Ceritasilat Novel Online

Laron Pengisap Darah 8

Laron Pengisap Darah Karya Huang Yin Bagian 8


alau mereka tidak kenal jalan dan tidak bisa balik lagi ke rumah
penginapan Hun-lay.
Tu Siau-thian hanya berharap ketika dia tiba di penginapan
Hun-lay nanti, kawanan laron itu sudah berkumpul dalam
ruangannya. Dia sama sekali tidak berminat mengumpulkan
dan menggiring laron laron itu kembali ke sarangnya.
Sebab dia sadar tidak memiliki kepandaian seperti itu, pun
tidak memahami bagaimana caranya mengendalikan kawanan
laron itu, menjadi pawang Laron Penghisap darah dan
membuat kawanan laron itu tunduk pada perintahnya.
Yang dia harapkan hanya bisa menangkap salah satu di
antaranya. Pada tanggal dua bulan tiga, dari atas sebatang poon ditepi
telaga dia pernah menangkap seekor laron, bahkan jari
502 tangannya sempat disengat oleh Laron Penghisap darah itu
sehingga dengan gugup dia harus lepas tangan.
Dia berjanji didalam hati, jika berhasil menangkapnya lagi
kali ini, apa pun yang terjadi dia tidak bakal lepaskan
tangkapannya. Asal dia berhasil menangkap seekor diantaranya, berarti dia
bisa membuktikan apakah Laron Penghisap darah itu benarbenar
bisa melalap daging manusia, menghisap darah manusia
atau tidak. Inilah tujuannya yang utama. Sebelum tiba di depan rumah
penginapan Hun-lay, dia telah bertemu dengan seekor Laron
Penghisap darah.
Hanya seekor Laron Penghisap darah, terbang lewat dari
sisi bunga liar ditepi jalan dan terbang menuju ke depan.
Sebenarnya Tu Siau-thian ingin menangkap laron tersebut,
tapi karena sambarannya mengenai sasaran kosong, terpaksa
dia kejar laron itu hingga akhirnya sampailah di tempat
tujuannya yang semula..... rumah penginapan Hun-lay.
Waktu itu hujan sudah mulai turun, Laron Penghisap darah
itu terbang lebih cepat, ternyata air hujan tidak sampai
membasahi tubuhnya.
Dia terbang melewati dinding pekarangan rumah
penginapan dan terbang masuk ke dalam sebuah jendela.
Tu Siau-thian masih mengenal jendela itu. Jendela tersebut
tidak lain adalah jendela ruangan yang digunakan untuk
memelihara laron. Hari itu, lewat jendela itulah kawanan laron
tersebut terbang keluar.
Sekarang hanya seekor Laron Penghisap darah yang
terbang kembali, ke mana perginya kawanan Laron Penghisap
darah lainnya"
503 Apakah mereka telah kembali ke dalam ruangan itu" Kalau
benar, dengan cara apa mereka mempertahankan hidupnya
sekarang" Apakah dengan menggunakan darah didalam tubuh
Si Siang-ho"
Tu Siau-thian berdiri termangu diluar dinding pagar,
mengawasi laron itu terbang masuk ke balik jendela, dia masih
memikirkan terus persoalan ini.
Mendadak tubuhnya bergidik, bulu kuduknya pada bangun
berdiri. Dalam keadaan Iapar, mungkinkah kawanan Laron
Penghisap darah itu melahap daging dan darah dari Si Siangho"
Jika darah dan daging Si Siang-ho sudah habis disantap,
mungkinkah kawanan makhluk itu akan mulai mengincar
orang orang dusun disekelilingnya"
Tu Siau-thian tidak berani berpikir lebih iiiuh, tanpa terasa
dia celingukan memandang ke kiri dan kanannya.
Belakang rumah penginapan Hun-lay merupakan sebidang
tanah berumput, disisi kiri dan kanannya merupakan dinding
belakang rumah penduduk.
Tidak ada orang yang berlalu lalang disekitar sana, tapi dari
cerobong asap rumah penduduk terlihat ada asap putih yang
mengepul. Diam-diam Tu Siau-thian menghembuskan napas lega, ada
asap berarti ada orang, maka perhatiannya mulai dialihkan
kembali ke jendela ruangan itu.
Seperti keadaan tempo hari, jendela ruangan dalam
keadaan terbuka lebar, tapi suasana dibalik ruangan remang
remang tidak jelas. Mungkinkah kawanan Laron Penghisap
darah itu masih bersarang disitu"
Tiba-tiba dia tertawa, padahal gampang sekali untuk
mengetahui hal ini, asal masuk ke dalam dan memeriksannya,
bukankah sebuah jawaban yang pasti akan diperoleh"
504 0-0-0 Dinding pekarangan yang mengelilingi bagian belakang
rumah penginapan Hun-lay sangat tinggi.
Tu Siau-thian harus berdiri tiga kaki dari dinding itu
sebelum dapat melihat jendela ruangan itu dengan jelas.
Tapi suasana di dalam ruangan tidak nampak jelas, yang
terdengar hanya suara dengungan yang sangat aneh.
Tu Siau-thian belum melupakan suara tersebut, karena
suara itu pada hakekatnya mirip sekali dengan suara
sekawanan laron yang sedang mengunyah daging manusia.
Sebetulnya Tu Siau-thian ingin berputar ke pintu depan dan
masuk lewat sana, tapi sekarang, entah apa yang
mempengaruhi jalan pikirannya, dia putuskan untuk masuk
dengan melompati pagar pekarangan.
Suasana dalam rumah penginapan itu sudah menimbulkan
rasa curiganya, dia memang punya watak banyak curiga.
Hujan makin lama semakin lebat, Tu Siau-thian menarik
napas panjang panjang kemudian dengan jurus it-hok-ciongthian
(bangau sakti menerjang angkasa) dia melompat ke
tengah udara. Suasana dibalik dinding pekarangan tidak ada yang aneh,
segala sesuatunya masih persis seperti keadaan semula, yang
tertinggal hanya suara aneh yang kedengaran makin nyaring.
Tu Siau-thian celingukan sekejap dari atas dinding,
kemudian dengan sekali lompatan dia melayang turun ke
bawah. Kemudian sambil menyingkirkan bunga-bungaan dengan ke
dua belah tangannya, Tu Siau-thian berjalan menelusuri jalan
setapak menuju ke beranda bagian dalam.
Ternyata pintu hanya dirapatnya, dengan sekali dorong Tu
Siau-thian sudah menyelinap masuk ke dalam.
505 Suasana didalam rumah penginapan amat gelap, walaupun
dibagian halaman belakang terdapat dua buah jendela yang
setengah terbuka, sayang saat itu senja telah menjelang tiba.
Dalam keremangan senja dan gelapnya suasana dalam
ruangan, tidak nampak setitik cahaya lentera pun yang
menerangi tempat itu.
Tu Siau-thian memperlambat langkah kakinya, selangkah
demi selangkah dia maju terus ke depan.
Suasana dalam rumah penginapan itu bukan saja amat
gelap, bahkan sepi sekali, sedemikian heningnya hingga mirip
dengan suasana dalam pekuburan.
Tu Siau-thian masih ingat keadaan disitu, sebuah lorong
menghubungkan halaman belakang dengan ruang utama,
disisi kiri kanan lorong merupakan kamar kamar yang amat
gelap lagi sepi.
Akhirnya dengan terseok-seok tibalah Tu Siau-thian di
ruang depan rumah penginapan itu.
Di ruang utama pun tidak nampak cahaya lentera, dengan
meminjam secercah sinar yang menyusup masuk melalui
langit langit Tu Siau-thian mencoba untuk mengawasi
sekeliling tempat itu.
Tidak seorang manusia pun tampak disitu, meja kursi serta
perapot lain masih berada pada posisinya semula.
Ke mana perginya Si Siang-ho"
Sinar mata Tu Siau-thian pelan pelan dialihkan ke anak
tangga yang menghubungkan lantai bawah dengan ruang
atas, jangan-jangan dia berada diatas loteng" Dengan langkah
lebar Tu Siau-thian menaiki anak tangga.
Suasana terasa makin hening, Tu Siau-thian berusaha
memperingan langkah kakinya, belum lagi mencapai ujung
506 loteng dia sudah mengendus bau busuk yang menusuk
hidung, hanya kali ini bau busuk itu jauh lebih tipis dan tawar.
Mengapa tidak terendus bau busuk yang luar biasa seperti
tempo hari" Jangan jangan kawanan laron itu belum terbang
balik ke situ"
Akhirnya tibalah dia ruangan paling ujung, beberapa buah
kerangkeng besi itu masih terletak disitu.
Dari balik ruangan dia dapat mendengar suara dengungan
yang tidak terasa asing lagi baginya, hanya kali ini suara
dengungan itu amat lirih dan lemah.
Ada berapa banyak Laron Penghisap darah yang berada
disitu" Tu Siau-thian tidak lupa dengan tombol otomatis didepan
pintu, dia tekan tombol itu perlahan lalu melongok ke dalam
ruangan. Malam semakin kelap, suasana semakin gelap sementara
hujan turun semakin deras.
Walaupun jendela berada dalam keadaan terbuka lebar,
namun cahaya yang memancar masuk dari luar jendela amat
tipis dan redup.
Tu Siau-thian hanya bisa memperhatikan benda didalam
ruangan dengan memaksakan diri. Dia picingkan matanya dan
sekali lagi mengawasi seputar tempat itu.
Semua benda yang ada dalam ruangan persis sama seperti
apa yang dilihatnya tempo hari, rak bambu masih berada di
posisi semula, tapi hanya dua tiga ekor Laron Penghisap darah
yang sedang beterbangan disana.
Kemana perginya Laron Penghisap darah lainnya" Apakah
bersembunyi semua dibalik rak bambu itu"
Tu Siau-thian memperhatikan berapa saat lagi sebelum
akhirnya membuka pintu kamar dan berjalan masuk ke dalam.
507 Dia bertindak sangat hati-hati, tidak terlalu besar suara
yang ditimbulkan sewaktu membuka daun pintu, sementara
Laron Penghisap darah yang sedang terbang menari diantara
rak bambu pun nampaknya tidak menyadari akan
kehadirannya. Begitu masuk ke dalam ruangan, kembali dia mengendus
bau busuk yang menusuk hidung.
Bau busuk yang terendus hari ini berbeda jauh dengan bau
busuk waktu itu, saat itu tulang belulang sisa kelinci belum
sempat dibersihkan, tulang belulang itu masih berserakan
didepan rak bambu.
Agaknya bau busuk yang memuakkan itu berasal dari
bangkai kelinci serta sisa tulang belulangnya.
Dari tulang belulang kelinci kembali Tu Siau-thian
mengalihkan perhatiannya ke atas rak bambu, mengawasi
Laron Penghisap darah yang sedang beterbangan disitu.
Kembali dia melangkah maju menghampiri rak bambu itu,
tiga langkah......empat langkah........hingga tiba persis didepan
rak bambu itu, suasana tetap hening dan tidak terjadi sesuatu
apa pun. Benar sekali penglihatannya tadi, hanya ada tiga ekor Laron
Penghisap darah yang sedang beterbangan disitu.
Tu Siau-thian takut salah, dia mencoba menghitung.....satu,
dua., tiga.....ternyata betul,
hanya ada tiga ekor laron.
Dalam ruang sebesar itu ternyata hanya dihuni tiga ekor
Laron Penghisap darah, kemana perginya laron laron yang
lain" Mendadak Tu Siau-thian melangkah maju lagi ke depan,
kakinya mulai menginjak tulang belulang yang berserakan
dilantai ruangan.
508 Suara gemuruh yang amat menyeramkan segera
berkumandang dari balik rak bambu, suara tulang kelinci yang
berhamburan ke mana mana....
"Ngguung......!" seekor Laron Penghisap darah terbang
keluar dari balik rak bambu, hanya satu ekor!
Sekarang kalau dijumlahkan berarti ada empat ekor, Tu
Siau-thian merasa setengah lega. Dia yakin masih sanggup
menghadapi serangan dari empat ekor Laron Penghisap darah.
Tapi perasaan curiga yang menyelimuti hatinya kini
semakin menebal......kemana
perginya kawanan Laron Penghisap darah lainnya"
Apa maksud dan tujuan ke empat ekor Laron Penghisap
darah itu tetap tinggal dalam ruangan itu"
Pada saat itulah ke empat ekor Laron Penghisap darah itu
mulai terbang menghampiri wajahnya.
Selain suara sayap yang membelah udara, seakan
terdengar pula semacam suara yang tinggi melengking dan
sangat aneh, meski lirih tapi menyeramkan.
Suara aneh itu seakan muncul dari mulut ke empat ekor
Laron Penghisap darah itu, makin lama suara aneh tersebut
semakin melengking.......
Bulu kuduk Tu Siau-thian makin berdiri, suara tersebut
sangat mengerikan, terutama ditengah keheningan malam
seperti saat ini.
Bila dicerna lebih mendalam, suara itu mirip sekali dengan
suara orang yang sedang kelaparan, suara gemerutuknya
perut seorang kelaparan yang tiba-tiba bertemu dengan
hidangan lezat.
Tu Siau-thian pernah mendengar suara semacam ini, dia
pun mempunyai pengalaman soal suara tersebut.
509 Jika selama ini ke empat Laron Penghisap darah tersebut
selalu berdiam di dalam ruangan itu, bisa dipastikan saat itu
mereka sudah kelaparan setengah mati.
Apa yang mereka minum adalah darah, yang disantap
adalah daging, sementara dalam ruangan hanya tersisa
seonggok tulang belulang kelinci.
Paling tidak mereka sudah kelaparan selama enam hari,
bukankah kehadiran Tu Siau-thian saat ini tepat pada
waktunya" Dalam waktu singkat ke empat ekor Laron Penghisap darah
itu sudah tiba di hadapan Tu Siau-thian.
Tanpa sadar Tu Siau-thian melompat mundur ke belakang,
dalam sekali lompatan dia sudah mundur setengah kaki


Laron Pengisap Darah Karya Huang Yin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jauhnya, nyaris sudah keluar dari pintu ruangan.
Reaksinya boleh dibilang sangat cepat dan lincah, tapi
sayang gerakan tubuh ke empat ekor Laron Penghisap darah
itu jauh lebih cepat dan lincah, dalam sekali kepakan sayap
mereka sudah mengejar ke hadapan opas itu.
Dalam keadaan begini, tentu saja mereka tidak akan
melepaskan Tu Siau-thian dengan begitu saja, bagi
pandangan mereka, kehadiran opas tersebut tepat pada
saatnya, opas itu merupakan hidangan paling lezat yang akan
mereka nikmati.
Seseorang yang berbadan kekar pasti memiliki daging dan
otot yang lebih kasar, cairan darah yang mengalir dalam
tubuhnya pasti merupakan minuman yang terlezat......
Bagi kawanan Laron Penghisap darah itu, daging tidak
terlalu penting, asal dapat menghisap darah segar, hal ini
sudah lebih dari cukup, mereka adalah Laron Penghisap darah
bukan laron pemakan bangkai.
Apakah saat ini mereka sudah dapat mengendus bau
harumnya darah yang mengalir dalam tubuh Tu Siau-thian"
510 Sadar akan gawatnya situasi, Tu Siau-thian sudah membuat
persiapan, ketika melompat mundur tadi dia sudah
menggenggam gagang golok, maka begitu berhenti
melangkah mundur, goloknya segera diloloskan dari sarung.
Ketika sekilas cahaya golok berkelebat lewat, seekor Laron
Penghisap darah sudah terpapas hingga terbelah jadi dua
bagian. Mata golok yang sangat tajam, serangan golok yang luar
biasa cepatnya!
Pada saat yang bersamaan dia mengayunkan tangan
kirinya, segulung angin pukulan yang kuat berhembus ke
depan menghajar ditubuh ke dua ekor Laron Penghisap darah
lainnya. "Plaaak...!" kedua ekor makhluk itu segera mencelat ke
belakang kemudian rontok ke atas tanah.
Kini tinggal satu ekor lagi! Laron Penghisap darah itu
terbang dari atas kepala Tu Siau-thian langsung menyambar
diatas batang hidungnya.
Satu perasaan aneh yang sukar dilukiskan dengan mata
menyebar ke seluruh tubuh Tu Siau-thian, detik itu juga dia
merasakan seluruh bulu kuduknya pada bangun berdiri.
Pada saat itulah dia merasakan batang hidungnya sakit
sekali, entah benda apa yang menusuk hidungnya, tahu-tahu
dia hanya merasakan ceceran darah yang mulai mengalir
keluar dari sana.
Perasaan sakit semacam ini sudah pernah dia alami satu
kali, yakni ketika jari tangannya tergigit tempo hari.
Waktu itu dia berhasil menggenggam seekor Laron
Penghisap darah, sambil meronta dari genggamannya laron
tersebut menusukkan jarumnya keatas jari tangannya dan
menghisap darahnya.
511 ----- Sekarang, apakah Laron Penghisap darah itu sudah
menghujankan tabung jarumnya diatas batang hidung sendiri"
Apakah dia sedang menghisap darahnya"
Dalam terkejut dan ngerinya dengan cepat tangan kirinya
menyambar ke atas dan mencengkeram Laron Penghisap
darah itu. Dengan sekuat tenaga dia cengkeram laron itu dan
membetotnya kuat-kuat, sekali lagi batang hidungnya terasa
sakit sekali. Tampaknya Laron Penghisap darah itu benar-benar telah
menghujamkan tabung jarumnya diatas batang hidungnya.
Tanpa terasa dia mengalihkan sorot matanya ke atas Laron
Penghisap darah yang berhasil ditangkap dalam
genggamannya itu.
Laron Penghisap darah itu sudah tidak mampu meronta lagi
dari cengkeramannya, karena Tu Siau-thian telah
mencengkeram tubuhnya kuat kuat.
Kini yang tampak hanya kepala laron itu, tabung jarum
diujung mulut laron itu kelihatan bergerak terus tiada
hentinya, bergerak naik turun seolah sedang memompa
sesuatu. Pada ujung tabung jarum itu terlihat ada cahaya darah,
tampaknya binatang itu memang sudah berhasil menghisap
darah dari tubuhnya.
Sekali lagi Tu Siau-thian merasa bergidik, bulu romanya
sekali lagi bangun berdiri.
Sebenarnya dia ingin sekali memeriksa apakah dibalik
mulut laron itu terdapat gigi taring, dia ingin tahu apakah
makhluk itu dapat mengunyah daging, sayang suasana disitu
kelewat gelap hingga keinginannya tidak terkabulkan.
512 Dengan mata melotot dia awasi terus kepala laron itu,
meski dapat melihat tabung jarum dimulut makhluk itu yang
masih bergerak naik turun, namun ia tidak berhasil melihat
jelas keadaan dibalik mulutnya.
Laron Penghisap darah itupun sedang mengawasinya
dengan mata mendelik, mata laron yang merah darah seakan
penuh diliputi perasaan takut dan ngeri.
Tu Siau-thian seakan dapat merasakan hal ini, dia sangat
gembira, serunya tanpa terasa:
"Jadi kau pingin menghisap darahku"''
"Ssssttt....sssst......" dari mulut Laron Penghisap darah itu
bergema suara desisan yang aneh, atau mungkin itulah
bahasa laron"
Tapi apa jawabannya" Tu Siau-thian tidak mengerti apa arti
suara itu, maka setelah tertawa dingin kembali ujarnya:
"Kau tentu pingin menghisap darahku bukan" Sayang kau
sudah terjatuh ke tanganku sekarang......."
"Sssttt.....sssttt......" kembali berkumandang suara desisan.
"Sebenarnya apa yang sedang kau katakan?"
"Sssttt.....sssttt......" hanya desisan aneh yang dia peroleh.
Akhirnya Tu Siau-thian menghela napas panjang, katanya
lagi: "Tampaknya kau memahami perkataanku, tapi sayang aku
tidak memahami apa yang kau ucapkan"
Bila saat itu ada orang lain yang menyaksikan ulahnya,
orang akan mengira dia sebagai orang yang tidak waras
otidaknya, untung disitu hanya ada dia seorang.
Terdengar dia berkata lebih jauh:
513 "Seandainya aku bisa memahami bahasamu, serumit apa
pun kasus ini, sekarang pasti akan berubah jadi lebih
sederhana dan gampang"
Dia memang seorang opas kenamaan, seorang opas yang
banyak pengalaman, dia pandai menginterogasi, dia pun tahu
bagaimana interogasi orang.
Manusia yang begitu besar pun gampang diatasi, apalagi
menghadapi seekor laron yang begitu kecil"
0-0-0 Laron itu mendesis makin keras dan makin cepat, selain
mendesis kini Laron Penghisap darah itu mulai meronta,
sekuat tenaga meronta.
Tu Siau-thian merasakan hal ini, segera jengeknya sambil
tertawa dingin:
"Kau kira aku akan membebaskanmu kali ini?"
Dia semakin memperkuat genggamannya. Tampak Laron
Penghisap darah itu meronta semakin kuat, tabung jarumnya
mendadak menjulur lebih panjang dan kali ini menusuk jari
tangan Tu Siau-thian.
Kejadian ini sudah berada dalam dugaan opas itu, begitu
laron tersebut mulai menusuk jari tangannya, ibu jarinya
langsung didorong ke muka menahan kepala laron itu.
Karena ditekan ke atas otomatis kepala laron itu terdorong
hingga menengadah dan tidak mampu bergerak lagi, dengan
sendirinya tusukan jarum tabungnya juga mengenai sasaran
yang kosong. "Apa lagi yang akan kau lakukan sekarang?" kembali Tu
Siau-thian menjengek sambil tertawa dingin.
Laron Penghisap darah itu benar-benar mati kutuknya.
514 Sesaat kemudian, setelah berpikir sejenak kembali Tu Siauthian
berkata: "Aku ingin memeriksa mulutmu, apa benar kau bergigi?"
Suara desisan aneh kembali bergema, kali ini suara
tersebut akan mengandung nada ejekan, paling tidak Tu Siauthian
merasakan akan hal itu.
"Hrnmm, kau anggap dalam suasana seperti ini, dengan
ketajaman mataku aku tidak akan berhasil memeriksa
mulutmu?" Suara desisan berhenti seketika, mungkinkah laron itu
sudah mengakui"
Sambil tertawa Tu Siau-thian berkata lebih jauh:
"Sebenarnya dugaanmu memang tidak salah, dalam situasi
semacam ini mataku memang tidak banyak berfungsi, tapi aku
bisa mengubah suasana yang gelap jadi terang benderang..."
Sambil berkata dia segera menyarungkan kembali
goloknya, mengambil keluar sebuah korek api dan
menyalakan. Kilatan cahaya terang segera menyinari seluruh ruangan,
mengusir kegelapan yang semula mencekam tempat itu.
Dibawah cahaya api, warna Laron Penghisap darah itu
nampak lebih indah dan menawan, tubuhnya yang berwarna
hijau bagaikan sebuah pualam, matanya yang merah persis
seperti sebuah bercak darah.
Sambil memegang obor Tu Siau-thian bukannya memeriksa
laron dalam genggamannya, dia justru berjongkok dan
memeriksa lantai disekeliling ruangan.
Mendadak sepasang matanya berbinar, dia menjumpai
sesuatu diatas lantai.......darah!
515 Darah itu meleleh keluar dari tubuh Laron Penghisap darah
yang terbelah jadi dua itu, dua buah belahan tubuh laron
hampir semuanya terbenam ditengah cairan darah.
Ceceran darah itu berwarna merah, persis seperti darah
manusia, bau busuk yang sangat aneh tersebar keluar dari
genangan darah itu.
Mengapa darah laron persis sama seperti darah manusia"
Tu Siau-thian kembali memeriksa dua ekor Laron Penghisap
darah yang dijatuhkan dengan angin pukulan tadi.
Sepasang sayap ke dua ekor laron itu sudah patah jadi dua,
seekor diantaranya sudah mati sementara yang lain masih
hidup dan sedang meronta ditanah.
Laron yang tidak bersayap sudah kelihatan amat jelek,
apalagi meronta tiada hentinya, keadaan itu nampak lebih
memuakkan lagi.
Tu Siau-thian segera menancapkan obornya ke lantai, lalu
dengan cepat dia loloskan goloknya kembali.
"Sreeet....." dimana cahaya golok berkelebat, laron tanpa
sayap itu segera terpapas kutung dan terbelah jadi dua.
Darah segera berceceran dilantai, ternyata darah yang
meleleh keluar dari tubuh Laron Penghisap darah itu merah
persis seperti ceceran darah manusia!
Sekarang dia dapat menyaksikan dengan amat jelas, darah
Laron Penghisap darah ternyata sama seperti darah manusia.
Untuk sesaat dia berdiri tertegun.
Pada saat itulah mendadak dia mendengar suara yang
sangat aneh, suara aneh itu seakan berasal dari tempat yang
sangat jauh, tapi seperti juga berasal dari ruang sebelah.
Terlepas suara itu berasal dari tempat jauh atau dekat,
yang pasti sumber suara itu dari bawah loteng, persis dibawah
ruangan dimana dia berdiri sekarang.
516 Dia memang memiliki ketajaman pendengaran yang hebat,
daya ingatnya pun bagus. Dia masih teringat, dibawah
ruangan dimana dia berada sekarang merupakan sebuah
ruangan pula. Mendadak satu ingatan melintas dalam benaknya, sebab
suara aneh itupun bukan didengarnya.untuk pertama kali ini
Ketika pintu rahasia dalam ruang perpustakaan Ki-po-cay
bergerak membuka, suara aneh seperti inilah yang terdengar
olehnya. 0-0-0 Bab 28. Pinggir kota yang sepi.
Suara aneh itu sebetulnya tidak terlalu nyaring, namun
ditengah keheningan yang mencekam, tidak susah untuk
menangkap suara itu.
Namun bagi Tu Siau-thian, hal itu tidak penting, mau suara
dari pintu rahasia atau bukan, dia sudah mengambil
keputusan untuk turun ke bawah dan melakukan penyelidikan.
Begitu ingatan tersebut melintas dalam benaknya, dia
segera padamkan obor yang ada dalam genggamannya.
Seketika itu juga suasana tercekam kembali dalam kegelapan.
Hujan masih turun rintik-rintik diluar jendela, malam yang
semakin larut membuat keadaan bertambah gelap, baru saja
dia akan bangkit berdiri, lagi lagi berkumandang suara aneh
dari bawah loteng. Kali ini suara tersebut lebih lirih dan lemah.
Tanpa ragu ragu lagi dia segera bertiarap dilantai sambil
menempelkan telinganya ke atas lantai, ternyata suara
langkah manusia!
517 Langkah kaki itu bergema sesaat lalu "kreeek!" seperti
suara pintu dibuka orang.
Siapa yang tinggal dalam ruangan dibawah loteng" Apakah
Si Siang-ho" Apa yang sedang dilakukan Si Siang-ho di bawah
sana" Sebagai orang yang memang berwatak banyak curiga,
suara suara aneh itu semakin membangkitkan rasa curiga Tu
Siau-thian, biarpun dia sadar situasi yang sangat berbahaya,
namun dia tidak ragu untuk menelusurinya, apalagi keadaan
ditempat tersebut meski nampak aneh, dia menganggap tidak
terlampau berbahaya.
Perlahan-lahan dia merangkak bangun, berdiri. Setiap
gerakan, setiap langkah dia lakukan amat berhati-hati,
sedapat mungkin tidak sampai menimbulkan suara.
Kemudian dia mulai berjalan menuju ke arah pintu sebelah
sana, sambil berjalan dia perhatikan terus suara langkah kaki
yang kedengaran dibawah loteng.
Ternyata langkah kaki itu berjalan menuju ke arah ruang


Laron Pengisap Darah Karya Huang Yin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

utama rumah penginapan. Ketika dia menyelinap keluar dari
pintu, terlihatlah secercah cahaya yang sangat lemah.
Sinar berwarna kekuning-kuningan itu kelihatan bertambah
terang ketika dia menuruni anak tangga, tidak lama kemudian
diapun melihat sebuah lentera minyak.
Saat itu dia sudah hampir selesai menuruni anak tangga.
Dengan menempelkan diri disisi dinding ruangan dia mulai
berjongkok. Bila tidak berjongkok, asal orang yang berjalan sambil
membawa lentera itu mendongakkan kepalanya, maka
jejaknya segera akan ketahuan.
0-0-0 518 Lampu minyak itu berada dalam sebuah tangan yang amat
stabil. Biarpun orang itu sedang berjalan namun lidah api
sama sekali tidak bergoyang.
Orang itu berjubah panjang warna putih pucat, rambutnya
kusut dan digulung menjadi sebuah konde persis konde
seorang tosu. Jika dilihat dari bayangan punggungnya, Tu Siau-thian
segera mengenali orang itu sebagai Si Siang-ho!
Tiba-tiba orang itu menghentikan langkahnya,
membungkukkan badan mengambil sebuah keranjang bambu
dari balik lemari kemudian membalikkan badan.
Cahaya lentera segera menyinari wajahnya, tidak salah,
ternyata dia memang Si Siang-ho!
Cahaya lentera mulai bergerak, dengan tangan sebelah
memegang lampu, tangan lain membawa keranjang bambu, Si
Siang-ho membalikkan badan dan berjalan balik.
Sekali lagi Tu Siau-thian bertiarap, dia mendengar langkah
kaki itu tidak balik ke ruangan dibawah loteng melainkan
langsung menuju ke halaman belakang.
Mau apa Si Siang-ho pergi ke halaman belakang dengan
membawa keranjang bambu" Tu Siau-thian semakin
keheranan. Langkah kaki itu semakin lirih sebelum akhirnya lenyap dari
pendengaran, menurut perkiraan, seharusnya Si Siang-ho
sudah berada di halaman belakang.
Dengan cekatan Tu Siau-thian melompat turun dan
menerjang ke samping pagar tangga, dia harus berebut waktu
dengan orang itu, sedapat mungkin badannya tidak sampai
menyentuh sesuatu benda pun disana.
Kemudian bagaikan seekor ular dia menyelinap ke arah
ruangan dibawah loteng.
519 Pintu ruangan dalam keadaan setengah terbuka, Tu Siauthian
langsung menyelinap masuk ke dalam.
Begitu melangkah masuk ke dalam ruangan, dia segera
mendengar suara dengungan yang sangat ramai, seramai
suara yang pernah didengar ketika mengunjungi ruang loteng
tempo har. Jangan-jangan kawanan laron itu berkumpul disitu" Tu
Siau-thian merasakan bulu kuduknya bangun berdiri, tanpa
terasa dia mundur selangkah. Ternyata tidak nampak seekor
pun Laron Penghisap darah yang terbang disitu.
Dari sudut dinding ruangan dia menangkap seberkas
cahaya yang amat lirih, meski cahaya itu amat redup namun
sudah lebih dari cukup bagi Tu Siau-thian yang sudah terbiasa
dalam kegelapan.
Sekarang dia dapat melihat keadaan dalam ruangan
dengan cukup jelas.
Disisi kiri terdapat sebuah pembaringan, diatas ranjang
terletak bantal dan selimut. Sementara disisi kanan terdapat
sebuah meja dengan tiga empat buah bangku.
Diatas meja tersedia teko air teh dan cawan, tidak jauh dari
meja tersebut menempel dengan sebuah dinding terdapat
sebuah pintu. Pintu itu dalam keadaan terbuka, dari balik ruangan itulah
cahaya redup itu berasal. Tu Siau-thian langsung melompat
masuk dan menerobos ke tepi pintu.
Ternyata dibelakang dinding masih terdapat dinding,
setelah memasuki pintu rahasia itu terbentang sebuah lorong
penghubung selebar tiga depa.
Tu Siau-thian tidak terlalu merasa heran dengan keadaan
disitu, sebab dia pernah menyaksikan dinding rangkap
semacam ini ketika berada di perkampngan Ki-po-cay, dua
lapis dinding yang dipisahkan sebuah lorong.
520 Untuk sesaat dia merasa ragu, masuk atau tidak" Jika
ditinjau dari keadaan ruangan, tampaknya tempat itu
merupakan kamar tidur Si Siang-ho.
Tapi mengapa didalam kamar tidurnya terdapat dinding
rangkap" Lorong itu menghubungkan ruang tidur dengan apa"
Apakah dia sendiri yang membangun atau sudah ada
semenjak dulu"
Apa gunanya lorong penghubung itu"
Apakah dia mempunyai rahasia lain yang tidak boleh
diketahui orang luar" Tapi apa rahasianya"
Pikiran itu berkecamuk terus dalam benak Tu Siau-thian.
-----dia yakin tidak secepat itu Si Siang-ho akan balik ke
situ. Tu Siau-thian putuskan untuk menerobos masuk ke
dalam pintu rahasia.
Hanya dengan memasuki ruang rahasia itu, segala
sesuatunya akan menjadi jelas.
Dia hanya berharap lorong rahasia ini tidak dilengkapi alat
jebakan yang mematikan seperti yang terpasang dalam lorong
rahasia di perkampungan Ki-po-cay, dia tidak ingin begitu
melangkah masuk, tubuhnya kontan berubah jadi seekor
landak. 0-0-0 Tu Siau-thian sadar, tidak banyak waktu yang tersedia
baginya, maka dia putuskan untuk menyusup masuk ke balik
pintu rahasia. Dia memang sudah nekad untuk pertaruhkan
nyawanya. Dia sama sekali tidak tidakut mati, suara desingan dan
dengungan yang muncul dari balik lorong rahasia jauh lebih
521 menarik perhatiannya ketimbang memikirkan keselamatan
sendiri. Apalagi sebagai seorang opas yang sudah bertugas sepuluh
tahun, bukan untuk pertama kali dia menyerempet bahaya.
"Weeesss!" tubuhnya meluncur turun ke bawah, detik itu
juga dia merasa seluruh perasaan hatinya seakan sedang
menyusut. Tidak ada hujan anak panah atau pisau terbang yang
membidik ke arah tubuhnya, mungkin lorong rahasia ini
memang berbeda dengan lorong rahasia yang ada dalam
perkampungan Ki-po-cay, mungkin juga sewaktu
meninggalkan lorong rahasia tersebut Si Siang-ho belum
sempat menghidupkan kembali alat rahasianya.
Seandainya benar begitu, berarti Si Siang-ho segera akan
balik kemari, tanpa ragu lagi Tu Siau-thian segera menyusup
masuk lebih ke dalam.
Gerakan tubuhnya tidak mendapat rintangan atau halangan
apa pun, ternyata didalam lorong rahasia itu memang tidak
ada orang lain.
Lorong itu tidak terlalu panjang, diujung lorong merupakan
sebuah undak-undakan batu yang menjorok turun ke bawah.
Tu Siau-thian menuruni anak tangga itu dan memasuki
sebuah penjara bawah tanah. Anehnya, mengapa segala
bentuk dan perencanaan lorong rahasia ini mirip sekali dengan
lorong rahasia dalam perkampungan Ki-po-cay"
Tu Siau-thian sangat keheranan, namun ada kejadian lain
yang jauh lebih mengherankan lagi!
Penjara bawah tanah itu sangat lebar, tapi hal ini bukan
sesuatu yang mengherankan.
522 Tu Siau-thian pernah menyaksikan penjara bawah tanah
yang jauh lebih lebar daripada tempat ini, yang aneh justru
terletak pada interior yang tersedia disitu.
Selama hidup belum pernah Tu Siau-thian saksikan interior
sedemikian anehnya, ke empat dinding penjara bawah tanah
itu pada hakekatnya mirip sekali dengan langit malam yang
hitam pekat. Demikian juga dengan atap dinding itu, atap penjara
merupakan langit biru yang dicekam kegelapan malam, selain
itu dibagian tengah terdapat sebuah lentera, lentera yang
tertanam didalam dinding dengan diluarnya dilapisi sebuah
kristal yang tembus pandang.
Ketika cahaya lentera memancar keluar menembusi kaca
kristal, terbentuklah sinar lembayung yang persis sama
dengan cahaya rembulan.
Berada ditempat itu, Tu Siau-thian merasa seakan sedang
berdiri dibawah sinar rembulan, berdiri ditengah alam bebas
yang maha luas, dibawah sinar rembulan yang menyeramkan.
Ditengah kegelapan malam yang jemih, tidak nampak ada
awan yang mengusiknya, sedikit pun tidak nampak.
Segerombolan Laron Penghisap darah sedang beterbangan
mengelilingi rembulan itu, menari-nari ditengah kegelapan
malam. Sayap yang berwarna hijau kemala, mata yang merah
bagaikan darah, dibawah cahaya icmbulan nampak lebih
segar, lebih cantik dan lebih menyeramkan.
Tu Siau-thian merasa seakan dirinya sudah terjerumus ke
dalam dunia iblis!
Sebuah meja besar berwarna hijau lumut tergeletak
ditengah ruangan, meja itu mirip sekali dengan sebuah batu
besar yang penuh ditumbuhi lumut, sebuah batu berlumut.
523 Permukaan meja tidak rata, penuh tonjolan dan lekukan
sehingga mirip sekali dengan permukaan batu cadas, pada
bagian permukaan yang lekuk ke dalam terlihat selapis cairan
berwarna merah yang persis seperti cairan darah.
Cairan itu berwarna merah pekat persis seperti cairan
darah. Tapi darah apa" Dengan penuh rasa ingin tahu Tu
Siau-thian berjalan menghampiri.
Begitu mendekati batu berlumut itu, dia segera mendengar
suara mencicit yang amat lirih, suara apa itu"
Tu Siau-thian berjalan semakin mendekat, dia mulai
memegang cairan merah seperti darah segar itu.
Baru saja tangannya mendekat, suara dengungan nyaring
segera memecahkan keheningan, dari sekeliling meja itu
segera bermunculan dua-tiga puluhan ekor Laron Penghisap
darah! Tadinya ke dua-tiga puluh ekor Laron Penghisap darah itu
sedang mendekam diatas permukaan meja, tapi sekarang
hampir sebagian besar telah beterbangan karena merasa
terusik oleh kehadiran Tu Siau-thian.
Dengan perasaan amat terkejut Tu Siau-thian
menghentikan tangannya ditengah udara, sekali lagi dia
perhatikan permukaan meja.
Kali ini dia dapat melihat dengan lebih jelas tadi, ternyata
diatas permukaan meja pun mendekam beberapa ekor Laron
Penghisap darah.
Kawanan Laron Penghisap darah itu mempunyai mata yang
merah bagaikan darah segar dan tubuh yang hijau pupus
bagaikan batu kemala.
Permukaan meja itupun tidak rata dan penuh ditumbuhi
lumut yang tebal, pada bagian yang melengkung dipenuhi
cairan merah mirip cairan darah, ternyata kawanan Laron
Penghisap darah yang berkerumun diatas permukaan meja itu
524 sedang menempelkan tabung-tabung jarum mereka ditengah
cairan merah darah itu, tampaknya mereka sedang menghisap
cairan tersebut.
Sebenarnya cairan apakah itu" Apakah cairan darah segar"
Tidak kuasa lagi Tu Siau-thian mencelupkan jari tangannya,
dia merasa cairan itu dingin sekali, jari tangannya seolah
sedang direndamkan ke dalam air dingin.
Cepat Tu Siau-thian menarik kembali tangannya, ternyata
cairan merah itu segera menodai ujung jarinya, seakan baru
saja dia celupkan tangannya ditengah cairan pewarna.
Ketika jari tangan itu didekatkan ke lubang hidung, segera
terendus bau busuk yang aneh sekali.
Tu Siau-thian tidak bisa menyimpulkan cairan apakah itu.
----jangan jangan cairan itu adalah bahan minuman untuk
kawanan Laron Penghisap darah" Kalau benar, cairan apakah
itu" Baru saja satu ingatan melintas dalam benaknya, kembali
hidungnya mengendus sejenis bau lain yang amat khas,
padahal sejak tadi bau tersebut sudah mendominasi seluruh
ruang penjara bawah tanah itu.
Tapi sekarang Tu Siau-thian baru menyadari akan hal itu.
Dengan penuh rasa ingin tahu dia mulai memeriksa
sekeliling tempat itu, berasal dari mana bau khas yang aneh
itu" Ketika dia mulai memeriksa dinding disekitar penjara,
terlihat disitu banyak tertumpuk daun-daunan dan bunga yang
sudah layu. Sebagian besar sisa bunga sudah layu dan kusut, tapi
masih kelihatan dengan jelas kalau bunga itu berwarna
kuning. Mungkinkah bunga itu adalah bunga aneh yang
tumbuh di halaman belakang rumah penginapan"
525 Sekarang Tu Siau-thian baru menyadari kalau bau aneh itu
berasal dari bau harumnya bunga, jangan-jangan bungabungaan
itu adalah makanan utama kawanan Laron Penghisap
darah" Dia mulai memeriksa seputar tempat itu, namun tidak
nampak sepotong tulang belulang pun disitu, juga tidak
terlihat adanya kerangka binatang yang tertinggal disana.
Jika bunga-bungaan itu bukan makanan utama kawanan
Laron Penghisap darah, kenapa tumbuhan itu harus diletakkan
dalam penjara bawah tanah.
------ atau mungkin ada sebagian Laron Penghisap darah
yang pemangsa daging, ada pula yang mamalia"
Tu Siau-thian ingin maju mendekat, asal dia bisa mendekati
tumpukan tumbuhan itu maka satu hal lagi yang bisa dia
buktikan.

Laron Pengisap Darah Karya Huang Yin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jika bunga berwarna kuning itu benar adalah bahan
makanan kawanan Laron Penghisap darah, diatas tumpukan
bunga-bungaan itu pasti akan dijumpai Laron Penghisap darah
yang sedang menyantap bunga-bungaan itu.
Bila hal ini bisa dibuktikan maka dia bisa memastikan kalau
pemilik kawanan Laron Penghisap darah itu bukan Kwee Bok
melainkan orang lain......Si Siang-ho!
Kini rasa curiganya terhadap Si Siang-ho meningkat
berpuluh kali lipat.
Dia tahu, bila ingin melakukan penyelidikan maka dia harus
melakukan secepat mungkin, sebab bila sampai Si Siang-ho
balik ke situ, dapat dipastikan orang itu tidak bakalan
melepaskan dirinya dengan begitu saja.
Dia tidak tahu apakah kepandaian silatnya mampu
menandingi Si Siang-ho, tiba-tiba saja dia mulai merasa
bergidik, tiba-tiba muncul perasaan ngerinya terhadap orang
yang bernama Si Siang-ho itu.
526 Rasa seram yang luar biasa membuat dia tidak sanggup
lagi berdiam lebih lama disitu, dia harus meninggalkan tempat
tersebut sesegera mungkin.
Tidak dapat disangkal, apa yang terlihat olehnya sekarang
merupakan sebuah penemuan yang luar biasa, tapi bila
sampai ketahuan Si Siang-ho, maka penemuan besar itu
segera akan berubah kembali menjadi sebuah rahasia.
Dengan terjadinya peristiwa ini, Si Siang-ho pasti akan
merubah semua strateginya, dia pasti akan bekerja lebih hati
hati lagi. Jelas tidak gampang untuk menemukan rahasia sebesar ini,
tidak gampang untuk menemukan tempat rahasia ini.
Bahkan kemungkinan besar rahasia ini akan menjadi
rahasia yang abadi.
0-0-0 Baru saja Tu Siau-thian akan membalikkan tubuhnya, tibatiba
jari telunjuk tangan kirinya terasa sakit sekali.
Tanpa terasa dia mengalihkan sorot matanya ke jari tangan
sendiri, ternyata Laron Penghisap darah yang dicengkeram
dalam tangan kirinya sudah mulai menusukkan jarum tabung
penghisapnya ke dalam kulit badannya.
Dia hampir saja melupakan laron tersebut, karena
kesakitan genggaman tangannya jadi sedikit mengendor,
begitu mengendor laron itupun mulai meronta dengan sekuat
tenaga. Tu Siau-thian segera tertawa dingin, jengeknya sambil
mengencangkan genggamannya: "Satu kali pengalaman sudah lebih dari cukup, kini, biar
raja laron yang jatuh ke tanganku pun jangan harap bisa bisa
meloloskan diri lagi"
527 Mendadak terdengar sebuah suara dari belakang tubuhnya,
suara itu bukan desisan aneh tapi suara manusia, suara yang
menyeramkan hati.
"Bila terlihat olehku, kau pun akan mengalami nasib yang
sama!" suara itu bergema dengan ketusnya.
Dengan perasaan terkesiap Tu Siau-thian berpaling.
Entah sedari kapan, tahu tahu Si Siang-ho sudah berdiri
dimulut masuk penjara!
Dibawah cahaya lentera berwarna putih, paras muka Si
Siang-ho yang sebenarnya sudah memucat kini nampak lebih
putih pucat, sedemikian pucatnya sehingga lebih mirip sesosok
mayat ketimbang manusia.
Mimik muka maupun nada ucapannya sangat dingin
menyeramkan, seluruh badannya seolah diliputi selapis hawa
putih yang tebal......hawa setan!
Tubuhnya tahu-tahu sudah melayang tiba dengan gerakan
yang begitu ringan dan cepat, melayang mendekat bagaikan
sesosok sukma gentayangan yang baru muncul dari dalam
neraka. Kemunculannya memang sangat mendadak dan diluar
dugaan, tidak ubahnya bagaikan sukma gentayangan.
Sekalipun Tu Siau-thian sedang pecah perhatiannya
lantaran jari tangannya digigit Laron Penghisap darah,
bagaimana pun dia memiliki ketajaman mata dan
pendengaran yang luar biasa, tapi kenyataannya sekarang dia
baru sadar setelah Si Siang-ho muncul didepan pintu dan
mulai menegurnya.
Dalam pada itu Si Siang-ho sudah melangkah masuk ke
dalam ruang penjara, lentera minyak yang semula ditangan
kirinya kini entah sudah berada dimana, tapi tangan kanannya
masih menggenggam keranjang bambu.
528 Dalam keranjang bambu itu penuh dengan bunga dan
daun, bunga-bungaan yang tumbuh di halaman belakang
rumah penginapan, daun yang hijau pupus dan bunga yang
berwarna kuning segar.
Bau harum semerbak yang menusuk hidung dengan cepat
tersebar di seluruh ruangan penjara bawah tanah.
Ketika mengendus bau harum semerbak itu, gerak tarian
kawanan laron itupun nampak jauh lebih segar, lebih lincah
dan cepat. Suara dengungan nyaring semakin menggema disekitar
tempat itu. Tidak terlukiskan rasa bingung Tu Siau-thian saat itu,
pikirannya kalut bercampur panik, ditatapnya Si Siang-ho
sekejap lalu tegurnya tanpa sadar:
"Si Siang-ho........"
"Ada apa?" jawab Si Siang-ho dengan wajah yang kaku,
tanpa perubahan mimik muka.
Sebenarnya banyak sekali pertanyaan yang hendak dia
ajukan, namun untuk sesaat dia jadi bingung dan tidak tahu
harus dimulai dari mana.
Si Siang-ho tidak mendesaknya, setelah melirik keranjang
bambunya sekejap, dia berkata:
"Sebenarnya aku sudah bersiap siap untuk tidur nyenyak"
"Sepagi ini kau sudah ingin tidur?" Tu Siau-thian
menanggapi tanpa terasa.
"Tidur lebih awal, tubuh baru akan sehat"
"Semenjak kapan kau mulai perhatikan kesehatan
badanmu"' "Yang pasti bukan sejak saat ini"
529 "Kalau pingin tidur, kenapa tidak tidur saja?"
"Aku tidak bisa tidur"
"Kenapa?"
"Karena ada urusan yang mengganjal pikiranku"
"Pikiran apa yang mengganjal hatimu?"
"Karena bocah-bocah kesayanganku kelewat ribut"
"Maksudmu kawanan Laron Penghisap darah itu?"
"Benar"
"Anak kesayangamu atau kesayangan dari Kwee Bok?"
"Memangnya kau tidak mendengar dengan jelas apa yang
kukatakan?" Si Siang-ho balik bertanya.
Tu Siau-thian seketika terbungkam, dia memang
mendengar perkataan itu secara jelas.
Terdengar Si Siang-ho berkata lebih jauh:
"Sekarang, tentunya kau sudah tahu bukan kalau akulah
pemilik Laron Penghisap darah yang sesungguhnya?"
Dengan perasaan sedikit bimbang Tu Siau-thian
mengangguk, mendadak ujarnya:
"Maukah kau menjawab beberapa pertanyaanku?"
"Boleh saja" jawab Si Siang-ho tanpa berpikir panjang.
Sekali lagi Tu Siau-thian termenung, dia tidak tahu harus
dimulai dari mana.
Melihat orang itu kebingungan, Si Siang-ho segera berkata
duluan: "Apakah kau sudah tahu apa sebabnya kawanan bocah
kesayanganku itu ribut melulu, bahkan luar biasa ributnya?"
"Kenapa?"
530 Si Siang-ho tidak menjawab sebaliknya bertanya lagi:
"Menurut kau, pada saat yang bagaimana watak seseorang
berubah jadi sangat jelek, paling tidak sabaran dan ribut
paling hebat?"
"Ketika merasa sangat lapar"
"Tepat sekali, begitu juga dengan kawanan laron"
"Apakah kau lupa memberi makanan kepada mereka?"
"Berapa hari belakangan aku memang kelewat repot"
"Apa yang kau repotkan?"
"Bolehkah kau ajukan pertanyaan ini nanti saja?"
"Kenapa harus kutunda?"
"Sebab apa yang ingin kukatakan belum selesai
kusampaikan"
Tu Siau-thian menghela napas panjang, dia mengalihkan
kembali pembicaraan ke pokok semula, katanya:
"Padahal aku lihat bocah bocah kesayanganmu itu memiliki
kesabaran yang sangat bagus"
"Oya?"
"Coba berganti aku, tidak mungkin hingga kini baru aku
mulai ribut"
"Bukankah baru sekarang mereka mulai ribut, sebenarnya
selama beberapa hari belakangan ini aku selalu pulang larut
malam, ketika tiba disini badanku sudah kelelahan sehingga
begitu berbaring langsung saja tertidur"
"Jadi hari ini terkecuali?"
"Yaa, hari ini memang terkecuali"
"Maka kau baru teringat kalau sudah berapa hari tidak
memberi makanan kepada mereka?"
531 "Padahal aku sudah menimbun makanan yang cukup
banyak dalam penjara ini, hanya saja setelah lewat berapa
hari, bahan makanan itu berubah jadi layu dan tidak segar
lagi" "Jadi mereka pun bisa memilih makanan?" tanya Tu Siauthian
keheranan. "Mereka tidak berbeda dengan manusia"
"Makhluk itu memang aneh sekali" Tu Siau-thian gelengkan
kepalanya berulang kali, "jadi makanan mereka adalah bungabungaan
yang tumbuh di belakang halaman itu?"
"Benar" sahut Si Siang-ho, sorot matanya dialihkan keatas
keranjang bambunya, "Sebetulnya aku berencana untuk
memenuhi keranjang bambu ini dengan bahan makanan"
Sekarang Tu Siau-thian baru melihat kalau keranjang
bambu itu belum penuh isinya, tanpa terasa tanyanya:
"Kenapa kau tidak memenuhi keranjangmu itu?"
"Karena sewaktu aku sedang memetik bunga, tiba-tiba ada
seekor Laron Penghisap darah yang terbang keluar"
"Apa urusannya dengan memetik bunga?"
"Kau toch mengerti juga bahwa mereka adalah makhluk
yang berasal dari hutan seputar wilayah Siau-siang, punya
daya hidup yang kuat dan sangat berbeda dengan jenis laron
biasa, tidak takut matahari dan selalu berkeluyuran di alam
terbuka sekalipun matahari sedang teriknya, sekalipun sudah
terkurung pun mereka tetap akan terbang dan terbang terus
hingga kelelahan bila menjumpai kesempatan"
Setelah berhenti sejenak, lanjutnya: "Walaupun mereka
adalah makhluk liar, namun setelah kulatih dalam jangka
waktu yang lama, serangga itu sudah taat dengan perintahku,
maka walaupun pintu penjara berada dalam keadaan terbuka
532 pun kalau bukan ada sesuatu yang mengejutkan mereka, tidak
nanti mereka akan terbang keluar dari situ"
"Benarkah begitu?"
"Maka aku segera tahu kalau ada orang yang menyusup
masuk ke dalam penjara secara diam-diam"
"Darimana kau bisa tahu kalau pasti manusia dan bukan
seekor tikus?"
"Karena disekeliling pintu masuk sudah diberi sejenis obat
anti ular, tikus dan binatang liar lainnya"
"Kadangkala obat semacam itu toch belum tentu
berkasiat?"
Si Siang-ho tidak menyangkal.
"Bisa saja yang menerjang masuk ke dalam penjara adalah
seekor kucing atau seekor anjing?" kata Tu Siau-thian lebih
jauh. "Disini tidak ada kucing dan anjing"
"Tapi rumah tetangga pasti memelihara ke dua jenis
binatang peliharaan itu"
"Aku tahu, kalau tidak ada kucing dan anjing, mana bisa
tempat ini disebut sebuah dusun?"
Setelah tertawa ewa lanjutnya:
"Sekalipun memang ada kucing atau anjing yang diamdiam
menyusup masuk, aku tetap akan balik kemari untuk
melakukan pemeriksaan"
Sekali lagi Tu Siau-thian menghela napas panjang tanpa
bisa berkata apapun.
Si Siang-ho berkata lagi sambil tertawa:
"Kalau aku tidak balik kemari, darimana bisa tahu kalau
yang menyusup masuk itu anjing atau manusia?"
533 Kembali Tu Siau-thian menghela napas panjang.
"Sejak awal aku memang selalu bertindak sangat hati-hati"
katanya, "aku tidak bermaksud mengusik mereka, juga tidak
berniat mengejutkan mereka."
"Aku tahu kau pasti akan berbuat sangat hati-hati"
"Nyali mereka memang kelewat kecil, padahal aku hanya
bermaksud menyentuh cairan mirip darah yang ada dimeja
untuk diperiksa cairan apakah itu, siapa sangka mereka jadi
ketakutan sehingga ada yang kabur keluar dari penjara"
"Apakah pada mulanya kau tidak melihat jika mereka
sedang berada diatas permukaan meja?"
"Sama sekali tidak kulihat"
"Bukankah selama ini kau memiliki sepasang mata yang
sangat tajam?"
"Maklumlah, apa mau dikata jika warna mereka sangat
mirip dengan warna dari permukaan meja itu"
"Ketika masih hidup di hutan belukar wilayah Siau-siang,
mereka sangat gemar hinggap di benda-benda yang memiliki
warna hampir mirip dengan warna tubuh mereka, sebab
kawanan laron itu sadar bahwa mereka tidak memiliki


Laron Pengisap Darah Karya Huang Yin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kekuatan yang cukup untuk melawan serangan musuh, karena
itulah mereka melindungi diri dengan cara demikian, selain
untuk mengelabuhi pandangan mata musuh, juga bisa untuk
menyelamatkan jiwa sendiri"
"Apakah jarum tabung penghisap yang mereka miliki
merupakan senjata andalan mereka yang paling lihay?" tidak
tahan Tu Siau-thian bertanya.
Si Siang-ho kembali tertawa, kali ini senyumannya kelihatan
sangat aneh dan penuh misteri, ujarnya seraya tertawa:
"Jadi kau mengira mereka benar-benar bisa mengunyah
daging dan menghisap darah?"
534 "Memangnya tidak mampu?"
Si Siang-ho hanya tertawa tanpa menjawab, dia segera
mengalihkan pembicaraan, tanyanya:
"Ada urusan apa secara tiba-tiba kau datang kemari?"
"Tentu saja untuk menyelidiki rahasiamu"
"Rahasiaku?"
"Termasuk rahasia Laron Penghisap darah milikmu!" sahut
Tu Siau-thian sambil mengangguk.
"Sejak kapan kau mulai curiga kalau aku punya hubungan
yang erat dengan kawanan Laron Penghisap darah itu?"
"Sudah semenjak awal"
"Sejak kapan?"
"Sejak pertama kali memasuki tempat tinggalmu ini, aku
sudah mulai menaruh curiga kepadamu"
"Memangnya sejak awal aku sudah melakukan kesalahan
yang mengundang kecurigaanmu?" tanya Si Siang-ho
keheranan. Tu Siau-thian mengangguk.
"Kesalahan apa?" desak Si Siang-ho lebih jauh.
Tu Siau-thian tidak mampu memberikan jawabannya.
Si Siang-ho memandang wajahnya sekejap, tiba-tiba dia
gelengkan kepalanya seraya menghela napas panjang.
Tu Siau-thian yang menyaksikan hal itu jadi keheranan,
tanyanya tercengang:
"Persoalan apa yang membuat kau menghela napas?"
Sekali lagi Si Siang-ho menghela napas panjang, katanya:
"Sebetulnya kau adalah seorang lelaki yang jujur dan polos,
kenapa sekarang bisa berubah menjadi licik dan banyak akal?"
535 Tu Siau-thian melengak, dia seperti tidak menduga akan
mendengar perkataan itu.
Kembali Si Siang-ho menatap wajahnya tajam tajam,
ujarnya lebih jauh:
"Kalau dilihat dari lagakmu, seakan akan sama sekali tidak
ada kejadian apa-apa"
Tampaknya Tu Siau-thian semakin tidak memahami
maksud perkataan dari Si Siang-ho itu.
"Sayangnya" ujar Si Siang-ho lagi, "walaupun mimik
mukamu tampil sempurna, namun kemampuanmu untuk
berbohong masih ketinggalan jauh"
Kembali Tu Siau-thian berdiri tertegun.
Si Siang-ho berkata lebih jauh:
"Kalau kau ingin berhasil membohongi orang lain, kau
harus belajar membohongi dirimu sendiri, bila kau sendiripun
percaya dengan kata bohongmu, orang lain pasti akan percaya
juga dengan kebohonganmu"
Kuatir Tu Siau-thian tidak memahami perkataannya, dia
segera memberi penjelasan lebih jauh:
"Maksud perkataanku adalah kau mesti membuat diri
sendiri yakin terlebih dulu sebelum berbicara dengan orang
lain, bohong itu nampaknya mudah, padahal tidak gampang"
"Oya?"
"Sebab tidak bisa dibilang diri sendiri percaya lalu orangpun
langsung percaya, kau mesti bisa menaklukkan diri sendiri
terlebih dulu sebelum bisa menaklukkan orang lain"
"Mempercayai perkataan sendiri jelas merupakan satu
keharusan, apa urusannya orang lain mau percaya atau
tidak?" "Jelas besar sekali hubungannya"
536 "Aku percaya atau tidak dengan perkataan sendiri hanya
aku sendiri yang tahu, kecuali diutarakan keluar siapa pula
yang bakal tahu?"
"Kau punya teman?" tiba-tiba Si Siang-ho bertanya.
"Tentu saja punya, banyak sekali"
"Sahabat karib?" kembali Si Siang-ho bertanya.
"Ada juga!"
"Ketika kau sedang berbohong atau tidak, mampukah
sahabat karibmu membedakannya?"
"Mungkin saja mereka mampu" sahut Tu Siau-thian cepat,
setelah tertawa lanjutnya, "tapi sayang kau bukan sahabat
karibku" "Tapi kalau mendengarkan perkataanmu tadi, tidak usah
sahabat karibmu, teman biasa pun sudah mampu untuk
membedakan apakah kau sedang berbohong atau tidak"
"Kenapa?" tanya Tu Siau-thian tercengang.
"Dengan watakmu itu, jika semenjak awal sudah menaruh
curiga, kenapa baru sekarang kau lakukan penyelidikan?"
Tu Siau-thian tidak langsung menjawab, dia awasi wajah Si
Siang-ho berulang kali kemudian baru ujarnya:
"Dulu maupun sekarang kau bukanlah sahabatku, bahkan
teman biasa pun bukan......."
Si Siang-ho tidak berkomentar, kali ini dia hanya
membungkam. "Darimana kau bisa mengetahui watakku dengan begitu
jelas?" ujar Tu Siau-thian lebih jauh, "aneh, sungguh aneh,
kejadian ini memang sangat mengherankan"
"Bukan hanya persoalan itu saja yang aneh, masih banyak"
"Oya?"
537 "Aku bahkan juga tahu kalau kau selalu senang
bergelandangan seorang diri, tidak terkecuali pula dengan
kehadiranmu kali ini"
Dalam hati kecilnya Tu Siau-thian merasa amat terkesiap,
tapi dia berusaha untuk bersikap tenang, katanya sambil
tertawa hambar:
"Betul, aku memang suka bekerja seorang diri, tidak
terkecuali kali ini"
"Benarkah begitu?"
"Aku tahu, sekali melangkah masuk kemari maka besar
kemungkinan jiwaku akan terancam bahaya maut, sebagai
orang yang bekerja sangat hati-hati, memangnya aku tidak
melakukan persiapan apa pun?"
Tiba-tiba Si Siang-ho tertawa, jengeknya: "Sekalipun apa
yang kau katakan merupakan kenyataan, aku pun tidak
bakalan membiarkan kau pergi dari sini dalam keadaan hidup"
Selesai berkata dia mulai menggeserkan tubuhnya dan
maju ke depan, satu langkah, dua langkah......
Dengan mata melotot Tu Siau-thian mengawasi terus gerak
gerik Si Siang-ho, tanpa terasa dia mundur satu langkah, dua
langkah.......mendadak Si Siang-ho menghentikan langkahnya.
Pintu rahasia di belakang tubuhnya tiba-tiba menutup
rapat, menutup rapat tanpa menimbulkan sedikit suara pun,
kini belakang tubuhnya pun telah berubah persis seperti
warna dinding lainnya.
Sekarang seluruh penjara bawah tanah itu berubah
bagaikan sebuah angkasa luas, langit nan biru, langit yang
dicekam dalam kegelapan malam.
Dibawah sinar lentera yang mirip dengan cahaya rembulan,
mereka berdua seakan akan sedang berada di sebuah tempat
538 yang sepi, alas yang jauh dari pemukiman, hening, sepi dan
menyeramkan. 0-0-0 Dibawah cahaya rembulan, tampak segerombolan Laron
Penghisap darah beterbangan dan menari-nari dibawah
cahaya yang redup, suara sayap mereka yang mendengung
keras mirip sekali dengan gelak tertawa setan iblis.
Tu Siau-thian merasa dirinya seakan akan sudah
terjerumus ke dalam dunia iblis.
------mungkinkah Si Siang-ho adalah setan iblis penghuni
dunia iblis"
Berpikir sampai kesitu tanpa terasa Tu Siau-thian
merasakan hatinya bergidik, bulu romanya pada bangun
berdiri. Tangannya sudah mulai menggenggam kencang gagang
golok, sepasang matanya yang melotot besar mengawasi
gerak gerik Si Siang-ho tanpa berkedip.
Waktu itu sepasang mata Si Siang-ho sedang mengawasi
rembulan ditengah angkasa, sepasang matanya kelihatan
penuh dengan garis merah, mukanya yang pucat membuat
penampilannya bertambah menyeramkan.
Tiba-tiba terdengar dia menghela napas panjang sembari
bergumam: "Mengapa kau tidak pergi ke tempat yang lain, mengapa
kau justru mendatangi tempat rahasia ku ini?"
Tu Siau-thian tertawa getir, dia sendiripun tidak tahu
bagaimana mesti menjawab pertanyaan itu.
Kembali Si Siang-ho berkata sambil menghela napas:
"Sebetulnya aku sama sekali tidak berminat untuk
membunuhmu, tapi sekarang kau telah menemukan tempat
539 rahasiaku ini, tahu banyak tentang rahasiaku, selain membuat
mulutmu terbungkam untuk selamanya, aku tidak menemukan
cara lain yang lebih bagus"
"Aaai, aku sendiripun tidak menemukan, kalau tidak pasti
akan kuberitahukan kepadamu" kata Tu Siau-thian pula sambil
menghela napas.
"Jadi kau setuju kalau aku menghabisi nyawamu?" tanya Si
Siang-ho sambil tersenyum.
"Memangnya kalau kukatakan tidak setuju lalu kau tidak
jadi membunuhku?"
"Tentu saja tidak mungkin"
Tu Siau-thian tertawa hambar, dia alihkan pembicaraan ke
soal lain, katanya:
"Kau mengetahui begitu jelas tentang watakku, apakah
kaupun mengetahui dengan jelas kemampuan ilmu silatku?"
"Benar, aku tahu dengan jelas"
"Berapa besar keyakinanmu untuk membunuh aku?"
"Dua belas bagian!"
"Jadi kau sangat yakin........" tanpa terasa Tu Siau-thian
berseru dengan wajah melengak, "darimana kau bisa
mengetahui ilmu silatku sejelas itu?"
"Sekarang kau boleh saja tidak percaya dengan
perkataanku"
"Dulu kita tidak pernah saling mengenal, antara kita
berduapun tidak pernah terlibat dalam pertarungan sengit,
selain itu kaupun tidak akan menduga kalau kasus tentang
kematian Jui Pak-hay akan terjatuh ke tanganku, tidak ada
alasan kau sudah menyelidiki kemampuan ilmu silatku sejak
awal, tidak mungkin kau bisa menduga sejak awal bakal
berhadapan denganku"
540 "Jika sebelumnya kita tidak pernah saling mengenal,
memang tidak ada alasan bagiku untuk berbuat begitu"
"Jadi sudah kau duga sejak awal?"
"Tidak"
Tu Siau-thian termenung, lama kemudian dia baru berkata:
"Kalau dibilang kita pernah saling mengenal, rasanya aku
tidak punya kesan apa pun tentang dirimu"
"Dalam waktu singkat kau akan mengetahui segalagalanya"
"Oya?"
"Kalau sudah menjadi sukma gentayangan, kau pasti akan
tahu dengan jelas semua kejadian masa lampau maupun
kejadian yang akan datang"
Sekarang Tu Siau-thian baru mengerti apa yang
dimaksudkan, diapun tertawa hambar.
"Jelek-jelek begini aku tidak terhitung orang jahat,
kebanyakan yang mati diujung golokku pun terhitung orang
jahat, jadi biarpun harus mati nanti, kemungkinan masuk ke
dalam neraka mah kecil sekali"
"Aku hanya sebatas menghantar keberangkatanmu saja,
soal lancar atau tidak tiba di alam baka, sama sekali tidak ada
urusannya dengan aku"
"Soal ini aku mengerti" Tu Siau-thian tertawa.
Kemudian setelah berhenti sejenak, terusnya: "Sekarang
akupun sudah mengerti kenapa baru saja tampilkan diri, kau
sudah mengetahui begitu jelas tentang diriku"
"Aku tahu kau memang orang yang pintar"
"Sekarang tentunya kau bisa menjawab pertanyaanku yang
lain bukan?" "Tidak bisa"
541 Kembali Tu Siau-thian tertegun.
"Aku tahu pertanyaanmu akan dimulai dari soal yang
mana" kata Si Siang-ho lagi.
Tu Siau-thian mengangguk, baru saja dia akan bicara, Si
Siang-ho sudah mendahuluinya:
"Sayang mulai sekarang aku sudah tidak ingin menjawab
pertanyaan apa pun darimu"
"Kenapa?"
"Karena aku pun seorang yang pintar"
Tu Siau-thian tidak mengerti.
"Orang pintar tidak akan melakukan perbuatan bodoh"
kembali Si Siang-ho berkata.
Tu Siau-thian masih juga tidak mengerti.
"Sekarang aku mulai sadar, sebetulnya tidak ada alasan
bagiku untuk banyak bicara lagi denganmu" kata Si Siang-ho
lagi. "Kenapa?"
"Karena sebentar lagi kau akan jadi sesosok mayat!"
"Oooh, rupanya karena alasan ini"
"Benar, sudah tidak ada artinya lagi untuk bicara
denganmu" Tu Siau-thian turut menghela napas panjang.
"Kalau didengar dari nada pembicaraanku, seakan malam
ini sembilan puluh persen aku pasti bakal mati?" tanyanya.
"Kalau hanya sembilan puluh persen berarti kau masih
punya sepuluh persen harapan hidup, sayangnya satu persen


Laron Pengisap Darah Karya Huang Yin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pun kau sudah tidak punyai"
542 "Kalau memang begitu, kau harus menjawab dulu
pertanyaanku"
"Kenapa?"
"Sebab kalau tidak mana mungkin aku bisa mati dengan
mata terpejam, sedang kau mana mungkin bisa merasa
bangga?" "Perkataanmu memang benar, sayang urusan ini kelewat
rumit" "Tidak jadi masalah, jelaskan pelan pelan, toch aku sudah
berada dalam cengkeraman mautmu, cukup waktu untuk
berbicara"
"Tapi sayang kesabaranku terbatas. Apalagi selama aku
berbicara panjang lebar, kau akan mempunyai kesempatan
untuk melancarkan bokongan"
"Jangan kuatir, aku berjanji tidak akan menggunakan
kesempatan untuk melancarkan bokongan, apalagi sebelum
kau selesai memberi penjelasan"
Si Siang-ho hanya tertawa tanpa menjawab.
"Jangan kuatir" kembali Tu Siau-thian berkata, "aku selalu
pegang janji"
"Aku tahu, Cuma....."
"Cuma kenapa?"
"Buat apa aku mesti nyerempet bahaya?"
Tu Siau-thian segera menghela napas panjang dan
membungkam. Kembali Si Siang-ho berkata:
"Apalagi pada akhirnya kau toch bakal mati, kenapa aku
mesti buang waktu?"
543 "Kau tidak kuatir sukmaku gentayangan terus dan selalu
mengganggumu?"
"Hahahaha...... jadi kau anggap di dunia ini benar-benar
terdapat setan iblis atau siluman?" Si Siang-ho tertawa
tergelak. "Memangnya tidak ada?"
"Hahahaha..... aku justru berharap di dunia ini benar-benar
terdapat setan iblis" mendadak nada suara Si Siang-ho
berubah jadi dingin dan menyeramkan.
Tu Siau-thian melengak.
Bab 29. Pertarungan pedang melawan golok.
Kembali Si Siang-ho berkata:
"Sejak dilahirkan hingga detik ini, aku belum pernah
menjumpai setan atau iblis, kalau memang bisa bertemu setan
iblis, kenapa aku harus lewatkan kesempatan baik ini?"
Tu Siau-thian hanya tertawa getir tanpa menjawab.
Si Siang-ho berkata lebih jauh: "Seandainya kau benarbenar
jadi setan gentayangan setelah mati nanti, jangan lupa,
datang dan carilah aku terlebih dulu"
Menghadapi perkataan semacam ini, Tu Siau-thian tidak
bisa berbuat lain kecuali tertawa getir.
"Silahkan!" kembali Si Siang-ho berkata. Tu Siau-thian
segera mencabut keluar goloknya sementara tubuhnya masih
berdiri tegap dihadapan meja.
Suara dengungan nyaring bergema lagi dalam ruangan,
beberapa ekor Laron Penghisap darah terlihat menempel
diatas tubuh golok.
544 Tidak lama kemudian seluruh golok itu sudah dipenuhi oleh
laron-laron yang hinggap disitu, kini golok tersebut telah
berubah jadi sebilah golok laron. Tidak kuasa Tu Siau-thian
merasa hatinya bergidik.
Mendadak dia membentak nyaring, dengan menyalurkan
tenaga dalamnya ke pergelangan tangan kanan, dia lepaskan
beberapa kali bacokan ke tengah udara.
Bentakan yang keras dalam ruang penjara yang tertutup
rapat kontan saja menimbulkan suara pantulan yang amat
nyaring. Seketika itu juga laron-laron Penghisap darah yang
menempel diatas golok itu tersentak kaget dan beterbangan di
angkasa. Ketika Tu Siau-thian menarik kembali senjatanya, bercak
darah telah menghiasi mata golok tersebut.
Rupanya diantara ayunan goloknya tadi, ada berapa ekor
Laron Penghisap darah yang terpapas oleh senjatanya, darah
laron kontan saja menodai mata goloknya, darah segar
berwarna merah!
Bau busuk yang memuakkan segera berhamburan di udara
dan menyelimuti seluruh ruangan.
Tu Siau-thian tidak berani berayal, sinar matanya tidak
pernah bergeser dari wajah Si Siang-ho, dia kuatir musuhnya
melancarkan serangan bokongan, sebab saat seperti itu
merupakan kesempatan yang sangat baik baginya untuk
menyerang. Tapi Si Siang-ho seakan tidak pandai manfaatkan
kesempatan, atau mungkin dia punya rencana lain yang jauh
lebih hebat, pada hakekatnya dia tidak pandang sebelah mata
pun terhadap Tu Siau-thian.
Dia menunggu terus sampai Tu Siau-thian menarik kembali
goloknya, kemudian baru menegur sambil tertawa:
545 "Ternyata ilmu silatmu hanya begitu saja......."
Tu Siau-thian membungkam, tapi kewaspadaannya
semakin ditingkatkan.
Tiba-tiba Si Siang-ho menarik kembali senyumannya,
diiringi bentakan nyaring dia mengayunkan tangannya ke
depan, keranjang bambu yang semula digenggamnya itu tahu
tahu sudah disambitkan ke arah lawan.
Tu Siau-thian mendengus dingin, goloknya sekali lagi
membabat ke muka.
"Sreeet!" keranjang bambu itu seketika terbelah jadi dua.
Bunga berwarna kuning yang berada dalam keranjang
bambu itu segera berceceran di udara dan menimpa kepala Tu
Siau-thian, bau harum semerbak memenuhi seluruh ruangan.
Si Siang-ho ternyata tidak bohong, bunga itu memang
makanan utama kawanan Laron Penghisap darah itu, sebab
ketika bunga-bungaan itu berguguran ke bawah dan menimpa
tubuh Tu Siau-thian, kawanan makhluk itu langsung menyerbu
ke depan dan berebut bunga-bungaan tersebut.
Buru-buru Tu Siau-thian mundur ke belakang, dia tidak
ingin menjadi mangsa makhluk menyeramkan ini.
Si Siang-ho membuang sisa keranjang bambu yang ada di
tangannya, kemudian dia mulai bergeser lagi merangsek maju
ke depan. Belakang tubuh Tu Siau-thian adalah sebuah meja, ketika
dia mundur setengah depa lagi ke belakang, punggung
badannya seketika menempel ditepi meja itu.
Baru saja dia akan bergeser, kawanan laron itu sudah
mengejar tiba dan menyambar ke arah tubuhnya dimana
bunga kuning sedang berhamburan.
Sebenarnya saat ini merupakan kesempatan yang sangat
baik bagi Si Siang-ho untuk melancarkan serangan, sebab
546 waktu itu musuhnya sedang kelimpungan menghadapi
serbuan kawanan laron.
Tapi kejadian aneh kembali berlangsung, bukan saja Si
Siang-ho tidak mengejar lebih jauh, bahkan dia pun tidak
melakukan gerakan apapun.
Apakah dia dibuat kaget oleh bentakan nyaring dari Tu
Siau-thian tadi" Atau dia sedang mempersiapkan rencana lain"
0-0-0 Dalam waktu singkat paling tidak ada dua-tiga puluh ekor
Laron Penghisap darah yang hinggap ditubuh dan pakaian Tu
Siau-thian, malah ada seekor yang hinggap diatas telinganya.
Tapi Tu Siau-thian tidak menggubrisnya bahkan tidak
melakukan langkah apapun, sorot matanya hanya tertuju ke
wajah Si Siang-ho seorang.
Kendatipun lawannya telah menghentikan langkah
majunya, tapi dia masih mengawasi terus lawannya dengan
hati hati, dia sudah menangkap hawa napsu membunuh yang
menakutkan memancar keluar dari balik matanya.
Tidak ada angin yang berhembus lewat, langit serasa sudah
membeku, bau busuk aneh yang menyesakkan dada nyaris
membuat pernapasan orang serasa tersumbat.
Tu Siau-thian masih berdiri tidak bergerak, golok
ditangannya masih digenggam erat erat.
Dia berusaha menenangkan gejolak perasaan hatinya
sementara sepasang matanya mengawasi terus wajah Si
Siang-ho tanpa berkedip.
Sementara itu Si Siang-ho juga sedang mengawasi wajah
Tu Siau-thian tanpa berkedip, hawa napsu membunuh yang
terpancar keluar makin lama semakin bertambah tebal.
Dia sudah mulai menggerakkan sepasang tangannya,
tangan kiri menyapu ke muka sedang tangan kanan
547 mengebaskan ujung bajunya, setiap gerakan dilakukan sangat
lamban dan aneh sekali.
Tu Siau-thian menggenggam goloknya semakin kencang.
Apa yang sedang dilakukan Si Siang-ho saat itu" Apakah
gerakan tangannya itu menandakan kalau dia sedang bersiap
sedia melancarkan serangan"
Tapi hingga sekarang dia belum juga turun tangan" Apa
yang sedang dia nantikan"
Sementara masih tercengang oleh tingkah laku musuhnya,
tiba-tiba Tu Siau-thian merasaan telinga kirinya sakit sekali,
sekarang dia baru teringat kalau ada seekor Laron Penghisap
darah sudah hinggap diujung telinganya.
Tampaknya laron itu sudah menusukkan jarum
penghisapnya menembusi kulit telinga dan mulai menghisap
darahnya..... Buru-buru dia kebaskan tangannya keatas telinga, Plaaak!
Laron Penghisap darah itu terhajar telak dan rontok ke tanah.
Pada saat itulah......"Criiing!" Si Siang-ho telah meloloskan
sebilah pedang, suara dentingan itu berasal dari sarung
pedangnya. Pedang itu panjangnya tiga depa, sebilah pedang lembek,
lebarnya tidak sampai dua jari dan memancarkan sinar tajam
ketika tertimpa cahaya rembulan.
Kini Tu Siau-thian tidak berani memperdulikan hal yang
lain, dia pusatkan seluruh perhatiannya ke arah lawan.
Si Siang-ho sudah menghunus senjatanya, setiap saat
serangan mematikan akan dilancarkan, tentu saja dia tidak
berani gegabah!
Kini senjata sudah berada dalam genggaman, tapi Si Siangho
belum juga turun tangan.
548 Melihat hal itu tidak tahan Tu Siau-thian segera menegur:
"Bukankah kau siap membunuhku?"
"Apa yang telah kuputuskan, tidak pernah akan ku rubah!"
"Kenapa belum juga turun tangan?"
"Karena aku sedang menunggu kau turun tangan terlebih
dulu" "Akupun sedang menunggumu turun tangan lebih dulu"
balas Tu Siau-thian.
"Kita tidak perlu sungkan-sungkan dan saling mengalah,
sampai kapan pertarungan baru bisa dilangsungkan?"
"Itulah sebabnya lebih baik kau lancarkan serangan terlebih
dulu!" "Baik!" begitu selesai bicara Si Siang-ho segera membentak
nyaring, bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya, dia
melesat ke udara dan langsung menusuk tubuh Tu Siau-thian
dengan sebuah serangan kilat.
Sungguh dahsyat tenaga serangan itu, belum lagi mata
pedang mendekati sasaran, hawa serangan sudah menekan
datang dengan dahsyatnya.
Tu Siau-thian tahu kehebatan orang, dari desingan angin
serangan dia sudah tahu kalau musuh yang dihadapinya amat
tangguh. "Serangan hebat!" pujinya sambil merendahkan tubuhnya
ke bawah. "Blukkk!" dia menjatuhkan diri berguling ke tanah, lalu
dengan secepat kilat tubuhnya bergulingan mendekati tubuh
Si Siang-ho. Bersamaan dengan gerakan tubuh itu, goloknya langsung
menyambar ke samping menyapu sepasang kaki lawannya,
inilah salah satu gerak serangan dari ilmu sapuan goloknya.
549 Ilmu yang paling dia andalkan memang ilmu sapuan golok,
maka sekali menggelinding paling tidak dia telah melepaskan
enam belas buah sapuan.
Tapi sayang semua serangannya mengenai sasaran kosong,
tidak satu pun yang berhasil menyentuh sepasang kaki lawan.
Si Siang-ho melejit ke tengah udara, bagaikan seekor alapalap
dia menyambar ke bawah, pedangnya langsung menusuk
tulang rusuk sebelah kiri Tu Siau-thian.
Dalam waktu singkat dia telah melepaskan tiga buah
tusukan berantai, satu menusuk ke depan, satu ke belakang
kemudian satu dari atas, tapi semuanya tidak mengenai
sasaran. Sekalipun begitu ternyata Tu Siau-thian tidak mampu
berdiri tegak, dia dipaksa untuk berguling terus dibawah
sambil tiada hentinya melancarkan serangan.
Dalam keadaan begini dia berguling terus, tidak lama
kemudian tubuhnya sudah berguling sampai di depan pintu
penjara bawah tanah itu.
Tadinya pintu itu berwarna biru tapi setelah tertutup rapat
ternyata warnanya berubah seolah menyatu dengan langit nan
gelap, sulit bagi orang untuk membedakan mana yang dinding
dan mana yang pintu.
Masih untung Tu Siau-thian memiliki daya ingat yang
bagus, apalagi sejak pintu itu masih terbuka dia sudah
mengingat baik baik letaknya.
Dengan daya ingatannya yang bagus dia berguling terus
hingga tiba dihadapan pintu rahasia itu, kemudian dengan
sekali lejitan dia sudah melompat bangun.
Kini seluruh tubuhnya sudah menempel diatas pintu rahasia
itu, tanpa menimbulkan sedikit suara pun dia sikut pintu itu
kuat kuat. 550

Laron Pengisap Darah Karya Huang Yin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sayang pintu itu sama sekali bergeming, bukan saja tidak
berhasil dibuka malahan sikutnya lamat-lamat terasa amat
sakit, ternyata pintu itu terbuat dari batu cadas.
Tu Siau-thian merasakan hatinya tercekat, tapi dia tidak
mau menyerah dengan begitu saja, dengan sekuat tenaga dia
dorong pintu itu dengan kedua belah tangannya.
Sama sekali tidak ada reaksi, pintu itu seakan sudah
mengakar disitu, kenyataan ini kontan saja membuat hatinya
semakin tercekat.
"Kau ingin melarikan diri"'' terdengar Si Siang-ho
menjengek dari arah belakang.
"Tentu saja aku harus mencoba" jawab Tu Siau-thian tanpa
berpaling, "sayang aku tidak mampu membuka pintu ini"
Si Siang-ho segera tertawa tergelak.
"Hahaha.... bila kau bisa membuka pintu itu sekehendak
hati mu, percuma aku melatih diri hampir sepuluh tahun
lamanya" "Melatih diri selama sepuluh tahun" Apa yang kau latih?"
"Kau ingin tahu?"
"Kau sedang mempelajari ilmu merancang alat perangkap?"
"Tepat sekali"
Tidak kuasa lagi Tu Siau-thian menghela napas panjang,
bibirnya bergetar seperti ingin menanyakan sesuatu, tapi
belum sempat dia berbicara, Si Siang-ho sudah bicara lebih
dulu: "Sebenarnya masih ada cara lain jika kau ingin pergi
meninggalkan tempat ini"
"Oya" Bagaimana caranya?"
"Paling tidak masih ada sebuah cara yang bisa kau coba"
551 "Aaah, aku tahu cara apa yang kau maksudkan"
"Kau tahu" Bagaimana caranya?" Si Siang-ho seakan tidak
percaya. "Membunuhmu!"
"Hahahaha....... memang sebuah cara yang sangat bagus"
tidak kuasa lagi Si Siang-ho tertawa tergelak, "ternyata kau
memang seseorang yang amat cerdas"
"Aku memang selalu cerdas, dan akupun tahu hanya
dengan cara ini maka semua persoalan akan terselesaikan"
Si Siang-ho segera manggut manggut, rupanya dia sangat
setuju dengan perkataan itu.
"Hanya sayangnya tidak setiap orang sanggup berbuat
demikian" ujar Tu Siau-thian lebih lanjut.
"Kau sendiri bagaimana" Apakah kau merasa sanggup
untuk melakukannya?"
"Biarpun tidak sanggup, aku tetap akan mencobanya"
"Silahkan saja untuk dicoba!"
"Dan untung sekali aku masih mempunyai sebuah cara
untuk menyelamatkan diri"
"Apa caramu itu?"
"Beradu jiwa dengan kau!"
Si Siang-ho segera tertawa tergelak.
"Kenapa tidak segera kau coba?" jengeknya.
Tu Siau-thian tidak banyak bicara lagi, dia segera bergerak
maju mendekati lawannya, kali ini dia yang mengambil posisi
untuk menyerang lebih dahulu.
Meskipun langkah kakinya sangat lambat, namun mimik
mukanya nampak hambar tanpa perasaan, tampaknya dia
sudah bersiap sedia untuk beradu jiwa, karena dia tahu saat
ini hanya cara tersebut yang dia miliki.
552 Dia pun sadar bahwa kemampuan yang dimilikinya belum
mampu menghabisi nyawa Si Siang-ho, sebaliknya untuk
kabur pun masih tanda tanya besar.
Itulah sebabnya Tu Siau-thian segera mengambil
keputusan, bagaimana pun juga, selembar nyawanya memang
harus dipertaruhkan dalam beradu jiwa ini.
0-0-0 "Kegelapan malam" tidak pernah berubah, "cahaya
rembulan" pun masih tetap seperti semula, tidak terjadi
perubahan apa pun ditempat itu.
Bau harumnya bunga berwarna kuning sudah semakin
memudar, kini diantara bau lamat lamarnya bunga mulai
terendus bau amisnya darah, darah dari kawanan Laron
Penghisap darah.
Amisnya darah memancar juga dari tubuh Tu Siau-thian,
ketika dia berguling ditanah sambil melancarkan sapuan tadi,
ada belasan ekor Laron Penghisap darah yang tertindih oleh
tubuhnya dan mati dengan tubuh hancur.
Darah laron membasahi seluruh pakaiannya, bau busuk pun
amat menusuk hidung, tapi anehnya dia bisa bertahan dari
rasa mual di perut, dia tidak sampai muntah karena bau busuk
itu. Sekalipun dia benar-benar ingin tumpah pun sekarang
sudah tidak ada waktu lagi.
Serangan pedang yang dilancarkan Si Siang-ho sudah
melayang tiba dari tengah udara.
Tu Siau-thian segera membentak keras, tubuh berikut
goloknya maju menyongsong datangnya ancaman, dia benarbenar
sudah siap beradu jiwa.
553 Kali ini dia tidak menggunakan ilmu goloknya lagi, golok
yang berada dalam genggamannya memang sudah tidak
memerlukan ilmu golok yang hebat lagi.
Senjata itu diayunkan berulang kali ke kiri kanan,
membacok secara membabi buta, seakan sedang membelah
kayu bakar saja.
Dia berharap bisa membacok Si Siang-ho persis seperti
kayu bakar, membelah tubuhnya jadi dua bagian, membelah
tubuhnya dalam satu kali bacokan.
Serangkaian bacokan telah dia lakukan, walaupun dalam
serangan itu dia berhasil memaksa pedang lawan tersingkir
dari jangkauan tubuhnya, walau berhasil memaksa lawannya
mundur berulang kali, tapi sayang dia tidak berhasil membelah
tubuhnya bagaikan kayu bakar.
Bahkan serangan berantainya tidak berhasil memaksa
langkah musuhnya jadi kalut, tidak berhasil membuatnya
kelabakan. Tu Siau-thian mulai terkesiap, baru saja ingatan itu
melintas lewat, baru saja gerak serangannya sedikit
melambat, Si Siang-ho telah manfaatkan peluang itu dengan
merangsek maju ke depan.
Kembali terlihat cahaya pedang berkelebat lewat, mata
senjata menerobos masuk melalui celah celah bayangan
goloknya, langsung mengancam dada Tu Siau-thian.
Dalam gugupnya buru-buru Tu Siau-thian memutar
goloknya untuk menangkis, "Criiing!" diiringi dentingan
nyaring, tusukan itu seketika terbendung, namun tusukan ke
dua kembali berkelebat lewat.
Begitu mata pedang tertangkis, senjata itu segera
menggulung balik sembari melejit, lagi-lagi dia tusuk dada Tu
Siau-thian. Begitu cepat, begitu gesit serangan itu ibarat
seekor ular berbisa yang siap mematuk mangsanya.
554 Merasa tidak sanggup membendung datangnya tusukan itu,
buru-buru Tu Siau-thian melejit ke samping untuk
menghindarkan diri.
"Sreeet!" ujung pedang menembusi baju diatas bahunya,
untung hanya meninggalkan luka memanjang yang ringan.
Serangan ke tiga kembali menyambar tiba!
Kali ini Tu Siau-thian tidak berkelit maupun menangkis, dia
hanya bergeser mundur ke belakang.
Serangan ke empat dari Si Siang-ho kembali menyusul tiba,
satu kali berhasil menguasahi keadaan, dia tidak sudi
melepasnya kembali.
Ketika serangan ke lima mulai dilontarkan, Tu Siau-thian
sudah tidak mempunyai kesempatan lagi untuk menangkis,
terpaksa dia mundur terus berulang kali.
Tapi Si Siang-ho sama sekali tidak mengendorkan
serangannya, selangkah demi selangkah dia merangsek maju
terus, serangan pedangnya makin cepat, makin ganas dan
semakin keji. Begitu dua belas tusukan lewat, diatas tubuh Tu Siau-thian
telah bertambah dengan sebuah luka dan enam buah lubang
kecil diatas bajunya.
Mulut luka itu tidak terlampau dalam dan berada pada
lengan kirinya, luka semacam ini sama sekali tidak
menimbulkan pengaruh apa apa, satu satunya yang
terpengaruh saat itu hanyalah semangat tempurnya.
Sebenarnya dia bermaksud akan beradu jiwa, tapi sekarang
semangatnya untuk beradu jiwa mulai runtuh.
Kehebatan ilmu silat yang dimiliki lawan jauh diluar
dugaannya. Begitu pertarungan berlangsung, dia sudah
merasakan kalau ilmu silat mereka berbeda sangat banyak,
apalagi setelah menghadapi berapa tusukan pedangnya, dia
555 semakin sadar kalau selisih jarak mereka makin lama makin
bertambah besar.
Dua belas tusukan kemudian dia nyaris dapat memastikan
bahwa hanya tersedia satu jalan saja baginya yaitu kematian,
kendatipun dia berniat beradu nyawa.
Berada dalam keadaan seperti ini, kabur merupakan jalan
yang terbaik, sayang dia tidak berhasil menemukan pintu
keluar disekitar situ.
Masih untung ruang penjara bawah tanah itu cukup luas,
dengan gerakan tubuhnya yang lincah dan gesit dia masih
berhasil menghindarkan diri ke sana kemari.
Tampaknya Si Siang-ho dibikin kewalahan juga oleh ulah
lawannya, mendadak dia menarik kembali serangannya dan
berkata sambil tertawa dingin:
"Bukankah kau berniat untuk beradu jiwa denganku?"
"Kelihatannya aku tidak mampu beradu nyawa lagi, lebih
baik tidak usah beradu lagi" sahut Tu Siau-thian sambil
menghembuskan napas panjang.
Si Siang-ho tertawa dingin.
"Hmmm, kau enggan beradu pun akan mati, beradu juga
tetap mati!" jengeknya.
Sembari tertawa dingin kembali sebuah tusukan
dilancarkan, serangan ini jauh lebih ganas, tajam dan hebat.
Tidak menunggu serangan itu mendekati tubuhnya buruburu
Tu Siau-thian menjatuhkan diri berguling ke atas tanah.
Kali ini dia bukan berguling sambil mengeluarkan ilmu
goloknya, juga tidak berguling untuk mendekati Si Siang-ho,
dia justru berguling ke belakang sebuah meja kemudian baru
melejit bangun.
556 "Sreeet!" kembali sebuah tusukan meluncur tiba melewati
meja, langsung mengancam dadanya.
Buru-buru Tu Siau-thian menangkis dengan goloknya,
sreet, sreeet, sreeet, secara beruntun kembali meluncur
datang tiga buah tusukan pedang.
Dengan mengayunkan goloknya ke kiri dan kanan Tu Siauthian
menangkis dua serangan pertama, tiba-tiba badannya
berjongkok ke bawah dan dia lolos dari serangan yang ke tiga.
Melihat hal itu Si Siang-ho segera tertawa dingin, serunya:
"Jangan dikira dengan adanya meja sebagai penghalang
lalu aku tidak mampu membunuhmu!"
"Paling tidak tidak segampang itu bila ingin membunuhku"
jawab Tu Siau-thian sambil tertawa dingin.
"Benarkah begitu?" kembali sebuah tusukan pedang
dilontarkan. "Serangan bagus" teriak Tu Siau-thian sambil menangkis
tusukan itu dengan goloknya.
Si Siang-ho tertawa dingin, mendadak dia melejit ke tengah
udara, bagaikan seekor burung bangau yang terbang
menembusi awan, dia meluncur turun secepat kilat sambil
melepaskan sebuah tusukan maut.
Buru-buru Tu Siau-thian memutar goloknya untuk
melindungi diri, kemudian dia berputar dari sisi meja yang
satu menuju ke sisi meja yang lain.
Tiga serangan kembali sudah lewat, namun kedua orang itu
tetap terpisah oleh meja yang besar itu.
Si Siang-ho tertawa dingin, sekali lagi dia melejit ke tengah
udara sambil melepaskan tusukan secepat sambaran petir, kali
ini tubuhnya ikut berputar bagaikan gangsingan lalu melayang
turun ke atas permukaan meja itu.
557 Jika dia berhasil berdiri diatas permukaan meja itu, maka
posisinya jadi sangat menguntungkan karena dia bisa
menyerang ke segala arah dengan lebih leluasa.
Tentu saja Tu Siau-thian tidak membiarkan lawannya
berbuat begitu, sambil membentak nyaring dia lancarkan
serangkaian bacokan kilat, dalam waktu singkat dua puluh
satu sapuan golok telah dilontarkan.
Dengan gerakan yang sangat ringan Si Siang-ho
memunahkan semua serangan yang datang ketika berhasil
memunahkan serangan yang ke dua puluh dua, kakinya yang
sebelan telah berhasil menginjak diatas permukaan meja.
Dengan kaki sebelah dia menopang seluruh berat
badannya, sekali lagi pedangnya selincah ular berbisa
menusuk ke tubuh lawan.
Begitu serangan Tu Siau-thian sedikit melambat, kakinya
yang lain cepat cepat menginjak diatas permukaan meja itu.
Kini dia telah berdiri mantap diatas meja, serangan yang
dilancarkan pun makin menghebat dan dahsyat, setelah
membendung lagi dua tusukan golok Tu Siau-thian, dia
membentak keras dan pedangnya langsung menerobos
pertahanan lawan dan rnerangsek lebih ke depan.
Tergopoh gopoh Tu Siau-thian memutar goloknya untuk
menangkis. "Traaang...." golok dan pedang saling beradu keras
sebelum ke dua senjata itu saling mencelat ke belakang,
mendadak pedang lemas milik Si Siang-ho itu bagaikan seekor
ular telah melilit diatas senjata lawan.
Tu Siau-thian amat terkesiap, buru-buru dia menarik
senjatanya ke belakang.
Hampir bersamaan waktunya telapak tangan kiri Si Siangho
segera didorong ke muka, menghajar tubuh Tu Siau-thian.
558 Meskipun selisih jarak mereka berdua amat dekat, bukan
berarti pukulan itu bisa bersarang ditubuh Tu Siau-thian


Laron Pengisap Darah Karya Huang Yin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

secara mudah, sekalipun begitu dahsyatnya angin pukulan
sama saja dapat melukai lawannya.
Tu Siau-thian semakin terkesiap, sakit kagetnya paras
mukanya berubah hebat.
0-0-0 Bab 30. Laron Penghisap darah menari di udara.
Dari balik sela-sela jari tangan Si Siang-ho mendadak
terlihat beberapa titik cahaya tajam berkelewat lewat.
Senjata rahasia! Ternyata diantara pukulan telapak
tangannya, dia sertakan pula serangan dengan senjata
rahasia. Tu Siau-thian sangat terkesiap, belum sempat menjerit
kaget, beberapa bagian dari tubuhnya sudah berlumuran
darah segar. Serangan amgi memang susah dihindari, apalagi
dilancarkan dari jarak sedekat itu.
Keadaan Tu Siau-thian benar benar sangat berbahaya,
dalam keadaan normal saja sudah sulit baginya untuk
menghindari serangan senjata rahasia sebanyak ini apalagi
sekarang goloknya sudah berbelit pedang lawan.
Kekuatan serangan senjata rahasia itu benar benar
mengerikan, begitu menembusi pakaian dan terbenam dalam
daging tubuhnya, dalam waktu singkat Tu Siau-thian telah
berubah jadi manusia darah.
Tujuh delapan macam senjata rahasia yang menghujam
dalam tubuhnya mendatangkan rasa sakit yang luar biasa,
559 seluruh badannya nyaris mengejang keras, jangan lagi tubuh
yang terdiri dari darah daging, manusia baja pun tidak akan
mampu menahan siksaan seperti itu.
Dengan sekali sentakan tangan kanannya, golok milik Tu
Siau-thian sudah mencelat ke udara, meluncur ditengah
"kegelapan malam" dan menancap ditengah "langit nan gelap"
Tu Siau-thian tidak mampu berkutik lagi, dia hanya bisa
berdiri termangu bagaikan sebuah patung, masih untung
senjata rahasia itu tidak menghajar di bagian tubuhnya yang
mematikan sehingga dia tidak sampai roboh ke tanah.
Dengan mata terbelalak lebar, dia awasi wajah Si Siang-ho
tanpa berkedip.
Berada dalam keadaan seperti ini, seandainya Si Siang-ho
mau mencabut nyawanya maka hal ini bisa dia lakukan
segampang membalikkan telapak tangan.
Si Siang-ho tidak melancarkan serangan lagi, dia hanya
berdiri diatas meja batu itu dengan pedang melintang didepan
dada dan ibu jari memegang diujung senjata, dia mengawasi
lawannya dengan senyuman dikulum, senyum penuh ejekan
dan hinaan. Sorot mata Tu Siau-thian sendiripun sangat kalut, dia tidak
tahu harus ketakutan, tercengang atau marah.
Paras mukanya telah semakin memucat, pakaian yang
dikenakan telah berubah jadi merah, basah oleh cucuran
darah segar yang menembusi pakaiannya.
Tampaknya kawanan Laron Penghisap darah yang
beterbangan di udara pun seakan sudah mengendus bau
darah, seekor demi seeekor mulai beterbangan mendekati Tu
Siau-thian dan hinggap ditubuhna.
Darah segar memang merupakan daya tarik yang amat
besar bagi kawanan makhluk tersebut.
560 Apa yang dikerjakan kawanan Laron Penghisap darah itu"
Apakah mereka hingga ditubuh Tu Siau-thian sambil
menghisap darahnya yang meleleh keluar"
Tu Siau-thian tidak menggubris, dia bahkan tidak
merasakan apa apa, dia seakan tidak tahu kalau kawanan
Laron Penghisap darah itu sudah hinggap diatas tubuhnya.
Mimik muka Si Siang-ho nampak sangat aneh, dia memang
sebelumnya sudah nampak aneh.
Kini Tu Siau-thian sendiripun tampil dengan wajah sangat
aneh, mulutnya ternganga seakan hendak mengucapkan
sesuatu namun tidak sepatah kata pun yang terucap keluar.
Akhirnya Si Siang-ho menbuka suara lebih dulu, tanyanya:
"Apa kau anggap aku takabur?"
"Tidak" jawab Tu Siau-thian, suaranya tidak lagi senyaring
tadi. Bila seseorang sudah kehilangan banyak darah, masih bisa
bercakap pun sudah luar biasa.
Kembali Si Siang-ho berkata:
"Sekarang kau sudah tidak bersenjata lagi, tubuhmu pun
sudah terhajar senjata rahasiaku, apa lagi yang bisa kau
perbuat?" "Menunggu mati!"
Saat ini dia memang hanya bisa menunggu mati.
Kontan Si Siang-ho tertawa tergelak. "Hahahaha.... tapi kau
tidak usah kuatir, kujamin kau tidak akan mati dengan
sengsara karena aku tidak pernah melumuri senjata rahasia ku
dengan racun" katanya.
"Aku tahu!" tiba tiba muncul penderitaan yang mendalam
diatas wajah Tu Siau-thian, "biarpun senjata rahasiamu tidak
beracun, namun hatimu benar benar kelewat beracun!"
561 "Hahahaha...... kalau tidak beracun bukan lelaki namanya!"
"Aku sama sekali tidak menyangka......."
"Banyak sekali kejadian yang tidak kau sangka"
Sambil menghela napas Tu Siau-thian manggut manggut,
kembali tanyanya:
"Sebenarnya kenapa kau berbuat begini?"
"Kau sudah hampir mampus, buat apa banyak bertanya?"
"Justru karena aku hampir mati maka harus kutanya sejelas
jelasnya, aku tidak ingin mati dalam keadaan tidak jelas"
"Aku cukup memahami maksud hatimu" Si Siang-ho
menghela napas panjang, "sayang jalan pemikiranku sama
sekali bertolak belakang dengan jalan pikiranmu"
"Bagaimanapun juga aku toch tetap akan mati, apa
salahnya kalau kau jawab berapa pertanyaanku?"
"Sebetulnya aku tidak keberatan, sayang saat ini sudah
tidak banyak waktu lagi"
Tu Siau-thian menghela napas panjang, kali ini helaan
napasnya pun kedengaran begitu lemah dan tidak bertenaga.
Paras mukanya telah berubah semakin pucat, pucat
bagaikan mayat, tubuhnya mulai gontai.
Benda yang berada disekelilingnya seakan sedang
melayang ditengah udara, setiap benda seolah sudah terbelah
jadi dua, termasuk juga Si Siang-ho.
Tu Siau-thian tahu dirinya sudah kehilangan banyak darah,
kesadaran otidaknya mulai kabur, pandangan matanya mulai
kalut. Cepat dia menggigit bibirnya hingga berdarah.
Cucuran darah segar meleleh keluar dari ujung bibirnya,
tapi dia sudah tidak merasakan apa apa, sedikitpun tidak
merasa sakit. 562 Dengan kesadaran yang sedikit pulih dia mencoba
mengangkat wajahnya, tapi apa yang terlihat kembali
membuat hatinya tercekat.
Rupanya Si Siang-ho sudah mengangkat pedangnya
kembali! "Sreeet!" cahaya pedang secepat sambaran petir melesat
ke depan. Tu Siau-thian hanya bisa menyaksikan datangnya sambaran
pedang itu tanpa berkedip, tubuhnya sama sekali tidak
bergerak. Bukan saja dia sudah tidak mengerti bagaimana harus
berkelit, dia pun sudah tidak sanggup lagi untuk
menghindarkan diri.
Tapi dia berusaha keras untuk mengendalikan gejolak
emosinya, mempertahankan tubuhnya agar tidak roboh, dia hanya
bisa mengawasi lawannya dengan pandangan putus asa.
Sebab dia tahu kendatipun bisa lolos dari serangan pedang
yang pertama belum tentu bisa lolos dari serangan yang ke
dua, pada akhirnya dia akan tewas juga diujung senjata Si
Siang-ho. Itulah sebabnya dia sama sekali tidak meronta, dia sudah
pasrah seratus persen.
Si Siang-ho tidak menggubris, dia pun tidak menghentikan
gerak serangannya, jelas ia sudah mengambil keputusan, Tu
Siau-thian harus dibantai.
Pedang menyambar datang dengan kecepatan bagaikan
kilat, langsung menusuk ke dada Tu Siau-thian, percikan
darah berhamburan ke mana mana walau dalam jumlah yang
lebih sedikit. 563 Cairan darah yang tersisa di dalam tubuh Tu Siau-thian
memang sudah tinggal tidak seberapa, sudah banyak mengalir
keluar semenjak tadi.
Dalam waktu singkat dia merasa dadanya seolah tertusuk
oleh sebuah balok salju yang amat dingin, sedemikian
dinginnya membuat darah yang mengalir dalam tubuhnya
seakan mulai membeku.
Kemudian kesadarannya mulai menurun, pandangan
matanya mulai kabur, namun dia belum juga merasakan
kesakitan, rasa sakit akibat tusukan seolah sudah diwakili oleh
kobaran amarah yang masih membara dirongga dadanya.
Kemudian dengan suara parau dia menjerit keras:
"Biar matipun aku mati tidak meram!" Kemudian tubuhnya
roboh terjungkal ke tanah.
Si Siang-ho sudah mencabut keluar pedangnya, sejak tadi
Tu Siau-thian masih bisa berdiri karena dia tertahan oleh
pedang Si Siangho, maka begitu pedang tersebut dicabut
keluar, badannya langsung roboh terjungkal.
0-0-0 Tu Siau-thian tidak langsung mati, dia masih bernapas.
Tusukan pedang dari Si Siang-ho memang tidak ditusukkan
ke bagian tubuhnya yang mematikan.
Apakah pada detik terakhir dia telah berganti haluan" Tiba
tiba tidak ingin melihat Tu Siau-thian mati tidak meram maka
dia urung mencabut nyawanya" Apakah dia berniat
memberitahukan seluruh rahasianya"
Tu Siau-thian tersadar kembali setelah waktu berjalan
cukup lama, dia tersadar oleh rangsangan perasaan hatinya
yang penuh amarah dan penasaran.
564 Walaupun sudah peroleh kembali kesadarannya, namun dia
masih berbaring dengan mata terpejam rapat, serunya dengan
suara parau: "Dimana sekarang aku berada" Apakah sudah berada
dalam neraka?"
Sebuah suara segera muncul dari sampingnya, suara yang
dingin dan ketus:
"Berada dalam neraka atau bukan, kenapa tidak kau
periksa sendiri dengan membuka matamu?"
Tu Siau-thian memaksakan diri untuk membuka mata.
Sekarang kondisi tubuhnya sudah amat lemah, bahkan tenaga
untuk membuka matapun nyaris sudah tidak punya.
Ketika dia membuka matanya maka yang terlihat adalah
kegelapan malam yang dihiasi sebuah rembulan yang pucat.
Daya ingatannya sama sekali belum luntur, dia masih
punya kesan yang sangat mendalam terhadap semua
peristiwa yang menimpanya sebelum pingsan tadi.
Dia segera tahu kalau dirinya masih berada dalam penjara
bawah tanah, masih ada di rumah penginapan Hun-lay.
Tentu saja dia pun tahu kalau langit yang gelap
sesungguhnya hanya langit buatan, rembulan yang bersinar
pucat pun tidak lebih hanya cahaya dari lampu kristal.
Ini berarti dirinya masih hidup di dunia, dengan paksakan
diri dia berpaling, menoleh ke arah mana berasalnya suara itu.
Dia pun menyaksikan Si Siang-ho.
Si Siang-ho masih berdiri disitu dengan tubuh kaku,
ditangan kirinya dia memegang sebuah kotak besi yang
berbentuk kecil memanjang, sementara tangan kanannya
sedang menggenggam sebatang jarum perak sepanjang lima
enam inci. 565 Jarum perak itu membiaskan cahaya yang berkilauan,
ujung jarum nampak sangat aneh karena bentuknya besar dan
mengerikan. Apa kegunaan jarum perak itu" Buat apa Si Siang-ho
menggunakan jarum perak "
Dengan mata melotot Tu Siau-thian awasi wajah Si Siangho,
sorot matanya dipenuhi rasa curiga, keheranan dan rasa
ingin tahu. Tiba tiba Si Siang-ho mendongakkan kepalanya dan tertawa
seram, gelak tertawanya amat menyeramkan, membuat bulu
kuduk pada bangun berdiri.
Tu Siau-thian ingin sekali bangkit dan duduk, tapi sayang
dia tidak mampu berbuat begitu, jangan lagi duduk, ingin
mendongakkan kepalanya pun terasa amat susah.
Pada saat itulah dia merasakan sekujur badannya
mengejang dan kaku, ternyata cairan darah yang ada didalam
tubuhnya sedang dihisap keluar, mengalir keluar terus dengan
amat derasnya. Kemana perginya puluhan ekor Laron Penghisap darah
yang semula beterbangan di tengah "angkasa" itu"
------- Apakah kawanan laron itu sedang hinggap
ditubuhnya" Sedang menghisap darah dalam tubuhnya"
Dengan menggunakan segenap sisa tenaga yang dimiliki Tu
Siau-thian mendongakkan kepalanya.
Ternyata benar! Seluruh Laron Penghisap darah itu sudah
hinggap memenuhi tubuhnya, tubuh yang hijau pupus bagai
pualam dengan mata yang merah bagaikan darah.
Selain itu, tubuhnya juga sudah dipenuhi oleh berpuluh
puluh batang jarum perak yang bentuknya persis sama seperti
jarum perak yang sedang digenggam Si Siang-ho saat itu.
566 Dari ujung jarum yang berbentuk bulat besar itulah darah
segar dari tubuhnya menyembur keluar.
Pucat pias selembar wajah Tu Siau-thian, sekuat tenaga dia
berusaha meronta, dia ingin mencabuti semua jarum perak
yang menancap ditubuhnya itu, dia tidak ingin mati
mengenaskan dalam keadaan seperti ini.
Tapi sayang keinginannya tidak mungkin bisa terkabulkan,


Laron Pengisap Darah Karya Huang Yin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kecuali menggerakkan kepalanya, sepasang tangan maupun
sekujur tubuhnya seolah sudah tidak mau menuruti
perintahnya lagi, seluruh bagian tubuhnya sudah kaku dan
hilang kontrol.
Begitu juga dengan pinggul, dada serta kakinya, bahkan
untuk membalik badannya pun tidak bisa.
Dalam keadaan begini dia hanya bisa menghela napas,
berulang kali menghela napas panjang.
"Ooh, jadi kau tidak ingin mampus dengan cara begini?"
tegur Si Siang-ho setengah mengejek.
"Hanya cucu kura kura yang pingin mampus dengan cara
begini" jawab Tu Siau-thian dengan napas terengah.
"Padahal tidak ada jeleknya untuk mati dalam keadaan
begini, kujamin tidak ada siksaan dan penderitaan yang akan
kau alami"
"Mengapa kau tidak biarkan aku mati secara utuh?"
"Ooh, jadi kau pingin mati secepatnya?"
"Hanya itu saja harapanku, harapan yang terakhir"
Si Siang-ho termenung sejenak, kemudian katanya:
"Kalau mendengar perkataanmu tadi, seakan kalau tidak
kukabulkan permintaanmu itu, aku jadi rada kebangetan?"
567 "Lebih baik cepatlah turun tangan!" kini wajahnya mulai
mengejang, begitu hebatnya mengejang hingga nyaris tidak
berbentuk wajah manusia.
Darah yang dihisap keluar secara perlahan-lahan bukan
sesuatu yang enak untuk dirasakan, betul kematian secara
begini tidak akan tersisa dan menderita, namun tidak bisa
dikatakan sebagai kematian yang nyaman.
Si Siang-ho mengawasi wajahnya sekejap, tiba tiba ia
tertawa. "Kalau kuturuti keinginanmu, maka jadi tidak mirip''
"Mirip apa?"
"Mirip korban yang tewas gara gara dihisap darahnya oleh
Laron Penghisap darah" jawab Si Siang-ho sambil mengawasi
kawanan makhluk itu.
Seakan baru sadar apa yang terjadi Tu Siau-thian segera
berseru: "Jadi itulah sebabnya kau menghisap keluar darah dari
tubuhku?" "Benar!" ternyata Si Siang-ho tidak menyangkal.
"See...sebenarnya apa rencana mu?"
"Tidak ada rencana apa apa, aku hanya ingin orang lain
percaya bahwa kematianmu disebabkan darah dalam tubuhmu
habis dihisap oleh kawanan Laron Penghisap darah"
Tu Siau-thian segera menghela napas panjang, sesaat
kemudian katanya lagi sambil tertawa pedih:
"Aku rasa darah dalam tubuhku saat ini sudah tinggal tidak
seberapa, kenapa kau tidak segera turun tangan?"
Kembali Si Siang-ho memandangnya sekejap, kemudian
sahutnya sambil tertawa:
568 "Baiklah, aku kabulkan permintaanmu!'' Tangan kanannya
segera diayunkan, jarum perak yang berada dalam
genggamannya itu segera meluncur ke depan dengan
kecepatan luar biasa.
Jarum itu melesat diudara, menembusi kegelapan malam,
langsung menghajar kening Tu Siau-thian.
Sebuah sambitan yang langsung merenggut nyawa!
Tu Siau-thian sama sekali tidak menghindar, sekulum
senyuman justru menghiasi bibirnya, dia menyongsong
datangnya kematian dengan
senyuman dikulum.
Berada dalam keadaan seperti ini, bisa mati lebih awal
justru merupakan satu kejadian yang patut disyukuri, paling
tidak bagi dirinya.
Dia tidak memejamkan matanya, dia biarkan matanya
melotot besar, hanya sayang biji matanya sudah tidak memiliki
hawa kehidupan, yang tersisa hanya sorot mata yang bikin
hati bergidik dan perasaan muak.
Si Siang-ho sama sekali tidak terpengaruhi oleh
pemandangan itu, dia malah mengawasi wajah Tu Siau-thian
dengan mata melotot, dia malah tertawa tergelak.
"Hahahaha.......bukankah aku sudah kabulkan
permintaanmu" Kenapa kau masih saja tidak pejamkan
matamu?" Tu Siau-thian sama sekali tidak bereaksi. Orang mati mana
yang bisa memberikan reaksi" Yang nampak saat itu hanya
selapis hawa putih yang seakan keluar dari lubang hidungnya.
Apakah hawa putih itu adalah sukmanya "
Entahlah! 0-0-0 569 Angin masih berhembus kencang, hujan masih turun deras.
Ketika Siang Hu-hoa, Tan Piau dan Yau Kun balik ke kantor
pengadilan, hujan sudah semakin mereda.
Mereka bertiga segera menelusuri jalan setapak langsung
masuk ke ruang utama.
Ko Thian-liok dan Nyo Sin sudah menunggu dalam ruangan
itu, bahkan selain mereka hadir pula tiga orang yang lain.
Dua orang berbaju perwira, mereka adalah pengawal
pribadi Ko Thian-liok yang berdiri disisi kiri kanannya,
sementara yang seorang lagi berdandan seorang kongcu
dengan pakaian yang halus terbuat dari sutera.
Dipandang dari sudut mana pun orang itu tidak mirip
petugas pengadilan, dia pun tidak mirip seorang tamu
terhormat. Tidak ada tamu yang duduk dalam ruang utama dengan
mengenakan topi lebar yang terbuat dari anyaman bambu.
Orang itu mengenakan sebuah topi caping dari anyaman
bambu yang amat besar dan lebar, bahkan sekeliling topi
capingnya dikerudungi pula dengan selembar kain sutera.
Karena wajahnya tersembunyi dibalik kain cadar itu maka
sulit bagi orang ain untuk melihat dengan jelas bagaimana
bentuk wajah aslinya.
Siapakah dia" Apakah orang ini adalah Liong Giok-po"
Sementara Siang Hu-hoa masih mengawasi raut wajah
orang itu, tampaknya orang itupun sedang mengawasi Siang
Hu-hoa. Terdengar Ko Thian-liok menyapa seraya menjura:
"Saudara Siang, cepat amat kehadiranmu"
"Tidak cepat cepat, maaf kalau kalian harus menunggu
lebih lama"
570 "Tidak usah sungkan, silahkan duduk" Siang Hu-hoa tidak
sungkan lagi, dia pun duduk disebuah kursi yang persis saling
berhadapan dengan orang berkerudung itu, sekali lagi dia
awasi wajah orang itu lekat lekat. Terdengar Ko Thian-liok
kembali berkata: "Saudara Siang, dialah Liong Giok-po Liong
kongcu!" "Benarkah?" dari nada suaranya kelihatan kalau dia merasa
sangsi. Ko Thian-liok segera berpaling ke arah Liong Giok-po,
ujarnya pula: "Apakah Liong kongcu masih mempunyai kesan terhadap
saudara Siang?"
Liong Giok-po mengangguk.
"Aku selalu memiliki daya ingat yang baik, khususnya
terhadap orang kenamaan, kecuali tidak ada kesempatan
untuk bersua, kalau tidak aku pasti akan menaruh perhatian
secara khusus"
Kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya:
"Apalagi saudara Siang adalah orang ternama diantara
orang kenamaan lainnya!"
"Aku rasa begitu pula dengan saudara Liong" cepat Siang
Hu-hoa menimpali sambil tertawa. "Aaah.....masa betul?"
"Betul, hanya sayangnya saat ini......." mendadak Siang Huhoa
menghentikan kata katanya.
"Saat ini aku mengenakan topi lebar dan berkerudung kain
sehingga saudara Siang tidak merasa yakin?"
"Benar"
"Sekalipun kulepas topi lebar ini, belum tentu saudara
Siang dapat mengenali diriku"
571 "Aku percaya daya ingatanku tidak kalah dengan daya
ingatmu" "Masalahnya sama sekali tidak menyangkut soal daya
ingat" "Lalu karena alasan apa?"
"Raut wajahku sekarang sudah bukan raut wajah yang dulu
lagi" "Oya?" Siang Hu-hoa berseru keheranan.
Liong Giok-po tahu kalau orang itu tidak percaya, pelan
pelan dia melepaskan topi dan kain kerudung dari wajahnya.
Siang Hu-hoa memperhatikan terus gerak gerik Liong Giokpo,
khususnya pada tangan yang sedang memegang topi lebar
itu. Pelan pelan topi dan kain kerudung itupun terlepas, raut
muka Liong Giok-po segera muncul dibawah cahaya lentera.
Mendadak Siang Hu-hoa merasa jantungnya seakan
berhenti berdetidak, dia merasa tubuhnya seolah dicambuk
orang keras keras sehingga seluruh badannya mengejang
keras. Yau Kun berseru tertahan, nyaris kata "setan!" melompat
keluar dari mulutnya.
Raut wajah Liong Giok-po yang muncul dibawah cahaya
lentera sudah tidak mirip lagi dengan wajah manusia, tapi
tidak mirip juga dengan wajah setan.
Kalau orang bilang wajah setan itu menyeramkan, maka
wa Pendekar Setia 3 Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L Jodoh Rajawali 13

Cari Blog Ini