Ceritasilat Novel Online

Ksatria Negeri Salju 6

Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko Bagian 6


a dipentang di depan Liong Ping.
"Lukisan apa ini ciangkum, sepertinya lukisan kuno" Apakah...apakah...."
Liong Ping tidak melanjutkan pertanyaannya, sebagai Pangcu partai besar tentu saja Liong Ping mendengar kabar munculnya lukisan misterius warisan Lau Mei
Shan. Tapi terakhir dia mendengar lukisan itu sudah dapat diambil oleh
Gubernur Heng Yang. Apakah Boan Tek mampu mencuri dari kantor gubernur"
Kalau memang bisa mengapa mesti minta bantuan dia untuk urusan yang
dibisikkan itu.
"Dengan lukisan ini Pangcu bisa mendapatkan warisan pendekar besar Lau Mei
Shan, Pedang Salju!"
"Pedang Salju?"?" hampir berbarengan Liong Ping dan Siong Chen, berseru
tertahan. "Benar, Pedang Salju yang akan mengangkat nama Yu Liang Pay. Ilmu pedang
yang hebat di tambah lagi pedang pusaka yang tak ada tandingannya. Sungguh
ibarat elang tumbuh taring, bukan?"
"Sungguh saya tak menyangka ciangkum mampu membeli lukisan itu dari
gubernur."
"Ahhh siapa yang membeli lukisan gubernur" Ini adalah lukisan kedua Lau Mei
Shan yang berisi harta warisannya."
"Bagaimana ciangkum yakin ini menunjukkan peta tempat pedang itu disimpan"
Saya tidak melihat ada petunjuk apapun."
"Lihatlah baik-baik!" seru Boan Tek sambil membalik lukisan itu.
"Ahh.....dibalik lukisan itu ada tulisannya" Hmmm... berarti dibalik lukisan yang ditemukan gubernur juga ada tulisannya," Liong ping bergumam sambil
mencoba mengeja tulisan di balik lukisan itu.
"Tulisan ini sulit diartikan ciangkum, bukankah ini huruf kuno?"
"Benar ha ha ha .......dasar gubernur bodoh itu, mana tahu dia letak rahasia lukisan itu. Dan aku tahu arti tulisan ini. Sayang untuk itu kami harus
mengorbankan salah satu sute kami, murid Tok Ciang sosiok."
"Dengarkan baik-baik, biar susiok yang membaca artinya untuk kalian!"
Selanjutnya Tok Ciang Sin Kwi membaca terjemahan, yang didapatkan dari
Ouwyang siaucay.
Puncak Siauw Tong San di musim semi
Di padang bunga bo tan
Akankah lahir pendekar pedang kedua
Bukalah mata hati
Pendekar pedang sejati
Meski tak ada senjata di tangan
Saljupun bisa setajam pedang
Liong Ping agak terperanjat mendengar isi puisi itu. Meskipun tak tahu pasti maknanya, namun ia tahu asal usul dari sajak terkenal itu.
"Ciangkum ini seperti puisi pujangga Yang Chen, apakah sudah ada yang
mencarinya ke sana?" tanya Liong Ping mencoba mengukur tingkat pemahaman
si perwira. Sebenarnya ia sendiri tahu itu bukan karya Yang Chen, melainkan
pujangga yang lebih kuno lagi.
"Bukan! Ini adalah karya Liu Pu Yi."
Liu Pu Yi adalah pujangga terkenal, dan menjadi penasihat pribadi kaisar Shi Huang Ti, dijaman Cin. Meskipun tidak pandai ilmu silat, namun puisi-puisinya dan terutama kepandaian ilmu perangnya sangat menggugah semangat kaisar.
Sehingga sedikit banyak kaisar ini juga termotivasi mengikuti petuah-petuahnya.
Satu bait sajak yang disampaikan oleh kaisar kepada bu beng hiap yang terkenal dengan sajak jalan pedang menunjukkan adanya pengaruh ini. Sayang di masa
tuanya karena tuntutan kaisar yang ingin hidup selamanya untuk dicarikan obat panjang umur membuat pujangga ini harus gugur menjalankan tugas mencari
obat yang tak pernah ditemukan orang selamanya.
Tok ciang sin kwi yang lebih banyak diam berkata
"Tugas Yu Liang Pay mencari pedang ini pangcu, untuk itulah Boan goanswe
kesini." "Hmmm...bagaimana kalau tidak ditemukan" Dan apakah Sin Kwi dan anak buah
pantai selatan tidak menghendaki?" pancing Liong Ping.
Tok Ciang Sin Kwi melotot, meski tak terucap sepatah katapun, karena keburu
perwira Boan menengahi, tampak wajahnya memerah tanda aliran darah sudah
mulai meninggi.
"Aku tidak tamak pangcu, silakan pangcu cari! Kalau ketemu, aku tinggal tunggu tugas yang kuminta beres. Kukira cukup pangcu. Musim panas tinggal dua bulan lagi, sedang perjalanan ke sana bisa menyita waktu seminggu. Hitung saja
sendiri kapan Yu Liang Pay akan kesana. Permisi!"
Liong Ping hendak mencegah perwira itu, namun keburu keduanya sudah
berlalu. Dengan bergegas keduanya sudah menuju ke halaman depan dan
segera meninggalkan Liong Ping yang duduk termangu. Terbayang kembali
peristiwa empat puluhan tahun yang silam. Ketika itu ia masih muda, ia terlibat dalam konflik penyatuan kerajaan, sebagai pihak penentang. Celakanya, ia
waktu itu ikut memimpin sepasukan laskar. Ketika pasukan Sung memenangkan
pertempuran, ia termasuk dalam daftar pencarian. Hal inilah yang
menyebabkannya harus tersaruk-saruk mencari perlindungan hingga ke negeri
salju. Petualangannya tidak berlangsung lama, ketika sepasukan prajurit berhasil menangkapnya, ketika ia keluar dari negeri itu. Untunglah datang dewa
penyelamat yang bernama Boan Tek, seorang prajurit yang bahkan belum genap
berusia dua puluh tahun, waktu itu, bersedia menyelamatkannya, dengan syarat ia harus mendukungnya. Dan hari ini sang prajurit datang untuk menagih
hutangnya. Keesokan harinya terjadilah peristiwa yang luar biasa di Yu Liang Pay. Ketua Kwan Liong Ping mengundurkan diri, menyerahkan jabatan kepada ketua baru
Lauw Kian Bu, yang sebelumnya Ji Pangcu. Namun sebelum itu, Liong Ping
menugaskan Siong Hok Cu, Siong Chen, Siong Lee dan lebih dari dua puluhan
anak buah untuk mencari pedang salju. Siong Lee adalah anak lelaki Siong Chen.
Ia sendiri kemudian meninggalkan markas dan tinggal di salah satu rumah di
perkampungan di sekitar markas.
Bab 17. Terkuaknya rahasia bukit pedang
Pada suatu pagi buta yang masih remang-remang, beberapa hari setelah
peristiwa pergantian pimpinan Yu Liang Pay, seorang pemuda tampak mendaki
salah satu puncak di pegunungan Fan Cing San dengan cepat. Pemuda yang
berwajah tampan dan jangkung itu sepertinya ia sudah terbiasa dengan hutan
pinus di pegunungan itu. Kepalanya tertutup caping yang agak lebar, di
punggung ia menggendong sebuah bungkusan. Memang tidaklah keliru
menebak bahwa ia adalah anak murid Yu Liang Pay. Namun apa yang akan
diperbuatnya sungguh membahayakan diri sendiri. Ia mendekati daerah yang
sangat dikeramatkan oleh Yu Liang Pay, puncak pedang (Tiong kiam teng).
Siapakah gerangan pemuda yang sudah sedemikian nekad mendatangi tempat
yang dikeramatkan oleh Yu Liang Pay. Pemuda ini tak lain adalah Cien Ce, murid Kun Lun Sam-lojin, atau lebih tepatnya ia hanya dididik oleh dua dari mereka.
Setelah lebih dari sepuluh tahun belajar di sebuah tempat di Kun Lun san, Cien Ce akhirnya di jinkan turun gunung. Ia mendapatkan tugas untuk menguak
misteri kematian sam-lojin yang hingga saat ini masih belum jelas. Karena
tempat terakhir yang diyakini telah didatangi adalah Yu Liang Pay, maka dari sinilah ia mencari rahasia itu. Untuk itu sudah lebih dari dua tahun ia menyusup ke sana, diterima sebagai anak murid, bahkan ia sering menjadi teman berlatih Siong Lee. Ia juga mendapat bimbingan dari Lauw Kian Bu. Hebat sekali
memang sandiwara Chien Ce, sehingga sampai hari ini penyamarannya belum
ketahuan. Tapi benarkah demikian" Keliru Chien Ce jika merasa demikian. Yang jelas pada pagi ia mendaki pegunungan menuju puncak Tiong Kiam, ada
sepasang mata yang mengawasinya. Sepasang mata yang sebening telaga.
Diawasi oleh sepasang mata yang nampak menyorotkan sinar penasaran dan
kekhawatiran, ternyata tidak membuat Chien Ce khawatir, ia sepertinya tahu
sedang di kuti oleh seseorang.
Di ujung hutan pinus Chien Ce berhenti, ia mengawasi keadaan puncak yang
tinggal berjarak satu li di depannya. Puncak itu berdiri berdiri kokoh menjulang dari dasar punggung bukit, dari dekat terlihat bagaikan pedang. Di sekeliling dasar dari bukit pedang itu oleh pimpinan Yu Liang Pay, di buat benteng yang mengelilinginya. Puncak itu dari dari jauh seperti pedang yang mencuat, dari dekat bagaikan pagoda raksasa. Dengan melihat deretan ceruk-ceruk tengkorak
di bukit pedang yang sangat tinggi bagai jendela-jendala pagoda, orang akan
tahu betapa di tempat yang mestinya damai itu telah banyak nyawa manusia
melayang. Tidak sembarangan orang boleh mengunjungi puncak ini, karena adanya
larangan yang tegas dari Yu Liang Pay. Tapi karena tugas yang diembannya,
Chien Ce tidak merasa takut untuk menyelidiki puncak ini. Selama dua tahun ada di Yu Liang Pay, tinggal tempat inilah yang belum pernah dikunjungi. Dari hasil penyelidikan awal, ia pernah melihat ada sosok bayangan berkelebat menuju ke arah puncak ini.
Dari ujung hutan itu sebelum sampai ke punggung bukit tempat bersemayamnya
puncak bukit pedang, Chien Ce harus turun ke sebuah lembah, menyeberangi
sungai kecil, dan mendaki punggung bukit yang berbatu. Chien Ce kemudian
berjalan perlahan-lahan menerobos semak belukar yang terlihat seakan tidak
pernah dikunjungi manusia. Setelah menyeberangi sungai kecil ia kemudian
mendaki punggung bukit yang berbatu. Akhirnya sampailah ia di depan benteng
yang cukup kokoh mengelilingi bukit pedang. Benteng itu terbuat dari batu
setinggi tiga tombak. Chien Ce memeriksa benteng itu dengan cara
mengelilinginya, namun ia hanya menemukan satu pintu saja, yang tertutup
rapat. Setelah memeriksa keadaan sekeliling untuk sesaat, dan menemukan
benteng yang agak rendah. Ia membuka bungkusan yang digendongnya, yang
ternyata berisi tali dengan gaetan pada ujungnya. Dilontarkannya tali itu keatas, setelah ditarik-tarik dan terasa sudah kuat, maka ia mulai mendaki
menggunakan tali. Sesampainya di atas tembok benteng, ia melihat di salah satu sudut benteng terdapat sebuah banguan. Chien Ce perlahan-lahan turun dari
tembok dan menginjak rumput. Perlahan-lahan ia mendekati bangunan di salah
satu sudut itu, yang dari luar lebih mirip gudang dibandingkan rumah. Suasana sungguh sepi mencekam, meskipun matahari sudah terbit, namun sinarnya
belum mampu menerangi seluruh sudut di dalam benteng itu. Dari dekat wajah
bukit pedang itu jauh mengerikan dari yang dibayangkan. Ceruk-ceruk yang
digali di tebing bukit itu bentuk dan ukurannya tak beraturan. Di dalamnya berisi tengkorak utuh atau beserta sebagian tulang belulang kerangka manusia. Dari
tempatnya berdiri Chien Ce dapat mencium bau wangi dupa, menambah
suasana yang lebih mencekam. Namun adanya dupa juga pertanda bahwa ada
manusia yang menyalakannya. Chien Ce makin hati-hati, diloloskannya sebilah
pedang. Kira-kira berjarak tiga tombak dari gudang itu, rumput berganti pasir, Chien Ce berhenti kemudia berteriak, "Siapapun penghuni gudang ini keluarlah!
Aku Chien Ce ingin bertemu!"
Suaranya tidak terlalu keras, namun cukup bergema di sekitar benteng. Tiba-tiba dari samping terdengar suara tengkorak keluar dari dinding dan menggelinding ke bawah. Chien Ce menengok ke samping. Tengokan yang hanya sekejap tapi
cukup mengecoh Chien Ce karena tiba-tiba jendela gudang terbuka dan
langsung meluncur cepat tiga pisau terbang ke arah Chien Ce.
"Ayaaa......cringg...cri ng...cri ing....! tiga kali bunga api berpijar. Tiga pisau yang meluncur itupun bisa ditangkisnya. Terdengar bunyi benturan senjata yang
keras, dan Chien Ce merasakan tangannya sedikit tergetar menandakan
peluncur memiliki tenaga yang cukup kuat.
"Hmmm, apakah penghuni benteng bukit tengkorak sudah tak punya rasa malu,
sehingga menyerang orang secara pengecut?"
Beberapa saat kemudian, suasana menjadi senyap kembali. Namun sekonyongkonyong dari pintu muncul sesosok bayangan yang tinggi besar. Begitu muncul
langsung sebilah pedang yang bentuknya melengkung meluncur ke beberapa
titik berbahaya Chien Ce dengan serangan dasyat. Chien Ce memapaki serangan
dengan tangkisan. Beberapa kali tangkisan membuat keduanyanya agak terkejut
karena masing-masing memiliki sinkang yang sangat kuat, bahkan hampir
seimbang. Chien Ce lantas memainkan jurus-jurus pedang yang dipelajarinya,
Kun-lun sin kiam hoat. Jurus-jurus itu sangat kuat dan murni, tampaknya
serangan demi serangan pedang lawan selalu terbentur tembok pertahanan ilmu
pedang yang sangat kuat, hingga akhirnya pada jurus ke sekian belas,
sekonyong-konyong lawan mengubah cara memainkan pedangnya. Tangan kiri
lawan tiba-tiba mengeluarkan uap hitam. Bersamaan dengan itu, pada suatu
serangan pedang lawan dari atas sebuah tangkisan menghalau, "Traang...."
kembali terdengar menimbulkan suara benturan yang sangat keras. Namun kali
ini wajah Chien Ce berubah pucat. Dari tangkisan ini ia merasakan getaran aneh, seperti suara yang menusuk-nusuk dadanya. Sekejap ia harus memecah
perhatian untuk mengusir pengaruh jahat ini.
Makin lama getaran itu dirasakan makin kuat menusuk dadanya, membuat
konsentrasi Chien Ce menurun, akibatnya beberapa kali ia tergores pedang
lawan. Darahpun mulai mengucur di beberapa tubuh Chien Ce. Posisi Chien Ce
makin lemah, serangan-serangan pedang lawan seakan-akan mengepungnya.
Chien Ce sudah pasrah, pedangnya diayunkan cepat kedepan, meskipun ia sadar
serangan lawan pasti mengenainya, tapi ia masih berharap pedangnya juga
mampu melukai lawan. Pada saat yang kritis, sekonyong-konyong meluncur
sebuah pecut baja yang memapaki serangan lawan, dan bahkan masih mampu
meliuk hampir menotok pergelangan lawan.
Lawan kelihatan terkejut melihat sosok yang datang menolong Chien Ce,
seorang gadis cantik yang matanya bersinar kocak. Gadis yang masih muda,
sangat muda sekali karena baru empat belas tahunan.
Begitu datang, langsung menangkis serangan lawan. Keterkejutan lawan
dimanfaatkan untuk menarik tangan Chien Ce dan dengan tali yang dipakai
sebelumnya mereka melarikan diri. Sesampainya di hutan pinus Chien Ce
meminta berhenti, mereka akhirnya beristirahat sebentar sambil mengobati luka-luka.
"Siong kauwnio, terima kasih banyak atas bantuanmu. Tak tahu kenapa engkau
melibatkan diri dalam urusanku," kata Chien Ce lembut.
"Chien ko, aku tidak tahu kenapa engkau melakukan hal ini, tetapi perbuatanmu sungguh mengundang bahaya yang besar bagi dirimu!" balas gadis yang
bernama Siong Bwee Nio. Gadis kecil ini bukanlah orang sembarangan di Yu
Liang Pay, karena ia adalah puterti Siong Chen, dari isteri keduanya Liem Bi Lian.
Meskipun berada di lingkungan perguruan yang tidak terlalu menjunjung
kegagahan, namun ia didik langsung oleh orang-orang yang masih lurus di Yu
Liang Pay, sehingga sedikit banyak tahu sifat-sifat pendekat.
"Aku mengkhawatirkanmu, kauwnio sungguh selalu baik kepada saya!"
"Sudah..tidak perlu kauwnio segala, panggil aja aku Bwee Nio. Sekarang kalau twako kembali ke perguruan, pasti pangcu marah padamu, sebaiknya twako
pergi saja dari sini."
"Ya, memang aku akan pergi dari sini, terima kasih banyak atas bantuanmu,
Bwee moy. Seumur hidup aku tidak akan melupakan bantuan ini, aku akan tulis
di dasar hatiku, sebagai sebuah kenangan yang sangat indah dengan gadis yang puali ng manis," kata Chien Ce romantis.
Bwee Nio hanya tersenyum, ia masih terlalu polos untuk merasakan adanya
getar-getar tertentu. Selama berguru di tempatnya, ia melihat Chien Ce sebagai pemuda yang sungguh mengagumkan, tampan, ramah, ringan tangan, tetapi
tidak suka usil. Kepadanya pemuda itu suka sekali membantu, selalu bersikap
hormat dan lembut. Sikap yang membuat gadis kecil itu sangat kagum
kepadanya. Kakaknya sendiri Siong Lee juga tampan, tapi mulutnya ceriwis,
kata-katanya juga kadang kasar, dan selalu memaksa kalau punya kehendak.
Dan lebih buruknya lagi Siong Lee terkenal sangat angkuh di Yu Liang Pay,
melebihi kakek dan ayahnya. Kepada Kwan Bu saja ia bisa bersikap seakan-akan mereka sederajat. Bisa dibayangkan sikapnya ke yang lain. Seakan-akan Yu
Liang Pay miliknya seorang.
Setelah bersoja, akhirnya Chien Ce meninggalkan Siong Bwee Nio yang untuk
beberapa saat masih duduk tercenung, memikirkan alasan untuk berkelit. Chien Ce menuruni dengan cepat jalanan setapak Fan Cing san dan berniat kembali ke Kun Lun san. Chien Ce mengerahkan kemampuan lari cepatnya. Ia berlari terus
sampai kelelahan. Setelah senja tiba, dan langit menjadi ungu sampailah Chien Ce di tepi hutan. Malam itu ia beristirahat di tepi hutan itu dan baru keesokan harinya ia melanjutkan perjalanan. Entah kebetulan entah memang ada
kekuatan gaib yang memandunya, Chien Ce siang harinya melewati padang
bunga merah. Padang bunga merah ini padang yang sangat luas, jauh dari desa
atau pemukiman penduduk.
Ia berjalan perlahan, ketika suara derap kaki kuda terdengar mendekat. Awalnya ia tidak menyadari bahaya yang mengancam dari sosok-sosok yang dibawa oleh
kuda. Barulah setelah mendengar desingan senjata rahasia, hatinya mencelos.
Diloloskan pedangnya dan ia membalikkan badan sambil menangkis beberapa
kali. "Cringg...cri ng...cri ing....! tiga kali Chien Ce menangkis, tiga kali pula bunga api berpijar. Tiga buah amgi yang meluncur itupun bisa ditangkisnya. Ia terperanjat melihat empat orang yang datang menunggang kuda. Orang pertama bertubuh
tinggi besar berkulit kehitaman, berhidung mancung berbentuk betet, kepalanya bersorban, usianya ditaksir sudah delapan puluh tahunan. Tiga pengawalnya
juga terlihat sudah tua, ada yang kurus ada yang gemuk.
"Ha...ha...ha.....sam hengte, lihatlah seekor anak rusa didepan kita. Hayo kita balapan, siapa bisa menangkapnya duluan! Awas hati-hati ia adalah murid tiga orang jompo dari Kun Lun!"
"Foi sicu, mari kita praktikkan ilmu baru kita, aku sungguh penasaran ingin
melihat hasilnya, hi..hi..hi...!" ajak salah satu kakek tua yang bertubuh pendek.
"Benar..ayo..ayo...!" timpal yang lain sambil menghunus pedang. Ketiga kakek tua pengawal kemudian duduk bersila di atas rumput yang tebal. Tangan kiri
mereka ditempelkan pada dada kanan atas dekat pundak, tangan kanan yang
memegang senjata berposisi lurus ke depan. Pedang ditudingkan ke arah Chien
Ce. Lelaki bertubuh tinggi bersorban berdiri di belakang mereka. Mulutnya
berkemak-kemik membaca mantera. Sebilah pedang melengkung ditancapkan di
depan kakinya. Tangannya bergerak-gerak ke depan seperti penari kecak. Tibatiba pedang yang ditancapkan tercabut dari tanah dan bergerak perlahan
menuju ke atas tiga kakek yang bersila di depannya. Beberapa saat kemudian
pedang itupun berposisi sama dengan pedang yang dipegang tiga kakek, itu.
Namun sekejap kemudian pedang itu sekonyong-konyong meluncur cepat ke
arah Chien Ce. Seakan-akan ada tenaga yang bisa membawanya pedang itu
seperti digerakkan oleh tangan gaib menyerang Chien Ce bertubi-tubi. Chien Ce berusaha menangkis dan terjadilah perang tanding yang tidak kasat mata.
Antara Chien Ce melawan sebuah pedang. Pada saat yang sama ketiga kakek
yang duduk bersila kemudian menggerak-gerakkan pedangnya seakan-akan
menggores-gores sesuatu yang ada di depan. Akibatnya luar biasa, Chien Ce
merasa tubuhnya benar-benar tergores oleh tenaga gaib yang keluar dari
pedang lawan. Ditambah lagi seakan-akan ada bunyi berdenging di telinganya,
konsentrasinya menjadi buyar, sehingga pedang berbentuk melengkung
beberapa kali mulai berhasil melukainya. Padahal luka yang kemaren, masih
belumlah kering, masih ditambah lagi luka baru, betapa beratnya penderitaan
Chien Ce. Ia semakin kepayahan. Pada jurus ke lima puluh, ia sudah
sempoyongan. Namun rupaya musuh tidak ingin segera mengakhiri jiwanya.
Terbukti kemudian ketika Chien Ce benar-benar roboh. Pedang yang
menyerangnya ditarik oleh kakek tinggi besar bersorban. Pada saat yang sama
ketiga kakek tua yang sebelumnya duduk bersila juga mengakhiri serangan dan
bangkit. Dengan beriringan mereka mendekati Chien Ce, sambil tertawa-tawa
gembira. Tertawa yang bisa menegarkkan bulu remang, karena tidak mirip
dengan tertawa manusia biasa tetapi tawaan setan.
"Ha..ha...ha...lihat kawan-kawan, seekor rusa muda yang kita dapatkan, akan
kita apakan sebaiknya" Seperti orang jompo Kun Lun atau tosu buntung"
Sungguh kasihan, nasib murid tak jauh-jauh dari gurunya....."ujar orang tua
bersorban. Sambil mendekat diputar-putar pedangnya.
Siapakah kakek-kakek, yang mengeroyok Chien Ce ini" Pembaca pasti masih
ingat peristiwa di padang yang sama, ketika mereka mengeroyok orang ke tiga
dari Kun Lun Sam-lojin. Memang benar kakek yang sudah terang-terangan
membuka topengnya adalah Vicitra Rahwananda, atau yang disebut kawankawan dengan panggilan Foi Cit Ra, Foi sicu. Dan tiga kakek yang mengawalnya juga bukan orang sembarangan karena dia adalah tiga dari beberapa orang saja generasi di atas Liong Ping yang masih hidup. Mereka bersama-sama tinggal di gudang di dalam benteng bukit pedang. Orang-orang sesat macam mereka
memang sudah biasa membicarakan kematian orang seperti kematian ayam.
Mereka tak menyadari bahwa kematian adalah hak Tuhan yang tak bisa
diganggu gugat. Jika belum saatnya mati, ajalpun tak jua menjemput. Hanya
kurang dari dua tombak jarak mereka dari Chien Ce, tiba-tiba terdengar bunyi dengung dari hutan bambu kejauhan. Begitu sampai di padang, terlihat ada
sepuluh orang berlari-lari ke arah mereka. Rombongan ini terdiri dari sembilan lelaki berusia di atas lima puluh tahunan dan seorang dara yang berusia tujuh belasan, yang berwajah cantik.
"Hmmm....empat kerbau bau tanah mengeroyok anak muda, sungguh
menjemukan!" ujar salah seorang yang baru tiba. Di lihat dari seragamnya, yang putih-putih dan memegang bambu putih, orang langsung tahu mereka adalah
rombongan dari bambu putih. Memang benar, rombongan ini dipimpin oleh lelaki berumur lima puluh tahunan, memakai rompi warna cokelat muda, bernama Tik


Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Coan Kok. Di samping kanan dan kiri berdiri dua orang tua berwajah khas, dua Tiauw Kwi, yang dulu ikut bersama Tiong Gi ke Hang Chow. Begitu tiba mereka
langsung melontarkan lima bambu ke arah lawan. Lawan sempat mundur dua
langkah. Namun sebenarnya bambu ini sengaja dilontarkan untuk menjadi pagar
bagi Chien Ce. Begitu tiba di dekat Chien Ce beberapa orang mendekati tubuh
pemuda ini untuk memberikan bantuan. Mereka menggotong Chien Ce ke
pinggir kalangan. Liu Siang mengobati luka-lukanya.
*** Bagaimanakah Coan Kok dan dua Tiauw Kwi bisa sampai ke tempat ini"
Sebenarnya bukan suatu kebetulan mereka sampai di sini. Sejak meninggalkan
Hang Chow, Yung Ci memutuskan untuk mengunjungi puteranya Yung Lu di
markas bambu putih yang terletak di sebelah selatan kota Siang Yang. Di markas ini kemudian Yung Ci diminta puteranya agar menetap supaya lebih bisa
konsertrasi mendidik Tiauw Kwi. Dua bulan setelah Yung Ci tinggal di markas, Tiauw Kwi yang lain datang dan berkumpul di markas. setahun lamanya Yung Ci
mendidik Tiauw Kwi yang tinggal tujuh. Ikut didik pula putera Yung Ci yang
bernama Yung Seng. Pada waktu itu Yung Seng sudah berusia tujuh belas
tahun. Berbeda dengan Kakeknya yang berwatak agak kaku dan berapi-api, atau
ayahnya yang berwatak gembira, selalu ingin enaknya sendiri, dan mata
keranjang. Yung Seng adalah remaja yang tenang dan sabar. Meskipun bakat
silatnya tidak sebaik Tiong Gi ataupun Liu Siang, namun Yung Ci tetap puas,
karena jika dididik dengan baik, kemampuannya tidak akan kalah dengan Tiauw
Kwi. Berbeda dengan sikap ayahnya yang lebih suka menyembunyikan diri, kelompok
bambu putih yang didirikan Yung Lu sangat aktif terlibat dalam arena dunia
persilatan, sehingga pengetahuan dan pengalaman mereka sangat kaya. Yung
Lu juga sangat aktif merekrut anak buah dan melatihnya, sehingga di markas itu telah terdapat anak murid yang berjumlah lebih dari dua ratus orang, jumlah
yang sangat diperhitungkan lawan. Karena sering membantu masyarakat di
sekitar markas, dan juga penduduk kota Siang Yang pada umumnya, maka
kehadiran bambu putih dapat diterima. Selain di luar kota Siang Yang, kelompok bambu putih sejak ada kabar penemuan lukisan milik Lau Cin Shan, membuka
cabang di kota Heng Yang. Di cabang ini Yung Lu menempatkan lima puluh buah
anggota, yang kemampuannya sudah teruji.
Dari hasil pemantauan selama lebih dari satu tahun, Yung Lu melihat adanya
gerakan dari Tok Nan-hai Pang, yang mulai mendekati Yu Liang Pay. Ia juga
mendengar adanya sas-sus yang menyatakan bahwa Tok Nan-hai Pang telah
mendapatkan lukisan berisi peta dan bahkan puisinya sudah tersebar di dunia
kang ouw. Kalau ayahnya tidak suka terlibat dalam urusan warisan Lau Cin
Shan, Yung Lu bersikap sebaliknya, menurutnya warisan Lau Cin Shan adalah
warisan milik ksatria salju, dan sebagai ksatria berdarah murni ia merasa sangat berhak atas warisan itu, itulah sebabnya kenapa pihak bambu putih sangat
antusias berebut lukisan Lau Cin Shan yang berisi peta penyimpanan harta
karunnya. Setelah setahun dididik oleh Yung Ci, Yung Lu kemudian meminta
agar Tiauw Kwi dilibatkan dalam pencarian lukisan. Awalnya Yung Ci tidak
setuju, namun desakan terus menerus dari Yung Lu, akhirnya meluluhkannya,
apalagi Yung Lu juga berjanji akan membantu mencari bibit-bibit baru yang
dapat memperkuat barisan ksatria salju. Karena itu dibentuklah dua kelompok, yang pertama yang dipimpin oleh Coan Kok, bertugas untuk berkunjung ke
gunung salju besar menengok perkembangan Liu Siang dan mencari bibit baru.
Di perkampungan salju tempat tinggal nenek besar Toan Wei Sian, mereka
tinggal selama beberapa hari, kebetulan sebulan sebelumnya datang
serombongan tosu dari Kun Lun Pay, yang dipimpin langsung oleh Ki Liang tosu.
Kedatangan Ki Liang tosu selain untuk menjalin tali persahabatan juga ingin
meminta bantuan nenek besar untuk ikut membantu memikirkan, syukur-syukur
bisa ikut membantu memecahkan masalah yang sedang dihadapi oleh Kun Lun
Pay. Kun Lun Pay sejak peristiwa di Yi Chang menghadapi ketegangan dengan
Siauw Lim Pay. Utusan kedua belah pihak yang dikirimkan selalu mendapat
serangan yang diduga dilakukan oleh pihak lain.
"Begitulah locianpwe, suatu ketika pernah datang utusan dari Siauw Lim Pay,
yang menyatakan bahwa anak muridnya tewas oleh pukulan tongkat khas Kun
Lun Pay, mereka juga menuduh kami berkomplot dengan gerombolan penjahat
dan berhadap-hadapan dengan biksu dari Siauw Lim. Sebaliknya ketika kami
mengirimkan utusan ke Siauw Lim, dua dari lima utusan kami tewas, diserang
oleh lawan gelap, namun dari bekas lukanya, jelas mereka kena pukulan cakar
naga, khas Siauw Lim. Bagaimana pangcu kami tidak prihatin atas kondisi
seperti itu. Sejak saat itu sudah tak terhitung berapa kali anak murid kedua belah pihak terlibat bentrokan. Karena gunung salju besar termasuk tetangga
kami, maka sengaja kami datang ke sini. Kami tidak terlalu berharap besar,
karena kami juga tahu bagaimana keadaan di sini. Tapi barangkali saja kami bisa berbagi informasi yang penting bagi penyelidikan masalah ini. Oh ya, belasan tahun yang silam kami pernah menemukan seorang anak lelaki di antara
beberapa orang yang tewas mengenaskan di daerah utara gunung besar. Di
sekitar bekar pertempuran itu kami mendapatkan banyak sekali senjata rahasia berupa kepingan besi seperti ini, aku pernah mendengar dari suhu laskar yang bernama tengkorak hitam, benarkan memang benar-benar ada?" tanya Ki Liang
tosu sambil mengulurkan tangannya menunjukkan sekeping besi berbentuk
tengkorak kepada nenek besar.
"Ooohhh.......Shu Jit Su...........ternyata kau tak pernah sampai ke suhu," gumam nenek besar dengan mata menerawang. Tangannya gemetar memegang keping
amgi (senjata rahasia) itu. Air matanya meleleh membasahi pipi, namun tak ada sedu sedan. Tanda kesedihan yang tertahan. Hanya sebentar saja nenek yang
sudah kenyang asam garam meluapkan emosi sesaat, sesudahnya ia kembali
lagi dengan ekspresi semula. Sungguh kematangan bathin seorang perempuan
yang luar biasa.
"Ahh, maafkan kami, tak kami sangka locianpwe mengenal rombongan yang
meninggal itu. Kami telah menguburkan mereka semua termasuk kudanya.
karena kami tidak mengenali kami tidak memberi nama pada batu nisannya.
Tapi kami masih ingat tempatnya!"
"Benar memang, aku yakin sekali mereka rombongan Shu Jit Su sekeluarga.
Akulah yang menyuruh mereka meninggalkan negeri ini, mencari suhuku yang
masih terhitung kakek Shu Jit Su. Antek-antek tengkorak hitam mengetahui
rencana Yung Ci hendak menjodohkan puteranya dengan adik Jit Su yang
bernama Shu Kiok Nio. Meskipun perjodohan itu batal, namun kehadiran Yung Ci ketahuan pihak lawan. Ketika kemudian muncul laskar tengkorak hitam
menyerang rombongan Yung Ci, Shu Jit Su ikut membela Yung Ci. Nah karena
ketahuan bisa silat Shu Jit Su dimusuhi oleh tengkorak hitam. Karena khawatir keselamatannya maka aku minta dia untuk mengungsi ke utara. Sayang ternyata
semuanya sudah terlambat."
"Kiranya begitu kejadiannya. Kebetulan sekali kalau begitu. Perlu saya
sampaikan pada saat ini putera Shu taihiap, yang kami beri nama Chien Ce
sedang berguru pada Kun Lun Sam-lojin. Kalau locianpwe berkenan menengok,
mereka ada di sebelan utara markas kami."
"Terima kasih totiang, budi totiang tak kan kami lupakan, kami berjanji akan memberi bantuan sesuai dengan kemampuan kami!"
Sebulan kemudian kedatangan rombongan dari bambu putih diterima dengan
gembira oleh nenek besar. Iapun menugaskan mereka untuk menemui putera
Shu Jit Su, dan bersama-sama dengan Liu Siang, akhirnya rombongan ini
berangkat ke Kun Lun, di Kun Lun mereka di terima oleh ji-lojin. Ji-lojin pada saat itu tinggal sendirian di gua, karena toahengnya sudah meninggal. Ia juga menyampaikan bahwa Chien Ce sudah mereka kirim ke Yu Liang Pay. Maka
rombongan ini bergegas ke Yu Liang Pay, dan di lembah bunga inilah mereka
bertemu dengan empat kakek tua yang sedang mengeroyok seorang pemuda.
*** "Monyet-monyet bambu putih sungguh lancang berani bermain gila dengan
tetua Yu Liang Pay!" kata Vicitra sambil melontarkan pedangnya ke depan.
Pedang itu seperti digerakkan oleh tangan saja menebas pagar bambu yang
dibuat Tik Coan Kok dan rombongannya, sehingga sekali tebas saja, lima bambu utung hingga tinggal tonggak-tonggaknya saja. Dan pedang itu lantas kembali
lagi ke tangan pemiliknya. Sebuah adegan yang mengagumkan, namun tidak
membuat rombongan Tik Coan Kok keder. Dengan membulatkan tekad ia
berkata, "Kami rombongan bambu putih tidak bermaksud turut campur, namun
kami tidak akan membiarkan setan-setan bangkotan seperti kalian berbuat jahat di depan kami!"
"Ha...ha..ha...sungguh lucu...sungguh lucu, anak-anak kemaren sore sungguh
berani mati menantang kami. Hayo majulah, jangan tanggung-tanggung sekalian
bersepuluh maju semua, biar cepat kami memenggal leher kalian sebelum kami
kerat daging bocah itu sekerat demi sekerat!" ujar Vicitra.
Mendapat tantangan seperti itu Tik Coan Kok melototkan matanya kepada
lawan. Ia hendak memberi aba-aba kepada enam anak buahnya untuk melayani
tantangan. Namun Tiauw Kwi berdua sudah maju ke depan.
"Biarlah kami melayani kalian sebentar!"
"Aku ikut!" tiba-tiba Liu Siang juga sudah melompat ke samping dua kakek
Tiauw Kwi. Melihat yang maju dua orang kakek dan seorang gadis, Vicitra meminta tiga
tetua Yu Liang Pay menghadapinya. Maka dimulailah pertarungan tiga lawan tiga yang sangat seru. Tiga kakek tetua Yu Liang Pay ini memang sudah terlatih
menyerang dalam barisan sehingga mereka bisa bekerja sama dengan baik.
Namun lawan yang mereka hadapi kini adalah dua Tiauw Kwi yang sudah
digembleng oleh Yung Ci sehingga kelihaian mereka maju pesat dalam setahun
terakhir. Ditambah lagi dengan Liu Siang yang menyerang dengan tak kalah
hebatnya. Jurus demi juruspun berlalu, makin lama serangan-serangan kedua
belah pihak makin cepat dan sulit di kuti oleh pandangan mata rombongan
bambu putih. Hawa pukulan-pukulan yang dilepaskan juga makin lama dirasa
makin berat, sehingga arena makin luas.
Karena serangan tangan kosong, mampu di bendung oleh lawan, maka tiga
tetua Yu Liang Pay, mulai mencabut pedang. Tiauw Kwi juga melayani dengan
mencabut pedang, sedangkan Liu Siang menggunakan tongkat, ia memang
merasa cocok sekali bersenjatakan tongkat. Namun jangan dikira tongkat
ditangannya rapuh. Tongkat di tangan Liu Siang adalah tongkat kayu cendana
yang didalamnya terdapat baja yang keras luar biasa. Tongkat ini memang
peninggalan salah satu ksatria salju yang bersenjatakan tongkat.
Pedang di tangan tiga tetua Yu Liang Pay, bergerak sangat hebat, pedang
berkelebat ke kanan kekiri, meliuk-liuk bagaikan naga. Mereka memainkan Yu
Liang Kiam Hoat, salah satu ilmu pedang terbaik di rimba persilatan, yang baru-baru ini sempat menggemparkan karena daya magisnya. Dan dimainkan oleh
tetua yang ikut merintis perkembangan ilmu pedang ini sejak masih kanakkanak, dapat dibayangkan betapa hebat serangan pedang mereka. Namun yang
mereka hadapi adalah dua dari tujuh burung hantu gunung salju, dan masih
dibantu oleh Liu Siang. Pertahanan ilmu pedang mereka Swat Kong Kiam Hoat,
sungguh sangat ketat, nyaris tidak menyisakan satu celahpun bagi masuknya
serangan lawan. Tangkisan dan serangan balasan dari dua Tiauw Kwi
menyambar-nyambar bagaikan rajawali. Ketika sampai pada jurus ke dua puluh
enam, kedua Tiauw Kwi mengubah gerakan pedangnya dengan lebih banyak
menyerang, pedang mereka berputar cepat hingga berdengung-dengung seperti
bunyi lebah. Mereka lebih serang maju kedepan. Melihat kedua suhengnya
sudah lebih banyak maju, Liu Siang mencari posisi yang tepat untuk bisa
membantu memberikan perlindungan atau memperkuat pertahanan. Mulai dari
jurus kedua puluh enam, memang gerakan ilmu pedang ini sungguh dasyat.
Berkali-kali pedang di tangan Tiauw Kwi mengancam jalan darah utama lawan,
bahkan sudah dua kali berhasil menggores lengan lawan.
Melihat kedudukan ketiga tetua itu makin lama makin terdesak, Vicitra
bersedekab, mulutnya berkemak-kemik. Akibatnya, baik Tiauw Kwi maupun Liu
Siang merasa ada suara aneh yang menusuk-nusuk telinga. Meskipun hanya
sekejab namun cukup mengganggu konsentrasi mereka. Liu Siang paling
terlambat menyadari kelengahan sesaat mereka, sehingga ketika sebuah
tusukan mengancam dadanya, ia seperti sudah terkunci, tidak mampu
melakukan tangkisan, namun masih diusahakan menghindari dengan
menjatuhkan diri.
"Pranggg....! pedang lawan dapat ditangkis oleh salah seorang dari Tiauw Kwi, namun masih menyerempet lengan Liu Siang. Kedua Tiauw Kwi menjadi terkejut
dan khawatir melihat keadaan Liu Siang. Akhirnya mereka seperti bersepakan,
melompat mundur tiga tombak, dan bersiap melakukan serangan dengan tenaga
Sai Cu hokang. Mereka bertiga kemudian menarik nafas hingga dadanya mengempang,
kemudian mengumpulkan seluruh hawa khiekang ke pangkal pita suara,
"Auuoooooooooooooommmm!"
Lengkingan dasyat keluar dari ketiga mulut mereka, lengkingan yang
mengandung getaran yang luar biasa, mengakibatkan ketiga lawan seperti
tersapu oleh angin yang tidak tampak. Vicitra sendiri dibuat mundur satu
tombak, sorbannya terbang entah sampai mana. Nafanya sesak, bukan hanya
karena kesulitan bernafat tetapi karena amarah yang mulai berkecamuk di dalam dadanya. Nasibnya ditentukan oleh akhir pertarungan hari ini, kalau ia kalau dan pemuda itu sempat ditolong, kedudukan bahkan nyawanya bisa teranca. Namun
belum sempat ia bertindak, ketiga tetua Yu Liang Pay, sudah balik kanan, dan begegas mendekati kuda-kuda mereka, sambil berkata, "Sai Cu hokang kalian
sungguh luar biasa, biar lain kali kita ketemu lagi."
Vicitra merasa serba salah. Posisinya tidaklah di atas tetua Yu Liang Pay,
sehinggi ia tidak dapat memerintah mereka. Akhirya dengan lemas, ia terpaksa mundur,
"Hari ini kalian monyet bambu putih boleh merayakan kemenangan, tapi kelak
aku akan buat perhitungan, cuhh!" Vicitra mengakhiri kata-katanya dengan
meludah, sungguh ludah yang sangat menjijikkan.
"Tunggu saja babi hutan bersorban! Kelak masih ada waktu bagi kami untuk
mengusirmu dari sini!" balas Coan Kok tak kalah kasarnya.
Begitu musuh mundur, kedua Tiauw Kwi mendekati Chien Ce. Salah satu dari
mereka kemudian menempelkan tangan ke punggung, dan sejenak kemudian
Chien Ce sudah siuman. Entah kebetulan atau tidak ketika siuman, wajahnya
menghadap ke kiri, ke arah Liu Siang.
"Ah, dimanakah aku sekarang, apakah aku sudah ada di sorga. Duhai bidadari,
benarkan kau bidadari sorga?" ucap Chien Ce perlahan. Matanya seperti terpaku pada wajah gadis yang ada didepannya.
"Ihh..laki-laki mulut buaya!" gumam Liu Siang sambil mengegoskan kepalanya.
Tapi lain di mulut lain di wajah. Rona merah pipi kiri dan kanan, dan binar mata yang berbulu lentik itu, seakan mengharapkan lebih banyak lagi pujian keluar dari mulut itu.
"Ehm..ehem...! Syukurlah kongcu sudah siuman, kalau boleh tahu siapakah
nama dan dari mana asal kongcu?" kata Kiu Tiauw mengalihkan pembicaraan.
"Nama boanpwe Chien Ce, dari Kun Lun san, terima kasih banyak atas bantuan
locianpwe, kalau tidak keburu datang tentu nyawaku sudah tidak bisa
diselamatkan!"
"Chien Ce" Shu Chien Ce" Ya Tuhaaan.....syukurlah kongcu sudah bisa kami
temukan dengan selamat," ujar Kiu Tiauw sambil mengangkat pundak pemuda
yang masih rebah itu dan memeluknya.
"Siapakah kalian?"
"Ketahuilah Ce kongcu, kami ini rombongan dari bambu putih. Kita orang sendiri, kami bertiga bersama dengan kakakku Go Tiauw dan nona Liu Siang ini juga
berasal dari negeri salju, asal usul nenek moyangmu!" ucap Kiu Tiauw sambil
matanya berkaca-kaca.
"Negeri salju" Di manakah itu" Benarkah aku berasal dari sana?"
"Tentu saja panjang ceritanya, mari kita mencari tempat istirahat yang nyaman dulu, soal negeri salju gampang diceritakan nanti."
Akhirnya rombongan ini mencari desa terdekat dan menginap di bangunan tua
yang kosong. Dengan cepat Liu Siang dan Chien Ce menjadi akrab. Chien Ce
mendengarkan penuturan dari Kiu Tiauw dan ditimpali oleh Go Tiauw dan Liu
Siang dengan penuh perhatian. Ia sama sekali tidak menyangka kisahnya seperti itu, sungguh kebetulan sekali ia bisa bertemu dengan orang-orang dekatnya,
pada saat-saat yang sedemikian gentingnya bagi keselamatan jiwanya.
Setelah beristirahat semalaman, akhirnya pada pagi harinya mereka
memutuskan untuk kembali ke gunung besar dan melanjutkan lagi perjalanan ke
barat, ke Kun Lun Pay. Bahkan nenek besarpun berkenan untuk ikut serta
rombongan. Dua minggu kemudian mereka sampailah di Kun Lun Pay,
rombongan ini kemudian di terima dengan ramah oleh Ki Hun Sengjin,
Ciangbujin Kun Lun Pay, yang masih terhitung suheng Ki Liang tosu. Ki Hun
Sengjin adalah murid tertua Giok Yang Cinjin, ia terpilih menggantikan suhunya yang sudah sangat tua.
Pada kesempatan itu Chien Ce juga mengundang gurunya untuk berkunjung ke
Kun Lun San. Ji-lojinpun akhirnya berkenan mengunjungi Kun Lun. Mereka
kemudian duduk bersama untuk membicarakan masalah yang dihadapi,
terutama dalam merespon kejadian di Yu Liang Pay.
Bab 18. Membawa saksi ke Siauw Lim
Kita tinggalkan dulu mereka yang masih sibuk berdiskusi di sebuah ruangan di salah satu gedung di markas Kun Lun Pay. Mari kita ikuti kembali petualangan Tiong Gi. Setelah beberapa malam tinggal di kuil di luar kota An King, ia
berpamitan ke Kiong tojin. Dengan langkah mantap ia berangkat ke Yi Chang
dengan menumpang perahu. Kebetulan ada perahu yang berlayar ke kota Wu
Han, maka Tiong Gi menumpang perahu ini.
Angin di awal musim panas berhembus perlahan-lahan. Meskipun matahari
belum ada sepenanakan nasi terbit, namun hawa hangat di musim panas sudah
mulai menjalari tubuh semua penumpang. Air sungai Yang tse mengalir dengan
tenang. Di atas perahu Tiong Gi merenungkan kata-kata Kiong tojin suhengnya, ketika ia bertanya tentang makna selembar tulisan dari Ouwyang siaucay. Kiong tojin menjelaskan panjang lebar mengenai sebaris terakhir dari baik puisi yang ditulis siaucay buta. Tulisan yang yang berbunyi: Kebijaksanaan tertinggi seperti air yang memberi manfaat kepada segala sesuatu mengalir ke tempat rendah
meski tak disukai orang, karena itu sifatnya berdekatan dengan Too. Kalimat
yang dinukil dari kitab tao tik keng ajaran To. Banyak sifat-sifat air yang
disampaikan oleh Kiong tojin yang memberi pelajaran bagi Tiong Gi, sifat yang selalu memberi manfaat sebagai sumber kehidupan, sifat selalu mengalir ke
tempat yang rendah, sifat yang tenang namun juga sifat yang bisa
menganyutkan apa saja yang dihamtam oleh gelombang.
"Lihatlah air tidak punya mata, namun bisa berjalan, karena mengikuti sifat-sifat ini. Barangkali itu yang dimaksud oleh Ouwyang siaucay!" ujar Kiong tojin
menutup nasihatnya."Hmmm...sifat ini cocok untuk menggerakkan hawa sakti
guna membuka jalan-jalan darah," renung Tiong Gi. Maka dalam perjalanan
selama empat hari, di atas perahu, dimanfaatkan oleh Tiong Gi untuk melatih
kembali cara-cara bersamadi mengumpulkan hawa murni, dan mengalirkannya
untuk membuka jalan darah di beberapa bagian tubuhnya. Tak terasa, ternyata
setelah dengan tekun beberapa kali mencoba akhirnya Tiong Gi bisa merasakan
manfaat dari tulisan Ouwyang siaucay, yang notabene bukanlah seorang pesilat.
Karenanya maka di waktu-waktu lenggang ia terus melatih teknik
mengumpulkan hawa murni. Sehingga mendapat kemajuan yang cukup pesat.
Setelah empat hari, perahu akhirnya merapat di pelabuhan Wu Han. Dari
pelabuhan ini tidak ada perahu lanjutan yang langsung ke Yi Chang, karena
daerah di sungai itu sudah dikuasai oleh kelompok bajak sungai Tiat-sim hengkang, sehingga Tiong Gi memutuskan untuk melanjutkan perjalanan darat.
Perjalanan darat yang ditempuh oleh Tiong Gi melalui bukit-bukit, padang, dan hutan belantara. Beberapa kali ia harus berhadapan dengan penjahat yang
mencegatnya, namun dengan tingkat kelihaiannya yang dimiliki, mana ada
penjahat yang mampu menyentuhnya.
Pada hari kesepuluh dalam perjalanan darat barulah Tiong Gi sampai di Yi
Chang. Sengaja Tiong Gi mencari warung makan yang cukup besar, dan seperti
sebelum-sebelumnya, ia memilih tempat duduk di samping, sehingga cukup
leluasa melihat sekeliling. Belum sampai makanan yang dipesan datang, tiga
orang lelaki berpakaian singsat memasuki kedai. Mukanya terlihat kalut. Salah seorang dari mereka yang bertubuh agak gemuk mengeluh, "Suko, celakalah


Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kita kalau kita berlama-lama di sini, kalau ketahuan gelandangan sabuk hitam kita pasti ditangkap!"
Orang kedua yang berkumis tikus menimpali, "Benar toa-suko, kita harus segera mengambil sikap, apa sebenarnya maksud Chang susiok untuk mengundang kita
makan di sini, bukankah berbahaya sekali?"
"Kalian berdua tenang saja, Chang susiok pasti punya rencana untuk kita.
Tempat ini cukup aman, para pengemis itu masih sibuk dengan kekisruhan di
rumah mereka sendiri!" kata orang pertama yang berwajah tirus, bengis, dan
berkumis. Tak lama kemudian pesanan Tiong Gi tersajikan. Pada saat yang sama seorang
lelaki agak pendek berusia lima puluhan memasuki kedai, dan langsung
bergabung dengan ketiga lelaki yang sudah duduk mengelilingi meja. Mereka
kemudian membicarakan sesuatu. Tiong Gi, tidak memperhatikan wajah mereka,
namun ia memasang pendengaran dengan sebaik-baiknya. Ternyata lelaki tua
yang baru datang itu memberi perintah kepada ketiganya untuk meminta
bantuan ke Hek in Pang. Mendengar disebutnya nama Hek in Pang, Tiong Gi
sudah mulai curiga. Selepas makan, ia kemudian membuntuti tiga lelaki
tersebut, yang ternyata berjalan ke arah sungai.
Tepat di suatu belokan di hutan yang tidak terlalu lebat, ketiga lelaki ini
dikejutkan dengan munculnya seorang pemuda. Ternyata Tiong Gi yang
mencegat mereka.
"Heh, bocah gendeng, minggir! Biarkan kami lewat, atau kau terimalah ini!"
lelaki yang agak gemuk yang paling berangasan, mengulurkan tangan hendak
menangkap baju Tiong Gi. Namun beberapa sentilan membuatnya terdiam kaku
dalam posisi tangan tangan kiri hendak mengcengkeram. Melihat saudara
termudanya dengan mudah ditotok oleh lawan, kedua lelaki tersebut mencabut
golok dan mulai menyerang Tiong Gi. Tiong Gi memapaki serangan mereka
dengan dua kali kibasan. Dan hasilnya luar biasa. Golok di tangan lawan patah, dan mereka berdua terpelanting ke kanan dan ke kiri, tangan mereka rasanya
seperti mau patah. Tiong Gi mengambil patahan golok dan menodongkan pada
lelaki berkumis tikus.
"Hayo katakan, apa yang telah terjadi di markas pengemis sabuk hitam, dan
siapakah kalian?"
"Aku tidak tahu!"
"Wusss......crooott! Aaaaarrrch.......!!!"
Patahan golok itu meluncur cepat, membabat telinga kiri. Darah mengalir
membasahi leher dan dada. Lelaki berkumis tikus, melirik sepotong telinga yang tergeletak di tanah dengan tatapan ngeri. Ia hendak beringsut mundur, namun
sebuah tendangan membuatnya roboh.
"Jika kau tidak mengatakannya, bukan telinga sukomu yang tergeletak di tanah, melainkan telingamu, apakah kau mau seluruh panca inderamu kukerat sedikit
demi sedikit?" ancam Tiong Gi.
Mendengar ancaman seperti ini, akhirnya mengakulah si kumis tikus. Apakah
sebenarnya tang telah terjadi di markas kaypang sabuk hitam cabang Yi Chang
ini" Dua hari yang lalu perkumpulan kaypang sabuk hitam di Yi Chang kedatangan
lima orang tamu daru markas pusat Chon King. Lima pengemis yang datang ini
dipimpin langsung oleh Sin Hwat. Setelah beberapa waktu menyelidiki, akhirnya mereka mendatangi markas cabang. Sin Hwat ingin mengajak pengemis di
markas untuk kembali ke jalan yang lurus. Tapi pihak penentang mana sudi
menuruti kata-kata Sin Hwat. Maka terjadilah pertarungan yang hebat, lebih dari sepuluh orang tewas dan puluhan orang lainnya akhirnya dipenjarakan. Namun
Sin Hwat tidak menjumpai keempat tetua kaypang yang menjadi pimpinan
mereka, termasuk pamannya.
"Kemana perginya keempat pangcu?" tanya Sin Hwat kepada salah seorang
pengemis yang menyerah. Ia mengenal pengemis muda itu adalah sahabatnya
sendiri, yang dulu bersama-sama bercengkerama di tepi sungai Yang tse
merayakan ulang tahunnya.
"Sejak saat itu, ketua Tiong sakit-sakitan dan meninggal beberapa bulan
kemudian. Setelah itu ketua cabang dipegang oleh Lim Kang lokay. Beliau gugur ikut ketika datang serangan dari Siauw Lim. Karena dua suhengnya sudah
meninggal akhirnya Te Kang susiok, mengambil alih pimpinan cabang, namun
baru sebulan timbul ah huru-hara, yang memecah belah kaypang. Te Kang
susiok meninggal dalam pertikaian ini. Dalang dari kericuhan ini adalah Chang lokay. Sekarang ia melarikan diri."
"Lantas pamanku" Kemana beliau?"
"Beliau menghilang bersamaan dengan kepergianmu, kami malah menyangka ia
ikut mengantarkanmu, eh sam-ko kau bakalan lama disini khan" Ajari aku ya...!"
Sin Hwat tersenyum hambar, sutenya memang belum tahu bahwa kini
dipundaknya terdapat beban tanggung jawab yang besar, namun ia tetap
mengangguk perlahan.
Keesokan harinya Sin Hwat mendatangi Kuil Kong sim liok si di sebelah utara
kota. Namun ternyata kuil itu sepi, meskipun ada satu dua orang yang menjaga, namun sebagian besar penghuni kuil pergi ke ibu kota. Sin Hwat menangkap
salah seorang yang memaksanya berbicara. Ternyata penghuni kuil sudah
seminggu berangkat ke kota raja. Setelah berbicara dengan para tetua yang
menyertainya, Sin Hwat akhirnya memutuskan untuk menyusul ke kota raja. Ia
berangkat sendirian, sekalian meluaskan pengalaman.
Begitulah kejadian yang baru-baru ini terjadi di Yi Chang, namun tentu saja tidak semua kejadian itu disampaikan oleh lelaki yang ditangkap Tiong Gi. Mendengar berita Sin Hwat telah kembali hati Tiong Gi menjadi tenang, setidaknya keadaan Yi Chang sudah tidak perlu dikhawatirkan, ia justru berencana menyusul Sin
Hwat ke kota raja, "Bagaimana keadaan dia sekarang" Apakah sudah jadi
pengemis yang sakti" Tentu saja sekarang ia makin matang," pikir Tiong Gi.
Tiong Gi baru saja mau beranjak ketika ia tersadar bahwa tiga lelaki itu hendak melarikan diri. Tiba-tiba saja di kepalanya terbersit pikiran untuk membawa
salah seorang sebagai tawanannya ke Siauw Lim Pay. Maka meloncatlah Tiong
Gi mengejar salah seorang dari mereka, dan orang yang di nterogasi sebelumnya akhirnya tertangkap dan ditalilah tangannya. Selanjutnya dengan menggunakan
kuda yang dibeli dari pasar, Tiong Gi melanjutkan perjalanan ke Siauw Lim Pay.
Perjalanan ke Siauw Lim bagi seorang pemula macam Tiong Gi tidaklah mudah.
Dengan menunggang satu kuda, Tiong Gi hanya mendapat petunjuk dari
pedagang yang ditanya bahwa Siauw Lim berada di sebelah utara. Jarak antara
Yichang yang berada di propinsi Ouw-pak dengan Siauw Lim di Ho lam barat,
normalnya hanya memerlukan waktu beberapa hari. Namun karena tidak
pengalaman serta membawa tawanan perjalanan Tiong Gi berlangsung hampir
satu bulan. Bisa dibayangkan tingkat kesulitan yang dihadapi. Beberapa kali ia sempat dicurigai sebagai orang jahat, karena membawa tawanan dalam keadaan
terikat. Beberapa kali tawanannya hendak melarikan diri. Bahkan pernah ada
yang melakukan serangan senjata rahasia secara menggelap. Namun untung
seperti ada senjata lain yang menangkis. Meski hanya sekelebatan, namun Tiong Gi yakin perjalanannya ada yang membayangi. Tetapi yang membuatnya tenang
adalah karena ada bayangan yang sepertinya melindunginya. Masih ditambah
perjalanan darat yang melewati bukit-bukit tandus, atau padang ilalang, hutan belantara. Beruntung ketika ia tiba di lereng pegunungan Hoa San, ia melewati sebuah padang yang sebenarnya merupakan tempat yang sunyi, yang jarang
dikunjungi. Di padang itu ia mendengar seseorang seperti sedang berteriakteriak berlatih silat. Dan benar saja, dari kejauhan ia melihat seorang pemuda sedang melakukan gerakan-gerakan silat, tubuhnya melayang-layang dengan
ringannya, sementara itu seorang kakek tua berpakaian khas pendeta To duduk
bersila di atas sebuah batu. Kakek itu bertubuh kurus sekali, rambut, kumis dan jenggotnya sudah berwarna putih semua.
Melihat kedatangan Tiong Gi, mendadak pemuda itu berhenti dan menatap tamu
yang tak diundang, dengan tatapan curiga. Tiong Gi segera mendekati mereka.
"Mohon maaf atas kelancangan cayhe. Bukan maksud mengganggu jiwi, tapi
kedatangan cayhe benar-benar ingin minta bantuan, sudilah menunjukkan letak
kuil Siauw Lim Si."
"Hmmm, minta pertolongan dengan membawa seorang tawanan" Sungguh kami
tak apa yang ada di benakmu anak muda," jawab orang tua yang hanya duduk
bersila itu. "Cayhe bisa menjelaskannya. Perkenalkanlah cayhe bernama Tiong Gi, utusan
Sun Ciak Kun lociapwe dari Hang Chou."
"Dan aku adalah Cung Su, murid Nabi Lau Cu!" jawab kakek itu tanpa ekspresi.
"Dan aku putra mahkota Chao Ceng!" kata pemuda yang habis berlatih sambil
bersedekap dan mendongakkan kepala, berlagak seorang pangeran.
Tiong Gi tertegun, ia menatap tak percaya, tapi yang bikin ia tambah heran,
pemuda itu kemudian tertawa terbahak-bahak.
"Ha...ha...ha.....Gi hiante, tak perlu basa-basi kalau memang murid Sun Ciak Kun, tentu saja kamu bisa membuka mata kami supaya kami benar-benar,
supaya drama ini benar-benar happy ending (berakhir membahagiakan)!"
Tiong Gi kemudian tersenyum, otaknya yang cerdas akhirnya bisa memahami
maksud mereka. Mereka kawatir ia hanya bersandirwara. Ia kemudian
menunjukkan guci kemala pemberian gurunya. Kakek tua yang duduk tiba-tiba
memandang takjub guci itu. Kemudian dengan perlahan ia berkata,
"He..he..he....guci kemala itu memang punya Sun Ciak Kun, tapi cobalah
tunjukkan keasliannya, bersiaplah menahan seranganku anak muda!"
Selesai mengucapkan kata-katanya, kakek itu kemudian menggerakkan kedua
tangannya kedepan, serangkum pukulan dasyat keluar dari tangan tersebut
menyambar ke arah Tiong Gi. Jarak antara kakek itu dengan Tiong Gi berdiri
lebih dari lima tombak. Namun Tiong Gi yang sudah siap juga menggerakkan
tangannya dengan posisi bersilang untuk menangkis hawa pukulan lawan.
"Desss....!"
Hawa serangan lawan bisa dipunahkan oleh tangkisan Tiong Gi, namun ia
terdorong satu langkah, dan masih merasakan hembusan gelombang hawa
tersebut, meskipun sudah lemah. Kakek itu memandang kagum, kepalanya
mengangguk-angguk.
"Bagaimanakah kabarnya Sun Ciak Kun" Lama sekali aku tak jumpa pasti
sekarang ia tambah keriput saja."
"Suhu baik-baik saja, siapakah nama locianpwe yang mulia?"
"Orang memanggilku Hoa-san Siauw-jin, dan ini muridku yang terakhir Sim
Houw!" Setelah saling berkenalan Tiong Gi kemudian menceritakan masalah yang
dialaminya. "Kong sim hosiang" Aku tahu..aku kenal biksu suci itu. Beberapa tahun yang
silam aku bahkan pernah berkunjung ke kuilnya.
Singkat kata mereka berdua berkenan membantu Tiong Gi. Seorang anak murid
tosu itu yang dikenalkan sebagai Hung Sim Houw bersedia membantu, setelah
mendengar penjelasan yang panjang lebar dari Tiong Gi.
Perjalanan dari Hoa San menjadi lebih santai karena Sim Houw sangat ramah
dan pandai berkelakar. Tiong Gi jadi teringat Sin Hwat. Sin Hwat juga ramah, namun jarang berkelakar tidak seperti Sin Houw ini. Sehingga perjalanan lima hari serasa hanya sehari saja. Sesudah mendaki Siauw sit san, Sin Houw
meminta Tiong Gi menambat kuda didahan pohon dan meneruskan perjalanan
dengan jalan kaki. Sambil berjalan, mereka berbincang-bincang sambil
mengawasi puncak-puncak gunung dan kuil Siauw Lim Sie dari kejauhan.
"Gi-te, jagalah sikap dan bicaramu kalau menghadapi para losuhu di sana," Sim Houw memulai perbincangan dengan ramah, karena lebih tua beberapa tahun,
ia memanggil hiante (saudara muda) ke Tiong Gi.
"Memangnya kenapa Houw-ko?"
"Kuil Siauw Lim merupakan salah satu kuil yang sangat keramat. Gedunggedungnya sudah berumur ratusan tahun. Biksu-biksunya sangat alim dan lihai.
Kalau tidak hati-hati bicara, kau bisa menjadi gagu!"
"Ah benarkah demikian?"
"Benar, suhuku saja pernah membawa keledai ke sana. Pulang-pulang keledai
itu tidak bisa bicara sama sekali."
"Ha..ha...ha....mana ada keledai yang bisa bicara Houw ko, kau ini bisa saja!"
Merekapun tertawa lepas. Tidak menghiraukan tawanan yang cemberut dengan
wajah yang nelangsa.
Tak lama kemudian, mereka tiba di pendopo Lip soat teng. Kebetulan, dua
pendeta kelihatan mendatangi. Sin Houw menghampiri dan sesudah memberi
hormat, ia berkata: "Siauw-te Sin Houw dari Hoa San, datang mengantarkan
adik Tiong Gi yang ingin bertemu dengan Bu Sian Taisu."
Salah seorang pendeta terlihat terkejut, tidak biasanya ada tamu yang masih
muda mencari Bu Sian Taisu. "Ada keperluan apakah kalian bertiga datang
menghadap, apakah dia ini sedang sakit?" tanya pendeta berbaju abu-abu
dengan nada keren.
"Ayo kamu jelaskan Gi-te!"
"Memang tidak salah dia sedang sakit, tapi yang lebih penting tolong suhu
katakan siauw-te utusan Sun Ciak Kun locianpwe ingin menghadap."
Pendeta itu makin terperanjat dengan disebutnya nama Sun Ciak Kun. Hampir
semua pendeta Siauw Lim tahu belaka siapa Sun Ciak Kun, karena beliau
memang pernah belajar di Siauw Lim.
"Silahkan masuk ke pendopo, hanya sayang Bu Sian Taisu sedang ada keperluan
ke luar kota, namun ada yang akan mewakili."
Mendengar Bu Sian Taisu sedang keluar, Tiong Gi merasa kecewa sekali. Untung ada Sin Houw yang pandai menghibur.
"Jangan khawatir, di Siauw Lin ini banyak biksu yang bersikap sangat bijak.
Kalau wakil dari Bu Siang Taisu tidak memuaskanmu, kita bisa bikin ribut di sini, nanti kan para tetuanya akan datang, dan malulah mereka!"
Benar saja dugaan Tiong Gi, setalah beberapa menit menunggu, ia ditemui dua
orang biksu setengah baya. Biksu yang agak kurus memperkenalkan diri sebagai Kong Ci Taisu, yang satunya lebih gempal bernama Kong Han Taisu. Dua-duanya pelontos, dan berpaikaian kuning muda. Tiong Gi kemudian
menceritakan maksud kedatangannya. Dengan panjang lebar ia menjelaskan
kejadian yang di ngatnya saat ditawan di kuil Kong-sim Liok-si. Kemudian
bertemu dengan biksu berjubah merah, didatangi barong berbentuk kelabang,
bertemu dengan jembel berlengan tunggal, hingga huru-hara yang
menyebabkannya lari ke Hong Jie. Selanjutnya ia menyerahnya lelaki tua yang
wajahnya makin pucat.
"Omitohud...hmm..jiwi siapakah eh siapa pula orang ini?" tanya Kong Ci Taisu.
"Dia adalah anak buah pengemis sabuk hitam palsu, mereka membentuk
komplotan untuk maksud jahat, termasuk mengadu domba para pendekat
persilatan," jawab Tiong Gi tegas.
"Anak buah?"" Haa...hanya anak buah?" ucap Kong Han Taisu dengan nada
meremehkan. Kong Ci menyikut tangan Kong Han disertai tatapan mata
menegur. Namun Kong Han tidak berhenti sampai disitu saja ia masih
melanjutkan, "Kalau hanya anak buah sih, Siauw Lim tidak perlu datang
memohon-mohon bantuan kepada Sun Ciak Kun locianpwe yang kabarnya
berilmu tinggi bagaikan dewa."
Baik Tiong Gi maupun Kong Ci Taisu tertegun dengan ucapan terakhir Kong Han
Taisu yang tak bisa dibantah kebenaran logikanya. Tiong Gi sama sekali tidak menduga mendapat respons dari tuan rumah seperti ini. Ia menyangka akan
disambut dengan penuh keramahan dan ucapan terima kasih yang besar, atau
setidaknya bantuannya akan dihargai oleh tuan rumah. Ternyata hasil usahanya selama sebulan ini hanya untuk diremehkan. Dan kalau hanya dirinya saja yang diremehkan, ia masih bisa menahan diri, tetapi jika nama suhunya diseret-seret dengan nada merendahkan seperti itu, siapa bisa menahan kesabaran.
Adapun Kong Han, dan sebagian besar pendeta Siauw Lim memang berharap
datangnya bantuan bisa cepat dan segera mengatasi kemelut. Namun Kong Han
lupa bahwa kedatangan wakil Siauw Lim ke Hang Chow adalah permintaan resmi
permohonan bantuan. Orang kalau sudah memohon bantuan berarti dirinya
sudah kesulitan memecahkan permasalahannya.
"Waahhh....sepertinya bantuanmu sia-sia Gi-te, kalau memang Siauw Lim bisa
menyelesaikan sendiri masalahnya, sudah kita pulang saja Gi-te, mampir ke kota Lok Yang berpesiar!," ujar Sim Houw, sambil tersenyum-senyum. Kalau tahu diri sebenarnya kedua biksu itu malu melihat senyum penuh ejekan itu.
Wajah Tiong Gi mengeras, gigi-giginya bergemeretakan, ia masih coba bersikap sabar, namun nada suaranya mulai meninggi.
"Suhu, kemanakah sebenarnya perginya Bu Sian Taisu!" bentak Tiong Gi dengan
mengerahkan separoh khikangnya. Suaranya mengguntur, membuat dua biksu
separoh baya itu bergetar. Terlihat mereka kemudian bersedekap memusatkan
pikiran untuk menghalau pengaruh getaran khikang dari suara Tiong Gi.
"Omitohud........sicu harap menahan diri, suhu sedang ke luar kota, mungkin
baru kembali satu minggu lagi, kalau jiwi ingin melancong dulu silahkan, minggu depan datang lagi!" kata Kong Ci Taisu. Sim Houw sudah kehilangan kesabaran.
Dengan suara keras ia berkata, "Kalau memang Siauw Lim tidak membutuhkan
tawanan ini, biarlah kita bunuh saja disini!"
Sim Houw mulai pasang kuda-kuda hendak menendang lelaki yang sudah tidak
berdaya itu. "Tahan! Tak seorangpun boleh melakukan pembunuhan sembarangan di Siauw
Lim!" "Desss......!"
Tendangan Sim Houw tertangkis. Ia terdorong satu langkah, sedang Kong Ci
Taisu yang menangkis tendangannya merasa tulang keringnya kesemutan. Sim
Houw tidak berhenti sampai disitu, dengan berteriak-teriak ia melabrak Kong Ci Taisu. Kong Han Taisu yang memang berwatak berangasan, merasa pihak tamu
mulai cari gara-gara, tak tahan untuk tidak ikut terjun. Setelah saling berhadap-hadapan untuk saling menjajaki mulailah ia melancarkan beberapa serangan.
Betapa terkejutnya ia, melihat anak muda yang diserang tanpa sedikitpun
menggeser kakinya mampu menahan serangannya, bahkan bisa membalas.
Lebih kaget lagi ketiga sekonyong-konyong ada hawa dasyat dingin menyambar.
Meskipun sudah mencoba menangkis, masih saja hawa pukulan yang
dilancarkan Tiong Gi menerobos pertahannnya.
"Desss.......ai hhh......!"
Kong Han Taisu terdorong tiga tombak dan roboh kaku, tubuhnya menggigil.
Tiong Gi merasa menyesal telah merobohkan lawan, namun ia tidak tahan
mendengar ucapan Kong Han Taisu yang sangat tajam, menyayat perasaan.
Tiba-tiba terdengar suara bentakkan yang nyaring menggelegar "Berhenti!
Hentikan pertarungan!"
Namun tak terlihat ada tanda-tanda kehadiran manusia. Kiranya suara itu
dikirimkan dari jarak jauh menggunakan ilmu mengirim suara (Coan im jip pit).
Dari getaran khikang yang dihasilkan menunjukkan pengirimnya bukan orang
sembarangan. Dan memang mendengar suara ini kedua biksu golongan Kong
yang dihadapi mereka berdua, menjadi terpaku. Kedua belah pihak akhirnya
menahan serangan. Kong Ci sudah melompat ke arah Kong Han ketika dilihatnya
sutenya roboh kaku. Ia kemudian menyalurkan hawa murni ke tubuh sutenya
itu. Muka Kong Ci sebentar-sebentar terlihat memerah, sebentar-sebentar
terlihat memucat dan tampak kesal. Hanya sebentar saja Kong Han sudah bisa
duduk bersila dan langsung melakukan siulian.
Tak berselang lama, pendopo itu didatangi rombongan biksu yang dipimpin oleh biksu tua berumur tujuh puluh limaan. Gerakannya enteng sekali, sepertinya
tidak menyentuh tanah. Rombongan ini dipimpin oleh biksu berkepala kelimis
dengan ikat kepala yang pada bagian dahi ada hiasannya, seperti jimat. Baju
kuning yang dikenakan meskipun sederhana namun berbeda dengan biksu yang
lain, karena selempang berwarna merah kotak-kotak, selain itu juga tangan
kirinya membawa tasbih dengan biji yang sangat besar. Melihat kedatangan
ciangbujin atau ketua partai kedua Kong Ci berlutut. Biksu tua yang baru datang kemudian mengibaskan tangan tanda untuk menyuruh mereka berdiri. Biksu tua
yang dikawal oleh lima biksu ini menatap wajah kedua tamu mudanya
bergantian. Meskipun wajahnya mengeras namun senyumnya tetap menghiasi
bibir. Dengan suara lembut namun berwibawa kemudian ia berkata, "Omitohud


Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

apakah yang terjadi di sini" Hmmm..jiwi sicu, siapa yang menjadi wakil Sun
susiok?" Melihat kehadiran biksu yang lebih tua yang kedudukannya seperti sangat
dihormati oleh yang lain, kegusaran Tiong Gi mereda. Dengan tutur lebih tenang ia berkata: "Siauw-te yang mewakili suhu, mohon maaf kalau kedatangan siauwte hanya membuat kekacauan di Siauw Lim sini," kata Tiong Gi sambil
menunjukkan gucinya.
Terlihat biksu tua yang berbadan kurus itu terkejut namun mengangguk-angguk.
Sementara biksu yang mengawal seperti dikomando mendesiskan suara
kekagetan yang ditahan. "Guci sakti......?"Rata-rata biksu tua di Siauw Lim tahu pasti riwayat guci ini. Sebenarnya ada sedikit kegemasan dalam lubuk hati
mereka, kenapa guci ini diwariskan ke orang luar.
Kegaduhan di pendopo menarik perhatian murid-murid Siauw Lim, yang pagi itu
sedang belajar. Beberapa guru dan murid kemudian berdatangan memenuhi
pendopo melihat apa yang terjadi. Ada sekitar tiga puluhan murid yang datang dengan tertib dan langsung membentuk barisan di belakang ciangbujin.
"Anak muda, siapakah namamu?" tanya Bu Sim Siansu, ciangbujin Siauw Lim.
"Siauw-te bernama Tiong Gi."
"Baiklah Tiong Gi, marilah ikut dengan kami, Cit te, tolong urus tamu dan
tawanan kita Dan kau sicu, harap bersabar menunggu di sini, silahkan duduk."
Seorang biksu dari lima orang yang mengawal ciangbujin keluar dari barisan.
Selesai berkata Bu Sim Siansu, hong thio Siauw Lim balik kanan dan berjalan
cepat di ringi empat biksu yang seumuran. Mereka kemudian menuju ke ruangan
lian bun thia. Biksu ketua dan keempat biksu lainnya kemudian duduk bersila di kursi lebar beralaskan tikar babut yang cukup tebal. Sedangkan seorang biksu yang berusia sekitar lima puluhan mempersilahkan Tiong Gi berhenti dan
berkata: "Tiong sicu, perkenalkan aku bernama Kong Sun Taisu, tanpa bermaksud
meragukan kemampuanmu, kami tentu saja sangat ingin berkenalan lebih dekat.
Maka marilah kita berlatih silat sebentar!"
Tiong Gi menatap Bu Sim Siansu, beliau mengangguk, tanda persetujuan.
Setelah saling bersoja, keduanya lantas memasang kuda-kuda.
"Silahkan mulai duluan, sicu!"
"Baiklah, lihat serangan hiaatt".!" Tiong Gi memulai serangan dengan sebuah
pukulan dengan tangan mengepal ke arah dada. Lawan mundur selangkah
tangan kiri membentuk siku ke atas untuk menangkis.
"Plak!" Kong Sun terkejut sekali merasakan lengannya menyentuh tangan lawan
yang sangat dingin, dan seperti memiliki getaran kejut. Ia makin hati-hati.
Sebaliknya dari tangkisan lawan Tiong Gi bisa mengukur tenaga lawan. Maka
mulailah ia mengeluarkan jurus-jurus pukulan salju.
Kong Sun adalah murid dari Bu Kak Taisu, murid nomer dua, atau sute langsung dari Bu Sim Siansu, Ciangbujin dari Siauw Lim Pay.
"Pukulan salju" Ah bocah ini"bocah ini pasti dari lembah delapan
rembulan....heei benar kau adalah bocah yang dibawa oleh ketua Yung Ci,"
teriak salah seorang biksu yang ada di samping Bu Sim Siansu.
Tiong Gi juga terkejut mendengar suara biksu itu yang dikenalnya, dan memang benar dia adalah biksu Bu Kong Taisu yang ikut meloloskan diri dari lembah
delapan rembulan. Sekejab ia menoleh ke arah suara biksu tadi, yang ia
mendapatkan keyakinan bahwa memang biksu itu Bu Kong Taisu.
Kong Sun merasa mendongkol lawan seenaknya saja bersilat bahkan masih
sempat menengok ke samping. Ia mulai melancarkan totokan-totokan sakti Im
Yang Tiam Hoat, salah satu jenis totokan yang sangat ditakuti di dunia
persilatan. Jari-jari tangannya menyambar-nyambar dengan suara mencicit ke
arah delapan titik darah mematikan di tubuh Tiong Gi. Namun kemanapun jari
itu menyambar, tubuh Tiong Gi seakan-akan ikut terdorong oleh tenaga jari-jari yang menotok. Seandainya jari-jari itu mampu menotokpun tak seusap mampu
mempengaruhi Tiong Gi, karena tubuhnya sudah diselimuti oleh hawa sakti yang sangat hebat.
Melihat lawan hanya menghidar, Kong Sun kemudian merubah cara bersilat, ia
tidak lagi menggunakan totokan Im Yang Tiam Hoat. Tubuhnya merendah kedua
tangannya bergerak-gerak memutar secara bergantian. Selanjutnya tubuh tadi
meloncat tinggi dan melakukan serangan dari atas. Sebelum serangan sampai
Tiong Gi sudah dapat merasakan hawa panas luar biasa keluar dari serangan ini.
Ia tidak mau ambil resiko, maka ia juga menggerakkan kedua tangannya untuk
menangkis serangan dengan salah satu jurus dari Kiu Yang Sin Ciang. Ia
mengerahnya separoh bagian dari sin-kang yang dimilikinya.
"Plaakk....desss....!"
Akibat tangkisan Kong Sun terdorong dua tombak, namun ia tidak surut. Kembali ia melakukan serangan demi serangan dengan menambah kekuatan daya
serang. Bahkan kini ia menggunakan kombinasi serangan totokan dengan
pukulan-pukulan yang menggunakan tenaga sakti Kiu Yang Sin Kang, yang lebih
murni. Bu Kak Taisu, guru Kong Sun Taisu adalah biksu yang menekuni ilmu Kiu Yang Sin Kang. Tingkatannya dalam menguasai ilmu ini bahkan tidak disebelah
bawah tingkatan Bu Sim Siansu sendiri, namun karena tekunnya ia hampi tidak
menguasai ilmu-ilmu yang lainnya. Masih beruntung Kong Sun, muridnya
mendapatkan bimbingan juga dari Bu Sim Siansu sehingga bisa menguasai Im
Yang Tiam Hoat.
Belasan jurus berlalu, namun makin lama makin tampak Kong Sun terus
terdesak. Sebenarnya kalau mau dalam sekali gebrakan saja Tiong Gi mampu
menjatuhkan Kong Sun, namun sebagai pemula di dunia persilatan, ia selalu
punya keinginan untuk melihat jurus-jurus lawan. Untunglah sebelum Kong Sun
nekad menggunakan seluruh kemampuan yang dimiliki ia mendengar suara
suhunya menyuruhnya mundur, sehingga dengan bersoja ia mengakui
keunggulan lawan.
"Jurus-jurus sicu sungguh hebat, siauw-ceng mengaku kalah!"
"Ini karena siauw-te menggunakan sumber ilmu yang sama, Kiu Yang Sin Ciang.
Kalau tidak mana mungkin siauw-te mampu mendesak suhu!"
Jawaban Tiong Gi yang merendah cukup melunakkan kemendongkolan Kong
Sun, iapun kemudian mundur. Setelah Kong Sun Taisu mundur, sekonyongkonyong dua bayangan maju ke depan, seperti dikomando. Keduanya sepertinya
sudah gatal-gatal ingin menjajal kepandaian Tiong Gi. Keduanya menghadap ke
Bu Sim Siansu, masing-masing juga merasa kaget, kenapa bisa bersamaan.
Belum selesai rasa heran mereka, Bu Sim Siansu sudah memberi sabda, "Bu
Kong dan Bu Kak sute, jangan tanggung-tanggung, majulah bersama, kali ini
kita kedatangan tamu yang sangat istimewa. Sungguh murid yang kita ajukan
tadi bukanlah lawan tamu muda kita, jika kalian maju satu persatu, aku tidak yakin kita bisa menguji tamu kita, oleh karena itu jika tamu kita sanggup
menghadapi kita akan mengajukan satu lagi, Bu Kian sute silahkan!
Bagaimanakah Gi-sicu, apakah bersedia menghadapi sha-kak tin dari Siauw
Lim?" Belum sempat Tiong Gi menjawab, ia mendengar ada suara berkelebat sebuah
sosok menuju ke suatu pot bunga. Gerakannya enteng sekali bagaikan burung.
Ia menoleh ke belakang, namun sudah tidak terlihat lagi bayangan tadi. Kiranya Bu Sim Siansu juga melihat sosok yang datang, bahkan ia bisa menduga siapa
adanya orang ini.
"Aya, kiranya sicu dari Hoa-san juga ingin menonton latihan, silalahkan duduk di dalam saja!"
Dan benar saja, Sin Houw keluar dari balik pot bunga, dengan wajah yang tetap ceria, dengan senyum lebar yang tak disembunyikan.
"Terima kasih banyak lo-suhu, sungguh kehormatan besar sekali siauw-te
diperkenankan melihat pertunjukan ilmu-ilmu yang luar biasa ini."
"Oh ya, siapakah namamu sicu" Dan bagaimanakah kabar Hoa-san Siauw-jin
(Orang rendah dari Hoa-san).?"
Sin Houw agak terkejut dengan ucapan ketua Siauw Lim yang tepat sekali
menebak gurunya. Hoa-san Siauw-jin adalah guru Sin Houw. Tidak percuma Bu
Sim Siansu menjadi orang nomor satu di Siauw Lim, pengetahuaannya dan
pengalamannya di dunia persilatan sungguh sangat luas, sekali pandang saja ia sudah bisa menebak asal usul pemuda yang baru datang ini. Ilmu ginkang
(meringankan tubuh) Hoa-san Siauw-jin memang jempolan, meskipun masih
sedikit dibawah sucinya yang sudah sudah lama menghilang. Mereka berdua
sebenarnya masih lima sepuluh tahun lebih tua daripada ketua Siauw Lim yang
sekarang. Puluhan tahun yang lalu nama mereka cukup terkenal di daerah Sansi, namun belakangan mereka tidak lagi aktif.
"Siauw-te, Hung Sin Houw memang murid suhu Hoa-san Seng-jin, mohon maaf
telah berani lancang ikut menonton pertandingan persahabatan ini. Kalau
memang kesalahan ini tak termaafkan saya rela dihukum gelitik sepuasnya!"
"Tidak ada yang perlu dimaafkan sicu, dan kukira tak ada biksu yang mau
menggelitikimu, kalaupun mau apa kau kira masih sanggup ketawa" Sebelum
digelitik kau pasti sudah pingsan duluan!"
"Lo-suhu apakah bisa dimulai?" tanya Tiong Gi.
"Tunggu..tunggu...bukankah akan lebih menarik kalau Houw sicu juga ikut
latihan sebentar" Bagaimana Houw sicu?"
"Kalau hanya sebuah latihan maka tidak sedikitpun siauw-te merasa keberatan, mohon jiwi suhu tidak terlalu keras memberi pelajaran pada siauw-te, yang
masih bodoh ini, lagi pula siauw-te masih belum kawin!"
"Silahkan dimulai!" ucap Tiong Gi.
"Sambut serangan!!" Tiba-tiba bentakan ini keluar dari tiga buah mulut secara serentak dan bergeraklah tiga orang paderi tua itu menyerang mereka berdua.
Gerakan ketiganya amat cepat dan langkah-langkah mereka teratur, pukulanpukulan yang dilancarkan mantap dan kuat, jauh lebih kuat dibandingkan biksu generasi Kong.
Tiong Gi melirik Sim Houw, yang sedang menggunakan ginkangnya, tubuhnya
bagaikan tubuh seekor walet saja ringannya dan dengan kecepatan yang
mengagumkan ia telah mengelak dari setiap pukulan yang menyerangnya. Akan
tetapi betapapun cepat gerakannya, ia tidak dapat mengatasi kecepatan gerakan tiga orang sekaligus. Tiong Gi sendiri sudah menggerakkan kedua tangannya
secara bergantian. Ia sudah mengerahkan hampir tiga perempat bagian
sinkangnya. Ketiga biksu tua itu ternyata bukan sembarangan bergerak mengandalkan
kepandaian perorangan, melainkan bergerak menurut ilmu barisan yang aneh
dan hebat. Barisan segi tiga yang kaya akan kembangan. Dan terlebih lagi
ketiganya sepertinya sudah sejiwa sehingga gerakan-gerakan mereka seolaholah diatur oleh satu pikiran. Ke manapun kedua pemuda itu mengelak, di situ telah menanti pukulan tangan kosong lain biksu yang disusul dengan pukulan-pukulan lain dari segala jurusan sehingga bagi keduanya seolah-olah tidak ada jalan keluar lagi. Mereka bertiga bersilat menggunakan berbagai ilmu yang
berbeda, ada yang menggunakan totokan, ada yang menggunakan pukulan
tapak tangan, ada yang menggunakan tinju. namun semuanya seperti
digerakkkan oleh satu jiwa saja. Terpaksa pemuda ini menggunakan lengannya
menangkis. Beberapa kali saja menangkis, terdengar seruan-seruan kagum dari
para biksu yang tertangkis lengannya,dan perlahan gerakan para biksu itu mulai berubah, kini tidak pernah mereka membiarkan lengan mereka tertangkis lagi!
Tiap kali lengan meereka ditangkis, mereka sudah menarik kembali tangan
mereka untuk disusul dengan lain pukulan dari lain jurusan oleh hwesio lain.
Tiong Gi makin kagum, ia tak menyangka Sim Houw memiliki ilmu meringankan
tubuh sedemikian hebatnya, sehingga tak satupun pukulan yang mampu
mengenai tubuhnya. Berbeda dengan Sim Houw, Tiong Gi sudah beberapa kali
merasakan beberapa buah pukulan para pengeroyoknya yang tak dapat ia
elakkan dan terpaksa ia terima dengan pengerahan hawa sinkang bergantian im
dan yang. Ia maklum bahwa andaikata ia tidak memiliki sinkang yang jauh lebih tinggi sehingga ia dapat mengandalkan kekebalan tubuhnya yang dilindungi
sinkang dan mengandalkan pula kecepatan gerakannya mengandalkan ginkang,
kiranya ia akan celaka di tangan tiga biksu ini. Apalagi pukulan Bu Kak Taisu yang mengandung sinkang yang sangat dasyat. Tiong Gi maklum biksu ini
adalah guru dari Kong Sun, tentu saja mahir menggunakan Kiu Yang Sin Kang.
Sebaliknya dari pihak ketiga paderi tua itu, setelah belasan jurus keringat dingin mulai membasahi leher mereka. Pukulan-pukulan tangan Tiong Gi, dirasakan
seperti terjangan badai salju di suatu saat, dan disaat yang lain seperti pukulan godam. Meskipun lebih sering tertangkis namun satu dua pukulan yang
mengenai tubuh mereka cukup membuat isi dada mereka terguncang. Belum
pernah mereka bertiga menghadapi lawan yang sehebat ini, apalagi keduanya
masih begitu belia.
Di pihak Sim Houw, meskipun tidak ada satupun pukulan yang mengenai
tubuhnya, namun tangkisannya kalah kuat dibandingkan Tiong Gi, sehingga
beberapa kali ia seperti hampir terpelanting. Untunglah kerja sama dengan
Tiong Gi bisa berjalan cukup baik. Sehingga setelah belasan jurus posisi mereka belum terdesak.
Setelah memasuki jurus keduapuluh, tiba-tiba ketiga biksu tua itu, melompat
kebelakang. Tiong Gi hendak mengejar Bu Kak Taisu, namun tiba-tiba tubuhnya
seperti tertahan oleh hawa yang tidak tampak, meskipun sekejab cukup untuk
menghentikan serangannya.
"Omitohuud.....cukuplah sudah!" kata Bu Sim Siansu sambil menurunkan
tangannya yang telah dipakai untuk mengirimkan hawa pukulan perisai
kehampaan. Salah satu dari jurus yang didasari tenaga Kiu Yang Sin Kang,
tingkat atas. "Dua naga sudah keluar dari liangnya, tak mungkin Siauw Lim bersikukuh
menuntut lebih, kami akan bersabar dan sebaiknya sicu beristirahat saja nanti sore kita bertemu di ruang pertemuan Tat Mo."
Seorang kacung kemudian mengajak kedua pemuda itu menuju sebuah kamar.
Mereka kemudian memasuki kamar itu membersihkan diri dan beristirahat
sebentar. Sore harinya ketika kacung yang sama menjemput mereka, di ruang
pertemuan sudah duduk tujuh orang biksu dengan sikap sangat tertib. Mereka
berdua kemudian berjalan menuju ke ruang pertemuan yang cukup besar, dua
buah kursi yang telah disediakan. Setelah ramah tamah mereka kemudian
mendiskusikan perkembangan dunia persilatan terkini.
"Semenjak dirundung berbagai masalah, Siauw Lim memang kemudian
memutuskan untuk tidak melibatkan diri di dunia bu lim, namun kami terus
memantau keadaan. Hasilnya sama dengan temuan kalian, ada pihak ketiga
yang mengadu domba partai-partai bersih. Terakhir menurut hasil pemantauan
terdapat suatu pergerakan dari selatan menuju ke ibu kota, saat ini kami sudah mengirimkan Bu Sian Taisu ke sana. Kami juga punya keyakinan bahwa ada
pihak dalam yang membantu mereka. Siapa orangnya masih kami raba-raba,
namun kami masih belum bisa bertindak tanpa bukti. Jika kita bisa
menghadirkan Ang I Hwesio, atau pengemis lengan tunggal, mungkin kita bisa
mengorek keterangan lebih dalam. Tapi kelompok mereka sungguh sangat kuat,
kami tidak bisa bergerak sendiri," tutur Bu Sim Siansu dengan muka murung.
Panjang lebar akhirnya diskusi yang mereka bicarakan. Selanjutnya mereka
kemudian merundingkan rencana-rencana ke depannya.
Bab 19. Keributan di kedai Kao-ya
Keesokan harinya Tiong Gi dan Sim Houw berpamitan. Mereka kemudian menuju
ke ibu kota. Lepas sudah salah satu beban berat dipundak Tiong Gi, meskipun
tugas masih belum selesai, namun setidaknya ada titik terang apa yang mesti
dilakukan. Permintaan Siauw Lim jelas, tokoh utama penggerak kerusuhan harus ditangkap untuk diadili.
Dari Siauw Lim menuju ibu kota sebenarnya sudah dekat. Menjelang kota Ceng
Cou, mereka berdua berhenti mencari kedai nasi. Kedai yang mereka masuki
tidak terlalu besar, namun karena posisinya di pinggir jalan dan jauh dari kedai yang lain maka pengunjungnya cukup ramai. Di atas pintu gerbang tertera nama kedai Kao-ya. "Pasti masakan bebek menjadi menu utama" pikir Tiong Gi.
Karena di bagian bawah penuh maka mereka mencari tempat duduk di bagian
loteng. Di loteng hanya tersisa satu kursi kosong sehingga terpaksa Tiong Gi menunggu sambil berdiri. Belum sampai sepeminuman teh, mereka mendengar
datangnya rombongan berkuda datang. Tiong Gi melongok lewat jendela ke
bawah. Betapa terperanjatnya ia melihat siapa yang datang. Rombongan
sembilan kuda itu ternyata bukan orang-orang sembarangan. Dua kakek yang
turun dari kuda masih dikenali dengan baik oleh Tiong Gi. Kakek yang pertama berkulit bersih, berumuran enam puluh lima tahunan, kumis dan jenggotnya
dipelihara rapi, mengenakan jubah berwarna biru tua, rambutnya digelung ke
atas ditali dengan hiasan berbentuk bulat dari perak yang di tengah-tengahnya ada gambar pedang berwarna merah. Kakek yang kedua berumur empat puluh
limaan, meski kepalanya sudah ditumbuhi rambut namun Tiong Gi tidak lupa
dengan bajunya yang selalu berwarna merah, siapa lagi kalau bukan Ang I
Hwesio. Orang ketiga dan keempat tidak dikenali oleh Tiong Gi, keduanya
berpakaian agak aneh, karena memang pakaiannya khas daerah utara. Orang
kelima adalah kakek kurus berbaju biksu namun memakai caping sehingga
wajahnya terhalang. Orang keenam dan ketujuh tidak dikenali oleh Tiong Gi,
sedang dua orang terakhir berpenampilan sebagai pengawal saja.
Rombongan ini memang tidak lain adalah rombongan penjahat yang dulu
mengobok-obok kelompok pengemis sabuk hitam. Pemimpin rombongan ini
yaitu Hiat Kiam Lomo, datang membawa tamu pesilat dari khitan yang berjuluk
Ho-pak Sanjin. Di utara nama Ho-pak Sanjin Ha Chi Sui, adalah nama yang
menggetarkan seluruh pendekar di sebalah utara sungai Huang ho. Orang yang
mengenalnya pasti akan terperanjat melihat ia turun gunung dan bergabung
dengan datuk-datuk hitam semacam Hiat Kiam Lomo. Meskipun tidak bisa murni
digolongkan sebagai pesilat aliran putih, naman Ho-pak Sanjin terkenal berwatak gagah, ksatria, dan mengenal budi. Ia adalah sute dari kok-su kerajaan khitan yang berjuluk Pak San Koai Ong.
Dengan tergopoh-gopoh Tiong Gi membalikkan badan dan memberi kode
kepada Sim Houw untuk turun.
"Ada apa" Kenapa wajahmu pucat sekali" Wah lihat gadis cantik yaa....?"
Tiong Gi hanya meletakkan jari telunjuk di mulutnya, dengan muka serius ia
berbisik ke telinga Sim Houw. Wajah Sim Houw sontak memucat, seperti
disengat kalajengking saja mendengar berita ini. Tapi hanya sekejab saja, tidak percuma pemuda itu punya pengalaman bertualang yang cukupan. Ia lebih
tenang menghadapi situasi sulit sekalipun, dibandingkan Tiong Gi yang masih
muda dan kurang pengalaman. Ia kemudian mengeluarkan secarik kertas dan
menuliskan beberapa huruf:
Sebaiknya kamu turun saja, pura-pura jadi pelayan, tidak perlu kawatir, belum tentu mereka mengenalimu.
Tiong Gi menjadi lebih tenang melihat tulisan itu. Memang benar, ia sendiri
sudah hampir tidak mengenali lagi biksu baju merah. Maka dengan perlahan ia
turun dengan perlahan seperti tamu yang telah selesai makan. Belum sampai
menginjak tangga kedua, ia sudah mendengar suara keributan di bawah.
Seorang pelayan ditampar dan ditendang, hingga roboh tak sadarkan diri.
Sepertinya ia membantah perintah anak buah Hiat Kiam Lomo.
"Ayo cepat suruh semua yang ada di loteng turun! Kami akan menempati tempat
duduk di sana! Siapa berani membantah akan bernasip lebih sial dari pada
jongos muka kuda!" bentaknya.
Pemilik kedai menjadi kelabakan. Salah seorang pelayan hendak naik ke loteng, namun sebenarnya tidak perlu, karena orang-orang yang di loteng sudah buru-buru turun dengan penuh gopoh, kecuali Sim Houw. Tidak hanya yang di loteng
saja, yang duduk dibawahpun buru-buru menghabiskan makanannya, dan
bersiap-siap hendak membayar. Dasar memang tangan sudah gatal, dua orang
anak buah Hiat Kiam Lomo tidak membiarkan begitu saja para tetamu lewat
bebas. Tangan dan kakinya masih sempat-sempatnya menampar dan
menendangi para tamu tak bersalah. Beberapa tamu terpelanting roboh,
suasana menjadi kacau. Tiong Gi yang ikut berdesakan turun langsung
mendekati pelayang yang roboh pingsan itu. Meskipun marah melihat sikap sok
jagoan dari pengawal itu, namun Tiong Gi masih menahan diri. Untung saja, ia bisa berkelit dengan pura-pura tersandung, sehingga lawan tidak
mengacuhkannya meskipun tamparannya hanya kena angin kosong. Dengan
lagak sudah kenal Tiong Gi menggoyang-goyang muka pelayan itu, "Ma ko,
bangun Ma ko!"
Entah sadar karena tepukan ke muka, entah karena bantuan pengobatan
tersembunyi, yang jelas tak berselang lama, lelaki itu memang mulai siuman.
Dengan lagak berat Tiong Gi memapah pelayan itu, masuk ke dalam ruangan


Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam. Seorang pelayan l;ain hendak memberi bantuan, namun buru-buru
dibentak oleh pengawal yang barusan memberi tamparan.
"Heh kamu tidak perlu bantu dia, cepat siapkan hidangan paling lezat, untuk
tuan besarmu!"
Tiong Gi membawa masuk pelayan itu ke suatu kamar dan membaringkannya di
tempat tidur, ia kemudian melucuti pakaian luar pelayan itu untuk dikenakan.
Setelah itu ia kembali lagi dan langsung menuju dapur. Ia masih melihat juragan pemilik warung disumpah serapahi, bahkan uang hasil pembayaran mendadak
para pelanggan dirampas salah seorang pengawal berbaju hitam.
"Eh tuan, jangan...jangan..haiyaa..oe..bisa rugi aa....!"
"Ooo kau takut rugi yaa?" Hah! Masih untuk kami tidak sate tubuhmu saja!"
Masih belum puas merampok, ia masih menjewer juragan yang bertubuh gendut
itu. "Ampun..ampun tuan.......!"
"Sana cepat kerja masak yang paling enak untuk kami, dasar babi pemalas!"
kata pengawal itu sambil menendang pantat juragan. Untunglah sebelum
mukanya menabrak lantai, kaki Tiong Gi sempat menggaetnya dengan gerakan
tak kentara, seakan-akan tak sengaja. Dengan mengerahkan sinkang tenaga
lembek kaki Tiong Gi menerima tubuh sebesar gajah itu tanpa mengalami luka
sedikitpun. Namun dasar juragan sial, ia tidak merasa kalau ditolong, malah
marah-marah tak karuan. Namun Tiong Gi tidak melayani omelan juragan itu. Ia tahu memang kalau juragannya dimarahi orang, maka bisa dipastikan juragan
itu akan memarahi anak buahnya.
"Ayo cepat loya, mereka pasti sudah tidak sabaran! Biarlah saya nanti yang akan membantu membawa makanan ini ke loteng!"
"Eh...kamu sia....?"
Belum selesai juragan itu bicara Tiong Gi sudah berkedip-kedip memberi tanda agar ia menuruti perintah tamu yang baru datang itu. Juragan itupun terdiam, dan segera mengomando anak buah yang lain untuk mempersiapkan masakan.
Sampai sepeminuman teh lamanya, Tiong Gi tidak melihat Sim Houw turun ke
bawah, entah apa yang dilakukan pemuda itu.
Setelah semua masakan siap, Tiong Gi akhirnya membawanya ke atas. Dengan
sigap ia membagi-bagikan masakan ke beberapa meja. Ia heran melihat Sim
Houw sedang memijat punggung salah seorang tamu yang bepakaian asing itu.
Untung saja rombongan itu sudah merasa sedemikian tinggi hati, sehingga tidak peka lagi terhadap mata-mata. Mereka sudah terlanjur beranggapan tidak akan
ada yang berani mati curi dengar pembicaraan mereka. Dan melihat seorang
pemuda yangh lemah seperti Sim Houw, tidat terbersit suatu kecurigaanpun
ketika dengan sok ramah Sim Houw, bersoja dan memeluk salah satu pengawal.
Dan dasar memang lagi bernasib mujur, di gagang golok pengawal itu ada satu
huruf tanda "she" dari pengawal yang berkumis njabrik itu.
"Ah paman Tan....lupakah sama keponakanmu" Wahh paman sekarang sudah
jadi kapter rupanya....eh ini tayjin ampunkan hamba....hamba hanya...." kata Sim Houw sambil berlutut dan menyembah-nyembah kepada Hiat Kiam Lomo.
"Eh, siapa pernah punya keponakan macam kau" Ibumu hanya seorang pelacur
jalang, mana mungkin punya anak macammu, heh jangan ngomong ngaco balau
yaa....." "O..iya, ibu mungkin lupa memberi tahu ke paman, kalau ayahku seorang tuan
tanah yang kaya raya, kelak kalau paman sudah pensiun tinggal aja di kampung kami paman!"
"Kau...kau.....?"?"
Pengawal itu mendorong tubuh Sim Houw, hingga terpelanting. Untung saja,
tiba-tiba salah seorang tamu yang berpakaian gaya utara berseru:
"Heh keponakannya Tan, kalau paman kau tak sudi akui kau, tak usah kau
pikirin, sini-sini tolong kau pijiti punggung dan kakiku, aku sudah sangat
kecapaikan ini!" kata Ho-pak Sanjin.
Begitulah dengan gayanya yang tengil, Sim Houw pura-pura akrab dengan
mereka. Tiong Gi di bantu beberapa pelayan yang lain, dengan sigap melayani
mereka. Sesekali ia curi-curi dengar omongan mereka. Namun hanya sedikit
yang dapat ia tangkap. Suasana di loteng itu benar-benar mirip pesta, Sim Houw akhirnya juga ikut menikmati makan-makan bersama mereka. Belum selesai
acara pesta pora di atas, mendadak masuk rombongan tosu berjumlah tujuh.
Rata-rata mereka berumuran di atas empat puluh tahun. Dua diantaranya adalah wanita. Salah seorang diantaranya dikenal baik oleh Tiong Gi, ya benar memang rombongan ini dipimpin oleh Sim Beng Tosu. Begitu datang ia diterima kembali oleh suhengnya dan banyak diberit tugas-tugas penting mewakili Kong Thong
Pay. Pada saat mereka mendengar berita mengenai pedang salju, Sim Beng
Tosu mendapat tugas untuk ikut memperebutkan pedang itu. "Celaka, kalau
sampai mereka ketebu pasti mereka terlibat bentrokan, padahal kalau sampai
mereka mengenali diriku, pasti aku akan celaka!" pikir Tiong Gi. Juragan gemuk pemilik kedai itu kiranya juga tahu gelagat kedatangan orang-orang persilatan yang bisa bikin onar.
"Heh pelayan, hayo cepat kalian layani kami!" bentak salah seorang tosu yang bertubuh paling pendek.
"Maaf tuan, warung kami sudah tutup, harap mencari warung lain!"
"Ah, omongan bau kentut macam apa yang kau keluarkan, aku liat sendiri kau
masak begitu banyak, kenapa kau tak sudi terima kami" Kau kira kami tidak bisa bayar?"" Nih liat!"
Tosu itu mengeluarkan sekeping uang perak, kemudian dengan tangan kiri
keping itu digebrakkan pada meja.
"Prokkk...!"
Keping perak itu melesak ke dalam meja, ujung keping rata dengan meja. Di
atas meja itupun masih terlihat bekas tapak tangan yang meninggalkan cetakan di atas meja sedalam setengah sentian.
Juragan itu terlihat kebingungan. Ia tentu saja tak mau kedainya menjadi ajang pertarungan dua kelompok ini, maka ia mencari-cari Tiong Gi. Tiong Gi
kemudian datang mendekat. Namun belum sempat ia mengatakan sesuatu, dari
atas sudah turun tiga orang. Kiranya mata mereka yang tajam tidak melewatkan pandangan kepada tamu-tamu yang datang.
Bak disengat kalajengking, Sim Beng tosu kaget bukan kepalang melihat siapa
yang ada dihadapannya.
"Ha...ha...ha....kiranya Kong-thong pat-lo yang datang, sungguh
menggembirakan bisa berkenalan dengan ahli-ahli tongkat dari Kong-thong! Aha bukankah anda ini Sim Beng tosu, aku dengan anda baru saja dibebaskan dari
lembah delapan rembulan, benarkah" Kenapa yang datang hanya tujuh, mana
satunya lagi?"
Merah padam muka Sim Beng Tosu mendengar sindiran yang sangat menusuk
atas ditahannya dirinya di lembah delapan rembulan. Di ngatkan hal ini, Tiong Gi menjadi lebih khawatir lagi. Ia sudah berencana segera minggat dari kedai ini, meskipun dirinya sendiri belum sesuapun menikmati makan siang. Tetapi Sim
Houw masih belum juga turun. Akhirnya ia memutuskan untuk naik ke loteng.
Dilihatnya Sim Houw masih bercanda dengan pesilat dari khitan, sambil minum
arak. "Sialan, rupanya ia di sini malah enak-enakan minum-minum,"pikir Tiong Gi. Ia kemudian mendekati Sim Houw dan pura-pura membereskan mangkok
yang sudah kosong. Sampai di dekat Sim Houw kemudian disikutnya pemuda
itu, "Ah kongcu tampan apa tidak ingin lihat keramaian dibawah?" tanyanya
dengan nada kesal.
Melihat raut muka Tiong Gi yang penuh kecemasan, Sim Houw akhirnya ikut
turun ke bawah. Sampai di sana mereka mendapati kedua belah pihak terlibat
adu mulut. "Heh, iblis pisau merah! Jangan kau kira kami takut padamu, kau bicara ngaco balo," bentak salah satu sumoi Sim Beng Tosu.
"Hmm, begitukah" Ingin kulihat seberapa besar nyalimu, bersiaplah, hiaattt......."
bentak Hiat Kiam Lomo sambil melakukan serangan dengan mengebutkan
lengan jubahnya yang longgar.
"Wusss.....!" serangkum hawa panas yang berkekuatan dasyat menyambar,
Membuat pendeta wanita yang berjuluk Sim Lian Sutay itu kelabakan dan
terpaksa mundur tiga langkah.
"Ternyata kau boleh juga sutay!" ejek Hiat Kiam Lomo.
"Sudah..sudah cukup......apa sebenarnya maumu, lomo?"
Tiong Gi sudah hampir memutuskan untuk meninggalkan kedai itu, ketika
mendadak, di antara dua pihak yang sedang ribut-ribut itu ada seorang
pengemis yang tiba-tiba nyonong tanpa permisi, dan langsung mendekati dapur.
Tiong Gi hampir bersorak melihat sikap kedua belah pihak yang kemudian
terdiam, merasa keheranan. Ia pikir bisa memanfaatkan situasi ini untuk
melarikan diri. Tapi siapa mengira yang datang adalah pengemis berlengan
tunggal. Jembel yang pernah ditemui di kuil Kong sim liok si. Pada saat itu kawa-kawan Hiat Kiam Lomo sudah ikut turun melihat keributan di bawah. Dan
terdengarlah bentakan keras seorang bercaping yang bukan lain adalah Ang I
Hwesio. "Heh jembel busuk, rupanya kau yang datang, ha..ha..ha...ternyata umurmu
panjang juga, tapi dasar memang di kehidupan dulu kau pernah berbuat dosa
padaku, sehingga kini kau datang mengantar nyawa!"
Pengemis itu menoleh dan melotot ke arah Ang I Hwesio. Tatapan matanya
sungguh mengerikan, seperti tatapan mata orang yang tak normal. Dia
kemudian menudingkan tongkatnya ke arah Ang I Hwesio, dan tanpa aba-aba
kedua belah pihak langsung terlibat pertarungan.
"Berhenti..berhenti..jangan bertarung di sini, haiyaa...oe bisa rugi waa..!" teriak majikan berbadan gendut sambil berusaha melerai. Tapi buru-buru terdengat
suara "hekk" ketika pengawal yang sebelumnya menendang pelayan muka kuda
menyikut perut majikan itu. Kontan tubuh sebesar kerbau itu langsung
terbanting menimbulkan bunyi gedebug yang cukup keras. Pelayan-pelayan lain
ribut tak tentu arah. Karena di dalam kedai sempit dan tidak leluasa, perkelahian sudah berpindah ke luar. Ang I Hwesio memutar toyanya, beberapa kali ia
mencoba untuk menotol tubuh lawan. Namun kiranya pengemis lengan tunggal
itu punya kepandaian yang tidak boleh diremehkan. Tongkatnya membentuk
pertahanan yang cukup kuat. Bahkan dari beberapa kali tangkisan Ang I Hwesio merasakan betapa kuatnya lweekang yang dimiliki oleh lawan. Toya ditangannya tergetar, ia merasa tangannya kesemutan. Karena sudah beberapa gebrakan
justru Ang I Hwesio tampak keteteran, seorang pendek kurus yang juga
bercaping ikut terjun membantu Ang I Hwesio. Tasbih di tangan kirinya digerak-gerakkan menyerang lawan.
"Hei....kenapa kalian mengeroyok, cuh betapa menjemukan!"
Sim Houw mendekati Tiong Gi, ia melihat wajah pemuda itu penuh ketegangan.
Ia mengira Tiong Gi gentar melihat lawan-lawannya. Namun ia sama sekali tidak menduga bahwa pengemis yang baru datang inilah yang menjadi salah satu
saksi kunci peristiwa di kuil Kong sim liok si. Barulah setelah ia memeras
pikirannya ingatannya menerawang ke kejadian beberapa tahun silam, di suatu
kota kecil ia pernah bertemu dengan pengemis lengan tunggal itu.
"Ahh aku ingat sekarang, kira-kira empat tahun silam sehabis meminta obat
kepada Kong sim hosiang aku bertemu dengan pengemis tua itu, dan akulah
yang menyuruh seorang pengemis muda untuk mengantarkannya ke kuil Kong
sim liok si."
"Ayo kita bantu pengemis itu Houw ko!" kata Tiong Gi masih dengan berbisik.
Sementara itu pertarungan makin seru tapi kini kedudukan menjadi tidak
seimbang. Pengemis itu makin kewalahan, dikepung oleh kedua biksu berhati
palsu. Baru beberapa jurus sudah dua kali suara bag..bug..terdengar. Telah
beberapa pukulan dari kedua biksu palsu itu mendarat di sekujur tubuhnya.
Tetapi ia seperti banteng yang pantang menyerah. Tongkat bututnya diputar
membentuk benteng pertahanan yang sangat rapat. Namun dengan tangan
tunggal, praktis pertahanan yang dilakukan tetap lemah.
"Hei ...bukankah itu jurus Thai-kek sin-tung hoat dari Kun Lun Pay?" teriak Sim Lian Sutay. Saudara-saudaranya kemudian juga mendesis perlahan penuh
keheranan, bagaimanakah bisa seorang pengemis gila mampu menguasai ilmu
itu. Jurus demi jurus, pukulan demi pukulan makin mengurung rapat pengemis
lengan tunggal. Sudah tiga kali tasbih di tangan kiri biksu kurus menyambar dan melukai lengan, dada dan punggungnya, sehingga darahpun mengalir dari
sekujur luka. Pada suatu kesempatan ia memang sengaja menerima serangan
Ang I Hwesio. Toya ditangan biksu baju merah itu menyapu ke bagian bawah.
Pengemis lengan tunggal menotolkan kakinya dan melompat ke arah Ang I
Hwesio, tanpa menghiraukan pukulan dari biksu kurus.
"Bukk!.....Trakk.....prang.....!"
Sebuah pukulan yang dilancarkan biksu kurus mengenai dadanya, ia terhuyung
beberapa langkah, darah mengalir dari mulutnya. Tapi pukulan tongkatnya juga berhasil mematahkan toya lawan.
Mendadak terdengar teriakan dari belakang.
"Kebakaran....kebakaran.......!"
Sontak orang-orang yang menonton pertarungan yang tidak seimbang itu,
menoleh ke belakang, beberapa malah sempat masuk kembali ke kedai.
Pada saat itu, pengemis tua itu sudah terpelanting roboh. Sebuah tendangan
dari Ang I hosiang mengarah ke lambungnya.
"Dessss........krekk!"
"Auuuhhhhh...!
Ang I hosiang mengaduh-aduh, kakinya tertangkis oleh tendangan pemuda yang
berpakaian pelayan. Saking kerasnya tangkisan hingga kakinya patah. Iapun
roboh menjerit memegangi kakinya. Pemuda yang barusan menangkis serang
juga tak kalah terkejutnya, ia tak mengira tangkisannya berakibat seperti itu.
Kiranya ia terlalu memandang tinggi kemampuan lawan. Biksu kurus tak kalah
terkejutnya. "Siapa kau!" bentakknya.
"Siapapun aku bukan urusanmu, biksu palsu berhati iblis!" balas Tiong Gi tak kalas sengit. Ia segera membopong pengemis yang sudah roboh. Sebuah
serangan menggelap biksu kurus itu berhasil dielakkan.
Penonton yang sebelumnya menoleh ke arah belakang, ikut terkejut melihat
munculnya seorang pemuda yang tak lain adalah pelayan yang meladeni
mereka. Mendengar jeritan Ang I hosiang barulah sebagian sadar bahwa mereka
sedang ditipu oleh dua pemuda bengal.
Biksu kurus yang menyamarkan mukanya dengan caping secepat kilat
melancarkan serangan sekuat tenaga, tasbih di tangan kirinya mengarah ke
lambung kanan Tiong Gi, sedang tangan kanannya membentuk cakar
dilancarkan ke arah muka. Hebat sekali serangan ini. Hawa pukulannya sudah
menyambar sebelum tangan sampai ke sasaran. Namun Tiong Gi bisa menduga
bahwa serangan tasbih di tangan kiri hanya serangan pancingan, sedangkan
serangan utama adalah cakar di tangan kanan. Maka dengan meliukkan
badannya serangan tasbih itupun hanya menyapu baju luarnya, sedangkan
tangan kanan Tiong Gi mengepal dan bergerak dari bawah ke atas menangkis
sambil mundur satu langkah.
"Plakkk.....!"
Serangan dan tangkisan yang disertai tenaga lweekang yang sangat kuat
membuat tangan biksu kurus itu tergetar hebat, bahkan tulangnya serasa copot, iapun terdorong dua langkah. Sementara Tiong Gi menggunakan tenaga
benturan itu untuk terus mundur ke belakang untuk melarikan diri.
Hiat Kiam Lomo tidak tinggal diam. Ia sudah melompat ke arena, dan
melancarkan pukulan tapak kelabang yang berhawa racun. Di tangan Hiat Kiam
Lomo ilmu ini menjadi dasyat bukan kepalang. Belum pernah pukulan tangan
Hiat Kiam Lomo kuat ditahan oleh lawan. Jika tidak mati maka kulit lawan akan melepuh dan menjadi borok di sekujur tubuhnya. Dibandingkan dengan
tingkatan Hoan Bin Kwi Ong ayahnya, tingkatan Hiat Kiam Lomo bahkan sudah
jauh lebih tinggi.
Dua kali tangan Hiat Kiam Lomo menyambar, namun bisa dielakkan oleh Tiong
Gi. Mendadak dari belakang terdengar suara bentakan, dan tiba-tiba sebuah
kepala menguak kerumunan dan langsung menyeruduk Hiat Kiam Lomo. Iblis
tua itu kaget tidak kepalang, sehingga terpaksa menunda serangan ketiga.
Kiranya yang muncul memberi bantuan adalah Sim Houw. Pukulan tapak tangan
Hiat Kiam Lomo justru berbalik arah dan dimenuju ke Sim Houw. Namun iblis itu keliru jika mengira Sim Houw tidak bisa berkelit. Merasakan sambaran serangan Sim Houw langsung merendahkan tubuhnya, dan menerobos dari bawah.
Sungguh gerakan yang sangat aneh luar biasa. Inilah salah satu kelebihan
ginkang yang dimiliki oleh pemuda itu. Secepat kilat begitu lolos, Sim Houw
berjumpalitan dengan posisi kaki di atas, dan digunakan untuk menangkis
serangan tapak tangan Hiat Kiam Lomo. Iblis itu terkejut namun tetap tenang, ia tidak berusaha menarik pukulannya.
"Bresss......!"
Kaki Sim Houw tertolak, tubuhnya roboh dan terseret hawa pukulan sejauh satu tombak. Namun kejadian yang berlangsung singkat itu sudah mampu
membendung serangan Hiat Kiam Lomo sehingga Tiong Gi sudah bisa lolos.
Namun justru nyawa Sim Houw terancam karena biksu kurus bercaping yang
melihat lolosnya Tiong Gi melampiaskan kemarahan pada Sim Houw. Dalam
keadaan roboh kaki biksu yang ada di dekat robohnya Sim Houw langsung
menendang Sim Houw.
"Bresss......!"
Tubuh Sim Houw terlempar tiga tombak, dan langsung memuntahkan darah
segar. Ia merasa kepalanya langsung berkunang-kunang. Dan lantas tidak ingat apa-apa. Begitu sadar ternyata mereka sudah berada di sebuah gua, bersama
suhunya dan Sun Ciak Kun.
"Eh, dimana aku?"
"Sttt.....tenanglah Houw ko! Untuk sementara kita aman disini. Untunglah pada saat yang genting suhumu dan suhuku datang memberi pertolongan!" katanya
sambil menoleh ke arah kedua kakek tua yang sedang bermain catur dengan
gembiranya. Aneh, padahal baru saja mereka mendapat serangan cukup kuat
dari orang bertopeng. Setelah sebelumnya Hoa-san Siauw-jin berhasil
menyelamatkan muridnya, dan membawanya berlari. Saat berlarian mereka
dikejar oleh rombongan Hiat Kiam Lomo. Empat orang pengejar terdepan adalah
Hiat Kiam Lomo, biksu kurus bercaping, Ho-pak San-jin dan pengawalnya.
Beruntung ketika hampir saja mereka tersusul, muncul ah Sun Ciak Kun. Sun
Ciak Kun berhasil menghambat mereka, namun mendapat keroyokan empat
tokoh bu-lim yang sangat kosen iapun kerepotan, hingga akhirnya ikut melarikan diri. Setelah malam tiba barulah mereka cukup aman, mereka mulai mencari-cari tempat sembunyi dan berhasil menemukan sebuah gua.
Semalaman dua kakek itu merawat dua orang yang terluka, Tiong Gi sendiri
yang perutnya keroncongan memilih mencari santapan makan malam, meskipun
hanya mendapatkan dua ekor ular yang tidak begitu besar. Pagi harinya
pengemis lengan tunggal siuman lebih dahulu. Tiong Gi mengajak berbicara,
namun sepertinya ia sudah tidak mengenalinya lagi. Tatapan matanya kosong.
"Aku sudah memeriksanya, keadaannya sungguh lemah. Ia sudah belasan tahun
keracunan, racun yang mempengaruhi sarafnya. Ia sudah tidak dapat diobati, ia hanya dapat dipulihkan ingatannya pada kejadian yang paling berkesan di
otaknya saja, selebihnya sudah tidak bisa disembuhkan. Saraf-saraf diotaknya sudah banyak yang rusak. Untuk itupun ia harus diminumkan sari bunga rumput
embun yang tidak ada si sekitar sini," kata Sun Ciak Kun perlahan.
"Dimanakah tempat tumbuh rumput itu suhu?"
"Ada di pulau kabut!"
"Pulau kabut?"?" tanya Tiong Gi tak percaya.
"Ya, pulau itu ada di sebelah utara, dari teluk Pohai orang harus berlayar
semalaman menyusuri pantai, barulah ia akan menemukan pulau kabut.
Dinamakan begitu karena hampir sepanjang tahun ia selalu diselimuti oleh
kabut. Hanya pada bulan ke tujuh dan ke delapan saja kadang-kadang ia bisa
dilihat dengan kabut yang sangat tipis," ujar Sun Ciak Kun perlahan.
Setelah beberapa saat mereka semua terpekur, Sun Cak Kun bertanya kepada
Hoa-san Siauw-jin: "Siauw-jin apakah kau punya ide?"
"Aha, masih ada satu tempat lagi dapat dicari rumput itu!"
"Benarkah" Katakan dimana tempat itu?"
"Di neraka! Ha...ha...ha....."
Orang yang tidak kenal Hoa-san Siauw-jin pasti marah besar diledekin seperti ini. Tapi sepertinya Sun Ciak Kun sudah kenal baik dengan gaya dan wataknya
yang ugal-ugalan. Namun tentu saja Sun Ciak Kun emoh dikelakari tanpa ada
balasan. Dengan sembarangan ia kemudian mencengkeram kerah baju Hoa-san


Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siauw-jin sambil berseru keras di mukanya: "Kalau begitu kamu saja yang
mencarikan rumput itu di neraka!"
Tiba-tiba dari luar gua terdengar suara ancama halus, "Siapa saja yang ada di dalam gua harap menyerahkan diri keluar, jika tidak gua ini akan ditutup dengan batu!"
"Bau asap.... !" teriak kedua kakek itu hampir bersamaan.
"Sialan mereka rupanya mau membuat kita mati kehabisan nafas. Tiong Gi, ayo
bersiap keluar!" seru Cak Kun.
Mereka bertiga langsung menghambur keluar. Orang-orang Hiat Kiam Lomo
yang sedang membakar kayu semak dan serasah hutan langsung terpelanting ke
kanan dan ke kiri begitu mereka bertiga keluar.
Di luar gua sudah menunggu empat orang yang berdiri tegak dengan sikap
angkuh. Hiat Kiam Lomo, dan dua pesilat kosen dari khitan berdiri di belakang, sedangkan di depan mereka seorang bercaping mengenakan topeng dewa
penjaga gerbang (Hengha Erchiang). Orang ini bertubuh agak pendek. Sepasang
mata di balik topeng itu menatap dengan sorot yang sedemikian tajamnya,
sehingga membuat bulu kuduk Tiong Gi meremang. Ia menjadi teringat dengan
orang-orang tengkorak hitam, yang juga memakai topeng, dan rata-rata
bermata tajam. Kedua kakek tua guru Tiong Gi dan Sim Houw juga terheran
melihat orang bertopeng yang dilihat dari posisinya sepertinya kedudukannya di atas Hiat Kiam Lomo. Mereka mencoba mengingat-ingat siapakah tokoh yang
yang memiliki ciri-ciri seperti di depan mereka.
"Hmmm...tak tahu siapapun nama dan gelarmu, aku Sun Ciak Kun takkan
membiarkan orang mengasapku seperti mengasap tikus sawah!"
"Hmm...Sun Ciak Kun" Si guci obat" Tak tahu ada angin apa yang membuat guci
obat dari Hang chou menjadi berpihak pada pembunuh Kong sim hosiang!" ujar
orang bertopeng itu.
"Pengemis itu bukan pembunuh Kong sim hosiang, tapi kalianlah yang telah
memaksanya!" bantah Tiong Gi.
"Diam!!! Tutup mulutnya bocah gila! Kau anak kemaren sore tahu apa tentang
pembunuh Kong sim hosiang!" bentak orang bertopeng dengan suara
mengguntur. Rupanya ia mengerahkan tenaga khiekangnya ketika membentak
tadi. Orang-orang yang lemah sudah terjengkang mendengar suara mengguntur ini,
namun Tiong Gi dan dua kakek tua tampak tenang-tenang saja. Bahkan dengan
suara yang tidak kalah menggelegarnya ia telah membalas: "Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri!"
Orang bertopeng itu kelihatan terkejut mendengar balasan Tiong Gi yang
memiliki khiekang yang tak kalah hebatnya. Meskipun masih berada di bawah
tingkatnya sendiri.
"Aku melihat kalian menyeret keluar pengemis itu dan memaksanya menyerang
Kong sim hosiang! Jika tidak karena kalian panas-panasi mana mungkin
pengemis lengan tunggal mau menyerang Kong sim hosiang!" lanjut Tiong Gi.
Hiat Kiam Lomo terlihat sangat terperanjat mendengar jawaban dari mulut Tiong Gi.
"Kau....siapa kau....!" ucapnya dengan tatap tak percaya.
"Kau pasti telah melupakanku, bocah yang dulu kau kurung, dan bahkan hendak
dijadikan korban untuk iblis ratu kelabang!"
"Ooo..jadi kamu rupanya bocah sial itu, baiklah kalau dulu Kim-hu subo tidak berhasil mencincangmu, biar sekarang aku mewakilinya!" kata Hiat Kiam Lomo
sambil menghunus senjata. Sebilah pedang berwarna merah tua keluar dari
sarungnya. Pedang yang aneh sekali warnanya, karena itulah maka iblis tua itu bergelar Hiat Kiam (pedang darah). Sungguh tak biasanya iblis ini mengeluarkan pedangnya, dan belum pernah pedang itu keluar dari sarung tanpa meminum
darah. Hiat Kiam Lomo langsung melompat ke depan dengan sikap mengancam.
Sebelum maju Tiong Gi menatap gurunya meminta pertimbangan.
"Pakailah gucimu! Jangan pernah tatap matanya!"
Tiong Gi dengan tenang maju ke depan. Tangannya bersoja. Tetapi musuh tidak
menggubrisnya malah tanpa sungkan2 lagi menebaskan pedangnya. Hiat Kiam
Lomo membuka serangan dengan jurus delapan jalan darah kematian. Ujung
pedang merah darah itu berkeredepan, seolah2 puluhan batang pedang
menyambar dengan cepat mengancam delapan jalan darah kematian di tubuh
Tiong Gi. Sambil menangkis dengan guci sakti yang dicekal dalam tangan kirinya. Tiong Gi segera memainkan jurus-jurus Kiu Yang Sin Ciang.
"Traangg....!
"Plaaakkkk...!"
Dalam gebrakan pertama, Hiat Kiam Lomo benar-benar terkejut tak manyangka
sama sekali bocah belasan tahun di depannya mampu menangkis pedang dan
juga pukulan tapak kelabangnya. Setelah lewat gebrakan pertama, pertempuran
lantas saja berlangsung dengan hebatnya.
Bab 20. Pertarungan di depan gua
Sebaliknya Tiong Gi juga sangat terpesona menyaksikan kehebatan ilmu iblis
murid nenek kelabang emas ini. Iapun tahu, ilmu ini tidak bisa dibuat main-main.
Gerakan pedang di tangan kanan iblis itu sungguh sangat cepat dan ganas,
sedang tangan kirinnya melancarkan ilmu silat tangan kosong yang sangat keji karena mengandung hawa yang sangat beracun serta dilembari sinkang yang
sudah tinggi sekali.
Dengan senjata yang lebih aneh, gerakan2 Tiong Gi kelihatan kaku dan
perlahan. Akan tetapi orang2 yg berkepandaian tinggi mengetahui, bahwa si
anak muda itu melayani lawanya dengan pukulan2 yg disertai lweekang yg
sangat tinggi dan berselang seling. Di lain pihak, Hiat Kiam Lomo menyerang
bagaikan setan edan dalam sekejap ia telah mengirim duapuluh lebih serangan
yg membinasakan. Tubuh iblis pedang darah itu dibungkus sinar merah yang
berkilauan. Pedangnya mendesing-desing bagaikan bermata. Kemana saja Tiong
Gi bergerak, demikian juga serangan pedang datuk sesat itu terarah.
Pertempuran ini benar-benar luar-biasa hebatnya.
Makin lama Hiat Kiam Lomo makin mempercepat serangan pedangnya, sehingga
belakangan orang hanya bisa melihat sinar berkelebatnya pedang dan tak bisa
mengenali lagi gerakan pukulan2nya. Hoa-san Siauw-jin dan Ho-pak Sanjin
menonton dengan berbinar-binar. Tapi biarpun begitu, orang2 tersebut masih
merasa sangat kagum akan lihainya Hiat Kiam Lomo. Mereka harus mengakui,
bahwa tersohornya nama guci sakti bukanlah isapan jempol. Kelebatan buli-buli kemala yang menimbulkan warna kehijau-hijauan menyelimuti tubuh pemuda
tanggung itu dengan sangat rapat. Sun Ciak Kun sendiri tak kalah kagumnya,
tak disangkanya muridnya bisa memainkan guci dengan hebatnya. Biapun sudah
menyerang bagaikan topan, pedang Hiat Kiam Lomo masih tetap tak bisa
menembus garis pertahanan si pemuda itu.
Hiat Kiam Lomo mulai merasa risau, keringat dingin mulai membasahi lehernya.
"Jika aku tidak memperoleh kemenangan, dimana aku harus menaruh mukaku?"
Memikir begitu, seraya membentak keras, ia mengubah Kiam hoatnya. Dengan
mendadak, pe Rahasia Peti Wasiat 2 Elang Pemburu Karya Gu Long Pendekar Super Sakti 8

Cari Blog Ini