Ceritasilat Novel Online

Pedang Pembunuh Naga 14

Pedang Pembunuh Naga Penggali Makam Karya Tan Tjeng Hun Bagian 14


"Nampaknya pertempuran ini tidak dapat dihindarkan lagi...."
"Apakah tuan menghendaki pertempuran sebaliknya tidak suka menerangkan keadaan yang sebenarnya?"
"Bukan tidak suka, melainkan tidak bisa!"
"Dalam pertempuran ini merupakan pertempuran mati-matian, ataukah hanya menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah saja sudah cukup?"
Dengan acuh tak acuh Manusia Agung itu menjawab:
"Kau berbuat melihat gelagat saja."
"Kalau begitu jangan sesalkan aku berlaku ganas. Nanti jangan kau katakan lagi sikapku kurang jantan...."
"Bocah, apakah kau menginginkan bertempur dengan sungguh-sungguh?"
"Sambutlah pedangku ini."
Hui Kiam segera melancarkan serangannya dengan menggunakan sepenuh-penuh kekuatan tenaganya.
Manusia Agung segera menyambut dengan tongkat rotan di tangannya. Gerakan senjata rotannya sangat aneh, ia agaknya mengambil sikap menutup tidak akan melakukan serangan balasan.
Waktu kedua senjata itu saling beradu ternyata menimbulkan suara nyaring, seolah-olah bunyi beradunya dua senjata besi.
Keduanya begitu saling mengadu kekuatan lalu terpencar. Hui Kiam merasakan tangannya kesemutan, sedangkan tongkat rotan di tangan Manusia Agung hampir terlepas terbang.
Manusia Agung memeriksa sebentar tongkat rotannya. Ternyata tempat di mana dua senjata tadi beradu, terdapat satu gompalan, sehingga alisnya yang putih nampak mengkeru. Katanya dengan suara gemetar:
"Sungguh pedang yang sangat bagus. Tongkatku ini untuk pertama kali dalam seumur hidupku mendapat kerusakan."
Hui Kiam diam-diam juga terkejut. Keampuhan pedang saktinya itu, sekalipun pedang Bulan Emas kepunyaan pemimpin Bulan mas
yang sudah terkenal tajamnya juga tidak terluput dari kerusakan waktu beradu dengan senjatanya, tetapi tongkat yang merupakan tongkat rotan itu tidak terpapas putung hanya mendapat sedikit kerusakan saja, ini merupakan suatu bukti bahwa tongkat itu bukan barang sembarangan yang tidak dapat dirusakkan oleh senjata biasa.
Karena dikagumkan oleh senjata tongkat itu, maka ia lalu berkata:
"Tongkat tuan ini juga merupakan barang pusaka!"
Manusia Agung itu agaknya sayang sekali terhadap tongkatnya itu. Ia memeriksa sekali lagi, kemudian baru menjawab:
"Barang pusaka sudah mendapat kerusakan, bagaimana boleh dianggap barang pusaka lagi?"
"Tidak terpapas putung sesungguhnya juga merupakan suatu keajaiban."
"Hem!"
"Sekarang sambutlah seranganku yang kedua!"
Jurus kedua itu Hui Kiam juga menggunakan tenaga sepenuhnya. Hampir setiap bagian jalan darah orang itu semua berada di bawah ancaman pedang Hui Kiam.
Orang itu juga mengetahui hebatnya serangan itu. Ia tahu tiada guna ia menyingkir apalagi balas menyerang, maka dengan sepenuh tenagnuya ia menjaga seluruh jalan darah dan anggota badannya. Dalam serentetan serangan, kedua senjata itu kembali telah beradu hampir sepuluh kali lebih.
Manusia Agung dengan kaki terhuyung-huyung mundur sampai empat lima langkah. Tongkatnya menunduk ke tanah, rambut dan jenggotnya yang putih berterbangan, wajahnya pucat pasi, napasnya terputus-putus.
Dua kali Hui Kiam turun tangan tidak berhasil melukai lawannya, ini suatu bukti bahwa orang tua itu merupakan seorang kuat lagi di sampingnya pemimpin Persekutuan Bulan Emas, tetapi apabila pertempuran itu berlangsung terus, asal ia melancarkan serangannya dengan sepenuh tenaga, orang tua itu sekalipun tidak mati juga akan terluka. Seketika itu ia berkata dengan nada suara dingin:
"Sekarang tuan rasanya boleh menerangkan."
"Tidak!"
"Apakah tuan percaya sanggup menyambut seranganku yang ketiga?"
"Sekalipun aku harus terluka, juga ingin berkenalan lagi dengan gerak tipumu ini!"
"Tetapi pedang ini tiada matanya, ada kemungkinan Tuan nanti akan tidur untuk selama-lamanya?"
"Adakah kau bermaksud hendak membunuh aku?"
"Tuan sendiri yang memaksa aku berbuat demikian!"
"Bagaimana apabila aku sanggup menyambut seranganmu yang ketiga?"
"Itu tidak murgkin!"
"Bocah, apakah kau sudah yakin benar?"
"Hampir begitu!"
"Nah, kau boleh turun tangan!"
Hui Kiam bergerak maju. Ia melancarkan lagi serangannya dengan pedang saktinya....
Maksud Hui Kiam hanya ingin supaya orang tua itu memberitahukan kelakuan ayahnya di masa hidupnya. Mengapa dikatakan sekalipun ayahnya mati juga tidak cukup untuk menebus dosanya"
Sebelum ia melancarkan serangannya, ia peringatkan lagi kepada orang tua itu:
"Tuan, kau masih ada kesempatan...."
"Kau jangan mengharap aku tunduk di bawah ancaman pedangmu!"
"Tuan nanti bisa menyesal."
"Yang akan menyesal mungkin kau sendiri!"
Wajah Hui Kiam berubah. Ia sudah bertekad tidak akan membiarkan lawannya lolos dari bawah pedangnya.
Pada saat itu dari dalam rimba tiba-tiba terdengar satu suara yang sudah tidak asing baginya:
"Hui Kiam, kau tidak boleh berlaku tidak sopan terhadap seorang tingkatan tua!"
Hui Kiam dengan sinar mata tajam mengawasi ke arah datangnya suara itu, lalu berkata:
"Siapa?"
"Orang Menebus Dosa!"
Munculnya manusia misterius itu benar-benar di luar dugaan Hui Kiam.
Dari suaranya orang itu, ia sudah mengenali bahwa suara itu memang benar keluar dari mulut Orang Menebus Dosa.
Dari suaranya, Orang Menebus Dosa ini agaknya sangat menghormati Manusia Agung itu.
Akan tetapi derajat orang dan soal permusuhan adalah lain sifatnya. Sekalipun orang tua itu ada seorang yang mempunyai kedudukan baik dan dihormati oleh seluruh orang rimba persilatan, juga tidak dapat mengurangi rasa dendam yang timbul karena kebenciannya.
Apa sebabnya manusia misterius itu dengan tiba-tiba melarang ia turun tangan terhadap Manusia Agung" Ini rasanya bukan hal kebetulan. Ada kemungkinan kedua pihak merupakan orang sekomplotan, sebab kedua-duanya sama-sama mengetahui baik semua rahasia tentang dirinya. Apabila rahasia ini tidak dapat dibongkar, itu akan merupakan suatu penderitaan bagi hatinnya.
Setelah berpikir demikian, ia lalu berkata:
"Mengapa tuan tak mau menampakkan diri?"
Terdengar suara jawaban Orang Menebus Dosa:
"Kita masih belum tiba waktunya untuk saling bertemu muka!"
"Mengapa?"
"Di kemudian hari kau akan mengerti sendiri."
"Mengapa tuan berlaku demikian misterius?"
"Aku berbuat begini karena terpaksa!"
"Apakah untuk bertemu muka juga ada batas waktunya?"
"Sudah tentu!"
Hui Kiam menarik napas, matanya mengawasi Manusia Agung itu. Orang tua itu menunjukkan sikap acuh tak acuh terhadap kedatangan Orang Menebus Dosa itu, seolah-olah sudah berada
dalam dugaannya. Ini suatu bukti bahwa Orang Menebus Dosa sudah lama sembunyikan diri di dekat situ, maka Manusia Agung itu tenang-tenang saja menghadapi dirinya.
Kecuali itu, Orang Menebus Dosa ini mungkin juga turut ambil bagian dalam pembunuhan besar-besaran di gedung cabang Persekutuan Bulan Emas itu. Dari kepandaian dua orang ini yang sudah diketahuinya, sekalipun Tong-hong Hui Bun berada di situ, barangkali juga tidak sanggup melawan.
Tong-hong Hui Bun adalah anak perempuan pemimpin Persekutuan Bulan Emas, sedangkan Persekutuan Bulan Emas itu merupakan musuh bersama orang-orang rimba persilatan. Kalau cabangnya ataupun markasnya ditumpas memang tak ada harganya mendapat simpatinya.
Demikian ia berpikir, lalu berkata pula:
"Apakah tuan turut ambil bagian dalam pembunuhan di gedung bawah kaki gunung itu?"
"Benar, tempat yang merupakan sumber kejahatan itu kita harus rnembasminya satu persatu."
"Apakah ini juga merupakan sebahagian tindakan terhadap Persekutuan Bulan Emas?"
"Boleh dikata begitu. Kau tentunya toh tidak akan merasa simpatik terhadap sepak terjangnya?"
"Aku tidak simpatik, tetapi aku pernah menerima budi anak perempuan pemimpin persekutuan itu"."
"Hui Kiam, apakah kau ingin membalas budi?"
"Apakah seorang gagah tidak boleh mempunyai pikiran demikian?" demikian Hui Kiam balas menanya.
Manusia Agung itu tiba-tiba menyela:
"Kau pikir bagaimana hendak membalas budi itu?"
"Itu ada urusan pribadiku," jawab Hui Kiam dingin.
"Kau toh tidak akan berbalik memusuhi orang-orang golongan benar?"
"Pendirianku tetap teguh, tidak perlu tuan pikirkan."
"Itu bagus, aku merasa senang sekali mendengar perkataanmu ini."
"Tetapi urusan kita masih belum selesai?"
Terdengar pula suaranya Orang Menebus Dosa:
"Hui Kiam, sukakah kau dengar perkataanku?"
"Silahkan."
"Jangan bermusuhan dengan locianpwee. Segala sebab dan akibat, dalam waktu yang singkat kau nanti akan mengetahui sendiri."
Sepak terjang Orang Menebus Dosa ini meskipun sangat misterius, tetapi terhadap Hui Kiam pernah memberi banyak pertolongan, sehingga boleh dikata Hui Kiam banyak hutang budi terhadapnya. Betapapun juga budi itu tidak boleh diabaikan begitu saja. Maka setelah berpikir sejenak, lalu berkata:
"Dengan memandang tuan, aku tidak berkata apa-apa!"
"Kalau begitu aku merasa sangat bersyukur."
"Tuan terlalu merendah. Aku telah menerima budi terlalu banyak darimu, sehingga sekarang aku masih belum berani menyatakan hendak membalas budi itu."
Setelah hening sejenak, terdengar pula suaranya Orang Menebus Dosa yang kedengarannya sangat aneh:
"Hui Kiam, apakah tadi kau sudah mendengar nasehat lo-cianpwee itu?"
Nasehat yang dimaksudkan itu, sudah tentu tentang hubungannya dengan Tong-hong Hui Bun dengan ayahnya To-liong Khiam Khek Su-ma Suan. Hati Hui Kiam pedih sekali sehingga seketika itu mukanya nampak suram. Jawabnya dengan sedih:
"Apakah itu suatu kenyataan?"
"Seratus persen benar!"
Ucapan itu keluar dari mulutnya Orang Menebus Dosa. Hui Kiam mau tidak mau harus percaya. Mengenai dirinya sendiri, Tong-hong Hui Bun tidak mungkin tidak tahu, akan tetapi mengapa ia masih bisa jatuh cinta kepada dirinya" Bahkan begitu sungguh hati dan besar sekali cintanya itu" Apakah maksudnya" Bukankah ini merupakan suatu perbuatan yang terkutuk"
"Aku percaya akan dapat membuktikan kebenarannya ini!"
"Apakah kau ingin mencari keterangan dari Tong-hong Hui Bun sendiri?"
"Ya!"
"Hui Kiam, kau barangkali tidak tahu benar tentang dirinya. Kau hati-hati jangan sampai melakukan tindakan yanp membuat sesal seumur hidupmu dan merupakan satu tragedi yang tragis."
Badan Hui Kiam gemetar. Katanya dengan suara terharu:
"Terima kasih atas nasehatmu!"
"Lagi, apakah kau suka berjanji untuk sementara jangan menuntut balas dendam dulu kepada Orang Berbaju Lila?"
"Aku.....terima....."
"Baik, apakah kau ingat kamar rahasia Orang Berbaju Lila di bawah tanah itu?"
"Ingat!"
"Kalau begitu kau segera berangkat ke tempat itu. Sudah tiba waktunya akan mengeluarkan pengumuman menggempur Persekutuan Bulan Emas."
Ini merupakan suatu peristiwa besar dalam rimba persilatan. Ini merupakan suatu pertempuran antara golongan kebenaran dengan golongan sesat. Pertempuran ini, akan merubah nasib rimba
persilatan. Maka seketika itu semangat Hui Kiam terbangun. Ia masukkan pedang ke dalam sarungnya, kemudian berkata:
"Aku turut perintahmu!"
"Sampai ketemu lagi!"
Suara itu kedengaran sangat jauh, mungkin sudah berlalu.
Sambil mengurut jenggotnya yang putih, Manusia Agung itu berkata:
"Bocah, kau mendapat kurnia Allah menemukan pengalaman gaib sehingga menjadi tulang punggung dalam pertempuran untuk menegakkan kebenaran dan keadilan ini. Semoga kau baik-baik membawa dirimu."
Perkataan orang tua itu mengandung anjuran dan dorongan semangat Hui Kiam, juga merupakan suatu pujian dan penghargaan atas kepandaian anak muda itu. Terlepas dari soal perbincangan antara kedua orang tadi, dengan kedudukan dan derajat seperti Manusia Agung itu, telah mengucapkan perkataan demikian terhadap Hui Kiam yang masih muda belia, sesungguhnya juga merupakan suatu kehormatan sangat besar bagi pemuda gagah itu. Untuk menunjukkan bahwa dirinya benar seorang gagah, sudah tentu ia harus menyatakan apa-apa. Maka ia lalu berkata sambil rnemberi hormat:
"Aku yang rendah tidak berani menerima pujianmu. aku hanya tahu menyumbangkan tenaga untuk membela pihak yang benar."
"Kalau begitu, rimba persilatan boleh merasa bersyukur dan beruntung menjelmakan seorang kuat seperti kau ini. Nah, sampai berjumpa lagi!"
Sehabis mengucap demikian, lalu menghilang.
Hui Kiam berdiri bingung memikirkan apa-apa yang telah terjadi tadi, kemudian sudah berlalu meninggalkan rimba tersebut.
Matahari sudah mulai silam, burung-burung beterbangan pulang ke kandang, suatu tanda sudah hampir malam lagi.
Hui Kiam tidak mempunyai pikiran untuk menikmati pemandangan alam di waktu senja itu. Ia masih membuka langkahnya melanjutkan perjalanannya ke arah berlawanan dengan bukit itu.
Selagi masih berjalan, tiba-tiba terdengar suara orang berkata kepadanya:
"Jangan pergi!"
Mendengar suara itu Hui Kiam segera mengetahui orangnya.
Dalam cuaca yang samar, sesosok bayangan langsing berada di hadapan matanya. Orang itu adalah Tong-hong Hui Bun sendiri. Saat itu parasnya nampak agak pucat. Dengan sikap yang berbeda dengan biasanya, ia menatap wajah Hui Kiam tanpa bicara apa-apa.
Sikap demikian itu, baru pertama kali ini Hui Kiam menghadapinya. Dengan tanpa sadar ia mundur satu langkah dan menegurnya:
"Kau"."
"Sebutan saja kau juga sudah berubah?" berkata Tong-hong Hui Bun dingin.
Hui Kiam ingat nasehat Orang Menebus Dosa dan lain- lainnya. Ia rasakan seperti terguyur air dingin, sesaat itu ia benar-benar tidak tahu bagaimana harus membuka mulut.
"Kau sudah tidak sudi memanggilku enci, tetapi aku masih tetap panggil kau adik, perbuatanmu sesungguhnya terlalu kejam," berkata Tong-hong Hui Bun.
Pikiran Hui Kiam yang masih kusut, ketika mendengar perkataan itu segera balas bertanya tanpa dipikir:
"Peerbuatan apa yang kau maksudkan terlalu kejam?"
"Adik, kau jangan berlagak pura-pura tidak tahu."
"Aku tidak mengerti apa yang kau katakan."
"Aku bertanya padamu, dalam hal mana aku berlaku tidak patut terhadapmu sehingga kau berbuat demikian terhadap diriku?"
Hui Kiam seperti tersadar, katanya:
"Aku kira kau akan berpura-pura seterusnya," demikian Tong-hong Hui Bun memotong dengan suara bengis.
"Apakah kau kira itu perbuatanku?"
"Kecuali kau, barangkali tidak ada orang lagi yang mampu membunuh sekian banyak orang kuat."
"Kau keliru."
"Aku" keliru" Hem! Aku harap supaya kau dapat menjelaskan."
"Itu adalah perbuatan orang lain."
"Orang lain siapa?"
Sudah tentu Hui Kiam tidak dapat memberitahukan tentang diri Orang Menebus Dosa dan lain-lainnya, sebab itu merupakan suatu perbuatan khianat terhadap sesama orang rimba persilatan. Maka ia menjawab dengan tegas:
"Tidak tahu!"
Tong-hong Hui Bun gemetar karena menahan hawa arnarahnya.
"Kau tidak tahu?"
"Mengapa aku harus tahu?"
"Adik, kau tidak mau mengaku terus terang?"
"Mengaku apa?"
"Membunuh orang."
"Aku tidak melakukan itu, bagaimana harus mengaku?"
"Kalau begitu kau harus tunjukkan, siapa yang melakukan itu?"
Jikalau pertanyaan itu diajukan pada waktu yang lalu, mungkin Hui Kiam dapat memberikan secara terus terang. Tetapi sekarang keadaan sudah berlainan. Nasehat Orang Menebus Dosa dan
Manusia Agung seolah-olah duri beracun menusuk ulu hatinya, dan duri beracun itu sudah cukup merupakan apa yang terjadi terhadap perempuan itu di masa yang lalu juga membuat perasaannya terhadap kecantikan perempuan itu, timbul reaksi kebalikannya. Dengan nada suara kaku dan dingin ia berkata:
"Aku sudah berkata bahwa aku tidak tahu."
"Kalau begitu harap kau suka menerangkan. Kau yang sebetulnya sedang terluka parah, bagaimana sekarang sembuh kembali seperti biasa?"
"Aku sembuhkan lukaku dengan kekuatan tenaga dalamku."
"Anggaplah begitu, mengapa kau tidak turut terbunuh?"
"Mungkin tujuan orang itu bukan diriku."
"Jadi kau mengawasi dengan berpeluk tangan orang-orangku dibunuh seperti hewan?"
"Pembunuhan itu terjadi ketika aku sedang bersemedhi untuk menyembuhkan luka-luka dalamku. Setelah aku sembuh dari lukaku baru aku mengetahui kejadian ini."
"Apakah kau kira aku merasa puas dengan keteranganmu ini?"
"Percaya atau tidak terserah kepadamu!"
"Adik, lantaran kau hampir saja aku putus perhubungan dengan ayahku. Aku telah berniat dan berusaha untuk kebaikanmu dan keselamatanmu, sehingga aku selalu menutupi sikap dan perbuatanmu yang memusuhi persekutuan kami. Untuk kau aku tidak sayang berkorban, justru karena aku cinta kepadamu. Tetapi, sebaliknya kau....."
Berkata sampai di situ ia menangis dengan sehingga tidak dapat melanjutkan kata-katanya lagi.
Semua itu merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah oleh Hui Kiam. Tetapi nasehat yang bagaikan duri beracun itu telah membuat dingin dan beku hati Hui Kiam. Maka ia berkata dengan sikap yang masih tetap dingin:
"Aku tidak menyangkal semua kebenaranmu!"
"Kalau begitu mengapa kau membalas dengan sikap demikian?"
"Aku tidak..." jawab Hui Kiam bagaikan orang kalap.
Tong-hong Hui Bun dikejutkan oleh sikap Hui Kiam itu. Ia bertanya pula dengan suara gemetar.
"Adik, betulkah itu bukan perbuatanmu?"
"Bukan!"
"Apakah kau.... masih tetap cinta kepadaku?"
Sekujur badan Hui Kiam gemetar, sepasang matanya terbuka lebar, lama tidak dapat menjawab.
Paras Tong-hong Hui Bun semakin pucat, matanya memancarkan sinar kebencian, dengan suara bengis tetapi perlahan ia berkata:
"Kau telah berubah. Kau menipu hatiku, kemudian kau melemparkannya dan menginjaknya bagaikan sampah yang tidak berharga."
"Aku... tidak"."
"Perlu apa menyangkal?"
"Aku mengaku, memang benar aku sudah berubah. Tidak boleh tidak aku harus berubah."
Tong-hong Hui Bun bergerak maju mendekati Hui Kiam dua langkah. Katanya:
"Aku mengerti, kau tentunya sudah jatuh cinta pada gadis di dalam Makam Pedang itu. Oleh karena itu maka kau mendapatkan pedang sakti itu."
"Aku tidak menyangkal bahwa aku cinta kepadanya."
"Bagus! Adik, encimu dengan terus terang beritahukan kepadamu. Barang yang aku tidak bisa dapatkan, aku hendak merusaknya. Siapa pun tidak akan mendapatkannya. Aku bisa berlaku dengki, juga bisa berbuat kejam. Ya, aku pernah mencintai
seseorang, tetapi ketika aku mengetahui bahwa diriku tertipu, aku bisa melakukan pembalasan secara hebat...."
Ia berdiam sejenak, kemudian berkata pula:
"Apakah aku cantik" Ya, tentunya kau tak akan menyangkal. Aku juga merasa bangga dengan kecantikanku ini. Tetapi aku sendiri telah mengetahui bahwa aku sudah bukan seorang perempuan muda lagi. Meskipun aku mempunyai ilmu sehingga aku tetap awet muda, tetapi biar bagaimana aku tidak dapat melawan kehendak Tuhan. Usiaku yang sudah menanjak tua, tidak bisa kembali muda lagi. Seumur hidup aku hanya mencintai seorang laki-laki dengan setulus hati. Laki-laki itu juga merupakan kekasihku yang terakhir. Laki-laki itu adalah kau"."
Jantung Hui Kiam tergunrcang hebat. Tanpa sadar ia mundur beberapa langkah.
Tong-hong Hui Bun melanjutkan kata-katanya:
"Aku telah memberikan kepadamu segala-galanya. Aku sudah tidak mempunyai apa-apa lagi. Adik, encimu seorang yang bisa mencinta tetapi juga bisa membenci berapa dalam cintanya dan berapa dalam bencinya, mengertikah kau maksudku?"
Dengan tanpa sadar Hui Kiam menggigil. Ucapan perempuan itu begitu dingin dan kejam, tetapi juga mengunjukkan betapa besar cinta kasih terhadap dirinya ini.
Cinta yang sudah mendalam, kebenciannya juga lebih mendalam lagi. Rasa benci yang timbul dari akibat rasa cinta yang gagal, adalah kebencian yang lebih daripada segala rasa benci.
Hati Hui Kiam mulai goncang lagi. Memang tiada alasan baginya untuk menyatakan bahwa cinta Tong-hong Hui Bun adalah palsu, akan tetapi duri beracun yang sudah masuk ke dalam otaknya lebih besar pengaruhnya.
Andaikata hanya karena pendirian masing-masing yang bertentangan antara benar dan sesat, mungkin ia tidak akan berlaku demikian tegas, karena segala sesuatunya bisa berubah, hanya hatinya sudah terluka tidak bisa disembuhkan lagi.
Tong-hong Hui Bun berkata pula:
"Apakah kau sudah dengar semuanya apa yang aku katakan tadi?"
"Sudah!"
"Kalau begitu kau jawablah! Mengapa kau tidak bicara?"
"Tahukah kau asal usul diriku ?"
"Tahu, bahkan sangat jelas sekali."
"Kalau kau sudah tahu, mengapa kau tidak merubah perbuatanmu?"
Tong-hong Hui-bun berdiam sejenak, baru menjawab:
"Itu adalah soal yang tidak ada hubungannya satu sama lain. Aku...."
"Apa, kau kata tidak ada hubungannya?"
"Sudah tentu !"
"Berapa banyak sebetulnya yang telah kau ketahui?"
"Tahu semuanya!"
"Coba kau ceritakan!"
"Dari mulut Orang Berbaju Lila aku tahu bahwa kau adalah murid Lima Kaisar Rimba Persilatan. Kau telah menganggap dirimu sebagai orang dari golongan kebenaran dan memandang persekutuan kami sebagai musuh...!"
"Masih ada lagi?"
"Kau adalah anak To-liong Kiam Khek Su Ma Suan!"
"Jadi kau... juga tahu?"
"Tadi aku sudah kata bahwa aku tahu semuanya."
Jawaban itu sesungguhnya di luar dugaan Hui Kiam. Tong-hong Hui Bun ternyata sudah mengetahui asal-usul dirinya, tetapi mengapa tidak merasa malu terhadap dirinya sendiri" Kalau begitu
nasehat Orang Menebus Dosa dan lain-lainnya bukankah omong kosong belaka" Apakah dalam hal ini ada terselip soal apa-apa lagi" Tetapi biar bagaimana, ini adalah merupakan persoalan besar, yang tidak boleh tidak harus dijernihkan.
Karena berpikir demikian maka ia segera berkata:
"Kau dengar kabar di dalam rimba persilatan tersiar desas desus"."
"Desas desus apa?"
"Kau pernah mempunyai hubungan suami istri dengan ayahku."
Ucapan itu dengan susah payah baru keluar dari mulut Hui Kiam. Setelah ucapan itu keluar dari mulutnya, sepasang matanya terus menatap wajah Tong-hong Hui Bun, agaknya hendak menembus hatinya.
Paras Tong hong Hui Bun pucat pasi, ia mundur hingga tiga langkah.
Hui Kiam yang menyaksikan itu, lalu membentaknya dengan suara keras:
"Betulkah ada kejadian itu"!"
Tong-hong Hui Bun masih berdiam, bibirnya bergerak-gerak, lama baru bisa berkata:
"Siapa mengatakan?"
"Kau jangan perduli siapa yang berkata. Kau katakan saja betul atau tidak?"
Keringat dingin sudah membasahi sekujur badan Hui Kiam, darahnya seperti sudah berhenti mengalir. Betapa hebat dan menakutkan kejadian itu, apabila itu benar adanya, bagaimana ia harus bertindak selanjutnya"
Kemarahan yang timbul dalam hati Hui Kiam hampir saja ia menjadi kalap.......
Tiba tiba Tong-hong Hui Bun berseru:
"Omong kosong! Itu fitnahan belaka......"
"Apa" Kau kata omong kosong?"
"Ya, satu fitnahan keji."
"Kau menyangkal?"
"Adik, siapa yang berkata demikian?"
"Tentang ini tidak perlu aku beritahukan kepadamu."
"Orang Berbaju Lila, betul tidak?"
"Jangan tanya siapa. Kau harus menerangkan hal yang sebenarnya, sebetulnya ada kejadian itu atau tidak?"
"Tidak."
"Benarkah?"
"Benar, aku sedikitpun tidak bobong!"
Hui Kiam mulai kusut lagi pikirannya. Ia percaya kepada Orang Menebus Dosa dan Manusia Agung. Kecuali mereka berdua, masih ada lagi gurunya Ie It Hoan yang sangat misterius itu.
Tetapi Tong-hong Hui Bun jupa tidak mungkin merupakan seorang perempuan yang begitu rendah moralnya. Sebetulnya keterangan pihak manakah yang dapat dipercaya" Karena ayahnya sudah meninggal dunia, sudah tentu tidak mungkin diminta keterangannya.
Ia berdiri terpaku, semangatnya entah kemana terbangnya.
Tong-hong Hui Bun berkata pula:


Pedang Pembunuh Naga Penggali Makam Karya Tan Tjeng Hun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Betapakah kejinya fitnahan itu" Adik, kau percayakah fitnahan itu?"
"Mau tidak mau aku harus percaya!"
"Mengapa?"
"Sebab kesalahan ini tidak bisa diperbaiki lagi, kita juga harus jaga jangan sampai terjadi!"
"Tetapi aku juga tidak menyangkal. Adik, terlepas dari soal ini, dengan kecantikan yang aku miliki memang sudah cukup membuat orang iri hati. Di samping itu ada juga orang yang ingin memfitnah diriku berbagai cara. Coba kau pikir, To-liong Kiam khek bukan orang sembarangan, jikalau aku mempunyai hubungan suami-istri dengannya, mengapa di dunia Kangouw tiada orang yang mengatakan, hanya seorang saja yang menceritakan kepadamu, kau seharusnya tokh bisa pikir sendiri."
Pikiran Hui Kiam telah goyah. Ucapan perempuan itu memang benar. Dalam kalangan Kang-ouw, belum pernah ada orang yang menyebutkan soal itu. Berulang-ulang Tong-hong Hui Bun mengatakan itu fitnahan semata-mata, kemungkinan itu memang ada, karena orang mengatakan soal itu, semua adalah orang-orang sekomplotan. Tentang gurunya Ie It Hoan sehingga saat itu dia hanya tahu ada tetapi belum pernah melihat rupanya. Adalah orang itu yang paling dulu mengucapkan berserikat dengan Orang Berbaju Lila untuk melawan orang-orang Persekutuan Bulan Emas.
Tentang Orang Berbaju Lila tidak usah dikata, karena ia dengan Tong-hong Hui Bun sudah lama timbul perselisihan.
Ditinjau dari sudut ini persoalan ini sesungguhnya agak rumit.
Tetapi apakah maksud orang-orang itu perlu merusak hubungan antara ia dengan Tong-hong Hui Bun"
Andaikata maksud mereka takut melihat dirinya terlibat dalam asmara sehingga mengabaikan tujuannya untuk membela kebenaran atau sampai dirinya masuk ke dalam pelukan Persekutuan Bulan Emas hingga membahayakan rimba persilatan maka mereka perlu dengan menggunakan rupa-rupa tindakan yang sangat rendah untuk memutuskan hubungannya dengan Tong-hong Hui Bun. Kalau itu benar, ini berarti bahwa orang-orang itu telah memandang rendah kepribadiannya, juga merupakan suatu perbuatan yang tidak seharusnya dilakukan oleh orang-orang gagah.
Kini pikirannya telah teralih pula kepada pertikaian-pertikaian antara orang-orang golongan benar dan golongan sesat.
Pergerakan membasmi kejahatan sudah akan dimulai, sedangkan ia sendiri dengan pemimpin Persekutuan Bulan Emas sudah merupakan musuh lama. Ditilik dari pendirian masing-masing, ia sendiri merupakan satu tiang yang kuat dalam barisan golongan benar. Tong-hong Hui Bun adalah anak perempuan pemimpin Persekutuan Bulan Emas, tidak perduli dipandang dari sudut manapun juga, hubungan antara ia dan perempuan cantik itu memang seharusnya diakhiri.
Setelah berpikir demikian ia berkata dengan suara berat dan perlahan:
"Tidak sulit untuk mencari keterangan hal yang sebenarnya. Aku bersumpah hendak menyelidiki soal ini!"
"Apakah kau tidak percaya perkataanku?" berkata Tong-hong Hui Bun dengan muka pucat pasi.
"Ini sudah tidak penting lagi!"
"Tidak penting mengapa?"
Hui Kiam berusaha menenangkan perasaannya. Dengan nada suara tegas ia berkata:
"Enci, memang betul kita sudah pernah mengadakan perhubungan, tetapi untung masih belum melanggar batas peraturan dan adat istiadat. Tidak perduli bagaimana asal-usul diri kita, apa yang sudah lampau simpanlah di dalam hati...."
Tong-hong Hui Bun tiba-tiba mundur satu langkah. Ia berkata dengan suara gemetar:
"Maksudmu apakah kita hapuskan hubungan cinta kasih kita?"
Hui Kiam merasa berat, tetapi diam-diam dikeraskan hatinya. Akhirnya ia menganggukkan kepala seraya berkata:
"Ya, hubungan antara kita harus diakhiri."
Sepasang mata Tong-hong Hui Bun yang menggiurkan dan memikat hati, kini telah berubah seluruhnya. Mata itu
memancarkan sinar yang menakutkan. Bibirnya nampak gemetar, pipinya berkenyit, lama baru bisa berkata:
"Kau katakan... harus diakhiri?"
"Ya."
"Memang benar, seharusnya yang kita akhiri hubungan itu, tetapi... sekarang... tidak bisa."
Perkataan yang terakhir itu diucapkan demikian tegas seolah-olah tidak dapat diganggu gugat lagi.
Hui Kiam merasa sangat sedih, tetapi ia harus memegang teguh pendiriannya. Asal ia dapat mengendalikan perasaannya, tindakan menimbulkan akibat yang menakutkan, keputusan yang demikian itu memang berat bagi Hui Kiam.
"Mengapa tidak bisa?"
"Sudah terlambat."
"Terlambat! Apa artinya?"
Tong-hong Hui Bun dengan tangannya yang halus membereskan rambutnya yang terurai di pundaknya. Dengan suara berat dan hampa ia berkata:
"Hui Kiam, aku sudah tidak berdaya menolong diriku sendiri."
Hui Kiam seolah-olah disambar geledek. Pikirannya kalut, matanya berkunang-kunang. Ia gemetaran karena ia merasa bahwa akal budinya hampir runtuh. Semula ia mengira dengan kekerasan hati ia dapat menembusi rintangan yang sangat berat itu, tetapi kenyataannya tidak begitu mudah.
Nasehat Orang Menebus Dosa, berkumandang lagi di dalam telinganya. Lebih baik percaya daripada tidak, pikiran itu merupakan suatu dorongan yang kuat untuk menguatkan kelemahan hatinya. Ia coba menenangkan pikirannya, lalu berkata:
"Kenyataan telah menunjukkan bahwa kita mau tidak mau harus berpisah!"
"Apakah kau suka masuk dalam perangkap akal keji orang lain?"
"Tidak-tidak!"
"Kalau begitu karena apa?"
"Kau harus tahu, antara aku dengan ayahmu sudah merupakan musuh bebuyutan."
"Tetapi itu toh masih bisa diperbaiki!"
"Sudah tidak mungkin lagi!"
"Aku akan membujuk ayahku supaya melepaskan pendiriannya."
"Tetapi aku tak bisa merubah pendirianku."
"Pendirianmu yang memusuhi persekutuan kami?"
"Kenyataan sudah begitu jelas, dunia rimba persilatan seolah-olah sudah menghadapi hari kiamat karena perbuatan ayahmu. Sepak terjangnya selama ini, telah menimbulkan kegusaran seluruh rimba persilatan, siapa yang tidak ingin tunduk kepada kejahatan, harus berdiri di pihak yang benar."
"Aku tidak ingin menundukkan kau dengan kata-kata, tetapi aku ulangi lagi ucapanku yang lama. Kita boleh mengasingkan diri, tak akan mengetahui urusan dunia Kang-ouw lagi."
"Kalau begitu aku juga akan mengatakan bahwa itu sudah terlambat!"
"Terlambat bagaimana?"
"Aku sudah berjanji hendak bertempur akan membela di pihak yang benar."
"Kalau begitu... perhubungan antara kita... habislah sudah?"
"Jangan kau menggunakan istilah habis, seharusnya kau menggunakan istilah diakhiri."
Tong-hong Hui Bun tiba-tiba tertawa bagaikan orang gila. Suara tertawanya itu demikian tajam seolah-olah menusuk telinga juga seolah-olah menikam hati Hui Kiam.
Lama sekali, suara tertawa itu baru berhenti dan berkata lagi dengan nada suaranya yang berlainan:
"Adik, sebutan ini sehingga mati aku tidak akan berubah. Dahulu aku pernah berkata, mungkin aku keliru, sejak permulaan sudah keliru, mungkin aku sedang berjalan menuju kehancuran dan kemusnahan, tetapi aku tidak akan merubah perjalananku, biarlah aku musnah! Kau dengan aku, adik, adalah kau yang paksa aku berbuat demikian. Dalam hidupku, aku cuma tahu dua soal, cinta dan benci!"
Hui Kiam kembali gemetaran.
Cinta dan kebencian!
Apa yang ia lakukan" Apakah ia sendiri yang salah" Ataukah ia gila"
"Ha, ha, ha. Adik, pada suatu ketika kau dan aku musnah bersama-sama, bersatu untuk selama-lamanya. Tiada suatu kekuatan apapun yang dapat memisahkan kita. Sudah tentu orang-orang yang kubenci, yang berusaha hendak memisahkan kita, akan mendapat ganjaran yang setimpal. Adik, biarlah untuk sementara kita berpisah! Ha, ha, ha...."
Setelah mengucapkan demikian ia sudah bergerak dan menghilang dari hadapan Hui Kiam. Hanya suara tertawanya yang menyeramkan yang masih kumandang di udara.
Hui Kiam seperti seorang bingung berdiri di tempatnya. Ia seolah-olah sedang berada dalam impian buruk.
Otaknya dirasakan kosong melompong, apapun ia sudah tidak dapat memikirkan.
Hari sudah gelap, keadaan sunyi sepi. Hanya sinar bintang di langit yang merupakan penerangan satu-satunya dalam suasana yang gelap gulit.
Suara burung malam kedengarannya sangat mengerikan telah menggugah Hui Kiam dari mimpinya. Perasaan takut timbul dalam
hatinya. Perasaan itu ia belum pernah rasakan pada waktu sebelumnya.
Tong-hong Hui Bun telah meninggalka dirinya dengan penuh kebencian. Perbuatan apakah yang akan dilakukan terhadap dirinya"
Apakah ia akan melakukan pembalasan atas cintanya yang tidak terbalas"
Siapapun tidak akan menduga bahwa cinta kasih itu akan berakhir demikian buruk!
Ditilik dari perbuatannya sejak ia memaksa Orang Berbaju Lila terjun ke dalam jurang dan membunuh orang-orangnya sendiri dengan cara yang sangat kejam, Tong-hong Hui Bun memang merupakan seorang perempuan yang berhati kejam. Ditinjau dari sudut ini, tidak dapat disangkal lagi bahwa ia bukan saja akan melakukan pembalasan atas dirinya, tetapi juga akan melampiaskan kebenciannya kepada orang-orang yang ada hubungannya dengan Hui Kiam. Tetapi pertempuran untuk membasmi kejahatan sudah akan dimulai, satu sama lain memang sudah saling berhadapan sebagai musuh. Tindakan pembalasan Tong-hong Hui Bun tidak perlu ditakuti, hanya terjadinya perubahan itu sedikit banyak menimbulkan perasaan duka bagi Hui Kiam.
Untuk pertama kali Hui Kiam merasa khawatir dan takut, tetapi ia dapat mengatakan apa yang harus ditakuti"
Tong-hong Hui Bun telah menyangkal dengan keras pernah menjadi isteri ayah Hui Kiam, tetapi perkataan Orang Menebus Dosa dan yang lain-lainnya tidak mungkin salah semuanya. $oal ini ia harus selidiki sendiri sehingga menjadi terang.
Kekasih yang juga merupakan ibu tirinya sendiri. Betapakah kejam dan menakutkannya soal ini, meskipun hubungan itu bisa diputuskan, dan dengan sendirinya telah berakhir, tetapi itu masih merupakan suatu penderitaan hatin yang tidak mudah dihapus.
Persoalan ini hanya Orang Menebus Dosa, Orang Berbaju Lila, Manusia Agung dan gurunya Ie It Hoan yang dapat menjawab.
Setelah lama berpikir, ia baru melanjutkan perjalanannya.
Hari itu ia tiba di suatu bukit yang terpisah tidak jauh dengan kota Lam-shia. Ia taksir malam hari itu juga bisa tiba ke kuil tua yang merupakan pusat markasnya Orang Berbaju Lila yang dirahasiakan itu.
Sepanjang pinggir jalan di kaki gunung itu terdapat beberapa ratus rumah kediaman rakyat sehingga merupakan suatu perkampungan kecil.
Hui Kiam mencari rumah penginapan untuk bermalam. Ia ingin menggunakan kesempatan itu untuk memikirkan rencana selanjutnya. Kali ini ia hendak berserikat dengan Orang Berbaju Lila, sama-sama melawan kekuatan Persekutuan Bulan Emas.
Terhadap kekuatan sendiri dan kekuatan lawan ia masih belum jelas. Menurut tafsirannya yang akan bertindak sebagai pemimpin dalam pihaknya sendiri tentunya gurunya Ie It Hoan.
Tetapi hingga saat itu, ia cuma mengetahui adanya orang yang sangat misterius itu dengan segala tindak-tanduknya yang aneh. Selainnya ia tidak tahu lagi.
Ia berserikat dengan musuhnya, sebetulnya merupakan suatu tindakan yang sangat terpaksa, maka sedapat mungkin ia harus mengendalikan perasaannya sendiri.
Tiba-tiba ia teringat dua soal. Dalam pikiran kalutnya tadi ia sudah lupa menanyakan hingga sekarang ia merasa menyesal.
Pertama, sucinya Pui Ceng Un telah dibawa pergi oleh orang suruhan Orang Menebus Dosa untuk diberi pertolongan. Ia terkena racun yang membikin orang hilang ingatan oleh orang-orang Persekutuan Bulan Emas, entah bisa sembuh atau tidak" Dan sekarang di mana ia berada"
Kedua, ia telah lupa menanyakan kepada Tong-hong Hui Bun tentang asal-usulnya pakaian laki- laki warna lila dalam kamarnya itu.
Seandainya kala itu ia memajukan pertanyaan, mungkin dapat menangkap rahasia tentang hubungan perempuan itu dengan Orang Berbaju Lila.
Ditinjau dari fakta-fakta yang hingga saat itu telah diketahuinya, di antara Tong-hong Hui Bun dengan Orang Berbaju Lila, agaknya pernah terjalin hubungan apa-apa bukan semata-mata karena tergila-gila atas kecantikan seperti apa yang dikatakan oleh perempuan cantik itu. Selain daripada itu, waktu pertama kali muncul, Orang Berbaju Lila itu pernah menggunakan ilmu pedang Bulan Emas, ini juga merupakan suatu kejadian aneh yang tidak mungkin suatu hal kebetulan saja. Selagi masih hanyut dalam lamunannya sendiri, telinganya tiba-tiba mendengar suara orang memuji Buddha:
"Omitohud!"
Tanpa disengaja Hui Kiam mengangkat kepala. Matanya segera dapat melihat seorang padri wanita setengah tua dengan kantong hijau di punggungnya dan serenceng tasbe di tangannya berdiri di depan pintu. Ia pikir, padri wanita itu tentunya sedang minta sedekah.
Rumah penginapan merangkap rumah makan itu tidak luas. Di sebelah kanan pintu masuk terdapat ruang dapur. Di belakang dapur itu terdapat beberapa puluh meja dan kursi.
Hui Kiam yang duduk di sudut kiri menghampiri pintu, dapat melihat keadaan di luar dan dalam dengan nyata. Apalagi saat itu tetamu yang makan tidak banyak sehingga penglihatannya tidak terhalang.
Ia mengawasi sejenak. Selagi hendak minum lagi, mendadak merasakan gelagat tidak baik. Ketika ia mengawasi lagi, padri wanita itu ternyata sedang mengawasi dirinya dengan sinar mata yang tajam.
Aneh, demikian ia pikir. Padri wanita yang masih asing baginya itu, mengapa mengawasi dirinya dengan penuh perhatian demikian rupa" Dari sinar matanya yang tajam dapat diduga bahwa padri
wanita itu tentu orang rimba persilatan. Apakah kenal dengan dirinya" Ataukah"."
Tanpa disadari tangannya meraba-raba gagang pedang di pinggangnya. Pikirnya: apakah padri wanita itu "menaksir" pedangku ini"
Diam-diam ia merasa geli, dianggapnya paderi wanita itu tidak tahu diri.
Seorang pelayan menghampiri padri wanita itu dan menyapanya:
"Apakah suthay hendak minta sedekah?"
"Hendak mencari orang," jawabnya singkat.
"Mencari orang?"
"Ya!"
"Mencari siapa?"
"Siaosiecu yang duduk di sudut ruangan itu!"
Paderi wanita itu mengaku tahu di mana adanya Pek-leng-lie. Nampaknya rahasia tentang tusuk konde kepala burung Hong itu segera akan terbuka.
Tetapi satu sama lain masih asing, mengapa perlu datang mencari dirinya" Dalam hal ini pasti bukan tidak ada sebabnya".
Jalan tidak berapa lama, mereka sudah berlalu jauh dari perkampungan itu.
Paderi wanita itu tiba-tiba membelok mengambil jalan ke arah pegunungan.
Hui Kiam terus mengikuti di belakangnya sejarak beberapa langkah saja, saat itu ia lalu bertanya:
"Suthay, di sini rasanya boleh suthay menceritakan perkara itu!"
"Jangan kesusu, kita sudah akan segera tiba di tempatnya!" jawabnya tanpa menoleh:
"Tempatnya! Tempat apa?"
"Itulah tempat mensucikan diri pinnie."
"Oh!"
Hui Kiam tidak berkata apa-apa lagi. Ia terus mengikuti di belakang padri wanita itu, sementara itu dalam hatinya telah mengambil suatu ketetapan. Apabila paderi wanita ini benar-benar mengetahui di mana adanya Pek-leng-lie, demi kepentingan menuntut balas dendam ibunya ia akan mengorek keterangannya dari padri wanita itu tanpa memperhitungkan apa akibatnya. Tetapi apabila paderi wanita itu mengandung maksud lain, ia pasti tidak akan melepaskan begitu saja.
Tidak lama kemudian tibalah di suatu tempat yang terdapat sungai. Di tepi sungai itu penuh pohon bunga Tho. Orang yang masuk di dalam daerah tersebut, seolah-olah berada dalam tengah-tengah taman bunga itu, yang saat itu sudah tumbuh buahnya.
Memasuki taman buah Tho kira-kira lima pal, di situ tampak dinding tembok berwarna merah. Setelah berada dekat, baru diketahui bahwa itu adalah sebuah kuil yang sangat indah bentuknya. Di pintu depan kuil itu terpancang sebuah papan yang terdapat tiga huruf besar PEK THO AM yang ditulis dengan tinta emas.
Nama kuil ini sesungguhnya tepat sekali dengan keadaan dan pemandangan alam tempat itu. Paderi wanita itu berhenti dan berpaling seraya berkata kepada Hui Kiam:
"Inilah tempat mensucikan diri bagi pinnie. Silahkan sicu masuk ke dalam!"
Setelah berkata demikian ia mengajak Hui Kiam masuk ke dalam.
Menurut kebiasaan umum, di dalam kuil paderi wanita atau biara, sebetulnya terlarang bagi kaum laki-laki masuk di dalamnya, tetapi paderi wanita itu ternyata sudah melanggar tata-tertib ini mengajak seorang laki-laki masuk ke dalam biara, sudah tentu mengandung maksud tertentu ....
Tiba di ruangan, paderi wanita itu menyilahkan Hui Kiam duduk.
---ooo0dw0ooo--JILID 29 HUI KIAM menganggukan kepala, ia duduk disebuah kursi dalam ruangan tamu itu. Belum berapa lama, seoraug padri wanita muda itu, hatinya terperanjat paras padri wanita itu agaknya pernah melibatnya, tetapi ia sudah tak ingat lagi dimana pernah bertemu.
Padri wanita yang masih muda itu mempunyai potongan raut muka yang cantik sekali, berada didalam kuil itu seolah-olah pelayannya dewi Koan-im yang menjelma ke dunia.
Padri perempuao muda itu meletakkan cawan tehnya, kemudian mengundurkan diri, parasnya tidak mengunjukkan perubahan sikap apa-apa.
Hui Kiam berpaling lagi mengawasi Hoan ceng yang duduk dihadapannya, kemudian bertanya:
"Apakah Suthay ketua kuil ini?"
"Benar'!"
"Oleh karena aku masih ada urusan penting yang perlu segera diurus, tidak bisa berdiam lama-lama, harap Suthay suka segera memberi keterangan seperti apa yang Sathay janjikan."
Paderi wanita itu mengangkat cawannya dan berkata:
"Sicu minum teh dulu, ini adalah teh wangi keluaran dari daerah ini yang namanya sudah lama terkenal, meskipun bukan barang berharga tetapi juga bukan sembarang teh."
Hui Kiam terpaksa bersabar, ia minum teh nya, bau harum dari teh itu dirasakan menusuk hidungnya, teh itu berwarna hijau, nampaknya memang benar bukan teh sembarangan air teh, itu membawa rasa segar dalam tenggorokkannya sehingga ia perlu mengeluarkan pujian:
"Sesungguhnya teh ini enak sekali!"
Hoan-ceng menyalakan dupa diatas mejanya asap dupa itu mengeluarkan bau harum sehingga sebentar saja bau harum itu sudah memenuhi ruangan tamu tersebut.
Hui Kiam setelah minum tehnya berkata: "Tadi suthay berkata bahwa maksud mengajak aku kemari adalah hendak memberitahukan jejak Pek-leng-lie" " ia menjawabnya tenang.
Sikap tenang padri wanita itu menimbulkan rupa-rupa dugaan dalam hati Hui Kiam. Tetapi sebagai orang yang berkepandaian tinggi dan keberanian besar, ia tak merasa takut, lalu melanjutkan pertanyaannya: "Mengapa suthay mengetahui aku nginap dirumah penginapan itu?"
"Pinnie tadi sudah berkata bahwa inilah yang dinamakan jodoh, kita bertemu secara tak terduga duga."
"Ini sesungguhnya sangat aneh ..."
"Pinnie juga mempunyai kesan demikian!
"Suthay mengajakku datang kemari, apakah semata-mata hanya hendak memberi tahu jejak Pek-leng lie saja?"
"Benar."
"Tetapi bagaimana suthay tahu kalau aku sedang mencari jejak Pek-leng lie?"
"Karena apa yang sicu lakukan digereja siao liem-sie itu sudah tersiar luas dikalangan Kang ouw."
"Oh, suthay hendak memberi tahukan kabar itu pasti ada sebabnya?"
"Sebabnya sudah tentu ada!"
"Bolehkah aku bertanya apa sebabnya?"
Paras Hoanceng-segera berubah menjadi dingin jawabnya:
"Benarkah sicu pernah menabas kutung lengan tangan Hiat-ie Niocu?"
"Ya!"
"Tahukah sicu hubungan Hiat ie Nio cu dengan Pak leng lie?"
"Tahu, mereka berdua adalah ibu dengan anak!"
Hoan-ceng kembali tersenyum yang susah di duga orang apa maksudnya, kemudian berkata:
"Ada urusan apa sicu mencari Pek-leng-lie?"
Sejenak Hui Kiam nampak ragu ragu, kemudian berkata:
"Untuk mencari keterangan tentang peristiwa yang lama!"
"Peristiwa lama! Peristiwa apakah itu?"
"Tentang ini... . maaf aku tidak dapat memberiiahusannya."
"Tetapi sicu tokh ingin mengetahui jejak Pek leng-lie dari mulut pinnie?"
"Itu adalah suthay sendiri yang mencari aku."
"Itu memang betul ...."
"Suthay dengan aku satu sama lain masih belum saling kenal mengenal, suthay hendak memberitahukan jejak Pek leng-lie, pasti ada sebabnya?"'
"Apakah yang sicu maksudkan dengan perkataan itu?"
"Andaikata, tujuan ataukah ancaman syarat ataukah lainnya . . . ."
"Sicu sungguh cerdik, sudah dapat memikirkan sampai disitu, tujuan dan syarat kedua-duanya memang ada."
"Bolehkah suthay memberi sedikit keterangan?"
Hoan ceng berpikir sejenak, kemudian berkata;
'"Lebih dulu kita bicarakan soal syarat, itu adalah suara pikiran yang baru saja timbul dari hati pinnie, harap sicu terangkan dulu apa sebabnya sicu mencari Pek-leng lit?"
Hui Kiam merasa sulit, ini adalah suatu rahasia yang sangat penting, seandainya padri wanita itu mempunyai maksud tertentu, akan membawa akibat sangat luas, maka setelah berpikir ia lalu berkata sambil mengerutkan keningnya;
"Pertanyaan suthay dalam urusan ini apakah tertarik oleh perasaan heran, ataukah....,"
"Anggaplah begitu."
"Bolehkah kiranya....."
"Sicu jangan lupa bahwa ini merupakan syarat mutlak."
Hui Kiam menarik napas, nampaknya tidak boleh tidak ia harus menerangkan juga, maka akhirnya ia berkata:
"Pada sepuluh tahun berselang ada seorang yang binasa karena senjata rahasia tusuk konde mas berkepala burung Hong, dan senjata rahasia ini, kabarrya miliknya Pek-leng-lie."
Paras Hoan-ceng menunjuksan sedikit perobahan, katanya:
"Siapakah yang binasa karena senjata itu?"
"Ibuku almarhum!"
"Siapakah ibu almarhum sicu itu?"
"Yok sok Sian-cu Hui-un Kheng !"
Hoan ceng tiba-tiba bangkit, ia berkata dengan suara gemetar:
"Apa" Sicu adakah anak laki laki To-long Kiam Khek Su-ma Suan?"
Hui Kiam terperanjat, ia sungguh tidak menduga bahwa padri wanita itu dapat menyebut nama ayahnya, maka ia juga bangkit dan berkata :
"Apakah suthay kenal dengan ayah ibu almarhum ?"
"Sicu,,...berkata ayah bibi almarhum apakah Su-ma Suan juga sudah meningnggal"
"Ya !"
"Meninggal dengan cara bagaimana?"
"Terbinasa bersama sama seorang perempuan yang menamakan diri Penghuni loteng merah karena perbuatan Orang berbaju lila."
Paras Boan ceng berubah, badannya gemetar matanya terus menatap wajah Hui Kiam,
Sikap demikian sangat mengherankan Hui Kiam, apakah sebetulnya hubungan padri wanita itu dengan ayahnya" Nampaknya padri wanita ini bukan saja telah mengena! ayah bundanya tetapi mungkin masih terjalin hubungan apa apa didalamnya.
Hoan ceng agaknya berusaha mengendalikan perasaannya, diwajahnya beberapa kali telah berubah, nampaknya mengandung kebencian tetapi juga kedukaan, akhirnya kedua matanya memancarkan sitiar kebencian yang meluap luap, ia berkata sambil mengatupkan gigi
'Bagaimana macamnya Orang berbaju lila itu"
"Tidak tahu, ia adalah seorang, yang selalu berpakaian warna lila, dan memakai kerudung berwarna lila juga,"
"Apakah kau ingin menuntut balas dendam kepadanya?"
"Sudah tentu"
"Tadi kau berkata bahwa Yok-sok Sian cu terbunuh karena senjata rahasianya tusuk konde mas itu."
"Apakah kau anggap pasti itu adalah perbuatan Pek leng-lie"'
"Itulah yang aku perlu selidiki sendiri."
"Hem!"
"Suthay dengan ibu almarhum dahulu."
"Kita jangan bicarakan soal ini dulu jika kau ingin tahu maksud dan tujuan pinni mencari kau untuk memberi keterangan soal ini."
Hui Kiam yang benar-benar tidak mengerti maksud yang dikandung dalam hati Paderi wanita itu, maka ketika mendengar perkataan itu, ia segera menjawabrya:
"Sudah tentu aku ingin tahu."
"Duduklah"
Dengan perasaan heran Hui Kiam mengawasi paderi wanita itu, akhirnya ia duduk di atas kursi singa itu"
Hoan ceng menambah dupa dalam pendupaan asap yang sudah mulai buyar kini mengepul lagi.
Hui Kiam merasakan badannya agak letih dalam hati merasa heran, karena sekarang ia merasa lelah karena habis melakukan perjalanan jauh tetapi dengan kepandaian dan kekuatannya pada saat itu, tidak akan timbul perasaan demikian . . . , .
Hoan-ceng berkata sambil menuding pedang dipinggang Hui Kiam.
"Apakah pedang itu pedang Thian Khie Le Kiam yang menggemparkan itu.?"
Hui Kiam diam-diam lalu berpikir. mungkin inilah tujuan padri wanita itu.
Dengan seketika ia menjawabnya dengan nada suara dingin:
"Benar, ini adalah pedang sakti Thian Khie se Kiam!"
"Apakah dengan sicu menabas buntung lengan tangan Hiat le Nio-cu?"
"Betul,"
"Kalau begitu dengarlah dengan pedang ini untuk membereskan perhitungan, inilah maksud dari tujuan pinnie!"
Hui Kiam bangkit, sepasang matanya melotot dengan nada suara dingin ia lalu berkata;
"Apakah suthay hendak menuntut balas terhadap aku atas perbuatanku yang menabas buntung lengan tangan Hiat-ie Nin-cu!"
"Sedikitpun tidak salah!"
"Dengan cara bagaimana?"
"Aku minta kau bayar hutang itu ditambah dengan bunganya, kutungilah kedua lenganmu?"
"Apakah suthay kira suthay sanggup melakukan perbuatan ini?"
"Sudah tentu!"
"Kalau begitu apa yang kau katakan tentang Pek leng-lie itu, hanya merupakan omonganmu kosong melompong belaka!"
"Bukan kosong!"
"Kalau begitu. . "
"Kau. . . .siapa?"
"Pinnie adalah perempuan yang pada sepuluh tahun berselang disebut Pek Leng-lie Khong Yang Hong itu."
Sekujur badan Hui Kiam dirasakan gemetar ini adalah suatu kejadian yang sama sekali tidak pernah diduganya......
Hoan ceng berkata pula: "Kau tentunya tidak menduga bukan?"
Hui Kiam teringat Kematian ibunya yang menyedihkan dan pesannya yang selama sepuluh tahun ini tidak pernah terhapus dari dalam otaknya, rnaka sesaat itu meluaplah napsunya membunuh, wajahnya menunjukkan sikapnya yang dingin dan kaku lagi, dengan suara dingin ia menjawab:
"Memang benar aku tidak menduganya."
"Mengapa kau tidak memakai she Su-ma sebaliknya memakai she Hiu ?"
"Ini bukan urusanmu, aku hanya ingin bertanya kepadamu apakah kau yang membunuh mati ibuku?"
"Bukan."
"Kau rupanya hendak menyangkal?"
"Tidak perlu aku menyangkal"
"Dari dalam sakunya Hui Kiam mengeluarkan tusuk konde mas berkepala burung Hong ia mengunjukkan benda itu kepada Hong-ceng seraya beikata dengan suara bengis:
"Apakah ini milikmu"'
"'Memang betul!"
"Mengapa kau tidak berani mengakui perbuatanmu sendiri?"
"Sebab aku belum pernah melakukan perbuatan itu."
"Dan bagaimana halnya tentang tusuk konde mas ini?"
"Tentang ini pinnie harus memberitahukan kepadamu dengarlah, pada lima belas tahun berselang, ada kakak beradik dalam satu penguruan dengan serentak jatuh cinta kepada seorang pria. tetapi satu sama lain tidak mengetahui kalau masing-masing jatuh cinta kepada diri satu orang dan lelaki itu bergaul diantara kedua kakak beradik dalam sepenguruan itu, dengan senangnya, tetapi rahasia itu akhirnya diketahui oleh perempuan yang rrenjadi suci nya. oleh karena sifat lelaki itu yang memang romantis, lelaki itu bukan saja beristri, tetapi juga dengan bersamaan pula ia mempermainkan hati kedua gadis yang masih putih bersih sang suci itu, dalam keadaan murka pengi bertanya kepada lelaKi itu, keduanya semula ribut mulut kemudian mengadu kekuatan, perbuatan lelaki itu meskipun rendah, tetapi hati nya tidak jahat, diwaktu bertempur segan menurunkan tangan kejam."
Berkata sampai disitu paderi wanita itu berdiam, seolah-olah sedang mengumpulkan kembali ingatannya, setelah berdiam cukup lama, ia berkata:
"Kepandaian lelaki itu memang berimbang dengan kepandaian sang suci itu, dengan demikian, dia telah salah hitung, sang suci itu dalam keadaan murka sudah mengeluarkan seluruh kepandaiannya, maka akhirnya terluka parah, sang suci itu dalam hati sebenarnya masih cinta kepada lelaki itu, maka ia merasa menyesal atas perbuatannya sendiri, kejadian itu telah diketahui oleh sang Sumoy, karena ia sendiri tidak berhasil untuk melepaskan diri dari jaring asmara, cintanya yang sudah sangat mendalam terhadap lelaki itu,
maka akhirnya bukan saja sudah memaafkan perbuatan lelaki itu, bahkan untuk menyembuhkan lukanya, ia perlu pengi sendiri kekuil Siao lim sie, untuk meminta obat pel Tay-boan tan."
"Oh !"
Hui Kiam sudah tahu apa yang diceritakan itu maka ia mendengarkan dengan sabar.
Dengan rada suara penuh rasa gemas Hoan ceng melanjutkan ceritanya.
"Untuk mendapatkan pel yang sangat mujarab itu, perempuan yang menjadi sumoy itu, hampir saja binasa didalam kuil Siao-lim sie. tetapi akhirnya tercapailah juga maksudnya, dan lelaki itu setelah sembuh dari lukanya. bukan saja tidak menyatakan terima kasihnya kepada sang sumoy, sebaliknya memberikan selluruh cintanya kepada Sang suci, perobahan sikap yang terjadi diluar dugaan itu telah membuat patah hati sang sumoy sehingga akhirnya sang sumoy itu mencucikan diri!"


Pedang Pembunuh Naga Penggali Makam Karya Tan Tjeng Hun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hui Kiam untuk sesaat lamanya tidak tahu bagaimana harus membuka mulut, sebab lelaki itu adanya ayahnya sendiri, sedangkan perrempuan yang menjadi suci itu sudah tentu yang dimaksudkan adalah penghuni loteng merah itu. sedangkan yang menjadi sumoy sudah tentu adalah Hoan-ceng.
Akan tetapi dalam penuturan Hoan ceng tidak pernah menyebut tentang tusuk Konde mas itu, oleh karena tusuk konde mas itu telah mengakibatkan kematian ibunya, sudah tentu Hui Kiam tidak bisa melepaskan begitu saja.
Dengan nada suara penuh amarah Hon ceng berkata pula.
"Sudah sepuluh tahun lebih pinnie mencucikan diri, hati pinnie sebetulnya sudah tenang jernih bagaikan air danau, kau telah melukai ibuku, disamping itu juga membangkitkan kebencian terhadap Su-ma Siiau!'
"Orang yaog kau benci semua sudah tidak ada didalam dunia lagi ! "
"Sekarang pinnie sudah terjerumus lagi kedalam kedosaan dalam hidupku ini sudah tidak mungkin dapat diperbaiki lagi. . ."
Suara paderi wanita yang kedengarannya sangat menakutkan itu, membuat hati Hui Kiam menggigil.
Dari penuturan paderi wanita itu, Hui Kiam dapat membayangkan potongan muka ayahnya dimasa muda, karena mempunyai potongan muka yang tampan, dan berkepandaian tinggi, dimana mana ada kekasihnya, tetapi ternyata berperasaan sangat tipis sehingga menimbulkan banyak kericuhan dalam asmaranya.
Hoan-ceng berkata dengan suara bengis: "Aku benci kepadanya untuk selama lamanya!"
Kata-kata dan sikap padri wanita itu sudah bukan merupakan seorang yang mencucikan diri.
Hui Kiam tidak ingin menyaksikan keadaan demikian itu. berlangsung terus maka ia mengalihkan pertanyaan kelain soal tusuk konde.
"Suthay belum menyebutkan tusuk konde mas berkepala burung Hong itu . ..."
"Tusuk konde mas itu adalah barangku yang Kuberikan kepada Su-ma Suan sebagai tanda mata yang selama iiu belum kuminta kembali hanya itu saja keteranganku tentang tusuk konde."
Hati Hui Kiam tengoncang hebat, apakah orang yang membunuh ibunya itu adatah ayahnya sendiri" Rasanya ini tidak mungkin" Didalam dunia dimana ada makhluk manusia berhati srigala yang demikian rupa buasnya" Apa lagi diwaktu hendak menutup mata sang ibu Itu sempat mengucapkan perkataan iblis wanita, tusuk konde mas.....
"Apakah suthay dalam hal ini hendak cuci tangan begitu saja?"
"Penggali makam aku tidak perlu cuci tangan lagi kau sudah masuk perangkap tidak perlu aku berbuat demikian"
"Aku tidak percayai"
'Kalau begitu kau tanyalah sendiri kepada ayalmu yang berada dalam tanah!"
"Hoan ceng kau dapat membuktikan ?"
"Ucapan seorang yang sudah mencucikan diri sudah cukup dianggap sebagai bukti"
"Tiada guna kau menyangkal!"
"Kau mau apa?"
'Aku akan membunuhmu untuk membalas dendam saku hati ibu!"
"Kaku begitu bau boleh coba turun tangan!"
Hui Kiam yang sudah meluap marahnya segera menghunus pedang saktinya dan berkata suara gemetar:
"Kalau aku sudah turun tangan kau sudah tidak mendapat kesempatan lagi!"
Hoan ceng mendengarkan suara dari hidung katanya dengan suara mengejek
"Kau coba saja!"
H?i Kiam maju selangkah, ia mengangkat pedangnya, seketika itu ia baru mengetahui bahwa kedua tangannya tidak bertenaga kekuatan tenaga dalamnya sedikitpun tidak ada, ia merasa terkejut dan segera mengerti bahwa dirinya sudah terjebak dalam tangan wanita itu, maka segera berkata dengan suara bengis,
"Hoan ceng kau telah menggunakan suatu akal yang sangat memalukan ."
"Penggali makam memalukan atau tidak aku sudah tidak hiraukan lagi. maksudku hanya menagih hutang kepadamu, teh yang kau minum tadi didalanmya kucampuri obat yang bisa memunahkao kepandaianmu. sedangkan asap dupa ini adalah asap dupa menyabut nyawa yang sangat terkenal itu, Sekarang, kau sedialah membayar hutangmu! Tetapi, ada suatu hal perlu aku
menerangkan, orang yang membinasakan ibumu bukanlah aku, apa yang aku ceritakan tadi semua adalah benar."
Hui Kiam mau tidak mau harus percaya, memang benar, tidak ada perlunya Hoan ceng harus membohong atau menyangkal. Karena dirinya pada saat itu sudah tidak dapat lolos dari tangan padri wanita itu..
Pada suat itu tiba-tiba muncul bayangan seseorang.
Ketika Hui Kiam nampak siapa adanya bayangan orang itu, semangatnya dirasakan seperti terbang, dengan badan sempoyongan kakinya menendang sebuah kursi dan ia sendiri juga hampir roboh, hawa dingin yang luar biasa dirasakan disekujur badannya.
Bayangan orang yang baru muncul itu bukan lain daripada Hiat-ie Niocu yang sudah terkutung lengan tangan kirinya, Dengan munculnya hantu wanita itu, dapat dibayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Hiat-ie Nio cu menunjukkan parasnya yang bengis dan menakutkan muka itu tidak dapat dilupakan selama lamanya.
"Bocah aku sudah berkata, bahwa dendam sakit hati itu aku hendak menuntutnya, kau tentunya masih belum lupa bukan?" demikian hantu wanita itu berkata.
Hui Kiam menggertakan gigi tidak menjawab. Hari itu sewaktu terjadi peristiwa dikuil Siao lim-sie, kaiena Hui Kiam mengingat kedatangnya, dan mengingat pula hubungan luar biasa antara ayahnya dengan penghuni loteng merah, dan karena mengingat penghuni loteng mtran itu adalah mund hantu wanita itu hari itu sudah binasa didalam gereja Siao liem-sie. Selain dari pada itu, hari itu apabila ia tidak datang kegereja Siao liem sie, hantu waniita itu juga sudah pasti binasa ditangan iblis Gajah. Dan sekarang, semua tidak ada gunanya maka ia menganggap tidak perlu membuka mulut.
Hiat ie Nio cu berkata pula:
"Mengingat perbuatanmu yang sudah membantu aku didalam gereja Siao liem-sie itu hari ini aku tidak akan mengambil jiwamu, aku hanya hendak menguntung! kedua lengan tanganmu tunailah sudah hutangmu!"
'Hiat ie-Nio cu, hari itu dalam kuil Siao-liem sie aku seharusnya membunuh mati diri mu ."
"Apa kau menyesal?"
"Aku telah mengabaikan pepatah kuno bahwa menumpas kejahatan harus sampai diakar akarnya ."
"Tetapi sekarang sudah terlambat."
Setelah berkata demikian hantu wanita itu berjalan mendekati Hui kiam.
Hui Kiam pada saat itu sekujur badannya sudah lemah, kekuatan tenaga untuk membela diri saja juga sudah tidak ada, maka ia hanya menunggu kematiannya tanpa dapat berbuat apa apa.
Tiba tiba dari kuil terdengar suara jeritan melengking, Hiat ie Nio cu dan Hoan ceng terperanjat, mereka saling berpandangan sejenak seolah oiah saling menanya apa sebetulnya telah terjadi"
Sesosok bayangaa orang muncul dengan tiba-tiba dan berkata dengan suara ketakutan: "Orang berbaju lila!"
Hiat-ie Nio cu bertanya dengan suara keras "'Apakah orang berbaju lila yang mencela'kakan suhumu itu"' "Benar!'
"Dimana?"
'Dalam rimba pohon bunga cho itu. kedatangannya itu agaknya tidak disengaja ia tak tahu sucow berada disini, tetapi ia sudah melihat cucu mundmu ini .... "
Hiat-ie Nio cu lalu berkata kepada Hoan ceng:
"Hong-jie, mari kita pengi, kita tak dapat melepaskannya begitu saja harus menuntut balas sakit hati sucimu.'*
Ibu dan anak itu lalu lari keluar dari kuil Hui Kiam sudah melihat dengan tegas bahwa orang yang datang menyampaikan kabar itu adalah Siu Bie, murid kepala penghuni loteng merah, selagi dalam hatinya merasa heran mengapa orang berbaju lila itu bisa dacang kemari. Siu Bie sudah berada didekatnya dan berkata dengan tengesa-gesa:
"Siang-kong, mengingat hubungan suhu almarhum dengan ayah Siang-kong, aku tidak boleh tidak menempuh bahaya ini, kau lari dari pintu sudut kiri pendopo. disana ada orang yang akan menantikan kedatanganmu, aku takut sucow nanti curiga, maka aku harus menyusulnya!"
Setelah berkata demikian ia buru-buru lari keluar.
Hui Kiam sudah tidak sempat memikirkan soal lainnya, dengan cepat ia keluar dari ruangan itu, dan lari menuju kepintu yang ditunjuk oleh Siu Bie.
Setelah keluar dari pintu itu, disitu terdapat satu pekarangan kecil, dibelakangnya lagi adalah pagar tembok, selagi berada dalam ke sangsian, sesosok bayangan orang muncul tiba
Tiba dihadapanrya yang ternyata adalah paderi wanita muda yang menyuguh teh kepadanya, saat itu padri wanita itu menundukkan roman gugup dan perasaan tegang.
"Apakah Hui-siaohiap masih ingat diri sianni?"
'Kau. ... adalah...
"Kakekku adalah Sam Goan lojin.'"
"Ah! Nona adalah nona Tan-hiang Kun, pantas aku tadi merasa seperti pernah melihatnya."
Munculnya Tan-hiang Kun sebagai padri wainita sesungguhrya diluar dugaan Hui Kiam.
"Gelar sianni adalah Khie Tin!"
"Oh! "Siauhiup mari ikut sianni. apabila ketahuan oleh suhu bahwa ini adalah suatu akal untuk memancing keluar suhu, habislah semuanya"
Jikalau demikian halnya, maka berita atas munculnya orang berbaju lila, itu ternyata bohong belaka, ia hanya tidak tahu mengapa Tan hiang Kun berani menempuh bahaya besar untuk menolong dirinya"
Ia mengikuti Tan-hiang Kun masuk kedaalam sebuah kamar yang bertumpukan banyak kelakar, Tan-hiang Kun menutup pintu lebih dulu mengintai dari lubang pintu kemudian baru memberikan dua obat pel kepada Hui Kiam segera berkata :
"Ini adalah obat pemunahnya harap lekas dimakan, jangan bergerak, nanti sianni akan mencari kesempatan untuk membantu siaubiap meloloskan diri."
Hui Kiam segera menelan dua butir obat pel itu, sulit dibayangkan bagaimana bersukurnya pada waktu itu ia sungguh tidak menduga sama sekali bahwa Hoan ceng itu adalah jelmaan dari pada diri Pek leng-lie. yang juga tak tahu bahwasannya dalam teh dan dupa itu ada racunnya.
Waktu Siu Bie yang mengikuti diri Tan hiang Kun hendak mencucikan diri didalam biara itu semuanya diluar dugaannya.
Sesaat kembali apa yang telah terjadi dimana ia baru muncul didunia Kang ouw, oleh karena hendak menyelidiki musuhnya, ia pengi mendatangi perkampungan Ie hun San chung dalam perjalanan ia telah diperalat oleh wanita tanpa sukma dengan kepala bakal pengantin dia yang akan menjadi suami Tan hiang kun mengantarkan barang antaran dalam pesta perkawinan hingga menerbitkan huru-hara besar, setelah Sam Goan lo jin dan ayah Tan hiang Kun telah binasa, dan perkampungan itu telah musnah entah oleh perbuatan tangan jahat siapa.
Menghadapi wanita muda bernasib malang itu, ia menghela napas.
Ketika obat itu masuk kcdalam perutnya, segera nampaklah khasiatnya, dalam waktu sangat singkat sekali kekuatan tenaganya sudah pulih kembali.
Tidak lama kemudian diluar kamar terdengar suara orang bicara, tetapi karena letak nya terlalu jauh, lagi pula terpisah ruangan. maka tidak terdengar nyata, ia dapat menduga bahwa dalam pembicaraan itu apaknya sedang mencari keterangan tentang munculnya orang berbaju lila dan apa sebabnya Hui Kiam bisa menghilang secara tiba-tiba.
Selagi Hui Kiam masih memikirkan soal ini tiba tiba terdengar suara jeritan ngeri.
Ia terkejut, apakah perbuatan Tan-hiang Kun yang mencuri obat pemunah itu telah ketahuan"
Dengan tanpa ragu-ragu lagi Hui Kiam segera membuka pintu kamar dan lompat melesat keatas genteng ruangan tetamu, ketika menyaksikan apa yang telah terjadi, dadanya di rasakan hampir meledak, diatas tanah menggeletak bangkai Siu Bi dalam keadaan remuk batok kepalanya, sebelah tangan Hiat-ie Nio-cu masih terdapat tanda darah.
Disanping, berdiri Tan-hiang Kun dalam keadaan ketakutan setengah mati, wajahnya pucat pasi badannya gemetar.
Saat itu Hiat-ie Nio cu sedang menanyakan lepadanya dengan suara bengis:
"Jawab. dirnana bocah itu kau sembunyikan ?"
Tan-hiang Kun tidak menjawab ia tetap berdiri dengan badan gemetar.
Hoan-ceng lalu berkata:
"Tidak usah tanya tanya lagi, kekuatan dan kepandaian bocah itu sudah tidak ada karena pengaruh obat. rasanya tidak mungkin ia bisa terbang jauh, murid durhaka ini berani melakukan perbuatan demikian, sudah seharusnya dihukum mati!"
Sewaktu ucapan yang terahir itu keluar dari mulutnya, ia sudah menghampiri Tan hiang Kun
Dengan rasa ketakutan Tan-hiang Kun mundur beberapa langkah.
"Jangan bergerak" demikian terdengar suara bentakan keras, yang kemudian disusul oleh Hui Kiam yang melayang turun dari atas dan berdiri menghalang dihadapan Tan-biang Kun.
Hiat-ie Nio-cu dan Hoan ceng terperanjat, mereka mundur beberapa langkah.
Hoan-ceng berkata dengan suara gemetar: "Apakah . . . kekuatanmu masih ada?"
"Tidak disangka seorang yang sudah mensucikan diri masih mempuayai hati demikian jahat dan kejam, sipat manusia benar-benar susah diraba."
Hiat le Niocu menyela dengan suara bengis. "Bocah, selama masih hidup nenekmu pasti akan menuntut dendam sakit hati ini.*'
Mata Hui Kiam menyapu Hiat-ie Nio cu sejenak, kemudian berkata:
"Aku sudah mengampuni dirimu satu kali dari kematianmu. itu karena semata-mata memandang muka dan kebaikan Penghuni loteng merahi"
"Aku sebaliknya sudah bersumpah hendak mengambil jiwamu."
"Kau barangkali sudah tidak dapat melakukan lagi!"
"Bocah, kau coba saja !'
Ucapan hantu wanita icu ditutup dengan satu serangan bebat.....
Hui Kiam sudah pernah merasakan racunnya kuku terbang hantu wanita itu, ia sudah bertekad tidak akan memberi kesempatan kepadanya menggunakan senjatanya yang ampuh itu, maka begitu bengerak sudah menggunakan serangan yang mematikan.
Suara jeritan mengerikan keluar dari mulut Hiat ie-Nio cu sebentar kemudian badan hantu wanita itu nampak terhuyung huyung mata nya melotot satu tangannya yang diangkat ke atas masih terkatung ditengah udara, sedang-kan badannya gemetar, berkernyit, lama sekali baru jatuh roboh ditanah, darah menyembur keluar dari dadanya.
"Kau telah membunuh ibuku! "demikian terdengar suara jeritan Hoan ceng bagaikan orarjg kalap, kemudian melancarkan serangannya dengan menggunakan telapak dan jari tangan dengan serentak.
Pedang Hui Kiam memutar kebawab dan kemudian menyontek keatas, gerakan yang nampaknya sangat sederhana ini, namun mengandung gerak tipu yan sangat ampuh untuk menutup dirinya dan serangan yang dilancarkan oleh lawannya, juga sewaktu-waktu dapat melancarkan serangannya yang dapat mengambil jiwa musuhnya. Tetapi karena ia tiada maksud hendak mengambil jiwa paderi wanita itu, sebab dimasa hidupnya Su-ma Suan, ialah ayahnya sendiri pernah berhutang budi kepadanya.
Sementara itu, Tan-hiang Kun masih berdiri bagaikan patung menyaksikan semua kejadian itu.
"Hoan-ceng, aku tidak ingin mengambil jiwamu." demikian Hui Kiam berseru.
"Tetapi aku bersumpah jikalau tidak berhasil mengambil jiwamu, aku tidak mau jadi manusia lagi- Su rna Soan sudah mati, kaulah yang seharusnya menggantikannya membayar hutangnya."jawab Hoan-ceng dengan suara bengis.
"Dimasa hidupnya ayah memang berlaku keterlaluan terhadap dirimu, tetapi sekarang toh sudah meninggal ....."
"Tetapi rasa benci ini tidak dapat dihapus selama-lamanya"
"Jangan lupa bahwa kau adalah orang yang sudah mencucikan diri."
"Aku sudah berdosa, tidak bersedia memperbaiki diriku lagi."
Satu tangannya bengerak, tetapi tidak mengadung kekuatan.
Sebelum Hui Kiam sempat berpikir, hidung nya dapat mencuim bau harum, seketika itu juga bumi yang diinjaknya merasa seperti berputar, maka ia segera berseru: "Racun."
Belum lagi menutup mulutnya, satu kekuatan tenaga menyerang hebat kepada dadanya.
Hui Kiam mengeluarkan seruan tertahan, badannya mundur tiga langkah, mulutnya mengeluarkan darah.
"Serahkan jiwamu.' demikian terdengar suara Hoan ceng, lima jari tangannya dipentang bagaikan gaetan, menyambar batok kepala Hui Kiam.
Gerak tipu serangannya itu sangat aneh dan ganas tampaknya, mungkin Siu-Bi terbinasa akibat serangan ini.
Hui Kiam meski sudah terkena racun, tetapi berkat latihan kekuatan tenaganya yang telah sempurna, daya tahannya sangat menakjubkan, dengan sendirinya dalam pandangan matanya yang samar samar karena sudah mulai gelap, ia mengeluarkan serangannya dengan gerak tipunya bintang bertebaran dilangit.
Telinganya hanya menangkap suara jeritan yang mengerikan, badan Hoan ceng sempoyongan dan akhirnya jatuh roboh dalam keadaan mandi darah.
Hui Kiam sendiri juga merasa gelap matanya sehingga roboh ditanah.
Ketika ia tersadar kembali pertama yang dilihatnya adalah raut muka yang dingin dia adalah Tan Hiang Kun yang sudah bergelar Khie Tim.
Hui Kia berdiri, kecuali kepalanya yang masih dirasakan berat, tidak punya perasan apa-apa lagi. Sambil mengangkat kedua tangannya ia berkata kepada Tan Hiang Kun :
"Terima kasih atas pertolongan nona "
"Kau sudah boleh pengi." jawab Khie Tim dengan nada suara dingin,
"Nona . . . . "
"Siaonie sekarang bernama Khie Tim!"
Perobahan sikap secara mendadak ini sangat membingungkan Hui Kiam.
Khie Tim memejamkan matanya, ia menenangkan pikirannya, masih dengan nada yang dingin ia berkata :
"Belum lama berselang, didalam istana rahasia atas bantuan sicu, siaonie terlepas dari tangan kejam itu majikan Tong-Hong Hui Bun, hari ini hitung-hitung sebagai membayar kembali hutang budi siaonie kepada sicu, dan untuk selanjutnya sudah tidak ada hutang-hutang lagi. Kematian suhu mungkin atas kesalahannya sendiri, tetapi biar bagaimana adalah merupakan orang yang mencucikan diri siaonie. Siaonie tidak bersedia menuntut balas, tetapi untuk selanjutnya akan menutup pintu untuk mencari kebenaran, sicu sekarang kau boleh pengi!"
Hui Kiam tidak dapat menjawab ia berjalan perlahan lahan hatinya tak merasa enak.
Su Bi sudah mati, Tan hiang Kun masuk biara menjadi paderi, demikianlah akhirnya penghidupan kedua wanita itu.
Hiat-ie Nio cu yang seumur hidupnya sudah menimbun banyak dosa. kematiannya tak perlu disayangkan. hanya kematian Hoan ceng membuat tidak enak perasaan Hui Kiam.
Ia teringat kembali cerita Hoan ceng, tusuk konde mas berkepala burung Hong itu adalah barangnya yang dahulu diberikan kepada ayahnya sebagai tanda mata cinta kasih antara mereka apakah benar ayahnya begitu tega hati membunuh isterinva sendiri?"
Ini sesunggunnya terlalu menakutkan, hati nya seperti dikoyak koyak.
Jikalau demikian halnya, ini benar-benar merupakan suatu tragedi yang sangat tragis. Tragedi ini tidak dapat diucapkan
dengan mulut, juga tidak boleh masuk kedalam telinga siapapun juga, hanya ditelannya sendiri bicara diam-diam sehingga berakhir jiwanya.
Pesan ibunya kembali berkumandang dalam telinganya: 'Iblis wanita... tusuk konde mas bunuhlah.To-liong Khiam-khek!"'
Dirasa hidupnya ibunya belum pernah menyebut ayahnya, dan ia harus mengikuti she ibunya tetapi tidak memakai she ayahnya, suatu bukti bagaimana bencinya ibu itu kepada suaminya, tetapi apa sebabnya" Apakah hanya semata mata karena ditelantarkan saja"
Iblis wanita dalam pesan ibunya, apakah yang dimaksudnya ini adalah Pek-leng lie " "
Sang ibu sudah meninggal dunia, begitu pula sang ayah, idem dito Pek leng lie.
Teka teki yang sangat kejam itu, nampak nya tidak akan terungkap lagi orang yang sebagai anaknya, hanya akan merasa menyesal seumur hidup.
Sekalipun di kemudian hari masih ada ke sempatan untuk membuktikan bahwa kematian ibunya itu terbunuh oleh suaminya, apa yang ia bisa berbuat terhadapnya"
Hui Kiam untuk pertama kali mengucurkan air mata kesedihan karena memikirkan nasibnya.
Semacam perasaan kosong timbul dalam p kirannya, ia bertanya pada diri sendiri:
"Apa adanya dalam penghidupan" Apakah artinya" Semuab hanya kosong melompong. Semangatnya dalam waktu sekejap itu seolah olah sudah runtuh.
Semua budi kebaikan, cinta kasih, dendam sakit hati dan permusuhan, seolah-olah juga sudah kehilangan artinya semula, ia kini telah memahami apa sebabnya ada orang yang mencukur rambutnya menjadi padri atau pergi mengasingkan diri ke tempat yang sunyi,
Apa yang terbentang dihadapan matanya adalah kekosongan bagaikan lautan yang tak ada ujung pangkalnya. Kemana harus pergi"
Keluar dari rimba pohon bunga Trio dan daerah pegunungan, tibalah dijalan raya. Bagaikan setan gentayangan Hui Kiam menggerakkan kakinya, jalarnya limbung, kepalanya menunduk kebawah, ia telah kehilangan semua kegagalannya yang ada pada dirinya.
"Siaugkong tak kusangka bisa berjumpa denganmu lagi!" demkian pula terdengar suara seorang wanita menegurnya, sehingga Hui Kiam tersadar dari lamunannya.
Ketika ia mengangkat kepala, seorang pelayan perempuan muda berdiri dihadapannya. pelayan itu, adalah salah satu pelayan Tong hong Hui Buo, karena jumlah pelayan Tong-hong Hiu Bun entah berapa banyak, ia sendiri juga tidak jelas, hanya dalam ingatannya sudah banyak jumlahnya yang mati aiau luka-luka, terhadap pelayan-pelayan itu Hui Kiam tidak dapat menyebutkan namanya satu persatu dalam matanya ada yang dikenal baik olehnya, dan ada juga yang baru melihat hanya satu dua kali saja dan pelayan wanita yang dihadapan nya itu merupakan salah seorang pelayan yang sudah dikenalnya.
Ia teringat bahwa ia sudah memutuskan hubungannya dengan Tong-hong Hui Bun tiada artinya melanjutkan hubungan lagi kecuali itu pada saat itu pikirannya juga sedang kusut sekali, maka sedapat mungkin ia hendak menghindari segala hubungannya dengan orang luar!
Ia hanya mengawasi pelayan itu sejenak, mulutnya tidak berkata apa-apa. bahkan hendak melanjutkan perjalanannya....
"Siangkong!" demikian pelayan itu memanggil lagi dengan perasaan heran, kemudian menyusul dan menghadang dihadapanya seraya berkata.
"Benarkah siangkong telah mengambil keputusan demikian tegas terhadap ibu majikan?"
Hui Kiam terpaksa menghentikan kakinya, katanya dengan suara dingin:
"Apa maksudmu?"
Pemuda itu menyibirkan mulutnya, dengan sikap yang agak marah ia berkata:
"Apakah siangkong hendak memutuskan hubungan dengan ibu majikan untuk selama lamannya?"
"Begitulah "
"Apakah siangKong sedikitpun juga tidak merasa berat dalam hati siangkong?"
"Karena keadaan memaksa, tidak boleh tidak harus begitu."
Pelayan ini berkata dengan menunjukan sikap berduka:
Tak disangka cinta kasih ibu majikan yang demikian besar, ternyata tersia-sia belaka"
Hati Hui Kiam tergoncang, ia teringat sewaktu perpisahan dengan Tong-hong Hui Bun semua ucapannya yang menyedihkan dan ancamannya yang mengerikan, sekarang kalau di ingat ia juga merasa bengidik. Tong-tong Hui Bun sudah menyatakan hendak menuntut balas hendak musnah bersama sama, juga hendak menyulitkan kedudukan orang-orang yang berhubungan dengannya, pula hubungannya dengan sang ayah. masih tetap merupakan suatu teka teki...,"
Memikirkan itu semua, maka ia berkata dengan sikap yang dingin seolah olah sudah tak mempunyai perasaan:
"Hidup manusia tidak tertentu kalau ada jodoh bisa bersatu kalau tiada jodoh terpaksa beipisah tidak perlu kita pandang terlalu serius !"
"Ini...rasanya tidak mirip kata-kata siangkong pada waktu biasanya?"
"Mirippun baik, tidak mirip juga tidak apa, kenyataannya memang demikianl"
"Apakah siangkong tidak ingin menjumpai majikan untuk penghabisan kalinya?"
"Untuk penghabisan kali, katamu!"
"Ya, sebab ia sudah tidak ingin hidup lebih lama lagi didalam dunia!"
Hui Kiam terperanjat biar bagaimana Tong hong Hui Bun pernah menempati dalam hati nya bayangannya tidak mudah dihapus dalam ingatannya.
"Apa, apakah dia, sudah mau mati?"
"Ya."
"Ini agaknya tidak mudah, kita tokh baru berpisab belum lama?"
"Memang langitpun setiap saat bisa terjadi perobahan"'
"Apa yang telah terjadi?"
"Karena siangkong, ibu majikan telah di hukum oleh bengcu. sehingga terluka parah, jikalau bukan menggunakan kesempatan untuk kabur niscaya jiwanya sudah melayang. Sekarang ibu majikan sudah tiada harapan untuk hidup lagi, dalam keadaan tidak sadar selalu menyebut siangkong, maka kita berpencaran pergi untuk mencari siangkong .."
"Apakah itu kehendaknya?"
"Bukan, itu adalah kemauan kita sendiri!'
Hui Kiam menundukkan kepalanya untuk berpikir, lama sekali tidak beikata apa-apa ia tak tahu harus pergi menemuinya atau tidak" '
Pelayan wanita itu berkata pula dengan suaranya:
"Apakah siangkong merasa berat untuk menjenguk bekas kekasih siangkong yang sudah mendekati ajalnya?"
Hui Kiam mengangkat kepala, katanya sambil menggertak gigi:
"Baiklah aku bendak pengi menengoknya di mana berada sekarang?"
"Dikota Lam shia!"
Mendengar disebutnya kota itu, peristiwa pertandingan diatas panggung Lui-thay, terbayang lagi dalam otaknya maka segera bertanya:
"Apakah diwisma pahlawan?"
"Bukan wisma pablawan sudah hancur menjadi tumpukan puing, ibu majikan berdiam disebuah satu tempat yang tersembunyi."
"Kau bawa aku '."
"Baik!"
Keduanya lalu berjalan diatas jalan raya tidak lama kemudian, sebuah kereta berkuda, tiba tiba lari mendatangi kearah mereka, ketika tiba sejarak beberapa tombak dihadapapan mereka, kereta itu mendadak berhenti pintu kereta terbuka, dari dalam melompat seseorang yang ternyata juga seorang pelayan wanita.
Hui Kiam terkejut, dia bertanya kepada pelayan disamping dirinya:
"Apakah artinya ini?"
"Minta siangkong naik kekereta!"
"Kedatangan kereta ini mengapa demikian kebetulan?"'
"Siangkong jangan terlalu banyak curiga. kereta serupa ini sedikitnya ada sepuluh buah yang dijalankan diberbagai jalanan penting sekitar kota ini "
Hui Kiam setelah berpikir sejenak akhirnya naik keatas kereta, dua pelayan waivia itu juga turut naik, dan sebentar kemudian kereta itu sudah dilarikan lagi.
Didalam kereta Hui Kiam masih merasakan pikirannya kusut, sedikitpun tidak merasa tenang.
Kereta itu berjalan terus, cuaca perlahan lahan mulai gelap dan akhirnya gelap sama sekali, suatu tanda bahwa malam telah tiba.
Kereta nu masih melanjutkan perjalanannya ditafsir mungkin sudah berjalan beberapa puluh pal jauhnya.
Hui Kiam yang berada didalam kereta, dari sela-sela lubang keretanya masuk penerangan sinar lampu, telinganya menangkap suara orang banyak sehingga ia menduga bahwa kereta itu sudah memasuki kota Lam-shia.
Jalan Kereta mulai perlahan, suara kaki kuda terdengar nyata.
Suara ramai itu perlahan telah lenyap akhirnya hanya terdengar suara kaki kuda, mungkin kereta itu sudah memasuki jalanan dalam gang yang sunyi.
Tidak lama kemudian, kereta telah berhenti. Hui Kiam melompat turun, dihadapannya ada sebuah bangunan yang acaknya sudah lama tidak terawat, dari dalam rumah itu nampak ada sinar pelita, sedangkan kamar lainnya keadaannya gelap sekali,
Untuk pertama kali, ia menyaksikan kediaman Tong-bong Hui Bun yang demikian buruk keadaannya
Seorang pelayan wanita menyambut kedatangannya dan berkata padanya sambil menunjuk salah satu kamar dalam rumah itu.
"Silahkan siangkong masuk!.'
Sehingga saat itu perasaan Hui Kiam hari mulai tengerak pikirnya, entah bagaimana keadaan luka Tong-hong Hui Bun! Dan bagaimana nanti setelah bertemu muka"
Memasuki ruangan rumah itu, keadaan rumah jtu ternyata sangat kotor, diatas sebuah meja persegi ada sebuah lilin, yang memancarkan sinarnya yang lemah, sehingga keadaan rumah itu sangat suram.
Pelayan wanita itu berkata sambil menunjuk kekamar sebelah kanan
"Didalam !"
Hui Kiam masuk kedalarn kamar yang di tunjuk ketika dia menyaksikan keadaan dalam kamar darahnya dirasakan mendidih, ia berdiri terpaku dengan mata terbuka lebar.
Dalam kamar itu keadaannya sangat bersih di tengah ada sebuah meja makan yang sudah penuh dengan arak dan hidangan, penerangan juga cukup, oleh karena lubang jendela ditutup dengan kain hitam, maka sinar pelita tak kelihatan dari luar sedangkan Tong-hong Hui Bun nampak duduk dengan tenang sambil menunjukkan senyumnya yang berseri-seri dan sangat menggiurkan.
"Adik, kau akhirnya datang juga." demi kian Tong-hong Hui Bun berkata dengan suara merdu.
Sekujur badan Hui Kiam gemetar, lama sekali ia baru membuka mulut: "Apakah artinya ini"
"Adik, kau duduklah dulu, tenanglah sedikit."
"Kitanya apa yang dikatakan hampir mati itu ternyata hanya....."
"Ucapan itu memang tidak salah, kenyataan nya juga tidak bohong"
"Kau.... sebetulnya sedang main sandiwara apa?"
Tong-hong Hui Bun masih menunjukkan senyumnya, dibawah sinar lampu, nampaknya semakin cantik dan menggiurkan, sambil menunjukkan sebuah kursi dibahapannya, ia berkata dengan suara lemah lembut:
"Adik, apakah kau tidak suka duduk untuk beromong omong?"
"Aku tidak sempat.'
"Duduk sebentar saja toh boleh "
''Kalau kau ingin bicara silahkanlah kalau tidak aku hendak pergi lagi"
"Adik." Mata Tong tong Hui Bun memancarkan sinar aneh dengan nada suara bagaikan mengigau ia melanjutkan ucapannya:
"Segala-galanya sudah berlalu, malam ini aku minta kau beromong-omong denganku dengan tenang, sekalipun sejenak saja juga tak halangan."
"Kau mempunyai maksud apa?"
"Maksud" Sedikitpun tidak ada aku hanya mengharap sebelum sandiwara ini berakhir, kita mengulangi kembali hubungan mesra kita untuk sejenak saja, kalau toh harus terpisah-berpisahlah secara senang, jikalau tidak terlalu menyedihkan, kuulangi lagi, ini adalah pertemuan kita yang terakhir, aku sudah memberikan seluruh cinta kasihku kepadamu dan aku sekarang sudah tidak punya apa-apa lagi, apakah kau rnerasa sayang . . . . "
Hati Hui Kiam mulai tengoncang. api cinta yang sudah mulai padam kini telah menyala lagi, ia ingin menindas tetapi agaknya tidak sanggup.
"Kau kata ... ini adalah pertemuan yang .terakhir, apakah artinya?"
Sambil tertawa getir Tong-hong Hui Bun Berkata:
"Sebab untuk selanjutnya kita takkan bisa berkumpul lagi seperti sekarang ini."
"Kenapa?"
"Sebab semuanya akan berakhir pada malam ini".
"Yang kau maksudkan itu apakah tentang hubungan kita ataukah .... "
"Semua termasuk didalamnya!'
"Kau sebetulnya hendak berbuat apa?"
"Aku undang kau mengawani aku makan dan minum arak. '
Dalam hati Hui Kiam timbul perasaan curiga sebab katanya yang tidak terang dan tidak tanduknya yang aneh, sedikit banyak sudah menunjukan suatu gambaran apakah yang akan terjadi selanjutnya" Tetapi kecurigaan itu masih susah untuk dibuktikannya.
"Aku harap kau suka berkata berterus terang tentang maksud dan tujuanmu yang sebenarnya!"
"Aku cinta kepadamu dengan setulus hati ku, aku sudah pernah menikah, pernah mencinta orang, juga pernah dicinta, tetapi aku belum pernah mencintakan orang demikian setulus hati seperti terhadap dirimu, dalam hidupku cinta kasih ini merupakan barang satu satunya yang paling berhanga bagiku, sekalipun itu merupakan suatu kesalahan besar atau suatu kedosaan akan tetapi yang lalu biarlah tinggal lalu, baiknya aku sudah tidak mempunyai harapan yang akan datang lagi, maka itu aku hendak berkumpul sekali lagi denganmu."
Hui Kiam akhirnya tak berdaya mengukuhi pikirannya sendiri lagi, namun demikian dalam hatinya sudah waspada, ia hanya ingin melayani sejenak, kemudian melanjutkan perjalanannya lagi
Maka ia lalu duduk ditempat yang ditunjuk.
Tong-hong Hui Bun menuangkan arak putih dalan dua cawan, kemudian berkata:
"Adik, mari kita minum bersama-sama!"
Hui Kiam sedikit ragu ragu, tetapi ia akhir nya minum juga arak itu.
Setelah mengeringkan cawan yang pertama. Tong hong Hui Bun menuangkan lagi araknya seraya berkata:
"satu cawan lagi!"
Masing masing mengeringkan satu cawan lagi. kedua pipi Tong-hong Hui Bun sudah nampak kemerah-merahan, kelihatannya semakin cantik, sepasang matanya memancarkan sinar api membara.
Sebaliknya dengan Hui Kiam, ia merasakan tidak enak ia harus menindas rasa cintanya yang berkobar lagi, juga harus berusaha melawan jangan sampai terpikat oleh kecantikan Tong hong Hui Bun, ia harus menjaga jangan sampai akal budinya terpengaruh,


Pedang Pembunuh Naga Penggali Makam Karya Tan Tjeng Hun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

maka ia tundukan kepalanya tidak berani memandang langsung kearah Tong-bong Hui Bun.
Perempuan cantik mengangkat, cawannya lagi sambil berkata:
"Adik inilah cawan yang ketiga, juga merupakan cawan yang terahir!"
"Baik!'- Hui Kian minum habis lagi arahnya.
"Dan sekarang adik marilah kita makan ala kadarnya !"
"Aku pikir tidak usah saja!"
"Apakah kau berat dalam pertemuan penghabisan ini memanggil aku enci"'
Biar Hui Kiam bengerak beberapa kali, tetapi tidak sepatah perkataan yang keluar dari mulutnya, suatu perasaan aneh timbul dalam hatinya, bukankah ia juga pernah jatuh cinta kepada perempuan cantik itu, tetapi cinta kasih itu harus dimusnahkan oleh kenyataan, ia tidak mempunyai pilihan lain kecuali mengahiri cintanya itu. Dipandang dari sudut pendirian masing masing, satu sama lain saling bertentangan, dipandang dari sudut dirinya sendiri, nasehat orang menebus dosa itu besar sekali mempengaruhi hatinya, meskipun Tong hong Hui Bun tetap menyangkal pernah menjadi istrinya ayahnya, tetapi biar bagaimana soal ini merupakan persoalan sangat penting, sekali salah bertindak, akan membuat penyesalan seumur hidupnya.
Jikalau benar ayahnya pernah berhubungan suami istri dengan Tong-hong Hui Bun, maka ini berarti bahwa perempuan cantik itu adalah ibu tirinya sendiri.
Pikirannya itu membuat yang sudah akan menyerah dihadapan itu berbangkit kembali, ia segera berkata dengan nada suara dingin:
"Biarlah semua yang sudah lalu itu kita kubur dalam hati sendiri!"
Paras Tong-hong Hui Bun segera berobah, ia berkata dengan suara kalap.
"Tidak mungkin dikubur, siapakah yang mampu mengubur perasaanku, itulah tak mungkin!"
"Bukankah kau tadi mengatakan bahwa semuanya kita harus akhiri malam ini?"
"Ya. semuanya akan berakhir hanya satu hal yatg tak dapat diakhiri!"
"Apakah yang tidak d?pat diakhiri?"
"Kebencianku!"
Hui Kiam bengidik katanya dengan suara gemetar.
"Kebencian! Siapa yang kau benci?"
Sepatah demi sepatah Tong-hong Hui Buu mulai menjawab:
"Benci kepadamu, benci kepada setiap orang juga benci kepada diriku sendiri."
"Apa akibatnya kebencian itu?"
"Aku hendak menuntut balas."
"Jadi inikah maksud dan tujuanmu yang sebenarnya pada malam ini?"
"Sedikitpun tidak salah!"
Hui Kaim segera bangkit, tetapi badannya tengoncang-goncang terpaksa duduk lagi, ia merasakan gelagat tidak baik, kepalanya dirasakan berat, matanya berkunang-kunang, pandanganya juga mulai kabur.
Ia memukul meja api lilin diatas meja lalu padam hingga keadaan dalam kamar itu gelap gulita, tetapi pikirannya masih belum hilang sama sekali, ia coba berusaha untuk berdiri sambil berkata:
"Tong-hong Hui Bun; kau.,..hendak berbuat apa?"
Dengan nada suara mengejek Tong-hong Hui Bun menjawab:
"Adik, apakah kau masih ingat apa yang aku katakan ketika kita berpisah" Aku hendak menuntut balas, ha, ha, ha....."
Hui Kiam saat itu merasa lelah dan ngantuk. pikirannya kusut
Terdengar pola suara Tong liong Hui Bun berkata:
"Adik, apakah kau membenci aku?"
"Aku. aku benci, aku hendak membunuh..'
"Adik, karena menyinta kau sehingga hampir gila jikalau tiada denganmu aku tidak bisa hidup lagi,..."
"Enci .."
"Ah adikku yang baik"
Saat itu api lilin menyala legi. paras Tong hong Hui Bun nampak merah, matanya nampak merah, matanya memancarkan sinar berapi api.
Hui Kiam sepasang matanya mengawasi Tong-rorsg Hui Bun dari kepala sampai ke-ujung kaki perlahan lahan matanya memancarkan sinar liar, wajahnya merah membara, otot otot dijidatnya nampak nonjol, napasnya memburu.
Dengan sekonyong-konyong ia membentang ke dua lengannya, kakinya menggeser menghampiri Tong-hong Hui Bun mulurnya mengeluar kan kata-kata hampir tidak kedengaran:
"Enci. aku cinta kepadamu!"
Tong-hong Hui Bun kembali menunjukkan senyumnya yang menggiurkan tetapi mengandung kekejaman, tetapi saat itu Hui Kiam sudah tidak dapat kendalikan perasaannya sendiri perasaan dan akal budinya semua sudah dipengaruhi oleh napsu birahinya.
Bagaikan harimau kelaparan ia menubruk Tong-hong Hui Bun, kemudian memondongnya dan diletakkan diatas pembaringan.
Tapi masih kamar itu-itu juga, sambil menghadapi meja y?ng penuh hidangan. Tong-hong Hui Bun duduk berhadapan dengan Hui Kiam seolah-olah pengantin baru.
Apa yang berbeda ialah sinar matahari sudah masuk kekamar melalui lubang jendela, suatu tanda bahwa hari sudah terang.
Rambut Tong-hong Hui Bun nampak kusut, sikapnya semakin menggiurkan sebaliknya dengan keadaan Hui Kiam, pemuda itu seperti orang linglung.
"Adik aku akhirnya mendapatkan dirimu."
"Hem. Ya.'
"Adik, sukakah kau hidup selama lamanya denganku?"
''Sudah tentu enci, seumur hidupku ini, tidak akan berpisah lagi denganmu!"
"Apakah kan masih ingat sidia"'
"Sidia siapa''
---ooo0dw0ooo--JILID 30 "PEREMPUAN muda dalam makam pedang itu"
Hui Kiam menundukkan kepala untuk berpikir, dalam ingatannya agaknya samar-samar terbayang bayangan sesemang, tetapi itu tidak nyata, juga agaknya sangat jaub. Ia memikir kan sedalam dalamnya, perlahan-lahan raut muka pucat tetapi cantik, muncul dalam otaknya, tetapi itu banya sepintas lalu saja, sewaktu ia angkat kepala dan matanya menatap Tong-hong Hui Bun, bayangan itu lenyap lagi, hingga ia menggeleng gelengkan kepala dengan perasaan duka lalu ia berkata: "Mengapa aku tidak ingat lagi?"
"Jangan banyak berpikir, sudahlah lupakan saja dia."
"Ya, melupakan.....nya....."
Pada saat itu sesosok bayangan tinggi besar masuk kedalam kamar.
Hui Kiam mendadak bangkit dan menghunus pedang saktinya.
Tong-hong Hui Bun sejera mencegahnya sambil kerkata:
"Adik, jangan bengerak sembarangan mundurlah!"
Sungguh heran Hui Kiam saat itu benar benar dengar kata, ia memasukkan lagi pedang nya dan mundur kepinggir pembaringan tetapi sepasang matanya masin memancarkan sinar bengis.
Seolah olah sikap seekor binatang buas yang terpaksa tunduk oleh sikap orang yang melatih nya.
Orang yang baru datang itu bukan lain dari pada pemimpin persekutuan Bulan mas, ia muncul masih dengan memakai kerudung di-mukanya .
"Anak benarkah kau berani melakukan perbuatan terkutuk itu?"
Tong hong Hui Bun menundukkan kepala tidak menjawab.
"Kau sungguh durhaka, budak hina benar ketika menghendaki ayahmu membikin putung badanmu menjadi dua potong."
Tong-long Hui Bun mengingkar kepala, dua butir air mata menetes keluar dari ujung matanya.
"Ayah" hanya itu saja yang keluar dari mulutnya.
Hui Kiam agaknya dikejutkan oleh ucapan itu, seperti ingat sesuatu, ia coba berusaha mengumpulkan ingatannya, tapi tak berhasil. Ia hanya dapat mengenali kedudukan dan siapa adanya orang tinggi besar itu, tapi apa hubungan dengan dirinya, ia sudah tidak ingat lagi.
Pemimpin persekutuan bulan mas itu berkata dengan suara bengis :
"Budak hioa, kau habiskan jiwamu!"
"Tidak!"
"Kau berani melawan perintah"'
"Ayah, ia sudah......."
Mata pemimpin persekutuan Bulan mas menatap kearah Hui Kiam sejenak, lalu berkata; "Apa kau sudah. . . ."
"Ya!"
"Kau ingin berbuat apa selanjutnya?"
"la boleh ayah gunakan untuk menyingkirkan segala rintangan "
"Em! Tetapi, budak, perbuatanmu ini tak dapat dibenarkan ......"
"Ayah, ayah tokh sudah tahu adat anakmu lebih baik aku kecewakan orang lain, tetapi aku tidak ijinkan orang lain mengecewakan dirinya!"
"Ini bukan soal mrngecewakan atau tidak mengecewakan tahukah kau berapa besar dosa mu atas perbuatanmu itu.
"Anak lebih suka nanti kalau binasa masuk kedalam neraka, tapi diwaktu masih hidup tidak sudi mengalah sedikitpun juga!'*
"Aw! Anak ibumu yang sudah menutup mata sebetulnya terlalu baik sekali sedangkan kau."
"Apakah gunanya jadi terlalu baik" Akhir nya tokh mati muda juga!"
"'Budak, apakah kau berani menyalahkan ayahmu?"
"Kenyatannya memang demikian.'"
"Hmm! Baiklah! Tiada harimau yang makan anaknya sendiri, sebetulnya aku akan bunuh mati dirimu, tetapi sudahlah, budak, kau harus berjanji suka melakukan dua urusan bagi ayahmu."
"Harap ayah perintahkan seja."
"Kesatu, perbuatan semacam ini tidak boleh kau lakukan lagi ."
"Anakmu memang sudah berpikir begitu."
"Kedua, selanjutnya kau harus...........'
"Ya, ia sudah merupakan bangkai hidup."
"Sekarang ayahmu hendak pergi, ingat dua soal ini."
"perlukah anak mengantar?"
"Tidak usah." Setelah berkata demikian pemimpin Bulan mas itu lalu berlalu.
Hui Kiam hanya dapat membuka lebar matanya, apa yang diperbincang oleh ayah dan anaknya tadi ia tidak mengerti sama sekali, ia neiasa bahwa dirinya agaknya sudah berubah, tetapi berubah bagaimana dan mengapa bisa beiubah ia sendiri tidak tahu.
"Adik, duduklah." demikian ia mendengar suara Tong bong Hi?i Bun.
Hui Kiam menurut dan duduk ditempatnya lagi,
"Adik, kau sekarang merasa bagaimana"'"
"Aku hanya ingm membunuh orang." jawabnya dingin,
"Baik, sukakah kau hidup bersama dengan encimu?"
"Ya, aku telah bersumpah,"
"Tetapi ada orang yang merasa kurang senang?"
"Siapa?"
"Orang berbaju lila, masih ada lagi orang tua tiada turunan. . . dan lain-lainnya."
"Tungu dulu, kau katakan Orang berbaju lila, biarlah kupikir dulu. . . hem, seorang yang memakai kerudung berwarna lila, ya tidak salah, itulah dia, agaknya aku bermusuhan dengannya... aku bisa mencarinya."
"Adik. apakah kau tahu tempat persembunyiannya orang itu?"
Hui Kiam mengerutkan keningnya untuk berpikir, lama sekali baru kerkata :
"Kuil tua itu yang sudah rusak......ya, ada tempat semacam itu, tetapi ...."
"Adik, kau pikirlah perlahan lahan, kau pasti pikirkan tempat itu dan kau harus menyingkirkan manusia jahat itu."
Hui Kiam kepal kedua tangannya matanya terbuka lebar mengawasi keatas, pikirannya bekerja keras, bayangan orang satu persatu muncul dalam ingatannva. perlahan lahan ingatannya
kembali sebahagian, tapi banyak bagian yang kecil kecil sudah tidak teringat lagi. Tiba tiba ia berkata:
"Sekarang aku ingat!"
"Dimana"
"Tidak jauh dari sini tempat berada dalam tanah abu dapat mencarinya, tetapi tidak dapat mengatakan dimana tempatnya."
"Disana ada berapa banyak orang?"
"Tidak sedikit mungkin seratus lebih, tetapi mungkin juga lebih dari itu."
'Apakah itu merupakan sarang Orang berbaju lila?"
"Ya" Tiba tiba Hui Kiam teringat soal pertempuran antara golongan benar dengan golongan jahat, meskipun samar samar tetapi ia mempunyai kesan bahwa persekutuan Bulan mas itu adalah musuhnya, sedangkan ia sendiri berdiri dipihak golongan yang benar, baru saja sikapnya menunjukan perubahan, segera diketahui Tong-bong Hui Bun, maka lalu bertanya:
"Adik, kau memikir apa?"
"Aku.....aku teringat kepada persekutuan Bulan mas........"
"Adiu, kau jangan pikirkan urusan yang tidak penting itu, lebih baik kita bicarakan urusan kita sendirian, pertama. Orang berbaju lila itu harus disingkirkan, kedua, orang yang membantunya, juga tidak boleh dilepaskan begitu saja."
Oleh karena ucapan itu, pikiran Hui Kiam telah berubah pula, sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata:
"Aku pasti dapat melakukan."
"Adik, ada suatu hal kau harus ingat."
"Enci, katakanlah."
"Kalau kau nanti sudah bertempur dengan Orang berbaju lila ia pasti mengajukan banyak alasan, suruh kau menghentikan pertempuran."
"Enci, kecuali kau, perkataan siapapun aku tidak percaya.'
"Benaikah?"
"Apakah aku perlu membohong?"
"Mari adik, minumlah arak ini untuk kebahagian kita berdoa, semoga kau, berhasil."
Sebuah, kereta dilarikan menuju kepintu kota sebelah barat, setiba diluar kota, kereta itu berhenti, dari dalam kereta melompat seorang pemuda gagah tampan berpakaian putih dengan sikapnya yaig tidak wajar, dipinggang pemuda itu tengantung sebilah pedang kuno. pemuda itu adalah Hui Kiam. sipenggali makam yang baru meninggalkan Tong-hong Hui Bun.
Hui Kiam mengawasi keadaan tempat disekitarnya sambil berpikir keras. kemudian lompat melesat dan lari menuju kesuatu tempat. Belum berapa lama, tiba-tiba terdengar suara orang menegurnya:
"Toako berhentilah sebentar."
Hui Kiam merandek, seorang pemuda berpakaian compang-camping bagaikan pengemis maju menghampiri dan berkata dengan gembira:
"Toako, akhirnya kau datang juga, semua sedang mengharap kedatanganmu."
Pengemis itu bukan lain daripada sukma tidak buyar Ie It Hoan.
Hui Kiam memandang Ie It Hoan sejenak, baru berkata agak sangsi:
"Apakah kau Ie It Hoan?"
Sikap itu sangat mengherankan Ie it Hoan, dengan perasaan terkejut ia berkata:
"Toako kau kenapa?"
"Tidak apa-apal"
"Mengapa siotee mu sendiri kau sudah tidak mengenali lagi?"
"Ow! adiK Hoan sangat menyesal, apakah orang berbaju lila ada"''
"Ada! Sucimu Pui Ceng Un juga sedang mengnarap kedatanganmu ,,.."
"Pui Ceng Un?"
Kembali Ie it-hoan merasa terheran-beran, ia telah mendapat firasat tidak baik mungkin terjadi apa-apa terhadap diri Hui Kiam.
"Toako kau sebetulnya mengalami kejadian apa?"
Hui Kiam seolah olah tidak mendengar pertanyaan itu. seluruh pikirannya ditujukan kepada Pui Ceng Un lama sekali ia baru berkata: "Aku ingat ia telah perlah terkena racun sehingga kepandaiannya musnah, kemudian adalah orang menebus dosa yang mengutus orangnya untuk memberi pertolongan kepadanya mengapa ia berada ditempatnya Orang berbaju lila?"
"Tentang ini ia nanti bisa memberitahukan kepadamu."
"Baik. aku akan membawanya pergi!"
"Apa toako hendak bawanva pergi ?"
"Sudah tentu bagaimana ia bisa tinggal bersama-sama dengan orang berbaju lila."
Ucapan dan kelakuan Hui Kiam itu sangat mengherankan Ie It Hoan, betapapun cerdiknya Sukma tidak buyar itu juga tak dapat menebak sebab musabab perubahan itu.
Mereka berjalan berendeng dengan membungkam satu sama lain, akhirnya Ie It Hoan coba mengorek keterangan:
"Selama bebeiapa hari ini toako kemana saja?"
"Tentang ini tidak perlu kau tahu!"
"Bagaimana dengan persoalan tusuk konde mas berkepala burung Hong itu" Apakah toako sudah mendapat sedikit keterangan?"
Hui Kiam merandek dengan tiba tiba, ia bertanya dengan terheran heran
"Tusuk konde mas apa?"
"Toako kau kenapa?" tanyanya sambil mengkerutkan keningnya.
"Tadi kau berkata tusuk konde mas berkepala burung Hong" Coba aku pikir dulu. apakah ada persoalan seperti itu" Oh ya, aku sudah menemukan Pek leng lie Khong Yang Hong, ia sudah binasa ...."
"Sudah binasa?"
"Em, akulah yang membunuh !"
"Aku haturkan selamat bahwa toako sudan berhasil menuntut balas dendam ibumu . . . ".
"Bukan dia bukan pembunuhnya, hanya tusuk konde mas itu adalah miliknya, itu memang benar." berkata Hui Kiam sambil melototkan matanya.
"Kalau begitu siapakah pembunuhnya?" bertanya le lt Hoan bingung
"Tidak tahu"
le It Hoan ada pemuda cerdik, ia sudah merasa bahwa keadaan Hui Kiam tidak beres hal ini perlu segera dicari tahu sebab sebabnya.
"Toako pengerakan kita kali ini, menang atau kalah tengantung ditangan mu!'' katanya sambil tertawa ha ha h' h i.
"Pengerakan" Pergerakan apa?"
"Kalau begitu kedatangan toako ini untuk apa ?"
"Mernbusuh orang"'
Ie It Hoan terperanjat sekujur badannya gemetar tanyanya;
"Membunuh orang" Siapa yang kau hendak bunuh?"
"Orang berbaju lila dan kawan kawannya!"
"Bukankah toako sudah bersedia bahwa rekening diperhitungkan belakangan" "
"Omong kosong!"
Hui Kiam menunjukkan sikap beringas sehingga Ie It Hoan diam-diam bergidik. Kini telah membuktikan bahwa kecurigaannya itu tak salah, Hui Kiam telah berubah bahkan perubahannya itu datangnya secara mendadak.
Dilihat keadaan dari kelakuannya, pikiran dan akal budinya agaknya sudah terpengaruh oleh semacam kekuatan entah kekuatan gaib apa.
Ini merupakan soal sangat gawat, pertempuran membasmi kejahatan dan menegakkan kebenaran sudah akan mulai, Hui Kiam merupakan satu-satunya orang yang kepandaian dan kekuatannya dapat melawan pemimpin persekutuan Bulan mas. Karena pertempuran itu menyangkut nasib seluruh rimba persilatan, maka hanya boleh menang tidak boleh kalah.
Seekor burung kucinta terbang diatas kepalanya, ia telah mendapat firasat bahwa keadaan sudah sangat gawat.
Maka ia perlu mengambil tindakkan tegas dan tepat, ia lalu berkata sambil menunjuk kedalam rimba:
"Toako, kita jalan dari situ"'
"Kenapa?"
"Sebab kamar rahasia dibawah sumur untuk kita mengadakan pertemuan rahasia itu kini sudah dihancurkan,"
"Mengapa dihancurkan?"
"Sebab sudah diketahui oleh orang luar".
"Benarkah!"
"Bagaimana siaote berani membohongi toako?"
"Jikalau aku nanti mengetahui ucapanmu ini tidak jujur aku akan binasakan kau lebih dulu!" berkata Hui Kiam sambil melototkan matanya.
Kembali Ie It Hoan bergidik, tetapi ia ma sih keraskan kepala.
"Terserah bagaimana toako hendak menghukum siaote!'
"Nah, Kau tunjukan jalannya!"
"Toako ikut aku!'*
Kisah Pedang Bersatu Padu 13 Angrek Tengah Malam Seri Pendekar Harum Karya Khu Lung Hati Budha Tangan Berbisa 12

Cari Blog Ini