Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long Bagian 7
ui hong siu dan Gwe-popo.
Waktu itu Gwe-popo sedang bertopang dagu
sambil memegang sebiji catur, namun sampai
lama belum juga diletakkan, kelihatannya nenek
itu sedang berpikir posisi yang lebih tepat.
Sementara Tui hong siu sedang menatapnya
dengan wajah tersenyum, bukan saja bangga,
bahkan terkesan dia sedang mengejek
pasangannya, "Mau kau taruh kemana biji catur
itu?" Melihat sikap kedua orang itu, sekulum
senyuman segera menghiasi wajah Yap Kay,
dengan langkah lebar dia melalui pintu gerbang,
menelusuri jembatan berliku sembilan dan
menghampiri gardu segi delapan.
Angin berhembus sepoi, menimbulkan riak di
air dan menyiarkan bau harum bunga yang
semerbak, dunia serasa begitu tenang penuh
kedamaian. Biarpun sikap Tui hong siu dan Gwe-popo
begitu santai penuh keriangan, namun ketika Yap
Kay menghampiri kedua orang itu, tiba-tiba ia
merasakan hawa tajam yang kuat seakan
menghimpit dadanya, dia seperti sedang berjalan
menghampiri dua bilah pedang yang tajam.
Senjata mestika selalu menimbulkan aora yang
berbeda, begitu juga dengan jago persilatan yang
memiliki ilmu silat tinggi, mereka pun
memancarkan aora yang gampang membuat
napas orang jadi sesak.
Gwe-popo dengan memegang biji caturnya
masih saja termenung, sedang Tui hong siu
mengawasi bininya sambil perlahan menikmati
arak dalam cawan, jelas kemampuannya bermain
catur jauh lebih tangguh ketimbang si nenek.
Sampai secawan arak telah habis diteguk, Gwepopo
belum juga menurunkan biji caturnya, tibatiba
Tui hong siu mendongakkan kepala
memandang Yap Kay sekejap, lalu sambil
menyodorkan cawan araknya dia menuding teko
aneh yang terletak di meja.
Siapa pun pasti akan memahami maksudnya,
dia minta Yap Kay menuang arak baginya.
"Kenapa aku mesti menuang arak untukmu?"
Jika orang lain, mereka pasti akan mencacimaki,
bahkan bisa jadi tanpa banyak bicara akan
berlalu dari situ.
Berbeda dengan Yap Kay, bukan saja dia tidak
marah, bahkan benar-benar menghampiri meja
dan mengambil poci itu.
Meski poci telah diambil, namun arak belum
juga dituang. Perlahan-lahan Yap Kay menggeser poci itu ke
arah cawan, asal dia sedikit miringkan poci itu,
arak niscaya akan mengalir keluar. Siapa sangka
pemuda itu justru sama sekali tak bergerak.
Tui hong siu sendiri pun tetap mengangkat
cawannya di tengah udara, menanti dengan
sabar. Selama Yap Kay tidak bergerak, dia pun tak
berkutik. Tangan Gwe-popo yang memegang biji catur
pun mendadak ikut tak bergerak.
Ketiga orang itu seakan-akan tersihir oleh
kekuatan iblis yang maha dahsyat, kekuatan sihir
yang mampu mencabut nyawa mereka,
mengubah mereka seakan orang mati.
Dalam sekejap langit dan bumi seakan ikut
membeku, semuanya berubah jadi mati.
Bab 6. NENEK PENJUAL TELUR
Teko sudah dimiringkan, namun arak belum
juga mengalir. Cawan telah di tangan, namun
berhenti di tengah udara. Biji catur di
tangan, namun tak pernah diletakkan
pada posisinya.
Kebun itu sangat luas, bukan saja terdapat
pohon bambu, nampak pula aneka bunga,
jembatan kecil, air mengalir, gunung-gunungan
dan gardu indah, bahkan dihuni pula kelinci,
burung bangau maupun kijang jinak.
Sayangnya semua kijang jinak maupun kelinci
hanya terukir dari batu, ukiran itu begitu hidup.
Pepohonan yang hijau tumbuh begitu subur,
aneka bunga memancarkan bau harum. Siapa
pun tak menyangka bahwa suasana dalam kebun
monyet nampak begitu indah dan artistik.
Anehnya, tak terlihat seekor monyet pun
berkeliaran di sana.
Baik yang besar kecil, muda tua, monyet jantan
betina, monyet seperti apa pun tak nampak, Yap
Kay benar-benar gagal menemukan seekor
monyet pun. Sesaat sebelum melangkah masuk ke dalam
pintu, ia sudah menyadari hal ini, bukan saja tak
nampak monyet, suara mencicit yang ramai dari
kera-kera pun tak terdengar.
Dalam kebun monyet tak nampak monyet, apa
sebenarnya yang telah terjadi"
Bayangan gardu segi delapan yang terpampang
di tanah kian lama kian menyusut pendek,
tengah hari telah tiba.
Sudah hampir tiga jam berlalu, namun Yap Kay
bertiga belum juga bergerak, jangankan
tubuhnya, ujung jari pun tak ada yang bergerak,
semua orang terpantek dalam posisinya semula,
bagaikan tiga buah arca marmer.
Bayangan yang membias di tanah kembali
berubah, kini matahari sudah condong ke langit
barat. Sedikit saja tangan Yap Kay gemetar, arak
bakal tertuang keluar, tapi tiga jam sudah berlalu
begitu saja, tangannya masih tak bergerak, tetap
terpantek bagaikan batu.
Mimik muka Tui hong siu yang semula
tenteram, sinar matanya yang semula terselip
nada ejekan, lambat-laun mulai terjadi
perubahan, kini dia berubah jadi terperangah,
kaget dan sedikit tak sabar.
Tentu saja dia tak tahu kegetiran yang sedang
diderita Yap Kay saat itu.
Pemuda itu merasakan poci dalam
genggamannya makin lama terasa makin berat,
seolah-olah bobotnya telah berubah jadi ribuan
kati, lengannya dari linu berubah jadi kaku, dari
kaku berubah jadi sakit, sedemikian sakit
bagaikan ada jutaan jarum yang sedang menusuk
kulit lengannya.
Kulit kepalanya pun ikut sakit, sakit seperti
ditusuk jarum tajam, peluh membasahi seluruh
pakaiannya, tapi dia masih mengertak gigi,
bersabar, bertahan, sekuat tenaga berusaha
membuang jauh semua pikiran itu.
Karena dia tahu, situasi saat ini bertambah
kritis, bagaimana pun juga dia tak boleh
bergerak. Walaupun tubuh mereka tak terlihat melakukan
gerakan, namun serunya pertarungan yang
sedang berlangsung justru berlipat kali lebih
dahsyat daripada pertarungan menggunakan
golok dan pedang.
Inilah pertarungan tenaga dalam, daya tahan,
kekuatan tubuh serta kesabaran.
Pertarungan ini benar-benar duel yang
berlangsung tenang, pertempuran berdarah yang
belum pernah terjadi sebelumnya.
Sewaktu berada di luar gedung penerima tamu
Ban be tong, Yap Kay memang pernah melakukan
pertarungan tanpa wujud melawan Tui hong siu,
namun pertarungan waktu itu jauh berbeda bila
dibanding pertempuran kali ini.
Pertarungan sudah berlangsung sejak pagi
hingga senja, enam jam sudah terlewatkan begitu
saja, namun tak ada yang datang ke sana,
bahkan tak seorang pun yang menengok jalannya
pertarungan. Masa di dalam kebun monyet yang begitu luas,
hanya berdiam Tui hong -siu dan Gwe-popo
berdua" Atau pemilik tempat itu hanya memperhatikan
diri sendiri, egois, sehingga apa pun yang
dilakukan orang lain, biar mati maupun hidup,
semuanya tak ada sangkut-paut dengannya,
sama sekali tak perlu diperhatikan"
Kegelapan senja sudah menyelimuti seluruh
jagad. Entah sejak kapan dalam ruang tengah gardu
segi delapan telah disulut cahaya lentera, lampion
yang tergantung sepanjang beranda pun entah
oleh siapa telah disulut semua.
Sinar lentera memancar dari kejauhan,
menerangi wajah Tui hong siu. Wajahnya nampak
pucat-pasi, kulit mata mulai berdenyut keras tapi
tangannya masih kaku bagai batu karang.
Yap Kay sendiri pun sudah kehabisan tenaga,
nyaris roboh dan ambruk, rasa percaya dirinya
mulai goyah, tangannya pun mulai goyang, dia
tahu sulit baginya untuk bertahan lebih jauh.
Pada saat yang kritis itulah, mendadak Sret!",
terdengar suara desingan angin tajam, ternyata
Gwe-popo telah menyambitkan biji caturnya
dengan sekuat tenaga.
"Prang!", biji catur itu langsung membelah
mulut teko itu hingga hancur berantakan.
Dengan pecahnya mulut teko, maka arak pun
mengalir keluar memenuhi cawan.
Ketika arak telah memenuhi cawan, Tui hong
siu menarik kembali tangannya, perlahan-lahan
menghirup isinya hingga habis, dia sama sekali
tidak memandang lagi ke arah Yap Kay, walau
hanya sekejap pun.
Yap Kay sendiri pun segera meletakkan kembali
poci itu ke atas meja, perlahan berjalan keluar
dari gardu segi delapan, menelusuri jembatan dan
berhenti di ujung jalan.
Memandang kegelapan malam yang
mencekam, melihat cahaya lentera yang
bergantungan sepanjang serambi, tiba-tiba ia
merasa semua begitu lembut, hangat dan penuh
kedamaian. Ternyata bisa lolos dari kematian memang
sebuah kejadian yang sangat menggembirakan.
Hanya orang yang pernah terancam jiwanya,
pernah lolos dari lubang jarum yang dapat
menghargai nyawa sendiri.
Ketika Yap Kay berpaling lagi ke arah gardu
sudut delapan, Tui hong siu serta Gwe-popo yang
semula berada di sana, kini sudah pergi entah
kemana, yang tersisa hanya permainan catur
yang belum selesai.
Kini, di dalam halaman yang begitu luas tinggal
Yap Kay seorang, kalau ada yang menemani,
paling hanya suara air yang mengalir, mengalir
abadi. Malam ini langit ada rembulan, terlihat pula
bintang yang bertaburan di angkasa.
Cahaya rembulan membiaskan bayangan tubuh
Yap Kay di atas permukaan air, sambil termenung
ia menundukkan kepala, mengawasi bayangan
sendiri di atas percikan air, memandang dengan
termangu. Pada saat itulah tiba-tiba ia merasa ada
seseorang berjalan naik di atas jembatan, ketika
berpaling, terlihatlah seseorang sedang berjalan
menghampirinya.
Orang itu amat sopan, gerak-geriknya lembut
dan penuh aturan, pakaiannya rapi, mimik
wajahnya lugu, ketika melakukan pekerjaan apa
pun selalu meninggalkan kesan sopan, rendah
hati dan hormat.
Seorang pengurus rumah tangga keluarga
kenamaan memang jauh berbeda bila dibanding
seorang kasir di rumah makan atau losmen.
Dengan lemah lembut dan sopan-santun orang
menghampiri Yap Kay, kemudian setelah memberi
hormat, ujarnya sambil tersenyum, "Hamba Tio
Kong memberi salam untuk tuan."
Biarpun senyuman Tio Kong sopan dan penuh
rasa hormat, namun terkesan agak menjilat.
Kembali katanya, "Ong-loya khusus mengutus
hamba untuk menyambut kedatangan tuan."
"Ong-loya" Ong-losiansing?"
"Benar."
"Kau tahu aku bakal kemari" Tahu siapakah
aku?" kembali Yap Kay bertanya.
"Hamba tahu, Toaya adalah Yap Kay Yaptayhiap."
Setelah melempar sekulum senyuman, ia
menyingkir ke samping sambil ujarnya lagi,
"Silakan, Ong-loya sedang menunggu di gedung
utama." Gedung utama terletak di bagian belakang
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kebun, gedung yang paling terang di antara
sekian banyak bangunan.
Sambil tersenyum Yap Kay melangkah maju,
setelah melewati Tio Kong, ia berjalan menuju ke
arah gedung yang bermandikan cahaya, berjalan
menuju ke masa depan yang tak diketahui
bagaimana akhirnya.
Hari belum lagi gelap, Hong-ling sudah mulai
sibuk di dalam dapur, menyiapkan makan
malam. Asap putih yang mengepul dari cerobong asap
menimbulkan kabut putih menghiasi langit
kelabu, menambah suasana kehangatan di rumah
kayu itu. Pho Ang-soat sedang duduk di bangku persis
tengah halaman, dengan sepasang matanya yang
kesepian ia sedang mengawasi Hong-ling di dalam
dapur. Kehidupan yang tenang, istri yang cantik nan
saleh, keluarga yang harmonis, itulah kehidupan
yang selalu didambakan seorang perantau,
seorang petualang.
Pagi meninggalkan rumah, senja baru kembali.
Setiap petani pasti sudah berangkat ke sawah di
saat fajar menyingsing, kemudian baru balik
menjelang senja, dengan membawa tubuh penuh
lumpur dan keletihan.
Sang istri yang saleh telah menyiapkan
bermacam hidangan serta sepoci arak hangat,
menemaninya bersantap, bahkan menemaninya
meneguk barang satu dua cawan.
Sebuah kehidupan yang hangat dan mesra.
Sayang sekali kehidupan semacam ini ibarat
menggapai bintang di langit, begitu jauh, begitu
muskil untuk seorang pengembara, apalagi
seorang petualang.
Sedemikian jauh dan remangnya kehidupan
macam itu, membuat para pengembara seolah
sudah lupa bahwa di dunia ini masih terdapat
kehidupan seperti itu.
Andaikata perempuan yang sedang menyiapkan
makan malam saat ini adalah kekasih hati Pho
Ang-soat, bila rumah mungil di bukit ini adalah
sarang mereka berdua yang hangat dan mesra,
mungkinkah Pho Ang-soat rela melepaskan hidup
mengembaranya dan melewatkan hari-hari
dengan penuh keriangan"
Tiada seorang pun dapat menjawab pertanyaan
itu. Bahkan Pho Ang-soat sendiri pun tak mampu,
bukan tak mampu, tapi enggan memikirkan
persoalan itu, tak berani membayangkannya.
Karena itulah dengan cepat dia menarik
kembali sinar matanya dan beralih
memperhatikan keliningan di bawah emper rumah
yang bunyi berdenting karena hembusan angin.
Keliningan itu memang sengaja dipasang Hongling
di tempat itu. Mengikuti hembusan angin bukit yang lembut,
di tengah dentingan keliningan yang merdu,
terendus bau hidangan yang harum dari balik
ruang dapur. Saat bersantap malam telah tiba, kembali
satu hari lewat dengan cepatnya, dan sebentar
lagi hari esok pun akan tiba. Besok entah akan
seperti apa"
Pertanyaan seperti ini pun termasuk hal yang
tabu dipikirkan seorang pengembara.
Biarlah hari berlalu begitu saja, makanan yang
bisa dinikmati secukupnya, minuman yang bisa
diteguk hari ini, teguklah sepuasnya. Sedang
besok" Biarlah menjadi urusan esok.
Hari ini masih bisa makan minum dengan puas
di sebuah rumah makan mewah, bisa jadi besok
sudah mampus dalam selokan, hari ini masih
menjadi seorang lelaki yang paling romantis,
siapa tahu besok menjadi pemabuk yang
ditendang keluar dari rumah" Hari ini masih
seorang tuan besar yang kaya raya, siapa bisa
menduga besok menjadi gelandangan yang
mengenaskan di sudut jalan desa.
Dunia penuh perubahan, manusia mana yang
bisa meramalkan hari esok" Siapa yang bisa
membayangkan bagaimana kehidupannya di hari
esok" Oleh karena itu sebagai manusia, belajarlah
menikmati hari ini, baik-baik menggenggam saat
ini, karena saat inilah merupakan kejadian yang
paling nyata. Jangan biarkan menyesal setelah kehilangan,
menyesal mengapa tidak baik-baik menikmati
masa lampau. Bulan dan bintang masih tergantung di awangawang,
malam semakin larut.
Selesai menyiapkan piring dan mangkuk untuk
makan, Hong-ling meninggalkan dapur menuju
halaman depan, ia bermaksud memanggil Pho
Ang-soat untuk bersantap malam.
Saat itulah tiba-tiba ia saksikan ada seorang
nenek berambut putih, dengan tangan kiri
memegang tongkat, tangan kanan menjinjing
sebuah bungkusan kain hijau berjalan tertatihtatih
mendekati rumah mereka, punggung nenek
itu bongkok. Melihat munculnya si nenek, dengan kening
berkerut Hong-ling segera bertanya, "Apakah
sekitar tempat ini masih ada keluarga lain?"
"Tidak ada," sahut Pho Ang-soat hambar,
"kalau ada pun yang terdekat tujuh-delapan li di
bawah bukit sana."
Hong-ling tidak bertanya lagi. Sementara itu si
nenek sudah tiba di halaman luar, dengan napas
yang masih tersengal dan tertawa paksa,
katanya, "Tuan nyonya berdua, apakah mau
membeli telur ayam?"
"Telur ayammu masih segar?" tiba-tiba Hongling
bertanya sambil tertawa.
"Tentu saja masih segar," jawab nenek itu
sambil tertawa, "kalau tak percaya coba rabalah,
masih hangat malah."
Nenek itu masuk ke halaman dalam,
berjongkok dan membuka bungkusan kain
hijaunya, benar saja isi bungkusan itu adalah
telur ayam yang besar dan bulat.
Sambil memungut sebutir telur ayam, kembali
ujarnya sambil tertawa, "Telur ayam yang masih
segar paling enak langsung ditelan isinya atau
direbus...."
Tiba-tiba paras muka nenek itu mengejang
keras, tangannya diangkat secara mendadak
seolah akan melemparkan telur itu, tapi belum
sempat dilakukan, tubuhnya sudah roboh
terjungkal. Begitu nenek itu roboh terkapar, tampak
sesosok bayangan hitam meloncat keluar dari
balik semak belukar, dengan tiga kali lompatan
sudah masuk ke tengah halaman, kemudian
tanpa mengucapkan sepatah kata pun bayangan
tadi menyambar bungkusan milik si nenek yang
berisi telur ayam dan dibuang jauh-jauh ke balik
kegelapan. "Blam!", ledakan keras bergema memecah
keheningan, semburan cahaya api bercampur
pasir dan ranting pohon berhamburan ke tengah
udara. Menanti cahaya api mulai surup dan pasir
rontok ke tanah, orang berbaju hitam itu
menghembuskan napas panjang seraya
bergumam, "Sungguh berbahaya."
Berubah hebat paras muka Hong-ling, saking
kagetnya dia sampai tak mampu berkata-kata,
hanya matanya masih menatap si nenek yang
terkapar di tanah tanpa berkedip.
Pho Ang-soat sama sekali tidak bereaksi, dia
masih berdiri di sana dengan wajah dingin,
sepasang matanya yang hambar masih
mengawasi suatu tempat di balik kegelapan.
Dalam pada itu orang berbaju hitam itu telah
membalikkan badan, berhadapan dengan Pho
Ang-soat, tegurnya, "Masa kau masih belum tahu
siapakah nenek itu?"
Pho Ang-soat menggeleng.
Mendadak orang berbaju hitam itu
merendahkan suaranya dan berbisik, "Dia adalah
pembunuh gelap yang diutus Ban be tong untuk
membunuhmu."
"Ban be tong?"
"Benar, aku...."
Belum selesai orang berbaju hitam itu bicara,
mendadak tubuhnya mengejang keras, paras
mukanya berubah hebat dan darah segar
menyembut keluar dari ujung bibirnya, begitu
darah mengucur, dalam waktu singkat telah
berubah menjadi hitam pekat.
Menyaksikan peristiwa itu, berubah hebat
paras muka Hong-ling.
Orang berbaju hitam itu telah roboh ke tanah,
sepasang tangannya menekan perutnya, sambil
meronta dengan sepenuh tenaga, serunya,
"Cepat... cepat... dalam sakuku terdapat obat
penawar racun... cepat... cepat
Baru saja Hong-ling hendak mendekat, tiba-tiba
Pho Ang-soat menarik tangannya dan mencegah
perempuan itu. Paras muka orang berbaju hitam itu berubah
makin menderita, jeritnya, "Tolong... tolonglah
aku... kumohon... cepat... cepat... sebentar lagi
bakal terlambat...."
Pho Ang-soat sama sekali tidak bergeming,
ditatapnya orang itu dengan pandangan dingin,
jengeknya ketus, "Kalau memang obat penawar
berada dalam sakumu, mengapa tidak kau ambil
sendiri?" "Masakah tidak kau lihat, dia sudah tak
sanggup bergerak," seru Hong-ling panik,
"apakah kita hanya berpeluk tangan saja melihat
orang itu sekarat?"
"Benarkah begitu?" tiba-tiba Pho Ang-soat
tertawa dingin, "dia tak bakal mampus."
Mendengar perkataan itu, sekali lagi paras
muka orang berbaju hitam itu mengejang keras,
mendadak secepat anak panah yang terlepas dari
busur dia melompat bangun dari atas tanah lalu
mengayunkan tangan berulang kali, tujuh titik
cahaya bintang segera melesat ke depan dengan
cepat. Si nenek yang semula sudah mati terkapar pun
tiba-tiba ikut melompat bangun, tangannya
diayun ke depan, dua butir telur ayam telah
disambitkan ke arah mereka.
Perubahan yang terjadi sangat mendadak dan
di luar dugaan ini seketika membuat Hong-ling
terperangah. Sementara itu Pho Ang-soat kembali tertawa
dingin, bukan saja dia tak menghindar, sebaliknya
malah maju menyongsong, tak jelas bagaimana
dia bergerak, tahu-tahu kedua butir telur ayam
itu sudah jatuh ke tangannya dan masuk ke
dalam saku. Sedang ketujuh cahaya bintang yang
disambitkan orang berbaju hitam telah
ditangkis tangan kiri Pho Ang-soat,
"Trang, trang, trang!", ketujuh senjata rahasia
itu menancap semua di atas sarung golok.
Gagal dengan serangan pertamanya, si nenek
melejit dan bersalto beberapa kali di udara
kemudian merangsek ke depan.
Tapi sebelum tubuhnya melayang turun ke
tanah, mendadak ia temukan Pho Ang-soat telah
menanti tepat di hadapannya.
Biarpun kaget, nenek itu tak sampai kalut,
sepasang kepalannya disodokkan ke muka
berbarengan, satu mengancam jalan darah Thayyanghiat di sisi kiri kening Pho Ang-soat sedang
yang lain menghantam kening sebelah kanan.
Biarpun serangannya cukup cepat, namun
sebelum kepalannya menyentuh sasaran, telapak
tangan Pho Ang-soat telah menerobos melalui
sela kedua kepalannya, lalu menghantam ke
dadanya. "Plok!", hanya satu tepukan ringan.
Biar tampaknya ringan, namun tubuh nenek itu
seakan sudah terpantek di atas tanah, sepasang
lengannya terkulai lemas, tubuh pun tak mampu
bergerak, kemudian dia pun mendengar suara
tulang-belulang yang terhajar remuk.
Kini baru dia dapat melihat Pho Ang-soat yang
semula masih berdiri di hadapannya, tiba-tiba
sudah muncul di hadapan orang berbaju hitam itu
dan menggunakan lengan sebelah sedang
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjepit tubuh rekannya itu.
Begitu dijepit kemudian dilepas, sekujur badan
orang berbaju hitam itu pun seolah berubah jadi
segumpal lumpur lunak, bersamaan dengan
hancurnya tulang, darah segar berhamburan
kemana-mana. Bukan hanya hancuran tulangnya yang
menembus pakaian, darah pun bagai pancuran air
membasahi sekujur badannya, perlahan-lahan ia
roboh tak berkutik.
Dengan pandangan dingin Pho Ang-soat
mengawasi lawannya, dia bediri seakan sedang
melamun, seolah sepanjang hidup baru pertama
kali ini menyaksikan ceceran darah.
Dalam pada itu si nenek masih berdiri dengan
tubuh gemetar keras.
Entah dikarenakan pengaruh pukulan Pho Angsoat
yang aneh atau karena dinginnya hembusan
angin malam, atau mungkin juga lantaran suara
tulang belulang yang hancur berantakan, tiba-tiba
nenek itu berubah bagaikan seorang anak yang
baru terjaga dari mimpi seram.
Pho Ang-soat berpaling, memandang dengan
sorot mata dingin.
Tak kuasa lagi nenek itu merinding sekujur
badannya, setengah menggigil serunya terbatabata,
"Aku... aku adalah nenek yang sudah
berusia delapan puluh tahun... masa... masa kau
tega membunuhku?"
Pho Ang-soat sama sekali tidak bicara,
mendadak dia jambak rambut si nenek yang telah
beruban itu dan membetotnya, rambut berikut
kulit wajah pun segera terbetot lepas hingga kini
muncul seraut wajah lain di muka si nenek.
Dia adalah seorang pemuda berwajah kurus
kecil, berwarna agak kuning dan masih sangat
muda, kini berdiri dengan muka ketakutan.
Perubahan yang sangat mendadak itu kembali
membuat Hong ling tertegun, dia tak habis
mengerti, darimana Pho Ang-soat bisa tahu nenek
itu adalah hasil penyamaran.
Dalam pada itu Pho Ang-soat telah menatap
dingin pemuda yang sedang ketakutan itu,
tegurnya kemudian, "Tahukah kau siapa aku?"
"Aku... aku tahu," jawab pemuda itu dengan
bibir menggigil.
"Kalau begitu seharusnya kau pun tahu, paling
tidak aku memiliki tiga puluh macam cara untuk
membuat kau menyesal karena pernah dilahirkan
di dunia ini."
Setengah memaksakan diri pemuda itu
manggut-manggut, kini paras mukanya telah
berubah jadi pucat tak berdarah. "Kalau begitu
aku ingin bertanya."
"Akan... akan kujawab...." buru-buru pemuda
itu memberikan j anj inya.
"Kau anak buah Hoa Boan-thian atau Hun Caythian?"
"Dari kelompok Hoa-tongcu."
"Kali ini berapa orang yang diutus kemari?"
kembali Pho Ang-soat bertanya.
"Termasuk Hoa-tongcu dan Hun-tongcu, semua
berjumlah tujuh orang."
"Lantas dimanakah kelima orang rekanmu itu
sekarang?" "Aku tidak tahu," pemuda itu
menggeleng, "aku benar-benar tidak tahu."
"Berada dimana mereka sekarang?"
"Ada di kaki bukit... mereka sedang menunggu
kami...." Belum sempat pemuda itu menyelesaikan
perkataannya, tiba-tiba terdengar lagi suara
remuknya tulang belulang.
Ia mendengar suara remuknya tulang di tubuh
sendiri. Selesai membasuh tangan, sikap Pho Ang-soat
telah kembali dalam kehambaran, dengan tenang
ia duduk sambil bersantap, seolah tak pernah
terjadi apa-apa di situ.
Hong-ling menyuap nasi, lalu meletakkan
sumpitnya, tegurnya sambil menatap pemuda itu,
"Kau tega untuk melanjutkan bersantap?"
"Tentu saja," jawab Pho Ang-soat tenang,
"kalau kau pernah merasakan bagaimana orang
yang sedang kelaparan, pasti dapat kau habiskan
nasi itu."
"Kau tidak kuafir orang-orang Ban be tong akan
menyerbu kemari lagi?" kembali Hong-ling
bertanya. "Tidak mungkin, sekarang tak mungkin terjadi,
sebelum mereka berhasil melacak keadaan kita
yang sebenarnya, tak nanti mereka berani
bertindak secara gegabah, tenangkan saja
hatimu." Kembali Pho Ang-soat menyumpit sepotong
daging, menanti ia selesai mengunyah dan
menelannya baru ujarnya lagi, "Sebelum hari
menjadi terang, tak mungkin mereka menyerang
kita lagi."
Begitu melangkah masuk ke ruang tengah, Yap
Kay segera dapat merasakan Ong-losiansing dari
kebun monyet pasti bukan seorang tokoh yang
sederhana. Dari perabot, tata letak serta ornamen yang
terdapat dalam ruangan, dapat terlihat
bagaimanakah watak serta perangai pemiliknya.
Ruang itu tidak terlampau lebar, perabot
maupun ornamen di situ pun bukan termasuk
model yang kelewat mewah, tapi hampir
semuanya artistik dan indah.
Hampir semua perabot mendatangkan kesan
nyaman bagi yang melihatnya, bahkan cara
penggunaannya gampang dan sederhana, tidak
memberikan kesan ketersediaan benda itu
mubazir atau berlebihan.
Begitu pula dengan manusianya.
Kesan yang ditimbulkan Ong-losiansing pun
bukan semacam kesan yang menyebalkan,
memberi perasaan tercengang.
Bertemu dengan orang ini, kau seakan merasa
sedang berada dalam sebuah kota kecil yang
tenang, melihat seorang kakek yang penuh kasih
dan lembut sedang bermain dengan cucunya.
Biarpun usianya sudah sedikit lebih lanjut, tapi
dia masih dapat membantumu momong anak,
bahkan terkadang di waktu senggang dia pun
masih bisa membantumu melakukan pekerjaan
ringan. Terhadap orang semacam ini, apakah kau akan
menganggap dia adalah orang yang muzabir"
Begitulah kesan pertama Yap Kay ketika
pertama kali berjumpa Ong-losiansing.
Biarpun sekarang ia duduk di kursi utama,
namun tak akan kau jumpai sikap jumawa atau
kesan takabur dari mimik mukanya.
Melihat Yap Kay berjalan masuk ke dalam
ruangan, segera Ong-losiansing menampilkan
senyuman ramahnya, lalu dengan suara bagai
seorang kakek sedang memanggil cucunya dia
berkata, "Duduklah anak muda!"
Di tengah ruangan tersedia sebuah meja
bundar yang besar, di meja hanya tersedia dua
pasang mangkuk dan sumpit, tak ada hidangan,
tak ada nasi. Kelihatannya santap malam kali ini
hanya disediakan untuk Yap Kay dan Onglosiansing
berdua. Karena tuan rumah telah memperlihatkan
senyuman ramahnya, tentu saja Yap Kay tak
dapat bersikap acuh. Maka dia pun ikut tertawa,
sambil tertawa duduk berhadapan dengan orang
tua itu. Hidangan belum juga tersaji, mungkin harus
menunggu hingga kedatangan sang tamu. Dan
kini Yap Kay telah menempati posisinya, apakah
hidangan boleh mulai disajikan"
Ketika Ong-losiansing menggapai sambil
bertepuk tangan tiga kali, Yap Kay pun
mendengar suara langkah manusia bergema
sambil menyajikan hidangan.
Tapi begitu hidangan disajikan, Yap Kay
langsung terperanjat. Bukan terkejut karena
hidangan yang disajikan tapi kaget lantaran
tangan yang sedang menyajikan hidangan itu.
Benarkah itu sebuah tangan"
Tegasnya tangan itu bukan tangan manusia,
tapi sepasang tangan berbulu yang memiliki
bentuk seperti tangan manusia.
Begitu Yap Kay berpaling, dia pun dapat
melihat dengan jelas wajah pemilik sepasang
tangan berbulu itu.
Monyet! Ternyata seekor monyet.
Rupanya yang menyajikan hidangan adalah
seekor monyet. Akhirnya ia berhasil juga melihat seekor
monyet, namun Yap Kay tidak mengira monyet
yang ada di kebun monyet ternyata telah terlatih
hingga begitu hebat.
Setiap monyet menyajikan sepiring hidangan,
mengaturnya jadi sederet dengan sangat teratur,
begitu selesai meletakkan sayur, mereka pun
tersenyum lebih dulu kepada Ong-losiansing
sambil manggut-manggut, kemudian baru
mengundurkan diri dari situ.
Sebagaimana diketahui, monyet terhitung
binatang yang paling ribut dan ramai, tapi
walaupun ada begitu banyak monyet di situ,
ternyata tak terdengar sedikit suara pun, mereka
begitu tenang dan teratur, setiap selesai
menyajikan hidangan segera mundur kembali
dengan teratur.
Bukan saja disiplin mereka bagaikan satu
pasukan pembantu yang sudah terlatih, malahan
cara kerja mereka jauh lebih rapi dan baik
ketimbang pembantu biasa.
Menyaksikan kejadian itu, mau tak mau Yap
Kay tertawa getir.
"Kalau dibilang monyet adalah nenek moyang
manusia, sekarang aku mulai agak percaya,"
katanya kemudian.
"Monyet memang jenis binatang paling pintar di
antara sekian banyak jenis hewan, bukan saja
mereka pandai meniru gerak-gerik manusia, cara
berpikir serta tingkah-laku mereka pun mirip
manusia," Ong-losiansing menjelaskan, "coba kau
kumpulkan satu kelompok monyet di satu tempat
yang sama, maka perbuatan mereka yang paling
pertama adalah perebutan kekuasaan."
"Berebut menjadi raja monyet?"
"Benar, bukankah sejak dilahirkan manusia pun
sudah mulai melakukan perebutan dan
pertikaian?"
"Ah, itu hanya terjadi pada segelintir orang,"
protes Yap Kay tidak s epaham.
"Bukan hanya segelintir, tapi hampir semua
manusia itu begitu. Hanya saja tujuan pertikaian
mereka berbeda."
Setelah menuang secawan arak, Ong-losiansing
melanjutkan, "Ada yang bertikai untuk berebut
kekuasaan, harta kekayaan, wanita, usaha
dagang, kedudukan bahkan ada pula yang
berebut hak hidup."
"Ada satu lagi, ada juga yang berebut karena
emosi dan gengsi", Yap Kay menambahkan sambil
tertawa. "Betul. Oleh sebab itu tak ada manusia yang
tidak mulai berebut sejak dilahirkan. Begitu
dilahirkan, bukankah mereka mulai berjuang
mempertahankan hidup" Kaum pedagang matimatian
bekerja, banting tulang, memeras
keringat, bukankah tujuannya untuk
memperebutkan uang dan harta" Para penjudi
mati-matian bertaruh, bukankah tujuan nya untuk
meraih kemenangan" Seorang pelajar banting
tulang bersekolah hampir sepuluh tahun,
bukankah tujuannya pun untuk meraih
kedudukan dan posisi."
Ia meneguk secawan arak, kemudian
melanjutkan, "Dan hari ini, kau khusus
mendatangi tempat ini, bukankah tujuannya pun
hanya untuk memperoleh pembuktian?"
"Pembuktian?"
"Pembuktian tentang dongeng yang
mengatakan dalam kebun monyet terdapat
ratusan jenis kera. Masakah kedatanganmu hanya
bermaksud makan malam bersamaku?"
"Bagus, kau memang orang yang suka terus
terang, kita wajib menghabiskan secawan arak."
Bab 7. MONYET MEMETIK ALAT MUSIK
Selembar kertas jendela, walaupun dapat
menahan hembusan angin malam yang dingin,
namun tak dapat membendung rasa dingin yang
merasuk tulang.
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Satu-satunya cara untuk mengusir rasa dingin
hanyalah meneguk arak, oleh sebab itu arak
sebotol besar sudah setengah di antaranya
berpindah ke perut Yap Kay.
Ketika dia menghabiskan secawan lagi, Onglosiansing
baru berkata, "Apakah kedatanganmu
hari ini dikarenakan cerita tentang makhluk
berkepala manusia bertubuh monyet yang
terdapat dalam kebun monyet ini?"
"Hal itu hanya salah satu di antaranya," Yap
Kay manggut-manggut. Kemudian sambil
menatap tajam Ong-losiansing, lanjutnya, "Ada
seorang sahabat kecil yang agak bengal dan
nakal, bernama Giok-seng. Apakah dia telah
memasuki wilayah kekuasaanmu?"
Ong-losiansing tidak langsung menjawab
pertanyaan itu, perlahan dia penuhi dulu
cawannya dengan arak, perlahan mengangkat
cawan dan meneguknya dengan sangat lamban,
kelihatan ia sedang putar otak memikirkan
pertanyaan itu.
Ketika isi cawan habis diteguk, baru ia
berpaling ke arah Yap Kay sambil menyahut,
"Percayakah kau pada kata-kataku perkataanku?"
"Percaya."
"Baiklah," kata Ong-losiansing sambil
meletakkan cawannya, "aku tidak tahu."
"Tidak tahu?"
"Benar. Sebab selama beberapa hari
belakangan ini aku tidak berada di kebun
monyet," "Kau tidak berada di sini?"
"Walaupun aku menyukai monyet, bukan
berarti monyet bisa datang sendiri kemari," kata
Ong-losiansing sambil tertawa, "oleh karena itu
setiap jangka waktu tertentu, aku pasti akan
keluar rumah, pergi ke berbagai tempat untuk
mengumpulkan monyet."
"Kapan terakhir kali kau pergi meninggalkan
rumah?" "Sejak tiga bulan lalu, sampai di rumah baru
lima hari lamanya," kata Ong-losiansing sambil
tertawa, "oleh sebab itu apakah sahabat kecilmu
itu pernah kemari atau tidak, aku sama sekali
tidak tahu."
"Mungkinkah di saat kau tak ada di tempat...."
"Tidak mungkin," tukas Ong-losiansing, "andai
terjadi peristiwa semacam itu, aku pasti tahu.
Pembantuku pasti akan memberi laporan
kepadaku."
Karena tuan rumah telah menyangkal, tentu
saja Yap Kay tak dapat berbuat lain kecuali
tertawa. "Hahaha, berarti si setan nakal itu
bersembunyi di tempat lain?"
Ong-losiansing ikut tertawa, sejenak
kemudian baru ia berkata, "Apakah kau pun
ingin tahu si makhluk berkepala manusia
bertubuh monyet itu sebetulnya asli atau palsu?"
"Bagaimana pun toh aku sudah tiba di sini,
untuk memenuhi rasa ingin tahuku, tentu saja
paling baik kalau bisa membuktikan."
"Setiap orang tentu memiliki perasaan ingin
tahu, hanya saja tidak semua rasa ingin tahunya
bisa terpenuhi."
Sambil tertawa orang tua itu bertepuk tangan
sebanyak tiga kali.
Dalam sangkaan Yap Kay, sebentar lagi akan
muncul kembali sekawanan monyet, maka dia
membelalakkan matanya lebar-lebar dan
menengok ke arah pintu dimana monyet yang
menyajikan hidangan berlalu tadi.
Oleh karena Ong-losiansing sudah setuju untuk
memenuhi rasa ingin tahunya, dia sangka orang
tua itu pasti akan mengundang keluar lagi
kawanan monyet itu dan mempersilakan dia
membuktikan apa benar makhluk itu berkepala
manusia bertubuh monyet.
Belum sempat dia mengajukan pertanyaan,
tiba-tiba terdengar suara alat musik bergema
memecah keheningan.
Irama musik apakah itu" Apakah musik dari
dewa-dewi"
Pernahkah manusia mendengar suara irama
musik seperti ini"
Bila ada semacam irama musik yang dapat
melumerkan perasaan hati manusia, bahkan
dapat membuat tubuh seseorang terlebur menjadi
satu dengan suara musik, seharusnya irama
musik semacam ini pantas disebut irama dewa.
Biarpun munculnya suara musik di saat dan
situasi seperti ini sempat membuat Yap Kay
terperangah, namun dengan cepat ia sudah
terbuai ke dalam alunan irama itu.
Biarpun Yap Kay tidak pandai memetik alat
musik, bahkan tujuh nada dasar pun tidak
dikenal, akan tetapi dia bisa menikmati, bagus
atau buruk pun masih mampu dibedakan.
Irama musik yang bergema secara tiba-tiba itu
mungkin belum terhitung sebagai irama dewa,
tubuh Yap Kay pun belum terlebur jadi satu, tapi
dia merasa hampir mabuk, ia dapat merasakan
nada yang memabukkan.
Bukan mabuk karena arak tapi nalurinya yang
mabuk, irama musik itu jauh lebih memabukkan
daripada arak yang keras.
Walaupun Yap Kay telah berada dalam buaian
irama musik, tapi otaknya berputar terus,
bukankah Ong-losiansing ingin memuaskan rasa
ingin tahunya" Mengapa tidak ia undang keluar
monyet berkepala manusia itu, sebaliknya malah
memperdengarkan irama musik yang merdu"
Apakah menjelang munculnya monyet
berkepala manusia itu harus diiringi dulu dengan
irama musik"
Berpikir sampai di situ, tak tahan lagi Yap Kay
tertawa getir, siapa tahu makhluk berkepala
manusia bertubuh monyet ini memang agak
istimewa, harus diiringi musik dulu baru
tampil.... Memutus permainan musik di tengah jalan
bukan sebuah tindakan yang sopan, selama hidup
Yap Kay tak pernah melakukan perbuatan yang
tak sopan. Untung saja selama apa pun permainan sebuah
musik, pasti ada pula saatnya untuk berhenti.
Akhirnya permainan musik itu berakhir, namun
suaranya masih menggema di ruangan.
"Walaupun belum terhitung irama surga, paling
tidak masih termasuk musik merdu bukan?" kata
Ong-losiansing tiba-tiba.
"Bukan sekedar irama musik merdu saja,"
sahut Yap Kay sambil tertawa pula.
"Ingin menyaksikan orang yang memetik alat
musik itu?" "Ingin sekali."
Biarpun di mulut mengatakan ingin sekali,
padahal hati kecilnya panik setengah mati.
"Bukankah kau ingin memperlihatkan monyet
berkepala manusia" Kenapa malah dialihkan ke
soal orang yang memainkan alat musik itu?"
Melihat kesungguhan hati tuan rumah, sudah
barang tentu sebagai tamu dia tidak ingin
menampik kebaikan orang, lagi pula apa ruginya
menonton sebentar pemain alat musik itu"
Kali ini Ong-losiansing tidak bertepuk tangan,
dengan tangan kirinya ia tepuk tiga kali sandaran
bangkunya, kemudian Yap Kay pun mendengar
suara gigi roda yang bergesek.
Mengikuti suara gesekan itu, Yap Kay melihat
dinding arah asal suara musik tiba-tiba bergerak
turun ke bawah.
Ketika seluruh dinding telah bergeser ke
bawah, kesan pertama yang terlihat di balik
dinding adalah ada sekelompok anak-anak sedang
bermain alat musik.
Namun ketika dilihat lebih seksama, kembali
Yap Kay berpikir, "Ah, tidak benar. Ternyata
sekelompok monyet yang sedang bermain alat
musik." Menanti ia dapat melihat lebih jelas lagi, Yap
Kay nyaris menjerit tertahan saking
terperangahnya.
"Monyet apa" Ternyata sekawanan monyet
berkepala manusia." Benar-benar sekawanan
makhluk berkepala manusia bertubuh monyet!
Akhirnya ia saksikan sendiri apa yang selama
ini hanya terdengar lewat dongeng.
Lantas kelompok itu sepantasnya disebut
monyet" Atau kelompok manusia?"
"Apakah mereka adalah... adalah monyet?"
tanya Yap Kay setelah termangu sesaat.
"Mereka memang monyet," senyuman Onglosiansing
kelihatan sangat ramah.
"Lantas kenapa mereka memiliki kepala
manusia?" "Kepala manusia" Coba kau perhatikan lebih
seksama." Yap Kay tidak mengerti maksud perkataan
Ong-losiansing, maka kembali ia amati kawanan
makhluk itu. "Coba perhatikan lebih seksama," Onglosiansing
mengulangi perkataannya sekali lagi.
"Apa yang kau perhatikan?"
"Kepala mereka."
Yap Kay bukannya tak pernah melihat
bentuk kepala manusia, mengapa berulang
kali Ong-losiansing minta padanya
memperhatikan lebih seksama" Apakah pada
bagian kepala manusia makhluk makhluk itu
masih tersimpan rahasia lain"
Biarpun kepala manusia yang berada di
tengkuk kawanan monyet itu nampak jauh lebih
kecil, tapi sudah jelas merupakan kepala
manusia, dilihat dan diperhatikan berulang kali
pun tetap kepala manusia, tak salah lagi!
"Coba dekati mereka," tiba-tiba Ong-losiansing
menyarankan. Tak usah disuruh pun Yap Kay sudah
melangkah maju dan mendekati kawanan
makhluk itu, tapi begitu tiba di dekat mereka,
rasa bingung dan ragu semakin tebal memancar
dari matanya, mukanya juga penuh diliputi
perasaan sangsi.
Pertama, karena baru pertama kali melihat,
kedua, jaraknya pun terlalu jauh, Yap Kay selalu
menganggap kepala monyet itu termasuk jenis
kepala manusia.
Tapi kini, setelah ia semakin dekat, Yap Kay
baru menemukan bahwa kepala kawanan monyet
itu ternyata hanya bentuknya yang mirip kepala
manusia. Kepala mereka tetap kepala monyet, cuma
bulunya telah dicukur hingga bersih sehingga
kalau dipandang dari kejauhan, kepala mereka
mirip kepala manusia.
Setelah mengetahui kejadian yang sebenarnya,
tak kuasa lagi Yap Kay tertawa terbahak-bahak.
"Sekarang aku baru paham, ternyata semua isu
memang belum tentu bisa dipercaya, karena
terpengaruh oleh opini yang salah, maka kita
selalu menganggap sesuatu yang mirip menjadi
hal yang benar."
Lalu katanya lagi, "Coba kalau aku tidak
mendengar dulu tentang dongeng kepala manusia
bertubuh monyet, ditambah lagi sikap dan gerakgerikmu
selama ini sangat rahasia, mungkin aku
tak bakal tertipu oleh kawanan monyetmu itu."
"Monyet memang nenek moyang manusia, jadi
bila wajah seorang dipenuhi bulu, bukankah dia
pun akan kau sebut seekor monyet?" sahut Onglosiansing
sambil memenuhi kembali cawannya
dengan arak. "Biar bukan pun paling tidak wajahnya mirip
monyet." "Karena itulah kawanan monyet yang kau
saksikan sekarang sesungguhnya adalah monyet
berkepala manusia. Selama ini banyak dongeng
yang tersiar tentang tempat ini, hal ini
disebabkan jarak antara masyarakat dengan kami
kelewat jauh."
Setelah berhenti sejenak dan meneguk
secawan arak, kembali katanya, "Seandainya aku
sering berkunjung dan bertandang ke rumah
penduduk, bila aku pun tidak kelewat menutup
diri dari pergaulan, aku percaya isu yang beredar
di luaran pun tak bakal banyak."
Menyebar Isu memang watak asli setiap
manusia, watak yang dibawa sejak lahir.
Menyusul dinaikkannya dinding pemisah,
kawanan monyet itu pun terasing kembali dari
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keramaian duniawi.
Sementara itu Yap Kay telah kembali ke tempat
duduknya, duduk sambil meneguk arak dan
tertawa. "Mungkin hanya manusia kreatip macam Onglosiansing
yang punya pikiran untuk mencukur
kelimis rambut di wajah kawanan monyet itu,"
katanya. "Aku hanya berpikir, jika memang mereka ingin
belajar bertingkah sebagai manusia, sepantasnya
bila wajah mereka pun dibikin sedikit lebih mirip
manusia." Tiba-tiba Yap Kay mengalihkan topik
pembicaraan, tanyanya, "Ong-losiansing,
bagaimana pendapatmu tentang kelompok
manusia seperti Be Khong-cun?"
"Be Khong-cun?" tanya Ong-losiansing
melengak, "maksudmu Be Khong-cun dari Ban
be tong?" "Benar."
Ong-losiansing tidak menanggapi, dia
termenung sejenak baru perlahan-lahan
menyahut, "Walaupun aku sangat memahami
tentang monyet, sayang tidak mengerti tentang
manusia." Sekali lagi ditatapnya wajah Yap Kay, kemudian
ujarnya lebih jauh, "Walaupun aku sempat
bertemu Be Khong-cun dua-tiga kali, namun
sayang aku tak terlalu memahami tabiat serta
sepak terjangnya."
"Lantas kenapa kau bersedia merawat
putrinya?" tanya Yap Kay sambil menatap tajam
wajahnya. "Putrinya?" perasaan sangsi sempat melintas di
wajah Ong-losiansing, "sejak kapan aku
merawat putrinya?"
"Aku mendengar pengakuannya dengan mata
kepala sendiri, dia bilang pernah sepuluh tahun
berdiam di sini."
"Ah, dia bukan putri Be Khong-cun," sanggah
Ong-losiansing, "gadis itu bernama Pek Ih-ling,
putri Pek Thian-ih."
"Oya" Aku masih mengira dia adalah Be Hongling,
putri Be Khong-cun. "
Sinar mata Yap Kay tak pernah beralih dari
wajah Ong-losiansing, desaknya lagi, "Sungguh
aneh, kenapa paras muka mereka berdua begitu
mirip" Pada hakikatnya kedua orang itu
mirip sekali seperti satu orang yang sama."
"Aku belum pernah bertemu dengan putri Be
Khong-cun, karena itu tidak tahu seberapa mirip
wajah mereka berdua. Aku hanya tahu satu hal,
Pek Ih-ling adalah seorang gadis yang baik."
Kemudian sambil balas menatap Yap Kay,
katanya lebih jauh, "Oleh karena itu calon suami
yang dipenujui harus kuperiksa dulu identitas
serta sepak-terjangnya dengan seksama."
"Tentu saja harus begitu," sekali lagi Yap Kay
tertawa tergelak, "untung saja bukan aku yang
terpilih, kalau tidak, Ong-losiansing pasti akan
sangat kecewa."
"Kenapa?"
"Sebab aku pasti tak lulus dari seleksimu,
bukan saja aku kelewat miskin, bahkan tak punya
prinsip hidup, lelaki jelek macam aku mana
pantas mempersunting seorang gadis baik macam
dia?" "Oya" Benarkah kau adalah manusia semacam
itu?" "Tanggung tak bakal salah. Satu-satunya
kelebihan yang kumiliki adalah aku sangat pandai
melihat diriku sendiri, oleh karena itu aku tak
pernah ingin menjadi seekor katak buduk yang
merindukan rembulan."
"Mana mungkin terdapat katak buduk macam
kau?" Mendengar perkataan itu, kembali Yap Kay
tertawa. Dia memang selalu percaya diri,
khususnya terhadap kelebihan sendiri. Sekalipun
belum terhitung sebagai lelaki paling tampan di
kolong langit, namun ia tak bisa lari dari predikat
sebagai lelaki paling memiliki daya tarik.
Baru saja Yap Kay meneguk araknya,
mendadak ia tangkap suara guduh, belum sempat
ia melacak sumber kegaduhan, tiba-tiba
dilihatnya ada seekor monyet sedang melompat
naik ke atas meja, lalu berlarian di atas meja itu.
"Ada apa dengan monyet itu?" tanya Yap Kay
segera dengan keheranan.
"Mungkin saja sifat binatangnya kambuh."
Kembali Yap Kay berpaling mengawasi monyet
yang berada di atas meja itu, siapa tahu baru saja
ia berpaling, tiba-tiba terlihat monyet itu sudah
menerkam Yap Kay dengan garang.
Cepat dia mengegos ke samping, biarpun
wajahnya berhasil lolos dari cakaran monyet itu,
namun tak urung cawan yang berada dalam
genggamannya kena diterjang kaki monyet tadi
hingga terlepas jatuh dan hancur berantakan.
Cepat Yap Kay menarik kembali tangannya,
ketika berpaling lagi ke arah monyet itu, tampak
hewan tadi sudah menerobos lewat daun jendela
dan melarikan diri.
"Apakah kau terluka?" tanya Ong-losiansing
penuh rasa kuatir.
"Ah, tidak apa-apa," sahut Yap Kay setelah
memeriksa tangan sendiri, "hanya ujung jariku
tersayat sedikit kena pecahan cawan."
"Parahkah mulut lukamu?"
"Mulut luka tidak masalah, hanya sekarang
malam semakin larut, sudah kelewat lama aku
mengganggumu."
Yap Kay bangkit berdiri lalu menambahkan,
"Aku berharap lain waktu masih ada kesempatan
untuk berbincang lagi denganmu."
"Aku akan selalu menanti."
Sepeninggal Yap Kay, Ong-losiansing masih
tetap duduk di tempat semula, sama sekali tak
bergerak. Senyuman ramahnya ikut lenyap tak
berbekas, sebagai gantinya mimik muka itu
diliputi pikiran yang serius.
Lewat lama kemudian baru ia berseru,
"Masuk."
"Baik," dari luar pintu terdengar seseorang
menyahut. Go Thian mendorong pintu, melangkah masuk,
langsung menuju ke samping Ong-losiansing dan
dengan tenang menanti perintahnya.
Dengan sangat hati-hati Ong-losiansing
mengumpulkan pecahan cawan itu, lalu dengan
serius mengawasi bekas darah yang tercecer,
bekas darah yang ditinggalkan Yap Kay sewaktu
tersayat pecahan cawan tadi.
"Cepat ambil contohnya dan lakukan
pemeriksaan," kata Ong-losiansing sambil
menyodorkan pecahan cawan yang berlepotan
darah itu ke tangan Go Thian, "coba periksa
darahnya termasuk golongan darah yang mana."
"Baik!"
"Beritahu kelompok darah, suruh mereka
menambah stok darah dari golongan yang sama,"
titah Ong-losiansing lagi.
"Baik!"
Ong-losiansing berpikir sejenak, lalu tanyanya
lagi, "Sekarang bagaimana keadaan monyet
nomor tujuh?"
"Sedikit lebih normal, dia sudah tidak berusaha
menghindari pertemuannya dengan nona Kim-hi."
Tampaknya Ong-losiansing merasa sangat
puas, dia mengangguk berulang kali.
Bab 8. PERTARUNGAN TAK PERLU
DISESALI Fajar kembali menyingsing.
Di tengah sorotan cahaya fajar, warna hijau
gelap perbukitan di kejauhan sana tampak mulai
berubah jadi hijau muda, air segar mengalir
hingga ke sana, mengalir sangat lambat.
Biarpun hembusan angin masih terasa dingin,
namun membawa bau harum bunga yang
semerbak, aneka bunga yang tumbuh di seputar
perbukitan sudah mulai mekar, bunga yang
berwarna-warni seolah mengelilingi dan memeluk
kencang rumah kayu itu.
Pagi sekali Pho Ang-soat sudah bangun, ia
sudah memotong kayu bakar di tengah halaman.
Walaupun tangannya sudah terbiasa
menggenggam golok, namun ketika membelah
kayu bakar, gerakannya tetap lincah, cekatan dan
sangat indah. Dengan ujung kaki ia mengijak kayu itu lalu
tangan diayun, kapak pun jatuh persis di atas
kayu, "Kraak!", batang kayu yang besar pun
terbelah jadi dua bagian.
Di tengah keremangan fajar, matanya seperti
warna perbukitan nun di depan sana, hijau
kelabu, terasa begitu jauh, begitu dingin.
Mengapa matanya selalu tampak begitu jauh"
Begitu dingin" Dlihat pada saat dan keadaan
seperti apa pun" Mungkinkah hanya orang yang
pernah berulang kali mengalami perjuangan mati
hidup atau mengalami permainan perasaan
antara cinta dan dendam, pandangan matanya
baru nampak begitu jauh, begitu dingin"
Mayat jagoan yang tewas semalam telah
diangkut pergi, darah pun telah berbaur dengan
tanah, membeku jadi satu. Langit dan bumi masih
terasa begitu tenteram, begitu damai. Tapi Pho
Ang-soat sadar, sejak hari ini jangan harap
mereka akan merasakan lagi kehidupan yang
aman damai seperti itu.
Dia bukan termasuk orang yang takut mati,
namun menghadapi ancaman bahaya yang
berada di depan mata, sedikit pun dia tak punya
pegangan ataupun gambaran, yang lebih penting
lagi adalah ia mulai merasa dirinya mulai
merindukan lagi kehidupan penuh kedamaian
seperti yang baru dialaminya selama dua hari
terakhir. Sebuah kehidupan normal dari sebuah
keluarga. Hidup sebagai seorang pengembara sering
terjerumus dalam situasi bahaya, kancah
pertarungan dan ancaman nyawa, kehidupan
normal boleh dibilang merupakan sesuatu yang
langka, mewah dan susah diraih.
Walaupun terkadang di saat mendusin dari
tidur di tengah malam buta, mereka pun
membayangkan suatu kehidupan yang normal,
tapi biasanya mereka tak akan berani
melakukannya di dalam kenyataan.
Biarpun kehidupan normal dapat
mendatangkan kegembiraan dan kebahagiaan,
namun akan melumat dan menghancurkan
kemampuan alam mereka yang luar biasa.
Banyak manusia di dunia ini mirip binatang
buas, memiliki kemampuan luar biasa, memiliki
naluri membunuh yang tinggi, memiliki insting
yang tajam, seakan setiap saat dapat mengendus
datangnya mara-bahaya.
Biarpun kenyataan mereka tak melihat apaapa,
tidak mendengar apa-apa, tapi di saat
ancaman bahaya tiba, mereka selalu dapat
berkelit secara ajaib, menghindar sesaat sebelum
datangnya ancaman itu.
Bila orang semacam ini memangku jabatan,
mereka pasti akan menjadi seorang pembesar
luar biasa, bila berperang pasti akan menjadi
panglima yang sering meraih kemenangan, bila
terjun ke dalam dunia persilatan, mereka pun
tentu akan menjadi Enghiong yang malang
melintang di kolong langit.
Cukat Liang, Koan Tiong. Mereka semua adalah
jenis manusia semacam ini, karena itulah mereka
mampu memikirkan keselamatan negara dan
menjamin kesejahteraan seluruh rakyat.
Han Sin, Gak Hui, Li Jing, mereka pun termasuk
jenis manusia seperti ini, karena itulah
kemampuan perang mereka luar biasa, selalu
meraih kemenangan dan serangannya susah
dibendung. Li Sun-hoan, Coh Liu-hiang, Thiat Tiong-tong,
Sim Long, Nyo Cing, Siau Cap-it-long. Mereka pun
tergolong manusia seperti ini, karena itulah
mereka dapat malang melintang dalam Kangouw,
meninggalkan nama harum dimana-mana, walau
sudah lewat lama pun nama besar mereka tetap
dikenang sebagai jagoan yang hebat.
Kemampuan yang luar biasa itu dinamakan
indra keenam. Kehidupan berkeluarga justru merupakan
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pembunuh paling hebat untuk mematikan indra
keenam, itulah sebabnya kebanyakan pengelana
enggan atau tak berani mencicipi kehidupan
sebuah keluarga, sebab mereka harus tetap hidup
dalam dunia persilatan.
Tatkala Pho Ang-soat menyadari dalam hati
kecilnya telah muncul ingatan seperti itu, dia pun
sadar nyawanya setiap saat kemungkinan dapat
musnah, namun dia tak menyangkal kalau
kehidupannya selama beberapa hari ini adalah
saat yang paling tenang dan menggembirakan
sepanj ang hidupnya.
Daripada hidup menderita sepanjang masa,
mengapa tidak menikmati kehidupan yang layak
selama beberapa hari"
Kehidupan layak" Kehidupan harmonis" Selama
beberapa hari"
Bila dalam perjalanan hidup orang bisa
menikmati kehidupan harmonis selama beberapa
hari, sesungguhnya hal itu sudah lebih dari cukup.
Itulah sebabnya walaupun Pho Ang-soat tahu
hari ini bakal bertemu mara-bahaya, bahkan bisa
jadi akan merenggut nyawanya, namun ia sama
sekali tidak merasa ngeri ataupun takut.
Seperti hari-hari yang lalu, dia tetap bangun
pagi, membelah kayu bakar dan menunggu
sarapan lezat yang disiapkan Hong-Iing.
Sarapan" Mungkinkah sarapan ini merupakan
sarapan terakhir"
Cahaya matahari masih tetap cerah, secerah
ribuan tahun yang lalu, aneka bunga tetap mekar,
semekar ribuan tahun berselang, manusia pun
tetap hidup, seperti kehidupan ribuan tahun yang
lewat. Hanya satu yang berbeda, perasaan hati.
Angin berhembus, dedaunan kering pun
berguguran, meski masih musim panas, tetap ada
daun yang gugur, seperti ada pula daun yang
tumbuh di musim dingin.
Daun masih berguguran, selembar, dua lembar,
tiga lembar... semuanya berguguran ke tanah.
Lambat-laun sinar matahari makin tinggi,
keliningan yang tergantung di emper rumah
berdenting mengikuti hembusan angin. Hong-ling
yang terlelap tidur dalam kamar pun telah turun
dari pembaringan, berjalan keluar rumah, menuju
ke bawah keliningan di emperan bangunan.
"Pagi," sapa Hong-ling lembut.
"Hari ini kau terlambat bangun," sahut Pho
Ang-soat hambar.
"Cahaya matahari sungguh indah," gumam
Hong-ling lagi setelah melihat sekelilingnya,
"hembusan angin pun sangat lembut."
"Hari ini pun merupakan hari yang cocok untuk
membunuh orang," tiba-tiba Pho Ang-soat
mengucapkan perkataan itu.
Hong-ling sama sekali tak terkejut, dia hanya
tertawa manis. "Aku percaya."
Kemudian setelah berhenti sejenak,
tambahnya, "Siapa pun yang bakal datang kemari
hari ini, aku tetap percaya kau pasti mampu
mengalahkan mereka."
Mendadak Pho Ang-soat berhenti membelah
kayu bakar, perlahan bangkit, mendongakkan
kepala dan menatap Hong-ling dengan matanya
yang hitam tapi sayu. Kemudian dengan nada
sedingin hembusan angin salju katanya, "Bila
aku mati, bukankah keinginanmu terkabul?"
"Benar," jawab Hong-ling tanpa berubah muka,
senyumannya masih amat mesra, "tapi bila aku
sendiri yang menghabisi nyawamu."
Kemudian setelah tertawa lagi, lanjutnya,
"Masa kau lupa, aku datang kemari mengikutimu
tak lain karena aku ingin membunuhmu dengan
tanganku sendiri."
"Aku tidak lupa."
"Nah, bagaimana mungkin aku bisa gembira
jika kau mati di tangan orang lain?"
"Benarkah begitu?"
"Maka dari itu aku percaya, siapa pun yang
bakal datang hari ini, kau pasti mampu
mengalahkan mereka, sebab aku pun tahu, kau
tak bakal melakukan perbuatan yang bisa
menimbulkan ketidak senangan hatiku."
"Benar, tak mungkin," Pho Ang-soat
mengakuinya. "Aku tahu," senyuman Hong-ling semakin
manis, "maka sarapan pun telah kusiapkan."
"Nanti saja aku baru bersantap."
"Kenapa?"
"Karena aku takut ada orang yang bakal
berebut denganku." Biarpun ucapan itu ditujukan
kepada Hong-ling, namun sinar mata Pho Angsoat
telah dialihkan ke pintu di belakang
tubuhnya. Cepat Hong-ling mengalihkan sinar matanya
mengikuti arah yang dipandang pemuda itu,
terlihatlah ada tujuh orang sedang berjalan
masuk ke dalam halaman dengan langkah
perlahan. Sinar matahari bertambah cerah, aneka bunga
semakin mekar dan menyiarkan bau harum, angin
masih berhembus, daun pun masih bergoyang,
semua hawa dingin yang mencekam semalam
lambat-laun bertambah larut bersama
meningginya sang surya.
Tapi Pho Ang-soat merasa suhu di sekelilingnya
telah merosot turun hingga ke titik beku, sebab ia
telah melihat wajah orang pertama yang berjalan
paling depan. Orang itu mempunyai bentuk muka panjang,
seperti muka kuda, wajahnya dipenuhi bisul
sebesar kacang kedelai, matanya juga dipenuhi
garis merah darah.
Ada orang yang sejak dilahirnya sudah
bertampang bengis dan jahat, dia adalah salah
satu di antaranya.
Sesudah memasuki halaman rumah dan
memandang sekejap sekeliling tempat itu,
gumamnya, "Sebuah tempat yang indah,
sungguh indah."
Di tengah halaman terdapat sebuah akar pohon
yang besar, orang pertama tadi langsung duduk
di sana, begitu duduk, dari belakang tubuhnya ia
mengeluarkan sebuah gunting besar, lalu
perlahan-lahan menggunting kuku jarinya.
Pisau gunting itu amat besar, beratnya
mencapai tiga puluh lima kati, namun dalam
genggamannya benda itu nampak begitu ringan,
seringan rambut sang kekasih.
Pho Ang-soat kenal orang ini, panggilannya
amat sederhana, orang menyebutnya sebagai
Gunting satu kali, Cian It-ji.
Setiap korban yang terjatuh ke tangannya,
maka seperti kuku di jari tangannya, sekali,
gunting urusan pun beres.
Di antara pembunuh bayaran tesohor
dalam dunia persilatan, dialah pembunuh
yang paling banyak menghabisi nyawa
korbannya, setiap kali membunuh, dia
selalu melakukan pembantaian mendekati
gila, begitu melihat darah, dia pun langsung
kalap, kalap melakukan pembunuhan, kalap
menjilat darah.
Orang kedua perlahan-lahan berjalan masuk,
orang ini berwajah hijau tua, hidungnya
berbentuk paruh elang, matanya liar bagaikan
mata burung pemakan bangkai, dalam tangannya
tergenggam sebilah pedang.
Cahaya pedang persis warna mukanya,
membiaskan cahaya hijau tua, hijau daun yang
mulai membusuk. Sepintas dia memang tak
terlihat ganas atau buas, tapi memberi kesan
suram dan menggidikkan hati.
Bukankah suram terkadang memberi kesan
jauh lebih buas, jauh lebih ganas dan
menakutkan"
Di tengah halaman tumbuh sebatang pohon,
begitu masuk ke dalam halaman, dia pun
langsung merebahkan diri di bawah pepohonan
yang rindang itu.
Sesudah berbaring baru ia menghela napas
sambil bergumam, "Sebuah tempat yang sangat
indah, terhitung hokki juga bila dapat mati di
tempat seperti ini."
Pho Ang-soat tidak kenal orang itu, tapi dia
cukup mengetahui tabiatnya, orang ini selama
hidup paling benci cahaya matahari.
Orang ini berjuluk Im hun kiam (si Pedang
sukma suram) Sebun Say.
Tidak banyak orang persilatan mampu
mengundangnya, apalagi menyewanya sebagai
pembunuh bayaran.
Bayaran yang diminta untuk tugasnya sangat
tinggi, tentu saja amat tak bernilai. Dia jarang
membunuh orang, bahkan jarang sekali turun
tangan sendiri, semua korban yang harus
dibunuh, kebanyakan sudah tidur abadi dalam
peti mati. Setiap kali membunuh, dia enggan ada orang
lain menonton dari samping, karena terkadang
dia sendiri pun menganggap cara yang dipakai
untuk menghabisi nyawa orang kelewat sadis,
kelewat kejam. "Bila kau ingin membunuh seseorang,
lakukanlah dengan cara yang paling hebat, agar
korbanmu tak akan berani mencari balas walau
telah berubah jadi setan gentayangan pun."
Itulah kata pertama yang sering diucapkan
Sebun Say. Orang ketiga dan orang keempat masuk
bersama, siapa pun pasti mengetahui mereka
berdua adalah saudara kembar, bukan
saja raut wajahnya mirip, bahkan
perawakannya, tinggi pendek kurus gemuk pun
tak berbeda, mereka berdua sama-sama
memelihara kumis yang rapi.
Setelah masuk ke dalam halaman dan
memperhatikan sekejap seputar sana, serentak
kedua orang itu pun berseru, "Tempat yang
sangat bagus, tempat yang benar-benar bagus,
memang sangat hokki bila dapat mati di tempat
seperti ini!"
Tentu saja Pho Ang-soat kenal mereka berdua,
memang jarang umat persilatan yang tidak kenal
sepasang saudara kembar itu.
Auwyang Ting, Auwyang Tang, "Ting Tang
saudara kembar, makan daging sekaligus
tulangnya".
Orang kelima terlihat sangat terpelajar,
wajahnya putih bersih, orangnya halus dan
ramah, kumis dipelihara sangat bersih
dan beratur, dia berjalan masuk sambil
menggendong tangan, bukan saja wajahnya
dihiasi senyuman, sampai sorot mata
pun menandakan senyuman.
Dia tak bicara, tak nampak menggembol
senjata, dandanannya tak beda dengan seseorang
yang sedang datang menyambangi sahabat
karibnya. Pho Ang-soat tidak kenal orang ini, tapi begitu
melihat gerak-geriknya, tiba-tiba saja terasa
hawa dingin yang menggidikkan muncul dari
dasar telapak kakinya dan tembus hingga ke hulu
hati. Orang itu hanya berdiri di halaman dengan
senyum di kulum, tidak gelisah, tidak terburuburu,
tidak pula berbicara, seakan baginya mau
menunggu sampai tiga hari tiga malam pun tidak
menjadi masalah.
Seorang pelajar yang begitu halus, lembut dan
ramah penuh sopan-santun, mungkinkah dia pun
seorang pembunuh"
Pho Ang-soat yakin, sekalipun keempat orang
pertama bergabung jadi satu pun belum tentu
kemampuan mereka mampu mengalahkan orang
terpelajar ini.
Mengamati gerak-geriknya yang halus penuh
sopan-santun, mendadak Pho Ang-soat teringat
akan sesuatu. "Lembut, sangat lembut, lambat, sangat
lambat". Enam huruf itu melambangkan seseorang,
melukiskan tindakan seseorang waktu membunuh
korbannya, bukan saja amat lembut bahkan
sangat lambat. Konon sewaktu membunuh orang, dia
melakukannya dengan sangat lambat, bahkan
lambat sekali.
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Menurut berita, suatu ketika ia pernah
menghabiskan waktu hampir tiga hari lamanya
hanya untuk membunuh seseorang, kabarnya tiga
hari kemudian korbannya baru putus nyawa,
namun siapa pun tak mengenali bentuk badannya
lagi, bahkan orang sempat ragu benarkah dahulu
dia adalah manusia.
Tapi semuanya itu hanya kabar burung, tidak
banyak orang yang percaya, apalagi yang pernah
menyaksikan dengan mata kepala sendiri.
Tapi Pho Ang-soat percaya, bila di dunia
persilatan benar-benar terdapat manusia yang
"Lembut, sangat lembut, lambat, sangat lambat",
maka kemungkinan besar orang itu adalah lelaki
lemah lembut yang kini telah berdiri di
hadapannya itu.
Sinar matahari semakin terang memancarkan
cahayanya. Kian Tan, si Gunting satu kali masih
menggunting kuku dengan tenang, Sebun Say
masih berbaring di bawah pepohonan, jangankan
bergerak, mendongakkan kepala pun tidak.
Sepasang saudara kembar Ting Tang masih
duduk di pinggir pagar, mengawasi bunga liar
yang bertebaran di atas tanah lumpur.
Dalam pandangan mereka, Pho Ang-soat sudah
dianggapnya sebagai orang mati.
Karena mereka tidak bergerak, tentu saja Pho
Ang-soat pun tidak bergerak, apalagi Hong-ling,
dia tetap berdiri tenang di pinggir pintu sambil
mengawasi gerak-gerik seputar halaman.
Begitulah kedua belah pihak sama-sama tak
bergerak, sama-sama tidak melakukan tindakan
apa pun. Entah berapa lama, akhirnya terdengarlah
suara orang tertawa tergelak, menyusul tampak
dua orang lelaki berjalan masuk.
Mereka adalah Hoa Boan-thian dan Hun Caythian.
Setelah memandang sekejap sekeliling tempat
itu, Hoa Boan-thian baru maju ke depan dan
menyapa Pho Ang-soat dengan hangat dan akrab.
"Selama dua hari ini kalian tentu sibuk sekali!"
"Masih baikan," jawab Pho Ang-soat dingin.
"Semalam dapat tidur nyenyak?" "Tidur nyenyak,
makan kenyang."
"Siapa bisa makan enak tidur nyenyak, dia
memang tergolong orang hokki," kata Hoa Boanthian
sambil tertawa, "sayangnya orang yang
banyak hokki seringkah berumur pendek."
"Oya?"
Sambil tertawa, kembali Hoa Boan-thian
menatap Pho Ang-soat, ujarnya lebih lanjut, "Aku
lihat kau bukan terhitung orang yang berumur
pendek, tapi heran, kenapa selalu suka
melakukan perbuatan yang cenderung membuat
umur sendiri jadi pendek."
Pho Ang-soat tidak menjawab, ia hanya
menatap dingin lawannya.
"Inginkah kau menjadi orang yang hokki dan
berumur panjang?" tanyanya lagi.
"Oya" Lalu bagaimana dengan dia?" Pho Angsoat
tertawa dingin.
"Dia?" Hoa Boan-thian melirik Hong-ling
sekejap, "kalau dia tergantung dirimu."
"Maksudmu?"
"Jika kau tak ingin disusahkan beban lain,
kujamin dirimu dapat pergi dari sini dengan bersih
dan gembira," kata Hoa Boan-thian sambil
tertawa, "bila kau ingin menyimpan cewek cakep,
maka kujamin dalam Ban be tong pasti akan kau
dapatkan rumah emas."
"Benarkah begitu?"
"Benar."
Dengan sinar mata sedingin salju Pho Ang-soat
menatap sekejap wajah setiap orang yang hadir
di situ, akhirnya berhenti di wajah Hoa Boanthian,
katanya, "Jadi kalian bersusah-payah
mengerahkan begitu banyak waktu dan tenaga,
tujuannya hanya menginginkan aku kembali ke
Ban be tong?"
"Sam-lopan kuatir kau kedinginan di luar dan
menderita lapar, " ucap Hoa Boan-thian sambil
tertawa, "jadi kuharap Pho-heng bisa memaklumi
niat baik Sam-lopan."
"Aku tahu."
Begitu selesai berkata, tubuh Pho Ang-soat
telah melambung di udara, golok hitam pun telah
dilolos dari sarungnya.
Orang yang diserang bukan Hoa Boan-thian,
bukan pula orang terpelajar yang lemah lembut,
melainkan Kian Tan si Gunting satu kali yang
berada paling jauh darinya.
Orang yang wajahnya buas dan galak biasanya
memiliki hati yang lemah dan penakut, terutama
Kian Tan itu. Dia memang buas, dia memang galak, senjata
andalan pun sebuah gunting besar. Tapi semua
itu tak lain untuk menutupi perasaan takut di hati
kecilnya. Dari tujuh orang yang hadir sekarang, dapat
dipastikan dialah yang memiliki ilmu silat paling
lemah. Dalam hal ini tak disangkal penilaian Pho Angsoat
memang sangat tepat, di saat tubuhnya
belum mencapai Kian Tan, ia telah menyaksikan
perasaan ngeri dan takut yang terpancar keluar
dari balik mata orang itu.
Jeritan ngeri nyaris terjadi berbareng dengan
munculnya suara desingan golok, dimana cahaya
berkelebat, sebuah mulut luka yang menganga
telah muncul di atas kening Kian Tan, menyusul
kemudian sinar ngeri yang terpancar dari balik
matanya pun lambat-laun semakin membuyar
dan hilang. Ketika berada dalam posisi dimana jumlah
musuh lebih banyak dari kekuatan kita,
seharusnya sasaran pertama yang harus diserang
adalah orang yang dianggap paling tangguh di
antara musuh-musuhnya.
"Menangkap ular tangkaplah bagian belakang
kepala, meringkus bandit tangkap dulu
pentolannya", tentu saja Pho Ang-soat cukup
memahami teori itu, tapi mengapa ia justru
menyerang bagian yang paling lemah lebih
dahulu" Hong-ling tidak habis mengerti kenapa Pho
Ang-soat berbuat begitu" Apalagi Hoa Boan-thian
sekalian. Di antara kelompok manusia itu, agaknya
hanya orang yang nampak paling halus dan sopan
saja yang mengerti kenapa Pho Ang-soat
bertindak begitu.
Di saat kita belum tahu dengan pasti
kemampuan pihak lawan, menyerang lawan
paling tangguh lebih dulu tidak ubahnya hanya
mempercepat saat kematian sendiri.
Karena kau sama sekali tidak tahu seberapa
besar kekuatan lawan yang sebenarnya" Apakah
kau lebih tangguh dari mereka" Atau
sesungguhnya mereka hanya musuh yang tak
tahan gempuran"
Bila kau mengambil resiko dengan menyerang
musuh paling tangguh lebih dahulu, tak ubahnya
kau telah membawa dirimu ke sisi jurang yang
memat ikan. Berada dalam kondisi seperti ini, cara terbaik
adalah menyerang dulu musuh yang paling
lemah, sebab kau tahu, seranganmu pasti dapat
menghancurkan orang itu.
Dengan merobohkan seorang lawan, berarti
telah melenyapkan sebagian kekuatan musuh,
perbandingan kedua belah pihak mendekati
berimbang. Di saat tubuh Pho Ang-soat mulai melambung,
tiba-tiba sekulum senyuman tersungging di ujung
bibir lelaki terpelajar itu.
Menanti tubuh Pho Ang-soat melayang turun, di
kala ayunan goloknya sudah mencapai saat
tenaganya habis dan tenaga baru belum muncul,
mendadak lelaki terpelajar itu mengayun
sepasang tangannya berulang kali, segumpal
cahaya tajam berwarna hitam segera meluncur
dari tangannya, langsung mengancam punggung
lawan. Pada saat bersamaan, sepasang saudara
kembar Ting Tang yang selama ini duduk santai
pun tiba-tiba melancarkan serangan.
Dua buah cambuk panjang bagaikan dua ekor
ular berbisa tanpa menimbulkan suara meluncur
keluar dari tangan Ting tang hengte, kemudian
secepat kilat melilit leher Pho Ang-soat.
Belakang punggungnya ditunggu sambitan
senjata rahasia yang kuat, dari kiri kanan pun
dicegat cambuk panjang bagai ular berbisa,
seluruh jalan mundur Pho Ang-soat nyaris
tersumbat semua.
Tapi semua itu masih bukan merupakan
kekuatan serangan yang paling utama, mereka
memang sengaja melancarkan serangan seperti
itu tujuannya tak lain agar Im hun kiam Sebun
Say yang masih berbaring di bawah pepohonan
dapat menusuk perut Pho Ang-soat dengan
lancar. Bila kau tidak menundukkan kepala, jangan
harap bisa kau lihat semua gerak-gerik di tanah
secara jelas, tapi Pho Ang-soat memang tak malu
disebut Pho Ang-soat.
Ia telah menggunakan indra keenamnya untuk
melihat situasi, dia telah berhasil menganalisa,
berada dimanakah mara-bahaya yang
sesungguhnya. Biarpun kekuatan lama telah sampai ke
ujungnya, kekuatan baru belum muncul dan
tubuhnya juga mustahil melejit secara tiba-tiba,
namun ia telah melakukan satu tindakan yang
membuat semua orang terperanjat.
Mendadak ia berjongkok, lalu menyongsong
datangnya tusukan Im hun kiam.
Melihat Pho Ang-soat berjongkok secara tibatiba,
Sebun Say tertegun, namun pedang Im hun
kiam tetap secepat kilat menusuk ke depan.
Tapi sayang justru karena ia tertegun, hal ini
telah memberi sebuah jalan hidup untuk Pho Angsoat.
Tujuan Pho Ang-soat berjongkok memang
berharap Sebun Say tertegun, asal lawannya
tertegun, otomatis tusukan pedang Im hun kiam
ikutan berhenti sejenak. Maka Pho Ang-soat pun
punya kesempatan untuk menggunakan golok
hitamnya untuk memangkas ujung pedang lawan.
Tiada suara bentrokan, tiada desingan angin
golok, juga tak ada percikan bunga api.
Saat itu hanya muncul dua titik cahaya bintang,
kemudian Sebun Say melihat pedangnya
terkutung jadi dua disusul suara golok yang
membalok tulang.
Dalam pertarungan yang terjadi kali ini,
tampaknya lagi-lagi Pho Ang-soat berhasil meraih
kemenangan. Namun di saat ujung goloknya berhasil
membabat tulang Sebun Say, tiba-tiba paras
muka Pho Ang-soat memperlihatkan rasa takut
dan ngeri yang belum pernah terlihat
sebelumnya. Yang kena bacokan bukanlah dia, pertarungan
kali ini pun berhasil dia menangkan lagi, kenapa
wajahnya menampilkan rasa ngeri dan takut" Apa
yang telah terjadi"
Bab 9. NAPSU YANG PALING TUA
Yang ditakuti Pho Ang-soat bukan menang
kalahnya pertempuran hari ini, dia pun bukan
ngeri karena masalah mati hidupnya. Yang
membuatnya ngeri dan takut karena pada
akhirnya dia paham maksud tujuan kedatangan
orang-orang itu.
Ketika Pho Ang-soat berjongkok, ketika mata
golok menyongsong datangnya pedang Im hun
kiam Sebun Say, dua cambuk panjang yang
semula mengancam lehernya tiba-tiba bergetar di
udara lalu menyabet taburan cahaya hitam itu.
"Pletak, pletak!", begitu ujung cambuk
menghantam senjata rahasia, kumpulan Am-gi itu
berbalik arah mengancam tubuh Hong-ling yang
masih berdiri di depan pintu.
Hoa Boan-thian dan Hun Cay-thian yang
selama ini berdiri tenang di sisi arena pun saat itu
bersama-sama mencabut pedangnya, lalu diiringi
desingan angin tajam mereka langsung
mengancam Hong-ling.
Ujung cambuk berputar di udara sekali lagi
memperdengarkan suara nyaring, lalu bagai ular
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berbisa yang mematuk mangsa langsung
membelit sepasang tangan Hong-ling.
Biarpun Hong-ling terperanjat, ia tak kalut,
tubuhnya berputar cepat menghindari datangnya
sambitan senjata rahasia.
Tapi baru saja ia memutar badan, sepasang
pedang Hoa Boan-thian dan Hun Cay-thian sudah
menusuk tiba. Sepasang lengan Hong-ling telah bertambah
dengan dua mulut luka memanj ang.
Belum lagi darah segar mengucur, kedua
batang cambuk panjang itu sudah melilit
sepasang lengan Hong-ling dengan kuatnya.
Sementara itu bacokan golok Pho Ang-soat
telah menghajar telak tulang kening Sebun Say.
Dia sama sekali tidak memberi kesempatan
kepada dirinya untuk berganti napas, mengikuti
gerakan tubuhnya yang menjorok ke depan, mata
goloknya segera membentuk gerakan setengah
lingkaran busur, lalu menghajar pedang Hun Caythian.
Belum lagi goloknya tiba, hawa serangan telah
menghimpit tubuh lawan. Dalam keadaan begini,
Hun Cay-thian tak berani mengurusi Hong-ling
lagi, segera dia tarik kembali pedangnya untuk
menangkis datangnya ancaman.
"Trang", berbareng terjadinya benturan, lagilagi
pelajar sopan itu mengayun tangan berulang
kali, senjata rahasia segera meluncur ke udara.
Semua Am-gi itu bukan tertuju ke tubuh Pho
Ang-soat yang masih di tengah udara, melainkan
diarahkan ke bawah kakinya, asal dia meluncur
turun, niscaya badannya akan terhajar.
Tiba-tiba Pho Ang-soat melakukan gerakan
aneh, dia melepaskan bacokan dengan gerakan
aneh, yang dibacok bukan orang melainkan dahan
yang tumbuh di tengah halaman.
Dengan tertancapnya mata golok di atas dahan,
Pho Ang-soat pun menggunakan kekuatan
tertahan itu untuk melejit kembali di udara, lalu
secepat kilat menyambar tubuh Ting tang hengte.
Hong-ling yang sepasang tangannya terlilit
cambuk berusaha melepaskan diri, siapa sangka
semakin dia meronta, lilitan itu semakin
mengencang, bukan saja gagal melepaskan diri,
guratan berdarah malah muncul di kedua
lengannya. Di pihak lain, Pho Ang-soat yang sedang
meluncur ke arah Ting tang hengte mendadak
melihat tubuhnya sudah dihadang seseorang,
ternyata orang itu adalah pemuda terpelajar itu.
Tampak ia mengayunkan sepasang tangan
berulang kali, pukulan demi pukulan ditujukan ke
tubuh Pho Ang-soat yang masih melambung di
udara. Karena sekali lagi terhadang, mau tak mau Pho
Ang-soat harus membuyarkan seluruh kekuatan
yang dimilikinya, lalu merosot ke bawah,
menghindari ancaman serangan pemuda pelajar
itu. Karena ada hadangan ini, Ting tang hengte
segera memanfaatkan kesempatan itu untuk
menarik tubuh Hong-ling ke atap rumah, lalu
dalam beberapa kali lompatan mereka sudah
meluncur ke arah hutan.
Sadar tiada harapan untuk menyelamatkan
perempuan itu, sikap Pho Ang-soat malah jauh
lebih tenang, ditatapnya ketiga orang yang masih
tersisa dengan pandangan dingin.
Hoa Boan-thian dan Hun Cay-thian menarik
kembali pedangnya dan memandang Pho Angsoat
dengan senyum di kulum, sementara
pemuda terpelajar itu pun masih tetap berdiri
tenang. Sesaat kemudian tampak Hoa Boan-thian
berjalan menghampiri pemuda itu, lalu kepada
Pho Ang-soat katanya, "Pho-heng, lantaran tadi
didesak oleh waktu, maka aku lupa
memperkenalkan nama Kongcu ini kepadamu"
"Lembut, sangat lembut, lambat, sangat
lambat," perlahan Pho Ang-soat bergumam, "dia
bernama Un Ji-giok"
Hoa Boan-thian agak tertegun, tapi segera
serunya sambil tertawa tergelak, "Sungguh tak
kusangka pengetahuan Pho-heng begitu luas,
sampai Un-kongcu yang sudah sekian lama tak
pernah terjun ke dalam dunia persilatan pun kau
ketahui dengan jelas."
Pho Ang-soat tertawa dingin.
"Jadi kedatangan kalian hari ini hanya
bertujuan membawanya pergi?"
"Benar."
"Apakah kalian bermusuhan dengannya?"
"Tidak," Hoa Boan-thian menggeleng kepala,
"Sam-lopan kuatir kehadirannya malah
mengganggu ketenangan hidup Pho-heng, maka
beliau sengaja mengutus kami membawanya
pergi, agar Pho-heng dapat menikmati hidup
dengan tenang."
"Keliru besar!"
Ucapan Pho Ang-soat yang mendadak dan
membingungkan ini kontan membuat semua
orang tertegun, termasuk Un Ji-giok pun ikut
menarik senyumannya.
"Keliru" Apanya yang keliru" Kau bilang Samlopan
telah salah mengartikan niat baiknya?"
Pho Ang-soat tak langsung menjawab, perlahan
dia mengalihkan sorot matanya ke wajah Un Jigiok,
kemudian baru ujarnya, "Kau keliru."
"Aku keliru?" Un Ji-giok tertegun, "dimana
letak kesalahanku?"
"Kau sangka sewaktu sepasang tanganmu
bersilang di udara, aku tak berhasil melihat titik
kelemahanmu atau kau sangka biarpun tahu pun
aku tak akan mampu menjebolnya?"
Tentu Un Ji-giok mengetahui letak kelemahan
jurus serangannya, namun dia pun tahu baik Pho
Ang-soat atau siapa pun tak mungkin mampu
melancarkan serangan mematikan setelah
mengetahui titik kelemahan itu, maka terhadap
ucapan Pho Ang-soat dia hanya tertawa hambar.
Belum selesai ia tersenyum, sekonyongkonyong
terlihat cahaya golok berkelebat,
kemudian terdengarlah jeritan ngeri yang
memilukan. Rupanya secara tiba-tiba Pho Ang-soat
mencabut golok, lalu membacok dari sudut yang
sangat aneh, yang dibabat bukan Un Ji-giok
melainnya Hun Cay-thian yang berada di sisi lain.
Menanti jerit kesakitan Hun Cay-thian bergema,
Pho Ang-soat telah menyarungkan kembali
goloknya. Paras muka Un Ji-giok seketika berubah hebat,
berubah jadi putih pucat bagai bunga salju.
Pho Ang-soat memandang dingin Un Ji-giok
sambil menegur, "Bukankah kau keliru?"
Cahaya golok yang barusan berkilat, ayunan
golok yang barusan membacok, meski Hun Caythian
yang menjadi sasaran, namun Un Ji-giok
dapat melihat gerakan yang digunakan tak
lain adalah satu-satunya gerakan yang bisa
menjebol titik kelemahan jurus serangannya tadi.
"Ya, aku salah," akhirnya Un Ji-giok mengakui.
"Tadi aku tak menggunakan jurus itu bukan
lantaran aku tak bisa atau tak mendapat waktu,"
perlahan Pho Ang-soat berkata lagi, "aku tak
menggunakan sebab saatnya tidak tepat, bila aku
nekat melakukannya juga, justru yang aku
kuatirkan adalah kegugupan Ting tang hengte
bisa berakibat terbunuhnya Hong-ling."
Dalam pada itu peluh dingin telah membasahi
tubuh Un Ji-giok, untuk sesaat dia tak mampu
mengucapkan sepatah kata pun.
Tiba-tiba Hoa Boan-thian melangkah maju ke
depan, teriaknya, "Sekalipun kau tidak
menggunakan jurus serangan itu, Hong-ling tetap
sudah terjatuh ke tangan kami."
Jawaban Pho Ang-soat sama sekali tidak
ditujukan kepada Hoa Boan-thian, melainkan
kepada Un Ji-giok, ujarnya, "Ada semacam orang
sejak lahir sudah memiliki bakat melacak seperti
binatang, aku percaya kau pun tahu."
"Ya, aku tahu," jawab Un Ji-giok.
"Bagus, kalau begitu kau sudah boleh mati."
Ketika mata golok mulai membelah angkasa,
tubuh Un Ji-giok telah melayang ke atas atap
rumah, Ginkang yang dimilikinya memang
terhitung kelas satu dalam Kangouw, tapi sayang
yang dijumpainya justru Pho Ang-soat.
Baru saja ujung kakinya menempel atap rumah
dan bersiap meminjam tenaga untuk melejit ke
arah lain, ia sudah mendengar suara desiran
angin golok yang amat tajam, kemudian terasa
sepasang kakinya dingin sekali.
Menanti ia berhasil bersalto di udara dan
meluncur ke arah lain, secara kebetulan ia
saksikan sepasang kaki sendiri masih tertinggal di
atap rumah. Belum pernah Hoa Boan-thian menyaksikan
ilmu golok seaneh itu, dia hanya melihat
cahaya golok berkilat, sebuah kebasan dari
Pho Ang-soat yang dilakukan begitu ringan dan
sederhana, namun tahu-tahu sepasang kaki Un
Ji-giok yang sudah sempat kabur sejauh enamtujuh
depa tertabas kutung dan ketinggalan di
atas atap. Hoa Boan-thian ingin kabur, apa lacur sepasang
kakinya sudah tak mau menuruti perkataannya
lagi, bahkan ia sempat mendengar gigi sendiri
sedang gemerutukan karena gemetar.
Perlahan-lahan Pho Ang-soat membalikkan
badan, menatap wajah Hoa Boan-thian dengan
sinar tajam. "Hari ini aku tak akan membunuhmu," katanya
ketus, "tapi kau harus membawa pesanku."
"Pe... pesan apa?"
"Beritahu Sam-lopan, peduli siapa pun dia, aku
pasti akan pergi mencarinya, jadi lebih baik suruh
dia menemuiku dengan wajah aslinya."
"Aku... pasti akan kusampaikan."
Di antara binatang buas, serigala termasuk
binatang yang paling pintar melacak, serigala pula
yang paling pandai menghindari pelacakan.
Kalau Pho Ang-soat diibaratkan serigala, maka
tak disangka Ting tang hengte terhitung serigala
juga. Tak ada jejak, tak ada petunjuk, tak ada saksi
mata. Sementara itu langit bertambah gelap, dari
balik remangnya cuaca terlihat bintang mulai
bertaburan di angkasa.
Pho Ang-soat tidak berhasil menemukan Hongling,
dia pun gagal menemukan Ting-tang-hengte,
sudah seharian melakukan pengejaran, jangankan
bersantap, minum seteguk air pun belum.
Seluruh bibirnya telah mengering, sol
sepatunya sudah robek terantuk batu tajam,
betisnya pun terasa linu dan amat sakit.
Namun ia belum juga menemukan jejak
mereka. Berhenti di tengah jalan" Tidak mungkin! Tentu
saja harus dicari terus, bagaimana pun juga dia
harus tetap mencari, sekalipun harus mencari
sampai ke surga atau menelusuri hingga neraka,
baik mendaki bukit golok atau menelusuri minyak
mendidih, ia tetap akan mencari.
Tapi kemanakah dia harus mencari"
Dengan cara apa harus melakukan pencarian"
Persis Go Kang di istana rembulan yang ingin
menebang pohon Kui yang tak mungkin bisa
tumbang, meski sudah tahu mustahil, dia tetap
menebang terus tiada hentinya.
Apakah akhirnya pohon itu berhasil ditebang"
Pohon yang tak mungkin ditebang,
manusia yang tak mungkin ditemukan. Di
dunia ini memang banyak kejadian seperti ini.
Mengapa dia harus menemukan perempuan itu"
Bukankah dia bukan miliknya" Dia pun bukan
sanak keluarganya, atau sahabat" Mengapa ia
begitu ingin menemukannya"
Bukankah perempuan itu hendak
membunuhnya, orang yang datang untuk mencari
balas" Sekalipun berhasil ditemukan, berhasil
menolongnya, lalu apa pula yang bisa ia lakukan"
Ketika lukanya telah sembuh, di saat ia
mendapatkan kesempatan lagi, bukankah
perempuan itu bakal membunuhnya"
Di tengah jagad raya muncul taburan bintang
seperti semalam.
Dari tempat dimana Pho Ang-soat berdiri
sekarang, dengan mudah ia dapat melihat rumah
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kayu kecil yang ditempatinya selama ini. Rumah
kayu itu penuh diliputi kehangatan, tapi
sekarang" Setelah melakukan pencarian seharian
penuh, Pho Ang-soat betul-betul merasa sangat
lelah, dia pun tak punya tempat tinggal lain
sehingga terpaksa harus balik ke rumah kecil itu.
Yang paling penting dia berharap Hong-ling
dapat meloloskan diri dari tangan musuh dan lari
balik ke rumah kayu itu.
Tapi mungkinkah"
Tak tahan Pho Ang-soat tertawa getir, harapan
yang mustahil bisa terjadi.
Baru saja senyuman getir tersungging di ujung
bibir, mendadak ia lihat dari rumah kecil itu
memancar keluar cahaya lentera.
Dia masih ingat dengan jelas, ketika keluar dari
rumah pagi tadi, ia sama sekali tidak menyulut
lentera, mengapa sekarang bisa muncul cahaya
lampu dari balik ruangan"
Apakah Hong-ling sudah terlepas dari sandera
dan kabur balik"
Pho Ang-soat menggunakan kecepatan paling
tinggi menerobos ke sana, ketika tiba di depan
rumah, ia sudah mendengar bergemanya suara
dari balik ruangan.
Semacam suara yang membuat siapa pun, asal
mendengar satu kali saja maka selamanya tak
pernah akan melupakannya.
Suara gabungan isak tangis, tertawa, dengusan
napas dan rintihan, suara yang dipenuhi nada
iblis dan luapan napsu.
Suara yang membuat orang paling tenang pun
tidak kuasa meluapkan hawa amarahnya.
Kembali Pho Ang-soat menerjang ke muka,
sekali tendang ia dobrak pintu ruangan.
Begitu pintu terbuka, perasaannya pun
tenggelam, api amarah langsung meluap hingga
ke ujung kepala.
Ternyata rumah kayu yang sederhana itu telah
berubah menjadi neraka.
Neraka dunia. Hong-ling sedang tersiksa dan menderita dalam
neraka dunia. Ting tang hengte, seorang bagai hewan buas
menindih tubuh perempuan itu, sementara yang
lain berbaring di samping tubuhnya sambil
membuka mulut perempuan itu dan melolohkan
arak. Cairan arak yang merah bagai darah, meleleh
dan membasahi seluruh tubuh bugilnya yang
putih mulus. Sewaktu Ting tang hengte yang sedang
kerasukan napsu birahi sadar akan kedatangan
Pho Ang-soat, secepat anak panah terlepas dari
busur, pemuda itu menerobos masuk ke dalam,
golok kematiannya yang berwarna hitam pun
langsung membabat ke bawah.
Gempuran itu mematikan, Pho Ang-soat yang
sudah terbakar oleh amarah telah mengerahkan
segenap tenaganya, hingga Ting tang hengte
menggelinding jatuh ke lantai bagai karung goni,
hawa amarahnya baru sedikit mereda.
Dari dua orang bersaudara itu, yang seorang
langsung tewas di tempat sementara seorang
yang lain dengan menggunakan sisa napas yang
terakhir memperlihatkan sekulum senyumannya
yang tak sedap dilihat, lalu dengan menggunakan
suara yang menyeramkan seolah berasal dari
neraka serunya, "Kau bakal menyesal!"
Bakal menyesal" Apa yang perlu disesali"
Selama hidup Pho Ang-soat tak pernah kenal
kata menyesal. Dengan sekuat tenaga ia lempar mayat Ting
tang hengte keluar ruangan, lalu dengan sekuat
tenaga menutup pintu.
Pintu dalam keadaan tertutup, jendela
dibiarkan tetap terbuka, sebab dalam ruangan
penuh dengan bau arak yang menyengat.
Bukan bau pedas bercampur kecut seperti bau
golok yang dibakar, melainkan bau minyak dan
bedak yang tak sedap.
Hong-ling masih berbaring di atas ranjang
besar yang beralas kulit binatang, ia dalam
keadaan telanjang bulat.
Seluruh pakaiannya telah dilucuti, dari atas
hingga ke bawah, tubuhnya benar-benar seratus
persen bugil. Sepasang matanya membalik ke atas,
mulutnya mengeluarkan buih putih, seluruh
ototnya tiada hentinya mengejang dan gemetar,
bahkan setiap inci kulitnya pun tampak gemetar
tiada hentinya.
Dia bukan Cui long, bukan kekasih Pho Angsoat,
dia pun bukan temannya, ia datang untuk
menuntut balas kepadanya.
Namun setelah menyaksikan keadaannya,
perasaan Pho Ang-soat tetap sakit bagai ditusuk
jarum. Dalam waktu sekejap dia seolah lupa bahwa dia
adalah seorang wanita, lupa kalau ia berada
dalam keadaan bugil.
Dalam pikiran dan ingatan Pho Ang-soat dia
adalah seorang perempuan yang patut dikasihani,
seorang wanita yang telah disiksa dan didera oleh
ketidak adilan.
Sebaskom air, selembar handuk.
Pho Ang-soat menggunakan handuk yang
dibasahi air hangat menyeka wajahnya, menyeka
buih putih yang menodai bibirnya, lalu menyeka
air mata di ujung kelopak matanya.
Pada saat itulah dari tenggorokannya
menggema suara rintihan aneh yang membetot
sukma, tubuhnya mulai menggeliat,
pinggangnya yang ramping mulai meliuk-liuk
bagai seekor ular, pahanya yang putih mulus pun
mulai bergeser ke kiri kanan.
Tidak banyak lelaki yang bisa bertahan
menghadapi rangsangan napsu seperti ini, untung
Pho Ang-soat termasuk salah satu di antara
mereka yang tak gampang terangsang.
Dia berusaha sedapat mungkin tidak
memandang tubuhnya yang bugil, dia ingin
mencari sesuatu benda untuk menutupi bagian
tubuhnya yang paling vital.
Tetapi sebelum ia menemukan sesuatu,
mendadak Hong-ling menangkap tangannya,
kemudian memeluk tubuh Pho Ang-soat erat-erat.
Pelukannya begitu kencang dan kuat, seperti
seorang kalap di air yang sekuat tenaga memeluk
sebatang batok kayu.
Pho Ang-soat tak tega mendorong tubuhnya,
namun dia pun tak bisa membiarkan badannya
dipeluk terus. Beberapa kali dia ingin mendorong, tapi dengan
cepat tangannya ditarik kembali.
Bila kau dapat mendorong seorang wanita
dalam keadaan seperti ini, maka kau pasti akan
tahu mengapa dia menarik kembali tangannya.
Sebab biarpun bagian tubuh wanita yang tak
boleh tersentuh oleh kaum lelaki tak banyak
jumlahnya, namun berada dalam situasi seperti
ini, bagian tubuh itu juga yang akan kau dorong.
Tubuh Hong-ling panas bagaikan air mendidih,
detak jantungnya pun cepat sekali.
Dengus napasnya juga tercium bau arak yang
sangat kental, bau itu terus menerus terhembus
keluar dari mulutnya dan masuk ke dalam
pernapasan Pho Ang-soat.
Tiba-tiba saja pemuda itu jadi paham.
Dia tahu sekarang apa sebabnya Ting tang
hengte yang berjiwa bagai binatang itu
menggunakan arak untuk melolohnya. Rupanya
arak itu telah dicampur obat perangsang.
Sayangnya di saat dia mulai mengerti akan hal
ini, dia sendiri pun ikut terpengaruh oleh obat itu.
Tiba-tiba saja ia menjumpai bagian tubuh
tertentunya mengalami perubahan yang sulit lagi
untuk dikendalikan.
Semua pikiran dan kesadarannya telah
berantakan. Sementara itu Hong-ling telah menindih
badannya menggunakan tubuhnya yang bugil,
gadis itu mulai merangsangnya, menggunakan
tubuhnya yang telanjang menggiring dia
melakukan perbuatan dosa.
Perbuatan dosa yang paling kuno, perbuatan
dosa yang paling purba.
Arak bercampur obat perangsang telah
membangkitkan napsu birahi mereka berdua,
napsu birahi paling kuno yang tak mungkin bisa
dilawan siapa pun.
Semenjak ada manusia, napsu birahi pun mulai
menguasai jagad.
Menciptakan kesalahan memang banyak
penyebabnya, napsu birahi hanya salah satu di
antaranya. Kini kesalahan telah dilakukan, nasi sudah jadi
bubur, tidak mungkin semuanya bisa diubah lagi.
Seorang biasa, jika dalam keadaan yang tak
bisa dilawan telah melakukan sebuah kesalahan,
kesalahan semacam ini dapatkah disebut sebagai
sebuah kesalahan fatal" Mungkinkah kesalahan
seperti ini dapat dimaafkan"
Kesalahan telah dibuat, gejolak hati telah
tenang, napsu birahi pun telah mencapai
puncaknya, kini malam yang gelap pun sudah
mendekat i akhir.
Saat itu merupakan saat yang paling gelap
sepanjang hari. Saat itu pula merupakan saat
pertarungan antara kepedihan dan rasa gembira.
Saat itu juga merupakan detik tumbuhnya rasa
penyesalan. Saat itu Pho Ang-soat telah sadar.
Lelehan lilin telah mengering, lampu pun telah
padam, dari balik kertas jendela yang buram
lamat-lamat muncullah cahaya putih yang terang.
Putih pucat, sepucat wajah Pho Ang-soat,
sepucat perasaannya. Hong-ling adalah seorang
wanita, wanita yang datang mencari balas.
Meskipun selama beberapa hari mereka pernah
hidup bersama, namun tujuan perempuan itu
hanya menanti saat yang tepat untuk membunuh
nya. Tapi kini dia berada di sisinya, berbaring di
samping tubuhnya.
Ia dapat merasakan detak jantungnya,
kehangatan badannya serta dengus napasnya, di
samping ketenangan, kelembutan dan kepuasan
setelah dipermainkan rangsangan birahi.
Semacam ketenangan dan kegembiraan yang
membuat seorang lelaki tak segan mengorbankan
segalanya demi menggapainya.
Kini Pho Ang-soat hanya berharap bisa
memusnahkan semuanya itu.
Kini baru dia paham maksud ucapan Ting tang
hengte menjelang ajalnya.
"Kau bakal menyesal." Menyesal" Apakah dia
menyesal" Mungkinkah ia dapat memusnahkan
semua peristiwa yang baru saja berlangsung"
Tidak mungkin! Dia tak mungkin bisa!
Dialah yang telah menciptakan semua ini, tak
mungkin lagi baginya untuk menghindar, tak
mungkin pula untuk dilawan.
Karena dia yang menciptakan, dia juga yang
harus menanggung akibatnya.
Terlepas akibat macam apa yang bakal
menimpanya. Jagad raya terasa dingin, kabut pagi pun dingin
sekali. Sepasang tangan Pho Ang-soat telah kaku
lantaran dingin, hatinya ikut dingin, sedingin
mata golok. Kejadian telah berlangsung, suatu kesalahan
yang selamanya tak mungkin bisa dihindari.
Bila kau menjadi Pho Ang-soat, apa yang akan
kau lakukan" Menghindar"
Setiap orang ada saatnya berusaha menghindar
dari orang lain, tapi tak seorang pun yang bisa
menghindari diri sendiri, selamanya. Pho Ang-soat
pun tak sanggup.
Perlahan ia berpaling, memandang Hong-ling
yang masih terbuai dalam alam impian.
Apa yang terjadi setelah ia mendusin nanti"
Membayangkan kembali peristiwa yang terjadi
semalam, gejolak napsu yang tak berbendung,
luapan birahi yang tak tertahan. . . Pho Ang-soat
sadar, sepanjang hidup berikutnya tak nanti dia
bisa melupakan adegan itu.
Lalu bagaimana dengan dia" Setelah mendusin,
bagaimana caranya berhadapan dengan Hongling"
Dua orang yang sama sekali tak berakar, tibatiba
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melakukan hubungan yang tak akan
terlupakan. Setelah kejadian ini, apakah mereka berdua
harus bersatu terus" Atau lebih baik
mengambil jalan sendiri-sendiri" Membiarkan
kedua belah pihak sama-sama menerima
penderitaan dan penyesalan karena kesalahan
yang telah dilakukannya"
Pertanyaan yang pelik, siapa yang sanggup
menjawabnya"
Siapa pula yang tahu, tindakan apa yang
seharusnya dilakukan"
Jendela masih terbuka lebar, sinar terang mulai
menerobos masuk ke dalam ruangan.
Langit terasa hening, lembah bukit terasa sepi,
suasana pagi pun amat tenang. Semuanya
tenang dan sepi.
Tiba-tiba Hong-ling mendusin, tiba-tiba
membuka matanya, ia memandang Pho Ang-soat
yang masih berbaring di samping tubuhnya.
Sorot matanya mulai bereaksi.
Apa reaksinya" Penderitaan" Kebingungan"
Permintaan maaf" Penyesalan" Atau amarah yang
meluap" Pho Ang-soat tak dapat menghindari
pandangan matanya, dia pun tak sanggup
menghindar. Ia balas menatap wanita itu, menantikan
reaksinya. BAGIAN IV. MELAHIRKAN ANAK
Bab 1. BERTEMU SETAN PENGISAP DARAH
LAGI Belum melangkah masuk ke rumah yang
memiliki kepribadian itu, dari kejauhan Yap Kay
telah mendengar ada orang sedang menangis.
Biarpun suara tangisan seorang wanita, tapi
Yap Kay dapat mengenalinya, bukan So Mingming
yang sedang menangis, melainkan isak
tangis seorang nyonya setengah baya.
Begitu masuk ke dalam, ia jumpai seorang
wanita setengah umur yang bertubuh gemuk dan
subur sedang duduk di tepi pembaringan,
sementara So Ming-ming berada di sampingnya
sembari menghibur.
"Apa yang telah terjadi?" Yap Kay bertanya,
"kenapa nyonya ini menangis begitu sedih?"
"Semalam suaminya telah bertemu setan
pengisap darah," So Ming-ming menerangkan.
"Setan pengisap darah" Di sini pun terdapat
setan pengisap darah?" seru Yap Kay agak
tertegun. "Bukan hanya ada, bahkan sudah lama ada,
namun setelah mereda cukup lama, semalam
baru muncul lagi."
"Lalu suaminya...."
"Tentu saja darahnya sudah terisap kering."
Yap Kay berpikir sejenak, kemudian tanyanya
lagi, "Lantas dimana suaminya sekarang?"
"Masih di tempat kejadian, ada di halaman
belakang rumahnya." "Mari kita ke sana."
Selesai berkata Yap Kay segera beranjak
meninggalkan tempat itu.
Sebetulnya So Ming-ming ingin ikut, tapi
melihat nyonya setengah umur itu masih
menangis sedih, terpaksa dia tetap tinggal untuk
melanjutkan menghiburnya.
Menyongsong datangnya kabut pagi,
menerobos lapisan kabut yang tebal, Yap Kay
memasuki halaman belakang rumah nyonya
setengah umur itu, dari jauh ia sudah melihat
sesosok mayat terkapar di tanah.
Noda darah dari bekas lukanya di tengkuk
sudah membeku, mimik mukanya masih
memperlihatkan rasa takut bercampur ngeri,
sepasang matanya melotot besar.
Yap Kay segera berjongkok, membantu
menutup mata mayat, kemudian diawasinya
bekas luka di tengkuknya sambil berpikir keras.
Setan pengisap darah yang biasanya hanya
muncul dalam cerita ternyata muncul secara
nyata di tempat ini, sejujurnya Yap Kay merasa
amat sangsi bercampur heran.
Sekalipun ia belum pernah menyaksikan
dengan mata kepala sendiri kemunculan setan
pengisap darah, namun sudah dua kali ia melihat
mayat bekas digigit setan pengisap darah itu,
sekali ketika masih di Ban be tong dan hari ini
kedua kalinya. Benarkah korban yang digigit setan pengisap
darah keesokan harinya akan berubah jadi setan
pengisap darah juga"
Yap Kay berkerut kening, ia putuskan untuk
berjaga semalaman di sana nanti, dia ingin
melihat apakah mayat bekas digigit setan
pengisap darah itu benar-benar dapat berubah
pula menjadi setan pengisap darah. Konon setan
pengisap darah hanya bisa mati bila jantungnya
ditusuk kayu yang terbuat dari pohon bunga Tho,
lalu apakah malam nanti Yap Kay pun akan
menyiapkan sebatang kayu pohon Tho"
Tak kuasa lagi dia tertawa getir, banyak benar
peristiwa aneh yang terjadi tahun ini, khususnya
sekarang. Mula-mula semua orang yang sudah mati
semenjak sepuluh tahun lalu berbondong bangkit
dari liang kubur dan hidup kembali, dan kini
muncul pula setan pengisap darah.
Seandainya semalam ia tak berkunjung ke
kebun monyet serta melihat sendiri apa yang
disebut makhluk berkepala manusia bertubuh
monyet, ia pasti akan menambahkan kasus aneh
ini ke dalam benaknya.
Perlahan Yap Kay bangkit, pikirannya
melayang, tinggalkan kota Lhasa dan kembali ke
Ban be tong, entah bagaimana keadaan Pho Angsoat
kini" Yap Kay benar-benar kuatir rekannya itu
mengumbar watak dengan melakukan tindakan
bodoh yang justru merugikan dirinya.
Bila malam ini dia berhasil mengungkap kasus
setan pengisap darah itu, ia berencana besok pagi
akan meninggalkan Lhasa dan segera kembali ke
Ban be tong. Matahari pagi sudah semakin meninggi, bumi
pun terasa semakin panas, sembari menyeka
peluhnya, Yap Kay berjalan keluar halaman
belakang. Tiba di dalam ruangan, ia lihat So Ming-ming
telah menunggunya di sana. Begitu bertemu,
nona itu segera bertanya, "Bagaimana urusanmu
dengan kebun monyet" Kemana kau pergi sehari
semalam?" "Aku melihat monyet berkepala manusia," Yap
Kay menerangkan.
"Jadi benar" Benar-benar terdapat monyet jenis
begitu?" seru So Ming-ming sambil
membelalakkan mata.
Yap Kay tertawa tergelak.
"Padahal hanya monyet yang bulu mukanya
telah dicukur hingga kelimis," jelasnya.
"Monyet yang dicukur gundul?"
"Benar, karena mukanya kelimis maka dari
kejauhan mirip kepala manusia."
"Kenapa ia cukur gundul bulu-bulu di kepala
monyet?" "Siapa tahu" Mungkin Ong-losiansing
menganggap keisengannya menarik," sahut Yap
Kay, "siapa tahu juga kawanan monyet itu
terjangkit penyakit botak?"
Mendengar penjelasan itu, So Ming-ming ikut
tertawa. Menanti suara tawanya mulai mereda
baru ia berkata lagi, "Lalu mengapa kau berada di
sana hingga sehari semalam?"
"Siang harinya aku menonton orang bermain
catur dan malamnya kunikmati hidangan mewah
sambil mendengarkan permainan musik yang
indah dan menonton permainan akrobatik
beberapa ekor monyet lucu."
"Jadi kau tidak menemukan hal-hal yang
mencurigakan" Tidak kau tanyakan masalah Giokseng?"
"Sudah kutanyakan, tapi jawabannya tak ada."
"Tak ada" Tak ada apa?" tanya So Ming-ming
keheranan. "Dia bilang tak ditemukan hal-hal yang
mencurigakan, tak ada pula berita tentang Giokseng,"
Yap Kay menjelaskan, "aku pun tak
berhasil melacak berita tentang Kim-hi."
"Mana mungkin bisa begitu?" gumam So Mingming,
"padahal semua petunjuk mengarah ke
sana, tapi kini kau justru mengatakan bahwa di
dalam kebun monyet tiada yang patut
dicurigai...."
"Ada seorang kenamaan pernah mengucapkan
sepatah kata, pernahkah kau mendengarnya?"
kembali Yap Kay tertawa.
"Apa yang dia katakan?"
"Tempat yang tak patut dicurigai seringkah
justru merupakan tempat yang paling
mencurigakan," Yap Kay menerangkan.
"Sungguh" Jadi maksudmu kebun monyet
adalah tempat yang amat mencurigakan?"
"Waktu sampai di dalam kebun monyet, kulihat
segala sesuatunya seperti normal dan biasa."
"Kalau memang normal dan biasa, apa lagi
yang patut dicurigai?"
"Justru lantaran kelewat normal dan biasa,
maka timbul kesan amat mencurigakan," kata Yap
Kay, "coba bayangkan saja, kebun monyet itu
sangat besar dan luas, seperti juga orang yang
bernama Ong-losiansing itu, seharusnya dia
memiliki watak yang aneh dan nyentrik, tapi dia
berusaha tampil dengan sikap normal dan wajar,
sikap yang bisa kau jumpai di rumah dan
keluarga mana pun."
Setelah berhenti sejenak, kembali terusnya,
"Hal ini membuktikan dia memang sengaja
mengatur semuanya itu agar kita saksikan."
"Bila ia tidak berniat busuk, buat apa mesti
mengatur segalanya untuk dipertontonkan kepada
kita?" "Benar, oleh sebab itu sekarang juga aku akan
mengunjungi kebun monyet sekali lagi."
"Sekarang?" seru So Ming-ming, "apakah kali
ini pun kau akan masuk melalui pintu gerbang
secara terang-terangan atau menyelundup secara
diam-diam?"
"Tentu saja kali ini aku akan masuk secara
diam-diam," sahut Yap Kay sambil tertawa.
"Cuma sebelum pergi aku ingin merepotkan
dirimu untuk melakukan dua hal."
"Melakukan apa?"
"Pertama, jangan biarkan nyonya setengah
umur itu kembali ke rumahnya, biarkan saja
jenazah suaminya tergeletak di kebun belakang.
Dan kedua, tolong carikan sebatang kayu pohon
Tho untukku."
"Kayu pohon Tho" Untuk apa?"
"Tentu saja untuk membunuh setan."
"Membunuh setan?"
"Benar," Yap Kay membenarkan, "konon korban
yang mati karena gigitan setan pengisa
Jodoh Rajawali 6 Pendekar Sejagat Seri Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Bara Naga 13
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama