Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan I D Bagian 1
Pedang Berkarat
PENA BERAKSARA Karya: Tjan ID Sumber : http://indozone.net
Bab-01. Jago pedang baju putih.
Bukit Sian Hoa-san dalam bilangan propinsi Phu-kang, disebut pula bukit Siau Koh-san.
diatas puncak bukit terdapat sebidang tanah datar yang amat luas.
Memandang jauh kedepan, hanya bukit yang saling ber-sambung2an dengan hutan
yang lebat, sungai Phu-yang-kang bagaikan sebuah rantai putih memanjang
disepanjang kaki bukit.
Malam ini adalah malam Tiong-ciu, udaranya bersih, rembulan bersinar purnama
dengan sangat terangnya.
Seorang manusia berbaju putih, berdiri ditanah lapang pada puncak bukit Sian-hoa-san
dengan sikap yang gagah.
Orang itu berperawakan jangkung dengan alis mata yang tajam, dia berusaha tiga
puluh tahunan, sebatang pedang berpita putih tersoreng dipinggangnya hingga
menambah kegagahan orang itu.
Mendaki bukit dimalam Tiong-ciu, tampaknya orang itu sengaja datang untuk
menikmati keindahan malam bulan purnama.
Namun sepasang matanya justru memandang ketempat jauh se-akan2 bukan datang
untuk menikmati keindahan malam bulan purnama, melainkan sedang menunggu
kedatangan seseorang.
"Sreet" bunyi lirih seperti daun kering yang rontok terhembus angin bergema di belakang tubuhnya.
Seperti merasakan sesuatu, secepat kilat orang berbaju putih itu membalikkan
badannya, kemudian sambil menatap tajam asal suara itu, dia membentak beratberat. "Siapa disitu ?"
Gelak tertawa nyaring berkumandang dari balik hutan dihadapannya, kemudian
sesosok tubuh manusia pelan-pelan menampakkan diri.
orang inipun berbaju putih dengan perawakan jangkung, alis matanya lentik dan
dengan sepasang mata tajam, usianya antara tiga puluh tahunan, sebilah pedang
berpita putih tersoren pula dipinggangnya.
Berbincang soal wajah, potongan badan dandanan sikap serta yang dipakai, orang ini
mempunyai segala-gala yang persis seperti orang berbaju putih pertama tadi.
Andaikata kau membawa sebuah cermin besar dan menjajarkan kedua orang itu jadi
satu, maka akan terasa bahwa kedua orang itu ibaratnya pinang dibelah dua.
orang berbaju putih yang datang lebih duluan itu nampak agak tertegun lalu dengan
wajah serius tegurnya. "sobat, slapakah kau ?"
orang berbaju putih yang datang belakangan itu berkerut kening, lalu tertawa nyaring.
"Haaahh -- haaahhh--- haaahhh--- sobat, kau toh dapat berdandan seperti aku, masa kau bertanya lagi siapakah aku" Kebetulan pada malam ini aku punya janji dengan
seorang teman untuk bertemu disini, maka turutilah nasehatku, cepat-cepatlah kau
tinggalkan tempat ini."
Mencorong sinar tajam dari balik mata orang berbaju putih yang pertama kemudian
tertawa seram. "Sobat, tahukah siapa yang telah berjanji dengan siaute untuk berjumpa disini malam ini"
"Haaahhh... haaahh... haaahh... siaute bisa datang kemari untuk memenuhi janji, tentu saja mengetahui pula slapa orang itu, maka siaute anjurkan kepadamu cepatlah kau
tinggalkan tempat ini"
Kedua orang ini bukan cuma wajah, pakaian, sikap maupun gerak geriknya sama,
malahan nada serta logat berbicaranya pun tak berbeda dengan lainnya.
orang berbaju putih yang datang duluan itu segera berkerut kening serta mendadak
dia maju selangkah lalu ditatapnya orang berbaju putih yang lain lekat-lekat, kemudian tegurnya.
"Sobat, siapakah kau?"
"Haaahhh. . . haaahhh ..... suatu pertanyaan yang sangat bagus, pertanyaan ini
kebetulan ingin siaute ajukan pula kepada dirimu"
Mendengar perkataan itu, orang pertama tadi mendongakkan kepalanya dan tertawa
nyaring, suaranya keras memekikkan telinga "Sobat, mengapa kau tertawa?" tegur orang kedua agak tertegun.
Orang pertama itu segera menghentikan gelak tertawanya, lalu sambil menjura
katanya dengan serius. "Sobat dapat menyaru persis seperti siaute, itu berarti kau adalah orang yang cukup kukenal, hanya saja pertemuan malam ini, siaute punya janji
dengan seorang gembong iblis yang sudah lama termasyur karena kekayaannya dia
datang dengan maksud tak baik bahkan siaute sendiripun tidak yakin menangkan
dirinya. aku tak ingin menyusahkan sobat, buat apa saudara mesti menyaru sebagai
siaute untuk datang kemari...."
Belum habis orang pertama berbicara, orang berbaju putih kedua sudah menukas
sambil menjura pula.
"Betul, usaha saudara untuk menolong orang yang sedang kesulitan sungguh
membuat siaute amat terharu, kebaikan ini pasti akan kuingat selalu didalam hati
Seperti apa yang saudara katakan dalam peristiwa malam ini, siaute dipaksa oleh
keadaan dan mau tak mau mesti datang untuk memenuhinya, sebab itu kuharap
saudara mau menuruti anjuranku dan cepatlah tinggalkan tempat ini."
Berbicara sampai disitu, dia lantas menjura berulang kali menyatakan rasa terima
kasih. Dengan tenang orang berbaju putih pertama mendengarkan pembicaraan lawannya,
sementara sepasang matanya yang tajam mengamati orang berbaju putih kedua lekatlekat, hendaknya dia berusaha untuk menemukan titik kelemahan pada tubuh orang
ini. Mendadak dia melesat maju kedepan, dalam sekejap mata tubuhnya sudah berada
dihadapan orang berbaju putih yang datang belakangan.
Setelah saling berhadapan, baru nampak kini perbedaannya, ternyata orang berbaju
putih yang datang belakangan itu lebih pendek setengah bahu diripada orang
pertama. Seperti menyadari akan sesuatu, tiba-tiba orang berbaju putih yang datang duluan itu
menjadi sangat emosi serunya dengan suara agak tergagap. "Rupa... rupanya kau ...
kau adalah ..."
Belum habis ucapan itu diutarakan, dari bawah bukit sana telah berkumandang suara
tertawa nyaring yang amat memekikan telinga, suaranya sangat keras sehingga
menggetarkan seluruh tanah perbukitan itu.
Sikap siorang berbaju putih yang datang duluan itu makin emosi, tidak sempat
melanjutkan kata kata sebelumnya, ia segera membentak dengan suara dalam.
"Kenapa kau tidak segera pergi dari sini?" orang baju putih yang datang belakangan itupun tampak dipengaruhi emosi sahutnya dengan gelisah.
"Seharusnya kaulah yang harus pergi..." Belum habis ucapan tersebut diutarakan, terdengar seseorang telah menukas sambil tertawa seram.
"Kaliau berdua tak usah pergi lagi dari sini" suaranya tajam dan melengking, amat tak sedap didengar.
Walaupun kedua orang manusia berbaju hitam itu merasakan hatinya bergetar keras
dan diam-diam kaget akan kecepatan gerak lawan^namun mereka masih tetap berdiri
tegak di tempat semula.
Angin malam yang berhembus lewat mengibarkan ujung baju berwarna putih kedua
orang itu mereka tampak amat tenang, seolah olah tiada sesuatu ancamanpun
dihadapan mereka.
Sesosok bayangan hitam dengan kecepatan tinggi meluncur tiba, ternyata dia adalah
seorang kakek berusia lima puluh tahun yang mengenakan jubah warna hijau.
Diatas wijahnya yang kurus dan berwarna hitam pekat tersungging sekulum
tertawanya yang menyeringai seram, ditatapnya kedua orang itu sekejap. lalu berkata.
"Tak kusangka Pek ih kiam kek (jago pedang berbaju putih) yang begitu termasyhur
namanya dalam dunia persilatan, telah mencarikan seorang pengganti untuk
menghadapi kematian, haaahhh... haaahh... haaahhh... untung saja lohu tak datang
terlambat, kalau tidak niscaya salah seorang diantara kalian sudah ada yang kabur dari sini..."
Berkilat sepasang mata orang berbaju putih yang datang lebih duluan itu, katanya
gagah. "Hmmm... Kau telah menganggap diriku ini sebagai manusia macam apa..?" orang berbaju putih yang datang belakangan ikut tertawa tergelak pula.
"Kau telah berani datang kemari untuk memenuhi janji, sebelum menghasilkan
sesuatu, kaupun tak usah pergi dan sini."
Dengan sorot mata yang tajam, kakek berbaju hijau mencoba meneliti kedua orang itu
dengan seksama, namun diapun tidak berhasil membedakan mana yang asli dan mana
yang gadungan, maka sambil manggut-manggut dia berkata.
"Ehmm.... betul-betul hebat, tampaknya penyaruan kamu berdua memang hidup dan
sempurna, namun bagi lohu mah tak acuh terhadap keaslian kalian, setelah berani
datang kemari untuk memenahi janji, maka lohu hanya ingin mengajukan satu
pertanyaan saja, sudahkah barang itu dibawa serta?"
"Barang milik perguruan kami tak akan dibiarkan terjatuh ketangan kaum laknat,
menangkan dulu pedang ditanganku ini sebelam bertanya yang macam-macam" kata
orang berbaju putih yang datang duluan itu ketus.
Orang berbaju putih yang datang belakangan ikut berseru pula.
"Barang itu berada d isakuku, menangkan dulu pedangku ini, bila aku kalah niscaya benda tersebut akan kuserahkan kepadamu."
"Bagus, sekali." kakek berbaju hijau itu menyeringai seram, "kalian terdiri dari yang asli dan yang gadungan, berarti barangnya ada yang asli ada pula yang palsu, haaahhh . .
.haaahhh-. . . haaahhh,. . .biar palsu maupun asli akan lohu ambil semua, nah, bila
ingin turun tangan, lebih baik kalian maju bersama saja"
Dalam pembicaraan pergelangan tangannya segera digetarkan keras, sebatang ruyung
lemas berkepala ular yang memancarkan sinar kehitam hitaman telah meluncur keluar
dari balik bajunya, kemudian tangan kirinya digetarkan pelan, ruyung itu segera
berputar sambil memancarkan cahaya kehijau-hijauan, bentaknya dengan suara
dalam. "Majulah, lohu tak sabar untuk menunggu lebih lama lagi"
"cri ing cri ing..."
Hampir pada saat yang bersamaan, kedua orang manusia berbaju putih telah
meloloskan pedangnya. Tapi orang berbaju putih yang datang belakangan maju
kedepan lebih dulu, tiba dihadapan musuh dia membentak keras.
"Aku akan lebih dulu mencoba dimana kehebatanmu "Sreet ... " serentetan cahaya perak yang menyilaukan mata, secepat kilat meluncur kedepan dan melepaskan
sebuah tusukan dahsyat dimana pedangnya menyambar lewat, hawa dingin yang
menyayat tubuh memencar keempat penjuru.
Tetapi orang yang berbaju putih yang datang duluan telah mendahuluinya.
Sambil menghalangi jalan pergi orang berbaju putih yang datang belakangan, dia
membentak dengan mata berkilat tajam.
"Kau mundur dulu"
Bentakan itu tidak begitu nyaring, akan tetapi membawa suatu kewibawaan yang tak
terbantahkan- Orang berbaju putih yang datang belakangan agak tertegun, tanpa sadar ia mundur
selangkah. Orang berbaju putih yang datang duluan itu, tidak menggubrisnya lagi, ia menatap
wajah si kakek berjubah hijau seraya bentaknya. "Sekarang, kau boleh lancarkan
seranganmu"
"Baik"
Kakek berjubah hijau itu segera menggetarkan lengannya, ruyung itu berputar
diangkasa dengan membawa suara nyaring, kemudian di ringi kilatan cahaya tajam,
kepala ular diujung ruyung itu menyambar ke dada orang berbaju putih itu dan
mengancam ketiga buah jalan darah penting yang berada disana.
Dalam keadaan gusar, serangan yang dilaksanakan oleh gembong iblis tua ini selain
cepat bagaikan kilat, juga ganas dan mematikan.
Terkesiap juga orang berbaju putih yang datang duluan itu setelah menyaksikan
kelihayan serangan lawannya dalam jurus ternama.
"Tak heran kalau gembong iblis ini amat tersohor namanya didalam dunia persilatan ternyata kepandaian silat yang dimilikinya memang benar-benar luar biasa" demikian ia berpikir.
Tangan kiri mengayun miring kesamping dengan suatu taktik pancingan, sementara
pedang ditangan kanannya menyongsong dengan jurus Sam seng tang hu (tiga bintang
dimuka jendela).
Tatkala orang berbaju putih yang datang belakangan menyaksikan kedua orang itu
sudah terlibat dalam suatu pertarungan sengit, diam-diam ia menghela napas panjang
dan mudur beberapa langkah dari situ.
Dalam waktu singkat pertarungan telah berlangsung tujuh delapan gebrakan lebih.
Sementara itu kakek berjubah hijau itupun sudah merasakan pula kemampuan dan
ketangguhan lawannya memainkan ilmu pedang, bahkan dia pun tahu bahwa
kepandaian lawan telah mencapai puncak kesempurnaan
Kendatipun di hari-hari biasa dia angkuh dan tak pernah pandang sebelah matapun
terhadap lawannya, kali ini tak berani memandang remeh musuhnya.
Sebaliknya orang berbaju putih yang datang duluan itupun memahami sekali akan
asal-usul kakek berbaju hijau itu, kendatipun dia mempertaruhkan nyawa pun belum
tentu merupakan tandingannya, maka begitu turun tangan, ia lantas mengambil taktik
bertahan menyelamatkan diri lebih dahulu.
Dihati mereka berpikir serangan tak pernah mengendor, bahkan lamat-lamat semakin
menanjak hebat.
Lima puluh gebrakan kemudian, daerah seluas dua kaki sudah berada dalam lingkaran
bayangan ruyung yang berlapis-lapis serta desingan angin pedang yang tajam.
Lama kelamaan kakek berjubah hijau itu menjadi naik pitam juga setelah semua
usahanya tidak mendatangkan hasil, mencorong sinar hijau yang mengidikkan hati dari
balik matanya, dia segera mundur dua langkah, lalu sambil tertawa seram katanya.
"Pek ih kiam kek, namamu memang benar-benar bukan nama kosong belaka, coba kau
sambut lagi beberapa buah serangan ruyung dari lohu."
Jubah hijaunya dikembangkan menjadi sangat besar, lalu tubuhnya bergerak bagaikan
hembusan angin, permainan ruyungnya kontan berubah sama sekali.
Sekejap mata kemudian deruan angin yang berbau amis memancar dari empat
penjuru, bayangan ruyung menjadi makin gencar, bagaikan gulungan ombak dahsyat
saja selapis demi selapis menggulung datang tiada hentinya....
Betul ilmu pedang yang dimiliki orang berbaju putih itu sangat lihay, namun kewalahan
juga dibuatnya setelah menghadapi gelombang serangan ruyung yang maha dahsyat
itu, kontan dia menjadi kalang kabut tak karuan dan mundur berulang kali. Terkesiap
amat hatinya menghadapi kejdaan demikian, pikirnya.
"Bila kugunakan suatu taktik pertarungan semacam ini terus untuk melayaninya, cepat atau lambat aku pasti akan terluka juga diujung ruyungnya, lebih baik mumpung kini
masih ada kesempatan untuk melancarkan serangan balasan, baiklah aku beradu jiwa
dengannya."
Berpikir demikian, hawa murninya segera di himpun semakin kuat, lalu sambil tertawa
nyaring serunya.
"Suatu permainan ilmu ruyung yang sangat bagus, nah, kaupun boleh menyambut tiga
buah serangan pedang ku."
Begitu selesai berkata, mendadak ia mengembangkan ilmu Pek-lek-sam leng (tiga
getaran geledek) dari perguruannya untuk melancarkan serangan balasan, diantara
getaran tangannya itu, secara beruntun dia telah melepaskan tiga buah serangan
berantai. Tiga buah serangan yang dilepaskan secara berbarengan ini benar-benar luar biasa
sekali, tampak ujung pedang yang bergetar keras segera menciptakan selapis cahaya
bianglala berwarna perak yang segera menerjang kearah bayangan ruyung tersebut.
Bagaikan amukan angin topan, di ringi suara guntur dan angin yang menggetarkan
sukma, serangan itu melesat keudara dan menyongsong datangnya tubuh lawan.
"Traaang .. " pedang dan ruyung segera saling membentur satu sama lainnya hingga menimbulkan suara getaran yang memekikkan telinga, seketika itu juga cahaya
pedang dan bayangan ruyung lenyap bersama dari tengah angkasa.
Paras muka kakek berjubah hijau itu berubah menjadi mengerikan sekali, ruyung
ularnya tergetar hingga lepas dari cekalan, sementara itu tubuhnya tergetar mundur
sejauh tiga langkah.
Demikian pula keadaan dari si orang berbaju putih yang datang duluan itu, tiba-tiba
saja dia merasakan pergelangan tangan kanannya yang memegang pedang menjadi
sakit sekali, seakan-akan telah digigit oleh suatu makhluk, kemudian mulut lukanya
menjadi gatal sekali, separuh lengan kanannya dari batas siku sampai pergelangan
tangan kontan menjadi kaku dan mati rasa.
"Trang. . " pedang itupun jatuh ketanah.
orang berbaju putih yang datang belakangan menjadi terkejut sekali setelah
menyaksikan kejadian itu buru-buru teriaknya.
"cepat kau tutup jalan darah ci ti hiat pada siku kananmu, jangan biarkan racun itu mengalir lebih keatas"
Seraya berseru, pedangnya digetarkan keras lalu diterjangnya kakek bejubah hijau itu
dengan dahsyat.
"Bajingan tua, mana obat penawarnya?" ia membentak nyaring.
Kakek berjubah hijau itu mundur kebelakang, sementara tangan kanannya segera
menggapai ketanah, ruyung panjang berkepala ulatnya yang tergeletak ditanah itu
segera berputar satu kali di angkasa dan- . . "weeesss" meluncur kembali ketangannya.
Setelah senjata berada ditangan kembali ia menggetarkannya keras-keras lalu sambil
tertawa seram, katanya kepada orang
berbaju putih yang datang belakangan. "Benar, masih ada kau yang tak boleh
dilepaskan juga"
Orang berbaju putih yang datang belakangan tertawa dingin dihati, pikirnya.
"Heeehh . . . heehh... heeehh .. . kau tak akan menyangka kalau pedang yang
sederhana dan sama sekali tidak membawa cahaya ini sesungguhnya adalah sebilah
senjata mustika yang tajamnya bukan kepalang."
Pedangnya segera dicukil keatas, lalu tanpa berkelit dia babat datangnya senjata lawan Kedua belah pihak sama sama berindak dengan kecepatan tinggi, "Traaang . . ."
pedang dan ruyung itu segera saling membentur satu sama lainnya.
Tiba-tiba kakek berjubah hijau itu merasakan tangannya menjadi ringan, ternyata
ruyung sakti Thi-ieng-tiok-kiat-coe (ruyung sakti beruas ular bersisik baja) yang
biasanya tidak mempan dibacok oleh pelbagai macam senjata itu kini sudah terlepas
hingga tinggal separoh bagian saja.
Tak terlukiskan hawa amarah yang berkobar dalam dadanya, dia membentak keras,
tubuhnya yang tinggi besar menerjang kemuka dengan kecepatan bagaikan sambaran
petir, sementara telapak tangan kirinya dibabat keatas dada orang berbaju putih itu.
Serangan yang dilancarkan dalam keadaan gusar ini betul-betul hebat sekali
kekuatannya, berbareng dengan ayunan tangan itu, gelombang angin puyuh yang
maha dahsyat disertai desingan angin tajam ibarat amukan ombak besar ditengah
samudra segera meluncur kedepan, kekuatannya betul-betul mengerikan hati.
Orang berbaju putih yang datang belakangan itu, meskipun berhasil memapas kutung
Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
senjata ruyung lawan, akan tetapi Thileng tlok kiat coa tersebut terhitung sebuah
senjata yang lunak walaupun tubuh ruyung itu sudah kutung, bukan berarti
serangannya telah hilang.
Apalagi setelah ular itu merasa kesakitan, tubuh bagian atasnya segera menubruk
kedepan dengan kecepatan bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya.
Orang berbaju putih yang datang belakang sama sekali tidak menyangka sampai ke
situ, tatkala bau amis berhembus datang, hampir saja ia kena tergigit. Dalam kagetnya
baru baru dia miringkan kepalanya ke samping, lalu memutar pedangnya untuk
melindungi muka.
Ujung pedangnya segera, berputar ke atas, tubuh ular tersebut seketika, tercukil
lenyap. Tapi pada saat yang bersamaan, angin pukul dari si kakek berjubah hijau itupun telah
menerjang datang ke tubuhnya, diam-diam ia menjadi amat terkesiap. dia tak mengira
kalau tenaga dalam yang dimiliki gembong iblis tua itu sedemikian sempurnanya.
Buru-buru dia menghimpun kembali tenaga dalamnya, lalu tubuhnya melambung ke
udara dan melayang ke samping kiri untuk menghindarkan diri.
Saat ini, si kikek berjubah hijau itu sudah geram sekali, kalau bisa dia ingin membunuh orang berbaju putih itu dibawah pukulannya, tentu saja ia tidak memberi kesempatan
lawannya untuk menghindarkan diri.
Gagal dengan serangannya yang pertama tubuh yang sedang menerjang kedepan itu
sama sekali tidak berhenti, sambil berputar tangan kirinya dengan membawa tenaga
pukulan yang kuat segera diayunkan ke depan, menyusul kemudian tangan kanannya
diayunkan pula kedepan melepaskan serangan lain.
Angin puyuh yang amat dahsyat dari serangan lurus segera beri hati menjadi suatu
sapuan yang datang dari samping, bahkan setelah mengalami penambahan tenaga
ditengah jalan daya kekuatannya menjadi berlipat ganda lebih dasyat daripada
serangan yang pertama tadi.
Tiba-tiba orang berbaju putih yang datang belakangan itu berdiri tegak di tanah,
pedangnya yang berada ditangan kanan segera dialihkan ketangan kiri, sementara
telapak tangan kanannya disilangkan kedepan dada. Bentaknya kemudian dengan
wajah serius. "Tua bangka, kau anggap aku benar-benar merasa jeri kepadamu?"
Telapak tangan kanaknya yang semula disilangkan didepan dada itu, mendadak dibalik
kemudian mendorong ke muka dengan suatu gerakan yang cepat sekali bagaikan
sambaran kilat.
"Sreeet.." segulung desingan angin tajam memekikkan telinga, meluncur kedepan dengan dahsyatnya.
Seketika itu juga, si kakek berjubah hijau itu merasakan empat-lima depa disekeliling
tubuhnya seolah-olah telah diliputi oleh angin pukulan yang kuat, dia merasa
tubuhnya seakan-akan telah dibelah jadi dua bagian oleh pukulan yang dilancarkan
manusia berbaju putih itu. "Haaah, . . ilmu pukulan Siu lo lek.. ."
Tampaknya tak ringan luka yang diderita kakek berjubah hijau itu akibat serangan
dahsyat yang dilancarkan musuhnya.
Dalam jerit kagetnya yang keras, dia memekik, tubuhnya dan kabur dari situ di ringi
suara pekikkan memanjang yang amat memekikkan telinga..
Dalam waktu singkat, bayangan tubuhnya telah lenyap dari pandangan mata,
sementara itu orang berbaju putih yang datang belakangan itupun berdiri tersengalsengal dengan wajah memucat, tapi ia tak sempat lagi untuk mengatur napas, sambil
menyarungkan kembali pedangnya, ia segera membopong tubuh orang berbaju putih
yang datang lebih dulu itu, lalu kabur turun gunung.
Bab-02: Paman tak bernama
BULAN delapan telah menjelang kembali. Rembulan bulat dan berwarna putih
keperak-perakan itu sudah muncul ditengah angkasa, begitu bulat bulatan tersebut
hingga kau takkan menemukan perbedaannya. Tapi hari baru tanggal empat belas.
Sebuah gubuk yang amat sederhana nampak berdiri dikaki bukit nanpermai, dibawah
sinar rembulan tampak seorang pemuda tampan sedang menggerakkan tangannya
melatih serangan jurus jurus silat.
Dilihat dari gerakannya, ia seperti tidak sertakan tenaga dalam latihannya itu, namun
sepasang telapak tangannya berputar dan berputar terus saling menyambung tiada
hentinya, setiap kali tangannya diayunkan, terasa ada angin lirih yang berhembus
lewat. Bagi mata seorang ahli, hanya sekilas pandangan saja dapat diketahui kalau pemuda
itu sedang memainkan ilmu Tay khek ciang dari partai Bu tong yang amat termashur
itu. Setengah jam kemudian, rangkaian ilmu yang sedang dilatih pemuda itu sudah
mendekati akhir.
Mendadak dia maju sambil berputar, lengan kanan menekuk kedalam sambil
membuat satu gerakan lingkaran, kemudian telapak tangannya yang tegak ke atas,
secepat kilat membabat ke-depan.
"Sreeet..." segulung angin pukulan yang kuat meluncur keluar dari telapak tangannya.
"Kraaak..." sebatang bambu yang besar kurang lebih enam depa dihadapan segera di sambar oleh pukulan itu sehingga patah menjadi dua bagian- Pemuda itu tampak
terkejut apa yang dilakukan sekarang tak lebih hanya suatu gerakan iseng belaka, siapa sangka pukulan yang dilepaskan dengan ringan itu telah menghasilkan tenaga pukulan
yang begitu dahsyat.
Dengan cepat dia memburu ketempat kejadian dan memeriksa bekas patahan pada
bambu itu, ternyata bekasnya rata bagaikan disayat dengan golok tajam saja.
Entah karena kaget, entah karena gembira untuk sesaat lamanya ia berdiri tertegun
disana, Lewat beberapa sant kemudian dia baru berguman lirih, "Aai h... tidak benar."
Dikala mewariskan ilmu pukulan tersebut kepadanya, berulang kali diperingatkan
kepadanya bahwa ilmu pukulan Tay-Khek bukanlah suatu kepandaian yang bersifat
ganas, tapi yang diutamakan adalah menggunakan tenaga dalam sewajarnya, dengan
hati menimbulkan perasaan, dengan perasaan menimbulkan tenaga, maka yang
dinamakan bukan penggunaan tenaga, melainkan dengan perasaan menimbulkan
tenaga, dan dengan tangan menghantam lawan... itulah prinsip yang penting dari
kepandaian tersebut.
Seperti pula dengan jurus Hud im jiu (pukulan menyapu awan) yang baru saja
dipergunakan, seharusnya gerakan itu enteng seperti segumpal awan yang sedang
bergerak diangkasa, tapi mengapa tenaga setajam golok yang meluncur keluar dari
balik telapak tangannya" Hal ini terasa tidak sesuai dengan teori yang diwariskan
ayahnya selamanya ini.
Sebab kalau bukan suatu kekeliruan kenapa tenaga yang dipancarkan keluar tidak
sesuai dengan apa yang diminta"
Untuk sesaat lamanya dia menjadi tertegun dan berdiri termangu-mangu dengan
wajah penuh tanda tanya.
Dia tahu, bila seorang yang belajar ilmu sampai salah melatih diri, itu sama artinya
dengan seseorang yang tersesat dijalan, makin berjalan tersesat makin jauh, dia harus
segera balikan badan dan berjalan kembali dari permulaan
Andaikata sampai terjadi keadaan demikian bukankah berarti pula perjuangannya
selama tiga tahun ini hanya sia-sia belaka" padahal secara teliti ayahnya telah
menetapkan bahwa ilmu pukulan tersebut harus sudah berhasil dikuasahinya secara
sempurna sebelum bulan Tiong ciu tahun ini.
Mendongakkan kepalanya memandang rembulan di angkasa, pelan-pelan ia
bergumam lirih: "Tanggal empat belas, besok ayah akan kembali, kepada persoalan
pertama ini yang harus kusampaikan kepada dia orang tua adalah persoalan ini"
Maka dia tidak berlatih lagi dan kembali ke dalam rumah, menutup pintu dan naik ke
atas ranjang untuk tidur.
Fajar telah menyingsing, kemudian siang tiba malam pun menjelang kembali.
Entah berapa kali pemuda itu berdiri didepan pintu sambil menantikan pulangnya
ayahnya. Dimasa masa lalu, bila ayahnya sedang turun gunung, maka pada saat ini pasti telah
kembali kerumah, tapi hari ini, mengapa ayahnya belum juga kembali. Mungkin dia
orang tua telah menjumpai suatu musibah ditengah jalan.
Baru saja ingatan itu muncul, dengan cepat ia menghilangkan kembali ingatan itu
dengan berpikir.
"Aiaah. tak mungkin, dengan mengandalkan kepandaian silat yang dimiliki ayah tak
mungkin dia sampai ketimpa musibah."
Apalagi dihari-hari biasa, ayahnya memang jarang bersikap kasar kepada orang, dia
selalu halus berbudi dan enggan untuk mempamerkan kepandaian silatnya dihadapan
orang, itu berarti ada suatu persoalan lain yang sedang dihadapinya, membuat dia
terlambat pulang ke gunung.
"Aah ..." tiba-tiba dia berseru tertahan, Rupanya pemuda itu telah teringat akan sesuatu, sehari menjelang keberangkatan ayahnya turun gunung, dia telah
menyerahkan sesuatu benda kepadanya sambil berpesan, andaikata malam Tiong ciu
nanti tak sempat kembali, maka ada persoalan yang harus dia laksanakan.
Dia orang tua menyimpan benda itu dalam sebuah kotak kayu, kemudian berpesan
lagi. "Asal kau melihatnya sendiri maka semuanya akan menjadi jelas, tapi belum tiba
waktunya, dilarang untuk memeriksanya."
Kini ayahnya belum kembali, itu berarti bukan terhitung mengintip bila ia periksa isi
kotak tersebut.
Begitu ingatan tersebut melintas lewat dalam benaknya, dengan copat dia lari masuk
ke dalam kamar lalu dari kolong ranjang mengeluarkan sebuah anak kunci kecil, kunci
itu diberikan kepadanya sesaat sebelum kepergian ayahnya.
Lalu dari kolong ranjau dia mengeluarkan pula kotak kayu berbentuk sepi panjang dan
dibukanya dengan sangat berhati-hati.
Dibawah cahaya lentera, semua benda dalam kotak itu tertera jelas, mendadak
pemuda itu merasakan jantungnya berdebar keras.
Dalam kotak itu berisikan sebilah pedang yang telah berkarat sebuah lencana besi
yang kecil, sepucuk surat.
Pada sampul surat itu tertera beberapa huruf yang berbunyi "Surat ini tertulis untuk Tiong hiong keponakanku."
Inilah gaya tulisan dari "ayahnya" Dalam sekilas pandangan saja dia dapat
mengenalinya kembali.
Tapi mengapa dia menulis "keponakan?" sebagai orang tua, seharusnya kalau dia orang tua menyebut "ananda" kepadanya"
Setelah termangu sejenak. akhirnya dengan tangan gemetar dia menerima sampul
surat itu dan dirobek sampulnya, setelah itu diambilnya kertas surat didalam dan
dibaca isinya. "Keponakan Tiong hong."
"Ketika membaca panggilan tersebut, kau tentu merasa terkejut bercampur keheranan bukan" Lima belas tahun lamanya, kau selalu menganggap diriku sebagai ayahmu, aku
pun selalu menganggap kau sebagai anak kandungku sendiri, tapi dalam kenyataan
aku bukan ayahmu, kalau dihitung kembali kau sepantasnya menyebut paman
kepadaku."
Sepasang tangan pemuda itu mulai gemetar matanya berkaca-kaca dan wajahnya
memucat, hampir saja ia menjerit lengking.
"Tidak, oooh tidak... ayah kau membohongi aku, kau adalah ayahku, sejak kecil ananda sudah mengikuti dirimu, suaramu, tertawamu sudah kukenal sejak kecil dulu,
mengapa secara tiba tiba kau tak mengakui diriku sebagai anakmu lagi ?"
Dengan ujung bajunya ia menyeka air mata dipipi, kemudian membaca isi surat itu
lebih lanjut. "Anakku, kau jangan menangis dulu, sesungguhnya aku sudah lama hendak
memberitahukan persoalan ini kepadamu, tapi aku tak ingin memecahkan
perhatianmu karena ilmu silatmu belum berhasil.
Untung juga belum terhitung lambat bila ku beritahukan hal ini sekarang, kau telah
berusia delapan belas tahunDelapan belas tahun, boleh dibilang sudah dewasa, yang paling ayah sayangkan ilmu
silatmu telah berhasil kau kuasai, itulah satu satunya perkara yang membuatku merasa
amat girang. "Kau tidak She Wi, tapi sekarang kau masih harus menggunakan "wi thong hong"
sebagai namamu"
"Membaca sampai disini. wi thong hong tak kuasa untuk menahan air matanya lagi,
titik-titik air mata jatuh bercucuran membasahi pipinya, peristiwa ini benar benar
mengesalkan sekali.
Ayah yang belum pernah berpisah dengannya semenjak ia masih kecil dulu, ternyata
bukan ayah kandungnya.
Sedang nama yang sudah terbiasa ia pakai sejak kecil ternyata bukan nama aslinya,
lalu siapakah aku yang sebenarnya.
"Nak. bila kan membaca sampai disini, pasti akan timbul pertanyaan siapakah dirimu yang sebenarnya" siapakah namamu" Dari mana asal usulmu" Dan siapa pula orang
tuamu" Tapi aku hanya bisa menjawab dengan enam patah kata yakni.
"Dikemudian hari kau akan tahu sendiri, bukan aku enggan memberitahukan hal ini
kepadamu karena... belum sampai waktunya.
Tampak oleh Wi Tiong hong, dibawah tulisan "karena" itu masih ada beberapa patah kata yang telah dicoret kembali, bahkan dibubuhi dengan tinta hitam sehingga tidak
nampak tulisan yang sebenarnya, sedang: kata berikutnya tak lebih hanya kata
tambahan belaka.
Dari sini dapat dilihat, sebenarnya dibawah tulisan "karena" dia hendak menjelaskan sesuatu, tapi kemudian dirasakan kurang tepat, maka tulisan yang sudah terlanjur
ditulis dihapus kembali dengan tinta.
Wi Tiong hong segera mendekat kertas surat itu didekat lampu lentera, dia bermaksud
untuk meneliti tulisan apakah yang telah dihapus itu, sayang usahanya ini tidak
berhasil. Terpaksa dia membaca lebih jauh.
"Nak. paman hanya dapat memberitahukan satu hal kepadamu, yakni ayahmu telah
tewas ditangan seorang musuhnya pada lima belas tahun berselang, sedangkan ibumu
masih hidup segar bugar didunia ini."
"Dikemudian hari, disaat engkau dapat berjumpa kembali dengan ibumu, saat itulah
asal usulmu akan menjadi jelas, dan disaat kau membalas dendam berdarah itu... ."
Kembali dibawah tulisan mana tampak beberapa puluh huruf yang dicoret kembali
dengan tinta. "Mulai besok kau harus turun gunung, hal ini dikarenakan aku masih ada persoalan
lain yang harus segera diselesalkan dan tak mungkin akan balik kembali kemari, kau
harus terjun ke dalam dunia persilatan untuk melatih diri sambil mencari pengalaman.
Tapi ada satu hal perlu kau ingat baik-baik, bila ada orang menanyakan tentang asal
usul perguruanmu maka kau harus mengatakan sebagai murid Thian Goan-cu dari Butong-pay. Dunia persilatan penuh dengan mara bahaya serta tipu muslihat yang licik,
hati-hati dalam pergaulan dan mencari teman. Ilmu menyaru dari paman telah kau
kuasahi sepenuhnya, selama melakukan perjalanan didalam dunia persilatan, jangan
kau perlihatkan wajah aslimu. Aku rasa dengan mengandalkan kepandaian silat yang
kau miliki, asal tidak terlalu menyolok aku yakin kau masih mampu untuk
menghadapinya. Pedang besi dalam peti, jangan kau anggap sudah berkarat dan tumpul, sesungguhnya
pedang itu tajam sekali dan merupakan benda milikku dulu, sekarang kuhadiahkan
kepadamu sebagai kenangan. Bila paman tidak mati, aku pasti akan pergi mencarimu.
Dalam peti terdapat sebuah lencana besi, baik-baik simpan benda itu dan jangan
sampai hilang. Bila kau selesai membaca surat ini, bakarlah sampai musnah, Nah,
cukup sekian dahulu semoga kau baik baik menjaga diri. Tertanda: "Paman yang tidak
dikenal namanya"
Selesai membaca surat itu, Wi. Tiong hong merasa sukmanya seperti telah melayang
tinggalkan raganya saja, untuk sesaat lamanya dia berdiri tertegun didepan ranjang.
Dendam ayahnya, asal usulnya, ibunya serta paman yang tidak dikenal namanya,
kesemuanya itu bercampur aduk dalam benaknya membuat pemuda itu merasa amat
kesal. Tanpa disadari air matanya jatuh bercucuran membasahi pipinya.
Sekali lagi dia baca isi surat itu, kemudian baru mengikuti pesan dari pamannya untuk
membakar surat itu hingga punah.
Kemudian dari peti kayu itu dia mengeluarkan pedang dan lencana besi tersebut,
setelah itu ditelitinya dibawah sinar lentera.
Pada lempengan lencana itu, selain terukir seraut wajah setan yang sedang
menyeringai seram, tak tampak sepatah katapun yang tertera disitu, dia tak tahu apa
kegunaannya, tetapi mengingat pamannya telah berpesan agar "simpan baik baik dan
jangan hilang" maka dia masukkan benda itu kedalam sakunya.
Kemudian dia meloloskan pedang berkarat itu dari sarungnya, meskipun pedang itu
sudah karat, namun sama sekali tidak menunjukkan sesuatu keistimewaan apapun.
Dia mencoba membacok kearah batu, ternyata tanpa menggunakan banyak
tenagapun senjata tersebut telah menancap kedalam batu cadas yang amat keras.
Sekarang dia baru terperanjat dia baru tahu dan percaya kalau pedang tersebut benar
benar tajam sekali.
Sambil mencabut keluar pedang itu, dengan air mata bercucuran ia bergumam, "Aku
hendak mempergunakan pedang ini untuk membalaskan dendam ayahku, aku hendak
mencari ibuku"
Berbicara sampai disini, hatinya makin sedih sehingga air mata bercucuran keluar
semakin deras. oooo00oooo UDARA AMAT CERAH, angin lembut berhembus sepoi-sepoi.
Udara dibulan delapan adalah bulan mendekati musim dingin meskipun begitu, bila
kau berjalan dibawah sinar matahari, keringat akan bercucuran karena gerah.
Tengah hari sudah menjelang tiba, namun diatas jalan masih nampak banyak manusia
yang melakukan perjalanan sambil bercucuran keringat.
Tampaknya mereka sedang memburu masuk kedalam kota sebelum tibanya tengah
hari. Orang-orang itu ada yang merupakan saudagar kain, ada pula pelancong yang datang
untuk berpesiar.
Seorang pemuda berbaju hijau dengan membopong sebuah bungkusan kecil
dipunggung serta sebuah bungkusan panjang berwarna hijau, sedang melakukan
perjalanan pula dibelakang orang-orang itu.
Dia tak lain adalah Wi Tiong hong yang disuruh paman yang tak diketahui namanya
untuk melakukan perjalanan dalam dunia persilatan.
Ketika meninggalkan bukit Huay Giok-san, pikirannya terasa kosong bagaikan selembar
kertas putih, dia tak tahu kemana harus pergi, maka ditelusurinya jalan raya yang
dijumpai. Pintu kota yang tinggi besar telah muncul di depan mata, tampak banyak sekali
Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
manusia yg berjalan masuk kedalam kota, tapi banyak pula yang berjalan keluar
meninggalkan kota.
Seorang diri Wi Tiong hong berjalan menelusuri jalan, ia belum pernah masuk kota,
ketika melihat begitu banyak orang yang berlalu lalang disana, dia turut celingukan
kesana kemari dengan perasaan ingin tahu, seakan-akan sedang mencari sesuatu,
padahal tiada yang dicarinya. Mendadak ia jumpai dikaki tembok kota sana, duduk
seorang nenek berambut putih serta seorang gadis berbaju kasar.
Nenek itu kurus kering, sepasang kakinya sebatas lutut telah kutung, ia duduk lemas
ditanah sambil mengawasi orang yang berlalu lalang disana dengan sepasang biji
matanya yang berwarna putih.
Gadis itu berusia enam tujuh belas tahun, rambutnya berwarna kuning dan mukanya
burik mana kuning hitam pekat lagi sehingga wajahnya kelihatan sangat jelek.
Dihadapan kedua orang itu bergerombol anak-anak kecil yang lagi menonton
keramaian, diatas tanah berserakan pula dua tiga puluh mata uang yang merupakan
sedekah dari orang-orang yang berlalu lalang dihadapannya.
Mendadak timbul perasaan iba dalam hati Wi Tiong hong, tanpa terasa diapun teringat
dengan enam puluh tahil perak yang ditinggalkan paman tak dikenal untuknya.
"Mengapa tidak kubagikan separuh diantaranya buat mereka?" demikian dia berpikir,
"kasihan kalau nenek cacad ini harus duduk dibawah kaki tembok kota sepanjang
hari.... ah mungkin uang yang kuberikan kepada mereka akan bermanfaat bagi kedua
orang itu?"
Berpikir demikian dia lantas menurunkan buntalannya dan mengambil separuh bagian
uang yang dimilikinya untuk nenek itu, kemudian dia berbisik. "Nek, terimalah tiga puluh tahil perak ini untuk kebutuhan hidupmu."
Tatkala sepasang tangan nenek berambut putih itu meraba diatas uang perak itu,
terdengar ia berseru tertahan.
Sementara itu Wi Tiong hong telah bangkit berdiri dengan wajah memerah, ketika
mendongakan kepalanya, ia saksikan gadis berwajah jelek itu kebetulan sedang
memandang kearahnya.
Takala empat mata saling bertemu, Wi Tiong- hong segera merasa walaupun gadis itu
jelek tampangnya namun memiliki sepasang mata yang jeli dan indah sekali.
Anak muda itu menjadi gugup, seperti telah melakukan sesuatu berbuatan salah, tiba
tiba ia menyambar kembali buntalannya dan kabur dengan menerobosi kerumunan
orang banyak. Setelah melewati jalan raya, dia baru merasakan hatinya rada tenang, hingga langkah
kakinya turut mejadi lebih santai.
Tiba-tiba hidungnya mendengus bau harum semerbak, sudah setengah harian dia
belum bersantap. sejak tadi memang perutnya sudah lapar maka mendengus bau
harum, perutnya menjadi lapar bukan main
Iapun mengalihkan pandangan matanya kearah mana berasalnya bau harum tadi,
tampak sebuah rumah makan yang besar berada didepan sana, rumah makan papan
nama itu telah dimakan usia warna emasnya meski utuh namun sekeliling papan itu
berwarna hitam pekat.
Pelan-Pelan Wi Tiong hong naik keatas loteng, pelayan segera menyiapkan tempat
duduk sambil bertanya akan memesan apa.
Wi Tiong hong tak mengenal nama-nama hidangan yang ada, maka ketika dia
berpaling kemeja sebelah dimana ada seorang lelaki kekar sedang mendahar sepiring
daging sapi dan semangkok arak diapun lantas menuding kearah hidangan tersebut
seraya berkata. "Aku pesan seperti hidangan itu, daging sapi dan sepoci arak."
Lelaki dimeja sebenarnya itu segera berpaling tatkala mendengar perkataan tersebut,
sepasang matanya yang tajam memandang sekejap ke atas wajahnya, kemudian
memperhatikan pula bungkusan panjang yang diletakkan diatas meja itu.
Wi Tiong hong dapat melihat kalau orang itu berusia tiga puluh tahunan, berjubah
hijau beralis tebal dengan mata yang besar, bentuk wajahnya persegi empat dengan
warna hitam pekat, ia nampak gagah dan perkasa sekali.
"Dia pasti seorang pendekar besar" pekiknya dalam hati.
Lelaki tadi hanya memperhatikannya beberapa kejap kemudian berpaling lagi untuk
melanjutkan santapannya.
Tak lama kemudian pelayan datang menghidangkan arak, witopg hong memenuhi
cawannya dan meneguk setegukan, siapa tahu dia memang belum pernah minum
arak. begitu arak masuk lewat kerongkongan kontan saja dia terbatuk-batuk.
Mendadak lelaki tadi berpaling lagi, wajahnya-tampak diliputi oleh perasaan heran dan
tidak habis mengerti.
Merah padam selembar wajah Wi Tiong-hong. buru-buru ia menyumpit sepotong
daging dan disuap kedalam mulutnya, setelah itu baru ia mengangkat mangkok
araknya dan minum setegukkan lagi.
Setelah meneguk beberapa tegukan dia menjadi telah terbiasa, tak selang beberapa
saat kemudian dua mangkok arak sudah berpindah kedalam perutnya. Tiba tiba ia
merasakan timbulnya rasa pedih dari hati kecilnya. Dendam ayahnya, teka-teki
tentang ibunya, musuh besarnya, asal usulnya ....
Menanti arak ketiga sudah habis, tanpa terasa dia memukul meja keras-keras, hampir
saja dia berteriak "Sesungguhnya siapakah aku?"
Untung saja ucapan itu tak sampai diutarakan keluar, akan tetapi gebrakan diatas meja
tadi telah menimbulkan suara yang cukup keras.
"Braaak..." dengan cepat dia menyadari kembali akan kekhilafannya. Anak muda itu menjadi malu, mukanya semakin merah membara, sebuah bekas telapak tangan yang
amat dalam telah tertera diatas permukaan meja ini.
Untuk kesekian kalinya lelaki itu berpaling tatkala menyaksikan cawan arak yang
melesak masuk kedalam permukaan meja, kemudian menyaksikan pula sorot mata
yang terpancar keluar dari balik mata Wi Tiong hong, mendadak ia tertawa tergelak.
serunya sambil bangkit berdiri.
"Engkoh cilik, apakah kau mempunyai suatu persoalan yang mengganjal dalam
pikiranmu " Bagaimana kalau kita minum bersama barang setegukan ?"
Pada dasarnya Wi Tiong hong memang menaruh perasaan simpatik terhadap dirinya,
maka dengan wajah memerah dia lantas menjura, "Siaute telah membuat silaf, harap
saudara jangan merasa tersinggung adanya."
Sambil mengangkat cawan arak sendiri, dia pindah kehadapan lelaki itu, pelayan
segera memindahkan pula semua benda ke meja orang itu. Wi Tiong hong kembali
berkata, "Kita belum pernah bersua muka, belum ku tanyakan siapakah nama saudara.
. .?" Lelaki itu tertawa. "Aku Ti ci kang, dan engkoh cilik ?"
"Siaute Wi Tiong hong, baru kali ini terjun dalam dunia persilatan, harap saudara Ting bersedia banyak petunjuk kepada diri siaute ., ."
Setelah Ting ci kang menyebutkan namanya, dan melihat pemuda itu seperti belum
mendengar namanya, bahkan mengucapkan "selamat berjumpa pun tidak," dia lantas berpikir. "Tampaknya dia memang benar seorang yang baru terjun kedalam dunia
persilatan-" Dia lantas mengangkat cawan sendiri dan minum setegukan kemudian
katanya. "Saudara Wi, tampaknya kau tak pandai minum arak. mari, mari, kurangi
sedikit arakmu."
Menyaksikan kegagahan orang, Wi Tiong hong semakin simpatik terhadap orang ini,
buru-buru diapun mengangkat cawan dan minum setegukan pula, setelah itu baru
katanya. "Siaute merasa amat bangga hati dapat berkenalan dengan seorang enghlong seperti
saudara Ting."
Sambil bersantap mereka bercakap-cakap ternyata semakin lama merasa makin cocok,
hingga pembicaraan pun makin meluas dan makin akrab.
Tiba tiba Ting ci kang menatap wajah Wi Tiong-hong lekat-lekat, setelah itu ujarnya.
"Aku lihat, walaupun saudara Wi baru terjun kedalam dunia persilatan tampaknya kau seperti mempunyai suatu rahasia dalam hati kecilmu."
Setelah ditanya dua kali, paras muka Wi Tiong hong baru berubah menjadi sedih,
katanya. "Saudara Ting, terus terang kukatakan, siau-te mempunyai dendam kesumat yang
dalam bagaikan lautan, tapi hingga kini belum kuketahui asal usulku sendiri, maka
sewaktu terbayang kembali persoalan itu tadi, aku menjadi silaf dan membuat saudara
Ting menjad kaget."
Ting ci kang yang mendengar keterangan itu menjadi kaget bercampur keheranan,
katanya sambil manggut-manggut.
"Tak heran kalau rasa sedih saudara Wi segera timbul setelah arak masuk kedalam
perut." Berbicara sampi disitu, mendadak dia mengeluarkan sebatang pena baja dan
diserahkan kepada Wi Tiong hong sambil katanya dengan wajah serius.
"Aku merasa cocok sekali dengan dirimu, sayang pada saat ini aku masih ada urusan yang harus segera diselesaikan, besok tengah hari. silahkan saudara Wi datang ke
perusahaan An-wan piaukiok dijalan Tang heng untuk mencari diriku" Dia lantas
memanggil pelayan untuk membereskan rekening.
Kemudian mereka turun bersama dan keluar diri rumah makan, kembali Ting ci kang
berkata, "Saudara Wi, jangan lupa, selewatnya tengah hari besok. aku akan menantikan
kedatanganmu dalam perusahaan An- Wan piaukiok"
Selesai berkata dia lantas menjura dan buru-buru meninggalkan tempat itu.
Menyaksikan kehalusan budi dan kehangatan orang itu. wi Tiong hong lantas berpikir.
"Saudara Ting ini benar-benar gagah dan menyenangkan, tampaknya ilmu silat yang
miliki termasuk tangguh sekali, bisa berkenalan dengan seorang teman seperti dia,
bagaimana-pun juga termasuk pekerjaan yang baik" Kemudian ia berpikir kembali
"Kalau dilihat kepergiannya yang tergesa-gesa. tampaknya dia memang benar-benar
ada urusan penting, yaa ... bagaimanapun juga aku toh tiada suatu tujuan tertentu,
apa salahnya kalau menginap sehari lagi disini dan besok siang pergi menjumpainya?"
Berpikir sampai disitu, dia lantas mencari sebuah rumah penginapan dikota itu dan
beristirahat. Baru selesai membersihkan badan, pemuda itu mendengar pelayan penginapan itu
telah masuk kembali membawa dua orang tamu.
Kalau didengar dari panggilan mereka, agaknya kedua orang itu adalah bersaudara, si
lelaki jarang berbicara, suaranya dingin dan angkuh. Sebaliknya yang perempuan
cerewet dan suaranya lembut dan amat merdu. Kamar mereka berdua tepat berada
dikedua belah sisi kamarnya.
Wi Tiong hong adalah seorang lelaki yang mengerti akan sopan santun apa lagi setelah
dikamar sebelah tinggal seorang nona ia merasa rikuh akan celingukan lagi maka
sambil merapatkan pintu kamarnya dia mengambil secawan air teh dan duduk ditepi
jendela sambil menghirupnya pelan-pelan.
Tak lama kemudian terdengar dari luar kamar sana berkumandang suara langkah
manusia menuju ke kamar sebelah kanan kemudian terdengar suara saag pelayan
berkata sambil tertawa. "Tuan, apakah kau adalah Tio tayhiap dari Bu tong pay, diluar ada orang yang menghantar kartu undangan"
Ketika mendengar nama "Bu tong pay" disebut orang, tanpa sadar Wi Tiong hong melompat bangun.
Dari kamar sebelah kanan segera terdengar suara lelaki yang dingin dan angkuh
menjawab. "Benar, akulah Thio Kun-kai, kau suruh orang mau mengantar kartu undangan itu
masuk kemari"
Pelayan itu mengiakan berulang kali dan buru-buru berjalan keluar dari sana.
"Blaaam ... " dari pintu kamar sebelah segera terdengar pintu kamar dibanting orang keras-keras, kemudian terdengar suara seorang perempuan bertanya dengan cemas.
"Jiko, siapa yang menghantar kartu undangan kemari?"
"Mungkin orang she Ting itu, hmm... tajam betul pendengaran bangsat ini"
Tergerak hati Wi Tiong hong setelah mendengar perkataan itu, buru-buru dia
mendekati jendela dan mengintip keluar.
Tampak diatas undak-undakan batu berdiri seorang lelaki yang berjubah hijau yang
berusia tiga puluh tahunan, sinar matanya tajam dan sifatnya angkuh.
Disebelah kirinya berarti seorang gadis berbaju merah yang berusia dua puluh satu
dua tahunan, wajahnya cantik sekali, bibirnya mencibir keatas, dibalik kecantikan
wajahnya terdapat pula keangkuhannya.
Diam-diam Wi Tiong- hong berpikir, entah murid siapakah kedua orang ini"
Tapi sebagai jago Bu-tong-pay, sudah pasti kepandaian silat yang dimilikinya lihay
sekali. Sementara dia berpikir sampai disitu, tampak pelayan itu sudah muncul kembali
sambil membawa seorang lelaki berbaju kasar.
Setibanya didepan Tiong Kun-kai, orang itu menjura dalam-dalam, kemudian sambil
mempersembahkan dua lembar kartu undangan berwarna merah, dia berkata:
"Pangcu kami tahu kalau Thio tayhiap berdua pasti akan datang pada hari ini, maka beliau khusus memburu kemari untuk menjumpai kalian, sebetulnya pangcu hendak
berkunjung sendiri kemari, namun karena kuatir timbulnya kesalahan paham, maka
sengaja mengutus aku yang kemari untuk menyampaikan kartu undangan, diharapkan
besok siang kalian berdua sudi mengunjungi perusahaan An wan piaukiok."
"Kau adalah anggota perkumpulan Thi pit-pang (perkumpulan pena baja)." tegur nona berbaju merah itu dengan wajah dingin.
"Benar" lelaki itu lalu membungkukkan badan dalam-dalam.
Thio Kun kai melirik sekejap keatas kartu undangan tersebut, kemudian jengeknya
sambil tertawa dingin. "Sejak kapan Beng Kian hoo dari perusahaan An Wan piaukiok bersekongkol dengan perkumpulan pena baja kalian?"
Walaupun ucapan tersebut kurang sopan, tetapi lelaki itu tetap menjawabnya sambil
tertawa dengan sopan santun. "Berhubung peristiwa ini timbul karena suatu kesalahan maka pangcu akan tampilkan diri untuk menjelaskan kesalah pahaman ini. Hingga
kedua belah pihakpun tak usah sampai terjadi bentrokan sendiri"
"Tutup mulut" hardik Thio Kun kai "kalian anggap setelah orang-orang Thi pit pang membegal barang kawalan dan membunuh orang, urusan bakal selesai dengan begitu
saja setelah dilerai oleh orang Siau-lim-pay?"
"Harap Thio Tayhiap jangan marah, Siau tay hiap dari partai kalian dan In huhoat dari perkumpulan kami mati bersama ditempat kejadian, peristiwa itu nampak sangat aneh
dan mencurigakan itulah sebabnya pangcu kami hendak melakukan penyelidikan
terhadap duduknya peristiwa tersebut..."
Tiba-Tiba nona berbaju merah itu menjerit lengking "Enak benar kalau bicara, Thi pit pang adalah komplotan pencoleng yang kerjanya cuma membegal barang dan
membunuh orang, apanya lagi yang hendak dia selidiki?"
Paras muka lelaki itu berubah menjadi merah padam, namun dia tetap berusaha keras
untuk menahan diri, katanya.
"Lihiap. kenapa kau sembarangan memfitnah perkumpulan kami . . . ."
"Kenapa ?" jawab nona berbaju merah itu dengan mata melotot "Thi-pit-pang memang komplotan pembegal yang kerjanya cuma merampok dan membunuh,
buktipun sudah didepan mata, masa nona sengaja menfitnah kalian " Pulang dan
beritahukan kepada pentolan kalian, delapan belas lembar jiwa anggota Ban-piau-klok
akan kami balas dengan seratus delapan puluh orang anggota Thi-pit pang, jangan
harap kalian pencoleng pencoleng biadab bisa lolos dalam keadaan hidup."
ooo00ooo "CRIING " pedangnya dicabut keluar dan diantara kilatan cahaya perak terdengar lelaki itu mendengus tertahan, lengan kanannya telah terpapas kutung menjadi dua, darah
segar segera memancar keluar bagaikan semburan mata air.
Peristiwa ini membuat penginapan itu menjerit kaget, dengan ketakutan dia mundur
berulang kali kebelakang.
Paras muka lelaki itu pucat pasi seperti mayat, namun ia tetap berdiri tegak. dengan
tangan kiri dia merobek ujung bajunya untuk segera berusaha untuk membalut mulut
luka, kemudian sambil membungkukkan badannya mengambil kutungan lengan
tersebut, ia melangkah pergi dengan tindakan lebar.
Nona berbaju merah itu tertawa dingin, sambil menyeka noda darah dari ujung
pedangnya dan masukan kembali kedalam sarung, ia berkata.
"Jiko, coba kau lihat keparat itu, betul betul jumawa sekali, sudah pasti pentolannya jauh lebih bengis"
"Tak menjadi soal" kata Thio Koen kay dengan angkuhnya, "besok siang, mungkin para suheng dari angkatan "Keng" akan berdatangan semua kemari." Sambil berbincang-bincang kedua orang itu masuk kembali kedalam kamarnya.
Wi Tiong- hong pun mengundurkan diri dari situ dan kembali kekursinya, sedang dihati
kecilnya dia merasa tidak begitu mengerti.
Agaknya Ting ci-kang, sahabat yang baru di kenalnya itu adalah pangcu dari
perkumpulan Thi pit pang yang dimaksudkan dua bersaudara dari Bu-tongpay.
bukankah dia telah serahkan sebatang pit besi dan memintanya untuk pergi
mencarinya selewatnya besok siang "
Kini dia baru mengerti, rupanya berhubung besok tengah hari dia masih ada janji
dengan orang-orang Bu tongpay, diapun tak ingin membiarkan dirinya terlibat dalam
peristiwa tersebut, maka janji pertemuan yang diberikan kepadanya adalah
selewatnya kejadian itu.
Selain daripada itu, menurut pengamatannya, Ting toako tidak mirip seorang
pembegal dan perampok yang kerjanya membunuh orang, dia tampak seperti seorang
jagoan kaum lurus.
Apalagi dari pembicaraan Thio Kun kai tadi, jelas didengar kalau congpiautau dari
perusahaan An wan piaukiok. Beng Kian hoo bersedia untuk tampilkan diri guna
mendamaikan masalah tersebut.
Bab-03 Ular beracun yg gemar arak
BETUL dia tidak dengar manusia yang bernama Beng Kian- hoo, tapi ia tahu kalau Siau
lim-pay adalah pemimpin dunia persilatan disiplin maupun peraturan perguruan itu
amat ketat, sebagai anggota Siau limpay, apalagi bersedia untuk mendamaikan
persoalan yang dihadapi Thi pit pang, bisa ditarik kesimpulan kalau Beng Kian hoo
adalah sahabat karib ketua Thi-pit-pang, atau dengan perkataan lain perkumpulan Thi
pit pang bukanlah perkumpulan kaum pencoleng atau bandit-bandit seperti apa yang
dituduhkan kepada mereka sekarang.
Dua bersaudara yang tinggal di kamar angkuh dan jumawa, terutama sekali sinona
berbaju merah yang kejam dan berhati buas, coba kalau bukan diketahui lebih dulu
kalau mereka adalah anggauta perguruan Bu tong pay, ia telah turun tangan untuk
memberi pelajaran kepada mereka.
Tapi..... Dalam suratnya, paman yang tak dikenal namanya telah berpesan, jika ada orang
menanyakan asal usul perguruannya maka harus diakui sebagai muridnya Thian Goan
ci dari Bu tong pay, itu berarti antara Thian Goan-ci dengan paman yang tidak
diketahui asal usulnya itu pasti terikat suatu hubungan yang erat.
Besok. pihak Bu tong pay akan mengirim orang-orangnya kesana, mengapa dirinya
tidak berlagak pilon dengan mencarinya diperusahaan An-wan piaukiok lebih awal dari
waktu yang di tetapkan"
Andaikata suasana kedua belah pihak berubah menjadi tegang paling tidak ia bisa
bertindak sebagai penengah.
Dasar memang tak berpengalaman Wi Tiong-hong merasa jalan pemikirannya itu
bagus sekali. Hari makin larut malam, pelayan telah datang mengantar lentera, Wi Tiong hong
segera berpesan untuk mengantar hidangan malamnya kekamar, selesai bersantap dia
Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memadamkan lampu, naik keatas pembaringan dan mulai bersemedi.
Entah berapa waktu sudah lewat, ketika pikirannya sudah mulai semakin kosong dan
melupakan segala-galanya, mendadak ia seperti merasakan sesuatu yang tak beres.
Kewaspadaannya segera ditingkatkan ia merasa seperti ada orang yang berhenti
didepan jendela kamarnya.
Wi Tiong hong sangat terkejut, untung dia sedang bersemedi itupun hanya muncul
karena perasaan tak enak, bukan sebab dia mendengar suatu gerakan suara yang
mencurigakan. Coba kalau dia tidak memusatkan perhatiannya. sudah pasti tak akan disadarinya akan
kehadiran orang itu.
Ditinjau dari segi kemampuan orang tersebut sewaktu menjalankan tanpa
menimbulkan suara apapun, bisa diketahui kalau ilmu meringankan tubuh yang
dimilikinya jelas berada jauh diatas kepandaiannya.
Tapi siapakah orang itu, mengapa dia mengintip dirinya.
Berpikir demikian tak tahan lagi dia mendongakkan kepalanya, tampaklah ada
sepasang mata yang jeli memang sedang mengawasinya tanpa berkedip...
Mendadak sepasang mata yang jeli itu lenyap tak berbekas, seakan akan orang itu
merasakan sesuatu dan berlalu dari sana.
Sementara Wi Tiong-hong sedang keheranan tiba tiba terdengar Thio Kun kai yang
berada dikamar sebelah membentak keras. "Siapa disitu?"
Menyusul terdengar suara jendela dibuka orang rupanya mereka sudah melompat
keluar melewati jendela .
Sekarang Wi Tiong hong baru tahu rupanya orang itu melenyapkan diri karena
menemukan kalau Thio Kun kai yang berada dikamar sebelah belum tidur.
Berbareng dengan menggemanya suara bentakan dari Tio Kun kai, dari kamar lain
terdengar lagi suara si nona berbaju merah yang melompat keluar dari jendela sambil
meloloskan pedangnya.
"Ji ko, siapa yang datang?" bentaknya nyaring.
"Entahlah, barusan kulihat ada bayangan manusia berkelebat lewat diluar jendela, tapi orang itu sudah kabur dengan cepat"
"Apakah jiko tak lihat jelas siapakah dia " Mungkin pencoleng dari perkumpulan Thi pit-pang?"
"Huuuh... kalau cuma Thi pit pang saja mah tak nanti mereka bisa memilik ilmu
gerakan tubuh yang begitu lihay."
"Hmm... kalau begitu sudah pasti dia adalah orang yang diundang untuk membantu
mereka, besok. kalau tak diberi sedikit pelajaran niscaya dia akan menganggap partai
Bu tong adalah sebuah partai yang bisa dipermainkan dengan seenaknya." sesudah
mendengar tanya jawab itu,
wi Tiong hong pun berpikir.
"Mungkin orang itu benar benar untuk menyelidiki gerak gerik mereka dan sama sekali tiada sangkut pautnya dengan diriku."
Maka diapun tidak menggubris lagi, sambil memejamkan mata, ia melanjutkan lagi
semedinya. Keesokan harinya, ketika Wi Tiong hong bangun dari tidurnya dia baru menemukan
diatas meja dekat jendela tertera secarik kertas panjang.
Ketika diambil, maka terbacalah beberapa huruf diatas kertas itu yang berbunyi. "Fajar menyingsing keluar dari kota, jangan membuang waktu lagi."
Ditinjau dari gaya tulisannya yang lembut dapat diduga kalau tulisan itu ditulis oleh
orang perempuan.
Wi tiong hong menjadi tertegun, kemungkinan besar kertas itu ditulis oleh orang yang
mengintipnya semalam.
Tapi, ia baru pertama kali ini terjun kedunia persilatan kecuali Ting ci kang yang dikenal kemarin, dalam dunia persilatan tak ada yang dikenal lagi, padahal ia janji padanya
untuk bertemu tengah hari nanti, mustahil dia meninggalkan surat yang meminta
kepadanya untuk meninggalkan kota pagi ini.
Terutama sekali sepasang biji mata yang mengintipnya semalam amat jeli, jelas tidak
mirip Ting ci-kang, lantas siapakah orang itu " Mengapa dia menganjurkan pergi keluar
kota" Jangan-jangan dia salah kamar" Kertas surat itu seharusnya ditujukan buat Thio Kun
kai yang berada dikamar sebelah "
Dia masukkan kertas itu kedalam saku, membuka pintu kamarnya, tampak sang
pelayan sedang datang membawa air untuk mencuci muka, terdengar pelayan itu
menegur sambil tertawa:
"Siang kong, mengapa tidak tidur lebih lama lagi " Sekarang, hari masih amat pagi."
"Aku punya janji dengan seorang temanku, sekarang juga akan keluar . . . ."
Selesai membersihkan muka, Wi Tiong-hong keluar dari penginapan dan sarapan
disebuah warung pinggir jalan.
Waktu itu hari masih pagi, banyak toko masih tutup, orang yang berlau lalangpun amat
sedikit. Sejak kecil Wi Tiong hong dibesarkan diatas gunung, dia sudah terbiasa bangun pagi tidak diketahui olehnya kalau orang kota memang sudah biasa bangun lambat.
Sebenarnya dia bermaksud untuk langsung menuju ke perusahaan An wan piaukiok
untuk mencari Tiang Toako, tapi setelah menyaksikan keadaan dijalan raya hatinya
menjadi agak sangsi. Dia menyesal kenapa tidak menunggu agak lama lagi didalam
rumah penginapan.
Berjalan menelusuri jalan raya, akhirnya sampailah dia disebuah persimpangan jalan,
tampak ada segerombol manusia sedang berkerumun di tepi jalan melihat keramaian.
Karena merasa heran dia ingin tahu, tanpa terasa dia berjalan menghampiri pula
tempat ke ramalan itu.
Ternyata ada seorang pengemis yang memakai celana butut dan bertelanjang dada
sedang duduk diatas tikar sambil meneguk arak dari dalam buli-bulinya.
Disamping pengemis itu terletak sebuah tabung bambu sebesar mangkuk yang
panjangnya empat depa, tabung bambu itu di kat dengan seutas tali rami yang hitam
dan kasar. Tampaknya tabung bambu itu sudah terlalu lama menyembol pada punggungnya
sehingga tubuh tabung itu telah berkilat tajam.
Wi Tiong hong tidak mengerti apa sebabnya banyak orang mengerumuni pengemis
tersebut baru saja akan pergi, mendadak dari sisi tubuh pengemis itu terdengar suara
"Kook . . " seperti suara mengokok seekor binatang, dia menjadi heran dan ingin tahu, sehingga tanpa terasa segera berhenti kembali.
Dalam pada itu, pengemis tersebut telah meletakkan buli-bulinya ke lantai, kemudian
sambil menjilat sekeliling bibirnya, ia berpaling sambil berkata.
"Tadi engkau toh sudah minum seteguk " kenapa engkau menjerit-jerit terus " Arak ini baru kudapat semalam, diminum seorang diripun tak cukup, masa mesti dibagi dua
dengan kau"
Pengemis itu berusia empat puluh tahunan, mukanya penuh cambang dua dengan
yang berbintik-bintik penuh codet bekas luka,
pada leher bagian kanan tumbuh bisul sebesar bakpao sedangkan dadanya penuh
dengan bulu berwarna hitam.
Wi Tiong Hong tak tahu siapa yang sedang di ajak bicara oleh orang itu, sebaliknya
orang yg berkerumun disekeliling tempat itu sudah tertawa tergelak karena geli.
Baru selesai pengemis itu berbicara, "koookk koookkk..." kembali bergema suara nyaring.
sekarang wi Tiong hong dapat mendengar dengan jelas bahwa suara itu berasal dari
dalam tabung bambu tersebut, hal ini membuat hatinya semakin keheranan. Pengemis
itupun berkerut kening lalu sambil memandang tabung bambu itu ia berseru.
"Hei, Lo sam. Bila kau bersikeras ingin minum baiklah. akan kuberi tapi hanya, ooh setegukan saja, jangan banyak-banyak yaa.. "
"Koookkk... "
Dari balik tabung bambu itu kembali berkumandang suara mengokok yang keras.
"Baiklah" ujar pengemis itu sambil tertawa, "akan kupersilahkan kau untuk keluar."
Rupanya mulut tabung itu disumbat dengan segumpal kain kumal, sambil berkata,
pengemis itu segera mencabut keluar sumbatan itu dari tabungnya.
Begitu penyumbat ditarik keluar, pelahan muncul ah seekor kepala ular berwarna
warni yang berkepala segi tiga dari dalam tabung itu, lidah nya yang berwarna merah
dan bercabang itu menjulur keluar dan bergerak klan kemari sepanjang empat lima
inci, keadaan maupun bentuknya mengerikan sekali.
Wi Tiong-hong baru terperanjat setelah menyaksikan binatang itu, dari paman yang
tak dikenal namanya, ia pernah mendengar tentang perihal ular ular berbisa, dia tahu
bila ular berkepala segi tiga, maka dapat dipastikan kalau ular itu adalah seekor ular berbisa.
Ular itu berpanca warna dengan besar badannya selengan bocah, kepalanya saja
hampir sebesar kepalan dengan sisik yang berkilauan, bisa dibayangkan betapa
berbisanya binatang itu.
Setelah menjulurkan kepalanya keluar dari tabung, dengan sorot mata yang
menggidikkan ular itu mengawasi sang pengemis, lalu... "Koookkk" kembali dia mengokok.
Pengemis itu lantas menepuk-nepuk kepala ular itu, sementara tangan kanaanya
mengambil buli-buli berisi arak. menekankan ibu jarinya dimulut buli buli dan
menuangkan setetes arak ke mulut ular itu.
Tampaknya dia kuatir menuang kelewat banyak, maka ibu jarinya dipakai untuk
menahan arak yang mengalir kelewat deras itu.
Tampaknya ular berbisa itu sudah terbiasa minum arak. lidahnya menggulung-gulung
seperti menikmati arak tersebut dengan penuh kenikmatan, ternyata tak setetes
arakpun yang tertumpah dari mulutnya.
Hanya dua tegukan kemudian, pengemis itu telah menyimpan kembali buli-buli
araknya. "cukup, cukup, sudah hampir habis buli-buli ini." serunya, "biarlah yang masih tersisa untukku."
Agaknya ular itu masih ingin minum lebih banyak lagi, ketika buli buli itu disimpan
kembali oleh majikannya, lidah yang merah dan bercabang itu segera menjilati sisa
arak yang bertumpah di ibu jari pengemis tadi.
Pengemis itu segera menepuk nepuk kepala ularnya dengan tangan kiri, sementara
tangan kanannya mengalihkan buli buli arak itu ke tempat lain, kemudian dia tak ambil
perduli apakah jari tangannya sudah ternoda oleh liur ular atau tidak, dia segera
memasukkannya ke mulut dan menghisapnya dalam-dalam.
Hampir tumpah Wi Tiong-hong saking muaknya, namun penonton yang lain malahan
tertawa terbahak-bahak.
Sehabis menghisap ibu jari sendiri, pengemis itu, berkata lagi kepada sang ular.
"coba lihat kali ini betul betul sudah kehabisan arak. hayo cepat kembali kedalam tabung, kita akan mencari teman untuk minta sokongan uang untuk arak. mencari
tambahan arak barulah merupakan persoalan yang sebenarnya.."
Ternyata ular itu memang penurut sekali, dia benar-benar menarik badannya kembali
ke-dalam tabung.
Pengemis itu mengambil kembali penyumbatnya dan menyumbat mulut tabung
bambunya, setelah itu sambil menggeliat bangun berdiri.
Penonton yang mendengar kalau pengemis itu akan minta uang segera membubarkan
diri dan berlalu cepat-cepat dari situ.
Tiba-tiba sorot mata pengemis itu, dialihkan kewajah Wi Tiong hong, katanya
kemudian, "Siang kong bagaimana kalau kau menyumbang uang arak untuk kami
berdua...?"
Dari kata-kata yang halus dan penuh sopan santun Wi Tiong hong segera mengerti
kalau dia bukan pengemis sembarangan, segera tangannya merogoh kedalam saku
dan mengeluarkan sekeping perak yang beratnya mencapai lima tahil lalu diangsurkan
kedepan. Beberapa orang penonton yang menyaksikan pemuda itu mengeluarkan uang seberat
lima tahil perak untuk diberikan kepada seorang pengemis, kontan saja mereka jadi
terbelalak dengan wajah tertegun
Perlu diketahui pada masa itu uang berharga sekali, satu mata uang tembaga saja
dapat membeli satu dua biji bakpau, tiga mata uang tembaga bisa membeli setengah
kati gandum maka sekalipun memberi satu mata uang tembaga buat seorang
pengemis pun sudah berlebihan apalagi lima tahil perak
Siapa tahu pengemis itu segera menggelengkan kepalanya berulang kali setelah
menimang-nimang berat uang perak itu, katanya segera.
"Aaah, ini baru empat tahil tujuh rence. lima tahilpun tak sampai, masa engkau hendak mengandalkan empat tahil tujuh rence ini untuk mencari teman" Aku tahu, dalam
saku siang-kong paling tidak masih ada dua puluh delapan tahil perak. bila dibagi rata maka seharusnya kau memberi tambahan delapan sampai sepuluh tahil perak lagi,
tapi kaupun tak usah kuatir, asal mau menderma buat aku si pengemis, tanggung
banyak keuntungan yang bakal kau raih."
Seraya berkata telapak tangannya masih dijulurkan kemuka dan sama sekali tak
berniat untuk menarik kembali.
Ibaratnya singa membuka mulut lebar-lebar, belum pernah rasanya ada pengemis
yang menentukan berapa tahil perak yang harus didermakan orang kepadanya.
Wi Tiong hong sudah tahu kalau dia bukan pengemis sembarangan, maka katanya
sambil tersenyum.
"Aku sih tidak mengharapkan kebaikan apa apa, tak ada salahnya bila kita bersahabat saja."
Dari sakunya dia lantas mengeluarkan lagi sekeping uang perak sebesar sepuluh tahil
dan diserahkan ketangan pengemis itu.
Para penonton disekitar arena menjadi semakin terbelalak malah diam-diam mereka
berpikir. "Bocah muda ini, betul betul tolol, masa uang sebanyak itu diberikan semua untuk
seorang pengemis?"
Berbeda dengan sang pengemis, setelah menerima uang dengan wajah berseri dia
manggut-manggut lalu berseru. "Siang kong, kau memang berjiwa sosial, seorang anak sekolahan bisa berjiwa besar seperti ini, benar-benar sesuatu yang luar biasa"
Berbicara sampai disitu, dia lantas menggulung tikar bututnya dan dijapit dibawah
ketiak lalu sambil mengambil tabung bambu bambu tersebut, serunya sambil
berpaling. "Lo-sam, mari kita mencari arak"
Tanpa mengucapkan terima kasih lagi kepada Wi Tiong-hong, dia lantas berajak pergi
meninggalkan tempat itu.
Diantara penonton yang berkerumun disitu, segera terdengar seseorang berseru:
"Engkoh cilik, kau telah tertipu, pengemis pemain ular begitu tak pantas ditolong, coba lihat, setelah mendapat uang, tanpa berterima kasih dia sudah kabur dengan begitu
saja." Seorang buka suara, yang lain pun ikut-ikutan:
"Betul, aku lihat orang itu pasti seorang penipu yang ulung, karena sudah terbiasa mengakali orang dengan tipu muslihat licik, maka ia sengaja menipu orang-orang jujur.
Engkoh cilik, rupanya kau belum keluar rumah " Setelah kena ditipu sekali, semoga
saja lain kali lebih berpengalaman lagi."
Paras muka Wi Tiong-hong berubah menjadi merah jengah sesudah mendengar katakata itu, sambil tertawa dia lantas membalikkan badan dan beranjak pergi, sementara
dari belakang sana ia masih mendengar orang menuduhnya sebagai seorang pemuda
ingusan yang tolol.
Akhirnya sampailah pemuda itu dijalan raya sebelah timur.
Perusahaan An Wan piaukiok terletak disebuah gedung yang amat luas, didepan pintu
tampak sepasang singa batu yang berdiri angker di kedua belah sisi pintu gerbang.
Diatas pintu gerbang sebelah kiri tergantung sebuah papan nama yang terbuat dari
tembaga putih, diatas papan nama tadi tertera empat huruf besar yang berbunyi: "An-Wan PIAU KIOK"
Tulisan itu berkilauan terang karena tiap hari digosok bersih, hal mana menambah
keangkeran, tempat itu.
Dibalik pintu sebelah kiri terletak sebuah bangku panjang, dua orang lelaki berpakaian ringkas sedang duduk disana.
Wi Tiong hong berjalan mondar mandir sejenak untuk memeriksa keadaan sekeliling
tempat itu, kemudian diapun menaiki undak-undakan batu didepan gedung.
Salah seorang diantara dua orang lelaki yang sedang duduk dibangku panjang itu
segera bangkit berdiri tatkala dilihatnya Wi Tiong hong mendekatinya, sambil manggut
tegurnya. "Engkoh cilik, kau hendak mencari siapa?"
Buru-buru wi Tiong hong menjura sambil menjawab: "Aku hendak mencari Ting ci
kang, Ting Toako"
Lelaki itu memperhatikan sekejap seluruh badan Wi Tiong hong akhirnya sorot mata
itu berhenti diatas pedang berkarat yang tergantung dipinggangnya, dengan suara
dingin ia menegur.
"Ada urusan apa kau datang mencarinya?"
Wi Tiong hong belum berpengalaman, dia baru saja terjun ke dalam dunia persilatan,
tentu saja tidak diketahui pula kalau situasi disana kurang menguntungkan. Apalagi
kawanan Tang cu jiu dari perusahaan pengawalan barang itu, mana sudi mereka
memandang sebelah mata tarhadap pemuda ingusan yang membawa pedang
berkarat" Mendengar pertanyaan itu, dia lantas menjawab.
"Aku diundang kemari oleh Ting-toako, hanya tak diketahui dia berada dimana
sekarang, tolong lo ko bersedia memberi kabar kedalam.."
Lelaki itu kurang percaya kalau Wi Tiong-hong seorang yang diundang oleh
perkumpulan Thi-pit-pang, sekali lagi pemuda itu diawasinya dari atas sampai
kebawah, kemudian baru bertanya lagi. "Engkoh cilik, kau she apa ?"
Dari dalam sakunya Wi Tiong-hong mengeluarkan sebatang pena baja dan diangsurkan
ke depan seraya menjawab.
"Aku Wi Tiong hong, Ting toako telah mengundang atas kedatanganku kemarin, nah
inilah tanda pengenal yang dia serahkan kepada kami."
Setelah menyaksikan pena baja itu, lelaki tersebut baru tertegun, tapi sikapnya juga
otomatis menjadi lebih sopan dan menaruh hormat,
Lelaki kedua yang selama ini banyak duduk melulu serentak bangkit berdiri, kemudian
sambil tertawa katanya. "Ting tayhiap berada didalam, silahkan sauhiap duduk
didalam, Thio-longo, cepat masuk dan memberi kabar."
Lelaki yang pertama tadi segera mengiakan dan beranjak masuk dengan langkah
cepat. Wi Tiong hong pun beranjak masuk kedalam gedung itu.
Tak lama kemudian, tampak Ting ci-kang telah muncul dari dalam ruangan dengan
langkah lebar, serunya sambil tertawa terbahak-bahak.
"Haaahhh . . . haaahhh . . . haaahhh . . . , saudara Wi, benar kau sudah sampai disini "
"Ting toako " sapa Wi Tiong hong pula.
Ting ci kang segera menggandeng tangannya mengajak masuk sambil katanya. "cepat
masuk dan duduk didalam, mari kuperkenalkan beberapa orang teman kepadamu."
Dia melangkah masuk keruang kiri dimana terdapat sebuah ruang tamu kecil.
Pada waktu itu sudah ada tiga orang sedang duduk berbincang disana, melihat
kedatangan mereka berdua, serentak orang-orang itu bangkit berdiri.
Sambil tertawa Ting ci kang memperkenalkan "Dia adalah saudara cilik yang baru
kukenal Wi Tiong hong adanya. . ."
Kemudian diapun menunjuk kearah seorang kakek bermuka merah berbaju biru yang
duduk dikursi utama sambil memperkenalkan, "Saudara ini adalah congpiautau dari
perusahaan An wanpiau kiok Beng Kian hoo"
Lalu menunjuk pula kearah seorang lelaki berperawakan sedang dengan wajah yang
Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
putih sambil menambahkan. "Dan saudara ini adalah wakil congpiautau perusahaan
An wan piaukiok, Cuan im nu (gendewa penembus awan) Li Goan tong"
Akhirnya menujuk kearah seorang lelaki berperawakan pendek dan ceking sambil
berkata. "Dan dia adalah pelindung hukum dari perkumpulan Thi pit pang, Ko Thian
seng ( bintang penembus langit) Lo Hang"
Wi Tiong hong segera menjura kearah tiga orang itu sambil mengucapkan beberapa
patah kata merendah, kemudian Ting Ci kang menariknya agar duduk disampingnya.
Beng kiam hoo memandang sekejap ke arah Wi tiong hong, lalu ujarnya sambil
tersenyum. "Wi siauhiap masih muda lagi tampan, tenaga dalamnya sempurna lagi, entah kau
berasal dari perguruan mana?"
Wi Tiong hong mencoba untuk mengawasi Congpiautau keluaran Siauw-lim-pay ini, dia
disaksikan orang itu berusia sudah 50 tahun mukanya merah segar, semangatnya
berkobar-kobar, sepasang keningnya menonjol amat tinggi, sekilas pandangan saja
dapat diketahui kalau dia adalah seorang jago yang berkepandaian tinggi.
Tapi, dalam sekilas pandangan saja dia dapat, mengetahui kalau tenaga dalamnya
telah mencapai puncak kesempurnaan, ketajaman mata macam ini boleh dibilang luar
biasa sekali. Buru buru dia menjura seraya berkata, "Congpiautau terlalu memuji, guruku adalah
Thian goan."
Sambil mengelus jenggotnya yang memutih, sengaja tak sengaja Beng Kian ho melirik
sekejap kearah Ting ci Kang, kemudian sambil tertawa manggut-manggut.
"Oooh . . . rupanya Wi-siauhiap adalah murid Thian goantootiang, dari Bu tong pay, maaf, maaf?"
Perlu diketahui, Thian goan cu tak lain adalah kakak seperguruan Thian Yancu, ketua
partai Bu tong pay saat ini merupakan salah seorang dari Bu-tong-sam-loo (tiga tua
dari Bu-tong), tingkat kedudukannya didalam partai tinggi dan amat terhormat.
Menurut berita yang tersiar dalam dunia persilatan, konon dimasa mudanya dulu
Thian Goan cu berasal dari perguruan kaum sesat, kemudian entah mengapa dia telah
mengangkat ci yang cinjin dari Bu tong pay sebagai guru nya.
Oleh karena dia memiliki dua macam kepandaian dari aliran sesat maupun lurus, tak
heran kalau ilmu silatnya sangat lihay dan merupakan pemimpin dari Bu-tong sam loo,
hanya saja tosu ini bersifat hambar, tak suka mencampuri urusan partai dan sepanjang
tahun berpesiar ditempat luaran.
Hanya suatu ketika, pada tiga puluh tahun berselang, entah bagaimana ceritanya
seorang anggota Bu tong pay telah melukai murid Tiang pek Hekpek siang mo
(sepasang iblis hitam putih dari bukit Tiang pek san), didalam gusarnya Hekpek siang
mo telah menyerbu ke Bu tong pay, tapi kebetulan berjumpa dengan Thian Goan cu.
Hanya mempergunakan satu jurus ilmu pedang, tosu itu telah berhasil menggetar
lepas senjata yang dipergunakan sepasang iblis tersebut.
Mulai detik itulah orang persilatan baru tahu kalau kepandaian silat yang dimiliki Thian Goan cu dari Bu tong pay telah mencapai puncak kesempurnaan tapi ada pula yang
mengatakan kalau jurus pedang yang digunakannya itu bukan berasal dari aliran butong pay. Betul atau tidak cerita tersebut, tentu saja hanya dia seorang yang tahu, sebab baik
ilmu pukulan, ilmu telapak tangan maupun ilmu pedang aliran Bu-tong pay lebih
mengutamakan kelembutan untuk menaklukkan kekerasan . .. .
Sementara itu, ketika Ting Ci kang mendengar kalau Wi Tiong hong adalah murid Thian
Goan Cu, tanpa terasa lagi dia mendongakkan kepalanya sambil tertawa terbahakbahak. "Haaahh ... haaahhh. . ,. saudara Wi, jadi kau adalah anggota Bu-tong pay" Waah,
kalau begitu kebetulan sekali."
Wi Tiong hong adalah seorang pemuda yang amat cerdas, dilihat dari nada ucapan
Ting Cikang tersebut, ia telah mendenga rada tak senang dibalik ucapan tersebut,
maka buru buru katanya.
"Ting Toako salah paham, ilmu silat siaute berasal dari insu, namun bukan berarti aku adalah anggota Bu tong pay."
"Wi-sauhiap. aku rasa kau pasti sudah tahu bukan akan perselisihan perkumpulan kami dengan pihak Bu tong pay?" tegur Ko thian seng Lo Liang dengan dingin.
"Saudara Wi, saudara Lo ini, adalah pelindung hukum perkumpulan kami" kata Ting Ci kang sambil tertawa bergelak.
Wi Tiong hong segera menjura lagi kepada Lo Liang. kemudian baru ujarnya, "Setelah siaute berpisah dengan toako kemarin, aku baru tahu kalau antara perkumpulan anda
dengan pihak Bu tong pay telah terjadi kesalahan paham padahal Siaute merata cocok
sekali dengan toako itulah sebabnya dengan lancang siaute telah datang lebih awal,
karena tak lain ... tak lain."
Ketika berbicara sampai disitu, dia baru teringat kalau dirinya tak lebih hanya seorang pemuda ingusan yang baru terjun kedunia persilatan ucapannya saja tak dipercaya
orang, mana mungkin bisa melerai perselisihan orang lain"
Untuk sesaat wajahnya berubah menjadi merah padam dan ia tak sanggup untuk
melanjutkan kembali kata-katanya.
Bab-04 Ketua Perkumpulan pena baja
Mendengar perkataan itu, Seng Lo Liang segera tertawa, ujarnya dengan cepat, Kalau
begitu Wi siauhiap kemari untuk membantu pangcu kamu....?"
Warna selembar wajah Wi Tiong-hong berubah makin merah lagi lantaran amat
jengah. "Soal ini...."
Ting Ci-kang kuatir anak muda itu mendapat malu, maka sambil tertawa tergelak
ujarnya. "Maksud kedatangan saudara Wi amat mengharukan hatiku, cuma kedatangan orang2
Bu-tong-pay adalah bermaksud untuk mencari balas, aku rasa tak mungkin persoalan
ini dapat diselesaikan hanya dengan sepatah dua patah kata saja."
"Bagaimanakah duduk persoalannya yang sesungguhnya tidak Siaute ketahui, apakah
Ting Toako bersedia untuk menerangkannya sedikit kepadaku?"
Sambil tertawa getir Ting Cikang menggeleng,
"Aaaai... siapa yang tahu?" katanya, "hakekatnya peristiwa ini merupakan peristiwa pembunuhan yang penuh diselubungi teka-teki, walaupun Siau-siang sudah melakukan
penyelidikan selama banyak waktu, itupun hanya kuketahui delapan belas anggota
perusahaan Ben-Lipiau klok dari kota Ciu ciu pimpinan Kan-kunjiu (tangan jagad) Siauw
Beng-san telah tewas dibunuh orang dekat ruang Sikjin tian. Diantara mayat yang
ditemukan ternyata salah seorang di antaranya adalah mayat pelindung hukum
perkumpulan kami Thi jiau tonglong (Belalang bercakap baja) Lu Yun cun.
Konon semua korban tewas pada bagian yang mematikan seperti terluka oleh tusukan
pena baja, padahal disekitar wilayah Kanglam hanya siau heng seorang yang
menggunakan pena baja.
Kan kun jiau Siau Beng san merupakan murid pertama dari Bu tong pay. maka pihak
Bu-tong pay pun lantas menuduh siau heng lah yang telah melakukan pembunuhan
berdarah itu, aaai, untung saja Beng loko bersedia menjadi saksiku..."
Baru saja bicara sampai disitu, kembali nampak seorang lelaki berjalan masuk sambil
membawa selembar kartu undangan, katanya, "Bwee hoa kian (pedang bunga sakura )
Tio kun kai serta Sak jiu ing eng (gadis cantik bertangan keji) Tio Man datang
berkunjung."
Beng Kian hoo segera bangkit berdiri seraya mengulapkan tangannya. "Undang
mereka masuk."
Ting Ci kang pun segera bangkit berdiri kemudian bersama Beng Kian hoo beranjak
keluar dari ruang tamu, sementara cuan im nu Li Goan-tong, Ko thian-seng Lo Liang
serta Wi Tiong hong mengikuti dibelakang kedua orang tersebut.
Tampak Bwe hoa kiam Thio Kun kai mengenakan jubah panjang berwarna hijau
dengan sebilah pedang tersoren dipmggang, sepasang matanya memandang deatas
dengan sikap yang angkuh.
Dibelakang adalah Lak-jiu im-eng Thio Man yang mengenakan pakaian ringkas
berwarna hijau dia menyandang pedang pada punggungnya wajah yang berbentuk
kwaci itu dilapisi oleh hawa dingin yang menggidikkan hati.
Beng Kian hoo dan Ting ci-kang berdiri di depan pintu gerbang menyambut
kedatangannya. Pertama-tama Beng Kian hoo yang menjura lebih dulu sambil berkata. "Kedatangan
Thio tayhiap berdua kerumah kami sungguh membuat aku merasa amat bangga."
Kemudian diapun memperkenalkan kedua belah pihak sambil katanya. "Tong lote,
kedua orang ini adalah Swee hoa kiam Thie thayhiap dan Thio lihiap dari Bu-tong
samseng (tiga orang gagah dari Butongpay)"
Kemudian katanya pula. "Saudara ini adalah sobat baikku, ketua partai Thi pit pang dari wilayah Kanglam Ting ci kang."
Segera menjura kedua orang itu seraya berkata.
"Sudah lama kudengar nama besar dari bu tong sam eng, sungguh beruntung siaute
dapat menjumpainya hari ini."
Dengan pandangan dingin bwee hoa kiam Thio kun kay memperhatikan lawannya
sekejap lalu dengan suara tertawa dingin.
"Hmm. . . heeehh. . . heeehee rupanya kaulah Ting pangcu dari perkumpulan Thi-pit-pang, bila Bu tong pay masih berada dalam pandangan mata kau Ting Pangcu, tak
nanti kau akan membinasakan semua anggauta perusahaan Ban li piaukiok secara
keji." Begitu berjumpa muka ia telah mendamprat Ting Ci kang dengan kata-kata yang tajam
dan tak sedap didengar.
Paras muka Ting Ci kang masih tenang seperti tak pernah terjadi apa2 dia tertawa
tergelak, "Haaahhh . .. haaahh setelah Thio tayhiap berdua datang berkunjung kemari, sebodoh-bodohnya aku orang she Ting juga pasti akan memberi pertanggungan jawab
kepadamu. Nah, silahkan kalian berdua masuk dulu untuk minum teh."
Wi Tiong hong yang melihat kejadian itu diam-diam merasa sangat kagum, pikirnya.
"Ting toako memang tak malu untuk disebut seorang ketua dari suatu perkumpulan
besar, baik sikap maupun caranya berbicara benar-benar sangat luwes dan halus
bersopan santun."
Bwee hoa kiam Thio Kun kai tertawa dingin, dengan kepala didongakkan dia masuk ke
dalam ruangan. Secara beruntung Beng Kian hoo memperkenalkan pula Cuan in tiu Li Goan tong, Kothian seng Lo liang dan wi Tiong hong, kemudian semua orang mengambil tempat
duduk dan pelayanpun datang menghidangkan air teh.
Melihat tamunya sudah hadir semua, Beng-Kian hoo kembali menitahkan orang untuk
mempersiapkan perjamuan.
Tak lama kemudian arak dan sayur telah dihidangkan diatas meja semuanya
merupakan hidangan pilihan.
Beng Kian hoo mempersilahkan Bwee hoa-kiam dan adiknya menempati kursi utama,
kemudian disusul wi Tiong hong. Ting Ci kang dan Lo Liang berlima, sedangkan Beng
Kian hoo dan Cuan im nu Li Goan tong sebagai tuan rumah sibuk melayani tamunya.
Setelah meneguk beberapa cawan arak, Bwee hoa kian Thio kun kai mulai tak tahan,
dia segera bangkit berdiri dan menjura kepada Beng Kian hoo, katanya. "Kami berdua merasa banyak banyak terima kasih sekali atas hidangan serta perjamuan yang
Congpiautau selenggarakan buat kami, cuma kedatangan kami berdua adalah dalam
rangka mencari tahu siapakah pembunuh keji dari kakak seperguruan kami yang telah
mati terbunuh, bila Congpiautau hendak mengemukakan sesuatu, ditinjau silahkan
saja diutarakan keluar."
"Ketika kakak seperguruan kalian kau-kunjiu Siau tayhiap masih hidup dulu, siaute pernah beberapa kali bersua muka dengannya" ucap Beng Kian hoo sambit menjura,
"tak nyana Bian li-piaukiok telah tertimpa musibah dan kedelapan belas orang
pengikutnya telah tewas terbunuh. dalam suasana tenang yang sudah lama melanda
dunia persilatan, peristiwa ini boleh dibilang amat mengejutkan sekali, semua umat
persilatan turut berduka cita atas kematian mereka..."
Berbicara sampai disini, dia lantas berpaling dan memandang sekejap kearah Ting Ci
kang, kemudian melanjutkan. "Ting lote sendiri pun khusus datang kemari untuk
menyelidiki latar belakang terbunuhnya pelindung hukum perkumpulan Thi pit pang,
siBelalang bercakar baja Lu Yaw. cun, suhu di ruang Sik jim tian, siapa tahu partai anda telah menaruh kesalahan paham terhadap apa yang di lakukan pihak Thi pit pang,
bahkan berkata hendak mencari Ting lote untuk membuat perhitungan..."
Dengan kening berkerut, Lak jiu im eng tertawa dingin, tukasnya: "Siapa hutang uang harus bayar uang, siapa membunuh orang harus bayar nyawa apakah kami tidak
perbolehkan membalas dendam bagi kematian delapan belas orang anggota Bau-lipiaukiok yang telah mati terbunuh itu ...?"
"Apa yang dikatakan Lihiap memang benar, siapa telah membunuh orang dia harus
membayar dengan nyawa pula, dan sepantasnya bila kau membuat perhitungan
dengan pembunuh itu. Tapi aku kuatir kalau dalam peristiwa ini telah terjadi kesalahan paham, itulah sebabnya sengaja ku undang kehadiran kalian berdua untuk
membicarakan persoalan ini secara baik-baik daripada kedua belah pihak harus saling
gontok-gontokan tanpa sesuatu alasan yang kuat."
Mencorong sinar tajam dari balik mata Bwe hoa kiam Thio kun kai, katanya kemudian.
"Beng Congpiautau, maaf bila aku hendak mengucapkan beberapa patah kata yang
kurang sedap didengar,perkumpulan Tit Pit pang tak lebih hanya merupakan suatu
perkumpulan kecil dalam dunia persilatan, masih jauh kalau dibilang ingin mengajak
damai Bu tong pay, apalagi membegal barang membunuh orang sudah merupakan
suatu kenyataan, maka aku harap Beng Congpiautau sebagai seseorang yang bernama
baik dimata umum lebih baik melepaskan diri dari persoalan ini saja."
Mendengar ucapan yang menghina perkumpulan Tit Pit pang ini kontan saja pelindung
hukum dari Tit Pit pang, Ko thian seng Lo-Liang menjadi naik pitam. Sebaliknya Ting Ci kang masih tetap tenang seperti sedia kala, malah ujarnya sambil tersenyum.
"Aku bersedia untuk mendengarkan pernyataan seperti yang disinggung oleh Thio
tayhiap barusan."
Lakjiu im eng Thio Man mendengus dingin. "Hmm, Ting pangcu toh jauh lebih jelas dari pada kami, buat apa sudah tahu pura-pura bertanya lagi."
"Ucapan nona memang benar, mungkin lantaran luka pada semua korban terletak
pada bagian tubuh yang mematikan mulut lukapun sebesar totokan pena baja maka
kau menganggap hal ini sebagai suatu bukti yang jelas. Hanya saja, ada satu hal yang
belum kupahami, toh dalam wilayah Kang lam yang begini luas bukan hanya Siaute
seorang yang menggunakan pena baja, siapa tahu..."
Belum selesai ucapan itu diutarakan, Lakjiu im eng Thio Man telah menukas.
"Orang She Ting, sungguh memalukan kau. Sebagai seorang ketua suatu perkumpulan
besar ternyata tak berani mengakui perbuatan yang telah kau lakukan sendiri."
Ting Ci kang tertawa terbahak-bahak, "Haaahhh .... baaahhh .... haaahhh .,. kalau aku merasa pernah berbuat, pasti akan ku ketahui"
"Bagus sekali" seru Lakjiu im-eng dengan penuh kebencian "jika, mana barang itu"
Bawa keluar dan perlihatkan kepadanya, kita lihat apa yang dikatakannya."
Tio Kun kai mendengus dingin, dari sakunya dia mengeluarkan sebuah bungkusan kecil
dan diserahkan kepada Beng Kian hoo. serunya "Beng Congpiautau, Coba kau periksa
benda ini."
Beng Kian hoo, menerima bungkusan itu dan dibukanya ternyata isinya adalah sebilah
pena baja sepanjang lima inci, diatas pena itu terukir sebuah lingkaran dalam lingkaran tercantum sebuah huruf yang berbunyi "Kang" Ting Ci kang memang bermata tajam dalam sekilas pendangan saja ia telah mengenali pena baja itu sebagai barang
miliknya. Bila diatas pena itu tercantum huruf "Ting maka benda itu dipakainya dengan sebagai tanda pengenal seorang ketua perkumpulan Thi-pit-pang, tapi benda itu mencantum
kan huruf "Kang" berarti senjata tersebut biasanya digunakan sebagai senjata atau senjata rahasia.
Bentuk pena itu sesungguhnya sama hanya diantara kedua benda itu berbeda dalam
huruf, dalam hal ini orang lain tak akan mengerti. Itulah sebabnya dia menjadi
tertegun setelah menyakslkan pena baja tersebut, pikirnya kemudian.
"Sudah jelas ada orang telah mencuri pena bajaku dengan tujuan menfitnah diriku,
hm.... sayang persoalan ini takkan sampai menyusahkan aku orang she Ting."
Berpikir demikian, dia lantas manggut-manggut kearah Bwee-hoa-kiam berdua. "Yaa,
betul, pena baja itu memang milikku." katanya.
Tiba-tiba Bwee hoa kiam Thio Kun kai tertawa terbahak bahak,
"Hahahh. . . haaahhh. . . haaahh. . jika Ting pangcu bersedia mengakui, hal ini akan lebih baik lagi, pena baja itu justru kudapatkan disamping tumpukan mayat yang
berserakan dalam ruang Sik jin tian tersebut."
Ting Ci-kang kini tertawa tergelak pula "Aku orang she Ting memang selalu bersifat terbuka, asal benda itu milikku, pasti akan ku-akui, tapi orang2 Ban-li piaukiok bukan mati di tanganku, siapakah yang telah melakukan perbuatan keji ini, aku orang she
Ting percaya, suatu ketika persoalan ini pasti akan menjadi terang dan jelas."
"Tapi ada satu hal ingin kukemukakan, dengan kepandaian silat yang kumiliki, apakah aku sanggup untuk membunuh suhengmu, sekalian delapan belas orang secara
bersama sama " Mana aku orang she Ting bisa berbuat demikian, maka dengan
pengalaman yang kumiliki masa tak kupahami teori penghilangan jejak setelah
melakukan pembunuhan" Bodoh sekali bila pena bajaku ini sengaja kutinggal ditempat
kejadian."
Mendengar sampai disana, semua orang menghembuskan napas panjang. Bwee hoa
kiam dan Lakjiu im eng juga tertegun dibuatnya setelah mendengar ucapan tadi.
Beng Kiam ho segera membungkus kembali pena baja itu dan diserahkan kembali
ketangan Thio Kun kai, kemudian sambil tertawa tergelak dia berkata.
"Nah, disinilah letak kesalahan pahaman yang kumaksudkan tadi, ketika Siau-tayhip sekalian mengalami musibah diruang Sikjin tian tempo hari, kalau dihitung saatnya
adalah tiga hari sebelum hari Tiong Ciu."
"Haaahhh... haaahhh... siaute sengaja mengundang kalian berdua datang kemari
menerangkan kejadian tersebut."
"Berapa hari sebelum hari Tiong Ciu, kebetulan siaute baru pulang dari kota Hang-ciu, ketika lewati Thiau-bok, Tinglote telah menahanku untuk menginap di rumahnya dan
berpesiar bersama-sama, malah malamnya Ting lote mengajakku untuk menginap di
kuil Kay san si di atas gunung, bersama kami hadir juga Si cu suheng."
"Oleh karena itu siaute berani menjamin kalau orang yang telah membunuh Siautayhiap sekalian bukanlah Ting lote, melainkan orang lain" Yang dimaksudkan sebagai
"Sip cu suheng" tak lain adalah Sip cu taysu yang bertugas dalam ruang Lo han tong di kuil Siau lim si, cukup berdasarkan hal ini, bisa diketahui kalau apa yang dikatakannya bukan cuma isapan jempol belaka."
Lakjiu im eng segera memandang sekejap kearah Bwee hoa kiam, kemudian ujarnya.
"Jiko, bagaimana menurut pendapatmu?"
Thio Kun kie berkerut kening dan termenung beberapa saat lamanya kemudian
katanya. "Beng congpiautau berani menjamin akan hal ini, sudah barang tentu ucapan itu boleh dipercaya, aku lihat lebih baik menunggu sampai kedatangan para suheng dari
angkatan Keng lebih dulu baru membicarakan persoalan ini lebih lanjut."
Ketika Beng Kiang-hoo menyaksikan kesalahan paham dipunahkan, ia merasa gembira
sekali, segera dia ambil poci arak dan memenuhi sendiri cawan Thio-kun-kiu. Ting Cikang dan cawan sendiri, kemudian sambil tertawa tergelak ujarnya.
"Thio tayhiap. Ting lote, orang kuno menggunakan cawan arak sebagai pelenyap
kecurigaan, kali ini siaute ingin menghormati kalian dengan secawan arak untuk
menghilangkan pula kecurigaan kalian, nah, aku tak sungkan-sungkan lagi, mari, mari,
kita keringkan cawan ini."
Selesai berkata dia lantas mengangkat cawan dan siap untuk menghabiskan isi cawan
tersebut. Mendadak Ting Ci kang mencengkeram pergelangan tangan Beng kian hoo sambil
berseru. "Beng loko, harap tunggu sebentar..."
Belum habis dia berkata, Bwee hoa kiam Thio Kun kai telah membanting cawan arak
itu ketanah, kemudian sambil berkerut kening dia melompat bangun, bentaknya.
"Orang she Beng, cara kerjamu benar2 amat keji dan memalukan."
Cawan telah pecah dan isi cawan berhamburan ketanah, seketika itu juga terdengarlah
Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
suara desisan nyaring muncul dari lantai, jelas arak itu mengandung racun yang amat
keji. Dengan perasaan terkesiap buru2 Beng Kian-hoo menundukkan kepala dan memeriksa
isi cawan sendiri, ternyata arak yang berada didalam cawannya juga berwarna hitam
pekat dan mengandung racun yang teramat keji.
Teko arak diletakkan diatas meja, bahkan semua orang telah meneguknya tadi tanpa
terjadi suatu kejadian apa apa, mengapa tanpa sebab araknya bisa berubah menjadi
sepoci arak beracun.
Kendatipun Beng Kian hoo adalah seorang jago kawakan yang berpengalaman luas
dalam dunia persilatan, tak urung dibikin gelagapan juga sehingga tak mampu berbuat
apa-apa. "Soal ini,.." matanya terbelalak lebar, Lakjiu im eng serentak meloloskan pedangnya, kemudian sambil berkerut kening bentaknya. "Beng Kian hoo, rupanya kau telah
bersekongkol dengan Thi pit pang untuk membegal barang kawalan dan membunuh
orang, rupanya kau hanya seorang tukang tadah belaka" hmm tak kusangka seorang
tukang tadahpun menggunakan merek perusahaan An wan piaukiok untuk menutupi
jejaknya..." Kalau benar punya kepandaian, mari kita beradu kepandaian secara
jujur,janganlah menggunakan arak beracun untuk mencelakai orang, kalau perbuatan
semacam itu mah bukan terhitung perbuatan seorang enghiong."
Paras muka Beng Kian hoo menjadi pucat pias seperti mayat, dia masih memegangi
cawan araknya sendiri dengan wajah kebingungan kemudian katanya. "Apa maksudmu
berkata demikian?"
Dengan sorot mata berkilat, Bwee-hoa kiam Thio-Kun-kai tertawa keras.
"Kini bukti sudah didepan mata,apakah kau mau mungkir lagi " Dari sini dapatlah
diketahui kalau apa yang kau katakan tadi, tak lebih hanya kata kata bohong belaka."
"Tadi, kita semua telah minum arak yang berasal dari poci ini, sedang poci inipun berada di atas meja tanpa dipindahkan siapapun, kalau di bilang aku orang she Beng
bermaksud jahat dan ingin mencelakai kalian, mengapa pula siaute hendak
meneguknya lebih dulu " Coba kalau saudara Ting tidak menghalanginya dengan
cepat, yang bakal keracunan lebih dahulu sudah pasti aku sendiri." Perkataan ini
memang benar dan masuk diakal, mana ada orang yang ingin meracuni diri sendiri
lebih dahulu sebelum meracuni orang lain?"
Tapi, Thio Kun kai enggan menerima alasan tersebut, dia lagi diapun tidak percaya
sambil, mendengus dingin katanya.
"Enak benar kalau berbicara, kalau kau minum obat penawarnya lebih dahulu, tentu
saja kau tak bakal mati karena keracunan."
Ting Ci kang segera bangkit berdiri, katanya. "Harap kalian berdua jangan marah lebih dulu, aku lihat peristiwa ini sangat mencurigakan."
Tapi belum habis dia berkata, Lakjiu ini eng telah membentak dengan penuh
kegusaran. "Perkumpulan Thi pit pang tak lebih hanya gerombolan penyamun belaka, orang she
Ting, hari ini nonamu tak akan mengampuni kau dengan begitu saja"
Ujung pedangnya yang memancarkan cahaya ke-hijau2an langsung ditusukkan ke
tubuh Ting Ci kang.
Dengan cekatan Ting Ci-kang mundur setengah langkah, ia tidak membalas, sambil
goyangkan tangan serunya. "Thio lihiap, sekalipun kau enggan melepaskan siaute,
paling tidak duduknya persoalan ini harus kau selidiki dulu sampai jelas. . . ."
"Hmmm, sekalipun kau berbicara sampai lidahmu busukpun nona akan tetap akan
membunuhmu lebih dulu sebelum berbicara." Ia telah memperoleh warisan ilmu
pedang dari Bu tong-pay, begitu serangan yang pertama mengenai sasaran kosong,
ujung pedangnya segera digetarkan dan menciptakan kembali serentetan cahaya
perak sebesar cawan arak, kemudian secepat kilat menusuk ke dada kiri Ting Ci kang.
Tusukan ini selain cepat juga ganas, angin serangannya menderu-deru.
Tapi baru saja ancaman tersebut sampai ditengah jalan, tahu2 senjatanya kena dijepit
orang. Itulah perbuatan dari wi Tiong hong yang duduk disebelah kiri Ting-Cu kang, tak
seorang pun yang melihat caranya dia turun tangan tahu2 saja pedangnya gadis itu
sudah dijepitnya dengan jari tengah dan jari telunjuknya.
"Nona, setiap persoalan lebih baik dibicarakan secara baik2 saja, buat apa mesti
mempergunakan kekerasan?" bujuknya.
Sekuat tenaga Lak-jiu-im-eng berusaha untuk membetotnya, namun tidak berhasil
melepaskan diri dari cengkereman lawan, ia baru tertegun dan segera mendongakkan
kepalanya. Ternyata orang yang menjepit ujung pedangnya adalah seorang pemuda tampan
berusia dua puluh tahun, kenyataan ini membuat hatinya semakin gusar.
Ketika selesai mengucapkan kata-kata itu, wi Tiong-hong segera mengendorkan pula
jepitannya dan melepaskan ujung pedang tersebut. Lakjiu im eng segera membentak
keras. "Bajingan cilik, rupanya kaupun seorang benggolan dari Thi pit-pang, baik, akan nona jagal dirimu lebih dulu"
Pedangnya membentuk gerakan setengah busur, kemudian cahaya tajam berkilauan
dan ujung pedang tersebut ditusukkan kearah tenggorokan si anak muda itu.
Sejak kecil Wi Tiong hong memang melatih ilmu pedang ji gi kiam hoat, tentu saja dia
menguasai inti sari dari jurus ilmu pedang itu, tak heran kalau diapun mengetahui
bahwa jurus serangan yang digunakan gadis itu bernama Ci cui sengcu (melempar betu
menjadi mutiara)
Diam-diam ia lantas berpikir "Aku sama sekali tiada dendam sakit hati denganmu,
tetapi begitu turun tangan kau telah melancarkan serangan sekeji ini, perbuatanmu
betul-betul terlampau buas."
Dengan membuang tubuh bagian atasnya ke belakang, dia menggerakkan tangan
kanan dan menjepit lagi ujung pedang lawan dengan ujung jari telunjuk dan jari
tengahnya. "Aku bukan anggota perkumpulan Thi pit-pang, harap nona jangan salah paham."
ujarnya sambil mendongakkan kepala.
Ia belum pernah bercakap-cakap dengan seorang gadis, selesai berkata sepasang
pipinya telah berubah menjadi merah padam karena jengah. Lakjiu imseng semakin
naik darah, apa lagi dia memang seorang yang berangasan, melihat dua kali
serangannya kena dijepit jari pemuda itu, keningnya makin berkerut, dengan sinar
mata tajam diawasinya pemuda itu tanpa berkedip, sementara hawa pembunuhan
menyelimuti seluruh wajahnya.
Sekuat tenaga dia mencabut kembali pedangnya, lalu sambil menuding dengan ujung
pedangnya ia berseru sambil tertawa dingin.
"Bajingan cilik, nonamu tak ambil perduli siapakah kau, cepat loloskan pedangmu,
nonamu ingin tahu sampai dimanakah kehebatan dari ilmu silat yang kau miliki."
Sementara itu. Ting Ci kang telah menarik lengan wi Tiong hong sambil berbisik,
"Saudara cilik, disini tak ada urusanmu."
Beng Kian hoo berteriak pula keras-keras. "Harap kalian berdua menghentikan
pertarungan, dengarkan dulu sepatah kata dariku."
"Orang she Beng" bentak Lak-jiu im eng," nanti aku akan membuat perhitungan pula dengan kalian."
Sekonyong-konyong ia berpaling, lalu membentak keras.
"Bajingan cilik, apa gunanya kau mengundurkan diri dari situ" Jika kau tak segera meloloskan pedangmu, jangan salah kalau nona merenggut selembar nyawamu."
Mencorong pula sinar mata tajam dari balik mata Ting Ci kang, katanya "kalian berdua datang kemari karena mencari aku Ting Ci-kang, mengenai adanya racun dalam arak
sudah jelas dibalik kejadian ini ada hal-hal yang tak beres, mumpung kira semua masih
berkumpul disini, maka lebih baik hal ini harus kita buat terang dulu duduknya
persoalan kemudian baru membicarakan soal lain, tapi bila nona memang bersikeras
hendak bertarung, silahkan saja turun tangan, aku orang she Ting takkan berpeluk
tangan belaka."
Dalam keadaan gusar, Lakjiu itu eng sama sekali tak ambil perduli terhadap seruan
tersebut bahkan memandang sekejap kearahnyapun tidak, dengan wajah hijau
membesi, serunya dengan penuh kegusaran. "Nona tak ambil perduli terhadap urusan
lain, hei, bajingan cilik, berani tidak menerima tantanganku ?"
Makian demi makian yang dilancarkan dengan penggunaan kata "bajingan cicik" itu amat menusuk pendengaran orang,jangankan manusia yang terdiri dari darah daging,
sekalipun manusia yang terdiri dari tanah liatpun lama kelamaan dibuat gusar pula.
Dengan wajah merah membara, Tiong-hong segera berteriak lantang. "Kenapa tidak
berani" cabut pedang yaa cabut pedang,jangan kau anggap aku jeri kepadamu."
"Kalau tidak jeri hayo menggelinding keluar."
"Saudara wi, hal ini tiada sangkut pautnya dengan dirimu" seru Ting Ci kang cemas.
"Tidak" kata Wi Tiong hong membandel, "dia menantang aku untuk turun tangan, maka hari ini SiaUte memberi pelajaran yang sebaik-baiknya kepada orang ini . . . . "
Seraya berkata dia lantas maju ke muka dengan langkah lebar.
-oooOOooo- "CRING ..," sebilah pedang berkarat yang sama sekali tidak bersinar telah diloloskan dari sarungnnya, kemudian sambil mengangkat kepalanya dia berkata.
"Kau hendak bertarung dengan cara bagaimana ?"
Selapis hawa napsu membunuh telah menyelimuti wajah Lak jiu im eng, serunya
sambil menggertak gigi. "Nona menginginkan selembar nyawamu "
Ia memang termashur karena kekejiannya, begitu selesai berkata pedangnya segera
digerakkan melancarkan sebuah tusukan kilat kedepan. Sebelum kejadian sekarang, wi
Tiong hong belum pernah bertarung dengan siapapun, dia hanya tahu sebelum
pertarungan ia mesti membuka pertahanan diri lebih dahulu.
Jurus pertama dari ilmu pedang ji gi kiam hoat adalah giok hu tiau thian (lempengan
pualam menghadap langit), ujung pedangnya menghadap ke udara dengan tangan kiri
melindungi dada, maksudnya adalah sungkan dan memberi hormat-kepada musuhnya,
setelah itu ujung pedang mana baru menuding kemuka dan mulai melancarkan
serangan. Sudah barang tentu jurus pambukaan ini cuma jurus tipuan belaka,
seharusnya bila gadis itu teliti maka dari jurus pembukaan itu dia akan segera
mengetahui kalau jurus itu merupakan pemulaan dari ilmu pedang ji gi Kiam hoat, atau
dengan perkataan lain pemuda itupun berasal dari Bu-tong pay. Dalam keadaan begini
mestinya Lakjiu Im-eng akan membatalkan serangannya dan mencari tahu keterangan
yang sejelasnya.
Siapa tahu Lakjiu im eng adalah seorang yang berangasan, apalagi apa saat ini dia
berhasrat untuk menembusi dada pemuda itu dengan tusukan pedang nya, tentu saja
dia tak ambil perduli terhadap semua persoalan tersebut, begitu Wi Tiong hong
membuka serangan, Lak jiu im eng telah melepaskan sebuah tusukan kilat.
Wi Tiong hong sama sekali tidak berani berayal tangan kirinya membuka gerak tipuan,
lalu pedangnya ditusuk ke muka menyongsong datangnya ujung pedang lawan. Suatu
peristiwa aneh segera terjadi.
Tatkala ujung pedang Lakjiu im eng menusuk sampai diseparuh jalan, mendadak
senjata itu miring ke samping, serta merta pergelangan tangan kanannya yang
memegang pedang jadi kena tersampok miring oleh gerakan tangan kiri wi Tiong hong.
Dengan terjadinya keadaan tersebut, maka pertahanannya menjadi sama sekali
terbuka, dadanya menjadi tanpa perlindungan lagi.
Dengan begitu, ketika ujung pedang wi Tiong hong meluncur ke depan, senjata itu
langsung mengancam dadanya.
Wi Tiong hong sama sekali tak menyangka kalau gadis itu secara tiba-tiba bisa
membuyarkan serangan ditengah pertarungan bahkan membuka dadanya dari
perlindungan, apakah dia memang menginginkan agar dadanya kena tertusuk"
Pertarungan yang dilangsungkan olen kedua orang itu sama sama dilakukan dengan
kecepatan tinggi, seandainya pedang tersebut benar-benar menembusi dada gadis itu,
niscaya didunia ini akan kehilangan seorang Lakjiu im seng, tapi julukan Lakjiu hoa
(tangan keji penghancur bunga) pasti akan terjatuh kepundak wi Tiong hong.
Bab-05 Jurus pedang aneh
Sedemikian cepatnya peristiwa itu berlangsung, hampir saja semua orang tak sempat
melihat jelas apa yang telah terjadi, menanti apa yang terjadi dapat dilihat, pedang
berkarat di tangan Wi Tiong hong telah menempel diatas dada nona itu. Bwee hoa
kiam Thio Kun kai menjadi terkejut sekali.
Beng Kian hoo dan Ting Cing kang juga sama-sama merasa terperanjat. Siapapun tak
sempat untuk turun tangan mencegahnya, tiada pula yang berteriak untuk
menghentikan gerakan itu.
Padahal Wi Tiong hong sendiripun tidak jelas, ketika pedangnya ditusuk ke depan tadi,
tiba tiba pihak lawan membuka sama sekali pertahanannya, hal ini membuat hatinya
turut terperanjat buru buru dia menggetarkan pergelangan tangannya ke bawah
sambil membuyarkan serangan, sebisanya dia menarik kembali senjatanya itu. Lakjin
im eng menyangka anak muda itu berniat untuk mempermainkan dirinya dihadapan
orang banyak, dari malu dia menjadi gusar.
Maka begitu rasa kagetnya menjadi hilang kembali bentaknya keras-keras.
"Nona akan beradu jiwa denganmu" suaranya menjadi parau karena gusar, tubuhnya melejit ke muka dan "Sreet sreet, sreet," cahaya pedang berkilauan secara beruntun dia lancarkan serangkaian serangan yang membabi buta.
Menghadapi keadaan seperti ini, Wi Tiong hong tak berani gegabah, buru-buru dia
menggerakkan pedangnya untuk mematahkan setiap ancaman yang tertuju
kearahnya. Tapi diapun cukup mengerti, walaupun pedang berkarat miliknya kelihatan
jelek seperti barang rongsok, padahal merupakan sebilah pedang yang tajamnya
bukan kepalang, padahal dia tak ada ikatan dendam atau sakit hati apa-apa dengan
gadis itu, tentu saja dia enggan memapas kuntung senjata lawan, itulah sebabnya dia
hanya menangkis serangan lawan dengan punggung pedang.
Betul ilmu pedangnya hebat, tetapi bagaimanapun juga pertarungannya kali ini baru
dilakukan untuk pertama kalinya, soal pengalaman menghadapi musuh masih cetek,
dan lagi dia pun musti berhati-hati jangan sampai memapas kuntung senjata lawan,
otomatis kesemuanya itu menjadi semacam belenggu baginya.
Tujuh delapan gebrakan kemudian ia sudah dibikin agak repot dan gelagapan. Tentu
saja keadaan semacam itu bukan berarti ilmu silatnya masih belum mampu
menandingi Lakjiu im eng, bila baru terjun kearena untuk pertama kalinya, tak urung
Seruling Samber Nyawa 16 Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Kisah Pedang Di Sungai Es 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama