Ceritasilat Novel Online

Pedang Darah Bunga Iblis 14

Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H Bagian 14


tanpa bergerak dinantikannya cundrik musuh yang berkilauan itu
menembusi ulu hatinya.
Sampai mati dia juga tidak akan mengerti mengapa namanya bisa
termasuk dalam daftar buku hitam musuh. Satu hal yang
dimengerti alasannya hanyalah karena dirinya seperguruan dengan
Loh Cu gi. Sedang Loh Cu gi adalah sasaran terpenting bagi Jeng siong hwe,
sehingga dirinya kena tersangkut dan terseret dalam pengalaman
yang menggetirkan ini...
Terdengar suara ketua Jeng siong hwe dingin menusuk telinga:
"Jalankan hukuman!"
'Bret!' kontan Suma Bing merasa dadanya silir dingin, kiranya baju
didepan dadanya sudah tersobek seluruhnya.
"Tahan dulu!" tiba2 ketua Jeng siong hwe berseru kejut, suaranya
panik dan tergetar penuh kejut serta keheranan.
Mata Suma Bing ber-kilat2 menatap kearah ketua Jeng siong hwe.
Kata ketua Jeng siong hwe gemetar: "Suma Bing, siapakah ayah
ibumu?" Suma Bing menyangka bahwa dirinya sudah pasti bakal mati,
sungguh tak terduga mendadak ketua Jeng siong hwe
berobah haluan dan menghentikan pelaksanaan hukuman,
menanyakan asal-usul dirinya lagi. Kejadian ini sungguh sangat
janggal dan mencurigakan. Meski berada diambang jurang
kematian namun dasar wataknya memang angkuh dan keras
kepala, maka sahutnya dingin: "Apa maksudmu ini?"
"Kutanya riwayat hidupmu." "Riwayat hidup" Agaknya tidak
perlu kuberitahu
kepadamu?" "Suma Bing, jalur bekas luka diulu hatimu itu...?"
Sejenak Suma Bing melengak lantas melonjak keraslah
jantungnya. Darimana dia tahu tentang bekas luka tusukan diulu
hatinya ini, apa mungkin... Tubuhnya gemetar! Terbayang tragedi
seperti apa yang pernah diceritakan oleh si maling bintang Si Ban
cwan dulu itu. Tubuh ketua Jeng siong hwe gemetar semakin keras, tanyanya
lagi: "Suma Bing, katakan, bekas luka diulu hatimu itu?"
"Kau... Siapakah kau?" tanya Suma Bing. "Aku yang bertanya
kepadamu!" "Aku yang rendah Suma Bing!" "Aku sudah
tahu. Apa benar kau she Suma?" "Kau sangka aku
membual?" "Siapa ayahmu?" Suma Bing mengertak gigi
sahutnya: "Su hay yu hiap Suma
Hong!" Mendadak ketua Jeng siong hwe melonjak bangun sekali
berkelebat tahu2 tubuhnya sudah melesat tiba dihadapan Suma
Bing, tanyanya gemetar: "Siapa katamu?"
"Suma Hong!"
"Tidak salah?" "Malu aku meng-aku2 orang lain sebagai
bapakku!" Ketua Jeng siong hwe tersurut dua langkah lebar,
gumamnya: "Tidak mungkin! Betulkah dia" Dia... sudah terang
tak dapat tertolong lagi... oh tidak mungkin..."
Tanpa terasa jantung Suma Bing berdebur keras, dari perkataan
orang, agaknya telah menemukan apa2. Apa mungkin orang
dihadapannya ini adalah... Sungguh dia tidak berani
membayangkan bahwa apa yang tengah dihadapinya ini adalah
kenyataan. Maka dengan nada menyelidik ia bertanya: "Apa tuan ketua kenal
dengan ayahku Suma Hong?"
"Bukan saja kenal. Aku adalah..." "Adalah apa?" "Apa kau
benar2 putra Suma Hong?" "Sedikitpun tidak salah." "Tapi
Suma Hong sudah meninggal dunia pada limabelas
tahun yang lalu..." "Benar, ayahku mati karena dikeroyok sekian
banyak sampah2 persilatan!" "Kau benar adalah..." "Waktu itu cayhe
terluka berat dan hampir mati, karena
tidak tega melihat putranya hidup menderita maka ibunda
menusuk ulu hatiku dengan sebuah cundrik. Malah tubuhku
akhirnya ditendang masuk jurang oleh musuh besar yang laknat
itu. Memang Tuhan Maha Kuasa beruntung aku tertolong..."
Tubuh ketua Jeng siong hwe hampir roboh, tanyanya tersendat
gemetar: "Darimana kau ketahui riwayatmu ini?"
"Tatkala peristiwa tragis itu terjadi, kebetulan ada seorang yang
mengintip!"
"O, jadi kau sudah jelas dan mengetahui semua peristiwa itu?"
"Ya, menurut cerita orang itu!" Tiba2 ketua Jeng siong hwe
ulapkan tangannya
memerintahkan semua anak buahnya menyingkir. Sambil
membungkuk hormat serta mengiakan semua orang2 seragam
putih itu serentak turun dari atas panggung berdarah itu terus
menghilang dibalik tikungan sana.
Suma Bing tak berani memikirkan akan kenyataan yang tengah
dihadapinya ini. Semua kejadian yang datang secara mendadak
dan aneh ini sungguh terasakan seumpama dialam mimpi saja.
Sampai saat mana dia sudah dapat menerka siapakah orang
dihadapannya ini, tinggal menunggu waktu dan pernyataan saja.
Pelan2 ketua Jeng siong hwe menanggalkan cadar yang menutupi
mukanya, terlihat sebuah wajah yang halus putih dan cantik
rupawan dibasahi airmata. Katanya sesenggukan. "Nak, kau tahu
siapa aku ini?"
"Ibu!" keluh Suma Bing dengan sedihnya. Airmata membanjir
keluar dengan derasnya. Sungguh mimpi juga dia tidak nyana
bahwa ketua Jeng siong hwe ini ternyata adalah ibundanya, yaitu
San hoa li Ong Fang lan yang dirindukan siang dan malam. Sejak
dapat berpikir dalam ingatannya tiada terbayang bentuk wajah
ibundanya. Namun dari bentuk wajah dan raganya Ong Fong jui
dapat diperkirakan keadaan ibunya. Dan ternyata bahwa
perkiraannya tidak berbeda jauh dengan keadaan ibundanya yang
sebenarnya. Sambil berkeluh panjang San hoa li Ong Fang lan menubruk maju
terus mencopoti borgol yang mengekang
Suma Bing terus memeluknya kencang sambil menangis gerung2.
"Nak, apakah ini bukan dalam mimpi?"
"Bu, bukan mimpi, inilah kenyataan! Sudah lama sekali aku
mencari kau orang tua!"
"Nak, beritahukan pengalamanmu sekian tahun ini?" Sambil
mencucurkan airmata, Suma Bing menceritakan
keadaan dalam jurang dibawah puncak kepala harimau itu, secara
kebetulan dirinya tertolong oleh gurunya Sia sin Kho Jiang, sampai
pertemuan mereka ibu dan anak ini.
Bercerita pada saat2 yang menyedihkan, ibu dan anak tanpa terasa
saling berpelukan sambil menangis tanpa tertahan.
Setelah ceritanya habis, baru Suma Bing menyinggung tentang
permusuhannya dengan Bwe hwa hwe...
Begitu mendengar anaknya menyinggung Loh Cu gi itu musuh
bebuyutan, berobah airmuka ketua Jeng siong hwe geramnya
sambil mengertak gigi: "Jadi Loh Cu gilah yang menjadi sesepuh
dan tulang punggung dari Bwe hwa hwe?"
Suma Bing mengiakan. "Aku bersumpah harus mencacah dan
menghancur leburkan tubuhnya." "Bu, urusan ini biarlah berikan kepadaku
saja. Bukan saja
Loh Cu gi itu adalah musuh besar keluarga kita, dia juga seorang
murid murtad yang mendurhakai guru. Menurut pesan suhu aku
harus mencuci bersih nama baik perguruan dan menuntut balas
sakit hatinya. Maka biarlah kedua urusan ini kulaksanakan
bersama." "Nak, memang Tuhan yang Maha Kuasa selalu memberkahi
umatnya yang saleh, sungguh tidak nyana secara aneh kau dapat
tetap hidup. Malah ketiban rejeki besar dan dapat mempelajari
ilmu digdaya yang tiada taranya lagi. Memang
benar, hutang darah ini seharusnya kaulah yang menagih. Dialam
baka tentu ayahmu dapat istirahat dengan tentram dan meram!
Hanya aku ini..."
"Kau kenapa bu?" Ketua Jeng siong hwe tertawa getir,
sahutnya: "Nak, tiada
muka aku bertemu lagi dengan orang dikolong langit ini, lebih2
malu rasanya berjumpa dengan ayahmu dialam baka..." berkata
sampai disitu suara tawanya berganti menjadi sesenggukkan.
Sudah tentu Suma Bing maklum akan maksud perkataan ibunya.
Siapa dapat menduga Loh Cu gi si binatang buas berkedok
manusia itu dapat memerankan tragedi yang dapat menyayatkan
hati dalam dunia fana ini.
Maka katanya dengan suara sember: "Bu, sebabnya sampai kau
mengeluarkan pengorbanan sedemikian besar adalah untuk anak.
Aku percaya pasti ayah tahu dan memaklumi keadaanmu yang
terdesak itu..."
"Nak, dulu itu memang salah ibumu!" "Tidak, bu, kau tidak
salah kau terdesak oleh keadaan.
Kalau kau berkata demikian maka tiada tempat lagi bagi anakmu
ini berpijak."
"Sudah nak, tak perlu kita perbincangkan persoalan itu lagi.
Ibumu masih tetap hidup sampai sekarang setelah ternoda,
hanyalah karena aku hendak menuntut balas..."
"Bagaimana ibu sampai bisa menjadi ketua Jeng siong hwe ini?"
"Apakah kau pernah dengar julukan Ceng gi ci sin?" Suma
Bing tertegun, katanya: "Malaikat keadilan" Tokoh
kenamaan yang ditakuti dan dipandang sebagai malaikat dunia
persilatan oleh aliran hitam dan putih pada enampuluh tahun yang
lalu itu?"
"Benar, dia orang tualah yang menjadi ketua Panggung berdarah
ini!" "Ketua Panggung berdarah?" "Tujuan dia orang tua
membangun Panggung berdarah ini
adalah untuk menghukum para durjana dan penjahat2 besar di
kalangan Kangouw yang memang setimpal menerima
hukumannya, dengan darah para hukuman itulah panggung ini
dibangun. Supaya dunia bisa aman tentram tanpa kejahatan..."
"Limabelas tahun yang lalu, secara kebetulan ibumu menemukan
buku catatannya yang tertinggal, dimana tertera pelajaran ilmu
silat. Maka kuangkat diriku sebagai murid ahliwarisnya..."
"Lalu asal-mula nama Jeng siong hwe ini..." Wajah San hoa li
Ong Fang lan mendadak berobah penuh
kebencian, katanya sambil kertak gigi: "Nak, nama Jeng siong
hwe hanyalah suatu simbol yang kenyataan saja!"
"Simbol yang kenyataan?" "Ya, tujuannya hanyalah untuk
menuntut balas!" "Kenapa harus menggunakan nama itu
untuk menuntut balas?" "Nak, pedang pendek yang menusuk ulu hatimu dulu,
adalah cundrik yang selalu menembusi dada musuh2 besar itu.
Untuk memperingati kematianmu karena kebencian yang
ber-limpah2, aku bersumpah menggunakan cundrik ini untuk
menembusi dada setiap musuh besar kita itu!"
Air mata meleleh dengan derasnya, baru sekarang Suma Bing
paham, jebul apa yang dinamakan sebagai daftar catatan itu
kiranya adalah daftar nama2 para musuh besar keluarganya. Jadi
para tokoh2 silat yang sudah mati tertembus
ulu hatinya oleh cundrik Rasul penembus dada itu ternyata adalah
musuh2 besar yang sudah terdaftar dalam buku itu.
"Nak, mari kita bicara didalam saja!" Suma Bing mengusap air
matanya sambil manggut2. Saat
mana sifat2 gagah dan kegarangannya sudah lenyap terbawa
angin. Dihadapan ibunya seperti orok kecil saja ia mandah
dituntun jalan.
Setelah turun dari panggung berdarah, tibalah mereka disebuah
lorong yang belak belok dan tak lama kemudian tibalah dalam
sebuah rumah kuno yang dibangun dengan batu. Empat orang
perempuan seragam putih segera muncul dari balik pintu sebelah
sana terus berdiri jajar dengan hormatnya.
Menunjuk kearah Suma Bing berkatalah San hoa li Ong Fang lan:
"Inilah tuan muda!"
Serentak keempat perempuan seragam hitam itu membungkuk
hormat sambil memanggil: "Tuan muda!"
Suma Bing manggut2, entah sengaja atau tidak sorot matanya
menyapu satu diantaranya. Gadis itu bukan lain adalah Rasul
penembus dada yang pernah dibuka kedoknya oleh Suma Bing.
San hoa li Ong Fang lan tertawa tawar, katanya: "Nak, kukira
kalian sudah berkenalan dia adalah pemimpin dari dua belas rasul
itu, bernama Ih Yan chiu!"
Ih Yan chiu pimpinan Rasul penembus dada menunduk kepala
dengan malu2. Siapa akan menduga seorang gadis ayu rupawan
yang lemah lembut ini jebul adalah Rasul penembus dada yang
ditakuti dan disegani oleh kaum persilatan.
"Kalian boleh mundur." kata San hoa li kepada keempat rasul,
"Pindahkan meja perjamuan keruangan dalam, Yan chiu antarkan
tuan muda pergi mandi dan salin pakaian."
Ih Yan chiu mengiakan lalu mempersilahkan Suma Bing ikut
kebelakang. Sebetulnya Suma Bing segan dan tak mau dilayani
oleh Ih Yan chiu ini, tapi rasanya tak enak menolak kebaikan
ibunya, maka terpaksa dia ikut pergi.
Puluhan batang lilin besar dipasang dalam ruang tengah yang
besar dan angker dengan perabotnya yang serba antik itu. Dimana
di tengah2 ruangan itu sudah tersedia meja perjamuan dengan
segala masakan yang lezat2. Tampak San hoa li sedang duduk
berhadapan dengan Suma Bing, mereka sedang makan minum.
Disamping berdiri Ih Yan chiu yang melayani. Mungkin karena
terlalu berduka atau karena terlalu gembira sehingga ibu beranak
ini kehilangan selera untuk menelan makanan yang serba mewah
itu. "Nak, ini seperti dalam alam mimpi saja..." "Benar, bu,
sebuah impian yang kenyataan!" "Nak, hari ini ibumu merasa
sangat puas. Bukan saja kau
sudah dewasa malah sudah berumah tangga lagi. Malah sudah
melaksanakan impian ayahmu dulu yaitu mempelajari ilmu yang
tertera didalam Pedang darah dan Bunga iblis..."
"Bu sejak kini lebih baik nama Jeng siong hwe ini kita hapus saja!"
"Kenapa?" "Sejak saat ini menuntut balas sudah merupakan
tugas yang harus dibebankan kepadaku!" "Baik, nak!" sahut San hoa li,
lalu berpaling kearah Ih Yan
chiu dan katanya: "Ambilkan cundrik itu kemari!" Ih Yan chiu
mengiakan sambil membungkuk hormat terus
mengundurkan diri. Tak lama kemudian dibekalnya sebuah pedang
pendek kecil yang berkilauan, dengan kedua tangannya dia
letakkan diatas meja, masih ada sejilid buku kecil yang tipis juga
dikeluarkan. San hoa li Ong Fan lan mengambil cundrik itu, matanya berlinang
air mata, katanya: "Nak, cundrik ini kuserahkan kepadamu. Ingat,
selain para musuh besar, kularang kau membunuh orang tanpa
berdosa!" Ter-sipu2 Suma Bing bangkit terus berlutut, dengan kedua
tangannya dia menerima cundrik itu serta ujarnya gemetar: "Anak
akan selalu ingat peringatan ibu!"


Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau bangunlah!" "Terima kasih ibu!" "Buku kecil ini adalah
daftar catatan. Nama2 yang tertera
didalam buku ini adalah para durjana yang ikut mengeroyok
ayahmu dulu. Diantaranya yang sudah tercoret dengan potlot
merah sudah menjadi mayat!"
48. BU KHEK PAY DIAMBANG KEHANCURAN
"Anak pasti akan melanjutkan tugas penuntutan balas ini!"
"Nanti sebentar biar kuturunkan ilmu ciptaanku cara2
menggunakan cundrik ini!" Suma Bing manggut2 dengan girang.
"Ibumu mendoakan supaya kau sukses dalam tugasmu!" "Bu
dikala tugas penuntutan balas ini sudah selesai semua,
pasti anak akan selalu mendampingi kau orang tua..." sampai
setengah ucapannya segera ditelan kembali selarik arus dingin
menjalar keseluruh tubuhnya sehingga hatinya dingin membeku.
Teringat olehnya janjinya kepada Racun diracun.
Namun agaknya ibunya tidak memperhatikan mimik wajahnya yang
berubah ini. Katanya tertawa getir:
"Nak, segala ucapan semacam itu terlalu pagi untuk dikatakan, kau
adalah majikan dari Perkampungan bumi, sedang ibumu adalah
ahli waris dari aliran Panggung berdarah ini, dan juga, ai..."
agaknya masih banyak kata2 yang hendak diucapkan, namun tidak
kuasa dicurahkan keluar.
Lahirnya Suma Bing bersikap tenang dan wajar, tapi hakikatnya
jantungnya tengah berdebar dan hatinya mengeluh, sungguh dia
tidak berani membayangkan masa depan... Sepasang ibu beranak
yang masih ketinggalan hidup setelah mengalami berbagai
kesengsaraan duniawi, masing2 menyimpan isi hati yang tak boleh
diketahui orang luar.
Suasana gembira akan pertemuan yang meriangkan hati ini,
tenggelam dalam titik kesedihan yang membekukan hati. Tapi,
masing2 berusaha untuk menahan ketenangan dalam lahir. Kalau
San hoa li selalu ingat dan menahan malu dan hinaan untuk hidup
dan menuntut balas bagi kematian suaminya. Adegan dimana
dirinya ternoda seumpama seekor ular berbisa yang senantiasa
menggerogoti hatinya. Dalam diluar dugaan setelah bersua kembali
dengan anaknya malah semangatnya melempem. Dia merasa
dengan tubuh yang sudah ternoda ini rasanya malu untuk bertemu
dengan suaminya dialam baka. Lebih malu lagi bertemu dengan
putranya, inilah cacat kesedihannya. Meskipun sebagai majikan
atau pimpinan dari Panggung berdarah. Namun kedudukan ini
takkan dapat membuka belenggu yang menekan hatinya.
Demikian juga keadaan Suma Bing dalam rangsangan berbagai
bayangan yang kontras. Satu pihak dia harus menunjukkan wibawa
sebagai seorang gagah yang menjunjung tinggi keadilan dan dapat
membedakan antara budi dan dendam, melaksanakan dan
menepati janjinya terhadap Racun diracun, dipihak lain dia juga
harus berbakti kepada orang tua, sebagai anak yang kenal
kebajikan. Sebaliknya sebagai kaum persilatan, dalam sesuatu
keadaan yang memaksa, dia rela dan lebih baik tidak berbakti daripada
badan hancur dan nama berantakan dikalangan Kangouw.
Ganjalan hati inilah yang tidak kuasa diutarakan, betapa pedih dan
susah hatinya kiranya tidak kalah dalamnya seperti keadaan
ibundanya. Tiga hari kemudian dengan berlinang airmata Suma Bing ambil
berpisah dengan ibunya dan mulai lagi kelana dikalangan
Kangouw. Nama2 para musuh2 besar yang tercatat dalam buku
daftar itu sudah hapal diluar kepala. Loh Cu gi adalah nama yang
tercatat nomor satu.
Rintangan terbesar yang menghalangi usahanya adalah barisan
pohon bunga Bwe yang mengelilingi markas besar Bwe hwa hwe
itu, jikalau tidak dapat memecahkan barisan itu atau paham inti
letak rahasia barisan itu susah baginya untuk mencari musuh
besarnya itu. Benaknya tengah berpikir, siapakah kiranya dalam
dunia ini yang paham dan pintar ilmu mengenai barisan yang aneh
itu" Begitulah berpikir sambil berjalan, tiba2 dilihatnya dikejauhan
sana terlihat sebuah bangunan benteng yang mengelilingi sebuah
perkampungan. Diatas benteng itu terpancang tiga huruf besar warna emas yang
berbunyi: 'Bu khek po'. "Bu khek po!" gumam Suma Bing, seketika
timbul darah panas menjalar keseluruh tubuhnya. Bu khek po
adalah tempat berdirinya aliran Bu khek bun. Bu khek siang lo dua
tokoh kenamaan dari aliran ini sangat tenar dan disegani
dikalangan Kangouw. Bukankah Bu khek siang lo ini tercatat
sebagai nomor enam dan tujuh dalam buku daftar ibunya.
Serta merta Suma Bing mengelus2 cundrik yang digembol
dipinggangnya, ujung bibirnya mengulum senyum dingin, dengan
langkah lebar dia mendatangi pintu gerbang benteng
perkampungan itu. Pintu besar yang terbuat dari besi baja ini
tertutup rapat.
Setelah tiba diambang pintu berserulah Suma Bing lantang:
"Adakah orang didalam?" Beruntun dua kali dia menggembor
tanpa penyahutan. Keruan Suma Bing merasa sangat heran, betapa
besar dan kenamaan tempat dan aliran dari berdirinya golongan Bu
khek po ini, mengapa seorang penjaga pintu saja tiada terlihat, ini
benar2 suatu kejanggalan yang mengherankan.
Setelah menanti sekian lama tanpa adanya reaksi apa2, akhirnya
dia maju dan mengetuk pintu dengan kerasnya. Tak kira begitu
terdorong oleh ketukannya pintu besar itu terbuka sendirinya.
Ternyata pintu ini hanya ditutup begitu saja tanpa dikunci. Waktu
Suma Bing beranjak masuk dan dimana pandangannya menyapu,
tanpa terasa tercekat hatinya.
Didalam pintu sebelah sana tampak dua orang seragam hitam
rebah dalam genangan darah yang sudah hampir membeku,
agaknya kematian mereka ini terjadi belum lama berselang.
Kejadian ini sungguh aneh, siapakah yang berani main bunuh di Bu
khek po ini" Alisnya berkerut semakin dalam, akhirnya dengan
kesebatan luar biasa tubuhnya melesat masuk kedalam pintu sana.
"Siapa itu?" terdengar bentakan saling susul, tahu2 empat orang
Laki2 yang membekal pedang sudah berjajar menghadang dijalan
masuk. Mendengar tegoran ini Suma Bing menghentikan langkah begitu
melihat keempat orang penghadangnya, semakin geram hatinya
timbul sifat buas dalam benaknya.
Keempat orang ini mengenakan seragam yang didepan dadanya,
tersulam bunga bwe warna putih, ini merupakan pertanda
siapakah mereka adanya. Salah satu yang berdiri ditengah
mengayun2 pedang dan membentak kasar: "Bocah keparat siapa
kau sebutkan namamu?"
Tanpa menyahut Suma Bing maju dua tindak, rona wajahnya
penuh diselubungi hawa membunuh yang tebal.
Tiba2 satu diantara keempat erang itu berseru gemetar: "Kau,
kau ini Suma Bing?"
Mendengar nama Suma Bing, pucat ketakutanlah ketiga kawannya
itu bagai melihat hantu disiang hari bolong. Tanpa terasa mereka
menyurut mundur.
Sebagai Huma dari Perkampungan bumi dalam dua gebrakan
mengalahkan Hui Kong Taysu yang dipandang sebagai padri
teragung bagi Siau lim si berita ini sudah tersebar luas dikalangan
Kangouw, boleh dikata tua muda besar kecil semua sudah dengar
dan tahu tentang peristiwa besar itu. Apalagi empat kaum keroco
Bwe hwa hwe ini betapa mereka tidak ketakutan serasa arwah
sudah meninggalkan badan. Jadi sudah terang kalau pihak Bwe
hwa hwelah yang meluruk dan merupakan duri bencana bagi pihak
Bu khek po. Ini betul2 diluar prasangka Suma Bing.
Setelah saling berpandangan, mendadak keempat orang itu terus
memutar tubuh dan lari terbirit2 bagai dikejar hantu.
"Jangan bergerak!" suara bentakan ini seolah2 mempunyai
wibawa besar se-akan2 kaki mereka tumbuh akar sehingga
terpaku ditempat masing2.
Suma Bing sudah mengayun tangan tinggal mengerahkan tenaga
memukul mampus keempat laki2 didepannya ini, namun tiba2
tergeraklah hatinya, pikirnya lebih baik jangan membuat gaduh
dan mengejutkan orang lain, dilihat dulu bagaimana keadaan
didalam perkampungan sana. Karena pikirannya ini, tangan yang
sudah terangkat itu ditarik kembali, begitu melejit enteng sekali
bagai burung walet tubuhnya terbang lewat diatas kepala keempat
orang laki2 itu.
Dikala bayangan Suma Bing menghilang dibalik barisan para2
puluhan tombak didepan sana, baru terdengar suara 'blak, bluk'
keempat laki2 itu roboh terkapar dan melayang jiwanya tanpa
mengeluarkan suara.
Lingkungan benteng perkampungan Bu khek po ini ternyata sekian
luasnya. Ratusan tombak kemudian baru terlihat bangunan rumah2,
sepanjang perjalanan mayat
bergelimpangan di-mana2, diantaranya ada anak murid dari
perbentengan dan ada juga anak buah Bwe hwa hwe.
Menyusuri sebuah jalanan batu hijau yang diapit pohon2 siong dan
pek, terbentanglah sebuah lapangan yang luas disebelah depan
sana. Dipinggir lapangan sudah tertumpuk tujuh mayat, dan
terlihat pula dua kelompok manusia tengah berhadapan.
Kelompok pertama dari pihak Bu khek bun, jumlahnya tidak
kurang empat limapuluhan orang.
Sedang kelompok kedua dari Bwe hwa hwe, jumlahnya lebih kecil
tidak lebih dari duapuluh orang. Saat mana seorang tua berjubah
merah bersulam sekuntum bunga Bwe tengah berdebat seru
menghadapi seorang lelaki pertengahan umur yang berpakaian
perlente... Dari cara berpakaiannya itu dapatlah diketahui bahwa
orang tua jubah merah itu adalah salah satu dari pelindung Bwe
hwa hwe. Sedang laki2 perlente itu pasti pejabat Ciangbunjin yang
sekarang dari Bu khek bun yaitu Bu khek chiu Tio Ling wa adanya.
Terdengar orang tua jubah merah tengah ter-gelak2, serta
serunya: "Ciangbunjin, ucapanku sudah habis, sebenarnya
bagaimana pendapatmu?"
Wajah Bu khek chiu Tio Ling wa mengunjuk rasa gusar,
semprotnya: "Sebagai pejabat Ciangbunjin, kepalaku boleh putus,
darahku boleh mengalir, aku tak sudi menjadi pengkhianat dari
perguruanku!"
"Hm, Ciangbunjin, berpikirlah secara jantan?" "Persoalan
sudah terang dan tak perlu diperdebatkan lagi!" "Jadi kau rela
melihat Bu khek po terjadi banjir darah?" "Selamanya aku
tidak takut diancam!" "Aku menerima tugas kalau tujuan
belum terlaksana,
akan..." "Akan apa?" "Bu khek po harus dicuci bersih dengan darah
kalian" ancaman serius ini membuat semua anak murid Bu khek bun
berobah airmukanya, malah yang berdarah panas sudah
menggeram gusar dan hendak melabrak musuh2 tak diundang
pembuat bencana ini.
Bu khek Ciangbunjin Bu khek chiu Tio Ling wa sendiri juga sampai
mundur selangkah, geramnya mengertak gigi: "Perbuatan kalian
dari Bwe hwa hwe ini, akan menambah kebencian masyarakat
seumpama Tuhan juga tidak akan memberi ampun terhadap
kedholiman kalian ini. Hari saat2 runtuhnya Bwe hwa hwe sudah
diambang pintu. Perguruan kita rela hancur lebur sebagai batu giok
yang suci murni daripada pecah berantakan sebagai genteng yang
tak berharga."
Orang tua jubah merah ganda mendengus ejek, jengeknya:
"Ciangbunjin, nasib Bwe hwa hwe kelak, kau tak perlu banyak
urus. Sebaliknya saat2 runtuhnya perguruan kalian sudah tiba
didepan mata!"
Pada saat itulah sekonyong2 seorang laki2 seragam hitam bergegas
memasuki gelanggang terus memberi lapor dengan muka
ketakutan: "Lapor kepada Hu hoat, semua penjaga gelap yang kita
tanam diempat penjuru mengalami bencana..."
"Apa?" tanya si orang tua jubah merah dengan kejut. "Semua
penjaga gelap yang kita sebar disepanjang jalanan
telah musnah sama sekali. Semua mati karena tertutuk jalan darah
kematian mereka oleh tutukan jari dengan tenaga Lwekeh yang
hebat sekali. Siapakah orang yang turun tangan belum diketahui
jejaknya."
Semua hadirin tergetar dan terperanjat akan perobahan luar biasa
yang terjadi mendadak ini.
Bagi pihak Bu khek po, mereka heran dan terkejut. Bagi Bwe hwa
hwe selain kejut juga merasa gentar dan mulai dirundung
ketakutan. Siapa dan termasuk tokoh macam apakah orang yang turun
tangan itu"
Tidak kurang empat puluh orang anak buah Bwe hwa we yang
disebar secara gelap diempat penjuru, kini tanpa bersuara, semua
sudah menggeletak menjadi mayat, ini benar2 sangat mengejutkan
dan susah dapat dipercaya.
Mata si orang tua jubah merah menyorotkan sorot gusar dan
buas, katanya dengan nada berat: "Chi dan Tan dua Tongcu
dengar perintah!"
Dua orang berseragam abu2 melesat keluar serunya berbareng:
"Tecu disini?"
"Silahkan kalian berdua pergi memeriksa!" "Terima perintah!"
sebat sekali mereka sudah berlari pergi
meninggalkan gelanggang. "Ciangbunjin, kuberi peringatan yang
terakhir. Harap
segera serahkan Hui jui san (kipas pualam hijau), kalau tidak
segera kukeluarkan perintah untuk menghancurkan seluruh Bu
khek po ini!"
"Tidak bisa!" teriak Bu khek chiu Tio Ling wa dengan sengitnya.
Mendadak dua jeritan yang melolong tinggi menusuk pendengaran
jauh2 terdengar dengan jelas sekali.
Kontan berobah airmuka semua anak buah Bwe hwa hwe.
Kenyataan ini sudah jelas bahwa Chi dan Tan kedua Tongcu itu
pasti sudah menemui ajalnya mengikuti para penjaga gelap yang
disebar dimana2 itu.
Mata si orang tua jubah merah melotot besar bagai dua kelereng
yang hampir mencotot keluar. Otot dijidatnya juga
merongkol keluar. Sesaat dia mati kutu tak tahu apa yang harus
diperbuat selanjutnya.
Sementara itu pihak Bu khek po termasuk Bu hek chiu sendiri
mengunjuk rasa heran tak mengerti, entah siapakah yang telah
membantu secara menggelap ini"
Terdengar kesiur angin yang keras dua bayangan orang bagai
burung raksasa melayang jatuh
ketengah gelanggang. Kontan berjingkrak girang dan gegap
gempitalah sorak sorai pihak Bu khek po.
Kedua bayangan itu kiranya adalah dua orang tua yang sudah
beruban dan berjenggot panjang sebatas dada.
Seketika berseru giranglah Bu khek chiu Tio Ling wa, sapanya
sambil unjuk hormat: "Para Susiok baik2 saja selama ini!"
"Ciangbunjin juga baik!" sahut kedua orang tua berbareng.
Lalu mereka berputar menghadap kelompok pihak Bwe hwa
hwe, empat sorot mata yang ber-kilat2 menatap tajam kearah


Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lawan tanpa berkesip.
Si orang tua jubah merah acuh tak acuh membuka suara:
"Kiranya Bu khek siang lo."
Bu khek siang lo mendengus gusar, semprotnya dengan nada
yang menyedot semangat:
"Kam Peng cun, sungguh tak duga kau sekarang telah menjadi
pelindung dari Bwe hwa hwe, pantas kau berani main lagak dan
menyebar maut ke-mana2 malah turun tangan keji terhadap anak
murid kami. Hehehe, orang she Kam, kau hendak berbuat apa
terhadap perguruan kami?"
Sahut Kam Peng cun dengan kalem tanpa berobah air mukanya:
"Terlebih dahulu perlu aku bertanya, para penjaga gelap sebanyak
empat puluh orang dengan kedua Tongcu kami, apakah kalian
berdua yang membunuh mereka?"
Siang lo sama2 melengak, sahut salah seorang: "Lohu berdua
baru saja tiba!"
"Benar bukan kalian yang turun tangan?" Kam Peng cun
menegasi. "Bukan, sebaliknya para murid dari Bu khek bun yang melayang
jiwanya itu, hutang darah ini kau orang she Kam..."
"Ingat catatlah dalam perhitungan dengan Bwe hwa hwe!"
"Orang she Kam, kau sangka Bwe hwa hwe lantas bisa
menutupi matahari dengan sebelah tangan?" "Cayhe tidak perlu
banyak debat!" "Lalu apa maksudmu?" "Aku menerima tugas
untuk minta pinjam Kipas pualam
hijau dari perguruan kalian." "Hahahahahaha!" Bu khek siang lo
perdengarkan gelak
tawa yang serak memekakkan telinga. Kam Peng cun Hu hoat
jubah merah menggereng gusar,
makinya: "Ada apa kalian tertawa?" Setelah menghentikan
tawanya, berobah kereng wajah
Siang lo, bentaknya: "Kipas pualam hijau adalah benda pusaka
pelindung perguruan kita, kecuali perguruan kita sudah musnah
dari muka bumi ini, kalau tidak..."
"Kalau tidak dipinjamkan kepada kita kipas pualam hijau itu,"
demikian Kam Peng cun menukas dan menyambung, "Bukan saja
nama kalian harus tersapu dari dunia persilatan, malah Bu khek
po ini juga harus menjadi tumpukan puing!"
Saking marah Bu khek siang lo berjingkrak2, wajahnya berobah
hijau dan seluruh tubuh gemetaran. Malah seorang yang agak
muda berdarah panas tanpa kuasa menahan gelora hatinya lagi
terus merangsang maju sambil menyerang kearah
si jubah merah Kam Peng cun betapa hebat dan keji serangan ini
benar2 hebat luar biasa.
Kam Peng cun menepuk kedua tangan terus mendorong maju
menyongsong serangan lawan. Begitu tangan kedua belah pihak
saling bentur, terdengarlah suara 'plak, plok' tiga kali. Kontan salah
satu Siang lo itu tergetar mundur dua tindak. Ini menunjukkan
bahwa Lwekang Kam Peng cun masih berada diatas Siang lo.
Sebagai tokoh tertinggi dari perguruannya, ternyata Siang lo bukan
menjadi tandingan seorang Hu hoat seperti Kam Peng cun saja,
maka dapatlah dibayangkan akibat dari pertempuran besar2an
yang akan datang ini.
Semua anak murid Bu khek bun termasuk Ciangbunjin sendiri
berobah pucat dan kecut hatinya. Dalam pada itu, kalau lahirnya
saja Kam Peng cun bersikap tenang dan acuh tak acuh, namun
hatinya risau dan jantungnya berdebur keras.
Orang yang turun tangan secara gelap itu merupakan ancaman
terbesar bagi kedudukannya. Berpuluh jagoan kelas tinggi semua
mampus tanpa karuan paran, malah sampai orang yang memberi
aba2 juga tidak ada. Maka dapatlah diukur betapa tinggi ilmu silat
orang yang turun tangan itu, sungguh ngeri dan menakutkan.
Tak terpikirkan olehnya siapakah orangnya yang berani terang2an
main propokasi terhadap Bwe hwa hwe, malah sudah turun
tangan secara keji pula" Setelah di-pikir2, segera ia berpaling dan
perintahnya kepada seorang seragam hitam: "Ban hiangcu,
lepaskan tanda bantuan!"
Orang yang diperintah mengiakan, selarik sinar merah melesat
tinggi ketengah angkasa terus meledak keras dan berhamburanlah
bunga2 api yang berbentuk seperti bunga Bwe besar.
Bu khek chiu Tio Ling wa, juga segera angkat sebelah tangan,
berpuluh anak muridnya segera berpencar kedua samping siap
siaga sambil menyoreng senjata.
Sekilas Bu khek siang lo berpaling kearah Ciangbunjin mereka, lalu
keduanya maju bersama menerjang kearah musuh. Pelindung
jubah merah Kam Peng cun membentak keras memberi aba2
untuk mulai melabrak musuh. Sedang dia sendiri mendahului
memapak kedatangan Bu khek siang lo.
Puluhan anak buahnya juga tidak mau ketinggalan terus
merangsak maju dan menyerbu musuh mati2an. Dimana2
terdengar suara bentakan diiringi suara jerit kesakitan yang riuh
rendah. Terjadilah pertempuran serabutan yang besar, jiwa manusia
seumpama rumput dibabat habis2an, mayat mulai bergelimpangan.
Para jagoan Bwe hwa hwe yang diikut sertakan dalam penyerbuan
adalah para Hiangcu keatas, mereka adalah tokoh2 silat pilihan
yang berkepandaian tinggi, setiap turun tangan tanpa sungkan2
lagi, maka dalam sekejap itu dapatlah dibedakan pihak mana lebih
kuat dan asor. Meskipun para murid Bu khek bun bertempur membekal rasa gusar
yang me-luap2 serta bertempur dengan gigihnya, apa mau
kepandaian sendiri lebih rendah dari musuh bagaimana besar
tekad dan semangatnyapun toh satu persatu kena dirobohkan.
Terlebih lihay dan hebat adalah pertempuran antara Kam Peng cun
melawan Bu khek siang lo. Sedang seorang tua jubah merah
sebagai pejabat pelindung lainnya melawan Tio Ling wa. Hanya
dalam beberapa gebrak saja Bu khek chiu sudah terdesak hebat
dibawah angin, setindak demi setindak terus mundur, setiap saat
menghadapi bahaya. Jerit menyayatkan hati terus saling susul
terdengar menusuk telinga.
Gemboran pertempuran dan denting senjata beradu telah
memenuhi seluruh perbentengan Bu khek po. Tidak sampai
setengah jam, pihak Bu khek bun sudah jatuh korban hampir
separonya. Sungguh menggiriskan pembunuhan besar2an ini.
Se-konyong2 terdengar jeritan tertahan, tampak Ciangbunjin Bu
khek chiu Tio Ling wa menyemprotkan darah segar, tubuhnya juga
limbung hampir roboh.
Salah seorang dari Bu khek siang lo bergegas meninggalkan Kam
Peng cun terus menubruk tiba merintangi didepan Bu khek chiu
sembari menyambuti serangan pelindung jubah merah lainnya ini.
Tinggal Siang lo yang seorang itu menghadapi Kam Peng cun,
hanya dalam tiga gebrak saja dirinya sudah terdesak pontang
panting tanpa mampu balas menyerang lagi. Sampai saat itu
kenyataan membuktikan bahwa Bu khek bun terang susah
terhindar dari keruntuhan total.
Dalam saat2 yang menentukan itulah, sekonyong2 terdengar
sebuah hardikan keras yang lantang:
"Semua berhenti!" suara ini tidak begitu besar tapi dapat menutupi
semua keributan yang bergelombang rendah itu, sehingga semua
orang yang tengah bertempur merasa tergetar hatinya, kuping
juga serasa ditusuk jarum. Tanpa terasa kedua belah pihak
menghentikan pertempuran ini...
Sebuah bayangan seenteng kapuk melayang tiba memasuki
gelanggang. Pendatang ini adalah seorang pemuda yang cakap
ganteng seumpama Arjuna hidup kembali. Tapi diantara kerut
alisnya itu terkandung hawa membunuh yang tebal.
Wajah tua pelindung jubah merah itu seketika pucat pasi,
gumamnya gemetar: "Sia sin kedua Suma Bing!"
Kedatangan Suma Bing ini seumpama malaikat elmaut bagi pihak
Bwe hwa hwe, keruan ciut dan gentar nyali mereka.
Sebaliknya pihak Bu khek po merasa takjup, heran dan kejut
sampai terlongong. Meskipun diberi julukan sebagai Sia sin kedua,
tapi ketenaran dan kepandaian Suma Bing sekarang, rasanya lebih
tinggi dan lebih agung dari gurunya yang sudah wafat yaitu Lam
sia Kho Jiang. Kehadiran Suma Bing diluar sangka ini benar2 mengejutkan dan
diluar dugaan kedua belah pihak. Tanpa diterangkan lagi sudah
jelas, bahwa para penjaga gelap yang ditanam dimana2 oleh Bwe
hwa hwe itu pastilah telah dibabat habis oleh Suma Bing.
Memang hanya Suma Bing saja yang mampu melakukan
pekerjaan besar yang berat itu.
Serta merta para anak buah Bwe hwa hwe menggeremet dan
saling mepet. Wajah Suma Bing membeku bagai es kedua matanya mencorong
berkilat bagai bintang kejora dimalam hari, menyinarkan cahaya
dingin yang menyilaukan mata. Setelah menyapu pandang kearah
Bu khek siang lo, terus berpaling menghadapi semua jagoan Bwe
hwa hwe. Kam Peng cun si pelindung jubah merah sebagai pemimpin dalam
penyerbuan ini. Tak dapat tidak dia harus menghadapi kenyataan
yang serius ini, terpaksa mengeraskan kepala dia tampil kedepan:
"Apakah tuan ini Sia sin kedua?"
Suma Bing menggereng dingin sebagai jawaban. "Apa maksud
tuan datang kemari?" "Membunuh orang!" dua patah kata
yang gampang diucapkan ini keluar dari mulut Suma Bing, betapa besar
wibawanya seumpama lonceng kematian bagi anak buah Bwe hwa
hwe, bayangan kematian melingkupi sanubari setiap hadirin.
Pelindung jubah merah Kam Peng cun menyedot hawa dingin dan
mundur dua langkah, sudah tahu namun dia
sengaja bertanya: "Jadi kedatangan tuan khusus hendak
membunuh?"
"Tidak salah!" "Siapa yang hendak kau bunuh?" "Semua
orang yang mengenakan pertanda dari Bhe hwa
hwe." Keruan terasa terbang arwah semua anak buah Bwe hwa
hwe, semua gemetar ketakutan. Pelindung jubah merah Kam
Peng cun celingukan kian
kemari, pandangannya menyapu keempat penjuru. Besar
harapannya bala bantuan segera tiba, namun dia putus asa karena
yang sangat diharapkan itu tidak kunjung datang juga. Akhirnya
dipandangnya Suma Bing, nadanya mulai lembek: "Lohu beramai
toh tiada permusuhan dengan tuan bukan?"
"Memang tidak! Sayang kalian mau menjadi anak buah Bwe hwa
hwe!" "Tapi tuan tidak bisa turun tangan keji terhadap setiap orang?"
Sikap Suma Bing tetap angkuh dan dingin, jengeknya: "Justru aku
harus bunuh kalian semua, seluruh penghuni Bwe hwa hwe
termasuk ayam dan anjing tidak akan ketinggalan hidup!"
Hawa pembunuhan semakin tebal, suasana ini laksana sesaat
sebelum datangnya hari kiamat, membuat semua orang susah
bernapas dan gemetar!"
Jidat pelindung jubah merah Kam Peng cun berkeringat dingin,
suaranya sember: "Suma Bing, lalu tindakan apa yang hendak kau
perbuat?" Suma Bing maju beberapa langkah, sikapnya tetap dingin: "Tak
usah banyak mulut, kamu sekalian hendak bunuh diri atau..."
"Maju!" Dibarengi dengan bentakan aba2 ini, Kam Peng cun
mendahului menerjang maju, sekali ayun kepelan langsung ia
mengepruk kebatok kepala Suma Bing. Disusul para anak buahnya
juga beramai2 menubruk maju merangsek dengan sengitnya,
bayangan pukulan ber-lapis2 bagai bayangan gunung, angin
berkesiur kencang seperti angin lesus seumpama taufan yang
menyerang mendadak di gurun pasir.
Sambil mengertak gigi dan menggerung keras, jurus Bi cu hong
bong dilancarkan.
Suara lolong dan pekik kesakitan memecah udara, dimana
gelombang badai menerpa dan mengembang, tampak puluhan
bayangan manusia melayang keempat penjuru sejauh puluhan
tombak. Sebagian yang lain juga ter-guling2 porak poranda
sampai tiga tombak jauhnya.
Hanya sekali gebrak saja, duapuluhan tokoh2 silat lihay itu sudah
bergelimpangan diatas tanah tanpa bergerak, kalau tidak
melayang jiwanya juga pasti terluka berat. Kepandaian semacam
ini betul2 belum pernah terlihat dan sungguh menakjupkan.
Semua kerabat Bu khek po termasuk Bu khek siang lo semua
terlongo heran dan melelet lidah.
Agaknya kepandaian pelindung jubah merah Kam Peng cun dan
seorang kawannya berkepandaian lain dari yang lain, mereka
terluka paling ringan dan masih dapat bergerak lincah, tanpa
mengeluarkan suara lagi mereka berdua sama2 melejit keluar
gelanggang hendak lari...
"Lari kemana kamu?" Suma Bing menghardik keras sambil
berkelebat mengejar, bagai bayangan yang mengikuti bentuk,
tubuhnya melesat pesat sekali. Jurus Bi cu hong bong lagi2
dilancarkan dari tengah udara menungkrup kearah kedua
pelindung jubah merah itu.
Dua gulung bayangan merah terpental tinggi ketengah udara
sambil perdengarkan jeritan yang menusuk hati. Sedemikian hebat
pukulan Suma Bing ini sehingga tubuh mereka melayang jauh
masuk kedalam hutan diluar gelanggang sana.
Ditengah udara Suma Bing jumpalitan dan menginjak tanah
ditempatnya semula. Dengan pandangan tajam dipandangnya
para anak buah Bwe hwa hwe yang terluka dan masih ketinggalan
hidup. Mayat dan darah bercecer menyadarkan sanubarinya yang baik
dan bijaksana, nafsu dan rasa kebenciannya ber-angsur2 lenyap,
akhirnya tangannya diulapkan serta berseru:
"Menggelinding pergi! Tapi jangan sekali2 kembali ke Bwe hwa
hwe, kalau tidak nasib yang sama akan menimpa kalian lagi pada
suatu hari kelak!"
Para jagoan Bwe hwa hwe yang masih ketinggalan hidup bagai
lolos dari pintu elmaut, tanpa diperintah lagi segera mereka
angkat kaki dan serabutan lari ter-birit2.
Sekian lama Suma Bing memandangi mayat2 yang bergelimpangan
hasil karyanya itu, lalu per-lahan2 membalik tubuh...
Se-konyong2 terdengar kesiur angin yang membawa suara
lambaian baju, tiga bayangan orang seenteng burung kepinis
melayang tiba memasuki gelanggang!
"Tuan kejam benar perbuatanmu, keterlaluan kau memandang
rendah pihak Bwe hwa hwe kita?"
Suma Bing membalik tubuh lagi. Dihadapannya kini berdiri tiga
orang pemuda seragam putih yang bersulam kembang Bwe besar,
mereka memandang gusar kearah dirinya. Timbul pula hawa
amarah Suma Bing yang sudah hampir padam tadi, alisnya
dikerutkan dalam, jengeknya:
"Kalian memburu tiba untuk mengantar kematian?"
Salah satu pemuda serba putih itu mencibir bibir dan melotot
gusar, sanggahnya:
"Kita datang untuk mengantar keberangkatanmu!" "Mengandal
kalian tiga kurcaci ini rasanya kurang


Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berharga!" Gesit sekali ketiga pemuda itu menggeser kedudukan
menjadi formasi segitiga mengelilingi Suma Bing. Dilihat dari
gerak tubuh mereka, agaknya Lwekang mereka masih berada
diatas para pelindung jubah merah tadi, tidak heran mereka
berani takabur membuka mulut besar.
Setelah saling berpandangan sebentar tanpa membuka suara lagi
serentak mereka mengangkat tangan bersiap hendak menyerang.
Amarah Suma Bing semakin terangsang wajahnya semakin
membesi dirundung nafsu kekejian, dia tahu dari gaya ketiga
pemuda ini bahwa mereka tengah menghimpun kekuatan hendak
melancarkan ilmu Kiu yang sinkang. Kiu yang sinkang merupakan
pelajaran tunggal dari Lam sia Kho Jiang.
Tapi sekarang terunjuk pada ketiga pemuda ini, betapa tidak
membuat hatinya terbakar dan mendidih darahnya, desisnya sinis:
"Rupanya kalian bertiga menjadi murid Loh Cu gi?" Berobah
wajah ketiga pemuda itu. "Kalau benar kau mau
apa?" sanggah salah satu diantaranya. Suma Bing merogoh
kedalam baju lalu pelan2 diacungkan
keatas, tampak sebilah cundrik yang berkilauan sudah digenggam
ditangannya. "Cundrik penembus dada!" terdengar ketiga pemuda dan para
kerabat dari Bu khek bun berseru kejut.
Sungguh tak terduga bahwa Sia sin kedua Suma Bing ternyata
menyandang cundrik penembus dada yang sangat
ditakuti oleh kalangan hitam dan putih. Apakah mungkin Rasul
penembus dada yang selama ini muncul dan malang melintang
menyebar maut itu adalah duplikatnya Suma Bing"
Ketiga pemuda itu serentak menggertak keras masing2 luncurkan
sebuah pukulannya. Ternyata angin pukulan mereka mengandung
sinar merah yang berkelebat bagai kilat. Ini menandakan bahwa
latihan Kiu yang sinkang ketiga pemuda ini sudah mencapai suatu
taraf yang dapat dibanggakan.
Serta merta karena pikiran siaganya bekerja, ilmu Giok ci sinkang
sudah terkerahkan melindungi seluruh tubuh Suma Bing. Maka
terdengarlah suara 'Blang, blung' tiga kali sedemikian keras suara
dentuman pukulan ini sehingga menggetarkan seluruh gelanggang.
Suma Bing hanya menggeliat tubuh, sebaliknya ketiga pemuda itu
masing2 mundur selangkah lebar. Kontan pucat pasi ketiga
pemuda itu, kegarangannya tadi seketika lenyap dan kuncuplah
nyalinya, mimik wajah mereka dari beringas marah berganti
menjadi tegang ketakutan.
-oo0dw0oo- Jilid 13 49. AJAL BU KHEK
SIANG LO Sebetulnya ketiga pemuda itu percaya benar akan kekuatan
gabungan pukulan mereka, bahwa dikolong langit ini takkan ada
tokoh lihay siapapun yang kuat melawan keampuhan Kiu yang
sinkang. Tapi kenyataan bahwa Lwekang Suma Bing jauh diluar perkiraan
mereka sendiri.
Mendadak bayangan Suma Bing berkelebat tubuhnya menubruk
kearah salah satu pemuda itu, dimana terlihat sinar kilat
berkelebat. Kontan terdengar lolong panjang kesakitan yang
menggetarkan sanubari seluruh hadirin. 'Blang', raga pemuda baju
putih itu terbanting keras terkapar diatas tanah, darah menyembur
bagai air ledeng dari dadanya.
Hampir dalam waktu yang bersamaan, dua jalur angin pukulan
yang dahsyat menerjang tiba mengarah punggung Suma Bing.
Keruan Suma Bing terpental kedepan menubruk angin, namun
secepat itu pula tubuhnya sudah memutar balik, dan hanya sekali
berkelebat lagi2 tubuhnya sudah kembali ketempat asalnya tadi,
sorot matanya dingin menggiriskan menatap kearah seorang
pemuda baju putih yang lain.
Pucat pasi wajah kedua pemuda baju putih yang masih
ketinggalan hidup ini, serta merta mereka saling mepet dan
mundur setindak demi setindak.
Sungguh kecepatan gerak tubuh Suma Bing susah diikuti oleh
pandangan mata, secepat tubuhnya bergerak secepat itu pula
terdengar pekik kesakitan yang menyayatkan hati, pancuran darah
membasahi bumi, lagi2 salah seorang dari kedua pemuda itu
sudah ajal ditembusi dadanya.
Tiga diantara pemuda baju putih itu kini tinggal seorang yang
masih ketinggalan hidup. Keruan serasa terbang arwahnya, insaf
kalau dirinya juga bakal tidak mungkin menyelamatkan diri, namun
betapapun daya kekuatan untuk hidup masih merangsang
benaknya sehingga dia harus meronta dan berontak dari kekangan
elmaut kematian ini. Setelah menghimpun seluruh kekuatannya,
bukan lari malah dia menubruk kearah Suma Bing dengan nekad.
Terdengarlah suara 'blang, blung' yang keras dalam sekejap mata
beruntun Suma Bing mandah digenjot dan dihantam sebanyak lima
kali, tubuhnya hanya mundur tiga tindak.
Sebaliknya si pemuda merasakan kedua tangannya terasa hampir
patah, sakitnya bukan buatan, ia berdiri termangu bagai patung.
Maka dengan mudah saja cundrik yang tajam berkilauan itu
menusuk amblas kedalam dadanya malah terus menembus sampai
kepunggungnya. Sebuah jeritan panjang memecah kesunyian,
darah menyembur keluar lagi tubuhnya terkapar tanpa bergerak
lagi. Suma Bing menyimpan kembali cundriknya, terus angkat langkah
menghampiri kearah rombongan Bu khek bun. Sejauh satu
tombak baru ia berhenti melangkah.
Bagai tersadar dari lamunannya cepat2 Bu khek chiu Tio Leng wa
tampil kedepan sambil angkat tangan serta, katanya: "Saudara ini
terimalah hormat serta pernyataan terima kasih kami!"
Tawar2 saja Suma Bing berkata: "Ciangbunjin jangan banyak
peradatan."
"Terima kasih banyak akan bantuan Siauhiap yang sangat
berharga ini!"
"Ah, tidak perlu sungkan2!" "Kalau tiada Siauhiap membantu
tepat pada waktunya,
susahlah dibayangkan akibatnya." "Sudah cayhe katakan tidak
perlu sungkan2, kubunuh
semua kurcaci Bwe hwa hwe itu bukan lantaran hendak menalangi
ancaman bahaya perguruan kalian."
Semua anak murid Bu khek bun mengunjuk rasa heran dan kaget.
Segera Bu khek siang lo tampil kedepan sembari angkat tangan,
ujarnya: "Lohu kakak beradik mewakili sekalian anak murid kita
menyampaikan banyak terima kasih!"
Suma Bing ganda mendengus ejek, sorot matanya yang
mengandung kebencian menatap kearah kedua orang tua ini.
Keruan berobah airmuka Siang lo, tanpa sadar mereka mundur
selangkah lebar saking gentar.
B u k h e k c h i u T i o L e n g w a m e r a s a k a n
k e g a n j i l a n s u a s a n a y a n g m e n g u a t i r k a n
i n i , c e p a t 2 i a m a j u s a m a t e n g a h d a n
b e r k a t a s a m b i l m e m b e r i h o r m a t :
" S i a u h i a p s i l a h k a n i s t i r a h a t d i d a l a m
s a m b i l m e n i k m a t i s e k e d a r m i n u m a n t e h ! "
"Terima kasih akan kebaikanmu ini!" "Siauhiap..." "Ketahuilah
bahwa kedatanganku ini mempunyai satu
tujuan!" "Harap tanya..." "Kedatanganku diperguruan kalian ini
untuk menagih perhitungan lama!" "Perhitungan lama?" "Tepat sekali!" "Aku
kurang paham apa yang Siauhiap maksudkan?" Sorot pandangan
Suma Bing melirik kearah Bu khek siang
lo, katanya: "Kurasa Siang lo kalian sudah paham apa yang
kumaksudkan."
Memang Bu khek siang lo sudah menduga akan urusan apa, wajah
tuanya kontan berubah pucat kebiru2an terus berubah pucat
memutih, salah seorang tua itu tampil kedepan serta katanya
penuh keharuan: "Kau ini..."
Sepatah demi sepatah Suma Bing berkata: "Keturunan Su hay yu
hiap Suma Hong!"
"Oh!" Siang lo berseru kejut berbareng dan mundur tiga langkah
tubuhnya bergemetaran hebat sekali.
"Kalian berdua sudah paham?" desak Suma Bing menyeringai.
"Siauhiap". seru Bu khek chiu Tio Leng wa gugup. "Kalau ada
urusan baiklah dirundingkan per-lahan2!"
Suma Bing ulapkan tangan, katanya: "Ciangbunjin, lebih baik kau
tidak turut campur dalam urusan ini!"
Mulut Bu khek chiu Tio Leng wa bagai disumbat tanpa kuasa
membuka mulut lagi. Sedang anak muridnya semua melongo dan
saling pandang, mereka tidak tahu peristiwa apakah yang pernah
terjadi. Setelah menghela napas panjang, Siang lo sama2 angkat sebelah
tangan terus menghantam kebatok kepalanya sendiri.
Sigap sekali Suma Bing tudingkan jarinya, kontan dua jalur angin
telunjuknya mencicit melesat kedepan. Terdengar Sianglo
mengeluh tertahan, tangan masing2 yang sudah terangkat tinggi
itu kini tergantung lemas tanpa mampu bergerak lagi.
Tertua dari Sianglo mendelik gusar semprotnya: "Suma Bing,
apa2an maksudmu ini?"
Tanpa banyak cakap lagi, Suma Bing melolos keluar cundrik
penembus dada. "Suma Bing, bagimu membunuh orang segampang kau
menganggukkan kepala. Memang dulu Lohu berdua pernah
berbuat salah, tapi masa belum cukup kita menebus dengan
kematian?"
Wajah Suma Bing membeku dingin, katanya: "Semua orang yang
turut mengeroyok dan menganiaya ayahku dulu tiada seorangpun
yang boleh luput dari hukuman yang serupa."
" K a u t e r l a l u k e j a m . . . " " K a l i a n m e n y e s a l
s e t e l a h t e r l a m b a t " " T e r s i p u 2 B u k h e k c h i u
T i o L e n g w a m a j u s a m a t e n g a h ,
katanya gugup: "Siauhiap..."
Tanpa berpaling Suma Bing ulapkan sebelah tangan, kontan Bu
khek chiu terhuyung mundur.
Bu khek sianglo menjerit dengan penuh kepedihan: "Sebab dan
akibat saling berbalasan, Suma Bing, silahkan kau turun tangan!"
Pada saat itulah tiba2 terdengar sebuah bentakan nyaring dari
kejauhan sana: "Suma Bing, berani benar kau!"
Suma Bing terperanjat, tanpa terasa tangannya diturunkan
kembali, matanya berkilat memandang kearah datangnya suara.
Begitu melihat tegas, kontan tubuhnya merinding dan berdiri bulu
kuduknya, matanya kesima mulutnya melongo.
Seorang gadis serba putih melayang datang seperti Dewi yang
melayang tiba dari kahyangan.
Dia adalah Ting Hoan" Tapi sebuah pikiran lain segera
menghapus perasaannya
dalam kenyataan ini. Sebab Ting Hoan sudah meninggal setelah
diperkosa oleh Racun diracun, malah dia sendiri yang turun tangan
mengubur jenazahnya, orang yang sudah mati sudah tentu takkan
hidup lagi. Tapi kenyataan yang datang ini memang Ting Hoan adanya. Dia
meng-ucek2 mata, dan melihat lagi lebih tegas, memang tidak
salah, Ting Hoan adanya.
Betapa besar rasa kejut hatinya susah diuraikan dengan kata2,
tubuhnya limbung tiga langkah. Apa mungkin Ting Hoan benar2
hidup kembali" Kenyataan ini lantas menghancurkan segala pikiran.
Dalam pada itu, gadis serba putih itu sudah berdiri tegak diatas
tanah, matanya menyapu keseluruh gelanggang, per- tama2
dipandangnya Bu khek sianglo penuh perhatian. Lalu berpaling
kearah Bu khek chiu Tio Leng wa serta panggilnya: "Ayah!"
Bu khek chiu Tio Leng wa berjingkrak kegirangan serunya: "Anak
Siok, kau...sungguh tepat kedatanganmu..."
Percakapan ini membuktikan bahwa gadis serba putih ini bukan
Ting Hoan adanya. Ini benar2 sangat aneh dan ganjil, sungguh
tak terduga dikolong langit ini ternyata ada dua orang yang mirip
sedemikian rupa bagai pinang dibelah dua.
Gadis serba putih ini merengut gusar, jengeknya dingin: "Suma
Bing, apa yang hendak kau lakukan?"
"Siapa kau ini?" "Nonamu ini Tio Keh siok, putri tunggal Bu
khek Ciangbun, sudah jelas belum?" "Kalau begitu, dengarlah biar jelas,
kedatangan cayhe ini
untuk menuntut balas." "Menuntut balas?" Suma Bing mengiakan.
"Siapa yang bermusuhan dengan kau?" "Bu khek sianglo!"
"Susiokco!" seru Tio Keh siok lirih sambil memandang
kearah Bu khek sianglo. Rasa duka dan ketakutan Bu khek sianglo
masih belum hilang, berbareng mereka manggut2. Sekilas Tio Keh siok
memandang kearah Sianglo penuh
tanda tanya dan tak mengerti lalu berputar menghadapi Suma
Bing, katanya: "Kau menjadi anak buah dari Jeng siong hwe."
Suma Bing angkat cundrik ditangannya tinggi2, serunya lantang:
"Dalam dunia persilatan hakikatnya tiada kumpulan yang
dinamakan Jeng siong hwe apa segala?"
"Lalu Rasul penembus dada yang muncul itu...?" "Rasanya
tidak perlu aku memberi penjelasan kepadamu."
"Suma Bing, susiokcoku berdua ada permusuhan apa dengan
kau?" Suma Bing menggigit gigi: "Dendam setinggi langit sedalam
lautan!" Lagi2 Tio Keh siok melirik kearah Sianglo, dia mengharap
pembuktian dari mulut Sianglo sendiri.
Akhirnya salah satu Sianglo itu membuka mulut juga: "Suma Bing,
peristiwa dipuncak kepala harimau pada limabelas tahun yang lalu,
antara hitam dan putih yang ikut serta dalam pengeroyokan tidak
kurang dari ratusan orang jumlahnya. Tahukah kau siapakah
sebenarnya yang turun tangan secara langsung kepada ayahmu Su
hay yu hiap Suma Hong?"
Sorot mata Suma Bing memancarkan kebuasan, desisnya bengis:
"Ayahku terbunuh karena keroyokan kalian bangsa sampah
persilatan!"
"Kau jangan menuduh se-mena2 tanpa bukti!" "Tuan hadir
tidak dalam peristiwa itu?" "Ya, kami hadir tapi sebagai
penonton saja!" "Hm, pembual nomor satu. Tuan ikut turun
tangan tidak?" "Ini..." "Jangan ini itu, hutang jiwa bayar jiwa,
hutang darah bayar
darah..." Tio Keh siok maju beberapa langkah merintangi didepan
Sianglo, jengeknya dingin: "Suma Bing, cundrik ditanganmu itu
entah sudah berlepotan darah berapa banyak tokoh2 silat, masa
sebanyak itu masih kurang dapat menghimpas jiwa ayahmu
seorang. Balas membalas tiada habisnya, kiranya sudah saatnya
kau hentikan kekejaman yang mengalirkan banyak darah dan jiwa
ini?" "Sesudah tiba saatnya pasti akan berhenti, kalau para kurcaci
yang tidak tahu malu dari sampah persilatan itu sudah tertumpas
habis." "Jadi tekadmu hendak membunuh habis mereka semua sampai ke


Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akar2nya?"
"Bukan sampai ke akar2nya. Seorang anak harus membalaskan
dendam ayahnya, ini sudah jamak dan adil bukan?"
"Tapi kurasa hari ini kau pasti akan kecewa!" "Jadi nona hendak
merintangi tindakanku?" "Tidak salah!" "Apakah kau mampu?"
"Mari kau coba2?" Suma Bing berkata dengan nada berat:
"Nona Tio,
perguruan Bu khek bun belum pernah melakukan kejahatan besar
dalam Bulim, maka aku tidak mau melukai atau membunuh orang
yang tidak berdosa..."
"Suma Bing lebih baik kau silahkan pergi saja!" "Tidak
mungkin!" "Kalau begitu janganlah kau ber-pura2 welas asih
dan berbuat bajik, kau sangka pasti dapat berhasil?" Keras2 Suma
Bing mendengus, ancamnya: "Bagus sekali,
aku Suma Bing tidak keberatan untuk menambah banyak
pembunuhan!" sembari berkata tubuhnya mendadak bergerak
memutar setengah lingkaran melewati tubuh Tio Keh siok terus
menerjang kearah Sianglo, berkelebat sambil menyerang, sungguh
kecepatan gerak tubuhnya ini bagai kilat menyambar.
"Berani kau!" terdengar sebuah bentakan nyaring diiringi
gelombang angin pukulan menerjang kearah Suma Bing,
kekuatannya bagai gugur gunung dan geledek menggetar.
Dentuman keras bagai bom meledak ini membuat tubuh Suma
Bing terpental balik ketempat asalnya. Sedang Tio Keh siok sendiri
juga bersamaan terpental balik terkena daya tolakan luar biasa
sehingga terhuyung beberapa langkah.
Kedua belah pihak sama kaget dan melengak akan kekuatan lawan
masing-masing. Diam2 tercekat hati Suma Bing, bahwa kepandaian lawan ternyata
hebat luar biasa diluar perhitungannya. Serangan tadi bukan olah2
dahsyat kekuatannya sungguh susah diukur. Sedang Tio Keh siok
sendiri juga tidak kalah kejutnya, ternyata hanya mengandal
kesaktian tenaga pelindung badan musuh cukup membuat dirinya
terpental balik tanpa terkendali. Kalau bergebrak sungguh,
bukankah lebih hebat menakutkan. Tapi dalam keadaan dan situasi
sekarang ini, tiada tempat baginya untuk mengundurkan diri, sebab
bagaimana juga ia tidak tega melihat kedua Susiokconya tewas di
ujung cundrik musuh.
Sebenarnya Bu khek sianglo bukan penjahat dari aliran hitam,
justru karena temaha dan loba saja sehingga berbuat tindakan
yang sesungguhnya sangat memalukan perguruan, menyesal juga
sudah kasep. Kini mereka termangu bagai patung di tempatnya.
Bu khek chiu Tio Leng hwa membanting kaki sembari meremas2
kedua tangannya dengan sedih. Sebagai pejabat ketua dari satu
aliran, dia tidak tahu kalau dalam perguruannya ada anggota tertua
yang ikut dalam komplotan memperebutkan benda pusaka orang
lain, ini merupakan suatu penghinaan dan pengrusakan nama baik
perguruan. Sudah tentu dia tidak kuasa untuk merintangi musuh
untuk menuntut balas. Tapi hakikatnya memang tak mungkin dan
tak kuasa dirinya merintangi. Sebaliknya dalam batin dia juga
tidak rela untuk mencegah putrinya turun tangan mencampuri
urusan ini, yang diharapkan satu2nya hanyalah kemungkinan
timbulnya suatu keanehan yang ajaib...
Para anak murid yang lain lebih2 tak dapat berbuat apa2, bagian
mereka hanya menonton sambil melongo saja. Memang cara Suma
Bing turun tangan membereskan seluruh anak buah Bwe hwa hwe
tadi sungguh menciutkan nyali mereka.
Amarah Suma Bing semakin memuncak, sambil menggerung keras,
sekali lagi tubuhnya melejit langsung menubruk kearah Sianglo lagi.
Tio Keh siok menggertak geram, secepat kilat dikirimkannya sejurus
serangan yang aneh bin ajaib...
Siang2 Suma Bing sudah mempunyai perhitungan, ditengah jalan
mendadak ia rubah permainan silatnya, jurus Mayapada remang2
kontan diberondong keluar secepat kilat.
Timbullah pemandangan yang mengerikan dan mengejutkan semua
orang dalam gelanggang batu beterbangan pasir dan debu
bergulung menari2 ditengah udara, tanah tergetar merekah, saking
hebat angin badai yang timbul ini seakan geledek menyambar
menggoncangkan seluruh mayapada.
Hampir dalam waktu yang bersamaan terdengar dua kali jeritan
panjang yang mengerikan menusuk pendengaran telinga.
Setelah angin dan badai berhenti keadaan sudah menjadi terang
lagi, tampak Bu khek sianglo sudah rebah diatas tanah dalam
genangan air darah, dada mereka masing2 berlobang dan
mengalirkan darah dengan derasnya.
Maka beramai2 Bu khek chiu Tio Leng wa dan anak muridnya
memburu maju kearah kedua jenazah itu.
Sementara itu, dengan kalem Suma bing tengah memasukkan
cundriknya kedalam baju.
Tio Keh siok memekik nyaring terus menubruk kearah Suma Bing.
Sebat sekali Suma Bing melejit mundur sejauh delapan kaki,
serunya tanpa emosi: "Nona Tio, aku tidak ingin membunuh kau!"
"Tapi akulah yang ingin membunuh kau!" desis Tio Keh siok penuh
kebencian. Seiring dengan habis suaranya, tubuhnya yang ramping
semampai itu melejit maju lagi sambil mengayun sebelah
tangannya, berpetalah gambar pukulan tangan yang menderu
membawa kesiur angin keras melengking terus bergulung
menungkrup keseluruh tubuh Suma Bing.
Suma Bing terkejut melihat kehebatan serangan ini, sungguh susah
diukur dan ganjil benar serangan ini, sedemikian keji tiada
bandingannya di kolong langit ini. Seluruh sudut kedudukan dirinya
semua terancam dalam jurus serangan musuh ini, sedikitpun tak
terlihat lobang kelemahannya sehingga membuat orang tak tahu
cara bagaimana dirinya harus membela diri atau menyingkir.
Sungguh dia tidak mengerti, bahwa Lwekang Tio Keh siok ternyata
jauh diatas Bu khek sianglo, malah hakikatnya kepandaiannya ini
bukan pelajaran dari Bu khek bun mereka sendiri"
Waktu tiada memberi tempo untuk dia banyak berpikir, terpaksa
dengan jurus Mayapada remang2 lagi dia balas menyerang untuk
menandingi serangan musuh.
Angin badai saling tumbuk dan saling terjang dengan dahsyatnya
menimbulkan dentuman keras yang menggetarkan seluruh langit
dan bumi. Seketika Suma Bing merasa darah dan pernapasannya sesak dan
mengembang, tapi tubuhnya masih kuat berdiri tegak tanpa
bergeming. Sebaliknya Tio Keh siok terhuyung mundur lima langkah,
wajahnya berobah pucat.
Yang benar2 terkejut sebenarnya adalah Suma Bing sendiri. Pernah
secara gampang saja dalam dua jurus dia mengalahkan Hudco dari
Siau lim si Hui Kong Taysu, tapi nona jelita yang masih muda dan
berusia tidak lebih dari dua puluh tahun ini ternyata kuat dan
mampu menahan jurus serangannya tanpa kurang suatu apa, ini
benar2 luar biasa.
Setelah melancarkan pernapasannya kembali Tio Keh siok
melompat maju lagi, wajah membesi, kedua tangannya bergerak
bergantian terus dikebutkan keluar.
Jangan kira hanya gerak kebutan saja kelihatannya enteng dan
biasa saja, namun sebenarnya mengandung kekuatan dalam yang
tidak kentara, betapa besar kekuatannya ini benar2 sangat
mengejutkan. Suma Bing merasa tiba2 dirinya dilingkupi gelombang kekuatan
bagai gugur gunung yang meluruk semua kearah tubuhnya. Maka
pikirnya, biar kucoba betapa besar kemampuanmu. Karena pikiran
siaganya ini, Giok ci sinkang terkerahkan sampai sepuluh bagian
tenaganya terus menyelubungi seluruh tubuhnya.
Melihat sikap lawannya yang acuh tak acuh dan ogah2an
se-akan2 tak terjadi apa2 semakin geram hati Tiok Keh siok,
kekuatan tenaga pukulannya ditambah dan dipergencar terus
diberondong semakin dahsyat. Dentuman yang menggelegar
membuat hawa udara lima tombak sekelilingnya pepat dan
berputar membumbung tinggi seperti angin lesus.
Para hadirin yang menonton termasuk Bu khek chiu sendiri sampai
tidak kuat berdiri lagi, mereka terdesak mundur sempoyongan,
malah ada yang jungkir balik terguling.
Suma Bing masih berhadapan dengan Tio Keh siok tanpa bergerak,
hati masing2 maklum, salah satu pihak menyerang dengan seluruh
himpunan tenaganya, sedang yang lain mandah diserang secara
kekerasan, kalau dibandingkan anak kecil juga segera dapat
membedakan siapa kuat siapa asor.
"Nona sudah saatnya kau menghentikan sepak terjangmu ini?"
"Suma Bing," teriak Tio Keh siok beringas "Kecuali kau
memberikan keadilan!"
"Apa keadilan?" "Apakah kematian kedua Susiokcoku itu lantas
sia2 belaka?" "Memang setimpal kematian mereka." "Tutup mulut,
kalau nonamu ini tidak membunuhmu, aku
bersumpah tidak menjadi manusia." "Apakah kau mampu?"
"Serahkan jiwamu!" seiring dengan gertakan nyaring ini,
untuk ketiga kalinya Tio Keh siok lancarkan serangan jurus ketiga,
jari dan telapak tangan bergerak berbareng, sedemikian aneh dan
hebatnya cara geraknya ini sehingga semua tempat2 vital yang
mematikan ditubuh lawan semua dalam ancaman renggutannya.
Sedemikian jauh Suma Bing terus mengalah, tapi dalam keadaan
yang terdesak ini akhirnya hatinya berpikir, kalau aku tetap
mengalah terus kapan akhir urusan disini. Maka dia juga
membarengi membentak keras: "Rebahlah!" jurus kedua dari Giok
ci sinkang yaitu Bintang berpindah jumpalitan dilancarkan.
Benar juga seperti apa yang diteriakkan Suma Bing, terdengar
keluhan tertahan seperti orang hampir muntah,
kontan Tio Keh siok terpental jatuh dan rebah diatas tanah,
mulutnya terpentang dan muntahlah darah segar.
Semua kerabat dari perguruan Bu khek bun menjerit kaget, "Anak
Siok!" pekik Tio Leng wa sambil memburu maju.
Pada saat itu juga Tio Keh siok meronta dan merangkak bangun
berdiri, dengan nadanya yang menggiriskan ia berkata: "Suma
Bing, bunuhlah aku?"
"Aku tidak ingin membunuh kau." "Kelak kau akan menyesal!"
"Selamanya aku tidak kenal menyesal." "Ingat, akan datang
suatu hari pasti aku akan
membunuhmu." Nada ancaman ini penuh rasa kebencian yang
meluap2. Tanpa terasa Suma Bing sampai bergidik seram, tapi dimulut dia
masih bersikap congkak: "Selalu cayhe nantikan saat itu!"
Kakinya menjejak tanah, tubuhnya terus terbang berlari keluar
dari Bu khek po.
Sejak berhasil dan mencapai sukses dalam mempelajari Giok ci
sinkang. Dalam satu jurus saja Loh Cu gi kena dikalahkan dan
ngacir terbirit-birit membawa luka. Hui Kong Taysu pendeta agung
dari Siau lim si dalam dua jurus kemudian mengaku kalah.
Sebaliknya Tio Keh siok seorang gadis muda belia yang belum
cukup berusia dua puluh ternyata kuat bertahan sebanyak tiga
jurus serangannya, betapa tidak mengejutkan.
Siapa dan tokoh macam apakah yang mampu memberi pelajaran
sedemikian hebat kepada seorang gadis kecil"
Setelah tiba diluar perbentengan musuh, Suma Bing menghela
napas panjang. Baru pertama kali ini dia secara terang atas
namanya sendiri menuntut balas, yang digunakan juga cundrik
yang dulu pernah digunakan ibunya untuk
melepaskan penderitaan dirinya maka ditusuknyalah ulu hatinya.
Terkenang akan penderitaan selama ini. Sekarang terasalah
enteng beban dirinya, hatinya berseri girang.
Sekarang tujuannya yang utama adalah markas besar Bwe hwa
hwe. Barisan pohon Bwe yang aneh itulah merupakan ganjalan
paling berat dalam batinnya, sampai saat itu, masih belum
terpikirkan cara2 pemecahannya untuk memasuki barisan aneh itu.
Tapi bagaimanapun juga keinginan hendak menuntut balas selalu
merangsang jiwanya sehingga mendorongnya segera harus tiba
dimarkas besar Bwe hwa hwe.
Betapa banyak para jagoan silat dari Bwe hwa hwe, namun
demikian dalam anggapannya mereka tidak lebih hanya kaum
keroco yang tidak perlu diambil perhatian, membunuh mereka
segampang membalikkan tangan baginya. Mencuci bersih seluruh
Bwe hwa hwe dengan darah mereka sendiri, ingatan yang seram
dan menakutkan ini selalu merasuk dan merangsang benaknya.
Untuk mempercepat tiba ditempat tujuan, Suma Bing kerahkan
seluruh tenaga untuk berlari bagai terbang. Tengah mengayun
langkah itulah tiba2 dilihat sebuah bayangan hitam tengah
mendatangi dari arah depan sana dengan tidak kalah cepatnya.
Ketajaman pandangan Suma Bing sekarang luar biasa, sekilas
pandang saja dia sudah mengenal siapakah yang tengah
mendatangi itu. Segera ia hentikan langkahnya dan mencegat
ditengah jalan gertaknya keras: "Berhenti!"
Sambil berseru kaget bayangan hitam itu segera berhenti.
Mata Suma Bing mencorongkan sorot kebuasan, menyapu
pandang kearah musuh, berkatalah dingin: "Racun diracun, tak
duga kita bertemu disini!"
Memang benar yang baru datang ini adalah Racun diracun, tampak
matanya yang banyak putih dari hitamnya itu
berjelalatan, serta sahutnya angkuh: "Suma Bing, kau hendak
apa?" "Kukira kau masih belum lupa perkataanku sebelum kita berpisah
dulu bukan?"
"Coba kau katakan sekali lagi?" "Aku hendak membunuhmu!"
"Suma Bing," desis Racun diracun gemetar, "Sudah
kukatakan setengah tahun lagi akan kubereskan sendiri pertikaian
kita itu!"
"Aku sudah tidak sabar lagi!" "Jadi kau hendak turun tangan
sekarang juga?" "Memang begitulah yang kuinginkan." "Suma
Bing sebenarnya aku juga bisa melenyapkan jiwamu
dalam sekejap mata." "Menggunakan racunmu?" "Memang itulah
bekal dan modalku, lebih baik kalau kau
sudah tahu!" Berkelebat cepat pikiran Suma Bing, jikalau dia
lancarkan sekuat tenaga salah satu dari jurus kepandaian Giok ci sinkang,
sudah pasti Racun diracun tiada kesempatan untuk bertahan
apalagi balas menyerang.
"Racun diracun," kata Suma Bing dengan nada berat, "Dendam
dan budi masih dapat kubedakan, hutang budiku kepadamu,
biarlah kubalas dengan jiwa ragaku, mengenai kau tak dapat tidak
kau harus kulenyapkan dari bumi ini."
"Suma Bing sedemikian kukuh dan besar tekadmu sampai tidak
memberi sedikit kelonggaran?"
Suaranya tergetar sedih.
Suma Bing menggigit gigi. Kedua tangannya mulai bergerak
terangkat naik, Giok ci sinkang sudah terkerahkan sampai
puncaknya yaitu dua belas bagian hawa murninya.
Pada saat kritis itulah mendadak terdengar sebuah suara yang
sudah agak dikenalnya: "Suma Bing, kau tidak boleh


Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membunuhnya!"
Suma Bing menoleh kearah datangnya suara, seketika tubuhnya
merinding seram, tampak samar2 diatas puncak sebuah pohon
besar dipinggir sana terlihat seperangkat kerangka memutih yang
terbungkus kain sutera putih pula me-lambai2 ditiup angin. Serta
merta Suma Bing membatin: "Pek Kut Hujin."
Maka segera ia hentikan tindakan selanjutnya terus memberi
hormat sembari berkata: "Cianpwe ada pengajaran apa?"
Berkatalah Pek Kut Hujin dengan irama yang menusuk telinga:
"Kau tidak boleh melukainya."
Berkerut alis Suma Bing, tanyanya: "Apakah Cianpwe sudah tahu
sepak terjang muridmu yang laknat ini?"
50. SESAL KEMUDIAN TAK BERGUNA.
"Aku sudah tahu!" Mendadak Racun diracun berlutut diatas
tanah serta menyembah berulang2, serta mengeluh menyedihkan: "Suhu!"
suara panggilan ini seakan bukan keluar dari mulut Racun diracun,
hal ini membuat Suma Bing tertegun, namun sudah tiada tempo
untuknya banyak berpikir panjang.
"Kalau Cianpwe sudah tahu perbuatan jahat diluar perikemanusiaan
muridmu ini, mengapa..."
"Jadi maksudmu kau anggap aku sengaja hendak melindungi dan
mengeloni muridku?"
"Memang begitulah pikiran wanpwe sebenarnya!" "Lalu kau
hendak berbuat apa?" "Aku hendak menuntut balas bagi yang
sudah mati dan melampiaskan dendam yang masih hidup." "Sesuatu keluarga
mempunyai peraturan keluarga sendiri
demikian juga suatu aliran mempunyai aturannya sendiri, aku
orang tua sudah pasti mempunyai caraku sendiri untuk
membereskan persoalan ini?"
"Cara bagaimana Locianpwe hendak membereskan persoalan ini?"
"Dalam persoalan ini kau sudah tidak boleh turut campur."
"Maaf kalau wanpwe berlaku kurangajar..." "Kenapa?"
"Agaknya Locianpwe sudah terlambat untuk bertindak!" Nada
ucapan Pek Kut Hujin terdengar marah, serunya:
"Masa kau berani dihadapanku membunuh dia?" Suma Bing
menggigit gigi, sahutnya lantang: "Cayhe
terpaksa harus melakukan!" Dingin dan menusuk benar suara
tawa Pek Kut Hujin,
katanya: "Suma Bing, dalam masa sekarang ini, tiada seorang
tokoh silat siapapun yang berani berkata demikian kepadaku."
Ini memang kenyataan, nama Pek Kut Hujin sudah menggetarkan
dan menggoncangkan seluruh Kangouw pada ratusan tahun yang
lalu, sampai pendeta agung dari Siau lim Hui Kong Taysu sendiri
juga mesti mengalah dan memberi muka padanya, apalagi tokoh2
lainnya. Tapi, sifat pembawaannya yang angkuh dan keras kepala pula
turunan dari sifat2 Lam sia yang agak sesat menjadikan wataknya
semakin ugal2an tidak mengenal apa artinya takut dan mundur,
semprotnya menantang: "Wanpwe tidak gentar diancam!"
"Suma Bing kau jangan berlagak dan banyak tingkah karena ilmu
saktimu itu!"
"Bukan wanpwe hendak memamerkan ilmu saktiku, aku hanya
melakukan apa yang harus kuperbuat."
"Sekali lagi kuperingatkan kepadamu, jikalau kau melukainya, kau
akan menyesal seumur hidup!"
"Apa Cianpwe bertekad hendak merintangi?" "Sudah tentu!"
"Aku tidak perdulikan akan segala akibatnya!" Sementara itu
Racun diracun sudah bangkit dan berteriak
gemetar: "Suhu, tecu sudah berkeputusan rela untuk
mengorbankan segala apa yang perlu kukorbankan!"
"Apakah kau sudah bayangkan akibatnya?" "Sudah tecu
pikirkan!" "Tapi aku tidak mengizinkan!" Suma Bing tidak
paham maksud percakapan mereka guru
dan murid. Pada saat itu yang ia pikir adalah rangsangan darah
panasnya untuk melenyapkan makhluk aneh dihadapannya ini.
Kalau tidak bagaimana ia harus memberikan pertanggungan jawab
kepada Thong Ping dan Ting Hoan yang sudah berada dialam baka.
Sekonyong2 sebuah bayangan bayangan langsing terbang
mendatangi dengan gesitnya tanpa mengeluarkan suara terus
menubruk kearah Racun diracun.
Kejadian ini benar2 diluar dugaan, seketika Suma Bing tertegun
mematung. 'Blang!' disertai keluhan kesakitan sangat tampak Racun diracun
terhuyung beberapa langkah, hampir saja roboh terkapar.
Setelah melihat orang yang baru mendatangi ini tercetuslah
seruan kaget dari mulut Suma Bing: "Adik Hun, kaukah itu."
Memang bayangan langsing yang baru mendatangi ini adalah
kekasih pertama Suma Bing yaitu Siang Siau Hun adanya.
Wajah Siang Siau Hun diliputi rasa kebencian yang meluap2,
mendengar panggilan Suma Bing dia hanya mendehem sekali,
kedua matanya dengan nanar mengawasi Racun diracun.
Berkelebat sebuah bayangan putih yang melayang tiba didepan
matanya. Suma Bing berteriak kaget, kontan jurus Mayapada remang2
dilancarkan sekuatnya.
Ditengah gelombang badai yang bergulung2 itu, tampak bayangan
putih itu kena terpental sampai tiga tombak jauhnya. Jurus
serangannya merupakan gerakan reflek dan kesigapannya. Karena
begitu bayangan putih berkelebat tahulah dia bahwa Pek Kut Hujin
sudah bertindak memasuki gelanggang. Untuk membela diri dan
untuk melindungi Siang Siau Hun, maka tanpa pikir lagi kontan dia
lancarkan serangannya.
"Auh..." terdengar pekik yang menyayatkan hati, Racun diracun
sempoyongan lagi, akhirnya tak kuat berdiri dan roboh telentang
diatas tanah. Hal ini malah membuat Siang Siau Hun tertegun bengong.
Mengapa Racun diracun tidak membela diri atau balas menyerang,
tidak mengerahkan tenaga murninya, juga tidak
menyebar racunnya" Jelas dia mengetahui bahwa kepandaian dan
lwekang Racun diracun jauh berada diatas kemampuannya.
Dirangsang nafsu untuk menuntut balas tanpa banyak pikir akan
segala akibatnya, mati2an dia turun tangan, sebenarnya kecil
harapannya dapat berhasil, namun kenyataan tidak seperti
perhitungan semula, ternyata sedemikian gampang dirinya berhasil
melukai musuh. Karena kesima sampai lupa untuk bertindak lagi...
Suma Bing sendiri juga bukan main heran dan kagetnya, sikap
Racun diracun kali ini benar2 sangat ganjil.
Sementara itu Pek Kut Hujin sudah melayang tiba pula disisi tubuh
Racun diracun, suaranya hampir menjerit sedih: "Muridku, tidak
setimpal kau mengeluarkan pengorbanan sedemikian besar. Kau...
kau..." Mendadak tubuh Racun diracun berkelejetan dua kali. Terjadilah
suatu keanehan, kulit seluruh tubuh yang semula warna hitam itu
kini perlahan2 berobah. Menjadi kuning dan berobah pula menjadi
putih... "Ah...!" Suma Bing menjerit keras, dan sempoyongan mundur
puluhan langkah, kedua matanya melotot hampir mencelat keluar.
Phoa Kin sian. Itulah istrinya Phoa Kin sian. Mimpi juga dia tidak
mengira bahwa Racun diracun ternyata adalah duplikatnya Phoa
Kin sian. Pucat pias wajah Siang Siau hun, tubuhnya menggigil keras
sekali. Sementara itu. Pek Kut Hujin itu juga mulai berobah, bentuk
wajah yang seram menakutkan tadi seolah2 kena sihir telah
berobah menjadi bentuk asalnya.
Dia bukan lain adalah Ong Fong jui, bibinya.
Suma Bing menggigil semakin keras sehingga tubuhnya terasa
dingin membeku. Hampir2 dia tidak mempercayai kenyataan yang
dihadapinya ini.
Dengan wajah diliputi kesedihan dan suaranya yang pilu berkatalah
Ong Fong jui: "Keponakanku, kau harus bertanggung jawab akan
tragedi ini, dua jiwa manusia telah dikorbankan. Seorang adalah
istrimu sedang yang lain adalah anakmu yang bakal lahir."
Hitam gelap pandangan Suma Bing, tubuhnya limbung hampir
roboh. Keringat dingin deras mengalir dari atas jidatnya. Sesaat
terasa seperti dunia kiamat sudah tiba diambang pintu, juga
seperti pesakitan yang mendadak mendengar keputusan hukum
mati baginya, otaknya terasa kosong melompong.
Siang Siau hun membanting2 kaki sambil menggenggam kedua
tangan erat2, teriaknya mengeluh: "Oh Tuhan. Apakah yang telah
kuperbuat?"
Wajah Ong Fong jui sudah basah oleh airmata, katanya
sesenggukkan: "Nona Siang, ini bukan salahmu sudah sepatutnya
kau menuntut balas bagi adikmu. Durjana yang meracun dan
membunuh adikmu serta Li Bun siang sebenarnya adalah adik Kin
sian sendiri. Karena pesan ayah bundanya sebelum ajal, dia
mewakili adiknya mengorbankan dirinya..."
Berkatalah Siang Siau hun menghadap Suma Bing: "Engkoh Bing,
selamanya aku akan menyesal terhadap kau... aku..."
Kala itu Suma Bing berdiri kesima seperti patung, biji matanya
tidak bergerak. Apa yang dikatakan Siang Siau hun ini sudah tentu
dia tidak mendengar.
Siang Siau hun menjerit sesenggukkan terus berlari pergi sambil
menutup mukanya.
Suasana menjadi hening sekian lamanya diliputi kesedihan dan
kepiluan hati. Lama dan lama kemudian baru Suma Bing dapat membuka mulut
bertanya: "Bibi dia... masihkah dapat ditolong?"
Ong Fong jui menggeleng kepala penuh putus asa, sahutnya sedih:
"Tak bisa ditolong lagi"
"Tak bisa ditolong" Oh Tuhan...!" "Dia tengah mengandung tua
dan hampir melahirkan,
terkena pukulan berat dan terluka parah masihkah ada harapan
untuk tetap hidup"
Suma Bing menjerit sambil menubruk maju, kedua kakinya
menjadi lemas dan terus jatuh berlutut diatas tanah.
Muka Phoa Kin sian memutih seperti kertas, jubah panjang dan
celananya sudah basah kuyup tergenang air darah. Gugur!
Kandungannya telah gugur!
Semangatnya semakin runtuh, hatinya terasa juga tengah
meneteskan darah. Apakah dosa istrinya" Kini dia telah meninggal!
Apapula dosa anak yang belum lahir itu, dia juga ikut menemui
ajalnya! Dia berteriak2 dan menggumam entah apa yang
terucapkan yang terdengar hanya samar2 saja: "Akulah
pembunuhnya, aku adalah... pembunuh... aku..."
"Keponakanku," bujuk Ong Fong jui pilu. "Tak berguna kau
salahkan diri sendiri, kita berada dipinggir jalan raya, marilah
dipindah kesuatu tempat lain!"
Suma Bing manggut2 seperti patung, tanpa hiraukan noda2 darah,
dipayangnya tubuh Phoa Kin sian terus dibawa kedalam sebuah
hutan dan mencari sebuah tempat yang rindang dibawah sebuah
pohon besar terus dibaringkan kembali.
Jarak yang dekat tidak lebih dari puluhan tombak ini baginya terasa
seperti dibebani ribuan kati beratnya. Kesedihan yang berkelebihan
membuat hatinya lemah,
semangatnya runtuh, langkahnya sedemikian berat, dan perlahan.
Melihat lakunya ini Ong Fong jui menggeleng kepala tanpa
bersuara. Bagai sadar impiannya, berkatalah Suma Bing: "Bibi, dia masih
dapat ditolong?"
"Apa, dapat ditolong?" "Seumpama tenaga murniku akan
terkuras habis biarlah
dengan Kiu yang sinkang..." "Ai... keponakanku, isi dalam
perutnya sudah jungkir balik,
kandungannya juga sudah gugur, seumpama tabib dewa juga
takkan kuasa menolongnya"
"Tapi... dia tidak boleh mati, jangan, aku harus membuatnya hidup
kembali..."
"Keponakanku, tenangkanlah pikiranmu." Setelah menyeka
airmatanya, secepat kilat Ong Fong jui
ulurkan telunjuknya beruntun jarinya menutuk duapuluh lebih
jalan darah besar, lalu dengan sebuah gaplokan yang keras dia
memukul jalan darah Khi hay, lalu dengan telapak tangannya
menekan dijalan darah Thian toh, mulailah hawa murninya sendiri
disalurkan gelombang demi gelombang.
Sebentar saja wajah Phoa Kin sian mulai bersemu merah,
dadanya juga mulai bergerak naik turun secara teratur, tak lama
kemudian tiba2 ia membuka mata.
Baru sekarang airmata Suma Bing membanjir keluar suaranya
sedih dan tersenggak: "Adik Sian, kau... Mengapa kau berbuat
demikian?"
Agaknya Phoa Kin sian tengah meronta menahan sakit bibirnya
bergerak2 sekian lama baru terdengar suaranya yang lirih seperti
bunyi nyamuk: "Engkoh Bing, aku... tidak salahkan kau..."
"Tidak, adik Sian, kau harus membenci dan mengutukku...
katakanlah kau benci padaku..."
"Engkoh Bing, sungguh aku menyesal... tidak melahirkan... anak
untuk kau..."
"Oh aku... akulah algojonya, akulah yang membunuh anakku,
membunuh istriku...!"
"Engkoh Bing, ... jangan kau salahkan diri dan mereras diri, inilah
takdir!" "Takdir" Tidak, inilah tragedi buatan manusia!" Suma Bing
mengelus2 rambut istrinya, airmata terus
mengalir dengan deras. Kata Ong Fong jui dengan suara serak:
"Kin sian, kau
sudah lakukan perbuatan yang paling goblok dikolong langit ini,
mengapa kau tidak mau dengar nasehatku..."
Sepasang mata Phoa Kin sian yang redup dan guram berkedip2,
ujarnya sedih: "Suhu, kau... pandang aku sebagai putrimu sendiri,
budimu yang luhur setinggi gunung dan setebal bumi ini terpaksa
dalam penitisan yang akan datang baru dapat kubalas!"
"Adik Sian." tanya Suma Bing, "Mengapa kau... tidak siang2
terangkan asal-usulmu?"
"Aku... tidak boleh..." "Mengapa?" "Pertama; peraturan...
perguruan. Kedua: ... sebelum ayah
bunda meninggal, mereka serahkan Cu giok kepadaku... dia
melakukan kejahatan diluar perikemanusiaan... semua ini adalah
kesalahanku, aku... harus menebus dosanya itu, dengan
pengharapan dia... merobah diri dan kembali kejalan yang
benar..." "Phoa Cu giok!!" gumam Suma Bing sambil kertak gigi.
Seumpama saat itu Phoa Cu giok berada dihadapannya pasti
tanpa pikir lagi dia akan dibunuhnya.
Agak lama Phoa Kin sian pejamkan matanya, lalu dengan susah
payah dipentangkan lagi, serta katanya semakin lemah.
"Engkoh Bing... kuharap kau meluluskan satu permintaanku..."
"Coba katakanlah?" "Apakah kau dapat mengampuni... Cu


Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

giok?" "Ini...!" terbayang nafsu membunuh yang tebal diwajah
Suma Bing. Kata Phoa Kin sian pula dengan sekuat tenaga:
"Engkoh Bing, tiada... lain permintaanku hanya... inilah satu2nya
pengharapanku, lulusilah... mengampuni jiwanya... bantu dan
bimbinglah dia kearah jalan yang benar, meskipun mati..."
"Tidak adik Sian... aku tidak bisa membiarkan kau... tidak,
seumpama mesti mengorbankan jiwaku aku juga harus
berusaha..."
Airmuka Phoa Kin sian berobah merah, napasnya mendadak
memburu dan batuk2.
Tangan Ong Fong jui yang menempel dijalan darah Thian toh itu
juga kelihatan gemetar, keringat membanjir dengan derasnya
membasahi tubuh.
"Engkoh Bing," kata Phoa Kin sian pula suaranya lirih hampir tak
terdengar, "Lu... lusilah permintaanku!"
Suma Bing merenggut rambut sambil kertak gigi, sahutnya
terpaksa: "Baiklah, aku penuhi permintaanmu yang terakhir ini..."
Warna merah dimuka Phoa Kin sian menghilang dan kembali pucat
pasi, tapi ujung bibirnya tersungging senyum
dikulum, kepalanya tekluk kesamping mangkatlah arwahnya
kealam baka. Dengan lesu dan perih Ong Fong jui menarik pulang tangannya:
"Dia sudah meninggal!"
Suma Bing berteriak menggila: "Adik Sian!" terus menubruk
jenazah Phoa Kin sian. Seketika terasa pandangannya gelap dan
bumi berputar jungkir balik, pikirannya kosong melompong.
Mendadak Suma Bing meloncat bangun, sesaat ia pandang wajah
pucat jenasah Phoa Kin sian, tiba2 angkat sebelah tangannya
terus mengepruk keatas batok kepalanya sendiri.
"Gila kau!" hardik Ong Fong jui keras, secepat kilat ia bergerak
mencengkram kencang pergelangan tangannya terus berkata lagi:
"Suma Bing, apa kau ingin membuatnya mati tidak meram. Apa
yang hendak kau lakukan" Tugas berat menuntut balas belum
terlaksana, pesan terakhir gurumu hendak kau ingkari. Beginilah
kelakuan seorang gagah!"
"Bibi," gumam Suma Bing, "Betapa aku dapat mengampuni diriku
sendiri?" "Keponakanku yang baik. Hubunganku dengan Kin sian sebagai
guru dan murid, tapi hakikatnya seperti anak kandungku sendiri.
Perih dan kesedihan hatiku rasanya tidak kalah beratnya dari kau.
Tapi semua ini dapatlah ditarik kembali oleh kekuatan manusia.
Semua ini sudah menjadi suratan takdir!"
"Ya bibi, aku akan menyesal dan merana sepanjang hidupku ini!"
Sebuah gundukan tanah dari sebuah kuburan baru muncul
diantara alingan pohon2 lebat dalam rimba itu. Dimana diatas
sebuah batu nisan yang sederhana tertuliskan beberapa huruf
yang berbunyi: "Kuburan Kin sian istri Suma Bing yang tercinta"
dibawah sebelah kiri tertanda nama Suma Bing.
Tampak Suma Bing berendeng bersama Ong Fong jui didepan
kuburan, mereka berdiri mematung tanpa bergerak dan
mengheningkan cipta.
Agak lama kemudian baru Ong Fong jui buka suara memilukan:
"Keponakanku yang sudah pergi biarlah pergi, yang mati takkan
dapat hidup kembali. Marilah kita tinggal pergi!"
"Tidak!" "Kau..." "Aku hendak mendampingi kuburan Kin sian
selama seratus hari, sebagai curahan rasa cinta kasih sebagai suami istri!" "Kau
mempunyai maksud yang suci dan mulia itu sudah
cukup. Janganlah kau memeras diri merusak kesehatanmu
sendiri." "Bibi, kurasa dengan berbuat begitu dapatlah memperingan
beban tekanan batinku!"
"Ai, apa boleh buat, baiklah. Aku harus segera mencari durjana
Phoa Cu giok itu, harus cepat2 kucegah supaya dia tidak
memperbanyak melakukan kejahatannya."
"Bi, silahkan aku tidak bisa mengantar!" "Ada yang masih harus
kuberitahu kepadamu. Pek Kut
Hujin adalah guruku, dia sudah meninggal dunia pada duapuluh
tahun yang lalu, akulah yang menjadi murid ahli warisnya."
"O!" "Kau sudah paham?" "Ya, bibi,
tentang ibunda..." "Ibumu
bagaimana?" "Aku sudah dapat
menemukan dia!"
"Ha! Apa benar?" teriak Ong Fong jui kegirangan dan haru.
Kata Suma Bing lagi: "Dia menjadi ketua dari Jeng siong
hwe yang menggetarkan kalangan Kangouw itu. Tapi sebenarnya
dia adalah majikan dari Panggung berdarah!"
Saking kaget Ong Fong jui undur selangkah, suaranya gemetar:
"Sungguh diluar dugaan, lalu dimana sekarang cici berada?"
Secara ringkas jelas Suma Bing menuturkan dimana letak
daripada Panggung berdarah itu.
Ong Fong jui manggut2, katanya: "Tuhan sungguh maha
pengasih, keponakanku tentang para musuh besarmu...!"
"Aku sudah mempunyai catatan nama2 mereka, Loh Cu gi adalah
biangkeladinya!"
Menyinggung nama Loh Cu gi seketika timbul nafsu kekejaman
Suma Bing. "Keponakanku apa kau masih ingat pada Pek chio Lojin?" "Ya,
dengan tanganku sendiri telah kubunuh dia!" "Apakah kau
pernah dengar tentang Pek bin mo ong (raja
iblis seratus muka)?" "Raja iblis seratus muka?" "Benar, gembong
aliran hitam yang kejam dan telengas,
ilmu kepandaian riasnya tiada keduanya di kolong langit ini.
Kepandaian Lwekangnya juga malang melintang dalam dunia
persilatan. Dia adalah Suheng dari Pek chio Lojin!"
"Memangnya kenapa?" "Konon kabarnya Bwe hwa hwe baru2
ini mengundang dan
mengangkat seorang Maha pelindung. Orang itu mungkin adalah
raja iblis ini."
"Masa betul?"
"Sudah sekian lama raja iblis ini tidak muncul dikalangan
Kangouw, belakangan ini katanya ada orang yang melihat
jejaknya!"
"Kalau dia secara terang berani membantu kejahatan menyebar
maut, pasti keponakan takkan melepas dia."
"Raja iblis ini sangat cerdik dan licik serta licin sekali, kau harus
waspada hati2 menjaga diri."
"Terima kasih akan petunjuk bibi ini!" "Lalu tentang barisan
pohon bunga Bwe yang aneh diluar
markas besar Bwe hwa hwe itu apakah kau sudah..." "Justru hal
inilah yang membuat keponakan serba susah!" "Ini... coba kau
pergi menemui Si gwa sianjin dan minta
petunjuk padanya mungkin dia bisa membantu kau!" Terbangun
semangat Suma Bing, katanya: "Si gwa sianjin
juga mahir tentang ilmu barisan yang aneh2 itu?" "Diantara
tokoh2 Bulim sekarang ini termasuk dia yang
paling kuat dan pandai!" "Apa selain dia tiada lain orang lagi?"
"Ada, tapi..." "Mengapa?" "Mungkin dia sudah meninggal dunia.
Jikalau ada dia
persoalan ini pasti dapat dipecahkan seumpama membalik tangan
gampangnya."
"Siapakah dia?" "Ih lwe siu ki
khek Li It sim!" "Li It sim?"
"Benar, apa, kau..."
"Aku pernah dengar Kang Kun Lojin menyinggung tentang
namanya." "Apakah orang tua itu masih dalam dunia fana ini?" "Entahlah"
"Lebih baik kau khusus mencari dan menemui Si gwa
sianjin saja." "Baiklah." "Aku hendak pergi, jagalah dirimu baik2!"
setelah menghela
napas panjang Ong Fong jui melayang pergi dan menghilang.
Berdamping batu nisan Suma Bing duduk terpekur
tenggelam dalam kenangan lama yang menyedihkan. Begitulah
tanpa terasa sang surya muncul dari
peraduannya, dan tahu2 sang surya sudah tenggelam lagi kearah
barat, hari berganti hari dengan cepatnya tanpa terasa.
-oo0dw0oo- Pada suatu tengah hari kira2 satu bulan
kemudian. Suma Bing baru saja kembali dari kota yang berdekatan untuk membeli
ransum kering. Waktu mendekati kuburan dari hembusan angin
yang sepoi2 tercium olehnya bau harum wangi dari terpasangnya
dupa dan terbakarnya kertas sembahyang.
Siapa yang datang dipusara Phoa Kin sian untuk sembahyang dan
membakar kertas.
Tergerak hati Suma Bing mengempos semangat mengerahkan
tenaga maka dengan enteng sekali tanpa bersuara ia berputar
memasuki hutan.
Tampak didepan kuburan seorang tengah berlutut dan
menyembah dia bukan lain adalah Phoa Cu giok manusia berhati
serigala. Seketika timbul amarah Suma Bing, saking menahan gusar
napasnya sampai memburu. Setindak demi setindak ia
menghampiri maju, matanya melotot merah buas...
Phoa Cu giok tetap berlutut dan tubuhnya tampak gemetar
kiranya dia tengah menangis menghadapi kuburan cicinya.
Kira2 sejauh satu tombak Suma Bing hentikan langkahnya. "Phoa
Cu giok!" hardiknya lantang dan dingin.
Phoa Cu giok bangun berdiri terus memutar menghadap Suma
Bing sinar matanya redup dan semangatnya layu, sekian lama
baru keluar suaranya: "Cihu!"
"Phoa Cu giok, kau tahu kenapa cicimu sampai mati?" "Karena
perbuatanku yang durjanalah sebabnya?" "Kau sudah tahu,
baik sekali. Sekarang gunakanlah racun
atau jurus2 keji apapun juga terserah kau, mari kau serang aku,
jikalau tidak kau tidak akan mempunyai kesempatan. Lekas turun
tangan, seranglah aku...!"
"Cihu..." "Phoa Cu giok hendak kuhancur leburkan tubuhmu
yang kotor itu!" Sikap Phoa Cu giok tetap lesu dan menelaah saja
kekasaran sikap Suma Bing, kedua matanya tampak membengkak merah,
berkatalah ia dengan tenang: "Cihu, aku insaf bahwa dosaku besar
dan harus dihukum mati, silahkan kau saja yang turun tangan,
tiada apa2 yang perlu kukatakan lagi"
Suma Bing malah tertegun dibuatnya menghadapi sikap orang
yang aneh dan pasrah nasib ini, tapi hawa amarahnya masih
merangsang dengan hebatnya, desisnya, mengertak gigi: "Phoa
Cu giok, dengan Racun tanpa bayangan kau meracuni Siang Siau
moay dan Li Bun siang, sebaliknya kakakmulah yang menjadi
kambing hitamnya. Kau ngapusi dan memperkosa Thong Ping
gadis suci yang tak berdosa
malah setelah kedokmu terbongkar kau meracun dan membunuh
ibunya juga. Sekarang dia sudah melahirkan seorang anak
perempuan, tapi dia mohon kepadaku untuk membunuh kau..."
Wajah Phoa Cu giok berkerut2 gemetar, agaknya tengah
menahan gejolak hatinya.
Sejenak berhenti lalu Suma Bing melanjutkan lagi: "Kau juga
memperkosa dan membunuh murid Pek hoat Sian nio Ting Hoan,
dia adalah sahabat karibku..."
"Cihu..." "Kau manusia berhati binatang, cicimulah yang
menjadi kambing hitamnya untuk menebus semua kejahatan dan
dosa2mu!" "Cihu, biarlah aku mati ditanganmu sendiri, gunakanlah cara
kejam yang paling telengas..."
Habis berkata dia, menundukkan kepala, sekarang dia, benar2
sudah insaf dan bertobat namun semua ini sudah terlambat.
"Pandanglah aku!" hardik Suma Bing keras, kedua matanya
melotot besar hampir meneteskan air darah.
Terpaksa Phoa Cu giok angkat kepalanya pula, wajahnya penuh
diliputi kekesalan sedikitpun tak terbayang rasa takut akan
bayangan kematian, airmata mengalir tanpa hentinya membasahi
kedua pipinya. Ini bukan sikap atau tingkah laku yang dibuat2,
inilah jiwa tersesat yang hidup kembali kejalan terang dan lurus.
Dengan beringas Suma Bing ayun kepalannya terus menghantam
mengarah batok kepala Phoa Cu giok. Pada saat kepalannya
terpaut setengah kaki diatas kepala Phoa Cu giok, tiba2 Suma Bing
menghentikan gerakannya, dia tak bisa turun tangan terhadapnya.
Teringat dia akan pesan Phoa Kin sian sebelum ajal.
"...Ampuni dia... tuntunlah kejalan benar menjadi manusia
kembali..."
Apakah tindakannya ini tidak membuat istrinya putus harapan dan
kecewa di alam baka" Memang ingin dan rasanya harus dia
membunuh manusia laknat ini menjadi hancur lebur, tapi pesan
istrinya sebelum ajal membuat dia tak kuasa turun tangan.
Akhirnya sambil mendengus keras2 dia tarik kembali tangannya.
Phoa Cu giok tetap bersikap tak acuh, katanya agak diluar
dugaan: "Kenapa cihu tidak jadi turun tangan?"
"Aku sudah melulusi cicimu untuk tidak membunuh kau." ujar
Suma Bing gegetun, "Phoa Cu giok, dia menjadi korban demi
menebus dosa2 mu, sebelum ajal dia masih selalu ingat pada kau,
dia mintakan ampun bagi kau, kau... inikah manusia?"
Mendadak Phoa Cu giok menubruk kedepan batu nisan dan
berlutut sambil menangis meng-gerung2, kepalanya diadu dengan
tanah, serunya sesambatan: "Cici, memang dosaku besar, aku
tidak memohon pengampunanmu, hanya kuminta kau tahu bahwa
adikmu yang jahat dan rendah melebihi binatang ini sekarang
sudah insaf, aku bertobat... cici... apa kau dengar"... Oh, semua
ini sudah terlambat!"
Jari tangannya yang gemetar mendadak menusuk mengarah jalan
darah Thay yang hiat dipelipis sebelah kanannya.
"Berhenti!" Suma Bing menggertak keras, secepat kilat jarinya
menutuk dari kejauhan, sejalur angin kencang tepat sekali
menutuk jalan darah Ji ti, seketika tangan Phoa Cu giok itu lemas
semampai. "Kau ingin mati juga sudah terlambat, seharusnya kau mati
sebelum cicimu menemui ajalnya. Sekarang dia sudah mati,
dia ingin kau tetap hidup untuk menyambung keturunan
keluargamu."
Pelan2 Phoa Cu giok berdiri, pelipisnya merembes air darah karena
tusukan jarinya tadi, keadaannya sungguh sangat mengerikan,
mulutnya mendesis seperti orang menggumam: "Yang harus mati
tidak mati, yang tidak seharusnya mati malah mati. Masih adakah
derajatku untuk tetap hidup?"
Amarah Suma Bing yang membara mulai mereda dan hampir
padam, dia sudah mau kembali kejalan yang benar dan lurus,
apalagi yang dapat dikatakan"
"Phoa Cu giok, untuk kau Thong Ping sudah melahirkan seorang
orok mungil, itulah keturunan keluarga Phoa kalian. Dan lagi


Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terhadap Thong Ping kau harus memberikan ketertiban hidup
selanjutnya!"
Phoa Cu giok manggut2 tanpa bersuara. Katanya kepada Phoa
Cu giok lagi: "Kau boleh pergi,
kuharap kau jangan membuat cicimu mengandung penasaran
dialam baka, baik2lah menelaah nasihat2 baik untuk petunjuk
hidup yang benar dan lapang!"
"Cihu, aku pasti menurut segala nasehatmu!" "Baiklah kau
boleh pergi!" Sekali lagi Phoa Cu giok berlutut dan menyembah
didepan pusara cicinya, sekian lama dia mengheningkan cipta lalu berdiri
dan tinggal pergi sambil berlenggot.
Memandang bayangan punggung orang, Suma Bing menghela
napas panjang, entah bagaimana perasaan hatinya.
Tanpa terasa ia mengulangi kata2 yang diucapkan oleh Phoa Cu
giok tadi 'Yang harus mati tidak mati, yang tidak seharusnya mati,
malah mati.' Sekonyong-konyong sebuah suara yang bernada dingin sebagai
ejekan menyambung perkataannya: "Ya, memang kau seharusnya
mampus!" Suma Bing terkejut sigap sekali ia memutar tubuh memandang
kearah datangnya suara, tampak seorang buntak tua berjenggot
panjang sebatas dada dan beruban tahu2 sudah mendatangi
didepannya sejauh tiga tombak. Dia bukan lain adalah si maling
bintang Si Ban cwan.
Cepat2 Suma Bing angkat tangan memberi hormat, serta
sapanya: "Cianpwe baik2 saja selama berpisah ini!"
Mulut si maling bintang Si Ban cwan ber-kecek2 dingin,
dengusnya: "Buyung, sungguh tidak kira ternyata begitulah
pribadimu, hm, aku si maling tua agaknya sudah picak..."
Suma Bing melengak heran, tanyanya: "Apa maksud ucapan
Cianpwe ini?"
Mata si maling bintang memancarkan sorot ber-api2, semprotnya
beringas: "Buyung, ternyata setelah dapat mempelajari ilmu sakti,
kau gunakan untuk kejahatan diluar perikemanusiaan."
Tahu2 dimaki, dicercah dan dituduh sebagai manusia durjana,
keruan Suma Bing berjingkrak kaget dan terheran2, tanyanya
pula: "Tuduhan Cianpwe ini mengenai hal apa?"
"Buyung, diseluruh jagad ini tiada kepandaian yang tiada
tandingannya, se-tinggi2 gunung ada yang lebih tinggi, sepandai2
orang ada orang lain yang lebih pandai, bukan karena
mempunyai sebuah kepandaian sakti lantas tiada lawan diseluruh
penjuru angin. Berbuat jahat dan malang melintang menyebar
elmaut, memang manusia punya bisa tapi Tuhanlah yang
berkuasa, kelak kau pasti akan menerima pembalasan yang
setimpal."
"Cianpwe, kenapa kau bicara ngelantur, aku kurang jelas?"
"Aku si maling tua inginkan jiwamu, apa ini belum jelas?"
Saking kaget Suma Bing tersurut dua langkah, hampir2 dia tidak
percaya akan pendengaran kupingnya, suaranya gelagapan:
"Cianpwe hendak membunuh aku?"
"Ya, aku tahu si maling tua ini bukan lawanmu, tapi untuk
membalas sakit hati kawan tuaku, terpaksa aku harus jual jiwaku
ini." habis berkata langkahnya berat beranjak maju, rambut dan
jenggotnya yang memutih berdiri tegak dan beterbangan
dihembus angin, wajah tuanya merah padam diselubungi hawa
membunuh. "Apa ini bukan kelakar belaka?" "Hm, kelakar..." "Sedikitnya
Cianpwe harus mengemukakan alasanmu
bukan?" 51. ULAR SAKTI PENGHISAP DARAH.
"Alasan" Bu khek bun adalah aliran putih yang menjunjung
tinggi keadilan, siapa duga dengan cara keji demikian kau
menumpas seluruh penghuni Bu khek po, buyung masihkah kau
berperikemanusiaan?"
Baru sekarang Suma Bing paham duduk perkaranya, kiranya
tentang perihal dirinya menuntut balas di Bu Khek po tempo hari,
maka si maling bintang ini meluruk datang membuat perhitungan
kepada dirinya. Entah ada hubungan apakah antara mereka. Tapi
kan secara terang gamblang dirinya menuntut balas kepada Bu
khek sianglo...
Maka sahutnya dengan tenang: "Cianpwe, terpaksa wanpwe harus
berbuat begitu!"
"Jadi menurut hematmu kau harus berbuat begitu?"
"Ya, tak perlu banyak mulut lagi, selama hidup ini meskipun si
maling tua ini belum pernah melakukan kejahatan dan berbuat
dosa, tapi juga belum pernah menyebar kebajikan, sekarang
diambang kematian karena usia tua ini, baik juga melakukan
pembasmian demi kesejahteraan kaum persilatan!"
Kata2 membasmi sangat menusuk telinga dan perasaan Suma
Bing, jikalau tidak memandang hubungan yang terdahulu, siang2
dia sudah turun tangan menampar mulut orang.
Si maling bintang Si Ban cwan maju lagi semakin dekat, kini jarak
kedua belah pihak kurang dari dua tombak.
Apa boleh buat karena didesak sedemikian rupa, akhirnya Suma
Bing nekad: "Tegasnya Cianpwe benar-benar hendak turun
tangan!" "Sudah tentu!" "Kuharap Cianpwe suka berpikir dua kali sebelum
bertindak?" "Sudah lama si maling tua ini memikirkan secara
masak akan segala akibatnya!" "Tapi aku tidak ingin melukai Cianpwe!"
"Buyung, sebaliknya bagi aku si maling tua, hari ini
bagaimana juga kau harus kulenyapkan." Membaralah sifat
pembawaan Suma Bing, saking dongkol
keluar juga jengekannya: "Mungkin tujuan tuan takkan dapat
terlaksana!"
"Kurcaci, marilah coba ini!" demikian gertak si maling tua Si Ban
cwan sambil menubruk maju, habis suaranya serangannyapun
sudah merangsang tiba.
Suma Bing tetap tenang dan diam saja berdiri tegak tanpa
bergerak, mengandal kekebalan ilmu pelindung badannya, si
maling tua ini takkan mampu melukai seujung rambutnya.
Tak terduga begitu melesat tiba dihadapan Suma Bing si maling
tua membatalkan serangannya, sedemikian dekat jarak mereka
sekali ulur tangan saja cukup meranggeh lawannya. Mendadak si
maling tua malah bergelak tawa gila2an, tapi suara tawanya tidak
seperti suara tawa umumnya, agaknya si maling tua ini sudah
terbawa oleh perasaan hatinya, rasa sedih dan jengkel
dilampiaskan dengan tawanya ini...
Tanpa terasa giris perasaan Suma Bing, susah diterka apakah
yang tengah dimainkan oleh si maling tua yang terkenal susah
dilayani dan diajak berembuk ini.
Mendadak sebuah bentakan keras terdengar dari sebelah samping
sana: "Maling tua jangan!"
Disusul bayangan beberapa orang berdatangan memasuki
gelanggang. Heran dan kaget Suma Bing dibuatnya, yang muncul ini adalah
istrinya Pit Yau ang beserta semua kerabat dari Perkampungan
bumi, diantaranya terdapat juga Coh yu Hu pit serta Teng Tiong
cwan dan lain2. Sedang yang membentak merintangi tadi adalah
Coh hu Si Kong teng.
Dengan pandangan rasa kuatir dan takut2 Pit Yau ang berempat
mengawasi si maling bintang.
Suma Bing semakin tidak mengerti... "Maling tua." kata Si
Kong teng tertekan: "Apa faedahnya
kau berbuat begitu?" Si maling bintang hentikan tawanya, setelah
menyapu pandang kearah mereka berempat jengeknya dingin: "Keputusan si
maling tua ini selamanya harus terlaksana!"
"Jadi kau si maling tua ini bersedia gugur bersama?" tanya Yu pit
Ciu Eng tiong. "Benar!" "Kau
ini..." "Untuk melenyapkan bencana di kalangan persilatan!"
Tergerak hati Suma Bing, apa artinya dengan ucapan gugur
bersama tadi, apa... belum lenyap pikirannya, mendadak dilihatnya
si maling tua menggenggam sesuatu benda ditangan kanannya,
entah barang apa yang disembunyikan itu. Kini dia paham,
mengenai ilmu silat sudah pasti si maling tua takkan mampu
melukai dirinya, sedemikian lantang dia sesumbar hendak
melenyapkan dirinya pasti ada apa2nya dibelakang perkataannya
ini. Turun tangan atau tidak" Dia menjadi ragu2. Kalau saat itu
mendadak dia menyerang pasti si maling tua takkan luput dari
kematian, tapi agaknya hatinya kurang tega.
Agaknya si maling tua dapat mengerti isi hati Suma Bing,
jengeknya sambil menyeringai: "Buyung, kau turun tangan atau
tidak sama saja pasti mati. Jiwa tua si maling tua ini sudah
kutaruhkan. Kau tahu apa yang kugenggam ditanganku ini"
Ketahuilah, sekali aku lepas tangan Sip hiat leng kong (ular sakti
penghisap darah) ini, seumpama kau tumbuh sayap juga takkan
dapat lolos. Buyung meski kau ada kesempatan membunuh aku,
Harpa Iblis Jari Sakti 3 Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl Rahasia Mo-kau Kaucu 1

Cari Blog Ini