Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko Bagian 7
dang yg kaku menjadi lemas, seperti ikatan pinggang. Itulah Jiauw tiam hoat Jiu Kiam(ilmu pedang lembek memutari jati tangan) itu yang
semuanya memuat lima puluh lima jurus.
Sekonyong2 pedang merah itu menyambar dada Tiong Gi. Tapi sebelum
menyentuh dada, ujung pedang mendadak membengkok dan menyambar
pundak kanannya. Dalam menggunakan ilmu pedang ini, orang harus
mempunyai Lweekang yg sangat tinggi untuk mengubah sifatnya pedang dari
kaku menjadi lemas. Dapat dimengerti, bahwa serangan pedang yg lemas
seperti sabuk atau selendang sangat sukar ditangkis. Sepanjang hidup Tiong Gi belum pernah bertemu dengan kiam hoat yang seaneh itu.
Demikianlah, melihat sambaran pedang ke arah jalan darah di lehernyanya, ia
mengengos sebab sudah tidak keburu untuk menangkis lagi. Mendadak
terdengar suara "Croott" !" ujung pedang membal dan menikam pundak
kirinya! Pada saat hampir bersamaan tendangan kaki kanan Tiong Gi mendarat
telak di perut lawan.
"Ngeekk...!" Hiat Kiam Lomo terdorong ke belakang, hanya dengan bersalto ia
selamat dari terjengkang. Begitu mendarat ia merasakan perutnya mulas luar
biasa, tak terasa darah mengalir dari mulutnya.
Keadaan Tiong Gi juga payah, darah berwarna biru mengucur deras dari
pundaknya. Hanya dengan meminum air di guci sakti saja, ia terhindar dari
keracunan karena memang pedang merah darah di tangan Hiat Kiam Lomo
mengandung racun yang sangat jahat.
Karena dengan bersenjata banyak menghamburkan tenaga, Hiat Kiam Lomo
menancapkan pedang di tanah. Tali rambutnya dilepas, sehingga rambutnya
yang hitam tampak riap-riap. Kemudian ia memasang kuda-kuda dan berganti
gaya bersilat. Mendadak tubuhnya dijatuhkan ke depan. Dengan posisi
menelungkup seperti hewan melata tangan dan kakinya dipentang, kemudian ia
mengirup banyak udara. Tiba-tiba dari seluruh tubuhnya seperti keluar kabut
yang berwarna kuning keemasan. Sedangkan tangannya berubah berwarna
merah. Inilah ilmu yang baru diciptakan oleh nenek kelabang emas, guru Hiat
Kiam Lomo, sebuah ilmu yang diberi nama kelabang emas mengejar arwah,
sebuah ilmu hitam yang mengandung unsur magis dan kekejihan yang luar
biasa. Ilmu ini merupakan kembangan dari pukulan ilmu tapak kelabang yang
dikombinasikan dengan ilmu menyedot tenaga bumi. Dengan menggunakan ilmu
menyedot tenaga bumi, puluhan tahun silam suami nenek kelabang emas,
hampir-hampir saja membunuh suci dari Hoa-san Siauw-jin, dan hanya hanya
bisa ditundukkan oleh pendekar bukit merak dan pendekar Siauw Lim. Mendadak
tubuh Hiat Kiam Lomo melesat ke depan dan berputar-putar di udara dalam
posisi masih menelungkup, tangannya mula-mula dirangkapkan di depan dada,
kemudian setelah dekat dengan lawan tangannya bergerak-gerak dengan
cepatnya. Dari gerakan tangan keluar hawa serangan yang dasyat luar biasa.
Begitu ia menyerang, sebelum serangan itu sampai, getaran tenaga sakti itu
sudah menekan isi dada Tiong Gi. Sulit dibayangkan kedasyatan ilmu ini. Namun dipihak lain Tiong Gi memusatkan seluruh perhatiannya, ia bersiap memainkan
jurus Swat sian kuan men (dewa salju membuka gerbang), yang merupakan
jurus paling hebat dari silat pukulan badai angin salju yang telah dipelajari dengan penuh keyakinan. Jurus ini kemudian dikombinasikan dengan ilmu silat
Kiu Yang Sin Ciang, maka dapat dibayangnya betapa dasyatnya. Mula-mula
tangannya lurus kedepan dengan tapak tangan menghadap ke bumi, kemudian
tapak tangan itu mulai tergetar hebat sekali tandan bahwa pengguna jurus ini telah mengerahkan tenaga khiekangnya dengan kekuatan makin lama makin
penuh, perlahan-lahan tapak tangan itu bergerak ke atas sehingga posisinya
tegak lurus dengan bumi atau sejajar dengan tubuh. Dari tubuh Tiong Gi
seakan-akan muncul uap yang menyelimuti seluruh tubuhnya. Sebenarnya uap
itu bukan keluar dari tubuh melainkan uap yang ada di sekitarnya yang
mengenai tubuhnya yang telah menjadi dingin oleh ilmu silat badai salju, bahkan bisa berubah menjadi kristal-kristal es yang kecil sehingga terlihat seakan
tubuhnya diselimuti oleh intan permata. Inilah ilmu silat pukulan badai angin salju tingkatan yang sangat tinggi. Kedua tangan Tiong Gi kemudian berputar-putar secara indah, tangan kanan lima kali, tangan kiri empat kali
"Hiaaattttt..........!"
"Hai i tt..........!"
Maka terjadilah pertempuran yang luar-biasa hebatnya. Pohon-pohon di sekitar pertempuran itu menjadi tumbang, debu tanah berhamburan kemana-mana
tergencet dua arus tanaga sakti yang saling berbenturan. Keduanya
mengirimkan pukulan-pukulan dari jurus kungfu yang sudah mencapai taraf
tinggi sekali. Pada awalnya Hiat Kiam Lomo merasa di atas angin karena ia sama sekali tidak merasakan hawa pukulan lawan. Tapi inilah kekeliruannya. Ilmu Kiu Yang Sin Ciang yang dikembangkan oleh Sun Ciak Kun memang bisa menyerang
tanpa hawa pukulannya dapat dirasakan lawan. Karena hawa sakti itu bergerak
mengikuti gelombang tinggi. Hanya orang-orang yang memiliki lweekang dan
khiekang yang tinggi saja yang dapat menguasai ilmu ini.
Mendadak orang bertopeng yang ada di pihak Hiat Kiam Lomo berteriak kaget,
"Swat im soan hong sin ciang!Hei i darimana kau dapatkan ilmu itu, pasti kau antek Yung Ci!"
Sekonyong-konyong tubuh itu meluncur cepat ke arah dua pihak yang
bertarung. Sun Ciak Kun dan Hoa-san Siauw-jin, dari awal tidak pernah
melepaskan mata dari orang bertopeng ini sehingga ketika ia menyerbu ke
dalam arena, kedua kakek tua inipun tak bisa berpangku tangan lagi, hampir
berbarengan mereka melesat ke arah orang bertopeng itu. Pertemuan mereka
bersamaan pada saat puncak pertemuan kedua tenaga dengan kekuatan penuh
dari Tiong Gi dan Hiat Kiam Lomo.
"Wusss...wuss....blaarrrrr...........blarrrrr!"
Tubuh Tiong Gi terdorong ke belakang, empat tombak, dan ia seperti langsung
ditarik masuk ke dalam gua. Sebaliknya tubuh Hiat Kiam Lomo terlempar seperti ranting terbawa gulungan ombak dan dihempaskan di pantai karang, jelas ia
telah terluka sangat parah. Adapun tangkisan kedua kakek tua terhadap,
seranggan membokong orang bertopeng juga membuat orang itu tertotal dan
hanya dengan berpoksai tiga kali saja ia bisa menghindari jatuh terhempas. Sun Ciak Kun langsung meminta Hoa-san Siauw-jin membawa masuk Tiong Gi,
sedangkan ia menghadapi setan bertopeng itu.
"Manusia bertopeng, hayo kalau kamu masih belum puas, majulah!"
Orang bertopeng itu melirik ke arah Hiat Kiam Lomo, ia sedikit tenang karena meskipun teluka parah namun nyawanya belum putus, dan terlihat dua orang
khitan itu mendekati untuk merawatnya.
"Sun Ciak Kun, orang tua bau tanah, marilah kita berlatih sebentar!"
"Aku sudah siap!"
Berbeda dengan pertandingan antara Tiong Gi dan Hiat Kiam Lomo,
pertandingan dua dedengkot datuk persilatan lebih lamban, namun semua jurusjurus dilambari tenaga sinkang tingkat sempurna. Sun Ciak Kun bersilat dengan ilmu silat khas Siauw Lim yang dikuasainya seperti Kim kong ci dan pukulan
cakar naga, dengan dilambari sinkang Kiu Yang Sin Kang. Maka bisa
dibayangkan tingkat kehebatannya. Tangannya bergerak-gerak kadang
melentikkan jari-jarinya kadang mencakar. Baru saja cengkraman pertama
gagal, cengkraman kedua yang lebih cepat dan lebih dahsyat sudah menyusul.
Cengkeraman demi cengkeraman sentilan demi sentilan menyambar-nyambar
bagaikan hujan dan angin dalam sekejap, Sun Ciak Kun itu seolah-olah seekor
naga yang terbang di angkasa sambil mementangkan cakarnya sehingga semua
gerakan orang bertopeng di bawah kekuasaannya.
Anehnya lawan juga mengenali ilmu Siauw Lim ini, bahka ia kemudian melawan
cakar naga dengan ilmu yang sama. Totokan dengan totokan juga. Sungguh
dasyat sekali pertandingan ini. Bahkan ketika Sun Ciak Kun mulai mengubah
serangannya menjadi pukulan-pukulan dari jurus tapak budha khas Siauw Lim,
pihak lawan masih bisa menghindari bahkan melawan dengan jurus-jurus yang
sangat dikenal oleh Sun Ciak Kun, yaitu enam belas jurus merak sakti.
"Hei i...bukankah itu jurus merak sakti"Iblis laknat, darimana kau mencuri ilmu itu?" bentak Sun Ciak Kun.
Mendadak Ho-pak Sanjin berseru, "cianpwe keadaan lomo sekarat, mohon
bantuan. "Ha..ha...ha....Sun Ciak Kun, ilmu silat suhengmu sebenarnya tidak ada
harganya bagiku, tapi sayang aku harus menyelamatkan Hiat Kiam Lomo,
selamat tinggal."
"Blaarrr.......!"
Sebuah pukulan dasyat dilontarkan oleh orang bertopeng, Sun Ciak Kun
menangkisnya, namun ia terdorong dua langkah, sedangkan musuhnya seperti
memanfaatkan daya tolak, untuk berbalik arah dan melompat ke belakang
menyambar tubuh Hiat Kiam Lomo dan berkelebat pergi di kuti oleh dua orang
dari khitan. Setelah kembali ke gua Ciak Kun merasa tenang karena keadaan Tiong Gi tidak
terlalu parah, meskipun isi dadanya terguncang hebat, dan pundaknya terluka
cukup dalam, namun harapan sembuh sangat besar. Setelah lukanya ditutup,
dan ia diberi bantuan hawa murni oleh Hoa-san Siauw-jin, tubuhnya terasa lebih baik.
"Paling tidak kau perlu istirahat tiga hari penuh untuk memulihkan tenagamu,"
kata Hoa-san Siauw-jin.
Sore harinya setelah enam jam bersamadi, keadaannya jauh lebih segar, pada
saat itulah Sim Houw baru siuman.
Dua kakek tua itu masih main catur, seakan tidak menyadari bahwa Sim Houw
sudah siuman. Barulah setelah Tiong Gi memberi tahu mereka, mereka baru
tergerak untuk menengok. Itupun masih terdengar omelan-omelan seperti anak
kecil kalah bermain, karena salah satu kakek itu seperti memanfaatkan
kelengahan lawan saat menoleh untuk melakukan suatu manufer serangan
catur. "Wah, kenapa biji caturku bisa kaumakan" Kau curang! Dasar manusia rendah!"
"Eh...eh..sudah...sudah..lihat muridku sudah siuman, kau ini kakek tua sudah pikun rupanya, sudah tahu dari tadi hampir keok, masih sok-sok jago huu....!"
Untunglah kakek yang diomeli tidak membalas lagi, matanya masih menatap
meja catur yang dibuat dengan menggoreskan kuku pada batu gua yang sangat
keras, dengan tatapan tak percaya. Seumur hidup baru sekali ini kalah catur
secara mengenaskan.
Malam harinya mereka memutuskan untuk keluar dari gua, dan bergerak
perlahan. Pada malam itu juga mereka membagi tugas. Hoa-san Siauw Jin dan
muridnya pergi mencari rumput kabut. Sun Ciak Kun, muridnya dan pengemis
lengan tunggal pergi ke Siauw Lim.
Perjalanan ke Siauw Lim cukup lancar dan aman, meskipun perjalanan mereka
terhitung lambat karena Tiong Gi dan pengemis lengan satu masih dalam
keadaan terluka. Setelah enam hari berjalan cepat sampailah mereka ke Siauw
Lim. Di Siauw Lim mereka diterima dengan penuh hormat dan gembira. Semua
kejadian diceritakan dengan runtut oleh murid dan guru, sehingga ketua Siauw Lim sendiri mengaturkan rasa terima kasih yang sangat dalam. Pada saat itu Bu Sian taisu juga sudah datang menyampaikan kabar terbaru di ibu kota. Tiong Gi dan suhunya tinggal di kuil itu selama tiga minggu. Empat hari pertama
dimanfaatkan untuk bersamadi memulihkan kesehatannya. Baru setelah itu
Tiong Gi mendapatkan banyak petunjuk dari Sun Ciak Kun bahkan Bu Sim Siansu
ketua Siauw Lim juga berkenan memperbaiki cara bersilat dan mengumpulkan
hawa murni berdasarkan Kiu Yang Sin Kang. Meskipun tidak secara langsung
memberikan praktiknya, karena secara praktis kemampuan Tiong Gi sudah
sangat tinggi, maka mereka hanya memberi petunjuk-petunjuk teoritis saja.
Dua hari setelah mereka berdua tiba, datanglah Bu Sian taisu. Dalam pertemuan yang diadakan di suatu malam mereka mendengarkan laporan masing-masing
pihak dan berharap mendapat masukan untuk memecahkan masalah yang
dihadapi. Berdasarkan laporan Bu Sian taisu, ada dua pergerakan di ibu kota.
Siapa dalang di balik gerakan itu masih sulit diraba. Yang jelas memang ada
gerakan pesilat dari selatan memasuki ibu kota, di mana markas mereka di ibu kota tak ada yang tahu. Selanjutnya mereka saat ini sedang bergerak ke barat untuk mencari pedang salju.
"Dapat dipastikan akan terjadi perebutan pedang yang sangat hebat. Karena
akan banyak kubu yang menginginkannya," ujar Bu Sian taisu.
"Benar, menurut cerita Sim Houw, kepergian mereka ke barat memang untuk
memperebutkan pedang salju, bahkan kini di dunia kang ouw, sudah tersebar
luas berita ini," kata Tiong Gi ikut menimpali.
"Pedang itu adalah hak ksatria salju, kita tidak perlu ikut-ikutan, yang penting kalau memang ilmu cakar naga sudah muncul dari pimpinan mereka, besar
kemungkinan di sanalah berkumpul musuh-musuh Siauw Lim," kata Bu Sim
Siansu. "Tapi harus kuakui bahwa musuhku yang bertopeng itu memiliki kelihaian yang
luar biasa, entah siapa dan dari perguruan mana" Sungguh mengherankan!
Bahkan ia bisa memainkan ilmu merak sakti peninggalan Gak taihiap. Padahal
semenjak Gak taihiap berpulang ilmu itu seperti lenyap di telan bumi, karena tidak ada keturunannya yang mewarisi kepandaiannya," kata Sun Ciak Kun.
Semuanya mendengarkan dengan penuh ketegangan, pahkan ketua Siauw Lim
sendiri tidak tenang duduknya.
"Ah...kalau begitu dunia persilatan sedang menghadapi ancaman yang sangat
hebat." "Jadi bagaimana baiknya?" tanya Bu Sian Taisu.
"Begini saja, kalau aku boleh usul, besok juga Bu Sian taisu berangkat ke Kun Lun Pay. Untuk menjelaskan duduk perkaranya dengan baik, sebenar-benarnya.
Aku dan muridku akan menunggu di sini sampai obat dari Hoa-san Siauw-jin
datang. Setelah agak baikan nanti aku akan membawa pengemis itu ke Kun Lun.
Aku curiga pengemis ini berasal dari Kun Lun Pay." Usul Sun Ciak Kun bisa
diterima, dan keesokan harinya berangkatlah rombongan Bu Sian taisu di ringi oleh dua orang suhengnya Bu Kak taisu dan Bu Kong taisu, dan dua biksu dari
generasi Kong. ** Dua minggu kemudian kemudian datanglah Sim Houw membawa obat, suhunya
tidak ikut mengantar ke Siauw Lim, karena ada keperluan yang lain. Tiga hari lamanya Sun Ciak Kun memberikan pengobatan dan perawatan pada pengemis
lengan tunggal. Meskipun ingatannya belum bisa pulih, namun pada hari ketiga ia sudah mulai tampak tenang dan bisa diajak bicara dengan baik. Jawaban-jawabannya juga sudah mulai waras. Setelah lebih dari dua minggu tinggal di
Siauw Lim, keadaan pengemis itu jauh lebih baik. Kini ia sudah tidak lagi
berpenampilan seperti pengemis, tapi seperti petani. Rambutnya telah dirapikan, kumis dan janggutnya dicukur. Bahkan setelah tiga hari dilakukan pengobatan, ia sudah bisa memilih pakaian, dan yang dipilih adalah model pakaian pendeta To. Hal ini makin menguatkan kecurigaan bahwa dia adalah tosu dari Kun Lun
Pay. Namun sejauh ini, ia masih belum bisa mengingat apa-apa.
Tepat tiga minggu tinggal di Siauw Lim, Sun Ciak Kun, Tiong Gi, Sim Houw dan pengemis lengan tunggal ke Kun Lun. Mereka melakukan perjalanan melalui
sungai Huang Ho, ke arah barat. Di atas perahu ingatan Tiong Gi melayanglayang ke berbagai peristiwa yang sering dilalui di atas perahu. Dan tiba-tiba ia ingat tujuannya ketika melarikan diri, "Peta" ya demi sebuah peta ia rela
meninggalkan bibi Ciu. "Aku sekarang sudah punya kitab kamus huruf kuno,
pasti sekarang bisa membacanya," pikir Tiong Gi. Mendapat pikiran seperti itu kemudian ia berencana akan memisahkan diri dari rombongan ke Kun Lun. "Tapi
apa alasan yang tepat?"
Tiba-tiba terlintas sebuah pikiran yang baik. Sehingga Tiong Gi memberanikan diri pamit ke suhunya.
"Suhu, taecu sudah lama meninggalkan Yung Ci suhu, taecu sudah kangen ke
mereka, dan ingin mengetahui keadaan mereka sekarang. Apakah suhu
berkenan kalau aku mencari mereka?"
Sun Ciak Kun menatap muridnya lekat-lekat, ia sulit sekali menyelami apa yang tersembunyi dalam diri anak ini.
"Muridku, meskipun tugas yang kuberikan padamu sudah banyak yang
terlaksana, namun kita belum dapat mendamaikan Kun Lun dengan Siauw Lim.
Kini bahkan aku sendiri yang memikul tugas itu. Dan ingatlah di rimba persilatan ini banyak iblis berkepandaian tinggi, berbahaya sekali kalau kamu sendirian, lagi pula aku masihbelum habis mengerti kenapa manusia bertopeng tempo hari
seperti memusuhimu, betapa banyak musuh-musuhmu, anaku?"
"Sun locianpwee, mohon maaf, bukan maksud boanpwee lancang mencampuri,
tapi dia sekarang sudah dewasa, sudah bukan anak-anak lagi, mana takut sama
segala macam manusia jahat seperti itu," ujar Sim Houw.
"Begitukah Tiong Gi" Coba katakan kenapa engkau ingin meninggalkan kami?"
"Aku ingin berebut pedang salju!" tiba-tiba saja terlontar ucapan itu dari mulut Tiong Gi. Ia sendiri terlambat menyadari apa yang barusan diucapkan,
sepertinya kata-kata itu tidak muncul dari otak tapi keluar begitu saja dari dasar hati.
Sun Ciak Kun terkejut mendengar jawaban ini. Sim Houw sendiri bergidik
menatap mata Tiong Gi ketika mengucapkan kata-kata itu. Sorot matanya tibatiba mencorong dan berkilat-kilat. Sorot mata itu seperti mengandung wibawa
yang sukar untuk dibantah. Sun Ciak Kun sendiri tiba-tiba merasa tidak lagi
mengenali muridnya. Ia memang tahu bahwa muridnya membawa dasar watak
yang sebagian gelap, tapi tidak ia ketahui kenapa demikian. Mendadak Sun Ciak Kun dilanda kekhawatiran kalau-kalau ia salah memilih murid. "Celaka, anak ini sudah mendapatkan ilmu-ilmu yang lihai, kalau sampai salah arah bencana besar akan melanda rimba persilatan" pikir Sun Ciak Kun.
"Untuk apa kau ingin memiliki pedang itu muridku?"
Setelah bisa menguasai diri Tiong Gi sadar, bahwa ucapannya sudah keliru, tapi ucapan sudah terlancut meluncur dari mulutnya sudah tidak bisa dihapus lagi.
"Suhu aku hanya ingin mengembalikan pedang itu kepada yang berhak! Aku
tidak ingin pedang itu jatuh ke tangan orang-orang jahat yang tidak
bertanggung jawab."
"Hmmm...Tiong Gi, ada terbersit kekhawatiran di dalam hatiku. Dan ingatlah
nasihatku nak, kepandaianmu saat ini sungguh kepandaian yang jarang dimiliki oleh pesilat manapun. Jika kau pergunakan kepandaianmu untuk kesesatan,
maka hancurlah dunia persilatan. Dan aku akan menjadi orang pertama yang
akan memusuhimu! Pergilah, jika memang itu yang kau kehendaki," kata Sun
Ciak Kun sedih. Tiba-tiba saja kakek tua yang begitu dihormati di rimba
persilatan sebagai sesepuh kaum putih, merasa menjadi orang tua yang bawel
terhadap anaknya. "Yung Ci...Yung Ci, sungguh berat sekali penderitaanmu,"
keluhnya dalam hati.
Tiong Gi menundukkan mukanya, kemudian dengan suara perlahan ia mohon
pamit. Perahu menepi ke selatan, ia melompat ke daratan.
"Oi Gi-te nanti kalau kamu sudah jadi taihiap (pendekar besar), jangan lupakan aku yaa....awas aku akan jitak kepalamu!" seru Sim Houw. Tiong Gi hanya
tersenyum sambil melambaikan tangannya. Ia kemudian bergerak cepat menuju
ke selatan. Ia terus berlari melakukan perjalanan cepat. Jarak yang ditempuh sungguh cukup jauh, namun dalam waktu satu minggu ia sudah bisa
menemukan sungai Yang Ce, dan dari sungai ini ia naek perahu untuk menyusuri tempat dulu ia mengahabiskan masa kecil.
** Gua itu tidak banyak berubah bentuknya. Hanya saja semak belukar di depannya sudah sangat rimbun. Sesampainya di gua ternyata keadaan di situ sunyi, Cu
Hoa sudah tidak lagi tinggal di situ. Setelah Tiong Gi meninggalkan gua itu, kaum kang ouw kembali lagi ke lembah tempat pertarungan mereka. Mereka
mencoba menyelidiki lagi kemungkinan lukisan itu tidak kecebur di air, tapi jatuh ke semak-semak. Akhirnya mereka menemukan bekas semak-semak yang
tersibak bekas tapak kaki manusia. Setelah di kuti sampailah di depan sebuah gua tempat tinggal Cu Hoa Nionio. Demi mendengar tempatnya didatangi orang
Cu Hoa terperanjat, dan segera menyambut. Terjadilah keributan, dia terluka, dan hanya karena menguasai medan dia bisa menyelamatkan diri. Akhirnya
bulat sudah keputusan Cu Hoa untuk menemui Hoan Bin Kwi Ong Tian Ce Tin.
Setelah memasuki goa, Tiong Gi meraba-raba tempat dulu dia menyembunyikan
lukisan, dan ternyata lukisan itu masih ada disana, diambilah lukisan itu,
kemudian disibak. Demi melihat kembali lukisan itu, Tiong Gi membandingkan
situasi di lukisan dengan tempat dia belajar di Gongga san. "Sungguh mirip
sekali, tempat ini dengan Gongga." Kemudian ketika membalik lukisan itu.
Terdapat suatu puisi yang berbunyi:
Mendaki puncak Kongla
Susuri bukit-bukit bersalju
Akankah kujemput puncak itu
Meskipun beribu gelar ada di pundak
Negeri ini negeri salju
Aku hidup dan mati di sini
Di malam yang mengambang
Diantara danau dan pohon siong
Sinar perak akan menyelimuti semesta a1am.
"Negeri salju" Apakah ini hanya kebetulan saja" Ada negeri salju, ada pedang salju." Lukisan itu dibakar, setelah Tiong Gi menggambar ulang di atas kulit yang kemudian dipakainya sebagai sabuk. Setelah meninggalkan gua, Tiong Gi
Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kembali turun menyusuri sungai Yang Ce, yang dituju adalah Siauw Tong San,
tempat yang disinggung-singgung oleh Hiat Kiam Lomo saat bercanda dengan
Sim Houw. Tiong Gi melakukan perjalanan cepat, lewat sungai maupun lewat darat.
Seminggu kemudian sampailah ia di kota Lu Ting. Kota ini merupakan kota kecil yang terletak di sebelah utara Gongga san. Di sebuah kedai yang cukup besar, Tiong Gi mampir untuk makan siang. Ia menyapukan pandangan ke seluruh
sudut ruangan. Semuanya dipenuhi kaum persilatan, terlihat dari dandanannya
dan senjata yang dibawa. Semuanya sedang membicarakan kabar hangat yang
mereka terima. Tiong Gi duduk di sebuah sudut. Ia mendengarkan dengan baik seluruh
pembicaraan orang-orang itu. Di antaranya pembicaraan itu ada yang
mengabarkan bahwa sudah hampir sebulan berputar-putar mencari tempat
penyimpanan pedang namun masih belum juga dapat ditemukan. Mereka semua
bercerita dengan suara perlahan-lahan. Di wajah semuanya terlihat gurat-gurat ketegangan, dan raut muka berdebar-debar. Yach, siapa pesilat yang tidak
mengilar mendengar mitos pedang salju yang akan membuat siapa saja yang
berhasil mendapatkannya akan menjadi jago pedang nomor satu"
Angin gunung berhembus pelan-pelan. Namun di awal musim dingin seperti saat
itu, meski pelan tapi sudah cukup membuat orang awam lebih memilih duduk
mengitari tungku api. Setelah makan malam, Tiong Gi mencari penginapan.
Ternyata agak sulit mendapatkan tempat kosong, karena kebanyakan kamar
sudah dipenuhi para pesilat yang ingin memperebutkan pedang, atau setidaknya menonton keramaian. Akhirnya ia mendapat sebuah kamar yang agak buruk dan
terletak di belakang.
Bab 21. Perebutan pedang salju
Siauw Tong San adalah salah satu pegunungan yang masuk wilayah
pegunungan salju besar. Pegunungan ini bersebelahan dengan gunung Gongga.
Dinamakan demikian karena dilihat dari barat gunung ini berbentuk seperti anak kecil yang sedang tidur. Konon sebuah legenda menyebutkan bahwa di gunung
itu pernah ada seorang anak kecil yang ditinggal ibunya untuk mencari
makanan. Anak itu menunggu ibunya, namun sang ibu tidak pernah kembali
karena sudah diterkam oleh harimau. Anak itu menunggu terus sampai ia
tertidur selamanya.
Selama empat hari Tiong Gi hanya berjalan-jalan berkeliling melihat keadaan. Ia mengamati di lereng timur timur pegunungan itu sudah ada puluhan tenda
berdiri mengelilingi sebuah telaga yang airnya mengalir tenang. Ada tiga
kelompok tenda yang cukup besar. Di sekitar tempat itu, terutama di dekat
telaga sudah ada belasan lubang-lubang besar bekas galian. Setiap hari selalu ada saja yang mencoba-coba untuk menggali tanah, dari berbagai pihak.
"Kenapa mereka menggali di lereng?" pikir Tiong Gi. "Kalau benar berada di sini, pasti pedang itu tersimpat di puncak yang ditutup salju."
Tiong Gi melangkah mantap melewati tenda-tenda itu menuju ke puncak. Semua
mata menatapnya dengan tatapan penuh curiga, namun sejauh ini belum ada
seorangpun berani bertindak, karena mereka tahu, siapa yang memulai
keributan sebelum pedang itu ditemukan dia akan menderita kerugian besar.
Sebagian wajah-wajah pengawal itu dikenali Tiong Gi sebagai wajah yang mirip dengan wajah Can Seng, murid dari perkumpulan Tok Nan-hai Pang. Sebagian
seperti tosu dari Kong Thong Pay, sebagian tidak dikenalinya. Ketika ia terus melangkah mendaki bukit itu, satu dua orang mulai mengikutinya. Di puncak
perbukitan Tiong Gi berhenti, mata mencari-cari.
"Terlambat..terlambat.....sekarang semuanya jadi sulit!"
Tiong Gi melangkah ke suatu tempat yang diduga dibawahnya tersimpan
pedang. Namun sampai sepenanakan nasi ia masih belum menemukan tempat
itu. Ia terus melangkah, orang-orang yang mengikuti sudah mulai bosan, dan
beberapa mengomel panjang pendek.
Tiba-tiba di suatu bagian datar ia berhenti, kakinya menghentak-hentak, iapun tersenyum. Ia merasakan tempat itu jauh lebih dingin dari yang lainnya.
Dicabutnya sebuah pohon di dekat situ, kemudian ia meminta diberi sebuah alat gali. Tiong Gi kemudian menggali tempat itu. Bongkahan demi bongkahan es
dicongkel dari tempat itu. Orang-orang lantas berkerumun di sekitarnya. Mulamula hanya sedikit dan berwajah kroco, namun makin lama makin banyak.
Bahkan ketika es yang digali sudah sedalam tubuh pemuda itu, tokoh-tokoh
pentingnya juga ikut berdatangan. Dari rombongan Yu Liang Pay, tampak Siong
Hok Cu, Siong Chen dan Siong Lee. Kemudian dari pihak Hek in Pang tampak Cu
Hoa Nionio, Hoan Bin Kwi Ong, Pek Houw, rombongan dari kota raja yang
diwakili dua pesilat khitan dan biksu kurus yang tetap bercaping, kemudian dari Kong Thong Pay, Kong Thong Pat lo sudah lengkap berdelapan. Mereka saling
mengawasi satu dengan yang lain. Sungguh yang datang ke tempat itu adalah
pesilat-pesilat nomor satu pada saat itu. Meskipun terdapat perasaan
permusuhan atau dendam yang tak terselesaikan satu dengan yang lain, namun
seperti dikomando masing-masing pihak coba menahan diri. Mereka menahan
diri satu tombak dari lubang yang digali Tiong Gi. Sambil menggali, Tiong Gi masih sempat melirik mereka yang datang. "Kenapa rombongan dari bambu
putih belum terlihat?" pikirnya.
Mendadak sekopnya membentur benda keras, "Traang!"
Tiba-tiba dari belakang seseorang melakukan pukulan menggelap.
"Wuusss......deesss.........Ayaaa.......bruaaakk!"
Seorang dari Tok Nan-hai Pang jatuh berdebum, pukulan menggelap yang
dilancarkan ditangkis Tiong Gi dari bawah tanpa menoleh sedikitpun. Untunglah Tiong Gi tidak berniat mencelakakannya sehingga lukanya tidak parah. Hanya
tulang tangannya saja yang patah-patah.
Dengan kakinya, Tiong Gi menyingkirkan es disekitar logam yang ditemukan.
Ternyata logam yang didapat berupa kotak tang terbuat dari besi. Tampak kotak itu sudah berkarat saking tuanya. Tiong Gi jongkok mengambil kotak itu dan
langsung dibawanya keluar. Namun baru saja tubuhnya hinggap di atas, puluhan senjata sudah menodongnya. Ia kemudian memutar-mutar kotak besinya, sambil
membentak dengan suara menggelegar disertai tenaga khikang Sai cu hokang.
"Lepaasskaann !!!"
Hasilnya sedetik mereka semua dikejutkan oleh bentakan itu. Namun yang
sedetik itu cukup bagi Tiong Gi untuk menyerbu ke salah satu penyerang yang
lemah untuk membuka jalan. Dan langsung saja ia menghambur lari ke bawah.
Namun yang dihadapinya kini adalah pesilat-pesilat tingkat satu, yang
kepandaiannya tidak terlalu selisih jauh dengan dirinya. Berbagai senjata rahasia langsung meluncur ke arahnya, sehingga ia terpaksa harus mengibaskan tangan
ke belakang. Meskipun ia tidak berhenti dari lari, namun gerakannya menjadi
terhambat. Tiong Gi berlari ke arah utara. Sepeminuman teh kemudian ia telah sampai ke lembah dan secepat kilat lari ke arah padang. Saat itu padang itu
hanya ditumbuhi rumput, karena semak yang lainnya meluruhkan daun di saat
musim dingin tiba. Setelah tiba di padang itu timbul pikiran untuk menghadapi saja mereka, karena ia tidak mungkin lari terus-terusan dibayang-bayangi oleh semua orang. Maka iapun kemudian berhenti. Pesilat-pesilat tingkat satuyang
sudah menyusulnya kemudian mengepungnya.
"Anak muda, kau takkan bisa membawa keluar pedang itu, hayo serahkan
kepada kami!" kata Siong Hok Cu dengan muka mengeras.
"Anak itu...anak itu mirip sekali dengan Tiong Gi," desis Cu Hoa.
"Dia adalah bocah yang menyerbu An King dan membunuh Can susiok!" seru
seorang anak buah Tok Nan-hai Pang.
"Bocah itu telah membuat lumpuh Hiat Kiam Lomo!" seru biksu kerempeng di
dekat dua pesilat Khitan.
"Ah benar, dia..adalah murid Yung Ci Tianglo!" seru Sim Beng Tosu.
Seruan demi seruan terdengar saling bersahutan. Semua mata kini memandang
Tiong Gi dengan tatapan liar penuh kobaran api amarah. Tiba-tiba seperti
dikomando tiga orang sudah melancarkan serangan-serangan hebat ke arah
Tiong Gi. Mereka adalah Hoan Bin Kwi Ong, Can Kong (suheng pertama dari Can
Seng), dan Sim Beng Tosu.
Mendapatkan serangan dasyat seperti itu dari tiga orang yang sangat kosen
membuat Tiong Gi kerepotan. Golok Can Kong dan pukulan Hoan Bin Kwi Ong
bisa di tangkisnya, namun ketika ia hendak menangkis sambaran tongkat Sim
Beng Tosu, mendadak ada pukulan menyambar ke arah pundak kirinya.
Terpaksa ia memapaki dengan kotak besi ditangannya. Ternyata pukulan itu
bersifat memutar untuk membetot senjata lawan. Seorang kakek kate yang
hanya bercawat tiba-tiba melonjak-lonjak karena kotak di tangan Tiong Gi lepas, dan terbuka. Dialah yang telah melancarkan pukulan jarak jauh ke arah Tiong
Gi. Dari kotak itu keluar sebuah pedang lengkap dengan sarungnya. Bak anjing berebut tulah, seketika itu tanpa malu-malu semua tangan berusaha meraih dan menangkap pedang.
Empat tangan berhasil memegang sarung pedang secara hampir bersamaan.
Tapi bertapa kagetnya mereka karena pada bagian gagangnya telah terlebih
dahulu di pegang oleh Tiong Gi.
"Sreeettt......"
Semua mata memandang silau oleh sinar pedang yang ada di tangan Tiong Gi.
Pedang itu diselimuti sinar berwarna kebiru-biruan, tiba-tiba pedang itu seperti mengeluarkan air, namun hanya sekejab saja air itu sudah berubah menjadi
kristal-kristal es.
"Swat kong kiam!" hampir serentak bak dikomando semua berteriak tertahan.
Semua orang yang tadinya berada di dekat Tiong Gi pelahan-lahan mundur ke
belakang. Kini jarak mereka dengan Tiong Gi ada sekitar tiga tombak, semua
memandang takjub. Mendadak Cu Hoa maju mendekat sambil merunduk, "Tiong
Gi....benarkah engkau Tiong Gi....ini aku nak...bibimu!"
"Siapa kau?"
"Lupakan kau kepadaku, aku bibi Ciu, nak, akulah yang dulu merawatmu di gua
di luar desa Kee Cung."
Tiong Gi menatap lekat-lekat wanita yang kini sudah beranjat tua itu.
Ingatannya kembali menerawang ke masa lalu. Tapi tiba-tiba wajahnya
mengeras, bersemu malu. Ia merasa jijik pada wanita yang ada di hadapannya.
"Kau telah menculikku, kau telah merusak hidupku!"
"Tiong Gi, dulu aku pernah berjanji memberi tahu nama orang tuamu, kini
biarlah aku menebus semua kesalahanku dengan melunasi janjiku, tapi
berjanjilah kau sudi memberikan pedang itu untukku!"
"Apa....memberikan pedang ini padamu" Huh, aku tak sudi!" seri Tiong Gi.
"Apakah kau tidak ingin mengetahui siapa orang tuamu sesungguhnya, huh
dasar kau anak tidak berbakti. Pembunuh orang tuamu ada di sini kau malah
tidak sudi mendengarkan nama orang tuamu."
"Apa...pembunuh orang tuaku ada di sini, siapa dia, tunjukkan siapa dia!"
"Berjanjilah untuk memberikan pedangmu!"
"Aku tidak butuh pedang ini, kalau kau bisa tunjukkan aku akan serahkan
pedang ini padamu!"
Meski mereka berdua berbicara tidak terlalu keras, namun semua orang bisa
mendengar, termasuk Siong Chen. Ia cukup terperanjat mendengar mereka
membicarakan soal pembunuhan orang tua bocah yang wajahny mirip dengan
Tiong San. Namun ia tidak takut, karena merasa diri unggul, lagi pula bocah
ingusan seperti Tiong Gi mana mungkin punya kelihaian seperti yang digembargemborkan orang, pasti mereka berlebih-lebihan, pikirnya.
"Itu dia! Dialah pembunuh ayahmu Kwan Tiong San, namanya Siong Chen!"
teriak Cu Hoa sambil menudingkan telunjuk tangan kanannya ke arah Siong
Chen. Tiong Gi bak disengat kalajengking langsung melompat ke arah Siong Chen.
"Benarkah...benarkah kau yang membunuh ayahku, benarkah ayahku bernama
Kwan Tiong San?" tanya Tiong Gi dengan suara tergetar. Wajahnya sebentar
merah sebentar pucat. Tatapan matanya berkilat-kilat mengerikan.
Siong Chen sebenarnya bergidik melihat tatapan mata seperti itu, tapi dengan menguatkan hati ia memaksa untuk tertawa, "Ha...ha....ha....memang benar aku yang menghidangkan racun kepada Tiong San, tapi perempuan jalang itulah
yang memasukkan racunnya, apa kamu hendak menyangkalnya Cu Hoa!" balas
Siong Chen sambil balik menunjuk Cu Hoa.
"Tiong Gi...kau telah berjanji untuk menyerahkan pedang itu padaku kalau aku memberi tahumu pembunuh orang tuamu, dan dia telah mengakui telah
meracuni ayahmu. Sedangkan aku..aku menyangkal tuduhannya. Hayoo
serahkan pedang itu!"
Tiong Gi menatap kedua orang yang saling tuduh sebagai pembunuh ayahnya
dengan sorot mata nanar. Betapa ringannya orang membicarakan telah
meracuni orang lain, sambil ketawa-ketawa. Api kemarahan telah menggelegak
di dadanya. Dengan tatapan bengis ia melempar pedang ke arah Cu Hoa.
Kemudian sambil membentak ia menantang Siong Chen untuk bertarung.
Begitu pedang sudah diraih Cu Hoa, Hoan Bin Kwi Ong dan Pek Houw beserta
orang-orang Hek in Pang segera melidunginya. Orang-orang tidak segera
memperebutkan pedang karena Cu Hoa tetap berdiri mematung, tidak melarikan
diri. Mereka ingin menyaksikan pertandingan antara Siong Chen dengan pemuda
yang akhir-akhir ini menggemparkan rimba persilatan meskipun jarang yang
tahu namanya. "Siong Chen, hayo maju hadapilah aku secara jantan! Atau kau bersedia
meminta ampun dan mengutungi kedua tanganmu!" bentak Tiong Gi.
Siong Lee yang dari tadi sudah merasa iri dan benci pada pemuda itu langsung berkobar rasa marahnya. Ia langsung melompat ke depan Tiong Gi.
"Bocah ingusan, beraninya kau menantang ayahku pendekar Yu Liang Pay,
selama masih ada aku puterama, akulah lawanmu!" bentaknya sambil
menusukkan pedangnya.
Tiong Gi menggeser kakinya, dari samping ia menyentil pedang di tangan Siong Lee, sehingga tubuhnya luput dari serangan. Serangan pertama gagal langsung
saja Siong Lee melanjutkan serangan kedua, karena lawan tidak ada tandatanda menyerangnya. Karena gusar, Tiong Gi kemudian menghantamkan
tangannya ke dada Siong Lee secepat kilat sehingga pemuda itu terlempar tiga tombak. Kemampuan Siong Lee memang masih jauh dari Dan dengan sekali
lompat ia telah tiba di depan Siong Chen.
Siong Chen yang terkejut melihat kemampuan pemuda ini, langsung
menghantamkan pukulan tangan kanannya. Tiong Gi menangkis pukulan tangan
ini dengan tangan kirinya, ketika tangan kanannya hendak mencengkeram.
Namun keburu ditangkis oleh Siong Ho Cu. Pertarungan kini dilakukan dengan
keroyokan. Dua jagoan Yu Liang Pay mengeroyok Tiong Gi. Pertarungan ini
sangat seru luar biasa. Dua pesialat Yu Liang Pay yang dihadapi Tiong Gi
bukanlah pesilat kacangan, mereka berkedudukan tinggi di Yu Liang Pay,
sehingga kepandaiannya tidak diragukan lagi. Pukulan demi pukulan sambar
menyambar, bagaikan hujan. Namun yang mereka hadapi saat ini adalah Tiong
Gi, pemuda didikan Yung Ci Tianglo dan Sun Ciak Kun serta telah digembleng
beberapa hari di Siauw Lim untuk mematangkan ilmu silatnya.
Dua puluh jurus sudah berlalu, posisi kedua lawan Tiong Gi makin terlihat
terdesak. Apalagi Tiong Gi sudah mengalami tingkat kemarahan yang tidak
tertahankan lagi. Pada suatu kesempatan dengan sepenuh tenaga ia ingin
mengakhiri pertarungan secepatnya. Maka iapun melompat ke belakang dua
tombak untuk mengambil ancang-ancang, secepat kilat ia bersiap memainkan
jurus Swat sian kuan men (dewa salju membuka gerbang), yang merupakan
jurus paling hebat dari silat pukulan badai angin salju yang telah dipelajari dengan penuh keyakinan. Jurus ini kemudian dikombinasikan dengan ilmu silat
Kiu Yang Sin Ciang, seperti saat ia menghadapi Hiat Kiam Lomo.
"Hiaattt.....wusss.......blaaaarrrrrr.......!!!
Tiong Gi terlontar tiga tombak ke belakang oleh tangkisan kedua pesilat dari Yu Liang Pay ini. Tubuhnya langsung berpoksai tiga kali, namun ketiga turun ia
seperti masih terkena imbas benturan sehingga terpelanting. Dari mulutnya
menetes darah, tanda bahwa ia telah terluka di bagian dalam tubuhnya. Luka
yang lebih serius dibandingkan dulu dengan Hiat Kiam Lomo.
Adapun Siong Chen dan Siong Hok Cu terlempar ke belakang lima tombak.
Beruntung Siong Hok Cu, masih mampu mengendalikan arah tubuhnya sehingga
ia dapat jatuh dengan bersalto di tanah. Siong Chen sudah tidak mampu lagi
mengendalikan diri, ia jatuh terhempas di dekat puteranya. Meskipun masih
hidup namun luka dalam tubuhnya sangat parah, ia langsung memuntahkan
darah segar. Jarak ia dengan Siong Lee ada sekitar satu tombak. Siong Lee
mencoba untuk menggeser tubuhnya perlahan ke arah ayahnya, yang terdiam
berusaha untuk bisa bersamadi. Mendadak, dari samping kanan meluncur tubuh
Cu Hoa dan dengan cepat menusukkan pedangnya beberapa kali dengan penuh
dendam. Cu Hoa saat itu tidak bisa menguasai emosinya. Sudah dua minggu
lebih ia berada di situ melihat Siong Chen tanpa bisa membuat perhitungan atas dendam lamanya. Dulu ia pernah mencintai lelaki itu, bahkan ia telah
menyerahkan tubuhnya dengan suka rela. Siong Chenpun berjanji untuk
menikahinya, dan mereka sepakat untuk membuat saingan Siong Chen, yaitu
Tiong San, ayah Tiong Gi menderita dengan cara meracuni istrinya. Siapa kira Siong Chen yang merasa dengki ke Tiong San, karena ia lebih di sayang oleh
Kian Bu, menukar cawan yang dihidangkan sehingga bukan isterinya yang
meninggal tetapi Tiong San yang jadi korban.
"Crooot....croot....croot.......aaauuuuuggghhhh!"
Tiga kali tusukan pedang salju memutuskan nyawa Siong Chen. Hanya jeritan
panjang yang lirih yang keluar dari mulutnya. Karena dikuasai oleh nafsu amarah yang luar biasa, Cu Hoa melupakan semua yang ada diluar dirinya, ia terus
menusuk dan membacokkan pedang salju dengan membabi buta. Tidak ada
daras yang mengalir dari luka, karena sudah keburu membeku oleh hawa dingin
pedang. Lima anak murid Yu Liang Pay, tidak tinggal diam, mereka menyerbu kearahnya.
Saking asiknya terhanyut dalam suasana membalas kesumat, Cu Hoa seakan
tidak menghiraukan. Untung saja kakek kate Pek Houw segera membantunya
dengan mengirimkan berbagai pukulan maut. Tersadar bahwa ia diserang, maka
Cu Hoa juga akhirnya mengamuk menusuk membabi buta, sambil berposisi
masih terduduk. Tiga murid Yu Liang Pay, roboh tewas bersimbah darah. Namun
di sisi lain, karena berkonsentrasi pada penyerangan ia melupakan pertahanann sehingga ketika Siong Lee, menebaskan pedangnya ke tangan kirinya ia tidak
sadar. Bahkan ketika tangan kanannya juga ditebas, ia masih tidak percaya,
barulah ia menjerit keras, bagaikan lolongan anjing, ketika menyadari kedua
tangannya telah buntung.
Kutungan tangan Cu Hoa masih menggenggam pedang salju. Segera sesosok
tubuh berlari kearah kutungan itu, dan menyambar pedang. Kini pedang itu ada di tangan Sim Beng Tosu karena posisinya lebih dekat dengan Cu Hoa, dengan
berseru penuh kegembiraan ia mengacung-acungkan pedang dan berlari ke
utara. Namun perebutan pedang belum berakhir sampai di situ. Pihak Hek in
Pang dan Tok Nan-hai Pang terus mengejar.
Matahari sudah condong ke barat. Langit senja yang berlumuran warna
kemerahan awan lembayung seakan muak melihat keangkaraan manusia yang
demikian mudah melampiaskan nafsu membunuhnya. Matahari yang sudah
meredup itupun sembunyi di balik awan, seperti tak mau melihat kekejaman
umat manusia yang dianggap sebagai makhluk paling beradap di jagad raya.
Padang rumput, yang dikenal dengan padang bunga merah, atau padang bunga
botan, karena pada saat akhir musim semi padang ini akan berwarna merah
bunga botan, kembali senyap. Hamparan savana yang belasan tahun lalu pernah
menjadi saksi pembunuhan pendekar yang namanya harum di barat oleh orangorang berhati iblis dari Yu Liang Pay, kini menjadi saksi kematian salah satu tokoh dari Yu Liang Pay, seakan hukum karma telah mengejawantah untuk
memutuskan keadilan bagi semesta. Hanya suara jangkrik ditingkahi suara
burung dari kejauhan yang masih mampu menghadirkan melodi-melodi
kehidupan. Tiong Gi dan Siong Hok Cu duduk bersila dengan mata rapat,
sedangkan Siong Lee dan Cu Hoa rebah tak sadarkan diri.
Sekonyong-konyong muncul sosok tubuh renta yang langsung meluncur dengan
kecepatan tinggi ke arah padang itu. Matanya jelalatan mencari-cari, namun
Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sudah terlambat. Pedang yang dicari sudah tidak ada lagi. Hampir saja rasa
dongkolnya hendak dilampiaskan ke orang-orang yang masih bernafas. Ketika ia mendengar suara keluahan wanita yang kehilangan kedua tangannya. Ternyata
Cu Hoa belum mati, ia yang sadar lebih dulu kemudian malah menarik perhatian tubuh tua yang yang juga bertangan buntung itu. Maka beruntunglah Cu Hoa
Nionio karena saat itu juga diangkat sebagai murid terakhir nenek keriput yang bukan lain adalah Nenek Kelabang Emas. Rombongan barongsai kelabang
kemudian datang, dan langsung saja nenek dan Cu Hoa ikiut dibawa oleh
rombongan ini meninggalkan padang bunga.
Padang bunga kembali sepi untuk beberapa saat. Namun sebelum matahari
kembali ke peraduannya. Tiba-tiba terdengan suara gemeresek langkah-langkah
kaki menyibak rerumputan. Makin dekat langkah itu makin cepat. Dan setelah
berjarak seratus meteran dari Tiong Gi, tiba-tiba terdengar suara tangisan.
"Paman...pamaannn..ohhh huu huuu huuu........."
Suara tangisan itu sungguh menyedihkan, bagaikan ratapan anak kecil ditinggal mati orang tuanya. Namun suara tangisan itu bukanlah suara tangisan anak-anak, melainkan suara tangisan tua dari seorang kakek-kakek.
Kakek yang rambutnya telah memutih dikuncir seperti pendeta To, duduk
bersimpuh di samping batu berbentuk segilima tak beraturan. Dua tosu yang
lebih muda ikutan bersimpuh sambil merangkul kakek itu. Batu itu yang sudah
lapuk dimakan umur, namun kenangan yang ditorehkan oleh kejadian dimasa
silam itu seperti melekat kuat dalam ingatan kakek yang berlengan satu itu,
bagaikan kejadian kemaren sore saja. Bhok Kian tosu, nama kakek itu, nama
yang telah hilang dari memorinya karena dirampas oleh racun perenggut ingatan buatan Vicitra Rahwananda. Kakek yang kini berumur enam puluh lima tahunan
itu mengguguk seperti anak kecil. Seorang tosu yang dua tiga tahun lebih tua berdiri tiga tombak dibelakang mereka, memandang peristiwa itu dengan
tatapan duka. Kepalanya beberapa kali menggeleng-geleng, beberapa kali ia
menarik nafas panjang. Di sampingnya berdiri seorang kakek renta yang
tubuhnya agak bongkok, digandeng oleh seorang pemuda tampan. Sementara
itu lima biksu berusia lebih dari enam puluh tahunan berdiri menundukkan
kepala, kedua tapak tangannya bertemu di depan dada, dengan posisi
menyembah. "Siancay..siancay.....hawa nafsu selalu melahirkan kerusakan semesta. Kenapa manusia selalu ingin memperturutkan hawa nafsunya. Bukankah nafsu makin
dituruti makin merajalela menuntut hal yang lebih. Kapankah manusia merasa
puas" Kenapa bisa begitu Sun taihiap?" tiba-tiba seorang kakek yang berbaju To seperti Bhok Kian tosu, berseru perlahan sambil menggebutkan hudtim secara
perlahan. "Tidak tahu, aku mau liat dulu ada kejadian lain di sekeliling kita!" jawab Sun Ciak Kun, tak nyambung. Watak kakek tua ini memang kadang aneh, ugal-ugalan tak tahu sopan, seperti orang kampung yang tak terdidik, namun kadang sabar, halus dan lemah lembut seperti seorang kuncu. Ia ngeloyor begitu saja ke arah bekas pertarungan. Dari kejauhan terlihat ada tiga sosok tubuh diam duduk mematung seperti arca. Hatinya mencelos melihat salah satu orang yang
bersamadi itu adalah Tiong Gi. Ia menggeleng-gelengkan kepala dengan apa
yang dilihat, beberapa mayat berserakan, darah berceceran dimana-mana. "Apa
yang telah dilakukan anak itu?" pikirnya.
Ketika Tiong Gi tersadar ia telah berada di suatu tenda. Petang telah berubah gelap, dengan peneragan beberapa lilin, keadaan di tenda itu remang-remang.
Di dalam tenda sudah berkumpul Sun Ciak Kun, Sim Houw, Ki Liang Tosu, dan
lima biksu Siauw Lim Bhok Kian tosu dan dua orang tosu muda duduk memisah
di pojokan. "Gi-te..kau sudah sadar, syukurlah, kami mengkhawatirkanmu!" ujar Sim Houw.
"Gi-te apa sebenarnya yang terjadi?" tanya Sim Houw. Karena melawan arah
cahaya lilin, Tiong Gi agak silau, dan sulit mengenali pemuda di depannya.
"Houw-ko, kamukah itu?"
"Memangnya ada Sim Houw palsu?"
"Mana dia" Mana bibi Ciu, mana orang-orang dari Yu Liang Pay?"
Tiong Gi berlarian ke sana kemari namun ia hanya menemukan gundukan tanah
basah. "Gi-te, kau masih terluka, keadaanmu masih belum pulih, lagian percuma kau
lari-lari kesana kemari, masuklah dulu, kita bicara saja di dalam tenda," bujuk Sim Houw.
Dengan menunduk, Tiong Gi kembali memasuki tenda. Mereka kemudian duduk
berkeliling. Sun Ciak Kun kemudian meminta Tiong Gi untuk membuka baju, ia
kemudian meletakkan telapak tangannya di punggung Tiong Gi. Setelah
sepenanakan nasi, kemudian ia berhenti menyalurkan hawa sakti ke tubuh
muridnya. Tiong Gi merasa lebih baikan.
"Terima kasih suhu, taecu selalu saja merepotkan suhu!"
"Sudah..sudah..., ini memang sudah menjadi kewajiban kita semua untuk saling tolong menolong. Sekarang ceritakanlah apa yang telah terjadi!"
Selanjutnya secara singkat Tiong Gi menceritakan kejadian yang dia alami.
Tentu saja ia tidak menceritakan kejadian di gua, dan orang tuanya.
"Hmmm....jadi jelaskan kini, dari rangkaian peristiwa yang ada, juga kejadian-kejadian yang dialami oleh Tiong taihiap dan Sun susiok, kini kita mendapat titik terang dalang dibalik peristiwa ini, dugaan kami sepertinya mendekati
kebenaran, bahwa ada pihak dalam yang membantu mencuri kitab Liong Jiauw
Ciu, dan kini ilmu cakar naga juga dikuasai oleh musuh. Dan musuh sengaja
memanfaatkan Bhok Kian tosu untuk mengadu domba Kun Lun dan Siauw Lim,
sungguh perbuatan yang kejih!" ujar Bu Sian taisu.
"Apakah losuhu mengenal biksu itu?" tanya Tiong Gi.
"Hampir dapat pinceng pastikan dia adalah Kong Meng Hwesio, salah satu dari
Wu Han Cit Seng, yang dulu melaporkan kejadian itu ke Siauw Lim. Hanya saja, siapakah dalang peristiwa itu masih kabur, bagi kami, mungkin Sun susiok, atau Ki Liang toyu dapat memberi masukan?"
"Kami dari Kun Lun, lebih jauh dari kabar, mungkin Sun taihiap punya wawasan yang bisa dibagi kepada kita semua?" tanya Ki Lian tosu.
"Lohu sendiri masih penasaran, siapa dalang di balik ini semua" Menurut
keyakinan lohu, titik terangnya ada di kaypang sabuk hitam," jawab Ciak Kun.
"Eh, kenapa demikian taihiap?" kali ini yang bertanya adalah Bu Kak taisu.
"Karena peristiwa ini bermula di sana, meskipun di kaypang cabang. Bukan tidak mungkin dalang peristiwa ini bermula dari sana, hanya saja siapakah tokoh itu, dan adakah tokoh kaypang yang sedemikian sulit diukur sampai dimana tingkat
kelihaian. Masih gelap bagi kita. "
"O ya, cuwi locianpwe, siauw-te punya sahabat di sana, namanya Sin Hwat,
kelak siauw-te akan mencarinya. Biarlah nanti siauw-te coba telusuri lagi
dengannya." Timpal Tiong Gi.
"Lantas apa kaitannya sang tokoh dengan Yu Liang Pay" Kenapa dua orang dari
Yu Liang itu begitu mudah menghilang, apakah mungkin sosok yang barusan
kita lihat orang yang berbeda?" tanya Bu Kak taisu.
"Dari bentuk tubuhnya kukira orang yang sama!" jawab Ciak Kun.
Setelah diam sejenak Ciak Kun melanjutkan lagi: "Biarlah, lohu menemui Pek
Mau Lokay untuk meminta penjelasan mengenai kemungkinan ini!"
"Kalau ngo-wi suhu, hendak melanjutkan perjalanan kemanakah?" tanya Ki
Liang. "Omitohud"..peristiwa ini menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi Siauw
Lim, ternyata di antara kita memang harus ada persatuan dan ada komunikasi
satu dengan yang lainnya. Sebesar apapun Siauw Lim, suatu ketika kami pasti
membutuhkan bantuan suadara-saudara di luar Siauw Lim. Karena itu sebaiknya
kalau sekarang kita bergerak bersama-sama, kita selesaikan dulu masalah yang paling dekat, baru kemudian kami mohon kesediaan cuwi untuk membantu
Siauw Lim menangkap biksu palsu Kong Meng."
"Kami sendiri sepertinya akan ke Yu Liang Pay, menuntut penjelasan dari
mereka!" ujar Ki Liang tosu.
"Hanya dengan kekuatan berempat?" tanya Tiong Gi.
"Sebenarnya, kami sudah berjanji untuk bergabung dengan Sam-lojin,
sepertinya kawan-kawan dari bambu putih juga ikut membantu."
"Kalau begitu, kurasa sebaiknya kita ke Chon King terlebih dahulu, nanti dari sana kita bisa melalui jalan darat."
Malam sudah semakin tua ketika akhirnya pertemuan diakhiri. Dua hari
berikutnya setelah keadaan Tiong Gi sudah lebih segar berangkatlah mereka ke timur. Mereka melakukan perjalanan cepat dengan membeli kuda dan menyewa
kereta piauw kiok (perusahaan pengantaran barang).
Saat istirahat di perjalanan Tiong Gi memanfaatkan untuk banyak bertanya pada gurunya tentang Yu Liang Pay. Sun Ciak Kun sendiri tidak begitu paham,
sehingga ia menyarankan agar Tiong Gi langsung saja bertanya pada Bu Sian
taisu atau Ki Liang tosu yang banyak pengalaman berkecimpung di sungai telaga akhir-akhir ini. Dari keduanya ia mendapat banyak keterangan yang sangat
berharga. Tentang keluarga pimpinan Yu Liang Pay, tentang peristiwa huru-hara yang kemudian menyebabkan kematian ayahnya. Namun ia masih sulit menebak
apa kira-kira penyebab ayahnya dibunuh.
Angin pegunungan berhembus perlahan, Tiong Gi merasakan hawa yang dingin
menusuk tulang, namun perasaannya terhadap orang-orang partai yang akan
dikunjunginya jauh lebih dingin daripada angin yang menerpanya. Ia tidak habis mengerti kenapa sesama saudara seperguruan bisa saling bunuh dengan
kejamnya. Kenapa ayahnya mesti diracun" Apa kesalahan ayahnya" Dendam
apa yang menyebabkan Siong Chen tega meracuni ayahnya. Dan mengapa
seakan-akan dia dan bibi Ciu saling melempar tuduhan. Apa yang sesungguhnya
terjadi" Kenapa dia memanggil bibi Ciu dengan panggilan Cu Hoa" Mana yang
benar" Kenapa pula bibi Ciu begitu benci kepada Siong Chen, sehingga ia tega menusuk-tusuk tubuh Siong Chen yang sekarang dengan membabi buta" Dan
masih banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang menggantung. Yang tak bisa
dijawabnya sendiri.
Angin berhembus lagi lebih kencang, sepotong ranting menegenai kakinya.
Pundaknya tiba-tiba ditepuk orang. Seorang pemuda yang dikenalnya. Tiba-tiba ia ingin bercakap-cakap dengan Sim Houw.
"Gi-te, kenapa duduk sendirian di sini. Orang-orang sudah bersiap melanjutkan perjalanan."
"Houw-ko, apakah kau masih punya orang tua?" tanya Tiong Gi sambil bangkit
dan berjalan perlahan menuju kuda yang ditambatkan.
"Ayahku sudah meninggal beberapa tahun silam. Obat yang kudapatkan dari
Kong-sim hosiang, hanya mampu bertahan beberapa bulan. Memang saat itu
ayahku sudah sakit parah."
"Eh Gi-te kenapa kau tanya hal ini?"
"Aku tidak tahu, hanya saja aku merasa aneh dengan peristiwa yang menimpa
orang tuakau."
"Ah, sudahlah tidak perlu banyak kau pikirkan, toch itu tidak akan mengubah
nasib mereka, kita masih muda Gi-te, nikmati saja hidup, ayolah kita berangkat!"
Di markas penemis sabuk hitam, mereka mampir dan tinggal selama sehari
semalam. Banyak hal yang dibicarakan oleh Sun Ciak Kun dengan Pek Mau
Lokay. Bahkan mereka memanfaatkan momen pertemuan dengan menguji
kemajuan ilmu masing-masing. Bukan hanya antara Sun Ciak Kun dan Pek Mau
Lokay, tetapi juga dengan Ki Liang dan Bu Sian. Dan mereka semua sama-sama
kagum akan perkembangan ilmu yang telah dicapai masing-masing. Sun Ciak
Kun dan Pek Mau Lokay adalah dua sahabat lama, meskipun persahabatan
mereka lebih banyak karena pengaruh persahabatan suheng-suheng mereka.
Namun sedikit banyak mereka pernah beberapa kali terjun bersama menghadapi
musuh-musuh di rimba persilatan.
Dari keterangan, yang hanya disampaikan empat mata, Ciak Kun, mendapat
kabar yang mengagetkan mengenai pencurian kitab ilmu merak sakti.
Kecurigaannya kini makin tumbuh berkembang.
"Lokay, aku curiga asal muasal masalah ini dari cabang Yi Chang. Apakah kau
tidak punya kecurigaan terhadap anak muridmu yang di sana?"
"Lohu sendiri tidak begitu yakin, namun sulit sekali rasanya mencurigai mereka.
Memang perkumpulan kami tidak melarang anggota mempelajari ilmu dari
golongan lain, tetapi sejauh ini aku dapat mengenali asal-usul mereka. Pimpinan pengemis cabang Yi Chang dulu ada empat, mereka semua pernah berguru
padaku, dan aku pernah mungujinya. Keempat pimpinan cabang kecil sekali
terlibat di sana. Kalau pengemis anggota, aku tidak tahu pasti. Tapi kalau
memang benar, untuk apa?"
"Keyakinan saja tak cukup, lokay. Apakah mereka juga tahu kamu menyimpan
kitab ilmu merak sakti?"
"Tidak! Aku tidak pernah memberitahukan ke mereka. Dari keempatnya hanya
yang tertua yang berguru lama padaku, sedang yang tiga lainnya tergolong
anggota baru. Kemungkinan paling besar adalah murid utamaku membocokan
rahasia ini. Tapi sampai saat ini aku masih percaya padanya"
"Hmmm sungguh aneh! Tetapi segala kemungkinan bisa saja terjadi."
Setelah puas beramah-tamah, saling bertukar wawasan mengenai ilmu-ilmu
yang dilatih masing-masing. Keesokan harinya mereka berpamitan. Pek Mau
Lokay berkenan memberi bala bantuan sebesar sepuluh pengemis untuk
mengikuti mereka ke Yu Liang Pay.
Tepat pada hari dan tempat yang dijanjikan di sebelah barat Sungai Wu,
rombongan dari gunung salju besar datang. Ji-lojin memimpin sendiri
rombongan, dikuti Chien Ce, Liu Siang, beberapa orang dari negeri salju.
Beberapa saat kemudian rombongan dari Bambu putih juga datang. Rombongan
ini dipimpin oleh lelaki berumur lima puluh tahunan, memakai rompi warna
cokelat muda, bernama Tik Coan Kok. Di samping kanan dan kiri berdiri dua
orang tua berwajah khas, dua Tiauw Kwi. Tiong Gi segera mengenali kedua
Tiauw Kwi dan langsung menghambur kearahnya, memeluk kedua orang itu
dengan rasa haru. Ia seakan-akan menemukan kembali keluarganya. Setelah
melepas rindu, ia menatap seorang gadis yang tersenyum padanya. Wajah ayu
yang tidak asing lagi bagi Tiong Gi, hanya saja kini wajah itu makin cantik.
Rambutnya yang hitam di kat dengan pita.
"Gi-te!"
"Siang cici!"
Tiong tanpa sadar kemudian memegang tangan Liu Siang, namun dengan halus
Liu Siang melepaskannya. "Ah, maaf, kau sekarang sudah tambah dewasa cici!"
Hampir saja Tiong Gi mengatakan tambah cantik, tapi ditelannya ucapannya,
diliriknya para tetua termasuk suhunya ada di situ. Semua sedang
memperhatikannya. Tiba-tiba muka Tiong Gi terasa panas, dan orang melihat
pemuda itu tersipu-sipu.
"Dan sicu ini, siapakah?"
"Tiong hiante, perkenalkan cayhe Chien Ce, Shu Chien Ce, murid Kun Lun Samlojin," kata Chien Ce, sambil merangkapkan kedua tangannya. Tiong Gi
membalas dengan bersoja.
Sim Houw-pun akhirnya ikut nimbrung, dan mereka berempat akhirnya
membentuk kelompok sendiri, saling ngobrol dan bercanda dengan asiknya.
Perjalanan menuju ke Yu Liang Pay, sarang musuh, jadi seperti perjalanan
reunian saja. Mereka melangkah dengan langkah ringan penuh keceriaan. Angin
musim dingin yang berhembus juga tak pernah dirasakan, karena hati mereka
penuh dengan kehangatan.
Di tengah jalan tiba-tiba rombongan dihadang lima orang. Yang dipimpin
langsung oleh Kian Bu. Kakek yang kini sudah berumur enam puluh lima tahun
lebih itu menggunakan tongkat dan masih dipapah oleh anak buahnya.
"Kian Bu pangcu, kaukah itu?" sapa Ki Liang tosu, sambil merangkapkan tangan bersoja. Ia telah didaulat menjadi juru bicara rombongan.
"Benar, memang ini Kian Bu, namun kini sudah bukan pangcu lagi."
"Eh, apa yang terjadi?"
"Sudah tiga hari yang lalu lohu mundur dari kepemimpinan di Yu Liang Pay.
Telah terjadi peristiwa besar di sana!"
Ki Liang dan Ji-lojin saling berpandangan. Namun mereka mempercayai Kian Bu.
Apakah sebenarnya yang terjadi di sana"
Sebulan sebelumnya, rombongan Ji-lojin telah mendatangi Yu Liang Pay,
menyampaikan tuntutan agar, Vicitra Rahwananda diserahkan kepada mereka,
dan puncak pedang tengah di bersihkan. Waktu itu Kian Bu menangguhkan
jawaban. Kian Bu dan Liong Ping, mantan pancu, berbeda pandangan. Kian Bu
menginginkan benteng di bongkar, tengkorak serta tulang belulang yang ada di bukit di turunkan untuk dikremasi, sesuai tuntutan mereka. Namun Liong Ping
menolak, bahkan marah-marah dengan sikap menentang. Pada saat mereka adu
mulut, istri Liong Ping, Tan Tung Nio datang. Namun bukannya membela
suaminya, ia justru mendukung pendapat Kian Bu. Meskipun ia memiliki
hubungan dengan Vicitra Rahwananda, namun ia merasa sudah cukup Yu Liang
Pay, membayar orang india itu, dan sudah saatnya dia kembali. Pada saat itu
mendadak orang yang dibicarkan muncul. Adu mulutpun berakhir dengan
pertarungan. Liong Ping melawan Kian Bu, Vicitra Rahwananda melawan nenek
Tung Nio. Pertarungan antara Liong Ping dan Kian Bu hampir berimbang, namun
tetap saja tingkat kepandaian Kian Bu masih dibawah Liong Ping, sehingga
setelah ratusan jurus, akhirnya Kian Bu, roboh terluka. Namun Liong Ping
memang tidak bermaksud mencelakai Kian Bu, sehingga dia dibiarkan. Namun
sebaliknya, pertarungan antara Vicitra Rahwananda melawan nenek Tung Nio
berlangsung seru dan mati-matian. Kelihaian Vicitra Rahwananda sebenarnya
dibawah Tung Nio, namun karena mahir menguasai sihir, pertarungan itu
berlangsung cukup sengit. Setelah mengalahkan Kian Bu, Liong Ping terjun ke ke dalam pertarungan, namun bukannya membela isterinya Liong Ping justru ikut
mengeroyok Tung Nio. Entah setan apa yang merasuki tubuh orang tua itu,
pada suatu kesempatan, ketika terbuka pertahanan Tung Nio, Liong Ping
menusukkan pedang ke dada nenek tua berwajah bundar itu. Pedang itu
terbenam dalam di dada Tan Tung Nio, dada isterinya sendiri.
"Kau...kau....beraninya kau, lelaki tak tahu diuntung!" kata Tan Tung Nio
perlahan, dengan mata terbelalak penasaran. Betapa tidak penasaran, dialah
dahulu yang menerima Liong Ping muda, dalam keadaan sangat mengenaskan,
karena ia adalah buron, bahkan saat itu Liong Ping tidak bisa dikatakan sebagai perjaka. Dia yang merawat anak Liong Ping dengan penuh cinta, dan memang
ternyata belakangan ia tidak pernah dikaruniai seorang anakpun. Sebagai cicit dari Tan Hong Bu, dan murid langsung dari ayahnya Tan Sin Hong, ayahnya
lebih berhak atas kepemimpinan Yu Liang Pay. Hanya saja karena saat itu
ayahnya sudah tua dan sakit-sakitan maka jabatan itu diserahkan padanya, ia
menyerahkannya pada Liong Ping. Tapi ternyata lelaki yang dulu ditolongnya
dari lembah kesengsaraan kini tega membunuh perempuan yang sangat
mencintainya dengan sepenuh kasih. Betapa sakitnya.
Keesokan harinya, datanglah Siong Hok Cu dan cucunya dengan wajah keruh
penuh rasa penasaran, dendam dan kesedihan. mereka berdua di antar oleh
seseorang yang bertopeng, persis topeng yang dipakai oleh lawan Sun Ciak Kun.
Dan benarlah dugaan Ciak Kun, bahwa bayangan yang terlihat olehnya ketika
sedang menolong Hok Cu dan cucunya adalah bayangan orang bertopeng dewa
penjaga kuil itu. Bukan suatu kebetulan, orang bertopeng itu menolong mereka berdua. Tetapi jelas ada maksudnya. Orang itu menawarkan bantuan untuk
membantu mereka mendapatkan pedang salju, dan bahkan mengangkat Siong
Lee untuk menjadi muridnya, dengan syarat agar mereka bersedia membantu
perjuangan orang bertopeng itu. Siong Hok Cu dan Siong Lee menerima tawaran
itu. Dan karena peristiwa seperti itulah maka mereka kemudian menuntut Kian
Bu mundur, dan keluar dari markas.
"Demikianlah yang telah terjadi di Yu Liang Pay. Aku memang akan dicap
sebagai pengkhianat Yu Liang Pay, namun demi menegakkan kebenaran untuk
melawan Foi Cit Re (Vicitra) aku rela menjadi Wi Bi San (Wibisana), aku akan menunjukkan rahasia lorong-lorong di bawah puncak pedang tengah," kata Kian
Bu mengutip kisah Ramayana dari India.
Ki Liang dan orang-orang dalam rombongannya tercengang, namun kemudian
manggut-manggut. Dengan tongkatnya kemudian Kian Bu menggores-goreskan
tanah menggambarkan lorong-lorong yang bisa dijadikan jalan keluar, jikalau
mereka menemui kesulitan. Ki Liang kemudian mengingatnya dengan baik.
Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Karena medapat berita baru, maka sebelum memulai penyerangan Ki Liang
bersama dengan tetua yang lain berdiskusi melakukan perencanaan yang
matang. Bab 22. Hancurnya bukit pedang (TAMAT)
Puncak Fan Cing San dimusim dingin sungguh berbeda dengan di waktu musim
semi. Pohon-pohon tampak seperti telanjang.karena dedaunan terlah luruh pada musim gugur. Hanya hutan pinus yang berada di sekitar puncak saja yang
dedaunannya masih utuh. Sesekali puncak ini di selimuti salju, namun akan
cepat mengering. Di puncak Tiong Kiam dari luar suasana masih senyap. Namun
tak seorangpun tahu apa yang terjadi di dalam benteng.
Berkebalikan dengan suasana yang hening dan mistis di puncak pegunungan. Di
lereng selatan puncak itu, tepatnya di markas Yu Liang Pay, terjadi ketegangan yang ramai, antara dua pihak, pihak tamu dan tuan rumah.
Di pihak tuan rumah berdiri Siong Hok Cu, yang kini menjadi Pangcu, Siong Lee, orang Liong Ping, dan orang bertopeng hengha, yang kini berpasangan. Di
belakang mereka ada hampir empat puluhan anak murid yang masih setia. Di
belakangnya lagi ada belasan orang berwajah India yang berbaju hitam legam,
bisa dipastikan anak buah Vicitra Rahwananda. Tetapi orang yang dicari-cari, yang menjadi sumber kericuhan tak juga kelihatan batang hidungnya.
Dari pihak tamu Ki Liang, Tiong Gi, Bu Sian taisu, Pat Tiauw Kwi, Sun Ciak Kun, dan Sim Houw. Di belakang mereka berdiri para pengemis anggota sabuk hitam
dan anggota bambu putih, seluruhnya berjumlah lebih dari tigapuluhan.
Pendekar yang lain memilih langsung menuju ke puncak Tiong Kiam. memang
rombongan para pendekar ini dibagi menjadi dua, ada yang menghadap ke
markas ada yang langsung ke sasaran.
"Kami hanya menuntut agar pembuat bencana orang India berhidung betet
diserahkan ke kami serta bangunan benteng di robohkan. Kami menghargai jika
Yu Liang Pay keberatan untuk menurunkan tengkorak dan kerangka yang ada di
ceruk-ceruk tebing bukit!"
"Ha..ha..ha....tosu-tosu anjing dari Kun Lun memang selalu pengecut, tidak
mampu menghadapi kami sendirian, menyeret-nyeret Siauw Lim dan bambu
putih, cuh tak tahu malu!" ujar Hok Cu angkuh.
"Hmm....kedengarannya sih memang Yu Liang Pay lebih jantan, tapi apakah
mengundang Foi Cit Re dari Thian Tok (India) adalah perbuatan seorang lelaki sejati, huh, tak tahu malu!"
"Bangsaat! Kalau memang jantan, hayo hadapi kami satu lawan satu, kalau
kalian bisa mengalahkan ketiga jagoan kami, silahkan lakukan apa yang kalian kehendaki!"
"Huh, mana bisa aturan seperti itu, kalau bertanding satu lawan satu tentu saja cukup dengan dua kemenangan saja untuk tiga pertandingan!" jengek Ki Liang.
"Boleh juga, kalau kalian bisa mengalahkan dua jagoan kami, silahkan saja cari sendiri Foi Cit Le! Yu Liang Pay akan berlepas, tetapi jika kalian kalah atau seri, silahkan angkat kaki dari sini, dan sersumpahlah jangan pernah lagi keluar ke dunia persilatan, selama aku masih hidup!"
Pernyataan jangan pernah lagi keluar ke dunia persilatan, sungguh sangat berat.
Rombongan Ki Liang agak terkejut, namun itu adalah hal yang wajar, apalagi
sebagai pihak penantang, tentu dia harus lebih siap.
"Baik, kami terima! Dengan syarat kami juga diperkenankan menurunkan
tengkorak-tengkorak di bukit pedang!"
"Terserah! Siapa jago kalian!"
Ki Liang berunding sejenak dengan rombongannya sebelum memutuskan tiga
jagoan, akhirnya disepakati tiga jagoan yang diajukan.
"Dari kami Sun taihiap, Tiauw Kwi, dan Tiong Gi."
Hok Cu, tidak menduga kalau jago yang diajukan lawan termasuk Tiong Gi.
Namun ia punya keyakinan besar pihaknya mampu mengatasi lawan. Ia yakin
Liong Ping bisa mengatasi semua lawan, bahkan sekalipun yang maju adalah
Sun Ciak Kun sendiri, dengan ilmu pedang gaib yang meraka miliki pasti bisa
mengatasi lawan. Apalagi dua orang bertopeng dewa Heng yang salah satunya
sudah menjadi guru puteranya tak diragukan lagi kemampuannya. Hanya saja
orang bertopeng dewa Ha yang dibawa oleh guru meskipun dalam ujian mampu
mengalahkannya namun ia masih belum terlalu yakin. Tapi dua kemenangan
sudah cukup bagi mereka.
"Kami mengajukan Kwan Liong Ping suko, dewa Heng dan dewa Ha. Baiklah,
siapa jago yang akan kamu ajukan lebih dulu?"
Tiong Gi menatap tak berkedip orang tua yang disebut namanya pertama kali.
Inikah kakeknya" Kalau memang ayahnya Kwan Tiong San, berarti lelaki tua itu kakeknya sendiri. Jantungnya tiba-tiba berdebar kencang. Bagaimana kalau aku yang harus menghadapinya.
"Kami mengajukan Tiauw Kwi! Silahkan cianpwe!"
Sebenarnya orang bertopeng dewa Heng, guru dari Siong Lee sudah geregetan
hendak maju, namun dihalangi oleh Hok Cu. Ia masih yakin Tiauw Kwi bisa
diatasi oleh Liong Ping, maka dari pihak tuan rumah Liong Ping langsung maju.
Pikirannya menjadi tenang ketika melihat orang tua ini maju menyambuti Tiauw Kwi.
Dengan penuh keyakinan diri Liong Ping langsung menantang lawan.
Pertarungan segera dimulai, mula-mula dilakukan dengan tangan kosong.
Gebrakan demi gebrakan dilakukan dengan cara yang luar biasa, jurus-jurusnya memang terlihat lambat, namun penonton yang ahli dapat merasakan bahwa
setiap pukulan mengandung hawa lweekang dan sinkang tingkat tinggi.
Liong mengeluarkan jurus-jurus Fan cing san ang in ciang hoat, pukulan tapak merah ini merupakan salah satu pukulan yang sangat di takuti di Cina tengah.
Tangannya seakan-akan diselimuti halimun merah. Sambaran demi sambarannya
saja sudah membuat penonton yang paling dekat kepanasan. Tangannya
bergerak-gerak dengan sepenuh tenaga. Sebaliknya Tiauw Kwi memapakinya
dengan pukulan-pukulan badai salju. Dari tangannya seakan keluar kristal-kristal es yang menghujani kabut merah yang dikeluarkan oleh tangan Liong Ping.
Sejak digembleng mati-matiang oleh Yung Vi, Pat Tiauw dapat kemajuan yang
pesat, jadi bisa dibayangkan tingkat kelihaiannnya. Bahkan Hok Cu dan orang
bertopeng itu sendiri tersentak dibuatnya. Mereka bahkan tidak hanya bertarung di arena halaman depan, tetapi kadang berpindah ke atap, kadang berlarian di wuwungan, kadang di dalam pendopo. Sungguh pertarungan mati-matian yang
sangat menarik untuk di kuti.
Lewat lima puluh jurus, makin terlihat kedudukan Liong Ping makin terdesak.
Semua pukulannya amblas di dalam benteng pertahanan lawan yang lihai,
bahkan desakan lawan makin dirasa menekannya, sehingga pada jurus ke enam
puluh ia mundur ke belakang kemudian meloloskan sebuah pedang. Melihat
lawan memakai pedang Tiauw Kwi juga mengimbanginya.
Liong Ping mengeluarkan jurus-jurus andalan dalan Yu Liang Kiam Hoat, ilmu
pedang yang selain kuat juga mengandung hawa magis, setelah belasan tahun
menggembleng diri, boleh dibilang Liong Ping sudah taraf sempurna dalam
meyakini ilmu pedang ini. Pedangnya menyambar-nyambar dengan cepatnya,
membuat penontong yang ilmunya cetek sudah berkunang-kunang, beberapa
diantaranya bahkan sudah roboh pingsan. Hanya dalam waktu singkat saja
tubuhnya seakan-akan diselimuti oleh kilatan pedang, saking cepatnya. Tiauw
Kwi memapaki serangan lawan dengan ilmu pedang cahaya salju (Swat Kong
Kiam Hoat). Ilmu pedang murni yang berdasarkan hawa lweekang "im" tingkat
tinggi. Pedangnya berputar-putar seperti kitiran membentuk benteng pertahanan yang sangat kokoh. Karena baru kali pertama melihat ilmu pedang lawan
keduanya sama-sama kagumnya.
Sinar perak berkelebat, pedang Tiauw Kwi menusuk cepat ke leher lawan. Belum lagi serangan itu mengenai sasaran, ia sudah menggeser ke samping dan
menyerang pula ke menebas ke arah kanan. Waktu Liong Ping itu menegakkan
pedangnya, "trang", terbenturlah kedua pedang dan menerbitkan suara nyaring, menyusul sinar pedang gemerlapan pula, hatinya mencelos, ia merasa tergetar
hebat, hampir-hampir saja pedang ini menebas lehernya.
Merasakan situasi seperti ini Liong Ping menjadi gusar sekali, ilmu pedangnya segera berubah, sinar pedang gemerdep melayang meliuk-liuk, maju mundur,
naik turun tak dapat diduga dan sulit diraba arahnya. Karena gerakan Liong Ping semakin cepat, saking kencangnya, hingga mau tak mau Tiauw Kwi melawan
dengan juga dengan jurus-jurus pamungkas dari ilmu pedang Swat Kong Kiam
Hoat. Jurus-jurus terakhir ilmu pedang ini memang dikhususkan untuk
penyerangan. Kini keduanya sudah bertarung memainkan pedang pada tingkattingkat puncak.
Semua penonton, melihat dengan berdebar-debar, hati Ki Liang rasanya seperti di parut sedikit-demi-sedikit. Demikian pula Hok Cu, ia kadang duduk di kursi kadang berdiri, keringat dingin mengalir di lehernya demi melihat sedemikian hebatnya ilmu pedang lawan. Selama ini ia menganggap ilmu pedang Yu Liang
Pay, adalah ilmu pedang paling hebat. Dan tak seorangpun mampu
menandinginya, apalagi dengan hawa magis yang dihasilkan. Tapi sapa kira hari ini ilmu pedang ini mendapat lawan yang tak kalah hebat, bahkan jauh lebih
berat. Makin lama pedang Tiauw Kwi semakin bertambah unggul. Suatu saat
mendadak ia menyerang dengan jurus pedang salju menusuk awan, ujung
pedangnya menusuk miring, Liong Ping berkelit dan pedangnya menggunakan
kesempatan penjagaan lawan yang kosong segera menusuk ke tengah, Tiauw
Kwi tak sempat dan tak mungkin pula bisa menghindar. Maka dengan hanya
menggunakan tapak tangan ia menangkis sekuat tenaga.
"Plakkk....croot....aduuhhh!"
Pedang lawan hanya merobek sedikit pinggang kirinya. Sedangkan pedangnya
menusuk dalam dada kanan atas Liong Ping. Liong Ping terhuyung-huyung ke
belakang. Darah mengucur deras dari lukanya. Ia berusaha menahan tubuh
dengan pedangnya namun gagal, iapun roboh. Hok Cu dan Siong Lee
menghambur ke arena. Hampir bersamaan Tiong Gi juga mendekati tubuh Liong
Ping. "Kakeek...kaukah kakekku......?" desis Tiong Gi perlahan, sambil mendekati
orang tua yang roboh itu.
"Pergi i...pergi i jauh babi kurap!" bentak Hok Cu sambil menudingkan
telunjutnya. Matanya membeliak merah. Tiong Gi tidak mempedulikan bentakan
itu, bahkan ia makin mendekat.
"Siapa kau?"
"Ayahku bernama Kwan Tiong San, aku anaknya!" kata Tiong Gi, sambil
berjongkok mendekat ke tubuh orang tua itu yang disangga oleh Siong Lee.
"Coba mendekatlah sini!" seru kakek itu perlahan. Tiong Gi hampir bersorak
girang mendengar ucapan orang tua ini, kalau memang dia kakeknya, maka ia
bisa saja menjadi penengah agar pertumpahan darah bisa dihindari. Maka tanpa curiga ia mendekat dengan masih tetap berjongkok. Tangan kakek itu seperti
menggapai-gapai kepada Tiong Gi. Rasa haru sekonyong-konyong menyeruak
dari dasar hati Tiong Gi.
"Tiong Gi, awaassss.....!"
Mendadak ketika kepala Tiong Gi sudah dekat tangan yang semula hendak
mengelus berubah menjadi tamparan yang keras dan secepat kilat. Tiong Gi
tersentak, namun kasib, tamparan itu berjarak sedemikian dekatnya. Ia tidak
sempat menangkis, hanya secara refleks saja ia berkelit ke kiri. Sekonyongkonyong dari arah belakangnya meluncur sesosok tubuh yang bergerak cepat.
"Desss....plaakkk...!"
Tubuh Tiong Gi terpelanting, lengan kanannya yang terkena tamparan terasa
panas dan patah-patah. Untunglah seperti tubuhnya sempat ditendang oleh
seseorang yang tiba-tiba saja datang. Ia masih sempat mendengar umpatan
busuk yang keluar dari mulut kakek tua itu: "Anak Tiong San, mengaku-aku
sebagai cucuku, hua..ha..ha....ayahmu anak pelacur haram! Cuh, siapa sudi aku menjadi kakekmu, anjing kurap!"
Ciak Kun segera menghampiri dan memapahnya keluar arena. Segera ia
merobek baju bagian lengan, dan melihat bekas tamparan yang membiru di kulit Tiong Gi, cepat ia mengambil koyo dan menempelkannya di lengan itu. Dan
meletakkan tapak tangan di punggung Tiong Gi.
"Hei i.......awasss......crooootttt......!"
"Perempuan lancang! Pelacur busuk!"
"Plaakkk....dessss........!!!"
Orang yang baru datang adalah seorang wanita, meskipun sudah setengah
baya, namun garis-garis kecantikannya seperti belum pudah, namun sayang
rambutnya dibiarkan riap-riap, dan pakaian yang dikenakan sudah kumal.
Dengan menggunakan pedang, ia menusuk Liong Ping. Pedangnya amblas, tepat
di jantung Liong Ping. Liong Ping hanya bisa menatap tak percaya akan
pandangannya. Matanya terbelalak dan seketika itu juga nyawanya melayang.
Sebaliknya nasib wanita yang menyerang membabi buta itupun tak kalah
mengenaskan. Pukulan dan tamparan diterima dari ayah mertua dan anak
tirinya, jauh lebih menyakitkan dibandingkan luka tubuh yang dirasakannya.
Betapa teganya mereka menghina dirinya seperti itu, padahal semenjak tinggal di Yu Liang Pay, ia selalu melayani dan merawat mereka dengan baik.
"Bibi, terima kasih atas bantuanmu, siapakah nama bibi yang mulia?"
"Kau..kau ah kau mirip sekali dengan dia, sayang dia telah meninggalkan kita, tolong kau jagalah Bwee Nio.....oohhh San-ko kau tunggulah aku...." selesai
mengucapkan kata-kata terakhirnya, saat itu juga ia menghembuskan kata-kata
terakhir. "Bibi...bibi...jangan mati dulu bibi.....bibi apakah kau ibuku?"?"
Sekonyong-konyong dari barisan murid-murid Yu Liang Pay menyeruak seorang
anak gadis. "Ibu....ibuuu...........jangan tinggalkan aku, bu huuu..huu....!" ratap gadis bermata jeli itu.
"Siauw-moy, apakah dia ini ibumu" tanya Tiong Gi berbisik.
Gadis yang ditanya itu menengok ke arah Tiong Gi. Ia tidak menjawab, malah
kemudian menyeka air matanya, dan berteriak dengan gagah, "Siapa yang
membunuh ibuku! Siapaa...siapaa...?"?" teriaknya lantang.
"Heh, anak nakal! Masuk..ayo....masukkk!" seru Siong Lee, sambil menarik
tangan adiknya.
"Siong Lee, tunggu....jangan kau ganggu dia!" seru Tiong Gi. Demi thian aku
akan memusuhimu kalau kau mengganggu gadis itu seujung rambutpun.
"Apa urusannya denganmu! Dia adikku!" bentak Siong Lee, sambil menyeret
Bwee Nio ke dalam.
Tiong Gi hendak mencegah, tapi ia menjadi ragu. "Adiknya, kalau dia adik Siong Lee, berarti anak Siong Chen, kenapa wanita itu membunuh Liong Ping" Kenapa
dia menyebut nama ayahnya, benarnya nama "San" yang disebut itu adalah
Tiong San, ayahnya.
Tiong Gi tidak sempat lagi berpikir panjang, karena dengan sigap anak murid Yu Liang Pay membereskan kedua mayat itu. Bahkan dengan muka merah penuh
emosi, dan mulut berapi-api Siong Hok Cu, berteriak:
"Serbu......!"
Puluhan panah dan senjata rahasia di lontarkan dari atas. Kiranya Yu Liang Pay telah menyiapkan segala kemungkinan. Tapi nilah sebenarnya kesalahan Yu
Liang Pay. Jika saja pertandingan perorangan dilanjutkan kiranya banyak
kemungkinan pihak mereka dapat memetik kemenangan, karena Tiong Gi sudah
terluka. Namun pikir Hok Cu, kalau Tiong Gi digantikan pihak lain, maka secara psikologis pihaknya sudah kalah duluan. Dan dengan perang campuh, ia ingin
mencari peluang untuk menghajar Tiong Gi.
Dari pihak pendekar, mereka yang sudah menyiapkan tameng menggunakan
tamengnya. Perang campuh tidak bisa dihindari. Mereka kemudian saling
menyerbu berhadap hadapan. Karena jumlahnya tidak seimbang, maka ada
beberapa pendekar yang harus melayani dua lawan. Namun karena dipihak
tamu banyak tokoh kosen, maka pertempuran berlangsung imbang. Tiong Gi
kembali menghadapi Hok Cu dan Siong Lee, hanya saja kini mereka berpedang.
Tapi kini ia dibantu Sim Houw. Karena lawan berpedang maka Tiong Gi juga
meloloskan pedang yang memang sudah dipersiapkan. Pertandingan antara
mereka berdua sudah berjalan puluhan jurus lebih, makin lama makin seru dan
gerakan kedua orang ini benar-benar dahsyat. Kalau Tiong Gi dan Sim Houw
bertempur dengan tenang dan hati-hati karena maklum akan kelihaian lawaan,
Hok Cu dan Siong Lee bertarung dara rasa marah dan penasaran sekali. Mereka
masih sedih memikirkan kehilangan orang-orang tercinta, terutama Siong Lee.
Pada saat yang berdekatan ia harus kehilangan ayah dan ibunya. Karena tidak
bisa memusatkan perhatian pada beberapa jurus terakhir Siong Lee benar-benar keteteran, sehingga beberapa kali pedang lawan, berhasil melukai tubuhnya.
Untunglah Sim Houw tidak berniat membunuh, sehingga setelah menderita
banyak luka ia dibiarkan begitu saja.
Pertarungan antara Sun Ciak Kun dan Pat Tiauw Kwi menghadapi iblis bertopeng dewa Heng dan iblis bertopeng dewa Ha, berlangsung paling seru dan dasyat.
Mereka bertarung sambil berloncatan dan terbang seperti burung. Kadangkadang memasuki pendopo. Kedasyatan pukulan-pukulan iblis bertopeng dewa
Heng yang menjadi lawannya sebenarnya sulit sekali di tahan Ciak Kun. Tapi ia agak heran karena musuh justru lebih ingin menyerang Tiauw Kwi, bahkan
dengan nafsu membunuh sangat besar. Pada suatu kesempatan bahkan sebuah
lontaran pukulan jarak jauh sempat menyerempet Tiauw Kwi sehingga ia hampir
saja terpelanting, celakanya dengan cara melompat tinggi musuh masih terus
melontarkan pukulan jarak jauhnya. Ciak Kun yang ditinggalkan merasa segan
untuk menyerang secara membokong, akhirnya ia hanya bisa menggunakan Kiu
Yang Sin Ciang dengan tenaga mencongkel, sehingga meskipun terhalang lawan
pukulannya tetap mampu mencongkel Tiauw Kwi, sehingga ia terselamatkan.
Melihat serangannya gagal, iblis bertopeng itu tampak marah. Dan kini ia
mengejar Ciak Kun. Sepuluh jurus berikutnya ia terdesak hebat. Bagaimanapun
Ciak Kun sudah berumur lebih dari seratus tahun, sehingga daya tahan tubuhnya sudah lemah. Sebaliknya lawan sepertinya masih jauh lebih muda. Di tambah
lagi tingkat kelihaian Ciak Kun tidak disebelah atas lawannya, bahkan boleh
dikatakan ia masih kalah seusap dalam hal lweekang, sehingga ia makin
terdesak. Untunglah, pada saat yang kritis itu Ki Liang menyadari satu hal, bahwa tujuan awal mereka bukan untuk menyerbu Yu Liang Pay, tetapi untuk menangkap
Vicitra Rahwananda. Dan mereka mendatangi markas sebenarnya bertujuan
untuk menghambat gerakan orang-orang di markas. Oleh karenanya ia
kemudian berteriak memberi komando untuk mundur:
"Munduuurrrr........!
Dengan nafas megap-megap, Ciak Kun langsung melompat mundur. Namun
pada saat-saat terakhir ia menderita kerugian besar, karena musuh masih
sempat tiga kali memberikan pukulan telak padanya. Hanya dengan
perlindungan sinkang yang cukup hebat saja, ia tidak terluka parah. Namun
meski hanya tiga kali cukup menurunkan daya tahan tubuhnya, dan seandainya
pertarungan di teruskan ia bisa tewas. Dua orang bertopeng lantas menyambar
tubuh Hok Cu dan Siong Lee, dan dibawa terbang keluar.
Sementara itu pertarungan di luar markas berlangsung tidak kalah serunya
dengan yang di dalam. Benteng yang mengelilingi bukit pedang sudah dibangun
lebih kuat semenjak Chien Ce masuk ke dalamnya. Chien Ce bertindak sebagai
pemandu, ia selalumemerintahkan anak buah untuk hati-hati. Namun karena di
dalam benteng berisi banyak sekali jebakan-demi-jebakan, tetap saja banyak
anak buah yang jadi korban. Ji-lojin yang mendapat bagian untuk memimpin
usaha mendobrak benteng, memerintahkan anak buah untuk menyerang dengan
panah api. Benteng yang sebagian terbuat dari kayupun terbakar, sehingga
penyerbu bisa masuk, namun betapa batapa kagetnya mereka ternyata di dalam
benteng sudah banyak dipasang, jebakan demi jebakan berupa sumur sumur
yang dipenuhi oleh senjata, atau ular berbisa. Maka sibuklah anak buah yang
menjadi tim pendobrak. Beberapa sudah jatuh menjadi korban. Namun demikian
serbuan penyerang tidak dapat dibendung, sehingga akhirnya terjadilah perang campuh.
Pada saat itu benteng memang dipertahankan oleh Vicitra Rahwananda. Di
belakangnya berdiri lima tetua Yu Liang Pay, dan sepuluh orang dari Tok Nan-hai Pang yang dipimpin oleh Can Hok, suheng kedua dari Can Seng. Sementara itu
dari pihak pendekar selain Ji-lojin terdapat Bhok Kian tosu, Liu Tiauw, Bu Kak taisu dan Bu Kong taisu, Chien Ce, dan Liu Siang. Ji-lojin langsung menghadapi Vicitra Rahwananda. Liu Tiauw, Bu Kak taisu dan Bu Kong taisu, Chien Ce, dan Liu Siang menghadapi lima tetua Yu Liang Pay, sedang Bhok Kian tosu
menghadapi Can Hok. Sedangkan anak buah tanding melawan anak buah.
Pada awalnya kedudukan penyerang berada di atas angin, Ji-lojin beberapa kali berhasil memberi hajaran kepada Vicitra Rahwananda. Namun ketika kedudukan
Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lawan mulai terdesak tiba-tiba berbunyi suara genta, dan di kuti kehadiran lima orang India berpakaian serba hitam. Mereka duduk di atas benteng membawa
dupa yang mengepul. Mulut mereka berkemik-kemik. Sekonyong-konyong ada
ratusan bayangan yang menyerang pihak kaum pendekar. Bahkan mereka
seperti melihat lawan bisa berubah menjadi raksasa, atau hewan-hewan buas.
Ji-lojin yang sudah mewanti-wanti anak buahnya untuk mewaspadai ilmu sihir
lawan, tidak menduga kalau di pihak lawan telah berdiri lima penyihir sakti yang langsung datang dari India untuk membantu Vicitra Rahwananda. Akibatnya,
selain Ji-lojin dan Liu Tiauw yang memang sin-kangnya sudah taraf sempurna,
dari pihak pendekar semua terpengaruh oleh hawa sihir lawan, sehingga
gerakan mereka menjadi kacau balau. Mereka melihat ilmu pedang lawan bisa
menjadi lebih dasyat, bahkan seolah-olah digerakkan oleh puluhan tangan. Para pendekar mulai keteteran, bahkan beberapa anak buah sudah berguguran
menjadi korban. Chien Ce dan Liu Siang paling menderita. Dua pendeta Siauw
Lim meskipun memiliki kekuatan bathin yang hebat, juga masih terpengaruh
ilmu hitam lawan. Sudah beberapa kali mereka terkena tusukan pedang. Tubuh
mereka menjadi lemah, dan mereka merasakan kelelahan yang amat sangat.
Keadaan paling parah dialami oleh Bhok Kian tosu, akibat serangan sihir lawan, permainan tongkatnya menjadi lemah, dan dengan mudah ia terkena tendangan
lawan. Untunglah dari barisan pendekar kerjasama dilakukan dengan baik.
Situasi para pendekar berada dalam tekanan yang berat, jikalau Liu Tiauw Kwi tidak bertindak, ia melompat mundur dan dibantu oleh Ji-lojin yang menyibak
jalan. Ia melancarkan serangan auman singa, Sai cu ho-kang. Suaranya di
arahkan ke lima penyihir yang duduk di tembok benteng. Gelombang suara yang
dasyat meluncur cepat menghantam apa saja yang menjadi sasaran, dupa-dupa
beterbangan. Hampir-hampir saja kelima tukang sihir ini roboh terpelanting, jika mereka tidak memiliki kelihaian yang memadai. Situasi segera berubah setelah itu, karena kini para pendekar makin mempergencar serangannya.
Mendadak Vicitra meninggalkan lawan, dan langsung berniat menyambar Liu
Siang. Tapi ia keliru sangka kalau gadis itu, lawan yang lemah. Meskipun kekujur tubuhnya telah terkena beberapa kali goresan, namun Liu Siang adalah gadis
gemblengan lembah delapan rembulan dan ditambah lagi didikan dari nenek
besar, yang memiliki keberanian dan tekad yang luar biasa. Ia tidak menangkis sambaran, melainkan menjatuhkan diri, namun dari bawah ia menlancarkan
serangan dengan tendangan kaki. Tendangan kaki yang dilancarkan bukanlah
tendangan sembarangan, tendangan yang disebut tendangan kaki gajah Tingting ini merupakan jenis tendangan yang memiliki kekuatan yang luar biasa.
Vicitra berusaha menangkis serangan.
"Desss.......!"
Meskipun berhasil ditangkis, namun akibatnya ia harus bersalto untuk
menghidari luka. Sambil turun ia masih mencoba untuk membentak gadis itu.
"Awass ular raksasa!"
Sejenak Liu Siang terbelalak melihat di depannya tergolek seekor ular, yang
lidahnya menjulur-julur. Namun dengan tabah ia berusaha untuk memusatkan
perhatian dengan mengerahkan sinkangnya. Terlambat, dari belakang Can Hok
berhasil menotoknya, dan langsung membopongnya.
Chien Ce berusaha memberikan pertolongan, tongkatnya digerakkan untuk
menyerampang kaki, namun Vicitra berhasil menangkisnya, bahkan pedang
bengkok di tangannya berhasil mematahkan tongkat Chien Ce.
Vicitra kemudian memberi komando anak buah untuk lari menyelamatkan diri.
Mereka kemudian memasuki sebuah gudang. Ketika pihak pendekar hendak
mengikuti mereka tiba-tiba pintu gudang, yang terbuat dari besi tertutup. Ketika para pendekar berusaha mendobrak atau membongkar dinding gudang,
sekonyong-konyong dari atas mengguyur hujan. Tetapi bukan hujan sembarang
hujan melainkan hujan garam beracun. Garam ini ternyata ditaburkan dari atas, atau dari dinding bukit pedang. Seorang anak buah Tok Nan-hai Pang
menaburkan garam racun dari lubang di dinding yang memang sudah disiapkan.
Para anak buah pendekar merasa kesakitan, dan banyak korban jatuh, dengan
tubuh gosong atau melepuh. Sehingga suasana menjadi kacau balau, bahkan
bukan hanya para pendekar yang menjadi korban, pihak tuan rumah juga ada
yang terkena serangan.
Ketika anak buah hendak berusaha keluar melalui pintu gerbang depan yang
berhasil dibobol, ternyata dibagian itu sudah dikepung banyak sekali oleh lawan yang menyiapkan barisan pendam untuk memukul dari belakang.
Suasana menjadi kacau balau. Beberapa kali Ji-lojin, Liu Tiauw dan dua biksu Siauw Lim berusaha menjebol dinding, dan barulah setelah lebih dari sepuluh
menit mereka bisa membobol dinding itu, di dalam gudang tenyata ada tangga
menuju ke ruang bawah tanah. Mereka kemudian menuruni tangga,
sesampainya di bawah ternyata banyak terdapat lorong-lorong, keadaan di situ cukup gelap, sehingga menyulitkan untuk mencari jalan yang dipakai oleh lawan.
Dengan hati-hati kemudian Ji-lojin mengikuti petunjuk Kian Bu. Ternyata lorong di bawah sangat panjang karena cukup rumit, namun akhirnya mereka berhasil
keluar. Mereka membawa lebih dari sepuluh anah buah.
Sementara anak buah yang didepan akhirya mendapat bantuan dari bawah,
rombongan Ki Liang berhasil menyusul, dan membuat barisan kocar-kacir.
Melihat pimpinan mereka sudah melarikan diri anak buah lawan menjadi
kebingungan dan berlarian kesana-kemari, untuk meloloskan diri. Akhirnya
benteng itu ditinggalkan lawan. Lima ahli sihir dari India juga sudah tidak
kelihatan lagi batang hidungnya.
Korban dari pihak pendekar ada sekitar dua puluh orang. Lima dari kaypang,
lima belas dari anak buah Bambu Putih dan dari negeri salju. Sedangkan korban dari pihak lawan ada dua puluh lima. Setelah ditinggalkan lawan kini, tinggal satu saja anak buah dari Tok Nan-hai Pang yang masih ada di atas, kebingungan tidak mendapat jalan keluar. Memang tempat itu disengaja dilubangi seukuran
lemari kemudian orang memasukinya dengan menggunakan tangga. Meskipun
awalnya dongkol dan marah, namun dmi melihat ia menoleh ke kanan ke kiri,
seperti monyet kena tulup. Akhirnya ia jadi tontonan anak buah pendekar yang berada di bawah, dengan geli.
"Tolonglah ambilkan tangga untukku!"
Turunlah merayapi dinding!"
"Jangan dilempari yaa....!"
Ternyata ia seperti dengan nekad berusaha menuruni, perlahan-lahan ia bisa
menuruni, karena memang tempat itu banyak ceruk. Begitu sampai bawah,
dengan percaya diri ia tertawa. Tapi mendadak beberapa panah dijepretkan ke
arah atas, dan karung berisi garam terjatuh mengguyur tubuhnya, bahkan
saking besarnya karung, ia seperti terendam dalam garam racun. Belum puas
anak buah pendekar masih menghujaninya dengan senjata.
Rombongan Ji-lojin keluar ke arah tebing. Dari tebing merena mendapati anak
tangga. Namun terlihat rombongan lawan sudah turun dan berlari menuju ke
arah sungai. Dengan cepat Ji-lojin menuruni tangga, dan langsung berusaha
mengejar. Meskipun tubuhnya gembur, namun larinya kencang. Liu Tiauw juga
mengikuti dari belakang.
Vicitra berhasil menaiki perahu dan meninggalkan lawan. Di kuti perahu-perahu yang dinaiki anak buahnya, yang semuanya berjumlah empat. Perahunya
meluncur dengan cukup kencang, namun karena di si oleh banyak manusia,
perahu bergoyang-goyang. Sepeminuman teh kemudian, tertawalah mereka
terbahak-bahak.
"Ha...ha...ha.....kita bebas.......!"
Tetapi betapa kagetnya mereka saat perahu melewati tikungan tiba-tiba dari
dalam sungai muncul kawat besi yang merintangi perahu secara mendadak,
seperti ada yang menarik dari dua tepi sungai. Akibatnya perahupun oleng dan mereka semuanya tercebur. Rombongan anak buah yang berada di belakang
bermaksud menolong, namun tiba-tiba dari atas meluncur puluhan bambu
berwarna putih yang menghujani mereka. Ternyata memang seperti yang sudah
direncanakan sebelumnya, Tik Coan Kok dan beberapa anak buah bambu putih
sengaja di tempatkan di tikungan sungai untuk menghadang lawan yang
melarikan diri lewat sungai. Bagi dedengkot tidak ada kesulitan menangkisi
serangan bambu dari atas, namun tidak demikian bagi anak buah yang ilmunya
cetek. Seketika itu jeritan dan teriakan terdengar bersahut-sahutan, warna air sungaipun berubah merah.
Liu Siang yang masih dalam keadaan terikat juga ikut terjebur. Karena tangan dan kakinya terikat ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Dua orang pemuda
secara gesit langsung terjun ke sungai dengan penuh rasa khawatir. Ternyata
Can Hok dan Vicitra mahir berenang di sungai. Bahkan Can Hok masih sempat
membawa Liu Siang. Pemuda yang berenang mengejar mereka, makin
mempercepat gerakan renangnya. Cak Hok dan Vicitra berhasil mendarat di
pinggir sungai sebelah barat, beberapa anak buah bambu putih menghadang
mereka, namun menghadapi dua iblis sesat, mana mampu mereka
menghadapinya. Can Hok dan Vicitra langsung saja berlari, namun keburu dua pemuda
menghadangnya. "Bocah sial! Jangan halangi kami atau aku akan buat kulit halus putih kemerahan dan hangat ini kubuang, kukupas hingga jadi tengkorak dengan daging
membusuk!" ancam Vicitra sambil menempelkan pedang bengkoknya di kulit
muka Liu Siang. Matanya jelalatan ke kanan dan kekiri khawatir kawan-kawan
anak muda itu datang. Merasa tempat itu sepi tiba-tiba ia tertawa,
"Ha...ha...ha....anak muda, bukankah kalian berdua ini dua ekor monyet" Hayo menari-narilah di depanku!" perintah Vicitra sambil mengerahkan ilmu sihirnya.
Tiba-tiba dua pemuda itu menari-nari sambil menguik mirip monyet, hingga
membuat Can Hok terkekeh. Merski hanya beberapa kejab mata, namun
kejadian ini membuat mereka lengah.
Mendadak terdengar auman nyaring "Auuuuuummmm!" dari salah satu pemuda
yang bukan lain Tiong Gi. Auman nyaring yang disertai sepenuh tenaga khikang membuat kedua iblis itu tersentak kaget. Dan sedekit saja cukup kesempatan
bagi Tiong Gi untuk melakukan serangan ke Vicitra. Di sela-sela deburan arus sungai Tiong Gi lantas meloncat tinggi sambil berteriak nyaring, dan dari atas ia mengirim serangan dorongan dengan kedua tangan ke arah dada Vicitra. Dalam
kemarahannya, dia langsung menggunakan jurus badai salju menyapu awan
yang dipadukan dengan Kiu Yang Sin Ciang. Serangannya hebat sekali karena
kedua lengannya penuh dengan hawa imkang yang mukjijat. Kakek hidung betet
itu terkejut mendengar desir angin serangan yang demikian dingin dan beku,
maka cepat ia melompat menyongsong tubuh lawan dengan pedang yang
pedang yang dibacokkan, sedang tangan kirinya melancarkan pukulan tenaga
sinkang yang sangat kuat.
"Bressss.........blaarrrr!"
Pertemuan dua tenaga sakti menimbulkan bunyi ledakan yang luar biasa
memekakkan telinga. Akibatnya masing-masing terdorong ke belakang dua
tombak. Pedang Vicitra terpental sebelum menyentuh tubuh lawan. Keduanya
merasa terperanjat dengan hasil pertemuan ini yang menunjukkan bahwa
tenaga mereka berdua sama. Vicitra tidak menyangka bahwa lawan yang masih
sangat belia bisa memiliki tenaga sakti sehebat itu. Sedangkan Tiong Gi tidak menduga bahwa lawannya kali ini sungguh sangat lihai.
Jurus-demi juruspun mulai dipertontonkan. Vicitra mencerca Tiong Gi dengan
serangan dasyat pukulan-pukulan yang sangat kuat. Ia mengincar lengan kanan
Tiong Gi, yang baru saja mendapatkan luka. Tiong Gi yang menyadari lawan
mengincar lengannya bertindak hati-hati sekali. Namun justru karena ini, ia
kurang bisa mengembangkan jurus-jurus pilikan dari ilmu silat badai salju
maupun Kiu Yang Sin Ciang. Sebaliknya bagi Vicitra yang habis bertarung matimatian dengan Ji-lojin, mendesak pemuda itu juga bukan perkara mudah.
Serangan-serangannya sering menghadapi benturan hawa sinkang yang
melindungi tubuh lawannya. Belum lagi kegesitan lawan yang masih muda yang
dapat bergerak cepat dan kokoh, bertahan dan menyerang dengan sama
baiknya. Sampai seratus jurus Tiong Gi masih belum terdesak, bahkan dia masih mampu
melakukan serangan serangan yang membahayakan Vicitra. Pukulannya badai
saljunya, cukup ampuh untuk membuat lawan menjadi berhitung banyak.
Akibatnya, lawan yang lebih tua mulai kelelahan. Keringat dingin mulai mengalir di dahi kakek hidung betet itu. Bagaimanapun kalau terus-terusan ia bertarusng seperti ini, lama kelamaan ia akan kehabisan tenaga. Karena itu Vicitra kemudian mengubah ilmu silatnya, kini ia menggunakan jurus-jurus totokan Jit kong ci (jari sinar matahari). Totokan ini bukan main hebatnya, jari-jari tangan Vicitra bahkan bisa membara sehingga berwarna keperak-perakan. Inilah tahap akhir dari ilmu silat Jit kong ci, yang sangat ditakuti di Thian Tok.
Tetapi, Tiong Gi tidak tinggal diam dengan badai serangan yang menimpanya.
Merasa lawan meningkatkan kekuatannya, anak muda inipun kemudian
mengerahkan dan meningkatkan kekuatan sinkangnya untuk mengimbangi
kekuatan musuh. Dan untuk membantunya melawan kekuatan musuh yang
dirasanya masih di atas tingkatannya.
Dua puluh jurus berlalu tanpa hasil yang memuaskan membuat Vicitra makin
lemas, apalagi ketika ia melirik arena pertandingan mereka sudah mulai di
datangi oleh beberapa orang yang datang tanpa meninggalkan getaran suara
yang keras, yang hanya berarti bahwa tempat itu sudah dikepung oleh orangorang yang lihai. Maka ia menjadi gelap mata dan nekat melakukan seranganserangan paling dasyat. Mendadak tubuhnya mendoyong ke depan rendah
sekali. Tendangan kaki kanan Tiong Gi tidak ditangkisnya melainkan dipengang dengan tangan kirinya. Akibatnya kaki Tiong Gi menjadi terkunci, tiba-tiba jari-jari tangan kanan lawan meliuk dari kiri dan mengincar lengan kanannya. Tiong Gi tidak membiarkan lengannya terkena serangan lawan, maka ia gerakkan
lengan ke atas sehingga sejajar dengan tubuhnya dengan maksud menangkis
serangan lawan. Di saat yang sama sekuat tenaga ia melancarkan pukulan badai salju menusuk awan dengan tangan kirinya, dengan harapan lawan yang
pertahanannya sudah terbuka akan menarik serangan. Tetapi mendadak arah
totokan jari-jari tangan kanan lawan berpindah ke jalan darah mematikan di
bagian dadanya, tanpa menghiraukan lagi pertahanan tubunnya, sepertinya
lawan sudah nekat untuk mati bersama. Waktu yang sekejab itu sungguh sangat
menentukan bagi hidup mati Tiong Gi. Untunglah ia masih mengingat salah satu ilemu yang dipelajarinya dari Sun Ciak Kun, yaitu I-kiong-hoan-hiat atau ilmu memindahkan jalan darah yang sangat langka dari Siauw Lim. Kecerdasan dan
ketenangan Tiong Gi, telah menyelamatkannya.
"Cussss.........desss.........!"
Totokan lawan mengenai dada Tiong Gi, meskipun ia sudah melindungi
tubuhnya dengan sinkang dan memindahkan jalan darahnya, namun tetap saja,
totokan itu meninggalkan luka sedalam setengah senti, sehingga dada Tiong Gi berdarah. Sebaliknya pukulan tangan kiri Tiong Gi dengan telak mengenai ulu
hati lawan, sehingga lawan langsung jatuh berdebum, pegangan tangan kirinya
lepas, Tiong Gi menjadi kehilangan keseimbangan sehingga ikut terpelanting,
namun ia masih sempat menumpu kedua tangannya sehingga berhasil bersalto
sekali, kemudian duduk bersiulian, karena isi dadanya terguncang.
Mel ihat serangannya berhasil, meskipun isi perutnya terasa hancur luluh, Vicitra masih sempat tertawa dan berteriak girang, "Ha..ha..ha anak muda, akhirnya
kita mati bersama, sampai jumpa di neraka aaaaachhh!"
Selesai mengucapkan kata-kata itu tubuh Vicitra berkelejotan sebentar dan
terdiam. Mendadak dari kerumunan orang Bhok Kian menyeruak dan mendekati
mayat lawan. Pedang di tangannya di bacokkan dua kali sehingga putuslah
kedua lengan Vicitra.
"Siancay, sute kendalikan emosimu!" teriak Ki Liang seraya bergerak mendekati dan memegang kedua pundang sutenya. Namun Bhok Kian memang tidak
berniat lebih dari itu. Setelah melihat kedua lengan lawan terpisah dari
tubuhnya, iapun berkata pelan "Dulu kau menebas satu lengan kiriku saat aku
tak berdaya, kini akupun membacok lengan kirimu, yang kanan adalah
hutangmu, yang satunya lagi bunganya! Kau dulu tidak membunuhkan, akupun
tidak membunuhmu!"
Sengaja memang Bhok Kian menunggu lawan sekarat, hingga ajal tiba, karena
memang ia tidak ingin serangannya merupakan serangan terakhir yang
mengantarkan lawan ke ajalnya. Setelah terdiam beberapa saat, Bhok Kian
melanjutkan ucapannya: "Cuwi sekalian dulu aku pernah ditawari oleh pamanku
sam-lojin untuk berguru padanya, namun aku tolak, karena aku ingin
sepenuhnya mengabdikan hidupku pada Kun Lun Pay, siapa sangka sepak
terjangku di masa lalu justru menimbulkan pertentangan tajam antar partai
persilatan. Oleh karena itu, saat ini sungguh sangat tepat aku memohon maaf
kepada cuwi sekalian. Sekali-kali tindakanku itu bukanlah keluar dari
kesadaranku, melainkan akibat diracun oleh manusia yang telah membujur kaku
ini. Dan aku berjanji jika Kun Lun Pay mengijinkan, aku akan mendirikan kuil di padang bunga untuk menjaga makam pamanku, dan selamanya aku tidak akan
pernah lagi terjun ke dunia persilatan!"
Para pendekar mendengar dengan haru ucapan Bhok Kian yang penuh perasaan
itu. Can Hok yang sudah terkepung sendirinya ciut nyalinya, iapun bersujud
menyembah-nyembah minta ampun. Para pendekar sepakat untuk
mengampuninya dengan syarat ia memotong kelima jari tangan kirinya. Can Hok
dengan secepat kilat menebas jari-jari tangan kirinya, bahkan ia bertekad
menemani Bhok Kian menyepi. Liu Siang telah dibebaskan dari ikatan namun
karena ia sempat tenggelam, kondisinya masih lemah, sehingga Tiauw Kwi
membopongnya. Orang-orangpun akhirnya bubar meninggalkan tempat itu,
tinggal Sim Houw saja yang bertugas menjaga Tiong Gi sampai sadar, yang
masih setia menunggu sahabatnya itu. Sepenanakan nasi kemudian Tiong Gipun
sadar, tubuhnya terasa segar. Sim Houw memapahnya berjalan menusuri jalan
yang barusan mereka lalui dengan tergesa-gesa begitu peristiwa di markas
selesai. Mereka memang sudah berjanji untuk berkumpul di markas lagi.
Matahari sore bersinar cemerlang bagaikan piringan bersepuh perak. Gemericik air sungai seolah menyanyikan simfoni pulang ke rumah, bagi petani yang
bekerja di sawah. Ngarai di tepi sungai Wu kembali sepi.
Di tengah jalan mereka berpapasan dengan Chien Ce yang sedang turun bukit
dengan wajah pucat diliputi kecemasan. Bekas luka-lukanya masih dibalut di
sana sini. Ketika mereka menyapanya, ia hanya menjawab singkat "Aku harus
mencari Bwee Nio! Selamat tinggal, sampai ketemu lagi."
Tiong Gi menatap heran dan bergumam, "Aneh sekali kelakuan Ce-ko, tak
biasanya ia pendiam dan tidak ceria seperti itu."
Tak berselang lama tampak sesosok bayangan lain mengejarnya. Bayangan
gadis yang sangat cantik, namun mukanya pucat karena tubuhnya masih lemah.
Bayangan Liu Siang.
"Eh, Siang cici, kau hendak kemanakah?" tanya Tiong Gi.
Ditanya seperti ini gadis itu terdiam, mukanya memerah, ia merasa jengah untuk menceritakan perasaan hatinya. Dan saat itu pula ia sadar, tidak sepatutnya
sebagai seorang gadis mengejar-kejar perjaka, apalagi yang dikejar tampak tak menghendaki perjalanan bersama. Tiba-tiba Liu Siang memegang lengan kanan
Tiong Gi dan menangis di pundaknya. Tiong Gi tidak mengerti mengapa Liu
Siang mendadak menangis, apakah yang telah terjadi.
"Eh, Siang cici kau kenapakah" Apa yang terjadi, kau hendak kemana, tadi Chien Ce juga bersikap aneh sekali."
Sejenak kemudian Liu Siang sudah bisa menguasai diri, ia menyeka air matanya, wajahnya masih memerah.
"Ah tidak apa-apa Gi-te, aku hanya terharu melihat peristiwa di atas, para
pendekar bahu membahu bekerjasama dengan penuh persahabatan."
Tiong Gi mengangguk-angguk, ia merasakan suatu perasaan yang sukar
dilukiskan bisa berdekatan lagi dengan Liu Siang. Gadis yang selalu dekat di hatinya. Jika Tiong Gi seperti dapat memahami alasan Liu Siang. Tidak demikian halnya dengan Sim Houw. Ia yang lebih dewasa dari Tiong Gi, sehingga bisa
menebak apa yang kira-kira terjadi di antara Liu Siang dan Chien Ce. Tetapi
sebagai akibatnya, tiba-tiba saja Sim Houw merasa hatinya perih. Ia yang sejak bertemu pertama kali dengan Liu Siang merasa kagum, bahkan di dalam hatinya
telah terpasang lentera yang berpendar-pendar jika bertemu dengan gadis yang sangat elok ini, kini menyadari bahwa gadis itu tidak ada rasa apapun padanya, karena hatinya telah diberikan pada Chien Ce. Namun Sim Houw tidak berkata
apapun, ia hanya menggandeng Tiong Gi dan mengajak mereka berdua ke
markas, dengan senyumnya yang tetap mengembang.
Di Markas mereka di terima Kian Bu dan pendekar yang lain. Kini Kian Bu
kembali memimpin Yu Liang Pay. Para pendekar masih bertahan karena mereka
berencana untuk merobohkan benteng dan membersihkan bukit pedang
keesokan harinya. Kebanyakan dari mereka terbaring lemah atau bersiulian
untuk memulihkan luka. Sun Ciak Kun termasuk salah satu di antara yang
tergolek di sebuah dipan. Di sampingnya duduk Ji-lojin yang sedang bercerita humor, sambil ketawa-ketiwi. Memang watak dari kakek tua nomor dua ini
sangat ramah dan suka tertawa. Meskipun keadaannya sudah sangat lemah,
tetapi Ciak Kun tersenyum cerah ketika Tiong Gi datang.
"Suhu kau tidak apa-apa" Apakah suhu terluka" Pakailah guci ini suhu!"
"Tidak perlu muridku! Nyawaku tidak akan bisa diperpanjang oleh sebuah guci.
Lagipula aku tidak sakit maupun keracunan. Aku hanya merasa lemah, dan
Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sudah saatnya tiba masa berlalunya senja kehidupanku. Tidak perlu sedih atau kau tangisi. Hanya saja, kalau memang ajalku datang di sini, bakarlah mayatku dan bawalah abuku kepada cucuku di Hang Chao. Aku bahagia mati dalam
keadaan seperti ini, mati sebagai seorang ksatria yang gagah. Ingatlah selalu pesanku untuk menggunakan semua ilmu yang kuberikan untuk menegakkan
keadilan dan kebenaran!"
Selesai berkata-kata seperti itu, Sun Ciak Kun menutup mata untuk selamalamanya. Jalan hidupnya ditutup, tepat seperti matahari yang saat itu
meninggalkan siang. "Suhu...suhu....jangan mati dulu suhu!" ujar Tiong Gi sedih, air matanya berlelehan. Semua orang di situ juga merasakan kesedihan yang
mendalam. Dunia persilatan berkabung kehilangan salah satu tokohnya yang telah
mengabdikan hidupnya bagi orang-orang yang sakit dan membutuhkan
pertolongan. Tokoh yang dianggap sesepuh kaum pendekar, yang jasanya sulit
dilupakan begitu saja oleh mereka yang diberi bantuan dan diayomi.
Tiong Gi tinggal di Yu Liang Pay selama tiga hari. Setelah prosesi ritual kremasi jenasah Sun Ciak Kun, yang dipimpin oleh Bu Kak taisu, iapun mengumpulkan
abunya untuk kelak dibawa ke Hang Chao. Dua hari sisanya ia membantu para
pendekar merobohkan benteng, menurunkan tengkorak dan tulang belulang
yang ada di ceruk-ceruk dinding bukit pedang. Ceruk-ceruk itupun kemudian di si kayu-kayu dan dibakar, agar hantu pergi dan penyakit tidak muncul dari bekas tengkorak manusia. Tak lupa ia menziarahi makam ayahnya yang terletak bukit
di belakang markas. Di depan makam yang sudah tua itu sukar sekali
digambarkan apa yang ada di benak pemuda gagah itu.
"Ayah.... seperti apakah sosokmu" Inginnya aku kembali lagi ke masa lalu, kita bisa bercengkerama, bermain berdua, berlatih silat, memancing ikan, atau
berburu rusa."
Sebelum berpamitan Tiong Gi menyempatkan diri berbincang agak lama dengan
Kian Bu. Ia menanyakan banyak hal mengenai jati diri orang tuanya. Jawaban
Kian Bu seolah mempertegas jawaban yang diberikan Liong Ping. "Liem Bi Lian
bukanlah ibumu, karena ia menikah dengan ayahmu setelah engkau lahir.
Sedangkan ayahmu bukanlah putra Tung Nio, karena dia mandul. Dulu Liong
Ping datang kemari sambil menggendong bayi. Apakah bayi itu anaknya atau
bukan, tak seorangpun di Yu Liang Pay ini yang tahu. Jadi sampai saat ini, aku sendiripun tidak yakin dengan she-mu anakku. Satu-satunya petunjuk yang
barangkali berguna untuk melacak asal usul ayahmu justru sekeping benda ini.
Besi inilah yang menotok jalan darah ayahmu sehingga racun yang ditelan tak
bisa dimuntahkan."
Tiong Gi menatap lekat-lekat dengan mata terbelalak melihat potongan besi di tangan Kian Bu. Sekeping besi berbetuk tengkorak. "Tengkorak hitam?"?"
desisnya. Tiba-tiba ia merasa jantungnya berdebar-debar.
Pagi itu ketika matahari bersinar dengan cemerlangnya, sesosok bayangan
menuruni bukit dengan langkah tegap. Sosok yang gagah, kokoh seperti batu
karang, namun kadang-kadang bersikap sangat dingin seperti puncak Gongga.
Seorang ksatria telah muncul di dunia sungai telaga. Dulu ketika kisah ini
bermula, ia dibawa turun dan membuat cerita, kelak entah kisah apa yang akan dihadapinya. Dan di tempat ini juga penulis mengakhiri bagian pendahuluan dari kisah Ksatria Negeri Salju.
Ksatria melangkah perlahan menuruni fan cing san Kebekuan musim dingin
menjejaki langkah Ketika daun-daun siong melambai dan menari Ksatria
menatap gelombang awan yang bergerak lambat Selarik kegelisahan yang
mengendap Dan perjalanan esok masih akan menjadi tanya Andai burung-burung dapat
bertutur Ingin rasanya ia mendengarnya Arti sebuah senyum kerinduan Ksatria
tiga kali bernyanyi Lagu tentang pahlawan pembela negara Namun dibenaknya
masih ada tanda tanya:
Adakah kisah pahlawan tanpa darah dan air mata"
Ah kenapa ia mesti bertanya..
TAMAT Dan sampai disini pula bagian pendahuluan kisah ini. Semoga cerita yang cukup singkat ini bisa menghibur cianpwe semua.
Cerita ini akan dilanjutkan dengan judul yang sama pada bagian kedua nantinya.
Tapi mungkin tidak bisa disusun dalam waktu dekat.
Dalam bagian yang kedua akan dieksplorasi lebih lanjut karakter-karakter tokoh yang baru muncul sekilas saja, seperti Chien Ce, Sin Hwat, nona Souw Mei, Bwee Nio; selain tokoh utama yang sering muncul. Selain itu juga jati diri mereka semuanya akan diungkapkan secara lebih dramatis. Lebih dari itu, tentunya kisah cinta mereka akan menjadi lebih fokus karena mereka sudah menginjak masa-masa dewasa. Di sisi lain pergolakan yang melibatkan urusan kekuasaan juga lebih ramai. Dan masih banyak hal yang belum terjawab seperti:
1. Bagaimanakah kisah perebutan pedang"
2. Bagaimanakah nasib Siong Lee"
3. Siapakah iblis bertopeng dewa Heng dan Ha (dewa penjaga kuil)"
4. Bagaimanakah nasib Cu Hoa, apa motivasi nenek kelabang emas
mengambilnya sebagai murid"
5. Bagaimana akhir perseteruan dendam kesumat antara kubu ksatria salju (Yung Ci Tianglo) dengan kubu tengkorak hitam"
6. Siapakah yang mencuri kitab ilmu merak sakti"
Document Outline
Ksatria Negeri Salju
Oleh : Sujoko Bab 1. Yu Liang Pay
Bab 2. Huru-hara di Yu Liang Pay
Bab 3. Chien Ce si putra salju
Bab 4. Lukisan misterius
Bab 5. Tiong Gi mendapatkan lukisan kedua
Bab 6: Kelompok pengemis sabuk hitam
Bab 7. Pertentangan antara pengemis sabuk hitam dan biksu Siauw-lim cabang selatan
Bab 8. Lembah delapan rembulan
Bab 9. Riwayat penghuni lembah delapan rembulan
Bab 10. Peristiwa di lembah
Bab 11. Terbongkarnya lembah delapan rembulan
Bab 12. Penyelamatan Liu Siang
Bab 13. Sun Ciak Kun, si guci obat
Bab 14. Menyelesaikan kemelut kaypang sabuk hitam
Bab 15. Kang Lam Siaucay Ouwyang Bun
Bab 16. Membebaskan nona baju merah
Bab 17. Terkuaknya rahasia bukit pedang
Bab 18. Membawa saksi ke Siauw Lim
Bab 19. Keributan di kedai Kao-ya
Bab 20. Pertarungan di depan gua
Bab 21. Perebutan pedang salju
Bab 22. Hancurnya bukit pedang (TAMAT)
Kisah Para Pendekar Pulau Es 11 Pendekar Gelandangan - Pedang Tuan Muda Ketiga Karya Khu Lung Pendekar Riang 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama