Pedang Ular Mas Karya Yin Yong Bagian 6
senjata ditangannya orang dagang itu. Itulah sebatang pit yang bergemirlapan, maka tak
salah lagi, pit terbuat dari tembaga tulen. Karena ia tidak bersangsi pula, dengan gembira
ia maju kepada si orang dagang itu, ia mendekati sambil berlompat, tanpa siasiakan tempo
lagi, ia tekuk lututnya sambil manggut.
"Toasoeheng, terimalah hormatnya siauwtee Wan Sin Tjie!" katanya.
Saudagar itu ulur kedua tangannya untuk mengangkat bangun, ia awasi anak muda ini,
lantas saja ia jadi girang sangat.
"Oh, soetee!" katanya. "Kau masih begini muda" Sungguh tak disangka-sangka olehku
kita dapat bertemu disini!"
Siauw Hoei maju selagi orang bicara.
"Engko Sin Tjie, itulah dia Tjoei Soeko!" ia perkenalkan si anak muda sembrono.
Sin Tjie menoleh pada si anak muda, ia manggut.
Siauw Hoei lihat bebokongnya pemuda she Wan itu ketempelan rumput kering, ia ulurkan
tangannya akan kepriki itu pelahan-lahan. Atas ini Sin Tjie bersenyum, tanda terima
kasihnya. Hie Bin lihat kelakuan pemudi dan pemuda itu, ia tak puas.
"Eh, Hie Bin, kenapa kau tidak tahu aturan?" tiba-tiba Oey Tjin tegur muridnya itu. "Lekas
kau kasi hormat pada soesiokmu ini!"
Kembali orang she Tjoei itu tak puas. Bukankah Sin Tjie lebih muda daripadanya" Maka ia
menghampirkan dengan tindakan pelahan, dengan ayal-ayalan juga ia hendak paykoei.
"Jangan, jangan, tak usah!" Sin Tjie lekas-lekas mencegah, ia menghalangi dengan kedua
tangannya. Hie Bin batal berlutut, ia menjura saja.
"Siauw-soesiok!" ia memanggil.
Ia membahasakan "Siauw-soesiok" atau paman kecil.
"Apa sih siauw soesiok toa-soesiok?" Oey Tjin menegur pula. "Biarpun kau terlebih tua,
soesiok tetap terlebih tua tingkatnya!"
Sin Tjie tertawa pada soe-tit itu, atau "murid keponakan".
"Panggil saja aku siok-siok!" katanya dengan manis.
"Siok-siok baik.....?" kata Hie Bin.
Lu Djie Sianseng mesti menonton saja orang menjalankan tata-hormat soetee dengan
soeheng dan soe-tit dengan soesiok, kalau tadi dia yang membuat orang tak sabaran,
sekarang dialah yang habis sabarnya sendiri. Dia anggap orang seperti tak pandang mata
sekali kepadanya. Maka juga kedua matanya lantas mencilak.
"Kamu semua orang-orang apa?" tegur ia dengan jumawa.
Teguran ini membuat orang kaget. Bahwa sekarang ia buka mulut, kiranya ia mempunyai
suara yang nyaring sekali, seperti suara burung hantu yang menciutkan nyali. Suara itu
pun tajam sekali.
Akan tetapi Hie Bin tidak takut. Dia maju satu tindak.
"Emas ini ada emas kami!" kata dia. "Emas ini telah kena kamu curi! Guruku telah ajak aku
kemari untuk mengambilnya kembali!"
Lu Djie Sianseng tidak segera menjawab, sambil dongak kewuwungan, ia kebul-kebulkan
asap hoentjweenya.
"Hm! Hm!" dia perdengarkan tertawa dingin.
Hie Bin mendongkol atas lagak orang itu.
"Sebenarnya emas ini hendak kau pulangkan atau tidak?" ia tegaskan. "Jikalau kau tidak
dapat mengambil putusan, hayo titahkan maju orang yang berhaknya!"
Lu Djie Sianseng tertawa dua kali, suara tertawanya pun aneh. Kemudian ia menoleh pada
Eng Tjay, untuk kata dengan jumawa: "Kau beritahukan bocahh ini, siapa adanya aku!"
Eng Tjay turut titah itu.
"Inilah Lu Djie Sianseng yang termashyur namanya!" katanya. "Kau jangan kaget! Kau
masih muda sekali, jangan kau tidak tahu adat!"
Tentu sekali Hie Bin tidak kenal Lu Djie Sianseng ini.
"Aku tidak perduli entah dia sianseng apa!" katanya dengan mendelu dan sikap
memandang enteng. "Kami datang untuk ambil pulang emas kami!"
Tiba-tiba maju pula Oen Lam Yang, yang hatinya masih panas.
"Ambil kembali emas" Tak demikian gampang!" ia mengejek. "Jikalau kau ada punya
kepandaian, mari layani aku dahulu, Baru kita bicara pula!"
Orang she Oen ini menantang, akan tetapi belum dia sampai dapat jawaban, tangannya
sudah melayang.
Itulah serangan tidak di-sangka-sangka, maka pundaknya Hie Bin terhajar bogem-mentah.
Dia jadi sangat gusar, dia segera menyerang, untuk membalas. Tangan kirinya menyambar
cepat sekali. Serangan ini mengenai perut, hingga Lam Yang merasai sakit.
Buat sedetik, kedua mundur, akan saling mengawasi dengan mata mendelik, habis itu,
mereka sama-sama maju pula, akan mulai bertempur.
Segera juga terdengar suara dakduk atau bakbuk beberapa kali. Itulah suara dari kepalan
yang mampir dikepala atau tubuh masing-masing. Mereka berkelahi dengan sengit sekali,
sampai mereka alpa dengan pembelaan diri, dari itu, kepalan masing-masing dapat
mengenai sasarannya.
Sin Tjie saksikan perkelahian itu, diam-diam ia menghela napas.
"Kenapa muridnya Toasoeheng begini tak punya guna?" pikir dia. "Jikalau dia hadapi
musuh tangguh, dengan satu dua tonjokan saja dia tentu sudah tak tahan...Apakah
mungkin Tjoei Siokhoe juga tidak pernah berikan dia suatu pengunjukan?"
Hie Bin itu djudjur, cuma adatnya keras dan semberono, karena itu, biarnya dia belajar
silat, perhatiannya kurang. Dua bagian saja dari kepandaiannya Oey Tjin, belum ia
dapatkan. Cuma karena bertubuh kuat yang membikin ia sanggup pertahankan diri dari
beberapa tonjokan. Tetapi ia berkelahi dengan hebat.
Kemudian datanglah saatnya pertempuran berakhir. Dengan kepalan kanan, Hie Bin
mengancam. Lam Yang berkelit kekanan. Dengan cepat luar biasa, tangan kiri Hie Bin
menyambar. Serangan ini tidak dapat dielakkan Lam Yang, dia kena dihajar keras,
menyusul suara tonjokan, tubuhnya yang besar rubuh terbanting, hingga dia pingsan.
Kemenangan ini membikin Hie Bin girang sekali, dengan bangga ia menoleh kearah
gurunya, ia harap gurunya nanti puji padanya. Diluar harapan, ia dapati sang guru merah
wajahnya karena murka, hingga ia jadi heran.
"Aku menang, kenapa soehoe gusari aku?" pikir dia.
Siauw Hoei hampirkan kakak seperguruan itu, muka siapa bengap dan kuping kanannya
berdarah, dengan sapu tangannya, dia menyusuti.
"Kenapa kau tidak kelit sesuatu pukulannya?" nona ini kata dengan pelahan. "Kenapa kau
melawan dengan keras saja?"
"Untuk apa berkelit?" Hie Bin jawab. "Dengan main berkelit, tidak nanti aku berhasil
menghajar dia!"
Tiba-tiba terdengar suara hebat dari Lu Djie Sianseng.
"Jangan kau berjumawa karena kau dapat rubuhkan satu lawan!" kata orang dengan
dandanan mahasiswa itu. "Kau inginkan emas?"
Se-konyong-konyong dia berlompat, kedua kakinya diletaki atas dua potong emas, sedang
hoentjweenya ditekankan kesepotong emas lainnya.
"Tidak perduli kau menjotos atau mendupak," katanya," asal kau mampu geser emas ini
dari kakiku, kau boleh ambil semua!"
Para hadirin melengak atas kata-kata ini, melengak karena Lu Djie sianseng terlalu
jumawa. Hie Bin jadi mendongkol sekali.
"Jangan kau menyesal!" katanya dengan sengit.
Lu Djie Sianseng tertawa besar sambil melengak.
"Kau dengar, dia kuatir aku menyesal!" katanya kepada Eng Tjay, tetap dia dengan
sikapnya yang jumawa itu.
Eng Tjay menjawab hanya dengan tertawa kering.
"Baik, aku nanti coba!" berseru Hie Bin.
Orang semberono ini lompat tiga tindak, hingga ia datang dekat pada si tekebur itu, lantas
dia ayun kaki kanannya dan menyapu kearah potongan emas yang ditekan hoentjwee.
Dimatanya Sin Tjie, tendangan itu ada tendangan berat dua-tiga ratus kati. Ia percaya,
tidak perduli bagaimana kuatnya Lu Djie Sianseng, emas itu mesti kena tergeser, kecuali
dia itu gunai ilmu gaib. Maka ingin ia menyaksikan kesudahan pertaruhan itu.
Disaat kakinya Hie Bin sampai, belum sampai potongan emas kena ditendang, tiba-tiba,
dengan sebat sekali, Lu Djie Sianseng angkat hoentjweenya, dipakai memapaki kaki
dengan ujung hoentjwee itu, tepat mengenai dengkul.
Dengan mendadakan Hie Bin rasai kakinya itu kaku dan tak bertenaga, tidak ampun lagi,
dengkulnya tertekuk, hingga dia rubuh dengan berlutut!
Lu Djie sianseng segera rangkap kedua tangannya, ber-ulang-ulang ia tertawa besar
sambil ia berkata: "Ah, jangan, tak sanggup aku terima!"
Dia memberi hormat untuk tampik kehormatan. Dia anggap Hie Bin berlutut untuk beri
kehormatan padanya! Itulah sebenarnya suatu penghinaan.
Siauw Hoei terperanjat, dia lari pada Hie Bin, untuk kasih bangun pemuda itu, buat
dipepayang sampai didepannya Oey Tjin.
"Oey soepeh, dia main gila, lekas soepeh ajar adat padanya!" nona ini minta.
Dalam gusarnya, Hie Bin mendamprat : "Kau gunai akal busuk! Kau bukannya satu
hoohan!" Oey Tjin menotok pada pinggang muridnya, lalu pada pahanya, sembari berbuat demikian,
dia kata dengan pelahan : "Apa lain kali kau berani pula berlaku semberono begini?"
Murid itu berdiam, hatinya bersyukur.
Lu Djie Sianseng tercengang kapan ia saksikan korbannya dapat ditolong secara demikian
cepat. Ia tidak mengerti kenapa ditempat begini sepi sebagai Tjio-liang ada ahli ilmu totok
yang demikian liehay.
Selagi orang berdiam, Oey Tjin ketek shoeiphoanya.
"Perhitungan ini telah dimasuki buku!" kata dia. Lalu dia geraki tangan kanannya, yang
menyekal pit. Terang dia hendak maju, untuk cuci malu muridnya.
Sin Tjie lihat sikap Toa-soeheng itu, dia berpikir: "Dia adalah murid kepala dari Hoa San
Pay, aku adalah soeteenya maka sudah selayaknya aku mesti mendului maju!"
Maka ia lantas berseru: "Toa-soeheng, biar siauwtee yang maju lebih dulu! Jikalau aku
tidak berhasil, Baru soeheng yang menggantikan!"
"Soetee, baik aku saja yang maju," jawab Oey Tjin dengan pelahan.
Soeheng ini ragu-ragu untuk ijinkan adik seperguruan itu wakilkan dia. Soetee ini masih
terlalu muda, meskipun gurunya telah berikan pelajaran sempurna, ia kuatir sang soetee
kurang latihan, kurang pengalaman, hingga ia kuatir, soetee ini bukan tandingan Lu Djie
Sianseng yang liehay itu. Dia pun percaya, dengan terima murid terakhir itu, yang masih
"kecil", tentunya sang guru sangat sayangi murid bungsu itu, apabila karena pertempuran
ini Sin Tjie terluka, gurunya tentu berduka, dia bakal ditegur, dia bakal malu sendirinya.
Kalau tadi dia antapkan Hie Bin maju, itulah sekalian untuk beri ajaran pada murid
semberono ini agar ia selanjutnya bisa berhati-hati. Dia harap Hie Bin insyaf dan nanti
belajar lebih jauh dengan sungguh-sungguh.
Akan tetapi Sin Tjie tidak mau mengerti.
"Toasoeheng," katanya dengan pelahan juga," dipihak mereka ada banyak orang liehay,
sedang lima orang tua itu mempunyai barisan Ngo-heng-tin yang berbahaya sekali,
mungkin sebentar bakal terjadi pertempuran dahsyat. Soeheng sebagai kepala perang,
maka biar siauwtee yang maju lebih dulu."
Oey Tjin kagum untuk soetee ini, yang tahu aturan, yang hendak menghormati kakak
seperguruan. Ia juga lihat kesungguan hati soetee itu.
"Baik, soetee," kata ia akhirnya. "Harap kau hati-hati."
Sin Tjie manggut pada soeheng itu, lalu ia memutar tubuh, untuk hampirkan Lu Djie
Sianseng. "Aku juga hendak menendang emas ini, apa boleh?" dia tanya ahli silat Hoo Koen itu. Ia
bersikap tenang sekali.
Lu Djie Sianseng dan kawan-kawannya dari Liong Yoe Pang heran. Barusan si anak muda
bertubuh kekar dan semberono tekah dapat ajaran getir, kenapa sekarang ada pemuda
lain yang tidak tahu mampus"
Melihat orang jauh terlebih muda daripada Hie Bin, Lu Djie Sianseng makin memandang
rendah. "Baik," sahut dia. "Ingin aku jelaskan dahulu, jikalau nanti kau jalankan kehormatan besar
kepadaku, tak berani aku terima itu!"
Kata-kata yang terakhir ini mengandung ejekan.
Habis itu, jago Hoo Koen itu tekan emas dengan hoentjweenya.
Sin Tjie ambil sikap sama seperti Hie Bin, dia maju tiga tindak, lantas dia angkat kakinya
yang kanan, untuk menyapu.
Hie Bin menonton, dia kaget, dia menjerit:
"Siauw-soesiok, jangan! Dia nanti totok kakimu!"
Ngo Tjouw dari Tjio Liang Pay sebaliknya tak mengerti. Dia tahu pemuda ini liehay, akan
tetapi cara sapuannya itu semberono. Maka mereka menduga, apa mungkin pemuda ini
mengerti ilmu menghentikan jalan darahnya hingga dia tak jeri untuk ditotok"
(Bersambung bab ke 9)
Semua mata ditujukan kepada Sin Tjie, kearah kakinya. Malah Oey Tjin sudah bersiap,
andaikata Lu Djie Sianseng kembali totok dengkul orang, dia hendak turun tangan guna
bantu soetee itu, sesudah mana, mau dia terus serang musuh jumawa itu.
Selagi kakinya Sin Tjie bergerak maju, cepat luar biasa, Lu Djie Sianseng pun geraki
hoentjweenya untuk dipakai menyerang, seperti tadi dia totok dengkulnya Hie Bin. Akan
tetapi si anak muda ini cuma menggertak, selagi tangannya si mahasiswa bergerak, dia
pun segera tarik pulang kakinya itu, dengan begitu totokan Lu Djie Sianseng mengenai
sasaran kosong. Justru disaat itu pemuda kita menyapu pula dengan kaki kirinya itu, yang
tadi ia tekuk balik, maka sekejab saja, emas potongan itu kena tersempar.
Sampai disitu, Sin Tjie tidak lantas berhenti. Sebaliknya, dia bergerak terus. Kembali kaki
kanannya menyambar.
Lu Djie Sianseng menjadi mendongkol sekali, dia totok bebokong orang.
Sin Tjie egos tubuh kekanan, sambil membungkuk, sembari berbuat demikian, tangan
kirinya menyambar. Ia berhasil menyampok kekanan kepada emas itu disaat kakinya Lu
Djie Sianseng diangkat, karena untuk totok si anak muda, ia mesti bergerak.
Bergerak terlebih jauh, Sin Tjie kerjakan kaki kirinya. Ia mendahului, akan gunai ketika
selagi tubuh lawan itu digeser, kakinya diangkat. Ini kali pun ia berhasil karena emas
tersempar, disambut oleh tangan kanannya.
Dalam tempo yang pendek, tiga potong emas tersimpan dalam tangan baju yang kanan
dari anak muda ini, sesudah mana ia berdiri dengan tenang.
"Aku hendak ambil semua emas ini," berkata dia. "Lu Lootjianpwee toh menetapkan
janji?" Kata-kata ini ditutup dengan satu gerakan yang sebat, selagi orang tunggui jawabannya
sianseng itu, sedangnya si sianseng sendiri belum sempat menjawabnya.
Semua orang kagum, karena tahu-tahu Sin Tjie sudah kantongi semuanya sepuluh potong
emas itu, malah orang-orang Liong Yoe Pang dan Tjio Liang Pay serukan pujian mereka
tanpa merasa. Mukanya Lu Djie Sianseng jadi merah-padam, tanpa bilang suatu apa tangan kirinya lantas
melayang, menyambar si anak muda, menyusul mana, kaki kanannya menjejak ugalugalan
kaki Sin Tjie. Inilah serangan istimewa menurut ilmu silat Hoo Koen.
Sin Tjie berkelit dari dua-dua serangan itu, kapan ia lantas didesak, ia cepat mundur. Ia
lihat lawan itu geraki kedua tangannya, kedua kakinya, tubuhnya dipasang mendak,
dibangunkan berdiri. Itulah gerakannya burung hoo menyambar-nyambar.
Menghadapi ilmu silat lawan yang luar biasa itu, Sin Tjie tidak berani rapatkan diri, ia main
berputaran, untuk setiap kali menyingkir. Secara begini, diam-diam ia bisa perhatikan
sesuatu serangan atau gerakan lawan itu. Makin hebat ia diserang, makin cepat ia
luputkan diri. Lu Djie Sianseng lihat orang selalu menyingkir, tak berani lawan dekati dia, dia percaya,
bocah itu cuma gesit tubuhnya, kepandaian silatnya tidak seberapa, dengan sendirinya,
dia jadi memandang enteng, hingga sembari berkelahi, dia tertawa ter-bahak-bahak. Lupa
dia bagaimana tadi emasnya telah disambar dengan kecepatan istimewa. Begitulah dia
gunai kesempatan untuk sedot hoentjweenya, akan kepulkan asapnya.
Selama ber-putar-putar, Sin Tjie mulai mengerti ilmu silat lawan itu, dari itu ia girang sekali
menonton kejumawaan lawan, bertempur sambil sedot hoentjwee dan kepulkan asap.
Secara mendadak dia merangsak mendekati, tangan kirinya diulur kebatang hidung lawan
kepala besar itu, untuk disampok.
Lu Djie Sianseng terperanjat. Inilah serangan yang ia tidak sangka-sangka. Tapi ia tidak
mau berlaku ayal-ayalan, sambil kelit hidungnya, ia pun menangkis dengan hoentjweenya,
yang ia lekas-lekas geraki dari bawah keatas.
Sin Tjie tidak singkirkan kepalannya dari serangan hoentjwee itu, ia buka kepalannya, ia
sambuti senjata lawan itu dengan satu sambaran, untuk menyekal. Oleh karena Lu Djie
Sianseng sedang menyerang, tak sempat ia tarik pulang hoentjweenya itu. Ia kaget, segera
ia menarik dengan keras.
Inilah apa yang Sin Tjie duga. Selagi si sianseng menarik dengan keras, untuk mana dia
pakai kedua tangannya, dia bikin iga kanannya kosong. Ketika yang baik ini tidak
disiasiakan lagi oleh si anak muda. Sebat luar biasa, ia menotok ke jalan darah thian-hoehiat.
Lu Djie Sianseng terkejut sesudah kasip, tahu-tahu dia rasai tubuhnya sebelah kanan
gemetar dan habis tenaganya, hingga hoentjweenya terlepas diluar keinginannya.
Selagi begitu, Sin Tjie lihat Tjeng Tjeng tertawa hihi-hihi. Ia senang lihat si nona bergirang,
lantas saja ia sodorkan hoentjwee kearah mulutnya lawan itu. Tapi yang ia sodorkan
bukan ujung hoentjwee piranti menyedot, hanya ujung tempat tembakau, yang apinya
sedang menyala, sebab Baru saja tadi disedot pemiliknya.
Lu Djie Sianseng sedang tercengang, ia kaget ketika api membakar kumisnya, sampai
mengeluarkan asap.
"Soetee, jangan bersenda-gurau!" Oey Tjin teriaki adik seperguruan itu. Diam-diam ia
kagumi keliehayan soetee itu.
Sin Tjie tarik pulang ujung hoentjwee, untuk ditiup apinya, tapi justru karena ini, sebab ia
meniup dengan keras, api meletik berhamburan, abu tembakau turut terbang juga, hingga
antaranya ada api yang menyambar muka Lu Djie Sianseng.
Menampak demikian, Oey Tjin lompat kearah orang she Lu itu. Tak dapat ia tak tertawa
Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memandang kejadian lucu itu, akan tetapi lekas-lekas ia totok jalan darahnya si lawan,
yang sudah tidak berdaya disebabkan totokannya Sin Tjie. Disebelah itu, ia sambar
hoentjwee dari tangan Sin Tjie, untuk dikembalikan pada pemiliknya, ia jejalkan
ditangannya dia itu.
Lu Djie Sianseng masih tercengang ketika ia lihat semua orang memandang dia sambil
tertawa, tidak tempo lagi, dia lemparkan hoentjweenya, lantas dia memutar tubuh, untuk
lari pergi. Eng Tjay memburu kawan itu, yang ia sambar tangan bajunya, untuk ditarik, buat dicegah
kepergiannya, akan tetapi Lu Djie Sianseng tolak dia hingga dia terpelanting terhuyunghuyung.
Tak hentikan tindakannya, kawan itu lari terus sehingga dilain saat dia sudah
menghilang. Pihak Tjio Liang Pay saksikan liehaynya Sin Tjie, mereka kagum tetapi tidak kaget,
memang mereka tahu pemuda ini tak dapat dibuat permainan, tidak demikian
pandangannya pihak Liong Yoe Pang. Mereka ini pandang jagonya - Lu Djie Siansengbagaikan
malaikat, tidak tahunya sekarang, satu bocah permainkan dia mirip sebagai anak
kecil. Oey Tjin sendiri kagumi soetee itu, akan tetapi dia bukan melainkan kagum saja,
berbareng ia heran. Soetee itu menotok jalan darah. Ia tahu itu. Itulah totokan "It-tjie-sian"
atau "Satu Jeriji" dari Hoa San Pay. Yang aneh adalah caranya Sin Tjie berkelit, berputarputar,
demikian juga caranya dia kower emas untuk dilemparkan masuk kedalam saku
baju. Itulah pelajaran yang ia tidak pernah dapatkan dari gurunya.
"Tidak mungkin soehoe sayangi ini murid bungsu dan karenanya dia diajarkan ilmu yang
ber-beda-beda," pikir ia. Itu adalah gerakan yang berlainan sekali dengan semua gerakan
ilmu silat Hoa San Pay.
Hie Bin adalah yang merasa paling aneh, karena ia tidak sempat lihat bergeraknya tangan
si anak muda, si paman cilik itu.
Dan Tjeng Tjeng dan Siauw Hoei, mereka tertawa haha-hihi hingga mereka merasai perut
mereka mulas tanpa sakit, saking lucunya pemandangan barusan itu.
Oey Tjin ketek pula shoeiphoa, terus dia kata: "Tadi telah dijanjikan, kalau tiga potong
emas yang diinjak dan ditindih dapat digeser, semua emas itu akan dikembalikan kepada
kami, maka itu disini aku haturkan banyak-banyak terima kasih!" Ia terus saja beri hormat,
lalu ia titahkan Hie Bin : "Punguti semua emas itu!"
Memang, selagi Sin Tjie hendak layani Lu Djie Sianseng, semua potongan emas telah
dikeluarkan dari dalam tangan bajunya.
Eng Tjay saksikan Hie Bin hendak pungut uang, kedua matanya bersinar diantara
berkilauannya emas itu. Mana ia rela membiarkan harta itu terjatuh kedalam tangan lain
orang" Maka ia maju untuk terus tolak tubuhnya Hie Bin, hingga dia ini mundur dengan
sempoyongan. "Eh, apa kau mau?" tanya Hie Bin, dengan gusar. "Apa kau juga hendak coba-coba?"
Menampak demikian, Oey Tjin maju.
"Hie Bin, mundur!" ia serukan. Terus ia kasi hormat pada Eng Tjay, pada siapa, sambil
tertawa, ia bilang : "Selamat berbahagia! Tuan, tokomu itu apa mereknya" Tuan biasanya
berdagang apa" Pasti sekali kau peroleh kemajuan hingga meluas keempat penjuru lautan
dan hartamu berjumlah besar sampai memenuhi tiga sungai!"
Oey Tjin ini memang asal saudagar, dia adalah seorang jenaka, maka itu sekalipun sedang
menghadapi pertempuran, dia masih sempat ngoceh tidak keruan.
"Siapa bergurau denganmu?" Eng Tjay membentak dengan murka. "Aku adalah Eng Tjay,
ketua dari Liong Yoe Pang. Aku masih belum belajar kenal dengan she dan namamu,
tuan?" "Sheku yang rendah ada Oey dan namaku melainkan satu huruf Tjin," sahut toasoeheng
dari Sin Tjie. "Itulah huruf Tjin yang berarti 'tulen', tulen yang tidak ada keduanya. Harga
barang-barangku adalah harga tetap tulen, hingga barang seharga satu tail tidak nanti aku
jual dengan satu tail satu boen, sedang pembeli anak kecil dan tua, tidak nanti aku
perdayakan! Tuan berdagang apa, sukakah kau membantu dengan berhubungan
denganku?"
Eng Tjay sebal dengan ocehan itu, ia jadi semakin mendongkol dan gusar.
"Ambil senjataku!" dia berseru kepada rombongannya.
Lantas salah satu orangnya bawakan tumbaknya yang besar, ia sambuti itu, untuk segera
ditarik kebelakang, lalu diteruskan menikam orang didepannya.
Oey Tjin lompat berkelit kekiri.
"Ayo!" dia berseru. "Kami orang dagang, emas itu tak suka kami tidak mendapatkannya!"
Dia lantas simpan pesawat hitungnya, dia membungkuk akan punguti emas dilantai.
Ngo Tjouw insaf orang ini liehay dan Eng Tjay bukan tandingannya, tetapi juga mereka
tidak sudi kehilangan emas itu, maka Beng Gie dan Beng Go segera lompat maju kedalam
kalangan. "Untuk punyakan uang tak demikian gampang!" mereka berseru.
Oey Tjin lihat rangsekan hebat, sambil mendak, ia menggeser kekanan, dari sini tangan
kirinya dipakai menyerang dengan pukulannya "Keng Tek kwa pian" atau "Oet-tie Kiong
menggantung ruyung". Ini adalah serangan dari samping.
Serangannya Beng Gie dan Beng Go adalah turut runtunan Ngo-heng-tin. Mereka tampak
bahaya, tidak ajal lagi, mereka mundur sendirinya. Tapi justru mereka mundur, Beng Tat
dan Beng San menggantikan maju. Dengan tangan kanan, Beng San tangkis serangannya
Oey Tjin tadi, sedang Beng Tat hajar bebokong lawan.
Sejak Oey Tjin keluar dari perguruan dan berkelana, belum pernah ia menemui tandingan
yang liehay, dan walaupun ia suka bergurau, ia teliti dan hati-hati. Inilah sifatnya yang
membikin ia belum pernah gagal. Barulah sekarang, menyerbu Ngo-heng-tin, ia
menghadapi lawan-lawan yang tidak boleh dipandang ringan. Ia bisa egos tubuh dari
serangan Beng Tat, atau kedua lawan itu mundur, lalu Beng Sie menyusul serang ia.
Begitu selanjutnya, lima saudara itu maju dan mundur saling ganti, sebentar berdua,
sebentar sendiri, hingga kendatipun mereka cuma berlima, gerakan mereka mirip dengan
gerakan beberapa puluh orang.
Mau atau tidak, Tong-pit Thie-shoeiphoa menjadi terkejut. Ia tidak mengerti, ilmu berkelahi
cara apa itu yang lawan-lawannya gunai. Benar-benar serangan mereka, atau lebih benar
pengurungan mereka, merupakan sebagai tin, barisan istimewa. Kalut serangan itu tapi
rapi maju dan mundurnya.
Sesudah melayani sekian lama, tanpa ia bisa serang secara berarti kepada musuhmusuhnya,
atau satu diantaranya, Oey Tjin lantas ubah sikap. Ialah ia berlaku tenang, ia
tempatkan diri ditengah. Ia sambut sesuatu serangan, tidak mau ia balas merangsak.
Tentu saja, dengan begini, ia jadi kena dikurung.
Eng Tjay girang sekali mendapati orang kena dikepung, cuma bisa beladiri, tidak bisa
membalas. Ia anggap ini adalah ketikanya untuk ia turun tangan terlebih jauh. Maka ia
tunggu saatnya, lalu ia menusuk dengan hebat dengan serbuan "Leng tjoa pok kie", atau
"Ular menubruk", salah satu ilmu silat tumbak Yoo-kee-tjhio, ilmu tumbak keluarga Yo. Ia
menikam bebokong.
"Oey soepeh, awas!" berseru Siauw Hoei, memperingati. Nona ini kaget atas bokongan itu.
Oey Tjin adalah murid kepala dari Bok Djin Tjeng, dia telah wariskan ilmu silat Hoa San
Pay, coba lima saudara Oen tidak gunai Ngo-heng-tin, walaupun mereka mengepung
berlima, tidak nanti mereka berhasil. Demikianpun bokongan Eng Tjay, tak perduli dia
menjadi ketua Liong Yoe Pang.
Begitu lekas serangan sampai, mendadak Oey Tjin putar tubuhnya, berbareng dengan itu,
tangannya pun bergerak. Tepat sekali, tumbak kena ditangkis sambil terus dicekal. Itu
adalah gerakan ilmu silat tangan kosong melawan senjata, yang sukar dijakinkannya, tapi
Oey Tjin tekah berlatih beberapa puluh tahun. Maka begitu lekas dapat menyekal, dia
terusi membetot tumbak itu. Berbareng membetot lawan, dia pun menoleh kesamping
sambil dengan tangan kirinya menangksi serangan Beng San, sedang kaki kanannya
digeser setengah tindak, guna menghindari jejakan Beng Gie, yang datang dari belakang.
Menyusul betotannya Oey Tjin, Eng Tjay terdengar menjerit keras. Dia tak mau lepaskan
tumbaknya, maka itu tubuhnya kena terangkat naik, terlempar melewati kepala orang,
terus jatuh terbanting dilantai. Akan tetapi jeritannya bukan disebabkan terbantingnya itu.
Hanya selagi dia terbetot, ketika tubuhnya mendekati Oey Tjin, lawannya ini lepaskan
tumbak yang dicekal, pundaknya kiri dipakai menggempur iga kanan lawan hingga ketua
Liong Yoe Pang itu merasakan sakit hebat sampai kesumsumnya.
Segera beberapa orang Liong Yoe Pang maju untuk tolongi ketua itu.
Dalam rombongan Liong Yoe Pang itu ada ketua mudanya, Boe-pangtjoe Khoe Kak Lian,
murid kepala Eng Tjay yang bernama Boen Hoa dan murid kedua bernama Tjhio Thong
Tjouw. Mereka ini jadi sangat gusar, hingga tanpa bilang suatu apa, mereka lompat
menyerang. Oey Tjin layani tiga musuh baru itu, Baru beberapa jurus, ia telah berhasil membanting
mereka satu demi satu, malah Boen Hoa patah lengan kanannya, hingga dia terluka parah.
Setelah itu, tidak ada lagi orang Liong Yoe Pang yang berani maju. Maka selanjutnya, Oey
Tjin terus melayani Ngo Tjouw dari Tjio Liang Pay.
Pertempuran seru sekali, hingga keenam orang tertampak bagaikan bajangan saja yang
saling sambar. Ada kalanya Oey Tjin dapat lolos dari kepungan atau segera ia terkurung
pula, saking gesitnya kelima lawan, yang cara pengepungannya tak pernah menjadi rancu.
"Benar hebat," memikir Oey Tjin akhirnya, sesudah lama juga ia berkelahi dengan tidak
ada hasilnya. Tidak pernah ada satu diantara musuh yang dapat ia serang. Mau atau tidak,
ia sibuk sendirinya.
Juga lima saudara Oen menjadi heran dan kagum. Tidak mereka sangka lawan ini, yang
mirip dengan satu pedagang atau orang biasa saja, demikian liehay. Sudah dikepung
hebat, pembelaannya tetap rapat dan rapi.
Selagi pertempuran berlangsung makin seru, Oey Tjin lihat tegas cara penyerangan lawanlawannya.
Ada kalanya seorang hendak menendang, atau mendadakan dia berkelit
kesampung dari mana menyeranglah lain kawannya. Ada waktunya seorang mementang
kedua tangan untuk rangkul dia, hingga dia mesti mundur, atau dari belakangnya, satu
kaki mendupak dia!
Selagi penyerangan lawan jadi semakin hebat, macamnya serangan pun bertambah
beraneka-warna, hal ini membuat ia jadi repot, maka untuk tidak menempuh bencana siasia,
mendadakan ia keluarkan seruan panjang, kedua tangannya lantas keluarkan pit dan
shoeiphoa - Tong-pit Thie-shoeiphoa. Didalam hatinya dia pikir : "Kamu berlima, aku
sendirian, tidak ada halangannya akan aku gunai senjata." Maka itu sekarang selagi
menyerang, saban-saban ia cari jalan darah lawan-lawannya.
Belum terlalu lama, lima saudara Oen telah menjadi repot, maka mereka tidak sudi mensiasiakan
tempo, dengan mendadak Oen Beng Tat berseru dengan suitannya.
Oen Tjheng dan Oen Lam Yang mengerti tanda dari ketua itu, dengan bergantian mereka
lempar-lemparkan gegamannya masing-masing ketua itu, yang menyambuti dengan baik,
hingga selanjutnya mereka juga bersenjata semua. Hingga karena itu, golok kongtoo,
ruyung joanpian, tongkat besi dan lainnya, saling sambar.
Pertempuran kali ini berlanjut tidak saja lebih seru malah terlebih berbahaya, sebab
semuanya menyekal senjatanya masing-masing. Dari itu, para hadirin menjadi tercengang,
mereka gembira tapi hati mereka berkedutan.
Tjoei Hie Bin sibuk bukan main melihat gurunya terancam bahaya kepungan yang sangat
kuat itu, ia tahu ia tidak punya guna akan tetapi ia sayang sekali gurunya, maka dengan
melupakan segala apa, ia berseru dengan putar goloknya, ia lompat, untuk menyerbu
kedalam Ngo-heng-tin. Ia Baru loncat tiga tindak atau didepannya ada berkelebat satu
bajangan, yang tangannya segera menekan pundaknya. Ia kaget, ia ayun goloknya, untuk
membacok, tapi apamau, tekanan orang itu begitu berat sehingga ia tak sanggup geraki
pundaknya. "Tjoei Toako, tak dapat kau pergi, sia-sia kau antarkan jiwamu!" demikian satu suara
cegahan. Kapan pemuda she Tjoei ini mengawasi, ia kenali Sin Tjie sebagai penghalang itu. Tadi ia
telah saksikan pemuda itu pecundangi Lu Djie Sianseng, masih ia kurang percaya akan
kegagahan orang, tetapi sekarang Barulah ia menginsafi tenaganya yang besar luar biasa.
Tak dapat ia tak dengar kata lagi.
Sin Tjie tarik pulang tangannya seraya terus berkata : "Jangan kau sibuk! Gurumu masih
sanggup layani mereka!"
Lantas anak muda ini awasi pula pertempuran, sedang Hie Bin terpaksa berdiri melongo,
untuk turut menonton terus.
Sin Tjie perhatikan jalannya pertempuran tapi kadang-kadang ia dongak keatas genteng,
diwaktu begitu agaknya dia berada dalam kesulitan pikiran.
Segera Siauw Hoei datang mendekati.
"Engko Sin Tjie, pergi tolongi Oey Soepeh," kata nona ini. "Berlima mereka kepung satu
orang, sungguh mereka tak tahu malu!"
Sin Tjie tidak menjawab, dengan satu gerakan tangan, ia suruh nona itu mundur.
Siauw Hoei tidak dapat muka, ia mundur dengan lesu.
Tjeng Tjeng saksikan lagaknya nona An itu, diam-diam ia bergirang.
Selama pertempuran berjalan dengan seru itu, Oey Tjin tidak pernah berhasil dengan
pitnya, dengan shoeiphoanya, untuk menotok atau sambar senjatanya lawan. Malah
senjata mereka tidak pernah bentrok satu dengan lain. Lima saudara itu singkirkan
bentrokan, sebagaimana Oey Tjin pun tak inginkan itu.
Lagi sesaat, sekonyong-konyong Sin Tjie lompat menghampiri Siauw Hoei.
"Adik Siauw Hoei, maafkan perbuatan tadi," kata dia. "Tadi aku sedang memikirkan
sesuatu. Sekarang aku berhasil memecahkan pikiranku itu."
"Disaat sebagai ini apa masih ada soal maaf?" jawab si nona. "Lekas kau pergi bantui Oey
Soepeh!" Sin Tjie tertawa.
"Aku telah berhasil memecahkan pikiranku, aku tidak kuatir lagi!" katanya.
"Kau benar aneh! Kenapa kau tidak bedakan urusan enteng dan berat, penting dan tidak
penting" Kalau ada kesukaran, apa kau tidak bisa tunggu sampai pertempuran sudah
selesai Baru kau memikirkannya pula?" tanya Siauw Hoei.
Kembali Sin Tjie tertawa.
"Yang aku pikirkan justru ada soal pertempuran ini!" sahutnya. "Aku pikirkan bagaimana
aku bisa pecahkan barisan Ngo-heng-tin ini. Apakah kau tidak dapat ingat atau lihat
bagaimana senjata mereka tidak pernah bentrok satu pada lain?"
"Ja, aku pun herani itu," jawab Siauw Hoei.
"Pokoknya tin mereka ada kecepatan," Sin Tjie menjawab. "Sesuatu bentrok senjata
berarti mensia-siakan tempo. Maka itu, untuk melawannya, guna memecahkan, kecepatan
juga yang dibutuhkan. Kita mesti menangkan kecepatan mereka itu, Baru kita akan
berhasil."
"Mereka telah terlatih sempurna, mereka sangat gesit, bagaimana dapat kita lombainya?"
tanyanya. Sin Tjie bersenyum.
"Lihat saja, aku akan coba-coba!" sahutnya. Ia menoleh pada Siauw Hoei dan berkata :
"Coba pinjamkan aku tusukan rambutmu!"
Siauw Hoei loloskan tusukan rambutnya yang terbuat dari batu pualam dan serahkan itu.
Sin Tjie menyambuti, ia dapatkan satu tusuk konde yang bagus sekali.
"Aku akan gunai tusuk konde ini untuk layani mereka," katanya.
Hie Bin dan Siauw Hoei tertawa. Mereka anggap orang lagi main-main. Tidakkah tusukan
batu kumala itu regas sekali, gampang patah" Bagaimana itu dapat dipakai sebagai alatsenjata"
Sin Tjie tidak ambil mumet dua orang itu terheran-heran, ia hanya awasi pertempuran, lalu
ia teriaki Toa-soehengnya itu : "Toasoeheng, soet-touw menciptakan it-bok, maka injaklah
kian-kiong dan jalan di kam-wie!"
Itulah istilah-istilah dari Pat-kwa.
Oey Tjin dengar itu, ia melengak sendirinya, tak dapat ia lantas mengerti itu. Tidak
demikian dengan Oen-sie Ngo Loo, lima ketua keluarga Oen itu, mereka ini terperanjat.
"He, kenapa bocah itu bisa ketahui rahasia Ngo-heng-tin?" pikir mereka. Mereka anggap
temponya terlalu singkat untuk menginsafi itu.
Sin Tjie tidak perdulikan kakak seperguruan itu mengerti atau tidak, kembali ia
perdengarkan suaranya : "Toasoeheng, phia-hoh menakluki khe-kim, maka jalanlah di Tjinkiong,
keluar dari lie-wie!"
Selama pertempuran yang telah berjalan lama itu, Oey Tjin pun gunai pikirannya, sebab ia
dapat kenyataan, secara keras, secara halus, masih ia tak dapat pecahkan Ngo-heng-tin. Ia
ingat lawan-lawannya kurung ia menuruti garis-garis Pat-kwa, akan tetapi beberapa kali ia
sudah coba mendobrak, saban-saban ia gagal. Tapi setelah dengar suara soeteenya yang
kedua kali, ia pikir pula.
"Baik aku mencoba," ia ambil putusan. Ia lantas menunggu.
Sebentar kemudian, datanglah saat yang baik. Dengan tiba-tiba ia ambil jalan tjin-kiong,
untuk keluar dari lie-wie. Dan ia berhasil! Ia dapatkan satu lowongan! Segera ia hendak
nyeplos. Mendadakan Sin Tjie serukan pula : "Jalan ke kian-wie! Jalan ke kian-wie!"
Dikedudukan kian-wie itu ada menjaga dua saudara Oen, Beng San dan Beng Sie. Tapi
Oey Tjin percaya soeteenya itu, ia tidak mau sia-siakan waktu, tanpa berpikir lagi, ia
menerjang kearah kian-wie itu.
Beng San dan Beng Sie Baru menjaga, lantas mereka mesti pecah diri, untuk lowongan
mereka diisi oleh Beng Tat dan Beng Go. Itu adalah menurut cara-cara kepungan mereka.
Justru mereka hendak memecah diri, disaat itulah Oey Tjin menerjang kearah mereka.
Maka itu, selagi lowongan sedang terbuka, Oey Tjin geraki pitnya dan alat penghitungnya
kekiri dan kanan, untuk cegah dua saudara itu merintangi dia. Dia berlompat dengan luar
biasa pesat, hingga tahu-tahu dia sudah lolos dari kurungan dan segera berdiri didamping
Sin Tjie! Lima saudara Oen tercengang, lekas-lekas mereka undurkan diri, akan berdiri berbaris.
Nampaknya mereka menyesal. Tapi Oen Beng Tat segera bicara.
"Kau bisa lolos dari Ngo-heng-tin, kepandaianmu bukan kepandaian sembarang," kata
ketua Ngo-tjouw dari Tjio Liang Pay. "Apakah tuan ada dari Hoa San Pay" Bagaimana tuan
membahasakannya terhadap Lootjianpwee Bok Djin Tjeng?"
Begitu lekas ia sudah merdeka, kumat pula kejenakaannya Oey Tjin. Begitulah ia tertawa
geli seorang diri.
"Bok Lootjianpwee itu adalah guruku yang bidjaksana," ia menyahut. "Kenapa" Apakah
aku sebagai murid telah membuat malu kepada guruku itu?"
Beng Tat tidak gubris orang menggoda dia.
"Pantas, pantas!" katanya. "Memang aku telah lihat, ilmu silatmu ada dari Hoa San Pay."
Oey Tjin tidak hiraukan pengutaraan itu. Dia kata : "Kita sudah bertempur! Kamu berlima
Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
telah kepung aku satu orang, aku tidak sanggup pukul rubuh kepadamu, kamu sendiri
tidak mampu jambak kepadaku! Inilah dia yang dibilang cara berdagang yang maha adil,
atau setengah kati itu ialah delapan tail! Sekarang bagaimana hendak diaturnya dengan
emas ini?" Ia tidak tunggu jawabannya Ngo Tjouw, ia menoleh kepada Eng Tjay ketua
Liong Yoe Pang dan kata : "Tuan saudagar, perhubungan dagang kita berdua sudah putus
pembicaraannya, mengenai emas ini, bagianmu sudah tidak ada lagi!"
Eng Tjay malu sekali, ia insaf tak dapat ia lawan dia itu, akan tetapi ia toh menyahuti:
"Orang she Oey, jangan kau tekebur! Nanti datang satu hari yang kau toh bakal terjatuh
dalam tanganku!"
Oey Tjin tertawa, dia kata : "Jikalau ditoko tuan ada lain barang lagi, silakan berhubungan
dengan tokoku, perkara rugi tidak menjadikan soal! Kita toh ada langganan-langganan
lama! Perkara harganya barang, kita nanti boleh damaikan pula secara istimewa...."
Bukan kepalang mendongkolnya ketua Liong Yoe Pang. Berkelahi dia kalah, adu mulut
pun ia tak ungkulan, maka dengan terpaksa, ia ajak rombongannya ngeloyor pergi.
Rombongannya Beng Tat juga tidak perdulikan berlalunya orang-orang Liong Yoe Pang
itu, Beng Tat sendiri lantas kata kepada lawannya yang tangguh itu : "Melihat kepandaian
kau, kau adalah seorang gagah dari jaman ini, maka mengenai emas ini, dengan
memandang kepadamu aku hendak atur begini: Kami suka menyerahkannya separuh..."
Jago Tjio Liang Pay ini takut juga terhadap Hoa San Pay, ia jadi tak ingin menambah
musuh. Ia anggap pertimbangannya itu pantas.
Oey Tjin tertawa.
"Coba uang ini ada kepunyaanku sendiri," jawabnya. "walaupun sekarang ada masa tidak
aman dan mencari uang bukannya gampang, asal sahabat membutuhkannya, tak
halangannya untuk diambil semua sekalipun. Akan tetapi aku harap saudara
mengetahuinya. Uang ini ada uang belanja tentaranya Giam Ong! Muridku yang tolol ini
diberi tugas mengantarnya, emas itu kena diambil oleh orangmu, saudara, maka kalau
sekarang aku pulang dengan tidak bersama emas yang utuh, bagaimana aku dapat
memberi tanggung-jawabnya?"
Belum lagi Beng Tat beri penyahutan, Beng Gie sudah tak dapat kendalikan diri.
"Untuk kembalikan emas kepadamu, itu pun boleh!" serunya dengan murka. "Tapi mesti
dengan dua syarat!"
"Jikalau barang ada harganya, shoeiphoa boleh dikeluarkan untuk menghitungnya," kata
Oey Tjin dengan tenang. "Bukankah segala apa dapat didamaikan" Bukankah tak ada
halangannya untuk kita saling tawar dengan pelahan-lahan" Karena aku hendak
membayar kontan, tolong kau sebutkan harganya, nanti kami timbang pula...."
"Tidak ada tawar-menawar lagi!" kata Beng Gie dengan sengit. "Syarat yang pertama,
untuk mendapati emas ini, kamu mesti mengantar barang kepada kami. Tentang barang
antarannya, banyak atau sedikit tidak menjadi soal. Inilah aturan kami, satu kali kami telah
dapatkan suatu barang tak dapat itu dikembalikan secara gampang-gampang!"
Oey Tjin bersenyum. Ia tahu inilah soal muka, soal kehormatan. Tjio Liang Pay suka
mengembalikan emas, itu artinya segala apa sudah beres. Maka tidak lagi ia hendak
bersenda-gurau, sebaliknya, dengan sungguh-sungguh dia menyahuti: "Kalau tuan-tuan
bilang demikian, dengan segala senang hati aku suka menerimanya. Besok pagi aku nanti
pergi kekota Kie-tjioe untuk membeli, mempersiapkan barang-barang persembahan itu,
nanti aku sendiri yang mengantarkannya. Aku pun masih hendak sajikan beberapa meja
hidangan untuk undang tuan-tuan serta beberapa saudara penduduk sini untuk
menemaninya."
Mendengar itu, Beng Gie nampaknya puas.
"Baik!" berkata dia. "Sekarang syarat kedua. Bocah she Wan ini mesti ditinggalkan disini!"
Oey Tjin terkejut.
"Kamu sudi pulangi emas, aku berikan kamu muka terang," pikirnya. "Kenapa kamu
hendak timbulkan urusan lain lagi?"
Toasoeheng ini masih belum tahu jelas duduknya hubungan diantara keluarga Oen dan
soeteenya itu, perihal Kim Tjoa Long-koen dan Oen Gi. Sin Tjie tahu rahasia orang, cara
bagaimana dia bisa dilepaskan secara begitu saja" Adalah keinginannya Ngo Tjouw untuk
binasakan pemuda ini, guna lampiaskan hati mereka. Terutama adalah keinginan Ngo
Tjouw mendapati peta harta karunnya Kim Tjoa Long-koen, yang mereka sangka disimpan
si anak muda. Dan mereka masih percaya, tidak perduli Sin Tjie gagah, Ngo-heng tin tentu
bakal dapat rubuhkan padanya.
Itulah syarat yang hebat, tapi mendengar itu, Oey Tjin tertawa.
"Soeteeku ini ada seorang yang gembul sekali gegaresnya," berkata dia. "dengan kamu
suka beri tempat dia disini, itulah bagus sekali, hanya saja, nasi untuk satu tahun, dia
bakal gegares habis dalam tempo enam bulan, aku kuatir tuan-tuan nanti rugi!...."
Hie Bin kenal baik tabiat gurunya, mendengar perkataan gurunya yang belakangan ini, ia
percaya pertempuran bakal diulangi lagi, maka itu ia cekal keras-keras senjatanya. Dengan
mata tajam ia pandang musuh.
Beng Tat tak perdulikan godaan itu, ia gusar.
"Saudara mudamu tadi ajarkan kau bagaimana harus loloskan diri dari Ngo-heng-tin,"
katanya sambil tertawa dingin. "Kelihatannya dia ketahui baik tentang tin kami ini, maka
itu, baik kami undang dia untuk mencoba-coba kepandaiannya itu!"
Ketua Tjio Liang Pay ini andali betul Ngo-heng-tin. Sebenarnya tin itu terdiri dari lima
rintasan, tapi menghadapi Oey Tjin, Baru digunai sampai yang kedua, jadi masih ada tiga
rintasan lainnya.
Oey Tjin telah rasai hebatnya tin, maka ia pikir, "Aku dengan pengalamanku beberapa
puluh tahun, tak dapat aku menoblos keluar, bagaimana lagi dengan soeteeku ini" Benar
dia dapat tunjuki jalan padaku tetapi dia hanya sebagai orang diluar kalangan, pikirannya
tentu sehat, dia dapat melihat jalan. Kalau dia disuruh maju, aku kuatir dia gagal...."
Karena ini, ia jawab: "Ngo-heng-tin ada sangat liehay, barusan aku telah mengalaminya
sendiri. Soeteeku ini berumur tak setua cucumu, tuan-tuan, kenapa kamu hendak
mempersulit dia" Umpama tuan-tuan tak puas terhadapnya, baik majukan siapa saja untuk
ajar adat kepadanya!"
Oey Tjin bicara mengalah tapi maksudnya justru berkeras. Ia percaya, jikalau satu lawan
satu, Sin Tjie tak akan dapat dikalahkan mereka berlima.
Oen Beng San tertawa dingin.
"Hoa San Pay sangat kenamaan, siapa tahu Baru lihat Ngo-heng-tin yang tidak berarti,
orangnya sudah ketakutan hingga dia umpatkan kepala dan sembunyikan ekor!" katanya.
"Kalau begitu, sejak hari ini, apa Hoa San Pay masih bisa angkat namanya dalam dunia
kang-ouw?"
Hie Bin jadi sangat gusar, ia muncul tanpa perkenan.
"Siapa bilang Hoa San Pay jeri terhadapmu?" dia berteriak.
"Kalau demikian, kau saja yang maju!" Beng San mengejek sambil tertawa.
Hie Bin benar tidak tahu takut, dia hendak maju lebih jauh.
Sin Tjie tarik keponakan-murid itu.
"Tjoei Toako, kasi aku yang maju lebih dahulu," paman cilik ini kata dengan pelahan,"
apabila aku gagal, Baru kau membantui..."
Hie Bin manggut.
"Baik," jawabnya. "Begitu lekas kau membutuhkan bantuan, panggillah aku dengan
namaku, aku akan lantas maju, tidak usah kau sebut-sebut Tjoei Toako atau Tjoei Djieko!"
Sin Tjie bersenyum, ia manggut.
Siauw Hoei merasa lucu, dia tertawa geli.
"Eh, kau tertawakan apa?" Hie Bin menegur sambil melotot.
"Tidak apa-apa, aku merasa lucu sendiri," sahut si nona.
Masih Hie Bin hendak menegasi, tapi Sin Tjie sudah lompat kedepan, sebelah tangannya
memegangi tusukan rambutnya Siauw Hoei.
"Ngo-heng-tin dari Tjio Liang Pay begini liehay tapi seumur hidupku belum pernah aku
melihatnya!" kata dia.
"Pupukmu masih belum kering, kau tahu apa?" berseru Beng Gie. "Bagaimana kau bisa
kenali Ngo-heng-tin kita?"
Sin Tjie berlaku tenang.
"Loo-ya-tjoe semua hendak menahan aku, inilah soal yang minta pun aku tak berani,"
katanya pula. "Baiklah, mari kita gunai ketika baik ini supaya aku bisa belajar kenal
dengan keliehayan Ngo-heng-tin!"
"Hati-hati, siauw-soesiok!" Hie Bin berteriak, memperingati. "Mana mereka kandung
maksud baik!"
Sin Tjie menoleh pada si semberono, ia tertawa.
"Mereka orang-orang tua, tidak nanti mereka perdayakan kita anak-anak dengan usia
muda!" katanya. "Jangan kuatir, Tjoei Toako!" ia terus menoleh kepada Ngo Tjouw, akan
lanjuti : "Aku hendak maju sekarang, harap looyatjoe semua menaruh belas kasihan..."
Orang-orang Tjio Liang Pay heran. Dari kata-katanya, terang anak muda itu jeri, akan tetapi
sikapnya sangat tenang, tindakannya pelahan dan tetap, tak tertampak roman kuatir atau
bingung. Mereka jadi tak dapat menerka hati orang.
Ngo Tjouw tahu orang liehay, mereka tidak berani memandang enteng. Dengan satu tanda
gerakan tangan, mereka mulai bersiap. Beng Gie dan Beng San mencelat kekanan, ketiga
saudaranya turut, akan ambil kedudukannya masing-masing, maka sebentar saja, si anak
muda sudah dikurung.
Sin Tjie bawa sikap seperti ia tidak engah, dia malah memberi hormat ketika dia tanya :
"Apakah kita orang main-main dilantai datar?"
"Ya, tak usah dipanggung Bwee-hoa-tjhung lagi!" sahut Beng Tat. "Kau keluarkan
senjatamu!"
Sin Tjie perlihatkan tusuk kondenya.
"Tuan-tuan ada dari angkatan tua, aku yang muda mana berani berbuat tidak hormat
dengan menggunai senjata tajam?" katanya. "Dengan kumala ini saja aku mohon
pengajaran dari kamu semua!"
Kata-kata ini membuat semua orang, sahabat dan lawan, menjadi heran. Ada yang anggap
anak muda ini sangat tekebur. Apa artinya sebatang tusuk konde" Kebentur sedikit saja
tentu bakal patah! Bagaimana itu bisa diadu dengan senjata Ngo Tjouw"
Oey Tjin berdiam sedari tadi. Ia tahu, percuma saja ia turut bicara. Diam-diam ia siapkan
kedua rupa senjatanya, untuk menolong disaat sutee itu terancam bahaya. Pada Hie Bin
dan Siauw Hoei ia beri kisikan: "Musuh kita terlalu kuat, jumlah kita juga terlalu sedikit,
apabila sebentar aku beri tanda, kamu mesti loncat naik keatas genteng untuk menyingkir,
aku dan Wan Soetee akan memegat dibelakang. Tidak perduli kami berdua menghadapi
ancaman hebat, jangan kamu bantu kami!"
Dua orang yang dipesan itu berikan janji mereka.
Oey Tjin memesan demikian untuk lindungi dua anak muda itu, supaya mereka pun tidak
merintangi ia dan soeteenya itu. Ia percaya, ia dan sang soetee pasti dapat loloskan diri
andaikata mereka menghadapi bahaya. Dia juga memikir, andaikata dia gagal mendapat
pulang emas itu, dilain hari dia akan kembali bersama lebih banyak pembantu, ialah djiesoeteenya,
Poan-sek-san-long Kwie Sin Sie suami-isteri, sahabatnya, Pouw Sian Taysoe
dari kuil Hoa Giam Sie di Hoopak, dan gurunya, Bok Djin Tjeng, atau Bhok Siang Toodjin.
Asal seorang tandingi satu orang, lima saudara Oen itu tentu mati daya, Ngo-heng-tin akan
pecah. Nampaknya Oey Tjin lucu, sebenarnya dia bisa berpikir jauh. Dia tak pilih Sin Tjie
sebab dia kuatir soetee ini kurang latihan.
Walaupun semua sudah siap sedia, Sin Tjie masih kata pada lima jago keluarga Oen itu :
"Looyatjoe semua sudi beri pengajaran padaku, kenapa masih ada yang ditahan, sehingga
aku merasa tin ini belum lengkap?"
Beng Tat heran.
"Apakah yang kurang lengkap?" tanya dia.
"Disebelah Ngo-heng-tin, masih ada barisan pembantu sebelah luar yaitu Pat-kwa-tin."
Sahut Sin Tjie. "Kenapa Pat-kwa-tin juga tidak diatur sekalian, supaya aku bisa menambah
puas pemandangan mataku?"
Beng Gie lantas saja membentak : "Inilah kau yang mengatakannya, maka kalau sebentar
kau mati jangan kau menyesal!" Terus dia berpaling pada Oen Lam Yang: "Lam Yang, mari
maju semua!"
Oen Lam Yang ada ketua dari angkatan kedua dari Tjio Liang Pay, dengan suatu tanda,
muncullah lima-belas kawannya yang tadi disiapkan untuk kepung Sin Tjie.
Oey Tjin lihat rombongan itu terdiri dari lelaki dan perempuan, diantaranya ada dua
pendeta. Mereka semua mengatur diri disebelah belakang Ngo Tjouw, mereka bergerakgerak,
ber-putar-putar, gerakan mereka semua beres dan rapi, sehingga Oey Tjin yang
luas pengalamannya jadi heran dan kagum. Orang berlari-lari tetapi tidak terdengar suara
tindakan mereka.
"Wan Soetee tidak tahu urusan," pikir toasoeheng ini. "Dengan dia layani Ngo Tjouw saja,
umpama ia terancam, aku bisa nyerbu untuk menolongi, sekarang barisan ditambah
dengan lapis yang kedua, dengan jumlah sampai enam-belas orang, mana ada lowongan
lagi untuk menerjang masuk" Jangan-jangan seekor lalat juga sukar molos...."
Soeheng ini terus berdiam, ia terbenam dalam keragu-raguan.
Sin Tjie didalam kurungan tetap berlaku tenang. Ia jepit tusuk konde kumala dengan
jempol dan jeriji tengah kanan, tangan kirinya diangsurkan kedepan, ia pasang kuda-kuda
dengan kaki kiri didepan, setelah itu, ia geraki tubuhnya lebih jauh, akan lari berputaran,
setelah empat atau lima balik, ia teruskan.
Ngo Tjouw juga lantas bersiap, semua mata mereka dipakai mengawasi anak mdua dalam
kurungan itu. Sin Tjie berputaran saja, ia tidak lantas menyerang.
Ketika dahulu Kim Tjoa Long-koen lolos dari tangannya Ngo Tjouw dari Tjio Liang Pay ia
keram diri didalam guanya, setiap saat, setiap waktu, ia asah otak memikiri jalan untuk
pecahkan Pat-kwa Ngo-heng-tin. Ia tidak mengerti, kenapa kurungan Ngo-heng-tin tidak
dapat digempur, dan asal yang satu bergerak, empat yang lainnya lantas menyusul,
menyusul tak hentinya, sampai lawan sudah kena dirubuhkan. Beberapa tahun telah
dilewati, hasilnya tetap tidak ada, jalan tidak didapati.
Pada suatu pagi Kim Tjoa Long-koen mencari hawa dipuncak Hoa San, tiba-tiba ia lihat
seekor ular merayap berliku-liku, kapan binatang itu dengar tindakan orang, dia berhenti
berjalan, dia melingkar, kepalanya diangkat. Itulah kebiasaan ular, untuk bersiap melawan
atau menyerang musuh, tanpa diserang lebih dahulu, ia tidak akan mendahului.
Tiba-tiba saja, Kim Tjoa Long-koen sadar. Inilah caranya untuk pecahkan Ngo-heng-tin!
Sehingga bukan main girangnya dia. Itulah gerakan : "Bergerak belakangan, menindas
lawan". Ia lantas pulang, kembali ia asah otak. Ia gunai tempo satu bulan, Baru ia insyaf
kelemahan Ngo-heng-tin, dan bagaimana caranya harus menerjang pecah. Semua ini
lantas dicatat dalam Kim Tjoa Pit Kip, sebab walaupun ia telah dapatkan rahasia itu, ia
sendiri tak dapat menuntut balas. Dengan urat-uratnya telah dibikin putus, ia tidak bisa
bersilat lagi seperti dulu. Ia sukar percaya akan ada orang yang nanti dapatkan kitabnya
ini atau umpama kata itu diketemukan seratus tahun atau seribu tahun kemudian, pasti
Ngo Tjouw sudah lama mati dan tulang-tulangnya telah lebur menjadi tanah. Biar
bagaimana, ia pun masih mengharap-harap. Jikalau Ngo-heng-tin tidak terpecahkan, pasti
Ngo Tjouw akan menjagoi untuk selama-lamanya, sedang mereka ada orang-orang jahat.
Sekarang Sin Tjie hendak gunai daya "bergerak belakangan, menindas lawan" itu, maka
itu, ia melanjuti berputaran terus, tidak henti-hentinya, sehingga semua lawannya turuti ia
ber-putar-putar juga akan awasi dia.
Dari bergerak pelahan pada mulanya, anak muda ini bergerak pesat, setelah sekian lama,
ia mulai jadi pelahan pula, jadi kendor, selama itu tetap tidak terlihat sikapnya hendak
mulai menerjang. Sebaliknya, dia lantas berhenti berputaran, dia duduk, kedua tangannya
dikasih turun kedengkul, tubuhnya diam, cuma tampangnya berseri-seri.
Semua orang menjadi heran. Pihak Oen tidak tahu, inilah tipu-daya, guna mengabaikan
penjagaan lawan, untuk bikin lawan habis sabar.
Benar saja, Oen Beng Gie tidak puas, sehingga ia geraki kedua tangannya untuk
menyerang. Ia berada dibelakang Sin Tjie, ia bisa membokong si anak muda.
"Djieko, jangan bikin kacau tin!" Beng Go cegah kandanya itu.
Beng Gie dapat dicegah, maka itu, berlima mereka masih berputaran, selalu siap-sedia
untuk menerjang begitu lekas lawan bergerak.
Belum lama dia duduk diam, Sin Tjie menguap, terus ia rebahkan diri, tidur celentang,
kedua tangannya ditekuk, dipakai sebagai bantal, untuk mengalaskan kepalanya.
Ngo Tjouw masih terus berputaran, meskipun mereka merasa aneh. Mereka jadi
bertambah waspada. Mereka mau menyangka, anak muda itu bakal gunai entah akal apa.
Disebelah belakang, enam belas orang dibawah pimpinannya Oen Lam Yang turut
bergerak-gerak terus juga, akan tetapi mereka tak seulet lima ketua mereka, sesudah lewat
banyak tempo beberapa diantara mereka jadi letih, keringat mereka mengucur keluar,
napas mereka mengorong.
"Aku hendak lihat, tua-bangka, sampai kapan kamu dapat bersabar," kata Sin Tjie dalam
hatinya, mendapati tidak ada orang yang hendak serang ia. Selagi rebah, ia curi lihat
gerakan lawan. Mendadak anak muda ini membalik tubuh, sehingga ia jadi rebah tengkurap, kedua
tangannya ketindihan tubuhnya. Kemudian lagi, terdengarlah suara menggerosnya,
sebagai tanda bahwa ia ketiduran, tidur pulas.
Inilah kejadian aneh dalam medan pertempuran. Ini pun lucu. Hie Bin, Siauw Hoei, Tjeng
Tjeng, dan Oen Gie juga, hampir tertawa, tapi juga hati mereka kebat-kebit, saking kuatir.
Umpamanya Ngo Tjouw menyerang, celakalah anak muda itu, yang memasang bebokong.
Cuma Oey Tjin yang mengerti soetee itu sedang uji kesabarannya lawan, untuk pancing
lawan itu, meski begitu, ia juga berkuatir untuk nyali besar dari soetee itu. Itulah
keberanian melewati batas. Apabila serangan datang, bagaimana itu dapat dielakkan"
Benar-benar Beng Tat tidak bersabar lagi, ia hendak gunai ketikanya yang baik ini. Begitu
lekas ia memberi tanda, dengan tangan kiri dikibaskan kekanan, menyambarlah empat
batang hoei-too dari Beng Sie, adiknya yang ketiga. Empat hoeitoo itu terbang menyambar
kebebokong Sin Tjie.
Semua orang pihak si anak muda terperanjat, malah ketika empat hoeitoo mengenai
sasarannya, Oen Gie tutupi muka, hatinya mencelos.
Dipihak Oen, semua orang bergirang, ada yang bersorak, sehingga dari enam-belas
anggauta Pat-kwa-tin, tujuh atau delapan antaranya berhenti berputaran.
Justru disaat itu, dengan sekonyong-konyong tubuhnya Sin Tjie mencelat bangun, empat
golok terbang dibelakangnya meluruk jatuh kelantai, kemudian terlihat tubuhnya melesat,
melewati sela-sela lima saudara Oen, selagi mereka ini mengawasi dengan heran kepada
bekerjanya hoeitoo yang memberi akibat luar biasa itu. Tahu-tahu Sin Tjie telah sampai
dibelakang Oen Lam Yang, bebokong siapa ia tepuk keras sehingga menerbitkan suara
Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nyaring, atas mana orang she Oen itu berteriak-teriak segera dia muntahkan darah hidup,
belum sempat dia tahu apa-apa, tubuhnya disambar si anak muda, diangkat, dilempar
kedalam Ngo-heng-tin!
Setelah ini, Sin Tjie tidak hentikan gerakannya. Selagi lima-belas orang Pat-kwa-tin
bingung, ia serang mereka satu demi satu, dengan kepalan, dengan tendangan, dengan
totokan juga, dan setiap korbannya, tubuhnya ia sambar, ia balingkan kedalam tin.
Oen Tjheng dan beberapa orang lagi mempunyai boegee cukup baik tapi Baru dua tiga
gebrak, mereka pun kena dirubuhkan dan dilemparkan, sehingga didalam tin, bukan
musuh yang terkurung, tetapi orang sendiri yang rebah malang-melintang. Secara begitu,
Pat-kwa-tin telah terpukul pecah, tidak terkecuali Ngo-heng-tin sendiri.
Selama keadaan katjau itu, lima saudara Oen pun repot, akan tanggapi orang-orangnya,
yang dilempar-lemparkan kearah mereka. Waktu yang baik itu digunai Sin Tjie untuk
lompat maju akan totok Oen Beng Sie, siapa kecuali sedang repot juga masih terheranheran
karena golok terbangnya tidak membinasakan lawan, sehingga hatinya ciut
sendirinya. Tapi sekarang ia diserang, dengan sebat ia memapaki lawan dengan empat
buah goloknya yang liehay, yang menjurus kearah dada.
Sin Tjie tidak perdulikan datangnya empat hoeitoo, ia tidak berkelit, malah ia antapkan
dadanya terbuka, tangannya lurus kedepan, tiga jarinya menjuju tenggorokannya
penyerang dengan hoeitoo itu, benar selagi golok-golok terbang mengenai sasaran dan
jatuh sendirinya, jerijinya mengenai jalan darah soan-kie-hiat sehingga lawannya rubuh.
Oen Beng San lihat saudaranya terancam bahaya, ia hendak menolongi, ia menyerang
dengan tongkatnya kearah kempolan kanan.
Sin Tjie lihat tongkat menyambar, ia tertawa dan berkata: "Tongkat ini sudah dibuang
tetapi sekarang diambil pula!" Selagi mulut bersuara, tangannya tidak diam saja, ia maju
akan sambar tubuhnya satu kawannya Lam Yang, akan pakai tubuhnya dia ini akan papaki
tongkat! Beng San anggap lawannya tidak bisa menyingkir lagi, maka itu ia terperanjat melihat ia
ditangkis dengan orangnya sendiri, syukur ia masih keburu menarik pulang tongkatnya
itu, serta buang dengan kaget kesamping, dimana ada Beng Tat.
"Toako, awas!" ia berseru.
Beng Tat lihat sambaran tongkat adiknya, ia menangkis dengan sepasang tumbak
pendeknya, sehingga kedua senjata bentrok keras dan menerbitkan lelatu api!
Selagi dua saudara itu repot sendirinya, Sin Tjie menerjang Beng Go, mulanya tangannya
yang kiri menyambar, lalu menyusul tangan kanannya, dengan tusuk konde kumala, ia
arah kedua matanya musuh itu.
Beng Go mundur, dengan cambuk kulitnya, ia lindungi diri; ia sudah mesti lantas
menangkis berulang-ulang, sebab serangannya si anak muda saling susul, karena ia
lantas didesak keras. Ia sibuk melihat cahaya kumala berkeredepan, Baru sekarang ia
mengerti liehaynya senjata istimewa itu, yang seperti tak hendak berpisah dari kedua
matanya. Dua kali ujung tusuk konde sudah mengenai kulit mata, untung karena sebatnya dia
berkelit, Oen Beng Go masih bisa hindarkan bahaya, akan tetapi karenanya, semangatnya
hampir terbang pergi. Dalam ancaman bahaya itu, ia tidak sempat menyingkir, ia terlalu
repot dengan dayanya melindungi matanya itu. Maka akhir-akhirnya, tusukan mengenai
juga matanya, tidak perduli ia coba egoskan kepala itu. Ia lepaskan cambuk kulitnya, ia
tutup matanya dengan kedua tangannya. Baru sekarang ia jatuhkan diri, untuk menyingkir
sambil bergulingan, akan tetapi jari tangannya si anak muda toh telah keburu mampir
dibelakangnya, sehingga ia lantas rubuh tak berkutik lagi.
Ngo Tjouw yang kelima ini ada sangat kenamaan, dengan cambuk kulit itu, diwaktu
bertempur diatas loeitay di Oen-tjioe, dengan beruntun dia telah rubuhkan dua-belas orang
kosen dari Tjiatkang, sehingga untuk beberapa puluh tahun, orang malui ia. Apa lacur,
sekali ini ia jatuh merek ditangannya seorang anak muda sehingga selain ia sendiri malu,
para penonton pun heran dan kaget sekali.
Oey Tjin tidak menjadi kecuali, dia heran melihat liehaynya soetee ini. Itulah gerakan
tangan yang ia belum pernah lihat. Ia merasa, sekalipun disaat mudanya guru mereka,
masih guru itu tak bisa bersilat seperti anak muda ini. Ilmu silat apakah itu" Dari mana
soetee ini dapat pelajarinya"
Hie Bin ada begitu girang sehingga ia bersorak sendirinya.
Siauw Hoei, yang pun bergirang, cuma bersenyum.
Oen Gie dan Tjeng Tjeng bergirang dalam hati saja. Sudah terlalu lama mereka dikekang
sehingga tak berani mereka sembarangan perlihatkan wajah kegirangan.
Untuk Sin Tjie, inilah pertempuran pertama melayani orang-orang kenamaan, ia empos
semangatnya, ia berlaku sungguh-sungguh. Ia pun tidak main pandang-pandang lagi.
Maka itu dengan tangan kiri ia mainkan tipu-tipu daya dari Hok-houw-tjiang, Tangan
Menakluki Harimau dari Hoa San Pay, dengan tangan kanan ia bersilat dengan gerakgerakan
"Kim-coa-ciam", "Jarum ular emas", dari Kim Tjoa Pit Kip. Yang pertama adalah
pelajaran Pat-tjhioe Sian-wan Bok Djin Tjeng si Lutung Sakti Tangan Delapan, yang
belakangan adalah dari Kim Coa Long Koen Hee Soat Gie, hingga umpama kata kedua
orang liehay itu hadir bersama, mereka juga cuma mengenali separuh saja. Maka tidaklah
heran apabila Ngo Tjouw dari Tjio Liang Pay kena dibikin terbenam dalam keheranan.
Sehabis merubuhkan Oen Beng Go, Sin Tjie lantas terjang Oen Beng Gie. Ia gunai
siasatnya yang tadi, akan tetap serang satu lawan, akan bulang-balingkan tusukan rambut
dimatanya lawan itu, yang saban-saban ia tusuk, sehingga Ngo Tjouw yang kedua lantas
saja jadi repot seperti adiknya tadi.
Oen Beng Tat saksikan ancaman bahaya itu, mendadak ia berseru nyaring, lantas ia tolak
terpelanting satu muridnya yang ada didepannya, sehingga si murid keluar dari kalangan,
sedang Oen Beng San, yang mengerti maksud kanda tua itu, gunai kakinya akan dupak
dan sempar sesuatu orangnya yang bergeletakan dilantai. Dengan tindakan ini, mereka
bikin lantai bersih dari segala perintang, secara begitu, hendak mereka lanjutkan
kepungannya menurut gerak-gerakan Ngo-heng-tin, tidak perduli jumlah mereka sudah
kurang dua. Sin Tjie lanjuti desakannya terhadap Oen Beng Gie, tidak pernah ia hendak memberi
kelonggaran, secara begini tetap tidak berjalan lancarlah Ngo-heng-tin itu. Selagi Beng Tat
dan dua saudaranya bingung, Beng Gie sudah kena dihajar pundak kirinya.
Oen Beng San hendak tolong kakaknya itu, dengan tongkatnya, dengan serangan "Lie
Kong shia tjio" atau "Lie Kong memanah batu", ia menghajar kearah bebokong. Berbareng
dengan dia, Oen Beng Tat dengan sepasang siang-kek, tumbak cagaknya, menyerang
kekiri dan kanan lawan. Beng Gie sendiri, dengan menahan sakit mencoba melayani terus,
tak ingin dia bikin kacau gaya tinnya.
Sin Tjie berkelit dari bokongan kedua lawan dibelakang dan sampingnya itu, ia masih
mendesak Beng Gie, tapi karena musuh-musuh geraki Ngo-heng-tin, ia kembali tunjuki
kegesitannya, kelincahannya. Ia senantiasa mengegos tubuh, berkelebatan sana dan sini,
sampai mendadak ia apungi tubuhnya itu, mencelat tinggi, tusukan rambutnya diselipkan
dikepalanya, sebelah tangannya dipakai menjambret penglari dimana ia bergelantungan.
Tiga jago dari Tjio Liang Pay lagi mengepung dengan seru apabila mereka dapati lawan
hilang dalam sekejab, hingga mereka jadi sangat heran. Sama sekali mereka tak tampak
tubuh lawan itu mencelat ketinggi. Justru itu, sekonyong-konyong ada angin menyambar
diatas kepala mereka, sehingga mereka terperanjat, sebab mereka duga, itulah bukan
angin sembarangan. Mereka lantas geraki tubuh, untuk berkelit, tapi sudah kasep, dua-dua
Beng San dan Beng Gie telah terkena timpukan, keduanya rubuh rebah dilantai tanpa
berkutik. Beng Tat loncat kepada ketiga saudaranya, terus ia membungkuk. Ia niat tolong mereka
itu, yang terserang jalan darahnya. Selagi ia membungkuk serangan datang pula. Ia ada
dari Tjio Liang Pay, ia liehay sekali, maka dengan putar sepasang tumbak cagaknya
diatasan kepalanya, ia cegah biji-biji catur mengenai tubuhnya. Begitulah belasan biji
catur kena disampok jatuh, hingga menerbitkan suara tingtong-tingtong. Ia putar terus
siangkeknya, sebab ia kuatir lawannya melanjuti menyerang ia dengan senjata rahasia
yang istimewa itu.
Selagi ketua Ngo Tjouw ini geraki siangkeknya itu, mendadak ia dengar seruan kaget pada
pihaknya, lalu ia rasai tangannya tergetar, sepasang tumbaknya seperti tertahan atau
tersangkut entah barang apa. Iapun menjadi kaget, dengan segera ia kerahkan tenaganya,
untuk menarik dengan keras. Justru ia berbuat demikian, justru siangkek itu terlepas dari
cekalannya. Maka berbareng kaget, ia lompat kesamping hingga tiga tindak, kedua
tangannya dipakai melindungi mukanya.
Ternyata siangkek bukannya terlepas terlempar hanya pindah kedalam tangannya Sin Tjie,
yang telah lompat turun dari penglari selagi jago tua itu repot membela diri. Dengan ayun
kedua siangkek dengan kedua tangannya, anak muda itu berseru : "Lihat!"
Sekejab saja, kedua tumbak cagak melesat, kearah kedua tiang yang besar didalam lianboethia itu, nancap melesak hampir separuhnya, hingga kedua tiang tergentar, sampai
genteng-genteng diatasnya bersuara berkresekan, hingga beberapa orang yang berdiri
dipintu lari keluar, mereka kuatir ruang itu rubuh ambruk...
Ketika dahulu Bok Djin Tjeng ajarkan Sin Tjie ilmu pedang, dia pernah menimpuk dengan
pedang sampai pedangnya masuk nancap kedalam batang pohon. Itulah ilmu pedang
yang Bhok Siang Toodjin puji tak ada tandingannya. Dan sekarang ini, Sin Tjie perlihatkan
kepandaiannya itu, melainkan ia tak gunai pedang hanya tumbak cagak.
Oey Tjin kenal baik ilmu pedang itu, dia begitu kagum hingga dia serukan : "Wan Soetee,
sungguh sempurna timpukanmu "Sin Liong Hoan Bwee!" (Naga sakti perlihatkan ekor)."
Sin Tjie menoleh, sambil tertawa.
Beng Tat sendiri berdiri tercengang, karena dihadapannya, empat saudaranya sudah
rebah tidak berdaya.
Sin Tjie bertindak menghampirkan soehengnya, ia cabut tusukan rambut dari kepalanya,
untuk dikembalikan kepada Siauw Hoei, siapa menyambutinya dengan girang sekali.
Oen Beng Tat tidak berdiam lama-lama. Tjio Liang Pay yang demikian kesohor, sekarang
runtuh ditangannya satu bocah. Sekejab saja, ia niat berlaku nekat, dengan benturkan
kepala ke tiang rumah, akan tetapi sekejab kemudian ia berpikir lain.
"Aku sudah berusia lanjut, tak dapat aku membalas sakit hati ini," pikirnya," akan tetapi
selama masih ada secarik napasku, pastilah aku tak mau sudah saja!...."
Maka itu, ia lantas hadapi Oey Tjin.
"Semua emas disana, kamu boleh ambil dan bawa pergi!" katanya.
Mendengar perkataannya orang tua itu, tanpa tunggu ulangan lagi, Hie Bin maju akan
jumputi semua potongan emas, untuk dimasuki kedalam kantong kulitnya, perbuatannya
itu diawasi oleh beberapa puluh orang-orang Tjio Liang Pay, tak satu diantaranya berani
maju mencegah. Karena Sin Tjie telah bikin mereka tunduk, semangat mereka gempur.
Oen Beng Tat hampirkan Beng Gie, dia ini rebah tanpa bisa bergerak sedikit juga, kecuali
matanya yang masih bisa berjelilatan. Sebagai ahli tiam-hiat, tukang totok jalan darah, ia
segera totok jalan darah "in-thay-hiat" dari adik itu, lalu ia mengurut-urut. Akan tetapi tak
dapat ia sadarkan saudaranya itu, walau ia sudah ulangi percobaannya menolongi lagi. Ia
jadi heran sekali.
Kemudian Beng Go, Beng San dan Beng Sie pun didekati, untuk ditolong, akan tetapi
totokannya, urutannya terhadap tiga saudara itu, tidak memberikan hasil seperti terhadap
Beng Gie. Maka sekarang insyaflah ia, totokannya Sin Tjie adalah dari lain golongan, yang
beda daripada kebisaannya sendiri. Ia pikir untuk minta tolong Sin Tjie tetapi ia segan
membuka mulut, dari itu dengan terpaksa, ia menoleh pada Tjeng Tjeng, ia memberi tanda
dengan gerakan bibir.
Tjeng Tjeng bisa duga, toa-yaya itu mohon ia mintakan pertolongannya Sin Tjie, tetapi ia
berpura-pura tidak mengerti.
"Toa-yaya memanggil aku?" ia tanya, ia menegasi.
"Setan alas, kacung licin!" Beng Tat mendamprat dalam hati, ia mendongkol bukan
kepalang. "Sampai disaat ini, kau masih main gila terhadapku! Kau lihat, habis ini, aku
nanti hukum kamu ibu dan anak!" Sambil kertak gigi, ia terpaksa kata: "Kau harus minta
dia sadarkan keempat yayamu..."
Tjeng Tjeng lantas hampirkan Sin Tjie, ia memberi hormat, lalu dengan suara nyaring , ia
kata pada anak muda itu : "Toayayaku mohon kau suka sadarkan empat yayaku itu!"
"Baiklah," jawab Sin Tjie tanpa berpikir pula. Dan lantas ia bertindak maju. Benar
sedangnya ia hendak membungkuk, kupingnya dengar ketikan shoeiphoa dari
toasoehengnya yang terus kata padanya:
"Wan soetee, benar-benar kau tidak mengerti barang sedikit juga kitab ilmu dagang! Saat
ini ada saatnya harga barang bisa dikasi naik, kenapa kau tidak hendak gunai ketika
menaikinya" Coba kau menghitung....Jangan kuatir kau menyebutkan harga berapa juga,
orang toh bakal memakannya!"
Sin Tjie tahu, toasoeheng itu sangat jemu terhadap Tjio Liang Pay dan sekarang saudara
ini hendak lampiaskan hatinya, walaupun ia kurang setuju, akan tetapi dimana toasoeheng
itu ada beserta, ia mesti beri kemerdekaan kepada toasoeheng itu.
"Baiklah toasoeheng, aku turut kau," ia bilang. Ia batal menotok sadar empat korbannya
itu. "Keluarga Oen ini, ditempat kediamannya ini, telah menganggu sangat pada sesama
penduduknya," Oey Tjin lantas berkata, "mereka melepas hutang dengan bunga berat,
mereka memeras juga. Diempat dusun dari Kie-tjioe ini, suara penasaran memenuhi
jalanan! Selama dua hari ini aku telah bikin penyelidikan dengan jelas sekali. Maka itu Wan
soetee, jikalau kau hendak obati orang, kau mesti minta angtiap berisi. Tentu sekali,
jumlah uang itu kita sendiri tidak inginkan, aku hanya hendak gunai itu untuk tolong
penduduk sini yang pernah dan sedang menderita karena keluarga Oen ini!"
Sin Tjie percaya perkataannya sang toasoeheng mengenai kejahatannya keluarga Oen, ia
sendiri telah membuktikannya disaat pertama kali ia sampai di Tjio-liang. Tidak ada orang
yang sudi berikan ia keterangan waktu ia tanyakan alamatnya keluarga itu, agaknya semua
orang sangat jemu dan jeri. Ia juga telah saksikan bagaimana Oen Tjheng labrak orangorang
yang minta keadilan dari pihak mereka.
"Benar, toasoeheng!" sahutnya, yang hatinya tergerak. "Memang penduduk sini telah
menderita sangat. Bagaimana soeheng hendak berbuat?"
Oey Tjin mengetik atas biji-biji shoeiphoanya, yang dikasi turun dan naik, mulutnya pun
mengoceh: "Liok siang it kie ngo tjin it, sam it sam sip it, djie it tiam tjok ngo," demikian
seterusnya. Siauw Hoei rupanya telah biasa dengan lagak lagunya soepeh itu, ia melainkan
bersenyum, tidak demikian dengan Sin Tjie yang Baru pertama kali ia bertemu
soehengnya, walau ia merasa lucu, ia diam saja. Adalah pihak Tjio Liang Pay, yang jadi
sangat mendongkol, kemendongkolan mana tak dapat mereka lampiaskan.
Tjeng Tjeng adalah satu kecuali, meski juga ia ada anggauta asli dari keluarga Oen, ia
sampai tertawa cekikikan.
Oey Tjin telah habis mengitung, ia goyang kepalanya.
"Wan Soetee, aku telah hitung uang pengobatanmu," katanya. "Menolong satu jiwa,
ongkosnya empat-ratus pikul beras putih."
"Empat ratus pikul?" Sin Tjie tegasi.
"Tidak salah! Empat ratus pikul beras putih nomor satu yang mulus, tidak boleh
kecampuran kendati juga sebutir pasir dan sepotong pesak hancur, dan dacinnya,
gantangnya, batoknya, tidak boleh ada yang dipalsukan!" soeheng itu beri kepastian. Ia
bicara tanpa perdulikan Beng Tat setuju atau tidak, senang atau tidak.
"Disini ada empat orang, maka jumlah semua jadi seribu enam ratus pikul?" Sin Tjie
tegaskan pula. Oey Tjin tertawa.
"Wan Soetee, kau pandai menghitung didalam hati!" kata dia. "Kau menghitung tanpa
pakai shoeiphoa, kau bisa lantas menjumlahkan, seorang empat ratus pikul, empat orang
jadi seribu enam ratus pikul."
Mendengar kata guru itu, Hie Bin kata dalam hatinya : "Apanya yang aneh" Aku juga bisa
menjumlahkan itu tanpa pakai pesawat hitung lagi!"
Si semberono ini tidak tahu gurunya lagi bergurau.
Kemudian Oey Tjin awasi Beng Tat dan kata pada jago tua itu: "Besok pagi kau sediakan
itu beras seribu enam ratus pikul, aku ingin bagi-bagikan itu kepada penduduk sekitar sini,
satu orangnya stau gantang. Begitu lekas kau telah sediakan cukup seribu enam ratus
pikul maka soeteeku ini bakal bikin sadar empat adikmu itu!"
Disini tidak ada perdamaian lagi dan Beng Tat cuma tahu menurut.
"Dalam tempo begini pendek bagaimana bisa dikumpulkan beras demikian banyak?"
berkata ketua Tjio Liang Pay itu. "Semua persediaan didalam rumahku juga tak lebih dari
tujuh - atau delapan puluh pikul."
"Ongkos pemeriksaan penyakit sudah ditetapkan, pemotongan harga tidak dapat
diberikan," Oey Tjin bilang. "Akan tetapi aku suka memandang kepadamu, aku suka beri
keringanan ialah pembayaran dengan angsuran. Begini, asal kau selesai membagi empat
ratus pikul, kami tolong satu orang, kau membagi sampai delapan ratus pikul, kami tolongi
orang yang kedua, demikian seterusnya. Umpama kau tidak sanggup membuat
persediaan, kami suka memberi tempo sampai sepuluh hari atau setengah bulan, atau
setengah tahun sampai satu tahun. Soeteeku ini, asal dia diundang, tentu dia bakal datang
untuk menolong, tidak nanti dia main beri alasan ini dan itu."
"Empat saudaraku ini, bergerak pun tidak mampu, cara bagaimana mereka dapat menanti
sampai setengah bulan?" pikir Beng Tat. "Tidak bisa lain, aku mesti turuti kehendaknya."
Maka ia lantas berikan jawabannya : "Baik, besok aku akan mulai membagi beras itu!"
Oey Tjin tertawa.
"Tuan, kau sungguh seorang dagang yang baik sekali!" ia memuji. "Sedikitpun kau tidak
meminta pengurangan. Maka jikalau lain kali ada barang baik, aku minta sukalah
sembarang waktu kau berhubungan denganku!"
Beng Tat berdiam saja walaupun orang terus menerus permainkan ia, tapi karena
pembicaraan sudah beres, ia lantas saja ngeloyor kedalam meninggalkan tetamu-tetamu
tak diingini itu.
Sin Tjie lantas kasi hormat pada Oen Gie dan Tjeng Tjeng.
"Sampai besok!" katanya.
Pemuda ini tahu, Beng Tat membutuhkan pertolongannya, hatinya tenteram akan antapkan
ibu dan anak itu berdiam terus dirumahnya itu.
Kemudian empat orang itu, dengan gembira, dengan bawa emas, meninggalkan rumahnya
Beng Tat, akan kembali kepondokan mereka dirumah si orang tani.
Tatkala itu sudah fajar,mereka tidak lantas masuk tidur, hanya Siauw Hoei terus pergi
kedapur, untuk siapkan barang hidangan, kemudian sambil bersantap, mereka duduk
pasang omong tentang kemenangan mereka, semuanya gembira sekali.
Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Wan Soetee," berkata Oey Tjin sambil angkat mangkok mie-nya, "baru-baru ini aku
dengan soehoe omong bahwa soehoe telah terima satu murid baru, yang usianya masih
sangat muda, berhubung dengan itu, aku telah bicara main-main dengan djie soehengmu
Poan Sek San-long Kwie Sin Sie suami-isteri, bahwa murid-murid kami, umpama murid
kepala, sudah berusia tiga-puluh lebih, sekarang dengan tiba-tiba soehoe berikan mereka
satu siauw-soesiok, paman kecil, tidakkah mereka nanti pada merasa likat dan itu akan
mengakibatkan kesulitan" Aku tak sangka soetee, kau begini liehay, jangan kata aku, toasoehengmu,
telah ketinggalan jauh, juga djie-soehengmu, yang didelapan belas propinsi
belum pernah ada tandingannya, turut penglihatanku, masih tak dapat tandingkan kau.
Maka dibelakang hari, kemajuannya Hoa San Pay kita, kebesarannya akan mengandal
kepada kau seorang. Disini tidak ada arak, baik aku berikan selamat dengan kuah mie ini
saja!" Benar-benar toasoeheng yang jenaka ini bawa mangkok mie kemulutnya, akan hirup
kuahnya! Sin Tjie berbangkit dengan tergesa-gesa, diapun segera minum kuah mie-nya.
"Dengan kebetulan saja hari ini aku beruntung peroleh kemenangan," berkata ia," maka
toasoeheng, tidak berani aku terima pujianmu ini. Malah aku hendak minta agar
selanjutnya sukalah kau berikan aku pelbagai pengunjukan."
"Sikapmu yang merendah dan berhati-hati ini, untuk dalam Rimba Persilatan, sukar
didapat," berkata dia. "Lekas duduk, mari kita dahar!"
Oey Tjin gunai sumpitnya beberapa kali, lalu ia berpaling kepada Hie Bin.
"Asal kau peroleh satu bagian saja dari kepandaiannya pamanmu," katanya," kau akan
dapat gunai itu untuk seumur hidupmu!"
Hie Bin telah saksikan liehaynya Sin Tjie, sejak itu ia telah kagumi sangat pamannya ini,
benar ia semberono, akan tetapi mendengar kata-kata gurunya, mendadakan ia dapat satu
ingatan baru, lalu dengan tiba-tiba ia berlutut didepan paman cilik itu, akan manggut
beberapa kali. "Aku mohon siauw-soesiok berikan pengajaran kepadaku," ia memohon.
Dengan tergesa-gesa, Sin Tjie berlutut juga, untuk membalas hormat.
"Jangan, jangan, tak berani aku terima hormatmu ini!" kata ia. Ia pun lantas angkat bangun
soetit itu. (Dibelakang hari, karena ingat budinya Tjoei Tjioe San, yang telah ajarkan ia silat
dan tolong jiwanya, Sin Tjie ajarkan juga Hie Bin beberapa rupa ilmu kepandaian, setelah
mana, orang semberono ini selanjutnya telah jadi berubah bagaikan seorang lain).
Habis bersantap, empat orang ini masuk juga untuk tidur, tapi mereka tak dapat
beristirahat lama, sang pagi sudah lantas datang, Baru saja mereka bangun, diluar sudah
ada suara orang mengetok pintu, kemudian masuklah satu orang yang membawa karcis
namanya Oen Beng Tat. Dia ini undang Oey Tjin berempat.
"Kamu pandai sekali membikin penyelidikan," kata Tong-pit Thie-shoeiphoa sambil
tertawa. "Dengan lekas sekali kamu telah dapat ketahui tempat mondok kami!"
Lantas mereka dandan dan ikut utusan Beng Tat itu. Ketika sebentar kemudian mereka
tiba dirumah keluarga Oen, disana sudah berkumpul banyak sekali penduduk kampung,
sedang dilain pihak, dengan saling-susul, datang tukang-tukang pikul dari dalam kota
yang angkut beras. Beng Tat sudah kirim orang-orangnya kedalam kota Kie-tjioe, untuk
beli beras itu.
Kota Kie-tjioe ada sebuah kota besar di Tjiatkang timur, kotanya pun makmur, akan tetapi
untuk beli beras mendadak demikian banyak, sulit juga. Beras ada tapi segera orang
menaiki harga, hingga Beng Tat mesti membayar lebih mahal beberapa ratus tail perak.
Lebih dahulu Toayaya ini minta Oey Tjin periksa jumlah berasnya, habis itu, ia mulai
membagi-bagikannya kepada sekalian penduduk kampung. Mereka ini belum tahu
duduknya hal, mereka semua heran kenapa tidak hujan tidak angin, jago-jago yang jahat
dan kejam itu mendadak-sontak menjadi dermawan dan mengamal beras demikian
banyak. Oey Tjin saksikan Beng Tat membagi beras dengan rapi, walaupun itu dilakukan dengan
sangat terpaksa, karena ini, tidak lagi ia menggoda jago tua itu, ia tidak mau mengejek.
Begitu lekas empat ratus pikul beras telah terbagi habis, tanpa ajal lagi, Sin Tjie totok
Beng Gie dan urut-urut padanya, hingga jago she Oen yang kedua ini lantas saja sadar,
cuma sebab ia telah ditotok sejak tadi malam dan diantapkan telalu lama, ia masih lemah,
hingga ia cuma dapat menungkuli saja kemendongkolannya.
Pembagian beras dilakukan terus, sampai magrib, sampai habis semuanya seribu enam
ratus pikul, selama mana, setiap empat ratus pikul, dengan menetapi janji, Sin Tjie totok
sadar tiap jago she Oen itu hingga akhirnya, sadarlah semuanya empat jago. Diakhirnya
anak muda ini menjura kepada Ngo Tjouw dari Tjio Liang Pay itu.
"Harap dimaafkan, aku yang muda telah berbuat banyak kesalahan," katanya.
Oey Tjin tertawa, dia kata kepada kelima tuan rumahnya: "Walaupun kamu telah
hamburkan seribu enam ratus pikul beras, hal mana tentunya membikin sedikit sakit
hatimu, akan tetapi karena itu namamu telah dapat diperbaiki tidak sedikit. Inilah satu
perbuatan amal yang untuk kamu ada banyak kebaikannya. Maka janganlah kamu tidak
menginsyafinya!"
Habis itu, Oey Tjin hendak ajak kawan-kawannya berlalu dari rumah keluarga Oen itu
tetapi justru waktu itu, dari dalam bertindak keluar sambil berlari-lari dua orang
perempuan, yang didepan Oen Gie, yang dibelakang gadisnya, Tjeng Tjeng.
"Wan Siangkong, apa kau hendak pergi sekarang?" Oen Gie tanya.
Anak muda itu manggut.
"Benar pehbo, siauwtit hendak berangkat sekarang," jawabnya seraya terus minta pamit.
Tubuhnya Oen Gie gemetar dengan tiba-tiba.
"Dimana sebenarnya kuburan dia?" nyonya ini tanya. "Wan siangkong, tolong kau ajak
aku pergi melihat kuburannya itu..."
Sin Tjie belum sempat menjawab atau ia dengar suara angin menyambar, hingga ia
terperanjat. Segera ia menoleh dan berlompat, dan dilain saat dengan beruntun ia dapat
sanggapi empat potong hoeitoo, golok terbang. Akan tetapi menyusul itu, Oen Gie
menjerit keras,lalu tubuhnya terhuyung rubuh. Dibelakangnya kelihatan tertancap
sebatang golok terbang, nancapnya dalam sekali, karena hampir gagang golok turut
terpendam! Nyonya yang naas itu rubuh tanpa berkutik pula.
Tjeng Tjeng menjerit, ia tubruk ibunya itu, tangannya diulur, untuk cabut golok itu.
"Jangan cabut!" Oey Tjin mencegah. "Djika dicabut, dia akan menutup mata!"
Sin Tjie segera ketahui, siapa yang sudah lakukan pembokongan itu, maka tanpa bilang
suatu apa, ia menimpuk dengan empat hoeitoo ditangannya terhadap Oen Beng Sie.
Soe-yaya itu telah umbar napsu amarahnya, ia mendongkol yang Sin Tjie tidak rubuh
karena bokongannya tetapi ia puas dengan rubuhnya Oen Gie. Habis menyerang, ia berdiri
mengawasi dengan senyuman iblisnya, maka itu, ia bisa lihat si anak muda serang ia.
Untuk luputkan diri dari hoeitoo, yang bisa makan tuan, ia berkelit sambil gulingkan
tubuhnya. Ia berhasil. Habis diserang, dia lompat bangun.Akan tetapi berbareng dengan
itu, ia rasai bebokongnya, juga paha kanannya, menjadi baal dengan tiba-tiba, menyusul
mana ia rubuh sendirinya.
Sin Tjie tahu, jago Tjio Liang Pay ini ahli golok terbang, sudah sewajarnya saja dia akan
pandai menyelamatkan diri dari golok-goloknya yang liehay itu, maka itu, ia sudah lantas
bertindak. Begitu lekas ia menimpuk dengan empat ia susul serangannya dengan dua
butir biji caturnya. Malah karena ia gusar untuk ketelengasannya jago tua itu, ia menimpuk
secara hebat. Beng Sie tidak dapat tolong dirinya, ia rubuh seketika, napasnya berhenti....
Kapan si anak muda memandang Tjeng Tjeng, ia tampak si nona numprah ditanah sambil
peluki tubuh ibunya, saking sedih, nona ini menangis tanpa mengeluarkan suara. Ia lantas
menghampirkannya, hingga ia lihat tegas sipatnya golok terbang itu, yang masih nancap
dibelakang si nyonya. Ia insyaf nyonya itu sukar dapat ditolong pula. Maka tidak ayal lagi,
ia menotok dua kali, setiap kalinya didekat iga, untuk menutup jalan darah, secara
demikian, nyonya yang malang nasibnya itu jadi tak usah menderita lebih lama lagi.
Karena totokan itu, Oen Gie bisa buka kedua matanya. Ia lagi menanggung sakit, ia
meringis karena mencoba melawan itu, akan tetapi ia bisa pandang gadisnya sambil
bersenyum. "Jangan bersusah hati, Tjeng," katanya kepada anak daranya itu. "Sekarang aku dapat
susul ayahmu, untuk menemuinya, dengan berada didamping ayahmu itu, tidak akan ada
lagi orang yang berani menghina aku...."
Tjeng Tjeng menangis tersedu-sedu, ia manggut tetapi tak dapat ia mengucapkan katakata.
Oen Gie memandang Sin Tjie, ia berkata pula : "Wan Siangkong, ada satu hal tentang
mana mesti kau beritahu aku dengan sebenar-benarnya, tak dapat kau
menyembunyikannya sedikit juga..."
"Apakah itu, pehbo?" tanya si anak muda. Ia ini mengucurkan air mata saking terharu.
"Dia meninggalkan surat wasiat atau tidak?" Oen Gie tanya. "Dia pernah menyebut-nyebut
aku atau tidak?"
"Hee Lootjianpwee telah meninggalkan seperangkat peta ilmu silat," Sin Tjie jawab.
"Ketika kemarin aku pecahkan Ngo-heng-tin, aku telah gunakan ilmu silat yang
didapatinya dari peta itu. Dengan begitu bisalah dianggap aku telah balaskan dia punya
sakit hati, hingga dendamannya terlampias sudah."
"Apakah dia tidak meninggalkan surat untukku?" Oen Gie tanya pula.
Sin Tjie menggelengkan kepala.
"Tidak," sahutnya dengan pelahan.
Nyonya itu nampaknya putus asa.
"Setelah dia minum itu racun, habislah tenaganya," berkata nyonya ini dengan lemah.
"Diatas langit, rohnya lootjianpwee tentu ketahui itu," Sin Tjie menghibur," tentu ia tidak
akan sesalkan pehbo."
"Tentu dia telah menutup mata karena sakit dan berduka," Oen Gie kata pula. "Pada
mulanya, tentu sekali dia menyangka akulah yang racuni dia. Maka sekarang, walau
duduknya perkara sudah jadi terang, toh sudah kasep..."
Sin Tjie sangat berduka, apapula kapan ia lihat kedua tangannya si nyonya telah
dilonjorkan dan wajahnya berubah. Tiba-tiba ia ingat pesannya Kim Tjoa Long-koen yang
termuat didalam peta dalam Kim Tjoa Pit Kip. Didalam kitab itu toh ada disebut namanya
Oen Gie. Maka lekas-lekas ia rogoh sakunya.
"Pehbo, lihat ini!" berkata ia seraya perlihatkan tulisannya Kim Tjoa Long-koen.
Oen Gie sudah mulai rapatkan kedua matanya ketika ia lantas membukanya pula. Sesaat
itu, mendadak saja ia jadi segar pula.
"Ya, inilah tulisan dia, tulisan dia!" katanya separuh berseru. "Aku kenali tulisan dia!"
Bukan main terharunya Sin Tjie akan tampak kegirangan si nyonya mirip dengan
kegirangan satu bocah.
Oen Gie baca tulisan dipinggir peta itu : "Siapa dapati mestika, dia mesti pergi ke Tjioliang
di Kie-tjioe, Tjiatkang, untuk cari Oen Gie. Kepadanya harus diserahkan uang emas
sejumlah sepuluh laksa tail...."
"Itulah dimaksudkan aku!" berseru pula si nyonya. Tiba-tiba saja ia tertawa, air mukanya
jadi terang dan ramai. Ia sambar tangannya si anak muda, untuk dicekal dengan keras.
"Nyata dia tidak sesalkan aku!....Aku tak mau menerima uangnya itu.... Asal aku ketahui
dia masih ingat aku, dia masih pikiri aku....Sekarang aku hendak pergi, aku hendak pergi
menemui dia..."
Sin Tjie tahu tenaga si nyonya sudah hampir habis, maka ia ingin menghiburi Tjeng Tjeng.
Oen Gie sudah tutup kedua matanya, atau tiba-tiba ia buka pula.
"Wan Siangkong, lagi dua hal aku hendak minta dari kau," katanya. "Dan aku ingin kau
menerimanya dengan baik."
"Silahkan sebutkan itu, pehbo," Sin Tjie lantas berikan jawabannya. "Segala apa yang aku
sanggup, pasti aku akan menyanggupinya."
"Yang pertama-tama aku ingin kau nanti kubur aku didampingnya," berkata nyonya yang
bernasib buruk itu. "Dan kedua....kedua...."
Sekonyong-konyong ia berhenti.
"Yang kedua.....apakah itu, pehbo?" Sin Tjie tegaskan. "Silahkan pehbo
menyebutkannya...."
"Yang kedua itu....Kamu....kamu...." ia lantas tunjuk Tjeng Tjeng. Tak dapat ia
meneruskannya, lantas kedua matanya ditutup rapat, kepalanya teklok, dan ia tidak
berkutik lagi. Sin Tjie segera raba dada orang, napasnya si nyonya sudah berhenti jalan.
Tjeng Tjeng mendekam ditubuh ibunya, ia menangis meng-gerung-gerung. Tapi ia tak
menangis lama, segera ia pingsan.
Sin Tjie terkejut.
"Adik Tjeng, adik Tjeng!" ia memanggil, berulang-ulang.
"Tidak apa-apa," Oey Tjin bilang. "Itulah disebabkan kedukaannya yang sangat...."
Soeheng ini nyalakan api tekesan, ia sulut sepotong sumbu, dengan itu ia asapkan
hidungnya si nona, maka tidak lama, setelah berbangkis, Tjeng Tjeng ingat akan dirinya. Ia
buka kedua matanya dengan pelahan-lahan, nampaknya ia seperti hilang ingatannya.
"Bagaimana rasamu, adik Tjeng?" Sin Tjie tanya, dengan pelahan.
Nona itu tidak menjawab.
Oey Tjin dan Siauw Hoei merasa aneh. Mereka tidak tahu hubungan diantara Sin Tjie dan
Oen Gie dan gadisnya nyonya ini. Dimata mereka, ibu dan anak itu mesti ada anggauta
keluarga Oen akan tetapi kenapa mereka justeru dicelakakan Ngo Tjouw dari Tjio Liang
Pay" "Adik Tjeng, mari kau turut kami," kata Sin Tjie dengan air mata bercucuran. "Tak dapat
kau tinggal disini lebih lama pula..."
Tjeng Tjeng masih bungkam tetapi ia dapat manggut.
Tanpa bilang suatu apa, tanpa likat juga, Sin Tjie pondong tubuhnya Oen Gie, untuk terus
dibawa bertindak keluar. Diwaktu begitu, ia tidak ambil mumet lagi kepada keluarga Oen.
Tjeng Tjeng berbangkit, ia ikuti anak muda itu.
Oey Tjin, bersama-sama Siauw Hoei dan Hie Bin, pun segera bertindak akan tinggalkan
tuan rumah. Beng Tat dan tiga saudaranya dan yang lainnya pula, berdiri melongo, hati mereka panas.
Bukankah mereka telah dianggap sebagai bukan manusia lagi" Tidak satu diantara
rombongannya si anak muda gubris mereka dan mereka mesti antapkan saja orang bawa
pergi dua anggauta keluarganya itu - anak perempuan, keponakan dan cucu!
Mereka menginsyafi liehaynya si anak muda dan soehengnya dia ini, mereka jeri, hingga
tak berani mereka maju untuk menghalangi.
Sekeluarnya dari pekarangan, Oey Tjin berikan seratus tail perak pada Hie Bin, muridnya.
"Kau bawa uang ini kepada petani yang rumahnya kita tumpangi," kata dia. "Kau berikan
uang ini kepada mereka, lalu kau minta mereka pindah malam ini juga!"
Hie Bin sambuti uang itu tetapi ia awasi gurunya, agaknya ia heran.
"Kenapa dia mesti pindah sekarang juga?" tanyanya.
"Pihak Tjio Liang Pay tidak dapat berbuat apa jua terhadap kita, pasti sekali mereka akan
tumpleki kemendongkolannya terhadap lain orang," sang guru menerangkan. "Petani itu
beri tempat menumpang kepada kita, pasti sekali diaorang bakal disatroni keluarga Oen
itu." Baru sekarang sang murid mengerti.
"Soehoe benar," ia memuji. Dan ia lantas lari kerumahnya si orang tani, untuk serahkan
uang itu, buat minta mereka pindah lantas.
Sin Tjie tunggu sampai orang she Tjoei itu kembali, Baru mereka melanjuti perjalanan,
akan tinggalkan desa Tjio Liang itu. Mereka lakoni perjalanan terus selama tigapuluh lie
lebih, Baru mereka singgah disebuah kuil tua dan rusak diatas satu bukit.
Tiga huruf "Leng Koan Bio" yang sudah hampir hapus adalah namanya kuil yang tak
terawat itu. "Disini kita beristirahat," Oey Tjin bilang.
Mereka memasuki ruangan rusak dan kotor disana-sini, dengan gala-gasinya juga. Mereka
duduk diruang tengah dimana tubuhnya Oen Gie diletaki didamping mereka.
"Bagaimana hendak kita urus jenazah nyonya ini?" tanya Oey Tjin. Itu adalah soal paling
penting. "Apakah kita kubur disini saja atau kita pergi kekota untuk merawatnya dahulu
dengan baik?"
Sin Tjie tidak menjawab, ia kerutkan alisnya.
"Umpama kita pergi kekota untuk merawatnya dahulu," menyatakan Oey Tjin, "Aku kuatir
kita tidak merdeka. Pembesar negeri tentu akan menanyakannya dengan melit. Kita boleh
tidak usah kuatir tapi pasti sudah kita bakal ngalami kesulitan dan berabeh."
Dengan pikirannya ini, Oey Tjin menginginkan nyonya itu dikubur disitu saja.
"Tidak, itu tak dapat dilakukan!" Tjeng Tjeng nyatakan tak setuju.
"Ibu telah menyatakan ia ingin dikubur bersama-sama ayah..."
"Dimanakah dikuburnya ayahmu itu?" tanya Oey Tjin.
Tjeng Tjeng diam. Tak dapat ia menjawabnya. Ia tidak tahu dimana letaknya kuburan
ayahnya itu. Maka ia awasi Sin Tjie.
"Digunung Hoa San kita!" kata Sin Tjie tanpa tunggu ditanya lagi.
Oey Tjin heran, tak terkecuali Tjeng Tjeng sendiri.
"Ayahnya itu adalah Kim Tjoa Long-koen Hee Lootjianpwee, itu orang kang-ouw gagah
dan aneh," Sin Tjie terangkan pula.
Usianya Oey Tjin tak berjauhan dengan usianya Kim Tjoa Long-koen, ketika ia mulai dapat
perkenan akan berkelana, namanya Kim Tjoa Long-koen sudah menggetarkan dunia
Rimba Persilatan, maka itu, berbareng heran ia pun menjadi kagum, hingga dengan
sendirinya, ia tambah menghormati nyonya yang rebah didamping mereka.
"Aku mempunyai satu usul," kata ia kemudian setelah ia berpikir sekian lama. "Aku harap
nona tidak buat kecil hati..."
Tjeng Tjeng lihat Oey Tjin sudah berusia lanjut.
"Silakan utarakan itu, loopeh," kata dia.
Oey Tjin tunjuk Sin Tjie.
"Dia ini ada soeteeku, dari itu tak dapat aku terima kau panggil loopeh padaku," kata ia.
"Kau memanggil toako saja."
Hie Bin segera melirik pada Tjeng Tjeng.
"Begini gayanya, apa aku bukan mesti panggil koh padamu?" pikir dia.
"Kau toh cuma satu bocah perempuan..."
Tjeng Tjeng menoleh pada Sin Tjie, Baru ia menjawab.
"Apa yang toako bilang pasti aku akan dengar," sahut ia, yang lantas ubah panggilannya.
"Ah, benar-benar celaka!" pikir pula Hie Bin, hatinya gentar, ia tergugu. "Dengan tidak
malu-malu lagi dia panggil toako pada soehoe!"
Si tolol ini sibuk memikirkannya, sudah punya paman cilik, sekarang ia bakal punyai lagi
Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
satu bibi demikian muda-belia...
Tentu sekali Oey Tjin tidak pernah sangka apa yang dipikirkan muridnya itu yang berdiri
dengan melongo.
"Ibumu ingin dikubur bersama ayahmu, pasti mesti kita wujudkan keinginannya itu,"
berkata pula Oey Tjin pada si nona, yang dalam sedetik saja menjadi adik perempuannya.
"Tapi pelaksanaannya itu sulit sekali. Jangan kita sebut-sebut dahulu halnya perjalanan
dari sini ke Hoa San yang ribuan lie jauhnya, hingga untuk angkut layon saja sudah sukar.
Umpamakan saja kita bisa sampaikan gunung Hoa San. Adik tentu tidak ketahui berapa
tingginya gunung itu. Dari kaki gunung saja layon tak dapat dibawa naik kepuncak..."
Tjeng Tjeng mengawasi dengan tercengang.
"Begitu?" tanyanya. "Habis bagaimana?"
"Masih ada satu jalan lain," sahut Oey Tjin. "Kita sambut tulang-tulang mendiang ayahmu
itu, untuk dibawa kemari, untuk dikubur bersama jenazah ibumu. Jalan ini aku rasa ada
kurang tepat. Sekarang ini ayahmu sudah berdiam dengan tenang, adalah kurang
sempurna untuk ganggu ia dengan kepindahan tempat kuburannya."
Tjeng Tjeng bingung, hingga ia menangis pula.
"Habis?" tanya dia.
"Oleh karena semua kesulitan itu," ujar pula Oey Tjin, "aku pikir baiklah jenazah ibumu
dibakar, lantas tulang dan abunya kita antar ke Hoa San untuk dikubur bersama ayahmu..."
Tjeng Tjeng tercengang. Kurang setuju ia dengan usul itu. Akan tetapi, apa daya" Maka
diakhirnya, selang beberapa saat, ia manggut, tapi air matanya mengucur dengan deras.
Oey Tjin lantas ajak Sin Tjie dan Hie Bin pergi keluar, untuk kumpuli rumput dan kayu
bakar sedapat-dapatnya, untuk mengumpulkan itu, mereka ambil tempo sekian lama,
setelah itu, tubuhnya Oen Gie dibawa keluar, akan dilain saat, pembakaran telah dimulai.
Sakit hatinya Tjeng Tjeng, ia mendekam ditanah dan menangis mengulun. Sejak
dilahirkan, ia seperti hidup menyendiri disebuah rumah-tangga yang istimewa, kecuali
ibunya, tidak ada seorang lain juga yang menyayangi dia, sebaliknya, senantiasa orang
tertawakan dia, sindir padanya, atau paling ringan, orang lirik ia secara dingin. Suasana
keluarga yang luar biasa itu membuat ia mempunyai tabeat yang luar biasa itu, ia jadi aneh
dan bandel. Sekarang, setelah ibunya meninggalkan ia sebatang-kara, ia pun mesti lihat
tubuh ibunya diantara api yang berkobar-kobar besar.
Oey Tjin semua tahu orang sangat berduka, dan percuma saja untuk hiburkan atau
nasihati padanya, dari itu semua berdiam, mengantapkan dia umbar kedukaannya itu.
Banyak waktu dilewatkan untuk tunggu pembakaran mayat selesai. Sin Tjie telah cari
sebuah guci, maka setelah api padam, ia kumpuli abu dan sisa tulang-tulang, untuk
dimasuki kedalam guci itu, buat ditutup rapat. Ia menjura dua kali kepada abu itu dan kata
dalam hatinya : "Pehbo, aku harap kau tenangkan hatimu, pasti sekali aku nanti antar
pehbo ke Hoa San untuk dikubur bersama dengan baik-baik, tidak nanti aku sia-siakan
pesan pehbo...."
Oey Tjin lihat segala apa telah selesai, lalu ia kata pada Sin Tjie.
"Kita hendak antar emas ini ke Kioe-kang, Kangsee. Selama ini Giam-ong sudah kirim
sejumlah saudara ke Kang-souw, Tjiatkang, seluruh Kangsee dan An-hoei untuk mencari
hubungan disana, untuk persiapan mereka diselatan nanti menyambut begitu lekas kita di
Tionggoan sudah mulai angkat senjata. Kau berhasil merampas pulang emas ini, soetee,
tak kecil jasamu ini."
"Tadinya aku tak tahu bahwa emas ini demikian berharga," kata Tjeng Tjeng. "Coba tidak
djiewie toako datang sendiri, pastilah aku telah membikin gagal usaha besar dari Giam
Ong." "Asal kau ketahui itu, itulah bagus," Hie Bin campur bicara.
Tidak biasanya Tjeng Tjeng nyerah kalah bicara, ia tahu pemuda itu maksudkan dia, maka
wajahnya jadi berubah. Lantas dia kata pula : "Jikalau bukan Oey Toako sendiri yang antar
emas ini, aku kuatir ditengah jalan nanti terbit onar pula!"
Inilah sindiran hebat untuk Hie Bin, yang dianggapnya tidak berguna, sudah tidak mampu
lindungi emas itu.
Masih Hie Bin hendak melawan bicara akan tetapi Oey Tjin deliki ia, untuk cegah ia banyak
mulut. "Jikalau Wan Soetee dan Oen Kohnio tidak punya urusan penting, bagaimana andainya
kita pergi bersama ke Kioe-kang?" tanya Oey Tjin kemudian.
"Siauwtee memikir untuk pergi dulu ke Lamkhia untuk menemui soehoe sekalian mohon
pengunjukannya," sahut Sin Tjie. "Di Lamkhia juga aku hendak menemui Tjoei Siokhoe."
"Soehoe bersama saudara Tjioe San sudah kembali ke Siamsay," Oey Tjin menerangkan.
"Sekarang ini suasana sudah genting sekali, mungkin pergerakannya Giam Ong tinggal
menunggu waktunya saja."
Hatinya Sin Tjie tergerak.
"Dengan begitu telah sampailah saatnya sakit hati ayah dibalaskan!" pikir dia, yang kedua
matanya lantas menjadi merah. Segera ia kata : "Jikalau begitu, siauwtee hendak lantas
pergi ke Siamsay untuk menemui soehoe, tidak jadi siauwtee pergi ke Kioe-kang.
Bagaimana pikiran toako?"
Soetee ini hargakan toakonya itu maka ia menanya demikian.
"Giam Ong hendak bergerak, dia sedang membutuhkan banyak pembantu," sahut Oey
Tjin. "Soetee mempunyai kepandaian begini sempurna, dengan soetee pergi ke Siamsay,
untuk bantu dia, itulah bagus sekali. Aku percaya, soetee, dibelakang hari kau akan
berbuat banyak untuk rakyat."
"Dalam hal itu aku mengharap pimpinan soeheng," kata soetee ini, yang halus sekali budi
pekertinya. Oey Tjin tertawa menampak sikap yang halus itu.
"Tak dapat aku telad kau," katanya. "Disini saja kita berpisah!"
Soeheng ini berbangkit, ia angkat kedua tangannya, lantas ia memutar tubuh, untuk
bertindak pergi.
Hie Bin kasi hormat pada paman ciliknya, untuk pamitan.
"Engko Sin Tjie, rawat dirimu baik-baik," Siauw Hoei pesan ketika ia pun pamitan dari itu
kawan semasa kecil.
Si anak muda manggut.
"Tolong sampaikan hormatku kepada encim," ia pesan. "Tolong sampaikan pada encim
bahwa aku senantiasa ingat dia."
"Ibu juga sering sebut kau, engko," bilang si nona. "Apabila ibu tahu kau sudah jadi begini
besar, pasti ia akan jadi sangat girang. Nah, aku pergi!"
Nona ini memberi hormat, segera ia susul Oey Tjin. Mereka menuju ke selatan. Beberapa
kali ini nona masih menoleh, untuk lambai-lambaikan tangannya, sehingga Sin Tjie sabansaban
membalasnya, sampai tiga orang itu sudah lenyap dari pandangan matanya.
"Hm!" tiba-tiba terdengar suaranya Tjeng Tjeng. "Kenapa kau tidak susul dia untuk
lambaikan tangan pula?"
Sin Tjie melengak. Inilah ia tidak sangka. Ia pun tidak tahu hatinya nona ini.
"Kenapa kau tidak turut dia pergi bersama?" Tjeng Tjeng kata. "Dengan susul dia,
bukankah kau tak akan merasa berat sebagai ini....?"
Baru sekarang Sin Tjie insyaf sebab-musabab marahnya nona ini. Ia tidak jadi gusar,
sebaliknya, ia tertawa.
"Kau belum tahu," katanya. "Ketika aku masih kecil, aku hadapi ancaman bahaya besar,
itu waktu adalah ibunya nona itu yang tolong aku. Sejak masih kecil itu kami biasa
bermain berdua saja."
Tjeng Tjeng jadi semakin mendongkol, ia jumput sepotong batu dan timpuki itu secara
sembarangan kepada tangga batu, sehingga muncratlah lelatu api.
"Itulah persahabatan rapat sekali!" katanya kemudian, dengan dingin.
Sin Tjie tahu adat koekoay si nona, ia antapkan saja. Tapi ini justru membuat nona itu
makin panas hatinya.
"Dengan dia kau bicara dengan gembira, sambil tertawa-tawa, tapi melihat aku, kau
masgul!" katanya.
"Kapannya aku masgul, tak gembira bicara denganmu?" Sin Tjie tanya.
"Ya, itu orang manis-budi, selagi kau kecil, kau sangat disayangi, akan tetapi aku, aku
tidak punya ibu...."
Lantas ia menangis.
"Ah, jangan kau turuti saja adatmu," kata Sin Tjie dengan masgul. "Sekarang harus kita
berdamai, bagaimana kita mesti berbuat selanjutnya."
Mendengar begitu, mukanya Tjeng Tjeng berubah menjadi merah-dadu.
"Apakah yang hendak didamaikan lagi?" katanya. "Pergi kau susul adikmu Siauw Hoei itu!
Aku ada satu anak sengsara, biarkan aku terumbang-ambing diujung langit dan pojok
laut..." Bingung Sin Tjie untuk menjawab. Iapun mesti pikirkan, bagaimana hendak diatur
mengenai nona ini. Ia merasa sulit hingga ia diam saja.
Tjeng Tjeng lihat orang bungkam dan bengong saja, ia jumput guci abu dan tulang ibunya,
ia lantas bertindak pergi.
"Kau hendak pergi kemana?" tanya si anak muda.
"Perlu apa kau perdulikan aku?" balik tanya si nona. Ia bertindak terus kearah utara.
Dengan terpaksa Sin Tjie mengikuti. Nona itu tetap diam saja, Sin Tjie coba mengajaknya
bicara, dia itu tidak memperdulikannya.
Akhirnya sampailah mereka dikota Kim-hoa.
Setelah ambil pondokan, Tjeng Tjeng pergi akan beli seperangkat pakaian orang lelaki,
berikut sepatu dan ikat kepalanya, untuk ia menyamar sebagai satu pemuda.
Sin Tjie tahu, karena berlalunya dengan kesusu, nona itu tidak bekal banyak uang, maka
selagi si nona keluar, ia selipkan dua potong emas dalam saku bajunya. Tapi kapan Tjeng
Tjeng kembali dan dapati uang itu, iabawa kekamarnya si anak muda, untuk dikembalikan.
Dan malam itu ia keluar seorang diri, untuk "bekerja" dirumahnya satu penduduk
hartawan, hingga ia jadi mempunyai lima-ratus tail perak.
Besok paginya, kota jadi gempar karena kecuriannya si hartawan itu.
Segera Sin Tjie ketahui itu tentu ada perbuatan kawan wanitanya, ia jadi kerutkan alis. Ia
cerdik dan gagah tapi ia seperti habis daya akan layani ini nona luar biasa. Untuk
memohon, ia tak mau, ia sungkan, akan tetapi untuk tinggal pergi nona itu, ia tidak tega,
itulah tak dapat dilakukan. Ia ada satu gadis remaja dan sekarang yatim-piatu, sebatang
kara. Apa bisa ia antapkan dia berkelana seorang diri" Ia jadi sangat bingung!
Dihari besoknya itu, dua anak muda ini meninggalkan Kim-hoa, akan menuju ke Gie-ouw.
Si nona masih mendongkol, ia jalan didepan, hingga si pemuda mesti ikuti dia.
Mereka sudah lalui tiga puluh lie lebih tatkala cuaca menjadi buruk dengan tiba-tiba, awan
mendatangi secara cepat, udara jadi mendung tandanya sang hujan bakal segera turun
membasahi bumi. Keduanya lantas cepatkan tindakan mereka, akan tetapi belum sampai
lima lie, air langit itu sudah turun juga, malah lantas dengan lebat.
Sin Tjie sedia payung, ia tidak kuatirkan air hujan, tapi Tjeng Tjeng tidak, dari itu, ia lantas
saja lari keras, untuk cari tempat meneduh. Apa lacur, disitu tidak ada rumah orang, tidak
ada kuil atau paseban umum dimana orang bisa berlindung dari serangan air langit itu.
Sin Tjie bisa lari lebih pesat, dengan cepat ia dapat menyusulnya, ia sengaja melewati,
untuk dari sebelah depan, ia serahkan payungnya.
"Pakai ini," katanya.
Tanpa menjawab, Tjeng Tjeng tolak payung itu.
"Adik Tjeng," berkata si anak muda," kita berdua sudah angkat saudara, kita telah
bersumpah untuk hidup dan mati bersama, untuk senang dan susah dipikul bersama juga,
kenapa sekarang kau gusari kokomu?"
Mendengar demikian, nona ini menjadi lebih sabar.
"Jikalau kau tidak ingin bikin aku gusar, kau mesti turut aku dalam satu hal," kata dia.
"Sebutkan itu," bilang Sin Tjie. "Jangan kata Baru satu, sepuluh juga dapat aku
menerimanya!"
"Baik, kau dengar," kata nona itu. "Sejak hari ini kau jangan ketemui pula nona An dan
ibunya! Jikalau kau terima baik permintaanku ini, aku segera akan hatur maaf
terhadapmu...."
Kata-kata ini ditutup dengan tertawa yang manis.
Sin Tjie menjadi sulit sekali. Ia berhutang budi pada An Toanio, ia mesti balas budi itu,
maka kenapa sekarang, tak ada sebab tak ada lantaran, tak dapat ia menemui nyonya yang
budiman itu" Sebagai seorang jujur dan kenal budi, tak dapat ia sembarang mengiakan si
nona. Selagi orang terbenam dalam keragu-raguan, Tjeng Tjeng kata :
"Memang aku sudah duga tak nanti kau tega meninggalkan itu adik Siauw Hoei...."
Ia lantas putar tubuhnya dan lari dengan pesat.
"Adik Tjeng! Adik Tjeng !" Sin Tjie terperanjat dan memanggil-manggil.
Si nona tidak meperdulikannya, dia lari terus.
Sukur untuk mereka, sesudah beberapa pengkolan, mereka dapati sebuah paseban. Si
nona lantas singgah di paseban itu, si anak muda susul dia.
Pakaian Tjeng Tjeng kuyup basah semua. Itu waktu musim panas, dia memakai pakaian
yang tipis, tapi setelah sekarang pakaiannya lepek, maka berpeta tegaslah potongan
tubuhnya. Ia merasa tidak enak sendirinya apabila ia tampak si anak muda turut masuk
bersama, sedang anak muda itu pun likat. Lantas saja ia menangis.
"Kau menghina aku, kau menghina aku...." Katanya sambil menangis terus.
"Inilah aneh! Kapannya aku hinakan kau?" pikir si anak muda. Ia tidak bilang apa-apa, ia
buka baju luarnya, untuk kerebongi itu pada tubuh si nona. Ia pakai payung, bajunya itu
tidak basah. Tjeng Tjeng ingat kebinasaan ibunya, dengan tiba-tiba saja ia menangis, ia menangis
menggerung-gerung.
Sin Tjie sibuk sendirinya, tak tahu apa ia mesti buat untuk mendiamkan nona ini, terpaksa
ia berdiam saja.
Untung berselang tidak lama, hujan mulai redah dan akhirnya berhenti.
Tjeng Tjeng masih saja menangis, akan tetapi sambil menangis itu, satu kali ia melirik si
anak muda. Justru itu, Sin Tjie sedang mengawasinya, hingga dengan sendirinya, sinar
mata mereka bentrok satu dengan lain. Ia lekas berpaling, kembali ia menangis keras.
Sin Tjie jadi habis sabar.
"Aku hendak lihat, berapa banyaknya sih air matamu!" pikir dia. Dan dia
mengantapkannya.
Ketegangan itu berjalan terus sampai sekian lama, sampai mendadak terdengar tindakan
kaki, yang datangnya dari arah utara, apabila keduanya menoleh, mereka tampak satu
petani muda sedang tuntun satu nyonya muda memasuki paseban itu. Si nyonya rupanya
sedang sakit, ia merintih saja.
Rupanya si petani ada suaminya nyonya itu, nampaknya ia sangat merasa kasihan,
berulang-ulang ia menghiburkannya.
Oleh karena disitu ada orang asing, Tjeng Tjeng berhenti menangis.
"Baik, aku nanti mencoba," pikir Sin Tjie, yang dengan tiba-tiba dapat satu pikiran.
Tidak lama, pasangan suami-isteri muda itu meninggalkan paseban.
Kesatria Berandalan 5 Amarah Pedang Bunga Iblis Karya Gu Long Pukulan Si Kuda Binal 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama