Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung Bagian 5
u itu, masakah aku tidak boleh merawat dan melayanimu seperti dia merawat dan melayani kau?"
Pakaian Yap Kay yang sudah tercuci bersih dan dilempit rapi berada di atas meja di pinggir ranjang. Yap Kay segera mengambilnya, dia sudah tak betah rebah lagi.
"Kau hendak pergi" Kemana", tanya Siangkwan Siau-sian.
Yap Kay diam saja.
"Apakah kau hendak pergi cari tosu perempuan itu?", tanya Siangkwan Siau-sian, "kau takkan menemukan dia.
Demikian juga Ting Hun-pin, lebih baik kau tak usah
menemuinya lagi, supaya tidak bersedih hati. Mungkin hanya satu orang saja yang bisa kau temui sekarang, yaitu Han Tin. Sekarang dia sedang rebah di dalam peti mati,
bergerakpun tidak bisa."
Kebetulan Yap Kay sudah selesai mengenakan sepatunya,
mendengarkan ucapan ini, segera ia berjingkrak berdiri, sorot mata laksana obor menyala di mukanya.
Siangkwan Siau-sian mandah tertawa-tawa, katanya: "Kau tahu, bukan aku yang membunuhnya, kenapa mendelik
kepadaku" Kalau kau ingin menuntutkan balas kematiannya, silahkan kau cari dulu pembunuhnya." Lalu dengan tawar dia menambahkan: "Tapi kuharap kau tidak usah mencarinya, yang penting bagi dirimu sendiri sekarang adalah rebahlah istirahat memulihkan kesehatanmu."
Yap Kay tidak mendengar habis kata-kata orang. Dia
sudah menerjang keluar pintu.
ooo)dw(ooo Peti mati sudah ditutup namun belum dipaku. Peti yang
terbuat dari kayu tipis. Jiwa mudanyapun pendek. Muka Han Tin membayangkan dia masih tidur dengan nyenyak, memang dia meninggal di saat dia tidur nyenyak.
"Waktu aku menemukan dia, keadaannya sudah payah dan tak tertolong lagi. Terpaksa kubelikan peti ini untuk
mengurus jenazahnya, aku tidak tahu apakah dia punya
sanak famili yang bisa menyelesaikan penguburannya,"
demikian tutur Ciangkui, pemilik rumah penginapan yang ternyata cukup dermawan juga.
Setipis-tipisnya peti mati, jauh lebih baik daripada
dibungkus tikar.
"Banyak terima kasih," kata Yap Kay.
Hatinya haru dan simpati, namun juga penuh penyesalan.
Jikalau bukan lantaran dirinya, Han Tin tidak akan terluka.
Jikalau bukan karena keteledorannya, luka-luka Han Tin sebenarnya bisa disembuhkan. Tapi sekarang Han Tin sudah meninggal, dirinya malah masih hidup.
"Bagaimana dia bisa mati?", tanyanya kemudian.
"Terpantek mati oleh sebilah pedang di atas ranjang."
"Mana pedangnya?"
"Masih kusimpan."
Pedang itu kemilau memancarkan reflek yang cemerlang
ditingkah cahaya lampu. Itulah sebentuk pedang yang kuno dan panjang, terbuat dari besi baja yang digembleng oleh seorang ahli, tajamnya luar biasa. Di punggung pedang malah ada ukiran tulisan kuno pula.
Noda darah sudah mengering, dibungkus dengan kain
kuning. "Dua orang pembantu kita dengan kerahkan setaker
tenaganya baru berhasil mencabut pedang ini."
Ciangkui sedang mengobral jasa dan mohon penghargaan.
Walau dia bukan orang kikir, namun manusia siapa yang
tidak ingin memperoleh keuntungan, mendapat imbalan,
sudah tentu kesempatan ini tidak ia sia-siakan.
Yap Kay seperti tidak mengerti atau tidak acuh akan
perkataannya. Dalam hati sedang merenungkan suatu hal.
'Mungkinkah pedang ini ditimpukkan dari luar jendela,
begitu amblas ke tubuh Han Tin baru memanteknya di atas ranjang" Sungguh besar dan kuat tenaga timpukkannya ini.'
Berkata pula Ciangkui: "Nona yang ikut Toaya datang kemari kemarin malam pernah datang sekali, kelihatannya dia jatuh sakit, karena dia dibopong pulang oleh Kwe Tayhiap yang mengalahkan Lamkiong Wan itu."
"Kemana mereka sekarang?"
"Entahlah! Mereka hanya muncul sebentar saja."
Seorang pelayan segera menambahkan: "Malam itu
kebetulan giliranku lembur, baru saja aku masuk
pekarangan, kulihat selarik sinar terang seperti kilat menyambar. Waktu aku memburu ke sana, kulihat teman
Toaya ini sudah mati terpantek di atas ranjang. Tak lama kemudian Kwe Tay-hiap datang membopong nona itu. Waktu Kwe Tay-hiap berduel dengan Lamkiong Wan, akupun
mencari kesempatan menonton, maka aku mengenalnya.
Namun setelah aku memberi laporan kepada Ciangkui dan
memburu ke kamar itu, ternyata Kwe Tay-hiap sudah pergi dengan nona itu."
Rekaan Yap Kay memang tidak salah. Pedang ini memang
ditimpukkan dari luar jendela, maka pelayan ini melihat selarik sinar pedang laksana kilat menyambar. Waktu si pembunuh hendak menjemput pedangnya, Kwe Ting pun
keburu datang. Agaknya orang turun tangan setelah Cui
Giok-tin membawa lari Yap Kay dan sebelum Kwe Ting
membawa Ting Hun-pin kembali. Waktu hanya sekejap saja, kemungkinan memang dia tidak sempat lagi menjemput
pedangnya, atau mungkin karena timpukkannya terlalu besar sehingga dalam waktu mendesak, dia tidak kuasa
mencabutnya. Bukankah dua orang pelayan hotel ini harus mengerahkan setaker tenaga baru bisa mengeluarkan
pedang itu".
Kemana Kwe Ting membawa Ting Hun-pin" Kenapa tidak
menunggunya di sini" Tidak mencari dirinya pula"
Semua persoalan ini tak ingin Yap Kay memikirkan lagi.
Hanya satu yang terpikir di dalam benaknya, jangan biarkan Han Tin mati secara konyol. Penyesalan hatinya sudah
berubah menjadi amarah dan dendam kesumat.
"Bolehkah pedang ini kubawa?" tanya Yap Kay.
"Sudah tentu boleh....................."
Tanpa banyak bicara Yap Kay segera berlalu.
Keruan Ciangkui tersipu-sipu: "Toaya, apakah kau tidak mau bawa pulang dan mengebumikan jenazah temanmu ini?"
"Aku akan datang lagi, besok lusa aku pasti kembali."
Bukannya Yap Kay tidak tahu maksud Ciangkui, cuma
seseorang yang kantongnya kosong tanpa punya sepeser
uangpun, terpaksa harus pura-pura bodoh.
ooo)dw(ooo Cahaya mentari cerlang cemerlang. Selama sepuluh hari
belakangan ini, baru hari ini kelihatan adanya cahaya
mentari yang begini benderang. Salju yang membeku sudah mencair, lumpur di sepanjang jalan. Tapi orang yang hilir mudik di jalan raya tak terhitung banyaknya. Semua ingin kelayapan atau melakukan kerja apapun mumpung cuaca
begini baik. Merk ema dari Pat-hong Piau-kiok kelihatan kemilau
menguning dan angker sekali ditingkah sinar matahari.
Seorang tua yang mengenakan baju hijau celana sutra
tengah menyapu salju di depan rumah.
Dengan langkah lebar Yap Kay langsung mendekati.
Begitu kakinya melangkah lebar dan berderap kencang,
luka-luka di dadanya lantas senut-senut kesakitan, namun langkahnya masih tetap cepat. Rasa sakit badaniah sudah tidak dihiraukan sama sekali olehnya.
Waktu dia memasuki pekarangan, kebetulan dua orang
tengah melangkah keluar dari pendopo besar. Seorang
berusia empat puluhan, pakaiannya perlente, sikap dan
mukanya gagah keren. Tangannya memegang pelor besi,
berkericikan berbunyi nyaring. Seorang lagi berusia lebih muda, namun memelihara kumis dan jenggot pendek yang
terpelihara baik, mukanya putih halus, demikian pula jari-jarinya halus terpelihara baik.
Yap Kay segera memapak maju. Di waktu hatinya senang
dan perasaan longgar, biasanya dia cukup sopan santun dan ramah tamah. Akan tetapi sekarang hatinya sedang
dirundung sedih dan dilandasi dendam kesumat dan amarah yang meluap.
Tanpa bersoja atau memberi hormat, langsung dia
bertanya: "Siapakah yang menjadi Cong-piau-thau di sini?"
Laki-laki setengah baya yang memegangi pelor besi
mengawasi dari kepala sampai ke kaki, katanya menarik
muka: "Akulah yang jadi Cong-piau-thau di sini." terhadap orang yang tidak sopan sudah tentu diapun tidak sungkan-sungkan lagi. Memang Thi-cui-tin-pat-hong (Mulut besi
menggetarkan delapan penjuru angin) Cay Ko-kang tidak
gampang dibuat permainan.
"Memangnya kau ini siapa" Mencari siapa pula?"
"Aku mencarimu." sahut Yap Kay.
"Ada petunjuk apa?"
"Ada dua hal."
"Silahkan katakan dulu satu persatu."
"Aku minta pinjam 500 tail perak. Dalam tiga hari pasti kukembalikan."
Cay Ko-kang tertawa, namun sorot matanya dingin tajam, katanya sambil menatap dada Yap Kay: "Kau terluka."
Ternyata luka-luka di dada Yap Kay pecah pula, darah
merembes keluar membasahi pakaiannya.
Cay Ko-kang menyeringai dingin, katanya kalem: "Kalau kau ingin terluka sekali lagi, lebih baik kau lekas kembali dari arahmu datang tadi."
Yap Kay balas menatapnya bulat-bulat, katanya tak kalah kalemnya: "Sudah lama kudengar, Thi-cui-tin-pat-hong adalah laki-laki yang malang melintang dan sewenang-wenang, agaknya memang tidak salah ucapan orang lain itu."
Cay Ko-kang hanya menyeringai lebar.
Yap Kay berkata: "Aku hanya minta 500 tail, kau boleh tidak usah memberi. Kenapa ingin aku terluka sekali lagi"
Kenapa aku harus menggelinding pergi?"
Cay Ko-kang murka, bentaknya: "Aku justru ingin kau menggelinding pergi.", mendadak dia turun tangan
merenggut baju leher Yap Kay, pikirnya dia hendak
cengkeram kuduk Yap Kay lantas melemparnya keluar. Jari tangannya kasar, besar dan kuat, otot hijau merongkol
keluar, jelas dia ada meyakinkan Eng-jiau-kang atau ilmu sebangsa itu.
Yap Kay tidak bergerak. Tapi cengkeraman orang tidak
mengenai Yap Kay, namun dia mencengkeram tangan Yap
Kay. Karena tahu-tahu Yap Kay angkat tangan menepak
cengkeraman jari tangan orang. Jadi sepuluh jari saling cengkeram dan pegang.
Cay Ko-kang tiba-tiba menghardik: "Putus!"
Dia yakin Eng-jiau-kang latihannya sudah mencapai
tingkat ke sembilan, maka dia bermaksud menekuk dan
meremas putus jari-jari Yap Kay.
Sudah tentu jari-jari Yap Kay tidak terluka tidak putus.
Sekonyong-konyong Cay Ko-kang sendiri rasakan jari
lawan mempunyai tenaga remas dan gerakan yang lebih kuat puluhan lipat dari kekuatannya. Asal orang mau kerahkan tenaga, kelima jarinya terang akan putus sendiri.
Memang, pisau terbang hanya bisa disambitkan dengan
kekuatan tenaga jari, tanpa dilandasi kekuatan jentikan jari yang maha kuat, mana mungkin timpukan pisau terbang tak pernah gagal dan mampu menembusi apapun jua.
Berubah hebat muka Cay Ko-kang, dia tidak berani
bercuit lagi. "Bila kelak kau hendak memotes putus jari orang, lebih baik kau gunakan otakmu lebih dulu." demikian Yap Kay memberi peringatan. Mendadak dia lepaskan tangannya
terus putar badan tinggal pergi.
Laki-laki muda yang sejak tadi menggendong tangan dan
menonton dari samping, kini tiba-tiba bersuara: "Harap tunggu sebentar."
Yap Kay berhenti, tanyanya: "Kau punya 500 tail untuk ku pinjam?"
Laki-laki muda itu tertawa, tanyanya tanpa menjawab
pertanyaan orang: "Saudara she apa?"
"Aku she Yap." sahut Yap Kay.
"Yap artinya daun?"
Yap Kay manggut-manggut.
"Yap Kay?" seru laki-laki muda dengan menatapnya.
Yap Kay manggut-manggut.
"Ya, Kay artinya senang terbuka."
Tersirap darah Cay Ko-kang, serunya terbeliak: "Kenapa tidak tuan katakan sejak tadi?"
"Aku ini bukan orang yang suka main-main ketenaran, yang jelas aku kemari mau pinjam uang, dalam tiga hari pasti kukembalikan."
"500 tail sudah cukup?"
"Aku hanya ingin membeli dua buah peti mati saja."
Cay Ko-kang tidak berani banyak tanya lagi. Kasirnya
yang cerdik ternyata sudah mempersiapkan 500 tail uang dan berdiri di belakangnya.
"Silahkan terima!" katanya kemudian.
Tanpa sungkan-sungkan Yap Kay menerimanya.
Penguburan Han Tin bukan saja harus segera diselesaikan, demikian pula jenazah Ih-me-gao harus dia kubur.
Cay Ko-kang yang sekarang munduk-munduk hormat
bertanya pula: "Tuan tadi ada dua persoalan?"
"Aku masih ingin mencari tahu seseorang."
"Siapa?"
"Lu Di, Pek-ie-kiam-kek Lu Di."
Tiba-tiba terunjuk mimik yang aneh pada muka Cay Kokang. "Khabarnya dia sudah berada di Tiang-an, kau tahu di mana dia berada?" tanya Yap Kay.
Pemuda yang memelihara kumis jenggot itu tiba-tiba
tertawa, katanya: "Inilah aku, ada di sini."
Sikap dan tindak-tanduk pemuda ini amat sopan dan
ramah tamah. Tampangnya ganteng, lemah lembut,
pakaiannya adalah jubah putih mulus, sorot matanya
berkilauan dingin menampilkan rasa congkak dan bangga
akan diri sendiri.
"Jadi kau ini Lu Di?" tanya Yap Kay dengan mengawasinya lekat-lekat.
Pemuda itu mengiyakan seraya menganggukkan kepala.
Yap Kay lantas membuka buntalan kain kuning, serta
keluarkan pedang, lalu menjepitnya dengan kedua jarinya serta angsurkan gagang pedang ke depan orang.
"Kau kenal pedang ini?"
Lu Di tidak menerima, hanya dipandangnya sebentar,
katanya: "Inilah Siong-hun-kiam dari Bu-tong-pay."
"Apakah hanya murid Bu-tong-pay saja yang bisa
memakainya."
Lu Di mengiyakan.
"Apakah kaupun murid Bu-tong-pay" Apakah pedang ini milikmu."
"Ya, aku murid Bu-tong-pay, tapi pedang ini bukan milikku."
"Lalu di mana pedangmu?"
"Belakangan ini aku tidak pernah pakai pedang lagi."
"Menggunakan tangan?"
Lu Di menggendong tangannya, sahutnya dingin: "Benar!
Ada tangan sementara orang juga boleh dianggap sebagai senjata tajam."
"Tapi kalau kau ingin membunuh orang dari luar jendela, tetap harus pakai pedang."
Lu Di mengerut kening, agaknya tidak mengerti apa
maksud perkataannya.
"Karena tanganmu kurang panjang!"
"Apa sih maksudmu?"
"Apa maksudku kau sudah tahu sendiri."
"Maksudmu, aku membunuh orang dengan pedang ini"
"Kau menyangkal?"
"Siapa yang kubunuh?"
"Setiap kali kau bunuh orang, selamanya tidak pernah tanya siapa dia."
"Sekarang aku bertanya."
"Dia she Han bernama Tin."
"O, Han Tin?" Lu Di berpaling kepada Cay Ko-kang, tanyanya: "Kau tahu orang ini?"
Cay Ko-kang manggut-manggut, sahutnya: "Dia adalah kantong wasiat Wi Thian-bing, orang menjulukinya gurdi."
Terunjuk rasa lega dan menyepelekan pada sorot mata Lu Di, tanyanya pada Yap Kay: "Pernah apa si gurdi ini dengan kau?"
"Seorang temanku!"
"Kau menuntut balas bagi temanmu?" tanya Lu Di, "kau kira akulah pembunuhnya?"
"Memangnya bukan kau?"
"Anggaplah aku pembunuhnya, memangnya kenapa".
Jangan kata hanya terbunuh seorang, sepuluh seperti itu yang kubunuh, tidak menjadi soal, dan boleh anggap akulah pembunuhnya."
Yap Kay tertawa ringan, katanya dingin: "Kau kira kau siapa?"
"Seorang yang tidak gentar menghadapi perkara. Setelah luka-lukamu sembuh, kapan saja kau ingin menuntut balas, pasti kulayani."
"Tidak usahlah! Kenapa mengulur waktu?"
"Sekarang juga kau ingin turun tangan?"
"Cuaca hari ini cukup baik, tempat inipun tidak jelek."
Lu Di mengawasinya lekat-lekat, katanya kemudian: "Tadi kau bilang beli dua peti mati, satu untuk Han Tin, lalu yang lain untuk siapa?"
"Untuk Ih-me-gao."
"Jik-mo-jiu Ih-me-gao?" seru Lu Di, "dia sudah terbunuh olehmu?"
"Setiap membunuh orang, takkan kulupakan untuk
membereskan jenazahnya."
"Baik! Jikalau kau mampus, anggap[lah aku yang membeli dua peti mati ut, demikian pula peti matimu."
"Tidak perlulah!", ujar Yap Kay, "kalau aku mati, lebih baik kau lempar mayatku ke selokan menjadi mangsa anjing keparat."
Tiba-tiba Lu Di gelak-gelak, serunya menengadah:
"Bagus, bagus sekali!"
"Bagaimana kalau kau yang mampus?" tanya Yap Kay.
"Kalau aku mati, boleh kau teliti badanku, duduklah di depan layon Han Tin, dan sayatlah daging badanku dan
telanlah diiringi arak!"
Yap Kay bergelak tawa, serunya: "Bagus, bagus sekali!
Laki-laki sejati menuntut balas bagi sakit hati teman, memang harus demikian." tiba-tiba dia putar badan membelakangi Lu Di.
Karena gelak tawanya barusan sehingga luka-lukanya
pecah dan darahpun merembes keluar.
Berdiri di bawah pancaran sinar surya, Lu Di tetap
menggendong ke dua tangannya. Agaknya dia teramat
sayang dan memandang ke dua tangan sendiri bagai pusaka lebih berharga dari jiwa sendiri, maka menjadi pantangan bagi dia kalau tanpa perlu, tangannya takkan boleh dilihat orang.
Pelan-pelan Yap Kay menghampiri ke depan orang.
Kembali dia angsurkan pedang kepada orang: "Inilah pedang milikmu!"
Dengan tertawa dingin Lu Di terima pedang itu.
Mendadak dia ayun tangan, pedang itu melesat terbang,
'tok' menancap amblas seluruhnya ke batang pohon 5
tombak di depan sana. Betapa besar tenaga timpukannya ini,
kiranya cukup untuk melubangi badan orang dan cukup
memantek badan orang di atas ranjang.
Memicing mata Yap Kay, katanya dingin: "Bagus, memang pedang piranti membunuh orang."
Lu Di tetap menggendong tangan, katanya congkak:
"Sudah kukatakan, aku tak pernah pakai pedang lagi."
"Tadi sudah kudengar."
"Waktu membunuh orang, tentunya kaupun tidak
menggunakan pedang?" tanya Lu Di.
"Selamanya tidak."
Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lu Di menatap tangannya, tanyanya tiba-tiba: "Mana pisaumu?".
Sudah tentu dia tahu akan pisau Yap Kay. Boleh dikata
tiada insan persilatan yang tidak kenal akan pisaunya.
Yap Kay balas menatapnya bulat-bulat. Lama sekali baru dia bersuara dingin: "Di sini!", sekali tangannya berbalik dan diacungkan, tahu-tahu pisau sudah berada di antara sela-sela jarinya.
Pisau yang kemilau menyilaukan mata. Pisau yang tipis
tajam ditingkah matahari menimbulkan sinar reflek yang cemerlang. Kalau di tangan orang lain, pisau ini takkan dipandang senjata ampuh, tapi di tangan Yap Kay" Tiba-tiba mengerut kejang kelopak mata Lu Di, demikian pula Cay Ko-kang yang jauhnya lima tombak di belakang sana, merasakan napasnya sesak dan seperti mau berhenti.
Akhirnya tercetus pujian dari mulut Lu Di: "Bagus!
Memang pisau yang membunuh orang."
Yap Kay tertawa, tiba-tiba dia ayunkan pisaunya, sekali berkelebat, tiba-tiba pisau sudah lenyap.
Pisau itu seolah-olah menghilang di telan angin tanpa
bekas. Umpama orang yang punya pandangan mata paling
tajam dan jeli sekalipun hanya melihat sinar pisau
berkelebat sekali di tempat kejauhan, tahu-tahu sudah tak berada lagi di tangannya. Jelas kekuatan dan kecepatan dari gerak pisau ini, takkan ada orang yang bisa melukiskan dengan kata-kata.
Mau tak mau berdegup dan tersirap darah Lu Di,
teriaknya bertanya: "Apa sih maksudmu?"
Yap Kay tertawa tawar: "Kau tidak menggunakan pedang, kenapa aku harus pakai pisau?"
Lu Di mengawasinya dengan tajam, sorot matanya
menampilkan mimik aneh, lama sekali tiba-tiba dia ulurkan ke dua tangannya.
"Lihatlah tanganku ini."
Dalam pandangan orang lain, tangan itu tiada ubahnya
seperti tangan orang biasa, tiada sesuatu tanda dari
keistimewaan atau keluar biasaannya. Jari-jarinya lencir panjang terpelihara baik, selalu terpelihara bersih. Memang cocok bagi pemuda yang punya pendidikan tinggi dan suka kebersihan.
Tapi Yap Kay justru sudah mendapatkan sesuatu
keanehan, kalau tidak mau dibilang sebagai sesuatu
keajaiban. Tangan ini kelihatannya tidak berotot dan berurat nadi, kulitnya yang mengkilap licin dan halus memancarkan
kemilau tak ubahnya seperti barang keras sebangsa logam.
Jari-jari tangan ini seperti bukan terbuat dari darah
daging manusia umumnya, kelihatannya mirip logam yang
aneh, bukan emas, tetapi lebih mahal dari emas, bukan baja tapi lebih keras dari baja.
Berkata Lu Di dengan menatapi ke dua tangannya: "Kau sudah melihat jelas, ini bukan tangan, inilah senjata piranti membunuh orang."
Yap Kay tak bisa menyangkalnya.
"Kau kenal pamanku?" tanya Lu Di.
Yang dimaksud adalah Oen-ho-gin-kan Lu Hong-sian.
Sudah tentu Yap Kay tahu akan kebesaran nama orang.
"Inilah ilmu yang dulu beliau yakinkan. Nasibku jauh lebih beruntung karena sejak berumur tujuh tahun aku
meyakinkan ilmu ini."
Setelah namanya kenamaan, baru Lu Hong-sian latihan,
maka hasilnya hanya tiga jari tangannya saja yang berhasil dilatihnya sempurna.
Lu Di berkata: "Dia yakinkan ilmu macam ini karena selamanya dia tidak sudi diungkuli orang lain."
Perlu diketahui, di dalam buku daftar senjata ciptaan Pek Siau-seng, Oen-ho-gin-kan terdaftar nomor lima di abwah Thian-ki-sin-pang, Liong-hong-siang-hoan, Siau-li-hwi-to dan Siong-yang-thi-kiam.
Lu Di berkata: "Setelah Pek Siau-seng membuat daftar senjata itu, pamanku berlatih tekun selama sepuluh tahun, baru muncul pula di Kang-ouw. Dengan tangan hasil
gembelengannya itu, dia ingin menjajal siapa sebenarnya yang patut dicantumkan di urutan paling atas."
Sampai di sini dia berhenti dan tidak melanjutkan
keterangannya, karena Lu Hong-sian belakangan kalah. Kalah di tangan seorang perempuan. Perempuan secantik bidadari, namun hidupnya seolah-olah sudah dikodratkan untuk
menjebloskan laki-laki ke dalam neraka. Itulah Lim Sian-ji.
"Pamanku pernah bilang," kata Lu Di lebih lanjut, "ini bukan terhitung tangan manusia lagi, namun adalah gaman tajam piranti membunuh orang. Kini patut diagulkan dan berani dicantumkan di deretan teratas dalam buku daftar alat senjata."
Yap Kay diam dan mendengarkan tanpa memberi
komentar, dia tahu apa yang dikatakan Lu Di memang
kenyataan. Selamanya dia tidak pernah menukas
pembicaraan orang.
Lu Di angkat kepala menatapnya pula, katanya:
"Bagaimana kau bisa menghadapi senjata tajam yang khusus untuk menamatkan jiwa orang dengan bertangan kosong
saja?" "Aku ingin mencobanya." sahut Yap Kay.
Lu Di tidak banyak tanya, Yap Kay pun tidak bicara pula.
Kini apapun yang dibicarakan rasanya sudah berlebihan.
ooo)dw(ooo Cahaya matahari semakin terik, namun Cay Ko-kang
justru merasa bergidik kedinginan dicekam oleh suasana tegang yang dihadapinya. Bahwa pakaian yang dipakainya sebetulnya sudah mulai hangat karena cahaya matahari yang mulai panas. Tapi tiba-tiba terasa hawa dingin mulai timbul dalam lubuk hatinya.
Kalau pisau sudah lenyap di balik mega, pedangpun sudah menancap di dahan pohon, maka dingin ini bukan lantaran hawa pedang atau pisau, namun rasa dingin ini jauh lebih tajam dari ujung pisau atau tajamnya pedang. Sebetulnya Cay Ko-kang sudah tidak ingin tinggal di dalam pekarangan ini, tapi betapapun dia berat dan tak tega meninggalkan pekarangan ini. Siapapun bisa membayangkan duel ini pasti merupakan pertempuran seru dan sengit yang menggetarkan nyali dan hati setiap orang yang menontonnya, akan selalu berkumandang dan abadi di dalam lembaran sejarah dunia persilatan. Memangnya siapa yang mau menyia-nyiakan
kesempatan baik ini".
Hanya satu harapan Cay Ko-kang, supaya mereka lekas
mulai dan lekas berakhir, tapi Yap Kay tidak turun tangan, demikian pula Lu Di berdiri diam tak bergeming.
Sebagai penonton Cay Ko-kang tidak kuat mengendalikan
diri karena adanya tekanan yang menakutkan ini, namun
mereka-mereka yang bersangkutan justru kelihatannya
acuh tak acuh. Apakah lantaran tekanan ini adalah mereka sendiri yang mengeluarkan, maka mereka sendiri tidak
merasakannya sama sekali"
Jelas terlihat oleh Cay Ko-kang, sikap dan mimik Yap Kay masih sedemikian tenang, dingin dan tabah. Sorot matanya
yang mengandung dendam membara kini sudah mereda dan
tidak kelihatan lagi. Tentunya dia sudah tahu di dalam keadaan dan situasi seperti ini, kemarahan dan emosi hanya merupakan pukulan batin yang akan mengakibatkan
kekalahan. Sikap congkak Lu Di pun sudah tak kelihatan pula. Di
saat-saat duel yang menentukan mati hidup ini sekali-kali pantang sedikit lena, congkak juga merupakan titik
kelemahan yang bisa mengakibatkan kematian.
Tidak sedikit Cay Ko-kang pernah melihat duel dua tokoh silat kosen, namun kesalahan seperti congkak, marah, sedih, takut dan lain, semua merupakan titik tolak yang paling sulit untuk dihindari oleh setiap insan persilatan. Tapi sekarang, tiba-tiba terasakan olehnya, kedua pemuda yang
berhadapan ini sedikitpun tidak menunjukkan kesalahankesalahan yang pernah dilihatnya pada orang lain.
Perasaan hati dan sikap mereka, gayanya berdiri, jelas merupakan kesempurnaan di dalam membina diri demi
mencapai kemenangan yang mutlak. Memangnya siapa yang
bakal menang dalam duel ini" Sulit Cay Ko-kang memberikan penilaian. Yang jelas baginya bahwa tidak sedikit insan persilatan sana beranggapan bahwa Yap Kay merupakan
musuh paling menakutkan dalam Bu-lim jaman ini. Pernah dia dengar orang bilang, bila sekarang ada orang menciptakan buku daftar senjata, pasti pisau Yap Kay akan dicantumkan paling atas. Tapi sekarang dia tidak membawa pisau, namun demikian sikap dan perbawanya sudah menunjukkan tekanan yang mendesak, apakah Yap Kay bisa menang".
Cay Ko-kang juga tahu, sepasang tangan Lu Di merupakan tangan yang paling menakutkan di bilangan dunia persilatan, kedua tangan itu sudah mendekati Kim-kong-put-hoay,
sudah tiada seorang atau senjata apapun yang mampu
merusak atau menghancurkan tangan ini. Lu Di bisa menang"
Sudahkah Cay Ko-kang memberikan putusannya"
Kelihatan Yap Kay amat tenang tabah dan punya
keyakinan, kecuali pisau, dia pasti mempunyai ilmu silat yang menakutkan. Ilmu yang tak pernah terbayangkan oleh
siapapun, kalau sekarang ada seorang lain mengajak Cay Ko-kang bertaruh, mungkin dia berani bertaruh bagi
kemenangan Yap Kay. Dia beranggapan kesempatan Yap Kay mencapai kemenangan dua bagian lebih unggul dari Lu Di.
Tapi dia salah, karena dia tidak bisa meraba perasaan
anubari Yap Kay saat ini, diapun tidak tahu bahwa sesuatu yang terlihat oleh Yap Kay sudah cukup bikin dia tertawa getir, perutnya mual dan mengeluarkan air getir.
ooo)dw(ooo Sejak Lu Di melemparkan pedangnya tadi, Yap Kay sudah
merasa simpati kepada pemuda yang congkak ini, tapi dia pernah mendengar dua patah kata 'Perbedaan antara musuh dan sahabat, tak ubahnya seperti perbedaan antara hidup dan mati'.
'Jikalau ada orang ingin kau mati, maka kaupun harus
menginginkan kematiannya, dalam hal ini kau tidak akan diberi kesempatan untuk memilih', itulah wejangan yang pernah diberikan Ah Hwi kepadanya.
Ah Hwi tumbuh dewasa di dalam kehidupan liar yang
menelan kelemahan dan jayalah yang kuat. Itulah hukum
rimba yang berkuasa atas insannya, merupakan perundangundang akan mati hidup di dalam kehidupan liar itu pula.
Maka di saat menghadapi detik-detik menentukan dalam
duel antara mati dan hidup ini, sekali-kali pantang timbul rasa simpati dan bersahabat dengan musuh, terlebih pula tidak boleh merasa sayang dan suka padanya.
Yap Kay cukup mengerti akan pengertian ini, maka dia
tahu unsur untuk mencapai kemenangan dalam duel ini bukan melulu mengutamakan 'kecepatan' dan 'telengas', tapi
adalah 'tabah' dan 'telak', karena mungkin saja Lu Di lebih cepat, lebih telengas dari dirinya. Karena dadanya sekarang sedang terbakar dan sakit seperti disulut api, bukan saja karena luka-lukanya pecah dan kambuh, luka-lukanya itupun sudah mulai bernanah dan membusuk. Yang terang obat yang diberikan Biau-jiau-long-tiong bukan obat dewa yang dapat menimbulkan keajaiban di dalam waktu dekat.
Derita dan sakit ada kalanya memang menimbulkan
kesadaran dan kejernihan pikiran. Sayang sekali kondisi dan tenaga badan sudah tidak mungkin bekerja dan berpadu
dengan semangatnya. Maka sekali turun tangan dia harus yakin dapat merenggut jiwa lawan, sedikitnya bila dirinya sudah mendapat tujuh keyakinan, baru boleh turun tangan.
Oleh karena itu dia perlu dan harus menunggu kesempatan yang paling baik.
Bila lawan menunjukkan perubahan kelemahannya, dan
setelah lawan menjadi lemah dan patah semangat, dia
menunggu kesempatan yang diberikan kepadanya. Tapi dia menjadi kecewa dan putus asa, selama ini dia belum juga mendapat peluang yang diharapkan dari Lu Di.
Kelihatannya Lu Di hanya berdiri adem-ayem dan
sembarangan saja, seluruh badannya dari atas sampai bawah kelihatan terdapat banyak peluang yang kosong. Perduli dari arah manapun Yap Kay turun tangan, kelihatannya akan
mencapai harapan dengan mudah.
Akan tetapi terbayang pula olehnya kata-kata yang
pernah dikatakan Siau-li Tham-hoa kepadanya dulu. Dulu, duel yang terjadi antara Ah Hwi dengan Lu Hong-sian hanya Li Sin-hoan saja yang hadir dan menyaksikan. Lu Hong-sian pada waktu itu tak ubahnya dengan Lu Di yang sekarang
dihadapinya. 'Waktu itu pedang Ah Hwi kelihatan sembarang waktu
bisa menusuk kemana saja sesuai keinginan hatinya
mengarah ke badan orang, tapi kalau peluang yang kosong itu terlalu banyak, malah bukan menjadi peluang lagi.
Seluruh badannya seolah-olah sudah berubah menjadi
sesuatu yang kosong melompong. Kekosongan ini justru
merupakan taraf tertinggi dari latihan ilmu silat yang sudah mencapai tingkatan yang tiada taranya. Pisau terbangku sedikitnya mempunyai banyak kesempatan dan aku punya
sembilan keyakinan. Tapi kalau waktu itu aku menjadi Ah Hwi, pisau terbangku belum tentu berani kusambitkan
kepada Lu Hong-sian lebih dahulu.", setiap patah kata yang pernah diucapkan Li Sin-hoan, tidak pernah dilupakan oleh Yap Kay. Kini apakah Lu Di juga sudah mencapai kekosongan itu"
Tiba-tiba Yap Kay menyadari bahwa dirinya terlalu
rendah menilai pemuda yang satu ini. Orang ini baru benar-benar merupakan lawan tertangguh yang belum pernah dia jumpai selama hidup.
Walau dia tidak sampai melanggar kesalahan yang
mematikan, tapi dia justru telah kehilangan unsur
terpenting untuk mencapai kemenangan, yaitu dia kehilangan keyakinan dan kepercayaan pada diri sendiri untuk mencapai kemenangan.
Lu Di terus menatapnya dingin, sorot mata semakin
cemerlang, semakin dingin dan sadis, mendadak tercetus dua patah kata dari mulutnya: "Kau kalah!"
Yap Kay belum turun tangan, tapi Lu Di sudah
mengatakan dia kalah. Kata-katanya memang tidak
berlebihan, laksana ujung pedang yang menghunjam lukaluka akan kepercayaan Yap Kay pada dirinya.
Ternyata Yap Kay tidak menyangkal, karena secara tibatiba dia melihat Lu Di akhirnya memberi kesempatan
kepadanya. Seseorang bila buka mulut berbicara, semangat dan ketegangan kulit dagingnya pasti akan mengendor.
Muka Yap Kay menampilkan rasa sedih, karena dia tahu
semakin sedih sikap yang dia tampilkan, muka Lu Di semakin tidak akan memberi peluang kepadanya. Di dalam duel
antara mati hidup ini, kalau bisa dan dapat cara untuk menyiksa musuhnya, siapapun takkan menyia-nyiakan
kesempatan ini.
Lu Di berkata lebih lanjut: "Tenagamu sudah takkan kuat bertahan lebih lama, cepat atau lambat pasti akan
berantakan, maka tak usah kau turun tangan, aku tahu kau sudah kalah."
Tepat pada perkataannya terakhir, tiba-tiba Yap Kay
turun tangan. Hanya kesempatan baik inilah yang dia
peroleh. Di saat semangat dan pertahanannya mengendor,
meski orang tiada titik kelemahan, tapi Yap Kay sudah punya kesempatan untuk menggempurnya.
Yap Kay memang tidak menggunakan pisau, tapi
kecepatan turun tangannya takkan lebih lambat dari
samberan pisaunya. Jari-jari tangan kiri mencakar seperti kuku harimau, seperti cakar garuda, sementara jari-jari tangan kanan terjulur lempang, tiada orang yang bisa
membedakan, dia pakai kepelan, telapak tangan atau Eng-jiau-lat" Atau menggunakan Thi-ci-lat" Perubahan dari
jurus serangan tangannya ini rumit dan bervariasi, tiada orang yang bisa menentukan ke arah mana sasaran serangan ke dua tangannya ini.
Dia harus memancing gerakan Lu Di untuk menggugurkan
pertahanan dan ketenangan orang. Sedikit bergerak saja kekosongan itu akan seketika berubah berisi. Itu pertanda orang sudah menunjukkan lubang kelemahan. Ternyata Lu Di memang bergerak, lubang kelemahannya berada di atas
kepala. Kontan Yap Kay gerakkan kedua tangannya menggempur
ke atas kepalanya. Inilah serangan mematikan, serangan yang menamatkan jiwa orang.
Tapi belum lagi serangannya mencapai sasaran, tiba-tiba hatinya merasa mendelu dan mencelos, karena disadarinya bahwa serangannya ini membuat lubang kelemahan di depan dada sendiri terpampang kelemahan di hadapan orang.
Memang, dada merupakan titik kelemahan yang paling vital di seluruh badan, apalagi dadanya sedang terluka.
Siapapun bila tahu titik kelemahan sendiri, kemungkinan digempur musuh, hatinya pasti akan lembek, kuatir dan
tanganpun akan menjadi lemas.
Kekuatan gempuran Yap Kay tidak sedahsyat biasanya.
Demikian pula kecepatannya tidak lebih pesat dari biasanya.
Mendadak dia menyadari pula bahwa Lu Di memang sengaja memancing dengan menunjukkan lubang kelemahan di atas
kepala ini. Sengaja orang memberi kesempatan dirinya turun tangan, lalu sengaja pula menunjukkan lubang kelemahan ini, maksudnya untuk mengincar lubang kelemahan dirinya.
Inilah suatu jebakan atau perangkap yang benar-benar
mematikan. Kini bagai seorang picak yang kecemplung ke dalam lubang jebakan, untuk menolong dan memperbaiki
kesalahannya sudah tak sempat lagi.
Tangan Lu Di yang menakutkan itu tahu-tahu sudah tiba
di depan dadanya. Bukan tangan, namun senjata yang
mematikan. Seketika berubah air muka Cay Ko-kang. Baru sekarang
dia menyadari bahwa penilaiannya barusan salah sama sekali.
Dia lihat itulah serangan telak dan mematikan, yang tak mungkin bisa dielakkan.
Tak nyana pada detik-detik yang amat kritis itu, badan Yap Kay tiba-tiba melambung ke atas seperti daun yang
tiba-tiba terhembus angin melayang ke udara.
Takkan ada orang di dalam detik-detik yang kritis
seperti itu bisa melompat ke atas di dalam keadaan dan dengan gaya seperti itu, boleh dikata hal ini sudah tidak mungkin dan dibayangkan. Tapi Ginkang Yap Kay memang
sudah mencapai taraf yang tidak mungkin ini.
Tak tertahan Cay Ko-kang menjerit memuji keras:
"Ginkang bagus!"
Tidak ketinggalan Lu Di pun ikut berseru memuji:
"Ginkang hebat!"
Kata-kata pujian ini serempak terucapkan, namun belum
lagi suara mereka lenyap, tiba-tiba Yap Kay melorot jatuh mentah-mentah dari atas. Ternyata tangan Lu Di sudah
memukul ke tulang selangkangan.
Waktu menggunakan gerakan Ginkang untuk menolong
diri, Yap Kay pun sudah menyadari bahwa dirinya berhasil lolos dari pukulan maut Lu Di yang pertama, sayang sekali jurus kedua tak mampu lagi ia kelit. Di waktu badannya melambung ke atas, kekosongan pada bagian badan
bawahnya sudah digempur pecah oleh lawan. Hanya itulah satu-satunya cara yang bisa dia lakukan, yang jelas dadanya terang takkan kuat menerima gempuran dahsyat tangan Lu Di. Akan tetapi pukulan yang mengenai tulang
selangkangannya inipun amat besar deritanya.
Terasa tangan Lu Di seperti godam yang menghancurkan
tulangnya, malah kuping sendiripun mendengar suara
tulangnya yang pecah terpukul.
Kembali tak terpikir oleh Yap Kay bahwa tanah yang
becek inipun ternyata sekeras baja, karena waktu dirinya melorot jatuh, justru bagian yang terpukul luka terlebih dahulu menyentuh bumi. Hampir kelengar dia dibuatnya.
Tapi cepat sekali dia sudah tersentak sadar, karena
didapatinya tangan Lu Di sudah berada di depan dadanya.
Kali ini dirinya terang takkan kuasa meluputkan diri dari pukulan tangan orang, tak mungkin melawan dengan
tangkisan segala. Kalau tangannya tetap tangan biasa,
sebaliknya tangan Lu Di adalah alat piranti membunuh orang.
Bagaimanakah rasanya orang mati"
Belum sempat Yap Kay memikirkan hal ini, tiba-tiba
didengarnya Cay Ko-kang menjerit: "Jangan membunuhnya!"
Kedua tangan Lu Di terhenti di tengah jalan, katanya
dingin: "Kau tidak ingin aku membunuhnya?"
Cay Ko-kang menghela napas, ujarnya: "Kenapa kau harus membunuhnya?"
"Siapa bilang aku hendak membunuh dia?"
"Tapi kau.........."
Lu Di menyeringai dingin: "Kalau aku benar hendak membunuhnya, hanya kata-katamu kuasa mengendalikan
aku?" Cay Ko-kang menyengir kecut. Dia tahu dirinya takkan
mampu merintangi orang turun tangan, mungkin tiada orang dalam dunia ini yang mampu mencegahnya.
Lu Di berkata: "Kalau aku benar ingin membunuhnya, sudah sepuluh kali dia mampus."
Memang bukan kata-kata sombong.
Mengawasi pemuda congkak ini, rasa sakit membuat kulit mukanya mengerut kejang, tapi sepasang matanya malah
tenang dan berubah aneh pula. Malah seperti mengandung senyum simpati. Kenapa dia malah tertawa" Dirobohkan dan terluka cukup parah, memangnya sesuatu yang menarik dan membuat hatinya senang"
Lu Di berpaling muka, katanya dengan menatap: "Tahukah kau kenapa aku tidak membunuhmu?"
Yap Kay geleng-geleng.
"Karena kau memang sudah terluka, kalau tidak dengan Ginkangmu yang tinggi, umpama tak bisa mengalahkan aku, akupun takkan bisa mencandak kau."
Yap Kay tertawa, ujarnya: "Bahwasanya kau tidak perlu mencandakku, karena meskipun aku kalah, aku tidak akan melarikan diri."
Lu Di menatapnya lagi, lama sekali baru pelan-pelan dia manggut, katanya: "Aku mempercayaimu," tiba-tiba terunjuk sorot dan mimik yang sama pada Yap Kay, katanya pula: "Aku yakin kau bukan manusia macam itu, maka aku lebih baik takkan membunuhmu, karena akan kutunggu
setelah luka-lukamu sembuh untuk menentukan duel ini
sekali lagi."
"Kau......."
Lu Di menukas: "Karena aku percaya kau takkan
melarikan diri, maka aku yakin kau pasti akan kembali."
"Bila saat-saat yang menentukan itu tiba, kalau aku kembali kau kalahkan, kau hendak membunuhku?"
Lu Di manggut-manggut, katanya: "Pada saat itu, jikalau kau mengalahkan aku, akupun rela kau bunuh."
"Kejadian dalam dunia ini laksana main catur belaka, serba-serbi, dan tidak menentu darimana kau tahu, bila kita bisa menunggu dan mendapatkan kesempatan yang kau
harapkan itu."
"Aku tahu dan yakin."
Tiba-tiba terdengar seseorang menghela napas di luar
tembok, katanya: "Tapi ada sebuah hal tidak kau ketahui."
Lu Di tidak bertanya, diapun tidak mengejar keluar. Dia sedang pasang kuping.
Orang di luar tembok itu berkata: "Kalau hari ini kau benar-benar ingin membunuhnya, sekarang kau sendiripun pasti sudah menggeletak tak bernyawa. Ketahuilah bukan hanya sebatang pisau yang dia bawa."
Kelopak mata Lu Di memicing dan menyusut. Pada detikdetik itu pula tiba-tiba badannya melambung tinggi
menerjang ke arah tembok.
Cay Ko-kang tidak ikut mengejar, dia malah menghampiri dan memayang Yap Kay, katanya menghela napas: "Sungguh tak pernah terpikir olehku, kau bakal dikalahkan."
Yap Kay malah tersenyum, katanya: "Akupun tidak
menduga kau malah menolongku."
Cay Ko-kang tertawa getir, katanya: "Bukan aku
menolongmu, akupun tak bisa menolongmu."
"Cukuplah asal kau mempunyai maksud luhur ini."
Cay Ko-kang tertawa dipaksakan.
Mendadak dia berdiri tegak serta berpesan dengan suara keras: "Lekas siapkan kereta!"
Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ooo)dw(ooo Bagasi kereta lebar dan luas, nyaman lagi. Kereta ini
memang biasanya muat pemilik barang yang hendak
menempuh perjalanan jauh. Kepercayaan Pat-hong Piau-kiok kepada para langganannya memang baik sekali, servis yang diberikan kepada tamu-tamunya teliti dan luar biasa.
Tak terpikir oleh Yap Kay bahwa Cay Ko-kang ternyata
seseorang yang bekerja rapi dan teliti. Di dalam kereta di alasi dulu dengan kemul tebal dari kain beludru, lalu dia bopong Yap Kay naik ke atas kereta.
"Luka-lukanya tidak ringan, harus cepat mencari tabib untuk diobati."
Perhatian dan ketelitian kerja orang benar-benar
membuat Yap Kay haru dan berterima kasih.
Kata Yap Kay menghela napas: "Sebetulnya tak perlu kau bersikap demikian kepadaku, tadi sikapku terlalu kasar kepadamu."
"Siapapun di dalam keadaan seperti dirimu tadi, sikapnya pasti kasar dan berangasan."
"Agaknya bukan saja aku salah menilai Lu Di,
pandangankupun keliru terhadapmu."
"Memang dia tokoh kosen yang belum pernah kulihat seumur hidupku, namun belum tentu dia lebih unggul dari kau."
"Kenyataannya aku sudah dikalahkan."
"Tapi kalau dia benar-benar ingin membunuh kau,
sekarang diapun sudah mampus di tanganmu."
"Kaupun percaya akan hal itu?"
Cay Ko-kang manggut-manggut.
Yap Kay menatapnya, tiba-tiba bertanya: "Tahukah kau siapa yang bicara di luar tembok?"
Cay Ko-kang geleng-geleng, katanya: "Malah aku hendak tanya kepadamu, kau pasti tahu siapa dia."
"Kenapa kau berkesimpulan demikian?"
"Kupikir dia pasti teman dekatmu." jawab Cay Ko-kang,
"karena dia sudah keluarkan isi hatimu yang tidak ingin kau katakan, malah diapun kuatir Lu Di menurunkan tangan jahat kepadamu, maka sengaja dia memancingnya pergi."
"Pikiranmu amat cermat, namun dugaanmu salah."
"Dia bukan temanmu?" tanya Cay Ko-kang.
"Semula memang kukira dia temanku. Kini aku mengharap selamanya tidak pernah aku melihatnya, demikian pula
selanjutnya lebih baik tidak melihat."
"Kau tahu siapa dia?"
Yap Kay tidak menjawab pertanyaan ini, dia malah balas bertanya: "Siapakah tabib yang hendak kau minta
mengobati luka-lukaku?"
"Tabib ini juga seorang aneh, namun kepandaian
pengobatannya amat lihay."
Pelan-pelan Yap Kay manggut-manggut. Cay Ko-kang
masih ingin mengobrol, namun dilihatnya Yap Kay sudah
memejamkan mata. Kelihatannya dia amat letih, memang dia manusia biasa, bukan manusia besi. Setelah luka-luka dan belum sembuh, kini dia harus terluka pula, sudah tentu kondisi badannya makin lemah.
Maka ditariknya kemul oleh Cay Ko-kang untuk menutupi
badan Yap Kay. Terunjuk mimik aneh pada muka Cay Kokang, dari mimiknya ini seolah-olah dia teramat gemas dan penasaran. Ingin rasanya dia sekap kepala Yap Kay dengan kemul tebal ini sampai orang mati tak bisa bergerak. Tapi dia kemudian hanya menutupkan kemul saja ke badan Yap
Kay. Agaknya Yap Kay sudah tertidur. Umpama dia tahu orang
hendak menyekap dirinya dengan kemul sampai matipun, dia takkan kuat melawannya.
ooo)dw(ooo Tengah hari. Kereta itu masih terus melaju, agaknya menempuh
perjalanan yang cukup jauh.
Dengan menggerogoti paha ayam, Cay Ko-kang mengawasi
muka Yap Kay yang pulas dalam impiannya. Agaknya dia
memang sudah mempersiapkan diri menempuh perjalanan
jauh, sampai ransumpun sudah dia siapkan.
Sebagai orang yang cermat, dia hanya seorang diri makan siang. Yang adapun hanya paha ayam, sekerat daging sapi, sepotong roti dan sebotol arak. Agaknya diapun sudah tahu bahwa Yap Kay akan tertidur pulas di perjalanan, karena sebelum naik kereta tadi, dia sudah cekoki Yap Kay
semangkok kuah kolesom yang katanya untuk memulihkan
semangatnya. (Bersambung ke Jilid-10)
Jilid-10 Sebagai majikan dari sebuah perusahaan ekspedisi
pengangkutan, makanan Cay Ko-kang cukup mewah dan lezat, namun sebelum tugas yang dipikulnya selesai, segala apa yang bisa diinginkan terpaksa dikesampingkan. Satu jam lagi, dia sudah akan menyerahkan Yap Kay kepada orang
yang harus dia temui di tempat tujuan, sebelum senja tiba, dia sudah ada di rumah dan makan minum sepuas hatinya.
Habis menenggak sebotol arak, tiba-tiba dia sendiri
merasa letih. Biasanya dia tidak pernah tidur siang hari, namun mumpung iseng, apa halangannya tidur barang satu atau setengah jam untuk memulihkan semangat. Setelah
makan malam nanti dia masih merencanakan sesuatu hiburan yang menyenangkan.
Kereta berjalan di jalan raya yang tidak rata, berguncang seperti perahu yang diombang-ambingkan lautan. Dengan
memejamkan mata, otaknya merancang dan membayangkan
siapa kiranya nanti malam yang harus ditemuinya untuk
menghibur diri". Untuk senang-senang ini sudah tentu harus mengeduk banyak uang dari kantongnya, tapi dua tahun
belakangan ini, dia boleh tidak risau dalam menggunakan uang. Maka dengan senyuman lebar, akhirnya dia pulas.
ooo)dw(ooo Rasanya dia hanya tidur sebentar saja, namun di kala dia tersentak siuman, Yap Kay ternyata sudah tak berada di tempatnya. Pintu kereta masih tertutup, kereta masih
melaju ke depan, tapi Yap Kay sudah lenyap tanpa bekas.
Seketika pucat dan gemetar sekujur badan Cay Ko-kang,
teriaknya: "Berhenti!", sebelum kereta berhenti dia sudah melompat turun merenggut sais kereta.
"Adakah kau melihat orang she Yap tadi turun dari kereta?"
"Tidak!", sahut sais dengan kaget dan melenggong.
"Lalu di mana dia?"
Sais kereta menyengir dingin, katanya: "Dia berada di dalam kereta bersama kau, kalau kau tidak tahu, darimana aku bisa tahu?"
Agaknya sais kereta ini bukan anak-buahnya dan tindaktanduknya tidak hormat terhadapnya.
Kontan Cay Ko-kang rasa perutnya seperti dipelintir
hendak muntah-muntah. Hampir tak tertahan lagi paha ayam dan daging sapi serta arak yang dimakannya tadi hendak dia tuang keluar dari perutnya.
Sais kereta menatapnya dingin-dingin: "Lebih baik lekas kau naik kereta, pulang mempertanggung-jawabkan
tugasmu." Cay Ko-kang tidak punya pikiran untuk melarikan diri. Dia tahu kemanapun dia melarikan diri takkan berguna,
akibatnya malam semakin mengerikan. Di kala kereta
berjalan, dia mendekam di pinggir jendela mulai muntah-muntah. Ketakutan tak ubahnya bau ikan busuk yang amis, selalu bikin orang muntah-muntah.
Setelah melampaui sebuah selat gunung dan maju tak
berapa jauh, tampak di depan sebuah papan lebar di mana ada tertuliskan "Di atas gunung ada harimau, orang lewat ke jalan lain", tapi kereta ini tidak lewat jalan lain.
Jalanan gunung semakin sempit dan rusak, tapi cukup
lebar untuk lewat sebuah kereta yang menyerempet dinding gunung. Setelah tiba di tikungan gunung lain, mereka tiba di sebuah jalan raya. Jalan raya yang tidak kalah lebar dan ramainya dari jalan raya di sebuah kota besar.
Sepanjang jalan dipagari oleh warung-warung makan,
berbagai macam manusia berlalu lalang di tengah jalan.
Siapapun yang berada di sini pasti mengira dirinya tahu-tahu sudah kembali ke kota Tiang-an. Tapi setelah tiba di ujung jalan raya ini, kembali mereka dihadang oleh gunung yang liar dan belukar.
Lari kereta mulai diperlambat pula. Orang-orang yang lalu lalang di jalan seolah-olah adem-ayem dan acuh kepada
kereta yang lewat di samping mereka. Karena mereka sudah kenal kereta ini juga kenal siapa pemiliknya, demikian pula sais kereta sudah mereka kenal betul.
Jikalau orang asing yang mengendalikan kereta ini
mencongklang di jalan raya ini, perduli siapa dia, di dalam waktu singkat pasti jiwanya bakal melayang di tengah jalan.
Tentunya di jalan raya ini takkan ada harimau buas, tapi ada orang-orang yang lebih buas dan lebih liar dari harimau yang paling galak.
ooo)dw(ooo Kereta itu akhirnya masuk ke dalam pekarangan sebuah
penginapan. Papan yang terpancang di depan pintu
bertuliskan Hong-ping. Hotel yang mirip benar dengan
tempat penginapan Yap Kay waktu dia berada di kota Tiangan.
Seorang pelayan yang menyanding kain lap meja di
pundaknya dengan menjinjing sebuah teko segera memapak maju, sapanya: "Apakah Cay-cong-piau-thau datang seorang diri?"
Cay Ko-kang unjuk tawa dipaksakan, sahutnya: "Ya, seorang diri saja."
Tak terunjuk perasaan pada muka pelayan ini, katanya:
"Kamarnya sudah kami siapkan untuk Cay-cong-piau-thau, silahkan ikut aku........"
Pekarangan luas di sebelah belakang rumah terdapat
tujuh kamar besar dan sejuk, tak ubahnya seperti kamar di dalam pekarangan yang di tempati Giok-siau Tojin dan
murid-muridnya. Pada ruang tamu di bagian depan, sudah dipersiapkan sebuah poci arak, sebuah nampan perak
terukir yang dipenuhi berbagai kue-kue tujuh macam.
Seseorang tengah duduk membelakangi pintu, makan
minum sendirian. Seorang yang berperawakan ramping
bersanggul kepala tinggi dengan hiasan tusuk kondai dan mainan yang serba mewah. Itulah seorang gadis jelita yang rupawan melebihi bidadari.
Dengan menunduk kepala, Cay Ko-kang beranjak masuk,
berdiri di belakang orang, menghela napas keras-keraspun tidak berani. Tanpa berpaling gadis itu pelan-pelan angkat cangkir araknya serta ditenggak habis, baru dengan suara merdu dia bertanya: "Kau datang seorang diri?"
Cay Ko-kang mengiyakan.
"Lalu kemana seorang yang lain?"
"Sudah pergi!," jawab Cay Ko-kang gemetar.
Baru sekarang si jelita ini berpaling, raut mukanya
mengulum senyuman mekar. Siangkwan Siau-sian. Sudah
tentu dia adalah Siangkwan Siau-sian.
Berhadapan dengan gadis jelita ini, namun Cay Ko-kang
ketakutan seperti berhadapan dengan iblis jahat.
Halus suara Siangkwan Siau-sian, katanya: "Apa kau mau bilang bahwa Yap Kay sudah menghilang?"
Cay Ko-kang manggut-manggut, giginya gemerutuk, saking ketakutan mulutnya menjadi kaku tak kuasa bersuara.
"Kuah kolesom yang kau siapkan itu, apa tidak kau minumkan kepadanya?", tanya Siangkwan Siau-sian.
"Dia.......sudah dia minum."
"Lalu bagaimana?"
"Lalu kupayang dia naik ke kereta,"
Walau musim dingin, namun keringat Cay Ko-kang
gemerobyos. "Di atas kereta dia sudah pulas belum?"
"Dia sudah tertidur."
"Bagaimana keadaan luka-lukanya?"
"Luka-lukanya tidak ringan."
"Aku tidak mengerti, seseorang yang terluka berat, sudah tidur lagi, cara bagaimana kau melepas dia pergi?"
Cay Ko-kang seka keringatnya, sahutnya: "Aku........tidak melepasnya pergi."
"Aku tahu dia sendiri ingin pergi, tapi masa kau tidak bisa menahannya?"
Semakin di seka semakin gemerobyos keringat dingin Cay Ko-kang, katanya: "Waktu dia pergi, sedikitpun aku tidak tahu."
"Bukankah kau duduk sekereta sama dia?"
"Ya" "Kan aneh, kau duduk sekereta, bagaimana kau tidak tahu kapan dia pergi?"
"Karena.......karena........karena akupun tertidur."
Tiba-tiba Siangkwan Siau-sian tertawa cekikikan, tawa
yang manis dan lembut, katanya: "Aku tahu kau pasti terlampau letih, belakangan ini kau memang terlalu repot."
Pucat pias muka Cay Ko-kang, sahutnya tersendat:
"Aku.....aku tidak letih sedikitpun tidak."
"Kau harus melayani banyak langganan, bukan saja harus melayani para tamu, kau juga harus melayani hiburan cewek-cewek ayu itu. Bagaimana tidak akan meletihkan badanmu","
setelah menghela napas dia menambahkan: "Kupikir kau memang perlu istirahat, biarlah kuberi kau cuti dua puluh tahun saja. Dua puluh tahun kemudian kau akan hidup
kembali sebagai laki-laki yang segar bugar."
Jari-jari tangan Siangkwan Siau-sian tengah pegang
sepasang sumpit gading yang dihiasi perak, mendadak dia tusukkan masuk ke tenggorokan Cay Ko-kang dengan
sepasang sumpitnya ini.
Cay Ko-kang tidak berkelit, dia tidak berani berkelit, yang terang memang dia tidak mampu menyelamatkan diri
dari tusukan ini. Memang, siapa yang mampu meluputkan diri dari serangan Siangkwan Siau-sian.
Tapi pada detik-detik yang menentukan itulah,
sekonyong-konyong sinar kemilau berkelebat, 'Ting...'
sumpit gading di tangan Siangkwan Siau-sian tahu-tahu
putus terpapas di tengah-tengah. Kekuatan samberan sinar kemilau itu masih terlampau kuat dan 'Trap...' akhirnya menancap ke dinding yang dua tombak jauhnya dari tempat duduk Siangkwan Siau-sian. Itulah sebatang pisau, panjang tiga dim tujuh inci.
Entah sejak kapan seseorang tengah beranjak masuk
pelan-pelan dengan tangan berpegang daun pintu. Yap Kay.
Akhirnya Yap Kay datang juga. Pisau terbangnya selalu
keluar dan lebih banyak menolong jiwa orang daripada
membunuh orang. Mukanya kelihatan pucat. Dengan
menggeremet meronta, pelan-pelan dia beranjak maju
menepuk pundak Cay Ko-kang, katanya: "Kau menolongku sekali, akupun menolongmu sekali. Kini kita masing-masing tidak berhutang kepada siapa."
Siangkwan Siau-sian tertawa, katanya: "Ternyata tidak meleset omonganku, memang bukan hanya sebatang pisau
yang kau bawa."
"Mana Lu Di?", ujar Yap Kay tertawa.
"Mana bisa dia mengejarku?" ujar Siangkwan Siau-sian sambil mengawasinya, senyumannya lembut manis.
"Kecuali kau, tiada laki-laki dalam dunia ini yang bisa mengejarku."
Ucapan manis yang mengandung dua arti tersembunyi.
Tapi Yap Kay berlagak tidak mengerti, pura-pura bodoh
memang salah satu keahliannya, malah sorot matanya
celingukan ke sekelilingnya. Katanya sambil menghela napas panjang: "Sungguh tempat ini amat baik sekali!"
"Kau suka tinggal di tempat ini?"
"Kalau aku tertidur terus, setiba di sini baru bangun, pasti kukira aku masih berada di dalam kota, pasti tidak terpikir olehku bahwa markas pusat Kim-cie-pang ternyata berada di sini."
"Sayang, agaknya kau tidak sudi menerima kebaikanku."
"Memang untuk membuatku tidur pulas kau harus
menaruh obat tidur sepuluh sendok di dalam kuah kolesom itu."
"Memang aku yang harus disalahkan, kenapa aku lupa bahwa kau adalah putra tersayang dari salah satu yang
tertua dari Su-thoa-kong-cu dari Mo Kau."
"Oleh karena itu jangan kau menyalahkan Cay-cong-piau-thau, kupercaya dia sendiri tidak tahu, kenapa dia bisa pulas."
"Tapi kau tahu bukan?"
"Begitu berada di dalam kereta, lantas aku mendapatkan ransum yang dia bekal untuk tangsel perut di tengah jalan."
"Apakah kau selalu juga bawa obat bius?"
Yap Kay tertawa, katanya: "Aku hanya sedikit berludah pada paha ayamnya."
"Apakah ludahmu masih mengandung kuah kolesom itu?"
Cay Ko-kang menunduk, mimik mukanya seperti orang
yang mendadak mulutnya disumbat.
"Darimana kau bisa tahu bila Cay-cong-piau-thau hendak membawamu kemari?", tanya Siangkwan Siau-sian.
"Kecuali kau, siapa pula yang mampu membikin kuah kolesom dengan obat bius yang mahal itu?"
"Kau sudah lari, kenapa datang kemari?"
"Karena tiada tempat lain yang cukup buat aku
berteduh." ujar Yap Kay.
Memang hal ini kenyataan. Dia tahu luka-lukanya berat, bila dia tetap berada di kota Tiang-an, mungkin jiwanya takkan berumur panjang. Dirinya tak ubah seekor rase
gemuk, berkulit dan berbulu indah, para pemburu sedang mengejar-ngejar dirinya, burung-burung elang tengah
beterbangan di kota Tiang-an mencari jejaknya.
Tiba-tiba Cay Ko-kang angkat kepala, timbrungnya: "Ada sebuah hal belum ku mengerti."
"Hal apa" Kau boleh tanya." ujar Yap Kay.
"Kau punya maksud datang kemari, kenapa pula harus mempermainkan aku?"
"Karena aku tidak sudi dianggap anak bodoh oleh orang lain, perduli ke manapun, aku harus cari tahu tempat macam apakah yang akan ku tuju."
Siangkwan Siau-sian menghela napas, ujarnya: "Kini terhitung kau sudah tahu tempat apa kediamanku ini.
Untunglah kini akupun sudah memahami satu hal," matanya
mengerling ke arah Cay Ko-kang, katanya menambahkan:
"Kini aku betul-betul tahu siapa sebenarnya yang bodoh."
"Aku....." baru sepatah kata yang keluar dari mulut Cay Ko-kang. Untuk bicara mulutnya harus terbuka, mendadak selarik sinar berkelebat melesat masuk ke dalam mulutnya.
Seketika terasa mulutnya manis dingin, seperti dia makan gula-gula yang mengandung arak.
Siangkwan tersenyum manis, katanya: "Aku tahu kau suka makan permen. Senjata rahasia di kolong langit ini, tiada satupun yang lebih manis dari permen saljuku ini, benar tidak?"
Cay Ko-kang tidak menjawab. Tiba-tiba kulit mukanya
berubah hitam, tenggorokannya tiba-tiba tersumbat,
seperti ada dua tangan yang tidak kelihatan mencekik
lehernya. Cepat sekali napasnya tiba-tiba putus. Waktu arwahnya melayang, mulutnya masih terasa manis.
Siangkwan Siau-sian tetap tersenyum manis, lebih manis dari permen esnya.
Yap Kay tidak tertawa, dia tak bisa tertawa, dia tutup mulut.
"Kau tidak senang?" tanya Siangkwan Siau-sian, "dia pernah menolongmu, kaupun sudah menolongnya, bukankah
utang piutang kalian sudah lunas" Kubunuh dia tiada sangkut pautnya dengan kau lagi."
"Sedikitnya kau bisa membunuhnya di luar, atau di mana saja asal tidak di hadapanku. Tapi kenapa......?"
"Karena aku ingin kau mengerti akan dua hal," ujar Siangkwan Siau-sian, "jikalau kau ingin seseorang bodoh,
tidak sebodoh orang lain, hanya ada satu cara." dengan tersenyum dia awasi mayat Cay Ko-kang serta
menambahkan: "Kini bukankah dia tidak lebih bodoh dari orang lain?"
Di manapun juga orang mati sama saja, tiada orang mati yang lebih pintar dan tiada orang mati yang luar biasa bodoh.
Dengan kalem Siangkwan Siau-sian melanjutkan: "Akupun ingin supaya kau tahu, bila aku ingin membunuh orang, maka dia harus mati. Tiada manusia siapapun dalam jagat ini yang bisa menolongnya, demikian pula dirimu."
Yap Kay tetap tutup mulut.
Mengawasi orang, Siangkwan Siau-sian tertawa
menggiurkan, ujarnya: "Sekarang kau masih segar bugar, karena aku tidak ingin membunuhmu, tidak akan kuberikan permen es untuk kau. Kenapa kau membisu saja" Yang benar ku anggap perbuatanmu terlalu goblok, kenapa tidak kau pakai saja pisaumu menghadapi Lu Di?"
Yap Kay tertawa dingin, sesaat dia termenung, katanya
kalem: "Karena aku ingin membuktikan satu hal."
"Hal apa?"
"Aku ingin tahu apakah Han Tin benar-benar mati karena timpukan pedangnya."
"Jikalau jiwamu sendiri mampus, apa pula untungnya kau tahu akan rahasia itu?"
"Memang, aku terlalu rendah menilai kepandaiannya."
"Kepandaiannya lebih tinggi daripada yang kau
bayangkan?"
Yap Kay manggut-manggut.
"Kau sudah tahu bahwa Han Tin bukan mati di
tangannya?"
"Kalau benar dia yang membunuh Han Tin, pasti diapun akan membunuhku.", ujar Yap Kay, "kenyataan Han Tin bukan dia yang membunuh, maka pasti kaulah yang
membunuhnya. Setelah membunuh Han Tin, sengaja kau
jatuhkan dosamu atas dirinya, maksudmu supaya aku adu
jiwa dengan dia."
Siangkwan Siau-sian menatapnya bulat-bulat, matanya
yang jeli menampilkan perasaan yang rumit. Lama sekali baru dia berkata pelan-pelan: "Apa kau yakin bahwa akulah yang membunuh Han Tin?"
"Kecuali kau, tak terpikir orang kedua." sahut Yap Kay menatapnya juga.
"Tapi, aku benar-benar tidak membunuhnya." kata Siangkwan Siau-sian.
Yap Kay menyeringai dingin.
"Kau tidak percaya?" kata Siangkwan Siau-sian, sambil menghela napas melanjutkan: "Memang aku duga kau tidak akan percaya, apapun yang kukatakan sekarang, kau pasti tidak percaya."
Yap Kay mengakui.
"Tapi kalau aku bisa membuktikan bukan aku yang
membunuh dia, kau bagaimana?"
Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau bisa membuktikan" Bagaimana kau akan
membuktikan?"
"Sudah tentu aku punya caraku sendiri."
"Aku tahu kau punya akal, malah kaupun punya akal bahwa akulah yang membunuh Han Tin."
"Yang terang buktiku ini kenyataan."
"Aku tahu kau punya bukti yang nyata, sembarang waktu kau bisa saja menonjolkan ratusan bukti-bukti."
"Hanya ada satu bukti pada diriku, kalau kau tidak percaya akan bukti yang kutunjukkan, aku rela kau gorok leherku untuk membalaskan sakit hati Han Tin."
Kata-katanya tegas penuh keyakinan.
Hampir saja Yap Kay sudah termakan oleh kata-katanya,
namun dia segera meningkatkan kewaspadaan, supaya
dirinya jangan gampang diakali dan mau percaya begitu saja.
"Perduli bukti apapun yang kau tunjukkan, aku tidak akan mau percaya."
"Jikalau kau percaya, bagaimana?"
"Kalau benar kau bisa membuat aku percaya bahwa bukan kau yang membunuh Han Tin, aku akan....."
"Kau akan apa?"
"Terserah apa yang kau inginkan."
"Kau tahu aku jelas tidak akan bertindak apa-apa
terhadapmu, bukan saja tidak ingin membunuhmu, akupun
tidak ingin kau berduka, aku hanya ingin kau menerima
sebuah permintaanku."
"Permintaan apa?"
"Sesuatu yang tidak akan mencelakai jiwa orang lain, juga tidak akan merugikan seujung rambutmu."
"Baik, kuterima!"
Dia yakin Siangkwan Siau-sian tidak akan bisa
mengeluarkan buktinya, tiada sesuatu dalam dunia ini yang bisa membuatnya percaya akan obrolan Siangkwan Siau-sian.
Tapi kali ini dia salah pikir. Masih ada satu orang dalam dunia ini yang bisa membuktikan bahwa bukan Siangkwan
Siau-sian yang membunuh Han Tin. Lalu siapakah orang ini"
Orang ini bukan lain adalah Han Tin sendiri.
Hakekatnya Han Tin belum mati, ternyata dengan segar
bugar, kembali dia muncul di hadapannya.
Sekali Siangkwan Siau-sian tepukkan tangannya, dia
lantas muncul dari belakang, tangannya menenteng sebuah guci arak, dengan tersenyum dia angsurkan ke depan Yap Kay, katanya: "Akhirnya aku temukan arak ini untuk kau.
Kalau tidak cukup, aku masih bisa mencari yang lain."
Sudah tentu Yap Kay melenggong dan tak habis mengerti.
Kali ini dia benar-benar menjublek.
Siangkwan Siau-sian tertawa-tawa, ujarnya: "Apa orang ini bukan Han Tin?"
Tidak perlu disangsikan lagi. Jelas terlihat oleh Yap Kay hidung orang yang penyok bekas pukulannya tempo hari.
"Bahwa Han Tin masih hidup, sudah tentu aku tidak pernah membunuh Han Tin." demikian kata Siangkwan Siausian, "kau sudah percaya bahwa aku tidak membunuhnya bukan?"
Yap Kay tidak bersuara. Kini dia mengerti, orang yang
terpantek pedang, mampus di ranjang itu bukan Han Tin.
Muka orang itu sudah dirusak maka dia tidak bisa
membedakan apakah dia itu Han Tin yang asli atau palsu.
Terpaksa Yap Kay hanya menyengir tawa, katanya:
"Agaknya dalam Kim-cie-pang memang tidak sedikit kaum ahli. Kau suruh seseorang menyaru jadi Han Tin, lalu
menghancurkan mukanya, menyuruhnya menipu aku."
Siangkwan Siau-sian berkata: "Han Tin sendiri yang melaksanakan, kepalannya amat keras, sedikitnya lebih
keras dari kepalanku."
"Tapi aku tetap tidak mengerti, cara bagaimana ada orang sudi bekerja demi kau, setelah kau hajar dan kau rusak mukanya, masih mau diperalat untuk menipu orang?"
"Waktu kau keluar dari kereta tadi, adakah kau melihat orang-orang di luar itu" Cukup sepatah kataku, apapun yang kuinginkan, mereka akan suka rela melaksanakannya."
"Setelah mereka melaksanakannya, kau tetap membunuh mereka?"
"Memang, aku ini perempuan telengas yang gapah tangan, jiwa orang-orang itu dalam pandanganku tidak berharga
sepeserpun." tiba-tiba terunjuk pula sorot mata aneh, katanya lebih lanjut: "Tapi terhadap kau.................bagaimana sikapku terhadap kau, tentu kau tahu sendiri."
"Sekarang aku hanya ingin tahu, kerja apa yang harus kulaksanakan untukmu?"
Lama Siangkwan Siau-sian menatapnya, katanya: "Aku hanya minta kau mematuhi permintaanku, tinggallah di sini, setelah luka-lukamu sembuh seluruhnya, baru berlalu."
"Hanya itu saja?"
"Hanya ini saja."
Kembali Yap Kay melongo. Mengawasi orang tiba-tiba
timbul perasaan yang sukar dia resapi sendiri.'........terhadap orang lain aku bertindak kejam, tapi bagaimana terhadapmu, tentu kau mengerti sendiri......'. Jadi sengaja perbuatan segala usahanya melulu hanya untuk Yap Kay.
Yap Kay bingung dan tidak habis mengerti, selalu dia
tidak mau percaya dan tidak rela percaya, tapi dia di hadapi kenyataan dan mau tidak mau harus percaya.
Siangkwan Siau-sian berkata dengan perasaan seorang
gadis yang dilanda asmara: "Sebetulnya banyak cara bisa kugunakan untuk menahanmu di sini, tapi aku tidak ingin memaksa kau, maka ku ingin kau sendiri yang menerima
permintaanku."
Yap Kay menghela napas, ujarnya: "Memang, aku toh sudah menerimanya."
ooo)dw(ooo Di belakang pekarangan terdapat sebuah dapur kecil, bau bubur yang wangi telah teruar dari dapur kecil itu.
Siangkwan Siau-sian berada di dapur, tengah memasak
bubur, bubur ayam dicampur kolesom.
Bau makanan yang sedap menjadikan perut Yap Kay
keroncongan. Sejak tadi dia masih mempertahankan diri,
namun begitu dia merebahkan diri di atas ranjang, baru dia sadar, bahwa dirinya kuat bertahan sekian lamanya sungguh merupakan keajaiban. Bukan saja luka-lukanya sedang
cekat-cekot, seluruh tulang-tulang badannya seperti
berontak, rasanya linu dan senut-senut.
Tak lama kemudian Siangkwan Siau-sian beranjak masuk
dengan membawa semangkok bubur, katanya berseri tawa:
"Inilah bubur yang ku masak sendiri, boleh kau rasakan bagaimana rasanya?".
Apa benar diapun pandai masak" Bisa masak bubur"
Mungkin karena sudah kelaparan, Yap Kay makan dengan
lahapnya. Kata Siangkwan Siau-sian tertawa senang: "Dalam bubur ku campur obat kuat untuk mempercepat sembuh badanmu."
Kini pupur dan gincu sudah dia bersihkan sama sekali,
pakaiannyapun sederhana, kain hijau dan celana dari kain kasar yang bersahaja, siapapun yang berhadapan dengan dia takkan menyangka dan percaya bahwa gadis jelita ini adalah Kim-cie-pang Pangcu, lebih takkan mau percaya bahwa gadis yang satu ini adalah gembong iblis yang bertangan gapah berhati kejam. Kini seolah-olah dia sudah berubah menjadi perempuan lain, dari seorang gadis linglung, gadis boneka menjadi gembong iblis yang jahat, kini berubah lagi seperti seorang istri yang telaten yang meladeni suaminya yang sakit.
Menghadapi perubahan orang, Yap Kay sendiri sukar
membedakan perempuan macam apa dia sebenarnya"
Mungkinkah setiap manusia mempunyai dua watak dan
jiwa yang berlainan" Ada kalanya berhati bajik dan luhur, namun ada kalanya pula dia berbuat jahat.
Yap Kay sendiripun tidak terkecuali akan hal ini. Apakah dia membelenggu watak jahat Siangkwan Siau-sian" Dia
tidak yakin, tapi dia berkeputusan untuk mencobanya.
Setelah habis mendulangi bubur, Siangkwan Siau-sian
telah memeriksa tulang selangkangan Yap Kay yang putus, katanya menghela napas: "Luka-lukamu memang tidak ringan, agaknya tangan Lu Di memang dibuat dari besi baja."
"Kalau tidak mirip besi, aku yakin tidak ada lagi besi yang lebih menakutkan dari tangannya itu." ujar Yap Kay tertawa kecut.
Siangkwan Siau-sian menepekur, katanya kemudian:
"Semula aku memang ingin kau mencari Lu Di menuntutkan balas sakit hati Han Tin, aku ingin kau membunuhnya."
Yap Kay diam saja, dia sedang mendengarkan.
"Kini Siau-li Tham-hoa, Hwi-kiam-khek dan Kek Bu-si walau masih hidup, namun takkan mau mencampuri urusan
duniawi lagi. Kecuali ketiga orang ini, dalam dunia ini yang benar-benar bisa merupakan ancaman berat bagi usahaku
hanya tiga orang saja."
"Siapa saja ketiga orang itu?" tanya Yap Kay.
"Coba kau terka?" biji mata Siangkwan Siau-sian berkedip-kedip.
"Tentunya kaupun masukkan diriku di dalam hitunganmu itu."
"Kau justru tidak!"
Yap Kay melengak, tanya: "Apakah aku belum terhitung tokoh kosen?"
"Kalau menilai ilmu silat, sudah tentu kau merupakan tokoh kosen yang paling top. Sebaliknya kalau dinilai
kecerdikan otak serta akal muslihatnya, akupun tidak lebih asor dari orang lain, terutama pisau terbangmu, tiada
bandingannya kecuali gurumu sendiri, dan merupakan
senjata ampuh yang paling menakutkan dalam dunia ini."
Ini memang kenyataan. Yap Kay tidak suka menimbrung
ucapan tulus orang, sudah tentu lebih tidak suka menukas ucapan yang mengagulkan dirinya. Betapapun dipuji dan
diagulkan merupakan suatu yang menyenangkan.
"Sayang hatimu kurang hitam (kejam), sepak terjangmu kurang telengas pula. Pisau terbangmu selalu keluar hanya untuk menolong jiwa orang, jarang untuk membunuh orang."
Yap Kay tertawa, katanya: "Oleh karena itu aku tidak bisa menekan dan mengancam?"
"Ku anggap kau tidak atau bukan merupakan ancaman bagi usahaku, yang penting lantaran...... lantaran kita adalah sahabat, aku takkan mencelakai kau. Aku percaya, kaupun segan melukai aku."
"Kalau aku tidak masuk hitungan, Tang-hay-giok-siau apakah masuk diantaranya?"
"Diapun tidak masuk hitungan," sahut Siangkwan Siau-sian, "tiga puluh tahun yang lalu, namanya sudah tercantum di dalam urutan sepuluh tokoh kosen di dalam buku daftar senjata, kini sudah menjadi anggota Mo Kau pula, sudah
tentu ilmu silatnya amat menakutkan, tapi dia tetap tidak akan mengancam usaha dan kedudukanku."
"Kenapa?"
"karena dia sudah pergi dan lagi dia punya ciri
kelemahan."
"Giok-siau doyan paras ayu." ujar Yap Kay.
"Maka aku tidak perlu gentar menghadapinya, laki-laki yang doyan paras ayu, teramat mudah untuk
menghadapinya."
"Giok-siau pun tidak masuk hitungan, lalu Kwe Ting?"
"Kwe Ting juga tidak masuk hitungan."
Yap Kay tidak setuju, katanya: "Menurut apa yang ku tahu, tingkatan ilmu pedangnya takkan lebih asor dari
Siong-yang-thi-kiam di masa jayanya dulu."
"Memang ilmu pedangnya mungkin lebih tinggi dari Siong-yang-thi-kiam, bukankah Lamkiong Wan termasuk ahli
pedang kelas wahid di Bu-lim, sepuluh juruspun dia tidak kuat melawannya."
"Kaupun saksikan pertempuran itu?"
"Duel tokoh Bu-lim pada jaman ini, bila aku punya kesempatan, pasti tidak akan kusia-siakan."
"Ya, malah ada kalanya kau cukup mencuri lihat saja dari luar tembok," olok Yap Kay tertawa.
"Gerakannya memang kuat dan mantap, perubahannyapun cepat sekali, boleh dikata sudah tiada kelemahan yang patut digempur, tapi dia orang yang tetap mempunyai ciri."
"O,ya" Yap Kay bersuara heran, "apa cirinya."
"Dia terlalu romantis."
Yap Kay harus mengakui kebenaran ini, Kwe Ting memang
terlalu romantis.
"Orang yang terlalu romantis, pasti seseorang yang lemah hati, betapapun kuat dan hebat ilmu silatnya, jikalau hatinya lemah, tidak perlu dia ditakuti."
Yap Kay menghela napas. Mengingat Kwe Ting, serta
merta terbayang juga Ting Hun-pin. Bukan saja Ting Hun-pin terlalu romantis, diapun terlalu gampang jatuh cinta dilandasi perasaan yang lembut. Untuk ini dia tidak ingin memikirkannya lebih lanjut. Tanyanya: "Bagaimana dengan majikan kota mutiara?"
"Majikan kota mutiara bersaudara memang boleh
dihitung orang ajaib, keanehan ilmu pedang mereka boleh terhitung nomor satu di seluruh jagat."
"Lian-cu-su-pek-kiu-cap-kiam?" seru Yap Kay.
Siangkwan Siau-sian manggut-manggut, katanya: "Kedua kakak beradik ini memang dilahirkan tidak normal seperti manusia umumnya, yang satu lengan kanannya lebih panjang tujuh dim dari lengan kiri, sementara tangan kiri lebih panjang tujuh dim dari tangan kanan. Masing-masing pegang pedang di tangan kiri dan kanan, Cuma pedang yang satu panjang yang lain pendek. Memang mereka saudara kembar, daya pikiran seia sekata. Di waktu bergabung menghadapi musuh, dua orang bersatu padu seperti satu orang. Begitu ilmu pedang rangkaian mutiara yang berjumlah empat ratus
sembilan puluh jurus itu dikembangkan, tiada orang dalam dunia ini yang mampu memecahkannya."
"Bukan saja tiada orang bisa memecahkan, malah tiada tokoh kosen siapapun dalam dunia ini yang mampu
melawannya sampai empat ratus sembilan puluh jurus itu dikembangkan seluruhnya."
"Lalu mereka termasuk hitungan tidak?"
"Tidak!"
"Lho! Kok Tidak" Kenapa?"
"Karena mereka sudah mati."
"Kapan mati" Cara bagaimana bisa mati?"
"Setiap orang akhirnya ajal, kenapa dibuat heran?"
"Lalu siapakah ketiga orang yang kau maksud" Apa
mereka bukan tokoh kenamaan?"
"Paling tidak mereka bukan tokoh kenamaan segolongan dengan orang-orang yang kau sebut tadi."
Yap Kay menepekur, tiba-tiba dia bertanya: "Kau tahu Pho Ang-swat?"
"Aku tahu, dia adalah temanmu, boleh terhitung sebagai adikmu, wataknya aneh, ilmu goloknyapun aneh luar biasa."
"Bukan aneh, tapi cepat, cepatnya luar biasa."
"Aku pernah melihat permainannya." ujar Siangkwan Siau-sian, "memang goloknya teramat cepat dan telak, bolehlah disejajarkan dengan Hwi-kiam-khek yang kenamaan dulu......"
"Diapun belum bisa masuk hitungan"
"Tidak bisa."
"Kenapa?"
"Karena dia tidak mau keluar lagi di kalangan Kang-ouw, terhadap kehidupan Kang-ouw ini agaknya dia sudah bosan, dia hanya ingin jadi seorang pertapa, mengasingkan diri tanpa pertentangan dan berlomba mengadu untung dan
mempertaruhkan jiwa, diapun tidak ingin menjadi pendekar besar, seorang Enghiong yang menggetarkan jagat, apalagi dia mengidap penyakit ayan yang menakutkan."
Yap Kay kelakep. Kali ini Siangkwan Siau-sian tidak
meleset lagi menguraikan setiap tokoh yang dia kenal
dengan baik. Lebih menakutkan lagi, siapapun asal dia punya setitik kelemahan., pasti takkan bisa mengelabui dirinya.
Tiba-tiba Yap Kay merasakan orang berubah pula menjadi orang lain, seorang kritikus yang tahu segala seluk beluk dunia, seorang strategis perang yang bisa mengendalikan tentaranya untuk menggempur kelemahan musuh yang
jauhnya ribuan Li untuk mencapai kemenangan gemilang.
Semula Yap Kay sudah amat letih, namun kini
semangatnya terbangkit, katanya: "Lalu, siapakah
sebenarnya tiga orang yang kau maksudkan itu?"
"Tiga orang yang kumaksud barulah benar-benar manusia yang amat menakutkan dalam dunia ini, karena mereka boleh dikata sudah hampir tidak mempunyai kelemahan apa-apa."
tiba-tiba terpancar cahaya pada sorot mata Siangkwan
Siau-sian, katanya melanjutkan: "Orang pertama she Bak, bernama Bak Ngo-sing."
"Bak Ngo-sing?"
"Kau belum pernah mendengar nama orang ini?"
"Apakah dia salah satu keluarga marga Bak dari Ceng-seng-san?"
"Memang, dia inilah majikan tulen dari pasukan berani mati dari Ceng-seng itu. Bak Pek tidak lebih hanyalah budak piaraannya belaka."
Bak Pek sudah terhitung tokoh yang menakutkan, namun
orang ternyata hanyalah budaknya belaka.
"Orang macam apakah sebenarnya Bak Ngo-sing ini"
Bagaimana pula ilmu silatnya?"
"Aku tidak bisa menerangkan," sahut Siangkwan Siau-sian, "oleh karena itu ku anggap menakutkan. Soal lain tidak perlu kubiarkan, anak buahnya kira-kira ada 500 orang, sembarang waktu siap gugur demi kepentingan junjungannya Untuk hal ini, kau sudah bisa membayangkan betapa
menakutkan dia itu."
Teringat akan orang-orang yang berani mati itu,
menghadapi kematian seperti pulang keharibaan Thian
dengan sikap gagah dan perkasa, mau tak mau Yap Kay
merinding dibuatnya.
"Orang ke dua yang kumaksud pernah bergebrak dengan kau."
"Lu Di?"
"Benar! Lu Di. Mungkin selama ini kau terlalu rendah menilainya."
"Sedikitnya kini aku tidak akan memandangnya rendah, aku hampir mampus di tangannya."
"Tapi kau toh belum tahu, di mana leak dari rahasianya yang paling menakutkan." ujar Siangkwan Siau-sian, "ilmu silatnya kau sudah pernah menghadapi, bagaimana menurut pendapatmu?"
"Pertahanannya tiada lowongan untuk kau gempur. Waktu menyerang sedahsyat geledek menyamber, dan lagi cara
serangannya banyak variasi dan susah diraba juntrungannya.
Dia pandai memakai pancingan untuk menjebak musuh
terjerumus ke dalam perangkapnya."
"Akan tetapi bila pisau terbangmu kau kerjakan, dia tetap takkan bisa meluputkan diri."
Yap Kay tidak menyangkal, tapi juga tidak mengakui. Bagi pisaunya sendiri, biasanya dia tidak pernah mau menilai atau menganalisa.
"Letak rahasia yang paling menakutkan bisa dilukiskan dengan enam belas huruf. Tadi kau sudah mengatakan
empat huruf. Yaitu pandai merubah situasi menggempur
kelemahan musuh dengan kelicikan jiwanya."
"Masih ada dua belas huruf lagi, apakah itu?"
"Tabah, kejam, jahat sebuas binatang, bermuka ganteng berhati palsu."
Yap Kay tertawa, katanya: "Usianya masih begitu muda, kedengarannya keterlaluan sekali."
Tiba-tiba Siangkwan Siau-sian bertanya: "Tahukah kau kenapa dia bisa mengalahkan kau?"
Yap Kay geleng-geleng kepala. Bukannya dia tidak tahu, namun dia tidak ingin mengatakannya.
Siangkwan Siau-sian membeber secara blak-blakan: "Dia dapat mengalahkan kau karena pisau terbangmu tidak kau gunakan." lalu dia bertanya: "Tapi tahukah kau, kenapa pisau terbangmu tidak kau gunakan?"
Kali ini mulut Yap Kay sudah bergerak hendak bicara, tapi Siangkwan Siau-sian tidak memberi kesempatan, katanya
mendahului: "Karena dia lempar dulu pedangnya, sudah tentu kau malu menggunakan pisaumu."
"Apakah sebelumnya dia sudah memperhitungkan hal ini bakal terjadi, maka dia tidak mau menggunakan pedang?"
"Tidak akan salah!"
"Tapi dengan tegas dia sendiri mengatakan, bahwa
tangannya itu merupakan gaman ampuh."
"Soalnya diapun sudah tahu orang macam apa kau ini, dia tahu semakin begitu perkataannya, kau tidak akan
mempergunakan pisau terbangmu, maka dia pura-pura
bersikap luhur dan gagah. Tahukah kau kenapa akhirnya dia tidak membunuhmu?"
"Karena....."
Kembali Siangkwan Siau-sian menukas: "Karena dia
sendiri sudah menginsyafi bila dia benar-benar berniat hendak membunuh kau, bukan mustahil pisau terbangmu bisa ku keluarkan, tentunya diapun tahu bahwa bukan hanya
sebatang saja pisau yang kau gembol."
"Tapi dia mengajakku berduel lagi, kelak...."
"Kali ini sudah menaruh belas kasihan terhadapmu, kelak bila berduel betul-betul, apakah kau tega membunuhnya?", dengan tertawa dia menyambung, "apalagi setelah
pertempuran kali itu, kau sudah beranggapan dia seorang Enghiong, sudah timbul simpati dan ingin bersahabat dengan dia, kelak umpama dia ingin menjajalimu, kau tetap akan selalu menghindarinya."
Yap Kay tidak menyangkal akan penjelasan ini.
"Oleh karena itu, bukan saja dia sudah mengalahkan kau, bukan saja berkenalan dengan seorang sahabat seperti
dirimu yang begini berguna, namanyapun akan tenar dan
dikagumi serta disegani sebagai pendekar budiman yang
masih muda usia." lalu dengan suara kalem dia menyambung,
"maka berani aku melukiskan dia sesuai dengan maksud ke enam belas huruf tadi, dan tidak akan meleset dari
kenyataannya. Di samping itu, ada pula muslihat dan besar pula ambisinya."
Yap Kay tertawa getir, katanya: "Oleh karena itu, maka kau mengharap aku wakili kau membunuhnya."
Siangkwan Siau-sian mengakui: "Ada manusia seperti dia ini sungguh merupakan ancaman serius bagi usaha dan cita-citaku."
"Kau tidak mampu menghadapinya?"
"Sedikitnya sampai detik ini, aku belum memperoleh cara yang sempurna untuk menghadapinya."
"Oleh karena itu kau berpendapat dia lebih menakutkan dari Bak Ngo-sing?"
Siangkwan Siau-sian manggut-manggut, ujarnya: "Tapi yang paling menakutkan justru adalah orang ketiga."
"Lalu siapakah orang ketiga yang kau maksud?"
"Han Tin!"
Yap Kay melongo.
"Kau tidak mengira kalau dia?"
"Orang ini memang pendiam, banyak akalnya dan tabah sekali, namun....."
"Tapi kau tidak percaya kalau dia lebih menakutkan dibanding Bak Ngo-sing dan Lu Di?"
Yap Kay tidak menyangkal bahwa pendapatnya memang
demikian. "Kau kira ilmu silatnya terlampau rendah?", tanya Siangkwan Siau-sian, "kau yakin dapat mengalahkan dia bukan?"
"Aku......"
"Kau tidak yakin, karena hakikatnya kau tidak tahu sampai di mana tingkat kepandaian silatnya, mungkin tiada seorangpun dalam dunia ini yang bisa mengukur sampai di mana tingkat kepandaian silat orang ini sebenarnya."
"Kau sendiripun tidak tahu?" tanya Yap Kay.
Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Akupun tidak tahu!"
"Kau kira dia tidak benar-benar setia terhadap kau?"
"Aku tiada keyakinan itu."
"Tapi dia selalu berada di sampingmu."
"Karena sampai detik ini, belum pernah kutemukan
sesuatu perbuatannya yang menandakan pengkhianatannya
terhadapku, hakikatnya aku tidak memperoleh bukti apaapa." "Mungkin bahwa dia memang benar-benar setia
terhadapmu, mungkin pula kecurigaanmu terhadapnya
merupakan kesalahan pula, memangnya penyakit curiga kaum Hawa jauh lebih besar dari kaum Adam."
"Akan tetapi perempuan memiliki sesuatu perasaan yang aneh, perasaan ini seolah-olah menjadi matanya yang ke tiga, adakalanya perasaan ini dapat melihat perbuatan apa saja yang pernah dilakukan oleh laki-laki."
"Lalu apa yang pernah kau lihat atau rasakan?"
"Sejak lama sudah kurasakan, di antara sekian banyak pembantuku yang terpercaya terdapat seorang mata-mata, sekali aku kurang hati-hati, kemungkinan besar aku bisa hancur di tangannya."
"Jadi kau curiga orang yang kau curigai itu adalah Han Tin?"
"Karena tindak-tanduknya dan segala sikapnya
menimbulkan kecurigaan yang paling besar, malahan aku
curiga bila dia adalah satu dari Su-thoa-thian-ong Mo Kau."
"Tapi kau belum mendapatkan bukti."
"Ya, bukti apapun belum kuperoleh."
"Oleh karena itu pula mata-mata yang tulen bukan dia, mungkin orang lain."
"Justru karena sedikitpun aku tidak punya pegangan, maka selama ini aku belum bisa turun tangan kepadanya, yang benar dia pernah melaksanakan banyak bantuan untuk perjuanganku. Memang dia seorang pembantu yang baik
sekali, jikalau tanpa sebab aku melenyapkan dia, bukan saja bisa menimbulkan curiga orang dan menakuti orang lain, aku sendiripun merasa sayang."
Tawar kata Yap Kay: "Agaknya jabatan Pangcu Kim-ci-pang memang tidak gampang diduduki."
"Memang, tidak enak duduk sebagai Pangcu."
"Kalau begitu, kenapa kau melakukan usaha yang sukar, makan tenaga dan pikiran, serta berbahaya lagi?"
Jauh pandangan Siangkwan Siau-sian tertuju, lama sekali baru dia bersuara pelan-pelan: "Karena aku adalah Siangkwan Siau-sian, karena aku adalah putri Siangkwan Kim-hong."
"Oleh karena itu kau harus bersabar dan menunggu serta memancing mata-mata ini turun tangan terlebih dahulu
kepadamu?"
Siangkwan Siau-sian manggut-manggut, katanya tertawa
getir: "Terpaksa aku harus menunggu dia turun tangan lebih dahulu."
"Tapi bukan mustahil sekali dia menyerang, kau sudah sempat dihancurkan lebih dulu."
"Ya, mungkin saja!"
"Oleh karena itu jangan harap kau bisa tidur nyenyak dan makan dengan kenyang."
Siangkwan Siau-sian tarik pandangannya dari kejauhan,
berkisar ke muka Yap Kay: "Beberapa tahun ini, hanya di kala kau menemani aku, baru malamnya aku bisa tidur
nyenyak dan tentram."
Yap Kay menyingkir dari tatapan mata orang, ujarnya
tawar: "Itu kejadian masa lalu, waktu itu aku belum tahu orang macam apa kau sebenarnya, sekarang......................."
Siangkwan Siau-sian menggenggam tangannya, katanya:
"Sekarangpun sama saja, asal kau sudi selalu berada di sampingku, terhadap siapapun aku tidak perlu takut."
"Kau tidak kuatir bila aku.........."
"Kau tidak perlu kutakuti," tukas Siangkwan Siau-sian,
"aku percaya padamu. Dalam hidupku ini hanya kau seorang yang kupercaya."
Suaranya lembut aleman, rasanya silir seperti hembusan angin lalu di musim semi, katanya pelan-pelan: "Asal kita berdua bisa bersama, umpama ada 10 Lu Di, 10 Han Tin
memusuhiku, aku yakin dengan gampang akan memukul
mereka. Asal kita bersatu padu, dunia ini milik kita."
Yap Kay tidak bersuara pula, kelopak matanya sudah
terpejam. Ternyata dia sudah pulas.
Lama Siangkwan Siau-sian mengawasinya.
Entah berapa lama kemudian, baru pelan-pelan dia
lepaskan genggamannya, beranjak keluar pelan-pelan pula.
Waktu mengawasi Yap Kay, sorot matanya penuh diliputi
keyakinan seolah-olah laki-laki yang satu ini akhirnya pasti akan menjadi miliknya. Agaknya dalam hal ini dia sudah punya pegangan yang kuat.
ooo)dw(ooo Han Tin tunduk kepala, kedua tangan lurus ke bawah,
berdiri tegak di pekarangan. Sudah lama dia menunggu di situ, karena Siangkwan Siau-sian minta dia menunggu di situ. Umpama Siangkwan Siau-sian suruh dia menunggu di atas wajan yang panas, dia takkan berani menggeser barang selangkah., tunduk dan setia terhadap perintah junjungan.
Tiada orang yang tidak merasa haru dan kagum kepadanya.
Siangkwan Siau-sian sedang beranjak turun dari undakan batu, mengawasi orang, sorot matanya memancarkan rasa
puas dan senang. Orang galak dan garang serta keji. Dengan adanya seorang pembantu seperti dia, hatinya pasti akan puas dan senang.
"Orang-orang yang kusuruh kau cari sudah dikumpulkan belum?", tanya Siangkwan Siau-sian.
"Sudah ketemu semua, kini menunggu di luar." sahut Han Tin manggut-manggut.
"Suruh mereka masuk!", Siangkwan Siau-sian
memerintahkan. Han Tin lantas tepuk tangan. Dari pekarangan luar
beruntun beranjak masuk belasan orang, di antara mereka ada laki-laki dan ada juga perempuan, ada tua muda, ada pedagang kelontong, ada tukang pikul, ada perempuan centil, ada nenek-nenek, ada juga bajingan dan buaya darat.
Dandanan mereka berlainan, namun mereka termasuk dalam satu kelompok yang sama.
Di dalam Kim-ci-pang ada semacam manusia-manusia yang
patuh, tunduk setia seratus persen. Setiap patah kata
Siangkwan Siau-sian adalah perintah.
Perintahnya kali ini: "Pergilah ke kota Tiang-an, sebarkan berita bahwa Yap Kay sudah mati. Tak perduli cara apapun yang kalian gunakan, yang terang kalian harus bikin orang percaya dan yakin bahwa Yap Kay sudah mati. Awas bila ada orang masih berpendapat Yap Kay masih hidup, kalian harus menebus dengan batok kepala."
Perintahnya memang cekak aos, namun amat berhasil.
Mengawasi anak buahnya ini, keluar sorot matanya
menunjuk rasa puas dan terhibur, suruh orang-orang ini pergi menyebar kabar bohong, segampang kumbang
menyebar madu kembang. Dia yakin rencananya kali ini pasti berhasil dengan baik.
ooo)dw(ooo "Yap Kay sudah mati?"
"Mana mungkin Yap Kay mati?"
"Manusia siapa yang tidak bisa mati, Yap Kay kan manusia biasa."
"Tapi dia manusia yang tidak gampang mati. Khabarnya dia sudah terhitung tokoh kosen nomor satu pada jaman
ini." "Jangankan jago kosen nomor satu di dunia, raja
agungpun akhirnya bisa mati juga. Bukankah tokoh-tokoh kosen nomor satu pada jaman yang lalu kini sudah mati
seluruhnya?"
"Di antara orang-orang kosen selalu ada yang lebih kosen, jikalau seseorang menjadi tokoh kosen nomor satu di dunia, malah mungkin dia bisa mati lebih cepat dari orang biasa."
"Tapi tak habis aku pikir, siapa yang mampu membunuh dia?"
"Ada dua orang yang mampu membunuhnya."
"Siapakah kedua orang itu?"
"Yang satu bernama Lu Di."
"Lu Di" Apakah Pek-ie-kiam-khek Lu Di dari Bu-tong-pay?"
"Tidak salah lagi!"
"Apalagi ilmu silatnya lebih tinggi dari Yap Kay."
"Kukira belum tentu, kalau Yap Kay tidak terluka lebih dulu di tangan orang lain, kali ini dia pasti takkan
meninggal."
"Memangnya siapa yang bisa melukai dia" Siapakah dia?"
"Seorang perempuan, khabarnya perempuan ini adalah kekasihnya yang paling dicintai."
"Laki-laki sepintar Yap Kay, kok gampang ditipu
perempuan?"
"Ah, laki-laki gagah selalu tunduk dan tekuk lutut di bawah kaki perempuan cantik."
"Siapakah perempuan itu?"
"Dia she Ting, bernama Ting Hun-pin."
ooo)dw(ooo Ting Hun-pin tidur di atas ranjang. Kamar itu dingin
gelap, namun hangat, disekap di dalam kemul tebal. Sudah lama dia siuman, namun bergerakpun tidak bisa.
Dia merasa amat letih, seperti baru saja menempuh
perjalanan jauh, seperti pula baru saja mimpi di alam buruk.
Di dalam mimpinya seakan-akan dia menusuk Yap Kay dengan sebatang pisau. Tentunya memang hanya sebuah mimpi
buruk belaka. Sudah tentu dia tidak akan melukai Yap Kay, dia rela jiwa sendiri berkorban, seujung rambutpun dia tidak sampai hati melukai kekasihnya itu.
Terdengar langkah kaki di dalam rumah.
"Mungkinkah Yap Kay datang?"
Ting Hun-pin ingin membuka mata lantas melihat Yap Kay.
Sayang yang dia lihat adalah Kwe Ting.
Raut muka Kwe Ting juga menunjukkan keletihan, kurus
pucat seperti kurang tidur, namun sorot matanya
memancarkan warna senang dan lega.
"Kau sudah bangun?"
Tidak menunggu orang bicara habis, Ting Hun-pin sudah
bertanya: "Tempat apakah ini" Bagaimana aku bisa berada di sini" Mana Yap Kay?"
"Kau berada di hotel, kau terkena obat bius Giok-siau, akulah yang membawamu kemari."
Giok-siau mendadak muncul dan menggondolnya pergi dari hadapan yap Kay. Kejadian ini masih bisa diingatnya dengan segar, selanjutnya apa pula yang terjadi" Bagaimana Kwe Ting menolongnya" Semua ini dia tidak jelas lagi. Tapi hal ini
tidak menjadi perhatiannya, hanya seorang yang menjadi perhatiannya.
"Mana Yap kay" Yap Kay tidak di sini?"
Kwe Ting geleng-geleng, katanya: "Tidak di sini, aku........
selama ini belum sempat menemuinya."
Dia tidak bicara sejujurnya, kuatir Ting Hun-pin tidak kuat menerima pukulan lahir batin ini. Jikalau dia tahu dirinya menusuk luka di dada Yap kay, betapa sedih dan duka hatinya. Kwe Ting tidak berani membayangkannya.
Ting Hun-pin menarik muka, katanya: "Selama ini kau tidak bertemu dengan Yap Kay" Apakah karena kau tidak
pergi mencarinya?"
Kwe Ting diam dan mengakui.
"Kau menolongku kemari tanpa memberitahu kepadanya.
Apa sih maksudmu?" Ting Hun-pin tertawa dingin.
Kwe Ting tidak bisa menjawab. Dia sendiripun tidak
mengerti dan bertanya-tanya pada diri sendiri, apa maksud dirinya menolong dan membawa orang kemari" Semula
mereka sama-sama tidak kenal, namun dia mengiringi Yap Kay pergi menolongnya keluar dari cengkeraman maut.
Kuatir Giok-siau meluruk datang, terpaksa dia membawanya lari dan sembunyi di sini, untuk merawat dan meladeninya.
Dia sudah berdiam tiga hari dalam kamar yang gelap dingin ini, entah berapa derita dan kesulitan serta kerendahan hati yang sudah dia alami. Maklumlah perempuan yang
kehilangan kesadaran bahwasanya memang sulit diladeni, apalagi dia tidak punya pengalaman menjaga dan merawat orang lain.
Dalam tiga hari ini, boleh dikata matanya tidak pernah terpejam barang sekejappun, namun imbalan yang dia terima sekarang hanyalah jengek tawa dan kecurigaan pada dirinya, namun dia rela dicurigai, rela dimaki, namun duduk persoalan sebenarnya pantang dia beritahu kepadanya. Dia tidak ingin orang mengalami pukulan batin yang mendalam.
Ting Hun-pin masih melotot kepadanya, katanya dingin:
"Aku tanya kepadamu, kenapa tidak kau jawab?"
Kwe Ting tetap bungkam, tak mungkin dia utarakan isi
hatinya. Tangan Ting Hun-pin sedang meraba-raba di dalam kemul, dia masih mengenakan pakaian, maka rada lega roman
mukanya. Namun dia bertanya pula: "Berapa lama aku berada di sini?"
"Kalau tidak salah sudah tiga hari?"
Hampir saja Ting Hun-pin berjingkrak bangun, teriaknya:
"Tiga Hari" Sudah tiga hari aku terbaring di sini" Dan kau selalu mendampingiku?"
Kwe Ting manggut-manggut.
Semakin melotot biji mata Ting Hun-pin, serunya:
"Selama tiga hari ini, apakah aku terus pulas?"
Kwe Ting mengiyakan. Suaranya enteng dan lirih, karena dia berbohong.
Selama tiga hari ini Ting Hun-pin bukan kelelap dalam
tidurnya, banyak sekali yang dia lakukan, tingkah lakunya sukar dijajagi dan di luar dugaan. Tiba-tiba nangis, tahu-tahu tertawa dan banyak lagi tingkah laku yang aneh dan
mengerikan. Hanya Kwe Ting yang tahu dan menyaksikan,
selama hidupnya tidak akan dia ceritakan kepada siapapun.
Ting Hun-pin menggigit bibir, sesaat dia ragu-ragu,
akhirnya bertanya: "Dan kau?"
"Aku?"
"Waktu aku tidur, apa pula kerjamu?"
Kwe Ting tertawa getir: "Tiada yang kulakukan."
Akhirnya Ting Hun-pin menghela napas lega, namun
mukanya tetap cemberut keren, katanya: "Kuharap kau tidak membual di hadapanku, karena kalau kau berbohong, cepat atau lambat, aku bisa merasakan."
Kwe Ting hanya pasang kuping tanpa bersuara.
"Kau menolongku, kelak aku akan membalas kebaikanmu, tapi kalau akhirnya kuketahui kau berbohong, akan kucabut nyawamu.", seperti malas memandang Kwe Ting lagi dia berkata dingin: "Sekarang aku harap kau keluar, lekas keluar!"
Kwe Ting tidak memandangnya lagi. Dalam hati dia
bertanya-tanya: "Apa sih yang sedang kulakukan" Kenapa aku terima dihina dan dicaci olehnya?", segera dia beranjak keluar tanpa berpaling.
Mengawasi punggung orang yang berperawakan tinggi dan
kelihatan kurus lenyap di balik pintu, tiba-tiba timbul rasa menyesal dalam sanubari Ting Hun-pin. Bukan dia membenci laki-laki ini, bukannya dia tidak tahu bahwa laki-laki ini ada menaruh hati atau naksir kepada dirinya, tapi dia pura-pura tidak tahu. Sekali-kali dia tidak akan memberi kesempatan
tumbuhnya bibit cinta di dalam lubuk hati orang, karena hanya satu orang direlung hatinya. Yap Kay. Dia harus
selekasnya menemukan Yap Kay.
ooo)dw(ooo Tempat pertama yang harus dia tuju sudah tentu adalah
penginapan Hong-ping. Tapi waktu orang-orang di Hong-ping hotel melihatnya, semua memandangnya seperti melihat
setan, benci, muak dan takut. Memangnya perempuan mana yang tidak dibenci orang, karena dengan pisau, dia telah menusuk luka parah dan akhirnya mati kepada kekasihnya sendiri.
"Adakah kalian melihat Yap Kongcu?" tanyanya.
"Tidak!", jawaban setiap orang ketus.
"Kalian tidak tahu di mana dia berada?"
"Tidak tahu! Semua urusan Yap Kongcu kami tidak tahu.
Kenapa kau tidak pergi ke Piau-kiok mencari tahu di sana?"
Maka Ting Hun-pin pergi ke Hou-hong Piau-kiok. Para
piausu Piau-kiok menunjukkan mimik lucu dan aneh seperti orang-orang yang ada di Hong-ping hotel waktu mendengar nama Ting Hun-pin.
"Biasanya kami tidak pernah berhubungan dengan Yap Tayhiap, jikalau kau ingin mencari tahu beritanya, silahkan datang ke Pat-hong Piau-kiok. Cong-piau-thau dari Pat-hong Piau-kiok, Thi-tan-tin-pat-hong Cay Ko-kang, khabarnya adalah sahabat karib Yap Tayhiap."
Heran hati Ting Hun-pin dibuatnya, kenapa selama ini
belum pernah dia dengar Yap Kay punya sahabat karib dari
kalangan Piau-kiok, apalagi Thi-tan-tin-pat-hong segala.
Ingin dia bertanya lebih lanjut, namun dia sebal dan muak melihat sorot mata dan sikap para piausu ini.
"Apapun yang terjadi, asal aku bertemu dengan Cay Ko-kang, pasti bisa kucari tahu di mana jejaknya."
Demikian dia menghibur diri sendiri, namun tak pernah
terpikir olehnya bahwa selamanya dia tidak akan bisa
berhadapan dengan Cay Ko-kang, apalagi mendapat
keterangan dari mulutnya.
ooo)dw(ooo Di pekarangan luar di dalam Pat-hong Piau-kiok, beberapa tukang kuda tengah membersihkan sebuah kereta besar
yang bercat hitam mulus.
Seorang laki-laki setengah baya berperawakan jangkung
bermuka kaku kasar tengah menggendong ke dua tangannya, berdiri di undakan batu, menyaksikan anak buahnya mencuci kereta. Dia bukan lain adalah wakil Cong-piau-thau Thi-siang-kay-pi (Pukulan besi membelah pilar) Toh Tong.
Ting Hun-pin langsung menerjang ke depan orang,
serunya: "Kau kan Cay Ko-kang, Cay-cong-piau-thau?".
Caranya bicara tidak kenal sopan santun, roman mukanya beringas membesi, namun betapapun dia adalah gadis belia yang cantik rupawan.
Mulai dari kepala, Toh Tong mengamatinya sampai ke
kaki, katanya dengan tertawa dipaksakan: "Nona she apa"
Ada keperluan apa mencari beliau?"
"Aku she Ting, ingin aku mencari seseorang dari
keterangannya."
Mendengar she Ting, seketika berubah rona muka Toh
Tong. "Kau she Ting" Apakah kau Ting Hun-pin?"
(Bersambung ke Jilid-11)
Jilid-11 Ting Hun-pin manggut-manggut, tanyanya: "Adakah dia di sini" Aku ingin bertanya beberapa patah kata kepadanya."
Tiba-tiba Toh Tong menarik muka, katanya tertawa
menyeringai: "Apakah kau hendak mencari Yap Kay?"
Bersinar sorot mata Ting Hun-pin, tanyanya: "Kau juga kenal Yap Kay" Dia di sini?"
"Benar, diapun berada di sini. Dia pulang bersama Cay-cong-piau-thau. Mereka kembali naik kereta yang
dibersihkan itu."
Roman mukanya mengunjuk rasa sedih dan gusar.
Sayang sekali Ting Hun-pin tidak memperhatikan
sedikitpun. Bila teringat akan segera bertemu dengan Yap Kay, urusan lain boleh tidak usah dia perdulikan.
"Di mana mereka sekarang?"
ooo)dw(ooo Ruang pendopo itu terasa dingin seram seperti berada di dalam sebuah kuburan gelap nan menakutkan, karena
pendopo besar ini sekarang memang berubah sifatnya
menjadi ruang kuburan.
Begitu Ting Hun-pin beranjak masuk, dia lantas melihat dua peti mati. Dua peti mati yang masih baru, pliturannya belum kering, malah belum dipaku. Di dalam kedua peti
masing-masing terdapat satu mayat, mayat yang tidak
berkepala. Toh Tong berkata dingin: "Mereka keluar naik kereta, pulang bersama naik kereta pula. Cuma, meskipun badan
mereka kembali, namun kepalanya entah terbang kemana."
Hakikatnya Ting Hun-pin tidak mendengar apa yang
dikatakan Toh Tong, perhatiannya tertuju kepada mayat
yang berada di dalam peti. Satu di antaranya dia kenal betul pakaiannya.
Seketika terasa dunia seperti anjlok dan berputar.
Orang-orang Hong-ping hotel dan kerabat Pat-hong Piaukiok sama-sama mengelilingi dirinya, semuanya berputar mengelilingi dirinya, semuanya mengunjuk seringai sinis dan sikap bermusuhan kepadanya. 'Mereka tahu bahwa Yap Kay sudah mati. Apa benar Yap Kay betul-betul mati"'
Ingin Ting Hun-pin pentang mulut berteriak sekeraskerasnya, namun dia tidak tahu apakah pekik suaranya
terdengar. Mendadak dia meloso jatuh semaput.
ooo)dw(ooo Pendopo yang dingin gelap, cahaya lampu yang remangremang. Waktu Ting Hun-pin siuman, didapatinya dirinya masih
rebah di tempat semula di mana tadi dia jatuh semaput.
Tiada orang yang menolong atau memayangnya, tiada orang yang membujuk dan menghibur dirinya.
Toh Tong tetap berdiri menggendong tangan,
mengawasinya dengan pandangan sinis, malah mukanya
menunjukkan sikap muak dan menghina.
Pelan-pelan Ting Hun-pin meronta bangun, katanya
dengan kertak gigi: "Dia........mati di tangan siapa?"
"Masa kau tidak tahu?" Toh Tong balas bertanya.
"Cara bagaimana aku bisa tahu?", keras suara Ting Hun-pin, "Apa maksudmu" Siapakah sebetulnya yang
membunuhnya?"
Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bukankah kau?" desis Toh Tong mengertak gigi.
Dua patah kata ini laksana godam memukul dada Ting
Hun-pin, sampai kakinya hampir tak kuasa menopang
badannya lagi. "Akukah......?"
"Kalau kau tidak menusuknya dulu, mana mungkin dia dikalahkan Lu Di. Kalau bukan hendak mengantar dia pergi mencari tabib mengobati luka-lukanya, masakah Cay-cong-piau-thau ikut mati di atas kereta." demikian seru Toh Tong penuh emosi.
Hancur redam hati Ting Hun-pin, sekujur badan seakanakan sudah loyo dan lebur. Terbayang pula olehnya mimpi yang buruk itu, terbayang pula waktu Giok-siau menatapnya dulu, kedua sorot matanya penuh diliputi maksud jahat dan keji. 'Lekas bunuhlah Yap Kay dengan pisau ini.......'
"Apakah itu bukan mimpi buruk" Apakah dirinya benar-benar melakukan perbuatan yang menakutkan itu?"
Ting Hun-pin tidak percaya, matipun dia tidak mau
percaya. Dia memburu maju merenggut baju di depan dada Toh
Tong, teriaknya serak beringas: "Kau bohong!"
"Apakah aku bohong, kau lebih tahu."
"Aku tahu kau sedang membual, sepatah kata lagi berani kau mengatakan, kubunuh kau!"
Toh Tong tertawa dingin. Mendadak dia turun tangan,
telapak tangannya tegak menebas lurus ke pundak Ting Hun-pin. Namun sungguh tak pernah dia bayangkan bahwa ilmu silat Ting Hun-pin kenyataan jauh lebih tinggi dari apa yang pernah dia bayangkan. Baru saja telapak tangan besinya bergerak, mendadak Ting Hun-pin putar badan, dengan
sikutnya dia jojoh ke tulang rusuknya. Kontan Toh Tong terpental jatuh menumbuk dinding. Saking kesakitan, dia mendekap dada sambil terbungkuk-bungkuk.
Kembali Ting Hun-pin memburu maju, menarik dia berdiri, hardiknya serak dan kalap: "Katakan! Bukankah kau sedang membual?"
Keringat dingin gemerobyos membasahi muka Toh Tong
yang pucat menahan sakit, napasnya tersengal-sengal. Tiba-tiba dia tertawa dingin pula katanya: "Baik! Kau bunuhlah aku. Yap Kay pun bisa kau bunuh, manusia mana lagi yang tak bisa kau bunuh" Meski kau membunuhku, jawabanku tetap
tak berubah."
Terlepas renggutan jari-jari Ting Hun-pin, tiba-tiba
sekujur badannya gemetar keras, seperti kelintingan
tembaga yang dihembus angin kencang. Seolah-olah ratusan
pasang mata yang hadir memenuhi ruang pendopo ini, tengah menatapnya dengan penuh kebencian dan mual.
"Seharusnya kita membunuhmu untuk menuntut balas
kematian Cay-cong-piau-thau dan Yap Kay, tapi perempuan macammu ini, hakikatnya tidak setimpal kita turun tangan.
Pergilah....... pergilah......."
"Aku telah membunuh Yap Kay.......... aku benar-benar telah melakukan perbuatan terkutuk ini?".
Dengan menutup muka Ting Hun-pin lari gentayangan
seperti orang gila keluar dari Piau-kiok, langsung menuju ke jalan raya.
Jalan raya terasa berputar, dunia seakan-akan mulai
kiamat, tak tertahan akhirnya dia tersungkur jatuh di
tengah jalan raya. Jalan yang becek terasa dingin bagai es, lumpur becek yang tercampur segala kotoran, namun semua ini sudah tidak dihiraukan oleh Ting Hun-pin.
Orang-orang di jalan sama mengawasinya, seolah-olah
penduduk kota ini sudah tahu bahwa dialah perempuan
pembunuh. Tapi diapun tak peduli. Dia ingin dirinya menjadi tanah lumpur saja, biarlah dirinya diinjak-injak orang yang berlalu-lalang menjadi debu yang beterbangan, biarlah deru angin badai nan dingin menghembus seluruh jazatnya.
Tapi tiba-tiba terasa sebuah tangan menarik dirinya.
Sebuah tangan yang kokoh kuat, seraut muka yang
mengunjuk rasa simpatik dan belas kasihan. Dia tetap tidak menangis, memang air matanya sudah kering. Setelah
bentrok dengan muka orang ini, baru tak tertahan air
matanya bercucuran seperti sumber air.
Kwe Ting memapahnya bangun, langsung dia tergerunggerung di dalam pelukannya. Kwe Ting diam saja, dia biarkan orang menangis sepuasnya, dia harap tangis ini dapat
mencuci kepedihan hatinya.
Setelah Ting Hun-pin merasa puas menangis, baru dia
sadar dirinya ternyata sudah kembali ke kamar gelap nan dingin di mana sebelumnya dia rebah tiga hari tanpa ingat diri.
Cahaya lampu remang-remang. Kwe Ting di bawah sinar
lampu, duduk termenung mengawasi dirinya. Dia tidak
mengeluarkan kata-kata hiburan, namun sorot matanya
sudah cukup untuk menenteramkan hatinya.
Akhirnya Ting Hun-pin meronta bangun berduduk, dengan
terlongong dia awasi sinar lampu yang kelap-kelip. Entah berapa lama berselang, akhirnya dia bersuara seraya
melamun: "Aku membunuhnya..... akulah yang membunuhnya."
"Bukan kau!"
Suara Kwe Ting tegas dan lembut.
"Dalam peristiwa itu kau tidak bisa disalahkan."
"Kau tahu akan kejadian ini?"
"Akulah yang menolongmu bersama Yap Kay."
"Waktu aku menusuknya dengan pisau, kaupun
menyaksikan dari samping?"
"Justru karena akupun menyaksikan, maka aku tahu kau tidak boleh disalahkan, karena waktu itu, hakikatnya kau bertindak bukan atas kehendakmu sendiri."
Ting Hun-pin mengawasi dengan tanda tanya, lalu
mengawasi jari-jari tangan sendiri. Apapun yang telah
terjadi, kedua tangannya ini sudah kenyataan. Dia tahu betapa sedih dan besar tekanan batin yang mengganjel
dalam sanubari, selamanya tidak akan tercuci bersih.
Siapapun yang perduli dengan membujuk dan menghiburnya dengan kata-kata, apapun takkan berguna lagi.
Pelan-pelan Kwe Ting berkata pula: "Jikalau kau ingin menuntut balas sakit hati Yap Kay, maka kau tidak pantas menyiksa dirimu sendiri, tak perlu kau hidup merana dan mereras hati. Giok-siau lah musuh yang harus kita cari, demikian pula Lu Di."
"Kita" Maksudmu?" tanya Ting Hun-pin.
"Ya, kita!", sahut Kwe Ting manggut-manggut, "aku dan kau!"
"Tapi persoalan ini tidak sangkut pautnya dengan kau."
"Siapa bilang tiada sangkut-pautnya" Kau adalah
temanku, demikian pula Yap Kay adalah sahabatku. Urusan kalian adalah urusanku pula."
Tiba-tiba Ting Hun-pin angkat kepala menatapnya bulatbulat. Lama sekali baru dia bersuara: "Kau selalu menyembunyikan ini kepadaku, kau rela kumaki, ku hina
daripada membeber persoalan yang sebenarnya. Apakah kau kuatir aku bersedih hati?"
"Aku........."
Ting Hun-pin tidak beri kesempatan dia bersuara,
katanya lebih lanjut: "Sekarang kau ingin menuntut balas
sakit hati Yap Kay, karena kau tahu bahwa aku bukan
tandingan Giok-siau dan Lu Di."
Kwe Ting tunduk kepala, mengawasi tangannya, karena
dia tidak berani beradu pandang dengan kerlingan mata
orang yang tajam mempesonakan.
Tak lagi berlinang air mata Ting Hun-pin, katanya: "Aku sudah mengerti seluruh maksud hatimu, sekarang aku hanya ingin supaya kau memahami maksudku."
Kwe Ting diam saja.
"Kematian Yap Kay adalah tanggung-jawabku, kau tidak perlu turut campur. Walau Giok-siau dan Lu Di musuh yang menakutkan, aku tetap punya akal untuk menghadapi
mereka. Tak perlu kau kuatirkan keselamatan diriku."
"Kau punya akal apa untuk menghadapi mereka?", tanya Kwe Ting.
"Aku ini perempuan, untuk menghadapi laki-laki biasanya banyak cara yang bisa digunakan perempuan," suaranya berubah dingin serta sadis dan tandas.
Semula Ting Hun-pin adalah gadis periang yang lincah dan jelita, namun sekarang seolah-olah dia sudah berubah jadi perempuan lain yang sadis dan kejam.
Mencelos dingin hati Kwe Ting, tiba-tiba timbul rasa
takut yang mengerikan dalam sanubarinya. Lapat-lapat dia sudah mendapat firasat bahwa kemungkinan Ting Hun-pin
hendak melakukan sesuatu yang menakutkan. Ingin dia
mencegahnya, namun tidak tahu cara bagaimana dia harus mencegah tindakan nekat.
Pelan-pelan Ting Hun-pin bangkit berdiri, turun dari
ranjang, beranjak ke arah jendela. Dia termenung di ambang jendela, pandangannya menatap tabir malam nan pekat di luar sana.
Malam belum berlarut.
Tiba-tiba dia berpaling serta bertanya: "Kau ada
membawa uang tidak?"
"Ada!", sahut Kwe Ting pendek.
"Berapa yang kau miliki?"
"Cukup banyak!"
Ting Hun-pin menggelung rambutnya, katanya: "Sekarang belum terlalu malam, aku ingin keluar membeli barang-barang dan makanan untuk makan malam. Maukah kau
menyertai aku?"
ooo)dw(ooo Restoran memang belum kukut, Ting Hun-pin pesan tujuh
macam sayuran. Perlahan sekali dia makan, namun banyak sekali yang dia gares, arakpun tid
Harpa Iblis Jari Sakti 15 Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan K L Pendekar Pemetik Harpa 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama