Ceritasilat Novel Online

Pedang Dan Kitab Suci 3

Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung Bagian 3


Orang itu pura-pura kesasar jalan dan lekas-lekas tampakkan diri sambil bertanya :
"He, sahabat, dimana jalan ke Sam To Kao ya ?"
Kian Hiong tak ambil perduli terus menerjang orang itu hingga sampai terhuyunghuyung tiga empat tindah. Karuan saja orang itu gusar dan membentak : "He, dimana
matamu?" Kiranya orang itu bukan lain ialah piauwsu dari Tin Wan Piauwkok. Tong siu Ho.
Rupanya ia masih terkenang akan suara tertawa Lou Ping yang merdu itu. Sekalipun
pernah mendapat pelajaran dari Bun Thay-lay bertiga keluar dari hotel, dia segera
menguntitnya dengan diam-diam dari kejauhan. Iapun melihat, bagaimana Bun masuk
ke Thiat tan chung, sebentar sudah keluar dan lalu masuk lagi terus tak kembali keluar lagi.
Dia mengambil keputusan untuk menyelidikinya, baru nanti pulang melaporkan. Dia tak
mau lagi sebagai orang yang tahu makan tak tahu kerja, selagi dia tengah melakukan
pengintipan itu, tiba-tiba dipergoki dan diseruduk oleh Kian Hiong. Serudukan itu
sebenarnya tidak berarti apa-apa baginya tapi dia orangnya licik. Dia tahu bahwa orang akan menjajaki dirinya, karena itu dia pura-pura berlaku seperti orang tak mengenal
ilmu silat. Begitu sempoyongan kebelakang dia terus jatuhkan diri berusaha bangun
dengan susah payah kelihatannya.
Buru-buru Kian Hiong haturkan maaf dan katanya
"Aku dengan saudara kecil ini sedang bergurau main-main, dan tak sengaja telah
menyeruduk jatuh tuan, tidak sampai sakit bukan?"
"Tanganku yang sebelah ini sakit sekali, aduh" Siu Ho mainkan Holanya"
Melihat itu buru-buru Kian Hiong tarik lengan Siu-ho di ajak masuk untuk diberi obat.
Dengan tetap berpura-pura untuk kesakitan, siu bo ma?suk kedalam desa itu.
Kian Hiong bawa siu-bo kesebuah ruangan di sebelah timur. Habis itu lantas ia tanya
orang-orang. "Tuan akan pergi ke sam to-kauw. mangapa me?lalui sini?"
"Benar, memang aku hendak mengatakan tentang itu. Tadi seorang pengembala
kambing menunyukkan aku jalan kesini nanti tentu ku?hajar bangsat itu, sahut Siu ho
"Hola, sudahlah. Harap singkapkan bajumu biar kuperiksa apa kau luka tidak! ujar
Kiang-Hiong Sampai disini, siu ho menyadi kerupukan. dia tahu dengan alasan memeriksa luka,
orang akan menggeledah badannya Apa boleh buat ia kasihkan dirinya, syukur sebuah
badi-badi yang dise?lipkan didalam kaus kakinya, tak sampai ketahuan.
Begitulah setelah diperiksa ternyata tak ada apa apa. maka siu-ho dilepaskannya pulang selagi berada dalam desa itu. Tong siu ho pasang mata untuk menoari jejak ou-ping,
tapi ternya?ta tak dapat di ketahuinya!
Sahabat, kau tahu disini temnpat apa" Tiba-tiba Kian-hiong bertanya karena curiga atas sikap orang yaug jelilitan itu.
"Kalau ini Tang hui bio nama kelenteng mengapa tak ada posatnya?" sahut siu ho
berlagak pilon.
Setelah mengantar sampai ke jembatan gantung berserulah Kian Hong kemudian,
sahabat kalau ada waktu datanglah kembali!"
Ketika itu Kuatkah Siu Ho menahan perasaannya kembali mulutnya yang kotor itu
membual pula, katanya sungguh sial, seorang keponakanku yang baru saja belajar jadi
tabib, sedikit sedikit sudah suka buka baju dan periksa orang,
Mendengar ocehan yang tak karuan artinya itu, Kian Hiong melengak. Dia merasa
bahwa orang itu dengan tak langsung memaki dirinya dengan tertawa-tawa dia gaplok
pundak orang terus masuk kembali. Digaplok begitu, tulang Siu Ho rasanya seperti
lepas, Tak putus-putusnya dia memaki panyang pendek, terus mcnyeplak kudanya
pulang kehotel.
Di hotel kelihatan Thio Ciauw Cong, Go Kok Tong dan beberapa piauwsu sedang asik
berun?ding, disamping itu masih ada tujuh atau dela?pan orang yang Siu Ho belum
kenal. Rupanya mereka tengah menduga-duga kemana larinya Bun thay lay cs dan
siapa orang tua yang membunuh Hao lun Lim dan Pang Hwi itu.
Dengan bangga Siu ho ceritakan hasil penyelidikannya tadi, suduh tentu bagian dimana ia dipale oleh Kian Hiong itu. dilewatkan. Merdengar itu Ciouw Cong girang sekali.
"Lekas kita kesana, Tong-toate harap kau tunyukkan jalan."
Biasanya Ciauw Bong hanya memanggil lotong, Tong tua, tapi kini, karena gembira, ia
menyebut, laote. Dengan bangga Siu-Ho melu?luskannya.
Tangan Kok tong yang patah itu. sudah di sambung oleh sinshe. Dia segera kenalkan
Siu-ho pada kawan-kawan baru itu. Mendengar nama-nama mereka bercekatlah siu ho
dalam ha?tinya, Kiranya mareka adalah jaga jago tersohor dari kalangan peisilatan.
Orang yang memakai jubah kuning itu, ialah si bin si wi Swi Tay lim, sedangkan lain
lainnya ialah Cong houw tauw dari The Lin onghu Pan Ging Lan cong-Teng dari kota
raja seng-bing. Ahli waris dari Gan keh pang di Holam. Gan Pek Kian dan beberapa
kepala polisi yang kenamaan dari Thiancin dan Paoting
Untuk menangkap Bun Tbay Lay, para ahli Silat kenamaan bangsa boan munpun Han
dan daerah utara sama berkumpul dideaa sekecil se?perti Sam tao hauw itu Dengan
bersiap-siap rombongan jago-jago kuku garuda itu menuju ke Thiat tan-cung.
Kini kita ganti menengok keadaan Liok Hwi-ching Dengan menempuh hujan salju, besar,
dia larikan kudanya kearah barat. Melalui puncak gunung tersebut dia dapatkan bekas
bekas darah dan pertempuran orarg orang Wi dengan orang-orang dari piauwkok
kemarin itu, sudah hilang disapu hujan.
Dalam sekejap saja dia sudah menempuh empat atau lima puluh li dan sampailah
kesebuah pasar kecil, Karena kudanya kelihatan sudah kelihatan lelah maka dengan
pelan pelan masuklah dia kesitu. Sebenarnya hari belum terlalu gelap, dapatlah ia
meneruskan perjalanan lagi, tapi ternyata kudanya mengeluarkan busa dan mulutnya,
napas?nya kemas-kemis, tiba-tiba diujung 2 ekor kuda teugah melongok kesana-kesini
seperti tengah menanti seseorang. Melihat ke 2 ekor kuda itu badannya tinggi dan besar besar, bulunya mengkilap, timbulah. rasa kepingin dalam hati Hwi Ching. segera ia
menghampiri orang itu. adakah kuda itu dijualnya. Orang Wi tersebut menggelenggelengkan kepalanya. Dari kantong kejunya Hwi-ching merogoh keluar uang kira-kira
empat puluh tail, Namun orang Wi itu tetap menggeleng-gelengkan, kepalanya, Hwi
Ching penasaran, ditumplaknya seluruh isi kantongnya yang ternyata berisi enam atau
tujuh keping perak terus diangsurkau semua pada orang itu.
Kini malah orang itu membuat gerakan tangan menyuruh Hwi Ching pergi. Maksudnya
kuda itu tak dijual. Dengan putus asa Hwi ching kembali masukkan peraknya itu
dalamKantongnya. Tiba-tiba orang Wi itu dapat melihat diantara perak-perak itu sebuah thi lian ci. piaiw biji teratai, segera tangan diulurkan untuk menyemputnya, dan bulu-bulu itu ban ci itu diawasinya tajam-tajam
Thi lian ci itu adalah milik Hwe Ceng tong yang dipakainya untuk menimpuk Hwi ching
dan dapat ditangguhnya dengan teh konya Dengan gerakan orang Wi itu bertanya dari
mana Hwi Ching memperoleh piauw tersebut. Dengan gerakan tangan pula, Hwi.chiag
menyatakan ia mendapatnya dari sahabatnya seorang nona bangsa Wi yang kepalanya
tertancap bulu burung dan memegang sebatang pokiam.
Orang Wi tersebut mengangguk anggukan kepalanya, lalu menyerahkan, thi ban ci pada
Hwi Ching lagi, habis itu dia tuntun seekor kuda, terus diberikan pada Hwi-ching, sudah tentu Hwi ching girang sekali, lalu merogoh uang peraknya lagi. Tapi orang itu tetap Goyang-goyang tangannya dan hanya menuntun kuda Hwi-ching semula terus
dituntunnya pergi.
"Sungguh nona itu mempunyai pengaruh besar sekali dikalangan suku Wi. sampaikan sebuah thi lian cinya saja sudah dianggap sebagai tanda perintah demikian pikir Hwi
Ching. Memangnya orang tadi adalah seorang warta dari suku Wi yang dikepalai oleh
ayah Ceng tong dalam gerakkannya untuk merebut kembali kitab Al-Our'an, pada setiap
pos mereka menyiapkan orang yang membawa kuda, untuk alat-alat penmberian warta.
Dia mengira karena membawa thi lian ci dari Ceng Tong, tentulah Hwi ching itu salah
seorang pembantu mereka. Oleh karena itulah tanpa sangsi sangsi lagi kudanya
diberikan. Dengan kuda baru itu Hwi Cbing meneruskan perjalanannya lagi, sampai kekota
disebelah depannya dia bertemu lagi dengan seorang Wi yang yang membawa kuda.
Ketika kembali dia unyukan thi lian ci, dapatlah dia berganti kuda baru. apalagi pada setiap kaki belakang kuda selalu terdapat cap tanda, maka pergantian kuda itu barjalan dengan mudahnya.
Selama di atas pelana kuda itu, Hwi Ching hanya makan ransum kering dan tidak tidur.
Dalam sehari semalam, ia dapat menempuh jarak enam ratus li lebih. Maka pada hari ke 2 sore tibalah ia di Anse, pusat pertemuan anggauta-anggauta Hong-hwa-hwee. Begitu
memasuki kota, ia pasang bunga merah sulaman dari Lou Ping di lubang bajunya.
Bagaimanapun tinggi bugee Hwi Ching, namun ia habis melakukan perjalanan nonstop
dari jarak sedemikian jauhnya itu, tak urung dia merasa lelah juga, baru saja dia
berjalan beberapa tindak, segera ada 2 orang bercelana pendek mengundangnya
makan ke ciulauw.
Dalam ciulauw, rumah minum, yang seorang lalu temani Hwi Ching minum arak, sedang
yang lainnya dengan laku hormat sekali meminta diri. Orang yang menemani minum itu
juga berlaku sangat menghormat. Dia tak berani banyak bertanya, dan hanya pesan
sayuran untuk kawan arak.
Ketika habis menenggak tiga cawan arak, tiba-tiba dari luar masuk seorang yang terus memberi hormat pada Hwi Ching siapa buru-buru berbangkit untuk membalasnya.
Orang itu mengenakan jubah kain hijau, kira-kira berumur tiga puluh tahun, sepasang
matanya mengeluarkan sorot berapi-api, sikapnya berkewibawaan. Mengetahui siapa
adanya, Hwi Ching berkatalah orang itu, "Oh, kiranya Liok-locianpwe dari Bu-tong-pay, sering kudengar Tio Pan San samko sebut-sebut nama locianpwe, kini sungguh
beruntung dapat berjumpa."
"Siapakah nama laoko yang mulia?" tanya Hwi Ching.
"Aku yang rendah ialah Wi Jun Hwa," sahut orang itu.
Dalam pada itu, orang yang menemani Hwi Ching minum tadi segera minta diri juga.
"Siautocu dan para hengte kami, semua sama berkumpul di sini. Kalau diketahui
locianpwe datang, pasti siang-siang mereka akan menyambutnya. Entah apakah
locianpwe sudi meringankan kaki untuk menemui mereka," kata Jun Hwa.
"Bagus, memang kedatanganku ini perlu menyampaikan suatu hal yang penting pada
saudara-saudara sekalian," sahut Hwi Ching.
Begitulah, Jun Hwa segera bawa Hwi Ching keluar ciulauw. Anehnya pemilik ciulauw itu tak minta bayaran padanya. Dengan menunggang kuda mereka menuju keluar kota.
"Bunga merah yang locianpwe punya itu adalah milik Bun-suko, bunga itu mempunyai
empat buah sumbar," kata Wi Jun Hwa di tengah jalan.
Ketika Hwi Ching periksa bunga merah yang dipakainya, memang perkataan Jun Hwa
itu benar. Tak berapa lama, tibalah mereka di sebuah biara. Yang menyolok pemandangan, di
muka dan di belakang biara itu tumbuh pohon-pohon tua yang menyulang ke langit,
sehingga menambah keangkeran tempat itu. Di muka biara tergantung sebuah papan
yang tertulis empat buah huruf "Giok-hi-to-wan". Di muka itu tampak ada 2 orang tojin menyaganya. Begitu melihat Wi Jun Hwa, mereka bersikap menghormat sekali.
Oleh Jun Hwa, Hwi Ching dipersilahkan masuk dan satu imam kecil segera membawa
teh. Ketika Jun Hwa membisiki telinganya, imam itu kelihatan mengangguk-angguk
kepalanya lalu masuk ke dalam, sesaat Hwi Ching mengangkat cawan akan diminum,
tiba-tiba dari ruangan dalam terdengar seseorang berseru, "Liok-toako, betul kau
membuat mati rindu."
Belum kumandang ucapan itu hilang, orangnya sudah muncul. Dia bukan lain ialah
kawan seperjuangannya dulu Tio Pan San, sobat lawas saling bertemu, sukar dilukiskan bagaimana kegirangannya.
"Beberapa tahun ini toako bersembunyi dimana, bagaimana bisa datang kemari?"
demikian pertanyaan susul-menyusul keluar dari mulut Pan San.
"Tio-hiante, baik kita bicarakan dulu urusan penting yang menyadi tugasku ini," tiba-tiba Hwi Ching berkata dengan bersungguh-sungguh, kalian punya Bun-su-tangkeh ini
berada dalam kesulitan besar."
Habis ini lantas Hwi Ching ceritakan apa yang sudah terjadi. Dalam pada itu tiba-tiba diluar terdengar suara seseorang yang sedang berteriak, "Suko, kakak keempat dalam
bahaya, hayo lekas kita menolongnya, biar aku yang berangkat dulu!"
"Yang an kau begini gegabah, tunggu putusan siautocu dulu," cegah Wi Jun Hwa.
Tapi orang itu tetap ngotot. Begitu Pan San menarik tangan, Hwi Ching melihat,
ternyata orang yang membuat ribut-ribut itu adalah seorang bongkok, seketika itu
teringatlah Hwi Ching pada si Bongkok yang memapas ekor kuda Wan Ci dulu itu.
Sementara itu Jun Hwa telah mendorong si Bongkok ke hadapan Hwi Ching dan
berkata, "Hayo lekas kau temui Liok-locianpwe!"
Menghampiri ke muka Hwi Ching, si Bongkok mengawasinya dengan tak mengucap apaapa. Mengira kalau orang masih ingat akan hinaan Wan Ci tempo hari, Hwi Ching akan
memintakan maaf. Tapi tiba-tiba si Bongkok membuka mulut, "Kau tempuh jarak enam
ratus li dalam sehari hanya karena akan menyampaikan berita dari Bun-suko, sungguh
aku oang she Ciang merasa berterima kasih sebesar-besarnya!"
Berbareng dengan ucapannya, si Bongkok segera jatuhkan diri ke tanah dengan berkui
sampai empat kali. Karena tak keburu menegahnya, Hwi Ching juga berlutut untuk
membalas hormat.
Secepat-cepat habis memberi hormat, si Bongkok lalu bangkit, katanya,
"Tio-samko, Wi-kiauko, aku akan pergi dulu!"
Tio Pan San coba akan mencegahnya, tapi si Bongkok terus menerobos keluar dan
sudah berada di pintu bundar yang berada di halaman. Tapi mendadak tangannya
dipegang orang.
"Kau akan kemana?" demikian tegur orang itu.
"Menengok suko dan suso, hayo kau ikut aku," sahut si Bongkok.
Anehnya orang itu betul-betul mengikutinya. Kiranya si Bongkok adalah orang she Ciang nama Cin. Wataknya berterus terang, sejak lahir dia bercacad namun memiliki tenaga
luar biasa. Dia seorang murid Siau-lim-pay yang jempolan. Karena cacadnya itu dia
paling benci orang memperolokkan bongkoknya. Tapi kalau berbicara dengan orang,
selalu ia menyebut dirinya "Ciang-thocu" atau Ciang si bongkok. Namun sekali-kali yang an orang mengatakan "bongkok" dan memperolok-olokkannya, karena dia tentu akan
keluar tanduknya betul-betul nanti. Lebih-lebih kalau orang itu bisa bugee, tentu
diajaknya pibu (bertanding silat).
Di kalangan Hong-hwa-hwee hanya pada Lou Ping yang dia mau dengar katanya.
Karena lain-lain orang selalu menertawakan, adalah Lou Ping yang paling mengerti
hatinya, paling mengasihani cacadnya itu. Begitu rupa Lou Ping merawati si Bongkok,
sehingga seperti saudaranya sendiri.
Maka begitu mendengar Bun Thay Lay suami-isteri mendapat kecelakaan, meluaplah
amarah Ciang bongkok, terus akan pergi menengoki saja. Ciang bongkok dalam Honghwa-hwee, jatuh pada urutan no. 10. Yang memegang tadi, yaitu Ci Thian Hong, orang
nomor tujuh dalam Hong-hwa-hwe. Meskipun dia orangnya pendek kecil, tapi banyak
akal. Dialah kunsu, juru pemikir, dari Hong-hwa-hwee. Di samping itu, lihay juga
bugeenya, lwekang maupun gwakang serta segala ilmu senyata. Kalangan kangouw
memberi dia sebuah julukan sebagai "Bu-cu-kat" atau si Khong Beng dari Hong-hwahwee. Baru setelah Tio Pan San menutur, tahulah Hwi Ching siapa ke 2 orang itu. Pada saat
itu pun para Tangkeh, pemimpin daerah, sama berturut-turut keluar. Mereka adalah
para orang-orang gagah yang sudah ternama. Semuanya banyak yang sudah dilihat Hwi
Ching di tengah perjalanan itu. Kepada mereka, Tio Pan San tuturkan perihal Bun Thay Lay.
Ji-tangkeh, pemimpin ke 2, yang hanya berlengan satu, yaitu Bu Tin tojin berkata, "Mari kita temui siautocu!"
Segera mereka menuju ke halaman belakang, masuk ke sebuah rumah besar. Tembok
di ruangan itu terukir sebuah papan tioki, catur yang besar. Pada jarak 2 tombak ada 2
orang sedang duduk di atas dipan, tengah minum teh sambil berkelakar. Kiranya
mereka tengah main tioki ke arah tembok papan catur yang seperti terpaku itu, biji-biji tioki itu melekat di situ.
Selama ini, belum pernah Hwi Ching melihat orang main tioki dengan cara begitu. Pada saat itu, biji-biji tioki hitam dan putih tengah berpusat pada sebuah lingkaran. Rupanya pada jurus-jurus yang menentukan, dimana putih dalam kedudukan menyerang.
Yang mainkan biji hitam adalah seorang kongcu (pemuda) muda yang mengenakan
jubah putih. Wajahnya berseri terang, mengunyukkan masih berdarah bangsawan,
sedang yang main biji putih, adalah seorang tua yang dandanannya sebagai seorang
desa. Melihat ke 2 orang tersebut sedang asyik main tioki, orang-orang Hong-hwa-hwee itu
tak berani mengganggunya. Sekali lihat, tahulah Hwi Ching bahwa kepandaian tioki dari kongcu itu di atas si orang tua. Tapi entah karena apa koncu itu main mengalah saja.
Tiap kali si orang tua melontarkan biji tiokinya, biji-biji itu menancap dalam-dalam ke papan tembok. Diam-diam Hwi Ching terkejut dalam hati, pikirnya,
"Orang itu entah enghiong ternama siapa, kecepat-cepat annya melempar senyata
rahasia belum pernah kulihat ada yang melebihi."
Berselang beberapa waktu lagi, kini jelaslah Hwi Ching. Ternyata kongcu itu tak terlalu perhatikan posisi ratunya, tetapi diam-diam dia perhatikan cara melempar biji tioki dari si orang tua itu. Pada saat itu kedudukan putih payah sekali, sekali hitam jalan, habislah putih. Dan ini pun diketahui oleh kongcu tersebut. Tapi ternyata lemparan itu tak tepat, biji tiokinya agak miring tak dapat menancap dengan betul.
"Ha, kau mengaku kalah sajalah!" si orang tua tertawa terkekeh-kekeh sembari
meletakkan biji tioki terus berbangkit. Nyata ia takut kalah.
Kongcu itu juga tidak mau berbantahan, dengan tersenyum ia berkata, "Besok kalau
ada kesempatan, aku main lagi dengan suhu."
Melihat rombongan orang-orang itu, si orang tua tersebut tak mau menegur atau
memberi hormat, hanya dengan langkah lebar terus melangkah keluar pintu. Setelah itu berkatalah Tio Pan San pada si kongcu,"Siautocu, ketua muda, inilah orang yang pernah kukatakan itu, Liok Hwi Ching toako," habis ini katanya pula pada Hwi Ching, "Liok-toako, inilah siautocu kita, mari sama-sama berkenalan saja."
"Siaucit she Tan, nama Keh Lok, harap lopeh suka kasih pengunyukan," pemuda itu
berkata dengan merendah.
Tersipu-sipu Hwi Ching membalas juga dengan kata-kata merendah. Diam-diam ia
perhatikan siautocu itu jauh berbeda sikapnya dengan rombongan anak-anak buahnya
yang kasar-kasar itu.
Tio Pan San lalu tuturkan keadaan Bun Thay Lay dan minta pendapat dari siautocu
tersebut. Tapi siautocu hanya berpaling pada Bu Tim tojin dan berkata, "Harap totiang suka memberi keputusan."
Tiba-tiba dari sebelah belakang Bu Tim, ada seorang gagah yang berseru dengan
kerasnya, "Bun-suko mendapat kesukaran, seorang luar, telah begitu memerlukan memberi warta
dari tempat yang begitu jauh. Tapi sebaliknya kita sendiri masih tolak-menolak
mengenai siapa yang harus menyadi ketua. Apakah sesudah Bun-suko terlanyur hilang
jiwanya, kau orang baru tak main tolak-tolakan lagi" Pesan mendiang lotangkeh, siapa yang berani membantahnya" Siautocu, kalau kau tak mengindahkan pesan gihu, ayah
angkatmu, nyata kau tak berbakti pada beliau. Juga sekiranya kau memandang rendah
pada kita orang, para hengte sekalian dan tak mau menyadi tocu, biarlah Hong-hwahwee yang beranggautakan tujuh puluh ribu orang ini dibubarkan saja."
Ternyata orang yang bersuara keras ini, bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam, dia adalah orang yang menduduki kursi ke delapan dari pimpinan Hong-hwa-hwee, yakni
Nyo Seng Hiap. Mendengar itu, sekalian orang pun turut meminta pada si kongcu.
"Kita adalah seumpama ular yang tak punya kepala. Kalau siautocu tetap menolak lagi, kita semua tentu menyesal. Dalam soal Bun-suko, kita menurut perintah siautocu."
"Dalam tujuh puluh ribu anggauta Hong-hwa-hwee ini, siapa yang tak mau dengar kata
siautocu, biar dia rasakan kelihayan pedangku," seru Bu Tim dengan lantangnya.
Mendengar desakan dari orang banyak, Tan Keh Lok tak enak hati, sepasang alisnya
terangkat, seperti tengah memikir sesuatu. Melihat itu, Siang Hek Ci adalah seorang dari Siang-hiap berkata dengan suara berpengaruh pada adiknya,
"Hengte, betul-betul siautocu tak menghargai kita. Mari kita ber 2 tolong dulu Bun-suko kemari, baru nanti kita pulang ke Sechwan."
"Koko benar, aku setuju," balas sang adik Siang Pek Ci.
Sampai di sini terdesaklah Keh Lok. Kalau ia tetap berkeras menolak, pasti akan
mengecewakan orang banyak. Apa boleh buat, katanya.
"Bukan aku keras kepala, tapi mengingat umurku begitu muda, kurang pengalaman,
kurang pengetahuan, tentu tak pantas memegang jabatan penting itu. Tapi karena
kalian semua menghendaki demikian, apalagi marhum gihuku pun telah meninggalkan
pesan, apa boleh buat terserah kehendak saudara sekalian."
Seketika itu orang Hong-hwa-hwee gempar karena girangnya, bahwa siautocu telah
menerima angkatan itu.
"Upacara pengangkatan, biar nanti kita langsungkan di paseban Cong-hiang-tong di
Thayouw. Sekarang harap congtocu bersembahyang dulu pada couwsu, untuk
menerima lenghoa, lencana jabatan," kata Bu Tim.


Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hwi Ching cukup tahu bahwa sesuatu pelantikan tentu mempunyai upacara istimewa.
Sebagai orang luar dia tak enak berada di situ. Habis memberi selamat pada Keh Lok,
dia undurkan diri. Oleh Tio Pan San dia dibawa ke kamarnya sendiri, supaya beristirahat dulu.
Jilid 5 KETIKA bangun dari tidurnya, ternyata hari sudah malam. Berkata Pan San.
"Tadi congtocu bersama sekalian saudaraa sudah berangkat ke Thio-ke-poh. Karena
toako masih tidur, aku disuruh mengawani, besok pagi kita berangkat menyusul."
Hampir lebih sepuluh tahun saling berpisah, malam itu ke 2nya bicara dengan uplek
sekali menuturkan riwajatnya masing-masing selama itu. Berbicara tentang HONG HWA
HWE bertanyalah Hwi Ching:
"Kau orang punya congtocu itu masih begitu muda usianya, tak ubah dengan seorang
kongcu, bagaimana semua sama tunduk?"
"Urusan itu agak panjang untuk diceritakan. Toako, kau mengasuh lagi dulu, besok
dalam perjalanan akan kuceritakan," sahut Pan Sin.
Sekarang marl kita tengok keadaan rombongan Thio Ciauw Cong yang dibawa ke Thiatsan-chung oleh Tong Siu Ho, itu piauwsu dari Tin Wan piauwkok. Tiba dimuka chung
(desa) itu. Ciauw Cong perintah seorang congteng melapor pada chungcu supaja keluar
menyambut utusan pemerintah. Congteng itu tak berani berajal, terus bertindak masuk.
Tapi dicegah oleh Ciauw Cong. Rupanya dia insjaf betapa kedudukan tuan rumah itu
sebagai pemimpin kaum persilatan daerah barat utara. Karenanya dia tak mau gegabah,
katanya pada congteng.
"Sahabat, tahan dulu. Bilanglah pada chungcu bahwa kita datang dari kotaraja, perlu
bertemu dengan chungcu (kepala perkampungan) sendiri !"
Mengucap begitu, Ciauw Cong mengerlingkan matanya pada Go Kok Tong, siapa cukup
mengerti maksudnya. Dengan membawa membawa beberapa orang polisi dia menuju
ke belakang desa itu untuk menyaga apabila Bun Thay Lay sampai lolos.
Mendengar laporan congteng, Kian Hiong segera menge tahui bahwa rombongan kuku
garuda itu tentu hendak meng usut tempat persembunyian Bun Thay Lay. Segera dia
suruh Song San Beng, sipengurus rumah, untuk menemui dulu, sedang dia sendiri lalu
Buru-buru mendapatkan Bun Thay Lay.
"Bun-ya, diluar ada kuku garuda dari golongan liok-san-mui. Apa boleh buat, kuminta
samwi lekas-lekas bersembunyi saja," demikian tuturnya.
Dia lalu memapak Bun Thay Lay menuju ke sebuah thia (paviljon) yang berada di kebun
belakang. ber 2 dengan Ie Hi Tong, Kian Hong menggeser sebuah meja batu yang
berada di situ. Segera di bawah situ tampak sebuah papan besi yang di kat dengan
rantai. Ketika rantai ditarik, papan besi itu terangkat dan ternyata disitu tampak sebuah gowa dibawah tanah.
Melihat itu Bun Thay Lay marah dan serunya : "Aku Bun Thay -Lay-bukan orang yang
takut mati dan temaha hidup. Bersembunyi didalam gowa ini, sekalipun da pat
menyelamatkan diri, tapi tentu tak luput akan diterta wakan orang nanti."
"Mengapa Bun-ya berkata begitu. Taytianghu bisa keras bisa lembek, menurut gelagat.
Bun-ya menderita luka parah dan sementara bersembunyi, siapa yang akan
menertawakan nya?" ujar Kian Hiong.
"Terima kasih, Beng-heng. Harap saja kau bukakan pintu belakang. Biar kita berlalu dari sini, agar tak merembet-rembet Beng-heng sekalian orang dalam rumah ini," Bun Thay
Lay tetap berkeras.
Pada saat itu, diluar pintu belakang terdengar tereakan orang minta dibukai pintu.
Berbareng itu dari depan, ter dengar suara berisik dari rombongan orang yang
mengham piri. Ketika mereka akan menobros masuk, San Beng coba akan menghalangi,
tapi sia-sia saja. Karena mengindahkan nama dari Ciu Tiong Ing, Ciauw Cong hanya
memakai alasan akan melihat-melihat kedalam chung yang dikatakan sangat indah
pemandangannya itu.
"Kita hanya ingin menyaksikan sendiri betapa keindahan chung ini yang kesohor
bagusnya itu. Harap saudara Song suka mengantai kita,' kata Ciauw Cong.
Mengetahui bahwa Thiat-tan-chung sudah terkepung rapat, naiklah darah Bun Thay
Lay, katanya pada isteri dan saudaranya itu.
"Mari kita bahu membahu menobros keluar!" Lou Ping nyatakan siap, ia terus
memegang lengan tangan suaminya yang terluka itu. Kctika itu dengan memegang
golok dalam tafigan kiri, Bun Thay Lay siap akan mener yang keluar. Tapi mendadak dia rasakan tubuh isterinya gemetar. Dan ketika dipandangnya, ternyata sepasang mata
nya pun berlinang-linang air mata, wayahnya berduka sekali tampaknya. Seketika itu
luluhlah hati Bun Thay Lay, dan dengan serentak dia berkata: "Baiklah, kita
bersembunyi saja."
Kian Hiong girang mendengar keputusan yang tiba-tiba itu. Begitu ketiga tamunya itu
masuk kedalam gowa, cepat-cepat -cepat-cepat dia tutup papan besi itu dan dengan 2
congteng digesernya pula meja batu itu keatas. Ciu Ing Kiat, putera Ciu Tiong Ing yang masih kecil itu, juga turut membantunya.
Setelah tak ada tandas yang mencurigakan, Kian Hiong perintahkan congteng membuka
pintu belakang. Tapi ter nyata Go Kok Tong tak mau masuk dan hanya menunggu diluar
pintu itu saja. Pada saat itu, rombongan Ciauw Cong pun sudah masuk kesitu.
Melihat Tong Siu Ho juga berada dalam rombongan itu, berkatalah Kian Hiong dengan
menyindir : "Oh, kiranya seorang koan-loya (pembesar negeri), tadi aku sudah berlaku kurang
adat." "Aku hanyalah seorang piauwtauw dari Tin Wan piauw kok, loheng jangan salah kira,"
sahut Siu Ho. Setelah itu dia berpaling pada Ciauw Cong dan berkata :
"Dengan mata kepalaku sendiri, kulihat mereka masuk kesini. Thio taijin, harap
perintahkan menggeledah."
"Kita adalah penduduk baik-baik, Ciu lochungcu adalah seorang tuan tanah yang
menuntut penghidupan halal, mana berani menyembunyikan bangsa bersandal. Tong-ya
ini sengaja mempitenah saja," San Bing Buru-buru memberikan bantahan tegas.
Dia tahu bahwa Bun Thay Lay bersembunyi ditempat yang aman, maka sengaja dia
keluarkan kata-kata yang menantang itu. Juga bertanyalah Kian Hiong dengan berlagak
pilon : "Hong Hwa Hwe adalah sebuah perkumpulan di Kang Lam, mengapa mereka berada
diperbatasan sebelah barat utara ini" Piauwtauw ini berkata dengan seenaknya sendiri saja, masa taijin sekalian mau mempercayainya?"
Thio Ciauw Cong adalah seorang kangouw kawakan. Dia tahu bahwa Bun Thay Lay
tentu sembunyi di Thiat-tan-chung. Kalau menggeledah berhasil, masih mendingan, tapi kalau sampai tak dapat menemukannya, apakah Ciu Tiong Ing akan mau sudah" Jago
she Ciu itu luas pengaruhnya dikalangan rimba persilatan, dengan demikian, bukankah
akan dapat melakukan pembalasan" Memikir sampai disitu, Ciauw Cong menyadi raguragu. Sebaliknya Siu Ho berpikir, kalau kali ini gagal, tentu dia akan diejek dan di-kata-katai oleh kawan-kawannya. Tiba-tiba dia ter ingat akan Ciu Ing Kiat. Seorang anak kecil
tentu tak dapat berbohong. Cepat-cepat dia tarik lengan Ing Kiat. Tapi anak itu, karena mengerti bahwa Siu Ho itu bukan orang baik-baik, dengan getas segera menarik
tangannya. "Kau tarik aku mau apa?" bentak bocah itu.
"Adik cilik, kau bilanglah, dimanakah adanya ketiga te tamu itu, aku nanti beri ini untuk beli permen," kata Siu Ho sambil merogoh keluar beberapa biji uang perak.
Ing Kiat jebikan bibir, memperlihatkan muka mengejek, katanya.
"Kau angg'ap aku ini siapa" Ayahku adalah Thiat-tan Ciu Tiong Ing! Aku tak sudi terima uang'mu yang berbau itu !" Karena malu, Siu Ho menyadi gusar, lalu berteriak : "Ayo
kita geledah saja rumah ini, dan ringkus sekali bocah ini !"
"Kau berani dengan ayahku, Thiat-tan Ciu Tiong Ing?" kata Ing Kiat tak gentar.
Pada saat itu berobahlah air muka Thio Ciauw Cong. Dia duga anak itu pasti
mengetahui tempat persembunyian Bun Thay Lay. Dia pikir, hanya dari mulut anak
itulah akan bisa didapat keterangan. Tapi meskipun kecil, anak itu sangat berani. Tak jerih digertak, tak mempan dibujuk. Tapi akan coba dibujuknya juga.
"Ketiga tamu itu, bukankah sahabat ayahmu?" Ciauw Cong mulai pasang perangkap.
Tapi Ing Kiat tak kena diakali, sahutnya : "Aku tak tahu apa-apa."
"Kalau sampai kita dapat menemukan ketiga orang itu, t.idak saja ayahmu, juga kau
sendiri dan mamahmu semua akan dihukum mati !"
"Ha!" seru Ing Kiat dengan kerutkan alisnya. "Ayahku adalah Thiat-tan Ciu Tiong Ing, masa dia jerih padamu?"
Ciauw Cong tobat betul-betul. Dia lalu merogoh sakunya, pikirnya akan mengambil uang mas untuk diberikan pada anak itu. Tapi tiba-tiba tangannya menyentuh sebuah benda
bundar. Dengan girang, cepat-cepat -cepat-cepat benda itu dikeluarkannya. Ternyata
benda itu ialah sebuah cian-li-king (teropong).
Ketika Ciauw Cong meninggalkan kotaraja untuk me nangkap Bun Thay Lay, Hok Gong
An, pemimpin Gi-lim-kun (pengawal istana) menghadap padanya, untuk menyampai kan
perintah istimewa dari kaisar, bahwa bagaimana juga pesakitan itu harus dapat
ditangkap dan dibawa kekota raja. Untuk itu kaisar istimewa menghadiahkan sebuah
teropong padanya.
Saat itu Ciauw Cong memasang teropong dimatanya, untuk melihat sekeliling tempat
itu, habis itu dia berkata pada Ing Kiat :
"Kau pasanglah benda kemukamu, dan cobalah lihat ke jurusan sana."
Kuatir orang akan menipunya, Ing Kiat cepat-cepat -cepat-cepat tarik tangannya. Tapi Ciauw Cong kembali melihatnya sendiri, seraja tak putus-putusnya memuji: "Wah,
alangkah indahnya, sungguh bagus sekali !"
Biar bagaimana Ing Kiat tetap seorang anak kecil. Hati nya melonyak-loyak ingin
melihatnya juga. Maka begitu Ciauw Cong mengangsurkan teropong itu untuk ke 2
kalinya, cepat-cepat -cepat-cepat Ing Kiat menyambutnya. Begitu dipasang dimatanya,
dia berjingkrakjingkrak kaget. Gunung jauh disebelah muka itu seperti pindah
dihadapannya. Pohon-pohon jelas tampaknya.
"Kau naik dimeja situ untuk melihat sana," kata Ciauw Cong dengan ramahnya.
Ing Kiat loncat keatas meja batu, untuk melihat dengan teropong. Orang yang sedang
berjalan dijalanan, tampaknya jelas berada dihadapannya. Sampaipun mulut dan mata
mereka kelihatan jelas juga. Ketika teropong itu diambil nya, oranga berjalan itu
tampaknya keci s dan samar-samar. Bolak-balik dia awasi benda ajaib itu sampai sekian lama. Habis itu dengan merasa sayang , dia kembalikan lagi pada Ciauw Cong.
"Kau inginkan ini?" tanya Ciauw Cong ketika menyam butinya.
Sambil berpaling kesamping memandangi Kian Hiong dan San Beng, anak itu
menggeleng-gelengkan kepalanya. Ciauw Cong seketika juga mengetahui bahwa
pernyataan itu ber lawanan dengan hatinya, karena takut pada ke 2 orang itu. Maka
cepat-cepat ditariknya Ing Kiat kesamping, lalu tanyanya: "Asal kau kasih tahu ketiga orang itu bersembunyi dimana, benda itu akan menyadi kepunyaanmu !"
"Aku tak tahu," sahut Ing Kiat dengan berbisik.
"Kaubilanglah, aku tak nanti katakan pada lain orang. Ayahmu pun tentu takkan
mengetahuinya," kata Ciauw Cong dengan berbisik juga.
Hati Ing Kiat nampak guncang tapi dia tetap gelengkan kepalanya.
"Siaosute, masuklah kedalam, jangan main-main ditaman ini," tiba-tiba kedengaran Kian Hiong berseru keras.
"Baiklah," sahut Ing Kiat, lalu katanya pula pada Ciauw Cong, "Beng suko panggil aku."
Namun Ciauw Cong masih pegangi tangan Ing Kiat, dan teropong itu disodorkan
dihadapannya. Ing Kiat nampak gi rang sekali dan segera bisiknya lagi: "Kalau aku
sampai memberitahu, nanti ayah tentu membunuh aku."
"Kau tak usah menyahut, kalau kuajukan pertanyaan, cukup kau memberi isjarat
dengan manggut atau gelengkan kepala saja", Ciauw Cong makin mendesak. Dan habis
berkata itu, dia serahkan teropong pada Ing Kiat.
Mulanya anak itu agak sangsi sesaat, tapi achirnya dite rimanya benda itu.
"Apakah mereka bersembunyi dikamar mamahmu?" Ciauw Cong terus tak mau buang
tempo dan mulai ajukan pertanyaan. Ing Kiat gelengskan kepalanya. "Apakah mereka
digudang padi?" Kembali anak itu geleng-gelengkan kepala. "Dikebun sini?"
Kini tampak Ing Kiat manggut 2kan kepala dengan pelan-pelan .
Karena nampak Ciauw Cong menyeret sutenya kesebelah samping dan terus tak putusputusnya menanyai, Kian Hiong kuatir jangana anak itu kelepasan omong, karena itu
dia menghampirinya.
Melihat bahwa dalam taman itu yang ada hanya gunung-gunungan palsu, empang dan
sebuah rumah kecil, Ciauw Cong segera mendesaknya :
"Dibagian mana mereka bersembunyi?"
Ing Kiat tak menyawab, hanya ekor matanya saja terus melirik kearah rumah gardu
disebelah itu. "Di gardu itu?" tanya Ciauw Cong.
Ing Kiat anggukkan kepalanya.
Nampak itu, Ciauw Cong tak mau bertanya lagi, terus menghampiri gardu itu. Setelah
diperiksanya, ternyata gardu itu hanya dikelilingi oleh langkan (pagar jeruji) bercat me rah. Mustahil orang bersembunyi disitu. Loncat keatas langkan, Ciauw Cong
memandang kepuncak gardu, tapi disitu tak ada apa-apanya. Karenanya, dia terpaksa
loncat turun lagi dan untuk sesaat itu dia kelihatan berpikir. Tiba-tiba : ter gerak pikirannya, segera dengan tersenyum dia berkata pada Kian Hiong :
"Beng-ya, aku yang rendah ini meski berkepandaian rendah, tapi aku memiliki sedikit
tenaga, harap Beng-ya suka member! petunyuk !"
Mengira karena tak dapat mencari orang lalu marah dan mengajak berkelahi, walaupun
fihak musuh jumlahnya banyak, Kian Hiong tak perlihatkan kelemahan, katanya :
"Sungguh aku tak berani menerima kehormatan itu. Silakan loya memberi pengajaran
tentang apa saja, tangan kosong maupun berscnyata."
Mendadak Ciauw Cong tertawa keras, kemudian katanya: "Kita orang adalah sahabat
baik. Dengan senyata maupun tangan kosong, bukanlah akan merusak perhubungan.
Biar kita pakai cara begini: lebih dulu aku yang mengangkat meja batu itu, baru nanti Bun-ya juga mencobanya. Ka lau aku sampai tak dapat mengangkatnya, harap Bun-ya
tidak buat tertawaan."
Kian Hiong terkejut bukan kepalang. Tapi dia tak berdaya untuk mencegahnya. Bahkan
dari rombongan tetamu itu sendiri, yaitu Swi Tay Lim, Seng Hing dan lain-lain. sama
merasa heran mengapa Thio taijin itu akan mengadu kekuatan dengan anak muda itu.
Malah pada saat itu, Ciauw Cong sudah menyingkap lengan bajunya terus memegang
meja batu yang berkaki bundar itu. Dengan kerahkan tenaganya, sekali angkat, maka
meja yang seberat 400 kati itu segera beralih keatas sebelah tangan dari pembesar
kuku garuda itu.
"Thio taijin sungguh mempunyai kekuatan yang luar biasa!" demikian pujian
berkumandang diantara rombongan kuku garuda.
Belum lagi sorak pujian itu lenyap kumandangnya, mereka segera bertereak kaget. Meja batu terangkat, maka dibawahnya itu kelihatan sebuah papan besi.
Dalam pada itu Bun Thay Lay bertiga yang berada dalam lobang dibawah tanah itu.
Bermula didengarnya suara berisik dari sejumlah orang yang mondar mandir diatasnya.
Apa yang diucapkan oleh orang itu tak dapat didengar jelas olehnya. Justeru dia gelisah, tiba- terdengar sebuah benda jatuh yang mengeluarkan suara hebat, dan menyusul
dengan itu, sinar terang masuk kedalam gowa tersebut. Nyata papan besi penutup
lobang guwa itu telah diangkat orang.
Diantara hiruk pikuk suara orang yang menyatakan keka getannya itu, terdengar
seorang telah membentak dengan suara berat: "Sahabat baik, keluarlah !"
Ternyata Ciauw Cong tak berani gegabah masuk kedalam lobang. Karena menaati titan
kaisarnya untuk menangkap hidup orang buronan itu, sudah barang tentu tak boleh gu
nakan senyata rahasia. Dia hanya menyaga dimulut gowa, sembari siapkan senyatanya
dan berseru memerintahkau keluar, Saat itu berkatalah Bun Thay Lay pada isterinya :
"Kita telah dijual oleh orang Thiat-tan-Chung. Maukah kau luluskan permintaanku ?"
"Koko, kau katakanlah," sahut Lou Ping cemas.
"Nanti apa saja yang kuminta, kau lakukanlah," kata Thay Lay.
Dengan berlinang-linang air mata, Lou Ping memanggut.
"Aku, Pan-lui-chiu Bun Thay Lay berada disini, kau orang ributi apa?" ben tak Thay Lay segera.
Mendengar suara gagah dari orang tangkapannya, itu, kawanan kuku garuda terdiam
sejenak. "Pahaku terluka, Ayo kau beri tali supaja kau dapat tarik aku keluar!" seru Bun Thay Lay pada orang-orang diatas.
Ciauw Cong akan perintahkan Kian Hiong mengambil tambang, tapi ternyata anak muda
itu sudah tak tampak disitu. Maka Buru-buru dia suruh cengteng yang mengambilkan
nya. Oleh Seng Hing sebelah ujung tambang itu dilontarkan kedalam guwa, untuk menarik
Bun Thay Lay. Tapi begitu Bun Thay Lay kakinya menginyak tanah diluar guwa, dia
segera sentak tambang itu sekeras-kerasnya, hingga terlepas dari tangan Seng Hing.
Menyusul dengan bentakan menggeledek, tambang itu dikibaskan kedepan.
Aneh, tambang yang lemas itu, seketika berobah kaku, menyului kemuka. Itulah gerak
"lepas membalik jubah," salah suatu gerakan yang lihay dari ilmu jwan pian. Orang nya berputar kekanan, tapi tambang dari arah kiri menyapu kekanan. Menderu-deru angin
samberannya, hebatnya bukan main.
Pian atau jwan-pian, adalah senyata yang paling sukar dijakinkan. Untuk belajar ilmu golok hanya diperlukan waktu setahun, tapi untuk ilmu pian orang harus: belajar sampai enam tahun. Tapi ditangan Pan-lui-chiu Bun Thay Lay, tambang itu seakan-akan
merupakan pian yang berbahaja, me layang kearah orang banyak.
Karena tak menduga saraa sekali kawanan kuku garuda itu tak keburu menangkis, dan
hanya Buru-buru merundukkan kepalanya untuk mengelit samberan tambang itu.
Si cumi-cumi Tong Siu Ho adalah orang yang pernah merasakan tangan Bun Thay Lay.
Dia sudah kapok betul-betul. Maka begitu melihat Bun Thay Lay terangkat naik keatas, dia tersipu-sipumenyelinap kebelakang rombongannya, agar jangan terlihat oleh si
Tangan Geledek itu. Pikirnya dia tentu akan aman. Tapi ternyata justeru sebaliknya.
Makin berada di belakang, makin celaka. Kawan-kawannya yang berada dimuka begitu
melihat tambang menyambar, terus menunyukkan kepala untuk menghindari.
Sebaliknya, bagi orang she Tong itu, tahu-tahu tambang sudah berada dimukanya.
Untuk me nyingkir terang sudah tak keburu, maka karena gugupnya, dia Buru-buru
membalikkan badan untuk lari. Namun sudah terlambat. Tambang itu tepat
menghantam punggungnya, dan seketika itu juga robohlah dia.
Jago bayang kari Swi Tay Lim dan ketua cabang Can-khe-kun yaitu Gan Pek Kian, yang
satu memegang golok dan yang lain menggenggam sepasang gelangan besi, maju
menyerbu Bun Thay Lay.
Nampak suasana sudah genting, Ie Hi Tong segera seru kan Lou Ping untuk loncat
keatas. Bagaikan seekor meliwis, dia apungkan badannya keatas titian, terus
menyerang pada congpeng Seng Hing. Yang belakangan ini gunakan permai nan
tongkat dari Siao Lim Pai. Tapi berhadapan dengan kim-tiok (seruling mas) yang lebih pendek, tongkat congpeng itu tak berdaya.
Lou Ping setindak demi setindak, naik titian yang menuju keatas tanah. Tetapi mulut
gowa terjaga oleh seorang yang bertubuh tinggi besar, Lou Ping segera lepaskan
sebuah huito. Orang itu tampak diam saja. Baru ketika huito ham pir tiba dimukanya,
dia ulurkan tiga jari tangannya untuk menyumpit tangkai huito. Tepat sekali
sumpitannya itu, karena ujung huito hanya terpisah beberapa dim saja dimuka
hidungnya. Menampak bag-aimana orang menyambuti huitonya, Lou Ping terkesiap. Dengan
memutar sepasang goloknya ia meno bros keluar untuk menghampiri suaminya. Tapi
siorang tadi, begitu nampak pelepas huito itu ternyata ada seorang wanita yang cantik, dia terus maju menghadangnya. Orang itu bukan lain ialah jago Bu Tong Pai yang kosen jakni, Thio Ciauw Cong.
Ciauw Cong beradat tinggi. Dia tak mau gunakan pedang untuk berkelahi dengan
seorang wanita. Ia hanya pakai huito Lou Ping tadi untuk menyerangnya tiga kali
berturut-turut.
Benar permainan kaki Lou Ping tidak begitu lincah, tetapi permainan sepasang goloknya adalah warisan dari keluarga nya yang telah dijakinkan dengan sempurna. Dalam jurus
kelima, pundak Ciauw Cong kelihatan dijulurkan kemuka untuk menyerang lengan
lawannya. Dari situ terus disapukan kekiri untuk menahan sepasang golok Lou Ping, lalu dengan sekuat-kuat didorongnya.
"Dalam kedudukan tubuhnya miring", apalagi didorong oleh kekuatan yang mana dasyat
dari Ciauw Cong, seketika itu terlemparlah Lou Ping, jatuh kembali kedalam gowa.
Dilain fihak, menghadapi ke 2 lawan yang tangguh itu, luka Bun Thay Lay kambuh lagi.


Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rasa sakit menyerang dengan hebat, sehingga semangatnya serasa terbang. Bagai
banteng ketaton ia menyerang kesana-sini dengan kalapnya.
Sedang Hi Tong dengan permainannya kim-tiok, segera berada diatas angin. Melihat
jurus-jurus permainan kim-tiok itu mengandung ilmu pedang jwan-hun-kiam, dan jurusjurus tutuk annya mirip dengan kaumnya, Ciauw Cong merasa heran. Ketika akan
ditanyainya, tiba-tiba dengan gerak "pek-hun-jong-kauw" Hi Tong desak mundur Seng
Hing terus loncat ke-dalam gowa.
Kiranya waktu bertempur dengan Seng Hing tadi, Hi Tong tujukan perhatiannya pada
Lou Ping. Dia kaget ketika nampak Lou Ping jatuh kembali kegowa, sehingga dia Buruburu loncat menolongnya. Tapi ternyata Lou Ping sudah tegak berdiri tak kurang suatu apa.
"Bagaimana, apa terluka?" tanya Hi Tong kuatir.
"Tidak apa-apa, kau lekas keluar lagi membantu suko," sahut Lou Ping.
"Mari kupimpin kau keatas," kata Hi Tong.
Pada saat itu Seng Hing sudah menyaga di mulut gowa. Dengan membolang balingkan
tongkat, dia cegah mereka supaja tak bisa keluar. Melihat isterinya tak bisa keluar, sedang tenaganya. rasanya sudah tak tahan lagi, Bun Thay
Lay buang dirinya kebelakang Seng Hing dan secepat-cepat kilat ia ulurkan jarinya
menotok pinggang siwi (pahlawan, istana) tersebut. Begitu tubuh Seng Hing lemas
ngusruk, Bun Thay Lay barengi menubruk dan mendekap tubuh itu sambil berseru: "Ayo
turunlah !"
Dua- 2nya, Bun Thay Lay dan Seng Hing sama-sama jatuh kedalam gowa. Seng Hing
ternyata tertutuk jalan darahnya "kian-ceng-hiat," sehingga numprah seluruh
kekuatannya. Kini dia terlempar kedalam gowa, apalagi ditindihi Bun Thay Lay, sudah
tentu ke 2nya tak dapat bangun.
Buru-buru Lou Ping mengangkat suaminya bangun. Wayah Bun Thay Lay pucat seperti
tak berdarah, keringat mem basahi seluruh kepalanya. Tapi begitu nampak wayah isteri nya, Bun Thay Lay paksakan untuk bersenyum. Namun berbareng dengan suara
batuknya, segumpal darah segar muntah dari mulutnya, tepat menyembur kujup dada
baju Lou Ping. Hi Tong mengarti maksud Bun Thay Lay, maka dia berkaok keraskeraskesebelah atas : "Kasih kita jalan keatas !"
Ciauw Cong melihat ilmu silat Hi Tong terang adalah dari kaumnya, sedang dengan
mata kepala sendiri dia saksi-kan bagaimana dengan menderita luka berat, Bun Thay
Lay masih dapat melajani 2 lawan yang tangguh, diam-diam timbul rasa sayangnya.
Sehingga setelah mendorong jatuh Lou Ping, dia tak mau turun tangan lagi. Tapi rasa
sayang nya itu dibujarkan dengan rasa kaget yang besar, ketika melihat Seng Hing turut terjerumus kedalam gowa. Ketika dia akan terjun kebawah, tiba-tiba terdengar seruan
Hi Tong tadi. Apa boleh buat, dia perintahkan orang-orang nya berhenti, untuk mem
beri jalan pada orang-orang tangkapannya.
Pertama-tama yang keluar dari gowa, ialah Seng Hing itu pahlawan istana yang
istimewa dikirim untuk menangkap Bun Thay lay. Ujung leher bajunya dicengkeram oleh
Lou Pin, dengan sebelah tangannya memegang sebatang golok yang ditujukan pada
punggung. Baru kemudian Hi Tong yang memayang Bun Thay Lay.
"Siapa berani bergerak, dia akan menyadi majat!" seru Lou Ping sembari mendorong
Seng Hing keluar.
Diantara pagar senyata yang lebat, keempat orang itu berjalan kearah pintu belakang.
Melihat ada tiga ekor kuda tertambat pada puhun liu disebelah sana, giranglah hati Lou Ping. Diam-diam ia berSyukur pada langit dan bumi. Memang tiga ekor kuda itu adalah
kepunyaan Go Kok Tong tadi.
Melihat buronan penting akan dapat meloloskan diri Ciauw Cong segera ambil putusan.
Kematian Seng Hing tak men jadi soal baginya, yang terutama Bun Thay Lay harus
dapat ditangkap dan dibafwa ke Pakkhia. Tentu dia mendapat pahala besar.
Diam-diam dia pungut tambang yang dilemparkan ketanah oleh Bun Thay Lay tadi.
Dengan gunakan nuikang, dilontarkan nya gulungan tambang itu kemuka, dan tepat
menyirat badan Bun Thay Lay. Sekali sentak, tertariklah Bun Thay Lay terlepas dari
tangan Hi Tong.
Mendengar suaminya menggeram, Lou Ping sampai lupa untuk menghabiskan jiwa Seng
Hing. Cepat-cepat dia balik untuk menolong Bun Thay Lay. Tapi betisnya tadi mendapat luka yang tak enteng. Baru berjalan 2 tindak, robohlah dia.
"Lekas lari, lekas lari!" Bun Thay Lay menereaki isterinya.
"Koko, aku akan mati didampingmu saja!" sahut Lou Ping.
Mendengar isterinya membandel, marahlah Bun Thay Lay.
"Bukanlah tadi kau sudah berjanyi akan menurut perintahku?"
Belum sempat dia mengachiri kata-katanya, Swi Tay Lim dan orang-orang nya sudah
maju meringkusnya. Hi Tong cepat-cepat loncat memburu, dia pondong Lou Ping terus
menobros keluar pintu. Seorang hamba negeri yang coba menghadangnya, telah
ditendang roboh oleh Ie Hi Tong.
Nampak suaminya tertangkap, luluhlah semangat Lou Ping, matanya berkunang-kunang
dan seketika tak bisa menguasai diri. Hi Tong cepat-cepat mengangkatnya dibawa lari
ke arah puhun Liu. Syukur Lou Ping sudah tersedar, maka begitu dinaikkan keatas
pelana seekor kuda. Hi Tong menyuruhnya lepaskan huito.
Gan Pek Kian dan 2 orang kepala polisi juga sudah memburu sampai keluar pintu
taman, justeru pada saat
Lou Ping melepas tiga batang huito. Sekali terdengar jeritan seram, seorang kepala
polisi tadi terjungkal roboh. Untuk sejenak, Gan Pek Kian kesima.
Menggunakan kesempatan ini, Hi Tong dengan sebatnya melolos lis kuda yang di katkan
pada puhun. Setelah dia sen diri sudah naik, lalu ketiga ekor kuda itu dilarikan keluar.
Lebih dulu yang seekor dia taruh dimuka pintu taman, dengan kepalanya dihadapkan
kearah taman. Sekali dia pukul bebokong kuda itu dengan kim-tioknya, kuda itu
membinal lari masuk kedalam lagi. Maka ketika Pek Kian hendak mengejar, dia harus
terpaksa menyingkir dulu dari ter jangan kuda itu. Pada lain saat dia sudah dapat
memburu keluar, Hi Tong dan Lou Ping sudah lari jauh-jauh.
Setelah kira-kira enam tujuh li dan dibelakang tak ada yang mengejarnya, barulah Hi
Tong dan Lou Ping mengendorkan lari kudanya. Kira-kira tiga empat li lagi, tiba-tiba tampak tiga empat penunggang kuda mendatangi dari arah muka. Yang dimuka sendiri
adalah seorang tua berjenggot putih, yang bukan lain adalah Thiat-tang Ciu Tiong Ing sendiri. Begitu nampak Hi Tong ber 2, Tiong Ing segera berseru : "Liatwi hohan, harap berhenti dulu, aku sudah mengun dang seorang sinshe."
Sebagai jawaban, Lou Ping menyabitkan sebatang huito. Sudah barang tentu tak terkira kaget Tiong Ing., Karena tak menyangka, dia sudah tak keburu menangkisnya. Syukur
dia masih dapat menengkurupkan badannya keatas pelana, hingga huito itu hanya
lewat diatas punggungnya saja.
An Kian Kong, murid ke 2 Tiong Ing yang berada dibelakang, Buru-buru angkat
goloknya untuk menangkis. "Trang", huito itu melayang kesamping, tepat menancap
kesebuah puhun liu.
Baru saja Tiong Ing akan bertanya, tiba-tiba ia telah dida hului Lou Ping lagi dengan dampratannya :
"Kau ini memang penyahat tua yang berhati serigala! Kau telah membikin celaka
suamiku, sekarang aku hendak mengadu jiwa denganmu".
Dengan memaki dan menangis, Lou Ping ajukan kudanya untuk menyerang. Selagi
Tiong Ing terlongong-longong tak habis mengerti, adalah muridnya An Kian Kong yang
men jadi marah lalu putar goloknya untuk menyambut. Tapi burua dipegang lengannya
oleh sang suhu, yang melarangnya tak boleh gegabah dulu.
Juga difihak Sana, Hi Tong mencegah perbuatan Lou Ping itu, katanya :
"Yang perlu ialah mencari jalan untuk menolong suko. Baru setelah itu kita bakar Thiat-tan-chung nanti".
Rupanya Lou Ping kena diomongi, dan memutar balik ku danya. Sebelum pergi, ia
sengaja meludah keras-keras, untuk unyuk kemarahannya.
Selama mengangkat nama dikalangan Sungai Telaga, Tiong Ing selalu mengutamakan
budi dan kebajikan. Dia selalu mengalah dan suka bergaul. Maka orang-orang dari
golong an hek-to dan pek-to memuji semua pada Tiong Ing. Kini mimpipun tidak, kalau
dia sampai dimaki habis-habisan dan di sabit hoeito oleh seorang wanita. Tapi dia dapat berpikir panyang, tentu ada sebab-sebabnya wanita itu sampai berbuat begitu.
Dari congteng yang memanggil sinshe kekota tadi, dia mendapat keterangan bahwa
toa-naynay dan Kian Hiong menyambut tetamunya itu dengan baik-baik . Karena tak
mendapat jawaban yang memuaskan, Tiong Ing terus keprak kudanya menuju ke Thiattan-chung. Begitu tiba dirumah, seorang conteng cepat-cepat memberi hormat dan menyambut.
Nampak sikap dari orang-orang dirumah beda dari biasanya, Tiong Ing segera
menduga, tentu dirumah ada terjadi hal 2 yang luar biasa.
"Lekas panggl Kian Hiong kemari," perintah. Tiong Ing pada seorang cengteng.
"Beng-ya sedang melindungi toa-naynay dan siaoya (tuan muda) yang bersembunyi
disebuah gunung dibelakang," ja wab cengteng itu.
Mendengar itu, keheranan Tiong Ing makin merangsang Syukur ada beberapa cengteng
yang menuturkan tentang tertangkapnya Bun Thay Lay. Mendengar itu terkejutlah
Tiong Ing, tanyanya :
"Siapa yang telah membocorkan tempat persembunyian itu pada orang-orang negeri?"
Centeng-centeng itu terdiam sejenak, tak ada yang berani me nyahut, meluaplah
kemarahan Tiong Ing, cambuk diangkat dihajarkan kemuka mereka. Melihat suhunya
sedang marah-marah An Kian Kongpun tak berani mencegah. Setelah beberapa
cambukan, Tiong Ing lalu jatuhkan diri dikursi. Ke 2 gembolan thiat-tan, sampai
berkerontangan, sedang centeng-centeng itu diam membisu saja.
"Kau orang berada disini perlu apa" Lekas panggil Kian Hiong!" teriak Tiong Ing gusar.
Berbareng ucapan itu, Kian Hiong tampak sudah muncul disitu, dan memberi hormat
pada suhunya. "Siapa yang membocorkan rahasia itu, bilanglah."
Demikian pertanyaan yang pertama-tama diajukan Tiong Ing dengan penuh kegusaran
hingga tak dapat melampiaskan kata-katanya. Menampak itu, Kian Hiong tak berani
mengaku terus terang. Setelah berpikir sebentar, berkatalah dia :
"Kawanan kuku garuda itu sendiri yang ' mengetahuinya."
"Ngaco! Gowa ditanah itu sangat terahasia sekali tem patnya, bagaimana mereka dapat
mengetahuinya"
Kian Hiong tak dapat menyawab. Adalah pada saat itu, mendengar suaminya marahmarah, Ciu-naynay dengan memimpin puteranya datang akan menasehatnya. Ketika
Tiong Ing melihat puteranya membawa sebuah teropong, timbul ah ke curigaannya,
terus dipanggilnya anak itu. Dengan takut-takut Ing Kiat menghampiri ayahnya.
"Barang itu kau dapat dari mana?" Ing Kiat tak berani menyahut.
"Ayo, lekas bilang!" seru Tiong Ing seraja mengangkat cambuknya.
Saking takutnya, Ing Kiat mau menangis tapi tak berani. Dia hanya memandang sang
ibu, siapa segera maju menghampiri sambil berkata :
"Harap loyacu jangan marah-marah dulu. Puterimu yang mem bikin mendongkol
hatimu, mengapa kau hardik anak kecil yang tidak bersalah apa-apa ini?"
Tiong Ing tak ambil mumet kata-kata isterinya itu, dia cam bukkan pecutnya itu keatas, dan berseru keras-keras:
"Kalau kau tak menyahut, tentu kubunuh kau, anak durhaka !"
"Loyacu, kau makin lama makin tak keruan omonganmu. Dia kan anak kandungmu
sendiri, mengapa kau maki-maki anak durhaka?" Ciu naynay mulai sengit.
Kian Hiong dan semua orang sama geli mendengarnya, tetapi mereka tak berani
tertawa. Tiong Ing mendorong isterinya, disuruh menyingkir, lalu mengulangi
pertanyaannya lagi kepada Ing Kiat.
"Anak, kau bilanglah. Kalau kau ambil kepunyaan orang, kembalikanlah, besok
kubelikan sendiri," demikian Ciu nay-nay turut menanyainya.
"Bukan aku mencuri milik orang," sahut Ing Kiat.
"Jadi diberi orang, ah itu lebih 2 tak mengapa. Ayo kau bilang pada ayahmu, siapa yang memberinya?" kata sang ibu.
"Rombongan koanyin (pembesar negeri) tadi yang mem beri," sahut Ing Kiat dengan
suara pelan. Tiong Ing tahu bahwa teropong adalah benda berharga buatan luar negeri. Kawanan
pembesar negeri datang keru mah penduduk, kalau tak merampas binatang ternak atau
lain-lain barang, sudah mendingan. Kalau sampai mereka meng hadiahkan benda yang
berharga itu, tentu ada maksudnya. Ditilik dari sikap sekalian cengteng dan Kian Hiong tadi, tahulah Tiong Ing sekarang, siapa yang membocorkan ra hasia gowa
persembunyian dibawah tanah itu. Seketika kepalanya seperti digujur air dingin,
sehingga bulu romanya berdiri. Lalu katanya dengan suara tak lampias :
"Mari kau berikan itu padaku."
Setelah teropong itu disambutinya, dengan tanpa melihat lagi, Tiong Ing lemparkan
teropong itu sekuat-kuatpada tembok, sehingga seketika itu juga, teropong hancur ber keping-keping.
"Mari ikut aku," katanya sembari menyeret tangan anaknya, terus dibawa ketempat
ruangan peranti belajar silat.
Ciu naynay mengikuti dari belakang. Diam-diam ia heran, mengapa kali ini suaminya
marah-marah sedemikian besarnya. Setelah terdiam sejurus, bertanyalah Tiong Ing :
"Tetamu kita yang bersembunyi didalam lubang dibawah tanah, bukankah kau yang
memberitahukannya ?"
Dihadapan ayahnya, selamanya Ing Kiat tak berani ber bohong. Saat itu diapun
menganggukkan kepalanya. Mendengar itu, Tiong Ing berpaling kearah isterinya sambil
berkata : "Kau sulut lilin dimeja tempat arwah leluhur kita dan meja couwsu kita."
Dengan tak mengerti maksudnya, Ciu naynay mengerja kan perintah suaminya. Ciu
Tiong Ing adalah murid Siao Lim Pai, couwsu yang dipujanya ialah Tat Mo couwsu.
Didepan meja couwsu, Tiong Ing menyulut hio dan bersem bahyang . Juga puteranya
disuruhnya bersembahyang . Dibawah sinar lilin, tampaklah olehnya akan wayah sang
putera yang berseri-seri bagaikan rembulan itu, cakap dan menimbul kan rasa kasih.
Diam-diam hatinya terasa seperti di ris-iris sembilu.
"Apakah kau masih berhutang uang pada orang, atau meminyam barang orang yang
belum kau kembalikan?" tanyanya pada sang putera.
"Tidak."
"Adakah kau membuat sesuatu janyi pada orang?"
"Aku telah menyanyikan pada adik kecil dari keluarga Beng, untuk memberi telur
burung Tadi dibelakang gunung kutelah mendapatkan beberapa biji, masih belum
kuberikan padanya."
Sembari berkata itu, Ing Kiat merogoh keluar sebuah bungkusan diberikan pada
ayahnya. Oleh Tiong Ing barang itu diletakkan diatas meja.
"Nanti biarlah aku sendiri yang menyerahkannya, harap kau jangan kuatir."
Kata-kata Tiong Ing pada, saat itu, sangat lemah lembut. Ma-lah dielus-elusnya kepala puteranya itu dengan penuh kasih sayang, katanya :
"Kau Pai (memberi hormat dengan angkat ke 2 tangan) pada ibumu, untuk
menghaturkan terima kasih bahwa ia telah mengandungmu selama sepuluh bulan dan
merawatmu sampai sepuluh tahun."
Ing Kiat mengerjakan apa yang diperintah ayahnya. Kini Ciu naynay baru insjaf apa
yang akan diperbuat oleh suami nya itu. Seketika ia menangis menggerung-gerung.
Puteranya segera didekap, biar bagaimana takkan dilepaskannya.
Tiong Ing senderkan diri dikursi. Nampak isterinya me meluk sang putera dengan
menangis tersedu-sedu itu, hatinya seperti dibetot. Setelah beberapa waktu, Tiong Ing segera bangkit menghampiri. Melihat itu Ciu naynay makin me meluk kencang-kencang,
serunya : "Kau bunuhlah kita, ibu dan anak ber 2 saja. Tanpa dia, akupun tak mau hidup lagi."
Setelah meremkan mata sejenak, berkatalah Tiong Ing dengan suara sember: "Kau
lepaskanlah dia."
Tapi Ciu naynay halangkan badannya kedepan pula.
"Masih sedemikian kecilnya dia sudah temaha keuntungan, lupakan kebajikan. Apakah
besok tidak bakal menyadi orang yang melanggar pantangan Tuhan" Anak yang sema
cam itu, makin berkurang makin baik bagi kita," kata Tiong Ing dengan keren.
Sembari. mengucap begitu, dia tarik Ing Kiat, lalu diang katnya naik. Ciu naynay
bergulung-gulung terus berkui didepan suaminya, clan meratap :
"Loyacu, kau ampuni dialah. Biarlah dia pergi dari Thiat-tan-chung sini, untuk selama-lamanya."
Tanpa menyahut apa-apa, Tiong Ing diam-diam kerahkan semangatnya, lalu
menamparkan tangannya kearah jalan darah "thian-ling-kay" pada batok kepala
puteranya. Berbareng dengan suara "plak," ke 2 biji mata anak itu melotot keluar, dan putuslah jiwanya seketika itu.
Melihat putera kandung yang dikasihinya telah meninggal, Ciu naynay bagaikan seekor
macan betina yang kehilangan anak, terus menyerang suaminya. Tiong Ing mundur
selang kah. Ciu naynay lari ketempat rak senyata, menyembat sebatang golok, lalu
dihajarkan kekepala suaminya.
Saat itu hati Tiong Ing penuh dengan rasa sesal dan duka. Dia tak mau berkelit atau
menyingkir. Dengan meramkan mata, berserulah ia: "Ya, biarlah. Kita semua mati, ada
lebih baik."
Melihat kelakuan suaminya itu, tangan Ciu naynay ber balik lemas. Golok dilempar,
terus lari keluar sambil tekap mukanya.
Sekarang kita tengok keadaan Lou Ping dan Ie Hi Tong yang telah meninggalkan Thiattan-chung itu. Karena kuatir kesamplokan dengan kuku garuda, mereka ambil jalan di
jalan kecil yang sepi. Kira-kira berjalan sampai sepuluh li, haripun sudah gelap.
Daerah didekat perbatasan situ, memang sunyi senyap. Jangankan rumah penginapan,
sedangkan rumah petanipun tak nampak barang sebuah. Syukur ke 2nya adalah orangorang kangouw, yang sudah biasa dengan keadaan begitu. Tidak ada rumah, sebuah
batu karang yang besarpun, boleh untuk tempat istirahat. Disekitar tempat itu, tumbuh beberapa gundukan rumput. Hi Tong lepaskan kudanya untuk makan rumput, lalu
memakai golok Lou Ping untuk memotong beberapa genggam rumput, yang
ditumpuknya selaku kasur diatas tanah. Katanya :
"Kini tempat tidur sudah ada, sayang masih kurang ran sumnya, dan tiada air pula.
Maka untuk malam ini terpaksa kita harus tidur dengan perut kosong".
Pikiran dan hati Lou Ping selalu pada suaminya. Sekalipun dihidangkan daharan yang
lezat-lezat, juga tak dapat ditelannya. Ia terus menerus menepas air mata. Sedapat
mungkin Hi Tong menghiburnya dengan mengatakan, bahwa Liok susiok nya tentu
sudah sampai ke Ansee, dan bahw.asanya bala ban tuan Hong Hwa Hwee akan segera
tiba untuk merampas kembali Bun Thay Lay.
Lama kelamaan terhibur jugalah hati Lou Ping dan ter tidurlah ia. Malam itu ia bermimpi berjumpa dengan sua minya, yang segera memeluk dan menciumnya dengan kasih
mesra. Dengan penuh kegirangan, Lou Ping biarkan suaminya memelukinya dan
tanyanya : "Betapa kuselalu pikirkan dirimu, koko. Bagaimana de ngan lukamu?"
Bun Thay Lay makin memeluknya kencang-kencang dan menciumnya dengan bernapsu.
Selagi semangat Lou Ping me layang 2, tiba-tiba ia terkejut dan bangun. Dibawah sinar kelap kelip dari bintang-bintang, yang memeluk badannya ternyata bukan suaminya
tetapi Ie Hi Tong.
Bukan main kagetnya Lou Ping, ia meronta se-kuatnya, namun Hi Tong tetap
memeluknya kencang-kencang dan katanya :
"0, betapa aku telah merindukan dikau !"
Karena malu dan gusar, Lou Ping segera menamparnya. Seketika itu Hi Tong termangumangu. Kembali Lou Ping men jotos dadanya, serta berontak melepaskan diri dari
pelukan nya. Dengan gerak "lan-lu-bak-kun" keledai malas mengge lundungkan diri, ia
bergelundungan kesamping terus akan melolos sepasang goloknya dari pinggang. Tapi
ternyata golok itu telah diambil Hi Tong dan diletakkan disamping.


Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kembali ia kaget, dan terus merogoh kantong huitonya, yang untungnya masih ada 2
batang. Dengan menggeng gam ujung huito, ia berseru dengan kerennya: "Apakah
maksudmu sebenarnya?"
"Suso, kau dengarlah perkataanku," sahut Hi Tong.
"Siapa yang kau sebut suso itu" Pantangan dalam Hong Hwa Hwe itu bagaimana, coba
kau bilang!" bentak Lou Ping.
Hi Tong tundukkan kepala, tak berani menyahut. Lou Ping walaupun biasanya selalu
tertawa riang, namun dia selalu pegang aturan dengan keras. Mana ia mau sudah
diperlaku kan begitu macam, maka dengan suara bengis ia mendesak pula: "Locu dari
Hong Hwa Hwe orang she apa?"
"Hong Hwa Hwe locu sebenarnya orang she Cu," sahut Hi Tong.
"Apakah yang dijunyung oleh para saudara-saudara?" tanya pula Lou Ping.
"Pertama, menyunyung azas Tho Wan Kiat Gi (sumpah persaudaraan ditaman) dari
Lauw Pi, Kwan Kong dan Thio Hwi. Ke 2, memuja pada Ngo-kong-say-siang Ciong-jilong (sumpah setia kawan). Ketiga, menghormat pada sepuluhdelapan orang gagah dari
Liang-san," sahut Hi Tong.
Kiranya tanya jawab tersebut adalah merupakan anggar 2 yang penting dari Hong Hwa
Hwe. Setiap ada anggauta baru masuk, mengadakan pengangkatan sumpah atau
menyatuh kan hukuman partai, maka datanglah orang pimpinan atas untuk melakukan
tanya jawab secara serieus. Orahg-orang sebawahan yang tersangkut, harus
menyawabnya. Dalam HONG HWA HWE Lou Ping menempati kedudukan yang lebih atas dari Hi Tong.
Ia bertanya, sekalipun bagaimana rasa hati Hi Tong, tapi dia tak boleh tidak harus
memberi ja waban. Kembali Lou Ping bertanya :
"Apakah keempat macam golongan orang yang akan di basmi oleh HONG HWA HWE?"
"Kesatu: kawanan budak pem. Boanciu. Ke 2: pembesar rakus pemeras rakjat. Ketiga:
segala okpa dan wangwe penindas. Keempat: Orang yang temaha kekajaan dan melu
pakan kebajikan."
Lou Ping kerutkan jidatnya sejenak, lalu serunya kembali :
"Apakah larangan (pantangan) besar dari HONG HWA HWE ?"
"Siapa yang menakluk pada Cengtiau, siapa yang meng hina pada pimpinan atas, siapa
yang menghianati kawan, siapa yang kemaruk harta gemar paras cantik
akan. menerima hukuman mati."
"Kalau kau insjaf, lekas-lekas jalankan "sam-to-liok-tong," akan kuantarkan kau kepada saothocu. Kalau tidak insjaf, kau melarikan diri saja, agar jangan sampai tertangkap oleh Cap-ji-long Kwi Kian Chiu," kata Lou Ping kembali.
Menurut peraturan HONG HWA HWE, barang siapa yang berbuat kesalahan besar, dan
telah menginsjafinya, dimuka sidang dewan pimpinan boleh menyalankan hukuman:
tusuk paha tiga kali. Tusukart itu harus menembus kedaging. Inilah yang dinamakan
sam-to-liok-tong, tiga golok enam lubang. Habis itu harus menghaturkan maaf pada
tho-cu daerah dan hiang-cu yang menyalankan hukuman itu. Apabila dosanya me mang
besar sekali, pun sukar untuk mendapat keampunan.
Kwi Kian Chiu sebenarnya orang she Ciok nama Siang Ing. Dalam HONG HWA HWE dia
menduduki tempat ke 2belas. Tugasnya chusus untuk memimpin sidang pemeriksaan
hukuman. Hati nya dingin tak kenal kasihan, tangannya kejam. Seorang yang berdosa,
takkan lolos dari tangannya, sekalipun dia hendak lari keudiung langit. Karenania
berouluh ribu ang gauta HONG HWA HWE (Hong Hwa Hwe) bila mendengar nama Kwi
Kian Chiu atau setanpun takut melihatnya, tentu merasa seram.
Boleh dikata anggauta HONG HWA HWE semua adalah orang-orang gagah dari
kalangan Sungai Telaga. Kalau mereka tidak mengada
kan aturan-aturan partai yang keras, tentu tak dapat menguasai sekean banyak
anggautanya. Tatkala itu berkatalah Hi Tong dengan serta merta : "Kau bunuh sajalah aku! Aku akan puas mati ditanganmu."
Mendengar itu, makin meluaplah kemarahan Lou Ping. Ia anggap Hi Tong tetap
ngelantur. "Kau tak meng'etahui bag'aimana dalam lima enam tahun ini, aku selalu menderita
karena kau. Pada waktu aku mengangkat sumpah dipeseban Cong-hiang-tong, begitu
pertama kali kumelihat kau, hatiku sudah bukan menyadi milikku lagi," kata Hi Tong,
lebih jauh. "Itu waktu masa kau tak tahu bahwa aku sudah menyadi kepunyaan Bun suko?" tanya
Lou Ping. "Memang benar. Namun aku tak dapat menguasai diriku lagi. Karena itulah maka aku
selalu jauhkan diri. Ada apa saja, tentu aku minta cong-tho-cu untuk menyuruh aku saja yang mengerjakan. Lain-lain saudara anggap betuis aku menyual jiwa untuk
perkumpulan, karenanya aku mendapat banyak penghargaan. Tapi hal yang
sebenarnya, aku hanya berusaha menyauhkan diri darimu. Namun dimana saja
kuberada, pikiranku selalu ada padamu."
Habis berkata itu, Hi Tong menyingkap lengan bajunya yang kiri, sembari maju
selangkah, dia berkata pula :
"Aku benci diriku, mengutuknya pula mengapa hatiku seperti binatang. Pada saat aku
marah itu, segera kupaksa badis untuk menusuk lenganku ini. Kau lihatlah."
Diantara sinar remang-remang dari bintang-bintang, tampak lengan Hi Tong itu penuh
dengan bekas luka tusukan. Demi menampak itu, lemaslah hati Lou Ping.
Melihat bagaimana bibir Lou Ping ber-gerak-gerak, seperti sukar untuk mengucap,
tahulah Hi Tong bahwa wanita pujaannya itu tergerak hatinya. Dia ulurkan tangan untuk menarik tangan Lou Ping, tapi yang tersebut belakangan ini cepat-cepat mundur
selangkah, dan tundukkan kepala tak berkata apa-apa.
"Seringkali aku sesalkan Tuhan, mengapa tak memper temukan kita pada sebelum kau
menikah. Dan mengapa kini menitahkan aku bertemu padamu" Baik usia dan rupa, kita
ber 2 sembabat sekali. Kiranya jauh lebih baik kau ikut aku daripada Bun suko," Hi Tong meraju.
Sebenarnya Lou Ping mengasihani penderitaan anak muda itu, tapi waktu dengar nama
suaminya dibawa-bawa, marahlah ia.
"Bun suko" Dalam hal apa kau nempil dengan Bun suko"
Dia adalah seorang hohan yang berambekan tinggi, tidak seperti kau begini "
Lou Ping tak mau lanyutkan kata-kata untuk memaki orang. Dengan perdengarkan
suara jemu, dengan berpincangan ia menghampiri kudanya, terus naik keatasnya. Hi
Tong Buru-buru menghampiri untuk bantu menaikkannya, tapi dibentak Lou Ping yang
menyuruhnya menyingkir.
"Suso, kau hendak kemana "'" tanya Hi Tong hampa.
"Tak perlu kau tahu. Suko sudah tertangkap, akupun tak mau hidup lagi kembalikan
golokku itu," kata Lou Ping.
Dengan tundukkan kepala, Hi Tong serahkan golok wan yang-to pada Lou Ping. Melihat
sikap Hi Tong yang seperti orang hilang pikiran itu, timbul ah rasa kasihan Lou Ping, lalu katanya :
"Asal selanyutnya kau bekerja sungguh-sungguh untuk perkum puian, soal tadi takkan
kuceritakan pada siapapun juga. Akupun akan berusaha sekuat-kuat untuk bantu
mencarikan seorang nona yang cantik dan kosen untukmu !"
Habis mengucap, dengan perdengarkan ketawanya, Lou Ping terus keprak kudanya.
Memang sifat suka ketawa dari Lou Ping sukar dirobah, dan inilah yang membikin celaka Hi Tong. Dia kira, dengan ketawa itu Lou Ping masih memberi kemungkinan harapan.
Lama dia awasi bajangan orang yang dipujanya dengan tegak berdiri. Pikirannya melayang-layangjauh tak keruan.
Setelah berjalan sementara jauhnya, bimbanglah hati Lou Ping. Menuju kebarat untuk
menggabungkan diri dengan bala bantuan HONG HWA HWE, atau ketimur untuk
menolong suaminya. Dalam keadaan menderita luka, terang ia tak kan dapat menolong
suaminya. Tapi kalau ia menuju keba rat, sedang suaminya dibawa makin lama makin
jauh kearah timur, hatinya tak tega. Dalam kebimbangannya itu, ia melarikan kudanya
tanpa tujuan tertentu. Kira-kira berjalan dapat delapan li jauhnya, karena percaya Hi Tong bakal tak sampai dapat mengganggu, ia lalu cari tempat meneduh dan tidur disitu.
Sejak kecil mengikut ayahnya Lou Gwan Thong, dan setelah menikah turut suaminya
Bun Thay Lay, ke 2nya jago- yang bugenya menggetarkan orang, dan begitu sayang
padanya. Karena itu selama di Rimba Persilatan, Lou Ping hanya selalu mengalami
pertempuran dan menang, tak per nah ia menderita kekalahan. Kali ini betul-betul ia
mengalami kegoncangan hati yang hebat. Suami tertangkap, ia sendiri terluka,
tambahan pula dipermainkan Ie Hi Tong. Memikir sampai disitu, ia menangis tersedusedu. Sampai sekean lama, barulah ia tertidur. Malam itu badannya panas, dan tak
putus-'nya menggigau minta minum.
Keesokan harinya, penyakitnya tambah berat. Ia paksakan diri untuk bangun, tapi
rasanya kepala seperti mau pecah, maka terpaksa berbaring lagi. Sampai matahari
selam, ia merasa haus dan lapar, namun ia tak kuasa untuk naik keatas kudanya.
Kalau mesti mati disini masih tak mengapa, tapi sungguh kecewa sekali, aku tak dapat berjumpa dengan Bun toako lagi. Demikian ratapnya.
Tiba-tiba matanya terasa berkunang-kunang dan terus jatuh pingsan. Entah sudah
berselang berapa lama, ketika tersedar didengarnya orang berkata : "Ah, sudah
mendusinlah seka-rang !"
Seorang gadis yang matanya lebar, kehitam-hitaman kulitnya, alisnya tebal dan kira-kira berusia 1delapan tahun nampak girang ketika tahu Lou Ping sudah bangun. Ia suruh
seorang buyang nya untuk memberikan bubur pada Lou Ping, siapa pun terus
memakannya. Setelah semangatnya sudah banyak segaran, Lou Ping haturkan terima
kasih serta menanyakan nama penolongnya.
"Aku she Ciu, kau mengasohlah lagi. nanti kita omong-omong pula," sahut gadis itu
sambil meninggalkan ruangan itu.
Ketika Lou Ping bangun lagi ternyata hari sudah malam. Tiba-tiba didengarnya ada
seorang wanita berkata :
"Mereka sangat tak pandang mata pada kita, begitu berani menggeledah Thiat-tan
chung, biarlah aku yang memberi hajaran dulu".
Mendengar itu, terkejutlah Lou Ping. Masa ia berada di Thiat-tan-chung lagi" Saat itu masuklah 2 orang, yang ternyata adalah gadis itu dan seorang buyang . Ketika gadis
itu menyingkap kelambu, Lou Ping pura-pura meremkan mata. Gadis itu segera menuju
ketembok untuk mengambil golok. Lou Ping kaget, tapi segera ia girang setelah
mengetahui wan-yang-tonya terletak diatas meja dekat pembaringannya situ. Kalau
gadis itu berani menyerang, ia akan dului dengan sebuah tabasan, dan terus akan
merat pergi. "Siocia kau tak boleh meneryang bahaja lagi, loyacu (majikan tua) kini lagi bersusah hati, jangan kau mem buat ia marah", tiba-tiba buyang itu berkata.
Kini tahulah Lou Ping, bahwa siocia itu adalah puterinya. Ciu Tiong Ing. Memang benar dialah puteri Tiong Ing yang bernama Ciu Ki. Tabiatnya seperti sang ayah, gemar
belajar bugee, dan suka memberantas hal 2 yang tidak adil. Kalangan bulim (persilatan) daerah barat utara memberinya gelaran sebagai "Kiu Li Kui." Li Kui adalah salah
seorang pahlawan Liangsan yang berangasan adatnya. Hari itu setelah memukul roboh
seseorang, ia tak berani pulang. Baru besoknya setelah kemarahan ayahnya sudah
reda, pulanglah ia. Ditengah jalan dilihatnya Lou Ping terlantar ditanah, maka terus dibawanya pulang.
Mendengar kata-kata buyang nya itu, Ciu Ki merandek seben tar, tapi ia tak ambil
perduli, terus lari keluar, di kuti oleh sang buyang . Lou Ping karena merasa
semangatnya sudah pulih kembali, terus bergegas-gegas turun dari pembaringan dan
mengenakan pakaian. Lebih dulu ia "gasak" sebiji bahpao yang berada diatas meja, dan 2 biji lagi ia masukkan kedalam kantong, lalu menyelinap keluar.
Mengetahui tempat itu berbahaja, Lou Ping mengambil
Thiat-tan-chung sudah akan menghadapi kemusnaan, mengapa masih mau berlagak,"
kata Siu Ho dengan tertawa dingin.
Memang sedari Bun Thay Lay tertangkap, hati Beng Kian Hiong selalu kuatirkan Thiattan-chung akan terembet. Kini mendengar ucapan Siu Ho itu, dia Buru-buru memberita
hukan pada Tiong Ing. Dengan menenteng senyata thiat-tan, keluarlah Tiong Ing
dengan gusarnya.
"Siapa yang bilang Thiat-tan-chung akan musna, lohu akan minta pengajaran padanya,"
teriak jago tua. itu segera sesudah berhadapan dengan tamunya.
Ban Khing Lan Buru-buru mengeluarkan sehelai surat lalu diletakkan diatas meja, lalu katanya :
"Ciu lounghiong, silahkan baca."
Sembari berkata itu, orang She Ban tersebut. masih menekan ujung surat itu, seakanakan dia kuatir Tiong- Ing akan me rampasnya. Begitu melihatnya, ternyata Tiong Ing
mengetahui bahwa surat itu adalah surat Liok Hwi Ching kepadanya yang meminta
pertolongan supaja sukte. memberi perlindung an pada Bun Thay Lay bertiga. Surat itu didapatinya dari dalam baju Bun Thay Lay, sewaktu dia digeledah.
Swi Tay Lim sebagai orang kangouw kawakan, segera tahu siapa Liok Hwi Ching itu.
Dialah" juga seorang pesa kitan negara yang penting. Kini ternyata mempunyai hubung
an dengan orang-orang Thiat-tan-chung. Kaki tangan penjajah itu, orang-orang yang
termaha uang dan banyak akal, mereka tak mau laporkan pada fihak atasan, tapi akan
mendatangi Ciu Tiong Ing untuk memerasnya. Dan uang itu akan dibaginya rata.
Mereka jakin tentu Tiong Ing mudah dikeruk uangnya.
Oleh karena Seng Hing, Swi Thay Lim dan lain-lain. adalah orang-orang yang ada nama
pada pemerintah, maka mereka segan untuk menonyolkan diri. Dan untuk keperluan
itu, disuruhnya Ban Khing Lan dan Tong Siu Ho ber 2 yang mengerjakan.
Melihat surat itu, agak terkesiap juga Tiong Ing, tanya nya: "Bagaimana maksud
kalian ?" "Kita sangat hargakan akan nama Cioe loenghiong yang harum itu. Apabila surat ini
sampai jatuh ketangan fihak atasan, tentunya loenghiong akan maklum sendiri
akibatnya. Kawan-kawan kita berpendapat, akan mengikat tali persahabatan dengan loenghiong.
Pertama akan membakar surat ini, ke 2 takkan melaporkan pada fihak atasan bahwa
loenghiong ternyata bantu melindungi Bun Thay Lay", Ban Khing Lan mulai mainkan
lidahnya. "Sungguh aku merasa berterima kasih pada saudara-saudara sekalian," Buru-buru Tiong
Ing berkata. Setelah omong-omong beberapa hal lagi, maka dengan secara tak langsung berkatalah
Ban Khing Lan: "Hanya kali ini kita keluar, telah menggunakan banyak sekali ongkos-ongkos perjalanan sehingga kita tertindih dengan hutang. Kita harap dengan memandang pada sesama
golo ngan persilatan, loenghiong suka memberi sedikit bantuan. Untuk itu sungguh kita berSyukur sekali."
"Hm," jengek Tiong Ing sembari menangkat alisnya demi mengetahui apa maksud
orang. "ltu tak berjumlah banyak, hanya enam atau tujuh laksa tail perak. Di tempat ini Ciu loenghiong mempunyai sawah dan tanah yang luas sekali. Jumlah yang sedemikian kecil
itu, dirasa tentu tak menyadi soal," demikian Ban Khing Lan menambahi pula.
Mengetahui dirinya akan dipelecet, marahlah Tiong Ing seketika, serunya :
"Jangan lagi memang aku tak punya uang begitu banyak, sekalipun punya juga akan
kuperuntukkan mengikat tali persahabatan dengan orang-gagah yang mempunyai
ambek perwira."
Dengan kata-katanya itu, bukau saja menolak, tapi pun ber arti mendamprat orang.
Tong Siu Ho hanya tertawa dan katanya :
"Memang kita ini golongan siaojin (kaum rendah) yang tak punya guna. Untuk
membangun sebuah daerah semacam
Thiat-tan-chung, terang kita tak mampu. Namun kalau disuruh membumi hanguskan "
Belum habis kata-kata itu diucapkan, seseorang menobros masuk dan membentak
nyaring : "Ayolah, nonamu justru ingin melihat cara bagaimana kau hendak
menghancurkan Thiat-tan-chung ini."
Orang ini ternyata adalah Kiao Li-Kui Ciu Ki adanya.. Tiong Ing mengedipkan mata,
terus menuju keluar ruangan di kuti oleh puterinya. Dia membisiki beberapa patah kata didekat telinga Ciu Ki :
"Kau bisiki Kian Hiong dan Kian Kong, ke 2 kuku garuda ini jangan sampai bisa keluar dari Thiat-tan-chung."
"Bagus, makin mendengarkan pembicaraan mereka, makin menarik," Ciu Ki tampak
gembira karena bakal bisa melabrak orang.
Setelah Tiong Ing kembali kedalam, berkatalah Ban Khing Lan :
"Karena Ciu loenghiong tak menyukai kedatangan kita, maka kitapun akan berlalu."
Habis berkata begitu, dia segera robek- surat Liok Hwi Ching tadi. Ciu Tiong Ing
tertegun dibuatnya, karena tak mengira orang she Ban itu akan berbuat begitu, Malah
orang tersebut berkata dengan tenang :
"Ini sebenarnya hanya turunannya saja. Biar kurobek saja, agar jangan dilihat orang.
Aselinya berada ditangan Thio taijin."
Jilid 6 DENGAN ucapan itu dia mau artikan "
"Bukti kedosaanmu sudah ditangan kita, sekalipun kau bunuh kita ber 2, juga sia-sia
saja." Justeru dalam saat yang tegang itu, dari luar pintu Lou Ping menyerang dengan huito
kearah Siu Ho. Sekalipun Tiong Ing amat benCi Siu Ho, tapi dia tak mau orang itu
sampai binasa dirumahnya. Tanpa mengetahui dulu siapa penyerangnya, Tiong Ing
perlu menolong jiwa orang itu. Hampir bersamaan waktunya, thiat-tan ditimpukkannya,
tepat mengenai tangkainya. Meskipun huito itu agak membeluk jalannya, tapi ujungnya
tetap menyasar kebahu kiri Siu Ho.
Sebaliknya, karena nampak orang melindungi musuhnya, memakilah Lou Ping dengan
lantangnya : "Bagus kau, bangsat tua yang sudah menganiaya suamiku. Mari kau bunuhlah aku
sekali!" Dengan berpintjangan, Lou Ping menobros masuk terus menyerang Tiong Ing dengan
sepasang wan-yang-tonya. Karena tak memegang senjata, Tiong Ing sembat sebuah
kursi untuk menangkisnya, katanya:
"Sabarlah, kita bicara dengan pelan-pelan dulu!"
Lou Ping sudah bertekad untuk mengadu jiwa. Dengan tak hiraukan omongan. Orang,
ia segera menyerang gencar dengan ilmu golok warisan ayahnya. Sepasang goloknya
merangsang dalam jurus-jurus serangan hebat. Tiong Ing insyap bahwa orang-orang
HONG HWA HWE menuduh dia menyual Bun Thay Lay. Untuk itu dia berusaha akan
menyelaskan, karenanya dia tak mau balas menyerang dan hanya main mundur saja.
Lou Ping makin gencar memainkan sepasang goloknya, dan pada saat itu Tiong Ing
sudah terdesak sampai keujung tembok. Selagi dia dalam keadaan yang beru saja itu,
tiba-tiba Lou Ping merasa ada sambaran angin memukul dari arah belakang. Cepatcepat ia bungkukkan tubuh seraja sabetkan sebelah goloknya kebelakang kepala.
Menyusul dengan itu, kembali ada angin menyambar, maka Buru-buru Lou Ping gerak
kan goloknya yang panyang untuk membabat kaki orang. Begitu orang itu loncat
mundur, Lou Ping terus berputar badan. Ternyata penyerangnya itu ialah puterinya Ciu Tiong Ing.
"Kau seorang perempuan yang tak tahu membalas kebaik an. Dengan baik-baik
kutolong kau, tetapi berbalik kau akan membunuh ayahku!" demikian damperat Ciu Ki
pada Lou Ping. "Kau orang Thiat-tan-Chung hanya berkedok kebaikan palsu. Suamiku telah kau aniaya.
Kau minggirlah, aku tak kan mengganggumu!" kata Lou Ping, siapa lalu berpaling
kearah Tiong Ing dan terus menyerangnya lagi.
Tiong Ing angkat kursi untuk menangkis, maka Buru-buru Lou Ping menarik pulang
senjatanya. Menyusul dengan itu ia menyerang lagi tiga jurus serangan berantai. Tiong Ing berkelit kian kemari dan ber-ulang 2 berseru supaya Lou Ping berhenti menyerang.
Ciu Ki menjadi gusar terus maju menghadang Lou Ping. Dan kini ke 2nya saling
bertempur dengan seru!.


Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalam hal pengalaman, Lou Ping lebih atas dari Ciu Ki. Tapi karena ia terluka tambahan pula pikirannya kusut, maka setelah bertempur sampai tujuh atau delapan jurus. Lou
Ping mulai keteter.
"Berhenti!" seru Tiong Ing tiba-tiba ."
Tetapi. ke 2 orang yang tengah bertempur itu tak meng hiraukan seruan itu, sementara itu Ban Khing Lan Buru-buru menolong Cabutkan huito yang menancap dibahu Siu Ho
dan dibalutnya. Ke 2nya juga menyaksikan pertempuran antara ke 2 jago betina itu.
Karena puterinya tak dengar kata, marahlah Tiong Ing. Diangkatnya kursi terus akan
dihantamkan ketengah untuk memisah, tetapi tiba-tiba terdengar suara yang aneh dan
menyusul sebuah bayangan bundar menobros masuk. Dengan bersenjatakan sepasang
kampak, seorang kate tahu-tahu terus menghantam Ciu Ki dengan sehebat-hebatnya.
Ciu Ki loncat menghindar, lalu dengan gerakan "sin-liong-to-ka" naga sakti mengibas
sisik, ia balas menabas pundak orang. Namun orang itu tinggal diam saja. Dia hanya
pakai tangkai kampak untuk menangkis. "Trang." Ben turan itu menggetarkan tangan Ciu Ki, malah begitu keras sampai kesemutan rasanya dan goloknya terlepas.
Dengan sebat, Ciu Ki loncat mundur 2 tindak. Dibawah sinar lilin yang menerangi
ruangan tersebut., dilihatnya sang lawan itu adalah seorang bongkok yang aneh sekali potongan tubuhnya. Si Bongkok tak mau mengejarnya, hanya memandang kearah Lou
Ping. Demi melihat kesajangannya, hati Lou Ping bukan buatan girangnya, serunya :
"Sip-ko!"
"Su-ko dimana?" balas menanya si Bongkok.
Lou Ping menunyuk pada Tong Siu Ho bertiga, lalu berseru : "Dia dianiaya oleh orangorang ini. Sip-ko (kakak kesepuluh), kau balaskanlah sakit hatinya!"
Mendengar itu, dengan tanpa tanya apa-apa, si Bongkok Ciang Cin terus menyerang
Tiong Ing, siapa karena tak membekal senjata apa-apa, terus loncat keatas meja dan
berseru : "Berhenti dulu!"
Tapi Ciang Cin menyusuli lagi membabat kaki Tiong Ing. Apa boleh buat, Tiong Ing
terpaksa loncat kebawah lagi. Karena si Bongkok menghantam dengan sekuat-kuatnya,
maka kampaknya itu menancap beberapa dim kedalam meja, dan untuk sesaat sukar
untuk ditariknya.
Adalah pada saat itu, Kian Hiong dan Kian Kong yang mendapat laporan, segera
bergegas datang. Kian Kong lalu mengangsurkan senjatanya kim-pui toa-to pada sang
suhu. Juga nona Ciu Ki yang beradat berangasan, nampak Lou Ping dan si Bongkok
begitu kurang ajar, segera berseru :
"Beng toako, An samko, jangan kasih lepas kawanan berandal yang mengaCau Thiattan-Chung ini."
Bertiga mereka segera menyerang pada Ciang Cin. Si Bongkok tidak gentar, tiba-tiba
iapun berteriak :
"Ayo, Chit-ko, lekas kau keluar menemui suko. Kalau masih ayal-ayalan, akan
kudamprat leluhurmu!"
Kiranya bersama Bu-Cu-kat Ji Thian Hong, Ciang Cin terus menempuh perjalanan siang
malam untuk lekas-lekas menuju ke Thiat-tan-Chung. Ketika sampai di Thiat-tan-Chung, hari sudah malam. Thian Hong sebenarnya akan menyerahkan karcis nama untuk minta
bertemu dengan Ciu Tiong Ing. Tetapi si Bongkok tanpa bilang apa-apa, terus menobros masuk saja. Apa boleh buat, Thian Hong terpaksa mengikutinya. Dan ketika dia baru
sampai, tahu-tahu si Bangkok sudah bertempur dengan Ciu Ki, Kian Hiong dan Kian
Kong. Maka ketika si Bongkok menereakinya, dia Buru-buru menghampiri kesamping
Lou Ping. Saat itu Lou Ping dengan napas tersengal-sengal memutar sepasang goloknya terus
akan menyerang Tiong Ing. Begitu melihat Thian Hong, ia menjadi girang sekali.
Dengan adanya kursi itu disitu, tentu bereslah urusannya. Menuding pada Tong Siu Ho
dan Ban Khing Lan, segera ia berseru :
"Merekalah yang mencelakakan suko"
Biasanya Thian Hong selalu bersikap hati-hati. Tapi kali ini karena mendengar sukonya dianiaya orang, tanpa berpikir panyang lagi dia terus menyerang Siu Ho dengan
senjatanya. Bagi Siu Ho dan Ban Khing Lan sebenarnya sangat girang melihat orang HONG HWA
HWE bertempur dengan orang Thiat-tan-Chung. Mereka memperhitungkan orang HONG
HWA HWE yang hanya tiga orang itu, tentu akan kalah. Dan pada saatnya mereka baru
akan turun tangan untuk membekuknya, untuk menCari pahala.
Malah Siu Ho tetap merindukan Lou Ping, dan selama itu dia awasi dengan mata tak
terkesiap. Maka dia begitu gelagapan, ketika Thian Hong loncat membacok. Syukur dia
masih bisa berlaku sebat untuk menangkis dengan goloknya.
Perawakan Thian Hong yang pendek kecil itu, sembabat sekali dengan Siu Ho. Tapi
dalam buge, Thian Hong lebih unggul. Beberapa kali Siu Ho terpaksa mundur saja.
Malah dilain saat, tangan kiri Thian Hong yang pegang tongkat besi dikibaskan keluar, menyusul tangan kanan yang memegang golok ditikamkan ke lawan. Siu Ho Buru-buru
berkelit ke kiri. Tapi dia hanya memperhatikan serangan disebelah atas dan lupa
menyaga serangan musuh yang menikam dari bawah. Maka sekali pahanya termakan
golok, piauwsu itu segera berguling-guling ketanah.
Ketika Thian Hong akan menyusulkan tongkatnya, tiba-tiba terasa ada angin
menyambar punggungnya. Karena tak ke buru memutar diri, dia terus inyak dada Siu
Ho untuk loncat kemuka. Dan secepat-cepat kilat dia memutar badan, untuk menangkis
senjata Ban Khing Lan yang hendak membokong tadi.
Dengan sepasang senjata ping-thi-tiam-kong-jwan (semaCam golok runCing) dikotaraja
pernah Khing Lan jatuhkan sepuluh orang lebih jago-jago silat yang ternama. Dengan
keangkeran itulah dia baru dapat menyabat Cong-kauw-sip dari The-ong-hu (istana
pangeran The). Senjata itu dia jakinkan selama 2 tahun. The jin-ong karena akan
mengangkat dia ke kedudukan yang lebih tinggi, lalu titahkan dia mengawani Ciauw
Cong, agar bisa mendirikan pahala.
Dengan Thian Hong, dia menemui perlawanan yang seru. Meski sudah puluhan jurus,
belum ada yang menang dan ka lah. Khing Lan makin bernapsu. Kalau sampai tak dapat
mengalahkan si kate itu, dia pasti akan ditertawakan oleh Siu Ho. Maka segera dengan gerak "khong jiok gay ping"; burung gereja pentang sajap, dia tikam Thian Hong
dengan bernapsu sekali.
Thian Hong menghadangkan tongkatnya besi, sedang golok dia tabaskan kemuka
lawan. Dengan thi-jwan ditangan kanan, Khing Lan menangkis, diteruskan memapas
kepala. Kalau Thian Hong tak keburu menarik kepalanya kebelakang, pasti akan
tepapas, karena ujung thi-jwan itu hanya terpisah satu dim dengan kepalanya. Diamdiam Thian Hong me ngakui akan kelihaian sang musuh. Kini dia berganti Cara nya
bertempur. Karena tubuhnya pendek, maka dia tujukan serangannya kekaki lawan.
Golok dan tongkat dirangkapkan kebawah untuk memotong ke 2 paha orang.
Khing Lan menegakkan sepasang thi-jwannya untuk me lindungi sang kaki. Tetapi tak
disangkanya, serangan Thian Hong itu hanya kosong belaka. Betul golok masih
diteruskan menabas, tetapi tongkat Cepat-cepat berganti arah, lurus menotok muka
lawan. Betul" Khing Lan tak berdaya lagi untuk menangkis, maka terpaksa dia
gunakair gerak "thiat pian kiao" jembatan gantung, untuk buang dirinya kebelakang.
Benar dia dapat lolos dari bahaja, tapi keringat dingin membasahi sekujur badannya.
Dan bertempur lagi dalam beberapa jurus, dia merasa kewalahan.
Dilain partai, Ciang Cin berkelahi seperti seekor kerbau mengamuk.
"Kian Kong, Cepat-cepat kau tutup pintu desa, wftenyaga ja ngan ada musuh yang bisa
masuk," seru Kian Hiong.
Namun sepasang kampak Ciang Cin makin gencar, hingga untuk beberapa saat itu Kian
Kong tak dapat lepas keluar gelanggang, Melihat itu berserulah Ciu Ki :
"An-jiko, lekas kau pergi, biar sibongkok ini aku yang melayani!"
Dikatakan "bongkok," hinaan yang paling dikutuknya se umur hidup itu, meluaplah dada Ciang Cin. Dia mengge rung dan mengerang. Ciu Ki dan Kian Hiong perhebat
serangannya, maka dapatlah Kian Kong loncat keluar.
"Semua harap berhenti dulu, dengarlah penyelasan lohu ini," tiba- Tiong Ing berseru.
Kiang Hiong dan Ciu Ki menaati, terus mundur beberapa tindak. Begitupun Thian Hong
juga mundur, dan serunya :
"Ciang sipte, berhentilah. Dengarkan penyelasannya."
Tetapi si Bongkok tak ambil perduli, terus menyerang saja. Ketika Thian Hong akan
maju menCegahnya, tiba-tiba Ban Khing Lan menghantam punggungnya dengan thijwan. Karena tak menyangka. Thian Hong tak keburu menyaganya. Cepat-cepat dia
tarik badannya, tetapi bahunya terhantam, hingga sampai dia terhuyung-huyung.
Serunya dengan penuh ke marahan :
"Bagus, kamu orang-orang Thiat-tan-Chung memang banyak-banyak tipu muslihat.
Dia salah sangka, mengira Ban Khing Lan itu orang Thiat-tan-Chung. Biasanya dia itu
tenang orangnya. Tapi dibokong begitu, dia marah betul-betul. Bahunya yang sebelah
kiri karena terluka, dia tak dapat mainkan tongkatnya besi lagi. Dengan hanya memakai sebatang golok di tangan kanan, dia serang Ban Khing Lan. Walaupun lengkapnya harus
memakai tongkat, namun dia tetap gunakan ilmu golok "ngo-houw-toan-bun-to." Tetapi
gerakannya kurang linCah, karena luka dibahunya itu sangat mengganggu sekali.
Disebelah sana Ciang Cin masih mengamuk, adalah Siu Ho yang enak 2 berdiri agak
jauh. Dengan mulut berkemak-kemik tak lampias, dia tuding 2 kearah Lou Ping. Karena
huitonya hanya tinggal sebatang, Lou Ping tak mau sembarangan melepas. Dia Cuma
mengangkat goloknya untuk mengejar Siu Ho, siapa berlari-lari memutari meja seperti
lakunya anak main godak.
"Kau jangan keliwat galak, suamimu kan sudah mening gal, lebih baik kau menikah
dengan Tong-toaya ini saja," serunya sembari berlarian.
Hati Lou Ping memang sudah gelap, mendengar kata-kata Siu Ho itu, ia kira suaminya
betul-betul sudah meninggal. Seketika itu pandangannya terasa gelap, kepalanya berat terus roboh tak ingat orang. Melihat itu, tersipu-sipu. Siu Ho lari menolong nya. Tapi kini Ciu Tiong Ing sudah tak kuasa menahan kemarahannya lagi. Dengan kim-pui toa-to, dia
juga berlari memburu kearah Lou Ping. Maksudnya akan menghajar Siu Ho yang kurang
ajar itu. Tetapi kalau memang sudah seperti digaris, maka kesala han faham itu makin menjadijadi. Justeru pada saat itu, menobroslah seseorang kedalam ruangan itu dengan berseru keras-keras.
"Kau berani melukai suso-ku mari kita mengadu jiwa." Dengan sepasang siang-kao
(gaetan) orang itu menyerang Tiong Ing dari 2 jurusan, kearah tenggorokan dan ke
bawah perut. Nampak wajah gagah, perwira dari orang itu, dan gerakannya begitu
linCah sekali, Tiong Ing merasa segan. Dia hanya menangkis pelan-pelan sambil
mundur setindak katanya : "Saudara ini siapa, harap suka beritahukan nama dulu!"
Orang itu tak mau menyawab dan hanya membongkokkan badan untuk memeriksa Lou
Ping yang wajahnya puCat seperti kertas itu. Ketika dirasakan hidung Lou Ping masih
mengeluarkan napas. Cepat-cepat didorongnya keatas kursi, sedang wan-yang-to
diletakkan disisinya.
Melihat orang-orang yang bertempur itu makin seru dengan tak menghiraukan
permintaannya, Tiong Ing marah. Tapi pada saat itu, dari luar terdengar seseorang
bertereak keras sekali. Menyusul itu terdengar gemerenCingnya suara senjata ber adu.
Tak lama kemudian, munCul ah An Kian Kong dengan menderita kekalahan, dikejar oleh
seseorang. Segera Tiong Ing mengetahui bahwa orang itu bertubuh gemuk dan tinggi. Tangannya
memegang sebatang pian yang beratnya tak kurang dari tiga 0 kati. Kian Kong ternyata tak berani saling berhantam senjata dengan orang itu.
"Pat-te, kiu-te. Kalau hari ini kita tak basmi orang-orang Thiat-tan-Chung, sungguh tak legah sekali," Thian Hong berseru kepada sigemuk itu.
Orang itu bernama Thiat-tha Nyo Seng Hian, orang nomor delapan dalam HONG HWA
HWE Sedang yang sikapnya gagah tadi ialah Kim-paoCu Wi Jun Hwa, menempati
kedudukan nomor sembilan. Meng hadapi setiap pertempuran, terutama dengan tentara
negeri, Jun Hwalah yang selalu paling berani sendiri se-olah 2 akan menantang maut.
Tapi anehnya, selama itu belum pernah dia mendapat luka berat, hingga Kawan-kawan
nya mendiuluki dia "Kim-pa-Cu" atau macan tutul bernyawa sembilan.
Ke 2 orang itu, aclalah bantuan HONG HWA HWE dari gelombang ke 2. Sampai di Thiattan-Chung, sudah hampir tengah malam. Mereka segera nampak, pintu Thiat-tan-Chun
terang benderang dengan kawanan Cengteng yang membawa obor dan senjata,
seakan-akan menghadapi musuh besar. Segera Jun Hwa maju berseru :
"Orang she Nyo dan she Wi dari HONG HWA HWE akan mohon meng hadap pada Ciu
loenghiong, harap saudaraa suku tolong melaporkannya."
Mendengar bala bantuan HONG HWA HWE datang, sedang didalam pertempuran
sedang berlangsung dengan hebatnya, An Kian Kong tak mau kasih mereka masuk,
perintahnya malah ke pada para Cengteng : "Lepas panah!"
Kira-kira 2puluhan Centeng segera pentang busur dan se ketika itu segunduk panah
muntah keluar. Dengan gusar, Jun Hwa dan Seng Hiap putar senjatanya untuk
menangkis. Malah Jun Hwa angot penyakitnya, terus menyerbu kearah hujan panah itu.
Melihat Caranya dia terdyang ba haja, Centeng-centeng itu ketakutan sendiri. Yang tak keburu menyingkir, kena keterjang .
Juga Nyo Seng Hiap ikut menerdyang , tapi dihadang Kian Kong dengan goloknya. Seng
Hiap bertubuh tinggi besar, bertenaga kuat sekali. Gerakan piannya, terbitkan deru
angin yang keras. Kian Kong tak berani menangkis dan hanya loncat menghindar.
Setelah ada kesempatan, baru dia kirim baCokan. Sekalipun Seng Hiap berbadan
gemuk, tapi gerak annya tetap gesit. Dengan gerak "membabat ribuan serdadu" dia
menyabet sekuat-kuatnya. "Trang," demikian golok dan pian saling beradu dan Kian
Kong segera rasakan tangannya ke semutan sakit sekali. Goloknya terpental keatas.
Seng Hiap memang tak berniat mengambil jiwanya, maka setelah lawan lari, tak
dikejarnya dan hanya loncat dari tembok desa terus masuk kedalam Thiat-tan-Chung.
Karena tak kenal jalanan, sedang hari amat gelap, telah menyem patkan Kian Kong
mengambil goloknya lalu menghadangnya lagi. Kini pemuda itu berkelahi dengan hatihati, namun dalam beberapa gebrak saja, lagi-lagi gigir goloknya telah kena disabet
pian Seng Hiap, sampai bengkok.
Begitu sembari memberl perlawanan, Kian Kong terus mundur sampai keruangan
tengah. Ketika Seng Hiap mengi rim sabetan kearah muka, Kian Kong tarik kepalanya ke belakang, lalu mengangkat sebuah meja untuk ditangkiskan. Sebelah ujung meja segera
terpapas kutung, ber-keping-keping bertebaran. Melihat itu Ciu Tiong Ing leletkan
lidahnya dan diam-diam memuji akan kelihaian jagos HONG HWA HWE Dan pada saat
itu Kian Kong sudah mandi keringat, beberapa jurus lagi tentu berbahaja jiwanya. Maka bertereaklah Tiong Ing se kuat 2nya :
"Para enghiong dari HONG HWA HWE, dengarlah lohu akan bicara."
Jun Hwa dan Seng Hiap segera berhenti, malah Jun Hwa memperingatkan Thian Hong
yang waktu itu tengah bertempur dengan Ban Khing Lan, supaya berhenti juga. Tapi
Thian Hong malah bertereak keras-keras:
"Awas, jangan kena ditipu!"
Belum ucapan itu selesai, Ban Khing Lan benar menyerang lagi. Kuku garuda kuatir
kalau nanti fihak Thiat-tan-Chung bergabung dengan orange HONG HWA HWE Karena
itu, dia tak mau kasih kesempatan untuk mereka berbicara. Namun Jun Hwa ternyata
sudah berjaga 2. Tak mau dia mundur meng hindar, sebaliknya malah menyambutnya
dengan serangan juga. Melihat itu Khing Lan kaget. Nyata musuh tak hirau kan jiwa.
Dan Buru-buru dia tarik kembali piannya.
Saat itu setelah menolong Lou Ping hingga tersedar lagi, memakilah Thian Hong dengan gusarnya :
"Kalangan kangouw sama memuji kau sebagai orang yang sangat berbudi tinggi, tak
tahunya kalau seorang licik yang sombong. Kau atur tipu daya yang rendah, adakah itu perbuatan seorang enghiong"!"
Tahu juga Tiong Ing bahwa mereka salah paham, namun dia marah juga dimaki begitu,
teriaknya tak tahan :
"Kau orang-orang HONG HWA HWE, terlalu menghina orang!"
Dia singkap jubahnya dan menyerukan sang murid supaya mundur.
"Kian Kong mundurlah, biar aku siorang tua meminta pengajaran dari para orang gagah
yang ternama itu," demikian teriaknya.
Setelah Kian Kong mundur, Tiong Ing maju dengan me megang golok, katanya :
"Saudara yang ini siapa?"
Nampak yang tampil kemuka seorang tua berjanggut putih, Seng Hiap Buru-buru
rangkapkan ke 2 tangan memberi hormat sambil berkata :
"Aku yang rendah ini ialah Thiat-tha Nyo Seng Hiap,"
"Pat-ko, tak usah kau terlalu merendah, situa inilah yang menipu suko," demikian
sekonyong-konyong Lou Ping berseru.
Mendengar keterangan itu, kagetlah Seng Hiap dan Jun Hwa ber 2. Malah setelah dapat
mendesak Ban Khing Lan mundur, Jun Hwa berputar badan terus menyerang Tiong Ing.
Sepasang gaetan bagaikan angin menyerang perut orang.
Dengan kerahkan lwekang, Tiong Ing tanCapkan goloknya kebawah untuk menangkis,
maka membal ah gaetan Wi Jun Hwa. Bahwa buge lawan memang tangguh sudah
diketahui oleh Jun Hwa. Tidak mundur, tapi dia malah menyerbu.
Sedang Ciang Cin yang dikerojok Kian Hiong dan Ciu Ki, masih bertarung dengan
gigihnya. Dengan napas ter engahs, Kian Kong akan membantunya. Jadi kini si Bongkok
dikerubuti tiga. Sementara itu, Seng Hiap mendapat lawan Ban Khing Lan.
Dalam partai sana, ternyata beberapa kali Tiong Ing mem beri kelonggaran, tapi
rupanya Jun Hwa tak mengetahui dan tetap tak mau mundur. Golok Tiong Ing dibolangbaling kan dengan sebatnya, maka terpental ah gaetan Jun Hwa yang sebelah kiri.
Melihat bagaimana hebat permainan golok jago Thiat-tan-Chung itu, tahulah Thian
Hong bahwa dia harus lekas-lekas bantu Jun Hwa. Namun sekalipun Tiong Ing
orangnya tua, tapi dia tetap tak kalah menghadapi 2 jago HONG HWA HWE itu. Malah
kini golok diputarnya sedemikian santernya, hingga badannya seperti ditutup dengan
gulungan sinar putih, makin lama, makin gagah orang tua itu. Menampak fihaknya
masih belum menang, berserulah Thian Hong keras-keras:
"Ngo-ko, liok-ko, bagus kau orang pun sudah datang, lekas lepas api. Bakar saja Thiat-tan-Chung ini, urusan belakang!"
Ini sebetulnya adalah siasat dari sikanCil Thian Hong, untuk memeCah pikiran lawan.
Sebenarnya ngo-ko dan liok-ko dari HONG HWA HWE jakni Siang He Ci dan Siang Pek Ci
belum datang kesitu. Ke 2 saudara ini masih menyalankan perin tah Cong-tho-Cu ke
Thio-ke-po untuk mengawasi gerak-gerik kawanan kuku garuda dikota raja.
Tipu seruan itu ternyata berhasil. Oranga Thiat-tan-Chung sama terkejut. Malah karena berajal, Tiong Ing hampira termakan gaetan Wi Jun Hwa. Setelah semangatnya kem
bali, Tiong Ing lancarkan serangan golok "sam-nyo-gay-thay" tiga ekor kambing
menerdyang gunung. Serangan berantai dari tiga jurus itu, dapat memaksa Thian Hong
dan Jun Hwa mundur beberapa langkah. Menggunakan kesempatan itu, Tiong Ing
enyot tubuhnya keambang ruangan, maksudnya akan Cegat musuh yang hendak
melepas api. Namun bagaikan bayangan, Jun Hwa tetap membayang i nya. Orangnya belum sampai,
gaetannya sudah tiba, menusuk Tiong Ing. Tiong Ing memutar toa-tonya. Begitu
sepasang gaetan lawan membal, dia teruskan membaCok. Malah bukan begitu saja.
Kaki kanan jago tua ini disapukan berbareng tangan kirinya menyotos. Wi Jun Hwa
Buru-buru loncat ke samping. Tapi tangan kiri Tiong Ing dijulurkan menyadl kuku alap 2, untuk dipukulkan kebahu lawan. Gerakan ini dinamai "sam-hap," salah sebuah jurus
istimewa dari pukulan "ji long tam san" atau Ji-long menyelidiki gunung, salah satu tipu dari Siao Dim Pai.
Tadi Jun Hwa hanya pusatkan perhatian pada ilmu golok lawan, dan lengahlah dia
bahwa musuh sekonyong-konyong menyusuli pukulan tangan kosong. Menghadapi
serangan golok, kaki dan pukulan tangan, benar 2 Jun Hwa keripuhan. Yang 2 masih
dapat dia hindari, tapi yang ketiga dia kewalahan. Seketika dirasakan sebelah bahunya itu seperti tertimpa mar-til. Itu saja Tiong Ing masih berlaku murah, hanya
menggunakan seperempat tenaganya, kalau tidak, tentu si Kim-pa-Cu itu terluka berat.
Namun sekalipun demikian, tak urung Jun Hwa sempojongan beberapa tindak.
Kiranya orang she Wi ini betul-betul bandel. Belum sang kaki berdiri jejak, sudah


Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dienyotkan lagi kemuka, berbareng dalam gerak "burung hong memutari sarang"
sepasang gaetannya merangsang tubuh Tiong Ing. Nampak serangan itu, marahlah
Tiong Ing, serunya :
"Engko kecil, padamu aku tak punya hutang dendam seperti membunuh ayah atau
merebut isteri, mengapa kau begini bernapsu" Aku sudah berlaku murah, kau
seharusnya mengerti!"
"Kau telah membunuh soeko sekalipun aku tak dapat menang, tapi kau tahu tidak, aku
ini ialah Kiu-beng Kim-pa-Cu (si macan tutul yang punya sembilan nyawa)?" demikian
Jun Hwa menyahut berbareng menyerang.
Melihat orang tak tahu diri, Tiong Ing mendongkol hatinya. Tapi kalau lihat kegagahan orang, dia merasa sayang juga, katanya pula :
"Selama lohu hidup hampir enam tahun ini, belum pernah melihat setan yang tak
sayang jiwanya semacam kau ini!"
"Makanya hari ini kau disuruh melihatnya!" jawab Jun Hwa.
Berbareng gaetan menusuk, golok Thian Hong pun me nabas. Mendadak Tiong Ing
apungkan diri keatas, toatonya dibarengkan membabat senjata lawan. Mata golok,
mema-pas kedalam, sikutnya berbareng menyodok, tepat mengenai tulang rusuk lawan.
Inilah jurus ilmu silat Siao Lim Pai yang disebut "Lui-he-Ciu." Kalau dengan sepenuh tenaga, patahlah tulang rusuk orang.
Sekalipun begitu, Jun Hwa keluarkan keluhan sakit, terus jongkok kebawah.
"Kiu-te, kau mundurlah" seru Thian Hong.
Jun Hwa paksakan berbangkit lagi, dengan mendeliki Tiong Ing, dia angkat sepasang
gaetan untuk menyerang lagi.
"Kau ini betuia tak patut dikasihani!" bentak Tiong Ing.
"Lekas lepaskan api, Cap-ji-long, kau jaga pintu bela kang, jangan kasih orang lolos!"
tereak Thian Hong dengan keras.
Demi tereakan itu, guntyang lah pikiran Ciu Ki, dia tak mau melajani si Bongkok lagi dan pikirnya akan membunuh biangkeladi dari kerusuhan ini. Dengan segera dia menyerang
Lou Ping. Sejak mendengar suaminya binasa teraniaya, dengan sa dar tak sadar Lou Ping duduk
dikursi. Bagaimana hiruk pikuk orang-orang bertempur didalam ruangan besar, baginya
hanya seperti melihat bayangan 2 berkelebat kian kemari. Pi-kirannya kosong sama
sekali, tak tahu apa yang sedang berlangsung disekitarnya situ.
Dan ketika golok Ciu Ki melayang tiba, Lou Ping hanya memandangnya dengan
tersenyum simpul saja. Wajahnya seperti orang menangis urung. Melihat wajah yang
demikian sajunya, batal ah Ciu Ki menyerang. Ia ambil sepasang golok wan-yang:to, lalu diangsurkan kepada Lou Ping dan katanya:
"Ayo kita bertempur!" Dengan acuh tak acuh, Lou Ping menyambuti senjata nya. Dan
Ciu Ki Coba 2 membaCoknya pelan-pelan , untuk menge tahui apakah nyonya itu
menangkis apa tidak. Kembali Lou Ping tertawa, dengan sembarangan saja ia gunakan
golok pendek ditangan kanannya untuk menangkis, sedang goloknya panyang dibuat
balas menusuk. Melihat itu Ciu Ki mengelah napas legah, serunya : "Nah, begitu, Ayo
kau berdirilah!"
Lou Ping menurut, tetapi luka dipahanya itu memaksa dia harus duduk lagi. Demikian
maka yang satu duduk dan pi kirannya kosong, sedang yang satunya berdiri dan
bernapsu sikapnya, segera adu senjata. Baru beberapa jurus, ber teriaklah Ciu Ki tak sabar : "Ayo, yang keras! Siapa yang akan bermain-main denganmu?"
Dia jengkel melihat sikap orang yang acuh tak acuh itu. Dengan orang begitu, ia tak
sudi bertempur. Dan pada saat itulah dia dengar tereakan Thian Hong untuk melepas
api, maka nona itu segera tinggalkan Lou Ping terus lari keluar.
Baru saja melangkah keambang pintu, diluar sudah ada orang yang membentaknya :
"Hem, mau lolos ja?"
Dengan kaget, Ciu Ki loncat balik kebelakang. Diantara sinar lilin, ternyata ada 2 orang tengah mengadang dimulut pintu. Orang yang membentak itu, mukanya putih seperti
salju, sinar sepasang matanya seram seperti iblis. Ciu Ki hendak mengawasi orang yang satunya, tapi ia merasa aneh, sinar mata iblis itu, seakan-akan mempunyai pengaruh
besar sekali, hingga ia tak berani mengalihkan pandangannya. Tanpa terasa, ia
memaki : "Huh, setan getajangan!"
Bukit Pemakan Manusia 1 Pendekar Satu Jurus Karya Gan K L Pendekar Pemetik Harpa 13

Cari Blog Ini