Ceritasilat Novel Online

Pedang Ular Mas 13

Pedang Ular Mas Karya Yin Yong Bagian 13


"Habis siapa suruh dia tak mau perlihatkan diri, dia berlaku bagaikan iblis saja?" katanya.
Ia maksudkan Sian Tiat Seng.
"Entah dalam urusan apa dia hendak mohon bantuan kita," kemudian Sin Tjie ubah
pembicaraannya. Lebih dahulu daripada itu, ia pun bersenyum.
"Orang semacam dia!" kata si pemudi. "Aku pikir, tidak perduli apa permintaannya, lebih
baik kita jangan meladeninya!"
Sin Tjie tidak bilang suatu apa.
Mereka minum terus, sampai mereka timbulkan kenang-kenangan sewaktu di Kie-tjioe, di
Tjio-liang, dimana mereka minum arak di waktu malam sambil menontoni bunga-bunga
yang indah dan harum.
Tjeng Tjeng teringat kepada ibunya, tanpa merasa, ia menjadi berduka, hampir ia
menangis. "Sudahlah," kata Sin Tjie, yang kembali ubah pembicaraan, maka di lain saat, dapat pula
mereka kegembiraan mereka.
Kapan terlihat sang magrib sudah mendatangi, Tjeng Tjeng benahkan nayanya, bersamasama
mereka meninggalkan tepian telaga, untuk berjalan pulang.
Selagi mereka lewati sebuah paseban di tepian telaga itu, di dalam paseban itu mereka
lihat satu pengemis tua sedang rebah di atas selembar tikar, tubuhnya cuma terbungkus
sepotong celana.
"Kasihan!" kata Tjeng Tjeng. Ia rogoh sepotong perak dari sakunya, ia hampirkan
pengemis itu, akan letaki uangnya di atas tikar.
"Pergi kau beli pakaian, supaya kau tidak sampai kedinginan," katanya.
Sin Tjie ikuti si nona masuk ke dalam paseban itu.
Ketika mereka Baru melangkah keluar dari paseban, mereka dengar suara seperti
gerutuan dari si pengemis, yang ngoceh seorang diri: "Untuk apa memberikan uang
kepadaku" Biar hawa lebih dingin daripada ini, aku si tua tidak nanti mampus beku! Kau
punya arak tetapi tidak ajaki orang turut minum, itulah tandanya bukan sahabat!"
Tjeng Tjeng jadi tidak senang, hendak ia menoleh, untuk mendamprat, akan tetapi Sin Tjie
segera tarik tangannya.
"Orang ini aneh, mari kita intai!" si pemuda berbisik.
Sin Tjie heran melihat orang seperti telanjang bulat sedang hawa udara dingin, salju masih
terus turun, maka gerutuan itu membuat ia lebih heran, hingga bercurigalah ia.Kemudian
ia menoleh, akan sahuti gerutuan itu: "Arak masih ada, cuma tinggal arak dan sayur sisa,
yang sudah dingin. Aku anggap adalah tidak hormat akan undang kau minum dan dahar
barang bekas, itu sebabnya kenapa kita tidak undang padamu...."
Orang itu geraki tubuhnya, untuk duduk numprah.
"Aku adalah si pengemis bangkotan, untukku arak dingin ada paling tepat!"
Sin Tjie lantas keluarkan poci arak dari dalam naya, ia serahkan itu.
Pengemis itu menyambutinya, terus ia bawa mulut poci ke dalam mulutnya, hingga
segeralah terdengar suara geruyukan di dalam tenggorokannya, karena dengan rakus dia
tenggak sisa air kata-kata itu.
Dua-dua Tjeng Tjeng dan Sin Tjie lihat pengemis itu berumur kurang lebih empat-puluh
tahun, mukanya berewokan, kedua lengannya seperti belang dengan cacat bekas lukaluka.
"Arak yang sedap!" memuji si pengemis, sesudah dia minum. "Ini ada arak Lie-djie Angtinsiauw simpanan dua-puluh tahun!..."
Tjeng Tjeng terkejut.
"Kiranya pengemis ini kenal barang baik," pikirnya. Lantas dia kata: "Kau benar, sekali
minum saja, kau tahu arak jempolan."
"Sayang araknya sedikit, tak cukup untukku...." kata si pengemis, yang tak gubris pujian
orang. "Besok aku nanti datang pula membawa arak untukmu," Sin Tjie bilang. "Bagaimana
jikalau aku undang tuan minum sampai sinting?"
"Bagus!" seru si pengemis. "Siangkong, kau baik sekali! Satu mahasiswa mempunyai
tabeat begini mulia, sungguh jarang didapati!"
Sin Tjie dan Tjeng Tjeng tertawa. Mereka anggap si pengemis bukannya sembarang
pengemis. Lantas mereka keluar dari paseban dan berlalu.
Baru beberapa tindak, Tjeng Tjeng telah menoleh. Dengan tiba-tiba, ia merandak, karena ia
saksikan satu pemandangan yang mengherankan padanya. Ia dapatkan si pengemis
sedang membungkuk, mengawasi ke sebelah kirinya dimana entah ada barang apa.
"Lihat, dia sedang awasi apa?" kata dia pada kawannya, tangan siapa ia tarik.
Sin Tjie pun berdiam dan menoleh.
"Entah kutu apa," sahutnya.
Pengemis itu, yang diawasi terlebih jauh, mengunjuki sikap sangat tegang, ia agaknya
hendak lompat menubruk.
Karena ingin tahu, pemuda dan pemudi ini berbalik, untuk mendekati.
Si pengemis lihat orang kembali, berulang0ulang ia menggoyangi tangan, parasnya pun
bertambah-tambah tegang.
Menampak demikian, dua anak muda ini merandak, tetapi mata mereka menjurus ke arah
benda yang diawasi si pengemis. Maka sekarang mereka bisa lihat, benda itu adalah
seekor ular kecil panjang cuma setengah kaki, tubuhnya berwarna kuning emas, di antara
salju yang putih meletak, warna itu jadi mencorong bercahaya.
Dengan pelahan sekali, ular kecil itu jalan berlerot di atas salju, dan si pengemis, dengan
pelahan juga, mengikuti dia.
Dengan tiba-tiba saja Tjeng Tjeng menunjuk ke satu arah belasan tumbak dari tempat ular
itu. "Lihat, itulah aneh!" katanya separuh berbisik kepada Sin Tjie.
Anak muda ini berpaling, akan memandang ke arah yang ditunjuk itu. Di situ, di antara
salju, ada lobang sebesar mulut jambangan kecil, lobang itu tidak ada saljunya walaupun
di sekitarnya, salju bertumpuk seperti di seputar situ, dan kapan kembang salju jatuh di
betulan lobang, segera salju itu lumer menjadi hawa yang naik ke udara, seperti juga di
dalam lobang itu ada hawa panas dari api.
Ular kecil itu menggeleser terus ke arah lobang itu, setelah sampai, dia tidak masuk ke
dalamnya, dia hanya jalan memutar sampai beberapa putaran.
Si pengemis, yang masih saja mengikuti ular itu, menggoyang-goyang tangan kepada Sin
Tjie dan Tjeng Tjeng, untuk mencegah orang datang dekat kepada lobang atau ular itu.
Rupa tegang dari si pengemis masih belum juga lenyap.
Maka dua anak muda ini berdiri di samping dari mana mereka terus mengawasi, untuk
mengetahui, bagaimana kesudahannya pemandangan yang luar biasa ini.
Sekarang ular kecil itu berhenti berputaran, dia menghadapi ke arah lobang, dia seperti
menghembuskan napas.
Tiba-tiba terdengar satu suara pelahan dari lobang dalam salju itu, atas mana, ular kecil itu
mundur dengan tiba-tiba, sebaliknya dari dalam lobang lantas muncul seekor ular besar.
Terkejut Tjeng Tjeng menampak ular itu, sampai ia keluarkan seruan tertahan.
Pengemis itu memandang dengan mata melotot, tandanya ia gusar, mungkin jika
keadaannya sendiri tak sedang tegang atau bergelisah, tentu ia telah tegur nona kita.
Ular besar itu panjang setumbak lebih, tubuhnya besar bagaikan lengan, kulitnya
berwarna lima macam, kepalanya berpesegi tiga, besarnya sedikit melebihkan kepalan
tangan. Sin Tjie pernah dengar Bhok Siang Toodjin omong, kalau imam itu sedang mencari bahan
obat-obatan di gunung, sering dia menemui ular-ular berbisa, katanya ular dengan kepala
segi tiga adalah yang paling liehay racunnya. Maka itu, ular ini pastilah ada ular berbisa,
yang jarang ada. Pun biasanya, selama musim dingin, ular semacam ini lebih suka
mengeram di dalam liangnya, sangat jarang keluarnya. Kali ini, rupanya, ular besar itu
muncul karena terpengaruh si ular kecil itu.
Nyata sekali roman menakuti dari ular besar itu, sebab ketika dia pentang mulutnya, dari
situ keluar lidah yang besar panjangnya setengah kaki, warnaya merah darah, lalu lidah itu
dikeluar-masukkan berulang-ulang.
Ular kecil itu lantas lari, akan tetapi dia lari berputaran saja. Di belakang dia, mengikuti si
ular besar, yang besarnya berlipat tiga puluh kali. Ular besar ini pun turut berputaran
melulu, matanya terus mengawasi dengan tajam. Entah kenapa, dia agaknya jeri untuk
segera menerkam si ular kecil, walaupun dia sudah angkat tinggi kepalanya. Dia mengikuti
dengan tubuh melingkar.
Ular kecil itu lari semakin keras, si ular besar mengikuti semakin cepat.
Tjeng Tjeng mengawasi terus, sekarang ia tak jeri lagi seperti tadi. Sebaliknya, ia sangat
ketarik hati, ia ingin ketahui bagaimana akhirnya.
Si pengemis, yang terus mengawasi kedua binatang merayap itu, sekarang nampaknya
menjadi repot, sebagaimana dia selalu geraki kedua kaki dan kedua tangannya, tak
hentinya ia keluarkan dari dalam kantongnya serupa barang berwarna kuning,
dikeluarkannya sepotong dengan sepotong, tiap sepotongnya ia kasih masuk ke dalam
mulutnya, untuk digayem, dimamah, dan setiap habis memamah, ia keluarkan itu, untuk
dipulung mnejadi seperti benang, terus diletaki di tanah, di atas salju, dengan dilingkari
hingga menjadi lingkaran kuning.
"Eh, dia bikin apakah itu?" tanya Tjeng Tjeng pada kawannya.
"Mungkin pengemis ini hendak tangkap ular itu," sahut Sin Tjie.
Itu waktu mendadak sang ular kecil berhenti berlari, untuk hadapi si ular besar, lalu
dengan gesit dia berlompat, menubruk ke arah si ular besar itu.
Ular besar itu tidak lari atau berkelit, sambil tetap diam melingkar, dengan kepalanya tetap
diangkat, dia semburkan uap merah ke arah penyerangnya, atas mana ular kecil itu
jumpalitan, jatuh ke tanah, untuk terus merayap. Rupanya uap merah dari si ular besar itu,
hebat bisanya, dan si ular kecil tak sanggup melawannya.
Dengan tiba-tiba saja Sin Tjie ingat kitab "Kim Tjoa Pit Kipnya" warisan dari Kim Tjoa
Long-koen, di situ antaranya ada satu ilmu silat seperti "Pat Kwa Yoe-sin-tjiang" atau
"Tangan Pat kwa" tetapi gerak-gerakannya lebih sulit. Ia telah yakinkan ilmu silat itu tetapi
belum sempurna, karena kurang perhatiannya. Sekarang, ia saksikan pertempurannya
kedua ular itu, mendadak ia ingat ilmu silat itu, yang mirip gerak-gerakannya.
"Apa mungkin Kim Tjoa Long-koen ciptakan ilmu silatnya itu dengan dia menelad gerakgeriknya
ular-ular berkelahi?" pikir dia.
Karena ini, ia mengawasi dengan perhatian penuh. Ia dapat kenyataan, lukisan gerakan
Kim Tjoa Long-koen masih kalah gesit dengan gerakan si ular kecil ini. Si ular besar
sebaliknya tetap tenang, dia bersiaga saja, hingga daya pembelaannya menjadi tangguh
sekali. "Dia mirip sebagai bocah," pikir Sin Tjie mengenai sikapnya si ular besar.
Si pengemis masih belum berhenti mengunyah benda kuning itu, saban-saban ia tambah
kurungannya, yang jadi berlapis, jaraknya lapisan satu dengan lain sekira satu kaki.
Adalah setelah merasa cukup membuat kurungan istimewa itu, Baru ia bersenyum berseriseri.
Sekarang ia mengawasi kedua ular sambil ia membungkuk tubuhnya.
Beberapa kali ular kecil tubruk lawannya, setiap kalinya ia dipukul mundur teratur oleh
semburannya uap merah dari si ular besar, ular mana sebegitu jauh tidak melakukan
serangan membalas.
Sin Tjie terus memasang mata, selalu ia dapatkan, cara menubruknya si ular kecil
berbedaan, sedang semburan uap merah dari si ular besar, makin lama makin tipis.
"Jikalau terus mereka berkelahi sebagai ini, ular besar bakal kalah," pemuda ini pikir.
Adalah itu waktu, Baru si ular besar lakukan penyerangan pembalasannya, hebat adalah
sikapnya dan cara menerkam - mulutnya dibuka lebar-lebar, di situ kelihatan giginya yang
kasar-kasar. Setiap kali disantok, si ular kecil melejit, sambil berlompat atau berkelit, tak mau dia kasih
dirinya kena disambar, beberapa kali dia mengalami saat-saat bahaya, ketika tubuhnya
terpisah hanya sedikit jauh dari mulut lebar dari lawannya.
Sesudah menerkam beberapa kali tanpa hasil, si ular besar seperti telah menginsyafi
siasat berkelahi lawannya, lantas ia pun menggunai siasat. Satu kali ia mengancam ke
arah kiri, selagi si ular kecil berlompat, ia teursi berlompat juga, akan sambar ekornya.
Liehay adalah si ular kecil, sambil egos ekornya itu, ia tekuk tubuhnya, kepalanya
menyambar ke bawah, menubruk mata kiri si ular besar!
"Bagus!" berseru Sin Tjie, bahna kagum. Itulah pemandangan yang ia belum pernah
nampak. Ular besar itu rupanya telah terluka, ia geraki tubuhnya dengan cepat, bukan untuk balas
menyerang dengan sengit, hanya untuk menggeleser lari ke dalam liangnya, hingga
sekejab saja, tubuhnya lenyap tak kelihatan lagi.
Si ular kecil memburu sampai di mulut lobang, di situ ia berhenti, agaknya tak sudi ia
masuk ke dalamnya, hanya di mulut liang, ia menghembus napas dan menyedotnya
berulang-ulang.
Mendadak Tjeng Tjeng rasai kepalanya pusing.
"Eh, eh!" serunya, lekas-lekas ia sambar lengannya Sin Tjie, untuk pegangan.
Sin Tjie terperanjat, tapi segera ia mengerti, si nona tentulah telah terkena uap ular berbisa
itu, sebba tadi dia berdiri terlaku dekat. Ingat ia kepada Tjoe-tjeng Peng-siam, kodok es
pemberian Ouw Koei Lam, yang ia selalu bawa dalam sakunya, maka lekas-lekas ia
keluarkan itu, untuk dekati itu ke mulut si nona.
"Sedot ini!" katanya.
Tjeng Tjeng menyedot napas berulang-ulang, setelah mana dengan lekas ia merasai hawa
yang nyaman, terus sampai ke dalam dadanya, maka sebentar kemudian, lenyaplah rasa
pusingnya. Pengemis itu lihat kodok es, ia mengawasi dengan mendelong, wajahnya menjadi terang,
nampaknya ia mengilar sekali.
Sin Tjie sambuti mustikanya, untuk disimpan, kemudian ia tarik tangan si nona, untuk
diajak mundur beberapa tindak. Ia lihat lagaknya si pengemis, di dalam hatinya, ia kata:
"Aku tidak sangka kau, tukang tangkap ular, matamu tajam sekali, kau kenali mustika ini.
Setiap hari kau berdekatan dengan binatang berbisa, memang mestika ini sangat berharga
untuk lindungi dirimu dari bahaya."
Ketika itu dari dalam liang mengepul uap merah. Rupanya ular besar itu tak sanggup
menangkis saja serangan uap musuhnya, mau dia keluar pula untuk bikin perlawanan
lebih jauh. Tatkala satu kali semburkan uapnya yang tebal, mendadak ia nongol di mulut
liang, terus dia menerjang. Tapi ia sekarang bermata satu, ia tak gesit seperti tadi.
Ular kecil membuat perlawanan seperti tadi, ia unjuk kegesitan dan kelincahannya, sampai
ia kena hajar mata kanan si ular besar yang terus jadi buta seperti mata kiri tadi.
Mungkin karena kesakitan, ular besar lari kembali ke liangnya, mulutnya dipentang.
Ular kecil menjaga lobang, ia tidak mau menyingkir, sampai tiba-tiba disambar musuhnya,
sampai dicaplok, terus ditelan!
Sin Tjie dan Tjeng Tjeng kaget. Mereka sayangi, sesudah menang, sekarang si ular kecil
kena dikalahkan, malah dia kena dicaplok!
Habis menelan, mendadak ular besar itu gelisah, ia bergulingan, agaknya ia kesakitan,
satu kali dia banting diri dengan keras, berbareng dengan mana si ular kecil lompat keluar
dari perutnya si ular besar, yang telah berlobang. Maka nyatalah, selagi ditelan, musuh
cilik ini gigit perutnya, hingga musuh jadi kesakitan, dia menggigit terus, sampai perut itu
tembus dan ia molos keluar dengan tak kurang suatu apa.
Sekarang ular kecil itu angkat tubuhnya, untuk berdiri sebatas buntutnya, lalu tak
berhentinya ia menarik, menyedot napas, hingga ia sedot sisa uap merah yang berada di
sekitarnya, kemudian dia menyerang si ular besar, akan akhirnya catok lidahnya musuh
yang sudah jadi bangkai itu, untuk ditarik, dibawa masuk ke dalam lobang. Dia bertubuh
sangat kecil tetapi dia kuat seret tubuh yang besar luar biasa itu, entah dari mana
datangnya tenaga raksasa.
Berdua Sin Tjie dan Tjeng Tjeng berdiri bengong saking heran dan kagum.
Sebentar kemudian, ular kecil itu merayap keluar dari lobang.
Menyusul ini, sikapnya si pengemis jadi tegang pula, ia terus pasang mata terhadap si
merayap yang liehay itu.
Kapan ular kecil itu telah menggeleser sampai di dekat kurungan kuning, mendadak dia
jumpalitan, lalu ia merayap balik ke tengah-tengah kalangan.
"Apakah adanya benda kuning itu?" tanya Tjeng Tjeng. Ia heran.
"Mungkin, obat itu ada sebangsa hiong-hong, obat-obatan untuk menaklukkan ular
berbisa," sahut Sin Tjie.
Ular kecil itu melingkar di tengah kalangan, lantas ia jalan berputaran, akan dengan
sekonyong-konyong dia berlompat, ekornya menolak keras, hingga ia berhasil melompati
lingkungan kuning yang pertama, hingga ia jadi berada dalam lingkungan yang kedua.
Nampaknya si pengemis kaget, ia menjadi gelisah.
Di dalam lingkaran yang kedua ini, ular kecil berwarna kuning emas itu berjalan pula
dengan keras, mengitari kurungan, sesudah mana, kembali ia berlompat, hingga ia berada
di dalam lingkaran yang ketiga.
Dalam gelisahnya, si pengemis lantas saja berkelemak-kelemik, agaknya ia membaca
mantera, setelah mana, ia taruh kedua tangannya, dengan telapakannya, di tanah, lalu ia
angkat naik tubuhnya, kedua kakinya di atas. Dan begitu lekas si ular kecil jalan mutari
kurungan itu, ia pun berjalan dengan kedua tangannya itu sebagai kaki, untuk mengikuti.
Dengan matanya, ia terus awasi binatang merayap itu.
Pemandangan itu sangat lucu hingga Tjeng Tjeng tertawa sendirinya.
Tidak lama setelah berjalan dengan tangan, si pengemis mulai mengucurkan keringat,
yang turun mengetel ke atas salju, setetes dengan setetes. Melihat ini, tanpa ia merasa, si
nona berhenti tertawa, ia menjadi tercengang.
"Kenapa si tua-bangka ini menelad saja si ular kecil?" demikian pikirnya.
"Pengemis ini mempunyai ilmu silat yang sempurna," Sin Tjie berbisik di kuping
kawannya. "Sedikitnya dia berimbang dengan See Thian Kong dan Thia Tjeng Tiok."
"Aku lihat tidak ada yang luar biasa dalam gerak-gerakannya...." kata si nona.
"Kau lihat dadanya," Sin Tjie kata. "Dada itu tidak bergerak sama sekali, napasnya seperti
tidak berjalan, toh dia dapat bertahan begini lama...."
"Aku tahu kenapa dia berbuat demikian," Tjeng Tjeng bilang. "Dia jeri untuk bisa yang
berbahaya dari si ular, maka sebisa-bisa ia menahan napas."
Ular dan orang merayap dan berjalan dengan semakin cepat, akhirnya dengan mendadak
saja, ular itu mencelat, untuk melompati lingkaran yang mengurung dia. Justru itu, si
pengemis meniup dengan keras ke arah binatang itu, menyusul mana, dengan
menerbitkan suara, sang ular jatuh ke tanah, gagal dia lompat menyeberang.
Sesudah gagal dengan percobaannya yang pertama, ular kuning itu kembali jalan
berputaran, dari pelahan menjadi cepat seperti bermula, akan selanjutnya melesat pula.


Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi untuk kedua kalinya, ia digagalkan si pengemis, yang meniup pula kepadanya.
Lalu, sampai tiga kali, masih ular ini gagal dengan percobaan-percobaannya, tiupan si
pengemis terlalu liehay baginya.
Benar-benar ular itu cerdik, untuk mencoba terlebih jauh, ia jalan berputaran bergantian,
sebentar ke kiri, sebentar ke kanan. Secara begini ia membuat si pengemis selalu ikuti ia,
ia bikin orang jadi repot dan sibuk. Lalu di akhirnya, ia lompat pula! Dan kali ini, ia
berhasil! "Hebat!" seru Sin Tjie dan Tjeng Tjeng. Pemuda itu kagum untuk kecerdikannya.
Sampai di situ, si pengemis turunkan kedua kakinya, ia angkat kedua tangannya, dengan
begitu ia jadi berdiri seperti biasa, berdiri menghadapi binatang itu.
Sang ular pun bersikap aneh, sesudah lolos dari lingkaran, bukannya dia terus kabur, dia
justru berdiam dia angkat kepalanya, dia berdiri menghadapi si pengemis. Nyata dia
bersikap hendak melakukan penyerangan!
Si pengemis jadi sangat tegang, dia jadi bergelisah, nyata dia berkuatir. Agaknya,
menyingkir ia tidak mau, menyerang ia tak ungkulan.
Sin Tjie segera siapkan tiga butir biji caturnya, ia hendak menolongi di saat pengemis itu
menghadapi bencana.
Segera juga penyerangan dimulai, ular cilik itu berlompat, mulutnya menyantok.
Pengemis itu, dalam gelisahnya, berkelit menyingkir.
Ular itu membalik diri, tak mau ia lari, kembali ia menyerang.
Lagi-lagi, pengemis itu geser kakinya, egos tubuhnya. Ia cukup gesit untuk halau diri dari
sesuatu penyerangan.
Masih si ular ulangi serangannya, sampai beberapa kali, senantiasa ia gagal.
Sin Tjie lantas siap, ia kuatir si pengemis lelah dan kena ditubruk dan digigit binatang
jahat itu. Justru itu, si pengemis pun dapat pikiran. Benar ketika ia diserang pula, ia tidak
menyingkir, dia justru sodorkan jempolnya yang kiri hingga sekejab saja, jempol itu kena
dicatok sang ular! Tapi berbareng dengan itu, ia geraki tangannya yang kanan, dengan
dua jarinya, ia jepit batang leher ular itu yang lagi gigit jarinya itu, ketika ia menjepit
dengan keras, binatang itu buka mulutnya, rupanya disebabkan kesakitan, maka
terlepaslah catokannya.
Cepat luar biasa, pengemis itu keluarkan sebuah bumbung besi dari sakunya, ia masuki
ular itu ke dalam bumbung, yang tutupnya ia segera tutup rapat, sesudah mana, ia lempar
bumbung itu ke tanah, lantas ia hadapi pemuda kita.
"Lekas keluarkan kodok es itu, tolongi aku!" mintanya.
Tjeng Tjeng mendongkol untuk sikap kasar orang itu.
"Buat apa tolongi kau?" katanya.
Sin Tjie berpandangan lain dari kawan wanitanya ini. Ia suka pada si pengemis, yang pasti
mempunyai ilmu silat sempurna.
Ia pun merasa kasihan, karena jempol kirinya pengemis itu lantas saja menjadi matangbiru
dan bengkak, suatu tanda racunnya sang ular sudah lantas bekerja. Pasti sekali,
racun itu bakal lekas merajalela, ke bahu, ke tubuh seluruhnya. Maka tak ayal lagi, ia
keluarkan mustikanya, akan diserahkan pada si pengemis.
Bukan main girangnya pengemis itu, dia sambar mustika itu, terus dia tempeli pada
lukanya. Dalam sesaat saja, darah hitam lantas mengalir keluar dari luka itu, tetes demi
tetes, jatuh ke salju yang putih, hingga salju menjadi hitam, kemudian bengkaknya mulai
kempes. Lagi sesaat kemudian, habislah darah hitam, jempol itu jadi merah dadu seperti
biasa lagi. Si pengemis lantas tertawa berkakakan. Dia robek ujung celananya, akan pakai robekan itu
untuk membalut lukanya, sedang mustika kodok es itu bukan ia kembalikan kepada
pemiliknya, sebaliknya, dia masuki ke dalam kantongnya!
"Mari mustikaku!" Tjeng Tjeng minta sambil membentak.
Sepasang alisnya si pengemis berdiri dengan tiba-tiba, wajahnya menjadi bengis dengan
tiba-tiba juga.
"Apa?" katanya. Dia pun membentak. Untuk sedetik, Tjeng Tjeng melengak, matanya
mendelong ke depan. Lalu ia menunjuk ke belakang pengemis itu.
"Hai, ada lagi ular kecil!" dia berseru, romannya kaget.
Pengemis itu terperanjat, dia lantas menoleh ke belakang.
Membarengi itu, Tjeng Tjeng geraki tubuhnya, sambil membungkuk, dia sambar bumbung
besi yang berisikan ular berbisa itu, dengan cepat dia menodong ke bebokongnya.
"Aku akan cabut sumpelnya bumbung ini!" katanya dengan nyaring.
Pengemis itu kaget, ia menjadi lesu. Ia tidak lihat ular di belakangnya, mengertilah ia
bahwa ia telah kena diperdayakan. Ia insyaf, asal sumpel dibuka, bebokongnya bakal kena
dipagut ular berbisa itu dan itu berarti, dia bakal mampus keracunan. Tubunya bagian
ataspun sedang telanjang. Tapi ia bernyali besar, lantas ia tertawa berkakakan, terus ia
rogoh keluar kodok es dari kantongnya, akan sodorkan itu kepada Sin Tjie.
"Aku main-main saja dengan kamu!" katanya sambil tertawa pula, "Ini nona sangat
cerdik!" Tjeng Tjeng tunggu sampai Sin Tjie sudah sambuti mustikanya, Baru ia kembalikan
bumbung orang. Tadi Sin Tjie sayangi si pengemis, keras niatnya untuk ikat tali persahabatan dengan dia
itu, akan tetapi pengalamannya barusan membikin hatinya beurbah. Nyata pengemis ini
bermartabat rendah. Sudah ditolong, orang hendak mentung!
"Sampai ketemu pula!" katanya. Ia memberi hormat, lantas ia tarik Tjeng Tjeng, untuk
diajak pergi. Pengemis itu mengawasi, kedua matanya bersinar jahat.
"Hai, tunggu dulu!" dia membentak.
"Kau mau apa?" tanya Tjeng Tjeng, yang kembali jadi mendongkol.
"Tinggalkan kodok es itu di sini, Baru aku kasih kamu pergi!" kata si pengemis, yang jadi
garang luar biasa. "Apakah kamu sangka aku dapat dibuat permainan?"
Belum pernah Tjeng Tjeng menemui orang demikian tak berbudi dan kurang ajar. Ia mau
menyahuti, tapi Sin Tjie telah dului ia.
"Kau siapa, tuan?" tanya ini anak muda, yang mempunyai kesabaran luar biasa.
Masih matanya si pengemis bersorot bengis, bukannya ia jawab pertanyaan yang halus
itu, dia justru geraki kedua tangannya, agaknya ia hendak menerjang.
"Pengemis ini hendak cari penyakit sendiri," pikir pemuda kita.
Benar di saat pengemis ini hendak menyerang, atau tak jauh dari situ, kuping mereka
dengar senjata beradu keras, disusul bentakan saling susul, kemudian di antara tanah
yang bersalju kelihatan dua bocah berbaju merah semua sedang berlari-lari mendatangi,
pundak mereka menggendol bungkusan, di belakang mereka mengejar lima opas, di
antara siapa ada Tok-gan Sin-liong Sian Tiat Seng si Naga Sakti mata satu, yang
tangannya menyekal tietjio, ruyung besi pendek yang gagangnya bercagak pelindung
tangan. Sembari berlari-lari, mereka itu sembari bertempur. Sampai di situ, kedua bocah
itu lari ke arah si pengemis.
"Tjee Soe-siok! Tjee Soe-siok!" kedua bocah itu berteriak-teriak.
Terang mereka memanggil si pengemis ini, yang mereka bahasakan soe-siok (paman).
Kemudian, setelah datang lebih dekat, bungkusan mereka masing-masing mereka
lemparkan ke arah pengemis ini.
Sang pengemis tanggapi kedua bungkusan itu, lantas dia letaki di tanah.
Setelah bebas dari gendolan bungkusannya, kedua bocah serba merah itu jadi lincah pula
gerak-gerakannya, hingga mereka sanggup layani Sian Tiat Seng dan sebawahannya itu.
Sulitnya bagi itu kepala opas, kawan-kawannya tidak punya ilmu silat yang berarti.
Pengemis itu awasi orang-orang yang berkelahi cuma sebentaran saja, kembali ia menoleh
kepada Sin Tjie, terus ia lompat menubruk anak muda kita, pundak siapa ia sambar
dengan kedua tangannya.
Sin Tjie masih tetap sabar, dia pun tidak niat sembarang tonjolkan ilmu silatnya, ketika
orang berlompat, ia pun berlompat mundur, terus ia lari ke sebelah belakang Sian Tiat
Seng. Tiat Seng telah lantas lihat Sin Tjie dan Tjeng Tjeng berdiri bersama si pengemis, mulanya
ia heran, akan tetapi setelah tampak si anak muda diserang pengemis itu dan anak muda
itu lari, semangatnya bangkit, segera ia perhebat serangannya.
"Aduh!" tiba-tiba bocah yang satu menjerit, karena pundaknya kena ditotok thietjio kiri
dari kepala opas itu. Dia rubuh.
Bocah yang lain terkejut mendengar jeritan itu. Justru itu, kakinya Tiat Seng terangkat,
maka ia lantas saja terdupak rubuh terpental.
Si pengemis tidak kejar Sin Tjie, dia hanya berdiri dengan tegak menghadapi Sian Tiat
Seng. "Aku sangka siapa, kiranya Sian Loosoe!" kata dia dengan suaranya yang keras dan kaku.
"Tuan, apakah she dan namamu yang besar?" Sian Tiat Seng balik menanya, suaranya
tenang. "Dengan besarkan nyali aku mohon sukalah kau berikan kami sesuap nasi kami!"
"Aku satu pengemis, mana aku punyakan she dan nama?" sahut pengemis itu. Dia lantas
hampirkan bocah yang rubuh, yang kena ditotok jalan darahnya, untuk ditotok pula,
hingga di lain saat, bocah itu dapat bergerak pula seperti biasa.
Itu waktu dua opas maju, untuk pungut kedua bungkusan.
Itu pengemis lihat perbuatan itu, ia perdengarkan suara suitan, menyusul mana kedua
bocah serba merah lompat kepada kedua opas itu, dengan berbareng mereka menyerang,
hingga itu dua opas rubuh terguling, sesudah mana, mereka ini sambar dua bungkusan itu
masing-masing, untuk terus dibawa lari!
Sian Tiat Seng kaget, ia lompat menguber.
"Bandit-bandit cilik bernyali besar, lepaskan bungkusan itu!" dia membentak.
Kedua bocah itu tidak memperdulikannya, mereka kabur terus.
Sian Tiat Seng mengejar hampir kena, ia lantas serang bocah yang berada paling dekat
dengannya. Berbareng dengan itu, ia rasakan sambaran angin di sampingnya. Nyatalah si
pengemis telah susul ia dan ulur tangan untuk sambar thietjionya itu. Ia punyakan mata
satu tetapi ia awas luar biasa, maka itu, ia batal serang si bocah, ia putar tubuhnya,
dengan senjatanya, ia hajar lengan orang di betulan buku tangan.
Pengemis itu tarik pulang tangannya, untuk terus dipakai menyerang ke bebokong kepala
opas itu, siapa pun terus berbalik, untuk menangkis. Sengaja ia gunai tenaganya, untuk
ukur tenaga dengan si tukang minta-minta itu.
Dengan mendadak, dengan sebat, pengemis itu tarik pulang tangannya, setelah berbuat
begitu, ia lompat jumpalitan untuk jauhkan diri, sampai setumbak lebih, kemudian ia susul
kedua bocah baju merah itu, untuk angkat kaki....
Sian Tiat Seng heran untuk kegesitan luar biasa itu, ia tidak mengejar, karena berbareng ia
insyaf, sendirian saja, ia tidak bakal mampu berbuat banyak. Orang-orangnya tak dapat
bantu dia, sedang Sin Tjie beruda juga diam saja. Maka ia lantas hampirkan Sin Tjie dan
Tjeng Tjeng, untuk memberi hormat sambil menjura dalam.
"Maafkan aku, maafkan aku," kata dia.
Dua anak muda itu membalas hormat, akan tetapi mereka heran atas sikapnya kepala opas
itu. "Jangan seedjie, Sian Loosoe," kata Sin Tjie. "Pengemis itu ada dari kalangan apa?"
"Mari kita pergi ke paseban sana, djiewie, sambil duduk nanti aku berikan keteranganku,"
kata orang tua itu.
Sin Tjie ingin tahu hal si pengemis, ia terima baik undangan itu, ia ajak kawannya kembali
ke paseban. Setelah kedua anak muda itu duduk, Sian Tiat Seng lantas mulai dengan keterangannya.
Sejak bulan yang lalu, gudang negara telah tiga kali kecurian, jumlahnya semua beberapa
ribu tail perak. Untuk negara, jumlah itu tidak seberapa, tetapi yang penting itu adalah
uang negara, hartanya kaisar, dan itu kejahatan diperbuat di "kakinya kaisar". Maka
pencurian itu dengan sendirinya telah menggemparkan kota raja. Apa yang hebat, kuping
kaisar pun terang, Baru lewat dua hari sejak pencurian pertama, junjungan itu telah
mendapat tahu. Hok Siangsie, menteri yang bertanggung jawab atas isi gudang ngeara, dan Tjioe
Tjiangkoen, Kioe-boen Teetok atau pembesar militer yang menjamin keamanan kota raja,
tentu saja telah dapat teguran keras. Malah kaisar bilang, apabila dalam tempo satu bulan,
pencurian itu belum dapat dibikin terang, semua pembesar yang bertanggung jawab itu
bakal dipecat dan perkaranya akan diperiksa.
Hebat ada nasib kawanan opas, yang tidak berdaya untuk tangkap si pencuri, lebih dahulu
merekalah yang dimestikan bertanggung jawab, sampai anak-isteri mereka, semua
anggauta keluarga ditangkap dan ditahan.
Dalm putus asa, semua hamba wet itu, mereka dapat satu pikiran, lalu dengan memohon
kepada seatasannya, mereka berhasil mengundang Sian Tiat Seng, bekas kepala opas
yang telah lama undurkan diri. Begitulah telah terjadi, Tok-gan Sin-lion si Naga Sakti Mata
Satu itu telah turun tangan pula.
Juga Sian Tiat Seng telah menghadapi kesulitan. Menurut penyelidikannya, pencuri
bukannya pencuri biasa, mestinya itu ada perbuatan satu atau lebih orang dari kalangan
Rimba Persilatan, hanya sampai sebegitu jauh, belum pernah ia berhasil memergoki si
penjahat. Ia kenal baik keadaan di kota raja, tak ada orang yang ia dapat curigai, tapi juga
ia tidak berani menuduh.
"Hm, jadi kamu sangka kami!" kata Tjeng Tjeng, yang hatinya panas. Ia potong keterangan
orang. "Maaf, memang demikianlah dugaanku semula," Tiat Seng akui. "Kemudian aku membuat
penyelidikan lebih jauh, hingga aku dapat tahu Wan Siangkong selama di Kim-leng sudah
menolongi Tiat-pwee Kim-go Tjiauw Kong Lee dan di Shoatang telah bersahabat sama See
Thian Kong dan Thia Tjeng Tiok, sampai akhirnya siangkong dipilih dan diangkat menjadi
bengtjoe dari tujuh propinsi. Nyata siangkong ada seorang gagah yang dipuja..."
Senang juga Tjeng Tjeng mendengar Sin Tjie dipuji, wajahnya lantas berubah menjadi
lebih sabar. "Walaupun aku telah ketahui tentang Wan Siangkong, apa mau mataku seperti buta, aku
tak dapat lantas sambut siangkong," Sian Tiat Seng lanjuti keterangannya itu.
"Sebenarnya aku tak tahu bagaimana harus berkenalan sama siangkong...."
Tjeng Tjeng tertawa sendirinya. Ia awasi hamba wet tua itu, yang matanya tinggal sebelah,
mata yang lebih banyak putihnya daripada hitamnya.
"Karena itu setiap hari aku perlukan datang mengunjuk hormat pada siangkong," Tiat
Seng tambahkan kemudian.
Tjeng Tjeng tertawa.
"Kau tidak menjelaskannya, siapa tahu isi hatimu?" katanya.
"Justru sulit untuk menerangkannya," kata Sian Tiat Seng. "Aku hanya harap Wan
Siangkong tidak gusar, aku harap-harap siangkong sudi kembalikan semua uang yang
dicuri, untuk bisa tolong jiwanya semua opas dan keluarganya. Di luar dugaanku,
siangkong telah kembalikan semua barang antaran kita, malah siangkong dapat tahu
nama dan gelaranku, hingga kesudahannya siangkong ganggu aku dengan sebarkan
karcis namaku. Siangkong telah tegur aku, aku terima itu...."
Tjeng Tjeng berdiam, ia seperti tak dengar perkataan orang tua ini, parasnya pun tidak
berubah. "Dalam putus asa, tadi aku telah atur penjagaan," Sian Tiat Seng melanjuti. "Aku tak tahu
mesti bersikap bagaimana, aku cuma pikir, biar aku lawan keras. Sama sekali di luar
sangkaanku, yang muncul tadi adalah dua bocah serba merah barusan, mereka sangat
licin, sia-sia saja kami kepung dia sampai di sini. Kembali di luar sangkaanku, di sini aku
bertemu sama pengemis yang liehay itu. Aku pun tidak sangka, siangkong, disini aku bisa
bertemu sama siangkong berdua. Sekarang, Wan Siangkong, aku mohon dengan sangat,
sukalah kau beri petunjuk kepadaku...."
Orang tua itu bicara dengan sungguh-sungguh, terus ia berlutut dan manggut-manggut.
Sin Tjie repot, untuk memimpin bangun, sedang hatinya terus berpikir.
"Pengemis itu dan kedua bocah terang bukan orang baik-baik," demikian pikirnya.
"Karena mereka itu seterukan pembesar negeri. Buat apa aku campur tahu urusan mereka
ini" Tidak ada perlunya buat aku bantui segala opas kotor"..."
"Kami pun tidak kenal pengemis itu," Sin Tjie lalu terangkan. Ia ceritakan sedang ia dan
Tjeng Tjeng pesiar, di situ mereka bertemu sama si pengemis penangkap ular berbisa,
bagaimana ia telah tolong si pengemis tapi mustikanya hendak dirampas.
"Walaupun demikian, siangkong, aku mohon kau suka bantu aku," Sian Tiat Seng ulangi
permintaannya. Sin Tjie tertawa.
"Sulit, loosoe," katanya. "Menawan penjahat adalah pekerjaan hamba-hamba wet. Aku
tidak punya guna, aku pun tidak bisa lakukan pekerjaan polisi sebagai kamu!"
Mendengar lagu-bicara orang, Sian Tiat Seng tidak berani banyak omong pula, ia menjura,
lantas ia ajak orang-orangnya ngeloyor pulang.
"Mari kita pulang," Sin Tjie pun mengajak kawannya.
Sepanjang jalan, Tjeng Tjeng caci si pengemis tidak berbudi.
"Kalau lain kali dia bertemu pula denganku, aku nanti kasi rasa!" katanya dengan sengit.
Tidak jauh, mereka berpapasan sama sejumlah serdadu dari kantor Kim-ie-wie, mereka itu
sedang giring serombongan orang tawanan, di antara siapa ada kakek-kakek yang ubanan
rambut dan kumisnya, ada ibu-ibu yang sedang empo bayi, tapi yang kebanyakan adalah
orang-orang tua dan perempuan lemah. Serdadu-serdadu itu berlaku bengis, saban-saban
terdengar dampratannya.
"Kasihani kita tjongya," begitu Tjeng Tjeng dengar satu nenek-nenek. "Biar bagaimana,
kita toh sama-sama makan gaji negara dan bekerja untuk umum.... Kita sama sekali tidak
bersalah-dosa, cuma karena di kota raja ini muncul penjahat besar, kita jadi terembetrembet
mengalami kecelakaan ini...."
Satu serdadu pegang si nenek.
"Tidak karena penjahat itu, mana kita berjodo bisa bertemu seperti sekarang ini?" katanya.
Ia tertawa. Panas hatinya Sin Tjie dan Tjeng Tjeng akan dengar omongan itu, buat saksikan
keceriwisan orang. Mereka tahu, orang-orang tawanan itu adalah keluarganya hambahamba
wet. Opas-opas suka ganggu rakyat jelata, pantas kalau sekarang mereka merasai
kesengsaraan sebab gangguan penjahat liehay itu, akan tetapi anak-istri mereka, orang
tua mereka mesti menderita begini, dua anak muda ini toh tak tega juga.
Sembari jalan terus, serdadu-serdadu itu lantas berteriak-teriak:
"Penjahat-penjahat telah ditangkap! Penjahat-penjahat telah ditangkap!" demikian suara
mereka, sambil mereka gusur orang-orang tawanan itu, yang mereka rantai dan gandeng.
Banyak penduduk menyaksikan di pinggiran, rata-rata mereka menggeleng kepala dan


Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghela napas. Mereka tahu kawanan serdadu itu mendusta, mereka tahu orang-orang
tawanan itu ada penduduk biasa, yang ditangkap untuk menambal tugas mereka, yang tak
dapat mereka jalankan, maka rakyat mesti jadi korban.
Menyaksikan itu semua, hati Sin Tjie dan Tjeng Tjeng jadi panas.
Kapan di akhirnya kedua anak muda ini sampai di rumah mereka, mereka lihat Ang Seng
Hay sedang langak-longok, romannya gelisah, kapan dia lihat mereka, lantas dia jadi
sangat girang. "Bagus, sudah pulang!" seru dia.
Sin Tjie heran.
"Ada kejadian apakah?" ia tanya.
"Thia Loo-hoetjoe telah kena orang lukai, siangkong sedang diharap-harap untuk tolongi
padanya!" sahut pengiring itu. Ia girang akan tetapi kegelisahannya tak lantas lenyap
semua. Sin Tjie kaget. Ia tahu Thia Tjeng Tiok liehay, maka cara bagaimana jago tua itu dapat
orang bikin terluka" Lekas-lekas ia turut pengikutnya itu masuk ke dalam, Tjeng Tjeng
ikuti dia. Di dalam kamar, Tjeng Tiok nampak sedang rebah di atas pembaringan, mukanya berdebu
dan hitam. See Thian Kong bersama Ouw Koei Lam dan Thie Lo Han semua duduk
mendampingi jago tua itu, roman mereka kucel, tandanya bersusah hati dan berkuatir.
Tetapi setelah mereka tampak Sin Tjie, wajah mereka bersinar sebentar, tandanya mereka
peroleh pengharapan.
Sin Tjie lihat Tjeng Tiok rapati kedua mata, napasnya jalan dengan pelahan.
"Dimana lukanya Thia Loo-hoetjoe?" tanyanya.
See Thian Kong angkat tubuh Tjeng Tiok pelahan-lahan, ia singkap bajunya, untuk kasi
lihat bagian yang luka.
Menampak luka itu, Sin Tjie kaget bukan main. Luka itu, di pundak kanan, telah bengkak
dan matang biru, warna hitamnya mulai merembet ke muka, sedang ke bawah, warna
hitam itu sudah sampai di pinggang. Di tempat yang warnanya paling hitam di pundak, ada
bertapak lima jari.
"Inilah luka bisa!" kata Sin Tjie. "Bisa apakah?"
"Thia Loo-hoetjoe pulang dengan sudah terluka, agaknya ia dapat pulang dengan
paksakan diri," sahut Thian Kong. "Sesampainya ia di rumah, ia sudah tidak bisa bicara
lagi, dari itu tak tahu kita luka itu disebabkan racun apa...."
"Syukur kita ada punya mustika kodok es," kata Sin Tjie kemudian.
Lekas-lekas ia keluarkan mustikanya itu, untuk ditempel di tempat yang luka.
Mustika itu benar liehay, dia lantas mulai sedot warna hitam itu. Hanya kali ini, badannya
yang putih meletak bagai salju lantas berubah menjadi abu-abu, menjadi hitam.
"Rendam dia di arak hangat, racunnya akan keluar," berkata Ouw Koei Lam.
Sin Tjie lekas tuang arak ke dalam cawan, ia angkat mustika itu, untuk direndam.
Benar seperti katanya Ouw Koei Lam, racun dalam tubuh mustika itu lantas keluar, hingga
arak pun menjadi berubah hitam, sepetelah tubuh mustika menjadi putih pula, kembali
lantas ditempelkan di lukanya Tjeng Tiok.
Pengobatan cara begini dilakukan sampai belasan kali, Barulah darah hitam dari tubuhnya
Tjeng Tiok dapat disedot keluar semuanya, setelah itu Barulah Sin Tjie uruti tubuhnya jago
tua itu, untuk bikin darahnya jalan pula seperti sediakala.
Pertolongan ini memberi hasil baik, muka Tjeng Tiok lekas jadi bersemu dadu pula. Karena
ini, hati semua orang menjadi lega.
Malam itu Tjeng Tiok bisa tidur dengan nyenyak, kapan besoknya pagi-pagi Sin Tjie
tengok dia, dia telah bisa bangkit dari pembaringan dan duduk. Ia lantas mengucap terima
kasih. "Jangan bicara dulu," Sin Tjie mencegah seraya ulapkan tangan. Ia menyuruh orang
bernapas dengan beraturan, untuk perbaiki jalan darahnya. Kemudian ia perintah orang
untuk pergi panggil tabib yang pandai, untuk berikan obat guna bersihkan sisa-sisa racun.
Maka itu, di hari keempat, Tjeng Tiok sudah sembuh betul, hingga ia bisa menuturkan
sebab-musababnya ia mendapati luka yang berbahaya itu.
"Magrib itu aku lewat di depan pintu kota Tjie-kim-shia, tiba-tiba aku dengar suara berisik,
seperti orang lagi berkelahi," demikian ketua Tjeng Tiok Pay mulai dengan penuturannya.
"Aku pergi mendekati, untuk melihat. Aku dapatkan kembang tauwhoe berserakan di tanah
dan seorang, yang tubuhnya besar, sedang jambak satu anak tanggung, siapa dipukuli
berulang-ulang. Atas pertanyaanku pada seorang, yang turut menyaksikan, dapat aku
ketahui, bocah itu adalah si tukang tauwhoe. Di luar kehendaknya, dia kena bentur orang
itu hingga bajunya orang itu menjadi kotor, maka ia dihajar. Kasihan aku melihat itu
bocah, aku lantas mendekati, untuk memisahkan. Aku bicara dengan sabar, aku memberi
alasan yang pantas tapi orang itu tidak mau mengerti, ia memaksa minta dikasih
penggantian uang kerugian. Aku tanya, berapa ia minta ganti, ia sebutkan satu tail perak.
Aku suka tolongi bocah itu, aku lantas rogoh sakuku, untuk ambil uang. Siapa tahu,
karena aku iseng, aku telah kena diperdayakan, aku terjebak ke dalam tipu-daya orang
jahat. Aku merogoh dengan tangan kanan, Baru tanganku masuk ke dalam saku,
mendadak dua orang itu, ialah si kacung dan orang yang aniaya dia menyamber lenganku,
untuk ditarik ke kiri dan kanan..."
Mendengar sampai di situ, Tjeng Tjeng berseru dengan tak dapat ia mengatasi dirinya.
"Segera aku insyaf bahwa orang sedang permainkan aku," Tjeng Tiok melanjuti. "Aku
lantas geraki kedua tanganku, untuk loloskan diri. Masih aku hendak tanyakan sebabnya
kenapa mereka perlakukan aku demikian rupa, tetapi sebelum aku sempat berontak, tahutahu
aku merasakan sakit sekali di pundakku yang kanan, sakitnya sampai meresap ke
tulang-tulang. Itulah serangan yang aku tak sangka-sangka. Masih dapat aku berontak,
aku terus sambar lengannya orang yang bertubuh besar itu, aku mundur satu tindak. Ada
aku pakai dia untuk hajar si bocah. Berbareng dengan itu, aku lompat ke depan, untuk
segera menoleh ke belakang. Maka sekarang aku dapat lihat, orang yang membokong aku
adalah pengemis wanita tua yang berbaju hitam. Belum pernah seumurku melihat wanita
sejelek dia. Seluruh mukanya penuh dengan lobang-lobang dan daging munjul, tapaktapak
luka, sepasang matanya menjuling naik. Ia awasi aku sambil tertawa secara dingin,
kemudian dia angkat kedua tangannya, yang jeriji-jerijinya berkuku tajam, untuk
menerkam aku...."
Di waktu mengucap demikian, wajahnya Tjeng Tiok sedikit berubah, nyata ia merasa ngerti
atau gelisah, rupanya ia berbayang dengan pengalamannya yang hebat itu.
Tjeng Tjeng kembali perdengarkan seruan, seruan tertahan, tak terkecuali See Thian Kong,
Ouw Koei Lam dan yang lainnya. Mereka ini seperti juga merasakan hebatnya bokongan
dan serangan kuku-kuku tajam itu.
Thia Tjeng Tiok teruskan keterangannya: "Ketika itu aku kaget berbareng gusar. Atas
terjangan itu, aku terus angkat tubuhnya, adalah keinginanku, untuk balas menyerang.
Apa mau, tangan kananku tak dapat digeraki, tangan itu seperti membantah kehendakku.
Wanita tua itu tertawa aneh, terdengarnya seram, terus ia mendesak. Dalam keadaan
seperti itu, aku dapat akal. Mendadak aku membungkuk, dengan tangan kiri aku sambar
tahang kembang tauwhoe, dengan itu aku menimpuk ke arah muka wanita itu, sampai dia
kelabakan, dengan kedua tangannya, dia susuti mukanya. Aku gunai ketika itu akan
keluarkan dua batang tjeng-tiok-piauw, aku hajar dadanya. Dengan begitu, aku bikin dia
dapat pengajaran. Tapi itu waktu, aku merasakan sakit tak terikira, rasanya aku tak
sanggup bertahan lagi, maka aku lantas saja lari pulang sekeras mungkin, sesampainya di
rumah, lantas aku tak tahu apa-apa lagi.
"Apakah kau mempunyai sangkutan dengan wanita tua itu?" See Thian Kong tanya.
"Belum pernah aku bertemu atau lihat dia," sahut Thia Tjeng Tiok. "Kami dari pihak Tjeng
Tiok Pay tidak punya hubungan suatu apa dengan rombongan pengemis dari Kanglam dan
Kangpak, kita ada seperti air sungai yang tidak saling ganggu dengan air sumur."
"Apa mungkin dia salah lihat?" Tjeng Tjeng pun tanya.
"Aku rasa inilah bukan kekeliruan," sahut Tjeng Tiok pula. "Setelah dia bohongi aku, aku
telah menoleh ke arah dia, waktu itu dia telah melihat tegas padaku, tetapi dia masih terus
menyerang secara bengis."
"Entah racun apa yang ada pada kukunya itu maka akibatnya ada berbahaya sekali,"
nyatakan Ouw Koei Lam.
"Mestinya dia pakai sarung jari tangan," kata See Thian Kong. "Kalau dia rendam kukunya
dengan bisa, tak nanti dia sendiri sanggup bertahan."
Tidak ada orang yang dapat duga duduknya hal, orang pun heran atas hebatnya bisa itu,
dan orang juga tak tahu asal-usulnya pengemis wanita tua itu.
Thia Tjeng Tiok masih mendongkol, sampai ia tak dapat atasi dirinya tanpa ia mencaci
musuh curang dan gelap itu.
"Saudara Thia, kau sabari diri, baik kau beristirahat," kemudian kata See Thian Kong.
"Nanti aku keluar, untuk mencoba melakukan penyelidikan. Aku harap aku nanti berhasil,
agar di lain hari kau bisa lampiaskan kemendongkolanmu ini."
Tjeng Tiok suka terima nasehat itu.
Maka itu, mulai hari itu, See Thian Kong bersama Ouw Koei Lam, Thie Lo Han dan Ang
Seng Hay, pergi keluar, sambil pesiar mereka melakukan penyelidikan. Mereka telah putari
empat penjuru kota Pakkhia. Akan tetapi, selama tiga hari beruntun, mereka tidak peroleh
suatu apa, malah bajangan si pengemis nenek-nenek juga tak pernah mereka lihat.
Di lain harinya, pagi-pagi, Tok-gan Sin-liong Sian Tiat Seng datang berkunjung.
Sin Tjie tak sudi menemui tetamu itu, maka itu, yang keluar untuk melayani bicara adalah
See Thian Kong.
Kepala polisi ini memperlihatkan wajah bermuram-durja, dia sangat bersusah hati. Dia
memberitahukan bahwa kas negara kembali kecurian tiga-ribu tail perak, hingga ia jadi
tidak berdaya. Dia tanya, bagaimana baiknya dia bertindak...
Urusan itu bukan urusan yang mengenai pihaknya, dari itu See Thian Kong menyahuti
dengan sembarangan saja, kemudian tuan rumah itu belokkan pembicaraan mengenai si
wanita tua, pengemis yang jelek dan aneh itu.
Sian Tiat Seng tidak omong banyak tentang ini pengemis wanita, akan tetapi dia agaknya
sangat memperhatikan. Begitulah di hari besoknya, kembali pagi-pagi, dia datang secara
tersipu-sipu. "Tuan See, tentang pengemis wanita titu, ttelah aku dapatkan endusannya," berkata dia
pada Thian Kong, yang muncul untuk layani pula orang polisi ini. "Aku anggap baiklah
Wan Siangkong diundang keluar agar kita bisa mendamaikannya bersama."
See Thian Kong setuju, ia masuk ke dalam.
"Hm, pasti dia hendak jual lagak, dia hendak baiki kita, supaya dia bisa menggencet kita!"
kata Tjeng Tjeng, yang sudah lantas menduga jelek.
"Mungkin dua-duanya dugaan benar," bilang Sin Tjie. "Tidak apa, aku nanti ketemui dia."
Karena ini, semua orang keluar berbareng, akan ketemui Tok-gan Sin-liong, si Naga Sakti
Mata Satu. "Karena aku dengar wanita tua itu terkena senjata rahasia Tjeng-tiok-piauw dari Tuan
See," berkata si tetamu," lantas aku duga pasti dia membutuhkan bahan-bahan obat
seperti tee-koet-pie, tjoan-ouw-gan, tjoa-tjhong-tjoe dan leng-hie-kah, untuk obati lukanya
itu. Karena ini aku segera kirim orang-orangku ke pelbagai rumah obat, untuk melakukan
penjagaan kepada setiap pembeli obat. Aku pesan, siapa saja yang beli obat-obatan
semacam itu, dia mesti dikuntit. Nyata aku berhasil memperoleh endusan. Ya, urusan
benar-benar aneh!"
"Aneh bagaimana?" tanya See Thian Kong.
"Tahu saudara-saudara, dimana bersembunyinya perempuan tua itu?" tanya Tok-gan Sinliong.
"Dia telah ambil tempat di balai istirahat Pangeran Seng Ong! Seng Ong adalah
saudara Sri Baginda Raja. Kenapa dia boleh punyakan hubungan sama wanita kang-ouw"
Inilah yang mengherankan aku!..."
Itu hal benar aneh, maka benar-benar, semua orang merasa heran.
"Sekarang mari antar aku ke balai istirahat itu, untuk melihat-lihat!" kata Sin Tjie, yang
perhatiannya pun tertarik.
"Mari," Sian Tiat Seng mengajak.
Karena yang lain-lain juga ingin pergi melihatnya, mereka pergi dalam satu rombongan. Si
kepala opas jalan di sebelah depan.
Balai istirahat dari Pangeran Seng Ong berada di luar kota jauhnya tujuh atau delapan lie,
dari jauh-jauh sudah nampak nyata temboknya yang hitam, yang mengurung balai
istirahat itu. "Nah, itu dianya!" kata Sian Tiat Seng.
Sin Tjie menjadi heran.
"Itu toh gedung kemana kedua bocah serba merah telah pergi sehabis mereka curi uang
negara?" kata pemuda ini dalam hatinya. "Apakah tidak bisa jadi Sian Tiat Seng sengaja
ajak aku datang kemari supaya kita terpaksa bantu dia mencari pencuri-pencuri uang
negara itu" Jikalau ini ada balai istirahat dari satu pangeran, kenapa dia buatnya satu
gedung secara begini luar biasa?"
Pemuda ini tarik lengannya Thia Tjeng Tiok, ia sengaja perlahankan tindakannya, hingga
mereka berdua jadi ketinggalan di belakang beberapa tindak.
"Kalau sebentar kita bertemu sama si wanita tua, jangan kau bergusar," Sin Tjie berbisik
kepada ketua Tjeng Tiok Pay itu. "Didalam segala hal, kau mesti bertindak dengan melihat
isyarat dari aku."
Nampak wajah Tjeng Tiok tak tenang. Ia tidak bilang suatu apa atas pesan itu, hanya
mendadak, dia kata: "Wan Siangkong, aku...aku...rasai tubuhku kurang sehat, aku ingin
lantas pulang untuk beristirahat...."
Heran Sin Tjie mendapati sikapnya kawan ini.
"Dia toh ketua dari Tjeng Tiok Pay," pikirnya. "Dia toh orang Rimba Persilatan kenamaan
untuk di utara" Kenapa sekarang dia jadi kecil hatinya" Kenapa dia jadi jeri?"
Walaupun dia menduga demikian, pemuda ini tidak bilang suatu apa.
"Baiklah," katanya, yang terus suruh Seng Hay mengantari pulang.
Sin Tjie jadi berpikir untuk berhati-hati, sebab selama beberapa hari ini, beruntun ia
saksikan kejadian-kejadian langka.
See Thian Kong juga lantas ingat keterangan Sin Tjie perihal sebuah gedung besar di luar
kota, gedung yang tak ada pintunya.
"Gedung ini tidak ada pintunya, habis bagaimana orang bisa masuk ke dalamnya?" dia
tanya Sian Tiat Seng.
"Mesti ada pintu rahasianya," jawab orang polisi itu. "Oleh karena ini ada balai istirahat
dari Pangeran Seng Ong, tidak ada orang yang berani menanyakannya."
Sin Tjie telah ambil sikap untuk menunggu, dari itu, ia tidak campur bicara. Dia ingin
saksikan tingkah-polahnya Sian Tiat Seng. Dia malah dongak, akan awasi mega putih di
atas langit. Belum lama mereka berdiam di situ, tiba-tiba terdengar suara ayam berkokok kelabakan,
terdengar juga suara berisik dari sayapnya, yang dipakai terbang, habis itu tertampak dua
ekor ayam jago terbang keluar dari gedung hitam yang luar biasa itu, di belakangnya
menyusul berlompat keluar dua kacung dengan pakaian biru, gerakan mereka sangat
gesit, cuma dengan beberapa kali tubrukan, mereka berhasil menangkap kedua ayam jago
itu. Mereka ini pandang Sin Tjie beramai, lalu mereka lompat pula, masuk ke dalam
gedung. "Jarang untuk menemui ayam-ayam jago sebesar itu," kata Tjeng Tjeng, yang kagumi
kedua ayam itu. "Sedikitnya setiap ekor beratnya delapan atau sembilan kati...."
"Dan dua bocah itu, ilmu silatnya ada dasarnya," bilang See Thian Kong, yang
perhatiannya tertarik ke lain jurusan. "Aku anggap gedung ini bukan gedung
sembarangan...."
Thian Kong belum tutup mulutnya, atau mereka dengar satu suara menjeblak yang
nyaring, lalu segera nampak di antara tembok gedung terbukanya suatu pintu rahasia
mirip lobang gua, dari situ lantas muncul satu orang yang pakaiannya aneh...
Pakaian itu terbuat dari sutra biru yang mentereng, akan tetapi pada bajunya sengaja
ditambalkan beberapa tambalan dari cita-cita yang berlainan warnanya, hingga mirip
dengan pakaian pengemis di atas panggung sandiwara.
Ketika orang itu telah datang dekat kepada rombongan Sin Tjie, Sin Tjie bersama Tjeng
Tjeng dan Sian Tiat Seng terperanjat sendirinya. Orang dengan dandanan aneh itu adalah
si pengemis tak berbudi yang mereka ketemui baru-baru ini! Itu pengemis tukang tangkap
ular berbisa! Orang itu menjulang matanya, ia menghadapi pemuda kita.
"Itu hari siangkong berikan aku arak jempolan," katanya, "sekarang kebetulan siangkong
berkunjung kemari, mari silakan masuk! Bagaimana jikalau aku jadi tuan rumah?"
"Bagus, bagus!" sahut Sin Tjie. "Baiklah, asal kami tidak mengganggu pada kau!"
Hampir tanpa berpikir lagi, Sin Tjie terima baik undangan itu.
"Silahkan!" kata si pengemis, yang mempersilahkan dengan tangan kirinya.
Sin Tjie jalan di muka, untuk masuk ke dalam pintu istimewa itu.
Ia dapat kenyataan temboknya tebal sekali, batunya batu-batu hijau, sedang pintunya,
yang terbuat dari besi, beberapa dim tebalnya. Tembok di dalam ditabur hitam seperti di
luar, semua rata, pantas pintunya sampai sukar dikenali.
Setiap kali mereka melewati satu tembok, yang merupakan kurungan, di belakang mereka,
daun pintu besi menggabruk dengan keras. Sebab semua pintu adalah serupa.
Sesudah orang memasuki pintu dari tembok merah, pengemis tukang tangkap ular itu
undang semua tetamunya duduk di hoa-thia, ruang tetamu, habis itu dia menepuk tangan
dengan pelahan ,beberapa kali, lantas muncul bujang dengan barang makanan dan arak.
Orang semua lihat, barang-barang makanan agaknya istimewa, cuma mereka tidak dapat
duga, dari daging apa itu terbuatnya, nampaknya seperti ada sebangsa ular dan
kalajengking, warnanya merah dan hijau, tegas sekali.
Tidak ada orang yang berani geraki sumpitnya.
Tuan rumah itu lihat tingkah-laku para tetamunya, ia tertawa terbahak-bahak.
"Silahkan, silahkan!" mengundangnya. Lantas saja ia kerahkan sumpitnya, untuk jepit
sepotong barang hidangan, kapan ia telah angkat itu, orang lihat itu adalah seekor
binatang dengan kepala merah dan tubuh hitam. Itulah seekor kelabang!
(Bersambung bab ke 19)
Semua orang terperanjat, akan tetapi sedangnya begitu, pengemis itu bawa sumpitnya ke
mulutnya, atau tahu-tahu kelabang itu telah tercaplok masuk ke dalam mulutnya, terus
saja dikunyah, dimakan secara sangat bernapsu, hingga semua orang jadi celangap,
melainkan Tjeng Tjeng yang merasa enek, hampir saja dia muntah! Dia melengos ke
samping, tak sudi dia melihatnya.
Tentu saja, karena pemandangan itu, semakin tidak ada orang yang berani gunai
sumpitnya.

Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tuan rumah lihat orang jeri, nampaknya dia sangat puas. Lantas saja dia hadapi Sian Tiat
Seng, yang ia awasi dengan tajam.
"Kau adalah kuku garuda dari kantor negeri!" berkata dia dengan tidak sungkan-sungkan
lagi. "Rupanya kau datang kemari untuk mendapatkan uang kas negara! Hm! Kau tahu,
siapa aku ini?"
Sian Tiat Seng berlaku sabar, ia merendah.
"Maaf, aku tak dapat kenali kau, tuan," sahutnya. "Aku mohon tanya tuan punya she yang
mulia dan nama yang besar...."
Ornag itu kembali tertawa, berkakakan. Ia tenggak araknya, ia jepit pula sepotong daging,
entah binatang apa, yang ia caplok dan kunyah dengan bernapsu seperti tadi. Kemudian ia
tertawa pula. "Aku yang rendah adalah orang she Tjee nama In Go," katanya kemudian.
"Aku adalah satu boe-beng siauw-tjoe, orang yang tidak ternama, maka juga, saudara,
mana kau kenal aku!"
Tapi Sian Tiat Seng terkejut, lekas-lekas ia berbangkit.
"Oh, tuan jadinya ada Kim-ie Tok Kya!" katanya. "Sudah lama aku yang rendah telah
dengar nama besarmu itu...."
Sin Tjie sendiri belum pernah dengar nama julukan Kim-ie Tok Kay itu, atau "Pengemis
Berbisa Berbaju Sulam", akan tetapi melihat sikapnya Sian Tiat Seng, mungkin dia
seorang kenamaan, hanya ketika kemarin ini ia saksikan orang tempur ular berbisa, ia
tidak lihat si pengemis punyakan kepandaian luar biasa. Maka ia heran kenapa kepala
opas ini nampaknya jeri sekali.
Kembali Sian Tiat Seng berkata: "Agama tuan biasa disebarkan hanya di dua propinsi
Kwiesay dan Kwietang serta juga Inlam dan Kwie-tjioe, itulah karenanya maka aku tak
dapat ketika untuk mengunjunginya...."
"Memang!" jawabnya Tjee In Go itu. "Kami datang ke kota raja ini pun Baru beberapa
bulan." "Sebenarnya sudah lama aku tidak dahar lagi nasi negara," berkata pula Sian Tiat Seng,
"karena itu aku jadi tidak dapat tahu, Tjee Enghiong, tentang kunjungan rombonganmu ini,
hingga karenanya, pihak kami sudah tak sempurna melakukan penyambutan terhadap
kamu, hingga kami telah lakukan hal yang tidak selayaknya. Maka itu sekarang, Tjee
enghiong, aku datang untuk haturkan maaf kita."
Kata ini disusul dengan pemberian hormat menjura yang dalam dan berulang-ulang.
Tjee In Go terlalu repot dengan arak dan barang hidangannya yang "lezat" sekali itu, ia
tidak balas pemberian hormat itu, tidak perduli itu adalah cara menghormat yang sangat
hormat sekali. Tjeng Tjeng saksikan kelakuan Sian Tiat Seng, di dalam hatinya, dia berkata: "Biasanya
kalau orang-orang polisi berurusan dengan rakyat jelata, mereka bengis dan garang
bagaikan srigala dan harimau, sebaliknya apabila mereka berhadapan sama pihak
tangguh, mereka jadi lemah dan rendah sekali, sekarang aku dapatkan buktinya. Aku
hendak lihat, bagaimana lanjutnya urusan ini...."
"Saudara-saudaraku semua tolol sekali," demikian Sian Tiat Seng berkata-kata pula,
"tanpa merasa mereka sudah lakukan kesalahan terhadap Tjee Enghiong beramai.
Sekarang ini, Tjee Enghiong, apa pun yang kau titahkan kami lakukan, asal itu ada dalam
kesanggupan kami, kami bersedia untuk melakukannya."
Baru sekarang pengemis she Tjee itu berhenti makan.
"Sampai pada batas hari ini," katanya dengan tetap secara tekebur," sama sekali kita telah
ambil uang negara sejumlah sembilan-ribu lima-ratus tail perak! Itu jumlah sangat kecil,
sangat kecil. Aku pikir kalau nanti kita sudah ambil cukup!"
Nyata sekali Tiat Seng terperanjat akan dengar jumlah itu, akan tetapi tetap dia bawa sikap
merendah. Katanya: "Jikalau Hok Taydjin dari Kas Negara serta Tjioe Taytjiangkoen yang
menjabat Kioe-boen Teetok ketahui tentang Tjee Enghiong beramai, pasti sekali mereka
bakal menghadap Pangeran Seng Ong untuk menghaturkan maaf, dari itu mengenai kami,
yang menjadi orang sebawahan, kami cuma hendak mohon supaya Tjee Enghiong sudilah
memberi kita sesuap nasi..."
Kim-ie Tok Kay tidak bilang suatu apa atas pengutaraan kepala opas iti, hanya dengan
mata terputar, dia kata dengan keras: "Kau sekarang telah ketahui, semua uang negara itu
telah berada di dalam balai istirahat Pangeran Seng Ong ini, maka apakah kau masih
memikir untuk keluar dari gedung ini dengan masih berjiwa?"
Sikap itu, suara itu, bengis sekali. Maka ruang perjamuan itu menjadi sangat tegang,
dengan sendirinya rata-rata tetamu bergelisah.
Tjeng Tjeng tidak mengerti, ia pun panas hatinya, tetapi di saat ia hendak membuka mulut,
mendadak terdengar satu suara tajam dan luar biasa, yang datang dari lain bagian gedung
itu. Suara itu menggiriskan dan berulang kali, beruntun, hingga tanpa merasa, sesuatu
orang menjadi bergidik sendirinya.
"Apakah itu?" tanya Tjeng Tjeng, yang pun terkejut, hingga ia cekal keras tangan Sin Tjie.
Si anak muda berbalik memegang keras juga tangan si nona, ia tidak bilang suatu apa.
Tjee In Go sendiri sudah lantas berbangkit.
"Kauw-tjoe mulai bersidang!" katanya dengan nyaring. "Kamu semua boleh pergi
mendengarkan putusan! Tentang nasib kamu, lihat saja peruntungan kamu masingmasing!"
Sian Tiat Seng kaget tidak kepalang.
"Jadi Kauw-tjoe pun telah datang ke Pakkhia?" tanyanya.
"Kauw-tjoe" ada kepala atau raja agama.
Tjee In Go tidak menjawab, dia cuma tertawa menyengir, sikapnya jumawa dan dingin.
Lantas saja ia bertindak ke dalam.
"Suasana hebat sekali, mari lekas kita berlalu!" kata Sian Tiat Seng, uang ketakutan tak
terhingga. "Jikalau benar raja agama dari Ngo Tok Kauw telah datang sendiri, jikalau kita
mati, tulang-tulang kita pun tidak bakal ketinggalan sepotong jua!"
Ngo Tok Kauw adalah Agama Lima Racun.
Sin Tjie ingin lihat perkembangan terlebih jauh, akan tetapi ia merasakan tangan Tjeng
Tjeng gemetar, sedang suasana benar-benar tegang sekali, dari itu, ia urungkan niatnya.
"Baik, marilah kita keluar dahulu!" katanya. "Nanti diluar Baru kita pikir pula...."
Baru orang banyak itu putar tubuh mereka, untuk berlalu, mendadak ruang kamar menjadi
gelap-petang, sampai lima jari mereka tidak dapat mereka lihat. Suara menggabruk yang
nyaring hebat pun segera terdengar di sebeblah belakang mereka, entah itu suara
jatuhnya lempengan besi atau batu besar.
Mau tidak mau, semua orang menjadi kaget, apapula kapan suara hebat itu disusul sama
suara yang seram aneh seperti bermula tadi. Itulah suara yang mirip dengan riuhnya
burung-burung hantu atau pekiknya pelbagai kutu berbisa.
Selagi orang berada dalam kekuatiran dan terbenam dalam kegelapan itu, sekonyongkonyong
bekelebat cahaya terang sekali, yang menyilaukan mata, lalu di antara sinar
terang itu nampak dua kacung yang mengenakan pakaian serba hitam. Mereka ini
menghampirkan, lantas mereka menjura.
"Kauw-tjoe memanggil kamu untuk menghadap si singgasana!" katanya.
"Entah mahluk aneh macam apa adanya Kauwtjoe itu..." pikir Sin Tjie. "Baik aku pergi ke
istana, untuk tengok cecongornya...."
Maka ia tarik tangan Tjeng Tjeng, untuk diajak pergi ke singgasana, Semua kawannya ikuti
ia. Maka mereka semua jadi mengintil di belakangnya dua kacung serba hitam itu.
Dari ruang makan itu, mereka melalui satu lorong yang panjang, lalu membelok, beberapa
kali, akhirnya sampailah mereka di sebuah pendopo, yang si kacung sebutkan istana atau
singgasana. Di tengah-tengah ruangan itu ada sebuah kursi besar, yang dikerebongi sutra sulam warna
merah, di kedua samping kursi itu berdiri masing-masing dua tongtjoe atau kacung.
Kedua kacung serba hitam itu ajak sekalian tetamunya sampai di singgasana ini, lantas
mereka sendiri memisahkan diri ke kedua sisi dimana pada setiap sisinya, lima kacung
dengan pakaiannya masing-masing serba merah, kuning, biru, putih dan hitam. Dan yang
serba merah itu Sin Tjie kenali adalah dua kacung pencuri uang negara yang kemarin ini
dikepung-kepung Sian Tiat Seng. Hanya sekarang ini, mereka berdua berdiri dengan tegak
dengan kepala dikasih tunduk, sama sekali mereka tidak perdulikan tetamu-tetamu yang
dipimpin masuk dalam ruangan itu.
Segera juga terdengar suara lonceng berulang-ulang dari arah belakang singgasana itu,
suara mana disusul sama munculnya sambil berlerot rapi sejumlah orang, lelaki dan
perempuan, yang tubuhnya tinggi dan kate tidak ketentuan. Sesampai di dekat kursi
kebesaran itu, mereka ini memecah diri dalam dua rombongan kiri dan kanan, di setiap
sisinya, delapan orang, maka itu ketahuanlah mereka semua berjumlah enam-belas orang.
Kim-ie Tok Kay Tjee In Go ada di dalam rombongan ini, dia berdiri di barisan kiri, sebagai
yang nomor lima. Di barisan kanan, sebagai yang nomor dua, ada seorang perempuan
dengan hidung bengkung dan mata celong, kulit mukanya pucat-pias bagaikan kulit
mayat, daging pada mukanya itu tidak rata, ada yang muncul, ada yang ceglok. Melihat
dandanannya, dia adalah satu pengemis wanita tua-bangkotan.
"Dia pasti ada si pengemis yang telah melukai Thia Loo-hoetjoe," Sin Tjie menduga
setelah ia pandang pengemis wanita itu yang romannya jelek dan menyeramkan.
"Apa yang mereka lagi bikin?" Sin Tjie kemudian berbisik pada Sian Tiat Seng.
Mukanya kepala opas ini sangat pucat.
"Mereka ini adalah rombongan Ngo Tok Kauw asal dari propinsi Inlam," ia menjawab,
suaranya pelahan dan menggetar. "Kali ini matilah kita semua!...."
"Ngo Tok Kauw itu sebenarnya apa?" tanya Sin Tjie.
"Oh, Wan Siangkong...." kata kepala opas itu, suaranya masih tak tenang. "Ngo Tok Kauw
adalah semacam kumpulan agama yang sesat, yang tak jeri membunuh sesama manusia
secara sangat telengas dan kejam. Yang menjadi kauwtjoe, kepala agamanya, ada Ho Tiat
Tjhio. Apakah siangkong tidak kenal mereka?"
Sin Tjie goyang kepala.
"Justru kepala agamanya belum keluar, mari kita berdaya untuk menyingkir dari sini....."
Sian Tiat Seng berbisik.
"Kita lihat dulu!" kata Sin Tjie, yang tetap tenang.
Tapi nampaknya Tok-gan Sin-liong takut bukan kepalang, rupanya telah bulat tekadnya
untuk angkat kaki.
"Kalau begitu, maafkan aku!" katanya.
Belum sempat dia tutup rapat mulutnya, tubuhnya sudah bergerak, dia lari ke arah
tembok. Teranglah sudah, dia berniat melompati tembok itu, untuk menyingkirkan diri.
Menyusul bergeraknya kepala polisi ini, dari barisan kiri dari rombongan Ngo Tok Kauw
itu, orang yang nomor dua telah lompat maju, gerakannya sangat gesit, sambil berlompat,
dia sambar kaki kiri dari Sian Tiat Seng, yang tercengkeram sebatas mata kaki.
Sian Tiat Seng juga bukan sembarang orang, dia mengerti ilmus ilat dengan baik,
walaupun dia sedang ketakutan, pikirannya tidak kacau, maka itu selagi kakinya disambar,
ia geraki tubuhnya, untuk membungkuk, berbareng dengan mana, ia ayun tangannya yang
kanan, akan hajar kepalanya si penyerang.
Orang nomor dua itu, yang tubuhnya tinggi besar, gunai sebelah tangannya, akan tangkis
serangan kepada batok kepalanya itu, hingga kedua tangan jadi bentrok, menyusul mana,
berdua mereka jatuh ke tanah. Sebab selagi mereka saling serang, tubuh mereka sedang
berlompat ke arah tembok.
Habis itu, orang nomor dua itu tidak bertindak lebih jauh, hanya sambil tertawa dingin, dia
kembali ke dalam barisannya.
Keadaan ada lain lagi dengan Sian Tiat Seng. Si Naga Sakti Mata Satu ini telah terluka
pada kaki kirinya, pada telapakan tangannya yang kanan, yang tadi dipakai menyerang
musuh. Luka-luka itu seperti luka terkena senjata tajam, sakitnya bukan main, terasa
sampai di hati. Ketika ia angkat tangannya, untuk diperiksa, ia tampak lima luka lobang
kecil dari mana mengucur keluar darah hitam, yang masih terus mengucur saja, hingga ia
kaget tidak terkira. Dan ketika ia periksa kakinya, kagetnya bertambah-tambah, sebab luka
di kakinya itu pun berupa lima lobang kecil yang sama rupanya. Kepala opas ini demikian
kaget dan takut, hingga lantas saja dia rubuh terguling di tanah.
Nyatalah orang nomor dua itu, pada sepuluh jari dari kedua tangannya, ada kuku-kuku
yang memakai sarung yang lancip-tajam, yang semua ada bisanya, tidak heran kalau Sian
Tiat Seng telah terluka dan luka itu lantas mengeluarkan darah hitam, sebab racun bekerja
dengan segera. Pantas kalau si kepala opas jadi ketakutan bukan main, hingga ia jadi
putus asa. Sin Tjie segera hampiri Tok-gan Sin-liong, untuk dipimpin bangun. Selagi ia berbuat
begitu, sepuluh kacung keluarkan dari masing-masing kantongnya sebuah suitan yang
luar biasa macamnya, yang mereka lantas tiup nyaring beberapa kali, menyusul mana,
semua dua-puluh lebih orang Ngo Tok Kauw di dalam ruangan itu pada jatuhkan diri untuk
mendekam! Segera setelah itu, dari belakang singgasana bertindak keluar dua orang perempuan yang
cantik. Dalam anggapan Sin Tjie dan rombongannya, karena orang-orang Ngo Tok Kauw itu
semua beroman tidak keruan dan aneh, kauwtjoe mereka atau kepala agama pun mestinya
lebih-lebih tak keruan lagi, maka itu, tercenganglah mereka kapan mereka saksikan dua
wanita yang eilok ini.
Setelah mendekati kursi, di samping mana mereka berdiri, dua nona ini lantas berseru
dengan suaranya yang nyaring tapi halus: "Kauwtjoe naik di singgasana!"
Segeralah terhembus bau yang harum, yang keluar dari belakang singgasana itu, bau
harum mana diiringi satu wanita dengan pakaiannya serba dadu dan mentereng. Dia ini
mempunyai sepasang mata yang bagus, yang dikatakan "mata burung hong", yang
sinarnya menakjubkan, sepasang alisnya panjang, wajahnya tersungging senyuman
manis dan menggairahkan. Dia berumur kurang lebih tiga puluh tahun, dan parasnya
cantik sekali. Tapi, walaupun cantik dan pakaiannya indah, dan dari tubuhnya tersiar bau
harum, kedua kakinya telanjang, dia tidak memakai sepatu, dan pada setiap kakinya, dan
kedua tangannya juga, ada terselubung masing-masing dua buah gelang emas, hingga
berbareng sama tindakannya, gelang-gelang itu perdengarkan suara beradu
berkontrangan.... Kulitnya pun putih dan halus, seperti kumala saja, sedang rambutnya
yang bagus, terurai turun ke pundaknya, bongkotnya tergelung dengan satu gelang emas
juga. Nona manis ini menghampiri kursi kebesaran, untuk duduk di atasnya.
Di belakang nona ini mengikuti dua nona lain, yang masih muda sekali, yang membawa
kipas dari bulu burung.
Nona ini tertawa sebelumnya dia buka mulutnya.
"Aha, ada begini banyak tetamu!" katanya. "Lekas siapkan kursi. Silahkan duduk!"
Beberapa kacung segera lari ke dalam, untuk balik lagi bersama beberapa buah kursi,
yang mereka bawa kepada Sin Tjie beramai, yang mereka undang duduk.
Sin Tjie beramai telah terbenam dalam teka-teki, hingga mereka memikir tak sudahnya.
Apakah si cantik ini yang disebutkan Ho Tiat Tjhioe, kepala dari Ngo Tok Kauw, yang Sian
Tiat Seng jerikan bagaikan serigala atau harimau" Apa mungkin kepala agama ini masih
begini muda dan cantik sekali rupanya"
"Aku mohon tanya she dan nama besar dari sekalian tetamuku," kemudian berkata si
juwita itu, dengan suaranya yang halus dan merdu, sedang matanya mengawasi dengan
tajam. "Aku adalah she Wan dan ini semua adalah sahabat-sahabatku," Sin Tjie menjawab. "Apa
aku boleh tanya she nona yang mulia?"
"Aku she Ho," sahut si nona.
Bercekat hatinya pemuda kita.
"Benarlah dia kauwtjoe dari Ngo Tok Kauw," pikirnya.
Kemudian si nona menanya: "Apakah tuan datang untuk urusan uang negara?"
"Untuk aku sendiri, bukan," jawab Sin Tjie. Ia terus tunjuk Sian Tiat Seng, sambil
menambahkan: "Ini sahabatku she Sian makan gaji negara, kami sebagai rakyat jelata,
kami Baru saja berkenalan dengannya. Mengenai urusan negara, kami tidak berani campur
tahu...." "Bagus!" kata si nona. "Tapi kamu telah datang kemari, apa kehendakmu?"
"Aku ada punya satu sahabat she Thia," sahut Sin Tjie. "Aku tidak tahu, dalam hal apa dia
telah berbuat salah kepada pihakmu, dia telah mendapat luka yang hebat. Karena itu aku
datang kemari, untuk minta keterangan. Andai kata ini ada urusan salah mengerti dengan
satu dua patah kata saja, urusan bisa dibikin habis."
"Oh, kiranya kamu ada sahabat-sahabatnya Loo-hoetjoe Thia Tjeng Tiok!" kata si nona.
"Inilah lain. Tadinya aku menyangka Wan Siangkong termasuk dalam rombongan kukukuku
garuda! Mana orang-orang. Suguhkan air teh!"
Beberapa kacung bergerak pula, untuk gotong meja kecil, buat menyediakan teh.
Sin Tjie beramai lihat air teh bersemu hijau guram, entah teh apa itu, walaupun baunya
wangi, mereka tidak berani lancang meminumnya.
"Menurut katanya Tjee Soeheng," si nona berkata pula. "Wan Siangkong ada seorang yang
manis budi dan gemar bersahabat, dan siangkong pun mempunyai mustika kodok es,
maka dari bermula aku telah menduga, siangkong pasti bukannya bangsa kuku garuda..."
Heran juga Sin Tjie. Nona ini menjadi kauwtjoe, kenapa dia bahasakan soeheng, kakak
seperguruan kepada Tjee In Go" Bukankah, melihat kenyataan, orang she Tjee ini adalah
anggota, orang sebawahan"
"Mustika kodok dari Wan Siangkong mukjizat sekali," kata pula si nona. "Apakah
siangkong sudi akan perlihatkan itu kepadaku agar mataku jadi terbuka?"
Tak sudi Sin Tjie serahkan mustikanya itu kepada nona ini, ia kuatir orang tidak nanti
mengembalikan, seperti perbuatannya Tjee In Go, maka itu, ketika ia keluarkan itu, lantas
saja ia tempelkan di lukanya Sian Tiat Seng, siapa memang membutuhkan
pertolongannya.
Semua orang Ngo Tok Kauw itu segera saksikan bekerjanya mustika, darah beracun dari
lukanya si kepala opas sudah lantas disedot keluar, maka itu, semua mereka nampaknya
sangat ketarik hati.
"Sungguh dahsyat!" seru si nona. "Aku cuma kuatir, kalau bisa yang paling beracun, dia
tak dapat memunahkannya..."
Sin Tjie heran juga. Kenapa si nona masih sangsikan mustikanya itu" Tapi ia cerdik.
"Itulah mungkin," katanya. "Di kolong langit ini, benda atau mahluk yang berbisa ada
sangat banyak macamnya. Mustika sekecil ini, mana dia dapat berbuat demikian banyak?"
Akan tetapi Tjeng Tjeng berpikir lain, ia tak puas. Maka ia campur bicara.
"Itulah tidak bisa jadi!" demikian katanya.
Si nona puas dan girang mendengar perkataannya Sin Tjie, tetapi kapan ia dengar
suaranya Tjeng Tjeng, ia perdengarkan suara di hidung: "Hm!" Lalu ia tambahkan: "Ambil


Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ngo-seng!"
"Ngo-seng" itu berarti "lima nabi".
Lima kacung segera keluar dari barisannya, untuk pergi ke dalam, kemudian mereka
keluar pula dengan membawa lima peti besi, sedang lima kacung lainnya menggotong
sebuah meja, yang mereka letaki di tengah-tengah singgasana. Habis itu, semua sepuluh
kacung itu berdiri mengitari meja.
Menarik perhatian adalah kelima bocah itu, mereka masing-masing memegang peti besi
yang warna catnya sama dengan warna pakaian mereka: merah-merah, kuning-kuning,
demikian seterusnya.
"Nampaknya gerak-gerik mereka ini mirip dengan cara siluman," pikir Sin Tjie, "tetapi
mereka mengatur diri menurut ngoheng, mereka tak bertindak sembarangan..."
Setelah itu muncullah satu orang dari barisan kiri, yang nomor dua, yang dandan sebagai
suku bangsa Ie. Dia bertubuh kekar. Dia menghampiri meja, untuk berdiri di pinggiran,
kemudian dari sakunya, dia keluarkan sehelai bendera hijau. Dengan pelahan, dia kibarkan
itu. Atas ini, kelima bocah buka tutupnya masing-masing peti besi mereka.
Kapan Tjeng Tjeng telah lihat apa isinya semua itu, tanpa merasa, dia keluarkan seruan
tertahan. Dari dalam sesuatu peti itu mencelat keluar masing-masing seekor binatang
berbisa, ialah ular hijau, kelabang, kalajengking, kawa-kawa dan kodok dingdang.
Kembali si orang she Ie kibaskan benderanya. Menyusul ini, semua sepuluh kacung
undurkan diri dari samping meja. Sebaliknya, sebagai gantinya, dari dalam kedua barisan ,
keluar empat orang, yang hampirkan meja, untuk berdiri di sekitarnya, untuk lantas
beraksi sendiri-sendiri, ada yang membaca mantera, ada yang jalan dengan tangan
sebagai kaki. Sin Tjie menyaksikan sambil pikirannya bekerja.
"Jikalau pertempuran sampai mesti terjadi, mungkin pihakku tidak bakal kalah, akan tetapi
tindak-tanduk mereka ini luar biasa, maka tak dapat aku berlaku semberono. Tak dapat
mereka dipandang enteng..."
Di atas meja, ular hijau panjangnya satu kaki lebih, tidak ada bagiannya yang istimewa,
sedang empat binatang lainnya, semua biasa saja, cuma sedikit lebih panjang atau besar
dari umumnya. Lima macam binatang itu lantas bergerak-gerak, jalan memutari muka meja; lantas mereka
perlihatkan sikap seperti hendak saling serang, untuk terkam, terutama hawa-hawa
beracun itu, tak henti-hentinya dia muntahkan jaringnya, untuk ia membuat bentengan di
satu pojokan. Sang kala adalah yang paling tak tahan sabar, dialah yang paling dulu serang bentengnya
sang kawa-kawa. Satu kali saja dia menerjang, dia telah putuskan beberapa tali jaring,
lantas dia mundur pula. Sang kawa-kawa awasi sang kala, lalu ia muntahkan pula
galagasinya, untuk perbaiki jaringnya yang dirusak itu. Kembali sang kalajengking
menerjang, lalu itu diulangi sampai beberapa kali, karena itu, tubuhnya lantas ketempelan
galagasi, hingga dengan sendirinya, gerakannya menjadi lebih lambat. Ada beberapa
kakinya yang terlibat sampai tak dapat dibebaskan.
Adalah setelah itu, sang kawa-kawa mulai dengan serangan pembalasannya, saban kali
dia menerjang, dia muntah, hingga kesudahannya, tubuh sang kala terlibat jaringnya itu.
Baru setelah itu, sang kawa-kawa merayap ke depan musuhnya ini, untuk diawasi dengan
tajam. Satu kali sang kawa-kawa ulur sebuah kakinya kepada musuh, sang kala geraki ekornya,
untuk mengantup, tetapi begitu dia menyambar, penyerangnya segera tarik pulang
kakinya, sambil mundur pula. Sang kala gesit, sang kawa-kawa lebih gesit pula.
Serangan sang kawa-kawa itu, yang merupakan gangguan, diulang beberapa kali, hingga
sang kala jadi sangat gusar, satu kali dia kerahkan antero tenaganya, dia lompat
menerkam. Sang kawa-kawa berkelit, dia luput dari bahaya. Tapi sang kala, dia telah
berlompat keras, tak dapat dia pertahankan diri lagi, dia terjatuh ke dalam jaring musuh
dimana dia ngamuk kelabakan, untuk loloskan diri.
Sang kawa-kawa lihat jaringnya ada yang putus, lekas-lekas ia menambalnya, untuk
memperbaiki, hingga sang musuh tetap masih terkurung.
Sesudah berontak-rontak sekian lama, sang kala jadi kendor dengan perlawanannya,
rupanya mulai habislah tenaganya. Maka menggunai ketikanya yang baik, sang kawa-kawa
menubruk, terus dia menggigit.
Sedang sang kawa-kawa hendak binasakan korbannya, mendadak sang kodok datang
menerjang. Binatang ini semburkan bisanya, dia dobolkan jaring musuh, lantas dia ulur
lidahnya, untuk sambar tubuh sang kala, untuk ditarik keluar dari jaring. Cuma dengan
satu kali caplok, dia telah telan sang kala masuk ke dalam perutnya!
Sang kawa-kawa menjadi gusar, dia terjang musuh baru ini.
Sang kodok bersiap-sedia, begitu serangan datang, dia ulur lidahnya, akan sambar kawakawa
itu, untuk dibetot masuk ke dalam perutnya. Tapi sang kawa-kawa pentang
mulutnya, dia sambar dan gigit lidah musuh. Sang kodok pun liehay, cepat-cepat dia tarik
pulang lidahnya.
Setelah itu, sang kawa-kawa merayap ke kirinya sang kodok, tidak perduli sang kodok ini
waspada, dia muntahkan benangnya, terus dia berlompat ke atas bebokong sang kodok,
untuk melewatinya, benangnya diulur sekalian, sembari lompat lewat, dia gigit bebokong
musuh. "Binatang ini cerdik," kata Tjeng Tjeng, yang menjadi kagum.
Ketika sang kodok egos tubuhnya, sang kawa-kawa sudah lompat lewati dia, di lain pihak,
bisanya sang kawa-kawa sudah lantas bekerja, maka di lain saat, tergulinglah sang kodok
ini, dia rebah celentang, terus dia mati!
Di pihak lain, sang ular hijau sedang dikejar oleh sang kelabang, agaknya dia ketakutan
sekali, hingga dia lari di samping tubuh sang kodok, sembari lewat, mendadak dia pentang
mulutnya, dia sambar sang kawa-kawa, untuk dicaplok masuk ke dalam perutnya!
Kemudian dengan satu caplokan lain, dia sambar juga tubuh sang kodok.
Melihat demikian, sang kelabang lalu sambar bangkai kodok itu, hingga sekarang mereka
jadi berkutatan, saling tarik. Rupanya sang kelabang tahu, apabila berhasil sang ular
makan tiga kurbannya, musuh ini bakal jadi terlalu tangguh untuknya, sebab tiga macam
racun, empat dengan kepunyaannya sendiri, sang ular pasti sukar untuk dikalahkan.
Dalam pertempuran tenaga itu, sang ular kalah ulet, dengan pelahan, dia kena terbetot
sang kelabang, dan sang kelabang sudah mulai gigit tubuhnya sang kodok.
Bingung sang ular, ingin dia lepaskan tubuh sang kodok, untuk pergi lari, agaknya dia
sangsi. Pun sulit untuk dia muntahkan tubuh sang kodok itu, karena biasanya dia punya
gigi, bagaikan gaetan, menyantel barang, dan biasanya dia cuma menelan, tak bisa
melepehkan. Benar saja, sebentar kemudian sang ular telah jadi kurbannya sang kelabang.
Setelah menjadi juara, dengan perut pun kenyang, kelabang itu jalan putari meja, dia
angkat kepalanya, agaknya dia sangat puas dan bangga.
Sin Tjie lihat kelabang itu, dengan perutnya gendut, tidak kendor gerak-geriknya, ia
menjadi heran. "Binatang ini kuat makannya," kata dia pada Tjeng Tjeng.
"Dia telah makan empat macam bisa, dia sekarang menjadi Tay-seng, nabi terbesar," Ho
Tiat Tjhioe, kepala dari Ngo Tok Kauw, nyeletuk terhadap Sin Tjie. "Dia sekarang jadi
bertambah tangguh, hingga dia sanggup telan lagi beberapa ekor lainnya!"
Sin Tjie agaknya tidak percaya keterangan itu, melihat demikian, kauwtjoe dari Ngo Tok
Kauw perintah kacungnya: "Pergi ambil Tjeng-djie!"
Seorang kacung pergi ke dalam, untuk muncul bersama tujuh ekor ular hijau, ialah yang si
kepala agama namakan "Tjeng-djie", si "hijau". Semua ular itu dilepas di atas meja, yang
kelung itu. Melihat ada musuh baru, sang kelabang lantas lompat maju, untuk menerkam.
Tujuh ekor ular itu kumpulkan diri menjadi satu lingkaran, masing-masing keluarkan
kepalanya, untuk tangkis serbuan. Dengan begitu, pertempuran sudah lantas berlangsung.
Beberapa kali sang kelabang menerjang, akhirnya dia dapat gigit lehernya seekor musuh,
yang terus dia betot keluar dari dalam rombongannya.
Setelah berhasil, sang kelabang tidak lantas makan daging musuh, ia hanya letaki itu di
belakang, ia sendiri mulai lagi dengan penyerangannya terlebih jauh kepada musuhmusuhnya,
hingga pertarungan jadi berlangsung pula.
Dalam saat itu, mendadak Kim-ie Tok Kay keluar dari dalam barisannya, dia hampirkan Ho
Tiat Tjhioe di depan siapa ia berlutut dengan kaki sebelah.
"Kauw-tjoe, Kim-djie bergerak tak hentinya," katanya. "Kelihatannya tak dapat tidak, dia
mesti dikasih keluar..."
Wanita cantik itu kerutkan alisnya.
"Ah, dia usil!" katanya. "Baiklah!"
Tjee In Go rogoh sakunya, untuk keluarkan satu bumbung atau pipa besi, terus ia buka
sumpelnya, untuk keluarkan isinya, ialah itu ular kecil warna kuning emas yang ia tangkap
beberapa hari yang lalu sehabisnya si ular kecil tempur si ular besar.
Begitu keluar dari lobang bumbung, ular kuning itu lantas saja unjuk kegagahannya. Dia
berlompat ke atas meja, dia segera maju ke depan enam ekor ular hijau, untuk
menghalang. Melihat ular kuning ini, sang kelabang mundur dengan segera.
Enam ular hijau berkumpul jadi satu, mereka ringkaskan tubuh mereka. Mereka berlaku
begini begitu lekas tampak ular kuning emas itu, yang dipanggil si "Kim-djie", si "emas".
Ular kuning itu, tak perduli tubuhnya kecil sekali, sudah lantas serang sang kelabang.
Sin Tjie dan Tjeng Tjeng sudah saksikan kegagahannya, mereka tahu pasti, sang kelabang
tidak punya pengharapan. Benar saja, belum lama, sang kelabang kena digigit hingga dia
mati seketika. Lantas keenam ular hijau rubungi ular kuning emas itu, ada yang menjilat-jilat dengan
lidahnya, rupanya untuk hunjuki rasa syukur.
"Tidak disangka, dalam kalangan ular pun ada pendekarnya!" kata Sin Tjie sambil tertawa.
Dengan tiba-tiba saja timbul keinginannya si Nona Hee, rupanya dia ingat suatu apa.
"Aku inginkan ular kuning emas itu!" katanya. Ia berbisik di kuping pemuda kita.
"Omongan bocah cilik!" Sin Tjie bilang. "Mana orang sudi memberikannya?"
"Kau ingat tidak?" Tjeng Tjeng berbisik pula. "Apakah julukannya ayahku?"
Sin Tjie tergetar hatinya.
"Apa mungkin Kim Tjoa Long-koen ada hubungannya sama ular kuning emas ini?"
katanya. Ular kuning emas adalah "Kim-tjoa".
Sementara itu si uwah awasi Tjeng Tjeng tak hentinya, rupanya dia dengar perkataannya
Sin Tjie, mendadak dia berlompat dari dalam rombongannya, dia berlompat kepada si
Nona Hee seraya ulur kedua tangannya ke arah pundak nona itu.
"Kau pernah apa dengan Kim Tjoa Long-koen?" tanya dia.
Aneh luar biasa! Begitu jelek romannya uwah ini, suaranya nyaring-halus bagaikan suara
burung kenari, sedap didengarnya.
Tjeng Tjeng kaget, dia lompat mundur.
"Apa kau mau?" dia menegur.
Hampir berbareng dengan itu, dua orang yang mendampingi kiri dan kanannya Ho Kauwtjoe
telah berlompat ke kedua sampingnya si uwah. Dengan berbareng mereka pun
menegur: "Dimana adanya sekarang si orang she Hee itu?"
Sin Tjie telah saksikan cara berlompat musuh yang gesit sekali, dia mengerti kedua orang
itu bukannya orang-orang sembarangan, maka ia mengawasi dengan waspada. Ia tampak
mereka bertubuh tinggi kurus dan sedang, dan yang tubuhnya sedang itu bermuka hitam,
romannya sebagai petani. Rata-rata mereka berumur kurang-lebih lima-puluh tahun.
Dulu Tjeng Tjeng belum tahu asal-usul dirinya, dia merasa malu sendirinya, akan tetapi
setelah dia dengar keterangan ibunya, dia jadi beruba sikap, dia malah sangat bangga
terhadap ayahnya, kebanggaan itu tak pernah kunjung padam. Maka itu, atas teguran
kedua orang ini, dia angkat kepalanya.
"Kim Tjoa Long-koen itu ayahku," dia jawab. "Apa perlunya kau tanya tentang ayahku
itu?" Si wanita tua tertawa dengan sekonyong-konyong, suara tertawanya panjang, lagunya
membuat orang jadi gentar hati.
"Jadinya dia belum mampus dan dia telah tinggalkan kau sebagai turunan celaka!"
bentaknya. "Ada dimana dia sekarang?" si jangkung-kurus menegur.
Tjeng Tjeng angkat kepalanya.
"Perlu apa aku jawab kamu?" katanya secara menantang.
Sepasang alisnya si uwah terbangun, kedua tangannya menyambar muka Tjeng Tjeng.
Inilah hebat untuk nona Hee, yang tak keburu berkelit, sedang sepuluh jarinya wanita tua
itu berkuku tajam semua. Coba kuku beracun itu mengenai muka yang putih-bersih dan
halus itu"
Sin Tjie ada di dekat Tjeng Tjeng, segera ia ayun tangan kanannya, yang ujung bajunya
panjang, ia sampok kedua lengannya si penyerang, ia teruskan putar naik tangannya,
untuk libat kedua lengan orang, setelah mana, dia mendorong.
Tidak ampun lagi, uwah itu terpelanting, dia jumpalitan, maka ketika tubuhnya mengenai
tanah, dia jadi duduk numprah.
Kejadian itu membuat kaget semua anggauta Ngo Tok Kauw, sebab si wanita tua itu, Ho
Ang Yo namanya, si Bunga Merah, adalah salah satu jago mereka, malah derajatnya lebih
tinggi setingkat daripada kauwtjoe mereka. Apa tidak aneh sekarang, jago itu rubuh di
tangannya seorang anak muda yang tidak dikenal" Dan jatuhnya pun secara demikian
gampang" Segera si jangkung-kurus, yang bernama Phoa Sioe Tat, dan si orang tani, yang bernama
Thia Kie Soe, yang dalam rombongannya berkedudukan sebagai Tjo-yoe Hoe-hoat, atau
pelindung kiri dan kanan dari ketua Ngo Tok Kauw, saling berpaling dan manggut,
kemudian Sioe Tat kata secara menantang: "Biarkan aku yang terima pengajaran!" Dan ia
terus maju. "Wan Siangkong, biar aku yang sambut dia," kata See Thian Kong pada Sin Tjie.
Anak muda kita percaya, orang she See ini tentu bukan tandingan musuh itu, akan tetapi
tidak leluasa untuk ia mencegah, maka ia pesan: "Saudara See, gunai kipasmu! Jeriji
tangan bersarung lancip, itulah senjata dia!"
See Thian Kong menurut, ia lantas keluarkan kipasnya, kipas Im-yang-sie, maka di lain
saat, ia sudah bertempur sama musuh itu.
Di sebelah ini, seperti yang berjanji, Thia Kie Soe majukan diri dan disambut A Pa, si
empeh gagah, malah berdua mereka lantas saja bertempur dengan seru sekali.
Pertempuran kalut menyusul dua rombongan yang pertama ini. Orang-orang Ngo Tok
Kauw mulai lebih dahulu, maka itu Ouw Koei Lam bersama Thie Lo Han dan Tjeng Tjeng
terpaksa hunus senjata, untuk layani mereka, jikalau tidak, pasti See Thian Kong dan A Pa
akan kena dikeroyok.
Adalah si uwah jelek, Ho Ang Yo, yang sebagai orang kalap lompat ke arah Tjeng Tjeng,
agaknya dia sangat musuhkan si Nona Hee.
Sin Tjie percaya pengemis wanita tua itu mengandung kebencian hebat terhadap Tjeng
Tjeng, entah ada dendaman apa, ia cuma duga, mestinya itu ada hubungannya dengan
Kim Tjoa Long-koen, jikalau tidak, tidak nanti karena dengar disebutnya nama jago she
Hee itu, uwah ini segera unjuk kemurkaan luar biasa. Ia pun insyaf, tidak dapat uwah itu
diijinkan turun tangan jahat terhadap Tjeng Tjeng, yang pasti bukan tandingannya. Maka
itu, begitu lekas orang telah datang dekat, selagi si uwah hendak serang Nona Hee,
dengan sebat dia lompat ke sampingnya, akan jambak bebokong orang itu, akan terus
diangkat tubuhnya dan dilemparkan!
Ho Thiat Tjhioe saksikan kejadian itu, air mukanya lantas berubah menjadi padam, segera
ia bawa telunjuk kanannya ke mulutnya, untuk perdengarkan suitan, beberapa kali
beruntun. Kalau tadi orang-orang Ngo Tok Kauw maju dengan cepat sekali, untuk terjang musuh,
maka sekarang, atas bunyinya suitan itu, mereka mundur dengan tak kurang sebatnya,
semua lantas berkumpul di sebelah belakang kauwtjoe mereka, berdiri rapi dalam dua
barisan. Setelah itu, ratu agama itu perlihatkan senyumannya.
"Wan Siangkong," katanya dengan sabar dan manis, "nampaknya kau begini lemahlembut,
tidak disangka-sangka, ilmu kepandaianmu liehay sekali. Wan Siangkong, biarlah
aku yang main-main barang beberapa jurus denganmu..."
Sin Tjie tidak lantas terima tantangan itu.
"Satu hal membuat aku tidak mengerti," katanya. "Sahabat-sahabatku ini semua tidak
kenal-mengenal dengan rombonganmu, tak tahu kami, di bahagian mana kami telah
bersalah terhadap kamu. Walaupun demikian, aku yang rendah bersedia untuk
menghaturkan maaf."
Wajahnya Ho Tiat Tjhioe merah karena pertanyaan itu yang berupa teguran.
"Sebenarnya, kami cuma berurusan dengan pihak pembesar negeri," kata dia dengan
pelahan, suaranya halus. "Pasti sekali Wan Siangkong tidak mengerti duduknya hal. Tapi
ini biarlah. Barusan ada disebut-sebut nama Kim Tjoa Long-koen, hal menjadi lain.
Sekarang siauw-moay mohon tanya, Kim Tjoa Long-koen itu ada di mana?"
Sin Tjie berlaku hormat dan merendah, ratu agama itu pun bersikap manis, hingga ia
membahasakan diri siauw-moay, adik yang kecil.
Tjeng Tjeng tarik tangannya Sin Tjie.
"Jangan beri tahu," dia kisiki itu pemuda.
"Apakah kauw-tjoe memang kenal Kim Tjoa Long-koen?" Sin Tjie balik menanya.
"Dengan kaumku, dia punya hubungan yang sangat erat," sahut kepala agama dari Ngo
Tok Kauw itu. "Ayahku telah meninggal dunia karena dia. Karenanya, dari dua puluh ribu
anggauta Ngo Tok Kauw kami, tidak ada satu anggauta yang tidak berniat mencari
padanya!" Diam-diam Sin Tjie terperanjat, juga Tjeng Tjeng. Itulah hebat! Apakah urusan itu" Sayang
mereka belum pernah ketemu sama Kim Tjoa Long-koen, hingga mereka tidak dapat
tanyakan sebabnya urusan itu. Mereka heran, kenapa Kim Tjoa Long-koen telah tanam
permusuhan dengan rombongan agama yang memuja bisa ini" Terang sekali kebencian
sangat dari pihak Ngo Tok Kauw itu.
"Kim Tjoa Long-koen berada di satu tempat yang terpisah laksaan lie dari sini," sahut Sin
Tjie. "Aku kuatir tuan-tuan tak akan dapat cari dia sekalipun untuk selama-lamanya...."
"Jikalau begitu, tinggalkanlah puteranya ini di sini, untuk kami pakai dia sebagai kurban
sembahyang roh ayahku!" kata Ho Tiat Tjhioe.
Kauw-tjoe ini percaya Nona Hee ada satu putera, sebab Tjeng Tjeng dandan sebagai satu
pemuda. Ia pun mempunyai gerak-gerik yang luar biasa sekali. Ia gampang bersenyum,
lagaknya mirip dengan nona-nona remaja yang kebanyakan, suaranya pun lembut, akan


Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tetapi satu waktu, dia bisa unjuk keangkaran dan suaranya jadi keren. Demikian kali ini.
Sin Tjie tetap berlaku tenang dan sabar.
"Adalah pembilangan sejak jaman purbakala, siapa melakukan sesuatu, dia sendiri yang
harus bertanggung-jawab," katanya. "Kamu mempunyai sangkutan dengan Kim Tjoa
Long-koen, baiklah kamu pergi cari dia itu sendiri."
Ho Tiat Tjhioe pun menjadi sabar pula ketika ia berkata lagi.
"Ketika dahulu ayahku almarhum menutup mata, siauw-moay Baru berusia tiga tahun,"
katanya. "Sudah dua-puluh tahun kami cari lootjianpwee she Hee itu, tidak juga siauwmoay
berhasil. Itulah sebabnya kenapa siauw-moay ingin tahan puteranya ini. Kalau
lootjianpwee itu ketahui puteranya berada di sini, pasti dia bakal datang mencari. Asal dia
datang kemari maka urusan kita yang telah tertangguh lama itu segera akan menajdi
beres." Tjeng Tjeng jadi sangat gusar. Dia hendak ditahan, untuk dijadikan "manusia
tanggungan". Itulah hebat. Maka tak dapat dia kendalikan diri lagi.
"Hm, bagus pikiranmu!" dia menjengeki. "Aku nanti beritahu ayahku tentang tingkah
tengik kamu ini, supaya dia bunuh mampus kamu semua!"
Ho Tiat Tjhioe tidak ladeni nona ini. Dia menoleh pada Ho Ang Yo.
"Adakah dia ini mirip dengan ayahnya?" tanya dia.
"Romannya mirip benar satu dengan lain, dan tabeatnya pun hampir sama!" jawab si
uwah. Kauwtjoe itu segera hadapi Sin Tjie.
"Wan Siangkong, aku persilakan kamu semua pergi pulang," kata dia. "Kami cuma hendak
menahan ini satu Hee Kongtjoe."
Dan ia geraki tangannya, sebagai tanda untuk mempersilahkan tetamu-tetamunya
berangkat pergi.
Sin Tjie berpikir dengan cepat.
"Dia cuma inginkan Tjeng Tjeng satu orang, karena keadaan di sini berbahaya, baik aku
dului antar dia keluar. Yang lain-lain umpama kata mereka tidak dapat lolos, mereka tentu
tidak terancam bahaya hebat..."
Maka lantas saja dia menjura kepada kepala agama itu.
"Nah, sampai ketemu pula!" katanya.
Berbareng dengan ucapannya itu, Sin Tjie sambar pinggang Tjeng Tjeng dengan tangan
kiri, sambil pondong si nona, ia lompat ke arah tembok yang tinggi, tetapi ia tidak
perdulikan itu. Lagi sekali dia lompat, untuk enjot kedua kaki, pondongannya diangkat ke
tinggi, untuk dilemparkan ke atas, untuk mana, tangan kanannya membantu menolak
dengan keras. "Hati-hati, adik Tjeng!" dia pesan.
Orang-orang Ngo Tok Kauw saksikan kejadian itu, mereka jadi sangat murka, untuk
merintangi, beberapa di antaranya segera menyerang dengan senjata rahasianya masingmasing.
Sin Tjie kibaskan pulang-pergi tangannya, yang bertangan baju panjang, dengan itu ia
halau sesuatu senjata rahasia musuh itu, yang pada jatuh ke tanah.
Tjeng Tjeng telah membarengi berlompat ketika ia diapungi Sin Tjie, ia jambret tembok,
untuk naik keatasnya.
Justru itu, Ho Tiat Tjhioe lompat dari kursinya, dia serang Sin Tjie dengan tangan kirinya.
Anak muda ini terkesiap karena penyerangan kauw-tjoe itu. Tangan yang menyerang
belum sampai, anginnya sudah menyambar hidungnya. Sejak dia turun gunung, belum
pernah dia ketemu musuh yang liehay sekali, kecuali dia punya Djie-soeko Kwie Sin Sie.
Makanya, di sebelah terkejut, dia pun kagumi kepala agama Ngo Tok Kauw ini.
"Bagus!" dia berseru seraya egos tubuhnya, sambil berbuat mana, matanya segera
tampak, tangan yang dipakai menyerang dia merupakan gaetan lancip dan tajam,
warnanya hitam, hingga kembali ia jadi kaget.
Selagi menyerang Sin Tjie, tangan kanannya Ho Tiat Tjhioe terayun ke tinggi, ke arah
Tjeng Tjeng, menyusul mana sebelah gelang emasnya melesat naik ke tembok.
"Kau turun!" dia berseru, suaranya nyaring tapi tetap halus.
Tjeng Tjeng merasakan sangat sakit pada kaki kirinya, tak dapat ia pertahankan itu, kedua
tangannya pada tembok terlepas, ia rubuh ke kaki tembok.
Ho Ang Yo perdengarkan suara tertawanya yang panjang dan menyeramkan, dia
berlompat kepada puterinya Kim Tjoa Long-koen, sepuluh jarinya yang tajam dan liehay,
yang beracun, diarahkan kepada nona dalam penyamaran itu.
Sementara itu, Sin Tjie telah mesti layani Ho Tiat Tjhioe, yang habis serang Tjeng Tjeng
dengan senjata rahasianya terus terjang pula anak muda ini, Tadi tidak sangka nona ini
bisa membarengi menyerang Tjeng Tjeng, kalau tidak, tentu ia sudah menghalanginya.
Sekarang ia mesti layani serangan sangat hebat dari ini kepala agama. Meski begitu, ia
masih sempat perhatikan Tjeng Tjeng, maka tempo ia tampak serangan berbahaya dari Ho
Ang Yo, dengan sebat ia serang uwah itu dengan beberapa butir biji caturnya, hingga
semua sepuluh sarung kukunya si wanita tua jadi copot dari jeriji-jerijinya dan jatuh ke
tanah, hingga Tjeng Tjeng jadi lolos dari ancaman malapetaka.
"Bagus!" Ho Tiat Tjhioe puji lawannya, yang ia kagumkan kepandaiannya menggunai
senjata rahasia itu, berbareng dengan mana, tangan kirinya tetap mendesak dua kali
beruntun, karena tak pernah ia hambat serangannya.
Sin Tjie pun heran akan saksikan kedua tangannya lwan wanita ini, kedua tangan yang ia
telah lihat dengan tegas. Tangan kanan si nona putih dan halus, bagaikan es atau salju,
lima jarinya lurus dan lentik, kelima kukunya dipakaikan cat kuku terbuat dari sarinya
bunga hongsian, kapan tangan kanan itu dipakai menyerang, berbareng sama
keliehayannya, pun ada menyiarkan bau harum. Akan tetapi tangan kirinya, entah kenapa,
seperti telah dikutungi sebatas telapakan tangan, sebagai gantinya dipasangi gaetan
terbuat dari besi yang tajam sekali, gaetan mana bisa dikasi bekerja sama liehaynya
dengan tangan biasa.
"Saudara See, lekas kamu cari jalan keluar!" seru Sin Tjie sambil terus layani si nona.
See Thian Kong beramai sebaliknya sudah dikurung rapat oleh orang-orang Ngo Tok
Kauw itu, mereka berjumlah jauh lebih kecil, sulit untuk mereka menoblos kurungan.
Dalam melayani musuh, Sin Tjie pergunakan "Hok-houw-tjiang", ilmu silat "Menaklukkan
Harimau". Ia sebenarnya harus berlaku telengas, akan tetapi ia dapati lawannya desak ia
dengan hebat tapi tanpa serangan-serangan yang membahayakan, orang seperti
memandang-mandang kepadanya, ia pun jadi berlaku tenang. Rupanya, kalau bisa, si
nona hendak dapat rabah tubuh si anak muda, untuk ditangkap tanpa berdaya...
Selama pertempuran berlangsung itu, Tjeng Tjeng numprah saja di tanah, tak dapat ia
bangun berdiri. Sin Tjie lihat keadaan kawannya itu, ia niat menolong, maka ia lantas desa
Ho Tiat Tjhioe, lalu selagi si nona mundur, mendadak dia lompat pada Nona Hee, untuk
dikasi bangun. Hampir berbareng dengan itu, Sin Tjie dengar suara beradu keras. Itulah Thie Lo Han,
yang bentrok hebat dengan Thia Kie Soe. Atas bentrokan itu, tauwtoo ini berseru, lalu ia
menyerang lagi, dengan hebat, hanya kali ini, Baru beberapa jurus, ia telah rasai
tangannya sakit dan berat. Sebab tangan itu menjadi bengkak dengan lekas sekali, hingga
berbareng sangat mendongkol, dia pun sibuk.
"Tangan musuh ada racunnya semua, awas!" dia teriaki kawan-kawannya, untuk diberi
peringatan. Mendengar seruan dari kawan itu, mendadak Sin Tjie ingat, semua musuh dari Ngo Tok
Kauw itu telah pahamkan Tok-see-tjiang, ilmu "Tangan Pasir Beracun" yang liehay, asal
orang kena terserang, mesti dia jadi kurbannya racun. Karena ini ia anggap, benar-benar
pihaknya sedang terancam bahaya hebat, bila tidak lekas-lekas mereka loloskan diri,
mereka akan hadapi malapetaka, semua bakal terkubur di sarang penjahat itu.
Ho Tiat Tjhioe berlaku gesit, menampak lawannya tolongi puterinya Kim Tjoa Long-koen,
dia mendesak pula.
"Ho Kauw-tjoe!" Sin Tjie berkata, "kita berdua tidak kenal satu dengan lain, kita tidak
pernah bermusuhan, kenapa kau desak kami begini rupa" Jikalau kau tidak ijinkan kami
berlalu dari sini, jangan nanti kau sesalkan aku keterlaluan!"
Nona she Ho itu, kepala dari Ngo Tok Kauw, tertawa manis, hingga kelihatanlah sepasang
sujennya. "Kami cuma menghendaki supaya Hee Kongtjoe ditinggal di sini," katanya. "Untuk yang
lain-lain, silahkan pergi!"
Tentu saja tak sudi Sin Tjie tinggal Tjeng Tjeng. Maka ia sambut jawaban itu dengan
sapuan kaki kiri sambil berbareng tangan kanannya menyambar ke muka si nona.
Ho Tiat Tjhioe tolong diri sambil berlompat seraya tangannya yang sebelah dipakai
menangkis, untuk papaki tangan kanan lawannya itu. Akan tetapi sebelum kedua tangan
bentrok, cepat-cepat dia egos tangannya itu, ia baliki untuk pakai jarinya menotok lawan
punya jalan darah kiok-tie-hiat. Sebat luar biasa perubahan gerakan tangannya ini.
"Bagus!" Sin Tjie memuji dengan suaranya pelahan seraya ia elakkan tangannya itu dari
totokan, sedang dengan tangan kirinya, ia membabat batang leher lawan itu. Ia telah dapat
kenyataan, walaupun si nona bertangan beracun, dia toh jeri untuk seranganserangannya.
Habis ini, ia mengubah serangan dengan "Poh-giok-koen", ilmu silat
"Memecahkan batu kumala", ilmu pukulan mana Lauw Pwee Seng tidak sanggup
melayaninya selama lima jurus meskipun Pwee Seng dijuluki "Sin-koen Thay-Po",
"pahlawan kepala".
Ho Tiat Tjhioe liehay, akan tetapi didesak dengan ini ilmu pukulan yang Baru, dia repot
juga, tidak berani dia sembarang menangkis, kalau tadinya ia sering bersenyum, sekarang
romannya jadi sungguh-sungguh, tandanya ia tidak berani memandang enteng lagi. Ia
segera perlihatkan keentengan tubuhnya, kelincahannya, untuk bisa melayani terus. Tapi,
selagi ia berlaku cepat, gerakannya Sin Tjie lebih gesit pula. Kemudian, sedangnya si nona
mundur karena terdesak, hingga mereka datang dekat kepada Kim-ie Tok Kay Tjee In Go,
dengan mendadak pemuda kita serang si pengemis tak berbudi itu - dengan kepalan
tangan. "Bagus!" berseru Tjee In Go, yang lihat serangan itu sambil menangkis dengan tangannya
yang kiri, untuk bentur tangan lawan.
Sin Tjie mendak, tangan kanannya ditarik pulang, sebaliknya, tangan kirinya dipakai
menyambar ujung baju lawannya itu, untuk dipegang, berbareng dengan mana, kaki
kanannya dimajukan, untuk dipakai menggaet kedua kaki lawan itu, sedang kaki kirinya,
sebat sekali, ia pakai menjejak dengkul kanan lawan tepat bahagian batok dengkul itu.
Tjee In Go tidak berdaya untuk pelbagai serangan berbareng itu, tak sempat ia singkirkan
kakinya itu, malah tak bisa ia berbuat demikian, karena kaki kanan musuhnya sudah
mendahului melibat. Dengan hebat ia kena terjejak, sampai batok dengkulnya seperti mau
copot, hingga ia merasakan sakit bukan kepalang. Tidak ampun lagi, ia rubuh mendeprok!
Ouw Koei Lam adalah yang lawan Kim-ie Tok Kay, melihat sang lawan rubuh, dia lantas
meninggalkannya, untuk pergi hampirkan tiga musuh yang sedang kerubuti See Thian
Kong. "Mundur ke tembok!" teriak Sin Tjie. "Aku nanti yang menolongi!"
Mendengar itu, Koei Lam batal membantui Thian Kong, sebaliknya ia dekati Tjeng Tjeng,
untuk bawa dia ini ke tepi tembok, kemudian ia pun kumpuli Thie Lo Han dan Sian Tiat
Seng yang pada terluka.
Sin Tjie sendiri segera perhatikan lain-lain kawannya. Ia lihat bagaimana See Thian Kong
dan A Pa masing-masing melayani tiga musuh yang sedang kepung mereka itu. Tidak
tempo lagi, ia bergerak untuk berikan pertolongannya. Untuk ini, ia tendang bergantian
dua orang Ngo Tok Kauw, yang menerjang kepadanya, setelah mereka ini rubuh, ia lompat
kearah See Thian Kong.
Tiga penyerangnya orang she See itu pun telah mendapatkan luka-luka tak berarti, masih
mereka mengepung terus. Sin Tjie lantas serang mereka itu, tapi ia tidak ingin mencelakai
terlalu banyak orang, iapun segar bentur tangan-tangan Tok-see-tjiang, maka ia berkelahi
dengan ilmu silatnya "Hoen-kin Tjo-koet-tjhioe", saban-saban ia bikin orang rubuh
pingsan atau tak mampu bergerak lagi.
Sebentar saja, See Thian Kong telah dapat dibebaskan dari kepungan, maka itu, pemuda
ini lantas hampirkan A Pa, si empeh gagu. Dia ini dikepung bertiga, tidak bisa dia kalahkan
musuh-musuhnya tetapi ia sendiri masih cukup gagah, leluasa ia melayaninya, sebab ia
telah wariskan cukup baik ilmu silat Hoa San Pay.
Ho Tiat Tjhioe tampak keadaan merugikan pihaknya, ia perdengarkan pula suitannya,
maka sekarang orang-orang Ngo Tok Kauw meluruk pada Sin Tjie dan si empeh gagu.
Melihat demikian, Sin Tjie unjuk kegesitannya, dengan cepat ia rubuhkan satu lawan dan
lukai lengannya yang lain, sedang A Pa dapat kesempatan toyor musuhnya yang ketiga
selagi dia ini terkesiap mendapatkan dua kawannya kena dikalahkan.
A Pa telah jadi sangat sengit, ingin ia susuli musuhnya yang telah mengeluarkan kecap
dari hidungnya, akan tetapi Sin Tjie tarik ia kekaki tembok dimana kawan-kawan mereka
sudah berkumpul menjadi satu, sedang dilain pihak, orang-orang Ngo Tok Kauw pun
sudah berkumpul, untuk taati titah kepala agamanya, akan serbu musuh.
Rombongan Ngo Tok Kauw ini menjagoi diwilayah Inlam, sesuatu orang kang-ouw, atau
Sungai Telaga, mendengar nama mereka saja sudah kerutkan alis dan menggeleng kepala,
semua jeri, karena tidak saja mereka liehay ilmu silatnya, yang sangat dimalui adalah
kuku-kuku mereka yang berbisa, siapa terkena kuku itu, asal lecet saja, tentu bakal
terbinasa. Akan tetapi, siapa nyana, di Utara ini, Baru mereka datang, mereka telah
menghadapi musuh yang liehay, maka disebelahnya kaget dan heran, mereka pun
mendongkol dan gusar sekali. Begitu Ho Tiat Tjhioe, dengan suitannya, ia telah beri tanda
untuk orang-orangnya meluruk kepada musuh mereka.
"Kamu semua lekas menyingkir, aku nanti pegat mereka!" seru Sin Tjie pada kawannya.
Ouw Koei Lam, yang kepandaiannya entengi tubuh cukup liehay, taati seruannya pemuda
itu, yang berbareng jadi beng-tjoe, ketua ikatan, dari tujuh propinsi. Dengan
kepandaiannya "Pek-houw yoe tjhong kong," atau "Cecak memain ditembok," dia merayap
ditembok, untuk naik keatasnya, lalu dengan dibantu A Pa dan Thian Kong, ia sambut
kawannya yang terluka. Si empeh gagu dan Thian Kong adalah yang naik paling belakang.
Sin Tjie sementara itu sudah tangkis serbuan musuh-musuhnya, dengan cepat ia telah
rubuhkan belasan orang, sesudah mana, dengan angkat kedua tangannya, ia beri hormat
pada kauwtjoe dari Ngo Tok Kauw.
"Nona Kauw-tjoe, sampai ketemu pula, sampai ketemu pula!" katanya, kemudian dengan
bebokongnya ditempel pada tembok, hingga dilain saat, ia sudah nyerosot naik ditembok
itu. Sebentar saja, ia pasti akan sudah sampai diatas.
Ho Ang Yo si wanita tua menjerit melihat orang hendak kabur, ia enjot kedua kakinya,
untuk apungi diri, akan sambar musuh itu, sedang lima jari tangannya mendahului,
menyerang ke jurusan tubuh sang lawan. Ia percaya, selagi nyerosot naik, musuh itu tidak
bakal sanggup menangkis atau mengelakkan serangannya itu.
Sin Tjie memang berada dalam keadaan keponggok, tak bisa ia berkelit, akan tetapi kedua
tangannya ada merdeka, begitu diserang, ia kibaskan tangan kirinya, yang ujung bajunya
panjang, hingga tangannya si uwah jelek jadi kena tersampok, sampai tangan dengan
kuku-kuku yang liehay itu berbalik menyerang ke arah dirinya sendiri.
Kaget sekali wanita tua-bangkotan ini.
"Apakah kau ada muridnya Kim Tjoa Long-koen?" tegur dia.
Kitab Pusaka 14 Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long Pendekar Pemetik Harpa 33

Cari Blog Ini