Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung Bagian 3
uk senyum mekar jenaka pada raut muka
Siangkwan Siau-sian, katanya: "Memangnya Popo adalah anak baik."
"Bolehkah aku coba menggendongnya sebentar?" tanya Thi Koh.
Sekilas Siangkwan Siau-sian ragu-ragu, katanya
kemudian: "Tapi kau harus hati-hati, jangan memeluknya kencang-kencang, Popo amat takut sakit"
"Aku tahu," sahut Thi Koh tertawa, "akupun punya seorang Popo."
Sesaat Siangkwan Siau-sian bimbang, akhirnya dia
serahkan bonekanya.
Begitu menerima boneka itu, Thi Koh segera melangkah
pergi. Keruan Siangkwan Siau-sian berteriak-teriak: "Kenapa kau bawa Popoku pergi" Kau......kau..... perempuan jahat."
Begitulah kedua orang ini jadi saling kejar.
Nyo Thian tetap menjublek, seperti kaget keheranan,
namun seperti simpati juga.
Mendelik mata Sim Koh, katanya dingin: "Nona besar yang meneteki sudah pergi, apalagi yang kau lamunkan di sini?"
Nyo Thian tertawa dipaksa, katanya: "Aku........aku hanya merasa urusan ini berakhir dengan gampang sekali."
"Perduli urusan rumit apapun, jikalau sebelumnya sudah direncanakan lebih dulu, waktu kau turun tangan, tentu jauh lebih gampang."
"Ya, rencana ini memang rapi dan baik sekali." puji Nyo Thian.
Tiba-tiba Sim Koh berseri sambil mengawasinya, katanya:
"Sebetulnya payudaraku jauh lebih indah dari dia punya, kau percaya tidak?"
Nyo Thian seketika menggeleng, katanya tergagap
dengan muka merah: "Aku....aku......"
Sim Koh mengerling genit, katanya tertawa: "Kelak akan kuberi kesempatan kepadamu untuk melihatnya sepuas-puasnya, waktu itu kau pasti percaya."
Jantung Nyo Thian berdebur kencang seperti gelombang
lautan. "Sekarang kau bawa pulang orang she Yap ini."
"Bagaimana dengan nona.......nona Ting ini?"
"Dia akan ikut aku pulang," ujar Sim Koh. Lalu dengan keras dia tendang pantat Ting Ling, katanya tertawa sambil berpaling kepada Nyo Thian: "Asal kau mau menjadi anak jinak, mama kelak akan memberi air tetek kepadamu."
ooo)dw(ooo Thi Koh langsung berlari ke dalam ruang pemujaan.
Siangkwan Siau-sian pun mengejar masuk, serunya
merengek: "Serahkan Popo kepadaku, lekas kembali!"
"Duduklah dengan tenang, kalau tidak Popo tidak
kukembalikan."
Terpaksa Siangkwan Siau-sian duduk di atas sebuah
kasur bundar. "Ada beberapa patah kata ingin aku tanya kepadamu, kaupun harus menjawab dengan baik."
Siangkwan Siau-sian manggut-manggut.
"Siapa namamu?"
"Siangkwan Siau-sian."
"Siapa bapakmu?"
"Bapak adalah malaikat. Selamanya belum pernah aku melihatnya."
"Lalu ibumu?"
"Ibu sedang tidur."
"Tidur di mana?"
"Di dalam kotak kayu panjang dan besar, sudah lama dia tidur di sana." terunjuk kedukaan pada muka Siangkwan Siau-sian, katanya pula: "Katanya lekas sekali dia akan bangun, tapi sampai sekarang dia belum bangun juga."
"Setelah ibumu tidur lalu kau ikut siapa?"
"Aku lantas ikut paman yang bisa terbang, ibu suruh aku panggil dia Hwi-siok-siok."
"Lalu bagaimana?"
"Belakangan Hwi-siok-siok mencari Yap Kay, suruh aku ikut dia."
Terpancar rasa puas pada sorot mata Thi Koh, katanya:
"Hwi-siok-siok itu tentu amat baik kepadamu, bukan?"
"Dia amat senang dan sayang kepadaku, baik sekali kepadaku."
"Bukankah dia memberi banyak mainan kepadamu?"
"Dia membelikan sepatu dan pakaian baru, lalu
membelikan mainan dan barang lain yang baik."
"Bukankah masih ada seorang paman bertangan satu"
Apakah dia juga memberi banyak mainan kepadamu?"
"Paman bertangan satu?" Siangkwan Siau-sian mengerut kening.
"Masakah kau tidak mengenalnya lagi" Dai selalu
mengenakan pakaian kuning, tampangnya amat garang?"
Siangkwan Siau-sian tiba-tiba tepuk tangan seraya
berjingkrak, serunya: "Ya, teringat aku sekarang, pada suatu hari dia
***********************
Hal 13 - 14 hilang
***********************
"Jikalau kau tidak memberitahu kepadaku, biar Popo ku banting mati saja."
Berubah muka Siangkwan Siau-sian, teriaknya keras:
"Tidak boleh kau banting mati Popoku, dia adalah anak baik."
"Aku tahu Popo memang anak bagus dan sayang, tapi asal ku banting ke lantai, selanjutnya kau tidak akan menemukan dia lagi, tiada orang yang temani kau main-main."
Siangkwan Siau-sian hampir menangis, katanya merengek:
"Jangan, aku mohon kepadamu.........."
"Tiada gunanya kau minta kepadaku, kecuali kau mau memberitahu nama tempat itu kepadaku."
"Asal aku memberitahu, Popo lantas kau kembalikan?"
"Malah kau akan kubelikan banyak mainan dan pakaian baru, kue-kue enak yang paling kau sukai."
"Baiklah, ku beritahu kepadamu. Tempat itu berada di.........."
Belum lagi Siangkwan Siau-sian sempat menyebutkan
tempat itu, mendadak Thi Koh menukas: "Nanti dulu, tunggu sebentar."
"Kenapa?"
"Karena tempat itu kau hanya boleh memberitahu
kepadaku saja, sekali-kali tak boleh didengar orang lain."
Terdengar seorang batuk-batuk kecil di luar pintu,
tampak Nyo Thian melangkah masuk sambil mengempit Yap
Kay. Sim Koh beriring melangkah masuk, di belakangnya
adalah Ting Ling.
Thi Koh menarik muka, bentaknya beringas: "Siapa suruh kau membawa mereka kembali?"
"Tidak di bawa pulang, memangnya mau diapakan?"
"Memangnya kau tidak bisa bunuh mereka?"
"Keduanya dibunuh?"
"Siapa yang masih ingin kau tinggalkan?"
"Sekarang juga dibunuh bagaimana?"
"Baik, sekarang juga bunuh!"
Yap Kay meringkuk di tanah, kelihatannya seperti orang mati, Ting Ling memang masih hidup, namun pandangan
matanya mendelong kaku, orang bilang hendak membunuh
dia, dia seperti tidak mendengar.
Sim Koh menghela napas, katanya: "Laki-laki sebagus ini, sungguh aku tidak tega membunuhnya."
"Nyo Thian menyahut dingin: "Aku tega!"
Sim Koh meliriknya, katanya tertawa genit: "Kau
cemburu?" "Buat apa aku cemburu dengan orang mati?"
"Baik! Nah, golok ini kuberikan kepadamu."
'Klontang....' sebilah golok jatuh di lantai.
Nyo Thian membungkuk mengambilnya, dipandangnya
Ting Ling lekat-lekat, katanya tertawa dingin: "Kau pernah membunuhku sekali, sekarang akupun akan membunuhmu
sekali, hutang piutang ini terhitung lunas, tak perlu kau menebusnya di lain penitisan."
Ting Ling mengawasi golok di tangannya, sedikitpun dia tidak memperlihatkan reaksi apa-apa. Terpancar nafsu
membunuh pada sorot mata Nyo Thian, kontan dia ayun
goloknya membacok.
"Tunggu dulu!" sekonyong-konyong seseorang berseru mencegah.
Lekas Nyo Thian tarik tangannya, dengan mengerut
kening dia berpaling, ternyata yang menyerukan dia
berhenti adalah Wi Thian-bing. Entah kapan Wi Thian-bing sudah siuman, pelan-pelan dia merangkak bangun dan duduk di pembaringan.
"Kenapa kau suruh dia menunggu?" tanya Thi Koh mengerut alis.
"Apa kau pasti hendak membunuh ke dua orang ini?" kata Wi Thian-bing.
"Ya, harus dibunuh."
"Di sini juga membunuhnya."
"Di tempat ini juga."
"Di dalam ruang pemujaan yang ini boleh membunuh
orang?" "Yang kita punya memangnya dewa pembunuh."
Wi Thian-bing menghela napas, katanya: "Aku tahu kau tidak akan membiarkan Yap Kay hidup, tapi orang she Ting ini...?"
"Kau ingin mempertahankan jiwanya?"
"Tak ubahnya dia seorang yang cacat, buat apa pula kau harus merenggut jiwanya?"
"Apakah Wi-pat-ya menjadi laki-laki welas asih yang kenal kasihan?" jengek Nyo Thian, "kau ingin mengajaknya pulang dijadikan putra pungutmu?"
"Kau ini siapa?" damprat Wi-pat-ya, "berani kurang ajar di hadapanku!"
"Aku hanya memperingatkan kau." sahut Nyo Thian,
"supaya kau tidak kecewa."
"Kecewa" Kenapa harus kecewa?"
"Nona ini jelas takkan bisa melahirkan anak."
"Kau kira aku tidak tahu siapa dia?"
"Kalau tahu kenapa kau mempertahankan jiwanya?"
"Setelah usiamu mencapai umurku sekarang, kau akan tahu, orang yang tak usah dibunuh, lebih baik jangan kau bunuh." setelah menghela napas, dia meneruskan: "Di waktu muda banyak membunuh orang, setelah usia lanjut kau akan menyesal seumur hidup."
Nyo Thian menyeringai dingin, katanya: "Sejak kapan hati Wi-pat-ya berubah begini lemah?"
"Barusan."
"Barusan?"
"Seseorang setelah tahu dirinya punya keturunan,
hatinya pasti berubah banyak."
Thi Koh tiba-tiba tertawa sinis, jengeknya: "Kau sudah punya anak" Kau kira aku benar-benar adalah anakmu?"
"Masa kau bukan anakku?" Wi Thian-bing menegas dengan mata terbelalak.
"Selama hidup Lam-hay-nio-cu, entah berapa banyak laki-laki yang pernah dipermainkan, sayang dia justru tidak pernah melahirkan anak."
"Dan kau siapa?"
"Bukan anaknya, juga bukan kadangnya."
"Kau.......siapa kau sebetulnya?"
"Iblis langit tak berbentuk,
kesaktian tiada taranya,
naik ke langit masuk ke bumi,
hanya akulah yang berkuasa."
Seketika berubah muka Wi Thian-bing, serunya: "Kau anak Mo Kau?"
"Supaya Wi-pat-ya tahu," demikian timbrung Sim Koh,
"dia salah satu Sam-kong-cu di bawah Su-thay-thian-ong dari Mo Kau."
Pucat pias muka Wi Thian-bing, mulutnya gemetar tak
kuasa bicara lagi.
Kata Thi Koh: "Lam-hay-nio-cu adalah murid pengkhianat Mo Kau, dia beranggapan dirinya bisa menandingi kaucu kita, maka sengaja aku masuk ke dalam perguruannya, kupelajari ilmu-ilmu iblisnya, setelah tamat, baru ku bunuh dia dengan ilmu yang ku pelajari dari dirinya."
Sim Koh menyeletuk: "Itulah yang dinamakan, 'hutang darah bayar darah' dari Mo Kau kita, Sin-liong-bu-siang-tay-hoat."
Pucat pasi muka Wi Thian-bing, mulutnya mengigau:
"Ternyata kau bukan putriku....... ternyata......" berulang kali dia mengguman, akhirnya menjublek seperti orang pikun.
Kejadian ini sungguh merupakan pukulan batin yang dahsyat, sungguh lebih parah dari tusukan golok di ulu hatinya.
Sim Koh berkata pula: "Tadi sengaja kami menolongmu, karena kematianmu pada waktu itu tiada manfaatnya bagi kami."
"Tapi sekarang Han Tin sudah tahu bahwa aku adalah putrimu, jikalau sang ayah mati secara mengenaskan, maka harta kekayaannya sewajarnya diwariskan kepada putrinya."
demikian kata Thi Koh.
Kembali Sim Koh meneruskan: "Tapi setelah kita berhasil mengeduk kekayaanmu dan Siangkwan Kim Hong, segala
persiapan kita sudah sempurna, tinggal tunggu waktu untuk bergerak."
Wi Thian-bing masih mengigau, sekonyong-konyong dia
menjerit keras serta muntah darah, lalu badannya
tersungkur roboh.
Melirikpun Thi Koh tidak mengawasinya, katanya dingin:
"Nyo Thian, apalagi yang kau tunggu?"
Nyo Thian sudah pucat ketakutan, sejak dulu dia sudah
mendengar kekejaman Mo Kau, sekarang dia mengalami dan menyaksikan sendiri. Golok iblis yang kemilau di tangannya teracung tinggi, untuk kedua kalinya dia ayunkan goloknya.
Ting Ling masih berdiri tanpa bergerak sedikitpun, bukan saja tidak tahu takut, diapun tidak berusaha berkelit.
Untunglah pada detik-detik yang menentukan itu, tibatiba di luar rumah terdengar jeritan orang yang
mengerikan. Suaranya melengking keras dan ramai seperti dipekikkan oleh mirip beberapa ekor serigala kelaparan yang sekaligus digorok lehernya.
Tangan Nyo Thian yang terangkat sampai bergetar dan
tergantung di tengah udara, hampir saja golok terlepas dari cekalannya.
Sim Koh tiba-tiba putar badan menarik pintu.
Seorang berseragam putih berdiri kaku di depan pintu,
jubahnya yang putih berlepotan darah, punggungnya
menggendong tikar, tangannya menjinjing tongkat pendek.
Ternyata Bak Pek datang.
Bukan saja tidak kaget Sim Koh malah tertawa
menyambutnya: "Kau sudah datang, kenapa berdiri di luar pintu, silahkan masuk duduk di dalam."
"Berdiri kurasa lebih baik."
"Kau kemari memangnya hanya ingin berdiri di luar pintu?"
"Aku kemari juga bukan lantaran Siangkwan Siau-sian."
"Khabarnya hidup kalian di Ceng-seng-san juga
memerlukan perongkosan yang cukup besar, sekarang kalian kekurangan uang."
"Kita punya asal usul."
Sim Koh mengedip mata seraya tersenyum genit,
katanya: "Lalu memangnya kau kemari lantaran aku?"
Sikap Bak Pek tenang dingin, sedikitpun tidak
terpengaruh oleh sikap genit gadis molek ini, katanya: "Aku datang bukan lantaran perempuan."
"Bukan karena perempuan" Kau........ suka main dengan laki-laki?"
"Aku kemari lantaran Yap kay."
"Kau menyukainya?"
"Aku suka membunuhnya."
"Kau ada permusuhan dengan dia?"
"Permusuhan sedalam lautan."
"Dia membunuh bapakmu, atau merebut binimu?"
"Bak Pek menarik muka, "Aku minta kalian serahkan dia supaya kubawa pulang."
"Memangnya kami hendak membunuhnya, kau, kau ingin turun tangan tidak jadi soal, hanya......"
"Hanya bagaimana?"
"Cara bagaimana aku tahu kau hendak membunuhnya"
Bukan mustahil kau hendak menolongnya malah."
Sebentar Bak Pek menepekur, katanya: "Aku bisa turun tangan di hadapan kalian."
Thi Koh tiba-tiba menyeletuk: "Baik, berikan golok supaya dia turun tangan."
Nyo Thian lantas lemparkan golok di tangannya,
'Klontang....' jatuh di depan kaki Bak Pek.
Bak Pek menjungkitnya dengan ujung kaki, terus
disambar dengan tangan, pelan-pelan dia melangkah masuk, matanya menatap Yap Kay, tiba-tiba golok ditangannya
menusuk. Gerak tusukannya amat cepat dan mendadak. Tapi
tusukannya tidak kepada Yap Kay, sebaliknya golok
berkelebat menusuk Thi Koh.
Agaknya Thi Koh tidak menduga cara licik dan keji ini, sehingga tidak sempat berkelit lagi. Tahu-tahu golok di tangan Bak Pek sudah menusuk ulu hatinya. Akan tetapi rona muka Thi Koh sedikitpun tidak berubah, yang berubah malah muka Bak Pek.
Dalam detik-detik yang menentukan itu tiba-tiba terasa olehnya ujung golok di tangannya ini ternyata bergerak
hidup, begitu ujung golok mengenai sasaran, tahu-tahu
menyurut amblas dan mundur masuk ke gagang malah.
Kejadian berlangsung cepat, tahu-tahu terdengar
'Blum.." suatu ledakan yang cukup keras, tiga bintik sinar terang melesat keluar dari ujung belakang gagang golok yang terpegang di tangannya, semua mengenai dada Bak Pek dengan telak. Seketika badannya bergetar, biji matanya melotot, raut mukanya yang semula kaku dingin berubah
ngeri ketakutan dan tidak percaya akan kenyataan yang
dihadapinya. Dingin Thi Koh mengawasinya, katanya: "Itulah golok iblis, golok iblis takkan membunuh majikannya."
Kiranya waktu golok terlempar di lantai, di tengah suara kelontangan tadi sekaligus telah merubah alat pegas yang terpasang di dalam gagangnya.
Muka Bak Pek dari pucat menjadi merah pada, tiba-tiba
kembali menjadi putih laksana kapur, katanya mendesis
seraya kertak gigi: "Tidak jadi soal kau membunuhku, majikanku takkan melepasmu."
Bertaut alis Thi Koh, tanyanya: "Kau masih punya
majikan" Siapa majikanmu?"
Tenggorokan Bak Pek mengeluarkan suara 'krok..krok...'
seperti hendak bicara, tapi tak kuasa mengeluarkan
omongan, mendadak dia menggerung bagai harimau gila
menubruk ke arah Thi Koh.
Thi Koh tetap tidak bergeming di tempatnya. Seakanakan jari-jari Bak Pek sudah hampir mencekik lehernya, tapi badannya malah tersungkur roboh tak berkutik lagi.
Thi Koh menghela napas, katanya: "Agaknya orang-orang di sini sudah mampus seluruhnya."
"Tinggal Yap Kay dan Ting Hun-pin dua orang saja." kata Sim Koh.
"Kenapa kita tidak membunuh mereka secara berpasang saja?" Nyo Thian mengusulkan.
"Jikalau kau turun tangan tanpa ayal-ayalan, bukankah sekarang mereka tidak tersiksa lagi." Sim Koh
mencemoohnya. Tiba-tiba Nyo Thian mengeluarkan sebatang golok dari
lengan bajunya, katanya: "Kali ini biar kubunuh dia lebih dulu."
"Tunggu sebentar." tiba-tiba seseorang membentak, tapi yang bersuara kali ini adalah Thi Koh.
"Kenapa harus tunggu lagi?" tanya Nyo Thian tidak mengerti.
"Bak Pek datang karena dia, malah berani mengorbankan jiwa sendiri untuk membawanya pulang."
Sim Koh menyeletuk: "Jikalau benar dia ada permusuhan dengan Yap Kay, sebetulnya bisa turun tangan di sini."
"Namun dia bertekad untuk membawa Yap Kay pergi."
bantah Thi Koh.
"Kenapa dia harus berbuat demikian?" tanya Sim Koh.
"Bak Pek bukan orang pikun, sudah tentu ada maksud dan latar belakangnya."
Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Memangnya Yap Kay sendiri membawa rahasia apa?"
berputar biji mata Sim Koh.
"Baik, biar aku menggeledahnya."
Nyo Thian lantas menimbrung: "Dia seorang laki-laki, biarlah aku saja yang menggeledahnya."
"Memangnya laki-laki tidak boleh ku geledah?" bantah Sim Koh, "aku justru senang menggeledah badan laki-laki, terutama laki-laki setampan ini."
Nyo Thian menggigit bibir, mulutnya terkancing.
Sim Koh cekikikan senang, katanya: "Kalau kau cemburu, tunggu sebentar, nanti giliranmu ku geledah badanmu.".
Dengan tertawa genit dia membungkuk badan, tangan
terulur membuka kancing baju di depan dada Yap Kay. Tapi baru saja tangannya menyentuh dada orang, tiba-tiba dia menjerit kaget, tangan ditarik balik seperti tergigit ular beracun.
Thi Koh mengerut alis, katanya: "Ada apa berteriak-teriak, memangnya kau belum pernah menyentuh laki-laki?"
Terunjuk rasa heran dan tak mengerti pada rona muka
Sim Koh, sahutnya: "Tapi, dia adalah perempuan....."
"Perempuan?" tersirap darah Thi-koh: "Maksudmu Yap Kay yang ini adalah perempuan?"
"Ya, seratus persen perempuan, buah dadanya malah lebih montok dan lebih besar dari Siangkwan Siau-sian
punya." Berkilat biji mata Thi Koh, katanya tertawa dingin: "Ting Hun-pin adalah laki-laki, Yap Kay malah jadi perempuan, sungguh kejadian yang menyenangkan."
Sim Koh rebut pisau di tangan Nyo Thian terus
membacok. Pisau panjang ini berkilauan, terang gaman yang amat
tajam, untuk memotong tangan orang, tentu segampang
potong sayur. Tak nyana pada saat itu pula, Yap Kay yang semula rebah terkulai tak bergerak, mendadak balik badan, tahu-tahu kakinya melayang menendang perut Sim Koh.
Sudah tentu Sim Koh tersirap dan mencelat mundur,
kebetulan dia mundur ke depan Nyo Thian.
Sejak tadi Nyo Thian memang sedang menunggu dirinya,
secepat kilat tangan kanannya menutuk lima Hiat-to di
punggungnya berbareng tangan kiri melingkar memeluk
pinggangnya. Seketika berubah air muka Thi Koh.
Nyo Thian menyeringai, ancamnya: "Lebih baik kalau kau tidak sembarang bergerak, kalau tidak biar kubunuh dulu putri kesayanganmu ini."
Thi Koh benar-benar tidak berani bergerak. Memang, dia bukan orang yang mau sembarang bertindak.
Sementara itu dilihatnya Yap Kay tengah merangkak
berdiri sambil berseri tawa, tawa manis dan elok.
"Kau.......... kau memang perempuan?" tanya Thi Koh.
"Benar, perempuan tulen yang tak boleh ditawar lagi."
"Kau bukan Yap Kay?" tanya Thi Koh tak mengerti.
Yap Kay yang ini tertawa, katanya: "Yap Kay sudah tentu adalah laki-laki sejati, laki-laki tulen, masakah mungkin aku ini Yap Kay?"
"Kau siapa?"
"Ting Hun-pin"
"O, jadi kau inilah Ting Hun-pin." mimik mukanya seperti baru saja digigit orang.
Ting Hun-pin berdiri tak bergeming di tempatnya dengan tersenyum simpul.
Ting Hun-pin menghampiri, katanya dengan tertawa: "Kau sedikitpun tidak mirip dengan aku, bukankah aku lebih
cantik dari tampangmu?"
Memang di antara mereka tiada yang mirip.
Tak tahan Thi Koh bertanya pula: "Jikalau kau ini Ting Hun-pin, lalu di mana Yap Kay?"
"Sejak tadi Yap Kay sudah berada di sini." sahut Ting Hun-pin.
"Sejak tadi dia sudah berada di sini?"
"Malah sejak tadi sudah berada di hadapanmu."
"Apakah Nyo Thian?" tanya Thi Koh.
"Nyo Thian adalah Nyo Thian, dia bukan Yap Kay."
Rasanya hampir gila Thi Koh dibuatnya, teriaknya:
"Siapakah sebenarnya Yap Kay?"
"Aku inilah!" terdengar seseorang menjawab dengan suara kalem.
"Siapakah sebenarnya Yap Kay itu?"
Ting Ling menjawab: "Aku inilah. Aku inilah Yap Kay."
mimiknya yang linglung seperti terpengaruh sihir dan
pandangannya yang hampa, mendadak lenyap tak berbekas
lagi, dalam waktu sekejap mendadak sudah berubah menjadi orang lain.
Thi Koh mengawasinya, mimik kagetnya sudah tidak
kentara lagi, tiada menunjukkan perasaan apa-apa. Sekujur badannya seperti sudah mengejang kaku, sekeras kayu, dia juga merasakan dirinya tak ubahnya seperti sebatang kayu.
Selama hidupnya belum pernah dia mengalami peristiwa yang benar-benar membuatnya kaget kelewat batas.
Ting Hun-pin tertawa cekikikan, dari dalam bajunya dia keluarkan secarik sapu tangan sutra putih, dilemparkan kepada Yap Kay seraya berkata: "Lekas bersihkan pupur dan gincu di mukamu itu, aku muak melihat tampangmu."
"Kau muak?" tanya Yap Kay tertawa. "tapi banyak orang justru anggap aku teramat cantik."
"Cantik kentut!" cemooh Ting Hun-pin.
"Jikalau tidak cantik, masakah ada orang anggap aku mirip Ting Hun-pin?"
Tak tahan Ting Hun-pin cekikikan geli, katanya: "Kalau rupaku mirip keadaanmu sekarang, sejak lama aku sudah
menumbuk kepalaku sampai pecah."
"Jikalau aku benar-benar mirip kau, tahukah kau apa yang akan kulakukan?" tanya Yap Kay.
Ting Hun-pin membusungkan dada, katanya: "Aku begini memangnya tidak baik?"
"Bukannya tidak baik, cuma dadamu membusung terlalu tinggi, maka orang segera mengetahui penyamaranmu."
Seketika merah muka Ting Hun-pin, tiba-tiba dia ulur
tangan membuka kancing baju Sim Koh.
Sejak tadi kepala Sim Koh tertunduk, seperti empasempis, tak tahan dia berjingkrak kaget, serunya: "Apa yang ingin kau lakukan?"
"Tidak apa-apa, tadi kau hendak menggeledah badanku, sekarang aku malah yang hendak menggeledah badanmu, aku ini selamanya tidak mau dirugikan."
"Kalau mau geledah, tiba giliranku untuk
menggeledahnya." pinta Nyo Thian.
"Tapi dia seorang perempuan."
"Kenapa perempuan tidak boleh ku geledah" Aku justru senang menggeledah perempuan, terutama perempuan yang
cantik dan montok."
Ting Hun-pin tertawa besar. Nyo Thian-pun ikut
terloroh-loroh senang. Memang mereka pantas tertawa
riang, karena sandiwara yang mereka lakukan sungguh amat baik dan sukses sekali.
Mimik Thi Koh seperti hendak menangis, tapi air matanya sudah kering.
Siangkwan Siau-sian sudah merebut boneka dari
tangannya, katanya: "Popo sayang, sayang Popo, ibu takkan biarkan kau direbut orang jahat."
Perhatiannya hanya tertuju kepada bonekanya itu,
apapun yang terjadi, bukan saja dia tak perduli, memangnya dia tidak bisa turut campur. Bukankah anak-anak sering menganggap khayalannya selalu menjadi kenyataan"
Tapi khayalan Thi Koh justru sudah lenyap tak berbekas seperti asap yang tertiup angin lalu. Semula dia mengira semua orang sudah masuk ke dalam muslihat dan tipu
dayanya, sekarang baru dia insyaf bahwasanya dirinyalah yang sudah masuk perangkap Yap Kay, bukankah
khayalannya mirip boneka di tangan gadis yang linglung ini"
Tak tahan akhirnya dia menghela napas, katanya sambil
mengawasi Yap Kay: "Baru sekarang aku mau percaya."
"Kau percaya apa?" tanya Yap Kay.
"Aku percaya bahwa kau memang orang yang paling sukar dilayani dan paling ditakuti di kolong langit ini."
"Aku mengakui," ujar Yap Kay menghela napas, "aku memang bukan kuncu."
"Berani mengakui bahwa dirinya bukan kuncu, juga bukan suatu hal yang gampang." kata Thi Koh.
"Berani mengakui kekalahannya pun tidak gampang." ujar Yap Kay.
"Kau sudah tahu bahwa kita beberapa rombongan orang menunggumu di sini?"
Yap Kay manggut-manggut.
"Maka kau bersekongkol dengan Nyo Thian, suruh dia sengaja bekerja bagi aku, supaya aku beranggapan bahwa Ting Ling adalah saudara kembar Ting Hun-pin, lalu
membantu aku mengajukan usul dan akal segala, suruh aku menyalin Ting Ling menjadi Ting Hun-pin. Lalu kau muncul sebagai Ting Ling dan sengaja menyerahkan diri untuk
kutangkap?"
"Yang benar aku ini memang Ting Ling!"
"Lho" Kau ini Yap Kay atau Ting Ling?" Thi Koh semakin bingung.
"Aku ini Yap Kay alias Ting Ling."
Thi Koh semakin tidak mengerti.
"Ting Ling adalah salah satu nama yang dulu kupakai waktu kelana di Kang-ouw." demikian Yap Kay menerangkan.
Thi Koh paham, katanya tertawa getir: "Seluruhnya berapa nama yang pernah kau pakai?"
"Tidak banyak."
"Semua nama yang pernah kau pakai, seluruhnya tenar?"
"Agaknya nasibku memang mujur."
"Agaknya aku memang tidak pantas memilih lawan seperti kau ini."
"Kau salah pilih," sela Ting Hun-pin, "tapi aku tidak salah pilih." Sorot matanya yang jeli bening diliputi rasa hormat dan kasih mesra.
"Apakah selamanya kau tidak pernah bertengkar dengan dia?" tanya Thi Koh.
"Siapa bilang tidak pernah, entah berapa kali aku bertengkar dengannya," sahut Ting Hun-pin, lalu dengan muka merah dia menambahkan: "Tapi tiga hari setelah kami bertengkar, ternyata aku sudah tidak betah, merindukan dia mencarinya."
"Seharusnya sudah kuduga akan hal ini." ujar Thi Koh.
"Apa yang kau duga?"
"Laki-laki seperti kekasihmu ini tidak banyak, jikalau aku jadi kau, akupun takkan tega purikan dengannya."
"Oleh karena itu aku selalu menjaga dan mengawasinya, supaya orang lain tidak sempat main-main terhadapnya."
suara tawanya kedengarannya seperti suara rase.
"Apapun yang telah terjadi, mimpipun tak pernah kuduga bahwa kaulah yang menyaru jadi Yap Kay"
"Walau Yap Kay tiada di sini, yang benar harus selalu ada orang yang melindungi Siau-sian, kalau aku yang melindungi dia, bukankah cara yang paling aman?"
"Benar, memang cara yang paling aman," puji Thi Koh,
"karena kau yang melindungi dan mengawasinya, bukan saja orang lain tidak mampu mengusiknya, Yap Kay pun takkan bisa menyentuhnya."
"Bahwasanya Yap Kay tak mungkin punya maksud
terhadapnya."
"Agaknya kau amat yakin?"
"Selalu aku punya keyakinan teguh, maka siapapun jangan harap mengadu domba."
Terpaksa Thi Koh berpaling kepada Yap Kay, katanya:
"Sungguh aku tidak menyangka Kou-hun-sip-tay-hoat yang kugunakan ternyata tidak berguna sedikitpun terhadapmu."
"Memang tiada gunanya."
"Seharusnya aku sudah dapat menduganya."
"Menduga apa?"
"Khabarnya ibumu dulu juga dari Mo Kau kita, tapi lantaran laki-laki she Pek, dua puluh tahun yang lalu dia berani mengkhianati Mo kau."
Terunjuk sorot derita dari pandangan Yap Kay, agaknya
dia tidak senang mendengar orang menyinggung persoalan ini.
Oleh karena itu, Thi Koh justru mengungkatnya: "Di dalam Mo Kau ada Su-toa-thian-ong dan Su-toa-kongcu,
ibumu adalah salah satu di antaranya, akupun satu
diantaranya, oleh karena itu seharusnya kau memanggilku kokoh (bibi)."
"Dan kau ingin membunuhku, tentunya itupun salah satu dari sebab musabab itu." ujar Yap Kay.
Thi Koh pun menarik muka, katanya sinis: "Aku tidak menyangkal, murid-murid dari Mo Kau, tiada satupun yang bisa lolos dari hukum undang-undang perguruan."
"Ah, masa?" Yap Kay tidak percaya.
"Bukan saja orang yang bersangkutan selalu dikejar hukuman berat itu, sampaipun keturunannya takkan
terhindar pula."
"Aku harap kau suka memahami satu hal."
"Coba katakan!"
"Ibuku sudah bukan anggota Mo Kau lagi, sejak lama beliau sudah tiada sangkut pautnya dengan kalian."
"Siapapun sekali dia masuk anggota Mo Kau, selama hidupnya dia tetap menjadi warga Mo Kau, hubungan tali temali ini selamanya tak pernah putus."
Tawar suara Yap Kay: "Kalau kau seorang pintar,
sekarang tidak pantas kau berkata demikian."
"Kenapa?"
"Sekarang agaknya kau harus menunggu hukuman apa
yang akan ku jatuhkan kepadamu."
"Maksudku hanya ingin supaya kau mengerti, "debat Thi Koh, "di dalam aliran darahmu ada pula darah kita, asal kau suka berpaling dan kembali ke haribaan kita, sembarang waktu kita akan menyambutmu dengan tangan terbuka."
"Aku akan selalu ingat hal ini." ujar Yap Kay.
"Yang terang dia tidak akan sudi kembali." sela Ting Hun-pin.
"Kalau begitu kalian akan menyesal di kelak kemudian hari," kata Thi Koh, "ketahuilah, akhir-akhir ini di puncak Sin-san, Mo Kau sudah menegakkan ajarannya dan
membangun kembali kekuatannya. Salah satu hasil
keputusan dari pertemuan Su-thoa-thian-ong dan Su-thoa-kongcu adalah menghukum berat setiap murid-murid
murtad." "Oleh karena itu, kau memperingati aku supaya hati-hati."
"Selama lima puluh tahu terakhir ini, hanya ada lima murid-murid murtad dalam Mo Kau, empat diantaranya
sudah mampus."
"Jadi ketambahan aku semuanya lima?"
"Tidak Salah! Kau adalah yang ke lima."
"Sayang sekali, aku masih segar bugar dan takkan
gampang dibuat mati."
"Kau dapat lolos untuk yang pertama dan belum tentu lolos untuk yang kedua, ketiga dan seterusnya, sehari kau belum mampus, setiap detik setiap saat kau harus waspada, maka jangan harap di dalam mengarungi kehidupan sebagai manusia ini, kau bisa hidup tentram dan damai."
"Aku cukup tahu!", ujar Yap Kay.
"Kau tidak perduli?"
"Aku amat perduli, akupun amat takut."
"Kalau begitu, lekaslah ku bawa Siangkwan Siau-sian dan ikut aku pulang, tebuslah dosa dan hukumanmu dengan jasa-jasa baik."
Yap Kay menyengir tawa.
"Apa yang kukatakan bukan lelucon yang menggelikan."
"Akupun amat takut bila ada anjing menggigitku, tapi memangnya aku harus jadi anjing, makan tahi dan minum air seni?"
Ting Hun-pin terpingkal-pingkal, saking geli sampai ia memeluk perut dan terbungkuk-bungkuk.
Sebaliknya selembar muka Thi Koh membesi hijau.
"Sejak pertama aku tahu kalian mengatur tipu daya hendak menghadapi aku, tapi apa yang dilakukan sekarang bukan maksudku hendak menghadapi kalian."
Thi Koh melengak keheranan.
"Jikalau untuk menghadapi kalian, hakekatnya aku tidak perlu membuang banyak tenaga."
"Sudah tentu kaupun tahu bahwa Wi Thian-bing dan Bak Pek hendak menghadapimu, oleh karena itu kau sengaja
memberi peluang kepada kami hingga berhasil, dan mereka dipaksa untuk bentrok dengan kami, semua pihak saling
cakar dan bunuh, kau akan memungut keuntungannya."
Yap Kay geleng-geleng kepala sambil menghela napas,
ujarnya: "Kalau hanya untuk menghadapi Wi Thian-bing dan Bak Pek, aku lebih tidak perlu memeras keringat."
"Memangnya kau kira gampang menyuruhnya menyaru jadi perempuan?" sela Ting Hun-pin tertawa.
"Lalu untuk menghadapi siapa kau melakukan semua ini?"
tanya Thi Koh. "Menghadapi seseorang yang lain. Orang ini jauh lebih menakutkan daripada kalian digabung menjadi satu."
Thi Koh menyeringai dingin, dia tidak percaya.
"Kami kemari sebetulnya kalian tidak mungkin tahu," kata Yap Kay pula.
Mau tidak mau Thi Koh harus mengakui hal ini.
"Tapi orang ini justru sudah tahu sebelumnya, oleh karena itu dia sengaja menyebarkan berita di luar supaya kalian meluruk kemari mencariku."
"Beberapa bulan yang lalu, memang kita menerima
sepucuk surat tanpa diketahui siapa pengirimnya," demikian tutur Thi Koh, "yang tertulis di dalam surat adalah rahasiamu dengan Siangkwan Siau-sian. Kalau tiada surat itu, hakekatnya kita tidak punya maksud mengerjai kau."
"Kalian menerima surat kaleng yang aneh, memangnya tidak merasa heran?"
"Soalnya dia menjelaskan dalam suratnya bahwa kau adalah musuhnya, tujuan surat itu hanya ingin meminjam tangan kita untut menuntut balas sakit hatinya."
"Alasan yang masuk di akal." ujar Yap Kay.
"Setelah kita selidiki, ternyata apa yang ditulis dalam surat memang tidak bohong, oleh karena itu baru kami
berkeputusan untuk turun tangan." demikian Thi Koh menjelaskan lebih lanjut, katanya: "Apa kau tidak tahu siapa penulis surat itu?"
"Untuk menebaknya pun tidak bisa." sahut Yap Kay.
"Gerak-gerikmu diketahui begitu jelas, tapi kalian tidak tahu siapa dia sebenarnya?"
"Justru karena itulah maka kurasa amat menakutkan."
ujar Yap Kay, "kukira setelah kalian berhasil, dia akan muncul sendirinya."
"Maka kau selalu menunggunya. Sayangnya secara tidak sengaja kami membongkar rahasiamu, maka kau tidak
sempat menunggu perkembangan lebih lanjut."
"Agaknya dia memang tidak suka berhadapan langsung dengan aku, kalau tidak mengapa harus berlarut sedemikian jauh?"
Tiba-tiba Thi Koh tertawa, katanya: "Kenapa tidak segera kau tinggal pergi saja?"
"Memangnya aku harus pergi demikian saja?"
"Kalau tidak pergi begini saja, memangnya kau hendak membunuhku lebih dulu?"
Yap Kay tersenyum, katanya: "Apakah orang-orang Mo Kau tidak boleh dibunuh?"
"Terserah kepadamu sendiri, yang terang aku berani tanggung, siapapun yang mencari gara-gara dengan Mo Kau, dia takkan memperoleh ahsil yang baik dan kau akan
menyesal seumur hidup."
Yap Kay hanya menyengir saja.
"Perlu ku peringatkan kepadamu," kata Thi Koh lebih lanjut, "Li Sin-hoan pun tidak berani bermusuhan dengan Mo Kau, apalagi kau. Jangan lupa kau membawa gadis boneka yang masih hijau, kalau terjadi apa-apa atas dirinya, kau takkan bisa memberikan pertanggungan jawab."
Tak tahan Yap Kay melirik ke arah Siangkwan Siau-sian.
Saat mana Siangkwan Siau-sian sedang menggendong
bonekanya dan menepuk-nepuknya seperti menana-bobokkan orok kecil. Kini dia angkat kepala sambil tertawa berseri, katanya: "Popo sudah tidur, tadi kau menolongnya, sekarang kau boleh membopongnya. Bukankah sudah lama kau tidak
pernah menggendongnya?"
Yap Kay pelototkan matanya, katanya: "Dia ngompol tidak?"
"Popo anak sayang, dia tidak ngompol." sahut Siangkwan Siau-sian.
Dengan langkah riang dan lincah dia datang menghampiri, pelan-pelan dan hati-hati dia angsurkan bonekanya kepada Yap Kay.
Terpaksa Yap Kay menerimanya, katanya tertawa getir:
"Biar aku membopongnya sebentar saja, biasanya aku gampang bosan."
Siangkwan Siau-sian menarik tangan Ting Hun-pin,
katanya tertawa: "Setelah dia, kaupun boleh
membopongnya."
Lekas Ting Hun-pin geleng-geleng kepala, katanya:
"Kemarin aku sudah membopongnya, pekerjaan yang
meringankan hati tidak boleh dilakukan setiap hari, seperti juga orang makan gula-gula........"
Tiba-tiba suaranya terputus, rona mukanya berubah,
matanya melotot kaget mengawasi Siangkwan Siau-sian,
teriaknya tertahan: "Kau................." baru sepatah kata tercetus dari mulutnya, seketika dia tersungkur jatuh.
Pada saat yang sama, dari dalam perut boneka berbunyi
'Plok...' rona muka Yap Kay seketika berubah, mendadak dia menjengking seperti orang kesakitan yang dipukul perutnya.
Kedua tangannya terlepas, sehingga boneka tanah liat yang dipegangnya terlepas jatuh dan 'pyaaarrr...' hancur
berantakan. Sebuah benda bundar kemilau ketika menggelundung
keluar dari dalam pecahan boneka itu, kiranya itulah sebuah kepelan baja yang dibuat sedemikian bagusnya dengan
pegas-pegasnya yang kuat.
Kedua tangan Yap Kay masih memeluk perutnya, saking
sakit keringat dingin berketes-ketes, ingin bicara mulut hanya megap-megap.
Siangkwan Siau-sian memonyongkan mulut, katanya:
"Coba lihat, kau banting hancur Popoku, tak heran perutmu kesakitan."
Yap Kay mengawasinya, sorot matanya mengandung takut
dan keheranan. Mendadak dia menggerung: "Kau......" belum banyak ucapannya dia sudah roboh tersungkur.
Thi Koh pun berubah air mukanya, perubahan yang
beruntun ini sungguh amat mengejutkan hatinya.
Hanya Nyo Thian saja yang berdiri adem-ayem mengulum
Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
senyum simpul, sebelah tangannya masih memeluk Sim Koh.
Sekilas Thi Koh melotot kepadanya, lalu dia berpaling
mengawasi Siangkwan Siau-sian.
Siangkwan Siau-sian sedang berseri tawa, tawa yang
manis dan genit, sikapnya yang linglung kekanak-kanakan tadi sudah tak berbekas lagi dimukanya.
"O, kau! Kiranya kau!" ujar Thi Koh menghela napas.
"Kaupun tak mengira bukan?" tanya Siangkwan Siau-sian.
"Sungguh, mimpipun tak pernah kukira."
"Kaupun mengagumi aku?"
"Tak mungkin aku tidak mengagumi kecerdikanmu."
Siangkwan Siau-sian tepuk tangan gembira: "Tak nyana ada juga orang yang mengagumi aku, sungguh senang ke
pati-pati."
"Yap Kay juga pasti mengagumimu." ujar Thi Koh,
"sepenuh hati dia melindungi kau, tak nyana bahwasanya kau tidak perlu dilindungi, dengan seksama dia berusaha mencari biang keladi orang yang hendak mencelakainya, tak nyana orang yang dicari-carinya adalah kau sendiri." setelah menghela napas dia berkata pula: "Yap Kay, Yap Kay, kau kira dirimu pintar, anggap dirimu jempolan, yang benar seujung jari orangpun kau bukan apa-apanya."
Siangkwan Siau-sian cekikikan, ujarnya: "Apa kau sudah lupa aku ini putrinya siapa?"
"Sejak mula seharusnya aku ingat......" sahut Thi Koh getir.
Memang putri keturunan Siangkwan Kim-hong dengan Lim
Sian-ji mana mungkin seorang linglung.
Tabir malam mulai menghilang, sinar lampu menjadi
guram. Sinar mata Siangkwan Siau-sian malah menyala,
siapapun yang melihat dirinya sekarang, takkan percaya bahwa gadis gede yang semula dianggap seperti boneka ini adalah gadis linglung yang berjiwa kanak-kanak.
"Agaknya Ah Hwi pun kau kelabui."
"Memang laki-laki dilahirkan untuk ditipu oleh
perempuan."
"Mereka kira kau ini linglung, orang pikun, justru kebalikannya yang pikun bukan kau, tentunya dalam
pandanganmu, mereka itulah baru benar-benar orang pikun."
"Laki-laki yang tidak pikun memang sedikit jumlahnya,"
ujar Siangkwan Siau-sian.
"Nyo Thian bukan?"
"Sudah tentu dia bukan."
"Hanya kau yang tahu rahasianya?"
"Seorang gadis harus punya laki-laki yang menjadi sandarannya, kalau tidak bukankah dia akan selalu
kesepian?"
"Lalu siapa yang menulis surat itu" Kau atau dia?"
"Sudah tentu dia yang menulis, tulisannya lebih elok dari tulisanku."
"Agaknya rencanamu memang sempurna, tak heran Yap Kay sendiripun kau kelabui."
"Untuk mengelabui dia memang bukan kerja yang
gampang." "Sayang sekali kau masih salah melakukan satu hal."
"Hal apa?"
"Seharusnya pihak kita tidak perlu kau jebloskan ke dalam pertikaian ini." ujar Thi Koh, "sudah kukatakan perduli siapapun, bila berani cari gara-gara dengan Mo Kau, dia tidak akan memperoleh manfaat apa-apa, malah bukan mustahil bencana akan selalu mengintainya. Demikian pula keadaanmu."
"Siapa bilang aku hendak mencari permusuhan dengan kalian" Hakekatnya aku tiada maksud ini."
"Tapi kau..."
Siangkwan Siau-sian menukas: "Tahukah kau Kaucu kalian yang baru saja menduduki jabatannya ada mengikat janji dengan seseorang?"
Seketika berubah muka Thi Koh, sudah tentu dia tahu,
namun tak pernah terpikir olehnya bahwa Siangkwan Siausian pun mengetahui hal ini, bahwasanya hal itu amat
rahasia. Siangkwan Siau-sian tertawa, katanya: "Tahukah kau siapakah orang yang mengikat janji dengan Kaucu kalian yang baru itu?"
Tiba-tiba bersinar biji mata Thi Koh, katanya:
"Memangnya orang itu adalah kau?"
"Seharusnya kau bisa menduganya," ujar Siangkwan Siau-sian, "toh kau tahu bahwa Kaucu kalian adalah tokoh yang cerdik pandai dan cendekia, lihay lagi. Jikalau sebelumnya kita tiada ikatan janji, memangnya dia sudi hanya karena sepucuk surat kaleng mengerahkan begitu banyak tenaga
dan menghabiskan banyak energi?"
"Apa dia tahu bahwa surat itu adalah tulisanmu?"
"Hal itu kulaksanakan setelah kita berunding cukup masak, mana mungkin dia tidak tahu."
Thi Koh tertawa sekarang, katanya: "Setiap langkah kerjamu seolah-olah orang lain takkan pernah menduganya."
"Kalau aku bukan orang seperti yang kau bayangkan, masakah Kaucu kalian sudi berserikat dan mengikat janji segala dengan aku?"
Tak tahan Sim Koh yang masih lemas tertutuk dipeluk
Nyo Thian itu menyeletuk: "Kalau kau adalah serikat kita, kenapa tidak segera kau bebaskan aku?"
"Wah, ya, hampir saja kulupakan!" ujar Siangkwan Siau-sian, "Nyo Thian, kenapa tidak segera kau bebaskan Hiat-to nona ini?"
Nyo Thian mengiyakan. Dengan senyum dia tepukkan
telapak tangannya.
Mendadak Sim Koh menjerit mengerikan, darah
menyembur dari mulutnya, badannya bergetar keras terus menjengking, ternyata tulang punggungnya tertepuk patah mentah-mentah.
Siangkwan Siau-sian mengerut alis, katanya: "Aku hanya suruh kau membuka Hiat-to nya, kenapa kau gunakan tenaga sekeras itu?"
"Bukankah aku sudah membuka Hiat-to nya?"
"Tapi dia kau pukul mampus."
Tawar jawaban Nyo Thian: "Tugasku hanya membuka
Hiat-to nya, peduli dia hidup atau mati."
Siangkwan Siau-sian tersenyum ewa, katanya: "Alasanmu memang masuk di akal."
Belum habis dia bicara, tiba-tiba Thi Koh melambung ke atas terus jumpalitan keluar, menerjang ke arah pintu.
Sayang sekali sebelum dia melayang keluar, jalannya sudah
buntu dicegat Siangkwan Siau-sian. Terpaksa dia beratkan badan melorot turun di tengah jalan. Tanpa membuang
waktu, dengan kertak gigi sekali renggut dia tarik rambut kepalanya, sigap sekali jari-jari tangannya membalik melolos sebilah pisau melengkung. Di mana pisau berkelebat, bukan menyerang Siangkwan Siau-sian, tapi malah menusuk ke
pundak sendiri.
Tak nyana lengan baju Siangkwan Siau-sian terayun dan
dari dalam lengan bajunya terbang seutas selendang sutra laksana ular sakti saja membelit pergelangan tangannya sehingga orang tak bisa berkutik lagi.
Beringas muka Thi Koh, sentaknya: "Aku ingin matipun tidak boleh?"
"Sudah tentu kau boleh mampus, tapi aku tak ingin kau mampus di tanganmu sendiri."
"Aku toh tidak akan membunuhmu."
"Aku tahu, tapi kau hendak menggunakan Sin-to-hoat-hiat (golok sakti berubah darah) dari Mo-hiat-tay-hoat untuk menghadapiku. Waktu darahmu muncrat, asal setetes saja menyentuh badanku, aku bisa mati, kan lebih baik kalau aku kau gorok saja dengan pisaumu?"
"Kau juga tahu Mo-hiat-tay-hoat?"
"Tidak banyak yang kutahu, tapi sepuluh ilmu sakti Mo Kau jelas kuketahui."
Tiba-tiba Thi Koh pentang mulutnya, seperti hendak
menggigit putus lidahnya. Tapi dagunya tiba-tiba dijepit, sakitnya luar biasa. Gerak-gerik Siangkwan Siau-sian seakan
lebih cepat dari jalan pikirannya. Gemetar dingin sekujur badan Thi Koh.
"Tadi sudah kukatakan, sepuluh ilmu sakti dari Mo Kau kalian tiada gunanya kau paparkan di hadapanku, malah aku bisa mendemonstrasikan dua macam diantaranya di
hadapanmu." tiba-tiba dia lepaskan dagu Thi Koh, merebut pisau melengkung di tangan orang, terus diangsurkan ke dalam mulutnya, seperti makan pisang saja nikmatnya dia gerogoti ujung pisau melengkung itu dan ditelan bulat-bulat.
Lau dengan tersenyum dia berkata pula: "Kau saksikan sendiri, Kiau-thi-tay-hoat kalian bukankah akupun bisa menggunakan?"
Mencotot biji mata Thi Koh saking ngeri dan ketakutan, suaranya serak: "Kau.......... apa yang sebenarnya kau inginkan?"
"Seharusnya kau tahu sendiri, kenapa masih tanya
kepadaku?"
"Kau adalah serikat Kaucu, kenapa kau tega turun tangan sekeji ini kepada kami?"
"Justru karena aku serikatnya, maka dia tidak akan menduga aku tega turun tangan keji terhadapmu, aku lebih leluasa dan boleh lega hati membunuh kalian." lalu dengan tersenyum sadis dia menambahkan: "Kau pernah bilang, mimpipun orang tidak pernah menduga akan tindakan kami."
Belum habis dia bicara, tangannya tiba-tiba bergerak,
pisau melengkung yang tersisa separo tahu-tahu
menghunjam tenggorokan Thi Koh.
Melotot besar biji mata Thi Koh, tak sempat
mengeluarkan sepatah kata, pelan-pelan dia terjungkal
roboh. Dengan mendelong Siangkwan Siau-sian mengawasi badan
orang roboh, katanya menghela napas: "Selamanya tak pernah terasa olehnya bahwa membunuh orang adalah kerja yang tak menggembirakan, kenapa banyak orang justru
senang membunuh orang?"
(Bersambung ke Jilid-6
Jilid-6 Nyo Thian tersenyum, katanya: "Karena manusia dalam dunia ini sudah terlalu berdesakan."
"Agaknya hanya kau seorang saja yang menjadi kawan dekatku dalam dunia ini."
"Memangnya aku ini kan rase, rase yang bisa terbang malah." ujar Nyo Thian.
"Julukanmu agaknya tidak akan meleset dari kenyataan."
"Orang boleh salah mengambil nama, tapi julukan tidak akan keliru."
"Agaknya kau memang seekor rase." puji Siangkwan Siau-sian.
Tiba-tiba Siangkwan Siau-sian bertanya: "Bagaimana dengan Han Tin?"
"Tentunya masih berdiri di dalam hutan, menunggu Sim Koh untuk menolongnya."
"Tentu hatinya sudah terbakar saking gugup." ujar Siangkwan Siau-sian. "kenapa tidak lekas kau tolong membebaskan deritanya?"
"Tak perlu aku susah-susah, lama-lama dia akan bebas sendiri."
"Tapi kau harus lekas bantu dia supaya tidak menderita terlalu lama" Apa sih jeleknya seseorang ada kalanya
berbuat baik?"
"Kau ingin aku pergi membantunya?"
"Aku ingin kau pergi, aku senang orang yang suka berbuat baik."
"Sebetulnya aku membatasi diriku sendiri, sehari hanya boleh membunuh satu orang, agaknya hari ini aku harus
melanggar pantanganku sendiri." ujar Nyo Thian.
Waktu Nyo Thian keluar, fajar sudah menyingsing.
Ganti berganti Siangkwan Siau-sian mengawasi Bak Pek,
Wi Thian-bing, Sim Koh, Thi Koh yang rebah di lantai,
wajahnya mengulum senyum manis, gumamnya: "Agaknya tempat ini sudah cukup lebar dan terbuka......"
Sinar terang sudah kelihatan di luar jendela. Malam
sudah berganti pagi.
Siangkwan Siau-sian membungkukkan badan, menggoyang
badan Yap Kay pelan-pelan, katanya lembut: "Hari sudah terang tanah, kau pemalas ini kenapa tidak lekas bangun?"
Yap Kay merintih sekali, pelan-pelan dia membuka mata, pandangannya kosong dan nanar, seperti hendak meronta
bangun, namun dia jatuh pula. Sekujur badannya lemas
lunglai, sedikitpun tak mampu mengerahkan tenaga.
Terpancar rasa prihatin dari sorot mata Siangkwan Siausian, katanya: "Kau tidak enak badan?"
Yap Kay manggut-manggut, sahutnya tertawa getir:
"Agaknya aku jatuh sakit."
"Sakit apa?" tanya Siangkwan Siau-sian.
"Sakit goblok!" sahut Yap Kay.
"Apa goblok juga penyakit?"
"Bukan saja penyakit, malah penyakit kronis yang
berbahaya." ujar Yap Kay, "Tahukah kau cara bagaimana nenek moyang anjing beruang mampus?"
Siangkwan Siau-sian geleng-geleng.
"Mati lantaran goblok."
"Mana mungkin orang mati lantaran goblok"
"Sebetulnya aku sendiri tidak percaya, baru sekarang aku tahu, orang-orang dalam dunia yang mati lantaran
goblok ternyata tidak sedikit jumlahnya."
"Kau takut, kaupun bakal mati lantaran penyakit goblok?"
"Penyakitku sekarang sudah cukup parah."
"Sebetulnya kau ini tidak goblok, hanya hatimu terlalu lemah."
"Kalau hatiku tidak lemah, memangnya aku sudi
menggendong boneka orang?"
"Itu bukan boneka, itu adalah Popoku, Popoku sayang."
"Agaknya dia tidak sayang, dia bisa gigit orang malah."
"Yang terang dia ingin menggigitmu sampai mati, kalau tidak sebelum kau mati lantaran penyakit goblokmu, kau sudah mampus keracunan."
"Jadi waktu kau serahkan kepadaku, kau sudah membuka kunci rahasianya?"
"Aku hanya membuka separo saja."
"Begitu aku melihat Ting Hun-pin roboh, karena gugup dan jari tangan sedikit menggunakan senjata, maka kunci rahasianya lantas terbuka seluruhnya." ujar Yap Kay.
"Walau dia sedikit membuat kau kesakitan, tapi kau membantingnya juga." katanya sambil menuding ke lantai.
"coba lihat, kau sudah membantingnya sampai hancur."
Yap Kay tidak melihat ke arah boneka yang sudah hancur.
Sebaliknya matanya tertuju ke arah mayat-mayat yang
bergelimpangan itu, katanya menghela napas: "Agaknya memang tidak malu kau jadi putri Siangkwan Kim-hong dan Lim Sian-ji."
"Lambat laun kau akan menyadari, masih banyak
kebaikanku."
"Kini hanya sepatah kata yang ingin kutanya kepadamu."
"Boleh kau tanya sesuka hatimu"
"Kau ini manusia atau bukan?"
Sedikitpun tak berubah muka Siangkwan Siau-sian,
sahutnya tersenyum: "Sudah tentu aku manusia, malah perempuan, perempuan cantik molek lagi."
"Sayangnya menurut pandanganku kau tidak mirip
manusia, kalau manusia dia takkan melakukan semua ini."
"Melakukan apa?"
"Kau ingin mencelakai aku, hal ini sudah kumaklumi, karena kau ingin menuntut balas, karena secara kebetulan pula aku adalah murid Siau Li Tham-hoa."
"Ya, memang kebetulan sekali." ujar Siangkwan Siau-sian menghela napas.
"Tapi orang-orang ini tiada bermusuhan, tidak dendam kepadamu, kenapa kau bunuh mereka?"
"Karena satu benda!"
"Benda apa?"
"Coba lihat, apakah ini?" dia merogoh keluar sebuah benda kuning kemilau.
"Itu seketip uang." kata Yap Kay.
"Ya, tapi uang apa?"
"Uang mas!"
"Bisakah kau membaca huruf-huruf di atas uang ini?"
Sudah tentu Yap Kay bisa membacanya. Di atas uang ada
tulisan yang berbunyi "Memerintah setan menjadi malaikat".
Waktu sinar surya menyorot masuk ke dalam rumah,
kebetulan menyinari uang mas di tangan Siangkwan Siausian. Sinar mata Siangkwan Siau-sian pun seterang kemilau uang mas ini, katanya: "Uang bisa memerintah setan, bisa mengendalikan malaikat. Pelan-pelan kau akan menyadari,
bahwa tiada sesuatu benda di dalam dunia ini yang lebih baik daripada uang."
Bergetar perasaan Yap Kay, serunya: "Inilah pertanda khas dari Kim cie-pang dulu?"
Siangkwan Siau-sian manggut-manggut, ujarnya: "Kim-cie-pang didirikan Siangkwan Kim-hong, kebetulan aku
adalah putrinya Siangkwan Kim-hong. Walaupun Siangkwan Kim-hong sudah mati, namun aku belum mati."
"Maka kau hendak membangkitkan Kim-cie-pang dari
liang kubur?"
"Yang terang aku tidak akan berpeluk tangan melihat keruntuhan total Kim-cie-pang."
"Sudah lama kau merencanakan hal ini?"
"Bukan saja sudah lama, bahkan rencanaku amat baik."
"Sampai Nyo Thian pun kau peralat?"
"Memangnya dia itu seekor rase, rase yang bisa terbang."
"Bukan saja bisa terbang, diapun bisa menggigit orang, terutama menggigit teman sendiri."
"Untung aku bukan temannya."
"Lalu, kau pernah apa dengan dia?"
"Aku adalah majikannya. Aku adalah Pangcu-nya."
"Kau sudah mengangkat diri sebagai Kim-cie-pang
Pangcu?" "Usaha yang diwariskan sang ayah, apa tidak setimpal putrinya yang menerimanya?"
"Kecuali Nyo Thian, berapa pula anak buahmu?"
"Yang kecil-kecil atau pekerja kasar tak terhitung jumlahnya, yang besar-besar saja sih, baru ada lima."
"Lima orang saja?"
"Menurut susunan organisasi Kim-cie-pang, seharusnya ada dua Hu-hoat besar dan empat Tong-cu."
"Kenapa dulu aku tidak pernah dengar tentang ketentuan ini?"
"Memang, ketentuan ini baru saja ditegakkan."
"Siapa yang menentukan?"
"Aku!", sahut Siangkwan Siau-sian, "empat Tongcu sudah kuperoleh, Nyo Thian adalah salah satu di antaranya."
"Lalu siapa pula tiga Tongcu yang lain?"
Senyum Siangkwan Siau-sian penuh arti, katanya: "Kelak kau akan mengerti."
"Sekarang aku tak bisa menebaknya?"
"Mimpipun kau tidak akan menduganya."
"Lalu siapa pula ke dua Huhoat?"
"Huhoat berarti pembantu di kanan-kiriku, untuk ini tentunya aku tidak boleh serampangan."
"Maka kau baru memperoleh satu saja."
"Sekarang aku memang sedang mencari seseorang lain."
"Siapa yang kau penujui?"
"Kau!"
Yap Kay tertawa besar.
"Bukan aku sedang berkelakar dengan kau, asal kau mau menerima, kau adalah Huhoat nomor satu dari Kim-cie-pang."
"Kalau aku menerima, apa kau mau percaya?"
"Ya, aku tidak akan percaya kepadamu." jawaban Siangkwan Siau-sian terus terang. Ditatapnya Yap Kay
lekat-lekat, katanya menghela napas: "Memang kelihatannya kau bukan laki-laki yang bisa dipercaya oleh perempuan."
"Maka terpaksa kau hendak membunuhku?"
"Tidak perlu tergesa-gesa membunuhmu."
"Sebaliknya aku ingin mati secepatnya, soalnya bila tenagaku pulih, sekali tangkap kau berhasil kubekuk, terus ku banting hancur seperti bonekamu itu, apa tidak runyam jadinya?"
"Memang runyam juga, tapi untungnya tenagamu takkan pulih secara mendadak. Jarum yang menusuk perutmu ada
tercampur obat bius."
"Obat bius?"
"Obat bius yang cukup membuat orang kehilangan tenaga saja, asal sekaligus kau mampu menghabiskan lima kati arak, baru kadar biusnya akan hilang sendirinya."
"Obat bius ini tentu bikinan setan arak, kebetulan aku inilah setan araknya."
"Yang tidak kebetulan, di daerah sekitar sini tiada orang yang jual arak."
"Kau memang bukan tuan rumah yang baik, masakah arak untuk suguhan tamupun tidak sedia?"
"Kau harus tahu, biasanya aku menyuguh air tetek kepada tamu-tamuku."
"Sayang, aku bukan boneka."
"Siapa bilang kau bukan, selanjutnya kau akan kupandang sebagai bonekaku."
Kalau orang tertawa riang dan jenaka, sebaliknya
merinding bulu kuduk Yap Kay. Jikalau dirinya sampai jadi boneka dan minum tetek gadis ini, rasanya tentu lebih
tersiksa daripada terenggut jiwanya.
Untunglah pada saat itu dia melihat Nyo Thian melangkah masuk. Air mukanya lesu dan jelek, mirip suami yang
cemburu melihat bininya kencan dengan laki-laki lain.
Bertaut alis Siangkwan Siau-sian, segera dia berpaling dengan tertawa manis, katanya: "Kelihatannya kau belum membunuh orang. Setelah membunuh orang biasanya kau
riang hati."
"Sungguh hatiku tidak bisa riang."
"Kenapa?"
"Karena aku tak membunuh orang."
"Lalu di mana Han Tin?"
Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Entahlah, Han Tin hilang!"
"Manusia segede itu masakah hilang tanpa bekas?"
"Bekas kakinya memang ada."
"Kau sudah memeriksa dan mengikuti jejaknya?"
"Setelah keluar hutan, jejak kakinya tiba-tiba hilang."
"Dia sudah keracunan, sedikit bergerak saja racun bekerja dan jiwanya tamat."
"Tapi kenyataan dia menghilang. Agaknya penilaian kita keliru terhadapnya."
"Tentunya dia sudah merasakan keganjilan urusan ini, maka sengaja pura-pura keracunan, sehingga orang lain
tidak memperhatikan dia, sudah tentu dengan leluasa dia mengundurkan diri."
"Jangan lupa julukannya adalah gurdi."
"Hanya dua cara untuk menghadapi orang seperti dia,"
kata Siangkwan Siau-sian, "kalau tidak bisa merangkulnya ke pihak kita, terpaksa harus dibunuh secepatnya."
"Tapi dia sudah pergi dan entah kemana?"
"Jangan kuatir, kan masih ada aku. Tugasmu sekarang menjaga Yap Kay di sini. Tunggu sampai aku kembali, nanti kubelikan gula-gula."
ooo)dw(ooo Nyo Thian duduk-duduk di hadapan Yap Kay.
"Sejak umur tiga tahun, aku sudah tidak pernah makan gula-gula," ujar Yap Kay membuka kesunyian, "sekarang aku hanya ingin minum arak."
"Apa benar kau ingin minum arak?"
"Kecuali minum arak, apa pula yang dapat kulakukan?"
Nyo Thian seperti mempertimbangkan, mendadak dia
berdiri, katanya: "Baiklah! Kucarikan arak, tapi kau tunggu saja di sini, jangan berusaha lari lho!"
Yap Kay mengantar punggung orang keluar, sorot
matanya bercahaya. Timbullah setitik harapan.
Cepat sekali Nyo Thian sudah kembali, tangannya
menjinjing sebuah ceret besar dari tembaga, bobotnya
amat berat. Umpama ceret besar ini tidak terisi penuh, sedikitnya dia sudah membawa lima enam kati arak.
"Eh, ternyata kau tidak lari." sapa Nyo Thian.
"Aku tahu diriku takkan lolos."
"Bagus sekali!" ujar Nyo Thian seraya meletakkan ceret itu di atas lantai.
Yap Kay tidak mampu berdiri, terpaksa dia memohon:
"Tolong kau angsurkan kemari."
"Lebih baik jarakmu lebih jauh dari aku." ujar Nyo Thian.
Yap Kay menghela napas, terpaksa dia meronta
merangkak maju terus ulurkan mulutnya ke mulut ceret
serta menyedot sekuatnya. Tapi hanya sekumur tegukan, air mukanya lantas berubah, serunya: "Ini bukan arak, kenapa kau menipu aku?"
"Karena aku ingin lihat apa macammu di waktu merangkak di tanah."
Ujung jari Yap Kay terasa dingin, ingin rasanya dia
menubruk Nyo Thian serta menuang seluruh air dingin
seceret besar itu ke dalam perutnya.
Nyo Thian tertawa dingin, katanya: "Memang ini hanya air kuning melulu, bahwa aku tidak meloloh air kencing untuk kau minum sudah merupakan keberuntungan."
Yap Kay menghela napas, katanya: "Sebetulnya aku tidak jelek, kenapa kau membenciku?"
"Selamanya aku tidak suka boneka."
"O, jadi kau cemburu?" Yap Kay mengerti dibuatnya, "apa benar kau menyukai Siangkwan Siau-sian, memangnya kau
belum mengerti perempuan macam apa dia sebenarnya?"
Kedutan ujung mata Nyo Thian, kelopak matanya
memicing, kedua jari-jarinya mengepal kencang, desisnya mengancam: "Aku hanya mengerti satu hal, sekali lagi kau buka mulut, biar ku rontokkan seluruh gigi dalam congormu."
Yap Kay angkat pundak, dia menghela napas. Seluruh
mulut terasa getir, dia ingin benar lekas minum arak
sepuasnya. Habis mengancam dengan marah-marah, Nyo Thian
berdiri mendorong daun jendela terbuka. Angin dingin
segera meniup masuk ke dalam.
Baru saja Nyo Thian menarik napas panjang, tiba-tiba
didengarnya seseorang berkata dingin di belakangnya: "Kau mencari aku?"
Han Tin, si gurdi, tahu-tahu sudah berada di
belakangnya. Tanpa berpaling badan Nyo Thian tiba-tiba melambung ke atas, di tengah udara badannya bersalto
menempel atap rumah. Dia tidak melihat Han Tin.
Tahu-tahu kumandang suara orang dari luar pintu:
"Ginkang bagus, memang tidak malu kau dijuluki rase terbang." suara Han Tin.
Sigap sekali Nyo Thian membalikkan tangan, tahu-tahu
dia lolos tombak berantai yang membelit di pinggangnya. Di atap rumah dia melesat satu tombak, lalu menempel dinding, seperti seekor cecak dia melorot turun ke belakang pintu.
Sekonyong-konyong tombak berantai yang kemilau perak itu terayun terus menerjang keluar. Tiada orang di luar pintu.
Terdengar di belakangnya orang berkata pula: "Nah, aku di sini!" ternyata Han Tin sudah berputar masuk dari luar, melayang masuk dari jendela, berada di belakangnya pula.
Rantai perak lemas di tangan Nyo Thian diayun dengan
landasan lwekangnya yang hebat menjadi kaku lempang,
langsung menusuk ke tenggorokan Han Tin.
Tak nyana ilmu silat Han Tin ternyata puluhan kali lebih menakutkan dari apa yang pernah dia bayangkan. Sekali
bergerak dengan kecepatan luar biasa tahu-tahu dia sudah menangkap ujung tombaknya. Sungguh tidak pernah terpikir oleh Nyo Thian, orang ini mampu menangkap ujung
tombaknya. Seketika dia kerahkan tenaganya menyendal
sekuatnya untuk merebut kembali senjatanya.
Tak terduga, Han Tin tiba-tiba lepaskan ujung
tombaknya. Keruan Nyo Thian tergetar mundur oleh tenaga sendalan sendiri sampai terhuyung mundur. Laksana kilat Han Tin menubruk maju, sekali jarinya terulur, dia telah tutuk Hian-ki-hiat di dada orang.
Kejadian berlangsung dalam waktu singkat. Yap Kay
menghela napas, diapun tak pernah mengira, laki-laki yang
pernah dia pukul hidungnya sampai ringsek ini ternyata membekal ilmu silat begitu tinggi.
'Blaang...' badan Nyo Thian terbanting keras di lantai.
Han Tin tidak perdulikan dia lagi, cepat dia membalik badan menarik Yap Kay, katanya dengan berat: "Kau bisa berdiri tidak?"
Yap Kay meraba-raba kepalanya, tanyanya dengan
tertawa getir: "Apa benar kau hendak menolong aku?"
Membesi muka Han Tin, tanpa bersuara dia jinjing badan Yap Kay, terus dikempitnya, katanya: "Kau ikut aku dulu."
"Masih ada Ting Hun-pin." pinta Yap Kay.
Han Tin mengerut kening, katanya: "Kau masih ingin bawa dia?"
"Tadi ada orang bilang, ciriku yang terbesar adalah hatiku lemah."
"Kenyataan kakimu sekarang memang lemah." jengek Han Tin.
"Untung hanya tertutuk Hiat-to nya saja, asal kau membuka Hiat-to nya, toh sudah cukup." lekas dia
menambahkan dengan tertawa: "Cuma jangan kau turun tangan seberat Nyo Thian tadi, aku tidak ingin punya bini yang sudah mati."
ooo)dw(ooo Ruang di bawah tanah itu lembab dan gelap, terutama
dinginnya tak tertahan. Untung di ujung kamar terdapat sebuah dipan, di atas dipan terdapat kemul tebal.
Setelah rebah di atas dipan, baru Yap Kay merasa lega, dia tahu dirinya takkan menjadi boneka orang.
Dengan mengawasi Han Tin tiba-tiba dia bertanya:
"Bagaimana rasa hidungmu sekarang?"
"Masih sakit!"
Yap Kay tertawa getir, katanya: "Kalau hidungku masih sakit, aku tidak akan menolong orang yang membuat
hidungku ringsek."
Han Tin menjawab: "Mungkin karena hatiku terlalu
lemah." Tiba-tiba Yap Kay bertanya pula: "Aku pernah melihat tokoh-tokoh Bu-lim masa kini yang paling top, semuanya boleh terhitung puncak persilatan, tapi satu di antaranya yang paling berilmu paling tinggi, tahukah kau siapa dia?"
"Aku bukan?" sahut Han Tin.
"Agaknya kau tidak sungkan."
"Ya, selamanya aku berlaku jujur."
"Maka aku heran."
"Heran karena aku jujur?"
"Banyak persoalan yang harus dibuat heran." ujar Yap Kay.
"Boleh kau katakan satu persatu." ujar Han Tin.
Ting Hun-pin datang menghampiri, lalu duduk
menggelendot di samping Yap Kay, tangan Yap Kay
dipegangnya, diapun pasang kuping.
"Khabarnya kau terkena racun yang bisa mematikan bila kau bergerak, kenyataan kau bergerak dan jiwamu masih
segar bugar."
"Racun apapun toh ada obat penawarnya."
"Jadi racun dari Mo Kau pun dapat kau tawarkan?"
"Yang terang aku tetap hidup!"
"Maka aku lebih heran," ujar Yap Kay, "kenapa kehidupanmu kurang baik."
"Kenapa hidupku kurang baik?"
"Orang seperti dirimu, seharusnya bisa hidup lebih senang dan terawat."
Han Tin menepekur, katanya: "Maksudmu, aku tidak
pantas mencari sesuap nasi di bawah Wi Thian-bing?"
Yap Kay mengiakan, katanya: "Wi Thian-bing bukan
majikan yang baik, tidak pantas kau merendahkan
derajatmu, apalagi terima kugenjot hidungmu di tempatnya itu."
Han Tin menepekur lagi, seperti sedang
mempertimbangkan sesuatu. Ada omongan yang perlu dia
pikirkan, apakah pantas dia utarakan"
"Kau mandah ku genjot, karena kau tidak ingin pamer kepandaian aslimu di hadapan orang banyak."
Han Tin akhirnya menghela napas, katanya: "Aku punya alasan."
"Aku tahu, alasan itu pula yang menjadi sebab."
"Aku sedang menyembunyikan diri dari tuntutan balas orang. Musuhku pasti takkan menduga aku berada di rumah Wi Thian-bing."
"Jadi nama aslimu bukan Han Tin" Siapa musuhmu itu?"
"Seseorang yang amat menakutkan."
"Aku maklum, orang seperti kau harus main sembunyi, sudah tentu dia amat menakutkan."
"Kukira kau sudah mengerti, kenapa aku menolongmu?"
"Kau ingin aku membantumu menghadapi musuhmu itu?"
"Aku tahu, kau adalah teman yang berguna, kau adalah orang yang tegas membedakan antara budi dan dendam."
"Akupun tidak ingin sungkan-sungkan lagi." ujar Yap kay.
"Seseorang yang tegas membedakan budi dan dendam, untuk membalas budi pertolongan jiwanya, ada kalanya dia rela melakukan apapun."
"Sedikitnya kau harus menjelaskan kepadaku, tugas apa yang harus kulakukan?"
"Kelak pasti akan kukatakan kepadamu, sekarang.......", tiba-tiba dia merubah pokok pembicaraan, "luka-lukamu kelihatannya tidak berat, kenapa berdiripun tidak bisa?"
"Karena aku belum minum arak."
"Sekarang juga kau ingin minum?"
"Setelah minum, mungkin hatiku semakin lemah, namun kakiku tidak lemah lagi."
"Arak bisa mengobati luka-lukamu?"
"Luka-lukaku ini memang agak istimewa."
Baru sekarang Ting Hun-pin menyeletuk dengan tertawa:
"Aku percaya, kebanyakan setan arak rela menderita luka-luka seperti yang kau alami ini."
"Baik, sekarang juga aku pergi cari arak."
"Araknya jangan kepalang tanggung." pinta Yap Kay.
"Benar, nyamikannyapun jangan sedikit." timbrung Ting Hun-pin, "lebih baik kalau kau tolong carikan juga pakaian laki-laki, aku jadi sebal melihat pakaiannya yang serba kedodoran ini."
Han Tin menyapu pandang ke arahnya, katanya tawar:
"Keadaanmu toh tidak lebih baik dari dia."
Seketika merah muka Ting Hun-pin, baru sekarang dia
sadar, dirinyapun mengenakan pakaian laki-laki.
ooo)dw(ooo Han Tin sudah pergi.
Hanya ada sebuah pintu dalam kamar di bawah tanah ini.
Bagian atas adalah salah satu dari taman Leng-hiang-wan.
Han Tin berpendapat, Siangkwan Siau-sian pasti takkan
mengira mereka masih tetap berada di Leng-hiang-wan. Yap Kay pun sependapat. Tempat yang menyolok, biasanya
memang tidak diperhatikan orang, memang itulah salah satu ciri dari manusia.
Entah berapa lamanya mereka mengobrol
memperbincangkan pengalaman akhir-akhir ini, lalu dengan cekikikan Ting Hun-pin memeluk leher Yap Kay, katanya
lembut: "Bicaralah terus terang, kapan kau hendak mempersunting aku?"
"Di saat kau tidak cemburu saja." sahut Yap kay.
"Bodoh! Kalau perempuan tidak cemburu, dia bukan
perempuan. Memangnya hal ini kau tidak tahu?"
Tiba-tiba seseorang menyeletuk: "Ya! Dia hanya tahu membunuh orang."
Pintu kamar di bawah tanah ini berada di bagian atas dan suara orang ini terdengar dari atas. Waktu Han Tin berlalu tadi, mereka terlalu asyik bercumbu rayu sehingga lupa memalang pintu dari dalam, kini untuk menutupnya sudah terlambat. Habis suaranya, orang itupun sudah melangkah masuk.
Semula Ting Hun-pin amat kaget, namun lekas sekali dia sudah menghela napas lega, yang datang jelas bukan
Siangkwan Siau-sian, yang datang adalah seorang laki-laki.
Orang takkan senang melihat laki-laki ini, laki-laki yang menyerupai mayat hidup. Mukanya kaku dingin dan memutih kapur, tulang pipinya tinggi, hidungnya bengkok seperti patuk elang, badannya kurus lencir seperti genter (tiang bambu), tinggal kulit pembungkus tulang. Sorot matanya memancar kuning kemilau. Badannya yang jangkung
menggunakan jubah panjang kedodoran, warna merah yang
penuh disulami kembang Botan. Yang luar biasa adalah
lengannya yang berkepanjangan, kedua tangannya
terselubung di dalamnya.
Siapapun melihat orang macam ini pasti kaget, sebaliknya Ting Hun-pin malah menghela napas. Menurut pendapatnya
orang ini tidak lebih menakutkan dari gadis boneka
Siangkwan Siau-sian yang elok itu.
Waktu Yap Kay melihat orang ini beranjak turun, hatinya seketika tenggelam seperti batu kecemplung air. Melihat gaya orang lantas ia tahu bahwa Ting Hun-pin bukan
tandingan orang ini. Dirinya juga dalam keadaan lemah, dipukul bocah belasan tahunpun ia tak mampu membalas.
Ting Hun-pin berjingkrak bangun menyambut kedatangan
orang itu, semprotnya: "Kau ini apa-apaan, tanpa permisi lantas main terjang masuk ke kamar orang, kau tahu aturan tidak?"
"Aku memang tidak tahu aturan, "sahut orang itu dingin,
"akupun hanya tahu membunuh, tapi aku masih belum mampu mengungkuli dia."
Yap Kay tertawa getir, katanya: "Ah, kau terlalu
merendah."
"Barusan kuhitung, dari muka sampai belakang luar dalam seluruhnya sudah mati delapan puluh tiga orang. Murid-murid keluarga Bak, anak buah Thi Koh dan seluruh pekerja di dalam Leng-hiang-wan ini, ternyata tiada satupun yang ketinggalan hidup."
Berkata orang itu dengan menyeringai sadis: "Dalam semalam sekaligus membunuh delapan puluh tiga jiwa,
sungguh suatu kerja berat dan keberanian luar biasa......"
"Kau kira akulah yang membunuh mereka?" tanya Yap Kay.
"Yang jelas mereka sudah mati, hanya kau saja yang tinggal hidup."
"Bukan aku saja yang masih hidup."
"Aku yakin hanya kau saja seorang."
"Lho, lalu kemana Siangkwan Siau-sian?" tanya Ting Hun-pin.
"Memangnya aku ingin tanya kalian, di mana dia
sekarang?"
Ting Hun-pin naik pitam, serunya: "Semula dia bersama kami, soalnya kami tertipu mentah-mentah olehnya."
Orang itu menyeringai sadis.
"Dia pula yang membunuh orang-orang itu......"
"Kenapa kalian tidak dibunuhnya sekalian?" tukas orang itu.
"Karena Han Tin menolong kami."
"Mana Han Tin?"
"Pergi cari arak."
"Waktu Siangkwan Siau-sian membunuh orang, kalian mengawasi saja di sampingnya?"
"Karena Hiatto ku tertutuk tak bisa berkutik."
"Dan kau?" tanya orang itu berpaling kepada Yap Kay.
Ting Hun-pin menyela: "Diapun terbokong, seluruh
badannya lemas lunglai, tidak bisa........." sampai di sini baru dia sadar mulutnya yang usil telah terlepas omong.
Biji mata orang itu seketika bersinar, katanya sinis
seraya melotot kepada Yap Kay: "Apa benar kau tidak mampu mengerahkan tenaga sedikitpun?"
Yap Kay hanya tertawa meringis. Mendadak dia sadar,
untuk mencegah perempuan jangan cerewet jauh lebih sukar daripada mengajar unta menyusupkan benang ke lubang
jarum. Kata orang itu tandas dengan menatapnya lekat-lekat:
"Apa benar kau tidak punya tenaga" Baik, biar kubunuh saja sekarang."
Sebelum orang bertindak, Ting Hun-pin sudah
menghardik dan menubruk maju lebih dulu. Ilmu silatnya memang tidak lemah, Toh-bing-kim-ling (Kelinting emas
pencabut nyawa) memang tidak dia bawa serta, namun
tubrukan dengan setaker tenaga ini bukan sembarang orang kuat menghadapinya.
Tak nyana, orang itu cukup mengebaskan lengan bajunya
saja yang panjang, segulung angin kencang seketika menerpa maju menggetar pergi Ting Hun-pin sampai menumbuk
tembok dengan keras. Kejap lain, jari tangan orang itu sudah terulur dari dalam lengan bajunya, cepat bagai kilat mencengkeram ke tenggorokan Yap Kay.
Tangan itu ternyata berwarna merah, merah darah, Angmo-jiu (Tangan iblis merah). Siapapun bila tercengkeram oleh tangan iblis ini, jiwanya pasti melayang.
Yap Kay sudah tentu tidak mandah diserang dan mau
terima ajal begitu saja, sedapat mungkin dia kerahkan
seluruh tenaganya yang ada mendoyongkan badan ke
belakang. Tanpa punya tenaga sudah tentu dia tidak berani menangkis atau melawan.
Tak nyana tahu-tahu badannya melambung tinggi ke atas.
Entah bagaimana dan dari mana datangnya, tahu-tahu
tenaganya sudah pulih. Begitu dia mundur, badannya segera terbang mepet tembok meluncur pelan-pelan.
Agaknya Ang-mo-jiu tidak berani mengejar dengan
serangan ganasnya. Dengan dingin dia pandang orang,
katanya menyeringai: "Katamu kau tidak punya tenaga, lalu darimana tenagamu itu?"
Yap Kay tertawa kecut, sahutnya: "Aku sendiripun tidak tahu."
Hal ini memang kenyataan, namun jawabannya ini takkan
dipercaya oleh siapapun.
Tiba-tiba terdengar sebuah suara berkata dingin di luar pintu: "Apakah kau hanya tahu membunuh orang?"
Yang datang kali ini juga bukan Siangkwan Siau-sian.
Pendatang adalah seseorang berbaju hitam, berperawakan jangkung tapi kekar dan gagah. Di punggungnya
menggendong sebatang pedang panjang. Pedang yang hitam, pakaiannya hitam, mukanya legam, sepasang matanya
berkilat cemerlang. Memang orang ini berperawakan tinggi besar, namun badannya tidak tambun. Selintas pandang
orang ini laksana seekor elang raksasa, lincah cekatan, gagah keras, sadis, diliputi kekuatan liar dan buas.
Waktu Ang-mo-jiu angkat kepala, dia melihat pedang
panjang di punggung orang, kelopak matanya seketika
memicing. Mata laki-laki baju hitam yang cemerlang sedang mengawasi tangan merah itu, itu tangan yang tidak mirip tangan manusia umumnya, yang berdaging dan bertulang.
Hanya dalam neraka saja orang baru melihat tangan seperti itu.
Lambat-lambat namun pasti, kelopak mata laki-laki baju hitampun semakin menyipit, suaranya mantap tandas: "Ih-me-gao?"
Ih-me-gao manggut-manggut, katanya pelan-pelan: "Iblis hijau nangis siang, iblis merah nangis malam, langit dan bumi sama-sama nangis, matahari dan rembulan takkan keluar."
"Aku tahu kau siapa." kata laki-laki baju hitam tawar.
"Akupun tahu kau siapa." jengek Ih-me-gao, "kau dari keluarga Kwe di Siong-yang."
Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya, akulah Kwe Ting!"
"Siong-yang-thi-kiam (Pedang besi dari Siong-yang), tak terhitung banyaknya membunuh orang, tapi tentu takkan
bisa mengungkuli orang ini." demikian kata Ih-me-gao sinis.
"Yap Kay maksudmu?"
"O, kaupun tahu siapa dia?"
"Dalam semalam dia beruntun membunuh delapan puluh tiga jiwa, memang bukan kerja ringan."
"Tapi dia sendiri menyangkalnya."
Kwe Ting menyeringai dingin.
"Menurut katanya pembunuhnya adalah Siangkwan Siausian."
"Siangkwan Siau-sian seorang pikun, gadis boneka yang berjiwa kanak-kanak, memangnya orang pikun bisa
membunuh orang?", demikian bantah Kwe Ting.
"Katanya jiwanyapun hampir melayang di renggut
Siangkwan Siau-sian, karena dia tidak punya tenaga
sedikitpun."
"Kelihatannya dia tidak mirip orang yang terluka."
"Katanya dia masih hidup berkat pertolongan Han Tin."
"Menurut apa yang ku tahu, justru Han Tin lah yang dibokong orang."
"Katanya pula Han Tin tak di sini, karena sedang pergi mencari arak."
"Sekarang bukan saatnya orang minum arak."
Yap Kay menghela napas, memang diapun tidak mengerti
jawabannya tadi tak mungkin dipercaya orang. Tapi Ting Hun-pin segera berseru: "Kalian hanya tahu Han Tin terbokong orang, Siangkwan Siau-sian datang bersama-sama kami."
Kwe Ting menatapnya lekat-lekat, pelan-pelan dia
manggut. "Lalu siapa yang memberitahu semua hal ini kepadamu?", tanya Ting Hun-pin.
"Seseorang yang beruntung belum mati."
"Nyo Thian maksudmu."
Kwe Ting diam saja.
"Darimana kau yakin bahwa apa yang dikatakannya itu kenyataan?"
"Nyo Thian adalah temanku."
Ting Hun-pin menyeringai dingin: "Kau punya teman seperti itu, sungguh beruntung."
Ih-me-gao menyeletuk: "Walau dia bukan temanku,
akupun percaya!"
"Kenapa?", tanya Ting Hun-pin.
"Kenyataan di depan mata, tidak bisa tidak aku harus percaya."
"Kenyataan apa?"
"Kalian bunuh semua orang yang tahu seluk beluk
persoalan ini, lalu menyembunyikan Siangkwan Siau-sian untuk menimpakan bencana kepada orang lain, bukankah
harta terpendam milik Kim-cie-pang itu bakal terjatuh ke tangan kalian?"
Ting Hun-pin berjingkrak kaget. Mendadak dia sadar
bahwa analisa orang memang masuk akal.
Kwe Ting tetap menatapnya, katanya: "Jikalau ada orang yang dapat membuktikan omonganmu, aku mau percaya."
"Untung ada seseorang yang masih bisa membuktikan kebenaran omonganku." kata Ting Hun-pin girang.
"Han Tin maksudmu?", tanya Kwe Ting, "dia sedang keluar mencari arak untuk kalian?"
Ting Hun-pin mengiyakan.
"Kalau hanya mencari arak, sebentar dia pasti kembali.
Baik, aku tunggu di sini."
"Apa benar kau ingin menunggunya?", tanya Ih-me-gao.
"Barusan sudah kukatakan."
"Menunggu bantuan mereka datang untuk menggasak
kami di sini?", semprot Ih-me-gao.
Kwe Ting menarik muka, katanya dingin: "Kau adalah kau, aku adalah aku, bukan kami."
Tatapan biji mata Ih-me-gao dingin seram seperti nyala api setan, katanya: "Memangnya kau tidak sudi
berdampingan dengan aku?"
Kwe Ting tertawa dingin, maksud dari tertawa dingin
adalah membenarkan.
"Dulu Siong-yang-thi-kiam tercantum nomor empat di dalam daftar senjata, memang boleh dihitung sebagai
Enghiong yang luar biasa, hanya sayang.............."
Kwe Ting seketika menarik muka, tanyanya: "Sayang apanya?"
"Sayang kau bukan Kwe Siong-yang, mayat Kwe Siong-yang sudah jadi abu."
Muka Kwe Ting yang legam tiba-tiba membesi hijau.
"Orang mati itu sama saja, jangan lupa, perduli dia ahli pedang yang kenamaan, setelah mampus tak ubahnya seperti mayat-mayat manusia lainnya, akhirnya berubah membusuk juga."
Terkepal jari-jari Kwe Ting, katanya sepatah demi
sepatah: "Lebih baik kau tidak melupakan satu hal."
"Hal apa?"
"Kwe Siong-yang memang sudah mati, tapi Siong-yang-thi-kiam belum mati."
"Memangnya Siong-yang-thi-kiam masih ingin membela pembunuh ini untuk menghadapi aku?"
Kwe Ting tidak bicara lagi.
"Kwe Siong-yang ajal ditangan Ki Bu-bing, ilmu silat Ki Bu-bing hasil didikan Siangkwan Kim-hong." demikian sinis suara Ih-me-gao, "jikalau kau keturunan keluarga Kwe yang berbakti, kau harus bergabung dengan aku menghadapi Yap Kay, lalu dari buku pelajaran silat peninggalan Siangkwan Kim-hong, menemukan di mana letak kelemahan ilmu silat mereka, untuk menentukan siapa menang dan asor melawan Ki Bu-bing, menuntut balas demi kegagahan Kwe Siong-yang di alam baka."
Sayang sedikitpun Kwe Ting tidak terpengaruh oleh
sahutannya. Ih-me-gao memperhatikan perubahan mimik mukanya,
katanya pula: "Bagaimana maksudmu?"
"Baik sekali!"
"Kau menerima uluran tanganku?"
"Hm....," Kwe Ting hanya menggeram dalam mulut.
"Asal kau mau bergabung dengan aku," kata Ih-me-gao sambil tertawa besar, "jangan kata hanya Yap Kay seorang, seluruh tokoh-tokoh silat di kolong langit ini memangnya siapa yang berani menentang kita?"
Kwe Ting membalik tangan memegang gagang pedangnya.
Tawa Ih-me-gao tiba-tiba sirap, dengan nanar dia tatap Yap Kay, katanya menyeringai: "Tempat ini tiada jalan keluar lainnya, agaknya ajalmu memang sudah tiba."
Lekas Ting Hun-pin berlari mendekati Yap Kay dan
menggelendot di sampingnya. Yap Kay berdiri diam saja, tidak bersuara, tidak bergeming, sorot matanya seperti mengandung tawa sinis yang aneh.
Ih-me-gao menatap tangannya, katanya datar: "Kau
hadapi dia, setelah membunuh cewek ini, baru kubantu kau."
Kembali Kwe Ting hanya bersuara dalam mulut.
"Awas! Pisau terbangnya." Ih-me-gao memperingatkan.
"Kaupun harus hati-hati," sahut Kwe Ting, "hati-hati dengan pedangku."
Ih-me-gao melengak, tanyanya: "Apa" Awas pedangmu?"
Kwe Ting mengiakan. Sekonyong-konyong sinar pedang
berkelebat, tahu-tahu pedangnya bergerak laksana kilat menusuk ke dada Ih-me-gao. Samberan pedang tidak sama
seperti samberan kilat karena batang pedang yang satu ini serba hitam legam tanpa memancarkan cahaya, namun hawa pedangnya yang dingin tajam menyedot sukma orang
melebihi renggutan halilintar. Itulah Siong-yang-thi-kiam.
Tiada Siong-yang-thi-kiam yang ke dua, inilah satu-satunya pedang hitam legam di kolong langit.
Begitu pedang terlolos, seketika Ih-me-gao merasakan
hawa pedang yang menyedot sukmanya sudah menyambar
tiba di ujung alisnya. Keruan tak terbilang rasa kejutnya, dengan murka dia menggerung keras, berbareng Ang-mo-jiu laksana panah darah melesat keluar.
Dulu Ceng-mo-jiu terdaftar nomor sembilan dalam daftar senjata karya Pek Siau-seng, yang benar kekuatan dan
perbawanya tidak lebih asor dari Pian-sin-coa-pian yang
tercantum nomor enam dan Kim-kong-thi-koay yang
tercantum nomor tujuh. Yang terang karena senjata ini
terlalu ganas dan sesat, maka Pek Siau-seng sengaja
menilainya rada rendah.
Apalagi Ang-mo-jiu yang satu ini buatannya jauh lebih
halus, lebih hebat dari Ceng-mo-jiu, jurus tipunyapun jauh lebih telengas dan aneh, banyak ragamnya lagi.
Tampak cahaya merah menyala berkelebat, malah
membawa deru angin keras yang berbau amis memualkan.
Kwe Ting menghadapi dengan tawa dingin seraya mundur
dua langkah, mendadak kakinya dijejak sehingga badannya melambung ke tengah udara seraya bersuit nyaring. Pedang besinya seketika berubah menjadi bianglala panjang yang mewarnai udara jadi hitam gelap. Ternyata badan dan
pedangnya sudah bersatu padu. Memang inilah jurus-jurus mematikan yang paling dahsyat dari Siong-yang-thi-kiam.
Boleh dikata sudah mendekati keampuhan yang tiada
taranya, tiada sesuatu benda yang disentuhnya takkan
hancur lebur. Maka terdengarlah 'ting..." sekali dan pendek, tahu-tahu Ang-mo-jiu sudah terketuk hancur lebur tak berbekas lagi, kelihatan seperti ditaburi hujan darah yang memenuhi
angkasa. Suitan Kwe Ting tidak menjadi sirap begitu saja, tahutahu badannya membalik ke samping, lembayung hitam yang memanjang itu tiba-tiba berubah menjadi bintik-bintik sinar yang tak terhitung banyaknya. Maka hujan darah yang
bertebaran di tengah angkasa itu seketika tertekan turun
ke bawah, demikian pula seluruh badan Ih-me-gao tahu-tahu sudah terkurung di dalam hawa pedang yang hebat itu.
Perduli ke arah manapun dia berkelit, jelas takkan bisa menyelamatkan diri lagi. Pada saat itulah, suitan tiba-tiba sirap, hawa pedangnya kuncup, badan Kwe Ting melayang
turun dengan enteng tanpa mengeluarkan suara, pedang
besinyapun sudah masuk ke dalam sarung.
Sedang Ih-me-gao berdiri dengan ke dua tangan lurus ke bawah, pandangannya terlongong dengan badan mengejang, mukanya yang aneh dan serba menakutkan itu basah kuyup oleh keringat dingin yang gemerobyos.
Sesaat lamanya Kwe Ting mengawasinya dingin, katanya
sepatah demi sepatah: "Kau ingin bergabung dengan aku"
Kau belum setimpal!"
Ih-me-gao kertak gigi, sahutnya: "Kenapa tidak kau tusuk mampus jiwaku saja?"
"Kaupun tidak setimpal kubunuh!"
"Lalu apa kehendakmu?"
"Lekas menggelinding pergi!"
Ih-me-gao menyengir tawa dingin, katanya: "Kalau aku pergi begini saja, akan datang satu ketika kau akan
menyesal setelah kasep." dia tidak lari, dengan langkah pelan-pelan dia beranjak keluar lewat hadapan Kwe Ting.
Ang-mo-jiu yang sudah hancur lebur berserakan di atas
lantai, mirip benar dengan noda-noda darah yang
berceceran. Pelan-pelan Kwe Ting memutar badan menghadapi Yap
Kay. Dilihatnya Yap Kay sedang tersenyum. Seketika dia menarik muka, katanya dingin: "Agaknya kau tabah sekali!"
Yap Kay manggut-manggut. Inilah jawabannya.
"Kau tidak takut aku bergabung sama dia membunuhmu?"
"Aku tahu!," sahut yap Kay menyimpang dari pertanyaan orang.
"Kau tahu apa?"
"Aku tahu pewaris Siong-yang-thi-kiam, pasti tidak akan sudi bergabung dengan orang macam dia, meski menghadapi persoalan pelik apapun."
Dengan tajam Kwe Ting mengawasinya, sorot matanya
memancarkan mimik yang aneh, lama sekali baru pelan-pelan dia berkata: "Kwe Siong-yang adalah saudaraku tertua."
"Memang ada abang tentu ada pula adiknya." demikian puji Yap Kay.
"Betapa gagah dan besar jiwanya, sayang sekali gugur di tangan Ki Bu-bing." ujar Kwe Ting dengan gemas dan penasaran.
Yap Kay menghela napas, katanya: "Peristiwa itu
merupakan penyesalan terbesar pula bagi Siau-li Tham-hoa selama hidupnya."
Semula Kwe Siong-yang dan Siau-li Tham-hoa adalah
musuh, karena masing-masing pihak menghormati dan
mengagumi musuhnya, dari musuh mereka menjadi kawan
karib yang sejajar dan sederajat. Selama hidup mereka
saling hormat menghormati. Untuk menepati janji undangan
Li Sin-hoan, akhirnya Kwe Siong-yang gugur oleh tusukan pedang Ki Bu-bing. Walaupun peristiwa itu merupakan
tragedi yang mengerikan, namun merupakan kisah yang
patut dipuji pula.
"Apa yang dikatakan Ih-me-gao memang tidak salah, kedatanganku memang untuk memiliki Pit-kip peninggalan Siangkwan Kim-hong." Kwe Ting berterus terang.
"Aku tahu," jawaban Yap Kay tegas dan tandas.
"Oleh karena itu aku tetap akan menunggu Han Tin.
Seharusnya aku tidak perlu percaya akan obrolanmu, namun untuk sementara ini biarlah aku percaya, karena kau adalah murid pewaris Li Sin-hoan satu-satunya."
Yap Kay menghela napas, ujarnya: "Yang terang beliau orang tua tidak benar-benar mengangkatku sebagai ahli
warisnya, demikian pula ilmu silatnya aku belum memperoleh ajaran seper-sepuluh perbendaharaan ilmu silatnya."
"Tapi sudah jelas bahwa dia menurunkan kepandaian menimpuk pisau terbang itu kepadamu."
Yap Kay diam saja, dia mengakui hal ini.
"Di waktu engkohku masih hidup, cita-citanya yang terbesar adalah bertanding dan menentukan siapa menang dan siapa asor dengan Siau-li si pisau terbang," demikian Kwe Ting seperti berkisah, "dalam duel di hutan flamboyan di luar Hin-in-ceng, akhirnya dia kalah oleh Siau-li si pisau terbang."
"Yang terang duel kali itu merupakan pertempuran yang tak pernah terjadi sejak jaman dahulu kala dan takkan
pernah terjadi pada masa yang akan datang, membuka
lembaran baru sejarah persilatan."
Dalam duel itu sebetulnya Li Sin-hoan memperoleh tiga
kali kesempatan untuk menyerang Kwe Siong-yang, sehingga orang terkalahkan dan bukan mustahil mati, namun dia tidak pernah turun tangan. Belakangan pisau Li Sin-hoan
sendiripun tertabas kutung, bukan mustahil pula Kwe Siong-yang bisa menusuknya mampus, tapi Kwe Siong-yang pun
tidak menurunkan tangan kejinya, malah secara sukarela dia mengaku kalah.
"Orang-orang seperti mereka," demikian ujar Yap Kay,
"baru boleh dipandang sebagai laki-laki sejati, baru tidak malu mereka diagulkan sebagai Enghiong tulen."
"Cuma bagaimana juga, Siong-yang-thi-kiam kenyataan sudah terkalahkan oleh Li Sin-hoan." Kwe Ting
mengawasinya lekat-lekat, matanya memancar terang,
katanya kereng: "Khabarnya belakangan ini ada pula yang membuat buku daftar senjata, dan pisau terbangmu
dicantumkan paling atas, diagulkan nomor satu di seluruh kolong langit."
Yap Kay tertawa getir. Diapun dengar kabar ini. Sejak
dia mendengar ini, dalam hati dia lantas tahu bahwa banyak kesukaran akan selalu melibatkan dirinya di dalam kancah kehidupan yang menegangkan jiwa.
Jelas takkan ada tokoh-tokoh Bu-lim yang rela
direndahkan derajatnya di bawah urutan orang lain, dan karena julukan yang mungkin berlebihan itu, tentu
menimbulkan banyak pertempuran duel adu kekuatan, entah
berapa banyak jiwa akan berkorban, betapa banyak darah akan berceceran.
Kwe Ting berkata: "Oleh karena itu perduli apa yang kau ucapkan benar atau tidak, setelah persoalan ini selesai, aku tetap akan minta bertanding dengan aku untuk menentukan menang dan kalah. Boleh buktikan Siong-yang-thi-kiam
apakah masih di bawah pisau terbang."
Yap Kay tertawa getir saja. Ting Hun-pin malah tidak
sabar lagi, katanya: "Lebih baik kalau kau mengerti satu hal, pisaunya diagulkan nomor satu di seluruh jagat lantaran pisaunya sering menolong entah berapa banyak jiwa
manusia, bukan karena banyak membunuh orang."
Kwe Ting manggut-manggut, ujarnya: "Ya, akupun pernah dengar."
"Oleh karena itu jikalau kau ingin mengungkuli dia, maka pergilah kau menolong jiwa manusia, bukan main bunuh
sesuka hatimu."
Kwe Ting menarik muka, katanya dingin: "Jikalau aku membunuhnya, berarti aku sudah mengungkuli dia."
"Kau salah, umpama benar kau bisa membunuhnya,
selamanya jangan harap kau bisa mengalahkannya."
Kwe Ting tertawa dingin. Maksud tawa dingin adalah
menyangkal dan tidak percaya.
Ting Hun-pin jadi sengit, jengeknya dingin: "Jangan kau kira kau sudah mengalahkan Ang-mo-jiu sudah anggap
dirimu jempolan, memang Ang-mo-jiu lebih jahat dan
telengas dari Ceng-mo-jiu, namun dia tetap bukan tandingan
Ceng-mo-jiu, karena Ih-me-gao tidak punya pambek dan
jiwa besar, dia tidak punya watak."
Kwe Ting bersuara dalam tenggorokan, dia sedang pasang kuping.
"Memang kelihatannya dia congkak dan tinggi hati, yang benar hanya mulutnya saja yang pintar mengoceh dan
bermanis-manis muka. Seorang kerdil yang menggunakan
setiap kesempatan untuk menguntungkan diri sendiri. Untuk hal ini jelas dia sudah bukan tandingan Ceng-mo-jiu."
Kwe Ting mendengarkan sambil mengawasi muka orang,
biji matanya mengunjuk sorot aneh.
"Sejak dahulu kala, seorang tokoh Bu-lim yang sejati berdikari dan tak tergoyahkan, tidak mau dan tidak pernah terpengaruh oleh keadaan atau seseorang. Bilamana
seseorang tidak mempunyai watak dan pendirian,
memangnya cara bagaimana dia bisa meyakinkan ilmu silat yang luar biasa?"
Kwe Ting tertawa dingin, katanya: "Ucapanmu memang beralasan. Sayang, ocehanmu terlalu banyak." lalu dia membalik badan membelakangi mereka menghadap ke
dinding, melirikpun tidak memandang kepada Ting Hun-pin.
Ting Hun-pin malah tertawa, katanya: "Agaknya orang ini punya wataknya tersendiri."
"Memang dia punya watak." ujar Yap Kay tersenyum.
"Sayang, dia tidak bisa membedakan salah dan benar, tidak tahu baik atau jahat, celakanya Nyo Thian si keparat itu dipandangnya sebagai teman baik."
Yap Kay menghela napas gegetun, katanya: "Bukankah sebelum peristiwa ini, akupun pandang Nyo Thian sebagai teman sendiri?"
"Oleh karena itu sekarang kau ketiban nasib jelek."
Sebetulnya Kwe Ting sudah berkeputusan tidak akan
mendengarkan ocehan mereka, kini dia berpaling, katanya:
"Nyo Thian bukan teman baikmu?"
Terpaksa Yap Kay mengakui: "Dia bukan."
"Dia menjual kalian?"
Yap Kay terpaksa harus mengakui juga.
"Dia sekongkol dengan Siangkwan Siau-sian menjual kalian?"
"Kelihatannya dia sudah kepincut kepati-pati oleh Siangkwan Siau-sian."
"Tapi kalian yang semula melindungi Siangkwan Siau-sian, juga terpincut olehnya bukan?"
"Mereka hendak membangun Kim-cie-pang pula, Nyo
Thian sudah menjadi Tongcu Kim-cie-pang."
"Maka mereka harus memberantas habis semua orangorang yang kemungkinan menentang usaha mereka untuk
membangun Kim-cie-pang kembali?" Kwe Ting menegas.
Ting Hun-pin menghela napas, ujarnya: "Akhirnya kau mengerti juga."
"Jikalau Kim-cie-pang bangkit kembali, akupun pasti akan menentang mereka." demikian Kwe Ting nyatakan
pendiriannya. "Oleh karena itu, dia mengundangmu kemari, jelas
mengandung maksud tidak baik."
"Sekarang aku sudah di sini, kenapa mereka tidak turun tangan terhadapku" Memangnya mereka sudah tahu bahwa
kalian ditolong oleh Han Tin" Sengaja dia atur sedemikian rupa sehingga akulah yang berhadapan dengan kalian"
Ataukah Han Tin pun adalah anggota Kim-cie-pang" Sengaja dia menolong kalian kemari untuk menghadapi aku?"
Ting Hun-pin tidak mampu memberi jawaban. Jalan
pikirannya tidak sedemikian luas, baru sekarang dia teringat bahwa hal itu bukan mustahil.
Yap Kay tiba-tiba menghela napas, katanya:
"Bagaimanapun juga Han Tin adalah penolong yang
menyelamatkan jiwaku."
"Dia punya alasan untuk menolong kalian?" tanya Kwe Ting.
"Sudah tentu ada." sahut Yap Kay.
"Adakah dia punya alasan mengkhianati kalian?"
"Tidak pernah dan tidak akan kupikirkan ke arah itu."
"Agaknya kau adalah orang yang tegas membedakan budi dan dendam."
"Ada orang pernah bilang demikian." sahut Yap Kay getir.
"Jikalau benar Han Tin teman kalian, tentu sekarang dia sudah kembali."
"Bukan di setiap tempat pasti bisa mencari arak." sahut Yap Kay.
Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tapi menurut apa yang ku tahu, di tempat ini pasti terdapat gudang arak di bawah tanah."
"Mungkin Siangkwan Siau-sian sudah hancurkan gudang arak itu."
"Kenapa?"
"Karena hanya arak yang bisa menawarkan racun yang mengeram dalam tubuhku."
"Sekarang belum minum arak, tapi racun dalam badanmu sudah tawar sendiri."
Yap Kay tak mampu menjelaskan.
"Semua keterangan yang kau berikan bukan saja
membual, malah satu sama lain serba kontras, anak umur tiga tahunpun takkan percaya akan obrolanmu."
Yap Kay tak ingin berdebat, memang dia tidak bisa
berdebat. Kwe Ting mengawasinya, tiba-tiba dia menghela napas,
katanya: "Tapi entah kenapa aku justru percaya."
Bersinar sorot mata Ting Hun-pin, katanya tertawa:
"Memang aku tahu kau orang yang gampang mengerti."
Kwe Ting tiba-tiba jadi kereng, katanya: "Mungkin justru aku ini orang yang sukar diberi pengertian, mana aku mau percaya begini saja?"
"Kau tak usah kuatir, kami pasti takkan bikin kau kecewa."
"Sebaliknya jikalau kau tidak bisa menemukan Siangkwan Siau-sian, Nyo Thian dan han Tin, aku justru bisa membuat
kalian menyesal. Aku beri waktu tiga puluh enam jam untuk kalian mencarinya." tanpa memberi kesempatan Ting Hun-pin bersuara, segera dia menambahkan: "Tiga hari
kemudian, aku akan kembali pula mencari kalian. Demi
kebaikan kalian sendiri, aku harap kalian bisa temukan orang-orang itu."
"Waktu tiga hari, kukira lebih dari cukup."
Kwe Ting melangkah keluar, tapi tiba-tiba dia berpaling, katanya: "Masih ada sebuah hal, aku perlu beritahu kepada kalian. Bahwa orang-orang yang ingin membuat perhitungan dengan kalian bukan hanya aku seorang, belum tentu mereka mau percaya obrolan kalian, oleh karena itu dalam dua hari ini kalian harus lebih waspada."
Yap Kay bertanya: "Kecuali kau dan Ih-me-gao, masih ada siapa lagi?"
Kwe Ting menepekur, tiba-tiba dia balas bertanya:
"Pernahkah kau berburu rase?"
Yap Kay manggut-manggut.
Sorot mata Kwe Ting tertuju ke tempat jauh, katanya
pelan-pelan: "Musim berburu rase paling baik kalau di bulan sembilan."
"Bulan sembilan?" tanya Ting Hun-pin menegas.
"Waktu itu musim rontok, hawa panas dan sejuk, padang rumput nan liar dan luas, bila ada seekor rase muncul, beberapa ekor burung elang akan mengintainya dari tengah udara, maka begitu burung elang terbang di angkasa, maka rase itu jelas akan jadi mangsanya."
"Buat apa kau ngelantur ke persoalan ini, sekarang bukan bulan sembilan." sela Ting Hun-pin.
"Tapi sekarang justru tiba musimnya berburu rase, maka beberapa rombongan elang sudah mulai terbang." demikian Kwe Ting seperti mengigau dengan kata-katanya, sorot
matanya cemerlang, seolah-olah dia sudah melihat beberapa ekor elang yang gagah dan galak sedang terbang berputar-putar di atas kota Tiang-an.
Akhirnya Ting Hun-pin mengerti juga, katanya: "Apakah kita ini kau ibaratkan sebagai rase itu?"
Kwe Ting tidak menjawab. Tanpa berpaling dia beranjak
keluar. Mengantar bayangan punggung orang yang menghilang di
balik pintu, Ting Hun-pin terlongong sekian lamanya,
gumamnya: "Sebetulnya orang ini teman kita atau justru musuh bebuyutan."
Yap Kay diam saja, seakan-akan dia tidak tahu cara
bagaimana harus menjawab.
"Eh!", Ting Hun-pin menyikutnya, "apa sih yang kau pikirkan?"
"Tidak pikir apa-apa." sahut Yap Kay ," aku hanya ingin makan tapak beruang yang gemuk dan berminyak."
"Dan apalagi?" tanya Ting Hun-pin dengan gigit bibir.
(Bersambung ke Jilid-7
Jilid-7 "Di sini ada sebaskom air panas, sebuah ranjang besar yang empuk, bersih dan hangat...."
Seperti merintih, Ting Hun-pin menghela napas, ujarnya:
"Apa yang kau pikirkan kenapa mirip dengan jalan
pikiranku?"
Yap Kay tersenyum, ujarnya: "Karena sudah lama kita tidak bertemu, benar tidak?"
Merah muka Ting Hun-pin, mendadak dia berjingkrak
bangun serta menggigit lengan Yap Kay, omelnya: "Kau ini memang laki-laki bejat, ku gigit kau biar mampus........"
ooo)dw(ooo Ranjangnya empuk dan bersih, hangat lagi.
Yap Kay rebah di atas ranjang, dia tidak mati tergigit, namun kelihatannya dia sudah loyo dan empas-empis
kehabisan napas.
Ting Hun-pin rebah di atas dadanya, dada yang bidang
dan kekar kuat.
Kamar yang mereka tempati sejuk dan nyaman, seperti di dalam musim semi. Api di dalam tungku tengah menyala,
menghangatkan udara yang dingin ini. Di dalam kamar yang sudah hangat ini, seorang diri boleh tidak usah pakai baju.
Apalagi dua orang berlainan jenis, maka boleh tidak usah pakai selembar benangpun.
Tiba-tiba Ting Hun-pin menghela napas, katanya: "Kita belum menikah secara resmi, lantas main begituan, sungguh tidak pantas." suaranya seperti orang mengigau dalam mimpi, "selalu aku merasa perbuatan kita sudah melanggar kesopanan dan budi pekerti, namun entah kenapa, setiap kali aku selalu sukar menolaknya."
"Aku tahu!", sahut Yap Kay.
"Kau tahu apa?"
Yap Kay mengawasinya, sorot matanya mengandung kasih
sayang, katanya pelan-pelan: "Kau tidak menolak, karena kau lebih bergairah untuk melakukan perbuatan terkutuk ini."
Merah muka Ting Hun-pin, dengan keras dia puntir
telinga orang, katanya gemas: "Kau begini jahat, apa pula yang kau ketahui?"
"Dia masih tahu membunuh orang," sekonyong-konyong seseorang menyeletuk, suaranya nyaring dan lincah seperti suara kanak-kanak. Itulah suara Siangkwan Siau-sian.
Ting Hun-pin berjingkrak bangun, namun dia tersipu-sipu dibuatnya, baru dia sadar dirinya telanjang bulat. Sebelum dia berbuat apa-apa, tiba-tiba pintu yang terpalang dari dalam sudah pelan-pelan terpentang. Dengan tersenyum
Siangkwan Siau-sian beranjak masuk, tangannya
menggendong boneka tanah liat pula. Bola matanya yang
bundar jeli berputar ke arah mereka berdua.
Katanya kemudian dengan cekikikan geli sambil gelenggeleng: "Waktu kalian main begituan, seharusnya
mengganjel pintu dengan sebuah meja dari dalam, bukankah kalian tahu, hanya membuka pintu yang terpalang dari dalam bukan suatu kerja yang sulit?"
Gemas, dongkol dan malu, seru Ting Hun-pin: "Siapa kira ada gadis perawan seperti kau yang tidak tahu malu bakal menerjang masuk kemari?"
"Aku tidak tahu malu" Memangnya kalian tahu malu. Hari belum lagi gelap, kalian sudah begini mesra, apa tidak memalukan?"
Semakin merah muka Ting Hun-pin, lekas dia alihkan
pembicaraan, katanya keras: "Kebetulan kau mau datang, kami memang sedang mencarimu. Cara bagaimana kau bisa
temukan tempat ini?"
"Bukan saja di sini terdapat koki yang paling pintar, masih ada ranjang paling nyaman. Kebetulan aku tahu bahwa kalian memang orang-orang yang suka bersenang-senang."
Berputar biji mata Ting Hun-pin, "Kau ini tamu, maka berlakulah sopan sedikit sebagai tamu."
"Bagaimana perilaku seorang tamu?"
"Paling tidak sekarang kau keluarlah, biar kami bangun menyambut kedatanganmu."
Siangkwan Siau-sian cekikikan, katanya: "Aku mengerti maksudmu. Bagaimana kalau aku putar badan tidak melihat kalian?"
Gemeretak gigi Ting Hun-pin saking gemas dan benci,
tapi orang tidak keluar, dia tidak bisa berbuat apa-apa.
Untung Siangkwan Siau-sian sudah putar badan
membelakangi mereka, katanya: "Aku amat heran, dalam hawa sedingin ini kelihatannya kalian tidak takut kedinginan sedikitpun."
Ting Hun-pin diam saja, dia tidak menanggapi ocehan
orang. "Khabarnya dulu kau selalu membawa banyak kelinting emas, jikalau tidak ditanggalkan, bukankah amat
menyenangkan buat main-main?", demikian goda Siangkwan Siau-sian.
Memang Ting Hun-pin sedang gegetun dan menyesal,
jikalau dia membawa kelinting pencabut nyawa itu, sejak tadi dia sudah persen beberapa lubang di badan Siangkwan Siau-sian.
Pada saat itulah, sekonyong-konyong Siangkwan Siau-sian berteriak sekeras-kerasnya, seperti mendadak melihat
setan, badannya segera menerjang jendela menerobos
keluar, boneka di tangannya jatuh hancur.
Ting Hun-pin berteriak: "Bagaimana juga jangan biarkan dia merat!"
Belum habis dia bicara, Yap Kay sudah menerobos
jendela. Umumnya perempuan memang lambat bila
mengenakan pakaiannya, bayangan Yap Kay dan Siangkwan
Siau-sian sudah tidak kelihatan lagi.
ooo)dw(ooo Yap Kay memang orang aneh, sebetulnya dia tidak ingin
dirinya kenamaan, maka pertama kali dia berkecimpung di kalangan Kang-ouw pernah dia menggunakan beberapa nama samaran yang berlainan. Kejadian di dunia ini memang serba-serbi, orang yang tidak ingin ternama, malah disegani orang dan tenar. Sehingga setiap nama yang pernah dipakai boleh dikata semuanya tenar, satu diantaranya yang paling
terkenal sudah tentu adalah Hwi-long-kun.
Karena Ginkang-nya memang amat tinggi, malah ada orang berpendapat bahwa kepandaian pisau terbangnya mungkin
belum sebanding dengan Siau-li si pisau terbang, tetapi Ginkang-nya jelas tokoh silat kosen manapun tak ada yang bisa mengungkulinya. Malah ada sementara orang yang
berpendapat, delapan puluh tahun belakangan ini, tokoh Bu-lim yang memiliki ilmu Ginkang tertinggi adalah dia.
Akan tetapi, waktu dia menerobos keluar jendela
ternyata secara aneh Siangkwan Siau-sian menghilang, jadi dia tidak berhasil menangkapnya. Cukup jauh Yap Kay
berlari-lari mengejarnya, namun bayangan orang tak
dilihatnya. Tatkala itu sudah menjelang magrib. Angin menjelang
petang ini rasanya dingin. Sudah tentu Yap Kay tidak ingin berdiri menjublek di tempat terbuka seperti orang linglung yang diterpa angin barat laut.
Tahu dirinya takkan bisa mengejar orang, terpaksa dia
kembali dulu. Entah kenapa belakangan ini perhatiannya terhadap Ting Hun-pin semakin berat.
Dia kembali melalui jalan dimana tadi dia datang. Daun jendela yang keterjang semplak tadi, kini berbunyi nyaring seperti orang bertabuh gendang dihembus angin keras. Baru saja dia hendak melayang turun melalui jendela, tahu-tahu dia menjublek di tempatnya. Rumah yang sepi kini mendadak begitu ramai.
Kamar kecil yang ia tempati, kini ramai dihuni oleh tujuh delapan orang, hampir sebagian besar penghuni kamar itu adalah perempuan, malah semuanya adalah gadis-gadis belia
yang molek. Lebih aneh lagi bahwa ke sembilan gadis-gadis ayu itu semuanya mengenakan pakaian tosu.
Darimana datangnya tosu-tosu perempuan ini" Hampir
Yap Kay menyangka dirinya salah tujuan dan mendatangi
tempat lain, tetapi jelas dilihatnya Ting Hun-pin berada di dalam kamar.
Ting Hun-pin duduk tidak bergeming di tempatnya, sorot matanya menunjukkan rasa keheranan dan kaget, seperti
mengandung ketakutan pula. Di belakangnya dua tosu
perempuan berdiri menjaganya, di depannya masih ada lima orang lagi, tapi sorot matanya menatap ke arah badan
seorang laki-laki.
Seorang laki-laki tua, seorang tosu yang sudah lanjut
usia. Tosu tua ini duduk di atas sebuah kursi dekat jendela.
Jubah tosu yang dipakai terbuat dari sutra disulam dengan benang-benang emas yang indah. Rambutnya yang ubanan
tersisir halus dan rapi laksana perak mengkilap, digelung tinggi dengan tusuk kondai hijau dari batu giok (jade), sabuknya terdiri dari sutra warna jambon, di mana terselip miring sebatang seruling panjang yang halus mengkilap
seperti warna pualam.
Usia tosu ubanan ini sedikitnya sudah mencapai enam
puluh tahun, tapi rona mukanya masih kelihatan merah
segar, halus dan mengkilap, sedikitpun tiada kerut
keriputnya, demikian pula biji matanya hitam putihnya masih kelihatan cemerlang dan bercahaya terang.
Walau dia duduk dengan bersimpuh, namun kelihatan
perawakannya yang tinggi tegap, sedikitpun tidak kelihatan loyo atau ketuaan jiwanya, jenggot ubanan yang terurai
memanjang di depan dadanya melambai-lambai tertiup angin, namun jelas teratur rapi dan terpelihara baik sekali.
Selama hidupnya belum pernah Yap Kay melihat atau
berhadapan dengan tosu segagah, mewah, setampan dan
berdandan begitu rapi.
Kini Ting Hun-pin sudah melihat kedatangannya, mulutnya sudah terbuka, namun suaranya tak terdengar. Agaknya
Hiatto-nya sudah ditutuk orang.
Yap Kay menghela napas, katanya getir: "Agaknya kamar ini memang membawa berkah, baru saja seorang tamu
berlalu, tahu-tahu ketambahan delapan lagi."
Tosu ubanan berjubah sutra tengah menatapnya,
suaranya keras dan kereng: "Kau inikah Yap Kay?"
Yap Kay manggut-manggut sebagai jawabannya.
"Hwi-long-kun juga adalah kau?"
"Ada kalanya memang benar!"
Si Tosu menarik muka, suaranya tetap kereng:
"Belakangan ini memang banyak generasi muda yang muncul, orang gagah mampu membunuh delapan puluh tga jiwa dalam semalam, sejak dulu kala Pinto belum pernah
menyaksikannya."
"Akupun belum pernah melihatnya." ujar Yap Kay.
"Di hadapan Pinto, kau masih berani bertingkah?"
"Kalau Totiang tidak senang melihat orang bertingkah, kenapa kau berada di kamar milik seseorang yang suka
bertingkah?"
"Agaknya kau belum tahu siapa aku ini?"
"Ya, belum tahu!"
"Pinto Giok-siau."
"Giok-siau dari laut timur?".
Melihat si Tosu manggut, Yap Kay menambahkan dengan
tertawa getir: "Seharusnya aku terperanjat, sayangnya hari ini sudah banyak kali aku dibuat terkejut."
ooo)dw(ooo Tang-hay-giok-siau atau Seruling Giok dari Laut Timur.
Memang siapapun yang mendengar nama ini pasti akan
terkejut. Tempo dulu waktu Pek Siau-seng membuat buku daftar
senjata, Tang-hay-giok-siau tercantum nomor 10.
Bahwasanya Giok-siau Tojin ini adalah satu dari 10 tokoh besar Bu-lim yang sekarang masih ketinggalan hidup, kecuali Li Sin-hoan. Khabarnya jejak pengembaraannya selalu
berada di luar lautan. Sungguh tak pernah terpikir oleh Yap Kay, orangnya tahu-tahu sudah berada di sini.
Terdengar Giok-siau Tojin berkata: "Untuk apa Pinto datang kemari, tentunya kau sudah tahu."
"Aku tidak tahu." sahut Yap Kay.
"Kelihatannya kau bukan laki-laki goblok."
"Tapi aku pandai main pura-pura." sahut Yap Kay.
Tosu-tosu perempuan yang hadir sejak tadi sudah main
lirik secara diam-diam kepada Yap Kay, kini tak tertahan mereka seperti ingin tertawa.
Kembali berubah rona muka Giok-siau Tojin, katanya
dingin: "Kau lebih pantas kalau pura-pura mampus saja."
"Lho! Kenapa pura-pura mati?"
"Karena Pinto tidak akan bunuh orang mati."
"Jadi yang masih hidup kau bunuh semuanya?"
"Ya, aku hanya ingin bunuh orang yang ingin mampus."
"Syukurlah, aku orang yang tidak ingin mampus."
"Bila orang ini tetap hidup segar bugar, di hadapan Pinto dia harus bicara terus terang."
"Ya, apa yang kuucapkan semua terus terang."
"Milik siapakah boneka tanah liat ini?"
"Milik Siangkwan Siau-sian."
"Tadi dia berada di kamar ini?"
"Dialah tamuku yang pertama."
"Sekarang di mana dia?"
"Entah!"
"Barusan dia masih di sini, kenapa kau katakan tidak tahu di mana dia pergi?"
"Sekarang kau masih berada di sini, sebentar lagi kemana kau pergi, aku takkan tahu."
Giok-siau Tojin tiba-tiba menghela napas, katanya:
"Betapa berharganya jiwa manusia, kenapa ada orang yang ingin mampus?" tiba-tiba dia keluarkan seruling bundar pualam yang terselip di pinggangnya.
Dulu Tang-hay-giok-siau tercantum nomor sepuluh dalam
deretan daftar senjata, sumber kepandaian silat Giok-siau Tojin khabarnya mendapat didikan tiga belas aliran, seruling di tangannya ini bukan saja khusus untuk menutuk Hiat-to, namun bisa digunakan sebagai pedang, malah di dalam
lubangnya yang bundar itu tersembunyi senjata rahasia yang lihay dan keji benar.
Semula Yap Kay kira orang sudah siap turun tangan, tak ny
Golok Halilintar 15 Bahagia Pendekar Binal Karya Khu Lung Pendekar Setia 11
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama