Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen Bagian 12
Maka demi urusan bisa
berjalan lancar. kupikir harus mengundang seorang yang
punya hubungan baik dengan Hoat-ong serta berkedudukan
lebih terhormat daripadaku untuk menemuinya. Dalam
pandanganku ada dua calon, yaitu Peng-khoan Thian-li dan
Gurumu. Peng-khoan Thian-li adalah puteri kerajaan Nepal,
pula memiliki benda pusaka kaum Budha serta dianugerahi
sebagai 'Li-hou-hoat' (wanta pelindung agama) oleh gereja
Lui-im-si di Thian-tiok' ada hubungan baik pula dengan Pekkau
Hoat-ong, dengan sendirinya dia adalah pilihan yang
tepat. Sedangkan Suhumu juga kenal Pek-kau Hoat-ong
sesudah mengalami suatu pertarungan sengit dimasa dahulu,
kesudahannya sama-sama kagum atas ilmu silat masingmasing
dan saling menghargai."
"Tapi jejak Suhuku tiada menentu, sifatnya aneh pula, jika
dia ingin bertemu dengan kau, tanpa di undang juga beliau
akan datang, tapi kalau sengaja dicari, sampai' pusing tujuh
keliling juga susah menemukannya," ujar Hay-thian.
"Sebaliknya Peng-khoan Thian-li mempunyai tempat tinggal
yang tetap, meski jauh dipuncak pegunungan Tengra, namun
Ki-pepek tentu akan pergi mengundangnya."
"Dahulu aku pernah bertempur dengan suaminya Pengkhoan
Thian-li, yaitu Teng Keng-thian, meski kesudahan aku
yang kalah, tapi Teng Keng-thian juga cidera sedikit, peristiwa
itu terjadi didepan umum dan sampai sekarang belum,
diakurkan, maka aku tidak enak pergi mencari mereka."
"Sebagai seorang pendekar besar, rasanya Teng Keng-thian
tidak berjiwa sempit seperti itu, pula iapun bersahabat baik
dengan Tan-pepek," ujar Hay-thian.
"Ya, maka aku merasa lebih baik Thian-ih yang pergi
mengundang mereka, dan aku boleh coba-coba kelain tempat
dengan harapan dapat bertemu dengan Suhumu," kata Hiauhong.
"Dan oleh karena Teng Keng-thian suami-isteri sedang
pergi ke Thian-san untuk menghadiri pertemuan diantara anak
murid Thian-san-pay yang diadakan oleh ayahnya tiap-tiap 10
tahun satu kali, terpaksa Thian-ih mesti pergi ke Thian-san
dan berjanji akan menemui aku setahun kemudian
dipegunungan Kelun, tempat beradanya istana Oksim dari
Pek-kau Hoat-ong itu. Selama setahun itu aku telah mencari
kemana-mana, tapi gurumu tidak kuketemukan, sebaliknya
ayahmu telah kupergoki ditengah jalan."
"Hei, dimana?" seru Hay-thian kegirangan.
"Di Saka, Tibet", sahut Hiau-hong. "Aku kenal watak
ayahmu yang suka ingat pada apa-apa yang telah lampau. Ia
pernah tinggal 10 tahun di Saka, disana banyak kenalan lama,
aku menduga dia pasti akan berkunjung pula kesana, maka
lebih dulu aku menung-gunya di Saka dan benar juga telah
kuketemukan. Ayahmu juga mempunyai sedikit pengalaman
luar biasa di Saka, tapi tiada sangkut- paut dengan pokok
urusan kita ini, pula tidak terlalu penting, maka lebih dulu kita
bicara tentang keadaan ayahmu paling akhir ini. Begitu
ayahmu tahu jejak Gihengnya itu, dengan penuh perhatian ia
lantas tampil kemuka dan pergi bertemu dengan Pek-kau
Hoat-ong. Dahulu ayahmu pernah ikut Sukumu bertemu
dengan Hoat-ong, maka ada sedikit hubungan baik."
"O, kiranya begitu, pantas tadi Ih-locianpwe bilang tahun
yang lalu ada orang pernah melihat ayahku berada di istana
Oksim. Lolu bagaimana sesudah ayah menemui Hoat-ong?"
"Karena sudah lama tak berjumpa, sudah tentu pertemuan
kembali mereka itu sangat menggirangkan," tutur Hiauhong.
"Hoat-ong melayani ayahmu dengan penuh hormat. Tapi
kemudian waktu ayahmu menyinggung maksud
kedatangannya dan mengatakan didalam istananya
bersembunyi dua orang jahat, sikap Hoat-ong lantas berubah."
"Hal itupun tidak mengherankan, sebab urusan ini banyak
me-nyagkut nama baiknya, sudah tentu ia kurang senang,"
kata Hay-thian, "Dan kedua Lama itu tentu akan dihukum
berat olehnya."
"Tidak, menurut ayahmu, tatkala itu sikap Hoat-ong tampak
agak kikuk, setelah termangu dengan lesu, sampai sekian
lamanya tetap diam saja. Ayahmu mengira paderi agung itu
lagi bersedih anak buahnya berbuat jahat dan sedang ingin
menghiburnya, sekonyong-konyong Hoat-ong mengunjuk
sikap tidak percaya dan menanya ayahmu adakah bukti-bukti
tentang perbuatan anak buahnya itu"
"Memang sebelumnya aku sudah menaksir akan
kemungkinan itu, maka aku sudah persiapkan apa yang perlu
untuk ayahmu, gambar dari Tan Thian-ih itu berada padaku,
maka aku telah membawakan gambar itu kepada ayahmu.
Tapi demi melihat gambar itu, coba kau terka, apa yang
dikatakan Hoat-ong?"
"Dengan kedudukannya yang agung, sesudah mengenali
gambar itu adalah Lama didalam istananya, tentu ia akan
mengaku terus terang," ujar Hay-thian.
"Ha, dia justeru telah menyangkal. Bahkan ia bertanya
malah siapakah kedua Lama didalam gambar itu" Ia
menyatakan didalam istananya tidak terdapat kedua Lama
seperti gambar itu. Padahal dengan mata-kepalaku sendiri aku
melihat kedua Lama itu berada didalam istananya. Tapi
sesudah Hoat-ong menyatakan begitu, ayahmu menjadi tak
berdaya lagi. Sudah tentu ia tidak dapat minta Hoat-ong
mengumpulkan anak buahnya untuk dicocokan menurut
gambar. "Kemudian Hoat-ong bertanya pula darimana sumber berita
yang diperoleh ayahmu itu. Ayahmu adalah orang jujur,
selamanya tidak suka berdusta, karena kepepet, terus saja ia
mengaku terus terang bahwa sipencuri sakti Ki Hiau-hong
yang telah melihat sendiri didalam istana. Seketika Hoat-cng
menarik muka, katanya: 'Memang aku telah mendapat laporan
bahwa Ki Hiau-hong pernah menyelundup kedalam istanaku
ini dan bermaksud mencuri, tapi telah dipergoki anak muridku
serta kena digebuk sekali dengan tongkat. Mungkin dendam
karena usahanya gagal, maka sengaja menyiarkan kabar yang
tidak benar itu. Boleh kau katakan pada Ki Hiau-hong bahwa
selanjutnya seluas seratus li disekitar istanaku ini dilarang Ki
Hiau-hong menginjaknya, kalau sampai kepergok, jiwanya tak
kujamin!' Coba, dia malah menggertak aku dan menuduh aku
yang mempitenah dia. Haha, masakah aku orang she Ki dapat
digertak". Biarpun Pek-kau Hoat-ong memiliki ilmu silat 'tiada
bandingannya. tapi aku justeru tidak gentar padanya.!!"
"Mungkin dia telah dibodohi oleh murid-muridnya' ujar Haythian.
"Dia adalah paderi yang sangat dipuja ayahku, rasanya
tidak serendah itu martabatnya" Tapi, ya, maafkan aku
berkata terus terang, Ki-pepek, engkau adalah pencuri sakti
yang terkenal, pabila diantara. anak murid Hoat-ong itu sudah
bersepakat dan membohongi Hoat-ong bahwa engkau telah
menggerayangi istananya dengan maksud mencuri, karena
Hoat-ong tidak kenal pribadimu, pantas juga kalau dia
penyaya laporan anak inuridnya itu."
"Benar, kebencian Hoat-ong padaku mungkin disebabkan
hasutan anak muridnya." sahut Hiau-hong. "Tapi kedua
penjahat itu sudah terang adalah Lama didalam gerejanya,
menurut peraturan yang dia adakan sendiri, semua Lama
setiap tiga bulan sekali mesti diadakan inspeksi, masakah dia
tidak kenal Lama anak buahnya sendiri" Tapi dia berani
menyangka! bahwa didalam istananya tidak terdapat kedua
Lama menurut gambar itu. Bukankah hal ini sangat janggal,
dapatkah hal ini dikelabui oleh anak muridnya?"
"Ya, peristiwa ini memang membingungkan orang,
syukurlah sekarang Tan-pcpek sudah pergi ke Thian-san untuk
mengundang Teng Keng-thian suami-isteri, akhirnya urusan ini
pasti akan dibikin jelas," kata Hay-thian.
"Adapun mengenai ayahmu," tutur Hiau-hong lebih lanjut.
"Semula Pek-kau Hoat-ong melayani dia sebagai tamu
terhormat, tapi sesudah sikap Hoat-ong berubah, pembicaraan
menjadi kaku, maka ayahmu lantas mohon diri. Hoat-ong juga
tidak me-nahannya, tapi waktu keluar istana. tiba-tiba Hoatong
mengatakan sesuatu yang menarik. Ia kata: "Lain kali
sebaiknya kau datang kesini bersama Kim-tayhiap. tak perlu
melalui anak muridku. Kim-tayhiap sendiri tahu cara
bagaimana untuk menemui aku. Ke-cuali Kim-tayhiap, orang
lain jangan sembarangan kau bawa-bawa kesini."
"Ya. memang ucapannya itu agak aneh. agaknya Hoat-ong
sangat ingin bertemu dengan Suhuku, bahkan secara diluar
tahu anak muridnya," ujar Hay-thian heran.
"Cuma sayang, sampai sekarang Suhumu belum
diketemukan. kalau ketemu, tentu teka-teki ini akan
dipecahkan dengan cepat." kata Hiaurhong.
"Menurut Yap Tiong-siau tadi. katanya Suhu juga akan hadir
dalam pertemuan di Kim-eng-kiong itu," kata Hay-thian.
"H.ari pertemuan Itu jatuh tanggal 15 bulan depan, tapi aku
sudah berjanji untuk bertemu dengan ayahmu pada akhir
bulan Ini," sahut Hiau-hong. "Tapi waktu Tan Thian-ih
berangkat ke Thian-san, dia telah janji padaku untuk bertemu
dipegunungan Kelun didekat istana Oksim dan waktunya juga
jatuh pada akhir bulan ini. Sebab ayahmu juga ingin bertemu
dengan Thiaa-ih, maka aku telah beri tahukan tempat
pertemuan kami disana dan ayahmu menyatakan akan
menunggu kami lebih dulu. Karena ayahmu cuma seorang diri,
aku menjadi kuatir kalau terjadi apa-apa atas dirinya."
"Jika begitu, bolehlah kita menemui ayah dahulu,' kata Haythian.
"Dengan kecepatan lari kita, kukira waktunya masih
keburu." Setelah ambil keputusan tetap, kedua orang lantas
berangkat menuju Jinghay.
Di utara pegunungan Kelun, kira-kira ratusan li dari istana
Oksim itu adalah sebuah gurun tandus yang disebut gurun
Fuhansia, luas gurun itu kira-kira 300 kilometer pesegi, dan
merupakan gurun ketiga yang 'Terkenal', di Jinghay.
Suatu hari, Ki Hiau-hong dan Kang Hay-thian telah masuk
lingkungan gurun Fuhansia itu. Dan baru pertama kali Ini Kang
Hay-thian menginjak padang pasir seluas itu. Dari jauh gurun
itu seakan-akan bersambung dengan ujung langit. Terkadang
kaki-nya menginjak pasir lunak, sekali kejeblos, perlu banyak
membuang tenaga untuk dapat menarik kembali kaki sendiri.
Diam-Diam Hay-thian menjadi was-was.
"Karena kau belum pernah menjelajahi gurun, tentu kau
merasa susah." ujar Hiau-hong dengan tertawa. "Padahal
gurun Pu-hansia ini terhitung gurun kecilan saja. Dahulu aku
pernah melintasi gurun Gobi yang teramat luas itu, untuk
mana aku telah ber-jalan tiga-hari-tiga-malam baru dapat
keluar dari gurun itu; Di-gurun seluas itu, entah betapa
banyak orang yang kesasar dan terpendam hidup-hidup
didalam pasir setiap tahun. Waktu itu untung aku tidak
ketemukan angin badai, pula aku membawa unta."
"Ki-pepek, pengalamanmu banyak, kepandaianmu tinggi
pula. dengan sendirinya kau tidak sulit melintasi gurun yang
luas," kata Hay-thian. "Tapi Siautit belum pernah menginjak
padang pasir, setiap langkah aku harus hati-hati, mau-tak-mau
aku menjadi jeri."
"Hiantit, mengapa kau sekarang pandai mengumpak orang
tua?" ujar Hiau-hong dengan tertawa. "Bicara tentang
kepandaian, sekarang kau sudah lebih tinggi dariku. Bicara
tentang pengalaman, itu memang perlu gemblengan, tapi juga
bukan sesuatu yang takhisa dipelajari, sekarang juga aku
dapat mengajarkan sedikit pengalamanku yang penting
padamu." Lalu iapun ceritakan apa-apa yang penting untuk diketahui
kalau berjalan dipadang pasir, seperti: bila ada tanda-tanda
pasir bergerak, itu berarti pasir terapung dan sekali-sekali
jangan didekati; Kalau melihat tempat yang menonjol keatas,
tentu dibawahma kosong dan sekali-sekali jangan diinjak; dan
macam-macam lagi. Akhimya Hia,u-hong menambahkan:
"Sebenarnya dengan kepandaianmu yang tinggi, kau dapat
menggunakan Ginkang untuk berlari lebih cepat kira-kira 4050 li lagi tentu kau akan mencapai padang rumput di-kaki
gunung Kelun Jika kau mau, sekarang juga boleh kau coba."
Tengah bicara, mendadak cuaca berubah, kata Ki Hiauhong:
"Cilaka, ini adalah tanda-tanda akan datangnya angin
badai." Benar juga, hanya sebentar saja angin sudah menderuderu,
pasir bertebaran bagai selapis kabut tebal,
pemandangan menjadi gelap gelita.
"Awas, Kang-hiantit, marilah ikut padaku!" seru Hiau-hong.
Angin meniup semakin keras menderu-deru bagai langit
ambruk, sekalipun Ki Hiau-hong dan Kang Hay-thian memiliki
Ginkang yang tinggi juga tertiup hingga sempoyongan kian
kemari. Maksud Hay-thian hendak menyusul Ki Hiau-hong
untuk bergandengan tahgan dan sama-sama melawan angin
badai itu, tapi belum menca-pat sangat paman, mendadak
didepannya menegak serangkum tyang pasir yang menjulang
tinggi keangkasa.
"Lekas lari membelakangi angin, ini adalah Liong-kwi-hong
(angin lesus naga)!" seru Ki Hiau-hong.
Belum lenyap suaranya, mendadak tiang pasir itu
menyambar ke-samping. Karena tidak kuat berdiri tegak,
cepat Hay-thian men-jatuhkan diri membelakangi angin dan
dengan ilmu lompatan "Yan Cing Cap-pck-hoan" atau
delapanbelas lompatan ajaran Yan Cing (tokoh dalam cerita
pahlawan Lyang-san), segera ia menggelundung pergi sejauh
mungkin. Dan pasir lantas seperti hujan menuang keatas
tubuhnya. Sekejapan itu napas Kang Hay-thian hampir-hampir
berhenti, untung angin lesus naga itu datang cepat perginya
juga cepat, pula ia membelakangi arah angin, maka pasir yang
mencurah keatas tubuhnya iiu tepat rata menutupi tubuhnya
saja, lalu angin lesus itupun lewatlah. Dan begitu angin sedikit
reda, segera Hay-thian merangkak bangun.
Waktu ia pandang sekitarnya, gurun itu masih diselubungi
kabut pasir yang tebal, pandangan mata masih terhalang,
meski ia sudah celingukan kian kemari, tetapi bayangan Ki
Hiau-hong tidak kelihatan. Ia menjadi kuatir, cepat ia
berteriak-teriak: "Ki-pepek! Dimana kau, Ki-pepek!"
Selang tak lama, tiba-tiba terdengar suara gelak tertawa Ki
Hiau-hong: "Hahaha! Hampir-Hampir saja aku terkubur hiduphidup!"
Waktu Hay-thian memandang kearah suara itu, ia lihat Ki
Hiau-hong lagi merangkak keluar dari gundukan pasir,
ternyata pencuri sakti itupun senasib dengan Kang Hay-thian,
bahkan keadaannya lebih runyam pula.
Meski angin lesus itu sudah hilang, tapi angin badai masih
Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
meniup dengan keras. Pasir yang bertebaran itu mirip tirai
kuning yang berlapis-lapis tebalnya dan menyelubungi
angkasa raya. Benda-Benda dalam jarak dua-tiga meter hanya
kelihatan remang-remang, napaspun susah waktu berjalan.
Sudah banyak pengalaman Ki Hiau-hong, tapi angin badai
seperti barusan ini belum pernah diketemukannya, apalagi
angin badai digurun luas. Diam-Diam ia mencela dirinya
sendiri yang sem-berono: "Semuanya salahku sendiri,
mestinya aku harus menyewa dua ekor unta, tapi aku telah
memandang enteng gurun kecil ini, kusangka dalam waktu
dua-tiga jam sudah dapat melintasinya, siapa duga mendadak
berjangkit angin lesus. Digurun Gobi aku dapat lewat dengan
aman, digurun kecil ini malah ketemu batu-nya. Untung tidak
terjadi apa-apa, kalau sampai Kang-hiantit terkubur ditengah
gurun, bagaimana aku harus katakan pada Kang hiante?"
Tengah pikirannya bekerja, tiba-tiba terdengar suara
kelinengan unta yang terbawa angin dari jauh, makin lama
makin mendekat.
Hiau-hong menjadi girang, serunya: "Ha, Thian memang
tidak membikin buntu jalan manusia Kang-hiantit, marilah
lekas!" Dan d antara kabut pasir yang remang-remang itu dari jauh
tampak dua sosok batangan unta sedang mendatangi. Dengan
cepat segera Ki Hiau-hong memburu kearah itu sambil
berteriak: "Tolong! Tolong!"
Sesudah dekat, perawakan kedua orang penunggang unta
itu tampak tinggi besar, tapi wajah mereka tak jelas kelihatan,
agaknya tidak mirip bangsa Han.
Karena kuatir mereka tidak paham bahasanya, selagi Ki
Hiau-hong hendak memberi isyarat dengan tangan, mendadak
kedua laki-laki penunggang unta itu masing-masing
mengangkat sebuah godam besar, tanpa bicara lagi terus
menghantam keatas kepala Ki Hiau-hong.
Sudah tentu perbuatan itu sekali-sekali tak diduga oleh Ki
Hiau-hong, dalam kagetnya cepat Hiau-hong mengegos
kesamping, tapi sempat menghindarkan hantaman palu
sebelah kanan, mestinya ia melompat mundur untuk
menghindar serangan kanan-kiri itu, dalam gugupnia ia lupa
serangan palu dari sebelah lain, maka kembali ia terhantam
oleh palu raksasa orang sebelah kiri itu.
Untung lantas terdengar suara "trang" yang nyaring disertai
mencipratnya lelatu api. Paiu besar itu tidak mengenai Ki Hiauhong,
sebaliknya ujung palu tampak terkutung dan mencelat
pergi hingga jauh. Kiranya Kang Hay-thian telah memburu tiba
dan jiwa Ki Hiau-hong tertolong.
Sama sekali kedua laki-laki itu tidak mengira Pokiam atau
pedang pusaka Kang Hay-thian itu sedemikian tajamnya,
saking kejut-nya mereka tidak berani bergebrak lagi. Sekali
onta ditepuk, secepat terbang mereka melarikan binatangbinatang
itu. Meski unta termasuk binatang yang berbadan besar, tapi
larinya dipadang pasir ternyata jauh lebih cepat dari kuda,
hanya sekejap saja lantas menghilang digurun yang
berlapiskan kabut pasir itu.
"Sungguh kurangajar!" omel Hiau-hong dengan gusar.
"Sudah tidak menolong, bahkan hendak mencelakai aku. Jika
kalian kejam, maka aku pun tidak kenal ampun!" Terus saja ia
keluarkan Ginkangnia yang hebat untuk mengudak kedua ekor
unta itu. Sebagai seorang yang tahu harga diri serta terhitung
tokoh terkemuka dalam persilatan, selamanya ia tidak pernah
sem-barangan memohon sesuatu pada orang. Kini demi untuk
menyelamatkan Kang Hay-thian, terpaksa ia minta tolong,
siapa duga tuan penolong yang diharapkan itu berbalik hampir
melayangkan nyawanya. keruan makin dipikir makin naik
darahlah dia. Segera ia bermaksud menguber kedua orang itu
untuk merampas unta mereka serta meninggalkan kedua lakilaki
itu dipadang pasir.
Adapun hati Kang Hay-thian lebih tulus, segera ca
mencegah-nya: "Ki-pepek, jika orang toh tidak sudi menolong,
buat apa kita memaksa" Marilah kembali saja dan kita masih
dapat mencari jalan lain."
Namun Ki Hiau-hong sudah kadung gemas, ia mengejar
semakin kencang. Karena kuatir sang paman kecundang, pula
bukan mustahil saking marahnya Ki Hiau-hong akan
membunuh kedua laki-laki tadi, terpaksa Hay-thian
mengeluarkan juga Ginkang-nya yang hebat untuk menyusul.
Pada saat lain, sekonyong-konyong serangkum angin keras
menyambar tiba. karena belum berpengalaman. Kang Haythian
tidak pandai membedakan arah angin, maka tepat ia
tersedot kedalam pusaran angin lesus. Begitu hebat angin itu
hingga Hay-thian tidak berkuasa pula, sebaliknya berputarputar
terbawa angin keras itu hingga kepala pusing dan mata
berkunang-kunang. Diam-Diam ia mengeluh bisa celaka,
sesaat itu ia tidak sempat banyak memikir lagi, cepat ia
mengeluarkan "Jian-kin-tui", ilmu mengantapkan badan,
sekuatnya ia tahan tubuhnya disitu, tapi sekali tubuhnya
tertahan dengan kuat, seketika badannya menjadi makin
ambles malah kedalam pasir yang bergolak itu. Semakin ia
meronta, semakin Salam mengambles kebawah. Untung Haythian
cukup cerdik, begitu merasa gelagat jelek, segera ia
pentang tangan untuk menahan didinding pasir itu hingga
amblesnya banyak berkurang.
Sementara itu Ki Hiau-hong yang mengejar kedua ekor unta
itu tidak mengalami nasib seperti Kang Hay-thian, sebab
pencuri sakti itu lebih berpengalaman, ia dapat membedakan
arah angin, maka dengan Ginkang yang tinggi, tidak lama
kemudian jarak-nya dengan kedua ekor unta itu sudah makin
mendekat. Mendadak kedua laki-laki itu menggertak sekali sambil
menggeraki, tangan mereka, seketika segenggam Am gi atau
senjata rahasia telah mereka sebarkan.
"Huh, permainan begini juga berani main kayu
dihadapanku!" jengek Ki Hiau-hong terhadap senjata gelap
lawan yang tidak pandai itu, dengan mudah saja dapat
dihindarkannya. Tapi di-tengah kabut pasir yang remangremang,
iapun tidak jelas Am-gi jenis apakah yang disebarkan
lawan-lawan itu. Namun tokoh macam Ki Hiau-hong sudah
tentu tidak pandang sebelah mata terhadap serangan Am-gi
begitu, ia masih terus mengejar sekencangnya. Diluar dugaan,
mendadak kakinya terasa kesakitan sekali. Ternyata Am-gi
yang disebarkan kedua laki-laki itu adalah jenis paku yang
tajam kedua ujungnya. Jumlahnya beratus-ratus pula.
Sebenarnya kalau bicara tentang ketajaman mata dan
kecepatan gerakan, tidak mungkin Ki Hiau-hong kena
diserang. Tapi di tengah padang pasir yang remang-remang
itu, sekali ia pandang ringan pihak musuh, akibatnya ia telah
telan pil pahit.
Karena kakinya tertancap paku tajam itu, sakitnya tidak
kepalang, hampir saja Ki Hiau-hong terjungkal, kontan saja ia
memaki kalang-kabut. Sebaliknya kedua Iaki-Iaki itu
membalasnya dengan terbahak-bahak yang dibuat-buat
hingga kedengarannya sangat seram dan menusuk telinga.
Dan ditengah tertawa mereka itulah, tlba-tlba dua buah cakar
besi menyambar kearah Ki Hiau-hong lagi.
Dalam pada itu, dengan menahan sakit Ki Hiau-hong telah
cabut paku yang menancap dikakinya itu, darah lantas
mengucur juga dari luka itu. Dan karena kaki terluka, larinya
menjadi jauh berkurang. Sementara itu kedua buah cakar besi
telah menyambarnya dari kanan dan kiri bagaikan cakar naga.
baru saja Ki Hiau-hong hendak menghindar, tahu-tahu sudah
terdengar suara beberapa kali,, kedua belah lengan bajunya
telah sobek kena cakar besi musuh. Dan dilain saat cakar besi
itu sudah merangsang ketulang pundak nya 'itu, tiba-tiba
terdengar suara suitan panjang sekali, ditengah kabut pasir itu
tiba-tiba menyamber tiba selarik senar putih. Waktu
ditegaskan, kiranya adalah sebilah pisau terbang. "Krak-krak"
dua kali, tepat tali cakar besi telah terpapas putus bagian
tengah. Berbareng Ki Hiau-hong telah berjumpaktan juga
hingga cakar besi yang lainpun mengenai tempat kosong dan
segera ditarik kembali oleh pemiliknya.
Habis itu, tertampaklah seekor unta lain sedang berlari
mendatangi, penunggangnya adalah seorang laki-laki berbaju
hitam, datang-datang lantas membentak dalam bahasa Tibet:
"Siapa berani berbuat sewenang-wenang disini"
Kerupahongkeynaruci!"
Ki Hiau-hong sudah mendieiajah kemana-mana, banyak
bahasa daerah yang dipahaminya, begitu pula bahasa Tibet.
Ucapan laki-laki itu-pun diketahui olehnya, tapi kalimat
terakhir itulah sama sekali ia tidak paham apa artinya"
Kedua laki-laki yang duluan agaknya agak jeri, tanpa bicara
lagi mereka melarikan unta mereka dan hanya sebentar saja
sudah menghilang dibalik kabut pasir. Dan unta yang
belakangan itu tidak lama lantas mendekat.
"Dapatkah kau naik kesini?" tanya laki-laki baju hitam itu
kepada Ki Hiau-hong.
Hiau-hong pikir mungkin orang ini tiada maksud jahat lagi
pa-danya. Maka dengan menahan rasa sakit ia terus melompat
naik keatas gigir unta. Tapi untuk menjaga segala
kemungkinan, ia duduk dibelakang orang itu. Dengan
demikian ia tidak kuatir disergap orang lagi.
Sebaliknya laki-laki itu sama sekali tidak ambil pusing, ia
tdak me-nanya juga tidak menoleh, tapi terus putar untanya
dan berjalan kedepan.
"Eh, aku masih mempunyai seorang kawan" belum habis
ucapan Ki Hiau-hong itu, tiba-tiba terdengar suaranya Kang
Hay-thian sedang memanggil padania.
"Peganglah'" seru laki-laki baju hitam itu sembari
melemparkan seutas tali. Waktu itu Hay-thian sudah hampir
ambles seluruhnya kedalam pasir, hanya bagian kepala saja
masih menongol diluar. Maka ketika tali itu terlempar sampai
dimukania, terpaksa ia hanya dapat menggigitnya dengan gigi
"Naik!" bentak laki-laki baju hitam itu sambil menarik
sekuatnya. Sekali kebas tali itu, tubuh Kang Hay-thian terus saja mencelat
keatas udara, sekali berjumpalitan. dengan enteng sekali
ia turun keatas unta. Sungguh girang dan kagum juga Ki Hiauhong
menyaksikan kepandaian kedua orang itu, yang satu
menarik dengan cekatan, yang lain main akrobat dengan
indah. Ia menjadi ragu-ragu orang macam apakah laki-laki
yang berkepandaian tinggi itu"
Tapi kalau dia sudah sudi menolong, rasanya takkan
bermaksud jahat. Ia pikir biar nanti kalau sudah jauh dari
gurun bahaya ini baru akan menanyakan nama orang. Segera
iapun membubuhi lukanya sendiri dikaki itu dengan "Pohthianfcoh" (salep) yang dibawanya.
Unta adaiah binatang raksasa yang tangkas, biarpun
memuat tiga orang, jalannya masih tetap secepat terbang
dipadang pasir yang luas itu (lihat gambar omslag).
Kira-Kira satu jam kemudian, angin sudah tenang, pasir
yang bertebaran tadipun sudah hilang, cuaca telah cerah
kembali. Selang tak lama lagi, tertampaklah didepan sana
sebuah padang rumput yang luas kehijau-hijauan, jujung
padang rumput sana adalah kaki gunung Kelun.
Segera unta dihentikan. Iakl-Iaki baju hitam itu menoleh
kebelakang dan berkata: "Angin sudah reda, melihat tiuaca
sebaik ini, sampai besokpun takkan terjadi apa-apa lagi. Apa
kalian datang kemari untuk mentiari teman" Dan kalau sudah
bertemu, sebaiknya besok lantas kembali saja dan jangan
melintasi pegunungan itu!"
Ki Hiau-hong terkejut mendadak ketika tanpa sengaja
dilihat nya dibawah jubah hitam laki-laki itu menonjol keluar
ujung jubah kaum Lama yang putih. Cepat ia menarik Kang
Hay-thian untuk melompat turun dari unta itu, lalu menegur:
"Apakah kau adalah Lama dari istana Oksim" Darimana kau
tahu kedatangan kami yang ingin cari teman ini?"
"Aku kenal kau adalah Sin-thau (pencuri sakti) Ki Hiauhong",
sahut Lama itu denigan tertawa. "Sayang kau tidak
datang bersama Kim-tayhiap, maka terpaksa kau dipersilakan
kembali saja".
"Apakah maksudmu ini adalah atas perintah Hoat-ong?"
tanya Hiau-hong.
"Benar." sahut Lama itu. "Aku bersama beberapa saudara
perguruan kami telah diperintahkan guru kami untuk meronda
disini untuk menjaga kemungkinan kau akan menieludup
ketempat kami lagi tanpa menghiraukan pesan guruku dahulu
melalui Kang Lam, masakah dia tidak sampaikan pesan itu
padamu?" Ki Hiau-hong menjadi curiga, setelah memikir, segera ia
berkata: "Banyak terima kasih atas pertolonganmu tadi."
"Tak perlu berterima, kasih padaku, tapi harus kepada
guruku," sela Lama itu "Kalau beliau tidak perintahkan kami
meronda disini. tentu aku takkan ketemu dengan kau dan
menolong jiwamu."
"Baiklah, jika begitu, harap sampaikan terima kasihku
kepada gurumu, berbareng silakan memberi lapor bahwa aku
tdak melupakan pesannya itu yang melarang aku menginjak
tanah seratus li disekitar istananya, kalau melintasi
pegunungan Kelun berarti melanggar larangannya itu."
"Benar, jika kau sudah tahu, maka sebaiknya jangan kau
meneruskan perjalanan lagi," kata Lama itu.
"Aku.benar-benar tidak paham apa maksud Hoat-ong itu,"
ujar Hiau-hong. "Jika beliau pandang aku sebagai orang jahat,
harini mestinya kau tidak perlu menolong aku; Dan bila ada
sebab-sebab lain, untuk mana betapapun aku harus minta
penjelasan padanya."
"Sebagai orang luar, hendaklah Ki-siansing jangan banyak
tanya urusan dalam kami." sahut Lama itu. "Pula guruku juga
takkan menerima kau. Sedangkan kedepan lagi adalah tempat
larangan bagimu, disana mungkin kawan-kawanku akan
berlaku kurang sopan padamu. Inilah nasihatku padamu,
masa-bodoh jika kau tetap kepala batu."
Sungguh rasa Ki Hiau-hong sangat penasaran, katanya
urusan dalam, tapi dirinya dilarang datang dan dijadikan
kambing hitam, bukankah ini tidak adil" Tapi melihat sikap
Lama itu agak marah, betapapun orang adalah tuan
penolongnya. terpaksa Hiau-hong bersabar.
Dan selagi Lama itu hendak meninggalkan Ki Hiau-hong dan
Kang Hay-thian, tiba-tiba tertampak beberapa penunggang
kuda sedang mendatangi dengan cepat. Melihat itu, air muka
Lama itu-pun berubah hebat.
Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Waktu Hiau-hong perhatikan, terniata penunggangpenunggang
kuda itu memakai jubah putih kaum Lama.
Segera iapun dapat mengenali satu diantaranya adalah murid
utama Hoat-ong yang pernah me-nempurnya dahulu.
Sedang Hiau-hong heran Lama yang pertama mengapa
ketakutan demi nampak kedatangan kawan sendiri, sementara
itu penunggang-penunggang kuda itu sudah tiba dan Lama
yang pertama tadi telah dikepung ditengah.
Dengan muka kaku segera Hou-hoat-tetiu (murid pembela
agama) dari Pek-kau Hoat-ong yang dikenal Ki Hiau-hong itu
menegur pada Lama pertama tadi: "Affandi, apa Yang sedang
kau lakukan disini?"
"Aku sedang mencari obat-obatan dipegunungan, kebetulan
tertimpa angin badai dan mendengar dipadang pasir ada suara
orang minta tolong, maka aku memburu kesini," sahut Lama
itu. Hiau-hong menjadi heran mengapa Lama itu membohong
pada kawannya sendiri, padahal beradanya disitu adalah atas
perintah Hoat-ong.
"Kedua orang inikah yang telah kau tolong?" tanya Houhoattecu itu sambil melirik sekejap kearah Ki Hiau-hong.
Mendadak Hou-hoat-tecu itu menjadi gusar, bentaknya:
"Affandi, bagus sekali perbuatanmu ini, sekarang juga aku
hukum kau tampar muka sendiri 40 kali, lalu lepaskan Kasa
dan ikut aku pulang untuk menerima hukuman lebih lanjut."
Kasa adalah jubah kaum Lama yang suci, Hou-hoat-tetiu itu
suruh dia melepaskan kasanya, itu berarti memecat dia dari
agama Lama dan menganggap dia sebagai murid murtad
agama sendiri. "Suheng," kata Lama tadi dengan suara gemetar dan muka
merah padam, "aku berdosa apa hingga mesti menerima
hukuman seberat itu?"
"Sudah tahu, masih pura-pura tanya?" sahut Hou-hoat-tecu
dengan tertawa dingin. "Siapakah orang ini, masakah kau
tidak tahu" Kau telah bersekongkol dengan musuh, apa
hukumannya?"
"Budha maha welas-asih, harini aku menolong jiwa orang,
itu sesuai dengan ajaran agama kita," demikian bantah Lama
pertama itu. "Pula Kaucu hanya melarang orang ini masuk
kewilayah istana kita, toh tiada perintah agar kita
membunuhnya diluar ja-rak tempat yang ditentukan itu. Disini
kebetulan lebih seratus li dari istana kita, ia mengalami bahaya
seperti orang umumnya, mengapa aku dilarang menolong
dia?" "Diluar jarak seratus li dia tetap musuh kita juga," sahut
Hou-hoat-tecu. "Tidak perlu kau membantah, lekas kau
mengaku salah, mungkin hukuman dapat dibikin ringan."
"Sang Budha memotong daging sendiri untuk makan elang,
tanpa hiraukan jiwa sendiri telah menolong harimau, padahal
elang dan harimau bukankah musuh manusia juga"
Sedangkan sang Budha toh masih menolong mereka, apalagi
sekarang yang kutolong adalah sesama manusia Tidak, aku
tidak mengaku salah!" sahut Lama itu dengan tegas.
"Banyak omong tidak berguna, aku tidak sudi berdebat
dengan kau, baik mengaku salah atau tidak, pendek kata kau
takkan terhindar dari hukuman," kata Hou-hoat-tecu dengan
gusar. Dan mendadak ia membentak: "Tanggalkan kasanya
dan ringkus dia!"
Sekali perintah, segera dua Lama yang lain berlari maju,
Affandi, yaitu lama yang menolong Ki Hiau-hong berdua,
segera diseret turun dari unta serta kedua tangannya
ditelikung dan diikat, menyu-sul kasanya lantas hendak
dibelejeti pula.
Terdorong oleh rasa keadilan, dengan gusar Kang Hay-thian
lantas membentak: "lMana boleh kalian berlaku sewenangwenang?"
Diluar dugaan, mendadak Hou-hoat-tecu itu lantas memberi
perintah pula: "Tawan sekalian kedua orang ini!"
Tapi belum lagi orang turun tangan. Kang Hay-thian sudah
lantas mendahului menerjang maju.
"Ini adalah urusan dalam kami, jangan tuan-tuan ikut
campur, lebih baik kalian pikirkan diri sendiri saja!" seru
Affandi cepat. Hay-thian tertegun oleh seruan itu, dari ucapan Affandi itu,
terang mengandung arti tertentu dan minta dia jangan bicara
apa yang sebenarnya telah terjadi tadi.
Dalam pada itu kedua Lama yang meringkus Affandi itu
mendadak telah angkat keatas tawanannya itu sebelum Kang
Hay-thian menerjang tiba, sekali diputar, segera tubuh Affandi
dilemparkan kearah Hou-hoat-tecu, menyusul mereka lantas
memutar untuk menempur Hay-thian.
Segera dengan sebelah tangan Hou-hoat-totiu memegang
Affandi, menyusul tangan lain terus menghujani tamparan
kepada Affandi sambil mendamperat; "Kau berani
membangkang perintahku, sekarang hukumanmu ditambah
sekali lipat, harus kutampar kau 80 kali!"
Tapi baru saja belasan kali ia memukul, tiba-tiba terasa
angin pukulan menyambar dari depan Kiranya Ki Hiau-hong
yang telah menerjang kearahnya.
Hou-hoat-tecu itu terhitung jago nomor lima dalam istana
Oksim. Begitu merasa diserang, segera iapun memapak
dengan pukulan. Dengan tenaga memukul dan menarik yang
disebut Im-yang-ciang-lik, tenaga positip dan negatip, maksud
Ki Hiau-hong hendak membanting lawannia. Tak terduga
tenaga pukulan lawan ternyata keras luar biasa hingga tenaga
pukulan Ki Hiau-hong ber-balik dipatahkan, bahkan Hiau-hong
sendiri hampir-hampir tergentak ja-tuh.
Untung Ginkang Ki Hiau-hong sangat tinggi, begitu merasa
gelagat jelek, segera ia melompat keatas, menyusul dengan
"Hian-im-ci", jarinya lantas menutuk kebawah.
"Bagus, Affandi, benar-benar kau telah sekongkal dengan
musuh," seru Hou-hoat-tecu itu dengan tertawa. Ia pegang
punggung Affandi terus diputar keatas Maka tutukan Ki Hiauhong
itu tidak mengenai musuh, sebaliknya mengenai Affandi.
Karena tamparan-tamparan tadi memangnya Affandi sudah
kesakitan, kini kena ditutuk pula oleh Hian-im-ci, seketika satu
arus hawa dingin menyusup kedalam tubuhnya, kontan saja la
menggigil dan keringat dingin merembes keluar.
"Kau berani bersekongkel dengan musuh, maka biar kau
rasakan dulu serangan musuh itu," Hou-hoat-tecu dengan
menyindir. Hiau-hong sangat gusar, bentaknya: "Engkau benar-benar
satu Su-heng yang kejam!" Terus saja ia keluarkan Thian-lopohhoat. sekali menyelinap, tahu-tahu ia sudah menyusup
kebelakang kawan, kedua tangan terus hantam berbareng.
Tapi sedikit menggeser, Hou-hoat-tecu itu tetap
menggunakan Affandi sebagai tameng, "plak", tangan kiri Ki
Hau-hong tepat me ngenai Affandi, sedang tangan kanan
tepat pula beradu dengan tangan Hou-hoat-tecu.
Namun Ki Hiau-hong sebelumnya sudah menduga lawan
pasti akan menggunakan Affandi sebagai tameng pula, maka
sebelumnya ia juga sudah merencanakan siasatnya
Kiranya ilmu silat Ki Hiau-hong sebenarnya sangat tinggi,
cuma sayang, diwaktu muda pemupukan dasarnya kurang
kuat, maka selamanya Lwekangnya tidak berhasil diyakinkan
hingga tingkatan tertinggi. Tapi bicara tentang luasnya
pengetahuan ilmu silat, didu-nia ini boleh dikata tiada
bandingannya, kecuali Kim Si-ih.
Selama hidup Ki Hiau-hong entah sudah berapa banyak
mencuri kitab-kitab pusaka berbagai mazhab atau aliran
persilatan, maka setiap cabang ilmu silat terkemuka sedikit
banyak tentu dipahaminya. Pukulan yang kena diatas badan
Affandi tadi adalah semacam ilmu pukulan yang sangat bagus,
namarfa "Hwe-jun-ciang", pukulan yang menghidupkan, yaitu
ilmu pukulan ciptaan Pho Jing-cu, tokoh angkatan keenam dari
Cong-lang-pay pada jaman permulaan dinasti Boan Khing Ilmu
pukulan itu bukan digunakan untuk melukai orang, sebaliknya
malah dipakai untuk pengobatan. Dari itu, rangsangan hawa
dingin yang diderita Affandi tadi seketika le-nyap.
Dan pukulan Ki Hiau-hong yang beradu dengan Hou-Hoattecu
itulah benar-benar pukulan yang berbahaya, yaitu Siu-loimsat-kang yang keji. Cuma sekaligus ia mesti menolong
Affandi, maka tenaga pukulan yang dilontarkan itu tidak dapat
sepenuhnya. Namun begitu. Hou-hoat-tecu itu toh tidak tahan
juga, ia menggigil kedinginan dan gemeteran.
Dengan gusar Hou-hoat-tecu melemparkan Affandi kepada
kawannya yang lain sambil berseru: "Bawa pulang dulu
kepada Cit-hoat Suheng, aku bertekad akan membereskan
kawanan iblis ini!" Habis itu, segera ia melancarkan serangan
membadai kearah Ki Hiau-hong.
Setelah gebrakan tadi, tenaga murni Ki Hiau-hong juga
banyak terbuang, sedangkan Siu-lo-im-sat-kang yang
dilatihnya itupun belum mencapai tingkatan yang tertinggi
hingga tidak mampu digunakan secara terus-menerus.
Sebaliknya Lwekang lawan lebih kuat dari dia, maka serangan
gencar itu dalam waktu singkat Ki Hiau-hong sudah terkurung
di tengah-tengah tenaga pukulannya.
Dipihak sana, kedua Lama yang meringkus Affandi tadi
ternyata bukan tandingan Kang Hay-thian. Sebenarnya dalam
beberapa jurus saja Hay-thian mampu mengalahkan mereka,
tapi pemuda itu tidak mau sembarangan melukai orang, maka
kedua Lama itu dapat bertahan sampai lebih 30 gebrakan.
Tapi karena timbulnya rasa kasihan Kang Hay-thian itu. ia
menjadi kehilangan kesempatan untuk menolong Affandi.
Ketika kedua Lama digempur mundur, sementara itu Affandi
sudah digondol lari orang.
"Sudahlah, Ki-pepek, biar kelak kita menegur pada Hoatong
saja, meski pertempuran ini diteruskan juga tiada artinya
lagi," seru Kang-Hay-thian.
"Tapi orang lain justeru tidak mau berhenti" sahut Hiauhong
dengan tertawa.
Karena itu, barulah Hay-thian mengetahui Ki Hiau-hong
sedang terkurung ditengah tenaga pukulan lawan, betapapun
dia telab menghindar dengan lincah juga susah melepaskan
diri. "Baiklah, akan kupisahkan kalian!" seru Hay-thian terus
menerjang maju.
Sudah tentu Hou-hoat-tecu itu tidak pandang sebelah mata
pada Kang Hay-thian, segera sebelah tangannya menghantam
menyambut serangan pemuda itu. Dibiar dugaannya, meski
usia Hay-thian masih muda belia, tapi ilmu silatnya masih lebih
kuat daripada Ki Hiau-hong. Maka terdengarlah suara "plak"
yang keras, Hou-hoat-tecu itu sampai sempoyongan tergentak
oleh tenaga pukulan Kang Hay-thian. Ternyata ilmu pukulan
yang digunakan pemuda itu adalah "Si-mi-ciang-hoat" yang
hebat, sudah tentu Hou-hoat-tecu itu tidak tahan.
Maka beruntun-runtun Hou-hoat-tecu itu berputar sampai
belasan kali baru dapat menegakan tubuhnya. Keruan
kagetnya tak terkata. Tanpa bicara lagi terus saja ia
mencemplak kudanya dan melarikan diri. Cepat beberapa
Lama kawannya lantas ikut kabur.
"Mereka toh sama-sama anak murid Pek-kau-Lama,
mengapa Affandi itu menghadapi kita dengan ramah-tamah
dan bersahabat, sebaliknya Lama-Lama yang belakangan ini
sedemikian jahatnya pada kita?" ujar Hay-thian denlgan heran.
"Ya, urusan ini memang agak ganjil," sahut Hiau-hong
sambil memikir. "Kulihat mereka tidak mirip sebagai sesama
agama." "Benar, aku juga sedang heran," kata Hay-thian. "Mengapa
Affandi itu tidak mengatakan apa yang diperintahkan Hoatong,
sebaliknya sengaja membohong dengan lain alasan'"
"Menurut dugaanku, boleh jadi paderi-paderi didalam istana
Oksim itu sudah terpecah belah menjadi dua golongan," ujar
Hiau-fcong. "Maka sikap mereka terhadap kiia menjadi
berbeda. Maksud Hoat-ong sesungguhnya mungkin tidak ingin
membikin celaka kita, bukan mustahil iapun bermaksud baik
dengan mengirim Affandi untuk mencegah kedatangan kita
kesana. Sebaliknya Lama-Lama yang datang belakangan itu
terang telah pandang kita sebagai musuh." '
"Jika begitu, bukankah Hoat-ong sudah takdapat menguasai
anak muridnya lagi?" kata Hay-thian dengan kuatir. "Bahkan
terhadap anak buahnya yang membangkang itu tampaknya ia
malah jeri. Sungguh hal ini susah untuk dimengarti."
"Memang urusan ini sangat aneh, dengan perbawa Hoatong,
mengapa anak buahnya berani membangkang padanya?"
kata Hiau-hong. "Tapi apa yang terjadi tadi toh bukti nyata
memang demikian halnya. Ya. terpaksa mesti mencari ayahmu
dulu untuk dirundingkan lebih jauh."
"Dan bagaimana dengan larangan Hoat-ong itu" Kita
menurut atau tidak?"
"Malahan sekarang aku menyangsikan jangan-jangan
larangan Hoat-ong itupun ada maksud lain"
"Ah, mungkin disebabkan dia kuatir anak muridnya yang
berlawanan dengan dia itu akan bikin susah padamu?"
"Tapi biarpun bagaimana juga aku takkan peduli," ujar
Hiau-hong dengan tertawa. "Apalagi sekarang aku sudah
sangsi, maka duduknya perkara lebih-lebih harus kuselidiki
hingga jelas."
.?Baiklah, jika Ki-pepek sudah bertekad begitu, kitapun
tidak perlu gubris pada perintah larangannya itu."
Maka kedua orang lantas melanjutkan perjalanan kedepan.
Tidak lama mereka sudah memasuki lereng gunung Kelun.
Tiba-Tiba terdengar diatas sana ada suara orang ribut-ribut.
Ketika Ki Hiau-hong mendengarkan dengan cermat, mendadak
ia berseru: "He, agaknya ayahmu seperti sedang ribut mulut
dengan orang! Pihak lawan kedengaran ada beberapa orang
banyaknya."
Girang dan kuatir demi mendengar ayahnya berada diatas
situ, cepatan saja Kang Hay-thian mengeluarkan Ginkang yang
tinggi untuk merayap keatas gunung. Sesudah mencapai
diatas pun-cak, benar juga dilihatnya ada lima Lama sedang
mengitari ayahnya. Ada diantaranya sedang memberi hormat
pada ayahnya, sedang Lama yang lain ada yang tarik-menarik
dengan ayahnya. Keruan Hay-thian terheran-heran
menyaksikan itu.
"Coba dengar, mereka seperti sedang mengundang ayahmu
agar sudi menjadi tamu mereka," demikian Ki Hiau-hong telah
membisiki Hay-thian.
Belum lenyap suaranya, benar juga terdengar salah seorang
Lama telah berseru: "Kang-sicu, engkau adalah sobat baik
Kaucu kami. sesudah berada disini, mengapa tidak mampir
Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dulu" Jika engkau tidak sudi mampir, tentu kami nanti akan
didamperat oleh Kaucu."
Tapi terdengar Kang Lam telah berseru: "Ai, ai, janganlah
kalian main tarik-tarik segala, aku tidak tahan geli, "kalian
telah pegang .tempatku yang menggelikan, he, he, hahaha,
geli aku, lekas lepaskan!"
Hampir-Hampir Ki Hiau-hong ikut tertawa menyaksikan itu.
Bisiknya pula: "Coba dengarkan, ayahmu masih tetap bersifat
suka berkelakar seperti dahulu. Kau adalah puteranya, tapi
malah lebih prihatin."
Dalam pada itu Lama yang lain telah berkata: "Baiklah,
kami takkan main tarik-tarik lagi, asal Kang-sicu sudi mampir
ketecypat kami."
"Apakah Kaucu kalian yang suruh kalian mengundang
padaku?" tanya Kang Lam.
"Ya, masakah kami berani membohong?" kata Lama yang
duluan tadi "Kaucu mendengar engkau akan datang kemari
dalam waktu beberapa harini, maka kami telah diperintahkan
menunggu disini."
"Ai, jika begitu, aku takmau kesana," kata Kang Lam.
"Sebab apa?" tanya Lama itu.
"Habis, disana tentu aku kurang merdeka," sahut Kang Lam
dengan ketawa-ketawa. "Kalian tidak tahu bahwa aku paling
takut segala ikatan adat, Kaucu kalian telah mengundang aku
secara begini menghormat, tentu aku akan dilayani sebagai
tamu agung, dan sebagai tamu agung, aku tentu takkan bebas
bergerak. Ai, ai, aku takmau terima undangan begitu."
Keruan beberapa Lama itu saling pandang dengan bingung
dan heran. Sejenak kemudian barulah mereka berkata: "Ah,
Kang-sicu suka berkelakar saja!"
"Tidak, terkadang aku memang suka omong besar, tapi
tidak pernah berkelakar," sahut Kang Lam.
Dalam pada itu Ki Hiau-hong telah membisiki Kang Haythian
agar unjuk diri. Segera mereka berlari ketempat Kang
Lam itu. Tentu saja Kang Lam kegirangan, sambutnya dengan
berseru: "Hai, Toako, kau telah datang" Eh, Hay-ji, kau juga
ikut kemari?"
Beberapa Lama itu kenal Ki Hiau-hong, mereka menjadi terkejut.
Segera dua orang diantaranya memapak maju dengan
menjinjing tongkat "Kiu-goan-sik-theng" (tongkat timah
bergelang sembilan) seakan-akan hendak melabrak Ki Hiauhong.
Tapi demi nampak Kang Lam telah menyongsong
kedatangan pencuri sakti itu, mereka menjadi ragu-ragu,
sebentar mereka pandang Kang Lam dan lain saat mereka
pandang Ki Hiau-hong.
Tiba-Tiba Kang Lam berkata kepada mereka dengan
tertawa: ,Ini dia, aku mendapatkan wakil sekarang. Saudaraku
ini paling rakus, suka gegares, didalam kuil kalian tentu
banyak tersedia barang-barang enak, maka lebih baik
mengundang dia saja kesana."
Lama yang mengepalai itu menjadi marah, katanya:
"Janganlah Kang-sicu bergurau, Ki-siansing ini memang akan
kami undang juga, cuma takdapat disama ratakan dengan
kau. Untuk bicara terus terang, dia justeru adalah penjahat
yang hendak kami tangkap."
Dan begitu selesai Lama kepala itu bicara, segera kedua
Lama yang sudah siapkan tongkat mereka tadi terus
menghantam kearah Ki Hiau-hong.
"Hai, mengapa kalian sembarahgan menyerang orang"
Kalian berani menangkap Toakoku, aku lebih-lebih tidak sudi
menjadi tamu kalian," seru Kang Lam.
"Betapapun kau harus kami undang kesana," seru Lama
kepala tadi terus menarik.
Sementara itu Kang Hay-thian sudah menyaksikan gerakgerik
kedua Lama bertongkat yang hendak mengerubut Ki
Hiau-hong itu, ia menaksir Ki Hiau-hong lebih dari cukup untuk
melawan mereka, maka ia tidak perlu membantunya. Segera
ia menerjang kearah sang ayah, sekali gentak, ia dorong Lama
kepala yang hendak menarik Kang Lam itu.
Hanya sebagian saja Hay-thian menggunakan tenaganya
hingga Lama itu didorong mundur kebelakang, katanya
dengan dingin "Hm, masakah ada cara mengundang tamu
demikian" Ayahku adalah orang ramah, sebaliknya kalian
lantas hendak mamaksanya."
"Hay-ji, jangan kau kurang sopan," ujar Kang Lam dengan
tertawa. "Betapapun juga sikap mereka toh timbul dari
maksud baik mereka ingin mengundang aku sebagai tamu.
Lekas kau minta maaf pada Taysu ini."
Sebenarnya Lama itu sangat gusar karena hampir jatuh
kena didorong oieh Kang Hay-thian, tapi ia paksakan diri
merendah dan berkata dengan tertawa: "Ai, kiranya adalah
puteranya Kang-sicu, pantas sedemikian lihaynya! Marilah kita
berkenalan!"
Habis berkata, dengan mengandalkan Kim-kong-ci-lik
(tenaga jari baja) yang kuat, segera ia menjajal Kang Haythian
dengan pura-pura mengajak salaman.
"Ya, perkenalkan," sahut Hay-thian. Berbareng ia sodorkan
tangannya. Siapa duga, sekali tangan menggenggam tangan, seketika
Lama itu seperti kena aliran listrik, badarnya tergetar, cepat ia
kipatkan tangannya, dengan meringis menahan rasa sakit ia
mendelik kepada Kang Hay-thian.
"Maaf." kata Hay-thian dengan tertawa. "Dan masih ada
lagi kedua Taysu itu, marilah perkenalkan aku yang rendah
ini." Keruan kedua Lama itu menjadi jeri, mereka mengkeret dan
mundur-mundur kebelakang.
Dalam pada itu, tiba-tiba terdengar Ki Hiau-hong bergelak
ketawa dan berkata: "Haha, tongkatmu ini berikan padaku
untuk cagak pagar. Haha, dan tongkat yang ini boleh juga
dipakai pentung penggebuk anjing!"
Kiranya saat itu Ki Hiau-hong juga sudah dapat
mengalahkan kedua Lama itu dan telah merampas tongkat
mereka. Keruan kedua Lama itu berjingkrak-jingkrak dengan
gusar, dengan bertangan kosong segera mereka bermaksud
menempur Ki Hiau-hong lagi.
"Menurut aturan, main keroyok sebenarnya tidaklah
pantas," ujar Kang Lam. "Sebagai sobat baik Hoat-ong, jika
diantara kalian ada yang berani mengeroyok lagi, terpaksa aku
akan mewakilkan Hoat-ong untuk memberi hajaran kepada
muridnya."
"Nah, kalian dengar tidak?" seru Hay-thian segera. "Maksud
aryahku, paling banyak kalian hanya boleh dua lawan satu,
jika ada yaug ingin maju lagi, boleh arahkan padaku saja.
Begini bukan, maksudmu, Yah?"
"Hahaha, anak baik, sekarang kau sudah tahu urusan,
dapat meorekmu hati orang tua," sahut Kang Lam.
Dan sudah tentu ketiga Lama yang lain tiada yang berani
maju lagi. Dalam pada itu, seperti kucing memainkan tikus saja, Ki
Hiau-hong sedang kocok kedua Lama yang mengeroyoknya
itu. Ia putar kedua tongkat rampasannya yang bergelang itu
hingga menerbitkan suara gemerincing yang nyaring. Serunya
dengaa tertawa: "Hahaha, ketemu anjing galak juga tidak
perlu menggebug lagi dengan tongkat ini, cukup suara
gemerincing ini saja pasti akan bikin anjing galak lari terbiritbirit
ketakutan. Bagus, bagus! Silahkan kalian mendengarkan
juga!" Habis berkata, sekali melesat, tiba-tiba ia melompat
kesamping kedua Lain-, itu sambi! kocok tongkat rampasan
yang bergelang itu ditepi telinga mereka. Ketika salah satu
tongkat menyambar, seketika kopiah paderi seorang Lama itu
disamplok jatuh. Menyusul ia menjambret pula, kembali kasa
Lama yang lain dibetotnya hingga copot.
Lama kepala tadi menjadi merah padam, malu tercampur
marah. Bentaknya keras-keras: "Sudahlah, pulang saja, jangan
membikin malu lagi disini!"
Maka hanya sekejap saja kelima Lama itu sudah berlari
pergi dan tidak dikejar oleh Ki Hiau-hong.
"Kang-hiante, ternyata kau masih tetap suka melucu seperti
dulu!" seru Hiau-hong kemudian.
"Dan engkau sendiri juga masih jenaka seperti dulu, Kitoako,"
sahut Kang Lam.
Lalu kedua saudara angkat itu lantas saling peluk dengan
tertawa terbahak-bahak.
Mendadak Ki Hiau-hong mengincar keatas sambil
menengadah. Kang Lam menjadi heran, tanyanya: "Ki-toako, ada apakah
diatas pohon itu hingga kau tertarik?"
"Aku merasa diatas pohon seperti ada orangnya," sahut
Hiau-hong. Baru selesai ia bicara. benar juga lantas terdengar suara
gebk tertawa seorang diatas pohon. Kata orang itu: "Tajam
benar pandanganmu. Ki-toako, kagum sekali aku!" "
Menyusul orang itu lantas melompat turun. Waktu
diperhatikan, ternyata dia bukan rain adalah Tan Thian-ih.
Keruan Kang Lara kegirangan, serunya: "Hai. Ih-ko,
mengapa kau sembunyi disini" Sudah payah aku mencari kau
selama beberapa tahun ini!"
"Aku telah menyaksikan kau mempermainkan kawanan
Lama tadi. sungguh geliku setengah mati," sahut Thian-Di
dengan tertawa. "Eh, Tit-ji juga sudah sekian besarnya. Dua
jurus yang dia unjukan tadi benar-benar sangat hebat".
Segera Kang Lam ajak Hay-thian memberi hormat kepada
Thian-ih dan menanya: "Apakah Teng-tayhiap suami-isteri
belum pernah datang kemari?"
"Tahun yang lalu waktu aku sampai di Thian-san, kebetulan
pertemuan Thian-san-pay mereka sudah bubar." tutur Thianih.
"Aku telah menemui Teng-locianpwe (Teng Hiau-Ian) dan
baru mengetahui Teng Keng-thian suami-isteri telah pergi
kelain tempat, jejak mereka tiada pasti, pula tidak menistakan
kapan pulangnya Terpaksa aku menceritakan tentang kejadian
diculiknya iparmu yang aneh itu kepada Teng-locianpwe,
syukur beliau lantas mengirim anak muridnya pergi mencari
Teng Keng-thian. Tapi aku sendiry ada dianji dengan kalian
dan dengan sendirinya tak-dapat menunggu Iama-Iama di
Thian-san. maka buru-buru aku mohon diri dulu dari Tenglocianpwe.
Lohor tadi aku baru sampai disini. begitu masuk
pegunungrn ini, ditengah rimba sana tiba-tiba kupergoki
serombongan Lama yang sedang berunding disana dan sayupsayup
aku mendengar nama kita bertiga telah disinggungnya.
"Tatkala itu kebetulan berjangkit angin badai, angin
menderu-deru dan pohon berguncang, namun begitu, karena
teraling-aling pepohonan lebat, maka bahayanya tidak besar.
Cuma suasana menjadi gelap-gelita juga dan menyeramkan.
Untung juga adanya angin badai itu hingga aku yang
menguntit dibelakang Lama-Lama itu tidak sampai diketahui.
Kudengar seorang diantaranya sedang pesan pada Sutenya:
'Ingat, jika ketemu Kang Lam, kita harus menghadapinya
dengan hormat dan pura-pura menyatakan atas perintah Suhu
dan mengundangnya kekuil kita. Dan kalau ketemu Ki Hiauhong.
kita tidak perlu sungkan-sungkan lagi, terus saja
kerubut dia, sesudah tertangkap, hajar dia dahulu biar dia
tahu rasa. Dan bila ketemukan Tan Thian-ih. hanya boleh kita
menawannya hidup-hidup tapi jangan bikin susah padanya'Lalu kudengar Sutenya menanya: "Tapi bagaimana kalau kita
pergoki mereka berada bersama, atau Kang Lam berada
bersama salah satu diantara kedua yang lain"' Jawab Lama
yang pertama: Jika begitu, ikutilah petunjukku nanti menurut
gelagat!" " Dan Lama itu bukan lain adalah Lama yang
dikacirkan oleh Kang-hiantit tadi
"Hahaha. kiranya aku yang paling dibenci mereka," seru Ki
Hiau-hong dengan terbahak. "Sayang tadi aku tidak hajar
mereka biar mereka kapok."
"Sebabnya mereka benci padamu adalah karena mereka
merasa kehilangan muka waktu kami menggerayangi istana
Oksim mereka dan meski kau sudah dikepung dan digerebeg
toh kau masih dapat lolos." ujar Thian-ih. "Sebaliknya entah
apa muslihat mereka, akan menipu Kang-hiante dan ingin
menawan aku hidup-hidup pula" Begitulah aku terus
menguntit mereka dan tidak lama lantas aku ketemu dengan
Kang-hiante hingga terjadi mengundang tamu setiara paksa
tadi. Aku tahu takkan terjadi apa-apa atas diri Kang-hiante,
maka aku sengaja bersembunyi terus diatas pohon."
"Memangnya aku sudah tahu Lama-Lama itu sedang
membohongi aku,"' ujar Kang Lam dengan tertawa.
"Darimana kau tahu?" tanya Thian-ih"Sebab waktu aku berpisah dengan Hoat-ong tempo dulu.
pernah raja agama itu berkata padaku bila datang lagi kesana.
paling baik supaya menganjak serta Kim-tayhiap, kalau tidak,
lebih baik jangan datang kesana; Apa yang dikatakan Hoatong
waktu itu tidak didengar oleh siapapun juga. cara
berkatanya juga sungguh-sungguh dan kereng, malahan
seperti kuatir aku salah paham padanya Sebab apa dia pesan
begitu padaku, sampai kini akupun belum mengarti. Cuma aku
sudah ingat baik-baik pesannya itu. Maka cara para Lama tadi
mengundang padaku itu bukankah bertentangan dan terang
bohong?" "Ya. biasanya peraturan Pek-kau Hoat-ong sangat keras,
mengapa anak muridnya sekarang berani memalsukan nama
guru mereka, sungguh ini suatu hal yang susah dimengarti."
ujar Thian-ih. "Kedua peristiwa ini tidak susah dipecahkan. cuma aku
masih belum dapat memahami sebab musababnya", kata Ki
Hinu-hong sesudah memikir.
"Menurut pendapatmu bagaimana" Cobalah katakan." pinta
Thian-ih. Lebih dulu Ki Hiau-hong lantas menceritakan apa yang
dialami Kang Hay-thian.
Thian-ih termenung mendengar kejadian itu. Tiba-Tiba ia
tepuk tangan dan berseru: "Ya. benarlah!"
"Benar tentang apa?" tanya Kang Lam heran.
"Aku menduga Ki-toako menyangsikan Pek-kau Lama telah
ter-pecah-belah menjadi dua golongan, bukan?" kata Thian-ih.
"Betul," sahut Hiau-hong. "Bahkan golongan yang diamdiam
memusuhi Hoat-ong itu mungkin didukung pula oleh
seorang tokoh tertentu. Sebabnya Hoat-ong minta Kanghiante
mengajak Kim-tay-hiap kesana, mungkin ia kuatir
golongan yang memusuhinya itu akan berbuat tidak
menguntungkan Kang-hiante, tapi kalau didampingi Kimtayhaip
Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tentu tidak perlu kuatr lagi. Malahan mungkin sekali
Hoat-ong sedang sangat mengharapkan bantuannya Kimtayhiap."
Kang Lam menjadi kuatir serunya: "Jika begitu, keadaan
Hoat-ong bukankah sangat berbahaya" Kukira kite jangan ayal
lagi, marilah malam ini juga kita menyusup kedalam istana
Oksim untuk menyelidiki."
"Akupun ingin lekas-lekas dapat menyelidiki urusan
diculiknya isteriku," kata Thian-ih. "Tapi kita harus mencari
suatu akal agar dapat menemui Hoat-ong dibawah empat
mata, kalau tidak, apa gunanya jika mesti bertempur dengan
kawanan Lama disana?"
"Dengan Ginkang Ki-toako yang hebat saja tempo hari juga
dipergoki mereka," kata Kang Lam. "Apalagi sekarang kita
berempat, hendak masuk kesana secara diam-diam mungkin
sangat sulit. Kukira terpaksa mesti masuk secara paksa."
"Aku sudah mempunyai suatu akal," tiba-tiba Ki Hiau-hong
menyela dengan tertawa.
"Ai. mengapa sejak tadi tidak Ki-toako katakan," seru Kang
Lam dengan girang.
"Sekarang kita masih kurang beberapa macam alat
keperluan, maka teka-teki yang belum lengkap ini belum dapat
dibuka," ujar Hiau-hong dengan tertawa "Kang-hiante, apa
kau boleh membiarkan Hay-thian ikut aku pergi?"
"Pergi kemana dan untuk keperluan apa?" tanya Kang Lam.
"Sekarang takdapat kukatakan padamu," sahut Hiau-hong
dengan tertawa. "Tapi jangan kau kuatir, urusan ini mudah
dilaksanakan. Asal Hay-thrau yang ikut sudahlah cukup."
"Baiklah, tapi jangan kau mengcjarkan dia menjadi pencurt,
lhol" kata Kang Lam dengan tertawa.
"Hahaha! Aku justeru hendak mengajarkan dia cara
bagaimana harus mencuri!" sahut Ky Hiau-hong dengan
terbahak-bahak. Dan dftengah tertawanya itu, segera Kang
Hay-thian ditariknya dan di-ajyak lari pergi.
"Ki-toako ini benar-benar seorang cerdik dan simpatik pula,
asal dia cocok padamu, segala kesulitan apa tentu akan
dibantunya dengan penuh tenaga," demikian kata Thian-ih.
"Dan sekali ini boleh kira lihat teka-teki apa yang dia
mainkan." ujar Kang Lam dengan tertawa.
Segera mereka berduduk dan saling menceritakan
pengalaman masing-masing selama ihi. Tapi tidak terlalu lama,
tertampak Ki Hiau-hong dan Kang Hay-thian sudah kembali.
Mereka membawa dua perangkat Kasa, malah mereka
memakai kopiah Lama pula, sambil ketawa-ketawa mereka
mendekati Kang Lam.
"Ai, kiranya Ki-toako benar-benar mengajar Hay-ji menjadi
pencuri," seru Kang Lam dengan tertawa.
"ajarkan dia merampas milik orang ditengah jalan,
hakikatnya belum terhitung kepandaian mencun segala."
.Belum seberapa jauh kami sudah menyusul rombongan
Lama tadi," demikian Hay-thian menyambung. "Mereka
mengira kami akan membunuh mereka, maka mereka takut
setengah mati. Memangnya Ki-pepek akan hajar mereka, tap:
aku telah mence-gahnya."
"Habis, siapa suruh mereka membual katanya kalau aku
ditangkap akan dihajar lebih dulu?" ujar Hiau-hong dengan
tertawa, "Tapi rasa dongkolku juga terlampias, aku telah tutuk
mereka dengan ilmu Tiam-un-hiat' warisan Kiau-cosu yang
lihay, aku taruh mereka disuatu gua, harus 12 jam lagi baru
mereka bisa bergerak bebas."
"Apakah maksud Ki-toako agar kita menyaru sebagai
Lama?" tanya Thian-ih. "Akal ini memang baik, tapi .ada suatu
kekurangan."
"Tentang apa?" tanya Ki Hiau-hong.
"Lama dari agama Putih itu sembilan bagian adalah orangorang
barat, bangun muka kita jauh berbeda daripada
mereka," ujar Hiau-hong.
"Itu sudah kupikirkan sebelumnya," kata Hiau-hong. Lalu ia
mengeluarkan empat helai topeng kulit manusia dan
menyambung: "Ditengah rimba raya Anta daerah Tibet
terdapat suatu kelompok suku pemburu kepala manusia,
setiap manusia yang mereka bunuh tentu dibeset kulit
kepalanya untuk dibuat topeng. Orang Tibet paling hormat
pada kaum Lama, hanya suku pemburu kepala manusia itu
yang berani membunuh Lama. Dan beberapa helai topeng
kulit manusia ini adalah hasil curianku dari tempat tinggal
suku-suku liar itu. Coba kalian pakai dulu, mengenai pakaian,
nanti kuajarxan kalian menyamar."
Segera Thiaii-iti dan Kang Lam mengenakah Kasa yang
dibawakan itu dan memakai topeng, mereka coba bercermrn
di air kali, benar juga mirip sekali dengan Lama tulen. Lalu Ki
Hiau-hong "Ini saja belum," sahut
Ia mengajarkan gerak-gerik dan tutur-kata kaum Lama
dalam basa daerah Jinghay. Sesudah latihan sebentar,
walaupun masih banyak kekurangannya, tapi sepintas lalu
sudah susah diketahui orang lagi.
Sesudah makan rangsum kering yang dibawa Thian-ih,
menunggu setelah malam tiba, mereka lantas berangkat
keistana Oksim.
Dengan Ginkang mereka yang tinggi, kira-kira pukul U
mereka sudah sampai diluar lingkungan istana yang terlarang.
Thian-ih dan Kang Lam sangat was-was, tapi aneh, sepanjang
jalan tiada seorang jagopun yang diketemukan. Beberapa
Lama peronda yanq diketemukan ditengah jalan boleh dikata
tiada artinya bagi mereka, mereka lalu didekat Lama-Lama itu
juga tidak diketahui.
Dekat dengan pintu kuil yang megah itu, tiba-tiba terdengar
genta dibunyikan dengan bertalu-bertalu. Diam-Diam Ki Hiauhong
menghitung, ternyata genta itu dipukul 21 kali
banyaknya. Ia terkejut. Ia kenal peraturan Pek-kau itu,
biasanya untuk berkumpul, genta itu cuma dibunyikan tujuh
kali, kalau ada urusan penting, genta dipukul dua kali lipat,
jadi 14 kali. Kini genta itu dipukul 21 kali, itu berarti ada
urusan maha penting yang menyangkut mati-hidup agama
mereka dan antero penghuni istana itu diharuskan berkumpul.
Padahal seorang Lama agama Putih itu selama hidupnya
belum tentu mendengar suara genta dipukul sebanyak 21 kali.
Meski istana Oksim tidak semegah istana Potala di Lhasa,
Ti-bet tapi kompleks bangunan disekitarnya ada ratusan juga
banyaknya. Maka sekali genta itu dipukul, segera berbondongbondong
kawanan Lama mendatangi istana terbesar ditengahtengah
kompleks bangunan itu. Maka sekarang Ki Hiau-hong
tahu Lama agama Putih itu lagi akan rapat, pantas penjagapenjaga
diluar hanya Lama rendahan saja, sebab jago-jagonya
sedang menghadiri rapat.
Segera rombongan Ki Hiau-hong mencampurkan diri
diantara kawanan Lama dan tiada yang memperhatikan
mereka. Sesudah genta dipukul lagi 21 kali. sementara itu
merekapun sudah masuk didalam istana itu bersama LamaLama yang lain.
Ditengah istana itu ada sebuah altar tempat arca Budha. Di
bawah altar ada sebuah kursi bercat emas. Mungkin itulah
singgasananya Pek-kau Hoat-ong. Dan kedua samping
terdapat empat kursi lagi, yaitu tempat duduk keempat Houhoattecu. Semua kursi itu masih kosong dan belum diduduki.
Diam-Diam Ki Hiau-hong membatin: "Kiranya tokoh-tokoh
utamanya belum muncul."
Sementara itu ada orang telah mengeluarkan sebuah kursi
dan ditaruh dihadapan kursi Hoat-ong. Tampaknya orang yang
akan menduduki kursi itu lebih terhormat daripada keempat
Hou-hoattecu. Tapi entah siapakah gerangannya"
Lama-Lama yang lain tidak disediakan tempat duduk, hanya
menurut tinggi rendah kedudukan masing-masing dan berdiri
berbaris disitu, yang berkedudukan lebih tinggi berdiri didepan
dan yang lebih rendah berdiri dibelakang. Ki Hiau-hong dan
kawan-kawannya men-campurkan diri dibarisan bagian
tengah. Sejenak kemudian, terdengarlah sorak-sorai orang banyak,
di bawah iringan pengawal-pengawal muncullah satu Lama
yang berperawakan tinggi besar. Dibelakangnya menyusul
ketiga Hou-hoat-tecu yang bersikap sangat menghormat pada
Lama besar itu.
Ki Hiau-hong terkesiap menyaksikan itu, pikirnya:
"Selamanya kalau Hoat-ong sendiri muncul, barulah keempat
Hou-hoat-tecu mengikut dibelakangnya. Tapi siapakah Lama
ini, mengapa berani melampaui peraturan itu" Dan mengapa
ketiga Hou-hoat-tecu ini mau melayani dia" Pula masih ada
seorang lagi, mengapa tidak muncul?"
Ia coba memperhatikan Lama besar itu. ia lihat kedua
Thay-yang-hiat (bagian pelipis) Lama itu agak menonjol, sinar
matanya berkilat-kilat Sebagai seorang ahli. segera Ki Hiauhong
tahu Lwekang Lama itu sangat tinggi Dijaman ini
mungkin cuma Teng Hiau-lan, Kim Si-ih, Thong-sian Siangjin,
Pek-kau Hoat-ong, Kim-kong Taysu dan beberapa tokoh
tertentu saja yang mampu menandingi Lama ini.
Begitu juga berdiam saja tanpa reaksi apa-apa. Dari soraksorai
para Lama itu. Hain-hong mendengar gelar Lama besar
itu disebut sebagai "Khong-jiok Beng-lun-ong".
"Khong-jlok" atau merak adalah burung suci dalam agama
Budha. Dan diantara gelar agamanya "Beng-lun" terdapat pula
sebutan "Ong" atau raja, maka dapat diketahui kedudukan
Lama itu tentu sangat tinggi dan lain daripada yang lain.
---ooo0dw0ooo--Jilid 10 Maka terdengarlah seorang Lama dibelakang Ki Hiau-hong
sedang berkata: "Sute, apa kau belum kena Susiok kita ini"
Beliau sudah balasan tahun berkelana dan belum beberapa
hari yang lalu baru pulang. Kini untuk pertama kalinya beliau
tampil didepan umum."
"Kabarnya Susiok telah bercekcok tentang sesuatu urusan
penting dengan Suhu, makanya diadakan rapat ini," demikian
seorang Lama disebelahnya menjawab. "Dari kawan-kawan
lain kudengar juga adanya percekeokan, ada yang pro Suhu,
ada yang mendukung Susiok, sebenarnya pihak manakah yang
benar, apakah Suheng tahu?"
Maka dengan suara tertahan Lama pertama telah
menjawab: "Urusan ini tidak boleh kita bicarakan sendiri,
sebentar lagi boleh kita dengarkan pengumuman Suhu."
Baru sekarang Ki Hiau-hong mengetahui bahwa "Khong-jiok
Beng-lun-ong" itu adalah Sutenya Hoat-ong. Tanpa diberitahu
iapun dapat meraba sedikit duduknya persoalan. Kemudian
iapun mengenali diantara pengiring Khong-jiok Beng-lun-ong
itu terdapat pula kedua laki-laki yang telah menyerangnya
digurun pasir tempo hari, cuma dandanan mereka kini sudah
berganti menjadi Lama.
Sementara itu Khong-jiok Beng-lun-ong sudah berjalan
sampai didekat kursi yang terletak dihadapan tempat duduk
Hoat-ong, tapi ia tidak lantas berduduk. Oleh karena itu,
ketiga Hou-hoat Tecu itupun tidak berani mengambil tempat
duduk, tapi masih tetap mengiring dibelakang Beng-lun-ong
itu. Sedang para Lama saling bisik-bisik menantikan
persidangan itu, tiba-tiba terdengar suara gemerenceng
getaran tongkat bergelang sembilan, seketika suasana menjadi
hening, maka tertampaklah Pek-kai Hoat-ong telah muncul
diiringi oleh 16 paderi. tepat dibelakangnya menyusul seorang
Hou-haot Tecu yaitu Hou-hoat Tecu yang pertama.
Segera Hou-hoat Tecu pertama itu menyulut dupa didepan
pemujaan Kauco (cakalbakal agama) mereka, Pek-kau Hoatong
tampak merangkap tangannya sambil berdoa.
Dengan ketajaman telinga Ki Hiau-hong, ia dapat
mendengar ra-ja agama itu sedang berdoa agar Kauco
memberkati ketenangan dan kekuatan kepadanya dalam
keadaan menghadapi persoalan maha besar yang menentukan
itu. Diwaktu Hoat-ong berdoa, Sutenya, yaitu Beng-lun-ong
tampak mengulum senyum ejekan.
Selesai berdoa, segera Hoat-ong memberi tanda kepada
Beng-lun-ong dan pengikutnya sambil berkata: "Silakan kalian
duduklah."
"Biar urusan diselesaikan dulu, kenapa mesti buru-buru
duduk," ujar Beng-lun-ong dengan dingin. Dibalik sahutannya
itu seakan-akan menyindir bahwa bila urusan ini tak
diselesaikan dengan baik, bahkan tahta raja agamamu juga
takbisa diduduki lagi.
Sudah tentu golongan yang pro Hoat-ong merasa sangat
gusar, tapi sebelum Hoat-ong bicara, mereka tiada yang
berani membuka suara. Dan Hoat-ong sedikitpun tidak
mengunjuk gusar, dengan tenang ia berkata kepada para
paderi: "Agama kita kini sedang menghadapi suatu urusan
besar yang menyangkut jaya atau suram-nya agama kita.
Beng-lun-ong adalah orang yang giat berjuang dalam usaha
ini, maka sekarang silakan beliau saja menceritakan dulu awalmula
urusan ini."
"Urusan ini sudah berjalan selama beberapa tahun, kiranya
se-lama ini kau tidak pernah diberitahukan kepada mereka dan
baru sekarang suruh aku mengumumkannya?" tanya Benglunong dengan dingin.
Dengan tenang dan prihatin Hoat-ong menjawab: "Sebagai
ketua dari agama kita, aku ada hak untuk menentukan
sesuatu urusan, jika kebijaksanaanku ini tidak benar, sebentar
boleh dikemukakan dihadapan orang banyak untuk
dipertimbangkan mereka."
Wajah Beng-lun-ong berubah masam oleh jawaban Hoatong
yang tegas itu. Selang sejenak barulah ia membuka suara
pula: "Baiklah, boleh juga aku mengumumkan kepada mereka
untuk ditimbang dan diputuskan bersama."
Dengan penuh perhatian para Lama lantas mengikuti
penuturan Khong-jiok Beng-lun-ong itu. Katanya: "Cerita ini
agak panjang, tapi juga sangat sederhana. Soalnya berkisar
pada keputusan raja Nepal yang ingin mengangkat Pek-kau
(agama Putih) kita sebagai agama negara mereka dan
mengundang seluruh paderi Orsim ini supaya berpindah
keibukota Nepal, Katmandu."
Sebenarnya soal ini banyak diketahui oleh paderi-paderi
agak tua atau yang berkedudukan agak tinggi, tapi juga
banyak Lama muda dan rendahan yang belum tahu, maka
mereka menjadi geger demi mendengar cerita Beng-lun-ong
itu. Menunggu sesudah suasana agak tenang kembali, lalu
Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Beng-lun-ong melanjutkan pula; "Dalam soal ini akulah yang
telah bertindak sebagai wakil dari agama kita untuk berunding
dengan raja Nepal. Kejadian itu dimulai pada kira-kira tujuh
tahun yang lalu ketika aku diundang pula untuk tinggal
dikeratonnya selama beberapa hari. Ru-panya Baginda Raja
sangat kenal keadaan agama kita, beliau sa-ngat simpatik
kepada agama kita yang terpencil"didaerah Jinghay yang
sempit ini, terhadap keluhuran budi dan ilmu silat Kaucu Suheng
juga beliau menyataknn kekaguman yang tak terhingga.
Sesudah pembicaraan itu, beliau lantas mengatakan ingin
mengundang Kaucu Suheng datang ke Katmandu untuk
bertemu serta meneruskan perundingan lebih mendalam.
Tahun itu juga baginda raja Nepal lantas mengirim utusan
serta membawa suratku untuk menghadap kepada Kaucu
Suheng disini. Tapi selama ini Suheng selalu mengulur waktu
dan tidak mau memberi jawaban yang memuaskan, pula tidak
pernah balas berkunjung kepada baginda raja di Katmandu.
"Selama beberapa tahun ini, setahuku raja Nepal sudah tiga
kali mengirim utusan kemari, syarat-syarat yang diajukan juga
semakin bagus. Tapi Suheng masih tetap tidak memberi
jawaban yang tegas, sebab itulah terpaksa aku mesti pulang
kemari untuk menyampaikan maksud baginda raja Nepal itu
serta meminta pertimbangan para paderi penghuni istana ini.
Bahkan baginda raja telah menambahkan suatu usul pula yang
khusus di-tujukan untuk Suheng. yaitu bila Pek-kau kita jadi
pindah ke negeri sana. maka beliau bersedia mengangkat
Kaucu Suheng sebagai "Budha hidup" dengan kedudukan yang
sejajar dengan Dalai Lama di Tibet. Nepal adalah negeri
pemeluk agama Budha |ang bersejarah, bahkan adalah tanah
suci, tempat kelahiran budha Sakyawuni. Jika Pek-kau kita
dapat dijadikan agama negara di Nepal, itu benar-benar suatu
kesempatan baik yang susah dicari.
"Nah, sekianlah laporanku. Pendek kata. baginda raja Nepal
menaruh hormat dan menjunjung tinggi Pek-kau dan Kaucu
kita. Sedang mengenai maksud baiknya itu akan kalian terima
atau tidak, silakan sekarang juga diadakan perundingan dan
keputusan."
Selesai laporan Khong-jiok Beng-lun-ong itu, maka
gemparlah suasana persidangan, riuh ramai para paderi itu
saling berunding. Tapi meski sekian lamanya toh masih tiada
seorangpun yang berani tampil kemuka untuk bicara.
Sesudah mengawasi ruangan sidang, segera Hou-hoat-tecu
yang pertama berbangkit dan berkata: "Urusan ini agaknya
terlalu penting, maka lebih baik minta Kaucu sendiri
memberikan keputusannya yang bijaksana."
"Benar, benar!" segera belasan paderi yang lain memberi
sokongan. "Kaucu adalah pucuk pimpinan kita yang
berpandangan jauh, beliau pasti dapat mengambil keputusan
yang bijaksana, kami bersedia menurut pada Keputusan
Kaucu." Sebenarnya Beng-lun-ong juga sudah berkomplot dengan
banyak orang yang hadir itu, demi dilihatnya pengikut sang
Suheng juga masih cukup banyak, tentu saja ia kurang
senang, tapi apa boleh buat, terpaksa ia berkata dengan
dingin: "Suheng, bagaimana keputusanmu?"
Tapi Hoat-ong menjawab: "Sute, aku ingin mendengar dulu
bagaimana pendapatmu?"
"Sudah tentu aku setuju menerima maksud baik baginda
raja Nepal itu," sahut Beng-lun-ong. "Urusan ini lebih banyak
paedah-nya bagi kita dan sedikit ruginya, kenapa mesti raguragu?"
Tiba-Tiba salah satu Hou-hoat-tecu yang lain " Kabiro,
telah berbangku dan membuka suara: "Agama kita
sebenarnya diberdlri-kan di Tibet dan merupakan tiga sekte
utama bersama Ang-kau dan Wi-kau. Belakangan Wi-kau
(agama kuning) berkembang pesat dan tambah pengaruh,
Pek-kau kita lantas diusir keluar Tibet. Selama ratusan tahun
kita terpencil di suatu wilayah kecil di Jinghay sini dengan
perasaan tertekan. Kini kebetulan ada kesempatan baik untuk
mengembangkan agama kita, mana boleh kita kesampingkan
begini saja?"
Segera Yap To, salah satu Hou-hoat-tecu yang lain juga
berdiri dan angkat b"icara: "Pendirian Khong-jiok-ong dan
Suheng Kabiro memang benar. Coba pikirkan keadaan kita
sekarang ini, sampai kapan baru kita dapat mengembalikan
kejayaan agama kita" Wi-kau boleh dikata sudah berakar kuat
di Tibet, mereka disokong pula oleh pemerintah Born dan
mengadakan suatu peraturan "inkarnasi budha hidup",
kesemuanya itu terang tiada memberi tempat berpijak lagi
bagi kita Dan kalau kita takdapat kembali ketanah leluhur,
mengapa tidak cari tempat lain untuk mengembangkan masa
depan yang jaya?"
Pembicaraan kedua Hou-hoat-tecu yang beralasan ini
ternyata banyak juga pengaruhi perasaan paderi-paderi yang
hadir disitu, suasana sidang seketika berubah banyak
menguntungkan bagi pihak Khong-jiok Beng-lun-ong.
Tapi Hou-hoat-tecu yang pertama lantas berdiri dan bicara
lagi: "Menurut Susiok tadi, katanya urusan ini akan
menguntungkan kita, tapi menurut pendapatku, bany?k halhal
yapg masih harus disangsikan!"
Beng-lun-ong menjadi gusar, dengan mata membelalak ia
menanya: "Apa yang kau sangsikan" Baginda raja Nepal sudah
membangunkan sebuah istana bagi kita dikotarajanya, bahkan
aku sendiri yang mengawasi pembangunan istana itu disana,
masakah, kau masih menyangsikan maksud baiknya yang
tulus itu?"
Dengan tenang Siuco (tempat utama) Hou-hoat-tecu itu
menjawab: "Aku bukan menyangsikan raja Nepal tidak bisa
dipercaya, tapi aku pikir mengapa dia bersedia berbuat
demikian baiknya pada kita! Apa benar disebabkan dia
menghormati agama kita" Ha, kukira belum tentu, aku justeru
menyangsikan dia mempunyai maksud tujuan lain."
"Ha, itu kan kau mengukur diri orang lain atas badanmu
sendiri?" ujar Beng-lun-ong.
"Sute, hendaklah jangan kau mencela dia dulu, urusan ini
kalau memang akan diserahkan pada sidang terbuka ini, maka
setiap orang harus diberi kesempatan untuk mengemukakan
pendapatnya" demikian kata Hoat-ong.
Maka Siuco Hou-hoat-tecu lantas menyambung: "Yang
kusangsikan ialah raja Nepal bermaksud mengadu-dombakan
antara kita dengan Wi-kau dan dia yang akan mengeduk
keuntungannya dari pertengkaran kita itu. Diantara para
Tianglo yang hadir sekarang ini tentu belum lupa pada
kejadian 20-an tahun yang lalu, waktu itu raja Nepal pernah
mengerahkan pasukan tentaranya menyerbu ke Tibet hingga
terjadi peperangan yang mengerikan, syukur kemudian
pasukai Tong keburu tiba, ditambah Teng Keng-thian suamiisteri
ikut campur tangan untuk mendamaikan persengketaan
bersenjata itu hingga perdamaian dapat dipulihkan kembali.
Tatkala itu raja Nepal juga pernah memancing dengan
macam-macam janji yang muluk-muluk katanya kita akan
dibantu untuk kembali ke Tibet, syu-kurlah Sucun (guru) tidak
terperangkap oleh pancingannya itu hingga terhindar daripada
malapetapa. Dengan bercermin kepada pengalaman dahulu
itu, masakah sekarang kita malah mengulangi kesalahan itu
lagi." "Kejadian itu sudah lalu, tapi sekarang kita diminta
berpindah kenegerinya serta akan diangkat sebagai agama
negara mereka, hal ini toh tidak berarti kita diminta membantu
dia mengagresi ke Tibet, kenapa kau mesti banyak sangsi
segala?" demikian sahut Beng-lun-ong.
"Bukanlah Tecu banyak bersangsi," sahut Siuco Hou-hoattecu,
"tapi raja Nepal yang sekarang ini tak-lain-tak-bukan
adalah raja Nepal yang dulu menyerbu Tibet itu. Ketika itu
karena posisinya terdesak, terpaksa ia menarik kembali
pasukannya, dan kini siapa berani menjamin bahwa dia tiada
maksud buat menyerbu ke Tibet lagi" Ada pula suatu alasan,
kita turun-temurun dilahirkan dan dibesarnya disini, sejelekjeleknya
tempat ini juga tetap tanah air kita; tetapi bila kita
jauh datang kenegeri asing, hidup dibawah naungan orang
lain, sekalipun dapat hidup mewah dan berkeduduk an tinggi,
tapi apa artinya jika misa!kan pohon yang tumbuh rindang
tanpa akar?"
"Ha, kalau menurut logikamu itu, apa para nabi dan guru
agama dari jaman dulu yang telah menjelajahi negeri-negeri
asing, apakah itupun tiada harganya buat ditiru?" demikian
debat Beng-lun-ong. "Kita kenal nama-nama Hoat-hian dan
Hiancong dari negeri kita sendiri yang jauh pergi kenegeri
Thian-tiok dibarat, kitapun kenal Tat-mo Cosu dan lain-lain
yang jauh dari barat datang kemari. Jika menurut pendapatmu
yang cupet itu, mana mungkin mereka meninggalkan nama
harum yang abadi?"
Sebagai seorang terpelajar, pula contoh-contoh yang
dikemukakan itupun paderi-paderi saleh yang terkenal bagi
setiap anak murid Budha, maka Siuco Hou-hoat-tecu menjadi
kewalahan oleh jawaban Khong-jiok Beng-lun-ong itu, hatinya
sebenarnya masih penasaran, tapi susah untuk mendebat.
Tiba-Tiba Hoat-ong berbangkit dan berkata dengan
pelahan-lahan: "Su-te, paderi-paderi saleh yang kau sebut itu
memang harus dipuji dan dikagumi. Tapi contoh yang kau
kemukakan itu tidak boleh disamaratakan dengan urusan
harini Hoat-hian dan lain-lain yang kau sebut itu mengadakan
perjalanan muhibah dalam kedudukan sebagai diri pribadi
mereka, tujuan mereka adalah menyebarkan agama dan
mengambil kitab. Sebaliknya raja Nepal sekarang
menghendaki kita seluruhnya hijrah kenegaranya untuk
mend"rikan sekte agama tersendiri disana, bukankah ini cukup
jelas ingin kita berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah
dengan Wi-kau dari Tibet" Maka menurut pendapatku, apa
yang dikatakan Sipoti (nama Siuco Hou-hoat-tecu) ada
harganya untuk direnungkan. Hendaklah kita ja-ngan mau
diperalat orang lain. Kiia bersama Wi-kau sama-sama
mengabdi pada tanah iar sendiri, biarpun ada ketidak cocokan,
paling banyak itu cuma perselisihan paham diantara saudara
sendiri. Tapi kalau kita mengabdi pada suatu negeri secara
tersendiri-sendiri dan terpecah-belah, kedudukan masingmasing
sama-sama "Budha Hidup" yang di agungkan, maka
perpecahan kita akan mudah dipergunakan oleh kaum ambisi
untuk mengacaukan suasana. Pula menurut dugaanku, raja
Nepal hakikatnya tidak mengutamakan ajaran agama kita, tapi
ia penujui ilmu silat dari aliran kita, ia berharap dengan,
penggabungan kita kenegerinya, tentu kekuatannya akan
banyak bertambah. Eh, Sute, kabarnya selama beberapa
tahun kau tinggal di Nepal sama sekali engkau tidak pernah
mengadakan khotbah, sebaliknya engkau telah melatih 300
orang Busu bagi raja Nepal, betul tidak kabar ini?"
Beng-lun-ong tampak merah jengah, sahutnya: "Raja
Nepal menghormati aku sebagai Kok-su (imam negara) dan
apa yang kukerjakan baginya adalah sekadar balas jasa saja.
mengapa soal kecil inipun Suheng perlu tegur padaku?"
"Bukan aku sengaja menegur kau," sahut Hoat-ong, "aku
hanya kemukakan sebagai contoh saja untuk menjaga segala
kemungkinan dikemudian hari. Coba pikirkan, jikalau kita jadi
hijrah ke Katmandu dan mendirikan sekte agama serta
mengabdi pada raja Nepal, pabila pada suatu ketika dia akan
menyerbu Tibet, lantas bagaimana kita harus berbuat" Jika
kita tinggal diam-diam, itu" berarti tidak tahu budi, sebaliknya
kalau membantu dia yang terang-terangan adalah agresor, itu
berarti Pek-kau kita akan saling gempur sendiri dengan Wikau,
hal ini lebih-lebih tidak boleh jadi. Sebab itulah, carippada
dihadapkan pada kesulitan-kesulitan dilain hari. adalah lebih
baik kita hidup aman tenteram sebagai sekarang ini".
Dan sesudah berhenti sebentar, lalu Hoat-ong melanjutkan:
"Malahan setahuku, raja Nepal sudah berserikat dengan raja
negeri Masar, daiam pertemuan di Kim-eng-kiong pada
tanggal 15 bulan ini jago-jago pilihan Nepal akan hadir juga
secara besar-besaran. Raja Masar mempunyai ambisi ingin
merajai benua barat sini, hal ini sudah cukup diketahui umum.
Dan raja Nepal mengadakan hubungan erat dengan dia, apa
maksud tujuannya rasanya tidak dapat tidak dicurigai. Sebagai
anak murid Budha, kita paling pantang dalam hal gila harta
dan pangkat, apalagi paedahnya belum kelihatan, sebaliknya
bahayanya sudah nyata. Sebab itulah aku lebih suka
ketenteraman, maksud baiknya hendak mengangkat aku
sebagai "Budha Hidup" terpaksa aku menolaknya dengan
terima kasih."
Uraian Hoat-ong ini cukup tajam, alasannya juga cukup
serta masuk diakal, maka suasana sidang seketika berubah
pula. Cuma banyak juga diantara paderi-paderi itu memang
kemaruk kepada kedudukan dan hidup mewah, apalagi syarat
yang diajukan raja Nepal itu sangat baik, yaitu Pek-kau akan
diterima sebagai agama negara dan Hoat-ong akan diangkat
menjadi "Budha Hidup", sudah tertu syarat ini merupakan
umpan yang paling jitu, sebab itulah penyokong Beng-lun-ong
juga tidak sedikit jumlahnya. Dengan demikikian para paderi
itu telah terbagi menjadi dua aliran, suasana sidang mendiaai
bergolak dan ramai saling mempertahankan pendirian masingmasing.
Dengan muka merah padam Beng-lun-ong mendadak
berseru; "Suheng, engkau adalah ketua agama, sudah
seharusnya kami menghargai pendirianmu, tetapi ada sesuatu
bentiana yang segera juga akan menimpa kita, dan cara
bagaimana pula engkau akan menghadapinya?"
Keterangan ini seketika membikin suasana sidang menjadi
sunyi kembali, sinar mata setiap orang diarahkan kepada
Beng-lun-ong dengan penuh pertanyaan.
Maka berkata pula Beng-lun-ong dengan pelahan-lahan:
"Suheng, kukira urusan ini tak bisa ditutup-tutupi lagi, biarlah
aku mengumumkan saja."
Dengan sikap tawar tanpa keberatan apa-apa Hoat-ong
menjawab: "Boleh juga kau katakan kepada mereka."
Lalu Beng-lun-ong melanjutkan bicaranya menghadap
orang banyak: "Kecuali sudah tiga kali raja Nepal mengirim
utusannya untuk menghubungi Suheng, mereka sebenamya
juga telah melakukan tugas-tugas rahasia lain. Sebenarnya
urusan ini tidak pantas kukatakan, tapi kebetulan rahasia itu
sebentar lagi juga akan terbongkar, maka akupun tidak perlu
kuatir untuk mengatakan kepada kalian.
"Mungkin diantara kalian banyak juga yang tahu bahwa raja
Nepal adalah saudara misan Peng-choan Thian-li. sesudah
beliau naik tahta, telah beberapa kali beliau berusaha
mengundang Peng-thyoan Thian-li pulang ketanah-airnya, tapi
Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
selalu Peng-choan Thian-li menolaknya Oleh karena itulah
terpaksa baginda raja Nepal menempuh jalan lain, lebih dulu
ia "mengundang" puteranya Peng-choan Thian-li dan seorang
dayang kepercayaannya, yaitu isterinya Tan Thian-ih, ke
Nepal. Dan kedua tugas rahasia itu telah dilaksanakan dengan
baik oleh utusan-utusan raja Nepal itu. Dikala mereka
melakukan tugas rahasia itu adalah tepat bersamaan waktu
mereka menjadi tamu istana Orsim kita ini. Dengan lain
perkataan, gereja kita ini telah dipakai sebagai tempat
perlindungan mereka."
Sesudah Beng-lun-ong membongkar rahasia itu, baru kini
Thian-ih sadar: "Kiranya isteriku telah diculik oleh utussn yang
dikirim raja Nepal, pantas waktu Kang Lam menanyakan Hoatong
juga raja agama itu tidak berani mengatakan terus
terang. Malahan mereka juga telah menculik puteranya Teng
Keng-thian. Tapi aneh, waktu aku datang ke Thian-san
mengapa Tong Hiau-lan tidak mengatakan apa-apa!"
Rahasia itu juga rupanya diketahui oleh Hou-hoat-tecu dan
beberapa paderi lain yang berkedudukan agak tinggi,
selebihnya tiada yang tahu. maka demi mendengar kejadian
itu, mereka menjadi heran dan kuatir pula.
Menyusul Beng-lun-ong menyambung bicaranya lagi:
"Sesudah Tan Thian-ih kehilangan isteri, sudah tentu ia
mencari kemana-mana. Ia mempunyai seorang sobat kental,
yaitu Sin-thau Ki Hiau-hong yang terkenal, Pencuri itu
memang setan cerdik, entah darimana ia mendapat kisikan
hingga diam-diam menyelidiki gereja kita ini dan berhasil
mernpergoki kedua utusan dari Nepal itu. Tidak lama
kemudian Thian-ih dan seorang kawannya yang lain bernama
Kang Lam juga datang kemari untuk tanya kepada Suheng,
waktu itu Suheng sudah memberi jawaban tidak tahu-menahu
akan urusan itu, sudah tentu pihak sana tidak percaya. Dan
mereka itulah kembali sudah datang pula harini. Malahan
begundalnya sudah tambah seorang pemuda yang telah
diketahui adalah muridnya Kim Si-ih Para Lama kita sudah ada
lima orang yang terluka ditangan mereka. Kabiro, coba
ceritakanlah pengalamanmu itu!"
Kabrio adalah salah satu daripada ketiga Hou hoat-tecu
yang pro Beng-lun-ong, yaitu Lama yang hendak menangkap
Ki Hiau-hong ketika kepergok dipadarg pasir itu. Segera ia
berdiri dan mencerita kan apa yang telah dialaminya.
Baru sekarang Ki Hiau-hong tahu bahwa jejak mereka
ternyata sudah dalam pengawasan Beng-lun-ong. Ia senang
dan heran pula. Senangnya karena Beny-lun-ong itu juga
kenal akan namanya, herannya mengapa berita Beng-lun-ong
itu begitu cepat, padahal ia baru pulang dari Nepal.
Ki Hiau-hong tidak tahu bahwa jejaknya bersama Kang Kaythian
selalu didalam pengawasan pemilik Kim-eng-kiong. Dan
sebelum Beng-lun-ong pulang keistana Orsim. lebih dulu ia
telah menemui Kok-su dari negeri Masar itu di Kim-eng-kiong
dari itu ia tahu serba lengkap gerak-gerik Ki Hiau-hong dan
Kang Hay-Thian.
Dalam, pada itu terdengar Kabiro sedang berkata pula:
"Murid Affandi bersekongkol dengan musuh dan dapat
kupergoki, untuk mana Tecu telah menangkapnya, harap
Kaucu suka memberi keputusan."
Tiba-Tiba Hoat-ong mengkerut kening, katanya: "Ki Hiauhong
juga takbisa dianggap sebagai musuh kita, sedang
Affandi adalah menjalahkan perintahku agar menyuruh Ki
Hiau-hong meninggalkan wilayah kita ini, maka jangan kau
mengada-ada, lekas beritahukan Ciang-heng-tecu (anak murid
bagian hukum) agar membebaskan Affandi!"
Kabiro menjadi kemalu-maluan dan lekas undurkan diri.
Dengan suara keras Beng-lun-ong lantas berkata pula:
"Suheng, sebenarnya apa yang kau pikirkan" Kita sekarang
sudah terlibat dalam persengketaan itu, tidak mungkin kita
berpeluk tangan belaka. Pabila kau tidak anggap Ki Hiau-hong
sebagai musuh, apakah mesti memandang raja Nepal sebagai
musuh kita?"
Hoat-ong menunduk dan memikir, agaknya iapun serba
sulit menghadapi urusan yang serba salah itu.
Beng-lun-ong sangat senang, segera ia berkata pula:
"Tentang Ki Hiau-hong itu tidak perlu dipikirkan Sebaliknya
kalau perbuatan kita tersiar tentu akan membawa bencana
yang tidak kecil bagi agama kita. Bukanlah aku sengaja
menakut-nakutkan kalian, tapi bencana itu mungkin sudah
mendekat. Muridnya Kim Si-ih sudah muncul, lambat atau
cepat Kim Si-ih tentu juga akan datang. Kiin Si-ih adalah iblis
yang terkenal keji dan ganas, bila mengetahui bahwa isteri
sobatnya diculik oleh anak murid kita, masakah dia mau
berpeluk tangan saja" Apalagi urusan inipun menyangkut
Thian-san-pay. Ciangbunjin dari Thian-san-pay, Teng Hiau-lan
adalah pemimpin dunia persilatan, ia lebih susah dilawan
daripada Kim Si-ih. Jika dia mengetahui cucunya diculik orang
kita, bagaimana akibatnya jika dia memimpin tokoh-tokoh
persilatan menuntut balas kemari?"
Mendadak Hoat-ong berbangkit dan berseru: "Aku sudah
ambil keputusan, jikalau Teng Hiau-lan dan Kim Si-ih datang
kemari, aku akan minta maaf kepada mereka, andaikan
mereka tidak datang, tentu juga aku akan mencari Tan Thianih
untuk menjelaskan duduknya perkara kepadanya."
"Meminta maaf?" Beng-lun-ong menegas. "Engkau adalah
Kaucu, kedudukanmu sejajar dengan Dalai Lama dan Pankhen
Lama, mana boleh kau sembarangan minta maaf" Jikalau kau
tidak menghargai dirimu lagi, seharusnya juga Suheng mesti
menghargai agama kita sendiri."
"Ya, memangnya itupun kesalahanku, aku salah pikir waktu
itu karena mengingat utusan raja Nepal itu adalah tamu yang
harus dihormati, tindak-tanduk mereka tidak pantas kalau
dibatasi hingga akhirnya terjadilah kesalahan besar itu. Kalau
sekarang aku menutupi perbuatan mereka itu, itu berarti
sudah salah ditambah salah lagi".
"Sebenarnya itupun bukan salahmu. Sucun," tiba-tiba Siuco
Hou-hoat-tecu ikut berkata. "Peng-thyoan Thian-Ii adalah
saudara misan raja Nepal, jika raja Nepal "mengundang"
puteranya dan dayang-nya kembali kenegerinya, maksudnya
tiada lain ialah ingin Peng-choan Thian-li pulang ketanah air
asalnya. Apakah perbuatan itu salah atau tidak itu adalah
urusan negeri mereka dan kita adalah orang luar, tidak pantas
ikut campur. Soalnya cuma secara kebetulan kita terlibat
dalam perbuatan mereka itu. Maka akupun setuju pendirian
Sucun tadi, kita akan umumkan duduknya perkara yang
sebenarnya, dan itupun tidak berarti mengaku salah dan minta
maaf." "Sudahlah, tidak perlu kau membela diriku," sahut Hoatong.
"Kedua utusan Nepal itu tinggal digereja kita sini, apa
yang mereka perbuat harus menjadi tanggung-jawabku. Kalau
salah ya tetap salah, kenapa tidak berani minta maaf?" Sampai
disini, lalu ia berpaling kepada sang Sute dan berkata pula:
"Sedang mengenai membela nama baik agama kita seperti
kehendakmu tadi, memang ini wajib. Aku telah berbuat salah
hingga membikin nama baik agama kita tercemar, sungguh
aku merasa tidak tenteram, maka aku sudah ambil keputusan
buat mengundurkan diri sebagai Kau-cu sangkut-paut dengan
agama kita. Dengan demikian mungkin nama baik agama kita
dapat dipertahankan."
Hoat-ong sangat banyak mendapat dukungan anak murid
Pek-kau, dalam urusan hijrah ke Nepal ini timbul perselisihan
pendapat dengan sang Sute, maka banyak juga anak
muridnya condong kepada pendirian Beng-lun-ong. Tapi kalau
kedudukan Kaucu mesti dikorbankan, ini sekali-sekali bukan
kehendak mereka. Sebab itulah ucapan Hoat-ong itu telah
membikin geger ruangan sidang itu. Serentak para Lama itu
menyatakan ketaatan mereka kepada Hoat-ong dan minta
maksud mengundurkan diri itu dibatalkan Berulang-ulang
Hoat-ong memberi tanda agar para Lama tenang, dengan
demikian suasana menjadi reda kembali.
"Suheng, engkau adalah pilihan orang banyak, tentang
mengundurkan diri itu jangan dikemukakan saja, biarlah kita
berunding lagi secara mendalam dulu," demikian kata Benglunong. Ia sengaja pura-pura meminta sang Suheng tetap pada
jabatannya, dengan demikian orang-orang yang pro Hoat-ong
menjadi tidak terlalu sirik lagi padanya.
Lalu Beng-lun-ong berkata pula: "Suheng, menurut
pendapatku, biarpun kau berani mengaku salah dan minta
maaf, mungkin urusan inipun susah diakhiri. Pertama pihak
lawan sudah naik darah, belum tentu mereka mau berhenti
sampai disini saja, lebih-lebih Kim Si-ih terkenal sebagai iblis
yang selamanya tidak kenal apa artinya "cengli". Kedua, meski
Suheng menyatakan bersedia tanggung-jawab kesalahan itu,
tapi orang lain belum tentu sependapat dengan kau. Pendek
kata, sekali Suheng mengaku salah, pamor agama kita pasti
akan merosot, bukan mustahil tempat berpijak kita di Jing hay
inipun akan sulit dteruskan jika tidak mencari jalan keluar yang
lain. Ketiga, dan ini paling penting, pabila engkau
membongkar rahasianya raja Nepal, itu berarti kita telah
memusuhi dia Suheng boleh menolak tidak mau dijadikan
"Budha Hidup", tapi hari depan agama kitapun akan berarti
putus harapan sejak kini. Suheng. ini adalah kesempatan yang
susah ditiari, harap sekali lagi engkau pikirkan masak-masak
demi kepentingan agama kita".
Hoat-ong merenung sejenak, katanya kemudian:
"Keputusanku sudah bulat, pertama aku tidak mau pergi ke
Nepal, kedua aku harus mengumumkan duduknya perkara.
Oleh karena urusan ini menyangkut kepentingan agama kita,
maka akupun tidak ingin memaksakan kehendak kalian.
Sekarang kedua pihak sudah sama-sama mengemukakan
alasan masing-masing, boleh terserah kepada kalian untuk
memikirkan lebih masak, pabila dupa yang kunyalakan ini
padam, segera kita akan mengambil keputusan terakhir."
Seketika ruangan sidang itu hening kembali, perasaan
setiap orang timbul pertentangan antara "berdiri diatas kaki
sendiri demi tanah air" atau "mengabdi kepada negeri asing
dengan janji-janji muluk-muluk. Tapi manusia tetap manusia,
paderi-paderi itu juga manusia, betapapun mereka juga
mengiler kepada syarat-syarat yang diajukan raja Nepal itu
yang menjanjikan akan memberi kedudukan tinggi dan hidup
mewah. Sinar mata para Lama itu sama tertuju kepada dupa yang
dipakai sebagai batas waktu itu. Satu senti demi satu senti
dupa itu menyurut hingga akhirnya terbakar menjadi abu
semua. Lalu berkatalah Hoat-ong: "Sekarang silakan yang pro
pergi ke Nepal berdirilah disisi sana dan yang setuju tetap
tinggal disini boleh diam saja tak usah bergerak."
Beng-lun-ong yang mulai berdiri dan menyingkir kesisi sana
disusul dengan Lama-Lama yang menyetujui pendiriannya itu.
Ada beberapa Lama yang ragu-ragu, sudah menggeser sampai
setengah jalan, lalu balik kembali.
Selang sebentar, pengikut kedua belah pihak sudah terang
terbagi. Segera Hoat-ong memerintahkan Siuco Hou-hoat-tecu
menghitung jumlah masing-masing. Ternyata yang setuju ikut
pergi ke Nepal adalah 508 orang dan yang ingin tetap tinggal
ditanah air sendiri ada 503 orang. Jadi pihak Beng-lun-ong
telah menang, jumlah pengikutnya lebih banyak lima orang
Nyata lebih banyak manusia yang kemaruk kepada harta dan
kedudukan daripada menjaga martabat bangsa dan tanah air.
Dengan wajah muram Hoat-ong berbangkit dan katanya:
"Sute. silakan kau naik tahta saja, aku bersedia menyerahkan
kedudukan ku ini kepadamu, mulai saat ini engkau adalah
Kaucu kita."
Walaupun dalam hati sangat girang, tapi lahimya Beng-lunong
pura-pura menolak: "Ai, masakan Siaute cocok untuk
menerima jabatan seberat itu, harap Suheng batalkan
niatanmu itu."
Dengan sungguh-sungguh Hoat-ong berkata: "Pendirianmu
telah disokong oleh jumlah yang lebih banyak, engkau juga
lama berhubungan baik dengan raja Nepal, selanjutnya jika
agama kita hijrah kenegerinya, jabatan Kaucu ini dengan
sendirinya lebih cocok dipangku oleh kau. Sute, urusan sudah
diputuskan, harap engkau jangan menolak lagi."
Tentang kemungkinan Hoat-ong akan menyerahkan tahta
Kau-cu kepada sang Sute memang sudah dalam dugaan para
Lama itu, maka hal itu tidak menjadikan bergolaknya suasana
sidang. Hanya ada beberapa orang diantaranya yang diamdiam
berduka dan menyesal-kan kejadian itu.
Dengan lagak yang seakan-akan terpaksa, akhirnya
berkatalah Khong-jiok Beng-lun-ong: "Jikalau keputusan
Suheng sudah begitu teguh, terpaksa Siaute menerimanya
juga." Habis itu, dibawah dukungan Kabiro dan Hou-hoat-tecu
yang lain, Beng-lun-ong di songsong keatas tahta yang
diduduki Hoat-ong tadi.
Segera Hoat-ong memimpin para Lama memberi hormat
kepada Kaucu baru, lalu katanya: "Aku telah berbuat
kesalahan, silakan Kaucu memberikan hukuman."
"Sekarang tujuan agama kita sudah nyata, selanjutnya
adalah agama negara Nepal," demikian kata Beng-lun-ong.
"Suheng, engkau pernah membantu pelaksanaan tugas utusan
yang dikirim baginda raja, jasamu justeru sangat besar,
darimana engkau pernah berbuat salah" Sudahlah, urusan itu
selnjutnya dianggap selesai dan jangan diungkat lagi."
Sungguh perasaan Hoat-ong sangat tertekan, ia pandang
sekejap pada sang Sute, lalu katanya pula dengan pelahan:
"Terima kasih atas kemurahan hati Kaucu. Tapi harap Kaucu
mengizinkan aku yang berdosa ini meninggalkan agama kita."
"Akupun tidak ingin ikut pergi ke Nepal, maka harap Kaucu
suka meluluskan permintaanku untuk mendampingi Sucun,"
demikian Siuco Hou-hoat-tecu lantas berkata juga.
Beng-lun-ong tampak mengkerut kening, katanya
kemudian: "Baik lah, jika memang demikian kehendak Suheng,
akupun tidak enak untuk merintangi maksudmu ini, bolehlah
kau membawa pergi Si-poti, tapi yang lain-lain hendaklah
tetap pada tempat masing-masing". Lalu sambungnya pula:
"Kabiro, sekarang boleh kau undang kemari para utusan raja
Nepal itu untuk diperkenalkan kepada orang banyak. Eh,
Suheng, apakah engkau masih ingin menemui mereka?"
Mendengar itu, baru sekarang para Lama itu tahu bahwa
utusan-utusan Nepal itu masih tinggal didalam gereja mereka,
bahkan jumiah-nya tidak cuma seorang saja.
Maka terdengar Hoat-ong telah menjawab: "Tidak perlulah."
Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nanti dulu, Suheng," tiba-tiba Beng-lun-ong mencegahnya
ketika Hoat-ong hendak pergi bersama Sipoti.
"Kaucu ada pesan apa lagi?" tanya Hoat-ong.
"Jumlah penghuni gereja kita ini seluruhnya ada berapa?"
tanya Beng-lun-ong.
"Dapat diperiksa dalam buku pendaftaran," sahut Hoat-ong.
"Tidak, aku ingin tahu sekarang juga, apakah Suheng ingat
jumlahnya?" tanya Beng-lun-ong.
Hoat-ong memikir sejenak, sahutnia kemudian: "Termasuk
kita berdua, seluruhnya ada 1031 orang.
"Dan yang tak hadir pada saat ini ada berapa orang?" tanya
pula Beng-lun-ong.
Segera Sipoti mewakilkan menjawab: "Kecuali penjaga yang
ditugaskan keluar serta yang jatuh sakit, yang tak hadir
sekarang ada 24 orang. Dari ke-24 orang ini sudah kutanya
pendirian mereka. Ternyata jumlahnya separoh-separoh yang
pro dan yang tidak setuju ikut ke Nepal. Maka hadir atau tidak
suara mereka takkan pengaruhi pemungutan suara tadi."
Sebagai seorang jujur, meski Sipoti mendukung sang guru
yg sudah kalah suara itu, tapi tetap dikatakannya dengan
terus terang. Tapi Beng-lun-ong mendadak berseru: "Jika begitu,
mengapa jumlah kita ada kelebihan empat orang?"
Keruan Siuco-tecu itu terkesiap, cepat ia tanya: "Mengapa
bisa lebih empat orang?"
"Ya, boleh coba kau menghitung sendiri," ujar Beng-lunong.
"Katanya jumlah paderi gereja kita adalah 1031 orang,
yang tak hadir ada 24 orang, jadi yang hadir sekarang
seharusnya 1007 orang, bukan?"
Siuco-tecu mengangguk tanda membenarkan.
Maka Beng-lun-ong melanjutkan pula: "Dan tadi kau telah
menghitung suara kedua belah pihak, yang setuju pergi ke
Nepal ada 508 orang dan yang anti berjumlah 503 orang,
jumlah seluruhnya menjadi 1011 orang. Bukankah jumlah itu
ada lebih 4 orang?""
"Cari mata-mata musuh, cepat!" mendadak Siuco-tecu itu
berteriak. Keruan Ki Hiau-hong terkesiap, baru ia pikir Beng-lun-ong
itu memang seorang cerdik, mendadak Kabiro telah melompat
kehadapannya sambil membentak: "Disini adalah seorang
mata-mata musuh dari Wi-kau!"
Darimanakah mendadak Kabiro dapat mengetahui jejak Ki
Hiau-hong" Kiranya itu disebabkan kedok yang dipakai Ki
Hiau-hong itu adalah bekas kulit muka seorang anak murd
Dalai Lama yang ditangkap oleh suku pemburu kepala
manusia ditengah rimba raya itu serta telah dibeset kulit
mukanya, tapi kena dicuri oleh Ki Hiau-hong dan dipakainya
sekarang ini. Lama dari Wi-kau itu pernah dikenal oleh Kabiro
dalam suatu upacara adat, maka kini mendadak Ki Hiau-hong
disangka sebagai murid golongan Dalai Lama itu.
Begitulah sebagai salah satu dari empat Hou-hoat-tecu,
ilmu silat Kabiro dengan scndirinya tidak rendah, maka dalam
kejutnya jadi hampir saja Ki Hiau-hong kena ditiengkerem
olehnya. Untung Kang Lam berdiri disisi sang Toako itu, begitu
melihat gelagat berbahaya bagi Ki Hiau-hong, segera ia
bertindak terus menutuk dari samping.
Ilmu tutuk yang dipakai Kang Lam itu adalah ajaran Kim Siih
yang tiada bandingannya, begitu kena tertutuk, seketika
tubuh Kabiro terasa kaku dan lumpuh, tangannya yang
ketelanjur diulur itu tidak sempat lagi diturunkan kembali,
dengan tidak berkutik, maka gayanya menjadi agak lucu
tampaknya. Dengan demikian jejak Kang Lam menjadi diketahui pula
oleh musuh. Para Lama lantas berteriak: "Ini dia ada seorang
mata-mata musuh lagi! Hayolah lekas tangkap!" Dan beramairamai
Ki Hiau-hong dan Kang Lam lantas terkepung ditengahtengah.
Tapi Hiau-hong dan Kang Lam serentak mainkan
Thian-lo-poh-hoat sambil punggung menghadap punggung,
mereka menggeser kekanan dan kekiri, maju dan mundur
secara aneh dan cepat hingga para pengepung itu dibikin
pusing dan ikut berputar-putar, akhirnya para Lama itu saling
tumbuk sendiri dan menjerit kesakitan.
Sesudah mempermainkan sejenak Lama-Lama itu, selagi Ki
Hiau-hong hendak menerobos keluar dari kepungan itu, tibatiba
dari depan dipapak oleh suatu tenaga kuat, cepat Hiauhong
menangkis dengan kedua tangannya, tapi tenaga itu
teramat dahsyat, tangkisannya ternyata kalah kuat, tanpa
berdaya ia tertangkap musuh dan kena di-tutuk hingga tak
berkutik. Ternyata orang yang menangkap Ki Hiau-hong itu adalah
Khong-jiok Beng-lun-ong. Sesudah Ki Hiau-hong tertangkap
olehnya, se-gera ia lemparkan tawanan itu ketanah, menyusul
Kang Lam di-cengkeramnya lagi.
Tatkala itu para Lama telah mundur kesamping dengan
cepat, meski jarak Beng-lun-ong dengan Ki Hiau-hong cukup
jauh, tapi cengkeraman dari jauh itu ternyata tidak kurang
hebatnya daripada mencengkeram dari dekat. Seketika Kang
Lam merasa tersedot oleh suatu arus tenaga dan tertarik
kejurusannya Beng-lun-ong.
"Hahaha! Kukira betapa hebat kepandaianmu, makanya
berani mengacau kesini!" dengan terbahak-bahak Beng-lunong
mengejek. Diluar dugaan, baru selesai ucapannya, mendadak suatu
tenaga pukulan menyambar dari samping disertai bentakan
seorang: "Jangan melukai ayahku!" Kiranya itulah Kang Haythian
yang telah melontarkan pukulan Si-mi-ciang-hoat yang
hebat, dimana tenaga pukulan Beng-lun-ong terbentur,
seketika tenaga tarikannya itu dipatahkan.
Diam-Diam Beng-lun-ong terkejut, tapi ia lantas berseru:
"Bagus, kini mata-mata ketiga telah diketemukan lagi!" Sekali
tangannya mein balik, segera ia memotong lagi dari samping.
Kang Hay-thian tidak gentar, "plak", iapun sodorkan telapak
tangannya untuk memapak, ia merasa tangannya seperti
mendempel besi bakaran, tanpa merasa ia tergetar mundur
dengan darah bergolak, rasanya susah ditahan. Sungguh kejut
Hay-thian tak terkatakan, pikirnya: "Pantas Suhengnya dahulu
mampu bertempur sama kuatnya dengan Suhuku, kiranya
iapun begini lihay. Urusan harini tampaknya tidak mudah
untuk diselesaikan."
Sebaliknya Beng-lun-ong sendiri juga tergetar heran,
pikirnya: "Darimanakah Wi-kau mengundang jago selihay ini"
Dari suaranya yang masih kekanak-kanakan tadi, sungguh
susah untuk dipercaya tenaga pukulannya mampu menangkis
seranganku. Sungguh aneh, suaranya yang kekanak-kanakan
tadi tidak sesuai dengan coraknya yang sudah tua, apalagi ia
memanggil orang itu sebagai ayah, benar-benar aneh!"
Dalam pada itu Hoat-ong juga telah sangka Ki Hiau-hong
sebagai anak murid Dalai Lama, diam-diam ia juga heran dan
kuatir pula, pikirnya: "Wah, urusan harini benar-benar ruwet,
jika kurang tepat menyelesaikannya, pasti akan terjadi
pertumpahan darah diantara kedua aliran agama." Dalam
kuatirnya, ia menjadi lupa pada kedudukannya sendiri
sekarang, segera ia berseru: "Sute, berhenti dulu, berhenti!"
"Suheng, sekali engkau sudah keluar dari agama, maka
urusan dalam agama harap engkau jangan ikut campur lagi!"
sahut Beng-lun-ong dengan dingin, tapi serangan-serangannya
tidak menjadi kendur, ia melangkah maju dan menghantam
sekaligus dengan kedua tangannya.
Namun Kang Hay-thian sudah kerahkan tenaga dalam dan
siap menangkis, ia gunakan telapak tangan kanan dengan Simiciang-hot dan jari tangan kiri dengan It-ci-sian-kang, maka
serangan Beng-lun-ong itu dapat dipatahkan pula.
Menyaksikan pertempuran yang susah dilerai itu, diam-diam
Hoat-ong menghela napas. "Sucun, apakah kita tinggal pergi
saja?" tiba-tiba Siutio-tecu bertanya.
Hoat-ong menggeleng kepala dan tidak menjawab. Nyata
sebagai bekas Kaucu puluhan tahun, boleh dikata ia sudah
mendarah-daging bersama agama Putih yang dipimpinnya itu,
apalagi dalam saat penting yang menentukan mati-hidup
agama itu, sudah tentu ia tidak tega tinggal pergi begitu saja.
Akan tetapi ia sekarang sudah bukan Kaucu lagi, menurut
peraturan Pek-kau, sebagai seorang bawahan sekarang ia
takbisa lagi memberi perintah kepada sang Su-te yang telah
menggantikannya sebagai Kaucu. Maka ia menjadi serba salah
dan kehabisan akal.
Pada saat itulah dua Hou-hoat-tecu yang lain masingmasing
telah memayang Kabiro dan menggusur Ki Hiau-hong
kehadapan Hoat-ong. Kiranya kedua Hou-hoat-tecu itu tidak
mampu membuka Hiat-to kedua orang yang tertutuk itu, maka
mereka ingin minta pertolongan kepada Hoat-ong.
Dengan rasa heran Hoat-ong coba memegang nadi Kabiro,
dengan ilmu silatnya yang tinggi, dari denyut nadi yang
tertutuk itu akan dapat diketahuinya Hiat-to mana yang
tertutuk. Akan tetapi ia merasa denyut nadi Kabiro kadangkadang
cepat dan kadang-kadang lambat, kacau tak teratur
Keruan Hoat-ong terkejut, pikirnya: "Aneh, ilmu Tiam-hiat dari
golongan manakah ini" Mengapa aku tidak dapat
menyelaminya?"
Sesudah memikir sejenak, akhirnya ia terus mengerahkan
Lwe-kang sendiri, ia salurkan melalui telapak tangan untuk
menggempur "Thian-ki-hiat" ditubuh Kabiro. Memangnya
kepandaian Kabiro sendiri juga tidak rendah, ditambah lagi
bantuan Lwekang dari Hoat-ong, keruan jalan darahnya
menjadi lancar seketika, Hiat-to yang tertutuk tadi menjadi
terbuka dengan sendirinya.
Tiba-Tiba Hoat-ong bersuara keheran-heranan, dan ketika
dilihatnya Kabiro memandang padanya dengan terlongonglongong,
segera Hoat-ong berkata: "Kau sudah tak apa-apa
lagi, boleh pergilah mengaso saja."
Kiranya saat itu Hoat-ong sedang teringat kepada
seseorang, pikirnya: "Jangan-Jangan Kim Si-ih telah datang?"
Ia pernah bergebrak dengan Kim Si-ih, maka cukup
mengetahui betapa hebat ilmu Tiam-hiatnya Kim Si-ih, sebab
dahulu ia sendiri sudah pernah merasakan pahitnya.
Teringat kepada Kim Si-ih, Hoat-ong terkesiap dan
bergirang pula, ia coba perhatikan, ia melihat kedua orang
yang bertempur dengan sang Sute itu lagi terdesak mundur.
Kembali Hoat-ong melengak, pikirnya pula: "Ah, tidak bisa
jadi. Kedua orang ini terang bukan Kim-tayhiap."
Dan pada saat itulah empat utusan raja Nepal telah
diundang keluar oleh murid kepercayaan Beng-lun-ong.
Dengan jelas Thian-ih dapat mengenali dua diantaranya
memang benar adalah orang-orang yang malam itu
menggerayangi rumahnya serta menculik Yu Peng, yaitu
isterinya itu.. Melihat musuh berada didepan matanya, sudah
tentu Thian-ih menjadi murka, tanpa pikir lagi ia terus tarik
kedoknya serta membentak: "Tan Thian-ih berada disini,
kalian harus kembalikan isteriku!"
Kedua utusan Nepal itupun terkejut, dalam pada itu dengan
cepat luar biasa Thian-ih sudah menyerang dengan tipu
"Siang-liong-cut-hay" (sepasang naga keluar dari lautan),
sekali tusuk berturut-turut dua orang itu diarahnya.
Sebabnya Thian-ih lantas membuka kedoknya, pertama
karena ia merasa dipihak yang benar, ia ingin menghadapi
mereka se-cara terang-terangan; Kedua ia sudah tahu Hoatong
bersedia membantu padanya, maka tidak perlu dituduh
orang sebagai mata-mata musuh. Ia pikir kalau kedua utusan
Nepal itu dapat ditangkap salah seorang saja tentu akan
membikin Khong-jiok-ong merasa jeri dan tidak berani
sembarang bertindak.
Diluar dugaan kedua utusan Nepal itu ternyata bukan kaum
lemah, serangan kilat Tan Thian-ih itu telah dapat dihindarkan
mereka. Malahan utusan yang ketiga segera mengangkat
sebuah Kim-pun (mangkok emas) untuk menangkis serangan
Thian-ih yang lain, berbareng utusan yang keempat lantas
menanggalkan juga kasanya, sekak kasa itu terbentang,
bagaikan selapis awan merah terus saja menutup keatas
kepala Thia Kisah Sepasang Rajawali 29 Pendekar Satu Jurus Karya Gan K L Kisah Bangsa Petualang 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama