Ceritasilat Novel Online

Pedang Ular Mas 9

Pedang Ular Mas Karya Yin Yong Bagian 9


sabar lagi. "Perempuan jahat, perempuan jahat!" ia berseru. "Kenapa kau sembarang mendamprat
orang?" Tapi juga Kwie Djieso gusar.
"Kau siapa?" dia bentak.
"Dialah anaknya si Kim Coa mahluk aneh itu!" Soen Tiong Koen kasih tahu guru
perempuannya. Sebelah tangannya Kwie Djie-so tiba-tiba berkelebat, lalu satu sinar menyambar, ke arah
nona Hee. Sin Tjie terperanjat, hendak dia mencegah, tapi serangannya enso itu hebat sekali, tak
keburu dia berbuat apa-apa. Tjeng Tjeng menjerit, karena pundak kirinya kena terserang,
walau ia mencoba untuk berkelit. Dalam kagetnya, Sin Tjie lompat pada kawannya untuk
cekal bahu tangannya. Ia lihat sebatang paku shong-boen-teng nancap di pundak.
Tjeng Tjeng kesakitan akan tetapi ia gusar, tak perduli mukanya pias.
"Jangan bergerak!" Sin Tjie peringati.
Dengan dua jari tangan telunjuk dan tengah, anak muda ini pegang ujung paku, ia
mencabut dengan pelahan tetapi tetap, setelah kira tiga-empat bagian dan dapatkan paku
itu tidak bercagak, dengan mendadak ia kerahkan tenaganya, untuk mencabut terus
dengan tiba-tiba, maka dilain saat, paku itu telah tercabut dan jatuh ke lantai dengan
berbunyi nyaring.
Wan Djie telah menghampirkan mereka, segera ia berikan bantuannya. Ia telah lantas
siapkan dua potong saputangan yang bersih dengan apa Sin Tjie susuti lukanya Tjeng
Tjeng, yang ia terus balut.
"Dengar aku, adik Tjeng," Sin Tji berbisik. "Jangan layani dia."
"Kenapa?" tanya si nona dengan murka.
"Kita mesti hormati soehengku, tak dapat aku turun tangan," Sin Tjie kasi mengerti,
sikapnya sungguh-sungguh.
Tjeng Tjeng manggut dengan lesu, karena ia mesti tindas penasarannya.
Lega hati Sin Tjie, sebab ia tahu, kawan itu aseran dan kukuh, tapi sekarang, walaupun dia
dilukai dan dibikin marah, masih dia suka dengar nasihatnya. Ia girang sang kawan jadi
lunak, ia bersenyum.
Kwie Djie-nio tunggu sampai Sin Tjie sudah membalut selesai, sambil tertawa dingin, ia
kata: "Namanya Kim Coa Long-koen nama kosong belaka! Jikalau dia benar liehay, kenapa
puteranya tak dapat kelit pakuku yang aku sengaja gunai untuk mencobanya?"
Sin Tjie berdiam, didalam hatinya ia kata: "Djie-soeso terbenam dalam salah faham hebat,
apabila aku bantah dia, itu melulu akan menambah kemurkaannya."
Melihat orang berdiam, nyonya Sin Sie kata pula: "Disini ada terlalu banyak orang, tak
dapat kami omong banyak tentang Hoa San Pay kita, maka itu besok malam, jam tiga, kami
suami-isteri berdua suka menantikan kau disamping panggung Ie Hoa Tay dibukit Tjie Kim
San. Kami undang kau, tuan Wan, untuk kitaorang mencoba-coba, untuk buktikan kau
benar atau bukan soeteeku."
Biarnya njonya ini mengucapkan demikian, semua hadirin tahu itulah tantangan belaka,
maka juga Tjiauw Kong Lee jadi sibuk sekali, ia berkuatir.
"Kwie-sie suami-isteri telah kenamaan sekali di Kanglam, terutama nama besar dari Sinkoen
Boe-tek telah membuat aku sangat kagum," berkata dia, "maka itu, djiewie, bukan
main girangku atas kedatangan djiewie kemari. Sebenarnya, mengundang pun tak dapat
aku lakukannya."
"Hm!" Kwie Djie-so perdengarkan suara dihidung.
Kwie Sin Sie berdiam, ia masih empo anaknya, ia merasa tak enak sendirinya.
"Saudara Wan ini," berkata pula Tjiauw Kong Lee, "dia ketahui aku menghadapi kesulitan,
dengan kebaikan hatinya, dia datang untuk mendamaikan. Mengenai ini, Bwee Toako,
Lauw Toako dan Soen Toa-tjia bertiga telah mengetahuinya dengan jelas. Biarlah besok
malam, sebagai tuan rumah, aku undang Kwie-sie berdua hadirkan perjamukanku,
sekalian aku hendak memberi selamat yang sam-wie tiga saudara telah bertemu satu
dengan lain....."
Kwie Djie-so tidak tunggu tuan rumah bicara habis, dia berpaling kepada Sin Tjie dan
tanya dengan getas: "Bagaimana" Kau pergi atau tidak?"
"Soeheng dan soeso tinggal dimana?" tanya Sin Tjie tanpa perdulikan tantangan orang.
"Besok pagi aku nanti datang kepada soeheng dan soeso untuk menerima nasihat,
bagaimana juga soeheng dan soeso menegur aku, tidak nanti aku berani untuk egoskan
diri......"
"Hm!" terdengar pula sang enso kedua. "Siapa ketahui kau tulen atau palsu" Jangan kau
panggil soeheng atau soeso dulu kepada kami! Tunggu sampai besok, setelah kita
mencoba-coba, Baru kita bicara pula! Tiong Koen, mari kita pergi!"
Guru perempuan ini tarik tangan muridnya, untuk diajak berlalu.
Selama itu Tiang pek Sam Eng, yaitu tiga jago dari Tiang Pek San - Soe Peng Kong, Soe
Peng Boen dan Lie Kong - goncang hatinya. Diluar dugaan mereka, Sin Tjie muncul untuk
menyulitkan mereka. Mereka insyaf bahwa rahasia mereka sudah bocor, sehingga mereka
jadi berkuatir sekali. Sekarang mereka bisa duga pasti, Sin Tjie adalah orang yang tadi
malam satroni mereka dan rampas surat-surat mereka, hingga mereka kuatir Sin Tjie nanti
buka rahasia mereka dimuka umum itu. Maka itu mereka girang dengan munculnya Kwie
Sin Sie suami-isteri, karena rewelnya nyonya yang aseran ini membuat Sin Tjie jadi
"jinak". Mereka harap-harap nyonya itu membuat onar, supaya bisa datang ketikanya yang
baik untuk mereka mencari keuntungan karenanya. Tapi mereka kecele apabila mereka
dengar, nyonya Kwie cuma tantang Sin Tjie akan bertanding di Tjie Kim San besok malam.
Itulah berarti, mereka terancam bahaya pula, dari itu, setelah satu sama lain kedipi mata,
ketiganya bertindak, untuk ngeloyor pergi dengan diam-diam dengan dului nyonya Kwie,
selagi dia ini Baru memutar tubuh.
"Hei, tunggu dulu!" berseru Sin Tjie, yang lihat gerakan orang itu. Sebab walaupun ia
sibuk menghadapi si enso kedua, ia tidak pernah alpa memasang mata kepada tiga jago
Tiang Pek San itu. Pun, sambil berseru, dia berlompat maju, akan halangi mereka bertiga.
Kwie Djie-nio menjadi gusar, ia menyangka soetee ini hendak rintangi dia.
"Anak kurang ajar! Kau berani pegat aku?" Dia membentak seraya sebelah tangannya
dikasih melayang, untuk hajar kepala pemuda kita.
Sin Tjie berkelit, hingga tangannya enso itu lewat diatasan pundaknya, hingga ia kena
keserempet sedikit, hingga ia merasakan pedas sekali. Karena ini, ia jadi insyaf liehaynya
enso ini. Memang Kwie Djie-nio belum pernah kasih lewat ketika yang senggang untuk tidak
berlatih, untuk itu, ia bisa senantiasa berlatih dengan suaminya, hingga kepandaian
mereka berdua tidak pernah mundur hanya malah maju terus. Akan tetapi sekarang,
melihat si anak muda luput dari serangan, enso yang kedua ini jadi naik darah. Sudah
belasan tahun, belum pernah ia menemui orang yang bisa lolos dari serangannya ini.
Maka tidak tempo lagi, ia ulangi serangannya dengan babat pinggang si anak muda
dengan telapakan tangannya yang dikasih miring.
Sin Tjie mengerti selatan, ia mendahului lompat, melewati meja, dengan begitu, tak bisa si
enso itu susul ia. Sedang si enso sendiri, entah bagaimana, kembali tarik tangannya Soen
Tiong Koen, untuk diajak pergi, dengan begitu suaminya, berikut Bwee Kiam Hoo dan
Lauw Pwee Seng, lantas ikut mereka berlalu dari rumah Tjiauw Kong Lee.
Tiang Pek Sam Eng lihat ketikanya, kembali mereka pergi keluar, sekali ini bukan dengan
bertindak saja hanya sambil berlari.
"Hei, tahan!" Sin Tjie berteriak pula dengan cegahannya, terus ia berlompat, mencelat
bagaikan burung terbang, hingga ia dapat jambak Lie Kong, yang kabur paling belakang.
Tidak ampun lagi, ia totok jago Tiang Pek San ini, tubuh siapa terus ia lemparkan ke lantai.
Dua saudara Soe berlaku licik, mereka kabur terus, hingga mereka lenyap ditempat gelap.
Karena itu malam, cuaca gelap sekali. Sin Tjie juga tidak mengubar terus. Ia pikir, ia sudah
bekuk satu orang, orang ini pun bisa diminta keterangannya. Selagi ia memutar tubuh,
untuk kembali ke dalam, tiba-tiba ia dengar suara nyaring dibelakangnya, suaranya orang
tua: "Hai sahabat kecil, Baru sepuluh tahun lebih kita tidak bertemu, kepandaianmu telah
maju begini bagus!"
Sin Tjie goncang hatinya apabila ia dengar suara itu, yang ia kenali, sehingga dengan
cepat sekali, ia berpaling, untuk melihat. Itu waktu, ia sudah berjalan melewati pintu.
Bertindak dipintu ada dua orang, sebelah tangannya masing-masing mengempit Soe Peng
Kong dan Soe Peng Boen, kedua jago Tiang Pek San yang Baru saja lolos. Melihat tegas
romannya orang yang jalan dimuka, bukan buatan girangnya anak muda ini. Sebab orang
itu adalah seorang tua dengan alis dan kumis-jenggot sudah ubanan dan dibelakangnya
menggemblok selembar papan pesegi warna hitam! Sebab orang itu adalah yang pernah
berikan ia pelajaran entengkan tubuh dan senjata rahasia, ialah Bhok Siang Toodjin. Benar
dia bukannya gurunya yang resmi, toh Sin Tjie ingat budinya yang besar, hingga ia
pandang orang tua ini bagaikan guru sejati. Dengan kegirangan ia lompat menghampirkan
orang tua itu didepan siapa segera ia jatuhkan diri untuk berlutut, untuk manggutmanggut.
Bhok Siang Toodjin tertawa bergelak-gelak.
"Bangun, bangun!" katanya dengan ramah-tamah. "Kau lihat, siapa dia ini!"
Dan ia berpaling, akan tunjuk orang yang kedua, yang datang bersama ia, siapa sekarang
sudah berada disampingnya.
Sin Tjie awasi seorang usia pertengahan, yang rambutnya sudah mulai bersemu, yang
wajahnya menyatakan dia kenyang berkelana. Kembali ia jadi sangat girang, karena ia
kenali gurunya dimasa ia masih kecil sekali, orang yang pernah secara mati-matian tolong
jiwanya, ialah Tjoei Tjioe San.
Bhok Siang Toodjin sudah lanjut usianya, selama belasan tahun tampangnya tidak
berubah, tidak demikian dengan Tjoei Tjioe San, yang didalam tangsi tentera Giam Ong
sudah keluarkan banyak tenaga.
Dalam girangnya, Sin Tjie tubruk guru ini, yang ia rangkul lehernya.
"Tjoei Siokhoe, kiranya kau!" ia berseru berulang-ulang. Kemudian tanpa merasa, air
matanya mengalir turun.
Dengan mata berlinangan, Tjioe San pun sangat terharu dengan pertemuannya dengan
bocah itu. Mungkin guru dan murid masih sibuk sendirinya kalau tidak mendadak terdengar suara
Bin Tjoe Hoa, siapa sejak tadi tercengang karena sepak-terjangnya Sin Tjie.
"Hai!" serunya. "Kedua Soe Toako dan Lie Toako ini ada orang-orang undanganku, kenapa
kamu tawan mereka" Kenapa?"
Sin Tjie tidak lantas jawab teguran itu, dia hanya menunjuk pada gurunya tak resmi,
'sahabatnya' main catur, dia kata: "Inilah Bhok Siang Toodjin, salah satu guruku!"
Kemudian ia menoleh, akan tunjuk Tjioe San, akan perkenalkan pula: "Dan ini aku punya
Tjoei Siokhoe yang kesohor untuk ilmu silat Hok-houw-tjiangnya! Ini ada guruku ketika
untuk pertama kali aku belajar silat!"
Tidak tanggung-tanggung pemuda ini perkenalkan gurunya itu.
Diantara para hadirin yang tertua tidak ada yang tidak pernah dengar nama Bhok Siang
Toodjin, cuma imam ini tak ketentuan tempat berkelananya, gerak-geriknya bagaikan iblis
saja, karena mana, orang juluki dia "Kwie Eng Tjoe", si Bajangan Iblis. Kira-kira delapan
bagian dari hadirin yang tertua itu pernah lihat atau bertemu sama imam itu. Begitulah Sip
Lek Taysoe serta Thio Sim It dari Koen Loen Pay kenal ini imam, malah mereka masih
terhitung pihak angkatan muda, maka keduanya lantas saja menghampirkan untuk
memberi hormat.
Semua hadirin lainnya tercengang melihat pendeta dari Siauw Lim Sie itu dan jago dari
Koen Loen Pay menghormati itu imam, maka dengan sendirinya, mereka juga tidak berani
memandang enteng, semua turut memberi hormat.
Bhok Siang Toodjin angkat tangan kepada semua orang.
"Gawenya pinto ini," katanya, "kecuali gegares nasi adalah main tiokie melulu, lainnya
urusan, apapula yang menyulitkan, tak pernah pinto pusingi. Tapi sekali ini, hal adalah
lain. Baru pada bulan yang lalu, pinto dengar selentingan halnya orang bangsa kita, yang
sudah bersekongkol sama bangsa asing, dan orang itu katanya sudah datang ke kota
Lamkhia ini untuk beraksi, melakukan usaha besar untuk menjual Negara! Pasti sekali,
mengenai urusan ini, pinto tak dapat menonton saja dari samping. Maka itu,lantas pinto
menyusul kemari....."
"Siapakah pengkhianat itu?" tanya Bin Tjoe Hoa. "Mustahil mereka ada Tiang Pek Sam
Eng?" "Tidak salah!" jawab Bhok Siang Toodjin. "Benar ini tiga enghiong dan hookiat yang
namanya sangat kenamaan!"
"Ketiga tuan ini ada sahabat kekalku, kenapa mereka bisa lakukan perbuatan tidak tahu
malu itu?" tanya pula Bin Tjoe Hoa. "Janganlah kau semprot orang dengan darah!"
Bhok Siang bersikap tenang ketika ia menjawab pula:
"Pintoo adalah orang yang biasa berbuat murah hati, karena dengan mereka ini belum
pernah pinto bertemu, diantara kita tidak ada dendaman atau permusuhan maka kenapa
pinto mesti fitnah mereka" Tapi selagi pinto berada di Kwan Gwa, dengan mataku sendiri
pinto lihat mereka kasak-kusuk dengan orang Boan-tjioe, dari itu, disepanjang jalan terus
pinto ikuti mereka."
"Bukti apakah kau ada punya?" tanya pula Bin Tjoe Hoa. Ia malu apabila sampai orang
fitnah tiga sahabatnya itu.
Bhok Siang Toodjin tertawa berkakakan.
"Bukti?" tanyanya. "Buat apakah masih belum cukup?"
"Siapa yang dapat percaya itu?" baliki Bin Tjoe Hoa. Dia tetap masih penasaran.
Tidak senang Bhok Siang Toodjin terhadap sikap kasar itu, ia gusar.
"Walaupun Oey Bok Toodjin, gurumu, dia tidak berani mengucap sepatah kata
didepanku!" dia menegur. "Kau bocah, kau punya nyali besar berani tidak mempercayai
pinto?" "Mendengar ini, sebagian orang kurang puas, karena mereka anggap, mentang-mentang
orang tua dan kesohor, imam ini hendak berlaku demikian getas. Itulah, mereka pikir, ada
sikap sewenang-wenang.
Bhok Siang mendongkol, hingga ia urut-urut kumisnya.
Sin Tjie tidak mau lihat gurunya itu menjadi kalap, lekas-lekas ia keluarkan dua lembar
surat dari sakunya, ia lantas tunjuki itu pada Bin Tjoe Hoa.
"Bin Djie-ya, tolong kau bacakan ini untuk semua hadirin mendengarnya!" kata dia.
Bin Tjoe Hoa sambuti dua lembar surat itu, Baru ia baca beberapa baris, sudah ia lompat
berjingkrak bahna kaget, tapi ia teruskan membaca dengan suara nyaring.
Itulah suratnya Kioe-ong-ya To Djie Koen dari Manchuria yang ditulis untuk Tiang Pek Sam
Eng, buat suruh dan anjurkan tiga jago dari Tiang Pek Sam Eng itu rampas dan kangkangi
partai-partai di Kanglam, buat mengadu-dombakan pelbagai jago Rimba Persilatan,
supaya diaorang ini saling bunuh, supaya berbareng mereka memelihara tenaga, guna
nanti menyambut penyerbuannya tentara Boan terhadap Tionggoan. Surat itu dibubuhi
capnya pangeran Boan itu serta tanda tangan huruf Boan juga.
Bin Tjoe Hoa belum habis membaca, para hadirin sudah gempar saking murkanya mereka.
Tjit-tjap-djie-to Tootjoe The Kie In lompat kepada Lie Kong, untuk totok sadar orang
tawanannya Sin Tjie.
"Kau mempunyai kejahatan apa lagi" Lekas aku!" ia bentak.
Lie Kong melongo, tak dapat ia buka mulutnya.
Dalam sengitnya, The Kie In hajar pulang pergi kedua kuping orang, hingga jago Tiang Pek
San ini merah dan bengap juga kedua belah pipinya.
Sin Tjie gunai ketikanya itu akan tuturkan bagaimana ia dapatkan surat rahasia itu.
Lie Kong tahu dia tidak bisa diam lebih lama, tapi dia berkukuh kepada cita-citanya, maka
juga dengan berani, dengan nyaring, ia kata: "Tidak lama lagi angkatan perang Boantjioe
bakal datang menyerbu, maka juga wilayah Tionggoan ini bakal segera menjadi negaranya
bangsa Boan! Jikalau kamu semua menakluk dari sekarang, kamu bakal menjadi menterimenteri
berjasa yang membangunkan Negara! Jikalau......"
Kata-kata ini tidak habis diucapkan, karena kepalannya The Kie In sudah mampir
didadanya Lie Kong, hingga dia rubuh dengan tak sadar akan dirinya.
Dua saudara Soe dengar perkataan Lie Kong, mereka saksikan kejadian itu, akan tetapi
mereka sedang dalam totokan, tak dapat mereka membuka mulut atau bergerak. Mereka
insyaf bahaya yang mengancam diri mereka, hingga meeka jadi putus asa.
"Tootiang," berkata The Kie In, "Kejahatan pengkhianat-pengkhianat ini sudah terang, buat
apa kasih mereka hidup lebih lama pula" Baik bikin habis saja pada mereka!"
"Biar mereka tinggal hidup, pinto masih membutuhkannya," sahut Bhok Siang sambil
tertawa. "Sekarang sudah tidak siang lagi, lain hari saja pinto nanti undang tuan-tuan
untuk kita berunding. Haruslah diketahui, pengkhianat ini mestinya mempunyai konco!"
Perkataan imam ini dianggap benar, maka orang suka mendengarnya.
Sampai disitu, orang lantas bubaran.
Bin Tjoe Hoa menyesal bukan main, karena sekarang mengertilah ia duduknya perkara
semua. Ia menghaturkan maaf dengan sungguh-sungguh kepada Tjiauw Kong Lee, ia juga
menghaturkan terima kasih kepada Sin Tjie. Ia inysaf bencananya apabila ia kerembetrembet
Tiang Pek Sam Eng itu.
"Coba tidak Wan Siangkong yang datang mendamaikan, pastilah dosaku ada dosa tak
berampun," ia mengaku.
Sin Tjie hiburkan orang she Bin ini.
Begitu lekas orang sudah bubaran, Bhok Siang Toodjin kasih turun papan hitam
dibelakangnya, ia juga keluarkan biji-biji caturnya.
"Selama beberapa tahun ini senantiasa aku ingat kau," katanya pada Sin Tjie, "tidak lain
kehendakku adalah supaya kau bisa temani aku main catur!"
Sin Tjie bersenyum. Ia lihat gurunya itu demikian gembira, tidak mau ia menampik, maka
begitu lekas guru itu telah ambil tempat duduk, ia duduk didepannya.
Bhok Siang Toodjin kata pada semua orang lainnya: "Silahkan kamu semua beristirahat!"
Tjiauw Kong Lee lantas ajak Tjoei Tjioe San masuk kedalam, untuk diantar kekamar yang
disiapkan. Tjeng Tjeng tidak mau undurkan diri, ia mau nonton orang main catur, maka ia tempatkan
diri didamping guru dan murid itu.
Wan Djie sendiri lantas repot menyuguhkan arak dan sayurannya serta bebuahan juga.
Kong Lee pun pergi tidur.
(Bersambung bab ke 13)
Tjeng Tjeng tidak bisa main tiokie, setelah menonton sekian lama, ia jadi kehilangan
kegembiraannya, sedang waktu itu, ia masih menderita dari lukanya, dari lesu, ia jadi
ngantuk, akhirnya ia taruh kepalanya diatas meja dan pulas sendirinya.


Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nona Tjiauw, pergi kau pepayang ia untuk ia tidur dikamarmu," kata Bhok Siang Toodjin
pada Tjiauw Wan Djie.
Mukanya Nona Tjiauw menjadi merah dengan tiba-tiba, ia berpura-pura tak dengar imam
itu. Didalam hatinya, dia kata: "Kenapa tootiang ini jadi seperti orang tidak keruan
omongannya?"
Bhok Siang lihat sikap orang, ia tertawa berkakakan.
"Dia pun satu nona, kau malu apa?" kata dia pula.
"Bagaimana, Wan Siangkong?" akhirnya Wan Djie tanya si anak muda.
Sin Tjie pun tertawa, tapi ia lekas menyahuti: "Benar, dia pun satu nona. Tidak leluasa
untuk ia berkelana, dari itu ia menyamar."
Wan Djie percaya anak muda itu, ia tertawa, lantas ia pegangi Tjeng Tjeng, untuk diangkat
bangun, buat dipepayang kedalam kamarnya.
Nona Hee mendusin.
"Aku tidak ngantuk, aku masih hendak menonton," katanya. Tapi ia tidak buka matanya, ia
meram terus, tandanya ia masih ngantuk.
Wan Djie terlebih muda, akan tetapi ia biasa ikuti ayahnya, ia sudah berpengalaman.
"Baik encie beristirahat dulu, sebentar nonton lagi," ia membujuk. Ia pepayang terus
tetamu itu, sampai didalam kamarnya, ia buka kopiahnya Tjeng Tjeng, maka ia lihat rambut
yang panjang dan hitam mengkilap, ditengahnya ditancapi dua potong tusuk konde.
Sin Tjie layani gurunya dengan sungguh-sungguh, akan tetapi dua kali dia jalan keliru. Ia
ingat tantangannya Kwie Djie-so untuk besok malam, pikirannya jadi tidak tenteram.
Bagaimana ia harus layani enso yang aseran itu" Ia mencoba akan tenangkan diri. Tibatiba
ia ingat suatu apa.
"Tootiang, cara bagaimana kau ketahui dia seorang wanita?" Tanya dia akhirnya.
Bhok Siang Toodjin tertawa.
"Bersama-sama dengan Siokhoemu itu, pada lima hari yang sudah telah aku bertemu
denganmu," menyahut guru ini. "Aku ingin ketahui kemajuan boegeemu dan tingkahlakumu
juga, dari itu sengaja aku tidak mau lantas perlihatkan diri. - Kau hati-hati, aku
hendak makan bijimu ini....." Ia lantas jalankan sebuah bijinya. Lalu ia menambahkan:
"Kepandaianmu telah jadi apa yang dibilang, hijau itu asalnya dari biru, akan tetapi
mungkin kau belum bisa lombai gurumu, hanya aku si imam tua, aku bukanlah
tandinganmu."
Sin Tjie lekas berbangkit dengan sikapnya yang sangat menghormat.
"Tapi semua itu berkat pengajaran soehoe dan tootiang," kata ia. "Selama beberapa hari
ini, umpama tootiang mempunyai waktu yang luang, teetjoe harap tootiang sudi ajari pula
aku beberapa rupa ilmu pukulan lainnya."
Imam itu tertawa.
"Sampai sebegitu jauh, selama kau temani aku main tiokie, belum pernah tempo itu
dilewatkan dengan cuma-cuma," kata dia. "Habis apa lagi aku mesti ajari kau"
Kepandaianmu sudah menyusuli kebisaanku. Justeru kaulah yang mesti ajarkan beberapa
jurus kepadaku! - Ha-ha bentengmu kena aku serbu!"
Imam ini girang sekali.
"Kepandaian yang tinggi memang sukar didapatkannya," berkata ia pula. "Akan tetapi
dalam halnya kau, sifatmu baik sekali, itulah terlebih sukar untuk didapatinya. Kau masih
muda sekali akan tetapi hatimu lurus, terhadap kawan wanita, kau berlaku tepat dan
hormat, atas itu aku dan Tjoe Siokhoemu sangat kagumi kepadamu!"
Sin Tjie jengah sendirinya, mukanya menjadi bersemu merah, ia rasakan panas. Apakah
tak mungkin, imam ini telah lihat bagaimana ia bergaul rapat sekali dengan Tjeng Tjeng" Ia
malu sendirinya, kenapa imam itu bisa intip ia tanpa ia dapat ketahui. Itu menyatakan ilmu
entengkan tubuh dari ini guru tak resmi sangat tinggi.
Ketika itu keduanya berhenti bicara, ruangan jadi sangat sunyi. Tiba-tiba terdengar suara
perlahan di luar ruangan. Sin Tjie tahu sedikitnya datang tiga orang entah siapa, akan
tetapi karena Bhok Siang Toodjin diam saja, ia pun tidak ambil sesuatu tindakan, ia
melanjuti jalankan biji-biji caturnya seperti si imam sendiri.
"Sepak-terjangnya Djiesoesomu barusan aku telah dapat lihat," berkata Bhok Siang
kemudian. "Kau jangan kuatir, besok aku nanti bantu kau untuk menghadapi dia."
"Justeru tak ingin teetjoe turun tangan terhadapnya," Sin Tjie kata. "Paling baik apabila
tootiang bisa damaikan kita."
"Kau takut apa?" Bhok Siang bilang. "Kau lawan, kau hajar padanya! Umpama gurumu
tegur padamu, katakan saja, aku yang anjurkan kau hajar padanya!"
Menyusul kata-katanya si imam, dari atas genteng loncat turun empat orang pula yang
dibarengi dengan empat buah piauw menyambar ke arah Bhok Siang Toodjin dan Sin Tjie
berdua. Imam itu geraki kedua tangannya kebelakang, dengan gapah ia tanggapi empat batang
senjata rahasia itu, lalu dengan tidak dilihat lagi, ia letaki itu diatas meja.
Tujuh orang diluar itu menjadi gusar, dengan berbareng mereka singkap sero untuk
lompat masuk kedalam ruangan. Mereka semua menyekal senjata, agaknya mereka berniat
menyerang. "Bisa apa tidak kau makan ini tujuh biji semuanya?" si imam tanya kawan main catur itu.
"Teetjoe akan coba-coba," sahut Sin Tjie yang mengerti masuk perkataan itu.
Sementara itu, dua dari tujuh orang tidak dikenal itu hampirkan Tiang Pek Sam Eng, untuk
kasi bangun pada mereka itu, dan lima yang lain maju terus kepada dua orang yang asik
main catur itu, untuk serang mereka ini dengan golok dan pedang.
Sebat luar biasa, Sin Tjie raup biji catur, terus ia menyambit kebelakang, hingga sambaran
anginnya terdengar nyata, menyusul mana tujuh orang itu mendadakan rubuh terjungkal,
senjata mereka terlepas dan jatuh kelantai dengan terbitkan suara nyaring dan berisik.
Wan Djie Baru selesai urus Tjeng Tjeng, ia dengar suara berisik itu, ia kaget, ia lari keluar,
maka ia saksikan Bhok Siang Toodjin dan Sin Tjie sedang asik lanjutkan permainannya,
akan tetapi didalam thia itu, tujuh orang lain lagi meringkuk. Ia segera mengerti duduknya
hal, tapi ia tidak mau ganggu dua orang itu, maka ia tepuk kedua tangannya tiga kali, atas
mana muncullah enam orangnya. Dengan suara perlahan, ia suruh mereka ambil tambang,
akan ringkus tujuh orang itu berikut Tiang Pek Sam Eng juga.
Selang setengah jam kemudian, Barulah dua orang itu akhirkan pertempuran mereka
diatas papan catur, kesudahannya Sin Tjie kalah tiga kali.
Bukan main girangnya si imam. "Dalam beberapa tahun ini, ilmu silat caturmu mundur, tak
ada kemajuannya!" katanya.
"Dasar tipu-tipu tootiang yang liehay dan teetjoe tidak sanggup melawannya," Sin Tjie aku.
Bhok Siang lantas menoleh kepada Wan Djie.
"Nona, coba tolong geledah mereka!" ia minta.
Wan Djie menurut, akan tetapi ia tidak turun tangan sendiri, ia suruh orang-orangnya yang
bekerja. Sebagai kesudahan dari penggeledahan itu, kecuali senjata-senjata rahasia, diketemukan
beberapa lembar surat serta beberapa buku kecil yang memuat pelbagai tanda rahasia.
Salah satu surat itu adalah suratnya si pangeran Boan, Kioe-ong-ya To Djie Koen, untuk
Soelee Thaykam Tjo Hoa Soen di kota raja. Kepada thaykam ini, thaykam, telah
diberitahukan, oleh karena penjagaan di Sanhaykwan keras sekali, utusannya ini sampai
mesti jalan mutar, dengan jalan laut. Kioe-ong-ya pesan, segala urusan besar, boleh
didamaikan dengan pembawa suratnya itu, bernama Ang Seng Hay.
Bhok Siang gusar apabila ia ketahui siapa mereka itu.
"Semakin lama kawanan dorna ini jadi makin bernyali besar!" katanya dengan sengit. "Hm!
Di hadapanku mereka berani mencoba merampas orang!"
Masih imam ini sengit, hingga ia dupak kepalanya satu orang tangkapan, hingga tidak
ampun lagi, kepala itu pecah, polonya berantakan.
Masih Bhok Siang hendak menendang pula tapi Sin Tjie mencegah.
"Sabar, tootiang. Mungkin mereka itu ada faedahnya untuk kita. Nanti teetjoe periksa
mereka." Bhok Siang demikian mendongkol, hingga ia hendak robek-robek surat itu.
"Jangan, tootiang," Sin Tjie mencegah pula.
"Baik aku suka dengar kau," kata si imam kemudian. "Tapi ingat, besok kau mesti layani
aku main lagi sampai tiga babakan!"
"Asal tootiang mempunyai kegembiraan, sampai sepuluh babak pun boleh," jawab Sin
Tjie. Ia sukai imam ini tak perduli tabeatnya aneh.
Sampai disitu, Wan Djie undang imam itu pergi beristirahat, untuk mana, satu bujang
layani dia. Sin Tjie perhatikan surat-surat dan buku itu, mendadakan ia dapat pikiran.
"Sakit hatinya ayahku belum terbalas, surat-surat ini seumpama hadiah Thian kepadaku,"
demikian ia pikir. "Baik aku nelusup masuk kedalam istana raja, untuk wujudkan
pembalasanku."
Tidak ayal lagi, ia totok sadar satu orang.
"Katakan padaku, yang mana diantara kamu yang bernama Ang Seng Hay?" Tanya dia.
Orang itu menunjuk salah satu kawannya, yang berumur tiga-puluh lebih, yang romannya
cakap. Sin Tjie lantas totok sadar orang she Ang itu.
"Kau beri keterangan padaku," ia kata.
Ang Seng Hay berkepala batu, ia tidak suka bicara.
Anggap orang tak suka bicara karena mereka bicara didepan satu kawannya, Sin Tjie
perintah orang angkat Seng Hay untuk dibawa kekamar tulis.
"Kau adalah utusan Kioe-ong-ya, kau mestinya satu laki-laki sejati," kata dia. "Aku hendak
minta keterangan dari kau, maka aku Tanya satu, kau mesti jawab satu. Jikalau kau tetap
tidak hendak bicara, aku nanti tahan terus padamu sampai beberapa hari, supaya kau
nanti mati secara perlahan-lahan!"
Ang Seng Hay murka.
"Imammu itu gunai ilmu siluman, walaupun binasa, aku tidak puas!" kata dia.
"Rupanya kau anggap boegeemu liehay," Sin Tjie bilang. "Kau dengar aku! Kau orang
Han, kau kesudian menjadi kacung Boan, itu artinya dosa untuk mana pantas kau
mendapat hukuman, bagianmu adalah kematian. Kau tidak puas, baik, mari, aku nanti
layani kau pieboe! Tapi ingat, satu kali kau kalah, kau mesti jawab aku dengan sebenarbenarnya,
jangan ada yang kau sembunyikan! Akur?"
Sin Tjie hendak uji kepandaiannya, ia harap nanti ia bisa pakai tenaganya orang ini.
Ang Seng Hay girang dengan tawaran itu. Didalam hatinya, ia pun berkata: "Entah kenapa
tadi, tahu-tahu aku merasai jalan darahku tertotok, lantas aku rubuh. Mungkin itu karena si
imam telah gunai ilmu gaibnya. Sekarang si imam tidak ada, anak muda ini mana dapat
menjadi tandinganku" Baik aku terima tantangannya!"
Lantas saja ia menjawab: "Baik! Asal kau sanggup kalahkan aku, apa juga yang kau
tanyakan, aku nanti jawab!"
Tanpa sangsi lagi, Sin Tjie hampirkan orang tawanannya itu, untuk bukakan tambang
belengguannya. Ia membuka dengan jalan putuskan tambang itu, agaknya ia cuma pakai
tenaga sedikit sekali.
Seng Hay heran, hingga ia terperanjat. Ketika tadi ia Baru diikat, ia telah mencoba
kerahkan tenaganya, untuk berontak, buat loloskan diri dari belengguan dengan jalan
amuk putus tambang itu, tetapi ia tidak berhasil, bukan saja tambang tidak putus malah ia
merasa, ikatannya jadi semakin keras, siapa tahu sekarang, secara sembarangan saja,
anak muda ini dapat bikin putus tambang itu. Tanpa merasa, ia jadi jeri sendirinya.
"Kau hendak pieboe cara apa?" bertanya dia. "Mari kita pergi keluar. Kau hendak gunai
senjata tajam atau kepalan saja?"
Sin Tjie tertawa.
"Aku timpuk kau dengan biji catur, kau sangka si imam gunai ilmu gaib!" katanya. "Melihat
caranya kau lompat masuk kedalam thia tadi, kau mungkin satu ahli lweekee."
Kembali Seng Hay heran. Ia ingat, ketika tadi ia menerjang masuk ke thia, dua-dua pemuda
ini dan imam tidak menoleh untuk awasi dia, maka kenapa orang justeru bisa lihat dia dan
segera kenali cara bergeraknya itu. Tapi ia manggut, untuk benarkan pernyataan itu.
"Karena itu," berkata Sin Tjie, "mari disini saja kita main saling tolak."
"Baik," sahut Seng Hay tanpa ragu-ragu. "Apakah aku boleh dapat ketahui she dan nama
besar tuan?"
Sin Tjie tertawa.
"Kau tunggu saja sampai kau nanti sudah dapat menangkan aku, nanti aku sendiri yang
memberitahukan," jawabnya.
Seng Hay manggut.
"Silakan!" kata dia, yang terus pasang kuda-kudanya dengan kedua tangan dibawa
kedepan dada. Tubuhnya sedikit doyong kedepan.
Sin Tjie tidak lantas terima tantangan itu. Ia hanya gosok bak, ia siapkan selembar kertas.
"Aku nanti menulis disini," katanya. "Kau tahu, apa yang aku akan tulis" Itulah syairnya
Touw Kong-pou, syair "Peng Kie Hang"."
Seng Hay heran. Orang ajak dia pieboe, habis orang hendak tulis surat dulu. Maka ia
lantas saja ambil tempat duduk, niatnya untuk menantikan.
"Eh, kau jangan duduk!" Sin Tjie mencegah. Ia ulur tangan kirinya. "Sekarang aku hendak
menulis, selagi aku menulis, kau dorong tanganku ini. Umpama kata tangan kananku
tergerak dan tulisannya jadi mengok atau tak keruan macam, aku anggap kau yang
menang, segera kau boleh angkat kaki dari sini. Tapi umpama kata aku berhasil menulis
selesai syair yang panjang itu tetapi kau tetap tidak mampu tolak aku, kaulah yang kalah,
maka itu, apa juga yang aku tanyakan, aku larang kau umpetkan walau sepatah kata juga!"
Ang Seng Hay tertawa berkakakan.
"Bocah ini masih hijau, dia Baru pernah muncul dia tak tahu langit itu tinggi dan bumi
tebal, hingga dia terlalu sombongkan boegee sendiri, lalu dia pandang sebelah mata
kepadaku! Oh, mungkin ini disebabkan karena ia lihat aku beroman cakap dan bertubuh
tidak kekar, hingga dia anggap aku tidak punya guna. Baik, aku nanti coba padanya." Maka
ia terus jawab: "Aku lihat pieboe seperti ini sangat tidak adil...."
Sin Tjie tertawa.
"Tapi inilah buah-hasilnya usulku sendiri!" ia bilang. "Sekarang aku hendak mulai menulis,
kau boleh maju!"
Lantas saja ia duduk menulis, mulanya tiga huruf " Kie lin lin."
Ang Seng Hay tidak bilang apa-apa lagi, ia terima baik pieboe semacam itu. Ia pasang
kuda-kudanya dengan tegak, lalu ia kumpulkan tenaganya pada kedua bahu tangannya.
Habis itu, dengan gerakan "Pay san to hay" atau "Menolak gunung untuk menguruk
lautan", ia menolak dengan keras dengan dua tangannya kepada tangan kirinya si anak
muda yang diulur kebelakang, kearahnya. Sebab untuk menulis di meja, pemuda ini berdiri
menghadapi meja, karena ia menulis dengan tangan kanan, tangan kirinya jadi dikeluarkan
kesebelah belakang. Hingga sama sekali ia membelakangi lawannya itu.
Begitu lekas Seng Hay menolak dengan sekuat tenaga, Sin Tjie egoskan tangan kirinya,
maka lenyaplah tenaga mendorong orang she Ang ini. Ia jadi penasaran, untuk mendorong
satu kali lagi, kedua tangannya dipasang diatas dan bawah, sebagai menjepit. Dengan
gerakan ini, mungkin juga tangan kiri si anak muda kena tertekuk hingga patah.
Tangan kanannya Sin Tjie menulis pula, dari mulutnya keluar kata-kata: "Seranganmu ini
adalah 'Seng thian djip tee' -'Naik kelangit, masuk kebumi'. Itulah, turut pendengaranku,
adalah tipu silat Poet Hay Pay dari Shoatang. Maka, tuan Ang, kau mestinya dari partai
Poet Hay Pay itu."
Ia menulis terus, tangan kirinya digeraki bagaikan bergeraknya ekor ikan, maka kedua
tangannya Seng Hay bentrok sendirinya satu pada lain sambil menerbitkan tepokan
tangan yang nyaring.
Mengalami ini, Seng Hay jadi panas. Maka ia menyerang pula dengan sengit, dengan
keluarkan kepandaiannya.
Sin Tjie tetap menulis terus, disebelah itu, tangan kirinya digerak-geraki terus juga, untuk
membebaskan diri dari sesuatu serangan, hingga ia tak dapat ditolak atau didorong.
Sebaliknya tangan kiri itu seperti mempunyai tenaga menolak, membal balik.
Dengan sengitnya Seng Hay menyerang dengan tipu silatnya "Tjan kauw koen" atau
pukulan "menyembelih naga". Baru saja ia habis menyerang, dengan kegagalan, Sin Tjie
telah berkata padanya: "Tjan kauw koenmu ini masih mempunyai sembilan jurus lainnya,
sedang tulisan syairku 'Peng Kie Hang' bakal lekas sampai diakhirnya. Maka sekarang aku
atur begini: Aku tunggui kau, setiap kali kau menyerang, setiap kali juga aku menulis satu
huruf saja."
Kembali Seng Hay menjadi heran. Kenapa orang kenali ilmu silatnya itu" Apa mungkin
pemuda ini adalah orang satu kaum dengannya" Toh ia tidak kenal pemuda ini dan gerakgerik
tangan dan tubuhnya beda dengan Poet Hay Pay. Dengan penasaran berbareng
ragu-ragu itu, ia lanjuti penyerangannya, dengan terlebih hebat dan liehay. Ia tidak harap
lagi bisa berkisar saja, pasti tulisannya akan kacau.
Sin Tjie menulis terus, ia membacakan: "Thian im ie sip seng tjioe tjioe". Huruf tjioe yang
terakhir masih belum tertulis habis, serangannya Seng Hay masih ada dua jurus lagi, ialah
dua jurus terakhir dari Tjan Kauw Koen. Karena berulang-ulang dia gagal. Seng Hay ubah
pula cara menyerangnya, ialah ia mendak dan kedua tangannya dikasi melengkung, ia
menubruk dengan pakai tubuh juga, agaknya ia hendak peluk tubuh anak muda itu.
Ang Seng Hay sangat bernapsu, sampai ia lupai pantangan ahli silat untuk bisa kendalikan
diri. Ia telah bergerak dengan ceroboh sekali. Dengan bersikap merangkul secara
demikian, ia seperti lupai tangan Sin Tjie. Maka Baru ia maju atau si anak muda sudah
mengenai dadanya, sehingga bukannya Sin Tjie atau kursinya yang berkisar, adalah ia
sendiri yang kena tertolak mundur, demikian keras, sehingga ia jumpalitan tiga kali,
percuma ia pertahankan diri, ia rubuh juga, jatuh duduk dilantai bagaikan patung.
Sehingga ia membutuhkan sekian saat untuk bisa lompat bangun. Ia pun berlompat
bangun selagi ia Baru sadar bahwa ia sudah kena dirubuhkan!
Adalah disaat itu, Tjiauw Wan Djie bertindak masuk kedalam kamar tulis dengan membawa
tehkoan buatan Gie-hin, yang warnanya merah tua.
"Wan Siangkong, inilah teh Liong-tjeng yang kesohor," katanya sambil menawarkan.
"Silakan minum!"
Ia pun segera tuang air teh itu kedalam sebuah cangkir, sehingga Sin Tjie lantas mencium
bau wangi dari teh itu. Ia tidak sungkan-sungkan lagi, ia sambuti teh itu dan terus
diminum. "Benar-benar teh bagus!" ia memuji. Ia angkat tulisannya, "Peng Kie Hang", akan tunjuki
si nona seraya kata: "Nona Tjiauw, tolong lihat ini, apakah tulisan ini ada yang kacau dan
kotor?" Wan Djie periksa syair itu, lalu ia tertawa.


Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siangkong benar-benar boen boe tjoan tjay!" memuji dia. "Tulisan ini baik diberikan
kepadaku saja!" (Boen boe tjoan tjay berarti mengerti berbareng dua-dua ilmu surat dan
ilmu silat). "Tapi tulisanku jelek," si pemuda bilang. "Barusan aku telah bertaruh sama sahabat baik
ini, maka tulisan ini Baru saja ditulis rampung. Jikalau nona inginkan ini, baik, tapi jangan
nona perlihatkan kepada orang lain, agar orang tidak tertawai aku!"
Wan Djie bersenyum, ia gulung tulisan itu, lantas ia ngeloyor pergi.
Setelah si nona keluar, Sin Tjie Tanya Ang Seng Hay: "Kioe-ongya utus kau kepada Tjo
Hoa Soen, untuk urusan apakah itu?"
Seng Hay ragu-ragu, sehingga berulang-ulang ia tidak bisa menyahuti, sehingga ia cuma
kemak-kemik saja.
"Bukankah barusan kita telah bertaruh?" Sin Tjie tegasi. "Bukankah kau tidak sanggup
tolak aku sehingga berkisar?"
Ang Seng Hay jengah, ia tunduk.
"Boegee Wan Siangkong sangat mengagumkan, inilah ilmu kepandaian yang belum
pernah aku dengar, yang belum pernah aku saksikan," katanya dengan perlahan.
"Sekarang coba kau raba tubuhmu, dibawah tetek kiri," Sin Tjie kata. "Coba periksa tulang
rahang yang kedua. Apakah yang kau rasai"......"
Ang Seng Hay menurut, ia raba tempat yang ditunjuki itu. Tiba-tiba ia terkejut. Bagian
tubuh itu menjadi baal, ia tak rasakan apa-apa!
"Sekarang kau raba pula, tengah-tengah pinggang bagian kanan," Sin Tjie menyuruh pula.
Ang Seng Hay meraba, ia menekan, lantas ia menjerit: "Aduh!". Ia pun kaget sekali,
herannya bukan buatan. Tapi segera ia kata: "Jikalau tidak diraba, aku tidak rasakan
apajuga, begitu kebentur tangan, sakitnya bukan main...."
Sin Tjie bersenyum.
"Itulah dia!" ia bilang. Ia isikan cangkir tehnya, ia hirup air teh itu, kemudian ia membalikbalik
lembarannya satu buku diatas meja, tidak lagi ia perhatikan orang didekatnya itu.
Seng Hay berdiri diam dengan serba salah. Ia berniat angkat kaki akan tetapi tak berani ia
pergi. Dengan begitu, ia pun terus berdiam saja.
Tidak lama, anak muda kita berpaling.
"Eh, kau masih belum pergi?" tanyanya.
Seng Hay terperanjat, tetapi ia girang sekali.
"Kau perkenankan aku pergi?" tegasi ia.
"Kau sendiri datang kemari, aku tidak undang kau," berkata si anak muda," maka jikalau
kau hendak pergi, tak dapat aku tahan padamu."
Bukan kepalang girangnya Seng Hay, ia segera berbangkit, untuk memberi hormat sambil
menjura. "Tidak nanti aku berani lupakan budimu, siangkong," kata ia.
Sin Tjie manggut, kembali ia baca bukunya.
Seng Hay bertindak kepintu, ketika ia merandek di depan itu. Dengan tiba-tiba ia berkuatir
orang nanti rintangi ia. Lantas ia hampirkan jendela, ia tolak kedua daunnya, tubuhnya
menyusul loncat keluar. Sebelum ia angkat kaki terus, ia menoleh kebelakang, ia dapatkan
si anak muda masih saja baca buku, jadi orang tidak susul ia, hatinya menjadi lega.
Sekarang Barulah ia loncat naik keatas genteng, untuk angkat kaki.
Sementara itu, walaupun sang malam sudah larut, Tjiauw Wan Djie masih belum tidur. Ia
tak dapat lupakan Sin Tjie, tetamunya, penolongnya itu, budi siapa ia ingat betul. Sampai
mendekati fajar, anak muda itu masih berdiam di dalam kamarnya, membaca kitab,
beberapa kali ia telah mondar-mandir, akan melihat, tetap anak muda itu bercokol di
kursinya. Akhirnya ia panggil bujang perempuannya, akan titahkan membuat beberapa
rupa tiamsim, barang makanan, yang ia sendiri lantas bawa kekamarnya pemuda itu.
Mulanya ia mengetok pintu dengan perlahan, sampai beberapa kali, Barulah ia tolak
daunnya untuk masuk kedalam.
Sin Tjie lagi membaca kita "Han Sie", cerita atau riwayat kerajaan Han, agaknya dia sedang
sangat tertarik hatinya, sampai ia diam saja atas datangnya nona rumah.
"Wan Siangkong kau masih belum masuk tidur?" Nona Tjiauw Tanya. "Baik siangkong
coba dulu tiamsim ini, habis kau masuk untuk beristirahat....."
Baru sekarang anak muda kita berbangkit, untuk haturkan terima kasih.
"Baik nona tidur, tidak usah kau perhatikan aku," katanya. "Aku masih menantikan satu
orang....."
Baru pemuda ini mengucap demikian atau mendadak daun jendela menjeblak sehingga
menerbitkan suara, menyusul itu, satu tubuh lompat masuk.
Wan Djie kaget hingga ia lompat berjingkrak, akan tetapi segera ia tampak Ang Seng Hay.
Orang she Ang ini manggut kepada si nona, lantas ia hampirkan Sin Tjie didepan siapa ia
tekuk lutut. "Wan siangkong, siauwdjin tahu diriku bersalah," katanya. Ia membahasakan diri "siauwdjin"
atau orang rendah. "Tolong siangkong, jiwaku....."
Sin Tjie ulur kedua tangannya, untuk memimpin bangun, akan tetapi Seng Hay tidak mau
berbangkit. "Mulai hari ini dan selanjutnya, siauwdjin nanti ubah kelakuanku," berkata ia pula. "Aku
minta dengan sangat supaya siangkong tolongi aku."
Tjiauw Wan Djie mengawasi dengan kedua mata dipentang lebar, ia tak mengerti atas apa
yang ia pandang itu.
Sin Tjie ulur pula kedua tangannya, ketika ia kerahkan tenaganya, tahu-tahu tubuhnya
Seng Hay terangkat terus jumpalitan, sehingga dilain saat, pahlawan atau utusannya Kioeongya itu telah rubuh duduk di jubin, tapi ketika ia raba ketiaknya, wajahnya menjadi
terang, satu tanda bahwa hatinya lega, ia girang. Tapi waktu ia usut dadanya, ia kerutkan
alis hingga kedua alisnya hampir menyambung satu pada lain.
"Mengertikah kau sekarang?" Tanya Sin Tjie.
Seng Hay adalah seorang sangat cerdik dan tangkas, kalau tidak, tidak nanti Kioe-Ong-Ya
To Djie Koen kirim ia selaku mata-mata, maka atas pertanyaan si anak muda, segera ia
insaf. "Siangkong, apakah kau hendak tanya aku?" katanya. "Silakan, siauwdjin nanti menjawab
dengan sebenar-benarnya."
Wan Djie duga orang hendak omong rahasia, ia lantas undurkan diri, keluar dari kamar
tulis itu. Ketika tadi ia lari pulang ke hotelnya, Seng Hay telah buka bajunya, untuk periksa
tubuhnya. Di dadanya ada sebuah bentol merah sebesar uang tangtjhie, ketika ia raba itu,
ia tidak rasakan apa-apa. Dibawah ketiaknya, ia dapatkan, ada tiga titik hitam seperti
kacang, apabila ia kena langgar itu, ia merasakan sangat sakit. Ia mengerti, itulah luka
yang ia dapatkan tadi selagi ia bertolak tenaga kekuatan berbalik dari Sin Tjie. Maka lekaslekas
ia duduk bersila di atas pembaringannya, untuk menyedot dan mengeluarkan napas
dengan peraturan, untuk perbaiki jalan napasnya, ia merasakan sakit. Maka ia lekas
rebahkan diri, rasa sakit itu lantas lenyap sendirinya. Tiga kali ia mencoba perbaiki jalan
napasnya, selalu ia gagal.
Mata-mata Kioe-ong-ya ini tidak berpikir lama akan ingat ilmu silat yang dinamakan "Koenthiankang", ialah tenaga yang memukul berbalik siapa terluka karena serangan itu,
apabila tidak dapat obat yang tepat dalam seratus hari dia bakal mati meroyan. Ingat ini, ia
jadi takut sendirinya. Di situ tidak ada orang lain yang bisa tolongi ia, kecuali Sin Tjie, si
anak muda. "Ah, aku mesti pergi padanya...."
Lantas dia pakai bajunya, ia keluar dari hotel, akan berlari-lari ke rumahnya Tjiauw Kong
Lee, akan lompat masuk kedalam kamarnya si anak muda dengan jeblaki jendela.
Sin Tjie lantas berkata pada orang she Ang ini: "Kau telah dapat dua luka di tubuhmu,
yang satu tadi aku telah sembuhkan, tinggal yang satu lagi. Sekarang ini, luka itu tidak
memberi rasa apa-apa, akan tetapi berselang tiga bulan, baal itu bakal bertambah luas,
bisa menjalar sampai di dada, di ulu hati, maka itulah artinya sampailah batas umurmu!"
Kembali Seng Hay kaget. Jadi benarlah dugaannya tentang lukanya itu. Maka ia jatuhkan
diri, ia berlutut sambil manggut berulang-ulang. Karena ia minta dengan sangat untuk
ditolong. "Kau telah menjadi harimau yang mengganas, kau akui dorna sebagai ayahmu!" Sin Tjie
bilang, dengan roman yang keren. "Itulah dosamu yang tak berampun! Sekarang aku tanya
kau, kau mau atau tidak untuk gunai jasamu menebus dosa?"
Seng Hay takut benar-benar, hingga ia menangis, air matanya meleleh.
"Memang siauwdjin tahu, perbuatanku ini sesat," kata ia dengan pengakuannya. "Ada
kalanya di waktu malam siauwdjin pikirkan itu dan insaf sendiri, hingga siauwdjin
mengerti, perbuatan itu hina dan sangat memalukan leluhurku. Inilah gara-garanya satu
kejadian pada tahun yang lampau, yang membuat siauwdjin buntu jalan hingga terpaksa
siauwdjin berlaku begini hina."
Sin Tjie awasi wajah orang, ia mau percaya bahwa orang omong dengan sejujurnya. Ia
menduga pada satu kejadian penting. Ia hendak menanya akan tetapi ia tidak lantas
lakukan itu. Ia mengerti, orang ini sangat membutuhkan pertolongannya. Orang pun masih
tetap paykoei. "Mari bangun dan duduk," ia kata kemudian. "Mari kita bicara dengan perlahan-lahan.
Siapa sudah paksa kau berbuat begini macam, sampai kau buntu jalan?"
"Aku telah didesak oleh Hoei thian Mo Lie Soen Tiong Koen dan Kwie Djie Nio-tjoe,
keduanya dari Hoa San Pay," sahut Seng Hay.
Inilah jawaban diluar sangkaan Sin Tjie, sampai hatinya bercekat.
"Apa" Mereka yang desak kau?" ia tegasi.
Wajahnya Seng Hay pun berubah, nampaknya ia berkuatir.
"Apakah siangkong kenal mereka?" ia balik tanya.
"Baru tadi aku bertempur dengan mereka," sahut Sin Tjie.
Mendengar itu, Seng Hay girang berbareng masgul. Ia masgul karena kekuatirannya,
sebab kedua musuhnya itu berada di Lamkhia ini, di satu tempat dengan ia, Seng Hay
takut nanti ketemu mereka itu di tengah jalan, itu berarti bencana untuknya. Ia girang
sebab nyata anak muda ini telah bertempur dengan mereka itu, ia duga pemuda yang
kosen ini adalah musuh mereka.
"Dua orang itu," katanya melanjuti," walau kepandaian mereka tinggi, mereka bukannya
tandingan siangkong. Cuma mereka berdua telengas sekali, apa juga mereka berani
lakukan, dari itu siangkong harus waspada."
Sin Tjie perdengarkan suara yang memandang enteng.
"Kenapa mereka desak kau?" ia tanya.
Seng Hay berdiam sebentar, lalu ia menyahut.
"Tidak berani aku dustakan kau, siangkong," katanya. "Tadinya siauwdjin berdiam di laut
di Shoatang melakukan pekerjaan tidak memakai modal. Pada suatu hari, satu saudara
angkat lihat Soen Tiong Koen, ia ketarik, ia lantas majukan lamaran kepada nona itu. Soen
Tiong Koen tampik lamaran itu. Sebenarnya dengan penampikan saja sudah cukup, akan
tetapi ia tidak berhenti sampai disitu, tanpa mengucap sepatah kata, dia hunus
pedangnya, dan babat kedua kupingnya saudara angkat itu. Tentu sekali aku tidak puas
dengan perbuatan galak itu, yang keterlaluan dan kejam itu, lantas aku ajak belasan
kawan, untuk satroni dia. Maksudku adalah untuk culik dia, supaya dia menikah dengan
saudara angkat itu. Tegasnya kita hendak paksa padanya.
Celakanya untuk kita, gurunya Soen Tiong Koen, yaitu Kwie Djie Nio, sudah susul kita, dia
tolongi muridnya itu. Dengan satu tabasan, dia bunuh saudara angkatku itu dengan
pedangnya. Beberapa kawanku telah kena dibikin bubar, antaranya ada yang terluka.
Untung bagiku, aku bisa loloskan diri, hingga jiwaku ketolongan...."
"Dalam hal itu, kaulah yang bersalah," Sin Tjie bilang.
"Siauwdjin pun insyaf yang siauwdjin sudah sembrono, hingga satu bahaya besar
diciptakan," Seng Hay akui, "karenanya siauwdjin tidak berani munculkan diri di muka
umum. Benar-benar Soen Tiong Koen tidak mau sudah, entah bagaimana jalannya, dia
dapat tahu kampung halamanku, mereka susul aku. Oleh karena tak dapat ketemui aku,
mereka binasakan ibuku yang sudah tua, yang telah berumur tujuhpuluh tahun, juga
isteriku serta tiga anakku, lelaki dan perempuan, tidak ada satu yang dikasih tinggal
hidup...."
Seng Hay mengucurkan air mata, hingga kata-katanya jadi tergetar, karenanya Sin Tjie
anggap orang bicara dengan sebenarnya. Ia manggut-manggut walaupun hatinya bercekat
untuk ketelengasan Soen Tiong Koen dan gurunya itu.
"Tak dapat siauwdjin lawan mereka itu," Seng Hay tambahkan kemudian," akan tetapi
tanpa sakit hati terbalas lampias, tak puas hatiku.... Oleh karena putus daya, pikiranku jadi
sesat, siauwdjin lantas kabur ke Liauwtong dimana siauwdjin menghamba kepada Kioeongya....." Seng Hay bersedih berbareng gusar.
"Mereka binasakan ibumu dan anak-isterimu juga, perbuatan itu memang keterlaluan,"
nyatakan si anak muda kemudian. "Semuanya adalah karena salahmu sendiri. Semua itu
toh ada urusan pribadi, kenapa kau menghamba kepada bangsa asing" Kenapa kau
kesudian menjadi pengkhianat bangsa?"
"Itulah kesalahanku, siangkong," Seng Hay akui. "Asal siangkong bisa balaskan sakit
hatiku itu, apa juga siangkong titahkan aku, aku akan lakukan...."
"Mencari balas?" Sin Tjie tegaskan. "Itulah kau jangan pikir. Kwie Djie-nio itu sangat
liehay, aku bukanlah tandingannya. Yang benar adalah kau ubah kelakuanmu, supaya kau
selanjutnya menjadi orang baik-baik. Aku tanya kau, Kioen-ong-ya kirim kau kepada Tjo
Thaykam, untuk apa?"
Seng Hay tidak berani mendusta, ia menjawab dengan membuka rahasia. Ia kata Kioe-ongya
janjikan Tjo Hoa Soen untuk menjadi penyambut sebelah dalam kalau nanti bangsa
Boan kerahkan angkatan perangnya untuk gempur kota Pakkhia, supaya thaykam itu thaykam - pentang pintu kota. Pun telah diatur tanda-tanda rahasia supaya orangorangnya
Kioe-ong-ya nyelundup masuk kedalam kota, ke dalam istana, untuk bantu turun
tangan. Diam-diam Sin Tjie girang sekali, tapi ia tak utarakan itu pada wajahnya.
"Sebenarnya mau atau tidak kau ubah kelakuanmu, untuk selanjutnya kau jadi orang baikbaik?"
ia tegaskan. "Atau apakah kau lebih suka menderita siksaan hingga nanti, selang
tiga bulan, kau mati tanpa ampun lagi?"
"Siangkong boleh tunjuki aku satu jalan hidup, selanjutnya aku nanti pandang kau sebagai
ayah dan ibuku yang telah hidup pula!" sahut Ang Seng Hay.
"Baik!" kata Sin Tjie. "Bersediakah kau untuk jadi pengikutku?"
Seng Hay girang bukan kepalang, lantas saja ia berlutut pula, akan paykoei tiga kali
kepada tuannya yang baru ini. Ia girang karena ia berhati lega, karena selanjutnya tak usah
ia berjeri lagi terhadap Kwie Djie Nio dan Soen Tiong Koen. Ia pun percaya, kalau nanti
selang tiga bulan lukanya kumat, pasti majikan ini akan tolong obati dia.
Perubahan cara hidup ini membuat Seng Hay tenang melebihkan tenangnya diwaktu ia
ikuti Kioe-ong-ya pangeran Boan itu.
Habis itu, setelah "repot" satu malaman, Barulah Sin Tjie beristirahat. Seng Hay tidur
dalam satu kamar bersama ia. Pengikut ini tidak pernah pikir untuk menuntut balas,
sebaliknya dia berterima kasih karena si anak muda percaya dia. Sin Tjie tidak kuatir,
sebab ia tahu benar, untuk hidupnya Seng Hay membutuhkan pertolongannya. Maka juga
ia dapat tidur nyenyak, sampai besoknya pagi, setelah matahari naik tinggi, Baru ia
mendusi. Segera juga muncul Nona Wan Djie dengan bin-tang (baskom) terisi air dan handuk untuk
pemuda ini cuci muka, begitupun beberapa rupa barang makanan untuk sarapan pagi.
"Terima kasih," Sin Tjie mengucapkan.
Tidak lama sehabisnya pemuda ini selesai cuci muka dan rapikan pakaiannya, Bhok Siang
Toodjin muncul bersama papan caturnya. Tjeng Tjeng adalah yang bawa biji-biji catur.
Berdua mereka masuk berbareng.
"Ha, begini hari baru bangun!" kata si pemudi sambil tertawa riang. "Tootiang sudah
menunggui lama sekali, sampai ia tak sabaran! Hayo lekas mulai, lekas mulai!"
Sin Tjie pandang si nona, akan tatap wajahnya, tiba-tiba ia tertawa. Tjeng Tjeng pun
tertawa. "Kenapa kau tertawa?" tanya nona ini sambil balik mengawasi.
Masih saja si pemuda tertawa.
"Tootiang janjikan apa kepadamu hingga kau sekarang jadi begini rajin?" ia tanya. "Begini
perlu kau carikan tootiang lawan main catur!"
Tjeng Tjeng tertawa pula.
"Tootiang hunjuki aku semacam ilmu silat," ia aku. "Itulah semacam ilmu silat entengkan
tubuh yang sangat luar biasa. Umpama orang toyor padamu dan dupak, kau boleh layani
ia dengan main berkelit saja sebagai orang lagi main petak, mengegos ke timur, ngeles ke
barat, jangan harap dia bakal kena menyerang padamu!"
Mendengar itu, pemuda ini tergerak hatinya, diam-diam ia lirik guru sampiran itu, siapa
sebaliknya dengan tenang lagi taruh dua biji putih dan dua biji hitam di keempat pojok
papan caturnya, lalu sebiji putih dipegang di tangannya, dipakai mengetok-ngetok papan
caturnya sehingga papan itu menerbitkan suara nyaring. Berbareng dengan itu, imam ini
pun bersenyum. Menampak sikap yang luar biasa dari Bhok Siang Toodjin, Sin Tjie ingat suatu apa.
"Tootiang ajarkan ilmu silat entengkan tubuh kepada Tjeng Tjeng, itu mesti ada
maksudnya," ia lantas berpikir. "Sebentar adalah malaman janjiku dengan Djie Soeko dan
Djie-Soeso, akan bertanding di panggung Ie Hoa Tay, tak dapat aku tidak pergi
menetapkan janji itu. Inilah sulit, sebab dilihat dari romannya, Djie-soeso tak puas
sebelum ia layani aku. Mana dapat aku layani mereka dengan sungguh-sungguh" Djiesoeko
pun sangat kesohor, melayani dia saja, belum tentu aku sanggup peroleh
kemenangan, maka jikalau aku melayani dengan main-main, ada kemungkinan aku bakal
terluka di tangannya, atau mungkin juga, karena alpa, aku bakal terbinasa.... Apa ini
sebabnya kenapa tootiang ajarkan ilmu entengkan tubuh itu kepada Tjeng Tjeng?"
Karena memikir begini, pemuda ini lantas kata kepada si nona:
"Kau inginkan aku main tiokie dengan tootiang, baiklah, akan tetapi kau mesti ajarkan ilmu
silat itu kepadaku!"
"Baik!" Tjeng Tjeng jawab sambil tertawa. "Ini dia yang dibilang, barang siapa dapat
melihat, dia mesti menerima bagian!"
Ia tertawa pula, begitupun si anak muda.
Setelah itu, Sin Tjie temani gurunya itu main tiokie.
Sampai waktunya bersantap, tengah-hari, Barulah orang berhenti adu otak, diwaktu itu,
Sin Tjie ambil kesempatan akan pasang omong dengan Tjoei Tjioe San, sang paman atau
guru. Pembicaraan mereka ialah mengenai persiapannya Giam Ong, yang tentunya tak


Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lama lagi akan mulai turun tangan menggempur musuh Negara, katanya, pergerakan
kemerdekaan itu memperoleh dukungan dari segenap rakyat. Di pihak lain, Tjioe San puji
anak muda ini, yang pelajaran silatnya maju dengan pesat sekali.
Kedua pihak bicara secara gembira dan asik sekali, sebab dua-dua sangat bergembira.
Selama itu beberapa kali Tjeng Tjeng mengasi tanda dengan tangan kepada si anak muda,
untuk anjuri dia keluar, Tjioe San lihat itu, ia tertawa.
"Sahabat cilikmu itu memanggil, pergilah lekas!" kata dia.
Tampangnya si anak muda merah sendirinya, ia jengah, tapi ia tidak segera berbangkit, ia
malu hati. "Kau pergilah!" kata pula Tjioe San, yang terus berbangkit, untuk mendahului pergi keluar.
Tjeng Tjeng lari ke dalam begitu lekas orang she Tjioe itu sudah tidak ada.
"Lekas, lekas!" katanya. "Aku nanti beritahukan kau tentang ilmu silat yang tootiang ajari
aku, karena diwaktu tootiang mengajarinya, ada bagian-bagian yang aku tidak mengerti.
Tootiang melainkan kata padaku: "Kau ingat-ingat saja, nanti juga kau mengerti." Tentu
saja, kalau ditinggal lama-lama, aku nanti lupa semua."
Sin Tjie iringi kehendak si nona maka di lain saat, mereka sudah berlatih, atau lebih benar,
Tjeng Tjeng menyebutkan ilmu silat itu, Sin Tjie yang mendengari, habis itu, si anak muda
coba menjalaninya. Itulah ilmu pukulan yang dinamakan "Pek pian kwie eng" atau
"Bajangan setan yang berubah seratus kali".
Kepandaian entengkan tubuh Bhok Siang Toodjin dan senjata rahasianya menjagoi di
kolong langit, lebih-lebih ini "Pek pian kwie eng". Selama masih di puncak Hoa San, Bhok
Siang tidak ajari Sin Tjie, sebab anak muda ini masih dalam permulaan, sulit untuk dia
punyakan ilmu itu, tapi sekarang, setelah terlatih baik dan peroleh pengalaman, itulah
waktunya untuk si anak muda diajarkan. Akan tetapi Bhok Siang mempunyai maksudnya
sendiri, ia mengajari dengan perantaraan mulutnya Tjeng Tjeng. Nona ini tidak terlalu
tinggi ilmu silatnya, akan tetapi otaknya sangat terang, kuat ingatannya, ia sangat cerdas.
Maka hal yang sebenarnya adalah, tidak benar Bhok Siang mengajari Tjeng Tjeng, yang
benar adalah ia mengajari Sin Tjie.
Tjeng Tjeng memberi penuturan jelas sekali, dari gerakan tubuh dan kaki, hal itu membuat
si anak muda jadi sangat girang, karena ia pun berotak terang dan segera ingat dengan
baik. Benar kalau Tjeng Tjeng kata ada bagian-bagian yang ia tidak mengerti, maka atas
desakan Sin Tjie, beberapa kali ia lari bulak-balik pada si imam, untuk minta penjelasan,
hingga di lain saat, Sin Tjie telah ingat semua, hingga ketika ia mencoba menjalaninya,
lantas saja ia bisa jalani dengan baik. Maka itu, ia lantas meyakinkan terus-terusan.
Mengenai ilmu silatnya djie-soeko dan djie-soeso, Sin Tjie ingat baik-baik kata-katanya
sang guru dahulu: "Toasoekomu jenaka, satu waktu ia tak terluput dari kealpaan. Djiesoekomu
pendiam, dia belajar dengan sungguh-sungguh." Itu berarti, kepandaiannya djiesoeko
sangat berada di atasan kepandaiannya sang toa-soeko, saudara tertua itu.
"Sekarang aku peroleh ini Pek pian kwie eng, apa mungkin aku tak dapat layani djiesoeko?"
pikir dia, yang untuk sesaat bersangsi.
Tapi anak muda ini berpikir terus.
"Soehoe pernah ajarkan aku Sip-toan-kim, ketika itu soehoe jalankan ilmu entengkan
tubuh itu, aku serang ia dengan seantero kebisaanku, tak dapat aku serang dia walaupun
ujung bajunya saja," demikian ia berpikir. "Sekarang Bhok Siang Toodjin ajarkan ilmu ini,
apa tidak baik aku gabung ini dengan Sip-toan-kim" Tidakkah ini berarti, kepandaiannya
dua kaum aku persatukan?"
Sin Tjie lantas ambil keputusan, dari itu terus ia bersamedhi di kamar tulis itu, bukan
untuk mengaso, hanya tubuhnya yang beristirahat, otaknya tetap bekerja, akan pikirkan
jalan untuk gabung kedua ilmu entengkan tubuh itu.
Tjeng Tjeng semua ketahui pemuda ini sedang beristirahat, maka tidak ada yang berani
ganggu. Sin Tjie bersamedhi sampai jam Sin-sie, pukul tiga atau empat lohor, ia berhasil, tetapi
untuk memperoleh kepastian, ia hendak coba dulu. Maka ia ajak Wan Djie pergi ke
lapangan peranti belajar silat, ia minta disediakan sepuluh saudara seperguruan si nona,
dengan persiapan seorangnya setahang air, mereka itu diminta berkumpul di empat
penjuru, untuk nanti seblok atau siram ia dengan air selagi ia bersilat.
Latihan telah dimulai dengan segera, dari pelbagai jurusan, saudara-saudara seperguruan
Nona Tjiauw Wan Djie lantas siram si anak muda dengan air, selama itu, Sin Tjie mencelat,
melesat ke sana-sini, gerakannya gesit dan cepat. Ketika kemudian sepuluh tahang air
telah habis, Sin Tjie cuma basah ujung tangan bajunya yang kanan dan kakinya yang kiri.
Sebagai kesudahan, semua orang puji pemuda ini.
Di lapangan itu orang bergembira, suaranya bergemuruh, akan tetapi Bhok Siang Toodjin
sendiri lagi rebah menggeros di dalam kamarnya, ia seperti tak tahu menahu....
Sorenya, habis bersantap, Sin Tjie lantas bersiap-siap untuk pergi ke panggung Ie Hoa Tay
yang kesohor. Tjiauw Kong Lee dan Tjiauw Wan Djie menyatakan suka turut, katanya
untuk sebisa-bisanya mengakurkan itu kedua saudara seperguruan. Tjeng Tjeng juga
ingin turut, dengan maksud membantui sahabat ini.
Sin Tjie tampik semua kebaikan itu. Kong Lee dan puterinya dapat dikasi mengerti, tidak
demikian dengan Tjeng Tjeng, yang lantas saja menjebi dan merengut.
"Mereka itu adalah djiesoeko dan djiesoesoku," Sin Tjie kasi mengerti, "aku telah ambil
putusan, lebih suka aku kena dihajar tapi tidak nanti aku akan balas menyerang, maka itu,
apabila kau saksikan itu, pasti kau tak senang dan gusar, satu kali kau gusar, apakah kau
tidak jadi bikin kacau urusanku?"
"Kau boleh mengalah sampai tiga serangan, mengapa kau tidak hendak membalasnya?"
tanya Tjeng Tjeng, yang penasaran.
"Aku hendak coba pelajaran yang kau ajari aku, aku ingin saksikan mereka mampu atau
tidak menyerang kepadaku," Sin Tjie bilang.
"Jikalau begitu, lebih-lebih aku ingin menyaksikannya!" si nona mendesak. "Aku janji
padamu aku tidak akan turut bicara."
"Bagaimana kalau kau berpura-pura gagu?" tanya Sin Tjie sambil tertawa.
Nona itu manggut.
"Baik, aku akan berpura-pura gagu!" katanya.
Tak dapat Sin Tjie tolak nona yang biasa dimanjakan ini, terpaksa ia mengajaknya. Waktu
ia mau pergi, ia cari Bhok Siang Toodjin dikamarnya, untuk pamitan, akan tetapi si imam
masih saja tidur, beberapa kali dia dipanggil-panggil, tidak juga dia mendusi, hingga
kedua anak muda ini terpaksa tinggalkan dia.
Tjioe San juga entah telah pergi kemana.
Dua-dua, Sin Tjie dan Tjeng Tjeng sudah kenal baik kota Lamkhia, tak susah mereka cari
panggung Ie Hoa Tay. Mereka pun pergi dengan menunggang kudam dengan meminjam
dua ekor kudanya keluarga Tjiauw.
Pada kira-kira jam sebelas malam Barulah dua pemuda ini sampai di Ie Hoa Tay, di situ
mereka tidak lihat seorangpun, maka mereka duga, Kwie Sin Sie masih belum sampai.
Mereka turun dari kuda, untuk duduk di tanah, akan menanti.
Selang kira-kira setengah jam, dari arah timur kelihatan berkelebatan dua bajangan
manusia, yang lari mendatangi, lalu mereka itu menepuk tangan dua kali.
Dengan lantas Sin Tjie tepuk tangannya, untuk menyambuti.
Satu bajangan, yang segera sampai, lantas menanya: "Apakah Wan Soesiok sudah
sampai?" "Aku sudah menantikan Djie-soeko dan Djie-soeso," sahut Sin Tjie, yang kenali Lauw
Pwee Seng, muridnya sang kanda seperguruan yang kedua.
Nyata Pwee Seng datang bersama-sama Bwee Kiam Hoo, yang belakangan ini segera
mendekati. Lagi sesaat, dari kejauhan terdengar satu suara nyaring: "Dia sudah datang! Bagus!"
Baru suara itu berhenti atau dua orang mencelat muncul di depan Sin Tjie berempat. Tjeng
Tjeng terperanjat, karena ia kagumi ilmu entengkan tubuh yang sempurna itu.
Pwee Seng dan Kiam Hoo minggir, untuk buka jalan bagi kedua orang yang Baru datang
itu, ialah kedua guru mereka.
Masih kelihatan satu bajangan berlari-lari mendatangi, apabila dia sudah datang dekat dia
ternyata adalah Soen Tiong Koen, yang tangannya mengempo satu anak kecil. Dia
ketinggalan, terang itulah bedanya kepandaiannya lari keras dari kedua gurunya suamiisteri
itu. Itu bocah adalah bocah kesajangan Kwie Sin Sie suami-isteri.
"Sungguh Tuan Wan harus dipercaya!" kata Kwie Djie-nio dengan dingin. "Kita berdua
mempunyai lain urusan penting, supaya tidak buang-buang tempo percuma, silakan kau
mulai menyerang."
Sin Tjie bukannya lantas menyerang, ia hanya angkat kedua tangannya untuk memberi
hormat. "Kedatanganku ini kemari adalah untuk haturkan maaf kepada soeko dan soeso" kata ia
dengan sabar. "Siauwtee telah bikin patah pedang soeso, itu telah dilakukan karena
siauwtee tak mengetahuinya terlebih dahulu, untuk kelancanganku ini, dengan
memandang kepada soehoe, harap soeko dan soeso suka maafkan aku."
Masih Kwie Djie-nio bersikap keras.
"Kau benar soetee kita atau bukan, siapakah yang ketahui?" kata dia dengan dingin. "Baik
kita bertanding dulu, Baru kita bicara pula!"
Sin Tjie tetap dengan sikapnya mengalah, ia tak mau turun tangan.
Kwie Djie-nio mengawasi, melihat orang mengalah terus, ia anggap orang jeri
terhadapnya, ia menyambar dengan tangannya yang kiri, dari samping.
Sin Tjie lenggakkan kepala, dengan begitu tangan sang soeso lewat tepat di depan
hidungnya. Ia bebas dari serangan akan tetapi ia terperanjat.
"Siapa sangka, mesti dia hanya seorang perempuan, serangannya sebat sekali," pikir Sin
Tjie. Kwie Djie-nio dapatkan tangan kirinya tak memberi hasil, segera ia menyusuli dengan
tangan kanan. Ia gunai ilmu pukulan "Sin Koen" atau "Kepalan Malaikat" dari Hoa San Pay.
Sin Tjie kenal baik ilmu pukulan ini, ia berkelit sambil kasi turun kedua tangannya, lurus
sampai dipaha, dikasi rapat dengan pahanya itu. Inilah tanda bahwa ia suka mengalah, tak
ingin ia balas menyerang.
Kwie Djie-nio jadi sangat penasaran,maka ia ulangi serangannya, malah terus-menerus,
sampai lebih dari sepuluh kali. Bisa dimengerti jikalau sesuatu gerakannya cepat sekali
dan setiap pukulannya berat, hebat apabila mengenai sasarannya. Tapi semua itu Sin Tjie
dapat egoskan dengan gerakan tubuhnya yang pesat dan lincah. Tetap anak muda ini tak
hendak menangkis atau balas menyerang.
Kwie Sin Sie saksikan pertempuran itu, hatinya bercekat, ia pun gegetun.
"Anak muda ini liehay sekali," pikir ia. Tapi yang membuat ia heran adalah gerakan si
pemuda, sebagian mirip dengan ilmu silat Hoa San Pay, sebagian besar lagi berbeda.
Hingga akhirnya ia mau menduga, entah siapa dia ini yang berpura-pura jadi murid
gurunya, untuk bisa mencuri pelajaran saja. Karena ini, ia memasang mata dengan tajam,
untuk memperhatikan terlebih jauh, ia kuatir isterinya nanti gagal karena isteri itu
berkelahi dengan sangat bernapsu.
"Kau tidak mau balas menyerang, kau sangat pandang enteng kepadaku, aku nanti kasi
kau kenal liehaynya Kwie Djie-nio!" kata si nyonya yang keras perangainya sesudah
berulang-ulang ia gagal dengan pelbagai serangannya. Ia lantas menyerang, kali ini
dengan kedua tangan yang saling susul, makin lama makin seru. Karena ini, ia sampai
lupa bagian penjagaan diri.
Sin Tjie mengeluh didalam hatinya karena desakan hebat dari ini enso, yang di lain pihak
ia pun kagumi, karena sang enso benar-benar liehay.
"Inilah berbahaya untukku, apabila terpaksa, aku mesti tangkis dia," akhirnya ia ambil
putusan. Soen Tiong Koen saksikan pertempuran guru perempuannya dengan hati panas dan
mendongkol, karena sampai sebegitu jauh ia saksikan tetap saja Sin Tjie main berkelit
saja. Ia juga heran kenapa gurunya belum pernah berhasil menyerang jitu kepada anak
muda itu. Selagi hatinya panas, ia tampak Tjeng Tjeng sedang menonton dengan wajah
riang gembira, air mukanya ramai dengan senyuman bersero-seri. Mendadak dia menjadi
naik darah. Tidak tempo lagi, ia serahkan anak kecil dalam empoannya kepada Bwee Kiam
Hoo, lantas ia cabut pedangnya dengan apa ia berloncat kepada Tjeng Tjeng, yang ia
serang dadanya tanpa bilang suatu apa!
Nona Oen kaget sekali, cepat-cepat ia berkelit. Ia bingung, karena ia datang - dengan
penuhkan keinginannya Sin Tjie - tanpa membawa senjata tajam. Sekarang ia diserang
oleh seorang aseran dan ia segera diserang berulang-ulang, hingga, mulai dari terdesak,
ia jadi repot. Ia memang bukan tandingan nona Soen itu, sekarang pun ia bertangan
kosong, pasti sekali ia jadi sangat sibuk.
Sin Tjie, yang lagi layani ensonya, lihat Tjeng Tjeng diserang Tiong Koen, ia jadi berkuatir,
karena ia tahu, Tjeng Tjeng bukan tandingan Hoei-Thian Mo Lie yang telengas. Ia ingin
tolongi si nona akan tetapi ia sendiri lagi didesak Kwie Djie-nio.
"Jangan kau lukai orang!" Kwie Sin Sie peringati Tiong Koen.
"Dia puteranya Kim Coa Long-koen, dialah si biang keladi!" Tiong Koen bilang.
Kwie Sin Sie dengar Kim Coa Long-koen kejam, dia anggap orang bukan orang baik, maka
ia lantas tutup mulut.
Soen Tiong Koen anggap gurunya itu terima baik alasannya itu, ia lantas melanjuti
menyerang dengan pedangnya dengan terlebih-lebih hebat, hingga diantara berkilaukilaunya
pedang, jiwanya Tjeng Tjeng sangat terancam bahaya maut.
Dalam sibuknya Sin Tjie mengerti itulah ancaman hebat bagi Tjeng Tjeng, lalu ia paksakan
diri akan cari ketikanya akan menyingkir dari sang enso. Masih ia lonjorkan kedua
tangannya, tapi sekarang ia coba tendang ensonya itu dengan kaki kiri dan kanan
bergantian, begitu ada ketikanya yang baik. Beruntun ia menendang sampai enam kali,
tapi setiap kali kakinya hampir mengenai sasaran, segera kaki itu ditarik pulang. Secara
begini ia berhasil akan desak mundur nyonya yang berhati panas itu.
Sin Tjie gunai ketikanya dengan baik sekali, dengan tiba-tiba ia berlompat ke arah Soen
Tiong Koen, guna dengan tangan kirinya totok bebokongnya si nona, maksudnya adalah
untuk merampas pedangnya.
Dalam saat itu Tiong Koen menghadapi bencana, tiba-tiba terdengar seruan keras dan
panjang dari samping, tahu-tahu tubuhnya Kwie Sin Sie sudah mencelat ke arah
soeteenya pinggang siapa ia ancam dengan satu serangan hebat.
Sin Tjie ketahui datangnya serangan itu, untuk tolong diri, ia batalkan serangannya kepada
Nona Soen. Ia tidak berkelit, ia hanya gunai tangan kanannya, untuk menangkis, guna
sekalian gaet tangannya sang soeko. Ketika kedua tangan bentrok, tubuh Sin Tjie tertolak
ke belakang, hingga ia terperanjat. Sebab sejak turun gunung, belum pernah ia ketemui
lawan setangguh soeko ini.
"Aku tahu djie-soeko liehay, tetapi ia bertubuh begini kurus-kering, siapa tahu tenaganya
begini besar?" ia berpikir. Karena ini, soeko itu cocok sama julukannya, "Sin-koen Boetek,"
atau "Kepalan Dewa Tanpa Tandingan".
Habis itu, Sin Tjie berdiri tegak, hingga untuk kedua kalinya datanglah sambaran tangan
kiri dari kanda seperguruan yang kedua itu. Sementara itu, Kwie Djie-nio sendiri sudah
berdiri di pinggiran.
Sekarang Sin Tjie sudah siap, ia berkelit dengan pundak kiri diegoskan, hingga serangan
kedua dari sang soeko gagal pula. Ia telah coba satu jurus dari "Pek pian kwie eng".
Kwie Sin Sie menyerang pundak, akan tetapi ia tidak berlaku sungguh-sungguh, ia niat
lantas tarik pulang tangannya itu. Biar bagaimana, ia masih hormati gurunya, tidak mau ia
lukai soetee itu. Di luar sangkaannya, serangannya yang hebat itu dapat dikelit Sin Tjie,
hingga tanpa menginsafi, ia berseru: "Kau gesit sekali!"
Seruan ini disusul dengan serangan yang ketiga, gerakannya sama dengan gerakan
tangannya Kwie Djienio tadi, hanya serangan ini lebih cepat lagi, lebih berat pula.
"Tidak heran djie-soeko jadi sangat kesohor," pikir Sin Tjie, yang kagum tak terkira.
"Pantaslah murid-muridnya pun sangat dimalui, kiranya dia telah peroleh kesempurnaan
pelajarannya soehoe."
Terus Sin Tjie gunai "Pek pian kwie eng" untuk layani saudara seperguruan ini, tapi ia
masih belum punyakan latihan yang cukup. Maka kadang-kadang ia campur itu dengan
"Hok houw koen" -"Kepalan Takluki harimau" dari Hoa San Pay, buat menangkis, hingga
berdua mereka bisa bertempur dengan seru.
Soen Tiong Koen di lain pihak masih desak terus pada Tjeng Tjeng. Seperti juga ia telah
peroleh perkenan dari gurunya, ia jadi bisa bertindak dengan merdeka. Ia girang melihat
lawannya repot melayaninya.
"Soemoay, jangan lancang melukai orang!" Pwee Seng dan Kiam Hoo memperingati.
Baru nasihat itu diperdengarkan atau pedangnya Tiong Koen sudah sambar dadanya
Tjeng Tjeng. Dia ini mati jalan, terpaksa ia buang diri dengan melenggak, dengan lompat
jumpalitan, akan terus bergulingan di tanah. Masih saja Tiong Koen menyerang, selagi
orang berguling, ia membabat. Tjeng Tjeng lolos, ikat kepalanya kena ditabas, karena
mana, terlepaslah rambutnya yang panjang dan hitam sampai menutupi mukanya.
Menampak itu, Soen Tiong Koen tercengang. Tidak pernah ia sangka, si pemuda
sebenarnya adalah satu pemudi. Tapi karena ia penasaran, ia maju pula, akan lanjuti
serangannya. Selagi Tjeng Tjeng terancam bahaya, dengan sekonyong-konyong terdengar seruan
nyaring dan bengis yang datangnya dari atas pohon di samping mereka: "Oh, nona yang
kejam!" Lantas seruan itu disusul dengan melayang turunnya satu tubuh, sebelum Tiong
Koen tahu apa-apa, pedangnya sudah kena ditendang hingga terlepas, dan tentu saja ia
jadi kaget sekali.
Orang asing itu adalah satu imam, alis dan kumis-jenggotnya telah putih semua, dia
berdiri melintang di depan Tjeng Tjeng.
Soen Tiong Koen mengawasi dengan tecengang, bersama-sama dengan Pwee Seng dan
Kiam Hoo, ia tidak kenal imam itu.
Akan tetapi Kwie Djie-nio kenali Bhok Siang Toodjin, sahabat kekal dari gurunya, ia lekaslekas
menghampirkan, untuk memberi hormat.
"Jangan repot dengan cara-hormat saja, lihatlah itu soeheng dan soetee sedang berlatih!"
katanya sambil tertawa.
Kwie Djie-nio lantas berpaling kepada suaminya, siapa lagi tempur Sin Tjie dengan tubuh
mereka bergerak bagaikan dua bajangan berkelebatan, anginnya menderu-deru. Sin Sie
pesat tapi Sin Tjie gesit, kalau yang satu mewariskan satu guru, yang lain adalah ahli
warisnya tiga guru yang liehay....
Makin lama pertempuran jadi makin seru, walau demikian, Sin Tjie berada di pihak lebih
lemah. Dia berkelahi dengan gunai ilmu silat Hoa San Pay, benar ia pandai menggunainya,
akan tetapi dari Sin Sie, ia kalah latihan, kalah pengalaman. Di lain pihak, ia lebih banyak


Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menangkis, tidak berani ia keluarkan seantero kepandaiannya.
Kwie Djie-nio girang melihat suaminya menang di atas angin, tetapi meski demikian,
sekarang tidak lagi ia sangsikan Sin Tjie sebagai soeteenya, karena ia telah saksikan baikKang
Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
baik, ilmu silat Sin Tjie tulen dari Hoa San Pay.
Sin Tjie terdesak terus, untuk menyingkirkan ancaman bahaya, tiba-tiba ia ubah caranya
bersilat, maka selanjutnya, tubuhnya bergerak-gerak licin bagaikan ular air. Sebab
sekarang terpaksa ia gunai ilmu silatnya Kim Coa Long-koen, ialah "Kim Tjoa Yoe-sintjiang"
atau "Ular Emas main-main". Itulah ilmu entengkan tubuh yang dicangkok dari ular
yang lagi berenang memain di muka iar. Untuk ini, Sin Tjie boleh tak usah balas
menyerang lagi. Dengan gunai "Pek pian kwie eng" tubuhnya jadi bertambah licin....
Kwie Sin Sie boleh liehay sekali, akan tetapi sekarang ia putus asa untuk berikan serangan
berarti terhadap soetee itu, hingga ia pun jadi kagum berbareng heran.
Pertempuran dilanjuti sampai beberapa puluh jurus lagi dengan hasilnya tetap masih tidak
ada, sekonyong-konyong Sin-koen Boe-tek berlompat keluar dari kalangan sambil
serukan: "Tahan!"
Sin Tjie heran, akan tetapi ia berhenti bergerak, di dalam hatinya, ia kata: "Dia tak berhasil
memukul aku, ini artinya kita seri, kedua pihak telah dapat lindungi muka mereka,
pantaslah pertempuran habis sampai di sini..."
Setelah berdiri di pinggiran, Kwie Sin Sie dongak sambil terus menjura kearah atas, ke
arah satu pohon.
"Soehoe, soehoe telah datang!" katanya.
Mendengar ini, Sin Tjie terperanjat, ia heran. Ia mengawasi ke pohon, ke arah mana Sin Sie
memberi hormat, dari situ ia tampak empat bajangan berlompat turun saling-susul, hingga
di lain saat ia telah dapat lihat tegas empat orang itu, yang pertama ialah gurunya, Pattjhioe
Sian wan Bok Djin Tjeng, hingga tak ayal lagi, ia lari mendekati, untuk memberi
hormat sambil paykoei. Kemudian Barulah ia berbangkit, akan awasi tiga yang lain. Ialah
Tjoei Tjioe San, Toasoehengnya Tong-pit Thie-shoeiphoa Oey Tjin dan di paling belakang,
A Pa, si empeh gagu, sahabat karibnya di dalam guha.
Dalam kegirangannya yang luar biasa itu, Sin Tjie segera bicara sama A Pa, sudah tentu
dengan main gerak-gerik tangan mereka.
"Dasar aku kurang pengalaman, aku layani soeko tanpa aku perhatikan segala apa di
sekelilingku," pikir pemuda ini. "Coba yang sembunyi di atas itu bukannya soehoe, hanya
orang lain, apa aku tidak bakal celaka karena bokongan?"
Karena ini, ia kagumi Kwie Sin Sie.
Bok Djin Tjeng usap-usap kepala muridnya yang bungsu.
"Toasoekomu telah tuturkan aku perihal perbuatanmu di Kie-tjioe, Tjiatkang, perbuatanmu
itu tak dapat dicela," berkata guru ini sambil tertawa. Setelah itu, mendadak tampangnya
jadi sungguh-sungguh ketika ia kata dengan keras: "Kau, seorang anak muda, mengapa
kau tidak hormati orang yang terlebih tua" Kenapa kau lawan soekomu?"
Sin Tjie terkejut, lekas-lekas ia tunduk.
"Teetjoe bersalah, lain kali teetjoe tak berani pula," kata ia. Terus ia hampirkan Kwie Sin
Sie dan Kwie Djie-nio, untuk menjura kepada mereka seraya berkata: "Siauwtee haturkan
maaf kepada soeko dan soeso."
Meskipun Kwie Djie-nio aseran akan tetapi jujur.
"Soehoe, jangan soehoe tegur soetee," ia bilang. "Adalah aku dan suamiku yang paksa ia
melayani berkelahi. Yang aku sesalkan adalah soetee sudah gunai ilmu silatnya lain kaum
untuk menghina kepada beberapa muridku yang tidak berharga..."
Nyonya Kwie lantas tunjuk Pwee Seng tiga saudara seperguruan.
"Bicara tentang pelbagai kaum persilatan, hatiku tawar," berkata Bok Djin Tjeng dengan
sabar. Lalu terus ia menoleh pada Kiam Hoo. "Eh, Kiam Hoo, mari!" ia panggil cucu
muridnya yang berangasan itu. "Aku hendak tanya kau. Dia ini sudah berani lawan
soehengnya bertempur, dialah yang salah! Akan tetapi kamu bertiga, kenapa kamu berani
lawan soesiokmu" Didalam kalangan kita mempunyai aturan yang tertua dan yang
termuda, apakah kamus udah tidak hormati tingkatan derajat itu?"
Kiam Hoo, begitu juga Pwee Seng, tidak berani mendusta terhadap soe-tjouw itu, si kakek
guru, maka mereka akui kesalahan mereka, untuk itu Kiam Hoo tuturkan asal mulanya,
ketika mereka bantui Bin Tjoe Hoa yang memusuhkan Tjiauw Kong Lee. Ia tuturkan semua
dengan jelas, kecuali di bagian Soen Tiong Koen tabas tangannya Lo Lip Djie, ia lewatkan
itu. Tjeng Tjeng tidak puas dengan cerita tak lengkap itu.
"Dengan telengas dia telah tabas kutung sebelah tangan orang!" ia campur bicara,
suaranya keras. "Wan Toako tidak puas dengan perbuatan kejam itu, karenanya ia campur
tangan!" Wajahnya Bok Djin Tjeng jadi guram.
"Apakah itu benar?" ia tanya. Kwie Sin Sie dan isterinya masih belum tahu hal itu, maka
keduanya awasi Soen Tiong Koen, si nona yang disebut sebagai si "dia" oleh nona Oen.
Kiam Hoo jawab gurunya, dengan pelahan:
"Soen Soemoay kira dia seorang jahat, maka ia turun tangan dengan tidak mengenal
ampun lagi," katanya. "Sekarang soemoay telah jadi sangat menyesal. Harap soetjouw
suka mengasi ampun..."
"Pantangan paling besar dari kaum kita Hoa San Pay adalah melukai atau membunuh
tanpa sebab!" berseru dia. "Sin Sie, ketika kau mulai terima murid, apakah kau tidak
jelaskan pantangan kita itu kepadanya?"
Belum pernah Sin Sie dapatkan gurunya gusar demikian rupa, lekas-lekas ia berlutut di
depan guru itu.
"Teetjoe telah keliru mendidik, harap soehoe jangan gusar," ia mohon. "Nanti teetjoe tegur
padanya." Kwie Djie-nio pun lantas berlutut di depan guru itu, maka perbuatannya lantas diturut oleh
Lauw Pwee Seng, Bwee Kiam Hood an Soen Tiong Koen. Ketiga murid ini berlutut
dibelakang Kwie Sin Sie.
Bok Djin Tjeng masih gusar. Ia tegur Sin Tjie:
"Kau telah saksikan kejadian itu, kenapa kau sudah saja dengan cuma patahkan pedang"
Kenapa kau juga tidak tabas kutung sebelah lengannya" Kita tidak jaga baik nama kita,
kita tidak taat kepada pantangan sendiri, apakah kita tak bakal ditertawai, dihinai sesama
sahabat kang-ouw?"
Sin Tjie pun lekas-lekas berlutut, ia manggut-manggut.
"Teetjoe bersalah, soehoe," ia akui. Ia tak mau omong banyak.
Pat-tjhioe Sian Wan si Lutung Sakti Tangan Delapan tertawa dingin.
"Mari kau!" ia panggil Soen Tiong Koen.
Nona itu takut bukan main, tidak berani ia menghampirkan kakek guru itu, ia terus
mendekam di tempatnya, ia manggut berulang-ulang.
"Apakah kau tidak mau menghampirkan?" tanya Bok Djin Tjeng.
Kwie Djie-nio sangat takut, ia tahu maksud gurunya itu, ialah sang guru hendak bikin Soen
Tiong Koen menjadi satu manusia bercacat. Tapi Tiong Koen ada murid kesajangannya,
bagaimana ia tega. Maka ia lantas manggut-manggut pada guru itu.
"Soehoe, harap soehoe jangan gusar," memohon dia. "Sepulangnya nanti teetjoe beri
ajaran keapdanya."
"Kau juga kutungi sebelah tangannya, besok kau ajak dia pergi kepada keluarga Tjiauw
untuk menghaturkan maaf!" kata guru itu.
Dalam takut dan kekuatirannya yang sangat, Kwie Djie-nio bungkam.
Tapi Sin Tjie segera berkata: "Mengenai urusan dengan keluarga Tjiauw itu, teetjoe sudah
menghaturkan maaf. Lalu dari itu teetjoe juga telah janjikan orang yang dikutungi sebelah
tangannya itu pelajaran silat dengan sebelah tangan. Karena itu, pihak Tjiauw sudah
terima baik perdamaian, sekarang sudah tidak ada urusan apa-apa lagi."
"Hm!" berseru guru itu. "Sekarang bangunlah semua! Sukur Bhok Siang Toodjin bukannya
orang luar, apabila tidak, dia boleh tertawai kita hingga kita mati semua! Dasar Bhok
Tooyoe yang cerdik, setelah dapat pengalaman buruk dari muridnya, selanjutnya tak mau
ia menerima murid pula, hingga tak usah ia mendapati hal-hal yang memalukan."
Kwie Sin Die semua berbangkit.
Bok Djin Tjeng melirik kepada Soen Tiong Koen, justeru itu cucu murid lagi memandang
dia, cucu murid ini kaget, lekas-lekas ia berlutut pula, karena ia jeri untuk sinar mata
berpengaruh dari si kakek guru.
"Mari pedangmu, serahkan padaku!" Bok Djin Tjeng kata pada cucu-murid itu.
Soen Tiong Koen terima perintah dengan hati memukul keras, dengan kedua tangannya ia
persembahkan pedang yang diminta, kedua tangannya diangkat sampai diatasan
kepalanya. Soetjouw itu sambuti gagang golok, ketika ia menarik, Tiong Koen menjerit dengan tibatiba:
"Aduh!" Lantas saja darah mengucur dari tangannya yang kiri, di mana jari kelingking
telah tertabas kutung pedangnya sendiri, hingga ia merasakan sakit bukan main.
Bok Djin Tjeng geraki pula tangannya yang memegang pedang itu, untuk mana tangan
kanannya dibantu tangan kiri, atas mana, pedang itu terpatah dua dengan menerbitkan
suara nyaring. "Mulai hari ini sampai selanjutnya, aku larang kau gunai pedang!" Berkata sang kakek
guru dengan suaranya yang bengis.
"Teetjoe terima," sahut Tiong Koen dengan menahan sakit. Ia malu dan kaget, air matanya
sampai mengucur keluar.
Kwie Djie-nio robek ujung bajunya, untuk pakai itu membungkus luka jeriji muridnya itu.
"Bagus, tak nanti kau dihukum pula," ia bisiki sang murid.
Tiong Koen berdiam, ia cuma bisa menangis.
Bwee Kiam Hoo saksikan caranya sang kakek guru patahkan pedang, sekarang Barulah ia
percaya habis kepandaian Sin Tjie, ketika pemuda ini patahkan pedangnya Tiong Koen.
Karena ini ia pun jadi insyaf, ilmu silat Hoa San Pay sangat liehay, bahwa ia Baru dapat
pelajarkan kulitnya saja, hingga tidak ada alasan untuk ia menantang di luar, untuk
menjagoi. Ia menyesal, ia pun kuatir nanti dihukum kakek itu, diam-diam ia kucurkan
keringat dingin di bebokongnya.
Bok Djin Tjeng deliki cucu murid ini tapi ia diam saja.
"Kau telah janjikan orang itu pelajaran silat, kau mesti ajarkan dia baik-baik," tjouwsoe ini
kata kepada Sin Tjie, kepada siapa ia berpaling. "Kau hendak ajarkan apa padanya?"
Mukanya Sin Tjie menjadi merah.
"Teetjoe belum dapat perkenan dari soehoe, tidak berani teetjoe sembarang turunkan
pelajaran kita kepada lain orang," ia jawab. "Tadinya teetjoe memikir untuk ajari dia ilmu
golok tunggal Tok-pie-too-hoat, ialah semacam pelajaran yang teetjoe ciptakan sendiri dari
hasil campur-baur."
"Pelajaran campur-baurmu terlalu sedikit kelebihan!" berkata sang guru, yang tapinya
tidak gusar. "Ketika kau barusan layani djie-soekomu, kau seperti gunai ilmu silat
istimewa Pek pian kwie eng dari Bhok Siang Tooyoe. Kau telah dapatkan satu sahabatkarib
tukang main tiokie, yang suka membantu kepadamu, maka itu pasti sekali djiesoekomu
tidak sanggup berbuat suatu apa atas dirimu!....."
Lalu jago tua ini tertawa terbahak-bahak.
Bhok Siang Toodjin juga tertawa lebar.
"Eh, Sin Tjie," katanya kepada si anak muda," brani atau tidak kau mendusta didepan
gurumu?" "Teetjoe tidak berani, tootiang," Sin Tjie jawab.
"Kau tidak berani, bagus!" imam itu kata. "Sekarang aku hendak tanya kau: Sejak kau
meninggalkan Hoa San, pernah atau tidak aku mengajarkan pula ilmu silat kepadamu"
Dengar biar tegas, aku maksudkan, benar atau tidak aku sendiri yang mengajarkan pula
padamu?" Sin Tjie bercekat. Baru sekarang ia mengerti kenapa imam itu, untuk ajarkan ia "Pek pian
kwie eng" mesti pakai perantaraannya Tjeng Tjeng. Jadi inilah maksudnya, untuk cegah
Djie-soekonya Kwie Sin Sie nanti mengiri dan menegur gurunya berat sebelah. Sungguh si
imam sangat licik, hingga siang-siang ia sudah sedia tameng!
"Tootiang belum pernah ajarkan sendiri ilmu silat lainnya kepadaku," ia jawab imam itu.
"Sejak pertemuan kita paling belakang, begitu bertemu kita berdua lantas main catur."
"Nah, itulah dia!" berseru Bhok Siang Toodjin, yang tertawa pula. "Sekarang kau coba
berlatih pula dengan soehengmu ini, aku larang kau gunai semua ilmu silat yang dahulu
pernah aku ajarkan padamu."
"Djie-soeko tersohor dengan julukannya Sin-koen Boe-tek, itulah pujianyang sebenarbenarnya,"
Sin Tjie bilang, "tadi pun teetjoe sudah kewalahan, selagi teetjoe berniat minta
pertandingan dihentikan saja, sukur soehoe keburu datang. Coba temponya terlambat,
tentulah teetjoe habis daya...."
Bok Djin Tjeng tertawa. Ia puas karena murid muda ini pandai sekali bawa dirinya.
"Sudah, sudah," kata dia. "Tootiang ingin kau berlatih pula, cobalah lagi sekali kau
pertontonkan keburukanmu....."
Sin Tjie terdesak, tak berani ia membantah pula. Maka setelah rapikan pakaiannya, ia
hampirkan Kwie Sin Sie untuk menjura kepada djie-soeheng itu.
"Djie-soeko, aku mohon kau beri pimpinan padaku," ia minta. Kembali ia unjuki sifat
halusnya, yang suka merendah.
"Jangan ucapkan itu," kata Kwie Sin Sie, yang terus berpaling kepada gurunya, untuk
kata: "Jikalau ada yang salah, tolong soehoe unjuki."
Begitulah kedua soeheng dan soetee ini berdiri berhadapan, untuk "berlatih" pula, dalam
satu pertempuran yang beda daripada yang tadi. Sebab Kwie Sin Sie, di depan gurunya,
dimuka orang-orang lainnya, tak ingin mendapat malu. Ia menyerang dengan sebat dan
keras, tapi ia juga membela diri dengan waspada dan teguh.
Di hadapan Sin-koen Boe-tek, Wan Sin Tjie berkelahi dengan tenang tetapi cepat, akan
imbangi sang soeheng. Sekarang ia mau menyerang, tidak lagi main menangkis atau
berkelit saja seperti tadi. Ia taat kepada pesannya Bhok Siang Toodjin, ia terus gunai
pelbagai tipu dari Hoa San Pay. Maka itu bisa dimengerti, bagaimana hebatnya latihan ini.
Dengan cepat, seratus jurus telah dilalui, selama itu, tidak pernah salah satu pihak berbuat
keliru atau keteter, hingga Kwie Sin Sie heran dan penasaran yang ia tak mampu rubuhkan
atau desak saja sang soetee yang usianya masih demikian muda. Baru sekarang ia insaf
benar-benar liehaynya soetee ini.
Bok Djin Tjeng dan Bhok Siang Toodjin tonton pertandingan itu, keduanya bersenyum
sambil urut-urut jenggot mereka.
"Memang benar, guru terkenal menciptakan murid pandai!" Bhok Siang memuji. "Ini dia
yang dibilang, di bawah pimpinan panglima perang pandai tidak ada tentara yang lemah.
Melihat dua muridmu ini, aku bisa mengiri, menyesal kenapa dulu aku tidak mengajarkan
beberapa muridku dengan sungguh-sungguh...."
Bok Djin Tjeng Cuma bersenyum atas pengutaraan sahabatnya itu.
Pertandingan berjalan lagi beberapa jurus, masih Sin Sie tak dapat menangkan soeteenya
itu, ia menjadi sibuk bukan main, hingga karenanya, ia lantas mengadakan perubahan.
Sin Tjie menginsyafi desakannya soeheng itu, ia berpikir sebaliknya.
"Setelah sampai disini, aku mesti mengalah terhadap soeheng," demikian pikirnya. "Tapi
mengalah adalah sangat sulit, karena soeheng liehay, apabila aku berayal sedikit saja,
bisa aku nampak bahaya. Bagaimana sekarang?"
Sin Tjie lantas asah otaknya.
"Dari ucapan soehoe tadi, nampaknya ia kurang puas kepadaku karena pelajaranku
terlampau campur aduk," demikian ia ingat. "Tadi aku gunai tiga macam kepandaian untuk
layani djie-soeko, aku lantas menang di atas angin, sekarang aku gunai satu kepandaian
saja kita berimbang. Apakah itu bukannya alasan untuk bilang, pelajaran lain kaum
menangkan kaum kita" Baik aku gunai akal...."
Pikiran ini lantas diwujudkan, anak muda ini segera bersilat dengan "Kim Tjoa kim hoo
koen," atau ilmu silat "Ular emas menawan burung hoo." Inilah pelajarannya Kim Tjoa
Long-koen. Kwie Sin Sie terperanjat begitu lekas ia kenali lawan gunai ilmu pukulan yang asing
baginya, sebab didalam Hoa San Pay tidak ada gerak-gerakan yang mirip dengan itu.
Setelah empat jurus serangannya sang soetee, ia berlaku waspada, untuk lindungi diri.
Sin Tjie lihat perubahan sikapnya sang soeheng, ia bernapas lega, lalu sembari berkelahi
terus, ia empos tenaganya ke bebokongnya. Gerakan ini pun memperlambat gerakannya,
hingga Sin Sie lantas lihat satu lowongan dibelakangnya sang soetee. Seperti biasanya
satu ahli silat, tak suka ia mensia-siakan lowongan, malah tanpa sangsi lagi, ia lantas kirim
serangannya. Sin Tjie sudah siap, ia antap bebokongnya kena dihajar, selagi terhuyung, hingga ia
sempoyongan empat-lima tindak.
"Aku kalah," kata ia selagi ia membalik tubuh.
Kwie Sin Sie menyesal setelah ia serang jitu soeteenya itu, ia kuatir sang soetee terluka
parah, maka ia lompat maju, dengan niat mengasi bangun, akan tetapi bukan kepalang
herannya apabila ia tampak soetee itu tidak kurang suatu apa! Benar-benar ia tidak
mengerti. Ia tidak tahu, disamping mengatur tenaganya, untuk lawan serangan, Sin Tjie
juga andali baju kaos suci dari Bhok Siang Toodjin.
Tatkala si anak muda memutar tubuh, untuk bertindak, Baru ketahuan, bajunya di bagian
bebokong telah hancur dan beterbangan sepotong demi sepotong!
Tjeng Tjeng berkuatir sekali, hingga ia lari menghampiri.
"Kau tidak apa-apa?" tanyanya.
"Jangan kuatir," sahut Sin Tjie dengan tenang.
Bok Djin Tjeng sendiri sudah lantas pandang muridnya yang kedua.
"Pelajaranmu telah peroleh kemajuan, akan tetapi barusan seranganmu terlalu keras, kau
tahu?" tanya guru ini.
"Teetjoe mengerti, soehoe," sahut sang murid. "Pelajaran Wan Soetee adalah di atasanku,
aku takluk padanya."
"Selama yang belakangan ini sering aku dengar tentang kamu berdua suami dan isteri,"
kata pula sang guru, "aku dengar kamu berdua telah terlalu umbar murid-muridmu, hingga
mereka jadi petantang-petenteng, menarik perhatian umum. Aku pikir, isterimu mungkin
seorang yang kurang sadar, akan tetapi kau bukan seperti dia. Sekarang aku lihat sikapmu
terhadap soeteemu begini rupa, hm!....."
Kwie Sin Sie tunduk.
"Aku menerima salah, soehoe," dia bilang.
"Sudahlah," Bhok Siang menyelak. "Di dalam pieboe, siapa juga tak dapat berhati mulia.
Sin Tjie toh tidak terluka, kau orang tua buat apa kau omong banyak-banyak?"
Ditegur demikian rupa, Bok Djin Tjeng berdiam.


Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara itu, Kwie Sin Sie dan isterinya jadi tidak puas terhadap Sin Tjie. Mereka sudah
lama memperoleh nama, untuk di Kanglam, mereka seperti memimpin dengan diam-diam
kaum Rimba Persilatan, sekarang mereka ditegur di muka umum oleh guru mereka,
mereka jadi malu dan tak senang.
Kemudian Bok Djin Tjeng ubah haluan.
"Giam Ong akan mulai bergerak di dalam musim rontok ini," demikian katanya, "maka
lekas kamu pergi ikat perhubungan dengan saudara-saudara rimba persilatan di wilayah
kanglam, untuk sambut gerakan mulia itu."
Kwie Sin Sie dan isterinya, kepada siapa kata-kata itu diucapkan, menyahuti bahwa
mereka bersedia akan jalankan titah itu.
Lantas Bok Djin Tjeng kata pada Sin Tjie dan Tjeng Tjeng:
"Pergilah kau ke Pakkhia bersama-sama sahabat mudamu ini, disana kamu musti serepserepi
gerak-geriknya pemerintah, tetapi ingat, janganlah keprak rumput hingga kau
membikin ular kaget, terutama jangan sembarang bunuh menteri-menteri di istana. Jikalau
ada kabar yang penting, segera berangkat ke Siamsay untuk memberi laporan!"
"Baik, soehoe," Sin Tjie jawab.
"Sekarang aku hendak pergi menemui Tjit tjap djie to - totjoe The Kie In serta Sip Lek
Taysoe dari Siauw Liem Sie," Bok Djin Tjeng kata pula. "Bhok Siang Tooheng, kau hendak
pergi kemana?"
"Kami orang-orang gagah pencinta Negara, yang senantiasa pikirkan Negara dan rakyat,
pantas kamu repot terus-terusan seluruh hari," tertawa Bhok Siang Toodjin, "tidak
demikian denganku, aku adalah seumpama si burung hoo liar yang pesiar di tengah udara.
Aku pikir akan berdiam lagi beberapa hari di sini dengan muridmu ini, kau akur atau
tidak?" Bok Djin Tjeng tertawa.
"Sin Tjie telah janjikan orang untuk memberi pelajaran, di Lamkhia ini ia masih mesti
berdiam untuk beberapa hari," ia jawab, "maka pergi kamu main catur selama beberapa
hari ini! Kau sendiri masih punyakan banyak ilmu kepandaian, bolehlah sekalian saja kau
wariskan semuanya kepadanya!"
Sambil tertawa berkakakan, Bok Djin Tjeng putar tubuhnya untuk berlalu, atas mana Oey
Tjin dan Tjioe San lantas mengikuti.
A Pa berdiri tegak di tempatnya, ia gerak-gerikkan kedua tangannya kepada ketua dari Hoa
San Pay, melihat mana, Bok Djin Tjeng tertawa.
"Baiklah," katanya. "Kau kangen dengan sahabat cilikmu, pergi kau berdiam sama dia!"
Ia juga beri tanda dengan gerakan tangannya.
A Pa sangat girang, ia lari pada Sin Tjie tubuh siapa ia tubruk, untuk dipeluk dan diangkat!
Tjeng Tjeng kaget hingga ia mencelat, tapi kapan ia tampak wajah kegirangan orang,
hatinya menjadi lega, ia menjadi tenang pula.
Sin Tjie girang berbareng masgul. Baru ia bertemu gurunya, lantas mereka berpisah pula.
Ia pun berat akan berpisah dari Tjioe San dan Oey Tjin, malah dengan sang toasoeheng ia
sampai tak sempat pasang omong lagi.
"Kau baik, tak kecewa banyak orang ajari kau," demikian terdengar suaranya Bok Djin
Tjeng, yang tubuhnya lantas lenyap di tempat gelap, lenyap bersama Oey Tjin dan Tjioe
San, meninggalkan si murid yang bengong mengawasi kearahnya.
Kwie Sin Sie dan isterinya juga, sambil memberi hormat, awasi guru dan soehengnya itu,
kemudian mereka menjura pada Bhok Siang Toodjin, akan lantas ajak tiga murid mereka
berlalu. "Mereka itu mendendam terhadap kau," Bhok Siang kata pada Sin Tjie. "Mereka
berkepandaian tinggi, dibelakang hari apabila kau bertemu dengan mereka, waspadalah! Sekarang, aku pun hendak pergi!"
Sin Tjie manggut berbareng terperanjat. Ia terima nasehat itu tapi ia tak sangka guru ini
mau berangkat demikian lekas. Ia pun menyesal sudah bentrok dengan soehengnya
suami-istri. Lebih menyesal lagi, tak dapat ia tahan Bhok Siang Toodjin, yang lantas saja
berlalu. Maka ia pun ajak A Pa dan Tjeng Tjeng berlalu dan sepulangnya ke rumah Kong
Lee, ia terus masuk tidur.
Besoknya pagi Baru pemuda ini mendusi, atau Tjeng Tjeng sudah berlari-lari masuk
kedalam kamarnya sambil mulutnya berseru dengan berisik - berseru kegirangan - sebab
tangannya menggenggam sebuah peti kayu yang kecil, semacam lopa-lopa.
"Terkalah, apa ini?" ia berseru dengan pertanyaannya.
"Apakah ada tetamu?" Sin Tjie tanya.
Tjeng Tjeng tidak menjawab, ia hanya buka peti kecil itu. Ia berbuat demikian dengan air
mukanya tersungging senyuman, umpama bunga sedang mekar. Dari dalam peti itu, ia
jumput keluar selembar kertas merah, atau angtiap lebar, yang bertuliskan: "Hormat dari
adikmu yang bodoh, Bin Tjoe Hoa."
Terus si nona beber lembaran kertas merah itu, yang di dalamnya memuat selembar surat
rumah berikut sepotong catatan lengkap dari semua barang yang berada di dalam rumah
yang dimaksudkan itu.
Sin Tjie jadi kurang enak hati melihat Bin Tjoe Hoa buktikan janjinya dengan serahkan
rumah yang dibuat pertaruhan itu berikut segala isinya. Maka lekas-lekas ia salin pakaian,
ia lantas pergi ke rumah orang she Bin itu, dengan maksud menemui, untuk menghaturkan
terima kasih. Akan tetapi kapan ia sampai di rumah itu, tuan rumah semua sudah pergi, di
situ tinggal dua bujang yang asyik sapui kotoran. Atas pertanyaan anak muda ini, dua
orang itu bilang bahwa Bin Tjoe Hoa serumah-tangga sudah pergi sejak tadi pagi-pagi,
entah ke mana tujuannya.
Terpaksa Sin Tjie terima rumah itu, yang segera ia tempatkan.
Tjiauw Wan Djie telah lantas kirim beberapa orangnya berikut bujang perempuan, guna
bantu mengatur lebih jauh rumah gedung itu. Kedua bujang perempuan bantui Tjeng
Tjeng. Di antara beberapa orang lelaki itu juga termasuk koki, tukang kebun, pesuruh,
kusir dan cinteng, untuk jaga malam.
Dengan sendirinya, Ang Seng Hay diangkat jadi tjongkoan, kuasa rumah.
"Nona Tjiauw masih berusia sangat muda akan tetapi untuk urus rumah-tangga, ia ingat
segala apa," Sin Tjie puji Wan Djie.
Tjeng Tjeng tertawa.
"Maka jikalau dia bisa menjadi nyonya rumah ini, sungguh bagus!" katanya.
Sin Tjie awasi nona itu, ia tidak kata suatu apa. Tjeng Tjeng baik segala-galanya, kecuali
dalam hal hati-kecilnya, ia terpengaruh kejelusannya, cemburunya.
Pada malam pertama di gedungnya itu, tengah malam, Sin Tjie dan Tjeng Tjeng berkumpul
di dalam kamarnya, mereka keluarkan peta bumi dari Kim Coa Long-koen, untuk periksa
peta itu, guna diakurkan dengan macamnya gedung itu. Disana-sini sudah ada beberapa
perubahan akan tetapi pokoknya tetap, cocok dengan lukisan peta, dari itu keduanya jadi
sangat girang. Sekarang mereka fahamkan pengunjukan tanda-tanda, yang membawa
mereka keluar taman, terus ke dalam taman, sampai disamping taman di mana ada sebuah
gudang kayu. Mereka masuk ke dalam gudang ini.
Sin Tjie ajak A Pa, si empeh gagu, untuk dia ini bantui singkirkan semua kayu dan rumput
yang memenuhkan gudang itu, sesudah mana, mereka kerjakan pacul, untuk menggali
tanah. Tjeng Tjeng berdiri di luar pintu gudang, tangannya menyekal pedang, karena ia bertugas
berjaga-jaga. A Pa adalah yang menggali lobang, ia telah bekerja kira setengah jam, lantas paculnya
membentur suatu barang keras hingga menerbitkan suara nyaring, rupanya ada batu di
dalam lobang galian itu. A Pa tuli, ia tidak dengar suatu apa, maka Sin Tjie lantas cegah ia,
supaya penggalian dilakukan saja untuk gali keluar batu itu, yang merupakan sepotong
batu besar bagaikan papan. Berdua mereka angkat batu itu, hingga kelihatan satu lobang
di bawahnya. Sin Tjie berseru saking kegirangan, hingga Tjeng Tjeng dapat dengar suaranya, nona ini
segera memburu ke dalam, hingga ia pun saksikan lobang itu.
"Di sini!" Sin Tjie bilang. "Pergi kau menjaga pula di luar, sebentar Baru masuk lagi."
Nona Oen menurut.
Sin Tjie bikin dua batang obor, untuk itu di situ tersedia rumput keringnya, setelah ia sulut
obor itu, ia lemparkan ke dalam lobang, untuk singkirkan hawa busuk, kemudian Baru ia
turun ke dalam lobang dimana antara cahaya api, tertampak undakan tangga batu.
Berbaris rapi, di dalam ruangan dalam tanah itu kedapatan sepuluh peti besar yang diatur
rapi, setiap petinya dirantai dengan rantai yang besar. Cuma di situ tidak kedapatan anak
kunci. A Pa bertenaga besar, ia coba dukung sebuah peti, untuk diangkat, ia dapatkan peti besi
itu sangat berat.
Sin Tjie keluarkan petanya, untuk periksa lebih jauh. Di pinggir tempat simpan harta itu,
ialah di pojok kiri, ada lukisan seekor naga kecil. Menduga apa-apa, ia sambar pacul untuk
dipakai memaculi tanah di tempat yang dilukiskan itu. Baru ia memacul beberapa kali,
lantas ia dapatkan sebuah lopa-lopa besi, yang tidak dikunci, maka dengan gampang lopalopa
itu dapat dibuka tutupnya. Tapi untuk buka itu, ia gunai tali, ia menariknya pelahanlahan.
Ia ingat panah rahasia dari Kim Coa Long-koen, dari itu ia bekerja dengan waspada.
Peti itu terbuka dengan tidak mengakibatkan suatu apa, lalu Sin Tjie dekati obornya, untuk
memandang ke dalam peti, yang isinya ada serenceng anak kunci berikut dua lembar
kertas yang ada tulisannya.
Surat yang pertama berbunyi:
"Berhubung dengan pemberontakan pamanku, tidak ada menteri militer yang tidak
menakluk kepadanya, tidak demikian dengan Goei-Kok-Kong Tjie Hoei Tjouw. Tjie Hoei
Tjouw adalah menteri turunan, yang setia, yang harus dipuji. Barang-barang berharga dari
istana, karena sangat kesusu, tak dapat dibawa pergi semua, dari itu Goei-Kok-Kong,
tolong kau wakilkan tim menjaganya. Di belakang hari, apabila ada gerakan akan
menghidupkan Negara, pakailah harta ini.
Tahun Kian-boen ke-4, bulan enam"
"Jadi inilah harta peninggalannya Sri Baginda Kian Boen," kata Sin Tjie dalam hatinya.
Ketika Pangeran Yan Ong berontak, dia rampas kerajaan, Tjie Hoei Tjouw tak sudi
menakluk kepada raja pemberontak itu, sampai Yan Ong ketemui sendiri padanya dan
menegurnya tetapi dia tak suka bicara, tak sepatah kata keluar dari mulutnya, kata-kata
menyatakan suka menunjang raja pemberontak ini, hingga karenanya, ia telah dihadapkan
kepada pengadilan, yang coba paksa padanya. Ata situ, Hoei Tjouw tulis sepuluh huruf
yang berarti: "Ayahku adalah menteri berjasa yang bantu mendirikan Negara, anakcucunya
luput dari kematian."
Tjie Hoei Tjouw ini adalah putera Pangeran Tiong-san-ong Tjie Tat dan Tjie Tat ini adalah
menteri nomor satu yang berjasa ketika permulaan dibangunkan kerajaan Beng. Ketika
Tjie Tat berperang ke Timur dan Barat, ia telah wakilkan Kaisar Beng Thay Tjouw
meluaskan daerah, menetapkan Negara, hingga jasanya dianggap paling besar. Tapi ia
tahu Beng Thay Tjouw kejam, ia turut mengendalikan Negara dengan hati-hati dengan hati
kebat-kebit, sedikit juga ia tak mau menerbitkan kesalahan. Kaisar sebaliknya tak tenteram
hatinya mengadapi menteri-menterinya yang berjasa, tiap hari ia mencari jalan untuk
persalahkan Tjie Tat. Sampai pada suatu hari Tjie Tat dapat sakit tumbuhan di
bebokongnya. Kaisar Beng itu tahu, siapa dapat sakit tumbuhan, dia mesti pantang makan angsa tim,
atau dia segera akan binasa. Maka ia lantas perintahkan kirimkan angsa tim pada Tjie Tat.
Melihat masakan itu, Tjie Tat mengucurkan air mata, dengan berdiam tetap atas
pembaringannya, ia dahar habis angsa tim itu. Maka pada malam itu juga ia mati
keracunan. Atas kejadian ini, semua menteri jadi ketakutan sendirinya. Setelah Yan Ong
naik atas tahta, puteranya Tjie Tat, ialah Tjie Hoei Tjouw, tidak suka menakluk, hingga Yan
Ong jadi gusar dan hendak binasakan padanya. Tapi Yan Ong cerdik, di waktu ia mulai
bertahta ia ingin ambil hati orang, maka dengan alasan Tjie Hoei Tjouw adalah puteranya
menteri berjasa dan juga pernah kok-kioe, ipar raja, ia batalkan niatnya, cuma dia itu
dipecat, diperintah pulang ke gedungnya, dikurangi gajinya. Tjie Hoei Tjouw tetap setia
kepada Baginda Kian Boen, dari itu selama-lamanya dia kandung harapan untuk
membangun pula junjungannya itu.
Mengetahu hal ihwalnya Tjie Hoei Tjouw ini, Sin Tjie menghela napas. Habis itu, ia baca
surat yang kedua, yang memuat syair karangan Baginda Kian Boen sendiri, yang
menguraikan kesannya yang menyedihkan, yang ditulis sepulangnya dia pesiar di
propinsi-propinsi Hokkian, Kwietang, Soetjoan dan Inlam, sekembalinya dia ke kotaraja,
ibukota Kimleng (Lamkhia). Selama itu, raja ini telah berumur enam-puluh lebih, lenyap
sudah harapannya untuk bisa naik kembali atas tahta, maka kemudian ia pergi tanpa
tujuan. Entah bagaimana, peta dari hartanya itu telah terjatuh ke dalam tangan Kim Coa
Long-koen. Dengan gunai anak kunci, Sin Tjie buka satu peti besi dan matanya lantas kesilauan,
sebab peti itu penuh dengan pelbagai macam kumala dan permata lainnya, begitupun satu
peti yang lainnya, hingga ia berdiri ternganga.
Sebentar saja, setelah sadar, Sin Tjie pergi keluar.
"Pergi kau lihat di dalam," ia kata pada Tjeng Tjeng, yang tugasnya ia gantikan.
Tjeng Tjeng pun tercengang, sampai ia keluarkan seruan, kemudian ia keluar, tampangnya
bercampur wajah keheranan dan kegirangan.
"Harta ini ada harta peresan dari rakyat, untuk apa kita ambil?" kata Sin Tjie.
Tjeng Tjeng tahu sekarang kejantanan si anak muda, ia pun tak mau unjuk ketemahaannya
seperti dulu, untuk cegah dirinya dipandang enteng, ia kata: "Harta ini diambil dari rakyat,
harta ini mesti dikembalikan pada rakyat juga!"
Tak kepalang girangnya Sin Tjie, hingga ia sambar tangannya si nona, untuk dicekal
dengan keras. "Adik Tjeng, sungguh kau kenal aku!" katanya memuji.
Tentu saja, si nona pun puas, hatinya lega bahwa ia dapat memahami pemuda itu.
"Kita sekarang punyai harta besar ini, dapat kita bertingkah sebagai puteranya satu orang
berpangkat besar," kata Sin Tjie kemudian. "Mari kita pergi ke kota raja, untuk suatu usaha
besar. Kita nanti bantu Giam Ong dengan harta ini, guna rubuhkan kerajaan Beng. Apakah
namanya usaha ini?"
"Itu artinya, dengan tumbaknya sendiri, kita tusuk tamengnya!" jawab Tjeng Tjeng. "Atau
dengan gayanya sendiri, kita tindih padanya!"
"Benar, benar!" Sin Tjie tertawa. "Sekarang hayo kita berkemas-kemas!"
Dengan dibantui si empeh gagu, Sin Tjie bertiga angkut harta itu ke dalam kamarnya,
lobang harta sendiri diuruk pula. Mereka mandi keringat karena kerja terlalu keras tapi
mereka puas. Sampai fajar Barulah mereka selesai.
(Bersambung bab ke 14)
Besoknya lohor, Sin Tjie titahkan Ang Seng Hay pergi ke rumah Tjiauw Kong Lee untuk
panggil Lo Lip Djie. Dia ini masih sangat menderita karena lenyapnya sebelah tangannya,
tapi mendengar Sin Tjie panggil ia, bukan main girangnya, segera ia minta orang
pepayang padanya, untuk memenuhi panggilan itu.
"Kau duduk," perintah Sin Tjie, yang terus ajarkan bagaimana harus bersilat dengan
tangan sebelah - tangan kiri.
Lip Djie berotak terang, ia gampang ingat, apapula setelah si anak muda yang liehay
Pendekar Kidal 6 Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan K L Neraka Hitam 10

Cari Blog Ini