Naga Kemala Putih Karya Gu Long Bagian 4
"Aku kuatir keempat penjaga di depan curiga pada tingkah
laku kita berdua!
"Apa yang mereka curigai?"
"Adakah orang keluar kota di tengah malam yang sedang
hujan lebat?"
"Rasanya memang tidak ada!"
Wi Hong-nio tahu, tubuh mereka tidak boleh berbekas
hujan, akibatnya tidak jauh berbeda dengan melepaskan kembang
api di tengah malam buta.
Itulah sebabnya ia segera bertanya, "Lalu apa yang harus
kita lakukan sekarang?"
Tetesan air huj an sudah makin membesar, kalau dilihat
keadaannya, kemungkinan besar hujan akan turun semakin deras.
Pembicaraan ini mereka lakukan sambil tetap menelusuri
jalan perbukitan, kini permukaan jalan mulai berlumpur dan semakin
licin, untuk berjalan orang harus berjalan sangat hati-hati.
Tiba-tiba Tong Hoa berhenti, bisiknya, "Mari kita berjalan
menuju ke atas sana!"
Ia menuding ke arah jalan setapak yang tidak terlalu kentara
di sisi kiri jalan. Jalan itu dipenuhi rumput ilalang dan semak berduri,
walau begitu, jelas pernah ada orang yang melewati tempat itu.
"Apakah di atas sana ada tempat untuk berteduh?"
"Mestinya ada. Kalau aku tidak salah ingat, di atas itu
terdapat sebuah kuil Dewa Gunung yang sudah bobrok."
"Berarti kau pernah datang kemari?" tanya Wi Hong-nio
lebih jauh sambil berpegangan pada bahu Tong Hoa.
"Belum, belum pernah!"
Setelah berjalan kira-kira sepembakaran sebatang hio, air
hujan yang sangat deras telah membuat mereka berdua basah
kuyup. "Ah, ternyata benar, lihat ke sana!" mendadak Tong Hoa
berseru. Tanpa berteriak pun Wi Hong-nio juga telah melihat sebuah
bangunan kayu yang gelap gulita berdiri lebih kurang sepuluh
tombak di depan.
Mereka mempercepat langkahnya ke sana, ketika Tong Hoa
mendorong pintu dengan sekuat tenaga, pintu kuil pun segera
terbuka. Kedua orang itu langsung masuk ke dalam ruangan dan
Tong Hoa membuat api unggun.
Ruangan kuil luas tapi kering, biarpun sudah bobrok, tapi
tidak nampak ada bagian ruangan yang bocor. Bukan saja tidak
basah, di sudut ruangan ada setumpuk kayu bakar. Tong Hoa
berteriak kegirangan, ia segera memburu ke sana, memindahkan
papan kayu ke tengah, lalu dengan pedangnya dia memotongmotong
kayu itu menjadi kecil-kecil, setelah itu baru menyulut api
untuk membuat api unggun.
Tak lama kemudian api unggun telah menyala. Mereka
duduk di sisi api, menggunakan tangannya untuk membesut air dan
mengeringkan pakaian mereka yang basah kuyup.
Lebih kurang setengah jam kemudian, pakaian yang mereka
kenakan mulai mengering, Tong Hoa segera bangkit lagi untuk
mengambil kayu, membelahnya jadi kecil-kecil dan menambahkan ke
dalam onggokan api unggun.
"Kemarilah, duduklah dekat dinding," katanya kepada Wi
Hong-nio. "Kenapa?"
"Kau bisa duduk lebih dekat di sini."
Wi Hong-nio sangat terharu menyaksikan perhatian yang
ditunjukkan pemuda itu, ia tersenyum dan segera bergeser duduk di
sisi dinding. Sementara itu hujan semakin deras diikuti suara guntur yang
menggelegar, hembusan angin yang kencang dan kilatan petir
membuat suasana amat menakutkan. Tiba tiba Wi Hong-nio bangkit
berdiri. "Kenapa kau" Takut dengan guntur?" Tong Hoa segera
menegur. "Tidak, tiba-tiba saja aku ingat sesuatu," sahut perempuan
itu. "Urusan apa?"
"Kita harus segera meninggalkan tempat ini!"
"Kenapa?"
"Saat ini hujan turun sangat deras disertai guntur dan petir,
bukankah keadaan ini merupakan kesempatan yang paling baik
untuk melarikan diri?"
"Dari mana kau bisa berpendapat begitu?"
"Bukankah kau pernah berkata bahwa ada empat orang
yang menjaga jalan tembus ini" Dalam cuaca seperti ini, masa
mereka tidak mencari tempat untuk berteduh dari hujan?"
"Tidak mungkin." Jawaban Tong Hoa tegas dan meyakinkan.
"Kenapa?"
"Sebab tugas ini adalah tanggung jawab mereka berempat."
"Tanggung jawab bisa dimengerti, tetapi dalam cuaca
seperti ini, masa mereka akan bertahan basah kuyup dan
membiarkan badannya tertimpa air hujan serta resiko disambar
petir?" "Kalau sampai tersambar petir, itu sudah resiko mereka!"
"Benarkah begitu?"
"Kalau orang lain mungkin aku tidak berani menjamin, tapi
aku tahu pasti mengenai mereka berempat, dugaanku tak bakal
salah!" "Jadi menurutmu, mereka tetap akan berdiri di alam terbuka
meski dalam keadaan hujan badai?"
"Ya!"
"Dari mana kau bisa tahu?"
"Tak usah dipikir lebih jauh pun segalanya sudah jelas.
Cuaca seperti ini merupakan kesempatan emas bagi mereka yang
ingin melarikan diri, siapa pun orangnya, mereka pasti akan
memanfaatkan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya. Keempat
penjaga itu bukan orang bodoh, sudah tentu makin buruk cuacanya,
makin tinggi mereka tingkatkan kewaspadaan dan penjagaannya!"
"Oh ya?"
"Semua ini adalah aturan rumah tangga yang ditetapkan
Keluarga Tong. Tentu saja tidak semua anggota Keluarga Tong pada
generasi sekarang akan taat pada peraturan itu, tapi bagi mereka
dari generasi lalu akan tetap berpegang teguh pada peraturan."
"Jadi keempat orang itu termasuk orang dari generasi
lampau?" "Betul, mereka adalah pengikut ayah Tong Ou, kesetiaannya
pada Keluarga Tong tak perlu diragukan lagi. Mereka amat taat dan
setia kepada tugas dan tanggung jawabnya."
"Siapakah mereka itu?"
"Mereka adalah anak yatim piatu yang dibesarkan oleh
Keluarga Tong, sejak kecil mereka sudah dididik ilmu silat oleh ayah
Tong Ou. Mereka diberi nama Tong Hong, Tong Bwee, Tong Sang
dan Tong Bian."
Secara ringkas dia menceritakan asal-usul keempat orang itu
beserta kehebatan ilmu silatnya. Ia juga menceritakan bahwa pada
malam sebelumnya mereka berhasil menangkap Tong Sip-jit.
Selesai mendengar penuturan itu, sambil menjulurkan
lidahnya, Wi Hong-nio bergumam, "Wah, tak kusangka mereka
sehebat itu! Apakah kita sanggup menghindari mereka berempat?"
"Sulit, sulit sekali!" rasa sedih melintas di wajah Tong Hoa,
"Biarpun begitu, kita harus tetap mencobanya."
"Kurasa kita tak punya harapan," bisik Wi Hong-nio sambil
menggeleng. "Apa dasarnya kau berpendapat begitu?"
"Bukankah kita sudah membunuh beberapa orang sewaktu
keluar dari benteng" Bayangkan saja, peristiwa itu pasti sudah
membuat geger seisi Benteng Keluarga Tong! Mereka pasti sudah
mengirim peringatan kepada Tong Hong sekalian."
"Perkataanmu memang benar. Hanya saja tak seorang pun
tahu bahwa mereka dibunuh kita berdua!"
"Artinya kita masih punya harapan?"
Ingin sekali Tong Hoa memberitahunya bahwa harapan
terbuka lebar. Untung saja ucapan tersebut segera ditelannya
kembali karena mendadak ia teringat bahwa Wi Hong-nio cerdas dan
perasa. Ia tak ingin membongkar rahasia sendiri melalui kata-kata
yang tak terkendali.
Kalau saja perempuan itu sampai menaruh curiga,
pelaksanaan rencana Naga Kemala Putih akan mengalami banyak
hambatan dan kesulitan.
Saat itu segulung angin kencang berhembus masuk melalui
celah dinding yang berlubang, hembusan angin membuat daun
jendela bergoncang keras dan menimbulkan suara nyaring.
Tong Hoa bangkit menghampiri jendela untuk menutup
jendela itu lebih kencang, tapi hasilnya sebaliknya, daun jendela
malah terlepas dan jatuh ke lantai.
Dengan perasaan jengah bercampur malu dia melemparkan
sekulum senyuman ke arah perempuan itu. Kini jendela sudah
terlepas, angin dan hujan yang berhembus masuk pun makin
kencang, ini menandakan di luar badai sedang mengamuk.
Di seberang jendela adalah meja altar, di atas dinding
belakang meja altar tergantung selembar lukisan dewa.
Angin kencang tiba-tiba menghempaskan lukisan di dinding
itu, membuatnya menghantam dinding berulang kali dengan
menimbulkan suara nyaring. Menyusul kemudian hembusan angin
yang lebih kencang membuat lukisan itu rontok ke lantai.
Waktu itu Tong Hoa baru saja berhasil menutup kembali
daun jendela yang rusak, hembusan angin pun seketika terbendung.
Ketika ia berpaling ke arah lukisan yang jatuh ke lantai itu,
mendadak dia berseru tertahan.
Sebetulnya Wi Hong-nio pun sudah menaruh perhatian pada
dinding bekas tempat lukisan itu tergantung. Seruan tertahan Tong
Hoa membuat perempuan ini memperhatikan dengan lebih seksama.
Ia segera bangkit berdiri dan menghampiri kawannya.
Rupanya di dinding bekas menggantung lukisan itu ada tempelan
tanah liat yang jelas kelihatan belum lama ditempelkan ke situ.
Dengan pedangnya Tong Hoa mencoba mengetuk dinding
itu, seketika bergema suara pantulan yang nyaring.
Tong Hoa melirik Wi Hong-nio sekejap, lalu dengan sekuat
tenaga digempurnya tempelan tanah liat itu, segera saja tempelan
tanah itu berguguran dan muncul sebuah lubang. Ketika ia menggali
lebih ke dalam maka tampaklah sebuah lubang besar yang cukup
untuk dilalui oleh tubuh orang dewasa.
Cepat-cepat dia mengambil sebatang kayu dari onggokan
api unggun sebagai penerangan, kemudian sekali lagi menengok ke
balik gua itu. Seketika mereka berdua dibuat tertegun, kaget
bercampur keheranan.
Lubang gua itu jelas buatan orang, selain rata dan teratur,
permukaan tanahnya menjorok jauh ke bawah sana.
"Apakah kita perlu memeriksanya?" tanya Tong Hoa
kemudian. "Tentu saja," Wi Hong-nio mengangguk, "siapa tahu Thian
memberi petunjuk kepada kita dan lorong ini merupakan jalan
rahasia yang berhubungan dengan dunia luar."
Padahal sejak awal Tong Hoa sudah tahu bahwa lorong
rahasia itu menuju ke mana. Dia langsung menerobos masuk
terlebih dulu, disusul Wi Hong-nio di belakangnya.
Setelah merangkak kira-kira tigapuluh kaki, tibalah mereka
di dasar lorong. Ternyata ruangan itu jauh lebih lebar, cukup
digunakan seseorang untuk berdiri, maka mereka berdua pun
bangkit berdiri sambil memeriksa sekelilingnya.
Menyaksikan gua itu merupakan sebuah gua alam yang
besar, Wi Hong-nio sangat girang, serunya lagi, "Entah lorong gua
ini tembus sampai ke mana?"
"Aku tahu," sahut Tong Hoa seakan baru teringat akan
sesuatu. "Apa yang kau ketahui?"
"Aku tahu gua ini menembus ke mana. Sewaktu masih kecil
dulu pernah kudengar orang bercerita bahwa dalam Benteng
Keluarga Tong ada sebuah lorong rahasia, tapi kemudian demi
keamanan, lorong rahasia itu ditutup."
"Kenapa harus ditutup?"
"Sebab bila semakin banyak yang tahu, suatu ketika rahasia
ini pasti akan bocor. Jika kemudian dimanfaatkan musuh, bukankah
urusan jadi berabe?"
"Kenapa tidak mengirim saja berapa orang jago untuk
menjaganya?"
"Menggunakan penjaga banyak kelemahannya, pertama kau
harus mempunyai jagoan yang bisa dipercaya. Kedua, kungfu yang
orang itu harus tinggi, tapi yang paling menakutkan justru bila orang
itu berkhianat atau dibeli pihak lawan, akibatnya bisa sangat
mengerikan!"
Mereka berbicara sambil menelusuri lorong rahasia itu.
Setelah berbelok beberapa tikungan, lorong itu berubah menjadi
lurus dan menjorok ke bawah. Dengan sangat hati-hati mereka
menuruni lorong itu, sekitar setengah jam kemudian terlihat cahaya
terang muncul di ujung sana.
Mereka segera mempercepat langkahnya menuju ke arah
sumber cahaya itu, dan benar saja, cahaya fajar lamat-lamat tampak
memancar masuk ke dalam lorong rahasia itu.
Tak lama kemudian mereka menemui semak belukar yang
sangat rapat dan tebal. Jelas di balik semak itu adalah jalan keluar
dari lorong. Tong Hoa segera meloloskan pedangnya, sembari menyibak
semak yang tebal, dia berjalan di depan.
Waktu itu hujan telah berhenti, suasana remang keabuabuan
meliputi seluruh langit. Setelah keluar dari gua rahasia itu, Wi
Hong-nio baru menyadari bahwa mereka sudah berada di belakang
bukit. Ketika berpaling ke belakang, ia mendapatkan tebing yang
tegak lurus dan amat curam menjulang.
"Tebing ini adalah tebing penghalang yang kumaksudkan
tadi," Tong Hoa menjelaskan.
"Berarti kita sudah turun gunung?" seru Wi Hong-nio
kegirangan. "Betul," pemuda itu mengangguk, "kita sudah berada di
bawah gunung, bahkan tak usah melalui penjagaan keempat jago
itu!" "Bagus sekali!" pekik Wi Hong-nio sambil bertepuk tangan.
Tong Hoa ikut tertawa. Dia tertawa bukan karena berhasil
lolos dari Benteng Keluarga Tong, ia mentertawakan kebodohan Wi
Hong-nio, tertawa karena berhasil membohongi perempuan itu.
Sayang Wi Hong-nio sama sekali tidak menyadarinya.
Sementara itu Tong Hoa telah berkata lagi setelah
memeriksa sekeliling tempat itu sebentar, "Aku rasa tidak sulit untuk
menuruni bukit ini. Setibanya di kaki bukit dan berjalan satu-dua jam
lagi, kita akan tiba di sebuah kota kecil, kita bisa beristirahat di
sana." Wi Hong-nio sama sekali tidak memperhatikan perkataan itu,
Naga Kemala Putih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebab dia sedang sibuk menghapalkan keadaan daerah sekitarnya.
Ia berencana, bila bertemu lagi dengan Bu-ki nanti, rahasia lorong
ini akan diberitahukan kepadanya...
Berpikir sampai di situ, tanpa terasa perasaan sedih kembali
menyelimuti hatinya. Sebagian lantaran dia teringat akan Bu-ki,
sebagian lagi karena dia harus memperalat Tong Hoa untuk
melarikan diri dari Benteng Keluarga Tong. Hal yang dulu-dulu tak
nanti dia sudi perbuat!
Tapi sekarang, dia telah melakukannya bahkan tanpa
sengaja mendapat tahu tentang rahasia besar di balik lorong itu, dia
merasa sedih karena rahasia tersebut terpaksa akan diberitahukan
ke pihak Tayhong-tong agar bisa dipergunakan untuk kepentingan
mereka. Kenyataan memang selalu kejam, tak heran jika dia merasa
amat sedih. Begitulah, dengan membawa rasa sedih dia mengintil di
belakang Tong Hoa menuruni bukit itu. Tong Hoa tampaknya
menangkap perasaan sedih perempuan itu, namun tak sepatah kata
pun yang dia ucapkan. Ketika tiba di kota kecil, waktu sudah
menunjukkan tengah hari, mereka pun segera menangsal perutnya
yang lapar. "Sekarang, pergilah tidur sebentar," ujar Tong Hoa, "kita
lanjutkan perjalanan kita menjelang malam nanti." Wi Hong-nio
manggut-manggut.
"Tapi kita harus kabur ke mana" Sampai di mana kita baru
aman dari pengejaran?"
"Kini, Benteng Keluarga Tong telah berhasil merampas tiga
markas besar Tayhong-tong, pengaruh serta kekuatan mereka kian
kuat dan kian bertambah luas, aku rasa kita butuh menempuh
perjalanan selama empat-lima hari lagi sebelum benar-benar
mencapai tempat yang aman."
"Maksudmu lolos dari lingkaran pengaruh Tayhong-tong?"
"Betul, kalau tidak, setiap saat kemungkinan besar kita bisa
tertangkap lagi!"
Wi Hong-nio tidak berbicara lagi, dia tahu cemas atau panik
tak akan menyelesaikan masalah, dalam keadaan seperti ini, apa
yang bisa dilakukan adalah menjalaninya setapak demi setapak.
Bab 12. Tayhong-tong yang Tenggelam
Tio Bu-ki telah mengambil keputusan. Dia akan mencari
Sugong Siau-hong untuk merundingkan persiapan serangan balik
dengan tujuan merebut kembali markas besar mereka yang sudah
jatuh ke tangan lawan.
Dia pun mengambil keputusan, tiap hari harus menempuh
perjalanan berbekal tenaga yang paling segar dan pikiran yang
paling jernih. Perjalanan kali ini harus melewati banyak sekali
wilayah di bawah pengaruh Benteng Keluarga Tong, wilayah yang
sebelumnya milik Tayhong-tong.
Ia tidak tahu perubahan yang telah terjadi di bekas wilayah
kekuasaannya itu, ia tidak ingin terjebak karena kurang waspada.
Semua pergerakannya harus dilakukan dengan sangat berhati-hati.
Untung saja perjalanan yang ditempuhnya dengan susah
payah beberapa hari terakhir ini membuat janggutnya tumbuh lebat
dan liar. Tampangnya menjadi agak berubah, tidak gampang bagi
orang lain untuk mengenalinya lagi sebagai Tio Bu-ki.
Kota kecil itu mempunyai nama yang enak didengar, Gin-sin,
karena dulu di tengah-tengah kota itu tumbuh sebatang pohon yang
amat besar. Ketika masuk kota itu Tio Bu-ki mulai berpikir, kota ini hanya
berjarak dua puluh li dari markas besar Tayhong-po, dulu termasuk
wilayah kekuasaannya. Tapi sekarang" Bu-ki tidak tahu, tapi bila
dilihat suasananya yang begitu tenang, sepertinya tak pernah terjadi
perubahan apa pun di situ.
Sinar matahari tengah hari terasa begitu terik, sedikit sekali
orang yang berlalu lalang, mungkin kebanyakan sedang bersantap
siang di rumah masing-masing. Seumumnya suasana kota terasa
tenang dan damai.
Tio Bu-ki menuju sebuah warung penjual mie dan seorang
pelayan segera menyambut kedatangannya sambil menyapa,
"Silahkan masuk tuan!"
Setelah duduk, pelayan menghidangkan sepoci air teh
sambil bertanya lagi, "Tuan ingin memesan hidangan apa?"
"Terserah," jawab Bu-ki sambil menghirup air teh.
"Terserah yang besar, atau terserah yang kecil?"
Bu-ki tertegun sambil duduk seperti orang tolol. Sepanjang
hidup baru pertama kali ini ia mendengar orang bertanya seperti itu.
Ditatapnya pelayan itu sebentar, kemudian bertanya, "Apa
maksudmu dengan terserah besar dan terserah kecil?"
"Terserah besar berarti akan kusediakan satu mangkuk mie
babi kecap, kalau terserah kecil akan kusediakan semangkuk bubur
sambal tahu..."
"Sejak kapan kalian menjual bubur sambal tahu?"
"Baru kemarin mulai menjualnya."
"Kemarin?"
"Benar, biasanya kami tidak sedia hidangan semacam itu,
tapi sejak kemarin banyak tamu yang datang minta bubur sambal
tahu, jadi mau tak mau kami harus menyediakan hidangan istimewa
itu." "Dengan mendadakan begitu, apa kalian bisa membuatnya?"
"Tidak bisa. Tapi ada orang yang datang membantu kami."
"Orang-orang Benteng Keluarga Tong?"
"Tuan, dari mana kau bisa tahu" Benar, orang-orang
Benteng Keluarga Tong memang pandai sekali mencari duit!"
Mendengar jawaban itu, diam-diam si anak muda mengeluh.
Dia tahu rumah makan ini dulu di bawah kekuasaan Tayhong-tong,
tapi sekarang" Tampaknya dengan ringan saja mereka rela bekerja
untuk pihak musuh.
Dia ingin sekali menggunakan kesempatan ini untuk
mengumpulkan berita, namun untuk sesaat dia tidak tahu harus
mulai dari mana. Melihat tamunya bungkam, kembali pelayan itu
menegur, "Tuan, bagaimana kalau kau coba semangkuk dulu?"
"Baiklah!"
Tak lama kemudian pelayan itu muncul lagi dengan
membawa semangkuk bubur, lalu ia menyingkir ke samping
menyaksikan tamunya dahar.
Baru dua tiga suapan, kembali pelayan itu bertanya,
"Bagaimana" Enak bukan?"
"Ehm!"
"Tuan suka?" kembali pelayan itu bertanya.
Untuk sesaat Bu-ki tidak menjawab, sebab dari balik
pertanyaan itu ia menangkap sesuatu yang tidak beres. Setelah
berpikir sejenak ia balik tanyanya, "Bagaimana menurutmu?"
"Aku amat suka, dan kau?"
"Kurasa hidangan ini memang enak, tapi aku tidak suka."
"Kenapa?"
"Sebab aku tidak terbiasa makan hidangan yang pedas."
"Tidak biasa?" mendadak pelayan itu menarik wajahnya,
"Tidak biasa pun harus dibiasakan!"
Selesai bicara, tiba-tiba dia menggerakkan tangannya
mencengkeram dada lawan.
Untung Tio Bu-ki sudah membuat persiapan sejak tadi, dari
perubahan matanya yang aneh dia sudah tahu kalau gelagat tidak
beres. Oleh karena itu sejak awal sudak mempersiapkan diri sebaikbaiknya.
Begitu melihat wajahnya berubah menjadi gelap, dia segera
menghimpun tenaga dalamnya sambil bersedia menghadapi segala
kemungkinan. Melihat serangan lawan datang menyambar, Bu-ki segera
menjejakkan sepasang kakinya untuk melompat mundur dua
langkah, kemudian sambil menyilangkan tangan kanannya dia siap
melancarkan serangan balasan.
"Kenapa kau membokongku?" tegurnya.
"Karena kau bukan anggota Benteng Keluarga Tong!"
"Dari mana kau bisa tahu?"
"Dari mana bisa tahu" Hm, siapa pun tahu, tak ada anggota
Benteng Keluarga Tong yang makan bubur pedas selambat caramu
bersantap!"
"Sekalipun aku bukan anggota Benteng Keluarga Tong, tidak
seharusnya kau membunuhku!"
"Tetap harus dibunuh!"
"Kenapa?"
"Penguasa kota berpesan agar kami membasmi semua sisa
kekuatan lama yang masih ada. Dulu tempat ini termasuk wilayah
kekuasaan Tayhong-tong."
Kembali Tio Bu-ki merasakan hatinya amat sakit, menurut
penuturan pelayan itu, nampaknya sebagian besar anggota
Tayhong-tong telah mati dibantai bahkan kemungkinan besar
seluruh penghuni kota sudah habis dimusnahkan. Sungguh sebuah
tindakan yang amat keji!
"Jadi kalian telah membunuh seluruh penghuni kota?" tak
tahan lagi dia bertanya.
"Asal bersedia takluk tentu saja tidak, tapi kalau berani
membangkang, bantai!"
"Hm, sungguh keji perbuatan Benteng Keluarga Tong,
apakah Tong Ou yang suruh kalian melakukannya?"
"Tong Ou" Tak nanti Tong Ou menitahkan kami untuk
melakukan perbuatan ini, dia kelewat baik hatinya!"
"Lalu atas perintah siapa?"
"Tentu saja orang yang jauh lebih berkuasa daripada Tong
Ou! Kalau tidak, mana mungkin kami berani menyebut nama Tong
Ou secara terbuka?"
Bayangan seorang nenek yang angkuh segera terlintas
dalam benak Tio Bu-ki, serunya tanpa terasa, "Berarti Lo-cocong
yang suruh?"
"Kau juga tahu tentang nenek moyang?" tanya pelayan itu
kaget. "Bukan cuma tahu, bahkan pernah bertemu!"
"Oh... jadi kau anggota Benteng Keluarga Tong?"
"Bukan, aku anggota Tayhong-tong!"
Begitu perkataan itu berkumandang, Tio Bu-ki telah
mengayunkan telapak tangannya melancarkan sebuah pukulan kuat
ke depan, berbarengan dengan itu tubuhnya melejit ke udara dan
menerjang maju.
"Plak!" hantaman itu bersarang telak di dada si pelayan.
Tak ampun orang itu memuntahkan darah segar, dengan
mata terbelalak lebar dia mengawasi pemuda itu dengan ketakutan.
Setelah mendengus dingin, kembali Tio Bu-ki berkata, "Kau
bisa membokong aku, tentu saja aku pun bisa melakukan hal yang
sama, bahkan baru pertama kali ini kubokong orang lain. Aku benarbenar
tidak tahan melihat ulah kalian, kau anggap nama Tong Ou
boleh disebut seenaknya?"
Pelayan itu hanya bisa terbelalak dengan mulut melongo, tak
sepatah suara pun yang bisa diucapkan, sebentar kemudian
tubuhnya roboh terjungkal ke lantai.
Bersamaan dengan robohnya tubuh pelayan itu, Tio Bu-ki
segera membungkukkan badannya untuk menyusup ke bawah
kolong meja. Saat itu terdengar suara desingan angin tajam bergema dari
arah delapan penjuru, berpuluh-puluh batang senjata rahasia
berhamburan tiba. Begitu cepat serangan itu menyambar tiba,
sehingga sebagian dari senjata rahasia itu menghajar tubuh pelayan
tadi. Tio Bu-ki yang bersembunyi di kolong meja tidak tinggal
diam, dia mengangkat sepasang kaki meja itu, kemudian diobatabitkan
ke kiri dan kanan. Rupanya serangan senjata rahasia
gelombang kedua kembali mengarah tubuhnya.
"Tring, trang, tring, trang!" seluruh senjata rahasia itu
menghajar permukaan meja.
Di saat memutar meja untuk melindungi dirinya, sekilas Tio
Bu-ki dapat melihat kalau ada sekitar delapan orang berdiri di sekitar
dirinya. Dengan sekuat tenaga dia melemparkan meja itu ke arah
salah satu di antara kawanan jago itu, kemudian dia menerjang ke
arah yang berlawanan. Sementara tubuhnya masih melayang di
udara, pedangnya sudah diloloskan dari sarung.
Tanpa membuang waktu lagi, pedangnya diayun berulangulang,
"Sreet, sreeet!" dua bacokan kilat membuat pakaian dua
orang pengepungnya robek panjang.
Menyusul kemudian ia menerjang ke sisi kalangan, lagi-lagi
dua bacokan yang dilontarkannya memaksa dua orang
pengepungnya yang lain mundur ketakutan. Sungguh cepat semua
gerak serangan yang dia jalankan. Ketika dia selesai membereskan
keempat orang lawannya, meja yang dilempar ke depan tadi baru
saja menghantam tubuh lawannya!
Dengan gerakan secepat kilat pemuda ini berbalik
menerjang ke arah meja itu meluncur. Sekali lagi pedangnya
bergerak cepat menusuk dada orang yang berada di samping meja.
Sisanya yang dua orang jadi ketakutan setengah mati setelah
melihat kejadian ini. Sadar kalau gelagat tidak menguntungkan,
buru-buru mereka balik badan lari terbirit-birit.
Saat itu hawa amarah dan rasa dendam yang menyelimuti
hati Tio Bu-ki sudah mencapai puncaknya. Tentu saja dia tak ingin
membiarkan musuhnya kabur dengan begitu saja.
Sambil menjejakkan kaki kanannya ke tanah, bagaikan
seekor burung rajawali raksasa dia menyambar ke depan,
pedangnya menusuk berulang kali, tahu-tahu punggung kedua orang
musuhnya yang sedang kabur itu sudah tersambar telak.
"Blaaam, blaaam!" diiringi dua kali benturan keras, kedua
orang itu roboh terkapar bermandikan darah.
Robohnya kedua orang musuh tidak membuat amarah
pemuda ini mereda, justru sebaliknya rasa benci dan dendamnya
semakin memuncak.
Ia menilai tindakan dan perbuatan orang-orang Benteng
Keluarga Tong sudak melewati batas, dia merasa sangat tersinggung
dan tidak bisa menerima perlakuan mereka. Khususnya tindakan keji
yang mereka lakukan terhadap para pengikut setia Tayhong-tong.
Semakin diingat semakin makan kati, tiba-tiba pemuda itu
berjalan menuju ke samping sebuah tiang penyangga rumah. Sambil
menghimpun tenaga dalam dihajarnya tiang penyangga itu, sesudah
itu ia menghampiri lagi ketiga tiang penyangga lainnya masingKANG
ZUSI website http://cerita-silat.co.cc/
masing dihajarnya sepenuh tenaga. Ketika tiang terakhir sudah
dihajar hingga patah, ia baru beranjak keluar dari rumah makan itu.
Baru saja tiba di tepi jalan, rumah makan itu sudah ambruk
ke tanah, suara gemuruh yang ditimbulkan memancing kedatangan
orang banyak ke sana.
Tio Bu-ki menunggu sampai suara gemuruh itu mereda baru
kemudian berseru di hadapan mereka, "Apakah kalian anggota
Benteng Keluarga Tong?"
Tak seorang pun menyahut, banyak di antaranya bahkan
buru-buru mundur dengan wajah ketakutan, tampaknya bersiap
untuk melarikan diri.
Menyaksikan hal ini, Bu-ki segera melintangkan pedangnya
sambil menghardik, "Siapa berani kabur dari sini?"
Naga Kemala Putih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seketika semua orang menghentikan langkahnya dan tak
berani berkutik.
"Aku Tio Bu-ki dari Tayhong-tong! Aku tidak senang ada
yang berani menghina dan memandang rendah Tayhong-tong! Huh,
suatu ketika nanti, nasib Benteng Keluarga Tong akan sama dengan
nasib bangunan itu!"
Ia menuding rumah makan yang sudah roboh berantakan
itu. Suasana di sekeliling tempat itu sekali lagi dicekam keheningan
yang luar biasa, tak ada seorang manusia pun berani berbicara
apalagi bercakap keras-keras.
Malahan ada di antaranya yang menundukkan kepala
rendah-rendah, ada pula yang menunjukkan harapan agar Tio Bu-ki
melanjutkan perbuatannya lebih jauh. Tapi ada juga yang
menampilkan wajah sinis dan menghina, seolah sedang berkata,
"Tayhong-tong dengan anggota yang begitu banyak pun sudah
dibikin keok oleh Benteng Keluarga Tong, hanya mengandalkan kau
Tio Bu-ki seorang, apa yang bisa kau perbuat?"
Ketika amarah mulai mereda, Tio Bu-ki juga mulai berpikir
dengan kepala dingin. Menyaksikan berbagai wajah yang
diperlihatkan orang-orang itu, mendadak perasaan sedih dan kecewa
muncul dari dasar hatinya.
Bicara sejujurnya, kawanan manusia itu hanya kaum
saudagar, orang yang mencari duit dengan mengandalkan
terjaminnya keamanan. Kalau mereka lalu lebih condong pada
kekuatan yang berkuasa, ini kejadian yang lumrah, sebab jika
keamanan tidak terjamin, siapa yang berani berdagang"
Selain itu saat ini dia hanya seorang diri, dengan kekuatan
begini kecil, apa yang bisa dia perbuat" Bisa saja dia mengusir
orang-orang Benteng Keluarga Tong yang ada saat ini, tapi apa yang
akan terjadi setelah ia meninggalkan kota itu" Lalu apa yang bisa dia
perbuat jika pihak Benteng Keluarga Tong mengirim bala bantuan"
Untuk mewujudkan cita-cita dibutuhkan kekuatan nyata,
tidak ada kecuali untuk itu. Dalam keadaan seperti ini satu-satunya
yang bisa dia lakukan adalah secepatnya bertemu Sugong Siauhong,
menyusun strategi, menghimpun kembali kekuatan baru
kemudian merebut kembali satu per satu wilayah itu dari tangan
Benteng Keluarga Tong.
Begitu sadar akan kecerobohannya, sambil tertawa getir
pemuda itu berkata lagi, "Kalian tak usah kuatir, Tayhong-tong pasti
akan bangkit kembali dan membebaskan wilayah ini dari penjajahan,
aku berharap kalian bisa menjaga diri baik-baik!"
Selesai bicara dia menyimpan kembali pedangnya dan
perlahan-lahan beranjak pergi dari situ.
Berjalan hingga menjelang senja, tibalah anak muda itu di
sebuah kota kecil lain, dia tak taku nama kota itu karena tiada ciri
khas di kota tersebut, juga tak ditemukan papan petunjuk. Dia
hanya mengetahui satu hal, satu persoalan yang tak ingin dia selidiki
bagaimana akibatnya.
Kota ini terlihat cukup besar, mungkin lebih dari duaratus
orang penduduknya, namun sekilas pandang suasana terasa lengang
dan sepi. Biasanya senja merupakan saat yang pakng ramai orang
berlalu lalang. Tapi kini" Kota itu sepi dicekam ketakutan.
Ia mencoba menyusuri jalan di tengah kota, semua pintu
tertutup rapat. Ia mencoba menelusuri lebih jauh sampai akhirnya
menemukan satu bangunan rumah yang retak hampir roboh.
Padahal bangunan yang tampak hampir roboh itu masih kelihatan
baru, kayu-kayunya kuat dan kokoh, tidak seharusnya dengan bahan
yang begitu kokoh bisa roboh.
Tapi apa yang terjadi" Kenapa bangunan rumah itu seakan
hendak roboh"
Ia menghampiri bangunan itu dan segera menemukan
bahwa retaknya bangunan itu akibat ulah manusia. Ada seseorang
yang sengaja merobohkan rumah itu.
Dalam bangunan tak ada lentera dan tentu saja tidak ada
penghuninya. Dia tak ingin mengamati lebih jauh, maka kembali ia
mengikuti jalan yang berbelok ke kanan lalu belok lagi ke kiri sampai
di depan sebuah warung di tepi jalan.
Warung itu menjual bakmi, sebuah lentera kecil tergantung
di sisi warung, seorang kakek duduk di belakang tungku, tak nampak
ada tamu yang bersantap.
Ketika melihat kemunculan Tio Bu-ki, dengan ramah kakek
itu segera menyapa. Tio Bu-ki mengambil tempat duduk dan
memesan semangkuk bakmi daging sapi. Bakmi itu sangat pedas
namun sedap rasanya, sangat berbeda dengan bubur tahu pedas
yang ia makan siang tadi.
"Bakmi daging sapi yang kau jual ini dulu tentu tidak pedas
bukan?" tak tahan tanya anak muda itu.
"Tuan pernah makan di sini?" tanya kakek itu sambil duduk
di sisi pemuda itu.
"Tidak pernah, baru pertama kali ini aku datang kemari."
"Oh, hebat sekali, baru dicicipi segera sudah tahu!"
"Warungmu nampak sudah lama, tandanya kau sudah lama
sekali berjualan di sini, tapi rasa pedasmu tidak harum, jika kau
tetap masak dengan bumbu seperti ini, aku yakin tak sampai tiga
bulan kau harus menutup usahamu!"
"Ucapan tuan memang tepat sekali, tapi, haaai..." kakek itu
menghela napas panjang dan tidak melanjutkan kata-katanya.
"Apa kesulitanmu, kenapa tak kau teruskan?"
"Sebetulnya bukan suatu rahasia yang tak boleh diungkap,
kalau memang kau datang dari luar daerah, biarlah kuceritakan
padamu." Bu-ki segera meletakkan sumpitnya dan mendengarkan
cerita kakek itu dengan seksama.
"Begini ceritanya," kata kakek itu kemudian, "Dulu kota ini
adalah wilayah kekuasaan Tayhong-tong, selama itu semuanya
aman dan tenteram, dagangan ramai dan gampang cari duit. Tapi
sejak beberapa hari yang lalu, Tayhong-tong dikalahkan Benteng
Keluarga Tong sehingga daerah ini jatuh ke tangan mereka. Sejak
itulah usahaku menjadi sepi, susah cari duit dan hidup pun jadi tidak
tenteram."
Setelah berhenti sejenak untuk menarik napas, kakek itu
melanjutkan, "Kau lihat bangunan rumah di ujung jalan sana?" Tio
Bu-ki mengangguk.
"Dengan terang-terangan mereka menentang dan melawan
Benteng Keluarga Tong, akibatnya rumah mereka dijebol orang,
sementara penghuninya ditangkap semua. Akibat peristiwa ini,
banyak orang yang pura-pura tunduk pada Benteng Keluarga Tong,
tapi ada juga sebagian yang lain melarikan diri dari sini."
Selesai mendengar penuturan itu, Tio Bu-ki semakin yakin
kalau dugaannya tidak salah, segala sesuatu terjadi karena kekuatan
Tay-kong-tong semakin mundur sementara pengaruh Benteng
Keluarga Tong semakin berjaya.
"Masa orang-orang Benteng Keluarga Tong begitu galak?"
tanya pemudaku.
"Malah ada yang lebih galak lagi!"
"Ook, apa yang terjadi?"
"Di ujung jalan sana ada seorang kakek penjual kelontong,
dia she Thio dan mempunyai seorang anak gadis, tahun ini baru
berusia tujuh belas tahun, wajahnya cantik dan menawan. Sudah
banyak anak muda yang berminat dan mengajukan lamaran, tapi
semuanya ditolak bapaknya."
"Kenapa?"
"Menurut kakek Thio, putrinya sejak kecil sudah dijodohkan
dengan putra seorang Tongcu Tayhong-tong, namanya..."
Kakek itu berpikir sejenak sambil menggaruk-garuk
kepalanya, sesaat kemudian baru berseru, "Ah, betul, dia bernama Li
Hong-hui!"
"Li Hong-hui?"
"Tuan kenal dengannya?"
"Tidak, tapi pernah mendengar nama itu!"
Padahal Bu-ki kenal Li Hong-hui, hanya saja dia tak ingin
mengungkap dirinya. Kembali tanyanya, "Bagaimana selanjutnya?"
"Kemudian semua orang mengurungkan niatnya untuk
meminang. Tapi belakangan, setelah orang-orang Benteng Keluarga
Tong muncul di sini, satu di antara mereka, konon seorang Tancu
yang bernama Si Po-yong tertarik pada gadis itu, dia memaksa
hendak meminangnya."
"Lalu apa yang dilakukan kakek Thio?"
"Apa lagi" Dia bisa berbuat apa" Aaai..." dia menghela napas
panjang dan menggelengkan kepalanya berulang-ulang.
Tio Bu-ki tidak bertanya lebih lanjut, sebab dia tahu di kala
seseorang sedang bersedih, lebih baik jangan mengusik atau
mengganggunya, beri kesempatan lebik dulu kepadanya untuk
melampiaskan kesedihannya.
Setelah menghela napas panjang, kakek penjual mie itu
meneruskan, "Besok pagi, Si Po-yong akan datang memboyong pergi
gadis itu!"
"Kenapa keluarga Thio tidak berusaha untuk melarikan diri?"
"Melarikan diri" Bagaimana mungkin?"
"Kaki toh tumbuh di badan mereka, apa susahnya kabur dari
sini?" "Kalau ada delapan orang lelaki bengis yang siang malam
menjaga di depan dan belakang pintu rumah mereka, bagaimana
caranya untuk kabur?"
Tio Bu-ki tidak bicara lagi sebab dia cukup paham dengan
keadaan di lingkungan itu.
"Padahal pengaruh Tayhong-tong sudah runtuh dan lenyap,
apa salahnya kakek Thio menjodohkan putrinya dengan penguasa
baru" Bukankah kejadian ini malah menguntungkannya?"
"Ucapan tuan benar, tapi tiap orang punya pendapat yang
berbeda-beda, ada sementara orang berjiwa tempe dan berpikiran
bunglon, tapi ada pula yang berjiwa ksatria, setia dengan Tayhongtong
dan tidak mau takluk pada orang lain!"
Mendengar sampai di situ, diam-diam Tio Bu-ki mengambil
keputusan akan membantu keluarga Tkio. Dia lalu bertanya letak
rumah keluargaku.
Selesai membayar, dia berangkat menuju ke arah yang
ditunjuk. Waktu itu kegelapan malam sudah menyelimuti seluruh kota
kecil itu. Lentera yang menerangi warung itu sangat redup,
membuat Bu-ki susah untuk melihat perubahan wajah kakek penjual
mie itu. Seraut wajah yang menyeramkan, wajah pembunuh yang
membuat bulu kuduk berdiri!
Ooo)))(((ooo Tio Bu-ki berjalan lambat-lambat, dandanannya tetap sama
seperti penampilannya tadi, menggantungkan pedangnya di
belakang baku. Kini cahaya lampu telah menyinari seluruh jalan, walaupun
tidak terlalu ramai namun sudah menyerupai keramaian di sebuah
kota kecil. Tengah berjalan, mendadak ia berubah pikiran, ia
memutuskan untuk menunda dulu kunjungannya ke kakek Thio. Ia
ingin mencari tempat untuk beristirahat dulu.
Keputusan ini menjadi keputusan yang mematikan.
Keputusan yang jauh lebih menakutkan ketimbang senyuman si
kakek penjual mie yang menakutkan tadi. Keputusan ini telah
memberi waktu yang cukup bagi kakek penjual mie itu untuk
menjalankan rencana busuknya yang mengerikan dan mematikan.
Ooo)))(((ooo Pembaringan kayu keras dan dingin, sama sekali tidak
nyaman untuk ditiduri. Tapi Tio Bu-ki justru suka tidur di
pembaringan semacam ini, karena pembaringan kayu membuat
pinggangnya lebih lurus, keadaan yang dibutuhkan seorang pesilat.
Berbaring di pembaringan kayu itu, pikirannya melayang
kembali ke suasana dalam gedung keluarga Tio di Tayhong-tong.
Terbayang kembali pembaringan kayu yang biasa ditidurinya hampir
belasan tahun. Membayangkan pembaringan kayu, tentu saja dia lalu
teringat pembaringan yang lain, sebuah pembaringan baru,
pembaringan yang nyaman dan merangsang.
Ranjang pengantin!
Ranjang pengantinnya bersama Wi Hong-nio. Karena
terdorong rasa ingin tahu, dia pernah pergi menengoknya. Sayang
tak ada kesempatan untuk menggunakannya, walau hanya
semalam! Bila dalam dunia persilatan tak ada perkumpulan yang
bernama Benteng Keluarga Tong, ayaknya tak akan mengorbankan
jiwa dengan percuma. Upacara perkawinannya pasti akan
berlangsung meriah dan malam harinya dia pasti akan menikmati
empuknya ranjang pengantin!
Ya, andaikata dalam dunia persilatan tak ada perkumpulan
yang bernama Benteng Keluarga Tong!
Ia tak menghela napas, karena tiba-tiba ia berpikir, mungkin
saja orang-orang dari Benteng Keluarga Tong juga ada yang sedang
berpikir, andaikata dalam dunia persilatan tidak ada perkumpulan
yang bernama Tayhong-tong...
Jadi pada dasarnya masalah bukanlak ada atau tidaknya
Benteng Keluarga Tong. Mungkin saja Keluarga Tong tidak ada,
namun tidak menutup kemungkinan akan muncul Benteng Keluarga
Tan atau Benteng Keluarga Li.
Jadi pokok persoalan adalah kekuatan dan daya pengaruh.
Dia harus memperbesar pengaruh dan kekuatan yang dimilikinya,
dengan begitu semua persoalan baru bisa diatasi.
Itu sebabnya ia memutuskan untuk pergi menolong kakek
Thio dan putrinya, ia ingin tetap menanamkan pengaruh Tayhongtong
di tempat itu, bahkan ingin semua orang taku bahwa Tayhongtong
tidak selemah seperti yang dibayangkan orang!
Ia berencana pada kentongan pertama nanti, dengan purapura
sebagai keluarga kakek Thio, ia akan menyusup masuk ke
dalam rumah. Kemudian bersama kakek Thio menghabisi para
penjaga dan membawanya kabur, dia ingin mengajak keluarga itu
untuk mengungsi ke tempat Sugong Siau-hong, baru kemudian
mencari Li Hong-hui agar bisa menikahi kekasihnya.
Bagaimanapun juga dia harus berusaha sekuat mungkin,
sebab tidak gampang menemukan orang yang begitu setia terkadap
Tayhong-tong! Kentongan pertama.
Setelah mempersiapkan diri, dengan penuh semangat Tio
Bu-ki berangkat menuju ke rumah kakek Thio. Dari jauk ia sudah
melihat dua lentera gantung di depan pintu rumah, lentera berwarna
merah yang memancarkan cahaya terang.
Betul juga, di depan rumah tampak ada dua orang lelaki
kekar bersenjata golok sedang melakukan penjagaan.
Ketika ia berjalan mendekat, salak seorang dari dua lelaki itu
segera menghadang jalannya seraya menegur dengan suara garang,
"Mau cari siapa?"
"Tuan rumah," sahut pemuda itu sambil menuding ke dalam
gedung. "Mau apa mencarinya?"
"Memberi ucapan selamat, katanya besok putrinya akan
Naga Kemala Putih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menikah. Aku keluarga jauhnya yang datang untuk memberi
selamat." Dengan sorot mata tajam lelaki itu mengamati Tio Bu-ki
beberapa saat, baru katanya, "Masuk!"
Pintu dalam keadaan terbuka. Tio Bu-ki segera mengetuk
pintu gerbang kuat-kuat, tiga kali ketukan keras ditambak dua kali
ketukan perlahan.
Itulak ketukan rahasia Tayhong-tong, tanda bahwa yang
datang satu aliran dengan mereka. Pintu segera dibuka. Seorang
lelaki setengah umur yang berperawakan tinggi besar melongokkan
kepalanya memperhatikan pemuda itu sekejap.
Lelaki itu mengenakan topi dari kulit yang dipasang amat
rendah sampai menutup hampir seluruh telinganya, menutupi juga
keningnya yang menonjol tinggi.
Setelah mengamati Bu-ki beberapa saat, lelaki setengah
umur itu baru bertanya, "Kau..."
"Aku datang mencari kakek Thio!"
"Kakek Thio?"
"Benar!"
"Aku she Thio, tapi bukan kakek Thio."
"Apakah kau punya anak perempuan yang akan dinikahkan
besok?" "Benar!"
"Kalau begitu kaulah yang sedang kucari, sebab ada orang
memanggilmu kakek Thio maka aku..."
"Tahun ini aku berusia limapulub tahun, mungkin lantaran
belajar silat maka tampangku nampak jauh lebih muda!" orang itu
berkata sambil tertawa, "Ayoh silahkan masuk!"
Dia mengajak Bu-ki melewati kalaman depan yang luas dan
masuk ke ruang tengah. Suasana di situ amat sepi, tak nampak
sesosok bayangan manusia pun.
"Kenapa tak nampak satu orang pun?" tanya Bu-ki
kemudian. "Sudah pada kabur!"
"Kenapa?"
"Pada takut mati!"
Bu-ki tidak bicara lagi. Siapa sih yang tidak takut mati"
Takut mati memang kelemahan orang, apalagi menghadapi keadaan
seperti ini, kabur karena takut adalah sebuah urusan yang biasa.
Mendadak satu ingatan melintas dalam benaknya, dengan
keheranan kembali ia bertanya, "Apakah penjaga di luar mengijinkan
mereka untuk pergi?"
Kakek Thio sedikit melengak, tapi cepat-cepat sahutnya,
"Tentu saja!"
"Kenapa kau tidak menyamar jadi pelayan untuk kabur juga
dari sini?"
"Mungkinkah bagiku?" kakek Thio tertawa getir, sambil
menuding perawakan tubuhnya, "Aku tinggi besar, siapa saja bisa
mengenalku dalam sekilas pandang, apa mungkin aku bisa kabur?"
"Berarti kau membiarkan putrimu dikawin orang?"
"Mau apa lagi" Mau melawan juga tak mungkin bisa
mengalahkan mereka!"
"Bertarung saja belum, bagaimana kau bisa tahu kalau tidak
sanggup mengalahkan mereka?"
Sekali lagi kakek Thio melengak, "Apa perlu kita melakukan
perlawanan?"
"Tentu saja!"
"Kenapa?"
"Sewaktu masuk, aku sempat memperhatikan dua penjaga
di luar itu, kelihatannya kungfu mereka tak seberapa tinggi."
"Sungguk?" tak nampak rasa girang di wajah orang itu.
Sayang Bu-ki tidak memperhatikan perubahan itu, kembali ia
bertanya, "Mana putrimu?"
"Di dalam kamar."
"Suruh dia kemari, akan kuajak kalian pergi meninggalkan
tempat ini."
"Kau" Siapa kau?"
"Aku Tio Bu-ki."
"Kau Tio Bu-ki?"
"Kenapa" Tidak mirip?"
"Oh tidak, tidak, aku terlalu gembira," sahut kakek Thio itu
lagi. Meskipun dia mengatakan gembira namun paras mukanya sama
sekali tidak memperlihatkan perasaan gembira.
Berbicara sampai di situ, kakek Thio lalu masuk ke ruangan
dalam. Sambil berjalan, katanya lagi, "Aku akan segera memanggil
putriku!" "Tunggu dulu!" cegah Bu-ki.
Kakek Thio menghentikan langkahnya dan berpaling.
"Lebik baik sekalian berbenah, kita segera pergi
meninggalkan tempat ini."
Kakek Thio manggut dan berjalan masuk.
Tak lama kemudian kakek Thio sudah muncul bersama
seorang gadis, di tangan mereka tampak bungkusan kain. Sepertinya
itulak bekal yang akan mereka bawa. Bu-ki tampak agak kaget, dia
tak menyangka secepat itu mereka berdua telah muncul kembak.
Seolah-olah buntalan itu sudah mereka persiapkan dari tadi.
Gadis itu berusia kira-kira tujuk atau delapanbelas takun,
wajahnya cantik tapi kelihatan jauk lebih matang dan dewasa dari
usianya. Ini sekali lagi membuat anak muda itu keren.
"Cepat panggil Tio kongcu!" kata kakek Thio sambil
menepuk bahu gadis.
"Tio kongcu!" seru si nona dengan suara yang merdu,
sementara sepasang matanya yang besar menatap wajak anak
muda itu tanpa berkedip, membuat Bu-ki menjadi risih sendiri.
"Mari kita segera berangkat!" ajaknya kemudian.
"Baik," sahut kakek Tkio sambil menarik putrinya mengikut
di belakang pemuda itu.
Baru saja Bu-ki membuka pintu, dua orang lelaki bergolok
itu sudah menghadang jalan perginya. Tanpa bicara lagi pemuda itu
melolos pedangnya dan beruntun melancarkan tiga buah serangan.
Belum sempat kedua orang lelaki itu menggerakkan
goloknya untuk menangkis, tahu-tahu dada mereka sudah terbabat
hingga robek tiga buah garis panjang. Kedua lelaki itu menunduk,
memeriksa dada mereka. Melihat pakaian mereka terbabat robek,
mereka berdua lalu saling bertukar pandang. Sekejap kemudian
keduanya lari terbirit-birit.
Suara tepuk tangan bergema dari belakang tubuhnya,
ternyata gadis itu bertepuk tangan sambil bersorak memuji.
"Tenang amat gadis ini," pikir Bu-ki. Dia tidak curiga
mengapa gadis yang lemah lembut bisa bersikap begitu tenang
menyaksikan suatu pertarungan.
Setelah menyarungkan kembali pedangnya, ia berpaling
kepada kakek Thio berdua seraya serunya, "Ayo segera berangkat!"
Gadis itu tersenyum manis, sambil menyusul ke samping Buki,
pujinya, "Hebat betul ilmu silatmu, aku ingin jalan bersamamu!"
Sambil bicara ia sudah menggenggam tangan pemuda itu erat-erat.
Jari tangannya terasa lembut dan halus, Bu-ki dapat
merasakan kehangatan yang terpancar keluar dari tangan itu. Ini
membuatnya sangat tak leluasa dan ingin melepaskannya. Sayang
apa yang dipikirkannya sudah terlambat.
Jari-jari tangan yang semula halus dan lembut itu tiba-tiba
berubah menjadi kaku dan keras bagaikan baja. Bukan hanya itu,
kelima jari tangannya segera mencengkeram tangan pemuda itu dan
menekan jalan darah di pergelangannya.
Tanpa ampun separuh badan Bu-ki sebelah kanan lemas
seketika, seluruh kekuatannya hilang lenyap tak berbekas.
Dengan kaget bercampur heran ia berpaling. Sambil tertawa
gadis itu berseru, "Kau sudah masuk perangkap!"
Buru-buru anak muda itu mengebaskan tangannya berusaha
melepaskan diri dari cengkeraman, sayang langkah ini pun sudah
terlambat. Ketika ia menggerakkan badannya hendak meronta, kakek
Thio yang ada di sampingnya turun tangan. Tangan kanannya
secepat kilat menangkap bahu Bu-ki dan mencengkeramnya kuatkuat.
Sungguh dahsyat cengkeraman itu. Bagai dijepit sebuah
cakar baja, bahunya sama sekali tak mampu bergerak lagi, membuat
separuh badan Bu-ki yang sebelah kiri ikut lemas tak bertenaga.
Senyum si nona yang semula lembut tiba-tiba saja berubah
jadi senyuman licik dan jahat.
"Siapa kalian berdua?" tegurnya tanpa terasa.
"Kami?" senyum gadis itu semakin jalang, "Tentu saja kami
adalah orang yang khusus kemari untuk menangkap dirimu!"
"Jadi anggota Benteng Keluarga Tong selalu hanya mampu
menangkap orang dengan cara yang licik dan tak tahu malu?"
"Belum tentu!" kembali gadis itu tertawa jalang, "Untuk
menghadapi kau, kami masih punya cara lain yang jauh lebih hebat!"
Tio Bu-ki tidak bersuara lagi. Tiba-tiba ia sadar kalau
perbuatannya selama ini kurang hati-hati. Sejak pintu gerbang
keluarga Thio hingga masuk ke dalam gedung, ia sudah menjumpai
banyak kejadian yang mencurigakan, tapi ia mengabaikan semua itu,
yang dipikirkan hanya bagaimana secepatnya menolong mereka
berdua. Ia memang kelewat bodoh, sedemikian bodoh hingga tidak
membayangkan bagaimana mungkin Benteng Keluarga Tong hanya
mengirim dua orang untuk menjaga pintu gerbang rumah seorang
pengikut setia Tayhong-tong.
Selain itu, jika mereka memang berasal dari keluarga baikbaik,
mengapa si gadis bisa menampilkan senyuman cabul" Di
samping itu, malam sudah demikian gelap, mengapa kakek Thio
masih mengenakan topinya, bahkan sengaja merendahkan topinya
hingga menutupi kedua tay-yang-hiatnya" Bukankah tujuannya jelas
untuk mengelabui penampilannya, agar dia tak melihat kalau
kungfunya sangat hebat.
Kini segalanya sudah menjadi jelas. Tapi apa gunanya"
Semuanya sudah terlambat!
Bu-ki amat sakit hati, benci kepada diri sendiri, benci pula
kepada Tong Ou. Mengapa dia sengaja membebaskan dirinya untuk
kemudian mengirim orang untuk menangkapnya kembali"
"Apakah Tong Ou yang memerintah kau untuk
membekukku?"
"Aku tidak tahu," jawab gadis itu sambil tersenyum,
"tanyakan saja kepada suamiku."
"Suamimu?"
"Benar, akulah suaminya!" sahut kakek Thio.
"Kau?" dengan terperangah Bu-ki berpaling dan mengawasi
wajah kakek Thio.
Kakek Thio membuka mulutnya lebar-lebar, tertawa dan
manggut-manggut.
Mendadak Bu-ki seperti teringat sesuatu, segera serunya,
"Aku tahu sekarang, kau adalah Thio Toa-cui, Si Mulut Besar!"
Sekali lagi Thio Toa-cui Si Mulut Besar tertawa terkekehkekeh,
mulutnya dipentang semakin lebar, sahutnya, "Tepat sekali!
Akulah Si Mulut Besar Thio Toa-cui, dia adalah biniku, Li Bu-yan!"
Sambil berkata, ia menunjuk gadis di depannya.
"Berarti kakek penjual mie di sana adalah Oh Pan?"
"Tepat sekali! Sayang baru sekarang kau menyadarinya,
semuanya sudah terlambat!"
Cerita yang tersiar di dunia persilatan, Oh Pan, Thio Toa-cui
dan Li Bu-yan adalah tiga orang tokoh perkumpulan pembunuh
gelap. Asal kau bersedia mengeluarkan uang, mereka bersedia
melakukan pekerjaan apa pun bagimu. Mereka hanya kenal uang,
tidak kenal sanak saudara.
Konon istri Oh Pan dan Thio Toa-cui adalah orang yang
sama, yaitu Li Bu-yan.
"Tak kusangka Benteng Keluarga Tong telah menyewa
kalian untuk menghadapiku!" kata Bu-ki kemudian.
"Ha ha ha... kau keliru besar!" Tkio Toa-cui kembali
membuka mulutnya lebar-lebar dan tertawa tergelak. "Yang
mengeluarkan uang untuk menghadapi dirimu bukanlah Benteng
Keluarga Tong!"
"Benar!" sambung Li Bu-yan, "Kami sedang mencari jalan
rejeki buat diri sendiri. Bila berhasil membekukmu berarti kami akan
mendapat banyak uang dari Benteng Keluarga Tong."
"Kenapa?"
"Kenapa?" kembak Li Bu-yan tertawa cekikikan. "Saat ini
Benteng Keluarga Tong sedang menabuh genderang peperangan
pada Tayhong-tong. Sedang kau adalah tokoh penting dari
perkumpulan itu, dengan membekukmu berarti kami telah membuat
jasa besar. Coba kau bayangkan sendiri, berapa banyak uang yang
bakal kami terima dari Benteng Keluarga Tong?"
Setiap kali menyinggung soal duit, Li Bu-yan dan Thio Toaciu
saling berpandangan sambil tertawa tergelak, seakan-akan sudah
ada setumpuk uang yang disodorkan ke hadapan mereka.
"Kalau mau menyalahkan, salahkan dirimu sendiri!" ujar Thio
Toa-cui lagi. "Siapa suruh kau berlagak sok jagoan dengan mengundurkan
dirimu di depan umum" Kalau tidak, kami pun tak bakal
mengatur siasat untuk menjebakmu!"
"Hanya saja," sambung Li Bu-yan cepat, "hanya orang
segoblok kau yang bisa tertipu oleh siasat kami!"
Bu-ki tidak bicara lagi, dia hanya mengawasi mereka berdua
dengan pandangan dingin, sikapnya menghina dan sama sekali tidak
menghargai orang-orang itu.
"Bagaimana?" kembali Li Bu-yan bertanya, "Kau pandang
hina cara kerja kami?"
"Bukan begitu, siapa pun yang berhasil membekuk
lawannya, dia pasti akan menggunakan cara yang paling hebat,
hanya saja..."
"Hanya saja kenapa?" tanya Si Mulut Besar Thio Toa-cui.
"Kalian bakal bekerja sia-sia!"
"Kerja sia-sia" Kenapa?"
"Sebab kalian tak bakal mendapat uang sekeping pun!"
"Oh ya?" seseorang berseru dari kejauhan. Menyusul seruan
itu Oh Pan si tukang bakmi sudah muncul.
Dia langsung berjalan menuju ke depan Bu-ki, lalu katanya
lebih jauh, "Tentu saja kami tak akan perolek sekeping uang, sebab
uang yang akan kami terima banyak sekali jumlahnya!"
"Tak mungkin, kalian tak bakal memperolek apa-apa!"
"Kenapa?" Li Bu-yan bertanya agak penasaran, "Memangnya
sekarang kau masih bisa kabur dari cengkeraman kami?"
"Aku tak perlu kabur, bawa saja aku ke Benteng Keluarga
Tong. Kujamin kalian hanya akan membuang tenaga percuma,
membuang pikiran percuma, membuang waktu percuma, membuang
ransum percuma. Kecuak menelan angin kosong, kalian tak bakal
mendapat apa-apa!"
"Kau kira kami akan percaya kata-katamu?"
"Mau percaya atau tidak terserah, sampai waktunya jangan
bilang aku tidak memberitahumu!"
"Apa alasanmu sehingga dapat membuat kami percaya?"
tanya Li Bu-yan kemudian.
"Aku baru saja keluar dari Benteng Keluarga Tong!"
Naga Kemala Putih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sungguh?" teriak Li Bu-yan, "Bagaimana kau bisa keluar
dari sana.!"
Sebelum Bu-ki sempat menjawab pertanyaan itu, Ok Pan
sudak berebut untuk bicara duluan, "Tidak, kau seharusnya
menjelaskan dulu bagaimana bisa memasuki Benteng Keluarga
Tong!" "Bagaimana caraku bisa masuk ke sana sesungguhnya tidak
penting bagi kalian," sakut Bu-ki tenang, "Yang penting buat kalian
justru bagaimana aku bisa keluar dari sana!"
"Baik, coba katakan, dengan cara apa kau bisa keluar dari
sana?" potong Thio Toa-cui cepat.
"Tong Ou yang membebaskan diriku!"
Ketiga orang itu saling bertukar pandang dengan mata
terbelalak lebar. Dengan wajah tak percaya mereka mengawasi
wajah anak muda itu.
"Kini kalian menangkap aku dan mengkantar balik ke situ,
bukankah perbuatan kalian percuma saja?" ujar Bu-ki lebik jauh.
Lama sekali tiga pasang mata itu terbelalak lebar, akhirnya
Thio Toa-cui tertawa terbahak-bahak, katanya, "Ha ha ha... kau
anggap ceritamu dapat membohongi kami semua" Ha ha ha...
sungguh bikin orang mati geli!"
"Bikin orang mati geli" Kenapa kau tidak segera mati saja?"
Thio Toa-cui kontan menghentikan tawanya setelah
mendengar perkataan itu. Amarah mulai menyelimuti wajaknya,
cengkeraman tangan kanannya di tulang bahu Bu-ki segera
diperkuat. "Justru kau yang bakal mampus!" teriaknya.
Paras muka Bu-ki sama sekali tak berubah, penampilannya
saat ini sangat wajar, seakan cengkeraman dari Thio Toa-cui itu
sama sekali tidak membuatnya kesakitan.
"Bila kalian tidak percaya pada perkataanku," kembali Bu-ki
berkata, "Yang bakal mampus bukan aku, sebab kalian masih butuh
aku dalam keadaan hidup."
"Sudahlah," tukas Ok Pan kemudian, "kita tak usah
membuang banyak waktu hanya beradu mulut dengan bocah ini.
Hei, bocah monyet, kami tak bakal percaya omonganmu, jadi tak
usah banyak bicara lagi!"
Habis berkata ia menghampri anak muda itu dan menotok
beberapa jalan darahnya, kemudian katanya lagi, "Sekarang, kecuali
sepasang kakimu yang bisa dipakai untuk berjalan, tenagamu tak
akan bisa kau gunakan lagi. Ayoh jalan, ikuti kami!"
Li Bu-yan dan Thio Toa-cui melepaskan genggamannya,
mereka segera pergi meninggalkan tempat itu.
Diam-diam Bu-ki mencoba untuk menghimpun tenaga
dalamnya. Betul juga, tenaga murninya hilang lenyap sama sekali.
Dalam keadaan begini, terpaksa dia harus mengikut di
belakang tiga orang itu untuk berjalan. Dia tahu, jika tidak menuruti
kemauan mereka, dia bakal menderita siksaan hidup-hidup!
Bab 13. Naga Kemala Putih
Tong Hoa dan Wi Hong-nio melakukan perjalanan setiap
malam menjelang tiba dan sesudah melewati sepuluh hari, tibalah
mereka di tempat tujuan.
Tempat tinggal Wi Hong-nio sesungguhnya adalah gedung
keluarga Tio, meskipun ia belum resmi menikah dengan Tio Bu-ki,
namun ia beranggapan sudah menjadi menantu keluarga Tio, maka
rumahnya adalah gedung keluarga Tio.
Sejak Tio Kian ditemukan tewas, kemudian Tio Bu-ki dan
adiknya hilang tanpa kabar, semua pembantu yang bekerja di
keluarga Tio boleh dibilang sudah bubar dan pulang ke rumah
masing-masing. Tio Cian-cian memang pernah pulang, tetapi setelah
menyaksikan bangunan rumahnya dipenuhi sarang laba-laba dan
debu, tanpa berhenti sejenak pun ia langsung berlalu.
Tak heran ketika Tong Hoa dan Wi Hong-nio tiba di sana,
gedung keluarga Tio sudah berubah menjadi sebuah bangunan yang
terbengkalai. Tong Hoa bekerja keras membersikkan debu dan sarang
laba-laba dari setiap sudut rumah, sementara Wi Hong-nio
membenahi kamar tidur.
Ketika gedung keluarga Tio sudah bersih dan pulih
kemegahannya, senja sudah menjelang tiba.
Tong Hoa bertanya kepada Wi Hong-nio apakah akan keluar
rumah untuk mencari makan dan ketika perempuan itu menjawab
belum lapar, Tong Hoa berkata, "Kalau begitu aku akan keluar
sebentar, nanti kubelikan beberapa macam hidangan untuk mengisi
perut." "Baiklah, kau tak perlu terburu-buru," sahut Hong-nio sambil
mengawasi cahaya senja yang menyinari halaman rumah dengan
termangu-mangu, tampaknya ia sedang membayangkan kembali
saat-saat gembira di masa lalu.
Tanpa mengucapkan sepatah kata, Tong Hoa berlalu.
Dengan cepat ia berhasil menemukan Pesanggrahan Kemala
Putih dan menemui pemiliknya, Pek Giok-khi.
Tong Hoa mengeluarkan selembar kertas yang dibawanya
dari Benteng Keluarga Tong lalu menyerahkannya kepada Pek Giokkhi.
Kertas itu adalah surat yang ditulis Tio Kian. Kepada orang itu ia
berkata, "Kau bisa meniru gaya tulisan orang ini?" Pek Giok-khi
memperhatikan tulisan itu beberapa saat, kemudian mengangguk.
"Kecuali aku, rasanya di kolong langit dewasa ini tak akan
ada orang ketiga yang bisa mengenali gaya tulisan itu sebagai gaya
tulisanku!"
"Tidak mungkin! Aku tahu ada orang ketiga yang bisa
mengenalinya."
Pek Giok-khi membelalakkan matanya lebar-lebar, dengan
agak sangsi ia berkata, "Menulis saja belum, dari mana kau bisa
begitu yakin kalau pasti ada orang yang mengenalinya?"
"Sebab ada orang yang menyuruh aku datang kemari,
memangnya orang yang menyuruh aku kemari tidak tahu?"
Pek Giok-khi tertawa, hatinya langsung jadi lega.
"Siapa orang itu?"
"Tong Ou!"
"Oh, kalau begitu kau adalah..."
"Aku Tong Hoa."
"Ah, maaf, maaf..."
"Tak usah sungkan, aku datang melaksanakan perintah
Tong Ou. Dia tidak meminta kau menyalin isi surat ini, tapi membuat
sebuah buku harian dengan meniru gaya tulisan itu."
"Buku harian?"
"Benar, karenanya kau harus mencari kertas yang sudah
agak menguning, agar jangan mendatangkan curiga orang. Jangan
sampai orang tahu bahwa kertas itu baru, semakin tua semakin
baik." "Aku mengerti, apa yang harus kutulis?"
Tong Hoa menjelaskan maksudnya panjang lebar, baru ia
bertanya, "Kapan kau bisa menyelesaikan tugas ini?"
"Buru-buru?"
"Makin cepat makin baik!"
"Besok pagi!"
"Besok pagi" Secepat itu?"
"Masa kau belum tahu julukanku?"
"Apa julukanmu?"
"Si Tangan Kilat Sepanjang Malam."
"Baik! Besok pagi aku akan datang mengambilnya, ukuran
kertasnya jangan terlalu besar, lebih baik lagi jika dapat disisipkan
dalam tabung."
Ia menerangkan ukuran lubang rahasia yang terpasang di
patung Naga Kemala Putih itu.
"Baik, segalanya akan kukerjakan. Datang saja besok pagi,
kujamin semuanya pasti sesuai dengan keinginanmu!"
Keesokan harinya Tong Hoa mengambil buku harian palsu
itu dan kembali ke gedung keluarga Tio dengan riang gembira.
Baru setengah jalan, tiba-tiba dari arah belakang terdengar
derap kaki kuda yang dilarikan kencang. Ia merasa agak heran
bercampur curiga, tanpa berpaling lagi, tubuhnya segera menyingkir
ke sisi jalan. Tapi kuda itu nampaknya memang diarahkan kepadanya,
sebab suara kaki kuda ikut bergeser tetap di belakang tubuhnya.
Dengan satu gerakan cepat ia membalik badan, memasang
kuda-kuda dan mengawasi datangnya kuda itu dengan sorot mata
tajam. Tampaknya si penunggang kuda itu mahir menunggang
kuda jempolan, ketika kuda sudah berada tiga kaki di depan Tong
Hoa, mendadak ia menarik tali les kudanya yang seketika berhenti
bergerak. Si penunggang langsung melompat turun.
Tong Hoa mengira orang itu akan menyergapnya, dengan
satu gerakan sigap dia merentangkan telapak tangan kanannya ke
depan, sementara tangan yang lain siap melancarkan serangan
susulan. Begitu tiba di hadapan Tong Hoa, tiba-tiba orang itu
menjatuhkan diri berlutut dan memberi hormat. Dari caranya
memberi hormat, Tong Hoa tahu kalau orang sendiri yang datang,
maka tegurnya, "Ada urusan penting?"
"Benar."
"Katakan!"
"Tong Kongcu minta rencana pelaksanaan Naga Kemala
Putih diundur dua hari."
"Kenapa?"
"Sebab ada beberapa orang yang tak tahu diri telah
menangkap Tio Bu-ki dan menggelandangnya balik ke Benteng
Keluarga Tong. Mereka ingin minta uang jasa."
"Lantas?"
"Tong Kongcu menganggap ketiga orang itu telah
menyebabkan tertundanya rencana kita, maka ia membunuh mereka
semua dan sekali lagi membebaskan Tio Bu-ki!"
"Lalu mengapa pelaksanaan rencana harus ditunda?"
"Hamba menyusul kemari berjalan siang malam, sebaliknya
Tio Bu-ki melakukan perjalanan sangat lambat. Tong Kongcu kuatir
bila pelaksanaan rencana terlalu awal, bisa jadi perempuan she Wi
itu tak sabar menunggu kedatangan Tio Bu-ki dan menceritakannya
kepada anggota Tayhong-tong yang lain. Jika sampai begitu, urusan
bisa berabe."
"Aku mengerti. Menurut perhitungan, kira-kira kapan Tio Buki
baru sampai di sini?"
"Seharusnya pada senja hari kedua ia sudah sampai di sini."
"Baik, kalau begitu akan kulaksanakan rencana itu dua hari
kemudian! Sampaikan kepada mereka semua, tak usah kuatir!"
"Baik!"
Setibanya di gedung keluarga Tio, pertama-tama Tong Hoa
memasukkan dulu catatan harian palsu itu ke dalam lubang rahasia
di patung Naga Kemala Putih, kemudian diam-diam ia masuk ke
kamar baca Tio Kian dan membuka kamar rahasia.
Tentu saja dia bisa tahu ruang rahasia itu karena Sangkoan
Jin telah memberitahukannya kepada Tong Koat.
Sangkoan Jin berpendapat, tak ada salahnya membiarkan
mereka tahu bahwa dia membunuh Tio Kian di tempat itu, agar
mereka lebih percaya kalau dia telah melaksanakan tugasnya
dengan sempurna.
Apalagi sesudah kematian Tio Kian, ruang rahasia itu pun
tidak perlu dirahasiakan lagi.
Tentu saja mimpi pun dia tak menyangka kalau Benteng
Keluarga Tong ternyata memanfaatkan ruang rahasia itu untuk
melaksanakan rencana besar lain, yang bakal mendatangkan
pukulan mematikan bagi Tayhong-tong.
Sewaktu semuanya sudah siap, Tong Hoa tinggal menunggu
saat yang paling tepat untuk melaksanakan rencana besar itu.
Ia menggunakan waktu dua hari itu untuk dengan sengaja
mengajak Wi Hong-nio berjalan-jalan menelusuri semua ruangan
dalam gedung keluarga Tio. Di sore hari yang diperkirakan Tio Bu-ki
sudah akan tiba, selesai bersantap siang ia mengajak Wi Hong-nio
berjalan-jalan ke ruang baca Tio Kian.
Di situ dia dengan sengaja meraba dan menyentuh setiap
benda yang ditemuinya, lagaknya seakan terdorong rasa ingin tahu.
Tiba-tiba tangannya menyentuh tombol rahasia pembuka
ruangan rahasia. Begitu tombol tersentuh, pintu rahasia pun pelanpelan
terbuka. Sesudah itu ia sengaja menjerit pelan, seperti merasa kaget
sekali. Wi Hong-nio yang segera berpaling, ikut berseru tertahan.
Sebenarnya tempat itu berupa rak buku, begitu tombol
rahasia tersentuh, rak buku itu perlahan-lahan bergeser ke samping
dan muncullah dinding kecil yang agak cekung ke bawah.
Di dinding yang cekung ke bawah itulah tampak sebuah
patung berukir yang sangat indah, sebuah patung naga yang terbuat
dari batu kemala putih.
Tong Hoa mengambil patung itu untuk kemudian diserahkan
kepada Wi Hong-nio.
Dengan penuh rasa kagum Wi Hong-nio mengamat-amati
ukiran patung itu, katanya kemudian, "Ukiran Naga Kemala Putih ini
sungguh indah, tak heran kalau tersimpan di dalam bilik rahasia!"
"Benar," kata Tong Hoa, "Patung ini memang sangat indah.
Tetapi anehnya kenapa hanya patung naga itu yang disembunyikan
di ruang rahasia" Padahal di sini banyak terdapat benda-benda indah
lainnya. "Ya, mengapa begitu" Jangan-jangan ada rahasianya?"
"Mungkin saja," sambung Tong Hoa, "Coba kuperiksa."
Dia sengaja meraba sekujur badan patung naga itu, sesaat
kemudian ia baru menyentuh tombol rahasia di patung itu.
"Plak!" diiringi suara lirih, sebuah batu kemala kecil meloncat
keluar dari balik perut patung naga itu.
Ia segera merogoh ke lubang rahasia itu dan menarik keluar
buku harian palsu yang terselip di situ. Sengaja ia membuka lipatan
buku itu, baru kemudian diserahkan kepada Wi Hong-nio.
"Aku tak mau melihatnya," seru Wi Hong-nio sambil
menggeleng, ia mendorong balik buku harian itu ke Tong Hoa.
"Kenapa?"
"Lebih baik aku tidak membaca barang-barang yang
disimpan dalam ruang rahasia ini."
"Kurasa lebih baik diperiksa dulu apa isinya, siapa tahu
benda yang tersimpan secara rahasia itu juga menyimpan hal-hal
yang rahasia. Mana bisa tak dilihat?"
Wi Hong-nio kelihatan agak sangsi, setelah berpikir sejenak
katanya, "Kau saja yang melihatnya."
"Aku?"
"Benar, kau yang lihat atau aku yang lihat kan sama saja?"
"Baiklah kalau begitu," sahut Tong Hoa kemudian sambil
tertawa. Ia mulai membuka buku harian itu, tapi karena kertas itu
bekas dilipat-lipat maka agak susah juga untuk membuka halamanhalamannya.
Untuk membuka halaman buku itu, setiap kali Tong Hoa
mesti membasahi jari tangannya, dengan demikian ia baru bisa
Naga Kemala Putih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membuka halaman buku harian itu dengan lancar.
Ia sudah tahu jelas isi buku harian itu, tapi ia sengaja
berlagak amat tegang, membaca dengan amat hati-hati...
Dengan susah payah, akhirnya ia selesai juga membaca isi
buku harian itu. Wajahnya sungguh-sungguh bercampur tegang
ketika ia kemudian menatap wajah Wi Hong-nio.
"Kenapa kau?" tegur perempuan itu keheranan.
"Sungguh menakutkan, sungguh mengerikan. Lebih baik kau
baca sendiri saja," ujar Tong Hoa setengah berbisik.
Wi Hong-nio membaca isi buku harian itu, paras mukanya
seketika berubah sangat hebat.
Ternyata isi buku harian itu adalah catatan harian Tio Kian
sejak sebulan terakhir sebelum terjadinya peristiwa berdarah. Yang
paling penting adalah catatannya selama berapa hari terakhir.
Bab 14. Buku Harian Palsu Tio Kian
Makin lama aku merasa badanku semakin lemah.
Kuputuskan untuk mengorbankan diriku guna terwujudnya kejayaan
Tayhong-tong. Tapi pengorbanan bagaimana baru berharga" Nekad
menyerbu ke Benteng Keluarga Tong dan membantai mereka
sekeluarga" Atau masih ada cara yang lain"
Aku mengundang Sugong dan Siangkoan dan setelah
berunding cukup lama akhirnya Sangkoan Jin mengusulkan rencana
penyusupan. Menurutnya, kalau toh aku bakal mati, lebih baik kita
mencari seorang jago dari Taybong-tong untuk dengan membawa
batok kepalaku pergi bergabung ke Benteng Keluarga Tong. Katakan
saja bahwa dia bergabung karena telah membunuh aku, pihak
Benteng Keluarga Tong pasti akan percaya alasan ini.
Kami bertiga setuju sekali dengan rencana ini Tapi siapa
yang akan diutus menjadi pengkhianat dan melaksanakan tugasi ini"
Bukan pekerjaan yang gampang untuk mengbabisi nyawaku, kecuali
orang itu sangat dekat dan sangat akrab hubungannya denganku.
Hanya orang kepercayaanku yang mempunyai kesempatan itu.
Kami berunding setengah harian lamanya, akhirnya aku
berkata kepada mereka bahwa hanya salah satu diantara kalian
berdua yang bisa melaksanakan tugas ini.
Sugong segera menggeleng sambil menolak keras, ia bilang
tak bakal mau melaksanakan tugas ini. Dalam keadaan terdesak,
akhirnya Siangkoan menerima tugas ini kendati dengan perasaan
berat. Ooo)))(((ooo Kesehatanku makin lama makin buruk. Berulang kali
kudesak Siangkoan untuk segera melaksanakan rencana ini.
Kami menamakan rencana besar ini Rencana Harimau
Kemala Putih dan
menjelaskan segala sesuatunya diselembar kertas yang
tersimpan dalam patung Hanmau Kemala Putih itu. Tujuannya
adalah untuk mengembalikan nama baik Siangkoan di kemudian hari
Segala sesuatunya sudah siap, namun Siangkoan belum juga
turun tangan. Aku benar-benar kuatir, aku takut orang lain
mengetahui penyakitku, bila hal ini sampai tersiar ke pihak Benteng
Keluarga Tong, jelas akan berpengaruh besar pada kelancaran
Rencana Harimau Kemala Putih.
Tapi Siangkoan berdalih, lebih baik rencana itu dilaksanakan
setelah terselenggaranya pesta perkawinan Bu-ki. Tentu saja aku
sangat setuju dengan usul ini, dapat melihat Bu-ki naik pelaminan,
merupakan harapankuyangterakhir.
Dalam berapa hari terakhir ini aku selalu memikirkan
bagaimana caranya agar pelaksanaan Rencana HarimauKemala Putih
bisa berlangsung sehebat dan segempar mungkin. Setiap orang
didunia persilatan harus mengetahui kejadian ini, karena hal ini akan
semakin menguatkan kepercayaan Benteng Keluarga Tong sewaktu
menerima penggabungan Siangkoan.
Tiba-tiba terpikir olehku, mengapa tidak kulaksanakan
rencana ini tepat dihari perkawinan Bu-ki" Bila di saat seperti itu aku
terbunuh, beritanya pasti akan menggemparkan seluruh dunia
persilatan! Aku merasa cara ini sangat bagus, namun tindakanku ini
akan membuat Bu-ki menderita. Aku juga tak akan menyaksikan
keramaian di rumahku saat berlangsungnya perkawinan itu.
Bagaimanapun Bu-ki akhimya telah berkeluarga, meski aku
harus mati pun rasanya tak perlu disesali lagi.
Satu-satunya yang membuat aku amat tersiksa adalah tak
dapat menceritakan rencana ini kepada Bu-ki, agar dia mempunyai
persiapan batin jauh sebelumnya. Tapi, apa boleh buat.
Kuputuskan pembunuhan akan terjadi pada hari itu.
Siangkoan menyetujuinya.
Besok adalah hari pernikahan Bu-ki, juga saat kematianku.
Menghadapi kematian yang menjelang tiba, aku sama sekali tidak
merasa takut atau sedih. Aku hanya mengeluh kepada Thian, kalau
memang meimberi kehidupan kepadaku, mengapa pula harus
memberi siksaan penyakit kepadaku"
Membayangkan semua ini, tanpa terasa aku berjalan sampai
ke kamar Siangkoan. Kudorong pintu dan masuk ke dalam, tapi tak
kujumpai Siangkoan disitu.
Ketika aku akan meninggalkan kamar itu, tiba-tiba
kutemukan sebungkus obat terletak diatas meja. Kuambil bungkusan
itu dan memeriksanya, benar saja, isinya memang bubuk obat.
Aku mencoba untuk membauinya. Aneh sekali, bau obat itu
sudah sangat kukenal. Segera kuambil secawan teh dan
mencampurkan sedikit bubuk obat itu ke dalamnya. Bubuk obat itu
seketika larut dan menyatu dengan air.
Kucoba untuk mencicipinya. Tak salah lagi, bau ini memang
sudah sangat kukenal, bau yang kukenal setiap hari.
Mendadak perasaan ngeri bercampur takut menyergap
hatiku Kuambil lagi
sedikit bubuk obat itu dan membawanya ke seorang tabib
kenamaan di kota.
Hasil pemeriksaan tabib itu menyatakan bahwa bubuk obat
itu adalah racun yang bekerjanya sangat lambat. Racun itu
menyebabkan orang merasakan tubuhnya lemas tak
bertenaga,panas tinggi...
Aku tak sanggup untuk mendengarkan lebih jauh, sebab
semuanya sangat mirip dengan gejala penyakitku. Penyakit yang
membuatku putus asa karena beranggapan tak mungkin bisa
disembuhkan lagi.
Berbagai pikiran dan kecurigaan segera berkecamuk dalam
benakku. Mengapa Siangkoan memiliki racun ini" Mengapa setelah
minum obat itu aku merasakan gejala penyakit seperti yang
kualami" Jangan jangan Siangkoan, dia....
Aku tak berani berpikir lebih jauh. Siangkoan adalah saudara
angkatku, saudara yang sudah banyak tahun berjuang mati hidup
bersamaku, mengapa ia berlaku begitu keji terhadapku"
Mengapa harus terjadi" Mengapa ia mencelakaiku" Demi
nama" Namanya dalam perkumpulan Tayhong-tong sudah sangat
tinggi. Demi uang" Selama hidup ia tak pernah kekurangan, apapun
yang diinginkan selalu tersedia. Lalu mengapa"
Aku tak berhasil menemukan alasan yang tepat, apa
sebabnya dia ingin mencelakaiaku.
Tapi semua bukti dan kenyataan ada di depan mata. Apalagi
dia yang akan membawa batok kepalaku untuk bergabung dengan
pihak musuh. Rencana inipun pemikiran dan usul yang
diajukannya... Oh Thian! Mengapa urusan jadi begini"
Aku ingin menemui Sugong untuk membahas persoalan ini,
tapi ia baru besok pagi tiba disini. Aku ingin mencari Bu-ki, tapi ke
manapun tak kutemukan jejaknya.
Apa yang bisa kulakukan sekarang" Apakah aku harus
bertindak lebih hati-hati, besok pagi"Atau harus kutemukan obat
penawar racunnya" Menurut tabib, jika seseorang menelan obat ini
melebihi setengah tahun lamanya, jangankan manusia, dewapun tak
akan mampu menyelamatkan nyawamu!
Mati! Tampaknya aku pasti akan mati Tapi, jika Siangkoan
benar-benar menggunakan batok kepalaku sebagai jaminannya
untuk bergabung dengan Benteng Keluarga Tong, aku sangat tidak
rela. Sekarang waktu sudah tak banyak lagi, keadaan badanku
juga terasa makin lemah. Jelas aku bukan lagi tandingan Siangkoan.
Apa yang harus kulakukan sekarang"
Semalam suntuk aku memutar otak mencari akal Akhirnya
hanya bisa kusembunyikan buku harianku ini ke dalam patung Naga
Kemala Putih, seandainya aku benar-benar mati, aku berharap suatu
hari nanti Bu-ki datang ke kamar-bacaku, menemukan rahasia ini
dan membalaskan dendam atas kematianku.
Selain ini, apa lagi yang bisa kuperbuat"
Aku tak berani menitipkan buku harian ini kepada orang lain,
apalagi kepada para pelayan. Kalau mereka sudah disuap Siangkoan
dan mengkhianati aku, bukankah rahasia buku harianku bakal
terbongkar"
Satu-satunya yang bisa kuperbuat sekerang adalah berdoa
dan mohon kepada Thian. Semoga Bu-ki bisa secepatnya
menemukan buku harianku ini, jangan sampai tertipu oleh siasat
Harimau KemalaPutih. Dia harus tahu wajah asli Siangkoan, kalau
tidak, Tayhong-tong bakal musnah untuk selamanya!
Tayhong-tong benar-benar sudah musnah! Itulah perasaan
pertama yang dirasa Wi Hong-nio seusai membaca buku harian itu.
Ia merapatkan kembali buku harian itu, perasaan dan
pikirannya amat kalut.
Bagaimana sekarang" Ke mana harus menemukan Bu-ki" Ia
harus menyampaikan kabar ini kepada Bu-ki, makin cepat makin
baik. Kalau tidak, Tayhong-tong benar-benar akan musnah.
Perubahan wajahnya telah mencerminkan seluruh kepanikan
dan kegelisahan dalam hatinya. Tong Hoa dapat melihat semua itu
dan tertawa terbahak-bahak dalam hatinya. Bagaimanapun, rencana
Naga Kemala Putih sudah menunjukkan hasilnya dan mulai
mendekati puncak keberhasilan.
Tentu saja perasaan girang itu tidak ditampilkan keluar,
sebaliknya dengan lagak murung bercampur kuatir ia berkata kepada
Wi Hong-nio, "Kau pasti sedang berpikir, ke mana harus menemukan
Tio Bu-ki bukan?"
Dengan pandangan penuh rasa terima kasih Wi Hong-nio
menatap wajah pemuda itu, katanya, "Aku tahu, kau pasti punya
akal, kau pasti dapat membantuku bukan?"
"Permintaanmu yang mana yang tak pernah kulaksanakan?"
sahut Tong Hoa tertawa.
Tentu saja tak ada yang tidak dilaksanakan. Balikan dia tahu
kalau Bu-ki sedang dalam perjalanan menuju ke sana. Untuk
menemukan dia, pada dasarnya jauh lebih gampang ketimbang
meraba ujung hidung sendiri!
"Sungguh?" seru Wi Hong-nio kegirangan.
"Tentu saja, asal aku keluar sebentar untuk menyerap
kabar, segera akan kubawakan kabar baik untukmu!"
Bab 15. Masuk Perangkap
Tentu saja Tong Hoa memahami rasa panik dan cemas Wi
Hong-nio, maka setelah berputar satu lingkaran di seputar gedung
itu, ia sudah balik kembali dan berkata, "Nasibmu memang lagi
mujur, menurut berita yang kudapat, katanya Tio Bu-ki sedang
dalam perjalanan menuju kemari, bahkan kemungkinan besar besok
pagi sudah tiba di sini!"
Tentu saja Wi Hong-nio sangat gembira, tapi sebagai wanita
cerdik, satu ingatan segera melintas dalam benaknya, tegurnya tibatiba,
"Dari mana kau bisa tahu?"
"Ah gampang saja, bukankah tempat ini salah satu markas
besar Tayhong-tong" Di mana ada markas besar, di situ pasti ada
anggota Benteng Keluarga Tong yang menyusup. Gampang kan?"
Wi Hong-nio tidak bicara lagi, karena yang dikatakannya
memang tepat sekali.
"Asal aku bertanya kepada seorang penyusup, segala
sesuatunya menjadi jelas. Setiap hari mereka pasti melakukan
kontak dengan Benteng Keluarga Tong. Padahal Tio Bu-ki adalah
target utama kami, mana mungkin pihak Benteng Keluarga Tong
tidak menyebar orang di mana-mana untuk melacak dan mengikuti
gerak-geriknya?"
Kata-katanya pun sangat masuk di akal. Tapi... bukankah
Tong Hoa telah mengkhianati Benteng Keluarga Tong, berkhianat
dengan mengajaknya kabur" Masa para penyusup dari Benteng
Keluarga Tong belum tahu tentang kejadian ini"
Wi Hong-nio segera mengemukakan kecurigaannya itu
kepada Tong Hoa.
Namun jawaban Tong Hoa pun sangat masuk di akal,
ujarnya, "Selama hidup aku belum pernah datang kemari, orang
yang menyusup di sini pun belum pernah bertemu aku. Mereka
hanya kenal dengan kode rahasia untuk berhubungan, tak pernah
mengenali siapa lawannya."
Sekarang Wi Hong-nio dapat berlega hati. Satu-satunya
yang bisa dia lakukan sekarang adalah menunggu, menunggu
datangnya fajar di esok hari. Lalu menyampaikan berita yang
menggemparkan ini kepada Bu-ki, agar dia mencari Sangkoan Jin
dan membuat perhitungan atas dendam berdarah ini.
Tong Hoa diam-diam mengawasi perubahan raut wajahnya,
dia pun dapat melihat sikap penantian perempuan itu dengan
perasaan gelisah, panik, karena harus menunggu kedatangan Tio
Bu-ki. Oleh sebab itu ketika Wi Hong-nio dengan sorot mata penuh
rasa terima kasih memandang ke arahnya, tanpa menanti sampai dia
buka suara, ujarnya lebih dulu, "Kau tak usah berterima kasih
kepadaku, aku melakukan semua ini dengan rela dan ikhlas..."
Hampir saja air mata meleleh keluar dari mata Wi Hong-nio
saking terharu dan terima kasihnya.
Kembali Tong Hoa berkata, "Aku tahu, setelah Tio Bu-ki
datang kemari, kehadiranku pasti akan membuat kau kurang leluasa,
maka..." "Kau hendak pergi?" tanya Wi Hong-nio.
"Benar."
"Kenapa?"
"Bukankah sudah kukatakan, kehadiranku di sini akan
membuatmu sangat tidak leluasa."
"Mana mungkin" Kau adalah orang yang menyelamatkan
aku bahkan sudah banyak membantuku, Bu-ki pasti amat berterima
kasih kepadamu!"
Tong Hoa memperlihatkan senyuman yang amat getir,
sahutnya, "Aku tidak berharap rasa terima kasihmu kepadaku, aku
hanya minta..."
"Tak mungkin aku bisa memberikan yang satu itu untukmu,"
tukas Wi Hong-nio cepat, "sebab di hatiku hanya ada Bu-ki seorang.
Bukankah sejak awal sudah kukatakan kepadamu?"
"Aku tak akan memaksakan kehendak, aku pun tidak
mengharapkan hal yang berlebihan, asal di hatimu selalu ingat
padaku, sudah lebih dari cukup!"
"Aku pasti akan selalu ingat dirimu, budi kebaikanmu tak
Naga Kemala Putih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pernah akan kulupakan!"
"Apakah kau hanya akan teringat dengan budi kebaikanku
saja?" kembali Tong Hoa memperlihatkan senyum getirnya.
Wi Hon g-nio segera terbungkam, dia tak tahu harus berkata
apa, dia tak tahu kata-kata yang cocok untuk menghibur pemuda
itu. "Sudahlah," ujar Tong Hoa kemudian, "toh aku harus segera
pergi dari sini, segala sesuatunya sudah tidak berarti lagi..."
Wi Hon g-nio hanya bisa menatapnya tanpa berkedip,
sampai lama, lama sekali dia baru bertanya, "Kapan kau akan
pergi?" "Sekarang."
"Sekarang?"
"Kalau mesti menunggu lagi, aku bisa gila..." Sekali lagi Wi
Hong-nio termenung. "Jaga dirimu baik baik."
Nada suara Tong Hoa terdengar menggetar, seolah dia
sedang menahan agar air matanya tidak mengalir keluar.
Wi Hon g-nio tak kuasa menahan diri lagi, airmatanya jatuh
bercucuran membasahi pipinya.
Tanpa berpaling lagi Tong Hoa pergi dari situ dengan
langkah lebar, keluar dari gedung keluarga Tio.
Kemampuan bersandiwaranya memang hebat, selain hidup,
segala sesuatunya dilakukan dengan sungguh-sungguh.
Buku harian palsu dari Tio Kian pun sangat mirip,
sedemikian miripnya hingga nyaris tak berbeda dari yang asli.
Kemampuan dan kekuatan Benteng Keluarga Tong memang
luar biasa, tak heran kalau Wi Hong-nio masuk perangkap tanpa
disadarinya sama sekali.
Ooo)))(((ooo Setelah menerima kabar dari Tong Hoa melalui merpati pos,
Tong Ou benar-benar gembira setengah mati. Segala sesuatunya
berjalan sesuai rencana, kelancaran yang di luar dugaan ini
membuatnya kegirangan.
Semenjak berhasil menarik Sangkoan Jin bergabung dengan
kelompoknya, sampai meracuni Tio Kian hingga mati, dan sekarang
menjebak Tio Bu-ki untuk melenyapkan Sangkoan Jin, pada
hakekatnya semua persoalan sudah ada dalam genggamannya,
bagaimana mungkin dia tidak merasa girang"
Sekarang tinggal satu persoalan yang membuatnya kuatir,
mampukah Tio Bu-ki menandingi Sangkoan Jin"
Mengenai persoalan ini, tentu saja dia juga mempunyai
penyelesaian yang hebat, dan sekarang dia mulai menjalankan
langkah berikutnya.
Tidak terlalu sulit baginya untuk menjalankan rencana
berikut, asal ia berhasil menemukan seseorang, maka semuanya
akan beres. Orang ini adalah seorang wanita, putri Sangkoan Jin,
Siangkoan Ling-ling.
Dia mengenal Siangkoan Ling-ling sewaktu sedang
membicarakan masalah pengkhianatan Sangkoan Jin terhadap
perkumpulan Tay-hong-tong.
Terhadap gadis ini, boleh dibilang ia sudah menyukainya
sejak pertemuan pertama, tapi sikap Siangkoan Ling-ling
terhadapnya justru acuh tak acuh, hal ini membuatnya agak ragu
dan tak bisa meraba apa yang sebenarnya dikehendaki nona itu.
Tapi dalam hal ini dia tak ingin terburu-buru, sebab masalah
perkawinan baginya merupakan masalah yang kesekian. Ia selalu
mengedepankan masalah penting lainnya ketimbang urusan pribadi.
Asal perkumpulan Tayhong-tong bisa dilenyapkan, itulah saatnya ia
menguasai dunia.
Oleh sebab itu terhadap Siangkoan Ling-ling dia selalu
bersikap melindungi dan menyayangi, dia tidak berharap gadis itu
menunjukkan rasa cintanya dalam waktu singkat.
Ia menyukai perasaan cinta yang mengalir bagai arus air,
lembut, tak berisik, ia tak suka cinta yang meledak-ledak, mula-mula
panas membara kemudian menyusut dan dingin kembali.
Yang paling penting lagi adalah Sangkoan Jin pernah
berjanji kepadanya, selesai membangun usaha besar dan menguasai
dunia, dia pasti akan menyerahkan putrinya untuk menjadi istrinya.
Sekalipun tidak terburu-buru, dia pun tidak mengijinkan
Siangkoan Ling-ling jatuh hati kepada orang lain.
Apa mau dikata, ternyata Siangkoan Ling-ling telah jatuh
hati kepada orang lain, dan orang itu justru merupakan musuh
bebuyutannya. Tentu saja orang itu adalah Tio Bu-ki.
Tak heran jika Tong Ou sangat membenci Tio Bu-ki, rasa
bencinya adalah rasa benci yang sangat menakutkan, bukan
sembarangan rasa benci. Sedemikian besarnya rasa benci itu hingga
memungkinkan dia membunuh lawannya setiap saat.
Tapi Tong Ou tidak berharap Tio Bu-ki mati secara utuh,
mati secara cepat.
Dia ingin menyiksanya perlahan-lahan, agar dia menyesal,
agar dia melewatkan sisa hidupnya dalam kebencian dan
penyesalan. Sebab itulah dia sengaja membebaskan Tio Bu-ki dari
Benteng Keluarga Tong, kemudian sengaja mengatur rencana Naga
Kemala Putih, agar Tio Bu-ki datang untuk membunuh Sangkoan Jin.
Dia punya cara untuk membuat Tio Bu-ki tahu kalau rencana
keji yang mengaturnya membunuh Sangkoan Jin adalah rencana keji
dari Benteng Keluarga Tong, agar dia menyesal sepanjang masa.
Jika seseorang berada dalam kondisi menyesal, kepandaian
silatnya pasti akan merosot tajam, itulah sebabnya dia mengatur
pertarungan satu lawan satu dengan pemuda itu di saat setelah
rencana Naga Kemala Putih terlaksana.
Dalam keadaan sedih dan menyesal, Tio Bu-ki pasti tak
dapat berkonsentrasi secara baik. Saat itulah dia akan mengalahkan
anak muda itu, agar semangat dan cita-citanya hancur berantakan.
Semua ini tentu saja membutuhkan perencanaan.
Tapi, mungkinkah semua yang dirancang akan terlaksana
sesuai dengan harapan" Tak seorang pun yang tahu, tentu saja,
kecuali Thian. Tapi ia tetap percaya diri, ia yakin kemenangan tetap
berpihak kepadanya.
Kini, dengan penuh percaya diri dia berjalan menuju ke
kamar tidur Siangkoan Ling-ling.
Sejak Siangkoan Ling-ling menderita luka tusukan Bu-ki di
tenggorokannya gara-gara ingin menyelamatkan nyawa ayahnya, dia
selalu berbaring di ranjangnya, sedemikian lemah kondisi tubuhnya
membuat ia sama sekali tak mampu bergerak.
Waktu itu Sangkoan Jin sedang pergi untuk menerima serah
terima benteng Siangkoan-po, sebenarnya gadis ini ingin ikut,
namun setelah dibujuk Tong Ou akhirnya dia urung pergi. Tong Ou
berjanji akan mengantarnya sendiri ke sana setelah beristirahat
beberapa hari. Bila nanti Sangkoan Jin setuju dengan usul ini, tentu saja
Siangkoan Ling-ling tak bisa membangkang lagi.
Padahal keputusan ini yang diharapkan Tong Ou, karena
lagi-lagi mereka sudah terjebak dalam siasatnya.
Tong Ou memang sengaja berharap Siangkoan Ling-ling
tidak turut serta dalam perjalanan itu, agar ia bisa melaksanakan
rencana berikut.
Kendati cintanya terhadap Siangkoan Ling-ling bertepuk
sebelah tangan, namun dia sangat memahami watak serta tabiat
gadis ini. Dalam melaksanakan rencana berikutnya, dia justru
hendak memanfaatkan rasa bakti dan sifat lembut dari Siangkoan
Ling-ling itu. Setelah mengetuk pintu dua kali, ia membuka pintu dan
berjalan masuk.
Siangkoan Ling-ling bersandar di pembaringan, seorang
dayang sedang menyuapinya makan nasi. Ketika Tong Ou masuk ke
dalam ruangan, baru saja gadis itu menyelesaikan makannya.
Ia berpaling sambil melemparkan sekulum senyuman kepada
Tong Ou. Setiap kali Tong Ou datang berkunjung, dia memang
selalu menampilkan wajah yang sama.
Menanti dayang sudah berlalu sambil membawa sisa
mangkuk dan piring, Siangkoan Ling-ling baru berkata, "Silahkan
duduk!" Tong Ou mengambil tempat duduk di kursi yang semula
ditempati si dayang. Ia menyodorkan sebuah kotak kepada gadis itu.
"Apa isi kotak ini?" tanya Siangkoan Ling-ling sambil
menerimanya. "Buka saja sendiri!"
Siangkoan Ling-ling segera membuka kotak itu, tapi ia
segera berseru tertahan.
"Jinsom berusia seribu tahun?"
"Benar! Kebetulan ada orang yang membawanya dari
wilayah Timurlaut dan kubeli. Aku tahu kondisi badanmu amat
lemah, perlu jinsom semacam ini untuk memulihkan kembali
kekuatan tubuhmu."
"Benda ini mahal harganya, aku tak pantas untuk
menerimanya..."
"Kenapa tak boleh" Biar kusuruh orang memasaknya dengan
ayam tim, pasti baik untuk tubuhmu!"
"Jangan!"
"Kenapa jangan" Aku yang menghadiahkan untukmu, aku
berharap kesehatan badanmu bisa segera pulih seperti sedia kala."
"Sekarang aku sudah sehat sekali, biar kusimpan saja kedua
biji jinsom itu!"
"Menyimpannya?" Tong Ou pura-pura bertanya. Padahal ia
sangat paham, dengan watak seperti gadis ini, dia pasti akan
menyimpan benda yang sangat berharga itu untuk ayahnya.
Dan inilah titik kelemahan yang digunakan Tong Ou, titik
kelemahan yang digunakan untuk melaksanakan rencana berikutnya.
Dalam kedua potong jinsom itu sudah dibubuhi racun yang
sangat ganas, racun yang sangat mematikan.
"Boleh aku menyimpannya?" kembali Siangkoan Ling-ling
bertanya. "Tentu saja boleh," jawab Tong Ou, "benda ini sudah
kuberikan kepadamu, terserah apa yang hendak kau perbuat!"
"Terima kasih banyak!" seru Siangkoan Ling-ling kegirangan.
"Antara kita berdua masa masih diperlukan kata terima
kasih?" ujar Tong Ou sambil makin mendekat.
Siangkoan Ling-ling tertawa manis, perlahan kepalanya
digeser sedikit ke samping.
"Padahal seharusnya kau yang makan kedua jinsom itu!"
kembali Tong Ou berkata.
"Kenapa?"
"Agar kau cepat sembuh sehingga dapat secepatnya
mendampingi ayahmu lagi!"
"Aku sudah sehat, coba lihat..." sambil berkata ia bangkit
dari tidurnya. Buru-buru Tong Ou memayangnya, tapi segera ditampik
gadis itu. Ia turun dari ranjang, berjalan dua langkah ke depan dan
serunya lagi, "Coba lihat, bukankah aku telah sehat kembali?"
"Benar, coba berjalanlah lagi berapa langkah!"
Padahal Tong Ou memang berharap Siangkoan Ling-ling
bisa sehat lebih awal sehingga dapat segera berangkat ke benteng
Siangkoan-po dan membujuk Sangkoan Jin minum jinsom beracun
itu. Bila tenaga dalamnya mengalami pukulan besar, Tio Bu-ki akan
mendapat kesempatan untuk membuat perhitungan dan cukup
tangguh untuk menghajarnya.
Tentu saja Siangkoan Ling-ling tidak menyangka sejauh itu,
kembali ia berjalan berapa langkah sambil ujarnya, "Bukankah aku
dapat berjalan dengan baik" Bagaimana kalau besok juga aku
berangkat mencari ayahku?"
"Jika kau memang ingin sekali, tentu saja aku akan
menemanimu."
"Sungguh?"
"Kapan aku pernah membohongimu?"
Siangkoan Ling-ling kegirangan setengah mati, saking
gembiranya hampir saja ia jatuh terjerembab. Untung Tong Ou
segera memeluknya dan sekalian menarik gadis itu ke dalam
rangkulannya. Dengan wajah tersipu-sipu Siangkoan Ling-ling
menyandarkan kepalanya di atas dadanya, tak sepatah kata pun
sanggup diucapkan, sementara jantungnya berdebar keras.
Ooo)))(((ooo Karena besok akan meninggalkan Benteng Keluarga Tong,
tentu saja Tong Ou harus melaporkan segala lebih dahulu kepada
Lo-cocong, si Nenek Moyang.
Lo-cocong memang amat menyayangi Tong Ou, semua
keputusan yang diambilnya, boleh dibilang tak satu pun yang tidak ia
setujui, biasanya ia malah menunjang segala rencananya.
Tetapi untuk cara Tong Ou menghadapi Tio Bu-ki, Lo-cocong
mengajukan sedikit usul, katanya, "Aku dapat memahami perasaan
hatimu, aku pun tahu betapa benci dan dendammu terhadap Tio Buki,
tapi kau harus ingat, sekarang adalah pertarungan antara dua
perkumpulan besar, jangan sekali-kali karena urusan pribadi, kau
membuat masalah besar jadi terbengkalai!"
"Tak mungkin sampai begitu, Lo-cocong!" jawab Tong Ou.
"Tidak mungkin" Seandainya setelah tiba di Siangkoan-po
ternyata Ling-ling tidak segera menyerahkan jinsom itu kepada
Sangkoan Jin, apa jadinya?"
"Akan kugunakan bujuk rayu untuk mempengaruhi jalan
pikirannya, aku yakin dia pasti akan melakukannya."
"Kau yakin akan berhasil?"
"Tentu saja, aku sudah sangat memahami tabiatnya, semua
tingkah lakunya sudah kuketahui bagai melihat jari tangan sendiri."
"Bila Sangkoan Jin menemukan gejala kurang beres hingga
menaruh curiga"."
"Mana mungkin" Racun buatan Benteng Keluarga Tong
adalah racun yang hebat, siapa yang bisa merasakannya?"
"Seandainya dia mengetahui rahasia ini" Aku bilang
seandainya..."
"Seandainya ketahuan pun aku tidak takut!"
"Kenapa?"
"Sebab racun yang kugunakan kali ini adalah racun hasil
olahan baru, baru pertama kali ini keluarga Tong mencoba
menggunakan resep ini. Jadi seandainya ketahuan, aku dapat
menyangkal kalau racun itu bukan berasal dari keluarga Tong!"
"Dia akan mempercayainya?"
"Pasti percaya. Pertama, dia tak punya alasan untuk
mencurigai kita yang meracuninya. Kedua, aku malah akan
menunjukkan daftar resep racun keluarga Tong kepadanya. Tidak
mungkin dia bakal menemukan kaitan antara resep baru itu dengan
resep lama. Dan yang paling penting, kurasa dia tak nanti akan
merasakannya!"
"Kau tidak kelewat percaya diri?"
"Aku mewarisi tabiat ini dari leluhur, Lo-cocong!"
"Ha ha ha ha... bagus, bagus sekali!" Lo-cocong tertawa
tergelak. "Aku ingin berandai-andai lagi, seandainya racun itu gagal
meracuni Sangkoan Jin, apa yang akan kau lakukan?"
"Maka yang bakal mati adalah Tio Bu-ki! Kita semua tak
Naga Kemala Putih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bakal rugi apa-apa, kecuali tentu saja aku sendiri yang akan merasa
menyesal sekali."
"Kau dapat berpikir sejauh itu, hal ini menunjukkan kalau
kau memang sudah matang, dapat memimpin semua persoalan yang
ada," dengan perasaan gembira Lo-cocong berkata. "Bukan saja kau
telah memimpin Benteng Keluarga Tong, bahkan dapat pula
memimpin dunia yang lebih luas, tentu saja setelah berhasil
memusnahkan Tay-hong-tong!"
"Lo-cocong, aku tak akan membuatmu kecewa, berdasarkan
semua kemungkinan yang bakal terjadi, kau percaya bukan kalau
aku tak akan melupakan kepentingan umum demi kepentingan
pribadi?" "Aku percaya, tentu saja aku percaya!"
Lo-cocong benar-benar gembira, ia mendongakkan
kepalanya dan tertawa terbahak-bahak.
Tong Ou dapat menangkap rasa gembira yang meliputi
perasaan neneknya, dia ikut tertawa. Selesai tergelak, tanyanya lagi,
"Kapan Tong Hoa tiba di sini?"
"Aku perintahkan dia untuk berdiam sementara waktu di
dekat Gedung Keluarga Tio. Dia harus mengawasi terus gerak-gerik
Wi Hong-nio, dia baru kuijinkan pulang setelah yakin rencana Naga
Kemala Putih telah selesai dilaksanakan."
"Tepat sekali keputusan ini, cuma dia masih harus
melakukan satu pekerjaan lagi."
"Oh ya" Pekerjaan apa?"
"Bunuh Pek Giok-khi, pemilik Pesanggrahan Kemala Putih!"
Tong Ou agak tertegun, sesaat kemudian ia baru bertanya,
"Kenapa?"
"Kau anggap Pek Giok-khi masih ada nilainya untuk tetap
dipertahankan?"
Tong Ou tidak segera menjawab, ia berpikir sejenak
kemudian baru berkata, "Siapa tahu di kemudian hari kita masih
butuh kemampuannya."
"Aku rasa tak akan pernah. Coba bayangkan saja, dia sudah
kita beli semenjak belasan tahun berselang, tapi baru hari ini kita
pakai jasanya satu kali, bahkan sebenarnya dalam urusan kali ini,
kita juga tidak harus menggunakan jasanya, bukan begitu?"
Tentu saja benar. Perkataan Lo-cocong ini segera
menyadarkan Tong Ou bahwa jalan pikiran serta kemampuan Lococong
dalam menganalisa dan mengambil kesimpulan masih sangat
hebat. Kemampuannya sama sekali tidak menunjukkan gejala
mundur hanya karena usia. Maka segera jawabnya, "Segera akan
kukirim surat perintah, agar Tong Hoa segera melaksanakan tugas
ini!" "Bagus sekali! Dengan tindakan ini maka rencana Naga
Kemala Putihmu dijamin tak bakal meleset, mengerti?"
Tong Ou mengiakan dan segera berpamitan, dengan
menulis sepucuk surat rahasia, ia perintahkan orang untuk
mengirimnya melalui merpati pos.
Ooo)))(((ooo Matahari tengah hari panasnya bukan kepalang, sedemikian
teriknya, membuat sekujur tubuh Bu-ki bermandikan peluh.
Sepanjang jalan, beberapa kali ia ingin berhenti untuk
beristirahat, menunggu sampai matahari condong ke langit barat,
baru melanjutkan kembali perjalanannya. Tapi setiap kali teringat
kalau tempat itu sudah tak jauh dari rumah kediamannya, dia lalu
tidak memperdulikan betapa teriknya matahari untuk tetap
melanjutkan perjalanan.
Sepanjang perjalanan, dari cerita orang-orang, ia sudah
mengetahui kabar tentang kalahnya Tayhong-tong oleh Benteng
Keluarga Tong. Ia juga tahu kalau Sangkoan Jin telah menguasai
Siangkoan-po dan berada di garis paling depan untuk menghadapi
Tayhong-tong. Ia sempat berpikir, cara yang akan digunakan Sangkoan Jin
untuk menghadapi serangan Benteng Keluarga Tong yang begitu
hebat serta memunahkan ancaman bahaya terhadap Tayhong-tong.
Dia juga pernah berpikir, dengan hanya mengandalkan kekuatan
Sugong Siau-hong seorang, mampukah dia mempertahankan
keutuhan Tayhong-tong"
Dia tidak tahu dan tidak mampu menjawab. Sekalipun ia
cerdas dan terlatih baik, tetap saja ia gagal mengambil kesimpulan.
Dalam keadaan begini, dia hanya bisa menghadapinya selangkah
demi selangkah.
Rumah sudah muncul di hadapannya. Yang membuatnya
tercengang adalah mengapa bangunan itu tak nampak terbengkalai.
Mengapa semuanya teratur rapi dan bersih" Siapa yang masih
berdiam dalam Gedung Keluarga Tio" Dia percaya tak akan ada
orang di situ, lalu siapa yang telah membenahi bangunan itu"
Dia mendorong pintu dan masuk. Jawaban pun segera
muncul di depan mata.
Wi Hong-nio sedang duduk di gardu, ketika melihat Bu-ki
datang, ia segera melompat bangun dan berlarian menghampiri
pemuda itu. Sesuatu perasaan aneh yang membuatnya tercengang
sekilas melintas di benak Tio Bu-ki.
Ooo)))(((ooo Berjumpa dengannya, mengapa Hong-nio tidak
menampakkan rasa girang atau gembira" Bagaimana caranya ia bisa
Sepasang Pedang Iblis 12 Kait Perpisahan Serial 7 Senjata Karya Gu Long Jodoh Si Mata Keranjang 12
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama