Ceritasilat Novel Online

Pedang Ular Mas 3

Pedang Ular Mas Karya Yin Yong Bagian 3


"Jangan, jangan!" ia menolak, tangannya digoyang berulang-ulang. "Aku tidak terima
murid! Jikalau dia hendak minta pelajaran dari aku, dia mesti dapatkan itu dengan
menangkan aku dengan kepandaiannya!"
"Apakah caranya itu?" tanya Bok Djin Tjeng.
"Dalam hal ilmu pedang dan ilmu kepalan, Lo Bok, dikolong dunia ini kau tidak ada
lawannya, aku si imam tua takluk kepadamu," berkata imam itu, "maka bocah ini, asal dia
sanggup wariskan dua atau tiga bagian dari kepandaianmu, sukar dicari tandingannya
dalam kalangan kang-ouw. Tetapi bicara tentang senjata rahasia, aku kira aku si imam tua
mempunyakan dua kemungkinan!"
"Memang siapa tak tahu kau si Bajangan Iblis mempunyai kepandaianmu yang istimewa
itu, jangan kau coba mengebul!"
"Ya, kau memang utamakan kaummu, segala apa kau hendak main terus-terang, hingga
segala senjata rahasia kau tidak hendak dijakinkan dengan sungguh-sungguh," kata si
imam. "Mengenai Sin Tjie, aku hendak atur begini. Kau antap dia lajani aku main tiokie,
dua dalam satu hari, jikalau aku yang menang, kau mesti biarkan dia kawani aku
melewatkan waktu yang senggang. Asal dia menangkan aku satu babak saja, aku nanti
ajarkan dia semacam ilmu entengi tubuh, tapi kapan dia bisa menang beruntun dua kali,
disebelah ilmu entengi tubuh itu, aku ajarkan lagi serupa senjata rahasia. Coba timbang,
pertaruhanku ini adil atau tidak?"
"Imam tua ini benar licik dan lucu," pikir Bok Djin Tjeng. "Tapi dia ada satu laki-laki sejati,
sekali dia berkata, dia tidak pernah tarik pulang lagi". Maka ia lantas jawab : "Baik, baiklah
diatur begini. Aku memangnya kuatirkan Sin Tjie sia-siakan waktunya yang berharga,
sekarang ada ini ketika yang baik, aku terima baik permintaanmu. Sekarang kau boleh
main, sesukanya, setiap hari delapan kali, sepuluh kali, masa bodo!"
Bhok Siang jadi sangat girang, demikian juga Sin Tjie. Tidak tempo lagi, keduanya lantas
duduk berhadapan, untuk mulai dengan pertempurannya.....
Hari itu juga mereka main dua kali juga. Habis main, dia menetapi janji, dia kata pada
bocah she Wan itu : "Sekarang aku ajarkan kau satu jurus ilmu entengi tubuh. Ya, cuma
satu jurus saja, tapi jikalau kau yakinkan dengan sungguh-sungguh, faedahnya kau akan
dapatkan seumur hidupmu. Nah, kau lihatlah dengan waspada."
Baru habis dia mengucapkan, tak tertampak lagi gerakan kakinya, tahu-tahu tubuh imam
itu sudah mencelat keatas sebuah pohon didekat mereka, ketika ia lompat dengan
jumpalitan, tahu-tahu ia sudah kembali berada didepannya si bocah.
Sin Tjie kagum hingga ia melengak, setelah sadar ia tepuk-tepuk tangan, ia bersorak.
"Sekarang hayo kau mulai pelajarkan," Bhok Siang kata. Dan ia terus ajarkan ilmu entengi
tubuh itu yang dinamakan "Poan in seng liong" atau "Naga naik merayap dimega". Untuk
itu, Sin Tjie mesti berlompatan dengan enjot tubuh.
Dihari kedua, Sin Tjie kalah dua kali berturut-turut, maka pada hari itu seperti bunyinya
perjanjian, ia tidak peroleh pengajaran apa juga. Tapi di hari ketiga, ia main bagus sekali.
Ia lepaskan kedua sayap, ia menyerang di tengah dan ia menang dua-dua kalinya.
Tak puas Bhok Siang Toodjin.
"Mari lagi!" ia mengajak.
Mereka main pula dua kali, dengan kesudahan seri, satu kalah, satu menang. Turut jumlah,
si imam kalah tiga. Atas ini, imam itu ajarkan si bocah dua rupa ilmu entengi tubuh.
Sin Tjie turut ajaran itu, ia terus berlatih, sampai ia pandai jalankan.
"Kau tahu, apabila aku menghadapi lawan, aku gunai senjata apa?" tiba-tiba tanya guru
istimewa ini. Sin Tjie tidak tahu, ia menggeleng-gelengkan kepala.
Bhok Siang Toodjin jumput papan caturnya, untuk diangkat.
"Inilah senjatanya! Menerangkan dia.
Anak itu heran, walaupun ia tahu, papan catur itu terbuat dari baja. Ia menyangka, karena
sangat gemar main tiokie, imam ini sengaja bikin papan catur luar biasa itu, dan papan
catur ini terus dibawa-bawa, mungkin dikuatirkan rusak, dibuatnya dari logam kuat itu.
Siapa sangka, itu adalah alat-senjata.
Bhok Siang jumput seraupan biji catur.
"Dan ini adalah senjata rahasiaku!" ia tunjuki si bocah. Ia tertawa.
Belum sempat Sin Tjie menanya atau si imam telah lemparkan biji-biji catur itu, belasan
biji, kemudian ia angkat papannya, untuk dipakai menanggapi.
Aneh sekali, dengan menerbitkan suara nyaring, semua biji catur itu jatuh kedalam papan
catur itu. Lebih aneh pula, jatuhnya tidak beruntun, hanya berbareng semua, tanpa meletik
lagi. Si imam tertawa, lalu ia kata : "Buat bisa menggunai senjata rahasia, paling dulu orang
mesti melatih tenaga, lalu belajar menyerang dengan tepat, supaya penyerangan tentu
cepat dan pelahannya, berat dan entengnya. Sekarang mari kau mulai!"
Bhok Siang benar-benar ajarkan Sin Tjie bagaimana mesti menimpuk, bagaimana tenaga
mesti dikumpul ditangan, bagaimana harus mengincar sasaran.
Bukan main girang Sin Tjie, ia belajar dengan rajin.
Tanpa terasa, setengah tahun Bhok Siang Toodjin menenamu di atas gunung - gunung
Hoa San - selama itu setiap hari dia main tiokie dengan Sin Tjie, berbareng dia ajari bocah
itu menggunai senjata rahasianya - biji-biji catur serta ilmu entengi tubuh. Ia seperti lupa
pulang. Ia pun mengajari dengan sungguh-sungguh.
Selama Bhok Siang Toodjin berdiam di Hoa San, kebetulan musim panas, maka itu telah
diatur, pagi sampai siang, Sin Tjie belajar silat, tengah-hari sampai lohor, mereka berdua
bertempur atas papan tiokie. Dan selama itu, permainan catur Sin Tjie jadi liehay sekali,
hingga ia telah melebihi gurunya ini. Tapi dasar si imam "suka menang", dia selalu suruh
Sin Tjie pegang biji putih dan jalan terlebih dahulu, tapi ini justru mengakibatkan, ia lebih
banyak kalah daripada menang....
Sin Tjie gunai biji jalan bukan untuk serang serampangan saja, hanya Bhok Siang Toodjin
didik ia untuk serang jalan darah, sekali timpuk, dengan belasan biji, dia mesti bisa
mengenai sasaran dengan jitu. Ilmu senjata rahasia jang aneh itu dipanggil "Boan thian
hoa ie", atau "Hujan bunga diseluruh langit". Ini ada pelajaran sangat sulit. Ia mulai dari
satu biji, lalu ditambah, ia sudah belajar empat bulan, Baru ia bisa gunai tiga atau empat
biji, dan yang kena, Baru satu atau dua. Sebagai sasaran ada selembar papan dimana
dilukiskan tubuh manusia dengan tanda-tanda jalan darah, diwaktu diserang, papan itu
tidak dipancar hanya dipegangi oleh si empeh gagu, untuk dilarikan, setiap sang guru
serukan jalan darah mana yang musti diserang.
Pada suatu hari, sedang Sin Tjie berlatih, si gagu berlari-larian dengan papannya, dan si
guru sedang berseru dengan pengunjukan-pengunjukannya; ketika Sin Tjie sudah
menimpuk jitu tiga biji, dan hendak menimpuk terus, sekonyong-konyong ia terkejut,
hingga ia serukan jeritan tertahan. Ia lari kepada si gagu, untuk tarik dia ini! Si gagu kaget,
segera ia menoleh. Tidak tahunya, dibelakangnya, tahu-tahu berdiri orang hutan, yang
bersikap hendak menerkam dia. Ia menjadi tidak senang, ia ayun papan jang dipegangnya,
untuk dipakai menyerang.
Cepat luar biasa, Bhok Siang Toodjin mencelat kepada si gagu ini, tubuh siapa ia tarik
mundur, berbareng dengan mana, ia serukan muridnya : "Sin Tjie, kau jang layani dia!"
Anak ini tahu, guru itu hendak uji dia, dia tidak menolak, malah segera dia lompat kedepan
orang hutan itu.
Entah kenapa, berhadapan dengan orang, orang-hutan itu putar tubuhnya, untuk ngeloyor
pergi, maka melihat demikian, Sin Tjie gerakan sebelah tangannya, akan tepuk
bebokongnya, hingga saking kesakitan, binatang liar itu perdengarkan pekiknya berulangulang.
Dia menjadi gusar, dia berbalik, lalu tangannya jang panjang dan berbulu,
menyambar! Sin Tjie berkelit, dengan lompat kesamping, dari mana ia berniat menyerang,
tetapi mendadakan, dibelakangnya ada menyambar angin. Ia tahu, tentu ada lain musuh
yang bokong padanya. Tak keburu ia memutar tubuh, maka itu, ia menjejak tanah, untuk
berlompat tinggi sambil jumpalitan, dengan begitu, apabila ia sudah berbalik, ia dapati si
pembokong adalah satu orang-hutan lain, yang sama besarnya. Sebenarnya, sejak belajar
silat, belum pernah ia berkelahi dengan lain orang, namun demikian, tak jeri ia
menghadapi dua binatang buas itu. Segera ia menyerang, dengan mainkan tipu-tipu dari
Hok-houw-tjiang, Tangan harimau.
Suara berisik membuat Bok Djin Tjeng muncul. Ia saksikan pertempuran itu, ia lihat
bagaimana beberapa kali orang-orang hutan itu kena dihajar, saban-saban keduanya
perdengarkan pekikan-pekikan dari kesakitan.
"Bocah ini tidak mensia-siakan cape-lelahku," pikir guru ini, jang merasa puas.
Setelah berulang-ulang merasai pukulan-pukulan jang menyakiti tubuh, kedua orang-hutan
itu tidak berani berkelahi rapat, keduanya main lompat-lompatan, kadang-kadang saja
mereka menubruk.
Sesudah mengawasi sekian lama, Bok Djin Tjeng dapat kenyataan, walaupun ilmu silatnya
telah digunai dengan baik, tenaganya Sin Tjie kurang sekali, semua pukulannya melainkan
menerbitkan rasa sakit, tidak bisa melukai, maka itu, ia masuk kedalam, untuk ambil
pedang. "Sambut ini!" kata ia ketika ia keluar pula, seraya lemparkan pedang kepada muridnya.
Sin Tjie berlompat, akan papaki pedang, untuk disambar dengan tangannya, setelah mana,
ia bisa berkelahi dengan terlebih gesit pula. Saban-saban ia membacok atau menikam,
untuk mana, kedua binatang hutan itu pun berlaku gesit, senantiasa mereka lompat
menyingkir. "Jangan binasakan mereka!" Bhok Siang serukan anak muda itu.
Sin Tjie menyahuti, lalu ia mendesak hebat. Kali ini, asal ia mau, ia bisa tikam sesuatu dari
binatang itu, akan tetapi sekarang ia melainkan mengancam, cuma ia lukai sedikit lengan,
pundak dan kepala orang hutan itu.
Kelihatannya kedua binatang itu mempunyai perasaan. Mereka mengerti orang tidak
hendak binasakan mereka. Ini terbukti, kapan mereka lompat jauh, Sin Tjie tidak mengejar,
anak itu malah berhenti bersilat, dia mengawasi saja mereka. Mereka insyaf bahwa orang
mengasihani kepada mereka, maka kemudian mereka berpekik, lalu keduanya rubuhkan
diri, sepasang tangan mereka dipakai menutup kepala mereka masing-masing, cuma mata
mereka mengawasi si anak muda, dengan sinar mohon diberi ampun....
Sin Tjie berhenti menyerang, ia mengerti orang sudah menyerah.
Si gagu girang, ia lari kedalam, untuk ambil dadung, buat belenggu kedua binatang itu.
Mulanya kedua orang-hutan coba berontak, mereka berpikir dan pertontonkan gigi
mereka, tapi tenaganya si gagu kuat sekali, diakhirnya, mereka menyerah, mereka tidak
berani melawan lebih jauh.
Dua-dua Bok Djin Tjeng dan Bhok Siang Toodjin puji Sin Tjie, jang lantas dianjurkan untuk
belajar lebih jauh dengan sungguh-sungguh.
Bukan kepalang girang Sin Tjie. Ia pun merasakan bagaimana hasilnya latihan kerasnya.
Disebelah itu, girang ia mendapati dua orang hutan itu, ia sendiri mencarikan buahbuahan,
untuk piara mereka.
Selang tujuh atau delapan hari, kedua orang-hutan itu jadi jinak sekali, keduanya mengerti
kesajangan si anak muda terhadap mereka, maka itu, walaupun tidak lagi dicangcang,
mereka tidak mau kabur.
Sin Tjie lantas beri nama "Tay Wie" kepada yang lelaki dan "Siauw Koay" kepada yang
perempuan, ia biasakan memanggil mereka hingga keduanya tahu namanya masingmasing.
Bok Djin Tjeng dan Bhok Siang Toodjin tertawa melihat kedua binatang itu jadi demikian
jinak dan mengerti maksud orang.
Setelah binatang itu tahu rumah, jinak dan mendengar kata, Sin Tjie lepaskan mereka
hingga mereka merdeka untuk pergi cari makan sendiri, mencari bebuahan diatas gunung.
Pada suatu hari terjadilah suatu hal kebetulan.
Tay Wie dan Siauw Koay pergi mendaki gunung, untuk cari makanan. Dengan berani
Siauw Koay merambat ditembok gunung, atau mendadakan kakinya terpeleset, tiada
ampun lagi, pegangannya terlepas, dia jatuh.
Tembok gunung itu adalah jurang dalamnya empat puluh tumbak lebih.
Tay Wie kaget, tapi kapan dia mengawasi lebih jauh, dia lihat kawannya tidak jatuh terus
ke jurang hanya nyangkut pada suatu cabang pohon dimana kebetulan ada sebuah gua
kosong, jang mulut guanya sudah lumutan. Disini Siauw Koay berpegangan pada mulut
gua, naik tidak bisa, turun juga tidak bisa.
Dalam sibuknya, Tay Wie lari pulang, untuk cari Sin Tjie, buat beri kabar. Ketika itu, sang
majikan lagi berlatih dengan pedang. Binatang ini tidak bisa bicara, maka juga ia berpekik
tak hentinya. Sin Tjie heran, apabila ia lihat tubuhnya orang hutan itu lecet disana-sini, berdarah bekas
kena tusukan duri pepohonan, sedang romannya seperti ketakutan. Tidak tempo lagi, ia
cari A Pa, si gagu, untuk diajak bersama, mengikuti binatang piaraan itu pergi kejurang.
Sesampainya di tepi jurang, Tay Wie menunjuk-nunjuk kearah Siauw Koay, ia berpekik tak
sudahnya, kaki tangannya digeraki berulang-ulang. Karena ini, Sin Tjie dan A Pa segera
dapat lihat si orang-hutan betina dalam bahaya itu. Tidak tempo lagi, Sin Tjie lari pulang
untuk ambil dadung, yang ia lemparkan kearah binatang piaraannya itu, ia sendiri lalu
memegangi ujungnya bersama A Pa.
Siauw Koay sudah lelah sangat, ketika ia lihat dadung, ia jambret, ia pegangi dengan
keras, dengan begitu, sebentar kemudian ia dapat ditarik naik. Ia terluka dibeberapa
tempat, syukur tidak hebat. Kemudian, dengan perdengarkan pekikan berulang-ulang, ia
tunjuki tangannya kepada Sin Tjie.
Sin Tjie heran apabila ia dapati ditelapakan tangan kedua orang hutan itu nancap dua rupa
benda luar biasa, ketika ia coba cabut, benda itu nancap keras, Siauw Koay sendiri
menjerit-jerit keras, rupanya sangat kesakitan. Benda itu susah dicabut.
"Apa mungkin ada musuh disini?" Sin Tjie tanya dirinya sendiri. Ia menjadi curiga dengan
tiba-tiba. Lalu, dengan tanda-tanda tangan, ia tanya Siauw Koay, siapa yang sudah serang
padanya. Dengan menggerak-gerakkan kedua tangannya, Siauw Koay beritahu bahwa ketika ia ulur
tangannya kearah dalam gua, ia kena sambar atau tertusuk benda itu.
Bukan main herannya ini anak muda. Bagaimana dalam gua itu ada senjata rahasia"
Sebab benda luar biasa itu tak lain tak bukan, mesti senjata rahasia adanya. Tidakkah gua
itu jauh dari sana-sini" Dengan masih terus merasa aneh, Sin Tjie ajak A Pa dan dua
binatang piaraannya itu untuk cabut benda aneh itu, yang pun ia kasih lihat.
Dua-dua Bok Djin Tjeng dan Bhok Siang turut merasa aneh.
"Aku gemari senjata rahasia, pernah aku lihat pelbagai bentuk senjata rahasia dari lain-lain
orang, tetapi yang seperti ini, mirip ular, inilah yang pertama kali," menyatakan Bhok
Siang. "Lao Bok, kali ini runtuhlah aku dari ujian..."
"Coba keluarkan dulu," usulkan Bok Djin Tjeng.
Bhok Siang masuk kekamarnya, untuk ambil pisau kecil, dengan itu ia potong daging
telapakan tangannya Siauw Koay, untuk keluarkan benda aneh itu.
Siauw Koay tahu orang hendak tolong dia, dia tidak berontak. Setelah benda dicabut,
lukanya diobati dan dibungkus. Ia nampaknya merasa puas, sedang Tay Wie lantas usapusap
dia dan carikan dia kutu.....
Dua potong senjata rahasia itu panjangnya masing-masing dua tjoen delapan hoen,
berbentuk kepala ular dengan lidah diulur keluar, lidahnya bercagak tiga, setiap cagaknya
tajam. Seluruh tubuh ular berwarna hitam gelap, kotor dengan lumut, tapi kapan Bhok
Siang telah keriki lumutnya, tertampaklah sepotong benda mengkilap - emas! "Pantas
timbangannya berat, kiranya terbuat dari emas," kata imam ini. "Sungguh berbahagia
orang yang menjadi pemilik senjata rahasia ini! Sekali menggunai, dia buang emas
beberapa tail..."
Sekonyong-konyong Bok Djin Tjeng terperanjat sendirinya, lalu ia berseru: "Inilah senjata
rahasia Kim Coa Long-koen!"
"Kim Coa Long-koen?" menegaskan Bhok Siang sambil melengak. Ia berdiam sebentar,
akan melanjuti sesaat kemudian: "Kau maksudkan Hee Soat Gie" Bukankah, kabarnya, dia
telah meninggal dunia sejak belasan tahun jang lampau?" Dia Baru mengucap demikian,
atau dengan roman kaget, dia berseru: "Tidak salah, benar dia!"
Imam ini lantas bulak-balik senjata rahasia model ular itu, lalu dibagian perutnya ia tampak
satu ukiran huruf "Soat". Huruf ini kedapatan pada senjata rahasia yang kedua.
"Soehoe, siapa itu Kim Coa Long-koen?" tanya Sin Tjie pada gurunya, yang masih
tercengang, hingga sejak tadi, guru ini diam saja.
"Nanti saja aku beri keterangan kepadamu," sahut sang guru kemudian. "Tootiang, coba
bilang, kenapa senjata rahasianya bisa berada dalam gua itu?"
Bhok Siang Toodjin tidak menjawab, dia hanya berdiam berpikir.
Disebelahnya merasa aneh, dua sahabat itu nampaknya jadi tegang sendirinya. Karena ini,
Sin Tjie tidak berani menanyakan terlebih jauh.
Malam itu, habis bersantap, Bok Djin Tjeng dan Bhok Siang duduk pasang omong. Sin Tjie
mendengari dengan diam saja, karena ia tak mengerti apa yang diomongi itu. Ia melainkan
perhatikan kata-kata "pembunuhan karena permusuhan" dan "pembalasan dendaman".
Pun ada kata-kata rahasia lainnya, yang gelap untuknya.
"Jadinya," kemudian kata si imam tiba-tiba," Kim Coa Long-koen telah datang kemari
untuk menyingkir dari musuh-musuhnya?"
Jawaban Bok Djin Tjeng ada menyimpang. "Melihat kepandaiannya, sebenarnya tak ada
perlunya dia jauh-jauh dari Kanglam menyingkir dan sembunyikan diri ketempat sunyi ini."
"Apa mungkin dia masih belum mati?" Bhok Siang tanya pula.
"Dia adalah seorang luar biasa," sahut Bok Djin Tjeng. "Selama ini kita cuma dengar
namanya belum pernah kita menemui sendiri kepadanya. Orang bilang dia telah meninggal
dunia tetapi siapa juga tidak tahu kenapa dan cara bagaimana dia meninggalnya."
"Dia memang aneh sepak terjangnya...." Sang imam menghela napas. "Ada kalanya dia
telengas sekali, ada kalanya dia mulia dan berbudi, sehingga apa dia jahat, apa dia baik,
orang melainkan bisa menduga-duga saja. Beberapa kali pernah aku mencoba cari dia,
tetapi senantiasa gagal..."
"Sudah, tak perlu kita main duga-duga saja," memutus Bok Djin Tjeng. "Besok kita pergi
ke guanya untuk melihat-lihat!"
Dan besok paginya Bok Djin Tjeng ajak Bhok Siang Toodjin, Sin Tjie dan A Pa, dengan
membekal senjata dan dadung, pergi kejurang yang kemarin. Sin Tjie hunjuki dimana
letaknya gua. "Hati-hati," pesan Bok Djin Tjeng, ketika Bhok Siang nyatakan dia suka turun untuk
memasuki gua itu. Kemudian si imam libat pinggangnya dengan dadung dan kawannya,
bersama si gagu, kerek dia turun secara pelahan-lahan.
Didepan mulut gua, Bhok Siang berhenti, segera ia mengawasi kedalamnya. Ia tampak
kabut, hingga sekalipun tanah tak terlihat tegas. Diam-diam hatinya bercekat walaupun dia
ada satu jago, jang telah luas pengalamannya. Ia mengawasi terus. Biasanya, di tempat


Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gelap, lamaan mata orang menjadi biasa, tetapi disini, imam itu rasai malah semakin
guram. Ia hanya merasa, gua ini mestinya dalam sekali. Ia pun menduga-duga apa
tubuhnya muat apabila ia coba memasuki gua itu....
Bhok Siang tak mau mundur dengan begitu saja. Ia lantas bungkus sebelah tangannya,
lalu ia ulur itu kedalam gua. Ia memasukinya dengan pelahan-lahan. Segera ia merasakan
tangannya membentur suatu benda tajam dimulut gua - benda yang nancap dimulut gua
itu. Ia duga itu adalah Kim-Coa-tjoei -"bor ular emas". Ia mencabut semuanya, jang
berjumlah empat belas biji. Ia ulur tangannya lebih jauh, sampai pipinya mengenai mulut
gua, ia tidak meraba lain benda. Sampai disitu Barulah ia kuatir, orang-orang diatas, yang
menahani tubuhnya, nanti lelah.
"Tarik aku!" ia perdengarkan suara seraya ia mengedut.
Bok Djin Tjeng dengar suara itu, ia menarik dengan pelahan-lahan.
Lagi kira dua tumbak sampai diatas, setelah kakinya dapat injak batu dilamping jurang itu,
Bhok Siang menjejak, dengan begitu, cepat sekali ia telah sampai diantara kawankawannya.
"Lihat ini!" berseru ia kepada Bok Djin Tjeng, sambil ia perlihatkan tangannya dalam mana
tergenggam empat-belas benda tajam, dan aneh jang seperti didapati Siauw Koay. "Lauw
Bok, kita dapat harta karun! Emas begini banyak!..." ia tertawa.
Sebaliknya dari sahabat itu, Bok Djin Tjeng perlihatkan wajah sungguh2.
"Ini hantu simpan bendanya di dalam gua, apakah maksudnya?" kata dia kemudian. "Ada
benda apa lagi didalam gua itu" Nanti aku pergi lihat...."
"Percuma kau pergi melihat," kata Bhok Siang. "Mulut gua ada terlalu kecil, tubuhmu tak
muat dalam itu!"
Bok Djin Tjeng berpikir, ia diam saja. Ia tunduk.
"Soepeh, apakah bisa aku yang pergi?" tiba-tiba Sin Tjie tanya.
"Mungkin kau bisa," sahut Bhok Siang sambil tertawa. "Jurang ada begini dalam, apa kau
berani?" "Aku berani, soepeh," jawab bocah itu. "Soehoe, aku yang pergi boleh tidak?"
Bok Djin Tjeng masih asyik berpikir dalam hatinya ia bilang : "Orang kang-ouw gaib itu
simpan senjata rahasianya didalam gua sini, mesti ada maksudnya, maka jikalau gua itu
tidak dicari tahu terlebih jauh, sungguh sayang...Akan tetapi siapa tahu, ada tersembunyi
ancaman bencana apa didalamnya" Kalau bocah ini diantap pergi seorang diri, tidakkah
itu ada menguatirkan"...." Kemudian ia jawab muridnya : "Aku kuatirkan bencana dalam
gua..." "Aku bisa waspada, soehoe," sang murid mendesak.
Melihat murid itu demikian berani dan bernapsu, akhirnya sang guru manggut.
"Baiklah," ia beri ijin akhirnya. "Tapi kau mesti coba dulu. Kau nyalakan api, umpama api
itu mati, jangan kau paksa masuk!"
"Aku mengerti, soehoe," kata sang murid, yang segera persiapkan sebatang obor, sedang
pedangnya ia tidak lupakan. Ia cekal pedang ditangan kanan dan obor ditangan kiri. Lebih
dahulu daripada itu, ia ikat pinggangnya dengan dadung.
Kapan dadung telah diulur turun, cepat sekali Sin Tjie telah sampai dimulut gua. Ia turut
pesan gurunya, paling dulu ia sodorkan obor kedalam gua. Ia dapatkan obornya tidak
padam, hal ini membuat ia girang. Maka lantas, dengan hati-hati, ia merayap masuk
kedalam gua itu. Dadung dipinggangnya ia tidak loloskan. Ia mesti jalan sambil merayap,
setelah kira sepuluh tumbak lebih, terowongan mulai mendaki. Ia maju terus, kira
setumbak lebih, Baru ia sampai ditempat terbuka dimana ia bisa bangkit berdiri. Ia tidak
takut, ia maju terus.
Sebentar saja, anak ini lihat jalan menikung. Ia semakin waspada, ia maju sambil cekal
keras pedangnya. Ketika ia telah lalui tiga tumbak, ia menghadapi sebuah kamar batu. Ia
hampirkan mulut pintu, ia menyuluhi dengan obornya.
Tiba-tiba ia terperanjat, sampai ia keluarkan keringat dingin.
Duduk diatas batu, ditengah-tengah kamar, ada satu rerongkong manusia, lengkap dengan
kepala dan tangannya, dan kedua tangannya rebah diatas pangkuan.
Dengan hati memukul, Sin Tjie awasi tulang-ulang manusia itu, setelah itu baru ia
memandang kesekitar kamar. Syukur untuk ia, disitu tidak ada lagi lain pemandangan
yang mengerikan.
Malang-melintang ditanah didepan rerongkong itu ada belasan kim-coa-tjoei. Disamping
rerongkong ada terletak sebuah pedang. Ditembok kamar ada sederetan gambar ukiran
dari tubuh manusia lengkap, cuma sikapnya berlainan, kakinya dipakai menendang, mirip
dengan orang yang lagi berlatih silat. Ia awasi semua gambar itu, ia perhatikan, tak
mengertilah ia. Entah apa maksudnya gambar-gambar itu.
Di ujung dari gambar ukiran yang penghabisan, dengan diukir juga, ada beberapa baris
dari enambelas huruf.
Sin Tjie dekati, lalu ia membaca. Begini bunyinya: "Mustika berharga, ilmu rahasia,
diberikan kepada yang berjodoh. Siapa masuk dalam pintuku, menemui bencana jangan
penasaran."
Sin Tjie masih hendak perhatikan kamar itu ketika ia dengar samar-samar suara orang
memanggil, lantas ia bertindak keluar, tempo ia sampai ditikungan, ia kenali suaranya
Bhok Siang Toodjin, yang masih memanggil-manggil namanya. Lantas ia menyahuti, terus
ia merayap keluar.
Bok Djin Tjeng dan Bhok Siang, diatas jurang, menantikan sekian lama, selama itu, mereka
pun ulur dadung makin lama makin panjang, karena itu, setelah menantikan pula sekian
lama, sang murid masih belum kembali, keduanya berkuatir.
"Nanti aku lihat," kata Bhok Siang, yang lantas saja merayap turun. Ia tidak bisa masuki
terowongan, maka dari mulut itu, ia teriaki muridnya berulang-ulang. Ia merasa hatinya
lega kapan ia dengar jawaban muridnya, yang pun lantas keluar.
Dengan satu tanda, Bok Djin Tjeng dan A Pa tarik dadung, maka dilain saat, dua-dua Bhok
Siang dan Sin Tjie kembali diantara mereka, tetapi Sin Tjie dengan pakaiannya kotor dan
mukanya berlepotan debu dan lumut. Bocah ini pun perlihatkan roman tegang.
Dua-dua Bok Djin Tjeng dan Bhok Siang duga anak ini menghadapi suatu apa yang luar
biasa, dari itu mereka antap orang tetapkan hati.
Lagi sesaat Barulah Sin Tjie bisa tuturkan apa yang ia tampak dalam kamar batu gua itu.
"Tidak salah lagi, rerongkong itu mesti ada rerongkong Hee Soat Gie," berkata Bok Djin
Tjeng. "Aku tidak sangka, seorang kosen luar biasa bisa akhirkan penghidupannya
ditempat ini. Sungguh sayang...."
"Apakah artinya pesanannya enam-belas huruf itu?" tanya Bhok Siang.
Bok Djin Tjeng berdiam sesaat, Baru ia menjawab.
"Kelihatannya Kim Coa Long-koen mesti simpan benda berharga, entah mustika apa,"
berkata dia. "Dia mempunyai ilmu silat yang liehay sekali, mestinya ia tinggalkan itu dalam
guanya, setahu dengan cara apa. Mungkin dia nantikan orang jang berjodoh dengannya
untuk hadiahkan warisannya itu. Dia ada seorang dengan tabiat koekoay sekali, rupanya
dia anggap, siapa nanti peroleh warisannya itu, ialah jang dianggap sebagai muridnya.
Dengan kata 'pintuku', tentu dia maksudkan golongannya. Tapi mungkin juga, didalam
kamarnya itu ada suatu ancaman malapetaka...."
"Melihat bunyinya pesan, itu mungkin benar," kata Bhok Siang. "Hanya entah keanehan
apa adanya itu..."
Bok Djin Tjeng menghela napas, lalu ia kata: "Kita tak harap warisan ilmu silat dan
mustikanya itu, tetapi, Sin Tjie, besok pergilah kau memasuki pula gua ini, kau mesti
galikan lobang, untuk kubur rerongkong Kim Coa Long-koen, yang kita hormati sebagai
tjianpwee, orang yang tertua. Kau mesti nyalakan lilin dan pasang hio dan hunjuk
hormatmu sambil berlutut. Secara begini kita jadi hormati dia."
Sin Tjie manggut, ia suka dengar perkataan gurunya itu.
Bhok Siang Toodjin pun setuju pikiran sahabatnya itu.
Besoknya pagi Sin Tjie pergi pula kejurang dengan bekal juga pacul. Ia pergi berdua saja
sama A Pa, si gagu. Bok Djin Tjeng dan Bhok Siang tidak turut, karena mereka anggap,
gua itu tidak ada bahayanya. Sin Tjie bekal tiga batang obor, karena ia tahu ia bakal
berdiam lama didalam gua.
A Pa kerek turun anak ini.
Dengan cepat Sin Tjie dapat merayap ke tikungan dimana ia bisa bangun untuk berdiri,
terus saja ia hampirkan kamar. Paling dulu ia gali lobang didekat pintu, untuk pendam
obornya, supaya ia tak usah pegangi terus obornya itu, dengan begitu, ia bisa bergerak
dengan leluasa. Habis itu Barulah ia hadapi rerongkong Kim Coa Long-koen.
"Soehoe bilang dia ada seorang kosen luar biasa, entah kenapa dia menutup mata disini,"
ia berpikir. "Setelah dia meninggal dunia, tak ada orang kubur mayatnya, sungguh
kasihan...."
Bocah ini lantas jatuhkan diri didepan rerongkong itu, untuk paykoei.
"Teetjoe ada Wan Sin Tjie," berkata ia dalam hatinya, setelah ia manggut beberapa kali,
"dengan kebetulan saja, teetjoe dapat menemui jenasah tayhiap ini. Hari ini ingin teetjoe
kubur jenasah tayhiap, harap tayhiap nanti beristirahat dengan tenang dan kekal disini..."
Baru habis Sin Tjie hunjuk hormat itu, dari arah luar gua telah mengembus angin dingin,
yang rupanya meniup dari dalam jurang, sampai hawa dinginnya membuat ia bergidik,
bulu romanya pada bangun berdiri.
Habis itu, Sin Tjie lantas mulai menggali lobang. Ia tadinya duga, tanah didalam kamar itu
mestinya keras, siapa tahu, begitu ujung pacul mengenai tanah, hatinya menjadi lega.
Tanah itu empuk. Karena ini, ia bisa bekerja dengan cepat.
Tiba-tiba terdengar satu kali suara membeletuk. Itulah tanda udjung pacul mengenai
barang keras, mungkin besi. Untuk dapat kepastian, Sin Tjie ambil obor, untuk dipakai
menyuluhi dekat-dekat. Segera ia dapatkan selembar papan besi. Ia memacul terus tanah
disekitar besi lembaran itu, kemudian ia angkat besinya.
Dibawah lembaran besi itu ada sebuah peti besar dua kaki persegi.
Dengan dorongan perasaan ingin tahu, Sin Tjie angkat peti besi itu, yang tingginya kirakira
satu kaki. Beratnya peti itu tidak luar biasa, maka itu bisa diduga, isinya mesti tak
banyak. Oleh karena tutup peti tidak dikunci, dengan gampang Sin Tjie dapat buka itu. Peti itu
cetek sekali, hingga Sin Tjie menjadi heran.
"Heran," pikir si anak muda. "Peti besar dan tinggi, kenapa dalamnya cetek?"
Didalam peti terletak selembar sampul diatas mana ada tulisan delapan huruf besar, yang
berbunyi : "Siapa dapati petiku, boleh buka surat ini."
Melihat demikian, Sin Tjie jumput sampul itu, untuk dibuka dan keluarkan suratnya, yang
warnanya sudah berubah menjadi kuning-dekil. Ia beber surat itu, lantas ia baca: "Barang
dalam peti ini, diwariskan kepada yang berjodoh. Hanya siapa dapatkan peti, mesti lebih
dahulu kubur tulang-tulangku."
Bersama surat itu, didalam sampul, ada dua sampul lain, sampul-sampul yang lebih kecil.
Diatas sampul yang satu tertulis: "Aturan membuka peti". Diatas sampul yang kedua ada
tulisan : "Cara-cara mengubur tulang-tulangku".
Setelah membaca ini Baru Sin Tjie tahu, peti itu ada lapisannya. Lantas ia angkat peti itu
untuk digoyang-goyang. Sekali ini, ia dengar suara apa-apa dari dalam peti.
Didalam hatinya, bocah ini kata : "Aku melainkan berkasihan rerongkongnya terlantar,
maka aku kubur padanya, sama sekali aku tidak ingin temahai barang-barangnya."
Lantas Sin Tjie buka sampul jang bertulisan "Cara-cara mengubur tulang-tulangku".
Didalam situ ada selembar kertas putih dengan tulisannya : "Djikalau kamu bersungguhsungguh
hati hendak mengubur tulang-tulangku, setelah menggali lobang, tolong gali
lebih jauh tiga kaki dalamnya, disitu Barulah pendam aku. Dengan aku berdiam lebih
dalam ditanah, dapatlah aku bebas dari gangguannya segala kutu dan semut."
Setelah membaca, Sin Tjie berkata dalam hatinya: "Aku hendak jadi orang baik, tak boleh
aku kepalang tanggung, baik aku turuti pesannya."
Dan ia angkat pula paculnya, untuk menggali lebih jauh.
Kali ini tanah itu kecampuran batu, tidak gampang untuk memacul leluasa seperti tadi,
maka tak perduli dia telah berlatih, bocah ini toh mandi keringat. Ketika ia menggali dalam
hampir tiga kaki, mendadakan ujung paculnya membentur pula suatu benda keras, hingga
terdengarlah suara nyaring.
Karena tadi telah dapati pengalaman, walaupun ia merasa heran, Sin Tjie gali terus tanah
itu. Kembali ia dapati sebuah peti besi, jang terlebih kecil, cuma satu kaki persegi.
"Orang gagah luar biasa ini benar-benar koekoay," pikir dia. "Entah apa lagi dia simpan
dalam peti ini."
Ia angkat peti, yang ia bisa buka dengan gampang. Kembali ia lihat selembar kertas jang
ada tulisannya. Apabila ia sudah baca bunyinya, ia kaget hingga ia mandi keringat dingin.
Surat dari peti yang kecilan berbunyi sebagai berikut: "Kau benar-benar ada seorang baik
hati dan jujur. Karena kau urus penguburanku, sudah selayaknya aku balas kebaikanmu
dengan barang mustika dan ilmu kepandaian rahasia.
Jikalau peti jang besar dibuka, dari dalamnya bakal menyambar keluar anak-anak panah
beracun. Surat dan peta yang berada didalam peti itu pun palsu semuanya, malah ada
racunnya juga. Itu semua ialah untuk ajar adat kepada orang-orang jahat.
Barang yang tulen berada dalam peti kecil ini."
Sin Tjie insyaf, ia tidak mau sia-siakan tempo lagi. Ia letaki kedua peti dipinggiran, ia
rapikan lobang galiannya itu, lalu dengan sikap menghormat, ia pindahkan tulangtulangnya
Kim Coa Long-koen, akan diletaki dengan hati-hati, sesudah mana, ia uruki
dengan tanah, atasnya ia bikin rata, setelah ini, ia kembali soja-koei beberapa kali.
Sampai disitu, selesailah sudah ia dengan kewajibannya sebagai "ahli waris", maka
dengan pondong kedua peti, Sin Tjie bertindak keluar kamar, terus sampai ditikungan.
Disini sekarang ia bisa lihat segala apa dengan nyata, karena hatinya lega bukan main. Ia
dapatkan mulut gua tersusun batu, rupanya sengaja Kim Coa Long Koen atur demikian,
untuk mencegah orang masuk kedalam guanya ini. Ia lantas singkirkan semua batu itu,
hingga disitu jadi terbuka satu terowongan yang cukup lega. Ia buka gua ini supaya besok
lusa ia bisa ajak kedua gurunya masuk kesitu untuk memeriksa.
Sesampainya dimulut terowongan, Sin Tjie memanggil A Pa sambil tarik dadung, maka
dilain saat ia sudah dikerek naik oleh si gagu. Lekas-lekas ia lari pulang, untuk menemui
kedua gurunya. Ketika itu Bok Djin Tjeng dan Bhok Siang Toodjin sedang main catur, mereka tunda
permainannya, akan dengari penuturannya murid mereka. Sin Tjie menuturkan segala apa
dengan jelas. Bhok Siang lihat surat-surat itu, diam-diam dia terperanjat dalam hatinya. Bok Djin Tjeng
pun dapat perasaan sebagai dia. Kemudian ia buka sampul yang bertuliskan "Aturan
membuka peti", ia ambil suratnya, untuk dibaca, begini: "Dikiri dan kanan peti ini ada
pesawat rahasianya, maka itu, untuk membukanya, peti mesti dipegang dengan kedua
tangan dan dibukanya dengan keras dan berbareng, Baru tutupnya akan terbuka."
Bhok Siang Toodjin dan Bok Djin Tjeng mengulurkan lidah mereka saking kagum. Itulah
hebat. "Jiwanya Sin Tjie seperti telah dihidupkan pula!" berkata imam itu. "Coba dia temaha
sedikit saja, dia tidak kubur dulu jenasah dan lantas mendahului membuka peti, tentu
anak-anak panah beracun tidak akan beri dia ampun!...."
Ia lantas suruh si gagu ambil sebuah tong besar, dikiri dan kanan itu, kira sebatas peti
besi, dia bikin dua lobang, kemudian peti itu diletaki dalam tong itu, terus atasnya tong
ditutup dengan papan tutupannya.
"Mari," Bhok Siang mengajak Sin Tjie.
Berdua mereka masuki sebelah tangan mereka masing-masing kedalam lobang tong,
untuk pegangi peti dibagian pentolannya, lalu dengan beri tanda, keduanya menarik
dengan berbareng, dengan dikageti. Menyusul itu terdengarlah satu suara menjeblak.
Itulah rupanya, ada tanda dari terbukanya lapisan yang kedua. Lalu menyusul itu
terdengar dua rupa suara beruntun, berbunyi seperti barang nancap dan nyaring
"dung,dung", hingga tong itu sedikit menggetar.
Sin Tjie tunggu sampai suara sudah berhenti, ia hendak buka tutup tong itu.
"Tunggu!" Bok Djin Tjeng mencegah sambil tarik lengan muridnya.
Baru guru ini tutup mulutnya atau segera terdengar suara susulan seperti barusan.
Masih Bok Djin Tjeng menunggu sekian lama, Baru ia buka tutup tong, untuk dibalik, maka
untuk keheranan mereka, mereka dapati tutup tong itu tertancap banyak anak panah,
sampai beberapa puluh batang.
Pat Tjhioe Sian-wan Bok Djin Tjeng ambil jepitan, untuk jepit dan cabut bergantian semua
gandewa itu, yang ia letaki dipinggiran. Ia takut untuk cekal semua senjata itu.
Melihat semua itu, Bhok Siang Toodjin menghela napas.
"Ini orang pandai memikir dalam sekali," memuji dia. "Rupanya dia kuatir, dengan
penyerangan pertama saja, penyerangannya itu nanti gagal, maka ia atur serangan
susulannya yang kedua kali...."
Lantas imam ini, Kwie-Eng-Tjoe si Bajangan Iblis, jumput keluar peti besi dari dalam tong
itu, maka dapatlah mereka lihat, setelah lapis yang kedua terbuka, didalam situ ada kawatkawat
malang-melintang. Terang itu ada kawat-kawat yang merupakan pesawat, yang
membikin anak-anak panah bisa melesat menyambar sendirinya sebagai kesudahan dari
ditariknya per rahasia.
Dengan gunai jepitan, Kwie-Eng-Tjoe Bhok Siang Toodjin singkirkan semua kawat itu,
disebelah bawah itu ia tampak sejilid buku dengan kalimatnya "Kim Coa Pit Kip", atau
"Kitab Rahasia Kim Coa". Dengan "Kim Coa", Ular emas, pasti dimaksudkan Kim Coa
Long-koen. Dengan terus gunai jepitan itu, Bhok Siang balik beberapa halaman dari kitab rahasia itu,
didalamnya kedapatan tulisan huruf-huruf kecil berikut rupa-rupa gambar atau peta, juga
peta bumi. Sejumlah gambar orang memperlihatkan pelbagai sikap latihan silat. Gambargambar
lainnya adalah contoh rupa-rupa alat senjata.
Semua orang tonton kitab itu dengan kekaguman.
Habis itu, Bhok Siang buka peti besi yang kecil, yang tidak pakai pesawat rahasia lagi,
isinya adalah sebuah kitab serupa seperti kitab yang pertama itu, sama ukuran dan
romannya, sama kalimatnya, akan tetapi kapan telah dibalik-balik lembarannya, isinya
beda dari kitab yang pertama itu: beda tulisannya, gambarnya, petanya. Yang belakangan
ini adalah kitab yang sejati.
"Benar-benar Kim Coa Long-koen sangat luar biasa," memudji Bok Djin Tjeng, si Lutung
Sakti Tangan Delapan. "Untuk menghadapi orang jang tak sudi kubur rerongkongnya, dia
telah asah otaknya membuat ini kitab palsu serta panah rahasianya yang beracun.
Bukankah ia telah menutup mata" Kenapa ia bersiaga begini rupa terhadap orang yang
masih belum diketahui bermaksud buruk atau baik?"
"Dia adalah seorang, yang bisa dianggap cupat pandangannya," menyatakan Bhok Siang
Toodjin, "maka juga ia telah dapatkan hari akhirnya begini rupa."
Bok Djin Tjeng manggut-manggut, ia menghela napas pula.


Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sin Tjie, pergi simpan kedua peti besi ini berikut semua isinya," kemudian kata sang guru
kepada muridnya. "Kim Coa Longkoen berpemandangan sempit, kitabnya ini tidak ada
faedahnya untuk dibaca."
Sin Tjie turut kata gurunya, ia benakan kedua buku, ia tutup kedua peti, lalu ia bawa pergi
untuk disimpan.
Sejak itu bocah ini lanjuti latihan silatnya dengan ber-tambah-tambah rajin, Bhok Siang
sangat sayangi dia hingga dia diwariskan kepandaian ilmu entengkan tubuh dan senjata
rahasia, tak ada yang guru kedua ini sembunyikan. Karena habis itu, selang beberapa
bulan, imam ini pamitan untuk turun gunung, buat kembali hidup berkelana.
Sin Tjie merasa berat untuk berpisahan tapi tak dapat ia mentjegah guru ini. Maka
selanjutnya, ia belajar terus dibawah pimpinan tunggal dari gurunya. Bok Djin Tjeng juga
telah wariskan kepandaiannya kepada muridnya ini yang berbakat dan rajin dan ulet,
hingga beberapa tahun telah lewat seperti tanpa dirasai. Maka akhirnya, ketika sampai
ditahun keenam-belas dari Kaisar Tjong Tjeng dari ahala Beng, Sin Tjie telah masuk usia
dua-puluh tahun.
Setelah sepuluh tahun lebih terlatih, sekarang Sin Tjie telah punyakan kepandaian yang
berarti. Dari Bok Djin Tjeng ia peroleh terutama ilmu silat pedang Hoa San Pay, sedang
dari Bhok Siang Toodjin, ia dapatkan ilmu entengkan tubuh dan senjata rahasia biji catur
(wie-kie-tjoe). Ia jadi telah gabung-warisan ilmu kedua kaum. Tapi sementara itu, sudah
belasan tahun ia tak pernah turun gunung, maka mengenai urusan dunia, ia ada gelap
sekali, kecuali jang ia dapat dari penuturan-penuturan kedua gurunya, sedang sebaliknya,
dunia kang-ouw juga tak tahu yang kaum Hoa San Pay telah punyakan satu murid-penutup
seperti anak muda ini.
Pada suatu pagi dari permulaan musim semi, selagi Sin Tjie berlatih silat dengan Tay Wie
dan Siauw Koay temani dia, tiba-tiba A Pa muntjul dari dalam seraya terus gerak-gerakkan
tangannya. Ia mengerti, tentulah gurunya panggil padanya, tidak ayal lagi, ia berhenti
berlatih, dengan cepat ia bertindak masuk kedalam kamar gurunya. Untuk keheranannya,
ia dapati dua orang asing, yang tubuhnya besar, berdiri disamping gurunya itu. Ia heran
karena ia tahu, kecuali Bhok Siang Toodjin, lain orang belum pernah mendaki puncak
tertinggi dari gunung Hoa San ini. Ia pun tidak kenal dua orang itu.
"Sin Tjie, inilah Ong Toako dan ini Kho Toako," berkata sang guru begitu ia tampak
munculnya murid itu. "Mari kamu bikin pertemuan."
Karena disebutnya panggilan "toako", Sin Tjie duga dua orang itu adalah sahabat-sahabat
gurunya, ia lantas maju mendekati untuk memberi hormat sambil bersoja-koei seraya
memanggil : "soesiok!"
Tapi dua orang itu lekas-lekas paykoei, untuk balas kehormatan itu, seraya ber-ulangulang
mereka kata: "Tak berani aku terima hormat ini, Wan Soesiok, silakan bangun!"
Sin Tjie melengak. Dia panggil mereka soesiok (paman guru), sekarang mereka panggil dia
soesiok juga! Tidakkah itu aneh" Bok Djin Tjeng tertawa berkakakan.
"Kamu semua bangun!" berkata dia.
Anak muda itu lantas berbangkit, untuk pandang dua tetamu itu, hingga sekarang ia bisa
melihat lebih tegas: Mereka dandan sebagai orang tani, nampaknya mereka gesit,
melainkan wajahnya tegang atau likat.
Pat Tjhioe Sian-wan tertawa pula, tapi sekarang sambil terus berkata kepada muridnya itu:
"Belum pernah kau turut aku turun gunung, karena itu kau tidak tahu berapa tinggi tingkatKang
Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
derajatmu. Kamu bertiga tak usah seedjie dan main soja-koei terhadap satu dengan lain,
tak usah juga kamu saling memanggil soesiok. Baiklah kamu memanggil saudara satu
sama lain menuruti usia kamu masing-masing."
Nyata kedua orang she Ong dan she Kho itu ada saudara-saudara seperguruan, Bok Djin
Tjeng itu ada soesiok, paman guru mereka, meski benar mereka terlebih tua sedikit
daripada Sin Tjie; dalam hal derajat, Sin Tjie ada lebih tinggi setingkat.
"Kedua toakomu ini datang dari Shoasay atas titahnya Tjiangkoen Lie Tjoe Seng," sang
guru menerangkan pula. "Di Shoasay ada urusan penting yang mesti dirundingkan, maka
itu besok aku mesti turun gunung."
Sin Tjie heran tapi ia tidak mencegah.
"Soehoe, aku toh boleh turut, supaya aku bisa lihat Tjoei Siokhoe?" mohon dia , yang
tidak bisa lupai paman-angkat itu. Pernah beberapa kali ia minta turun gunung akan
sambangi sang paman, saban-saban gurunya ini mentjegah.
Mendengar permintaan muridnya itu, Bok Djin Tjeng tertawa.
Kedua pemuda she Ong dan Kho itu duga guru dan murid itu hendak bicara, mereka minta
perkenan, lantas mereka pergi keluar.
Segera juga sang guru berkata pada muridnya: "Sekarang ini tentara rakyat sedang maju,
kedua propinsi Siamsay dan Shoasay bakal lekas dirampas pihak kita, maka itu sekarang
ada ketikanya untuk kau turun gunung, buat sekalian menuntut balas kepada musuh
ayahmu. Kau telah minta perkenan buat kau pergi bunuh kaisar Tjong Tjeng, aku selalu
menolaknya, kau tahu apa sebabnya?"
"Mungkin, karena kepandaianku belum cukup," sahut sang murid.
"Itu ada salah satu sebab," jawab sang guru. "Masih ada satu sebab lain, jang terlebih
penting. Kau duduk, mari kita bicara pelahan-lahan."
Sin Tjie menurut, ia duduk didepan gurunya.
"Selama beberapa tahun ini, suasana di tapal batas ada tegang sekali," menerangkan Bok
Djin Tjeng. "Bangsa Boan kandung maksud jang tak dapat kita duga-duga, tidak ada satu
hari yang mereka lewatkan tanpa niat menerjang masuk ke Tionggoan. Kaisar Tjong Tjeng
memang senantiasa bersangsi, akan tetapi dibanding dengan kaisar-kaisar yang telah
marhum, Kee Tjeng atau Thian Kee, dia masih terlebih baik. Umpama karena dendaman
pribadi , kau nerobos kedalam istana, kau bunuh dia, maka penggantinya tentu puteranya
yang belum dewasa. Dengan putera mahkota belum tahu apa-apa, pemerintahan pasti
bakal terjatuh kedalam tangannya menteri kebiri. Apabila ini sampai terjadi, aku kuatir
Negara kita bakal terampas lain bangsa. Dengan begitu, tidakkah kau bakal jadi rakyat
yang paling berdosa" Marhum ayahmu berkorban selagi menangkis serangan bangsa
Boan, cita-citanya adalah merampas Liauw-tong, sekarang didunia baka, apabila dia
ketahui perbuatanmu, pasti dia akan murka dan akan kutuk kau sebagai anak poet-tiong
poet-hauw!" (tak setia dan tak berbakti).
Sin Tjie terkejut, hingga ia mandi keringat dingin.
"Urusan Negara adalah urusan besar, urusan pribadi adalah urusan kecil," menjelaskan
pula sang guru. "inilah sebabnya kenapa aku cegah kau pergi bunuh kaisar Tjong Tjeng.
Akan tetapi keadaan sekarang ada lain. Giam Ong bakal segera rampas Siamsay dan
Shoasay, mungkin dalam satu atau dua tahun dia akan duduki ibu kota Pakkhia. Apabila
cita-cita ini tercapai, Giam Ong yang bakal pegang pimpinan. Setelah rakyat semua
bersatu padu, kenapa kita mesti kuatirkan lagi bangsa Boan di Liauw Tong nanti terjang
kita?" Bergolak darah Sin Tjie mendengar kata-kata yang bersemangat dari gurunya itu.
"Sekarang ilmu silatmu telah ada dasarnya," berkata pula sang guru. "Memang ilmu silat
tidak ada batasnya, akan tetapi semua kepandaianku, aku telah wariskan kepadamu, maka
mengandal kepada dirimu sendiri, aku percaya kau akan bisa berbuat banyak. Kau tinggal
membutuhkan latihan lebih jauh dan pengalaman, kau sudah boleh turun gunung. Besok
aku akan berangkat, tak dapat kau turut langsung bersama, kau harus tunggu sampai satu
bulan, lantas kau boleh berangkat sendiri, kau menuju langsung kedalam angkatan perang
Giam Ong di Shoasay untuk cari aku."
Sin Tjie girang, ia terima baik pesan guru itu.
"Baik soehoe, aku menurut," kata dia.
Bok Djin Tjeng telah beritahu banyak kepada muridnya ini tentang segala-galanya kaum
kang-ouw, tapi sekarang , ia telah ulangi itu agar murid ini ingat poma-poma, kemudian ia
tambahkan: "Kau jujur dan berhati-hati, aku percaya kepadamu, tetapi kau masih muda,
semangatmu sedang ber-kobar-kobar, maka pesanku sekarang adalah mengenai paras
eilok, kau mesti waspada luar biasa. Sudah banyak buktinya bagaimana orang gagahperkasa
rubuh ditangan orang perempuan, hingga tubuhnya bercelaka dan namanya
rusak! Kau ingat ini baik-baik!"
Sin Tjie terima pesan penting dari gurunya ini.
Besoknya pagi, belum terang tanah, Sin Tjie sudah bangun dari tidurnya, ia minta A Pa
nyalakan api dan masak nasi, sesudah barang makanan siap, ia pergi kekamar gurunya,
untuk undang guru itu dahar, akan tetapi kapan ia sampai didalam kamar, ia dapatkan
sebuah kamar kosong. Diluar tahunya, tadi tengah malam, guru itu sudah berangkat
bersama-sama si Ong dan Kho, kedua soeheng itu. Bengong ia mengawasi pembaringan
tak ada isinya dari gurunya. Tapi kapan ia ingat, segera juga ia bakal turun gunung, ia lari
ke dapur, untuk beritahukan itu kepada A Pa, si empeh gagu. Ia ada sangat gembira, siapa
tahu, A Pa sebaliknya berduka, dia putar tubuhnya dan ngeloyor keluar, meninggalkan
kawan ini. Menampak demikian, Sin Tjie jadi terharu. Si gagu ini ada kawannya sepuluh tahun lebih,
mereka hidup rukun bagaikan saudara kandung, sekarang tiba-tiba mereka bakal berpisah,
tidak heran A Pa lesu dan berduka. Ia pun, dengan memikir sekelebatan saja, tak ingin
berpisah dari kawan ini....
Dengan cepat, delapan hari telah berselang, selama itu tetap Sin Tjie berlatih dengan rajin,
hanya sekarang, kapan ia memandang sekitarnya, ia merasa berat akan tinggalkan
gunungnya itu. Malam itu, habis bersantap, ia duduk seorang diri menghadapi api. Ia pilih sejilid kitab
gurunya, ia baca itu. Kira-kira satu jam kemudian, selagi ia hendak padamkan api, untuk
tidur, A Pa bertindak masuk kedalam kamarnya, terus si gagu bicara dengan gerakan
tangan kaki. Itu artinya, ada orang asing jang telah datangi tempat mereka.
"Nanti aku lihat," kata Sin Tjie jang berniat keluar, tetapi A Pa cegah ia seraya beri tanda
bahwa dia sudah memeriksa tapi orang asing itu tidak kelihatan bekas-bekasnya. Ia masih
kuatir, ia keluar juga dengan ajak dua orang-hutannya. Ia meronda tanpa hasil,
sekembalinya, ia lantas masuk tidur.
Kira tengah malam, anak muda ini mendusin dengan kaget. Ia dengar suara berpekiknya
Tay Wie dan Siauw Koay. Ia lantas berbangkit, akan duduk untuk pasang kuping.
Mendadakan ia cium bau hio wangi, hingga ia terkejut dan dalam hatinya, berteriak:
"Celaka." Segera ia menahan napas, ia berloncat turun. Apamau, kedua kakinya hilang
tenaganya, ia injak tanah dengan tubuh terhuyung-huyung, hampir saja ia rubuh.
Berbareng dengan itu, pintu kamar tertembrak dari luar, terpentang karena satu dupakan
keras, lalu satu bajangan lompat masuk, menyusul mana, sebuah golok menyambar
kearah si anak muda.
Sin Tjie rasai kepalanya pusing sekali, akan tetapi ia masih sadar, ia mencoba kuati diri,
maka itu, ia dapat berkelit, akan egos bacokan, berbareng dengan mana, ia balas
menyerang dengan tangan kanannya.
Bajangan itu putar tangannya, untuk balik babat lengan lawan.
Menghadapi musuh gesit itu, Sin Tjie tidak mau memberi ketika, ia nyamping dan
menyerang pula dengan tangan kiri, hingga mengenai pundak orang itu. Dia telah gunai
tenaga besar. Penyerang itu merasa kesakitan, tubuhnya limbung. Nampaknya ia heran, musuh jang
telah terkena asap hio pulas, masih demikian gagah. Ia tentu telah rubuh jikalau tidak satu
kawannya, yang menyusul masuk, tahan tubuhnya.
"Dia gagah?" kawan ini tanya.
Sin Tjie tidak perdulikan musuh ada berdua, ia hendak menyerang terus, tetapi
sekonyong-konyong kepalanya jadi sangat pusing, tidak ampun lagi, ia rubuh pingsan.
Entah berapa waktu telah lewat, waktu ia mendusin, ia rasai seluruh tubuhnya lemas dan
ngilu, ketika ia coba geraki tangan dan kakinya, ia kaget tidak terkira. Ia telah terbelenggu
seluruh tubuhnya" Api dalam kamarnya terang, ia lihat dua musuhnya asyik geledah
kamarnya, peti pakaiannya dibongkar.
"Celaka," pikir ia, yang jadi mendongkol, berbareng masgul dan menyesal. Ia sesalkan diri
tidak punya guna. Baru beberapa hari gurunya meninggalkan dia, dia sudah kena orang
serbu, dia kena dirubuhkan....Bagaimana nanti dia mampu menuntut balas untuk
ayahnya" Tapi ia sadar, maka ia lantas tutup kedua matanya, untuk berpura-pura belum
mendusin dari gangguan hio pulas, untuk mengawasi gerak-gerik orang, ia buka sedikit
matanya. Orang yang satu kurus kering, usianya lima-puluh lebih, kulit mukanya kering. Orang yang
kedua ada satu pendeta yang tubuhnya besar dan gemuk. Melihat potongan tubuh dia ini,
ia percaya dia adalah yang barusan bertempur dengannya.
"Di gunungku ini ada barang berharga apa maka mereka datangi untuk dirampok?" pikir
dia. "Ada juga uang lima-puluh perak peninggalan soehoe, buat bekal aku dijalan"
Jangan-jangan mereka bukannya penjahat biasa....Pendeta ini kosen, si kurus juga tidak
lemah, mungkin mereka hendak mencari balas, tetapi kenapa mereka tak lantas binasakan
aku" Apa perlunya mereka menggeledah?"
Sembari berpikir, Sin Tjie coba kerahkan tenaganya, untuk bikin putus pengikat tubuhnya.
Ia tahu, dalam keadaan biasa, dadung itu tidak bisa rampas kemerdekaannya untuk
selamanya. Baru ia mencoba atau ia mundur sendirinya, hatinya mendongkol dan kecewa.
Dua orang tidak dikenal itu ada bangsa ahli, mereka tahu lawan liehay, diwaktu
membelenggu, mereka seling itu dengan sepotong bambu diantara kedua tangan, jikalau
si korban berontak, sebelum dadung putus, bambu itu akan pecah terlebih dahulu,
suaranya pasti meletak dan berisik, hingga orang akan ketahui percobaannya itu. Maka ia
lantas berdiam, untuk cari daya lain.
Sekonyong-konyong si hweeshio jadi kegirangan.
"Disini!" ia berseru.
Sin Tjie lihat, dari kolong pembaringan, pendeta itu seret keluar peti besi yang besar, peti
besi warisan Kim Coa Long-koen.
Si kurus-kering menoleh, ia pun nampaknya jadi sangat girang.
Berdua mereka lantas duduk disamping meja, mereka buka tutup peti, untuk keluarkan
isinya, itu jilid kitab jang berkalimat "Kim Coa Pit Kip".
Membaca kalimat itu, si gundul tertawa terbahak-bahak: "Benar-benar disini!" kata dia
dengan nyaring. "Soeko, tak kecewalah usaha kita selama lima-belas tahun mencari ini!"
Lantas dia balik lembarannya kitab itu, dia dapati banyak gambar lukisan serta huruf-huruf
halus yang merupakan keterangannya, saking girang, kepalanya digoyang-goyang, dia
garuk-garuk belakang kupingnya.
Mendadak si kurus berseru: "Eh, dia mau lari?" Dia menunjuk kepada Sin Tjie.
Anak muda ini terkejut, ia menduga orang pergoki ia telah sadar.
Si hweeshio agaknya kaget, ia menoleh dengan segera.
Sekonyong-konyong si kurus geraki sebelah tangannya, lalu sejenak saja, bebokongnya si
kepala gundul tertuncap pisau belati, yang masuk dalam sampai dibatas gagangnya,
sesudah mana, dia loncat minggir, untuk segera hunus pedangnya. Ia bersikap untuk bela
diri, terutama mukanya, yang dialingi pedangnya itu.
Si pendeta kaget, dia menoleh, dia tertawa meringis.
"Kita berdua saudara telah mencari lamanya lima-belas tahun, sekarang kita berhasil,
lantas kau hendak kangkangi sendiri, kau turunkan tangan jahat....Ha-ha-ha-ha! Ha-ha-ha!"
Itulah suara tertawa hebat dan seram sekali, sampai pun Sin Tjie bergidik.
Hweeshio itu ulur tangannya kebelakang, dia berniat mencabut pisau belati itu, akan tetapi
tangannya itu tak dapat menyampaikannya. Mendadak dia menjerit, lantas dia rubuh
terguling, dia berkelejatan, lalu seluruh tubuhnya diam....
Si kurus kuatir kepada gundul ini belum mati, ia maju untuk menikam dua kali.
Sin Tjie kaget, hatinya mencelos, menampak orang demikian telengas terhadap saudara
seperguruan sendiri.
"Jikalau aku tidak bunuh kau, apa mungkin kau tak nanti bunuh aku" Hm!" demikian si
kurus perdengarkan suaranya. Rupanya ia curigai kawan itu, makanya ia turun tangan
lebih dulu. Habis itu ia dupak dua kali tubuh gemuk dari si hweeshio...
(Bersambung bab ke 5)
Si kurus ini tidak lihat Sin Tjie sudah sadar, dua kali dia perdengarkan tertawanya yang
seram, lantas dia sentil sumbu lilin, untuk dibuang ujungnya, hingga apinya menjadi
menyala terang sekali. Dia hampirkan meja, untuk balik lembarannya kitab "Kim Coa Pit
Kip", lantas ia membaca. Suara bacaannya menyatakan ia ada sangat gembira dan puas,
tubuhnya pun bergerak-gerak sedikit.
Beberapa lembaran pula dibalik, antaranya ada halaman yang seperti nempel, lantas ia
tempelkan jari tangannya di lidahnya, untuk dengan jari yang basah, bisa ia buka lembaran
itu. Ia menyolet ludah di lidahnya sampai beberapa kali.
Sin Tjie tetap mengintai, sampai tiba-tiba ia ingat, kitab itu ada racunnya. Dia duga, si
kurus ini tentu bakal keracunan. Tanpa merasa, saking kaget, ia perdengarkan seruan
tertahan. Si kurus dengar suara orang, ia menoleh dengan segera justru Sin Tjie sedang buka kedua
matanya, maka dapatlah ia lihat sinar mata yang seperti ketakutan dari si anak muda. Ia
lantas berbangkit, dengan tindakan pelahan, ia hampirkan tubuhnya si kepala gundul,
untuk cabut pisau belati dari bebokongnya korban itu. Habis ini, dia dekati dua tindak pada
Sin Tjie. "Kita berdua tidak bermusuhan akan tetapi hari ini tak dapat aku beri ampun padamu!"
kata dia dengan suara bengis, kedua matanya pun bersinar mengancam, kemudian
sembari angkat pisau belatinya, ia tertawa secara iblis, sampai dua kali.
"Jikalau aku lantas bunuh kepadamu, sampai di akhirat, kau nanti belum tahu sebabmusababnya,"
berkata dia, yang sikapnya sangat mengancam. "Aku ada Thio Tjoen Kioe
dari Tjio Liang Pay dari Kie-tjioe, Tjiatkang. Pihak kami Tjio Liang Pay dengan Kim Coa
Long-koen ada musuh mati-hidup. Dia telah perkosa satu adik perguruan kita jang
perempuan, dia kabur kemari, untuk belasan tahun kami cari dia ubak-ubakan, siapa tahu,
warisannya telah terjatuh kedalam tanganmu, bocah! Entah ada hubungan apa kau dengan
Kim Coa Long-koen, yang terang kau pasti bukan orang baik-baik, maka itu, jikalau aku
binasakan kau, tak nanti kau penasaran, tapi umpama kau hendak menuntut balas setelah
kau jadi hantu, kau boleh cari aku di Kie-tjioe! Ha-ha-ha-ha!..."
Si kurus ini belum tutup mulutnya atau sekonyong-konyong dia limbung, tubuhnya
sempoyongan kearah si anak muda.
Sin Tjie kaget, ia tahu ini adalah saat mati atau hidupnya, dalam saat bahaya itu, ia
kerahkan tenaganya, ia berontak, hingga belengguannya pada putus, bambunya
menerbitkan suara nyaring, setelah mana dia berlompat maju, untuk mendahului
menyerang. Tiba-tiba orang itu terjengkang, terus tubuhnya rubuh sendirinya.
Sin Tjie heran, walaupun ia batal menyerang, ia toh lantas bersiap. Ia cekal sisa tambang,


Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk digunakan sebagai senjata. Ia bertindak mendekati, untuk melihat tegas.
Si kurus-kering itu kejutkan dua kakinya, lantas seluruh tubuhnya diam, tak berkutik lagi,
menyusul mana dari kedua matanya, dari hidungnya, dan kupingnya, terutama dari
mulutnya, lantas mengalir keluar darah hidup yang hitam. Maka sekarang teranglah dia
telah mati keracunan, racun yang berbisa dari halaman-halaman kitab Kim Coa Long-koen,
yang tadi dikenakan jari tangannya si kurus sendiri.
Segera Sin Tjie loloskan semua libatan tambangnya, lantas ia lari keluar kamarnya,
kekamar luar dimana ia dapatkan A Pa sedang terbelenggu, kedua matanya terbuka lebar,
tubuhnya tak bergeming. Maka ia lantas tolong si gagu itu.
Juga disitu Tay Wie dan Siauw Koay pada menggeletak, melihat mana, Sin Tjie berkuatir
sekali, ia kuatir kedua binatang piaraannya itu telah terbinasa karena tangan jahat musuh.
Ia lantas cari air, dengan itu ia banjur dua orang hutan itu.
Tidak antara lama, kedua binatang itu mulai berkutik kaki tangannya, tandanya keduanya
sudah sadar, hingga hati majikannya jadi lega.
"Apa jang telah terjadi?" tanya Sin Tjie kepada A Pa.
Si empeh gagu, dengan tanda-tanda tangannya, tuturkan bahwa ia kena dibokong hingga
ia jadi tertawan tanpa berdaya.
Sin Tjie mengerti, ia tidak bilang suatu apa.
Besoknya, setelah terang tanah, kedua mayat dibawa keluar, untuk dikubur, sesudah
mana, Sin Tjie pun lempar peti besi yang besar itu kedalam lobang kuburan itu. Ia anggap
itu adalah peti pembawa bencana.
Malamnya, sedang beristirahat, Sin Tjie bergidik sendirinya apabila ia bayangi
pengalamannya yang sangat berbahaya itu.
Tatkala peti besi didapatkan, bocah ini baru berumur dua-belas tahun, berselang delapan
tahun, hingga sekarang ia jadi satu pemuda, ia telah lupakan peti besi itu, akan tetapi
sekarang, melihat si pendeta dan si kurus demikian inginkan peti besi itu, hatinya jadi
bercekat. "Mestinya Kim Coa Pit Kip ada berharga sekali," ia menduga-duga. "Kenapa mereka
mencari terus-terusan sampai lima-belas tahun" Kenapa mereka jadi adu jiwa karenanya"
Apakah itu yang tertulis dalam kitab tersebut?"
Lama Sin Tjie terganggu oleh semua itu, akhirnya ia seret keluar peti besi yang kecil, jang
ia letaki dikolong pembaringan, disebelah dalaman peti jang besar. Sebab ditaruh
disebelah dalaman, peti ini kealingan dan jadi tak terlihat si pendeta, perhatian siapa
sebaliknya telah ditumplak semua kepada peti yang besar itu terutama isinya. Peti ini telah
bergala gasi dan berdebu. Dari dalam peti ini, ia keluarkan kitab yang tulen. Ia balik-balik
halamannya, untuk memperhatikan semuanya dengan sungguh-sungguh. Dalam hal ilmu
pukulan dan mainkan senjata rahasia, buku itu beda dari pelajarannya Bok Djin Tjeng dan
Bhok Siang Toodjin, beda dalam hal "kelicinannya".
"Hampir saja aku bercelaka ditangan manusia jahat," pikir dia sambil terus perhatikan isi
kitab itu. "Kalau nanti aku berkelana, bagaimana aku mesti layani orang-orang semacam si
kurus dan si gundul ini" Kenapa aku tak mau yakinkan ini, sedikitnya untuk pembelaan
diri" Sebagai tambahan pengetahuan, ini pun pasti ada berharga sekali"..."
Karena memikir begini, Sin Tjie segera membaca dengan teliti, ia perhatikan gerak
geriknya peta. Tiga hari ia membaca terus menerus, ia dapat kenyataan bagaimana
bedanya itu dengan pengajaran gurunya, malah tak pernah ia dengar gurunya menuturkan
tentang ini macam ilmu silat yang asing baginya. Tapi ia cerdik, otaknya cerdas, walaupun
tanpa guru dengan membaca saja, kemudian ia dapat jalankan pelbagai ilmu pukulan
menurut kitab tersebut. Hanya ketika ia menyakini sampai dihari kelima, ia hadapi
kesukaran, ialah dibagian pelajaran tanpa peta.
"Baik aku menunda dulu," pikir Sin Tjie. Dan ia baca bagian ilmu silat pedang "Kim Coa
Kiam-hoat", terus ia melatih diri. Mulanya ia dapatkan jalan dengan baik, hanya lama-lama,
ia tidak ketemu jalan. Mendadakan ia ingat ukiran gambar-gambar ditembok kamar Kim
Coa Long Koen, si Ular Emas. Tidakkah semua gambar itu ada hubungannya sama ini"
Ingat ini, tak peduli waktu lagi, Sin Tjie cari A Pa. Ia bekal tambang dan obor, ia ajak kawan
itu pergi ke jurang, hingga dilain saat, ia sudah berada di dalam gua Kim Coa Long-koen.
Karena mulut terowongan telah dibesarkan, dengan gampang ia bisa masuki tubuhnya.
Sampai didalam gua, Sin Tjie suluhi tembok, terus ia awasi, ia perhatikan sesuatu gerakan
tangan dan kaki. Dasar ia berotak terang, lantas ia dapat kenyataan, itulah ada gambar
penjelasan untuk bunyinya kitab bagian yang ia tidak mengerti. Maka bukan main
girangnya ia. Tak tempo lagi, pemuda ini berlatih didalam kamar itu sambil ia ikuti sesuatu petunjuk dari
setiap ukiran. Kesudahannya ia jadi sangat girang. Satu kali ia dapat menjalankannya,
terus ia ulangi dan ulangi lagi, sampai ia ingat betul.
"Terima kasih!" kata ia kepada Kim Coa Long-koen, dimuka kuburan siapa ia bersoja koei
dua kali. Pemuda ini hendak berlalu ketika ia tampak pedang aneh dari Kim Coa Long-koen, jang
masih menggeletak dipinggiran, yang tadinya ia tidak perhatikan. Pedang itu rada
bengkung bagaikan ular melilit diri, ekornya adalah yang merupakan gagangnya, sedang
ujungnya, jang tajam, bercagak dua seperti lidah ular. Cagak ini bisa dipakai menikam
berbareng menggaet senjata lawan.
"Tentu A Pa pikiri aku," pikir Sin Tjie, jang terus jumput pedang itu, untuk dibawa keluar,
begitu juga sejumlah Kim Coa Tjoei, senjata rahasia jang merupakan sebagai bor
istimewa. Dimuka terowongan masih ada melintang sepotong batu, yang agak menyulitkan untuk
orang merayap keluar, iseng-iseng Sin Tjie gunai pedangnya akan bacok batu itu. Untuk
keheranannya, untuk kegirangannya, begitu ditabas, batu itu sapat! "Aha!" berseru
pemuda ini. Itulah sebatang pedang mustika! Ketika ia coba menusuk, batu pun dapat
ditikam bagaikan kayu saja! Bukan main girangnya pemuda ini, maka itu, ketika ia telah
kembali kerumah, tidak buang tempo lagi, ia terus berlatih pula dilapangan peranti dia
belajar silat. Mulanya ia jalankan ilmu pedang Hoa San Pay ajaran gurunya, nyata pedang
aneh itu cocok untuk dipakai, akan tetapi kapan ia telah mencoba Kim Coa Kiam-hoat,
kegirangannya meluap.
Selanjutnya, untuk belasan hari, tak ada bosannya, Sin Tjie yakinkan semua pengajaran
dalam kitab dari Kim Coa Long-koen, pelajaran senjata rahasia Kim-Coa-tjoei pun tak
dilupakan, yang tak kalah liehaynya dengan ajaran Bhok Siang Toodjin.
"Mungkin Kim Coa Long-koen tersesat tapi ia harus dikagumi," pikir Sin Tjie, jang jadi
menaruh harga kepada jago yang telah marhum itu.
Mempelajari kitab terlebih jauh, tiga halaman yang terakhir membuat Sin Tjie pusing
kepala. Ia membaca, ia melatih, tidak juga ia ketemu jalan. Ia memahami, ia tidak berhasil.
Toh ia merasa, ia tak salah mengertikannya. Begitu beda itu dengan pelajaran gurunya...
Malamnya, selagi rebahkan diri diatas pembaringannya, Sin Tjie pikirkan kitab rahasia itu.
Ia lihat sinar rembulan yang indah masuk dari jendela. Ia menghitung-hitung. Duapuluh
delapan hari telah lewat dengan lekas sejak pergi gurunya.
"Lagi dua hari, aku mesti susul soehoe," ia pikir. Tiba-tiba ia ingat sikap Thio Tjoen Kioe
yang telengas. "Kitab ini sangat luar biasa, apabila ini terjatuh dalam tangan orang jahat,
bahayanya untuk umum besar sekali. Kenapa aku tidak bakar saja?"
Sin Tjie tidak berpikir lama dan segera ia ambil putusan. Ia turun dari pembaringan, akan
sulut lampu, lalu ia ambil Kim Coa Pit-kip, tidak sangsi lagi, ia bakar itu.
Sekian lama, api menyala, membakar kitab, akan tetapi aneh, selagi semua lembaran habis
hangus menjadi abu, adalah halaman kulitnya utuh, cuma hitam saja.
"Aneh," pikir pemuda ini, apapula ketika ia coba beset, ia tak berhasil, sedang kedua
tangannya kuat. Karena ini, ia perhatikan lebih jauh kulit buku itu, dipencet-pencet,
disentil-sentil.
Segera ternyata, kulit buku itu terbuat dari tembaga campur emas dan dilapis entah
dengan bulu apa dan juga lapis dua, mirip dengan baju kaos pelindung diri dari Bhok
Siang Toodjin, hanya ini ada terlebih tipis.
Dengan gunai pisau, Sin Tjie coba korek akan buka kedua lapisan kulit buku itu. Untuk
keheranannya, didalam situ ia dapatkan dua lembar kertas, yang ia lantas tarik keluar.
Dihalaman depan, ia lihat tulisan bunyinya : "Gambar dari barang berharga." Dipinggiran
itu ada peta-bumi serta banyak tanda-tanda. Dibelakang peta itu terdapat tulisan yang
sebagai berikut bunyinya : "Siapa dapatkan harta, diminta dia pergi ke Tjio-liang di Kietjioe,
Tjiatkang, untuk cari Oen Gie, untuk dihadiahkan uang sepuluh ribu tail."
"Sungguh jumawa!" pikir Sin Tjie, karena jumlah itu besar sekali.
Sekarang pemuda ini periksa kertas yang kedua, yang memuat gambar ilmu pukulan,
apabila ia telah periksa dengan hati-hati, ia sadar. Ini adalah gambar penjelasan untuk
bagian ilmu silat didalam "Kim Coa Pit Kip", yang sampai sebegitu jauh masih kurang
jelas untuknya, hingga tak dapat ia melatih diri dengan itu. Maka sekarang kegirangannya
jadi meluap, hingga ia akhirnya menghela napas saking kagumi silat yang terrahasia itu.
Terang telah disengaja, penjelasan didalam kitab dibikin kurang jelas dan itu Barulah
terang apabila ini penjelasan dalam lipatan kulit halaman sudah diketemukan. Bagaimana
hebat! "Coba peta bumi ini tak didapatkan, atau didapatkannya oleh orang tolol, bukankah
harta besar itu bakal terus tak kedapatan?" pikir Sin Tjie.
Dua lembar kertas itu diselipkan pula kedalam kulit kitab dan disimpan.
Masih Sin Tjie radjin berlatih, sampai lewat lagi dua hari, sesudah mana, ia siapkan satu
buntalan sederhana, untuk ia berangkat susul gurunya. Ia ambil selamat berpisah dari A
Pa, siapa antar ia sampai ditengah gunung. Si empeh gagu ajak kedua orang hutan.
Berat Sin Tjie merasa akan, setelah sepuluh tahun, mesti berpisah dari A Pa, dari kedua
binatang piaraannya juga. A Pa sendiri ada masgul. Tapi juga kedua orang-hutan itu
mengerti, keduanya pegangi tangannya si anak muda, keduanya berpekik. Mereka ini
menahan orang berangkat.
Sin Tjie terharu.
"Aku mesti bawa mereka!" pikir dia, setelah mana, ia bicara dengan tangan pada A Pa.
A Pa merasa berat tetapi ia kasih kedua binatang itu dibawa, maka itu, ketika ia turun
gunung, Sin Tjie diiring oleh dua binatang liar itu.
Inilah untuk pertama kali Sin Tjie turun gunung, tidak heran apabila ia merasa asing dan
lihat segala apa seperti baru baginya. Ketika pada suatu hari ia sampai di Shoasay, ia lihat
gerakan tentara disana-sini dan disetiap tempat penting ada penjagaan tentara sukarela,
yang melakukan pemeriksaan keras kepada orang-orang yang berlalu-lintas.
Di sebuah pos, apabila tentara yang menjaga dapat tahu, pemuda ini hendak menghadap
Giam Ong, tak ayal lagi, satu serdadu diperintah mengantarnya ke markas besar dari Lie
Tjoe Seng, sang jenderal.
Sebab Sin Tjie sebut dia muridnya Bok Djin Tjeng, Lie Tjoe Seng keluar sendiri untuk
menyambut, walaupun ia sedang repot.
Sin Tjie kagum akan lihat pemimpin tentara ini mengenakan pakaian sederhana tetapi
romannya gagah. Ia pun puas akan penyambutan manis dari pemimpin ini. Rupanya Bok
Djin Tjeng telah pujikan muridnya ini kepada kepala perang itu, hingga dia ini tidak berani
mengabaikannya.
"Sayang gurumu sedang pergi ke Kanglam," Giam Ong terangkan kapan tetamunya tanya
tentang Bok Djin Tjeng.
Sin Tjie menyesal, lantas hilang kegembiraannya, apalagi sesudah ia tanyakan Tjoei Tjioe
San, sahabat atau gurunya yang pertama itu, ia diberi keterangan, Tjioe San pun ikut Djin
Tjeng ke Kanglam, untuk kumpul rangsum tentara.
"Hendak aku susul soehoe," Sin Tjie nyatakan. "Nanti, setelah bertemu sama soehoe, aku
akan kembali kemari untuk membantu."
Lie Tjoe Seng lihat orang berniat tetap, ia tidak mencegah.
"Kau temani dia bersantap," kepala perang ini kata pada Lie Gam, sebawahannya yang
berpangkat Tie-tjiangkoen. Ia pun bekalkan uang sepuluh tail, uang mana Sin Tjie tak
berdaya menampiknya maka ia haturkan terima kasih.
Lie Gam ada ramah-tamah, melihat orang bawa-bawa orang-hutan dan pedangnya pun luar
biasa, pedang mana bisa menarik perhatian orang, sedang cara dandannya si anak muda
pun tak seperti orang kebanyakan, ia kasih pedang itu dititipkan didalam tangsi,
sementara dilain pihak, ia lantas siapkan dua perangkat pakaian peranti mahasiswa.
Sin Tjie anggap pikiran itu baik, ia suka menurut, maka demikian ia tukar dandanan dalam
perjalanannya ke selatan.
Pada suatu hari sampailah pemuda kita di Giok San sebelah timur dari Kangsay, habis
bersantap, ia pergi kepelabuhan, akan sewa perahu untuk melanjutkan perjalanan kearah
timur. Ia dapati sebuah perahu besar, yang tukang perahunya doyan persenan, sedang
penyewanya, saudagar Liong Tek Lin asal Siang-djiauw, Tjiatkang, untuk beli barang, tak
keberatan, karena dia lihat, pemuda itu ada satu sioetjay.
Disaat tukang perahu hendak jalankan perahunya, ditepian berlari-lari seorang anak muda
sambil dia berkaok-kaok minta dikasi menumpang untuk ke Kie-tjioe, katanya dia ada
urusan sangat penting dikota itu.
Sin Tjie ketarik mendengar suara nyaring orang tetapi halus. Iapun heran akan tampak
wajah orang itu.
"Apa benar ada satu pemuda begini ganteng romannya?" memikir dia.
Pemuda itu berumur delapan atau sembilan-belas tahun, kulitnya putih halus, mukanya
bersemu dadu, buntalannya tergendol dibelakangnya.
Liong Tek Lin merasa suka kepada anak muda itu, ia berikan perkenannya, maka tukang
perahu lantas pasang papan tangga, untuk orang naik kedalam perahunya.
Begitu lekas orang menaruh kedua kakinya diatas perahu, Sin Tjie terkejut. Ia merasakan
bagaimana perahu mendadakan seperti melesak kedalam air. Ia heran sebab si pemuda itu
kurus dan berat tubuhnya tak ada seratus kati. Kenapa dia ada begitu berat" Buntalannya
juga tak besar.
Sesampainya didalam perahu, pemuda itu beri hormat pada Tek Lin dan Sin Tjie, ia
menghaturkan terima kasih. Ia bilang she-nya Oen dan namanya Tjeng, bahwa ibunya
dikabarkan sakit, ia hendak lekas-lekas pulang untuk menyambanginya.
Nampaknya pemuda ini menaruh perhatian kepada Sin Tjie.
"Mendengar suaramu, saudara Wan, kau mestinya bukan penduduk sini?" tanyanya
kemudian. "Aku asal Kwietang, tetapi dibesarkan di Siamsay," sahuti pemuda kita. "Inilah untuk
pertama kali aku pergi ke Kanglam."
"Ada urusan apa saudara datang ke Tjiatkang?" tanyanya pula.
"Untuk menyambangi sanak saja," terang Sin Tjie.
Selama itu perahu mereka asyik berlayar. Tiba-tiba dua buah perahu kecil, jang dikayuh
cepat, lewat melesat dikedua samping. Oen Tjeng awasi kedua perahu itu, yang lenyap
disebelah depan diantara tikungan, lalu kealingan bukit.
Disaatnya bersantap tengah hari, saudagar Liong baik budi, ia undang kedua anak muda
itu dahar bersama, Sin Tjie makan tiga mangkok, Oen Tjeng cuma satu. Selama itu, gerakgerik
pemuda she Oen ini ada halus.
Boleh dibilang Baru mereka habis bersantap, terdengarlah suara air dikayuh, lalu terlihat
dua buah perahu lewat disamping, dari sebuah diantaranya, seorang yang bertubuh besar,
yang berdiri dikepala perahu, melirik beberapa kali.
Menampak sikapnya orang diperahu kecil itu, alisnya Oen Tjeng berdiri dengan tiba-tiba,
matanya bersinar, wajahnya berubah menjadi padam.
Heran Sin Tjie akan lihat wajah orang itu.
"Dia begini muda dan cakap, mengapa romannya berubah sengit begini?" pikirnya.
Oen Tjeng dapat lihat keheranannya ini kenalan Baru, ia bersenyum, lantas wajahnya
pulang asal, sikapnya tetap lemah-lembut.
Sebentar kemudian, tukang perahu datang menyuguhi air teh.
Oen Tjeng minum secegluk, mungkin ia anggap teh itu kasar, ia kerutkan alis, lalu cawan
teh diletakinya diatas meja.
Sin Tjie keluar merantau untuk pertama kalinya, kecuali segala pengetahuan yang
didengar dari penuturan kedua gurunya, serta nasehat-nasehatnya mereka ini, begitupun
sedikit pengalaman diwaktu belum berusia sepuluh tahun, ia belum punyakan pengalaman
lainnya, akan tetapi disebelah itu, ia cerdik, otaknya hidup. Maka itu, ia duga, mungkin ada
hubungan apa-apa diantara pemuda itu serta keempat buah perahu kecil, entah urusan
apa itu. Kedua perahu kecil itu lewat terus.
Mendekati sore, perahu besar berlabuh disebuah dusun. Sin Tjie ingin mendarat, untuk
pesiar. Tek Lin menolak, katanya tak dapat dia tinggalkan barang-barangnya.
"Ditempat tegalan sebagai ini, apa yang bisa dilihat?" nyatakan Oen Tjeng seraya ia
mainkan bibirnya secara memandang enteng, agaknya ia hendak menyindir.
Sin Tjie jujur, ia anggap orang jumawa, ia tidak memperdulikannya, malah ia bersenyum,
lalu ia mendarat seorang diri. Ia jalan-jalan sebentar, ia minum beberapa cawan arak,
setelah beli sedikit bebuahan, ia pulang keperahu, niatnya mengundang Tek Lin dan Oen
Tjeng, tapi dua orang itu sudah masuk tidur, maka iapun lantas rebahkan diri.
Pada tengah malam, dari kejauhan terdengar suara suitan samara-samar. Sin Tjie getap, ia
lantas mendusin. Diam-diam ia rapikan pakaiannya.
Tidak lama dari arah hilir terdengar suara pengayuh mengenai air, terang ada perahu lagi
mendatangi. Tiba-tiba Oen Tjeng mendusin, ia berbangkit akan duduk dengan mendadak.
Nyata ia tidur tanpa buka pakaian. Dari bawah selimut, dia hunus sebatang pedang jang
panjang. Dengan membawa itu, ia memburu ke kepala perahu.
Sin Tjie terkejut dan heran.
"Apa mungkin dia pengintai bajak?" menduga dia. "Mungkin orang hendak kerjakan
saudagar she Liong ini" Aku tidak boleh peluk tangan saja...."
Sin Tjie titip pedangnya kepada Lie Gam, dia cuma bekal pisau belati dan biji-biji caturnya,
maka itu ia turun dari pembaringan dengan bawa pisaunya itu.
Segera ternyata, perahu yang mendatangi sudah datang dekat. Dari perahu itu lantas
terdengar satu suara kasar : "Orang she Oen, apa benar kau tidak hargakan persahabatan
kang-ouw?"
"Kalau hargakan bagaimana" Kalau tidak, bagaimana?" tanya si anak muda.
"Dengan susah payah kami menguntitnya dari Boe-han, kau sendiri enak-enakan memegat
ditengah jalan dan memakannya sendiri!" jawab orang itu.
Liong Tek Lin mendusin karena suara berisik itu, ia mengintip keluar, untuk kagetnya,
sampai tubuhnya bergemetar, ia tampak empat buah perahu kecil, yang obornya dipasang
terang-terang. Ia tampak orang-orang dengan pelbagai alat-senjata terhunus.
"Jangan takut, inilah bukan urusanmu," Sin Tjie menghibur. Ia lantas menduga kepada
duduknya perselisihan itu.
"Apa...apa mereka bukannya bajak?" tegasi Tek Lin. Ia tidak dapat jawaban hanya ia
dengar suara nyaring dari Oen Tjeng: "Harta dikolong langit ada kepunyaan umum!


Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mungkin emas ini kepunyaanmu sendiri?" demikian pemuda ini.
"Kau keluarkan itu dua ribu tail emas, kita bagi dua, perkara habis," bilang orang didalam
perahu kecil. "Kami suka berbuat baik kepadamu..."
"Foei!" Oen Tjeng menghina. "Kau mengharap demikian" Hm!"
Dua orang lain, yang romannya pun gusar, berkata pada orang yang pertama bicara: "See
Toako, buat apa adu mulut dengan anak biadab itu?" Lalu keduanya loncat naik ke perahu
besar. Tek Lin sedang ketakutan, melihat orang bersenjata naik keperahunya, ia kaget tak terkira.
"Wan...Wan Siangkong, mereka turun tangan!..." menjerit dia.
Sin Tjie tarik mundur saudagar itu.
"Jangan takut, ada aku," ia menghibur.
Justru itu Oen Tjeng telah bergerak untuk papaki kedua orang itu, kaki kirinya menendang
seorang, sehingga dia itu terlempar kecebur kedalam sungai, sedang pedangnya
menyambar orang yang kedua. Dia ini menangkis dengan goloknya, tapi pedang ada tajam
luar biasa, golok terbacok kutung, menyambar terus kearah pundak, maka penyerang itu
tak ampun lagi rubuh mandi darah diatas perahu.
"See Loo Toa, jangan pertontonkan ini segala gentong kosong!" Oen Tjeng mengejek
sambil tertawa dingin.
"Hm!" bersuara si orang she See. "Gotong Lauw Lie kemari!"
Dari sebuah perahu kecil, dua orang naik keperahu besar, akan gotong si orang yang
dikatakan she Lie itu, jang luka hebat lengan kanannya.
Orang yang ditendang kecebur pun sudah berenang naik perahunya.
Segera terdengar suara nyaring dari si orang she See: "Kami dari pihak Liong Yoe Pang
tak pernah bentrok dengan kamu dari Tjio Liang Pay, pemimpin kami menghargai Ngotjouwmu,
tak ingin kami ganggu padamu, maka itu, jangan kau anggap kami dapat dibuat
permainan!"
Sin Tjie bercekat akan dengar disebutnya Tjio Liang Pay. Ia ingat: "Itu Thio Tjoen Kioe
yang datang mencuri kitab dipuncak Hoa San bukankah menyebut dirinya dari Tjio Liang
Pay?" Sebagai jawaban, terdengarlah suaranya Oen Tjeng: "Jangan kau baiki aku! Kamu tak
menang, apa kamu hendak meng-ambil-ambil hati?"
See Loo Toa itu jadi gusar sekali.
"Kau bilang, kau hargakan aturan kang-ouw atau tidak?" dia tegaskan.
"Aku lakukan apa yang aku suka, aku tak memusingkan kamu!" ada jawaban si pemuda.
"Ingin aku omong jelas lebih dahulu," kata orang she See itu. "Kami gunai lebih dahulu
adat sopan-santun, habis itu Barulah senjata! Tak sudi aku nanti dikatai Ngo-tjouwmu
bahwa yang banyak menghina yang sedikit, yang tua mempermainkan yang muda!"
Kata-kata ini menunjuki pihak Liong Yoe Pang itu menghargai jang dikatakan Ngo-tjouw,
Lima tertua, dari pihak Oen Tjeng si anak muda bernyali besar itu.
Oen Tjeng tertawa dingin.
"Dengan kepandaian macam kepunyaanmu ini kau anggap dapat menghina aku?" dia
mengejek pula. Mendengar sampai disitu, Sin Tjie percaya, senjatalah yang akan bicara terlebih jauh. Ia
mengerti sekarang : Liong Yoe Pang hendak membegal harta, Oen Tjeng mendahului,
Liong Yoe Pang jadi tidak senang, dia menyusul, tapi masih minta sebagian saja.
Tubuhnya Oen Tjeng kecil tapi berat, harta itu pasti berada dalam buntalannya.
"Kelihatannya mereka berdua sama-sama bukan orang baik-baik, baiklah aku berpura-pura
tak mengerti ilmu silat, aku tak bantu pihak mana saja..." pikir Sin Tjie.
Selagi Sin Tjie memikir demikian, pertempuran sudah lantas dimulai.
See Loo Toa berseru, lantas kira-kira sepuluh orangnya loncat naik ke perahu besar. Ia
pun turut naik dengan tangannya menyekal sebatang golok besar, ia berdiri didepan
mereka ini, terus ia angkat tangan, untuk memberi hormat.
"Saudara-saudaraku ini bukan tandingan kau," kata dia dengan merendah tapi sifatnya
menantang," maka itu biarlah aku See Loo Toa yang menggantikan mereka menyambut
pedangmu, pedang Ngo-hong-kiam dari Tjio Liang Pay yang menjagoi di Kanglam!"
"Hm!" Oen Tjeng bersuara. "Kau hendak maju sendiri atau berbareng beramai-ramai?"
See Loo Toa melengak, ia tertawa terbahak-bahak.
"Kau terlalu tak melihat mata!" katanya. "Masih ada sahabat siapa lagi dalam perahumu
ini" Undang dia keluar, untuk minta dia menjadi saksi. Tak suka aku apabila kemudian
kaum kang-ouw yang mengatakan See Loo Toa tak punya muka!" Lantas ia menambahkan
: "Sahabat dalam perahu, silakan kau keluar!"
Dua orang bertindak kedalam perahu, akan kata pada Tek Lin dan Sin Tjie : "Toako kami
undang djiewie!"
Tek Lin bergemetaran, tak dapat ia menjawab.
"Mereka melainkan inginkan kita sebagai saksi, tidak apa, mari kita keluar," kata Sin Tjie.
Dan ia tarik tangannya saudagar itu.
Oen Tjeng menjadi tak sabaran.
"Kau hendak pertontonkan kejelekanmu sendiri, jangan katai aku keterlaluan," kata dia.
"Mari mulai!"
Lantas dia mulai menyerang, membabat ke iga kiri lawan.
See Loo Toa bertubuh besar tetapi gesit, dengan goloknya, dia menangkis, lalu dengan
belakang golok, dia teruskan balas menyerang. Ini adalah serangan cepat sekali.
Oen Tjeng tidak sudi terima kebaikan hati lawan, yang serang ia hanya dengan belakang
golok. "Jikalau kau mempunyai kepandaian, keluarkan semua itu!" dia berteriak. "Aku tak sudi
terima kebaikan hatimu!"
Ucapan congkak dan menantang ini diikuti dengan serangan pula, demikian sebat sampai
See Loo Toa, yang tidak menyangka dan karenanya jadi kurang waspada kaget tak terkira
ketika ujung pedang merobek baju di pundaknya sebab hampir ia tak keburu berkelit. Dia
tergetar hatinya mengingat ancaman bencana itu, tapi segera dia balas menyerang dengan
sengit. Si anak muda sangat gesit, pesat gerak-geriknya, sambil menyingkir dari sesuatu
bacokan, berbareng ia seperti kurung lawannya dengan pedangnya senantiasa
berkelebatan disekitar tubuh lawan itu.
Setelah menyaksikan beberapa jurus, Sin Tjie segera dapat kenyataan, ilmu silat Oen
Tjeng terlebih tinggi daripada ilmu See Loo Toa, tak perduli orang ini mencoba pertunjuki
keulungannya, tanda dari banyak pengalaman, tak perduli goloknya berat dan pedang
enteng, dia kewalahan melayani kegesitan si anak muda. Selang sekian lama, dia mulai
bernapas mengorong dan keringatnya pun mulai membasahkan jidatnya, menyusul mana,
gerakannya juga tak lagi sepesat mulanya. Di sebelah dia, sianak muda perhebat
desakannya. Sekonyong-konyong, berbareng dengan seruan Oen Tjeng, See Loo Toa merasai pahanya
tertusuk pedang, sehingga dengan muka pucat, dia lompat mundur, sembari lompat,
sebelah tangannya diayun, hingga tiga buah senjata rahasia berupa paku Touw-koet-tjiam
menyambar kearah lawan.
Si anak muda bulang-baling pedangnya dua kali, untuk sampok jatuh dua potong paku
berbahaya itu, sedang paku yang ketiga ia halau dengan egos diri.
Dua potong paku yang disampok terbang ke jurusan Sin Tjie, kearah dadanya.
Melihat demikian, Oen Tjeng menjerit.
"Celaka," pikir dia, jang menyangka dia akan celakai anak muda itu. Tadinya dia
menyangka Sin Tjie mengerti silat, akan tetapi ketika dua paku menyambar, pemuda itu
tidak berkelit dan juga tidak menangkis. Ia kuatir sekali menampak paku menjuju dada. Dia
Baru berteriak, dia hendak loncat untuk menolongi, atau kedua paku itu, setelah mengenai
dada si pemuda, runtuh sendirinya, jatuh tanpa menerbitkan bencana. Si pemuda sendiri
berdiam saja, seperti ia tak lagi diancam marah-bahaya.
Orang-orangnya See Loo Toa memasang banyak obor terang-terang, mereka semua
saksikan senjata rahasia menyambar kearah si pemuda, akan tetapi, melihat
kesudahannya, mereka melengak, saling mengawasi. Mereka anggap si pemuda liehay
walaupun romannya mirip satu sioetjay lemah tak berdaya... Tentu sekali orang tidak tahu
yang didadanya Sin Tjie dipasang baju kaos pemberian Bhok Siang Toodjin mustika Kimsie
Pwee-sim, yang tak mempan senjata tajam.
See Loo Toa heran melihat si pemuda tak rubuh karena pakunya itu, ia pun lihat si anak
muda lawannya tercengang; menggunai waktu yang baik itu, ia menimpuk pula dengan
lagi tiga batang pakunya.
Oen Tjeng menjerit bahna kaget karena bokongan tiga batang paku itu, dengan hati
terkesiap, ia mendak, untuk menyingkir dari paku yang arah kepalanya akan tetapi dua
yang menyambar kebawah, membuat ia bingung. Tak sempat dia berkelit, tak keburu dia
menangkis. Justru itu terdengarlah suara nyaring dua kali, seperti barang keras bentrok
barang keras, lalu kedua batang paku itu jatuh sendirinya ke lantai perahu sebelum
mengenai sasarannya.
Anak muda ini bermata celi, ia dapat tahu, orang yang runtuhkan dua batang paku itu
adalah si pemuda yang ia sangka satu anak sekolah belaka. Sebab Sin Tjie tak puas See
Loo Toa berlaku curang, dengan diam-diam tetapi dengan cepat sekali, dia telah jumput
dua batang paku yang jatuh didepannya dan gunai itu untuk punahkan dua serangan yang
terakhir dari orang tua itu.
Oen Tjeng manggut, untuk haturkan terima kasihnya kepada pemuda ini, setelah mana, ia
berlompat untuk menyerang lawannya. Ia menjadi sengit karena si orang tua bokong
padanya. Walaupun dia heran atas gagalnya serangannya, See Loo Toa toh tidak alpa, maka itu,
begitu diserang, dia sudah siap, malah dengan satu bacokan yang hebat, ia mendahului.
Si anak muda jadi sangat mendelu karena melihat lawan demikian telengas, ia batal
menyerang, ia berkelit, Baru ia menyerang pula, dengan dahsyat sekali. Begitulah satu
tikamannya mengenai iga kanan See Loo Toa, hingga, bahna sakitnya, orang tua ini tak
dapat cekal lebih lama goloknya yang besar. Golok itu terlepas jatuh kelantai perahu.
Masih Oen Tjeng tidak puas dengan serangan yang kedua yang berhasil ini, justru senjata
lawan jatuh, dia lompat mendesak, untuk membacok kaki kanan orang.
"Aduh!" menjerit See Loo Toa, yang segera rubuh dengan pingsan.
Orang-orangnya orang she See itu menjadi kaget berbareng gusar, mereka lompat maju
untuk menolongi ketua itu, sekalian serang si anak muda.
Dalam sengitnya, anak muda itu tangkis semua penyerang, ia balas menikam dan
membabat, hingga lagi tujuh atau delapan orang rubuh karenanya.
Sin Tjie jadi tidak tega hati.
"Sudahlah, Oen Toako!" ia berseru. "Kasihlah mereka ampun."
Tapi Oen Tjeng lagi sengit, ia masih melukai dua orang lagi, hingga sisanya yang lain-lain
lompat keperahu mereka masing-masing, untuk tolong diri. Tak sanggup mereka melayani
si anak muda, yang seperti sudah kalap.
Oleh karena sudah tak ada musuh lagi, tiba-tiba Oen Tjeng tabaskan pedangnya kebatang
leher See Loo Toa, hingga kepala dan tubuh menjadi terpisah, menyusul mana kaki kirinya
mendupak, membikin tubuhnya Loo Toa terpental kedalam sungai! Kepala dia ini pun
dilempar bersama keair! Tak puas hati Sin Tjie akan tampak ketelengasan itu. Dia anggap
si anak muda keterlaluan, sebab setelah peroleh kemenangan, tak perlu ia ini berlaku
menuruti panasnya hati.
Sementara itu, ketika ia menoleh kepada Liong Tek Lin, Sin Tjie dapati saudagar besar ini
sedang mendelepok dilantai perahu saking kaget dan takut. Itu ada pemandangan hebat
dan mengerikan yang belum pernah ia tampak.
Sisa-sisa orang Liong Yoe Pang, yang kabur keperahu mereka, kabur terus bersama
masing-masing kendaraannya dengan tinggalkan kawan-kawan mereka yang menjadi
korban pedangnya si anak muda.
"Mereka hendak rampas uangmu, mereka gagal, sudah saja," kata Sin Tjie kepada si anak
muda. "Kenapa kau mesti kurbankan demikian banyak jiwa?"
Oen Tjeng mendelik kepada pemuda kita.
"Apakah kau tidak lihat bagaimana hinanya sikap mereka barusan?" anak muda ini
menjawab. "Mereka bokong aku, mereka mengepung, jikalau aku terjatuh dalam tangan
mereka, entah kekejaman bagaimana yang berlebih-lebihan mereka bakal limpahkan atas
diriku" Jangan kau anggap, karena kau telah tolongi aku, kau dapat sembarang memberi
nasihat kepadaku!"
Sin Tjie ketemu batunya, dia bungkam. Melainkan dalam hatinya, dia kata : "Ini anak tidak
kenal cenglie dan budi..."
Oen Tjeng sendiri lantas susut bersih pedangnya, untuk dimasuki dalam sarungnya,
setelah mana ia menjura kepada si pemuda. Tiba-tiba dia tertawa manis sekali dan kata :
"Wan Toako, kau telah tolong aku, aku berterima kasih kepadamu!"
Sin Tjie jengah, toh dia balas hormat itu. Ia manggut dengan tak dapat buka mulutnya. Ia
heran orang demikian muda dan lemah lembut sikapnya tapi demikian telengas hatinya,
bagaikan serigala atau harimau; tetapi sekarang dia jadi begini manis budi, sejenak saja
lenyap kebengisannya itu.
Oen Tjeng panggil tukang-tukang perahu, jang ia perintah cuci bersih lantai perahu, untuk
singkirkan tanda-tanda darah. Semua tubuh musuh telah terjatuh kedalam air, hanyut atau
tenggelam. "Tolong sediakan aku barang makanan," Oen Tjeng menitah lebih jauh kepada anak-buah
perahu, sesudah mana, dia undang Sin Tjie dahar dan minum bersama diatas perahu itu
sambil gadangi si Puteri Malam jang permai. Sembari bersantap, dia tidak omong tentang
pertempuran barusan, dia tidak timbulkan juga soal ilmu silat.
Beberapa cawan air kata-kata telah turun lewat di tenggorokan mereka.
"Besok hari entah jam berapa saja, menghadapi arak menanyakan langit baru, aku kuatir
langit biru tak akan memperdulikannya!" kata anak muda ini selagi minum.
Sin Tjie heran mendengar orang mendadakan menggunakan kata-kata bentuk sajak, ia
menyahuti tetapi dengan "ya, ya" saja dan manggut-manggut.
Dimasa kecil, pemuda ini ikuti Eng Siong belajar surat beberapa tahun, lalu setelah
terdidik lebih jauh oleh Bok Djin Tjeng, walaupun ia masih gemar membaca, ia tak
berkesempatan belajar lebih jauh dengan mendalam, dari itu, ada sangat berbatas
pengetahuannya tentang ilmu surat.
"Saudara Wan," berkata pula si anak muda, "rembulan indah, angin sejuk, malam ada
begini permai, apakah tak baik kita bersyair saling sambut?"
"Aku tidak mengerti ilmu sajak," sahut Sin Tjie dengan cepat.
Oen Tjeng bersenyum, dia berdiam.
"Mari minum!" demikian undangnya kemudian.
Kendaraan air jalan terus, kedua anak muda itu belum berhenti minum dan makan.
Tiba-tiba terlihat mendatangi sebuah perahu kecil, yang melawan air, akan tetapi pesat
lajunya. Oen Tjeng lihat perahu itu, tiba-tiba wajahnya berubah, lalu ia perdengarkan
tertawa dingin beberapa kali, kemudian ia keringi pula cawannya.
Perahunya Liong Tek Lin besar dan memakai layar, jalannya menuruti aliran, lajunya
sangat pesat, maka itu, selagi perahu kecil pun mendatangi cepat, sebentar kemudian,
keduanya sudah saling mendekati.
Sekonyong-konyong Oen Tjeng lemparkan cawan araknya, tubuhnya turut mencelat,
hingga dilain saat, ia sudah sampai dibelakang pada jurumudi. Tanpa kata apa-apa, ia
rampas pengayuh kemudi, ia uwit itu, hingga kepala perahu lantas bergeser kearah kiri,
menghadapi tepat perahu kecil yang lagi mendatangi itu. Sia-sia saja anak buah perahu
kecil egos diri, perahunya sudah ketabrak, hingga terdengarlah satu suara berisik, kepala
perahu dongak keatas.
"Celaka!" Sin Tjie berseru, bahna kaget.
Tiga bajangan mencelat dari perahu kecil itu, naik keperahu saudagar yang besar. Gerakan
tubuh mereka menandakan mereka mengerti ilmu silat baik sekali.
Didalam perahu kecil ada lima orang, kecuali ini tiga, yang berhasil tolong diri, masih ada
si jurumudi dan satu anak buahnya, yang mengayuh perahu. Mereka ini tak dapat loncat
seperti itu tiga orang, mereka kecebur air sambil menjerit: "Tolong!"
Air dibahagian sungai itu deras sekali, karena kecebur, dua tukang perahu itu lebih banyak
menghadapi bencana daripada keselamatan.
"Anak muda ini kejam," pikir Sin Tjie, yang terus bekerja. Ia masih sempat lihat kedua
tukang perahu timbul pula, mendadak ia putuskan dadung lajar, ia gigit ujungnya, lantas ia
menjejak keras, tubuhnya melayang kedalam sungai, tergantung oleh dadung layar itu. Ia
gunai kedua tangannya, akan sambar masing-masing satu orang. Sang dadung bawa ia
terayun kembali keperahu, bersama dua tukang perahu itu.
"Bagus!" berseru empat orang dengan pujiannya. Mereka ini ada Oen Tjeng si anak muda
dan itu tiga orang yang Baru loncat naik dari perahu kecil, yang menjadi sangat kagum.
Sin Tjie letaki kedua orang diatas perahu, lantas ia hampirkan kursinya, akan duduk pula
dengan tenang, hingga dengan demikian, ia dapat ketika akan awasi tiga orang asing itu.
Yang pertama ada seorang tua diatas usia lima-puluh tahun, tubuhnya kurus kering,
kumisnya jarang. Yang kedua, umur empat-puluh lebih, bertubuh besar dan kasar. Yang
ketiga ada seorang perempuan umur kurang lebih tiga-puluh tahun.
Sambil tertawa suram, si orang tua kata pada pemuda kita: "Tuan, kau liehay sekali,
bolehkah aku tanya she dan namamu yang mulia dan siapa gurumu?"
Sin Tjie berbangkit, ia manggut dengan halus.
"Boanseng adalah she Wan," ia menyahut dengan manis. "Kedua tuan ini terancam
bahaya, tak tega aku melihatnya, maka itu boanseng telah angkat mereka dari permukaan
air. Sama sekali tak berani boanseng sengaja banggakan kepandaian dihadapan
lootjianpwee, maka mohon lootjianpwee maafkan."
Orang tua ini heran menampak pemuda ini demikian halus gerak-geriknya, lalu ia hadapi
Oen Tjeng dan tertawa dingin.
"Tak heran kau, bocah cilik, makin menjadi-jadi nyali besarmu, kiranya kau punyakan
pembantu yang begini liehay!" berkata dia, suaranya tajam. "Adakah dia ini sahabatmu
yang baik?"
Wadjahnya Oen Tjeng menjadi merah.
"Aku pandang kau sebagai orang tertua jang dihormati, aku minta sukalah kau hargai
sedikit dirimu!" ia menegur.
Hatinya Sin Tjie tak enak.
"Nampaknya mereka bukan orang-orang baik-baik, tak dapat aku antap diriku terseret
kedalam arus mereka," ia berpikir. Karena ini, ia lantas kata pada si orang tua: "Aku dan
saudara she Oen ini tak kenal satu dengan lain, secara kebetulan saja kami bertemu disini,
jadi tak ada bicara hal persahabatan diantara kami berdua. Ingin aku mengucapkan
sepatah dua patah kata, jikalau ada urusan diantara kamu berdua pihak, baiklah itu


Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

didamaikan agar kerukunan tak sampai terusak..."
Belum sempat si orang tua menyahuti, atau Oen Tjeng, dengan matanya mendelik, berkata
pada pemuda kita : "Jikalau kau takut, pergilah kau naik kedarat!"
Sin Tjie berdiam, tetapi didalam hatinya, dia kata : "Belum pernah aku menemui orang
kasar semacam dia ini!"
Si orang tua sementara itu dapat duga pemuda ini bukanlah kawannya si anak muda,
karena mana, ia menjadi girang sendirinya.
"Sahabat Wan," berkata dia "kau tidak punyakan hubungan dengan si orang she Oen ini,
itulah bagus! Harap kau tunggu sampai aku sudah beres berurusan dengannya ini, nanti
kita pasang omong, bolehlah kita ikat tali persahabatan!"
Sin Tjie tidak menjawab, dia cuma manggut, lantas ia mundur kebelakang Oen Tjeng.
Lantas si orang tua hadapi Oen Tjeng dan kata : "Kau masih berusia sangat muda,
perbuatan kau telengas sekali. See Loo Toa bukan tandinganmu, itu pun sudah cukup,
kenapa dan kau kehendaki jiwanya?"
"Tapi aku bersendirian saja, kamu ada orang-orang lelaki bertubuh besar dan berjumlah
banyak, kamu maju dengan berbareng, tanpa aku berlaku bengis, apa mungkin terjadi?"
balas si anak muda. "Kau masih menegur aku, apakah kau tak takut orang nanti katakan
kamu si tua menghina si kecil, yang banyak kepung yang sedikit" Jikalau kamu punya
kepandaian, pungutlah emas orang, kenapa mesti tunggu aku" Apakah kamu hendak
serakahi yang sudah sedia saja" Apakah itu bukannya tak tahu malu?"
Sin Tjie dengar suaranya terang dan halus, kata-kata yang tajam sehingga si orang tua
bungkam karenanya.
Tiba-tiba si orang perempuan, yang alisnya berdiri dengan mendadakan, turut bicara:
"Kacung cilik, orang tuamu manjai kau hingga kau makin tak tahu aturan!" dia
membentak. "Sungguh ingin aku tanya yayamu, ibumu juga, siapa sudah ajar kau hingga
dimatamu ini tak lagi ada orang yang terlebih lanjut usianya!"
"Orang tua yang ingin dihormati juga mesti ada sertanya!" kata Oen Tjeng. "Orang tua
yang hendak menang sendiri, dia tak berharga untuk dihormati!"
Orang tua itu menjadi sangat mendongkol hingga dia keprak meja dikepala perahu dan
meja itu menjadi melesak, apabila dia telah angkat tangannya, tangan itu menjumput
potongan-potongan kayu meja, yang menjadi hancur bekas tercengkeram.
Nyata tangan orang tua ini kuat bagaikan besi.
"Eng Loo-ya-tjoe!" berkata Oen Tjeng, "tentang kepandaianmu yang liehay, aku sudah
tahu, maka tak usahlah kau jual lagak didepan yang mudaan! Jikalau kau hendak
pertontonkan kepandaianmu itu, pergi kau pertontonkan kepada sekalian yayaku!"
Kembali orang tua itu gusar.
"Jangan kau coba gertak aku dengan sebut-sebut beberapa yayamu itu!" ia membentak.
"Siapa yayamu itu" Jikalau mereka punyakan kepandaian, tak nanti mereka antap anakgadisnya
diperkosa orang, sehingga tak nanti anak-gadisnya itu lahirkan bocah haram
seperti kau ini!"
Meluap hawa amarahnya Oen Tjeng, yang berbareng pun jadi sangat berduka, hingga
wajahnya menjadi merah padam, gusar, malu dan bersedih. Sekelebatan, cahaya matanya
menyala bagaikan api.
Si orang bertubuh besar dan si orang perempuan lihat itu, mereka tertawa berkakakan.
Sin Tjie awasi si anak muda, kedua matanya dia ini mengalirkan air mata. Ia heran dan
terharu dengan berbareng.
"Nampaknya dia jauh lebih berpengalaman daripadaku, mengapa sekarang dia
menangis?" dia berpikir.
Biar bagaimana, anak muda ini kena diperhina - dia bersendirian, dia diperhina juga.
Karena ini, semangatnya Sin Tjie jadi terbangun, berniat ia membantu anak muda ini,
apabila saatnya sudah sampai.
"Apakah faedahnya untuk menangis?" kata si orang tua, dengan tajam, lagu-suaranya
mengejek. "Kau lekas keluarkan emas itu. Kami juga tidak serakahi, dari uang itu, kami
nanti pisahkan sejumlah untuk tunjang jandanya See Loo Toa..."
Tubuhnya Oen Tjeng bergemetar.
"Jikalau kau hendak bunuh, bunuhlah!" ia menantang, sambil menangis. "Aku tidak
hendak menyerahkannya!"
"Hm!" berseru si orang tua, yang sementara itu lihat perahu besar itu laju terus dengan
cepat, maka ia lantas jumput jangkar besar yang terikat rantai, ia lempar itu jauh ketepian,
hingga dilain saat, perahu berhenti dengan tiba-tiba.
Berat jangkar kira-kira dua ratus kati maka bisalah diduga besarnya tenaga orang tua ini,
siapa lantas tegaskan Oen Tjeng : "Kau hendak serahkan atau tidak?"
Anak muda itu angkat tangan kirinya, akan susuti air matanya.
"Baiklah, aku nanti serahkan!" katanya, yang segera lari kedalam perahu, akan sedetik
kemudian keluar pula, sambil kedua tangannya membawa satu bungkusan, yang mestinya
berat. Si orang tua ulur tangannya, untuk sambuti bungkusan itu.
"Foei! Begini gampang!" mendadak si anak muda berseru. Dengan sekonyong-konyong ia
menimpuk dengan bungkusan itu, kearah sungai, hingga dilain saat terdengarlah suara
tercebur jang nyaring. Lantas dia menantang : "Jikalau kau berani, bunuhlah aku! Jikalau
kau menghendaki emas, jangan harap!"
Tidak terkira kemurkaannya si orang tubuh besar, ia menjerit, ia angkat goloknya
membacok anak muda jang licik itu, yang berbareng pun mempermainkan kepadanya.
Habis membuang bungkusan, Oen Tjeng pun segera hunus pedangnya, maka itu, setelah
diserang dan berkelit, dia balas menerjang, beruntun sampai dua kali.
"Tahan ! Tahan!" berseru si orang tua.
Si orang bertubuh besar, kawannya orang tua ini, lompat mundur dua tindak, Si orang tua
sendiri terus awasi anak muda itu.
"Benar-benar, naga melahirkan naga, burung hong menetaskan burung hong!" kata dia.
"Ada orang semacam ayahnya, ada anaknya semacam dia ini! Kalau hari ini aku antap
terus kau main gila dihadapanku si orang tua, bocah cilik, aku bukan si orang she Eng
lagi!" Hampir tak kelihatan lagi, orang tua ini tutup kata-katanya dengan tahu-tahu tubuhnya
sudah berada didepannya si anak muda.
Oen Tjeng rupanya telah siap, ia menyambut dengan satu tusukan hebat. Tapi si orang tua
benar-benar liehay. Dia bertangan kosong, dia berkelit dari tikaman itu, lantas dia
merangsak. Mau atau tidak, anak muda itu mundur. Malah ia mesti mundur terus, karena
desakannya si orang tua, jang gerakannya membuat si anak muda tak sempat menyerang
dia. Sia-sia saja Oen Tjeng menyekal pedang panjang, tak mampu ia gunai itu.
Sedetik saja, Sin Tjie telah dapat lihat bahwa Oen Tjeng bukan tandingan orang tua itu,
yang sangat gesit. Dengan ini pun telah dibuktikan dengan segera. Baru bisa luputkan diri
dari sepuluh gebrak lebih, atau lengan kanan si anak muda sudah kena ditotok, atas mana
dia rasai tangannya kesemutan dan kaku, hingga pedangnya lantas terlepas dari cekalan
dan jatuh dilantai perahu.
Begitu pedang jatuh, si orang tua menyontek dengan kakinya yang kiri, hingga pedang
terangkat mumbul, hingga gampang saja dia menanggapinya dengan tangannya yang kiri,
lalu dengan menyekal ujungnya pedang itu, dengan tangan kanan dengan satu gerakan
saja, dia bikin senjata itu patah dua! Oen Tjeng kaget hingga mukanya pucat.
Si orang tua masih berkata : "Jikalau aku tidak tinggalkan suatu tanda dalam tubuhmu,
aku kuatir kau nanti melupakan liehaynya aku si orang tua!" Dan lalu, dengan ujung
pedang yang patah itu, dia menggurat kemukanya si anak muda! Oen Tjeng kaget dan
ketakutan, mukanya pucat, cepat-cepat dia mundur, untuk menyingkir dari serangan itu,
atas mana, si orang tua desak padanya, hingga dilain saat, ujung pedang, yang dipegang
dengan tangan kiri, hampir mampir dimuka orang.
"Celaka dia...." pikir Sin Tjie, yang merasa sayang muka demikian cakap dan putih nanti
meninggalkan cacat.
Oen Tjeng sendiri, dalam takutnya, telah keluarkan jeritan.
Dengan sebat Sin Tjie rogo sebutir biji caturnya dengan apa ia lantas menimpuk kearah
pedang si orang tua.
"Trang!" demikian satu suara nyaring.
Si orang tua terkejut, justru waktu itu ia sedang kegirangan karena segera ia bakal dapat
coret muka orang yang cakap-ganteng, sedang tangannya pun tergetar, sesemutan sakit,
hingga tak sanggup dia cekal lebih lama pedangnya itu, yang lantas terlepas dan jatuh.
Melihat demikian, dari ketakutan, Oen Tjeng menjadi girang sekali, hatinya lega dengan
tiba-tiba. Tidak buang tempo lagi, ia loncat kearah Sin Tjie, untuk berlindung dibelakang
dia ini, lengan siapa ia pegangi dengan keras, agaknya ia hendak memohon perlindungan.
Orang tua itu, orang she Eng seperti dia telah perkenalkan diri, bernama Tjay. Dia adalah
pangtjoe, atau ketua, dari Liong Yoe Pang, satu kawanan di Tjiat-kang Selatan dimana,
kecuali Ngo-tjouw dari Tjio Liang Pay, dia adalah orang tertangguh satu-satunya. Adalah
biasanya bagi dia, apabila dia bertempur dia tak suka gunai senjata. Inilah disebabkan dia
telah yakin ilmu silat Eng-djiauw-kang, Kuku Garuda, sehingga tangannya jadi kuat
melebihi golok atau pedang yang biasa. Maka itu, ia tak kepalang kagetnya apabila ia
dapatkan, pedangnya dilepaskan orang hanya dengan timpukan sebutir biji catur. Ia kaget
berbareng malu, hingga mukanya menjadi merah. Seumur hidupnya, ini adalah malu besar
pertama yang ia pernah alami.
"Kenapa bocah ini besar sekali tenaganya?" pikir dia, jang masih tertjengang.
Si orang tubuh besar dan wanita pun segera lihat liehaynya Sin Tjie, mereka merasa
bahwa dilanjutinya pertempuran tidak akan membawa bahagia untuk mereka, maka justru
emas telah dibuang ke sungai, mereka anggap baiklah sudahi urusan sebelum perkara
berlanjut hebat.
"Loo-ya-tjoe, marilah!" si nyonya segera mengajak. "Dengan memandang mata kepada
sahabat she Wan ini, hari ini kita kasih ampun pada bocah ini..."
"Hm!" Oen Tjeng menghina, selagi si orang tua belum sempat buka mulutnya. "Melihat
orang liehay, lantas hendak angkat kaki! Jadi tukang menghina si lemah tapi jeri kepada si
kuat - tak malu?"
Sin Tjie kerutkan alis.
"Anak licik," memikir ia " diri sendiri Baru lolos dari bahaya besar, sekarang kembali
sudah mengeluarkan kata-kata tajam, sedikit juga tidak mau memandang orang...."
Benar-benar wanita itu menjadi sangat mendelu karena perkataan si orang muda ini, tapi
ia pun berdiam, karena ia insyaf, melayani salah, tidak melayani salah juga... Sampai
disitu, si orang tua buka mulutnya. Dasar ia berpengalaman.
"Lauwtee, kau liehay," berkata dia kepada Sin Tjie. "Rembulan permai, cuaca indah, angin
pun sejuk, bagaimana jikalau kita berdua main-main sebentar?"
Pangtjoe dari Liong Yoe Pang menantang. Dia ingin coba-coba Eng-djiauw-kangnya yang
telah dia yakinkan lebih dari dua-puluh tahun lamanya. Dia mau percaya, melihat usia
muda orang, jikalau bertanding, tidak nanti dia kalah dari si anak muda.
Sin Tjie bersangsi. Ia telah pikir: "Jikalau aku layani dia, walaupun belum pasti aku kalah,
tapi setelah bergebrak, itu artinya aku bantu Oen Tjeng. Dia ini tua, nampaknya dia
berpandangan cupat, dia pun licin, pertempuran tentu tidak ada faedahnya. Kenapa aku
mesti tanam bibit permusuhan?"
Maka itu lekas-lekas ia memberi hormat.
"Aku yang muda Baru pertama kali ini menginjak dunia kang-ouw, belum tahu aku
tingginya langit dan tebalnya bumi," berkata ia, "maka itu, dengan kebisaanku ini yang
tidak berarti, cara bagaimana aku berani melayani lootjianpwee?"
Eng Tjay bersenyum.
"Aku tidak sangka, dia begini muda tapi bisa sekali dia bawa diri," pikirnya. Ia gunai ketika
ini, untuk undurkan diri. Maka ia kata saja : "Sahabat Wan, kau sungkan sekali..."
Tiba-tiba matanya mendelik, mendekati Oen Tjeng. Dia kata: "Dibelakang hari mesti ada
satu waktu yang aku si orang tua kasih rasa liehaynya kepadamu, bocah nakal!"
Terus ia menoleh kepada kawannya, yang bertubuh besar.
"Mari kita pergi!" ia mengajak.
"Berapa besar juga liehaymu, aku sudah tahu!" mendadak Oen Tjeng buka mulut pula.
"Kau lihat orang liehay, terang kau tidak berani melayaninya!"
Anak muda ini sengaja mengejek, untuk menghina, buat puaskan kemendongkolannya. Ia
pun sangat ingin saksikan pertempuran diantara mereka berdua. Ia percaya si anak muda
liehay dan si orang tua bukan tandingannya, toh ia hendak memaksakan.
Eng Tjay jadi serba salah. Dan Sin Tjie jadi tidak senang untuk sikap orang itu.
Dalam murkanya, ketua Liong Yoe Pang kendalikan diri.
"Saudara Wan, walaupun kau masih muda sekali tetapi kau kenal persahabatan," berkata
dia. Lebih dahulu daripada itu kembali dia mendekati kepada si anak muda yang mulutnya
liehay itu. "Sahabat, mari kita main-main segebrak saja, supaja itu bocah tidak tahu diri
tidak katakan aku tak punya nyali!"
"Oh, lootjianpwee, mengapa kau bersatu pandangan sebagai dia?" kata Sin Tjie sambil
bersenyum. "Dia omong main-main saja..."
"Kau jangan kuatir, aku pun tidak sungguh-sungguh," Eng Tjay mendesak.
Kembali Oen Tjeng perdengarkan kata-katanya yang dingin dan tajam : "Bilangnya tidak
takut tapi masih tidak mau turun tangan! Masih omong tentang persahabatan saja! Ah,
lebih baik jangan bertempur, dah! Sampai umurku begini besar, belum pernah aku tampak
kejadian semacam ini! Maka aku bilang, lebih baik jangan bertempur!..."
Luber hawa-murka Eng Tjay, hingga dengan tiba-tiba dia sampok muka Sin Tjie, akan
tetapi belum sampai serangan itu pada sasarannya, dia sudah tarik pulang kembali
tangannya. Lantas dia kata: "Sahabat Wan, mari, mari, aku ingin belajar kenal dengan
kepandaianmu!"
Melihat demikian, Sin Tjie tidak bisa mundur pula. Tanpa loloskan bajunya, jang panjang,
dia lompat ketengah kalangan.
"Aku harap lootjianpwee berkasihan terhadapku..." memohon dia.
"Kau baik sekali, sahabat Wan. Silakan!" sahut Eng Tjay tapi sambil menantang.
Sin Tjie tahu, apabila ia terus merendahkan diri, itu berarti penghinaan kepada si orang
tua, dari itu, tanpa bilang suatu apa, ia segera kirim kepalannya jang pertama. Ia bersilat
dengan ilmu pukulan "Ngo-heng-koen" atau "Koentauw Panca logam".Ia serang dada
sebagai sasaran.
Eng Tjay bertiga kawannya sangka si anak muda liehay sekali, maka itu, melihat orang
datang-datang menyerang dengan Ngo-heng-koen, mereka lantas saja memandang
enteng. Oen Tjeng sendiri kecele bukan main, mukanya sampai pucat.
Ketua Liong Yoe Pang menjadi girang, lantas dia balas menyerang, dengan seru, hingga
setiap pukulannya mengeluarkan sambaran angin menderu-deru. Ia percaya, sebagai jago
Eng-djiauw-kong, dengan tiga jurus saja, ia akan dapat rubuhkan pemuda ini atau
sedikitnya ia bakal dapat pukul pecah Ngo-heng-koen.
Diluar dugaan dengan sederhana, melainkan dengan andali keentengan tubuh, Sin Tjie
luputkan diri dari pelbagai serangan yang berbahaya, hingga karenanya, sekarang ia
membuat terkejut dan heran kepada lawan yang tua itu. Ia merasa aneh, ilmu silat umum
sebagai Ngo-heng-koen itu bisa diubah menjadi kegesitan tubuh demikian rupa. Biasanya
Legenda Kematian 7 Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L Naga Naga Kecil 3

Cari Blog Ini