Ceritasilat Novel Online

Pendekar Naga Mas 7

Pendekar Naga Mas Karya Yen To Bagian 7


pakaiannya hingga telanjang bulat, kemudian beramai-ramai mendekati bak
mandi. Terdengar Siau-tho yang memiliki buah dada paling montok berseru manja,
"Tongcu, biar budak mandikan kau terlebih dulu, bagaimana?"
"Baiklah!" sahut Cau-ji sambil meremas buah dadanya yang besar itu dan
mempermainkannya.
"Aaah, jangan begitu Tongcu, aku tak tahan," seru Siau-tho sambil tertawa
cekikikan. "Hahaha, Siau-tho, tetekmu sangat besar dan montok sekali, mestinya kau
lebih cocok dipanggil Toa Tho si buah tho gede!"
"Aaaah, Tongcu jahat," seru Siau-tho sambil menyingkir ke samping, mulamula
dia membasahi dulu tubuh sendiri, kemudian dengan cepat menggosokkan
buih sabun di seluruh tubuhnya.
Siau-ting dan Siau-hong segera membantu Siau-tho, membubuhkan sabun di
sepasang kakinya.
Meski Cau-ji hanya mengawasi tingkah laku mereka dengan tersenyuman,
namun dalam hati kecilnya ia berpikir, "Bukankah Siau-tho akan memandikan
aku" Kenapa dia malah mandi duluan" Permainan apa lagi yang sedang dia
persiapkan?"
Dua bersaudara Suto tahu Siau-tho pernah belajar ilmu Yoga, dia selalu
mengandalkan sepasang buah dadanya yang besar untuk menggosok seluruh
badan tuan-tuan yang membutuhkannya, menggosok memakai buah dada
memang jauh lebih merangsang ketimbang memakai tangan.
Andaikata Cau-ji bukan seorang Tongcu, ia tidak tahu kalau 'tombak' miliknya
panjang, besar dan keras, belum tentu Siau-bun mampu mengundang kehadiran
Siau-tho. Terdengar Siau-tho tertawa jalang, Cau-ji segera merasakan ada segumpal
tubuh yang halus, lembut dan empuk tak bertulang menempel rapat di
punggungnya. Tampak sepasang lengan dan kaki Siau-tho direntangkan di sisi papan bak
mandi itu, kemudian setelah menarik napas panjang, tubuh bagian depannya
mulai bergetar keras.
Menyusul kemudian mulai dada hingga pahanya ikut pula bergetar sangat
keras. Mengikuti getaran yang terjadi, dia mulai menempelkan sepasang buah
dadanya yang besar montok itu di punggung Cau-ji dan menggosoknya kuatkuat.
Seketika itu juga Cau-ji merasakan suatu kenyamanan yang tak terlukiskan
dengan kata muncul di punggungnya, tak tahan ia berseru, "Siau-tho, hebat
amat permainanmu ini."
Siau-tho tak bicara karena dia sedang mengeluarkan ilmu simpanannya.
Siau-bun mewakilinya menjawab, katanya sambil tertawa, "Tongcu, inilah
'body masage' jurus simpanan Siau-tho, nikmatilah selagi sempat!"
Cau-ji merasakan sekujur badannya gatal, kesemutan dan geli, napsu
birahinya langsung saja membara, tombaknya yang terpijak di atas papan lamatlamat
terasa sakit, maka cepat dia memiringkan badannya, memberi kesempatan
buat tombaknya untuk lebih bernapas lega.
Siau-ting segera tertawa lirih, mendadak dia tekan badan Cau-ji hingga
senjatanya terjepit di antara papan.
"Aduuuh!" tak tahan pemuda itu menjerit, ternyata tombak berikut sepasang
pelurunya sudah terjepit di antara papan.
Belum sempat dia mengucapkan sesuatu, sambil tertawa cekikikan Siau-ting
dan Siau-hong sudah menerobos masuk ke bawah papan jepitan itu.
Gerakan tubuh Siau-ting jauh lebih cepat dari rekannya, dia berhasil merebut
tombak itu duluan, tanpa membuang waktu dia langsung menjejalkannya ke
dalam mulut dan mulai menghisapnya.
Siau-hong yang kebagian sepasang peluru tak hilang akal, dia jejalkan sebiji
peluru itu ke dalam mulutnya dan mulai dijilat, disedot dan digigit perlahan.
Selama hidup belum pernah Cau-ji menghadapi situasi semacam ini, dia
merasakan satu rangsangan yang aneh muncul dalam hatinya, sekujur badan
merinding, tak tahan ia menjerit tertahan.
Siau-bun tidak memberi kesempatan untuk menjerit terus, dia rangkul tubuh
pemuda itu dan menjejalkan bibirnya ke mulutnya, bukan cuma menciumnya
dengan hangat, bahkan ujung lidahnya mulai menggeliat di dalam mulut
pemuda itu. "Tongcu!" seru Siau-si sambil tertawa, "budak percaya, kaisar pun belum tentu
pernah menikmati pelayanan semacam ini."
Sambil berkata dia mulai melakukan pijatan di seluruh badan anak muda itu.
Cau-ji merasakan kesegaran dan kenikmatan yang luar biasa, demikian
nikmat hingga tak dapat melukiskan dengan perkataan.
Permainan syur yang dilakukan satu lelaki dilayani lima orang gadis muda
pun segera berlangsung dengan gencarnya.
Lewat beberapa saat kemudian terdengar Siau-tho berseru, "Tongcu,
bagaimana kalau berganti posisi?"
Mendengar usulan itu serentak para gadis meninggalkan sisi Cau-ji.
Terdengar Cau-ji menghembuskan napas panjang sambil berseru, "Ooh, Lohu
nyaris habis dirampok oleh kalian!"
Siau-tho segera membetulkan letak papan di bawah tubuh Cau-ji, kemudian
ketika melihat tombak panjang miliknya berdiri tegak bagaikan sebuah tongkat
baja, diam-diam ia menelan air liur.
"Wouw, mestika yang gagah dan keren, tenaga dalam Tongcu memang luar
biasa sempurnanya, tampaknya kau bisa tetap awet muda dan kuat dalam
bekerja!" "Hahaha, memangnya kau sanggup menelan milikku sampai seutuhnya?"
"Jangan kuatir Tongcu, dia itu kapal induk raksasa, biar satu kali lipat lebih
panjang pun sanggup dia telan seutuhnya!"
"Hahaha, kalau begitu telanlah!"
Siau-tho mengerdipkan matanya yang sipit, sesudah menarik napas panjang,
dia langsung duduk di atas pusaka itu.
"Cluupppp!", secara manis dan langsung, dia telan seluruh tombak itu hingga
ke akar-akarnya.
Baru pertama kali ini Cau-ji melenggang di tengah jalan bebas hambatan, tak
tahan pujinya, "Waaah, barang bagus!"
"Hihihi, nikmati saja Tongcu perlahan-lahan, pertunjukan lebih menarik
masih ada di belakang."
Selesai berkata dia tempelkan payudaranya yang besar dan montok itu di atas
dada Cau-ji. Pemuda itu segera merasakan tubuh gadis itu mulai bergoyang perlahanlahan.
Kalau tadi menempel di belakang punggung masih tidak kentara nikmatnya,
tapi sekarang, ketika tombak panjang sudah merogoh liang, ditambah gesekan
sepasang buah dada yang begitu besar dan kenyal di atas dadanya, kontan saja
pemuda itu merasakan kenikmatan yang luar biasa.
Tak tahan lagi pemuda itu tertawa terbahak-bahak.
Cau-ji tak ingin tangannya menganggur, maka dia mulai menggerayangi dada
Siau-ting dan Siau-hong.
Tinggal dua bersaudara Suto yang cuma menonton sambil tersenyum.
Siau-tho punya satu julukan istimewa, dia disebut orang 'setelah perang
dingin', selama ini dia selalu dapat membuat kaum lelaki mencapai puncak
kenikmatannya dengan mengandalkan kehebatan ilmu yoganya, oleh sebab itu
tak peduli melakukan goncangan yang menimbulkan suara nyaring.
Kesan dua bersaudara Suto, selama ini Siau-tho belum pernah mengalami
kegagalan, mereka berdua berharap hari inipun dia bisa memberi kenikmatan
kepada Cau-ji hingga puncak kenikmatannya.
Sebaliknya Siau-tho pun seorang jagoan ranjang yang sangat berpengalaman,
kalau orang sudah biasa minum es di hawa dingin, maka tak sulit baginya untuk
mengetahui panas dinginnya sesuatu. Begitu pula dalam permainan ranjang kali
ini, setelah memompa badannya berulang kali, dia mulai sadar bahwa dirinya
tak mungkin bisa membawa lawannya mencapai puncak kenikmatan.
Apalagi sambil menikmati serangan maut, pemuda itu masih menyempatkan
diri meremas puting susu Siau-ting dan Siau-hong.
Diam-diam dia mulai gembira.
Sudah cukup lama Siau-tho tak pernah merasakan puncak orgasme, sebab
pada umumnya lawan mainnya selalu keok duluan sebelum dia merasa geli.
Dan kini setelah melihat ada peluang besar baginya untuk merasakan
orgasme, tak heran jika dia kegirangan setengah mati.
Genjotan badannya mulai diperkencang, otot liangnya yang menyedot dan
mengunyah pun semakin diperhebat.
Cau-ji merasa liang milik perempuan itu seakan sedang dilanda gempa
dahsyat, semua otot di dalam liang itu seakan-akan menghisap, menyedot,
memilir dan mengunyah barang miliknya, membuat tombak mestikanya seakanakan
sebuah perahu yang sedang dihajar gulungan ombak dahsyat.
Tak lama kemudian seluruh tubuh Siau-tho bergoncang keras, suara creeep ...
creep ... yang aneh pun mulai bergema di seluruh ruangan.
Menyaksikan hal ini, para gadis lainnya hanya berdiri tertegun dengan mulut
melongo. Sebaliknya Cau-ji tertawa keras, tertawa penuh kemenangan.
Dia sudah merasakan getaran keras dari liang surga Siau-tho, ia tahu gadis
itu sudah tak mampu mengendalikan diri lagi.
Maka dengan suara keras teriaknya, "Kalian cepat benahi papan itu, lihat
kehebatan milikku!"
Sambil berkata dia membalikkan badannya secara tiba-tiba, kemudian
mengambil alih peranannya dengan menusukkan tombaknya dengan gencar.
Untung saja papan kayu itu sudah dipegangi empat gadis, kalau tidak, di
bawah gerakan Cau-ji yang luar biasa, entah apa jadinya.
Siau-tho segera merasakan liang surganya ditekan sedemikian rupa hingga
bergetar keras, cepat dia himpun tenaga dalamnya berusaha melindungi liang
kecil miliknya itu.
Cau-ji tidak tahu perempuan itu memiliki ilmu melindungi lubang, melihat
serangan yang dilancarkan tidak membuatnya berteriak minta ampun, dia
segera mengubah taktik perangnya.
Sepasang kaki Siau-tho segera direntangkan di atas bahunya, kemudian
sambil membentak nyaring dia mulai menusuknya secara bertubi-tubi.
Kali ini Siau-tho tak bisa menghindarkan diri lagi, baru tiga puluh kali
tusukan dia sudah menjerit-jerit kenikmatan.
"Hahaha, aku tidak percaya kau tidak menyerah!" seru Cau-ji sambil tergelak.
Kini dia memperlambat gerakan tusukannya, cuma setiap kali menusuk dia
selalu menusuk sangat dalam, hingga menyentuh dasarnya, benturan demi
benturan yang keras membuat cewek itu mulai gemetar keras.
Gemetar yang dia perlihatkan memang merupakan reaksi alami, bukan
getaran yang dihasilkan oleh ilmu yoga seperti tadi, bisa disimpulkan betapa
menikmatinya gadis itu.
Sekuat tenaga dia menggoyang tubuhnya kian kemari, sambil bergoyang
teriaknya keras, "Ayo ... lebih keras lagi... aduuuh... lebih keras lagi... aduh ...
aduuh ... Tongcu... aku... aku mau mati... aaaah ...."
"Hahaha, aku selalu memenuhi permintaan orang, nah, Siau-tho, bersiaplah
untuk mati."
"Oooh ... aaah ... aduh ... aduh ... ya ampun ... Tongcu ... ooh ... Tongcuku
sayang ... aduh ... mati ... mati aku...."
"Hahaha...."
"Aaaaah...."
"Hahaha...."
Selesai tertawa Cau-ji segera berseru, "Siau-ting, sekarang giliranmu naik
ranjang! Siau-hong, kau rawat Siau-tho!"
Dengan perasaan terkejut bercampur gembira Siau-ting melompat naik ke
atas ranjang, baru saja dia merentangkan kakinya lebar-lebar, Cau-ji sudah
menindih di atas badannya dan langsung menusukkan senjatanya ke dalam
liang surganya.
"Woouw, besar amat milikmu Tongcu!"
"Hahaha, Siau-ting, tadi kau sudah menghisap milikku cukup lama, masakah
masih belum tahu kalau punyaku gede?"
"Tapi Tongcu, milikmu sekarang bertambah gede!"
"Hahaha, ayo mulai goyang!"
"Tongcu, aku sedang merasakan betapa sesaknya liangku setelah kau tusuk,
saking asyiknya sampai lupa untuk goyang...."
"Hahaha, Siau-ting, tak kusangka dengan usiamu yang begitu muda, ternyata
caramu bergoyang sudah amat berpengalaman."
Suto bersaudara yang sedang membantu Siau-tho membersihkan badan
segera saling pandang sambil tersenyum.
Baru saja mereka balik kembali ke dalam kamar setelah mengantar Siau-tho
beristirahat, dilihatnya Siau-ting sudah mulai mengoceh tak karuan, jelas cewek
inipun sudah mendekati puncak kenikmatan.
"Siau-hong!" Siau-bun segera berseru sambil tertawa, "sekarang tiba
giliranmu, aku usulkan lebih baik kau bersikap aktif, kalau tidak, sebentar lagi
bisa keok."
"Hihihi, aku memang berencana begitu."
Cau-ji yang mengikuti pembicaraan itu segera berseru sambil tertawa,
"Hahaha, Siau-hong, kalau memang sudah siap, sekarang giliranmu naik
ranjang!" Habis berkata dia segera melepaskan Siau-ting.
"Siau-ting, kau baik-baik saja?" bisik Siau-hong.
"Aaai, bukan cuma baik, aku benar-benar merasakan kenikmatan yang luar
biasa." Seraya berkata dia meluncur turun ke bawah ranjang dengan badan lemas.
Kini Cau-ji mulai menusuk liang milik Siau-hong, bahkan sekarang dia
membantu cewek itu untuk bergoyang ke sana kemari.
Kenapa Cau-ji harus membantunya" Ternyata sejak menelan tombak
panjangnya tadi, Siau-hong seolah sudah kena tenung, tubuhnya bergoyang kian
kemari seperti orang kalap.
Meskipun goyangan kalap itu membuat Cau-ji merasakan kenikmatan yang
luar biasa, namun dia pun kuatir mestikanya lecet gara-gara gerakan tubuhnya
yang ngawur, itulah sebabnya dia membantunya bergerak.
Setelah mengantar Siau-ting dan balik lagi ke kamar, Siau-si jadi keheranan
setelah melihat tingkah-laku Siau-hong yang aneh, tanpa terasa tanyanya,
"Adikku, tampaknya Siau-hong agak kurang beres?"
"Cici, aku sendiri pun kurang jelas, tapi dalam tiga bulan belakangan konon
dia hanya pernah menemani Ciangkwe tidur semalam, lebih baik kita lebih
berhati-hati!"
Sambil tersenyum mereka segera mendekati ranjang.
Ketika Siau-si mencoba menggenggam tangannya, terasa tangan kanan Siauhong
dingin bagaikan es, dia sadar, cewek itu pasti merasa sangat tegang.
"Kenapa kau Siau-hong?" tegur Siau-si kemudian dengan lembut.
"Aku ...." ternyata Siau-hong tak sanggup bicara.
Waktu itu Cau-ji merasa liang surga milik cewek itu menghisap kencang, pada
mulanya dia mengira gadis itu sudah mencapai puncaknya, tapi lama kelamaan
dia mulai merasa gelagat tidak beres, sebab sedotan itu makin lama semakin
mengencang. Ketika diamati lebih seksama, tampak senyuman masih menghiasi wajahnya,
namun sorot matanya penuh dengan perasaan terkejut bercampur takut.
"Siau-hong" tegurnya kemudian, "apa yang sebenarnya kau takuti?"
Siau-hong terkesiap, jeritnya, "Aku?"
Paras mukanya berubah makin parah.
Cau-ji segera merasa lubang surganya kembali mengencang, secara otomatis
dia mengangkat tubuh cewek itu dan didudukkan ke ranjang.
Kemudian sambil mengaduh pemuda itu memegangi ujung senjatanya, dari
mimik mukanya kelihatan kalau Cau-ji sedang kesakitan.
Dengan ketakutan Siau-hong segera menjatuhkan diri berlutut di lantai.
"Siau-hong, apa yang terjadi?" tegur Cau-ji dengan suara lembut
"Tongcu, aku...."
Melihat mimik muka Siau-hong yang ketakutan, dengan ilmu menyampaikan
suaranya Siau-si segera berbisik, "Adik Cau, tampaknya selama tiga bulan
terakhir dia telah mengalami satu kejadian aneh, kau jangan membuatnya
ketakutan."
Cau-ji manggut-manggut, katanya, "Siau-hong, coba kalian bicara bertiga,
kalau ada persoalan katakan kepadaku, pasti akan kubantu penyelesaiannya."
Sambil berkata dia menuju ke kamar mandi untuk membersihkan badan.
Lekas Siau-bun melayaninya mandi, lalu sambil membantunya mengenakan
pakaian, katanya lagi, "Adik Cau, tolong keluarlah dulu, agar kami ada
kesempatan bicara."
Cau-ji tertawa getir, dia pun segera berjalan keluar.
Tiba di luar pintu Cau-ji menuju ke kebun belakang, di situ tampak aneka


Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bunga tumbuh dengan indahnya.
Sambil tertawa geli pikirnya, "Tak nyana pertarungan dengan Siau-tho
sekalian telah menyita banyak waktu, aaah, mumpung tak ada urusan, baiklah
aku jalan-jalan keluar rumah."
Dengan kecepatan tinggi dia segera menyelinap keluar dari rumah dan menuju
keluar kota. Ketika mendekati tempat berlangsungnya pacuan kuda pagi tadi, mendadak
dari kejauhan terdengar suara ujung baju yang tersampuk angin.
Dengan sigap Cau-ji berpaling, terlihat ada empat orang perempuan dengan
menggotong sebuah tandu indah sedang bergerak mendekat.
Sungguh cepat gerakan tubuh orang-orang itu. hanya dalam waktu singkat
mereka sudah berada semakin dekat.
"Aaah, sungguh hebat ilmu meringankan tubuh yang dimiliki orang-orang itu."
pikir Cau-ji dengan terkesiap, "entah malaikat atau dewa mana yang berada
dalam tandu itu?"
Dengan perasaan keheranan dia segera menyingkir ke sisi jalan dan
mengawasi keempat orang perempuan itu.
Ternyata keempat orang perempuan itu berbaju merah, mukanya kelihatan
menor dengan perawakan tubuh genit, usianya seputar tiga puluh tahunan.
Dari gerakan tubuh mereka yang begitu enteng, cepat dan santai meski
sedang menggotong sebuah tandu besar, dapat diduga kungfu yang mereka
miliki sangat tangguh.
Keempat orang wanita itu bergerak sambil memandang ke muka, mereka
seakan sama sekali tak melihat kehadiran Cau-ji di situ.
Tapi ketika tandu itu baru akan melalui hadapannya, mendadak terdengar
seseorang membentak nyaring dari balik tandu, "Berhenti!"
Keempat orang wanita cantik itu segera menghentikan langkahnya, di antara
bergoyangnya tirai di depan tandu, tampak seorang wanita berusia tiga puluh
lima tahunan muncul melongok dari balik tandu.
"Saudara cilik," terdengar perempuan itu menyapa dengan suara merdu,
"kenapa kau berjalan seorang diri dalam cuaca demikian indah" Apakah ada
persoalan yang sedang mengganjal hatimu?"
Cau-ji semakin keheranan, belum sempat dia mengucapkan sesuatu,
terdengar perempuan itu kembali berkata, "Malam sudah makin larut, apakah
adik cilik sedang memikirkan angka berapa yang bakal keluar dalam periode
'semua senang' yang akan datang?"
Ketika mendengar perkataan itu, keempat orang wanita cantik yang selama ini
hanya berdiri dengan wajah dingin segera tertawa dingin.
Wanita cantik dalam tandu kembali tertawa terkekeh, katanya, "Saudara cilik,
kalau dilihat tampangmu seperti orang terpelajar, kenapa bisa terpikat main
tebakan angka macam 'semua senang'?"
Dengan santai Cau-ji menyahut, "Orang bilang burung mati lantaran
makanan, manusia mati lantaran harta, orang pun bilang, seorang enghiong
sulit menghindari godaan wanita, wanita cantik sulit menghindari godaan harta.
Uang dalam jumlah banyak begitu memikat hati, siapa yang tak mau
memikirkannya?"
Kembali perempuan cantik itu tertawa terkekeh.
"Saudara cilik, pepatahmu kurang tepat, contohnya cici, aku selalu
menganggap harta bagai sampah, lahir tidak membawa harta, mati pun tak bisa
membawa apa-apa, buat apa mesti dirisaukan?"
"Hahaha, nona hidup dalam keluarga yang berlimpah, sandang pangan
berkecukupan, keluar masuk naik tandu megah, tentu saja kau tak bisa
merasakan penderitaan orang miskin.
"Beda dengan Cayhe, sejak kecil hidup susah, sudah terbiasa hidup
menyerempet bahaya dan mencari ketegangan, gara-gara pasang 'semua senang',
entah berapa ratus kali aku mesti merogoh kocek.
"Kini kecuali satu stel pakaian yang kukenakan, boleh dibilang sepeser pun
aku tak punya, kini aku sedang berusaha jalan-jalan sambil mengais rezeki,
siapa tahu bisa kutemukan hancuran perak yang berserakan di jalanan ini."
Mendengar perkataan itu, sekali lagi perempuan cantik itu tertawa cekikikan,
saking kerasnya tertawa sampai seluruh tandunya bergoncang keras.
Suara tawanya begitu memikat dan membetot sukma, membuat Cau-ji yang
mendengar seketika terkesima dibuatnya, tanpa terasa dia maju beberapa
langkah ke muka dan mendekati tandu mewah itu.
Keempat orang wanita cantik itu hanya meliriknya sekejap dengan pandangan
dingin, mereka sama sekali tak bergerak, berbicara sekecap pun tidak.
Sambil tertawa perempuan cantik itu mengamati sekujur badan Cau-ji dari
atas hingga ke bawah, melihat tubuhnya yang kekar dan wajahnya yang begitu
tampan, kelihatannya ia pun sangat tertarik, terdengar suara tawanya makin
merdu dan genit.
Sewaktu masih berada di rumah makan Jit-seng-lau tadi, hasrat birahi Cau-ji
tak kesampaian gara-gara ulah Siau-hong yang aneh. sekarang setelah
mendengar suara tawanya yang begitu merdu, kontan saja birahinya berkobar
kembali. Dengan termangu dia berdiri di sisi tandu sementara matanya mengamati
sekujur badan perempuan itu tanpa berkedip.
Sejak melihat kegantengan Cau-ji, sebenarnya perempuan cantik itupun
merasakan tubuh bagian bawahnya gatal sekali, maka begitu melihat anak
muda itu menghampiri tandunya, dengan nada genit dia segera berseru,
"Saudara cilik, kau pandai amat bergurau, dengan kegantengan wajahmu, kau
masih kekurangan wanita cantik?"
Ucapan itu seketika membuat Cau-ji terperanjat, tanpa terasa dia melompat
mundur sejauh beberapa langkah, kemudian mengawasi perempuan cantik itu
tanpa berkedip.
"Saudara cilik, siapa namamu?" tanya perempuan cantik itu lagi.
Kini Cau-ji sudah meningkatkan kewaspadaannya, diam-diam dia
menghimpun hawa muminya untuk melindungi badan, namun di luar dia tetap
berkata santai,'"Ada apa" Memangnya kau ingin mencarikan jodoh untukku?"
"Hehehe, boleh dibilang begitu, saudara cilik, nona macam apa sih yang kau
sukai?" "Hahaha, asal ada nona yang sepersepuluh bagian seperti dirimu, aku rasa itu
sudah lebih dari cukup, atau mungkin harus mencarikan wanita yang sepuluh
kali lipat lebih cantik dari keempat wanita penggotong tandumu itu."
Ternyata Cau-ji sudah merasa sangat muak menyaksikan tampang sok suci
dari keempat wanita penggotong tandu itu, dia memang sedang mencari peluang
untuk mengumpat mereka.
Benar saja, segera terdengar seseorang mendengus dingin, dengan penuh
amarah keempat orang wanita itu mengumpat, "Bajingan sialan, besar amat
nyalimu!" "Ji-cun, jangan ribut dengan saudara cilik ini," perempuan cantik dalam tandu
segera menegur sambil tertawa, "aku lihat bocah ini hanya mengajak kalian
bergurau, mana mungkin kecantikanku bisa mengalahkan kalian berempat?"
"Hahaha, tepat sekali," sambung Cau-ji lagi sambil tertawa tergelak, "marah
adalah musuh mematikan kaum wanita, jika kau marah, kelihatannya aku mesti
mencari wanita yang seribu kali lipat lebih cantik darimu, hahaha"
Ji-cun, wanita yang berdiri di sisi kiri tandu kontan mengumpat, "Sialan kau,
jangan bicara seenaknya, kalau sampai bikin hatiku panas, hmmm! Akan
kusuruh kau mencicipi siksaan yang paling tak sedap."
"Hahaha, apanya yang tak sedap" Paling juga menggonggong macam anjing,
sebab anjing yang banyak menggonggong pertanda tak galak, hahaha, atau
jangan-jangan kau memang anjing goblok?"
"Kau...."
"Kau, kau ... kenapa" Ayo maju kemari kalau berani!"
Ji-cun benar-benar naik darah, sambil berpekik nyaring teriaknya, "Hu-kaucu,
hamba ingin menghajar bajingan cilik ini, apakah aku boleh turun tangan?"
"Terserah, cuma jangan sampai bikin malu perkumpulan kita, turunkan
tandu!" Ji-cun segera menurunkan tandunya, kemudian berteriak, "Bajingan, ayo
turun tangan!"
Cau-ji sengaja melepas pakaiannya, kemudian berteriak, "He, kenapa kau
tidak lepas celanamu?"
Ji-cun merasa malu bercampur gusar, sambil membentak tubuhnya
menerjang ke muka, sepasang telapak tangannya langsung mengancam jalan
darah penting di depan dada lawan.
Cau-ji tertawa dingin, kembali ejeknya, "Hmm, kalau enggan melepas sendiri,
biar aku yang melepas celanamu."
Sambil mengegos ke samping, telapak tangan kanannya langsung membabat
pinggang perempuan itu.
Ternyata ilmu silat yang dimiliki Ji-cun cukup tangguh, melihat serangannya
mengenai tempat kosong ia segera mengegos ke samping menghindari bacokan
lawan, pada saat bersamaan kembali dia melancarkan sebuah pukulan
menghantam dada kiri pemuda itu.
"Serangan bagus!" hardik Cau-ji, tangan kirinya segera didorong ke muka
menyongsong datangnya ancaman itu.
"Blaaam!"
Bentrokan nyaring bergema memecah keheningan, tampak Ji-cun mendengus
tertahan, tubuhnya seketika terpental sejauh beberapa meter, dadanya
bergelombang tak teratur, mukanya dicekam perasaan terkejut bercampur ngeri.
Tampaknya wanita cantik dalam tandu itupun tidak menyangka kalau seorang
pemuda bloon ternyata memiliki kepandaian silat yang begitu tangguh, segera
bentaknya, "Su-ki-hong (merah empat musim)!"
Ketiga orang wanita cantik lainnya segera melompat masuk ke dalam arena
dan masing-masing berdiri di empat penjuru mengepung Cau-ji di tengah.
"Su-ki-hong, merah empat musim. Bagus, hari ini akan kuberi pelajaran
kepada kalian, agar muntah darah, merah empat musim akan kuubah menjadi
darah empat penjuru!"
"Serang!" bentak Ji-cun tiba-tiba.
Pergelangan tangan kanannya digetarkan, seutas angkin berwarna merah
bagaikan seekor ular berbisa langsung mengancam jalan darah Hian-ki-hiat di
tubuh pemuda itu.
Tiga orang perempuan lainnya sama sekali tak bicara, mereka langsung
melancarkan serangan mengancam jalan darah penting di seluruh tubuh
pemuda itu. Cau-ji mengejek sinis, dengan ilmu gerakan tubuh Pat-kwa-yu-liong-sin-hoat
(naga sakti patkwa) dia berkelebat kian kemari di antara sambaran angkin
perempuan-perempuan itu.
"Hmm, ternyata murid kawanan hidung kerbau Bu-tong-pay," jengek wanita
cantik dalam tandu itu sinis, "Su-ki-hong, warna merah menyelimuti kolong
langit!" Begitu mendapat perintah, Ji-cun berempat segera memutar senjata
angkinnya makin gencar, dalam waktu singkat mereka telah membentuk barisan
angkin sakti untuk menghajar Cau-ji.
Jangan dilihat hanya kain yang beterbangan di angkasa, padahal di balik
kibaran kain itu justru terkandung tenaga dalam keempat wanita itu, jangan kan
tubuh manusia, batu cadas dan kayu pun akan hancur berantakan bila
tersambar. Cau-ji mengubah gerakan tubuhnya berulang kali, belum sampai setengah
jam, ia sudah menggunakan gerakan tubuh dari aliran Bu-tong, Tiong-lam serta
Thian-san, tapi sayang dia belum berhasil juga berada di atas angin.
Tenaga pukulannya sudah diperkuat berlipat ganda, tubuhnya bergerak
semakin cepat. Tapi keempat orang wanita itu masih mengurungnya rapat-rapat, kekuatan
serangan yang dipancarkan Cau-ji hanya mampu mementalkan kain-kain angkin
itu, tapi tak mampu menghancurkannya.
Semakin menyerang keempat orang wanita itu bertambah kosen, beberapa
kali pihak lawan berhasil menyarangkan serangannya melalui sudut yang sama
sekali tak terduga.
Beberapa kali Cau-ji tak berhasil menghindarkan diri hingga terhajar oleh
serangan lawan, untung tubuhnya dilindungi hawa murni Im-yang-khi-kang
yang dahsyat sehingga serangan lawan tak sampai melukai tubuhnya.
Walau begitu, tak urung Cau-ji mundur juga dengan sempoyongan.
Gagal melepaskan diri dari kepungan lawan, lama kelamaan Cau-ji jadi naik
pitam, pikirnya, "Sialan, kalau tidak kulukai mereka, tampaknya aku yang bakal
konyol" Begitu mengambil keputusan, dia segera menyalurkan tenaga dalamnya untuk
melindungi badan, lalu dengan berpura-pura terdesak hebat dia mundur
berulang kali. Padahal sembari mundur, matanya yang jeli mengawasi terus gerak-gerik
lawan, dia menunggu kesempatan untuk melancarkan serangan mematikan.
Benar saja, beberapa gebrakan kemudian ia saksikan Ji-cun sedang
menggerakkan tangan kirinya ke atas
Cepat badannya menggelinding di tanah sambil merangsek ke muka, tangan
kanannya melancarkan sentilan jari sementara tangan kirinya melepaskan
bacokan. Peristiwa ini terjadi sangat mendadak, baru saja Ji-tong merasakan dadanya
kesemutan karena tersentil serangan lawan, tahu-tahu lambungnya sudah
termakan pukulan secara telak.
Diiringi jerit kesakitan, tubuhnya terpental sejauh beberapa meter ke
belakang. Perempuan cantik dalam tandu itu segera berpekik nyaring, tubuhnya melesat
keluar dari tandunya dan menyambar tubuh Ji-tong.
Menggunakan kesempatan baik ini Cau-ji merangsek maju lebih ke depan,
sekali lagi dia melancarkan dua serangan berantai ke arah Ji-he.
Waktu itu Ji-he sedang tertegun karena melihat Ji-tong terluka, serangan
Cau-ji yang tahu-tahu muncul di depan mata membuatnya gugup bercampur
panik. Tergopoh-gopoh dia melancarkan bacokan berantai, sementara tubuhnya
mengegos ke samping.
Sekalipun dia sudah menghindar dengan cepat, tak urung lengan kanannya
tersentil juga, kontan lengan itu terkulai lemas.
Ji-cun dan Ji-ciu yang menyaksikan kejadian itu serentak membentak
nyaring, empat lembar angkin secepat kilat meluncur ke punggung Cau-ji.
Seakan tidak melihat datangnya serangan itu, sepasang tangannya langsung
dibacokkan ke tubuh Ji-he yang masih sempoyongan.
Terdengar jerit kesakitan bergema di angkasa, sambil muntah darah Ji-he
mencelat ke belakang.
Tapi punggung Cau-ji pun terhajar oleh keempat lembar angkin itu, sambil
mendengus tertahan dia maju dengan langkah terhuyung.
0oo0 Bab. VI. Membantai Hu-kaucu dengan akal.
Ketika perempuan cantik itu berhasil menyambar tubuh Ji-tong, ia segera
saksikan di antara muntahan darahnya telah bercampur dengan gumpalan
darah hitam, ia segera tahu kemungkinan hidup anak buahnya kecil sekali.
Maka begitu melihat tubuh Ji-he mencelat ke belakang, dia jadi teramat gusar.
Sambil menurunkan tubuh Ji-tong, ia berpekik nyaring, segulung angin
puyuh langsung mengurung sekujur badan Cau-ji.
Melihat tak ada peluang lagi baginya untuk menghindar, terpaksa sambil
mengertak gigi dia melepaskan sebuah pukulan pula dengan tangan kirinya
untuk menyambut datangnya serangan itu.
Di antara pasir dan debu yang beterbangan, terlihat dua sosok bayangan
manusia terpental mundur sejauh empat meter lebih.
Belum sempat Cau-ji berdiri tegak, tahu-tahu badannya terasa mengencang,
ternyata keempat anggota badannya sudah terlilit oleh senjata angkin di tangan
Ji-cun dan Ji-ciu hingga badannya roboh terjengkang ke tanah.
Terasa senjata angkin itu melilit badannya makin kencang, tubuh Cau-ji
sudah tertarik hingga berada di hadapan kedua orang wanita itu.
"Bangsat, mampuslah!" teriak Ji-cun sambil mengayunkan tangan kanannya
siap melancarkan pukulan mematikan.
"Tangkap hidup-hidup!" mendadak perempuan cantik dalam tandu itu
menghardik. Dari serangan pukulan Ji-cun segera berubah jadi serangan totokan, dia totok
jalan darah kaku di tubuh Cau-ji.
Dengan langkah lambat perempuan cantik itu berjalan mendekati Cau-ji, lalu
ujarnya dengan suara berat, "Kalian segera kubur mayat Ji-he dan Ji-tong, lalu
gotong tandu itu ke dalam hutan, aku akan menelan hidup-hidup bocah ini!"
Selesai mengikat tubuh Cau-ji, Ji-cun dan Ji-ciu pun berlalu untuk mengubur
mayat rekannya.
Dari dalam sakunya perempuan cantik dalam tandu itu mengeluarkan sebuah
botol, dari dalam botol menuang keluar sebutir pil berwarna merah membara
yang segera dijejalkan ke mulut Cau-ji, kemudian ujarnya dengan nada


Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyeramkan, "Bocah keparat, mati di bawah bunga Botan, biar jadi setan pun
pasti romantis, kau jangan salahkan aku Cin Se-si lagi!"
Habis berkata dia kempit tubuh Cau-ji dan dibawa menuju ke tengah hutan.
Ketika mendengar nama "Cin Se-si", Cau-ji merasa seakan nama itu sangat
dikenalnya, setelan berpikir sejenak dia pun segera sadar kembali.
Ternyata perempuan cantik ini tak lain adalah salah satu Hukaucu atau wakil
ketua Jit-seng-kau, kenyataan ini membuatnya amat terkesiap.
Dari cerita Bwe Si-jin dapat diketahui bahwa perempuan ini bukan saja
berambisi besar dan kejam, bahkan jalangnya bukan kepalang, tak terhitung
sudah manusia yang mati di atas tubuhnya.
Konon kebanyakan orang yang mati di atas tubuhnya lantaran kehabisan
tenaga lelakinya yang disedot habis, kematian mereka biasanya sangat
mengenaskan. Cau-ji tahu obat yang dijejalkan ke dalam mulutnya tadi pasti salah satu obat
perangsang, tapi dia tidak kuatir, pemuda itu percaya dengan tenaga murni naga
sakti, dia tak akan mempan diracuni.
Cau-ji mulai berencana bagaimana caranya memanfaatkan siasat lawan untuk
menjebaknya, yaitu mengggunakan tenaga Kui-goan-sin-kang untuk ganti
menyedot hawa kewanitaannya.
Dalam pada itu Cin Se-si sudah menurunkan Cau-ji dan mulai menanggalkan
pakaiannya satu per satu.
Jangan dilihat usianya sudah mendekati empat puluh tahunan, ternyata kulit
badannya masih putih halus, khususnya sepasang buah dadanya serta bagian
bawah tubuhnya, semua nampak masih segar, kencang bahkan jauh melebihi
milik nona muda.
Sepasang buah dadanya yang bulat mendongak ke atas, pinggangnya yang
ramping bagai tubuh ular, bagian bawah tubuhnya yang menonjol tinggi ke
depan, bulu bawahnya yang hitam pekat bagai hutan belantara serta pahanya
yang putih mulus, seketika membuat napsu Cau-ji ikut bangkit.
Andaikata perempuan itu bukan seorang iblis wanita yang amat cabul, Cau-ji
ingin sekali memeliharanya agar bisa menikmati tubuhnya setiap saat.
Sebab meski enci Jin, enci Si dan enci Bun terhitung gadis cantik bak bidadari
dari kahyangan, namun mereka selalu tampil anggun, lemah lembut dan
mendatangkan rasa hormat, mereka sama sekali tidak memiliki kematangan
serta kejalangan perempuan ini.
Cin Se-si tertawa jalang berulang kali, sambil membungkukkan badan dia
mulai melucuti seluruh pakaian yang dikenakan Cau-ji.
Begitu melihat burung Cau-ji yang sudah berdiri tegak bagai sebatang tombak,
tak tahan lagi perempuan itu berseru kaget, "Woouw, ternyata burungmu sangat
gede, sebuah pusaka yang hebat!"
Kemudian setelah mengocok burung itu beberapa kali, dia berkata lagi sambil
tertawa, "Betul-betul benda keramat, tidak kalah dibandingkan milik Bwe Si-jin
si setan sialan itu!"
Dia segera menjejalkan burung itu ke dalam mulutnya dan mulai menghisap
sambil menggigitnya perlahan.
Diam-diam Cau-ji menghela napas panjang, ternyata Bwe Si-jin memang tak
malu disebut kekasih berwajah kumala, biarpun sudah berpisah lama, ternyata
iblis wanita ini masih sulit melupakan besarnya barang milik pamannya itu.
Cau-ji dapat merasakan ilmu menghisap yang dimiliki Cin Se-si ternyata jauh
lebih hebat ketimbang ilmu menghisap kawanan gadis lainnya, terutama ketika
dia menghisap burungnya hingga masuk ke dalam tenggorokannya, ternyata
wanita itu mampu menelan seluruh miliknya hingga dapat menggigit ujungnya.
Kenikmatan yang luar biasa membuat Cau-ji mendesis lirih, badannya ikut
gemetar keras. Cin Se-si adalah seorang jagoan dalam berhubungan intim, dia tahu pemuda
itu belum pernah merasakan rangsangan dan kenikmatan semacam ini, maka
dia melanjutkan kembali hisapannya sambil menggigit seluruh bagian burung
itu. Cau-ji merasakan seluruh badannya terasa nyaman, andaikata tubuhnya
tidak dilindungi oleh sari tenaga dari naga sakti berusia seribu tahun,
kemungkinan besar dia sudah mencapai puncak orgasme berulang kali.
Setelah mengeluar tombak itu dari mulutnya, kembali Cin Se-sih berkata
sambil tertawa jalang, "Saudara cilik, ternyata kau memang punya kelebihan
daripada lelaki lain, kehebatanmu membuat cici bertambah suka!"
Habis berkata dia segera merentangkan kakinya sambil berjongkok ke bawah,
"Cluuupppp!", seluruh lubang surganya sudah dibenamkan ke bawah untuk
melahap habis tombak pusaka lawan.
Cau-ji dapat merasakan betapa lebar dan longgarnya lubang surga milik
perempuan itu, dia tahu lawannya adalah seorang 'panglima perang yang banyak
pengalaman', berarti jika dirinya kurang hati-hati, bisa jadi nyawanya akan
terancam, diam-diam ia terkesiap.
Sementara itu Cin Se-si sudah menarik napas panjang, lubang surganya yang
semula longgar tiba-tiba menyusut mengecil, bukan saja telah membungkus
seluruh tombak milik Cau-ji, bahkan ujung tombaknya yang menempel di dasar
lubang terasa mengencang dan menekan makin keras.
"Waaah, kungfu yang hebat!" tak tahan Cau-ji memuji.
"Saudara cilik," ujar Cin Se-si sambil tertawa, "kau mesti meningkatkan
kesadaranmu, cici segera akan membawa kau melayang ke nirwana!"
Selesai bicara dia mulai menggerakkan tubuhnya naik turun.
Cau-ji segera merasakan setiap kali ujung tombaknya menekan pada dasar
lubang surganya, lubang itu seakan berputar di seputar pusaka miliknya,
perasaan kaku dan kesemutan itu mendatangkan kenikmatan yang tak
terlukiskan dengan kata.
"Woouw, kepandaian hebat! Kemampuan hebat.."
"Hahaha, yang hebat masih ada di belakang!"
Kalau tadi badannya naik turun, maka sekarang dia mulai bergerak maju
mundur sambil memutar badannya berulang kali.
Kenikmatan yang ditimbulkan dari gerakan ini membuat Cau-ji semakin
mabuk kepayang.
Pertempuran sengit sudah berlangsung mendekati satu jam, Cin Se-si mulai
terperanjat setelah melihat Cau-ji tetap tangguh memberikan perlawanan,
bahkan sama sekali tak ada gejala pemuda itu hampir mendekati puncaknya.
Dalam keadaan begini dia mulai mempercepat gerakannya, bahkan menekan
semakin kuat dan penuh bertenaga.
Diam-diam Cau-ji pun merasa amat kagum dengan kehebatan ilmu ranjang
yang dimiliki perempuan ini, bukan saja dia memiliki potongan tubuh yang
menggiurkan, ternyata pengendalian tenaga pun sangat tepat sehingga tidak
menimbulkan kesan menekan badannya secara berlebihan.
Apalagi sepasang buah dadanya yang bergetar dan bergoyang mengikuti
gerakan badannya, seketika membuat dia syur-syuran....
"Cepat remas tetekku ... cepat remas tetekku tiba-tiba perempuan itu
mendesis, "oooh ... aaaaah ... aaaaah!"
Dengan mengandalkan pengalamannya yang sangat luas di bidang hubungan
badan, Cin Se-si tahu kalau pemuda itu mulai terpikat dan kesemsem oleh
kehebatan ilmu bersenggamanya, maka setelah tertawa jalang ia segera menotok
bebas jalan darah kakunya.
Dengan cepat Cau-ji bangkit duduk, bukan saja dengan mulutnya ia mulai
menghisap puting susu sebelah kanan milik perempuan itu, bahkan tangan
kanannya mulai meremas buah dada sebelah kirinya.
Cin Se-si tidak menyangka pemuda itu pandai diajak bekerja sama, kontan
saja dia pun merasakan kenikmatan yang luar biasa.
"Saudaraku," serunya sambil tertawa jalang, "ayo kerja sama yang baik, siapa
tahu cici akan mengampuni jiwamu!"
Sambil berkata dia melanjutkan kembali goyangan mautnya.
Setelah bermain beberapa saat kemudian, tiba-tiba Cau-ji berbisik, "Cici,
bagaimana kalau kau beristirahat sejenak."
"Hahaha, bagus, akan kulihat kemampuanmu sekarang."
Dia segera berbaring di lantai sambil merentangkan sepasang kakinya.
Cau-ji menarik napas panjang, tubuhnya segera ditekan ke bawah.
"Plaaaaak!", tombak pusakanya langsung ditusukkan ke dalam lubang surga
milik lawan dan dihujamkan hingga mencapai dasar.
Kontan saja Cin Se-si menjerit kenikmatan, "Woouw, dahsyat!"
Saking nikmatnya dia mulai gemetar keras.
Cau-ji segera menggenjotkan badannya berulang kali, tusukannya makin
tajam dan kuat, sebentar ia menusuk sebentar mencabutnya lagi, kemudian
menusuk sambil memuntir, sebentar kemudian dia menekan sambil
menggesek.... Lima puluh gebrakan kemudian Cin Se-si sudah mendesis sambil merintih,
mukanya merah padam karena rangsangan birahi.
"Ayo lebih cepat lagi ... aduh ... aaaaah ... lebih kuat... aaahh ... oooh ... lebih
dalam ...."
Diam-diam Cau-ji mengumpat dalam hati, namun tusukan demi tusukan
dilancarkan makin ganas.
Beberapa kali dia keluarkan jurus ampuh 'menusuk sambil membalikkan
badan', membuat dasar liang surganya terasa tergesek.
Cin Se-si kegirangan setengah mati, teriaknya makin keras, "Betul, tusuk
terus ... aaaah ... yaa ... digesek yang keras ... aduhh ... gesek terus ... bikin
dasar lubangku makin nikmat!"
Sembari berkata tubuhnya bergerak terus mengiringi gerakan anak muda itu.
Lubang surganya mulai megap-megap seperti orang yang kehabisan tenaga,
tersengal-sengal karena tusukan yang bertubi-tubi, tapi dia melakukan
perlawanan terus, menggesek, memutar, menggoyang, semua gerakan telah
digunakan. Jelas kalau tak punya kepandaian simpanan, tak mungkin orang berani
bergerak macam begini.
Sementara itu Ji-cun dan Ji-ciu telah selesai mengerjakan tugasnya dan
kembali ke sisi arena, begitu melihat pertarungan yang masih berlangsung
antara kedua orang itu, diam-diam mereka merasa amat kagum.
Pandang punya pandang, akhirnya mereka merasa badannya mulai panas,
napsu birahinya segera bangkit menyelimuti seluruh benaknya.
Tanpa pikir panjang kedua orang perempuan itu menanggalkan pakaiannya,
kemudian sambil meremas payudara sendiri mereka mulai terengah-engah.
Setengah jam kemudian Cau-ji telah menaikkan sepasang kaki Cin Se-si di
atas bahunya, kemudian tombak pusakanya kembali ditusukkan ke dalam liang
surganya secara gencar.
"Oooh ... aaaah ... aduh ... aaaah ... nikmat.."
Peluh telah membasahi seluruh tubuh Cin Se-si, tapi badannya masih
bergoyang terus tiada hentinya.
Cairan putih sudah meleleh keluar dari lubang surganya, membasahi pantat
dan tubuh bagian bawahnya, tapi dia justru bergoyang makin menggila.
Ji-cun dan Ji-ciu tak kuasa menahan rangsangan lagi, mereka berdua mulai
saling berpelukan sendiri, tubuh mereka bagaikan ular yang meliuk-liuk saling
menempel satu sama lainnya, bagian bawah badannya saling ditempelkan, saling
bergesek .... "Enci Ciu, cepat jilat milikku!" tiba-tiba Ji-cun merintih lirih.
Sembari mendesis dia mulai merentangkan sepasang pahanya.
Ji-ciu segera berjongkok dan mulai menjilati lubang surga milik rekannya,
mula-mula menjilati sekelilingnya kemudian ujung lidahnya mulai menerobos ke
dalam lubang surga itu dan merpatinya berulang kali.
Terakhir dia mulai menghisap tonjolan yang ada di bagian tengah, menjilat,
menghisap dan menggigitnya berulang kali.
Di pihak lain, Cau-ji masih menggenjot badannya berulang kali, dua ratusan
genjotan kemudian Cin Se-si mulai merasakan lubang surganya berkerut
kencang, lalu dia pun mencapai orgasme.
Lekas dia menarik napas panjang, sambil menjepit tombak pusaka Cau-ji
dengan kuat, dia mulai tertawa menyeringai.
Seketika itu juga Cau-ji merasakan tombak pusaka miliknya seakan dijepit
oleh gelang baja yang sangat kuat, makin menjepit semakin kencang.
Dia tahu, tampaknya perempuan itu telah menggunakan ilmu mencuri hawa
murninya untuk menghisap hawa kelakiannya, diam-diam ia terkesiap.
Segera anak muda itu menarik napas panjang, dengan teknik menghisap dari
ilmu Kui-goan-sin-kang, ia mulai beradu kepandaian dengan perempuan itu.
Mereka berdua saling bertindihan tanpa bergerak.
Meskipun ilmu yang dimiliki Cin Se-si sangat lihai, namun Kui-goan-sin-kang
merupakan Sim-hoat tingkat paling tinggi dari Jit-seng-kau, ditambah
pengalaman aneh yang berulang kali dialami Cau-ji, setelah jam kemudian
perempuan itu mulai tak kuasa menahan diri.
Begitu merasakan gempa bumi yang terjadi di dasar lubang surga miliknya,
Cau-ji segera menggerakkan jari tangannya menotok jalan darah kaku dan bisu
di tubuh Cin Se-si, kemudian ia menghimpun tenaganya siap menghadapi
sergapan Ji-cun dan Ji-ciu.
Untungnya kedua orang wanita jalang itu sedang asyik, hingga hawa
kewanitaan Cin Se-si habis dihisap Cau-ji dan pulang ke alam baka diiringi
senyuman manis, mereka berdua masih berasyik masyuk sendiri.
Cau-ji mendengus dingin, diam-diam dia mengayunkan tangannya
melepaskan serangan maut.
Diiringi dua jeritan ngeri, hancuran tubuh dan ceceran darah segera
berserakan di seluruh hutan.
Tidak mau kerja tanggung, Cau-ji kembali melepaskan sebuah pukulan
dahsyat menghancur lumatkan jenazah Cin Se-si.
Tiba-tiba ia merasa seluruh badannya bergolak keras, sadar hal ini
disebabkan hawa kewanitaan yang dihisap dari tubuh Cin Se-si, satu ingatan
melintas dalam benaknya, cepat dia berpakaian dan balik ke rumah makan Jitsenglau. Begitu membuka pintu segera teriaknya, "Enci Bun!"
Ternyata Bwe Si-jin serta dua bersaudara Suto sedang berdiri bingung di
depan pembaringannya, begitu melihat kemunculan Cau-ji, Siau-bun segera
berseru, "Adik Cau, kemana saja kau seharian" Kami hampir gila gara-gara
mencarimu."
"Aku...."
"Yang penting selamatkan jiwa orang lebih dulu," tukas Bwe Si-jin cepat, "Cauji
segera lepaskan pakaianmu!"
"Paman...."
Sementara itu dua bersaudara Suto telah menanggalkan semua pakaiannya,
terdengar Siau-bun berbisik, "Adik Cau, racun yang berada di tubuh Jit-koh
mulai kambuh, menurut paman, katanya hanya darahmu yang bisa digunakan
untuk menyelamatkan jiwanya."
"Aku mampu?"
Melihat anak muda itu sudah bertelanjang bulat, Bwe Si-jin segera berkata,
"Adik Cau, memangnya kau lupa kalau dalam darahmu mengandung inti sari
kekuatan naga sakti berusia seribu tahun yang mampu memunahkan berbagai
racun" Cepat naik!"
"Tapi paman," protes Siau-si, "tubuh Jit-koh sudah menyusut, mana mungkin
bisa begituan dengan Cau-ji?"
"Kalau begitu ... gunakan darahnya!"
Sambil berkata dia mengambil sebuah cawan dan melukai pergelangan kiri
Cau-ji. Tak selang lama kemudian ia sudah mendapatkan secawan kecil darah segar.
"Hentikan pendarahannya!" perintah Bwe Si-jin.
Kemudian ia membangunkan tubuh Jit-koh dan perlahan-lahan melolohkan
darah segar itu ke dalam mulutnya.
Tak lama kemudian Im Jit-koh tersadar dari pingsannya, secara beruntun dia
muntahkan tiga gumpalan darah hitam yang baunya sangat busuk, lalu
keluhnya, "Ooh, sakitnya setengah mati!"
"Jit-koh, kionghi, racun di dalam tubuhmu telah punah!" seru Siau-si sambil
menunjukkan gumpalan darah hitam itu.
Kemudian secara ringkas dia pun menceritakan bagaimana Cau-ji telah
menyelamatkan jiwanya dengan memberikan secawan darah.
Waktu itu Im Jit-koh dalam keadaan tak sadar, tentu saja dia tak tahu kalau
jiwanya telah diselamatkan, begitu mendengar penjelasan itu serunya, "Terima
kasih Tongcu, kau telah menyelamatkan jiwaku!"
Sambil berkata dia hendak menjatuhkan diri berlutut.
Lekas Bwe Si-jin memeluk tubuhnya, sambil tertawa tergelak katanya, "Jitkoh,
kita adalah orang sendiri, buat apa kau mesti berlaku sungkan" Ayo kita
balik ke kamar, jangan menjadi lampu sorot di sini." Habis berkata ia tertawa
tergelak dan berlalu dari situ.
Kini Siau-bun dapat menghembuskan napas lega, ujarnya sambil tertawa,
"Adik Cau, ada urusan apa kau terburu-buru mencariku?"
"Enci Bun, cepat lepas pakaianmu!"
Siau-bun melirik sekejap gumpalan darah di saputangan Siau-si, lalu dengan


Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ilmu menyampaikan suara bisiknya, "Cici, adik Cau baru saja diambil darahnya,
tapi dia ingin begituan, boleh tidak?"
"Boleh saja," jawab Siau-si dengan wajah bersemu merah, "tadi adik Cau
ditinggal Siau-hong setengah jalan, napsunya belum tersalurkan, lebih baik kita
jangan membuat seleranya hilang, aku rasa luka kecil itu tak akan
mengganggunya."
Sambil berkata dia pun mulai melepas pakaian.
Tak terlukiskan rasa girang Cau-ji melihat kedua orang gadis itu sangat
penurut, cepat dia membaringkan diri di atas ranjang.
Siau-bun melirik sekejap ke arah tombak yang mulai mengeras sambil berdiri
tegak itu, lalu dengan malu-malu dia menaikinya dan menusukkan ke dalam
liang surganya.
Sembari membelai tubuh Siau-si, secara ringkas Cau-ji pun bercerita tentang
pengalamannya tadi.
Siau-bun yang selesai mendengar cerita itu segera menjerit tertahan, serunya,
"Adik Cau, jadi kau benar-benar telah menghabisi nyawa Cin Se-si?"
"Benar, siapa suruh dia tak tahu diri dan ingin menghisap hawa kelakianku,
jika aku tidak duluan menghisap hawa kewanitaannya, bukankah aku yang
bakal mampus" Eh, enci Bun, bagaimana kalau kuhadiahkan hawa kewanitaan
miliknya itu kepadamu?"
Mendengar berita gembira ini Siau-bun jadi kegirangan setengah mati, dengan
air mata bercucuran serunya, "Terima kasih banyak adik Cau, cici tak tahu
bagaimana harus membalas budi kebaikan ini."
"Hahaha, padahal ada dua jalan untuk balas budi, pertama, kau harus lebih
giat sehingga aku merasakan kenikmatan yang luar biasa, kedua, setelah
menikah nanti, kau harus melahirkan berapa orang bayi gemuk untukku, paling
tidak aku mesti mencetak rekor anak di atas rekor ayahku."
Siau-bun tertunduk malu.
Tapi dia benar-benar mulai bekerja keras, menggoyang badannya makin giat.
Siau-si sendiri bersandar di dada Cau-ji sambil menciuminya dengan napsu.
0oo0 Ketika matahari sudah jauh di angkasa, akhirnya Siau-bun dan Cau-ji samasama
telah mencapai puncak kenikmatan.
Mereka berdua tidur sambil berpelukan, mereka tak peduli cairan lengket
masih membasahi bagian bawah tubuh mereka.
Waktu itu Siau-si sudah duduk bersila di belakang punggung adiknya, telapak
tangannya ditempelkan di atas jalan darah Bing-bun-hiat, katanya serius, "Adik
Cau, adik Bun, ayo cepat mengatur napas."
Sambil berkata dia mulai menyalurkan tenaga muminya.
Dalam waktu singkat mereka bertiga sudah berada dalam keadaan tenang.
Di saat ketiga orang itu masih menikmati kesenangan di dalam ruangan, di
luar gedung telah terjadi keributan yang luar biasa.
Kematian wakil ketua Jit-seng-kau serta kedua orang pelindung hukumnya di
tangan 'Manusia penghancur mayat' telah menggemparkan seluruh rumah
makan Jit-seng-lau.
Selesai memberi perintah anak buahnya untuk mengubur hancuran mayat
serta membakar tandu mewah itu, Im Jit-koh bersama Bwe Si-jin dan kawanan
kakek berbaju hitam itu melakukan rapat tertutup.
Perdagangan yang berlangsung di rumah makan itu tetap berlangsung ramai,
tapi setiap orang mulai meningkatkan kewaspadaannya, orang takut 'manusia
penghancur mayat' akan datang menyerang.
Bwe Si-jin tahu semua hasil karya itu tentu merupakan perbuatan Cau-ji,
maka sambil mendengarkan usul orang lain, ia mulai menyusun strategi lebih
jauh. Kalau dulunya dia berencana mengajak Cau-ji meluruk ke markas besar Jitsengkau dan mengambil kesempatan untuk membantai Su Kiau-kiau berempat,
maka sekarang dia merubah rencana, dia berniat memancing kawanan iblis
wanita itu meninggalkan bukit Wu-san.
Sebab markas besar di bukit Wu-san selain dilengkapi barisan yang aneh,
juga dilapisi alat jebakan yang mengerikan, dia kuatir bila salah langkah, semua
rencananya bakal berantakan.
Oleh sebab itu dia berniat memancing musuhnya datang mencari mereka.
Tentu saja dia pun sangat girang setelah tahu nama besar 'manusia
penghancur mayat' menjadi amat populer di situ.
0oo0 Cau-ji dan dua bersaudara Suto telah membersihkan badan, kini mereka
bertiga sedang bersantap sambil berbincang-bincang.
Tiba-tiba Cau-ji teringat sesuatu, tanyanya, "Aaah, benar, setelah repot
seharian aku hampir saja lupa menanyakan keadaan Siau-hong, sebenarnya apa
yang terjadi hingga dia nampak selalu tegang dan ketakutan?"
Mendapat pertanyaan itu, paras muka Siau-bun berubah jadi sedih
bercampur gusar, katanya, "Dulu, Siau-hong adalah putri kesayangan
Congpiauthau perusahaan ekspedisi Ban-an-piau-kiok di kota Soh-ciu, sejak
barang kawalannya tiga kali dirampok orang, perusahaannya pailit, untuk
membayar hutang, terpaksa putrinya dijual ke tempat ini.
"Siau-hong sungguh kasihan, pada malam pertama kedatangannya di sini dia
telah dinaiki oleh Ciangkwe yang punya kelainan jiwa, sejak malam itu ada tiga
hari ia tak mampu turun dari ranjang.
"Dalam tiga bulan terakhir, Ciangkwe sudah tiga kali mencarinya, setiap kali
dia selalu menyiksanya dengan cara berubah-ubah, akibatnya timbul perasaan
takut yang luar biasa pada diri gadis ini."
Siau-si segera menambahkan, "Adik Cau, barangmu yang besar dan panjang
membuat dia semakin ketakutan."
"Ooh, Siau-hong yang patut dikasihani," bisik Cau-ji sambil tertawa getir.
"Adik Cau, kau harus berusaha menyelamatkan Siau-hong!" pinta Siau-bun.
"Tapi... bagaimana caraku menolongnya?"
"Adik Cau, bagaimanapun Siau-hong berasal dari keluarga kenamaan, bila
kau bersedia menampungnya"
"Eh, jangan, jangan begitu, bukankah Siau-si telah berkata, Siau-hong
ketakutan setelah melihat ukuran barangku yang luar biasa, mana mungkin aku
bisa menolongnya?"
"Adik Cau, tahukah kau, setiap kali mau begituan, Ciangkwe selalu
menggunakan tongkat yang jauh lebih besar dari milikmu untuk mengobok-obok
lubang milik Siau-hong?"
"Kurangajar, jahat amat orang ini" teriak Cau-ji sambil menggebrak meja,
"hmmm! Akan kucari kesempatan untuk menghabisinya!"
"Benar, manusia jahat seperti itu memang pantas dihabisi secepatnya," Siaubun
menimpali, "tapi mengenai urusan Siau-hong, apakah kau akan
mempertimbangkan kembali?"
"Enci Bun, segala urusan biarlah berjalan sewajarnya," kata Cau-ji sambil
tertawa getir, "aku sih mau-mau saja, tapi kalau sampai keluargaku ada yang
keberatan, bagaimana jadinya?"
Mendengar perkataan itu kedua orang gadis itupun segera terbungkam.
Pada saat itulah terdengar suara pintu kamar diketuk orang.
Lekas Siau-si membuka pintu, serunya kemudian, "Ooh, rupanya Tongcu,
silakan masuk!"
"Hahaha, bocah kunyuk, kau sudah membuat masalah besar di luaran sana
sehingga menyebabkan kami semua tegang setengah mati, tapi kau sendiri
malah mendekam di kamar mencari kesenangan."
"Hahaha, jadi mereka telah menemukan mayat-mayat itu?"
"Cau-ji, bagus sekali tindakanmu, Cin Se-si memang perempuan berilmu silat
paling tinggi di antara empat wanita lainnya, dia pun berhati bengis, kejam dan
jahat, dengan kematiannya berarti kita sudah tak perlu repot lagi."
"Paman, Cau-ji sendiri nyaris mati di tangannya."
"Ooh, apa yang terjadi?"
"Paman, ilmu barisan merah empat musim dari keempat pembantunya sangat
lihai, hampir saja Cau-ji tak mampu menahan diri."
Secara ringkas ia menceritakan pengalamannya.
"Hahaha, setelah menderita kerugian, lain waktu kau pasti akan lebih pintar,
lain kali jangan lupa menyerang dengan ilmu jari atau mencari sebilah pedang
untuk menjaga diri begitu pertarungan mulai berlangsung, mengerti?"
"Paman, bagaimana kalau Cau-ji membawa pisau belati yang kutemukan
dalam gua itu?"
"Benar, dengan tenaga dalam yang kau miliki sekarang, ditambah membawa
senjata mestika, maka keadaanmu ibarat harimau tumbuh sayap. Ehmm,
carilah kesempatan untuk mengambil balik senjata itu."
"Paman, ketika kita menyusup ke dalam markas besar nanti, tak ada salahnya
kita ambil dulu senjata mestika itu."
"Cau-ji, inilah alasan kenapa paman datang kemari, paman bermaksud
mengubah siasat yang kita gunakan, kita tak perlu menyatroni mereka lagi, biar
Su Kiau-kiau sekalian yang datang mencari kita, dengan begitu kita lebih
gampang memusnahkannya."
Cau-ji melirik kedua orang gadis itu sekejap, kemudian sahutnya sambil
tertawa, "Bagus, bagus sekali, terus terang, Cau-ji memang kurang paham soal
alat jebakan, aku kuatir terjadi sesuatu yang tak diinginkan."
"Cau-ji, untuk menciptakan situasi yang lebih seram agar Su Kiau-kiau
semakin ingin datang kemari, paman berencana memintamu melakukan lagi
peran sebagai manusia penghancur mayat!"
"Bagus, tapi enci Bun dan enci Si...."
"Hahaha, tentu saja suami kemana istri harus ikut, demi melindungi
identitasmu, lebih baik mereka berdua sedikit mengubah wajah, lagi pula jangan
terlalu sering berkumpul denganmu, mengerti maksud paman?"
Dengan rasa girang bercampur malu, kedua orang gadis itu menundukkan
kepalanya. Cau-ji manggut-manggut berulang kali.
"Baiklah Cau-ji, besok pagi berangkatlah, kalian harus membuat persiapan!"
0oo0 Tengah malam itu, secara diam-diam Cau-ji menyelinap ke depan kamar
Ciangkwe, sebelum pergi meninggalkan tempat itu, dia berniat menghabisi dulu
nyawa manusia berhati binatang ini agar tidak menjadi bibit bencana bagi Siauhong.
Perlahan-lahan dia mendorong pintu kamar, ternyata tidak dikunci, dengan
perasaan girang pikirnya, "Maknya, benar-benar sangat kebetulan, tampaknya
kalau raja akhirat akan mencabut nyawanya pada kentongan ketiga, dia tak
akan hidup sampai kentongan kelima, ternyata kamar pun tidak dikunci."
Baru saja dia mendorong pintu, terdengar suara menyeramkan telah bergema
dari dalam kamar, "Maknya, Siau-hong, kau sundal busuk, kenapa sampai
sekarang baru tiba di sini?"
Sekilas pandang Cau-ji dapat melihat ada sesosok bayangan manusia sedang
bangkit berdiri dari pembaringan dan berjalan mendekat, dengan cepat ia totok
jalan darah bisunya.
Kemudian dengan satu gerakan cepat dia menyelinap ke hadapan Ciangkwe
yang masih berdiri dengan wajah tercengang dan memandangnya sambil tertawa
dingin. "Maknya," katanya kemudian, "agar kau mampus dengan jelas, aku beritahu
alasan kedatanganku, aku kemari untuk membalaskan dendam bagi Siau-hong."
Sambil berkata dia segera menghantam tubuhnya hingga anggota badan
Ciangkwe itu hancur berantakan.
Kemudian bagaikan bayangan sukma dia menyelinap keluar lagi dari kamar.
Baru saja dia menutup pintu kamar, kebetulan seorang peronda malam
sedang berjalan mendekat, cepat dia menyelinap masuk lagi ke dalam kamar
Ciangkwe itu dan mengeluyur pergi dari arah lain.
Dalam waktu singkat suara gembreng dibunyikan bertalu-talu, cahaya obor
segera menerangi seluruh tempat, bayangan manusia pun berkelebat di sana sini
bergerak mengumpul di situ.
Setelah mengetahui duduknya perkara, dengan berang Im Jit-koh segera
berseru, To Piau, bukankah kau yang bertugas melakukan ronda" Kenapa tidak
tahu ada orang melakukan pembunuhan di sini" Hmm, lebih baik kau bunuh
diri saja."
Dengan wajah memelas lelaki itu mengayunkan tangan kanannya menghajar
ubun-ubun sendiri.
Bwe Si-jin yang berada di sampingnya segera mencegah perbuatan itu,
ujarnya, "Congkoan, manusia penghancur mayat memiliki kepandaian silat yang
hebat, gerakan tubuhnya sukar diraba, bila dia melakukan pembantaian, tentu
saja To Piau tak mungkin bisa mencegahnya.
"Sekarang kita sedang butuh orang, biarlah To Piau diberi kesempatan
membuat pahala guna menebus kesalahannya. Congkoan, maaf kelancangan
Lohu!" "Tidak berani, tidak berani," segera Im Jit-koh menyahut, "perkataan Tongcu
ada benarnya juga, To Piau, kenapa tidak berterima kasih kepada Tongcu?"
Dengan penuh rasa terharu To Piau berlutut di tanah sambil menyembah
berulang kali. "Hahaha, bangunlah, lain kali mesti lebih hati-hati," kata Bwe Si-jin sambil
berlalu dari situ.
0oo0 Keesokan harinya, pagi sekali Cau-ji yang menyamar menjadi seorang lelaki
kekar berwajah ungu, dengan menggembol sebilah pedang telah meninggalkan
rumah makan Jit-seng-lau menuju ke utara.
Baru keluar dari pintu kota, dari arah belakang muncul suara derap kuda
yang kencang diikuti dua ekor kuda melintas di sampingnya.
Terdengar orang yang berada di atas kuda itu membentak nyaring, "Sobat,
Siauya menunggumu di gardu Ay-wan-ting!"
Cau-ji agak tertegun, tapi setelah memperhatikan bayangan punggung kedua
orang itu, ia segera menyadari, pikirnya, "Ternyata Lokyang Capji Eng yang bikin
ulah, nampaknya selama ini mereka mengawasi terus gerak-gerik di seputar Jitsenglau" Setelah tertawa hambar dia melanjutkan perjalanan dengan langkah lebar.
Sepanjang perjalanan, secara beruntun ada beberapa ekor kuda yang
melintas. Kembali Cau-ji berpikir, "Sialan, rupanya Lokyang Capji Eng sudah tiba di
sini, kalau begitu mereka memang punya niat hendak mencabut nyawaku."
"Maknya, kali ini aku bakal pusing tujuh keliling, meskipun kawanan manusia
itu sedikit latah, namun tabiatnya tidak terhitung jelek. Maknya, aku tidak bias
tinggal diam."
Maka dia pun bertanya jalan menuju ke gardu Ay-wan-teng, kemudian
menyusul ke situ.
Dua bersaudara Suto menyamar menjadi sepasang suami istri berusia
pertengahan yang berwajah biasa, mereka selalu menjaga jarak sejauh tiga li
dengan Cau-ji. Menjelang tiba di gardu Ay-wan-teng, mendadak terdengar Siang Ci-liong
bersenandung dengan suara nyaring.
Menyusul suara senandung itu tampak anggota Lokyang Capji Eng serentak
melompat keluar dari gardu dan mengawasi Cau-ji yang sedang mendekat.
Secepat kilat Cau-ji bergerak mendekati kedua belas orang itu, tegurnya, "Ada
urusan apa kalian mengundangku kemari?"
"Apakah kau berasal dari rumah makan Jit-seng-lau?" tanya Siang Ci-liong.
"Benar!"
"Hahaha, aku Siang Ci-liong dari Lokyang, ingin mengajukan beberapa
pertanyaan kepadamu."
"Hmm, aku kenal kau, kalian pun pernah datang ke Jit-seng-lau, bukankah
Hucongkoan telah memberitahukan banyak hal kepada kalian" Pengetahuanku
tidak lebih banyak darinya!"
Jelas sekali nada perkataan itu, menolak untuk menjawab.
Siang Ci-liong segera tertawa tergelak.
"Hahaha, justru yang ingin kuketahui adalah asal-usul Hucongkoan"
Cau-ji melirik Siang Ci-ing sekejap, tiba-tiba tanyanya, "Apakah kau ingin
menjodohkan dia dengan Hucongkoan?"
Merah jengah wajah Siang Ci-liong, setelah berdehem, ujarnya, "Kau senang
sekali bergurau, tujuan kami berbeda, mana mungkin bisa bersatu?"
"Kalau begitu, kenapa kalian tak langsung tanyakan kepada yang
bersangkutan?"
Selesai bicara dia membalikkan badan dan siap meninggalkan tempat itu.
"Berhenti!" bentakan nyaring bergema.
Di tengah bentakan terlihat seorang pemuda tampan menghadang jalan pergi
Cau-ji. Dengan dingin Cau-ji meliriknya sekejap, kemudian ujarnya, "Hm, rupanya
kau! Kionghi, kionghi, sudah menjadi juara pertama lomba kuda, kenapa belum
mentraktir aku?"
Tampaknya orang itu tidak menyangka lawannya dapat mengenali, ia agak
tertegun, kemudian sahutnya sambil tertawa, "Benar, aku memang ingin
mentraktirmu minum beberapa cawan."


Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagus sekali, kalau begitu ayo jalan!" seru Cau-ji sambil tertawa.
Orang itu tak mengira Cau-ji segera menyanggupi undangannya, sekali lagi dia
tertegun. Pada saat itulah Siang Ci-liong dengan lantang berseru, "Ternyata kau gagah
dan berjiwa terbuka, bagaimana kalau kita kunjungi Hong-hok-lau dan minum
arak sambil menikmati pemandangan alam?"
"Hong-hok-lau" Kau maksudkan rumah makan Hong-hok-lau di Bu-chang?"
"Benar!"
"Hmmm, tak kusangka kau berselera tinggi, hanya ingin minum arak pun
harus menempuh perjalanan jauh, kalau aku sih tidak minat, kakiku tak kuat
jalan terlalu jauh."
"Hahaha, aku punya kuda yang bisa menempuh ribuan li dalam sehari,
kenapa takut?"
Cau-ji segera mempertimbangkan dua bersaudara Suto yang mengintil di
belakang, segera ujarnya sambil tertawa, "Aku hidup miskin, kemana pun selalu
berjalan kaki, jadi aku tak biasa naik kereta atau menunggang kuda."
"Maksudmu, kau tak bisa menunggang kuda?" tanya Siang Ci-liong tertegun.
"Benar, waktu amat berharga, ayo jalan."
Habis berkata dia pun berteriak keras, "Ayo, pergi ke rumah makan Hong-hoklau
untuk minum arak, hahaha...."
Belum habis perkataannya, ia sudah berada jauh dari posisi semula.
Lokyang Capji Eng terkesiap, mereka tak menyangka orang itu memiliki
kungfu hebat, cepat mereka cemplak kudanya dan menyusul dari belakang.
Selang beberapa saat kemudian, dua bersaudara Suto baru muncul di depan
gardu, dengan ilmu menyampaikan suara Siau-bun berbisik, "Cici, tampaknya
kita harus membeli dua ekor kuda untuk melanjutkan perjalanan?"
"Baik, toh tujuan mereka ke Hong-hok-lau, biar tidak terkejar pun adik Cau
pasti akan meninggalkan tanda rahasia di sepanjang jalan!"
0oo0 Cau-ji belum lama terjun ke dalam dunia persilatan, boleh dibilang dia tidak
tahu dimanakah letak rumah makan Hong-hok-lau itu, karenanya dia hanya
mengintil terus di belakang Siang Ci-liong bersaudara dan selalu menjaga jarak.
Menjelang fajar menyingsing, akhirnya tibalah mereka di depan rumah makan
Hong-hok-lau. Baru saja kedua belas ekor kuda jempolan itu berhenti berlari, sementara
Lokyang Capji Eng melompat turun dari kudanya sambil melemaskan otot, tibatiba
terlihat sesosok bayangan manusia telah meluncur tiba.
Sungguh cepat gerakan orang itu, hanya dalam beberapa kali lompatan saja,
ia sudah berdiri di puncak rumah makan itu.
Dia tak lain adalah Cau-ji.
Begitu mencapai puncak bangunan, pemuda itu segera mendongakkan kepala
dan tertawa nyaring.
Sungguh keras suara gelak tawanya, bukan saja seluruh angkasa bergetar
keras, bahkan Lokyang Capji Eng pun harus menutup telinga.
Cau-ji segera melompat turun dan melangkah masuk ke dalam ruang rumah
makan diikuti Lokyang Capji Eng, belum lagi mereka berbicara, tiba-tiba
terdengar lagi suara derap kuda bergema dari kejauhan.
Cau-ji menengok sekejap ke depan, tampak ada dua puluhan orang lelaki
kekar dengan wajah gusar dan menghunus senjata melompat turun dari
kudanya sambil berlari mendekat.
Melihat itu Cau-ji segera berseru, "Saudara Siang, ada orang datang!"
Baru akan melangkah keluar, tiba-tiba ia saksikan lagi ada empat orang
kakek berbaju hitam berlari mendekat.
Pemuda itu segera berseru tertahan, "Hah, jangan-jangan anggota Jit-sengkau
yang datang?"
Berpikir begitu dia melompat masuk lagi ke dalam ruangan dan melongok
lewat jendela. Sementara itu kedua puluh orang lelaki kekar itu sudah berjalan mendekat,
lelaki pertama yang bertubuh kekar berwajah seram segera menghardik,
"Manusia she Siang, kelihatannya jalanan di dunia ini amat sempit, lagi-lagi kita
bersua." Melihat kawanan manusia yang muncul ternyata adalah perkumpulan Honghokpang, bandar judi 'semua senang' di kota Bu-chang, kontan Lokyang Capji
Eng mendengus sinis.
"Bu-pangcu," tegur Siang Ci-liong lantang, "kelihatannya kau sudah lupa
dengan pelajaran di masa lalu."
Lelaki bersenjata dayung baja yang berdiri di sisi kanan mendadak
menghardik, "Siang Ci-liong, biar Toaya menjajal kehebatanmu!"
Sambil berkata dia mengayunkan senjatanya menyapu ke muka.
"Gou Tat, biar Yo-siauya yang melayani," sambut seseorang sambil tertawa
dingin. Tampak orang keenam dari Lokyang Capji Eng, Yo Ih-heng menerjang ke
muka, ujung pedangnya langsung menusuk dada orang itu.
Dengan jurus To-pat-jui-yang (mencabut terbalik ranting lemas), dia sambut
tusukan pedang itu dengan dayung bajanya.
Yo Ih-heng mendengus sinis, tidak menunggu senjata lawan tiba di
hadapannya, kembali ia berganti jurus, kali ini membacok kaki lawan.
Gou Tat membentak nyaring, dayung bajanya menyapu dada.
Sambil berpekik nyaring Yo Ih-heng maju beberapa langkah, sewaktu
tubuhnya menubruk lagi ke depan, pedangnya dengan teknik menggiring senjata
lawan mendayung ke arah lain.
Inilah ilmu pedang awan lembut yang paling diandalkan keluarga Yo.
Satu keras satu lembut, pertempuran berlangsung makin seru.
Pada saat bersamaan Liu Kong-gi yang menempati urutan kelima sudah
terlibat pertarungan sengit melawan seorang lelaki bersenjata roda bergigi.
Dalam waktu singkat Lokyang Capji Eng sudah mencari lawan sendiri-sendiri
dan terlibat dalam pertarungan di tengah tanah lapang depan rumah makan
Hong-hok-lau. Musuh Siang Ci-ing adalah seorang lelaki kekar berusia empat puluh
tahunan, berwajah kuning pucat dan bermata tajam, dengan mengandalkan
ilmu pedang Luan-po-hong-kiam-hoat (ilmu pedang angin puyuh) dari aliran
Gobi, dia melancarkan serangkaian serangan secara bertubi-tubi.
Karena begitu bertarung. Siang Ci-ing sudah berebut melancarkan serangan
duluan, maka dalam waktu singkat lelaki itu tercecar hebat, di antara
berkelebatnya cahaya pedang ia hanya bisa berkelit ke sana kemari.
Sejak mengetahui kehadiran keempat orang kakek berbaju hitam itu, si nona
Siang sudah tahu kehadiran mereka adalah untuk membantu kelompok itu,
maka sejak awal dia sudah meningkatkan kewaspadaannya.
Kini dia berniat menghabisi kawanan jago Hong-hok-pang secepatnya agar
bisa lebih berkonsentrasi sewaktu menghadapi keempat orang kakek itu.
Jurus pedangnya segera diperketat, di antara kilatan cahaya pedang yang kian
kemari terselip tusukan maut yang mematikan.
Tak sampai tiga gebrakan kemudian, terdengar lelaki itu menjerit kesakitan,
lengan kanannya tahu-tahu sudah terpapas kutung.
Baru saja Siang Ci-ing siap menusuk perut orang itu, tiba-tiba terdengar
seseorang membentak nyaring, "Tahan!"
Segulung angin pukulan telah meluncur tiba.
Merasa jiwanya terancam, mau tak mau Siang Ci-ing harus menarik kembali
serangannya sambil melompat mundur.
Seorang kakek berbaju hitam telah berdiri beberapa meter di hadapannya,
sambil tertawa seram terdengar orang itu berseru, "Budak cilik, tak kusangka
dengan wajah cantikmu ternyata memiliki hati keji!"
"Tak usah banyak mulut," tukas Siang Ci-ing cepat, "lihat pedang!"
Kembali tubuhnya menerjang ke muka, dengan ilmu pedang angin puyuh dia
gulung tubuh kakek itu.
Meski berilmu tinggi, tampaknya kakek berjubah hitam itu tak berani
memandang enteng ilmu andalan Go-bi-pay itu, cepat dia mengegos ke samping
sambil melancarkan serangan balasan.
Dengan cepat kedua orang itu terlibat dalam pertempuran sengit.
Siang Ci-liong sendiri pun sudah terlibat dalam pertarungan sengit melawan
seorang kakek berbaju hitam setelah melukai lelaki kekar tadi.
Terdengar kakek itu membentak nyaring, tubuhnya merangsek maju, tangan
kirinya melancarkan cengkeraman sedang tangan kanannya membabat ke arah
dada. Sungguh dahsyat jurus Ci-jiu-poh-liong (tangan kosong melawan naga) itu,
hawa serangan yang terpancar dari kelima jari tangannya menekan tubuh Siang
Ci-liong. Buru-buru Siang Ci-liong mundur setengah langkah, tangan kirinya
menggiring cakar lawan ke arah lain, sementara tangan kanannya dengan ilmu
pedang langsung melancarkan bacokan.
Jarang sekali ada orang melancarkan serangan tangan dengan teknik ilmu
pedang, ancaman itu kontan saja memancing perhatian pihak lawan.
Begitu merasa datangnya desingan angin tajam, lekas kakek itu mendorong
telapak tangan kanannya sejajar dada.
Siang Ci-liong tahu, musuh memiliki tenaga dalam luar biasa, cepat dia
mengegos ke samping menghindari ancaman itu.
Si kakek dengan kekuatan bagai membelah bukit segera mendesak maju lebih
ke depan. Siang Ci-liong tak mau unjuk kelemahan, dengan teknik ilmu pedang dia
menghadapi serangan lawan dengan gigih.
Ilmu silat ini merupakan ilmu andalan Siau-lim yang mengutamakan
keringanan dan kelincahan dipadu dengan ilmu langkah, sembari mengegos dari
ancaman musuh, sambil mencari kesempatan untuk melepaskan ancaman.
Tangan kirinya sebentar menggunakan teknik pedang, sebentar menggunakan
ilmu pukulan penakluk harimau, sebentar lagi menggunakan ilmu menangkap
Kim-na-jiu-hoat, tak terkira banyaknya perubahan yang dia lakukan.
Kakek berbaju hitam itu diam-diam terkesiap, dia tak menyangka pemuda itu
sanggup melancarkan serangan dengan perubahan begitu beragam, sebentar
pukulan, mencengkeram, menangkap.
Kuatir tak mampu menghadapi perubahan yang beragam itu, tenaga
pukulannya semakin diperkuat.
Selama ini Cau-ji hanya menonton jalannya pertarungan dari balik jendela,
sekilas pandang ia dapat melihat, kecuali Siang Ci-ing yang berada di bawah
angin, rekan-rekan lainnya boleh dibilang sudah menguasai keadaan, hal ini
membuatnya menghembuskan napas lega.
Lebih kurang satu jam kemudian, tampak seluruh anggota perkumpulan
Hong-hok-lau berhasil ditumpas tanpa sisa, sementara kedua orang kakek
berbaju hitam itupun sudah menderita luka parah.
Tapi Lokyang Capji eng sendiripun ada tiga orang yang menderita luka.
Melihat situasi tidak menguntungkan, kakek berbaju hitam yang bertarung
melawan Siang Ci-liong itu segera melancarkan serangkaian serangan gencar,
kemudian ia merogoh sakunya dan melemparkan sebuah benda ke angkasa.
"Blaaam!", letupan keras berkumandang di angkasa.
Siang Ci-liong tahu, orang itu sedang mencari bala bantuan, segera
bentaknya, "Rupanya kau memang ingin mampus!" Jari tangan kiri, telapak
tangan kanan segera melancarkan serangan secara bersamaan.
Terdengar kakek itu menjerit kesakitan, bahu kirinya sudah terhajar oleh
serangan Siang Ci-liong hingga remuk, tubuhnya mundur ke kanan dengan
sempoyongan. Yo Ih-heng yang melihat kakek itu sempoyongan ke arahnya, segera
memanfaatkan kesempatan itu dengan menghadiahkan sebuah tusukan kilat.
Kendati kakek itu berkelit dengan cepat, tak urung lambung kanannya
terbabat juga oleh pedang itu hingga terluka.
Darah segar segera menyembur kemana-mana.
Waktu itu Siang Ci-liong sudah mendesak ke samping tubuhnya, sambil
membentak kembali dia menghadiahkan sebuah babatan ke dadanya.
Kakek itu mengertak gigi, dengan menghimpun sisa kekuatan yang dimiliki
dia sambut datangnya serangan itu dengan keras melawan keras.
"Blaaam!", tubuh kakek itu mencelat ke udara.
Belum lagi tubuhnya mencapai tanah, babatan pedang Yo Ih-heng telah
membelah tubuhnya.
Siang Ci-liong sendiri pun tergetar mundur tiga langkah, sesaat dia berdiri
termangu, diam-diam hawa murninya disalurkan untuk meredakan gejolak di
dalam dadanya. Cau-ji yang menyaksikan kejadian itu diam-diam mengumpat, "Goblok, salah
sendiri, kalau ingin menghajar mestinya langsung menghajar, buat apa mesti
diberitahu dulu sebelum digebuk?"
Kakek yang sedang bertarung melawan Siang Ciing dan dua orang pemuda
perlente itupun sebenarnya sudah terdesak hebat, jeritan ngeri itu membuat
perhatiannya bercabang, tak ampun lengan kanannya dibacok kutung oleh Siang
Ci-ing. Baru saja gadis itu hendak menghadiahkan sebuah tusukan lagi untuk
menghabisi nyawa kakek itu, tiba-tiba terdengar seseorang membentak nyaring,
"Tahan!"
Segumpal jarum emas telah meluncur tiba dengan kecepatan luar biasa.
Lekas Siang Ci-ing mundur ke belakang dan menghindarkan diri dari
serangan Am-gi itu.
"Hukaucu!" teriak kakek itu sebelum akhirnya jatuh tak sadarkan diri.
Teriakan "Hukaucu" seketika membuat Cau-ji yang sedang melamun tersentak
kaget, cepat ia berpaling, tampak empat orang perempuan cantik berusia tiga
puluh tahunan dengan menggotong sebuah tandu merah sedang berjalan
mendekat. Untuk sesaat pemuda itu tertegun.
Kecuali keempat orang penggotong tandu itu, terdapat pula dua belas orang
kakek berbaju hitam yang mengiringi di kedua sisi tandu, tampaknya ilmu silat
yang mereka miliki rata-rata sangat tinggi.
Lokyang Capji Eng sendiri pun terkesiap, mereka tak menyangka dalam posisi
yang amat letih setelah bertempur sekian lama, kini mereka harus berhadapan
lagi dengan sekelompok jagoan tangguh.
Tanpa terasa mereka mundur ke belakang dan berkelompok menjadi satu.
Tiba-tiba terdengar suara merdu berkumandang dari balik tandu, "He, engkoh
ganteng, tak nyana kungfu kalian sangat tangguh, Cuma ... dalam soal begituan
apakah kalian pun tangguh?"
"Perempuan jalang, jangan bicara sembarangan!" umpat Siang Ci-liong gusar.
"Ah, engkoh cilik, buat apa berlagak sok suci" Buang senjata rongsokmu itu,
ayo ikut cici bermain begituan, hihihi"
"Perempuan cabul, sebut namamu," bentak Yo Ih-heng pula sambil menuding
dengan pedangnya.
"Hahaha, engkoh cilik, jadi kau pun ingin minta bagian" Hahaha, ayo kita
bermain ramai-ramai."
"Perempuan jalang, lihat pedang!" bentak Yo Ih-heng sambil menyerang ke
arah tandu. "Kembali!" bentak kakek yang berada di ujung kiri tandu secara tiba-tiba,
telapak tangannya dibacokkan ke depan.
Yo Ih-heng segera merasakan datangnya gulungan angin pukulan yang maha
dahsyat menindih dadanya, padahal saat itu badannya masih melambung di
udara dan mustahil bisa berkelit, terpaksa ia menambah tenaga pukulannya
dengan dua bagian lagi dan menyambut ancaman itu dengan keras lawan keras.
"Blaaaam!"
Di tengah benturan dahsyat, ia menjerit kesakitan dan tubuhnya terpental
balik. Segera Liu Kong-gi menyambut badannya, tampak rekannya itu muntah darah
dan jatuh tak sadarkan diri.
Cepat Liu Kong-gi mengeluarkan pil dari sakunya dan dijejalkan ke dalam
mulutnya, kemudian membawanya menyingkir ke samping guna menjalani
perawatan. Cau-ji sendiri pun tidak menyangka tenaga dalam yang dimiliki kakek itu
sangat menakutkan, sementara ia masih berpikir bagaimana cara mengatasinya,
terdengar perempuan dalam tandu itu telah berkata lagi sambil tertawa, "Engkoh
cilik, lebih baik tahu diri, mari ikut cici pergi dari sini."
"Perempuan jalang, sebut namamu!" kata Siang Ci-liong dengan suara berat.
"Hahaha, engkoh cilik, jangan terburu napsu, sebelum naik ranjang harus ada
pemanasan dulu, begitu baru asyik!"
Tiba-tiba Cau-ji tertawa terbahak-bahak, bentaknya, "Betul, pemanasan dulu
baru asyik naik ranjang, jika mereka tak mengerti soal itu, biar Toaya yang
mewakili mereka semua, hahaha ...."
Sembah berkata, tubuhnya bagaikan seekor burung elang menerkam ke arah
tandu megah itu dengan kecepatan luar biasa.
Kakek yang melancarkan serangan tadi kembali membentak, tubuhnya
melompat ke depan menyongsong kedatangan anak muda itu.


Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cau-ji memang berniat pamer kekuatan, tangan kanannya segera diayunkan
ke depan, tenaga pukulan yang disertai hawa sakti Im-yang-khi-kang langsung
membabat tubuh kakek itu.
"Aaaah.....!", jeritan ngeri yang memilukan hati segera berkumandang
memecah keheningan, hancuran daging dan semburan darah pun berserakan
kemana-mana. Sebuah pukulan yang sangat dahsyat!
"Aaah, manusia penghancur mayat! Cepat mundur!" teriak orang yang berada
dalam tandu terkesiap.
Cepat tandu mewah itu bergerak mundur ke belakang.
Kesebelas orang kakek berbaju hitam itupun ikut mundur sejauh empat meter
lebih. Setelah melayang turun ke atas permukaan tanah, mula-mula Cau-ji
manggut-manggut dulu ke arah Siang Ci-liong sambil tertawa, kemudian sambil
membalikkan tubuh katanya, "Perempuan cantik, jangan kabur dulu! Toaya
masih ingin membuat pemanasan lebih dulu denganmu sebelum naik ranjang!"
Sambil menahan rasa ngeri bercampur takut yang mencekam perasaannya,
perempuan dalam tandu itu menegur, "Jadi kau adalah manusia penghancur
mayat?" "Hahaha ...." Cau-ji tertawa tergelak, "aku she Gi bernama Tin-hong, orang
menyebutku segulung angin, bukan saja jejakku bagai segulung angin, sewaktu
membunuh pun cepat bagaikan angin."
"Masalah benarkah aku adalah manusia penghancur mayat atau bukan,
Toaya sendiri pun tidak tahu, karena Toaya belum pernah menggunakan istilah
itu, tapi tak ada salahnya jika di kemudian hari akan kupakai julukan itu,
hahaha ...."
"Manusia she Gi, dendam sakit hati apa yang terjalin antara perkumpulan
kami dengan dirimu" Kenapa kau selalu memusuhi kami?" kembali perempuan
dalam tandu itu bertanya.
"Hahaha, perkumpulan apa sih yang kalian anut?"
"Hmm! Tak usah berlagak pilon, kalau kau tidak tahu soal Jit-seng-kau, mana
mungkin memusuhi kami?"
Mendengar perkataan itu. Siang Ci-liong sekalian merasa sangat terkesiap.
Mereka tak menyangka perkumpulan Jit-seng-kau yang sudah lama musnah
kini telah bangkit kembali.
"Kau ini bernama Ni Cin-bi" Atau Ni Cin-swang?" hardik Cau-ji.
"Kau ... kau kenal aku?" suara perempuan dalam tandu itu mulai gemetar.
"Hahaha, tidak kenal! Cuma, aku ingin sekali berkenalan denganmu."
Setelah termenung dan berpikir sejenak akhirnya perempuan dalam tandu itu
berseru, "Hentikan tandu!"
Begitu tandu diturunkan, tampak tirai tersingkap dan berkelebat sesosok
bayangan kuning.
Seorang perempuan cantik berbaju kuning yang memiliki kematangan seorang
wanita telah muncul di depan mata.
Menyaksikan kecantikan wajah perempuan itu. Siang Ci-liong sekalian
seketika merasakan hatinya berdebar keras, tanpa terasa paras muka mereka
pun berubah jadi merah.
Siang Ci-ing sendiri meski tahu perempuan itu adalah seorang wanita jalang,
tak urung dia merasa kagum juga.
Khususnya tubuh perempuan yang begitu matang, bahenol dan
mengggiurkan, tanpa terasa memaksanya untuk memperhatikan lebih lama.
Cau-ji pun seketika terangsang birahinya, tapi ia segera mengendalikan
pikiran itu dan tertawa tergelak.
"Hahaha, sungguh cantik! Dibandingkan Cin Se-si, kecantikanmu masih satu
tingkat di atasnya. Kau seharusnya kupanggil Cau Se-si!"
"Aah, nama itu kurang sedap didengar, aku bernama Ni Cin-bi!"
"Ooh, Ni Cin-bi" Maaf, maaf!"
Sambil berkata, dengan langkah lebar ia berjalan mendekat.
Ni Cin-bi sendiri segera merentangkan sepasang tangannya seolah siap
memeluknya, sementara tubuhnya melangkah mendekat.
Ketika jarak kedua orang itu tinggal beberapa langkah, tiba-tiba dia
mengayunkan tangan kanannya, segulung pasir berwarna merah segera
ditimpukkan ke wajah Cau-ji.
"Blaaaam!", tubuh Cau-ji seketika jatuh telentang ke tanah.
Siang Ci-liong sekalian menjerit kaget. Sebaliknya Ni Cin-bi tertawa cekikikan,
serunya, "Orang she Gi, akan kuhisap sarimu hingga kering!"
Sembari berkata dia membungkukkan badan dan siap memeluk tubuhnya.
Pada saat itulah tiba-tiba tampak Cau-ji mengayunkan tangan kanannya
melancarkan sebuah bacokan, sementara tangan kirinya menjotos.
Peristiwa ini sama sekali di luar dugaan Ni Cin-bi, tidak disangka lawannya
sama sekali tak mempan terhadap bubuk pemabuk 'dewa roboh' miliknya.
Tak ampun dadanya langsung terhajar pukulan itu secara telak.
Terdengar perempuan itu menjerit kesakitan, baru saja akan melarikan diri,
pukulan tangan kiri Cau-ji kembali bersarang di punggungnya.
Seketika itu juga tubuhnya hancur berantakan dan menyebar ke arah empat
perempuan cantik serta kesebelas orang kakek berbaju hitam itu.
Buru-buru mereka mengayunkan tangannya menepis hancuran daging dan
darah, kemudian serentak memandang ke arah Cau-ji dengan mata terbelalak.
"Bagaimana?" ejek Cau-ji sembari membersihkan tubuhnya dari debu,
"apakah kalian pun ingin menjadi gilingan daging cacah?"
Kelima orang kakek itu membentak keras, dengan cepat mereka menyebar ke
empat penjuru dan mulai berlarian mengelilingi tubuh Cau-ji.
Sambil berputar kencang, kelima orang itu melancarkan serangan secara
bergantian. Tiba-tiba terdengar Siang Ci-ing berteriak memperingatkan, "Gi-tayhiap, hatihati
dengan barisan Ngo-heng-tin mereka!"
"Hahaha, terima kasih."
Sembari berkata dia mulai melancarkan serangan dahsyat.
"Blaaammm......."
Benturan keras bergema susul menyusul, tampak kelima orang kakek itu
mendengus tertahan sambil mundur dari posisi semula.
Dalam waktu singkat kelima orang itu sudah melolos pedang, sekali lagi
mereka menyerang Cau ji dengan hawa pedang yang mengerikan.
Kini Cau-ji tak bisa memandang enteng musuhnya lagi, sembari berkelit, ia
mulai menyerang dengan ilmu jari dan ilmu pukulan secara bergantian.
Sementara Siang Ci-liong masih tercengang darimana pemuda itu bisa
menggunakan jurus serangan dari perguruannya, keenam kakek baju hitam dan
keempat perempuan cantik itu sudah menubruk tiba. terpaksa mereka sambut
serangan itu dengan perlawanan sengit
Pertarungan pun segera berlangsung amat ramai
Keempat orang perempuan cantik serta kedua belas orang kakek berbaju
hitam itu merupakan jago jago pilihan yang sengaja dibawa Ni Cin-bi turun
gunung dan menjayakan kembali nama besar perkumpulan Jit-seng-kau.
Meskipun pada awal pertarungan sudah ada anggotanya yang tewas di tangan
Cau-ji, namun setelah terlibat pertarungan sengit melawan Siang Ci-liong
sekalian, segera tampaklah kehebatan kungfu mereka.
Tidak sampai tiga puluh gebrakan kemudian, seorang anggota Lokyang Capji
Eng sudah ada yang muntah darah dan terkapar dalam keadaan luka parah.
Yo Ih-heng serta Liu Kong-gi yang masih berada dalam ruang rumah makan
jadi amat gusar, sambil membentak mereka segera terjun kembali ke arena
pertarungan. Dalam pada itu Cau-ji mulai dapat menguasai inti sari dari ilmu barisan Ngohengtin yang sedang mengepung dirinya.
Begitu melihat ada yang terluka parah, dia segera melolos pedangnya dan
mulai menyerang dengan menggunakan jurus ilmu pedang angin puyuh.
Sementara tangan kanannya menyerang dengan pedang, tangan kirinya
berulang kali melancarkan babatan maut ke empat penjuru.
Hawa pedang bagai pelangi, tenaga pukulan bagaikan tindihan bukit.
Kontan kelima orang kakek itu merasakan tenaga tekanan yang sangat berat
menghimpit tubuh mereka, buru-buru mereka mundur ke belakang.
Tiba-tiba saja Cau-ji merasakan tekanan yang dihasilkan barisan itu
mengendor, cepat dia menerobos maju ke hadapan seorang kakek berbaju hitam,
pedang dan pukulan dilancarkan berbareng, ia berniat membereskan dulu
nyawa orang ini.
Melihat datangnya sergapan maut, kakek itu ketakutan setengah mati, namun
karena tak bisa berkelit lagi, terpaksa sambil mengertak gigi dia sambut
datangnya ancaman itu dengan mengerahkan segenap tenaga dalam yang
dimilikinya. "Blaaam ...!"
Lagi-lagi hancuran daging dan percikan darah segar menyebar kemana-mana.
Melihat rekannya tewas secara mengenaskan, keempat orang kakek lainnya
membentak gusar, kini barisan mereka dirubah, dari Ngo-heng-tin menjadi Susiutin, tenaga pukulan yang menderu-deru dengan cepat mengurung seluruh
badan Cau-ji. Sementara itu kembali terdengar anggota Lokyang Capji Eng mendengus
tertahan, Cau-ji tahu situasi tidak menguntungkan pihaknya, dalam keadaan
cemas ia menyerang lagi dengan sekuat tenaga.
Apa mau dikata, keempat orang kakek itupun memberi perlawanan yang amat
gigih, tak lama kemudian lagi-lagi seorang kakek berbaju hitam berhasil
merobohkan seorang pemuda anggota Lokyang Capji Eng, kemudian bergabung
dalam barisan itu.
Dengan bertambahnya satu orang maka ilmu barisan pun kembali berubah
dari Su-siu-tin menjadi Ngo-heng-tin lagi.
Sekarang Cau-ji telah mengerahkan seluruh kekuatan yang dimilikinya, begitu
dahsyat Im-yang-khi-kang yang dimilikinya, bukan saja memaksa tenaga
pukulan dan angin serangan kelima orang kakek itu tak mampu mendekati
tubuhnya, malah secara lamat-lamat memantulkannya kembali.
Atau dengan perkataan lain, mereka pun tak sanggup berbuat banyak
terhadap Cau-ji.
Tak lama kemudian lagi-lagi ada orang yang terluka parah.
Namun kawanan kakek berbaju hitam itu sungguh bandel dan ulet, sekalipun
sudah terluka parah, mereka masih memberikan perlawanan sekuat tenaga,
mereka selalu mengurung Cau-ji hingga anak muda itupun tak mampu
membantu yang lain.
Dalam perkiraan mereka, asal dapat bertahan setengah jam lagi maka rekanrekannya
pasti dapat membereskan sekawanan pemuda dari Lokyang Capji Eng,
kemudian mereka pun bisa bergabung menghadapi Manusia penghancur mayat.
Beberapa saat kembali berlalu....
Kini orang yang menonton jalannya pertarungan semakin banyak, tapi mereka
hanya menonton dari kejauhan dan jumlahnya sudah mencapai ratusan orang
lebih. Lagi-lagi dua orang anggota Lokyang Capji Eng roboh terkapar di tanah, kini
yang masih bertahan tinggal Siang Ci-liong bersaudara serta tiga orang pemuda
perlente. Namun keadaan mereka pun sangat parah, serangan bertubi-tubi dari kelima
orang kakek berbaju hitam serta keempat perempuan cantik itu membuat
mereka terdesak hebat.
Situasi makin gawat dan kritis ....
Mendadak terdengar seorang kakek berbaju hitam yang sedang menyerang
Siang Ci-ing berseru sambil tertawa seram, "Sin-hoa, cewek ini sangat memenuhi
seleraku, jangan kau lukai badannya, sebentar akan kunikmati dulu
keperawanannya!"
Perempuan cantik yang berada di sisi kanannya segera menimpali sambil
tertawa genit, "Jangan kuatir Lo Ki, pasti akan kuringkus perempuan itu dan
kuserahkan kepadamu, coba lihat, badannya cukup seksi...."
Sambil berkata kembali ia tertawa cabul.
Ternyata pengawal pribadi Ni Cin-bi ini sejak awal sudah tertarik kecantikan
Siang Ci-ing, maka waktu bertarung tadi, secara diam-diam ia sudah menyebar
bubuk obat perangsang 'Cau-kun-siau' di sekeliling arena.
Bubuk obat perangsang 'Cau-kun-siau' merupakan obat perangsang yang
paling ditakuti kaum wanita.
Ketika mendirikan perkumpulan Jit-seng-kau, untuk bisa merekrut gadis
cantik sebanyak-banyaknya, telah diciptakan semacam obat perangsang yang
tak berwujud dan tak berbau.
Dengan mengandalkan obat perangsang inilah maka orang yang terkena akan
segera terangsang napsu birahinya, bahkan keinginannya untuk bersetubuh
sangat besar, bukan hanya begitu, bahkan gadis yang terkena obat perangsang
itu tak bakal puas hanya bersetubuh satu kali saja.
Itulah sebabnya banyak gadis cantik yang akhirnya bersedia bergabung
dengan Jit-seng-kau.
Dan kini obat perangsang itu sudah mulai mempengaruhi Siang Ci-ing yang
sedang bertarung.
Periahan-lahan gadis itu mulai merasakan rangsangan napsu birahi di dalam
tubuhnya .... Bagaimana nasib Siang Ci-ing yang mulai terpengaruh obat perangsang"
Apakah dia bakal diperkosa kakek berbaju hitam itu" Bagaimana pula dengan
nasib Lokyang Capji Eng, apakah mereka berhasil lolos dari kepungan"
Apakah Cau-ji berhasil mengatasi kepungan ilmu barisan Ngo-heng-tin"
Tunggu dan baca
Pendekar Naga Mas 3
Cersil XX rate (Bacaan Orang Dewasa)
Bila masih dibawah Umur masuk sarung ajja, hihi
Karya : Yen To (Gan To)
Cersil ini di upload di :
http://kangzusi.com/ atau http:// http://dewikz.byethost22.com/
DAFTAR ISI: Bab I. Mendapat durian runtuh.
Bab II. Merampas Pedang Pembunuh Naga.
Bab III. Raja Bisa, Rasul Ular.
Bab IV. Badai melanda Siau-lim-si.
Bab V. Ong Sam-kongcu bergelar bangsawan.
Bab VI. Kaum sesat musnah, dunia aman.
PENDEKAR NAGA MAS 3
Bab I. Mendapat durian runtuh.
Siang Ci-ing merasakan hawa panas semakin menyelimuti seluruh tubuhnya, kesadarannya
mulai berkurang, napsu birahinya makin berkobar, dia seperti menginginkan "sesuatu"....
Tak terlukiskan rasa kaget nona itu setelah mendengar perkataan musuhnya.
Begitu konsentrasinya buyar, tubuhnya segera tertotok oleh serangan yang dilancarkan
perempuan cantik itu.
Tanpa ampun badannya seketika roboh ke tanah.
Pada saat itulah mendadak terdengar suara derap kaki kuda berkumandang dari kejauhan,
derap kaki kuda yang bergerak makin mendekat disertai bentakan seseorang yang amat nyaring,
"Minggir!"
Cau-ji tahu pastilah dua bersaudara Suto yang telah datang, maka bentaknya pula, "Bunuh!"
Bentakan itu disertai segenap tenaga dalam yang dimilikinya, selain itu didorong pula oleh
perasaan cemas dan hawa napsu yang meningkat.
Begitu menggema di angkasa, bagai guntur yang membelah bumi di siang hari bolong,
membuat semua orang terkesiap dan jantung berdebar keras.
Suto bersaudara tahu bahwa Cau-ji sangat cemas dengan situasi yang dihadapinya, maka
sebelum kudanya tiba, dengan gerakan rajawali sakti pentang sayap mereka menerkam ke depan.
Begitu meluncur tiba, pedangnya sudah dilolos dari sarungnya.
Dua orang kakek yang sedang konsentrasi menghadapi serangan maut Bu-siang-sin-kang jadi
kaget setengah mati ketika merasakan datangnya hawa pedang yang dingin dari arah belakang.
Buru-buru mereka berdua mengegos ke samping.
Begitu melihat barisan itu menunjukkan lubang kelemahan, Cau-ji segera memanfaatkan
dengan sebaik-baiknya, cepat tubuhnya berkelebat ke arah kakek sebelah kanan yang sedang
mengegos dan menghadiahkan sebuah pukulan maut.
"Aduuh" diiringi jeritan ngeri, tubuh orang itu seketika terbelah jadi dua bagian.
Menggunakan kesempatan saat kakek di sampingnya kaget bercampur gugup, kembali telapak
tangan kirinya menghantam dadanya kuat-kuat.
Meskipun dengan cekatan kakek itu berhasil menghindari serangan ke bagian tubuh mematikan
itu, namun terdorong angin pukulan yang kuat, badannya mundur sempoyongan dan bergeser ke
hadapan Suto Bun.
Dengan jurus Liu-seng-peng-gwe (bintang kejora mengejar rembulan), pedangnya langsung
menusuk ke punggungnya dan mengakhiri hidupnya.
"Tempat ini kuserahkan kepada kalian berdua!" bentak Cau-ji kemudian, dengan sekali
lompatan dia menghampiri Siang Ci-liong.
Waktu itu Siang Ci-liong sedang terbelenggu oleh barisan Sam-jay-tin yang dilakukan tiga
perempuan cantik, keadaannya sangat mengenaskan.
Masih berada di tengah udara, Cau-ji dengan jurus Thay-san-ya-teng (bukit Thay-san menindih


Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepala) dia babat tubuh seorang perempuan cantik.
Baru saja dengan susah-payah perempuan cantik itu menghindari serangan, pedang Cau-ji
dengan jurus Yu-hun-jan-sin (sukma bengis menempel tubuh), Huntoan-nay-ho (sukma putus tak
berdaya) serta Kui-ong-tham-jiau (raja setan pentang cakar) telah mencecar.
Sekali lagi terdengar jeritan ngeri berkumandang di angkasa, perempuan cantik itu sudah
termakan sebuah tusukan dan roboh terkapar di tanah.
Melihat rekannya tewas, kelima kakek lainnya meraung gusar, serentak mereka berlari
mendekat. Cau-ji tahu mereka akan mengurung dirinya lagi dengan Ngo-heng-tin, maka hardiknya, "Tidak
usah menggunakan cara kuno!"
Tubuh berikut pedangnya langsung meluncur ke tubuh salah satu di antara kakek itu.
Cepat orang itu berkelit ke samping, tapi belum sempat berdiri tegak, telapak kiri Cau-ji dengan
jurus Poan-koan-kou-hun (hakim sakti menggaet sukma) telah menghajar kepalanya dengan
keras. Kebetulan Cau-ji melayang turun persis di samping kiri seorang perempuan cantik, tidak
membuang waktu pedangnya langsung ditusukkan ke pinggang perempuan itu hingga tembus.
Diikuti jeritan ngeri, tewaslah perempuan itu seketika.
Rekannya buru-buru mengegos ke samping untuk melarikan diri, tapi Siang Ci-liong segera
menyusul ke depan sambil membabat tubuhnya.
Cau-ji tidak tinggal diam, dia mengayunkan juga tangan kanannya, "Blam!", tubuh perempuan
terakhir itu seketika hancur berantakan.
Kini di arena tinggal tujuh orang kakek berbaju hitam serta perempuan cantik yang sedang
membopong tubuh Siang Ci-ing, melihat betapa dahsyatnya ilmu silat yang dimiliki Manusia
penghancur mayat, serentak mereka mundur.
Suto bersaudara pun ketakutan sampai tak bisa bergerak lagi.
"Tahan!" mendadak perempuan cantik itu membentak.
Sambil berkata, telapak kanannya langsung ditempelkan di atas jalan darah Thian-leng-hiat di
ubun-ubun Siang Ci-ing.
Agak tertegun juga Cau-ji melihat ancaman itu, tegurnya, "Mau apa kau?"
"Minggir!" bentak perempuan cantik itu.
"Tinggalkan dulu orang itu!"
"Boleh, setelah kami pergi, tentu saja dia akan kutinggalkan!"
"Lepaskan dia dulu, kemudian kalian baru pergi."
"Tidak!"
Hawa amarah kontan berkobar dalam dada Cau-ji, sebuah pukulan dahsyat kontan dibacokkan
ke depan. "Kau.." dengan ketakutan orang itu menjerit, tergopoh-gopoh dia berkelit ke samping.
"Lepaskan dia dan kalian segera pergi!" kembali Cau-ji menghardik.
Tanpa pikir panjang orang itu segera membebaskan Siang Ci-ing dari cengkeramannya,
kemudian setelah memberi tanda kepada kawanan kakek berbaju hitam itu, serentak mereka
kabur dari situ dalam keadaan sangat mengenaskan.
Dari dalam sakunya Siang Ci-liong mengeluarkan sebuah Giok-pay (lencana kemala) serta dua
lembar uang kertas, diserahkan kepada seorang pemuda berbaju perlente, katanya, "Saudara Liu,
coba kau pergi memanggil kawanan opas!"
Kemudian ia mulai memeriksa keadaan luka yang diderita Siang Ci-ing, setelah memeriksa
denyut nadinya beberapa saat, tiba-tiba paras mukanya berubah hebat.
Lama sekali dia termenung, akhirnya sambil menjura kepada Cau-ji, tanyanya, "Tolong tanya
apakah kau adalah saudara Yu?"
"Benar!" sahut Cau-ji sambil mengangguk, "aku adalah Yu Si-bun!"
"Saudara Yu, boleh aku bicara?"
"Katakan saja saudara Siang"
Cau-ji mengikuti Siang Ci-liong naik ke lantai tiga rumah makan Hong-hok-lau, di situ dengan
wajah serius Siang Ci-liong berkata, "Saudara Yu, tolong tanya bagaimana kesanmu terhadap adik
perempuanku?"
Agak bergetar hati Cau-ji menghadapi pertanyaan itu, setelah termenung sejenak, sahutnya,
"Kecantikan adikmu bagai bidadari dari kahyangan, bukan cuma menguasai ilmu Bun (sastra),
juga mahir Bu (silat), aku yakin pasti banyak putra raja, cucu pangeran, dan pendekar ganteng
yang mengimpikan dirinya!"
Sekulum senyuman segera menghiasi ujung bibir Siang Ci-liong, sahutnya, "Betul sekali! Hanya
sayangnya adikku selalu memandang terlalu tinggi dirinya, dia punya selera tinggi hingga sampai
sekarang belum menemukan pasangan yang cocok."
"Tapi sejak menyaksikan pertarunganmu melawan Susiokco tempo hari, kelihatannya adikku
sangat menaruh perhatian terhadapmu, tolong tanya apakah saudara Yu..."
"Saudara Siang, lebih baik kita bahas persoalan ini lain waktu saja," tukas Cau-ji cepat, "yang
penting sekarang adalah bagaimana menyadarkan adikmu."
"Saudara Yu," paras muka Siang Ci-liong berubah amat serius, "menurut hasil analisaku setelah
memeriksa denyut nadinya, dia sudah terkena obat perangsang yang keras pengaruhnya, untuk
menyelamatkan jiwanya hanya ada satu jalan, yakni melakukan hubungan badan antara lelaki dan
wanita!" "Tapi..."
"Saudara Yu, sejak kematian ayahku, keluarga kami tinggal Siaute serta adikku ini saja, aku
sebagai kakak jelas harus bertanggung-jawab atas keselamatan jiwanya, karena itu aku akan
menjadi walinya untuk memutuskan soal perkawinan adikku itu. Siaute ingin tanya, apakah kau
punya niat dengan adikku itu?"
"Soal ini ... saudara Siang, Siaute sudah punya istri dan istri muda, sekalipun belum dinikah
secara resmi, namun mereka sudah berkumpul denganku, jika kau tidak keberatan masalah ini,
tentu saja Siaute sangat setuju!"
Kembali Siang Ci-liong termenung sambil berpikir, kemudian ujarnya tegas, "Bila saudara Yu
menyetujui, berarti kau telah menyelamatkan nyawa adikku, buat apa mesti meributkan soal
status dan sebutan?"
"Kau tak usah kuatir saudara Siang," janji Cau-ji dengan wajah sungguh-sungguh, "Siaute akan
selalu memandang mereka sederajat, tak ada perbedaan mana yang tua dan mana yang muda."
"Terima kasih banyak saudara Yu," teriak Siang Ci-liong kemudian kegirangan, "kalau begitu
kuserahkan adikku kepadamu. Siaute buru-buru akan mengurusi luka para saudara lainnya, aku
harus balik dulu ke kota Lok-yang."
"Baik, bila urusan telah selesai, Siaute pasti akan menyambangimu di rumah."
"Hahaha, kalau begitu Siaute akan menunggu kehadiranmu, sampai jumpa!"
Setelah turun dari loteng, mereka berdua saksikan ada enam orang opas sedang memberi
petunjuk kepada rakyat untuk membantu memberesi mayat serta noda darah yang berceceran.
Siang Ci-liong sendiri menerima sesosok mayat dari rekannya, setelah berpamitan dengan Cauji,
dia pun berlalu dari situ dengan cepat.
Tujuh ekor kuda tanpa penunggang mengikut di belakangnya.
0oo0 Sepeninggal Siang Ci-liong, Cau-ji segera membopong Siang Ci-ing sambil berbisik kepada Siausi
dengan ilmu menyampaikan suara, "Enci Si, tugas berat telah datang!"
Siau-si tersenyum, sahutnya, "Adik Cau, Thian telah melapangkan jalanmu, bukan cuma
mendapat hartanya, juga memperoleh orangnya, kenapa dibilang tugas berat?"
Cau-ji hanya tertawa getir, diam-diam mereka segera mengeluyur pergi dari situ.
Sepeninggal mereka dari rumah makan Hong-hok-lau, Cau-ji bertiga segera bergerak cepat
bagaikan sambaran kilat, untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan, mereka sengaja memilih
jalan terpencil dan jauh dari keramaian manusia.
Satu jam kemudian tibalah mereka di bukit Lok-ga-san.
Di balik hutan belukar yang sangat lebat mereka bertiga menemukan sebuah gua yang sangat
dalam, mereka pun memasuki gua itu dan membersihkannya sebentar, lalu dari dalam
buntalannya Siau-si mengeluarkan dua stel pakaian dan direntangkan di lantai sebagai alas tidur.
"Adik Cau," bisik Siau-bun kemudian, "apakah nona Siang terkena racun jahat?"
"Benar," sahut Cau-ji sambil tertawa getir, "menurut hasil pantauanku setelah memeriksa
denyut nadinya, obat perangsang Jit-seng-kau yang meresap ke tubuhnya sudah mulai bekerja,
kelihatannya aku harus membuang banyak tenaga untuk mengobatinya."
"Bagus sekali," seru Siau-bun kegirangan, "dengan begitu kami akan memperoleh seorang
pembantu yang handal untuk melayani kebutuhanmu."
"Adik Cau," kata Siau-si pula, "kami sempat cemas ketika melihat mereka datang mencarimu
semalam, tak nyana gara-gara musibah malah mendapat rejeki."
Kembali Cau-ji tertawa getir.
"Ai, pertarungan yang berlangsung tadi sungguh amat sengit, tak kusangka kekuatan yang
dimiliki perkumpulan Jit-seng-kau begitu tangguh dan hebat, lain kali nampaknya kita mesti lebih
berhati-hati,"
"Adik Cau, kau boleh berlega hati untuk 'menolong orang', bila kawanan bangsat itu berani
datang mengganggu, Cici tak akan membiarkan mereka keluar dalam keadaan hidup."
Selesai berkata mereka berdua siap meninggalkan gua.
"Hey, tunggu dulu," Cau-ji segera berteriak, "kalian harus tetap di sini membantu aku!"
"Ah, tidak, hanya melihat buah segar sambil menahan dahaga, sengsaralah kita berdua," omel
Siau-bun cepat.
"Siaute kuatir tak sanggup mengendalikan dia, kan dia terkena obat perangsang."
"Hahaha, ternyata ada saatnya juga kau merasa takut."
"Jangan menggoda aku, aku kuatir melukainya, jadi mesti hati-hati, apalagi jika obat
perangsang itu mulai bekerja, kesadarannya pasti hilang, apa jadinya kalau sampai terluka?"
"Hahaha, baiklah, mengingat kebaikanmu selama ini, kami akan tetap tinggal di sini, cuma kami
mesti bicara dulu di muka, kami hanya membantu, bukan berarti harus memikul beban tanggung
jawab terakhir bila hasratmu tak kesampaian."
"Tentu, tentu, Siaute pasti akan menyelesaikan tugas ini bersamanya."
Sambil berkata dia mulai melucuti pakaian sendiri.
Dua bersaudara Suto membantu melucuti pakaian Siang Ci-ing hingga bugil.
Tiba-tiba terdengar Siau-bun berseru tertahan, sambil menuding bagian bawah gadis itu,
serunya, "Coba kalian lihat!"
Cau-ji berpaling, ia segera jumpai di bagian atas "lubang surga" milik Siang Ci-ing yang bulat
menonjol ditumbuhi bulu hitam yang sangat lebat dan panjang.
Sebenarnya bulu hitam yang tumbuh di bagian bawah perut bukanlah sesuatu yang aneh, tapi
bulu lebat yang dimiliki gadis ini agak aneh, bukan saja dari lubang surga hingga ke bawah
tumbuh bulu yang panjang dan lebat, bahkan di seputar pantat pun banyak ditumbuhi bulu lebat,
sesuatu yang jarang dijumpai.
Dengan tangan gemetar Cau-ji mengelus bulu lebat itu, terasa bulu itu halus dan lembut, dia
mencoba mencabut sehelai rambut bawah itu dan diamati sekejap, lalu gumamnya, "Wah,
ternyata bulu sungguhan!"
"Ssst, jangan berteriak, tentu saja bulu sungguhan!" seru kedua gadis itu agak tersipu, "kalau
bukan bulu sungguhan, buat apa dia tempelkan bulu di bagian bawahnya yang tersembunyi?"
"Wah, coba lihat, di bagian sini pun ditumbuhi juga bulu lebat!"
Mengikuti arah yang dituding Cau-ji, Suto bersaudara segera mengamati dengan seksama,
benar saja, di seputar lubang dubur pun ditumbuhi bulu lebat berwarna hitam, kenyataan ini
kontan membuat mereka makin tercengang.
Cau-ji masih mengamati tubuh bagian bawah nona itu dengan perasaan keheranan dan ingin
tahu. Menyaksikan tubuh Siang Ci-ing mulai gemetar keras, Siau-si buru-buru berbisik, "Adik Cau,
sudah, jangan ditengok melulu, sekarang dia mulai tak tahan, kau harus segera bekerja."
"Kalau begitu pegangi tangan dan kakinya, Siaute segera akan membebaskan totokan jalan
darahnya."
Buru-buru Siau-si duduk bersila di bagian kepala Siang Ci-ing dan merentangkan sepasang
tangannya ke atas, kemudian memeganginya kuat-kuat.
Siau-bun juga bergeser ke bawah dengan berjongkok di bagian belakang sambil menekan
sepasang kakinya.
"Wah, tak nyana aku harus merepotkan banyak orang!" gumam Cau-ji sambil tertawa getir.
Habis berkata dia pun membebaskan totokan jalan darah tidurnya.
Amanat Marga 10 Raja Naga 7 Bintang Karya Khu Lung Pendekar Kidal 17

Cari Blog Ini