Ceritasilat Novel Online

Kisah Si Rase Terbang 2

Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung Bagian 2


, Kim-bian-hud minum
terus obatnya. Dari suara itu, ia mengetahui, bahwa di luar
jendela terdapat musuh yang sedang mengintip gerakgeriknya,
tapi yang tidak berani lantas turun tangan.
"Tak bisa salah lagi mereka tentunya kawan lima orang
itu," kata Biauw Jin Hong di dalam hatinya. "Lima-enam hari
lagi, sedikit pun aku tidak merasa takut. Tapi dalam beberapa
hari ini, kedua kakiku masih belum bisa bergerak dan kalau
yang datang musuh-musuh tangguh, benar-benar sukar dilayani."
Tiba-tiba suatu sinar putih menyambar dari luar jendela
dan sebilah pisau belati, yang pada ga-gangnya diikatkan
selembar kertas, menancap di atas meja. Lam Siocia menjerit
dan lari ke samping Biauw Jin Hong.
Tangan Biauw Jin Hong yang sedang rebah di atas
pembaringan, tak cukup panjang untuk meng-ambil pisau itu
dari tengah meja. Sembari tertawa dingin, ia menepuk tepi
meja. Pisau itu, yang menancap beberapa dim dalamnya,
lantas loncat kira-kira satu kaki tingginya dan jatuh di pinggir
tangan Kim-bian-hud.
"Kim-bian-hud benar-benar lihay!" demikian terdengar
suara orang di luar jendela. Dilain saat, dua orang kedengaran
melompati tembok, disusul dengan terdengarnya derap kaki
kuda yang semakin lama jadi semakin jauh.
Biauw Jin Hong membuka kertas itu yang ter-tulis seperti
berikut: Ciong Tiauw Bun, Tiauw Eng dan Tiauw Leng dari Ouwpak
Utara, menyampaikan hormat yang sebesar-besarnya."
Lam Siocia melihat, ia mengawasi surat itu dengan paras
muka guram, entah jengkel, entah gusar.
"Musuh cari kita?" tanyanya.
Biauw Jin Hong manggut.
"Musuh lihay?" tanya pula si nona.
Kim-bian-hud kembali mengangguk.
"Dia kabur karena melihat cara kau menepuk meja?" tanya
lagi si nona. "Dia bukan musuh, hanya orang suruhan untuk mengantar
surat," jawabnya.
"Dengan kepandaianmuyangbegitu tinggi, mereka tentu
akan merasa jeri," kata Lam Siocia dengan suara kagum.
Biauw Jin Hong tak menyahut, otaknya sedang bekerja.
"Tiga saudara Ciong yang bergelar Kui-kian-cu (Ditakuti setan)
adalah orang-orang yang disegani dan tak mengenal takut,"
pikirnya. "Hanya sayang, kedua lututku masih belura sembuh."
Walaupun mulutnya, mengucapkan kata-kata-nya tadi,
sebenarnya Lam Siocia sangat khawatir. Maka itu, beberapa
saat kemudian, ia berkata pula: "Toako (kakak), apakah tidak
baik jika sekarang kita kabur dengan menunggang kuda,
supaya mereka tak dapat mencari kita?"
Biauw Jin Hong menggeleng-gelengkan kepala-nya, tanpa
mengeluarkan sepatah kata.
Bagaimana mungkin Tah-pian Thian-hee Bu-tek-chiu Kimbianhud Biauw Jin Hong, lari kabur dalam menghadapi
musuh" Ia memang tak banyak bicara, apa pula mengenai
urusan itu, tak guna banyak bicara.
Malam itu, Lam Siocia terus gulak-gulik, tanpa bisa pulas.
Sesudah mengalami gelombang dan ba-dai hebat, sekarang ia
benar-benar memikirkan keselamatan "si orang dusun" yang
kasar. Tapi Biauw Jin Hong sendiri terus pulas dengan
nyenyak dan tenang.
Besokpaginya, Kim-bian-hud mintasemangkok mie dan
sebuah kursi. Sesudah apa yang diminta itu diantarkan
kepadanya, ia segera duduk di ruangan tengah, sedang Hui-ho
Po-to disenderkan di pinggir kursi.
Ia adalah seorang yang sungkan membuat rencana terlebih
dulu, oleh karena kejadian yang sebenarnya sering
menyimpang dari rencana yang sudah ditetapkan. Maka itu, ia
duduk di kursi dan menunggu perkembangan selanjutnya.
Melihat sikapnya yang menyeramkan, Lam Siocia jadi
ketakutan dan mengajukan beberapa per-tanyaan, tapi
sepatah pun tak mendapat jawaban, sehingga si nona tidak
berani menanya lagi.
Pada waktu Sien-sie (antara jam tujuh dan sembilan pagi),
diluar pintu terdengar derap kaki kuda dan tiga orang loncat
turun dari tunggangan mereka, untuk kemudian terus masuk
ke dalam hotel itu.
Melihat dandanan mereka, semua orang jadi terkesiap.
Ternyata, ketiga orang itu masing-masing mengenakan
pakaian berkabung dari kain blacu kasar, dengan topi dan
sepatu putih. Biauw Jin Hong mengetahui, bahwa tiga saudara Ciong
menjagoi di daerah Kengciu dan Siang-yang. Mereka
mempunyai kepandaian yang sangat tinggi, hal mana terbukti
dari kepandaian muridnya - si tukang solder - yang tidak
cetek. Sekarang dengan kedatangan tiga saudara itu sendiri,
Biauw Jin Hong mengerti ia sedang menghadapi lawan berat.
Paras muka mereka sangat mirip dengan yang Iain, ketigatiganya
berwajah putih pucat, berhi-dung besar yang
menghadap ke atas dan perbedaan antara usia mereka hanya
bisa dilihat dari kumis mereka. Yang paling tua, Ciong Tiauw
Bun, ku-misnya berwarna kelabu, yang kedua Ciong Tiauw
Eng berkumis hitam, sedang yang paling muda, Ciong Tiauw
Leng, tidak memeiihara kumis.
Di waktu mereka masuk, Biauw Jin Hong melihat tindakan
mereka enteng luar biasa, seolah-olah tidak menginjak tanah,
sehingga lantas saja ia mengerti, bahwa ketiga lawan itu
benar-benar bu-kan lawan enteng. Selama berkelana di dunia
Kang-ouw, semakin tangguh musuhnya, makin bergelora
semangat Biauw Jin Hong. Sesaat itu, tanpa merasa bukubuku
tulang di sekujur badannya berbunyi peratak-perotok.
Begitu berhadapan, ketiga saudara Ciong lantas menyoja
dalam-dalam seraya berkata: "Biauw Tay-hiap, selamat
bertemu." Kim-bian-hud membalas hormat dan berkata: "Selamat
bertemu. Aku tak bisa berdiri, harap kalian sudi memaafkan."
"Sedang Biauw Tayhiap mendapat luka di lutut, menurut
pantas memang kami tak boleh meng-ganggu," kata Ciong
Tiauw Bun. "Akan tetapi, sakit hati murid kami, tak bisa tidak
dibalas, sehingga kami mohon Biauw Tayhiap suka
memaafkan kami bertiga."
Mendengar itu, Kim-bian-hud hanya mengangguk.
"Kepandaian Biauw Tayhiap kesohor di kolong langit,"
Tiauw Bun berkata pula. "Jika kami bertiga bertempur satu
lawan satu, sudah pasti kami bukan tandingan Tayhiap, Loojie!
Loo-sam! Marilah kita bertiga menyerang dengan
berbareng!"
"Baik," sahut kedua saudaranya dengan berbareng.
Dalam Rimba Persilatan, ketiga saudara Ciong itu
mempunyai nama yang baik. Walaupun cara-cara mereka
aneh, kedudukan mereka dalam kalangan Kang-ouw adalah
tinggi dan disegani oleh banyak orang. Disaat itu dengan
serentak, masing-masing mencabut sepasang Poan-koan-pit
(senjata berben-tuk alat tulis Tionghoa) dari pinggangnya.
Tadi, begitu mereka masuk, para tetamu dan pelayan hotel
sudah menduga, bahwa di ruangan itu bakal terjadi suatu
pertempuran. Sekarang, begitu mereka menghunus senjata,
semua orang lantas saja menyingkir, sehingga ruangan itu jadi
kosong melompong.
Hanya seorang yang tidak bergerak dan orang itu bukan
lain daripada Lam Siocia yang tetap berdiri di suatu sudut.
Bahwa seorang wanita yang sedemikian lemah, sudah berani
berdiri tegak untuk menyaksikan pertempuran itu, sangat
mengharukan hati Biauw Jin Hong. Dan pada detik itulah,
suatu tali pereintaan yang tak dapat dilihat dengan mata
manusia, sudah menyirat erat-erat hati Kim-bian-hud. Oleh
karena sikap yang gagah itu, lenyaplah segala kesangsian
yang mungkin masih terdapat di dalam hati Biauw Jin Hong
untuk mengikat seluruh jiwa dan raganya dengan nona yang
cantik dan lemah lembut itu.
la mesem puas dan segera menghunus Hui-ho Po-to.
Melihat sinar golok yang berkeredepan, ketiga saudara
Ciong serentak memuji: "Benar-benar sebuah golok mustika!"
Dilain saat, mereka sudah menyerang dengan berbareng,
Tiauw Bun dari depan, Tiauw Eng dari samping kiri, sedang
Tiauw Leng dari samping ka-nan. Biauw Jin Hong
melintangkan goloknya tanpa bergerak. Pada saat enam ujung
Poan-koan-pit itu hampir melanggar kulitnya, tiba-tiba saja,
cepat bagaikan kilat, Kim-bian-hud membabat ketiga orang itu
dengan Hui-ho Po-to.
Ciong-sie Sam-heng-tee (tiga kakak beradik she Ciong)
juga sungguh-sungguh bukan lawan tem-pe! Diserang secara
begitu mendadak dan dengan gerakan yang sangat aneh,
mereka toh keburu menyingkir dari babatan golok. Mereka
heran, heran karena mereka sama sekali tidak nyana, bahwa
Biauw Jin Hong, yang kesohor ilmu pedangnya (Biauw-kee
Kiam-hoat, atau ilmu pedang dari ke-luarga Biauw), juga
memiliki ilmu silat golok yang begitu tinggi. Mereka tentu saja
tidak mengetahui, bahwa pukulan yang barusan digunakan
oleh Kim-bian-hud adalah salah semacam pukulan dari Ouwkee
To Hoat (ilmu golok keluarga Ouw), yang didapatnya dari
Ouw It To sendiri.
Pertempuran lantas saja berlangsung dengan hebatnya.
Dengan menggunakan ilmu mengenteng-kan badan yang
sangat tinggi, ketiga saudara itu menyerang bagaikan
gelombang dan kadang-ka-dang loncat menyingkir, jika Biauw
Jin Hong membalas dengan pukulan-pukulan aneh. Tak usah
di-sebutkan lagi, betapa dalam pertempuran itu, Biauw Jin
Hong berada dalam kedudukan yang sangat dirugikan, karena
ia sama sekali tidak dapat mengejar musuh-musuhnya yang
lincah dan gesit. Akan tetapi, meskipun begitu, berkat Hui-ho
Po-to dan kepandaiannya yang sudah mencapai puncak
kesempurnaan, Kim-bian-hud tidak sampai jatuh di bawah
angin. Dengan tenang dan mantap, ia menyapu setiap
serangan. Di dalam hatinya, Biauw Jin Hong yakin, bahwa
untuk merubuhkan musuh-mu-suh itu, ia mesti bisa
melakukan serangan mendadak yang luar biasa cepatnya dan
di luar dugaan musuh-musuh itu.
Akan tetapi, ia juga mengetahui, bahwa Ciong-sie Samhengtee adalah orang-orang yang tidak jahat dan telah
mendapat nama harum dalam ka-langan Kang-ouw. Sebagai
seorang ksatria tulen, sedapat mungkin Biauw Jin Hong tidak
ingin menurunkan tangan kejam terhadap mereka itu.
Di lain pihak, serangan-serangan ketiga saudara itu
semakin lama jadi semakin hebat. Bagaikan hujan, enam
batang Poan-koan-pit menyambar-nyambar ke arah berbagai
jalan darahnya. Sekali lengah, bukan saja nama besarnya
akan habis, lak-sana hanyut disapu air, akan tetapi Lam Siocia
pun mungkin akan menderita dalam tangan ketiga lawan itu.
Memikir begitu, serangan-serangannya juga jadi semakin
hebat dan turun tangannya semakin berat. Melihat tenaga
Biauw Jin Hong yang luar biasa besarnya dan goloknya yang
sangat tajam, ketiga saudara Ciong tidak berani merangsek
terlalu dekat. Ketiga saudara itu menjadi jengkel dan habis sabar.
Mendadak, sembari berseru keras, Ciong Tiauw Bun
menggulingkan badannya dan menye-rang di belakang kursi.
Tak usah dikatakan pula, serangan itu adalah serangan licik,
karena Biauw Jin Hong sama sekali tidak dapat memutarkan
ba-dan. Dengan berbunyi "tak!" sebuah kaki kursi itu patah,
kursinya jadi miring dan tubuh Biauw Jin Hong pun turut
miring. "Celaka!" seru Lam Siocia.
Dalam keadaan berbahaya, tangan kiri Kim-bian-hud
menyambar ke arah muka Ciong Tiauw Eng, yang lantas coba
menyingkir. Mendadak, berbareng dengan berkelebatnya suatu sinar
dingin, sebatang Poan-koan-pit yang dicekal Tiauw Eng dan
sebatang lagi yang dipegang Tiauw Leng, terpapas kutung,
sedang Tiauw Bun juga merasakan pundaknya sakit, tergores
golok! Itulah pukulan In-liong-sam-hiaiv (Tiga kali naga
menampakkan diri) yang didapat dari Ouw It To, semacam
pukulan luar biasa yang dengan sekali membabat dapat
melukakan tiga orang musuh dengan berbareng.
Ciong-sie Sam-heng-tee menyingkir jauh-jauh. Mereka
saling mengawasi dengan perasaan kaget dan kagum.
"Loo-toa, kau terluka?" Tiauw Eng menanya kakaknya.
"Tak apa-apa," jawab sang kakak.
Melihat kursi Biauw Jin Hong sudah miring, Tiauw Bun
mengerti, ia tak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang baik
itu. Akan tetapi satu hal tetap ditakutinya, yaitu: Golok
mustika dengan ilmu silat golok yang luar biasa itu.
"Dengan menggunakan senjata, kami bertiga ternyata
bukan tandingan Biauw Tayhiap," kata Tiauw Bun sembari
merangkap kedua tangannya. "Sekarang kami ingin memohon
pelajaran dari Biauw Tayhiap dengan tangan kosong."
Kata-kata itu diucapkan secara manis, tapi mak-sudnya
sangat beracun. Menyingkir dari keunggulan lawan dan
menyerang di bagian lemah, adalah per-buatan seorang yang
menghendaki jiwa. Menurut peraturan Kang-ouw, Biauw Jin
Hong sebenarnya dapat menolak usul yang licik itu. Akan
tetapi, sebagai seorang yang berkepandaian tinggi, nyali KimTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
bian-hud besar luar biasa. Sembari tertawa dingin, ia
masukkan Hui-ho Po-to ke dalam sarung dan manggutkan
kepalanya. "Baiklah!" jawabnya, dengan tenang.
Dengan girang, ketiga saudara itu lalu melem-parkan Poankoanpit mereka dan menerjang dengan serentak. Sungguh
hebat pukulan-pukulan Kim-bian-hud! Begitu ia mengerahkan
tenaga dalamnya dan menghantam dengan sepenuh
tenaganya, Ciong-sie Sam-heng-tee tak bisa maju lebih dekat
dari jarak delapan kaki. Jika bukannya mempunyai tenaga
dalam yang kuat, siang-siang tentu mereka sudah kecundang,
dihajar sambaran angin pukulan Biauw Jin Hong yang sudah
cukup untuk merubuhkan kebanyakan orang.
Sesudah bergerak beberapa jurus, Ciong Tiauw Eng
mengeluarkan sifat liciknya. Ia berguling ke belakang kursi
dan menyapu dengan kakinya. "Tak!" Sebuah kaki kursi
kembali patah! Kursi itu rubuh ke belakang dan tubuh Biauw
Jin Hong juga turut kejengkang!
Pada detik yang sangat berbahaya itu, kedua tangan Kimbianhud menekan belakang kursi dan tubuhnya lantas saja


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melesat ke atas. Hatinya panas melihat kelicikan Ciong Tiauw
Eng. Selagi melayang turun, bagaikan seekor elang, ia
menubruk manusia licik itu.
"Loo-toa! Loo-sam!" Tiauw Eng berteriak minta tolong.
Tiauw Bun dan Tiauw Leng lantas saja mera-buru. Sambil
mengerahkan tenaganya, dengan tangan kirinya Biauw Jin
Hong menghantam pundak Tiauw Bun, sedang tangan
kanannya menjotos dada Tiauw Leng. Dengan serentak
mereka rubuh, sedang Tiauw Eng keburu lari ngiprit ke luar
pintu. Sesudah merubuhkan kedua musuhnya, Kim-bian-hud
sendiri jatuh terguling.
Melihat kegagahan Biauw Jin Hong dan dua antara mereka
sudah mendapat luka, Ciong-sie Sam-heng-tee tidak berani
masuk lagi. Selagi hen-dak mengangkat kaki, Ciong Tiauw Eng
mendadak melihat setumpuk jerami kering di pinggir hotel.
Karena malu dan gusar, suatu niatan jahat lantas saja muncul
di dalam hatinya. Ia mengeluarkan bahan api dan menyalakan
jerami kering itu, yang lantas saja berkobar-kobar.
Seantero penghuni hotel dan pelayan menjadi kalang kabut
dan lari serabutan. Dengan mencekal Poan-koan-pit, ketiga
saudara itu menjaga di depan pintu. "Siapa yang berani
menolong orang yang tak bisa jalan itu, akan kami hajar
sampai mampus!" teriak seorang antara mereka.
Melihat api semakin lama jadi semakin besar, sedang ia
sendiri tidak berdaya dan tiga musuhnya menjaga di depan
pintu, Biauw Jin Hong yang gagah perkasa jadi putus asa.
"Biauw Jin Hong! Biauw Jin Hong!" ia mengeluh. "Apakah hari
ini kau bakal mati ketambus?"
Jauh-jauh, ia melihat Lam Siocia sudah lari keluar bersamasama
dengan orang banyak dan hatinya menjadi agak lega.
Matanya menyapu ke seluruh ruangan dan secara kebetulan
sekali, ia melihat segulung tambang kasar di suatu sudut.
"Ah! Tuhan masih berbelas kasihan!" ia berseru di dalam
hatinya sembari menggulingkan tubuhnya ke pojok itu. Ia
mengambil tambang itu yang lantas diputarkannya belasan
kali sembari mengerahkan tenaga dalamnya.
Diluar, sambil memandang api yang berkobar-kobar, Ciongsie
Sam-heng-tee saling memandang sembari tertawa. Mereka
beranggapan, bahwa kali ini Tah-pian Thian-hee Bu-tek-chiu
tentu akan tamat riwayatnya.
Sementara itu, Lam Siocia yang sudah dapat
menyelamatkan diri, berdiri di luar rumah dengan terisak-isak.
Mendadak, berbareng dengan suatu bentakan keras, seutas
tambang melesat keluar dari antara api dan asap dan meliiit
dahan sebuah pohon besar yang tumbuh di samping rumah.
Dilain saat, tubuh Kim-bian-hud yang jangkung kurus turut
"terbang" keluar!
Semua orang jadi kesima. Dengan tangan kiri mencekal
tambang, bagaikan seekor elang, Biauw Jin Hong melayang ke
arah tiga saudara Ciong itu.
Ciong-sie Sam-heng-tee terbang semangatnya.
Mereka ingin kabur, tapi sudah tidak keburu lagi. Dengan
hati gemas, Biauw Jin Hong menggerakkan tangannya
bagaikan kilat dan satu demi satu, ia melontarkan ketiga
saudara itu ke dalam api yang berkobar-kobar.
Untung juga, berkat kepandaian mereka yang tinggi, begitu
dilemparkan ke dalam api, lantas saja mereka bisa lari keluar,
tapi tak urung, rambut, alis dan sebagian pakaian mereka juga
dijilat api. Ketika saudara itu, yang sudah pecah nyalinya,
tidak berani berdiam lama-lama lagi dan tanpa berhenti untuk
mengambil kuda mereka, dengan terbirit-birit mereka kabur ke
jurusan Selatan. Jauh-jauh, mereka mendengar suara tertawa
Kim-bian-hud yang nya-ring dan panjang.
Mengingat kejadian itu, suatu senyuman sudah segera
menghiasi bibir Biauw Jin Hong.
Senyum itu hanya bagaikan berkelebatnya sinar terang
menembusi awan-awan hitam dan di lain saat, paras muka
Biauw Jin Hong kembali diliputi kegelapan.
Di depan matanya terbayang pula, bagaimana, sesudah
kesehatannya pulih, ia menikah dengan Lam Siocia. Sebagai
seorang pria yang belum per-nah mencinta wanita, dengan
cara-caranya sendiri, Kim-bian-hud sudah mencurahkan
seantero kecin-taannya kepada wanita itu yang sekarang
berada dalam jarak lima kaki dari tempatnya. Begitu dekat
tetapi juga begitu jauh!
Ia ingat, dalam suasana bahagia, dalam alunan gelombang
asmara, sebagai lazimnya sepasang pe-ngantin baru, ia telah
mengajak si Lan (Lam Siocia bernama Lam Lan) pergi
bersembahyang di ku- buran suami isteri Ouw It To. Sesudah
kenyang memeras air mata, ia memendam Hui-ho Po-to di
kuburan itu. Menurut anggapannya, dalam dunia ini, kecuali
Ouw It To, tak ada manusia lain yang cukup berharga untuk
menggunakan senjata mus-tika tersebut. Sekarang ksatria
utama satu-satunya itu sudah tak ada lagi dalam dunia, maka
golok mustika itu pun harus turut lenyap dari dunia ini.
Sesudah bersembahyang dan memendang golok, ia segera
menceritakan kepada istrinya per-tempuran pada sepuluh
tahun berselang, dalam mana, secara tak disengaja, ia sudah
melukakan Liao-tong Tayhiap sehingga jadi matinya. Biasanya,
Biauw Jin Hong adalah seorang yang paling tidak suka banyak
bicara. Akan tetapi, pada hari itu, kata-kata keluar dari
mulutnya seperti juga meng-alirnya air banjir. Kenapa begitu"
Sebabnya adalah, sesudah menyimpan rahasia itu selama
sepuluh tahun, baru pada saat itu ia dapat menumpahkan
segala apa yang memenuhi dadanya kepada seorang yang
paling dekat dengan dirinya. Barang sem-bahyang yang ia
sajikan di atas meja adalah sayur-sayur yang dulu dimasak
oleh Ouw Hujin (Nyonya Ouw), untuk dimakan mereka
bertiga. Sesudah selesai sembahyang, seorang did ia minum arak,
seolah-olah sahabatnya itu sedang menemani ia. Ia minum
banyak, banyak sekali, dan semakin banyak ia minum,
semakin banyak ia ber-bicara.
Sesudah bereerita ke barat-ke timur, akhirnya ia
menceritakan kecintaan Nyonya Ouw terhadap suaminya.
Katanya: "Wanita yang seperti itu, suami di api, ia di api,
suami di air, ia pun di air...."
Berkata sampai di situ, tiba-tiba ia melihat perubahan pada
paras isterinya, yang kemudian menyingkir jauh-jauh sembari
menekap muka. Ia memburu untuk memberi penjelasan. Akan
tetapi, ketika itu, ia sudah terlalu mabuk untuk bisa bereerita
lagi. Disamping itu, ia ingat, bahwa ketika ia terkurung api
yang dinyalakan Ciong-sie Sam-heng-tee, isterinya yang
tereinta sudah kabur terlebih dulu....
Biauw Jin Hong adalah seorang ksatria yang biasanya tak
suka rewel mengenai segala urusan remeh. Ia merasa, bahwa
pada waktu itu, Lam Lan, yang belum menjadi isterinya dan
tidak mengerti ilmu silat sedikit pun, memang pantas sekali
kabur terlebih dulu. Apakah untungnya jika ia berdiam terus di
dalam ruangan yang sudah dikurung api" Tapi... di dalam hati
kecilnya, sebagai seorang manusia biasa, ia mengharapkan
suatu pengorbanan dari seorang wanita yang dicintanya. Ia
berharap, bahwa pada saat yang sangat berbahaya itu, Lam
Lan berdiri tegak di sampingnya.
Maka itu, tidak mengherankan jika dalam ma-buknya ia
merasa mengiri kepada Ouw It To yang dianggapnya
beruntung sekali, dengan mempunyai seorang isteri yang
sudah rela membuang jiwa untuk suaminya yang tereinta.
Ia merasa, bahwa meskipun Ouw It To mening-gal dunia
dalam usia muda, akan tetapi sedalam-dalamnya sahabat itu
banyak lebih berbahagia dari-padanya.
Sebagaimana umumnya, seorang sinting sukar dapat
menyimpan rahasia hatinya. Demikianlah ia sudah
keterlepasan omong!
Dan beberapa kata-kata itu sudah menimbul-kan keretakan
antara kedua suami isteri itu, suatu keretakan yang tak dapat
ditambal lagi! Akan te-tapi, kecintaan Biauw Jin Hong terhadap
isterinya itu sedikit pun tidak menjadi berubah. Mulai dari
waktu itu, baik ia maupun isterinya, tak pernah menyebutnyebut
pula persoalan itu. Sebenarnya, mereka tidak pernah
menimbulkan lagi soal Ouw It To.
Belakangan terlahirkan Yok Lan, seorang bayi perempuan
secantik ibunya. Dengan lahirnya si jabang bayi, kedua suami
isteri itu jadi lebih terikat lagi.
Akan tetapi, perbedaan-perbedaan pokok antara mereka
berdua tidak dapat dilupakan. Biauw Jin Hong adalah seorang
Kang-ouw yang miskin, sedang isterinya adalah Cian-kim
Siocia dari ke-luarga pembesar negeri. Biauw Jin Hong tak
suka banyak bicara dan mukanya selalu 'menyeramkan,
sebaliknya sang isteri mengharapkan seorang suami yang
cakap, pintar, pandai bicara, halus, lemah lembut dan
mengerti akan adat orang perempuan. tapi, apa yang dipunya
oleh Kim-bian-hud hanyalah ilmu silat yang tiada tandingannya
dalam dunia. Apa yang diharap-harapkan oleh isterinya, tak
satu pun yang dimilikinya.
Jika Lam Lan paham ilmu silat, tentu ia akan dapat
menghargai, malah mengagumi kepandaian sang suami. Tapi,
apa celaka, Lam Lan bukan saja tidak mengerti ilmu silat, tapi
justru merasa sebal terhadap ilmu tersebut, oleh karena ia
untuk selama-lamanya tidak dapat melupakan, bahwa ayahnya
sudah binasa dalam tangan orang yang pandai silat.
Hanya sekali ia pernah tertarik kepada ilmu silat. Itulah
ketika suaminya mendapat kunjungan seorang sahabat dan
sahabat itu bukan lain daripada Tian Kui Long, yang cakap dan
pintar. Sebagai putera seorang kaya raya, disamping ilmu silat,
Tian Kui Long paham juga ilmu surat, ilmu menggambar,
menabuh khim, main tiokie dan terutama pandai membawa
diri di hadapan kaum wanita. Tapi, entah kenapa, sang suami
memandang rendah dan agak tidak meladeni tamu yang
gagah pintar itu, sehingga tugas melayani tamu lebih banyak
jatuh di atas pundak si isteri.
Begitu bertemu, Nyonya Biauw dan orang she Tian itu
lantas saja merasa cocok. Malam itu, diam-diam Lam Lan
bersedih hati dan menyesal tak habisnya. Ia menyesal, kenapa
orang yang menolong dia pada had itu bukan Tian Kui Long,
tapi manusia tolol yang bernama Biauw Jin Hong"
Berselang beberapa had, dalam bereakap-ca-kap, Tian Kui
Long mengetahui, bahwa nyonya muda itu tidak mengerti ilmu
silat. Secara manis budi, lantas saja ia mengajarkan beberapa
macam pukulan kepada isteri Tah-pian Thian-hee Bu-tek-chiu,
dan pelajaran itu dipelajari dengan penuh semangat oleh
Nyonya Biauw. Pada suatu hari, entah sehabis membicarakan apa, Lam
Lan berkata begini kepada Tian Kui Long: "Menurut pantas,
kau dan suamiku harus menukar nama. Dia harus pergi ke
sawah untuk meluku. Dan kau, kau sungguh manusia utama!"
Entah Tian Kui Long memang sudah meng-genggam
maksud tidak baik, entah di didorong
kata-kata menyeleweng dari wanita itu, tapi biar
bagaimanapun juga, malam itu telah terjadi suatu peristiwa
yang berarti: Tetamu menghina tuan ru-mah, isteri
mendurhakai suami dan ibu menelan-tarkan anak.
Malam itu, seorang diri Biauw Jin Hong berlatih ilmu
pedang nyenyak di pembaringan.
Disengaja atau tidak disengaja, pantek-kode emas Lam Lan
yang berbentuk burung Hong, men-dadak jatuh. Tanpa
menyia-nyiakan tempo, Tian Kui Long buru-buru memungut
perhiasan itu dan... dengan lagak dibuat-buat, ia
menancapkan pantek konde itu di kepala Nyonya Biauw!
Pada jaman itu, perbuatan Tian Kui Liong adalah
pelanggaran adat istiadat yang kurang ajar sekali.
Menancapkan pantek konde seorang wanita yang sudah
bersuami, hanya boleh dilakukan oleh suaminya sendiri.
Mulai detik itu, Lam Lan melupalsan segala apa. Ia
melupakan suami, puteri dan nama baiknya. Bersama lelaki
itu, ia kabur tanpa pamitan!
Dapat dibayangkan, bagaimana perasaan Biauw Jin Hong,
ketika ia mengetahui kejadian itu. Sem-bari mendukung
anaknya, tanpa memperdulikan hujan dan angin, ia mengejar
dengan menunggang kuda.
* * Lam Lan tak tuli. Ia mendengar tangisan pu-terinya yang
menyayatkan hati. Sebagai seorang ibu, rasa cinta yang wajar
memanggil dia. Tapi... tapi... senyum Tian Kui Long yang
menggiurkan hati, sudah cukup untuk menahan ia.
Biauw Jin Hong mendapat gelaran Kim-bian-hud (Buddha
yang bermuka kuning emas), mungkin karena hatinya yang
penuh welas asih, bagaikan hati seorang Buddha. Sesudah
isteri durhaka itu menghina ia secara begitu hebat, ia masih
juga bersedia untuk memaafkannya, bersedia untuk
melupakan kejadian yang memalukan itu, asal saja Lam Lan
suka pulang kembali bersama-sama dengan ia dan puteri
mereka. Dengan lain perkataan, Kim-bian-hud bersedia untuk
"membeli" keutuhan rumah tangganya, dengan harga
bagaimana tinggipun juga.
Di lain pihak, dalam mabuknya di bawah bujuk rayu
manusia keji yang tampan itu, Lam Lan jadi lebih berkepala
batu karena ia mengetahui ke-lemahan sang suami. Ia
mengetahui Biauw Jin Hong berhati lembek dan mengetahui
pula, bahwa suami itu sangat mencintainya. Oleh karena itu,
ia merasa pasti, Kim-bian-hud tidak akan membunuh dia.
"Tapi apakah dia tak akan membinasakan Kui Long?" tanya
Lam Lan dalam hatinya.
Tapi orang ketiga dalam peristiwa segi tiga itu, mempunyai
suatu rahasia hati yang tidak diketahui orang. Tujuannya
adalah harta karun yang tidak dapat ditaksir bagaimana besar
harganya, pening-galan Cong Ong (Lie Cu Seng). Dan kunci ke
gudang harta adalah pada isteri Biauw Jin Hong. Tentu saja
kecantikan Lam Lan merupakan daya penarik yang tidak kecil,
akan tetapi, kecantikan itu bukan merupakan tujuan Tian Kui
Long yang ter-utama.
Demikianlah Biauw Jin Hong menunggu. Para anggota
Piauw-kiok, kawanan perampok, Siang Po Cin, si lengan satu
dan bocah kurus itu juga sama menunggu. Semua orang
menahan napas. Apa yang terdengar hanyalah suara tangis
Yok Lan. Biarpun hati nyonya itu keras seperti baja, tetapi semua
orang menduga, bahwa ia akan memutarkan badan dan
mendukung pula puterinya itu.


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di luar ruangan, sang hujan terus turun dengan hebatnya,
dibarengi dengan menyambarnya kilat dan gemuruh guntur.
Akhir-akhirnya, Biauw Hujin menengok. Hati Biauw Jin
Hong melonjak! Tapi, lekas juga ia men-dapat kenyataan,
bahwa menengoknya sang isteri bukan ditujukan kepadanya
atau kepada puterinya. Lam Lan menengok sembari mesem
dan matanya memandang Tian Kui Long. Semenjak menikah,
belum pernah Kim-bian-hud melihat sorot mata yang begitu
halus dan begitu penuh dengan rasa cinta!
Hati Kim-bian-hud mencelos, habislah sudah semua
harapannya. Perlahan-lahan ia berbangkit dan hati-hati
dengan kain minyak, ia membungkus Yok Lan yang kemudian
dipegangnya erat-erat di dadanya yang lebar. Semua mata
mengawai Tah-pian Thian-hee Bu-tek-chiu dengan perasaan
duka. Dalam dunia yang lebar ini, mungkin tak ada ayah yang
begitu mencinta anaknya, mungkin tak ada bapak yang begitu
menderita seperti Biauw Jin Hong.
Dengan tindakan lebar, tanpa menengok lagi, ia keluar dari
ruangan itu. Sedari masuk sampai keluar lagi, tak sepatah
kata keluar dari mulutnya. Hujan seperti dituang-tuang, kilat
dan geledek menyambar-nyambar... sayup-sayup orang dapat
menangkap suara tangis Yok Lan....
* * * Semua orang terpaku. Seluruh ruangan sunyi senyap. Lama
sekali tak seorang pun mengeluarkan sepatah kata.
Perlahan-lahan Biauw Hujin berdiri, di mulutnya
tersungging senyuman yang dipaksakan tapi butiran-butiran
air mata turun berketel-ketel di kedua pipinya yang halus. Tian
Kui Long juga segera berbangkit, sebelah tangannya mencekal
ga-gang pedang di pinggangnya. "Lan-moay (adik Lan)," ia
berbisik. "Mari kita berangkat." Sembari berkata begitu, kedua
matanya melirik bungkusan-bungkusan perak di dalam kereta.
Meskipun gerak-geraknya tetap menarik, tapi suaranya agak
gemetar karena jantungnya masih memukul keras.
Melihat Tian Kui Long masih juga mengincar piauw itu, Pek
Seng Sin-kun Ma Heng Kong segera berseru: "Hong-jie! Ambil
senjata!" "Thia!" jawab sang puteri yang mengetahui ayahnya
menderita luka berat.
"Lekas!" bentak orang tua itu dengan suara keren.
Dengan hati berat, dari punggungnya si nona mencabut
Kim-sie Joan-pian (Pecut) yang sudah mengikuti ayahandanya
puluhan tahun. Selagi ingin menyodorkan pecut itu kepada sang ayah, di
belakang ruangan mendadak terde-ngar suara batuk-batuk
dan seorang nyonya tua berjalan keluar. Nyonya itu
mengenakan baju ber-warna hijau, kun-nya hitam, pundaknya
agak bong-kok, kedua kondenya sudah putih semua, tapi di
embun-embunnya masih terdapat sejemplok ram-but yang
berwarna hitam.
Siang Po Cin yang hanya mendapat luka enteng, lantas
memburu seraya berkata: "Ibu, jangan per-dulikan urusan di
sini. Lebih baik ibu mengaso saja." Nyonya tua itu ternyata
adalah ibu pemuda tersebut.
Nyonya Siang mengangguk. "Kau dirubuhkan orang?"
tanyanya, suaranya sungguh tak enak di-dengarnya.
Paras muka Siang Po Cin lantas berubah merah karena
malu. "Anak tak punya guna, bukan tandingan orang she Tian
itu," katanya dengan mendongkol, sembari menuding Tian Kui
Long. Dengan mata yang setengah terbuka dan setengah
tertutup, Siang Loo-tay (Nyonya tua Siang) lebih dulu melirik
Tian Kui Long dan kemudian mengawasi Biauw Hujin.
"Sungguh cantik," katanya.
Sekonyong-konyong, seorang bocah kurus menyelak keluar
dari antara orang banyak dan berkata sambil menuding Lam
Lan: "Puterimu minta di-dukung, kenapa kau tak meladeni"
Sebagai ibu, kenapa kau sedikit pun tak mempunyai liangsim
(perasaan hati)?"
Semua orang terkejut. Tak ada yang menduga, bahwa
bocah yang compang camping bagaikan pe-ngemis itu, akan
berani mengeiuarkan kata-kata begitu. Berbareng dengan
perkataan bocah itu, kilat menyambar, disusul dengan suara
geiedek yang dahsyat. "Hatimu tidak baik," kata lagi si bocah.
"Lui-kong (Malaikat Geiedek) akan menghantam mampus
padamu!" la menuding dengan paras muka gusar, sehingga
dalam pakaian yang rombeng itu, terlihatlah satu keangkeran
yang wajar. "Srt!" Tian Kui Long menghunus pedang, "Pe-ngemis!" ia
membenlak, "Berani betul kau ngaco belo!"
Giam Kie loncat dan mencengkeram dada bocah tersebut.
"Lekas berlutut di hadapan Tian Siangkong.... Hu.... jin!" ia
berseru. Si bocah berkelit dan dengan kegusaran yang meluap-luap,
ia menuding lagi ke arah Biauw Hujin seraya berteriak: "Kau...
kau tak punya liangsim...!"
Dengan paras muka merah, tanpa berkata suatu apa, Tian
Kui Long mengangkat pedangnya untuk menikam. Tapi,
sebelum tikaman itu dilangsungkan, Lam Lan berteriak keras
sembari menutup muka-nya dengan kedua tangan dan terus
lari keluar dari ruangan itu, ke tengah-tengah hujan.
Tian Kui Long terkejut, pedangnya urung menikam dan ia
segera berlari-lari mengejar Biauw Hujin.
"Lan-moay," kata orang she Tian itu dengan suara dibuatbuat.
"Bocah itu ngaco belo. Jangan kau memperdulikan
padanya." "Aku..." jawab si nyonya, sesenggukan. "Aku... memang...
memang tak mempunyai liangsim."
Sembari menangis, Biauw Hujin berjalan terus, diikuti oleh
Tian Kui Long. Jika Tian Kui Long ingin menahan dengan
kekerasan, sepuluh Biauw Hujin juga tentu tak akan bisa
berjalan terus. Tapi orang she Tian itu tentu saja tidak berani
meng-gunakan kekerasan. Ia mengikuti sembari mem-bujuk,
tapi Lam Lan tidak menggubris. Semakin lama, tanpa
memperdulikan serangan hujan, mereka berjalan semakin
jauh dan sesudah membelok di suatu tikungan, mereka lenyap
dari pemandang-an, ditedengi pohon-pohon besar.
Semua orang membuang napas lega dan meng-awasi si
bocah pengemis yang lantas saja naik de-rajatnya.
Giam Kie tertawa dingin, paras mukanya girang sekali.
"Sungguh bagus!" katanya. "Sekarang Giam Toaya bisa makan
sendiri. Sungguh bagus! Saudara-saudara! Lekas angkat harta
kita!" Kawanan perampok itu serentak mengiakan dan segera
bergerak untuk membereskan harta ben-da orang. Mendadak,
kaki kiri kepala penjahat itu terangkat dan menendang si
bocah yang lantas saja jadi terjungkir balik.
Sesudah itu, ia mencengkeram dada si lengan satu dan
membentak: "Pulangkan!"
"Giam Loo-toa," tiba-tiba Siang Loo-tay-tay berkata dengan
suara dalam. Tempat ini adalah Siang-kee-po (rumah keluarga
Siang), bukan?"
"Benar," jawabnya. "Kenapa?"
"Aku adalah majikan dari Siang-kee-po, bukan?" tanya pula
nyonya tua itu. Dengan tangan tetap mencengkeram dada si
lengan satu, Giam Kie mendongak dan tertawa berkakakan.
"Nyonya Siang," katanya. "Dengan maksud apa kau bicara
berputar-putar" Rumahmu luas, temboknya tinggi dan
hartamu pun rasanya tidak sedikit. Apakah kau mau
membagikan harta kepada kami?"
Mendengar perkataan itu, kawanan perampok lantas saja
tertawa bergelak-gelak.
Siang Po Cin gusar bukan main, mukanya men-jadi pucat
pias. "Ibu," katanya. "Guna apa banyak bicara dengan
manusia begitu" Biarlah anak yang menghajar padanya!" Ia
menggapai seorang pe-gawai Siang-kee-po yang segera
menyodorkan sebatang golok kepadanya.
Giam Kie mendorong si lengan satu dan meng-ejek:
"Bocah! Kau jangan lari!" Ia bersenyum dan mengawasi Siang
Po Cin dengan sikap menghina.
"Giam Loo-toa," kat Nyonya Siang. "Ikut aku! Aku mau
bicara denganmu!"
"Ke mana?" tanya Giam Kie dengan perasaan heran.
"Ikut saja," jawabnya dan sebelum Giam Kie sempat
menanya lagi, ia sudah memutarkan badan terus berjalan.
Baru jalan beberapa tindak, ia menengok dan berkata: "Jika
kau tak mempunyai nyali, boleh tak usah ikut."
Giam Kie tertawa besar. "Aku tak punya nyali?" katanya
sembari mengikuti.
Jie-cee-cu (kepala rampok kedua) yang ber-hati-hati, buruburu
menyodorkan sebatang golok kepada Giam Kie yang
lantas menyambutinya.
Siang Po Cin yang tak tahu maksud ibunya, lantas saja
mengikuti dari belakang. Sembari berjalan terus dan tanpa
menengok, Siang Loo-tay berkata: "Cin-jie! Kau tunggu saja di
sini. Giam Loo-toa! Perintah orang-orangmu supaya jangan
bergerak untuk sementara waktu!"
"Baik," sahut Giam Kie. "Anak-anak! Jangan bergerak!
Tunggu sampai aku balik."
Kawan-kawannya lantas saja mengiakan dan Jie-cee-cu
lantas saja mengatur kawan-kawannya untuk menjaga larinya
orang-orang Piauw-kiok.
Tadi, ketika Siang Po Cin dan ketiga Siewie itu membantu
pihak Piauw-kiok, kawanan penjahat sudah jatuh di bawah
angin. Akan tetapi, sesudah Siang Po Cin dan Cie Ceng
dilukakan oleh Tian Kui Long keadaan jadi berbalik dan pihak
perampoklah yang lebih kuat. Ketika itu, semua orang dari
kedua belah pihak mencekal senjata mereka erat-erat untuk
menunggu kesudahan pertempuran antara nyonya rumah dan
Giam Kie. Sembari mengikuti, Giam Kie merasa geli ka-rena melihat
nyonya tua yang bongkok itu, berjalan dengan tindakan yang
tidak tetap. "Siang Loo-po-cu (nyonya tua)," katanya dengan
suara mengejek. "Apa kau mau membagi harta?"
"Benar, aku mau membagi harta," jawab si nyonya.
Jantung kepala perampok itu memukul keras.
Sebagai seorang yang sangat rakus ia mengilar bukan main
melihat kekayaan keluarga Siang. Men-dengar perkataan
nyonya tua itu, ia jadi kegirangan setengah mati. Bukan tak
mungkin, bahwa setelah melihat kawanannya, nyonya itu
sudah pecah nyali-nya dan sebelum dipaksa, buru-buru
menawarkan sebagian hartanya, pikir Giam Kie.
Siang Loo-tay berjalan terus. Sesudah melewati tiga
halaman, mereka tiba di depan sebuah rumah
yang terletak di sudut paling belakang. Nyonya Siang
mendorong pintu dan terus masuk sembari berkata:
"Masuklah."
Giam Kie menengok dan melihat suatu ruangan kosong
melompong yang panjangnya beberapa tom-bak. Perabotan
satu-satunya yang terdapat di dalam ruangan itu adaiah
sebuah meja persegi. Dengan rasa sangsi, ia bertindak masuk.
"Mau bicara, lekas bicara!" ia berseru. "Jangan main gila!"
Siang Loo-tay tidak menyahut. Ia menghampiri pintu yang
lalu dikuncinya.
Giam Kie heran dan menyapu seluruh ruangan dengan
matanya. Ia melihat di atas meja itu terdapat sebuah Lengpay
(papan yang dipuja) yang di atas-nya dituliskan huruf-huruf
seperti berikut: "Tempat memuja mendiang suamiku Siang
Kiam Beng."
"Siang Kiam Beng, Siang Kiam Beng," Giam Kie mengulangi
dalam hatinya. "Nama itu agak tak asing lagi. Tapi siapa?" Ia
memutar otak, tapi untuk sementara ia tak dapat mengingat,
siapa adanya Siang Kiam Beng.
"Kau sudah berani berlaku kurang ajar di Siang-kee-po,
boleh dikatakan nyalimu besar juga," kata Siang Loo-tay
dengan suara perlahan. "Jika suamiku It Hong hidup, sepuiuh
Giam Kie pun sudah tak hernyawa lagi. Sekarang, meskipun di
Siang-kee-po hanya ketinggalan seorang anak setengah piatu
dan seorang janda, tapi kami tidak dapat membiarkan hinaan
segala kawanan anjing."
Sehabis mengucapkan cacian itu, tiba-tiba ia
melempangkan punggungnya yang bongkok, sedang kedua
matanya yang mendadak bersinar keredepan mengawasi Giam
Kie tanpa berkesip. Jika barusan ia sebagai seorang neneknenek
yang sudah dekat ke lubang kubur, sekarang
sekonyong-konyong ia seakan-akan menjadi macan betina
yang angker dan galak, sehingga kepala perampok itu jadi
terkesiap. "Ah! Kalau begitu tadi, ia hanya berpura-pura loyo,"
katanya di dalam hati. Tapi lekas juga ia memikir, bahwa
sepandai-pandainya, orang perempuan tentu tidak mempunyai
kepandaian seberapa tinggi. Memikir begitu, hatinya menjadi
mantap lagi dan ia segera berkata sembari tertawa. "Ya, benar
aku sudah menghina kau. Habis mau apa kau?"
Tanpa menyahut, Siang Loo-tay menghampiri meja abu
dan mengeluarkan satu bungkusan kuning yang penuh debu,
dari belakang Lengpay. Begitu bungkusan itu dibuka, suatu
sinar hijau berkeredep, dibarengi dengan menyambarnya
hawa yang dingin. Ternyata, kain itu membungkus sebilah
golok Pat-kwa-to tersepuh emas yang belakangnya tebal dan
mata goloknya tipis.
Melihat Pat-kwa-to itu, Giam Kie lantas saja ingat akan
suatu kejadian yang terjadi pada belasan tahun berselang. Ia
mundur beberapa tindak dan mengeluarkan seruan tertahan:
"Pat-kwa-to Siang
Kiam Beng!"
"Meskipun orangnya sudah tiada lagi, goloknya masih tetap
berada di sini!" kata Siang Loo-tay dengan suara
menyeramkan. "Dengan Pat-kwa-to ini, aku memohon
pengajaran dari Giam Loo-toa."
Tiba-tiba ia memegang gagang golok itu dan dengan
gerakan Tong-cu-pay Hud (Anak kecil menyembah Buddha), ia
menghadapi Giam Kie dengan sikap Siang-sit Co-chiu Po-to
(Mendukung golok dengan tangan kiri), yaitu gerakan pertama
dari ilmu golok Pat-kwa-to.
Meskipun di dalam hatinya kepala perampok itu agak
keder, tapi sesudah mengingat, bahwa seorang kenamaan
seperti Ma Heng Kong masih jatuh dalam tangannya dan
mengingat pula, bahwa nyonya tua itu tentu juga tidak
mempunyai kepandaian terlalu tinggi, lantas saja ia


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendapatkan kembali kepereayaannya terhadap did sendiri.
Sembari mengebas golok, ia tertawa seraya berkata: "Kau
ingin menjajal ilmu, kenapa tidak di ruangan tadi saja dan
mesti datang ke tempat ini" Apakah kau hanya dapat
menunjukkan keangkeran di depan meja abu suamimu?"
"Benar," jawabnya dengan pendek.
Giam Kie melirik meja abu dan berkata pula: "Siang Lootay,
hayolah!" "Kau adalah tamu," kata nyonya itu. "Giam Cee-cu, silahkan
menyerang terlebih dulu."
Giam Kie tidak lantas membuka serangan, sebaliknya
berkata pula: "Dengan Siang-kee-po, aku sama sekali tidak
mempunyai permusuhan. Dalam merampas piauw kali ini,
yang dilanggar olehku adalah si tua bangka she Ma. Jika Siang
Loo-tay ingin juga membela dia, biarlah kita tetapkan, bahwa
pertandingan ini akan berakhir, begitu ada salah satu pihak
yang kena ditowel. Tak perlu kita ber-tempur mati-matian."
"Tak begitu gampang!" kata nyonya Siang sembari
mengeluarkan suara di hidung. "Selama hidup-nya, Siang
Kiam Beng adalah seorang enghiong (orang gagah). Ia
mendirikan Siang-kee-po bukan untuk dibuat sesuka-suka oleh
segala orang, mau masuk bisa masuk, mau keluar biasa lantas
keluar." "Bagaimana kemauanmu?" tanya Giam Kie yang mulai
gusar. "Jika aku kalah, kau boleh membunuh aku dan anakku,"
jawabnya. "Tapi kalau aku menang, kepala Giam Cee-cu juga
harus ditinggalkan di sini!"
Giam Kie mencelat, ia tak nyana, nyonya itu mengeluarkan
kata-kata yang sedemikian berat. "Hayo!" berseru Siang Lootay.
Giam Kie naik darah. "Untung apa jika aku mengambil
jiwamu dan jiwa anakmu!" ia berseru. "Cukup jika kau
menyerahkan Siang-kee-po dan semua harta benda
kepadaku!"
Baru habis ia mengucapkan perkataan itu, Siang Loo-tay
sudah membacok dengan pukulan Tiauw-yang-to. Giam Kie
buru-buru miringkan ke-palanya. Pukulan itu cepat dan berat,
dan ketika Pat-kwa-to iewat di samping kepaianya, Giam Kie
merasakan kupingnya pedas.
Giam Kie terkejut, sebab begitu membuka serangan,
nyonya Siang sudah menghantam dengan pukulan yang
membinasakan. Ia mengetahui, bahwa dalam serangan yang
berikutnya, si nyonya tentu akan membalikkan golok dan
membabat pinggang-nya. Buru-buru ia menjaga di bagian
pinggang dan "trang!" kedua golok berbentrok keras. Dari
ben-trokan itu, Giam Kie mendapat kenyataan, bahwa tenaga
nyonya itu tidak begitu besar, sehingga hati-nya menjadi lebih
mantap. Dengan gerakan Tui-to-kwa-houw (Mendorong golok
menikam tenggorok-an), ia menyodok leher lawan dengan
goloknya. Nyonya Siang meloncat minggir, semhari ber-kata: "Su-bun
To-hoat (Ilmu golok Emas pintu), ada apa bagusnya?"
"Memang tidak bagus, tapi cukup untuk meru-buhkan kau,"
jawabnya sambil menyerang dengan pukulan Cin-to Lianhoanto (Golok berantai). Nyonya Siang tidak berkelit atau
menangkis. Ber-bareng dengan serangan lawan, ia membacok
muka Giam Kie dengan Pat-kwa-to.
Kepala perampok itu terkesiap. "Eh, kenapa dia begitu
nekat?" pikirnya. Dalam Rimba Persilatan di wiiayah Tionggoan,
memang terdapat suatu kebiasaan yang dinamakan Wie
Gui-kiu Tio (Mengepung negara Gui untuk menolong negara
Tio), yaitu: Balas menyerang, tanpa berusaha untuk menolong
diri dari serangan musuh, agar musuh mem-batalkan
serangannya. Dapat dimengerti, bahwa cara begitu sangat
berbahaya dan hanya digunakan jika sudah tidak terdapat
jalan lain lagi. Ketika itu, jika mau, dengan gampang Siang
Loo-tay dapat menangkis serangan Giam Kie. Tapi ia tidak
menangkis dan mengirimkan serangan pembalasan. Dengan
berbuat begitu, terdapat kemungkinan besar, bahwa kedua
belah pihak mendapat luka dengan berbareng. Itulah
sebabnya, kenapa Giam Kie jadi terkejut.
Dalam bahaya, Giam Kie menggulingkan badan sambil
mengirim suatu tendangan aneh, yang ham-pir-hampir
mengenai pergelangan tangan Siang Loo-tay.
Harus diketahui, bahwa sesudah memiliki be-lasan macam
pukulan yang luar biasa, Giam Kie berhasil menjatuhkan
banyak sekali orang gagah dalam Rimba Persilatan. Ilmu golok
Su-bun To-hoat yang dipunyainya adalah ilmu yang biasa saja.
Akan tetapi, dengan menggabungkan belasan pu-kulan
aneh itu ke dalam Su-bun To-hoat, setiap kali terdesak, ia
selalu berhasil meloloskan diri dari bencana.
Pertempuran berlangsung terus, semakin lama jadi semakin
sengit. Melihat lihaynya nyonya tua itu, mau tidak mau Giam
Kie merasa kagum. Ia menginsyafi, bahwa jika pertempuran
berjalan terus seperti itu, sekali kurang hati-hati, kepalanya
bisa dipapas Pat-kwa-to yang tajam dan berat. Sembari
mengempos semangatnya, sedang goloknya yang dicekal di
tangan kanan tetap menyerang dengan Su-bun To-hoat,
tangan kiri dan kedua kakinya menghujani nyonya Siang
dengan balasan pukulan aneh itu. Benar saja, sesudah lewat
beberapa jurus, Siang Loo-tay jadi terdesak.
"Hm!" Giam Kie mengejek. Tadinya kukira ilmu golok Siang
Kiam Beng benar-benar lihay. Tak tahunya hanya sebegini!"
Siang Loo-tay menghormati mendiang suami-nya seperti
dewa. Maka itu, tidak mengherankan, jika ejekan Giam Kie
sudah membikin ia jadi mata gelap. Pada saat itu juga, ia
merubah cara bersilatnya. Bagaikan kilat, ia meloncat kian
kemari, goloknya menyambar-nyambar dari segala penjuru
dan setiap serangannya adalah serangan yang membinasakan.
"Eh-eh! Siang Loo-tay, apa kau sudah gila?" teriak kepala
rampok itu sembari lari berputar-putar. "Bukan aku yang
membunuh suamimu. Ke-napa kau jadi nekat-nekatan?"
Dalam setiap pertempuran, larangan yang tak boleh
dilanggar, adalah perasaan keder. Begitu hati jeri, habislah
ilmu silatnya. Dilain pihak, Siang Loo-tay yang sudah berada di
atas angin, lantas saja menyerang semakin hebat. Giam Kie
ngiprit ber-putar-putar di ruangan itu, tujuan satu-satunya
adalah menyingkir secepat mungkin dari macan betina yang
sudah kalap itu.
Beberapa kali ia menubruk pintu untuk mem-bukanya, tapi
ia selalu tidak berhasil karena da-tangnya hujan serangan.
Dalam bingungnya, sesudah lari lagi beberapa putaran,
mendadak ia menendang ke belakang dan kemudian menjejak
lantai sekuat-kuatnya, sehingga badannya melesat untuk
melompati jendela. Pundak Siang Loo-tay kena ditendang, tapi
nyonya itu masih keburu menyabet dengan goloknya,
sehingga hampir berbareng, sembari berteriak, mereka rubuh
di bawah jendela. Nyonya Siang hanya mendapat luka enteng,
tapi Giam Kie yang lututnya tergores, tak bisa lantas bangun.
Semangat kepala perampok itu, terbang ke awang-awang.
Dengan mata bersinar merah, Siang Loo-tay mengangkat Patkwatonya untuk segera menebas. Dengan kedua tangan
memegang lutut, Giam Kie berteriak dengan suara gemetar:
"Am-pun!"
Semenjak kecil, Siang Loo-tay mengikuti ayah-nya dan
kemudian mengikuti suaminya berkelana di dunia Kang-ouw.
Banyak sekali orang gagah yang ia pernah jumpai, tapi belum
pernah ia bertemu dengan manusia yang begitu tidak
mengenal malu, seperti Giam Kie. Hatinya bergoncang dan
Pat-kwa-tonya turun dengan perlahan.
Giam Kie merangkak sembari memanggutmanggutkan
kepalanya. "Mohon Loo-tay-tay raeng-ampuni
kedosaan siauwjin," katanya. "Apa jugayang Loo-tay-tay
perintahkan, akan kuturut. Aku hanya memohon belas kasihan
untuk jiwaku."
Nyonya Siang menghela napas dan berkata de-ngan suara
angker: "Baiklah! Aku ampuni jiwamu. Tapi ingat! Kejadian ini
tak boleh kau bocorkan kepada siapapun juga."
"Baik, baik, baik," kata Giam Kie, kegirangan.
"Pergi!" bentak Siang Loo-tay.
Giam Kie menyeringai! Ia menjumput goloknya dan dengan
susah payah, ia merangkak bangun, akan kemudian dengan
menggunakan golok itu sebagai tongkat, ia berjalan keluar
terpincang-pin-cang.
"Tahan!" mendadak Siang Loo-tay berteriak. "Sebelum
bertanding, sudah ditetapkan, bahwa sia-pa yang kalah, harus
meninggalkan kepalanya di Siang-kee-po! Kau kira aku lupa?"
Giam Kie mencelos hatinya. "Loo... tay-tay... sudah
mengampuni..." katanya terputus-putus, dengan meringis.
"Aku mengampuni jiwamu, tidak mengampuni batok
kepalamu!" bentak nyonya Siang. Ia mengebaskan Pat-kwatonya
dan membentak dengan bengis: Tat-kwa-to dari Siang
Kiam Beng, tak per-nah pulang dengan tangan kosong!"
Muka Giam Kie pucat bagaikan kertas, kedua lututnya
lemas dan ia jatuh berlutut. Bagaikan kilat, dengan tangan kiri
Siang Loo-tay menjambret thau-cang Giam Kie dan berbareng
dengan berkelebat-nya Pat-kwa-to itu, thaucang itu sudah
menjadi putus. "Tinggalkan thaucangmu di sini!" bentak nyonya Siang.
"Mulai dari sekarang kau harus mencukur rambut dan menjadi
hweeshio. Tak boleh kau ber-keliaran lagi dalam Rimba
Persilatan. Mengerti?"
Giam Kie manggut-manggutkan kepalanya dan
mengeluarkan beberapa patah kata yang tidak jelas.
"Bungkus lututmu, pakai topi!" perintah Siang Loo-tay.
"Sesudah itu, pergi dari sini dan ajak semua anak buahmu."
Semua orang yang berada di ruangan depan, menunggu
dengan tidak sabar. Berselang setengah jam, baru Siang Lootay
kelihatan muncul, diikuti Giam Kie yang berjalan perlahanlahan.
"Saudara-saudara!" teriak Giam Kie. "Perak itu jangan
diganggu! Semua pulang!"
Mendengar perkataan pemimpin mereka, semua perampok
itu jadi tereengang dan serentak mereka bangun semua.
"Hengtiang (kakak)..." kata Jie Cee-cu.
"Berangkat!" bentak Giam Kie sembari meng-ulapkan
tangannya dan segera berjalan keluar lebih dulu. Ia tak berani
berdiam lama-lama dalam ruangan itu, karena khawatir
rahasianya terbuka. Anak buahnya tentu saja tidak berani
membantah. Sesudah menengok beberapa kali kepada
bungkusan-bungkusan perak itu, dengan rasa kecewa mereka
berlalu satu demi satu.
Walaupun berpengalaman luas, mula-mula Ma Heng Kong
tidak dapat menaksir mengapa keadaan itu bisa berubah
menjadi begitu. Tapi matanya yang tajam segera juga dapat
melihat tetesan darah di atas lantai. Sekarang ia mengerti
bahwa Giam Kie sudah mendapat luka dan ia menduga,
bahwa di siang-kee-po bersembunyi seorang pandai. la sama
sekali tidak pernah bermimpi, bahwa nyonya tua yang
kelihatan begitu loyo itu, baru saja melakukan pertempuran
mati-matian melawan kepala perampok itu.
Sembari memegang pundak puterinya, ia maju beberapa
tindak untuk menghaturkan terima kasih. Tapi, belum sempat
ia mengeluarkan sepatah kata, Siang Loo-tay sudah berteriak:
"Cin-jie! Ikut aku!M Ma Heng Kong terkejut dan di lain saat,
ibu dan anak itu sudah masuk ke ruangan dalam.
Semua anggota Piauw-kiok dan ketiga Siewie itu lantas saja
saling mengutarakan pendapatnya. Ada yang mengatakan,
bahwa nyonya itu tentu sudah mengenal kepala perampok
tersebut, yang lain berpendapat, bahwa Giam Kie mungkin
men-jadi sadar sesudah dibujuk oleh Siang Loo-tay dan
sebagainya. Selagi mereka ramaiberbicara, tiba-tiba Siang Po
Cin keluar lagi dan berkata: "Ibuku meng-undang Ma
Loopiauwtauw ke dalam untuk minum
ten." Ternyata nyonya itu mengundang Ma Heng Kong dengan
maksud yang baik. Sembari minum teh, ia membujuk supaya
Ma Heng Kong berobat dulu di Siang-kee-po dan minta
bantuan Piauw-kiok lain untuk mengawal perak itu sampai di
Kimleng. Ma Heng Kong merasa sangat berterima kasih akan
kebaikan orang, yang bukan saja sudah memberikan
pertolongan sehingga piauwnya tidak sampai kena dirampas,
tapi juga sudah mengajukan tawaran yang mulia. Ia segera
minta bantuan Piauw-kiok lain untuk mengantar perak itu,
sedang ia bersama pu-teri dan muridnya lantas berdiam di
Siang-kee-po untuk sementara waktu. Dalam pada itu, dengan
menerima tawaran Siang Loo-tay, Ma Heng Kong juga
mempunyai suatu harapan lain, yaitu harapan bisa bertemu
dengan orang pandai yang sudah merubuhkan Giam Kie, yang
menurut dugaannya bersembunyi di Siang-kee-po.
Menjelang magrib, hujan baru berhenti. Ketiga Siewie itu
segera pamitan dan menghaturkan terima kasih untuk
kebaikan tuan rumah. Mereka berlalu dengan diantar oleh
Siang Po Cin sampai di pintu depan.
Sesudah ketiga Siewie itu berangkat, sambil menuntun si
bocah kurus, orang yang berlengan satu itu pun lantas saja
minta did dan berlalu.
Siang Loo-tay melirik anak itu dan ia ingat, bagaimana si
bocah sudah mencaci Biauw Hujin. "Sungguh jarang terdapat
anak kecil yang bernyali begitu besar," pikirnya. Memikir
begitu, lantas saja ia menanya: "Ke mana kalian ingin pergi"
Apakah kalian mempunyai bekal cukup?"
"Siauwjin (aku yang rendah), paman, berdua keponakan
terlunta-lunta dalam dunia Kang-ouw dan tak punya tempat
tinggal yang tentu," jawab si lengan satu. "Maka itu, tak dapat
aku menjawab, ke mana kami niat pergi."
Nyonya Siang mengawasi anak itu dengan rasa kasihan dan
beberapa saat kemudian, ia berkata: "Jika kalian tidak
berkeberatan, dapat kalian berdiam di sini untuk membantubantu.
Rumah ini cukup besar dan ditambah dengan dua
orang lagi, tidak menjadi soal."
Mendengar tawaran itu, si lengan satu yang dalam hatinya
menggenggam maksud tertentu,
menjadi sangat girang dan menerima baik tawaran tersebut
sembari menghaturkan terima kasih. Men-jawab pertanyaan,
ia memberitahukan, bahwa ia bernama Peng Sie, sedang
bocah itu, yang diakui sebagai keponakannya, bernama Peng
Hui. Malam itu, Peng Sie bersama keponakannya tidur di sebuah
kamar kecil sebelah Barat, yang ditunjuk oleh pengurus
rumah. Sesudah mengunci pintu dan jendela, dengan paras
berseri-seri, Peng Sie berkata dengan suara perlahan:


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siauwya (ma-jikan kecil), mendiang ayah dan ibumu
memberkahi kau! Dua halaman kitab silat itu sekarang sudah
kembali ke dalam tanganmu. Allah sungguh adil!"
"Peng Sie-siok," kata si bocah. "Aku mohon kau jangan
memanggil Siauwya lagi. Jika didengar orang, orang bisa jadi
curiga." Peng Sie mengiakan, sembari mengeluarkan bungkusan
kertas minyak itu yang lalu disodorkan kepada si bocah
dengan sikap menghormat. Ia bu-kan menghormat Peng Hui,
tapi Injin (tuan pe-nolong) yang mewariskan dua halaman
kitab ilmu silat tersebut.
"Peng sie-siok," kata pula bocah itu. "Cara ba-gaimana,
begitu mendengar kisikanmu, Giam Kie lantas saja rela
menyerahkan dua halaman kitab itu?"
Jawab Peng Sie: "Aku berkata: 'Giam Kie, mana itu dua
halaman Kun-keng (kitab ilmu silat)" Biauw Jin Hong, Biauw
Tayhiap, memerintahkan kau mengembalikannya. Tepat, pada
waktu akumengucap-kan kata-kata itu, Biauw Tayhiap melirik
padanya. Itulah suatu kejadian kebetulan yang diberkahi tangan
Allah. Biarpun Giam Kie mempunyai nyali yang sepuluh
kali lipat lebih besar, dia tak akan berani tidak membayar
pulang." Peng Hui berdiam beberapa saat dan kemudian berkata
pula: "Kenapa dua halaman itu bisa berada di dalam
tangannya" Dan kenapa kau menyuruh aku memperhatikan
mukanya" Kenapa dia begitu ketakutan melihat Biauw
Tayhiap?" Peng Sie tak menyahut. Ia menggigit bibir dan mukanya
kelihatan menyeramkan. Air matanya ber-linang-linang di
kedua matanya, tapi sebisa-bisanya ia coba menahan
turunnya air mata itu.
"Sie-siok," kata si bocah dengan suara gemetar. "Sudahlah!
Aku tak akan menanya pula. Bukankah kau sudah berjanji
nanti, sesudah aku besar dan memiliki kepandaian tinggi, baru
kau akan men-ceritakannya dari kepala sampai buntut.
Baiklah, mulai dari sekarang, aku akan belajar giat-giat."
Demikianlah, paman dan keponakan itu lantas saja
bernaung di Siang-kee-po yang besar dan luas.
Peng Sie bekerja di kebun sayur, sedang Peng Hui bertugas
di Lian-bu-teng, menyapu dan mem-bereskan perabotan serta
senjata. Dilain pihak, Ma Heng Kong yang berobat di rumah
keluarga Siang, melewatkan temponya yang senggang dengan
meruridingkan soal-soal ilmu silat dengan puterinya, muridnya
dan Siang Po Cin. Setiap kali mereka berlatih, Peng Hui hanya
melirik satu dua kali, tidak berani menonton lama-lama.
Ma Heng Kong dan yang Iain-lain mengetahui, bahwa
bocah itu bernyali besar. Akan tetapi, mereka sama sekali
tidak menduga, bahwa si kurus sebenarnya mengerti ilmu
silat. Maka itu, setiap kali Peng Hui melirik dengan sikap acuh
tak acuh, baik Ma Heng Kong yang berpengalaman, maupun
Siang Po Cin yang cerdik, belum pernah menduga, bahwa
bocah itu sebenarnya tengah memperhatikan ilmu silat
mereka. Tapi Peng Hui bukan ingin mencuri pelajaran orang. Apa
yang benar-benar dipikirkannya, lebih-lebih tak dapat ditaksir
oleh Ma Heng Kong. Setiap melihat pukulan yang luar biasa, di
dalam hatinya ia selalu berkata: "Apa bagusnya pukulan itu"
Ter-nyata manusia tolol boleh juga digunakan. Tapi jika
menghadapi orang gagah tulen, pukulan itu sedikit pun tiada
gunanya." Harus diketahui, bahwa bocah itu sebenarnya bukan she
Peng, tapi she Ouw, sehingga namanya yang sejati adalah
Ouw Hui. Dia itu bukan lain daripada putera tunggal Ouw It
To, Liautong Tay-hiap yang pernah bertempur melawan Biauw
Jin Hong tiga had tiga malam lamanya. Dari mendiang
ayahandanya, ia mewarisi kitab ilmu silat dan ilmu golok yang
berisi Ouw-kee Kun-hoat dan Ouw-kee To-hoat (Ilmu silat dan
ilmu golok keluarga Ouw), yang tiada keduanya di dalam
dunia. Maka itu, tidak mengherankan, jika Ouw Hui
memandang rendah ilmu silat yang dipertunjukkan oleh Ma
Heng Kong dan yang Iain-lain itu.
Ketika jatuh ke dalam tangannya, kitab tersebut kurang
dua halaman yang berisi pokok-pokok Ouw-kee Kun-hoat dan
Toa-hoat. Oleh karena itu, mes-kipun Ouw Hui cerdas dan giat
luar biasa, ia belum dapat memiliki intisari ilmu mendiang
ayahnya. Dalam waktu yang lampau, kekurangan itu tak dapat
ditambal dengan apapun juga. Sekarang, secara kebetulan,
dua halaman yang dicuri Giam Kie, telah diambil pulang. Maka
itu, bisa dimengerti jika sekarang ia mendapat kemajuan yang
luar biasa pe-satnya. Cobalah dibayangkan: Dengan hanya
memiliki delapan macam pukulan yang didapat dari dua
halaman itu, Giam Kie sudah bisa menjagoi, bahkan sudah
berhasil merubuhkan Pek-seng Sin-kun Ma Heng Kong. Dari
itu, dapatlah ditaksir-taksir bagaimana tingginya kepandaian
Ouw Hui yang sudah memahami kitab itu dari kepala sampai
di buntut. Tentu saja, karena usianya yang masih muda dan tenaga
dalamnya yang masih cetek, banyak bagian kitab itu yang
belum dapat diyakinkannya dengan sempurna. Tapi dengan
bantuan kitab tersebut, latihannya dalam satu hari mempunyai
harga yang sama dengan latihan Cie Ceng dalam sebulan.
Andaikata Cie Ceng dan yang Iain-lain berlatih terus-menerus
puluhan tahun, mereka toh tak akan dapat menyusul Ouw Hui
yang memiliki kitab tunggal itu dalam Rimba Persilatan.
Demikianlah, setiap malam bila seluruh gedung keluarga
Siang sudah terbenam dalam kesunyian, seorang did Ouw Hui
pergi ke tanah belukar untuk berlatih. Ia mempelajari ilmu
golok dengan meng-gunakan golok-golokan kayu. Setiap kali
membacok, seperti juga ia membacok musuh besarnya yang
sudah membinasakan ayahandanya.
Memang benar sekarang ia masih belum mengetahui, siapa
adanya musuh itu, tapi bukanlah Peng Sie-siok sudah
menjanjikan untuk membuka segala rahasia jika ia sudah
besar dan sudah memiliki kepandaian yang tinggi" Memikir
begitu, ia semakin giat berlatih dan menggunakan otaknya
yang cerdas untuk memecahkan rahasia-rahasia yang
tersembunyi dalam Kun-keng itu. Ia harus menggunakan
otaknya, sebab ilmu silat yang paling tinggi harus dipelajari
dan diselami dan bukan hanya harus dilatih dengan
menggunakan tenaga jasmani.
Dalam sekejap, sudah lewat tujuh delapan bu-lan. Luka Ma
Heng Kong sudah lama sembuh, akan tetapi setiap kali
mereka ingin berlalu, Siang Loo-tay dan puteranya selalu
menahan dengan keras. Karena memang perusahaan Piauwkioknya
sudah ditutup sehingga ia sudah tidak mempunyai
peker-jaan lagi dan juga karena nyonya rumah itu serta
puteranya menahan secara sungguh-sungguh, maka Ma Heng
Kong selalu menunda-nunda keberang-katannya.
Secara resmi, Siang Po Cin tidak mengangkat Ma Heng
Kong sebagai guru. Orang angkuh sebagai Siang Loo-tay yang
sangat bangga akan kepandaian Pat-kwa-to Siang Kiam Beng,
mana mau gampang-gampang mengijinkan puteranya
mengangkat orang luar sebagai guru" Akan tetapi, mengingat
budi keluarga Siang yang sangat besar, Ma Heng Kong sendiri
memandang Po Cin sebagai muridnya sen-diri. Apa juga yang
dikehendaki pemuda itu, asal ia mampu, ia tentu
memberikannya dengan segala senang hati. Biarpun
bagaimana juga, Pek-seng Sin-kun memang mempunyai ilmu
silat yang cukup tinggi. Maka itu, selama tujuh delapan bulan,
Siang Po Cin sudah memperoleh pelajaran yang tidak sedikit
dari orang tua itu.
Sementara itu, Ma Heng Kong masih belum dapat
memecahkan teka-teki yang selalu merupa-kan pertanyaan
dalam hatinya. Kenapa, pada hari itu, Giam Kie sudah berlalu
terbirit-birit, dengan mendapat luka" Ia menduga, bahwa di
dalam rumah keluarga Siang bersembunyi seorang yang
berke-pandaian sangat tinggi. Tapi, siapakah orang itu" Sekali,
secara tiba-tiba ia menimbulkan soal itu. Akan tetapi, sembari
tertawa, Siang Loo-tay mem-beri jawaban yang menyimpang.
Sebagai seorang yang cerdas, Ma Heng Kong mengetahui,
bahwa nyonya rumah sungkan membuka rahasia itu dan mulai
dari waktu itu, ia tidak berani menyebut-nyebut pula persoalan
itu. *** Sebagai seorang tua, sering-sering Ma Heng Kong tidak
bisa tidur pulas. Pada suatu malam, kira-kira jam tiga,
mendadak ia mendengar suara "krek" di luar tembok, seperti
suara patahnya ca-bang pohon kering. Dengan
pengalamannya yang luas, Pek-seng Sin-kun segera
mengetahui, bahwa seorang tetamu malam sedang lewat di
luar rumah. Tapi heran sungguh, sehabis suara "krek" itu,
tidak terdengar pula suara lain, sehingga ia tidak mengetahui,
ke mana perginya tetamu malam itu.
Meskipun ia berdiam di Siang-kee-po sebagai tetamu, tapi
karena mengingat budi keluarga Siang yang sangat besar, Ma
Heng Kong selalu meng-anggap keselamatan keluarga
tersebut, seperti ke-selamatannya sendiri. Dengan cepat, dari
bawah bantalnya, ia menarik keluar Kim-sie Joan-piannya
yang lalu dilibatkan di pinggangnya dan perlahan-lahan ia
membuka pintu. Baru saja ia ingin melompati tembok, di tempat yang
jauhnya kira-kira empat lima tombak, men-dadak berkelebat
sesosok bayangan hitam yang terus berlari-lari ke arah
gunung di belakang.
Dalam sekelebatan itu, Ma Heng Kong menge-tahui, bahwa
orang itu mempunyai ilmu mengen-tengkan badan yang cukup
tinggi. "Apakah bukan Giam Kie yang datang lagi untuk
mencari urusan?" tanyanya di dalam hatinya. "Urusan ini
muncul karena gara-garaku, sehingga aku tentu tidak bisa
tinggal berpeluk tangan." Memikir begitu, lantas saja ia
mengejar. Tapi, sesudah mengejar kurang lebih tiga puluh
tombak, bayangan itu menghilang.
"Celaka!" Ma Heng Kong mengeluh. "Jangan-jangan aku
kena diakali dengan tipu memancing harimau keluar dari
gunung." Buru-buru ia kembali ke gedung keluarga Siang, tapi
keadaan di situ tenang dan tentram sehingga Pek-seng Sinkun
menjadi lega hatinya. Tapi, biar bagaimanapun juga, ia
tetap bereuriga dan khawatir. "Gerakan orang itu luar biasa
dan dia bukan lawan enteng," pikirnya. "Tapi badannya kecil
kurus dan sama sekali tidak mirip dengan badan Giam Kie
yang tinggi besar. Siapa dia?"
Ia mengebaskan Joan-piannya beberapa kali dan pergi ke
belakang untuk menyelidiki terlebih jauh. Di waktu mendekati
batas pekarangan belakang, tiba-tiba kupingnya menangkap
bunyi sabet-an-sabetan golok.
"Malu aku!" ia mengeluh. "Benar ada tetamu yang
menggerayang ke sini. Dengan siapa dia bertempur?"
Dengan sekali menjejak kaki, Ma Heng Kong sudah hinggap
di atas tembok. Ia celingukan dan memasang kuping.
Ternyata, bunyi itu keluar dari sebuah rumah genteng yang
terletak di bagian belakang tapi sungguh heran, sedang
pertempuran berlangsung dengan serunya, sama sekali tidak
ter-dengar bentakan atau cacian. Ma Heng Kong mengetahui,
bahwa dalam pertempuran itu tentu ter-sembunyi latar
belakang lain, sehingga ia tidak berani sembarangan
menerjang untuk memberikan bantuan. Perlahan-lahan ia
mendekati jendela dan mengintip dari sela-selanya, dan...
hampir- hampir ia tertawa.
Dalam ruangan itu yang kosong melompong dan yang
hanya diterangi sebuah pelita kecil di atas meja, terdapat dua
orang yang sedang bertempur seru dan kedua orang itu bukan
lain daripada Siang Loo-tay dan puteranya.
Ma Heng Kong jadi seperti orang kesima. Dengan hebat
Siang Loo-tay menghujani puteranya dengan seranganserangan
berat dan gerakan-ge-rakanannya yang gagah dan
gesit berbeda seperti langit dan bumi dengan keloyoannya
yang biasa diperlihatkan terhadap orang luar. Dilain pihak,
Siang Po Cin melayani ibunya dengan ilmu golok Pat-kwa-to
yang sangat lihay. Ma Heng Kong sekarang mengetahui,
bahwa bukan saja si nyonya tua, tapi Siang Po Cin pun sudah
sengaja menyem-bunyikan kepandaiannya sendiri.
Sambil menonton, Pek-seng Sin-kun teringat akan suatu
kejadian lima belas tahun berselang, di jalan Kam-liang,
dimana ia sudah bertempur melawan ayah Siang Po Cin.
Dalam pertempuran itu, ia terkena satu pukulan, sehingga
harus berobat tiga tahun untuk menyembuhkan lukanya.
Ia mengetahui, bahwa kepandaiannya masih kalah jauh
dari kepandaian Siang Kiam Beng, sehingga sakit hatinya akan
sukar dibalas dan semenjak itu, tak pernah ia berjalan lagi di
jalan Kam-liang. Belakangan, sesudah Siang Kiam Beng
meninggal dunia dan nyonya Siang melepas budi begitu besar
kepadanya, ia mencoret sakit hati itu dari hatinya. Tapi, siapa
nyana, pada malam itu, ia kembali dapat menyaksikan ilmu
golok Pat-kwa-to yang diperlihatkan oleh janda dan putera
musuhnya. Sembari mengawasi, banyak pertanyaan muncul di dalam
hati Ma Heng Kong. "Ilmu silat Siang Loo-tay tidak berada di
sebelah bawahku," pikirnya. "Tapi kenapa ia menyembunyikan
kepandaiannya itu. Dia sudah menahan aku dan anakku di
dalam rumahnya. Apakah ia mempunyai maksud tertentu?"
Beberapa saat kemudian, ibu dan anak itu tiba-tiba
merubah cara mereka bersilat, masing-masing
mempergunakan Pat-kwa Yoe-sin Ciang-hoat (pukulan Patkwa),
sembari berlari-lari di sekitar ruangan itu. Dengan
demikian, gerakan-gerakan golok mereka bereampur pukulanpukulan
tangan kosong. Sesudah menjalankan habis sampai
lima puluh empat pukulan, kedua belah pihak loncat mundur
dengan berbareng dan berdiri tegak sambil mencekal golok.
Meskipun sudah mengeluarkan banyak tenaga dalam tempo
lama, paras muka Siang Loo-tay sedikit pun tidak berubah,
tapi muka Siang
Po Cin sudah merah seluruhnya- dan napasnya ter-sengalsengal.
"Pernapasanmu sukar sekali diatur," kata sang ibu dengan
suara menyeramkan. "Jika kemajuanmu begitu perlahan,
sampai kapan kau akan dapat membalas sakit hati ayahmu?"
Siang Po Cin menundukkan kepalanya, kelihat-an ia malu
sekali. "Biarpun kau belum pernah menyaksikan ilmu silat Biauw
Jin Hong, tapi tenaganya yang luar biasa, sudah kau lihat


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan mata sendiri, diwaktu ia menahan roda kereta," kata
pula Siang Loo-tay. "Kepandaian Ouw It To tidak berada di
sebelah bawah Biauw Jin Hong. Hai! Aku melihat, dalam
beberapa hari ini kau begitu tergila-gila kepada gadis she Ma
itu, sehingga kau tak sempat lagi berlatih."
Ma Heng Kong terkejut. "Apakah Hong-jie mengadakan
perhubungan yang diluar kepantasan dengan dia?" tanyanya
di dalam hatinya.
Muka Siang Po Cin jadi semakin merah dan ia berkata:
"Ibu, terhadap nona Ma, aku selalu ber-sikap menurut
peraturan. Belum pernah aku bicara banyak-banyak dengan
ia." Siang Loo-tay mengeluarkan suara di hidung dan segera
berkata pula: "Siapa yang telah memelihara kau, dari bayi
sampai besar" Apakah kau kira, aku tidak mengetahui segala
maksud tujuan-mu" Bahwa kau sudah penuju nona Ma, aku
pun tidak menyalahkannya. Baik romannya, maupun ilmu
silatnya, aku sendiri sangat penuju."
Bukan main girangnya Siang Po Cin. "Ibu!" ia berseru
sembari nyengir.
Tapi sang ibu mengebaskan tangannya, seraya
membentak: "Kau tahu, siapa ayahnya?"
"Bukankah Ma Loopiauwtauw?" si anak balas menanya.
"Siapa kata bukan?" kata Siang Loo-tay. "Tapi apakah kau
tahu, ada apa di antara Ma Loopiauwtauw dan keluarga kita?"
Siang Po Cin menggeleng-gelengkan kepalanya sembari
mengawasi ibunya dengan hati berdebar-debar.
"Anak! Dia adalah musuh ayahmu!" kata sang ibu.
Bukan main kagetnya Siang Po Cin. "Ha!" ia berseru.
"Lima belas tahun berselang," tutur Siang Loo-tay,
"Ayahmu telah bertempur dengan Ma Heng Kong di jalan
Kam-liang. Ayahmu memiliki ke-pandaian yang sangat tinggi
dan tentu saja orang she Ma itu bukan tandingannya. Dalam
pertem-puran itu, ayahmu sudah menghadiahkan kepada-nya
satu bacokan dan satu gebukan, sehingga dia mendapat luka
berat. Tapi orang she Ma itu juga bukan sembarang orang dan
dalam perkelahian itu, ayahmu pun telah mendapat luka di
dalam. Ketika ayahmu pulang, sedang lukanya belum sembuh,
musuh besar kita, Ouw It To, malam-malam datang
menyatroni dan membunuh ayahmu. Jika orang she Ma itu
tidak lebih dulu melukakan padanya... hm! Manusia semacam
Ouw It To, biar bagaimanapun juga tak akan dapat melukakan
padanya!" Di waktu mengeluarkan kata-kata itu, pada suaranya
sangat rendah dan sungguh menyeramkan. Selama hidupnya,
Ma Heng Kong sudah kenyang menghadapi macam-macam
badai dan taufan, tapi pengalamannya disaat itu, benar-benar
dirasakan sangat menyeramkan olehnya, sehingga sekujur badannya
jadi bergemetar. "Ouw It To adalah seorang gagah
yang kepandaiannya tak dapat diukur ba-gaimana tingginya,"
katanya di dalam hati. "Biarpun Siang Kiam Beng tidak
mendapat luka, jangan harap ia dapat meloloskan diri.
Sungguh sial! Gara-gara si nenek mencinta suami, semua
kesalahan agaknya mau ditimpakan ke atas kepalaku." Sesaat
kemu-dian, Siang Loo-tay kedengaran berkata lagi. "Dan
sekarang, secara sangat kebetulan, dengan meng-iring piauw,
si tua bangka sudah datang sendiri kemari. Dengan tangannya
sendiri, mendiang ayahmu telah mendirikan Siang-kee-po ini.
Mana bisa aku membiarkan segala bangsa tikus berlaku
kurang ajar dan merampas piauw dalam rumah ini" Tapi,
apakah kau tahu maksudku menahan orang she Ma itu, ayah
dan anak, di sini?"
"Ibu... kau... kau ingin membalas... sakit hati ayah?" jawab
Siang Po Cin dengan suara terputus-putus.
"Kau keberatan, bukan!" bentak ibunya. "Ka-rena kau
mencinta perempuan she Ma itu, ya?"
Melihat ibunya seperti orang kalap dan kedua matanya
seakan-akan mengeluarkan api, Siang Po Cin mundur
beberapa tindak dan tidak berani mengeluarkan sepatah kata.
Beberapa saat kemudian, Siang Loo-tay tertawa dingin.
"Baiklah," katanya. "Beberapa hari lagi, aku akan majukan
lamaran kepada orang she Ma itu. Dengan memandang
keadaanmu dan mukamu, ku-rasa lamaran itu tidak akan
ditolak." Perkataan Siang Loo-tay yang tidak diduga itu kembali
mengejutkan Siang Po Cin dan Ma Heng Kong.
Dari sela-sela jendela, Ma Heng Kong dapat melihat paras
muka nyonya itu yang mengandung kebencian hebat dan
tanpa merasa, bulu romannya berdiri. "Sungguh beracun hati
tua bangka itu," pikirnya. "Dia merasa tidak cukup jika hanya
meng-ambil jiwaku. Dia sekarang ingin mengambil anakku
sebagai menantunya untuk dipersakiti begitu rupa, sehingga
hidup tak bisa, mati pun tak mungkin. Tapi Allah masih
berbelas kasihan, sehingga malam ini aku dapat mendengar
segala siasatnya. Jika tidak... ah! Sungguh kasihan, Hong-jie
yang mesti menjadi korban...."
Siang Po Cin yang belum berpengalaman, tidak mengetahui
maksud ibunya yang sebenarnya. la hanya menjadi girang
tereampur heran.
Dilain pihak, Ma Heng Kong yang khawatir ketahuan jika
berdiam lama-lama di situ, lantas saja berlalu dengan indapTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
indap. Setibanya di kamarnya sendiri, ia menyusut keringat
dingin yang berketel-ketel di dahinya. Mendadak ia ingat akan
kejadian yang menuntun dirinya ke tempat berlatihnya Siang
Loo-tay dan Siang Po Cin. "Siapakah bayangan kurus kecil itu
yang lari ke gunung belakang?" tanyanya kepada diri sendiri.
Keesokan harinya, diwaktu lohor, dengan mengenakan
thungsha dan ma-kwa, Ma Heng Kong minta Siang Po Cin
mengundang ibunya dengan pesan, bahwa ia hendak
merundingkan suatu soal yang sangat penting.
Siang Po Cin girang berbareng kaget. "Apakah begitu cepat
ibu sudah majukan lamaran?" pikirnya. "Sikap dan pakaian Ma
Loopiauwtauw sangat ber-beda dengan biasanya."
Sesudah nyonya Siang dan Ma Heng Kong mengambil
tempat duduk di ruangan belakang, Siang Po Cin duduk
menemani mereka dengan hati berdebar-debar. Lebih dulu Ma
Loopiauwtauw menghaturkan terima kasih kepada nyonya
rumah yang sudah begitu baik hati untuk memberi tempat
meneduh kepada mereka bertiga. Pernyataan terima kasih itu
disambut oleh Siang Loo-tay dengan kata-kata merendah.
Sesudah selesai dengan kata-kata pembukaan, barulah Ma
Heng Kong mulai dengan tujuannya yang sebenarnya.
"Anakku It Hong sudah bukan kecil lagi dan aku ingin
mendamaikan suatu urusan dengan Siang Loo-tay," ia mulai.
Jantung Siang Po Cin memukul keras, sedang nyonya Siang
merasa heran. Ia menduga, bahwa Ma Heng Kong mau
membuka mulut untuk merangkap jodoh puterinya dengan
Siang Po Cin. Bahwa pihak perempuan membuka mulut lebih
dulu, adalah kejadian yang sangat langka.
"Ma Loosu boleh bicara saja dengan bebas," jawab nyonya
Siang. "Kita adalah orang sendiri, tak usah Ma Loosu memakai
adat istiadat."
"Di samping anakku, selama hidup aku hanya mempunyai
seorang murid," kata Ma Heng Kong. "Dia itu adalah seorang
yang tumpul otaknya dan kasar sifatnya. Akan tetapi,
semenjak ia masih kecil aku selalu menganggapnya sebagai
anakku sendiri. Dengan Hong-jie, dia sudah bergaul lama dan
ke-lihatannya sangat akur. Maka itu, aku berniat meminjam
rumah Siang Loo-tay untuk pertunangan mereka!"
Dapat dibayangkan, bagaimana kagetnya Siang Po Cin
setelah mendengar ucapan itu. Tanpa rae-rasa, ia berbangkit
sambil mengawasi Ma Heng Kong.
"Sungguh lihay tua bangka itu," kata Siang Loo-tay di
dalam hatinya. "Tak bisa salah lagi, tentunya anak kurang ajar
ini yang sudah berlaku tidak hati-hati, sehingga rahasia jadi
terbuka." Tapi, sedang hatinya berkata begitu, mulutnya
memberi selamat dengan paras girangyang dibuat-buat.
"Anak! Lekas memberi selamat kepada Ma Loopeh!" ia
memerintah puteranya.
Otak Siang Po Cin tak dapat bekerja lagi. Ia seperti orang
kesima dan mengawasi ibunya dengan mendelong. Akhirakhirnya,
tanpa mengucapkan sepatah kata, ia lari keluar dari
ruangan itu! Sesudah mengucapkan lagi terima kasih dengan kata-kata
merendah, Ma Heng Kong kembali ke kamarnya dan segera
memanggil It Hong serta Cie Ceng. Kepada mereka itu,
dengan ringkas ia mem-beritahukan, bahwa had itu mereka
akan ditunang-kan.
Tak kepalang girangnya Cie Ceng, sedang It Hong kemalumaluan
dengan paras muka yang ber-ubah merah.
"Kamu hanya ditunangkan," orang tua itu mene-rangkan.
"Pernikahan antara kamu baru diatur sesudah kita pulang."
Kalau Cie Ceng sedang tergirang-girang, adalah Siang Po
Cin yang bersedih hati. Sesudah bergaul dengan It Hong yang
cantik manis delapan bulan lamanya, pemuda itu terjirat eraterat
dalam pe-rangkap dewi asmara. Semalam mendengar
janji ibunya untuk meminang nona tersebut, bukan main
girang hatinya. Maka itu, dapatlah dibayangkan bagaimana
kagetnya, ketika mendengar pengutara-an Ma Heng Kong.
Seorang diri, ia duduk terpekur di dalam kamarnya,
memikirkan nasibnya yang sa-ngat sial. Bagaikan seorang
linglung, kedua matanya mendelong mengawasi pohon Ginheng
yang tum-buh di luar jendela kamarnya. Ia hampir tidak
pereaya akan kupingnya sendiri yang mendengar bahwa Ma
Heng Kong telah mengucapkan kata-kata itu.
Tak tahu berapa lama ia menjublek di situ.
Ia terkejut ketika seorang pelayan dengan tiba-tiba masuk
ke kamarnya sembari berkata: "Siauwya, waktu untuk berlatih
sudah tiba. Loo Tay-tay sudah menunggu lama sekali."
Siang Po Cin terkesiap. "Celaka!" ia mengge-rendeng. "Aku
bakal dimaki." Ia merenggut kantong piauwnya dan pergi ke
Lian-bu-teng sambil berlari-lari.
Begitu masuk, ia melihat ibunya duduk di kursi dengan
paras angker. "Hari ini berlatih dengan jalan darah di bagian
pundak," katanya. Ia berpaling kepada dua pelayan dan
berseru: "Pegang papan erat-erat. Jalan!"
Diam-diam Siang Po Cin merasa tereengang. Ia merasa
heran bahwa ibunya sama sekali tidak ter-pengaruh oleh
perkataan Ma Heng Kong dan terus bersikap seperti biasa.
Tapi ia tidak berani berpikir lama-lama. Semenjak kecil, ia
biasa dididik dengan keras sekali oleh ibunya. Dalam ruangan
berlatih, sedikit pun ia tidak boleh lengah. Begitu salah, ia
tentu tak akan terlolos dari gebukan atau sedikitnya cacian.
Demi-kianlah, buru-buru ia mengambil sebuah piauw dari
kantong itu dan siap sedia untuk menimpuk.
"Biauw Jin Hong. Beng-bun, Toh-to!" teriak Siang Loo-tay.
Tangan kanan Siang Po Cin terayun dan dua buah piauw
dengan jitu sekali menenai dua jalan darah yang disebutkan
ibunya. "Ouw It To. Ta-tui, Yang-koan!" nyonya Siang berteriak
pula. Siang Po Cin mengayun tangan kirinya dan dua buah piauw
lantas saja menyambar ke arah papan yang terlukis gambar
Ouw It To. Mendadak, mata Siang Po Cin melihat adanya perubahan
pada papan itu. "Ih!" ia berseru sembari mengawasi dengan
tajam. Ternyata, huruf-huruf "Ouw It To" pada papan itu
sudah tidak kelihatan lagi.
Siang Loo-tay yang juga sudah melihat perubahan itu,
lantas menggapai bujangnya yang membawa papan. Setelah
diteliti, baru ketahuan, bahwa huruf-huruf "Ouw It To" sudah
dikerik hilang dengan sebuah benda tajam dan sebagai
gantinya, di papan itu terdapat cukilan huruf-huruf "Siang
Kiam Beng"!
Siang Po Cin tak dapat menahan amarahnya lagi. Dengan
sekali menggaplok, ia membuat dua buah gigi bujang itu
rontok dan dengan sekali menendang, ia menyebabkan orang
apes itu rubuh di atas lantai.
"Tahan!" teriak Siang Loo-tay. Ia mengetahui bahwa
bujang itu yang dipelihara sedari kecil, tentu tidak berani
melakukan perbuatan tersebut. Tak bisa salah lagi, perbuatan
itu tentu dilakukan oleh orang luar dan orang luar itu, menurut
taksirannya, bukan lain daripada Ma Heng Kong bertiga.
"Coba undang Ma Loosu datang ke sini," ia memerintah
salah satu orangnya.
Siang Po Cin sebenarnya adalah seorang yang sangat hatihati.
Tapi pada hari itu, oleh karena kegagalannya dalam
pereintaan, ia menjadi sangat aseran. Begitu mendengar
ibunya memerintahkan orang memanggil Ma Heng Kong,
lantas juga ia mendusin akan kekeliruannya. Ia
membangunkan bujang yang digaploknya tadi dan berkata:
"Aku sudah salah memukul kau, harap kau tidak menjadi
gusar." Sehabis berkata begitu, ia mengangkat ta-ngannya
untuk mencabut dua buah piauw yang menancap di papan.
"Tahan!" kata Siang Loo-tay yang lalu memerintah orang
mengambil Pat-kwa-to.
Sebelum golok itu diambil, Ma Heng Kong bertiga sudah
masuk ke ruangan Lian-bu-teng. Ia terkejut ketika melihat
paras muka nyonya Siang yang sedang gusar. Buru-buru ia
menyoja seraya menanya: "Ada urusan apa, Siang Loo-tay-tay
memanggil aku?"
Nyonya Siang tertawa dingin. "Suamiku sudah lama
meninggal dunia," jawabnya dengan tawar. "Walaupun
andaikata sampai sekarang Ma Loosu masih mempunyai
ganjalan berhubung dengan pe-ristiwa tempo hari, tidaklah
pantas, jika Loosu mengumbar nafsu terhadap orang yang
sudah tiada lagi di dunia...."
Pek-seng Sin-kun menjadi bengong. "Aku tak mengerti..."
katanya, tergugu. "Mohon Siang Loo-tay sudi bicara terlebih
terang." Dengan mata berapi, nyonya Siang menuding papan itu
dan berkata dengan suara keras: "Ma Loosu adalah seorang
laki-laki dalam kalangan Kang-ouw. Aku merasa pasti, kau
tidak akan melakukan perbuatan yang serendah itu. Aku mau
tanya: Siapa yang melakukan itu, puterimu atau muridmu?"
Sehabis berkata begitu, matanya menyapu Ma Heng Kong
bertiga dengan sikap yang sangat angker.
Ma Heng Kong heran dan terkejut melihat perubahan nama


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pada papan itu. Tapi lekas juga ia menjawab dengan suara
nyaring: "Meskipun anak dan muridku orang-orang tolol, aku
berani memastikan, bahwa mereka tak akan berani berbuat
begitu." "Dengan lain perkataan, kau mau mengatakan, bahwa
perbuatan itu sudah dilakukan oleh orang-orang dari Siangkeepo sendiri, bukan?" seru Siang Loo-tay.
Ma Heng Kong lantas saja ingat akan orang kecil kurus
yang ia jumpai semalam. "Apakah tak bisa jadi, perbuatan itu
dilakukan oleh orang luar yang masuk ke gedung ini?"
tanyanya. "Semalam aku...."
"Maksudmu anjing Ouw It To sendiri yang menggerayang
ke sini?" bentak Siang Loo-tay.
Baru habis perkataannya itu diucapkan, di luar ruangan
mendadak terdengar suara seseorang yang sangat nyaring:
"Tak berani mencari orangnya, namanya yang dihantam
pulang pergi! Itulah baru perbuatan rendah!"
"Siapa itu" Kemari!" Siang Loo-tay memanggil.
Di lain saat, dua bujang yang berdiri dekat pintu, didorong
orang dan seorang bocah yang kecil kurus bertindak masuk.
Bocah itu bukan lain dari-pada Ouw Hui.
Itulah suatu kejadian yang benar-benar di luar dugaan.
"A-hui, kalau begitu kau?" kata Siang Loo-tay dengan suara
dalam. Ouw Hui manggutkan kepalanya dan menjawab dengan
tenang: "Benar. Aku yang berbuat. Tak ada sangkut pautnya
dengan Ma Loosu."
"Kenapa kau berbuat begitu?" tanya nyonya Siang.
"Mataku tak enak melihatnya!" sahut si bocah. "Seorang
gagah tak pantas berlaku seperti kau."
Siang Loo-tay mengangguk. "Anak manis, benar katakatamu,"
katanya. "Kau mempunyai tulang punggung. Mari
lebih dekat, aku mau melihat muka-mu secara lebih tegas."
Sembari bicara, ia meng-ulurkan tangannya.
Ouw Hui yang sama sekali tak menyangka, bahwa nyonya
itu tidak menjadi gusar, lantas saja maju mendekati. Siang
Loo-tay mengusap-usap ke-dua tangannya yang kecil seraya
berkata: "anak baik, benar-benar kau anak baik!"
Mendadak, dengan sekali membalik tangannya, Siang Lootay
menotok dengan kedua tangannya, sebelah tangannya
menotok jalan darah Hwi-cong-hiat di pergelangan tangan kiri
Ouw Hui dan sebelah tangan lagi menotok jalan darah Gwakoanhiat di pergelangan tangan kanan bocah itu. To-tokan itu
yang dilakukan secepat kilat, tak dapat dielakkan lagi dan Ouw
Hui tidak dapat bergerak pula. Dengan kepandaian yang
dimilikinya, sebe-narnya si nenek tak akan mampu
merubuhkan Ouw Hui. Hanya kekurangan pengalaman yang
sudah membikin ia terperangkap secara begitu mudah. Karena
khawatir tawanannya masih akan dapat melarikan diri, Siang
Loo-tay lalu mengirimkan tendangan ke arah jalan darah
Siauw-yauw-hiat. Sesudah memamerkan kegagahannya di
hadapan seorang anak kecil, ia meneriaki orang-orangnya
untuk mengambil rantai dan tambang, guna meng-gantung
putera Ouw It To ini di tengah-tengah Lian-bu-teng.
Sesudah korbannya digantung, Siang Po Cin segera
mengambil cambuk kulit dan menghantam Ouw Hui kalang
kabut. Sambil menggigit bibir, tanpa bersuara anak ini
menerima hujan sabetan itu.
"Siapa menyuruh kau?" bentak Siang Po Cin sembari
menyabet. Sekali membentak, sekali pula ia mengebat.
Sembari menganiaya, ia memerintah orang-orangnya menjaga
Peng Ah Sie supaya ia tidak melarikan diri. Dalam jengkelnya
karena gagal dalam pereintaan, ia sekarang melampiaskan
ama-rahnya di atas kepala anak piatu itu.
Melihat Ouw Hui seolah-olah sudah menjadi "manusia
darah", Ma It Hong dan Cie Ceng merasa sangat tidak tega di
dalam hatinya. Beberapa kali, mereka ingin maju membujuk,
tapi Ma Heng Kong selalu melarang dengan kedipan mata.
Sesudah menghantam kira-kira tiga ratus kali, Siang Po Cin
menghentikan pukulannya, bukan karena kasihan, tapi karena
ia khawatir bocah itu keburu binasa, sebelum dia dapat
mengorek siapa yang menjadi dalang di belakang bocah itu.
"Bangsat kecil!" ia membentak. "Apakah bang-sat Ouw It
To yang menyuruh kau datang ke sini?"
Mendadak, mendadak saja, Ouw Hui tertawa terbahakbahak,
nyaringdan panjang. Bahwa dalam keadaan mandi
darah, bocah itu masih bisa tertawa dan tertawa secara begitu
riang, benar-benar diluar dugaan semua orang.
Siang Po Cin mengangkat pula cambuknya untuk
menyabet. Sekali ini, Ma It Hong tak dapat bersabar lagi.
"Jangan pukul lagi!" ia berteriak. Siang Po Cin mengawasi si
nona dan cambuknya yang sudah terangkat naik, turun lagi
perlahan-lahan.
Kejadian itu merupakan suatu pelajaran ber-harga yang
pahit getir bagi putera Ouw It To. Setiap kali cambuk itu
melanggar tubuhnya, setiap kali ia menyesalkan ketololannya
sendiri. Dan sesudah mendapat pengalaman itu, seumur
hidupnya ia selalu waspada dan tidak pernah membuat
kesalahan untuk kedua kalinya.
Selagi menahan sakit sehingga hampir-hampir menjadi
pingsan, kupingnya mendadak mendengar teriakan: "Jangan
pukul lagi!" Ia membuka kedua matanya dan melihat Ma It
Hong sedang mengawasi ia dengan sorot mata kasihan.
Dalam keadaan ter-jepit, bukan main besar rasa terima
kasihnya. Melihat puterinya ditundukkan oleh paras can-tik, Siang
Loo-tay jadi sangat mendongkol, tapi ia tidak mengucap apaapa.
"Siang Loo-tay," kata Ma Heng Kong. "Biarlah kau
menghajar bocah itu supaya bisa mengorek latar belakangnya.
Hong-jie, Ceng-jie, mari kita berlalu!" la memberi hormat dan
segera meninggalkan ruang-an itu bersama puteri dan
muridnya. Sesudah keluar dari Lian-bu-teng, It Hong menyesalkan
ayahnya. "Ayah," katanya. "Bocah itu dianianya begitu hebat,
kenapa, sebaliknya dari menolong, kau menganjurkan supaya
dia dihajar terus?"
Sang ayah menghela napas dan menyahut: "Kau tahu apa"
Orang-orang Kang-ouw sangat berbahaya dan berhati kejam."
Sebagai pemudi yang masih polos, Ma It Hong sama sekali
tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh ayahnya.
Malam itu, mengingat penderitaan Ouw Hui, tak dapat si
nona tidur pulas. Kira-kira tengah malam, perlahan-lahan ia
turun dari pembaringan dan sesudah mengambil sebungkus
obat luka, ia menuju ke Lian-bu-teng.
Di tengah jalan, tiba-tiba ia bertemu dengan seorang yang
sedang jalan mondar-mandir sembari menghela napas
berulang-ulang. Orang itu adalah Siang Po Cin yang sudah
lantas dapat melihatnya dan segera menghentikan
tindakannya. "Nona Ma," katanya dengan suara perlahan.
"Apakah kau?"
"Benar," jawabnya, "Kenapa kau tidak tidur?"
"Sesudah mengalami kejadian tadi, bagaimana aku bisa
pulas?" sahut pemuda itu sembari meng-gelengkan kepala.
"Dan kau, kenapa kau sendiri tidak tidur?"
"Sama seperti kau," kata si nona. "Aku pun memikirkan
kejadian siang tadi dan hatiku sangat menderita."
"Kejadian siang tadi" yang dimaksudkan Ma It Hong adalah
pemukulan terhadap Ouw Hui, tapi bagi Siang Po Cin,
"kejadian tadi" adalah pertunang-an antara It Hong dan Cie
Ceng. Mendengar perkataan si nona pemuda itu jadi bergemetar
sekujur badannya. "Ah! Kalau begitu ia mencinta aku,"
pikirnya. "Kalau begitu, pertu-nangannya dengan Cie Ceng
adalah atas paksaan ayahnya." Nyalinya jadi lebih besar, ia
maju setindak dan berkata dengan suara halus: "Nona Ma!"
"Hm! Siang Siauwya, aku ingin memohon serupa
pertolongan," kata Ma It Hong.
"Kenapa mesti memohon?" kata Siang Po Cin. "Apa juga
yang diperintahkan olehmu, aku akan segera mengerjakannya.
Andaikata kau ingin aku lantas binasa dan ingin mengorek
keluar jantung hatiku, aku juga akan mengabulkannya." Katakata
itu dikeluarkan dengan bernafsu, dengan suara yang
agak menggetar. Sudah lama ia ingin mencurahkan isi hatinya
dan baru sekarang ia mendapat kesem-patan yang bagus.
Mendengar ucapan itu, si nona jadi terperanjat. Sama
sekali ia tidak mengetahui, bahwa pemuda itu sudah jatuh
cinta kepadanya. Ia bengong beberapa saat dan kemudian
berkata sembari tertawa: "Guna apa aku menginginkan
kebinasaanmu?"
Siang Po Cin menengok ke sana sini, ia khawatir dipergoki
orang. "Bicara di sini tidak leluasa, mari kita pergi keluar
tembok," katanya dengan suara perlahan.
Ma It Hong mengangguk dan mereka berdua lalu
melompati tembok. Sambil menuntun tangan-nya Siang Po Cin
mengajak si nona duduk di bawah pohon Kui.
Perlahan-lahan Ma It Hong menarik tangannya dan
berkata: "Siang Siauwya, apakah kau bersedia meluluskan
permintaanku?"
Pemuda itu mengulurkan tangannya dan kem-bali mencekal
tangan Ma It Hong. "Katakan saja," jawabnya. "Tak usah
banyak menanya-nyanya."
Si nona sekali lagi menarik kembali tangannya yang diusapusap.
"Aku mohon kau melepaskan A-hui," katanya. "Jangan
menganiaya ia lagi."
Saat itu, dahan pohon di atas mereka mendadak
bergoyang, tapi mereka tidak memperhatikannya.
Sebelum Ma It Hong menjelaskannya, Siang Po Cin
berharap nona itu akan mengusulkan supaya mereka lari
berdua, seperti cara Tian Kui Long dan isterinya Biauw Jin
Hong. Tentu saja ia merasa sangat kecewa setelah
mengetahui maksud It Hong yang sebenarnya. Ia berdiam
saja, tak menjawab.
"Bagaimana?" si nona menegas. "Apakah kau merasa
keberatan?"
"Jika kau memaksa, aku tentu akan meluluskan-nya,"
jawab Siang Po Cin. "Biarlah sekali ini aku dicaci habishabisan."
Ma It Hong girang. "Terima kasih, banyak-banyak terima
kasih," katanya sambil berbangkit. "Marilah kita sama-sama
melepaskan dia."
"Duduklah sebentar lagi," Siang Po Cin memohon.
Oleh karena permintaannya sudah diluluskan, si nona
merasa tidak enak jika ia bersikap terlalu getas. Maka itu,
sembari mesem, ia duduk kembali.
"Kasihlah aku mengusap-usap tanganmu," pinta pemuda
gila basa itu. Melihat lagak orang yang sudah jatuh dibawah
pengaruhnya, di dalam hati si nona jadi timbul rasa kasihan
dan ia membiarkan tangannya dielus-elus. Sembari mengusapusap
tangan orang yang ha-lus, hampir-hampir Siang Po Cin
menangis karena mengingat, bahwa nona itu yang begitu
cantik, tak bisa menjadi isterinya.
Lewat beberapa saat, It Hong berkata: "A-hui sudah
digantung terlalu lama, aku sungguh merasa sangat tak tega.
Pergilah kau melepaskan ia dulu. Sesudah itu, boleh kau
datang lagi ke sini." Sehabis berkata begitu, ia menarik
tangannya dan berbangkit lagi. Siang Po Cin meng-hela napas
dan segera turut berdiri.
Sekonyong-konyong di atas pohon terdengar suara
keresekan dan sesosok bayangan hitam melayang turun ke
bawah. "Tak usah dilepaskan!" kata orang itu sembari tertawa.
"Aku sudah bisa melepaskan diriku sen-diri!"
Po Cin dan It Hong terkesiap. Orang itu, yang kecil kurus,
bukan lain daripada Ouw Hui. Sesudah mengetahui siapa
adanya orang itu, rasa kaget mereka berubah menjadi
keheranan besar. "Siapa melepaskan kau?" tanya It Hong dan
Po Cin dengan berbareng.
"Perlu apa pertolongan orang?" jawab bocah itu sembari
nyengir. "Aku senang keluar, aku lantas keluar."
Harus diketahui, bahwa totokan Siang Loo-tay hanya
mempunyai kekuatan untuk empat jam lama-nya. Sesudah
lewat empat jam, jalan darah Ouw Hui terbuka sendiri.
Dengan menggunakan ilmu mengkeretkan otot dan tulang,
mudah saja ia meloloskan did. Untung juga, meskipun kena
labrakan hebat, semua lukanya adalah luka di kulit yang tidak
berbahaya. Sesudah menggerak-gerakkan kaki tangannya
agar darahnya berjalan !agi sebagaimana biasa, selagi ingin
ber-tindak untuk menolong Peng Ah Sie, mendadak ia
mendengar suara It Hong dan Po Cin yang bersama-sama
melompati tembok. Buru-buru ia menyusul dan loncat ke atas
pohon. Berkat ilmu mengen-tengkan badannya yang sangat
tinggi, Siang Po Cin dan Ma It Hong sama sekali tidak
mengetahui, bahwa ia sedang mengintip mereka.
Dapat dimengerti, bahwa Siang Po Cin, sedikit juga tidak
pereaya, jika Ouw Hui dapat meloloskan dirinya sendiri. Ia
menduga, bahwa pasti ada orang yang menolong bocah itu.
Dengan sikap garang, ia mendekati dan mencengkeram dada
si bocah. Sesudah dianiaya dengan ratusan sabetan pe-cut, mana
bisa sakit hati itu tidak dibalasnya" Sekali badannya
digoyangkan, cengkeraman Siang Po Cin terlepas dan kedua
tangannya lantas saja bekerja cepat sekali. Dalam sekejap
saja, muka putera Siang Kiam Beng ini sudah kena tujuh
delapan tamparan. Dengan gelagapan, Siang Po Cin coba
membela diri. Sembari menyampok dengan tangan kirinya,
Ouw Hui mengirimkan tinju kanannya yang jatuh tepat di
hidung musuhnya itu, yang segera menge-luarkan darah. Ia
tidak berhenti sampai di situ saja. Berbareng dengan
jotosannya, ia menggaet dengan kakinya. Buru-buru Siang Po
Cin menjejak kakinya dan badannya melesat ke atas untuk
meloloskan diri dari gaitan itu. Tapi tak dinyana, selagi
tubuhnya masih berada di tengah udara, Ouw Hui yang
gerakannya cepat bagaikan kilat, sudah mengirimkan Lianhoantui (tendangan berantai), sehingga tak ampun lagi, Siang
Po Cin jungkir balik dan ke-mudian rubuh ngusruk di atas
tanah. Sungguh pun musuhnya sudah terguling, hati Ouw Hui
masih belum puas. Tapi ia tahu, jika ia menghantam lagi, Ma
It Hong tentu akan menyelak antara mereka. Sebagai ksatria
yang harus meng-ingat budi orang, ia tentu tidak dapat


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menolak permintaan si nona.
Ouw Hui masih muda usianya, tapi banyak akal budinya.
"Orang she Siang!" ia berseru. "Anjing kecil! Berani kau
mengubar aku?" Sehabis berteriak begitu, ia memutarkan
badan dan terus kabur.
Ketika itu, Siang Po Cin merasa, bahwa karena kurang
waspada, ia sudah kena dirubuhkan oleh musuh yang
gerakannya cepat luar biasa itu. Sedikit pun ia tidak pereaya,
bahwa dengan memiliki ilmu silat Pat-kwa peninggalan
mendiang ayahnya, dalam pertempuran yang sungguhsungguh,
ia bisa di-jatuhkan oleh bocah cilik. Selain itu,
beradanya Ma It Hong di sampingnya, sudah membikin ia jadi
malu sekali. Demikianlah, tanpa berkata suatu apa, ia segera
mengejar. Ilmu mengentengkan badan Ouw Hui banyak lebih unggul
daripada Siang Po Cin, tapi ia sengaja menahan larinya,
supaya musuhnya tidak keting-galan terlalu jauh. Dengan
cepat mereka sudah melalui tujuh delapan li, Ouw Hui
menengok dan melihat Ma It Hong sedang membuntuti dari
be-lakang. Ia menghentikan tindakannya dan mem-bentak:
"Orang she Siang! Hari ini majikan kecilmu menerima hinaan
karena ibumu sudah menggunakan akal licik. Sekarang
Siauwyamu ingin memper-lihatkansedikit kepandaiannya."
Berbareng dengan caciannya, ia menubruk bagaikan seekor
elang. Buru-buru Siang Po Cin berkelit. Begitu hing-gap, kaki kiri
Ouw Hui kembali menjejak tanah dan badannya menubruk
pula dari jurusan lain. Oleh karena tidak keburu berkelit lagi,
Siang Po Cin mengulurkan kedua tangannya untuk
menyambut. Begitu kebentrok, Siang Po Cin merasakan kedua
tangannya sakit luar biasa dan jika tidak keburu ditarik, kedua
pergelangan tangannya tentu sudah menjadi patah. Ouw Hui
tak mau memberi hati kepadanya. Bagaikan kilat, tinjunya
mampir di dada musuh, sedang kaki kanannya telak mengenai
kem-pungan Siang Po Cin.
Dalam bingungnya, Siang Po Cin menggunakan kedua
tangannya untuk menutupi kepala dan muka-nya. Sungguh
kasihan, latihan sepuluh tahun sedikit pun tiada gunanya. Tapi
Ouw Hui yang merasa sangat sakit hati, sungkan berhenti
sampai di situ. Ia mengangkat kaki kirinya untuk menggertak
dan selagi musuhnya berkelit ke kanan, ia memapaki dengan
kaki kanannya yang dengan jitu mampir di jalan darah Siauwyauwhiat, sehingga tanpa am-pun, putera Siang Kiam Beng
itu rubuh kejengkang.
Ouw Hui membeset thungsha musuhnya yang kemudian
digunakan untuk mengikat tubuh musuh itu sendiri.
Sebenarnya ia niat menggantung musuh itu di pohon liu, tapi
karena badannya terlalu kecil, ia tak dapat mewujudkan
maksudnya. Maka itu, ia lalu mengangkat badan musuhnya
dan melontar-kannya ke atas. Tepat sekali, badan Siang Po
Cin terjepit antara cabang dahan bereagak.
Dengan gemas Ouw Hui memotes tujuh de-lapan batang
cabang pohon liu yang lalu digunakan mengebat musuhnya.
Siang Po Cin gusar dan malu bukan main, tapi ia pun
mengetahui, bahwa tak gunanya meminta ampun. Sesudah
Ouw Hui menyabet kira-kira tiga puluh kali, Ma It Hong sudah
menyusul sampai di situ. Ia terperanjat melihat pemandangan
itu dan untuk sementara, ia tak dapat mengeluarkan sepatah
kata. "Nona Ma," kata Ouw Hui sembari tertawa. "Kau tak usah
mintakan ampun. Sekarang juga aku ampuni dia!" Ia tertawa
terbahak-bahak. Walaupun baru berusia belasan tahun, Ouw
Hui mempunyai sikap dan keangkeran seorang ksatria sejati.
Ia melemparkan cabang-cabang liu itu dan berlalu dengan
tindakan lebar.
"Sahabat kecil!" seru It Hong. "Siapa sebenarnya kau?"
Ouw Hui memutarkan badannya dan menyahut dengan
nyaring: "Pertanyaan nona tak dapat tak dijawab. Aku adalah
Ouw Hui, putera Tayhiap Ouw It To!" Ia tertawa nyaring dan
panjang, di lain saat, tubuhnya kecil kurus sudah menghilang
di antara pohon-pohon liu.
Ma It Hong berdiri terpaku. Pengakuan Ouw Hui benarbenar
mengagetkan. Berselang beberapa saat, baru si nona
bisa membuka suara. "Siang Siauwya," katanya. "Apakah kau
bisa turun?"
Siang Po Cin coba berontak, tapi ia tak dapat memutuskan
tali ikatan itu. Seluruh mukanya merah, tak dapat ia memberi
jawaban. "Sudahlah, jangan bergerak," kata pula It Hong. "Kalau
jatuh, kau bisa luka. Biarlah aku membantu."
Sehabis berkata begitu, ia segera memanjat pohon itu.
Selagi ia manjat, mendadak terdengar bunyi tindakan kuda
dan sejumlah penunggang kuda ke-lihatan mendatangi.
Waktu itu, fajar baru menyingsing dan udara masih agar
gelap. "Kenapa begini pagi orang-orang itu sudah melakukan
perjalanan?" tanya si nona di dalam hatinya. Dalam sekejap
saja mereka sudah tiba di bawah pohon itu. Melihat seorang
nona memanjat pohon dan seorang lelaki yang terikat
badannya, terjepit antara cabang dahan, mereka -yang
semuanya berjumlah sembilan orang - menjadi heran bukan
main. "Jangan nonton!" seru Ma It Hong. "Pergilah!" Sembari
berkata begitu, si nona loncat ke atas dan menjambret dahan
pohon yang menjepit Siang Po Cin.
"Sungguh indah ilmu mengentengkan badan itu!" puji salah
seorang penunggang kuda.
Buru-buru Ma It Hong membuka ikatan Po Cin dan
menanya dengan suara halus: "Apakah kau terluka?"
Suara si nona yang lemah lembut sangat meng-girangkan
hati Siang Po Cin. "Tak apa-apa," jawab-nya, lalu ia meloncat
turun, diikuti Ma It Hong.
Melihat sembilan orang itu kasak-kusuk secara kurang ajar,
Siang Po Cin jadi sangat mendongkol. Ia melirik dengan sorot
mata gusar. Mereka itu, ada yang tua, ada juga yang muda
dan semua berpakaian indah serta bersikap garang. Di antara
mereka terdapat seorang kongcu (putera orang berpangkat)
yang berparas cakap dan baru berusia kira-kira dua puluh
tahun. Ia mengenakan jubah panjang yang berwarna biru,
sedang kepalanya ditutup dengan sebuah topi kecil tertata dua
butir mutiara sebesar telunjuk.
Ma It Hong yang semenjak kecil sudah meng-ikuti piauwhang,
mengenal baik batu-batu per-mata. Dari jarak beberapa
tombak, kedua mutiara itu sudah terlihat sinarnya yang terang
dan segera juga ia mengetahui, bahwa mutiara itu berharga
sangat tinggi. Ia merasa heran, mengapa benda yang begitu
mahal dicantumkan di topi. Apakah tidak takut jatuh hilang"
Keheranan itu sudah membikin ia melirik beberapa kali.
Di lain pihak, si kongcu yang melihat ke-cantikan Ma It
Hong, lantas saja berdebar hatinya. Ia lalu berbicara bisik-bisik
dengan seorang setengah tua yang segera manggutmanggutkan
kepalanya dan kemudian tertawa berkakakan.
"Bangsat kecil itu tentunya juga telah mencuri, sehingga
digantung di pohon," kata orang setengah tua itu.
"Mencuri apa?" celetuk seorang tua. "Apakah kau tak
melihat, bahwa adiknya menolong dia?" Suara si tua itu
mengejek dan lagaknya tengik.
Siang Po Cin yang memang sudah mendongkol. lantas saja
naik darah. Sambil melompat, ia meng-gaplok. Jarak antara ia
dan si tua tidak kurang dari setombak. Bahwa dengan sekali
melompat, ia sudah dapat mengirimkan pukulan adalah diluar
dugaan semua orang yang dengan terkejut, segera mundurkan
tunggangan masing-masing. Si tua tentu saja tak sudi
menerima hinaan di hadapan orang banyak. Ia meloncat turun
dari tunggangannya dan coba menjambret baju Siang Po Cin.
Dengan cepat Siang Po Cin menyamber pergelangan tangan
orang tua itu, yang ternyata juga mempunyai kepandaian lumayan,
sebab dengan sekali membalikkan tangan, ia dapat
mengelit sambaran Siang Po Cin dan terus menyodok dengan
lima jarinya. Dilain saat, mereka berdua sudah bertempur
seru. Biarpun baru saja mendapat hajaran, Siang Po Cin tidak
mendapat luka pada otot atau tulangnya. Dengan penuh
kegusaran, ia segera mengeluarkan ilmu silat Pat-kwaciangnya
dan menyerang bertubi-tubi. Berselang beberapa
saat, bagaikan kilat tinju-nya mampir di pundak si tua yang
lantas saja jadi sempoyongan.
"Loo-thio, coba mundur!" seru seorang kawan-nya.
Berbareng dengan seruannya, dengan suatu ge-rakan
indah, orang itu loncat turun dari pelana. Agaknya ia sangat
disegani oleh si tua yang dengan sikap menghormat, buruburu
mundur ke belakang.
Melihat gerakan orang itu yang luar biasa, Siang Po Cin
lantas saja berwaspada. Muka orang itu berwarna ungu,
parasnya angker dan badannya ting-gi besar. Sambil
menggendong tangan ia mengawasi Siang Po Cin dan berkata:
"Apakah kau murid Pat-kwa-bun" Siapa gurumu" She Tie atau
she Siang?"
Suara sombong dan lagak angkuh orang itu, sudah lebih
menggusarkan Siang Po Cin. "Tak usah tahu!" ia membentak.
Orang itu bersenyum. "Mengenai orang-orang Pat-kwa-bun,
aku justru berhak mencari tahu," katanya.
Siang Po Cin sebenarnya seorang yang sangat hati-hati.
Tapi hari itu, berhubung dengan kemen-dongkolannya, ia tak
dapat berpikir secara tenang lagi dan tidak bisa menangkap
maksud tersembunyi dalam kata-kata orang itu. Demikianlah,
dalam ke-gusarannya, dengan gerakan Pek-lui-tui-tee (Geledek
menyambar ke bumi), ia menghantam lutut orang itu.
Yang diserang tertawa, kedua tangannya tetap digendong
di belakang. Dengan sekali mengisarkan kaki kirinya, ia sudah
dapat memunahkan serangan Siang Po Cin. Melihat serangan
pertamanya di-punahkan secara begitu gampang, Siang Po Cin
segera menyerang dengan ilmu Yoe-sin Pat-kwa-ciang. Kedua
kakinya menginjak garis Pat-kwa (De-lapan segi), sedang
kedua tangannya menghantam musuh dengan pukulanpukulan
berantai, yang satu lebih cepat dari yang lain.
Tapi orang yang diserang itu tetap berlaku tenang. Kedua
tangannya tetap berada di belakang-nya, sama sekali ia tidak
berkelit atau mengegos, hanya kedua kakinya berkisar ke sana
sini dalam suatu lingkaran yang sangat kecil. Tapi sungguh
heran, semua pukulan Siang Po Cin jatuh di tempat kosong,
tak pernah melanggar ujung bajunya. Orang itu seolah-olah
sudah mengetahui, ke arah mana Siang Po Cin akan memukul.
Melihat pertunjukan luar biasa itu, semua orang jadi
merasa kagum. Siang Po Cin menjadi semakin gusar dan
menyerang semakin hebat. Tapi orang itu tetap meladeninya
dengan caranya yang aneh.
Perlahan-Iahan putera Siang Kiam Beng ini mendapat
kenyataan, bahwa kedua kaki musuhnya juga menginjak
garisan Pat-kwa. Lantas saja ia ingat, bagaimana ibunya
pernah menceritakan, bah-wa dalam partai Pat-kwa-bun
terdapat serupa ilmu yang dinamakan Lwee-pat-kwa (Pat-kwa
Dalam). Akan tetapi, orang yang ingin mempelajari ilmu
tersebut, harus menyelami dulu ilmu Gwa-pat-kwa (Pat-kwa
Luar). Seorang yang sudah mahir dengan Lwee-pat-kwa,
tanpa banyak bergerak dapat men-jatuhkan musuhnya yang
berkepandaian tinggi. Sekarang Siang Po Cin insyaf, bahwa
lawannya sudah berlaku sangat murah hati terhadap dirinya.
Jika orang itu mau, dengan sekali menghantam, dia akan
rubuh. Mengetahui itu, semakin lama ia jadi semakin
ketakutan, sampai akhirnya ia meloncat ke belakang dan
berkata sembari merangkap kedua tangannya: "Boanpwee
(orang yang tingkatannya lebih rendah) mempunyai mata, tapi
tak bisa melihat gunung Taysan yang besar. Tak dinyana,
Boanpwee sekarang sedang berhadapan dengan Cian-pwee
(orang yang tingkatannya lebih tinggi) dari partai kita!"
Orang itu tertawa. "Siapa gurumu" She Tie atau she
Siang?" tanyanya lagi. Siang Po Cin bingung, karena ibunya
pernah memesan, bahwa untuk ke-pentingan urusan
pembalasan sakit hati, ia tidak boleh sembarang
memperkenalkan dirinya kepada orang luar. Siang Loo-tay
khawatir, jika sebelum temponya tiba, musuh-musuhnya akan
sudah mengetahui, bahwa dia adalah putera Siang Kiam Beng.
Melihat kesangsian Siang Po Cin, orang itu tertawa seraya
berkata. "Jika tak salah, ilmu silatmu didapat dari Siang Kiam
Beng Suheng. Toako, bagaimana pendapatmu" Benar tidak?"
Perkataannya yang terakhir ini ditujukan kepada seorang tua
yang duduk di punggung kuda.
Orang tua itu, yang berusia kira-kira lima puluh tahun,
segera loncat turun dari kudanya dan berkata: "Mana gurumu"
Aku adalah Ong Supehmu (Supeh berarti paman guru yang
berusia lebih tinggi dari sang guru). Yang itu adalah
saudaraku. Pergilah memberi hormat kepada Susiokmu
(Susiok adalah paman guru yang berusia lebih muda dari guru
sendiri)." Sehabis berkata begitu, orang itu tertawa
berkakakan. Siang Po Cin mengetahui, bahwa guru ayahnya adalah Wiecin
Ho-sok Ong Wie Yang (Ong Wie Yang yang menggetarkan
daerah sebelah utara su-ngai Hongho). Cong-piauw-tauw
(pemimpin besar) dari Tin-wan P
Senyuman Dewa Pedang 2 Golok Halilintar Karya Khu Lung Pukulan Si Kuda Binal 2

Cari Blog Ini