Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen Bagian 8
i "Cin-pou Wan-yoh Lian-hoan-twie".
Ia berhasil menendang mental dua buah gaetan, atau yang
ketiga menyantel betisnya. Masih ia dapat berlaku sebat,
sebelum kakinya ditarik, ia berseru nyaring smabil menggempur
hingga gagang gaetan patah.
Si liauwlo wanita, yang menggaetnya, kaget, hingga dia
menjadi kena tergertak dan kalah sebat.
Lama-lama Cin Siang menjadi letih. Dikurung terus menerus,
ia tidak mempunyai kesempatan untuk membuang napas, guna
mendapat sedikit ketika beristirahat. Di depannya ada Ong
Yang Ie yang gesit dan Liong Kek yang merupakan satu tenaga
baru. Repot ia melayani desakan mereka, lebih repot lagi
karena gaetan menyamber-nyamber tak hentinya, sedikit ayal
saja, ia bisa mendapat susah.
Satu kali Poan-koan-pit Liong Kek mengenai sasarannya,
hingga baju si Touw-ut menjadi pecah dan robek. Syukur ia
memakai baju lapis baja, kalau tidak, siang-siang ia sudah
tertotok roboh. Ia tidak manda ditotok itu, selagi tertotok, ia
menggempur senjata lawannya.
Liong Kek terkejut. Tangannya mental dan telapakannya
nyeri dan sesemutan.
Cin Siang menggunai ketikanya yang baik itu. Memang ia
telah melihat, di antara dua lawannya itu si nona, atau adik,
jauh terlebih gagah dari si pria, sang kakak, maka itu, ia
memasang mata kepada si pria, untuk didesak, guna lebih dulu
merobohkan musuh pria ini. Ia percaya, asal Liong Kek mundur
atau roboh, ia akan bisa lompat guna meloloskan diri.
Demikian datang saatnya itu, habis ditotok, ia menggempur
Poan-koan-pit si lawan. Inilah satu ketika yang baik. Apa mau,
justeru ia menggempur Liong Kek, justeru ia membuat
lowongan. Yan Ie yang matanya celi melihat itu, lantas si nona tidak
mensia-siakan ketikanya, dia terus saja menikam.
Cin Siang terperanjat, ia kesakitan. Serangan si nona
mengenai lengannya bagian atas, hingga baju lapisnya kena
tertusuk, hingga ia lantas mengucurkan darah. Ia terperanjat
berbareng gusar. Sambil berseru, ia menyerang hebat dengan
sebelah ruyungnya.
Liong Kek yang menjadi sasaran. Tapi Liong Kek waspada,
dapat ia berkelit, membarengi mana, ia juga membalas
menyerang. Kedua senjatanya tepat mengenai pundak Touw-ut
itu, di betulan jalan darah kin-ceng.
Cin Siang kaget bukan main. Sejenak itu, lenyap tenaga di
sebelah lengannya itu.
Liong Kek melihat itu, dia tertawa lebar.
"Orang she Cin, kematianmu sudah ada di depan matamu,
apakah kau masih hendak berlaku kosen?" ejeknya. "Lekas kau
lemparkan sepasang ruyungmu, lantas kau berlutut dan
mengangguk hingga kepalamu mengeluarkan suara nyaring,
dengan begitu mungkin aku akan memberi ampun kepadamu!"
Puteranya Ong Pek Thong menghina untuk membalas
dendamnya karena tadi ia kena dicekuk dan dilempar musuh
itu, kalau ia tidak sebat dan pandai berjumpalitan, pasti ia
terbinasa atau sedikitnya terluka parah.
Cin Siang berludah. Ia gusar sekali. Ia kata nyaring, "Akulah
si harimau dari tanah datar, aku tetap seekor harimau yang
galak! Kau bangsa anjing, kau berani menghina aku?"
Kata-kata keras itu diikuti dengan serangan berantai.
Walaupun tenaganya sudah berkurang, Touw-ut ini tetap
gagah, sikapnya pun berpengaruh.
Liong Kek muda tetapi ia sudah tersohor dalam Rimba Hijau,
tidak urung ia terkejut juga. Ia tidak menyangka musuh masih
begini gagah. Tanpa merasa ia mundur dua tindak.
Yan Ie melihat kakaknya itu terpukul mundur, ia kata dengan
tenang, "Engko, buat apa engko mengadu jiwa dengan dia"
Dialah yang telah menjadi binatang di dalam kurungan!"
Liong Kek menenangkan diri.
"Kau benar, adik!" ia menjawab. "Baiklah kita menanti
sampai otot-ototnya lemah dan tenaganya habis, nanti
perlahan-lahan kita bekuk dan bunuh padanya...!"
Lantas dua saudara ini maju pula untuk mengurung dengan
selalu berlompatan berputaran, di dalam hal mana mereka
tetap dibantu barisan wanita yang menggunai gaetan panjang
itu, hingga Cin Siang terus kena dikurung.
Segera juga Touw-ut itu merasakan sulit sekali. Tak dapat ia
membuka jalan untuk menyingkirkan diri. Karena terkurung
terus, ia mendapat luka-luka di kaki dan tangan, hingga
darahnya membasahi baju lapisnya. Baju luarnya sendiri sudah
robek disana-sini. Ia sulit tetapi ia tidak takut, bahkan ia
menjadi nekad. Tak sudi ia menyerah kalah, terus ia melawan
sebisa-bisanya.
Di saat Touw-ut itu terancam bahaya, orang semua
mendapat dengar suara kuda lagi mendatangi dengan keras.
Sin Siang menyangka kepada bala bantuan musuh. Ia tetap
tidak jeri, untuknya, musuh bertambah atau berkurang, tidak
menjadi soal, tak ia pikirkan lagi. Tetapi ia berdaya, guna
menoblos kurungan. ?<
Tiba-tiba kurungan musuh menjadi kurang rapatnya. Di
antara mereka terdengar teriakan-teriakan.
Di situ terlihat seorang penunggang kuda yang muda. Selagi
mendatangi, dia berseru, "Kawanan berandal she Ong, apakah
kamu masih mengenali aku?"
Begitu datang dekat, dia mengayun sebelah tangannya.
Maka terlihatlah satu sinar putih dan terang, menyusul mana
terdengar satu suara nyaring dari patahnya tiang bendera
burung walet sulam Yan Ie.
Patahnya tiang bendera menjadi satu soal yang hebat. Itulah
pantangan atau tabu. Maka juga Ong Yan Ie lantas menjadi
sangat gusar, shingga dia membentak sekeras-kerasnya,
"Celaka duabelas! Apakah kau sudah dahar hati serigala atau
jantung macan tutul maka kau berani menentang datuk?"
Ketika itu dua saudara Cio sudah maju ke muka, guna
memegat si anak muda.
Anak muda itu tidak mau bertempur di atas kuda, dia lompat
turun dari binatangan tunggangannya itu, sembari maju, dia
berteriak berulang-ulang, "Minggir! Minggir! Suruh pemimpinmu
datang kemari!"
Dua saudara Cio tidak takut, bahkan sebaliknya, mereka
memandang enteng kepada orang yang usianya masih muda
itu. Sembari tertawa mereka kata, "Jangan kau bicara besar!
Sebentar, setelah kau berhasil merampas sepasang golok kami,
baru kau buka pula mulutmu lebar-lebar! Apakah kau masih
belum mau mundur?"
Lantas dua saudara itu maju berbareng, membacok dengan
golok mereka, sasaran mereka sama yaitu pinggang, tetapi
datangnya senjata mereka masing-masing, satu dari kiri
dengan tangan kiri, satu pula dari kanan dengan tangan kanan.
Itulah dia bacokan "Im-yang-to," atau golok "Im Yang". Itu
pula bacokan yang liehay sekali. Sudah banyak orang gagah
yang roboh di tangannya dua saudara itu - Cio It Liong dan Cio
It Houw. Mereka menggunai masing-masing tangan kiri dan
kanan, hingga tubuh mereka seperti merupakan hanya sebuah
tubuh. Si anak muda gesit sekali, belum berhenti suaranya dua
saudara itu, dia sudah menyerang dengan pedangnya. Dia
membulang-balingkan pedangnya hingga dia berhasil membikin
mental goloknya Cio It Liong, hingga It Liong menjadi terkejut.
Baru sekarang It Liong melihat tegas si anak muda. "Kau...
Tiat... Tiat Siauw-cecu?" teriaknya kaget. "Tak salah!" sahut si
anak muda, bengis. "Kamulah dua bangsat yang suka
merendahkan diri kamu! Apakah tetap kamu masih kesudian
menjadi gundalnya si bangsat she Ong?"
Mulutnya pemuda itu, ialah Tiat Mo Lek, menegur hebat,
tangannya tak berhenti bekerja. Dengan bengis ia menyerang
dua saudara itu. Pula aneh serangannya, hingga It Liong dan It
Houw menjadi bingung.
Belum pernah mereka melihat ilmu pedang semacam itu.
Terpaksa mereka main mundur saja.
Yan Ie memburu ke arah kedua saudara Cio, mengenali si
anak muda, dia kata nyaring, "Aku kira siapa, kiranya kau, Tiat
Mo Lek! Apakah kau sudah tidak ingat budiku dahulu hari yang
telah tidak membunuhmu" Mengapa sekarang kau merusak
benderaku" Apakah maksudmu?"
Sesudah lewat tujuh tahun, Tiat Mo Lek telah menjadi
seorang pemuda yang romannya gagah dan tampan, maka
juga di dalam hatinya, Nona Ong berkata, "Tidak disangka si
hitam legam ini sekarang menjadi semakin tampan..."
Tiat Mo Lek menunjuki kegusarannya.
"Di antara aku dengan kau ada permusuhan yang besar
laksana lautan!" katanya nyaring juga. "Aku tidak cuma hendak
merusak benderamu ini! Hm! Hm!"
Mendengar demikian, bukannya dia gusar, Yan Ie justeru
tertawa. "Habis kau mau apa lagi?" tanyanya. "Apakah kau masih
hendak mengambil kepalaku yang berada di batang leherku
ini?" Kedua matanya Mo Lek mendelik.
"Benar!" sahutnya, berseru. Dan lantas ia menyerang si nona
dengan tipu silatnya "Lie Kong Sia-cio," atau "Lie Kong
memanah batu," senjatanya meluncur ke dada si nona cantik.
Ong Yan Ie tertawa pula.
"Bukankah permusuhan itu harus dibuyarkan dan bukannya
diperhebat?" katanya manis. "Kenapa kau jadi begini galak?"
Tapi si nona tidak cuma bicara saja, ia melintangi pedangnya
menangkis serangan itu, hingga senjata mereka beradu nyaring
dua kali, karena dua kali Mo Lek menyerang saling susul.
Bentrokan itu membuat Yan Ie terperanjat. Tangannya
tergempur hingga kesemutan. Tahulah ia sekarang Tiat Mo Lek
yang sekarang bukan Tiat Mo Lek yang dahulu. Entah ilmu
pedang pemuda itu, yang terang ialah tenaganya menjadi
tambah besar sekali, tenaga itu sudah jauh melampaui
tenaganya sendiri. Oleh karena itu, segera ia menjadi tidak
berani berlaku alpa.
Ketika itu Cin Siang mendapat napas. Perginya Ong Yan Ie
membuatnya mendapat ketika, tak perduli ia tetap dikurung
Ong Liong Kek bersama rombongannya. Begitulah ketika satu
kali ia berseru, ia membikin seorang tauwbak roboh terguling
dengan kepala pecah dan polo belarakan!
Kagetnya Liong Kek tak terkira. Tak disangka meskipun
sudah lelah, musuhnya itu masih demikian tangguh, la pun
tidak dikasih ketika untuk berpikir, ia lantas diserang Touw-ut
itu, yang berani merangsak kepadanya. Ia tidak berani
menangkis, dengan sebat ia berkelit.
Cin Siang menggunai ketikanya yang baik ini. Ia tidak
menerjang lebih jauh pada musuh hanya membuka jalan untuk
nerobos keluar dari kurungan, sambil melepaskan diri itu ia
teriaki Tiat Mo Lek, "Congsu, mari kita pergi!"
Mo Lek dapat mendengar ajakan itu, ia lantas memberikan
jawabannya, "Pergilah kau sambil jalanmu sendiri! Aku hendak
membasmi dulu kawanan berandal ini, baru aku mau pergi!"
Cin Siang membiarkan pemuda itu, ia berlalu dengan
terpaksa. Ia tidak berani berkelahi terus karena lukanya parah,
hingga ia cuma dapat menggunai sebelah tangannya, hingga
tak dapat ia berkelahi terlebih lama pula. Urusannya pun sangat
penting, tak dapat ia melalaikannya disebabkan urusan Rimba
Persilatan. Begitulah ia berlalu seorang diri.
Kawanan berandal lantas berteriak-teriak, berniat memegat.
Kudanya Ong Liong Kek lari maju. Kuda itu seekor kuda yang
telah berpengalaman di medan perang.
"Marilah kamu!" bentak Cin Siang sambil dia lompat kepada
kuda itu, untuk disamber, lalu dengan sebelah tangannya itu ia
menarik dan menekan.
Tak ampun lagi binatang itu mendekam.
Cin Siang lompat naik ke punggung kuda itu, tetapi binatang
itu tidak mau lantas bergerak lari.
"Bagus, ya!" bentak si Touw-ut. "Kau tidak mau dengar
perintahku!"
Sambil berkata begitu, Cin Siang menjambak ke belakang,
menjambak kempolan kuda, atas mana lima jerijinya yang kuat
membikin kempolan itu terluka dan mengeluarkan darah.
Saking nyerinya, binatang itu meringkik keras, keempat kakinya
lantas bergerak, membawanya lari.
Dari atas kudanya, selagi kuda itu kabur, Cin Siang menanya
keras, "Congsu, apakah she Congsu?"
Tiat Mo Lek, yang dipanggil Congsu itu - orang gagah menjawab, "Aku Tiat Mo Lek dari Hui Houw San!"
Cin Siang lantas perkenalkan diri, "Aku Liong Kie Touw-ut Cin
Siang! Tiat Siauw-enghiong, budi pertolonganmu ini dibelakang
hari saja aku membalasnya!"
Sembari berkata begitu, ia mengeprak kudanya buat
dikaburkan lebih keras.
Mo Lek tidak tahu Cin Siang menjadi turunan Cin Kiong alias
Siok Po, ia tertawa dalam hatinya dan berpikir, "Sungguh tidak
aku sangka aku telah menolongi seorang perwira pemerintah!"
Meski begitu, ia tidak memperlambat pertempurannya.
Kawanan berandal masih berseru-seru, atas mana Liong Kek
kata pada mereka, "Sudah, jangan perdulikan itu pembesar
anjing! Lebih baik kita bekuk saja ini bangsat cilik!"
Dengan kata-katanya itu dia pun hendak melindungi
mukanya sebab sebenarnya dia jeri terhadap Cin Siang yang
gagah itu. Di sebelah itu, ia ingin menyingkirkan Mo Lek, yang
dia anggap sebagai musuh besarnya.
Pada tujuh tahun yang lampau Tiat Mo Lek turut Lam Ce In
ke Hoay-yang dimana ia diterima menjadi muridnya Mo Keng
Lojin. Ia menjadi murid yang nomor tiga. Mengikuti jago tua
itu, ia memperoleh banyak kemajuan, sedang kitab silat yang
diberikan Toan Kui Ciang kepadanya, ia berhasil juga
memahaminya. Dibawah petunjuk gurunya, ia dapat
menciptakan sejumlah tipu silat yang baru.
Sekarang, berhubung dengan suasana yang panas, ia
bersedia pergi ke Kiu-coan guna menemui kakak
seperguruannya, untuk membantu Kwe Cu Gie. Maka adalah
diluar terkaannya, di sini ia bertemu dengan saudara Ong kakak
beradik. Mo Lek percaya, mengandali hasil pelajarannya tujuh ^ahun,
dia mestinya bakal dapat membunuh musuhnya, tetapi diluar
tahunya, selama tujuh tahun itu, kepandaiannya Ong Yan Ie
telah maju pesat juga.
Begitulah bertempur sampai lima atau enam puluh jurus,
walaupun ia menang unggul, Ong Yan Ie tak gelagatnya bakal
Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kalah. Tengah bertempur itu, dalam penasarannya, Mo Lek
menyerang dengan tipu silat "Tok-pek Hoa-san" atau
"Menggempur gunung Hoa San". Dengan begitu, pedangnya
digunai sebagai golok, untuk membacok tinggi, dari atas ke
bawah. Itulah tipu silat yang ia ciptakan dari ilmu pedangnya
Toan Kui Ciang, maka penyerangannya itu sudah enteng dan
cepat lagi antap dan berat
"Ilmu pedang yang telengas!" Ong Yan Ie berseru. Ia tidak
berkelit, hanya justeru menangkis dengan melintangi
pedangnya. Maka bentroklah kedua senjata dengan bersuara nyaring,
lalu keduanya seperti menempel satu dengan lain. Yan Ie kalah
tenaga, pedangnya kena tertekan. Ia merasakan telapakan
tangannya bergetar dan nyeri. Celakanya tak dapat ia
meloloskan pedangnya itu, hingga ia mesti tertekan berikut
punggungnya yang menjadi melengkung perlahan-lahan.
Ong Liong Kek menjadi gusar sekali.
"Bangsat kecil, jangan bertingkah!" dia berseru. "Lihat
kipasku!" Dan ia bergerak maju dengan kipas besinya, untuk menotok
punggung dimana ada jalan darah Hong-hu.
Dengan begitu Mo Lek menjadi seperti terkepung berdua. Ia
mesti membela dirinya. Sebab tak dapat ia hanya berkelit,
terpaksa ia melepaskan tekanannya, untuk dengan pedangnya
menangkis kipas yang mengancam dengan bahaya maut itu.
Kipas Liong Kek lantas kena disampok mental.
Yan Ie liehay sekali, begitu pedangnya bebas, begitu ia
menyerang Ia melupakan nyeri pada telapakan tangannya.
Mo Lek berkelit sambil memutar rubuhnya, dengan begitu
ujung pedang lewat di ujung dahinya.
Ketika kedua saudara Ong itu mendesak padanya, ia terus
melayani dengan ilmu silat "Ya-cian Pat-hong," atau "Berperang
di delapan penjuru di waktu malam". Ia mencoba menahan
majunya kipas dan pedang Cenj; Kong Kiam.
Ong Yan Ie tertawa manis.
"Aku tidak sangka setelah tujuh tahun tidak bertemu,
sekarang ilmu silatmu menjadi begini liehay!" katanya.
"Sungguh kau mendatangkan kegirangan dan pantas diberi
selamat! Maaf, terpaksa kami kakak beradik mesti bekerja sama
menempur kau!"
Mo Lek panas hati.
"Kamu boleh maju semuanya!" ia membentak. "Tidak ada
halangannya! Hari ini mesti kau mampus atau aku terbinasa!"
Nona Ong tertawa.
"Engko, bocah ini benar-benar mau mengadu jiwa dengan
kita!" kata dia.
"Ya, biarlah dia pergi menghadap Raja Akherat!" sahut Liong
Kek si kakak, yang terus menyerang dengan hebat, dengan
ujung kipasnya ia mencari setiap jalan darah lawannya.
Mo Lek tidak takut akan tetapi ia melihat suasana tidak
bagus untuknya. Kepandaiannya Liong Kek tidak dapat
dipandang ringan. Ketika tadi dia menempur Cin Siang,
nampaknya dia tak sanggup bertahan dalam satu gebrakan.
Tapi itu ada sebabnya, ialah karena tenaga Cin Siang besar luar
biasa, tak berani dia mengadu senjatanya dengan kim gan,
ruyungnya si orang she Cin.
Sebaliknya menghadapi Mo Lek, meski dia kalah kepandaian,
tenaga dalamnya berimbang. Pula, kalau melawan Cin Siang dia
menggunai Poan-koan-pit, sekarang dia memakai thie-sie,
kipasnya senjatanya yang utama, yang paling cocok dipakai
bertempur rapat, sedang juga ia melawan bersama adiknya.
Demikian Mo Lek Tak dapat segera merebut kemenangan.
Sambil bertempur itu, Mo Lek lantas ingat, "Toan Tayhiap
dan Lam Suheng berulangkah memperingati aku supaya aku
jangan menuruti hati muda dan hawa amarah, tak dapat aku
terlalu mengandalkan ilmu kepandaian sendiri, jangan setelah
keluar dari rumah perguruan, aku menghendaki lantas
terwujudnya pembalasan sakit hatiku. Aku sudah dapat
bertahan tujuh tahun, kenapa aku mesti mengumbar amarah
dalam satu hari ini" Sekarang musuh berjumlah banyak dan
aku sedikit, baiklah kau bersabar sampai lain hari..."
Ong Liong Kek sebaliknya sudah banyak pengalamannya
berkelahi, dengan lantas dia melihat romannya Mo Lek
berubah, dengan lantas dia menduga, maka itu, tanpa ayal lagi,
dia lantas mendesak.
"Jalan ke sorga ada, kau tidak ambil, kau sebaliknya
memasuki neraka yang tidak ada pintunya!" dia mengejek.
"Kau sudah masuk sendiri ke dalam perangkap, maka kau
dapat masuk tidak dapat keluar pula!"
Dia terus membentak untuk memberikan isyaratnya.
Mendengar bentakan itu, barisan wanita sudah lantas maju
menyerang. Rata-rata mereka menggunai gaetan untuk
membangkol kaki musuh.
Liong Kek sendiri bersama Yan Ie mendesak hebat.
Mo Lek bukan seperti Cin Siang, yang mengenakan baju lapis
besi, sedang sepatunya sepasang sepatu rumput, ia menjadi
terdesak, baik oleh itu kakak beradik mau pun dari gaetan yang
berjumlah besar.
Liong Kek perkeras desakannya, mendadak dia menyerang
dengan tipu silat "Ular beracun menyemburkan bisa," dengan
kipasnya dia menotok ke jalan darah cie-tong.
Mo Lek menjadi repot dan bingung, sebab ketika itu
pedangnya kebetulan lagi ditangkis Yan Ie. Tidak ada jalan
untuknya kecuali membuang diri, guna berkelit sambil
bergulingan. Sementara itu pasukan wanita dari Yan Ie sudah terdidik
baik. Mereka dapat bekerja dengan melihat salatan, dan
mereka pun sebat. Mereka lantas menggaet ke tempat dimana
orang menjatuhkan diri.
Sia-sia Mo Lek membuang diri, betisnya sudah lantas terkena
gaetan begitu pun kakinya. Dengan lantas ia terluka dan
mengeluarkan darah yang mengucur deras.
Ong Liong Kek tertawa mengejek.
"Apakah kau masih mau mengganas?" demikian tanyanya
dingin. Dengan kipas yang ditutup, dia lantas menyerang ke
arah batok kepala.
Mo Lek dapat berlompat bangun akan tetapi tubuhnya
limbung, darahnya mengalir terus, dagingnya di betis dan kaki
terluka hancur karena terobek gaetan. Dapatkah dia membela
diri" Kalau dia kena dihajar, pastilah kepalanya remuk...
Justeru orang terancam bahaya, sekonyong-konyong Ong
Yan le menangkis kipas kakaknya, hingga kipas dan pedang
beradu keras!"
"Jangan bunuh dia!" berseru si nona.
Liong Kek heran hingga dia melengak.
"Kenapa jangan?" tanyanya setelah hilang herannya.
Yan Ie berlompat maju, guna menotok Mo Lek yang sudah
tak berdaya, kemudian ia panggil budaknya guna membelenggu
orang tawanan itu.
"Engko, kau cerdik disatu waktu, butek pikiranmu dilain
saat!" kata ini adik tertawa. "Coba kau pikir masak-masak!
Bangsat cilik ini telah memperoleh kepandaian terlebih jauh,
sekarang dia datang kemari, kau tahu apa maksudnya?"
"Pasti dia datang untuk maksud mencari balas!'" sang kakak
menjawab. "Pasti dia sekalian hendak merampas pulang
gunungnya, gunung Hui Houw San!"
"Tepat terkaanmu!" kata si nona. "Sekarang kau pikir pula!
Dia seorang diri, apakah dapat dia melakukan tugas besar dan
berat itu" Bukankah kedudukannya Keluarga Touw telah
dibangun hampir seratus tahun" Bukankah keluarga itu mirip
dengan leluwe, itu binatang merayap yang kakinya ratusan"
Bukankah itu berarti keluarga itu banyak pengikutnya, yang
masih setia terhadapnya" Sekarang ini orang jerikan kita,
mereka pun tidak ada yang pimpin, mereka jadi tidak berani
bergerak. Sekarang Tiat Mo Lek kembali! Bukankah dia sudah
mengatur persiapan" Mungkin dia sudah berkongkol dengan
orang-orang ayah angkatnya! Maka itu dapatkah kita
membunuh dia sebelum kita dengar dulu keterangannya?"
Liong Kek tertawa.
"Benar!" sahutnya. "Dasar kau terlebih teliti daripada aku!
Aku mendongkol untuk kegalakannya, maka aku menuruti saja
suara hatiku!"
Ia hening sebentar, terus dia menambahkan, "Tapi bangsat
cilik ini sangat berkepala batu, aku kuatir kita sukar mengorek
keterangan dari mulutaya..."
"Biarlah, kita bawa saja dia ke Liong Bin Kok," kata Yan Ie.
"Di sana kita tanya dia dengan perlahan-lahan, nanti kita gunia
segala macam daya upaya."
"Baik, aku turut kau," kata Liong Kek akhirnya. "Kita sudah
berhasil membekuk dia, kita bawa dia pulang. Baik kita
serahkan dia pada ayah, biar ayah yang mengambil putusan,
supaya hati ayah menjadi senang!"
Selagi Liong Kek berkata itu, dari kejauhan terlihat debu
mengepul naik, lalu tampak munculnya sebuah pasukan tentara
berkuda, datangnya sangat cepat, maka juga dilain saat sudah
terdengar si pemimpin tentara menanya dari jauh-jauh, "Apa
Ong Siauw-cecu di sana?"
"Benar!" Liong Kek menjawab. "Thio Tong-nia, kau datang
sendiri?" Memang perwira itu Thio Tiong Cie, salah seorang terkosen
dari An Lok San.
Tiong Cie menahan kudanya begitu dia sudah tiba. "Apakah
kamu tidak melihat Cin Siang?" dia tanya.
Mukanya Liong Kek menjadi merah.
"Dia sudah kabur..." sahurnya jengah, suaranya tak lancar.
Ketika Cin Siang itu mengangkat kaki, kapan minggatnya
diketahui oleh Busu yang ditugaskan meniliknya, si Busu sudah
lantas melepas burung dara untuk memberi kabar kepada Ong
Pek Thong, minta Ong Pek Thong memerintahkan orang
memegatnya. Dan Liong Kek dan adiknya ialah orang-orang
yang diberi tugas oleh Ong Pek Thong itu. Maka itu Liong Kek
malu atas kegagalannya.
"Sudah berapa lama perginya dia?" Tiong Cie tanya.
"Sudah lama juga," jawab Liong Kek.
"Sebenarnya hampir aku berhasil menawannya," berkata Yan
Ie, "Apa mau kami bertemu satu musuh lain, selagi kami
bertempur kacau, dia dapat meloloskan diri. Sekarang ini kami
letih semua, tak dapat kami mengejar dia."
Dengan kata-katanya itu Yan Ie seperti mau bilang, kalau
Tiong Cie hendak mencoba menangkap juga Cin Siang, dia
boleh pergi menyusul sendiri, pihaknya sulit memberikan
bantuannya. Thio Tiong Cie menjadi sangat tidak puas, akan tetapi ia
tidak bisa berbuat apa-apa. Tak dapat ia memaksa ini kakak
beradik membantu padanya, sebab orang bukannya orang
sebawahan An Lok San, bahkan untuk berontak, An Lok San,
sang tuan, membutuhkan bantuan Keluarga Ong.
Ia tidak dapat mengejar sendiri sebab ia tahu kegagahannya
Cin Siang. Di antara tiga Toa-kho-ciu, orang terkosen di istana,
Cin Siang yang paling gagah, maka kalau ia mengejar sendiri, ia
seperti mengantarkan jiwa.
"Baiklah," katanya kemudian, untuk memutar kemudi. "Tayswe
kami sudah lengkap persediaannya, tinggal tunggu harinya
untuk mulai bergerak maju ke kota raja guna merampas
kerajaan, dari itu tak usah kita kuatirkan dia dapat lari untuk
memberi kisikan. Sekarang ini An Tay-swe lagi repot
mengumpulkan pelbagai perwira, bagaimana kalau Ong Siauwcecu
turut aku pulang ke Hoan-yang?"
Ong Liong Kek tidak dapat memberikan jawabannya. Ia
bersangsi. "Inilah kebetulan!" berkata Yan Ie, mendahului kakaknya.
"Tidak leluasa untuk ayah muncul di Hoan-yang, engko, baiklah
kau yang pergi ke sana! Bangsat kecil ini serahkan padaku yang
membawa, kau jangan kuatir."
Liong Kek setujui pikiran adiknya itu.
"Jikalau begitu, baiklah, asal kau berhati-hati di tengah
jalan!" dia memesan. "Kau tahu, aku sangat membenci dia,
maka itu, kalau dia hendak dihukum mati, tunggulah sampai
aku pulang!"
Sampai disitu, kakak beradik itu lantas memecah pasukan
liauwlo mereka. Liong Kek lantas ikut Thio Tiong Cie berangkat
ke Hoan-yang, dan Ong Yan Ie mengiringi Tiat Mo Lek pulang
ke lembah Liong Bin Kok.
Menurut perintahnya Yan Ie, Mo Lek diikat di atas kuda.
Pada punggung kuda dipasangi tempat duduk yang tebal. Luka
Mo Lek pun dibalut rapi. Mo Lek diam saja atas segala
perlakukan itu. Selagi tertotok itu, ia tidak dapat bergerak dan
tak bisa bicara.
Tatkala itu sudah lewat tengah hari.
Yan Ie kuatir orang tawanannya nanti tergoncang-goncang
keras, ia menyuruh barisan wanitanya berjalan perlahan-lahan.
Karena ini, di waktu magrib mereka baru melaLui kira empat
puluh lie. Untuk sampai di Liong Bin Kok, jalanan masih ada
lima puluh lie kira-kira.
Dua orang tauwbak lantas menghampirkan pemimpinnya
untuk menanya apa mereka mesti melanjuti perjalan malammalam.
Yan Ie tertawa.
"Kamu tidak letih, tetapi aku sudah letih sekali!" katanya.
"Kita tidak mempunyai urusan penting, kita pun cuma
mengiring satu bangsat kecil, buat apa kita berjalan terus
malam-malam?"
Itulah keputusan yang diharap-harap kawanan liauw-lo
wanita itu, dari itu kedua tauwbak itu menjadi sangat girang.
Lantas mereka mengundurkan diri, guna menitahkan
membangunan tenda banyaknya tiga buah. Yang satu untuk
Nona Ong serta sekalian pengiringnya pribadi, satu untuk
semua prajurit wanita, dan yang satu lagi buat Mo Lek seorang
diri. Itulah titahnya si nona.
Mo Lek rebah seorang diri, luka-lukanya mendatangkan rasa
nyeri, perutnya kelaparan. Kecuali di betis dan di ujung kaki, ia
mendapat banyak luka lain sebab tergaet sebelum ia ditotok si
nona. Tengah ia menderita itu, tiba-tiba pintu tenda ada yang
pentang, lalu nampak Yan Ie bertindak masuk sambil
bersenyum. Si nona sudah lantas membetulkan sumbu lilin
hingga cahaya apinya menjadi lebih besar.
"Tiat Siauw-cecu, apakah kau masih membangkang?" tanya
si nona tertawa.
Ia mengulur tangannya, menotok bebas orang tawanan itu.
Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mendadak Mo Lek membentak, "Jikalah kau hendak
membunuh aku, bunuhlah! Aku Tiat Mo Lek, aku tidak dapat
dihinakan!"
"Siapa mau membunuh kau?" si nona tanya, tertawa pula.
"Siapa mau menghina padamu" Ah, kau benar-benar tidak tahu
kebaikan orang! Kau tahu, aku datang untuk mengobati kau!"
Lantas si nona mau membukai balutan orang tawanan itu.
Tiba-tiba Mo Lek menggeraki kakinya.
"Pergi!" bentaknya. "Aku... aku..."
Mendadak dia berhenti bicara. Karena ia meronta itu,
tangannya kena membentur buah susu si nona. Ia menjadi
likat, lekas-lekas ia menarik pulang tangannya itu dan berhenti
berbicara. Di dalam luka dan lapar sangat, Mo Lek kehilangan
tenaganya, maka benturannya itu tidak membahayakan si
nona. Tapi Yan Ie menjadi melengah, dia jengah sendirinya,
sampai mukanya menjadi merah.
"Ha, adakah kau seekor kerbau?" dia tanya, mendongkol.
"Kenapa kau kasar begini rupa" Sekalipun kerbau masih tahu
halnya orang berlaku baik terhadapnya! Hm! Manusia tak kenal
budi!" Nona itu menonjok dahi orang!
"Tak perlu aku dengar kepalsuan kau ini!" kata Mo Lek
sengit. "Inilah tangis si kucing untuk si tikus! Biarnya kau dapat
menyembuhkan aku, tak dapat aku menerima baik budimu!"
Meski ia berkata demikian, Mo Lek menjadi rada lunak. Ia tak
lagi meronta atau mau memukul orang...
Ong Yan Ie membukai balutan.
"Ah, anak bandel yang tak mengenal aturan!" katanya.
"Sebenarnya tidak niatku memperdulikan kau tetapi lukamu ini
hebat! Sungguh, tak tega aku menyaksikan kau menderita
begini rupa!"
Ia lantas mengeluarkan obat luka, untuk memborehkan luka
orang itu. Setiap orang Rimba Hijau mesti memiliki obat luka dan obat
luka buatan Keluarga Ong manjur sekali. Begitu Mo Lek diobati,
lantas ia merasa adem seluruh tubuhnya dan rasa nyerinya pun
berkurang banyak.
Semenjak masih kecil, belum pernah Mo Lek berdekatan
dengan seorang wanita seperti kali ini, sekarang Nona Ong
mengobatinya, kulit daging mereka beradu satu dengan lain,
napas mereka juga saling menghembus dan tercium.
Mo Lek mencoba menahan napas akan tetapi gagal, ia dapat
mencium juga bau harum dari tubuh si nona. Ia menjadi tidak
keruan rasa, ia merasa nyaman. Lantas ia mengertak gigi. '.
"Tiat Mo Lek, Tiat Mo Lek!" katanya di dalam hati. "Kaulah
laki-laki sejati! Apakah kau lupa sakit hati ayah angkatmu?"
Ia pun mengerahkan tenaganya, hingga papan yang
tertindih tubuhnya menjadi berbunyi nyaring.
Ong Yan Ie mengerutkan alis.
"Tidak keruan kenapa kau mengumbar pula adatmu?" ia
tanya. "Mo Lek, kenapa kau membenci begini sangat
kepadaku?"
"Inilah pertanyaan sengaja dari kau!" sahut Mo Lek, gusar.
"Kau tahu tapi toh kau tanyakan! Hm! Aku beri nasehat kepada
kau, lebih baik kau bunuh saja padaku! Tidak demikian, asal
napasku masih berjalan, pasti aku akan membalaskan sakit
hatiku!" "Aku telah membunuh ayah angkatmu, tapi dia bukan
ayahmu yang sejati," kata si nona. "Di dalam kalangan Rimba
Hijau orang saling bunuh dan saling membalas dendam,
bukankah itu lumrah sekali?"
"Kau memandangnya lumrah akan tetapi aku mengukirnya di
dalam hatiku!" Mo Lek kata keras. "Aku menyimpan itu di
dalam hati sanubariku!"
"Baik!" Nona Yan berkata, tertawa. "Biarnya kau mau
membalas sakit hati, sekarang kau mesti jaga dirimu baik-baik!
Kau sudah tak.dahar satu hari, bukan" Tanpa dahar, dari mana
nanti datangnya tenagamu untuk mencari balas?"
Mo Lek melengak, ia berdiam. Ia tak dapat menangis atau
tertawa. Seorang budak perempuan datang menghampirkan, dia
menyuguhkan semangkuk teh.
"Silahkan minum, Tiat Siauw-cecu," katanya. "Minumlah
selagi masih panas!"
"Apakah ini?" Mo Lek tanya.
"Inilah obat racun!" kata Yan Ie tertawa. "Kau berani minum
atau tidak?"
"Aku takut apa!" sahut Mo Lek.
Ia melengak dan mencegluk minuman itu. Tapi segera ia
merasakan sesuatu yang manis dan adem, setelah itu, ia
merasa segar sekali. Kiranya itulah som-thung, air obat jinsom
Si budak tertawa.
"Nona!" katanya, "Nona pandai sekali membujuki orang
minum obat!"
Terus dengan membawa mangkuk kosong dia
mengundurkan diri.
"Jangan kau kegirangan!" kata Mo Lek mengancam. "Tidak
perduli kau lepas budi apa, di antara kita permusuhan tak dapat
dibikin habis musnah!"
"Sebenarnya aku tidak memikir memberikan penjelasan,"
kata Yan Ie, "Akan tetapi kau begini sangat membenci aku, tak
dapat tidak aku mesti mengucapkan juga beberapa kata-kata.
Ketika itu waktu kami menggempur gunung Hui Houw San,
usiaku baru empat belas tahun. Kala itu aku cuma tahu ayah
angkatmu adalah satu jago Rimba Hijau yang galak dan biasa
menghinakan yang lemah. Ayahku memerintahkan aku
membunuh ayah angkatmu, waktu itu aku tidak merasa bahwa
perbuatanku itu salah..."
Si nona tidak mau mengaku salah, tapi di depan Mo Lek, ia
mesti bicara lain.
Hati Mo Lek bergerak.
"Benar," pikirnya, "Itu waktu dia benar seorang nona cilik
yang belum tahu apa-apa. Maka itu si penjahat utama ialah
ayahnya bersama Khong Khong Jie, orang yang membantu
ayahnya itu!"
Memikir begini, kebencian pemuda ini berkurang dua bagian.
Tapi cuma sejenak, ia sudah lantas berpikir pula, "Aku tak usah
perdulikan ketika itu dia sudah mengerti keadaan atau belum!
Mengerti begitu, tak mengerti begitu juga! Yang terang dialah
musuhku yang telah membinasakan ayah angkatku! Mana
dapat aku mengampuni dia?"
Ong Yan Ie sangat cerdas, dengan melihat air muka orang,
dia sudah dapat menerka hati orang. Dia lantas tertawa dan
kata, "Tiat Siauw-cecu, apa sekarang kau merasa baikan?"
Mo Lek terluka parah tetapi itu melainkan luka di kulit dan
daging, meski tenaganya belum pulih seluruhnya, kesegarannya
sudah pulang kembali empat atau lima bagian. Sebenarnya ia
bersyukur juga akan tetapi ia bangsa keras kepala.
"Baikan atau tidak baikan, ada apa sangkut pautnya dengan
kau?" ia tanya ketus. "Aku tak perduli dengan lagakmu ini yang
baik hati berpura-pura!"
Yan Ie tertawa geli.
"Siapa yang mencoba-coba menarik hatimu?" dia tanya.
"Apakah kau menyangka aku hendak membiarkan kau si busuk
hidup karena kau dianggap sebagai mustika" Apakah kau tahu
apa sebabnya aku menanya kau barusan?"
Mo Lek heran. "Habis, apa artinya?" ia tanya. Nona Ong tertawa.
"Jikalau kau sudah baik, hendak aku mengusir kau pergi!'
sahutnya. Mo Lek heran sekali hingga ia mendelong.
"Apa?" tanyanya. "Kau hendak membiarkan aku pergi?"
"Benar!" jawab si nona. "Bukankah kau hendak menuntut
bala*" Jikalau aku tidak membiarkan kau pergi, mana kau
dapat membalasnya Aku hanya takut kau mengatakan aku
takut akan pembalasanmu ilu, karenanya hendak aku
melepaskan kau supaya kau pergi dari sini! Baikiah sekarang
kau coba-coba menggeraki otot-ototmu, apakah kau sudah
dapai menunggang kuda" Kudanya Cin Siang telah aku obati
hingga sembuh Kuda itu jempolan, dapat aku memberikan
kepada kau. Kalau kau maju pergi, kau pergilah cepat-cepat!
Jikalau tidak, sampai di Liong Bin Kok, aku sudah tidak
berkuasa lagi!"
Mo Lek tahu orang menggunai alasan saja untuk membuat ia
suka mengangkat kaki. Untuk sementara, ia menjadi ragu-ragu
sekali, hingga tak tahu ia mesti bertindak bagaimana.
Nona Ong sudah lantas menyerahkan senjata dan
buntalannya si anak muda.
"Semua barangmu ada di sini," kata dia. "Dan ini sebungkus
daging, kau boleh dahar nanti di tengah jalan!"
Mo Lek menggigit giginya. Dengan terpaksa ia mengulur
tangannya menyambuti. Tapi ia berkata, "Kalau dibelakang hari
kau terjatuh ke dalam tanganku, aku juga bakal mengasih
ampun satu kali kepada jiwamu!"
Ong Yan Ie tertawa.
"Jadi kalau buat yang kedua kali ini, kau tidak bakal
mengasih ampun, bukan?" tanyanya. "Baiklah! Secara demikian
aku jadi dapat berlaku waspada, supaya aku tak usah sampai
terjatuh ke dalam tanganmu!"
Habis berkata, nona ini mencekal tangan orang, untuk
dituntun keluar dari dalam kubu-kubu. Tiba di luar ia dongak
akan melihat langit.
"Malam ini rembulan permai sekali,"- katanya. "Apakah kau
kenal jalanan?"
"Tak usah kau mencapaikan hati untukku!" kata Mo Lek
sengit. "Hm! Sekarang aku hendak omong lebih dulu kepada
kau! Kali ini kau melepaskan aku, apakah kau tidak akan
menyesal kelak dibelakang hari?"
Nona itu tertawa manis.
"Aku sengaja bersiap sedia menantikan kedatanganmu untuk
kau membalas sakit hatimu, kenapa aku mesti menyesal?"
jawabnya. "Eh, apakah kau tidak hendak mengambil selamat
tinggal dari aku?"
Ketika itu budak tadi datang dengan kudanya Cin Siang.
Justeru itu juga di udara terdengar tiga kali suara panah
nyaring, suara mana disusul bunyinya terompet yang
disuarakan oleh serdadu-serdadu wanita yang lagi meronda.
"Celaka!" Yan Ie berseru. "Ada musuh menyerbu di waktu
malam!" Benar saja, dari arah timur dan barat nampak dua barisan
serdadu lagi mendatangi, mereka itu mengambil sikap
mengurung. Diwaktu malam seperti itu, sulit untuk segera mengetahui
berapa besar jumlah musuh dan musuh itu dari pihak mana.
Ong Yan Ie lantas berkata, "Pihak musuh datang dengan
sudah siap sedia, itulah tak menguntungkan kita! Lekas
memerintahkan semua mundur dengan teratur!"
Perintah itu dikeluarkan dengan si budak terus diberikan
bendera titah, untuk dia melaksanakan titah pengunduran itu.
Setelah itu dengan mendadak Nona Ong mencekal keras
pada tangannya Tiat Mo Lek.
Si Anak muda tidak menyangka, ia kaget dan kesakitan,
hingga ia menjerit, "Aduh!"
"Kau mau apa?" ia menanya, gusar.
"Tenagamu belum pulih, tak dapat kau melawan musuh,"
berkata si nona. "Kalau kau bertempur dalam satu pertempuran
kacau balau, itulah sangat berbahaya untukmu! Aku mengantari
Sang Buddha, mesti aku mengantarnya sampai di Langit Barat!
Maka mari kau turut aku, untuk kau molos dari gunung ini,
nanti selanjutnya kau boleh menyingkir seorang diri saja!"
Tanpa menanti jawaban lagi, Yan Ie mengangkat tubuh
orang, buat dikasih naik atas kuda, ia sendiri menyusul lompat
naik sembari berkata, "Jikalau kau tak dapat duduk tetap, kau
peluk pinggangku! Yang perlu ialah menyingkirkan diri lolos dari
sini!" Sementara itu pertempuran sudah berjalan kacau sekali. Yan
le menggunai pedangnya secara hebat hingga beberapa
musuhnya kena ia tikam atau tabas hingga roboh dari atas
kudanya. Ia keprak kudanya untuk dapat lari keluar dari
kalangan! Kuda itu kuda dengan pengalaman berperang, tanpa
iliramhiik lagi, dia dapat lari terus, untuk menerjang keluar dari
pengepungan, Iclapi Yan Ie bukanlah majikannya, dia seperti
hendak mengganggu si nona, telagi kabur itu, kalau dia
menghadapi rintangan, sengaja dia berlompat tingg'.
Nona Ong pandai menunggang kuda, ia tidak merasakan
hebatnya gangguan binatang itu. Tidak demikian dengan Tiat
Mo Lek yang terluka kakinya, betis dan tulang keringnya, akibat
pelbagai gaetan musuh. Hampir dia jatuh. Dengan terpaksa dia
memeluk erat-erat pinggangnya si nona Karena ini dia
mengeluh sendiri, "Sungguh aku malu..."
Di antara musuh segera terdengar teriakan-teriakan,
diantaranya satu suara nyaring, "Entah kemana kaburnya si
bangsat kecil she Ong Sungguh sial kita bertemu ini barisan
wanita!" Teranglah itu suara yang menyatakan segan menempur
orang perempuan.
Mo Lek dapat mendengar suara itu, ia rasa ia mengenalnya,
hanya di saat itu ia tidak dapat lantas ingat suara siapa itu.
Ketika itu pun sudah terdengar lagi suara berisik di antara
musuh. "Eh, apakah itu bukan anak perempuannya Ong Pek Thong"
Lihat di belakangnya itu, di atas kuda, ada seorang laki-laki
yang menggemblok!"
"Ya, ya, benar! Tapi orang itu tak mirip-miripnya kakaknya'
Siapakah dia?"
"Ha, ha, ha! Kau lihat! Lihat pria itu, dia memeluknya si
wanita erat sekali! Tidak salah lagi, dia mestinya laki-laki
liarnya!" "Jangan perduli dia siapa!" ia mendengar pula suara yang
lainnya "Kita bekuk saja si wanita itu kalau dia benar-benar
anak perempuannya Ong Pek Thong! Dia terlebih liehay
daripada kakaknya! Jikalau kita berhasil menyingkirkan dia, itu
berarti kita melenyapkan sebelah lengannya Ong Pek Thong!"
Suara nyaring yang pertama tadi menyambuti, "Baiklah!
Nanti aku maju menghajar dengan kapakku! Orang-orang
sebawahannya itu kawanan wanita bau, tidak ada harganya
untuk dikapak, biarkan saja mereka semua lolos kabur!"
Habis itu segera terlihat majunya seorang yang bertubuh
Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
besar yang berkumis berewokan tebal, yang tangannya
membulang-balingkan sebuah kapak besar, kudanya maju
pesat sekali. Mo Lek dapat melihat orang itu, ia terkejut. Dialah Sin Thian
Hiong, cecu atau ketua dari benteng Sin Kee Ce dari gunung
Kim Kee San! Sin Thian Hiong menjadi seorang Rimba Hijau yang
kenamaan untuk wilayah Utara. Ia berdiri sendiri, tidak
menurut kepada Keluarga Touw, tidak menghamba kepada
Keluarga Ong. Adalah setelah runtuhnya Keluarga Touw dari Hui Houw Ce,
sesudah pertemuan di Liong Bin Kok dimana rombongannya
Han Tam membeber rahasianya Ong Pek Thong, ia jadi
bermusuh dengan keluarga yang menjadi pengkhianat Rimba
Hijau itu, yang tak segan berkongkol dengan An Lok San.
Ia telah mendengar kabar hal Ong Liong Kek membawa
pasukan perangnya, entah kemana perginya. Tidak tempo lagi,
ia pun membawa barisannya, untuk bersembunyi di tengah
jalan yang bakal dilewati rombongan Liong Kek, guna memegat
dan menyerangnya. Ia menduga biasa saja, yaitu Liong Kek
keluar untuk melakukan usaha tanpa modal.
Diluar dugaan, ternyata Ong Liong Kek sudah turut Thio
Tiong Cie pergi ke Hoan-yang, hingga ia cuma bertemu dengan
Ong Yan Ie, adiknya pemuda she Ong itu.
Tiat Mo Lek kenal Sin Thian Hiong ketika satu malam dimuka
Kepergian mereka ke Liong Bin Kok, mereka berkumpul di
rumahnya Han I ,im. Ketika itu di waktu malam dan sang waktu
juga sudah lewaf tujuh tahun, tidak heran kalau Sin Thian
Hiong tidak mengenali padanya dan sebaliknya dengan ia yang
ingatannya kuat. Maka sekarang dia lantas mengenali.
Baru Mo Lek berpikir untuk menyapa Thian Hiong atau
mendadak ia ingat dirinya dalam keadaan bagaimana. Pikirnya,
"Aku tengah memeluki K-ulisnya musuh, paman Sin seorang
jujur, bagaimana nanti aku dapat membersihkan diri?"
Ketikaatu Thian Hiong sudah lantas tiba, dengan segera dia
menyerang dengan kapaknya.
Ong Yan Ie tertawa dingin.
"Eh, orang sembrono, cara bagaimana kau berani menghina
aku secara begini?" tegurnya.
Nona Ong tidak menangkis hanya ia berkelit dengan
memiringkan tubuhnya, berbareng dengan itu, pedangnya
diluncurkan sama sebarnya guna membalas menyerang.
Kapaknya Thian Hiong mengenai tempat kosong. Ia
menyesal. Justeru itu, ia pun kaget. Pundaknya mengasih
dengar suara memberebet! Ujung pedangnya si nona telah
mengenakannya! Yan Ie terintang karena ia dipeluki Tiat Mo Lek, kudanya
juga kuda yang pertama kali untuknya, maka itu walaupun ilmu
pedangnya liehay, meski seharusnya ia dapat merampas
jiwanya Sin Thian Hiong, sekarang ia melainkan dapat melukai
ringan sekali. Sin Thian Hiong menjadi gusar sekali, ia memutar kudanya
untuk mengampak pula. Ia telah ketahui si nona liehay, ia tidak
mau gunai tenaganya secara keterlaluan. Ia mengandalkan
pada kapaknya yang gagangnya lebih panjang daripada
pedang, maka itu ia mengarah leher kuda.
Kapak musuh itu berat sekali, Yan Ie tahu itu, sebenarnya
tak mau ia mengadu senjata atau tenaga, maka syukurlah
kudanya itu kuda yang telah berpengalaman di medang perang,
kuda itu cerdik sekali, sebelum kapak tiba, tanpa diisyaratkan
lagi oleh penunggangnya, dia sudah lantas berlompat, untuk
pergi ke belakang kuda lawan, terus dia menjentil!
Kudanya Sin Thian Hiong juga kuda jempolan, sebab itulah
kuda asal Mongolia, akan tetapi dia kalah besar, tak dapat dia
bertahan, dia kena dijentil hingga roboh, hingga
penunggangnya roboh bersama.
Ong Yan Ie tertawa.
"Bagus!" serunya. "Apa sekarang masih berani banyak
lagak?" Si nona lantas membungkuk untuk menyerang musuh itu.
Tiat Mo Lek memeluki pinggang langsing dari Yan Ie. Selama
si nona menempur Sin Thian Hiong, beberapa kali sudah ia
berpikir, ia terganggu keragu-raguan. Tenaganya belum pulih
seluruhnya, akan tetapi ilmu totoknya tidak lenyap, jikalau ia
mau, dapat ia menotok jalan darah jie-khie dari si nona.
Jikalau ia menotok nona itu, mesti dia habis tenaganya, tak
usah Mo Lek yang turun tangan, dia pasti bakal terbinasa di
tangan Thian Hiong. Mo Lek tapinya tidak lantas menotok. Ia
dicegah oleh rasa malunya.
"Seorang laki-laki sejati," demikian ia pikir, "Jikalah dia mau
membuat pembalasan, dia mesti lakukan itu secara laki-laki
juga! Dia ini sangat percaya aku, cara bagaimana aku dapat
membokongnya...?"
Belum habis Mo Lek berpikir, Thian Hiong sudah roboh
bersama kudanya itu dan dia terancam bahaya maut.
Mendadak si anak muda mengambil keputusannya. Tak suka ia
menotok si nona, tak sudi juga ia membiarkan Thian Hiong
terbinasa. Maka itu di dalam saat maut mengancam Sin Thian Hiong, ia
mengerahkan semua tenaganya, ia memeluk keras dan
mengangkat tubuh Yan Ie. Maka kejadianlah ujung pedang
tidak meminta jiwa Thian Hiong dan Thian Hiong keburu
ditolongi dibawa menyingkir.
"Apa kau bikin?" tanya Yan Ie gusar sekali. "Apakah kau
kenal binatang itu?"
Ia lantas membalik tangannya, hendak melemparkan orang
jatuh dari kudanya.
Mo Lek tidak menjawab, ia hanya menatap mengawasi.
Ketika mata mereka bentrok sinarnya, Yan Ie menghela
napas. "Bagus!" serunya. "Bagus kau masih mempunyai rasa peri
kemanusiaan, kau tidak menggunai ketikamu yang baik untuk
mencelakai aku..."
Tengah si nona berkata begitu, satu penunggang kuda lain
tiba di antara mereka. Penunggang kuda itu seorang nona yang
cantik. Ketika Mo Lek melihat nona itu, hatinya goncang. Ia
mengenali Han Cie Hun, anak daranya Han Tam.
"Bagus!" Yan Ie berseru. Dia pun mengenali nona itu.
"Kiranya kau, Encie Han! Kita harus menguji dulu kepandaian
kita!" Pada tujuh tahun dulu ketika Han Cie Hun menyamar
menjadi anaknya Sin Thian Hiong dan turut dalam pertempuran
di Liong Bin Kok, ia telah bertarung beberapa kali dengan Ong
Yan Ie. Tak lama setelah itu, Yan Ie ketahui siapa adanya nona itu.
Maka ia telah memikir mencarinya, buat menempur pula, guna
membalas sakit hati yang dia telah dipermainkan. Maka
kebetulan sekali sekarang mereka bertemu satu pada lain.
Cie Hun tertawa.
"Aku justeru datang kemari karena aku ingin belajar kenal
dengan ilmu pedangmu, encie!" kata ia yang lantas
mengajukan kudanya terlebih jauh, untuk menyerang dengan
tipu silat "Cit-chee Poan-goat," .llan "Bintang tujuh menemani si
puteri malam".
Kuda mereka berdua telah datang dekat satu dengan lain,
il.ui penyerangan itu yang berulang-ulang sampai tujuh kali,
semuanya mencari jalan darahnya Nona Ong!
Han Tam menjadi ahli totok nomor satu. Cie Hun lelah
mewariskan kepandaian ayahnya itu, yang kurang baginya ialah
latihan, hingga ia belum dapat memahirkannya, walaupun
demikian, untuk dunia Rimba Persilatan, hanya Khong Khong
Jie dan saudara seperguruannya yang dapat menandingi. Oleh
karena itu, melihat datangnya serangan sangat dahsyat itu, Yan
Ie menjadi kaget.
Segeralah terdengar suara nyaring dari beradunya kedua
senjata, hingga telinga menjadi ketulian. Didalam keadaan
seperti itu, Yan Ie masih dapat menangkis serangan, hingga
mereka jadi bertempur seru.
-ooo0dw0ooo- Jilid 14 Tampaknya kedua nona itu sama tangguhnya, masingmasing
mempunyai keistimewaannya sendiri. Cuma Yan Ie
sedikit terhalang, karena ada oianj,-, yang menggembloki
punggungnya. Demikian diluar keinginannya, ujunjt rambutnya
kena terbabat kutung lawannya itu.
Selama itu Mo Lek terus mendekam di punggung Nona Ong.
lu la k berani ia menggeraki mukanya guna melihat Nona Han.
Ia malu sekali. Pula kesudahannya akan sulit untuknya, karena
ia bukan tertawan hanya ditolongi si nona.
Cie Hun telah melihat lawannya dirangkul orang, ia
menghentikan serangannya.
"Bukankah orang dibelakangmu itu telah terluka?" ia tanya.
"Kau kasih dia turun! Aku tidak mau menyerang orang yang
sudah terluka! Dengan begitu kau pun jadi dapat ketika untuk
mengeluarkan kepandaianmu, supaya kita bisa bertempur
hingga salah satu menang atau kalah...!"
Cie Hun menduga orang terluka sebab ia melihat orang tidak
membantui Yan Ie. Ia pun tidak dapat melihat muka orang
yang pucat. Yan Ie tidak menjawab. Selagi Nona Han berhenti
menyerang, ia mengeprak kudanya untuk membuat binatang
itu berlompat maju.
Cie Hun tertawa.
"Orang itu pernah apa denganmu?" tanya puterinya Han
Tam. "Apakah kau kuatir dia nanti terjatuh ke dalam tangan
pihakku" Jangan kau menerka demikian! Kami orang-orang
Rimba Persilatan sejati, tak nanti kami sembarang melakukan
pembunuhan! Pula tidak nanti kami sembarang membunuh
orang tawanan! Jangan kau kuatir! Karena kau bakal tidak
dapat lolos dari tanganku, lebih baik kau turunkan dia, supaya
kita dapat bertanding dengan merdeka! Umpama kata kau
dapat mengalahkan aku, nanti aku mintakan pertimbangannya
Sin Cecu, supaya kau dimerdekakan, diberi ketika untuk
mengangkat kaki dari sini, sebab kita telah bertempur satu
lawan satu!"
Ketika itu orang-orangnya Sin Thian Hiong sudah
menyiapkan tambang-tambang untuk menjirat kaki kuda guna
merintangi jalan umum. Karena itu, kudanya Nona Ong mesti
berhenti berlari, tak dapat dia maju terus.
Cie Hun sendiri segera menghampirkan.
"Bagaimana?" tanyanya, tertawa. "Apakah kau tak sampai
hati mengasih dia turun supaya kau dapat menempur aku satu
sama satu?" Ong Yan Ie menjadi gusar.
"Buat apa kau ngoceh saja?" bentaknya. "Urusanku tak
dapat kau campur tahu!"
Lantas dia putar kudanya dan menikam dadanya Nona Han.
Tikaman itu keras sekali.
Cie Hun mendekam di punggung kudanya, buat mengelit
diri, setelah itu, ia membalas membabat. Itulah serangan "Hoktee
Keng-liong-kiam," atau "Naga mendekam memutar diri".
Gerakan mereka itu membuat kuda mereka saling melewati.
Yan Ie berkelit pula. Ketika ia mendekam, Mo Lek turut
rpendekam juga. Justeru itu ia dikejutkan kudanya. Binatang itu
meringkik dengan tiba-tiba, sambil meringkik dia berlompat,
kedua kaki depannya terangkat tinggi. Kaget lompatnya kuda
itu, kaget si nona karena rubuhnya merosot turun. Inilah dapat
dimengerti karena ia digembloki terus oleh Mo Lek.
Kuda itu kuda terdidik baik, dia mengenal majikannya dan
setia. Ketika Cin Siang berperang ke selatan dan utara,
beberapa kali dia menolongi majikannya itu dari ancaman
bahaya. Dia tahu Ong Yan Ie musuh, dan dia telah merasakan
serangan gaetan barisan wanita nona itu, maka tak puas dia
ditunggangi si nona. Sekarang si nona lagi berperang dengan
pihak lawan, dia rupanya mau membuat pembalasan, maka dia
berjingkrak secara tiba-tiba itu!
Han Cie Hun girang sekali. Begitu lawan jatuh dari atas kuda,
ia lompat turun dari kudanya, untuk menyerang jalan darah
nona itu. Ketika Tiat Mo Lek jatuh, tidak dapat ia terus memeluki Yan
Ie, dengan begitu mereka menjadi jatuh berpisahan. Setelah
tubuhnya mengenai tanah, ia terus menggulingkan diri,
menghampirkan Nona Ong. Ia melihat datangnya serangan dari
Cie Hun. Di dalam bingungnya entah dari mana datangnya,
dengan lantas ia menyampok pedang Nona Han.
Cie Hun tercengang. Ketika itu ia seperti mengenali si anak
muda. Justeru begitu, sekonyong-konyong, "Encie Han!"
Itulah suara Mo Lek, yang menyapa.
Terkejut dan heran, Cie Hun menarik pulang pedangnya.
"He, Mo Lek!" ia berseru. "Kau?"
Selagi berlakunya semua itu, Yan Ie yang gesit, yang roboh
dengan tidak terluka, sudah lantas berlompat bangun bagaikan
ikan meletik. Ia sudah menggunai tipu "Lee-hie Ta-teng," atau
"Ikan gabus meletik". Ketika ia bangun berdiri, ia telah
memisahkan diri beberapa tombak jauhnya.
"Celaka! Berandal perempuan itu mau kabur!" teriak Han Cie
Hun. Ia lantas mau mengejar, atau mendadak Mo Lek menjerit,
"Aduh!"
Entah disengaja atau bukan, pemuda itu roboh ke dadanya.
Ia menjadi terkejut sekali hingga batal ia mengejar, bahkan
melupakan likat atau malu, ia lantas menyanggapi, memeluk
tubuh orang. "Ah, Mo Lek!" ia berseru, "Kau benar-benar terluka! Apakah
lukamu parah?"
Ong Yan Ie menoleh, melihat dua orang itu kenal satu
dengan lain, ia tertawa dingin, terus ia membulang-balingkan
pedangnya, guna menyerbu, buat memecahkan kurungan. Di
situ tidak ada lain orang yang dapat menandingi padanya
kecuali Nona Han, maka juga di dalam tempo yang pendek, ia
sudah lolos dan bebas.
Sin Thian Hiong telah berhasil menggunai tambang
menangkap kuda uy-piauw-ma, ia kembali dengan merasa
girang dan puas.
Ia kata, "Gadisnya Ong Pek Thong lolos, tetapi kita
mendapatkan kuda ini, tidaklah kita kecewa! Dan kau, kau
berhasil membekuk si bocah, bukan" Eh, eh, apakah kau
bukannya Tiat Siauw-cecu?"
Ia menanya demikian, langsung kepada si anak muda,
Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
setelah ia melihat tegas muka orang, hingga ia menjadi heran.
"Paman Sin, sudah lama kita tak bertemu!" kata Mo Lek,
mengangguk. "Memang akulah Mo Lek..."
Thian Hiong tetap heran.
"Ha, kau telah menjadi begini besar!" katanya, kagum.
"Dengan begini teranglah Tiat Lo-cecu telah mempunyai
turunannya! Kau tahu, kita semua selalu memikirkanmu!"
Ia berhenti sebentar, lalu ia menanya sungguh-sungguh, "Mo
Lek, bagaimana ini" Kenapa kau nampaknya sangat bersahabat
baik dengan anak perempuan musuh?"
Mukanya Mo Lek merah sampai pada telinganya. Ia berdiam
karena sulit untuk ia memberikan keterangannya.
Han Cie Hun tertawa.
"Paman Sin, kau terlalu!" katanya. "Mo Lek telah mendapat
luka, apakah kau tidak lihat?"
Thian Hiong agak terkejut..
"Oh, kau terluka?" katanya. "Jadinya kau kena tangkap
mereka?" "Memang!" Nona Han mendahului menjawab. "Baru saja aku
bebaskan ia dari totokan..."
"Pantas, pantas dia duduk di atas kuda seperti patung!" Sin
Thian Hiong berkata pula. "Sampai pun melihat aku, dia tidak
menyapa! Bagaimana, apakah lukanya parah?"
Diam-diam Mo Lek bersyukur kepada Nona Han.
"Syukur, paman, aku terluka ringan," ia menjawab.
"Nona Han," kata Thian Hiong pada Cie Hun, "Obat lukamu
lebih manjur daripada obat lukaku, lukanya Mo Lek itu, tolong
kau saja yang obati. Sebentar baru kita bicara pula!"
Thian Hiong menjadi pemimpin, pertempuran telah berakhir,
hari pun akan segera mulai terang tanah, maka perlu ia
melakukan pemeriksaan kepada orang-orangnya, untuk melihat
mereka yang terluka atau terbinasa, guna merapihkannya,
supaya begitu cuaca terang, mereka dapat segera pulang ke
gunung. Han Cie Hun menarik tangannya Mo Lek, buat diajak memilih
tempat, di situ keduanya duduk berendeng. Ia lantas periksa
lukanya si anak muda. Terus ia tertawa dan kata, "Nona itu
memperlakukan kau tanpa kecelaannya! Obat luka Keluarga
Ong lebih mujarab daripada obatku, maka tak usahlah aku
menguatirkan lagi lukamu ini!"
Mo Lek menjadi likat sekali.
"Encie Han, kau menggodai aku!" katanya.
"Apakah aku omong salah?" tanya Cie Hun, tertawa pula.
"Apakah obat ini bukan obat yang dia borehkan kepada
lukamu?" Terpaksa Mo Lek mengangguk. "Ya, dia yang mengobati
aku," ia mengaku.
Cie Hun batuk satu kali. Lantas ia menunjuki roman
sungguh-sungguh.
"Sekarang datang giliranku menanya kau!" katanya.
"Sebenarnya, bagaimanakah duduknya hal" Tadi aku telah
mendusta untuk membantu padamu, tetapi sekarang ku mesti
omong terus terang padaku!"
"Aku terluka, karenanya aku kena ditawan," Mo Lek
menjawab. "Dia hendak membawa aku ke Liong Bin Kok..."
Nona Cie tertawa.
"Tetapi belum pernah aku menyaksikan ada orang tawanan
yang diperlakukan sebaik kau tadi," katanya. "Sudah kau tidak
ringkus, jalan darahmu pun tidak ditotok, sebaliknya dia
mengajak kau duduk bersama di atas seekor kuda, bahkan dia
membiarkan kau memeluki tubuhnya!"
Muka Mo Lek kembali menjadi panas, telinganya terasa
panas. "Aku juga tidak dapat mengerti maksudnya itu," ia kata
perlahan. "Aku dengan dia ada musuh besar satu dengan lain,
permusuhan yang dalam seperti lautan, ketika aku ditawan dia,
aku telah pikir bahwa aku bakal tidak hidup lama lagi."
Cie Hun tertawa geli, ia mengeluarkan jari tengahnya untuk
menusuk perlahan pemuda di sisinya.
"Dasar anak tolol!" katanya. "Kau benar-benar tidak mengerti
atau cuma berlagak pilon saja, kau tetap mensia-siakan maksud
baik dia itu! Aku telah melihatnya sejak tujuh tahun yang lalu!
Ketika itu dia masih seorang nona cilik, tetapi ketika itu dia
sudah menyukai kau! Ketika di Liong Bin Kok kamu bertempur,
bukankah dia telah menaruh belas kasihan padamu" Kau
bilang, kau masih ingat atau tidak peristiwa dulu hari itu?"
Mo Lek malu berbareng mendelu.
"Encie Han, jangan kau goda aku!" katanya keras. "Sudah
aku bilang, kita bermusuh seperti dalamnya lautan, tak perduli
bagaimana sikapnya terhadap aku, sakit hatiku tetap mesti
dibalaskan! Jikalau kau tidak percaya aku, baik nanti aku
bersumpah kepadamu...!"
Cie Hun membekap mulut orang.
"Kau mau membalas sakit hati atau tidak, itulah urusanmu!"
katanya tertawa. "Apa perlunya aku menghendaki kau
bersumpah" Sudah, jangan kau omong keras-keras, nanti
orang dengar, mereka dapat mentertawakan kita!"
Perkataan Nona Han ini mempunyai dua maksud. Yang
pertama seperti si nona mengatakan Mo Lek takut
hubungannya dengan Ong Yan Ie diketahui orang. Yang
lainnya, nona itu menganggap sumpahnya seperti lelucon.
Maka itu, si anak muda lantas bungkam.
Tatkala itu Sin Thian Hiong sudah kembali.
"Bagaimana, apakah lukamu sudah tidak nyeri lagi?" dia
tanya. "Kau dapat menunggang kuda atau tidak?"
"Aku berterima kasih kepada Nona Han buat obatnya yang
mustajab," sahut Mo Lek. "Sekarang ini aku merasa jauh
terlebih enakan. Dari itu soal menunggang kuda bukannya soal
lagi." "Baiklah kalau begitu! Sekarang mari, aku mengundang kau
datang ke bentengku untuk kau beristirahat buat beberapa
hari! Di sana masih ada beberapa orang yang kau kenal!"
Itu waktu cuaca sudah terang, maka Thian Hiong lantas
mengasih perintah untuk pasukannya mulai berangkat pulang.
Mo Lek hendak pergi ke Kiu-goan menjenguk suhengnya, si
kakak seperguruan, Lam Ce In, akan tetapi ingat kepada
lukanya, ia membatalkan niatnya.
Ia memang sudah dapat menunggang kuda, tetapi
bagaimana andaikata di tengah jalan ia bertemu musuh" Pasti
tak dapat ia berkelahi untuk melawan musuh itu. Pula, Thian
Hiong dan Cie Hun adalah sahabat-sahabat dengan siapa sudah
bertahun-tahun ia tidak bertemu, tak dapat ia menampik
kebaikan hati mereka itu. Maka ia menerima baik undangan.
Kuda uy-piauw-ma dari Cin Siang, yang kena ditangkap,
dicoba dinaiki seorang tauwbak, tetapi lacur tauwbak itu, dia
kena dibikin roboh terguling.
Melihat demikian, Sin Thian Hiong tertawa.
"Benar-benar seekor kuda jempolan!" dia memuji. "Sayang
adatnya rada kasar! Dia tak sudi ditunggangi sembarang orang!
Dapat aku naik di atasnya, cuma tak dapat aku lakukan itu.
Kalau dia dipaksa tunduk, dia tak puas."
"Nanti aku yang coba," berkata Cie Hun, yang terus
menghampirkan kudanya Cin Siang itu.
Karena kena tergaet, binatang itu terluka kakinya, dagingnya
robek, benar orangnya Ong Yan Ie pernah memberi obat dan
lukanya dibalut, akan tetapi setelah pertempuran barusan,
balutannya sudah terlepas.
Cie Hun melihat luka itu, ia lantas mengobati dan
membungkusnya. Habis itu ia menepuk-nepuk leher binatang
itu, sembari tertawa dan dia kata, "Mari kita bersahabat!
Apakah kau mau?"
Kuda itu mengangkat kepalanya dan meringkik keras. Itulah
pertanda bahwa dia mengerti maksud si nona. Ketika dia
mengasih turun kepalanya, perlahan-lahan dia menjilati nona
itu, setelah mana dengan jinak dia membiarkan si nona lompat
naik atas punggungnya.
Sin Thian Hiong tertawa.
"Dasar kau cerdik, kau mempunyai akal!" kata dia. "Baiklah,
kuda ini aku berikan padamu!"
Sebenarnya kuda itu bukan berterima kasih kepada Cie Hun
karena dia diobati, dia hanya bersyukur lantaran barusan Nona
Han sudah mengusir Ong Yan Ie. Dia memandang Yan Ie
sebagai musuh, maka senang dia melihat musuhnya kabur.
Ketika mereka berangkat, Cie Hun mengajak Mo Lek naik
bersama di atas kuda uy-piauw-ma itu.
"Mo Lek, kau lapar atau tidak?" tanya si nona. "Aku
mempunyai rangsum kering. Kau lihat, bagaimana aku
sembrono, sampai aku lupa tanya kau sudah dahar atau
belum..." Mo Lek bersyukur kepada si nona, yang sangat
memerlukannya. "Terima kasih," ia menjawab. "Aku juga masih mempunyai
abon. Cukup asal kau membagi sedikit air padaku."
Abon itu ialah abon pemberiannya Ong Yan Ie, karena itu,
selagi meggayam daging halus itu, Mo Lek ingat peristiwanya
dengan Nona Ong. Tiba-tiba ia melengak sendirinya.
"Eh, kau pikirkan apa?" Cie Hun menegur, heran.
"Oh, tidak apa-apa!" sahut si anak muda gugup. "Apakah
ayahmu baik-baik saja" Dulu hari itu ayahmu berbuat baik
sekali kepadaku, maka aku ingin sekali menjenguknya!"
"Ayahku baik," si nona menyahut. "Hanya kalau kau hendak
menemuinya, mungkin maksudmu tak kesampaian! Ayahku
tidak ada di dalam benteng."
Mo Lek mengawasi si nona. Dia tertawa.
Cie Hun bersenyum.
"Taruh kata aku suka menjadi ratu berandal, Paman Sin pasti
tak akan mengijinkannya," ia kata. "Sebenarnya ayahku mesti
pergi jauh untuk menjenguk sahabatnya, tak suka ia mengajak
aku, lalu aku disuruh berdiam di benteng, dititipkan pada
Paman Sin."
Thian Hiong berjalan di sebelah depan, dia mendengar
pembicaraan muda-muda itu, dia berpaling sambil tertawa.
"Bukannya dia dititipkan padaku, untuk aku melihat-lihatnya,
hanya dialah yang membantu aku!" katanya. "Jikalau tidak ada
Sat-sie Siang-eng bersama dia di bentengku, tentu dari siangsiang
Ong Pek Thong sudah berhasil merampas bukit Kim Kee
Nia!" Di antara Liong Bin Kok dan Kim Kee Nia ada jarak seratus
lima puluh lie lebih, maka itu di waktu magrib, pasukannya Sin
Thian Hiong telah kembali ke bentengnya. Semua tauwbak,
besar dan kecil, lantas menyambut.
Sat-sie Siang Eng, yaitu dua jago she Sat, bersama Liong
Chong Siangjin, yang menjadi tetamu, berdiam terus di dalam
benteng, maka itu, kedua belah pihak saling bertemu sesudah
Thian Hiong beramai masuk ke dalam.
Mo Lek menjadi kenalan lama sekalian tetamu itu, maka juga
di waktu bertemu, begitu habis saling memberi hormat, kedua
pihak lantas bicara banyak dan asyik, membicarakan peristiwa
di sarangnya Ong Pek Thong itu.
Melihat kuda uy-piauw-ma, semua orang memuji.
"Sebenarnya, bagaimana caranya kuda ini didapatkan
kamu?" tanya Liong Chong Siangjin.
"Itulah binatang tunggangannya Ong Pek Thong," Nona Han
memberi keterangan. "Paman Sin yang merampasnya!"
"Keliru!" kata Liong Chong Siangjin.
Cie Hun heran hingga ia melengak. Ketika ia hendak
menanya orang suci itu, Mo Lek sudah mendahului.
"Kuda ini sebenarnya kudanya seorang perwira," kata
pemuda ini. "Ketika itu si perwira kebetulan lagi terkurung. Aku
maju menolongi dia, maka dia dapat lolos dari kurungan dan
kabur." Lebih jauh, Mo Lek menjelaskan jalannya pertempuran ketika
ia membantui si perwira.
"Apakah kau ketahui namanya perwira itu?" Liong Chong
tanya. "Ketika dia sudah lolos, dia memperkenalkan dirinya padaku.
Dia she Cin, namanya kau lupa."
"Nah, ini barulah benar!" kata pula Liong Chong. "Perwira itu
bernama Siang. Dialah cucunya Cin Siok Po, panglima yang
berjasa yang turut membangun Ahala Tong. Aku kenal kuda ini.
Cin Siang menjabat pangkat tetapi dia gemar bergaul dengan
orang kaum pengembara. Tatkala dahulu hari aku mengembara
sampai di kota raja, pernah aku disambut dan dilayani dia."
Mendengar itu, Cie Hun tertawa.
"Kalau demikian adanya, kuda ini cuma dapat kita pakai buat
sementara waktu saja!" katanya. "Kita harus berdaya upaya
untuk membayarnya pulang kepada pemiliknya."
Sin Thian Hiong berdiam sekian lama.
"Memulangkan kuda ialah urusan kecil," katanya. "Tentang
Cin Siang itu, pernah aku dengar dia mengikuti utusan
pemerintah pergi ke Hoan-yang, sekarang An Lok San hendak
membekuk dia, rupanya perkara telah berubah jalannya.
Karena ini, pemimpin ini lantas mengirim mata-matanya
pergi mencari kabaran ke kedua tempat, yaitu di Hoan-yang
dan ke Liong Bin Kok.
Sampai disitu, Mo Lek menjadi berdiam di Kim Kee Nia,
untuk merawat lukanya. Thian Hiong semua repot mengatur
penjagaan, karena itu setiap hari mereka cuma mengguh'ai
kesempatan sedikit waktu untuk menjenguknya, satu atau dua
kali saja. Dilain pihak, Cie Hun menemaninya setiap detik. Mereka bisa
bicara banyak tanpa menjadi bosan, soalnya ialah ilmu silat dan
pengalaman masing-masing.
Sesudah berselang lima hari, lukanya Tiat Mo Lek telah
menjadi sembuh. Ketika itu mata-matanya Thian Hiong juga
telah pada kembali dengan beruntun. Mata-mata yang pergi ke
Hoan-yang membawa berita halnya An Lok San benar sudah
berontak, alasannya ialah untuk menyingkirkan dorna Yo Kok
Tiong. Dia menggeraki lima belas laksa serdadu tetapi dia
mengatakan dua puluh laksa jiwa. Oleh karena majunya dia,
pihak Liong Bin Kok juga repot bersiap sedia guna
memapaknya. Begitulah Ong Pek Thong sudah menyiarkan Lok
Lim Cian - Panah Rimba Persilatan - dengan apa dia
memerintahkan semua berandal, turut bergerak juga, untuk
mereka semua bekerja sama.
Mendengar berita itu, Mo Lek lantas menyatakan bahwa ia
hendak berangkat. Ia kuatir, kalau nanti peperangan terbit,
perjalanannya dapat terhalang. Ketika ia meminta diri, Sin
Thian Hiong tidak mencegah atau menahannya. Sebaliknya, ia
Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lantas dijamu. Thian Hiong memesan, apabila ia telah tiba di tempat
tujuannya, sukalah ia memberitahukan Lam Ce In bahwa
apabila dia dibutuhkan, dia suka meninggalkan Kim Kee Nia
untuk memberikan bantuannya.
Han Cie Hun hadir bersama dalam perjamuan itu.
Nampaknya Mo Lek menyayangi mesti berpisahnya dari si
nona. Sebaliknya si nona tertawa dengan gembira, dia seperti
tak memperdulikan perpisahan itu.
Sin Thian Hiong memberi persen seekor kuda pilihan untuk si
pemuda, dia pun mengantar serintasan.
Ketika Mo Lek berada di tengah perjalanan, di depan
matanya berpeta wajah cantik dan manis dari dua orang nona.
Yang satu ialah Ong Yan Ie, yang lainnya Han Cie Hun.
Ia pun berpikir, "Yan Ie seperti tak kerasan meninggalkan
aku, heran Cie Hun, kenapa ia mengantarkan aku pun tidak..."
Tengah aa berpikir itu, tiba-tiba telinganya mendengar suara
larinya kuda. Dengan lantas ia berpaling ke belakang. Untuk
herannya, ia melihat Nona Han yang lagi mendatangi.
"Adik Hun!" ia memanggil, heran dan girang. "Kenapa kau
menyusul?"
Setelah bergaul erat beberapa hari itu, Mo Lek sudah
mengubah panggilannya kepada si nona, tak lagi encie atau
kakak, hanya adik, alau langsung namanya. Ia pun terlebih tua
tiga tahun daripada nona itu.
Nona Han tertawa.
"Aku tidak mengantarkan kau!" katanya. "Aku tahu, di dalam
hatimu, kau mencaci aku!"
Mo Lek tahu ia digodai, ia tidak memperdulikan.
"Tempat ini sudah terpisah jauh dari benteng," katanya.
"Apakah kau datang seorang diri?"
Pemuda ini menanya demikian karena dia berkuatir untuk si
nona. Thian Hiong menjadi musuh Pek Thong, meski si nona
gagah, kalau ia bersendirian saja, ia terancam bahaya. Tempat
sekitar itu tempat pengaruhnya Ong Pek Thong. Bagaimana
kalau Pek Thong atau orangnya muncul dan mengenali si nona
kawannya Thian Hiong"
Maka dia kata pula, "Tempat ini berbahaya. Di sini Ong Pek
Thong berkuasa."
Di dalam hatinya, dia menambahkan, "Sebenarnya, kalau
kau hendak mengantar aku, kau mesti mengantar semenjak
tadi, tidak sekarang setelah aku berjalan jauh beberapa puluh
lie" Sekarang kau menyusul aku, bukankah kau lagi bergurau?"
Kamar ini namanya kamar besar, sebenarnya sempit, kecuali
sebuah pembaringan, sebuah meja dan sebuah kursi, tidak ada
perabotan lainnya. Untuk berduduk saja, mereka mesti
berdekatan satu dengan lain, hampir tubuh mereka saling
sentuh. Karena itu tak heran apabila hidung si pemuda dapat
menangkap semacam bau harum dari tubuhnya si pemudi.
Hati Mo Lek goncang. Justeru itu bayangan Yan Ie seperti
berpeta di depan matanya. Tak tahu ia apa sebabnya, tiba-tiba
ia ingat kepada Nona Ong.
Tengah mereka itu bersemedhi itu, sekonyong-konyong
terdengar suara berisik di luar hotel, lalu terdengar suaranya
tuan rumah, "Para tetamu yang terhormat, silahkan semua
keluar dari kamar masing-masing! Ada pembesar negeri
melakukan pemeriksaan!"
"Sungguh menyebalkan!" kata Cie Hun. "Siapa sangka kita
bakal menemukan urusan yang memusingi ini!"
Mo Lek tertawa.
"Kau sabar saja!" katanya. "Jikalau kita bentrok dengan dia,
pusingnya akan jadi berlebihan!
Semua tetamu mulai bertindak keluar, maka sepasang
muda-mudi itu turut keluar juga, akan bercampuran dengan
mereka itu, untuk berkumpul di ruang besar.
Ketika itu terdengar suara satu orang, "Di dalam hotel kamu
ini, semuanya ini ada berapa orang wanita?"
"Ada tiga," menjawab tuan rumah.
"Mereka ada pria yang menemani atau masing-masing
bersendirian saja?" tanya pula orang itu, si pembesar.
"Ada seorang yang berada bersama kakaknya. Yang dua lagi
tanpa kawan pria, tetapi merekalah kawan satu dengan lain."
"Begitu" Mereka menunggang kuda atau tidak?"
"Ada seorang yang menunggang kuda, ialah si nona yang
ada bersama kakaknya."
"Apakah warna bulu kudanya itu?"
"Rupanya uy-piauw-ma."
"Baik, kau ajaklah mereka ke istal untuk melihatnya!"
Mo Lek bahkan kaget. Ia mengenali suara orang, hanya ia
tidak lantas ingat di mana ia pernah mendengarnya, hingga ia
tak tahu juga, siapa pembesar itu.
Ketika keduanya sampai di ruang besar itu, mendadak Tiat
Siauw-cecu gentar hati. Sekarang ia telah melihat nyata pada si
pembesar. Mukanya menjadi pucat. Pembesar itu, dua orang,
bukan lain daripada Liap Hong, komandan muda dari An Lok
San, dan yang bicara itu, Ceng Ceng Jie si jago yang selama di
Hui Houw San telah bertempur dengan Toan Kui Ciang,
pamannya. Ia bukannya takut, sebaliknya, hatinya panas. Mukanya
menjadi merah dan giginya bercatrukan saking menahan gusar.
"Syukurlah kakanya tak datang bersama," pikirnya pula.
Selama waktu pertempuran Ceng Ceng Jie dengan Toan Kui
Ciang di Hui Houw San, Mo Lek menjadi salah satu penonton.
Kedua kalinya, ia menemukan Ceng Ceng Jie di Liong Bin Kok.
Juga ketika itu, ia tidak sampai menempur Sutee dari Khong
Khong Jie itu. Sekarang ini ia telah bertambah usia, maka itu selagi ia
mengenali orang, orang tak mengenali padanya, bahkan tak
tahu. Mo Lek Heran hingga ia berpikir pula, "Mereka bukan ahli
tenung, cara bagaimana mereka bisa ketahui kudanya adik Hun
ada di sini" Ah, pastilah mereka bukan datang untuk kuda itu...
Habis, untuk apakah" Pula Liap Hong ini, dialah orang An Lok
San, mengapa dia meninggalkan Hoan-yang yang jauhnya
beberapa ratus lie dan datang kemari, merondakan sebuah
dusun sekecil ini?"
Tak dapat Mo Lek menerka, maka terus ia menghadapi tekateki.
Dua wanita lainnya ada wanita-wanita tukang jual silat,
rambut mereka panjang.
Ceng Ceng Jie menyuruh serdadunya mengangkat obor
tinggi-tinggi, guna menyuluhi muka orang. Ia mengawasi
sekian lama. Mendadak ia mengulur tangannya, meraba rambut
wanita. Wanita yang terlebih tua, yang romannya sangat menarik
hati, tertawa cekikikan.
"Tayjin, kau bikin apa?" dia menegur. "Aduh! Aduh! Ha, ha,
ha, ha! Geli! Geli!"
Mendadak Ceng Ceng Jie menolak tubuh orang. "Ngaco
belo!" bentaknya. "Siapa bergurau denganmu" Kau mundur,
di sini tidak ada urusanmu!"
Itu artinya kedua wanita itu bebas dari sangkaan jelek.
Ceng Ceng Jie lantas menoleh kepada Han Cie Cun. Dia
melirik, dia mengawasi, agaknya dia terkejut karena heran.
"Kau kerja apa?" akhirnya dia tanya.
"Aku bersama kakakku pergi menyingkir dari ancaman
peperangan," sahut si nona.
"Hm, nona yang cantik!" kata pembesar itu. "Kau mengerti
silat, bukan?"
Ia terus menunjuk pedang di pinggang orang.
"Aku tidak mengerti silat, tetapi di waktu tak aman seperti
ini, ada baiknya aku membekal senjata," sahutnya pula.
"Umpama kata ada orang jahat, tak nanti dia sembarang dapat
mengganggu..."
"Hm!" bersuara Ceng Ceng Jie, yang maju satu tindak, lalu
mendadak tangannya diulur, hingga menyamber tangan orang.
"Kurang ajar!" berseru Tiat Mo Lek. "Kau menghina kaum
wanita!" Sembari membentak itu, anak muda ini mengayun
tangannya ke muka orang. Tak suka ia melihat orang demikian
ceriwis. Tak mudah Ceng Ceng Jie mengasih mukanya digaplok. Ia
menggeraki tangannya, guna menangkap tangan orang.
Sembari tertawa, ia kata, "Bocah tolol, apakah kau sudah bosan
hidup?" Berhasil samberan itu, akan tetapi Mo Lek mengerahkan
tenaganya. Maka si ceriwis terkejut. Dia membentur tangan
yang kuat, yang keras sekali tenaga membaliknya, hingga
cekalannya menjadi terlepas!
Walaupun demikian, dengan tangannya yang lain, ia
mencoba meraba kulit putih halus dari si nona. Ia dapat
bergerak dengan cepat dan gesit.
Han Cie Hun dapat melihat gerakan orang, ia lantas
mengebut, buat menarik perhatian orang, dilain pihak, dengan
tangannya yang lain, ia membalas menyerang, menotok
beruntun dengan lima jeriji tangannya. Ia menyerang sambil
berlompat berjingkrak, maka itu, ia dapat rnengarah batok
kepala! Ceng Ceng Jie terkejut. Sebenarnya dia telah menduga
kakak beradik itu mengerti silat, hanya mimpi pun dia tak
menyangka orang demikian liehay. Dalam kagetnya, dia
berlompat mudur dengan gerakan tipu silat "Burung Hong
mengangguk".
Dia terkejut pula. Biarnya dia sangat gesit, jeriji si nona
sudah mengenakan juga padanya. Hingga sedetik itu dia
merasa kepalanya nyeri dan matanya kegelapan!
Ketika itu Tiat Mo Lek sudah menghunus pedangnya, sambil
berlompat maju, ia menikam kepada Ceng Ceng Jie.
Meski matanya belum sempat dibuka, Ceng Ceng Jie dapat
mendengar suara anginnya lawan, dengan gesit ia menggeser
tubuh, untuk berkelit. Ia berhasil menolong dirinya. Dalam ilmu
ringan tubuh, ia menang dari si pemuda. Maka juga, meski ia
dirangsak dan ditikam berulang-ulang, Mo Lek gagal.
Ketika serangan yang keempat kali tiba, Ceng Ceng Jie telah
sempat menghunus pedangnya, dengan itu ia menangkis,
hingga kedua senjata bentrok dengan nyaring.
Sebagai akibatnya bentrokan itu, Ceng Ceng Jie mundur dua
tindak dan Mo Lek rugi pedangnya, yang kena "terluka"
sedikit... Keduanya bertempur terus secara hebat, dua-dua sama
penasarannya. Liap Hong tidak turut bertempur, akan tetapi dengan pedang
terhunus, ia menjaga di ambang pintu.
"Apakah cuma ini dua orang?" ia tanya.
"Jangan perdulikan mereka berdua penjahat atau bukan,
tangkap dulu!" Ceng Ceng Jie memberikan jawabannya.
Dengan kata-kata itu, dia sebenarnya minta bantuan si kawan.
Belum sampai Liap Hong maju, Han Cie Hun sudah
mendahului menerjang. Nona ini menggunai pedangnya,
pedang Ceng Kong Kiam, sebagai Poan-koan-pit, alat peranti
menulis. Dengan ujung pedangnya ia menikam berulang-ulang
mencari jalan darah Ceng Ceng Jie.
Saudara seperguruannya Khong Khong Jie menjadi heran,
hingga dia memperdengarkan suara herannya itu.
"Eh, budak perempuan, kau juga bisa menotok!" katanya.
Untuk melayani, jago ini segera bertindak dengan "Yu-liong
Jiauw-pou," yaitu tindakan "Naga memain". Ia selalu berkelit,
saban-saban ia membalas. Seperti si nona, di dalam tempo
yang pendek ia dapat membalas menikam tujuh kali.
Ceng Ceng Jie menang di dalam halnya ilmu ringan tubuh
serta latihan, maka itu kemudian pedangnya telah meluncur ke
iga si nona, begitu cepat hingga nona itu-kaget. Sasaran dari
itu ialah jalan darah jie-khie.
Cie Hun baru saja menyerang ke tempat kosong ketika ia
dibalas ditikam ini. Syukur untuknya, selagi ia terancam bahaya
itu, Mo Lek datang di saat yang tepat menalangi ia menangkis.
Dengan satu gerakan "Seng-liong In-hong," atau "Menunggang
kuda menarik burung Hong," pemuda she Tiat itu membuat
pedang Ceng Ceng Jie terpental. Tapi kedua senjata bentrok,
Mo Lek yang mendapat kerugian, yaitu pedangnya kalah dan
sempoak pula. Pedangnya Ceng Ceng Jie pedang yang tajam yang dibuat
dari campuran emas dengan besi pilihan, maka juga diberi
nama "Kim Ceng Tiat Kiam". Badan pedang guram tak
bercahaya, dilihatnya tak mempuasi, akan tetapi pedang itu
berat dan tajam sekali. Siapa bentrok dengan pedang itu akan
merasa seperti bentrok dengan toya besi.
Melihat Han Cie Hun lompat mundur, Ceng Ceng Jie tertawa
terbahak. "Ilmu totok kau tak dapat dicela, kau belum melatihnya
sempurna!" kata dia.
Itulah pujian campur ejekan. Meski begitu, di dalam hati,
Ceng Ceng Jie gentar.
Ilmu pedang Ceng Ceng Jie didapat dari kitab silat
peninggalan Wan Kong. Kitab silat itu sudah lama lenyap dari
peredaran, baru pada tiga puluh tahun yang lampau dapat
diketemukan gurunya di dalam sebuah kuburan tua.
Maka Ceng Ceng Jie mempelajarinya bersama Khong Khong
Jie, sang suheng. Kakak seperguruan ini dapat menikam, atau
menotok sembilan jalan darah, tapi adiknya cuma tujuh. Maka
itu, di dalam ilmu totok dengan pedang itu. kecuali si kakak
seperguruan, dialah yang dia rasa paling liehay.
Tak tahunya sekarang dia menemui Han Cie Hun, seorang
gadis remaja, bahkan ilmu pedang si nona beda daripada ilmu
pedangnya sendiri. Karena itu, ia jadi berpikir, "Apakah ilmu
totok pedang ini bukan cuma asal satu partai dan disebelahnya
Wan Kong masih ada lain ahlinya" Budak ini kalah latihan,
tetapi nanti, selang beberapa tahun, bukankah dia bakal jadi
sangat liehay?"
Ia berpikir demikian karena ia tak tahu Cie Hun putri Han
Tam, ahli totok nomor satu di jamannya itu.
Liap Hong menghunus pedangnya, dia maju membantu
dengan satu serangan pedang "Burung walet menggaris pasir,"
ia menikam dengkulnya Tiat Mo Lek.
"Eh, kau juga datang?" Mo Lek berseru sambil ia menabas
dengan pedangnya ia bersilat dengan ilmu silat golok.
Liap hong menjadi ahli pedang nomor satu dibawahnya An
Lok San, toh ia belum pernah lihat ilmu goloknya Mo Lek, dari
itu ia terkejut ketika senjata mereka beradu keras, suaranya
nyaring, lelatu api muncrat berhamburan dan ketika ia periksa
pedangnya, pedang itu gompal. Maka lantas ia menatap
Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lawannya. "Ah, kau!" ia berseru heran.
"Liap Ciangkun, apakah kau kenal padanya?" Ceng ceng jie
bertanya. "Dialah Tiat Mo Lek, anaknya Tiat Kun Lun," jawab Liap
Hong Setelah pertempuran di Hui Houw San, Khong Khong Jie
kenal baik sekali Tiat Mo Lek, karena itu sang suheng telah
memberutahukan kepada adik seperguruannya sambil
memesan, kalau si sutee ketemu Mo Lek, dia harus berlaku
murah hati. Liap Hong pernah mendengar Ceng Ceng Jie bicara tentang
Mo Lek itu, karenanya sekarang perwira ini sengaja menyebut
jelas nama anak muda dengan pengharapan suteeenya Khong
Khong Jie Ini suka melepaskan Mo Lek.
Akan tetapi Ceng Ceng Jie berpikir lain. Dia telah dipengaruhi
sangat dengan jasa. Disamping menghormati Khong Khong
sang suheng, dia juga ingin membaiki Ong Pek Thong. Maka
dia tertawa bergelak.
"Kiranya kaulah Tiat Mo Lek, anak angkat dari si setan tua
bangkotan Touw Lo-toa!" katanya, nyaring. "Dulu hari kau
diberi ampun oleh suhengku, kau tidak dibikin mati, maka
sekarang, dengan memandang suhengku itu, aku juga tidak
akan merampas jiwamu! Lekas kau letakkan senjatamu, supaya
kau tidak usah sampai terluka dan tersiksa karenanya"
Itulah nasehat atau bujukan supaya Mo Lek menyerah,
supaya la bisa bawa anak muda itu untuk diserahkan kepada
Ong Pek Thong Tiat Mo Lek menjadi gusar. Sebaliknya daripada menyerah,
ia kata nyaring, "Ceng Ceng Jie! Lekas kau berlutut dan
mengangguk tiga kali kepadaku! Kau mesti membenturkan
kepalamu dengan nyaring! Secara demikian, mungkin aku nanti
memberi ampun padamu!"
Ceng Ceng Jie mendongkol bukan kepalang.
"Bangsat cilik yang temberang!" dia membentak.
"Sebenarnya kau sudah belajar silat beberapa hari?"
Lantas ia menyerang dengan seru sekali, ketika si anak
muda berkelit dan menangkis, ia mendesak keras.
Liap Hong mengeluh di dalam hati. Ia berkuatir untuk
pemuda itu. Mo Lek tidak takut, ia melawan sama kerasnya. Ia
menggunai "Liong-heng Kiam-hoat," atau ilmu pedang "Naga"
yang ia pelajari dari kitab pedangnya Toan Kui Ciang, yang
semuanya terdiri dari enam puluh empat jurus.
Dibawah pimpinan Mo Keng Lojin, ia juga sudah berlatih
selama tujuh tahun, maka itu kepandaiannya tak beda
seberapa dengan kepandaian Ceng Ceng Jie. la cuma kalah
senjata dan pengalaman, tapi sebaliknya, ia menang semangat.
Ceng Ceng Jie mesti berlaku waspada ketika ia melihat lawan
muda itu merangsak mati-matian.
Ketika itu Liap Hong sudah turun tangan membantu Ceng
Ceng Jie. Mo Lek menyerang sama hebatnya kepada perwira
ini, yang menyebutkan namanya terang-terangan, hingga ia
menyangka si perwira konconya sutee dari Khong Khong Jie itu.
Karena ia berlaku keras, Liap Hong jadi berlaku sungguhsungguh
juga. Perwira ini takut ia nanti dicurigai Ceng Ceng Jie,
tak berani ia berlaku ayal-ayalan.
Ceng Ceng Jie mengeluarkan kepandaiannya, karena ia
dibantu Liap Hong, dengan lantas ia dapat mendesak Tiat Mo
Lek. Rangsakan pemuda itu kena dirintangi.
Han Cie Hun, yang bertempur terus, juga merasakan
kesukaran, tak dapat ia mendesak.
Selagi mereka berempat bertarung seru itu, mendadak
terdengar suara berisik dari kuda dan manusia. Telah terjadi
kekacauan di luar rumah.
Itulah rombongan tentara yang didatangkan Ceng Ceng Jie
setibanya dia di dusun Hu Hong Tin. Mereka tidak berarti
banyak. Atas perintah, mereka pergi ke istal, buat mengambil
kuda bulu kuning itu. Apa celaka kuda-itu melawan dan
menjentil roboh empat atau lima diantaranya. Kuda itu lari ke
jalan besar, dimana kawanan tentara itu memegatnya, dari itu
hiruk pikuklah suara mereka.
Mendengar suara kuda itu, Han Cie Hun ingat suatu apa.
"Mo Lek, mari!" ia memanggil.
Mo Lek pun mendapat serupa pikiran seperti si nona. Maka
mendadak mereka melakukan serupa gerakan berbareng.
Bersama-sama mereka lompat menerjang Liap hong
Perwira itu nampak kaget, ia lompat ke samping. Ia memang
tidak mau mengadu jiwa. Dengan ia berkelit, muda-mudi itu
sudah lantas dapat meloloskan diri, keluar dari dalam rumah.
Kuda itu mengenali baik majikannya, dia dapat membela
juga. Sebenarnya setelah lolos, dia dapat lari kabur, tetapi dia
tidak berbuat demikian, dia lari sana-sini dan mundar-mandir,
ringkiknya tak hentinya. Itulah panggilannya untuk majikannya.
Asal ada serdadu yang datang dekat padanya, dia
menyerang dengan kedua kaki belakangnya. Untungnya
kawanan serdadu itu dapat perintah untuk menangkap hidup,
jadi tidak ada yang berani memanah atau menggunakan
senjata tajam lainnya. Dia jadi cuma dikepung-kepung.
Setiap kali dia dikurung, dia menerjang, dia membuat orang
buyar. Tapi begitu dia melihat Mo Lek dan Cie Hun, segera dia
lari menghampirkan.
Ceng Ceng Jie sangat liehay. Dia tak sudi membiarkan orang
lolos. Dia mengejar dengan berlompat tinggi, dia melewati
muda-mudi itu, untuk turun di sebelah depannya, untuk
mencekal kuda itu, yang mesti mundur karena tak sanggup
bertahan dari tenaga orang yang luar biasa. Dia mundur
belasan tindak. Kuda itu kaget tetapi tidak merangsak lagi.
Setelah menahan sang kuda, Ceng Ceng Jie memutar
tubuhnya, untuk menghadapi kedua lawannya, sembari tertawa
terbahak, dia berkata, "Apakah kamu masih memikir untuk
kabur" Hm!"
Mo Lek dan Cie Hun tidak menjawab dengan mulut, hanya
dengan masing-masing senjatanya. Keduanya menyerang
kepada penghadang itu. Pedang yang satu menikam ke
pundak, pedang yang lain membabat kedua kaki. Jadi itulah
serangan ke atas dan ke bawah. Karena keduanya sama
liehaynya, bisa dimengerti hebatnya sambutan itu.
Ceng Ceng Jie pun liehay, tak sudi ia menyambut keras
dengan keras. Ia berlaku licik. Ia mengandalkan keringanan
tubuhnya. Setelah berkelit, ia berlompatan ke kiri dan kanan
kedua lawannya itu.
Mo Lek dan Cie Hun merasakan sulit. Terpaksa mereka
memernahkan diri punggung dengan punggung. Dengan begitu
mereka menjadi tak usah memutar tubuh, tak usah mereka
memperhatikan lagi bagian belakang mereka. Dapat mereka
melihat ke depan dan ke kiri kanan dengan merdeka. Untuk
sementara mereka mengambil sikap membela diri saja.
Kembali Liap Hong merasakan sulit. Ia ingin membiarkan dua
orang itu pergi, tetapi setelah orang dirintangi Ceng Ceng Jie,
tidak dapat ia menonton saja. Maka terpaksa ia maju, untuk
membantui lawan itu.
Mo Lek dan Cie Hun menjadi repot. Datangnya Liap Hong itu
menambah repotnya mereka membela diri. Sembari mendesak
itu, Ceng Ceng Jie bersiul nyaring. Dengan lantas seorang opsir
yang menunggang kuda mengaburkan kuda kepadanya.
"Bu Tayjin," kata Ceng Ceng Jie pada opsir itu, "Tolong kau
tangkap kuda itu. Dialah kuda jempolan, jangan kau lukai!"
Opsir she Bu itu, Leng Sun namanya. Dia menjadi salah satu
opsir yang dipercaya An Lok San. Dia kenal kuda itu kuda
tunggangan Cin Siang.
Mendengar suaranya Ceng Ceng Jie, dia tertawa dan kata,
"Tak usah dipesan lagi. Aku tahu kuda ini kudanya Cin Siang
yang kemarin ini kabur dari Hoan-yang, maka itu, tak perduli
kedua bocah ini ada sangkut pautnya atau tidak dengan orang
she Cin itu, baiklah mereka dibekuk! Ini pula berarti satu pahala
besar!" Ceng Ceng Jie pun tertawa.
"Liap Ciangkun, sungguh kebetulan untuk kita!" kata dia
kepada Liap Hong.
Liap Hong mengerti. Mengertilah ia yang Ceng Ceng Jie
mulai mencurigakannya. Sudah tentu, tidak dapat ia membuat
rahasia hatinya terbuka. Ia tidak menjawab tetapi ia tahu
bagaimana harus bersikap. Maka ia mulai menyerang keras
pada Mo Lek atau Cie Hun.
Muda-mudi itu merasai kesukaran hebat. Mereka terdesak,
repot mereka membela diri.
Selagi pengepungan berlangsung hebat itu, orang
mendengar suara derapnya seekor kuda yang dengan lekas
sekali telah tiba di luar kalangan pengepungan, hingga terlihat
itulah seekor kuda putih pilihan dengan penunggangnya
seorang nona. Begitu tiba, nona itu tertawa nyaring, iramanya, gembira
sekali. "Kamu keliru mencari orang!" demikian katanya keras tetapi
merdu. Lantas kedua tangannya bekerja, mengerjakan panahnya. Bu
Leng Sun sedang menangkap kuda uy-piauw-ma ketika itu dia
menjerit keras dan kesakitan, sebab lengannya kena terpanah.
Tiat Mo Lek berpaling, lantas dia berseru, "Oh, kau, Nona
Hee!" "Ya!" menjawab si nona, ialah Hee Leng Song, yang lantas
menerjang, hingga sebentar saja ia sudah menoblos kurungan
barisan serdadu, datang dekat pada Mo Lek semua.
Ceng Ceng Jie berpaling, dia memutar tangannya, guna
menuding si nona yang baru datang itu, "Kiranya kaulah si
penjahat kemarin malam!"
Sembari menegur itu, ia bergerak terus, berlompat untuk
menerjang. Itulah tipu silat "Elang menyambar kelinci".
Nona Hee menangkis serangan itu. Kebetulan sekali,
tangkisannya berbareng dengan tangkisan Tiat Mo Lek. Senjata
kedua pihak lantas beradu dengan keras. Selagi suara beradu
terdengar nyaring, tubuhnya Ceng Ceng Jie berjumpalitan
mundur, dan si pemuda dan pemudi mundur masing-masing ke
samping! Berdua mereka menang tenaga tetapi Ceng Ceng Jie
menang gesit dan enteng tubuh.
Segera setelah sama-sama mundur, kedua belah pihak maju
pula dengan berbareng, saling menghampirkan guna melanjuti
pertempuran. "Ha, nona yang cantik!" kata Ceng Ceng Jie tertawa. "Syukur
malam itu pedangku tak membuat parasmu bercacad!"
Dia maju terus dengan tindakan "Naga mendekam". Mo Lek
dan Leng Song telah menyerang pula, dengan lawannya
berkelit, serangan mereka mengenai tempat kosong. Ketika itu
digunai Ceng Ceng Jie, buat mendesak, sembari mengancam
dengan pedangnya, tangan kirinya menotok si nona.
Leng Song seperti telah dapat menerka maksud orang, tanpa
ayal lagi, ia menyambut dengan satu sabetan, dengan tipu silat
"Burung Hong mengangguk".
"Telengas!" Ceng Ceng Jie berseru selagi ia membebaskan
diri. Tapi kali ini, dua-duanya tak lolos. Ujung bajunya Nona Hee
kena terbentur tangan orang dan menjadi robek hingga
terdengar suaranya. Bajunya Ceng Ceng Jie di lain pihak telah
ditembuskan juga ujung pedang. Syukur tubuh mereka masingmasing
tak terlukakan.
"Bangsat cilik!" Leng Song mendamprat. "Jikalau kau tidak
dapat balas sakit hati ini, tak sudi aku menjadi manusia!"
Nona ini bersakit hati karena ujung rambutnya pernah
dipapas Ceng Ceng Jie.
Ceng Ceng Jie telah dipujikan dan diserahkan Pek Thong
kepada An Lok San untuk melindungi An Lok San serumah
tangga, maka ia menjagai istananya Ciat-touw-su yang
berontak itu, tetapi tadi malam, ketika Nona Hee tiba, mereka
bentrok, di situ si nona cuma kena terpapas ujung rambutnya.
Selama itu, Ceng Ceng Jie belum melihat tegas nona itu.
Ketika Leng Song lolos, ia keluar dengan kudanya yang
berbulu putih itu, yang satu hari dapat lari seribu lie. Tak
sanggup Ceng Ceng Jie mengejarnya. Karena itu Leng Song
dapat lolos terus dan lalu singgah dilain rumah penginapan di
jalan itu juga. Ini pula sebabnya kenapa dari kamarnya ia
mendengar suara berisik, lantas ia keluar untuk melihat, hingga
ia mengenali Mo Lek.
Ilmu pedang Nona Hee ilmu pedang satu cabang sendiri, dan
kali inilah yang pertama kali Ceng Ceng Jie bentrok dengan si
nona, mulanya Ceng Ceng Jie memandang ringan nona itu,
baru sekarang, sesudah mereka beradu tangan, dia insaf orang
liehay. Bantuannya Mo Lek pun mempersulit padanya. Tenaga
dalam si pemuda sama tangguhnya dengan tenaga dalam si
pemudi. Bentrokan itu merugikan Mo Lek. Lagi-lagi pedangnya
menambah cacad. Dilain pihak, pedang Ceng Ceng Jie kena
dibikin terpental, syukur tak sampai pedang itu terlepas dari
cekalannya. ^ "Kena!" terdengar Nona Hee berseru, pedangnya
menyambar bagaikan kilat.
Kali ini Ceng Ceng Jie yang gesit kewalahan juga. Ujung
pedang si nona telah mengenai pundaknya. Lantaran ia sempat
berkelit, lukanya hanya luka lecet saja.
i Liap Hong sudah lantas maju guna melindungi kawan itu,
tetapi dia dipegat Tiat Mo Lek, yang terus menegur keras, "Eh,
binatang, kenapa kau membantui harimau mengganas" Nyata
kau tak dapat diberi ampun!"
Sembari menegur, Mo Lek menyerang dengan satu tabasan.
Tepat Mo Lek menabas, Leng Song sudah mendahului
padanya. Selagi Liap Hong hendak membela diri dari si anak
muda, ujung pedang si pemudi sudah menggores pundaknya,
hingga darahnya lantas muncrat keluar. Sambil menjerit keras,
ia lari kabur! Mo Lek jadi menyerang sasaran kosong, karena ia
menggunai tenaga berlebihan, tubuhnya sampai lewat ke
depan. Ia menyesal sekali, hingga berulang kali ia berseru,
"Sayang! Sayang!"
Tak terpikirkan si anak muda, Leng Song dengan
serangannya itu memang berniat meloloskan opsir itu, kalau
tidak, belum tentu bagaimana jadinya dengan Liap Hong.
Peristiwa itu ada baiknya untuk Liap Hong, dia jadi pergi
dengan alasan yang kuat.
Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Segera seberlalunya Liap Hong, Ceng Ceng Jie kontan kena
dikepung bertiga oleh Mo Lek, Cie Hun dan Leng Song. Inilah
berbahaya untuknya, tak perduli dia liehay sekali. Melawan Mo
Lek dan Cie Hun, dia belum dapat berbuat banyak, bagaimana
sekarang setelah tibanya Nona Hee.
Begitulah, belum lama, beberapa kali ia sudah terancam
serangan serangan yang membahayakan. Pertama hampir kena
jalan darah soan-kje kena ditikam Cie Hun, lalu pedangnya Mo
Lek mengancam dahinya. Syukur dia masih tetap gesit.
Menghadapi suasana itu, sutee dari Khong Khong Jie tidak
berani melawan lebih lama pula. Tepat ketika Mo Lek
membacok, dia berseru, "Bagus!" lalu dengan pedangnya dia
menyambuti pedang lawan, untuk ditekan keras, berbareng
dengan itu, dia meminjam tenaga lawan tubuhnya mencelat
mundur, untuk menjauhkan diri.
"Tinggalkan batok kepalamu!" berseru Leng Song, yang
menyerang selagi orang mencelat itu.
Ceng Ceng Jie terkejut, tetapi dia tabah, dia tidak menjadi
gugup. Dengan sebat dia berkelit, kepalanya ditunduki, supaya
pedang si nona lewat di atasan kepalanya itu.
Dia gesit sekali, dia toh masih kalah sebat. Dia cuma bisa
menolongi batang lehernya, ujung rambutnya tidak! Rambutnya
itu kena tertabas pedang si nona, hingga Leng Song berhasil
mencari balas! "Ha, ha!" tertawa si nona, yang menyesal berbareng girang.
"Baiklah, rambutmu ini dapat mengganti jiwamu, maka pergilah
kau, aku beri ampun!"
Ceng Ceng Jie lolos untuk kabur terus, sebentar saja dia
telah merat jauh. Cuma dari arahnya itu terdengar suara
terompet nyaring.
"Dia masih belum puas!" kata Nona Hee. "Rupanya dia
memikir memanggil bala bantuan!"
"Biarlah dia tak puas!" kata Mo Lek. "Aku pun masih
penasaran! Aku cuma kuatir dia tak berani datang pula!"
Leng Song tertawa.
"Untuk menuntut balas tak perlu orang kesusu!" katanya
manis. "Sebenarnya syukur yang kita dapat membuatnya kucarkacir!"
"Ya," berkata Cie Hun. "Kita masih harus lekas pergi ke Kiugoan,
tak perlu kita melakukan pertempuran lagi!"
Leng Song menunggang kuda, maka itu Cie Hun kata pada si
pemuda, "Mo Lek, mari kita berdua naik atas uy-piauw-ma!
Kuda lainnya tak dapat menyusul kuda putih encie Hee!"
Sembari berkata, Cie Hun lompat atas kuda uy-piauw-ma,
tangannya terus menggape, melihat demikian, terpaksa Mo Lek
berlompat naik di depan nona itu, maka juga bertiga, atas dua
kuda, mereka meninggalkan dusun Hu-hong itu, untuk kabur ke
barat. Benar-benar kedua kuda jempolan, larinya sama pesatnya.
Selagi mengaburkan kudanya, Cie Hun memeluk erat pinggang
si anak muda, sembari tertawa, ia kata perlahan, "Bukankah
hari itu kau juga memeluk secara begini?"
Muka dan telinga Mo Lek merah digoda nona yang jail ini.
Mau atau tidak, sendirinya ia menjadi ingat Yan Ie. Ia berdiam
saja atas godaan itu.
Tak lama langit telah menjadi terang, Leng Song menahan
kudanya. "Sekarang dapat sudah kita beristirahat," kata ia. "Sedikitnya
kita sudah melakukan perjalanan seratus lie, meski ilmu ringan
tubuh Ceng Ceng Jie sangat liehay, tidak nanti dia dapat
menyusul kita."
Mo Lek dan Cie Hun mengangguk.
Pemuda itu gembira sekali. Sudah banyak tahun ia tak
bertemu dengan Nona Hee. Dan pertemuan kali ini sungguh
diluar dugaan. Dengan lantas ia minta keterangan hal Kui
Ciang. "Selama beberapa tahun ini mereka suami isteri telah terus
menerus pergi mengembara," sahut Nona Hee, "Mereka terus
mencari anak mereka, akan tetapi tetap mereka belum pernah
berhasil menemuinya."
"Apakah kau pernah menemui mereka, Encie Hee?"
"Pernah aku menemuinya pada tiga tahun yang lalu. Yang
paling belakang ini aku dengar mereka berada di Hoan-yang
tetapi aku tidak melihatnya."
Mendengar kata-kata si nona, baru Mo Lek sadar.
"Pantas Ceng Ceng Jie dan lainnya mengatakan hendak
menangkap orang jahat," katanya, "Kiranya encielah yang
mencoba membunuh An Lok San!"
Leng Song tertawa.
"Maksudku bukan melulu hendak membinasakan orang she
An itu," kata ia. "Dia menggeraki tentaranya untuk berontak,
kebetulan saja aku tiba di sana di saat dia bergerak itu, jadi
niatku timbul secara tiba-tiba. Diluar sangkaku, aku telah
bertemu dengan Ceng Ceng Jie."
"Bagaimana dengan See-gak Sin Liong Hong-hu Siong?" Mo
Lek tanya lagi. "Apakah kemudian kau telah bertemu pula
dengannya?"
Ditanya halnya si Naga Sakti dari Gunung Barat itu, parasnya
Leng Song berubah dengan sekonyong-konyong. Ia lantas
berkata dengan sengit, "Hantu besar itu yang tak ada
kejahatan besar yang tak dilakukannya! Mau apa kau
menanyakan halnya?"
"Tentang dia pernah aku tanyakan guruku," menjawab Mo
Lek. "Menurut guruku, Hong-hu Siong benar seorang luar biasa
disebabkan kelakuannya yang kadang-kadang aneh. Orang
Kang Ouw menyebut Hong-hu Siong jahat tetapi guruku tak
percaya segala perbuatan jahat yang dituduhkan itu benar
dilakukan olehnya..."
"Hm!" Leng Song memutus. "Sungguh aku tidak mengerti
kenapa bangsat itu mempunyai peruntungan demikian bagus"
Beberapa orang tua-tua pada bicara baik tentang dirinya! Toh
aku telah menyaksikan dengan mataku sendiri bagaimana dia
telah membinasakan Ciu-kay Kie Tie! Rupa-rupanya Toan
Tayhiap belum menuturkan kau tentang peristiwa
kebinasaannya Kie Lo-cianpwe itu, bukan?"
-ooo0dw0ooo- Jilid 15 Mo Lek mengawasi, ia nampak heran.
Leng Song lantas menceritakan kejadian dahulu hari itu
ketika ia melihat Hong-hu Siong membunuh Kie Tie untuk
mencegah Kie Tie menutur jelas kepada Toan Kui Ciang. Ia
tuturkan bagaimana mereka mengepung See-gak Sin Liong,
yang tak suka Kie Tie membeber rahasia, maka Kie Tie dibunuh
secara membokong.
Bukan main herannya Mo Lek.
Mereka berjalan terus dengan memperlahankan jalannya
kuda mereka. Selang sekian lama, mereka tiba di sebuah jalan
cagak tiga. "Ya, aku belum sempat menanya kau," kata Nona Hee sambil
ia menahan kudanya. "Sebenarnya kamu mau pergi ke mana?"
"Kami mau pergi ke Kiu-goan untuk aku menjenguk kakak
seperguruanku," menjawab Mo Lek. "Katanya Kwe Cu Gie lagi
membutuhkan tenaga bantuan.
Si nona mengangguk.
"Jikalau nanti kamu bertemu Lam Ce In," katanya perlahan,
"Tolong kau sampaikan padanya bahwa aku lagi menantikan
dia. Juga suruh ia datang lagi beberapa hari, jikalau dia
terlambat hingga suasana sudah menjadi genting, dikuatir sulit
untuknya menyingkir..."
Mo Lek mengawasi nona itu, dia tertawa.
"Ha, kiranya kamu telah bergaul sangat erat!" katanya
menggoda. "Meski begitu Lam Suheng masih tidak hendak
bicara suatu apa padaku!"
Leng Song membiarkan orang menggodanya, ia hanya
meminta diri untuk berangkat terus seorang diri, karena di situ
mereka harus berpisahan.
Ia tak ketahui, di lain pihak, Liap Hong sudah didesak oleh
Ceng Ceng Jie, hingga ketika Ceng Ceng Jie minta
keterangannya, dia telah memberitahukan alamat Leng Soat
Bwe, ibunya yang lagi tinggal menyembunyikan diri.
Ketika itu Liap Hong, yang terlukakan dan lari, telah dapat
disusul Ceng Ceng Jie. Ia kalah licik, ia kena terbujuk dan
terdesak. Tadinya Liap Hong berat berbicara, tetapi guna
mencegah dirinya dicurigai, ia menerangkan juga, atas mana
Ceng Ceng Jie tertawa dan kata, "Nah, ini barulah namanya
sahabat!" Tak enak suara tertawanya itu.
Liap Hong malu dan mendongkol, ketika ia mengangkat
kepalanya, Ceng Ceng Jie sudah meninggalkannya.
Mo Lek dan Cie Hun melanjuti perjalanan. Kuda mereka kuat
sekali, meski muatannya dua lipat, dia masih dapat lari keras.
Begitulah besoknya tengah hari, mereka telah sampai di Kiugoan.
Segera mereka pergi langsung ke kantor Thaysiu, untuk
minta menghadap. Tatkala pengawal pintu ketahui si pemuda
menjadi adik seperguruannya Lam Ce In, mereka disambut
dengan hormat. "Sekarang ini Thaysiu dan Lam Ciangkun berada di tanah
lapang tengah melatih panah, silahkan Ciongsu masuk saja.
Ciongsu bukan orang luar!" demikian katanya. "Silahkan!"
Tiat Mo Lek tidak berlaku sungkan, ia ajak Cie Hun
memasuki lapangan, yang berada di dalam kantor Thaysiu,
karena itulah tempat berlatih dari para perwira pertengahan
dan bawah. Ia lantas memberi hormat kepada Kwe Cu Gie,
baru pada Ce In, suhengnya itu.
Kwe Thaysiu melihat Mo Lek bertubuh kekar, tetapi ketika itu
tak sempat ia mengajak bicara.
"Silahkan duduk, lihatlah para perwira berlatih!" katanya.
Mo Lek menurut, ia mengucap terima kasih.
Ketika itu orang lagi melatih diri dengan memanah sehelai
papan dimana dibuat titik merah di tengah-tengah, jaraknya
seratus tindak lebih. Selain mesti memanah tepat, orang juga
mesti memanah keras, karena busur yang digunai apa yang
dinamakan "Busur dengan kekuatan lima karung".
Kwe Cu Gie mempunyai orang-orang yang terlatih. Dari
sepuluh orang, tujuh di antaranya berhasil memanah sasaran
hingga tiga kali dan dua yang mengenakan dua kali. Yang
paling buruk, yang seorang dapat memanah satu kali.
Selagi mengawasi rombongan perwira itu, tiba-tiba Mo Lek
merasa ia kenal, atau mengenali satu di antaranya, hanya ia
tak ingat, siapa dia dan di mana pernah ia melihatnya. Ia pun
tidak sempat berpikir sebab Kwe Cu Gie sudah lantas berkata
padanya, "Tiat Congsu, apakah kau juga hendak mencoba
memanah?" Mo Lek tidak dapat menampik. Ia memang ingin perlihatkan
kepandaiannya. Ia berlaku sebat menyiapkannya, lantas ia
memanah, dengan beruntun. Ia mengenai tepat titik merah,
ketiga anak panah saling susun hingga jatuh ke tanah.
Tempik sorak menyambut pertunjukan kemahiran itu,
bahkan Kwe Cu Gie sambil berkata, "Seribu serdadu muda
didapat, satu panglima susah dicari! Tiat Congsu,
kedatanganmu ini merupakan bantuan Thian untukku!"
Maka latihan lantas disudahi dan anak muda itu segera
diundang berkumpul di ruang dalam dimana dia dijamu.
Selama bersantap orang bicara dari hal peperangan. Nyata
An Lok San sudah bergerak dengan berhasil. Selama setengah
bulan, dia telah dapat merampas tujuh atau delapan kecamatan
atau kewedanaan, majunya sangat pesat. Malah ketika dia
mendapatkan kota Thay-goan, caranya luar biasa.
Sebuah pasukannya menuju ke kota Thay-goan itu.
Pembesar kota itu yang bernama Yo Kong Hui, yang menjadi
saudara sepupu dari Yo Kok Tiong, tidak percaya Ciat-touw-su
itu berontak, dia membuka pintu kota menyambut pasukan itu,
maka dengan mudah saja ia lantas ditangkap dan dibelenggu,
terus dikirim kepada An Lok San hingga dia menerima
kebinasaannya. "Heran, bagaimana bisa dia maju demikian mudah?" tanya
Mo Lek heran. "Itulah disebabkan negara sudah terlalu lama aman dan
tentara menjadi kurang pendidikan," kata Kwe Cu Gie.
"Panglima yang pandai dan tentara yang terdidik kebanyakan
berada di perbatasan. Di dalam negeri, persiapan terabaikan,
begitu terjadi perang, mereka menjadi tidak berdaya."
Sebenarnya pendirian dan aturan tentara Kerajaan Tong
sempurna sekali hanya semenjak Lie Lim Hu menjadi perdana
menteri, aturan itu tinggal aturan saja, pelaksanaannya tersiasiakan,
hingga tentara terdiri dari orang-orang tidak keruan.
Sebaliknya tentaranya An Lok San terdidik baik, bahkan dia
mencampurnya dengan pasukan suku Turk, sedang
rangsumnya banyak. Maka dia menjadi kuat sekali.
"Syukur sekarang ini Pemerintah Agung sudah menugaskan
Tayciang Ko Sie Han mengumpul tentaranya di kota Tongkwan,
dengan demikian dia dapat menjadi pelindung kota
Tiang-an," Kwe Cu Gie menerangkan terlebih jauh. "Tayciang
Ko Sie Han pandai berperang, tak mungkin An Lok San dapat
sembarang melewati kota Tong-kwan. Disamping itu
Pemerintah Agung juga telah menitahkan Hong Siang Ceng,
Ciat-touw-su dari Hoan-yang dan Peng-louw dengan tugas
pergi ke Tang-khia untuk mengumpulkan tentara, maka itu,
mungkin dia" juga akan berhasil merintangi kaum pemberontak
itu." "Hong Siang Ceng bangsa sembarangan, mungkin dia tak
sanggup melakukan tugasnya itu," kata Ce In. "Ko Sie Han
memang pandai akan tetapi dialah orang suku Ouw, aku kuatir
dia tak dapat dipercaya. Maka itu, menurut aku, karena soal
sangat penting, kita perlu mengandal kepada Leng-kong
sendiri." "Dalam hal urusan besar dari negara, tidak dapat orang
mengandali hanya satu orang," Kwe Cu Gie bilang. "Mengenai
negara, setiap orang ada kewajibannya sendiri. Tapi keadaan
telah menjadi begini rupa, bagiku tinggal terserah kepada
segala apa yang aku sanggup lakukan..."
Habis pesta, Lam Ce In mengajak Mo Lek dan Cie Hun ke
kamarnya sendiri.
"Lam Suheng," kata Mo Lek tertawa, "Mengenai urusan
lainnya, dapat kita bicarakan secara ayal-ayalan, tetapi satu hal
perlu segera kau melakukannya!"
Ce In heran hingga ia melengak.
"Apakah itu?" tanyanya cepat setelah ia sadar.
"Ada seorang lagi menantikanmu, suheng!" kata sang adik
seperguruan, yang hendak menggodai hingga dia bicara
lambat-lambat.
Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lam Ce In sudah lantas dapat menduga.
"Bagaimana?" tanyanya. "Apakah kau telah bertemu dengan
Nona Hee?"
Sang sutee tertawa.
"Benar hebat!" katanya. "Begitu aku menyebut, suheng
lantas menerka dia!"
Lantas adik seperguruan ini menuturkan halnya bertemu
dengan Leng Song.
"Suheng," ia menambahkan, "Kapan nanti kau mengundang
aku minum arak kegirangan?"
Muka Ce In bersemu merah.
"Jangan kau ngaco belo!" bentaknya, sedang di dalam hati,
dia girang bukan main. Janjinya Leng Song itu memang ada
sangkut pautnya dengan urusan nikah mereka.
Selama beberapa tahun ini kedua orang itu telah sering
saling bertemu satu dengan lain, kecocokan membuat mereka
berjanji untuk menjadi pasangan wan-yoh...
ibunya Leng Song tinggal menyendiri di kaki gunung Giok
Liong San, di dusun See Kong Cun, selama dua puluh tahun,
belum pernah ibu itu keluar setengah tindak juga dari dusunnya
itu, berbareng, dia pun belum pernah bertemu dengan orang
luar, maka itu, selama belum ada kepastian hal pernikahannya,
Leng Song tidak berani sembarang mengajak Ce In menemui
ibunya itu. Baru kemudian - yang paling belakang ini - ia
memberitahukan hal calon suaminya pada ibunya dan ibu itu
memberikan persetujuannya, berani ia mengundang Ce In
datang ke rumahnya.
Tentang itu, Leng Song sudah bicara dengan Ce In dan
keduanya sudah saling berjanji. Leng Song memang mau pergi
ke Kiu-goan, buat mengajak Ce In, apa mau kebetulan sekali ia
bertemu Mo Lek di tengah jalan, karena ia ingin lekas-lekas
menemui ibunya, ia jadi minta tolong Mo Lek menyampaikan
pesannya kepada Ce In. Maka si orang she Lam menjadi sangat
girang sebab itu berarti ia mengetahui Leng Song sudah
memperoleh perkenan ibunya.
Demikian besok paginya, Lam Ce In pergi menghadap Kwe
Cu Gie untuk memohon libur.
Kwe Cu Gie pernah melihat Leng Song, ia tahu si nona
gagah, maka itu, ia minta pe
Duri Bunga Ju 12 Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long Raja Naga 7 Bintang 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama