seakan sedang tertawa, tapi seakan
juga tidak tertawa.
Seekor kuda dan seekor keledai dengan cepat saling
bersimpangan, Siau-hong tak sempat melihat terlalu jelas,
dia merasa seakan pernah melihat wajah gadis itu, apa mau
dikata justru tak jelas di manakah mereka pernah bertemu.
Dia bukan Pova, bukan Soso, bukan Yang-kong, juga
bukan perempuan-perempuan yang dahulu pernah menjadi
pacar Siau-hong ketika masih di Kang-lam.
Lalu siapakah dia"
Siau-hong tidak memikirkannya lebih jauh, dia pun tidak
terlalu menaruh perhatian.
Seorang pengembara yang tak punya akar memang
seringkali akan bertemu dengan perempuan-perempuan
yang seakan pernah dikenalnya.
Burung lelah kembali ke hutan, pelancong lelah masuk
penginapan, jalan raya yang semestinya sudah mulai tenang
itu tiba-tiba berubah menjadi sangat tidak tenang.
Mendadak terjadi kegaduhan di depan sana, selain suara
teriakan manusia, terdengar pula ada bocah sedang
menangis. Setelah berjalan maju lagi beberapa saat, dari tepi jalan ia
dapat menyaksikan berkilaunya cahaya lentera, terdengar
pula ada orang dengan nada gugup, kaget, panik bercampur
gusar sedang berteriak, "Siapa yang begitu keji" Siapa?"
Terdengar suara manusia yang berteriak kalut, yang
berbicara bukan hanya satu orang, tapi Siau-hong tidak
mendengar jelas apa yang sedang mereka bicarakan.
Tapi satu firasat jelek telah melintas dalam benaknya, dia
seolah sudah melihat sepasang suami-istri muda yang
berasal dari Kang-lam itu sedang tergeletak di tengah
genangan darah.
Ternyata benar saja, tampak sepasang suami-istri itu
telah terkapar, tergeletak di pinggir jalan, walaupun anggota
badannya belum mendingin, namun detak jantung dan
pernapasannya telah terhenti.
Di tepi jalan terparkir sebuah kereta keledai, dua ekor
kuda kurus dan enam-tujuh orang pelancong yang sedang
mengerubungi jenazah mereka berdua, sementara putrinya
telah dibopong seorang yang berbaik hati dan menggunakan
sepotong gula-gula untuk menghentikan isak tangisnya.
Dia menangis tak lain karena dibuat terkejut dan
ketakutan, bukan lantaran sedih atau terluka. Karena gadis
itu masih kecil, belum mengerti sedihnya perpisahan,
apalagi pisah mati. Dia belum tahu orang tuanya telah
dibunuh orang, karenanya hanya dengan sepotong gulagula
telah membuatnya berhenti menangis.
Tapi bila ia telah menginjak dewasa nanti, bila teringat
akan kejadian malam ini, gadis itu pasti akan terjaga dari
tidurnya di tengah malam dan menangis sedih.
Saat itu biar ada setumpuk gula-gula di hadapannya pun
tak nanti dapat menghentikan isak tangisnya.
Bila seseorang "tidak tahu", maka dia tak akan
menderita, tak akan sedih.
Tapi bukankah "tidak tahu" justru merupakan
penderitaan dan kepedihan terbesar bagi manusia"
Di atas tanah tak ada darah, begitu pula di atas jenazah
mereka, siapa pun tak tahu mengapa secara tiba-tiba suamiistri
muda itu bisa tergeletak mati di tepi jalan.
Hingga Siau-hong menerobos masuk ke dalam
kerumunan orang, meminjam sebuah lentera dari tangan
seseorang dia baru melihat setitik bekas darah di atas dada
kedua orang itu.
Mulut luka yang mematikan berada di atas hulu hati
mereka, mulut luka bekas tusukan pedang, sebuah tusukan
maut yang sangat mematikan. Bukan saja tusukan pedang
ini bersih dan cekatan, bahkan sangat tepat sasaran.
Biar begitu, tidak banyak darah yang meleleh, mulut luka
pun tidak terlalu dalam.
Satu tusukan yang pasti mematikan, karena itulah tidak
perlu menggunakan tenaga kelewat besar.
Ilmu pedang itu begitu sempurna dan tepat sasaran,
betul-betul amat mengerikan serta menakutkan!
Mendadak Siau-hong teringat kembali dengan dua tokoh
sakti yang sering didengarnya dalam dongeng, Sebun Juisoat
dan Tionggoan It-tiam-ang.
Tionggoan It-tiam-ang adalah jagoan pada zaman Coh
Liu-hiang, pembunuh gelap yang paling menakutkan pada
zamannya, orang itu pun merupakan jago pedang paling
menakutkan pada saat itu. "membunuh tanpa melihat
darah, di bawah pedang hanya setitik merah".
Sewaktu menusukkan pedang, dia tak pernah mau
menggunakan tenaga yang berlebihan, tapi serangannya
selalu tepat sasaran dan mematikan.
Sebun Jui-soat adalah sahabat Liok Siau-hong yang
paling dihormati, tapi dia pun lawan Liok Siau-hong yang
paling disegani.
Ooo)d*w(ooO BAB 28. ADU KECERDASAN
Tidak gampang membuat Liok Siau-hong menaruh
hormat di samping merasa segan, ada banyak orang
menganggap ilmu pedang yang dimiliki Sebun Jui-soat telah
melampaui kemampuan Tionggoan It-tiam-ang, bahkan
telah mencapai puncak kesempurnaan di mana "tiada aku,
tiada kau, tiada perasaan, tiada pedang".
Hanya orang yang telah mencapai tingkatan itu baru bisa
mengendalikan tenaga pada pedang sedemikian tepat dan
sempurna. Tapi tidak banyak orang yang dapat mencapai tingkatan
seperti ini, biasanya setelah tercapai tingkat kesempurnaan
semacam ini, orang itu akan semakin tak sembarangan
membunuh orang.


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bila kau tak pantas membuatnya mencabut pedang, biar
kau berlutut memohon kepadanya, jangan harap dia sudi
melukai seujung rambutmu.
Lalu siapakah pembunuh sepasang suami-istri itu"
Tentu seorang yang ilmu pedangnya telah mencapai
puncak kesempurnaan, mengapa pula harus turun tangan
menghabisi nyawa suami-istri yang begitu bersahaja"
Tak ada yang melihat apa penyebab kematian suami-istri
itu, juga tak ada yang tahu siapakah mereka, terlebih tak
ada yang mengerti betapa menakutkannya tusukan pedang
yang sangat mematikan itu.
Tak heran banyak orang bertanya kepada Siau-hong.
"Siapakah mereka" Siapa kau" Apakah kau kenal dengan
mereka?" Sebenarnya Siau-hong pun mempunyai banyak masalah
yang ingin ditanyakan kepada orang-orang itu, tapi dia tak
bertanya, sebab secara tiba-tiba satu kejadian aneh kembali
ditemukan, tiba-tiba ia merasa seakan pernah kenal dengan
perempuan yang duduk di atas kereta beroda tunggal sambil
menggendong bocah perempuan itu.
Dua orang yang sama-sama tak berakar, di saat baru
mendusin dari mabuk arak, di saat kehilangan dan
kesepian, di saat ingin mencari orang untuk diajak berkeluhkesah,
pertemuan yang tak disengaja harus diakhiri dengan
satu perpisahan.
Setelah lewat lama kemudian, dalam satu kesempatan
mereka bertemu lagi tanpa sengaja, kedua belah pihak
sama-sama merasa seakan pernah kenal, mungkin hanya
sekilas pandang, mungkin hanya saling melempar
senyuman dan kemudian berpisah kembali, karena mereka
lebih suka memendam sekelumit perasaan itu di dalam hati.
Sedikit perasaan yang tawar, sedikit kesedihan yang
tawar, begitu indah, begitu mengagumkan.
Tapi sekarang, Siau-hong sama sekali tak memiliki
perasaan itu, bukan disebabkan perempuan yang serasa
pernah dikenal itu telah meninggal, melainkan karena di
antara mereka berdua pada hakikatnya tidak memiliki
sekelumit perasaan semacam itu.
Dia sama sekali sudah tak teringat lagi di mana dan
kapan pernah bersua dengan perempuan itu, seperti dia pun
tak teringat lagi siapakah gadis penunggang keledai yang
berpapasan muka dengannya tadi.
Namun di saat dia siap untuk tidak memikirkannya lagi,
tiba-tiba dia pun teringat akan sesuatu.
Karena secara tiba-tiba dia menyaksikan kaki milik
perempuan itu. Dalam hubungan antara lelaki dan wanita, "kaki" tak
bisa dianggap sebagai satu hal yang penting namun ada
banyak lelaki yang senang mengawasi kaki milik wanita.
Padahal Siau-hong sama sekali tidak memperhatikan
kaki milik perempuan itu, dia sedang mengawasi sepatu
yang dikenakannya.
Gaun yang dikenakan wanita itu sangat sederhana dan
biasa, gaun yang terbuat dari kain satin tipis, gaun
panjangnya yang berwarna hijau tepat menutupi bagian
kakinya.. Kini perempuan itu sudah terkapar di tanah, karena
itulah kakinya baru terlihat jelas.
Ternyata dia mengenakan sepasang sepatu laras kecil
dan mungil, asal orang persilatan yang berpengalaman,
segera akan diketahui kalau di balik sepatu laras itu terdapat
lapisan baja berbentuk segi tiga yang disembunyikan di
ujung sepatu larasnya itu.
Sepatu laras semacam ini biasanya disebut laras pedang,
seperti anak panah yang disembunyikan di balik baju,
sepatu laras semacam ini pun termasuk senjata yang sangat
mematikan. Perempuan yang mengenakan sepatu semacam ini
biasanya pernah berlatih ilmu tendangan Lian-hoan-wanyantui atau ilmu sebangsanya.
Tiba-tiba Siau-hong teringat kalau perempuan ini tak lain
adalah si nona berkepang yang tempo hari menendang
hancur tenggorokan si pelayan muda dari warung penjual
kue. Walaupun hari ini rambutnya tidak dikepang sedang
dandanan maupun caranya berpakaian pun tampak lebih
dewasa dan sopan.
Siau-hong yakin apa yang dilihatnya tak bakal salah.
Oleh karena itu suami-istri ini sudah pasti bukan datang
dari wilayah Kang-lam, mereka adalah jago yang dikirim
Pancapanah. Tentu saja mereka pun bukan suami-istri sungguhan,
mereka hanya ingin menggunakan cara itu untuk
merahasiakan identitas serta aksinya.
Sepasang suami-istri dari desa asing, dengan membawa
bocah yang masih kecil melakukan perjalanan, harus diakui
penyamaran semacam ini merupakan cara yang paling baik.
Biasanya tugas yang harus dilakukan orang-orang
semacam ini adalah melakukan pembunuhan gelap.
Beberapa hal ini tak perlu diragukan lagi kebenarannya,
hanya persoalannya sekarang adalah siapa yang hendak
mereka bunuh"
Jika sasaran yang hendak dibunuh adalah Siau-hong,
mengapa tadi mereka tidak turun tangan"
Sudah jelas tadi mereka telah memperoleh kesempatan
yang sangat baik, bagi pembunuh berpengalaman yang
pernah dilatih secara ketat dan keras, semestinya mereka
tahu kesempatan emas segera akan lewat bila tidak
dimanfaatkan. Jawaban terbaik untuk pertanyaan ini adalah sasaran
yang hendak mereka bunuh bukan Siau-hong, sudah pasti
bukan Siau-hong, karena walaupun Pancapanah bukan
sahabat Siau-hong dia pun bukan musuh besar Siau-hong,
tak punya ikatan dendam atau sakit hati apa pun dengan
pemuda itu. Lalu siapa yang hendak mereka bunuh" Siapa pula yang
telah membunuh mereka"
Mereka adalah pembunuh terlatih yang dididik
Pancapanah secara rahasia, bila tidak terpaksa, Pancapanah
tak nanti mengutus mereka melakukan pembunuhan.
Oleh sebab itu tugas yang mereka emban kali ini pasti
sangat rahasia dan amat mendesak, tak disangkal sasaran
yang hendak mereka bunuh pastilah seseorang yang sangat
berbahaya bagi posisi Pancapanah dan harus dimusnahkan
secepatnya. Biarpun teman Pancapanah tidak terlalu banyak, musuh
yang dimiliki pun tak banyak, tapi mengapa di kota kecil
yang meski makmur dan ramai tapi terletak di pinggir
perbatasan ini dia tak segan mengorbankan banyak tenaga,
pikiran, dan biaya untuk membunuh seseorang" Siapakah
orang itu"
Pertanyaan yang lebih penting lagi adalah mengapa di
dalam kota kecil yang meski ramai tapi sangat terpencil ini
bisa muncul seorang jago pedang yang sanggup menghabisi
nyawa pembunuh yang telah dilatih Pancapanah selama
banyak tahun hanya dalam sekali tusukan"
Ooo)d*w(ooO Malam sangat gelap, pejalan kaki sudah makin jarang,
lentera yang redup menyinari kegelapan.
Di bawah lentera terdapat arak, arak panas, arak yang
belum diteguk, Siau-hong duduk di tepi lentera.
Masih banyak persoalan yang harus dipikirkan, masih
banyak masalah yang wajib dia pertimbangkan, tapi dia
tidak memikirkannya.
Yang ia pikirkan sekarang adalah sebuah persoalan yang
sama sekali tak ada hubungannya dengan persoalan ini,
seseorang yang sama sekali tak ada sangkut-pautnya dengan
masalah ini. Yang dia pikirkan sekarang adalah gadis berusia enamtujuh
belas tahunan, berpakaian ketat berwarna hijau yang
menunggang keledai seorang diri.
Si nona yang seakan pernah dikenal, seolah pernah
dijumpai sebelumnya.
Dia yakin dan percaya bahwa apa yang diduganya tak
bakal salah. Gadis itu belum pernah berhubungan dengannya, sama
sekali tak ada ikatan perasaan atau cinta lama dengannya,
tapi apa mau dikata dia justru memikirkan nona itu.
Walaupun dia ingin sekali memikirkan persoalan yang
lebih berharga, tapi pikirannya selalu kembali pada
bayangan si nona yang duduk di atas pelana keledai sambil
mengulumkan senyum tak senyum itu.
Mengapa begitu"
Sebetulnya dia sedang tertawa atau tidak" Kalau tertawa,
mengapa pula harus tertawa" Seorang gadis muda yang
sama sekali tak dikenal, mengapa harus melempar
senyuman untuk seorang pria asing" Kalau tidak tertawa,
mengapa seorang gadis muda mengulum senyum tak
senyum terhadap seorang lelaki asing"
Bila mereka benar-benar saling mengenal, mengapa
setelah tertawa ia tidak tertawa lagi" Setelah tidak tertawa
kemudian tertawa"
Malam yang dingin telah mencapai ujung, lentera yang
redup hampir padam, para pelancong yang tertidur pulas
sudah saatnya bangun, mereka yang belum tidur pun
seharusnya sudah mulai naik ke atas pembaringan.
Siau-hong sudah merasa amat letih.
"Plok!", suara yang sangat perlahan, perlahan sekali,
bunga cahaya memudar dan lentera pun padam.
Lentera minyak belum lagi disulut, langit pun belum
terang tanah, ruang losmen yang dingin, sepi dan
menyendiri, tiba-tiba berubah semakin dingin, semakin
gelap. Siau-hong berbaring di tengah kegelapan, berbaring di
atas pembaringan yang dingin dan kaku... tiba-tiba ia
menangkap suara yang perlahan, perlahan sekali,
sedemikian perlahan seperti suara lentera sewaktu padam
tadi. Dia tidak mendengar suara lain, bahkan tidak
menyaksikan apa-apa, tapi setiap bagian tubuhnya yang
punya perasaan, setiap otot yang bisa merasakan, setiap
syaraf yang bisa merasakan, tiba-tiba mengejang kencang.
Karena secara tiba-tiba ia merasakan hawa pembunuhan
yang sangat tebal dan kuat.
Hawa pembunuhan itu tak bisa ditangkap, tak bisa
diraba, tak bisa didengar, tak bisa pula dilihat. Hanya
manusia yang sudah sering membunuh, hanya senjata yang
sering digunakan untuk membunuh, baru dapat
memancarkan hawa pembunuhan semacam ini.
Hanya manusia yang sering membunuh dengan
membawa senjata yang sering dipakai untuk membunuh
baru memiliki hawa pembunuhan yang begitu tebal dan
kuat. Hanya manusia macam Siau-hong pula yang dapat
merasakan hawa pembunuhan semacam ini. Meski seluruh
otot dan syaraf tubuhnya telah mengejang, namun dengan
satu gerakan cepat dan cekatan dia telah melompat bangun
dari atas pembaringan yang dingin dan kaku.
Pada saat tubuhnya melejit dari atas pembaringan
bagaikan ikan Lehi meletik di tengah arus sungai Hongho,
dia baru menyaksikan sekilas cahaya pedang yang
seharusnya ditusukkan ke atas ranjangnya.
Seandainya dia bukan Siau-hong, seandainya dia tidak
memiliki pengalaman yang menakutkan dan berharga,
seandainya dia tidak merasakan hawa pembunuhan yang
amat tebal itu....
Maka nasibnya saat ini pasti sangat tragis, dia pasti akan
mengalami nasib seperti suami-istri muda yang mati
terbunuh di pinggir jalan dan sekarang dia pun sudah mati
terbunuh di atas ranjangnya.
Cahaya pedang berkelebat, suara pedang pun bergema....
Pedang tak bersuara, suara pedang yang terdengar Siauhong
adalah suara ujung pedang yang menembus dasar
pembaringan. Ketika ia mendengar suara itu, ujung pedang telah
menembus papan kayu. Tempat di mana ujung pedang itu
menghujam tak lain adalah letak jantungnya sewaktu
berbaring, tapi kini ujung pedang itu hanya menembusi
sebuah papan kayu yang tebal.
Terlepas pedang macam apakah itu, yang pasti pedang
itu berada dalam genggaman seseorang.
Terlepas manusia macam apakah orang itu, yang pasti
orang itu berada di tepi pembaringan.
Karena tubuh Siau-hong sedang meletik bagaikan seekor
ikan Lehi, seluruh bagian tubuhnya saat itu sedang diliputi
tenaga yang luar biasa. Mendadak ia melejit balik kemudian
menerjang ke bawah, menerkam ke tempat yang menurut
perkiraannya dipakai untuk persembunyian sang
pembunuh. Ternyata perhitungannya tak meleset, dia berhasil
menangkap seseorang.
Oleh karena ujung pedang masih menancap di atas
papan, gagang pedang masih berada dalam tangan orang
itu. Maka Siau-hong pun berhasil menangkap orang itu.
Terkaman Siau-hong yang keras membuat orang itu
roboh ke lantai, sementara Siau-hong yang masih
mencengkeram tubuhnya ikut pula roboh ke bawah.
Mereka berdua sama-sama roboh ke lantai, sama-sama
terjungkal ke bawah, namun apa yang dirasakan kedua
orang itu sama sekali berbeda.
Mengapa begitu"
Orang yang diterkam Siau-hong itu semula mengira
tusukan pedangnya pasti akan berhasil menghabisi nyawa
lawan, siapa tahu bukan saja bokongannya gagal, bahkan
berhasil dirobohkan lawan, bisa dipastikan selain terkejut
bercampur ngeri, dia pun merasa sangat kecewa.
Siau-hong jauh lebih terperanjat, karena secara tiba-tiba
ia menjumpai bahwa orang yang berhasil dirobohkan dan
dipeluk erat-erat itu ternyata adalah seorang wanita.


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seorang perempuan yang sangat harum, lembut, dan
mungil. Ia tak dapat melihat perempuan itu, tak dapat melihat
pakaian apa yang dikenakan perempuan itu, tak dapat
melihat bagaimana wajah perempuan itu, tapi ia dapat
menyaksikan sepasang matanya.
Sepasang mata yang indah dan bercahaya.
Sepasang mata yang seolah pernah dilihat sebelumnya.
Mereka berdua sama-sama punya mata, mata mereka
berdua sama-sama melotot besar. Siau-hong yakin pernah
bertemu dengan perempuan itu, yakin pernah menyaksikan
sepasang matanya, sayang ia tak ingat dimanakah mereka
pernah bersua, tak teringat di tempat mana mereka pernah
bertemu. "Siapa kau?" Siau-hong menegur, "Mengapa ingin
membunuhku?"
Tiba-tiba perempuan itu tertawa, tertawa yang sangat
aneh, tertawa sangat manis dan menawan.
"Ternyata kau tak ingat siapakah aku?" perempuan itu
tertawa cekikikan, "Kau memang bukan manusia, kau
seorang telur busuk."
Di saat ia tertawa paling manis, di tangannya telah
bertambah lagi dengan sebuah senjata mematikan yang
diarahkan ke tenggorokan Siau-hong.
Setiap wanita tentu memiliki tangan.
Perempuan itu banyak jenisnya, tangan perempuan pun
banyak jenisnya. Ada sementara wanita yang cerdas, justru
memiliki sepasang tangan yang bodoh. Ada sementara
wanita yang halus dan mungil, justru memiliki sepasang
tangan yang kasar.
Perempuan ini bukan saja cantik bahkan amat bersih,
pakaian yang dikenakan seolah baru saja diambil dari
tukang jahit, rambutnya pun seolah baru saja disisir dan
disanggul dengan rapi, bahkan dasar sol sepatu yang
dikenakan tak nampak noda tanah atau lumpur.
Anehnya, di balik kuku jari tangannya justru terdapat
lumpur. Di tangannya ia menggenggam seekor ulat kecil, seekor
ulat kecil berwarna hitam. Dengan ujung jari tangannya
yang runcing dia jepit ulat kecil itu dan ulat kecil tadi
ditempelkan di atas tenggorokan Siau-hong.
"Tahukah kau benda apakah ini?" tanyanya kepada Siauhong.
Pertanyaan ini sesungguhnya tak perlu dijawab Siauhong,
dia pun malas menjawabnya, jangankan orang
dewasa, bocah berusia tiga tahun pun pasti tahu benda itu
adalah seekor ulat kecil.
Terdengar perempuan itu kembali berkata, "Kalau kau
anggap benda ini tak lebih hanya seekor ulat kecil, maka
dugaanmu itu keliru besar."
"O, ya?" Siau-hong balik bertanya, "Apakah bukan
seekor ulat kecil?"
Gadis pemegang ulat itu tertawa merdu, sahutnya,
"Tentu saja seekor ulat, biar orang yang amat bodoh pun
seharusnya dapat mengenali benda ini adalah seekor ulat
kecil, cuma... ulat pun ada banyak jenisnya."
"Lalu ulatmu termasuk jenis yang mana?"
"Ulatku termasuk jenis yang bisa makan manusia," sahut
gadis itu, "Asal kulepaskan tanganku, dia akan menerobos
masuk ke dalam tenggorokanmu, menyusup ke dalam nadi
darahmu, menyusup ke dalam tulang-belulangmu,
kemudian akan mengisap semua cairan dalam otakmu,
mengisap darahmu dan mengisap sel-sel tubuhmu."
Setelah tertawa cekikikan, kembali terusnya, "Manusia
makan burung, burung makan ulat, kejadian semacam ini
lumrah dan tak ada yang aneh, tapi terkadang ada juga ulat
yang bisa makan manusia."
Siau-hong ikut tertawa, karena dia sudah teringat siapa
gerangan gadis cilik ini.
Sewaktu berada di Lhasa, ketika berada dalam biara
kuno yang penuh misteri, ketika berada di bawah cahaya
lentera yang redup dan sejak lama sudah mempesona
berapa banyak manusia, berada di depan altar batu hijau
yang telah menghitam karena asap dupa para pesiarah,
gadis inilah yang telah membawanya ke depan lukisan iblis
wanita yang sedang mengisap otak manusia, dialah yang
memaksanya angkat sumpah di hadapan lukisan itu.
Dia pula yang sewaktu di kota Lhasa membawanya
mengunjungi rumah burung yang misterius, pergi
menjumpai Tokko Ci.
Waktu itu dia tampil sebagai seorang bocah lelaki yang
dekil penuh dengan lumpur.
Tapi sekarang dia adalah seorang gadis cantik yang
bersih dan mempesona, kecuali ujung kuku tangannya
berlepotan lumpur.
Sebetulnya kedua orang itu mustahil merupakan satu
orang yang sama, tapi Siau-hong yakin kali ini dia tak bakal
salah melihat. "Aku mengenalimu," seninya kemudian, "Aku telah
mengenali dirimu."
"Kau memang seharusnya telah mengenaliku," ternyata
gadis cilik itu sama sekali tak berniat menyangkal, "Kalau
kau tak mengenaliku, bukan saja kau adalah telur busuk,
pada hakikatnya lebih mirip seekor babi, babi mampus."
Gadis itu tertawa cekikikan, seakan seorang gadis cilik
yang sedang bergurau dengan seorang bocah lelaki sahabat
karibnya. Tapi tatapan matanya sama sekali tak ada senyuman,
sama sekali tidak menampilkan niatnya untuk bergurau.
"Tadi aku telah berkata, asal kulepaskan genggamanku
maka ulat kecil ini segera akan mengisap cairan tubuhmu
hingga kering." Lalu tanyanya kepada Siau-hong,
"Percayakah kau dengan perkataanku ini?"
"Aku percaya."
"Kau ingin kulepaskan tanganku?"
"Tidak!"
"Kalau begitu kau harus melepaskan aku terlebih dulu,"
dengan dagunya yang halus, gadis itu menggesek tangan
Siau-hong yang sedang mencekik lehernya, "Mencekik cara
begini membuat tubuhku sangat tak nyaman"
Siau-hong ikut tertawa, sebab bukan saja dia telah
mengenali siapakah gadis kecil ini, bahkan ada banyak
persoalan yang seharusnya tak dipahami, kini telah
dipahami semua.
Gadis kecil itu berada di sekitar tempat ini, tak disangkal
Tokko Ci pasti berada pula di sekitar tempat ini.
Tokko Ci adalah musuh besar Pancapanah,
kemungkinan besar orang inilah yang dianggap Pancapanah
sebagai musuhnya yang paling menakutkan.
Perempuan yang memakai sepatu berlapis pedang bisa
jadi merupakan orang yang diutus Pancapanah untuk
membunuh Tokko Ci.
Bukan membunuhnya, tapi mencari info, karena bukan
pekerjaan mudah bagi Pancapanah untuk mengutus orang
yang bisa menyelidiki sepak-terjang Tokko Ci.
Sekalipun hanya bermaksud mencari info, tapi pada
akhirnya tewas secara mengenaskan di ujung pedang gadis
cilik ini. Pedang pembunuh yang tajam meski sudah dirontokkan
dari genggaman, namun ulat beracun yang sangat
mematikan justru masih berada di tangannya.
Siau-hong masih tertawa, gadis kecil itu justru sudah
tidak tertawa lagi, dengan sepasang matanya yang besar
bulat diawasinya wajah pemuda itu tanpa berkedip, "Sudah
jelas kau dengar semua perkataanku tadi?"
"Jelas sekali," jawab Siau-hong, "Aku telah
mendengarnya dengan sangat jelas."
"Kau tak akan melepaskan aku?"
"Tidak."
Mencorong sinar tajam dari balik mata gadis cilik itu,
ditatapnya Siau-hong dengan gemas, lalu tanyanya jengkel,
"Kau ingin mampus?"
"Tidak!"
"Mengapa kau tidak melepaskan aku?" desak si nona.
"Karena tiga alasan," sahut Siau-hong, "Pertama, kau
datang untuk membunuhku, bila aku tak melepaskan
dirimu, paling kita berdua mati bersama. Sebelum aku
menemui ajalnya, tengkukmu pasti telah kuparahkan.
Sebaliknya bila aku lepas tangan, kau pasti tak akan
melepaskan aku, maka tengkukmu tak bakal patah
sementara aku tetap harus mampus."
"Masuk akal."
"Kedua," lanjut Siau-hong, "Rasanya kau sedang
mengancamku, kebetulan aku adalah orang yang paling tak
suka diancam."
"Ketiga?"
"Tak ada ketiga," jawab Siau-hong "Peduli bicara dengan
siapa pun, dua alasan itu sudah lebih dari cukup." Sekali
lagi gadis cilik itu tertawa.
"Tak heran orang lain menyebutmu Siau-hong yang tak
sayang nyawa," katanya sambil menatap pemuda itu,
"Ternyata kau benar-benar tak sayang nyawa sendiri."
Sehabis mengucapkan perkataan itu, tiba-tiba dia
melakukan satu tindakan yang sama sekali di luar dugaan
siapa pun, mendadak ia menggencet ulat kecil itu hingga
mati. Biasanya orang yang bisa melakukan satu tindakan yang
membuat orang lain tercengang dan sama sekali tak
menyangka, tentu akan merasa bangga dan gembira atas
ulahnya itu. Tidak terkecuali gadis cilik itu.
Ia menatap wajah Siau-hong dan tertawa sangat riang.
"Aku percaya kau pasti tak akan menyangka, mengapa
aku bukan saja tidak melepaskan ulat kecil itu di atas
tenggorokanmu, sebaliknya malah menggencetnya sampai
mati." Siau-hong memang sama sekali tak menyangka.
Gadis itu tidak membiarkan Siau-hong harus memeras
otak untuk mencari jawabannya, karena ia segera
menjelaskan alasannya mengapa berbuat begini.
"Karena meski harus membunuhmu, aku akan
membunuh dengan menggunakan pedangku, bukan
menggunakan ulat kecil ini," lalu sambil membusungkan
dada, terusnya dengan angkuh, "Aku adalah seorang jago
pedang, bila jago pedang ingin membunuh, dia seharusnya
menggunakan pedang miliknya."
Mau tak mau Siau-hong harus mengakui hal ini, dia pun
mau tak mau harus mengakui bahwa gadis cilik itu sudah
terhitung seorang jago pedang.
Siapa pun itu orangnya, asal dapat menggunakan ilmu
pedang sehebat itu, membunuh orang tepat pada bagian
yang mematikan, membunuh dalam waktu singkat, dia
sudah terhitung seorang jago pedang, seorang jago pedang
kelas wahid. Tapi jago pedang kelas wahid ini tiba-tiba tertawa
cekikikan, suara tertawanya terdengar masih kekanakkanakan.
"Apalagi ulat kecil itu tak lebih hanya ulat biasa yang
baru saja kutangkap dari atas tanah, bila kulepaskan di atas
tenggorokanmu, paling kau hanya akan merasa sedikit geli,
paling hanya merasa terperanjat saja, kaget sesaat."
Kali ini Siau-hong benar-benar tidak menyangka.
Diperbodoh orang lain jelas bukan suatu kejadian yang
menggelikan, paling tidak ia sendiri tak akan merasa geli.
Kembali gadis cilik berkata, "Padahal aku pun tidak
bersungguh hati ingin membunuhmu, aku tak lebih hanya
ingin menjajal pedangku di atas tubuhmu, menjajal apakah
aku mampu membunuhmu."
Siau-hong menatapnya dingin, lalu bertanya, "Dan
sekarang kau telah menjajalnya?"
"Ehm."
"Kau sanggup membunuhku?"
"Rasanya tak sanggup."
"Bagaimana kalau aku yang mencoba?"
"Mencoba apa?"
"Mencoba apakah aku mampu membunuhmu?"
"Tidak, tidak ingin!" teriak gadis kecil itu, "Aku sama
sekali tak ingin!"
Kali ini Siau-hong tertawa.
Tapi di saat dia mulai tertawa itulah mendadak pemuda
itu melakukan pula sebuah tindakan yang sama sekali di
luar dugaan. Tiba-tiba dia lepaskan tangannya yang masih mencekik
tengkuk gadis itu, kemudian menabok pantatnya keraskeras.
Kontan saja gadis cilik itu menjerit, suara teriakannya
jauh lebih keras dari semula, "Kenapa kau memukulku?"
"Kau hendak membunuhku, kenapa aku tak boleh
menabok pantatmu?"
"Kenapa kau harus memukul bagian tubuhku yang di
sana?" "Kalau kau seorang gadis suci, tentu saja aku tak boleh
menabok bagian tubuhmu itu. Kalau kau adalah seorang
jago pedang, terlebih aku tak boleh menabokmu," kata Siauhong,
"Sayangnya, di dalam pandanganku kau tak lebih
hanya seorang bocah cilik yang tubuhnya berlepotan
lumpur dan suka bermain ulat kecil dengan hidung penuh
ingus." Kemudian sambil memukul pantatnya, sekali lagi dia
berseru, "Sekarang pergilah!"
Kali ini gadis itu tidak tertawa lagi.
Seorang gadis yang mulai dewasa, seorang jago pedang
yang sanggup mencabut senjatanya membunuh orang,
ternyata masih dianggap orang sebagai seorang bocah
ingusan, semisal ada orang merasa geli akan kejadian ini
pun, yang pasti gadis itu tak sanggup tertawa.
Namun dia pun tidak beranjak pergi.
Mendadak dia melompat bangun, melambung di udara,
berjumpalitan berulang kali dan dalam waktu singkat ia
telah mencabut pedangnya yang menancap di atas ranjang.
Sewaktu tubuhnya melayang turun ke lantai, pedang
telah tergenggam di tangannya.
Setelah pedang berada dalam genggaman, senyuman


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang tampil di wajah nona itu pun berubah.
Tiba-tiba Siau-hong teringat kembali kepada Po Eng, di
tengah malam yang hening, di saat selesai meneguk arak,
Po Eng pernah mengucapkan sesuatu perkataan yang sulit
dimengerti olehnya saat itu.
"Pedang milik seorang jago pedang, terkadang mirip
dengan uang. Dalam beberapa hal boleh dibilang nyaris
sama." "Seperti uang?" tanya Siau-hong tak mengerti, "Kenapa
pedang bisa mirip uang?"
"Apakah seorang jago pedang memiliki pedang seperti
seseorang memiliki uang dalam sakunya. Terkadang dapat
merubah segala penampilannya," perkataan itu dirasakan
Po Eng kurang gamblang, kurang jelas, karena itu dia
menjelaskan lagi, "Bila seorang jago tak berpedang seperti
seseorang tak beruang sebuah kantung beras yang tak berisi
berat, untuk bangkit pun tak mampu."
Siau-hong sangat memahami perkataan Po Eng itu,
karenanya hingga sekarang dia tak pernah melupakannya.
Kini si nona cilik itu telah bangkit, tiba-tiba sikapnya
berubah jadi sangat tenang, sangat mantap, dingin, dan tak
berperasaan. "Tadi kau memang mempunyai peluang untuk
membunuhku, tapi sekarang keadaan telah berbeda," kata
gadis itu, "Tadi aku gagal dalam serangan bukan
dikarenakan ilmu pedangku tak mampu mengungguli
dirimu, apakah sekarang kau masih ingin mencobanya?"
Pedang milik Siau-hong tidak tergembol di badan, masih
berada di atas ranjang tapi sekali sambar ia dapat
mengambil pedang miliknya itu. Sejak ia mendapatkan
kembali pedang itu untuk terakhir kalinya, belum pernah
dia taruh pedang itu di tempat yang tak terjangkau
tangannya. Dengan sorot mata tajam gadis kecil itu mengawasi
tangannya. "Akan kuberi kesempatan kepadamu untuk mencabut
pedang," katanya.
Haruskah ia mencabut pedangnya" Atau jangan" Ingatan
itu melintas dalam sekejap, ia harus mengambil keputusan
secepatnya. Dalam waktu relatif singkat, Siau-hong tidak bisa
mengambil keputusan, dia teringat banyak persoalan yang
sangat aneh. Ia sedang bertanya pada diri sendiri.
Jika dia adalah Po Eng, dalam situasi seperti ini akankah
dia mencabut pedangnya"
Dia pun memberi jawaban untuk diri sendiri, tidak
mungkin. Karena bocah perempuan ini masih belum bisa memaksa
Po Eng mencabut pedangnya, dia belum pantas.
Siau-hong pun kembali bertanya pada diri sendiri,
andaikata.... Pancapanah, dalam keadaan dan situasi seperti ini,
mungkinkah dia mencabut pedangnya"
Dengan cepat jawaban yang ia berikan untuk diri sendiri
adalah, tidak mungkin!
Sebab bila Pancapanah benar-benar berada di sini, sejak
tadi bocah perempuan itu sudah menjadi orang mati, pada
hakikatnya Pancapanah tidak perlu melolos pedangnya
karena gadis itu sudah menjadi orang mati.
Ketika Pancapanah hendak membunuh orang, buat apa
dia mesti mencabut pedangnya"
Siau-hong bukan Pancapanah, juga bukan Po Eng. Dia
mencabut pedangnya, perlahan-lahan menggunakan
tangannya untuk mencabut pedang.
Lawannya, dengan mimik wajah yang sangat aneh
mengawasi dia melolos pedang Mo-gan, ternyata ia tidak
melakukan penyerangan.
Bila sepasang pedang saling bentur, tentu akan muncul
percikan bunga api.
Ketika dua orang yang hidupnya tergantung pada pedang
saling berhadapan dengan pedang terhunus, suasana saat itu
pasti dipenuhi hawa pedang dan hawa pembunuhan.
Namun di antara mereka berdua tak ada keadaan seperti
itu, meski pedang berada dalam genggaman Siau-hong.
Biarpun di tangannya ada pedang, namun hatinya tak
ada pedang begitu juga dengan sorot matanya.
"Kau minta aku mencabut pedang kau ingin
menggunakan pedang untuk mencobaku," tanyanya
kemudian kepada nona itu, "Mengapa hingga sekarang kau
belum turun tangan?"
Ooo)d*w(ooO BAB 29. BARTER Gadis cilik itu menggunakan sikap yang sangat aneh,
mengawasi pedang dalam genggamannya, lewat lama
kemudian baru berkata, "Sewaktu aku berusia tujuh tahun,
mendiang ayahku pernah memberitahukan kepadaku, bila
ingin belajar pedang, aku harus mengingatnya selalu bahwa
pedang adalah senjata tajam untuk membunuh manusia,
merupakan senjata pembunuh, bila tidak dalam keadaan
terpaksa, jangan sekali-kali mencabutnya secara
sembarangan. Bila pedang di tanganmu telah dilolos dari
sarungnya, sekalipun kau tak ingin membunuh orang, bisa
jadi karena hal ini orang lain akan membunuhmu."
"Apa yang dia katakan memang sangat masuk akal,"
Siau-hong menyetujui, "Seseorang yang dengan gampang
mencabut pedangnya, dia pasti bukan seorang yang pandai
menggunakan pedang."
"Kini pedang dalam tanganku telah dilolos dari
sarungnya, aku seharusnya siap melancarkan serangan,"
kata gadis cilik itu lagi, "Sayang saat ini aku justru tak dapat
turun tangan."
"Kenapa?" tanya Siau-hong.
Dia masih belum mengatakan mengapa dirinya tak dapat
turun tangan, dia pun tak perlu bicara lagi, sebab pada saat
itulah gadis itu turun tangan melancarkan serangan.
Dalam detik antara hidup dan mati, mendadak Siauhong
teringat akan persoalan yang tidak seharusnya dia
pikirkan. Lagi-lagi dia teringat akan Po Eng.
Di tengah malam yang gelap, sepi, dan dingin, Po Eng
pernah mengucapkan perkataan yang selama hidup tak
pernah akan terlupakan olehnya.
"Pedang di tangan seorang jago pedang terkadang mirip
dengan barang taruhan di tangan penjudi," kata Po Eng,
"Seorang penjudi tulen tak bakal sembarangan memasang
taruhan, bila dia ingin bertaruh, bukan saja harus bertaruh
secara tepat, bertaruh secara telengas, bahkan harus bisa
menahan sabar."
Sabar adalah menunggu, menunggu datangnya
kesempatan baik.
Po Eng kembali berkata, "Di saat orang lain mengira kau
tak bakal turun tangan, biasanya inilah peluang terbaik
bagimu." Tak disangkal bocah perempuan ini pun pernah
mendengar perkataan yang sama dari ayahnya, bahkan
seperti Siau-hong, dia pun selalu mengingat pesan itu.
Dia telah membuat Siau-hong menyangka ia tak bakal
turun tangan, oleh sebab itu dia menunggu terus hingga
detik ini baru turun tangan.
Tenang bagaikan bukit Thay-san, bergerak bagai kelinci
gunung, tidak menyerang berarti melindungi diri, begitu
menyerang pasti tepat sasaran.
Inilah prinsip yang dipegang seorang jago pedang. Begitu
melancarkan tusukan, serangan itu harus mematikan,
sasaran yang diarah pun bagian mematikan di tubuh lawan,
serangannya pasti membawa hawa pembunuhan yang
mengerikan. Tusukan yang dilancarkan gadis itu bukan hanya
demikian saja. Serangannya selain cepat, juga tepat sasaran, ilmu
pedangnya bukan saja memiliki perubahan yang luar biasa
bahkan sangat mematikan bagi lawannya.
Namun serangan yang dilancarkan nona cilik ini tidak
cukup ganas, ilmu pedangnya juga kurang ganas.
Biarpun Siau-hong belum pernah menyaksikan ilmu
pedang Tokko Ci, juga belum pernah melihat gadis itu
melancarkan serangan, namun Siau-hong dapat
membayangkannya.
Asal kau pernah melihat manusia yang bernama Tokko
Ci, mungkin kau dapat membayangkan bagaimana bentuk
ilmu pedangnya dan bagaimana caranya melancarkan
serangan. Tentu saja tak banyak orang yang pernah menyaksikan
dia melancarkan serangan, sebab orang yang pernah
melihatnya sebagian besar telah mampus di ujung
pedangnya. Kalau dilihat dari kemampuan si nona cilik ini
membunuh salah seorang pembunuh gelap yang dikirim
Pancapanah hanya dalam sekali tusukan, tak disangkal ilmu
pedang yang dimilikinya telah mendapat seluruh intisari
ilmu pedang milik Tokko Ci, tapi tusukan yang dilancarkan
saat ini sedikit pun tidak mirip.
Siau-hong mulai merasa sedikit keheranan.
Yang lebih mengherankan lagi adalah setelah gadis itu
melepaskan sebuah tusukan, mendadak ia menghentikan
lagi gerak serangannya.
"Sekarang apakah kau sudah mengetahui, apa sebabnya
tadi aku tak bisa turun tangan?" tanya si nona kepada
lawannya. Siau-hong tidak menanggapi.
Kembali gadis itu berkata, "Ilmu pedang yang kupelajari
adalah ilmu pedang untuk membunuh orang, bila aku akan
membunuhmu, ilmu pedang itu baru berkhasiat."
"Jadi tadi kau tak ingin membunuhku?" Siau-hong balik
bertanya. "Sebetulnya aku ingin membunuhmu, menggunakan
nyawamu untuk menyembahyangi pedangku," sahutnya,
"Tapi kemudian aku telah berubah pikiran."
"Kenapa?"
"Karena aku ingin mengajakmu barter."
"Barter?" tanya Siau-hong, "Barter apa?"
"Tentu saja sebuah barter yang tidak merugikan kedua
belah pihak," sahut gadis cilik itu, "Hanya barter semacam
ini baru bisa terwujud."
Membicarakan sebuah barter yang sama-sama tidak
merugikan kedua belah pihak dengan seorang bocah
perempuan, jelas kejadian ini merupakan sebuah peristiwa
yang sangat menarik.
Siau-hong ingin sekali bertanya kepadanya.
Barter apakah yang dimaksud" Apa yang hendak
dibarter" Bagaimana harus dibicarakan"
Belum sempat dia bertanya, tiba-tiba dari luar jendela
terdengar suara ayam berkokok, kertas jendela pun sudah
mulai nampak memutih.
Betapa pun panjangnya malam yang gelap, pada
akhirnya langit tentu akan menjadi terang kembali.
Begitu langit mulai terang, ayam pun mulai berkokok,
kertas jendela pun akan memutih.
Siapa pun yang mendengar suara ayam berkokok pasti
tak akan menganggap kejadian itu merupakan suatu
peristiwa yang menakutkan, tak mungkin lantaran hal itu
dia jadi amat terperanjat.
Tapi bocah perempuan itu tiba-tiba melompat bangun,
bagaikan seekor kelinci yang terkena bidikan anak panah,
tiba-tiba ia melompat keluar melalui daun jendela.
Sesaat sebelum meninggalkan tempat itu, dia telah
mengucapkan sesuatu perkataan yang sangat aneh,
perkataan yang membuat orang merasa tak mengerti, tak
paham. "Aku harus pergi," katanya, "Tapi kau tak boleh ikut
pergi, malam nanti aku pasti akan datang lagi, mungkin
begitu langit jadi gelap, aku telah datang kemari."
Mengapa dia harus pergi" Mengapa begitu mendengar
suara ayam berkokok gadis cilik itu segera pergi"
Di saat ayam mulai berkokok, sang surya sebentar lagi
bakal terbit. Apakah dia seperti setan dan sukma gentayangan
lainnya, takut cahaya matahari" Takut setelah matahari
terbit, dia akan segera berubah menjadi segumpal darah
kental" Oleh karena itu dia harus menunggu sampai malam baru
berani balik lagi ke dunia ramai, paling tidak harus
menunggu setelah langit jadi gelap"
Sebenarnya gadis cilik itu manusia atau setan" Barter
seperti apa yang hendak dia bicarakan dengan Siau-hong"
Apakah semacam barter jual beli sukma gentayangan"
Ooo)d*w(ooO Kegelapan malam kembali menyelimuti angkasa.
Siau-hong sedang menunggu, menanti kedatangannya.
Duduk menanti di dalam ruang losmen yang sempit,
gelap dan lembab semacam ini, terlepas yang dia tunggu itu
manusia atau setan, yang pasti suasana saat itu tentu sangat
tidak menggembirakan.
Siau-hong cukup bersabar, cukup mampu menahan diri.
Dia tak tahu kapan bocah perempuan itu akan datang
lagi, tidak tahu pula dia akan datang darimana.
Datang dari luar jendela ataukah masuk lewat pintu"
Atau jatuh dari atas genteng rumah atau mungkin
menerobos masuk lewat dinding ruangan"
Atau mungkin juga turun dari langit atau menongol dari
bawah tanah"
Pada hakikatnya Siau-hong enggan memikirkannya, dia
pun tak sanggup untuk menebaknya.
Pemuda itu hanya duduk menanti di dalam kamarnya.
Langit sudah gelap, kegelapan malam telah menyelimuti
angkasa, lewat lama kemudian ia baru mendengar suara
orang mengetuk pintu.
Ternyata benar-benar ada orang mengetuk pintu
kamarnya, hanya saja orang yang mengetuk pintu bukan si
nona cilik yang pernah kabur terbirit-birit fajar tadi.
Yang mengetuk pintu adalah seorang bocah lelaki, bocah


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lelaki yang dekil, usianya paling hanya delapan-sembilan
tahun, tapi pakaian yang dikenakan justru jubah longgar
terbuat dari sutera yang biasa dikenakan pria dewasa.
Siau-hong merasa sangat keheranan, kenapa pelayan
rumah penginapan membiarkan seorang bocah datang dan
mengetuk pintu kamarnya"
Yang lebih mengherankan lagi, pelayan penginapan
justru berdiri di samping bocah lelaki itu, bukan saja tidak
menghalangi bahkan sikapnya terhadap sang bocah justru
amat sungkan dan menaruh hormat.
Mungkinkah bocah kecil ini pun mempunyai asal-usul
yang luar biasa"
Tak bisa mengendalikan rasa ingin tahunya, Siau-hong
segera bertanya, "Apakah kau datang mencariku?"
"Bukan mencarimu, memangnya mencari siapa?" jawab
si bocah garang, "Kalau bukan datang mencarimu, kau
sangka aku datang mencari kura-kura telur busuk?"
Siau-hong tidak menjadi gusar, dia malah sedikit geli,
hanya saja suara tawanya tak diutarakan.
"Siapa yang menyuruh kau datang mencariku?" ia
bertanya. "Tentu saja Lotoa kami," jawab si bocah sambil
mengacungkan ibu jarinya, "Dia minta aku membawamu
pergi menjumpainya."
"Siapa Lotoa kalian" Dia berada di mana?"
"Asal ikuti saja aku, kau pasti akan tahu dengan
sendirinya. Hm, kalau tak berani ikut, berarti kau memang
cucu kura-kura hidup."
Selesai berkata dia langsung membalikkan badan dan
kabur dari situ.
Terpaksa Siau-hong mengikut di belakangnya, bukan
lantaran kuatir dianggap cucu kura-kura hidup, melainkan
karena dia telah menebak siapa gerangan Lotoa bocah itu.
Langit sudah sangat gelap. Sekalipun ada bintang yang
bertaburan, cahaya bintang terasa begitu tipis dan tawar,
sekalipun ada rembulan, cahaya rembulan pun terasa
hambar. Arah jalan di depan sana secara lamat-lamat tidak
terlalu jelas. Bocah cilik yang berlari di depan, tiba-tiba lenyap dari
pandangan mata.
Tentu saja dia bukannya terbang ke langit atau
menerobos masuk ke dalam tanah, hanya secara tiba-tiba
menerobos masuk ke dalam sebuah kuil yang sudah bobrok.
Terpaksa Siau-hong ikut menerobos masuk ke dalam kuil
itu. Ternyata dalam ruang kuil bobrok itu terdapat cahaya,
bahkan terendus pula harumnya arak dan daging panggang,
daging panggang yang amat harum.
Tujuh-delapan belas orang bocah lelaki tampak
mengerumuni api unggun yang dipakai untuk memanggang
daging, mereka terdiri dari bocah remaja yang belum
menginjak dewasa, pakaian yang dikenakan beraneka
ragam dan kelihatan sangat aneh, bahkan apa yang
dilakukan orang-orang itu pun beraneka ragam dan aneh.
Apa yang mereka kerjakan saat ini bila dilakukan kaum
dewasa, jelas hal ini tidak aneh atau lucu, tapi mereka tak
lebih hanya bocah remaja yang belum menginjak dewasa.
Seorang bocah yang tampaknya berusia paling besar
bahkan paling dekil, duduk bersila di atas meja altar dalam
kuil, dengan sepasang matanya yang bulat besar dia
mengawasi sekeliling ruangan.
Bocah yang mengajak Siau-hong segera menuding ke
arah altar sambil berbisik, "Dialah Lotoa kami."
Tentu saja Lotoa mereka tak lain adalah bocah yang
bermain ulat di rumah burung atau si nona berpedang yang
menunggang keledai.
Daging wangi kini sudah tak wangi lagi karena telah
berpindah ke dalam perut, tentu saja daging yang sudah
masuk perut tak bakal wangi lagi, yang ada tinggal bau
busuk. Siau-hong memandang sekejap kawanan bocah yang
sedang makan daging, minum arak, bermain judi di tepi api
unggun, lalu dengan kening berkerut tegurnya, "Apakah
mereka adalah saudaramu?"
"Benar, semuanya adalah saudaraku," sahut si nona kecil
yang tempo hari bermain ulat, semalam bermain pedang
dan malam ini hidungnya penuh ingus sambil menyengir,
"Aku adalah Lotoa mereka."
"Kenapa kau biarkan mereka melakukan perbuatan
semacam itu?"
"Kenapa aku tak boleh membiarkan mereka
melakukannya?"
"Perbuatan semacam itu hanya pantas dilakukan kaum
dewasa," ucap Siau-hong, "Sementara mereka masih kecil,
masih kanak-kanak."
"Kalau begitu apakah aku harus memberitahukan kepada
mereka, perbuatan semacam ini hanya bisa mereka lakukan
setelah dewasa nanti?"
Siau-hong tidak berbicara lagi.
Mendadak gadis cilik itu menghela napas, ujarnya, "Jika
orang dewasa tak senang melihat bocah cilik melakukan
perbuatan semacam ini, lebih baik kaum dewasa pun tidak
melakukan hal yang sama. Bila orang dewasa setiap hari
melakukan perbuatan semacam itu, bagaimana mungkin
para bocah tidak menirunya?"
Siau-hong tertawa getir.
Ia merasa perkataan gadis cilik itu mencari menangnya
sendiri, apa mau dibilang dia gagal menemukan alasan
tepat untuk membantah perkataannya, terpaksa
mengalihkan pokok pembicaraan, katanya, "Sebenarnya
barter macam apa yang hendak kau bicarakan semalam?"
Padahal dia masih mempunyai banyak persoalan yang
hendak ditanyakan kepada gadis cilik ini.
Mengapa dia langsung kabur begitu mendengar suara
ayam berkokok" Mengapa dia selalu menyamar menjadi
seorang bocah lelaki yang amat dekil"
Di manakah Tokko Ci saat ini" Apakah ilmu pedangnya
telah mencapai puncak kesempurnaan" Apakah luka yang
dideritanya telah sembuh"
Semua pertanyaan itu tidak diajukan Siau-hong karena
secara tiba-tiba ia merasa sangat tertarik dengan usul barter
bocah perempuan itu.
Sebagian besar orang tentu akan merasa sangat tertarik
dengan barter yang diajukan bocah perempuan ini.
"Akan kucari sebuah tempat yang aman, rahasia dan
nyaman untuk tempat tinggalmu," ujar si nona kepada Siauhong
"Setiap hari aku pun akan membuatkan beberapa
macam hidangan yang lezat untukmu, bahkan akan
kucucikan juga pakaianmu yang kotor."
Siau-hong mulai tertawa. Sebenarnya dia ingin sekali
bertanya kepada bocah perempuan ini, apakah dia sudah
siap kawin dengannya.
Bukankah perkawinan pun merupakan semacam barter"
Bukankah semua pekerjaan yang hendak dilakukan
bocah perempuan itu untuk Siau-hong merupakan tugas
seorang istri terhadap suaminya"
Dengan sorot mata tak berkedip nona cilik itu menatap
wajah Siau-hong. Dia seolah ingin tertawa, namun tak jadi
tertawa. "Bila kau anggap aku ingin kawin denganmu, maka
dugaanmu itu keliru besar," ujar si nona lagi, "Kau tak bisa
menganggap diriku sebagai seorang perempuan."
"Lalu aku harus menganggapmu sebagai apa?" Siau-hong
sengaja bertanya.
"Anggap aku sebagai gurumu."
"Guru?" Siau-hong tak tahan untuk tertawa, "Apa yang
bisa kau ajarkan kepadaku?"
"Ilmu pedang," sahut si nona tegas, "Aku dapat
mengajarkan seluruh ilmu pedang Tokko Ci kepadamu."
Siau-hong mulai merasa agak terperanjat.
"Maksudmu, selain menanak nasi dan mencuci pakaian
untukku, kau pun akan mengajarkan rahasia ilmu pedang
milik orang lain kepadaku?"
"Benar, memang begitu maksudku."
"Kau bukan sedang bergurau?"
"Bukan."
Sikap serta caranya berbicara memang sedikit pun tak
mirip orang sedang bergurau.
Sikap Siau-hong pun segera ikut berubah, berubah
menjadi serius.
"Barter itu terwujud bila ada imbal balik dari kedua belah
pihak," Siau-hong pun bertanya, "Apa yang kau inginkan
dariku." "Ilmu pedang," jawab gadis cilik itu, "Aku pun ingin kau
mewariskan ilmu pedangmu kepadaku."
Kembali dia berkata, "Aku ingin memenggal batok
kepala Tokko Ci untuk membalas dendam sakit hati
ayahku, kau pun ingin mengalahkan dia. Tapi dengan ilmu
pedang yang kupelajari sekarang, jangankan memenggal
kepalanya, memotong selembar rambutnya pun tidak
gampang." Mau tak mau Siau-hong harus mengakui kebenaran
perkataan ini. "Hanya dengan berbuat begitu kita baru punya harapan,"
ujar gadis itu lebih jauh, "Barter ini sangat berguna dan
bermanfaat bagi kita berdua."
Dalam hal ini pun Siau-hong harus mengakui akan
kebenarannya. Dia pun mulai mempertimbangkan, namun tak butuh
waktu lama untuk pertimbangannya kali ini.
"Kalau begitu bila aku enggan menyanggupi usulmu itu,
berarti aku adalah seorang telur busuk tolol," katanya.
"Apakah kau memang telur busuk tolol?"
"Tidak, aku bukan."
Maka mereka pun melaksanakan barter itu.
Daging telah selesai dipanggang, bocah perempuan
membagikan sepotong besar daging untuk Siau-hong,
kemudian dengan tangannya yang penuh minyak
bercampur lumpur, ia tepuk bahu anak muda itu kuat-kuat.
"Sekarang kita sudah bukan teman biasa lagi, kita adalah
rekan kerja," katanya, "Kujamin kau tak bakal menyesal."
Siau-hong tertawa.
"Sekarang kita sudah bukan sahabat biasa lagi, tapi
hingga kini aku masih belum mengetahui siapa namamu."
Bocah perempuan itu tertawa geli.
"Aku bermarga Che, sewaktu menjadi bocah lelaki,
namaku adalah Siau-cong."
"Kalau sedang jadi anak perempuan?"
"Namaku Siau-yan."
"Sudah jelas kau adalah seorang gadis cilik, kenapa harus
berperan menjadi bocah lelaki?" kembali Siau-hong
bertanya. Siau-yan menatapnya lekat-lekat.
"Apakah kau ingin aku bicara sejujurnya?" dia bertanya.
"Tentu saja."
"Baik, kalau begitu kuberitahukan kepadamu," ujar Siauyan,
"Bila Tokko Ci tahu aku adalah bocah perempuan,
sejak dulu nyawaku sudah melayang di ujung pedangnya."
"Kenapa?"
"Karena ilmu pedang yang dipelajari Tokko Ci selain
ganas, sesatnya luar biasa, setiap beberapa waktu dia harus
melampiaskan kegilaannya, sebab kalau tidak, dia sendiri
yang bakal jadi edan," Siau-yan menerangkan, "Biasanya
dia melampiaskan napsunya dengan melakukan
pembunuhan."
Setelah berhenti sejenak, kembali lanjutnya, "Kalau ia
tak dapat membunuh orang, maka napsunya akan
dilampiaskan di tubuh wanita. Jika dia tahu aku adalah
seorang wanita, dapat dipastikan dia akan datang
mencariku. Bila aku menolak melayaninya, bisa ditebak
nyawaku akan melayang di ujung pedangnya."
Selama ini dia selalu menatap wajah Siau-hong,
menatapnya dengan sorot matanya yang berbinar.
Walaupun sedang membicarakan suatu peristiwa yang
memalukan, namun gadis itu sendiri sama sekali tak
nampak rikuh atau malu mengutarakannya.
Mendadak Siau-hong merasa kagum terhadap gadis cilik
ini. Seorang gadis muda ternyata sanggup membicarakan
masalah semacam itu di hadapan seorang lelaki, keberanian
dan keterbukaan gadis ini benar-benar membuat orang
merasa sangat kagum.
Siau-yan masih menatapnya tanpa berkedip.
"Kau masih ada persoalan apa lagi yang ingin
ditanyakan kepadaku?"
Siau-hong memang masih mempunyai banyak persoalan
yang ingin ditanyakan kepadanya.
Apakah Tokko Ci telah berhasil mempelajari ilmu
pedangnya" Saat ini Tokko Ci berada di mana"
Namun dia tidak menanyakannya.
Dengan memakai daging yang berada dalam tangannya,
ia sumbat mulut sendiri.
Dalam perjalanan hidup siapa pun, suatu saat dia pasti
akan mengalami perubahan yang datang mendadak, seperti
persoalan lainnya, perubahan itu ada yang baik ada pula
yang jelek, ada yang membuat orang menari-nari gembira,
ada pula yang membuat orang sedih dan berduka.
Dalam persoalan perasaan, cinta munculnya tiba-tiba,
begitu pula dengan benci dan dendam, dalam kehidupan
pun terkadang ada beberapa persoalan yang dapat
mengubah perjalanan hidup seseorang.
Terlepas perubahan itu membawa kebaikan atau
keburukan, namun pada prinsipnya hanya terdapat dua
perbedaan itu. Dalam perjalanan berlangsungnya perubahan ini,
seringkali bisa terjadi suatu peristiwa yang membuat orang
tak dapat melupakannya seumur hidup.
Jalan hidup Siau-hong secara tiba-tiba mengalami
perubahan, dari kehidupan yang penuh gejolak dan
ancaman maut yang bisa datang setiap saat, mendadak
berubah menjadi kehidupan yang tenang aman, dan penuh


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kedamaian. Che Siau-yan sama sekali tidak membohonginya, dia
benar-benar mencarikan sebuah tempat yang benar-benar
aman, tenteram, tersembunyi yang berada di tengah sebuah
tanah perbukitan kecil, di tepi sungai dengan aliran air yang
jernih, di bawah pepohonan yang rindang di mana ia telah
mendirikan sebuah rumah kayu kecil untuk ditempati
pemuda itu. Hidangan yang dimasak gadis cilik ini pun benar-benar
hebat, bakpao kukusannya padat berisi, bakmi yang
dibuatnya kurus dan gurih, nasi yang ditanaknya harum
dan pulen, bahkan daging yang dimasaknya begitu empuk,
gurih, dan lezat.
Ternyata dia pun benar-benar turun tangan sendiri
mencuci pakaian Siau-hong, bahkan bukan hanya sekali dia
mencucinya. Memiliki sebuah rumah tinggal yang begitu tenang dan
indah, memiliki sebuah rumah kecil yang hangat dan
nyaman, bahkan setiap hari ada seorang gadis cantik yang
menemaninya berbincang dan bergurau... bagi seorang
perantau macam Siau-hong, perubahan hidup semacam ini
boleh dibilang benar-benar sebuah perubahan yang amat
besar. Dia belum pernah mempunyai rumah, tapi sekarang dia
telah memilikinya, hanya dia sendiri pun tahu bahwa
kehidupan semacam ini setiap saat bisa berakhir.
Ketika mereka berhasil mempelajari ilmu pedang
semuanya akan berakhir.
Berbicara dari sudut pandang lain, ilmu pedang tak
ubahnya seperti ilmu kaligrafi, bukan saja harus punya
"jiwa", punya "gaya" dan punya "niat", bahkan harus
memiliki "teknik" dan "seni".
Setiap goresan pit harus didahului dengan "niat", begitu
pula setiap gerakan pedang harus didahulu dengan "niat",
sementara setiap perubahan yang kemudian mengikuti,
tergantung seberapa besar teknik dan seni yang bisa kita
kembangkan. Jiwa dan niat merupakan takdir, sementara teknik dan
seni merupakan hasil tempaan di kemudian hari.
Maka Siau-hong pun berlatih dengan tekun dan
bersungguh hati.
Banyak sekali cara menggunakan tenaga serta perubahan
gerak jurus dalam ilmu pedang Tokko Ci yang belum
pernah didengar maupun diduga sebelumnya.
Biarpun perubahan dalam ilmu pedang tak banyak
jumlahnya, namun setiap perubahan betul-betul di luar
dugaan siapa pun.
Setiap perubahan gerakan pedang bukan saja
mengandalkan teknik gerakan tangan, bahkan harus
memiliki semacam "kekuatan".
Kalau tak punya hawa, maka tak akan muncul tenaga.
Yang paling hebat dan unik dari ilmu pedang Tokko Ci
adalah caranya mengerahkan hawa dan tenaga.
Hawa tak mungkin dikeluarkan dari tempat yang
seharusnya, pedang pun tak boleh muncul dari posisi di
mana senjata itu harus bergerak.
Ketika hawa dan tenaga berada di pergelangan tangan,
sekali tusuk, pedang akan menembus dada.
Dan inilah teknik yang paling hebat, teknik yang hanya
bisa diperoleh dari berlatih secara tekun.
Dalam beberapa waktu ini dia seolah telah melupakan
Yang-kong serta Po Eng, seolah sudah melupakan semua
orang yang seharusnya tak mungkin terlupakan.
Tentu saja dia bukannya benar-benar melupakan mereka,
ia justru berusaha melarang pikirannya mengenang dan
membayangkan mereka.
Untuk mempelajari ilmu pedang, bukan saja harus
berlatih dengan tekun, bahkan harus memiliki bakat alam.
Tidak sedikit orang yang berlatih tekun, tapi tak banyak
orang yang memiliki bakat alam.
Bagi beribu bahkan berjuta orang yang ingin tampil
ternama dalam dunia persilatan, khususnya bagi pemuda
belum dewasa yang ingin menjadi tenar, "pedang" bukan
saja merupakan sejenis benda tajam untuk membunuh
orang, benda itu pun lambang "kematangan", "kedewasaan"
serta "kedudukan".
Sejak beribu tahun berselang, sejak pedang pertama
berhasil ditempa manusia, ada berapa banyak pemuda yang
rela berlatih tekun demi berhasilnya mempelajari ilmu
pedang. Namun dari sekian banyak manusia, ada berapa
banyak di antaranya yang berhasil"
Kalau dibilang Siau-hong adalah pemuda yang sangat
berbakat dalam mempelajari ilmu pedang, tak disangkal
begitu pula dengan Che Siau-yan.
Tak sampai tiga bulan kemudian, gadis cilik ini telah
berhasil mempelajari seluruh ilmu pedang Siau-hong yang
seharusnya dia pelajari dan berharga untuk dipelajari.
Tiga bulan kemudian, frekuensi kedatangannya di rumah
tinggal Siau-hong sudah tidak sebanyak dahulu lagi.
Ketika gadis cilik itu tidak muncul, pasti ada orang lain
yang akan mewakilinya mengantar hidangan untuk Siauhong.
Orang yang bertugas mengantar nasi untuknya tak lain
adalah bocah kecil yang pertama kali mengajak Siau-hong
berkunjung ke kuil bobrok.
"Aku bernama Toa-nian," bocah kecil itu
memperkenalkan diri, "Karena aku dilahirkan pada tanggal
satu bulan satu, pas orang sedang merayakan tahun baru,
maka aku dinamakan Toa-nian."
Toa-nian menerangkan bahwa dia telah berusia tiga belas
tahun, namun kalau diperhatikan potongan badan serta
wajahnya, paling dia baru berusia delapan-sembilan
tahunan. "Sejak kecil aku tak pernah makan kenyang, berpakaian
cukup, karena itulah bentuk badanku selalu kelihatan kecil
dan tak pernah tumbuh," kembali Toa-nian
memberitahukan keadaan dirinya kepada Siau-hong, "Aku
tahu, banyak orang mengejek dan mengumpatku di
belakang diriku, mengatakan perutku kebanyakan air busuk
sehingga badanku tak pernah tumbuh, tak pernah jadi
tinggi, tapi sedikit pun aku tak peduli."
Nada serta gaya bicaranya begitu dewasa, jauh melebihi
usianya sekarang.
"Bagiku, cukup asal mereka tidak mengejek dan memaki
di hadapanku."
"Oh, jadi mereka tak pernah mengejek dan memaki di
depanmu?" "Satu kali pun belum pernah," Toa-nian menggeleng,
"Karena mereka tidak berani."
Siau-hong menatap wajahnya, memperhatikan mukanya
yang bulat, mengawasi mimik dewasa yang tampil di
wajahnya. Tak tahan akhirnya dia bertanya, "Apakah di
tempat ini ada banyak orang yang takut kepadamu?"
Terbayang sikap hormat yang diperlihatkan pelayan
losmen terhadapnya, karena itulah Siau-hong mengajukan
pertanyaan itu.
Cepat Toa-nian menggeleng.
"Yang mereka takuti bukan aku, melainkan takut kepada
Lotoa kami," ia membusungkan dada dan melanjutkan,
"Berani kujamin, tak seorang pun di tempat ini yang berani
mengganggu."
"Kenapa?"
"Karena dia bakal sial bila berani mengganggunya."
"Bagaimana sialnya?"
"Ada orang yang dicukur gundul jenggotnya di tengah
malam buta, ada pula yang kehilangan sepasang bulu
matanya ketika bangun dari tidurnya di pagi hari," Toa-nian
menerangkan, "Lo-sanse si pemilik pegadaian yang malam
sebelumnya menendang dia satu kali, keesokan harinya
menjumpai kaki sendiri telah membengkak besar seperti
kaki babi."
Rasa bangga kembali menghiasi wajahnya yang bulat.
"Sejak peristiwa itu, tak seorang pun di tempat ini yang
berani mengganggu kami, sebab semua orang tahu kami
adalah saudaranya." Siau-hong tertawa lebar.
"Wah, tampaknya kemampuan Lotoamu betul-betul
hebat, kalian pasti akan sangat gembira karena memiliki
seorang Lotoa semacam dia."
"Tentu saja gembira," jawab Toa-nian, "Bukan saja dia
telah memberi makan kepada kami, memberi pakaian untuk
kami, bahkan dalam hal apa pun dia selalu memperhatikan
kebutuhan kami."
"Dia bersikap begitu baik kepada kalian, dengan cara apa
kalian akan membalas budi kebaikannya?"
"Biarpun saat ini kami belum mampu membalas budi
kebaikannya, namun setelah kami dewasa nanti, kami pun
bisa melakukan banyak hal baginya," dengan mata melotot,
Toa-nian berkata penuh keseriusan, "Asalkan dapat
membuatnya gembira, perbuatan dan pekerjaan apa pun
pasti akan kami lakukan. Walau dia menyuruh kami pergi
mati pun, kami pasti akan melakukannya."
Seperti orang yang telah dewasa, dia menghela napas
panjang, terusnya, "Sayangnya saat ini kami masih belum
cukup dewasa, hanya urusan kecil yang bisa kami perbuat
baginya, hanya bisa mengantarkan barang lari ke sana
kemari, mencari berita di mana-mana...."
Kemudian sambil membusungkan dada dan bertampang
sungguh-sungguh, terusnya, "Bila di sekitar tempat ini
kedatangan orang asing, orang pertama yang tahu akan
kehadirannya tentulah Lotoa kami. Jika di atas bumi terjadi
suatu peristiwa yang aneh, dia pula yang nomor satu
mengetahuinya."
Dalam hati kecilnya diam-diam Siau-hong menghela
napas. Tiba-tiba ia menjumpai bahwa gadis cilik itu selain
berotak cerdas, punya kemampuan untuk bertindak, bahkan
ambisinya sangat besar.
Mungkin ambisinya jauh lebih besar daripada apa yang
dibayangkan setiap orang.
Beberapa bulan kembali lewat, malam yang panjang kini
telah berlalu, udara yang panas dan kering lambat-laun
berubah menjadi sejuk.
Udara semacam ini paling cocok untuk tidur berlamalama.
Tapi tidur Siau-hong tidak terlalu nyenyak, setiap
bangun pagi, bukan saja bibir dan tenggorokannya terasa
kering, sepasang matanya berubah pula jadi merah darah.
Baru selesai mandi dengan air dingin, Toa-nian telah
muncul mengantar sarapan.
Pertanyaan pertama yang diajukan Siau-hong adalah,
"Bagaimana dengan Lotoa kalian?"
Sebetulnya frekuensi pertemuan antara mereka berdua
makin lama sudah semakin berkurang, kali ini hampir dua
bulan lamanya mereka tak pernah saling bersua.
"Aku pun tak tahu di mana ia berada," jawab Toa-nian,
"Kalau dia tidak datang mencari kami, tak seorang pun dari
kami yang tahu di manakah dia berada."
"Kau tidak berbohong?"
"Aku belum pernah berbohong," Toa-nian melototkan
matanya, "Aku adalah anak kecil, sedang kau adalah orang
dewasa, kalau anak kecil berbohong, mana mungkin tidak
diketahui orang dewasa."
Biarpun Siau-hong merasa agak gelisah, namun mau tak
mau dia harus mempercayai ucapannya.
"Kau tentu ada saat berjumpa dengannya, bila bertemu
dengannya lagi, katakan, suruh dia secepatnya datang
kemari." "Mau apa datang kemari?"
"Ada urusan penting aku hendak bicarakan, sebuah
urusan yang amat penting."
"Dapat kau beritahukan kepadaku?"
"Tidak bisa," Siau-hong melototkan juga matanya,
"Lebih baik anak kecil tak usah banyak bertanya tentang
urusan orang dewasa."
Toa-nian tidak bertanya lagi walau hanya sekecap pun,
tanpa banyak bicara ia segera beranjak pergi dari situ,
seperti seorang bocah penurut yang sangat jujur dan polos.
Tapi dia sendiri tahu kalau dirinya sama sekali tak polos,
juga tak jujur, sebab bukan saja dia telah berbohong, bahkan
setiap perkataan yang dikatakan adalah bohong.
Dia sendiri pun tahu, bohong itu tak baik, namun dia
sama sekali tak merasa berdosa, sebab dia berbohong demi
Lotoa mereka. Lotoa mereka sedang menunggunya di dalam hutan di
sebelah depan sana.
Musim gugur yang sejuk, hutan pohon waru yang
rindang dan hening.
Daun berwarna merah memenuhi seluruh hutan, merah
bagaikan bara lidah api.
Che Siau-yan duduk bersila di bawah sebatang pohon,
pakaiannya amat dekil, begitu pula dengan wajahnya yang
penuh ingus, begitu kotor dan jorok sehingga andaikata ia
bercermin pun sering lupa kalau sesungguhnya dirinya
adalah seorang gadis yang cantik.
Dia sendiri tahu dirinya adalah seorang gadis, sudah
bukan anak-anak lagi, tentu saja bukan seorang bocah
lelaki. Namun setiap kali sedang menyamar sebagai bocah
lelaki, dia selalu memiliki kemampuan untuk membuat dia
sendiri pun lupa kalau sesungguhnya dia adalah seorang
perempuan tulen.
Dalam hal ini dia sendiri pun merasa amat puas.
Saudara-saudaranya belum pernah ada yang tahu kalau
Lotoa mereka sebenarnya adalah seorang wanita, tapi gadis
itu tahu kalau di antara anak buahnya ada beberapa orang
sudah berubah jadi lelaki dewasa, mereka sudah
mempunyai biji di tenggorokannya, sudah punya jakun,
seringkali di tengah malam buta secara diam-diam mereka
telah belajar melakukan perbuatan yang seharusnya
dilakukan para lelaki dewasa.
Ia tahu, tapi pura pura tak tahu, berlagak pilon.
Ada kalanya dia bahkan tidur bersama mereka, malah


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketika melihat mereka melakukan masturbasi, dia sendiri
sama sekali tak tertarik, sama sekali tak tergerak hatinya.
Dalam hal ini, dia merasa amat puas terhadap
kemampuan sendiri.
Sewaktu Toa-nian datang, dia sedang menangkap seekor
ulat kecil yang baru muncul dari dalam tanah dan
mempermainkan ulat itu.
Sebetulnya ia tak senang dengan ulat, bukan saja tak
senang bahkan cenderung muak, benci. Baik terhadap ulat
besar ataupun ulat kecil, dia merasa muak semua.
Namun seringkali dia justru bermain dengan ulat.
Karena dia selalu berpendapat, cara terbaik untuk
melatih diri adalah sering memaksa diri melakukan
perbuatan yang sebenarnya amat tak disukai.
Dia pun tak suka kepada Toa-nian.
Dia selalu merasa bocah lelaki ini seperti sebiji buah
belum masak yang telah dipetik dari pohon, bukan saja tak
indah dipandang, juga tak enak dimakan.
Tapi ia yakin dan percaya, Toa-nian pasti tak tahu kalau
dia tak menyukai dirinya, sebab setiap kali berjumpa
dengan bocah lelaki itu, dia selalu tampil dengan wajah
riang dan gembira, sebab Toa-nian selalu berguna baginya,
boleh dibilang dia merupakan satu-satunya orang di antara
para saudara lainnya yang paling berguna.
Begitu Toa-nian berjumpa dengannya, bagaikan tikus
bertemu kucing, tampang nakal dan binalnya kontan hilang.
Dengan sikap sopan, penuh aturan dan jujur ia berdiri di
hadapan gadis itu sambil memberi laporan.
"Aku telah mengantar nasi ke sana, bahkan telah
menyerahkan langsung ke tangannya."
"Sewaktu ke sana, apa yang sedang dilakukan Siauhong?"
"Dia sedang mandi dengan air dingin."
"Kemarin sore, malam sebelumnya, tengah hari tiga hari
berselang, ketika kau ke sana, bukankah dia pun sedang
mandi dengan air dingin?"
Ooo)d*w(ooO BAB 30. MENCOBA ILMU PEDANG
"Benar," jawab Toa-nian, "Belakangan orang ini berubah
jadi orang yang suka kebersihan, tiba-tiba saja dia suka
mandi, bahkan setiap hari bisa mandi beberapa kali dengan
air dingin."
Mendadak Siau-yan tertawa, tertawanya nampak sedikit
misterius. "Orang lelaki yang suka mandi dengan air dingin belum
tentu dikarenakan suka akan kebersihan," katanya.
"Kalau bukan karena suka kebersihan, lalu karena apa?"
tanya Toa-nian dengan mata mendelik.
"Ah, kau masih kecil, mana mengerti," tukas Siau-yan
cepat, "Lebih baik jangan bertanya urusan orang dewasa."
Setelah menggencet ulat di tangannya sampai mati, ia
bangkit, menggeliat, kemudian tanyanya lagi kepada Toanian
secara tiba-tiba, "Menurut kau, belakangan apakah ada
yang berbeda dengannya dibandingkan dulu?"
"Rasanya ada sedikit perbedaan," sahut Toa-nian setelah
mengedipkan matanya beberapa kali, "Belakangan
wataknya berubah sangat temperamen, suka kasar, dan
marah, tapi semangatnya justru lebih kendor ketimbang
dulu, sepasang matanya selalu memerah, sepertinya tiap
malam ia tak bisa tertidur nyenyak."
"Apakah hari ini dia tidak menanyakan aku?"
"Selama satu bulan belakangan, setiap kali bertemu aku,
maka perkataan pertama yang diucapkan adalah bertanya
apakah aku telah bertemu dengan dirimu," Toa-nian
menjelaskan, "Hari ini dia malah bersikeras hendak
menjumpaimu, sebab katanya dia mempunyai urusan yang
teramat penting untuk dibicarakan denganmu."
Tiba-tiba ia tertawa, terusnya, "Kalau dilihat dari
tampangnya, dia seakan bakal segera mampus bila tak
bertemu lagi denganmu."
Siau-yan ikut tertawa, suara tawanya misterius dan
gembira. Melihat itu tak tahan Toa-nian bertanya lagi, "Apakah
kau tahu, ada urusan apa dia ingin mencarimu?"
"Aku tahu," Siau-yan tersenyum, "Tentu saja aku tahu."
"Kalau kau tak ke sana, apakah dia benar-benar akan
mati?" "Biarpun tidak mati, sudah pasti akan sangat sedih dan
tersiksa," suara tawa Siau-yan terdengar semakin gembira,
"Aku yakin belakangan ini kehidupannya makin hari
semakin tersiksa, makin hari semakin menderita,
menderitanya setengah mati."
Tertawanya memang nampak sangat gembira, tapi siapa
pun tak tahu mengapa dia begitu gembira, apalagi ketika
tertawanya makin riang, parasnya berubah makin
memerah. Biasanya hanya gadis yang tergerak hatinya, parasnya
akan berubah jadi merah dadu.
Jika hatinya tak pernah tergerak, mengapa pipinya bisa
berubah jadi merah dadu"
Kembali Toa-nian bertanya, "Apakah kau hendak pergi
menjumpainya?"
"Aku akan menjumpainya."
"Kapan?"
"Hari ini," tiba-tiba warna semu merah di pipinya lenyap
dari wajah Siau-yan, "Sekarang juga aku akan ke sana!"
Mendadak dia melompat naik ke atas dahan pohon, dari
sebatang dahan ia cabut sebilah pedang.
Menanti tubuhnya melayang kembali ke bawah,
parasnya telah berubah jadi putih pucat, seputih kertas,
tampangnya saat ini seperti wajah orang-orangan terbuat
dari kertas yang biasanya dipakai untuk menutupi muka
mayat. Dengan perasaan terkesiap Toa-nian memandang
wajahnya, sebab belum pernah ia jumpai perubahan yang
begitu besar pada wajah seseorang, apalagi dalam waktu
yang amat singkat.
Selama ini nyalinya terhitung cukup besar, tapi sekarang
tanpa sadar tubuhnya mundur beberapa langkah, dia seolah
kuatir Lotoanya mendadak mencabut pedang dan
dihujamkan ke tenggorokan atau dadanya.
Bukan tanpa alasan dia merasa sangat ketakutan.
Hanya orang yang akan menghabisi nyawa orang lain
baru akan memiliki paras seperti tampang Lotoanya
sekarang. Ia tidak berusaha melarikan diri, sebab dia tahu orang
yang hendak dibunuh Lotoanya bukan dia, tapi dia pun tak
pernah menyangka kalau Lotoanya akan membunuh Siauhong.
Selama ini dia selalu menyangka mereka adalah sahabat,
sahabat yang sangat akrab.
Dengan kencang Siau-yang menggenggam gagang
pedangnya, lalu menatap bocah lelaki itu dengan
pandangan dingin, mendadak tegurnya, "Mengapa kakimu
gemetar?" "Aku takut," jawab Toa-nian, di hadapan Lotoa mereka,
dia tak pernah berani berbohong.
"Apa yang kau takuti?" kembali Siau-yan bertanya,
"Takut aku?"
Toa-nian manggut-manggut.
Dia tak berani menyangkal, namun dia pun tak berani
mengakuinya. Tiba-tiba Siau-yan tertawa, di balik senyuman itu seolah
terselip juga hawa pembunuhan yang tebal.
"Sejak kapan kau jadi takut terhadapku?"
"Tadi!"
"Kenapa?"
"Karena..." Toa-nian tergagap, "Karena tadi kau
kelihatan sangat menakutkan, seperti ingin membunuh
seseorang."
Kembali Siau-yan tertawa.
"Apakah sekarang aku masih bertampang hendak
membunuh orang?" tanyanya.
Toa-nian tak berani buka suara lagi, ia terbungkam.
Kembali Siau-yan menatapnya sampai lama sekali,
akhirnya sambil menghela napas katanya, "Kau pergilah,
lebih baik cepat pergi, pergi semakin jauh semakin baik."
Belum selesai perkataan itu diucapkan, Toa-nian sudah
lari meninggalkan tempat itu.
Larinya tidak terhitung cukup cepat, sebab kedua belah
kakinya sudah keburu lemas, bahkan celananya pun sudah
basah karena tanpa sadar telah terkencing.
Tiba-tiba saja ia merasakan sesuatu perasaan yang aneh
dan sangat menakutkan.
Tiba-tiba ia merasa Lotoanya dalam saat yang amat
singkat tadi seolah benar-benar akan mencabut pedangnya
untuk membunuh dia.
Menanti Toa-nian telah kabur sangat jauh, perlahanlahan
Siau-yan baru melepaskan genggaman pada gagang
pedangnya. Telapak tangan gadis cilik ini pun basah, basah oleh
peluh dingin yang jatuh bercucuran.
Sebab dia sendiri pun tahu, dalam waktu yang teramat
singkat tadi, peduli siapa pun yang sedang berdiri di
hadapannya, kemungkinan besar akan mati terbunuh di
ujung pedangnya.
Ilmu pedang yang dipelajarinya memang ilmu pedang
yang khusus untuk membunuh.
Selama beberapa waktu belakangan, dia selalu
merasakan satu dorongan kekuatan yang membuatnya ingin
sekali membunuh manusia, terutama pada detik yang
sekejap tadi, hawa napsu membunuh dan hawa
pembunuhan seakan telah menembusi ujung pedangnya.
Nona itu sadar, ilmu pedangnya telah berhasil dilatih
hingga puncak kesempurnaan, tak disangkal ilmu pedang
yang dipelajari Siau-hong pun pasti sudah mencapai pula
pada puncaknya.
Karena perasaan mereka berdua sama-sama gelisah,
sama-sama merasakan satu dorongan yang sangat kuat.
Tengah hari. Siau-yan tidak pergi mencari Siau-hong.
Pedangnya masih disarungkan, sementara si nona itu
telah tiba di puncak sebuah bukit.
Tempat ini merupakan sebuah bukit terjal yang belum
pernah didaki manusia, pada hakikatnya tak ada jalan
menuju ke puncak bukit.
Di belakang hutan belantara, di dalam sebuah bukit yang
tenang terdapat sebuah kolam air bersih, dari tempat inilah
mata air yang mengalir di belakang rumah kayu yang
ditinggali Siau-hong.
Seringkali Siau-yan berkunjung ke sana.
Hanya tempat inilah menjadi wilayah yang sepenuhnya
milik dia pribadi. Hanya di tempat ini dia dapat berpikir
secara bebas, bisa berbuat dan melakukan apa pun menurut
suara hati sendiri, karena tak bakal ada orang yang datang
mengusiknya. Dia yakin, kecuali dirinya seorang, belum pernah ada
orang lain yang pernah datang ke situ.
Kini musim gugur telah tiba, meskipun air dalam kolam
yang disinari matahari terasa sedikit hangat, namun
tidaklah kelewat dingin. Ketika kakinya direndamkan ke
dalam air, sekujur badannya akan gemetar karena
kedinginan, rasa dingin yang menyusup dari telapak
kakinya hingga ke hati, rasanya seperti sang kekasih yang
sedang menarik kakinya.
Dia amat menyukai perasaan semacam ini.
Di dalam hutan belukar terdapat batu karang, di bawah
batu karang tersimpan sebuah buntalan, dialah yang
menyembunyikan buntalan itu di situ, sudah cukup lama
tersimpan di sana dan sekarang dia baru mengambilnya
keluar. Isi buntalan itu adalah pakaian miliknya, dari pakaian
dalam sampai gaun luar, semuanya tersedia lengkap, bukan
saja setiap stel masih baru, bahkan terbuat dari kain sutera
yang halus lembut, selembut kulit tubuh seorang perawan.
Persis juga seperti kulit tubuhnya.
Dari dalam buntalan itu dia mengeluarkan pakaiannya
satu stel demi satu stel, semua pakaian dibentang di atas
sebuah batu yang telah dicuci bersih dengan air kolam,
kemudian menindih dengan pedangnya.
Kemudian dia pun melepaskan pakaian yang dikenakan
satu per satu, melepas kain yang mengikat kencang di atas
payudaranya, kemudian dalam keadaan telanjang bulat dia
terjun ke dalam air kolam yang hangat tapi segar itu, dia
merasa tubuhnya seakan-akan dipeluk erat oleh kekasih
hatinya yang tak berperasaan, tapi terasa romantis baginya.
Dalam waktu singkat sepasang payudaranya mulai
mengencang dan berdiri, sepasang pahanya ikut mengejang.
Ia senang sekali dengan perasaan semacam ini.
Perlahan gadis itu memejamkan mata, membelai seluruh
badan sendiri, hanya dia yang tahu bahwa dirinya telah
tumbuh menjadi seorang gadis dewasa yang matang.
Dari kolam itulah air mengalir ke bawah, mengalir ke
belakang rumah kayu yang ditempati Siau-hong.
Tiba-tiba ia teringat saat itu kemungkinan besar Siauhong
pun sedang menggunakan air yang sama untuk
mengguyur tubuhnya.
Mendadak satu perasaan yang tak terlukiskan dengan
kata muncul dalam hati kecilnya, muncul dari hati langsung
turun ke bawah hingga merangsang telapak kaki.
Lewat tengah hari.
Siau-hong dalam keadaan basah kuyup melompat keluar
dari dalam air di belakang rumahnya, ia membiarkan
hembusan angin musim gugur mengeringkan tubuhnya.
Semasa masih muda dulu, dia sering menggunakan cara
seperti ini untuk mengendalikan perasaannya, bahkan
seringkali berkhasiat.
Tapi sekarang, hingga tubuhnya telah mengering, hingga
hawa dingin merasuk ke dalam tulang, hatinya masih tetap
panas. Apakah hal ini disebabkan ia telah berhasil mempelajari
ilmu pedang Tokko Ci, maka dirinya ikut berubah seperti


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tokko Ci, setiap saat kalau tidak membunuh orang maka
hawa murninya sukar terlampiaskan.
Dia tak pernah berpikir secara cermat akan hal ini.
Dia tak berani berpikir ke situ.
Hanya bercelana pendek, sambil menenteng pedangnya
dia berlari menuju ke dalam hutan di mana biasa ia berlatih.
Hutan ini pun seperti hutan di depan sana, daunnya telah
berubah jadi merah, semerah bara api.
Semerah cucuran darah segar.
Siau-hong melolos pedangnya, pedang Mo-gan seolah
sedang melotot ke arahnya, seakan menembus pikiran dan
perasaannya, menyaksikan pikiran sesat yang sudah lama
terpendam di dasar hatinya dan selama ini dikendalikan
sekuat mungkin.
Pikiran sesat semacam ini sesungguhnya memang
merupakan dosa paling purba dari setiap manusia, kau
dapat mengendalikannya tapi jangan harap dapat
memusnahkannya.
Dengan satu tusukan kilat Siau-hong melancarkan
sebuah serangan ke depan, yang ditusuk adalah sebatang
pohon. Daun di atas pohon telah berguguran, gugur tanpa
meninggalkan selembar daun pun, tapi ujung pedangnya
tetap menembus batang pohon itu.
Seandainya pohon itu punya jantung, tak disangkal
jantung pohon pasti sudah tertembus oleh tusukannya.
Bila yang ditusuk adalah manusia, tusukan kali ini pasti
merupakan sebuah tusukan yang mematikan!
Tangannya masih menggenggam gagang pedang, setiap
lembar otot hijau pada punggung tangannya menonjol,
seperti ular-ular berbisa.
Apakah di dalam hatinya pun terdapat ular berbisa yang
siap menerkam dirinya"
Pedangnya belum sempat dicabut ketika ia mendengar
ada orang sedang bertepuk tangan, ketika berpaling, terlihat
Che Siau-yan telah muncul di tempat itu.
Waktu itu Siau-yan sedang bersandar pada sebatang
pohon di belakang tubuhnya,. Sinar sang surya yang
menerobos turun dari balik dedaunan persis menyinari raut
mukanya yang cantik.
"Kiong-hi, Kiong-hi," seru gadis itu, "Kau telah berhasil
mempelajari ilmu pedangmu."
Perlahan-lahan Siau-hong membalikkan badan dan
menatapnya. Wajahnya tampak cantik dan segar, pakaian yang
menempel di tubuhnya bagaikan kulit yang menempel di
badan, begitu ketat, begitu lekat sehingga payudaranya yang
montok kelihatan menonjol nyata, begitu pula dengan
pinggangnya yang ramping.
Sebetulnya Siau-hong tak ingin menatapnya dengan cara
begitu, tapi sekarang dia telah menyaksikan bagian
tubuhnya yang tidak seharusnya terlihat.
Sinar aneh tiba-tiba saja memancar dari balik matanya,
bahkan dengus napas pun terdengar mulai kasar dan
memburu, lewat lama kemudian ia baru bertanya,
"Bagaimana dengan kau" Apakah ilmu pedang yang kau
pelajari pun telah sukses kau kuasai?"
Siau-yan tidak mencoba menghindari tatapan matanya,
dia pun tidak berusaha berkelit dari pertanyaan itu.
"Benar," jawabnya, "Ilmu pedang yang kupelajari pun
telah berhasil kukuasai, karena kau sudah tak bisa
mengajarkan apa-apa lagi untukku."
Jawabannya bukan saja langsung dan blak-blakan,
bahkan sangat tegas dan mengena.
Siau-hong berusaha keras untuk tidak memandang
bagian tubuh kaum wanita yang tidak seharusnya terlihat
oleh kaum lelaki.
"Aku memahami maksudmu," katanya kemudian.
"Kau memahami?" tanya si nona, "Lalu apa yang
kumaksud?"
"Kini aku sudah tak punya ilmu yang bisa kuajarkan lagi
kepadamu, sebaliknya kau pun tak memiliki kepandaian
yang bisa diajarkan kepadaku, oleh karenanya perjanjian
barter di antara kita berdua telah berakhir."
Dengan berakhirnya perjanjian barter, berarti kehidupan
semacam ini pun telah berakhir, hubungan kerja di antara
mereka berdua pun terputus sampai di sini saja.
Siau-hong berusaha keras mengendalikan diri.
"Aku minta kau datang kemari karena ingin
memberitahukan kepadamu bahwa aku sudah siap pergi
dari sini."
"Kau tak boleh pergi," tukas Siau-yan cepat, "Paling
tidak sekarang kau belum boleh pergi."
"Kenapa?"
"Karena kita masih harus pergi mencari Tokko Ci."
Tiada Tokko Ci pada hakikatnya tak mungkin ada
perjanjian barter, kini perjanjian di antara mereka telah
berakhir, tapi hutang piutang mereka dengan Tokko Ci
belum diperhitungkan.
"Oleh karena itu paling tidak ada seorang di antara kita
yang harus pergi mencarinya," kata Siau-yan sambil
menatap tajam wajah Siau-hong, "Dan hanya boleh ada
satu orang yang pergi mencarinya."
"Kenapa?"
"Karena aku adalah aku dan kau adalah kau, alasan kita
pergi mencarinya sama sekali berbeda," cahaya matahari
yang menyinari wajah Siau-yan telah bergeser ke tempat
lain, kini parasnya tampak pucat-pias, suaranya juga dingin
bagaikan bongkahan es.
Dengan nada dingin, kembali lanjutnya, "Sesungguhnya
di antara kita berdua sama sekali tak terikat hubungan apa
pun, urusanku tentu saja harus kuselesaikan sendiri, kau tak
dapat mewakili aku dan aku pun tak dapat mewakili
dirimu." "Jadi kau yang pergi atau aku yang pergi?"
"Siapa yang hidup, dia yang pergi."
"Tapi rasanya hingga saat ini kita berdua masih hidup
semua." "Sayangnya seorang di antara kita berdua yang tak bakal
berumur panjang," Siau-yan menarik matanya hingga
nampak menyeramkan, "Aku lihat salah satu di antara kita
berdua yang sebentar lagi bakal tergeletak mati di sini."
"Siapa yang bakal mati?"
"Siapa yang kalah, dialah yang mati," gadis cilik itu
menatap sekejap tangan Siau-hong yang menggenggam
pedang, "Kau punya pedang, begitu pula dengan aku. Kau
telah berhasil mempelajari ilmu pedangku, aku pun telah
berhasil mempelajari ilmu pedangmu."
"Jadi sekarang telah tiba saatnya untuk menentukan
siapa kuat siapa lemah di antara kita berdua?"
"Benar."
"Siapa yang kalah, dia harus mati?"
"Benar," Siau-yan membenarkan, "Yang tangguh yang
hidup, yang lemah harus mampus. Bukankah hal ini sangat
adil?" "Benar, cara ini memang sangat adil," sahut Siau-hong
dengan tegas dan tandas.
Terlihat cahaya pedang berkilat, dua bilah pedang samasama
telah dicabut. Biarpun ilmu pedang yang mereka pelajari sama, namun
jenis kelamin mereka berbeda, kondisi badan mereka
berbeda, kecerdasan serta jalan pikiran mereka pun tidak
sama. Sekalipun jurus serangan yang mereka gunakan persis
satu dengan lainnya, namun sesaat setelah turun tangan,
perubahan dan reaksi yang timbul pun sama sekali beda.
Mati hidup menang kalah di antara mereka berdua pun
ditentukan dalam waktu yang teramat singkat.
Mendadak Siau-yan bertanya lagi, "Apakah kau ada
pesan terakhir yang hendak dititipkan kepadaku?"
"Bagaimana dengan kau sendiri?" Siau-hong balik
bertanya. "Aku tak ada pesan terakhir," Siau-yan tertawa lebar,
"Karena aku tak bakal mati."
"Kau yakin?"
"Tentu saja," kembali Siau-yan tersenyum, "Kalau tidak,
buat apa aku datang kemari?"
Sebetulnya Siau-hong ingin tertawa, namun dia tak
sanggup tertawa, karena secara pribadi dia sama sekali tak
punya keyakinan untuk memenangkan pertarungan ini.
Sebaliknya gadis cilik itu, lawan tangguhnya, justru
begitu yakin dan percaya diri.
Sesaat menjelang berlangsungnya pertarungan yang
menentukan mati hidup, rasa percaya diri jelas merupakan
salah satu penyebab yang menentukan menang kalah
seseorang. Kembali Siau-yan bertanya, "Tahukah kau, mengapa kau
pasti bakal kalah?"
"Tidak!"
"Karena kau adalah seorang lelaki," jawaban Siau-yan
terdengar aneh sekali.
Siau-hong tidak mengerti, maka tak tahan tanyanya,
"Oleh karena aku lelaki, maka aku pasti kalah?"
"Benar, memang begitulah keadaannya."
"Kenapa?"
"Karena kau telah mempelajari ilmu pedang milik Tokko
Ci," jawab Siau-yan, "Pernah kukatakan, ilmu pedangnya
selain tangguh, sesatnya bukan kepalang, setiap waktu
harus mencari pelampiasan untuk menghilangkan gejolak
napsu birahi dalam tubuh, tanpa pelampiasan mustahil
pikiranmu bisa tenang dan stabil."
Gadis itu sengaja menghela napas sambil melanjutkan,
"Tapi kau selama ini tak ada tempat untuk melampiaskan
napsu birahimu, karena itulah belakangan sifatmu makin
lama semakin berubah, berubah jadi panik dan tak tenang,
biar sehari mandi sepuluh kali dengan air dingin pun sama
sekali tak ada gunanya."
Kembali gadis itu tertawa lebar.
"Jika mengendalikan perasaan sendiri pun tak sanggup,
bagaimana mungkin dia bisa menghadapi seorang lawan
tangguh yang menakutkan?" dengan nada mengejek Siauyan
tertawa, "Bagaimana mungkin kau tidak kalah!"
Kembali otot hijau menonjol keluar di tangan Siau-hong
yang menggenggam pedang, keringat dingin telah
membasahi telapak tangannya.
Dia sendiri pun telah menyadari akan hal ini.
Walaupun dia pun tahu gadis cilik itu sengaja berkata
demikian karena ingin menggoyahkan keyakinan serta rasa
percaya dirinya, apa mau dikata ia tak mampu melakukan
bantahan. Jika keyakinan dan rasa percaya diri seseorang telah
goyah, bagaimana mungkin dia sanggup mengalahkan
lawannya dalam menghadapi pertarungan mati hidup ini"
Siau-yan menatapnya tanpa berkedip.
"Oleh karena itulah aku bertanya kepadamu, apakah ada
pesan terakhir yang ingin kau sampaikan" Apakah kau
masih ada persoalan yang ingin kau sampaikan kepadaku?"
"Hanya ada satu perkataan," sahut Siau-hong setelah
berpikir sejenak, "Sekalipun kau dapat mengalahkan aku,
pada akhirnya pasti akan mati juga di ujung pedang Tokko
Ci." "Kenapa?"
Jawaban Siau-hong sama anehnya seperti apa yang
dikatakan gadis cilik itu tadi.
"Karena kau adalah seorang wanita!" katanya, "Justru
karena kau seorang wanita, maka selama hidup tak pernah
mempunyai kesempatan untuk mengalahkan dirinya."
Siau-yan tidak habis mengerti, tak tahan tanyanya,
"Kenapa?"
"Karena ilmu pedangnya memang ampuh dan amat
sesat, setelah lewat lima bulan, aku merasa ada segumpal
hawa murni yang membeku dalam tubuhku!"
Ia mengawasi tangan si nona yang menggenggam
pedang. "Tapi kau tidak memilikinya," lanjut Siau-hong "Karena
kau adalah wanita, pada hakikatnya kau tak pernah bisa
memiliki kekuatan inti yang terbaur dalam ilmu pedangnya,
gumpalan hawa murni yang terbentuk dari cairan mani
lelaki." Tangan Siau-yan sebetulnya lembut, putih, dan halus,
tapi sekarang otot hijau menonjol pada tangannya yang
menggenggam pedang, senyum di wajahnya ikut lenyap.
"Bagaimana pun juga, aku tetap harus mencobanya!"
dia menggetarkan ujung pedangnya, "Oleh sebab itu,
sekarang juga aku akan menggunakan kau sebagai sasaran
percobaanku!"
Waktu itu langit mulai berangsur jadi gelap, di tengah
kegelapan itulah tiba-tiba tampak sekilas cahaya pedang
melesat. Bersamaan dengan mendesingnya hawa pedang, daun
ranting berguguran ke tanah, hawa pedang sungguh
menyesakkan dada.
Pertarungan antara jago tangguh biasanya paling
menarik. Di tengah pertarungan, berbagai perubahan yang
mengguncang sukma serta perubahan jurus yang di luar
dugaan seringkali bisa membuat orang terpana, terpesona
seperti orang mabuk.
Seperti juga pertarungan antara Sebun Jui-soat melawan
Pek-hun-shiacu Yap Koh-seng di kota terlarang pada hari
Tiong-yang tempo hari, sejak tiga bulan berselang berita itu
sudah tersebar luas di seantero jagat.
Bukan satu pekerjaan yang mudah untuk ikut
menyaksikan jalannya pertarungan akbar itu, sebagian besar
orang sulit memperoleh kesempatan bagus itu.
Perubahan dalam permainan jurus, kehebatan dalam
setiap perubahan yang terjadi, pada hakikatnya tak dapat
dilukiskan dengan perkataan maupun tulisan. Kecuali hadir
sendiri di tempat kejadian, berusaha menelaah sendiri
keadaan yang berkembang kalau tidak, sulit untuk
memahami dan meresapi setiap rangsangan dan setiap


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perubahan yang terjadi.
Oleh karena itu bagi kebanyakan orang, yang benarbenar
menyedot perhatian bukanlah jalannya pertarungan
itu, melainkan akhir dari pertarungan.
Tak ada orang yang ikut menyaksikan jalannya
pertarungan antara Siau-hong melawan Siau-yan, juga tak
ada yang ikut merasakan rangsangan dan perubahan tiap
gerakan yang terjadi dalam pertarungan itu, tentu saja tak
ada orang yang bisa menggambarkan situasi saat itu.
Tapi tak disangkal, akhir dari pertarungan ini merupakan
masalah yang paling diperhatikan setiap orang.
Siapa yang bakal memenangkan pertarungan ini"
Andaikata Siau-hong kalah, benarkah dia segera akan
mati di tempat itu"
Sebaliknya kalau Siau-hong yang menang, mungkinkah
dia akan membunuh lawannya di ujung pedang sendiri"
Gejolak perasaan Siau-hong sangat labil, tentu saja
serangan yang dilancarkan tak mungkin stabil dan mantap.
Bukan saja perubahan jurus serangan sukar diduga,
peredaran hawa murni pun sukar dikendalikan.
Tapi dalam pertarungan ini dialah yang keluar sebagai
pemenang. Sebab pengalaman bertarungnya jauh di atas
pengalaman gadis itu, dia pun lebih sabar dan bertenaga.
Andaikata pertarungan ini bisa menentukan menang
kalah hanya dalam belasan gebrakan, tak disangkal
pemenangnya pasti Che Siau-yan.
Tapi sayang selisih kekuatan dan kemampuan mereka
berdua tidaklah kelewat besar, siapa pun tak dapat
merobohkan lawan hanya dalam beberapa puluh jurus.
Oleh karena itu begitu waktu semakin berkepanjangan,
tatkala pertarungan sudah mencapai seratus lima puluh
gebrakan, Siau-hong tahu, dialah yang bakal keluar sebagai
pemenang. Seratus lima puluh gebrakan kemudian, Siau-yan sendiri
pun tahu dirinya bakal kalah.
Lambat-laun aliran hawa muminya makin tak lancar,
perubahan jurus serangan pun seringkali tak sesuai dengan
kehendak hati. Yang lebih penting lagi adalah munculnya bayangbayang
gelap dalam hati gadis itu.
Sekalipun kau dapat mengalahkan aku, kau pasti akan
tewas di ujung pedang Tokko Ci.
Mau tak mau dia harus mengakui kenyataan ini.
Orang yang benar-benar akan dia kalahkan bukanlah
Siau-hong, melainkan Tokko Ci, oleh karena itu terhadap
menang kalahnya pertarungan ini, dia sudah tidak menaruh
harapan yang terlalu besar.
Yang lebih penting lagi adalah di bawah tekanan bayangbayang
kegelapan itu, dia seolah sudah lupa kalau
kekalahannya merupakan saat kematiannya!
Karena itulah dia kalah.
"Trang!", sepasang pedang saling beradu.
Percikan bunga pedang bertebaran ke empat penjuru,
pedang yang semula berada dalam genggaman Siau-yan
kini sudah terbang, lepas dari tangannya, sementara ujung
pedang Siau-hong sudah menempel di atas tenggorokan
gadis cilik itu.
Menanti hawa pedang yang dingin dan menggidikkan
mulai menusuk permukaan kulit lehernya, nona itu baru
teringat akan perjanjian yang telah mereka tetapkan
sebelumnya. Siapa kalah, dia harus mati!
Dalam waktu yang singkat itulah rasa ngeri dan
menyeramkan dari kematian seakan sebuah tangan setan
sedang mencekik lehernya, mencengkeram tubuhnya,
meremas sendi tulangnya, menggagahi tubuh dan
sukmanya. Dia masih muda, selama ini belum pernah merasa takut
akan datangnya kematian.
Hingga detik ini, dia baru mengerti betapa menakutkan
kematian. Rasa ngeri umat manusia menghadapi kematian
sesungguhnya merupakan salah satu rasa ngeri terbesar
yang dimiliki umat manusia selama ini.
Karena "mati" merupakan berakhirnya segalanya,
merupakan saat kehilangan segala sesuatunya.
Perasaan ngeri dan takut yang mencekam perasaannya
membuat seluruh sel kehidupan Che Siau-yan mengalami
perubahan yang sangat aneh.
Lidah, bibir dan tenggorokannya mendadak berubah jadi
sangat kering. Seluruh otot tubuh, seluruh sendi tulang
berubah jadi kesemutan, kaku dan mati rasa.
Pupil matanya berkerut, bulu kuduknya bangkit, seluruh
syaraf tubuhnya seakan kehilangan kendali, kehilangan
kemampuan untuk menguasai diri.
Bahkan detak jantung serta dengus napasnya seakan
bertambah cepat satu kali lipat.
Yang lebih aneh lagi adalah di saat terjadinya perubahan
itu, mendadak dia merasakan pula satu dorongan emosi
yang tak terlukiskan dengan kata-kata.
Napsu birahinya mendadak berkobar dan menyala bagai
jilatan api, menyala karena gesekan otot tubuhnya yang
tiba-tiba berkerut.
Pakaian yang dia kenakan saat ini tak lebih hanya
pakaian yang sangat tipis, sedemikian tipisnya sampai
tubuhnya yang sedang gemetar pun kelihatan sangat jelas.
Dia ingin sekali bertanya kepada Siau-hong, "Mengapa
kau masih belum membunuhku?"
Tapi gadis itu tak bertanya, karena dia tak mampu
mengendalikan otot leher dan lidahnya.
Dia tidak bertanya karena secara tiba-tiba ia saksikan
terjadinya perubahan yang aneh dan menakutkan pada
tubuh Siau-hong.
Perubahan ini membuat detak jantungnya berdebar
semakin cepat. Gadis itu memejamkan mata, tak berani memandang
sewaktu matanya terpejam, dengus napasnya ikut berubah
jadi rintihan, wajah yang pucat-pasi ikut berubah pula
semerah bunga Tho.
Saat ini dia sudah tahu Siau-hong tak bakal
membunuhnya, dia pun tahu apa yang diinginkan anak
muda itu. Kini dia sudah dapat merasakan hawa panas serta
dengus napas Siau-hong, dia pun merasakan tindihan tubuh
lawan di atas tubuh sendiri.
Gadis itu tak dapat menampik, dia pun tak ingin
menampik. Tentu saja dia tak berusaha menampik, karena sejak
awal dia telah menduga semua itu akan berakhir dengan
kejadian seperti ini.
Tiba-tiba saja gadis itu mengendorkan tubuhnya,
mengendorkan seluruh ketegangan otot tubuhnya,
mengendorkan segala sesuatunya.
Sebab dia tahu, hanya dengan cara inilah baru akan
memperoleh pembebasan, semacam pembebasan yang
nyaris mirip "kematian".
Hari ini adalah bulan delapan tanggal lima belas, ulang
tahun Che Siau-yan.
Dia dilahirkan pada malam Tiong-ciu, tapi hingga dia
memperoleh pembebasan dan membuka matanya kembali,
gadis itu baru teringat kalau hari ini adalah hari ulang
tahunnya, dia baru teringat kalau hari ini adalah hari Tiongciu.
Sebab begitu dia membuka mata, terlihatlah bulan
purnama tergantung di atas langit, rembulan yang begitu
bulat, begitu terang benderang, jauh lebih terang daripada
bulan yang dilihatnya semalam.
Setelah itu dia baru melihat Siau-hong.
Waktu itu Siau-hong berdiri di bawah sinar rembulan.
Sinar rembulan tampak begitu bening, bersih dan tenan
Rahasia 180 Patung Mas 8 Bentrok Rimba Persilatan Karya Khu Lung Amarah Pedang Bunga Iblis 3

Cari Blog Ini