Ceritasilat Novel Online

Rahasia Peti Wasiat 2

Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L Bagian 2


i masakah aku berani berdusta?" sahut Ithiong
sambil menunjuk patung yang dipuja itu.
Karena jawaban ini, hilanglah rasa sangsi si kakek, ia
tersenyum puas, katanya, "Jika demikian kalian boleh
berangkat bersama .... Ah, apa kataku, Kongcu, bukankah
Sian-li kita sangat keramat, sudah terbukti bukan?"
"Ya, ya, betul, memang setiap permohonan pasti terkabul,"
kata It-hiong dengan tertawa.
"Tapi ingat, Kongcu, hendaknya berlaku dengan baik-baik,
kalau sembarangan tentu akan menerima ganjaran setimpal,"
ucap si kakek dengan sungguh-sungguh.
"Tentu, tentu!" sahut It-hiong.
Ni Beng-ay memandang mereka dengan bingung, tanya, "Hei,
apa yang kalian katakan?"
"O, tidak bicara apa-apa, kami mempersoalkan urusan lain,"
jawab si kakek. "Eh, nona tentu sudah lapar, biar kubuatkan
semangkuk mi untukmu?"
Segera ia menuju ke belakang.
Sesudah si kakek pergi, dengan malu-malu barulah Beng-ay
tanya It-hiong, "Maaf, siapakah nama Kongcu?"
"Liong It-hiong."
"Untuk apa Kongcu pergi ke Wanpeng?"
"Ada orang minta bantuanku menyampaikan sesuatu kepada
seorang di Cap-pek-pan-san."
"Sesuatu apa?" tanya Beng-ay.
It-hiong mengangkat baju yang tersampir di pundaknya dan
menuding peti hitam, katanya, "Barang ini."
Melihat kotak itu berantai dan terbelenggu pada pergelangan
tangan anak muda itu, mata Beng-ay terbelalak, tanyanya
heran, "Hei, barang apakah itu?"
"Terus terang, aku pun tidak tahu."
"Engkau tidak tahu?" Beng-ay menegas.
"Ya, begini kejadiannya," tutur It-hiong. "Ketika di luar kota
Kim-tan, tanpa sengaja kupergoki seorang yang terluka parah
dari hampir mati ...."
Begitulah ia lantas menceritakan apa yang dialaminya. Baru
selesai bercerita, si kakek pun muncul kembali dengan
membawa dua mangkuk mi kuah yang masih panas.
Ia menaruh kedua mangkuk mi di atas meja, lalu berkata,
"Mari, silakan, makanlah mumpung masih panas. Inilah mi
kuah yang kubuat sendiri, cuma tanpa bumbu, harap dicicipi."
Dengan tertawa It-hiong berkata kepada Beng-ay, "Lotiang ini
sangat baik hati, kalau kita menolak rasanya kurang hormat,
marilah makan saja."
Maka kedua orang lantas duduk dan mulai makan mi.
Menyaksikan kedua muda-mudi itu makan dengan nikmatnya,
si kakek bergelak tertawa, "Haha, orang bilang kalau memang
jodoh di mana pun bertemu. Tampaknya pemeo ini memang
tidak salah. Kulihat ... haha, kulihat ...."
"Eh, Lotiang," sela It-hiong sengaja. "Tampaknya engkau jauh
lebih gembira daripadaku. Apakah takkan keliru urusan ini?"
"Tidak, pasti tidak keliru!" seru si kakek. "Jika Sian-li sudah
memberi jasa baiknya, kutanggung tidak keliru lagi."
"Hei, apa, yang kalian bicarakan?" kembali Beng-ay tanya
dengan bingung.
"O, tidak bicara apa-apa, cuma bergurau," ujar It-hiong.
Si nona memandang si kakek dan bertanya, "Losiansing,
bolehkah kumemondok satu malam di sini?"
"Tentu saja boleh," jawab si kakek. "Kau dan Liong-kongcu ini
boleh bermalam di sini, besok berangkat bersama ke
Wanpeng." Beng-ay berpaling dan tanya It-hiong, "Aku tidak tahu berapa
jauh dari sini ke Wanpeng. Apakah Liong-kongcu tahu?"
"Tahu," It-hiong mengangguk.
"Wah, bagus sekali," seru Beng-ay girang. "Selanjutnya di
tengah perjalanan mohon Kongcu suka banyak menjaga
diriku, bila bertemu dengan paman akan kuminta beliau
memberi tanda terima kasih padamu."
"Ah, tidak perlu, tidak perlu," seru It-hiong.
Sembari bicara, tahu-tahu semangkuk mi sudah habis
termakan. "Sekarang ada satu kesulitan," kata si kakek. "Di sini cuma
ada sebuah kamar kosong ...."
Cepat It-hiong menanggapi, "Kamar kosong itu boleh dipakai
nona Ni saja, biar kududuk saja di pojok ruangan sini."
"Tempat tidurku terlampau kecil, kalau tidak tentu dapat
Kongcu tidur bersamaku," ujar si kakek.
"Jangan sungkan," ujar It-hiong. "Biarlah aku mengawasi saja
di ruangan sini, sekalian menjaga kudaku."
"Jika demikian silakan nona laut masuk ke belakang saja,"
kata si kakek kepada Ni Beng-ay.
"Di sini tidak ada orang jahat kan!" tanya si nona sambil
berbangkit. "Tidak, tidak ada, jangan khawatir," kata si kakek.
Lalu si nona masuk ke dalam bersama si kakek.
Menyaksikan mereka masuk ke belakang, pandangan It-hiong
beralih ke patung Sian-li yang dipuja itu sambil garuk-garuk
kepala, gumamnya dengan tertawa, "Sian-li ini memang
keramat sekali, sungguh dia sangat cantik ...."
Tidak lama kemudian si kakek sudah datang lagi dan memberi
tahu, "Dia sudah tidur."
"Sungguh kasihan," ujar It-hiong. "Tapi nyalinya juga besar,
dia berani menempuh perjalanan sendirian di tengah malam
buta." "Ya, Kongcu harus menjaganya dengan baik," ujar si kakek.
"Tentu saja," kata It-hiong.
"Harus kau bawa dia menemukan pamannya baru boleh kau
tinggalkan dia, jangan ditinggal begitu saja setiba di
Wanpeng," pesan orang tua itu.
"Kutahu," jawab It-hiong.
Dengan suara tertahan si kakek tanya dengan tertawa, "Kau
lihat bagaimana wajahnya?"
"Belum pernah kulihat nona secantik ini," kata It-hiong terus
terang. "Usianya paling-paling baru 17-18 tahun."
"Ya," It-hiong mengangguk.
"Jika engkau menaksir dia, hendaknya sepanjang jalan kau
jaga dia baik-baik, dengan begitu baru dapat kau rebut
hatinya." "Wah, tampaknya Lotiang juga cukup berpengalaman," Ithiong
berseloroh. Kakek itu tertawa, "Terus terang, waktu mudaku juga sok
romantis, cuma sayang aku terlampau jual mahal, akhirnya
hidup hampa pada hari tua seperti sekarang. Makanya ingin
kuberi nasihat padamu, orang muda hendaknya jujur dan setia
dalam hal cinta, jangan sekali-kali sayang bermula dan
ditinggal kemudian, bikin susah orang lain juga bikin runyam
diri sendiri."
"Betul," It-hiong mengangguk.
"Dan kelak bila kalian jadi menikah, janganlah lupa kalian
mengirim undangan kepadaku."
"Tentu, tentu," jawab It-hiong tertawa.
"Baiklah, sudah jauh malam, silakan istirahat, aku pun mau
tidur." Baru saja si kakek mau masuk lagi, tiba-tiba terlihat Ni Bengay
muncul dari pintu samping, keruan ia melenggong, "Eh,
nona belum lagi tidur?"
Beng-ay mendekati mereka dan memainkan ujung baju,
jawabnya dengan malu-malu, "Aku ... aku tidak ... tidak berani
tidur di kamar itu ...."
"Memangnya kenapa?" tanya si kakek.
"Di dalam kamar banyak tikus berkeliaran," tutur si nona.
Si kakek tertawa, "Ai, seorang nona besar masakah takut pada
tikus?" "Aku justru takut tikus," kata Beng-ay.
"Tikus tidak menggigit manusia, bila kau gertak tentu dia lari
terbirit-birit."
Beng-ay tertawa likat, "Sesungguhnya aku rada takut tidur
sendirian, maka ... maka kupikir lebih baik duduk bersama
Liong-kongcu di sini sampai pagi."
"Eh, mana boleh?" ujar si kakek.
"Jika nyali nona ini memang kecil, biarkan dia duduk di sini
bersamaku saja," kata It-hiong. "Toh duduk bersandar dinding
juga dapat tidur, sama saja seperti tidur di ranjang."
"Jika begitu boleh kau rebah di bangku panjang ini," kata si
kakek, lalu ia memindahkan sebuah bangku panjang dari
ruang samping ke situ, ditaruhnya dekat tembok, lalu berkata
pula, "Hawa sekarang tidak dingin, boleh juga tidur di atas
bangku." "Terima kasih, Lotiang," kata Beng-ay. "Biarlah kududuk saja.
silakan engkau pulang ke kamarmu."
"Baiklah, aku tidak menemani kalian lagi," ujar si kakek
dengan tertawa. "Bila kalian tidak dapat pulas, silakan
mengobrol saja."
Lalu ia masuk lagi ke belakang.
Si nona memandang It-hiong sekejap, katanya dengan malumalu,
"Aku ikut ... ikut duduk di sini takkan mengganggu
dirimu?" "Tidak," jawab It-hiong dengan tersenyum.
Beng-ay duduk di atas bangku, ucapnya pula, "Sesungguhnya
aku tidak berani tidur sendirian di kamar, maka ... maka ...."
"Tidak apa, sungguh tidak menjadi soal," sela It-hiong.
"Ranselku hilang, kau bilang hendak menyelesaikannya
bagiku, cara bagaimana akan kau selesaikan?" tanya pula si
nona. "Setiba di kota besok akan kubelikan beberapa potong baju
bagimu, mengenai biaya dalam perjalanan biarlah semua atas
bebanku." "Wah, tidak enak rasanya."
"Tidak apa," kata It-hiong.
Beng-ay meliriknya sekejap dengan rasa terima kasih, "Ai,
engkau ini orang baik, kelak pasti akan kubalas budimu."
"Jangan sungkan," ujar It-hiong tertawa.
Perlahan si nona menghela napas, lalu berucap dengan
terharu, "Manusia memang aneh, ada sementara orang sangat
baik, ada pula yang jahat, ternyata begini banyak bedanya
...." "Kau bilang aku ini orang baik?" tanya It-hiong.
"Ya, belum pernah kulihat orang baik serupa dirimu. Juga
orang tua tadi, kalian semua sangat baik."
It-hiong angkat pundak, "Memang betul orang tua tadi sangat
baik, tapi aku kan belum pasti bagimu, aku pernah membunuh
orang." Sembari bicara ia tepuk-tepuk pedang yang tergantung pada
pinggangnya. Seperti baru sekarang si nona melihat pedangnya, dia
kelihaian rada jeri, katanya, "Apa benar engkau pernah
membunuh orang?"
"Betul," It-hiong mengangguk.
"Engkau mahir Kungfu?" tanya pula si nona.
"Ya, lumayan," kembali It-hiong mengangguk.
"Orang yang kau bunuh tentu orang busuk semua bukan?"
tanya si nona setelah memandangnya sejenak dengan
termangu-mangu.
"Tidak tentu," sahut It-hiong sambil menggeleng. "Di dunia ini
orang baik dan orang jahat terkadang sangat sukar dibedakan.
Orang yang kubunuh semuanya kuanggap pantas dibunuh,
mengenai mereka sesungguhnya orang baik atau orang jahat
tidak kupedulikan."
"Aku tidak paham ucapanmu," kata si nona.
"Umpamanya begini," tutur It-hiong dengan tersenyum.
"Misalnya sekarang mendadak datang satu orang, dia hendak
membunuhku, ingin merampas kotak hitam yang terbelenggu
di tanganku ini, demi membela diri, terpaksa kubunuh dia
daripada aku sendiri terbunuh, tentunya aku tidak peduli lagi
dia orang baik atau orang busuk."
"Apakah ada orang hendak merampas kotakmu?"
"Ya, sangat mungkin."
"Yang suka merampas barang milik orang lain kebanyakan
pasti orang jahat."
"Ini pun tidak pasti," kata It-hiong. "Sampai sekarang aku
sendiri tidak tahu persis apakah orang yang memberikan peti
ini kepadaku itu orang baik atau jahat, sebab itulah aku pun
tidak jelas orang yang akan merampas petiku ini baik atau
busuk." "Jika begitu mengapa kau sanggupi akan mengirimkan peti ini
ke Cap-pek-pan-san?" tanya Ni Beng-ay.
"Sebenarnya aku tidak pernah menyanggupi dia, tapi
mendadak dia membelenggu barang ini pada tanganku," tutur
It-hiong. "Cuma kupikir isi peti ini pasti barang yang sangat
penting, jika dia memercayai diriku, terpaksa aku harus
memenuhi permintaannya."
"Kukira engkau ini pasti seorang pendekar budiman bukan?"
tanya Beng-ay. "Entah, aku tidak tahu," ujar It-hiong dengan tertawa.
"Terkadang kurasakan banyak juga perbuatan busuk yang
telah kulakukan."
"Eng ... engkau takkan mengganggu diriku bukan?" Beng-ay
menegas dengan rada khawatir.
It-hiong tertawa, "Tidak, takkan kuganggu dulu perempuan
baik-baik terkecuali dia yang mengganggu diriku."
"Kau bilang aku akan mengganggumu?" si nona menegas
dengan tertawa malu.
"Semoga tidak," jawab It-hiong sambil memandangnya
sekejap. Beng-ay menutupi mulutnya yang menguap kantuk dengan
lengan baju, lalu berkata, "Sungguh aku ingin tidur."
"Jika begitu silakan tidur saja," kata It-hiong.
Beng-ay memandang bangku panjang, katanya sambil
menggeleng, "Aku tidak mau tidur di atas bangku ini."
"Tapi di atas bangku kan lebih baik daripada tidur di lantai."
"Tidak, aku ingin meniru dirimu," ujar si nona dengan tertawa.
Lalu ia menyingkirkan bangku itu dan duduk bersandar
dinding. It-hiong lantas memejamkan mata dan tidak bicara lagi.
Melihat anak muda itu memejamkan mata, Beng-ay tidak enak
untuk mengajaknya bicara. Tapi setelah duduk diam sebentar,
agaknya ia merasa dingin, katanya sambil bersedekap, "Wah,
aku ... aku rada dingin ...."
Segera It-hiong membuka ranselnya dan mengeluarkan


Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sepotong baju luar serta dilemparkan kepada si nona,
katanya, "Tutupkan baju ini di atas tubuhmu, mungkin akan
tambah hangat."
Si nona membentang baju itu dan diselimutkan di atas badan,
ia mengangguk kepada anak muda itu, katanya dengan
tertawa penuh arti, "Terima kasih."
It-hiong tidak menjawab, kembali ia memejamkan mata.
Selang sebentar lagi, tubuh si nona tambah melingkar serupa
ebi, keluhnya pula, "Ai, tetap merasa rada dingin."
It-hiong berkata dengan mata tetap terpejam, "Lebih baik kau
tidur di dalam kamar saja."
"Tidak, aku ingin di sini."
"Jika begitu janganlah berkeluh kedinginan."
"Baik, aku takkan mengeluh lagi."
It-hiong lantas menyilakan kedua kakinya dan memusatkan
pikiran, bersemadi serupa seorang padri.
Selang tak lama lagi, kembali terdengar suara keluhan, "Oouh
...." Itulah suara orang yang tak tahan kedinginan.
"Kenapa lagi?" terpaksa It-hiong buka suara.
"O, tidak apa-apa, maaf tidak apa-apa," cepat Beng-ay
menjawab. "Masih kedinginan?"
"Tid ... tidak terlalu dingin ...."
Mau tak mau timbul juga rasa kasihan It-hiong, katanya, "Jika
engkau mau, boleh kau rapatkan dirimu kemari, dengan
demikian engkau akan merasa lebih hangat sedikit."
"Ap ... apa boleh begitu?" kata si nona dengan ragu.
"Aku sih tidak menjadi soal, terserah padamu," ujar It-hiong
dengan tersenyum.
Muka Beng-ay menjadi merah, "Takkan kau tertawai diriku?"
"Tidak," jawab It-hiong.
"Antara kita adalah suci bersih, betul tidak?" tanya si nona.
"Betul," jawab It-hiong pula.
Beng-ay lantas mendekat ke sana dan duduk di sampingnya,
katanya dengan perasaan tidak enak, "Maaf, sesungguhnya
aku kedinginan, jika kutahu malam hari di sini sangat dingin
tentu aku akan pakai baju lebih tebal."
Mendadak mata It-hiong terbelalak dan memandang ke luar
kelenteng, lalu mendesis, "Ssst, ada orang!"
Beng-ay tampak terkejut, katanya dengan gugup, "Hai, sia ...
siapa?" "Jangan takut," ujar It-hiong tertawa. "Tak peduli siapa yang
datang, tidak perlu kau takut."
Dalam pada itu terdengarlah suara "tek-tok-tek ...." beberapa
kali, suara tongkat mengetuk tanah.
Tidak lama kemudian, tiba-tiba muncul seorang pengemis
perempuan tua. Usia nenek pengemis ini ada 60-an, rambutnya yang sudah
kelabu tampak semrawut, tubuhnya kurus, matanya celung,
membawa tongkat kayu, tampaknya seorang tunanetra alias
buta. Setiba di pintu kelenteng, lebih dulu ia gunakan tongkatnya
untuk menjajaki, lalu tangan lain meraba ambang pintu,
gumamnya, "Ya, tidak keliru, akhirnya dapat kutemukan juga."
Habis berucap ia lantas beranjak ke dalam.
Tampaknya ia tidak merasakan ada orang di ruangan pendopo
kelenteng, setelah masuk ke dalam, langsung ia merambat ke
arah Liong It-hiong dan Ni Beng-ay berada.
"Eh, Toanio (ibu) ini, apa yang kau cari?" tiba-tiba It-hiong
buka suara. Nenek pengemis itu terkejut dan berhenti seketika, tanyanya,
"Siapa itu" Engkau ini siapa?"
"Cayhe orang lalu di sini, lantaran kemalaman, maka
memondok di kelenteng ini," jawab It-hiong.
Kelopak mata si nenek pengemis berkedip-kedip, katanya
dengan tertawa, "O, kiranya demikian. Aku juga ingin
bermalam di sini, dahulu aku sudah pernah berteduh di sini,
cukup baik bukan tempat ini?"
"Ya, resik dan terawat," ujar It-hiong.
Nenek itu berputar ke sebelah sana, lalu duduk berjarak
beberapa kaki di kaki tembok, keluhnya, "Ai, sungguh capek
sekali." "Toanio, engkau bekerja apa?" tiba-tiba Ni Beng-ay bersuara.
Nenek pengemis itu tampak melengak, ia berpaling ke arah si
nona dan bertanya dengan heran, "Siapa itu yang bicara?"
"Aku," jawab Beng-ay. "Aku juga menumpang bermalam di
sini." Kembali kelopak mata si nenek yang buta itu berkedip,
tanyanya, "Engkau seorang nona?"
Beng-ay mengiakan.
Nenek itu tertawa sehingga kelihatan giginya yang besar dan
kuning, katanya, "Hehe, dari suaramu kedengarannya
umurmu belum ada 20."
"Betul, tahun ini aku berusia 17," jawab Beng-ay.
"Apakah engkau dan tuan tadi satu rombongan?"
Kembali Beng-ay mengiakan.
"Kalian bersaudara atau ...."
"Bukan," potong si nona.
"O, jika bukan saudara, juga bukan suami istri, lantas apa
hubungan kalian?" tanya si nenek dengan tertawa.
"Ah, jangan kau tanya," ujar Beng-ay.
Kembali si nenek tertawa, "Hehe, kutahu, kalian ini pasangan
yang minggat bersama, betul tidak?"
"Hus, jangan sembarangan omong!" omel si nona.
Ebook oleh : Dewi KZ
Scan book oleh : BBSC
Jilid 3 "Sembarang omong" Hehe, terus terang, aku ini kan orang
tua yang sudah berpengalaman," ujar si nenek dengan
tertawa. "Biar kukatakan padamu, pada waktu muda aku
pernah ikut minggat bersama kekasih. Rasanya memang
nikmat. Cuma ... ai, justru lantaran minggat bersama orang,
makanya mengalami nasib malang seperti sekarang ini. Sebab
itulah ingin kuberi nasihat kepada kaum muda kalian, urusan
perjodohan yang mahapenting hendaknya serahkan kepada
pilihan orang tua dan jangan sekali-kali sembarangan
bertindak. Mengingat kejadian dahulu, bilamana aku tunduk
kepada perkataan ayah-bunda ...."
Karena nada orang seakan-akan sudah memastikan dia
minggat bersama kekasih, Ni Beng-ay merasa tidak senang,
cepat ia memotong, "Toanio, jangan kau bicara lebih lanjut."
"Kenapa?" nenek itu merandek. "Engkau tidak suka
mendengarkan" Ehng" Engkau masih muda, tidak tahu
urusan, makanya sebagai orang tua ingin menyadarkan
dirimu. Hendaknya maklum, sekali telanjur berbuat bila
menyesal selama hidup, ingin berpaling pun sudah terlambat.
Jika engkau tidak percaya, kelak engkau tentu akan
menderita."
"Engkau sungguh salah sangka, kami bukan pasangan yang
minggat dari rumah, kami hanya ... hanya ...."
"Hanya apa?" tanya si nenek.
"Hanya sahabat yang baru berkenalan saja."
"Ah, aku tidak percaya, sahabat yang baru berkenalan mana
bisa bermalam bersama di kelenteng terpencil seperti ini?"
"Ya, terserah mau percaya atas tidak!"
"Siapa namamu?" tanya pula si nenek.
"Ni Beng-ay."
"Kapan tanggal lahirmu?"
"Untuk apa kau tanya hal ini?"
"Aku dapat nujum, maka akan kupetangi nasibmu, apakah
engkau ditakdirkan hidup bahagia atau hina, apakah ada
minat?" Beng-ay ternyata berminat, katanya segera, "Usiaku 17 tahun
ini, sio kambing, lahir tanggal 19 bulan empat waktu tengah
hari. Coba ramalkan."
"Caraku nujum biasanya suka terus terang, maka jika
kukatakan baik tidak perlu kau gembira, bila kukatakan jelek
engkau pun jangan marah."
"Ya, tentu," sahut Beng-ay.
Si nenek buta lantas berkomat-kamit sambil menekuk jariKANG
ZUSI website http://cerita-silat.co.cc/
jemarinya, setelah berhitung sebentar, mendadak ia menjerit,
"Wah, celaka!"
"Ada apa?" tanya Beng-ay kaget.
"Menurut perhitungan, nasib nona tidak begitu baik pada
umur 17, tapi kelak engkau akan jaya dan bahagia, cuma ...."
"Cuma apa?" desak Beng-ay.
"Sekarang nasib nona lagi jelek, maka bila bertemu dengan
orang asing, ada kemungkinan akan mendatangkan
malapetaka bagimu."
"Hah, apa betul?" tanya Beng-ay khawatir.
"Tentu saja betul, ramalanku selama ini sangat jitu, maka
lebih baik lekas engkau lari saja."
"Lari"!" Beng-ay menegas.
"Ya, lari ke jurusan barat akan dapat menghindarkan
malapetaka itu."
Sampai sekian lama Beng-ay melenggong, tiba-tiba ia tertawa,
"Ah, jangan Toanio menakuti, tanpa sebab tiada alasan
mengapa aku akan tertimpa malapetaka?"
"Coba jawab, bukankah Siangkong yang berada di sampingmu
itu baru saja kau kenal?" tanya si nenek.
"Betul," jawab Beng-ay.
"Nah, itu dia," ujar si nenek dengan prihatin. "Maka bila
engkau ingin selamat sebaiknya lekas lari saja."
Beng-ay memandang It-hiong sekejap, ucapnya dengan tak
percaya, "Masa kau anggap Liong-kongcu ini akan
membunuhku?"
"Tidak dapat kupastikan siapa yang akan membunuhmu, aku
cuma tahu bila kau temui orang asing pasti akan
mendatangkan malapetaka."
"Ah, aku tidak percaya," jawab Beng-ay sambil menggeleng.
"Sebaiknya kau percaya," tiba-tiba Liong It-hiong menukas.
"Apa"!" teriak Beng-ay kaget.
"Apa yang dikatakan Toanio ini memang beralasan, sebaiknya
lekas kau lari saja," kata It-hiong.
"Jadi ... jadi benar engkau hendak membunuhku?" tanya
Beng-ay sangsi.
"Aku tidak tahu apakah akan membunuhmu atau tidak," sahut
It-hiong. "Cuma di ruangan ini penuh nafsu membunuh
memang terbukti nyata, hujan badai sudah hampir tiba!"
"Ai, janganlah engkau menakuti aku," pinta Beng-ay.
"Kelenteng ini sangat aman tenteram, dari mana datangnya
nafsu membunuh segala?"
Tangan kanan si nenek yang kurus kering itu sedikit bergerak,
katanya dengan tertawa terkekeh, "Hehe, nona cilik, jika
engkau tidak percaya kepada nasihat orang tua, tentu akan
kau rasakan pahit getir."
Pada saat itu juga Liong It-hiong juga mengangkat tangan
kanan dan menangkap sebuah tusuk kundai kemala yang
menyambar ke arah Ni Beng-ay, katanya dengan tertawa, "Eh,
Toanio, jangan kau curigai dia, sesungguhnya dia memang
seorang nona yang kesasar dan terpaksa bermalam di sini."
Tampaknya si nenek buta juga tahu tusuk kundai yang
disambitkannya itu kena ditangkap Liong It-hiong, berubah
juga air mukanya, serunya dengan tertawa, "Aha, Liong-hiap
memang hebat!"
"Terima kasih atas pujianmu, Miau-lolo!"
Si nenek melengak, katanya pula dengan terkekeh, "Hehe,
kiranya kau pun kenal diriku"!"
"Di dunia Kangouw terkenal It-kun (seorang Kun) Ji-ni (dua
Nikoh) dan Sam-lolo (tiga nenek), jika tokoh terkenal begitu
saja tidak kukenal, lalu cara bagaimana aku dapat
berkecimpung di dunia Kangouw?"
"Baik, jika engkau kenal diriku, maka kita tidak perlu banyak
cincong lagi, biarlah kita bicara blak-blakan saja ...."
Belum lanjut ucapan Miau-lolo atau si nenek Miau, mendadak
di luar kelenteng ada orang berseru, "Omitohud! Siancay!"
Suara memuja kebesaran Buddha itu terdengar lantang serupa
bunyi genta dan berkumandang kuras ke dalam kelenteng,
membuat anak telinga orang terasa sakit.
Miau-lolo menarik muka, dengusnya, "Apakah Kim-kong
Taysu?" Kembali orang itu menyebut "Omitohud", lalu muncul seorang
Hwesio gendut melangkah masuk ke pendopo kelenteng.
Usia Hwesio ini antara 50-an, mukanya bulat sehingga serupa
Buddha gendut yang suka tertawa itu, dia memakai Kasa
(jubah Hwesio) berwarna merah, di dalamnya memakai baju
belacu kuning, tangan memegang Hang-mo-tiang atau
tongkat penakluk iblis, begitu masuk segera ia memberi
hormat kepada ketiga orang, lalu duduk di pojok kanan
ruangan. Wajah Miau-lolo kelihatan kurang senang, jengeknya, "Kimkong
Taysu, ada urusan apa kau datang kemari?"
Hwesio yang disebut Kim-kong Taysu itu tertawa, jawabnya,
"Kebetulan aku kemalaman dalam perjalanan ini, maka ingin
memondok semalam di sini, tak terduga dapat bertemu
dengan Miau-toaso di sini, selamat bertemu!"
"Hm, tidak perlu kau bicara melantur denganku!" jengek si
nenek pula. "Ah, mana aku berani," ujar Kim-kong Taysu. "Cuma Sian-libio
ini kan tempat umum, tentunya aku boleh berteduh di
sini?" Mendadak Liong It-hiong berseru lantang, "Wah, luar biasa!
Para tokoh kenamaan Kangouw yang ditakuti orang sama
muncul di sini!"
Kim-kong Taysu terbahak, "Haha, terima kasih. Aku ini kan
pembawa bendera saja, peran utamanya masih belum
muncul." Belum lenyap suaranya segera terdengar suara "srak-srek" di
luar, suara sandal terseret.
Seketika terangsang nafsu membunuh Miau-lolo, jengeknya,
"Hah, bagus, rupanya setan rudin ini juga datang meramaikan
tempat ini."
Menyusul suaranya seorang setengah umur tampak masuk ke
ruangan pendopo dengan langkah terseyat-seyot. Wajah
orang ini tidak jelek, hanya dekil serupa sudah beberapa bulan
tidak pernah cuci muka. Bajunya yang menandakan dia
seorang terpelajar juga kotor, kaki memakai sandal kulit butut,
rupanya miskin dan kelakuannya rudin.


Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Begitu masuk ia lantas memberi hormat kepada Miau-lolo,
Kim-kong Taysu, Liong It-hiong dan Ni Beng-ay, lalu tertawa
dengan suaranya yang serupa burung hantu, "Terimalah
salam orang she Sun ini, semoga kalian sama selamat!"
"Duduk saja!" jengek Mau-lolo.
Orang yang mengaku she Sun itu menjawab dengan hormat,
"Ya, baik!"
Lalu ia menuju ke samping dan duduk di situ tanpa bicara lagi.
Miau-lolo berkata kepada Liong It-hiong, "Liong-hiap, apakah
kau kenal dia?"
It-hiong mengangguk, "Tentu saja kenal. Nama kebesaran
Kiong-su-sing (pelajar miskin) Sun Thian-tek sudah lama
kudengar."
"Bagus, jika sudah saling kenal tentu urusan menjadi mudah
dibicarakan," ujar Miau-lolo. "Dan, entah tokoh kosen mana
lagi yang akan datang?"
"Mungkin masih ada satu!" seru Kiong-su-sing Sun Thian-tek
dengan tertawa.
Baru selesai ucapannya segera di luar kelenteng bergema
suara tertawa orang dan melayang masuk seorang Tojin tua.
Tojin tua ini berusia antara 60-an, mata alisnya kelihatan baik,
jenggot panjang sebatas dada, memakai ikat kepala tersusun,
berjubah tebal, memakai sepatu merah dan kaus kaki putih,
yang dipegangnya bukan kebut, tapi sebuah Koh-ting atau
tungku antik. Jelas tungku antik itu terbuat dari perunggu, tingginya empat
kaki, sekelilingnya berukir timbul, indah sekali buatannya.
Bobotnya paling sedikit ada 500 kati, akan tetapi terpegang di
tangan Tojin tua ini terasa seperti barang sangat enteng.
Miau-lolo tertawa dan menegur, "Apakah Anda ini Koh-ting
Tojin?" Tojin tua menaruh tungku antik di samping sana, lalu memberi
hormat dan menjawab, "Betul, baik-baikkah Miau-toaso
selama ini?"
"Sungguh aku tidak mengerti, mengapa orang beragama
seperti kalian ini masih juga memikirkan nama dan harta?"
kata si nenek. "Ai, janganlah Miau-toaso bicara demikian, kedatanganku
hanya ingin menyuguh minum kalian beberapa cawan saja,"
kata Koh-ting Tojin dengan tertawa.
Ucapannya juga betul, sebab di dalam tungku perunggu itu
berisi arak. "Aku tidak biasa minum arak," jengek Miau-lolo.
"Aku juga tidak," tukas Beng-ay.
"Nona sudah hadir di sini, mana boleh tidak minum," kata Sun
Thian-tek. Si Tojin menarik muka, jengeknya, "Barangkali nona menghina
diriku?" Mendadak Liong It-hiong menimbrung, "Rasanya kurang
sopan memaksa seorang nona minum arak, kukira lebih baik
Totiang minum sendiri saja."
Tiba-tiba Sun Thian-tek berdehem dua kali, lalu berseru,
"Hadirin sekalian, kukira lebih baik kita kembali kepada soal
pokok saja. Tentang kotak hitam itu hanya ada satu,
sebaliknya kita yang mengincarnya ada beberapa orang, lalu
cara bagaimana akan kita selesaikan urusan ini?"
"Sederhana dan gampang." tukas Kim-kong Taysu. "Kita
sekarang berenam, boleh kita bagi menjadi tiga partai dan
bertanding, yang kalah silakan enyah, yang menang
bertanding lagi, pemenang terakhir itulah yang akan memiliki
kotak hitam itu."
"Aha, gagasan bagus, aku setuju," seru Koh-ting Tojin
tertawa. It-hiong lantas bangun sambil kebas bajunya dan berkata,
"Maaf, aku mengaku bukan tandingan kalian, aku
mengundurkan diri dari pertandingan."
Miau-lolo, Kim-kong Taysu, Koh-ting Tojin dan Sun Thian-tek
sama melenggong oleh sikap Liong It-hiong itu.
Tempat duduk Kim-kong Taysu berdekatan dengan pintu,
segera ia mengacungkan tongkatnya mengadang jalan keluar
sambil berseru, "Eh, Siaucu (anak kecil), peti ini berada
padamu, mana boleh kau pergi begitu saja?"
Liong It-hiong menyadari sukar untuk pergi sesukanya,
terpaksa ia duduk lagi, katanya dengan tertawa, "Wah,
tampaknya aku ingin menyerah pun tidak boleh ...."
"Kau mau pergi sih boleh saja, cuma peti itu harus kau
tinggalkan," ucap Koh-ting Tojin.
It-hiong menggeleng, "Tidak, setelah berdampingan bersama
peti ini selama beberapa hari, sudah timbul rasa sayangku
kepadanya, aku tidak tega meninggalkannya."
"Jika demikian, jadi kau siap mengadu jiwa baginya?" tanya
Koh-ting Tojin.
"Juga tidak, mengadu jiwa bagi sebuah peti kan tidak ada
harganya," ucap It-hiong sambil mengangkat pundak. "Apakah
boleh kutahu sesungguhnya apa isi peti ini?"
"Bagus sekali jika engkau tidak tahu," ujar Koh-ting Tojin.
Kiong-su-sing Sun Thian-tek lantas menuding Ni Beng-ay dan
tanya Miau-lolo, "Miau-toaso, bagaimana asal usul nona ini?"
"Aku pun tidak tahu," sahut si nenek tak acuh.
"Kalian sama salah sangka," sela It-hiong. "Kedatangan nona
ini bukan lantaran mengincar peti hitam ini, dia memang
benar kemalaman dan ingin memondok semalam di sini."
"Dari mana kau tahu?" tanya Sun Thian-tek dengan
tersenyum. "Sebab aku memang suka memercayai perkataan setiap nona
cantik," jawab It-hiong.
"Buset!" kata Sun Thian-tek tertawa.
"Betul tidak nona Ni?" tanya It-hiong kepada Ni Beng-ay.
Nona itu kelihatan gugup jawabnya, "Apa maksudnya" Kenapa
mereka curigai diriku?"
"Mereka mencurigai kedatanganmu ini juga hendak merampas
peti hitam yang kubawa ini," kata It-hiong sambil mengangkat
peti yang terbelenggu di tangannya.
"Omong kosong," kata Beng-ay. "Untuk apa kurampas peti
hitam itu" Asal mereka tidak membikin susah diriku saja aku
sudah bersyukur."
"Jika nona bukan orang persilatan, silakan lekas pergi saja
supaya tidak ikut tersangkut urusan ini," ujar Sun Thian-tek.
"Wah, tengah malam buta, kau suruh aku pergi ke mana?"
sahut Beng-ay dengan sedih. Lalu ia memandang It-hiong
sekejap dan menampilkan maksud minta nasihat.
It-hiong mengangguk, katanya, "Ucapan Sun-tayhiap ini
memang betul, lebih baik kau masuk ke dalam saja."
"Dan engkau?" tanya Beng-ay dengan khawatir.
"Aku tidak menjadi soal," ujar It-hiong.
"Mereka takkan membikin susah padamu?"
"Mungkin tidak," jawab It-hiong tertawa. "Yang mereka incar
adalah peti dan bukan diriku."
"Besok engkau tetap berangkat ke Cap-pek-pan-san atau
tidak?" tanya si nona pula.
"Tentu pergi, biarpun peti ini dirampas orang tetap kupergi ke
sana, akan kutemanimu ke Wanpeng," jawab It-hiong pasti.
Lega hati Ni Beng-ay setelah menerima janji It-hiong itu,
perlahan ia masuk ke dalam melalui pintu samping.
Sun Thian-tek tertawa, katanya, "Nah, sudah pergi seorang,
sekarang kita berempat jadi lebih mudah menyelesaikan
urusan ini."
"Cara bagaimana penyelesaiannya?" jengek Miau-lolo.
"Boleh gunakan usul Kim-kong Taysu tadi," kata Sun Thiantek.
"Kita berempat terbagi menjadi dua partai untuk
bertanding, yang kalah tersisihkan, yang menang bertanding
lagi dengan yang menang, dan pemenang terakhir berhak
mendapatkan peti itu."
"Baik, biar aku yang menempur orang rudin macammu ini,"
ejek si nenek. "Boleh juga," Sun Thian-tek terima tantangan itu dengan
tersenyum. "Dengan cara bagaimana Miau-toaso ingin
bertarung denganku?"
"Terserah padamu," jawab Miau-lolo.
"Begini saja," ujar Sun Thian-tek. "Karena Miau-toaso
kehilangan penglihatan, betapa pun tidak enak bagiku untuk
bergebrak denganmu. Biarlah kita bermain dua macam
permainan saja, boleh kau tirukan caraku lalu bergilir kutiru
caramu, yang tidak mampu meniru dianggap kalah. Nah,
setuju?" "Baik, setuju," jawab si nenek.
Lalu Kiong-su-sing berpaling dan tanya Kim-kong dan Koh-ting
berdua, "Apakah kalian juga setuju terhadap caraku?"
Kedua orang itu sama mengangguk dan menjawab, "Bagus,
kami setuju!"
"Jika begitu, harap kalian menjadi saksi bagi kami," kata
Thian-tek. "Nah, Miau-toaso, silakan engkau dulu."
Miau-lolo tidak bicara lagi, ia gunakan tongkatnya untuk
menjajaki jalan dan mendekati meja sembahyang, lalu tangan
meraba-raba sambil berkata, "Adakah Hiolo (tempat lidi dupa)
di sini?" "Ada, agak di sebelah kanan," kata Thian-tek.
Miau-lolo menurut dan meraba ke kanan, betul juga dapat
dipegangnya Hiolo dimaksud.
Ia mengambil enam tangkai sisa lidi dupa, lalu mengeluarkan
sebilah belati untuk memotong lidi dupa supaya sama
panjangnya, belati disimpan kembali, kemudian ia meraba ke
pintu kelenteng, dari situ ia mundur beberapa langkah,
katanya, "Nah, boleh kau lihat sejelasnya, segera aku akan
mulai!" "Silakan," jawab Sun Thian-tek.
Miau-lolo menarik napas panjang, ia berdiri menghadap daun
pintu dan termenung sejenak, perlahan tangan kanan yang
memegang enam biji lidi itu terangkat, mendadak ia
membentak sambil menyambitkan lidi dupa.
Terdengar suara "crat-crit" perlahan, keenam lidi dupa sama
menancap di daun pintu kelenteng serupa paku dan terbentuk
bunga sakura. "Kungfu hebat!" seru Liong It-hiong dan lain-lain.
Kepandaian menyambitkan senjata rahasia ini memang luar
biasa, sebab daun pintu kelenteng itu terbuat dari papan kayu
yang keras, sedangkan sisa lidi dupa sangat kecil dan mudah
patah, namun si nenek sanggup menyambitkannya dan
menancap serupa paku, bahkan membentuk kelopak bunga
Bwe, jika dia tidak memiliki tenaga dalam yang lihai dan gerak
tangan yang terlatih, tidak mungkin dia mampu berbuat
demikian. Miau-lolo sangat senang, katanya, "Nah, sekarang giliranmu si
rudin!" Sun Thian-tek berdiri, katanya sambil menggeleng, "Wah,
Kungfu Miau-toaso ini sungguh hebat, mungkin tidak sanggup
kutirukan ...."
"Jangan sungkan, lekas silakan coba," ucap si nenek dengan
tertawa. Sun Thian-tek lantas mendekati meja sembahyang juga dan
mengambil enam lidi dupa, dipotongnya juga hingga rata, lalu
berdiri di tempat Miau-lolo tadi, katanya dengan hormat
kepada Kim-kong Taysu dan Koh-ting Tojin, "Terpaksa
kulakukan sebisanya, jika tidak sanggup menirukan Miautoaso,
harap jangan kalian tertawai diriku."
Kim-kong dan Koh-ting hanya tersenyum saja tanpa bersuara.
Thian-tek juga berdiri diam sejenak untuk mengumpulkan
tenaga dalam, mendadak ia pun mengertak sekali, tangan
bergerak dari bawah ke atas, enam tangkai lidi kecil ditolak ke
depan. "Cret", keenam lidi pun menancap di daun pintu, juga
membentak bunga Bwe yang berkelopak lima.
Kembali Liong It-hiong, Kim-kong Taysu dan Koh-ting Tojin
bersorak memuji, "Kungfu hebat, sungguh luar biasa!"
"Bagaimana?" tanya Miau-lolo dengan air muka rada berubah.
"Sama, serupa benar!" tutur Kim-kong Taysu.
"Hm, coba kuperiksa sendiri," jengek Miau-lolo perlahan, ia
mendekati daun pintu dan merabanya sejenak, lalu
mengangguk dan berkata, "Hm, tak tersangka si rudin ini
boleh juga."
Sun Thian-tek memberi hormat dan tertawa, "Terima kasih
atas pujianmu, sungguh beruntung!"
"Sekarang coba kau tiru lagi yang ini," kata si nenek sambil
menggeser mundur dua tindak.
Melihat permukaan lantai yang baru saja terinjak si nenek,
tanpa terasa Liong It-hiong bersorak pula, "Sungguh Kungfu
yang lihai, hari ini aku benar-benar banyak bertambah
pengalaman."
Setelah melihat apa yang terjadi, Kim-kong dan Koh-sing juga
mengunjuk rasa kagum sambil mengangguk, kata mereka,
"Injakan Miau-toaso ini terlebih hebat lagi!"
Kiranya pada waktu menggeser mundur tadi, diam-diam si
nenek telah meninggalkan kedua bekas telapak kaki sedalam
tiga inci di permukaan lantai.
Padahal lantai ruangan kelenteng terdiri dari ubin yang tebal,
tapi tanpa bersuara kakinya dapat ambles dan mencetak
bekas kaki sedalam itu, Kungfu ini sungguh jarang terdengar
dan sangat mengejutkan.
Berubah juga air muka Sun Thian-tek, ucapnya dengan
menyengir, "Wah, Kungfu sehebat ini mana kusanggup ...."
"Kembali kau sungkan lagi," ujar si nenek dengan tertawa.
"Padahal ini pun bukan Kungfu yang luar biasa, asalkan
menguasai Lwekang taraf tertentu saja pasti sanggup ...."
"Tapi Lwekangku jelas selisih jauh dibandingkan Miau-toaso,"
tukas Sun Thian-tek.
"Sudahlah, lekas lakukan, tidak perlu banyak omong lagi,"
kata si nenek. Mendadak Sun Thian-tek juga menggeser mundur dua
langkah, waktu ia memandang lantai, ia menggeleng kepala
dan berucap, "Memang tidak bisa, babak ini aku menyerah
kalah." Kiranya pada waktu bicara tadi diam-diam ia mengerahkan
tenaga dalam untuk membuat bekas kaki di atas ubin. Cuma
dalamnya tidak dapat melebihi tapak si nenek, malahan satu
di antara ubin yang terinjak itu ada tanda retak.
Ini memang tanda Lwekang yang belum sempurna.
Koh-ting Tojin lantas melangkah maju dan memeriksa sejenak,
lalu berkata, "Ya, babak ini memang Sun-tayhiap kalah."
"Benar, aku mengaku kalah, cuma berapa jauh kalahnya harus
diberi penilaiannya," ucap Sun Thian-tek.
"Maksudmu?" tanya Koh-ting.


Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bicara terus terang, di antara kita berempat masing-masing
mempunyai kepandaian khas sendiri, ada yang unggul dalam
hal Lwekang, ada yang asor dalam hal Gwakang dan
sebagainya, atau dengan lain perkataan, meski babak ini aku
tidak dapat menandingi Miau-toaso, namun kalahnya juga
tidak selisih terlalu jauh, maka bila nanti pada babak lain ada
keunggulanku di atas Miau-toaso, tentu akan sukar ditentukan
siapa yang harus dinyatakan sebagai pemenang."
"Beralasan juga uraianmu," ujar Koh-ting Tojin. "Lantas cara
bagaimana sebaiknya menurut pendapat Sun-tayhiap?"
"Begini," tutur Thian-tek. "Bekas kaki Miau-toaso itu sedalam
tiga inci, sedangkan tapak kakiku cuma dua inci, bahkan
membikin retak sebuah ubin, maka babak ini boleh dianggap
Miau-toaso mendapat angka 10 dan aku cuma mendapat 4, ini
berarti Miau-toaso lebih banyak mendapat 6 angka. Jika
perhitungan cara begini diteruskan barulah dapat menentukan
kalah menang dengan tepat. Coba, apakah kalian setuju?"
Koh-ting Tojin tidak keberatan, ia coba tanya Miau-lolo,
"Bagaimana, apakah Miau-toaso setuju?"
"Baik, cuma harus kuperiksa juga hasil cetakannya apakah
pantas diberi angka 4 atau tidak," kata si nenek.
Ia mendekati kedua tapak kaki cetakan Sun Thian-tek itu dan
berjongkok, setelah diraba beberapa kali, akhirnya ia
mengangguk, katanya dengan tertawa, "Ya, sudahlah, boleh
juga dianggap mendapat angka 4."
"Jika demikian, sebentar bila Miau-toaso bertanding seri satu
babak dan babak lain engkau cuma mendapat angka 3, itu
berarti Toaso yang kalah," kata Thian-tek dengan tertawa.
"Betul, sebaliknya jika aku mendapat angka lima berarti dirimu
si rudin ini yang keok," sahut Miau-lolo.
"Benar!" seru Thian-tek.
"Nah, sekarang giliranmu dulu!" kata si nenek.
"Permainan yang dapat kuperlihatkan tidaklah banyak, babak
pertama yang hendak kupertunjukkan adalah main akrobat,"
seru Thian-tek dengan tertawa.
Habis berkata ia terus melompat ke atas dan berjumpalitan
tiga kali di udara, lalu melayang turun dengan ringan.
Hal ini sama di luar dugaan Koh-ting Tojin dan Kim-kong
Taysu. "Hanya begini saja?" tanya mereka heran.
"Betul, cuma begini saja," Thian-tek mengangguk.
Miau-lolo tidak percaya Sun Thian-tek hanya menggunakan
main jumpalitan di udara untuk menentukan kalah menang, ia
yakin pasti waktu berjumpalitan itu si pelajar miskin itu telah
menggunakan semacam Kungfu istimewa yang tidak
dijelaskannya, maka ia lantas berteriak, "Tidak, ini tidak adil!"
"Tidak adil bagaimana?" tanya Thian-tek dengan tertawa.
"Kau tahu aku tidak dapat melihat, mana dapat kutirukan
caramu dengan tepat?" ujar si nenek.
"Miau-toaso tidak perlu berbuat serupa dengan diriku, cukup
asalkan engkau juga berjumpalitan tiga kali saja di udara."
"Hanya begitu saja?" kembali si nenek menegas dengan ragu.
"Betul, hanya begitu saja," jawab Thian-tek.
Mau tak mau si nenek memperlihatkan rasa sangsinya,
katanya kemudian, "Hm, sesungguhnya engkau si rudin ini
hendak main gila apa?"
"Tidak main gila apa-apa, hanya main berjumpalitan saja,"
ucap Thian-tek.
Berkedip-kedip kelopak mata Miau-lolo yang buta itu,
mendadak ia mendengus, "Hm, mengertilah aku."
"Oo, mengerti apa?" tanya Thian-tek.
"Pada waktu aku berjumpalitan nanti, tentu akan kau
sambitkan senjata rahasia untuk merobohkan aku, bukan?"
Thian-tek menggeleng, "Tidak, tidak nanti kulakukan
perbuatan pengecut seperti itu. Jika aku berbuat demikian,
tentu Kim-kong Taysu dan Koh-ting Totiang takkan
mengampuniku."
"Betul. Jika dia main gila dan berbuat curang, tidak nanti
kuampuni dia," tukas Kim-kong Taysu.
"Nah, sudah Miau-toaso dengar sendiri, tentu engkau tidak
perlu khawatir lagi bukan?" seru Thian-tek dengan tertawa.
Hati Miau-lolo agak lega setelah mendapat jaminan begitu,
namun dia tetap sangsi, ia tidak mengerti mengapa lawan
menggunakan permainan sepele ini untuk mengunggulinya"
Tapi sekarang tiada pilihan lain lagi baginya, segera ia berkata
kepada Kim-kong Taysu dan Koh-ting Tojin, "Baik, harap
kalian menaruh perhatian di udara, hendaknya jangan kalian
membiarkan dia kabur!"
"Baik, biasanya aku pun benci kepada orang yang suka main
licik dan curang, Miau-toaso tidak perlu khawatir," seru Kohting
Tojin. Sebelum lenyap suara orang, mendadak Miau-lolo melompat
tinggi ke atas, di tengah udara berturut-turut ia berjumpalitan
tiga kali, habis itu dengan tangan terpentang ia hinggap
kembali di permukaan lantai dengan enteng.
"Hah, bagus, babak ini kita sama kuat," seru Thian-tek sambil
berkeplok tertawa.
Miau-lolo kurang senang, jengeknya, "Hm, sengaja kau
gunakan Kungfu anak ingusan ini untuk menguji diriku,
sengaja kau hina diriku bukan?"
"Jangan Miau-toaso salah paham," jawab Thian-tek dengan
tertawa. "Untuk pertandingan selanjutnya, masa Miau-toaso
tidak ingin menyimpan tenaga sedikit?"
Baru sekarang si nenek menyadari maksud tujuan pelajar
miskin itu, ia terkekeh, "Hehe, betul juga perkataanmu. Cuma
apakah kau yakin pada babak berikutnya pasti dapat
mengatasi diriku?"
"Tentu saja," sahut Thian-tek pasti. "Pada permainan babak
kedua kuyakin Miau-toaso takkan mampu meniru diriku."
"Kentut!" semprot si nenek. "Apa kepandaianmu, coba
keluarkan saja!"
"Sesuai perjanjian semula, apa yang kulakukan harus ditirukan
Miau-toaso, jika engkau tidak berani ikut berbuat dengan cara
yang sama berarti engkau kalah, begitu bukan?" Thian-tek
sengaja menegas lagi.
"Betul, tidak perlu cerewet, ayolah keluarkan kepandaianmu,"
seru si nenek tak sabar lagi.
Sun Thian-tek lantas mengeluarkan sebuah botol obat terbuat
dari kayu, lalu berkata dengan tertawa, "Nah, babak kedua ini
boleh kita berlomba makan obat."
Berubah air muka si nenek. "Makan obat apa?" tanyanya.
"Dengan sendirinya obat racun," jawab Thian-tek dengan tak
acuh. "Kalau berlomba makan obat kuat, kan lebih
menguntungkan dirimu yang lebih tua."
Tergetar tubuh si nenek, seketika ia tergegap, katanya,
"Engkau seng ... sengaja bergurau denganku?"
"Tidak, aku tidak perlu bergurau, tapi sungguh-sungguh," kata
Thian-tek. Miau-lolo berpaling dan berkata kepada Kim-kong dan Kohting
Tojin, "Harap kalian memberi keadilan, coba katakan
apakah masuk di akal bertanding makan obat racun cara
begini?" Cepat Thian-tek mendahului bicara, "Sejak mula kan tidak ada
ketentuan tidak boleh berlomba makan obat racun, coba
jawab lebih dulu?"
Kening Kim-kong Taysu bekernyit, tentu saja ia merasa
serbasusah. Koh-ting Tojin juga kelihatan, prihatin, setelah termenung
sejenak baru menjawab, "Miau-toaso, ucapan Sun-tayhiap
memang beralasan. Sebelumnya kita memang tidak
menentukan apa yang boleh dipertandingkan dan apa yang
tidak boleh, sebab itulah jika dia minta berlomba makan
racun, terpaksa engkau harus mengiringinya."
Saking gemas sampai badan Miau-lolo gemetar, teriaknya,
"Tapi makan racun terhitung ilmu silat macam apa?"
Dengan serius Sun Thian-tek berkata, "Miau-toaso kan
kawakan Kangouw juga, mengapa kau bicara seperti anak
kemarin saja" Makan racun tentu juga semacam Kungfu. Jika
kau mampu, boleh kau kerahkan Lwekangmu untuk menahan
bekerjanya racun. Dan pertandingan kita justru terletak di sini,
bilamana engkau tidak mampu menahan serangan racun
biarkan engkau mati keracunan."
Muka Miau-lolo merah padam, tanyanya, "Lantas bagaimana
bila kita sama-sama dapat menahan bekerjanya racun dan
tidak mati?"
"Takkan terjadi demikian," ujar Thian-tek. "Racunku ini sangat
keras, asal makan satu biji saja bagi orang biasa, dalam waktu
singkat dari mulut-hidung-mata-telinga akan berdarah dan
mati seketika. Bagi kita yang memiliki Lwekang taraf tertentu
mungkin perlu makan beberapa biji baru bisa mati. Maka
caraku ini adalah aku makan dulu satu biji, lalu engkau ikut
makan satu biji, sejenak kemudian bila kita tidak keracunan,
lalu kumakan lagi sebiji dan engkau pun ikut makan pula
sebiji, dan begitu seterusnya, baru berhenti bilamana seorang
sudah binasa keracunan."
Miau-lolo hanya, mendengus saja tanpa menanggapi.
Sun Thian-tek lantas membuka tutup bobol, katanya pula,
"Supaya adil dan tidak menimbulkan sangkaan jelek, biarlah
kuserahkan botol racun ini untuk dipegang Koh-ting Totiang,
beliau yang akan membagikan pil racun kepada kita dan ...."
Bicara sampai di sini ia lantas menyerahkan botol racun itu
kepada Koh-ting Tojin, lalu mengangsurkan tangan dan
berucap pula, "Sekarang silakan Totiang menuangkan satu biji
kepadaku."
Koh-ting menurut, dituangnya satu biji pil racun, diendusnya
dulu, lalu tertawa, "Hah, bau racun ini ternyata sangat
harum!" "Betul memang sangat harum, namun satu biji racun ini cukup
untuk meracun mati seekor kerbau," seru Thian-tek dengan
tertawa. Koh-ting memberikan pil racun itu kepada Sun Thian-tek,
katanya, "Miau-toaso, sekarang sudah kuberikan satu biji pil
racun kepada Sun-tayhiap."
Miau-lolo mendengus, "Hm, kalau berani kenapa tidak kau
makan saja dua tiga biji sekaligus"!"
"Baik, harap Totiang memberikan dua biji lagi," kata Thiantek.
"Wah, kukira Miau-toaso perlu pikir panjang," ujar Koh-ting
dengan tertawa. "Sebab kalau sekali makan Sun-tayhiap
menghabiskan tiga biji, Miau-toaso sendiri juga harus ikut
makan tiga biji."
"Kutahu, tidak perlu kau jelaskan," sahut si nenek
mendongkol. Segera Koh-ting menuangkan lagi dua biji pil racun itu kepada
Sun Thian-tek, katanya dengan terkekeh, "Hehe, tak
tersangka Sun-tayhiap ini menganggap makan obat racun
sebagai kepandaian istimewa. Sungguh mengagumkan."
Thian-tek terus menerima pil itu dan sekaligus dijejalkan ke
dalam mulut terus ditelan, katanya, "Nah, sudah kuminum
semua!" "Harap Totiang mewakili diriku untuk memeriksanya, apakah
pil itu tidak terselip di bawah lidahnya," pinta si nenek buta.
Tanpa disuruh segera Sun Thian-tek membuka mulutnya
lebar-lebar, katanya dengan suara kurang lancar, "Silakan
Totiang memeriksanya!"
Koh-ting mengamat-amati mulut Thian-tek, terlihat ketiga biji
pil tadi memang betul sudah diminumnya, maka ucapnya, "Ya,
semuanya memang betul sudah masuk perut Sun-tayhiap."
Air muka Miau-lolo tampak gelap, jengeknya, "Jika Thian bisa
menimbang, seharusnya membikin engkau si rudin ini mati
keracunan."
"Jangan khawatir, Miau-toaso," seru Thian-tek dengan
tergelak. "Selama hidupku ini hampir tidak pernah hidup
senang, kuyakin takkan mati secepat itu."
Lalu ia berkata pula kepada Koh-ting Tojin, "Nah, harap
Totiang pun menuangkan tiga biji untuk Miau-toaso."
Segera Koh-ting menuang tiga biji pil racun seperti apa yang
diminta dan disodorkan kepada Miau-lolo, katanya, "Silakan
makan, Miau-toaso!"
"Tidak, aku tidak mau makan," sahut si nenek.
"He, mana boleh tidak makan?" seru Koh-ting dengan
melenggong. "Kenapa tidak boleh?" jengek Miau-lolo.
"Jika tidak kau makan berarti babak ini dimenangkan Suntayhiap,
engkau tidak berhak ikut berebut peti lagi," kata Kohting.
"Bagaimana keadaannya sekarang?" tanya si nenek.
"Sun-tayhiap sedang mengerahkan tenaga untuk menahan
serangan racun," tutur Koh-ting Tojin.
Memang betul, saat itu Sun Thian-tek telah duduk bersila di
lantai dan mulai mengerahkan Lwekang untuk menahan racun
yang mulai bekerja di dalam perut.
Hal ini sama dengan pertarungan antara mati dan hidup, tidak
seberapa lama, kening Sun Thian-tek tampak berkeringat.
"Hm, aku justru tidak percaya dia mampu menahan serangan
racun, tentu dia sedang main gila," ujar Miau-lolo.
"Miau-toaso," ucap Kim-kong Taysu dengan kereng.
"Sesungguhnya engkau mau makan atau tidak, kalau tidak
makan berarti engkau kalah."
Alis si nenek menegak, katanya, "Kalah juga boleh,
memangnya kenapa?"
"Jika begitu, engkau tidak berhak ikut berebut peti lagi, silakan
meninggalkan kelenteng ini," kata Kim-kong Taysu.
"Hm, buat apa terburu-buru?" jengek si nenek. "Aku justru
ingin tahu apa benar dia takkan mati."
"Jika Sun-tayhiap berani makan, tentu dia yakin mampu
mengatasi bekerjanya racun. Tapi seumpama Sun-tayhiap
mati keracunan tetap engkau dianggap kalah, sebab engkau
tidak berani menirunya makan racun."
Miau-lolo mendengus gusar, "Hm, aneh juga. Aku kan sudah
mengaku kalah, kenapa kau omong terus-menerus?"
"Haha, jangan Miau-toaso gusar, soalnya kita perlu bicara
sejelasnya agar tidak menimbulkan sengketa di belakang,"
seru Kim-kong Taysu dengan terbahak.
Dengan muka cemberut Miau-lolo tidak bicara lagi.
Sejenak kemudian, tertampak Sun Thian-tek mengembuskan
napas, lalu berdiri perlahan, ucapnya dengan tertawa, "Miautoaso,
dapatlah kupunahkan semua racun yang kuminum, apa
pula yang kau tunggu?"
"Apa betul racun yang kau makan?" mendadak si nenek
menegas. "Jika engkau tidak percaya, boleh juga kau makan sekarang,"
jawab Sun Thian-tek dengan tertawa. "Asalkan engkau tidak


Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mati keracunan, babak ini tetap kita anggap seri."
Malu dan gusar pula si nenek, ia mengentak tongkatnya dan
berkata dengan gemas, "Baik, aku mengaku kalah saja,
sampai bertemu lagi kelak!"
Habis bicara ia terus melangkah keluar kelenteng.
Dengan tersenyum Sun Thian-tek memandangi kepergian
nenek itu, lalu dimintanya kembali botol tadi, kemudian duduk
lagi di samping, katanya, "Dan sekarang menjadi giliran kalian
berdua untuk bertanding."
Koh-ting Tojin tertawa, katanya, "Baiklah, lantas cara
bagaimana kita akan bertanding, Kim-kong Taysu?"
"Selama berpuluh tahun ini entah sudah berapa kali kita telah
bertanding dan selama ini apakah engkau pernah menang?"
kata Kim-kong Taysu.
"Ya, meski aku tidak pernah menang, tapi juga tidak pernah
kalah, kita tetap lawan yang sama kuat," sahut Koh-ting.
"Makanya bila mau bertanding lagi harus mencari suatu cara
yang aneh dan belum pernah terjadi, cuma kukhawatir hari ini
mungkin tetap tidak dapat menentukan unggul atau asor,"
ujar Kim-kong Taysu dengan tertawa.
"Silakan Taysu menjelaskan permainan aneh apa?" tanya Kohting.
"Kukira hari ini kita tidak perlu mengadu tenaga, juga tidak
perlu berlomba kecerdasan, marilah kita mengadu untung
saja, setuju?"
"Mengadu untung bagaimana?" tanya Koh-ting Tojin.
"Kita main undian saja," ujar Kim-kong Taysu.
"Undian?" Koh-ting menegas dengan tertawa geli.
"Betul, kita minta Sun-tayhiap menjadi wasit bagi kita, cara
undiannya dilakukan dengan menarik dua lidi dupa, satu
panjang dan pendek, lidi panjang menang dan lidi pendek
kalah," tutur Kim-kong Taysu. "Yang berhasil menarik lidi
panjang berhak berebut peti dengan Sun-tayhiap. Cara ini kan
tidak perlu membuang tenaga, juga berlangsung secara
damai, entah Totiang setuju atau tidak?"
"Baiklah, kuterima," sahut Koh-ting setelah berpikir. "Bilamana
nasibku lagi jelek dan menarik lidi pendek, segera kuangkat
kaki dari sini."
Kim-kong lantas berpaling dan berkata kepada Sun Thian-tek,
"Jika demikian mohon bantuan Sun-tayhiap sudi membuatkan
dua potong lidi dupa untuk undian."
Sun Thian-tek mengiakan, ia menuju meja sembahyang dan
melolos dua batang lidi dupa yang belum terbakar habis, di
luar tahu kedua orang itu ia memotong kedua lidi itu menjadi
panjang dan pendek, lalu digenggam rapat dan mendekati
mereka, katanya dengan tertawa, "Nah, silakan, siapa yang
menarik lebih dulu?"
"Usul ini datang dariku, maka harus silakan Totiang yang
menarik dulu," kata Kim-kong Taysu.
"Ah, kenapa Taysu jadi sungkan," ujar Koh-ting Tojin.
"Sepantasnya harus begitu," jawab Kim-kong Taysu dengan
tersenyum. "Baik, boleh juga kutarik lebih dulu ...." Koh-ting lantas
mengamat-amati kedua lidi yang digenggam Sun Thian-tek,
seketika ia menjadi ragu dan tidak tahu lidi mana yang harus
dilolosnya. "Ayolah lekas tarik!" kata Sun Thian-tek dengan tertawa, ia
sengaja memejamkan mata.
Setelah menimbang lagi sejenak, tiba-tiba Koh-ting Tojin
berkomat-kamit, rupanya lagi berdoa, habis itu ia terus
melolos salah satu lidi dupa itu.
Waktu diperiksa, panjang lidi itu hanya dua inci, seketika
berubah air mukanya, serunya kaget, "Haya, rupanya aku
kalah"!"
"Sungguh malang, Totiang memang betul kalah," ujar Thiantek
sambil membuka mata. Berbareng itu ia pun membuka
tangan dan memperlihatkan lidi yang lain.
Lidi yang masih dipegangnya sepanjang lebih tiga inci, jelas
jauh lebih panjang daripada lidi yang dilolos Koh-ting Tojin itu.
"Maaf, rupanya nasibku lebih mujur daripadamu," kata Kimkong
Taysu dengan tertawa.
Dengan gemas Koh-ting mengentak kaki, tungku antik tadi
diangkatnya dan arak di dalam tungku disiramkan ke patung
Sian-li, lalu tinggal pergi.
Melihat kelakuan Tojin itu, diam-diam It-hiong merasa geli,
pikirnya, "Totiang ini sungguh lucu, ia sendiri kalah, patung
Sian-li yang menjadi sasaran rasa marahnya."
Sekarang yang berhak berebut peti hitam tinggal Sun Thiantek
dan Kim-kong Taysu saja. Di antara kedua orang ini, Ithiong
berharap Sun Thian-tek yang menang, sebab dapat
dilihatnya Sun Thian-tek berkepandaian paling rendah di
antara keempat orang tadi, juga satu-satunya lawan yang ada
harapan untuk dikalahkan olehnya.
Akan tetapi harapan yang lebih diharapkannya sekarang
adalah selekasnya lari keluar kelenteng ini.
Sejak Miau-lolo mulai bertanding dengan Sun Thian-tek tadi ia
sudah mulai menggeser sedikit demi sedikit ke pintu samping
sana, jaraknya dengan pintu samping sekarang tinggal tujuhdelapan
kaki saja, asalkan lebih dekat lagi satu-dua kaki
segera ia akan melompat keluar dan kabur.
Kim-kong Taysu dan Sun Thian-tek seperti tidak mengetahui
perbuatan Liong It-hiong itu, mereka memandangi kepergian
Koh-ting Tojin, lalu Thian-tek berkata dengan tertawa,
"Bagaimana kita akan bertanding?"
"Kukira kita tidak perlu bertanding lagi," kata Kim-kong Taysu.
"Kenapa tidak perlu bertanding?" tanya Thian-tek heran.
"Sebab pada hakikatnya engkau bukan tandinganku," ujar
Kim-kong Taysu dengan tertawa. "Bukankah engkau jago
yang sudah keok di bawah tanganku?"
"Haha, kelirulah ucapan Taysu ini," jawab Thian-tek dengan
tergelak. "Apa yang pernah terjadi itu adalah peristiwa belasan
tahun lalu, hendaknya diketahui, Sun Thian-tek sekarang lain
dengan Sun Thian-tek belasan tahun lampau."
"Tapi dari caramu bertanding dua babak dengan Miau-lolo tadi
tampaknya engkau tidak lebih kuat daripada dulu," ujar si
Hwesio. "Meski Lwekangku tidak dapat menandingi kalian tapi kuyakin
kemenangan terakhir pasti dapat kuraih," ujar Thian-tek
dengan tertawa.
Kim-kong Taysu tertawa, katanya. "Baiklah, sekarang boleh
kau katakan cara bagaimana kita akan bertanding?"
"Begini, kemahiranku adalah makan racun, jika kumenang lagi
dengan cara ini rasanya tidak terpuji ...."
"Tidak, aku tidak gentar makan racun, jika perlu boleh juga
bertanding cara ini," potong Kim-kong Taysu.
"Oo, Taysu benar-benar tak gentar makan racun?" Thian-tek
tampak melengak.
Kim-kong Taysu menjengek, "Betul, hal ini dapat kau gunakan
untuk menggertak Miau-lolo dan tidak mungkin aku dapat kau
gertak." Thian-tek tertawa, "Wah, jangan-jangan Taysu menganggap
yang kumakan itu bukan racun?"
"Racun atau bukan tentu kau tahu sendiri," kata Kim-kong.
"Jika Taysu mengira yang kumakan bukan racun, bagaimana
kalau kita bertanding lagi cara yang sama?"
"Boleh!" jawab Kim-kong Taysu.
Segera Sun Thian-tek mengeluarkan botol obat dan
dilemparkan kepadanya, jengeknya, "Asal Taysu berani makan
satu biji saja segera aku mengaku kalah dan angkat kaki dari
sini!" Kim-kong Taysu menangkap botol obat racun yang
dilemparkan kepadanya itu, ia terbahak dua kali, tiba-tiba ia
berkata kepada Liong It-hiong, "Eh, ada apa Liong-sicu terusmenerus
bergeser ke arah pintu" Memangnya engkau tidak
menaruh minat terhadap pertandingan kami ini?"
Karena perbuatannya diketahui orang, Liong It-hiong merasa
likat, cepat jawabnya dengan tertawa, "Ai, mana, Cayhe justru
sangat tertarik, lekas kalian mulai bertanding."
"Tapi kalau Liong-sicu hendak menggunakan kesempatan ini
untuk kabur, hendaknya lekas batalkan jalan pikiran ini, kalau
tidak, jangan menyesal bila aku bertindak tanpa ampun
terhadapmu."
Liong It-hiong angkat pundak, "Sebelum Taysu mengalahkan
Sun-tayhiap belum memenuhi syarat untuk bergebrak
denganku, silakan mengalahkan Sun-tayhiap dulu baru nanti
bicara denganku."
Kim-kong Taysu mendengus, lalu berkata lagi terhadap Sun
Thian-tek, "Coba Sun-tayhiap ulangi bicara lagi sekali bahwa
asalkan berani kumakan satu biji obat ini, segera engkau akan
mengaku kalah dan angkat kaki diri sini?"
"Betul," jawab Sun Thian-tek dengan mengangguk.
"Haha, jika demikian jelas Sun-tayhiap sudah pasti kalah,"
seru Kim-kong Taysu dengan terbahak. "Mungkin orang lain
dapat kau tipu, tapi tak nanti aku bisa tertipu. Isi botolmu ini
pada hakikatnya bukan racun, masa aku tidak berani makan
obat ini."
Thian-tek tersenyum, "Jika begitu boleh silakan coba Taysu
makan satu biji."
Benar juga tanpa sangsi Kim-kong Taysu menuang satu biji pil
itu dan ditelan, lalu botol dilemparkan kembali kepada Sun
Thian-tek, katanya dengan tertawa, "Baik, sekarang boleh kau
pergi." Thian-tek menyimpan botol obat itu ke dalam saku, katanya
dengan tertawa, "Apa betul obat itu sudah Taysu makan?"
"Tentu saja," jawab Kim-kong Taysu sambil membuka
mulutnya lebar-lebar.
"Bagus, jika betul Taysu sudah makan obat racun ini, maka
bolehlah aku dianggap kalah, namun peti hitam itu toh tetap
barangku."
"Apa katamu?" teriak Kim-kong Taysu dengan gusar.
"Kubilang peti itu tetap menjadi milikku," kata Thian-tek pula.
Seketika Kim-kong Taysu mendelik, teriaknya, "Hm, masa
engkau tidak tahu malu, omonganmu dapat dipercaya tidak"
Masa bicara mencla-mencle?"
"Jangan marah dulu, Taysu," ujar Thian-tek dengan tertawa.
"Tidak nanti kurebut peti itu sebelum Taysu menggeletak
binasa. Cuma setelah Taysu menggeletak binasa nanti kan
berarti tidak mampu lagi mengambil peti itu, maka dapatlah
kukuasai peti itu tanpa rintangan."
Air muka Kim-kong Taysu berubah, katanya sambil
menyeringai, "Huh, jangan bermimpi, meski obat yang kutelan
ini benar racun juga aku takkan mati."
"Tidak, dalam waktu seperempat jam, jika Taysu tidak
berusaha menawarkan racun, maka tiada pilihan lain engkau
pasti akan binasa," kata Thian-tek dengan tertawa. "Jika
engkau tidak percaya, biarlah kuperlihatkan ini ...."
Segera ia mengeluarkan dua buah botol kecil yang bentuknya
serupa, ditaruhnya kedua botol kecil itu di telapak tangan,
katanya, "Tadi Taysu bilang yang kuminum bukan racun, hal
ini memang tidak salah. Ketiga biji obat yang kutelan tadi
memang obat kuat, yang hendak kuberikan kepada Miautoaso
juga obat baik, cuma sayang dia tidak berani makan.
Namun satu biji obat yang baru saja ditelan Taysu itu berasal
dari botol yang lain, karena bentuk kedua botol ini serupa
benar, maka Taysu terjebak."
Seketika berubah hebat air muka Kim-kong Taysu, sebab pada
saat itu juga lamat-lamat dirasakan perutnya mulai melilit, ia
tahu memang betul telah tertipu. Keruan kejut dan juga gusar
sekali, ia meraung, "Keparat, rasakan tongkatku ini!"
Tongkat terangkat, kontan ia menyerampang sekuatnya ke
pinggang Sun Thian-tek.
Cepat Thian-tek melompat mundur, serunya, "Aha, Toasuhu
yang baik, masa engkau tidak menghendaki nyawamu lagi?"
Setelah serangannya mengenai tempat kosong, benar juga
Kim-kong Taysu tidak berani bergerak pula, sebab ia tahu
bilamana banyak mengeluarkan tenaga berarti akan
menambah cepat bekerjanya racun.
Dengan gemas ia mengentak tongkatnya dan membentak,
"Baik, setelah kupunahkan racunku tentu akan kubikin
perhitungan lagi dengan keparat rudin macammu ini."
Habis bicara ia terus tinggal pergi.
Thian-tek mendekati pintu kelenteng dan menyaksikan
kepergian orang hingga menghilang dalam kegelapan, habis
itu baru berpaling menghadapi Liong It-hiong, ucapnya
dengan tertawa, "Liong-hiap, petimu itu sekarang sudah
menjadi milikku."
Liong It-hiong duduk bersandar dinding, jawabnya dengan
tersenyum, "Orang bilang Kiong-su-sing Sun Thian-eek banyak
tipu akalnya, tampaknya menang tidak salah."
"Terima kasih atas pujianmu," seru Thian-tek. "Orang pandai
di dunia Kangouw makin lama tambah banyak, mau tak mau
kita harus menggunakan otak sedikit."
"Kulihat kekalahan mereka itu diterima secara penasaran,
apakah engkau tidak khawatir mereka akan kembali lagi ke
sini?" tanya It-hiong.
Thian-tek menggeleng, "Mereka takkan datang lagi, mereka
adalah tokoh terkemuka dunia persilatan zaman ini,
kehormatan dipandang mereka melebihi nyawa sendiri, sekali
mereka mengaku kalah tentu takkan datang lagi."
Lalu ia menyeringai, jelas kelihatan sifat rakusnya, katanya
pula, "Nah, bagaimana" Akan kau serahkan sendiri peti itu
atau perlu kuturun tangan?"
"Engkau mempunyai anak kunci belenggu ini?" tanya It-hiong
dengan tertawa.
"Tidak ada," jawab Thian-tek. "Cuma aku membawa sebilah
pedang pandak yang mampu memotong besi serupa merajang
sayur, boleh kucoba ...."
Sembari bicara ia terus mengeluarkan sebilah pedang pandak,
panjang pedang hampir sama dengan belati biasa, dari bentuk
sarung pedangnya yang antik, jelas sebilah pedang pusaka.
Ketika pedang pandak itu dilolos, seketika cahaya gemerdep
membuat silau pandangan orang. Ia putar pedang itu
perlahan, katanya dengan tertawa, "Apakah kau kenal pedang
pandak ini?"
"Mungkin Siau-hi-jong (usus ikan kecil) yang dipandang benda
mestika oleh setiap orang persilatan?" tanya It-hiong.
"Aha, pandanganmu memang cukup tajam, tepat sekali
tebakanmu," kata Thian-tek.
"Setahuku Siau-hi-jong ini adalah benda kesayangan Suma
Bang yang berjuluk Pak-hay-hi-ong (si kakek nelayan dari laut
utara), mengapa bisa berada padamu?" tanya It-hiong.


Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Soalnya kami telah mengadakan pertaruhan, dia
menggunakan Siau-hi-jong ini sebagai taruhannya, sebaliknya
aku menggunakan kepalaku, hasilnya dia yang kalah, maka
Siau-hi-jong lantas menjadi milikku."
"Wah, caramu bertaruh tentu sangat tinggi," ujar It-hiong
dengan tertawa.
"Ah, tidak, hanya sekadar mencari makan saja," kata Thiantek
sambil mengangkat pundak.
"Cara bagaimana kalian mengadakan pertaruhan?" tanya Ithiong
pula. "Daripada dikatakan taruhan akan lebih tepat dikatakan
sebagai mengadu kecerdasan," tutur Sun Thian-tek. "Kau tahu
dia suka mengaku sebagai raja catur yang tidak ada
tandingannya, sedangkan aku sendiri justru suka cari makan
dari main catur, selama belasan tahun ini aku tidak pernah
kalah, maka aku lantas mendatangi dia dan menantang catur
padanya, hasilnya akulah yang beruntung menang."
"Sayang di sini tidak ada catur, kalau ada tentu aku pun ingin
main-main denganmu, sebab aku juga suka bertaruhan," kata
It-hiong. "Padaku sekarang justru membawa seperangkat biji catur,
cuma kalau engkau ingin bertaruh main catur denganku,
kukira akan menjadi lelucon."
"Bukan lelucon, aku bicara sungguh-sungguh," kata It-hiong.
"Jika engkau tidak mau menyerahkan peti itu, silakan berdiri
dan bergebrak denganku untuk menentukan kalah menang,
untuk ini mungkin engkau masih ada setitik harapan untuk
menang, mengenai main catur, hehe, jago catur kelas utama
zaman ini semuanya kukenal, tapi tidak pernah kudengar ada
jago catur serupa dirimu!"
It-hiong tertawa, katanya, "Jika engkau sedemikian yakin akan
kemahiranmu main catur, bagaimana kalau kau beri sebuah
benteng padaku."
Thian-tek menggeleng, katanya tidak sabar, "Tidak, lebih baik
kita saling gebrak saja."
It-hiong sengaja memandangnya dengan sikap menghina,
jengeknya, "Hm, kukira engkau ini tukang bual belaka."
"Tukang bual bagaimana?" tanya Thian-tek dengan gusar.
"Sebab kalau benar permainan caturmu tidak ada
tandingannya di dunia, kenapa engkau tidak berani coba main
denganku?" tanya It-hiong.
"Soalnya engkau tidak memenuhi syarat untuk bermain
denganku."
"Tidak memenuhi syarat" Dari mana kau tahu?" tanya Ithiong.
"Jika kau mau, aku pun tidak perlu minta diberi satu biji
benteng. Biarlah kita main sama tingkat. Bila kau menang
boleh kau ambil peti ini, jika kalah ...."
Mengenai ilmu silat Sun Thian-tek memang banyak jago yang
lebih unggul daripada dia, tapi dalam hal main catur dia
memang betul tokoh kelas satu yang tidak ada tandingan.
Keruan ia gusar karena orang berani menantang main catur
padanya, tanpa pikir ia berkata, "Baik, jika aku kalah, biar
kuberikan kepalaku."
"Betul, engkau tidak menyesal?" It-hiong sengaja menegas.
"Ucapan seorang lelaki sejati tidak nanti dijilat kembali," jawab
Sun Thian-tek. "Bagus, boleh keluarkan caturmu!" seru It-hiong gembira.
Segera Sun Thian-tek menyimpan pedangnya dan
mengeluarkan sebuah kotak kecil, ia duduk di depan It-hiong
sambil membuka kotak, jengeknya, "Hari ini kukira akan dapat
berkelahi sepuasnya, siapa tahu akhirnya tanpa senjata dan
tidak perlu tenaga akan mendapatkan peti wasiat itu."
"Itu kan lebih baik bukan?" kata It-hiong. "Seperti kata
peribahasa, walang menangkap tonggeret, di belakang
mengintai burung cucakrawa. Pokoknya malam ini apakah
engkau berhasil mendapatkan peti atau aku yang tetap harus
menyimpan tenaga untuk menjaga serangan burung
cucakrawa, sebab itulah bilamana pertandingan kita dapat
terlaksana tanpa membuang tenaga adalah cara yang paling
baik." "Masa kau anggap masih ada cucakrawa yang mengincar di
belakang kita?" tanya Sun Thian-tek dengan tersenyum.
"Kukira pasti ada," It-hiong mengangguk.
Sun Thian-tek tidak bicara lagi, ia menggelar sehelai papan
catur buatan kulit, lalu menuang ke-32 biji catur, katanya,
"Supaya adil, biarlah kuberi kau jalan lebih dulu."
"Ah, kan tidak enak," ujar It-hiong.
"Sudah belasan tahun aku tidak pernah memegang biji hitam,
kebiasaan ini tidak boleh kulanggar," kata Thian-tek.
"Jika begitu, maaf aku mendahului," ujar It-hiong sambil
memasang ke-16 biji caturnya. Setelah pihak lawan juga
sudah mengatur caturnya dengan betul, lalu ia mulai angkat
sebiji catur ke depan.
Begitulah keduanya lantas mulai serang-menyerang,
permainan Sun Thian-tek memang sangat lihai, serangannya
gencar dan sukar diduga, hanya beberapa langkah saja raja
hitam sudah tersudut, tampaknya segera It-hiong akan kalah.
Tak terduga dia sengaja memancing musuh, lalu dengan
langkah yang tak tersangka ia menjebak dan mengurung,
kemudian mencapai kemenangan terakhir.
Biasanya Sun Thian-tek menganggap dirinya sebagai raja
catur, siapa tahu sekarang dikalahkan oleh seorang anak
ingusan yang tak terdaftar dalam deretan jago catur, tentu
saja ia sangat penasaran, dengan muka merah padam ia
berteriak, "Ken ... kenapa bisa jadi begini?"
It-hiong tertawa, "Permainanmu kau belajar dari Ki-sian (dewa
catur) Li Hui-ho bukan?"
"Dari ... dari mana kau tahu?" tanya Sun Thian-tek dengan
melongo. "Biarlah sekarang kuberi tahukan terus terang," tutur It-hiong.
"Dari beliau kau dapatkan kepandaian main, sebaliknya aku
mendapatkan sejilid kitab catur dari dia yang khusus memuat
berbagai problem catur, terutama yang menyangkut
pengaturan perangkap dan mematikan musuh."
Muka Sun Thian-tek menjadi merah dan sebentar lagi pucat,
jawabnya dengan gelagapan, "Kiranya ... kiranya demikian
...." "Ya, maka di antara kita boleh dikatakan saudara
seperguruan, engkau sudi mengaku Sute padaku?" tanya Ithiong
dengan tertawa.
Dari malu Sun Thian-tek menjadi gusar, teriaknya, "Tidak,
coba satu kali lagi, aku tidak percaya permainanmu bisa lebih
tinggi daripadaku."
Mendadak lenyap wajah tertawa Liong It-hiong, jawabnya
dengan tegas, "Mau main lagi juga boleh, tapi lebih dulu aku
minta sesuatu."
"Sesuatu apa?" tanya Thian-tek.
"Barang yang telah kau janjikan akan kau berikan padaku,"
kata It-hiong. Seketika Thian-tek tampak tegang, "Barang apa itu!"
"Kepalamu!"
"Boleh kita main sekali lagi, jika tetap kukalah segera
kuberikan kepalaku."
"Tidak, harus setindak demi setindak, setelah kau kalah tadi,
kepalamu harus kau serahkan padaku."
Thian-tek menjadi marah, "Jika aku tidak punya kepala lagi,
cara bagaimana dapat main catur pula denganmu?"
"Itu kan urusanmu, yang pasti aku menang dan aku ingin
mengambil hasil taruhan kita tadi," kata It-hiong tegas.
"Baik, kuberikan ini!" teriak Thian-tek bengis, telapak tangan
kanan mendadak menebas leher It-hiong.
Namun It-hiong sudah siap sedia sebelumnya, begitu melihat
pundak orang bergerak segera ia melompat mundur, teriaknya
dengan tertawa, "Aha, Sun Thian-tek, ternyata bicaramu
serupa kentut busuk belaka"!"
Namun Thian-tek berlagak tuli dan pura-pura bisu, kembali ia
menubruk maju, kedua jari menutuk sekaligus kedua mata
lawan. Cepat It-hiong mengegos serentak melolos pedang, sekali
sabet segera ia tebas kaki orang.
"Keparat, jika malam ini tidak dapat kau bunuh diriku,
selanjutnya kau Sun Thian-tek jangan cari makan lagi di dunia
Kangouw, sebab kejadian malam ini pasti akan kusiarkan
seluas-luasnya," seru It-hiong dengan tertawa.
Ancaman ini membuat nafsu membunuh Sun Thian-tek
tambah berkobar, sudah diputuskan akan membunuh Liong Ithiong
untuk menyumbat mulutnya. Sambil menghindari
sabetan pedang, segera ia malas menendang.
Akan tetapi It-hiong juga sempat mengelak, menyusul pedang
menusuk ke perut lawan.
Setelah saling gebrak beberapa jurus, merasa sukar
memperoleh kemenangan jika cuma bertangan kosong, cepat
Thian-tek melompat mundur sambil melolos pedang pandak,
lalu menerjang maju lagi.
Meski pedangnya lebih pendek, tapi tipu serangannya aneh,
apalagi It-hiong tahu pedang pandak itu dapat menebas besi
seperti memotong sayur, tentu saja ia tidak berani
sembarangan menangkis, maka makin lama makin terdesak di
bawah angin. Padahal umpama Sun Thian-tek tidak memakai pedang pusaka
juga sukar bagi It-hiong untuk mengalahkannya, maklumlah
Sun Thian-tek adalah tokoh dunia persilatan yang cukup
terkenal, baik keuletan maupun pengalaman jelas jauh di atas
It-hiong. Apalagi It-hiong dibebani sebuah peti hitam yang berat, masih
harus berjaga akan serangan pedang pandak, maka tambah
lama tambah runyam keadaannya.
Setelah berlangsung tiga-empat puluh jurus, mendadak
"creng" sekali, pedangnya tertebas putus oleh Siau-hi-jong
yang tajam. Dengan demikian keadaan It-hiong tambah payah
dan terdesak kalang kabut.
Sun Thian-tek sudah bertekad akan membunuhnya, maka
serangannya tambah gencar, tipu serangan mematikan terus
dilancarkan ke bagian tubuh It-hiong yang fatal.
Dalam keadaan kepepet, Liong It-hiong menjadi nekat,
mendadak ia menggertak keras terus memutar peti hitam itu
sebagai banderingan.
Rupanya Sun Thian-tek juga sudah menduga akan hal ini,
cepat ia mengegos terus meraih, dengan tepat rantai peti itu
kena dipegangnya, menyusul pedang pandak lantas menebas,
rantai hendak dipotongnya.
Tak terduga, pada detik itu juga mendadak Sun Thian-tek
menjerit aneh, berbareng pegangan pada rantai dilepaskan,
bahkan cepat ia melompat mundur.
Kejadian ini serupa orang yang memegang rantai terbakar,
karena kesakitan dan segera dilepaskan kembali.
Tapi karena lompatan mundur itu terburu-buru tanpa memilih
arah, punggungnya lantas menumbuk dinding, kepalanya juga
benjut terbentur sehingga terasa pusing tujuh keliling, tubuh
pun duduk terkulai di lantai.
It-hiong tidak melancarkan serangan susulan, sebab ia tidak
tahu persis apa yang menyebabkan musuh mendadak
melompat mundur pada saat sudah mencapai kemenangan,
dengan tertegun ia memandang lawan sekejap, lalu menegur,
"Hei, kenapa kau?"
Thian-tek menggoyang-goyang kepala sehingga rasa
pusingnya rada hilang, sambil memegang lututnya ia
meraung, "Keparat, kau bilang aku banyak tipu akal,
tampaknya engkau bocah ini terlebih licik dan licin
daripadaku."
Melihat orang memegang dengkul, barulah It-hiong
mengetahui lutut kanan Sun Thian-tek tersambit oleh sehelai
daun cemara, mau tak mau terkejut juga dia, pikirnya, "Buset,
jadi benar ada seekor cucakrawa yang mengincar secara
diam-diam ...."
Kiranya daun cemara itu tepat mengenai tulang kering Sun
Thian-tek, padahal daun itu sudah kecil, jelas disambitkan oleh
orang yang menguasai Lwekang sangat tinggi.
Walaupun kejut dan heran, namun It-hiong tidak bicara hal
ini, katanya pula dengan terbahak, "Haha, terima kasih atas
pujianmu, itu kan cuma sedikit kepandaian tak berarti saja!"
"Hm, tak tersangka mahir juga caramu menggunakan senjata
rahasia, tampaknya aku memang salah nilai dirimu ...." ucap
Sun Thian-tek pula sambil meringis kesakitan.
It-hiong mengangkat pundak, katanya, "Anggaplah ini sebagai
pelajaran bagimu agar selanjutnya engkau jangan sok lebih
tua dan menindas yang muda."
Mendengar pada ucapan orang seperti tidak berniat
membunuhnya, hati Sun Thian-tek terasa lega, katanya,
"Engkau tidak membunuhku?"
"Sementara tidak, nanti kalau aku ingin membunuhmu tentu
akan kucari lagi dirimu," jawab It-hiong.
Thian-tek mengusap keringatnya, perlahan ia merangkak
bangun, katanya, "Jika engkau tidak ada urusan lagi, aku mau
pergi saja."
"Silakan," ujar It-hiong dengan tertawa.
Dengan pincang Sun Thian-tak berjalan ke pintu kelenteng,
tiba-tiba ia seperti ingat sesuatu, ia berpaling dan berkata
pula, "Sebenarnya kita dapat berembuk dulu ...."
"Urusan apa?" tanya It-hiong.
Mendadak Thian-tek menghela napas, katanya, "Aku Sun
Thian-tek meski tidak berani mengaku sebagai tokoh
mahalihai, tapi paling sedikit juga cukup ternama di dunia
persilatan, sudah puluhan tahun berkecimpung di dunia
persilatan, dan selama ini tidak pernah kecundang secara
mengenaskan seperti hari ini."
"Ah, kalah atau menang adalah kejadian biasa di medan
perang, kenapa engkau meski berpikir tentang kejadian ini?"
"Bukan begitu soalnya," ujar Thian-tek dengan murung. "Usia
orang she Sun sekarang sudah lebih 40-an, sekali lipat
daripadamu, sudah lama namaku terkenal lebih dulu, namun
sekarang bukan saja kepandaianmu main catur melebihiku,
bahkan ilmu silatmu juga di atasku. Bilamana berita ini tersiar
ke dunia Kangouw, lalu akan ditaruh ke mana mukaku ini?"
"Gelombang laut selamanya dari belakang mendorong ke
depan, angkatan muda senantiasa menggantikan angkatan
tua, siapa yang dapat bertahan tidak terkalahkan selamanya?"
ujar It-hiong. "Tapi kekalahanku ini terlampau mengenaskan," kata Thiantek,
"sedangkan aku masih ingin berkecimpung lebih lama di


Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dunia Kangouw, sebab itulah ... eh, bagaimana kalau kita
mengadakan persepakatan, melakukan suatu bisnis ...."
"Bisnis bagaimana?" tanya It-hiong.
"Jangan kau siarkan kejadian hari ini tentang kekalahan dan
perbuatanku yang ingkar janji tadi, untuk itu akan kuberi
sesuatu imbalan padamu."
"Imbalan apa?"
"Pedang ini," jawab Thian-tek sambil mengangkat pedang
pandaknya. "Siau-hi-jong ini adalah benda mestika dunia
persilatan, siapa pun mengincarnya, sungguh benda yang
sukar dinilai dengan uang. Nah, bagaimana setuju?"
It-hiong berpikir sejenak, katanya, "Ini ... ini ...."
"Apa yang terjadi ini kan tidak merugikan apa pun bagimu,
kumohon engkau menerima dengan baik penawaranku," pinta
Thian-tek dengan sungguh-sungguh.
Diam-diam It-hiong merasa geli, ia mengangguk, katanya,
"Baiklah, setelah mengalahkanmu, mestinya hendak
kupermaklumkan kepada kawan dunia persilatan tentang
kemenanganku yang gemilang ini, kau tahu, bilamana kawan
Bu-lim mendengar dapat kukalahkan tokoh termasyhur Kiongsusing Sun Thian-tek, tentu namaku akan tambah cemerlang
dan gengsiku akan naik, semua ini tentu tidak dapat dibeli
dengan uang."
"Kutahu," ujar Thian-tek sambil menyengir. "Engkau masih
muda, namamu pasti akan tambah gemilang, hari depanmu
masih panjang. Sebaliknya keadaanku tentu berbeda, sekali
aku kalah tentu namaku akan runtuh dan tamat riwayatku
untuk selamanya."
"Baik, kuterima tawaranmu, boleh kau serahkan pedang itu
padaku," kata It-hiong.
"Tapi jangan kau ingkar janji lho"!" pesan Thian-tek.
Ebook oleh : Dewi KZ
Scan book oleh : BBSC
Jilid 4 "Tidak, masa aku serupa dirimu?" ujar It-hiong dengan
tertawa. Thian-tek lantas melemparkan Siau-hi-jong kepadanya, "Kelak
bila ada kesempatan ingin kumain catur lagi denganmu,
sungguh aku tidak percaya engkau dapat lebih mahir
daripadaku."
It-hiong menangkap pedang pandak pusaka yang dilemparkan
kepadanya itu, katanya dengan tertawa, "Baik, kusiap
melayanimu setiap saat."
Ketika mau melangkah pergi, kembali Thian-tek berpaling lagi
dan berkata, "Masih ada satu soal, apakah benar engkau tidak
tahu apa isi peti yang kau bawa itu?"
"Benar-benar tidak tahu," jawab It-hiong.
"Bilamana kau ingin tahu dapat kuberi tahukan padamu," kata
Thian-tek. Cepat It-hiong menggeleng kepala, katanya, "Tidak, aku tidak
ingin tahu."
Hal ini sangat di luar dugaan Sun Thian-tek, tanyanya, "Masa
engkau tidak ingin tahu?"
"Bilamana kalian tokoh-tokoh ternama ini, seperti Koh-ting
Totiang, Kim-kong Taysu dan sebagainya, meski tidak
tergolong tokoh golongan baik yang murni, tapi juga tidak
terhitung kaum jahat dan serakah, dan kalian juga menaruh
perhatian terhadap peti ini, maka dapat diduga isi peti ini pasti
benda yang sukar dinilai harganya."
"Memang betul," ujar Thian-tek.
"Nah, sedangkan aku Liong It-hiong juga bukan seorang tokoh
yang suci bersih, maka kalau aku diberi tahu apa isi peti ini,
mungkin hatiku akan tergelitik dan timbul hasrat untuk
mengangkangi isi peti sebagai milik sendiri. Sebab itulah lebih
baik aku tidak diberi tahu saja."
Thian-tek tertawa geli, katanya, "Tampaknya engkau ini radarada
dogol." "Betul, aku sering berbuat hal-hal yang bodoh dan aku justru
merasa bangga," It-hiong mengaku.
Thian-tek menggeleng, gumamnya, "Sudah lebih 20 tahun aku
berkecimpung di dunia Kangouw dan belum pernah menemui
orang semacam dirimu .... Baiklah, sampai bertemu pula,
selamat tinggal!"
Dengan menyeret kakinya yang masih kesakitan itu ia terus
melangkah pergi dan menghilang di tengah hutan sana ....
Menunggu setelah Sun Thian-tek tidak kelihatan lagi, lalu
Liong It-hiong berpaling ke pintu samping sana dan mendesis,
"Nah, cucakrawa, sekarang bolehlah kau keluar!"
Akan tetapi "cucakrawa" yang dimaksud ternyata tidak
muncul. Ditunggunya lagi sejenak dan orang yang dimaksud tetap
tidak kelihatan, segera It-hiong hendak menuju ke belakang
untuk menjenguk Ni Beng-ay. Pada saat itulah tiba-tiba si
penjaga kelenteng menyelonong masuk dengan muka pucat,
katanya dengan masih ketakutan, "Mere ... mereka sudah
pergi!" It-hiong tersenyum, "Ya, tapi mungkin masih ada lagi seorang
...." Bicara sampai di sini mendadak ia lolos Siau-hi-jong terus
menikam ke muka orang tua itu.
Keruan orang tua itu terkejut, karena terlampau cepat
mundurnya, ia jatuh terduduk sambil menjerit takut, "Hei, ken
... kenapa aku hendak kau bunuh?"
Melihat gerakan orang, segera It-hiong tahu orang tua ini
bukan "cucakrawa" yang dimaksud, segera ia simpan kembali
pedang pandak dan menarik bangun si kakek, katanya dengan
tertawa, "Jangan takut, aku cuma bergurau saja denganmu."
Baru sekarang kakek itu merasa lega, ucapnya dengan kurang
senang, "Ai, kenapa Kongcu bergurau denganku secara begini,
hampir saja aku mati ketakutan."
"Engkau sudah melihatnya semua?" tanya It-hiong.
"Ya, begitu si nenek buta tadi datang segera aku terjaga
bangun," tutur si kakek. "Semula kusangka dia juga cuma
ingin memondok bermalam di sini, maka tidak kuladeni,
kemudian kudengar lagi suara seorang ... wah, keras amat
suaranya serupa raungan singa!"
"O, itu suara Kim-kong Taysu," ujar It-hiong.
"Sesungguhnya apa kerja mereka itu?" tanya si kakek penjaga
kelenteng. It-hiong menggoyangkan peti hitam yang tergantung pada
pergelangannya, katanya dengan tertawa, "Demi barang ini,
mereka sama ingin merampas peti ini."
"Wah, yang datang terakhir itu rada-rada lucu juga, dia
ternyata mau main catur dengan Kongcu untuk menentukan
kalah menang," ujar si kakek.
"Kalau tidak main catur dengan dia, bisa jadi aku takkan dapat
mengalahkan dia."
"Tapi ... tapi akhirnya Kongcu kan sudah melukai dia juga!"
It-hiong berpaling dan memandang keluar kelenteng, lalu
berbisik padanya, "Bukan aku yang melukai dia. tapi seorang
tokoh misterius secara diam-diam menyerang dengkulnya
dengan senjata rahasia sehingga aku terhindar dari bahaya."
Melotot kedua mata si kakek, tanyanya dengan suara lirih,
"Siapa dia?"
"Entah," jawab It-hiong.
"Di mana dia sekarang?"
"Mungkin masih berada di sekitar sini, juga bisa jadi sudah
pergi." "Jika dia mau membantumu, tentu dia seorang baik, mengapa
dia tidak mau muncul untuk bertemu denganmu?"
"Makanya dapat diduga dia pasti bukan orang baik, jika dia
orang baik tentu akan menampakkan diri untuk menemuiku."
"Tapi kalau dia bukan orang baik, kenapa dia menolongmu?"
"Soalnya dia tidak ingin peti ini dirampas oleh Sun Thian-tek,
maka diam-diam ia melukainya. Apa pun juga tujuannya tetap
terletak pada peti hitam ini."
Pandangan si kakek beralih ke peti hitam itu, katanya dengan
sangsi, "Sesungguhnya apa isi peti ini" Kenapa diincar sekian
banyak orang?"
"Aku sendiri tidak tahu," jawab It-hiong. "Baiklah, sekarang
engkau boleh pergi tidur lagi, aku ingin menjenguk nona Ni
itu." "Dia pasti juga sangat ketakutan," ujar si kakek.
"Mungkin ...." It-hiong tersenyum.
Sembari bicara ia terus melangkah keluar menuju ke kamar
belakang. Di belakang ruang pendopo itu adalah sederet kamar samping,
sebuah di antaranya kelihatan ada cahaya lampu.
It-hiong tahu Ni Beng-ay tentu berdiam di situ, segera ia
mendekat dan mengetuk pintu, serunya, "Nona Ni, engkau
sudah tidur belum?"
"Siapa?" terdengar suara Beng-ay rada gemetar.
"Aku, Liong It-hiong."
"Oo ...." Si nona turun dari tempat tidur dan membuka pintu
kamar, dengan wajah kejut dan khawatir ia tanya, "Sudah kau
pukul lari mereka?"
"Tidak, hasil pertandingan mereka adalah Kiong-su-sing
mendapatkan hak berebut peti, tapi akhirnya dia juga dipukul
lari oleh seekor 'cucakrawa'!" tutur It-hiong dengan tertawa.
"Kiong-su-sing Sun Thian-tek yang kau maksudkan itu apakah
orang yang memakai sandal itu?" tanya Beng-ay dengan
sangsi. "Betul," jawab It-hiong.
"Kau bilang dia dipukul lari oleh siapa?" tanya pula si nona.
"Cucakrawa," kata It-hiong.
"Siapa itu Cucakrawa?" Beng-ay menegas.
"Seekor burung!" tutur It-hiong dengan tertawa.
"Seekor burung masa dapat memukul lari dia?" tercengang
juga si nona. "Pernah nona bersekolah?" tanya It-hiong dengan terbahak.
"Pernah sebentar," jawab Beng-ay.
"Jika begitu tentu nona pernah membaca kisah kuno tentang
tonggeret yang hinggap di atas pohon dan asyik berbunyi, tak
tahunya di belakangnya mengintip sang walang yang siap
menangkapnya. Selagi walang hendak menangkap sasarannya
tak diketahuinya di belakangnya mengincar lagi burung
cucakrawa. Ketika cucakrawa hendak mematuk walang, ia pun
tidak tahu di bawah lagi mengintai pelinteng si pemburu.
Itulah cerita incar-mengincar satu terhadap yang lain.
Maksudku dengan cerita ini adalah supaya burung cucakrawa
itu menyadari gawatnya urusan dan jangan lagi membuntuti
aku." Ni Beng-ay seperti tertarik oleh dongeng ini, ucapnya dengan
tertawa, "Hihi, kiranya cucakrawa yang kau maksudkan adalah
manusia." "Ya," sahut It-hiong mengangguk sambil menatap si nona
dengan tajam. Beng-ay menghindari pandangan orang, tanyanya pula, "Cara
bagaimana orang itu memukul lari Kiong-su-sing Sun Thiantek?"
"Semula Sun Thian-tek berjanji bertanding main catur
denganku, hasilnya dia kalah, dari malu dia menjadi gusar dan
main kekerasan hendak merampas petiku ini, maka terjadi
pertarungan kami ...."
Begitulah secara ringkas ia kisahkan kembali apa yang sudah
terjadi itu. Akhirnya ia tanya dengan tertawa, "Menarik bukan
cerita ini bagimu?"
"Ya, sangat menarik," jawab si nona dengan tersenyum.
Mendadak It-hiong berhenti tertawa dari berucap dengan
kereng, "Tapi aku justru merasa tidak menarik."
"Sebab apa?" tanya Beng-ay dengan melengak.
"Sebab aku tidak suka ada burung cucakrawa mengincar di
samping," kata It-hiong.
"Mungkin dia sudah pergi," ujar Beng-ay.
"Tidak, dia pasti masih berada di sini," ucap It-hiong.
Beng-ay tertawa genit, katanya, "Seumpama dia masih berada
di sini, tapi di bawah kan masih mengintai si pelinteng, masa
Kongcu takut!"
"Wah, caramu bicara makin lama makin menarik juga," ujar Ithiong
dengan tertawa.
Beng-ay tertawa malu dan menunduk.
"Hari sudah hampir pagi, lekas kau tidur saja, kalau tidak
engkau bisa mengantuk dalam perjalanan besok," kata Ithiong
pula, lalu ia membalik tubuh dan hendak tinggal pergi.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara ringkik kuda
berkumandang dari dalam hutan di dipan kelenteng sana.
It-hiong sangat sayang kepada kuda Pek-sin-liong melebihi
perempuan, begitu mendengar suara ringkik kuda itu segera
diketahui tentu telah terjadi sesuatu, ia berseru khawatir dan
segera berlari keluar.
Hanya sekejap saja ia sudah berada di luar kelenteng, tanpa
pikir ia menerobos ke dalam hutan, tapi dilihatnya kuda sendiri
yang putih itu masih berada di situ dengan santainya, tidak
terlihat terjadi sesuatu atas binatang itu.
Tentu saja It-hiong merasa heran, ia mendekati Pek-sin-liong
dan membelai bulu surinya, katanya, "Tidak ada apa-apa,
kenapa meringkik?"
Kuda putih itu menunduk dan mengusapkan kepalanya di
tubuh It-hiong serta mengeluarkan suara perlahan sebagai
tanda gembira. Meski di mulut It-hiong menegur kuda putih yang cerdik itu,
tapi di dalam hati ia yakin tentu kuda itu melihat sesuatu,
kalau tidak masakah dia bersuara"
Segera ia memeriksa keadaan sekitar hutan. Namun tidak
ditemukan sesuatu, ia menepuk lagi leher kuda itu dan
berkata, "Tidurlah yang baik, besok ...."
Belum habis ucapannya, mendadak pandangannya tertarik
oleh sesuatu. Itulah secarik kertas putih yang terselip di pelana kuda yang
tergantung di pohon sana.
Ia mendekatinya dan mengambil kertas itu, keadaan dalam
hutan terlampau gelap, cepat ia menuju ke luar hutan, di
bawah cahaya bulan dapatlah ia membaca tulisan pada kertas
itu. "Ada orang hendak mencuri kuda dan sudah kugertak lari."
Itulah isi surat yang ditulis dengan arang, anehnya di bagian
bawah orang itu memberi tanda tangan dengan nama "aku
bukan cucakrawa".
Kejut dan sangsi Liong It-hiong, sukar ditebaknya siapa
penulis surat itu, hanya diketahuinya orang tidak bermaksud
jahat, maka ia masuk lagi ke dalam hutan, diturunkan pelana


Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kuda dari dahan pohon, lalu melepaskan tambatan kuda dan
dituntun keluar hutan.
Pada saat itu dilihatnya Ni Beng-ay lagi keluar dari dalam
kelenteng dan menyongsongnya sambil bertanya, "Terjadi
apa?" It-hiong menambat kuda di samping pintu, pelana kuda
dibawanya masuk ke dalam kelenteng, katanya, "Masuk saja,
akan kuberi tahukan di dalam ...."
Beng-ay lantas ikut masuk ke dalam.
Sesudah menaruh pelana kuda barulah It-hiong menyerahkan
kertas surat itu kepada si nona, katanya dengan tertawa,
"Coba kau baca sendiri."
Beng-ay menerima surat itu dan dibaca, dengan heran ia
berkata, "Hei, apa artinya ini?"
"Ada orang hendak mencuri kudaku, tapi dapat digertak lari
seorang lagi, orang kedua inilah yang meninggalkan surat
dengan nama pedengan 'aku bukan cucakrawa' ini," demikian
tutur It-hiong.
"Mengapa orang ini mengaku dirinya bukan cucakrawa?" tanya
Beng-ay. "Sebab dia khawatir aku salah sangka dia sebagai si burung
cucakrawa, maka dia menandatangani surat ini dan
menyatakan sebagai bukan cucakrawa yang kumaksudkan."
Beng-ay mengembalikan surat itu, katanya dengan tertawa.
"Tampaknya tidak salah apa yang kukatakan tadi, yaitu
Kongcu tidak pernah takut kepada burung cucakrawa itu,
sebab ada seorang tukang pelinteng yang sedang
mengintainya."
It-hiong duduk kembali di tempat semula, katanya, "Ya,
sungguh aneh, tak tersangka olehku ada orang diam-diam
melindungi aku ...."
Setelah berpikir sejenak, lalu katanya pula, "Kupikir orang
yang mengaku bukan cucakrawa ini pasti tidak bermaksud
mengincar peti hitam ini, kalau tidak, tentu dia takkan
mengusir si pencuri kuda bagiku, betul tidak?"
"Ya," Beng-ay mengangguk.
"Tapi mengapa dia membela diriku?" kata It-hiong pula.
"Tentu karena dia orang baik," ujar Beng-ay.
"Sungguh luar biasa, malam ini orang baik dan orang jahat
telah muncul seluruhnya di tempat ini, apakah tidak terlampau
aneh?" "Bisa jadi dia cuma kebetulan saja lewat di sini," kata si nona.
"Tidak, jika dia mengaku bukan si cucakrawa, ini menandakan
dia telah mendengar percakapan kita, ini berarti sudah cukup
lama dia sembunyi di sini."
"Jika begitu, orang yang melukai Sun Thian-tek dengan
senjata rahasia itu sangat mungkin juga dia."
"Ya, mungkin dia, tapi mungkin juga bukan, jika tidak ada
seekor cucakrawa, buat apa dia membela diri dan menyatakan
dia bukan cucakrawa?"
"Atau si pencuri kuda itulah si cucakrawanya?"
Tergerak hati It-hiong, katanya, "Betul, sebabnya si pencuri itu
mengincar kudaku, tujuannya mungkin bukan pada kudanya
melainkan cuma ingin merintangi perjalananku saja."
"Tanpa kuda apakah engkau tak dapat melanjutkan
perjalananmu?"
"Ya, tidak bisa," jawab It-hiong. "Tanpa kudaku itu tentu aku
tidak dapat menempuh perjalanan dengan cepat. Padahal
kudaku itu sanggup berlari delapan ratus li sehari, ini akan
merupakan problem memusingkan kepala si pengincar peti itu,
maka dia berusaha mencuri dulu kudaku agar aku tidak
mampu menempuh perjalanan dengan cepat."
"Uraianmu memang tepat," Beng-ay mengangguk setuju.
It-hiong meraba dagu, katanya pula, "Tapi si 'bukan
cucakrawa' ini sesungguhnya siapa" Mengapa semua orang
ingin merampas petiku, hanya dia saja yang justru
membantuku mengenyahkan mereka?"
Ni Beng-ay tidak menanggapi lagi.
It-hiong mengambil kertas surat putih itu dan diamat-amati
sekian lama, katanya kemudian, "Kertas surat ini sangat
indah, orang persilatan biasa tidak nanti membawa kertas
surat semacam ini ...."
Ia coba mendekatkan kertas surat itu ke hidung dan
diendusnya, lalu berkata pula, "Ehm, tidak ada bau harum,
agaknya bukan barang milik orang perempuan."
"Apakah kertas surat milik orang perempuan pasti membawa
bau harum?" tanya Beng-ay dengan tersenyum.
It-hiong mengangguk, "Ya, orang perempuan umumnya
mempunyai semacam bau harum badan, juga suka
menggunakan barang sebangsa pupur dan sebagainya, jika
kertas surat ini terbawa oleh orang perempuan tentu akan
terlekat bau harum semacam itu."
"Kulihat gaya tulisannya juga bukan tulisan tangan orang
perempuan," kata Beng-ay.
"Ini pun tidak pasti, ada tulisan sementara orang perempuan
justru bergaya tulisan orang lelaki."
"Aha, betul, terpikir olehku akan suatu tanda tanya," seru
Beng-ay mendadak.
"Urusan apa?" tanya It-hiong.
"Tadi waktu kau dengar ringkik kudamu, jelas waktu itulah si
maling mencuri kudamu, betul tidak?" tanya Beng-ay.
"Betul," sahut It-hiong.
"Anehlah jika begitu," kata si nona.
"Aneh apa?" tanya It-hiong.
"Ketika kau dengar ringkik kuda dan memburu ke dalam
hutan, semua itu terjadi dalam sekejap saja, kenapa dia
sempat meninggalkan kertas putih ini?"
It-hiong tampak melenggong, katanya, "Ehm, benar juga, jika
aku tentu juga tidak keburu meninggalkan surat ini .... Akan
tetapi kalau dibilang pada hakikatnya tidak ada maling kuda,
untuk apa pula dia bergurau seperti ini?"
"Ya, aku pun berpendapat demikian," kata Beng-ay.
Kembali It-hiong meraba dagu, tiba-tiba ia tertawa dan
berkata pula, "Aha, ingatlah aku!"
"Oo, ingat apa?" tanya Beng-ay.
"Bukanlah bergurau orang ini meninggalkan surat untukku,
sebab memang benar-benar ada orang hendak mencuri kuda
dan kena digertaknya lari," ujar It-hiong sambil menunjuk
surat itu. "Tapi cara bagaimana dia sempat menulis surat ini?" tanya
Beng-ay. "Surat ini tentu disiapkan sebelumnya," kata It-hiong. "Ketika
diketahui di dalam hutan ada orang hendak mencuri kuda,
lebih dulu ia lantas menulis surat ini, habis itu barulah ia
tampil untuk mengusir maling kuda ini. Analisaku ini tentu
masuk di akal bukan?"
"Ehm, betul, jika begitu akulah yang terlampau sangsi," kata
Beng-ay dengan tertawa.
"Tidak, engkau dapat memikirkan hal ini betapa pun hal ini
menandakan engkau adalah nona yang sangat cerdik," ucap
It-hiong dengan tertawa.
Dengan kikuk Beng-ay melototinya sekejap, omelnya,
"Kuharap engkau jangan berolok-olok."
It-hiong angkat pundak, katanya, "Aku tidak berolok-olok,
engkau memang benar sangat pintar, jauh lebih pintar
daripada siapa pun."
"Jika kau omong lagi, tentu takkan kugubris dirimu," mulut
Beng-ay tampak menjengkit.
"Haha, baiklah boleh kau kembali ke kamarmu, esok pagi bila
mau berangkat akan kupanggil," kata It-hiong dengan
tertawa. "Tidak, aku mau duduk saja di sini," kata si nona.
"Engkau tidak lelah?"
"Tidak."
"Tapi dalam perjalanan janganlah engkau mengantuk."
"Pasti tidak."
"Masa engkau lupa pada peringatan Miau-lolo bahwa bila
berada bersama orang asing, setiap saat ada kemungkinan
akan tertimpa malapetaka," tanya It-hiong dengan tertawa.
"Jangan percaya kepada ocehannya, kulihat engkau seorang
yang baik hati," kata Beng-ay.
"Aku mungkin tidak terlalu jahat, tapi ... maaf bila aku
berkelakar, sungguh aku khawatir engkau inilah si cucakrawa,"
ucap It-hiong dengan tersenyum.
Perlahan Beng-ay menghela napas, "Jika aku cucakrawa,
nasibku hari ini tentu tidak runyam seperti ini."
It-hiong tertawa dan tidak bicara lagi, ia melipat kedua
kakinya dan memejamkan mata untuk tidur.
Tiba-tiba Beng-ay menghela napas, ucapnya dengan rawan,
"Jika engkau masih menaruh curiga padaku, biarlah aku pergi
saja sendiri."
"Ah, aku cuma bergurau saja, jangan kau anggap sungguhan,"
ucap It-hiong dengan mata tetap terpejam.
"Tapi aku ... aku takut ...." kata Beng-ay seperti mau
menangis. "Takut apa?" tanya It-hiong.
"Jangan-jangan setiba di Wanpeng tak dapat menemukan
pamanku, jika begitu tentu susah aku," kata Beng-ay.
"Jangan khawatir, pasti akan kubantu."
"Jika benar paman tidak kutemukan, coba, lantas bagaimana?"
"Tidak perlu pikirkan hal ini, bila benar tidak bertemu, engkau
kan masih dapat pulang ke tempat ayah tirimu sana."
"Tidak, mati pun aku tidak mau pulang ke sana," ucap Bengay
dengan tegas. "Jika begitu, setiba di Wanpeng nanti, apa kehendakmu tentu
akan kubantu sepenuhnya. Nah, sekarang jangan bicara lagi,
aku ingin mengaso dulu."
"Fajar sudah menyingsing, masa engkau masih mau tidur?"
kata si nona. Waktu It-hiong membuka mata dan memandang keluar, benar
juga dilihatnya hari sudah remang-remang, serunya, "Hah, tak
tersangka semalam sudah lalu secepat ini."
Sambil bicara, terpaksa ia berdiri.
Beng-ay juga ikut berdiri dan bertanya, "Berangkat sekarang
juga?" It-hiong mengangguk, "Ya, setelah kita mohon diri kepada
kakek penjaga itu segera berangkat."
Selagi bicara, tertampak si kakek sambil mengucek mata yang
masih sepat melangkah masuk ruangan pendopo, katanya,
"Wah, sepagi ini kalian sudah mau berangkat?"
"Pagi amat Lotiang sudah bangun," sapa It-hiong.
"Pada hakikatnya aku tidak dapat tidur lagi, kedatangan
beberapa orang itu semalam telah membuatku tak dapat
pulas," tutur si kakek.
"Kami baru mau mohon diri kepada Lotiang, sekarang sudah
pagi, kami hendak berangkat segera," kata It-hiong.
"Kenapa terburu-buru, biarkan kusiapkan sarapan dulu, habis
makan baru berangkat," ujar si kakek.
"Terima kasih, kukira Lotiang tidak perlu repot, tidak jauh lagi
tentu ada kota, biarlah kami makan di sana saja," jawab Ithiong
sambil mengeluarkan dua-tiga tahil perak dan dijejalkan
ke tangan si kakek, katanya pula dengan tertawa, "Semalam
telah mengganggu, sedikit uang ini harap dianggap sebagai
uang dupa dan minyak untuk Sian-li."
"Ah, jangan, tidak usah ..." si kakek berusaha menolak.
Tapi It-hiong berkeras menyuruhnya menerima, "Jangan
sungkan, semalam kan sudah kuucapkan nazar di depan Sianli,
bilamana kelak benar terkabul harapanku, tentu aku akan
datang lagi untuk membayar kaul."
Si kakek melirik Beng-ay sekejap, lalu bergelak tertawa,
"Haha, harapanmu pasti terkabul, pasti!"
"Baiklah, kami mohon diri," ucap It-hiong sambil memberi
hormat. Si kakek membalas hormat dan mengucapkan selamat jalan
kepada kedua muda-mudi itu.
Beng-ay juga mengucapkan terima kasih kepada si kakek, lalu
ikut It-hiong meninggalkan kelenteng itu.
Setelah memasang pelana kuda, It-hiong berkata kepada
Beng-ay, "Silakan naik nona Ni!"
Beng-ay melengak, "Kau suruh aku menunggang kuda?"
"Habis, apakah engkau diharuskan berjalan kaki mengintil di
belakang kudaku?" jawab It-hiong.
Beng-ay memandang kuda putih itu sekejap, dengan takuttakut
ia berkata, "Tapi ... tapi aku tidak ... tidak dapat
menunggang kuda."
"Takkan jatuh, jangan khawatir," kata It-hiong.
"Kuda ini jinak tidak?" tanya si nona dengan ragu.
"Sangat jinak," jawab It-hiong. "Bila kusuruh dia berhenti, dia
pasti tak berani berjalan selangkah lebih banyak."
"Jika kunaik kuda, lantas bagaimana dengan Kongcu sendiri?"
"Tidak apa, aku berjalan kaki," ujar It-hiong.
"Wah kan tidak enak," kaca Beng-ay.
"Jika engkau merasa tidak enak hati, boleh kau cari akal uruk
membalas kebaikanku, aku ini memang suka menerima balas
budi dari orang perempuan," kata It-hiong dengan tertawa.
Kembali Beng-ay melototinya sekejap, lalu ia memanjat ke
atas pelana, dia seperti takut terbanting jatuh, maka kedua
tangan memegang erat pada pangkal pelana yang agak
menegak itu, tanyanya, "Apakah begini caranya?"
It-hiong membetulkan posisi duduk si nona, lalu memberi
salam kepada si kakek penjaga kelenteng dan berangkat
dengan menuntun kuda.
Sambil berjalan timbul pikirannya yang serbarunyam, ia
membatin, "Sekarang aku dibebani dua persoalan, yang satu,
adalah peti hitam ini dan yang lain ialah nona Ni. Kedua
urusan ini sangat mungkin membuat jiwaku melayang, ai,
kenapa aku selalu melakukan hal-hal yang tolol dan tidak
memberi keuntungan ini?"
Lalu teringat olehnya akan Pang Bun-hiong, tanpa terasa ia
tersenyum, pikirnya pula, "Jika dia, pasti dia tidak mau
berbuat kebodohan seperti ini, dia memang jatuh lebih cerdik
daripadaku ...."
Sambil berpikir ia sudah meninggalkan hutan di lereng gunung
dan mencapai jalan raya.
Ni Beng-ay seperti baru pertama kali menunggang kuda,
semua dia sangat tegang, tapi lambat laun dirasakan
menyenangkan juga, katanya kemudian dengan tertawa, "Oo,
tadinya kukira menunggang kuda sangat berbahaya, rupanya
juga cukup aman."
Sampai saat ini rasa curiga Liong It-hiong terhadap si nona


Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belum lagi lenyap, masih tetap menyangsikan si nona adalah
si "cucakrawa", kini setelah mendengar ucapannya, It-hiong
bermaksud mengujinya, dengan tertawa ia lantas berkata,
"Tapi hendaknya engkau pun jangan terlalu meremehkannya."
"Maksudmu?" tanya Beng-ay.
"Soalnya kuda ini kutuntun dan berjalan perlahan, dengan
sendirinya engkau merasa aman, tapi kita takkan selalu
berjalan lambat begini, kita perlu juga berjalan lebih cepat."
"Cepa Pendekar Riang 8 Hikmah Pedang Hijau Karya Gu Long Amanat Marga 4

Cari Blog Ini