Thian Keng menunyangnya agar duduk lagi, katanya:
"Pertama kau menyambuti serangan kesatu, hawa-dalam tertahan. Kau beristirahat
sebentar untuk mengatur napas, tentu akan baik lagi."
Keh Lok meramkan mata duduk bersemedhi untuk memperbaiki jalannya napas. Tak
berapa lama, dadanya terasa lapang dan semangatnya pulih kembali. Tapi didapatinya,
ke 2 kepelan dan ke 2 lengannya sama melepuh, sakitnya tak terkata. Diam-diam ia
kagum atas kelihaian paderi dari Siao Lim Si itu.
"Dari mana kau pelajari ilmu silatmu tadi?" tanya Thian Keng.
Dengan terus terang Keh Lok Ceritakan pengalamannya di gunung Giok-nia itu.
"Kalau kau masuk kedalam, gunakanlah ilmumu tadi. lengan tanganmu tentu tak sampai
terluka. Baikkah menjaga diri," kata Thian Keng.
"TeCu telah terluka, ruangan yang terakhir pasti tak dapat TeCu masuki. Mohon
Losiansu sudi memberi petunjuk." kata Keh Lok.
"Kalau tidak bisa, baliklah," sahut Thian Keng.
"Mereka selalu menasehati suruh balik. Tapi kaum ksatria sekali maju berpantang
mundur. Biar matipun rela," pikir Keh Lok.
Begitulah setelah memberi hormat, dia lalu masuk kedalam. Tapi baru saja ia
melangkah beberapa tindak, kedengaran Thian Keng berseru: "Tunggu, jawablah
pertanyaanku ini." Tan Keh Lok merandek.
"Tadi kau telah melayani aku sampai 20 jurus, apakah jurus yang kugunakan tadi kau
masih ingat semua?" "TeeCu ingat", sahut Keh Lok.
"Kau pelajarilah sendiri itu semua, yangan kau ajarkan pada lain orang. Itu adalah
pusaka berharga dari Siau Lim Si".
Keh Lok terkesiap, dia dapat menginsyapi. Kiranya tadi Thian Keng telah mengajarinya sejurus ilmu pukulan yang jarang terdapat. Buru-buru dia berjongkok ditanah dan
menghaturkan terima kasih.
"Kau tahu apa tidak, mengapa aku menurunkan ilmu tadi padamu?" ianya sipaderi pula.
"TeCu tak tahu."
"Tadi aku telah mendapat banyak sekali pengertian dari ilmu silatmu yang luar biasa itu.
Untuk itu aku telah membalas ilmu pukulanku tadi. Selain dari itu, aku pun menunaikan tljanjiku pada 20 tahun berselang".
Keh Lok memandang paderi itu dengan pandangan yang heran.
"Diantara pergaulan Suheng dan Sute semua aku paling akrab sendiri dengan Gihumu.
Aku pernah menjanjikan akan mengajarnya ilmu 'Hang-liong-Cap-pwe-Ciang' itu
padanya." Keh Lok diam saja mendengarkan Cerita itu.
"Ketika itu kepandaian Gihu-mu masih belum sempurna, tapi dia sudah berniat turun
gunung. Mendiang suhu menasehatinya supaya ditangguhkan sampai tiga tahun, lagi
nanti sesudah dapat mempelajari ilmu 'Hang-liong-Cap-pwe-Ciang' itu. Tapi rupanya
gihu-mu tak dapat bersabar. Dengan mengelah napas terpaksa suhu mengijinkan.
Kuhantar dia sampai dipintu gereja, disitu kuberi janjiku, apabila aku sudah dapat
mempelajari ilmu itu, kelak kalau kita berjumpa, akan kuajarkan padanya. Siapa nyana, karena gihu-mu menyalahi perataran gereja, kita tak dapat berjumpa lagi. Kini aku telah menurunkannya padamu, harap kau mempelajarinya baik-baik .
Keh Lok menjura pula, lalu bertindak keluar. Ia rasakan tubuhnya lelah sekali. Lebih dulu ia sandarkan diri pada tembok untuk mengembalikan scmangatnya. Setelah itu, ia
melangkah masuk kedalam ruangan belakang.
Memasuki pintunya, ia terkejut bukan kepalang. Karena disitu merupakan sebuah
ruangan bersemedhi yang sempit sekali. Ketua gereja Siao Liem Si, Thian Hong Siansu
tengah duduk diatas pembaringan sedang bersemedhi. Belum-belum Keh Lok sudah
tawar hatinya. Thian Keng begitu lihai, dan Thian Hong ini adalah ketua gereja atau
orang pertama dari Siao Lim Si mana dia dapat menandinginya"
Ruangan semedhi sedemikian sempitnya. Pertandingan yang dilakukan disitu pasti
bukan adu silat atau adu senjata rahasia. Kebanyak sekalian tentu adu lwekang. Dalam hal itu, dia pasti kalah. Tengah dia bersangsi, tampak Thian Hong mengibaskan hudtim (kebut hweshio) seraya menyuruhnya duduk
Keh Lok tak berani sembarangan, dengan laku yang hormat sekali dia mengambil
tempat duduk disebelah ketua gereja itu. Di-tengah-tengah ke 2 orang itu ada sebuah
meja kecil, diatasnya terdapat sebuah hio-louw yang ber-kepul 2 asapnya. Pada dinding disebelah muka, terdapat sebuah lukisan alam gunung Han-san, yang terdiri dari
beberapa Coretan oaja.
Setelah berdiam sejenak, berkatalah Thian Hong: "Dahulu ada seseorang pandai sekali
mengembala kambing, hingga menjadi kaja. Tapi orang itu kikir tabiatnya, tak mau
menggunakan hartanya ........................"
Mendengar paderi besar itu berCerita, bukan main herannya Keh Lok. Dia
mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Ada lagi seorang lain," Thian Hong melanjutkan, "dia itu seorang liCin. Tahu kalau
orang kaja tadi bodoh dan justeru hendak menCari isteri, maka orang buruk tadi
menipunya, begini dia berkata: 'Aku tahu seorang gadis yang Cantik sekali, biar
kuusahakan supaya dia menjadi isterimu'. " Gembala kaja tadi girang sekali, lalu
memberinya sejumlah besar uang. Berselang setahun kemudian, kembali orang liCin itu
munCul, katanya: "Isterimu sudah melahirkan seorang putra untukmu!' " Gembala kaja
itu sekalipun belum pernah melihat wajah isterinya. Namun mendengar 'isterinya' sudah melahirkan anak, dia makin senang dan memberi uang lagi pada si liCin itu. Berselang lama, si liCin datang lagi dan berkata: 'Aku membawa kabar buruk, puteramu
meninggal!'. " Gembala itu bukan main sedihnya, dia menangis menggerung-gerung."
Tan Keh Lok dilahirkan dan diasuh dalam kalangan sastra, dia banyak sekali "makan"
buku 2 pelajaran. Mendengar Cerita itu, segera diketahuinya bahwa paderi besar itu
sedang memberi uraian tentang kitab "peh-ji-keng," kitab pelajaran Buddha. Rupanya
Thian Hong hendak mempengaruhi pikiran sianak muda dengan sari pelajaran Buddha.
"Sebenarnya memang begitulah urusan, tak lebih tak kurang hanya seperti isteri dan
putera si gembala itu. Semua hanya hajal, semua 2 fana adanya. Nah, mengapa kau
bersusah payah begitu rupa untuk mengejar keinginanmu, yang kalau berhasil hanya
merasa gembira, sedang kalau gagal lalu merasa berduka?" tanya Thian Hong akhirnya.
"Dahulu juga ada sepasang suami isteri, punya tiga biji kue. Setelah masing-masing
makan sebuah, untuk sisanya yang sebuah, ke 2nya berjanji, siapa yang mengajak
biCara dulu, dia kalah dan tak boleh makan sisa kue itu," Keh Lok menimpali berCerita.
Cerita Tan Keh Lok itupun diambil dari kitab 'peh-ji-keng', mendengar itu, Thian Hong mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Demikianlah ke 2 suami isteri itu tak saling biCara," meneruskan Keh Lok. "Tak lama kemudian, datanglah seorang penCuri. Semua harta benda dalam rumah itu diangkuti.
Karena sudah terikat janji tak mengajak biCara, ke 2 suami isteri itu hanya mengawasi saja tanpa biCara. Melihat itu, sipenCuri makin berani. Dihadapan sang suami, dia Coba akan mengganggu si-isteri. Namun sisuami itu tetap tinggal diam tak ambil peduli.
Saking tak tahan, menjeritlah isteri itu dengan gusarnya. PenCuri itu buru-buru lari!
Sembari lari penCuri itu membawa barang Curiannya. Si suami bertepuk tangan sambil
tertawa: 'Ha, kau kalah, kue itu menjadi bagianku!"
Walaupun Thian Hong sudah tahu akan Cerita itu, namun tak urung dia tersenyum
mendengarnya. "Karena urusan kecil, soal menikmati kesenangan, ia lupakan hinaan besar. Karena soal Citarasa perut, ia membiarkan penCuri mengangkut hartanya dan menghina sang isteri.
Hud-keh (kaum Buddhist) ingin menyelamatkan umat, mengapa bisa berlaku begitu
tegah dan bersikap mementingkan diri sendiri?" Keh Lok memberikan kesimpulan yang
tajam. Thian Hong mengolah napas.
"Semua perjalanan hidup tiada yang langgeng, semua ajaran agama tiada ke-akuannya. Mengapa semua 2nya tak lanCar, itulah karena belum sadar. Kalau menuruti
kehampaan hati, semuaanya kosong," ujarnya.
Tapi Keh Lok tak mau mundur, katanya: "Rakyat sedang mengalami penderitaan. Sang
Buddha pernah bersabda,: 'Berbuat kekerasan (menindas) itu termasuk kedosaan,
mengapa tak menjauhkan diri dari sifat 2 itu'?"
Tahu Thian Hong bahwa anak muda itu tak kena diCegah niatnya akan menghilangkan
beban penderitaan rahajat. Untuk itu, dia menaruh hormat. Katanya: "Ambekan keras
dari Tan-tangkeh itu, patut dipuji. Akan kutanyakan sebuah hal lagi, setelah itu
terserah."
"Silakan Losiansu memberi petunjuk," sahut Keh Lok.
"Dahulu ada seorang nenek 2, mengaso dibawah pohon. Sekonyong 2 munCul ah
seekor beruang hendak memakannya. Si nenek lari mengitari pohon, beruang ulurkan
Cakar kebalik pohon hendak menerkam, Mtlihat itu, si nenek Cepat-cepat menekan
Cakar beruang pada batang pohon. Dan tak dapat berkutiklah beruang itu. Namun
sinenekpun tak berani melepas tangannya.. Kemudian ada seorang lain lewat disitu,
sinenek minta pertolongannya untuk membunuh binatang itu. Orang itu menurut, tapi
begitu dia tempelkan tangannya keCakar beruang, sinenek Cepat-cepat menarik
tangannya terus lari. Jadi kini, orang itu terpantek tak dapat melepaskan tekanannya, atau dia nanti pasti akan dimakan beruang."
Keh Lok dapat menangkap maksud kiasan Thian Hong itu, katanya: "Menolong orang
yang mendapat kesusahan, tak boleh menghiraukan apa-apa. Sekalipun dirinya berbalik
mendapat Celaka, tak boleh menyesal."
Thian Hong kibaskan kebut pertapaannya (hud-tim), serunya: "Silakan masuk!"
Cepat Keh Lok turun dari tempat persemedhian, lalu memberi hormat.
"TeCu berlaku kurang sopan, harap Losiansu memaafkan," katanya.
Thian Hong hanya memanggut. Segera Keh Lok masuk kedalam, masih didengarnya
elahan napas dari Thian Hong Siansu.
Membiluk pada sebuah lorong panyang, aehirnya dia sampai ke sebuah ruangan besar.
Disitu terdapat 2 buah lilin besar yang menyala. Disekeliling ruangan penuh, dengan lemari kitab. Setiap lemari ditempel kertas kuning bertulisan. Dia mengambil sebuah
Ciktay (tempat lilin) untuk menyuluhi. Ketika bertemu dengan lemari yang bertuliskan huruf "Thian", dia membuka pintunya. Didalam lemari itu, terdapat tiga bungkusan
warna kuning. Salah sebuah disebelah kiri, tertulis dengan tiga huruf merah "Sim Ju
Kok". Melihat itu, tangan Keh Lok gemetar, beberapa ketes lilin menetes diatas pauwhok itu.
Setelah menenangkan hatinya, diambilnya pauwhok itu lalu dibukanya. Didalamnya
terdapat sebuah kaos kutang orang lelaki yang disulami bunga, dan sepotong kain dari pakaian orang perempuan yang terdapat titik 2 seperti noda darah. Karena saking
keliwat lama, warnanya berobah hitam. Selain itu masih ada sebuah kipas dari kertas
kuning. Ketika kipas itu dikembangkan, tanpa merasa air mata Keh Lok berCucuran.
Kiranya diatas kipas itu terdapat tulisan tangan gihunya. Dengan seksama dibacanya
tulisan 2 itu: "Murid Siao Lim Si dari angkatan ke-tiga 1 Sim Ju Kok; menghaturkan kesalahannya.
TeeCu berasal dari keluarga tani, sejak kecil sangat melarat dan berkenalan dengan
gadis kecil dari sebelah tetangga keluarga Chi. Bersama meningkatnya umur, kami ber 2
saling mencinta.....................?
Membaca sampai disini, hati Keh Lok memukul keras, pikirnya: "Apakah kesalahan Gihu
itu ada hubungannya dengan ibuku?"
Dia lanjutkan lagi membaca:
"Diam-diam kami ber 2 mengikat janji: TeCu selain gadis Chi takkan, menikah, gadis Chi selain dengan teCu takkan kawin. Setelah ayahku meninggal, timbul ah paCeklik sampai beberapa tahun. Panenan gagal semua. TeCu terpaksa mengembara Cari makan.
Berkat pertolongan Insu (guru berbudi), TeCu diterima menjadi murid. Kaos kutang
sulaman ini, adalah pemberian dari gadis Cxx itu."
Keh Lok makin heran dan ketarik, ia meneruskan lagi:
"Belum TeCu menyelesaikan pelajaran dibawah asuhan mendiang Suhu, TeCu sudah
buru-buru turun gunung, se-mata 2 karena selalu terkenang pada gadis itu, dan akan
melangsungkan perjodohan. Sepulangnya dikampung, ternyata gadis itu telah dipaksa
ayahnya dikawinkan dengan keluarga Tan, Menuruti hawa panas dan masgul, malam itu
TeCu memasuki rumah keluarga Tan. Menggunakan ilmu kepandaian dan menuruti
napsu menyatroni rumah penduduk, ini termasuk larangan kaum kita.
Sejak itu, gadis Chi ikut suaminya pindah kegedung Tetok. Namun TeCu tetap
terkenang padanya. Tiga tahun kemudian, TeCu kembali menengokinya. Malam itu
kebetulan gadis Chi sedang melahirkan putera, ramainya bukan kepalang. Waktu itu
TeCu Jia-nya melihat dari luar jendela.
Empat hari kemudian, TeCu datang lagi. Wajah gadis Chi nampak gugup dan
menCeritakan bahwa puteranya yang baru dilahirkan itu telah ditukar dengan seorang
baji perempuan oleh SuhongCu (pangeran nomor 4) In T jeng. Belum habis pertemuan
itu, diluar loteng munCul ah lf orang pengikut Jong Ti. Mereka adalah jago-jago lihai semua yang diutus oleh In Ceng untuk memperingatkan pada keluarga Tan, kalau
urusan itu sampai teruwar, seluruh keluarganya akan dihukum mati.
Karena kuatir kesamplokan, TeCu melarikan diri, tapi mereka mengejarnya. Dalam
pertempuran itu, jidat TeCu terluka, tapi dapat mengalahkan mereka. Kembali kedalam
loteng, TeCu pingsan. Gadis Chi merobek kain bernoda darah untuk membalut luka
TeCu. TeCu menCuri dengar rahasia kerajaan, mengunjukkan ilmu silat Siao Lim Si, hingga
membahayakan kedudukan kaum kita, ini merupakan kesalahan yang ke 2."
Sampai disini, Tan Keh Lok mengambil pakaian ibunyi, air matanya seperti membanjir.
Selang tak berapa lama, dia membaca lagi:
"Sejak itu dalam 10 tahun, meskipun berada dikota Pakkhia, TeCu tetap ber-sungguhsungguh meyakinkan ilmu silat. Tak berani lagi menjumpai gadis Chi. Setelah kaisar
Yong Ceng mati dibunuh dan Kian Liong menggantikannya, TeCu meng-hitung 2 umur,
tahulah kalau Kian Liong itu adalah puleni, kandung gadis Chi. Kuatir kalau Yong Ceng yangan-yangan sudah tinggalkan pesan supaya kirim pembunuh untuk membasmi
bahaya dari mulut gadis Chi, maka malam itu TeCu kembali datang kerumah keluarga
Tan, dan sembunyi dikamar gadis Chi.
Malam itu, benar-benar datang 2 orang pembunuh, tapi dapat TeCu, basmi dan TeCu
berhasil menemukan surat perintah tinggalan Yong Ceng. Dengan ini, TeCu lampirkan."
Keh Lok membalik lembar yang paling belakang, dan betul juga disitu terdapat sebuah
sampul yang tertutup, diatasnya tertulis:
"Kalau aku mangkat, Tan Su Kwan dan isterinya masih hidup, lekaslah dibunuh."
Itulah tulisan tangan kaisar Yong Ceng, dibelakangnya terdapat sebuah Cap kecil
berbunyi "bu-wi." Teringat oleh Keh Lok akan penuturan menyang Gihunya, bahwa
kaisar Yong Ceng memelihara serombongan pembunuh yang disebut "hiat-ti-Cu" atau
pengsuCur darah. Mereka istimewa disuruh melakukan pembunuhan gelap. Setiap
perintah bunuh dari Yong Ceng, tentu diberi tanda Cap "bu-wi."
"Pada masa itu kepandaian Gihu tentu sudah tinggi. Dua orang hiat-ti-Cu ternyata
bukan tandingannya. Karena menolong' ibu, ayahpun turut tertolong. Mungkin Yong
Ceng sudah memperhitungkan, selama dia masih hidup ayah dan ibuku tentu terpaksa
tutup mulut. Maka dia pertangguhkan perintah bunuh itu sampai dia sudah meninggal,"
pikir Keh Lok. Lalu mulailah dia melanjutkan membaca:
"Bupanya Kian Liong tak mengetahui urusan itu, maka dia tak mengirim pembunuh lagi.
Tapi TeCu tetap berkuatir, dan tinggal dikamar gadis Chi itu, sampai setengah bulan.
Selama itu kebetulan suaminya sibuk mengurus pekerjaan berhubung penobatan raja
baru (Kian Liong), jadi dia jarang- pulang. TeCu memang harus menerima hukuman,
karena agak lama bergaul dengan gadis Chi, dendam asmara mulai timbul pula,
sehingga lupa akan larangan. Hasil dari hubungan itu, ialah puteranya yang nomor tiga.
Ini adalah kesalahan TeCu yang ketiga." Membaca sampai disini, mata Tan Keh Lok
serasa berkunang 2. Putera yang ketiga itu, siapa lagi kalau bukan dirinya" Ah, kiranya Gihu-nya itu, sebenarnya adalah ayah kandungnya sendiri. Dengan begini, kesemua hal
2 yang terjadi diwaktu lampau, misalnya: mengapa ibunya menyuruhnya ikut pada gihu,
mengapa surat tinggalan dari ibunya itu terbakar, mengapa tak lama setelah ibunya
menutup mata Gihunya pun sangat mereras dan segera menyusul mati, mengapa surat
tinggalan ibunya itu memuat kata-kata "dipaksa menikah dengan keluarga Tan," "hidup
direnung kedukaan" dan sebagainya.
Kesemuanya itu kini menjadi jelas baginya. Timbul serentak sesuatu perasaan dalam
hati nuraninya, tak tahu dia mengatakan, berdukakah atau kasihankah" Menyesal atau
mengutuk" Sejenak dia termenung, lalu menyeka air matanya dan meneruskan baca:
"Melanggar tiga pantangan itu, TeCu merasa tak tenteram, dan membawakan hal ihwal
kesemuanya itu s kehadapan Insu, untuk memohon pengampunan." Demikianlah tulisan
Sim Ju Kok. Sedang 2 baris tulisan dibawahnya terang adalah sang Suhu yang
memberikan keputusannya. Bunyinya jalah:
"Sim Ju Kok telah melanggar tiga macam pantangan, kalau dia sudah dapat
menginsyapi dan kembali kejalan terang, sedangkan Buddha masih dapat mengampuni
10 macam kesalahan, masakah aku tidak" Tapi kalau masih membiarkan diri terlihat
dalam urusan perCintaan yang terlarang dan tak dapat memutuskan perhubungan itu,
segera akan dikeluarkan dari Cabang kita. Kuharap dia dapat melaksanakan baik-baik , sianCay, sianCay!"
Demikian tulisan yang singkat itu.
"Jadi gihu............... ah, ayahku selalu masih terkenang akan itu, sehingga tak dapat menCuCikan diri menjadi "hweshio dan akhirnya keluar dari Siao Lim Pai. Karena
merasa bersalah, maka ketika Suhu (Thian-ti-koayhiap) akan mengundang sahabat
sahabat 2 kangouw untuk meminta penjelasan kegereja Siao Lim, dia menolaknya",
pikir Keh Lok. Baginya, kini telah jelas semua. Surat itu dibungkusnya pula, lalu ia berjalan keluar.
Waktu itu sudah terang tanah. Pada pintu keluar dari ruangan itu, tampak sebuah
patung Bi Lek Hud bersenyum simpul. Diam-diam pikiran Keh Lok melayang
bagaimanakah perasaan ayahnya (Sim Ju Kok) ketika diusir keluar dari ruangan itu"
Pada lima ruangan yang dimasukinya tadi, kini tak tampak seorangpun jua. Sekeluarnya dari ruang yang penghabisan tampaklah disana sudah, siap menyambut Ciu Tiong Ing,
Liok Hwi Ching dan semua orang gagah dari HONG HWA HWE mereka sama girang
nampak Keh Lok tak kurang suatu apa dan membawa sebuah bungkusan. Tapi untuk
keheranan mereka, kini sikap Keh Lok1 sangat lesu, sepasang matanya benjul.
Lalu Keh Lok menuturkan semua yang telah dialaminya.
"Urusan disini sudah beres, baik kita Cari ke 2 jahanam itu, untuk membalaskan sakit hati Chit-ko," Bun Thay Lay menyatakan pikirannya.
Semua orang setuju. Ciu Tiong Ing lalu antar Keh Lok masuk untuk berpamitan pada
Thian Hong dan Thian Keng. Habis itu mereka siap berangkat. Tapi sekeluarnya dari
gereja itu, tiba-tiba wajah Ciu Ki tampak puCat, malah terhuyung-huyung mau jatuh.
Ayahnya buru-buru menyambuti dan menuntun kedalam.
Ternyata hal itu disebabkan karena kandungan Ciu Ki yang sudah menempuh
perjalanan yang sedemikian jauh, apalagi ia main mabuk 2an dirumah keluarga Pui.
Untungnya beberapa hweshio digereja tersebut mengerti akan obat 2an. Setelah
diberinya obat, dinasehati supaya tinggal saja digereja itu sampai nanti sudah
melahirkan. Biasanya Ciu Ki itu adatnya bandel, tapi dalam keadaan begitu, terpaksa ia menurut.
Menurut permufakatan semua orang, Ciu Tiong Ing dengan isteri, bersama ke 2
muridnya dan Thian Hong supaya tinggal mengawani Ciu Ki. Setelah melahirkan, boleh
lantas menyusul kekota raja.
Karena gereja itu tempat suCi, Ciu Tiong Ing menyewa sebuah rumah yang tak jauh
dari situ. Sementara Liok Hwi Ching dan rombongan HONG HWA HWE pun segera
berangkat. Karena dulu menerbitkan onar, kini tak beranilah mereka masuk kedalam kota Tek Hoa.
Malamnya, Bun Thay Lay, Jun Hwa, Hi Tong dan Sim Hi dengan menyaru memasuki
kota. Ternyata bukan saja Swi Tay Lim dan Seng Hong tak ketahuan rimbanya, pun
keluarga Pui juga sudah pindah dari kota tersebut.
Untuk melampiaskan kemendongkolannya, Sim Hi akan lepas api membakar gedung
keluarga Pui, tapi diCegah oleh Hi Tong, karena hal itu membahayakan Thian Hong cs.
yang tinggal tak jauh dari situ.
Begitulah rombongan meneruskan perjalanannya keutara. Tiba diwilayah Shoatang,
Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
musim semi tengah menabur alam dengan warna warni bunga 2an.
Begitulah hari itu mereka sampai dikota Thay An. Thauw-bak HONG HWA HWE daerah
situ, memberi keterangan bahwa, pemimpin HONG HWA HWE bagian Hukuman, Ciok
Siang Ing, telah datang dari Pakkhia. Semua orang buru-buru menyambutnya dengan
girang. "Capji-ya, penghianat busuk itu sudah mampus?" seru Sim Hi berlarian menyambut.
Ciok Siang Ing terkesiap.
"Thio Ciauw Conglah!" Sim Hi menjelaskan. "Oh, dia?"
".Ia, digerag'oti habis oleh kawanan serigala," kata Sim Hi.
Ciok Siang Ing tak keburu menanya lebih jauh, karena dia harus memberi hormat pada
CongthoCu dan saudara-saudaranya serta terus diajak masuk. Setelah saling
menanyakan keadaan masing-masing, Keh Lok bertanya tentang keadaan dikota raja.
"Dikota raja tak terjadi apa-apa. Kedatanganku kemari hanya perlu memberitahukan
bahwa pasukan Bok To Lun lo-enghiong telah musna seluruhnya," sahut Siang Ing.
Dengan wajah puCat, berbangkitlah Tan Keh Lok seketika.
"Apa"!" tanyanya dengan agak gemetar.
Semua orang pun terkejut sekali oleh kabar itu.
"Ketika kita tinggalkan daerah Hwe, sisa pasukan Tiau Hwi hanya tinggal tunggu
kemusnaannya saja. Mereka tak berdaya, dalam kepungan di Sungai-Hitam. Mengapa
kini mereka berbalik menang?" tanya Lou Ping.
Ciok Siang Ing menelan ludah, jawabnya: "Tak disangka mereka mendapat bala
bantuan dari induk pasukan didaerah Lam Kiang. Tiau Hwi yang mengetahui hal itu dari seorang mata 2 Hwe yang tertawan, segera membarengi meneryang keluar. Nona Hwe
Ceng Tong sedang dalam sakit, tak dapat memberi pimpinan. Bok-loenghiong dan
puteranya telah gugur. Nona Hwe Ceng Tong tak karuan rimbanya."
Keh Lok jatuhkan diri disebuah kursi. Wajahnya yang putih seperti kertas itu, membuat semua orang Cemas.
"Nona Ceng Tong mempunyai ilmu silat yang tinggi, serdadu 2 Ceng pasti tak mampu
menCelakakannya," menghibur Hwi Ching.
Tahu Keh Lok dan sekalian orang, bahwa LoCianpwe itu tengah menghibur saja. Karena
dalam keadaan pasukan yang sudah kaCau, sukarlah orang menjaga diri, terlebih 2
seorang gadis yang sedang menderita sakit.
"Nona itu punya seorang adik perempuan, yang orang-orang Hwe menyebutnya Hiang
Hiang KiongCu, apakah Capji-ko mendengar beritanya?" tanya Lou Ping sembari
memberi isyarat mata pada Siong Ing, siapa pun mengerti makstidnya. Namun susah
rasanya akan berbohong.
"Entah, tak kudengar apa-apa. Tapi orang terkenal semacam nona itu, kalau sampai
terjadi apa-apa pasti penduduk kota raja sama mendengarnya. Tak ada berita mengenai
itu, jadi tentunya ia tak apa-apa."
Tan Keh Lok bukan tiada tahu bahwa saudara-saudaranya tengah berusaha meredakan
keCemasannya. Namun dia bersikap tenang saja, lalu mengajak beristirahat. Sekalian
orang mempersilakan dia beristirahat dulu, karena mereka masih mau berCakap 2. Sim
Hi disuruh mengawani Siaoya-nya.
Semuanya sama berduka disamping menaruh hormat atas keperwiraan Bok To Lun
yang gugur mempertahankan haknya itu. Keadaan menjadi hening sejenak. Tak
beberapa lama, tiba-tiba Keh Lok keluar lagi.
"Saudara-saudara, mari kita dahar supaya bisa Cepat-cepat berangkat ke Pakkhia!"
serunya. Orang-orang sama heran melihat perubahan sikap Keh Lok yang kini sudah seperti biasa lagi.
"Pertama bertemu dengan CongthoCumu, bermula kuanggap dia bersifat seperti orang
perempuan, kurang gagah. Tapi ternyata kebesaran jiwanya menghadapi kejadian yang
seberat itu, sungguh lajak menjadi pemimpin. Kini aku menaruh perindahan padanya,"
bisik Lou Ping kedekat suaminya.
Bun Thay Lay hanya aCungkan ibu jarinya, sembari terus makan hidangannya.
Demikian akhirnya rombongan HONG HWA HWE itu sudah tiba di Pakkhia, Ciok Siang
Ing telah membeli sebuah gedung. Disitu telah menunggu ke 2 saudara Siang, Tio Pan
San dan Nyo Seng Hiap. Pertemuan kali ini, sungguh menggembirakan sekali.
"Tio-samko, nanti tolong kau bawa Sim Hi menemui Kim-ko-thiat-jiao Pek Cin," kata Keh Lok pada Tio Pan San.
"Baik. Dan apa yang harus kukatakan padanya," tanya Pan San.
"Tolong kau berikan padanya khim yang bertatahkan huruf 'Lay Hong' ini padanya.
Baginda tentu mengetahuinya."
Tio Pan San dan Sim Hi segera berlalu. Lewat setengah harian, ke 2nya sudah datang
kembali. "Aku bersama Tio-samya .................."
"Hai, apa-apaan masih menyebut 'ya' saja?" menyela Pan San sambil ketawa.
"Ya, aku bersama Tio-samko mendapatkan Pek Cin dirumahnya. Kebetulan dia dirumah"
demikian tutur Sim Hi. "Begitu melihat karCis nama Samko, dia Cepat keluar dan
mengundang kami duduk minum arak. Setelah itu, baru melepas kami pulang".
Tan Keh Lok tahu kalau Pek Cin merasa berterima kasih padanya maka sikapnya begitu
manis. Keesokan harinya, Pek Cin datang berkunjung.
"Baginda undang Tan-kongCu keistana", katanya dengan hormat.
"Baiklah, harap LoCianpwe duduk sebentar", kata Keh Lok terus masuk kedalam untuk
berunding dengan Liok Hwi Ching dan lain-lain.
Semua orang akan berlaku hati-hati. Justeru pada saat itu, Ciok Siang Ing masuk sambil menggandeng Bu Tim, hal mana tambah membuat mereka girang.
"Silakan Totiang mengaso dulu, nanti akan kuajak masuk ke istana," kata Keh Lok.
Bu Tim girang mendapat tugas penting itu. Malah Wan Ci terus serahkan lengbik-kiam,
pedang kepunyaan Ciauw Cong, supaya dipakai Totiang itu.
Menyambuti pedang itu, Bu Tim mengelah napas. "Sayang, dia tidak mati ditanganku,"
katanya gegetun.
Begitulah diputuskan, Liok Hwi Ching, Bu Tim, Tio Pan San, ke 2 saudara Siang dan Jun Hwa akan mengantar Tan Keh Lok keistana. Sedang Bun Thay Lay memimpin saudara-saudaranya untuk melakukan penjagaan diluar istana.
Suasana dalam istana Boan itu, megah dan agung. Temboknya kokoh sekali. Penjagaan
yang rapat, dilakukan oleh para si-wi.
Dua orang thaikam (orang kebiri) datang menyambut Pek Cin: "Pek tayjin, baginda
berada dipagoda Pao Gwat Lauw, harap kau antar Tan-kongCu kesana."
Pek Cin mengiakan dan katanya kepada Tan Keh Lok: "Kita sudah memasuki batas
istana dalam, harap KongCu titahkan sekalian taruhkan senjatanya disini."
Sekalipun kelima pengikut itu merasa betapa berbahaya urusan itu, namun dalam
keadaan begitu, terpaksa mereka mengindahkan perintah.
Pagoda Pao Gwat Lauw terdiri dari 5 tingkat. Ukiran 2 dan Cat yang menghiasnya gilang gemilang berwarna keemasan. Indahnya bukan kepalang. Tapi satu hal yang
mengherankan ialah, dimuka pagoda itu terdapat banyak sekali tenda orang Hwe. Hal
itu mengejutkan Tan Keh Lok yang segera teringat akan nasib dari Hwe Ceng Tong
kakak beradik. Tengah Keh Lok dilamun keheranan itu, tiba-tiba munCul ah 2 orang thaikam seraya
berseru: "Tan Keh Lok dipersilakan menghadap baginda."
Keh Lok memperbaiki pakaiannya, lalu mengikut masuk. Tapi Bu Tim cs diperintahkan
tinggal diluar. Naik loteng kei ma, tiba-tiba hidung Keh Lok terCium bebauan yang
semerbak sekali wanginya. Melangkah masuk, didapatinya baginda Kian Liong tengah
duduk disebuah kursi. Mukanya mengunjuk senyuman.
Buru-buru Keh Lok berlutut menjalankan peradatan dengan hidmatnya.
"Ai, kau sudah datang, bagus, bagus. Duduklah disini," seru Kian Liong sambil tertawa, seraya memberi isyarat supaya thaikam 2 yang berada disitu sama keluar.
Keh Lok melangkah maju, tapi tak berani duduk.
"Duduklah, supaya enak biCara," kata Kian Liong.
Keh Lok haturkan terima kasih dan duduk.
"Bagaimana pandanganmu, pagoda ini indah apa tidak?" tanya Kian Liong.
"Kalau bukan pagoda dalam istana, masa lain tempat terdapat pagoda yang seindah
begini," sahut Keh Lok.
"Ini saja kusuruh mereka lekas-lekas menyelesaikan, andaikata tak buru-buru, tentu
akan lebih bagus lagi. Tapi inipun Cukuplah."
Timbul dalam pikiran Keh Lok, untuk mendirikan pagoda yang semewah itu, berapakah
sudah darah dan keringat rakyat yang diperas. Dan untuk menyelesaikan dalam waktu
yang se-singkat 2nya, entah sudah mengorbankan berapa jiwa pekerjanya.
Tiba-tiba Kian Liong berbangkit, katanya: "Kau baru kembali dari daerah Hwe, Coba kau lihat 2, apakah keadaan itu tidak mirip dengan pemandangan dipadang sahara!"
Tan Keh Lok mengiringkan baginda kejendela. Ketika memandang keluar, dia tersentak
kaget. Itulah benar-benar suatu pemandangan yang mentakjubkan. Sebuah taman yang
ditumbuhi dengan warna warni bunga dan jalanan 2 yang ber-liku 2. Tadi ketika dia
masuk dari sebelah timur, yang dilihatnya hanya suatu pemandangan yang indah dan
permai. Tapi kini setelah berada di loteng yang teratas dan memandang kesebelah
barat, pemandangannya berbeda sama sekali. Kira-kira disekitar daerah satu li, tampak bumi yang ditutupi pasir. Disana sini tampak pagoda kecil, empang 2 dan pohon-pohon
bunga. Kesemuanya itu mengunjukkan baru saja selesai dikerjakan.
Memang hal itu tak sesuai dengan keadaan padang pasir yang luas bebas, namun pada
keseluruhannya, dapatlah dikatakan sudah mendekati.
"Baginda senang akan pemandangan padang pasir?" tanya Keh Lok.
Kian Liong ganda tertawa tak menyahut, tanyanya: "Bagaimana!"
"Banyak sekali sekali menggunakan pekerja," sahut Keh Lok. Memandang lagi kemuka,
dilihatnya beberapa ratus pekerja tengah membongkar rumah 2. Rupanya baginda
masih merasa taman itu kurang luas dan minta dilebarkan lagi.
"Apa perlunya taman pasir yang menjemukan mata itu" Sungguh pikirannya itu, sukar
diduga," pikir Keh Lok.
Kembali kedalam ruangan, Kian Liong menunjuk pada khim: "Ambil ah lagi khim ini, tapi sebelumnya kau mainkanlah sebuah lagu untukku."
Karena baginda tak menyinggung urusan yang dikehendaki, Keh Lokpun tak enak
menanyakan, ia mulai menyentil snar khim. Kemudian mengalunlah sebuah lagu
berjudul "Menghadap baginda."
Senang rupanya Kian Liong mendengar itu, lalu pelan-pelan menghampiri kedekatnya.
Selesai dengan lagunya, buru-buru Keh Lok berdiri. Dilihatnya tangan kiri kaisar itu dibalut dengan kain putih, agaknya terluka.
Melihat orang mengawasi tangannya, muka Kian Liong merah, lalu buru-buru menarik
tangannya. Katanya: "Apakah sudah kau bawakan barang yang kukehendaki itu?"
"Sudah, sahabatku yang membawanya. Dia berada dibawah," jawab Keh Lok.
Kian Liong memungut sebuah martil kecil dipukulkan pelan-pelan kepapan. Seorang
thaikam kecil segera datang.
"Suruh pengikut Tan-kongCu kemari," kata Kian Liong.
Sudah lama Liok Hwi Ching menantikan dibawah dengan gelisah. Ketika diatas loteng
terdengar tetabuhan khim, legalah mereka. Begitulah mereka segera mengikut thaikam
kecil tadi naik keatas.
Masuk keloteng tingkat 2, sekonyong-konyong didengarnya tindakan kaki orang yang
bergegas-gegas dari belakang. Rupanya mereka Cepat-cepat akan naik lebih dulu. Bu
Tim dan Jun Hwa yang berada paling belakang, segera menyingkir kesamping. Ke 2
orang tadi terus berjalan melalui tengah 2, karena ke 2 saudara Siang tak keburu
menyingkir, ke 2 orang tadi terus mengulurkan tangannya masing-masing untuk
memegang pinggang ke 2 saudara Siang.
"Minggirlah!" bentak mereka.
Berbareng itu, ke 2 saudara Siang didorong kepinggir. Ke 2 saudara Siang itu masingmasing membawa sebuah 'giok-bin' (vaas giok). Lorong ruangan itu sempit sekali, tak
Cukup untuk 4 orang berjalan berendeng. Karena kuatir vaas tersebut akan kebentur
rusak, buru-buru ke 2 saudara itu mengerahkan tenaga dalamnya untuk menahan
jorokan orang. Karena seperti mendorong batu yang tak bergerak, malah mempunyai tenaga membal,
ke 2 orang tadi terkejut sekali. Sesaat itu ke 2 saudara Siang lalu menyingkir kesamping untuk memberi jalan.
Ketika hendak melewati, ke 2 orang tadi mengawasi persaudaran Siang dengan
seksama. Wajah ke 2 saudara itu seperti kertas putih, alisnya menjulur ke bawah,
tubuh-nya kurus tinggi, sikapnya menakutkan telah membuat ke 2 orang tadi terkesiap
kaget. Juga ke 2 saudara Siang itupun memandang kepada orang-orang yang mendorongnya
tadi. Ternyata mereka dandanannya seperti thaikam. Yang satu bertangan kosong,
sedang satunya lagi membawa sebuah kotak. Perbuatannya tadi, mengunjukkan mereka
mempunyai ilmu silat yang tinggi. Bahwa dalam istana ternyata ada orang-orang yang
sedemikian lihai, sungguh diluar dugaan.
Saat itu, ke 2 thaikam tersebut. sudah tiba dibelakang Liok Hwi Ching dan Tio Pan San, Setelah saling memberi isyarat, ke 2 thaikam itu mengulurkan sebelah tangannya untuk menepuk pundak ke 2 jago tua itu: "Minggirlah!"
Liok Hwi Ching adalah jago kenamaan dari Cabang Bu Tong Pai, sedang Tio Pan San
adalah Ciang-bun-jin (ahliwaris) dari Thay Kek Lam Pai (Thay Kek Pai sekte selatan). Ke 2nya adalah jago-jago yang sukar ada tandingannya didunia persilatan.
Serasa ada orang menyerang, Hwi Ching gunakan gerak "Cian-ih-sip-pat-tiat", sedang
Tio Pan San gunakan bagian jurus "tam-Ciang". Terkaman ke 2 thaikam itu menemui
tempat kosong, malah thaikam yang menerkam Hwi Ching itu, terbentur dengan tenaga
balasan dari Hwi Ching hingga hampir terhuyung-huyung.
Ketika akan melanjutkan naik, ke 2 thaikam itu memandang pada Liok dan Tio ber 2
dengan sorot mata gusar. Salah seorang telah bertanya kepada Pek Cin: "Pek-loji,
apakah baginda memakai siwi baru?"
"Beberapa kawan ini, adalah jagoan dari kalangan bulim. Masakah mereka mau bekerja
seperti kita orang", sahut Pek Cin.
Ke 2 thaikam itu mengeluarkan suara hidung, terus melangkah naik. Liok Hwi Ching cs
tak mengetahui, orang macam apakah ke 2 .thaikam itu. Ke 2nya berkepandaian tinggi,
tapi kelakuannya terhadap Pek Cin tak sungkan 2. Begitulah rombongan orang gagah
itu kini sudah sampai ditingkat kelima. "Keenam pengiring Tan-kong-Cu sudah
menunggu disini", lebih dahulu Pek Cin berseru ketika masih diluar ruangan.
Thaikam kecil tadi menyingkap kerai, lalu mempersilakan mereka tunggu dahulu. Tak
berapa lama, ke 2 thaikam tadi munCul. Mereka memandang dengan tajam kepada
keenam orang itu, terus turun kebawah.
"Silakan masuk", kata sithaikam kecil.
Pek Cin memimpin masuk. Tampak Kian Liong sedang duduk dan Tan Keh Lok berada
disebelahnya. Atas isyarat Tan Keh Lok, terpaksa Hwi Ching dkk.nya berlutut memberi
hormat pada kaisar. Diam-diam Bu Tim memaki-maki.
Keh Lok menyambuti sebuah peti kecil yang dibawah Pan San dan diletakkan diatas
meja, katanya: "Inilah barang itu".
"Kau, kau tinggalkan ruangan ini dulu! Sehabis kuperiksa, nanti akan kupanggil kau
lagi", perintah Kian Liong.
Keh Lok memberi hormat akan berlalu. Tapi Kian Liong kembali suruh dia membawa
kembali khim tadi. Keh Lok memanggut, dan Jun Hwa yang disuruh membawakan khim
itu. Tiba-tiba Keh Lok menyambuti kotak berisi vaas giok dari ke 2 saudara Siang, juga
ditaruhkan dimeja dan katanya. "Inilah sepasang vas1 giok itu, kini kami kembalikan".
Kian Liong membukanya. Giok yang gilang gemilang itu, membuatnya gembira dan
berulang-ulang memuji kebagusannya.
"Baginda telah dapat menundukkan daerah Hwe, hamba mohon sudi berlaku murah,
mengeluarkan firman melarang membunuh rakyat yang tak berdosa", kata Keh Lok.
Kian Liong tetap mengawasi vaas itu, tangannya memberi isyarat supaya semua orang
berlalu. Apa boleh buat, terpaksa Keh Lok ajak rombongannya mengikut Pek Cin keluar.
Sampai diloteng bawah, ke 2 thaikam yang pandai silat tadi memapaki, serunya: "Peklaoji, sahabat dari manakah, harap kau perkenalkan pada kami ber 2."
Pek Cin agaknya jeri terhadap ke 2 thaikam itu, katanya kepada Tan Keh Lok: "Marilah, kuperkenalkan pada ke 2 jagoan dari istana ini. Ini, adalah Ti Hian, Ti kong kong, dan ini, Bu Bing Hu, Bu kongkong." (Kongkong adalah panggilan menghormat pada kaum
thaikam). Karena sedang melaksanakan usaha besar, Keh Lok tak mau bentrok dengan setiap
penghuni istana. Sekalipun hatinya memandang rendah manusia-siamacam itu, namun
diluar, terpaksa dia berlaku hormat.
"Sudah lama kami mendengar nama yang kesohor dari ke 2 kongkong," katanya.
Lalu Pek Cin pun perkenalkan Tan Keh Lok pada ke 2 thaikam itu:
"Inilah Tan-kongCu, yang baginda jumpai ketika beliau meninjau daerah selatan.
Rupanya baginda sangat sayang, dan mengundangnya kemari. Tak lama mungkin akan
diberi jabatan."
Tertawalah Ti Hian thaikam, katanya: "Engkoh yang begitu Cakap, mungkin masih
terlalu muda untuk dnyadikan Tayhaksu."
Mendengar thaikam itu agak tidak memandang mata padanya, Keh Lok tetap bersikap
sabar. Tidak demikian halnya dengan ke 2 saudara Siang, yang dengan mata melotot
terus akan bertindak.
Cepat Pek Cin menyelak dan perkenalkan juga Liok Hwi Ching, Bu Tim dan lain-lainnya.
Ti dan Bu ke 2 thaikam itu, adalah anak 2nya hiat-thi-Cu yang dipelihara Yong Ceng
almarhum. Kiranya Yong Ceng adalah seorang kaisar yang penuh dengan siasat jahat.
Setelah ke 2 hiat-thi-Cu (pembunuh gelap) disuruhnya membunuh keluarga menteri
besar Ong Kong, karena kuatir rahasianya bocor, ke 2 hiat-ti-Cu itupun diraCunnya. Lalu putera 2 mereka dipelihara dan dnyadikan thaikam.
Sejak kecil Ti Hian dan Bu Bing Hu, mendapat latihan silat dari beberapa sahabat
mendiang ayahnya. Ke 2nya menjadi lihai, hanya sayang, mereka sama sekali tak kenal
akan jago-jago kenamaan dikalangan kangouw. Maka sekalipun nama Liok Hwi Ching
dan Bu Tim yang begitu kesohor, dianggapnya sepi saja.
"Mari berjabatan tangan," seru ke 2 thaikam itu seraya mengulurkan tangan.
Tadi sewaktu naik loteng, karena luput menerkam pundak Liok dan Tio ber 2, rupanya
ke 2 thaikam itu penasaran sekali. Sekarang benar-benar akan menjajalnya.
Ti Hian meyakinkan ilmu silat "pat-kwa-Ciang," seCabang dengan Wi-tin-ho-siok Ong
Hwi Yang, itu pemimpin Tin Wan piauwkiok. Bu Bing Hu sebaliknya mempelajari ilmu
silat "thong-pi-kun."
Begitu berjabatan, ke 2 thaikam itu terus akan memnyatnya keras-keras. Maksudnya
supaya Liok dan Tio ber 2 berteriak kesakitan. Tapi tak disangkanya, kalau tangan Tio Pan San luar biasa liCinnya, bagaikan diminyak. Begitu Ti Hian memnyat, tangan Pan
San seolah-olah seperti ikan yang melejit keluar.
Nama julukan Hwi Ching adalah "bian-li-Ciam", jarum yang berada didalam kapas.
Diluar, gerakannya tampak lemah, tapi didalamnya mengandung tenaga yang maha
dahsyat. Ketika Ti Hian memnyat, segera ia rasakan seperti memnyat segumpal kapas.
Dia kaget bukan kepalang, dan buru-buru menarik tangannya. Terlambat sedikit saja
pasti tangannya akan terkena tenaga membalik dari Hwi Ching.
"Liok-loji sungguh hebat lwekangnya," kata Ti Hian dengan meringis. Lalu berpaling
kepada ke 2 saudara Siang, dia berkata: "Jiwi ini luar biasa sikapnya, tentu ilmu silatnya pun luar biasa. Mari kita berjabatan."
Ke 2 saudara Siang saling kedipi mata, kemudian menjabat tangan ke 2 thaikam itu. Ke 2 saudara Siang itu ternyata sepikiran: "Kura-kura yang tak berbenih ini, sombong
amat, biar dikasih sedikit rasa."
Keistimewaan dari ke 2 saudara Siang itu ialah ilmu "hek-soa-Ciang," tangan pasir
Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hitam. Mungkin dalam dunia kangouw, hanya ada ke 2 saudara itu yang mahir dalam
ilmu tersebut. Begitu berjabat, wajah ke 2 thaikam itu segera berobah. Butir-butir
keringat sebesar kedele, ber-ketes 2 turun dari dahinya.
Tahu Pek Cin bahwa ke 2 thaikam itu sedang menderita, tapi dia pura-pura tak tahu.
Kiranya ke 2 thaikam itu adalah pengawal peribadi dari Hongthayhouw (ibusuri, janda
kaisar Yong Ceng). Dengan andalkan pengaruh Thayhouw, ke 2nya tak menggubris
pada baginda Kian Liong. Yangan dikata lagi terhadap kawanan siwi raja itu. Maka
kawanan siwi sama benci ke 2 thaikam itu, hanya diluarnya, mereka tak berani dan
terpaksa berlaku hormat. Kini mengetahui ke 2nya mengalami kesakitan, diam-diam Pek
Cin malah bergirang.
Tahulah ke 2 saudara Siang itu, bahwa kalau terus dilanjutkan, ke 2 thaikam itu tentu tak kuat menahan. Maka dengan tersenyum, tangannya segera dibuka.
Rasa sakit yang diderita ke 2 thaikam itu sampai menembus keulu hati. Ketika
diperiksanya, ternyata telapak tangan mereka seperti diCap dengan jari tangan,
bekasnya sangat dalam dan kehitam-hitaman. Dengan menggigit bibir, mereka
memandang ke 2 saudara Siang itu dengan penuh kebencian, kemudian berlalu.
Almarhum Thio Ciauw Cong yang begitu hebat kepandai-annya, ketika kesamplokan
dengan ke 2 saudara Siang di bukit Oh-siauw-nia tempo hari juga kena diterkam oleh
Siang Pek Ci. Betul Ciauw Cong dapat meronta 2 lepas, tapi tak urung dia terluka. Ini Ciauw Cong, yangan kata ke 2 thaikam tersebut.
"Hek-soa-Ciang dari Siang-hiap, sungguh hebat. Ke 2 thaikam itu sangat jumawa, biar
mereka tahu rasa", kata Pek Cin dengan girang.
Sampai diluar istana, Bun Thay Lay cs menyambutnya. Pek Cin minta diperkenalkan
pada Bun Tay Lay. Lihat Thay Lay yang bertubuh tinggi besar sikapnya gagah, diamdiam Pek Cin mengaguminya.
Kini diCeritakan sewaktu Tan Keh Lok cs sudah berlalu. Kian Liong lalu membuka peti
kecil itu. Nampak surat 2 yang ditulis oleh kaisar Yong Ceng dan ibu kandungnya (Tan hoejin), kaisar itu terkenang akan budi keCintaan ayah bundanya. Tanpa terasa, dia
menguCurkan air mata.
Setelah termenung beberapa saat, Kian Liong suruh thaikam kecil ambilkan api, surat 2
dalam peti kecil itu lalu dibakarnya. Serasa hati kaisar itu lega dan gembira. Peti
kecilpun turut dibakarnya. Kemudian ia memandang pada vaas giok dan segera
memerintah pada thaikam kecil:
"Suruh dia naik".
Setelah berselang lama, thaikam kecil itu datang kembali, lalu berlutut dan lapor:
"Hamba mohon ampun, Nio-nio (Nyonya) tak mau datang".
Kian Liong tertawa, kemudian mengelah napas. Dia berbangkit, memberi isyarat kepada
ke 2 thaikam kecil supaya membawa ke 2 vaas giok itu, dan mengiringkannya turun.
Sampai diloteng sebelah bawah, para kiongli (dayang) yang menjaga segera
menyingkap kere dan masuklah Kian Liong kedalam. Ruangan itu penuh ditaburi bunga
2an, baunya menusuk hidung. Dua orang kiongli segera menyambuti sepasang vaas
giok tadi, lalu diletakkan hati-hati diatas meja.
Didalam ruangan itu terdapat seorang gadis berpakaian putih, yang tengah memandang
kesebelah sini. Demi didengar derap kaki orang, dia lalu berbalik menghadap ketembok.
Atas isyarat Kian Liong, para kiongli itu berlalu. Tapi ketika Kian Liong hendak membuka mulut, tiba-tiba pintu kerai tersingkap dan masuklah Ti Hian dan Bu Bing Hu thaikam, lalu tegak berdiri disamping dengan tangan di rangkapkan kebawah.
"Mengapa kalian kemari, Ayo, enyahlah!" hardik Kian Liong dengan murkanya.
"Hamba dititahkan Thayhouw untuk menjaga paduka," sahut Ti Hian.
"Mengapa aku harus dnyaga?"
"Hong-thayhouw tahu bahwa ia............ Nio-nio berwatak keras, dikuatirkan akan
melukai tubuh emas paduka," kembali Ti Hian menjawab.
"Siapa yang mengadu pada Hongthayhouw?"
Ti dan Bu ke 2 thaikam serentak berlutut dan menyahut: "Hamba sungguh tak berani."
Kian Liong perdengarkan suara hidung yang menjemukan: "Kalau bukan kalian ber 2,
siapa lagi" Ayo, lekas enyahlah!"
Ke 2 thaikam itu kembali memanggutkan kepala, tapi tak mau pergi dari situ. Tahu Kian Liong bahwa dengan titah Thayhouw itu, biar bagaimana ke 2 thaikam itu pasti tak mau enyah. Apalagi mengingat hal itu untuk kebaikannya. Kian Liong tak mempedulikan ke 2
orang kebiri itu lagi.
Kemudian ia berpaling kearah sigadis berpakaian putih, berkatalah kaisar itu: "Coba kau berpaling, aku hendak berkata padamu."
Anehnya, kaisar itu menggunakan bahasa daerah Hwe, Namun gadis itu tetap tak
bergerak, tangannya kanan memegang keras-keraspada sebuah pedang pendek.
"Lihatlah sejenak benda apa yang diatas meja itu," kembali Kian Liong membujuknya.
Bermula gadis itu tak menghiraukan. Tapi karena sudah watak seorang dara, rasa
kepingin tahu tetap menyelubungi pikirannya. Lewat beberapa jurus, ia miringkan
kepalanya untuk melirik kearah meja. Demi tampak diatas situ terdapat sepasang vaas
giok putih yang kemilau, mendadak gadis itu berbalik badan untuk memandang lebih
seksama. Berbareng dengan g'erakan tubuhnya itu, bau harum menyampok hidung Kian Liong
dan ke 2 thaikam tadi. Parasnya yang gilang gemilang dan matanya yang bersorot
bening, sangat mempesonakan. Kiranya gadis ini bukan lain adalah Hiang Hiang
KiongCu atau Asri alias Puteri Harum.
Sejak Bok To Lun gugur, Hiang Hiang menjadi tawanan panglima Tiau Hwi, siapa
karena ingat akan kata-kata Ciauw Cong bahwa. baginda menghendaki nona Ui
tersebut, maka diangkutnya kekotaraja memakai kereta yang mewah dan penuh
kebesaran. Tatkala dahulu melihat lukisan nona Cantik pada vaas giok, Kian Liong sudah jatuh
rindu. Maka ketika vaas giok diCuri Lou Ping, saking gusarnya Kian Liong titahkan bunuh ke 2 si-wi penjaga vaas tersebut. Karena dorongan dendam asmara yang tak tertahan,
raja Boan itu terus mengutus Ciauw Cong kedaerah Hwe. Biar bagaimana, gadis jelita
itu harus dapat dibawa kehadapannya.
Baginda ternyata sudah begitu ter-gila 2. Siang malam beliau selalu terkenang. Agar
bisa sambung biCara, beliau sengaja panggil seorang guru bahasa Uigor untuk
mengajarnya. Dan karena beliau memang berotak terang, tak berapa lama bahasa suku
tersebut pun dapat dikuasainya.
Tapi sedikitpun beliau tak menyangkanya, bahwa hati Hiang Hiang sudah terCuri oleh
Tan Keh Lok. Tambahan pula nona Ui itu sudah punya rasa benci pada raja Boan itu,
sebagai pembunuh ayahnya. Beberapa kali karena akan dipaksa, Hiang Hiang sudah
akan, membunuh diri. Tapi setiap kali tak jadi karena terkenang akan Tan Keh Lok yang pernah menjanjikan hendak membawanya pesiar melihat 2 Tiang Shia (Tembok
Panyang). Sudah menjadi keyakinan" yang terpanCang dalam hati Hiang Hiang, anak
muda itu pasti akan datang menolong. Dengan keyakinan itulah Hiang Hiang kuatkan
hatinya untuk menolak segala bujuk paksaan baginda.
Sebaliknya dari gusar, Kian Liong' malah merasa Cemas balau 2 nona Ui itu akan
mereras. Dipanggilnya seluruh tukang 2 pandai dikota raja, ditugaskan membuat
sebuah pagoda Po Gwat Lauw untuk tempat tinggal Hiang Hiang.
Demikian Kian Liong menyanjung Hiang Hiang, sehingga diumpamakan puteri Ui itu
laksana dewi yang bersemajam dirembulan, atau sama dengan bidadari.
Namun Hiang Hiang tak menghiraukan. Semua perabot dan perhiasan mewah 2 dalam
pagoda itu, yangan kata disentuh akan dipakainya, sedang dilihatnya saja pun enggan.
Hari 2 ia selalu termenung memandang kelangit. Pikirannya me-layang 2 akan
penghidupannya yang tenang gembira di padang pasir.
Beberapa kali baginda diam-diam mengawasinya. Sewaktu nampak bagaimana Hiang
Hiang memandang kelangit, mul utnya menyungging senyuman, baginda tak dapat
menahan rindu asmaranya. SeCepat kilat beliau maju memeluk. Tapi berbareng itu,
sebuah benda berkilau menyambar mengarah dadanya. Itulah badi-badi yang dipakai
Hiang Hiang untuk menikam.
Beruntung raja itu gerakannya linCah, sedang Hiang Hiang tak mengerti ilmu silat,
sehingga beliau dapat menghindari sebat sekali. Namun tak urung, tangan kirinya kena tertusuk, hingga darah menguCur deras.
Saking kagetnya, baginda mengeluarkan keringat dingin. Dan sejak itu, tak berani beliau berlaku gagah 2an mendekat lagi.
Peristiwa itu didengar oleh Thayhouw, siapa segera titahkan dayang dan thaikam untuk merampas senjata nona Ui tersebut. Tapi Hiang Hiang menganCam, barang siapa berani
mendekatinya, ia akan bunuh diri. Kian Liong terpaksa mengalah dan suruh thaikam
berlalu serta selanjutnya tak berani melakukan paksaan lagi.
Sekalipun begitu, Hiang Hiang masih selalu berkuatir, yangan-yangan hidangan dan
minuman untuknya diCampuri obat bius, maka selain buah semangka, ia tak mau
memakan semua hidangan itu.
Baginda sengaja titahkan membuat sebuah kolam mandi
Puteri Ui itu mempunyai suatu Ciri yang istimewa: makin lama ia tak mandi, keringat
tubuhnya makin berbau harum.
Ketika ia berpaling untuk mengawasi ke 2 buah vaas giok itu, tangannya tak lupa untuk memegang ujung badi-badi-nya. Karena dikuatirkan Kian Liong akan menjalankan tipu
muslihat padanya.
"Dulu sewaktu kulihat gambarmu divaas itu, aku tak perCaja kalau didunia ini terdapat seorang mahluk yang seCantik itu. Tapi ternyata setelah kini aku berhadapan dengan
orangnya sendiri, malahan kuanggap gambar itu masih jauh lebih kalah dengan
orangnya," Kian Liong mengelah napas.
Hiang Hiang membisu.
"Se-hari 2an kau berduka saja, apakah kau terkenang akan rumahmu" Coba kau lihat
kejendela sini!" Kian Liong berkata lagi.
Hiang Hiang dapatkan Kian Liong bersama dengan 2 erang thaikam berada dipinggir
jendela. Ia segera keluarkan suara jengekan dan jebikan bibir. Melihat itu Kian Liong tersedar dan lalu menyingkir keujung sana sembari memerintahkan ke 2 thaikam
berlalu. Setelah mereka menyingkir, baru Hiang Hiang pelan-pelan mendekati jendela dan
meninjau keluar. Ia lihat sebuah padang pasir, disana sini tampak beberapa
perkemahan orang Ui dan pada tempat yang jauh terdapat sebuah mesjid. Hati Hiang
Hiang seperti dibetot, 2 butir air mata menetes turun. Teringat ia akan ayah dan orang-orang tua bangsanya yang telah menjadi korban pasukan Ceng. Seketika timbul ah
kemarahannya. SeCepat kilat ia berpaling, tangannya menyambar sebuah vaas giok
terus ditimpukkan kearah kepala baginda.
Bu Bing Hu thaikam Cepat melesat kemuka baginda untuk menyanggapi. Tapi vaas itu
sangatlah liCinnya, sehingga melejit lepas dari tangannya, jatuh hanCur ketanah.
Menyusul dengan itu, Hiang Hiang timpukkan lagi vaas yang ke 2. Ti Hian thaikam kini yang menyambutinya dengan sepasang tangan. Tapi tetap vaas itu merosot dari
tangannya dan jatuh berantakan. Demikianlah, sepasang benda yang jarang terdapat
didunia, musna ber-keping-keping.
Takut kalau sinona akan menyusuli dengan lain-lain benda yang membahayakan
baginda, Bu-thaikam lonCat menangkap tangan Hiang Hiang. Tapi nona itu kelihatan
gerakkan pedangnya kearah lehernya sendiri.
"Tahan!" seru baginda dengan gugup.
Bu-thaikam tarik tangannya, sedang Hiang Hiang pun Cepat mundur. Tiba-tiba "brakk,"
sebuah benda lolos jatuh dari tubuh sinona. Takut kalau itu adalah senjata rahasia, Bu-thaikam Cepat-cepat memungut. Tetapi itu hanya sebuah mainan giok permata. Benda
itu diserahkan kepada baginda.
Nampak benda itu, wajah baginda berobah puCat. Itulah batu mustika yang dahulu di
Hayleng, diberikannya kepada Tan Keh Lok dengan pesanan supaya diberikan pada
orang yang dipenujuinya. Apakah ke 2 orang itu sudah berkenalan" Demikian pikirnya.
"Kau kenal padanya?" buru-buru Kian Liong bertanya. "Dari mana kau peroleh batu
mustika ini '?"
"Mana, kasih kembali padaku," sahut Hiang Hiang sambil ulurkan tangannya.
Makin bertambahlah Cemburuan baginda.
"Jawablah, siapa yang memberikannya padamu, nanti kukembalikan!"
"Suamiku!" sahut Hiang Hiang Cepat.
Bukan kepalang kaget baginda, diulanginya bertanya: "Jadi kau sudah kawin?"
"Sekalipun tubuhku belum menjadi miliknya, tapi hatiku sudah kuserahkan padanya. Dia adalah seorang yang paling gagah berani didunia. Lihat saja, dia pasti akan dapat
membebaskan diriku dari sini. Biar kau seorang raja, dia tak nanti jeri padamu, begitu pula aku."
Hati Kian Liong makin mendidih, katanya: "Kutahu siapa yang kau maksudkan itu. Dia
adalah ketua dari HONG HWA HWE, Tan Keh Lok namanya. Dia hanya seorang kepala
gerombolan dikangouw, apanya yang mesti dikagumi?"
Mendengar jawaban baginda itu, diluar dugaan, Hiang Hiang malah kelihatan girang.
Katanya: "Apa" Kaupun kenal padanya. Nah, sebaiknya kau lekas bebaskan diriku,"
katanya. Kian Liong mendongak kemuka. Tiba-tiba tertumbuklah pandangannya pada sebuah
kaCa. Disitu tampak duplikat dirinya dengan jelas. Dia insyap, bahwa dirinya kalah
tampan dan kalah muda dengan Tan Keh Lok. Seketika rasa Cemburu dan dengki
menCengkeram batinnya. Mainan giok itu segera ditimpukkan kepada kaCa hingga kaCa
itu hanCur berantakan.
Hiang Hiang Cepat memungut mainan itu, dan diulapnya dengan penuh rasa sayang.
Nampak itu makin men-jadi 2-nya kemarahan baginda. Dengan membanting kaki, beliau
berlalu dari situ.
Hampir setengah harian baginda duduk termenung menyekap diri dalam kamar tulisnya.
"Aku seorang yang dipertuan diseluruh negeri. Tapi ternyata seorang gadis dari lain
suku telah berani menolak getas kehendakku, disebabkan Tan Keh Lok menyelak
ditengah 2. Dia menganjurkan aku mengusir orang Boan dan membangunkan pula
kerajaan Han. Memangnya suatu Cita 2 yang indah. Tapi apakah hal itu tidak akan
'gagal menggambar harimau, berbalik menjadi gambar anjing'. Usaha besar gagal,
berbalik mengantar jiwa dengan sia-sia. Ber-bulan 2 sudah kupertimbangkan soal itu,
namun belum dapat kuambil putusan. Ah, bagaimana baiknya?" demikian Kian Liong
me-nimbang 2 dalam pikirannya. Tapi pada lain saat dia berpikir lagi: "Ah, kesemuanya itu tergantung padaku sendiri, tak perlu kubimbang. Andaikata kusetuju melaksanakan
usaha itu, dan berhasil, tidakkah berarti aku akan selalu dibawah tekanan Tan Keh Lok"
Jadi aku tak lebih hanya merupakan raja boneka saja! Dan mengapa kuharus
membuang kemegahan didepan mata untuk mengejar kemuliaan yang belum tentu
dapat kunikmati" Hati gadis Ui itu sudah terpikat olehnya, baik, sekali tepuk akan
kutangkap 2 ekor lalat."
Setelah mengambil ketetapan, dipanggilnya Pek Cin.
"Pada setiap ruangan tingkat Po Gwat Dauw, taruhlah 4 orang si-wi (jago pengawal)
kelas satu. Diluar pagoda, siapkan lagi 20 orang Si-wi. Yangan sekali-kali hal ini sampai bocor," perintah sang junjungan.
Pek Cin menjura selaku tanda menerima titah.
"Panggil Keh Lok ke Po Gwat Lauw. Katakan aku hendak membiCarakan urusan penting,
yangan dia membawa pengikut!"
Lebih dahulu Pek Cin mengatur penjagaan, baru mengundang Tan Keh Lok. Diam-diam
dia kuatir akan keselamatan ketua HONG HWA HWE Itu, pikirnya:
"Kalau dia datang seorang diri, biar kepandaiannya menyundul langitpun, tak nanti dia sanggup melawan 40 orang si-wi. Dia telah melepas budi padaku, mengapa aku takkan
membalasnya" Tapi titah baginda itu tak boleh dibocorkan padanya. Biar kulihat
perkembangannya nanti."
Mendengar perintah kaisar, Tan Keh Lok segera berganti pakaian. Liok Hwi Ching dkk.
sama mengutarakan kekuatirannya. Tapi ketua HONG HWA HWE telah mengambil
putusan, apapun yang akan terjadi, dia tetap akan menghadap kaisar.
"Totiang, kalau aku sampai tak kembali, pimpinan HONG HWA HWE harap Totiang
pegang untuk menCari balas," kata Keh Lok pada Bu Tim.
"Harap CongthoCu tak usah kuatir," sahut Bu Tim.
"Saudara-saudara, tak perlu menyambut diluar istana. Kalau dia hendak menCelakakan
diriku, saudarapun pasti terlambat akan menolongku. Bahkan nanti saudara-saudara
akan terlibat bahaya sendiri," kata Keh Lok pula.
Semua orang HONG HWA HWE dapat dibikin mengerti.
Sampai Keh Lok kedalam Kota Terlarang (komplek istana) haripun sudah gelap. Dua
orang thaikam dengan membawa teng, menjadi penunjuk jalan. Naik sampai ketingkat
4 dari Po Gwat Lauw, thaikam melaporkan kedatangannya. Keh Lok dititah masuk
kesebuah ruang kecil disamping loteng, disitu tampak baginda Kian Liong tengah duduk termenung. Keh Lok buru-buru berlutut memberi hormat. Kian Liong mengisyaratkannya
duduk. Tampak pada dinding dimuka Keh Lok, sebuah lukisan koleksi istana Han yang sangat
"hidup" sekali. Disebelahnya, terdapat sepasang lian buah tulisan baginda Kian Liong sendiri, berbunyi sbb.:
Meskipun ambekan baginda Seng Siao Ong besar" tapi akhirnya hanya kemasgulan
yang diperolehnya.
Nyata tulisan Kian Liong itu ditujukan untuk dirinya sendiri, di baratkan seperti raja Han tersebut.
"Bagaimana?" tanya baginda melihat Keh Lok membaca lian itu.
"Baginda berambekan tinggi, serupa dengan baginda Sin Bu, kalau dapat menyelesaikan
usaha besar itu nama baginda turun temurun akan dimuliakan, jauh lebih berjasa dari
sejarah Han mengusir Cin, kerajaan Beng meruntuhkan Gwan Tiauw."
Mendengar pujian itu, hati Kian Liong membubung tinggi. Sambil mengurut jenggot,
beliau terhening sejenak, kemudian ketawa. Katanya: "Kita ber 2 meskipun
kedudukannya antara raja dengan menteri, tapi hubungan kita adalah hubungan
saudara. Kelak kau harus sungguh-sungguh membantu aku."
Hati Keh Lok tergetar. Di kiranya setelah melihat bukti 2 dan surat 2 itu, kini Kian Liong mau mengakui saudara padanya. Dan uCapan tadi, mengunjuk kalau beliau setuju
untuk melaksanakan gerakan besar itu.
Saking girangnya, Keh Lok berlutut dan menjura: "Baginda seorang junjungan yang
agung perwira, itu merupakan berkah besar pada seluruh rakyat."
Tapi sebaliknya girang, baginda mengelah napas. "Sekalipun aku seorang kaisar, namun kalah berbahagia dengan kau," katanya.
Keh Lok melengak.
"Pada bulan delapan di Hayleng kuhadiahkan padamu sebuah batu ikat pinggang giok.
Apa barang itu kini kau bawa?"
"Baginda titahkan hamba kasihkan pada orang pilihanku, kini telah hamba berikan."
"Kau berpemandangan luas, yang kau penujui, tentu seorang wanita yang terCantik
didunia." "Sayang ia tak ketahuan rimbanya, entah hidup atau mati," mata Tan Keh Lok mulai
merambang merah. "Kalau gerakan baginda itu sudah selesai, hamba akan menCarinya
sampai ketemu."
"Tentunya kau sangat mencintainya bukan?"
"Ya," sahut Keh Lok tak lampias.
"Honghouw (permaisuri) seorang Boan, kau sudah mengetahui bukan?" "Ya."
"Honghouw sayang sekali padaku. Beliau sangat pandai dan berpengaruh. Kalau aku
bersekongkel denganmu, beliau pasti akan merintangi mati-matian. Coba, kau pikir
bagaimana baiknya?"
Pertanyaan itu sukar untuk Keh Lok menjawabnya. "Baginda lebih tahu, hamba tak
dapat memberi pertimbangan."
"Antara rumah tangga dan negara, harus dipisahkan. Pada akhir 2 ini, aku tenggelam
dalam kebingungan. Dan lagi aku masih mempunyai satu soal besar, sayang tiada orang
yang dapat kubagikan derita bathinku itu," kata baginda.
"Apa yang baginda titahkan, hamba tentu tak akan menolak."
"Ah, sebenarnya seorang laki 2 sejati tidak nanti merampas kesayangan orang lain,"
Kian Liong mengelah napas. "Tapi bagaimana akan menghindarinya, ah, Cinta punya
bisa. Bagaimana kuharus berbuat" Coba tengoklah kesana!"
Kian Liong menunjuk kesebuah ruangan disebelah barat, kemudian beliau berbangkit
Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terus naik keloteng atas, meninggalkan Keh Lok seorang diri tanpa mengerti apa yang
dimaksud dengan uCapan baginda itu.
Setelah menenangkan diri, anak muda itu lalu menyingkap sekosel pintu untuk masuk
kedalam. Sebuah kamar tidur yang luar biasa mewahnya dengan diterangi oleh lilin.
Seorang gadis duduk termenung disitu. Tan Keh Lok seperti terpaku. Mulutnya bungkam
dalam seribu bahasa. Hiang Hiang bermula enggan menengok kebelakang. Tangannya
erat 2 memegang batang pedang, siap menghadapi. Tapi ketika dilihatnya orang yang
siang malam dirindui berdiri dibelakangnya, ia menjerit kegirangan terus lari menubruk kedalam rangkulan sianak muda.
"Kutahu kau pasti akan datang menolongku, karenanya kutetap bersabar
menunggumu".
"Asri, apakah kita ini sedang bermimpi?" tanya Keh Lok sambil memeluknya.
Hiang Hiang menggelengkan kepala, air matanya berketes turun.
Bukan main rasa Syukur Tan Keh Lok atas budi kebaikan baginda, yang telah begitu
baik untuk mengambil nona yang dikasihinya itu dari tempat yang begitu jauh. Luapan
hati yang mencinta, telah mendorong Keh Lok untuk memberi Ciuman pada nona itu.
Begitulah ke 2 orang muda itu, seketika tenggelam dalam alam ke bahagiaan.
Lewat beberapa saat kemudian, Hiang Hiang menunjuk pada kaCa Cermin yang pecah
seraya mengeluarkan batu mustikanya: "Dia rampas mainanku ini untuk menghantam
kaCa itu hingga pecah."
"Siapa?" tanya Keh Lok terkejut.
"Raja busuk itu".
Keheranan Keh Lok makin menjadi, tanyanya: "Mengapa?"
"Kukatakan padanya, kutetap tak jeri menghadapi paksaannya, karena kau pasti datang
menolong. Dia marah-marah dan Coba menarikku, tapi kumembawa pedang ini".
Kepala Keh Lok seakan-akan pecah seperti disambar petir, katanya tanpa sadar:
"Pedang?"
"Hm, ketika ayah menutup mata, akulah yang mendampingi. Ayah memberiku pedang
ini dengan memesan lebih baik kubunuh diri daripada diCemarkan musuh. Bunuh diri
karena membela kesuCian wanita Islam, Al ah takkan mengutuknya."
Tampak pula oleh Keh Lok bagaimana pakaian Hiang Hiang itu dnyahit rapat-rapat.
Diam-diam dia memuji akan kekerasan hati dara yang bertubuh lemah itu. Teringat juga dia entah beberapa kali sudah dia bersama nona itu menghadapi bahaya. Seketika
hatinya penuh dengan bermacam perasaan. Tanpa merasa dipeluknya gadis itu kembali.
"Kiranya baginda mengambil Asri kemari itu, untuk kepentingannya sendiri. Beliau
membangun taman bergurun, mendirikan kemah 2 dan mesjid itu, untuk mengambil
hatinya. Tapi Asri tak mau. Mungkiri sudah beberapa kali baginda hendak melakukan
paksaan, tapi senantiasa gagal. Ah, mengapa tadi baginda mengatakan kalau ia kalah
beruntung dengan aku itu, kiranya soal inilah yang dimaksudkan", pikir Keh Lok.
Didalam pelukan sianak muda, Hiang Hiang merasa aman sekali. Dan karena sudah berhari 2 ia tak dapat tidur pulas, tanpa merasa kini ia tertidur.
"Beliau mengidinkan kubertemu dengan Asri, apakah maksudnya" Beliau
mengemukakan hubungannya dengan Honghouw. Untuk melaksanakan gerakan besar
itu, hubungan tersebut. harus dikesampingkan. Antara rumah tangga dan negara, salah
satu harus dikorbankan. Ja, apakah maksudnya........."
Berpikir sampai disini, Keh Lok menguCurkan keringat dingin, tubuhnya gemetar. Tapi
Hiang Hiang tetap pulas dengan bibir menyungging senyuman.
"Berdampingan dengan Asri dan bentrok dengan baginda, atau, menasehati Asri supaya
menurut pada baginda demi untuk kepentingan gerakan mulia itu?" demikian akhirnya
Keh Lok mendapat kesimpulan. Berat nian rasanya untuk menjatuhkan pilihan diantara
ke 2 soal itu, Pikirnya pula: "Begitu besar Cinta Asri padaku. Ia mati-matian
mempertahankan kesuCiannya, karena ia menaruh keyakinan penuh bahwa aku pasti
dapat menolongnya. Apakah aku tak punya perasaan, tega untuk membelakanginya"
Namun kalau kupilih Asri, tentu akan bentrok dengan baginda. Dan kesempatan untuk
membebaskan penderitaan rakyat pasti hilang. Bukankah berarti kami ber 2
menghianati saudara-saudara diseluruh tanah air?"
Selagi Keh Lok tak berdaya mengambil putusan. Tiba-tiba Hiang Hiang membuka mata,
katanya: "Mari kita tinggalkan tempat ini. Kusebal menemui raja busuk itu."
"Baik, kita pergi," kata Keh Lok. Disambutinya pedang Asri, lalu mengretek gigi,
pikirnya: "Persetan, menjadi penghianat bangsa, biarlah. Kalau kami gagal menobros
keluar, kami akan mati bersama ditempat ini. Kalau berhasil, akan kuajak ia, hidup
mengasingkan diri digunung. Ini jauh lebih baik dari pada membiarkan dirinya
diCemarkan orang."
Dia menghampiri jendela dan melongok keluar. Tak seorang Si-wipun kelihatan.
Suasana didekat situ sunyi 2 saja. Sedang dikejauhan hanya kelihatan sinar lampu.
Ketika diawasi, ternyata lampu-' itu, memang dipasang oleh tukang 2 yang tengah
menyelesaikan taman bergurun itu. Mungkin karena takut mendapat hukuman, maka
ratusan tukang 2 itu harus bekerja siang dan malam untuk mengejar waktu.
Seketika panaslah hati Tan Keh Lok.
"Hm, kalau begitu, entah sudah berapa banyak sekali rahajat yang kehilangan
rumahnya! Baginda itu seorang raja yang mengutamakan kesenangannya sendiri, tak
menghiraukan penderitaan rahajat. Dibawah pemerintahannya, Kawan-kawan kita
seluruh tanah air mengalami penderitaan. Kalau mungkin, biarlah kesengsaraan bangsa
kita ditimpahkan padaku dan Asri saja."
SeCepat kilat, terjadilah perubahan besar dalam bathin Tan Keh Lok.
"Kau tunggu disini, biar kupergi sebentar", katanya.
Hiang Hiang memanggut dan menerima pula pedangnya tadi.
Keh Lok menuju ketingkat 5, dimana baginda sedang duduk bermuram durja,
"Kepentingan negara diatas kepentingan peribadi. Biar kunasehatinya supaya menurut
kehendakmu", kata Keh Lok segera.
Kian Liong ionCat kegirangan, serunya: "Benar?" "Hm, tapi kuminta janjimu" kata Keh
Lok seraya menatap wajah baginda dengan tajam. "Janji bagaimana?"
"Kalau tidak bersungguh hati untuk mengusir bangsa Boan apa katamu?"
Kian Liong merenung sejenak. "Kalau sampai aku ingkar, walaupun semasa hidup
kumenikmati kesenangan yang tiada Laranya, nanti kalau sudah meninggal, biar
kuburanku dibongkar orang, agar matipun aku tak dapat tenang, turun temurun
diperhina orang", ia bersumpah.
Makam raja 2 itu dipandang keramat dan suCi. Kalau sampai dibongkar, terang suatu
uCapan sumpah yang berat.
"Baik, segera kunasehatinya. Tapi kuminta agar diperkenankan untuk keluar
bersamanya dari istana ini".
"Keluar dari sini?" menegas Kian Liong dengan kaget.
"Ya, kini ia masih sangat membenci kau. Disini ia tak nanti mau dengar nasehatku. Akan kubawanya pesiar melihat Tembok Panyang untuk menCari kesempatan memberi
nasehat". "Mengapa harus pergi ketempat yang begitu jauh?"
"Aku pernah menjanjikan untuk mengajaknya kesana. Setelah itu, aku berjanji takkan
menemuinya lagi untuk se-lama-lamanya".
"Kau pasti membawanya kembali?" tanya Kian Liong sangsi.
"Kita orang kangouw, lebih menghargai janji daripada d jiwa sendiri."
"Dia menaruh kepentingan usahanya itu diatas segala, tak nanti karena seorang wanita, dia akan menipu aku," pikir Kian Liong. "Baik, kamu boleh pergi!" serunya sebaja
menepuk meja. Setelah Keh Lok berlalu, Kian Liong segera titahkan 40 orang Si-wi untuk mengikuti ke 2
orang itu dengan diam-diam.
Demikianlah setelah kembali, Keh Lok segera ajak Hiang Hiang berlalu. Karena sudah
menerima firman, tak ada seorang si-wi dalam istana itu yang menghalangi perjalanan
ke 2 orang tersebut. Selama itu tak sedikitpun Hiang Hiang menaruh keCurigaan apaapa. Apa yang terjadi itu, ia perCaja, berkat kelihaiaan kekasihnya.
Setibanya diluar istana, hari sudah terang tanah. Menampak sang KongCu keluar, Sim
Hi yang sudah sedari tadi menunggu dengan kuda putihnya, segera menghampiri. Demi
nampak Hiang Hiang ikut serta, dia menjadi heran.
"Aku akan keluar kota, mungkin malam nanti baru balik. Sampaikan pada sekalian
saudara-saudara, tak usah kuatir," kata Keh Lok sambil menyambuti kuda putih.
Sim Hi melihat sang KongCu (lengan puteri Ui itu naik kuda menuju keutara. Ketika dia hendak pulang, tiba-tiba dari arah belakang terdengar derap kuda mematangi. Berpuluh Si-wi dengan berpakaian warna kuning sama naik kuda memburu kearah KongCunya.
Yang dimuka sendiri, bertubuh kurus kering, dikenalnya sebagai Kim-kao-thiat-jiao Pek Cin yang pernah dijumpainya di HangCiu tempo hari. Sim Hi kuatir bukan kepalang,
Cepat ia pulang melapor.
Dengan sandarkan kepalanya didada orang yang dikasihi, serasa hilanglah segala
kesedihan Hiang Hiang selama itu. Dalam beberapa waktu saja, kuda putih itu sudah
melintasi sungai Ching-ho Sat-ho, kota Ching Ping dan Lam Go.
Begitulah akhirnya mereka sampai dikota Ki Yong Kwan. Disitulah Tembok Besar tampak
me-lingkar 2 dengan megahnya, bagaikan seekor ular raksasa.
"Untuk apa mendirikan bang'unan raksasa ini?" tanya Hiang Hiang.
"Itu waktu untuk menjaga serbuan musuh dari daerah utara. Untuk membangun
tembok ini, entah sudah berapa banyak sekali jiwa dan darah rakyat yang berkorban."
"Huh, kaum lelaki itu memang aneh. Mengapa mereka tak suka hidup rukun dengan
menari dan menyanyi" Mereka senantiasa berperang, sehingga ribuan jiwa melayang."
"Benar, maka andaikata baginda nanti mendengar perintahmu, Cegahlah dia supaya
yangan memerangi rahajat diperbatasan yang kasihan nasibnya itu."
"Huh, siapa sudi bertemu muka dengan raja busuk itu lagi," Hiang Hiang tertawa.
"Kalau kau dapat mempengaruhinya, tentu kau dapat menCegah perbuatannya yang
buruk itu, agar dapat meringankan penderitaan rakyat. Sudikah kau meluluskan
permintaanku ini?"
"Aneh, kapan aku tak menurut kata-katamu?" balas bertanya Hiang Hiang.
Keh Lok menyatakan terima kasihnya, kemudian dengan bergandengan tangan ke 2nya
ber-jalan 2 diluar Tembok Besar.
"Toako, aku teringat, sesuatu," tiba-tiba Hiang Hiang berkata. "Apakah itu?"
"Hari ini aku merasa bergembira sekali bukan karena keindahan pemandangan tempat
ini, tapi karena kau berada didampingku."
Mendengar uCapan itu, hati Keh Lok makin tak tega mengutarakan maksudnya.
"Kau punya permintaan apa padaku?" katanya kemudian.
"Toako, kau sangat baik kepadaku. Segala apa, tanpa kuminta, kau tentu mengerjakan
permintaanku," kata Hiang Hiang seraya mengeluarkan bunga swat-tiong-lian (terata
salju) dahulu itu. Walaupun sudah laju, bunga itu masih putih meletak dan harum
baunya. "Hanya suatu hal yang kau tak mau melakukan, kuminta kau menyanyi, tapi
kau menolak."
"Ha, sungguh mati, aku selamanya tak pernah menyanyi," Keh Lok terta,wa geli.
"Sudahlah, akupun tak sudi menyanyi untukmu lagi," Hiang Hiang pura-pura
meng'ambek. Mengingat hanya sehari itu mereka dapat berkumpul, terpaksa Keh Lok mengalah,
katanya: "Ya, baiklah, kuingat sewaktu masih kecil ibu sering menyanyikan beberapa
lagu untukku. Biar kunyanyikan, tapi awas, yangan kau menertawakan ja"!"
"Bagus, bagus, Ayo mulailah!" seru Hiang Hiang bertepuk tangan.
Setelah mengingat sebentar, mulailah Tan Keh Lok menyanyi:
"Hujan rintik'~ ditiup angin sepoi 2. Dibawah loteng terdengar bisik orang me-raju 2.
Kukira dia kekasihku. Tanpa terasa, mulutku samar? mengoCeh. Tapi ketika
kuperhatikan, ternyata bukan si dia. Bukan main terkejutku, sehingga jantungku
berdebar keras saking takut."
Tan Keh Lok menjelaskan nyanyian itu dalam basa Ui, Hiang Hiang tertawa dan berkata:
"Oh, kiranya nona itu matanya kurang awas."
Tanpa terasa, sepasang mata Keh Lok mengembeng air mata. Hiang Hiang terkejut.
"He, mengapa" Kau tentu terkenang pada ibumu. Sudahlah, baik kau berhenti
menyanyi."
Ke 2nya bermain-main pula diluar dan didalam tembok. Bangunan tembok raksasa itu
memang luar biasa kokohnya. Ditengahnya terdapat lorong. Setiap jarak tiga puluhan
tumbak terdapat sebuah menara. Menara itu untuk melepas api pertandaan. Tan Keh
Lok teringat bagaimana didaerah Hwe dahulu, Hwe Ceng Tong membuat asap long-yan
dan memukul pecah pasukan Ceng. Terkenang akan nasib yang belum ketahuan dari
nona itu, hati Tan Keh Lok menjadi tawar. Sekalipun hendak ditutupnya, tak urung
wajahnya nampak tanda-tanda kemasgulan itu.
"Kutahu apa yang kaupikirkan saat ini," kata Hiang Hiang.
"Apa?"
"Ketika kita bertiga terkurung di Kota Sesat, meski dalam bahaya, tapi kau tetap
bergembira. Ah, yangan kuatirlah!"
"Asri, apa maksudmu?" tanya Tan Keh Lok seraya memegang tangan sinona.
Hiang Hiang mengelah napas, sahutnya: "Dulu aku masih seorang anak, apapun tak
mengerti. Tapi setelah agak lama tinggal di stana raja, kini baru aku jelas kesemuanya itu. Cici-ku suka padamu, dan kaupun membalas suka padanya, bukan?"
"Benar, sebenarnya tak harus aku mengelabui kau," sahut Keh Lok.
"Tapi akupun tahu, kau juga suka padaku. Tanpa kau,
aku segan hidup. Mari kita Cari Cici, sampai dapat. Kita bertiga hidup dengan bahagia se-lama-lamanya."
Sewaktu menguCap kata-kata itu, mata Hiang Hiang yang bening itu memanCarkan
Cahaja gilang gemilang, pertanda luapan hatinya yang bahagia.
Keh Lok kepal tangan Hiang Hiang erat 2, bisiknya: "Asri, hatimu murni sekali. Kau dan Cicimu adalah insan yang terbaik didunia."
Hiang Hiang tak menyahut, hanya memandang jauh kemuka. Tiba-tiba diantara sorot
matahari itu seperti mengandung Cahaja air. Ia memasang telinga betul-betul dan sajup 2 terdengar suara khim berbunyi.
"Dengarlah, betapa merdu nyanyian itu."
"Itu selat Than-Khim-kiap (selat menabuh harpa)!" kata Keh Lok.
Hiang Hiang minta dibawa kesana. Melalui beberapa semak pegunungan itu, mereka
tiba disebuah umbul (air sumber) yang memanCur dari sela 2 batu gunung. Karena
tinggi rendahnya air yang jatuh, maka timbul ah semacam bunyi yang seolah-olah
merupakan bunyi khim.
Air sumber itu jernih dan sejuk sekali. Hiang Hiang membasuh kakinya. Ke 2nya duduk
ditepi aliran. Keh Lok mengeluarkan ransum kering. Begitulah Hiang Hiang senderkan
kepalanya dipunggung kekasihnya, sembari memakan, ia mengulap 2 kakinya dengan
saputangan. "Asri, hendak kubiCarakan suatu hal padamu," kata Keh Lok kuatkan hatinya.
Hiang Hiang balikkan tubuhnya, terus memeluk dan sesapkan kepalanya kedada sianak
muda. "Kutahu kau Cinta padaku. Kau tak menyatakan, akupun sudah mengerti. Sudahlah, tak
usah kau mengatakannya."
Hati Keh Lok terCekat. Kata-kata yang sudah siap diujung lidah, ditelannya kembali.
Beberapa saat kemudian, dia berkata pula: "Asri, kau tentu masih ingat akan riwajat
puteri Mamir digunung
Giok-nia itu?"
"Ya, kini ia bersama Ali-nya berada disorga".
"Apakah kamu umat Islam perCaja bahwa setelah meninggal, arwah kita akan berada
ditaman Gembira Loka yang abadi?"
"Sudah tentu," sahut sigadis tanpa ragu-ragu.
"Nanti sekembalinya ke Pak-khia akan kudapatkan Haji dari bangsamu. Akan kuminta
dia mengajar supaya aku menjadi seorang penganut Islam yang saleh".
Hiang Hiang girang sekali mendengarnya, serunya: "Toako, apakah kau ber-sungguhsungguh?" "Tentu!"
"Karena mencintai aku, kau sampai berlaku begitu. Benar-benar tak kusangka".
"Ya, sebab dalam penghidupan didunia fana ini kita tak dapat bersama, biarlah nanti
dialam baka kuselalu berdampingan dengan dikau."
Mendengar itu, tergetarlah tubuh Hiang Hiang hingga beberapa saat ia termangumangu. "Apa katamu" Dalam penghidupan sekarang kita tak dapat berkumpul
bersama?" katanya.
"Ya, selewatnya hari ini, kita bakal berpisah se-lama-lamanya".
"Kenapa"!" menegas Hiang Hiang dengan berdebar. Air matanya berCucuran menetes
kepakaian Keh Lok.
"Asri, kalau dapat kumendampingimu, sekalipun tak makan, berpakaian Compang
Camping, dihina orang, relalah aku. Tapi ingatlah kau akan sejarah Mamir" Ja, Mamir
yang bnyaksana itu" Demi kepentingan rakyatnya, ia rela berpisah dengan Ali yang
diCintainya itu, rela mengorbankan diri pada raja lalim itu..............."
Hiang Hiang menelungkup dikaki Keh Lok, katanya dengan lemah: "Jadi kau maukan
aku menyerahkan diri pada raja busuk itu" Supaya aku dapat kesempatan untuk
membunuhnya?"
"Bukan, dia adalah kakakku sendiri," lalu panyang lebar Tan Keh Lok tuturkan riwajat hubungannya darah dengan kaisar Kian Liong.
Selesai mendengar, pingsanlah Hiang Hiang. Kebahagiaan yang selama itu diCita 2kan,
baru saja dikiranya terlaksana, ternyata dibanting hanCur lagi. Ja, siapakah orangnya yang kuat menghadapi derita yang sedemikian beratnya itu"
Ketika, sadar, didapatnya Tan Keh Lok masih memeluk dirinya. Tapi sementara itu, ia
rasakan badannya basah semua. Itu tentulah air mata Tan Keh Lok yang
membanjirimja. "Tunggulah sebentar disini," kata Hiang Hiang seraya berbangkit. Ia menuju kesebuah
batu besar disebelah sana, lalu berlutut menghadap kebarat. Kiranya ia sedang
bersembahyang meminta kekuatan pada Al ah.
Selang tak berapa lama kemudian, kelihatan ia berbangkit. "Kau menghendaki
bagaimana, biar aku menurut, saja," katanya.
Keh Lok memburu untuk memeluknya dengan perasaan hanCur.
"Kalau kuketahui akan terjadi peristiwa sekarang ini, aku tak mau pesiar kemari. Akan kuminta agar kau sehari penuh memeluk aku saja," kata Hiang Hiang.
Keh Lok kembali menciumnya.
"Nanti kalau aku berada di stana, aku tak mau mandi. Sekarang aku akan mandi untuk
yang penghabisan kali," kata Hiang Hiang pula.
"Baiklah, biar kutunggu disebelah sana."
"Tidak, kau harus berada disini. Pertama kali kau berjumpa dengan aku, sewaktu aku
sedang mandi. Maka untuk penghabisan kali, akupun minta kau menunggui aku mandi.
Untuk kenang 2an agar selamanya kau tak melupakan diriku."
"Asri, apakah kau kira aku dapat melupakan kau?"
"Ya, aku kesalahan omong, yangan marah, Toako, kau tunggui disini."
Keh Lok terpaksa duduk kembali menyaksikan puteri harum itu menanggal pakaian dan
mandi dengan riangnya......
Sehabis mandi, kembali Hiang Hiang dekapkan tubuhnya kepada ?ianak muda.
Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Asri, sekalipun kita bakal berpisah, namun hati kita tetap bersatu. Dipadang pasir, disini, sekalipun kebahagiaan itu hanya singkat sekali, namun melebihi kebahagiaan
suami isteri yang berkumpul beberapa puluh tahun."
"Toako, Toako, matahari sudah mulai silam!" tiba-tiba Hiang Hiang menjerit dengan
ratap tangisnya sambil memandang kearah barat.
Hati Keh Lok seperti diremas. "Asri, maafkanlah, kait sampai menderita begini!"
katanya. "Betapa baiknya bila matahari bisa terbit lagi, sekalipun hanya untuk sebentar
"Demi untuk kepentingan bangsaku, sudah selajaknya kumenderita," kata Keh Lok.
"Tapi kau belum pernah melihat mereka, belum pernah mengenalnya............"
"KuCinta padamu, seharusnya pun terhadap bangsamu. Bukankah kau d juga
menyayang saudara-saudara bangsa Ui kami?"'
Tapi ternyata matahari terus tenggelam, hal ini membuat hati Hiang Hiang makin
menCelus, katanya: "Mari pulang, aku merasa berbahagia sekali!"
Begitulah dengari hati yang kosong, ke 2nya naik kuda kembali. Sepanyang jalan, mulut mereka serasa terkanCing-. Tak berapa lama kemudian, beberapa ..puluh Si-wi dibawah
pimpinan Pek Cin datang menyambutnya. Ternyata kawanan Si-wi ,yang menerima titah
baginda untuk membuntuti ke 2 anak muda itu, jauh. ketinggalan dibelakang. Beberapa
kali mereka mesti tukar kuda baru, sampai beristirahat makanpun mereka tak berani,
supaya yangan sampai ketinggalan. Tapi ternyata tetap kehilangan jejak ke 2 anak
muda. itu. Maka ketika berpapasan dengan 2 orang muda itu, girang mereka tak
terkatakan lagi.
Tan Keh Lok tak menghiraukan kawanan Siwi itu dan terus menCongklangkan kudanya.
Tiba-tiba dari arah depan tampak serombongan penunggang kuda. Pek Cin Cepat-cepat
memberi perintah agar Kawan-kawan nya mempersiapkan senjatanya masing-.
"CongthoCu, kita sekalian sama datang," seru seorang' yang ternyata adalah Jun Hwa.
Dibelakangnya tampak Liok Hwi Ching, Bu Tim, Tio Pan San, Bun Thay Lay, ke 2
saudara Siang dan lain-lain pemimpin HONG HWA HWE
Melihat itu, terkejutlah Pek Cin............................
Kini kita tengok akan keadaan baginda Kian Liong. Sepeninggal Tan Keh Lok membawa
Hiang Hiang, hati kaisar itu gelisah sekali. Hidangan yang bagaimana lezatpun, sedikit tak dnyamahnya. Hari itu dia tak adakan sidang menteri. Seharian dia tidur-bangun tak keruan. Beberapa rombongan Siwi dititahkan untuk menCari kabar. Tapi sampai petang
hari, belum seorang siwipun yang pulang melapor.
Demikianlah baginda berada dipagoda Po Gwat Lauw, duduk salah berdiri pun salah.
Ketika mengawasi lukisan ko-leksinya dari ahala Han, tiba-tiba terbitlah suatu pikiran:
"Anak perempuan itu sayang pada Keh Lok, tentunya iapun menyukai akan pakaian
orang Han. Kalau nanti ke 2nya sudah balik, tentulah Keh Lok sudah dapat
menundukkan hatinya. Kalau kumengenakan pakaian orang Han, tentunya ia akan
menyukainya."
Thaikam diperintahkan untuk menyediakan seprangkat pakaian orang Han. Tapi
ternyata hal itu tak terdapat didalam istana. Seorang thaikam kecil mendapat akal, dia menCarinya ketempat sandiwara wayang. Baginda girang sekali dan berkenan terus
memakainya. BerkaCa diCermin, beliau dapatkan dirinya lebih tampan.
Tiba-tiba terdengar derap kaki orang mendatangi dengan pelan-pelan .
"Hongthayhouw (ibusuri) berkunjung kemari!" bisik sithaikam kecil.
Kian Liong melengak, ketika mengawasi kearah Cermin. Benar, disitu tampak thayhouw
berdiri dengan wajah bengis, mengunjuk kemarahan. Buru-buru Kian Liong membalik
diri untuk menyambutnya: "Apakah thayhouw belum beristirahat?"
Thayhouw mengisyaratkan supaya sekalian thaikam meninggalkan tempat itu. Beberapa
saat kemudian, kedengaran Thayhouw berkata dengan suara parau: "Hamba istana
sama melapor hari ini bahwa kau tak enak badan, tidak mengadakan rapat dan
persidangan, tak suka dahar. Karena itu, kudatang menjengukmu!"
"Anakda kini sudah enakan. Hanya sedikit tak bernapsu makan, tapi tak apa-apa, jadi
tak berani membikin kaget thayhouw."
Thayhouw tak menyahut untuk beberapa saat. Lalu katanya: "Apakah karena terlalu
kenyang makan hidangan Hwe atau hidangan Han?"
Kian Liong terkesiap, sahutnya: "Kemaren mendapat hidangan sate kambing."
"Itu kan masakan orang Boan-Ciu, hm, rupanya kau sudah bosan menjadi orang Boan".
Alas uCapan thayhouw yang sekeras baja itu, Kian Liong tak berani segera menyahut.
"Budak perempuan Hwe itu sekarang kemana?" tanya thayhouw pula.
"Ia kurang baik perangainya, anakda titahkan orang membawanya keluar supaya diajar
adat". "Ia selalu membawa pedang, berkeras tak mau menuruti kau, apa gunanya kau suruh
orang menundukkan hatinya" Dan siapa yang kau suruh ittu?"
Didesak begitu, terpaksa Kian Liong menjawab: "Seorang kepala Siwi yang sudah tua,
orang, she Pek".
Thayhouw memandang kemuka, katanya dengan mendalam: "Kini kau sudah berusia 40
th. lebih, tentu tak perlu akan ibu lagi?"
Kian Liong terkejut bukan main, buru-buru menyanggapinya: "Mengapa thayhouw
menguCap begitu, kalau anakda tidak berbakti, mohon thayhouw memberi hukuman".
"Kau adalah kaisar, orang yang dipertuan diseluruh negeri, mau berbuat apa tentu bisa, mau membohong pun lebih dari bisa."
Tahu Kian Liong' bahwa thayhouw mempunyai banyak sekali kaki-tangan, jadi tak
dapatlah dia untuk mengelabuinya. Maka katanya dengan pelan: "Yang- mengajar
perempuan itu, ada lagi yang anakda titahkan, yaitu seorang terpelajar yang anakda
jumpakan di Kangiam. Dia berpengetahuan luas..........................."
"Bukankah orang she Tan dari Hayleng?" tanya thayhouw dengan keren.
Kini Kian Liong tak berani berkutik lagi.
"Ah, makanya kau kini mengenakan pakaian orang Han!' Mengapa kau tak bunuh aku
sekali?" desak thayhouw.
Kian Liong mengelah napas, terus mendumprah dan berlutut, katanya: "Kalau anakda
mempunyai hati yang tak berbakti, biarlah langit dan bumi menumpasnya!"
Thayhouw kibaskan lengan bayunya, lalu turun keloteng bawah. Kian Liong serta merta
mengikutinya. Meskipun ibu suri itu sudah berusia lanjut, tapi gerakannya masih gesit.
Ia menuju ke paseban Bu Ing Tian.
Selagi Kian Liong mengikuti, dilihatnya ditepi lorong itu berdiri 2 orang Siwi yang diutusnya untuk menCari kabar perihal Hiang Hiang. Mereka akan melapor. Betapa
inginnya Kian Liong untuk mendengar laporannya, tapi dalam keadaan seperti waktu itu, dia tak berani dan terus mengikuti thayhouw.
"Harap thayhouw yangan marah, bilamana anakda bersalah mohon diberi
pengampunan," kata Kian Liong.
Thayhouw duduk disebelah kursi. Setelah napasnya kembali tenang, berkatalah beliau:
"Untuk apa kau undang orang she Tan itu kemari" Dan kau berbuat apa saja di
Hayleng?" Kian Liong tundukkan kepala tak menyaut.
"Kau memperingati jasa menteri besar dari marhum ayahandamu, aku tak
menjalankan," kata thayhouw. Tiba-tiba suaranya berobah keren ber-sungguh-sungguh,
lalu berseru: "Apakah betul-betul kau bermaksud membangun kerajaan Han lagi?" Kau
akan membasmi kita bangsa Boan bukan?"
"Harap thayhouw yangan memperCajai kabar 2 yang tidak 2. Sekali-kali anakda tak ada
hati demikian."
"Orang she Tan itu dari gereja Siao Lim Si di Hokkian, membawa apa saja untukmu?"
Kembali Kian Liong melengak. Diam-diam dia heran, mengapa thayhouw yang hanya
dikelilingi oleh para kiong-li (dayang istana), bisa mendapat laporan yang sedemikian Cepatnya.
"Orang she Tan itu hendak menghaturkan renCana berontak, anakda telah
memusnakan kesemua renCana itu," Kian Liong terpaksa menerangkan.
"Kalau begitu, hukuman apa yang hendak kau berikan padanya?"
"Dia mempunyai komplotan yang Anggota 2nya terdiri dari orang-orang berkepandaian
tinggi yang berani mati. Mengapa anakda masih belum bertindak, itulah karena akan
menunggu kesempatan baik akan membasmi mereka semua, untuk menjaga yangan
sampai ada yang lolos hingga menimbulkan bahaya dikemudian hari."
Mendengar itu wajah thayhouw agak berobah tenang. "Apakah uCapanmu itu dapat
diperCaja?" desaknya pula.
Bermula sejak pertemuannya dengan Tan Keh Lok dipagoda Liok Hap Ta, hati Kian
Liong memang agak terpengaruh. Tapi ketika kini diketahuinya rahasia renCana itu
sudah terbongkar', dia anggap hal itu besar sekali resikonya. Yangan-yangan
"bermaksud menggambar harimau, tapi berbalik merupakan gambar anjing" atau
karena mendongak keatas hendak menCapai rembulan, tak tahu kaki terperosok
kedalam lubang.
SeCepat itu tergoreslah suatu keputusan dalam hati Kian Liong: HONG HWA HWE harus
dibasmi! "Dalam tiga hari, anakda pasti akan titahkan tabas kepala orang she Tan itu!" katanya kemudian.
Roman yang bengis dari thayhouw, segera mengunjuk kegembiraan, serunya: "Bagus,
itu baru dinamakan berbakti pada leluhur!"
Memang Thayhouw itu sangat prihatin bahwa baginda bukan anak' kandungnya sendiri.
Asal rahasia itu bocor, kerajaan tentu gonCang. Syukurlah, berpuluh tahun, hal itu tetap tersimpan rapat-rapat. Kematian yang mendadak dari mak inang Liauw-si yang memberi
air susu pada baginda, menimbulkan keCurigaan thayhouw. Ia Coba menyelidiki, namun
tak mendapat keterangan apa-apa. Dipanggilnya rombongan hiat-thi-Cu, untuk
melakukan penyelidikan kerumah keluarg Tan di Hayleng.
Soal lenyapnya baginda di HangCiu (ditawan dipagoda Liok Hap Ta), pertemuan dengan
Tan Keh Lok, kunjungan kemakam keluarga Tan, kesemuanya dilaporkan kepada
thayhouw oleh kawanan hiat-thi-Cu itu. Thayhouw menjadi gelisah, karena dianggapnya
baginda kini sudah mengetahui asal usul dirinya. Jalan satu 2nya, ialah mengadakan
pen-jagaan seCara diam-diam. Pikirnya: "Dia bersembahyang kemakam orang tuanya,
pun hanya suatu kebaktian, asal dia tak berbuat apa-apa, akupun takkan mau
bertindak."
Maka pada hari itu sewaktu baginda menerima kunjungan Tan Keh Lok, dan kemudian
menitahkannya membawa gadis Ui itu keluar istana, tahulah Thayhouw bahwa baginda
tentu akan membuat renCana gelap. Begitulah malam itu lebih dulu ia mengatur
penjagaan kuat, baru mengunjunginya sendiri. Ketika didapati baginda tengah
mengenakan pakaian orang Han, bukan main gusarnya Thayhouw. Ia telah mengambil
keputusan penting yang "drastis" dan maha dahsyat: turun tangan lebih dulu untuk
melenyapkan baginda!
"Dari beberapa tempat anakda telah mendapat banyak sekali orang berilmu, kiranya
Cukup kuatlah untuk menghadapi kawanan pemberontak itu. Juga anakda bermaksud
untuk pinjam beberapa tenaga Si-wi dari Thayhouw," demikian kata Kian Liong lebih
lanjut. "Hm, terhadap orang-orangku, biasanya kau tak menyukai. Kini hendak kau adu dengan
orang-orang HONG HWA HWE supaya Dua- 2nya musna. Siasat 'pinjam pisau
membunuh orang' itu, masa aku tidak tahu?" pikir Thayhouw. Lalu jawabnya: "Baik,
nanti kalau sudah sampai saatnya, kau boleh menggunakannya."
Oleh karena baginda kepingin mendengar laporan tentang keadaan Hiang Hiang, beliau
lalu menyilahkan agar Thayhouw beristirahat.
"Hm, baik, kau ikutlah kemari," sahut Thayhouw, lalu menuju keruangan tengah dari
paseban Bu Ing Tian.
Thayhouw lantas mengetok pintunya 2 kali. Pintu pa-;ban itu segera terbuka. Kian
Liong terkejut demi nampak didalam ruangan itu terang benderang dengan penerangan
lilin. Para thaikam berjajar 2 dalam 2 barisan, sedang delapan orang menteri-besar
tengah berlutut menyambutnya. Thayhouw dan Kian Liong segera mengambil tempat
duduk pada kursi ditengah 2 ruangan.
Demi mengawasi keadaan disitu, hati Kian Liong berCekat. Ke-delapan menteri-besar
itu, kesemuanya adalah pangeran 2 keluarga kerajaan. Yang berada dimuka sendiri
adalah saudara baginda, pangeran Hong Ciu, putera kelima dari Yong Ceng. Kemudian
The-jinong, Kiong-jinong, Lu-jinong, Ju-jinong, serta Pak Ung pweklek dan Tiau Hwi
Tay-Ciangkun. Kian Liong gelisah, hatinya menebak 2 apakah gerangan maksud Thayhouw itu.
Thayhouw berdehem satu kali, lalu berkata: "Sewaktu Sian-te (kaisar almarhum)
mangkat, beliau pesan agar pasukan Pat-ki-ping dipecah jadi delapan dan dipimpin oleh kedelapan puteranya. Tapi karena beberapa tahun ini tentara itu diperlukan untuk
mengamankan daerah perbatasan, maka pesan Sian-te tersebut belum terlaksana. Kini
berkat rejeki dari para leluhur dan berkat kebnyaksanaan dari baginda yang sekarang, daerah perbatasan (Hwe) sudah dapat diamankan. Maka mulai saat ini, Pat-ki-ping
tersebut kuserahkan padamu berdelapan. Harap kalian pergunakan sebagaimana
mestinya untuk membalas budi baginda."
"Hm, kiranya ia masih tak memperCajaiku, kekuasaanku atas ketentaraan di-pecah 2,"
pikir Kian Liong.
"Nah, kini silakan baginda yang membagikannya," seru Thayhouw.
"Ah, kini aku betul-betul kalah angin. Tapi karena akupun sudah tak berniat untuk
melaksanakan gerakan itu, kiranya pemeCahan kekuasaan militer inipun tak menjadi
soal," kembali Kian Liong menimbang 2.
Maka segera induk pasukan Pat-ki-ping dipecah dan ditimbang terimakan kepada
kedelapan saudaranya itu.
Thayhouw minta supaya penyerahan itu diberikutkan juga dengan surat penyerahan
yang resmi. Atas isyaratnya, Ti Hian thaikam lalu maju berlutut dengan membawa
sebuah nenampan emas. Diatasi nenampan itu terdapat sebuah kotak besi. Thayhouw
membuka kotak tersebut, mengambil segulung kertas yang diberikan kepada baginda.
Tampak oleh baginda pada bagian luar dari gulungan kertas itu terdapat 2 huruf Boan dan 2 huruf Han yang berbunyi "testamen."
Disebelah huruf-huruf itu, terdapat pula selarik tulisan berbunyi: "Bila negara ada
perubahan besar, kedelapan pangeran Pat-ki-jin-ong supaya bersama-sama
membukanya." Tanpa terasa tangan Kian Liong gemetar. Insyaplah beliau, bahwa
mendiang baginda Yong Ceng jauh-jauh hari telah membuat persiapan rapi: Apabila
rahasianya (Kian Liong) sampai bocor dan baginda itu sampai memberontak, menurut
testamen, kedelapan pangeran itu harus melenyapkan baginda dan mengangkat kaisar
baru. Tapi baginda Kian Liong ternyata seorang yang bisa Cepat menyesuaikan diri dengan
keadaan, sembari angsurkan testamen itu kepada thayhouw, beliau bersehjum,
katanya: "Ayah baginda berpemandangan jauh, dapat mengetahui hal yang bakal
terjadi ratusan tahun kemudian".
"Taruhkan testamen Sian-te ini dipaseban Sui Seng Tian di stana Yong Ho Kiong. Suruh 100 pengawal Istimewa untuk menjaganya. Sekalipun baginda yang memerintahkan,
tak boleh mereka tinnggalkan tempat itu!" seru thayhouw kepeda Ho-jin-ong, siapa
segera melakukan perintah itu.
Istana Yong Ho Kiong terletak didalam pintu An-ting-mui disebeiah utara barat kota
Pak-khia. Dahulu menjadi tempat kediaman Yong Ceng sewaktu belum menjadi Hongte
dan masih menjadi Su-pwelek. Untuk mengenangkan marhum ayahandanya itu, Kian
Liong menitahkan membangun sebuah kuil Lama disitu.
Maksud thayhouw mengunjukkan testamen itu kepada Kian Liong jalah agar Kian Liong
mau perhatikan bahwa kalau dia berani berbuat sesuatu yang membahayakan
kedudukan pemerintah Boan, thayhouw itu sudah mempunyai renCana tetap untuk
membasminya. Lain dari itu, dengan ditaruhnya testamen tersebut. digedung lama
kediaman Yong Tiong dahulu, alasannya adalah yangan sampai melupakan pada
mendiang kaisar itu. Tapi hal yang sebenarnya, thayhouw menaruh kekuatiran kalau 2
Kian Liong nanti diam" mengambil dan memusnakannya.
Kini legalah hati thayhouw. Kedengaran ia menguap dan mengelah napas: "Usaha yang
beribu tahun dasarnya itu, harap kau menjaganya dengan baik-baik ."
Sehabis meninggalkan pesan itu, ia segera berbangkit dan terus masuk kedalam istana
Cinkiong. Setelah mengantar thayhouw, buru-buru Kian Liong mendapatkan Pek Cin
untuk meminta keterangan.
"Tan-kongCu sudah membawa nio-nio balik keistana. Kini nio-nio berada di Po Gwat
Lauw," kata Pek Cin.
Bergegas-gegas Kian Liong meninggalkan paseban itu. Sampai dimuka pintu, baginda
bertanya pula: "Ditengah jalan kau mengalami kejadian apa?"
"Hamba berjumpa dengan rombongan orang HONG HWA HWE Syukur Tan-kongCu
menCegahnya hingga tak sampai kejadian apa-apa."
Kian Liong mengangguk dan suruh Pek Cin mengikutnya. Sampai di Po Gwat Lauw,
benar juga Hiang Hiang KiongCu sudah berada disitu.
"Bagaimana, bagus apa tidak Tembok Panyang itu?" tegurnya dengan girang.
Hiang Hiang tak mau menyahut.
"Sebentar setelah kusiapkan urusan 2 penting, nanti akan kutanyai kau lagi," seru
baginda seraya ajak Pek Cin kelahi ruangan. Disitu beliau titahkan Pek Cin siapkan
barisan Siwi yang paling boleh diperCaja, untuk menjaga diluar pagoda dan
dipunCaknya. Tak seorang thaikam yang diperbolehkan masuk keluar. Setelah itu,
baginda panggil pemimpin barisan Gi-lim-kun, Hok Gong An.
Kesemuanya itu telah dikerjakan Pek Cin dengan Cepat. Hok Gong An bergegas-gegas
menghadap. Baginda titahkan dia membawa anak buahnya untuk mempersiapkan
bayhok diluar dan didalam istana Yong Ho Kiong. Kemudian titahkan Pek Cin persiapkan bayhok pada setiap ruangan dari istana Yong Ho Kiong tersebut.
"Besok akan kuadakan perjamuan di stana itu. Undanglah Tan-kongCu dan semua
pentolan HONG HWA HWE kesana," kata Kian Liong.
Kini tahulah Pek Cin apa maksud baginda itu. Ini berarti suatu pembunuhan besar 2an.
Diapun menurut saja dan segera akan berlalu. Tapi tiba-tiba baginda menCegahnya,
dan menitah: "Undang kemari Lama Besar Fuinke dari Yong Ho Kiong!"
Tak berapa lama Lama Besar itu menghadap. "Sudah berapa tahun kau berada di
Pakkhia sini?" tanya baginda.
"Hamba mengabdi baginda sudah 2tiga tahun," jawab paderi itu.
"Ha, kau ada ingatan balik ke Tibet apa tidak?"
Lama Besar itu hanya menjura tanpa menyahut.
"Di Se-Ciong (Tibet) kini ada Dalai Lama dan Panhen Lama yang dianggap rahajatnya
sebagai penjelmaan Buddha. Tapi mengapa tiada Buddha hidup yang ketiga?"
"Itu peraturan yang berlangsung dari dahulu, sejak......"
"Kalau kuangkat kau menjadi Buddha hidup ketiga, mempunyai daerah kekuasaan
sendiri, apa kau suka mentaatinya?" sela Kian Liong mendadak.
Mendapat kebahagiaan yang tak pernah di mpikan itu, Fuinke girang setengah mati,
berulang-ulang dia menjura, serunya: "Budi yang baginda limpahkan itu, sampai mati
hamba takkan lupakan."
"Sekarang akan kuminta kau mengerjakan suatu hal. Sepulangnya dari sini, kumpulkan
semua Lama yang boleh diperCaja. Siapkan belirang, minyak dan kayu bakar. Begitu
kau terima berita dari dia," kata Kian Liong sambil menunjuk Pek Cin, "kau harus lekas be-ramai 2 melepas api dari paseban besar Yong Ho Kiong hingga sampai paseban Sui
Seng Tian."
Kini Fuinke berbalik kaget tak terkira. Buru-buru dia menjura: "Itu adalah bekas
kediaman baginda Yong Ceng almarhum. Disitu terdapat banyak sekali barang-barang
peninggalan yang berharga. Hamba tak berani .............................."
Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau berani membangkang titah raja"!" seru Kian Liong dengan bengis.
Semangat Fuinke serasa terbang, peluh dingin membasahi tubuhnya. Katanya: "Hamba
akan melakukan titah baginda."
"Kalau perkara ini sedikit saja sampai bocor, delapan00 Lama dari istana Yong Ho Kiong akan kubasmi habis," anCana baginda. Tapi lewat beberapa jurus kemudian, katanya
pula dengan ramahnya: "Dipaseban Sui Seng Tian dnyaga oleh anak buah Ki-ping, berhati-hatilah hendaknya. Yangan hiraukan mereka, biar merekapun turut terbakar sekali.
Kalau pekerjaan itu sudah selesai, kaulah yang jadi Buddha hidup ketiga! Nah, kau
boleh pulang."
Kaget terCampur girang Fuinke, lalu mohon diri.
Dengan renCananya yang hebat itu, lapanglah dada baginda. Sekali tepuk 2 ekor lalat.
Orang-orang HONG HWA HWE dan pengawal 2 thayhouw sekali gebrak, sama 2 musna.
Dan barulah beliau dapat, ber-senang 2 sepuasnya menikmati kekaisarannya.
Saking girangnya dia segera menyembat sebuah khim. Lagu yang dimainkan itu
berirama lagu peperangan, penuh hawa pembunuhan. Baru beroleh separoh, putuslah
snaar yang ke7. Kian Liong kaget, tapi dilain saat dia tertawa keras dan masuk kedalam ruangan Hiang Hiang.
"Tan-kongCu ajak pesiar kau ke Tembok Panyang, bukanlah diam-diam memberi bisikan
padamu supaya bunuh aku?" tanya Kian Liong seraya duduk berjauhan dari nona itu.
"Dia anjurkan aku supaya menurut padamu." "Dan kau turut anjurannya, bukan?" "Aku
mendengar setiap katanya."
Kian Liong girang berCampur dengki. "Habis mengapa kau masih membekal pedang"
Mari berikan benda itu padaku!" katanya lagi.
"Tidak, nanti setelah kau benar-benar menjadi kaisar yang baik."
"Ha, kiranya mereka pakai siasat begitu untuk menekan aku," pikir Kian Liong. Seketika pikirannya penuh sesak dengan kemarahan, kedengkian, gemas dan bernapsu. Katanya
kemudian: "Bukankah aku sekarang ini seorang raja yang baik?"
"Hm, dari suara khim tadi, kutahu ada pembunuhan besaran. Tak seharusnya kau
menambah kejahatanmu," sahut Hiang Hiang.
Kian Liong amat terkejut. Tanpa disadari, tadi beliau tumpahkan isi hatinya dalam irama khim. Seketika terkilaslah sesuatu dalam pikirannya, katanya: "Benar, aku akan
membunuh orang. Tan-kongCu itu tadi telah kusuruh tangkap. Kalau kau menurut aku,
nanti kulepaskan dia. Tapi kalau kau tetap membangkang, hm, kaupun sudah tahu
bahwa kuhendak lakukan pembunuhan besar 2an."
"Jadi kau mau bunuh adikmu sendiri?" tanya Hiang Hiang dengan terkejut.
"Ha, jadi dia telah tuturkan segala apa padamu?" balas bertanya Kian Liong dengan
roman bengis. "Aku tak perCaja kau mampu menangkap dia. Dia jauh lebih pandai dari kau," seru
Hiang Hiang. "Pandai" Hm, taruh kata tidak hari ini, besok pagi tentu dapat, lihat saja," kata Kian Liong.
Hiang Hiang tak menyahut.
"Sebaiknya kau kikis saja pikiranmu itu. Aku seorang kaisar baik atau busuk, kau tetap takkan berjumpa lagi dengan dia untuk se-lama-lamanya," kata Kian Liong lagi.
"Kau kan sudah berjanji padanya akan menjadi seorang kaisar yang budiman, mengapa
kini berbalik pikiran?" tanya Hiang Hiang.
"Aku akan berbuat bagaimana, itulah menurut sesuka hatiku. Siapa berani melarang?"
Tadi kaisar itu mengalami tekanan jiwa yang hebat dari thayhouw. Untuk
menumpahkan kemengkalan hatinya, kini dia tumpahkan pada sinona. Dan memang
akibatnya, Hiang Hiang rasakan dadanya seperti dihantam martil.
"Oh, kiranya raja ini hanya menipu saja. Kalau siang 2 tahu begitu, perlu apa aku
kembali kemari," pikir Hiang Hiang. Saking tak kuasa menahan marahnya hampirhampir ia pingsan.
"Kau menurutlah saja padaku. Tak nanti kumenyusahkan dia. Malah akan kuberinya
kedudukan tinggi, agar dia menikmati kesenangan hidup," bujuk Kian Long pula.
Seumur hidup belum pernah Hang Hiang ditipu orang. Pada perasaannya, raja itu hanya
seorang yang jahat karena bertabiat kejam. Tapi kini ia tahu pula, raja kejam itu
Rahasia 180 Patung Mas 3 Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Bentrok Para Pendekar 5