Ceritasilat Novel Online

Sepasang Pedang Iblis 14

Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 14


.!" "Aku tahu, Ibu mencinta Suma Han. Akan tetapi laki-laki macam apa dia itu" Kakinya
buntung, rambutnya putih seperti kakek-kakek. Dan kalau dia mencinta Ibu, mengapa dia
membiarkan Ibu merana di sini" Dan mengapa pula Ibu seringkali menyatakan ingin
memperdalam ilmu, ingin memperkuat Pulau Neraka agar kelak dapat menyerbu Pulau Es"
Bagaimanakah sebenarnya Ibu ini" Mencinta ataukah membenci dia" Betapapun juga,
Pendekar Siluman dari Pulau Es itu telah banyak membikin Ibu menderita, maka pada suatu
hari aku pasti akan menantangnya dan akan membunuhnya dengan pedang ini."
"Keng In.... kau.... kau tidak mengerti.... jangan kau bicara demikian. Tak perlu engkau
mencampuri urusan pribadiku dengan dia. Pula mudah saja kau bicara. Sedangkan
kepandaianku sendiri masih belum ada setengahnya, apalagi engkau. Kaukira akan mudah
saja mengalahkan Pendekar Super Sakti?"
Terdengar oleh telinga Keng In yang sedang marah itu betapa dalam menyebut nama
Pendekar Super Sakti dan mengucapkan kalimat terakhir itu, terdengar nada bangga sekali
dalam suara ibunya. Hati pemuda ini makin panas dan dia cepat menjawab, "Harap Ibu tidak
memuji lawan merendahkan diri. Mungkin Ibu masih belum mampu menandingi dia, akan
tetapi lihatlah Ibu, lihatlah ilmu pedang anakmu."
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
365 "Singggg.... cuit....!" Tampak sinar kilat menyilaukan mata dan Keng In sudah mencabut
Lam-mo-kiam, lalu dia bermain pedang dengan gerakan yang luar biasa hebat dan
dahsyatnya. Tubuhnya lenyap dan yang tampak hanya sinar pedang yang kadang-kadang
mencuat ke udara, kadang bergulung-gulung dan membentuk lingkaran-lingkaran yang
saling menyambung, indah dan hebat bukan main sampai membuat Lulu melongo
keheranan. Dia tidak mengenal ilmu pedang itu dan harus diakuinya bahwa ilmu pedang
yang dimainkan puteranya itu betul-betul dahsyat sekali. Setelah Keng In menghentikan
permainannya dan menyimpan kembali Lam-mo-kiam, dengan napas biasa dan wajahnya
yang tampan berseri dia menghadapi ibunya dan bertanya,
"Bagaimana pendapat Ibu" Apakah ilmuku tidak cukup untuk menghadapi Pendekar
Siluman itu?"
Lulu masih terbelalak memandang wajah puteranya. "Keng In, anakku...., dari mana engkau
mempelajari ilmu pedang itu?"
Keng In tertawa, lalu berkata, "Bukan hanya ilmu pedang itu, Ibu, melainkan masih banyak
lagi. Di antaranya ini, harap Ibu lihat!" Tiba-tiba tubuhnya melesat ke atas, tinggi sekali dan
berjungkir balik beberapa kali di udara. Ketika ia melayang turun dengan kecepatan kilat,
kedua tangannya telah menangkap dua ekor burung walet kecil yang terkenal cepat
terbangnya itu. Keng In tertawa-tawa, melepas lagi burung-burung itu, kemudian ia
menghampiri sebatang pohon sambil berkata, "Dan Ibu saksikanlah pukulan ini!" Setelah
berkata demikian, ia menggunakan tangan menampar batang pohon itu.
"Prakkkk!"
Pohon itu tidak tampak terguncang, akan tetapi tak lama kemudian, biarpun hanya ada
angin kecil bersilir, daun-daun pohon itu rontok semua sehingga tinggal batang dan cabangcabang serta ranting-rantingnya yang gundul tanpa sehelai daun pun!
Lulu terkejut bukan main. Gin-kang yang diperlihatkan puteranya tadi sudah hampir melalui
tingkatnya, atau setidaknya sudah setingkat, sedangkan pukulan tadi adalah semacam
pukulan ganas sekali, akan tetapi juga amat dahsyat, membuktikan adanya sin-kang yang
mengandung hawa beracun jahat!
"Keng In! Darimana engkau mempelajari semua itu" Hayo katakan!"
Keng In duduk di atas batu depan rumah mereka dan berkata, "Ibu, sebetulnya aku harus
merahasiakan ini, akan tetapi karena dalam penasaran tadi aku telah memperlihatkan ilmuilmuku kepadamu, terpaksa aku membuka rahasia. Ibu, telah beberapa tahun ini aku
menjadi murid Cui-beng Koai-ong."
"Siapakah Cui-beng Koai-ong (Raja Aneh Pengejar Roh)?"
Keng In tertawa. "Ha-ha-ha, Ibu menjadi Ketua Pulau Neraka, akan tetapi tidak tahu siapa
sebenarnya yang menjadi raja dari Pulau Neraka. Ibu, para kakek muka kuning termasuk
Kakek Kui-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek yang ibu kalahkan itu hanyalah tokoh-tokoh tingkat ke
tiga saja dari Pulau Neraka. Masih ada dua orang lagi yang memiliki kesaktian luar biasa,
melebihi dewa! Mereka berdua itulah yang sebenarnya menjadi tokoh-tokoh pertama dan ke
dua dari Pulau Neraka, akan tetapi mereka itu adalah orang-orang aneh yang tidak pernah
mau memperebutkan kedudukan, bahkan jarang berada di pulau, tak seorang pun melihat
mereka." Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
366 "Hehh...." Benarkah kata-katamu ini?" Lulu bertanya, penasaran dan heran. Dia telah
menundukkan orang-orang Pulau Neraka dan diangkat menjadi pemimpin selama bertahuntahun, mengapa dia tidak pernah mendengar tentang dua orang itu" "Siapa mereka dan di
mana mereka sekarang?"
"Ibu, mereka itu adalah dua orang saudara tua dari kakek yang bermuka kuning. Yang
pertama adalah Cui-beng Koai-ong yang menjadi saudara tertua, dan kebetulan sekali aku
bertemu dengan dia di tempat sembunyinya ketika beberapa tahun yang lalu dia kembali ke
Pulau Neraka. Aku diangkat menjadi muridnya sehingga memperoleh kemajuan besar."
"Dan yang ke dua?"
"Menurut Suhu, orang ke dua itu adalah sutenya, seorang kakek yang aneh sekali, seperti
orang gila, akan tetapi suka merantau dan bahkan jarang sekali muncul di Pulau Neraka.
Suhu berpesan agar aku berhati-hati kalau bertemu dengan Susiok itu, julukannya Bu-tek
Siauw-jin (Orang Rendah Tanpa Tanding)! Kata Suhu, wataknya aneh dan angin-anginan
sehingga mungkin saja dia menentang Pulau Neraka hanya untuk mengumbar wataknya
yang ugal-ugalan dan suka berkelahi!"
Lulu menjadi makin penasaran. "Di mana mereka" Aku ingin mencoba kepandaian mereka.
Sebagai Majikan Pulau Neraka, aku harus mengalahkan semua tokoh Pulau Neraka."
"Jangan, Ibu. Ibu akan kalah, dan pula, tak mungkin Ibu dapat menjumpai mereka. Selain
itu, bukankah mereka tidak mengganggu Ibu?"
"Ya, mengapa demikian" Kalau mereka berilmu tinggi, sebagai tokoh-tokoh pertama Pulau
Neraka, mengapa mereka membiarkan saja aku berkuasa di sini?"
"Ha-ha-ha! Mereka itu tidak takut terhadap setan atau dewa, apalagi terhadap manusia lain,
kecuali.... eh, terhadap Pendekar Super Sakti! Mereka sengaja membiarkan Ibu memimpin
Pulau Neraka dan kelak kalau Ibu menyerang ke sana, tentu mereka akan turun tangan
membantu. Mereka hendak mempergunakan permusuhan Ibu dengan Pulau Es untuk
menantang Pendekar Siluman!"
"Ohhhh!" Lulu menjadi pucat wajahnya. Dia merasa tidak senang sekali bahwa urusan
pribadinya dengan Suma Han diperalat oleh orang-orang lain. Dia sebetulnya bukan hendak
memusuhi Suma Han. Betapa mungkin" Betapa mungkin dia memusuhi dan membenci
orang yang ia cintai itu" Tidak. Kalau dia menghimpun kekuatan dan memperdalam ilmu,
semua itu ia lakukan demi cintanya kepada Suma Han! Hendak ia perlihatkan kepada bekas
kakak angkatnya yang tercinta itu bahwa dia bukanlah seorang wanita sembarangan,
bahkan sudah patut untuk memperoleh perhatian dan cinta kasih seorang pendekar besar
seperti Suma Han. Apalagi setelah ia mendengar bahwa Suma Han menjadi suami Nirahai,
dia ingin memperlihatkan bahwa dia lebih hebat daripada Nirahai! Sekarang ternyata tokohtokoh yang utama dan sesungguhnya dari Pulau Neraka malah hendak memperalatnya dan
puteranya, putera tunggal yang dia cinta dan manjakan, ternyata telah menjadi murid dari
tokoh pertama Pulau Neraka! Tidak, dia tidak sudi diperalat tokoh-tokoh Pulau Neraka, yang
menganggapnya sebagai boneka saja! Dia harus datang sendiri ke Pulau Es dan terangterangan menantang Suma Han, seorang diri, tidak perlu mengandalkan orang-orang Pulau
Neraka. Suma Han harus memilih, membunuh dia atau menerimanya sebagai isteri!
Dengan hati penuh duka dan penasaran, Lulu diam-diam meninggalkan Pulau Neraka tanpa
memberi tahu siapa juga, bahkan puteranya sendiri pun tidak diberi tahu. Dengan sebuah
perahu hitam kecil, Lulu yang menjadi Ketua Pulau Neraka, yang kini berwajah putih dan
berpakaian hitam, melakukan pelayaran mencari Pulau Es di mana dahulu di waktu kecil dia
pernah tinggal berdua dengan Suma Han (baca cerita Pendekar Super Sakti).
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
367 Kedatangannya di Pulau Es bertepatan dengan penyerbuan pasukan pemerintah terhadap
pulau itu. Kemarahan dan rasa penasaran di hati Lulu terhadap Suma Han lenyap terganti
oleh kemarahan terhadap para penyerbu yang mendahuluinya, yang dianggapnya pengecut,
melakukan penyerbuan terhadap sebuah pulau yang sedang ditinggal majikannya. Maka dia
lalu diam-diam membantu anak buah Pulau Es, melepas senjata rahasia peledak yang
berhasil mengundurkan para penyerbu. Bahkan dengan hati penuh kemarahan diam-diam
Lulu menyelundup naik ke atas kapal, melepas senjata rahasia pembakar dan
memberitahukan kehadirannya dengan bergantung pada tali layar dengan tubuh berjungkir,
kepada Koksu Bhong Ji Kun dan Maharya.
"Wanita iblis....!" Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun berseru marah.
Maharya sudah menggerakkan tangan kanannya dan meluncurlah sebuah senjata rahasia
berbentuk gelang yang berputar cepat ke arah kepala wanita yang menggantung di atas itu.
"Wiirrr.... singggg....!" Senjata rahasia yang dilepas oleh Maharya ini hanyalah gelang biasa
berwarna putih, akan tetapi karena pelemparnya adalah seorang yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi, maka berbahaya sekali. Gelang ini seperti peluru terkendali, kalau luput
dapat berputar kembali dan menyerang lawan seperti benda hidup! Juga suaranya yang
berdesing, mengaung seperti gasing berlubang itu dapat mendatangkan panik kepada
lawan. Menghadapi serangan senjata rahasia gelang ini, Lulu tidak bergerak dan seolah-olah tidak
melihatnya. Akan tetapi ketika gelang itu sudah menyambar dekat, tiba-tiba ujung rambutnya
yang riap-riapan itu seperti hidup, seperti ujung cambuk yang bergerak ke bawah menerima
gelang itu, terus melibatnya sehingga gelang itu berhenti gerak luncurnya. Tiba-tiba, kepala
Lulu bergerak sedikit dan gelang itu menyambar dengan kecepatan kilat ke bawah, ke arah
Maharya! Pendeta India ini terkejut bukan karena diserang oleh senjatanya sendiri karena
dengan mudah ia dapat mengelak sehingga gelang itu mengenai papan geladak dan amblas
ke bawah, melainkan dia terkejut menyaksikan betapa lihainya wanita yang muncul secara
aneh itu. "Toanio, siapakah engkau?" Tiba-tiba Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun menegur. Pembesar ini
pun maklum bahwa wanita itu bukanlah orang sembarangan, maka dia mengambil siasat
halus. "Dan mengapa pula Toanio membela Pulau Es dan menentang kami dari
pemerintah?"
Lulu tersenyum. Wajahnya memang cantik sekali dan senyumnya amat manis sungguhpun
usianya sudah hampir empat puluh tahun, akan tetapi karena keadaannya seperti itu dan
mukanya berwarna putih sekali, maka dia seperti mayat tersenyum, menimbulkan rasa ngeri
kepada mereka yang memandang dari bawah.
"Aku siapa tak menjadi soal, yang penting kalian telah mengganggu ketenteraman daerah
ini, berlaku curang menyerang tempat yang sedang ditinggal pergi pemiliknya!"
"Wanita sombong! Bukankah engkau datang dari Pulau Neraka?" Maharya membentak
marah. Lulu tidak menjadi heran akan dugaan yang tepat ini. Tentu saja orang telah mengenal
senjata rahasianya.
"Kalau benar demikian, engkau mau apa, Pendeta asing yang buruk?"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
368 "Tak mungkin!" Bhong Ji Kun yang mendahului pendeta itu menjawab. "Pulau Neraka tak
pernah saling bantu dengan Pulau Es, bahkan semenjak pertemuan di pulau muara Huangho telah saling bertentangan. Tidak mungkin kalau Toanio dari Pulau Neraka dan mau
membantu penghuni Pulau Es!"
"Mengapa tidak! Kalau kalian berhasil menduduki Pulau Es, tentu kelak akan menyerbu pula
Pulau Neraka!"
Mendengar ini, marahlah koksu itu. "Perempuan pemberontak! Berani kau menentang
pemerintah" Semua pulau di sini, termasuk Pulau Es dan Pulau Neraka, adalah wilayah
kekuasaan kerajaan! Tangkap pemberontak!"
Para panglima dan pasukan yang berada di geladak segera mengepung tiang itu, dan
terdengar Lulu tertawa mengejek, tubuhnya yang bergantung di atac tiba-tiba melayang
turun, seperti seekor burung menyambar. Para anak buah pasukan menggerakkan senjata,
akan tetapi tiba-tiba mereka menjerit dan robohlah empat orang, tombak mereka patahpatah! "Tar-tar-tar!" Cambuk di tangan Bhong Ji Kun sudah menyambar dengan serangan dahsyat,
bahkan Maharya juga menyusul dengan serangan-serangan yang luar biasa, yaitu senjata
aneh bulan sabit yang bergagang pendek.
"Siuuuuttt.... singgg!"
Lulu bergerak cepat, berkelebat menghindar dan kakinya menendang roboh seorang
perwira di belakangnya sehingga tubuh perwira itu terlempar. Ketika menendang, lengan kiri
Lulu menjepit tombak perwira itu, kini tombak itu ia lontarkan menembus perut tubuh perwira
yang masih melayang di udara! Semua perajurit menjadi gentar menyaksikan kelihaian
wanita itu. Akan tetapi Bhong Ji Kun dan Maharya sudah menerjang lagi dengan hebatnya.
Seorang perwira cepat memberi isyarat kepada kapal-kapal lain untuk datang membantu,
maka bergeraklah dua buah kapal yang berdekatan, mendekati kapal yang sedang terbakar
itu. Sebagian para perajurit sibuk memadamkan api yang membakar bilik kapal.
Cuaca sudah mulai gelap dan Lulu mengamuk. Dia maklum akan kehebatan cambuk di
tangan Koksu dan senjata bulan sabit di tangan kakek India, maka ia selalu menghindar
dengan gerakan lincah sekali, merobohkan banyak perajurit dengan pukulan dan tendangan.
Ketika koksu kembali melancarkan serangan dengan cambuknya, Lulu berhasil menangkap
ujung cambuk. Koksu malah melangkah dekat dan menghantamkan tangan kirinya dengan
pengerahan sin-kang, Lulu menerima dengan ilmu sakti Toat-beng-bian-kun.
"Cessss!" Dua tangan bertemu dan dengan kaget Koksu merasa betapa telapak tangan
kirinya bertemu dengan tangan yang lunak sekali sehingga semua tenaganya amblas seperti
tenggelam. Lulu telah melepaskan ujung cambuk dan tangan kirinya melayang ke arah
pelipis kanan lawan.
Koksu terkejut sekali, dan untung baginya bahwa pada saat itu Maharya telah datang
menolong, membacok punggung Lulu dari samping. Sambaran angin senjata ini membuat
Lulu terpaksa membatalkan pukulannya dan tubuhnya sudah mencelat lagi ke belakang,
kemudian dia terus berloncatan dan sekali melayang dari pinggir kapal, dia telah berada di
kapal ke dua yang datang mendekat.
"Dar-darrrr....!" Dua buah senjata rahasia dilepasnya mengenai bilik kapal ke dua sehingga
menimbulkan kebakaran. Kapal ke dua ini dipimpin oleh Thian Tok Lama. Pendeta ini
menyambut kedatangan Lulu dengan serangan maut, sekaligus memukul dengan Ilmu Hekin-hwi-hong-ciang. Tubuhnya merendah dan perutnya mengeluarkan bunyi. Lulu baru saja
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
369 melontarkan senjata-senjata rahasianya, terkejut sekali dan cepat menangkis. Akan tetapi,
karena dia kalah dulu, tangkisannya kurang tepat dan tubuhnya terhuyung, dadanya terasa
agak sakit. Marahlah wanita ini dan dia menghadapi Lama itu dengan Ilmu Hong-in-bun-hoat
yang amat lihai. Ilmu ini adalah ciptaan Bu Kek Siansu, amat indah seperti orang menulis di
udara, sesuai dengan namanya, Hong-in-bun-hoat (Ilmu Silat Sastera Angin dan Awan).
Namun setiap coretan merupakan gerak tangkisan maupun serangan yang mengandung
tenaga sin-kang mujijat. Thian Tok Lama segera terdesak dan kalau saja tidak cepat datang
Maharya dan Bhong Ji Kun yang melompat ke kapal itu, tentu dia terancam bahaya hebat.
Kini munculnya dua orang itu membuat Lulu yang terdesak dan kembali wanita ini
mempergunakan kelincahan tubuhnya untuk mencelat ke sana-sini menyelinap di antara
para pasukan dan merobohkan mereka. Adanya pasukan yang mengepungnya ini malah
merupakan rintangan bagi tiga orang sakti itu, karena andaikata tidak ada anak buah
pasukan, tentu Lulu akan dapat mereka kejar, kepung dan robohkan dengan pengeroyokan
mereka bertiga.
Selagi pertandingan yang kacau-balau mengejar dan mengepung Majikan Pulau Neraka itu
terjadi di geladak tiga buah kapal di mana Lulu berpindah-pindah dengan loncatannya dan
kini yang mengeroyoknya ditambah lagi dengan Thai Li Lama, di ruangan bawah kapal induk
pimpinan Bhong Ji Kun tadi terjadi hal lain yang mendatangkan kegemparan baru.
Para perajurit yang selosin orang banyaknya, dipimpin oleh Kwee Sui, telah menerima
perintah untuk tidak meninggalkan ruangan itu, melainkan menjaga Kwi Hong yang dianggap
seorang tawanan penting. Kwee Sui dan para penjaga yang selosin orang banyaknya itu
tenang-tenang saja sungguhpun di geladak terjadi keributan, apalagi ketika mendengar
bahwa yang mengacau hanyalah seorang wanita. Betapapun lihainya musuh itu, dia percaya
takkan mampu menandingi koksu yang dibantu orang-orang sakti dan pula di atas terdapat
banyak sekali pasukan. Maka dia enak-enak saja menjaga dan maki-makian Kwi Hong
dilayani sambil tertawa saja.
"Pengkhianat Kwee Sui! Ingatlah kau, begitu ada kesempatan, yang lebih dulu kuhancurkan
adalah kepalamu!" Kwi Hong memaki-maki.
"Hong-moi, manisku, mengapa engkau masih marah-marah terus" Kalau tidak ada aku, apa
kaukira masih dapat hidup sampai sekarang ini" Kurasa semua tokoh Pulau Es sekarang
telah menjadi mayat! Ingatlah, kita tidak mungkin melawan pemerintah, itu namanya
pemberontakan! Tenanglah, dan mari kita bersama menikmati hidup di kota raja, di mana
aku akan menjadi seorang pembesar dan engkau menjadi isteriku, menjadi nyonya besar
yang terhormat dan kucinta, Manis."
"Keparat! Lebih baik mati daripada menjadi isteri seorang pengkhianat rendah macam
engkau!" Kwee Sui tertawa, "Ha-ha-ha! Mau atau tidak, engkau akan menjadi isteriku!"
"Anjing, pengkhianat hina!"
Akan tetapi Kwee Sui tidak mau melayaninya lagi, bahkan dia lalu merebahkan diri dengan
senang hati, membayangkan kemuliaan dan kesenangan yang akan didapatnya,
membayangkan betapa dia akan memperisteri gadis cantik yang dirindukannya itu, baik
dengan jalan halus maupun dengan kekerasan. Selosin orang perajurit yang berjaga juga
mengantuk. Mereka itu lelah sekali setelah bertempur sejak pagi dan kini masih harus
menjaga untuk semalam suntuk. Kelelahan membuat mereka mengantuk dan mereka itu
duduk melenggut, ada yang bersandar pada tombak yang mereka peluk, ada pula yang
meletakkan kepala di atas meja. Sebentar saja di antara mereka sudah ada yang
mendengkur, bahkan Kwee Sui juga mendengkur dengan enaknya.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

370 Kwi Hong yang tubuhnya masih lemas akibat totokan, melihat para penjaganya melenggut
dan tertidur, mulai berusaha melepaskan ikatan kedua lengannya yang ditelikung ke
belakang. Namun, selain ikatan itu kuat sekali, juga tenaganya belum pulih sehingga sia-sia
saja ia meronta. Tiba-tiba Kwi Hong menghentikan usahanya ketika mendengar suara.
Matanya terbelalak memandang papan ruangan itu yang bergerak. Penutup lubang papan
itu yang menghubungkan ruangan ini dengan ruangan paling bawah, bergerak-gerak dan tak
lama kemudian terbuka dari bawah. Muncullah sebuah kepala orang. Hampir saja Kwi Hong
berteriak kaget. Di bawah sinar lampu yang tergantung di situ, dia mengenal wajah Bun
Beng! "Sssttt....!" Bun Beng memberi tanda dengan telunjuk di depan mulutnya, menyuruh gadis
itu diam. Ketika terjadi keributan di kapal, Bun Beng terkejut, akan tetapi juga girang sekali. Dia dapat
menduga bahwa pembantu anak buah Pulau Es yang melepas senjata rahasia peledak itu
muncul lagi dan membikin kacau di atas geladak. Kesempatan yang baik, pikirnya. Dia lalu
menggunakan tenaganya, memecah papan di tubuh kapal, di atas permukaan air, dan
setelah ia berhasil membongkar papan itu, dia merangkak masuk. Dia tiba di ruangan paling
bawah yang sunyi, tak seorang pun tampak manusia di sini. Ruangan bawah itu penuh
dengan bahan-bahan makan dan air minum, kiranya dijadikan tempat persediaan ransum
pasukan itu. Melalui anak tangga, dia berjalan naik, kemudian membuka penutup papan dari
bawah. Ketika ia melihat Kwi Hong, hatinya girang sekali. Dia tiba di tempat yang tepat,
karena memang dia bermaksud untuk menolong gadis itu.
Kwi Hong menggerakkan mukanya, dengan dagunya menunjuk ke arah Kwee Sui yang tidur
mendengkur. Bun Beng memandang dan melihat pakaian Kwee Sui seperti bukan seorang
perajurit atau panglima, dia dapat menduga. Agaknya orang inilah yang mengkhianati Pulau
Es. Dia meloncat dan pada saat itu, karena dia lupa menutupnya kembali penutup papan,
penutup itu menutup kembali, menimbulkan suara keras.
Para penjaga terbangun, gelagapan dan ketika mereka melihat seorang pemuda tak dikenal
di situ, mereka cepat meloncat bangun dan siap dengan tombak di tangan.
Kwee Sui juga melompat bangun. Siapa kau....?" bentaknya. "Tangkap dia!"
Dua orang penjaga menubruk dengan tangan, mengira bahwa pemuda itu orang biasa saja.
Bun Beng menggerakkan kedua tangannya dan dua orang perajurit itu roboh tanpa dapat
berkutik lagi karena telah tewas! Penjaga-penjaga yang lain menjadi marah, dan baru
mengerti bahwa pemuda itu seorang yang lihai, maka segera mereka gedebag-gedebug
menyerang dengan tombak mereka. Akan tetapi, sekali ini tubuh Bun Beng berkelebatan dan
terdengar pekik berturut-turut bersama robohnya empat orang perajurit terdepan.
"Keparat!" Kwee Sui memaki dan "singgg....!" dia telah menghunus Li-mo-kiam!
Para perajurit sendiri terkejut menyaksikan cahaya kilat ini, dan Bun Beng berseru kaget,
"Li-mo-kiam!"
"Betul, dia merampasnya dari tanganku dengan tipuan rendah!" Kwi Hong berseru.
Mendengar ini, Bun Beng merobohkan lagi dua orang perajurit dan menerjang maju ke arah
Kwee Sui. Pemuda ini sudah marah sekali. Biarpun dia tahu bahwa pemuda itu yang muncul
secara tak terduga ini lihai, namun dia tidak takut. Dia adalah seorang murid Pulau Es yang
berkepandaian tinggi, apalagi dia memegang sebatang pedang mujijat. Cepat dia
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
371 menyambut terjangan Bun Beng dengan bacokan pedangnya yang mengeluarkan sinar kilat
dan suara berdesing nyaring.
Bun Beng cepat mengelak. Biarpun Kwee Sui memiliki ilmu silat tinggi, namun berhadapan
dengan Bun Beng dia bukan apa-apa. Bun Beng tidak takut menghadapi ilmu kepandaian
Kwee Sui, akan tetapi dia ngeri menyaksikan sinar kilat pedang Li-mo-kiam itu, sebatang di
antara Sepasang Pedang Iblis yang mempunyai wibawa menyeramkan.
Melihat lawannya mengelak cepat seperti orang jerih, Kwee Sui tertawa dan merasa
bangga, cepat ia menubruk maju lagi. Bun Beng kembali mengelak dan tiba-tiba dia
tersandung mayat seorang perajurit, roboh terjengkang. Kwi Hong mengerti akan siasat ini,
pandang matanya yang tajam dapat membedakan roboh buatan dan roboh sungguhsungguh. Akan tetapi untuk membentu berhasilnya siasat Bun Beng, dia sengaja menjerit.
Kwee Sui girang sekali, cepat menubruk.
"Ceppp.... auggghhh....!"
Pedang Li-mo-kiam kembali minum darah sepuasnya, kini darah dari dalam dada dan
jantung Kwee Sui! Ketika Kwee Sui menubruk dan menusukkan pedangnya, Bun Beng yang
pura-pura jatuh tadi cepat miringkan tubuh kemudian kakinya melayang dari samping tepat
mengenai lengan kanan Kwee Sui yang memegang pedang sehingga pedang itu terpental
membalik dan masuk ke dalam dada Kwee Sui sampai menembus ke punggung!
Bun Beng cepat meloncat bangun,sebelum tubuh Kwee Sui roboh dia sudah menyambar
gagang pedang dan mencabutnya. Darah mengucur seperti pancuran dari dada dan
punggung Kwee Sui. Matanya terbelalak memandang ke arah Kwi Hong, kemudian robohlah
pemuda yang khianat ini dengan mata masih terbelalak sungguhpun nyawanya telah
melayang. Bun Beng menggerakkan pedang itu. Sinar kilat yang lebih menyilaukan daripada ketika
Kwee Sui menggerakkannya tampak dan sisa para penjaga yang tinggal empat orang itu
roboh dengan tubuh putus menjadi dua potong. Tanpa membuang waktu lagi Bun Beng
segera meloncat mendekati Kwi Hong, membabat putus belenggunya, kemudian melihat
keadaan gadis yang lemas itu dia lalu menotok dua jalan darah di punggung dan pundak.
Seketika Kwi Hong pulih kembali tenaganya dan dia.... menubruk Bun Beng sambil
menangis! Bun Beng gelagapan, terpaksa memeluk pundak gadis itu dan tanpa disadarinya, jari
tangannya mengelus rambut yang halus itu, yang berada di dadanya. Ia merasa betapa air
mata gadis itu membasahi baju dan menembus ke dada.
"Tenanglah, Kwi Hong. Mengapa menangis?"
"Pulau kami.... ah.... bagaimana nasib mereka....?" Kwi Hong terisak, tiba-tiba ia sadar
betapa lengan pemuda itu memeluknya dan betapa tangan itu membelai dan mengusap
rambutnya dengan mesra. Teringat akan ini, cepat ia merenggutkan tubuhnya dari atas dada
Bun Beng, melompat ke belakang dan memandang Bun Beng dengan mata terbelalak
penuh kemarahan!
"Kenapa.... kenapa kau memelukku....?"
"Ehhh....!"
"Kenapa kau membelai rambutku?"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
372 "Ohhh....!"
"Gak Bun Beng, kau.... hendak kurang ajar padaku, ya?"
Bun Beng hanya melongo, memandang muka gadis itu dengan muka bodoh.
"Hayo jawab!"
"Ehh.... ohhh.... Kwi Hong, bagaimana ini" Kau.... kau menangis dan aku merasa bingung,
ikut berduka dan terharu.... kenapa kau menuduhku kurang ajar?"
Tiba-tiba Kwi Hong memandang ke arah mayat-mayat yang bergelimpangan, dan ia sadar
kembali. Tadi kedukaan dan kebingungan yang menyusul kegelisahannya, bercampur
dengan rasa kaget dan girang melihat kenyataan bahwa Bun Beng yang disangkanya mati
ternyata masih hidup, bahkan lebih dari itu, telah menolongnya dan kelihatan begitu lihai.
Semua perasaan ini teraduk menjadi satu, membuat dia bingung dan ketika merasa betapa
pemuda itu memeluk dan membelai rambutnya, ia menjadi marah-marah tidak karuan.
Setelah sadar ia mengeluh. "Ohhhh...." lalu menangis lagi.
"Sudahlah, Kwi Hong. Ini pedangmu, dan mari kita cepat keluar dari sini sebelum mereka
turun. Agaknya di atas geladak terjadi keributan, kurasa orang yang menolong anak buahmu
di pulau sekarang telah turun tangan lagi membikin kacau di atas kapal-kapal ini."
"Yang menolong anak buah Pulau Es" Siapa....?"
"Nanti kuceritakan, mari ikut denganku." Bun Beng lalu menyambar tangannya setelah
menyerahkan pedang Li-mo-kiam, lalu mengajak gadis itu melarikan diri melalui penutup
papan ruangan itu ke bawah.
Kali ini Kwi Hong menurut saja, bahkan dia berbisik, "Bun Beng, kaumaafkan kelakuanku
tadi...." Mereka turun ke ruangan bawah kemudian keluar melalui lubang di badan kapal dan
meloncat ke perahu kecil Bun Beng. Untung bahwa para pasukan yang berada di atas tiga
buah kapal itu, dibantu oleh pasukan dari dua kapal lain yang sudah datang, sedang sibuk
memadamkan kebakaran dan malam itu gelap sehingga Bun Beng dan Kwi Hong dapat
mendayung perahu menuju ke pulau tanpa terlihat mereka. Agaknya mereka itu sibuk
memadamkan kebakaran, akan tetapi tidak tampak lagi adanya pertempuran.
Ketika Bun Beng dan Kwi Hong mendarat di pulau, dan meloncat ke darat lalu berlari cepat,
dari sebuah perahu hitam kecil tampak Lulu memandang mereka. Wanita ini menghela
napas lalu mendayung perahunya meninggalkan perairan itu, kembali ke Pulau Neraka.
Ketika mendengar penuturan Bun Beng tentang tewasnya Ki Lok yang jenazahnya
ditinggalkan di pantai oleh Bun Beng, Kwi Hong menangis lagi. Gadis ini menjadi makin
berduka ketika bertemu dengan Phoa Ciok Lin yang terluka sedikit pundaknya, mendengar
betapa Yap Sun, Thung Sik Lun, dan banyak lagi paman-pamannya telah tewas dalam
pertempuran. Anak buah Pulau Es yang tadinya berjumlah seratus orang lebih hanya tinggal
lima puluh orang, termasuk anak-anak.
"Biarkan mereka datang lagi! Kita akan melawan mati-matian!" Kwi Hong berkata dengan air
mata membasahi kedua pipinya, mengepal tinju dengan sebelah kiri dan pedang Li"mo-kiam
berkilauan di tangan kanan.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
373 "Kurasa tidak bijaksana kalau begitu, Kwi Hong. Keadaan mereka kuat sekali, dan mereka
dipimpin oleh orang-orang pandai."
"Apa kau takut" Kami mau mengharapkan bantuanmu, siapa kira engkau malah takut
menghadapi mereka!" Kwi Hong sudah marah-marah lagi, lupa bahwa kalau tidak ada
pertolongan Bun Beng entah bagaimana jadinya dengan anak buah Pulau Es, dan terutama
dengan dia sendiri.
"Hong-ji, jangan begitu!" Phoa Ciok Lin berkata. "Bun Beng telah berbuat banyak sekali
untuk kita, dan kurasa kata-katanya memang benar. Kalau kita melawan, biarpun dibantu
Bun Beng yang ternyata memiliki ilmu kepandaian tinggi, tentu berarti akan mengorbankan
semua sisa anak buah Pulau Es. Kita bertiga agaknya dapat melindungi diri sendiri, akan
tetapi bagaimana dengan anak buah kita" Apakah masih kurang banyak jatuhnya korban di
pihak kita" Lebih baik kita melarikan diri meninggalkan pulau ini sambil menanti kembalinya
Taihiap." "Lari...." Dan Istana....?"
"Kita bawa lari semua pusaka istana," kata pula Ciok Lin.
"Memang itu benar sekali, Kwi Hong." Bun Beng berkata tenang. "Kalau kita melawan,
selain anak buah Pulau Es dapat terbunuh semua oleh mereka tanpa kita dapat banyak
melindungi karena kita sendiri tentu berhadapan dengan lawan-lawan tangguh, juga pusakapusaka Istana Pulau Es akan terampas oleh mereka. Agaknya itulah yang menyebabkan
Koksu membawa pasukan datang menyerbu Pulau Es."
Menghadapi bantahan dua orang itu, Kwi Hong terpaksa menurut. Dia pun tidak ingin kelak
dipersalahkan pamannya kalau sampai terjadi pusaka-pusaka dirampas pasukan pemerintah
dan semua anak buah tewas. Maka, di bawah pimpinan Phoa Ciok Lin pergilah semua sisa
penghuni Pulau Es, menggunakan semua perahu kecil yang tersembunyi. Mereka lari
dengan perahu-perahu itu melalui utara, semua berjumlah sepuluh buah perahu kecil.
Pada keesokan harinya, pelarian-pelarian yang tergesa sehingga tidak ada kesempatan
menguburkan kawan-kawan mereka yang tewas, melihat bahwa lima buah kapal besar itu
melakukan pengejaran. Mereka menjadi panik, akan tetapi Ciok Lin dengan tenang memberi
aba-aba, menjadi petunjuk jalan paling depan. Perahu-perahu itu memasuki sekumpulan es
terapung yang seperti bukit-bukit kecil. Mereka mengambil jalan berbelak-belok, jalan yang
hanya diketahui oleh Ciok Lin. Lima buah kapal itu mengejar, namun terpaksa mereka
menghentikan pengejaran mereka karena kapal-kapal yang besar itu terhalang oleh bukitbukit es dan tidak mungkin memasuki jalan air sempit di antara bukit-bukit es itu. Dengan
penasaran Bhong Ji Kun lalu memerintahkan anak buahnya mendarat lagi di Pulau Es. Yang
ada di situ hanyalah mayat-mayat kedua pihak yang bergelimpangan. Pondok-pondok kecil
dibakar, istana dirampok, dikuras habis benda-benda berharga dari istana itu, kemudian
istana itu dibakar habis! Tamatlah istana Pulau Es, dan pulau itu kini tampak menyedihkan
sekali, menjadi gundul karena pohon-pohon yang tidak berapa banyak tumbuh di situ ikut
pula terbakar habis!
Dengan marah sekali karena semua usahanya gagal bahkan kehilangan banyak pasukan,
kerusakan kapal-kapal, dan hanya mendapatkan barang-barang rampasan berupa harta
benda yang tidak seberapa, tanpa ada benda-benda pusaka yang diharapkan, Bhong Ji Kun
memerintahkan anak buahnya berlayar pulang ke daratan.
Sementara itu, Phoa Ciok Lin membawa anak buahnya ke daratan pulau, akan tetapi
sebelah utara dan mereka bersembunyi di pantai yang penuh dengan tebing-tebing curam
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
374 dan guha-guha yang sunyi. Tempat persembunyian yang paling aman dan tempat itu pun
hanya diketahui oleh Pendekar Super Sakti.
Setelah mengantar sisa anak buah Pulau Es ke tempat persembunyianya, Bun Beng lalu
berpamit. Kwi Hong mengerutkan alisnya ketika dia dipamiti. Mereka berdiri di tepi laut dan
wajah gadis itu masih muram penuh kedukaan memikirkan nasib Pulau Es.
"Engkau hendak pergi ke manakah, Bun Beng?" Tanyanya, suaranya gemetar dan pandang
matanya sayu. Bun Beng hanya mengira bahwa sikap gadis ini karena kedukaannya.
"Aku hendak pergi ke kota raja. Aku harus dapat merampas kembali Hok-mo-kiam yahg
dahulu dicuri oleh Tan-siucai dan Maharya, juga aku harus membuat perhitungan dengan
mereka yang telah membunuh Suhu. Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, Thian Tok Lama, Thai
Li Lama, Bhe Ti Kong, bukan hanya karena telah membunuh Suhu, akan tetapi juga karena
penyerbuan mereka ke Pulau Es."
Kwi Hong menghela napas panjang. Ingin sekali dia ikut bersama pemuda ini, akan tetapi
dia maklum bahwa hal itu tidak pantas, maka dia lalu melepaskan sarung pedang Li-mokiam dari pinggangnya, menyerahkannya kepada Bun Beng sambil berkata, "Kauterimalah
kembali pedang ini, Bun Beng. Pedang ini perlu bagimu untuk melaksanakan tugasmu yang
amat berbahaya itu. Mereka adalah orang sakti dan...."
"Tidak usah, Kwi Hong. Aku telah memberikan pedang itu kepadamu, bagaimana dapat
kuterima kembali" Ataukah.... engkau tidak suka menerima pemberianku?"
"Tidak sama sekali, akan tetapi...."
"Sudahlah. Kau bersama Bibi Phoa menjaga di sini, melindungi sisa anak buah Pulau Es
sambil menanti datangnya Suma-taihiap. Kalau bertemu di dalam perjalananku, tentu akan
kusampaikan kepadanya akan segala peristiwa yang terjadi di Pulau Es. Selamat tinggal,
sampai jumpa pula, Kwi Hong."
Kwi Hong mengangguk dan ketika pemuda itu berlari cepat meninggalkan tempat itu, Kwi
Hong berdiri memandang dan termenung. Tak disadarinya, dua titik air mata turun ke atas
kedua pipinya. Mengapa hatinya terasa berat berpisah dengan pemuda itu" Apakah benar
seperti pertanyaan pamannya dahulu bahwa dia mencinta Bun Beng" Dia merasa suka,
kagum, kasihan kepada pemuda itu dan ingin selalu berdekatan, merasa berat ditinggalkan.
Inikah cinta"
"Hong-ji, dia adalah seorang pemuda yang amat baik."
Kwi Hong cepat membalikkan tubuhnya dan cepat pula menghapus dua titik air mata dari
pipinya. Ia melihat Phoa Ciok Lin telah berdiri di situ. Jantungnya berdebar keras dan
mukanya menjadi merah sekali.
"Apa.... apa maksudmu, Bibi....?"
Wanita itu menarik napas panjang menjawab. "Engkau cinta padanya, Hong-ji, dan aku
tidak menyalahkanmu. Dia memang seorang pemuda yang baik, pantas mendapatkan cinta
seorang gadis sepertimu, dan kurasa.... dia pun mencintamu, Hong-ji"
"Bibi....!"
"Jangan marah, aku bicara karena kenyataan dan aku cukup awas melihat keadaan kalian
orang-orang muda. Cinta memang amat berkuasa dan aneh, Hong-ji." Kembali dia menarik
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
375 napas panjang dan pandang matanya sayu seperti orang melamun. "Cinta dapat membuat
orang menjadi halus perasaannya, menjadi seorang yang mau mengorbankan apa saja,
sampai nyawanya. Akan tetapi mampu pula membuat orang menjadi kejam, menjadi mudah
putus asa, akan tetapi juga dapat membuat orang menjadi tahan derita...."
Kwi Hong memandang wanita itu dengan terharu. "Seperti engkau sendiri, Bibi. Bukankah
engkau mencinta Pamanku, mencinta dengan seluruh badan dan nyawamu?"
Phoa Ciok Lin menjatuhkan diri duduk di atas batu karang dan merenung ke arah lautan.
Dia mengangguk dan terdengar suaranya lirih, "Benar, tak perlu kusembunyikan. Akan tetapi
apa gunanya mencinta sebelah pihak" Salahku sendiri, orang yang tak tahu diri. Akan tetapi
aku tidak kasihan kepada diriku sendiri, Hong-ji, melainkan kasihan kepada Pamanmu.
Pamanmu jauh lebih sengsara dan menderita daripada aku, gara-gara dua orang wanita
yang dicintanya.... hemmm.... cinta dapat mendatangkan neraka dunia bagi orang yang
gagal. Semoga engkau kelak tidak gagal bersama Gak Bun Beng, Hong-ji...."
"Bibi....!" Kwi Hong maju menubruk dan merangkul wanita itu dan kedua orang itu saling
peluk dan menangis, bukan hanya menangis karena urusan cinta, melainkan menangisi
Pulau Es yang hancur berantakan.
*** Penyerangan ke Pulau Es dan hancurnya pulau itu oleh pasukan-pasukan pemerintah
menggegerkan dunia persilatan. Ternyata koksu, atas nama pemerintah telah unjuk gigi dan
terjadilah perubahan hebat di dunia persilatan. Kalau dahulu Pulau Es membuat semua
orang kang-ouw gemetar, kini menjadi bahan tertawaan mereka. Kiranya Pulau Es tidaklah
sekuat yang mereka duga.
Kemudian Bhong Ji Kun yang merasa penasaran karena kegagalan di Pulau Es, hanya
berhasil menghancurkan pulau itu, menimpakan kemarahannya kepada Pulau Neraka. Dia
lalu berangkat lagi, membawa lima belas buah kapal dan seribu orang anggauta pasukan,
berangkat lagi berlayar ke utara mencari Pulau Neraka! Dengan petunjuk jalan para nelayan
di lautan utara, akhirnya dia berhasil menemukan Pulau Neraka, akan tetapi apa yang


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

didapatinya" Pulau itu telah kosong! Semua penghuni Pulau Neraka telah lebih dulu
menyingkirkan diri dan meninggalkan pulau itu, seolah-olah mengejek Koksu. Bhong Ji Kun
marah, membakar pulau itu, kemudian kembali ke kota raja dengan tangan hampa.
Memang Lulu telah lebih dulu mengungsikan anak buahnya ke daratan. Dia maklum bahwa
tentara pemerintah pasti akan menyerbu Pulau Neraka, maka lebih dulu dia memerintahkan
anak buahnya mengungsi ke daratan. Kini Pulau Es dan Pulau Neraka tidak ada lagi, atau
lebih tepat kosong dan sudah terbakar, semua penghuninya telah lari dan semua orang
menduga bahwa larinya tentu ke daratan di mana mereka dapat bersembunyi dengan
mudah. Mendengar ini, Nirahai menjadi marah dan mendongkol sekali kepada Koksu. Bertahuntahun dia menggembleng diri, memperkuat perkumpulan Thian-liongpang untuk sewaktuwaktu menyerang ke Pulau Es, untuk menandingi kekuatan Pulau Es dan kelihaian Suma
Han. Kini didahului oleh pasukan pemerintah! Juga dia harus mengakui di dalam hatinya
bahwa dia merasa sakit hati mendengar Pulau Es dibakar. Benar-benar watak wanita yang
kecewa dalam cinta amat aneh. Dia sendiri ingin menyerbu Pulau Es, mengalahkan
suaminya. Kini mendengar tempat suaminya diobrak-abrik orang lain, dia marah-marah dan
sakit hati! Apalagi ketika ia mendengar bahwa pasukan Koksu itu atas perintah kaisar
sendiri, mengertilah dia apa yang menjadi sebab penyerbuan itu. Tentu Kaisar, ayahnya
sendiri, masih merasa dendam terhadap Suma Han yang melarikannya (baca
ceritaPendekar Super Sakti), maka kini hendak menangkap Suma Han, atau agaknya lebih
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
376 tepat lagi, hendak mencari dia! Diam-diam Nirahai tersenyum di balik kerudungnya. Tentu
ayahnya itu, Kaisar dan kaki tangannya, tidak pernah mimpi bahwa Ketua Thian-liong-pang
yang penuh rahasia itu adalah Puteri Nirahai yang dicari-cari!
Ketika mereka mendengar akan penyerbuan tentara ke Pulau Neraka, dia makin penasaran
lagi. Tadinya Thianliong-pang dianggap sebagai perkumpulan paling kuat dan yang menjadi
tandingannya hanyalah Pulau Es dan Pulau Neraka. Kini kedua pulau itu telah dihancurkan
pemerintah, siapa lagi yang akan menjadi tandingan Thian-liong-pang" Sekaranglah saatnya
dia memperlihatkan kekuatan dan menjagoi dunia kang-ouw. Setelah berunding dengan
para pembantunya, maka Thian-liong-pang membuat pengumuman dan mengundang
seluruh partai dan semua golongan putih dan hitam, untuk memenuhi undangan Thian-liongpang di mana akan diberi kesempatan kepada semua jago silat dunia untuk membuktikan
siapa yang patut menjadi datuk pertama di dunia persilatan dan perkumpulan mana yang
patut disebut perkumpulan terkuat. Untuk keperluan ini, Thian-liong-pang memilih tempat di
kaki Pegunungan Ciung-lai-san, di daerah Se-cuan, bekas daerah pertahanan pemberontak
Bu Sam Kwi. Daerah ini selain sunyi, juga merupakan daerah tandus seperti gurun pasir dan
jauh dari kota maupun dusun.
Beberapa hari sebelum hari yang ditentukan untuk pertemuan itu, pihak Thian-liong-pang
telah berkumpul di tempat itu. Mereka membangun sebuah pondok gubuk yang tingginya
dua puluh meter. Kemudian, lima puluh orang anggauta Thian-liong-pang pilihan, berkumpul
dengan dipimpin oleh Sai-cu Lo-mo Bhok Toan Kok, Lui-hong Sin-ciang Chi Kang, Tang Wi
Siang dan para wanita pelayan yang lihai, serta beberapa orang tokoh Thian-liong-pang lain
seperti Su Kak Liong, saudara kembar yang kehilangan adiknya, karena adiknya, Toat-bengto Su Kak Houw, telah tewas ketika hendak membunuh Bun Beng dan banyak orang yang
menjadi tokoh Thian-liong-pang pula. Adapun Nirahai sendiri bersama Milana baru datang ke
tempat itu sehari sebelumnya dan keduanya meloncat naik dan memasuki gubuk yang
tinggi, menutupkan pintunya dan tidak tampak dari luar.
Seperti diketahui, Milana meninggalkan ibunya tanpa pamit untuk mencari Bun Beng. Akan
tetapi sebelum niat hatinya tercapai, dia mendengar pula berita akan dihancurkannya Pulau
Es oleh pasukan pemerintah. Tentu saja dara ini mengkhawatirkan ayahnya dan dia cepat
pulang untuk mengabarkan hal itu kepada ibunya.
Semenjak pagi pada hari yang ditentukan itu, datanglah berbondong-bondong pasukan
orang-orang kang-ouw dari pelbagai aliran dan partai persilatan. Bahkan partai-partai
persilatan besar seperti Siauw-lim-pai yang terdiri dari belasan orang hwesio, dan Kun-lunpai yang diwakili oleh kaum tosu, Bu-tong-pai yang dipimpin sendiri oleh ketuanya, yaitu
Ang-lojin atau Ang Thian Pa bersama puterinya yang menarik perhatian karena cantiknya,
Ang Siok Bi. Hadir pula dari Partai Go-bi-pai, Kong-thong-pai dan lain-lain, yaitu dari partaipartai aliran bersih. Dari kaum perampok dan golongan hitam juga banyak yang hadir, di
antaranya dari Hek-liong-pang, Hek-kai-pang perkumpulan pengemis baju hitam, dan Huihouw-pai perkumpulan harimau terbang, Sin-to-pang perkumpulan ahli golok, Lam-hai-pang,
dan masih banyak lagi. Akan tetapi karena sebagian besar di antara mereka itu sudah
mengenal nama Thian-liong-pang, mereka menjadi jerih dan hanya datang untuk melihatlihat, karena semenjak Pemerintah Mancu berdiri dan semenjak pertemuan di pulau muara
Huang-ho, tidak ada perkumpulan kang-ouw yang berani lagi mengadakan pertemuan
macam ini, apalagi pertemuan besar ini. Adapun pihak golongan bersih, hanya datang
karena merasa sungkan kepada Thian-liong-pang, dan juga ingin menyaksikan sendiri
seperti apa macamnya Ketua Thian-liong-pang yang disohorkan memiliki kepandaian seperti
iblis, yang melampaui kehebatan para datuk golongan hitam maupun putih!
Karena tanah di tempat pertemuan itu tandus, setiap ada rombongan baru datang berkuda,
tentu dari jauh tampak debu mengebul tinggi. Ada pula yang memikul ketua-ketua mereka
dengan tandu, dan ada pula yang datang berkuda. Sebagian besar di antara mereka itu kini
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
377 memelihara rambut yang dikuncir, sesuai dengan peraturan pemerintah baru. Akan tetapi
ada pula yang tidak mau mentaati peraturan ini dan masih menyanggul rambutnya atau
membiarkan saja panjang terurai seperti tampak pada para anggauta Thian-liong-pang dan
para anggauta perkumpulan kaum sesat. Tentu saja peraturan ini tidak berlaku bagi para
tosu yang semenjak dahulu mempunyai mode tersendiri dalam menyanggul rambut mereka,
dan para hwesio yang semenjak dahulu memang tidak berambut kepalanya!
Kedatangan rombongan tamu dari segenap penjuru itu disambut oleh para anak buah
Thian-liong-pang yang berkumpul mengelilingi gubuk tinggi, berbaris rapi menghadap keluar.
Setiap tokoh yang melihat tamu datang dari depan, cepat menyambut dengan hormat sambil
menjura. Di antara para orang kang-ouw itu, baik pihak tuan rumah maupun para tamu, tidak
menduga sama sekali bahwa pertemuan orang dunia persilatan ini tidak luput dari
pengawasan pemerintah. Bahkan banyak mata-mata pemerintah yang lihai menyeludup
masuk, menyamar sebagai rombongan orang kang-ouw. Lebih hebat lagi, Koksu Bhong Ji
Kun sendiri bersama pembantu-pembantunya telah siap menyerbu dengan pasukannya
yang seribu orang banyaknya, begitu terdapat tanda dari para penyelidiknya. Bhong Ji Kun
bukan seorang bodoh, dan tentu saja dia tidak akan memusuhi orang-orang kang-ouw,
apalagi partai-partai besar yang oleh pemerintah, bankan diharapkan kerja sama mereka.
Pemerintah yang telah berhasil memelihara keamanan setelah menundukkan semua
kerusuhan, tidak akan memancing kekecewaan dan pemberontakan baru dengan jalan
menindas orang-orang kang-ouw. Tidak, Bhong Ji Kun tidak akan mengganggu Thian-liongpang yang merupakan perkumpulan besar yang berpengaruh, atau mengganggu tamutamunya. Akan tetapi, yang diincarnya adalah orang-orang Pulau Es dan Pulau Neraka.
Kalau sampai mereka yang berhasil melarikan diri dari kedua pulau itu berani muncul di situ,
barulah dia akan mengerahkan pasukan dan pembantu-pembantunya untuk menyerbu dan
menangkapi mereka dengan dalih memberontak. Dengan menangkapi para penghuni Pulau
Es dan Pulau Neraka, dia mengharapkan akan dapat memaksa mereka menyerahkan
pusaka-pusaka dari kedua pulau itu, terutama dari Pulau Es. Untuk maksud inilah Bhong Ji
Kun menyiapkan pasukan dan pembantu-pembantunya.
Akan tetapi, belum juga rencana ini memperoleh hasil, rombongan Koksu ini telah
mengalami hal yang menggemparkan, yang membuat Bhong Ji Kun marah bukan main
karena dia telah kehilangan dua orang pembantunya yang setia dan dapat diandalkan, yaitu
Tan Ki atau Tan-siucai, dan Thai Li Lama!
Hal itu terjadi ketika dia dan pembantu-pembantunya bersembunyi di dalam hutan-hutan di
lereng Pegunungan Ciung-lai-san, mengurung dan mengawasi daerah tandus di kaki gunung
yang dijadikan tempat pertemuan oleh Thian-liong-pang itu. Karena daerah pengawasan itu
amat luas, mereka berpencar, demikian pula para pasukan yang hanya beristirahat di hutanhutan sambil bersiap-siap menanti perintah kalau saat penyerbuan tiba.
Sehari sebelum pertemuan tiba, pasukan pemerintah telah bersembunyi di hutan lereng
Pegunungan Ciung-lai-san itu, di antara mereka tampak Tan-siucai. Tan-siucai yang masih
penasaran karena belum berhasil membalas dendam kepada Suma Han yang dianggap
telah menyebabkan kematian tunangannya, yaitu Lu Soan Li, sekali ini mengharapkan benar
agar Suma Han muncul di tempat pertemuan. Dia maklum bahwa dia sendiri tidak akan
mampu mengalahkan musuh besar yang dianggap telah menghancurkan kebahagiaan
hidupnya itu, namun dia percaya penuh kepada gurunya yang kini telah bergabung dengan
orang-orang sakti seperti kedua Lama dan Koksu. Dengan hadirnya tokoh-tokoh sakti ini
dibantu oleh seribu orang pasukan, mustahil kalau musuh besarnya itu akhirnya tidak akan
tewas! Dia ingin sekali memberi pukulan maut terakhir kepada Suma Han, dengan tusukan
kedua pedangnya, pedang hitam dan Hok-mo-kiam yang dibanggakannya.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
378 Karena menunggu adalah pekerjaan yang paling tidak menyenangkan, waktu dirasakan
merayap amat lambat, Tan-siucai pergi berjalan-jalan seorang diri di dalam hutan yang
dianggapnya tempat yang paling aman. Seribu orang pasukan menjaga di situ, dan dia
sendiri memiliki kepandaian tinggi, tentu saja dia tidak takut akan munculnya ular atau
harimau. Dengan wajah berseri penuh harapan, apalagi mengingat akan kedudukannya
sebagai pembantu koksu yang membuat hidupnya terjamin dan penuh kemewahan dan
kemuliaan, membuat dia dengan mudah memperoleh pakaian mewah dan indah, makanan
serba lezat, tidak kekurangan uang, dan boleh dikata memungkinkannya untuk berganti
teman wanita setiap malam. Tan-siucai melangkah perlahan mengagumi pohon-pohon dan
kembang-kembang yang sedang mekar di dalam hutan itu. Dia berjalan perlahan, hati-hati
agar pakaiannya yang indah dari sutera halus itu tidak sampai kotor oleh debu tanah atau
tersangkut tetumbuhan berduri. Senja hampir tiba, sinar matahari tidak begitu panas lagi dan
angin senja mulai bertiup seolah-olah menyampaikan selamat jalan kepada matahari yang
mulai condong ke barat, sebentar lagi akan meninggalkan permukaan bumi sebelah sini.
Karena dipenuhi harapan menggembirakan, Tan-siucai tersenyum-senyum, kemudian
bersenandung. Akan terjadi penyerbuan, dan dia girang mendapat kesempatan lagi
mengerjakan pedang hitamnya, memenggal leher orang, menusuk jantung lawan dari dada
sampai menembus punggung, melihat darah segar menyemprot keluar! Ha, dia akan
berpesta pora dengan pedangnya, di samping menyaksikan terlaksananya dendam terhadap
Pendekar Siluman atau Pendekar Super Sakti, Suma Han Majikan Pulau Es. Ha-ha, dia
tertawa sendiri kalau teringat akan Pulau Es. Biarpun dia belum berhasil membunuh musuh
besar ini, namun menyaksikan tempatnya dihancurkan dan dibakar, anak buahnya banyak
yang tewas dan selebihnya terpaksa melarikan diri menjadi buronan, dia sudah merasa
girang dan puas sekali.
"Tan-siucai, engkau kelihatan gembira sekali!" Tiba-tiba terdengar suara orang menegur dari
belakangnya. Tan-siucai menghentikan senandungnya dan mengira bahwa yang menegurnya tentu
seorang di antara panglima pasukan, sambil membalikkan tubuh dia tertawa dan berkata,
"Hidup hanya satu kali di dunia, mengapa tidak gembira?" Akan tetapi ketika melihat bahwa
yang berhadapan dengannya adalah seorang pemuda tampan yang tersenyum-senyum,
pemuda yang tubuhnya sedang, pakaiannya sederhana, kuncirnya tebal hanya sebuah
bergantung ke depan melalui pundak, seorang pemuda yang sama sekali bukan panglima,
bukan perajurit.
"Engkau.... siapa....?" Tan-siucai agak tergagap karena heran, namun segera menyangka
bahwa tentu orang ini penduduk di lereng Pegunungan itu.
Pemuda itu memperlebar senyumnya. "Aku setan penjaga gunung yang telah lama menanti
kesempatan ini untuk mencabut nyawamu!"
Tan-siucai kaget dan marah mendengar ini, namun dia menjadi kaget lagi ketika tiba-tiba
tangan kiri pemuda sederhana itu dengan jari-jari terbuka meluncur ke arah mukanya,
menyerang kedua matanya. Gerakan pemuda itu cepat bukan main, dan dari sambaran
tangannya terasa hawa pukulan yang kuat! Tan-siucai tentu saja tidak membiarkan kedua
matanya dicongkel orang begitu saja. Dia cepat menarik tubuh atas ke belakang.
"Plakk! Rrrttt"
"Heiii....! Kembalikan pedangku!" Tan-siucai berseru marah dan kaget sekali ketika merasa
betapa pedang Hok-mo-kiam yang selalu terselip di pinggangnya kini telah dirampas
pemuda itu. Dia sendiri tidak tahu bagaimana sampai dapat diambil dari pinggangnya. Hanya
terasa olehnya ketika ia menarik tubuh atas ke belakang untuk menghindarkan tusukan pada
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
379 matanya pedang itu diserobot dengan kecepatan kilat dan tahu-tahu pedang itu lenyap dari
pinggangnya. Dengan mata terbelalak marah Tan-siucai melihat pemuda itu tersenyum-senyum sambil
mengikatkan sarung pedang ke punggungnya. Sikapnya demikian tenang sambil tersenyumsenyum, seolah-olah pemuda itu sedang memasang pedangnya sendiri, bukan bolehnya
merampas punya orang lain.
"Kembalikan pedangku, keparat!" Tan-siucai membentak.
Pemuda itu bukan lain adalah Gak Bun Beng. Seperti diceritakan di bagian depan, setelah
berpisah dari Kwi Hong di pantai lautan utara, Bun Beng pergi ke kota raja untuk mencari
musuh-musuhnya. Setibanya di kota raja, kebetulan sekali ia melihat pasukan besar
dipimpin oleh musuh-musuhnya! Dia melihat Bhong Ji Kun, Thian Tok Lama, Thai Li Lama,
Maharya, Tan-siucai, Bhe Ti Kong dan para panglima pengawal meninggalkan kota raja
dengan berkuda dan melakukan perjalanan cepat sekali. Melihat ini, Bun Beng tak berani
turun tangan. Tak mungkin dia turun tangan selagi orang-orang sakti itu berkumpul dan
masih dilindungi oleh pasukan yang besarnya kurang lebih seribu orang! Maka Bun Beng
lalu membayangi pasukan itu yang ternyata melakukan perjalanan jauh sekali sampai
berpekan-pekan. Dan akhirnya pasukan itu bersembunyi di dalam hutan, di lereng
Pegunungan Ciung-lai-san. Juga Bun Beng yang terus membayangi, mendengar akan
pertemuan tokoh-tokoh dunia persilatan yang diadakan oleh Thian-liong-pang di kaki
pegunungan itu. Diam-diam dia merasa heran. Apalagi yang akan dilakukan oleh Puteri
Nirahai, ibu Milana dan isteri Pendekar Super Sakti yang telah menjadi Ketua Thian-liongpang itu" Apakah yang akan dilakukan wanita sakti yang cantik jelita, yang menjadi aneh
dan mengerikan sekali wataknya akibat terputusnya cinta dan mengalami kekecewaan itu"
Akan tetapi karena tujuan Bun Beng adalah mencari kesempatan untuk pertama-tama
merampas kembali Hok-mo-kiam, baru kemudian mencari kesempatan untuk membuat
perhitungan kepada musuh-musuhnya, maka dia tidak mempedulikan lagi urusan Thianliong-pang. Akhirnya, setelah membayangi pasukan itu selama beberapa pekan, pada
menjelang senja hari itu dia berkesempatan menemui Tan-siucai seorang diri dan berhasil
merampas Hok-mo-kiam secara mudah setelah dia melakukan serangan pancingan dengan
tangan kiri tadi, membuat Tan Ki menarik tubuh atas ke belakang dan pinggang depannya
tidak terlindung.
"Heiii! Tulikah engkau" Kembalikan pedangku!" sekali lagi Tan Ki membentak.
Bun Beng tersenyum tenang. "Pedangmu yang manakah" Hok-mo-kiam ini bukanlah
pedangmu. Lupakah engkau bahwa engkau mencuri pedang ini dengan menipu Pendekar
Super Sakti keluar meninggalkan pondok. Kemudian engkau bersama Gurumu Maharya itu
bahkan membunuh Kakek Nayakavhira yang membuat pedang ini" Dan engkau sekarang
masih berkulit muka tebal mengaku bahwa Hok-mo-kiam adalah pedangmu?"
"Setan! Siapa engkau....?" Tan Ki menjadi terkejut dan marah sekali mendengar ucapan itu,
sekaligus dia mencabut pedang hitamnya.
"Tidak penting kauketahui aku siapa, Tan-siucai. Hanya perlu kauketahui bahwa pedang ini
akan kuserahkan kembali kepada yang berhak, yaitu Suma-taihiap."
"Engkau ingin mampus!" Tan Ki membentak dengan pengerahan khi-kang sehingga
suaranya menjadi nyaring dan terdengar sampai jauh. Memang, orang yang licik ini sengaja
mengeluarkan suara keras agar terdengar oleh yang lain dan membantunya menghadapi
perampas pedangnya. Setelah membentak, pedangnya berkelebat, sinar hitam menyambar
ke arah tubuh Bun Beng.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
380 Tan-siucai bukanlah seorang lemah. Dia telah memiliki ilmu kepandaian tinggi sebagai
murid Kakek Maharya, dan selain ilmu pedangnya aneh dan cepat, diapun memiliki sin-kang
yang sudah kuat sekali. Namun, bagi Bun Beng dia merupakan lawan yang ringan. Bun
Beng yang melihat pedang hitam menyambar ke arah lehernya, hanya miringkan kepala
sedikit, dan berbareng tangan kanannya menampar.
"Plakkk!" Bun Beng menampar perlahan saja dan mengenai pipi kiri Tan-siucai, akan tetapi
biarpun perlahan, cukup membuat Tan-siucai terbanting dan bergulingan. Ketika ia meloncat
bangun lagi dengan kepala nanar, pipinya telah menjadi bengkak membiru dan semua
giginya di pinggir kiri copot! Sambil meludahkan gigi dan darah, Tan Ki memandang dengan
marah sekali, namun hatinya menjadi jerih karena dalam gebrakan pertama itu saja sudah
terbukti betapa lihainya pemuda ini. Teringatlah ia akan cerita tentang pemuda yang
membela penghuni Pulau Es, yang mengamuk dengan hebat, bahkan dapat melayani
gurunya. Mukanya menjadi pucat teringat akan ini dan dia sudah menoleh ke kanan kiri dan
menengok ke belakang, mengharapkan datangnya bala bantuan. Tak salah lagi tentu inilah
pemuda yang sakti itu!
"Tan Ki, tamparanku tadi hanya untuk hukumanmu mencuri Pedang Hok-mo-kiam.
Semestinya mengingat akan pembunuhan terhadap Kakek Nayakavhira, kemudian
penculikan terhadap Nona Giam Kwi Hong, ditambah lagi engkau ikut menyerbu dan
membunuh anak buah Pulau Es, engkau sudah pantas dibunuh seratus kali! Akan tetapi,
yang berhak memutuskan hukuman adalah Pendekar Super Sakti, dan aku tidak mempunyai
permusuhan pribadi denganmu, maka biarlah sekali ini aku tidak membunuhmu dan hanya
merampas kembali Hok-mo-kiam. Nah, pergilah!"
Akan tetapi, tentu saja Tan Ki tidak mau pergi meninggalkan orang yang telah merampas
Hok-mo-kiam, juga dia tidak berani menyerang lagi. Dia masih menanti datangnya bantuan
dan pada saat itu dia melihat berkelebatnya bayangan Thai Li Lama. Hatinya menjadi besar,
keberaniannya bangkit dan dia membentak nyaring.
"Engkau pembela Pulau Es! Engkau pula yang melarikan murid Pendekar Siluman!" Sambil
membentak demikian dia menyerang lagi dengan ganas, mengerahkan seluruh tenaganya
dan menggunakan jurus maut. Pedangnya berubah menjadi sinar hitam yang meluncur


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cepat dan kuat, menusuk ke arah tenggorokan Bun Beng terus digoreskan ke bawah untuk
menyusul serangan itu kalau-kalau gagal. Menghadapi ini, dan melihat datangnya Thai Li
Lama yang lihai, Bun Beng menjadi marah sekali. Kalau dia tidak cepat turun tangan dan
cepat pergi dari situ sampai semua tokoh lawan datang dan pasukan dikerahkan, dia bisa
celaka. Tangan kanannya bergerak ketika ia melangkah mundur untuk mengelak. Tampak
sinar kilat yang luar biasa ketika Hok-mo-kiam terhunus, disusul sinar kilat menyambar ke
depan. "Trakkk....!" Tan Ki menjerit nyaring dan roboh. Pedang hitamnya patah menjadi dua oleh
Hok-mo-kiam dan sinar kilat itu masih terus menembus dadanya. Tan-siucai berkelojotan
dan tewas dalam keadaan yang amat mengecewakan kalau diingat bahwa dia dahulu adalah
seorang sasterawan yang amat pandai, yang berwatak baik ketika menjadi tunangan Lu
Soan Li. Sayang dendam kebencian membuat dia menyeleweng apalagi setelah dia menjadi
murid Maharya dan ilmu yang dipelajarinya membuat dia menjadi tidak normal alias agak
miring otaknya. Kebencian dapat menyeret manusia ke dalam kesesatan, karena kebencian
menimbulkan perbuatan kejam, menimbulkan kekerasan dan kekeruhan batin.
"Jahanam....!" Teriakan ini keluar dari mulut Thai Li Lama, disusul dengan pukulan geledek,
yaitu Ilmu Sin-kun-hoat-lek yang telah mengandung tenaga sin-kang kuat, juga mengandung
hawa mujijat dari ilmu hitamnya.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
381 Bun Beng cepat meloncat ke belakang menghindar. Dilihatnya Thai Li Lama telah banyak
berubah. Kepalanya masih tetap gundul, akan tetapi di bagian bawah kepala dibiarkan
tumbuh. Dengan demikian, pendeta Lama yang dahulunya gundul kelimis itu kini seperti
seorang yang botak, juga jubahnya yang merah terbuat dari kain sutera!
"Haiiiittt, lihat siapa aku" Orang muda, berlututlah engkau di depan Thai Li lama, orang
kepercayaan Koksu!" Suaranya amat berpengaruh, pandang matanya seperti menyeluarkan
sinar mujijat. Bun Beng merasa tubuhnya menggigil dan matanya seperti melekat pada sepasang mata
yang seperti mata setan itu, kakinya lemas dan lututnya tak dapat ditahannya lagi, tertekuk
dan dia jatuh berlutut! Tiba-tiba berkelebat di otaknya bahwa ini tidaklah sewajarnya, seperti
ketika ia berhadapan dengan Maharya. Teringat pula dia akan ilmu sihir yang dimiliki
golongan sesat ini. Cepat ia menggigit bibirnya sampai berdarah dan rasa nyeri ini
melepaskan dia daripada ikatan pandang mata yang melekat! Cepat ia mengalihkan
pandang mata ke bawah, menulikan telinganya dari suara di luar dan keadaannya pulih
kembali. Pada saat itu, dia merasa hawa yang amat panas menggerayang ke arah
kepalanya, maklum bahwa dia terancam bahaya maut karena tangan kiri pendeta itu
mencengkeram ubun-ubun kepalanya selagi dia berlutut!
"Hyyaaaaaahhhhh!" Bun Beng membentak nyaring melengking dan sinar kilat berkelebat
dari bawah. "Crokk! Auggghhhh....!" Thai Li Lama mencelat ke belakang dan darah mengucur keluar dari
lengan kirinya yang telah terbabat buntung oleh Hok-mo-kiam!
Sepasang mata Thai Li Lama mendelik dan ia mengeluarkan gerengan seperti seekor
binatang buas. Kemudian dia meloncat tinggi lalu meluncur ke arah Bun Beng dengan kedua
kakinya bergerak-gerak melakukan tendangan-tendangan maut bertubi-tubi dari atas,
menuju ke arah ubun-ubun, pelipis tenggorokan dan tengkuk. Sekali saja terkena tendangan
itu, takkan dapat bertahan Bun Beng, biarpun dia memiliki tenaga sin-kang yang bagaimana
kuatnya. Bun Beng maklum akan kedahsyatan serangan ini, dan diam-diam merasa ngeri melihat
kakek yang lengan kirinya buntung itu seolah-olah tidak merasakan nyeri, dan masih dapat
menyerangnya sedemikian hebat. Cepat ia meloncat mundur ke kanan kiri menghindarkan
diri dari tendangan-tendangan itu. Namun gerakan kedua kaki itu aneh sekali, sama sekali
tidak dikenal oleh Bun Beng dan dia tidak tahu perkembangannya atau lanjutan geraknya,
maka betapa pun cepatnya ia mengelak, tetap saja pundaknya terkena dorongan tumit kaki
ketika kaki Thai Li Lama membalik yang merupakan lanjutan serangan tendangannya.
Biarpun tulang pundaknya tidak patah, namun hawa dorongan itu membuat Bun Beng
terpelanting dan roboh miring. Pundaknya terasa setengah lumpuh dan pada saat itu, Thai Li
Lama yang terkekeh seperti iblis itu telah melayang turun, kaki kanannya bergerak
menginjak ke arah perut Bun Beng, injakan maut karena dalam gerakan menginjak dari atas
ini mengandung tenaga yang bukan main besarnya. Kalau sampai perut pemuda itu terkena
injakan, tentu akan hancur isi perutnya!
"Crokkk....! Aaiiiihhhh!" Sinar kilat pedang Hok-mo-kiam yang digerakkan oleh Bun Beng
dalam keadaan terancam maut itu, menyambar dan membabat kaki yang menginjak.
Buntunglah kaki kanan itu sebatas betis dan Thai Li Lama berdiri dengan kaki kiri, matanya
terbelalak berapi-api, mulutnya mengeluarkan busa, keadaannya mengerikan sekali. Darah
mengucur deras dari pangkal lengannya yang buntung dan dari kaki kanan yang buntung di
bawah lutut itu. Namun, dia masih dapat terpincang-pincang menghampiri Bun Beng!
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
382 Bun Beng membenci pendeta Lama ini yang merupakan seorang di antara mereka yang
telah membunuh Siauw Lam Hwesio, gurunya, akan tetapi kini menyaksikan keadaan Lama
itu, dia merasa ngeri dan juga kasihan. Untuk menghentikan penderitaan orang yang
menjadi musuhnya itu, dia cepat menubruk ke depan dan ketika sinar kilat berkelebat,
pedang Hok-mo-kiam telah menembus ulu hati Thai Li Lama sampai menembus punggung.
Bun Beng cepat hendak mencabut kembali pedang itu, akan tetapi tiba-tiba pendeta Lama
itu yang sudah buntung lengan kirinya, buntung pula kaki kanannya, dan tertusuk tembus
dadanya, masih dapat mengeluarkan bentakan nyaring, dari mulutnya menyembur darah
segar dan tangan kanan berhasil memukul punggung Bun Beng dengan tamparan yang
mengandung ilmu pukulan Sin-kun-hoat-lek.
"Blukkk!"
"Auuuhhh....!" Darah segar menyembur keluar dari mulut Bun Beng dan pemuda ini
terguling roboh, berbareng dengan robohnya tubuh Thai Li Lama yang telah menjadi mayat!
Bun Beng mengeluh panjang, rasa nyeri dari punggung sampai ke dada menyesakkan
napasnya. Dia maklum bahwa pukulan dahsyat tadi telah melukainya akan tetapi pikirannya
masih terang. Dia harus cepat pergi! Telah tampak bayangan para anak buah pasukan yang
mendengar bentakan-bentakan tadi mendatangi di antara pohon-pohon. Cepat ia
menghampiri mayat Thai Li Lama, bergidik menyaksikan bekas musuh ini, mencabut Hokmo-kiam, kemudian melarikan diri dari tempat itu secepat mungkin, keluar dari hutan dan
dilindungi kegelapan malam yang tiba, dia berhasil meninggalkan para pengejarnya. Setelah
aman dan tidak ada pengejaran lagi Bun Beng duduk bersila di bawah pohon dalam hutan
besar dekat puncak gunung, dan mengatur pernapasannya, mengumpulkan hawa murni dan
mengerahkan sin-kangnya untuk mengobati luka di dalam dadanya yang terguncang oleh
pukulan dahsyat itu. Setahun yang lalu, sebelum dia melatih sin-kang di dalam lorong
rahasia dari kitab yang dipelaiari oleh Ketua Thian-liong-pang, kalau terkena pukulan seperti
itu, tentu nyawanya telah melayang!
Demikianlah, dapat dibayangkan betapa marah hati Im-kan Seng-in Bhong Ji Kun ketika ia
mendapatkan dua orang pembantunya tewas seperti itu. Di tempat itu, di mana terdapat dia
sendiri dan paman gurunya, Maharya yang sakti, bersama seribu orang perajurit pasukan
pengawal, dua orang pembantunva yang dipercaya dan boleh diandalkan, terutama Thai Li
Lama, tewas dalam keadaan mengerikan dan tak seorang pun tahu siapa yang telah
membunuh kedua orang itu! Thian Tok Lama berduka sekali akan kematian sutenya. Akan
tetapi kepada siapakah dia akan marah dan siapakah yang akan dibalas kalau tak seorang
pun mengetahui siapa pembunuh sutenya"
"Mudah saja! Pedang Hok-mo-kiam telah dirampasnya dari tangan muridku. Siapa yang
memegang pedang itu, dialah yang melakukan pembunuhan-pembunuhan ini. Aku
bersumpah untuk membunuh iblis terkutuk itu!" Maharya yang juga amat berduka akan
kematian muridnya, terutama sekali akan terampasnya Hok-mo-kiam oleh orang lain,
mengepal tinju.
"Yang dapat melakukan ini tentulah orang yang berkepandaian tinggi sekali," kata Bhong Ji
Kun setelah memerintahkan anak buahnya mengurus dan mengubur kedua jenazah itu.
"Tidak mungkin dilakukan oleh orang biasa, akan tetapi siapakah" Banyak tokoh kang-ouw
sedang berada di sekitar tempat ini untuk menghadiri pertemuan besok pagi. Pasti seorang
di antara mereka yang melakukannya."
Thian Lok Lama menggeleng kepalanya yang gundul. "Pinceng rasa bukan seorang di
antara tokoh-tokoh kang-ouw. Tak mungkin mereka berani melakukan pembunuhanpembunuhan ini karena mereka tahu bahwa Sute dan Tan-siucai adalah orang-orangnya
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
383 pemerintah. Pinceng kira pembunuhnya tentulah orang-orang yang telah menentang kita di
Pulau Es."
"Ahhh, wanita Pulau Neraka yang seperti setan itu?" Maharya bertanya.
Thian Tok Lama mengangguk. "Mungkin dia, mungkin pula bocah yang sekarang telah
menjadi lihai bukan main itu."
"Gak Bun Beng?" Bhong Ji Kun menyambung.
Thian Tok Lama mengangguk. "Keturunan Gak Liat itu sekarang luar biasa ilmunya dan
mengingat akan watak ayahnya yang liar, bisa saja dia melakukan hal-hal yang tidak
lumrah." "Hemmm, siapa tahu kalau-kalau Pendekar Siluman yang melakukan ini."
"Pendekar Siluman....?" Thian Tok Lama dan Bhong Ji Kun berseru, keduanya terkejut dan
wajah mereka berubah. Mengapa mereka tadi tidak teringat akan Pendekar Super Sakti itu"
Kalau dia yang datang, memang tidak perlu diherankan lagi kematian Thai Li Lama dan Tansiucai! "Lebih banyak kemungkinan dia sendiri yang datang dan melakukan pembunuhanpembunuhan ini. Dan dirampasnya pedang itu menebalkan keyakinanku bahwa Pendekar
Super Sakti yang datang sore tadi. Akan tetapi, harap Taijin jangan khawatir. Memang kita
sedang menunggu munculnya orang-orang Pulau Es dan orang-orang Pulau Neraka,
bukan" Boleh jadi Pendekar Siluman lihai sekali, akan tetapi saya pernah menandinginya,
dan ternyata dia tidaklah lebih lihai daripada saya, atau boleh dibilang tingkat kami
sebanding. Kalau dibantu oleh Taijin dan Thian Tok Lama, tentu mudah saja
mengalahkannya."
"Akan tetapi, Susiok (Paman Guru), bagaimana kalau dia dibantu oleh Gak Bun Beng dan
oleh wanita Pulau Neraka itu?"
Maharya menggeleng kepala. "Saya rasa wanita itu adalah Ketua Pulau Neraka yang
disohorkan. Antara Pulau Neraka dan Pulau Es belum pernah ada kerja sama, dan kalau dia
dahulu turun tangan, sama sekali bukan untuk membantu Pulau Es, hanya karena marah
bahwa daerahnya dilanggar. Andaikata dia maju pula, bersama pemuda itu, tidak perlu kita
takut. Para ciangkun memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi, dan seribu orang pasukan
merupakan kekuatan yang melebihi sepuluh orang Pendekar Siluman!"
Biarpun kematian Thai Li Lama dan Tan-siucai merupakan pukulan yang cukup
mengejutkan, namun hati para pimpinan pasukan pemerintah ini masih besar. Malam itu
tidak ada peristiwa sesuatu dan pada keesokan harinya, setelah mengirim rombongan matamata yang menyamar sebagai orang-orang kang-ouw, Bhong Ji Kun dan para pembantunya
mengintai tanah tandus yang dijadikan tempat pertemuan itu dari atas lereng terdekat,
mempergunakan teropong den memeriksa keadaan.
Tang Wi Siang yang mewakili ketuanya, setelah semua tamu berkumpul, berkata dengan
suara nyaring, "Cu-wi sekalian yang terhormat! Pangcu kami menghaturkan selamat datang pada Cu-wi
sekalian. Maksud dari undangan Pangcu kami mengumpulkan Cu-wi sekalian yang dianggap
mewakili dunia kang-ouw, adalah untuk mempererat persahabatan dan untuk mendengarkan
usul Pangcu yang akan disampaikan oleh Pangcu sendiri. Silakan Cu-wi mendengarkan!"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
384 Pintu pondok di atas itu terbuka perlahan dan muncullah Ketua Thian-liong-pang yang
mukanya berkerudung. Melihat wanita itu, semua orang memandang dan mereka yang
pernah diculik dan pernah berhadapan dengan ketua itu, memandang dengan muka merah
masih merasa penasaran akan tetapi juga dengan hati jerih karena mereka tahu akan
kelihaian wanita itu. Adapun mereka yang belum pernah bertemu dengan tokoh ini,
memandang dengan hati penuh kengerian karena mereka hanya mendengar bahwa Ketua
Thian-liong-pang memiliki ilmu kepandaian yang tidak lumrah manusia, sedangkan orangnya
pun begitu menyeramkan, mukanya dikerudung sehingga semua orang ingin melihat
bagaimana wajah yang bersembunyi di balik kerudung itu. Sudah tuakah" Ah, tak mungkin,
tubuh wanita itu biarpun tersembunyi di balik pakaian yang longgar, jelas bukan tubuh
seorang wanita tua! Dan tangan yang tersembul dari balik lengan baju itu berkulit halus,
berjari kecil meruncing dengan kuku yang kemerahan, terpelihara baik-baik! Sepasang mata
yang memandang dari balik lubang kerudung penutup muka itulah yang menimbulkan rasa
serem dan menundukkan hati orang, begitu terang, begitu tajam dan penuh wibawa, mata
seorang manusia yang agaknya tidak mengenal bantahan!
Nirahai, wanita berkerudung Ketua Thian-liong-pang itu, sejenak berdiri memandang
sekeliling dan dengan pandang mata cepat ia menyapu tokoh yang hadir, mengenal mereka
dan dapat menduga dari partai dan perkumpulan mana mereka itu. Dia merasa kecewa
bukan main ketika tidak melihat adanya rombongan Pulau Neraka dan Pulau Es! Benarbenar menggemaskan, pikirnya. Mengapa Suma Han tidak muncul" Dan di mana adanya
tokoh-tokoh Pulau Neraka" Tanpa mengalahkan keduanya itu, nama Thian-liong-pang
takkan terangkat naik! Dan tiba-tiba ia melihat rombongan terdiri dari belasan orang yang tak
dapat ia duga dari partai atau golongan mana. Matanya mengeluarkan sinar penuh
kecurigaan, akan tetapi dia tidak menyatakan sesuatu, hanya mulai dengan bicaranya yang
singkat, halus merdu namun terdengar sampai jauh karena ia keluarkan dengan pengerahan
khi-kang yang luar biasa kuatnya.
"Cu-wi sekalian! Untuk mempersatukan dunia kang-ouw, kita harus menentukan
perkumpulan mana yang patut menjadi perkumpulan induk, dan tokoh mana yang patut
dijadikan pemimpin yang dapat disebut Bengcu (pemimpin rakyat). Kami setelah
mempelajari dan meneliti keadaan, minta Cu-wi sekalian suka mengakui Thian-liong-pang
sebagai perkumpulan induk, dan aku sendiri menjadi Bengcu, kecuali kalau ada di antara
Cu-wi yang dapat membuktikan bahwa ada orang yang lebih patut menjadi Bengcu daripada
aku. Kalau ada di antara Cu-wi yang tidak setuju, boleh maju!"
Bukan main tekeburnya ucapan Ketua Thian-liong-pang ini sehingga semua orang
memandang dengan alis berkerut dan merasa tidak setuju, sungguhpun tidak ada yang
berani membantah dengan keras. Hanya terdengar suara-suara kontra, dan dari golongan
para hwesio dan tosu terdengarlah ucapan-ucapan,
"Omitohud...."
"Siancai....!"
Nirahai bukanlah seorang bodoh, kalau dia tadi mengeluarkan ucapan itu memang dia
sengaja untuk memancing sikap menentang sehingga orang-orang yang memiliki
kepandaian tinggi akan bangkit dan menentangnya. Setelah bertahun-tahun dia
menggembleng diri, bahkan tidak segan-segan mencuri ilmu-ilmu dari lain partai, dia
menganggap bahwa tidak akan ada orang lagi yang dapat menandinginya, dan satu-satunya
yang dia anggap merupakan lawan berat kiranya hanyalah Suma Han dan Ketua Pulau
Neraka yang belum pernah dia jumpai.
"Cu-wi, negara telah aman, pemerintah tidak menghendaki pertentangan. Karena itu, kalau
kita orang-orang dunia kang-ouw tidak bersatu dan tidak mempunyai seorang pemimpin
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
385 yang mempersatukan kita, bagaimana kita semua dapat menghadapi urusan-urusan besar"
Tanpa pemimpin selalu hanya akan timbul pertentangan-pertentangan di antara kita sendiri
yang mengakibatkan kehancuran dan kelemahan, juga menimbulkan banyak korban. Karena
itu, lebih baik sekarang kita berhadapan secara gagah, memilih seorang Bengcu yang tepat
dan korban-korban dalam perebutan dan pemilihan ini tidak akan banyak, juga yang kalah
dan tewas, mati sebagai seorang gagah. Aku sudah bicara, terserah kepada Cu-wi
bagaimana menghadapinya!"
Setelah berkata demikian Nirahai mengibaskan lengannya dan memasuki pondok. Pintu
pondok segera ditutup lagi.
"Ibu, mengapa Ibu melakukan semua ini?" Di dalam pondok itu, Milana berbisik kepada
Ibunya. Nirahai melepas kerudung dan menghapus keringat dari muka dan lehernya.
Puterinya memandang wajah ibunya yang cantik itu berselimut awan kesengsaraan batin.
"Untuk memancing datangnya Majikan Pulau Es dan Pulau Neraka." Jawabnya pendek lalu
mengenakan kerudung kepalanya lagi.
Milana menghela napas. Hening sejenak dan dara itu berbisik. "Ibu.... begitu.... begitu
bencikah Ibu kepada Ayah....?"
Mata di balik kerudung itu memancarkan api. "Benci" Tidak ada orang yang lebih kubenci di
dunia ini!"
Milana merasa jantungnya tertusuk dan ia menunduk. Kembali keadaan hening dan tiba-tiba
Milana mengangkat mukanya ketika mendengar isak tertahan. Ibunya telah terisak
menangis! Milana terharu, menggerakkan tangan menyentuh tangan ibunya dan berbisik lagi
"Ibu.... sangat cintakah kepada Ayah....?"
Nirahai memejamkan matanya dan mengangguk. Milana mengerti, keduanya diam dan
mencurahkan perhatian keluar pondok. Dari celah-celah dinding pondok mereka dapat
melihat seorang hwesio tinggi kurus dari rombongan Siauw-lim-pai melangkah maju dan
berkata nyaring sambil memandang pondok di atas.
"Thian-liong-pangcu! Pinceng menerima tugas dari Ketua kami untuk menyampaikan
penyesalan Siauw-lim-pai akan sepak terjang Thian-liong-pang selama ini yang melakukan
pencu-likan-penculikan terhadap tokoh-tokoh kang-ouw. Siauw-lim-pai tidak mau ikut-ikut
dalam soal pemilihan Bengcu, dan tidak akan mengakui Bengcu manapun juga karena
Siauw-lim-pai tidak mau mengikatkan diri, juga tidak ingin mena-nam permusuhan. Hanya
menjadi kewa-jiban Siauw-lim-pai untuk menegur perkumpulan yang bertindak sewenangwe-nang, dan kalau teguran Siauw-lim-pai ini tidak menyenangkan hati Pangcu, pin-ceng
sebagai wakil Siauw-lim-pai siap mempertanggungjawabkannya!"
Setelah hwesio tinggi kurus itu mun-dur, majulah seorang tosu berambut pu-tih dari
rombongan Hoa-san, dan dia pun berteriak nyaring.
"Pinto mewakili Hoa-san-pai, juga memprotes penculikan atas diri sute kami Bhong Tek-cu
yang dilakukan oleh Thian-liong-pang, dan pinto mewakili Hoa-san-pai untuk minta Thianliong--pangcu mempertangungjawabkan perbuat-an itu sekarang ini! Tentang pemilihan


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bengcu, Hoa-san-pai tidak akan mencam-purinya!"
Setelah melihat majunya wakil-wakil partai besar seperti Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai,
besarlah hati para tokoh kang-ouw, dan berturut-turut majulah Ang-lo-jin Ketua Bu-tong-pai
yang ber-kata, "Saya sebagai ketua Bu-tong-pai merasa terhina atas perlakuan Thian--liongSepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
386 pang yang lalu, maka saya minta pertanggungan jawab Thian-liong-pangcu di tempat
terbuka ini!" Dan dengan alas-an yang sama pula majulah wakil-wakil dari Sin-to-pang, Lamhai-pang, dan Pek-eng-pai.
Melihat perkembangan ini, Tang Wi Siang merasa gelisah juga dan beberapa kali dia
memandang ke atas seolah--olah mengharapkan ketuanya turun ta-ngan. Tak lama
kemudian terdengar su-ara Ketua Thian-liong-pang.
"Wi Siang, sebutkan wakil-wakil dari mana saja yang minta pertanggungan jawabku?"
Dengan suara gemetar karena tidak mengira akan demikian banyaknya par-tai yang
menentang ketuanya, Tang Wi Siang menjawab, "Dari Siauw-lim-pai, Hoa-san-pai, Bu-tongpai, Lam-hai-pang, Sin-to-pang dan Pek-eng-pai, semua enam partai!"
Tiba-tiba pintu pondok terbuka dan muncullah Ketua Thian-liong-pang. "Ha-nya enam partai
saja" Ataukah masih ada lagi" Harap Cu-wi yang ingin men-coba kepandaianku, tidak malumalu, nyatakan saja terus terang!"
Setelah tidak ada yang menjawab, Nirahai berkata, "Para wakil dari enam partai yang minta
pertanggungan jawab, persilakan maju!"
Dari Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai masing-masing maju seorang hwesio dan seorang tosu,
dari Bu-tong-pai majulah Ang Siok Bi dan seorang suhengnya, mu-rid dari ayahnya,
sedangkan dari Sin-to-pang, Lam-hai-pang, dan Pek-eng-pai, masing-masing maju tiga
orang wakil yang merupakan murid-murid kepala. Ang-lojin tidak maju sendiri karena dia
merasa malu hati dan tidak enak kalau sebagai ketua dia harus maju sendiri. Dengan
demikian, wakil dari enam par-tai itu berjumlah tiga belas orang, mu-rid-murid kepala dari
partai-partai yang tentu saja memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.
"Bagus! Kulihat Cu-wi yang mewakili partai yang minta pertanggungan jawab-ku, ada tiga
belas orang telah berkum-pul. Dan untuk membuktikan bahwa aku sebagai calon Bengcu
mempunyai tang-gung jawab dan kepandaian untuk me-mimpin Cu-wi sekalian, aku akan
meng-hadapi Cu-wi sekaligus. Bersiaplah, aku akan mengalahkan Cu-wi!" Setelah ber-kata
demikian tampak tubuh wanita berkerudung itu melayang dari atas pondok yang tinggi itu
bagaikan seekor burung garuda, langsung meluncur ke arah tiga belas orang itu.
Mereka ini sudah siap dan tampak sinar senjata berkilauan ketika mereka mencabut senjata
mereka. Namun Nira-hai tidak menghunus pedangnya yang masih tergantung di
punggungnya, tubuh-nya terus meluncur dan bagaikan seekor burung walet menyambar ke
arah mereka. Tiga belas orang itu menggerakkan senja-ta masing-masing menyambut
bayangan tubuh yang menyambar-nyambar itu, de-mikian cepat gerakan wanita ini sehingga
sukar diikuti pandangan mata. Tampak bayangan tubuhnya berkelebat di antara sinar
senjata itu dan terdengarlah bunyi berkerontangan, senjata-senjata ter-pental dan ketiga
belas orang mengelu-arkan teriakan kaget disusul robohnya tu-buh mereka seorang demi
seorang, ce-pat sekali sampai ketiga belas orang itu semua terpelanting roboh! Dan tubuh
wanita berkerudung itu berdiri di tengah tengah, antara mereka yang roboh ke kanan kiri,
ada yang terlentang, ada yang menelungkup, ada yang miring.
Tiga belas orang itu terkejut bukan main, demikian pula mereka yang me-nyaksikan
kehebatan wanita berkerudung itu, hampir mereka tak dapat percaya betapa dengan tangan
kosong, wanita berkerudung itu benar-benar telah me-ngalahkan mereka dan hebatnya
mereka tidak terluka hebat, hanya roboh oleh dorongan-dorongan tenaga sin-kang yang
amat kuat dan didahului kecepatan yang tidak tampak oleh mata mereka! Ang Siok Bi yang
tadinya merasa penasaran karena ayahnya pernah diculik kini bang-kit bersama yang lainlain, memandang wanita berkerudung itu dengan muka pucat dan diam-diam mereka semua
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
387 me-ngakui bahwa kalau wanita itu menghen-daki, kalau wanita itu menggunakan sen-jata
atau melakukan pukulan yang be-rat, tentu mereka roboh untuk tidak bangkit kembali!
"Nah, Cu-wi sudah menyaksikan bah-wa aku telah berani mempertanggungja-wabkan
semua perbuatanku dan sepak terjang Thian-liong-pang. Ketahuilah bahwa semua tokoh
yang pernah menjadi tamu kami, tidak ada yang diganggu, mengapa Cu-wi merasa
penasaran" Seka-rang, menggunakan kesempatan ini, aku mengajak siapa saja di antara
Cu-wi yang masih penasaran untuk menguji kepandaian, terutama sekali kutujukan ke-pada
Majikan Pulau Neraka dan Majikan Pulau Es!"
Tantangan ini tidak ada yang bera-ni menjawab, dan mereka semua saling pandang,
mencari ke kanan kiri mengha-rapkan munculnya dua jago yang selama ini namanya
menggemparkan dunia kang-ouw, yaitu Ketua Pulau Neraka yang tak pernah ada yang
melihatnya, dan Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es. Namun, tidak tampak mata hidung
ke-dua orang tokoh itu, bahkan tidak tam-pak seorang pun tokoh dari kedua pulau itu.
Keadaan menjadi sunyi, semua orang masih seperti terpesona, menyaksikan kelihaian
Ketua Thian-liong-pang, sedang-kan tiga belas orang yang kalah tadi mengambil senjata
masing-masing dan kembali ke kelompok mereka, tidak ada yang berani melawan lagi
karena masing-masing maklum bahwa mereka bukan-lah tandingan wanita berkerudung
yang hebat bukan main itu.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa da-ri rombongan orang yang tak dikenal Nirahai yaitu
rombongan dari lima belas orang yang tadi dicurigainya. "Ha-ha-ha! Pulau Es sudah
terbasmi, sedangkan Pu-lau Neraka pun penghuninya sudah me-larikan diri semua,
bukankah Ketua Thian-liong-pang sama dengan menan-tang angin kosong?"
Lima belas orang itu adalah mata-mata yang dikirim oleh Bhong Ji Kun. Mereka terdiri dari
panglima-panglima yang berkepandaian tinggi, dan yang se-telah tiba di situ sekarang
berkumpul menjadi sekelompok. Hati mereka besar dan mereka berani bicara karena
mengandalkan pasukan yang berada di sekeli-ling tempat itu. Pula, mereka sengaja
mengeluarkan kata-kata menghina kedua pulau itu untuk memancing keluarnya toKoh-tokoh
mereka seperti yang dike-hendaki oleh Koksu.
Nirahai memutar tubuhnya mengha-dapi rombongan itu, kemudian sekali kakinya tampak
bergerak, tubuhnya sudah mencelat ke depan mereka, mata di balik kerudung itu
menyambar-nyam-bar tajam,
"Kalian siapakah" Dari golongan dan partai apa?" tanyanya tiba-tiba, suara-nya dingin.
Seorang di antara mereka yang ting-gi besar dan brewok, agaknya merasa tidak senang
menyaksikan sikap Ketua Thian-liong-pang itu, maka dia menja-wab sambil mengangkat
dada, suaranya tegas dan nyaring, "Kami adalah orang-orang kang-ouw perantau yang
tertarik mendengar pertemuan ini dan ingin me-lihat-lihat. Apakah hal ini dilarang?"
"Hemmm! Memang undangan kami di-tujukan kepada semua orang kang-ouw, tentu saja
tidak ada yang melarang orang menonton. Akan tetapi kalian te-lah berani menghina Pulau
Neraka dan Pulau Es, agaknya kalian memiliki ke-pandaian yang lebih tinggi daripada
me-reka! Aku akan suka sekali mencoba dan melayani kepandaian kalian yang telah berani
bicara besar di sini."
Lima belas orang itu adalah pangli-ma-panglima yang biasanya membagi pe-rintah dan
dihormati serta ditaati anak buah mereka. Kini menghadapi sikap Ketua Thian-liong-pang,
mereka menjadi marah sekali. Tidak biasa mereka diper-lakukan seperti itu oleh siapapun
juga! Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
388 "Heiii! Thian-liong-pangcu! Kalau ka-mi menghina Pulau Es dan Pulau Nera-ka, apa
hubungannya itu dengan Thian-liong-pang" Mereka adalah pemberontak-pemberontak yang
berani melawan pe-merintah, maka dihancurkan dan dibas-mi! Kami rasa Thian-liong-pang
tidaklah seperti iblis-iblis Pulau Neraka dan.... augghhhh....!"
Tiga orang di antara rombongan itu yang berdiri paling depan, roboh dan te-was seketika,
terkena sambaran sinar hi-tam yang tiba-tiba saja melayang ke arah si pembicara dan dua
orang teman-nya.
"Thian-liong-pangcu! Engkau berani membunuh orang-orang pemerintah?"
Tiba-tiba terdengar bentakan dan Thian Tok Lama telah berada di situ!
Nirahai cepat membalikkan tubuh dan "srattt!" Dia telah mencabut pedang-nya, akan tetapi
dia tidak memandang Thian Tok Lama, melainkan memandang ke atas tanah yang
bergoyang-goyang aneh! Dia tahu bahwa yang menyambar dan menewaskan tiga orang tadi
adalah gumpalan-gumpalan tanah yang disambit-kan dengan tenaga dahsyat sekali! Tan-pa
menoleh ke arah Thian Tok Lama, dia berkata,
"Thian Tok Lama, kiranya mereka ini adalah mata-mata pemerintah yang se-ngaja kaukirim
untuk melakukan penye-lidikan?" Suaranya dingin sekali akan te-tapi matanya masih
ditujukan ke atas tanah yang bergoyang-goyang aneh.
Thian Tok Lama terkejut bukan ma-in. Benar-benar seorang yang aneh se-kali Ketua Thianliong-pang ini, selain kepandaiannya tinggi, ternyata begitu bertemu telah mengenalnya!
"Benar!" jawabnya. "Akan tetapi me-reka dan kami bertugas untuk menyelidiki orang-orang
Pulau Es dan Pulau Neraka, kalau mereka datang ke sini. Kiranya tiga orang penyelidik kami
ma-lah kau bunuh!"
Tiba-tiba terdengar ledakan keras. Tanah yang bergoyang tadi pecah seper-ti meletus dan
tampak debu dan uap me-ngepul tinggi. Tanah itu terbuka dan tampak.... sebuah peti mati
yang perla-han-lahan terbuka dan dari dalam peti mati itu bangkit sesosok mayat yang
se-perti baru saja hidup kembali. Tubuh seorang kakek tua renta, berkepala bo-tak, bertubuh
kurus dan dalam keada-an.... telanjang bulat! Mukanya pucat, persis muka mayat yang tidak
mempu-nyai darah sama sekali.
Jangankan para tokoh yang berada di situ, sedangkan Nirahai sendiri, bah-kan Thian Tok
Lama, berdiri terpukau di tempatnya, memandang dengan mata terbelalak.
"Mayat hidup" itu batuk-batuk lalu bangkit berdiri, telanjang seperti bayi, lalu meloncat keluar
dari dalam peti mati. "Uhk-uhk-uhk.... anak-anak kecil berani menghina Pulau Neraka.
Akulah orang Pulau Neraka dan yang membu-nuh, heh-heh.... maleh semua yang bera-ni
menghina akan kubunuh." Tiba-tiba saja, mayat hidup yang kelihatan lemah, kurus kering itu
"terbang" ke arah rom-bongan panglima yang tinggal sepuluh orang lagi. Kelihatannya
seperti terbang karena gerakannya luar biasa sekali cepatnya, seolah-olah kedua kakinya
ti-dak menginjak tanah. Melihat gin-kang sehebat itu, Nirahai sendiri sampai ter-belalak, dan
Thian Tok Lama berkemak-kemik membaca doa dalam bahasa Ti-bet karena dia
menyangka bahwa mayat hidup itu benar-benar siluman yang mun-cul dari bawah tanah!
Bukan main cepatnya kejadian itu, sekali sambar, mayat hidup itu telah merangkul empat
orang panglima. Tangannya bergerak, mulutnya menyeringai dan.... dijambaknya rambut
kepala mere-ka itu seorang demi seorang, diputarnya dan ditarik sehingga.... kepala itu
coplok, lehernya putus, darah menyembur kelu-ar. Tiga orang lainnya hanya melongo dan
pucat, seolah-olah tak mampu berge-rak dalam rangkulan mayat hidup itu, sehingga seorang
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
389 demi seorang putuslah lehernya. Mayat mereka dilempar-lem-parkan oleh Si Mayat Hidup
yang sudah bergerak maju lagi ke arah sisa para panglima. Enam orang panglima sudah
mendapatkan kembali kesadarannya, mak-lum akan datangnya bahaya mengancam, maka
mereka itu sudah menghunus pe-dang atau golok masing-masing. Melihat Si Mayat Hidup
menerjang maju, mere-ka membacok dan menusuk. Si Mayat Hidup sama sekali tidak
mempedulikan dan enam batang senjata datang menghantamnya seperti hujan.
"Tak-tok.... bak-buk....!" Senjata-senja-ta itu mengenai tubuh, akan tetapi semua terpental
seperti mengenai tubuh dari karet yang ulat, kenyal dan keras! Dan kembali empat orang
telah dirangkul, "dicopot" kepala mereka dari badan dan mayat mereka dilemparkan. Darah
mem-banjir ke mana-mana, dan tubuh serta muka kakek itu telah berlumuran darah segar!
Melihat ini, dua orang panglima sisa yang sepuluh orang tadi, membuang senjata mereka
dan hendak lari.
"Heh-heh, anak-anak nakal, hendak lari ke mana" Ke sinilah bersama Ka-kek!" Mayat hidup
itu berkata, dan ta-ngan kanannya menggapai ke arah dua orang panglima yang sedang lari
dan.... sungguh aneh, kedua orang itu biarpun kelihatan masih menggerakkan kedua kaki
untuk lari, namun mereka bukan-nya maju ke depan melainkan.... mun-dur ke belakang
seolah-olah ada tenaga ajaib yang menarik dan membetotnya ke arah mayat hidup itu!
Akan tetapi, sebelum dua orang itu sampai terpegang, Thian Tok Lama su-dah meloncat ke
depan dan sudah me-masang kuda-kuda setengah berjongkok, perutnya berbunyi dan
tangan kanannya berubah biru. Kemudian, dengan penge-rahan tenaga sin-kang, dia
memukul ke arah punggung mayat hidup itu.
"Dessss!" Mayat hidup itu terlem-par sampai tiga meter, akan tetapi ti-dak roboh dan
membalikkan tubuh, mu-lutnya menyeringai sedangkan Thian Tok Lama terkejut bukan
main. Dia seolah-olah memukul benda kering yang hanya terlempar, akan tetapi tenaganya
tidak dapat menembus tubuh itu!
"Heh-heh-heh!" Mayat hidup itu me-lihat awan hitam yang keluar dari ta-ngan Thian Tok
Lama yang memukul tadi. "Itukah Hek-in-hwi-hong-ciang" Eh, Gundul, kepandaianmu
lumayan juga!"
Tiba-tiba tampak bayangan berkele-bat dan tubuh Nirahai telah berhadapan dengan mayat
hidup itu. Ia membentak sambil menodongkan pedangnya. "Orang tua, benarkah engkau
dari Pulau Nera-ka" Apakah engkau Ketua Pulau Nera-ka?" Bertanya demikian, Nirahai
mengki-rik ngeri, bukan karena gentar menyak-sikan kelihaian mayat hidup itu, melainkan
dia merasa jijik berhadapan dengan seorang laki-laki yang telanjang bulat, biarpun laki-laki
itu seorang kakek.
Mayat hidup itu menyeringai lebar, menggaruk-garuk punggungnya seolah-olah pukulan
dahsyat tadi hanya menim-bulkan rasa gatal. "Banyak orang pandai sekarang! Aku bukan
ketua apa-apa, akan tetapi akulah orang yang paling tua di Pulau Neraka. Aku adalah Cuibeng Koai-ong (Raja Aneh Pengejar Roh)!"
"Cui-beng Koai-ong, aku Thian-liong-pangcu menantangmu untuk mengadu ke-pandaian.
Jagalah seranganku!" Nirahai yang merasa penasaran sudah menggerakkan pedangnya,
menusuk ke arah da-da mayat hidup itu. Akan tetapi betapa kagetnya ketika melihat bahwa
mayat hidup yang kini dia percaya adalah se-orang kakek yang masih hidup itu sama sekali
tidak mengelak.
"Crokkk!" Pedang yang mengenai da-da itu menempel dan tidak dapat menan-cap, dan
tangan kakek itu sudah meraih hendak menangkap pergelangan tangan Nirahai.
Gerakannya cepat dan aneh se-kali.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
390 "Aihhhh!" Nirahai menarik pedangnya dan cepat meloncat ke samping, kemudi-an mengirim
serangan lagi, memilih ba-gian yang lemah, yaitu leher kakek itu. Kembali Si Kakek Aneh
tidak menangkis, membiarkan pedang membacok lehernya sambil tangannya mencengkeram ke arah lambung Nirahai!
"Plakk!" Pedang itu kembali tidak dapat menembus kulit leher dan hampir saja lambung
Nirahai kena dicengkeram kalau saja dia tidak cepat mengelak de-ngan gerakan yang amat
cepat. "Hayaaaa....! Kau pun hebat, Ketua Thian-liong-pang!" Kakek itu terkekeh memuji.
Tiba-tiba terdengar sorak sorai dan pasukan yang dipimpin oleh Bhong Ji Kun telah datang
menyerbu! Dari tero-pongnya Bhong Ji Kun menyaksikan be-tapa orang-orangnya tewas
secara me-ngerikan. Maklum bahwa tentu terjadi sesuatu yang hebat, dia lalu mengerah-kan
pasukannya menyerbu, sedangkan dia sendiri bersama Maharya lari men-dahului untuk
membantu Thian Tok La-ma yang sudah ia suruh turun terlebih dahulu tadi.
Melihat ini, para tokoh kang-ouw yang tidak ingin terlibat dalam perten-tangan dengan
pemerintah, lalu mengun-durkan diri dan pergi dari tempat itu. Adapun para anak buah
Thian-liong-pang yang mengira bahwa pasukan-pasukan itu hendak menyerbu mereka,
sudah menyambut dan terjadilah perang tanding di mana banyak sekali pasukan roboh dan
tewas menghadapi tokoh-tokoh Thian-liong-pang yang amat lihai itu.
"Dia telah membunuh orang-orang kita!" Thian Tok Lama menuding ke arah kakek
telanjang yang masih bertanding melawan Nirahai. Untung bahwa Ketua Thian-liong-pang ini
memiliki kegesitan yang luar biasa sehingga cengkeraman-cengkeraman dan pukulanpukulan Cui-beng Koai-ong selalu mengenai angin ko-song belaka, akan tetapi semua
bacokan Nirahai tiada gunanya, tidak dapat me-lukai tubuh kurus kering yang kebal itu.
Nirahai menjadi makin penasaran dan ti-dak mau mengalah begitu saja. Kini pe-dangnya
berubah menjadi sinar yang ber-gulung-gulung, sebagian melindungi tu-buhnya, sebagian
lagi melakukan serang-an-serangan kilat yang semua ditujukan ke arah sepasang mata
kakek telanjang.
"Heeehhh, kau lihai....!" Cui-beng Koai-ong berseru dan kini dialah yang harus
menangkis sinar pedang yang ber-gulung-gulung itu dengan kedua tangannya. Betapapun
kebal tubuhnya, tak mungkin dia melatih mata menjadi kebal! Maka tentu saja dia tidak ingin
mata-nya dicokel keluar oleh ujung pedang lawan. Begitu kakek ini mengeluarkan seruan
memuji yang menyembunyikan ke-marahannya, tubuhnya bergerak cepat dan angin
berdesir-desir menyambar ke-luar dari kedua tangannya.
Nirahai diam-diam terkejut dan ha-rus mengakui bahwa selama hidupnya, baru sekali ini dia
berhadapan dengan lawan yang memiliki ilmu kesaktian se-perti kakek itu. Maka dia berlaku
hati-hati sekali dan mengandalkan gin-kang-nya untuk selalu menghindarkan diri,
mengerahkan sin-kangnya untuk mela-wan sambaran angin pukulan dahsyat itu.
Ketika Bhong Ji Kun dan Maharya mendengar bahwa kakek telanjang itu adalah seorang
dari Pulau Neraka yang telah membunuh para panglima, mereka lalu menerjang maju,
mengeroyok Cui-beng Koai-ong! Bhong Ji Kun mengguna-kan pecutnya yang menyambarnyambar ganas, berusaha menangkap tubuh dan terutama kedua tangan kaki kakek
te-lanjang dengan ujung pecut. Maharya su-dah mengeluarkan senjata bulan sabitnya dan
menyerang hebat, meniru taktik Nira-hai menyerang ke arah kedua mata, se-dangkan Thian
Tok Lama tetap memper-gunakan Ilmu Pukulan Hek-in-hwi-hong-ciang yang biarpun tidak
dapat melukai lawan, namun sedikitnya pukulan ini da-pat membuat lawan terlempar. Dan
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
391 se-telah dia mengerahkan pukulan-pukulan-nya ke arah pusar, Cui-beng Koai-ong ternyata


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak berani sembarangan mene-rimaa pukulan ampuh itu.
Dikeroyok empat orang yang demiki-an saktinya, betapapun lihai, Cui-beng Koai-ong
kewalahan juga, akan tetapi dia tertawa-tawa, "Heh-heh-heh, banyak orang hebat!"
Maharya menyaksikan kehebatan ka-kek telanjang itu, menjadi penasaran dan ia
membentak, "Manusia telanjang tak tahu malu! Lihat aku siapa!"
"Heh-heh, kau orang berkulit hitam berhidung seperti kakatua, heh-heh!" Cui-beng Koai-ong
dengan berani meman-dang muka dan menentang mata Maharya.
"Engkau merasa kakimu lumpuh, re-bahlah!"
"Heh-heh-heh, otakmu miring, ya?"
Maharya kaget setengah mati ketika merasa betapa ilmu sihirnya sama seka-li tidak
mempan terhadap mayat hidup itu dan merasa betapa getaran ilmu sihir-nya membalik,
seolah-olah terbentur pa-da benteng yang aneh dan kuat!
Cui-beng Koai-ong terdesak hebat, dan anehnya, kalau Ketua Thian-liong-pang bekerja
sama dengan pimpinan pemerintah menghadapi kakek ini, ada-lah orang-orang Thian-liongpang sendiri bertempur melawan pasukan yang dipim-pin oleh para panglima! Betapapun
lihai orang-orang Thian-liong-pang, dikeroyok ratusan orang pasukan itu, mereka man-di
keringat dan terdesak.
Tiba-tiba dari atas gubuk melayang turun Milana yang terus mengamuk. Hebat tentu saja
gerakan dara ini dan se-bentar saja belasan orang anak buah pasukan berikut dua orang
panglima ro-boh oleh sambaran pedangnya. Pertan-dingan makin hebat dan kacau balau.
"Aku ikut....! Ha-ha-ha, Twa-suheng, aku ikut, jangan borong sendiri ahhh!" Tiba-tiba muncul
seorang kakek berkaki telanjang yang mukanya lucu, berwarna kuning. Dia ini bukan lain
adalah Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek, tokoh Pulau Nereka yang suka merantau. Begitu
ma-suk, dia lelu secara ngawur menerjang, membantu twa-suhengnya dan disambut oleh
Thian Tok Lama.
Pendeta Lama ini maklum bahwa orang yang menjadi sute deri mayat hi-dup tentu lihai
sekali, maka datang-datang, dia memapakinya dengan pukulan Hek-in-hwi-hong-ciang yang
mengeluarkan uap hitam!
"Wah berbahaya...." Kwi-bun Lo-mo tertawa, cepat mengelak dan menggunakan ilma
memindahkan tenaga, sambil mengelak dia menghantam dari samping, seolah-olsh
memindahkan atau memutar tenaga lawan untuk menghantam pemilik-nya sendiri, ditambah
tenaganya sendiri.
"Omitohud....!" Thian Tok Lama sem-pat menarik kembali tangannya dan men-celat mundur,
kalau tidak tentu lengan-nya akan patah oleh tenaga dahsyat, campuran dari tenaganya
sendiri yang meliuk ditambah tenaga lawan baru ini. Kwi-bun Lo-mo tertawa-tawa, akan
teta-pi dia segera menjadi sibuk sekali setelah Thian Tok Lama menjalankan pukul-an.
Memang tingkatnya maaih kalah oleh pendeta Lama itu, hanya karena kakek ini memang
mempunysi banyak ilmu aneh, maka dia masih mampu mempertahan-kan dirinya.
"Wah-wah-wah, ada pesta besar! Sam-te engkau tidak akan menang melawan Si Gundul
itu. Berikan kepadaku!" Tiba-tiba muncul seorang kakek lagi yang mukanya pucat seperti
muka Si Mayat Hidup, akan tetapi begitu dia datang dan menangkis pukulan Thian Tok
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
392 Lama, pendeta Lama ini terjengkang dan terhu-yung-huyung ke belakang. Melihat ini,
Maharya cepat menubruk maju dan menghadapi kakek yang baru tiba ini. Kakek ini bentuk
tubuh dan mukanya serupa benar dengan Kwi-bun Lo-mo, akan teta-pi mukanya selalu
tertawa, matanya le-bar sekali dan rambutnya riap-riapan.
"Tua bangka gila, engkau siapa?" Ma-harya membentak sambil melintangkan senjatanya
bulan sabit. "Ha-ha-ha! Aku siapa dan engkau siapa" Tak tahulah aku perbedaannya, kecuali bahwa
engkau jangkung dan aku pendek, bahwa namamu Maharya dan aku disebut Bu-tek Siauwjin (Orang Rendah), tidak seperti kau yang tinggi. Ha-ha-ha!" Kakek itu tertawa-tawa. Dia
adalah orang aneh dari Pulau Neraka yang baru sekarang ini muncul, seperti halnya Cuibeng Koai-ong. Dia adalah sute dari Si Mayat Hidup, dan ji-suheng (kakak seperguruan ke
dua) dari Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek. Ilmu kepandaian Bu-tek Siauw-jin ini luar biasa
sekali, bahkan twa-suhengnya sendiri segan menghadapi sutenya ini yang biarpun
tingkatnya masih kalah sedikit, namun ditutup oleh aneka macam kepandaian ilmu anehaneh yang dimilikinya. Sifatnya seperti Ngo Bouw Ek Si Muka Kuning, akan tetepi dia ja-uh
lebih lihai! Kini pasukan pemerintah mulai me-ngeroyok orang aneh ini, membantu pimpinan mereka
yang benar-benar baru sekali ini menghadapi lawan berat. Biar-pun pasukan itu seperti
sekumpulan nyamuk melawan api menghadapi orang-orang aneh Pulau Neraka, namun
jumlah mereka yang banyak membuat Cui-beng Koai-ong dan kedua orang sutenya
kewa-lahan juga, apalagi lawan-lawan mereka juga bukanlah orang-orang sembarangan.
Cui-beng Koai-ong dikeroyok dua oleh Nirahai dan Bhong Ji Kun, keadaan me-reka
seimbang, Ngo Bouw Ek kewalahan melawan Thian Tok Lama yang lebih lihai, sedangkan
Bu-tek Siauw-jin menda-pat lswan yang tangguh dalam dari Ma-harya. Kalau mereka masih
diganggu oleh ratusan orang pasukan, tentu saja mereka menjadi repot juga!
"Aihhh, Sucouw mengapa nekat membentur kekuatan yang jauh lebih besar" Sucouw nakal
sekali, tidak menurut omongan teecu!" Tiba-tiba berke-lebat bayangan oreng dan muncullah
se-orang pemuda tampan.
Melihat munculnya seorang pemuda tampan yang dengan tenang berjalan menuju ke
medan pertandingan antara orang-orang sakti itu, beberapa orang perajurit segera
mengepungnya. Akan tetapi pemuda ini melangkah terus se-olah-olah tidak melihat atau
tidak mem-pedulikan mereka, matanya tetap me-mandang ke arah Cui-beng Koai-ong yang
sedang repot dikeroyok dua oleh Ketua Thian-liong-pang dan Bhong Ji Kun.
Menyaksikan sikap yang angkuh ini, para perajurit menjadi marah dan berba-reng mereka
menerjang maju. Enam orang banyaknya yang mengepung pemuda itu menggerakkan
senjata, menye-rangnya dari enam penjuru.
"Singggg.... sratttt!" Tampak sinar kilat berkelebat menyilaukan mata dan.... enam orang itu
dengan pinggang hampir putus terbabat pedang yang menjadi si-nar kilat tadi. Kini tampak
pemuda itu dengan mata masih memandang Cui-beng Koai-ong, memasukkan kembali
pedangnya yang bersinar kilat, melanjut-kan langkah seolah-olah tak pernah ter-jadi apaapa. Para perajurit lalnnya me-mandang dengan mata terbelalak penuh kemarahan akan
tetapi juga gentar!
Pada saat itu, terdengar bentakan nyaring Thian Tok Lama dan sekali ini dia berhasil
memukul lawannya. Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek, tokoh Pulau Nera-ka yang bermuka
kuning, yang semenjak tadi memang sudah terdesak biarpun dia masih tertawa-tawa, sekali
ini tidak dapat mengelak atau manangkis, bahkan tidak sempat menggunakan ilmu
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
393 memin-dahkan tenaga, dadanya terpukul Hek-in-hwi-hong-ciang sehingga tubuhnya
terpen-tal, bergulingan dan dari mulutnya ter-pancar darah segar.
"Eh, Sam-te, kau terluka?" Bu-tek Siauw-jin yang melihat ini meloncat dekat, menghampiri
dan tidak mempe-dulikan lagi Maharya yang mengejarnya.
"Heh-heh-heh, ji-suheng, aku.... aku pamit.... mendahuluimu...." Kwi Kuda Putih 1 Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Anak Berandalan 9

Cari Blog Ini