Ceritasilat Novel Online

Kisah Si Rase Terbang 6

Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung Bagian 6


tah kata. Mereka
mengawasi meja sembahyang sembari mesem. Tapi, setelah
keributan memuncak, seorang antaranya mendadak berdiri.
"Saudara-saudara!" katanya dengan suara nyaring. "Harap
dengarkan dulu kata-kataku."
Karena mengindahkan kedudukannya sebagai pembesar
negeri, semua orang lantas saja menghen-tikan pereekeokan
mereka. Kata Sie-wie itu: "Apa yang dikatakan oleh Loo-su ini cocok
sekali dengan pendapatku. Memang juga, seorang pemimpin
Wie-to-bun harus mempunyai ilmu silat yang paling tinggi.
Bukankah saudara-saudara juga menyetujui pendapat ini?"
Para hadirin lantas saja manggut-manggutkan kepala dan
mengiyakan atas pendapat Sie-wie itu. "Dalam ilmu silat, siapa
tinggi, siapa rendah tak dapat diputuskan dengan omongan
belaka," katanya pula. "Hal itu hanya dapat dipastikan dengan
jalan mengadu kepandaian. Baik juga, Samwie (ketiga tuan)
adalah saudara seperguruan, sehingga menang kalah tak akan
merusak keakuran. Selain itu, menang kalah juga tak akan
menurunkan derajat Wie-to-bun. Sekarang ini, menurut
pendapatku, jalan satu-satunya adalah Samwie coba pibu (adu
silat) di hadapan lengwie (hiolow atau papan nama yang
dipuja) Ban Loo-kun-su, agar dengan berkah roh beliau, soal
Ciangbunjin bisa dapat dipastikan secara adil dan memuaskan
semua pihak."
Usui itu diterima dengan sorak-sorai oleh para hadirin.
Sejumlah orang berteriak-teriak untuk menyatakan
persetujuannya.
Mendengar usulnya mendapat dukungan pe-nuh, paras
muka Sie-wie itu jadi berseri-seri.
"Piebu di antara saudara seperguruan adalah kejadian yang
lumrah saja," katanya pula. "Tapi sebelum Samwie mulai,
lebih dulu aku ingin meng-ajukan suatu permintaan."
Antara ketiga orang itu, adalah Oe-tie Lian yang paling
cerdik. "Katakan saja, Tayjin," katanya. "Kami bertiga tentu
akan meluluskannya."
"Sesudah mendapat persetujuan, sekarang kita
menetapkan, bahwa siapa yang ilmu silatnya paling tinggi,
akan menjadi Ciangbunjin," kata Sie-wie itu. "Sesudah ada
keputusan, semua pihak harus mene-rima dengan rela hati
dan tidak boleh bertengkar lagi."
"Tentu saja, tentu saja," jawab mereka hampir berbareng.
Dalam ilmu silat ketiga Suhengtee (saudara seperguruan)
masing-masing mempunyai kepandaian istimewa. Maka itu,
biarpun mereka tidak berani memastikan akan mendapat
kemenangan, setiap pihak merasa ungkulan untuk
merubuhkan lawan-nya.
"Kalau begitu, marilah kita menyediakan suatu tempat yang
cukup lebar di sini," kata lagi Sie-wie itu.
Semua orang lantas saja repot menggeser meja kursi dan
dalam sekejap, di depan meja sembahyang itu terbuka suatu
kalangan luas yang sudah kosong. Sesaat itu, kecuali
beberapa orang yang terus merabu makanan, hampir semua
tetamu tak mem-punyai kegembiraan lagi untuk makan
minum. "Siapa yang maju lebih dulu?" tanya Sie-wie itu. "Apa Sun
Toako dan Oe-tie Toako?"
"Baiklah," sahut Sun Hok Houw yang lantas saja
menyambuti sebatang golok yang diangsurkan oleh seorang
muridnya. Sesudah berlutut di depan meja sembahyang, ia
memutarkan badan seraya berkata: "Oe-tie Sutee, hayolah!"
Oe-tie Lian adalah seorang licik. Ia merasa, bahwa jika ia
bertempur dalam babak pertama, sesudah menang, ia masih
harus melayani Suteenya. Jalan yang paling baik adalah
membiarkan Suheng dan Suteenya bertempur lebih dulu dan
kemudian, barulah ia turun tangan.
Memikir begitu, lantas saja ia menyoja seraya berkata:
"Ilmu silatku tak bisa merendengi Suheng dan juga tak dapat
menandingi Sutee. Sebenarnya, tak berani aku mengikuti
pertandingan perebutan Ciangbunjin ini. Akan tetapi, untuk
memenuhi pengharapan para Loo-su, apa boleh buat aku akan
melayani Suheng dan Sutee untuk beberapa jurus saja.
Sekarang, baiklah Yo Sutee yang maju terlebih dulu."
Yo Peng adalah seorang yang tidak sabaran. Mendengar
begitu, lantas saja ia berteriak: "Baiklah!" Sesudah mengambil
golok dari tangan muridnya, dengan tindakan lebar ia masuk
ke dalam gelanggang. Tanpa memberi hormat dulu di hadapan
meja sembahyang, lantas saja ia memasang kudakudanya.
Goloknya yang dicekal dengan tangan kanan. dilintangkan
di pundak kiri, tangan kirinya ditekuk seperti gaetan, kaki
kanannya berdiri tegak, sedang kaki kirinya sedikit
dikeluarkan. Itulah pasangan Hu-kian-to (Golok melindungi
pundak) dari Liok-hap To-hoat (Liok berarti enam, Hap berarti
akur atau bersatu, tapi Liok-hap atau Enam bersatu bisa
berarti juga seluruh jagat atau dunia To-hoat berarti ilmu
golok). Dalam ilmu silat Siauw-lim Liok-hap mem-punyai arti yang
seperti berikut:
Semangat, hawa dan jiwa dinamakan Lwee-sam-hap (Tiga
hap dalam). Tangan, mata dan badan dinamakan Gwa-samhap
(Tiga hap luar). Dalam ilmu silat Liok-hap, mata harus
bersatu dengan hati, hati bersatu dengan hawa, hawa bersatu
dengan badan, badan bersatu dengan tangan, tangan bersatu
dengan kaki dan kaki bersatu dengan selang-kangan. Dengan
demikian seluruh tubuh manusia, di dalam dan di luar,
merupakan kesatuan yang bersatu padu (Liok-hap atau
seluruh jagat).
Di antara para tetamu banyak terdapat ahli-ahli silat yang
berkepandaian tinggi. Melihat pasangan Yo Peng yang teguh
dan bersemangat, diam-diam mereka jadi memuji di dalam
hati. Di lain pihak, Sun Hok Houw pun sudah memasang kudakuda.
Ia menyembunyikan goloknya di belakang lengan
kanan, sedang tangan kirinya dilonjorkan ke depart. "Sutee,
hayolah!" ia meng-undang.
Busu setengah tua itu yang duduk semeja de-ngan Ouw
Hui, agaknya ingin memperlihatkan pe-ngetahuannya
mengenai ilmu silat. la berpaling kepada si pemuda seraya
berkata: "Kalau kita ingin menilai kepandaian orang,
perhatikanlah tangan-nya jika orang itu bersenjatakan golok
tunggal dan perhatikanlah kakinya, jika ia menggunakan
sepasang golok. Seorang yang menggunakan golok tunggal,
mencekal senjatanya dengan tangan kanan dan tangan kirinya
kosong. Dengan memperhatikan gerakan dan pukulan tangan
kirinya, dapatlah kita menilai ilmu goloknya. Coba lihat
pasangan tangan kiri Sun Suheng. Sikapnya membela diri itu
mengandung unsur-unsur persiapan serangan. Sung-guh
hebat tenaga dalamnya."
Mendengar keterangan itu, tanpa merasa Ouw Hui
manggut-manggutkan kepalanya.
Selagi si busu berbicara, kedua Suhengtee itu sudah mulai
bergebrak. Pukulan dibalas dengan serangan, golok beradu
depan golok. Sesudah mengawasi beberapa saat, busu
setengah tua itu berkata pula: "Hm! Mereka mempergunakan
enam huruf dari teori ilmu golok, yaitu Tian, Mo, Kauw, Kan,
Pek dan Tok. Gerakan mereka tepat sekali." "Apakah artinya
itu?" tanya si pemuda yang duduk di samping Ouw Hui.
"Mata golok menghadap ke luar dinamakan Tian," si busu
menerangkan. "Menghadap ke dalam dinamakan Mo.
Membengkokkan gerakan golok ada-lah Kauw, menyabet di
sebelah atas adalah Kan, menebas ke bawah dengan
menggunakan kedua tangan adalah Pek, sedang memapas ke
bawah dinamakan Tok."
Pemuda itu yang tidak mengerti ilmu silat, ha-nya
mengangguk dan terus menonton pertempuran yang sedang
berlangsung itu.
Meskipun Ouw Hui mahir dalam ilmu golok, tapi dalam
kitab warisan leluhurnya tidak dapat catatan tentang
perbedaan-perbedaan teknis yang begitu kecil. Apa yang
tertulis dalam kitab itu hanyalah pukulan-pukulan untuk
membela diri dan merubuhkan musuh. Maka itu, keterangan
busu tersebut sedikit banyak sudah menambah juga
pengetahuannya.
Semakin lama kedua Suhengtee itu bertempur semakin
seru. Sun Hok Houw menang setingkat dalam hal kegesitan,
sedang Yo Peng lebih unggul dalam hal tenaga. Dengan
adanya perimbangan tersebut, untuk sementara belum ada
yang keteter. Selagi semua orang memusatkan perhatiannya ke
gelanggang pertandingan, dari luar mendadak masuk seorang
yang lantas saja berkata dengan suara nyaring. "Kenapa ilmu
golok Wie-to-bun di-pertunjukkan secara begitu tolol" Hayo,
berhenti! Bikin malu saja, kau!"
Sun Hok Houw dan Yo Peng terkejut, hampir berbareng
mereka melompat mundur. Orang yang berkata begitu adalah
seorang wanita muda yang mengenakan baju warna ungu dan
bertubuh lang-sing kecil. Ouw Hui lantas saja mengenali,
bahwa ia itu bukan lain daripada si nona yang menunggang
kuda bulu putih. Dan apa yang mengagetkan Ouw Hui,
bungkusan yang menggemblok di punggung wanita itu adalah
bungkusannya sendiri yang hilang di rumah makan. Nona itu
bermuka potongan kwaci, kedua alisnya panjang dan
melengkung, kulitnya agak hitam, tapi halus dan bening dan
dalam keseluruhannya, ia adalah seorang wanita yang cantik
sekali. Ouw Hui terperanjat. "Usia wanita itu kira-kira bersamaan
dengan aku," katanya di dalam hatinya. "Apakah benar-benar
ia mempunyai ilmu silat yang begitu tinggi, sehingga ia bisa
memungut buntalan-ku, tanpa aku merasa?"
Mendengar kata-kata yang sombong itu, Sun Hok Houw
dan Yo Peng lantas saja menjadi gusar. Tapi mereka
tereengang ketika mengetahui, bahwa yang berkata begitu
adalah seorang wanita muda. Mereka terpaku dan tak dapat
mengeluarkan sepatah kata.
"Dalam menggunakan Liok-hap To-hoat, orang harus
memperhatikan empat huruf Hie-sit-kiauw-tah. (Memukul
dengan kecerdikan)." kata pula si nona. "Tapi kamu
menghantam kalang kabut seperti kerbau edan. Apakah itu
ilmu silat Wie-to-bun" Apa itu Liok-hap To-hoat" Hm! Aku tak
nyana, Ban Loo-kun-su yang namanya begitu cemerlang,
mempunyai murid-murid begitu tolol seperti kamu." Jika yang
mengucapkan kata-kata itu seorang lelaki, Sun Hok Houw dan
Yo Peng tentu sudah turun tangan. Tapi mereka merasa
sungkan untuk menyerang seorang wanita yang kelihatannya
begitu lemah. Ada satu hal yang mereka tidak habis mengerti.
Hie-sit-kiauw-tah memang benar adalah Kouwkoat (teori) dari
Liok-hap To-hoat. Dari mana si nona mendapat empat huruf
itu" Sementara itu, Oe-tie Lian sudah maju meng-hampiri dan
menanya sembari merangkap kedua tangannya "Bolehkah aku
mendengar she dan nama nona yang mulia?"
Wanita itu mengeluarkan suara di hidung, ia tidak
menjawab pertanyaan orang.
"Hari ini, di hadapan meja abu mendiang guru kami, partai
kami ingin memilih seorang Cianbung-jin baru," kata pula Oetie
Lian. "Jika nona senang, boleh nona turut menonton." Ia
mengangsurkan tangannya sebagai undangan supaya wanita
itu mengambil tempat duduk.
Kedua alis nona itu agak berdiri. "Siauw-lim Wie-to-bun
adalah suatu partai kenamaan dalam Rimba Persilatan,"
katanya dengan suara nyaring. "Dengan memilih Ciangbun
dari antara orang-orang semacam ini, bukankah hanya akan
menjatuhkan nama besar Bu-siang Thaysu?"
Mendengar kata-kata itu, beberapa ahli silat dari tingkatan
tua jadi terkejut. Bu-siang Thaysu adalah seorang paderi
berilmu, seorang yang telah mempelajari Liok-hap Kun-hoat,
Couwsu (kakek guru) yang telah mendirikan partai Wie-tobun.
"Cianpwee manakah yang sudah menyuruh nona datang ke
mari?" tanya pula Oe-tie Lian sembari merangkap kedua
tangannya. "Ada petunjuk apakah yang nona hendak berikan
kepada partai kami?" Sedang Oe-tie Lian masih dapat
berbicara manis-manis, adalah Sun Hok Houw dan Yo Peng
yang sudah merasa mendongkol sekali.
Mereka belum berani memperlihatkan kegu-sarannya,
karena kata-kata nona itu benar-benar sangat mengejutkan.
"Aku senang datang, aku datang," jawab nona itu dengan
suara dingin. "Perlu apa mesti mendapat perintah orang" Aku
dan Wie-to-bun masih ada sangkut pautnya dan karena
melihat terjadinya ke-kacauan, terpaksa aku mesti datang
untuk mengeluarkan sepatah dua patah."
Sampai di situ, Yo Peng tak dapat menahan sabar lagi.
"Ada hubungan apa antara kau dan Wie-to-bun?" ia
membentak. "Kami sedang meng-urus urusan penting, harap
kau suka minggir dan jangan menjadi rintangan." Ia berpaling
kepada Sun Hok Houw dan melanjutkan perkataannya:
"Toasu-heng, marilah kita mulai lagi." Sembari berkata begitu,
ia menggeser kaki kirinya ke depan, go-loknya dilintangkan di
pinggang dan segera ber-gerak untuk membuka serangan.
"Itulah pukulan Mo-sin-lan-yauw-cam (Meraba badan
menebas pinggang)," kata si nona. "Tapi tindakanmu yang
seharusnya enteng terlalu berat, sedang tindakan yang
seharusnya berat, tak cukup teguh. Sorot kedua matamu tidak
mengawasi lawan secara langsung, tapi melirik ke arahku.
Salah! Semua salah!"
Tiga murid Ban Loo-kun-su itu tereengang bu-kan main.
Perkataan si nona tiada bedanya dengan perkataan mendiang
guru mereka jika sedang meng-ajar silat. Apakah benar-benar
ia paham Liok-hap To-hoat"
Selagi nona itu bicara dengan Oe-tie Lian, Sie-wie yang
duduk di meja utama, tidak menge-luarkan sepatah kata. Tapi
sekarang ia membuka mulut.
"Untuk apa nona datang ke sini?" tanyanya.
"Siapakah gurumu?"
Sebaliknya dari menjawab pertanyaan itu, ia berbalik
menanya: "Bukankah sekarang Siauw-lim Wie-to-bun sedang
memilih Ciangbunjin?"
"Benar," jawab Sie-wie itu.
"Asal orang separtai, siapa juga boleh turut dalam
perebutan ini, bukan?" tanya pula si nona.
"Tak salah," jawabnya.


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku datang untuk merebut kursi Ciangbunjin!"
Melihat paras nona itu yang sungguh-sungguh, semua
orang jadi terkejut. Melihat kecantikannya itu, dalam hati Siewie
itu lantas saja timbul rasa sayang dan oleh karena itu, ia
segera berkata: "Jika nona mengerti ilmu silat, biarlah
sebentar kau mem-pertunjukkan kepandaianmu supaya kita
bisa menambah pengalaman. Tapi sekarang, biarkanlah
mereka bertiga menguji kepandaian dulu. Apakah nona
setuju?" Si nona mengeluarkan suara di hidung dan berkata:
"Mereka tak usah bertempur lagi. Satu persatu lawan aku."
Sehabis berkata begitu, ia berpaling kepada seorang murid
Wie-to-bun dan berkata: "Coba kasih aku meminjam
golokmu." Si baju ungu berwajah cantik, bertubuh kecil dan lemah
lembut gerak-geriknya, tapi suara dan sikapnya mempunyai
semacam pengaruh yang sukar dilawan orang. Murid itu
sangsi sejenak, tapi akhir-nya ia mengangsurkan juga
goloknya, hanya ber-beda dari kebiasaan, ia tidak membalik
senjata itu dan mengangsurkan ujungnya ke arah si nona. Si
baju ungu segera mementang dua jerijinya yang kecil lancip
dan menjepit belakang golok itu yang lalu diambilnya dengan
suatu gerakan yang indah sekali.
"Apakah dua orang akan maju berbareng?" tanyanya
dengan suara dingin.
Yo Peng adalah seorang kasar yang biasanya memandang
rendah kepada kaum wanita. Ia meng-anggap lelaki tidak
pantas bertempur dengan seorang perempuan. Lebih lagi,
sesudah melihat lagak si baju ungu yang otak-otakan, ia
merasa lebih baik jangan meladeni wanita itu. Demikianlah,
sembari menenteng goloknya, ia mengundurkan diri dari
gelanggang seraya berkata: "Toasuko, biar kau saja yang
mengusir dia!"
Sun Hok Houw juga tengah bersangsi. "Tidak... tidak..."
katanya. Belum habis ia mengucapkan perkataannya, si nona
sudah membuka serangan seraya berseru: "Yan-cu-lik-sui
(Walet mengebas air)!" Tangan kirinya yang ditekuk seperti
gaetan melindungi pergelangan tangan kanannya, goloknya
menyontek ke atas dari bawah, sedang tubuhnya agak
mendoyong ke belakang. Itulah salah satu pukulan hebat dari
Liok-hap To-hoat! Sun Hok Houw tidak menduga, bahwa nona
itu bisa menyerang secara begitu cepat, tapi sebagai orang
yang sudah berlatih dua puluh tahun lebih, dengan mudah ia
dapat memunahkan serangan itu dan membalas dengan
pukulan Kim-so-tui-tee (Kunci emas jatuh di tanah).
"Kwan-peng-hian-in (Kwan Peng mempersem-bahkan cap
kebesaran)!" seru pula nona itu, sembari membalikkan golok
yang lalu diacungkan ke atas. Menurut kebiasaan, Sesudah
Yan-cu-liak-sui, yaitu pukulan dari bawah menyontek ke atas,
orang tidak dapat menggunakan Kwan-peng-hian-in, serupa
pukulan yang juga bergerak dari bawah ke atas. Di luar
dugaan, dengan miringkan sedikit badannya, dapat juga ia
menggunakan pukulan tersebut dan goloknya menyambar ke
kepala lawan. Sun Hok Houw terkesiap, buru-buru ia
menunduk untuk menolong kepalanya.
"Hong-hong-hian-o (Burung Hong pulang ke sarang)!"
teriak pula si baju ungu, tangan kirinya menyambar dan
menghantam pergelangan tangan orang, sedang goloknya
menebas dari atas ke bawah.
Trang! golok Sun Hok Houw terlempar di atas lantai dan
golok si nona menyambar ke lehernya yang sudah tidak
terjaga lagi! "Ah!" beberapa orang mengeluarkan teriakan tertahan.
Mereka merasa bahwa kepala Sun Hok Houw akan segera
jatuh menggelinding, karena golok itu tengah menyambar
dengan kecepatan luar biasa. Tapi, pada detik yang terakhir,
yaitu pada waktu mata golok tiba menempel di leher Sun Hok
Houw, si nona menahan gerakan senjatanya!
Jantung Ouw Hui memukul keras. Ia menge-tahui, bahwa
merubuhkan Sun Hok Houw dalam tiga jurus, bukan satu
pekerjaan sukar. Akan tetapi, menahan jalannya golok yang
sedang menyambar bagaikan kilat dan apalagi menahan
secara begitu tepat, adalah di luar kemampuannya sendiri.
Di lain pihak, Sun Hok Houw membungkuk sembari
menunduk, sehingga hampir-hampir jang-gutnya menyentuh
tanah. Tapi golok si nona meng-ikuti terus, sehingga biarpun
ia mempunyai kepan-daian yang tinggi, dengan mata golok
ditandalkan di lehernya, ia tak bergerak lagi.
Si baju ungu kemudian menyapu seluruh ruang-an dengan
matanya dan menarik pulang senjatanya.
"Apakah kau pernah mempelajari Hong-hong-hian-o?"
tanyanya. "Sudah," jawab Sun Hok Houw dengan menun-duk. Entah
berapa ribu kali ia sudah berlatih dengan pukulan itu, tapi ia
sama sekali tidak mendusin, bahwa Hong-hong-hian-o dapat
digunakan secara demikian. Dengan perasaan sangsi, bingung
dan malu, sambil menenteng golok, ia berjalan ke luar dari
gelanggang. Melihat kakak seperguruannya dirubuhkan dalam tiga jurus,
Yo Peng jadi bereuriga. "Apakah ini bukan akal bulus
Toasuheng?" tanyanya di dalam hatinya. "Apakah tak
mungkin, untuk merebut Ciang-bun, ia sengaja bersekutu
dengan perempuan itu?"
Memikir begitu, lantas saja ia menanya: "Toa-suko, aku
heran sekali, kenapa dalam tiga jurus saja, kau sudah
mengalah. Apakah artinya ini" Apakah kau sudah tidak
memperdulikan lagi derajat Wie-to-bun?"
Sun Hok Houw yang belum pulang semangat-nya dan
malah ia sendiri tidak mengerti, kenapa sudah kena dijatuhkan
dalam tiga jurus saja, men-jadi lebih bingung ketika
mendengar pertanyaan Suteenya.
"Aku... aku..." jawabnya, tergugu dan terputus-putus.
"Aku kenapa?" bentak Yo Peng dengan suara gusar.
Sembari mencekal golok, ia loncat dan menuding, seraya
berteriak: "Kau...."
Baru saja sepatah perkataan itu ke luar dari mulutnya,
suatu sinar putih berkelebat dan golok si baju ungu sudah
menyambar dari bawah ke atas. Gerakan itu luar biasa
cepatnya dan dalam kaget-nya, Yo Peng merasa, bahwa ia
diserang dengan pukulan Yan-cu-liak-sui. Secara otomatis, ia
menolong diri dengan Kim-so-tui-tee, suatu pukulan yang ia
mahir sekali. Sebelum kedua golok itu kebentrok. golok si
nona kembali berkelebat dan menyabet ke atas dengan
gerakan Kwan-peng-hian-in. Yo Peng terkesiap dan tanpa
merasa, ia berteriak: "Hong-hong-hian-o!" Hampir berbareng
dengan teriakan-nya, tangannya sudah kesemutan, goloknya
jatuh dan lehernya sudah ditandalkan golok!
Demikianlah, si baju ungu telah menggunakan tiga pukulan
yang sama untuk merubuhkan Yo Peng. Perbedaannya adalah
: Tempo yang diguna-kannya untuk menjatuhkan Yo Peng ada
lebih pendek daripada waktu merubuhkan Sun Hok Houw.
"Kau menyerah?" tanya nona itu dengan suara dingin.
Darah Yo Peng mendidih. "Tidak!" ia berteriak sekuat
suaranya. Si baju ungu menekan sedikit senjatanya ke leher orang,
tapi Yo Peng ternyata sangat berkepala batu. "Biar kepalaku
ditebas tak akan aku menyerah," katanya. Sebaliknya dari
menunduk, ia mengangkat kepalanya, sehingga nona itu yang
memang tidak ingin mencelakakan dia, lantas saja
mengangkat goloknya.
"Dengan cara apa baru kau mau menyerah?" tanyanya.
"Dalam ilmu golok, seperti juga dia mempunyai ilmu
siluman," pikir Yo Peng. "Dalam ilmu silat yang sesungguhnya,
belum tentu aku kalah." Memikir begitu, lantas saja ia
menyahut: "Jika kau mempunyai nyali, mari kita bertempur
dengan menggunakan tombak."
"Hong-hong-hlan-o!" berterlak Yo Peng dengan terkejut.
Belum habis teriakannya, pergelangan tangannya kesemutan
dan goloknya jatuh dl atas lantal. Dalam tiga Jurus, ia sudah
dirubuhkan oleh si baju ungu.
"Baiklah," sahut nona itu sembari melemparkan goloknya
kepada murid Wie-to-bun yang tadi meminjamkannya. "Aku
justru ingin menyaksikan, sampai di mana kau sudah berlatih
dengan Liok-hap Ciang-hoat (Ilmu tombak Liok-hap)."
Dalam gusarnya, muka Yo Peng yang memang berwarna
merah, jadi berubah ungu.
"Ambil tombak, lekas!" ia berteriak.
Seorang muridnya segera pergi ke Lian-bu-teng (ruangan
tempat berlatih ilmu silat) dan kembali lagi dengan membawa
sebatang tombak. Yo Peng adalah seorang yang adatnya
berapi. Tanpa berkata suatu apa, ia menggampar dan
berteriak: "Perem-puan itu mau bertempur dengan aku
dengan meng-gunakan tombak. Kau dengar tidak" Kenapa
hanya mengambil satu?"
Murid itu yang kepalanya pusing dan matanya berkunangkunang,
jadi gelagapan. Seorang murid lain yang khawatir
sang guru akan memukul lagi, buru-buru menyelak seraya
berkata: "Biarlah aku saja yang mengambilnya." Ia berlari-lari
dan kembali dengan membawa sebatang tombak lain, yang
lalu diserahkan kepada si nona.
Begitu menyambuti, ia menikam sembari ber-seru:
"Jagalah!" Pukulan yang digunakannya adalah Su-ie-peng-hok
(Empat suku bangsa menakluk), semacam pukulan yang
paling lihay dalam Liok-hap Ciang-hoat dan dianggap sebagai
pukulan utama dari Jie-cap-sie-sit (Dua puluh empat macam
pukulan). Ilmu tombak itu juga dikenal sebagai Tiong-peng
Ciang-hoat. Walaupun Ouw Hui berkepandaian sangat ting-gi, tapi apa
yang ia pelajari hanyalah ilmu golok dan ilmu silat tangan
kosong. Ilmu menggunakan sen-jata lain, tak begitu
dikenalnya. Maka itu ia lantas saja melirik si busu setengah
tua dengan sorot mata minta petunjuk.
Sebenarnya, busu itu hanya memiliki kepan-daian yang
tidak seberapa. Tapi, berkat pergaulan-nya yang lama dengan
Ban Loo-kun-su, ia mengenal banyak sekali ilmu silat Liok-hap.
maka itu, begitu melihat sorot matanya Ouw Hui, lantas saja
ia berkata: "Tiong-peng-ciang adalah raja ilmu tom-bak.
Tinggi, rendah, jauh, dekat, tak menjadi soal... perginya
bagaikan anak panah... datangnya bagai-kan benang...." Apa
yang dikatakan olehnya adalah Ko-koat (teori ilmu silat yang
disusun seperti sajak) dari ilmu tombak Tiong-peng-ciang.
Belum habis ia menghafal Ko-koat itu, untuk menyambut
serangan Yo Peng, nona itu menekan ke bawah dengan ujung
tombaknya. "Itulah pukulan Bie-jin-jin-ciam (Wanita cantik mengenali
jarum)," kata busu itu. "Pukulan itu adalah pukulan biasa saja.
Mungkin sekali, ia tak akan dapat menandingi kepandaian Yo
Suheng...."
Tiba-tiba, wanita itu berjongkok dan ujung tombaknya
berhasil menindih senjata Yo Peng. Itulah pukulan Lengniauwpo-cie (kucing sakti mener-kam tikus) dari Ciang-hoat.
Pukulan tersebut juga dikenal sebagai Bu-tiong-seng-yu-ciang,
yang ber-arti, bahwa pukulan yang "kosong" dengan mendadak
bisa berubah menjadi pukulan yang lihay.
Demikianlah, dalam tiga jurus saja, Yo Peng sudah kena
ditindih. Dengan sekuat tenaganya, ia berontak dari tekanan
lawan. Nona itu menyontek dengan senjatanya dan... "tak!"
kepala tombak Yo Peng patah dan jatuh di atas lantai.
Bagaikan kilat, tombak itu berkelebat dan menuding
kempungan Yo Peng. "Bagaimana?" tanya si nona dengan
suara perlahan.
Muka Yo Peng yang tadi ungu, sekarang berubah menjadi
pucat pias. "Sudahlah! Sudahlah!" ia berseru sembari
melemparkan gagang tombaknya dan segera berjalan ke luar
dengan tindakan lebar.
"Suhu! Suhu!" panggil salah seorang muridnya sembari
mengejar. Begitu si murid datang dekat, ia berbalik dan
menendang, sehingga murid itu rubuh terjungkal, dan
kemudian, tanpa menengok lagi, ia berlari-lari ke luar pintu.
Para hadirin, tanpa terkecuali, merasa kaget dan kagum.
Ilmu silat yang digunakan oleh wanita itu, adalah ilmu silat
Wie-to-bun tulen. Sun Hok Houw dan Yo Peng adalah jagojago
partai tersebut, tapi mereka berdua, baik menggunakan
go-lok maupun tombak, sudah dirubuhkan dalam hanya tiga
jurus. Itulah suatu kejadian yang benar-benar tak dapat
dimengerti, tapi benar juga sudah terjadi.
Sekarang adalah giliran Oe-tie Lian yang maju ke depan
sambil merangkap kedua tangannya. "Ilmu silat nona memang
luar biasa tingginya," katanya. "Aku mengetahui, bahwa diriku
bukan tandingan-mu, tapi...."
Alis nona itu mengkerut. "Kau terlalu rewel." katanya
dengan suara tawar. "Aku tak sabar men-dengarkan ucapan
yang panjang lebar. Jika kau menyerah di mulut dan
menyerah di hati, lekaslah menyatakan sokonganmu kepadaku
untuk menjadi Ciangbun. Jika kau penasaran, hayolah kita
bertempur."
Muka Oe-tie Lian jadi bersemu merah. "Perem-puan ini
hebat tangannya, hebat juga mulutnya," katanya di dalam
hati. Tapi ia dapat menahan sabar dan lantas saja berkata:
"Suheng dan Suteeku sudah rubuh dalam tanganmu. Maka itu,
tak dapat tidak, aku harus juga mempersembahkan ketidakbecusanku...."
"Baiklah," si nona memotong perkataan orang. "Senjata
apa yang kau ingin menggunakannya?"
Kata Oe-ti Lian: "Semenjak dulu, Wie-to-bun terkenal
dalam ilmu silat tangan kosong, ilmu golok dan ilmu
tombaknya...."
Baru saja ia berkata sampai di situ, si nona sudah
melemparkan tombaknya. "Baik," katanya. "Kau tentu ingin
bertempur dengan tangan kosong. Hayo!"
"Kita boleh tak usah mencoba lagi dalam Liok-hap-kun yang
tulen," kata Oe-ti Lian. "Aku pasti tak bisa mengalahkan nona.
Jika mungkin, aku ingin sekali memohon pengajaran dalam
Cek-ko...."
Paras muka wanita itu lantas berubah tidak senang. "Hm!"
ia mengeluarkan suara di hidung. "Kalau begitu, kau mahir
sekali dalam Cek-ko Lian-kun. Bolehlah!" Hampir berbareng
dengan per-kataannya, ia menebas tulang pundak Oe-ti Lian
dengan tangan kanannya.
Cek-ko Lian-kun adalah salah satu ilmu silat Wie-to-bun.
Ilmu itu, yang mengambil Liok-hap-kun sebagai pokoknya,


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

agak mirip dengan Kauw-kun (Ilmu silat kera). Pukulanpukulannya
terdiri dari serentetan Siauw-kin-na-chiu-hoat,
yaitu ilmu menangkap dan mencengkeram seperti jujitsu
bang-sa Jepang. Setiap gerak serangan, jika bukan
menangkap, mencengkeram, menggaet atau mengunci,
tentulah menotok jalan darah. Sesudah menyak-sikan
kelihayan nona itu dalam ilmu golok dan tombak, Oe-ti Lian
merasa, bahwa kemungkinan satu-satunya untuk memperoleh
kemenangan adalah bertempur dengan ilmu Cek-kok Lian-kun.
Ia menganggap, bahwa meskipun lihay, sebagai seorang
wanita, tenaga si nona tentu tidak seberapa. Di samping itu,
dalam pertempuran dengan meng-gunakan Cek-ko Lian-kun
yang mirip dengan orang bergulat, si nona tentu akan merasa
kikuk dan kekikukan itu akan memungkinkan ia mendapat
kemenangan. Wanita itu agaknya sudah dapat rnembaca jalan pikiran Oeti
Lian, maka begitu bergerak, ia menebas dengan telapakan
tangannya. Oe-ti Lian menyampok dengan tangan kirinya,
yang ingin di-teruskannya untuk menotok jalan darah Kiancenghiat, sesudah berhasil menangkis pukulan itu. Tapi,
sebelum tangannya beradu dengan tangan lawan, si nona
mendadak membalikkan telapak tangannya dan sebuah
jerijinya sudah menyambar ke kiri, ke arah jalan darah Jintionghiat. Oe-ti Lian girang melihat munculnya kesem-patan baik ini.
Sembari mencoba menangkap dengan tangan kanannya,
tangan kirinya coba memeluk pinggang orang. Tapi, secara
tidak diduga-duga, kaki kanan si nona mendadak menyepak
dan hampir berbareng dengan itu, Oe-ti Lian terpental jauh,
akan kemudian jatuh ngusruk di atas lantai cimehe, dengan
janggut berlumuran darah. Serangan si nona, adalah salah
satu tipu Cek-ko Lian-kun dan ia sudah berhasil merubuhlcan
lawannya, tanpa badannya sendiri kena ditowel. Demikianlah,
antara tiga saudara seperguruan, Oe-ti Lian yang men-derita
paling hebat. Melihat lihaynya nona itu, Sie-wie yang duduk di meja
utama, menjadi girang bukan main. la menuang secawan arak
dan dengan sikap meng-hormat, mengangsurkan cawan itu
kepada si baju ungu. "Sungguh tinggi kepandaian nona," ia
memuji. "Andaikata Ban Loo-kun-su hidup kembali, belum
tentu ia dapat memperlihatkan ilmu yang sedemi-kian
tingginya. Hari ini, nona mewarisi kedudukan Ciangbun dan
kejadian ini benar-benar suatu ke-jadian yang menggirangkan
untuk Wie-to-bun. Maka itu, dengan menggunakan
kesempatan ini, aku ingin menghaturkan selamat."
Si nona menyambuti cawan arak itu, tapi baru saja ia
mengangkatnya untuk dicegluk, di suatu pojok mendadak
terdengar suara aneh. "Apa nona itu benar-benar anggota
Wie-to-bun?" kata suara itu. "Aku rasa bukan."
Si baju ungu menyapu seluruh ruangan dengan matanya
yang tajam, tapi ia tak bisa mengetahui, siapa yang sudah
mengeluarkan kata-kata itu. "Sia-pa yang penasaran, boleh
maju saja," katanya dengan suara dingin.
Sesaat itu, seluruh ruangan menjadi sunyi senyap.
"Sebagaimana sudah ditetapkan terlebih dulu, kedudukan
Ciangbun akan diserahkan kepada orang yang berkepandaian
paling tinggi," kata Sie-wie itu. "Semua orang sudah
menyaksikan, bahwa ilmu silat yang diperlihatkan oleh nona
itu, adalah ilmu silat Liok-hap-pay tulen. Baik dalam ilmu
golok, ilmu tombak, maupun ilmu silat dengan ta-ngan
kosong, nona itu sudah menggunakan pu-kulan-pukulan dari
Liok-hap-pay. Maka itu, menurut pendapatku, sekarang kita
tidak bisa menyangsikannya pula. Andaikata di antara
saudara-saudara anggota Wie-to-bun ada yang masih merasa
penasaran, sekalian boleh turun ke dalam gelang-gang untuk
mencobanya. Atas perintah Hok Kong-cu aku mengunjungi
berbagai tempat untuk meng-undang jago-jago di seluruh
negeri, guna meng-adakan pertemuan di kota raja. Semakin
tinggi kepandaian orang yang diundang olehku, semakin
terang mukaku. Dalam hal ini, sama sekali tidak ada soal
memilih kasih." Sesudah berkata begitu, ia lantas tertawa
terbahak-bahak.
Ia menunggu beberapa saat dan setelah tak ada yang
menyahut, ia segera berkata pula: "Jika kalian tidak
mempunyai pendapat lain, maka kedudukan Ciangbun dengan
sewajarnya harus diserahkan kepada nona itu. Dalam Rimba
Persilatan, aku sudah mengenal banyak juga orang gagah dan
Ciang-bunjin. Tapi, sebegitu jauh, belum pernah aku ber-temu
dengan seorang Ciangbunjin yang begitu muda, yang begitu
cantik... he-he... seperti si nona. Inilah yang dikatakan:
Enghiong muncul dari ka-langan orang muda, seorang pandai
tak perlu ber-usia tua. Aha! Aku sudah bicara panjang lebar,
tapi belum mengetahui she dan nama nona yang mulia."
Nona itu kelihatan sangsi sejenak. Selagi ia mau membuka
mulut, Sie-wie itu sudah berkata pula: "Hari ini, di antara
sepuluh, ada delapan atau sem-bilan murid Wie-to-bun yang
hadir dalam ruangan ini. Sebentar lagi, mereka harus memberi
hormat kepada Ciangbunjin yang baru dan oleh karenanya,
mereka harus mengetahui nama nona."
Si baju ungu manggutkan kepalanya seraya ber-kata:
"Benar. Aku she Wan... namaku Cie Ie."
Sie-wie itu adalah seorang yang berpengalam-an. Melihat
sikap nona tersebut yang agak sangsi, ia lantas saja menduga,
bahwa "Cie Ie" bukan nama yang benar. "Cie Ie" berarti "Baju
Ungu", yaitu baju yang sedang dipakainya. Tapi, sebagai
seorang ber-pengalaman, ia pun tak mau usilan. "Nona Wan,"
katanya sembari tertawa. "Duduklah di sini. Meja utama ini
haruslah diserahkan kepadamu."
Pangkat Sie-wie adalah pangkat militer yang tidak kecil di
kota raja. Di samping itu, ia juga merupakan tamu terhormat
dari Wie-to-bun. Ka-rena begitu, menurut kepantasan,
walaupun sebentar Wan Cie Ie sudah menerima kedudukan
Ciangbun, ia harus duduk di kursi yang paling buntut untuk
menemaninya. Tapi, beda dari ke-biasaan, begitu Sie-wie
tersebut bangun dari kur-sinya, tanpa sungkan-sungkan si
nona lantas duduk di kursi utama itu. Sekonyong-konyong
dalam ruangan itu terdengar suara tangisan! Sembari
menangis, orang itu berkata: "Wie-to-bun pernah men-jagoi di
seluruh dunia. Kenapa sekarang begitu rendah dan dapat di
hina seorang bocah perempuah yang masih berbau susu"
Sungguh menyedihkan! Hu-hu-hu!" Didengar dari suaranya,
tangisan itu adalah tangisan sungguh-sungguh dan sama
sekali bukan ejekan.
"Hei!" teriak Wan Cie Ie. "Kau kata, aku masih berbau susu.
Hayo ke luar! Mari kita lihat siapa yang berkepandaian lebih
tinggi!" Sekarang ia sudah mengetahui, bahwa orang yang
berkata begitu, adalah seorang tua yang berusia kira-kira
enam puluh tahun, badannya kurus kering, kepalanya ditutup
dengan topi kecil, thaucangnya kecil dan rambutnya sudah
hampir putih semua, mendekam di atas meja dan menangis
sedih sekali. "Ah, Ban Ho Seng! Ban Ho Seng!" ia mengulun. "Orang
kata, biar mati hidup kembali, tak dapat kau menandingi nona
yang begitu muda. Benar-benar, enghiong ke luar dari
kalangan orang muda. Ah, Ban Ho Seng!"
Tak usah diterangkan lagi, kata-katanya yang terakhir
merupakan sindiran untuk Sie-wie itu dan beberapa orang
lantas saja jadi tertawa.
Sementara itu, sembari menangis, si tua sudah berkata
pula: "Dalam Rimba Persilatan, tak sedikit aku sudah menemui
orang-orang gagah dari ber-bagai partai. Akan tetapi, belum
pernah aku ber-temu dengan seorang paduka pembesar
negeri yang begitu tak mengenal malu!"
Kata-kata itu adalah tantangan terang-terang-an. "Tua
bangka!" teriak Sie-wie itu yang sudah tak dapat menahan
sabar lagi. "Jika kau mempunyai nyali, ke luar! Jangan kau
sembunyi saja seperti kura-kura!"
Orang tua itu tak meladeni, ia menangis terus. "Aku
menerima perintah dari Giam-loo-ong untuk mengundang
paduka-paduka pembesar negeri ke dunia baka, guna
menghadiri pertemuan besar," katanya. "Semakin tinggi
pangkat orang yang datang atas undanganku, semakin terang
mukaku ini."
Mendadak Sie-wie itu meloncat bangun dan memburu ke
pojok ruangan. Sesudah mengirimkan pukulan gertakan
dengan tangan kirinya, ia men-cengkeram leher orang tua itu
dengan tangan ka-nannya. Orang tua itu terus menangis.
Sekonyong-konyong dari pojok ruangan itu "terbang" sesosok
bayangan hitam yang kemudian jatuh ambruk di tengahtengah
gelanggang. Orang itu bukan lain daripada Sie-wie
yang barusan galak sekali. Semua hadirin terkesiap, mereka
tak dapat melihat, dengan cara apa perwira itu
dilontarkannya.
Melihat kawannya dipecundangi secara begitu mudah, Siewie
yang lain lantas saja menghunus goloknya dan menerjang
orang tua itu. Seluruh ruangan sembahyang itu lantas menjadi
kalut. Tiba-tiba kembali terlihat melesatnya sesosok bayangan
hitam dan di lain saat, Sie-wie yang bersenjata golok itu sudah
rebah di atas lantai.
Ouw Hui yang terus memperhatikan gerak-gerik orang tua
tersebut, mengetahui bahwa kedua Sie-wie itu telah
dilemparkan dengan pukulan Cek-ko Lian-kun. Tak bisa salah
lagi, orang tua itu adalah anggota partai Wie-to-bun dengan
kepan-daian yang berlipat-lipat kali lebih tinggi daripada Sun
Hok Houw. Sebagai seorang yang selalu merasa sebal
terhadap pembesar-pembesar Boan, Ouw Hui merasa senang
sekali, melihat kedua Sie-wie itu dihajar rubuh.
Wan Cie Ie mengetahui, bahwa ia sedang meng-hadapi
lawan berat. Ia segera bangun dan berkata dengan suara
tenang: "Lekas katakan jika kau hen-dak memberi pengajaran
kepadaku. Guna apa kau sembunyi-sembunyi?"
Perlahan-lahan orang tua itu maju mengham-pirinya.
Tubuhnya kurus kering, kulit mukanya kisut dan kedua tulang
pipinya menonjol ke atas, sehingga kelihatannya seperti
seorang penderita penyakit paru-paru. Akan tetapi, di tubuh
muka yang tak karuan macam itu, terdapat sepasang mata
yang bersinar terang dan berpengaruh. Si nona tak berani
memandang rendah, ia berwaspada sambil memu-satkan
seluruh perhatiannya ke arah lawan.
"Nona," kata orang tua itu. "Kau bukan orang she Wan dan
juga bukan anggota partai kita. Dengan kau, Wie-to-bun tak
mempunyai permusuhan apa pun juga. Tapi kenapa kau
sudah berlaku begitu jahil dan menghina kami?"
"Apakah kau sendiri anggota Wie-to-bun?" ta-nya si nona.
"Bolehkah aku mendengar she dan namamu?"
"Aku she Lauw, namaku Ho Cin," jawabnya. "Apakah kau
pernah mendengar nama Wie-to Song-ho (Sepasang ho dari
partai Wie-to-bun)" Jika aku bukan orang Wie-to-bun,
bagaimana aku bisa menjadi salah seorang dari Wie-to Songho?"
Orang-orang Rimba Persilatan dari tingkatan lebih tua,
kebanyakan sudah pernah mendengar nama Wie-to Song-ho.
Akan tetapi, sebagian besar hanya mengenal Ban Ho Seng,
pemimpin Wie-to-bun dan seorang pendekar yang luas
pergaulannya, sehingga mempunyai nama harum dalam
kalangan Kang-ouw. "Ho" yang satunya lagi sedikit sekali
dikenal orang. Sekarang sesudah ia memperkenalkan did sebagai salah
seorang dari "sepasang Ho" itu dan sesudah ia
memperlihatkan kepandaiannya yang sangat tinggi, semua
orang lantas saja memper-hatikannya dan berbicara kasakkusuk
antara kawan sendiri.
"Perduli apa sepasang Ho (Ho berarti burung Ho) atau
sepasang bebek," kata si nona sembari menggelengkan
kepala. "Tidak, aku belurn pernah mendengar nama itu.
Apakah kau ingin menjadi Ciangbun?"
"Bukan, tidak sekali-kali," jawab Lauw Ho Cin. "Jangan
sekali lagi kau mengeluarkan kata-kata begitu. Aku adalah
Suheng (kakak seperguruan), Ban Ho Seng adalah Suteeku
(adik seperguruan). Jika mau, sedari dulu aku sudah menjadi
Ciang-bunjin. Perlu apa menunggu sampai sekarang?"
Wan Cie Ie monyongkan mulutnya dan berkata: "Jangan
ngaco belo! Siapa pereaya obrolanmu! Ha-bis, perlu apa kau
menyelak di sini!"
"Aku datang ke mari justru untuk urusan Ciang-bunjin,"
jawabnya. "Pertama, kedudukan Ciangbun-jin dari Wie-to-bun
haruslah diduduki oleh murid partai kami yang tulen. Kedua,
tak perduli siapa yang menjadi Ciangbunjin, dia tak boleh
pergi ke kota raja untuk bergaul dengan orang-orang 'mahal'.
Kita adalah orang-orang kasar yang hanya mengenal ilmu
silat. Maka itu, mana bisa kita bergaul dan bersahabat dengan
pembesar-pembesar negeri?" Sehabis berkata begitu, ia
berhenti sejenak dan kedua matanya yang berbentuk segi
tiga, menyapu ke seluruh ruangan. "Ketiga," ia menyambung
per-kataannya. "Memilih Ciangbun dengan hanya menilai ilmu
silatnya, adalah cara memilih yang tak dapat disetujui olehku.
Menurut pendapatku, da-lam pemilihan demikian, kita harus
mengutamakan sifat-sifat mulia dari orang yang hendak dipilih
itu. Sekarang aku ingin menanya: Apakah kalian mau memilih
orang yang berkepandaian sangat tinggi, tapi bersifat sangat
rendah?" Uraian tersebut disambut oleh sejumlah orang dengan
mengangguk. Mereka merasa, bahwa meski-pun orang tua itu
menunjukkan sikap dan sifat yang agak aneh, tapi
perkataannya tepat sekali.
Wan Cie Ie tertawa dingin. "Syaratmu yang pertama, yang
kedua dan yang ketiga tak satupun yang dapat diterima
olehku," katanya. "Sekarang mau apa kau?"
"Mau apa"!" kata Lauw Ho Cin. "Sudahlah! Biarlah sekarang
aku mempersembahkan tulang-tulang tuaku kepada nona,
untuk dihajar!"
Ouw Hui mendengarkan pembicaraan mereka dengan hati
berdebar-debar. Semenjak kecil, ia sudah berkelana di
kalangan Kang-ouw dan selama itu, sering sekali menyaksikan
perbuatan sewenang-wenang dari pembesar-pembesar
kerajaan Ceng terhadap rakyat dan orang-orang yang lemah.
Ia jadi membenci segala apa yang berbau pembesar Boan.
Maka ia merasa senang sekali melihat Lauw Ho Cin menghajar
kedua Gie-cian Sie-wie itu dan secara otomatis ia bersimpati
kepada orang tua tersebut. Diam-diam ia mengharapkan
supaya orang tua itu menang dalam pertandingan melawan


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nona itu, tapi ia khawatir karena si baju ungu lihay sekali.
Wan Cie Ie bersikap sombong, seolah-olah tak memandang
sebelah mata kepada Lauw Ho Cin. "Kau mau bertempur
dengan tangan kosong atau dengan senjata?" tanyanya
dengan suara dingin.
"Karena nona mengaku sebagai murid Siauw-lim Wie-to-bu,
sekarang marilah kita sama-sama mencoba-coba ilmu mustika
dari Wie-to-bun," jawab Lauw Ho Cin.
"Mustika apa?" tanya Wan Cie Ie. "Bicaralah terus terang.
Aku paling benci kepada orang yang bicara berputar-putar."
Lauw Ho Cin mendongak dan tertawa berka-kakan.
"Sedang mustika partai kita, kau masih be-lum tahu," katanya.
"Bagaimana kau bisa menjadi Ciangbunjin dari Wie-to-bun?"
Untuk sejenak si nona kelihatan jengah, tapi di lain saat, ia
sudah tenang kembali. "Ilmu silat dari partai kita, tak dapat
dijajaki bagaimana dalamnya," katanya. "Sesudah orang
mencapai puncaknya yang paling tinggi, dengan
menggunakan pukulan yang paling rendah, kita bisa malang
melintang di kolong langit. Maka itu, baik Liok-hap-to maupun
Liok-hap-ciang atau yang Iain-lain, yang mana juga bisa
dinamakan mustika dari partai kita."
Diam-diam Lauw Ho Cin merasa takluk kepada kecerdikan
nona itu. Ia mengetahui, bahwa Wan Cie Ie tidak mengenal
mustika dari partai Wie-to-bun, akan tetapi, dengan alasanalasan
yang tak dapat dibantah, ia sudah dapat menolong diri
dari keadaan terjepit.
Lauw Ho Cin mesem dan sembari mengusap-usap jenggot
dan kumisnya, ia berkata: "Baiklah, sekarang aku membuka
rahasia. Mustika partai kita adalah Thian-kong Bwee-hoachung
(Pelatok bu-nga Bwee). Apakah kau mengenal itu?"
"Hm!" sahut si nona sembari tertawa dingin. "Mustika apa
itu" Sekarang aku mau membuka rahasia. Mengenai ilmu silat,
yang paling berharga adalah ilmu silat yang sejati. Segala
Bwee-hoa-chung, barisan ini atau barisan itu, hanya
merupakan barang permainan untuk menipu anak kecil. Jika
kau tidak pereaya, mari kita mencoba-coba. Dimana Bweehoachungmu?" Lauw Ho Cin tak menyahut. Ia mengambil sebuah mangkok
arak, mencegluk isinya dan melemparkan mangkok kosong itu
ke atas lantai. Semua orang kaget, mereka menduga, bahwa
mangkok itu akan jatuh hancur. Tapi, di luar dugaan. tenaga
yang digunakannya adalah sedemikian tepat-nya, sehingga
mangkok itu jatuh tengkurap di atas lantai dalam keadaan
utuh. Sesudah itu, ia mengambil mangkok kedua, minum
isinya dan melem-parkannya juga ke lantai. Demikianlah,
berturut-turut, ia mengulangi perbuatan itu. Satu demi satu,
tak perduli yang berisi penuh atau yang berisi separuh,
diminum kering isinya dan kemudian di-lemparkannya di atas
lantai. Dan sungguh menak-jubkan, semua mangkok itu jatuh
tengkurap dan sebuah pun tiada yang pecah.
Dalam sekejap, di atas lantai sudah meng-geletak tiga
puluh enam mangkok. Semua orang menjadi heran berbareng
kagum, bukan saja karena kepandaiannya, tapi juga karena
kuatnya meminum arak. Jika dihitung ia sudah menghabiskan
tak ku-rang dari tujuh belas atau delapan belas mangkok arak
yang berisi penuh.
Semakin banyak ia minum, mukanya yang ber-warna
kuning jadi semakin kuning. Tiba-tiba badan-nya bergerak dan
kakinya sudah menginjak pantat sebuah mangkok. "Marilah!
Aku minta pengajaran-mu!" ia mengundang sembari menyoja.
Wan Cie Ie memang juga tidak mengenal Thiankong Bweehoachung. Tapi, mengandalkan ilmu mengentengkan
badannya yang sangat tinggi, sedikit pun ia tak menjadi keder.
Sekali menjejak dengan kaki kirinya, bagaikan seekor burung
ia hinggap di atas pantat sebuah mangkok lain. Ia
mengangkat kedua tangannya dan memasang kuda-kuda. Tak
berani ia menyerang sembarangan, ia ingin menunggu
serangan lawan.
Di lain saat, Lauw Ho Cin meloncat sembari menjotoskan
tinju kanannya dengan pukulan Sam-hoan-to-goat (Tiga
lingkaran membungkus rem-bulan). Berkat matanya yang
sangat tajam, Wan Cie le segera dapat melihat, bahwa tinju
itu bukan berbentuk biasa. Empat jerijinya yang ditekuk tidak
rata merupakan buah lengkak segi tiga. Melihat begitu, si
nona lantas saja mengetahui, bahwa la-wannya adalah ahli
menotok jalan darah. Memang juga benar begitu. Pukulanpukulan
yang dikirim-kan dengan tinju seperti itu, termasuk
dalam Sha-kak Kun-hoat (Ilmu silat Segi tiga), yang teristimewa
digunakan untuk menyerang jalan darah musuh.
Buru-buru Wan Cie le meloncat mundur dan kemudian
melayani lawannya dengan Sha-kak-kun juga.
Melihat gerakan badan, gerakan kaki dan ge-rakan tangan
si nona yang semuanya tidak menyimpang dari ketentuanketentuan
ilmu silat Wie-to-bun, Lauw Ho Cin menjadi heran
bukan main. Demikianlah, dengan kedua kaki bergerak-gerak
di atas tiga puluh enam mangkok itu, mereka saling serang
menyerang dengan menggunakan Liok-hap Kun-hoat yang
mempunyai dua puluh empat jalan.
Dalam pertempuran di atas Bwee-hoa-chung, tujuan
masing-masing pihak adalah menduduki pe-latok tengahtengah
untuk mendesak musuh ke pinggir dan supaya musuh
jatuh ke bawah pelatok. (Bwee-hoa-chung biasa dibuat dari
pelatok-pelatok kayu atau bambu. Tapi dalam pertempuran
antara Lauw Ho Cin dan Wan Cie le ini, mangkok-mang-kok
arak telah digunakan sebagai pelatok).
Puluhan tahun lamanya Lauw Ho Cin telah berlatih di atas
pelatok Bwee-hoa-chung, maka tidak mengherankan, jika
sesuatu tindakannya adalah tepat dan tetap. Baru saja lewat
beberapa jurus, ia sudah dapat menduduki pelatok tengah dan
mulai mendesak si nona dengan tenaga yang lebih besar. Tapi
ia tidak berani berlaku ceroboh, karena mengetahui, bahwa
lawannya berkepandaian sangat tinggi.
Sebagaimana diketahui, mangkok adalah ba-rang yang
gampang pecah dan dalam pertempuran itu, siapa yang
memecahkan sebuah saja, dia yang kalah. Maka itu, dalam
melakukan serangan-serangan, Wan Cie le tidak berani
menggunakan tenaga terlalu besar, karena khawatir akan
memecahkan mangkok. Melihat lawannya berdiri te-gak di
tengah-tengah dengan garis pembelaan yang sangat teguh, si
nona menjadi jengkel. Sembari mengempos semangatnya, ia
mengeluarkan ilmu mengentengkan badan yang paling tinggi
dan lari berputar-putar untuk mencari bagian lemah dari Lauw
Ho Cin. Tapi, Sesudah lewat tiga puluh jurus, orang tua itu tetap
berdiri teguh dan pukulan-pukulannya semakin lama jadi
semakin hebat. Tiga puluh enam mangkok yang disebar oleh Lauw Ho Cin,
sama sekali tidak berbentuk bunga Bwee, sebagai biasanya
bentuk Bwee-hoa-chung. Penyebaran yang kalut itu, hanya dia
yang paham. Dengan latihan puluhan tahun, sembari meram
ia dapat melompat pergi datang di atas mangkok itu. Tapi
tidaklah demikian dengan si nona. Setiap kali bertindak atau
melompat, ia harus melihat lebih dulu kedudukan mangkok
yang mau diinjaknya. Maka itu tidak heran, jika, sesudah
bertempur agak lama, perlahan-lahan Wan Cie Ie jatuh di
bawah angin. Lauw Ho Cin menjadi girang sekali. Lantas saja ia mengirim
serangan-serangan berantai dengan tenaga yang lebih besar.
Dalam sekejap si nona sudah jadi keteter. Mendadak, dalam
keadaan ber-bahaya, ia mengubah cara bersilatnya. Jika tadi
ia memukul dengan telapak tangan, sekarang ia menyodok
dengan jeriji tangan kiri. Serangannya itu adalah Su-ie-penghok
dari ilmu tombak Liok-hap.
Lauw Ho Cin terkesiap, buru-buru ia melompat minggir.
Tapi di luar dugaan, si nona sudah menyu-sulkan tebasan
tangan kanannya. Itulah tebasan ilmu golok Lian-hoan-to
(Ilmu golok berantai) dari Liok-hap To-hoat.
Lauw Ho Cin jadi gelagapan. Sedikit pun ia tidak menduga,
bahwa dalam tempo sekejap, si nona sudah menyerang
menurut ilmu tombak dan ilmu golok dengan kedua
tangannya. Dalam kebingungan-nya, pundaknya kena
tertebas, tapi masih untung, bahwa dengan sedikit
mengkeretkan tubuh, ia dapat memunahkan tujuh bagian
tenaga lawan. Di lain saat, Wan Cie Ie menyabet ke atas
dengan tangan kirinya dalam gerakan Pek-wan-hian-tho (Kera
pu-tih mempersembahkan buah tho), yaitu suatu pu-kulan
dari ilmu golok Liok-hap. Dalam sekejap itu serangannya
sudah berubah lagi! Kedua tangan Wan Cie Ie kembali
menyerang menurut ilmu golok.
Lauw Ho Cin tak keburu berkelit lagi, dadanya kena
terpukul dan badannya bergoyang-goyang....
Selama pertempuran itu, Ouw Hui selalu memasang mata
dengan penuh perhatian. Melihat orang tua itu terpukul, ia
merasa sangat sayang jika ahli yang kenamaan itu mesti
rubuh secara begitu mengecewakan. Maka itu pada saat yang
bahaya, yaitu ketika kedua kaki Lauw Ho Cin hampir menginjak
lantai, dengan cepat ia mengangkat dua buah mangkok
yang lalu dilontarkannya dengan tenaga yang sudah
diperhitungkan. Kedua mangkok itu menggelinding dan
berhenti persis di bawah kaki Lauw Ho Cin! Demikianlah, di
waktu orang tua itu hampir jatuh, kedua kakinya menginjak
dua mangkok lain. Ia terkesiap dan segera mengetahui,
bahwa seorang yang berilmu tinggi telah membantu keTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
padanya. Para hadirin yang sedang memusatkan perhatian
mereka kepada pertempuran, tak mengetahui kejadian itu.
Sebagaimana diketahui, Wan Cie Ie telah menggunakan
jerijinya sebagai tombak dan telapak tangannya seperti golok.
Tapi, meskipun benar ia bersilat dengan ilmu Liok-hap-ciang
dan Liok-hap-to, sedari dulu sampai sekarang, dalam kalangan
Wie-to-bun, belum pernah ada orang yang bertempur secara
begitu. Bukan main sangsinya hati Lauw Ho Cin. Ia merangkap
kedua tangannya dan berkata dengan suara manis:
"Kepandaian nona yang begitu tinggi, dengan sesungguhnya
aku belum pernah melihat. Bolehkah aku mengetahui, nona
termasuk dalam partai mana dan siapa guru nona?"
"Hm!" sahut Wan Cie Ie. "Kau tentu masih belum pereaya,
bahwa aku benar-benar murid Wie-to-bun. Baiklah! tapi
bagaimana jika aku bisa mengalahkan kau dengan ilmu silat
Liok-hap-kun?"
Itulah justru apayang diinginkan oleh Lauw Ho Cin. la
membungkuk seraya berkata: "Jika nona dapat merubuhkan
aku dengan Liok-hap-kun, ke-jadian itu sungguh-sungguh
merupakan kejadian menggirangkan bagi Wie-to-bun.
Andaikata aku harus mengiringi nona sambil memegang
pecut, aku pun akan merasa rela." Sehabis berkata begitu, ia
memutarkan badannya ke arah Ouw Hui dan berkata sembari
menyoja: "Aku si tua minta permisi untuk mempersembahkan
kebodohanku." Menyo-janya itu adalah untuk menghaturkan
terima kasih kepada orang yang sudah menolong dirinya. Meskipun
ia tidak mengetahui, siapa yang telah mem-bantunya,
akan tetapi ia tahu, dari jurusan mana kedua mangkok itu
dilemparkan. Wan Cie Ie adalah seorang wanita yang cerdas luar biasa.
Selagi Lauw Ho Cin menanyakan partai dan gurunya, ia sudah
mendapat suatu siasat bagus untuk merubuhkan lawannya. Di
lain saat, mereka sudah mulai bertempur lagi dengan
menggunakan Liok-hap-kun.
Baru saja bergebrak beberapa jurus, Lauw Ho Cin sudah
berada di atas angin lagi. Sesudah mendapat pengalaman
getir tadi, sekali ini ia berlaku sangat hati-hati dan selalu
berjaga-jaga, khawatir si nona mengeluarkan pula pukulanpukulan
yang aneh-aneh. Sesudah lewat lagi beberapa jurus
dan ilmu silat Wan Cie Ie tetap tidak berubah, barulah hatinya
menjadi lebih lega. Tiba-tiba Wan Cie Ie menyerang dengan
pukulan Tah-houw-sit (Pukulan memukul harimau). Dengan
cepat, sembari menotol mangkok dengan kaki kanannya,
Lauw Ho Cin menyambut dengan pukulan Ouw-liong-tam-hay
(Naga hitam selulup di laut).
Tiba-tiba ia terkesiap, karena merasakan kaki-nya menotol
benda yang luar biasa. Ia melirik dan menjadi lebih kaget lagi!
Ternyata, mangkok arak yang barusan masih tengkurap
sekarang sudah celentang. Masih untung baginya, bahwa
barusan ia hanya menotol dengan kakinya. Jika ia menginjak,
mangkok itu pasti menjadi pecah dan kakinya akan jatuh di
lantai. Ketika ia melompat mundur, ke-ringat dingin mengucur
dari punggungnya.
Di lain saat, ia mengetahui bahwa terbaliknya mangkok itu
adalah akibat perbuatan si nona. Ketika nona itu mengangkat
kakinya, kaki itu sekalian mengangkat mangkok. Entah
bagaimana, di waktu dilepaskan lagi ke atas lantai, mangkok
itu sudah celentang. Selagi kaki kirinya menotol mangkok yang
sudah celentang, kaki kanannya membalikkan mangkok yang
berikutnya. Lauw Ho Cin mengetahui, bahwa biar bagai-manapun juga,
ia tak akan dapat menandingi ilmu mengentengkan badan si
nona yang begitu tinggi. Kemungkinan satu-satunya untuk
menang, adalah merubuhkan Wan Cie Ie selekas mungkin.
Memikir begitu, lantas saja ia menyerang secara hebat.
Tapi si nona cukup cerdik. Sekarang ia menggunakan siasat
gerilya dan lari berputar-putar. Da lam tempo yang tidak
terlalu lama, ia sudah mem balikkan tiga puluh empat
mangkok itu. Hanya dua mangkok yang sedang diinjak Lauw
Ho Cin, belum dapat dibalikkannya.
Sedang kedua kaki Wan Cie Ie menotol pergi datang
mangkok yang celentang itu, adalah Lauw Ho Cin berdiri
terpaku di atas kedua mangkok yang masih tengkurap itu.
Tanpa memiliki ilmu meng-entengkan badan yang setingkat
dengan ilmu Wan Cie Ie, tak berani ia meloncat ke atas
mangkok yang celentang itu.
Untuk beberapa saat, ia berdiri bagaikan patting. Akhirakhirnya,
ia berkata dengan suara duka: "Nona, kaulah yang
menang." Sehabis berkata be-gitu, ia turun ke atas lantai.
Mukanya yang kuning berubah pucat seperti kertas emas.
"Bukankah sekarang aku boleh menjadi Ciang-bunjin?"
tanya Wan Cie Ie dengan suara girang.
"Aku si tua sudah takluk, tapi aku tak tahu bagaimana
pendapat orang lain," kata Lauw Ho Cin.
Selagi Wan Cie Ie ingin menanya para hadirin, tiba-tiba di


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

luar terdengar derap kaki kuda yang kabur ke arah utara
dengan kecepatan luar biasa.
Paras muka si nona lantas saja jadi berubah dan becepat
kilat, ia melompat ke luar. Dari derap kaki itu, ia mengetahui,
bahwa yang kabur bukan lain daripada kuda putihnya sendiri.
Begitu tiba di luar, ia melihat kudanya sedang membelok di
hutan po-hon hong dengan ditunggangi seorang lelaki yang
mengenakan pakaian warna abu-abu. Segera juga ia
mengenali, bahwa orang itu bukan lain daripada Ouw Hui
yang bungkusannya telah dicurinya.
"Pencuri kuda! Berhenti!" ia berteriak.
Ouw Hui menengok ke belakang. Ia tertawa dan
membalas: "Pencuri buntalan! Hayo kita tukar!" Ia tertawa
terbahak-bahak, kuda putih itu dikabur-kan semakin keras.
Bukan main gusarnya Wan Cie Ie. Sembari mengempos
semangatnya, ia mengejar. Biarpun mempunyai ilmu
entengkan badan yang sangat ting-gi, mana bisa ia menyusul
kuda putih itu yang bisa lari seribu lie dalam sehari" Semakin
lama, ba-yangan yang dikejar itu jadi semakin kecil dan
akhirnya lenyap dari pemandangan.
Kejadian itu sudah menyapu bersih seantero
kegembiraannya yang didapatnya sesudah meru-buhkan
empat jago Wie-to-bun. Ia menjadi uring-uringan, jengkel
berbareng heran. "Kuda itu cerdik seperti juga manusia,"
katanya di dalam hati. "Bagaimana ia bisa membiarkan
seorang bangsat kecil mencuri dirinya dan kemudian menurut
perintah tanpa melawan sama sekali?"
Sesudah berlari-lari beberapa lie, tibalah Wan Cie Ie di
sebuah kota kecil. Ia yakin, bahwa mengejar terus tak akan
ada gunanya. Ia jalan per-lahan-Iahan untuk mencari warung
teh, di mana ia dapat menghilangkan dahaganya.
Sekonyong-konyong, ia mendengar suara ber-bengernya
seekor kuda dan segera ia mengenali, bahwa kuda itu bukan
lain daripada kudanya sendiri. Bagaikan terbang, ia memburu
ke arah suara itu. Baru saja ia membelok di suatu tikungan, ia
melihat Ouw Hui, yang menunggang si putih, menengok ke
belakang dan menggapai sembari tertawa.
Wan Cie Ie naik darah. la memungut sebutir batu kecil
yang lalu ditimpukkan ke arah pemuda itu. Ouw Hui membuka
topinya, yang lalu diguna-kan untuk menanggapi batu itu.
"Kau mau bayar buntalanku atau tidak?" tanya Ouw Hui
sembari tertawa. Si nona tak menjawab. mendadak ia
melompat untuk coba merebut tung-gangannya. Ouw Hui
mengayun tangannya dan sebuah senjata rahasia menyambar.
Ketika disambuti, senjata rahasia itu adalah batu kecil tadi.
Selagi si nona menangkap batu itu, Ouw Hui sudah menjepit
perut kuda yang lantas saja kabur sekeras-kerasnya. Si nona
jadi seperti orang kalap. Ia tak ingat kesalahannya sendiri, ia
hanya ingat kesalahan orang lain. Tiba-tiba matanya melihat
seekor kuda yang tertambat di luar sebuah rumah. Tanpa
meng-hiraukan segala apa, ia menghampiri dan membuka
tambatannya, lalu menyemplak hewan itu yang lantas
dikaburkannya secepat mungkin. Di waktu pe-miliknya
mengetahui pencurian itu, ia sudah kabur jauh sekali.
Meskipun sudah mempunyai tunggangan, ja-ngan harap ia
bisa menyusul Ouw Hui. Ia sudah menyabet kalang kabutan
dan kuda itu sudah kabur sekeras-kerasnya, tapi ia masih juga
ketinggalan jauh. Sesudah mengejar beberapa lie, napas binatang
itu sudah tersengal-sengal dan tak dapat lari terlebih
jauh. Ketika mendekati hutan, jauh-jauh ia melihat suatu benda
putih dan setelah datang terlebih de-kat, benda putih itu
ternyata adalah kudanya sendiri.
Wan Cie Ie jadi kegirangan. Tapi karena khawatir akan akal
bulus Ouw Hui, sebelum mendekati, lebih dulu ia meneliti
keadaan di sekitar tung-gangannya. Sesudah mendapat
kenyataan, bahwa benar-benar Ouw Hui tidak berada di situ,
barulah ia menghampiri pohon siong itu, di mana kuda
putihnya tertambat. Tapi, ketika ia sudah berada dalam jarak
hanya beberapa tombak dari si putih, sesosok tubuh manusia
sekonyong-konyong mela-yang turun dari alas pohon dan
hinggap tepat di atas punggung kuda putih itu. Itulah Ouw
Hui! "Nona Wan," katanya sembari tertawa berka-kakkan. "Mari
kita berlomba lagi!" Sekarang Wan Cie Ie sungkan memberi
hati lagi kepadanya. Sekali menjejak sanggurdi, tubuhnya
melesat ke atas dan bagaikan seekor elang, ia menubruk Ouw
Hui. Sedikit pun Ouw Hui tak menduga, bahwa Wan Cie Ie
berani melakukan perbuatan berbahaya itu. Jika ia memapaki
nona itu dengan suatu serangan, si nona pasti akan mendapat
luka. Tapi bukan begitu maksud Ouw Hui. Maka, jalan satusatunya
adalah mengedut les untuk menyingkir. Tapi sekali ini,
si putih melawan. Melihat Wan Cie Ie, bukan saja dia tak mau
minggir, sebaliknya, ia bahkan berbenger dan maju dua
tindak. Selagi badannya masih berada di tengah udara, Wan Cie Ie
menghantam kepala Ouw Hui dengan tangan kanannya dan
mencengkeram pundak orang dengan tangan kirinya. Selama
hidup, belum pernah Ouw Hui bertempur dengan soerang
wanita muda. Kali ini, ia mencuri kuda itu berdasarkan dua
alasan. Pertama, ia mengenali, bahwa kuda itu adalah
tunggangan Tio Poan San. Ia ingin sekali mengetahui, kenapa
si putih bisa ditunggangi nona itu. Kedua, ia sekedar hendak
membalas perbuatan Wan Cie Ie yang sudah mencuri
buntalannya. Tapi sekarang melihat si nona menyerang, paras
mukanya lantas saja berubah merah. Cepat bagaikan kilat, ia
juga menjejak sanggurdi dan badannya melesat melewati Wan
Cie Ie, untuk kemudian hinggap di atas pung-gung kuda yang
barusan ditunggangi nona itu.
Selagi berpapasan di tengah udara, Ouw Hui
mengangsurkan tangannya dan memutuskan tali yang
mengikat buntalannya pada punggung Wan Cie Ie. Di lain
saat, Ouw Hui sudah mendapatkan kembali bungkusannya,
sedang si baju ungu pun sudah duduk di atas punggung si
putin. Si nona yang masih belum hilang amarahnya, lebih-lebih
setelah melihat buntalan itu sudah pu-lang ke tangan Ouw Hui
lantas saja membentak: "Ouw Hui kecil! Bagaimana kau berani
begitu ber-laku kurang ajar!"
"Dari mana kau bisa mengetahui namaku?" ta-nya Ouw Hui
dengan perasaan heran.
Wan Cie Ie monyongkan mulutnya sedikit dan menyahut
dengan suara tawar: "Tio Samsiok (pa-man Tio ketiga)
memuji kau sebagai enghiong jem-polan. Tapi menurut
penglihatanku kau adalah manusia pasaran."
Mendengar perkataan "Tio Samsiok", Ouw Hui jadi girang
sekali. "Kau kenal Tio Poan San. Tio Samko?" tanyanya. "Di
mana ia sekarang?"
Si nona jadi semakin gusar. "Bocah she Ouw!" ia
membentak. "Jangan main gila kau!"
"Kenapa main gila?" tanya Ouw Hui, teree-ngang.
"Kenapa begitu aku mengatakan Tio Samsiok, kau lantas
saja menggunakan kata-kata Tio Samko," sahutnya. "Apa kau
ingin menjadi orang tingkatan-nya lebih daripada aku?"
Ouw Hui yang sifatnya suka sekali guyon-gu-yon, segera
meleletkan lidahnya dan berkata sem-bari tertawa: "Tak
berani! Mana aku berani" Apa benar kau memanggil ia Tio
Samsiok?" "Siapa mendustai kau?" kata si nona.
"Nan! Kalau begitu, benar-benar aku lebih tua setingkat
daripadamu," kata Ouw Hui dengan suara keren. "Kau panggil
saja Ouw Sioksiok. Eh, Cie Ie! Di mana adanya Tio Samko?"
Wan Cie Ie adalah seorang yang tak suka main-main. Sama
sekali ia tidak mengetahui, bahwa memang benar Ouw Hui
telah mengangkat saudara dengan Tio Poan San. Maka itu,
mendengar perkataan Ouw Hui, darahnya lantas saja naik dan
"srt!", ia mencabut sebatang Joan-pian (pecut) dari
pinggangnya. "Bocah!" ia membentak. "Jangan nga-co! Biarlah
aku beri pelajaran kepadamu."
Cambuk itu terbuat dari anyaman benang perak dan pada
ujungnya terdapat sebuah bola emas kecil, yang berbentuk
indah sekali. Ketika dikebaskan di tengah udara, bole emas
dan cambuk perak itu yang disoroti sinar matahari, berkelebatkelebat.
Sebe-narnya, Wan Cie Ie niat bertempur di atas bumi,
akan tetapi, karena khawatir kudanya dirampas lagi oleh Ouw
Hui yang banyak akalnya, ia mengurung-kan niatnya itu dan
segera majukan tunggangannya, sembari menyabet kepala si
pemuda. Cambuk itu, yang panjangnya setombak dan satu
kaki, menyam-bar ke belakang Ouw Hui, ujungnya membelok
dan bola emas itu mengarah jalan darah Thay-tui-hiat, di
bagian punggung.
Di lain pihak, begitu cambuk itu menyambar, Ouw Hui
mendekam di punggung kuda dengan taksiran, bahwa senjata
itu akan segera lewat di atas punggungnya. Mendadak
kupingnya yang tajam luar biasa menangkap bunyi sesuatu
yang aneh. "Cela-ka!" ia mengeluh sembari menghunus
goloknya dan tanpa menengok, ia menyabet ke belakang.
"Tring!" golok itu membentur bola emas di ujung cambuk Wan
Cie Ie sehingga terpental kembali.
Ternyata, selagi ujung cambuknya menyambar jalan darah
Thay-tui-hiat dipunggung Ouw Hui, dengan mendadak Wan
Cie Ie mengedut senjatanya dan bola emas itu lantas saja
berubah haluan dan menyambar jalan darah Kie-kut-hiat, di
pundak kanan si pemuda. Si nona menduga, bahwa sekali itu
ia akan berhasil, karena Ouw Hui tengah mendekam di
punggung kuda dan takan bisa berkelit lagi. Tapi di luar
dugaan, pemuda itu masih dapat menolong diri, berkat
kupingnya yang sangat tajam dan gerakannya yang cepat luar
biasa. Begitu golok dan bola emas itu kebentrok, Wan Cie Ie
merasakan lengannya agak kesemutan.
Ouw Hui mengawasi nona itu sembari tertawa ha-ha-hi-hi,
tapi hatinya kagum akan kelihayan nona itu. Bahwa dengan
Joan-pian yang lemas, ia bisa menotok jalan darah sudah
merupakan suatu keanehan dalam gelanggang persilatan.
Tapi, meng-ubah arah serangan senjata itu di tengah jalan
adalah kejadian yang lebih luar biasa lagi.
Sebenarnya Ouw Hui hampir celaka karena salahnya
sendiri. Sesudah menyaksikan, bagaimana Wan Cie Ie dengan
mudah merubuhkan empat jago Wie-to-bun, ia mengakui,
bahwa nona itu memang lihay sekali. Tapi, jika dibandingkan
dengan kepan-daiannya sendiri, si nona masih kalah setingkat.
Karena mempunyai anggapan itu, ia agak meman-dang
rendah kepada si baju ungu. Di luar dugaan, dalam jurus
pertama, Joan-pian itu sedang menyambar punggungnya bisa
mendadak berubah haluan dan menyambar pundaknya. Ia
menduga, bahwa cambuk itu akan menotok jalan darah Kiekuthiat dan ia berhasil dengan tangkisannya. Jika ilmu
menotok si nona tidak begitu jitu dan pecut itu bukan
menghantam Kie-kut-hiat, bukankah tangkisan Ouw Hui akan
meleset" Sekali meleset, walaupun jalan darahnya tidak kena
tertotok, tak urung ia akan mendapat luka.
Melihat ketenangan pemuda itu, Wan Cie Ie menjadi kaget
berbareng kagum. "Terrr!" ia mem-bunyikan pecutnya di
tengah udara dan segera menghantam kepala Ouw Hui.
Mendadak, pemuda itu mendapat suatu ingat-an.
"Tujuanku yang terutama adalah mencari tahu hal Tio
Samko," pikirnya. "Nona ini beradat sangat angkuh dan jika ia
tidak diberi kemenangan, ia tentu sungkan memberitahukan
hal Samko. Ah! Biarlah, dengan memandang muka Tio Samko,
aku mengalah sedikit."
Berpikir begitu, ia miringkan kepalanya ke sebelah kiri
untuk memapaki cambuk si nona. Dan sungguh tepat, pecut
itu lantas saja menggulung topinya.
Dengan kedua lututnya Ouw Hui menjepit pe-rut kudanya
yang lantas saja melompat setombak lebih. Sembari masukkan
goloknya ke dalam sarung, ia tertawa seraya berkata: "Ilmu
Joan-pian nona sungguh lihay dan aku merasa takluk.
Bagaimana keadaan Tio Samko" Di mana ia berada sekarang,
apakah di Huikiang atau di Tionggoan?"
Jika Ouw Hui mengalah sungguh-sungguh dan si nona
senang hatinya sebab menduga benar-benar memperoleh
kemenangan, mungkin sekali ia akan menjadi jinak dan suka
menceritakan hal Tio Poan San. Hanya sayang, Ouw Hui pun
adalah seorang pemuda yang selalu ingin menang dan
sungkan mengalah terhadap siapa pun juga. Maka itu,
mengalah memang ia mengalah. Tapi cara mengalah-nya
terlalu menyolok. Ia baru berkelit ketika cam-buk si nona
sudah hampir membentur kepalanya dan sesudah topinya
kena digulung, sebaliknya dari menunjukkan paras kemalumaluan,
ia malah ber-senyum, seolah-olah seorang yang lebih
tua tengah mempermainkan anak kecil.
Wan Cie Ie yang cerdas luar biasa, tentu saja dapat melihat
itu semua. "Hm!" katanya dengan suara dingin. "Kau sengaja
mengalah, apakah kau kira aku tak tahu" Nah! Aku pulangkan
topimu!" I a mengangkat pecutnya untuk mengembalikan pula
topi itu di kepala Ouw Hui.
"Jika ia bisa meletakkan topiku di atas kepalaku dengan
menggunakan Joan-pian, ilmunya sungguh-sungguh lihay,"
pikir Ouw Hui. "jika aku menyam-buti dengan tangan,
kegembiraannya akan menjadi hilang." Memikir begitu, ia tidak
bergerak dan terus bersenyum simpul.
Dari setinggi dada, cambuk itu dengan topinya naik ke atas.
Karena gerakan naik itu agak perlahan, di waktu topi itu tiba
di batas tinggi muka, jiratan ujung cambuk itu menjadi kendor
dan topi itu jatuh ke bawah. Buru-buru Ouw Hui
mengangsurkan tangannya untuk menyambutinya....
Mendadak kelihatan suatu sinar putih berkele-bat. "Celaka!"
Ouw Hui mengeluh. Matanya agak silau terkena sinar itu dan
pipinya sakit luar biasa. Ia tahu, bahwa sekali ini ia kena
dibokong. Dengan cepat ia melepaskan kedua kakinya dari sanggurdi
dan menyembunyikan tubuhnya di bawah perut kuda. Di lain
saat terdengar suara "plak!", disusulnya dengan muncratnya
kepingan-kepingan kayu. Ternyata, pelana di mana ia barusan
duduk, sudah dihajar hancur lebur. Kuda itu ber-jingkrak dan
berbenger keras.
Sembari menghunus goloknya, Ouw Hui mengempos
semangatnya dan loncat naik ke atas pung-gung kuda.
Mendadak ia merasakan pipi kanannya sakit luar biasa dan


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketika diusap, tangannya penuh darah.
Wan Cie Ie tertawa dingin seraya berkata: "Apakah
sekarang kau berani main-main lagi dengan nama seorang
tua" Masih untung nonamu berlaku murah. Jika aku sungguhsungguh,
belasan gigimu tentu sudah rontok."
Apa yang dikatakan si nona memang bukan kesombongan
belaka. Kalau ia menghantam dengan segenap tenaganya,
tulang rahang Ouw Hui tentu sudah menjadi hancur dan
semua giginya di sebelah kanan tentu sudah rontok.
Walaupun tidak sampai terjadi begitu, bagi Ouw Hui, itu
merupakan ke-kalahan paling besar yang pernah dialaminya
sehingga saat itu.
Darahnya lantas saja naik tinggi dan dengan mata melotot
ia menerjang dengan senjatanya. Si nona menjadi jeri karena
ia mengetahui, bahwa lawan itu bukannya lawan enteng.
Lantas saja ia memutarkan cambuknya bagaikan titiran supaya
lawannya tidak berani datang terlalu dekat.
Selagi bertempur, tiba-tiba terdengar suara ke-lenengan
kuda dan di lain saat, tiga penunggang kuda kelihatan
mendatangi dengan perlahan. Dua antaranya mengenakan
seragam Gie-cian Sie-wie, sedang orang yang ketiga, yang
bertubuh tinggi besar dan berusia kira-kira empat puluh tahun
mengenakan pakaian biasa. Melihat orang bertempur, mereka
lantas saja menahan les untuk menonton.
Dalam pertempuran itu, selain kalah senjata, tunggangan
Ouw Hui pun kalah jauh dari tung-gangan lawannya. Maka itu,
sesudah lewat belasan jurus, belum bisa ia mendesak si nona.
Dengan jengkel, ia mengubah cara bersilatnya, tapi sebelum ia
membuka serangan hebat, mendadak terdengar suara salah
seorang Sie-wie. "Nona itu cantik sekali dan kepandaiannya
pun cukup tinggi," kata dia.
"Co Toako," kata kawannya. "Jika kau penuju, lebih baik
turun tangan dulu. Jangan membiarkan dirimu didahului bocah
itu." Sehabis berkata begitu, ia tertawa terbahak-bahak.
Ouw Hui mendongkol mendengar perkataan yang kurang
ajar itu dan ia melirik dengan sorot mata gusar. Dengan
menggunakan kesempatan itu, Wan Cie Ie menyabet dengan
cambuknya, sedang Ouw Hui buru-buru berkelit sambil
menunduk. Tiba-tiba, pinggang si baju ungu digoyang dan
kudanya mendadak melompat ke sebelah kiri.
Berbareng dengan berkelebatnya suatu sinar putih, pundak
Sie-wie Co itu sudah terkena sabetan cambuk. Senjata itu
berputar sekali dan segera menyambar kepala Ouw Hui yang
buru-buru menangkis dengan goloknya. Sesaat itu, si putih
sudah melewati Sie-wie yang seorang lagi. Selagi kudanya
melompat, si nona mengulurkan tangannya dan
mencengkeram jalan darah Thian-cu-hiat, di leher Sie-wie itu.
Dengan meminjam tenaga kudanya yang sedang melompat ke
depan, Wan Cie Ie meng-gentak dan Sie-wie yang mulutnya
usilan itu, lantas saja terjungkal di atas tanah. Hampir
berbareng dengan itu, cambuk si nona sudah menyambar si
orang laki yang tinggi besar.
Serangan-serangan itu dilakukannya dengan kecepatan luar
biasa, sehingga Ouw Hui bersorak di dalam hatinya. Ia merasa
kasihan kepada lelaki itu, yang tanpa berdosa, bakal
merasakan cambukan Wan Cie Ie. Tapi, di luar dugaan,
dengan tenang lelaki itu mengangkat tangannya untuk
menangkap senjata si nona.
Begitu melihat lima jerijinya yang ditekuk seperti gaetan,
Wan Cie Ie segera mengetahui, bahwa ia sedang berhadapan
dengan lawan berat. Buru-buru ia menarik pulang senjatanya.
Ia tertawa di-ngin dan menanya: "Apakah tuan mau pergi ke
kota raja untuk menghadiri pertemuan para Ciangbun-jin?"
Lelaki itu kaget. "Bagaimana nona tahu?" tanya-nya.
"Dari gerak-gerikmu, aku menduga, bahwa aku adalah
seorang Ciangbunjin," jawabnya. Siapa namamu" Dari partai
mana kau?"
Orang itu hanya mengeluarkan suara di hidung, ia tak
menjawab pertanyaan yang kurang ajar itu. Sementara itu,
Sie-wie she Co tadi, sudah merangkak bangun dan berteriak:
"Na Suhu! Hajar perempuan bau itu?"
Begitu si nona mengerahkan sedikit tenaga di lututnya, si
putih lantas saja melompat dan menerjang Sie-wie she Co itu.
Dia ketakutan setengah mati dan buru-buru loncat menyingkir.
Wan Cie Ie yang sudah menjadi gusar, tak mau memberi hati
kepadanya. Ia mengayun cambuknya yang segera menyambar
ke punggung Sie-wie itu. Melihat ke-adaan itu yang sangat
berbahaya, cepat bagaikan kilat, lelaki tinggi besar itu
menghunus sebatang pedang pendek yang lalu digunakan
untuk menyam-pok senjata si nona.
Wan Cie Ie menjejak sanggurdi dan kuda itu loncat ke
belakang dengan gerakan yang sangat indah.
"Sungguh bagus kuda itu!" puji si tinggi besar. "Ah! Aku
kira siapa," kata si nona. "Tak tahunya Na Cin, Ciangbunjin
dari Pat-sian-kiam di Ouwciu, propinsi Kwisay."
Orang itu memang Na Cin adanya. Tadi, karena melihat
usia si nona yang masih begitu muda, ia menaksir wanita itu
tentulah juga kurang peng-alaman, meskipun ia memiliki
kepandaian yang cu-kup tinggi. Akan tetapi, sesudah Wan Cie
Ie bisa mengenalinya dengan hanya melihat sekali tangkisannya,
ia menjadi heran bereampur girang. Ia girang, oleh
karena meskipun bertempat tinggal di daerah Selatan yang
jauh, seorang gadis remaja toh sudah mendengar juga
namanya yang kesohor.
Maka itu, sembari bersenyum ia menanya: "Nona,
bagaimana kau bisa mengetahui she dan namaku yang
rendah?" "Aku memang lagi mencari kau," jawab Wan Cie Ie.
"Sungguh kebetulan kita bisa bertemu di sini."
Na Cin jadi tereengang. "Bolehkah aku mengetahui she dan
nama nona yang mulia dan untuk apa kau mencari aku?"
tanyanya. "Aku mau memberitahukan, supaya kau tak usah pergi ke
kota raja," jawabnya. "Biar aku saja yang mewakili kau."
Na Cin menjadi bingung, ia tak tahu apa maksud nona
cantik itu. "Apa maksud nona?" tanyanya pula, sembari
menggaruk-garuk kepala.
"Hm! Tolol kau!" bentak Wan Cie Ie. "Apakah kau belum
mengerti" Serahkan kedudukan Ciangbunjin dari Pat-sian-kiam
kepadaku."
Itulah jawaban yang sama sekali tak diduga-duganya.
Dapat dimengerti, jika Na Cin menjadi gusar bukan main. Akan
tetapi, sesudah melihat kepandaian orang, ia tak berani
sembarangan meng-umbar nafsunya. Maka itu, sembari
merangkap ke-dua tangannya, ia berkata pula:
"Beritahukanlah dulu she dan nama nona. Dan siapakah guru
nona?" "Untuk apa kau menanya namaku?" Wan Cie Ie balas
menanya. "Nama guruku lebih-lebih tak bisa diberitahukan
kepadamu. Dulu, guruku telah bertemu muka dengan kau.
Jika sekarang ditim-bulkan soal dulu, aku jadi merasa kurang
enak untuk meminta kedudukan Ciangbunjin."
Sementara itu, kedua Sie-wie yang barusan di-hajar
menjadi seperti orang kalap bahna gusarnya.
Sebagai orang-orang yang biasa berlaku sewenang-wenang
dan suka menghina sesama manusia, mereka sekarang dihina
orang. Mana mereka rela menerimanya dengan begitu saja.
Demikianlah, sembari membentak keras, mereka menerjang,
seorang dengan menunggang kuda, sedang yang lain berjalan
kaki. Sembari menerjang, yang satu meraba pinggang untuk
mencabut golok, sedang yang seorang lagi bergerak untuk
menghunus pedangnya.
Tiba-tiba cambuk Wan Cie Ie berkelebat. "Terrrr!"
pergelangan tangan kanan Sie-wie yang mau mencabut golok
itu sudah kena dipecut, sa-kitnya meresap ke tulang-tulang
dan ia tak ber-tenaga lagi untuk meng-hunus senjatanya.
Cambuk itu yang panjang dan halus, tak ber-henti sampai
di situ. Bagaikan kilat, ujungnya sudah melibat gagang pedang
Co Sie-wie, sebelum tangan Sie-wie itu keburu meraba gagang
pedangnya sen-diri! Dengan sekali menggentak, pedang itu
loncat ke luar dari sarungnya!
Co Sie-wie kaget bukan main, secepat mungkin ia menarik
pulang tangannya, tapi tak urung pedang itu menggores juga
telapak tangannya yang lantas saja mengucurkan darah. Si
nona mengebaskan pecutnya dan pedang itu terbang puluhan
tombak tingginya.
Sesudah memperlihatkan kepandaian yang luar biasa itu,
perlahan-lahan, dengan tenang Wan Cie Ie melibat
cambuknya di pinggangnya yang langsing. Tanpa
memperhatikan lagi pedang yang dilontar-kannya, ia berpaling
kepada Na Cin seraya menanya: "Bagaimana sekarang"
Apakah kau rela menyerahkan kedudukan Ciangbunjinmu?"
Sesaat itu, Na Cin dan kedua Sie-wie tersebut sedang
mendongak mengawasi pedang yang tengah melayang turun.
Mendengar suara si nona, Na Cin berkata: "Apa?"
"Aku mau kau menyerahkan kedudukan Ciang-bunjin dari
Pat-sian-kiam," jawabnya.
Ketika ia berkata begitu, pedang yang sedang melayang
turun itu sudah hampir menimpa kepala-nya. Tanpa
menengok dan hanya dengan meng-andalkan kupingnya, Wan
Cie Ie mengangkat sebelah tangannya dan menangkap
gagang pedang itu!
Itulah kepandaian sungguh-sungguh menakjub-kan! Harus
diingat, bahwa senjata itu yang jatuh dari tempat yang
tingginya puluhan tombak, mem-punyai tenaga yang sangat
besar. Di samping itu, kecuali gagangnya, bagian-bagian lain
dari sebilah pedang adalah tajam. Bahwa tanpa melirik ia
sudah dapat menangkap gagang senjata itu, adalah suatu
kepandaian yang benar-benar luar biasa. Bukan saja Na Cin
dan kedua Sie-wie itu jadi terperanjat, tapi Ouw Hui pun
merasa sangat kagum.
Semakin banyak melihat sepak terjang nona itu, semakin
besar keheranan Ouw Hui. Sebab apa ia begitu suka merebut
kedudukan Ciangbunjin" Tadi, ia mau merebut jabatan
Ciangbun dari Siauw-lim Wie-to-bu, sekarang dari Pat-siankiam.
Di Hong-yap-chung, ia berlaku manis terhadap Sie-wie
ke-rajaan Ceng, tapi kenapa sekarang ia berlaku begitu
garang dan sekali bergerak sudah melukai orang" Ia juga
merasa tidak mengerti, mengapa wanitayang berusia begitu
muda, sudah bisa mempunyai kepandaian yang begitu tinggi.
Kecuali Tio Poan San, belum pernah ia menemui orang lain
yang ilmu silatnya lebih lihay daripada nona itu.
Na Cin adalah seorang yang sangat berhati-hati. Sesudah
melihat kepandaian Wan Cie Ie, lebih-lebih ia tak berani
berlaku ceroboh. Ia ingin sekali mengetahui, siapa sebenarnya
wanita yang lihay itu. "Ilmu Teng-hong-pian-kee yang dimiliki
nona, seperti juga ilmu dari keluarga Tong di Shoasay,"
katanya. (Teng-hong-pian-kee yang berarti Men-dengar angin
membedakan senjata adalah ilmu untuk mengetahui sesuatu
bokongan. Dengan ilmu itu, yang hanya mengandalkan
ketajaman kuping, seseorang bisa mengetahui setiap
serangan tanpa melihatnya. Di waktu menyambuti pedang itu
yang jatuh dari tengah udara, Wan Cie Ie telah meng-gunakan
ilmu tersebut).
Si nona tertawa dan berkata: "Matamu lihay juga. Tapi
bagaimana dengan ilmu ini?" Sembari berkata begitu, ia
melontarkan pedang itu ke tengah udara. Kali ini, senjata itu
melesat bukan dengan ujung meluncur ke atas, tapi jungkir
balik tak henti-hentinya, sehingga memberi pemandangan
yang sangat aneh. Na Cin mendongak, mengawasi. Mendadak,
ia merasakan sambaran angin aneh dan ada apa-apa
yang menyambar tubuhnya. Bagaikan kilat, ia menjejak
kakinya dan badannya melesat ke be-lakang kurang lebih dua
tombak. Sesaat itu, ia melihat berkelebatnya bola emas di
ujung cambuk Wan Cie Ie di samping pinggangnya. Ternyata,
selagi ia mendongak, si nona memecut dan jika bukannya
keburu loncat, sudah pasti pedangnya akan kena dirampas.
Wan Cie le merasa sayang akan kegagalannya itu, sedang
Na Cin mendongkol tereampur malu. Ia merasa malu, bahwa
sebagai jago di daerah Tiong-kok Tenggara, dengan
mempunyai ribuan murid yang tersebar di empat propinsi
(Kwitang, Kwisay, Hunlam dan Kwiciu) dan juga sebagai ahli
silat yang belum pernah dijatuhkan orang selama kurang lebih
dua puluh tahun, ia sekarang tidak dipandang sebelah mata
oleh seorang wanita yang masih belum hilang bau pupuknya.
Sekarang, tak dapat ia menahan sabar lagi. "Srt!" ia
menghunus pedangnya dan berseru: "Baik-lah! Tak ada jalan
lain daripada memohon peng-ajaran nona."
Ketika itu, pedang yang barusan dilemparkan, tengah
melayang turun. Dengan gerakan yang sangat indah, si nona
menggulung gagang pedang itu dengan ujung pecutnya dan
tiba-tiba ujung pedang itu menyambar ke dada Na Cin. Sekali
lagi Wan Cie Ie mengeluarkan kepandaiannya yang anehaneh.
Na Cin terkejut, buru-buru ia mengangkat pedangnya
untuk membela diri.
"Siang-cu-cui-siauw (Dewa Siang Cu meniup seri'ling)!"
seru Wan Cie Ie.
Gerakan Na Cin yang barusan memang juga adalah
gerakan Siang-cu-cui-siauw dari Pat-sian-kiam (Ilmu pedang
delapan dewa) Pat-sian-kiam adi-lah ilmu pedang yang banyak
dikenal di Tiong-kok Tenggara, sehingga bukan suatu
keheranan jika si nona juga mengenal ilmu tersebut.
"Benar, memang Siang-cu-cui-siauw, kenapa?" ben'.a't Na
Cin. "Im-yang-po-san!" seru pula Wan Cie Ie sembari meigedut
cambuknya dan ujung pedang itu menyambar ke dada kiri
kanan Na Cin. Benar saja pukulan itu adalah Han-ciong-lee-imyangpo-san dari Pat-sian-kiam. (Han-ciong-lee-im-yang-posan
berarti kipas mustika dari dewa Han Ciong Lee).
Na Cin kaget. Bahwa nona itu bisa bersilat dalam ilmu Patsiankiam, tidak merupakan suatu keheranan. Apa yang luar
biasa adalah cara menyerangnya. Dengan menggunakan
ujung cambuk untuk "mencekal" gagang pedang, tenaga yang
menggerakkan pedang itu adalah tenaga "kosong". Jika
kebentrok dengan senjata lain, pedang itu pasti akan jatuh.
Tapi di luar dugaan, baru saja Na Cin menggerakkan
senjatanya untuk menyampok, Wan Cie le sudah berteriak
pula: "Cay-ho-hian-hoa (Dewa Na Cay Ho mempersembahkan
bunga)!" Sembari berteriak, ia menarik pulang cambuknya.
Pedang itu jatuh dan segera ditangkapnya, kemudian sembari


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencekal pedang serta cambuk ia mengawasi lawannya
dengan bersenyum manis.
Sedari tadi, Na Cin sudah menimbang-nimbang, tindakan
apa harus diambilnya untuk menghadapi si nona yang caranya
aneh-aneh. Cambuk adalah senjata panjang, sedang pedang
senjata pendek. Si nona menunggang kuda, sedang ia sendiri
berjalan kaki. Karena dua hal itu, ia sudah berada dalam
kedudukan yang lebih jelek. Salah sedikit saja, namanya yang
sudah harum puluhan tahun, akan habis seperti disapu angin.
Maka itu, sambil melin-tangkan pedangnya di depan dada, ia
berkata dengan suara sungguh-sungguh: "Main-main secara
begini, tak ada gunanya. Jika benar-benar nona ingin memberi
pengajaran dalam ilmu Pat-sian-kiam, aku yang rendah
bersedia untuk melayani sejurus dua jurus."
"Baiklah," jawab si nona. "Jika aku tidak men-jatuhkan kau
dengan ilmu pedang Pat-sian-kiam, kaii agaknya tak rela
menyerahkan kedudukan Ciangbun." Sembari berkata begitu,
ia meloncat turun dari tunggangannya dan melibatkan Joanpiannya
di pinggangnya.
Sambil mengebaskan pedangnya, Wan Cie le melirik Ouw
Hui. "Tunggu dulu!" katanya. "Aku melayani kau main-main
sedikit, sedikit pun tiada halangannya. Tapi, selagi kita mainTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
main, mungkin sekali kudaku akan dibawa kabur oleh pencuri
kuda." "Tidak," kata Ouw Hui. "Aku berjanji, selama kau
bertempur aku tak mengganggu kudamu."
"Hm!" si nona mengeluarkan suara di hidung. "Ouw Hui
kecil banyak akalnya. Siapa pereaya ke-padanya, tentu kena
diingusi." Sembari berkata begitu, tangan kirinya menjambret
les kuda, sedang tangan kanannya menikam Na Cin dengan
pukulan Thio-ko-lo-to-kie-louw (Thio Ko Lo menunggang
keledai dengan jungkir balik).
Melihat lawannya menyerang dengan sebelah tangan
menuntun kuda, diam-diam Na Cin menjadi girang. "Siapa
suruh kau mencari mampus," pikir-nya. Tanpa berkata suatu
apa, lantas saja ia mengirimkan serangan-serangan hebat,
seperti Po-in-kian-jit (Menyapu awan melihat matahari), Sianjintit-louw (Dewa menunjuk jalan) dan Iain-lain.
Diserang secara bertubi-tubi, Wan Cie le tak berani
memandang enteng lagi lawannya, meskipun paras mukanya
masih terus bersenyum. Sekarang ia mengakui kebenaran
perkataan gurunya, bahwa ilmu pedang Pat-sian-kiam adalah
ilmu yang tak boleh dibuat gegabah. Dengan sebelah tangan
menuntun kuda, tak dapat ia memutarkan badan atau
meloncat kian ke mari. Tapi, walaupun dalam ke-dudukan
yang jelek itu, ia masih dapat memper-tahankan diri secara
sempurna dan sedikit pun Na Cin tak bisa menemukan hagianbagian
pembelaan-nya yang lemah. Sesudah menyerang
beberapa lama dan sesudah mendapat kenyataan, bahwa si
nona selalu melayaninya dengan ilmu Pat-sian-kiam, bu-kan
main herannya Na Cin.
Ia tak habis mengcrti. bagaimana dalam partai Pat-siankiam
bisa ke !uar seorang jago muda seperti nona itu.
Tempat di mana mereka bertempur adalah jalan raya kota
Heng-yang yang menuju ke selatan dan utara. Baru saja
kedua orang itu bertanding beberapa belas jurus, dari sebelah
utara datang sejumlah pedagang garam yang mendorong
sebuah kereta, sedang dari sebelah selatan terlihat munculnya
dua kereta keledai. Melihat ada orang bertempur,
mereka berhenti di sebelah jauh untuk menonton. Sebelum
berapa lama, jumlah orang sudah jadi lebih banyak. Mereka
tidak meneruskan perjalanan mereka, periama, karena ketarik
kepada perkelahian yang seru itu dan kedua, karena takut
terhadap kedua Sie-wie yang menunggu di dekat situ.
Sekarang Na Cin mendapat kenyataan, bahwa meskipun
nona itu sudah pernah mempelajari Pat-sian-kiam, akan tetapi
ia masih belum dapat menyelami bagian-bagiannya yang
tersulit. Tapi, karena ia paham macam-macam ilmu silat, maka
setiap kali terdesak, ia selalu bisa meloloskan diri dengan
menggunakan pukulan-pukulan aneh yang mirip dengan Patsiankiam, tapi bukan Pat-sian-kiam. Itulah sebabnya,
mengapa Na Cin tak gampang-gampang merubuhkan Wan Cie
le. Melihat bahwa semakin lama jumlah penonton jadi semakin
besar, Na Cin rnenjadi bingung serta malu. Sebagai pemimpin
suatu partai silat yang ternama, ia sekarang harus melayani
seorang wanita muda yang sebelah tangannya menuntun
kuda. An-daikata ia tak sampai kalah dan pertempuran itu
berakhir seri, ia tentu tak mempunyai muka lagi untuk
menghadiri pertemuan para Ciangbunjin di kota raja. Memikir
begitu, lantas saja ia mengempos semangatnya dan
menyerang bagaikan hujan dan angin dengan pukulanpukulan
simpanannya yang sudah dilatihnya selama puluhan
tahun. Dalam sekejap seluruh badan Wan Cie le seolah-olah
sudah dikurung sinar pedang musuh. Melihat begitu, ke-cuali
kedua Sie-wie, semua penonton merasa kha-watir akan
keselamatan nona cantik itu.
Di lain pihak, semhari bertempur, si nona melirik Ouw Hui.
Ia melihat paras muka pemuda itu seperti tertawa, tapi bukan
tertawa, sikapnya seakan-akan mengandung ejekan. "Bocah!"
katanya di dalam hati. "Kau mentertawai aku" Baik! Sekarang
lihatlah lihaynya nonamu itu!"
Tapi, karena adanya perjanjian, bahwa dalam pertempuran
itu kedua belah pihak harus menggunakan ilmu silat Pat-siankiam,
maka Wan Cie le tidak bisa mengeluarkan ilmu lain. Jika
ia melepaskan les kudanva dan memperoleh kemenangan
dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan ia juga
khawatir dipandang rendah oleh Ouw Hui. la jadi serba salah.
Sesudah lewat beberapa jurus lagi, tangan kiri-nya yang
mencekal les, mendadak mengedut ke depan. Si putih adalah
seekor kuda yang luar biasa cerdiknya. Begitu mendapat
petunjuk, ia melompat dan berdiri atas dua kaki belakangnya,
seperti juga mau menginjak kepala Na Cin.
Na Cin terkesiap, buru-buru ia miringkan ba-dannya. Pada
detik itu tiba-tiba pergelangan ta-ngannya kesemutan dan...
sebelum ia mengetahui apa yang terjadi, pedangnya sudah
terbang ke te-ngah udara! Ia ternyata sudah kena dibokong
ketika perhatiannya ditujukan kepada kuda putih itu. Da-lam
Rimba Persiiatan, kepandaian Na Cin belum terhitung
kepandaian ahli silat kelas utama. Tapi berkat berhati-hatinya,
maka selama puluhan ta-hun, ia bisa mempertahankan nama
baiknya. Dan sama sekali ia tak menyangka, bahwa pada hari
itu, karena kurang hati-hati, ia harus rubuh dalam tangan
seorang wanita muda.
Sementara itu, Na Cin sudah meloncat ke sam-ping
tunggangannya dan mencabut sebatang pedang lain dari
pelananya. Ternyata, sebagai orang yang selalu berhati-hati,
untuk melakukan perjalanan ke kota raja, ia sudah membekal
dua batang pedang.
Sebelum ia dapat berbuat suatu apa, mendadak suatu sinar
putih sudah berkelebat. Ternyata, itulah pedang Wan Cie Ie
yang dilontarkan ke atas. Di lain saat, kedua senjata itu
kebentrok dan pedang Na Cin patah dua.
Na Cin terpaku, paras mukanya berubah pucat.
Begitu lekas ia sudah menyambuti pedangnya yang
melayang turun dari udara, Wan Cie Ie segera menikam
lawannya, sembari berseru: "Co Kok Kiu-pek-pan (Dewa Co
Kok Kiu menepuk papan)!"
Na Cin menyambut dengan senjatanya. Trang! pedang
kedua dari Ciangbunjin Pat-sian-kiam sudah patah juga!
Kenapa bisa begitu"
Dalam pukulan tadi, Wan Cie Ie kembali meng-gunakan
tipu daya yang sangat licin. Di waktu menikam, memang juga
ia menggunakan pukulan Co Kok Kiu-pek-pan. Akan tetapi, di
saat kedua pedang itu hampir kebentrok, mendadak ia mengubah
pukulannya. Dengan begitu, pedang Na Cin menyampok
tempat kosong. Dan, pada detik pedang lawan tidak
bertenaga, si nona menghantam! Na Cin mau mengerahkan
tenaganya, tapi sudah tak keburu lagi, pedangnya sudah
patah menjadi dua. Dengan perkataan lain: Pedang Na Cin
seperti juga "memasang diri" untuk disabet putus.
Melihat, bagaimana seorang wanita muda dengan beruntun
mematahkan dua pedang musuhnya, semua penonton lantas
saja bersorak sorai.
Sampai di situ, Na Cin mengetahui, bahwa tak guna ia
meneruskan pertempuran itu. Sesudah memungut pedang
kutungnya, ia meloncat ke atas punggung kuda dan berkata
sembari menyoja. "Sekarang juga aku akan kembali ke
kampung sendiri dan seumur hidupku, tak nanti aku
memegang pedang lagi. Akan tetapi. Jika ada orang
menanyakan, siapa yang sudah menjatuhkan aku, bagaimana
aku harus menjawabnya?"
"Aku she Wan bernama Cie Ie," jawab si nona yang lantas
mengedut les kudanya dan mendekati Na Cin, untuk kemudian
berbicara bisik-bisik di kuping orang itu.
Mendadak saja, paras muka Na Cin berubah lagi, dari gusar
berubah menjadi ketakutan dan menghormat. "Jika siangsiang
aku sudah tahu, aku tentu tak akan berani melawan
nona," katanya. "Jika nona bertemu dengan gurumu,
tolonglah menyam-paikan hormat si orang she Na dari
Ouwciu." Sehabis berkata begitu, ia menuntun kudanya dan
mundur beberapa tindak, akan kemudian berdiri di pinggir
jalan dengan sikap menghormat.
Wan Cie Ie menepuk kudanya seraya berkata sembari
tertawa: "Maaflah!" Ia berpaling ke arah Ouw Hui sembari
mesem dan mengedut les. Baru berjalan belasan tindak, kuda
itu mendadak "ter-bang" ke tengah udara dan melompati
belasan ke-reta garam itu dan kemudian kabur dengan kecepatan
luar biasa. Semua orang mengawasi dengan mulut ter-nganga dan di
lain saat, Wan Cie Ie bersama si putih sudah tak kelihatan lagi
bayang-bayangnya.
Sembari mengaburkan tunggangannya, hati si nona riang
gembira karena mengingat, bahwa dalam sehari saja, ia sudah
merubuhkan dua ahli silat kenamaan di daerah Selatan. Dalam
girangnya, ia menyanyi-nyanyi.
Tapi, baru saja ia menyanyikan dua tiga baris sajak,
mendadak ia merasakan panas-panas di pung-gungnya. Buruburu
ia meraba dan "Trarrr!" tangan dan punggungnya panas
sakit bukan main, bajunya terbakar! Tentu saja ia kaget
setengah mati. Tanpa menghiraukan apa pun juga, dengan
gerakan Yan-cu-touw-lim (Anak walet masuk ke hutan) ia
terjun ke sungai kecil yang kebetulan mengalir di pinggir jalan.
Begitu terkena air, api itu lantas saja padam. Dengan cepat ia
naik pula ke darat, sembari meraba-raba punggungnya.
Ternyata bajunya ber-lubang dimakan api, tapi masih untung
api itu belum membakar dagingnya.
Darah Wan Cie Ie seolah-olah mendidih. "Bangsat kecil
Ouw Hui!" ia mencaci. "Tak salah lagi, kaulah yang main gila."
Ia segera membuka buntalannya dan mengambil sepotong
baju, tapi baru saja mau tukar pakaian, tiba-tiba ia melihat
pundak kiri si putih bersemu hitam dan bengkak, sedang dua
ekor sia-cu (semacam kutu berbisa yang hidup di dalam kayu)
tengah merayap di punggung kuda itu. Wan Cie Ie terkejut, ia
menyabet dengan cambuknya dan begitu lekas kedua kutu itu
jatuh, ia menghancur leburkan kedua-duanya dengan sebuah
batu besar. Racun sia-cu itu menjalar dengan cepat dan
Sesudah mengeluarkan beberapa jeritan hebat, si putih
menekuk kedua lutut depannya dan jatuh terguling di atas
tanah. Wan Cie Ie benar-benar bingung, ia tak tahu harus berbuat
bagaimana dan hanya mulutnya yang mencaci tiada hentihentinya:
"Bangsat Ouw Hui! Binatang Ouw Hui...." Ia tak
ingat lagi hal menukar pakaian dan dalam bingungnya, ia coba
memencet bagian tubuh kudanya yang sudah menjadi hitam
untuk mengeluarkan racunnya. Tapi si putih ke-sakitan dan
berontak sekuat tenaganya.
Selagi ia tak berdaya, sekonyong-konyong di sebelah
selatan terdengar bunyi tindakan kuda dan tidak beberapa
lama kemudian, kelihatan tiga pe-nunggang kuda mendatangi.
Orang yang berada di depan bukan lain daripada Ouw Hui
sendiri. lagalkan seekor elang, badannya Wan Cle le meiesat
ke engah udara dan menubruk Ouw Hul.
Wan Cie le merasakan dadanya seperti mau meledak. la
meloncat sembari mengayun cambuk-nya yang lalu disabetkan
ke kepala Ouw Hui dengan seantero tenaganya. "Bangsat
bau!" ia memaki. "Ke-pandaianmu adalah membokong orang!
Apakah itu perbuatan seorang gagah?"
Ouw Hui menangkis dengan goloknya, sehingga cambuk si
nona jadi terpental. "Kenapa kau mengatakan aku
membokong orang?" tanyanya sembari tertawa.
Berbareng dengan terpentalnya cambuk itu, Wan Cie le
merasakan lengannya kesemutan. Ia mengetahui, bahwa
pemuda itu tak boleh dipandang enteng, tapi dalam kalapnya,
ia mencaci lagi: "Bang-sat! Kau menggunakan binatang
beracun untuk mencelakakan tungganganku. Apakah itu
bukan perbuatan bangsa buaya darat?"
"Aku tidak menyalahkan nona, jika nona men-jadi kalap,"
kata Ouw Hui pula, sembari nyengir. "Tapi, bagaimana nona
mengetahui, bahwa Ouw Huilah yang sudah menurunkan
tangan jahat?"
Wan Cie le kaget. Sekarang ia mendapat ke-nyataan,
bahwa dua penunggang kuda lain yang mengikuti di belakang
Ouw Hui adalah kedua Sie-wie yang tadi mengawani Na Cin.
Tangan mereka diikat erat-erat dengan tambang dan kedua
ujung tambang itu dipegang Ouw Hui. Sekarang si nona
mendusin, bahwa kedua Sie-wie itu sudah menjadi tawanan
Ouw Hui dan oleh karena itu, ia sudah menebak latar
belakangnya. "Apakah buah pekerjaan kedua bangsat itu?" ia
membentak. Ouw Hui tertawa. "Cobalah nona tanya, nama dan gelaran
mereka yang besar," katanya.
"Kalau kau sudah tahu, hayo beritahukan pada-ku, jangan
rewel," kata Wan Cie Ie dengan aseran.
"Baiklah," kata Ouw Hui sembari nyengir. "Sekarang aku
memperkenalkan kedua orang besar ini, kepada nona. Yang
itu adalah Siauw-ciok-yong Tio Beng, sedang yang ini adalah
Kim-sia-cu Cui Pek Seng."


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendengar gelaran itu, si nona lantas saja mengetahui,
bahwa Siauw-ciok-yong adalah orang yang melepaskan api
kepadanya, sedang Kim-sia-cu adalah majikan dua ekor kutu
berbisa itu. Ternyata, mereka sudah melakukan pekerjaan itu,
ketika si nona sedang bertempur dengan Na Cin.
Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Wan Cie Ie mengayun
cambuknya. "Terrrr... terrr..." enam kali cambuk kuda itu
berbunyi beruntun, setiap orang dipersen tiga cambukan.
Hampir berbareng, kepala dan muka kedua Sie-wie itu
mengucurkan darah.
"Lekas keluarkan obat pemunah untuk kuda-ku!" bentak
Wan Cie Ie dengan bengis. "Jika ayal-ayalan, akan aku persen
lagi dengan tiga cambukan. Sekali ini dengan cambuk ini." la
mengebaskan Joan-piannya di tengah udara dan kemudian
menyabet jatuh sebatang cabang pohon liu. Kim-sia-cu yang
sudah ketakutan setengah mati, mengangkat kedua
tangannya yang terikat dan berkata dengan suara gemetar:
"Bagaimana aku bisa...." Belum habis perkataannya, Ouw Hui
sudah mengayun goloknya dan tali yang mengikat
pergelangan tangan Kim-sia-cu, jatuh di atas tanah. Sabetan
golok itu merupakan suatu pertunjukan untuk memperlihatkan
ke-lihayannya sendiri. Tenaga yang digunakan adalah
sedemikian tepatnya, sehingga meskipun tambang pengikat
itu tertebas putis, kulit Kim- sia-cu sama sekali tidak terluka.
Wan Cie Ie mengerti maksud Ouw Hui. la hanya
mengeluarkan suara di hidung sebagai ejek-an.
Buru-buru Kim-sia-cu mengeluarkan sebung-kus obat dari
sakunya dan mengusapkan obat itu di luka si putih. "Sesudah
memakai obatku, jiwa bi-natang ini tidak terancam lagi,"
katanya dengan suara perlahan. "Tapi, dalam tiga hari dia
tidak boleh lari, supaya tulang dan otot-ototnya tidak
mendapat luka."
"Buka ikatan Siauw-ciok-yong!" perintah si nona.
Kim-sia-cu menjadi girang sekali. "Biar dicambuk, masih
untung kecuali Co-toako, tak ada orang lain yang turut
menyaksikan," katanya di dalam hati. "Dia sendiri juga
mendapat bagian, rasanya dia tak akan menguarkan kejadian
ini di luaran." Harus diketahui, bahwa orang-orang sebangsa
sie-wie itu, tidak merasa terlalu berkeberatan jika mereka
dihajar orang. Yang paling mereka takuti adalah cerita-cerita
di luaran yang bisa menurunkan keangkeran dan derajat
mereka. Maka itu, buru-buru Kim-sia-cu menghampiri
kawannya dan membukakan tali yang mengikatnya. Baru
mereka mau mengangkat kaki, tiba-tiba si nona tertawa
dingin. "Kamu mau berangkat?" tanyanya. "Hm! Kau kira
dalam dunia ada urusan yang bisa berjalan begitu licin?"
Jantung kedua sie-wie itu memukul keras, mereka saling
mengawasi dengan sorot mata ketakutan. Mereka menahan
les dan tidak berani berjalan terus.
"Siauw-ciok-yong, lekas keluarkan semua alat
pembakarmu!" perintah si nona. "Kim-sia-cu, kau juga
mengeluarkan semua kutu busukmu! Jika kau berani
menyembunyikan, kuhajar lagi cecongormu!" Sembari berkata
begitu, ia mengebaskan joan-piannya berulang-ulang,
sehingga menerbitkan serentetan suara nyaring di tengah
udara. Diancam begitu, mereka tak bisa berkutik lagi. Dengan
ogah-ogahan Siauw-ciok-yong mengeluarkan sebuah kotak
besi, di mana ia menyimpan senjata rahasianya, sedang Kimsiacu juga merogoh sakunya dan mengeluarkan
#sebuahtkimbung bambu yang berisi kutu-kutu beracun.
Melihat bumbung yang mengilap itu karena sudah digunakan
bertahun-tahun, Wan Cie-ie jadi ingat isinya, yaitu kutu-kutu
berbulu yang sangat menakutkan dan beracun. Tanpa merasa,
bulu romanya berdiri semua.
"Bangsat!" bentak si nona. "Kamu sudah berani
membokong aku dengan senjata beracun benar-benar nyalimu
besar. Sebenar-benarnya, hari ini kau mesti mampus. Tapi,
untungmu masih bisa dikatakan bagus, karena nonamu
mempunyai kebiasaan untuk hanya mengambil satu jiwa
manusia dalam satu hari ...."
Co Beng dan Cui Pek-seng saling mengawasi, hati mereka
menjadi lega sedikit.
Sesudah berhenti sejenak, Wan Cie-ie berkata pula, "Di
antara kamu berdua, seorang mesti meninggalkan dunia ini.
Siapa yang mesti mati dan siapa yang boleh hidup, sukar
sekali aku memutuskannya. Begini saja, kamu saling
menghantam dengan senjata rahasiamu. Siapa yang kena,
dialah yang harus mati. Siapa yang bisa berkelit, nonamu
mengampuni jiwanya. Peraturanku ini tak dapat diubah lagi.
Tak guna kamu memohon-mohon. Satu, dua, tiga, hayo!"
Kedua sie-wie itu agak sangsi. Mereka tak dapat menebak,
apakah nona itu bicara sesungguhnya atau hanya ingin
menakut-nakuti mereka. Tapi, di lain detik, mereka samasama
mempunyai pendapat begini, jika dia turun tangan lebih
dulu, bukankah aku yang mampus" Dua-dua sie-wie itu orangorang
kejam dan begitu memikir demikian, mereka segera
turun tangan. Hampir berbareng mereka mengeluarkan
teriakan yang menyayatkan hati. Leher Siauw-ciok-yong sudah
digigit sia-cu, sedang dada Kim-sia-cu sudah disambar bola
api, kumis dan bajunya sudah terbakar.
Wan Cie-ie tertawa terpingkal-pingkal. "Sudahlah!" katanya.
"Hitung-hitung seri saja. Sekarang kamu boleh menggelinding
pergi dari sini!"
Bukan main girangnya mereka. Tanpa menghiraukan sia-cu
yang masih menggigit dan api yang masih berkobar-kobar,
dengan serentak mereka mengeprak kuda yang lantas saja
kabur sekeras-kerasnya. Sesudah terpisah jauh dari kedua
orang muda yang galak itu, barulah mereka saling menolong.
Untuk beberapa saat, Wan Cie-ie masih saja tertawa geli.
Mendadak ia merasakan punggungnya dingin sebab ditiup
angin dan baru ia ingat, bahwa bajunya pecah. Ia melirik Ouw
Hui dan mendapat kenyataan, bahwa pemuda itu tengah
mengawasi dirinya sembari bersenyum. Ia jadi kemalu-maluan
dan kedua pipinya lantas saja bersemu merah.
"Lihat apa kau?" ia membentak.
Ouw Hui melengos. "Tak lihat apa-apa," sahutnya.
"Minggir! Aku mau menukar baju," si nona memerintah.
"Di sini" Kau mau menukar baju di tengah jalan?" Ouw Hui
menanya sembari tertawa.
Wan Cie-ie mendongkol tereampur geli. Karena jengah, ia
jadi keterlepasan bicara. Sembari melirik Ouw Hui dengan
sorot mata uring-uringan, ia pergi ke gerombolan pohonpohon
lalu mengenakan baju luar yang berwarna kuning.
Pakaian dalamnya masih basah, tapi ia tidak
menghiraukannya. Sesudah itu, ia menggulung baju ungu itu
yang sudah terbakar dan melemparkannya ke tengah sungai.
Sambil mengawasi baju itu yang hanyut terbawa aliran air,
Ouw Hui berkata, "Nona, apakah sekarang kau bernama Wan
Hong-san (Si Baju Kuning)?"
Cie-ie tak menjawab ia hanya mengeluarkan suara di
hidung, Ouw Hui ternyata sudah bisa menebak, bahwa "Wan
Cie-ie" bukan namanya yang asli.
Mendadak si nona berteriak, "Celaka! Aku digigit sia-cu!" Ia
mengulurkan tangannya dan mencakar-cakar punggungnya.
Ouw Hui terkesiap. "Apa benar?" tanyanya, sembari
meloncat ke belakang si nona untuk memberikan bantuan.
Sekali ini, Ouw Hui yang pintar kena juga ditipu. Selagi ia
loncat, yaitu sedang badannya berada di tengah udara,
sekonyong-konyong Cie-ie mendorong dengan kedua
tangannya. Itulah bokongan yang sungguh tidak diduga-duga.
Seketika itu juga, Ouw Hui terjungkal dan jatuh ke dalam
lumpur di tepi sungai, tubuhnya ambles sebatas dada!
Wan Cie-ie bertepuk tangan dan tertawa bergelak-gelak.
"Ouw Hui kecil!" ia berteriak dari atas. "Kau terkenal licin
seperti setan, tapi sekarang, kena juga kau diakali nonamu!"
Ouw Hui tak tahu, apa ia mesti menangis atau tertawa.
Kebaikan hatinya merupakan ketololan besar. Karena
empuknya lumpur, tak dapat ia mengerahkan tenaga untuk
melompat ke luar, sehingga jalan satu-satunya adalah
berkutat naik ke atas setindak demi setindak.
Begitu tiba di gili-gili, sambil mementang kedua tangannya
yang berlepotan lumpur, Ouw Hui menubruk sembari
berteriak, "Budak kecil ini mesti dihajar dengan kekerasan!"
Si nona terkejut, buru-buru ia meloncat dan melarikan diri.
Tapi di luar dugaannya, ilmu mengentengkan badan Ouw Hui
tidak berada di sebelah bawah kepandaiannya. Ia lari
berputar-putar, tapi selalu dicegat oleh pemuda itu yang
mengancam akan memeluk dirinya sambil mementang kedua
tangannya. Ia juga tidak berani menyerang, karena begitu
beradu tangan, ia tentu akan kecipratan lumpur. Sesudah
main petak beberapa lama, si nona menjadi uring-uringan dan
segera menghentikan tindakannya. "Kau berani meraba aku"!"
ia membentak sembari memberengut.
Ouw Hui yang memang hanya ingin menakut-nakuti, lantas
saja turut menghentikan tindakannya. Sesaat itu, hidungnya
mengendus wangi-wangian yang halus dan sedap, sehingga
dengan terkejut ia meloncat mundur beberapa tindak.
"Nona," katanya. "Aku sudah begitu baik hati, tapi kenapa
kau berlaku seperti seekor anjing yang menggigit Lu Tongpin?"
Cie-ie tertawa dan menjawab secara menyimpang, "Eh,
apakah kau mengetahui, bahwa dalam ilmu silat Pat-sian-kiam
terdapat serupa pukulan yang dinamakan Lu-tong-pin-tuikauw
(Dewa Lu Tong-pin mendorong anjing). Jika kau tak
pereaya, tanyakan orang she Na itu."
"Ah, kau sungguh tak mempunyai liangsim (perasaan
hati)," kata Ouw Hui. "Kau membalas kebaikan dengan
kejahatan."
"Fui!" bentak si nona. "Kau berani menganggap dirimu
terlalu mulia, sudah melepas budi besar kepadaku" Sekarang
kutanya, Bagaimana kau bisa mengetahui, bahwa kedua siewie
itu sudah membokong aku?"
Mendengar pertanyaan itu, Ouw Hui jadi gelagapan.
Memang benar, ketika kedua sie-wie itu meletakkan bahan api
di punggung Cie-ie dan melepaskan sia-cu di cambuknya, Ouw
Hui sudah melihat dengan terang sekali. Tapi untuk
mengganggu, ia sengaja menutup mulut. Sesudah si nona
berlalu, barulah ia membekuk kedua orang itu dan menyusul.
"Kenapa kau diam saja?" tanya Cie-ie. "Bukankah benar
dalam hal ini sedikit pun aku tak menerima budimu?" Sehabis
berkata begitu, ia mengeluarkan sapu tangan dan menutup
hidungnya. "Bau benar kau!" katanya. "Lekas mandi! Sesudah
badanmu dicuci bersih, aku akan menceritakan halnya Tio-sam
... si bocah Tio Poan-san."
Sebenarnya ia ingin mengatakan "Tio-samsiok", tapi karena
Ouw Hui mengakui Poan-san sebagai kakaknya, sehingga
dengan begitu, kedudukannya jadi lebih tinggi setingkat
daripada ia, maka ia sudah menggunakan perkataan "si bocah
Tio Poan-san".
Ouw Hui menjadi girang sekali. "Baik, baiklah," katanya
dengan cepat. "Kau pergi jauh-jauh. Aku mandi cepat sekali."
"Cepat-cepat tak hilang baunya," kata si nona sembari
nyengir. Ouw Hui tertawa dan dengan gerakan It-ho-ciong-thian
(Burung Ho Menembus Langit) yang sangat indah, ia loncat
mencebur ke dalam sungai.
Selagi Ouw Hui mandi, Cie-ie memeriksa luka si putih. Obat
Kim-sia-cu ternyata sangat mustajab, karena bengkaknya
sudah reda dan kuda itu sudah tidak menjerit-jerit lagi.
Dengan hati lega, ia memandang ke arah sungai. Ia melihat
pakaian, sepatu dan kaus kaki Ouw Hui ditumpuk di pinggir
sungai, sedang pemuda itu sendiri sedang berenang di suatu
tempat yang jauhnya beberapa puluh tombak.
Mendadak, kenakalan si nona kumat kembali. Ia membuka
buntelan Ouw Hui dan mengeluarkan sepotong baju tua.
Sesudah itu, dengan berindap-indap ia menghampiri
tumpukan pakaian
Bentrok Rimba Persilatan 21 Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long Suling Emas Dan Naga Siluman 13

Cari Blog Ini