Ceritasilat Novel Online

Kisah Si Rase Terbang 7

Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung Bagian 7


di tepi sungai itu dan membungkus
semuanya di dalam baju tua itu. Kemudian, ia menunggangi
kuda Ouw Hui dan sembari menuntun si putih, ia menjalankan
kuda itu ke arah utara.
"Hei! Kenapa begitu lama?" ia sengaja berteriak. "Aku
mempunyai urusan penting, tak dapat menunggu kau lagi!"
Sehabis berkata begitu, ia mengeprak tunggangannya yang
lantas saja lari keras.
Lapat-lapat di sebelah jauh, ia dengar teriakan Ouw Hui,
"Nona Wan! Nona Wan! Aku menyerah kalah! Tinggalkan
pakaianku!" Semakin lama, suara itu jadi semakin jauh,
agaknya Ouw Hui tak berani naik ke atas tanpa pakaian.
Di sepanjang jalan Wan Cie-ie tertawa terpingkal-pingkal,
semakin ia ingat perbuatannya, semakin geli hatinya. Ia sudah
menghitung, bahwa sebagai kuncu (kesatria), pemuda itu
tentu tidak berani mengejar tanpa berpakaian.
Sesudah berjalan belasan lie, ia lalu berhenti dan mengaso
di sebuah rumah penginapan kecil. "Aku mesti mengaso,
sebab menurut kata Kim-sia-cu, si putih tak boleh lari untuk
sementara waktu," katanya pada diri sendiri. Tapi, dalam hati
kecilnya, ia mengharapkan agar #(dengan bermalam di rumah
penginapan itu) Ouw Hui akan menyusul dan bereekeok lagi
dengan ia. Malam itu lewat tanpa Ouw Hui menampakkan mata
hidungnya. Pagi-pagi sekali Wan Cie-ie sudah meninggalkan
rumah penginapan itu dan meneruskan perjalanannya. Ia
ingin sekali mengetahui, bagaimana pemuda itu mendapat
pakaian guna menyusul ia. Mengingat begitu, lagi-lagi ia
tertawa geli. Ia jalan perlahan-lahan, setiap hari hanya
delapan puluh atau sembilan puluh lie, akan tetapi, orang
yang diharap-harapkan belum juga muncul.
Satu hari, tibalah ia di Ya-kee-wan, sebelah utara Kota
Siang-tam, tak jauh dari kota Tiang-see, ibu kota Provinsi
Ouwlam. Selagi mencari-cari rumah makan untuk menangsel
perut, mendadak ia mendengar suara ramai-ramai di
pelabuhan. Ia mengawasi dan melihat sebuah perahu besar
yang sedang berlabuh di tepi sungai, sedang di kepala perahu
berdiri seorang tua yang lagi menyoja kepada orang-orang
yang seperti sedang mengantarnya.
Dengan melirik, Wan Cie-ie sudah mengetahui, bahwa
sebagian besar daripada pengantar itu adalah orang-orang
Rimba Persilatan yang bertubuh kekar. Dan apa yang agak
luar biasa adalah, di belakang orang tua itu berdiri dua sie-wie
dari Kerajaan Ceng.
Jantung si nona memukul lebih keras. "Apakah lagi-lagi aku
bertemu dengan seorang ciangbunjin yang mau berangkat ke
kota raja untuk memenuhi undangan Hok-kongcu?" tanyanya
pada diri sendiri. Memikir begitu, ia segera menahan kudanya
dan mengawasi orang tua itu secara lebih saksama. Jenggot
orang tua itu sudah putih, tapi mukanya bersinar merah dan
pakaiannya indah sekali.
"Hiantee (adik) sekalian harap pulang saja," katanya
sembari menyoja. Dilihat dari gerakan-gerakannya yang
mantap, tak bisa salah lagi ia adalah seorang ahli silat yang
berkepandaian tinggi.
Orang-orang yang berada di daratan bersorak-sorai dan
berteriak, "Selamat jalan, Loosu! Kami mendoakan supaYaloosu
mengangkat naik derajat Kiu-liong-pay (Partai Sembilan
Naga) kita di kota raja."
Orang tua itu tertawa dan berkata, "Tak berani aku
mengharapkan itu. Aku hanya mengharap, supaya nama Kiuliongpay tidak menjadi rusak dalam tanganku." Kata-kata itu
yang diucapkannya nyaring sekali, kedengarannya seperti
kata-kata merendahkan diri, tapi sebenarnya mengandung
kesombongan. Perkataan orang tua itu disambut dengan merotoknya
petasan yang dipasang di perahu dan di gili-gili. Wan Cie-ie
mengetahui, bahwa begitu lekas petasan itu terbakar habis,
perahu itu akan segera meninggalkan pelabuhan. Ia meloncat
turun dari tunggangannya dan mengambil dua butir batu.
Sekali ia mengayun kedua tangannya dan dua batu itu
menyambar rencengan petasan yang masing-masing kuranglebih
dua tombak panjangnya. Begitu terlanggar batu,
rencengan petasan itu jatuh ke sungai dan terus padam.
Kejadian itu disambut dengan teriakan kaget oleh semua
orang. Padamnya petasan dianggap sebagai alamat yang
sangat buruk. Sejumlah orang telah melihat, bahwa petasan
itu telah ditimpuk putus oleh seorang wanita yang
mengenakan baju warna kuning. Enam-tujuh orang lantas saja
menghampiri dan mengurung Wan Cie-ie.
"Siapa kau"!" bentak seorang.
"Siapa suruh kau mengacau di sini?" teriak seorang lain.
"Eh, kau memutuskan petasan. Apa maksudnya"!" tanya
seorang lain. "Benar-benar kau pernah gegares nyali macan tutul," kata
orang yang satunya lagi. "Berani betul kau main gila terhadap
Ya-loosu dari Kiu-liong-pay."
Jika Wan Cie-ie bukan seorang gadis dan juga gadis cantik,
siang-siang mereka tentu sudah memukul.
Ketika berhadapan dengan jago-jago Wie-to-bun dan Patsiankiam, sedikit pun si nona tidak merasa keder, karena ia
sudah mengenal baik ilmu silat kedua partai itu. Tapi Kiuliongpay (Partai Sembilan Naga), ia belum pernah
mendengarnya. Maka itu, sembari tertawa ia berkata,
"Sebenarnya aku menimpuk burung di atas air, tapi tak nyana,
sudah kesalahan tangan. Aku sungguh merasa sangat
menyesal."
Orang-orang lantas saja memberi berbagai pendapatnya.
Ada yang kata, mustahil si nona kesalahan tangan, sebab dua
renceng petasan itu jatuh semuanya. Ada yang menanya
nama si nona dan maksud kedatangannya di Ya-kee-wan dan
ada pula yang mengumpat caci.
"Berapa sih harganya dua renceng petasan?" kata Wan Cieie
sembari tertawa. "Pergi beli lagi!" Sembari berkata begitu,
ia mengeluarkan sepotong emas yang beratnya kira-kira lima
tahil. Harga emas itu adalah cukup untuk membeli seribu
renceng petasan.
Melihat gerak-gerik nona itu yang sangat aneh, semua
orang jadi merasa heran dan tak seorang pun yang berani
menyambuti uang emas itu.
"Bukankah Tuan-tuan ini murid-murid Kiu-liong-pay?" tanya
Wan Cie-ie sembari mesem. "Bukankah Ya-loosu yang menjadi
ciangbunjin dari Kiu-liong-pay" Dan bukankah Ya-loosu ingin
pergi ke Pakkhia untuk menghadiri pertemuan para
ciangbunjin yang dihimpunkan oleh Hok-kongcu?"
Mendengar pertanyaan itu, semua orang lantas saja
mengangguk. Wan Cie-ie menggeleng-gelengkan kepala dan lalu berkata
dengan suara menyesal, "Sayang sungguh sayang! Petasan
yang sedang dibakar mendadak bungkam, adalah serupa
alamat yang sangat jelek. Paling benar Ya-loosu
mengurungkan niatnya."
"Kenapa?" tanya seorang.
Wan Cie-ie lantas saja menarik paras muka sungguhsungguh.
"Menurut penglihatanku, sinar muka Ya-loosu adalah
sangat guram," katanya. "Di mukanya terdapat serupa uang
hitam dan di kedua alisnya terlihat garis-garis pembunuhan.
Aku berani mengatakan, bahwa jika Ya-loosu pergi juga ke
kota raja, bukan saja nama Kiu-liong-pay akan berantakan tapi
Ya-loosu sendiri bakal terancam jiwanya."
Paras muka semua orang lantas saja jadi berubah. Ada
yang meludah, ada yang memaki, dan ada pula yang
berunding dengan suara perlahan karena hatinya sudah
diguncangkan oleh perkataan si nona.
Wan Cie-ie berdiri dalam jarak yang tidak jauh dari perahu
besar itu dan setiap perkataannya sudah didengar oleh Yaloosu.
Orang tua itu mengawasi si nona yang lemah lembut
dan berbadan langsing kecil, seolah-olah bukan orang yang
mengenal ilmu silat. Akan tetapi, sesudah menyaksikan
timpukannya yang luar biasa dan kuda putihnya yang sangat
garang, Ya-loosu mengetahui, bahwa nona itu bukan
sembarang orang.
Maka itu, ia segera menyoja seraya berkata, "Bolehkah aku
mengetahui she Nona yang mulia" Sudikah Nona naik ke
perahu ini untuk berbicara lebih lanjut?"
"Aku she Wan," jawabnya. "Lebih baik Ya-loosu saja yang
turun ke darat."
Menurut kepereayaan di Provinsi Ouwlam pada zaman itu,
seseorang yang ingin berlayar dan sudah naik di perahu, tak
boleh turun ke darat lagi sebelum perahu itu berlayar. Jika
kebiasaan itu dilanggar, orang itu akan mendapat akibat yang
jelek, katanya. Dari sebab itu, mendengar perkataan si nona,
kedua alis Ya-loosu lantas saja berkerut, seperti juga ia
sedang berpikir keras.
Harus diketahui, bahwa walaupun memiliki ilmu silat yang
tinggi, sehingga ia bisa menjadi ciangbunjin dari suatu partai
silat, orang tua itu sangat pereaya segala petang-petangan
dan ketakhayulan. Tadi, jatuhnya petasan ke dalam air sudah
membikin hatinya jadi sangat tidak enak. Kejadian itu disusul
dengan perkataan si nona yang semakin lama jadi semakin tak
enak kedengarannya.
Sesudah menimbang-nimbang beberapa saat, ia mengambil
keputusan untuk tidak menghiraukan gadis jelita itu. Ia
berpaling kepada juragan perahu dan berkata, "Hayolah
berangkat!"
Anak buah perahu itu lantas saja mengangkat sauh dan
beberapa antaranya segera mengangkat galah untuk menolak
perahu. "Perlahan!" seru Wan Cie-ie. "Jika kau tak dengar
nasihatku, belum seratus lie, perahu itu pasti sudah tenggelam
dan seantero isinya bakal binasa!"
Paras muka Ya-loosu lantas saja berubah menyeramkan.
"Melihat usiamu yang masih begitu muda, aku sengaja
sungkan meladeni," katanya dengan suara keras. "Jika kau
terus ngaco belo, jangan menyesal, kalau aku tak berlaku
sungkan-sungkan lagi."
Dengan sekali menggenjot badan, si nona sudah hinggap di
atas perahu. "Ya-loosu, jangan kau marah," katanya sembari
tertawa. "Aku bicara dengan maksud baik sekali. Bolehkah aku
mengetahui nama Loosu yang besar, supaya aku bisa
meramalkan untuk kebaikanmu sendiri?"
Orang tua itu mengeluarkan suara di hidung dan
membentak, "Tak usah!"
"Baiklah," kata Wan Cie-ie. "Jika Loosu tak sudi
memberitahukan namamu, biarlah aku meramalkan dengan
memecah she Loosu saja. Loosu she Ya. Huruf "ya" terdiri dari
dua huruf "jit" (hari) dan "put-jit" (tidak hari), mempunyai arti,
bahwa usia Loosu sudah tidak panjang lagi. Dalam perjalanan
ini Loosu menggunakan perahu atau dengan perkataan lain,
menggunakan jalan air. Jika huruf "ya" ditambah dengan huruf
"sui" (air) dan huruf "co" (rumput), maka dapatlah kita huruf
"thong" (pengembara). Barangkali Loosu pun mengenal syair
zaman dulu yang berarti seperti berikut, "Thong-cu-heng-putTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
kwi" (Si pengembara tak kembali lagi). Ini berarti, bahwa
dalam perjalanan ini, Loosu tak akan bisa pulang ke kampung
sendiri dan akan binasa di kampung orang."
Mendengar ramalan itu, bukan main gusarnya Ya-loosu.
Tapi, karena perkataan si nona kedengarannya beralasan
sekali, kegusaran itu jadi bereampur dengan kekhawatiran.
"Dusta!" ia membentak untuk menghibur hatinya sendiri.
"Namaku Kit dan "kit" berarti "selamat" atau "beruntung". Apa
lagi yang mau dikatakan olehmu?"
"Celaka!" berseru si nona. "Untuk orang lain, huruf "kit"
memang baik sekali. Tapi bagi Loosu, huruf itu justru
mengandung kecelakaan. Coba Loosu pikir, Loosu she Ya dan
huruf "ya" berarti "hoan" (menukar). Apa artinya itu" Itu berarti
bahwa keselamatan ditukar dengan kecelakaan!"
Ya Kit terkesiap dan tak mengeluarkan sepatah kata,
sedang si nona nakal menyengir dengan perasaan puas.
Sesaat kemudian, Wan Cie-ie berkata pula, "Jika huruf "kit"
dipecah-pecah, maka dapatlah kita tiga huruf, yaitu "cap it
kouw" (sebelas mulut). Ya-loosu, ini lebih celaka lagi! Manusia
biasa hanya mempunyai satu mulut, tapi kau mempunyai
sebelas mulut. Jadi, kau kelebihan sepuluh mulut. Mulut apa
itu" Mulut luka, mulut luka akibat bacokan golok atau pedang!
Ah, Ya-loosu! Dilihat gelagatnya, dalam perjalananmu sekali
ini ke kota raja, memang sudah nasibmu untuk mendapat
sepuluh bacokan dan seperti si pengembara dalam syair kuno
itu, jangankan badan, tulang-tulangmu juga tak akan bisa
pulang ke kampung kelahiranmu!"
Semakin besar ketakhayulan seseorang, semakin takut dia
mendengar perkataan-perkataan yang kurang baik. Sesaat itu
paras muka Ya Kit sudah berubah sangat menyeramkan dan
sembari melirik si nona, ia berkata dengan suara dingin,
"Baiklah Nona, banyak terima kasih untuk perkataanTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
perkataanmu yang sangat berharga. Tapi, bisakah aku
mengetahui siapa adanya gurumu dan siapa ayahmu?"
"Apakah kau juga ingin meramalkan nasibku?" tanya si
nona sembari tertawa. "Sebab apa kau ingin mengetahui asal
usulku?" Ya-loosu tertawa dingin dan berkata pula, "Melihat usiamu
yang masih begitu muda dan juga karena mengingat, bahwa
kita sama sekali belum saling mengenal, maka sudah boleh
dipastikan, kedatanganmu di sini adalah atas suruhan orang
lain untuk mengganggu aku. Aku si orang she Ya tidak biasa
berkelahi melawan segala bocah cilik dan juga, sebagai lelaki
aku tak sudi bertempur dengan perempuan. Suruhlah orang
yang berada di belakangmu, datang kemari. Kita coba-coba
melihat, siapa yang kena sepuluh bacokan dan siapa yang tak
bisa pulang ke kampung sendiri." Sehabis berkata begitu, ia
menuding Wan Cie-ie sembari berteriak, "Siapakah manusia di
belakangmu itu?"
"Orang di belakangku?" si nona menegas sembari tertawa
dan menengok ke belakang.
Begitu menengok, hatinya terkesiap. Ternyata, orang yang
berdiri di daratan dan mengenakan pakaian petani, bukan lain
daripada Ouw Hui! Tapi sungguh pandai si nona
mempertahankan diri. Tanpa berubah parasnya, ia berkata


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sembari tertawa, "Orang yang di belakangku" Aku melihat dia
seperti bocah pengangon kerbau."
"Jangan berlagak pilon!" teriak Ya Kit dengan kegusaran
yang meluap-luap. "Yang kumaksudkan adalah manusia yang
berdiri di belakangmu, yang menyuruh kau datang kemari.
Jika laki-laki, jangan main sembunyi-sembunyi, suruh dia
keluar! Keluar!" Menurut dugaan Ya Kit, tak bisa salah lagi,
kedatangan Wan Cie-ie adalah atas perintah salah seorang
musuhnya untuk mengacau keberangkatannya ke kota raja.
"Ya-loosu," kata pula Wan Cie-ie dengan paras sungguhsungguh.
"Orang kata, obat mustajab, pahit rasanya, nasihat
jujur, tak enak didengarnya. Nasihatku itu keluar dari hati
yang sejujurnya dan apakah kau sudi mendengar atau tidak,
terserah kepadamu. Mengenai Kiu-liong-pay, jika kau tidak
bisa pergi, aku bersedia untuk mewakilinya."
* * * Hampir berbareng dengan meloncatnya Wan Cie-ie ke atas
perahu, Ouw Hui sudah tiba di situ.
Hari itu, ketika pakaiannya dicuri si nona, sedang ia sendiri
mandi di sungai, tentu saja ia tak bisa mendarat dengan
begitu saja. Sesudah malam, baru ia berani naik ke daratan
dan mencuri seperangkat pakaian dari rumah seorang petani.
Apa yang paling dipikirnya adalah kitab ilmu silat dan ilmu
golok yang selalu disimpan dalam saku baju dalamnya dan
baju itu sudah dibawa lari oleh si nona. Ia menduga, bahwa
Wan Cie-ie memang ingin memiliki kitabnya itu, karena mulamula
dia mencuri buntelan dan kemudian mencuri pakaiannya.
Memikir begitu, dengan perasaan jengkel dan bingung, ia
segera mengejar secepat mungkin. Tak berlama-lama, dari
jauh ia sudah melihat si nona yang menjalankan kudanya
perlahan-lahan. Sekarang ia menjadi sangsi. Menurut pantas,
seorang pencuri tentu menyingkir selekas dan sejauh
mungkin. Kenapa melarikan tunggangannya begitu perlahanlahan"
Benar-benar Ouw Hui tak mengerti.
Menurut pertimbangannya, jika menggunakan kekerasan,
belum tentu ia bisa mengalahkan si nona. Maka itu, ia lalu
menguntit secara diam-diam untuk menyelidiki gerak-geriknya
dan melihat, apakah nona itu ada kawannya atau tidak. Tapi
sesudah membuntuti dua hari, sama sekali Ouw Hui tidak
dapat melihat gerak-gerik luar biasa dari nona itu.
Hari itu, ketika tiba di Ya-kee-wan, ia mendapat kenyataan,
bahwa Wan Cie-ie lagi-lagi ingin merebut kedudukan
ciangbunjin. "Ah, nona itu tentu sakit gila," pikir Ouw Hui. "Dia tentu
dihinggapi penyakit gila ciangbunjin, atau dia mempunyai
maksud lain yang lebih dalam."
Melihat Ya Kit dan Wan Cie-ie sudah hampir bertempur,
diam-diam Ouw Hui menjadi girang. Ia mengambil putusan
menjalankan peranan si penangkap ikan yang mengantongi
hasil permusuhan antara burung dan kerang. Dengan
perkataan lain, ia ingin berusaha untuk mengambil pulang
kitabnya, selagi kedua orang itu bertempur. Di saat itu, jika
mau, dengan gampang ia bisa merebut kembali kuda si nona.
Akan tetapi, seperti lagu yang merdu tak akan dinyanyikan
untuk kedua kalinya, begitu juga tipu yang lihai tak akan
diulangi lagi. Jika ia mengulangi siasat merebut kuda, ia
khawatir ditertawakan si nona. Maka itu dengan perlahan ia
mendekati perahu, siap sedia untuk merampas buntelan si
nona yang diikatkan di punggungnya.
* * * Sementara itu, mendengar perkataan Wan Cie-ie, paras
muka Ya Kit jadi bersemu ungu, bahana gusarnya. "Kalau
begitu," katanya dengan suara gemetar, "kalau begitu, apakah
Nona mau mengatakan, bahwa aku, Ya Kit, tak mempunyai
kemampuan dan tak berhak lagi menjadi ciangbunjin dari Kiuliongpay?" "Bukan, bukan begitu." jawabnya sembari nyengir.
"Perjalanan Loosu sekali ini adalah perjalanan yang penuh
bahayanya. Urusan jiwa tak boleh dibuat main-main. Maka itu,
lebih baik Loosu menyerahkan kedudukan ciangbunjin
kepadaku. Nasihat ini keluar dari hati yang suci dan hanyalah
untukmu ...."
Baru saja ia berkata begitu, dari dalam perahu mendadak
keluar dua orang lelaki yang masing-masing mencekal kiu-ciatpian
(pian atau pecut yang mempunyai sembilan tekukan).
"Perempuan itu miring otaknya, tak usah Suhu meladeni
ia," kata lelaki yang setengah tua. "Biar Teecu (murid) saja
yang melemparkan dia ke daratan, supaya tak membikin
kapiran saat yang baik untuk menjalankan perahu." Sembari
berkata begitu, ia mengulurkan tangan kirinya untuk
mendorong pundak Wan Cie-ie.
"Payah! Ilmumu payah!" kata si nona sambil menyentil
lengan orang itu. Begitu tersentil, lengan orang itu kesemutan
dan tangannya turun pula dengan perlahan.
"Toasuko, gunakan senjata!" teriak kawannya.
Berbareng dengan suara kerontrangan, dua kiu-ciat-pian
yang terbuat dari baja menyambar si nona. Tapi karena
memang bukan maksud mereka untuk mengambil jiwa orang,
kedua senjata tidak menyambar ke bagian tubuh yang
berbahaya. Melihat senjata orang, Wan Cie-ie lantas saja menduga,
bahwa nama Kiu-liong-pay sudah didapatkan karena orangorang
partai itu terutama mahir dalam menggunakan kiu-ciatpian.
Di saat itu, kedua pian tersebut sudah hampir mengenai
tubuhnya. "Bagus!" katanya di dalam hati. "Sekarang kau
bertemu dengan kakek moyangmu."
Cepat bagaikan kilat, kedua tangannya menyambar dan
menangkap dua ujung pian itu yang lantas saja dicantelkan
satu pada yang lain. Dalam melakukan gerakan tangannya itu
tubuh si nona sama sekali tidak bergerak.
Kedua murid Ya Kit lantas membetot dengan berbareng
dan betotan itu justru yang diinginkan oleh Wan Cie-ie, karena
kedua kiu-ciat-pian itu lantas saja mencantel semakin keras.
Mereka bengong bahana kaget, lalu membetot pula dan
sebaliknya dari terlepas, cantelan itu jadi semakin keras pula.
"Goblok! Minggir!" bentak Ya Kit, sembari mencengkeram
jubah panjangnya dan dengan sekali mengentak, tujuh
kancingnya copot semua. Gerakan ini disusul dengan kibasan
tangan kirinya dan jubah panjangnya sudah terlucut dari
tubuhnya. Demikianlah, dengan pakaian ringkas, ia berdiri di
depan si nona dengan penuh keangkeran. Semua muridnya
yang berdiri di gili-gili lantas saja bersorak-sorai.
Wan Cie-ie menggeleng-gelengkan kepalanya seraya
berkata, "Sebenarnya tak pantas kalian bersorak-sorai.
Gerakan itu dinamakan Toh-pauw-siang-wie (Membuka Jubah
Menyerahkan Kedudukan). Membuka jubah memang tak apa,
tapi menyerahkan kedudukan adalah suatu alamat bahwa
kedudukan ciangbunjin memang sudah ditakdirkan harus
diserahkan kepadaku."
Ya Kit terkejut, ia lantas saja merasa, bahwa gerakannya
tadi memang merupakan alamat yang kurang baik. Ia meraba
pinggangnya dan di lain saat, tangannya sudah mencekal
sebuah kiu-ciat-pian yang mengilap.
Cara Ya Kit mengeluarkan senjatanya merupakan suatu
keheranan, yakni kiu-ciat-pian baja itu sama sekali tidak
mengeluarkan suara. "Celaka!" si nona mengeluh. "Orang ini
tak boleh dibuat gegabah. Aku sendiri tak mampu
menggunakan ilmu itu."
Tongkrongan Ya Kit benar-benar menyeramkan. Dengan
badannya yang tinggi besar ia mencekal kiu-ciat-piannya yang
berukuran hebat, setiap tekukannya sebesar telur itik.
Waktu itu, karena sauh sudah diangkat, maka perahu jadi
bergoyang-goyang tak hentinya. Ya Kit mengayun senjatanya
dan menyabet sauh itu yang lantas saja terpental dan
nyemplung ke dalam air, sehingga perahu itu menjadi tetap
kembali. Itulah suatu pertunjukan kekuatan yang sangat
hebat. Jika tangan Ya Kit tidak mempunyai tenaga tujuh atau
delapan ratus kati, ia tentu tidak bisa berbuat begitu.
Wan Cie-ie terkesiap. "Tenaga orang itu sangat besar dan
ilmunya tinggi," pikirnya. "Dia harus dijatuhkan dengan tipu,
tak bisa dilawan dengan tenaga."
Melihat badan Ya Kit yang tinggi besar dan usianya yang
agak lanjut, si nona berpendapat bahwa meskipun
lweekangnya tinggi, gerak-gerik orang tua itu tentunya kurang
gesit. Berpikir begitu, ia segera mendapat suatu akal yang
baik. "Ya-loosu," katanya. "Aku adalah seorang wanita dan jika
kita bertempur di kepala perahu, tak peduli menang atau
kalah, pertempuran ini pasti akan berakibat kurang baik bagi
perjalananmu. Maka itu, aku ingin mengusulkan supaya kita
bertanding di tempat lain."
Ya Kit menyetujui usul itu, tapi ia juga sungkan turun ke
darat. "Ya-loosu," kata pula si nona. "Sekarang kita berjanji dulu,
Jika aku menang, bukankah kau akan menyerahkan
kedudukan ciangbunjin dari Kiu-liong-pay kepadaku" Apakah
jika sampai kejadian begitu, murid-muridmu akan rela
menerimanya?"
Ya Kit merasakan dadanya sesak bahana gusarnya. "Tak
rela, toh mesti rela juga!" bentak orang tua itu. "Tapi, kalau
kau yang kalah?"
"Aku akan berlutut di hadapanmu dan memanggil kau
ayah," jawab si nona sembari menyengir. "Hanya aku
memohon kau suka menyayang si anak angkat." Sembari
berkata begitu, ia meraba pinggangnya dan di lain saat,
tangannya sudah mencekal pecut.
Sambil menggenjot badan, ia mengayun pecutnya yang
lantas saja melibat tiang layar. Dengan menarik pecut itu,
badannya membubung ke atas dan begitu lekas lengan kirinya
memeluk tiang layar, pecutnya sudah diayun lagi dan kembali
melibat bagian lebih atas dari tiang itu. Sekali lagi ia menarik
pecutnya sembari mengempos semangat dan dengan gerakan
It-ho-thiong-thian (Seekor Burung Ho Menembus Langit),
badannya melesat ke atas dan ia hinggap persis di puncak
tiang! Itulah suatu ilmu mengentengkan badan yang sudah
mencapai puncak kesempurnaan! Tanpa merasa, semua
penonton bersorak-sorai.
Ya Kit mengeluarkan suara di hidung dan melibatkan kiuciatpiannya di pinggangnya. Begitu tangan kirinya
mencengkeram tiang layar, badannya naik kira-kira dua kaki.
Sesudah tangan kiri itu, ia mengulurkan tangan kanannya
yang kembali mencengkeram tiang dan tubuhnya naik lebih
tinggi lagi. Harus diketahui, bahwa tiang itu sebesar mangkuk
nasi dan tak akan dapat dicekal dengan sebelah tangan. Tapi,
tenaga jeriji Ya Kit adalah sedemikian lihainya dan telapakan
tangannya mengandung lweekang yang sangat dalam,
sehingga, walaupun tiang tidak tereekal, bisa juga ia berbuat
begitu. Dengan cepat, tubuhnya menaik ke atas dan bagi
seorang ahli, perbuatan itu merupakan suatu pertunjukan ilmu
yang sangat dahsyat.
Di lain saat, Ya Kit sudah berada dalam jarak kira-kira
setombak dari si nona. Wan Cie-ie mengetahui, bahwa jika
lawannya sudah naik ke atas, ia bisa jadi berabe. Maka itu,
selagi ia masih bisa menarik keuntungan dari kedudukannya
yang lebih tinggi, ia segera mendului. "Ya-loosu!" ia
membentak. "Pecutku mempunyai delapan belas tekukan,
sembilan tekuk lebih banyak daripada pecutmu." Berbareng
dengan seruannya, ia mengayunkan senjatanya yang segera
menyambar kepala Ya Kit.
Ya Kit yang kedua tangannya sedang mencengkeram tiang
benar-benar berada dalam bahaya. Jika ia berkelit badannya
akan merosot ke bawah dan itu akan berarti, bahwa ia sudah
kalah. "Tak punya malu!" teriak salah seorang muridnya di darat.
"Tak adil!" seru orang kedua. "Perempuan bangsat! Turun
kau, jika berani!" orang ketiga mencaci.
Sesaat itu, Ya Kit sudah bergerak untuk membela diri.
Dengan lengan kiri ia memeluk tiang dan kiu-ciat-pian di
tangan kanannya sudah menyambar ke atas untuk memapaki
pecut si nona. Wan Cie-ie mengetahui, bahwa jika kedua senjata lemas itu
sampai kebentrok dan terlibat satu dengan yang lain, ia akan
kalah tenaga dalam betot membetot. Maka itu, pada detik
terakhir, ia mengedut senjatanya untuk menghindari
bentrokan. Baru saja ia mau memecut pula, Ya Kit sudah
memutar senjatanya bagaikan titiran untuk melindungi
kepalanya, kemudian, sambil membentak keras, badannya
"terbang" ke atas dan ... ia sudah hinggap di palang tiang!
Tepuk tangan dan sorak-sorai yang gemuruh menyambut
gerakan yang luar biasa indahnya itu.
Dalam pada itu, sebaliknya dari khawatir, hati Wan Cie-ie
jadi terlebih mantap. Dari gerakan kiu-ciat-pian Ya Kit, ia
segera mengetahui, bahwa walaupun orang tua itu
mempunyai tenaga yang sangat besar, ilmu silatnya tidak
seberapa, sedikitnya masih belum dapat menandingi ilmu
pecutnya. Maka itu, dengan perasaan tenang, sambil
memiringkan badannya ke kiri, Wan Cie-ie segera menyabet
ke kanan. Ya Kit yang sudah nangkring dengan selamat, juga
lantas mengayun senjatanya sembari mesem.
Demikianlah, kedua lawan itu segera serang-menyerang di
atas tiang yang tingginya tujuh atau delapan tombak.
Pertempuran itu, di samping memberikan pemandangan yang
mengerikan, juga indah luar biasa. Jumlah manusia yang
berkumpul di tepi sungai semakin lama jadi semakin banyak,
sedang di atas air, jumlah perahu juga jadi bertambah.
Ya Kit mengerti, bahwa dalam ilmu mengentengkan badan,
kepandaiannya masih belum bisa menandingi lawannya. Tapi,
untung sekali, ia sekarang sudah berada di tempat yang
sentosa. Di lain pihak, Wan Cie-ie yang lincah bergerak-gerak
dan mundur-maju tiada hentinya, sambil menghantam pulangpergi
dengan pecutnya. Dalam pertempuran itu, si nona
mempunyai dua keuntungan, pertama, ia lebih gesit dan
kedua, senjatanya banyak lebih panjang, kira-kira dua kali
lebih panjang daripada kiu-ciat-pian lawannya. Maka itu,
sedang Ya Kit hanya bisa membela diri. Wan Cie-ie menyerang
kalang kabutan sesuka hatinya. Sesudah bertempur tiga puluh
jurus lebih, sambil berseru keras dan nyaring, si nona
mengubah cara bersilatnya. Dalam sekejap saja, pecutnya
sudah berkelebat-kelebat bagaikan ular perak yang sedang
menari-nari dan pukulan-pukulannya jadi lebih aneh lagi.


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Diserang secara begitu, Ya Kit terpaksa memutarkan
senjatanya secara lebih dahsyat untuk melindungi seluruh
tubuhnya. Harapan Ya Kit satu-satunya adalah berusaha untuk
melibat pecut si nona dan kemudian membetotnya untuk
merobohkan lawannya ke bawah tiang. Di lain pihak, sesudah
bertempur lama juga, Wan Cie-ie mengetahui, bahwa orang
tua itu hanya memiliki tujuh-delapan macam pukulan yang
diulangi lagi. Dilihat sekelebatan, Wan Cie-ie memang berada di atas
angin. Tapi, keadaan yang sebenarnya bukan begitu. Harus
diketahui, bahwa cara si nona berkelahi meminta banyak
tenaga dan kewaspadaan yang sepenuh-penuhnya. Begitu dia
lelah, ilmu pecutnya akan segera menjadi kalut dan sekali
lengah, ia bisa terpeleset dan jatuh ke bawah. Sebagai
seorang tua yang berpengalaman, itulah yang ditunggu Ya Kit.
Ia mempertahankan diri untuk menunggu saatnya yang baik.
Wan Cie-ie tentu saja mengerti maksud Ya Kit. Tapi karena
garis pembelaan orang tua itu luar biasa rapatnya, ia tidak
bisa berbuat banyak. Jika pertempuran itu dilakukan di atas
tanah datar, ia bisa menggunakan macam-macam cara,
misalnya menghantam sambil berlompat tinggi, menyabet
sembari menggulingkan badan, dan sebagainya. Tapi, dengan
berada di atas tiang, tentu saja ia tak bisa berbuat begitu.
Sesudah lewat lagi belasan jurus, napas si nona sudah
mulai tersengal-sengal dan gerak-geriknya sudah tidak begitu
gesit lagi. Berselang beberapa jurus lagi, selagi ujung pecut si
nona menyambar mukanya dengan gerakan yang tak begitu
dahsyat, mendadak Ya Kit mengulurkan tangan kirinya untuk
mencengkeram bola emas di ujung pecut lawan itu. Dengan
kaget, Wan Cie-ie mengedut senjatanya. Tapi tak dinyana,
sembari membentak keras, Ya Kit sudah menyabet dengan
kiu-ciat-piannya. Suatu bentrokan tak dapat dielakkan lagi dan
di lain detik, kedua senjata lemas itu sudah saling melibat.
Dengan girang Ya Kit segera mengerahkan tenaga
dalamnya dan membetot sekuat-kuatnya. Wan Cie-ie
mencelos hatinya karena ia merasakan lengannya terbetot
keras. Ia mengetahui, bahwa jika kekerasan dilawan dengan
kekerasan, ia pasti kalah.
Dalam keadaan berbahaya itu, si nona yang galak tidak
menjadi bingung. Bagaikan kilat, ia mengambil keputusan
untuk terjun ke dalam bahaya. Ia mengempos semangatnya
dan mengebaskan tangan kanannya yang mencekal pecut,
sembari melepaskan senjata itu. Pecut itu melesat dan
berputar-putar bagaikan titiran melibat tiang layar dan ...
ternyata lutut Ya Kit serta lengan kanannya, juga sudah dilibat
erat-erat ke tiang perahu dengan pecut Wan Cie-ie dan
senjatanya sendiri!
Itulah benar-benar suatu kejadian yang tak diduga-duga!
Dalam kagetnya, buru-buru ia mengulurkan tangan kirinya
untuk membuka libatan itu. Tapi Wan Cie-ie sudah menubruk!
Dua jeriji tangan kiri si nona lantas saja menyambar untuk
mengorek biji mata lawannya.
Buru-buru Ya Kit melepaskan pecut musuh yang baru saja
ditangkap dengan tangan kirinya dan menyampuk serangan si
nona. Tapi, tak dinyana, serangan itu hanyalah gertakan
belaka. Begitu Ya Kit menyampuk, Wan Cie-ie menahan
gerakan tangan kirinya dan pada saat yang sama, tangan
kanannya menutuk jalan darah yan-goat-hiat musuh, di bawah
ketiak. Lengan kiri Ya Kit lantas saja menjadi kaku. Ia
sekarang tidak berdaya lagi, karena kedua lutut dan lengan
kanannya dililit cambuk lawan.
Melihat bagaimana si nona sudah bisa merebut
kemenangan pada saat yang sangat berbahaya, tanpa merasa
Ouw Hui bersorak. Tapi, sedang mulutnya masih belum
tertutup, sekonyong-konyong sembilan buah kim-chie-piauw
menyambar ke atas, ke arah pelbagai jalan darah si nona.
Bukan main kagetnya Wan Cie-ie. Ketika itu, ia sedang
berdiri di palang tiang layar, ia tak dapat meloncat maju atau
mundur, tak bisa berkelit ke kiri atau ke kanan. Pada saat
terakhir, justru serangan itu sudah hampir mengenai
tubuhnya, ia mendoyongkan badannya ke belakang dan
sembilan piauw itu terbang lewat di atas tiang. Semua orang
yang tadi menahan napas, dengan serentak bersorak-sorai
sembari bertepuk tangan. Di atas tiang yang begitu tinggi, si
nona memperlihatkan kepandaiannya selaku akrobat. Kedua
kakinya dicantelkan pada palang pintu tiang, tubuhnya
telentang membujur di tengah udara!
Tapi si pembokong sungkan menyerah mentah-mentah.
Sekali lagi, ia melepaskan tiga buah kim-chie-piauw, sebuah
menyambar ke badan si nona, yang dua melesat ke arah
palang tiang layar.
Ouw Hui mengetahui, bahwa sekali ini, Wan Cie-ie tak akan
dapat menolong diri lagi. Dengan perasaan mendongkol
terhadap si pembokong yang kejam, buru-buru ia melepaskan
tiga batang piauw. Berkat tenaga dalamnya yang sangat
besar, meskipun Ouw Hui melepaskannya lebih belakang, tiga
piauwnya bisa menyusul senjata penyerang gelap itu dan di
lain saat, keenam piauw itu sudah kebentrok di tengah udara
dan segera jatuh meluruk ke dalam air.
Wan Cie-ie mengerti, bahwa barusan jiwanya tergantung
pada selembar rambut. Jantungnya memukul keras dan
keringat dingin mengucur di dahinya. Baru saja ia ingin
berbangkit, mendadak Ouw Hui berteriak sembari melompat
ke atas perahu. Berbareng dengan terdengarnya bunyi
"bletok, kraak", palang tiang layar yang dicantel kaki Wan Cieie,
telah patah dan si nona bersama-sama dengan palang itu,
melayang jatuh ke atas air. Dengan kepala di bawah kaki di
atas, Wan Cie-ie mengetahui, siapa yang membokong dan
siapa yang sudah menolong padanya. Tapi siapa yang sudah
mematahkan tiang layar, ia tak dapat melihatnya. Tapi ia tidak
jatuh sendiri saja. Tiang layar itu juga patah dan tubuh Ya Kit
turut ambruk ke bawah.
Bagaimana bisa terjadi begitu"
Ternyata, sesudah lengan kirinya ditutuk, Ya Kit masih
dapat menggunakan tangan kanannya. Dengan sekali
mengerahkan tenaga dalamnya, ia berhasil meloloskan tangan
kanan itu, yang dililit cambuk lawannya. Dengan girang, ia
mengempos semangatnya dan mengumpulkan seluruh
tenaganya di telapak tangan kanan itu yang lalu digunakan
untuk menghantam palang tiang layar itu. Palang itu menjadi
patah dan si nona lantas saja jatuh ke bawah.
Pada saat itulah, sembari berteriak, Ouw Hui lompat ke
atas perahu. Ia mengerahkan tenaga dalamnya dan
membentur tiang layar dengan punggungnya. Tapi tiang yang
besar itu hanya bergoyang-goyang beberapa kali. Ouw Hui
bingung. Ia mengerahkan seluruh tenaganya dan membentur
pula sekuat-kuatnya. Kali ini ia berhasil, tiang itu patah.
Sembari menahan napas, semua orang mengawasi kedua
lawan itu yang tengah melayang jatuh. Bahaya yang
mengancam si nona belum habis sampai di situ. Ia jatuh lebih
dulu, disusul oleh tiang layar. Jika tiang itu menimpa
badannya, ia bisa binasa seketika. Buru-buru Ouw Hui
mengambil tambang penarik perahu yang terletak di kepala
perahu. "Sambut!" ia berteriak sembari melontarkan tambang
itu kepada Wan Cie-ie.
Sedang badannya melayang di tengah udara, hati si nona
bukan main bingungnya. Benar ia bisa berenang dan tak akan
mati di air, tapi ia merasa malu sekali jika mesti kecebur dan
menjadi basah kuyup. Demikianlah, ia segera menjambret
tambang itu dengan girang. Ouw Hui mengentak dan di lain
saat, Wan Cie-ie sudah hinggap di atas perahu!
Hampir berbareng dengan turunnya di atas geladak,
terdengar bunyi "jubyar" dan air sungai muncrat ke empat
penjuru. Itulah bunyi jatuhnya Ya Kit bersama-sama dengan
tiang layar. Sembari berteriak keras, murid-murid Kiu-liongpay
terjun ke air untuk menolong guru mereka.
Di lain pihak, sembari tertawa manis Wan Cie-ie berkata,
"Ouw-toako, terima kasih banyak untuk pertolonganmu!"
Ouw Hui juga tertawa. "Nona," katanya. "Aku she Ouw.
Huruf "ouw" terdiri dari tiga huruf "goat, sip, dan kouw" (bulan,
sepuluh, dan mulut). Bukankah itu berarti, bahwa setiap bulan
aku bakal dibacok sepuluh kali?"
Si nona tertawa geli, ia sekarang mengetahui, bahwa
pembicaraannya dengan Ya Kit sudah didengar pemuda itu.
"Masih untung," katanya. "Dalam namamu terdapat huruf "hui"
(tidak). Karena adanya huruf itu, segala bencana akan
berubah menjadi keselamatan."
"Terima kasih, terima kasih banyak untuk kata-katamu
yang berharga itu," kata Ouw Hui sembari tertawa geli.
Pertemuan itu benar-benar menggirangkan hati Wan Cie-ie,
terlebih pula karena pemuda itu sudah menolong jiwanya.
Maka itu, untuk memperbaiki perselisihan mereka, ia segera
berkata pula, "Huruf "hui" dengan sendirinya berarti "bun-cayhuijian" (lemah lembut, indah sekali). Jika huruf "hui" (tidak)
ditambah huruf "co" (rumput), kita memperoleh huruf "hui"
(harum). Sebagaimana kau tahu, pada sebuah syair kuno
yang mempunyai bagian sebagai berikut, "Hong-hui-hui-sieboantong" (keharuman yang semerbak memenuhi seluruh
ruangan). Jika huruf "hui" (merah). Kata orang, "Ie-hui-co-cie"
(bajunya merah ungu, warna ini di zaman dulu hanya boleh
dipakai pembesar negeri)."
"Aduh!" kata Ouw Hui sembari meleletkan lidah. "Kalau
begitu, kau sekarang mengangkat aku menjadi seorang
pembesar tinggi. Hebat!"
Demikianlah kedua orang muda itu bersenda gurau sembari
tertawa-tawa, seolah-olah di situ tidak terdapat manusia lain.
Sementara itu, dengan suara ribut, Ya Kit sudah diangkat
naik ke darat. Ia tak bisa berenang dan sudah minum banyak
sekali air. Mungkin karena gusarnya, seketika itu ia pingsan
dan mukanya pucat seperti kertas. "Ah! Jika dia mati, urusan
ini bisa menjadi besar," pikir si nona, yang lantas saja berkata
dengan suara perlahan, "Ouw-toako, mari kita berangkat.
Sudahlah, aku tak mau menjadi Ciangbunjin Kiu-liong-pay." Ia
melompat ke darat dan mengambil pecutnya yang masih
melibat tiang layar. Murid-murid Kiu-liong-pay rata-rata sudah
naik darah. Begitu si nona mendarat, enam-tujuh orang lantas
menyerangnya dengan cambuk masing-masing. Dengan sekali
menyampuk, Wan Cie-ie sudah berhasil menangkis semua
serangan itu. Sembari meloncat ke luar dari gelanggang, si
nona melirik Ya Kit yang rebah tanpa berkutik, entah mati,
entah hidup. Sementara itu, Ouw Hui sudah melompat ke atas punggung
kudanya dan dengan menuntun si putih, ia berseru,
"Sudahlah! Ciangbunjin Kiu-liong-pay adalah kedudukan sial."
"Baiklah," kata Wan Cie-ie sembari meloncat ke punggung
si putih. Murid-murid Kiu-liong-pay berteriak-teriak dan coba
merintangi keberangkatan mereka. Sesaat itu, dua orang yang
bersenjata kiu-ciat-pian sudah menyabet kaki si putih. Wan
Cie-ie memutarkan badan dan memapaki serangan itu dengan
cambuknya. Begitu kebentrok, kedua pian itu sudah dilibat
erat-erat oleh cambuk si nona, yang lantas saja mengedut les
dan si putih sudah segera kabur. Sesaat itu juga, kedua orang
itu jatuh terguling dan terseret-seret. Dalam kaget dan
bingungnya, mereka tak ingat untuk melepaskan senjata
mereka yang dililit pecut Wan Cie-ie.
Sesudah kudanya lari belasan tombak, dengan perasaan
geli si nona menahan tunggangannya. Kedua orang itu lantas
bangun dengan penuh luka dan pakaian robek. "Eh," kata si
nona sembari tertawa. "Apakah pianmu senjata mestika"
Kenapa kau tak mau melepaskannya?" Tanpa menunggu
jawaban, ia menendang perut si putih yang lantas saja kabur
seperti terbang. Kedua murid Kiu-liong-pay itu sadar dan buruburu
melepaskan senjata mereka. Sayup-sayup mereka
mendengar suara tertawanya Wan Cie-ie yang lari berendeng
dengan Ouw Hui.
Murid-murid Kiu-liong-pay hanya bisa mengawasi kaburnya
kedua musuh itu tanpa bisa berbuat suatu apa. Mereka bisa
mencaci sepuas hati, tetapi apa gunanya. Sementara itu,
perlahan-lahan Ya Kit sadar dari pingsannya. Semua muridnya
lantas mengerumuninya dan menanyakan keselamatannya.
Sesudah lari jauh, baru Wan Cie-ie melemparkan kedua kiuciatpian itu yang terbawa pecutnya. Ia melirik Ouw Hui yang
mengenakan pakaian petani, sehingga kelihatan tolol sekali.
Hatinya merasa geli tereampur berterima kasih, karena tanpa
pertolongan pemuda itu, mungkin sekali ia sudah harus
membuang jiwa di #Ek-kee-wan.
Sesudah berjalan beberapa jauh, Ouw Hui mendadak
menegur, "Nona, tahukah kau, berapa banyak jumlah cabang
atau partai dalam Rimba Persilatan di kolong langit?"
"Tidak," jawabnya sembari mesem. "Dan kau" Apakah kau
tahu?" Ouw Hui menggelengkan kepalanya. "Jika aku tahu, tak
perlu aku menanya kepadamu," sahutnya. "Sekarang kau
sudah merebut kedudukan ciangbunjin dari Wie-to-bun, Patsiankiam, dan Kiu-liong-pay. Sampai kapan kau baru puas?"
Si nona tertawa geli. "Biarpun aku sudah merobohkan Ya
Kit, murid-muridnya masih belum takluk," katanya. "Maka itu,
tak dapat dikatakan, bahwa aku sudah berhasil merebut
kedudukan ciangbunjin dari Kiu-liong-pay. Mengenai partaipartai
besar, seperti Thay-kek, Siauw-lim, Bu-tong, dan
beberapa partai lain, aku tentu tak berani melanggarnya. Jika
aku bisa merebut lagi ciangbun sepuluh partai kecil, rasanya
cukuplah."
"Aduh!" kata Ouw Hui sembari tertawa. "Ciong-ciangbun
(pemimpin besar) dari tiga belas partai! Hebat benar
kedengarannya!"
"Ouw-toako," kata Wan Cie-ie. "Kau memiliki ilmu silat yang
sangat tinggi. Kenapa kau tak mau coba merebut beberapa
kedudukan ciangbun" Di sepanjang jalan, kita bergilir, kau
merebut yang satu, aku merampas yang lain. Setibanya di
Pakkhia, dengan keren kita sama-sama bisa menghadiri
pertemuan yang diselenggarakan Hok-kongcu, aku sebagai
ciong-ciangbun dari tiga belas partai dan kau pun sebagai
ciong-ciangbun dari tiga belas partai lainnya. Bukankah bagus
sekali?" Ouw Hui menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali.
"Tidak," katanya. "Aku tak mempunyai nyali sebesar kau dan
juga tidak mempunyai kepandaian setinggi kepandaianmu.
Bisa-bisa, bukannya berhasil, sebaliknya aku didupak masuk


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke dalam sungai dengan pukulan Lu-tong-pin-tui-kauw (Lu
Tong-pin mendupak anjing)."
Si nona tertawa terpingkal-pingkal. "Ouw-toako," katanya
sembari menyoja. "Siauwmoay (adik) meminta maaf."
"Ciong-ciangbun," kata Ouw Hui sembari membalas
memberi hormat. "Aku yang rendah tak berani menerima
kehormatan itu."
Melihat sikap dan tindak tanduk Ouw Hui yang simpatik,
Wan Cie-ie jadi semakin senang. "Tak heran, bahwa si bocah
Tio Poan-san memuji kau," katanya sembari mesem.
Ouw Hui yang memang sangat ingin tahu tentang
kakaknya, lantas saja menanya, "Bagaimana dengan Tiotoako"
Apa yang dikatakannya kepadamu?"
"Jika kau bisa mengejar aku, aku akan menceritakan,"
jawab Wan Cie-ie sembari menendang perut si putih.
Ouw Hui mengerti, bahwa sebegitu lekas si putih kabur, ia
tak akan dapat menyusul lagi. Maka itu, baru saja si putih
akan mementang kaki, ia sudah menggenjot badannya, yang
lantas saja melesat dan hingga di punggung si putih, di
belakang si nona. Di lain saat, si putih sudah kabur keras,
diikuti kuda Ouw Hui dari belakang.
Sembari mengaburkan kudanya, Wan Cie-ie merasakan
mukanya panas. Mulutnya sudah terbuka untuk bicara, tapi ia
mengurungkan niatnya. Tiba-tiba terdengar menggelegarnya
guntur dan di kejauhan, awan hitam menutupi sebagian langit.
Si nona mengentak les untuk mempereepat lari kudanya.
Tak lama kemudian awan mendung sudah meluas dan
hampir sampai di atas mereka. Di sepanjang jalan tidak
terdapat rumah penduduk, tapi jauh-jauh di suatu lembah,
mereka melihat tembok yang berwarna kuning. Wan Cie-ie
mengaburkan tunggangannya secepat mungkin dan segera
mendapat kenyataan, bahwa tembok itu adalah tembok kuil.
Di depan kuil itu digantungkan papan dengan tulisan, Siang
Hui Sin-sie (Kuil Siang Hui). Rumah berhala itu sudah banyak
rusak, sudah ditelantarkan lama.
Ouw Hui melompat turun, ia membuka pintu kuil itu dan
menuntun si putih masuk ke dalam. Di saat itu, kilat
berkelebat, dibarengi dengan gemuruh guntur yang
menggelegar. Meskipun berkepandaian tinggi, Wan Cie-ie
terkesiap juga. Dari ruangan depan, Ouw Hui masuk ke
ruangan belakang, tapi ia tak menemukan seorang manusia
jua. Ia kembali ke ruangan depan seraya berkata, "Ruangan
belakang lebih bersih." Sehabis berkata begitu, ia mengambil
rumput kering yang terdapat di situ dan menyapu sebagian
lantai di ruangan belakang itu.
Si nona tak mengeluarkan sepatah kata. Tadi, mereka
bersenda gurau sembari tertawa-tawa, tapi sesudah berdua
menunggang seekor kuda, Wan Cie-ie kelihatan agak kikuk
dan kemalu-maluan.
Sesudah lantai itu bersih, mereka lalu duduk berendeng
dengan mulut tertutup rapat-rapat.
Beberapa saat kemudian, secara kebetulan mereka samasama
menengok, sehingga dua pasang mata mereka jadi
kebentrok. Kedua-duanya melengos dengan perasaan jengah.
"Bagaimana dengan keadaan Tio-samko?" terdengar Ouw
Hui memecahkan kesunyian.
"Baik!" jawabnya. "Dia belum pernah tak baik."
"Di mana ia sekarang?" tanya Ouw Hui pula. "Aku sungguh
ingin menjumpainya."
"Pergi ke Huikiang," kata si nona. "Jika kau tak mati dan dia
masih hidup, pasti bisa bertemu."
Ouw Hui tertawa. "Apakah kau datang dari Huikiang?" ia
menanya lagi. Wan Cie-ie menyengir. "Benar," sahutnya. "Apakah
romanku menunjukkan tanda-tanda penduduk Huikiang?"
"Tak tahu," kata Ouw Hui. "Aku hanya mengetahui, bahwa
Huikiang adalah suatu daerah gurun pasir. Tak dinyana, di
tempat yang tandus itu bisa muncul seorang gadis yang begini
cantik!" "Fui!" bentak Wan Cie-ie dengan wajah kemerah-merahan.
Baru saja perkataan itu keluar dari mulutnya, Ouw Hui
sudah merasa menyesal. Ia merasa, bahwa di suatu tempat
yang begitu sunyi, tidak pantas ia mengeluarkan kata-kata
yang agak kurang ajar. Maka itu, ia segera beralih
membicarakan soal lain. "Mengapa Hok-kongcu
menghimpunkan para ciangbunjin?" tanyanya. "Bagaimana
pendapatmu?"
Mendengar pertanyaan yang sungguh-sungguh itu tanpa
mengandung nada bereanda, si nona melirik seraya
menyahut. "Dia sebangsa manusia mahal yang pekerjaannya
sehari-hari hanya makan tidur. Mungkin sekali ia
mengumpulkan para ahli silat untuk menghibur hatinya yang
pepet, seperti orang mengadu jago atau jangkrik. Hanya,
sungguh sayang, bahwa banyak sekali ahli-ahli silat yang
sudah kena dipermainkannya."
Ouw Hui menepuk lututnya sendiri keras-keras. "Benar
perkataanmu!" ia berteriak. "Aku sungguh merasa takluk. Baru
sekarang aku mengetahui, bahwa sepak terjangmu sabansaban
merebut kedudukan ciangbunjin, adalah untuk
mengacau maksud manusia mahal itu."
Wan Cie-ie tertawa dengan perasaan senang sekali. "Paling
benar kita berdua bekerja sama untuk merebut sebanyak
mungkin kedudukan ciangbunjin," katanya. "Dengan demikian,
rencana Hok-kongcu akan menjadi kacau-balau dan gagal.
Sesudah itu, kita pergi ke Pakkhia untuk mengacau sepuas
hati kita, supaya manusia itu tak berani memandang rendah
lagi ahli-ahli silat di kolong langit."
"Bagus!" seru Ouw Hui. "Nona, kau maju di depan dan Ouw
Hui, si kecil, akan memberi segala bantuan yang dia bisa."
"Jangan begitu sungkan," kata si nona. "Kepandaianmu
jauh lebih tinggi daripada aku."
Kedua orang muda itu terus bereakap-cakap dengan
gembira. Hujan sudah turun, bahkan semakin lama jadi
semakin besar. Di belakang kuil itu terdapat jurang yang
bergemuruh karena turunnya air hujan. Rumah berhala itu
yang sudah lama tak pernah dibetulkan, bocor di sana-sini,
sehingga kedua orang muda itu terpaksa mepet di suatu
pojok. Dengan cepat, siang sudah berganti malam. Melihat, bahwa
mereka tak mungkin meneruskan perjalanan, Ouw Hui segera
pergi ke dapur dan mengambil kayu-kayu kering yang lalu
dinyalakannya. "Hujan tak mau berhenti," katanya sembari
tertawa. "Apa boleh buat, kita mesti menginap di sini."
Wajah Wan Cie-ie lantas saja berubah merah dan di bawah
sinar perapian, ia kelihatan lebih cantik lagi. Dari Huikiang ia
telah melalui perjalanan laksaan li dan tak jarang mesti tidur di
alam terbuka. Akan tetapi, bermalam di rumah berhala bersama seorang
laki-laki, adalah suatu pengalaman yang belum pernah
dialaminya. Ouw Hui lalu mengambil jerami yang kebetulan terdapat di
situ dan mengaturnya sebagian di atas meja sembahyang dan
sebagian pula di lantai. "Lu Tong-pin (salah satu dari delapan
dewa) tidur di atas, si anjing yang kecebur di air tidur di
bawah," katanya sembari tertawa. Sembari berkata begitu, ia
merebahkan diri di atas jerami di lantai itu, membalikkan
badan menghadapi tembok dan segera meremkan kedua
matanya. Diam-diam Wan Cie-ie memuji pemuda itu yang ternyata
adalah seorang kesatria tulen. "Anjing basah kuyup," katanya.
"Sampai bertemu lagi besok pagi." Ia melompat ke atas meja
dan merebahkan diri juga.
Ouw Hui tak bisa lantas pulas, kupingnya mendengarkan
bunyi hujan di atas genting. Kira-kira tengah malam, selagi ia
layap-layap, di kejauhan mendadak terdengar bunyi tindakan
kuda. Wan Cie-ie lantas saja bangun berduduk dan Ouw Hui
segera berkata dengan suara perlahan, "Lu Tong-pin. Ada
orang!" Tindakan kuda itu yang bereampur dengan bunyi roda-roda
kereta, semakin lama jadi semakin dekat. "Dari lohor, hujan
turun terus-menerus," pikir Ouw Hui. "Siapakah orangnya,
yang begitu kesusu?"
Beberapa saat kemudian, kuda dan kereta itu berhenti di
depan kuil. "Mereka akan masuk!" kata si nona sembari
meloncat turun untuk kemudian duduk di samping Ouw Hui.
"Brak!" pintu terbuka. Kuda dan kereta itu agaknya
dimasukkan ke ruangan depan dan di lain saat, dua tukang
kereta masuk ke ruangan dalam. "Di sini ada orang, kita di
luar saja," kata seorang antaranya setelah melihat Ouw Hui
dan Cie-ie. Mereka lalu keluar lagi ke ruangan depan yang
sekarang sudah menjadi ramai sekali. Dari suara pereakapan
orang-orang itu, dapat ditaksir, bahwa yang berada di ruangan
depan itu tidak kurang dari dua puluh orang. Mereka
membelah kayu, menyalakan api dan menanak nasi. Mereka
berbicara dalam dialek Kwitang. Sesudah lewat berapa lama,
suara mereka mulai menjadi reda.
"Tak usah menggelar tikar," demikian terdengar suara
seseorang. "Sesudah makan, tak peduli hujan atau tidak, kita
akan meneruskan perjalanan."
Mendengar suara itu, Ouw Hui terkejut, sedang wajah Wan
Cie-ie, yang diterangi sinar perapian, juga agak berubah.
"Looyacu (bapak) terlalu berhati-hati," kata seorang lain.
"Hujan-hujan begini ...." perkataan selanjutnya tak dapat
didengar pula, karena sang hujan tiba-tiba menjadi sangat
besar serta deras.
"Keadaan begini justru cocok untuk meneruskan
perjalanan," kata yang pertama. "Kita tak boleh
mengorbankan jiwa seluruh keluarga kita, karena temaah
mengaso untuk beberapa jam. Jalan ini terlalu dekat dengan
jalan raya dan kita harus menjaga, supaya kita tidak
berpapasan dengan bangsat kecil itu." Suara orang tersebut
nyaring sekali, sehingga walaupun hujan turun seperti
dituang-tuang, perkataannya bisa terdengar nyata.
Mendengar sampai di situ, Ouw Hui tak bersangsi-sangsi
lagi. Ia girang dan berkata dalam hatinya, "Benar-benar dia
seperti dituntun malaikat."
"Lu Tong-pin," ia berbisik. "Di luar terdapat seorang
ciangbun. Biarlah, kali ini aku yang merebutnya."
Si nona tak menyahut, ia hanya menggerendeng. Melihat
wajah Wan Cie-ie yang tidak gembira, Ouw Hui merasa agak
heran, tapi ia pun tak berkata suatu apa.
Sesudah meringkaskan pakaian, ia menyelipkan golok di
pinggangnya dan berjalan ke luar.
Di sebelah timur, tujuh-delapan orang sedang duduk di atas
lantai dan seorang antaranya bertubuh tinggi besar. Dengan
melihat bentuk tubuhnya saja, Ouw Hui sudah mengenali,
bahwa ia itu adalah Lam-pa-thian Hong Jin-eng. Sembari
menyandar di toya emasnya, jago Hud-san-tin itu mendongak
mengawasi langit, mungkin ia sedang memikirkan nasibnya.
Di sebelah barat, beberapa orang lagi menanak nasi
dengan sebuah kuali besar. Ouw Hui melompat dan dengan
sekali menendang, kuali itu dibuatnya terpental jauh, nasinya
tumpah #berarakan.
Semua orang terkejut, terutama Hong Jin-eng dan putranya
yang lantas saja mengenali siapa yang datang itu.
Begitu melihat muka Hong Jin-eng yang putih montok, di
depan mata Ouw Hui segera terbayang peristiwa
mengenaskan di Pak-tee-bio itu. "Hong-looya," katanya
dengan suara gemetar karena menahan nafsu. "Di sini adalah
Siang Hui-bio. Sungguh kebetulan, lagi-lagi kita bertemu di
rumah berhala."
Sebagaimana diketahui, Sesudah membinasakan Ciong Asie
serumah tangga, Hong Jin-eng segera memusnahkan harta
bendanya dan terus kabur entah ke mana. Dengan mengambil
jalan kecil, siang-malam dia kabur terus-menerus. Malam itu,
jika tidak turun hujan besar, dia tentu tak akan bertemu Ouw
Hui di rumah berhala tersebut.
Melihat Ouw Hui, jago Hud-san-tin itu lantas saja putus
harapan, ia merasa jiwanya akan melayang di dalam Siang
Hui-bio ini. Tapi sebagai jago tulen, ia tetap bersikap tenang.
Perlahan-lahan ia berdiri, menggapai putranya dan berbicara
bisik-bisik. Agaknya ia sedang meninggalkan pesan
terakhirnya. Ouw Hui berdiri di tengah pintu, sembari melintangkan
goloknya. "Hong-looya, tak perlu kau memesan apa-apa juga,"
katanya sembari tertawa. "Kau sudah membasmi Ciong A-sie
sekeluarga, aku pun akan membinasakan Hong-looya
sekeluarga. Hong-looya sendiri akan mendapat giliran paling
belakang, supaya tak usah memikirkan bagaimana akhirnya
anakmu sendiri."
Perkataan itu adalah bagaikan air es yang disiramkan ke
tulang punggung Hong Jin-eng. Sedikit pun ia tak menduga,
bahwa Ouw Hui yang masih begitu muda, bisa mempunyai
pikiran yang begitu kejam. Ia mengebaskan toyanya dan
membentak, "Jangan rewel! Seorang laki-laki, berani berbuat,
berani menanggung akibatnya. Jika kau menginginkan jiwaku,
ambillah!" Ia meloncat dan menghantam kepala Ouw Hui,
sedang tangan kirinya mengebas ke belakang, sebagai tanda
supaya putranya lantas melarikan diri.
Tapi Hong It-hoa yang mengetahui, bahwa ayahnya bukan
tandingan musuh, tak berkisar setindak pun juga. Sebaliknya
dari kabur, ia meloncat maju dengan golok terhunus, sembari
berteriak, "Hayo, kepung bangsat kecil ini!"
Semua pengikut itu adalah orang-orang kepereayaan Hong
Jin-eng dan sebagian besar mengerti ilmu silat. Hampir
berbareng dengan teriakan It-hoa, delapan-sembilan orang
sudah maju mengurung Ouw Hui.
Hong Jin-eng mengerutkan alisnya dengan perasaan
mendeluh karena putranya tak mau menurut perintahnya. Jika
dengan tenaga orang banyak, ia ungkulan merobohkan Ouw
Hui, ia tentu tak akan memusnahkan hartanya dan melarikan
diri. Tapi, kenyataan itu sudah tak dapat diubahnya pula.
Baginya hanya ada satu jalan, yaitu bertempur matimatian.
Tujuan satu-satunya adalah binasa bersama-sama
dengan musuhnya. Dengan adanya keputusan itu, hatinya
berbalik mantap dan ia segera menyapu pinggang Ouw Hui
dengan toyanya.
Di lain pihak, sebelum bergebrak, tiba-tiba Ouw Hui
mendapat pikiran lain. "Kedosaan manusia ini terlalu besar,"
katanya di dalam hati. "Jika dengan sekali membacok aku


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengambil jiwanya, hukumannya terlalu enteng." Memikir
begitu, ia segera melemparkan goloknya ke atas dan dengan
sikap memandang rendah, ia mengulurkan tangannya untuk
menangkap toya musuh. Bukan main gusarnya Hong Jin-eng,
akan tetapi, karena mengetahui, bahwa musuhnya benarbenar
lihai, ia tidak berani berlaku ceroboh dan buru-buru
menarik pulang senjatanya.
Sesaat itu, mendadak terdengar suara "tak!" di wuwungan.
Ternyata, suara itu diterbitkan golok Ouw Hui, di saat
menancapnya di balok wuwungan.
Pada detik itulah, sembari tertawa nyaring, Ouw Hui
menyerbu sembari menggerakkan kedua tangannya bagaikan
kilat. Dalam sekejap, delapan-sembilan kaki tangan Hong JinTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
eng sudah ditutuk jalan darahnya dan tak dapat bergerak lagi.
Dengan demikian, dalam gelanggang itu hanya ketinggalan
tiga orang, yaitu Hong Jin-eng bersama putranya dan Ouw Hui
sendiri. Lam-pa-thian menggertak gigi, wajahnya pun pucat. "Hoajie!"
ia membentak. "Kau masih belum mau melarikan diri ...
Apakah benar-benar kau ingin memutuskan keturunan
keluarga Hong?" It-hoa merasa sangsi bereampur bingung,
tak dapat ia mengambil keputusan apa yang harus
dilakukannya. Selagi ia bersangsi, Ouw Hui sudah meloncat ke
belakangnya. Hong Jin-eng terkesiap, sembari berteriak dan
melompat, ia menghantam dengan toyanya. Pada detik
terakhir, Ouw Hui menunduk dan menerobos di bawah ketiak
It-hoa, sambil mendorong pundak pemuda itu. It-hoa menjadi
limbung dan badannya terjengkang, memapaki toya ayahnya!
Sekali lagi semangat Hong Jin-eng terbang. Masih untung,
berkat latihannya selama puluhan tahun, ia keburu juga
menahan toyanya yang hampir-hampir saja memakan jiwa
putranya sendiri.
Melihat muka Lam-pa-thian yang pucat pias akibat
kekagetan tadi, Ouw Hui segera mengambil keputusan untuk
mengganggu manusia kejam itu dengan siasat tersebut.
Sebelum Hong It-hoa bisa berdiri tetap, ia menyambar
lehernya dengan tangan kanan, sedang tangan kirinya lalu
diangkat untuk menepuk batok kepala pemuda itu. Sesudah
menyaksikan, bagaimana Ouw Hui menghantam putus leher
kura-kura batu di Pak-tee-bio, Hong Jin-eng mengetahui,
bahwa sekali ditepuk, putranya tentu akan binasa. Dengan
sekuat tenaganya, ia membabat pinggang Ouw Hui dengan
toyanya untuk memaksa pemuda itu menangkis senjatanya
dan urung mencabut jiwa putranya.
Tapi Ouw Hui yang memang belum mau membinasakan
musuhnya, sengaja memperlambat gerakan tangan kirinya.
Pada saat toya Hong Jin-eng hampir mengenai pinggangnya,
secara luar biasa cepatnya, ia mengentak leher Hong It-hoa
untuk memapaki toya emas itu! Untuk ketiga kalinya Hong Jineng
mengeluarkan keringat dingin. Tapi kali itu pun, ia masih
keburu mengubah gerakan toyanya yang lalu disabetkan ke
kaki Ouw Hui. "Bagus!" seru Ouw Hui sambil mendorong
pundak It-hoa untuk menangkis.
Demikianlah, tubuh Hong It-hoa dijadikan semacam
tameng yang dibulang-balingkan kian-kemari untuk menangkis
setiap serangan Hong Jin-eng. Jago Hud-san-tin itu merasakan
dadanya seperti mau meledak, tapi ia tak berdaya. Akhirakhirnya,
ia jadi kewalahan. Tapi setiap kali ia memperlambat
gerakannya untuk menghentikan pertempuran, Ouw Hui
mengangkat tangan untuk menghantam bagian badan It-hoa
yang berbahaya, sehingga mau tak mau, ia terpaksa
menyerang lagi untuk menolongnya, dan begitu lekas ia
menyerang, Ouw Hui mengangkat tubuh It-hoa untuk
menangkis. Sesudah lewat beberapa gebrakan lagi, tiba-tiba Hong Jineng
meloncat mundur sambil melemparkan toyanya yang
jatuh bergedubrakan di atas lantai dan menghancurkan
beberapa ubin. Dengan wajah pucat seperti kertas, ia berdiri
bagaikan patung tanpa mengeluarkan sepatah kata.
"Hong Jin-eng!" bentak Ouw Hui. "Kau sayang anak, ya"
Tapi bagaimana dengan anak orang lain?"
Tapi Hong Jin-eng pun bukan bangsa cecurut. "Jangan
rewel!" balasnya membentak. "Aku, si orang she Hong, pernah
menjagoi di Lenglam dan telah mendirikan partai Ngo-houwpay.
Selama hidupku, memang aku sudah membunuh banyak
sekali manusia. Anakku juga pernah mengambil jiwa tiga
puluh atau empat puluh orang. Maka itu, jika hari ini kami
ayah dan anak binasa dalam tanganmu, sedikit pun kami tidak
merasa menyesal. Hayo! Lekas turun tangan! Mau tunggu
sampai kapan lagi?"
"Kau saja bekerja sendiri!" bentak Ouw Hui. "Guna apa
menyusahkan tuan kecilmu?"
Hong Jin-eng tertawa terbahak-bahak. Ia menjumput
toyanya yang lalu dikemplangkan ke kepalanya.
Tapi, sebelum toya itu menghancurkan batok kepalanya,
sekonyong-konyong berkelebat sesosok sinar putih dan ujung
sebuah cambuk sudah melibat serta menahan toya itu.
Cambuk itu adalah cambuk Wan Cie-ie.
Si nona membetot, tapi ia tak dapat melepaskan toya itu
yang dipegang keras-keras oleh Lam-pa-thian. Dengan
meminjam tenaga betotan, di lain saat tubuh Wan Cie-ie
sudah melesat ke tengah udara dan hingga di dalam
gelanggang pertempuran. Begitu melihat si nona, Hong Jineng
mengeluarkan seruan "ah!" dan paras mukanya berubah
girang. Ouw Hui menengok dan karena tengokan itu, ia tak
melihat perubahan paras Lam-pa-thian.
"Ouw-toako," kata si nona sembari tertawa. "Kita hanya
merebut ciangbun, bukan merampas jiwa manusia."
"Nona, kau tak tahu, bahwa manusia ini besar sekali
dosanya," kata Ouw Hui dengan geregetan. "Dia tak dapat
dipersamakan dengan ciangbunjin lain!"
Wan Cie-ie menggeleng-gelengkan kepalanya. "Jika Suhu
mengetahui, bahwa aku merebut ciangbun, paling banyak ia
tertawa," katanya. "Tapi jika aku membunuh orang, ia akan
menjadi gusar sekali."
"Manusia ini akan dibunuh olehku," kata Ouw Hui. "Dengan
Nona, hal ini tak ada sangkut pautnya."
"Salah!" bantah Wan Cie-ie. "Urusan merebut ciangbun,
asal mulanya datang dari aku. Orang ini adalah ciangbunjin
dari Ngo-houw-pay. Maka itu, tak dapat aku mengatakan, tak
ada sangkut pautnya dengan diriku."
"Nona," kata Ouw Hui dengan suara jengkel. "Dari Kwitang
aku mengejar ia sampai di Ouwlam. Yang dikejar olehku
adalah manusia itu. Biar bagaimanapun juga, ciangbun atau
bukan ciangbun, hari ini aku mesti mengambil jiwanya."
"Ouw-toako," kata Wan Cie-ie. "Sekarang aku mau bicara
sungguh-sungguh dan kuharap kau suka mendengarnya."
Ouw Hui manggut-manggutkan kepalanya dan si nona lalu
berkata lagi, "Bukankah kau tak tahu, siapa guruku?"
"Aku tak tahu," jawabnya. "Dilihat dari kepandaian Nona,
gurumu tentulah juga seorang tayhiap (pendekar) dalam
dunia Kang-ouw. Bisakah aku mengetahui she dan nama
gurumu yang mulia?"
"Di belakang hari, kau tentu akan mengetahui she dan
namanya," kata pula Wan Cie-ie sembari tertawa. "Sekarang
aku hanya ingin memberitahukan kau, bahwa pada waktu mau
berangkat dari Huikiang, guruku telah berkata begini, "Segala
sepak terjangmu di daerah Tionggoan aku tak akan
memedulikannya. Tapi jika kau membunuh orang, membunuh
seorang saja, dengan segera aku akan mengambil jiwamu."
Guruku adalah seorang yang bicara satu tentu satu, dua pasti
dua, tak akan ia mengubah lagi perkataannya."
"Apakah manusia yang jahat kejam seperti ia juga tak
boleh dibinasakan?" tanya Ouw Hui dengan suara penasaran.
"Benar!" jawab si nona. "Waktu itu, aku juga telah
mengatakan begitu kepada guruku. Tapi ia berkata begini,
"Manusia jahat memang pantas dibunuh. Akan tetapi, kau
masih begitu muda, bagaimana kau bisa membedakan siapa
jahat dan siapa baik" Dalam dunia ini, ada manusia yang
tertawa haha-hihi, tapi hatinya kejam seperti harimau, ada
juga orang yang kelihatannya kejam, tapi hatinya sangat
mulia. Sekali binasa, seorang manusia tak akan bisa hidup
lagi. Maka itu, sekali kesalahan tangan, penyesalan akan
dirasakan terus-menerus seumur hidup."."
"Perkataanmu memang tidak salah," kata Ouw Hui. "Tapi
sebagaimana kau tahu, manusia itu sudah mengakui, bahwa
dia telah membinasakan orang yang tak dapat dihitung berapa
jumlahnya. Bahwa di Hud-san-tin dia telah membinasakan
rakyat yang tak berdosa, telah disaksikan dengan kedua
mataku sendiri. Maka itu, dalam hal binatang she Hong itu, tak
bisa aku bertindak salah."
"Ya," kata Wan Cie-ie sambil menghela napas. "Aku tak
bisa berbuat lain karena adanya perintah Suhu. Ouw-toako,
biarlah, dengan memandang mukaku, kau sudi
mengampuninya."
Mendengar permohonan yang sangat itu, hati Ouw Hui jadi
tergerak juga. Akan tetapi, di lain saat, di depan matanya
kembali terbayang pemandangan mengenaskan di saat
kebinasaan keluarga Cong A-sie dan darahnya lantas saja
mendidih. "Nona Wan!" ia berteriak. "Urusan di sini,
anggaplah sebagai tak diketahui olehmu. Harap kau berjalan
lebih dulu dan kita akan bertemu pula di Hengyang."
Wan Cie-ie memberengut dan parasnya lantas berubah
gusar. "Ouw-toako," katanya dengan suara mendongkol.
"Seumur hidup, belum pernah aku memohon-mohon seperti
sekarang. Tapi kau tetap menolak. Dengan kau, orang ini tak
mempunyai ganjalan pribadi. Kau hanyalah memegang
peranan sebagai orang luar yang turun tangan karena melihat
ketidakadilan. Tapi dia sendiri sudah memusnahkan harta
bendanya dan siang-malam kabur seperti dikejar setan. Dia
sudah ketakutan setengah mati. Ouw-toako! Dalam dunia ini,
seseorang tidak boleh menggencet sesamanya secara
keterlaluan. Dalam urusan apa pun juga, kita haruslah berlaku
sedikit longgar."
"Nona Wan!" seru Ouw Hui dengan suara nyaring. "Apa
pun yang bakal terjadi, aku mesti mampuskan manusia jahat
ini. Aku akan meminta maaf kepadamu dan bersedia untuk
menerima hukuman dari gurumu." Sehabis berkata begitu, ia
merangkap kedua tangannya dan menyoja sampai mengenai
lantai. "Brt!" pecut menyambar dan melibat golok Ouw Hui yang
menancap di wuwungan. Sehabis membetot, si nona
melontarkan golok itu di arah Ouw Hui. "Ambillah," katanya.
Dengan rasa kagum, Ouw Hui menyambuti senjatanya.
"Ouw-toako," kata Wan Cie-ie. "Jika kau masih ingin
membunuh mereka, robohkanlah aku terlebih dulu. Sesudah
aku roboh, guruku tak akan marah kepadaku."
"Kalau begitu, kau tentu mempunyai maksud tertentu,"
kata Ouw Hui dengan suara gusar. "Apakah benar-benar
gurumu berpendirian begitu kukuh?"
Si nona menghela napas dan berkata dengan suara lemah
lembut. "Ouw-toako, apakah benar-benar kau sungkan
memberi muka kepadaku?"
Disinari cahaya perapian dan dengan kata-katanya yang
halus merdu, Wan Cie-ie jadi kelihatan terlebih cantik lagi.
Tanpa merasa, hati Ouw Hui menjadi lumer.
Tapi kelumeran itu hanya untuk sedetik. Ouw Hui adalah
seorang yang sangat cerdas dan semakin keras permohonan si
nona, semakin besar kecurigaannya. Ia hampir dapat
memastikan, bahwa hal ini mesti terselip hal-hal lain. "Ouw
Hui! Ouw Hui!" katanya di dalam hati. "Jika kau kena dibikin
mabuk dengan paras cantik dan menyampingkan segala
peribudi manusia yang luhur, pereuma saja kau hidup di
dalam dunia. Ayahmu Ouw It-to adalah seorang gagah dalam
zamannya sendiri. Ouw Hui! Apa kau tak malu menjadi putra
Liaotong-tayhiap Ouw It-to?"
Memikir begitu, paras muka Ouw Hui lantas saja berubah
merah. "Kalau begitu, maaflah," katanya sembari menyerang
dengan pukulan Toa-sam-pek, goloknya menyabet kepala si
nona, tangan kirinya menimpuk ulu hati Hong Jin-eng dengan
sepotong perak.
Tadi, ketika Ouw Hui mengawasi padanya dengan sorot
mata mencinta, Wan Cie-ie merasa girang. Tapi di luar
dugaan, secara mendadak pemuda itu menyerang, bukan saja
menyerang dirinya, tapi juga menimpuk Hong Jin-eng dengan
senjata rahasia.
Ketika diserang, Wan Cie-ie berdiri sangat dekat dengan
Ouw Hui, sehingga senjata cambuk yang lemas, sukar
digunakan untuk menangkis sambaran golok. Hampir
berbareng, si nona mendengar kesiuran senjata rahasia berat
ke arah Hong Jin-eng. Pada detik yang sangat genting, satu
ingatan berkelebat di otak si nona. "Tak mungkin dia tega
mencelakakan aku," pikirnya. Memikir begitu, tanpa
menghiraukan bacokan golok, ia menyabet senjata rahasia
dengan pecutnya. "Tak!" uang perak Ouw Hui jatuh di atas
lantai. Serangan Ouw Hui barusan itu adalah serangan yang sudah
diperhitungkan dulu. Ia mengetahui, bahwa ilmu silat Wan
Cie-ie tidak berada di sebelah bawahnya. Sekali bertempur,
belum tentu ia akan memperoleh kemenangan. Karena begitu,
ia membuka serangan mendadak ke arah dua jurusan, yaitu
goloknya menggertak Wan Cie-ie, sedang tangan kirinya
menimpuk Hong Jin-eng dengan senjata rahasia. Waktu itu,
dalam sakunya hanya terdapat piauw yang terbuat dari uang
tembaga. Karena piauw itu tidak bisa membinasakan orang
dengan sekali ditimpukkan, maka ia sudah menggunakan
sepotong uang perak yang beratnya lima tahil untuk
mengambil jiwa Lam-pa-thian.
Ia merasa, bahwa ia pasti akan berhasil, tapi di luar
perhitungan, tanpa memedulikan keselamatannya sendiri,
Wan Cie-ie sudah menolong manusia kejam itu.
Ouw Hui menahan goloknya ketika mata golok itu hanya
tinggal terpisah beberapa dim dari kulit kepala Wan Cie-ie.
"Apakah kau edan?" ia membentak.
"Karena terpaksa!" sahutnya sembari menyabet dengan
cambuknya. "Sambutlah," katanya pula.
Ouw Hui menangkis sembari melirik Hong Jin-eng yang
akan dihajarnya begitu ada kesempatannya. Tapi, dengan
cambuknya Wan Cie-ie tak memberi napas lagi kepada


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lawannya. Kedua orang muda itu adalah lawan setimpal.
Dalam sekejap, mereka sudah bertarung hebat.
Lewat beberapa jurus, pecut si nona mendadak menyambar
ke meja sembahyang dan menyabet jatuh sebatang lilin yang
sedang menyala. "Hm! Kau ingin memadamkan penerangan,
supaya manusia she Hong itu bisa melarikan diri," kata Ouw
Hui di dalam hatinya. Akan tetapi, meskipun mengetahui
maksud orang, ia tak dapat mencegahnya.
Dengan hati panas, ia segera menyerang dengan Ouw-keetohoat, yaitu ilmu silat golok dari keluarga Ouw. "Bagus!"
seru si nona sembari meloncat mundur sesudah menangkis
serangan itu. Hampir berbareng dengan itu, pecutnya
menggulung sebatang kayu bakar yang lalu dilemparkan ke
arah Ouw Hui. Sebagaimana diketahui, sebelum Ouw Hui keluar,
rombongan Hong Jin-eng sedang memasak nasi di sebelah
barat ruangan itu. Sesudah kuali nasi ditendang Ouw Hui,
kayu bakarnya kira-kira dua puluh batang, masih terus
berkobar-kobar. Dengan cepat, Wan Cie-ie mengulangi
perbuatannya dan melontarkan potongan-potongan kayu
bakar itu ke arah Ouw Hui, yang tidak berani menangkis
dengan goloknya karena khawatir lelatu api muncrat ke muka
dan pakaiannya. Jalan satu-satunya adalah melompat ke sana
sini untuk menyingkir dari sambaran api. Di antara kegelapan,
potongan-potongan kayu itu yang melayang dengan tetap
menyala-nyala, memberikan pemandangan yang sangat indah.
Sementara itu, semua pengikut Hong Jin-eng, seperti
murid-muridnya, tukang kereta, dan bujang-bujangnya, satu
per satu sudah mengeloyor masuk ke ruangan belakang.
Orang yang masih berada di dekat gelanggang pertempuran
hanyalah Hong Jin-eng dan putranya. Selama bertempur,
karena khawatir kedua manusia itu melarikan diri, Ouw Hui
selalu berada di dekat pintu kuil.
Beberapa saat kemudian, semua potongan kayu itu sudah
habis dilemparkan dan sebagian besar sudah padam di atas
lantai, sehingga ruangan itu jadi semakin gelap.
"Ouw-toako," kata Wan Cie-ie sembari tertawa. "Hari ini,
kebetulan kita sudah menjajal tenaga, marilah kita melihat
siapa yang lebih unggul." Sembari berkata begitu, ia memecut
pundak Ouw Hui dengan suatu pukulan aneh. Buru-buru
pemuda itu menyampuk dengan senjatanya, tapi sabetan
kedua, yang lebih aneh lagi, sudah menyusul. Ouw Hui
terkesiap dan untuk menolong diri ia terpaksa bergulingan di
atas lantai. "Jangan bingung," kata si nona sembari nyengir. "Aku tak
akan melukai kau."
Perkataan itu sudah menyinggung rasa harga diri Ouw Hui.
"Apakah kau mengira, aku akan roboh dalam tanganmu?"
katanya di dalam hati. Dengan lantas ia mengubah cara
bersilatnya dan mengeluarkan pukulan-pukulan simpanannya
yang sangat dahsyat.
Sesaat itu, dalam ruangan tersebut hanya ketinggalan
sepotong kayu yang masih menyala-nyala.
"Ouw-toako," kata si nona. "Ilmu memainkan cambuk ini
sangat luar biasa, kau harus berhati-hati." Sehabis berkata
begitu, cambuknya menderu-deru dan benar saja, pukulanpukulannya
dahsyat luar biasa.
"Bagus!" seru Ouw Hui sambil menutup seluruh tubuhnya
dengan sinar golok. Ia berniat mempelajari dulu ilmu pecut itu
dan sesudah mengerti bagian-bagiannya yang terpenting, ia
baru mau membalas menyerang.
Mendadak terdengar suara "tok!" lelatu api muncrat dan
seantero ruangan lantas saja terbenam dalam gelap gulita.
Hujan turun semakin deras dan bunyinya yang merotok di
atas genting bereampur dengan bunyi cambuk Wan Cie-ie.
Ouw Hui adalah seorang yang bernyali besar. Tapi bertempur
di dalam kegelapan dan dalam suasana yang begitu
menyeramkan, jantungnya memukul keras.
Sekonyong-konyong, bagaikan arus listrik, suatu ingatan
masuk ke dalam otaknya. "Aha! Tak bisa salah lagi, tentulah
dia adanya," katanya di dalam hati. "Di Pak-tee-bio, ketika
orang she Hong itu mau membunuh diri, seorang wanita
sudah menolong dengan timpukan pantek konde. Gerak-gerik
wanita itu mirip benar dengan gerak-gerik Nona Wan."
Memikir begitu, kecurigaannya terhadap si nona jadi semakin
besar. Karena sesaat perhatiannya terpecah, pecut Wan Cie-ie
sekonyong-konyong berhasil menggulung goloknya, yang
hampir-hampir saja terlepas dari genggamannya.
Buru-buru Ouw Hui mengerahkan tenaga dalamnya dan
membetot keras-keras. Biar bagaimanapun juga, Wan Cie-ie
adalah seorang wanita yang dalam mengadu tenaga, masih
kalah setingkat dengan Ouw Hui. Begitu dibetot, ia merasakan
lengannya kesemutan, sehingga dengan cepat ia mengedut
cambuknya untuk membuka libatan pada golok Ouw Hui.
Dalam gelap gulita, mereka bertempur dengan hanya
mengandalkan ketajaman kuping. Mereka berkelit, menangkis,
dan menyerang dengan mendengarkan kesiuran-kesiuran
angin dari senjata mereka. "Celaka! Wan Cie-ie seorang saja
aku belum mampu merobohkan," pikirnya. "Apalagi jika Hong
Jin-eng dan anaknya turut turun tangan." Pada saat itu, Ouw
Hui menduga, bahwa Wan Cie-ie dan Hong Jin-eng sudah
pasti berteman dan ia sekarang terjeblos ke dalam perangkap
mereka. Sesudah lewat beberapa jurus lagi, dengan geregetan Ouw
Hui mengirimkan suatu bacokan yang cepat luar biasa. Wan
Cie-ie menolong diri dengan menjengkangkan tubuhnya, tapi
meskipun terlolos dari bacokan, ia merasakan hawa dingin
menyambar mukanya waktu golok itu lewat di ujung
hidungnya! Si nona terkesiap, sekarang ia mengetahui, bahwa
Ouw Hui tak berlaku sungkan-sungkan lagi. "Ouw-toako!" ia
berseru sembari tertawa. "Apakah kau marah?"
Ouw Hui tak menyahut, ia tengah memusatkan
perhatiannya dan memasang kuping, untuk menjaga kalaukalau
Hong Jin-eng mencoba kabur atau melepaskan senjata
rahasia. "Ouw-toako," kata pula si nona. "Kau tak meladeni" Aduh,
sombongnya!" Berbareng dengan perkataannya, ia menyabet
kaki Ouw Hui. Sabetan itu adalah sabetan luar biasa, tanpa
suara, tanpa kesiuran angin, tahu-tahu sudah menyambar.
Karena tak keburu lagi, Ouw Hui membungkuk dan menangkis
dengan goloknya. Tapi di luar dugaan, dengan kedutan dan
entakan aneh, tahu-tahu golok Ouw Hui sudah terlepas dari
tangannya. "Celaka!" Ouw Hui mengeluh. "Apakah aku mesti
kehilangan jiwa di sini?" Dalam keadaan terdesak, ia
merangsek dan coba mencengkeram leher Wan Cie-ie dengan
pukulan Eng-jiauw-kauw-chiu (Cengkeraman Kuku Garuda).
Pukulan itu sudah sering kali dilatihnya, tapi belum pernah
digunakan dalam pertempuran. Di lain pihak, si nona terkesiap
ketika merasakan kesiuran hawa panas menyambar
tenggorokannya. Pada detik itu cambuknya baru saja
menyabet dan tak mungkin ditarik pulang untuk menangkis
cengkeraman Ouw Hui. Maka itu, untuk menyelamatkan diri,
Wan Cie-ie segera menjengkangkan tubuhnya dan melepaskan
cambuknya yang lantas saja jatuh di atas lantai.
Sesudah berhasil dengan pukulan pertama itu, Ouw Hui
menyusulkan Cin-po-lian-hoan (Majukan Kaki Secara
Berantai). Wan Cie-ie membalikkan tangannya dan menutuk
jalan darah Ouw Hui, di pundak kanan. Karena gelap, jerijinya
meleset dan menyasar ke otot yang keras. "Aduh!" ia berseru,
jerijinya ketekuk. Ouw Hui terkejut. Ia mengetahui, bahwa jika
tidak tertolong kegelapan, jalan darahnya tentu sudah kena
ditutuk. Sesudah mendapat pengalaman pahit, si nona segera
mengubah cara bersilatnya. Ia tak berani bertempur merapat
lagi dan lari berputar-putar dengan menggunakan ilmu
mengentengkan badan. Dalam kegelapan, Ouw Hui pun tak
mau terlalu mendesak dan hanya menyerang dan membela
diri sekadarnya sambil memasang kuping untuk mengetahui
tempat bersembunyinya Hong Jin-eng. Tapi, sesudah
memasang kuping beberapa lama, ia masih tak dapat
mendengar suara napas Hong Jin-eng, karena kesiurankesiuran
angin pukulan-pukulan Wan Cie-ie.
Berselang beberapa saat, Ouw Hui mendapat suatu pikiran
baru. Ia segera melompat-lompat dari timur ke barat, dari
selatan ke utara, sesuai dengan kedudukan toa-su-sianghongwie (kedudukan empat penjuru), sembari mengirimkan
pukulan-pukulan dahsyat. Jika kena, setiap pukulan itu dapat
membinasakan atau sedikitnya melukai Hong Jin-eng. Andai
kata Lam-pa-thian bisa berkelit, kelitan itu sudah cukup untuk
membikin Ouw Hui mengetahui tempat bersembunyinya.
Tapi, sungguh mengherankan. Sesudah berputar-putar di
seluruh ruangan, ia masih belum mendapatkan orang yang
dicarinya. "Apakah dia sudah kabur?" ia menanya dirinya
sendiri. "Celaka benar! Dia berkawan banyak, aku sendirian
saja. Jika mereka datang menyerbu semua, bisa-bisa aku
binasa di tempat ini. Seorang gagah harus bertindak dengan
melihat keadaan. Biarlah hari ini aku menyingkir dulu untuk
menunggu kesempatan yang lebih baik."
Memikir begitu, ia segera mendekati pintu. Mendadak
berbareng dengan kesiuran angin dahsyat, dalam kegelapan
lapat-lapat ia melihat sesosok bayangan tinggi besar
menyambar ke arahnya. "Bagus!" teriak Ouw Hui dengan
girang sembari memapaki dengan kedua tinjunya. Pukulan itu
hebat luar biasa dan sekali kena, Hong Jin-eng pasti akan
binasa. "Duk!" tinju Ouw Hui menghantam benda keras-keras
dingin yang lantas saja hancur berhamburan di atas lantai.
Ternyata, yang barusan menyambar ke jurusannya, adalah
patung malaikat yang dipuja dalam kuil itu.
"Sungguh hebat pukulan itu!" seru Wan Cie-ie sembari
tertawa. Ouw Hui terkejut, suara si nona, yang bereampur
dengan bergemerencingnya senjata, terdengar di luar pintu.
Ia mengetahui, bahwa Wan Cie-ie akan segera lari dengan
membawa juga goloknya.
Di lain saat terdengar derap kaki kuda, yang disusul dengan
teriakan nona itu, "Hei, Lam-pa-thian! Kenapa kau kabur lebih
dulu. Benar-benar kau tidak memandang kawan."
Di lain saat, di antara bunyi hujan, terdengar derap kaki
kuda yang dikaburkan keras sekali.
"Sudahlah! Sudahlah!" keluh Ouw Hui di dalam hati. Ia
sudah dikalahkan, dikalahkan secara menyedihkan sekali. Jika
mau, ia masih bisa mengejar pengikut-pengikut Hong Jin-eng
untuk melampiaskan marahnya. Tapi, tentu saja ia sungkan
melakukan perbuatan itu yang terlalu kejam.
Dari sakunya, ia mengeluarkan bahan api dan menyalakan
kayu bakar yang sudah padam. Sesudah mendapat
penerangan, ia memandang seluruh ruangan itu. Ternyata,
patung Siang Hui yang dihantamnya, telah menjadi hancur
lebur dan beras putih serta kayu bakar juga berhamburan di
lantai. Sang hujan masih turun terus dengan derasnya. Dengan
perasaan tak keruan, ia duduk di depan meja sembahyang
sambil mengawasi perapian.
"Tak bisa salah lagi, Nona Wan dan Hong Jin-eng
mempunyai hubungan rapat," pikirnya. "Dengan mempunyai
sandaran yang begitu kuat dan kaki tangan yang begitu
banyak, sebenarnya ia bisa melawan aku. Tapi kenapa ia
memusnahkan harta bendanya dan melarikan diri" Barusan,
jika mereka semua maju mengepung, aku tentu sudah celaka.
Kenapa, sebaliknya dari berbuat begitu mereka kabur
semuanya" Dilihat dari gerak-geriknya, pereobaan Hong Jineng
untuk membunuh diri bukan tipu belaka. Dengan
demikian, dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa bantuan Nona
Wan diberikan tanpa diketahui lebih dulu oleh manusia itu."
Ia menghela napas berulang-ulang karena hatinya
bimbang. Di lain saat, ia ingat, bahwa dalam pertempuran
dalam gelap gulita tadi, ia telah mengirim pukulan-pukulan
hebat, seolah-olah si nona adalah musuh besarnya. Mengingat
begitu, pada bibirnya tersungging senyuman kecil.
"Tapi ... apakah benar-benar tadi aku sudah menurunkan
pukulan-pukulan yang membinasakan?" ia menanya dirinya
sendiri. Tadi, dalam sengitnya, seperti juga ia sudah
menghantam tanpa sungkan-sungkan lagi. Tapi ... ia tak
pernah menjatuhkan pukulan yang benar-benar
membinasakan. "Di waktu dia menubruk dan memukul dengan
tangannya, kenapa aku tak menghajarnya dengan pukulan
Coan-sim-tui (Pukulan Menembus Hati)?" tanyanya kepada
dirinya sendiri. "Sesudah aku membacok dengan pukulan
Siang-ma-to (Bacokan di Atas Kuda) dan dia menunduk untuk
berkelit, kenapa aku tidak menyusulkan pukulan Pa-ong-gie-ka
(Couw Pa Ong Membuka Pakaian Perang)" Ah! Ouw Hui! Ouw
Hui! Kau agaknya takut melukai ia!"
Jantungnya memukul keras dan kembali ia melamun. "Hm!"
katanya di dalam hati. "Tadi di waktu cambuknya
menghantam pundakku, secara mendadak ia menarik pulang
senjatanya. Apakah ia sengaja berbuat begitu, atau, hanya
karena kebetulan" Dan ... selain itu, waktu jerijinya menutuk
...." Ia mengingat-ingat sesuatu pukulan si nona dan semakin
diingat, hatinya jadi semakin berdebar. "Tak salah! Tak salah
lagi!" pikirnya. "Dia memang sengaja sungkan mencelakakan
aku. Apa ... apakah ...?" tak berani ia meneruskan pertanyaan
itu. Mendadak, ia merasa lapar. Ia menengok ke arah kuali
yang telah ditendangnya tadi. Dalam kuali itu masih terdapat
sedikit beras putih. Ia segera berbangkit dan mengumpulkan
sebagian beras yang berhamburan itu, ia mencucinya dengan
air hujan dan segera menanaknya.
Tak lama kemudian, hidungnya mencium bau sedap dari
nasi yang baru matang.
Ia menghela napas. "Jika di saat ini, aku bisa bersantap
bersama-sama dengan dia berendeng pundak ... ah!" ia
melamun. Ouw Hui adalah seorang manusia yang sadar, tak
gampang-gampang ia menjadi mabuk. Tapi paras Wan Cie-ie
yang segar cantik, tertawanya yang menggiurkan, dan gerakgeriknya
yang lincah tak dapat dihapus dari otaknya. Seperti
kehilangan ingatan, ia bengong terlongong-longong, sehingga
ia tak mendusin, bahwa nasinya sudah mulai hangus.
Pada waktu itu, di luar kuil sekonyong-konyong terdengar


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tindakan kaki yang disusul dengan terbukanya pintu.
"Apakah dia kembali lagi?" pikir Ouw Hui, sembari
melompat bangun.
Bukan! Yang datang bukan si nona.
Disoroti sinar perapian, ia melihat masuknya dua orang.
Yang satu adalah seorang lelaki yang berusia kira-kira lima
puluh tahun dan berbadan kurus kering. Ouw Hui segera
mengenali, bahwa orang itu bukan lain daripada Lauw Ho-cin
yang pernah dijumpainya di Hong-yap-chung. Yang lain adalah
seorang wanita muda yang berusia dua puluh tahun lebih.
Sebelah tangan Lauw Ho-cin didukung dengan selembar kain
hijau yang diikatkan pada lehernya, sedang wanita muda itu
pun terpincang-pincang jalannya. Sudah terang, mereka
berdua telah terluka dan pakaian mereka yang basah kuyup
sudah menambah penderitaan mereka.
Selagi Ouw Hui mau membuka mulut untuk memanggilnya,
Lauw Ho-cin sudah berbicara dengan wanita itu. "Coba periksa
di belakang," katanya.
"Baik," jawab si wanita sembari mencabut golok dan
berjalan ke ruangan belakang. Sesudah berbangkis beberapa
kali, Lauw Ho-cin duduk di atas lantai dan dilihat dari
sikapnya, ia sedang berwaspada dan memasang kuping. Ia
melirik Ouw Hui beberapa kali, tapi ia tidak mengenalinya.
"Waktu itu aku berada di antara orang banyak dan
berpakaian sebagai seorang dusun," kata Ouw Hui di dalam
hatinya. "Tak heran, jika ia tidak mengenali aku." Ia segera
menghampiri kuali dan membuka tutupnya. Ternyata, separuh
nasi itu sudah menjadi hangus. Sembari bersenyum, ia
mengambil nasi dengan tangannya dan segera makan seperti
macan kelaparan. Melihat cara makannya, Lauw Ho-cin
menarik napas lega.
Beberapa saat kemudian, si wanita muda keluar dari
ruangan belakang dan mencekal sebatang kayu yang
menyala-nyala. "Tak ada apa-apa," katanya.
Lauw Ho-cin membuang napas, ketegangan parasnya
lantas saja mereda. Dengan menyandar di meja sembahyang,
ia meremkan kedua matanya untuk mengaso. Air yang turun
dari pakaiannya membasahi lantai dan air itu berwarna agak
merah, seperti bereampur darah. Si wanita, yang kelihatannya
lelah sekali, menyandar di tubuh Lauw Ho-cin tanpa bergerak.
Dipandang dari cara-caranya, mereka berdua seperti suami
istri, hanya usia mereka terpaut sangat jauh.
"Dalam Rimba Persilatan, ilmu silat Lauw Ho-cin sudah
jarang tandingannya," pikir Ouw Hui. "Mengapa dia sudah
kena dihajar sampai begitu rupa. Dari sini bisalah dilihat,
bahwa di atas langit masih ada langit dan di atas manusia
masih ada manusia. Tak dapat manusia berlaku sombong."
Tiba-tiba dari kejauhan terdengar derap kaki kuda. Hampir
berbareng dengan itu Lauw Ho-cin meloncat bangun dan
mencabut senjata dari pinggangnya. Senjata itu adalah
sebatang tombak pendek yang ada rantainya.
"Tiong-peng," katanya kepada wanita itu. "Lekas lari! Aku
akan berdiam di sini untuk melawan kepadanya." Sehabis
berkata begitu, dari sakunya ia mengeluarkan sebuah
bungkusan yang panjangnya kira-kira satu kaki dan
memberikannya kepada wanita tersebut. "Kirimlah ini
kepadanya," ia berbisik.
Wanita itu, seorang she Ong yang bernama Tiong-peng,
memang benar istri Lauw Ho-cin, istri kedua sesudah yang
pertama meninggal dunia. Mendengar perkataan sang suami,
mata Tiong-peng menjadi merah. "Tidak," katanya sembari
menggelengkan kepala. "Jika mesti mati, biarlah kita mati
bersama-sama."
Paras muka Lauw Ho-cin lantas saja berubah gusar,
"Laksaan li kita melawan gelombang dan berkutat terus
meskipun sudah terluka," katanya. "Guna apa itu semua" Jika
maksud kita tidak terwujud, aku mati dengan mata melek.
Pergilah! Aku akan melawan dia di sini."
Si istri merasa berat untuk meninggalkannya. Ia menangis
tersedu-sedu dan berkata dengan suara terputus-putus,
"Looyacu, sesudah ... sesudah menjadi suami istri, aku tak
dapat ... dapat merawat kau, sebagaimana mestinya. Dan ...
dan kita harus ...."
Lauw Ho-cin membanting kaki. "Sudahlah!" ia membentak.
"Jika kau bisa membereskan urusan besar ini, jasamu lebih
besar daripada rawatan apa pun juga." Ia mengebas dengan
tangan kirinya dan memerintah dengan suara bingung, "Pergi!
Hayolah pergi!"
Melihat kecintaan kedua suami istri itu, hati Ouw Hui tak
tega. "Lauw Ho-cin adalah seorang baik-baik," katanya di
dalam hati. "Siapakah yang menyeterukannya" Sesudah
bertemu denganku, tak bisa aku tidak mencampurinya."
Beberapa saat kemudian, di luar kuil terdengar berhentinya
tiga ekor kuda, dan dua berhenti di depan pintu, sedang
seekor antaranya memutar pergi ke belakang.
"Sudahlah!" kata Lauw Ho-cin dengan suara gusar. "Di
depan dan di belakang sudah dicegat orang."
Dengan wajah bingung, Tiong-peng mengawasi ke seluruh
ruangan. Sesudah itu, ia menuntun tangan suaminya dan naik
ke atas tempat patung. Dengan sorot mata memohon, ia
mengawasi Ouw Hui dan memberi isyarat dengan gerakan
tangannya, supaya pemuda itu tidak membuka rahasia.
Sesudah itu, bersama sang suami, ia masuk ke dalam tempat
patung itu dan menurunkan tirai sutranya yang berwarna
kuning. Beberapa saat kemudian, dua orang masuk ke dalam.
Dengan sikap acuh tak acuh, Ouw Hui terus makan nasinya.
Ketika kedua orang itu mendekati perapian, ia melirik. Dalam
usianya yang masih muda, Ouw Hui sudah pernah bertemu
dengan banyak juga orang-orang Kang-ouw yang luar biasa,
tapi, macam kedua orang itu, benar-benar mengejutkan. Duadua
mengenakan baju hujan dari kain minyak, muka mereka
jelek luar biasa. Alis turun, mata segitiga, sebelah besar dan
sebelah kecil, hidung besar lebar dan mendongak ke atas
menghiasi, atau lebih benar, memburukkan wajah mereka.
Mereka melirik Ouw Hui dan lantas masuk ke ruangan
dalam. Beberapa saat kemudian, mereka keluar lagi.
Sekonyong-konyong terdengar suatu suara aneh, disusul
dengan melayang turunnya sesosok tubuh manusia dari atas
genting. Ternyata, ketika dua kawannya menggeledah di
dalam, orang yang menjaga di belakang sudah meloncat naik
ke atas genting untuk mengamat-amati.
"Ilmu mengentengkan badan orang itu cukup tinggi," kata
Ouw Hui di dalam hatinya. Di lain saat, dengan sekali
berkelebat, orang itu sudah masuk ke dalam ruangan depan.
Roman orang tersebut sangat mirip dengan dua yang lain,
sehingga bisa diduga, bahwa mereka bersaudara.
Begitu mereka membuka baju hujan, sekali lagi Ouw Hui
terkejut, karena mereka semua memakai pakaian berkabung
dengan ikat kepala belacu putih. "Toako," kata yang baru
masuk. "Mereka berdua mendapat luka dan juga tidak
mempunyai tunggangan. Menurut pantas, mereka tak bisa lari
jauh. Di sekitar sini tidak terdapat rumah lain. Benar-benar
mengherankan. Di mana mereka bersembunyi?"
"Mungkin di gua atau di gerombolan rumput," jawab yang
paling tua. "Sekarang kita jangan takut lelah, marilah kita
mencari di tempat lain. Luka mereka tidak berat, kita harus
berhati-hati."
Mendengar begitu, seorang antara mereka lantas saja
bertindak ke arah pintu. Tapi mendadak ia berhenti dan
menengok kepada Ouw Hui sembari berkata, "Eh, bocah!
Apakah kau melihat seorang tua dan seorang wanita muda?"
Ouw Hui yang mulutnya penuh nasi, menggelenggelengkan
kepalanya. Sementara itu, orang yang dipanggil "toako" (kakak paling
tua) menyapu seluruh ruangan dengan matanya yang tajam.
Melihat keadaan yang kacau-balau dan patung malaikat yang
hancur berhamburan di lantai, ia jadi bereuriga dan segera
menyelidiki lebih teliti. Segera juga ia melihat, bahwa di atas
lantai terdapat tapak-tapak kaki yang masih basah.
Sekali melirik, Ouw Hui mengetahui, bahwa orang itu
sedang bereuriga. "Tadi ada beberapa orang yang bertempur
di sini," katanya dengan cepat. "Ada lelaki, ada perempuan,
tua dan muda. Patung Siang Hui Nio-nio telah dilemparkan
sampai hancur luluh. Sesudah itu, sebagian kabur, sebagian
mengejar dan mereka semua menunggang kuda."
Dengan membawa beberapa potong kayu yang menyala,
yang paling muda segera menyelidiki di pekarangan kuil.
Benar saja di situ terdapat tapak-tapak kaki kuda, sehingga
keterangan Ouw Hui tidak perlu disangsikan lagi. Ia kembali
ke dalam dan menanya, "Ke mana mereka pergi?"
"Ke jurusan utara," jawab Ouw Hui. "Aku bersembunyi di
kolong meja, tidak berani mengawasi lama-lama ...."
Orang itu mengangguk dan mengeluarkan sepotong perak
yang lantas dilemparkan kepada Ouw Hui. "Ini untukmu,"
katanya. "Terima kasih, terima kasih," kata Ouw Hui dengan wajah
girang dan segera memungut potongan perak itu. "Tiga setan
ini mempunyai ilmu silat yang cukup tinggi," katanya di dalam
hati. "Jika mereka sampai bertempur dengan rombongan
Hong Jin-eng, puas juga hatiku."
"Loo-toa (kakak paling tua), Loo-sam (saudara yang
ketiga), mari kita berangkat!" kata seorang antaranya. Mereka
memakai lagi baju hujan mereka dan segera berjalan ke luar.
"Racun itu hebat luar biasa," kata seorang antaranya. "Biar
bagaimanapun juga, kita tak bisa membiarkan ia mendahului
kita ...."
"Jika kita tidak keburu mencegat, paling benar buru-buru
memberi warta," kata yang lain.
"Hai!" kata pula yang pertama. "Mana dia mau pereaya
perkataan kita" Selain itu ...."
Perkataan selanjutnya sudah tak bisa ditangkap lagi oleh
Ouw Hui karena tenggelam dalam bunyi hujan.
Heran sekali hati Ouw Hui. "Racun apa yang dimaksudkan?"
ia menanya dirinya sendiri. "Warta apa" Dan kepada siapa
warta itu hendak disampaikan?"
Mendadak terdengar suara berkerotakan di tempat patung
dan di lain saat, Lauw Ho-cin sudah turun dengan dipapah
oleh istrinya. Tempo Ouw Hui bertemu dengan orang itu di
Hong-yap-chung, di waktu ia mengadu silat dengan Wan Cieie,
gerak-geriknya gesit luar biasa. Tapi sekarang, ia tak
mampu turun dari tempat patung itu tanpa dibantu istrinya.
Begitu turun, Lauw Ho-cin segera memberi hormat kepada
Ouw Hui seraya berkata, "Terima kasih banyak untuk budi
Siauwko (saudara kecil) yang sudah menolong jiwaku."
Buru-buru Ouw Hui membalas menghormat. "Sungguh
galak tiga orang itu," katanya dengan sikap ketolol-tololan.
"Sekali membuka mulut, mereka memanggil aku "bocah". Mana
aku kesudian bicara terus terang?"
"Aku she Lauw," orang tua itu memperkenalkan diri.
"Namaku Ho-cin. Inilah istriku. Bisakah aku mengetahui she
dan nama Siauwko yang mulia?"
Ditanya begitu, Ouw Hui segera berkata dalam hatinya,
"Kau telah memberitahukan nama yang sejati, aku juga tidak
boleh berdusta. Tapi namaku tidak mirip dengan nama
seorang dusun. Biarlah aku mengubahnya sedikit." Memikir
begitu, lantas saja ia menjawab, "Aku she Ouw, namaku Atoa."
Ia ingat, bahwa sebagai anak tunggal kedua orang
tuanya, dengan menggunakan nama "A-toa" (putra yang
sulung), ia tidak terlalu berdusta.
"Siauwko masih berusia muda," kata Lauw Ho-cin pula. "Di
belakang hari, kau tentu bisa menjadi seorang hartawan ...."
bicara sampai di situ, ia mengerutkan alisnya dan menggigit
bibir, seperti sedang menahan sakit.
"Looyacu, kau kenapa?" tanya istrinya dengan suara
bingung. Sang suami tidak menyahut, ia hanya menggelenggelengkan
kepala dan duduk menyandar di meja sembahyang
dengan napas tersengal-sengal. Si istri lalu turut duduk di atas
lantai dan mengurut dada suaminya.
Melihat begitu, Ouw Hui merasa kurang enak untuk
berdiam di situ lama-lama, maka, sesudah mengambil
sepotong kayu yang menyala, ia lantas saja berkata,
"Looyacu, aku mau tidur di ruangan belakang." Sehabis
berkata begitu, ia lantas berlalu.
Dengan mata mendelong, ia mengawasi jerami di depan
meja sembahyang. Ia ingat, bahwa tadi Wan Cie-ie masih
berbaring di atas jerami itu. Tapi sekarang, si nona sudah
pergi jauh dan apa yang ketinggalan, hanyalah kuil yang sunyi
senyap dan Ouw Hui yang sebatang kara.
Lama ia berdiri bagaikan patung sambil memegang kayu
bakar itu yang apinya jadi semakin kecil. Sekonyong-konyong
ia ingat akan suatu urusan penting. "Celaka!" pikirnya. "Kitab
silatku telah dibawa kabur olehnya! Sampai sekarang aku
masih bisa melayani ia. Tapi sesudah ia menghafal isi kitabku
dan dapat memahami semua kepandaianku, sekali bergebrak
saja ia bisa mampuskan aku!" Dalam sekejap, lamunannya
yang muluk sedap berubah menjadi perasaan takut. Dengan
uring-uringan ia melemparkan potongan kayu itu dan
membanting dirinya di atas jerami.
Secara kebetulan, badannya jatuh di atas pauw-hoknya
(buntelan pakaian). Dalam gelap gulita, ia merasa buntelannya
agak berubah, seperti juga lebih besar dari tadinya. Ia
meraba-raba dan mendapat kenyataan, bahwa isi pauw-hok
itu sudah bertambah semacam benda yang agak keras. Ia
ingat, bahwa buntelan itu, tadi digunakannya sebagai bantal
kepala. Ketika ia keluar untuk menghajar Hong Jin-eng,
buntelan itu masih tetap berada di tempatnya. Tapi sekarang,
pauw-hok tersebut ternyata sudah berpindah tempat.
Ouw Hui heran bukan main. "Istri Lauw Ho-cin dan tiga
saudara itu pernah datang di sini," pikirnya. "Apakah mereka
yang menggerayangi buntelanku?"
Dengan rasa penasaran ia segera menyalakan api dan
membuka buntelannya. Dan begitu melihat, hampir-hampir ia
tak pereaya pada kedua matanya sendiri. Ternyata, isi
buntelan itu bertambahkan seperangkat pakaian, sepasang
sepatu, dan sepasang kaus kaki, yaitu miliknya sendiri yang
telah dibawa lari oleh Wan Cie-ie. Hatinya berdebar setelah ia
mendapat kenyataan, bahwa pakaian itu sudah dicuci bersih.
Ia mengangkat pakaian itu untuk memeriksa terlebih jauh.


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan ... jantungnya memukul keras. Di bawah pakaian itu
terdapat kitab silatnya, beberapa potong emas dan sebuah
hong-hong (burung hong) terbuat dari giok putih dan
panjangnya kira-kira tiga dim! Hong-hong itu indah luar biasa,
terang sekali diukir oleh tangan yang pandai.
Lama sekali Ouw Hui bengong dengan mulut ternganga.
Kemudian ia membungkus pula buntelannya dan
menggenggam hong-hong itu di dalam tangannya. Ia
berbaring di atas jerami itu dengan otak bekerja keras. "Jika
mau dikatakan ia berlaku manis terhadapku, kenapa ia sudah
melindungi Hong Jin-eng secara begitu mati-matian?"
tanyanya kepada diri sendiri. "Jika dikatakan dia
menyeterukan aku, kenapa dia memulangkan pakaianku yang
sudah dicuci bersih, kitabku, dan juga menghadiahkan honghong
yang begini indah kepadaku" Kenapa" Kenapa ...."
Ia gelisah dan tentu saja tak bisa tidur pulas.
Tiba-tiba sinar berkelebat di pintu ruangan belakang. Ouw
Hui melirik dan melihat, bahwa dengan dipapah oleh istrinya,
Lauw Ho-cin sedang bertindak masuk dengan sebelah tangan
mencekal sebatang kayu menyala. "Lebih baik kita tidur di
sini," katanya sembari mendekati meja sembahyang, seperti
juga ia ingin tidur di atas meja bekas tempat tidur Wan Cie-ie.
"Eh, Looyacu," kata Ouw Hui terburu-buru. "Kau sukar
memanjat ke atas, lebih baik tidur di bawah, di sini. Ambil saja
tempatku." Berbareng dengan perkataannya, ia memanjat ke
atas meja dan segera berbaring di situ.
"Siauwko sungguh berhati mulia," puji Lauw Ho-cin.
Berselang beberapa lama, tiba-tiba Ouw Hui mendengar
suara Lauw Ho-cin berbisik, "Tiong-peng, Siauwko ini sungguh
baik hatinya. Kita harus bisa membalas budinya."
"Benar," sahut si istri. "Tanpa pertolongannya, kita tentu
sudah menjadi mayat."
Lauw Ho-cin menghela napas panjang-panjang dan berkata
pula, "Barusan, sungguh berbahaya. Jika tadi Ciong-sie Samhengtee (tiga saudara she Ciong) mengganggu dia, biar mesti
mati, aku tentu akan menolongnya."
"Tentu saja," kata si istri. "Ia melindungi kita secara
kesatria, kita pun harus membalasnya secara kesatria pula.
Walaupun tidak mengerti ilmu silat, peribudi Siauwko ini
melebihi banyak orang gagah di dunia Kang-ouw."
"Sst! Perlahan sedikit. Khawatir dia bangun." kata sang
suami. Sehabis berkata begitu, ia memanggil, "Siauwko!
Siauwko!" Ouw Hui tidak menyahut, ia pura-pura pulas.
"Ia pulas," bisik Tiong-peng.
"Hm!" kata Lauw Ho-cin. Beberapa saat kemudian ia
berkata pula, "Tiong-peng, tadi di waktu aku memerintahkan
kau kabur, kenapa kau membangkang?"
"Hai! Kau terluka berat, mana aku tega," jawabnya.
"Kau sendiri tahu, bahwa surat ini luar biasa pentingnya,"
kata sang suami. "Jika tidak diserahkan ke dalam tangan Kimbianhud Biauw-tayhiap, tak tahu berapa banyak orang gagah
akan binasa ...."
Ouw Hui terkesiap mendengar kata-kata "Kim-bian-hud
Biauw-tayhiap". Hampir-hampir ia mengeluarkan seruan "ah".
Ia mengetahui, bahwa dengan mendiang ayahnya, Biauw Jinhong
mempunyai semacam sangkutan yang luar biasa.
Menurut kata orang-orang Kang-ouw, ayahnya telah binasa
dalam tangan Kim-bian-hud. Akan tetapi, setiap kali ia
menanya Peng Sie-siok, yaitu orang yang sudah merawatnya
sedari bayi, paman itu selalu mengatakan, bahwa yang
didengarnya itu semua tidak benar dan jika nanti ia (Ouw Hui)
sudah besar, ia akan menceritakan hal itu seterang-terangnya.
Di waktu masih kecil, Ouw Hui pernah bertemu muka
dengan Biauw Jin-hong di Siang-kee-po. Apa yang diingatnya
adalah seorang yang gagah budiman.
"Sst! Jangan keras-keras!" bisik Tiong-peng. "Ini adalah
rahasia besar."
"Benar," kata suaminya. "Kita mengetahui, bahwa kita
berkorban untuk kepentingan orang-orang gagah dalam
Rimba Persilatan. Tindakan kita adalah bebas dari maksudmaksud
pribadi. Maka itu, Tuhan tentu akan memberkahi kita
dan kita pasti akan berhasil."
Kata-kata itu diucapkan dengan suara yang angker dan
sungguh-sungguh, sehingga Ouw Hui merasa terharu sekali.
"Jika untuk kepentingan para orang gagah, aku pasti akan
membantu Lauw Ho-cin supaya surat itu bisa sampai di
tangan Biauw Jin-hong," kata Ouw Hui di dalam hatinya.
Sampai di situ, suami istri itu tidak bicara lagi. Berselang
beberapa lama, dalam keadaan layap-layap, tiba-tiba Ouw Hui
mendengar derap kaki kuda yang mendatangi dari sebelah
utara. Ia terkejut dan menduga, bahwa Ciong-sie Sam-heng-tee
datang kembali. "Sekali ini Lauw Ho-cin tak akan bisa
bersembunyi," pikirnya. "Paling benar aku mencegah mereka
di tengah jalan. Andai kata aku tak bisa mengusir mereka,
sedikit Lauw Ho-cin dan istrinya masih mempunyai
kesempatan untuk melarikan diri."
Memikir begitu, perlahan-lahan ia meloncat turun dan
begitu keluar dari pintu kuil, ia lari bagaikan terbang untuk
memapaki Ciong-sie Sam-heng-tee.
Ketika itu, hujan sudah berhenti. Lari belum berapa lama,
jauh-jauh Ouw Hui sudah melihat tiga penunggang kuda yang
mendatangi dengan cepat sekali. Ia mengadang di tengah
jalan dan begitu mereka tiba, ia membentak, "Gunung ini
dibuka olehku dan pohon-pohon ditanam olehku. Siapa juga
yang mau lewat, harus membayar uang jalan!"
Orang yang berjalan paling dulu, tertawa terbahak-bahak,
"Aha! Dari mana bangsat kecil ini?" katanya sembari tertawa
dan mengedut les, sehingga kudanya lantas saja menerjang
Ouw Hui. Cepat bagaikan kilat, sambil mengerahkan tenaga
dalamnya, tangan kiri Ouw Hui menjambret les yang lalu
dientaknya. Hebat benar entakan itu! Kuda itu terhuyung
beberapa tindak dan roboh di tanah.
Masih untung penunggangnya keburu meloncat turun dan
tiba dengan selamat di atas tanah. Bukan main kagetnya
ketiga saudara itu. Yang dua lantas saja turun dari masingmasing
kudanya dan mereka bertiga segera berdiri berjajar
dengan mencekal senjata aneh bentuknya.
Fajar sudah menyingsing, tapi awan mendung masih
menutupi seluruh langit sehingga keadaan masih agak gelap.
Ouw Hui mengawasi, tapi ia masih tak tahu, senjata apa yang
dicekal mereka.
"Ciong-sie Heng-tee dari Ouwpak Utara merasa bersalah
karena di waktu lewat di sini, mereka belum mengunjungi
Tuan," kata seorang antaranya. "Bisakah kami mengetahui she
dan nama Tuan yang mulia?"
Ketika baru bertemu, mereka sebenarnya memandang
sebelah mata kepada Ouw Hui yang masih begitu muda. Akan
tetapi, dorongan tadi, yang hebat bukan main, dengan
serentak sudah mengubah pandangan mereka. Maka itu,
pembicara barusan, yakni Ciong Tiauw-eng, sudah
mengeluarkan kata-kata yang sangat hormat.
Mendengar perkataan itu, Ouw Hui yang selamanya
berhati-hati lantas saja menjawab, "Aku she Ouw. Bolehkah
aku mendengar nama besar ketiga Tuan?"
Ciong Tiauw-eng bingung mendengar pertanyaan itu.
"Nama Ciong-sie Sam-hiong (Tiga Jago she Ciong) terkenal di
seluruh negara," katanya di dalam hati. "Kenapa dia mesti
menanya lagi" Dilihat begini, pengalamannya masih cetek
sekali." Memikir begitu, lantas saja ia berkata, "Aku bernama
Tiauw-eng. Yang itu adalah kakakku Tiauw-bun, yang ini
adikku Tiauw-leng. Karena mempunyai urusan penting, kami
mengharap, agar Ouw-toako sudi membuka jalan. Nanti di
waktu kembali, kami tentu akan mengaturkan terima kasih
kepada Ouw-toako yang sudah membuka gunung ini." Sehabis
berkata begitu, ia mengangkat kedua tangannya dan menyoja.
Harus diketahui, bahwa Ciong-sie Sam-heng-tee adalah
orang-orang ternama dalam Rimba Persilatan. Bahwa mereka
sudah berlaku begitu sungkan terhadap seorang houw-pwee
(orang muda), adalah kejadian yang luar biasa. Perasaan
segan sudah muncul karena mereka menyaksikan lihainya
Ouw Hui di waktu ia mengentak kuda. Selain itu, terdapat
kemungkinan besar, bahwa pemuda itu datang bukan seorang
diri, mungkin gurunya atau kawannya yang lihai berada di
dekat tempat itu.
Ouw Hui segera membalas penghormatan itu dan berkata,
"Janganlah Loosu memakai begitu banyak peradatan. Apakah
Samwie sedang mencari suami istri Lauw Ho-cin?"
Sesaat itu, cuaca sudah terang. Ketiga saudara lantas saja
mengenali, bahwa pemuda yang mencegat mereka, adalah si
orang dusun yang tadi sedang makan nasi di rumah berhala.
Mereka mendongkol bukan main, sebab sudah kena dikelabui
seorang bocah. Di lain pihak, Ouw Hui pun sudah melihat nyata senjatasenjata
ketiga saudara itu yang sangat aneh. Senjata Ciong
Tiauw-bun adalah kok-song-pang (tang-thung, tongkat yang
biasa dibawa oleh hauw-lam, anak lelaki yang orang tuanya
meninggal dunia), senjata Tiauw-eng ialah thie-pay (papan
nama di meja abu, terbuat dari besi) yang panjangnya kirakira
satu kaki dan yang di atasnya bertuliskan beberapa huruf,
sedang yang paling aneh adalah senjata Tiauw-leng, yaitu
ciauw-hun-hoan (bendera untuk memanggil roh yang biasa
ditancap di meja sembahyang). Di samping senjata mereka
yang aneh, pakaian mereka pun tidak kurang anehnya.
Dengan mengenakan pakaian berkabung, ditambah pula
dengan roman mereka yang jelek luar biasa, sebelum
bertempur, musuh yang tanggung-tanggung tentu sudah
ketakutan terlebih dulu.
Demikianlah, melihat senjata-senjata aneh itu, Ouw Hui
berwaspada dengan memusatkan seluruh perhatiannya.
"Pernah apakah tuan dengan Lauw-loosu?" tanya Tiauweng.
"Dengan Lauw-loosu, aku tak mempunyai hubungan suatu
apa," jawab Ouw Hui. "Dengan ia, hari ini aku baru bertemu
untuk kedua kalinya. Hanya karena Samwie sudah
mendesaknya secara keterlaluan, barulah aku memberanikan
hati untuk memohonkan belas kasihan. Kata para pujangga,
jika kita bisa memaafkan, maafkanlah, karena kita pun seringsering
perlu mendapat maaf. Lauw-loosu suami istri sudah
mendapat luka, maka itu aku minta Samwie suka berlaku
sedikit murah hati."
Ciong Tiauw-bun mendengarkan pembicaraan itu dengan
tidak sabar. Ia khawatir, bahwa dengan menggunakan
kesempatan tersebut, Lauw Ho-cin akan melarikan diri.
Sembari melirik saudaranya, perlahan-lahan ia berkisar untuk
menghantam Ouw Hui dari jurusan samping.
"Ganjalan apa yang terdapat antara Samwie dan Lauwloosu,
sama sekali aku tidak tahu," kata Ouw Hui pula. "Aku
hanya mengetahui, bahwa sekarang ini Lauw-loosu
mempunyai suatu tugas yang belum selesai. Apakah tak
mungkin Samwie baru mencarinya, sesudah tugas itu selesai
dikerjakannya?"
"Kami justru tak mau membiarkan ia menyelesaikan
pekerjaan itu," kata Tiauw-bun dengan gusar. "Pendek saja,
Kau mau minggir atau tidak?"
Mengingat pembicaraan antara Lauw Ho-cin dan istrinya,
bahwa tugas itu adalah untuk kepentingan segenap orang
gagah dalam Rimba Persilatan dan melihat roman Ciong-sie
Sam-heng-tee yang begitu garang, lantas saja Ouw Hui
mengambil keputusan untuk merintangi mereka dengan
kekerasan. Ia tertawa bergelak-gelak dan berkata dengan
suara nyaring, "Kau mau aku minggir" Boleh! Tapi serahkan
dulu tiga ratus tahil perak!"
Bukan main gusarnya Tiauw-bun. Ia
Kisah Bangsa Petualang 5 Elang Pemburu Karya Gu Long Pendekar Pemetik Harpa 31

Cari Blog Ini