Kait Perpisahan Serial 7 Senjata Karya Gu Long Bagian 2
lagi sial"
Sekali lagi Lan Toa Sianseng tertawa tergelak, suara tertawanya kali ini sudah jauh lebih lembut
dan hangat, dengan senyum dikulum tegumyal"Kau berasal dari aliran mana?"
"Dari aliran Nyo!"
"Nyo Pay?" Lan It Ceng tertegun, "Nyo Pay itu partai apa?"
" Partai ku sendiri"
"llmu silat macam apa yang kau latih dan partai ini?"
"Aku sendiripun tak tahu aliran ilmu silat macam apakah itu, karena tak ada jurus serangan
yang baku. Setiap kali berlatih, aku hanya menghapalkan belasan kata kaohoat (rumus silat)"'
"Apa kata kaohoat itu?"
"Robohkan musuh, jangan dirobohkan lawan!"
"Seandainya kau bertemu dengan seseorang, bukan saja tak mampu merobohkannya bahkan
pasti akan dirobohkan lawan, apa yang kau lakukan waktu itu?"
"Terpaksa aka gunakan satu patah kata terakhir"
"Apa kata kata itu?"
"Nekad!"
"Ehm, kelihatannya jurus terakhirmu ini memang berguna" Lan Toa Sianseng mengakui, "Siapa
pun pasti akan sakit kepala bila bertemu dengan orang nekad, asal kau masih punya cadangan
tujuh? delapan puluh lembar nyawa, gunakan terus jurus ampuh itu"
Kemudian setelah menghela napas, tambahnya,"Sayang kau hanya memiliki selembar nyawa"
Nyo Cing ikut tertawa.
"Selama masih punya selembar nyawa untuk diadu. aku akan memakainya terus untuk
bertindak nekad" katanya.
"Kau ingin tidak mempelajari semacam kepandaian yang bisa merobohkan musuh tangguh
tanpa harus berbuat nekad?"
"Kadangkala aku memang ingin"
"Bagus" kata Lan Toa Sianseng, "asal kau angkat aku sebagai gurumu, akan kuajarkan
kepandaian kepadamu, asal kau mampu mempelajari ilmu pedangku, dikemudian hari kau tak
perlu adu jiwa lagi dengan orang lain, orang persilatan pun tak akan ada yang berani mengusikmu
lagi" Setelah tersenyum, tambahnya:"Kau memang orang yang punya nasib baik, tidak sedikit orang
yang ingin belajar silat dariku, tapi pilihanku justru jatuh pada dirimu"
Dia berkata jujur, karena memang begitu kenyataannya.
Belajar ilmu pedang dari Lan Toa Sianseng memang bukan satu pekerjaan yang gampang,
tentu saja tak seorang pun yang akan lepaskan kesempatan langka tersebut dengan begitu saja.
Tapi Nyo Cing justru masih mempertimbangkan tawaran itu.
Tiba tiba Lan Toa Sianseng mengayunkan pedangnya, cahaya pedang berkilauan , sebilah mata
pedang yang panjangnya tiga depa tujuh inci seakan akan bertambah panjang tiga depa secara
tiba tiba, selapis cahaya biru yang menyilaukan mata memancar keluar dan ujung senjata
membuat seluruh angkasa seperti terbungkus hawa pedang yang sangat menggidikkan.
Terdesak hawa pedang yang amat dahsyat, tanpa sadar Nyo Cing mundur beberapa langkah,
hampir saja napasnya ikut terhenti... 'Kraaak!" diiringi suara keras, sebatang pohon yang berdiri
tujuh depa jauhnya telah terpapas kutung jadi dua bagian.
Sembari menarik kembali senjatanya, Lan Toa Sianseng berkata,"Asal kau bisa menguasahi
ilmu tersebut, biarpun belum bisa jadi jagoan tanpa tandingan di kolong langit, rasanya musuh
yang bisa menandingi mu juga tak banyak jumlahnya"
Nyo Cing percaya.
Dia memang tak mengerti di mana letak kehebatan ilmu pedang itu, tapi dia dapat mellhat
dengan jelas bagaimana pohon yang besar itu tumbang hanya dalam sekali sambaran saja.
Tampak Lan Toa Sianseng kembali menyentil pedangnya dan senjata itu mengeluarkan suara
dentingan nyaring.
"Pedang bagus!" tak tahan Nyo Cing bersorak memuji.
"Padang ini memang pedang bagus" dengan bangga Lan Toa
Sianseng menerangkan, "dengan mengandalkan senjata ini aku sudah malang melintang dalam
dunia persilatan hampir dua puluh tahun lamanya, hingga kini belum menemukan tandingan"
"Dulu, kau tentu belum pernah berjumpa dengan orang yang
tak ingin mempelajari ilmu pedangmu bukan?" Nyo Cing balik bertanya.
"Yaa, rasanya memang belum pernah"
"Tapi sekarang kau telah bertemu orang itu, belum pernah terlintas dalam pikiranku untuk
mengangkat orang lain sebagai guruku, apalagi menjadi anak murid orang lain"
Begitu selesai berkata, dia segera soja kepada Lan It Ceng kemudian sambil tertawa dan tanpa
berpaling lagi berlalu dari situ. Dia tak ingin menyaksikan perubahan mimik Lan It Ceng, sebab dia
tahu, perubahan mimik mukanya saat itu pasti tak sedap dilihat.
0-0-0 Bintang bertaburan di angkasa, membiaskan setitik cahaya yang berkedip-kedit. Dibawah
cahaya bintang yang redup, sungai kecil yang terbentang membelah bumi nampak seperti sebuah
sabuk naga yang penuh bertaburkan intan permata.
Dalam kenyataan, sungai itu sama sekali tak indah, dihari terang banyak perempuan mencuci
pakaian ditempat itu, anak anak pun banyak yang buang air besar di situ. Tapi ketika malam
sudah tiba, orang yang berlalu lalang ditepi sungai itu akan merasa betapa indahnya sungai kecil
itu, begitu indah membuat orang hampir saja melelehkan air mata.
Ketika Nyo Cing lewat ditempat itu, tampak seseorang sedang duduk ditepi sungai, diatas
sebuah batu cadas sambil melelehkan air mata.
Dia adalah seorang gadis yang kekar dan sehat, pakaian kembang kembang yang baru
dijahitnya setahun berselang, kini nampak begitu ketat membungkus badannya, begitu ketatnya
pakaian yang dikenakan membuat napasnya kelihatan sulit, apalagi sewaktu berjongkok, dia mesti
berhati hati agar celana nya tak sampai robek.
Seandainya disekeliling tempat itu ada lelaki muda, mereka pasti akan terangsang bila melihat
pakaian ketat itu, mungkin saja biji mata mereka akan meloncat keluar.
Dia memang senang memakai pakaian ketat ini, dia senang kalau orang lain
memperhatikannya.
Usianya terhitung masih muda, tapi dia sudah bukan seorang nona kecil, itulah sebabnya dia
punya masalah, masalah itu membuatnya mencucurkan air mata.
Air mata itu meleleh lantaran seseorang, dan kini orang tersebut sudah berdiri tepat di
hadapannya. "Lian Kou, sudah semalam kenapa masih duduk sendirian disini?"
Dia tundukkan kepalanya, meski secara diam-diam telah menyeka air matanya dengan ujung
baju, namun dia belum juga mendongak, lewat lama kemudian baru ujamya:"Semalam kenapa
kau tak pulang" Kemarin kami telah memotong seekor ayam, pagi ini aku khusus masakkan kuah
ayam dan telur untuk sarapanmu, malah aku masih sisikan seekor paha ayam untukmu"
Nyo Cing tertawa, sambil menarik tangannya dia menyahut:"Kalau begitu ayoh kita pulang
sekarang, aku makan paha ayam dan kau minum kuah nya"
Tiap kali dia menarik tangannya, meski wajahnya akan bersemu merah dan hatinya berdebar
keras, namun belum pernah gadis im menampik tawaran tersebut.
Tapi kali ini dia menampik, bahkan meronta untuk lepaskan diri dari genggamannya, dengan
kepala masih tertunduk katanya:"Sesibuk apa pun hari ini, kau seharusnya pulang lebih awal"
"Kenapa"'
"Had ini ada seorang tamu datang mencarimu, dia sudah menunggu hampir setengah harian di
rumah" "Ada tamu mencari aku?" Nyo Cing bertanya keheranan, "Manusia macam apa orang itu?"
"Seorang nona yang teramat cantik, dia cantik dan sangat harum, memakai baju yang sangat
indah" kepala Lian Kou tertunduk semakin rendah, "aku suruh dia menunggu dalam kamarmu
karena dia bilang dia adalah sahabat karibmu, sudah kenal dengan kau sejak masih ingusan"
"Apa dia bernama Lu Siok Bun?"
"Rasanya begitu"
Nyo Cing tidak bertanya apa pun, tiba tiba dia berlari meninggalkan tempat itu bagaikan seekor
kuda yang dicambuk dengan lecut. Ketika Lian Kou mendongakkan kepalanya, dia sudah lenyap
dari pandangan mata.
Cahaya bintang masih berkedip bagai kilauan batu permata, air mata yang bercucuran
membasahi wajah Lian Kou persis seperti batu mutiara yang terputus dari benangnya.
0-0-0 Nyo Cing tinggal disebuah ruangan dua bilik, bangunan rumah itu tidak terhitung kecil, barang
yang ada dalam ruangan pun tak terhitung banyak, tapi selalu tersapu bersih dan tertata rapi.
Bukan dia yang menyapu atau menata ruangan, Lian Kou selalu mengerjakan untuknya.
Ketika dia mendorong pintu dan menerjang masuk ke dalam, ruangan itu tak ada siapa pun,
hanya sebuah cawan air teh masih terletak di meja, air teh itu sudah mendingin.
Tamunya sudah berbaring di kamar tidumya dan tertidur lelap, rambut hitamnya yang panjang
berkilat dan setiap hari selalu disanggul anggun, kini sudah terurai lepas, berserakan diatas
bantalnya. Badannya putih bagai salju, rambutnya hitam amat pekat, jantungnya berdebur kacau dan
keras, napasnya lirih tapi teratur.
Biji matanya kelihatan panjang melentak, tubuhnya begitu lembut dan halus, kakinya panjang
ramping. Ketika dalam keadaan sadar dia tampil anggun dan kenyang akan pengalaman, tapi sewaktu
tidur semua kelebihan itu tak nampak sama sekali.
Dia tidur bagai seorang anak kecil.
Nyo Cing berdiri disisi ranjang bagaikan seorang bocah, mengawasinya dengan pandangan
bodoh, dia memandang bodoh, pikirannya lebih bodoh lagi....
Entah berapa lama dia berdiri bagal orang dungu, tiba tiba Nyo Cing menjumpai Lu Siok Bun
sudah mendusin dari tidurnya dan sedang mengawasi dirinya, sinar matanya penuh kelembutan
serta kasih sayang yang mendalam, entah sampai berapa lama kemudian dia baru berkata,"Kau
tentu lelah sekali" katanya sambil menggeser sedikit tubuhnya, "berbaringlah disisiku"
Dia hanya mengucapkan berapa patah kata, tapi setiap kata mengandung nada kasih yang
dalam, kadangkala ucapan seperti ini jauh mengungguli beribu ribu patah kata.
Dengan mulut membungkam Nyo Cing berbaring, barbaring disisi perempuan yang siang
malam selalu diimpikan, dia tidak merasa perasaannya menggelora, juga tak terlintas pikiran
porno, dia hanya merasakan keheningan dan ketenangan yang luar biasa, semua kemurungan,
kemasgulan dan penderitaan hidup sebagai manusia, seolah olah jauh meninggalkan dirinya.
Dia belum pemah datang kemari, mengapa tiba tiba muncul di situ" Dia tidak bertanya, karena
sia telah menjelaslcan sendiri.
"Aku datang lantaran Si Si" Lu Siok Bun menjelaskan, "karena kemarin sore tiba tiba muncul
orang yang sama sekali tab kuduga, datang ke tempatku mencari Si Si"
"Siapa orang itu?"
"Ti Cing Ling!"
"Dia mencari Si Si?" Nyo Cing pun tidak menyangka, "mereka tidak bersama?"
"Tidak, dia bilang Si Si sudah berapa hari pergi meninggalkannya"
"Setelah meninggalkannya, dia ke mana?"
"Tidak tahu, tak ada yang tahu" sahut Lu Siok Bun, "mereka berangkat bersama ke
pesanggrahan Botan Sanceng untuk membeli kuda, tapi pada malam kedua Si Si telah pergi tanpa
pamit, Ti Cing Ling sendiri pun tidak tahu apa sebabnya gadis itu pergi tanpa pamit?"
"Apakah lantaran mereka cekcok mulut" Atau karena dia menjumpai pria lain yang jauh lebih
menjanjikan ketimbang Ti Cing Ling"
Dalam pertemuan akbar itu, Pesanggrahan Botan Sanceng pasti kedatangan pelbagai lapisan
masyarakat, setiap pria yang muncul di situ rata-rata merupakan manusia luar biasa, setiap pria
besar kemungkinan akan terpikat oleh kecantikan Si Si karena Si Si memang seorang perempuan
dengan kecantikan dan penampilan yang amat menonjol, padahal hubungannya dengan Ti Cing
Ling bukan hubungan luar biasa, diantara mereka berdua sama sekali tidak terlibat dalam
percintaan. Walaupun di hati kecilnya Nyo Cing berpendapat begitu, namun tidak diutarakan keluar, dia
tahu selama ini Lu Siok Bun selalu menganggap Si Si seperti adik kandung sendiri, dia pasti tak
senang hati jika mendengar ucapan tersebut.
Karena itu dia hanya bertanya,"Menurut pendapatmu, besar kemungkinan dia telah ke mana?"
"Aku tak tahu, aku tak bisa menjawab, karena aku sama sekali tidak percaya kepadanya"
"Tidak percaya kepada siapa?"
"Tidak percaya dengan ucapan Ti Cing Ling, tidak percaya Si Si akan pergi meninggalkannya,
karena Si-si pernah beritahu kepadaku, lelaki macam Ti Cing Ling merupakan lelaki idaman
hatinva, type lelaki yang selalu didambakan, dia pasti akan berupaya untuk membelenggku dan
mengikatnya"
Setelah berhenti sejenak, tambahnya, "Dihadapanku, Si Si tak berbohong"
"Banyak perubahan terjadi di dunia ini tapi perasaan wanita paling gampang berubah, apalagi
perempuan macam Si Si, walaupun apa yang dia katakan waktu itu mungkin perkataan yang jujur,
tapi siapa yang berani jamin dia tidak berubah pikiran"
"Tentu saja Nyo Cing tak bisa mengutarakan keluar perkataan ini.
"Jadi kau anggap Ti Cing Ling sedang berbohong?" katanya kepada Lu Siok Bun, "Jadi kau
beranggapan dia telah berbuat sesuatu terhadap Si Si?"
"Aku sendiripun tak tahu, dari status sosial Ti Cing Ling, tidak seharusnya dia bicara bohong,
tapi aku selalu merasa agak takut"
"Kau takut" Apa yang kau takuti?"
"Takut telah to jadi apa apa"
"Takut terjadi apa?"
"Apapun mungkin bisa terjadi, sebab aku tahu lelaki macam Ti Cing Ling pasti tak akan sudi
dibelenggu terus oleh seorang wanita."
Tiba-tiba dia genggam tangan Nyo Cing eras-erat, katanya, "Aku betul-betul merasa takut,
maka aku tak berani berkata apa pun dihadapannya, aku tak berani bertanya apa pun, dia, meski
berstatus sosial tinggi, tapi aku selalu menganggapnya sebagai seorang lelaki kejam yang tega
melakukan perbuatan apapun"
Nyo Cing tahu, dia memang sungguh ketakutan, sepasang tangannya sudah berubah dingin
bagai es. "Tak ada yang perlu ditakuti" Nyoo Cing mencoba menghibur, "jika Ti Cing Ling benar benar
telah berbuat sesuatu terhadap Si Si, perduli bagaimanapun tingginya status sosialnya, aku tak
akan lepaskan dia, bahkan aku pasti akan selidiki kabar berita Si Si hingga tunas"
Lu Siok Bun menghela napas panjang, katanya sambil pejamkan mata.."Kemarin malam aku tak
pemah bisa tidur, bolehkah aku tidur di sini?"
Dengan cepat perempuan itu sudah terlelap tidur.
Dia bisa tidur nyenyak karena dia tak perlu kuatir, walaupun selama hidup dia tak pernah
percaya dengan lelaki mana pun, tapi dia percaya Nyo Cing seratus persen.
Dia percaya selama Nyo Cing berada disampingnya, tak seorang manusia pun dapat
mencelakainya. Malam semakin Iarut, suasana makin tenang.
Di dalam kota keresidenan yang amat kecil ini, penduduk hidup dalam kesederhanaan dan
sangat bersahaja, kini mereka sudah terbuai dalam impian musing masing.
Kecuali ibu kandung Siau Hau Ji dan bini lo-The yang baru kehilangan anak dan suami, kini
mungkin tinggal seorang yang belum tidur.
0-0-0 Gwe Po adalah rumah penginapan terbesar di kota itu.
Rumah penginapan itu belum lama diresmikan, bangunannya masih serba baru, tapi berapa
hari berselang tiba tiba dengan mengeluarkan biaya hampir ratusan tahil perak, paviliun sebelah
barat telah dibongkar untuk dibangun kembali dengan sebuah bangunan yang baru.
Maka pemilik rumah penginapan itu tidak rela keluar uang banyak untuk berbuat begitu, tapi
dia dipaksa untuk keluar uang.
Bila seseorang yang sangat berkuasa menghendaki begitu, siapa lagi yang berani menampik"
Dan seorang tamu yang sangat terhormat dan sangat berkuasa baru-baru ini telah menginap
semalam disitu.
Tamu agung ini sangat banyak tuntutannya, meskipun hanya menginap semalam, dia tak mau
dilayani seadanya.
Tamu agung itu tak lain adalah Ti Cing Ling.
Ti Cing Ling mengenakan jubah lebar berwama putih salju, dengan memegang sebuah cawan
kemala putih yang penuh berisi arak, duduk bersandar diatas sebuah amben pendek yang dilapisi
permadani kulit domba buatan Persia, dia seperti sedang memikirkan sesuatu. seperti juga sedang
menunggu seseorang.
Dia sedang menunggu orang.
Tiba tiba ada orang mengetuk pintu dari luar ruangan, "Took, took took" dengan suatu sistim
ketukan yang aneh orang mengetuk pintu beberapa kali.
"Siapa?" Ti Cing Ling segera menegur.
"Cia Gwee Je Sah" orang diluar pintu mengulang sekali lagi, 'bulan Cia Gwee tanggal tiga"
Tanggal yang disebut, bukan nama manusia. Mungkin juga bukan tanggal, tapi kata sandi yang
digunakan untuk berhubungan.
Tapi sekarang kata sandi itu melambangkan seseorang, salah satu anggota dari sebuah
organisasi raksasa yang amat misterius dan rahasia.
Dalam empat ratus tahun terakhir, belum pernah dalam dunia persilatan muncul organisasi
rahasia yang begitu besar pengaruhnya seperti perkumpulan Cing Liong Pang (perkumpulan naga
hijau). Organisasi rahasia ini membawahi tiga ratus enam puluh lima cabang yang tersebar
diseluruh kolong langit, dan menggunakan almanac lmlek sebagai simbol. "Cia Gwee Je Sah" atau
bulan satu tanggal tiga melambangkan seorang kepala cabang dari suatu kantor cabang daerah.
Orang yang sedang ditunggu Ti Cing Ling adalah orang ini, dalam operasinya kali ini orang
itulah yang bertanggung jawab mewakill perkumpulan Cing Liong Pang untuk berhubungan
dengannya Orang itu sudah melangkah masuk ke dalam ruangan, dia adalah seorang lelaki tinggi besar,
kekar dan mengenakan baju perlente.
Begitu melihat munculnya orang itu, jangankan orang awam, bahkan Ti Cing Ling yang tak
pemah tergerak hatinya pun nampak ikut tercengang dibuatnya.
"Kau?"
"Aku tahu, Siau Hoya pasti tak akan menyangka "Cia Gwee Je Sah" adalah aku" ujar orang itu
sambil terlawa lebar, wajahnya
yang bulat gemuk dan putih bersih itu sama sekali tidak bertampang licik, "memang sedikit
yang tahu kalau aku adalah anggota perkumpulan Naga Hijau"
Sekalipun ada yang tahu pun tak bakal curiga, sebab mana mungkin "Hon Kay Hok Kui" (Bunga
mekar banyak rejeki dan terhormat) Hoa Suya yang begitu kaya raya, terhormat dan menjagoi
satu wilayah mau tunduk dibawah perintah orang lain"
Tapi Ti Cing Ling sangat memahami hal itu.
Kait Perpisahan Serial 7 Senjata Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jika perkumpulan Naga Hijau menghendaki seseorang menjadi anak buahnya, biasanya orang
itu tak akan mempunyai pilihan lain kecuali menerima tawaran tersebut.
Menolak berarti mati.
Bila kau adalah pemilik Pesanggrahan Botan San-ceng, bila harta kekayaanmu tak akan habis
dipakai hingga keturunanmu yang ke delapan belas, apakah kau ingin mampus"
Biarpun orang itu miskin, tak punya sang setengek pun, dia sama saja tak ingin mati.
Ti Cing Ling segera tertawa.
"Aku memang tak menyangka kalau kaulah orangnya" dia balik bertanya, "pernah kau
bayangkan, aku bisa bunuh orang?"
"Aku tak pernah menyangka" Hoa Suya mengakui, "bahkan mimpi pun aku tak pemah
menyangka"
"Tapi sekarang, kau tentu sudah tahu bukan" Kau sendirl yang memasukkan Jenasah Ban
Tayhiap ke dalam peti mati" Ti Cing Ling menghirup araknya satu tegukan, "bagaimana pun juga,
tugas yang diberikan pemimpin kalian telah kuselesaikan dengan sukses"
"Aku telah melapor ke atasan dan atasan pun telah berpesan, bila Siau Hoya masih ada tugas
yang hendak dikerjakan, kami tentu akan membantu dengan sepenuh tenaga" tiba tiba Hoa Suya
tidak tertawa lagi, dengan wajah serius tambahnya, "jika Siau Hoya menginginkan Hoa Suya mati,
aku segera akan menghabisi nyawa sendiri"
Ti Cing Ling mengawasi cawan kemala putih yang berada dihadapannya tanpa berkedip, lewat
lama kemudian dia baru berkata, "Aku tak inginkan kematianmu, aku berharap kau panjang umur,
banyak anak banyak cucu, tapi aku memang sangat berharap ada satu orang tak bisa hidup terus,
biar hanya satu hari pun dia tak boleh hidup"
'Siapa yang Siau Hoya maksudkan"'
"Ji Giok" sahut Ti Cing Ling, "nona Ji Giok yang ada di rumah bordil Gi Hong"
Kemarin, Ti Cing Ling memang telah berkunjung ke rumah bordil
Gi Hong, dia pun telah bersua dengan "Toaci" nya Si Si.
Setelah terjun ke rumah bordil, Lu Siok Bun memang berganti nama menjadi "Ji Giok".
Begitu bersua dengan perempuan itu, dia segera menyadari akan satu hal perempuan itu
kelewat berpengalaman, kelewat teliti, tak ada kejadian apapun yang dapat mengelabuhinya,
bukan urusan gampang untuk membohonginya.
"Aku harap kalian bunuh orang itu untukku" ujar Ti Cing Ling, cari saja sembarangan orang
dengan sembarangan alasan, bunuh dia di tengah ruang rumah bordil itu, tapi ingat, jangan
sampai meninggalkan jejak atau kecurigaan apapun hingga orang tahu kalau kematiannya ada
sangkut paut dengan diriku"
"Aka memahami maksud Siau Hoya" Tertawa Hoa Suya seperti Buddha Mi Lek, "kami punya
banyak pengalaman dalam menjalankan tugas seperti ini"
"Selain itu" sambung Ti Cing Ling, " aku dengar Ji Giok punya langganan tetap, dia adalah opas
kota ini" "Betul, orang itu she-Nyo bernama Cing"
"Manusia macam apa dia?"
"Seorang lelaki keras hati, tidak gampang dihadapi. dia punya sedikit nama dalam kalangan
kepolisian"
"Kalau begitu jangan biarkan orang itu terjatuh ke tangannya selesai membunuh Ji Giok"
"Siau Hoya tak usah menguatirkan persoalan ini."
"Kenapa?"
"Nyo Cing sendiri sudah banyak masalah" ujar Hoa Suya sambil tertawa terkekeh kekeh,
"mungkin dia sendiri pun tak dapat melindungi keselamatan jiwa sendiri"
"Masalahnya cukup besar?"
"Besar sekali, biarpun tak sampai kehilangan nyawa, paling tidak dia mesti merasakan
pengapnya penjara selama delapan sampai sepuluh tahun."
"Kalau begitu bagus sekali" seru Ti Cing Ling sambil tertawa congkak.
Dia tidak bertanya masalah apa yang sedang menimpa Nyo Cing, dia memang tak pernah suka
mencampuri urusan orang lain.
Terdengar Hoa Suya berkata lagi, "Kalau diceritakan kembali memang sungguh kebetulan, kami
sama sekali tak tahu kalau orang yang hendak dihadapi Siau Hoya adalah Nyo Cing dan Ji Giok,
memang sejak awal kami pun punya rencana untuk menghadapinya"
Ti Cing Ling kembali tertawa.
Sekarang dia sudah mengerti, masalah yang dihadapi Nyo Cing adalah masalah yang sengaja
diciptakan perkumpulan Naga Hijau secara cermat dan sempuma.
Bila seseorang sudah tertimpa masalah seperti ini, bukan pekerjaan yang kelewat gampang
untuk meloloskan diri.
Ti Cing Ling bangkit berdiri dan menuanglcan arak untuk Hoa Suya, lalu tanyanya pelan"Ketika
aku minum arak di rumahmu malam itu, ada seorang nona menari dengan bertelanjang kaki, siapa
nona itu?"
"Dia bernama Siau Cing, sudah kubawa kemari, aku tahu Siau Hoya terpikat dengan nona itu"
Ti Cing Ling tertawa tergelak.
"Hoa Suya" serunya, "sekarang aku baru tahu kenapa kau cepat kaya, aneh sekali bila orang
macam kau tak bisa kaya raya"
Pinggul Siau Cing ketika bergoyang persis seperti seekor ular yang sedang menggeliat.
Seekor ular hijau kecil.
0-0-0 Malam semakin kelam, suasana semakin hening, tiba-tiba Lu Siok Bun terjaga dari tidumya, dia
terjaga dari mimpi buruknya
Dalam mimpi nya dia melihat dari mulut Ti Cing Ling tiba tiba muncul dengan dua taring gigi
yang tajam, taring tajam itu sedang menggigit tengkuk Si Si, menghisap darahnya.
Ketika dia berjaga dari tidumya, Nyo Cing masih terlelap tidur dengan nyenyaknya.
Tiba tiba dia jumpai sekujur badan Nyo Cing panas menyengat, namun keringat yang
bercucuran adalah keringat dingin. Nyo Cing sakit, bahkan sakit cukup parah.
Lu Siok Bun sedih bercampur terkejut, pelan pelan dia bangun dari atas ranjang, maksudnya
ingin mencari sebuah handuk untuk menyeka peluh yang membasahi tubuh Nyo Cing.
Dalam ruangan tak ada lentera, suasana gelap gulita membuat dia tak bisa melihat benda
apapun, tapi dia melihat daun jendela dalam keadaan terbuka.
Cahaya bintang yang redup memancar masuk melalui daun jendela, tiba tiba dia jumpai diluar
rumah berdiri serombongan manusia, ada yang bergolok ada pula yang membawa panah.
Golok telah terhunus dari sangkurnya, anak panah sudah terpasang diatas busur.
0-0-0 Bab 4 : Kuku berwarna merah.
Cahaya golok berkilauan dibawah sinar bintang, anak panah sudah terpasang pada busur yang
terpentang lebar.
Lu Siok Bun tidak tahu apa yang telah terjadi, karen tidak tahu maka ia bertambah ketakutan.
Dia ingin sekali membangunkan Nyo Cing, tapi dia pun tak ingin mengusik tidumya yang
nyenyak. Mengapa pada saat dan situasi seperti ini, dia justru jatuh sakit"
Tak ada orang yang berada diluar halaman menerjang masuk ke dalam ruangan, tapi ada orang
mulai menggedor pintu rumah.
Lu Siok Bun ingin sekali membuka pintu, tapi dia tak berani berbuat begitu.
Suara gedoran pintu makin lama semakin nyaring, akhirnya Nyo Cing terjaga dari tidumya,
mula mula dipandangnya dulu wajah Lu Siok Bun yang diliputi perasaan kaget dan ketakutan,
kemudianbaru melihat cahaya golok di luar jendela.
Dia sendiri pun tak tahu peristiwa apa yang telah terjadi, buru-buru dia melompat bangun dari
atas ranjang, tiba tiba dia jumpai kakinya agak lemas, pakaiannya sudah basah kuyup oleh
keringat, tenaganya sama sekali telah hilang.
Biar pun begitu, dia tetap harus membukakan pintu.
Dua orang berdiri diluar pintu, orang pertama adalah seorang lelaki tinggi besar yang penuh
bercambang, alis matanya amat tajam bagai dua bilah golok Leng Hong To, tampaknya dia adalah
seseorang yang mempunyai kekuasaan sangat besar.
Orang ke dua kecil pendek dan mempunyai sepasang mata yang bersinar tajam, bukan saja dia
nampak punya kuasa, bahkan amat cerdik dan cekatan.
Tentu saja Nyo Cing kenal dengan orang orang itu.
Mana m ungkin seorang anggota opas tidak kenal dengan kalangan sendiri" Apalagi dia
termasuk orang yang paling ditakuti dikalangan hekto (aliran sesat) dan dikenal sebagai seorang
opas yang ulet dan punya hubungan yang luas, si Cakar Elang Tio Ceng"
"Kakak Tio!" Nyo Ceng segera menegur, "ada urusan apa tengah malam buta begini datang
mencariku" Apa yang sudah terjadi?"
Belum sempat Tio Ceng menjawab, seorang lelaki bercambang yang berdiri disisi nya sudah
bicara lebih dulu.
"Tak nyana kau masih belum kabur, besar amat nyali mu" serunya sambil tertawa dingin.
"Kenapa aku mesti kabur?"
Tiba tiba Tio Ceng menghela napas panjang, ditepuknya bahu Nyo Ceng berulang kali.
"Lote, kau sudah kena urusan" katanya sambil geleng kepala berulang kali, "Aku tidak sangka,
kau yang selalu bersikap scbagai seorang hohan, kali ini berani melakukan perbuatan semacam
ini?" "Apa yang telah kulakukan?"
"Kau masih berlagak pilon?" lelaki bercambang itu tertawa dingin.
Dia segera mengulapkan tangannya memberi tanda, dari luar halaman segera muncul empat
orang yang menggotong sebuah peti besar terbuat dari kayu putih, peti itu tak lain adalah peti
uang yang berhasil direbut kembali Nyo Cing dari tangan Ni Pat, dalam setiap peti berisi empat
puluh hingga lima puluh tail goanpo.
Nyo Cing masih belum mengerti apa gerangan yang telah terjadi, mendadak lelaki bercambang
itu kembali turun tangan, dia cabut keluar sebilah golok emas yang bersinar tajam kemudian
membacok keatas peti uang tersebut, peti itu kontan terbelah jadi dua bagian.
Isi peti itu ternyata bukan goanpo, tapi batu kerikil dan besi rongsok.
Terdengar lelaki bercambang itu kembali menghardik, "Sejak kapan kau tukar semua uang itu"
Kau sembunyikan ke mana semua uang perak itu?"
Terkejut bercampur terperangah Nyo Cing berteriak gusar, "Isi sembilan ratus buah peti uang
itu sudah ditukar isinya" Kau anggap aku yang telah melakukan kesemuanya itu?"
"Lote" kata Tio Ceng sambil menghela napas, "Kalau bukan kau lantas siapa lagi" Mana
mungkin semua uang perak itu bisa berubah jadi barang rongsok dalam waktu sekejap?"
Setelah berhenti sejenak, kembali terusnya, "Tentu saja Ni Pat termasuk orang yang pantas
dicurigai, sayang dia sudah kau bunuh hingga tak bisa bersaksi"
Membunuh saksi untuk menghilangkan bukti, satu tuduhan yang teramat jahat dan keji.
"Semua anggota opas yang kau ajak menangani kasus ini adalah saudara sealiranmu, bahkan
setiap prang mendapat bagian, tentu saja mereka tak ada yang mau mengaku" kembali Tio Ceng
berkata, "Lo The dan Siau Hau Ji merupakan orang yang paling kau percaya, kau suruh mereka
pulang duluan dengan membawa semua uang tersebut, karena kau percaya mereka tak bakal
menghianatimu"
Setelah menarik napas dan berhenti sejenak, terusnya"Kedua orang itu, yang satu punya bini
dan punya anak, sedang yang lain punya ibu di rumah, sekalipun ingin berhianat, belum tentu
mereka berani melakukannya"
Dalam keadaan begini, tiba tiba Nyo Cing menjadi tenang kembali, apa pun tidak dia katakan,
dia hanya berpaling dan ujarnya kepada Lu Siok Bun:
"Kau pulanglah dulu, sebentar aku akan menyusulmu"
Waktu itu, sekujur badan Lu Siok Bun sudah berubah jadi dingin dan menggigil kencang, dia
tidak mengucapkan sepatah kata pun, dengan kepala terrunduk keluar dari bilik.
Tiba diluar, dia tak tahan untuk berpaling dan melihat lagi ke Nyo Cing, sorot matanya penuh
rasa takut, kuatir dan perasaan yang luar biasa.
Dia tahu, tak mungkin kekasihnya melakukan perbuatan senista itu, tapi dia pun sadar,
persoalan semacam ini tak gampang untuk diselesaikan, bahkan biar sudah mandi di sungai Huang
Ho pun tak akan bisa bersih dari semua tuduhan.
Dia hanya menguatirkan keselamatan pemuda itu, sama sekali tidak memiikirkan keselamatan
sendiri. Karena waktu itu dia sendiri belum tahu kalau situasi dan dan kondisinya jauh lebih berbahaya
ketimbang pemuda itu, dia masih belum tahu kalau sekarang sudah ada seseorang yang sedang
menunggunya untuk mencabut selembar jiwanya.
Seorang manusia keji yang menganggap membunuh orang seperti memotong sayuran saja.
0-0-0 Si Botak selalu keji, selain buas juga dingin dan keji.
Dia adalah bawahan Hoa Suya, sekarang sudah mendapat perintah majikannya. sebelum fajar
menyingsing harus pergi ke rumah bordil dan menghabisi nyawa Ji Giok, selesai membunuh dia
diperintahkan kabur ke ujung langit, dalam lima tahun kemudian dilarang menampakkan diri
disekitar tempat tersebut.
Selain memberikan perintah itu, Hoa Suya menghadiahkan pula sepuluh laksa tahil perak
sebagai upahnya, satu nilai uang yang cukup baginya untuk hidup makmur selama lima tahun.
Baginya, tugas semacam ini hanya sebuah urusan kecil.
la memberi jaminan kepada Hoa Suya:"Besok, sebelum fajar menyingsing, lonte busuk itu pasti
sudah berbaring dalam peti mati"
0-0-0 Perasaan hati Nyo Cing amat sakit.
Dia mengerti Lu Siok Bun sangat menguatirkan keselamatan jiwanya, dia pun tahu perempuan
itu merasa berat hati untuk meninggalkan tempat itu, tapi, bagaimanapun juga perempuan itu
harus pergi dari situ.
Karena dia tahu, persoalan semacam ini tak gampang untuk diselesaikan.
Bila kau bisa bayangkan bagaimana perasaan seekor harimau yang terperosok ke dalam
perangkap yang dipasang seorang pemburu, maka kau pasti dapat pula memahami bagaimana
perasaan hatinya sekarang.
Kepada lelaki bercambang itu segera tegurnya:"Bukankah anda adalah congpiautau dari
perusahaan ekspedisi Tionggoan Piaukiok, Po Be Kiem To (Kuda Mestika Golok Emas) Ong Ceng
Hui?" "Benar"
"Apakah anda yakin akulah yang melakukan penggelapan ini?"
"Benar"
Nyo Cing termenung cukup lama, tiba tiba dia berpaling ke arah Tio Ceng dan menegaskan,
"Termasuk kau pun tidak percaya kepadaku?"
Tio Ceng sekali lagi menghela napas panjang.
"Seratus delapan puluh laksa tahil perak bukan jumlah yang kecil, bagi kita yang bekerja
sebagai opas, biar berjuang sampai seribu tahun pun jangan harap bisa peroleh uang sebanyak
itu. Siapa sih manusia di dunia ini yang tidak kemaruk harta" Aku tahu, selama ini kau royal dan
suka menolong orang, aku pun tahu nona yang tadi adalah nona paling top yang sangat berharga
bagimu" Nyo Cing hanya mendengarkan tanpa komentar, tapi setelah mendengar ucapan terakhir, dia
tak sanggup menahan diri lagi, mendadak tubuhnya menerjang ke muka dan langsung menonjok
mulut lawan. Buru buru Tio Ceng melompat ke belakang, sementara Ong Ceng-hui buru buru putar goloknya
membacok. Dalam suasana kalut yang semakin mencekam itulah, kembali muncul seseorang dari luar pintu,
dengan suara yang keras, nyaring dan penuh wibawa ia menghardik keras:"Semuanya hentikan
serangan!"
Seorang lelaki berbaju biru berusia tiga puluh tahunan, dengan sepasang mata yang tajam
bagai pisau melototi orang orang disitu, kemudian ancamnya lagi "Siapa pun jangan sembarangan
bertindak!"
Tak ada yang berani bergerak lagi.
Siapa pun mengenali orang itu sebagai pejabat tertinggi di keresidenan itu, orang itu adalah
seorang sarjana yang lulus ujian negara dan diangkat menjadi pembesar kota, rakyat
memanggilnya Him Cing Thian" (Hakim Him berhati bersih) Him Siau Teng.
Dia adalah seorang pejabat eselon tujuh, selain berasal dari sarjana, juga termasuk seorang
pejabat bersih yang suka menegakkan keadilan dan kebenaran.
Dengan menembus kegelapan malam dia memburu ke situ karena dia memang menaruh rasa
simpatik yang besar terhadap anak buahnya yang masih muda itu, hubungan persatuan tersebut
tidak terbatas hubungan seorang atasan dengan bawahan saja.
"Aku percaya Nyo Cing tak bakal melakukan perbuatan itu" kata Him Siau Ting dengan suara
bersungguh sungguh, jika komandan Tio kuatir tak bisa memberi laporan ke atasan, biarlah aku
gunakan jabatanku sebagai pembesar eselon tujuh untuk menjamin dirinya"
"Him Tayjin bicara kelewat serius" buru buru Tio Ceng soja dalam-dalam.
Biarpun dia seorang petugas yang resmi dikirim pemerintah kerajaan, namun dia tak berani
bersikap kurang hormat terhadap pembesar eselon tujuh yang tersohor karena tegas, jujur dan
bersihnya itu. "Biarpun aku tidak menaruh curiga kepada Nyo Cing, tapi tanggung jawab ini tetap harus
terbeban diatas pundaknya" kembali Him tayjin berkata, sambil berpaling ke arah Nyo Cing,
lanjutnya, "aku beri waktu sepuluh hari, jika kau tak dapat membongkar kasus tersebut dalam
jangka waktu yang kuberikan, jangan salahkan kalau aku pun tak bisa menolong kau lagi untuk
lolos dari persoalan ini"
Sepuluh hari, hanya sepuluh hari.
Tak ada saksi, tak ada jejak, juga tak ada titik terang apapun, mana mungkin dia bisa
membongkar kasus itu hanya di dalam waktu sepuluh hari"
Hari belum lagi terang tanah, Nyo Cing seorang diri berbaring diatas pembaringan, dia merasa
empat anggota badannya lamas, bibirnya kering merekah, kepalanya pening lagi berat, seakan
ada tujuh delapan puluh kati sampah yang disusupkan ke dalam benaknya.
Dia benci diri sendiri, kenapa dalam saat seperti ini jatuh sakit.
Dia tak boleh membiarkan diri berbaring terus disitu, dia harus berontak, harus meronta untuk
bangkit berdiri.
Tapi badannya yang panas menyengat tiba tiba berubah jadi dingin membeku, dingin hingga
gemetar, menggigil tiada hentinya.
Dalam keadaan setengah sadar, dia seperti melihat Lian Koh berjalan masuk ke dalam kamar,
menyelimuti tubuhnya, menyeka wajahnya, mengambil baskom dan menimba air di sumur, dia
seperti pergi sangat lama dan tak balik lagi.
0-0-0 Lamat-lamat dia seperti mendengar jeritan ngeri yang memilukan hati, dia kenali suara itu
berasal dan Lian Koh.
Sejak hari itu, dia tak pemah bersua lagi dengan gadis tersebut.
Hari sudah terang tanah.
Kait Perpisahan Serial 7 Senjata Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Walaupun semalaman si Botak tak tidur nyenyak, semangatnya masih segar dan berkobar,
karena di kolong langit telah berkurang seseorang sementara dalam sakusya telah bertambah
sepuluh laksa tahil perak.
Dia sudah bebenah, semua bekal telah dipersiapkan, pelana juga sudah berada di punggung
kuda, mulai sekarang dia akan pergi jauh ke ujung langit menikmati penghidupan yang mewah
dan penuh kenikmatan.
Belum sempat dia berangkat, tiba tiba Hoa Suya telah muncul disitu diiringi seorang kacung
kecil, wajahnya yang gemuk masih kelihatan ramah, dia hanya bertanya,"Apakah kau sudah siap
berangkat?"
"Benar" si Botak tertawa, "Tugas yang Suya berikan hanya satu pekerjaan kecil lagi ringan,
lebih gampang daripada makan bakmi kuah"
"Apakah sekarang Ji Giok sudah berada dalam peti mati"'
"Dia tak ada di peti mati, dia ada di dalam sumur"
"Kemarin malam dia tidak berada di rumah bordil Gi Hong Wan, untung aku masih dapat
menemukannya" dengan perasaan bangga si Botak bercerita, "kusir yang semalam
menghantamya pergi adalah seorang setan arak, aku hanya mengundangnya minum dua cawan,
dia sudah mau beritahu aku ke mana perempuan itu telah pergi,
Tak heran kalau aku berhasil menemukan jejaknya secara mudah"
"Ehmm, tampaknya kau memang punya kemampuan" puji Hoa Suya sambil tersenyum.
Si Botak semakin bangga.
"Sewaktu tiba disitu, kebetulan dia baru keluar dari rumah untuk mengambil air di sumur, tidak
heran bukan kalau ada orang terpeleset jatuh ke sumur di tengah malam buta" Maka dari itu
akupun aku pun membantunya dengan mendorong tubuh perempuan itu ke dalam sumur, urusan
pun beres dan tugas selesai"
"Bagus sekali cara kerjamu, sayang ada satu hal yang tidak bagus."
"Yang maas?"
"Kau salah membunuh"ujar Hoa Suya, "kemarin malam Ji Giok sudah balik ke rumah bordil Gi
Hong, dia malah menemani aku minum dua cawan arak"
Si Botak tertegun.
Kembali Hoa Suya berkata sambil tertawa,"Padahal salah bunuh satu dua orang juga tak
masalah" Si Botak ikut tertawa.
"Tentu saja tak jadi soal, hari ini aku akan ke situ lagi, kujamin kali ini tak bakal salah
membunuh" "Kalau begitu, aku pun bisa berlega hati" kata Hoa Suya sambil tersenyum, kepada kacungnya
yang berusia paling banter lima belas tahunan itu, perintahnya, "Siau Yap Cu, berikan seribu tail
perak untuk toako ini"
Siau Yap Cu kecil tampan dan menyenangkan, apalagi sewaktu keluar uang untuk diberikan
orang lain, tak ada yang tidak girang dibuatnya.
Berkilauan sepasang mata si Botak, serunya penuh rasa girang:"Engkoh cilik, tampan betul
wajahmu!" Dia tidak menyelesaikan perkataan tersebut, karena dia hanya memperhatikan tangan Siau Yap
Cu yang menggenggam uang kertas.
Siau Yap Cu masih mempunyai sebuah tangan lagi, dalam genggaman tangan itu dia
memegang sebilah pisau.
Biarpun pisau itu amat pendek, namun bila titik kematian orang yang tertusuk, sama saja tetap
bisa mencabut nyawa seseorang.
Siau Yap Cu cukup menyodokkan pisau pendek itu dengan ringan, pinggang si Botak seketika
tertusuk telak.
Pisau pendek itu menancap sangat dalam, yang tertinggal diluar hanya gagangnya saja.
Kematian yang menimpa si Botak tak akan memancing perhatian siapa pun, karena dia
memang tak pantas diperhatikan. Karena dia seorang pembunuh, seorang pembunuh bayaran.
Orang yang bekerja sebagai pembunuh, tak urung akan mampus juga di ujung pisau orang
lain. Biarpun kadangkala hanya pisau pendek yang berada ditangan seorang bocah, kadangkala
berasal dari pisau pembunuh ditangan musuh, tapi situasi yang paling cocok biasanya adalah pisau
yang berada di tangan seorang algojo.
0-0-0 Lian Koh telah mati, mati di dasar sumur.
Siapa pun tak ada yang menyangka, dia mati lantaran salah sasaran.
Dia tak punya musuh, terlebih mati lantaran dibantai musuhnya, jangankan orang lain, kedua
orang tua nya pun mengira dia bunuh diri ke dalam sumur lantaran tak bisa menerima kenyataan.
Sudah barang tentu Yu Lo Sianseng dan bininya tak akan mengemukakan perkataan semacam
itu di hadapan Nyo Cing.
Kini Nyo Cing sedang sakit, dia pun sudah ketimpa musibah dan masalah besar, ke dua orang
suami istri tua ini tak ingin melukai perasaan hatinya lagi.
Mereka bahkan khusus mengundang tabib untuk mengobati sakitnya Nyo Cing, ketika obat
telah selesai dimasak dan dihantar ke kamarnya, Nyo Cing sudah tak nampak lagi batang
hidungnya, dia hanya tinggalkan dua keping uang perak serta selembar surat perpisahan.
"Uang itu untuk ongkos penguburan Lian Koh, anggap saja sebagai rasa duka citaku yang
mendalam. Dalam dua hari ini mungkin iku akan pergi jauh, tapi aku janji akan segera kembali,
kalian jangan kuatir"
Memegang uang dan surat itu sembari memandang suasana hening diluar halaman rumah,
kedua orang suami istri itu terasa terharu dan amat murung.
Pelan pelan mereka berjalan keluar , lalu duduk di bangku batu dibawah pohon yang rindang.
Memandang kuntum bunga yang berguguran, tiada air mata yang bercucuran diwajah mereka.
Saat ini mereka teramat sedih, namun tiada air mata yang bisa bercucuran.
0-0-0 Hari sudah lama terang tanah, kakek Thio masih berbaring bermalas malasan diatas ranjang.
Dia tahu sudah saatnya untuk menyiapkan sayur asin dan bakpao. kalau tidak, mungkin ia tak
dapat berjualan hari ini.
Kenapa tiap pagi dia mesti bangun pagi pagi" Kenapa hari hari dilewatkan dalam penderitaan
dan kelelahan yang berkepanjangan" Hidup manusia begitu pendek waktunya, mengapa tak bisa
tidur sesaat Iagi"
Akhirnya dia tetap bangun, karena tiba tiba dia teringat mungkin teman teman rudinnya yang
saban hari akan makan bakmi di kedainya.
Tempat ini bukan saja murah, orang boleh berhutang, jika tak bisa makan di tempat itu,
kemungkinan besar mereka akan kelaparan.
Kehidupan seorang manusia bukan hanya lantaran diri sendiri, banyak orang di dunia ini hidup
demi orang lain, jika kau sudah memikul beban itu, janganlah ditinggalkan tanggung jawab
tersebut begitu saja.
Dalam hati kecilnya kakek Thio hanya bisa mengeluh dan menghela napas panjang.
Barus saja dia membuka pintu kedai, dilihatnya Nyo Cing sudah menerjang masuk ke dalam,
sorot matanya yang selama ini bersinar kini sudah memudar dan sangat layu, bahkan kentara
sekali pucat pasi merah darahnya, dia kelihatan jelek dan sangat mengerikan.
"Kau sakit" teriak kakek Thio, "kenapa tidak tiduran di rumah saja dan beristirahat berapa
hari?" "Aku tak bisa beristirahat, karena ada berapa masalah harus kuselesaikan dengan segera"
Tentu saja kakek Thio memahami perkataan itu, gumamnya sambil menghela napas
panjang,"Yaa, betul! Ada sementara orang memang selama hidup tak bisa beristirahat dengan
tenang" Nyo Cing pergi ke dapur dan mengambil sendiri enam buah mangkuk besar kemudian
dijajarkan diatas meja.
"Penuhi semua mangkuk itu dengan arak paling keras, aku minta arak keras yang bisa
menyayat badan" katanya, "dengan minum arak macam begitu, tenaga ku baru akan pulih
kembali" Kakek Thio memandangnya dengan terkejut bercampur keheranan.
"Kau sedang sakit parah, kenapa malah minum arak keras" Kau pingin mampus?" tegumya.
Nyo Cing tertawa getir.
"Jangan kuatir, aku tak bakal mati, karena sekarang aku belum boleh mati"
Sekali lagi kakek Thio menghela napas panjang.
"Yaa, kau tak beleh mati, aku pun tak boleh mati, biarpun kita ingin mati juga tak boleh
kesampaian"
Enam mangkuk besar arak keras Yau To Cu ditenggak Nyo Cing sekaligus hingga ludas, sekujur
tubuhnya segera terasa panas bagai terbakar.
Angin diluaran berhembus sangat kencang, dia menerjang keluar sambil melawan angin,
dibukanya baju bagian dadanya lebar lebar dan mengayunkan langkahnya dengan tegak, biar
peluh membasahi tubuhnya dia tak perduli, angin dingin yang menerpa keringat di dadanya
mendatangkan rasa yang amat menyayat, tapi dia pun tak perduli.
Suasana dalam kota sudah mulai ramai, banyak orang menyapa nya, dengan membusungkan
dada dia hanya tersenyum dan mengangguk.
Mula mula dia datangi kantor bupati lalu bersujud tiga kali dihadapan Him Tayjin.
"Sekarang aku akan berangkat menelusuri kasus ini, dalam sepuluh hari aku pasti akan balik
kemari, biar aku mati pun pasti ada orang yang menggotong balik jenasahku, aku hanya berharap
Tayjin jangan susahkan saudara saudaraku yang lain"
Him Tayjin tidak menjawab, dia melengos ke arah lain agar bowahannya tak sempat
menyaksikan sepasang metanya yang berkaca kaca dan nyaris air matanya jatuh berlinang, lewat
lama kemudian dia baru berkata.
"Pergilah!"
Keluar dari kantor pemerintahan, Nyo Cing pergi ke rumah pegadaian dan menggadaikan
sepasang anting mutiara dan sebatang tusuk konde emas peninggalan ibunya yang disiapkan
sebagai uang mahar dengan nilai lima belas tahil lima rance uang perak.
Barang barang itu adalah barang pesalinan ibunya ketika nikah dengan keluarga Nyo,
sebetulnya dia enggan menggunakan benda itu biar harus mati kelaparan sekalipun, tapi sekarang
dia sudah kehabisan bekal, sisa uang tabungannya telah diserahkan keluarga Yu untuk biaya
penguburan Lian Koh.
Dengan uang satu tahil perak dia beli dua guci arak dan sepotong daging babi lalu suruh orang
mengirimnya ke dalam penjara, diberikan kepada saudara saudara seprofesinya yang ikut ditahan
gara-gara kasus tersebut, kemudian dengan membagi dua sisa uang empat belasi tahil yang ada,
dia serahkan kepada bini lo-The dan ibu Siau Hau Ji.
Dia tak tega bertemu dengan mereka, diapun tak berani ke situ, kuatir mereka akan menangis
sejadinya bila saling bersua muka.
Kemudian dia gunakan sisa uang yang lima rence untuk membeIi empat puluh biji kueh keras
serta sedikit sayur asin, dibungkusnya ransum itu ke dalam buntalan lalu diikat kencang di
pinggangnya, sedang sisa uang yang tinggal tak seberapa digunakan untuk membeli arak yang
paling murah. Sebenarnya dia tak ingin minum lagi, tapi pada saat itulah dia jumpai Tio Ceng dan Ong Ceng
Hui sedang berdiri di muka rumah penginapan Gwe Ping dan bercakap-cakap dengan seorang
kongcu muda berbaju putih.
Sebuah kereta kuda yang sangat mewah berhenti di luar rumah penginapan, kongcu perlente
iut seperti sudah siap naik ke kereta untuk pergi dari situ.
Sikapnya terhadap Tio Ceng maupun Ong Ceng Hui amat sungkan, tapi diatas selembar
wajahnya yang anggun dan pucat itu seolah terlintas perasaan gundah serta tak sabaran, jelas dia
tak pernah menganggap kedua orang itu sebagai sahabatnya.
Menyaksikan semua itu, Nyo Cing segera menenggak habis dua guci arak yang sebenamya tak
ingin diminum itu.
Ti Cing Ling memang benar benar sudah habis kesabarannya, dia ingin ke dua orang itu segera
mengakhiri pembicaraan agar dia bisa pergi dari situ.
Tapi rupanya Tio Ceng yang baru diperkenalkan Ong Ceng Hui kepada Ti Cing Ling masih
mengoceh tiada habisnya, malah dia paksa tamunya mau tinggal sejenak lagi untuk makan
bersama. Pada saat itulah mendadak dari ujung jalan lain muncul seorang pemuda berbaju kusut yang
penuh berbau arak, sambil menerjang datang dia menegur keras:
"Apa kau bernama Ti Cing Ling?"
Belem sempat dijawab, Tio Ceng sudah menghardik dengan suara nyaring:"Nyo Cing, berani
amat kau bersikap kurang ajar terhadap Ti Siauhouya?"
"Terhadap siapa pun aku selalu bersikap begini" sahut Nyo Cing sambil tertawa, "kau minta aku
bersikap bagaimana" Bersujud sambil menjilati kakinya?"
Berubah hebat paras muka Tio Ceng saking jengkelnya, tapi mengingat kedudukan serta
jabatannya sekarang, dia merasa tidak leluasa untuk mengumbar hawa amarah.
Beda dengan Ong Ceng Hui, dia tak ambil perduli soal itu, katanya sambil tertawa
dingin:"Komandan Nyo, bicara dari statusmu. rasanya kau belum pantas untuk bicara dengan
Siauhoya, cepat gelinding pergi dari situ!"
"Aku tak pandai bergelinding"
"Tidak bisa pun tetap harus bergelinding, kalau tidak mampu, biar kuajari"
Kembali Nyo Cing tertawa, tiba tiba dia ayunkan telapak tangannya menampar wajah Ong Ceng
Hui. Menghadapi serangan tersebut, Ong Ceng Hui tertawa dingin, menggunakan gerakan Siau Ki
Na Jiu Hoat (ilmu Cengkeraman) dia cekal pergelangan tangan Nyo Cing.
Di dalam bayangannya, lawan cuma seorang opas dusun, biar dihadapi dengan mata
terpejampun sudah lebih dari cukup, maka dia berniat akan memberi sedikit pelajaran kepada
lawannya agar tahu diri.
Siapa sangka belum sempat dia melepaskan cengkeraman kepalan kiri Nyo Cing sudah
menghajar persis diatas lambungnya.
Sodokan itu sangat keras dan bersarang telak.
Saking sakitnya hampir saja Ong Ceng-hui tumpah tumpah karena mual, untung ilmu silatnya
yang sudah dilatih belasan tahun bukan latihan yang sia sia, apalagi nama besarnya sebagai Po Be
Kim To (Kuda Mestika Golok Emas) juga tidak diperoleh secara untung untungan, dia berhasil
menahan diri. Dalam pada itu, Nyo Cing ingin gunakan kesempatan itu untuk meronta lepas dari cekalan
lawan, sayang usahanya gaga!, tenaga cengkeram dari Ong Ceng Hui memang tak bisa dipandang
enteng. "Kau tahu, di dunia ini ada dua jenis manusia yang tak boleh dihajar" katanya, "pertama adalah
orang yang memiliki kungfu lebih ampuh darimu, dan kedua adalah orang macam aku"
"Menghajar petugas negara bisa dituntut dimuka pengadilan"
"Hmm, manusia macam kau masih belum pantas untuk menuntutku di muka pengadilan" teriak
Ong Ceng Hui teramat gusar.
Kini kekuatan tenaganya telah pulih kembali, setiap jurus ilmu "Jit Cap Ji Lok Sian Ki Na (72
jurus ilmu Cengkeraman Maut) yang dilancarkan hampir semuanya mengancam persendian serta
jalan darah mematikan ditubuh lawan.
Nyo Cing tahu bahaya yang mengancam, namun dia tak ambil perduli.
Dalam posisi seperti ini, dia masih sanggup untuk beradu jiwa.
Selama ini Ti Cing Ling hanya mengawasi terus tingkah laku ke dua orang itu dengan
pandangan dingin, tiba tiba dia berkata sambil tertawa dingin"Akupun tak akan menggelinding,
bila menggelinding itu asyik rasanya, Ong tong Piautau, lebih baik kau ajari aku"
Berubah paras muka Ong Ceng Hui, ditatapnya Ti Cing Ling dengan pandangan terkesiap, lalu
teriaknya:"Siau Hoya, kau lupa, aku inilah sahabatmu?"
Kembali Ti Cing Ling tertawa hambar.
"Kau bukan sahabatku" nada suaranya amat datar, "kalian berdua semuanya bukan sahabatku"
Tiba tiba dia menarik tangan Nyo Cing dan menambahkan:"Ada urusan apa kau mencariku"
Mari kita bicara dalam keretaku saja"
Waktu itu, sebenamya pergelangan tangan Nyo Cing telah dikunci oleh ilmu Ki Na hu yang
dilancarkan Ong Ceng Hui, tapi begitu Ti Cing Ling turun tangan, tidak nampak gerakan apapun
yang dilakukan, tahu tahu Ong Ceng Hui sudah mundur tiga Iangkah dengan sempoyongan,
cekalannya langsung terlepas.
Kejadian ini bukan saja mengejutkan hatinya, dia pun dibuat tertegun, keheranan bercampur
takut, hingga kereta kuda itu lenyap dari pandangan, dia baru bertanya kepada Tio Ceng dengan
perasaan bingung:"Kenapa dia bersikap begitu terhadapku?"
"Tentu saja dia boleh bersikap begitu, apa pun sikapnya kita harus bisa menerimanya, bukan
terhadap kau saja, terhadap aku pun dia bisa berbuat begitu" kata Tio Ceng dengan suara dingin,
"karena bukan cuma kungfu nya yang lebih hebat ketimbang kita berdua, dia adalah seorang
bangsawan kelas satu, keturunan bangsawan termashur"
"Memangnya kita tak mampu menghadapinya?"
"Tentu saja mampu"
"Tapi bagaimana caranya?"
"Tuduh dia dan gigit dia kuat kuat!"
0-0-0 Kereta kuda bergerak ke depan, nyaman legi tenang. Menggunakan sorot mata yang halus dan
lembut Ti Cing ling sedang mengawasi Nyo Cing.
"Aku pernah mendengar tentangmu, aku tahu kau adalah seorang lelaki ulet berhati baja" kata
Ti Siau Hoya, "tapi aku belum pernah melihat caramu turun tangan, demi menghajar orang
tersebut, ternyata kau tak segan membiarkan jalan darah pentingmu tercekal"
"Kau belum pemah melihat gerakan tersebut?"
"Sama sekali tak pernah"
"Aku pun tak pernah menjumpai" kata Nyo Cing, "baru pertama kali ini kugunakan jurus
tersebut, karena gerakan itu muncul disaat itu, memang kungfu macam begitulah yang kulatih
selama ini"
"Kungfu macam begitu kadangkala memang sangat berguna" kata Ti Cing Ling sambil
tersenyum. "Darimana kau pernah mendengar tentang aku" Dari Si Si?" tiba tiba Nyo Cing bertanya,
"Yaa, dari dia!"
"Di mana orangnya sekarang?"
"Sudah pergi" nada ucapan Ti Cing Ling mengandung perasaan sayang yang amat dalam, "bila
seorang wanita ingin pergi, keadaannya persis seperti hujan yang turun secara tiba tiba, siapa pun
tak bisa menghalanginya"
"Kau tahu, dia pergi dengan siapa" Tahu ke mana dia pergi?"
Ti Cing Ling menggeleng.
"Sampai hari ini aku sama sekali tak tahu apa apa, perasaan wanita memang sulit diraba kaum
lelaki" katanya sambil tertawa hambar, "seperti juga perasaan kaum lelaki, perempuan pun tak
bisa merabanya"
Nyo Cing termenung sambil berpikir lama sekali, tiba tiba serunya"Aku pun harus pergi, selamat
Kait Perpisahan Serial 7 Senjata Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tinggal" Dia benar-benar pergi dari situ, begitu selesai bicara, dia buka pintu kereta dan melompat
keluar. Kereta kuda masih bergerak dengan kecepatan sedang menuju ke depan. Ti Cing Ling duduk
tenang dalam ruang kereta, wajahnya yang memang jarang berubah kini muncul suatu perubahan
mimik muka yang sangat aneh.
Pada saat itulah dari bawah ruang kereta tiba tiba menyusup masuk seseorang dengan gerakan
yang lincah, dia langsung menerobos masuk lewat jendela kereta itu.
Orang itu mengenakan jubah berwarna abu abu, tangannya menggenggam sebuah tongkat
terbuat dari bambu hijau, dia tak lain alalah Ku Bok Sin Kiam (Padang Sakti Mata Buta) lng Bu Ok.
Walaupun menyaksikan orang itu menerobos masuk ke dalam mang kereta secara tiba tiba, Ti
Cing Ling sama sekali tidak tercengang atau keheranan, dia seolah sudah tahu akan kehadirannya,
dia hanya menegur."Apakah Lan Toa Sianseng sudah mati diujung pedangmu?"
'Belum" jawab lng Bu Ok, "aku sama sekali belum bertarung melawannya"
"Kenepa?"
"Gara-gara orang tadi"
"Nyo Cing?" Ti Cing Ling mengerutkan dahi, "bila kau ingin membunuh, masa seorang opas
macam dia dapat menghalangi?"
"Kali ini kau salah menilai orang, Nyo Cing bukan orang yang sederhana seperti apa yang kau
bayangkan"
"Oya?"
"Sekalipun jurus serangannya semrawut tak pakai aturan, tapi dia memiliki dasar tenaga dalam
yang amat bagus, pasti bukan manusia tanpa asal usul yang jelas" kata lng Bu Ok sambil
tersenyum, "Aku pernah bertarung melawannya, dia tak bisa mengelabuhi aku"
Setelah berhenti sejenak, lanjutnya, "Ketika Lan It ceng ingin menerimanya sebagai murid,
temyata dia tolak mentah mentah tawaran itu, coba pikirlah, mengapa dia harus menolak?"
Ti Cing Ling termenung sampai lama sekali, kemudian baru jawabnya"Apakah lantaran ilmu silat
alirannya tidak berada dibawah ilmu pedang Lan Toa Sianseng?"
"Benar!"
"Kenapa dia tak pernah gunakan ilmu silat perguruannya?"
"Karen dia tak ingin orang lain mengetahui anal usulnya"
"Menurut pendapatmu, darimana asal usulnya?"
Sekali lagi Ing Bu Olu termenung, lama kemudian baru sahutnym"Sejak pandangan pertama
aku sudah merasa dia mirip sekali dengan seseorang"
"Pandangan pertama?" mana mungkin orang buta bisa melihat seseorang" Biarpun hatinya
bermata, mustahil dia dapat melihat jelas wajah seseorang.
Kejadian ini memang sangat aneh, tapi tidak aneh bagi Ti Cing Ling, tak tahan tanyanya"Dia
mirip siapa?"
"Mirip sekali dengan Nyo Heng, watak, wajah maupun tingkah lakunya mirip sekali"
"Nyo Heng?" seru Ti Cing Ling, "kau maksudkan si Perampok ulung Nyo Heng yang pernah
malang melintang dalam rimba hijau dan membunuh orang seperti membabat rumput itu"'
"Benar"
Kelopak mata Ti Cing Ling segera berkerut kencang.
"Jadi kau mengira dia besar kemungkinan adalah keturunan dari Nyo Heng?"
"Besar kemungkinan begitu"
lng Bu Ok memutar matanya sambil membalik putih matanya ke atas, tiba tiba muncullah mata
yang bentuknya jauh lebih kecil dari orang biasa, namun memancarkan cahaya yang amat tajam.
Ternyata dia tidak buta.
Ku Bok Sin Kiam si pedang sakti bermata buta lng Bu Ok ternyata bukan seorang buta.
Inilah rahasia terbesamya sepanjang hidup, dia berhasil membohongi hampir seantero manusia
di bumi ini, tapi die gagal membohongi Ti Cing Ling.
Mengapa dia biarkan Ti Cing Ling mengetahui rahasia itu"
Apa hubungan yang terjalin antara seorang jago pedang yang selalu mengembara di kolong
langit dengan seorang bangsawan kaya yang lahir dari keluarga kenamaan"
Sepasang tangan Ti Cing Ling menggenggam kencang, waktu dia sudah memegang pisau
tipisnya yang dapat membunuh orang tanpa bersuara itu.
lng Bu Ok menatapnya tajam, lama kemudian dia baru bertanya, sepatah demi sepatah,
"Apakah perempuan yang bemama Si Si itu sudah mati" Kau telah menghabisi nyawanya?"
Ti Cing Ling menolak untuk menjawab.
Ing Bu Ok menghela napas panjang, kembali biji matanya membalik, sorot mata yang tajam
bagai sayatan pisau itu kembali lenyap tak berbekas, dia berubah jadi orang buta lagi.
"Bila kau telah membunuh perempuan itu, lebih baik bunuh juga Nyo Cing" kata Ing Bu Ok
kemudian, "sebab selama dia masih hidup, kau tak akan dilepaskan begitu saja, cepat atau lambat
rahasia itu pasti akan terbongkar juga"
Setelah berhenti sejenak, lanjutnya dingin:"Dalam menghadapai persoalan seperti ini, kau tak
bisa mengandalkan orang lain untuk melakukannya bagimu"
Kembali Ti Cing Ling termenung sampai lama sekali, tiba tiba dia berteriak kepada si kusir
kereta:"Kita segera balik"
Kusir itu belum lama disewanya.
Sebab kusir yang lama ditemukan mati tenggelam di telaga Tay beng Ouw gara gara mabuk
berat, itu terjadi setelah hilangnya Si Si.
0-0-0 Pikiran Lu Siok Bun amat kacau.
Seorang wanita kesepian yang telah berusia tiga puluh tahun, pikiran dan perasaan hatinya
kerap akan kacau secara mendadak tiap kali senja menjelang tiba.
Disaat pikirannya paling kalut itulah mendadak Nyo Cing muncul disitu, kata pertama yang
diucapkan adalah:"Aku ingin tunjukkan sebuah benda padamu, coba lihatlah benda itu milik
siapa?" Nyo Cing membuka kepalan tangannya, dalam genggaman itu terletak sebuah potongan kuku
jari tangan manusia.
Kuku berwama merah
0-0-0 Bab 5. Sembilan ratus kati beras.
Kuku jari tangan itu dicat merah dengan cairan bunga Hong Sian Hoa yang disuling secara
khusus, warna merahnya amat cerah dan menyala.
Namun, begitu melihat kuku tangan itu, paras muka Lu Siok Bun segera berubah jadi pucat pias
bagai mayat. Dia rampas kuku itu dari tangan Nyo Cing, kemudian mengamatinya sampai lama sekali
dibawah cahaya lentera yang baru saja disulutnya.
Tiba tiba tangannya gemetar keras, sekujur badannya ikut gemetar, dia putar badan dan
bertanya kepada pemuda itu, "Darimana kau dapatkan benda ini?"
"Dari kereta milik Ti Cing Ling, benda itu benda di sela-sela karpet yang melapisi permukaan
kereta" Belum selesai dia bicara, air mata Lu Siok Bun telah jatuh bercucuran bagai hujan gerimis.
"Si Si sudah mati" katanya dengan air mata meleleh keluar, "sejak awal sudah kuduga, dia pasti
mati ditangan Ti Cing Ling"
"Kenapa kau begitu yakin?"
"Kuku ini milik Si Si, cat merah dari cairan Hong Sian Hoa itu pemberianku, aku masih dapat
mengenalinya" kata Lu Siok Bun sambil menangis, "Si Si selalu memelihara kukunya dengan baik,
kalau tidak terjadi apa apa, mana mungkin kukunya bisa terputus dan tertinggal di kereta Ti Cing
Ling?" Paras muka Nyo Cing mulai memucat, pucat seperti wajah perempuan itu.
"Seorang Ielaki bangsawan macam Ti Siau Hou, kenapa begitu tega membunuh seorang wanita
yang patut dikasihani seperti Si Si?" gumamnya lirih, "apakah lantaran ada rahasia besar yang
telah diketahui oleh Si Si" Dengan status serta kedudukannya di dalam dunia persilatan, tidak
seharusnya dia punya rahasia yang memalukan"
Sesudah menghela napas, lanjutnya,"Tapi seandamya dia benar benar telah membunuh Si Si,
kita pun tak bisa berbuat apa apa"
"Kenapa?" tangis Lu Siok Bun semakin menjadi.
"Karena kita tak punya bukti, tak punya saksi"
"Kau harus bantu aku selidiki kasus ini hingga tunas" pinta Lu Siok Bun sambil menggenggam
tangan Nyo Cing erat-erat, "aku mohon, kau harus bantu aku mengungkap tabir kematiannya"
Tangannya amat dingin begaikan es, tangan Nyo Cing juga lebih dingin dari salju.
"Sebenarnya selama ini aku hanya curiga" kata Nyo Cing 'tetapi sekarang, aku betul-betul
sudah mengerti"
"Apa yang kau curigai" Apa yang kau pahami?"
"Semalam Lian Kou mati tenggelam dalam sumur. Dia adalah seorang gadis yang saleh dan
baik hati, tak akan ada yang membunuh karena dendam, bahkan orang tua nya pun mengira dia
mati lantaran bunuh diri, tapi aku tetap curiga, karena waktu itu dia sedang merawatku, tak
mungkin disaat aku sedang sakit parah, dia terjun ke sumur bunuh diri"
Setelah berhenti sejenak, tambahnya,"Biarpun waktu itu keadaanku tidak baik, tapi lamat lamat
aku sempat mendengar jeritan kesakitannya yang memilukan hati."
Bila seseorang hendak menghabisi nyawa sendiri, tak mungkin dia akan mengeluarkan jeritan
yang begitu ngeri dan menyayat hati.
"Jadi kau menganggap dia mati lantaran dibunuh?" tanya Lu Siok Bun.
"Benar"
"Tapi siapa yang begitu tega membantai gadis sesaleh dan sebaik itu?"
"Seseorang yang sebetulnya ingin membunuhmu" sahut Nyo Cing dengan suara penuh amarah,
kebencian dan rasa dendam yang membara, "dia tahu kau berada di rumahku, maka ketika
melihat Lian Koh keluar dari kamarku, dia mengira Lian Koh sebagai dirimu"
"Mengapa dia hendak membunuhku?"
"Karena kau telah mencurigai Ti Cing Ling" jawab Nyo Cing.
"Karena itu kau tak boleh tetap tinggal disini, sebab Ti Cing Ling pasti tak akan biarkan kau
hidup, sekali gagal membunuhmu, pasti ada kedua kali dan, ketiga kalinnya?"
Ditatapnya wajah Lu Siok Bun lekat lekat, kemudian tambahnya, "Kau harus pergi bersamaku,
tinggalkan segala sesuatu yang ada disini dan pergi bersamaku, aku tak boleh membiarlcan siapa
pun mencelaki jiwamu"
Sorot matanya begitu serius dan penuh permohonan, menandakan betapa tulus dan
mendalamnya perasaan cinta terhadapnya.
Lu Siok Bun segera menyeka kering air matanya, setelah mengambil keputusan dia menyahut.
'Baik, aku pergi bersamamu, terserah mau pergi ke mana pun, aku akan selalu menguntilmu"
PerasaanNyo Cing terasa hancur lebur.
Parasaan cinta yang merasuk hingga ke tuIang sumsum, sama menghancur Ieburkan perasaan
hati seseorang persis seperti sebuah penderitaan, entah bagaimana yang terjadi, tahu tahu ke dua
orang itu telah saling berpelukan dengan mesrahnya
Baru pertama kali ini mereka berpelukan dengan mesrah.
Semacam tenaga tekanan yang datang dari Iuar, seringkali dapat menghancurkan "sekat" yang
memisahkan dua orang lawan jenis yang sesungguhnya saling mencintai namun karena sesuatu
hal tak bisa saling mencurahkan perasaan hatinya, tapi begitu sekat tersebut hilang, perasaan
mereka berdua justru tumbuh dan berkembang semakin mendalam.
Dalam waktu singkat, mereka seolah-olah sudah melupakan segala sesuatunya, melupakan
semua kegundahan, penderitaan, kebencian sera perasaan sedih yang Iuar biasa.
Keadaan seperti ini tidak berlangsung tertalu lama.
Pada saat itulah, tiba tiba terdengar seseorang mengetuk pintu.
Seorang bocah lelaki berusia 12-13 tahunan yang berwajah putih bersih, tampan dan polos
telah berdiri di depan pintu, dengan sikap yang amat hormat dia menjura kepada Lu Siok Bun
yang sedang membukakan pintu.
"Aka datang mencari seorang nona yang bemama Ji Giok"
"Akulah Ji Giok" sahut Lu Siok Bun, "ada urusan apa mencari aku?"
Seandainya tidak berada datam situasi seperti itu, mungkin saja dia sudah tartawa lantaran
geli, selama ini banyak sekali lelaki dari pelbagai jenis lapisan masyarakat datang mencarinya,
mulai dari yang muda hingga kakek berusia tujuh-delapan puluh tahunan, tapi beIum pernah ada
bocah sekecil itu datang mencarinya.
Mimpi pun dia tak menyangka bocah itu datang bukan untuk mencarinya, melainkan hendak
mencabut nyawanya.
"Aku bernama Siau Yap Cu" bocah lelaki itu memperkenaIkan diri sambil tertawa cekikikan,
"banyak orang bilang nona Giok selain pintar juga amat cantik, ternyata mereka tidak
membohongi aku"
Ketika memperkenalkan namanya tadi, diam-diam dia telah meloloskan sebilah pisau tajam,
sebilah pisau yang belum pernah meleset bila digunakan untuk membunuh seseorang.
Tapi kali ini dia meleset.
Baru saja pisaunya di tusukkan ke atas, mendadak terdengar suara membentak gusar sambil
menyerbu ke depan.
Sebuah tonjokan tinju yang keras langsung menohok biji tenggorokannya.
Seorang bocah kecil yang baru berumur tiga belas tahu, mana mungkin mempunyai biji
tenggorokan"
Sebaliknya Siau Yap Cu sendiri pun tidak mengira kalau dari dalam rumah kediaman seorang
pelacur bisa muncul seorang lelaki dengan serangan yang begitu cepat lagi kuat.
Tapi dia tak sampai gugup, dia pun tidak dibuat kalut oleh tonjokan maut itu.
Dia datang khusus untuk membunuh orang, karena itu biarpun dalam keadaan dan situasi
perubahan seperti apa pun, dia tetap harus laksanakan tugas tersebut.
Sebagai seorang pembunuh yang terlatih, tentu saja dia tak melupakan wejangan itu.
Badannya berputar bagai gangsingan, begitu lolos dari sodokkan tinju Nyo Cing, dia berbalik
tangan menusuk belakang tengkuk Lu Siok Bun.
Kali ini babatan pisaunya tidak me1eset, diantara kilatan cahaya senjata mata pisau sudah
menembusi daging seseorang, daging bagian bawah bahu.
Bukan bahu miIik Ji Giok, tapi bahu itu miIik Nyo Cing.
Tiba-tiba saja Nyo Cing menerjang maju ke depan, menyambut datangnya tusukan pisau itu
dengan bahunya kemudian menarik otot dan dagingnya kuat kuat.
Mata pisau seketika terjerumus ke dalam daging badan yang lebih keras daripada baja. Siau
Yap Cu terkejut bercampur girang, dia tidak tahu apakah serangan itu berhasil atau tidak karena
selama ini belum pernah menjumpai situasi macam begini.
Pada saat itulah telapak tangan Nyo Cing yang kuat bagai besi sudah membabat persis diatas
tenggorokannya.
Sepasang biji matanya melotot keluar bulat-bulat, memandang Nyo Cing dengan perasaan
terkesiap. Menyusul kemudian tubuhnya roboh terkuiai ke tanah, roboh untuk selama-lamanya.
Buru buru Nyo Cing cabut keluar pisau pendek itu dari bahunya, lalu merobek pakaiannya untuk
membalut luka dibahu, setelah menghentikan cucuran darah, dia tarik tangan Lu Siok bun sambil
bisiknya,"Kita segera pergi"
Dengan wajah berubah Lu Siok Bun meronta melepaskan diri dari cekalan pemuda itu,
teriaknya,"Kau pergilah seorang diri!"
"Kenapa?" Nyo Cing melengak.
"Bagaimana pun juga dia masih seorang bocah, kenapa kau begitu tega membunuhnya?" tegur
Lu Siok Bun ketus, "aku tak sudi hidup bersama seorang lelaki berhati telengas semacam kau"
Nyo Cing tahu dia sedang marah, bila dia sudah menganggap sesuatu itu benar, mau dijelaskan
dengan perkataan apa pun tak ada gunanya.
Karena itu terpaksa dia harus gunakan fakta untuk menjelaskan hal ini.
Tiba tiba dia tarik lepas celana Siau Yap Cu hingga telanjang bulat, kemudian serunya,"Coba
kau periksa, dia seorang bocah atau bukan"
Dengan perasaan terkejut bercampur heran Lu Siok Bun awasi "si bocah" milik Siau Yap Cu,
siapa pun yang menyaksikan "hwesio" milik orang itu pasti akan tahu kalau dia sudah bukan anak
anak lagi. Bentuk serta tampilan "bocah" milik Siau Yap Cu jelas sudah sangat matang dan amat dewasa.
"Darimana kau tahu kalau dia sudah bukan seorang bocah?"
"Karena tenggorokannya sudah berbiji, cara memakai pisau pun sangat terlatih dan matang"
jelas Nyo Cing, "sejak awal aku sudah tahu kalau dalam dunia persilatan terdapat manusia macam
dia, bahkan bukan hanya satu orang"
"Manusia macam apa dia itu?"
"Mereka adalah orang orang cebol yang memang sengaja dikendalikan pengembangan
badannya dengan menggunakan obat, sejak kecil sudah dilatih menjadi seorang alat pembunuh
manusia yang tangguh, karena dalam makanan yang disantapnya setiap hari dicampuri obat awet
muda maka kulit dan wajah mereka selamanya tak pernah jadi tua, sampai kapan pun penampilan
mereka tetap bagai seorang bocah"
Setelah berhenti sejenak, kembali dia menambahkan, "Bahan obat itu mahal sekali harganya,
karena itu harga yang ditawarkan mereka sebagai upah pembunuh sangat tinggi dan mahal,
kecuali bangsawan kaya raya macam Ti Cing Ling, tak banyak yang mampu menyewa mereka"
Tangan dan kaki Lu Siok Bun mulai mendingin, dia benar benar bergidik.
Mau tak mau dia harus mempercayai perkataan Nyo Cing, jangankan manusia, banyak pohon
bongsai yang dikerdilkan orang dan terbukti memang selamanya tak dapat tumbuh jadi tinggi dan
besar. Tentu saja manusia berbeda dengan pepohonan.
"Siapa yang begitu kejam" Siapa yang begitu tega menggunakan cara yang begitu keji untuk
mengerdilkan sekelompok anak-anak?" tanya Lu Siok Bum
"Perkumpulan Cing Liong Pang (perkumpulan Naga Hijau) yang pernah kusinggung tempo hari,
mereka semua anggota Cing LiongPang dan biasanya menyamar sebagai kacungnya tokoh-tokoh
penting perkumpulan itu"
Tiba tiba Dia tertawa, dibelainya mulut luka dibahunya sambungnya, "Untung saja
pertumbuhan orang orang itu sudah dikendalikan sejak kecil hingga kekuatan tubuh mereka amat
terbatas, kalau tidak mungkin akupun tak berani menerima tusukan pisaunya"
Lu Siok Bun menghela napas panjang.
"Kadangkala aku tak habis mengerti, darimana kau bisa mengetahui begitu banyak persoalan"
Tampaknya tak ada tipu muslihat dalam dunia persilatan yang dapat mengelabuhi dirimu"
Sekilas perasaan hormat dan pedih menghiasi wajah Nyo Cing, lewat lama kemudian dia baru
berkata:"Aku tahu semua mengenai itu, karena ada seseorang yang mengajarkan kepadaku"
"Siapa yang mengajarkan kepadamu?"
Nyo Cing tidak menjawab lagi, dia lepaskan buntalan dari punggungnya, keluarkan daging dan
kueh keras dan diserahkan ke perempuan itu, kemudian dia sendiri jatuhkan diri berbaring sambil
memandangi bintang-bintang dilangit dengan termangu.
Apakah dia sedang memikirkan orang itu"
Kait Perpisahan Serial 7 Senjata Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Waktu itu malam sudah amat larut, keluar dari rumah bordil ln Hong Wan, mereka menelusuri
lorong kecil menuju ke luar kota, kini mereka sudah tiba dibawah sebuah bukit dengan mata air
yang jernih. Pengaruh arak ditubuh Nyo Cing telah luntur, anehnya sakit yang dideritanya seolah olah juga
ikut berkurang banyak, saat itu dia betul merasa amat lelah.
Dengan sorot mata penuh kasih sayang Lu Siok Bun mengawasinya, tak tahan dia ulurkan
tangan dan mulai membelai wajahnya yang kurus dengan penuh rasa cinta.
"Lebih baik tidurlah sebentar, bila terjadi sesuatu aku akan membangunkan kau"
Nyo Cing mengangguk dan mulai pejamkan matanya, dia seakan tidak perduli dengan suara
langkah manusia yang mulai terdengar di tanah perbukitan itu.
0-0-0 Langkah manusia itu lebih ringan daripada kucing, perlahan lahan berjalan mendekat melalui
tanah berumput, dua pasang mata yang tajam bagai serigala mengawasi terus tangan Nyo Cing
tanpa berkedip.
Ternyata yang datang adalah dua orang.
Nyo Cing tidak tidur, jantungnya sedang berdetak, berdetak sangat cepat.
Langkah kaki ke dua orang itu kelewat enteng, ilmu sitatnya pasti amat tangguh. padahal Nyo
Cing merasa amat lelah, dia sudah kehabisan tenaga.
Dia hanya bisa berharap kedua orang itu menyangka dia telah tidur dan menggunakan
kesempatan itu melancarkan serangan bokongan, dengan begitu dia baru punya peIuang untuk
menyergap mereka.
Tak disangka mereka segera menghentikan langkahnya di tempat yang amat jauh, bahkan
dengan suara lantang mulai berteriak:"Komandan Nyo, malam amat dingin, kau bisa masuk angin
jika tidur ditempat terbuka, mari ikut kami, akan kuhantar kalian ke suatu tempat yang sangat
nyaman" Tampaknya ke dua orang itu jaga gengsi, mereka enggan melancarkan serangan bokongan.
Nyo Cing merasa hatinya seakan tenggelam.
Manusia macam begini baru betul betul menakutkan, jika bukan seorang jago kelas satu yang
berilmu tangguh, tak mungkin mereka akan bersikap begitu.
Tak dapat disangkal mereka sudah begitu yakin bisa mencabut nyawa Nyo Cing, maka mereka
anggap tak perlu membokong secara licik.
Dibawah pohon Yang Liu dikaki bukit berdiri dua orang, mereka menggenggam dua jenis
senjata berkilauan yang aneh sekali bentuknya, menanti hingga Nyo Cing bangkit berdiri, mereka
baru berjalan menghampiri dengan langkah lambat, langkah kaki mereka enteng tapi mantap.
Ke dua orang itu sangat pandai menahan diri.
Dalam keadaan begini Nyo Cing harus berusaha mententeramkan hatinya, sambil menghadang
didepan Lu Siok Bun yang sudah ketakutan hingga kejang kejang, tegumya lantang:
"Siapa kalian?"
"Kalau kau pingin tahu, kami akan beritahu"
Mereka seperti tak kuatir Nyo Cing mengetahui rahasia mereka, karena orang mampus
memang tak bisa membocorkan rahasia apapun.
Dengan menggunakan suara yang sangat aneh mereka mengucapkan delapan patah kata, nada
suaranya penuh mengandung kesombongan serta rasa percaya diri, seakan akan orang pasti akan
ketakutan setengah mati setelah mendengar kata kata itu.
"Langit hijau bagai air"
"Naga terbang di angkasa"
Betul juga, begitu mendengar ke delapan patah kata itu, paras muka Nyo Cing seketika
berubah hebat. "Cing Liong Pang" Kalian anggota Cing Liong Pang?" tanya Nyo Cing kaget, "kenapa
perkumpulan Naga Hijau mencari aku?"
"Karena kami suka kau!"
Rekannya segera menimpali sambil tertawa seram:"Oleh sebab itu kami akan hantar kau
menuju ke suatu tempat yang selamanya tak bakal masuk angin, bahkan kami ijinkan kekasihmu
ikut berangkat bersama"
Nyo Cing mengepal tinjunya kuat kuat, perasaan hatinya amat sakit.
Dia masih punya nyawa untuk diadu, dia masih mampu untuk beradu jiwa, tapi bagaimana
dengan Lu Siok Bun"
Mendadak dari atas batang pohon Yang Liu dikaki bukit bergema suara tertawa seseorang yang
amat nyaring, menyusul kemudian dia berseru:"Dia tak pingin berangkat ke situ, lebih baik kalian
berdua saja berangkat duluan!"
Ke dua orang itu segera menyebarkan diri sambil membalikkan badan, gerakan tubuhnya
enteng lagi lincah, reaksinya amat cepat.
Mereka seperti melihat ada orang melayang diatas pohon dan berdiri diatas batang pohon itu,
namun tak nampak jelas paras mukanya.
Karena pada saat itulah ada sekilas cahaya pedang berwama biru yang amat menyilaukan mata
telah menerjang ke bawah dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat.
Menyusul gulungan cahaya pedang itu, suasana disekeliling bukit kembali jadi tenang, dua
orang pembunuh yang datang untuk membunuh orang, kini sudah roboh bersimbah darah.
"Kau?" teriak Nyo Cing terkejut bercampur girang.
Seorang lelaki berbaju biru bertopi lebar dari anyaman bambu sedang memandang ke arahnya
sambil bersandar dibatang pohon, senyuman lembut yang menghiasi wajahnya sama sekali tak
mengandung hawa pembunuh.
"Kenapa orang Cing Liong Pang mencari kau?" tanya Lan Toa Sianseng kemudian, "kesalahan
apa yang telah kau perbuat?"
"Aku tak pemah menyalahi mereka"
"Tidak mungkin, biarpun Cing Liong Pang sering membunuh orang, mereka tak pernah
membunuh tanpa alasan, jika kau tidak menyalahi mereka, tak mungkin mereka akan
mengusikmu"
Setelah termenung beberapa saat, Lan Toa Sianseng menambahkan,"Kecuali kau telah
mengetahui rahasia besar mereka"
Tiba tiba kelopak mata Nyo Cing menyusut kencang, dia seperti teringat akan satu hal tapi
untuk sementara waktu dia tak ingin mengungkap keluar.
Kembali Lan Toa Sianseng menghela napas, katany,`Aku rasa lebih haik kau pergi bersamaku,
kini Cing Liong Pang telah menetapkan kau sebagai target, di kolong langit saat ini mungkin hanya
aku seorang yang dapat menolong nyawamu"
"Terima kasih"
"Apa maksudmu berterima kasih" Mau " atau tidak mau?"
"Aku hanya ingin berjalan menurut suara hatiku sendiri, biarpun jalan itu jalan kematian, aku
tetap akan menjalaninya"
Menatapnya dengan pandangan tajam, Lan Toa Sianseng hanya bisa menggeleng sambil
tertawa getir. "Terhadap manusia macam kau, seharusnya aku biarkan kau mampus saja, tapi dikemudian
hari mungkin aku akan menolong mu lagi, sebab kau terlalu mirip dengan seseorang"
"Siapa?"
"Seorang teman yang pemah kukenal dulu" Lan Toa Sianseng seperti terbuai kembali dengan
kenangan lamanya, "biarpun dia tidak terhitung orang baik, tapi dia tetep sahabatku, selama
hidupnya dulu mungkin hanya akulah satu satunya sahabat yang dia miliki"
"Aku bukan sahabatmu, terlebih tak pantas menjadi sahabatmu" kata Nyo Cing cepat, "hari ini
kau telah menolongku, aku pasti akan mencari kesempatan untuk membayar hutang ini,
karenanya lain kali kau tak usah menolongku lagi"
Begitu selesai bicara dia segera tarik tangan Lu Siok Bun dan tanpa berpaling lalu berlalu dari
situ. Setelah berada ditempat yang amat jauh, Lu Siok Bun barn tak tahan untuk berkata:"Aku tahu,
kau pasti bukan manusia yang tak tahu diri, kenapa kau bersikap kasar terhadapnya" Apakah
lantaran kau tahu pengaruh serta kekuatan Cing Liong Pang sangat dahsyat hingga tak ingin
menyusahkan orang lain?"
Nyo Cing membungkam.
Lu Siok Bun menggenggam tangannya erat-erat, kembali ujarnya:"Apa pun yang terjadi, aku
sudah putuskan untuk selalu mengintilmu, biarpun jalan yang kau tempuh benar-benar adalah
jalan kematian, aku tetap akan mengikutimu"
Nyo Cing mendongakkan kepalanya memandang angkasa, melihat cahaya bintang yang
berkedip nun jauh di sana, dia menghela napas panjang.
"Kalau begitu kita pulang dulu" katanya.
"Pulang" Pulang ke mana?"
"Biarpun sekarang kita tak punya, tapi dikemudian hari kita pasti memiliki rumah sendiri"
Lu Siok Bun tertawa, dibalik senyuman terlintas perasaan cinta yang amat mendalam
"Dulu kita pemah jatuh cinta, kau punya satu rumah dan akupun punya sebuah rumah, tapi
dikemudian hari kita berdua hanya memiliki sebuah rumah"
Benar, dikemudian hari mereka hanya mempunyai satu rumah, bila mereka tak keburu mati,
mereka pasti mempunyai sebuah rumah.
Sebuah rumah yang penuh kehangatan dan kemesrahan.
0-0-0 Bukan seperti itu rumah milik Ti Cing Ling.
Mungkin dia sama sekali tak punya rumah, yang dia miliki hanya sebuah gedung raksasa yang
maha mewah, bukan sebuah rumah.
Gedung bangunan itu begitu besar, begitu luas dan begitu megah, namun selalu mendatangkan
perasaan dingin, sepi dan seram yang tak terlukis dengan kata, terutama jika malam telah tiba,
bahkan Hok congkoan si kepala rumah tangga pun tak berani seorang diri berkeliaran diseputar
halaman. Hok congkoan tidak bermarga Hok, dia dari marga Ti.
Ti Hok sudah puluhan tahun hidup dalam gedung keluarga bangsawan itu, di mulai sebagai
seorang kacung hingga naik pangkat menjadi seorang congkoan, sebuah karier yang tak gampang
untuk mencapainya.
Dia tabu Siau Hoya pulang bersama "Ing Sianseng", biarpun hingga kini dia belum bersua
dengan Ing Sianseng, namun dia tak bakal banyak tanya, dia memang tak berani bertanya.
Karena dia dapat merasakan, antara Siau Hoya dengan Ing sianseng pasti mempunyai suatu
hubungan yang sangat istimewa.
Dia tak ingin tahu hubungan istimewa macam apa yang terjalin diantara mereka berdua.
Sekalipun tahu, diapun akan berlagak bodoh, bahkan pasti akan berusaha untuk melupakannya
dalam waktu singkat.
Setiap pulang dari bepergian, Ti Cing Ling pasti akan meluangkan waktu hampir setengah
harian lamanya untuk menyambangi meja abu almarhum ibunya dan duduk termenung disitu,
disaat seperti ini, dia tak ingin diganggu siapa pun, tidak terkecuali orang yang paling dekat pun.
Sebelum masuk ke gedung bangsawan itu sebagai Ti Toa Hujin, ibunya adalah seorang
perempuan yang amat cantik, kecantikannya termashur di seluruh sungai telaga, bahkan dia pun
seorang pendekar wanita kenamann, konon ilmu pedang Sian Li Kiam Hoat (Ilmu Pedang Bidadari)
yang dipelajarinya diwarisi langsung dari Bwee Suthay, ciangbunjin partai Go Bie waktu itu.
Semenjak menikah dengan Lo Houya, kadangkala dia masih mengembara berduaan di sungai
telaga, menelusuri kembali jalan kenangan dimasa lampau.
Tapi setelah melahirkan Siau Houya, dia mulai menyembah Buddha secara khusuk, kadang
kadang sepanjang tahun dia tak pernah meninggalkan orang sembahyang barang selangkah pun.
Tak lama setelah Lo Houya meninggal, Tay Hujin juga ikut mangkat, setelah kenyang
menikmati berlimpahnya kehidupan duniawi, mereka mati dalam suasana tenang tanpa
penderitaan. Tapi semasa hidupnya, hubungan cinta ke dua orang itu seperti kurang harmonis, kurang
bahagia. Malam ke dua sekembalinya Siau-houya, dia baru memanggil Hok congkoan untuk menghadap,
yang ditanyakan hanyalah masalah masalah yang dia harus ketahui padahal tak ada persoalan
berharga yang perlu ditanyakan
Setelah kepergiannya tempo hari, dalam gedung mewah miliknya telah terjadi suatu peristiwa
aneh. "Beberapa hari berselang, tiba tiba ada orang mengirim sembilan ratus kati beras, sebenamya
aku tak berani menerima, tapi si pengirim beras berpesan katanya beras itu adalah hadiah uang
tahun Siau Houya dari seorang sahabat karibnya yang bernama Liong Toaya, karena itu aku tak
berani untuk menampik pemberiannya"
Sembilan ratus kati betas! berapa banyak, jumlah beras itu, bisa membuat kenyang berapa
banyak orang"
Mungkin jarang ada yang bisa menjawab.
Malah sebagian besar orang di dunia ini tak pernah melihat beras sebanyak itu sepanjang
hidupnya, orang yang bisa menghadiahican beras sebanyak sembilan ratus kati untuk orang lain
pun mungkin bisa dihitung dengan jari tangan.
Ti Cing Ling tidak nampak terkejut, air mukanya sama sekali tidak berubah, dia malah
bertanya:"Di mana berasnya sekarang?"
"Sudah dimasukkan ke dalam gudang besar yang pernah dipakai Lo Houya sewaktu
menyiapkan rangsum sebelum berangkat perang, sebelum Siau-hou-ya kembali, siapa pun tak
berani memindahnya"
Ti Cing Ling manggut manggut tanda sangat puas.
Kembali Hok Congkoan berkata:"Pagi tadi ada dua orang tamu datang mencari Siau Hoya,
mereka mengaku sebagai sahabat Siau Houya, malah merekalah orang yang diutus Liong Toaya
untuk menghantar beras itu, karenanya aku tak berani untuk tidak mempersilakan mereka
menunggu" "Di mana orangnya?" kali ini Ti Cing Ling kelihatan sedikit tercengang.
"Mereka berada di pesanggrahan Teng-Gwee Siau Ciok (Pesanggrahan menikmati suara
rembulan)"
Rembulan tak bersuara, apa yang didengar dari rembulan"
Justru karena rembulan tak bersuara maka harus didengarkan, yang didengar adalah tidak
bersuaranya rembulan, yang dinikmati adalah rembulan yang tak bersuara.
Benarkah Kadangkala tidak bersuara jauh lebih unggul ketimbang bersuara"
0-0-0 Tak ada rembulan, yang ada hanya bintang, cahaya bintang memancarkan sinar redupnya
membias diatas kertas jendela.
Rembulan tak bersuara, bintang pun tak berkata.
Dalam pesanggrahan Teng Gwe Siau Ciok duduk dua orang, mereka duduk tenang disana
sambil minum arak, arak yang diminum adalah " Li Ji Ang" yang harum.
Hoa Suya minum tidak terlalu banyak, tapi rekannya mmum banyak sekali, seolah dia jarang
punya kesempatan untuk menikmati harumnya arak kenamaan dari wilayah Kanglam ini.
Ketika Ti Cing Ling muncul di depan pintu, dua orang tersebut segera bangkit menyambut,
perkataan pertama dari Hoa Suya adalah bertanya, "Apakah Siau Houya sudah menerima kiriman
beras sebanyak sembilan ratus kati dari Liong ya?"
Dengan pengalaman Hoa Suya dalam pergaulan, seharusnya dia berbasa basi lebih dulu
sebelum menyinggung persoalan pokok, tapi begitu bertemu muka, pertanyaan pertama adalah
sembilan ratus kati beras, padahal barang itu hadiah seseorang kepada Ti Cing Ling dan sama
sekali tak ada sangkut paut dengan dirinya, dari sikapnya ini membuktikan bahwa ia memandang
barang itu jauh lebih panting ketimbang Ti Cing Ling.
"Sudah kuterima sejak dua hari berselang" jawab Ti Cing Ling, "sampai kini belum ada yang
berani menyentuhnya"
"Bagus sekali" Hoa soya menghembuskan napas lega, senyuman kembali menghasi wajahnya,
"Siau Houya pasti sudah dapat menebak darimana datangnya beras itu bukan?"
"Kalau beras tentu datang dan persawahan" sahut Ti Cing Ling sambil tertawa hambar, `tapi
kalau dalam karung betas disembunyikan uang perak, itu mah susah untuk dikatakan"
Kontan Hoa Suya tertawa keras.
"Siau Houya memang tak malu disebut naga diantara manusia, sejak awal sudah kuduga tak
bakal ada rahasia yang bisa mengelabuhi dirimu"
Dia rendahkan nada suaranya dan berkata lagi setengah berbisik.
"Pengeluaran serta biaya operasi Cing Liong Pang kian hari kian bertambah besar, kadangkala
kami harus melakukan sedikit usaha tanpa modal untuk menopang pengeluaran itu, cuma, kami
mesti bekerta serahasia mungkin dan rahasia itu tak boleh sampai bocor, kalau tidak susah untuk
menghadapi akibatnya"
"Pekerjaan kalian kali ini sangat bagus dan sempuma" sela Ti Cing Ling sambil tersenyum.
Hoa Suya memenuhi cawan Ti Cing Ling dengan arak, setelah itu lanjutnya,"Tapi kali ini
terpaksa kami harus mengganggu Siau Houya, seperti diketahui barang itu kelewat mencolok,
sementara waktu tak leluasa untuk diangkut pulang, maka kami pikir paling baik jika dititipkan
dulu di sini, menjaga kemungkinan gagalnya rencana tersebut"
"Aku paham" sahut Ti Cing Ling hambar, "ketika kalian akan membawanya pergi, kujamin
setahil perak pun tak bakal kurang"
"Tentu saja tak bakal kurang" Hoa Suya tertawa paksa, "orang yang bertanggung jawab atas
operasi kali ini adalah Tongcu dari "Sah-Gwe Tong" (Ruang Bulan Tiga), beliau selalu menaruh
rasa kagum dan hormat yang luar biasa terhadap Siau Houya, beliau pasti akan datang sendiri
untuk mengucapkan rasa terima kasihnya"
Perkumpulan Cing Liong-Pang terdiri dari tiga ratus enam puluh buah kantor cabang, terbagi
meniadi dua belas ruang atau bagian.
Ti Cing Ling tidak bertanya siapa gerangan Tongcu tersebut, sebaliknya menegur orang yang
sudah minum arak sangat banyak itu.
"Apakah kedatanganmu dari luar perbatasan juga lantaran persoalan ini?"
"Benar" jawab orang itu sambil tertawa paksa, "rencana yang disusun kali ini ibarat sebuah
rantai, setiap rangkaian rantai itu mesti saling terkait dengan kuatnya, aku tak lebih hanya salah
satu mata rantai itu, padahal tidak banyak tugas yang kukerjakan"
Dia berperawakan tinggi besar dan berwajah sangat wibawa, orang itu tak lain adalah Ji
Congkoan dari petemakan kuda Lok Jit, Jin Heng Kian.
"Yang lebih kebetulan lagi" kata Hoa Suya lagi sambil tertawa, "dalam menjalankan rencana ini,
tanpa disengaja kami telah melakukan sedikit pekerjaan bagi Siau Houya"
"Oya?"
"Sekarang kami sudah jadikan Nyo Cing sebagai kambing hitam, pihak kerajaan juga telah
memberi batas waktu sepuluh hari untuk menangkap si pelaku pembegalan" suara tertawa Hoa
Suya bertambah keras dan gembira, "jangan lagi sepuluh hari, biar seratus Iebih sepuluh hari pun
jangan harap kasus ini dapat terungkap"
"Kenapa?"
"Sebab waktu ini manusia yang bernama Nyo Cing mungkin sudah lenyap, tentu saja pihak
kerajaan mengira dia telah melarikan diri sambil membawa hasil rampokan, jadi urusan tersebut
sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan kita"
Kait Perpisahan Serial 7 Senjata Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kenapa dia bisa lenyap secara tiba tiba?"
"Karena kami telah meminta kantor cabang untuk mengurus dua orang pembunuh tangguh"
suara tertawa Hoa Suya bertambah riang, "dengan kemampuan ilmu silat dan kematangan
pengalaman yang dimiliki ke dua orang pembunuh itu, mereka pasti dapat membunuh tanpa
meninggalkan sedikit jejak pun"
"Kau kira dengan kemampuan mereka berdua sudah cukup untuk menghadapi Nyo Cing?"
"Lebih dari cukup"
Ti Cing Ling menghirup araknya satu tegukan, kemudian baru berkata,"'Kalau begitu
kuanjurkan kepada kalian agar segera bersiap siap untuk memberesi jenasah ke dua orang
pembunuhmu"
"Kenapa?"
"Karena kalian terlalu pandang remeh kemampuan Nyo Cing. Siapa pun yang terlalu pandang
remeh kemampuan musuhnya, mereka telah melakukan satu kesalahan yang fatal, kesalahan fatal
yang mesti dibayar dengan nyawa sendiri"
Tiba tiba dia berpaling ke luar jendela dan menambahkan,"Bagaimana menurut pendapatmu
Ong Tongcu dari Si ?Gwee Tong (Rung Bulan Empat)?"
Dari luar jendela segera terdengar seseorang menghela napas panjang:"Aai, aka sependapat
dengan Siau Houya, karena aku pernah membantu uruskan jenasah mereka"
Angin berhembus masuk dari daun jendela, seorang lelaki tinggi besar menerobos masuk ke
dalam ruangan dengan gerakan lincah, dia adalah tongcu dari ruang Si Gwe Tong, salah satu
cabang perkumpulan Cing Liong Pang, dan orang itu memang bermarga Ong.
Temyata otak pembegalan barang kawalan milik Tionggoan Piaukiok kali ini tak lain adalah Ong
Ceng Hui, Congpiautau dari perusahaan ekspedisi Tionggoan Piaukiok sendiri.
Ti Cing Ling sama sekali tidak tercengang, sebaliknya Hoa Suya amat keheranan, serunya tak
tahan, "Siau Houya, dan mana kau tahu kalau dialah Tongcu dari Si Gwe Tong?"
"Karena hanya Ong Congpiautau yang punya kesempatan untuk menukar isi uang perak itu
dengan barang rongsok." Jelas Ti Cing Ling, "padahal ketika terjadi pembegalan atas barang
kawalan itu, dia tak boleh berada ditempat, maka Jin Congkoan pun sengaja datang dari luar
perbatasan untuk mengadakan lelang kuda, tak ada jago di dunia yang tak suka kuda mestika,
maka Po Be Kim To yang keranjingan kuda pun pasti akan ikut menghadiri lelang akbar tersebut"
Setelah tertawa ringan, tambahnya,"Oleh sebab itulah Ban Kun Bu pasti tak akan melewatkan
lelang kuda itu dan hadir juga disana"
ltulah sebabnya, karena harus menghadiri lelang kuda, bukan saja Ong Ceng Hui punya alasan
yang kuat untuk tidak hadir saat terjadinya pembegalan, Ti Cing Ling pun punya kesempatan
emas untuk membunuh Ban Kun Ku.
"Maka dari itu mata rantai yang dipegang Jiu Congkoan justru merupakan mata rantai paling
penting, Jiu Congkoan, kau tak usah merendah lagi" kata Ti Cing Ling sambil angkat cawan dan
memberi hormat kepada Jin Heng Kian.
"Siau Houya, kau sangat hebat, aku kagum kepadamu" seru Jiu Heng Kian sambil meneguk
habis isi cawannya.
"Tapi barang kawalan itu tak bisa lenyap begitu saja, harus ada orang yang menemukannya
kembali, bahkan orang yang temukan barang kawalan itu tidak boleh Ong Congpiautau," kata Ti
Cing Ling lebih lanjut, "padahal uang kawalan itu sesungguhnya adalah uang kerajaan, memang
paling pas bila petugas kerajaan yang menemukannya kembali, ketika pihak kerajaan menemukan
isi barang kawalan telah diganti barang rongsokan, masalah tersebut sudah menjadi masalah
intern mereka sendiri, bahkan sudah ada yang menjadi kambing hitamnya"
Sekali lagi ia teguk habis isi cawannya, lalu menambahkan:"Semua rencana telah berjalan
dengan lancar dan sempuma, satu satunya masalah yang perlu disesali hanyalah si kambing hitam
Nyo Cing temyata masih hidup"
Ong Ceng Hui merampas cawan arak yang dipegang Hoa Suya, secara beruntun dia habiskan
tiga cawan arak.
Setelah itu dia pun berseru:"Dia bisa hidup hingga sekarang memang merupakan satu peristiwa
yang patut disesali, untungnya dia tak bisa hidup terlalu lama"
"Kenapa?"
"Karena sekarang sudah ada orang pergi membunuhnya"
"Jagoan macam apa yang kalian utus kali ini" tanya Ti cing Ling dingin.
"Kali ini bukan kita yang mengirim pembunuh, kita tak akan mampu mengutus jagoan sehebat
itu" "Dia ingin membunuh Nyo Cing karena dia sudah kenali pemuda itu sebagai keturunan salah
satu musuh besamya, bahkan dia sendiri yang mendatangi kami untuk mencari tahu jejak orang
she?Nyo itu"
"Kenapa dia bisa mencarimu?"
"Aku sendiripun tak tahu kenapa dia mencariku, mungkin lantaran dia tahu barang kawalanku
telah diganti isinya dan orang yang paling dicurigai adalah Nyo Cing" jelas Ong Ceng Hui,
"sesungguhnya dia adalah seorang jago yang luas pengetahuan serta pengalamannya, apa yang
dia ketahui jauh lebih banyak daripada orang lain"
Berkilat sepasang mata Ti Cing Ling, sambil menatap Ong Ceng Hui, segera tegurnyai, "Siapa
sih orang itu?"
"Dialah Sin Wan Sin Kiam (Padang Sakti Mata Sakti) Lan It Ceng, Lan Toa Sianseng yang amat
termashur itu"
"Ooh!" sepasang mata Hoa Suya terbelalak jauh lebih lebar ketimbang orang lain.
Sebaliknya Ti Cing Ling menghela napes panjang, katanya,"Kalau benar-benar dia, kali ini Nyo
Cing pasti akan mampus"
Saat itu Nyo Cing belum mampus.
Dia sedang mengetuk pintu rumah seseorang keras-keras, ketukan pintunya amat gencar
seolah dia tahu kalau ada orang sedang mengejarnya, bila sampai terkejar maka setiap saat
nyawa mereka akan melayang di ujung pedangnya.
0-0-0 Bab 6. Gubug Penderitaan.
Koai To (Golok Cepat) telah terbangun dari tidurnya, ketika Nyo Cing mulai menggedor pintu
rumahnya, dia telah mendusin.
Tapi dia tidak segera membukakan pintu.
Golok berada dibawah bantalnya, pelan-pelan dia pencet tombol pengunci pada sarung
goloknya, pelan-pelan dia mencabut keluar senjatanya, dengan kaki telanjang dia melompat turun
dari ranjang kemudian melesat keluar melalui daun jendela, melompati pagar dinding dibelakang
rumah dan berputar ke pintu depan.
Seseorang yang belum pemah dijumpai sebelumnya sedang menggedor pintu rumahnya,
sementara dibelakang sebatang pohon besar, belasan depa dari rumahnya bersembunyi
seseorang. Dia tak tahu apa maksud kedatangan ke dua orang itu, bila ingin berbuat sesuatu yang
merugikan, tidak seharusnya dia gedor pintu sekeras itu.
Tentu saja teori ini sangat dipahami, namun dia tak mau ambil resiko.
Dia putuskan untuk menghadiahkan sebuah bacokan lebih dulu kepada orang itu, sekalipun
salah membacok, paling tidak lebih baik ketimbang kena bacokan orang.
Memang begitulah jalan pikiran orang persilatan, karena mereka pun perlu untuk
mempertahankan hidup.
Bukan peke jean yang mudah bagi orang persilatan untuk mempertahankan hidup.
Nyo Cing masih menggedor pintu, dia percaya mustahil penghuni rumah itu tidur seperti orang
mati dia pun tahu si "Golok Cepat" adalah murid kesayangan Ban Tayhiap. Tapi bacokan dari Pui
Seng kali ini meleset.
Baru saja cahaya golok berkilauan, Nyo Cing sudah berjumpalitan sambil melompat mundur
dari situ. Biar serangan golok itu cepat, reaksi Nyo Cing jauh lebih cepat, bahkan menggunakan cara
tercepat dan paling langsung dia membuktikan identitas sendiri.
Dia keluarkan surat tugas yang dikeluarkan kantor pengadilan setempat yang ditujukan ke
seluruh pejabat di seluruh propinsi.
Pui Seng tercengang bercampur kaget.
"Tak disangka kau benar seorang opas" katanya, "tak nyana diantara kuku garuda kerajaan
masih terdapat seorang jagoan yang berilmu tinggi macam kau"
Nyo Cing tertawa getir."Coba kalau bacokanmu tadi mengenai batok kepalaku, apa jadinya?"
"Pasti akan kugalikan sebuah liang untuk menguburmu" jawab Pui Seng jujur, "kemudian akan
sekalian kukubur temanmu yang masih bersembunyi di belakang pohon, siapa suruh kau
menggedor pintu rumahku tengah malam buta begini"
Pui Seng seorang yang jujur den berterus terang, karena itu Nyo Cing pun memberitahu
maksudnya secara terus terang:"Aku mencarimu karena ingin bertanya sesuatu, sebetulnya
bagaimana kematian Ban Tayhiap?"
"Mungkin lantaran minum arak kelewat banyak" sahut Pui Seng sedih, "usianya sudah lanjut,
kondisi badannya makin lemah, tapi dalam soal minum arak, dia tak pemah mau mengaku kalah"
"Konon dia meninggal sewaktu kencing" Kenapa kalian tak ada yang mengikuti dan
mengawalnya?"
"Karena setiap kali minum terlalu banyak, dia pasti akan tumpah, dia tak mau orang lain
melihatnya ketika tumpah"
"Dia selalu begitu?"
"Yaa, selama puluhan tahun dia selalu begitu" kembali Pui Seng menghela napas panjang,
"setiap kali membujuknya agar tidak banyak minum, dia akan mengumpat dan mencaci maki kami
semua." "Apakah banyak orang yang mengetahui kebiasaan itu?"
"Ranya sih banyak"
"Banyak tidak tamu yang diundang Hoa Suya malam itu?"
"Biarpun tamunya banyak, tapi hanya beberapa orang yang diundang Hoa Suya pesta di kebun
belakang" "Siapa saja?"
"Selain kami, rasanya hanya Congpiautau dari Tionggoan Piaukiok, Ong Ceng Hui serta Ti Cing
Ling, Ti Siau Houya"
Setelah berhenti sejenak, tambahnya,"Yang lain aku kurang begitu jelas"
"Ketika Ban Tayhiap pergi ke kamar kecil, Ong Congpiautau dan Ti Siau Houya berada dimana?"
"Ong Congpiautau masih ditempat, sedang Ti Siau Houya sudah memboyong ceweknya kembali
ke kamar" Nyo Cing kembali merasakan detak jantungnya berdebur keras. tapi dia segera mengepal
tinjunya untuk mengendalikan diri, kembali dia bertanya:"Apakah pernah terjadi perselisihan
paham antara Ban Tayhiap dengan Ti Cing Ling?"
"Tidak pernah" jawab Pui Seng tanpa berpikir panjang, "bukan saja tak ada perselisihan paham,
dia malah menaruh kesan yang sangat baik terhadapnya" Ti Siau Houya telah menghadiahkan
seekor kuda mestika yang mahal harganya kepada Ban Tayhiap"
"Setelah Ban Tayhiap meninggal, apakah Ti Siau Houya segera meninggalkan tempat itu
bersama cewek cantiknya?"
"Keesokan harinya dia baru pergi"
"Selama berada di Pesanggrahan Botan Sanceng milik Hoa Suya, pemahkah ada orang yang
menaksir cewek cantik itu?"
"Siapa yang berani menggoda ceweknya Ti Siau Houya?" jawab Pui Seng sejujumya, "sekalipun
ada yang naksir, rasanya mereka tak akan berani bertindak"
Sebenarnya Nyo Cing merasa sudah tak ada pertanyaan lain yang bisa diajukan lagi, tapi pada
saat itulah mendadak Pui Seng berkata."Bila kau menaruh curiga kalau guruku mati ditangan
orang lain, maka dugaanmu itu keliru besar. Selama ini dia orang tua berjiwa besar dan tulus
terhadap siapa pun, kecuali pernah sedikit berselisih paham dengan Cing Liong Pang, beliau tak
pernah punya musuh lain"
Kelopak mata Nyo Cing segera menyusut kencang, sepasang kepalannya digenggam makin
kencang. "Sedikit berselisih paham" Pernah selisih paham soal apa?"
"Padahal bukan selisih paham yang kelewat besar, aku hanya secara kebetulan pernah dengar
beliau berkata, Cing Liong Pang selalu ingin dia orang tua masuk menjadi anggotanya, tapi
tawaran itu selalu dia tampik"
Setelah berhenti sejenak, kembali Pui Seng menambahkan:"Tapi selama ini pihak Cing Liong
Pang belum pernah bentrok secara langsung dengan dia orang tua"
Nyo Cing berdiri termangu setengah harian lamanya disitu, kemudian Dia baru menjura seraya
berkata,"Terima kasih, maaf, dan selamat tinggal"
"Apa maksudmu?" teriak Pui Seng sambil menghalangi jalan perginya.
"Terima kasih karena kau bersedia beritahu begitu banyak persoalan kepadaku, maaf karena
aku telah mengganggu tidurmu, selamat tinggal artinya aku akan pergi dari sini"
"Kau tak boleh pergi! Sama sekali tak boleh!" tukas Pui Seng dengan wajah amat serius.
"Kenapa?"
"Karena kau telah mengganggu tidurku, sekarang aku sudah tak bisa tidur lagi, bagaimana pun,
kau harus temani aku minum dua cawan sebelum boleh pergi dari sini"
Nyo Cing menghela napas panjang.
"Hai, selama dua hari belakangan hampir tiap hari aku hanya makan sayur asin plus kueh
keras, mulutku sudah pahit semua rasanya, terus terang aku memang ingin makan lebih enak"
Setelah menghela napas kembali terusnya,"Sayang ada orang yang pasti menampik"
"Siapa yang menampik?"
"Orang yang bersembunyi di belakang pohon itu"
"Kau takut dengannya?"
"Sedikif' jawab Nyo Cing, "bahkan mungkin tidak sedikit "
"Kenapa kau takut dengannya" Dia itu apamu?" teriak Pui Seng tidak puas.
"Dia bukan siapa siapa, hanya biniku"
Secara khusus dia menjelaskan lagi: "Bini artinya istri"
Gantian Pui Seng yang termangu sampai setengah harian lamanya, tiba tiba dia pun menjura
seraya berkata, "Terima kasih, maaf, selamat tinggal"
"Apa maksudmu?" Nyo Cing segera menegur.
"Terima kasih karena kau bersedia beritahu kepadaku tentang masalah yang memalukan ini,
maaf karena aku lebih suka tak dapat tidur ketimbang memaksa orang yang takut bini menemani
aku minum" Tak tahan Pui Seng tertawa tergelak, kemudian tambahnya, "selamat tinggal artinya
persilahkan kau pergi dari sini!"
Nyo Cing ikut tertawa tergelak.
Selama berapa hari terakhir, baru kali ini dia tertawa lepas, tertawa yang muncul dari
sanubarinya! 0-0-0 Malam sudah makin larut, suasana di Pesanggrahan Teng Gwe Siau Ciok masih amat riuh,
karena satu gentong arak Li Ji Ang nyaris habis diminum orang orang itu.
Rencana berjalan sukses, seratus delapan puluh taksa tahil perak sudah tersimpan aman dalam
gudang keluarga Ti, sementara Nyo Cing bakal mampus diujung pedang milik Lan Toa Sianseng.
Semua orang merasa sangat gembira.
Hanya Ti Cing Ling yang berbeda, seolah olah tak ada kejadian lain yang bisa merangsang den
menggembirakan hatinya lagi di dunia ini.
Sebelum satu gentong arak habis ditenggak, kembali dia bertanya kepada Ong Ceng Hui,"Kau
yakin Lan Toa Sianseng pasti dapat menemukan Nyo Cing?"
"Pasti"
"Darimana kau bisa mengetahui jejak Nyo Cing?"
"Karena aku telah berkunjung ke kantor kejaksaan den sudah membaca semua data
pribadinya" setelah berhenti sejenak, kembali Ong Ceng Hui menambahkan, "si tua Tio yang
membawaku ke situ"
Tak bisa disangkal Tio Ceng merupakan salah satu mata rantai dari rangkaian rantai itu, tak
heran dia bisa beritahu Nyo Cing tentang jejak Ni Pat sementara dia sendiri tak pernah muncul di
tempat kejadian dan sama sekali tidak berhasrat berebut jasa dengan Nyo Cing.
"Nyo Cing berasal dari dusun Toa Lim Can, sejak kecil hidup diluar hutan lebat di belakang
dusun bersama ibunya yang telah menjanda, Ji Giok juga berasal dari dusun itu" Ong Ceng Hui
menerangkan lebih jauh, "kali ini dia jalan bersama Ji Giok, tentu saja dalam usahanya melacak
persoalan ini, tak mungkin dia selalu membawa serta seorang nona, jadi aku percaya dia pasti
akan menghantar si nona itu tertebih dulu ke suatu tempat yang dianggapnya aman"
Setelah berhenti sejenak, kembali lanjutnya:"Semua saudara sealirannya telah dikurung dalam
penjara, sekarang dia sudah tak memiliki teman yang bisa dipercaya lagi, bahkan sama sekati tak
punya tempat untuk dituju maka aku yakin dia pasti akan menghantar Ji Giok pulang ke dusunnya,
karena jalan yang mereka tempuh adalah jalan menuju ke dusun Toa Lim Cung"
Perhitungannya memang tepat sekali.
Tentu saja jabatannya sebagai seorang Tongcu dari perkumpulan Cing Liong Pang bukan
diperoleh karena untung-?untungan, apalagi untuk menjadi seorang Congpiautau dari perusahan
ekspedisi Tionggoan Piaukiok, jelas dibutuhkan kemampuan, kepandaian serta perjuangan yang
luar biasa. "Aku berani jamin, besok pada saat yang sama seperti sekarang, Nyo Cing pasti akan balik ke
dusun Toa Lim Cung, dia pasti akan mampus diujung pedang Lan San Ku Kiam milik Lan It Ceng"
Benar saja, senja keesokan hatinya, Nyo Cing benar benar telah mengajak Ji Giok balik ke
dusun tempat kelahiran mereka.
Main bersama, menangkap ikan dengan kaki telanjang, membuat orang orangan dan salju,
berlarian sambil bergandengan tangan di hutan yang lebar.
Semuanya merupakan kenangan masa kanak kanak yang sangat indah! Kenangan masa kecil
yang penuh kehangatan!
Seperti dalam impian mereka kembali ke tempat itu sambil bergandeng tangan, dusun masih
seperti sedia kala tapi bagaimana dengan manusianya"
Mereka tidak kembali ke dalam dusun tapi berputar dari sisi perkampungan lain menuju ke
hutan lebat di belakang dusun
Hujan musim gugur baru saja berhenti, tanah dalam hutan lembab lagi basah, siang tak
nampak matahari malam tak nampak bintang, biarpun orang dusun disekitar tempat itupun tak
berani memasuki hutan kelewat dalam, karena asal tersesat maka sulitlah untuk keluar lagi dan
tempat itu. Nyo Cing tidak kuatir tersesat.
Sejak kecil dia sudah gemar berkeliaran dalam hutan itu, ketika berusia 8-9 tahun., hampir
setiap hari dia akan berdiam hampir satu dua jam Iamanya didalam hutan itu, malah kadangkala
malam haripun sering berada di hutan itu seorang diri.
Tak ada yang tahu apa yang sedang dia lakukan dalam hutan itu, tak pemah dia ijinkan siapa
pun ikut bersamanya, termasuk Lu Siok Bun.
Baru pertama kali ini dia mengajak perempuan itu ke sana.
Dia mengajak perempuan itu berbelok kiri berputar kanan dalam hutan yang lebat itu, setengah
Kait Perpisahan Serial 7 Senjata Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jam kemudian tibalah mereka ditepi sebuah mata air, jauh di dalam hutan sana, disitu mereka
jumpai sebuah rumah papan kecil yang sudah reyot dan amat sederhana.
Biarpun Lu Siok Bun dilahirkan dalam dusun itu, belum pernah dia berkunjung ke tempat
tersebut Pintu rumah berada dalam keadaan tergembok, sebuah kunci gembokan yang telah berkarat
terpasang di engsel pintu, dalam bilik hanya terdapat sebuah ranjang, sebuah meja, sebuah kursi,
sebuah mangkuk besar, sebuah lentera minyak serta sebuah bangku kecil.
Samua barang telah berdebu, sarang laba Iaba menyelimuti setiap sudut ruang, lumut hijau
melapisi Iantai didepan pintu, semua ini menunjukkan kalau sudah lama tempat itu tak dijamah
manusia Ketika dulu ada orang tinggai disitu, penghidupannya tentu amat sederhana, kesepian dan
penuh penderitaan.
MeIihat kesemuanya ini tak tahan Lu Siok Bun bertanya,"Tempat apa ini" Darimana kau bisa
menemukan tempat seperti ini?"
"Karena dulu hampir setiap hari aku datang kemari, kadangkala dalam sehari bisa datang
kemari dua kali"
"Mau apa kemari?"
"Menjenguk seseorang!"
"Siapa?"
Nyo Cing termenung sampai lama sekali, tiba tiba diatas wajahnya terIintas perasaan hormat
dan perasaan menderita yang mendalam, lewat lama kemudian sepatah demi sepata ia
berkata,"Aku datang menjenguk ayahku" Nyo Cing memukul pelan lumut didepan jendela,
"setahun sebelum kematiannya, hampir setiap hari dia berdiri di depan jendeIa, menunggu aku
datang menjenguknya"
Sekali lagi Lu Siok Bun terkesiap.
Sejak Nyo Cing masih bayi, ayahnya telah kabur ke dalam hutan, ibunya selalu hidup
menjanda, mencucikan pakaian tetangga atau menjahitkan baju orang untuk melanjutkan hidup
dan memeIihara putranya, Lu Siok Bun tak pernah tahu kalau Nyo Cing punya ayah, dia ingin
bertanya, kenapa ayahnya bersembunyi di dalam hutan dan tak mau bertemu siapa pun.
Tapi dia tidak bertanya.
Pengalaman yang ditimba nya selama bertahun tahun membuat dia sudah pandai berpikir
untuk orang lain, menyimpan rahasia orang lain , tak pernah menyeiidiki rahasia orang dan tidak
bertanya persoalan yang tak ingin dijawab orang lain.
Tapi Nyo Cing menerangkan sendiri.
"Watak ayahku sangat kasar dan gampang naik darah, musuh besarnya tersebar di seantero
jagad, karena itulah sejak kelahiranku, dia orang tua minta ibuku membawa aku bersembunyi
didalam hutan" jelas Nyo Cing sedih, "ketika aku berusia delapan tahun, dia orang tua menderita
luka dalam yang amat parah dan ikut bersembunyi di sini untuk merawat Iukanya, saat itulah aku
baru bertemu dengannya"
"Luka dalamnya tak berhasil disembuhkan?"
Dengan sedih Nyo Cing menggeleng.
"Semenjak dia bersembunyi disini, musuh musuh besarnya telah mencari dia diseantero jagad
tapi gagal menemukan jejaknya, karena itulah aku sengaja membawamu kemari, karena
sepeninggalku nanti, tak bakal ada orang lain yang bisa temukan jejakmu disini"
Tiba tiba Lu Siok bun merasakan bibimya berubah jadi dingin kaku bahkan gemetar keras, tapi
dia masih berusaha untuk mengendalikan diri.
Dia adalah seorang wanita yang sangat mengerti urusan, dia tahu perkataan Nyo Cing tadi pasti
beralasan kuat, kalau tidak kenapa dia bilang mau pergi"
Padahal dia pemah berjanji, biar sampai mati pun dia tak akan meninggalkan dirinya.
Hari semakin gelap, minyak dalam lentera telah mengering, dalam kegelapan malam yang
mencekam Lu Siok Bun mencoba untuk mengenali situasi dalam bilik tersebut.
Waktu itu Nyo Cing sedang menyingkirkan sebuah papan kayu dari atas permukaan tanah, dari
bawah papan, dalam sebuah liang, dia keluarkan sebuah peti besi yang telah berkarat.
Temyata dalam peti besi itu tersedia korek api.
Begitu cahaya api memancar dalam ruangan, Lu Siok Bun segera menjumpai sebuah senjata
yang belum pemah dilihat sebelumnya.
0-0-0 Sebuah ruangan kamar yang lebar lagi luas, empat dinding berwarna putih salju tanpa berdebu,
lantai terbuat dari ubin keramik yang licin, begitu bening bagaikan sebuah cermin.
Dalam ruangan tak ada barang apa apa kecuali dua buah alas duduk dari kain.
lng Bu Ok bersila diatas salah satu alas duduk itu, diatas lututnya tergeletak sebuah tongkat
bambu yang berisi pedang ular berbisa, dia duduk bagai seorang pendeta yang sedang bersamadi.
Ti Cing Ling duduk bersila diatas alas duduk yang lain, mereka berdua duduk saling
berhadapan, entah sudah berapa lama mere
Pendekar Kelana 1 Dewi Ular Karya Kho Ping Hoo Harpa Iblis Jari Sakti 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama