Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko Bagian 1
KSATRIA NEGERI SALJU
Oleh : Sujoko Seorang bocah lelaki berusia sepuluh tahun membongkar lemari tua milik
kakeknya. Dari dandanan yang dipakainya tampak ia adalah seorang anak
sekolahan. "Di sini tidak ada buku itu kek!"
"Cari aja disitu! Pasti ketemu," ujar kakeknya yang sudah berusia enam puluhan tapi masih terlihat gagah, dan dari tampilannya semua orangpun tahu ia seorang sastrawan. Dan di Kanglam ini siapa yang tidak mengenal Ouwyang Sim, guru
besar para sastrawan.
"Eh ini gambar siapakah kong-kong?"
Kakek itu melirik kain yang dipegang si bocah. Sebuah gambar wajah lelaki
tampan berbaju putih kembali hadir di depannya. Lelaki yang paling
dihormatinya, setelah ayahnya sendiri Ouwyang Bun.
"A Siu ini adalah lukisan sahabat sekaligus guru kong-kong, namanya......ksatria salju."
"Eh ini ada puisinya!"
Kemudian bocah itu, yang bernama Ouwyang Siu membaca puisi dengan penuh
penghayatan. Lelaki berbaju putih berjalan di atas rumput
Berapa ilalang lagi harus kau susuri hei ksatria
Berapa badai lagi mesti kau lalui
Dan kau terus berjalan, menyusuri padang bunga,
lembah delapan rembulan, puncak-puncak salju abadi
Apakah yang kau cari"
Ksatria Pengelana
Siapa pesilat yang tak mengenalmu"
Berbekal pedang sedingin salju
Puluhan pesilat menghadangmu
Tak satupun pernah menyentuh tubuhmu
Pengembara hanya bernyanyi
Syair merdu tentang burung-burung yang terbang di langit biru
Anak-anakpun mengiringimu dengan lagu ceria itu
Tapi siapa tak tahu mendung terus menggantung di hatimu
Ksatria salju berjalan di atas awan
Ketika senja yang paling ungu mekar di puncak Gongga
Bukankah engkau tahu wahai sang guru
Jarak terjauh yang pernah ada di semesta ini
Adalah masa lalu"
Seribu tahunpun tak kan pernah kau bertemu
Air mata sang kakekpun meleleh tanpa usaha untuk mencegahnya.
Puisi itu mengingatkannya pada kisah sepenggal perjalanan hidup ksatria salju muda, Tiong Gi. Bersama dengan Chien Ce, Souw Mei dan Liu Siang, mereka
sama-sama berjuang mengungkapkan jati dirinya. Mereka memiliki sejarah masa
kecil yang berbeda, namun kemudian dibesarkan pada dunia yang serupa, dunia
yang mendidiknya menjadi ksatria sejati. Seringkali mereka dihadapkan pada
situasi yang menuntut mereka berbuat di luar kemampuan sewajarnya. Maka
ketika bocah itu memintanya agar ia bercerita, kakek itupun dengan penuh
semangat menuturkan kisah ini.
Bab 1. Yu Liang Pay
Pegunungan Fan Cing san merupakan pegunungan yang sangat terkenal di Cina
Tengah. Salah satu daya tarik pegunungan ini adalah puncak awan merah atau
Hung Huang Teng yang merupakan salah satu dari tiga puncak pegunungan
yang berada di sebelah utara kota Kwei Yang yang termasuk propinsi Kwei chow (Guizhou). Jika ada awan yang berarak ke puncak ini pawa waktu fajar atau
sore, tampaklah semburat kemerah-merahan pada awan itu. Pada jaman kisah
ini dituturkan yaitu masa dinasti Sung utara, puncak ini juga dikenal dengan nama puncak Tiong Kiam atau pedang tengah, karena memiliki pemandangan
yang unik di puncak yaitu adanya bukit pagoda, yang menjulang di antara
bebukitan. Pada waktu awan berarak dan menyelimuti bebukitan, maka puncak
ini dilihat dari kejauhan seperti pedang raksasa yang tinggi menembus langit.
Memandang jauh kebawah dari puncak ini terlihat bentang alam yang sungguh
mempesona. Bagian dasar pegunungan yang hijau rapat oleh belantara hutan
subtropis, bagian atasnya ditumbuhi hutan campuran luruh daun, bagian tengah yang ditumbuhi pohon pinus dan bagian puncak tumbuh pohonan yang mulai
jarang diselingi semak dan rerumputan disela-selanya yang pada musim panas
menghijau bak beludru.
Pucak Tiong Kiam berketinggian 340 m dan diameter 50 m dari pangkal
punggung suatu bukit. Puncak ini dikelilingi bebukitan. Bukit-bukit di sebelah barat dan di sebelah timur dibelah oleh sungai Wu (anak sungai Yang Ce Kiang) yang mengalir dari pegunungan Shao Tong san di wilayah Kwei chow selatan
menuju ke kota Chuan Sing, dan bertemu dengan sungai Yang Ce Kiang di timur
kota ini, terlihat dari puncak seperti lekuk tubuh naga. Sungai ini pula yang memisahkan propinsi Hunan disebelah timur dengan Propinsi Kwei chow di
sebelah barat. Dari puncak ini di sebelah timur meski berjarak ribuan li masih terlihat kota Shao Yang, di sebelah selatan terdapat kota Kwei Yang, yang
merupakan kota terbesar di wilayah Kwei chow.
Berlawanan dengan tamasya alam disekelilingnya yang demikian penuh pesona.
Pemandangan di bukit pedang itu sendiri sungguh mengerikan. Pada akhir
jaman Tang, orang-orang Tionggoan sangat gemar membentuk sekte-sekte
magis. Sekte-sekte seperti ini belum mengenal mengubur mayat atau
membakarnya secara layak. Mereka memang mengubur badan namun setelah
sepuluh tahun lebih, kuburan tersebut dibongkar, dan tengkoraknya dibuatkan
lubang-lubang pada dinding bukit pedang, dan menjadikan puncak pedang
sebagai berhala sesembahan.
Karena letaknya yang ditengah-tengah dan dianggap strategis, selama ratusan
tahun pengunungan ini dijadikan rebutan untuk menjadi markas perkumpulan
kaum bulim dan kangouw. Sudah berpuluh perkumpulan atau partai muncul dan
runtuh di pegunungan ini. Karena selalu jadi rebutan, tak terhitung pula berapa ribu manusia telah binasa menjadi korban nafsu angkara ingin mendapatkan
posisi di tengah ini, meski pada kenyataannya dibandingkan keuntungan lebih
banyak kerugian yang ditangguk oleh mereka yang tinggal di pegunungan ini.
Satu dapat, yang lain beramai-ramai mengeroyoknya bagaikan seekor harimau
dikeroyok puluhan serigala. Dengan melihat deretan relung tengkorak di bukit pedang yang sangat tinggi bagai jendela-jendala pagoda, orang akan tahu
betapa di tempat yang mestinya damai itu telah banyak nyawa manusia
melayang. Maka lambat laun karena sudah terlalu bosan dan lelah, puncak ini
akhirnya ditinggalkan oleh rombongan penghuni terakhir dari sekte Shin.
Setelah puluhan tahun kosong, di akhir dinasti Tang puncak ini kembali di
datangi oleh berbagai golongan karena terjadi pergolakan di mana-mana.
Kelompok yang tidak ingin terlibat dalam pertikaian akhirnya kembali
berbondong-bondong ke Fan Cing san. Salah satu rombongan yang kembali
datang adalah orang-orang dari sekte Shin yang dipimpin oleh Huang Shin. Dulu Huang Shin muda dan kawan-kawannya termasuk yang menolak untuk
meninggalkan Fan Cing san, namun tak mampu menolak keputusan tetua.
Rombongan lainnya berasal dari berbagai kota. Dua rombongan yang terbesar
adalah golongan Duang yang dipimpin oleh Tan Hong Bu dari Siang Tan dan
golongan Im Yang Pay yang dipimpin Kang Kiu Yang dari Kwei Yang. Untuk
menghindari perebutan demi perebutan Huang Shin, memutuskan untuk
menyatukan berbagai golongan yang berebut itu. Huang Shin membagi wilayahwilayah yang bisa ditempati dengan cukup adil, dan menawarkan kepada tiga
kelompok terbesar untuk menyatu membentuk satu perkumpulan besar. Huang
Shin membangun pusat perkumpulan di puncak bukit di sebelah selatan Tiong
Kiam. Singkat cerita terbentuklah satu perkumpulan besar gabungan beberapa
golongan yang dipimpin tiga golongan, yang bernama Yu-liang-pay.
Untuk menghindari bentrokan maka Huang Shin membuat peraturan bahwa
ketua partai harus dijabat secara bergiliran dari ketiga golongan. Dengan urutan sekte Ming, Duan dan Im Yang. Adapun para anggota dibebaskan untuk
mempelajari ilmu dari ketiga perkumpulan itu. Untuk menyatukan berbagai
kelompok, maka selama beberapa tahun Huang Shin bersama kedua tetua yang
lain menciptakan suatu ilmu pedang baru yang dinamakan Yu Liang Kiamhoat.
Pada masa inilah tradisi menyimpan tengkorak di dinding bukit dihapuskan.
Itulah sekilas sejarah Yu-liang-pay, tempat kisah ini dimulai.
Pagi itu, tanggal ke enam bulan ke lima, tahun 978 merupakan suatu pagi yang cerah di musim semi. Burung-burung yang beterbangan, kupu-kupu yang menari
disela-sela semak dan bunga-bunga yang bermekaran, kesegaran udara musim
semi yang melapangkan dada dan urat-urat kepala. Beberapa pepohonan yang
semula tinggal batang dan ranting seperti bayi yang bugil, kembali dihiasi daun-daun baru. Sedangkan pohon yang lain menyambut datangnya musim semi
dengan menumbuhkan kuncuk-kuncup bunga yang sebagian telah bermekaran.
Bagi mereka yang pernah mengujungi keindahan musim semi di puncak ini tak
heranlah mengapa tempat ini menjadi rebutan. Fan Cing san adalah gunung
yang menyimpan keragaman bunga yang paling tinggi seluruh daratan Cina
waktu itu, lebih dari empat per lima bunga yang ada di Tionggoan dapat
dijumpai di sini, mulai bunga siang, bunga lee, bunga kiok, bunga anggrek,
bunga jit dan yang lainnya. Namun kedamaian pagi itu terusik dengan suara
kaki-kaki manusia yang menapaki puncak secara berombongan. Berbondongbondong rombongan orang berpakaian singsat menaiki dari berbagai jurusan.
Sebagian naik dengan berjalan lambat sambil menikmati wisata alam gunung
Fan Cing san yang sangat indah. Kelompok yang datang belakangan menaiki
punggung bukit dengan gerakan yang sangat gesit. Beberapa orang dari setiap
kelompok terlihat membawa pedang atau golok. Dari gerakan dan dandanan,
tampak mereka adalah orang-orang kangouw yang berkepandaian. Ada apakah
yang terjadi di puncak sana"
Di awal musim semi ini, Yu-liang-pay mengadakan pesta ulang tahunnya yang
ke 100. Ulang tahun yang spesial sehingga dirayakan cukup meriah oleh Yuliang-pay. Tamu dari berbagai golongan semua diundang dalam pesta itu. Dari
rombongan putih terlihat tamu dari Siauw-lim Pay, Kun-lun-pay, dan Kong Thong Pay, ketiga perguruan ini merupkan perguruan tua yang sudah berdiri pada
masa itu. Dari rombongan lain dari berbagai golongan, sedangkan dari golongan hitam juga ikut menghadiri pesta yang berasal dari kelompok Pek Tung Pang,
Ang Lian Pang, Hek In Pang, dan Tok Nan-hai Pang. Saat itu di halaman depan
Yu-liang-pay yang luas telah dipasang tenda, dan ditata kursi secara setelah lingkaran. Tanpa dipersilakan para tamu langsung mengambil posisi duduk
masing-masing, seolah-oleh sudah tahu dimana tempat mereka seharusnya.
Kelompok hitam dan putih tanpa dikomandopun mengambil posisi yang
memisah, kelompok pendekar berada di sebelah kanan sedang kelompok
penjahat berada di sebelah kiri. Riuh rendah obrolan yang diucapkan oleh semua orang seperti pasar. Harap maklum mereka jarang sekali dapat kesempatan
bertemu dengan anggota partai atau perguruan lain, apalagi dalam jumlah yang boleh dikatakan lengkap seperti saat itu. Obrolan paling hangat tentu saja kabar burung mengenai ilmu pedang Yu Liang Kiamhoat yang berhasil disempurnakan
oleh Yu Liang Pangcu. Seperti apakah gerangan ilmu pedang Yu Liang Kiamhoat
itulah yang membuat penasaran kaum kangouw, sehingga mereka rela berlelahlelah menempuh perjalanan ribuan li. Di tengah-tengah ruangan yang bertenda
berdiri sebuah panggung, tempat berbagai pertunjukan.
Pada waktu itu Yu-liang-pay dipimpin oleh Kwan Liong Ping, generasi ke empat dari golongan Duang. Jika melihat betapa besarnya Yu-liang-pay yang memiliki banyak anggota, area gedung-gedung yang luas dan usia yang cukup tua untuk
ukuran partai saat itu, maka para tetamu memandang heran dengan penampilan
Yu Liang Pangcu Kwan Liong Ping ini. Usia Liong Ping saat itu tidak lebih dari lima puluh lima tahun, suatu umur yang termasuk sangat muda untuk ukuran
pemimpin partai besar saat itu. Sebagai perbandingan ketua Siauw-lim Pay
sudah berusia seratus sepuluh tahun, sedangkan ketua Kong Thong Pay berusia
sembilan puluh lima tahun.
Setelah tamu berdatangan Liong Ping memasuki ruangan dan duduk di kursi
yang telah disediakan. Ia memakai jubah sutera biru tua yang bersulam, tampak gagah berwibawa. Sinar matahari pagi yang mulai terang membuat wajah ketua
ini tampak dengan jelas oleh seluruh hadirin. Meskipun sudah berusia di atas lima puluh tahun, namun wajah itu masih tampak tampan dan padat. Janggut
dan kumis pria yang agak kurus dan jangkung tetapi masih kelihatan gagah
bersemangat ini dicukur rapi. Rambutnya disisir rapi dan kelimis, disanggul ke belakang, dan ditali kain yang menjuntai. Di sebelah kirinya duduk Sam Pangcu Siong Hok Cu seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun yang
bermuka mulus, berjenggot tipis dan bertubuh tinggi gagah. Kepalanya ditutup kopyah pada bagian belakang terlihat mencuat ke samping khas gaya Tang.
Sedangkan di sebelah kanan duduk Ji Pangcu Lauw Kian Bu, pria berusia lima
puluh tiga tahun, berwajah dusun berbaju hijau tua sederhana dari kain katun.
Di belakang ketiga orang ketua ini duduk para tetua yang berusia lebih dari
enampuluh tahun dengan sikap keren, semuanya berbaju hitam dan berpenutup
kepala kain warna merah. Mereka tokoh kawakan dari generasi tua. Setelah
hampir semua perwakilan yang diundang datang, Ji Pangcu menaiki panggung
dan berkata dengan lantang:
"Cuwi sekalian, mewakili tuan rumah kami mengucapkan terima kasih yang
sangat mendalam atas kehadiran cuwi memenuhi undangan kami.
Perkenalkanlah saat ini kami bertiga adalah pimpinan di Yu-liang-pay, toa
pangcu kami adalah Kwan Liong Ping, aku sendiri ji pangcu dan yang duduk di
samping kiri toa pangcu adalah sam pangcu Siong Hok Cu. Berbahagia sekali
pada kesempatan yang baik ini kami dapat merayakan ulang tahun Yu-liang-pay
yang ke seratus. Pertama-tama perkenankanlah kami untuk menghormati leluhur
kami terutama adalah sucouw kami Huang Shin."
Dengan dipimpin oleh Kwan Liong Ping yang membawa tiga biting dupa, para
murid Yu-liang-pay kemudian berlutut menghormat meja sembah yang di
atasnya masih disimpan abu Huang Shin dan kedua pendiri lainnya. Pada bagian yang biasa ditempati cermin pada meja itu ditempel gambar Huang Shin dalam
ukuran cukup besar. Setelah selesai bersembahyang ji pangcu berseru:
"Silahkan dicicipi hidangan arak dan makanan yang telah kami siapkan, dan
hiburan tari-tarian yang sebentar lagi akan kami panggungkan."
Setelah semua tamu menghaturkan selamat dan memuji keberhasilan Yu-liangpay membentuk partai yang besar dan kuat, mereka kembali duduk ke tempat
masing-masing sambil terus saling bercerita tentang pengalaman mereka di
dunia persilatan. Dengan cekatan pelayan mengedarkan arak dan makanan.
Mereka semua makan minum dengan gembira sambil menikmati hiburan taritarian baik tarian yang berasal dari timur maupun dari barat. Sampai kemudian terdengan celetukan dari salah seorang tamu.
"Wahh...kapan pertunjukkan Kiamhoatnya?"
Celetukan itu segera ditingkahi berbagai cecowetan tamu lainnya. Toa pangcu
memberi kode pada seorang murid. Selanjutnya seorang murid wanita maju ke
atas panggung. Ia berumuran tigapuluh tahunan, wajahnya terlihat cukup cantik dan montok, namun baju hitam dan pedang yang berwarna gelap pekat yang
dikenakannya membuat kesan yang menggiriskan. Setelah memberi hormat ke
semua sisi dengan bersoja, mulailah ia memainkan ilmu pedang Yu Liang
Kiamhoat. Gerakannya mula-mula lembut dan indah, seperti tarian bidadari, tapi lama-kelamaan gerakannya makin hebat, amat sukar diduga perubahannya
sehingga pandang mata penonton yang tingkat ilmunya rendah berkunangkunang dan silau dibuatnya. Sinar pedang gelap itu bergulung-gulung dan
membentuk lingkaran-lingkaran panjang dan luas seperti seekor naga hendak
membelit tubuh mangsanya. Ujung pedangpun seolah berubah menjadi puluhan
banyak saking cepat dan tak terduga. Gerakan itu seakan-akan memancarkan
hawa magis yang dasyat sehingga penonton yang jaraknya jauh terlihat
menggoyang kepala dan badannya karena seakan-akan serangan pedang itu
mengarah ke dirinya. Pada jurus ke enampuluh setelah bersalto dua kali secepat kilat wanita itu berteriak sambli melontarkan pedangnya ke belakang.
"Hiaaat......! Crat".!" Pedang itu tepat menembus tengah-tengah papan kayu
tebal yang sengaja disiapkan. Ujung pedang amblas hampir separohnya.
Diantara decak kagum penonton, Toa pangcu berdiri dari tempat duduknya dan
berseru: "Maafkan kalau pertunjukan ilmu pedang murid tingkat dua kami tidak
memuaskan. Harap maklum jurus-jurusnya masih belum sempurna!"
Ucapan ini sepertinya berendah hati, namun tamu yang sudah kenyang makan
asam garam rimba persilatan maklum belaka bahwa ketua Yu-liang-pay sedang
membanggakan ilmu pedangnya. Baru murid tingkat dua saja sudah sedasyat itu
ilmu pedangnya, apalagi murid tingkat satu atau pimpinannya sendiri.
Baru saja wanita itu mencabut pedangnya dan bersoja ke empat penjuru,
sekonyong-konyang seorang laki-laki meloncat ke panggung menghadapinya.
Laki-laki itu berumur sekitar empat puluh tahunan, tubuhnya kekar, kumis dan janggutnya tak terawat, wajahnya kecoklatan. Ia adalah murid termuda dari Hek In Pangcu (ketua perkumpulan awan hitam) dari bukit awan hitam. Sambil
cengar-cengir ia coba merayu.
"Nona, ilmu pedangmu sangat indah, bolehlah aku coba merasai belaiannya."
Ucapan pria setengah baya itu sungguh enak didengar tapi sangat tidak sopan
diucapkan kepada wanita, apalagi kehadirannya di panggung tanpa permisi lebih dahulu. Wanita itu menoleh ke Liong Ping dan dibalas dengan anggukan meski
sambil berdehem dua kali. Dengan dingin ia kemudia membalas ucapan lelaki
setengah baya dihadapannya:
"Ambil senjatamu di rak sana! Pedangku tak bermata maka siaplah rasakan
setiap goresannya!"
Para tamu sekejab jadi melongo melihat sebuah golok panjang tiba-tiba sudah
ada di tangan laki-laki ini. Rupanya ia masih menyimpan senjata meskipun sudah melewati pemeriksaan. Namun wanita yang jadi lawannya tidak membiarkan
orang berlama-lama heran. Selesai mengucapkan jawaban itu tubuhnya
langsung meloncat melancarkan serangan pertama. Golok di tangan lelaki itu
segera disilangkan untuk menangkis serangan pertama
"Cring......!" bunga api berpijar disertai suara yang menggores di telinga. Laki-laki itu terkesiap demi merasakan tangannya tergetar hebat. Tak disangka
bahwa wanita itu memiliki sinkang yang sedemikian kuatnya. Namun ia tidak
punya banyak kesempatan untuk melamun, karena serangan demi serangan
segera mengurungnya. Berkali-kali ia hanya mampu menangkis sambil mundur.
Peluh di dahi lelaki itu sudah meleleh membasahi mukanya. Terkurung serangan sedasyat itu seolah-oleh tubuhnya lemas lunglai. Tiba-tiba pada jurus ke
duapuluh dengan gerakan naga sakti mengibaskan ekor, pedang di tangan
wanita itu seakan-akan mencongkel pangkal golok yang digenggam lelaki, dalam waktu bersamaan kaki kirinya mengait kaki kanan lawan.
"Brugg......! Crapp.....! Ayyaaaaaa.........."
Tak ayal, tanpa dapat dicegah, lelaki itu roboh dan goloknya jatuh tepat di
telinga, sehingga daun telinga lelaki itu terbelah. Penonton yang lain hanya dapat menahan napas, hanya dalam waktu dua puluh jurus seorang murid
perkumpulan awan hitam yang sangat terkenal di utara dapat dikalahkan. Jie
Kung sute ketiga dari Hek In Pangcu yang memimpin rombongan dari awan
hitam, dengan sigap melompat ke panggung. Tangannya langsung mencekal
baju di bagian punggung dan melontarkan tubuh anak buahnya itu ke belakang,
anggota hek in pang dengan sigap menyambut lontaran.
Jie Kung berusia paling banyak sepuluh tahun di atas murid Hek In Pangcu yang dilontarkan. Dengan wajah keruh ia memelototkan matanya seperti hendak
meloncat keluar.
"Hari ini penghinaan Yu-liang-pay hanya bisa ditebus dengan nyawa!"
Tanpa dikomando wanita yang tadi mengalahkan murid awan hitam mundur,
digantikan oleh seorang pemuda. Pemuda itu adalah putera sam-pangcu Siong
Hok Cu, yang bernama Siong Chen. Siong Chen berusia kurang lebih duapuluh
lima tahun, wajahnya tampan dan berdandan perlente.
"Perkenalkan namaku Siong Chen, putera dari sampangcu Siong Hok Cu. Apakah
ada tindakan kami yang tidak adil" Kami masih belum memberi kesempatan
pada tamu untuk maju memberi wawasan pada kami. Mohon loheng
menjelaskan apa maksud loheng dengan penghinaan?"
Jie Kung tidak melayani jawaban Siong Chen, ia justru berkata lantang kepada Toa-pangcu.
Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Liong Ping pangcu, apakah kau merasa terlalu rendah untuk berbicara pada
kami, mengapa mesti bocah ingusan ini yang kau sodorkan padaku?"
Diacuhkan seperti ini membuat Siong Chen mendongkol juga, segera ia jawab.
"Loheng, kau mau adu mulut apa adu silat" Silahkan pilih tangan kosong apa
pakai senjata!"
"Bocah sombong, kalau aku tidak bisa merobek mulutmu, aku bersumpah tak
kan pernah menginjakkan kakiku di Fan Cing san. Bersiaplah!"
Jie Kung segera menyerang dengan tangan kosong, akan tetapi biarpun hanya
memukul dengan tangan kosong, lelaki ini diam-diam telah melumuri kedua
tangannya dengan racun yang selalu dibawanya. Sesuai dengan julukan
perkumpulan awan hitam, anggota tingkat satu perkumpulan ini semua memiliki
keahlian menggunakan racun. Kini kedua tangannya itu mengeluarkan asap
hitam dan racun yang dipakai di kedua tangannya amat jahat karena jangankan
sampai lawan yang terpukul robek kulitnya sehingga racun itu dapat meracuni
darah, bahkan baru tersentuh saja, racun ini dapat meresap melalui lubanglubang kulit dan membuat daging menjadi membusuk dalam waktu singkat!
Hebat sekali serangan yang dilancarkan Jie Kung, tangannya menyambarnyambar seperti sambaran geledek di antara kepulan awan hitam. Siong Chen
tak berani memandang rendah, dengan gerakan ginkang yang sudah mencapai
tingkatan tinggi ia lebih banyak menghindar sambil mencari kelemahan lawan.
Siong Chen berlaku cerdik. Ia tidak mau menangkis serangan lawan, namun
berusaha menyerang bagian tubuh lain. Jurus demi jurus sudah berlalu, melihat lawannya selalu menghindar Jie Kung mengira lawannya takut, maka dia makin
memperkuat serangannya. Tak dinyana, pada jurus ke tiga puluh Siong Chen
melompat tinggi dan menyerang dengan kakinya. Jurus tendangan bayangan
budha yang dilancarkan dari udara benar-benar dasyat. Baru angin yang
ditebarkan saja sudah membuat rambut Jie Kung berkibar-kibar. Jie Kung
menyambut serangan dengan tangkisan berbentuk cakar harimau.
"Desss.......!"
Hebat sekali hasil pertemuan kaki dan tangan. Jie Kung terdorong tiga langkah ke belakang, ia merasakan hawa pukulannya membalik. Meski tidak berat, tapi
cukup membuat dadanya serasa sesak. Siong Chen bersalto dua kali, dan turun
dengan ringan. "Wuss......!" dari belakang anak buah awan hitam melontarkan golok yang telah diambil dari rak. Jie Kung menangkap gagangnya. Dadanya terasa nyeri. Ia
sudah tidak mungkin lagi menyerang dengan tangan kosong. Satu-satunya
niatan dalam hatinya hanya mengalahkan dengan senjata, atau mati bersama.
Tapi justru inilah kesalahan terbesarnya. Yu-liang-pay terkenal baru saja
menyempurnakan ilmu pedang. Baru murid tingkat dua saja sudah mampu
merobohkan murid tingkat satu Hek-in-pang, apalagi yang dihadapi adalah murid langsung toa-pangcu.
Jie Kung mulai melancarkan serangan-serangannya. Mula-mula serangan yang
dilancarkan cukup hati-hati namun lama-lama makin ganas. Siong Chen
menghadapi dengan hati-hati namun jurus-jurus pedangnya makin lama makin
kuat dengan hawa magis yang jauh lebih hebat dari wanita yang tampil
sebelumnya. Sebaliknya posisi Jie Kung makin lemah, napasnya makin memburu
dan pandang matanya mulai berkunang, kepalanya terasa pening. Adapun dua
orang muda itu yang melihat keadaan lawan makin lemah, terus mendesaknya.
Pedangnya makin ganas saja menyambar-nyambar.
"Anak muda, biar aku mengadu nyawa denganmu!" Tiba-tiba Jie Kung yang sudah pening dan sudah gelap pandang matanya itu mengeluarkan suara
melengking keras dan tubuhnya melayang naik terus meluncur seperti burung
garuda menyambar ke arah Siong Chen dengan golok di depan. Golok ini
menusuk ke arah tubuh lawannya. Inilah jurusnya yang terakhir, jurus terlihai akan tetapi juga merupakan jurus bunuh diri atau mengajak lawan mati
bersama. Julukan ini bernama Hui-seng-coan-in (Bintang Terbang Menembus
Awan). Serangan yang dilakukan dengan tubuh melayang dengan luncuran kilat
ini takkan dapat ditangkis atau dielakkan lagi oleh lawan, karena tangkisan
lawan tentu akan dibarengi dengan pukulan tangan kiri, sedangkan elakan tak
mungkin dilakukan karena golok dapat digerakkan mengejar tubuh lawan. Kalau
lawan berkepandaian tinggi, jalan satu-satunya bagi lawan hanya membarengi
dengan serangan balasan terhadap tubuh melayang yang tidak memperdulikan
akan penjagaan diri melainkan sepenuhnya dicurahkan untuk menyerang itu.
Tak ayal, Siong Chen dibuat bingung dengan serangan ini, namun telinganya
menangkap bisikan dari suhunya. "Tangkis golok dengan cara menyampok,
jatuhkan badanmu, tendang perut lawan sekuat tenaga dari bawah." Bisikan itu sungguh halus, sehingga hanya Siong Chen yang mendengar. Maka begitu kata-kata suhunya di kuti, golok Jie Kung dapat disampok, pukulan tangan kiri dapat di tangkis dengan pedang, sedang tendangan kakinya membuat lawan
terjengkang. "Proook........! Bruug! Krontang....!"
Tangan kiri Jie Kung putus sebatas ujung lengan, tubuhnya roboh muntah darah dan langsung pingsan. Anak buah Hek In Pang segera merubung dan
membopong susiok mereka. Siong Chen segera merangkapkan tangan dan
berkata: "Maafkan kami, tak kukira tokoh Hek In Pang bisa bertindak senekat itu!"
Anak buah awan hitam yang berjumlah lima belas hanya mendengus, dan
segera berlalu dari ruangan. Kejadian dua pertarungan yang dilihat itu membuat gusar sebagian besar penonton, sehingga seorang tokoh dari Kun-lun-pay, Bhok Kian Tosu bangkit dan berseru:
"Sungguh penasaran, kami para tamu yang diundang jauh-jauh untuk berkenan
mengikuti ulang tahun partai, ternyata disuguhi berbagai kesombongan Yu-liang-pay. Entah sudah setinggi apa gunung Fan Cing yang menjulang di puncak
keseratusnya. Biarlah aku mewakili Kun Lun, maju untuk meminta pelajaran."
Bhok Kian Tosu, adalah pentolan Kun Lun yang sudah sering malang melintang
di dunia persilatan. Usianya sekitar lima puluh tahunan. Ia datang bersama tujuh tosu yang lainnya. Ki Liang Tosu, yang menjadi pimpinan rombongan hanya
hanya memandang diam saja ketika sutenya maju. Bhok Kian Tosu memang
paling berangasan dibandingkan saudara-saudaranya. Betapa gusar ia dibuat
ketiga dari pihak tuan rumah menurunkan murid yang lebih muda dari pada
Siong Chen. "Totiang, perkenalkan saya Kwan Tiong San, sebagai orang muda saya mohon
petunjuk totiang!"
"Hmmm...anak muda, jangan dianggap aku menghinamu, tapi tak tahu kenapa
Yu Liang menurunkan kamu untuk melawan aku."
"Marilah kita mulai totiang! Silahkan sebagai tamu totiang menyerang dahulu."
Merah muka Bhok Kian Tosu, dalam peraturan tak tertulis di dunia persilatan
menyerang lebih dulu biasa dilakukan oleh pihak yang kedudukannya lebih
rendah. Namun sudah kepalang basah maka mulailah Bhok Kian Tosu
menggerakkan tangan dan kakinya mulai menyerang Tiong San. Serangan
pembukaan Bhok Kian Tosu sangat hebat karena ia menggunakan jurus Lao
Seng Yikai In (Nabi Lao menghalau awan). Tiong San tak berani langsung
menangkis dari depan, ia bergerak cepat kekanan. Serangan Bhok Kian Tosu
terpaksa dibelokkan, otomatis tenaga serangannya menurun. Dari samping
Tiong San menangkis.
"Plaaak.....!"
dari pertemuan dua lengan, Tiong San dapat merasakan tenaga sinkang lawan
sangat kuat. Ia terdorong selangkah ke belakang, sedang tangan Bhok Kian
Tosu tergetar, pertanda selisih sinkang mereka cukup tipis. Kembali Bhok Kian melancarkan serangan demi serangan yang sangat kuat. Tangannya bergerak
semakin cepat, seperti awan menindih bukit. Tiong hanya mampu menangkis
dan menghindar. Namun begitu sudah tiga puluh jurus lewat, masih belum ada
pukulan telak yang mengenai tubuhnya. Ketika dapat kesempatan menyerang,
segera Tiong San melompat tinggi hendak melancarkan serangan tendangan
budha tanpa bayangan. Sayangnya, karena sudah melihat pertarungan Siong
Chen dengan Jie Kung, Bhok Kian Tosu bersiap menerima tendangan dengan
menggerakkan tubuhnya seperti kitiran.
"Plak...plaak...dessss!"
Hasilnya luar biasa, Tiong San terlempar lima langkah, sedangkan Bhok Kian
mundur tiga langkah. Meskipun ringan namun Tiong San merasakan dadanya
sedikit nyeri, tanda ia telah terluka.
"Sraattt......!" Tiong San meloloskan pedang dari sarungnya yang terikat di
pinggang. "Dalam pertarungan tangan kosong, saya mengaku kalah, tapi sebelum totiang
bisa mengalahkan ilmu pedang kami, saya belum menyerah."
"Majulah anak muda, Kun Lun juga memiliki ilmu pedang yang tak kalah
bagusnya dengan Yu Liang Kiamhoat, ujar Bhok Kian sambil menangkap pedang
yang dilontarkan kepadanya.
Tiong San mulai melancarkan serangan-serangannya. Mula-mula serangan yang
dilancarkan cukup hati-hati namun lama-lama makin kuat. Bhok Kian tosu
menghadapi dengan hati-hati namun jurus-jurus pedangnya mampu
mengimbangi gerakan Tiong San. Makin lama gerakan pedang Bhok Kian tosu
makin cepat menderu-deru. Hadirin yang duduk di belakangpun dapat
merasakan angin sambarannya. Sebaliknya posisi Tiong San makin lemah.
Hanya dengan daya tahan yang sangat itu ia mampu melayani sampai lebih dari
seratus jurus. Adapun melihat lawan mulai melemah, Bhok Kian makin
memperkuat gerakan pedangnya, bahkan sampai terdengan suara mencicit-cicit
seperti anak tikus mencari induknya, tanpa menyadari bahwa napasnya mulai
memburu. Pedangnya makin kuat saja menyambar-nyambar sedangkan gerakan
pedang Tiong San makin mengecil. Pada jurus ke seratus sepuluh, Tiong San
mengubah gerakan, mulailah ia merapalkan matera gerakan pedang magis.
Tubuhnya merendah hampir jongkok, pedangnya berputar seperti kitiran, semua
serangan Bhok Kian dapat tertangkis dengan baik. Pada suatu kesempatan,
sekonyong-konyong Tiong San melompat tinggi tubuhnya jungkir balik di udara, dan mulailah ia menyerang dari atas.
"Cri ing...cri ing! crok....plak!
Bhok Kian Tosu dua kali menangkis serangan, namun masih belum mampu
menghalau jurus Hui-liong-coan-san (naga terbang menembus bukit), maka tak
ayal pada serangan ke tiga, pedang Tiong San hampir menebas kepala. Hanya
dengan gerakan miringkan kepala, Bhok Kian mampu menghindar dan hanya
pundaknya yang tertusuk, namun tangan kirinya mampu menohok punggung
lawan. Tubuh Tiong San terbanting, mulutnya mengeluarkan darah, tanda ia
telah terluka. Namun Bhok Kian juga terluka, dan pedangnya terlepas.
"Hmmm.....biarlah hari ini pinto menerima kekalahan ini, lain kali kami akan datang lagi meminta tambahan pelajaran dari ketua Yu-liang-pay.
Bhok Kian tosu membalikkan badan dan dengan dipapah oleh tosu-tosu yang
lain ia meninggalkan Yu-liang-pay. Suasana menjadi riuh rendah dan tidak enak bagi ketiga ketua Yu-liang-pay.
"Omitohud, tidak kami sangka Yu-liang-pay sudah sedemikian pesat majunya,
sehingga tidak memandang mata kepada para tamu," ucapan yang cukup
nyaring dari seorang biksu membuat semua hadirin terdiam. Biksu yang barusan berkata ternyata pimpinan rombongan dari Siauw-lim, Bu Sian Taisu.
Kwan Liong Ping maju kedepan merangkapkan tangan bersoja dan berseru:
"Cuwi sekalian mohon dimaafkan sikap kami, ketahuilah bahwa dua orang murid
kami Siong Chen dan Tiong San, juga sempat belajar pada couw-su kami, maka
kedudukannya tidak berselisih jauh dari tingkatan kami. Namun demikian, untuk menghibur biarlah kami tampilkan pertunjukkan tari lagi agar hilanglah segala ketegangan. Lagi pula, pihak kami hanya menerima tantangan dari tamu.
Sungguh posisi kami sangat terdesak"
Meskipun dalam hati sebagian tamu menggerutu dan mengomel, namun tak
dapat disangkal pernyataan Yu-liang-pay tak ada yang keliru. Dan tak dipungkiri sebagai para pesilat, tak ada adegan yang lebih menyenangkan selain melihat
orang berpibu. Tiba-tiba salah seorang tamu yang berasal dari kelompok kiri
berseru lantang:
"Ahh..bosan pertunjukan tarian bebek melulu, kami akan maafkan Yu Liang ,
kalau dua murid Yu Liang diadu ketangkasan kiamhoat itu."
Kwan Liong Ping terperangah, sekejap tidak mengucapkan sepatah kata, hanya
melirik ke kedua belah muridnya.
Siong Chen mengajak Kwan Tiong San untuk naik kembali ke panggung.
"San te, kalau tamu menghendaki marilah kita bermain-main sebentar."
Pertarungan Siong Chen dan Kwan Tiong San berjalan seperti berlatih. Masingmasing menggunakan pedang yang biasa dipakai untuk berlatih. Gerakannya
keduanya mula-mula kelihatan lambat namun pedang-pedang itu seolah-olah
berubah menjadi dua ekor naga putih berebut mustika. Amat indah tampaknya,
seolah-olah sepasang dewa yang sedang menari-nari. Namun sesungguhnya di
dalam keindahan "tarian" ini tersembunyi tenaga sinkang yang menyambar-nyambar dahsyat, dan hawa magis yang tersembunyi. Makin lama, ternyata
pertarungan berlangsung sungguh-sungguh. Di satu kesempatan Siong Chen
sengaja bergerak lambat. Sadar pukulan tangan kirinya bisa mengenai lawan,
Tiong San menarik tenaga sinkangnya, dan memperlemah pukulannya. Siong
Chen waspada, sedetik setelah pukulan Tiong San mengenai dadanya, secepat
kilat ia balas memukul dengan sungguh-sungguh. Akibatnya Tiong San
terdorong tiga langkah. Meski pukulan itu tak terlalu berat, tapi tetap saja menimbulkan luka dalam. Siong Chen segera berseru:
"San-te, apa kau tak apa-apa?" secepatnya ia merangkul Tiong San dan
langsung memapahnya masuk ke dalam. Dengan semedi sebentar dan
perawatan yang dilakukan oleh Sam Pangcu, maka sekejap, Tiong San sudah
pulih. Bab 2. Huru-hara di Yu Liang Pay
Persekongkolan untuk meracuni Tiong San
Pada malamnya kembali perjamuan diadakan. Pesta malam diadakan di taman.
Berbagai lampion digantungkan di tiang-tiang, sebagian diletakkan di dekat
bunga-bunga yang bermekaran. Para tamu duduk melingkar pada meja-meja
yang disediakan. Ditengah-tengahnya dipasang lilin yang besar. Masing-masing meja di si empat sampai lima kursi. Makanan dan arak dihidangkan. Toa pangcu duduk semeja dengan Bu Sian taisu, dan pimpinan Kong Thong Pay.
Setelah semua tamu duduk, sambil memegang cawan arak Liong Ping berpidato:
"Cuwi sekalian, pada malam yang spesial ini, kami akan persembahkan berbagai hidangan dan hiburan, marilah kita nikmati keindahan musim semi di temaraman malam di taman cemara biru ini. untuk itu, kami pertama-tama mari kita cicipi arak wangi yan-tai-jing dari Kwei Yang, mari Bersulang!"
Para tamu mengikuti bersulang, dan dilanjutkan dengan makan minum
menikmati hiburan yang ada. Tiong San dan istrinya semeja dengan tamu-tamu
muda yang berpasangan. Mereka semua makan minum ditingkahi lantunan
musik yang meriah. Makin malam makin ramai, apalagi sebagian ada yang mulai
mabuk, maka omongan yang diucapkan juga makin ngelantur. Saat malam
makin larut dan pesta semakin meriah, sekonyong-konyong terdengar jeritan
seorang wanita. Semua tamu mengarahkan pandangan ke Liem Bi Lian, istri
Tiong San yang sedang memegangi suaminya.
"Dia keracunan!" tamu yang di dekat Tiong San berteriak. Tampak mulut Tiong
San berbusa namun tubuhnya kaku. Dengan sigap Ji pangcu yang ada di
dekatnya menyambar tubuh Tiong San dan dibopong masuk menuju ke kamar.
Seorang nenek dan Bu Sian taisu tergopoh-gopoh memasuki kamar.
"Saya bisa sedikit pengobatan, biar saya periksa" ujar biksu itu lembut. Namun ji pangcu menggeleng.
"Terlambat!"
Nenek yang berwajah bundar yang datang belakangan dengan berseru keras:
"Dia tertotok!" serunya sambil membuka punggung Tiong San.
"Ilmu totok delapan belas jari iblis!" hampir bersamaan biksu Siauw-lim dan
nenek berwajah bundar itu berteriak mengagetkan.
"Omitohud.....takdir tuhan tak bisa diubah! Semoga Budha memberkati!
Sungguh aneh, ilmu ini sudah lama tidak muncul di Tionggoan, hari ini
kemunculannya pasti akan menimbulkan kehbohan-kehebohan"
Secepat kilat nenek itu berkelebat ke taman tempat pesta. Ketika ia datang
suasana sudah berubah ramai. Semua tamu berdiri dengan sikap waspada.
Liong Ping berusaha menenangkan suasana, namun teriakan nenek yang baru
datang membuyarkan usaha Liong Ping.
"Ada pengkhianat datang! Hai orang-orang tengkorak hitam majulah! Lawanlah
aku secara terang-terangan! Huh beraninya hanya membokong, pengecut!"
Teriakan yang disertai khikang bagai guntur itu membuat semua orang terpana.
Para tamu menjadi ribut, masing-masing bergabung ke kelompoknya, pedang
dan semua senjata yang tersusun di rak-rak sudah berpindah digenggaman
secara erat di tangan masing-masing, semua mata memandang awas kekanankekiri. Tiba-tiba terdengar gema jawaban dari kejauhan:
"He he heh.......Tung Nio. Hari ini kami cukup puas menjadi saksi maut satu
nyawa orang Dalu. Masih untung aku tidak membunuh dia. Aku hanya
membantu saja, niatan jahat ada pada anak buahmu sendiri. Kalau kamu tidak
puas datang saja sendiri ke bukit tengkorak salju!"
Dengan berkelebat secepat hantu Tung Nio, melompat tinggi dan menghilang
dibalik tembok pagar. Teriakan Liong Ping dari bawah tak dihiraukannya. Tubuh para tamu tergetar melihat pemandangan yang sehebat itu, hampir tak pernah
mimpi mereka melihat pameran ginkang yang sedemikian sempurna. Tembok
setinggi dua tombak dengan enteng dilompati begitu saja. Bu Sian taisu dari
Siauw-lim juga diam-diam mengakui ilmunya masih belum dapat menandingi
nenek itu. "Istrikuuu....... hati-hatilah menghadapi musuh berilmu tinggi!"
Suasana gempar, dan di sela-selanya sekonyong-konyong terdengar teriakan
seorang pemuda.
Ada pengkhianat di dalam rumah kita. Tangkap seluruh pelayan dapur!" seru
Siong Chen secara mendadak, sepertinya ia melihat bahwa besar kemungkinan
pelayan terlibat.
Seorang pelayan yang beberapa waktu sebelumnya menyajikan minuman ke
Tiong San terlihat kaget, dan tak menduga akan menghadapi suasana seperti
itu. Tidak sempat berpikir banyak, ia hanya berkeinginan lolos secepatnya.
Pelayan itu cepat berkelebat lari ke bagian belakang. Tidak berlebihan dugaan Siong Chen, pelayan yang biasanya berjalan lemah gemulai sekonyong-konyong
bisa melompat gesit. Namun untung, usaha pelayan untuk melarikan diri
diketahui Siong Chen, dan ketika sampai di lorong menuju pintu belakang Siong Chen berhasil mencegat pelayan itu.
"Mau minggat kemana kau pengkhianat!" jengek Siong Chen sambil menusukkan
pedangnya. "Trangg!" Terdengar dentingan pedang beradu belati yang memekakkan ketika pelayan itu menangkis serangan Siong Chen. Tangannya
tergetar hebat dan kakinya terdorong dua langkah. Tak henti disitu saja, Siong Chen segera melancarkan serangan-serangan susulan yang mengarah pada titik-titik yang mematikan. Pelayan itu terus terdesak mundur hanya mampu
menangkis, tanpa mampu membalas sedikitpun, tangannya tergetar sampai linu.
Karena terus mundur tak terasa posisi pelayan itu menghadapi lampu
penerangan, sehingga terlihat jelaslah mukanya. Demi melihat secara pasti
wajah itu timbul senyum mengejek di wajah Siong Chen. Pada jurus ke enam,
dengan gerakan tipu pelangi menyongsong rembulan Siong Chen memutar
pedangnya seakan-akan mengarah ke jantung, ketika pelayan itu berusaha
menangkis secepat kilat Siong Chen memindah pedangnya ke tangan kiri,
sedangkan tangan kanan dikibaskan untuk menyampok belatinya dan
"Cratt!...ai i h!" pelayan yang bernama Cu Hoa Naynay itu mengeluarkan jerit pendek ketika pedang di tangan kiri Siong Chen berhasil menusuk mata
kanannya. Dengan mata berlumuran darah dia masih terus berusaha bertahan
Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sambil mundur. Sadar bahwa dirinya sudah terkurung, dia nekad untuk mengadu
jiwa. Serangan-serangannya mengarah ke titik-titik maut tanpa mempedulikan
keselamatan dirinya. Sementara itu mendengar jeritan seorang wanita para
murid tingkat dua cepat berlari ke arah lorong, menyongsong pelayan itu dari belakang. Tak disangka justru kedatangan para murid ini mempermudah jalan
dia meloloskan diri. Dengan berpoksai dia menjadikan bahu-bahu mereka
pijakan, meski beberapa tusukan mengenai kakinya, namun untuk sementara ia
bisa lolos. Ketika melesat ke pinggir bangunan, demi melihat jendela masih
terbuka, cepat pelayan melompat masuk ke dalam. Kamar yang dimasukinya
ternyata kamar dayang pengasuh anak. Seorang dayang hanya mempu menjerit
kecil ketika tanpa aba-aba Cu Hoa menebaskan belati ke lehernya. Demi melihat dayang pengasuh anak, terbersit gagasan licik di pikiran Cu Hoa.
Sementara itu gerakan Siong Chen terhambat kehadiran murid-murid tingkat
dua yang baru datang. "Minggir...minggir, biarkan aku dulu yang masuk!" Ketika Siong Chen berhasil masuk dia hanya sempat melihat tubuh dayang roboh
bersimbah darah, sedangkan Cu Hoa yang dikejar sudah mendobrak pintu
kamar. Di luar kamar terdapat taman bermain, tempat para dayang mengasuh
bayi dan anak-anak. Meskipun sudah malam, karena suasana pesta anak-anak
masih bermain di luar kamar. Demi melihat sasaran di depan mata, secepat kilat Cu Hoa menyambar salah seorang bayi berusia satu tahunan, dan menempelkan
belatinya ke lehernya, sambil berteriak ke Siong Chen,
"Berhenti! Jangan halangi aku, atau anakmu menyusul mampus dayangnya!"
Sesaat Siong Chen memandang tertegun mendengar teriakan Cu Hoa. Dalam
keadaan yang ramang-remang sulit sekali memastikan siapa bayi yang direnggut Cu Hoa.
"Hei lepaskan dia!" teriak Siong Chen sambil matanya jelalatan mencari-cari bayi yang lain dengan harapan anak yang dipondongan Cu Hoa bukan anaknya.
Namun secepat kilat suasana di taman itu telah berubah onar, karena para
dayang lari serabutan, ditingkahi jeritan dan tangis anak-anak.
Kekagetan Siong Chen yang tak menduga Cu Hoa punya jalan pikiran gila,
membuat Cu Hoa lebih leluasa meloloskan diri. Ketika bisa keluar dari bangunan, meskipun dicegat beberapa murid yang bahkan dipimpin langsung oleh Ji
Pangcu Lauw Kian Bu, Cu Hoa berhasil menggertak,
"Jangan halangi aku, atau bayi Siong Chen mampus!"
Siasat Cu Hoa berhasil, para pencegatnya sejenak terperangah tak mampu
bertindak apa-apa. Waktu yang meski singkat tapi cukup berharga bagi Cu Hoa
untuk meloloskan diri. Setelah keluar dari kawasan Yu Liang Pai, Cu Hoa tahu kemana dia harus lari. Seperti sudah merencanakan jalan lolos, Cu Hoa berlari menyusuri jalan yang baru bukan jalan yang umum dipakai. Meski dikejar-kejar, karena jalanan menurun dan banyak pepohonan Cu Hoa selalu lolos dari
serangan gelap dari belakang, baik pukulan maupun sambitan senjata rahasia.
Jalanan menurun itu memiliki satu tujuan yang sudah dipersiapkan Cu Hoa.
Sesampainya di tepi sungai, sungguh mujur nasib Cu Hoa karena ada satu
perahu yang menganggur. Segera ia melompat ke dalam dan mendayungnya
cepat. Orang-orang yang mengejar Cu Hoa berhenti di tepi sungai. Ji Pangcu Kian Bu
segera membentak: "Hayo engkau lekas balik kemari, kalau tidak, segera
kucabut nyawamu!"
Sudah tentu Cu Hoa tak gubris pada teriakannya, ia mendayung lebih keras
malah. Kian Bu menjadi murka, cepat ia jemput sepotong batu terus menimpuk,
menyusul tangan yang lain sambar sepotong batu lagi dan segera disambitkan
pula. Cu Hoa sendiripun sedang curahkan antero perhatiannya terhadap batu
sambitan pangcu itu sambil tetap mendayung se-kuat2nya. Batu pertama
dengan mudah dapat dihindarkannya dengan merendahkan tubuh, tapi batu
kedua menyambar datang dengan sangat rendah, serendah badan perahunya,
terpaksa Cu Hoa merebahkan diri kelantai perahu hingga batu itu persis
menyambar lewat di atas telinganya, selisihnya cuma beberapa senti saja. Dan baru saja ia berbangkit, se-konyong2 batu lain menyambar tiba pula, "plok".
Dengan tepat batu itu kena dihaluan perahu hingga kayu bubuk bertebaran,
papan haluan perahu telah sempal sebagian.
Tapi kini jaraknya sudah makin jauh, berturut2 sambitan batu Ji Pangcu di kuti oleh murid-murid yang mengikutinya itu. Karena cuaca gelap maka sambilatn itu dilakukan secara serabutan tak tentu arah, hanya suara tangis bayi saja yang dijadikan patokan. Meski satu dua tepat mengenai sasarannya, namun cuma
menghancurkan sedikit papan dan dinding perahu saja, karena jarak sudah
mulai jauh. Aliran sungai Wu di bagian itu cukup deras karena berada di
perbukitan, dan setelah kelokan amanlah Cu Hoa dari kejaran.
Keruan rombongan pengejar yang dipimpin oleh Ji Pangcu bertambah gopoh
ingin lekas2 dapat membekuk Cu Hoa. Ji Pangcu semakin mendongkol ketika
melihat perempuan itu dapat menghindarkan setiap timpukannya. Ji Pangcu
masih tidak rela melepaskan Cu Hoa begitu saja, ia harus mengejar menyusur
tepi sungai. Begitu cepat larinya hingga sampan Cu Hoa kalah cepat
meluncurnya. Cuma sayang rombongan mengejar sisi timur, sebaliknya Cu Hoa
mendayung perahunya menyorong ketepi barat. Meski kejaran mereka dapat
melampaui perahunya Cu Hoa, tapi jaraknya juga bertambah jauh.
Biasanya lalu-lintas perahu dan sampan disungai Wu itu sangat banyak, untung Cu Hoa karena sepanjang beberapa li dipantai timur sana tiada sebuah
perahupun yang berlabuh di sana. Maka selama itu para pengejar takdapat
berbuat apa2. Setelah mentari diufuk mulai menunjukkan semburat cahayanya
sebagai pertanda fajar telah menyingsing. mereka baru kembali ke markas.
Begitu cepat segala sesuatu berubah, baru saja sore itu mereka bersuka ria
dalam pesta, namun tengah malam langsung berubah menjadi duka. tetamu
yang sebelumnya menyampaikan ucapan selamat juga berubah menjadi ucapan
bela sungkawa. Bukankah benar kata orang-orang bijak bahwa dunia itu tempat
yang fana" Lantas mau menunggu apa kita kalau tidak segera berbuat kebajikan sebanyak-banyaknya"
Baik Ji pangcu maupun Tung Nio kembali dengan tangan hampa. Para tamupun
tak beranjak pamit dari Yu-liang pay. Mereka masih terus mengikuti peristiwa demi peristiwa yang cukup mendebarkan, peristiwa yang memang menjadi
kejaran kaum kang-ouw. Berita yang mereka peroleh akan menjadi bahan rapat
yang sangat berharga bagi tiap-tiap perkumpulan mereka.
Siapakah sebenarnya Cu Hoa" Setelah jauh dari pengejarnya, perlahan-lahan Cu Hoa membalut matanya dan kakinya. Baru sekarang terasa sakit di sekujur
tubuhnya, terutama di mata kanannya. Tapi sakit di tubuhnya masih tak
seberapa dibandingkan dengan sakit di hatinya akibat dikhianati oleh Siong
Chen. Empat tahun yang silam Cu Hoa disusupkan oleh Hek In Pang ke Yu-liang-pay.
Cita-citanya adalah mempelajari ilmu-ilmu Yu-liang-pay, terutama ilmu
pedangnya yang sangat terkenal. Ia diterima menjadi murid tingkat tiga, setelah mengorbankan tubuhnya kepada Kwan Liong Ping, ketua pertama yang
pemogoran itu. Dia sama sekali tak mengira Yu-liang-pay yang di seluruh
pelosok kangouw terkenal sebagai partai aliran putih memiliki pemimpin mata
keranjang yang doyan perempuan. Tak heran kalau semenjak Liong Ping
memimpin partai ini menerima murid-murid perempuan. Tujuan utama
kedatangan Cu Hoa adalah mencuri ilmu pedang Yu Liang kiamhoat. Untuk
menjalankan siasatnya Cu Hoa mencoba mendekati dua orang muda calon
pengganti Liong Ping. Dari perkenalan dan pengamatan, Cu Hoa tertarik pada
Tiong San yang memiliki wajah khas, kulit putih dan agak pendiam. Tiong san
berumur tiga puluh tahun lebih waktu itu. Meski agak pendek namun tubuhnya
kekar, sehingga mengesankan sebagai lelaki yang jantan. Namun berbeda
dengan ayahnya, Tiong San bukan tipe lelaki hidung belang. Ia termasuk lelaki yang cinta pada keluarganya. Karena kepribadiannya yang penuh pesona, Cu
Hoa justru makin tergila-gila. Di saat sendirian seringkali ia termenung
memikirkan Tiong San. Siong Chen selalu mengamati perilaku Cu Hoa. Dia tahu
Cu Hoa bukan gadis baik-baik, namun kecantikan dan kemontokan tubuhnya
membuat Siong Chen mengilar. Meskipun sudah punya tiga istri Siong Chen tak
pernah puas memenuhi nafsu syahwatnya. Sungguh aneh memang, ayah Siong
Chen, yaitu Sam Pangcu Siong Hok Cu terkenal sebagai lelaki yang alim, namun anaknya justru menurun tabiat dari Toa Pangcu Liong Ping. Namun kalau
ditelisik lebih dalam, hal ini sangatlah beralasan. Siong Chen selain belajar dari ayahnya juga berguru pada Liong Ping, dan perilaku Liong Ping lebih banyak
mempengaruhinya. Sebaliknya Tiong San, meskipun belajar pada Liong Ping, dia tidak cocok pada tabiat ayahnya. Oleh karena itulah maka ia lebih banyak
menghabiskan waktunya berguru pada Ji Pangcu Lauw Kian Bu.
Melihat kesempatan yang ada mulailah Siong Chen mendekati Cu Hoa. Karena
pada dasarnya bukan gadis baik-baik, rayuan Siong Chen ditanggapi oleh Cu
Hoa, bak gayung bersambut. Dengan menjanjikan akan mengajarkan ilmu
pedang Yu Liang Kiamhoat, Siong Chen benar-benar dapat memenuhi hasratnya.
Selama beberapa bulan mereka menjalin hubungan, selama itu Siong Chen
mengajarkan ilmu pedang kepada Cu Hoa. Biasanya setelah Siong Chen pergi,
Cu Hoa menuliskan kembali gerakan-gerakan ilmu pedang yang dipelajarinya.
Karena hubungan mulai dekat, pelan-pelan Cu Hoa tahu kalau Siong Chen ada
perasaan iri kepada Tiong San. Siong Chen merasa iri dengan bakat Tiong San
yang cepat mempelajari ilmu silat. Selain itu, dia juga khawatir jika Liong Ping berumur panjang dan setelah ia meninggal kelak, Ji Pangcu yang berhak
menggantikan posisinya sudah merasa tua, maka bisa saja Ji Pangcu memilih
Tiong San, mengingat Ji Pangcu tidak menikah dan sangat sayang pada Tiong
San. Di suatu malam, ketika Siong Chen menginab di kamarnya, Cu Hoa sengaja
memancingnya dan mulailah Siong Chen mengungkapkan kebenciannya Karena
perbincangan seperti inilah Cu Hoa menyampaikan niatnya "Chen ko, aku tahu
kau tidak suka pada Tiong San, maka bagaimakah pendapatmu kalau kita
bekerja sama untuk menyingkirkannya?"
"Hoa moy, bagaimanakah ide kamu?"
"Aku ingin menghancurkan keluarga Tiong San"
"Dan bagaimanakah caranya?"
"Tiong San sangat mencintai keluarganya. Kita bunuh istrinya, pasti dia akan kehilangan dan hancurlah hidupnya!"
"Ide gila! Bagaimana caranya?"
"Dekatkan telingamu Chen ko!"
Berbisik-bisiklah dua orang itu merencakan suatu kejahatan. Diluar penglihatan Cu Hoa, Siong Chen menyungging senyuman. Senyum yang mengandung
ejekan. Cu Hoa masih ingat seluruh pembicaraan di malam itu. Mereka
bersepakat untuk meracuni istri Tiong San. Untuk menyelamurkan siasatnya
sengaja mereka menunggu acara ulang tahun Yu-liang-pay, sehingga kecurigaan
bisa ditimpakan ke pihak tamu. Namun siapa kira Siong Chen berkhianat.
"Hmmm.... sudah jelas bubuk yang diberikan Siong Chen dimasukkan ke
makanan yang dihantarkan ke Liem Bi Lian, dan dengan mata kepala sendiri dia lihat Liem Bi Lian menyantap daharan yang diserahkan, lalu mengapa yang jadi korban adalah Tiong San" Ah betapa bodohnya aku! Pasti bubuk yang aku bawa
bukan bubuk racun tapi bubuk penawar, pantas saja Siong Chen sengaja
mengajak Tiong San bertanding, agar tubuhnya lemah sehingga pengaruh
racunnya dapat mematikan. Sungguh siasat yang sangat culas, awas Siong
Chen...tunggu saja pembalasanku kelak......
Setelah lebih dari seperempat malam, lamunan Cu Hoa terputus oleh suara
gemuruh air di kejauhan. Tergagap-gagap Cu Hoa memutar balik haluan demi
menyadari di depannya ada air terjun. Gerakannya membuat tangisan bayi yang
dipangkunya. Ia meletakkan bayi ke buritan dan mengamati wajah bayi dengan
seksama. " ohhh ternyata dia bukan anak Siong Chen, dia...dia...- tak terasa Cu Hoa terkejut seperti disengat kalajengking demi menyadari bahwa bayi yang
diculik adalah anak Tiong San. Sekejap Cu Hoa diam mematung. Timbul gejolak
di hatinya, mau diapakan anak itu. "Apa sebaiknya aku ceburkan aja di sungai ini, biar kelak tidak menjadi duri dalam daging - namun buru-buru Cu Hoa
tersenyum. " aku akan titipkan dulu pada orang di kampung depan, kelak aku
akan ambil kembali untuk mendidiknya. Keterkejutan dan kegalauan membuat
Cu Hoa tak sadar makin dalam masuk ke arus sungai yang semain melaju.
Ketika sudah sadarpun terlambat, meski sekuat tenaga berusaha mengayuh
dayung kembali ke hulu, apa daya kekuatan alam tak mampu di lawannya.
"Aaaa..................................." Dengan lengkingan yang tinggi Cu Hoa, sampan dan bayi yang diculiknya terjatuh ke dasar air terseret arus dan terjun ke dasar yang sangat dalam. Bagi orang biasa, jatuh ke jurang seperti itu tentu kecil kemungkinan masih hidup, namun hidup mati semua orang ada di tangan
Tuhan. Kalau Tuhan belum menghendaki, meskipun menghadapi perang dan
diserang ratusan senjata mudah saja seseorang lolos dari kematian. Sebaliknya, meskipun bersembunyi di dalam benteng yang kokoh, kalau kematian sudah
datang, tak seorangpun bisa menolaknya, sekalipun ia adalah kaisar. Cu Hoa
jatuh dan terseret air ratusan li jauhnya, namun beruntung ia selamat, meski sekujur tubuhnya penuh benjolan luka luar. Dengan tertatih-tatih ia berhasil keluar sungai, dan selama satu bulan bersembunyi di suatu goa dalam hutan
yang lebat. Adapun bayi yang diculik Cu Hoa beruntung hanya terseret satu dua li dan
tersangkut pada jala yang dipasang nelayan sungai. Ketika pada pagi harinya
nelayan setengah baya hendak mengambil jalanya, betapa terkejutnya dan
sekaligus bersyukur karena ia sendiri sudah belasan tahun menikah tak
dikaruniai anak. Maka ia kemudian mengangkat bayi yang kemudian diberi nama
Tiong Gi. Setelah pulih dari luka, Cu Hoa berkelana menyusuri sungai dan mencari bayi
yang dulu diculiknya. Di desa-desa sekitar air terjun itu selama berbulan-bulan ia mencuri dengan informasi tentang bayi yang hanyut di sungai. Usahanya tak sia-sia, dalam tempo setengah tahun ia sudah menemukan titik terang. Namun Cu
Hoa, cukup cerdik ia tidak mengambil tindakan saat itu, ia dengan sabar
menunggu empat tahun lagi.
Kita tinggalkan dulu Cu Hoa dan Tiong Gi, marilah kita lihat situasi di tempat lain. Jauh di sebelah barat, di pegunungan yang sangat tinggi. Pegunungan yang puncak-puncaknya berselimut salju abadi dan jarang sekali dikunjungi manusia.
Bahkan ada anggapan pegunungan tersebut merupakan tempat bersemayam
para dewa. Pegunungan yang memiliki luas hampir menyamai Borneo. Inilah
tempat yang dikenal dengan nama Kun Lun San.
Di salah satu dataran rendah di pegunungan itu, berdiri sekumpulun bangunan
kota berarsitektur tibet. Meskipun di sebut dataran rendah, karena tempat itu terletak di kaki-kaki pegunungan, namun ketinggiannya tidak kurang dari 3500
m. Di tempat setinggi itu, sejauh mata memandang hanya bisa menemukan
padang rumput, semak dan hutan yang didominasi oleh pinus. Tak ada lagi jenis pepohonan yang mampu tumbuh di ketinggian itu. Di tempat yang sangat sepi
dan jarang dikunjungi manusia ini berdiri kokoh sebuah partai yang tidak hanya terkenal di bagian barat, namun juga sangat dikenal di Tiong goan: Kun Lun Pai.
Pada saat itu di di bangsal utama tempat biasa para tosu belajar agama. Ketua Kun-lun-pay Giok Yang Cinjin, tampak sedang memberi pelajaran To bagi murid-muridnya. Tosu yang berwajah teduh ini berumur hampir sembilan puluh tahun.
Kumis dan jenggotnya yang sudah memutih dibiarkan panjang, sedangkan
rambutnya disanggul ke atas khas sanggulan agama To.
Selanjutnya dengan suara penuh kesabaran, Giok Yang Cinjin memberi
wejangan kepada murid-murid Kun-lun-pai, menegaskan bahwa sebagai
penganut To dan murid Kun-lun-pai yang gagah perkasa dan bijaksana mereka
harus menyerahkan segala peristiwa kepada kekuasaan alam berdasarkan
kewajaran. Hanya bergerak untuk menghadapi dan menanggulangi keadaan
sebagai akibat. Jangan sekali-kali menjadi sebab timbulnya sesuatu ketegangan.
Hal ini hanya mudah dicapai dengan sikap diam dan tidak mencampuri urusan
yang tidak menyangkut diri pribadi.
Suasana belajar yang penuh kedamaian ini pecah ketika tiba-tiba serombongan
tosu yang dipimpin Ki Liang tosu masuk. Dilihat dari pakaiannya yang berdebu dan wajahnya yang kusut, tampat mereka baru datang dari tempat yang jauh.
Dan yang membuat suasana menjadi gaduh adalah sebuah tandu yang diusung
rombongan. Begitu datang ketua rombongan langsung buka tutup tandu. Semua
yang melihat terperanjat, di dalam tandu itu Bhok Kian tosu tampak sedang
terkena demam tinggi.
"Suhu, taecu Ki Liang, mohon perkenan untuk melaporkan hasil kunjungan ke
Yu-liang-pay!"
"Ahhh"Ki Liang kamu tenanglah, biar pinto berusaha untuk mengobati Bhok
Kian dulu" ucap Giok Yang tosu dengan tenang meskipun wajahnya berubah
pucat ketika menyambut kedatangan muridnya di tandu.
Selanjutnya Giok Yang menotok jalan darah sana-sini, dan menyalurkan tenaga
sinkangnya. Wajah tosu yang biasanya tenang ini dibuat berkerut-kerut tanda
ada keganjilan dalam peristiwa yang dihadapinya.
"Lukanya tidak berbahaya, tapi dia perlu istirahat tiga bulan untuk memulihkan kesehatannya. Siapakah yang melukainya dengan tusukan beracun ini Ki Liang?"
Selanjutnya Ki Liang menceritakan pengalamannya di Yu-liang-pay. Sebagai
murid langsung ketua Kun Lun, Ki Liang sangat dipercaya untuk menghadapi
urusan luar Kun Lun. Cerita yang disampaikan Ki Liang membuat semua murid
terperanjat. Sulit sekali dipercaya, murid ketua yang memiliki kelihaian sangat tinggi, bahkan tidak selisih jauh dari suhengnya yang calon ketua, dapat
dikalahkan oleh murid Yu Liang yang barusia tak lebih dari dua puluh lima.
"Hmmm.....sungguh aneh, sejak kapan Yu-liang-pay menggunakan racun pada
senjatanya," sungut ketua Kun-lun-pay sambil mengelus-elus jenggotnya.
Bhok Kian yang baru saja baikan, segera menjawab, "Suhu, banyak sekali
keganjilan yang taecu temui di sana, kita harus membalaskan sakit hati ini dan yang lebih penting kita musti menyelidikinya. Suhu perkenankanlah taecu
membawa beberapa susiok untuk kembali ke sana."
"Hmmm...tidak baik....tidak baik......, kau harus istirahat dulu Bhok Kian. Lagi pula tidak baik memendam rasa dendam. Berita ini justru harus menjadi cambuk bagi kita untuk lebih giat belajar dan berlatih. Ilmu Kun Lun tidak kalah dengan partai manapun, asal kita bersungguh-sungguh mempelajarinya."
"Kalau suhu tidak mengijinkan aku mengajak susiok, aku akan menemui
pamanku, Kun Lun sam lojin."
Giok Yang tosu, Ki Liang tosu, tosu-tosu yang lain terkejut mendengar ucapan Bhok Kian.
"Ah, Bhok Kian sungguh hatimu telah dibakar oleh kesumat. Semoga Thian
selalu memberi petunjuk padamu. Aku tidak bisa melarangmu menemui
pamanmu, dan Kun-lun-pay tidak ikut campur urusan kalian."
Pertemuan itu bubar. Namun tanpa sepengetahuan mereka semua ada
seseorang yang menguping seluruh pembicaraan yang terjadi. Semua wejangan
dan percakapan yang terjadi di ruangan belajar yang luas itu didengarkan penuh perhatian oleh seorang anak laki-laki yang sedang bekerja membersihkan
jendela-jendela dan pintu-pintu dengan kain kuning.
Bab 3. Chien Ce si putra salju
Anak laki-laki ini berusia kurang lebih enam tahun, berwajah tampan dan
berpakaian sederhana, dari kain katun kasar. Yang menarik pada anak ini adalah sepasang matanya, karena pandang matanya amat tajam, dengan biji mata
yang terang jarang bergerak, membayangkan pikiran yang dalam, pandangan
luas dan penuh pengertian.
Bocah yang menjadi kacung (pelayan) di kuil besar Kun-lun-pai ini adalah Shu Chien Ce, dan sudah tiga tahun dia berada di kuil itu. Dia adalah seorang anak yatim piatu, karena keluarganya, ayah-bundanya dan saudara-saudaranya,
semua dikabarkan telah tewas dalam perjalanan pergi ke luar daerah. Ki Liang tosu menemukannya tergeletak pingsan di dekat gelimangan mayat pada usia
dua tahunan. Chien Ce sendiri beruntung bisa sembunyi pada saat kejadian.
Tosu ini sedang melakukan perjalanan merantau dalam melaksanakan tugasnya
sebagai seorang pendekar dan penyebar Agama To ke bagian utara Tai Swat
shan. Tai Swat shan merupakan dataran tinggi di sebelah timur pegunungan Kun Lun.
Ki Liang tosu sendiri tidak melihat kejadiannya. Hanya satu tanda yang bisa
menjadi petunjuk yang kemudian disimpan oleh tosu ini, yaitu keping besi
berwarna hitam berbentuk seperti tengkorak manusia. Kemudian oleh Ki Liang
tosu yang merasa kasihan melihat Chien Ce, anak itu diajak ke Kun-lun-san dan disitu ia bekerja sebagai seorang kacung. Sebetulnya, Chien Ce hendak dijadikan murid Kun-lun-pai, akan tetapi bocah ini masih terlalu kecil untuk menjadi
tokong (calon tosu). Pada waktu itu, murid Kun-lun-pai haruslah seorang calon yang memegang keras peraturan, yaitu setiap orang murid Kun-lun-pai haruslah seorang calon tosu.
Karena sudah tidak mempunyai keluarga maka ia bekerja sebagai seorang
kacung. Dia rajin sekali, semua pekerjaan dia pegang, apa saja yang diperlukan, tanpa diperintah dia kerjakan. Mengisi tempat air, membersihkan kuil, menyapu lantai dan kebun, merawat bunga, bahkan menggembala kerbau milik kuil yang
dipergunakn untuk meluku sawah, semua dia kerjakan dengan tekun dan rajin.
Di malam hari, karena para tosu yang sayang kepadanya, dia boleh ikut belajar baca tulis yang diperuntukkan bagi tokong. Ia juga di jinkan memasuki kamar
perpustakaan dan membaca kitab-kitab. Semenjak kecil, saat pulang dari
perjalanan jauh, Ki Liang pasti mengajarinya. sungguh hubungan merka
bagaikan anak dan ayah, bahkan bisa lebih dekat lagi seperti sahabat. Kitabkitab tentang filsafat kebatinan, pelajaran-pelajaran Tao, juga kitab-kitab
pelajaran dasar ilmu silat Kun-lun, semua dia baca di usia yang sangat dini enam tahun. Tentu saja karena tidak ada gurunya, dia hanya bisa membaca tanpa
dapat menangkap jelas inti sarinya.
Chien Ce sedang membersihkan daun-daun pintu dan jendela yang terkena debu
ketika rombongan Ki Liang tosu datang disongsong oleh Giok Yang Cinjin dan
anak muridnya yang berkumpul di ruangan belajar. Karena dia tidak diusir dan memang dia bekerja tanpa mengeluarkan suara, maka Chien Ce dapat melihat
Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan mendengar semua. Suasana di ruangan belajar itu amat hening dan para
murid mendengarkan wejangan guru mereka dengan penuh hormat dan
kesungguhan, membuat Chien Ce makin hati-hati agar tidak mengganggu,
namun dia kadang-kadang sampai lupa akan pekerjaannya karena mendengar
hal-hal yang amat menarik hatinya. Ia mendengarkan terus.
Chien Ce sudah lama ingin sekali jalan-jalan keluar kuil, apalagi Ki Liang tosu yang membawanya adalah tosu urusan luar, sehingga punya kebiasaaan jalan-jalan. Dan di waktu kembali dari perjalanan tosu itu selalu mempunyai banyak cerita untuknya. Maka demi mendengar tosu itu hendak menemui Kun Lun sam
lojin, tergerakkan Chien Ce untuk mengikutinya.
Sebulan setengah setelah peristiwa itu, Bhok Kian sudah sehat kembali,
meskipun wajahnya masih pucat. Pada pagi itu cuaca cukup hangat, karena
musim panas telah tiba. Setelah mandi Bhok Kian tampak berkemas hendak
berangkat. Chien Ce dari tadi sudah mengawasi Bhok Kian. Dan ketika tosu itu berangkat
iapun mengikutinya. Lewat sepeminuman teh, Bhok Kian sadar perjalanannya
di kuti, namun betapa kagetnya ia ketika sembunyi untuk coba menengok
ternyata yang mengikutinya adalah Chien Ce. Selama ini ia jarang mengamati
kacung kecil ini, maka bisa dibayangkan kekagetannya.
Betapa terperanjatnya Chien Ce ketika pundaknya ditepuk seseorang, ketika ia membalikkan badan, ia hanya bisa tersenyum malu.
"Kenapa engkau mengikutiku bocah, hei bukankah engkau kacung kecil yang
dibawa Ki Liang suheng?"
"Totiang, aku ingin jalan-jalan, kalau perjalananmu kali ini tidak jauh ajaklah aku. Aku berjanji tidak akan mengeluh dan memberatimu."
"Ehhh....kau ingin jalan-jalan", Hei tahukah kamu aku tidak hendak berpesiar ke taman binatang bicah, aku sedang melakukan tugas yang sangat penting!"
"Aku tidak peduli kemanapun totiang pergi, asal tidak jauh aku pasti tidak akan kecapaian."
Bhok Kian sebenarnya malas untuk mengajak anak itu, namun tak kuasa
menolak permintaannya, lagipula ia tidak sedang tergesa-gesa, dan
perjalanannya paling lama setengah hari.
"Baiklah kau boleh ikut, tapi harus berjanji ketika aku bertemu dengan orang lain, kau tidak boleh ikut berbicara."
"Baik totiang, aku berjanji."
Maka berangkatlah mereka menuju ke suatu puncak bukit di sebelah utara Kunlun-pay. Di sepanjang perjalanan Bhok Kian lebih terkesima lagi dengan
wawasan yang dimiliki oleh anak sekecil itu. Chien Ce berbicara banyak hal,
mulai dari barang permainan sampai karya sastera. Banyaknya puisi dan ujarujar kuno yang dihapal Chien Ce sungguh membuat Bhok Kian tidak menyesal
mengajak anak itu, meskipun dia tetap sok jual mahal. Lewat seperempat hari
tibalah mereka di sebuah pintu goa. Di depan pintu goa, Bhok Kian berseru:
"Samwi locianpwe, siauwte Bhok Kian mohon menghadap!"
Lama tak terdengar suara. Bhok Kian tosu sampai mengulang tiga kali, baru
kemudian muncul suara balasan yang sangat pelan:
"Kian-ji, ada maksud apa kau mengunjungi kami" Siapa yang kamu bawa?"
Bhok Kian tertegun, sikap Kun-lun sam-lojin tidak seperti biasanya. Biasanya sebelum sampai di goa, dari kejauhan Bhok Kian sudah melihat pamannya
menyambut di depan pintu goa.
"Siuwte membawa kacung Kun-lun-pay, ah dia ini masih anak kecil. Siauwte
punya urusan yang sangat penting."
Tiba-tiba seorang kakek sudah berdiri di depan pintu goa. Tubuh kakek ini kurus sekali, wajahnya tirus, mukanya cekung, bicaranya serak-serak basah.
"Masuklah kalian!"
Chien Ce tidak melihat kakek itu membuka mulut, tapi ada suara parau yang
tiba-tiba keluar. Sebelum menyadari kejadian selanjutnya, sekonyong-konyong ia merasakan ada tenaga tarikan yang sangat kuat. Chien Ce dan Bhok Kian
tersedot tenaga yang keluar dari tubuh kakek itu, dan tiba-tiba mereka sudah berada di suatu ruangan yang cukup terang. Di ruangan itu duduk dua orang
kakek yang bentuk tubuh dan penampilannya sangat aneh. Keduanya susah
ditaksir berapa umurnya. Yang pertama bertubuh pendek bulat seperti jai la hud, wajahnya selalu berseri, tangannya membawa kipas bulat, kepalanya pelontos
tanpa kumis maupun janggut, hanya cawat yang menutupi tubuhnya inilah
orang kedua dari Kun-lun sam-lojin. Yang kedua bertubuh tinggi, berkulit putih, rambut, alis, kumis maupun janggutnya dibiarkan panjang menjuntai, matanya
selalu mengatup, pakaiannya lengkap semodel dengan pakaian Bhok Kian tosu,
di tangan kanannya ia memegang sebatang tongkat bambu yang sudah tua.
Bhok Kian kemudian berlutut di hadapan tiga kakek tua ini.
"Taecu Bhok Kian mohon maaf mengganggu ketenangan sam-wi locianpwe,
terus terang saja ada taecu ingin memohon pertolongan, karena ada hal yang
sangat menganggu."
"Hal apakah itu Liang ji, katakanlah kepada kami!" tanya sam lojin menyelidik.
Selanjutnya Bhok Kian menceritakan dari mulai datangnya undangan dari Yuliang-pay, sampai dengan peristiwa yang terjadi di sana. Tak lupa keracunan
yang dialami juga turut disampaikan. Ketiga pertapa tua tersebut menyimak
cerita Bhok Kian dengan penuh perhatian. Bhok Kian mengakhiri cerita dengan
satu permintaan.
"Demikianlah yang terjadi, karenanya mohon kesediaan sam-wi locianpwe
membantu kami menyelidiki Yu-liang pay, rasanya ada yang nggak beres di
sana!" Beberapa saat suasana hening. Bergantian Chien Ce memandangi wajah ketiga
pertapa yang namanya menjulang tinggi lebih dari enam puluh tahun yang lalu.
Ketiga-tiganya memeramkan matanya, seperti berusaha mengingat-ingat
sesuatu. Tiba-tiba keheningan itu dipecahkan oleh suara lirih namun bening.
"Hmmm.....Yu-liang Kiamhoat baru diciptakan oleh Huang Shin ketika aku masih muda, mungkin sekitar sembilan puluh tahun lalu. Sebenarnya tidak ada sesuatu yang istimewa dari ilmu pedang ini, kecuali perkembangan jurus-jurusnya yang sangat banyak. Namun jika dibandingkan dengan Kun-lun Kiamhoat yang sangat
kuat dalam pertahanan dan penyerangan serta lebih murni. Sebenarnya Yu
Liang Kiamhoat masih belum bisa menandinginya. Aku agak heran kalah ilmu
pedang seperti itu bisa digabung dengan unsur magis. Hanya ada dua
kemungkinan. Pelakunya dibekingi oleh dukun atau pelakunya kesurupan." papar toa lojin sambil tetap memejamkan mata.
"Dukunnn.....wah kurang ajar sekali Yu-liang pay berani-beraninya sekarang
berkongsi dengan segala dukun."
"Ilmu sihir seperti itu hanya dimiliki oleh dua kelompok, himalaya atau india,"
ujar ji lojin. Bhok Kian, maupun Chien Ce mengikuti tutur kedua lojin itu dengan mulut
terbuka. Bhok Kian yang sudah belasan tahun terjun ke dunia persilatan masih merasa asing dengan segala macam sihir yang bisa menggerakkan orang lain.
Selama ini Bhok Kian hanya pernah berhadapan denga tukang sihir yang hanya
memengaruhi pikiran seseorang. Kekuatan seperti ini mudah dipunahkan jika
pihak yang diserang memiliki sinkang yang kuat. Di lain pihak, Chien Ce yang masih kanak-kanak tak bisa mencerna apa yang dibicarakan. Dia hanya tertarik membayangkan tempat-tempat yang jauh yang belum pernah dikunjunginya.
Sementara kedua orang tamunya masih melamun dengan pikiran masingmasing, sam lojin berujar.
"Begini saja, Bhok Kian, aku akan menemaniku kembali kesana, biar dibuktikan sendiri apa yang sebenarnya terjadi dan siapa dalang dibalik perubahan gaya
pedang Yi Liang Pay. Sekarang kalian kembalilah, sebulan lagi setelah
kesehatanmu benar-benar pulih aku tunggu kamu di lembah bunga mawar.
Bhok Kian dan Chien Ce membalikkan badan dan hendak meninggalkan ruang
itu. Namun belum ada tiga langkah, sekonyong-konyong Ji-lojin berseru,
"Tunggu!"
Bhok Kian dan Chien Ce berhenti dan membalikkan badan.
"Bhok Kian, apakah anak yang kau bawa ini murid Kun-lun?" tanya ji lojin penuh selidik.
"Emm...dia ini, dia belum diangkat sebagai murid Kun-lun, masih seorang
kacung. Mengapakah locianpwe menanyakan hal ini?"
Ji lojin bukannya menjawab pertanyaan Bhok Kian, dia justru mendekat ke Chien Ce, memegang pundak dan tangannya.
"Tulang bagus....tulang bagus......., toako bukankah cukup pantas kalau kita minta imbalan atas bantuan kita ke Bhok Kian dengan meminta anak ini jadi
pewaris ilmu kita, selama ini dia selalu jual mahal kalau ditawari oleh sam-te."
"Jite, kamu belum bertanya ke anak itu, apakah dia mau jadi murid kita?"
Chien Ce yang masih kanak-kanak cukup cerdas untuk mencerna pembicaraan
mereka. Namun dengan polos ia menjawab, "Mau..mau...tapi aku ingin belajar
sambil jalan-jalan ke kota atau ke India, aku mau beli permen, apa suhu bisa mengajak aku kesana?"
Segera ji-lojin berujar sambil melirik Bhok Kian "Nahh...anak ini ternyata berotak lebih encer dari majikannya, bukan begitu sam-te?"
Sam-lojin yang diajak bicara ji lojin memandang tajam keponakannya. Bhok Kian yang jadi pusat perhatian hanya tersenyum hambar. Beberapa kali dia memang
pernah diminta pamannya untuk mewarisi kepandian Kun-lun-sam-lojin. Namun
Bhok Kian punya pandangan lain, ia sudah merasa nyaman menjadi tosu di Kunlun-pay. Dan Kun-lun-pay punya peraturan ketat yang melarang murid Kun-lunpay mempelajari ilmu dari sumber lain. Sebagai murid yang bercita-cita tinggi ingin menjadi yang terbaik di Kun-lun-pay, Bhok Kian tentu saja menolak segala tawaran dari "sumber lain". untuk melepas rasa tidak enaknya maka dengan
muka yang diramah-ramahkan ia mengucapkan selamat ke Chien Ce, "Kionghi
Ce-ji......engkau kini murid tiga suhu yang paling sakti di kolong langit".
"Siauwte mengucapkan terima kasih kepada sam-wi locianpwe, namun demikian
saya harus melapor dulu ke pimpinan di Kun Lun, supaya hubungan kita tetap
baik. Sebulan lagi biar siauwte datang kembali kesini mengantar anak ini dan menjemput sam-lojin. Nah, kami mohon diri" Tosu itu kemudian mengandeng tangan Chien Ce untuk kembali ke Kun-lun-pay.
Sebulan kemudian Bhok Kian tosu kembali ke goa itu mengantar Chien Ce dan
mengajak sam lojin yang juga pamanya ke Yu-liang-pay. Mulai saat ini Chien Ce belajar dengan tekun dibawah bimbingan toa-lojin dan ji-lojin. Berbagai ilmu silat tingkat tinggi dipelajarinya dengan kesungguhan.
Kita tinggalkan dulu Chien Ce yang sedang belajar di goa di bukit sebelah utara Kun-lun-pay, marilah kita ikuti petualangan Bhok Kian dan sam-lojin di Yu-liang-pay.
Bhok Kian dan sam-lojin melakukan perjalanan cepat ke pegunungan Fan Cing
san tempat Yu-liang-pay. Pagi-pagi ketika mereka tiba di pintu gerbang, mereka disambut penjaga dengan wajah yang galak dan tegang. Dua orang penjaga itu
begitu melihat dua orang tamu yang berkunjung bertampang orang persilatan,
langsung mencabut pedang, dan dengan kerennya mereka membentak; "Siapa
kalian dan ada urusan apa datang ke sini!"
Sam-lojin yang banyak pengalaman menggoda, langsung menjawab; "Hei kami
ini tukang sulap yang diundang untuk menghibur majikan kalian, maka tidak
lekas laporkan majikan tunggu apa lagi."
Tiba-tiba pedang di tangan penjaga kedua tersedot oleh tenaga yang
tersembunyi kemudia bergerak sendiri hendak menusuk penjaga pertama yang
bicara. Bak dipatuk ular, dalam kekagetan penjaga pertama tadi mundur hingga tubuhnya membentur pintu. Temannya hanya mampu menonton sambil
mulutnya mangap.
Mengetahui bahwa yang datang adalah lawan yang berkepandaian. Kedua
penjaga hendak membunyikan kentongan. Tapi terlambat usaha mereka
ternyata diketahui oleh dua orang tamu, sehingga dengan mudah kentongan
direbut. Namun keributan itu tidak berlangsung lama, karena Bhok Kian sudah
berteriak mengirimkan suara ke penghuni gedung utama.
Pintu utama dibuka dari dalam. Lima orang murid tingkat dua dipimpin seorang wanita menyambut kedatangan tamu.
"Ji wi totiang siapakah" Mohon sebutkan nama dan keperluan!" bentak wanita
yang dulu pernah memamerkan ilmu pedang Yu Liang Kiamhoat itu galak.
"He he he heh..., nona katakan saja kepada pangcumu, aku Bhok Kian tosu ingin bertemu!"
"Ooooh rupanya tosu dari Kun Lun, apakah dulu gebukan kami kurang keras!"
kalimat ejekan yang dilontarkan wanita ini sungguh membuat muka Bhok Kian
memerah, matanya melotot, giginya menggeletuk.
"Bangsat sundal! Suruh keluar Liong Ping menghadapi kami, jangan hanya
mengandalkan bangsat kunyuk seperti kalian!" bentak Bhok Kian dengan suara
menggelegar. Bentakan ini ditimpali dengan ketukan tongkat sam lojin lima kali ke lantai di depannya. Luar biasa sekali akibat dari lima kali ketukan ini karena dari masing-masing ketukan keluar hawa pukulan yang dapat menjalar di lantai dan menyerang lima murid Yu-liang-pay. Akibatnya empat orang langsung
terlempar tiga tombak ke belakang dan jatuh terjengkang. Sedangkan wanita
yang memimpinnya hanya terhuyung empat langkah, wajahnya yang semula
keras dan galak kini memucat.
"Sekonyong-konyong terdengar suara yang menggetarkan; "A Hui, ajaklah tamu
ke lian bu thia, kami menunggu di sana."
Demi mendengar suara ini, wanita yang bernama Lian Hui ini lantas menjawab;
"Baiklah pangcu." Disusul dengan ajakan ke dua tamu, dengan nada suara yang
lebih ramah. "Silahkan jiwi ikuti aku."
Bhok Kian memasuki ruangan lian bu thia. Hatinya terkejut dan kagum. Ruangan itu luas, akan tetapi kini dikelilingi pagar hidup berupa anak murid Yu-liang-pay yang berdiri dengan disiplin baik, tidak ada yang bicara, namun dengan sikap siap siaga dan penuh kewaspadaan semua mata ditujukan kepada mereka.
Jumlah anak murid yang berkumpul disitu dia taksir tidak kurang dari seratus orang! Bhok Kian tidak tahu bahwa belum sebulan berselang Yu-liang-pay juga
dikunjungi lima tokoh dari Hek-in-pang, masing-masing. Mereka menuntut
keadilan. Namun untunglah pada saat kunjungan mereka, toa-pangcu Liong Ping
sedang tidak ada, sehingga mereka ditemui ji-pangcu yang lebih sabar. Jipangcu menjanjikan akan menyelesaikan masalah satu tahun lagi, di puncak
bukit Yuan Ling san, sebelah utara Fan Cing san. Masing-masing akan diwakili tiga orang.
Dari dalam kemudian muncul ah dua ketua Yu-liang-pay, yang langsung
menyambutnya dengan keramahan; "Ahh kiranya Bhok Kian toyu yang
berkunjung, ada keperluan apakah kunjungan jiwi ke sini, dan siapakah totiang ini?" ujar Liong Ping sambil tersenyum. Senyuman sinis yang penuh nuansa
ejekan. "Liong Ping! Tidak perlu kita berbasa-basi. Kedatangan pinto dengan pamanku
ini tidak lain hendak menuntut pertanggung jawaban kalian."
"Kiranya Kun Lun sam-lojin, toyu ini orang keberapakah?" potong Liong Ping.
"Aku sam-lojin," jawab sam-lojin pendek, parau dan nyaris tak terdengar beda vokal dan konsonan dalam kata-katanya.
Baik aku lanjutkan. Dulu kalian hendak mencelakai aku dengan racun. Apakah
memang Yu-liang-pay hendak menantang Kun-lun-pay?" Bhok Kian berkata
dengan berapi-api. Wajahnya memerah penuh hawa kemarahan.
"Ahhh begitukah kiranya" Maafkan aku Liang toyu, sungguh peristiwa ini perlu kami selidiki, karena terus terang kejadian itu diluar sepengetahuanku, lagi pula bagi kami apakah untungnya memusuhi kalangan kang-ouw?"
"Aku adalah Bhok Kian, bukan Ki Liang. Kalau pangcu masih memandang muka
Kun-lun-pay, panggil ah murid yang dulu melukai pinto. Kami ingin bicara
langsung dengannya!" pinta Bhok Kian tosu dengan nada tegas.
Liong Ping menatap kedua tamunya dengan pandangan penuh selidik, kemudian
lirih menjawab; "Pada hari itu pula kami juga kehilangan anak murid kami Tiong San. Siapa pelakunya sampai saat ini masih kabur bagi kami."
Kali ini giliran Bhok Kian tosu dan sam-lojin yang terperanjat, karena waktu itu buru-buru Bhok Kian mengundurkan diri maka kejadian selanjutnya tidak dia
ketahui. "Kalau memang demikian, maka kini tuntutan kami yang kedua, kami meminta
pancu menuliskan surat permohonan maaf secara resmi ke pihak Kun-lun-pay,
yang ditulis pangcu sendiri dan akan kami bawa sendiri ke Kun Lun."
Sejenak Liong Ping terdiam sambil memicingkan matanya, lantas ia menjawab
seolah sedang bergumam; "Kalah menang dalam sebuah pibu adalah hal yang
sudah sewajarnya, bukankah begitu anak-anak" Entah kalau di Kun-lun ada
aturan yang berbeda."
Jawaban toa-pangcu ini kontan disambut ramai oleh anak-anak murid Yu-liangpay, beberapa mengeluarkan ucapan-ucapan ledekan yang menghina.
"Kalau memang Yu-liang-pay tidak berkenan meminta maaf, jangan tanggungtanggung pamanku juga ingin meminta pelajaran dari pangcu."
"Ooo...begitu rupanya. Huh...di sarang naga, kura-kura meminta naga tak
berbasa-basi siapa sangka kura-kura menyampaikan hajat dengan berbelit-belit.
Kenapa tidak terus terang saja dari tadi! Sam-pangcu silakan layani lotiang ini!"
Liong Ping menoleh ke Sam-pangcu dan menyuruhnya melayani tamu bersilat.
Sam-pangcu melompat ke depan dengan gagah, dan berkata dengan lantang;
"Silahkan lotiang memulai, aku tuan rumah akan melayani berapa jurus yang
kau kehendaki!"
Dihadapi hanya oleh orang ketiga membuat wajah sam-lojin sebentar merah
sebentar pucat. Meskipun sudah berpuluh tahun menenangkan diri, melatih
kesabaran, sebagai manusia biasa sam-lojin juga masih memiliki perasaan
termasuk rasa amarah.
"Sam-pangcu menurut kedudukan mestinya gurumu yang menyambut aku. Dulu
mendiang Hong Bu pangcu juga tidak akan gegabah menghadapiku. Biarlah aku
mulai menyerang, barangkali saja memang ilmumu sudah melampaui
kepandaian guru kalian."
"Hiaaattttt..." sam-lojin segera melontarkan sebuah pukulan pembuka. Pada
pukulan pertama ini sengaja ia ingin menguji kekuatan sinkang lawan.
"Plaak....." pukulan sam-lojin ditangkis. Akibatnya sam-pangcu terdorong dua langkah, sedang sam-lojin merasakan kesemutan. Keduanya terkejut. Sam-lojin
tidak menyangka pukulan yang dilancarkan tiga perempat tenaga hanya mampu
mendorong lawan dua langkah. Lebih terkejut lagi adalah sam-pangcu. Selama
ini ia telah giat belajar memperdalam sinkang, kiranya masih jauh dari
kesempurnaan. Ia memang belum mengenal Kun-lun-sam-lojin, pendekar sakti
yang sudah lebih dari tiga puluh tahun mengundurkan diri. Tak pelak sampangcu kemudian mencabut pedangnya.
"Sratt! Sambil menghunus pedang sam-pangcu berseru; "Marilah kita main-main
sebentar dengan senjata, lotiang!"
"Aku sudah siap pangcu!" jawab sam-lojin sambil mementang kaki membentuk
kuda-kuda yang kokoh.
"Lihat serangan!" Sam-pangcu membentak dan pedangnya menyambar, menjadi sinar keperakan menebas ke arah leher sam-lojin. Sam-lojin ini melihat bahwa gerakan lawannya cukup kuat dan cepat baginya. Ia merendahkan tubuh
dengan menekuk kedua lutut sehingga ia tahu bahwa pedang itu akan melewati
atas kepalanya dan langsung ia membalas dengan gerakan tongkatnya
menyerampang kaki lawan. Cepat sekali gerakannya itu, hampir bersamaan
dengan serangan sam-pangcu sehingga ketua ketiga Yu-liang-pay ini terkejut
dan cepat meloncat sabil miringkan tubuh dan dia pun meniru
lawan untuk bergerak cepat, secepat kilat ia gerakkan pedangnya memutar
untuk menangkis serangan dari bawah.
"Trang!" pedang sam-pangcu sudah menangkis serangan tongkat itu. Hampir saja pedang di tangannya lepas, kalau saja tidak dia genggam erat-erat. Namun sam-pangcu adalah orang yang cerdik dan sudah cukup banyak pengalaman.
Sungguhpun dari getaran yang melalui pedang mereka itu jelas membuktikan
bahwa tenaga sinkang orang tua ini seperti yang sudah dia ketahui amat kuat, namun pedangnya yang terpental itu di kuti dengan tubuh, dan ia kini melompat ke kiri.
Cepat sekali sam-pangcu kembali melancarkan serangan-serangannya. Pedang
ditangannya diputar membentuk gulungan sinar yang menyilaukan, kemudian
tubuhnya berkelebat lenyap dan yang tampak hanyalah sinar pedang tebal
meluncur ke arah sam-lojin. Dengan tenang sam-lojin kembali menangkis
serangan pedang. Jurus demi jurus telah dilalui, tampaknya serangan demi
serangan pedang sam-pangcu selalu terbentur tembok pertahanan tongkat yang
sangat kuat, hingga akhirnya pada jurus ke lima belas.
"Traang...." kembali terdengar suara benturan yang sangat keras. Namun kali ini wajah sam-lojin berubah pucat. Dari tangkisan ini ia merasakan getaran aneh, seperti suara yang menusuk-nusuk dadanya. Ia melompat ke belakang, sambil
menyapu pandangan ke bagian tembok di belakang. Dengan perasaannya yang
sudah sangat terasah, ia tahu asal-usul hawa magis yang menyerangnya. Maka
ketika dia mendapat kesempatan menyerang, digerakkanlah tongkatnya dengan
hebatnya, menyerang kepala sam-pangcu. Sam-pangcu tidak berani gegabah
menyambut serangan. Ia merendahkan tubuhnya, dan balas menyerang bagian
perut sam-lojin. Gerakan ini sepertinya sudah diduga oleh sam-lojin, karena
secepat kilat kakinya menotol pedang yang sedang menyambar. Sam-lojin
menggunakan tenaga totolan kaki untuk meloncat jauh ke belakang, menuju
tembok, dan langsung menusuk tembok dengan tongkat.
"Bruaaakkkk..!" tusukan tongkat di tangan sam-lojin menyebabkan bunyi
ledakan yang keras, di kuti ambrolnya tembok meninggalkan lubang seukuran
tubuh lembu muda. Semua orang terkejut tak tahu apa yang terjadi. Mereka
mengira tubuh sam-lojin terlontar sampai menubruk tembok. Benar saja dugaan
sam-lojin, dukun pembokong ada di balik tembok, terlihat dari tanda-tanda,
Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
adanya dupa yang masih menyala. Namun sayang pelakunya sudah keburu
melesat. Sam-lojin hanya sempat melihat kelebatannya saja. Pada waktu yang
sesingkat itu bebagai pikiran berkelebat di benak sam-lojin. Secepat kilat ia sudah memutuskan untuk mencongkel dupa, dan menyambar dengan
tangannya. Kemudian dengan gerakan melompat ia sudah kembali ke arena.
Namun pada saat itu, toa-pangcu sudah memberikan komando ke seluruh
murid; "Bentuk formasi lima elemen, kepung dan tangkap mereka berdua!"
Secepat kilat murid-murid sudah membentuk barisan yang rapi dan langsung
mengirimkan serangan. Bhok Kian tosu hampir terlambat menyadari perubahan
yang terjadi. Ketika ia mulai menangkis serangan pedang yang bertubi-tubi,
sekonyong-konyong tubuhnya dicongkel oleh tongkat sam-lojin dan dilontarkan
ke luar. Sam-lojin sendiri terkurung oleh serbuan pedang. Dengan
mengandalkan kekebalan ia terima tusukan-tusukan pedang. Sengaja ia
mengarahkan tenaga luncurannya ketika mencongkel Bhok Kian, ke arah muridmurid tingkat dua, sehingga tusukan yang diterimanya tidak sampai melukai
tubuh. Begitu menyentuh tanah sam-lojin melakukan gerakan mengibas-ngibas,
seperti anjing bangun dari tidur, dan akibatnya sungguh luar biasa. Puluhan
murid tingkat dua terlempar ke kanan ke kiri seperti debu yang ditepuk sapu.
Secepat kilat sam-lojin menotolkan tongkatnya dan melompat jauh.
Dengan dua kali loncatan ia sudah keluar dari kompleks gedung Yu-liang-pay
dan dengan menyambar tubuh Bhok Kian bersama-sama mereka menuruni bukit
dan menghilang di atas sungai, persis kejadian lolosnya Cu Hoa.
Hanya sepenanakan nasi mereka mendayung perahu, setelah menemukan desa
mereka menyeberang, dan melanjutkan perjalanan ke barat. Setelah senja tiba, dan langit memerah mereka sampai di padang bunga merah. Padang bunga
merah ini padang yang sangat luas, jauh dari desa atau pemukiman penduduk.
Karena sudah menjelang malam, mereka akhirnya memutuskan untuk bermalam
di dekat telaga kecil di padang itu.
Bhok Kian, kita beristirahat dan bermalam di sini!" Kata sam-lojin sambil melempar tubuh di atas rumput hijau. Senja telah berlalu dan keadaan cuaca di padang bunga itu sudah remang-remang. Bhok Kian tosu lalu menyalakan api
dan membuat api unggun sehingga di situ selain hangat dan tidak diganggu
nyamuk, juga agak terang. Sedangkan sam-lojin duduk bersamadi.
Sepenanakan nasi kemudian Bhok Kian memanggang daging kelinci yang
berhasil ditangkap, dan sambil menikmati tak lupa menawarkan ke sam-lojin.
Sam-lojin membuka mata. Ia mengambil sedikit daging yang disodorkan Bhok
Kian. Malam itu cuaca berawan, separo rembulan tanggal tujuhan sudah dari sore
muncul-sembunyi sehingga cahayanya redup.
"Dunia persilatan dalam bahaya Liang ji. Aku melihat sekelebatan sosok yang
berada di belakang layar."
"Siapakan dia paman?" tanya Bhok Kian penasaran.
"Di dunia ini aku hanya mengenal dua orang dukun sihir yang mahir pula
bersilat. Yang pertama adalah Pek-mau Say-ong (Raja singa berambut putih),
yang kedua adalah Vicitra Rahwananda. Yang pertama berdarah campuran, yang
kedua asli India. Aku menduga salah seorang yang kulihat sekelebatan."
"Fitnah besar akan segera melanda kang-ouw. Tugas kamu makin berat Liangji." "Kira-kira bagaimana kita bisa menga......." belum selesai Bhok Kian bertanya.
Sam-lojin memberi tanda supaya dia tidak bersuara. Dengan berbisik sam-lojin berkata; "Ada yang datang." Dengan wajah serius sam-lojin konsentrasi
mendengarkan suara yang masih jauh.
"Siapakah mereka dan berapa jumlahnya?" tanya Bhok Kian dengan wajah
menegang karena ia sendiri belum mendengar apa-apa.
"Aku mendengar lebih dari sepuluh ekor kuda. Cepat matikan api unggunnya!"
jawab sam-lojin.
Bhok Kian segera mematikan api unggun. Setelah sepeminuman teh suara itu
makin jelas terdengar. Ketika sosok-sosok mereka sudah mulai terlihat tiba-tiba saja berhenti. Tiba-tiba terlihat nyala api, dari satu kemudian bertambah banyak sampai enam buah.
Bhok Kian melihat pemandangan yang remang-remang dengan muka tegang.
Selama belasan tahun terjun ke dunia persilatan, baru kali ini ia merasakan
suatu ketegangan yang sangat mencekam. Mendung yang menebal dan suara
lolongan anjing dari kejauhan menambah nuansa seram yang dirasakan, seakanakan ratusan iblis hendak mengepung padang itu. Hal itu tak lain akibat tertular sikap sam-lojin yang sangat hati-hati.
Sekonyong-konyong terdengar bunyi menjepret, dan tak sampai sedetik sebuah
panah api melesat mendekati tempat istirahat mereka. Sam-lojin menyambar
tangan Bhok Kian tosu dan mengajaknya berlari. Belum sampai sepuluh langkah, tiba-tiba terdengar bunyi kuda berlari cepat ke arah mereka. Rupanya mereka
sudah mengetahui kehadiran dua orang buruan. Merasa usahanya bakal sia-sia
Bhok Kian dan sam-lojin berhenti kemudian berbalik. Mereka terkesiap melihat sepuluh ekor kuda sudah mengelilingi dari berbagai arah. Masing-masing dinaiki oleh seorang bertopeng, dan memakai caping. Tanpa kata-kata kemudian
mereka mulai menyerang. Gerakan mereka sangat tangkas. Hal yang membuat
Bhok Kian dan sam-lojin kaget setengah mati adalah, tingkat kepandaian mereka yang sangat tinggi. Karena kesulitan menyerang dari kuda, akhirnya mereka
turun dan mengepung dua orang sasaran. Mulailah terjadi pertarungan yang
sangat seru dan mati-matian. Dari gerakan silat mereka, Bhok Kian dan samlojin dapat menduga bahwa lawan yang mengeroyok berasal dari Yu-liang-pay.
Yang luar biasa adalah tingkat kepandaian mereka yang tidak disebelah bawah
sam-pangcu. Pertarungan ini sungguh sangat seru. Semak dan rerumputan pada
jarak empat tombak sudah roboh seperti tertiup angin topan. Bunyi dentingan
dan pijaran bunga api dari jauh seolah-olah sedang ada pesta kembang api.
Lewat tiga puluh jurus terlihat pihak Bhok Kian mulai kewalahan dan terus
terdesak. Namun mereka berdua seakan bersepakat untuk terus melawan
sampai titik darah penghabisan. Tongkat di tangan sam-lojin terus berputaran dengan cepatnya, bunyi mengaung-ngaung cukup memekakkan telinga mereka
yang memiliki sinkang rendahan. Pada jurus ke empat puluh dua orang dari
pihak pengejar roboh bersimbah darah. Namun serangan yang ditujukan ke dua
sasaran justru makin meningkat. Hingga pada jurus ke seratus, sam-lojin mulai terhuyung-huyung. Ia sangat kepayahan, karena selain berusaha melindungi diri sendiri dia juga ingin melindungi keponakannya.
"Ha...ha...ha.. sekarang mampuslah kalian, hiaatttt!" seorang yang paling tinggi di antara penyerang menyambitkan puluhan jarum-jarum beracun. Bhok Kian
berusaha menangkis. Beberapa mampu ditangkisnya tapi ada sebagian yang
dihindari. Celakanya, karena posisi bersatu punggung, jarum-jarum rahasia yang dihindari mengenai tubuh sam-lojin. Pada saat yang hampir bersamaan,
serangan pedang lawan juga sangat hebat. Sabetan dari samping yang
mengarah ke leher, hanya mampu ditangkisnya lemah, namun pukulan susulan
yang dilancarkan tak sanggup lagi ditangkisnya, karena ia berkonsentrasi
menghadapi serangan dari depan. Kali ini ia bertekad mengeluarkan tenaga
terakhirnya. "Desss...croott....auurrggg.......!"
Jerit parau melengking yang keluar dari mulut sam-lojin adalah jerit kematian.
Pukulan dan hujaman pedang tiga orang musuh yang mengepungnya tak
sanggup dilawan semuanya. Namun satu pukulan terakhirnya juga tak mampu
dihindari lawan.
"Paman...pamaann.....!" seru Bhok Kian tosu pilu. Tubuhnya limbung. Tusukan
pedang ke arah punggungnya berkelebat cepat.
"Tri ngg......! sejengkal sebelum ujung pedang itu menyentuh tubuh Bhok Kian, sebuah pisau kecil terbang menyampoknya.
"Jangan bunuh dia!" ujar orang bertubuh paling tinggi yang melontarkan pisau kecil itu. Segera ia mendekati Bhok Kian, dan mengayunkan pedang ke pangkal
lengan kiri Bhok Kian.
"Crooott....! auggghhh....! lengan kiri Bhok Kian putus. Bhok Kian bukannya tidak tahu kalau sedang dibokong, namun karena konsentasinya terpecah ke
pamannya, ia seakan tak mampu menggerakkan seluruh tubuhnya. Darah
bercucuran keluar dari luka. Lelaki yang bertubuh tinggi bertopeng setan merah itu menotok beberapa bagian tubuhnya. Anehnya ia memerintahkan anak buah
untuk menaburi luka itu dengan obat dan membalut lukanya. Setelah luka itu
terbalut, dengan paksa laki-laki itu mencekoki Bhok Kian dengan suatu cairan.
Tubuh Bhok Kian lunglai dan pingsan tak sadarkan diri.
Setelah menuangkan isi botol kecil itu, lelaki bertubuh tinggi itu memerintahkan penguburan sam-lojin. Dengan cekatan anak buahnya menjalankan perintah itu.
Kemudian orang itu mengajak anak buahnya pulang. Namun seseorang yang
bertubuh agak pendek berkata agak mencela; "Foi sicu, kenapa engkau tidak
binasakan saja tosu keparat itu sekarang juga" Sesungguhnya kalau dibiarkan
dia bisa bocorkan rahasia kita!"
Lelaki bertubuh tinggi itu menoleh ke orang yang baru saja bicara, wajahnya
yang bertopeng melawan sorotan sinar rembulan yang baru muncul dari balik
awan kelam, orang yang bertanya dapat melihat betapa dingin tatapan matanya, hingga membuat bulu kuduk meremang. "Aku sudah meracuninya! Begitu
bangun dia akan kehilangan ingatannya. Aku sengaja membiarkan dia hidup,
agar menjadi fitnah bagi dunia persilatan. Selama ini dunia persilatan hanya mengenal racun perampas ingatan yang dimiliki klan Tok Nan-hai pang
(Perkumpulan racun dari Nan-hai). Kebetulan aku dapat resep membuat racun
itu dari perwira Sung yang menjadi murid iblis timur. Sekaligus aku memang
ingin mencoba khasiatnya. Lagian kalaupun racun itu tidak ces pleng, takut apa sama Kun-lun-pay!"
Ucapan ini sungguh jumawa. Apalagi disampaikan oleh orang bertopeng yang
jelas-jelas tak ingin identitasnya diketahui. Namun tak seorangpun
membantahnya. Maka perlahan-lahan mereka kembali naik dan keprak kudanya.
Kemudian rombongan penyerang itu dengan cepat meninggalkan tempat
pertarungan, sambil membawa mayat tiga orang saudaranya. Dan padang
bungapun kembali sunyi, hanya bunyi jangkerik dan suara serangga malam yang
terdengar. Dua bulan setelah peristiwa di padang bunga merah itu, di depan goa tempat
bersemayam Kun-lun-sam-lojin terjadi obrolan serius dua kakek penunggu goa
itu di atas sebuah dahan. Tak jauh dari tempat mereka kangkauw-kangkauw
seorang anak lelaki sedang melakukan gerakan-gerakan silat.
"Ji-te, sudah lebih dari dua bulan sam-te dan Bhok Kian pergi menyelidiki Yu-liang-pay. Namun sampai saat ini, tak ada kabar beritanya. Apakah engkau
keberatan mengunjungi Kun-lun-pay, menanyakan kepada para tosu kabar
berita mereka berdua?"
Yang ditanya sambil tersenyum menjawab; "Sama sekali tidak loheng, akupun
hendak menyampaikan hal ini kepadamu. Akupun khawatir terjadi sesuatu atas
mereka. Biarlah sekarang juga aku mencari berita mereka berdua."
"Benar, menurut perhitunganku mereka tak kan lebih dari dua minggu
berkunjung ke sana. Dengan tingkat kelihaian sute
Tanpa berpamit, dengan sekali ayun bagaikan terbang kakek bertubuh gembul
ini telah berkelebat ke arah selatan.
Dua minggu setelah kepergiannya, ia kembali dengan wajah kusut. "Berita tak
baik loheng. Di Kun Lun tak seorangpun mendengar berita Bhok Kian. Sedang di Yu Liang mereka berdua pernah bentrok dengan anak-anak murid Yu-liang-pay,
dan kemudian melarikan diri. Di sepanjang perjalanan, aku tidak pernah
mendengar ada orang yang melihat kepulangan mereka."
"Siancay....siancay.....kehendak Thian tak seorangpun yang tahu. Kita tidak
pernah sayang pada nyawa, tapi kalau hilang tanpa jejak juga akan membuat
orang penasaran. Biarlah kita menunggu saja kabar berita dari tosu Kun-lun-pay.
Jika kelak memang ada sesuatu musibah yang menimpa mereka, kita punya
murid yang bisa mengemban tugas ini."
Ucapan yang damai dari toa-lojin ini membuat suasana kembali tenang. Chien
Ce juga sudah tidak pernah lagi bertanya tentang keadaan mereka berdua. Dia
tetap bersemangat berlatih silat dibawah bimbingan dua pendekar tua yang
namanya sangat mashur puluhan tahun silam.
Bab 4. Lukisan misterius
Sepuluh tahun tak terasa berlalu sejak peristiwa kegemparan di Yu-liang Pay.
Jauh di sebelah timur pegunungan Fan Cing san. Di kota Heng Yang. Kota yang
saat itu menjadi ibu kota propinsi Hu-Nan. Pada suatu malam yang kelam,
terjadilah suatu peristiwa yang menggemparkan. Malam ditemukannya sebuah
lukisan misterius.
Malam itu, di musim dingin yang sangat menusuk tulang. Hujan es bercampur
salju dari sore turun dengan lebat disertai kilat yang menyambar-nyambar. Saat semua orang terlelap dalam bilik masing-masing terbungkus selimut tebal. Di
depan gedung tua yang cukup megah di kota Heng Yang terdengar suara keras
beradunya kapak dengan batang kayu.
"Praakk...praaak..prakk......!"
Enam orang tampak sedang mencoba untuk menebang batang pohon hek siong
yang sangat besar berukuran lebih dari dua orang dewasa.
Pada waktu itu di propinsi Hu-Nan, sedang mengalami bencana salah musim
yang parah, pada saat musim semi dan panas terjadi kekeringan yang sangat,
dan di kuti kekurangan pangan. Dan pada musim dingin terjadi badai yang luar biasa, tak heran jika dingin yang dirasakan semua orang sangat menusuk hingga terasa ke tulang belulang. Penduduk menebangi berbagai pohon untuk dijadikan kayu bakar. Bahkan pohon hek siong semacam pinus yang batangnya berwarna
hitam yang berada di depan sebuah gedung tua yang berarsitektur sangat indah, kuno dan unik tak luput dari penebangan itu. Sungguh berani sekali tindakan
penebang itu karena gedung tua itu adalah gedung gudang senjata tentara
gubernur Heng Yang. Pohon ini sebenarnya cukup mahal untuk dijadikan kayu
bakar. Namun di musim seperti ini, orang sudah tidak lagi memedulikan jenis
pohon. Anehnya malam itu tak seorang prajuritpun yang menjaga di luar gedung dan keadaan di luar gedung itupun gelap gulita.
"Prakk....ting!" tiba-tiba terdengar suara nyaring beradunya dua logam.
"Hei suara apa itu....Hentikan!" seorang tua yang menjadi pemimpin penebang
pohon berseru begitu mendengar suara aneh. Dia lantas menyelidiki sumber
suara. "Ada logam seperti perak.....seruling perak......!" teriak salah seorang anak buah yang kapaknya beradu dengan logam tadi. teman-teman yang lainnya kontan
langsung merubungi.
"Ehh.. bukan seruling tapi hanya tabung saja", teman yang lainnya menimpali.
A Cin yang memimpin penebangan pohon hek su gi di depan gedung tua itu
melihat ditemukannya tabung perak sepanjang dua jengkal. Tabung yang
berukuran seperti suling itu memang bukan suling. A Cin segera berlari menuju emperan sebuah toko yang sudah dari sore tutup. Ketika A Cin coba putar-putar ternyata tabung terbuka. Di dalamnya terdapat selembar kain.
"Seperti lukisan!" anak buah yang menemukan berseru. Di bawah cahaya
lampion yang remang-remang ia dapat melihat memang itu lukisan adanya.
Lukisan tua yang aneh pada bagian bawah ada lukisan pemandangan alam yang
cukup indah namun bagian latarnya terdapat coretan-coretan mirip cacing
menuju lubang. Lukisan itu meskipun sudah lusuh dimakan usia, namun masih
terlihat jelas menggambarkan suasana pegunungan. Dibawahnya terdapat
danau yang bening, pepohonan yang rindang salah satunya pohon hek siong
dan angsa yang saling berkejaran. Beberapa perahu tampak sedang terapungapaung di tengah danau tersebut. Pada bagian bawah lukisan tertulis "siapa
mendapatkan lukisan ini sungguh akan sangat beruntung". Celakanya A Cin dan
kawan-kawannya tidak pernah makan sekolahan, jadi tidak bisa membaca isi
tulisan itu. Bagi yang berpengetahuan sekilas latar belakang itu mirip peta.
Karena sempat terpercik air, ada sedikit bagian gambar yang menjadi luntur.
"Cin ko, apa yang harus kita lakukan" apa perlu kita sampaikan lukisan ini ke Kong tauke?" salah seorang dari mereka bertanya.
"Tidak! Ini adalah rejeki kita! Kita hanya bertugas menebang kayu dan besok
kita lanjutkan lagi memotong-motong kayu ini. Ayo kembali lagi bekerja!" tegas A Cin, sambil memasukkan kembali lukisan ke tabung perak dan
mengantonginya dengan cepat.
*** Esok harinya, di depan gedung itu juragan Kong tampak sedang berbincang
serius dengan komandan prajurit penjaga gedung. Rupanya mereka sedang
tawar menawar harga kayu yang roboh itu. Juragan Kong minta harga yang
rendah, sedang komandan prajurit yang tahu kelicikan juragan Kong minta
harga tinggi, akhirnya disepakati harga tengah-tengah dengan catatan ang-pao prajurit ditanggung si juragan. Maka dengan enteng keenam penebang itu
melanjutkan pekerjaannya. Prajurit penjaga gedung yang bertugas jaga hanya
dapat bersungut-sungut ketika mereka berkilah bahwa pohon itu sudah terlanjur roboh akibat disambar petir. Padahal prajurit itu tahu belaka bahwa dari
bekasnya pohon itu roboh ditebang. Toh sebentar lagi mereka akan tersenyum
kalau sudah kecipratan ang-pao dari Kong tauke. Si juragan kayu ini memang
pandai sekali merayu komandan tamtama agar diperkenankan mengambil kayu
dari pohon-pohon yang roboh, tak peduli dengan cara bagaimana pohon itu
roboh. Ia juga tidak pelit memberi persen bagi para prajurit jaga. Namun bagi prajurit jaga yang biasa ternaungi oleh pohon itu sudah kebayang hari-hari
kedepan di musim panas adalah hari jaga yang bakalan berat.
Tak berselang hari, kabar penemuan lukisan ini sudah tersiar luas ke seluruh penjuru kota. Mulailah orang-orang ramai berdatangan ke rumah A Cin, untuk
melihat seperti apa adanya lukisan aneh itu. Beberapa orang bahkan
menawarnya itu dengan harga yang cukup tinggi, namun A Cin masih
menolaknya. Maklumlah meskipun mereka tinggal di kota, namun pola pikir
jaman itu sangat dalam sekali oleh pengaruh mistik dan budaya. Semua melihat lukisan itu seperti kucing kelaparan melihat mangsa.
Setelah ada tawaran yang besar, A Cin segera menjual lukisan itu ke Hung
tauke. Ia menerima tiga tail emas untuk lukisan itu. Bagi orang seperti Hung tauke yang bergelimang harta, tiga tail emas tidak seberapa dibandingkan
dengan hoki yang dipercaya datang dari lukisan itu. Namun bagi A Cin, ia justru harus membayar mahal, opas-opas Kong taukue, juragannya, beberapa kali
menterornya. Tak tahan mendapat teror terus menerus, A Cin memutuskan
untuk menjual rumah dan pindah ke kota lain.
*** Seminggu setelah kejadian itu, kota Heng Yang ramai dikunjungi orang-orang
luar daerah, orang-orang yang perpenampilan asing dengan berbagai logat.
Mereka rata-rata berpakaian gelap dan ringkas, kadang satu dua terlihat
membawa senjata seperti golok atau pedang. Meski dari berbagai wilayah
namun kedatangan yang berbarengan menunjukkan ada persamaan tujuan. Tak
lain adalah lukisan misterius.
Pada malam harinya, ketika hujan kembali tercurah dari angkasa. Di suatu
gedung megah di pinggir jalan utama kota Heng Yang. Rumah yang biasanya
banyak dihiasi lampu-lampion yang besar dan indah. Akan tetapi, pada malam
hari itu, keadaan di sekeliling rumah tampak amat menyeramkan karena ada
bayangan-bayangan yang berkelebatan, begitu cepat gerakan bayanganbayangan itu sehingga agaknya iblis-iblis sendiri yang sedang sibuk mencari
korban. Akan tetapi kalau diperhatikan, bayangan-bayangan itu sama sekali
bukanlah setan melainkan manusia-manusia, sungguhpun manusia-manusia
yang menyeramkan karena mereka yang berjumlah lima orang itu bertubuh
tinggi besar, bersikap kasar dan berwajah liar. Mereka melompati gedung tinggi itu dengan menggunakan tangga tali.
Hujan yang masih cukup deras mengaburkan pemandangan ini. Namun,
beberapa saat setelah kelebatan manusia-manusia itu dari kejauhan orang akan mendengar teriakan-teriakan disertai suara beradunya senjata tajam, dan jeritan histeris perempuan. Rumah itu bukan lain milik Hung tauke. Serombongan
pencuri bertopeng seram menyatroni rumahnya, menggasak harta benda,
memaksa juragan Hung menyerahkan lukisan misterius. Tak ketinggalan cucu
Hung tauke yang baru berusia dua belas tahunpun tak lepas dari sasaran
penculikan. Opas-opas Hung tauke yang hanya jagoan kandang pagi-pagi sudah
terkapar di halaman rumah. Yang paling mengenaskan nasib Hung Chi Yi,
cucunya yang diculik itu, pagi harinya, setelah fajar menyingsing diketemukan pedagang tergeletak di tepi sungai Cho. Rambutnya awut-awutan, sekujur tubuh penuh lebam bekas pukulan, pakaiannya tak karu-karuan, perutnya dan
bawahnya berlumuran darah. Sekilas saja orang sudah menebak apa yang
terjadi. Siapakah pelaku perampokan di rumah Hung tauke" Tak ada seorang
pendudukpun tahu. Melihat kelihaiannya, jelaslah mereka bukan tergolong
Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pencuri kampung. Berbeda dengan penduduk, orang-orang berwajah luar
daerah yang datang ke kota Heng Yang, pagi-pagi setelah kejadian langsung
bergerak mengejar pelaku. Pelaku pencurian dan pengejarnya rupanya memang
telah mempersiapkan diri dengan baik. Mereka telah menyiapkan kuda untuk
meloloskan diri.
*** Dua hari setelah kejadian itu, di sebuah kuil tua yang berdiri di tepi Sungai Pei-ho, di lembah antara Pegunungan Lian-san, di sebelah selatan kota Siauw-koan, kota kecil di sebelah selatan Heng Yang. Suatu tempat yang sunyi dan kuno
sehingga kuil yang amat kuno dan sudah bobrok itu cocok sekali dengan
keadaan alam yang sunyi dan liar di sekelilingnya. Berbeda dengan Heng Yang, kota Siauw-koan ini tidak mendapat serangan badai musim dingin, sehingga
masih banyak pepohonan yang rimbun menghijau. Biasanya, kuil ini kosong dan
bagi yang percaya, tempat seperti itu paling cocok menjadi tempat tinggal setan iblis dan siluman.
Namun di pagi buta itu, meski matahari belum terbit, sehingga cuaca masih
gelap karena awan mendung belum luruh semuanya menyirami bumi. Kuil ini
mulai didatangi beberapa rombongan. Rombongan yang pertama datang adalah
lima orang yang rata-rata berusia di atas tiga puluh lima tahunan.
Gerakan mereka tidak seperti orang biasa, karena selain cepat juga
membayangkan kekuatan yang jauh lebih daripada manusia-manusia biasa.
Pedang dan golok yang terselip di pinggang lima orang tinggi gagah itu
menandakan bahwa mereka adalah orang-orang yang sudah biasa
mengandalkan ilmu silat dan senjata mereka. Rombongan ini dipimpin oleh
orang paling muda yang berpakaian perlente.
Memang sesungguhnyalah bahwa lima orang tinggi besar ini bukan orang-orang
sembarangan. Mereka adalah lima orang tokoh dari Yu Liang Pay, yang dipimpin oleh Siong Chen. Kepandaian mereka amat tinggi karena mereka ini adalah
murid-murid tingkat satu. Apalagi sejak peristiwa kegemparan di Yu Liang Pay, Siong Chen selalu memperdalam ilmu pedangnya, maka bisa dibayangkan
tingkat kelihaiannya dibandingkan dengan yang dulu. Sejak tadi lima orang ini berkelebatan di sekitar kuil tua, seperti hendak menyelidiki keadaan kuil yang sunyi dan kelihatan kosong itu. Namun ketika hendak mencoba mendekat, Siong
Chen berseru mencegahnya, "Tahaann!"
Sebelum Siong Chen menjelaskan, orang yang diseru bertanya, "Chen-te, tidak
kelirukah kita" Apakah benar kuil ini yang dijadikan tempat sembunyi pencuri dari Nan-hay itu"! Tiba-tiba seorang di antara mereka, yang mempunyai tahi
lalat besar di dagunya, bertanya kepada Siong Chen.
"Tidak salah lagi!" jawab Siong Chen yang kini usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun itu sambil memandang ke arah kuil tua. "Lihat di sekeliling kuil
bertebaran bubuk racun warna putih. Akan tetapi sungguh heran, mengapa
kelihatan sunyi dan kosong"! Apakah sepagi ini mereka sudah meninggalkan
kuil" Namun kita tidak menemukan jejaknya"
"Lebih baik kita serbu saja ke dalam!!" kata Si Tahi Lalat sambil mencabut
goloknya. "Tunggu! Kalau memang ingin menyerbu sebaiknya kita cari dahan-dahan pohon
kita buat batu loncatan atau jembatan. Kalain tidak tahu kehebatan racun putih tepung setan itu. Meskipun kita bisa melompatinya tanpa jembatan atau tangga yang tinggi kita pasti kena racun itu. Uap racun itu masih berbahaya pada jarak satu tombak di atas tanah."
"Ahhh....!" hampir semua anak buah Siong Chen berseru terheran-heran. Mereka benar-benar merasa kagum atas pengetahuan Siong Chen. Dan betapa
merindingnya mereka melihat tebaran tepung kasar seperti garam di sekitar kuil yang cukup lebar, hampir setombak lebarnya.
Dengan golok dan pedang dengan cepat mereka menebangi pohon.
"Chen-te, apakah benar kata desas-desus bahwa lukisan itu berisi peta rahasia penyimpanan harta karun Lau Cin Shan. Apakah orang itu memang benar-benar
ada?" salah seorang yang berhidung mancung bertanya.
"Menurut toa-pangcu begitu. Lukisan itu berisi petunjuk warisan Lau Cin San.
Hanya yang masih belum jelas apa warisan yang disimpan dalam tempat di peta
itu. Lau Cin Shan bukan hanya tokoh dongeng, ia memang benar-benar pernah
ada. Ia seorang pelukis dan pesilat besar jaman Tang. Bahkan ia dipercaya
sebagai arsitek terakhir pembangunan patung budha terbesar di Secuan,
meskipun tidak sampai selesai namun tempat kematiannya berada di bukit di
seberang patung itu, sehingga seakan-akan rohnya tetap memantau
pembangunan"
Amanat Marga 8 Rajawali Hitam Karya Kho Ping Hoo Harpa Iblis Jari Sakti 23
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama