Ceritasilat Novel Online

Pedang Ular Mas 12

Pedang Ular Mas Karya Yin Yong Bagian 12


ia awasi nona kita, mulutnya mengucap: "Benar-benar, orang Timur aneh!...."
Lekas-lekas ia kembali pada Ryamond dan Peter, akan tunjuki uang itu.
"Dia punyakan ilmu sihir!" katanya.
"Jangan kita layani dia! Mari kita pergi!" mengajak Peter.
Dua opsir itu berbangkit, Catherine mengikuti. Peter lantas memberi titah.
Sebentar saja semua serdadu lari keluar, akan berkumpul sama kawan-kawannya,
menyusul mana, lantas mereka berangkat bersama-sama meriam-meriam mereka.
Raymond dan Peter berbareng bertindak keluar dari hotel. Ketika Catherine lewat di
samping Tjeng Tjeng, dia mengawasi sambil tertawa, hingga angin wangi berkesiur
daripadanya. Sedetik saja, ruang hotel itu jadi sunyi.
"Bagaimana macamnya meriam asing itu, belum pernah aku lihat," kata Thie Lo Han.
"Mari kita lihat!" Ouw Koei Lam mengajak.
Tiba-tiba See Thian Kong tertawa.
"Saudara Ouw," katanya kepada malaikat copet itu, "andai kata kau bisa unjuk
kepandaianmu, dengan curi sebuah meriam, aku bakal kagumi kau tak habisnya...."
"Sebenarnya belum pernah aku curi meriam besar, yang demikian berat," kata Koei Lam,
yang pun tertawa. "Kita bertaruh atau tidak?"
"Meriam itu ada untuk menghajar bangsa Boan, jadi tak tepat untuk dicuri," Thian Kong
bilang, "kalau tidak, aku suka bertaruh."
Sambil tertawa, mereka bertindak keluar, malah dengan jalan cepat, mereka bisa lewati
lerotan meriam dan barisan serdadunya itu. Semua meriam ada sepuluh buah, saking
beratnya, setiap meriam diseret delapan ekor kuda, sudah begitu, di belakangnya masih
ada orang-orang yang bantu mendorongnya. Bekas-bekas roda-roda menggelinding
meninggalkan lobang yang dalam bagaikan selokan.
"Jikalau ada ini sepuluh jendral perang menjaga San-hay-kwan, tak perduli bagaimana
garangnya pula tentara Boan, pasti mereka tak dapat menerjang dengan berhasil," kata
Sin Tjie sambil tertawa.
Orang telah berjalan terus, sampai selang dua-puluh lie lebih, rombongan Sin Tjie dengar
berisiknya suara kelenengan di sebelah depan, lalu tertampak belasan penunggang kuda
sedang mendatangi, kapan mereka itu sudah datang lebih dektam kelihatan sesuatu
penunggang kuda bekal senjata dan panah di bebokong, di atas kudanya tergendol kelinci
dan lainnya binatang hutan, suatu tanda mereka adalah serombongan pemburu. Semua
mereka mengenakan dandanan perlente, sepatunya pun tebruat dari kulit, sedang yang
diiring adalah satu nona.
Kapan si nona telah datang dekat sekali pada rombongannya Sin Tjie, lantas dia keprak
kudanya untuk menghampirkan sambil berseru-seru: "Soehoe! Soehoe!"
Thia Tjeng Tiok , orang yang dipanggil soehoe (guru), lantas tertawa.
"Bagus, kau telah datang!" dia pun berseru dengan sambutannya.
Nona itu adalah sang murid, Nona A Kioe, hanya sekarang dia dandan dengan reboh, pada
kedua kupingnya nempel mutiara sebesar jempol tangan, pada ujung bajunya tertabur
batu permata merah.
Melihat Sin Tjie, nona itu tertawa.
"Oh, kau ada bersama soehoe!" dia menegor.
Sin Tjie bersenyum, dia manggut.
A Kioe kemudian pandang See Thian Kong, kembali dia tertawa dan kata: "Tanpa
bertempur, kita tak akan bersahabat!"
Tjeng Tiok panggil muridnya itu, untuk diajar kenal terutama dengan Thie Lo Han dan Ouw
Koei Lam. "Kau hendak pergi kemana?" kemudian sang guru tanya.
"Aku pergi berburu," jawab si nona.
"Kami lagi menuju ke Pakkhia, baik kau turut kami," Tjeng Tiok kata.
"Baik, soehoe," jawab A Kioe, yang terus dampingi gurunya itu.
Sin Tjie dan Tjeng Tjeng heran juga menampak Nona A Kioe, sebab meskipun begitu muda
nona ini punyakan sikap yang beda daripada nona-nona sepantarannya.
Di waktu tengah hari, selagi singgah untuk beristirahat, orang duduk dahar menghadapi
dua buah meja, dan A Kioe serta gurunya duduk bersama Sin Tjie beramai.
Pada mulanya, Sin Tjie duga nona itu ada cucu perempuan dari Thia Tjeng Tiok, tidak
tahunya dia itu adalah muridnya. Ia percaya si nona adalah gadisnya satu hartawan yang
telah dimanja-manjai, jikalau tidak, dandanannya, gerak-geriknya, tidak sedemikian rupa,
malah untuk berburu, si nona bawa demikian banyak pengiring. Ia tidak mengerti,
bagaimana caranya maka si nona berguru kepada ketua Tjeng Tiok Pay itu dan bisa
bergaul di dalam golongan.
Habis bersantap, perjalanan dilanjuti, sorenya, mereka singgah di sebuah hotel di Im-matjip.
Selama itu, Sin Tjie dan Tjeng Tjeng senantiasa perhatikan dengan diam-diam kepada A
Kioe dan sekalian pengiringnya itu itu. Mereka mau percaya, sekalian pengiring itu bukan
cuma kacung atau bujang belaka, mungkin mereka ada pegawai-pegawai negeri,
karenanya, mereka jadi semakin heran.
(Bersambung bab ke 17)
Sore itu, selagi duduk berkumpul dan pasang omong, Tjeng Tjeng tanya A Kioe: "Adik
Kioe, ketika itu hari kami hajar tentara negeri, hingga kami merasa sangat puas, kemudian
ternyata kau menghilang. Sebenarnya kemana kau pergi?"
"Ah!...." bersuara si nona, yang mukanya menjadi merah dengan tiba-tiba. Kemudian,
dengan menyimpang, dia bilang: "Entjie Tjeng, coba kau dandan, kau pasti baru ternyata
eilok benar!"
Tjeng Tjeng heran, kapan ia lihat nona muda ini suka tengok kiri dan kanan. Tadinya ia
hendak menanyakan lebih jauh tapi ia batal kapan ia tampak Tjeng Tiok, yang duduk di
depannya, kedipi mata. Maka akhirnya, sambil tertawa, ia jawab nona itu: "Kita sedang
bikin perjalanan, kepala dan muka kita biasa penuh debu, habis kita berdandan, kepada
siapa hendak dikasi lihatnya?"
A Kioe bersenyum.
Tidak lama setelah itu, orang bubaran, untuk masuk tidur.
Selagi Sin Tjie hendak naik ke pembaringannya, Thia Tjeng Tiok datang padanya.
"Wan Siangkong, aku hendak bicara denganmu untuk satu urusan," kata ketua Tjeng Tiok
Pay, yang datangnya secara tiba-tiba.
Sin Tjie menyambut dengan gembira.
"Baik!" sahutnya. "Silakan duduk."
"Lebih baik kita pergi keluar, ke tempat terbuka dan sepi," Tjeng Tiok bilang hampir
berbisik. Sin Tjie merasa pasti, urusan ada penting, maka ia pakai pula bajunya, lalu keduanya
keluar, akan terus berlari-lari ke bukit malah mendaki puncak, akan duduk atas sebuah
batu besar. Ketua Tjeng Tiok Pay melihat ke sekitarnya, yang sunyi.
"Wan Siangkong," kata dia kemudian, "aku hendak omong tentang A Kioe, muridku itu.
Dia ada satu anak dengan asal-usul istimewa. Ketika dia mulai angkat aku sebagai guru,
aku pernah berjanji untuk tidak buka rahasia tentang dirinya."
"Aku pun lihat dia bukannya orang sembarangan," Sin Tjie bilang. "Karena kau telah beri
janjimu, tak usah kau menerangkannya kepadaku."
"Sekalian pengiringnya ada orang-orang negeri, maka itu, tentang maksud bekerja kita ini,
mereka tak boleh mendapat tahu," kata pula Tjeng Tiok.
Mau atau tidak, Sin Tjie toh tercengang.
"Jadi benar mereka ada hamba-hamba negeri?" tegaskannya.
Tjeng Tiok manggut-manggut.
"Aku mau percaya, muridku ini tidak bakal jual kita," kata ia kemudian, "akan tetapi dia
masih berusia sangat muda, tak dapat diduga yang pikirannya bisa tidak berubah."
"Kalau begitu, di depan A Kioe baik kita waspada," Sin Tjie bilang.
Tjeng Tiok manggut.
Sampai di situ, urusan telah selesai, maka keduanya segera berangkat pulang.
Sesampainya di muka hotel, Sin Tjie lihat seorang lewat di jalan besar, datangnya dari
arah timur, dia itu menenteng sebuah lentera, dalam sekelebatan saja, dia itu terus masuk
ke dalam hotel. Dengan matanya yang tajam, Sin Tjie rasa kenali orang itu, melainkan tak
segera ia ingat dimana mereka pernah bertemu. Maka selagi rebah di atas
pembaringannya, pemuda kita terus mengingat-ingat hingga ia mengingat mundur sampai
rapat di gunung Tay San, pelbagai kejadian di Lamkhia dan Tjio-liang. Juga di dalam
barisan Giam Ong, tak ingat dia pernah bertemu sama orang itu. Tetapi ia tak bisa lupa
romannya orang itu.
"Di mana aku pernah lihat atau bertemu dengannya?" taya ia berulang-ulang di dalam
hatinya. Tiba-tiba ia dengar ketokan perlahan pada pintu kamarnya. Segera ia pakai bajunya dan
turun dari pembaringan, akan nyalakan api.
"Apakah kau tidak niat dahar sesuatu?" begitu pertanyaan dari luar, disusul dengan suara
tertawa dari Tjeng Tjeng, si juita nakal.
Dengan lekas pemuda kita membukakan pintu.
Tjeng Tjeng membawa sebuah nenampan di atas mana ada dua mangkok, dalam setiap
mangkoknya ada tiga butir telur ayam. Rupanya Baru saja dia habis dari dapur dimana dia
matangi telur itu.
"Terima kasih," kata Sin Tjie. "Kenapa kau masih belum tidur?"
"Aku pikirkan si A Kioe, dia aneh, dia membuat aku tak dapat tidur," sahut si nona. "Aku
kira kau pun sedang memikirkan dia itu hingga kau pun belum tidur...."
Ia bicara dengan pelahan sekali.
"Aku pikirkan dia" Untuk apa?" Sin Tjie tanya.
"Memikirkan dia karena dia sangat cantik! Coba bilang, bukankah dia cantik sekali?"
Kembali si nona tertawa.
Sin Tjie tahu baik perangai nona Hee ini. Apabila ia menjawab A Kioe cantik, Tjeng Tjeng
tentu tak puas; kalau ia menyangkal, itulah jawaban yang tak tepat dengan buktikenyataannya.
Maka ia jumput sendoknya, akan sendok sebutir telur, untuk dimasuki ke
dalam mulutnya. Baru ia menggigit sekali atau dengan sekonyong-konyong ia lemparkan
sendoknya. "Ya dia! Ya dia!" ia pun berseru tertahan.
Tjeng Tjeng terperanjat.
"Apa dia- dia?" tanyanya kemudian. "Apakah telur itu busuk?"
Sin Tjie tertawa.
"Kita jangan dahar dulu! Mari kau turut aku!" kata si anak muda.
Tak puas Tjeng Tjeng melihat orang tak dahar telurnya. Tidakkah ia telah sengaja rebus itu
untuk kawan ini"
"Kita pergi kemana?" ia tanya.
Masih Sin Tjie tidak menjawab, sebaliknya, dari dampingnya Ang Seng Hay, ia jumput
pedangnya orang itu.
"Kau pegang ini!" katanya.
Tjeng Tjeng menyambuti. Baru sekarang ia mengerti, orang hendak menghadapi musuh
rupanya. Selagi Sin Tjie menggigit telur, dengan tiba-tiba saja ia ingat suatu kejadian dimana ia
masih kecil, ketika ia menumpang di rumah An Toa-nio, di waktu ada orang jahat mencoba
culik Siauw Hoei, hingga dengan nekat ia bela nona itu, sukur tepatlah datangnya An Toanio,
yang menolongi terlebih jauh. Dengan tiga butir telur, nyonya An itu sudah serang
Ouw Loo Sam, si culik, hingga Loo Sam kabur. Dan tadi, orang yang ia lihat, yang ia rasa
kenali tapi tak ingat benar, adalah si Ouw Loo Sam itu! Dia coba ingat, apakah yang
dikehendaki dan dikerjakan oleh Ouw Loo Sam. Sekarang, setelah ingat, pemuda ini
hendak mencari tahu. Maka dia ajak Tjeng Tjeng pergi bersama.
Dengan berindap-indap, dengan hati-hati, keduanya pergi keluar, akan hampirkan sesuatu
kamar, di setiap jendela, mereka mendekam, untuk pasang kuping, akan dengari suara
orang bicara, guna cari Ouw Loo Sam. Lalu di sebuah kamar yang besar, mereka dengar
pembicaraan dari tujuh atau delapan orang, yang bicara dengan lagu-suaranya orang
kang-ouw. "Bagaimana dapat kita berlalu dari sini?" kata satu orang. "Apabila ada terjadi onar,
apakah kita masih punyakan jiwa kita?"
"Di pihaknya An Taydjin, inilah urusan penting sekali," kata satu suara lain.
"Orang yang dikirim dari kota raja itu, mana dia keburu sampai" Di depan kita telah
menantikan satu jasa istimewa, apabila kita lewatkan itu, tidakkah sangat sayang?"
Orang itu berdiam sekian lama.
"Begini saja!" terdengar satu suara yang berat. "Kita pecah dua rombongan kita ini, ialah
yang separuh berdiam di sini, yang separuh lagi pergi pada An Taydjin, untuk terima
titahnya. Jikalau nanti kita berhasil jasanya kita cicipi bersama-sama!"
Orang yang pertama rupanya telah tepuk pahanya, karena telah terdengar satu suara
nyaring, disusul sama suaranya yang keras. "Bagus! Memang, suka dan duka, kita mesti
terima bersama! Umpama terjadi onar, kita sama-sama menanggungnya!"
"Marilah kita mengadakan undian!" seorangusulkan. "Undianlah yang menetapkan, siapa
pergi dan siapa berdiam, supaya jangan ada yang mengiri."
"Akur!" menyatakan banyak suara.
"Urusan besar apakah itu yang menyebabkan mereka tak dapat pergi dari sini?" Sin Tjie
tanya dirinya sendiri. "Apa soalnya An Taydjin itu dan itu jasa istimewa" Aneh juga...."
Selagi mendengari lebih jauh, dari dalam terdengar golok dan pedang saling beradu, suatu
tanda bahwa orang telah selesai mengadakan undian, dan mereka telah bersiap untuk
keluar. Segera si anak muda bisiki Tjeng Tjeng: "Pergi bisiki See Thian Kong beramai untuk siapsedia
untuk sesuatu, aku sendiri hendak kuntit mereka, untuk lihat apa yang mereka
hendak lakukan."
Si nona manggut.
"Tapi kau harus waspada," ia pesan.
Itu waktu terdengar suara pintu dibuka, cahaya api lilin lantas menyorot keluar.
Sin Tjie dan Tjeng Tjeng sudah mendahului umpetkan diri di tempat yang gelap.
Orang yang pertama muncul adalah Ouw Loo Sam, di belakang ia turut delapan orang
lainnya dengan gegaman mereka masing-masing di tangan. Karena terangnya api lilin,
mereka itu ternyata ada orang-orang atau pengiring-pengiringnya A Kioe. Setelah mereka
keluar dan sudah meloncati tembok pekarangan, pintu kamar ditutup pula.
"Itulah orang-orangnya!" kata Tjeng Tjeng, dengan pelahan. "Memang aku sangsikan nona
itu bukannya orang sembarangan...."
Sin Tjie pun merasa heran sekali.
Sampai di situ, pemuda dan pemudi ini berpisahan, si pemuda segera susul sembilan
orang itu, untuk dikuntit.
Sin Tjie dapat kemerdekaan untuk membayangi itu sembilan orang karena ilmu entengi
tubuh warisan gurunya telah sempurna, sedang ajaran Bhok Siang Toodjin ialah "Pek pian
kwie eng" atau "Seratus kali berubah bajangan iblis" dia telah yakinkan tujuh atau delapan
bahagian sempurna. Ia mengintil terus hingga keluar dari dusun, masih mereka itu
berjalan satu lie jauhnya, akan akhirnya menuju ke sebuah rumah besar.
Ouw Loo Sam adalah yang mengetok daun pintu yang dicat hitam, apabila daun pintu
telah dipentang, kesembilan orang itu diijinkan masuk. Sin Tjie lekas-lekas jalan mutar ke
belakang, untuk meloncati tembok, untuk bisa masuk ke dalam, sesampainya di dalam, ia
cari tempat di mana ada cahaya api, ialah dari sebuah jendela, sesudah itu, ia lompat naik
ke atas genteng. Di sini ia mendekam, dengan hati-hati ia buka selembar genteng, untuk
melongok ke bawah, ke dalam kamar.
Di tengah-tengah kamar kelihatan duduk seorang umur hampir lima-puluh tahun, yang
tubuhnya kekar sekali. Ouw Loo Sam serta delapan pengiringnya A Kioe masuk ke dalam
kamar ini, mereka semua memberi hormat, agaknya orang ini ada pembesar mereka.
"Tadi di dalam dusun hamba dapat lihat Ong Hoe-tjiehoei," berkata Ouw Loo Sam.
"Hamba dapat kenyataan mereka sedang singgah, maka itu hamba segera ajak ini
sejumlah kawan pembantu."
"Bagus, bagus!" kata orang itu. "Apakah katanya Ong Hoe-tjiehoei?"
"Ong Hoe-tjiehoei bilang, apabila An Taydjin ada urusan, dia bersedia membantu," jawab
Loo Sam. "Terang pangkatnya ida ini tidak kecil," pikir Sin Tjie. "Apakah dia hendak perbuat di
waktu malam buta-rata ini?"
"Jikalau kita berhasil, jasa kita bukan main besarnya!" terdengar pula suara si An Taydjin
itu, terus dia tertawa: "Ha-ha-ha-haha!"
"Kami semua mengandalkan atas bantuan taydjin!" kata Loo Sam beramai.
"Kita beramai bakal terpecah menjadi lwee-teng sie-wie dan kim-ie-wie," kata An Taydjin
itu. "Kita semua akan keluarkan tenaga untuk Sri Baginda!"
"Benar, Taydjin!" menyambut sembilan orang itu. "Kami bersedia akan dengar sesuatu
titah dari Taydjin!"
"Bagus! Sekarang berangkatlah!"
Kaget Sin Tjie akan ketahui rombongan itu ada pahlawan-pahlawan dari istana kaisar,
apapula mengenai rombongan pahlawan kim-ie-wie, yang ia dengar biasa pergi kemanamana
untuk celakai orang, siapa kena ditawan katanya bisa kejadian "Kakinya dikutungi,
kulitnya dikeset," kejamnya bukan main.
"Entah mereka hendak pergi kemana untuk siksa orang lagi?" pikir pemuda ini. "Dia
bertemu denganku, tak dapat tidak aku harus campur-tahu!"
Sebentar kemudian An Taydjin itu keluar bersama orang-orangnya, Sin Tjie hitung
jumlahnya ada enam-belas dan di antara mereka ada enam orangnya si taydjin sendiri. Ia
tunggu sampai orang sudah jalan jauh juga, lantas ia kuntit mereka itu.
Jalanan yang diambil adalah tempat tegalan, yang makin lama makin sunyi, sekira tujuh
atau delapan lie, mereka itu lantas bicara kasak-kusuk, setelah mana, mereka pencarkan
diri, akan tetapi tujuan mereka adalah sebuah rumah yang mencil sendirian di tempat itu.
Mereka ambil sikap mengurung, di depan dan belakang, di kiri dan kanan. Mereka maju
dengan hati-hati, sambil berindap-indap, tanpa menerbitkan suara apa juga.
Sin Tjie melad contoh, akan terus bayangi mereka itu, hingga ia pun turut datang dekat
kepada rumah yang lagi diarah itu. Mungkin ada orang lihat padanya sebagai bajangan
tetapi mungkin juga ia dianggap kawan, hingga ia tidak dicurigai.
Taydjin itu lantas dapat kenyataan, pengurungannya sudah selesai, dengan satu tanda
ulapan tangan, ia titahkan semua orangnya mendekam, sesudah itu, ia hampirkan pintu,


Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk mengetok.
"Siapa?" demikian pertanyaan dari dalam, dari suaranya seorang perempuan.
An Taydjin tidak segera menjawab, ia diam sebentar.
"Kau siapa?" ia balik tanya.
"Oh, kau! Tengah malam buta." Demikian suaranya si orang perempuan pula.
An Taydjin tertawa berkakakan.
"Ini dia yang dibilang, bukannya musuh akan berkumpul pula!" sahutnya. "Kiranya kau
ada di sini. Lekas kau buka pintu!"
"Aku sudah bilang, tak sudi aku menemui pula padamu!" kata wanita itu. "Kenapa kau
datang pula?"
An Taydjin kembali tertawa.
"Kau tidak sudi menemui aku, aku justeru kangen dengan nyonyaku!" jawabnya.
"Siapakah nyonyamu?" bentak si wanita, agaknya dia murka. "Satu bacokan golok toh
telah membelah kami menjadi dua" Jikalau kau tak bisa lepaskan aku, pergi kau lepas api
bakar rumahku ini! Aku lebih suka terbinasa daripada melihat pula kau, orang yang kalap
karena sakit jiwa! Kau temahai harta dan pangkat hingga ludas rasa pri-kemanusiaanmu!"
Perhatian Sin Tjie luar biasa tertarik mendengar suaranya wanita itu, hingga akhirnya ia
terperanjat sendirinya.
"Itu toh An Toa-nio!" katanya di dalam hati. "Jadi An Taydjin ini ada suaminya - ayah
Siauw Hoei?"
An Taydjin cekikikan.
"Bagaimana sengsara aku mencari kau..." katanya. "Bagaimana aku tega membakarmu"
Marilah kita hidupkan pula kasih kita yang lama!..."
Walaupun dia mengucap demikian, tapi dengan kakinya An Taydjin mendupak pintu,
sampai dua kali.
Dari suara dupakan itu, Sin Tjie bisa duga-duga liehaynya ini taydjin.
Karena dupakan yang keras, daun pintu terbuka terpentang, menyusul mana An Toa-nio
lompat keluar dengan pedangnya berkelebat menyambar!
An Taydjin lompat mundur.
"Bagus, kau hendak bunuh suamimu!" ia berseru. Dia kuatir di dalam rumah masih ada
orang lain, tak mau ia menerjang masuk, hanya di situ, dengan tangan kosong, ia melayani
si nyonya. Sin Tjie merayap maju, untuk bisa menyaksikan dari dekat.
An Taydjin itu benar liehay, dengan tangan kosong, ia bisa berkelahi dengan tenang,
malah sambil kadang-kadang tertawa. Senantiasa ia berkelit dari sesuatu bacokan atau
tikaman, tubuhnya gesit dan lincah, hingga dia membuat An Toa-nio, dalam murkanya, jadi
bertambah sengit, hingga sambil menyerang terus berulang-ulang, nyonya ini pun
mencaci, mendamprat.
An Taydjin tetap tidak perdulikan kemurkaan orang yang ia sebut isterinya itu.
"Setan alas!" menjerit si nyonya, yang membarengi membacok dengan hebat.
An Taydjin berkelit sambil majukan sebelah kakinya, dengan begitu, ia jadi dekati si
nyonya, tangan siapa dia lantas sambar, untuk dicekal dan ditekuk, maka di lain saat
pedangnya nyonya itu terlepas jatuh, kedua tangannya kena ditelikung, sedang kedua
kakinya pun dijepit oleh kedua kakinya si taydjin ini. Secara demikian, matilah kutunya si
nyonya. "Kelihatannya tidak nanti orang she An ini lantas celakai An Toa-nio," Sin Tjie berpikir.
"Baik aku melihat terlebih jauh sebelumnya aku turun tangan akan menolongi!..."
An Taydjin tertawa bergelak-gelak karena kemenangannya itu, sampai ia meleng beberapa
kali, sedang An Toa-nio, dalam murkanya, memaki kalang-kabutan. Justru itu, sebat luar
biasa, Sin Tjie menyusup ke pojok pintu, dengan tempel tubuh kepada tembok, terus saja
ia gunai gerakannya "Pek-houw yoe-tjhong," atau "Cecak memain di tembok", akan
melesat naik ke atas, hingga ia bisa sampaikan penglari dimana ia tempatkan dirinya.
"Ouw Loo Sam, nyalakan api!" teriak An Taydjin.
Rupanya lilin di dalam kamar padam sendirinya selagi si nyonya berkutatan.
Ouw Loo Sam dengar titah itu, dengan api di tangan, ia hampirkan pintu, selagi melongok
ke dalam, ia letaki goloknya di depannya, untuk lindungi diri, kemudian ia jumput
sepotong batu, untuk menimpuk ke dalam, habis itu ia diam, ia pasang kuping, akan
dengar gerak-gerik dari dalam.
Sekian lama, kamar menjadi sunyi saja. Maka sekarang orang she Ouw ini berani bertindak
masuk. Paling dulu ia nyalakan lilin di atas meja.
An Taydjin monyongi mulutnya ke arah Loo Sam, atas mana dia ini keluarkan tambang,
yang terus dipakai membelenggu tangan dan kaki An Toa-nio.
Kembali An Taydjin tertawa.
"Kau bilang tak sudi kau menemui aku pula!" katanya. "Kau lihat, apakah sekarang aku
tidak bertemu pula denganmu" Kau lihat, dengan berapa lembar uban rambutku
bertambah!"
An Toa-nio tutup rapat kedua matanya, ia tutup juga mulutnya.
Dari atas penglari, Sin Tjie mengawasi An Taydjin itu, hingga ia dapati seorang dengan
usia pertengahan tetapi wajahnya tetap cakap dan keren. Rupanya di waktu muda dia
cakap sekali sembabat dengan An Toa-nio yang eilok.
An Taydjin usap-usap mukanya An Toa-nio.
"Bagus!" katanya sambil tertawa. "Sudah sepuluh tahun kita tidak bertemu, mukamu
masih putih bagaikan salju dan halus...."
Tiba-tiba pembesar ini berpaling kepada Ouw Loo Sam.
"Pergi kau!" dia mengusir.
Loo Sam tertawa, ia ulurkan lidahnya, lantas ia berlalu, dengan rapati pintu di
belakangnya. Taydjin itu berdiam sekian lama, lalu ia menghela napas.
"Mana Siauw Hoei?" katanya. "Selama tahun-tahun yang belakangan ini, setiap hari aku
pikirkan saja padanya...."
Tetap An Toa-nio tidak perdulikan orang ini.
"Dahulu kita masih sama-sama muda, kita menikah dan suka berselisih saja menuruti
perangai masing-masing," kata An Taydjin kemudian, "sekarang sesudah ada umur,
setelah berpisahan banyak tahun, selayaknya kita ubah adat kita dan hidup pula dengan
rukun seperti sediakala...."
Dengan tiba-tiba An Toa-nio membentak: "Kau tahu bagaimana binasanya ayah dan
kandaku!" Taydjin itu menghela napas.
"Ayah dan kandamu dibinasakan oleh kim-ie-wie, itulah benar," saaut dia, "akan tetapi tak
dapat dengan sebatang gala kejen kau sapu habis orang-orang dalam satu perahu. Di
dalam kim-ie-wie juga ada orang-orang yang baik dan busuk. Aku berkerja untuk Sri
Baginda Raja, untuk kemuliaan leluhur kita..."
"Foei! Foei! Foei!" An Toa-nio meludah berulang-ulang sebelum orang sempat tutup
mulutnya. An Taydjin berdiam, sampai sekian lama, Baru ia bicara pula.
"Aku selalu ingat Siauw Hoei," katanya. "Aku telah kirim orang untuk sambut dia,
mengapa kau menyingkir sana dan menyingkir sini, teurs kau tidak ijinkan dia bertemu
denganku?"
An Toa-nio sangat jemu tapi ia menjawab juga.
"Aku telah beritahukan kepadanya bahwa ayahnya sudah lama menutup mata," jawabnya.
"Aku bilang bahwa ayahnya ada gagah sekali dan bersemangat tetapi sayang dia pendek
umurnya, mati muda-muda!"
"Ah, mengapa kau dustakan dia?" tanya An Taydjin, suaranya duka. "Mengapa kau
sumpahi aku?"
"Ayahnya dahulu adalah satu pemuda yang bersemangat dan baik," kata An Toa-nio.
"Keluargaku larang aku menikah dengannya, akan tetapi atas mauku sendiri, dengan
diam-diam aku ikuti padanya, siapa tahu...."
Nyonya ini tak dapat bicara terus, ia menangis sesenggukan.
An Taydjin keluarkan sapu tangannya, akan susuti air mata isterinya, sembari menghiburi,
ia dekati mukanya kepada muka si nyonya, atau mendadak dia menjerit seraya
berjingkrak, mukanya mengucurkan darah, sebab An Toa-nio telah gigit padanya!
Sin Tjie menyaksikan, diam-diam ia tertawa dalam hatinya.
An Taydjin susut mukanya, ia menjadi gusar.
"Kenapa kau gigit aku?" dia menegur.
"Kau telah binasakan suamiku yang baik, kenapa aku tidak boleh gigit padamu?" jawab si
nyonya, yang masih sengit. "Aku menyesal aku tak dapat bunuh padamu!"
"Ah, heran!...." kata An Taydjin. "Akulah suamimu, cara bagaimana aku bisa bikin celaka
suamimu itu?"
"Suamiku adalah satu laki-laki yang bersemangat!" kata An Toa-nio tetap sengit. "Entah
kenapa kemudian dia kena kepincuk oleh harta-dunia dan kebesaran, dia tak kehendaki
pula isterinya, dia tak perdulikan pula puterinya, dia cuma ingin pegang pangkat besar,
ingin punya harta bertumpuk!... Suamiku dulu itu, yang baik hatinya, sudah mati, sudah
mati, tak dapat aku lihat pula kepadanya...."
Sin Tjie jadi sangat terharu. Beginilah kiranya lelakon hidup dari nyonya janda yang baik
hati itu. Ia pun mau percaya, hati An Taydjin ini tentu tergerak.
An Toa-nio melanjuti kata-katanya. "Suamiku itu bernama An Kiam Tjeng. Bukankah ia
telah dibinasakan oleh kau, An Taydjin" Suamiku itu mempunyai guru silat yang berbudi,
ialah Lookoensoe Tjiok Toa Too, akan tetapi ia kena dibinasakan oleh An Taydjin yang
telah terpincuk pangkat dan harta. Dan isteri dan anak perempuan Tjiok Lookoensoe itu
juga mati karena dipaksa oleh An Taydjin..."
"Berhenti!" An Taydjin membentak. "Aku larang kau sebut-sebut itu pula!"
"tapi manusia berhati serigala, berpeparu anjing, kau pikir saja sendiri!" An Toa-nio pun
membentak. "Pembesar negeri panggil Tjiok Toa Too untuk ditanyai keterangannya," berkata An
Taydjin ini, "belum pasti dia bakal dibikin celaka, maka kenapa ia gunai goloknya hendak
membinasakan aku" Kalau isteri dan anak daranya bunuh diri sendiri, siapa yang mesti
dipersalahkan?"
"Memang, memang Tjiok Toa Too matanya buta!" seru An Toa-nio. "Kenapa dia didik satu
murid yang demikian jempol" Murid itu telah kedinginan, ia kelaparan, ia tinggal
mampusnya saja, akan tetapi Tjiok Toa Too dengan sungguh-sungguh telah ajarkan ia
ilmu silat, telah rawat ia hingga umur dewasa, malah kemudian ia telah dinikahkan..."
An Toa-nio jadi semakin sengit, hingga An Taydjin keprak meja.
"Hari ini kita suami-isteri bisa bertemu pula, mengapa kau timbulkan soal-soal lama?"
tegurnya. "Jikalau kau hendak bunuh aku, bunuhlah!" An Toa-nio menantang. "Aku hendak sebutsebut
pula semua kejadian dulu itu, habis apa kau mau?"
Sin Tjie berpikir. Menurut An Toa-nio ini, jadinya An Kiam Tjeng telah ditolong gurunya
dari bahaya kedinginan dan kelaparan, lalu dididik, tapi setelah ia dapat berdiri sendiri, ia
kemaruk harta dunia dan gila pangkat, hingga untuk itu, dia sampai binasakan gurunya
sendiri, sampai keluarganya sang guru turut binasa semua karenanya. Maka itu, pantas An
Toa-nio jadi gusar dan putuskan perhubungan suami-isteri dengannya. Dahulu An Toa-nio
tinggal menyendiri, sampai Ouw Loo Sam mencoba culik Siauw Hoei, lantas dia
menyingkir sana dan menyingkir sini, rupanya dia mau menyingkir dari suaminya ini, satu
manusia buruk. "Dia ini harus menjadi bagian mati..." pikir Sin Tjie terlebih jauh. "Ketika dahulu dia celakai
gurunya sekeluarga, keadaan pasti sangat menyedihkan. Sayang tak dapat aku segera
hajar dia mampus sekarang juga. Entah bagaimana pikiran yang sebenarnya dari An Toanio,
maka tak dapat aku berlaku semberono...."
Karena ini, ia berdiam terus di atas penglari, akan pasang mata dan kupingnya lebih jauh.
Untuk sementara, suami-isteri itu berdiam masing-masing.
Selagi kamar ada sunyi, tiba-tiba samar-samar terdengar suara tindakan kaki kuda, atas itu
An Kiam Tjeng geser tjiaktay ke jendela, terus dia cabut goloknya, kemudian dengan
pelahan dia mengancam: "Kalau sebentar orang datang, kau berani bersuara memberi
tanda, untuk minta pertolongan, aku bakal tak perdulikan lagi perhubungan kita sebagai
suami-isteri!"
An Toa-nio tidak jawab suaminya itu.
An Taydjin ketahui baik tabeat isterinya ini, maka ia potong sejuir kelambu, dengan itu ia
sumpel mulut orang. Ketika suara tindakan kuda datang semakin dekat, Kiam Tjeng
angkat tubuh isterinya, untuk dipindahkan ke pembaringan, habis itu, kelambunya dia
turunkan. Ia sendiri lantas saja sembunyikan diri di belakang pembaringan.
Sin Tjie saksikan semua kejadian di depan matanya itu. Ia tahun An Kiam Tjeng bersedia
untuk bokong orang yang bakal datang ke dalam rumahnya An Toa-nio ini. Belum tahu
siapa orang itu, tetapi pemuda kita menduga, dia mesti ada penolong si nyonya. Maka ia
pun siap sedia akan tolongi An Toa-nio serta penolongnya nyonya ini.
Anak muda kita lantas kumpuli debu di penglari, lalu ia ludahi itu dan aduk-aduk hingga
rata, hingga debu itu merupakan sepotong tanah lempung, kemudian tanpa bersangsi lagi,
ia menimpuk ke arah lilin, hingga apinya padam seketika, hingga kamar jadi gelap-petang.
Di dalam hatinya, An Taydjin mengutuk
Dalam gelap-gulita itu, Sin Tjie loncat turun dari atas penglari. Tak mau ia tunggu sampai
si taydjin menyulut api pula. Ia bertindak ke pintu, untuk pergi ke luar, tanpa ada orang
yang lihat padanya. Dengan mutar sedikit, ia sampai di ujung rumah dimana ada satu
pahlawan kim-ie-wie sedang mendekam dengan golok di tangan, matanya terus-menerus
diarahkan ke pintu rumah.
Dengan hati-hati, Sin Tjie merayap mendekati.
"Ada orang!" kata ia dengan pelahan.
"Oh!..." pahlawan itu gugup. "Mendekam!" ia peringati kawan-kawannya.
Sementara itu, Sin Tjie telah ulur tangannya, untuk menotok, maka di lain saat, pahlawan
itu tak mampu bergerak lagi. Dengan cepat pemuda ini buka baju seragamnya orang itu,
untuk ia pakai. Guna menutupi mukanya, ia robek bajunya orang itu. Ia menutup muka
dengan kedua mata dibikin bisa melihat. Kemudian, dengan pondong tubuh si pahlawan,
ia merayap ke samping pintu.
Di dalam gelap-gulita, suara derapnya kuda terdengar semakin nyata. Sebentar kemudian,
lima ekor kuda telah sampai di depan rumah, lalu tujuh orang berlompat turun.
Segera terdengar tepukan tangan tiga kali, suaranya pelahan, datangnya dari luar rumah.
Dari dalam, An Taydjin menyambut dengan tiga kali tepukan tangan juga. Habis itu, dia
nyalakan lilin, ia sendiri segera sembunyi di belakang pintu.
Dibarengi dengan suara menjeblak daun pintu lantas terpentang sedikit, menyusul mana,
satu kepala orang melongok ke dalam rumah.
Dengan sebat An Taydjin membacok, kepala orang itu kutung, darahnya menyembur dari
lehernya, tapi kapan di antara cahaya api si taydjin mengawasi, ia terkejut bukan main.
Ternyata orang yang ia bunuh ada orangnya sendiri, satu pahlawan kim-ie-wie. Karena ini,
ia hendak menjerit, akan kaoki sekalian kawannya.
Tiba-tiba, sebelum An Taydjin keburu buka mulut, satu orang berlompat masuk. Dia tutup
mukanya dengan topeng. Cepat luar biasa, dia ulur tangannya ke tubuh si taydjin, hingga
taydjin ini kena tertotok tanpa berdaya. Menyusul itu, dengan satu sampokan dengan
tangannya yang lain, Sin Tjie totok jalan darah "tay-twie-hiat" hingga An Taydjin berdiri
tanpa bergeming. Lalu, bekerja lebih jauh dengan tidak kurang sebatnya, pemuda ini
sambuti golok orang itu, untuk diletaki di lantai.
An Kiam Tjeng pandai boegee, ia terima pendidikan untuk belasan tahun dari Tjiok Toa
Too, guru silat yang kesohor, kemudian setelah pangku jabatan, belum pernah ia alpa
akan terus melatih diri, karena ia memikir untuk naik pangkat dan naik pangkat,
ambekannya besar. Tapi, menghadapi Sin Tjie, justru ia lagi kaget, ia tak dapat berdaya
sama sekali, maka dengan gampang ia rubuh sebagai korban.
Setelah itu, Sin Tjie lompat ke pembaringan, untuk kasi bangun pada An Toa-nio. Denga
keluarkan sedikit tenaga, pemuda ini putuskan tambang belengguan di kaki dan tangan.
"Encim An, aku datang menolongi kau!" ia kata dengan pelahan kepada si nyonya, supaya
nyonya itu ketahui dan tak kaget atau curiga.
An Toa-nio kaget berbareng girang. Ia kenali suaranya anak muda itu. Hanya ia terkejut
akan saksikan orang punya seragam kim-ie-wie, sedang mukanya ditutupi topeng.
"Kau siapa, tuan?" tanyanya, ragu-ragu.
Baru nyonya itu menanya demikian, mendadakan ada dua bajangan yang melompat
menerjang masuk ke dalam, bajangan itu masing-masing mempunyai dua tangan yang
berbulu, sedang mulutnya perdengarkan pekik. Terus saja mereka tubruk Sin Tjie.
Anak muda ini terkejut, ia berbalik, untuk menangkis, akan tetapi kapan ia tampak kedua
banjangan itu adalah orang-orang hutan, ia menjejak dengan kedua kakinya, akan
mencelat naik ke penglari.
Di belakang kedua orang hutan itu menyusul lima orang, satu di antaranya, yang masuk
paling dulu, sudah panggil An Toa-nio. Si nyonya menyahuti. Tapi orang itu lantas juga
berdiri tercengang.
Sin Tjie sendiri segera kenali, kedua binatang liar itu adalah dua orang hutannya yang ia
pelihara di atas gunung Hoa San, hingga ia jadi sangat girang.
"Tay Wie! Siauw Koay!" ia segera memanggil.
Kedua binatang itu telah dapat cium bau majikannya, maka itu keduanya mendahului
menerjang masuk ke dalam, mereka tubruk si anak muda, bukan untuk diserang, tapi
majikannya lompat naik ke penglari, atas panggilan itu, mereka pun turut menyusul ke
atas penglari, keduanya peluki majikan itu.
Orang-orang yang menyerbu masuk itu heran melihat ada mayat pahlawan di dalam rumah
itu, mereka juga tak mengerti sikapnya kedua orang hutan itu, maka juga, mereka
tercengang. Di luar, kawanan pahlawan kim-ie-wie lihat orang datang, mereka kuatirkan keselamatan
An Taydjin, yang berada sendirian di dalam, maka itu, dua diantaranya lari ke pintu, untuk
menerjang masuk.
"Hajar!" berseru Sin Tjie.
Ini ada seruan yang biasa si anak muda perdengarkan di waktu dia latih dua binatang
piaraannya itu. Sudah lama kedua orang hutan itu tidak pernah dengar suara majikannya
ini, toh mereka masih ingat dengan baik, maka keduanya lantas loncat turun, tepat di
atasannya dua pahlawan, kedua kakinya merangkul, kedua tangannya menyambar ke
lehernya masing-masing pahlawan itu. Maka itu, kapan terdengar suara meretek, patahlah
leher hamba-hamba istana itu, tubuhnya dilepaskan dan jatuh.
Menyusul kedua pahlawan itu, menerobos masuk kawan-kawan mereka.


Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekarang Sin Tjie sudah lompat turun, dia sambar sesuatu orang untuk dilemparkan
kembali ke luar. Ada beberapa pahlawan, yang bisa melawan beberapa jurus, mereka pun
akhirnya kena dilemparkan, ada yang kena ditoyor, ada yang kena ditendang. Maka di lain
saat, semua pahlawan itu menjadi pusing kepala dan mata kabur, terpaksa mereka
berbangkit bangun, untuk kabur.
Selama kejadian itu, lima orang yang tadi nerobos masuk diam saja menyaksikan juga
kedua orang hutan.
Sin Tjie robek bajunya satu pahlawan, ia pakai itu untuk belenggu An Kiam Tjeng, untuk
tutup mata dan kupingnya, agar dia tak melihat suatu apa, tak dengar apa juga, kemudian
Baru ia singkirkan topengnya dan baju seragam, akan hadapi lima orang itu sambil
bersenyum. "Lie Tjiangkoen, banyak baik?" menegur dia sambil tertawa kepada salah satu orang.
"Apakah Giam Ong pun ada banyak baik?"
Orang yang ditanya itu tercengang, ia mengawasi, akhirnya dia tertawa berkakakan,
tangannya menyambar tangan si anak muda, untuk digoyang-goyang.
Lie Tjiangkoen itu ada Lie Gam, orang sebawahannya Giam Ong.
Maka pertemuan itu sangat menggirangkan mereka semua.
"Encim An, apakah encim masih kenali aku?" tanya Sin Tjie kemudian sambil berbalik,
akan pandang nyonya An.
Sebelas tahun telah berselang sejak Sin Tjie menumpang pada An Toa-nio, maka
sekarang, setelah ia jadi satu pemuda yang cakap dan gagah, Toa-nio tidak bisa lantas
kenali dia, hingga ia mesti asah otaknya.
Sin Tjie rogoh sakunya, akan keluarkan gelang emas pemberian nyonya itu, sambil tunjuki
itu kepada si nyonya, ia kata: "Setiap hari aku bawa-bawa ini di tubuhku, maka untuk
selama-lamanya tak aku lupakan encim!"
Baru sekarang nyonya itu ingat betul, ia tarik tangan orang itu akan bawa muka si anak
muda ke dekat lilin, hingga ia tampak samar-samar luka bekas golok di ujung alis sebelah
kiri dari si anak muda.
"Ah, anak!" seru dia, kaget dan girang. "Kau telah jadi begini besar, ilmu silatmu liehay
sekali"..."
"Aku pernah ketemu adik Siauw!" Sin Tjie bilang.
"Ya, tanpa merasa, anak-anak telah jadi besar," kata si nyonya, seperti pada dirinya
sendiri. "Sungguh cepat lewatnya sang waktu!...."
Kemudian nyonya ini pandang suaminya, yang rebah di lantai, ia menghela napas.
"Tidak kusangka, anak, kaulah yang tolongi aku," kata dia pula.
Lie Gam tak tahu hubungan di antara si nyonya dan si anak muda, mendengar nyonya itu
berulang-ulang menyebut "anak, anak", dia sangka mereka ada sanak dekat satu dengan
lain. "Kejadian ini sungguh berbahaya!" kata dia kemudian sambil tertawa. Lalu dia tambahkan
pada Sin Tjie: "Atas titahnya Giam Ong, aku datang ke Hoopak untuk bikin pertemuan
dengan beberapa kawan. Entah bagaimana, liehay kupingnya kawanan kim-ie-wie, mereka
dengar tentang kami, lantas mereka siap-sedia di sini untuk bokong kami."
"Apakah sahabat-sahabat itu telah pada datang?" Sin Tjie tanya.
Itu waktu, sebelum Lie Gam menjawab, terdengar suara berlari-larinya beberapa ekor
kuda. "Nah, itulah mereka!" kata jendral ini.
Beberapa pengiring Lie Tjiangkoen pergi keluar, tidak lama mereka bersama tiga orang,
yang masing-masing ada orang she Lee, Hoan dan Hauw, semua jago dari Hoopak, dan
dengan mereka itu, Sin Tjie pernah bertemu di rumah Beng Pek Hoei. Sesudah beri hormat
pada Lie Gam, ketiga orang itu hampirkan Sin Tjie, secara menghormat sekali, mereka
menjalankan kehormatan kepada pemuda ini.
"Bengtjoe! Adakah bengtjoe banyak baik?" kata mereka.
Heran Lie Gam menyaksikan itu.
"Kamu telah kenal satu pada lain?" tanya dia.
"Wan Bengtjoe adalah ketua pusat dari tujuh propinsi, kami semua mendengar titahtitahnya,"
sahut si orang she Hauw.
"Oh, begitu?" kata jendral itu. "Untuk membantu Giam Ong, aku senantiasa sangat repot
di Shoasay, sampai segala kabaran dari Timur seperti terputus bagiku. Aku tidak sangka
telah terjadi musyawarah besar itu. Inilah menggirangkan, kamu harus diberi selamat!"
"Itu adalah kejadian Baru satu bulan yang lampau," terangkan Sin Tjie. "Sekalian sahabat
baik telah memandang mata padaku, mereka telah berikan aku itu macam panggilan.
Sebenarnya aku masih terlalu muda, tak sanggup aku menerimanya...."
"Ilmu silat Wan Bengtjoe liehay dan ia cerdik dan cerdas juga," berkata si orang she Hoan.
"Umpama kita tidak menyebutkannya tiga sifat itu, kemurahan hati dan pribudi tinggi
bengtjoe siapakah di dalam dunia Rimba Persilatan yang tidak menghargainya?"
"Itulah bagus, bagus!" kata Lie Gam dengan girang. Kemudian dia utarakan titahnya Giam
Ong. Nyata Giam Ong telah melihat suasana, ia percaya bahwa telah datang saatnya untuk maju
ke kota raja, maka ia merencanakan tanggal-bulannya untuk menyerang Tongkwan, dari
itu, ia utus Lie Gam memasuki Hoopak secara rahasia, untuk menghubungi pelbagai
kawan seperjuangan, supaya mereka itu nanti membarengi menyambut di waktu ia mulai
angkat senjata.
"Nah, bagaimana bengtjoe niat bertindak?" tanya si orang she Lee.
"Gerakan Giam Ong ada gerakan mulia, orang-orang gagah di seluruh negeri harus
menyambutnya," sahut Sin Tjie. "Aku akan segera menyampaikan pelbagai berita ke
segala penjuru. Ini adalah saatnya untuk semua enghiong di tujuh propinsi mendirikan
jasa!" Mereka menjadi girang sekali, begitupun Lie Gam, maka itu, mereka lantas pasang omong
lebih jauh dengan gembira.
"Tentara Beng telah jadi buruk sekali," menyatakan Lie Gam. "Aku percaya begitu lekas
tentara kemerdekaan sampai, mereka bakal jadi seperti rumput-rumput kering yang
dicabuti, usaha kita akan sama gampangnya seperti membelah bambu. Cuma sekarang
muncul satu soal Baru, yang sulit...."
"Apakah itu, Tjiangkoen?" tanya Sin Tjie.
"Baru saja aku terima laporan penting," jawab Lie Gam, "Aku dengar bahwa sepuluh buah
meriam besar buatan asing hendak diangkat ke Tong-kwan, untuk diberikan kepada Soen
Toan Teng. Orang she Soen itu memang pandai mengatur bala tentara, tapi dia masih
kalah terhadap Giam Ong, yang berbahaya adalah itu sepuluh buah meriam yang hebat
sekali..."
Terkejut Sin Tjie mendengar keterangan itu.
"Siauwtee sendiri pernah lihat itu sepuluh buah meriam besar di tengah perjalanan,"
berkata dia. "Memang, dilihat dari macamnya, meriam-meriam itu mesti liehay sekali. Jadi
itu bukan untuk dikirim ke Sanhay-kwan buat hajar bangsa Boan?"
Dari tempat jauh ribuan lie, meriam-meriam itu diangkut kemari, memang tujuan asalnya
adalah Sanhay-kwan," sahut Lie Gam. "Akan tetapi tentang pergerakan Giam Ong, Kaisar
Tjong Tjeng telah mendengar kabar, bahwa mereka rupanya telah ubah haluan. Menurut
warta yang aku Baru terima, semua meriam itu hendak dibawa ke Tongkwan."
Sin Tjie kerutkan alis.
"Memang adalah kebiasaan raja-raja Beng, mereka menjaga gerakan rakyatnya lebih hebat
daripada mereka menjaga serangan-serangan bangsa asing," ia kata. "Kalau tidak
demikian, tidak nanti ayahku terbinasa karenanya. Lie Tjiangkoen, bagaimana sekarang
kau hendak bertindak?"
"Jikalau kita tunggu sampai meriam-meriam itu telah diangkut sampai di Tongkwan,"
mengutarakan Lie Gam, "penyerangan kita di sana adalah sama dengan darah-daging
dipakai menggempur besi-baja, meski umpama kata kita tidak bakal kalah, sudah terang
pengorbanan mesti besar sekali...."
"Kalau begitu, perlu kita mendahului, untuk merebutnya di tengah jalan!" Sin Tjie bilang.
Lie Gam tepuk tangan saking girang.
"Saudara Wan," katanya, "dalam hal ini aku mengandal kepadamu untuk kau dirikan jasa
istimewa!"
Tapi Sin Tjie berdiam, ia berpikir keras.
"Senjata api dari bangsa asing itu sangat liehay, untuk rampas meriam-meriam besar itu,
perlu kita menggunakan tipu-daya," katanya. "Sulit juga untuk ditetapkan dari sekarang
apa ikhtiar kita bakal berhasil atau tidak.... Tapi ini adalah urusan sangat penting, aku nanti
mencoba sebisa-bisanya. Semoga dengan mengandali rejeki Giam Ong, aku akan berhasil.
Itu pun ada untuk kebahagiaan rakyat!"
Sampai di situ, mereka lalu bicara tentang gerakan tentara mereka, akan kemudian Lie
Gam suruh salah satu pengiringnya keluarkan sebilah pedang dari dalam pauwhok
mereka. Itulah Kim-tjoa-kiam. Dengan kedua tangannya sendiri, Lie Gam serahkan pedang
itu kepada Sin Tjie.
"Saudara Wan," berkata dia, "sejak pertemuan kita di Siamsay, walaupun kita tak
berkesempatan untuk bicara banyak, aku toh telah ketahui, kau adalah satu pemuda yang
berarti, maka ketika kau titipkan pedangmu ini kepadaku, tidak pernah aku pisahkan diri
dari senjata ini. Sebenarnya ketika itu aku rada-rada sangsi, aku berkuatir untuk usiamu
yang masih muda sekali, sebab kau kurang pengalaman. Jikalau kau berkelana dengan
bawa-bawa pedang yang luar biasa ini serta dua binatang piaraanmu, aku kuatir kau
menjadi terlalu menyolok mata, kau bisa diperdayakan atau dicelakai orang. Akan tetapi
sekarang buktinya lain. Kau masih muda sekali tapi toh kau telah berhasil secara luar
biasa! Maka sekarang pedang ini dan kedua orang-hutan aku kembalikan kepada
tuannya!" Dengan hormat, Sin Tjie sambuti pedangnya itu, ia pun mengucap terima kasih.
"Isteriku telah dengar tentang kau, saudara Wan, ia menyesal tak dapat menemui kau," Lie
Gam kata pula kemudian. "Ketika itu isteriku tidak berada di Siamsay, akulah yang
memberitahukan dia."
"Satu kali pasti aku akan membuat kunjungan," Sin Tjie bilang.
"Isteri dari Lie Tjiangkoen adalah orang gagah dalam kalangan wanita," An Toa-nio
campur bicara. "Orang kangouw beri ia julukan Ang Nio Tjoe. Dia tidak melainkan cantik,
ilmu silatnya pun sempurna. Eh, anak, sudahkan ada orang yang menjadi cita-cita kawan
hidupmu?" Tiba-tiba saja Sin Tjie ingat Tjeng Tjeng, wajahnya menjadi berubah merah. Ia tidak
menjawab, ia cuma bersenyum.
"Entah nona siapa yang mempunyai rejeki untuk mendampingimu, anak," kata pula si
nyonya sambil menghela napas. "Kau begini cakap dan gagah. Ah...."
Toa-nio lantas ingat gadisnya, hingga ia berpikir: "Siauw Hoei dan dia hidup sama-sama
semasa kecil, berdua mereka pun telah sama-sama mengalami ancaman bencana, coba
dia menjadi baba-mantuku, pasti hidupnya Siauw Hoei telah ada jaminannya. Sayang
Siauw Hoei, dia justru mencintai Tjoei Hie Bin yang tolol-tololan! Dasar peruntungan
masing-masing....."
Melihat orang bicara urusan pribadi, Hoan, Lee dan Hauw tak ingin campur omong, maka
mereka lantas berbangkit, untuk pamitan.
"Wan Bengtjoe," kata si Hoan, "besok pagi kami bertiga akan siapkan saudara-saudara
kami untuk menantikan segala titahmu."
"Baik, samwie!" sahut Sin Tjie.
Seberlalunya tiga orang itu, Sin Tjie melanjuti pasang omong dengan Lie Gam, mengenai
usaha mereka, mengenai sesama orang gagah, hingga persahabatan mereka jadi tambah
kekal, hingga agaknya mereka menyesal tak bertemu terlebih siang daripada itu. Mereka
bicara dengan asyik, sampai sang fajar datang, hingga ayam-ayam jago telah berkokok
saling-sahutan.
Satu kali kedua orang ini menoleh kepada An Toa-nio, kelihatan nyonya itu, sambil
bertopang dagu, lagi mengawasi dengan bengong kepada suaminya....
"An Toa-nio!" Lie Gam lalu memanggil, dengan pelahan.
Nyonya itu angkat kepalanya.
"Bagaimana hendak diperbuat terhadap orang ini?" Lie Gam tanya.
Nyonya itu masih kacau pikirannya, ia menggeleng kepala, tak dapat ia menjawab.
Lie Gam tahu orang sedang bingung, ia tidak mendesak menanya.
"Saudara Wan, sudah waktunya kita berpisah," kata ia kepada Sin Tjie.
"Aku nanti antarkan tjiangkoen," Sin Tjie bilang.
Mereka manggut kepada An Toa-nio, lalu dengan bergandengan tangan, sambil
berendeng, mereka bertindak keluar.
Pengiring-pengiringnya Lie Gam, serta kedua orang hutan, lantas mengikuti.
Di sepanjang jalan, masih saja kedua orang ini pasang omong, hingga mereka telah
melalui tujuh atau delapan lie.
"Mengantar sampai seribu lie juga, akhirnya orang toh mesti berpisah," kata Lie Gam,
"maka, saudara, silakan kau kembali."
Wan Sin Tjie bersangsi, agak berat rasanya untuk ia pisahkan diri.
Mendadak, Lie Gam berkata: "Kita ada sahabat-sahabat Baru tetapi mirip dengan sahabatsahabat
kekal, maka jikalau kau tidak menampik, sukakah kau untuk kita angkat saudara?"
Sin Tjie setuju, ia malah girang sekali.
"Akur!" ia menyatakan.
Di situ juga, di tepi jalan, mereka berdua lantas menjalankan upacara angkat saudara,
sebagai gantinya hio, mereka memakai tanah lempung. Sin Tjie panggil koko atau kanda
kepada jendral itu.
Habis itu, masih mereka bicara seketika lama sebelum mereka berpisahan, keduanya
sangat terharu hingga mata mereka mengembeng air mata...
Sin Tjie awasi saudara itu dan pengiring-pengiringnya naik kuda, dan pergi, Baru ia ajak
Tau Wie dan Siauw Koay berjalan pulang ke hotel, begitu ia sampai, di sana Hoan, Lee dan
Hauw telah menantikan dia, bersama mereka bertiga ada beberapa puluh kawannya yang
semua kelihatannya bersemangat. Karena itu, ruang besar dan perkarang hotel jadi seperti
penuh dengan mereka itu. Sebaliknya Tjeng Tjeng, A Pa, Ang Seng Hay dan lainnya, tak
tertampak di dalam hotel itu.
Berbareng dengan itu Sin Tjie dapat kenyataan semua pengiringnya A Kioe berkumpul di
dalam kamar mereka, mereka tidak kasi kentara apa-apa, tidak pernah ada yang keluar dari
kamar. Rupanya mereka ambil sikap ini karena mereka tampak demikian banyak orang.
Sin Tjie tahu, orang-orangnya si nona adalah pelbagai sie-wie atau pahlawan istana, ia pun
tak perdulikan mereka.
"Hoan toako," kemudian ia kata kepada si orang she Hoan, yang bernama Hoei Boen,
"tolong kau ajak beberapa saudara pergi ke selatan akan cari tahu, orang-orang asing itu
serta semua meriamnya menuju ke utara atau ke selatan. Harap kau lekas pergi dan lekas
kembali!" Hoan Hoei Boen terima tugas itu, ia lantas pilih tiga kawan, yang ia ajak pergi keluar, lalu
dengan menunggang kuda, mereka pergi menjalankan tugasnya.
Baru Hoei Boen pergi, atau See Thian Kong muncul bersama Thia Tjeng Tiok. Girang
mereka lihat si anak muda, yang tak kurang suatu apa.
"Oh, Wan Siangkong, kau telah kembali!" kata mereka.
Belum lagi Sin Tjie sempat menyahuti, atau di situ muncul Tjeng Tjeng bersama A Pa,
rambutnya si nona kusut bekas tertiup angin, mukanya bersemu merah. Nona itu
tampaknya girang, akan tetapi lekas juga, dia kerutkan alisnya.
"Kenapa kau Baru kembali?" tanya dia, agaknya menyesali.
Sekarang Sin Tjie tahu kemana perginya kawan-kawan itu, nyata mereka kuatiri ia dan
pergi mencari. Ia terharu untuk Tjeng Tjeng, yang romannya kusut. Maka ia lantas ajak
nona itu ke kamarnya dimana ia tuturkan pengalamannya tadi malam.
Tjeng Tjeng tunduk, tak sepatah kata ia ucapkan.
Si anak muda lihat sikap orang itu.
"Aku telah membuat kau berkuatir," katanya dengan pelahan.
Masih Tjeng Tjeng diam, dia malah melengos.
Sin Tjie tahu orang marah tapi ia tak tahu sebabnya.
"Baru saja aku angkat saudara sama satu enghiong besar," katanya kemudian. "Adik
Tjeng, kau dapat tambah satu koko...."
Karena kebiasaan, masih Sin Tjie memanggil "adik" - adik lelaki - kepada si nona Hee.
Panggilan ini agaknya menyukai Tjeng Tjeng.
"Satu koko sudah tidak punya liangsim, buat apa tambah koko lagi...." katanya.
"Aku bikin kau berkuatir, adik Tjeng, baiklah, aku janji, lain kali aku tidak akan
membuatnya pula," Sin Tjie bilang.
"Lain kali adalah lain orang yang akan kuatirkan dirimu!" kata si nona. "Kenapa aku mesti
kuatirkan kau"...."
"Eh, siapakah dia itu?" Sin Tjie tanya.
Tjeng Tjeng tidak menyahut.
"Itu wanita asing!" sahut Tjeng Tjeng dan bangkit untuk banting kakinya, terus ia pergi ke
kamarnya sendiri. Sampai tengah-hari, dia tidak keluar lagi, malah dia tidak dahar juga. Sin
Tjie perintah jongos bawakan barang makanan. Ia menduga-duga, kenapa nona itu
agaknya gusar, ia mau menemui pula, untuk minta maaf kalau perlu. Ia percaya, si nona
bermaksud baik sudah berkuatir atas dirinya. Tapi jongos kembali dengan barang
makanan masih utuh.
"Si nona tidak ada di dalam kamarnya," kata jongos itu.
Sin Tjie terkejut.
"Inilah hebat," pikirnya. Maka ia letaki sumpitnya, ia lair ke kamar Tjeng Tjeng. Benarbenar
ia dapati sebuah kamar kosong, kosong juga dari pauwhok dan senjatanya si nona.
"Ha, kemana dia pergi?"
Dalam bingungnya, anak muda ini berpikir keras.
"Dia ngambek. Kemana dia pergi" Dia pandai silat, tetapi dia gampang menghadapi
bahaya.... Aku lagi bertugas, bagaimana aku bisa susul dia?"
Akhirnya terpaksa pemuda ini keluar, akan minta tolong Ang Seng Hay pergi mencari. Dia
pesan pengikut ini untuk Baru kembali setelah mengetahui jelas di mana adanya si nona.
Seng Hay terima tugasnya, dia lantas berlalu.
Mendekati magrib, Hoan Hoei Boen pulang. Begitu memasuki pintu, dia kata dengan
kesusu: "Benar-benar barisan meriam asing itu memutar ke selatan! Mari kita susul
mereka!" Sin Tjie lompat bangun.
"Mari!" katanya. Ia cuma tinggalkan A Pa dan kedua orang-hutan, akan menunggui kamar,
lantas ia ajak semua kawannya pergi menyusul. Thia Tjeng Tiok, See Thian Kong, Ouw


Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Koei Lam dan Thie Lo Han turut bersama. Mereka kaburkan kuda mereka di malam yang
gelap, terus-terusan. Mereka percaya, karena lerotan meriam jalannya ayal, mereka bakal
dapat menyandak. Kemudian seterusnya di waktu malam, mereka singgah, untuk
bersantap dan tidur, atau pagi-pagi sekali, mereka sudah berangkat pula.
Di hari ketiga, pagi-pagi, setelah lewati sebuah dusun kecil, Sin Tjie beramai lihat sepuluh
buah meriam besar sedang ditunda di depannya satu rumah makan, setiap meriamnya
dijaga oleh enam serdadu dengan senapan di tangan.
"Sudah lapar, aku sudah lapar!" kata Thie Lo Han berulang-ulang.
"Baiklah, sebentar saja kita ketemukan dua opsir asing itu," jawab Sin Tjie.
Berdelapan mereka hampirkan rumah makan, untuk terus naik ke loteng. Thie Lo Han
adalah yang jalan di muka, tetapi begitu lekas dia muncul di atas loteng itu, dia keluarkan
seruan tertahan.
Tjeng Tjeng berada di situ, beberapa serdadu asing sedang ancam dia dengan senapan
mereka, jeriji tangan mereka mengenakan pelatuk, yang tinggal ditarik saja. Duduk di kursi
ada Peter dan Raymond serta si juwita asing, Catherine.
Menampak datangnya beberapa orang itu, Raymond mengucapkan kata-kata yang tak
dimengerti Sin Tjie beramai, atas mana beberapa serdadu lain yang tujukan senapan
mereka kepada orang-orang yang Baru datang ini.
"Angkat tangan!" demikian kira-kira titah serdadu-serdadu itu, yang berseru.
Sin Tjie sudah lantas bertindak, ia sambar sebuah meja, dengan apa ia terjang serdaduserdadu
itu, lalu ia menyusuli dengan meja yang kedua, setelah mana, ia lompat kepada
Tjeng Tjeng, sambil tekan kepala si nona, ia mendek jongkok. Perbuatannya ini diturut si
nona demikianjuga kawan lainnya.
Tembakan segera terdengar dar-der-dor, tetapi peluru semua lewat di atasan kepala,
asapnya mengepul, antaranya ada juga yang mengenai meja.
"Turun!" teriak Sin Tjie, sambil ia sendiri tarik Tjeng Tjeng, untuk diajak lompat ke tangga,
untuk segera loncat turun, perbuatan mana diturut kawan-kawannya, yang pada loncat
keluar dari jendela.
Raymond gusar, dia keluarkan pistolnya dengan apa dia menembak.
"Aduh!" teriak Thie Lo Han, yang tertembak kempolannya. Saking sakit, dia rubuh. Tapi
See Thian Kong sambar ini kawan, untuk dibawa lari terus keluar, akan dilain saat mereka
sudah kabur bersama kuda mereka.
Pada masa itu, senapan masih senapan model kuno, setelah dipakai menembak satu kali,
tak bisa diulangi dengan cepat, selama serdadu-serdadu itu mengisi pula orang telah lari
jauh, benar mereka bisa menembak pula tetapi tidak ada hasilnya.
Sin Tjie duduk di atas seekor kuda bersama Tjeng Tjeng.
"Kenapa kau bentrok dengan mereka itu?" tanya pemuda ini.
"Siapa tahu....?" sahut si pemudi, yang romannya jengah.
Sin Tjie bisa duga orang malu, dia bersenyum, dia tidak menanya lagi, hanya dia larikan
kudanya keras-keras, diikuti oleh semua kawan-kawannya.
Sesudah lari jauhnya dua-puluh lie lebih, semua orang tahan kuda mereka, untuk berhenti,
akan beristirahat. Ouw Koei Lam segera gunai pisau kecil, untuk tolong Thie Lo Han
keluarkan peluru yang masuk ke dalam daging kempolannya, hingga dia ini berkaok-kaok
dan mengumpat-caci kalang-kabutan, saking menahan sakit.
Terharu Tjeng Tjeng menampak "tersiksanya" kawan itu. Sebab ialah yang menjadikan
gara-gara. Ia tarik Sin Tjie ke samping, untuk kata dengan pelahan sekali kepada anak
muda ini: "Siapa suruh dia dandan bagaikan siluman, bahunya dipertontonkan sekalian!
Tak tahu malu...."
Sin Tjie heran, tak mengerti dia.
"Kau maksudkan siapa?" tanyanya.
"Itu wanita asing!" sahut Tjeng Tjeng.
"Oh!" si anak muda heran. "Apakah halangannya dia denganmu?"
"Tak sedap aku pandang dia! Maka dengan dua potong uang, aku hajar rusak antingantingnya!"
jawab si nona. Sin Tjie tertawa geli.
"Ah, kau benar-benar jail!" katanya. "Habis?"
Tjeng Tjeng tertawa.
"Opsir asing pecundangku itu segera kenali aku, dia lantas titahkan serdadu-serdadunya
ancam aku dengan senapan mereka. Tak mengerti aku apa katanya opsir itu, aku
menyangka dia hendak tantang aku untuk adu pedang pula. Tentu saja, aku bersedia
untuk sambut tantangan itu. Adalah waktu itu, kamu semua muncul!"
"Apa sebabnya kau keluar sendirian?" Sin Tjie tanya.
Wajah nona Hee bersenyum, atau sedetik kemudian, wajah itu berubah menjadi keren.
"Hm, kau masih tanya aku?" baliki dia. "Apakah kau tak insyaf perbuatanmu sendiri?"
Tentu saja pemuda ini tak mengerti.
"Aku tidak mengerti," katanya. "Apakah yang aku telah perbuat?"
Tjeng Tjeng melengos, ia tak menjawab.
Sin Tjie kenal tabeat orang, percuma ia menanya terus, tidak nanti nona ini ladeni dia. Ia
anggap baiklah ia bersikap tak memperdulikannya terlebih jauh. Ia percaya, lama-lama si
nona bakal timbulkan itu sendirinya. Maka ia menukar lain soal.
"Adik Tjeng, senjata api asing itu demikian liehay, coba kau pikir, cara apa kita harus
gunai untuk rampas meriam-meriam besar mereka itu?"
"Siapa bicara tentang ini?" tanya si nona, agaknya mendongkol.
"Baiklah, kalau begitu, aku nanti bicara sama See Thian Kong beramai saja," kata Sin Tjie,
yang terus putar tubuhnya.
Tjeng Tjeng tarik ujung baju orang.
"Aku larang kau pergi!" katanya. "Kita belum bicara habis...."
Sin Tjie tertawa, ia duduk.
Tjeng Tjeng berdiam sekian lama, Baru ia buka mulutnya.
"Bagaimana dengan adik Siauw Hoeimu?" tanya dia.
"Sejak itu hari kita berpisah, aku tak bertemu lagi dengannya," jawab Sin Tjie. "Siapa tahu
dia berada di mana sekarang?"
"Kau berdiam bersama ibunya, satu malam kamu bicara asyik sekali, seperti tak hendak
berpisahan, tentu kamu bicarakan tentang dia...." kata nona dengan tabeat koekoay ini.
Mendengar ini, Baru sekarang Sin Tjie sadar. Jadi nona Hee ini curigai dia.
"Ah, adik Tjeng," katanya dengan sungguh-sungguh. "Apa mungkin kau masih belum
mengerti sikapku kepadamu?"
Mukanya si nona bersemu merah, ia melengos pula.
"Sejak sekarang dan selanjutnya, tak nanti aku berpisah dari kau! Apakah sekarang
hatimu tenang?" kata si pemuda.
"Habis, kenapa sih kau baik sekali dengan Siauw Hoei itu?" si pemudi tegasi, dengan
pelahan sekali.
"Kenapa tidak?" jawab si pemuda. "Di waktu kecil, kita tinggal bersama. Selama itu,
ibunya perlakukan aku baik sekali, ia pandang aku bagaikan puteranya sendiri. Tentu
sekali, aku berterima kasih sangat kepada itu ibu dan anaknya. Lain dari itu, tidakkah kau
lihat bagaimana rapatnya perhubungan di antara Siauw Hoei dengan muridkeponakanku?"
"Pemuda itu?" kata Tjeng Tjeng, yang memainkan bibirnya. "Orang demikian tolol dan tak
ada kepandaiannya! Kenapa sih dia sukai ia itu"...."
Sin Tjie tertawa.
"Tidakkah kwatjay dan lobak disukai sesuatu orang?" kata dia. "Aku sendiri begini tolol
dan tak punya guna, mengapa kau suka sekali kepadaku?"
Dengan tiba-tiba Tjeng Tjeng tertawa geli.
"Foei! Cis!" katanya. "Tak tahu malu! Siapa sih sukai kau?"
Sin Tjie tidak menjawab, dia hanya bersenyum.
Habis itu, siraplah gelombang kecil, lalu keduanya jadi akur pula. Malah kali ini, makin
rapatlah perasaan mereka satu pada lain.
Sin Tjie kemudian tarik tangannya Tjeng Tjeng.
"Mari kita dahar!" ia mengajak.
"Tunggu dulu," Tjeng Tjeng menahan. "Masih ada satu pertanyaan. Coba bilang, Nona A
Kioe itu, cantik atau tidak?"
"Eh, apa sih hubungannya dia dengan aku?" si pemuda baliki. "Di mataku, dia ada
seorang dengan kelakuan aneh. Aku pikir baiklah kita berhati-hati terhadapnya."
Tjeng Tjeng agaknya puas dengan jawaban ini, ia manggut-manggut.
Segera mereka kembali ke hotel, untuk berdamai sama See Thian Kong dan Thia Tjeng
Tiok beramai soal merampas meriam asing.
"Biar sebentar malam aku pergi membuat penyelidikan," Ouw Koei Lam mengusulkan.
"Kalau ada ketikanya, aku nanti curi beberapa buah senapannya. Atau dengan pelahanlahan,
aku nanti mencurinya semuanya, supaya selanjutnya tak usah kami jeri lagi
terhadap mereka."
"Usul ini baik," Sin Tjie menyatakan akur. "Sebentar malam aku nanti temani kau."
"Buat apa kau keluar sendiri, bengtjoe?" kata See Thian Kong. "Baik siauwtee saja yang
temani saudara Koei Lam."
"Aku berniat menyelidiki cara digunainya alat-alat asing itu," Sin Tjie bilang. "Ini ada
baiknya untuk kita, supaya setelah kita curi semua senapan mereka, kita lantas dapat
menggunakannya. Tidakkah dengan demikian kita jadi bisa balik pakai senjata itu
terhadap mereka sendiri?"
Semua orang setuju dengan pikirannya ketua ini.
Tjeng Tjeng tertawa, ketika ia kata: "Dia hendak lihat pula itu wanita asing yang cantik!"
Mendengar itu, semua orang tertawa.
Sin Tjie bersenyum, dia antapkan orang goda padanya.
Lohor itu, Sin Tjie berdua Ouw Koei Lam naik kuda mereka, untuk kuntit barisan meriam
asing itu dari kejauhan, sampai mereka itu singgah di sebuah hotel.
Lalu malamnya, kira-kira jam tiga, mereka datangi hotel, untuk segera loncat naik ke atas
genteng. Ouw Koei Lam kalah dari Sin Tjie dalam hal ilmu entengkan tubuh akan tetapi ia pun
punyakan tubuh enteng bagaikan burung walet, tubuhnya lincah, gerakannya sebat.
Segera juga mereka dengar suara bentroknya senjata tajam, yang keluar dari sebuah
kamar. Maka segera mereka hampirkan jendelanya kamar itu, untuk mengintai ke
dalamnya. Hingga mereka dapat saksikan kedua opsir asing, Peter dan Raymond, sedang
bertempur dengan hebat sekali.
Sin Tjie heran akan dapatkan dua kawan itu bertempur satu pada lain. Ia pun berbareng
perhatikan jalannya pertempuran. Raymond hebat, desakannya keras sekali. Di sebelah
dia, Peter sangat tenang, benar dia ini lebih banyak mundur, akan tetapi satu kali dia balas
menyerang, tusukannya berbahaya sekali. Maka dengan lantas pemuda kita bisa duga, lagi
sedikit waktu, Raymond bakal kena dikalahkan.
Pertarungan berjalan terus, sampai di saat sangat serunya, mendadak ujung pedang Peter
menusuk ke kiri, selagi Raymond berkelit, pedang diteruskan ke arah tengah. Sibuk
Raymond, sambil menarik pulang pedangnya, ia egos tubuhnya sambil miring. Tapi Peter
gunai ketika ini, akan menyampok pedang lawan sampai pedang itu terlepas dari cekalan
dan jatuh ke lantai, untuk dia injak dengan kakinya, sedang ujung pedangnya sendiri
diancamkan ke dada lawan. Dia pun lantas ucapkan beberapa kata-kata, yang tak
dimengerti Sin Tjie dan Koei Lam.
Tubuhnya Raymond menggetar, terang dia sangat panas hati hingga dia keluarkan
kutukan. Karena orang diam saja, Peter jumput pedang lawannya, untuk diletaki di atas meja, lalu ia
memutar tubuh, akan membuka pintu, buat pergi keluar.
Raymond masih sangat mendongkol, ketika ia sambar pedangnya, ia bulang-balingkan itu
di dalam kamarnya. Tapi tidka l;ama, mendadak ia berhenti bermurang-maring. Rupanya
dengan tiba-tiba saja ia dapat akal. Ia segera pergi keluar, akan kembali bersama sebatang
sekop dengan apa ia lantas menggali satu lobang di lantai.
Sin Tjie dan Ouw Koei Lam berniat undurkan diri ketika mereka saksikan perbuatan aneh
itu, hingga mereka lantas berdiam terus, untuk mengawasi terlebih jauh. Mereka mendugaduga,
barang apa yang di simpan di dalam tanah itu.
Raymond menggali terus, tanah galian dikumpulkan di kolong pembaringan. Dia membuat
lobang dua kaki persegi, dalamnya kira-kira dua kaki juga. Kemudian dia ampar selimut
tebal di atas lobang, untuk tutup lobang itu, di atas selimut, dia menguruki dengan tanah
tipis-tipis, untuk selimutkan lobang rahasia itu. Di akhirnya, setelah tertawa mengejek
beberapa kali, dia buka pintu, akan pergi keluar.
Sin Tjie dan Koei Lam heran, tak dapat mereka lantas menduga maksud orang.
Tidak lama, Raymond telah kembali, di belakang ia, Peter mengikuti.
Segera Raymond mengucapkan kata-kata nyaring, atas mana, Peter main menggeleng
kepala. Sekonyong-konyong sebelah tangan Raymond melayang, menyambar ke samping muka
Peter hingga menerbitkan suara keras. Barulah karena ini penghinaan, Peter menjadi
gusar, hingga ia cabut pedangnya.
Tidak tempo lagi, keduanya kembali bertarung.
Beda daripada tadi, kali ini Raymond tidak berlaku ganas, sebaliknya, dia main mundurmundur
ke arah lobang yang ia gali.
Baru sekarang Sin Tjie insyaf kelicikan orang, untuk berlaku curang. Jadinya Peter hendak
dijebak. Sebenarnya ia tidak benci dua opsir asing itu, akan tetapi kelicinan Raymond
membangkitkan sifat kejantanannya, maka ia lantas bersiap-sedia.
Selama itu, beberapa kali Raymond mencoba mendesak, tapi habis mendesak, ia lekas
mundur, ada kalanya sampai dua tindak. Tak pernah ia berhasil dengan tikamannya. Peter
selalu bisa menangkis, habis menangkis, segera ia membalas.
Tidak pernah Peter menduga atas kecurangan lawan, ia maju setiap kali orang mundur,
sampai mendadak, kaki depannya kena injak lobang jebakan, hingga tak dapat dicegah
lagi, dia kejeblos, tubuhnya ngusruk ke depan. Dan membarengi itu, Raymond, yang
lompat ke samping, segera tikam bebokongnya!
Berbareng dengan itu juga Sin Tjie telah berlompat masuk sambil menolak jendela, ujung
pedang Kim Tjoa Kiam dipakai menggaet pedang Raymond, untuk terus ditarik, hingga
opsir ini gagal dengan bokongannya itu, tubuhnya turut tertarik juga sedikit!
Peter lolos dari bahaya, dia lantas berlompat.
Oleh karena usahanya dibikin gagal, Raymond jadi sangat gusar, tanpa bilang suatu apa,
ia tusuk Sin Tjie.
"Hm!" pemud akita kasih dengar suaranya, seraya menangkis, hingga ujung pedang opsir
itu kena dipapas kutung, apabila ia melakukan pembalasan, dengan menyabet bolak-balik,
hingga Raymond sibuk menangkis, saban-saban ujung pedangnya opsir ini kena dibikin
putus pula, hingga akhirnya, pedangnya yang panjang telah menjadi pendek!
Baru sekarang Raymond berhenti beraksi, dia berdiri bengong
Sin Tjie tidak berhenti sampai disitu, selagi orang tercengang, ia maju sambar sebelah
lengannya opsir curang itu, untuk angkat tubuhnya, buat dilemparkannya ke dalam lobang
buatannya sendiri, kepalanya di bawah, kakinya di atas, menyusul mana, dia lompat keluar
jendela, untuk angkat kaki.'
Ouw Koei Lam sambut kawannya itu, ia tertawa. Ia terus mengikuti.
"Wan Siangkong, kau lihat!" kata dia.
Sin Tjie dapatkan sang kawan menyekal tiga buah pistol.
"Dari mana kau peroleh ini?" tanyanya.
Si malaikat pencuri menunjuk ke arah jendela. Nyatalah tadi, selagi si anak muda lompat
masuk, dia mengikuti, dengan sebat dia sambar senjata-senjata api itu.
"Tidak kecewa julukan Seng-tjhioe Sin-tauw!" Sin Tjie memuji.
Tidak ayal lagi, mereka lari pulang.
Di rumah penginapan, See Thian Kong semua asyik menunggui, mereka girang melihat
pulangnya dua orang ini, kemudian semua orang bergirang mendengar keterangan
mereka berdua. Tjeng Tjeng sambuti sebuah pistol, nampaknya ia sangat ketarik, ia lihat itu sambil
dibulak-balik, sampai di luar tahunya, dia kena tarik pelatuknya.
"Dar!" demikian satu suara nyaring, disusul sama mengepulnya asap.
See Thian Kong duduk di depan nona ini, dia terkejut, cepat-cepat dia berkelit, tetapi tidak
urung, ikat kepalanya kena juga kesambar peluru hingga berlobang dan hangus.
Tjeng Tjeng kaget tak terkira.
"Maaf!" ia memohon.
See Thian Kong ulur lidahnya.
"Sungguh liehay!" katanya.
Karena ini, orang periksa dua batang pistol lainnya, yang masih terisi patronnya.
"Obat pasang adalah bangsa kita yang mendapatkannya," berkata Sin Tjie. "Kita pakai itu
untuk membuat petasan atau memburu binatang liar, akan tetapi bangsa asing gunai
untuk membunuh sesamanya! Barisan asing itu terdiri dari seratus serdadu, itu artinya
seratus buah senapan mereka tidak boleh dipandang enteng."
Karena ini, semua orang lantas berpikir.
"Wan Siangkong, aku mempunyai satu pikiran, etah dapat dipakai atau tidak," berkata
Ouw Koei Lam. "Inilah ada semacam akal iblis...."
"Memang kau tak dapat pikirkan hal yang wajar!" tertawa Thie Lo Han.
"Coba utarakan itu, Ouw Toako, nanti kita pikir bersama," kata Sin Tjie.
Ouw Koei Lam tidak berayal untuk beber tipunya, mendengar mana Tjeng Tjeng adalah
yang paling dulu bertepuk tangan dan memujinya. "Benar-benar bagus!" puji Thian Kong
dan yang lainnya juga.
Sin Tjie pikirkan daya yang diusulkan itu, akhirnya ia nyatakan setuju. Akal itu berbahaya
tetapi ada harganya. Maka itu, ia lantas mengatur orang, untuk mewujudkannya.
Ketika itu di hotel dimana tertara asing singgah, permusuhan di anatara Raymond dan
Peter telah dihentikan. Gara-gara adalah disebabkan kedua opsir itu perebuti Catherine.
Sebenarnya Peter dan Catherine menyinta satu pada lain, lalu Raymond menyelak. Karena
Raymond ada sepnya, Peter mengalah, selanjutnya dia jaga diri baik-baik saja.
Besoknya pagi, perjalanan dilanjuti, sampai di dusun Ban-kong-tjoen dimana
penduduknya terdiri dari dua sampai tiga-ratus rumah. Mereka mondok di rumah abu
keluarga Ban. Karena mereka singgah sesudah magrib, tidak lama kemudian, semua
lantas masuk tidur.
Tepat pada tengah malam, mendadak terdengar suara berisik, lalu serdadu jaga
melaporkan bahwa ada bencana api di dalam kampung.
Peter dan Raymond segera bangun, mereka lantas lihat, api berkobar, mendatangi dekat
ke arah pondok mereka.


Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lekas!" kedua opsir itu menitah, untuk serdadu-serdadunya angkut mesiu keluar rumah
abu, buat dikumpulkan di tanah kosong.
Banyak orang kampung datang bersama tahang air dan lainnya, untuk padamkan api,
sedang beberapa puluh di antaranya lantas membanjuri rumah abu itu.
Raymond membentak, untuk mencegah. Dia tanya, kenapa orang sirami rumah abu itu.
Beberapa puluh orang itu memberi keterangan kepada Tjia Thong Soe, si juru bahasa, atas
mana, dia ini kata kepada opsir itu: "Rumah ini ada rumah abu keluarga mereka, katanya
perlu rumah ini dibanjur guna mencegah api nanti merembet kemari."
Alasan itu pantas. Raymond tidak melarang lebih jauh.
Akan tetapi orang kampung yang menyiram itu tidak teratur, mereka siram sana dan siram
sini, mereka siram juga mesiu.
"Jangan!" berseru beberapa serdadu asing, yang mencegah, malah sampai mereka gunai
gagang senapan, untuk kemplang orang-orang kampung itu, akan tetapi, pergi yang satu,
datang yang lain, saban-saban mesiu disiram, malah ada serdadu asing juga yang disiram
sehingga keadaan jadi kalut sekali.
Tidak antara lama, tidak melainkan mesiu, juga semua senapan dan meriam kebasahan
anteronya, sebab cara menolong itu, dan api pun dapat dibikin padam.
Sampai terang tanah, setelah kekacauan itu, Raymond dan Peter jadi tidak tenteram
hatinya. Mereka merasa, tempat itu tak aman untuk mereka, sehingga mereka memikir
lebih baik mereka lekas berlalu dari situ. Di saat mereka hendak memberi titah, datanglah
laporan oleh satu opsir sebawahan bahwa binatang penarik kereta, entah kenapa, telah
kabur semuanya, mungkin kaburnya sejak tadi malam.
"Celaka!" menjerit Raymond, yang dalam murkanya, telah cambuki orang sebawahannya
itu, yang pun ia caci.
"Coba cari dan kumpuli," kemudian Raymond titahkan Tjian Thong Soe, si jurubahasa.
Thong Soe ajak beberapa serdadu asing masuk ke kampung, untuk mencari, maksudnya
ini sia-sia belaka, bukan saja binatang mereka sendiri, kuda dan keledai orang kampung
pun tak ada barang seekor jua. Rupanya binatang piaraan orang kampung itu telah
diumpetkan. Dalam mendongkol dan habis akal, Raymond titahkan Peter bersama Thong Soe dan
empat serdadu pergi ke kota, untuk beli binatang penarik meriam itu. Peter pergi dengan
ajak Catherine, sehingga ia membuat sepnya itu tambah mendongkol.
Seberlalunya Peter, Raymond perintah serdadu-serdadunya bekerja, untuk keluarkan
semua mesiu, untuk dijemur di tegalan, dengan diampar di atas tikar.
Matahari hari itu bagus, setelah sore, semua mesiu sudah kering. Semua meriam dan
senapan pun telah disusuti habis airnya. Maka itu, datang saatnya untuk simpan rapi pula
semua mesiu itu.
Benar di saat semua serdadu hendak bekerja, mendadak datang menyambar beberapa
puluh batang panah api, yang datangnya dari rumah-rumah penduduk yang berdekatan.
Kalau mesiu bertemu api, gampang diramalkan apa kesudahannya.
Sekejab saja, nyalalah mesiu itu, sehingga di antara suara berisik, asap pun mengepulngepul,
sehingga semua serdadu jadi kaget. Tapi di bawah pimpinan keras dari Raymond,
mereka mencoba menolong sebisa-bisanya. Raymond juga perintahkan menembak ke
arah rumah-rumah penduduk itu, dari mana lantas kabur beberapa puluh orang, yang
menghilang di antara pepohonan lebat.
Kapan kemudian Raymond bikin pemeriksaan, delapan bahagian mesiunya telah musnah
terbakar, sehingga ia jadi sangat mendongkol dan bersusah hati. Karena ini, ia atur
penjagaan kuat.
Selang tiga hari, Peter dan Tjian Thong Soe balik bersama beberapa puluh ekor keledai
dan kuda, yang mereka dapati di kota, lantas dengan itu, Raymond lanjuti perjalanannya.
Kepada Peter sep ini tuturkan serbuan panah api oleh orang-orang yang tidak dikenal,
sehingga mereka nampak kerugian besar.
Perjalanan dilakukan terus menerus untuk empat atau lima hari, sampai mereka mesti
melalui satu jalanan sukar, jalanan pegunungan yang sempit dan sangat tak rata. Jalanan
pun menurun. Raymond dan Peter mesti bekerja keras. Setiap meriam diikat keras, sepuluh serdadu
diperintah pegangi ujung dadung, untuk dipakai menahan, supaya meriam-meriam
menggelinding turun dengan pelahan-lahan. Kalau tidak, semua meriam bakal langsir ke
bawah dan ringsek.
Selagi semua serdadu asing itu bekerja keras, tiba-tiba datanglah serbuan anak panah,
yang datangnya dari kiri dan kanan, dari tempat-tempat sembunyi. Sebentar saja,
beberapa serdadu rubuh sebagai korban. Yang hebat adalah waktu anak-anak panah
mengenai keledai dan kuda, saking kesakitan, semua binatang itu kabur, mereka menarik
dengan kaget semua meriam, tanpa serdadu-serdadu yang menahan dapat mencegahnya.
Maka di lain saat, semua meriam jatuh ke lembah, bertumpuk dan rusak, bercampur sama
bangkai sejumlah keledai dan kuda, berikut mayatnya sejumlah serdadu juga.
Maka dalam sekejab, habislah semua sepuluh buah meriam besar itu.
Raymond dan Peter kaget bukan kepalang. Saking kaget dan takut, Catherine jatuh
pingsan. Tapi masih kedua opsir ini bisa memberi perintah untuk sisa serdadunya bikin
perlawanan. Musuh tidak dikenal itu sembunyi rapi, tidak ada peluru yang bisa mengenai mereka, tidak
demikian semua serdadu, yang cuma pada mendekam atau tengkurap, sehingga mereka
merupakan sasaran dari anak-anak panah musuh.
Selama dua jam, masih tak dapat tentara asing itu melepaskan diri dari kepungan.
"Mesiu kita tinggal sedikit, kita mesti menerjang!" akhirnya Raymond kata.
"Baik, suruh Tjian Thong Soe tanyakan, apa maunya orang-orang jahat itu," Peter usulkan.
"Bikin pembicaraan sama bandit?" Raymond membentak. "Apakah artinya itu" Jikalau kau
tidak berani, nanti aku yang maju!"
"Bandit menggunai panah, buat apa unjuk kegagahan tak ada perlunya?" kata Peter.
Raymond mendelu bukan main. Ia menoleh pada Catherine, lalu ia berludah.
"Cis! Pengecut, pengecut!" katanya.
Mukanya Peter menjadi pucat-pias.
"Baik, sekarang aku tak sudi layani kau," katanya dengan pelahan. "Kalau nanti banditbandit
sudah dipukul mundur, kau lihat apa adanya pembayaranku untuk hinaan ini!...."
Raymond lantas lompat maju.
"Siapa yang berani, hayo turut aku!" ia berseru.
"Hai, kolonel, apakah kau cari mampusmu?" Peter berseru. Ia kaget, ia ingin mencegah.
Tidak ada satu serdadu juga, yang hendak telad pemimpin itu, yang telah jadi nekat.
Raymond maju sambil cekal pistolnya, ia jalan Baru beberapa tindak, lantas ia rubuh,
jiwanya putus, karena sebatang anak panah tepat mengenai dadanya, nancap dalam.
Peter dan tentaranya melakukan perlawanan sambil umpetkan diri, mereka bisa cegah
pihak penyerang datang dekat kepada mereka. Sudah satu hari dan satu malam mereka
bertempur, dari pihak negeri, tidak ada datang bala-bantuan.
Di waktu itu memang ada sangat sukar untuk minta bantuan dari pemerintah Beng, yang
sudah buruk keadaannya. Untuk surat-menyurat saja, dibutuhkan tempo berhari-hari.
Maka di hari kedua, magrib, setelah semua serdadu kelaparan, kepala mereka pusing,
mata mereka berkunang-kunang, dengan terpaksa mereka kerek naik bendera putih, untuk
menyerah. "Kami menyerah! Menyerah!" Thong Soe berteriak berulang-ulang.
"Letaki senjata api semua!" ada syaratnya penyerbu.
"Kami tak dapat lakukan itu!" sahut Peter.
Pihak penyerang lantas berdiam, mereka juga tidak menyerang lagi.
Setelah sirap sekian lama, di waktu angin mendesir, angin itu ada membawa bau makanan
wangi dan lezat menyerang hidungnya semua serdadu asing itu, selagi mereka ini sangat
lelah, ngantuk dan lapar. Tanpa perkenan dari Peter lagi, semua serdadu lemparkan
senapan mereka, semua lari keluar dari tempat sembunyi.
Peter jadi habis daya, terpaksa ia keluarkan perintah penyerahan.
Semua serdadu tumpuk senapan mereka, habis itu mereka berteriak-teriak minta
makanan. Menyusul itu terdengar suara terompet nyaring dari pihak penyerbu, dari kedua lamping
bukit muncul beberapa ratus orang yang romannya keren, dengan panah siap untuk
dilepaskan, semua panah diarahkan kepada tentara asing itu. Delapan atau sembilan
pemimpin mereka ini, dengan pelahan, bertindak ke arah musuh.
Peter lihat orang yang pertama maju adalah seorang dengan baju panjang, siapa ia kenali
adalah orang yang di dalam hotel tolongi ia dari bokongannya Raymond. Di samping
pemuda ini ada satu pemuda lain, ialah si nona yang menyamar sebagai seorang pria,
yang kopiahnya pernah ditembak Raymond.
"Hai, itu kawanan tukang sulap!" Catherine berseru.
Peter lantas cabut pedangnya, ia maju beberapa tindak, dengan kedua tangannya, ia
lintangi pedangnya itu. Itu adalah tanda menyerah. Dan tak malu ia akan menyerah
terhadap seorang sebagai Sin Tjie - demikian si anak muda.
Mulanya Sin Tjie tercengang, tapi segera ia insyaf tanda menyerah orang. Lantas ia
goyangi tangan, ia kata pada Tjian Thong Soe: "Bilang padanya, jikalau pihak asing datang
dengan meriam-meriam untuk bantu Tiongkok membela tanah-daerah, untuk lawan
penyerangan pihak asing, kami akan bersyukur, kami akan pandang mereka sebagai
sahabat. Thong Soe salin pengutaraan itu kepada Peter. Opsir asing ini angguk-angguk kepala,
kemudian ia ulur tangannya, untuk jabat tangannya Sin Tjie.
"Tetapi jikalau kamu pergi ke Tong-kwan, untuk bantu kaisar membunuh rakyat, pasti aku
tidak mengijinkannya!" Sin Tjie kata pula.
Thong Soe salin pula kata-kata ini.
"Apakah kami hendak dipakai untuk serang rakyat Tiongkok" Inilah aku tidak ketahui,"
Peter bilang. Sin Tjie lihat orang beroman sungguh-sungguh, maka ia percaya keterangan itu dan ia
menambahkan: "Sekarang ini rakyat Tiongkok bersengsara sampai mereka tidak punya
nasi untuk didahar, mereka mengharap-harap ada orang yang pimpin mereka, untuk
merubuhkan raja, untuk menyingkir dari kesengsaraan ini. Raja ketahui ini, dia ketakutan,
dari itu, dia telah perintah kamu gunai meriam-meriammu untuk labrak rakyat."
Kelihatannya Peter tertarik simpatinya.
"Aku juga asal orang melarat, aku tahu apa artinya kemiskinan," ia bilang. "Sekarang aku
telah mengerti duduknya hal, aku akan segera berangkat pulang ke negeriku."
"Bagus! Sekarang pergi bawa tentaramu!" Sin Tjie bilang.
Peter lantas keluarkan perintah, akan kumpul tentaranya.
Sin Tjie pun titahkan pihaknya menghidangkan barang makanan dan arak untuk tentara
asing itu, sampai mereka telah dahar puas.
Peter angkat tangannya, untuk kasih hormat pada Sin Tjie, habis itu, ia beri titah untuk
tentaranya mulai berangkat.
"Kenapa kamu tidak bawa senjatamu?" Sin Tjie tanya.
Thong Soe salin kata-kata itu.
Peter menjawab: "Itulah hasil kemenanganmu. Kamu telah merdekakan kami, untuk itu
kamu tidak minta uang tebusan, itu saja telah membuat kami bersyukur untuk kebaikan
hatimu." Sin Tjie tertawa.
"Kamu telah kehilangan meriam, apabila kamu pulang tanpa senapan, mungkin kamu
ditegur seatasanmu," katanya. "Pergilah kamu bawa!"
"Apakah kamu tidak takut kami nanti pakai senapan itu untuk tembak kamu?" Peter tanya.
Sin Tjie tertawa berkakakan.
"Kalau satu laki-laki telah mengucapkan suatu kata-kata itu tidak dapat dicandak empat
ekor kuda!" ia bilang. "Kami putera-putera Tiongkok ada bangsa laki-laki, maka setelah
kami percaya kamu, mustahil kami balik mencurigai?"
Peter jadi kagum dan terharu.
"Baiklah," kata ia, yang terus perintah barisannya ambil senapan mereka, sesudah mana,
ia ajak mereka berlalu.
Di sepanjang jalan mendaki, Peter terus kagumi anak muda kita. Jalan belum jauh, tibaKang
Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
tiba ia perintah barisannya berhenti, ia sendiri ajak Thong Soe kembali pada Sin Tjie. Ia
keluarkan satu bungkusan dari sakunya.
"Kau ada baik sekali, aku mempunyai serupa barang untuk dihaturkan kepadamu!" kata
dia, untuk mana, dia minta Thong Soe salin kata-katanya.
Sin Tjie sambuti bungkusan itu, untuk dibuka. Itu adalah selembar kertas tebal. Ia buka itu,
untuk dibeber, hingga ia tampak peta bumi, peta dari sebuah pulau. Karena di sana-sini
ada tanda-tanda dalam huruf asing, ia tak mengerti.
"Inilah satu pulau besar di laut selatan," Peter bilang, "terpisahnya seribu lie lebih dari
darat. Hawa udara di atas pulau hangat, polowijonya subur. Aku sendiri pernah pergi ke
sana." "Apakah maksudmu memberikan peta ini kepadaku?" Sin Tjie tanya.
"Daripada kamu berperang di sini dengan bersusah-payah, lebih baik kau ajak rakyat yang
bersengsara, yang tak punya makanan, pergi ke pulau itu," Peter jawab.
Mendengar ini, Sin Tjie tertawa dalam hatinya.
"Sebagai orang asing, hatimu baik," pikir dia, "tetapi kau tidak tahu, negara kita berapa
luasnya, rakyat kita berapa juta banyaknya, maka tidak perduli berapa besarnya pulau itu,
tidaklah itu cukup besar untuk tampung kami semua!" Tapi ia tanya: "Apakah pulau itu
tidak ada penduduknya?"
"Ada waktunya bajak-bajak bangsa Spanyol berdiam di sana, ada waktunya kosong sama
sekali, "Peter terangkan. "Aku percaya kamu tidak akan jeri terhadap bajak-bajak Spanyol
itu." Melihat orang benar bermaksud baik, Sin Tjie haturkan terima kasihnya. Ia terima peta itu,
untuk disimpan. Kemudian dia ambil selamat berpisah dari Peter.
Tjian Thong Soe hendak ikut opsir asing itu, selagi ia putar tubuhnya, Tjeng Tjeng sambar
kuping orang itu; nona ini kata: "Jikalau lain kali aku ketemukan kau banyak tingkah dan
berani menghina pula sesama bangsa kita, hati-hatilah jiwa anjingmu!"
Thong Soe menahan sakit.
"Lain kali aku tidak berani pula...." jawabnya.
Sin Tjie lantas ajak kawannya pergi turun ke lembah, untuk periksa meriam-meriam besar
itu, yang rusak tak keruan, maka sekalian ia suruh pendam itu.
Kemenangan ini menggirangkan Sin Tjie semua, maka itu hari bersama Hoan Hoei Boen
beramai, ia mengadakan pesta besar, kemudian, besoknya, Baru ia berkumpul bersama A
Pa, Ang Seng Hay, untuk lanjuti perjalanan mereka ke Utara, ke Pakkhia.
Kali ini Ouw Koei Lam adalah yang berjasa, karena semua itu ada atas buah pikirannya,
hingga orang puji dia dan tak lagi ada yang pandang enteng kepadanya, yang asal
pencuri... (Bersambung bab ke 18)
Selama dalam perjalanan orang tidak nampak rintangan sesuatu, apabila rombongan Sin
Tjie pada suatu hari sampai di kota raja, waktu itu sudah di akhir musim rontok dan musim
dingin telah datang menggantikannya. Segera Sin Tjie bekali sejumlah uang kepada Ang
Seng Hay, akan minta pengikut ini pegri beli rumah besar di gang Tjeng-tiauw-tjoe yang
berada dekat dengan Tjie Kim Shia, Kota Terlarang. Rumah-tangga yang besar dan mewah
dibutuhkan untuk bisa bergaul sama orang-orang ternama atau berpangkat besar di kota
raja itu. Adalah harapan mereka agar dapat dipakai oleh Giam Ong.
Tjeng Tjeng repot bukan main ketika itu hari ia kepalai orang membersihkan dan mengatur
gedung mereka, supaya bisa terkapur bersih dan terhias menyenangkan mata. Sin Tjie
sendiri gunai tempo akan pesiar di dalam kota, di jalan-jalan utama, untuk saksikan
keadaan dan suasana. Demikian ia tampak penjagaan yang keras, terutama barisan dari
Hoe-pouw, kementerian keuangan dan penduduk. Kemudian ia dengar orang omong,
penjagaan itu berhubungan dengan kedatangannya angkutan uang negara dari Selatan.
Karena ini, ia menaruh perhatian lebih jauh, ia berdiri di tempat kejauhan, untuk
memasang mata. Sekonyong-konyong terlihat dua bajangan loncat dari genteng Gudang Negara, cepat
sekali gerakannya, keduanya berlari-lari ke ujung timur-utara gedung itu, lalu lenyap.
Pemuda ini heran mengapa di siang hari bolong orang berani manjat Gedung Negara.
Segera ia menerka kepada orang jahat. Ia lantas ingin ketahui, siapa adanya dua bajangan
itu. Ia menduga kepada orang-orang kosen. Tapi ketika ia menyusul ke ujung timur-utara
itu, ia tidak lihat siapa juga kecuali sebuah jalanan dan jalanan ini sepi. Ia lantas lari, untuk
coba menyusul. Malah ia lari keras menggunai ilmu entengkan tubuh pengajarannya Bhok
Siang Toodjin. Berlari-lari belum lama, Sin Tjie lihat dua orang berlari-lari di sebelah depan. Karena ini, ia
entengi tindakannya, supaya orang tidak dapat dengar dan nanti menoleh, untuk curigai
dia. Selagi datang mendekati, Sin Tjie dapatkan dua orang itu bertubuh kecil dan kate,
pakaiannya serba merah, kepala mereka masing-masing berkuncir. Dilihat dari belakang,
mestinya mereka ada bocah-bocah umur tiga-atau empat belas tahun. Pundak mereka itu
masing-masing menggendol sebuah bungkusan yang nampaknya berat, sebab tindakan
kaki mereka yang antap.
"Mesti mereka telah curi uang negara," menyangka Sin Tjie. Ia kagumi keberanian dan
kegesitan luar biasa dua anak-anak itu. Di pihak lain, ia tertawa untuk ketololannya
beberapa serdadu penjaga pintu kota itu.
Tujuh atau delapan lie dari pintu kota, adalah sawah dan tegalan belaka. Di sini kedua
bajangan itu menghampirkan sebuah rumah besar, begitu sampai, mereka melompati
tembok dan lenyap di sebelah dalam gedung.
Sin Tjie mendekati, untuk lihat tembok pekarangan yang hitam gelap, tingginya kira-kira
dua tumbak, tidak ada pintunya. Ia coba jalan mutar tapi masih ia tidak lihat pintu, untuk
masuk atau keluar. Aneh! Gedung apa itu"
Didorong perasaanya ingin tahu, Sin Tjie loncat naik ke tembok. Tidak sembarang orang
bisa lompat naik atas tembok itu. Di dalam pekarangan ada lagi selapis tembok, yang
temboknya putih terang. Tapi kembali, tembok ini tidak mempunyai pintu.
Oleh karena penasaran, Sin Tjie lompat, untuk lintasi tembok putih ini. Tembok ini ada
lebih tinggi kira-kira tiga kaki. Tak sembarang orang dapat melompatinya.
Sesampainya di dalam, keheranan Sin Tjie bertambah. Nyata di hadapannya ada sebuah
tembok lagi, yang terlebih tinggi pula, yang warnanya biru. Kemudian keheranannya
memuncak apabila lagi-lagi ia dapatkan dua lapis tembok, masing-masing kuning dan


Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merah, setiap kalinya, tembok ada lebih tinggi tiga kaki. Maka sama sekali, lima lapis
tembok itu sudah jadi tiga tumbak lima kaki tingginya.
Maka, untuk bisa panjat tembok yang kelima ini, Sin Tjie mesti gunai ilmunya "Pek-houw
yoe tjhong kong" atau "Cicak merayap di tembok", tubuhnya nempel di tembok, kedua
kaki dan tangannya bekerja.
"Pasti kedua bocah itu tidak punyakan kepandaian melompati tembok ini apapula dengan
bawa buntalan berat," pikir pemuda ini. "Mesti ada pintu rahasia di sini. Aku tidak kenal
tuan rumah, tidak leluasa untuk aku masuk terus. Baik aku cari saja pintu rahasia itu...."
Maka itu, ia bercokol di atas tembok, akan memasang mata.
Di dalam pekarangan terdalam itu ada sebuah rumah besar dengan tingkat tiga, yang
depan terbagi dalam lima ruang. Walau rumah ada besar, kesunyian berkuasa di situ.
Setelah berdiam sekian lama, Sin Tjie perdengarkan suaranya: "Aku yang muda telah
lancang masuk kemari, niatku adalah untuk berkunjung kepada tuan rumah yang
bijaksana. Sukakah aku ditemuinya?"
Tidak ada jawaban kecuali kumandang.
Sin Tjie tunggu sampai sekian lama, ia lantas berkata-kata pula. Kali ini dijawab oleh
gonggongan riuh dari belasan ekor anjing yang tinggi dan besar, yang berlari-lari keluar
dari rumah tingkat ketiga, agaknya galak sekali semua anjing itu, yang meronjang-ronjang
ke tembok, mulutnya dipentang lebar, kukunya diulur semua.
Melihat kawanan anjing itu, Sin Tjie percaya orang tak sudi menemui ia, atau tuan rumah
membenci tetamu, maka ia tak buang tempo lagi akan berlompatan keluar dari gedung
berlapis-lapis tembok itu, untuk terus pulang ke rumahnya yang baru.
Masih saja Tjeng Tjeng repot mengatur dan menghias rumahnya, antaranya ia tukar lantai
papan, ia beli kembang segar, melihat mana, girang Sin Tjie, sebab dia telah dapatkan satu
"pembantu dalam" yang pandai...
Dulu di atas perahu di Tjiatkang, Tjeng Tjeng merupakan satu "pemuda" yang ganas, tapi
sekarang, belum cukup setengah tahun, ia telah ubah diri menjadi satu pemudi yang lain
sekali sifatnya.
Oleh karena rumah besar dan banyak kamarnya, setiap orang mendapati sebuah kamar
sendiri-sendiri, malah Tay Wie dan Siauw Koay juga peroleh kamar di dalam taman.
Habis bersantap malam, Sin Tjie duduk berkumpul bersama semua kawannya, ia lantas
tuturkan mereka tentang sesuatu yang ia tampak, terutama mengenai itu dua bocah serba
merah serta gedung besarnya yang luar biasa.
"Benar-benar heran!" menyatakan beberapa suara. Mereka semua tak sanggup menerka,
gedung apa adanya itu.
Setelah pasang omong, semua orang pergi beristirahat. Sin Tjie tidak lantas tidur, ia
pikirkan rencana untuk bekerja di kota raja ini. Tugasnya yang pertama adalah bantu Giam
Ong membikin terjungkal kerajaan Beng, untuk bebaskan rakyat dari penderitaan, supaya
mereka merdeka. Tugas yang kedua adalah membunuh kaisar Tjong Tjeng sendiri, untuk
mewujudkan pembalasan sakit hati ayahnya. Ia percaya, dengan kepandaian yang ia
punyakan, tidak terlalu sulit untuk menyerbu ke istana, ke dalam keraton. Tapi ia ingat
kata-kata gurunya, bahwa satu kali raja terbinasa, kawanan dorna bakal menggantikan
menguasai pemerintahan, bahwa bangsa asing bakal gunai ketika baik itu untuk datang
menyerbu. Maka itu ia perlu bersabar sampai Giam Ong dan angkatan perangnya sudah
datang ke kota raja, Baru ia turun tangan. Maka ia anggap usahanya yang utama adalah
lihat bahagian dalam dari pemerintah, untuk membuka jalan guna serbuannya Giam Ong
nanti. Setelah dapat ketetapan, Baru Sin Tjie bisa tidur. Malah untuk sesaat itu, ia bisa lupai itu
dua bocah serba merah pencuri harta negara serta gedungnya yang bertembok berlapislapis
yang aneh. Di hari kedua, orang bangun pagi-pagi, lantas mereka berkumpul di ruang hoa-thia, untuk
bersantap. Di paseban, di latar, salju melulahan tebal. Tadi tengah malam, salju itu turun secara lebat
sekali. Sebaliknya dua pohon bunga bwee telah menyiarkan baunya yang harum-halus.
Selagi orang berkumpul, satu kee-teng, atau bukang pelayan, datang masuk dari luar
dengan tindakan cepat.
"Siocia, ada orang datang mengantar barang!" katanya kepada Tjeng Tjeng.
Satu kee-teng lagi membawa barang antaran ialah sebuah tok-pan, pot bunga, dari
porselen, dan sebuah pin-hong atau sekosol mungil dengan lukisan gambar oleh Sim Sek
Thian. "Inilah barang kuno," kata Sin Tjie. "Siapakah yang mengantarnya?"
Pada sumbangan itu tidak berikuti karcis nama si pengirim.
Tjeng Tjeng bungkusi tiga tail perak.
"Ini presen untuk si pembawa barang," kata ia pada bujangnya. "Kau tanya tegas, siapa
yang kirim sumbangan ini."
Kee-teng itu berlalu akan sebentar kemudian balik lagi.
"Orang itu sudah pergi, aku susul tidak kesusul," katanya.
Semua orang tertawa.
"Aneh," menyatakan mereka. Tak keruan-ruan menerima hadiah!
"Nama Wan siangkong kesohor, ini tentu ada tanda mata dari salah satu orang yang
mengaguminya," kata Seng Hay kemudian.
Dugaan ini dapat kesetujuan semua orang.
Pada tengah-hari, selagi orang hendak duduk berkumpul untuk bersantap, datang pula
antaran barang-barang hidangan buatan rumah makan "Tjoan Tjip Hin" yang paling
kesohor di kota raja. Ketika koki, yang mengantari ditanya, hidangan itu kiriman siapa, dia
cuma bilang seorang yang tidak dikenal yang memesannya yang menyuruh antarkan ke
gedung ini. Mau atau tidak, orang jadi curiga. Semua barang makanan itu dipisahkan, dikasih pada
anjing, akan tetapi anjing yang memakannya selamat, tidak kurang suatu apa.
Lalu lohornya bergantianlah datang orang-orang dengan barang-barang hadiah lainnya,
seperti kursi-meja, para-para bunga dan lainnya, yang surup untuk gedung mereka, tapi
kapan ditanya, semua pengangkut barang itu tak bisa menyebutkan, siapa pengirimnya.
"Coba kalau ada sebuah lampu besar!" kata Tjeng Tjeng sambil memain. Memang orang
heran tetapi berbareng pun lucu...
Belum selang setengah jam dari kepergiannya kuli-kuli, datang yang lain bersama sebuah
lampu gantung yang besar dan indah, yang kemudian disusul sama antaran sutera, kain
wol, sepatu, kopiah dan saputangan beraneka warna, sedang untuk nona Hee ada pupur
dan yantjie pilihan! Untuk Thie Lo Han Gie Seng seperangkat jubah suci kah-see!
Saking heran, hingga tak dapat ia mengatasi diri lagi, Thie Lo Han cekuk satu kuli.
"Kenapa kau tahu di sini ada satu tauwtoo?" tegurnya. "Kenapa kau kirimkan aku baju
suci?" Kuli itu, seorang pegawai toko, jadi kaget.
"Tak tahu aku," sahutnya. "Tadi pagi datang satu pembelanja ke toko kami, dia beli ini
semua, dia minta semua dikerjakan lekas, untuk sekarang dibawa kemari...."
Semua orang tak habis heran, mereka pusing menduga-duga.
Tjeng Tjeng cerdik, lalu ia kata seorang diri: "Jikalau pengirim itu benar ketahui isi hatiku,
dia tentu bakal kirimkan aku serenceng mutiara...."
Kemudian, selagi orang ngeloyor pergi, ia minta Seng Hay pergi menguntit, akan lihat
orang pergi kemana.
Setelah berselang sekian lama, kuli tadi balik kembali. Seng Hay sebaliknya kembali
sesudah lewat kira-kira satu jam sedatangnya kuli ini. Boleh dibilang Baru saja Seng Hay
melangkah di pintu atau orangnya toko barang-barang permata telah datang bersama dua
renceng mutiara yang besar-besar.
Tjeng Tjeng sambuti mutiara itu, terus ia masuk ke dalam. Sin Tjie ikuti si nona demikian
juga Seng Hay. Sesampainya di dalam, pengikut she Ang ini berikan laporannya.
"Kuli tadi telah ketemui satu pengemis yang telah lanjut usianya, ia bicara sebentar, lantas
dia kembali," demikian Seng Hay. "Aku sendiri lantas kuntit pengemis tua itu."
Sepasang alisnya Tjeng Tjeng bangun.
"Pengemis itu dan kuli ini bukan orang baik-baik!" katanya dengan gusar. "Sebentar aku
nanti kasih rasa kepada mereka!"
"Nona menduga benar," Seng Hay bilang. "Orang tua itu jalan melalui beberapa jalan
umum, lantas ia disambut oleh satu opas kuku garuda, sesudah berdua mereka bicara
sebentar, pengemis itu lantas jalan kembali."
"Apakah kau kuntit itu kuku garuda?" Tjeng Tjeng tanya.
Seng Hay manggut.
"Kuku garuda itu tidak kembali ke kantor, dia hanya pergi ke sebuah gang dimana ada
satu rumah besar," ia melanjuti. "Di luar gedung ini, keadaannya sunyi, sebab aku tidak
bisa masuk dari pintu, aku naik ke genteng. Di dalam ada belasan opas serta seorang tua
yang matanya picak sebelah. Orang panggil dia Sian Loosoe, rupanya dia jadi kepala. Aku
kuatir aku nanti kepergok, maka itu, aku lantas keluar pula dan pulang."
"Luar biasa! Bagaimana tajam mata mereka, bagaimana terang kuping mereka!" kata Tjeng
Tjeng. "Baru kita datang ke Pakkhia ini, lantas mereka sudah dapat tahu! Aku kuatir sulit
juga untuk nanti kita turun tangan...."
"Yang aneh adalah kiriman barang-barang mereka," Sin Tjie bilang. Pemuda ini tetap
tenang. "Bukankah itu ada perbuatan disengaja supaya kita dapat tahu bahwa kita telah
dipergoki" Rombongan kuku garuda di kota raja mestinya cerdik semua, tidak nanti
mereka lakukan tindakan gelo. Apa maksud mereka yang sebenarnya?"
Lantas pemuda ini perintah Seng Hay panggil Tjeng Tiok, Thian Kong, Koei Lam dan yang
lain-lain, untuk mereka berunding.
Sebentar saja, orang telah berkumpul dan berunding, Tjeng Tjeng lantas terangkan
keterangannya si kuli dan laporan Seng Hay. Lalu orang berbicara. Akan tetapi,
kesudahannya, tidak ada seorang jua yang dapat menduga pasti apa artinya semua
barang antaran itu.
"Semua ini ada barang tidak halal, aku tak menginginkannya!" kata Tjeng Tjeng akhirnya.
Maka malam itu si nona, dengan dibantu A Pa, Thie Lo Han, Ouw Koei Lam dan Ang Seng
Hay, angkut semua barang ke rumah itu yang ditunjuki Seng Hay. Rupanya penghuni
rumah itu dengar suara berisik, mungkin mereka dapat menerka-nerka, akan tetapi mereka
tidak nampakkan diri.
Paginya Tjeng Tjeng lepaskan si kuli, yang kemarinnya ia tahan, sama sekali ia tidak
ganggu kuli ini. Si kuli sendiri terima uang upah dengan cara hormat, ia manggut beberapa
kali, ketika ia berlalu, tidak kelihatan ia berkuatir atau tak senang hati.
Habis itu, Sin Tjie beramai berlaku waspada, untuk saksikan apa akan terjadi lebih jauh
sebagai akibat putusannya itu.
Hari itu tidak terjadi suatu apa, terus sampai malam.
Malam itu salju turun pula dengan lebat. Besoknya pagi Seng Hay beramai masuk
menemui Tjeng Tjeng beramai, romannya terbenam dalam keheranan. Ia lantas kata:
"Semalam turun salju, mestinya salju bertumpuk di pekarangan muka rumah kita, akan
tetapi entah siapa yang menyapui, sekarang salju itu telah bersih semua. Tidakkah ini
aneh?" "Terang sudah, kawanan kuku garuda itu lagi ambil hati kita," nyatakan Sin Tjie. "Sengaja
rupanya mereka bekerja secara diam-diam."
Tjeng Tjeng tertawa.
"Aku tahu sekarang!" katanya.
"Apakah itu?" tanya beberapa suara.
Kembali si nona tertawa.
"Mereka itu kuatir kita nanti bekerja secara besar-besaran di kota raja ini, hal itu pasti
membuat mereka celaka, maka itu sengaja mereka mendahului mengambil-ambil hati kita,
untuk ikat persahabatan...."
"Dugaan ini cocok juga," Thian Kong bilang. Ia tertawa. "Tetapi, bukan sedikit tahun aku
telah bekerja, belum pernah aku nampak kejadian serupa ini...."
"Ah, aku ingat sekarang!" tiba-tiba Tjeng Tiok ikut bicara.
"Itu kuku garuda yang matanya sebelah ada Tok-gan Sin-liong Siang Tiat Seng si Naga
Sakti Mata Satu, cuma sebab sudah lama ia undurkan diri, aku sampai tak ingat padanya."
Sampai di situ pembicaraan mereka, mereka tetap tidak ambil tindakan apa kecuali berlaku
waspada. Beberapa hari telah lewat, terus tidak ada orang yang mengantar barang lagi, tidak ada
kejadian apa juga, maka pelahan-lahan rombongannya Sin Tjie ini mulai tak
memperhatikannya pula.
Kemudian datanglah satu hari, sedangnya orang berkumpul di dalam rumah menghadapi
arak, Ketika itu ada di musim dingin, arak adalah penghangat tubuh. Satu bujang masuk
dengan selembar karcis nama yang lebar dimana tertulis kata-kata: "Hormatnya Boanseng
Sian Tiat Seng". Bersama itu diberikuti delapan rupa barang antaran.
Semua orang antap orang tua itu pergi.
Itu hari, di waktu lohor, turun hujan salju yang halus sekali, maka Sin Tjie ajaki Tjeng Tjeng
menunggang kuda pesiar ke luar kota, ke telaga, untuk minum arak sambil "menggadangi"
hujan salju itu yang meriangkan mata.
Sudah sekian lama tak pernah mereka pesiar berduaan saja, inilah ketikanya yang baik
akan mengicipi lagi suasana yang riang-gembira.
Sekitarnya telaga penuh dengan pepohonan gelagah dan alang-alang.
Tjeng Tjeng bekal sebuah naya dengan isi arak dan sayuran, maka itu leluasalah mereka
duduk dahar dan minum sambil pentang mata ke sekitar mereka, memandang panorama
yang menarik hati mereka. Mereka minum dan dahar dengan pelahan-lahan, sambil seling
itu dengan omongan.
Yang lebih memuaskan pasangan ini adalah, selagi salju turun semakin membesar, di
telaga itu tidak ada lain orang lagi, sehingga mengecap lagi suasana yang riang-gembira.
Sin Tjie lantas gunai ketikanya, akan tanya, bungkusan apa itu yang si nona kembalikan
pada Sian Tiat Seng. Tadi pagi, bungkusan itu tak sempat dibuka, dibeber di muka ornag
banyak. "Aku telah main-main dengan dia," kata Tjeng Tjeng, yang sembari tertawa tuturkan apa
yang ia kerjakan tadi malam, sehingga tidaklah heran kalau kepala opas itu menjadi
kelabakan. Sin Tjie tertawa.
"Sungguh kau cerdik!" ia memuji. "Sebenarnya Baru saja aku puji kau sebab kau telah
merobah tabiatmu, siapa tahu, kau masih tetap nakal!...."
"Eh, kapan kau puji aku?" Tjeng Tjeng tanya.
"Aku puji kau di dalam hatiku saja," jawab si anak muda. "Tentu saja, kau tak ketahui
itu...." Tjeng Tjeng tertawa, nyata sekali ia gembira.
Harpa Iblis Jari Sakti 33 Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Dewi Ular 4

Cari Blog Ini