Ceritasilat Novel Online

Pendekar Bodoh 20

Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo Bagian 20


Wi Wi Toanio segera menyergap dengan sumpitnya untuk menjepit kedua sumpit Hai Kong Hosiang, akan tetapit tiba-tiba hwesio ini membuka mulut sumpitnya dan kini sumpit-sumpit itu menjadi saling jepit! Sepasang sumpit Wi Wi Toanio menjepit sumpit Hai Kong Hosiang sebelah bawah sedangkan sepasang sumpit Hai Kong Hosiang menjepit sumpit Wi Wi Toanio sebelah atas, bagaikan mulut dua ekor jangkerik sedang saling gigit dalam perkelahian yang sengit!
Tak terdengar sedikit pun suara di antara penonton yang memandangnya saking tegangnya pertandingan itu. Kini Wi Wi Toanio maklum bahwa Hai Kong Hosiang yang cerdik tidak mau mengadu kecepatan, maka ia sengaja menjepit sebuah sumpit lawan dan membiarkan sumpitnya yang sebatang terjepit pula hingga dalam keadaah demikian, terpaksa mereka harus mengandalkan tenaga belaka. Masing-masing tidak mau mengalah, dan dua pasang sumpit itu sampai tergetar saking serunya pertemuan tenaga mereka yang disalurkan kepada sepasang sumpit masing-masing! Sebentar sumpit terputar ke kanan, sebentar ke kiri, akan tetapi keduanya sama kuat hingga empat batang sumpit itu seakan-akan telah tumbuh menjadi satu!
Dari getaran-getaran yang menyerang ke jari-jari tangannya, Hai Kong Hosiang maklum akan kehebatan tenaga lweekang Wi Wi Toanio, akan tetapi nenek tua itu pun merasa betapa sepasang sumpit di tangan Hai Kong Hosiang demikian kokoh kuatnya bagaikan dua bukit karang yang sukar dirobohkan!
Lama sekali adu tenaga ini berlangsung dan pada jidat Hai Kong Hosiang telah nampak keringat keluar membasahi jidatnya, sedangkan Wi Wi Toanio juga mulai nampak pucat!
Kam Hong Sin berdiri dengan mata terpentang lebar karena baru kali ini ia menyaksikan pertandingan sumpit yang demikian seru dan hebatnya.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
613 Tiba-tiba Wi Wi berseru keras sekali dan ia telah mengerahkan seluruh tenaganya. Hai Kong mencoba untuk bertahan, akan tetapi tiba-tiba "krek!" terdengar suara keras dan tiga batang sumpit telah patah, yaitu dua batang sumpit Hai Kong Hosiang dan sebatang sumpit Wi Wi Toanio! Hal ini menunjukkan bahwa lweekang Wi Wi Toanio masih menang setingkat!
Hai Kong Hosiang menghapus keringatnya dan tertawa. "Sudah kukatakan bahwa aku takkan bisa menang menghadapi Wi Wi Toanio yang tangguh! Akan tetapi, kita semua enak-enak mengadu kepandaian hingga melupakan orang yang mengintai dari luar!"
Ang I Niocu merasa terkejut sekali dan serba salah. Terang bahwa mata Hai Kong Hosiang yang tinggal satu itu awas sekali dan telah dapat melihatnya. Ang I Niocu tak kenal arti takut, akan tetapi dalam keadaan seperti itu ia benar-benar menjadi bingung. Kalau ia melarikan diri dari situ, ia akan merasa malu kepada diri sendiri, sebaliknya kalau ia melompat masuk, ia yakin bahwa ia takkan kuat menghadapi sekian banyaknya orang-orang gagah.
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara orang tertawa dari sebelah atasnya dan disusul ucapan mengejek, "Ha, ha, memang semenjak tadi aku berada di sini. Bagaimana aku bisa masuk sebelum diundang?"
Ang I Niocu terkejut sekali. Bagaiamana ada orang bisa berada diatasnya tanpa ia ketahui sama sekali" Ia menengok dan melihat seorang kakek botak duduk di atas tiang yang melintang di atas kepalanya. Kakek itu duduk bagaikan seorang anak-anak sedang menonton pertunjukan indah, sedangkan pada lengan kirinya terjepit sepasang tongkat bambu warna kuning. Ia menjadi tercengang karena dapat menduga bahwa orang ini tentulah Hok Peng Taisu yang pernah diceritakan oleh Ma Hoa kepadanya. Dan, orang ini agaknya yang telah mencuri harta pusaka itu. Sementara itu, kakek botak yang bukan lain adalah Hok Peng Taisu itu, memandang kepadanya dan mengedipkan mata sambil menyeringai, memberi tanda agar Dara Baju Merah itu jangan mengeluarkan suara.
Sementara itu Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya mendengar suara dari luar itu, lalu berjaga-jaga dan Kam Hong Sin sebagai tuan rumah lalu berkata, "Tamu yang berada di luar dipersilakan masuk!"
Terdengar suara tertawa bergelak dan tiba-tiba tubuh seorang kakek botak melayang masuk dengan gerakan yang ringan sekali. Dengan sepasang matanya yang tajam, kakek botak itu menyapa semua orang yang berada di ruang itu dan berkata,
"Aduh, sudah berkumpul semua. Bagus, bagus! Tadi telah kusaksikan pertandingan sumpit yang bagus. Aku tua bangka pun mempunyai semacam permainan sumpit yang sama, akan tetapi entah ada orang yang cukup bergembira untuk melayaniku bermain-main atau tidak, entahlah!"
"Biarlah pinceng melayanimu, Kakek Tua!" kata Hai Kong Hosiang.
"Bagus, bagus, akan tetapi sebagai tamu baru, aku belum mendapat jamuan, sedangkan perutmu yang gendut sudah diisi penuh, tentu saja aku akan kalah tenaga! Biarkan aku makan dulu beberapa mangkok sayur!" Sambil berkata demikian, Hok Peng Taisu lalu mengambil semangkok daging kambing dan sepasang sumpit bambu. Sambil berdiri, ia makan daging itu sepotong demi sepotong dan kelihatannya ia menikmati makanan itu.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
614 "Locianpwe ini siapakah?" Kam Hong Sin bertanya karena merasa penasaran melihat lagak orang yang tidak tahu akan kesopanan.
"Baru saja namaku kausebut-sebut, sekarang hendak bertanya pula, bukankah ini aneh namanya" Akan tetapi, aku jangan kaubandingkan dengan Bu Pun Su yang lihai!"
Terkejutlah semua orang, dan ketika melihat ke arah dua batang tongkat bambu yang dikempit di bawah lengan kiri, Kam Hong Sin menjadi pucat dan bertanya,
"Apakah kau Hok Peng Taisu yang telah mencuri harta pusaka?"
Tiba-tiba Hok Peng Taisu tertawa bergelak-gelak. "Sudah berpuluh tahun aku orang tua menyembunyikan diri dalam gua dan karena perbuatan orang-orang yang suka mencurilah yang menyebabkan aku keluar dari gua. Sekarang aku bahkan dituduh menjadi pencuri. Lucu, lucu!" Kemudian, dengah tangan kiri masih menyangga mangkok dan di bawah lengan kiri itu masih terjepit tongkat-tongkat bambunya, tangan kanan memegang sumpit, ia menuding ke arah Hai Kong Hosiang dengan sumpitnya itu dan bertanya,
"Bagaimana, apakah kau masih mau melayani aku bermain sumpit?"
"Boleh, asal kau orang tua jangan bermain curang!"
Kembali Hok Peng Taisu tertawa bergelak dan ia mengulurkan tangan yang memegang
sumpit sambil berkata, "Nah, kaujepitlah sumpitku ini!"
Hai Kong Hosiang yang melihat bahwa sepasang sumpit kakek itu adalah sumpit bambu biasa saja, lalu melangkah maju dan dengan sumpit gading yang kuat ia lalu menyerang maju, akan tetapi bukan menjepit sumpit kakek itu, melainkan menotok dengan sepasang sumpitnya ke arah pergelangan tangan Hok Peng Taisu! Akan tetapi, kakek botak ini agaknya tidak tahu akan kecurangan lawan, ia hanya menggerakkan sumpitnya ke bawah, lalu setelah dapat menangkis sumpit Hai Kong Hosiang, ia memutar sumpitnya sedemikian rupa hingga sumpit Hai Kong Hosiang ikut terputar-putar tanpa dapat ditahan pula! Terpaksa Hai Kong Hosiang mengerahkan seluruh tenaganya untuk membetot, akan tetapi sumpitnya seakan-akan telah timbul akar pada sumpit kakek itu dan tak dapat dibetot. Ia mengerahkan tenaganya lagi dan tiba-tiba kakek itu melepaskannya hingga tubuh Hai Kong Hosiang terhuyung ke belakang.
"Ha, ha, ha! Kau lucu sekali hwesio!" katanya, lalu dengan sumpitnya ia menjepit sepotong daging yang dimasukkan ke dalam mulutnya seakan-akan tak pernah terjadi sesuatu! Wi Wi Toanio yang dapat memaklumi akan kelihaian kakek botak ini, diam-diam menghampirinya dari belakang dengan sepasang sumpit gading di tangannya.
"Hok Peng Taisu, aku pun ikut bermain-main dengan sumpit!" Dan belum juga habis kata-kata ini ia ucapkan, ia telah menyerang dengan sepasang sumpitnya, menotok jalan darah Hok Peng Taisu dari belakang! Kakek botak itu tidak bergerak ataupun membalikkan tubuh, seakan-akan ia tidak mendengar ucapan itu, hanya tangan kanannya yang memegang sumpit saja digerakkan ke belakang tubuhnya. Pada saat itu, Hai Kong Hosiang yang merasa penasaran, lalu menyerang lagi dari depan dengan sepasang sumpitnya digerakkan ke arah kakek botak itu.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
615 Biarpun diserang dari belakang dan depan, agaknya Hok Peng Taisu masih saja enak-enak mengunyah daging beberapa potong yang tadi dimasukkan ke dalam mulut. Ketika sumpit Wi Wi Toanio telah dekat dengan tubuhnya, tiba-tiba sumpit di tangan kanannya bergerak dan terdengar suara "krek!" dan seruan Wi Wi Toanio yang melompat mundur karena merasa telapak tangannya sakit sekali, dan ternyata bahwa sepasang sumpitnya telah terpotong menjadi dua, setelah tadi terjepit oleh sumpit bambu Hok Peng Taisu! Sedangkan dua batang sumpit Hai Kong Hosiang yang menyambar ke arah ulu hatinya, juga tidak dielakkan oleh kakek botak itu, akan tetapi tiba-tiba ia membuka mulutnya dan duakali ia meniupkan daging-daging yang dimakan tadi dari mulut! Daging-daging itu meluncur bagaikan pelor dan tepat sekali mengenai ujung sepasang sumpit itu. Hai Kong Hosiang hanya merasa betapa tusukan sumpitnya tertahan oleh tenaga yang kuat dan tahu-tahu ia melihat betapa dua batang sumpitnya telah menancap pada dua potong daging bakso yang besar!
Bukan main marahnya Hai Kong Hosiang melihat hal ini dan ia merasa dirinya
dipermainkan, maka ia berseru.
"Jangan jual lagak di sini!" Sambil berseru demikian ia mengayun sepasang sumpitnya yang masih ada baksonya itu meluncur cepat ke arah dua mata Hok Peng Taisu!
Akan tetapi kakek botak itu sambil terkekeh-kekeh lalu berkata. "Hwesio, mengapa kau tidak makan bakso-bakso itu?" Lalu ia mengangkat dua tongkat bambunya, memukul ke arah sepasang sumpit yang melayang itu. Heran sekali, ketika tongkat bambu itu beradu dengan sumpit, bakso yang berada di ujung sepasang sumpit itu melayang kembali ke arah Hai Kong Hosiang, sedang sumpit-sumpitnya melayang ke samping, menuju kepada Wi Wi Toanio!
Hai Kong Hosiang mengelak dan sambil menyumpah-nyumpah lalu mencabut keluar tongkat ularnya, sedangkan Wi Wi Toanio juga menjadi marah dan menyampok dua batang sumpit yang melayang ke arah dirinya itu hingga runtuh ke atas lantai! Kemudian, nenek ini pun maju menyerang dengan kedua tangan merupakan cakar burung garuda. Sebenarnya, Ilmu Silat Eng-jiauw-kang (Kuku Garuda) yang dimiliki oleh nenek ini bukanlah Eng-jiauw-kang biasa dan gerakannya aneh serta lihai sekali.
Melihat dirinya hendak dikeroyok, Hok Peng Taisu segera menggerakkan sepasang tongkat bambunya dan dua kali tubuhnya berkelebat, tahu-tahu tongkat ular di tangan Hai Kong Hosiang telah kena dibikin terpental dan Wi Wi Toanio hampir saja terkena sabetan itu pada pipinya! Keduanya merasa terkejut sekali dan melompat mundur.
Hok Peng Taisu tertawa terbahak-bahak. "Kalian ini benar-benar merupakan tuan rumah yang kurang sopan! Lebih baik aku pergi saja lagi!" Setelah berkata demikian, kakek botak itu menggerakkan kakinya dan melayang pergi.
"Locianpwe, tunggu dulu!" tiba-tiba Kam Hong Sin berseru dan memburu ke pintu.
"Apa kehendakmu?" terdengar suara kakek botak itu dari atas genteng.
"Kami menantangmu dan juga Bu Pun Su untuk mengadakan pertandingan adu kepandaian di Puncak Hoa-san pada bulan tiga. Apakah kau berani menerima tantangan kami ini?"
Kembali kakek botak itu tertawa terkekeh-kekeh. "Tak usah kauceritakan, aku pun telah maklum akan maksud kalian yang buruk itu. Baik, baik, memang telah lama aku ingin Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
616 bertemu dengan Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu. Tentang Bu Pun Su, aku tidak tanggung bahwa ia akan mau melayani ajakan kalian yang gila itu!"
Hok Peng Taisu lalu melayang ke tempat mana Ang I Niocu bersembunyi dan memberi tanda dengan tangan, agar supaya Dara Baju Merah itu mengikutinya. Ang I Niocu lalu melompat ke atas genteng dan mengikuti kakek itu pergi dari situ. Setelah berada di tempat jauh, kakek botak itu berkata,
"Bukankah kau yang bernama Ang I Niocu?"
Ang I Niocu menjura dengan sangat hormatnya. "Betul Locianpwe dan sudah lama aku yang bodoh mendengar tentang nama Locianpwe dari Ma Hoa. Aku merasa beruntung sekali dapat bertemu dengan seorang sakti seperti Locianpwe."
"Ah, jangan terlalu memuji, Nona. Kau tentu sudah mendengar semua kehendak mereka itu, bukan" Nah, terserah kepadamu sekarang apakah kau hendak menyampaikan undangan
mereka terhadap Bu Pun Su atau tidak. Hanya saja, boleh kau katakan pada Bu Pun Su bahwa aku tua bangka tentu akan menghadapi tantangan mereka itu pada waktunya di Puncak Hoa-san!"
Setelah berkata demikian, Hok Peng Taisu lalu berkelebat pergi sedangkan Ang I Niocu lalu melanjutkan perjalanannya. Memang ia pun ada maksud untuk pergi ke Gua Tengkorak menemui susiok-couwnya, sekalian hendak menemui Bu Pun Su untuk minta ijin orang tua itu tentang perjodohannya dengan Lie Kong Sian.
Nelayan Cengeng, Kwee An dan Ma Hoa menjalankan tugas membagi-bagi harta itu sambil melanjutkan perjalanan ke timur. Seperti halnya Ang I Niocu, mereka pun mengalami banyak sekali kebahagiaan dari pekerjaan yang mulia ini.
Ketika mereka menyeberang sebatang sungai yang menjadi anak Sungai Huangho, Nelayan Cengeng melihat beberapa perahu nelayan hilir mudik dengan para nelayan bernyanyi-nyanyi sambil mendayung perahu mereka. Pemandangan dan pendengaran ini membangkitkan
hatinya dan menimbulkan rindunya pada kehidupan nelayan yang telah dinikmatinya
semenjak masih muda, maka ia berkata kepada Ma Hoa dan Kwee An.
"Ma Hoa dan Kwee An, telah lama sekali aku merasa rindu untuk hidup kembali sebagai seorang nelayan, mendayung perahu menjala ikan dan hidup dengan aman dan tenteram di atas air! Terus terang saja kuakui bahwa hampir tiap malam aku bermimpi duduk di atas perahu seorang diri, dibuai ombak, minum arak sambil menikmati cahaya bulan di waktu malam. Kalian telah saling berjumpa kembali dan juga kawan-kawanmu telah dapat kita ketemukan, maka hatiku kini merasa aman dan senang. Oleh karena itu, aku ingin tinggal dan hidup kembali sebagai nelayan di sungai ini. Kalian teruskanlah perjalanan kalian dan ini sisa harta benda yang kubagi-bagikan boleh kalian habiskan dan bagi-bagikan kepada rakyat miskin. Kelak kalau tiba saatnya kalian hendak melangsungkan pernikahan, berilah kabar dan aku pasti akan datang."
Ma Hoa maklum bahwa suhunya ini memang suka sekali hidup di atas air sebagai seorang nelayan, bahkan dulu suhunya pernah menyatakan bahwa ia ingin mati di dalam sebuah perahu, maka berkata,
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
617 "Suhu, amat berat hatiku harus berpisah dari Suhu. Suhu tentu tahu bahwa teecu menganggap Suhu sebagai ayah sendiri, maka kelak kalau Suhu telah bosan merantau di atas sungai ini, teecu harap Suhu suka tinggal bersama teecu agar teecu mendapat kesempatan merawat Suhu dan membalas budi."
Nelayan Cengeng tertawa bergelak hingga air matanya keluar. "Muridku, anakku yang baik!"
katanya sambil menaruhkan tangannya di atas kepala Ma Hoa. "Tidak ada kegembiraan yang lebih besar bagiku selain melihat kau hidup bahagia dengan Kwee An! Aku berjanji bahwa kelak apabila aku sudah bosan di sungai ini, pasti aku akan hidup dekat dengan kau dan suamimu."
Setelah banyak mendapat nasihat-nasihat dan petuah-petuah dari Nelayan Cengeng yang baik hati itu, Kwee An dan Ma Hoa lalu melanjutkan perjalanan mereka.
Ma Hoa mengajak Kwee An mengunjungi suhunya ke dua, yaitu Hok Peng Taisu di Bukit Hong-lun-san, di mana dulu ia diberi pelajaran silat Bambu Runcing. Bukit itu masih indah seperti dulu, kaya akan tamasya alam yang mengagumkan hati. Ketika mereka tiba di puncak, mereka tiba-tiba mendengar suara angin pukulan yang hebat dibarengi bentakan-bentakan seperti orang sedang berkelahi. Dengan cepat mereka lalu menghampiri tempat itu dan Ma Hoa menahan geli hatinya ketika melihat betapa suhunya bersilat seorang diri dengan sepasang tongkatnya. Gerakan kakek botak itu demikian kuatnya hingga di sekitarnya semua daun-daun bergerak-gerak terkena pukulan angin yang keluar dari pukulan dan sambaran tongkat itu! Kwee An berdiri bengong dan merasa kagum bukan main melihat kehebatan kakek luar biasa itu.
"Suhu, kau orang tua benar-benar rajin sekali!" Ma Hoa memuji dan Hok Peng Taisu lalu menghentikan latihannya dan berpaling kepada mereka sambil tersenyum. Ma Hoa segera menjatuhkan diri berlutut, diikuti oleh Kwee An yang juga berlutut.
"Bagus, bagus, bagus sekali kalian datang ke sini. Di mana Nelayan Cengeng?"
"Dia rindu kepada perahu dan sungai, Suhu, maka tidak melanjutkan perjalanan dan hendak hidup beberapa lama di atas Sungai Liang-ho," jawab Ma Hoa.
Hok Peng Taisu menarik napas panjang. "Nelayan Cengeng memang orang yang beruntung tidak seperti aku, tua-tua masih menimbulkan perkara dan mencari permusuhan. Tahukah kau bahwa pada bulan tiga aku akan mengadakan pertandingan di Puncak Hoa-san" Oleh karena itu aku harus melatih diri dan melepaskan urat-urat yang sudah kaku!" Di waktu mudanya kakek botak ini memang gemar sekali mengadu kepandaian dengan orang-orang pandai, maka kini agaknya kegemaran itu timbul kembali dalam menghadapi tantangan Hai Kong Hosiang.
Kemudian ia lalu menceritakan tentang tantangan itu kepada Ma Hoa dan Kwee An.
"Bu Pun Su adalah seorang tokoh besar, maka tentu saja ia pun akan menyambut tantangan ini. Aku kenal padanya sebagai seorang yang sabar, akan tetapi menghadapi sebuah tantangan yang keluar dari mulut hwesio jahat itu, tentu ia akan turun gunung. Oleh karena itu, hendaknya kalian datang kepadanya dan ceritakanlah tentang tantangan itu kepada Bu Pun Su, sekalian sampaikan salamku kepadanya. Katakan bahwa selatan dan timur tidak seharusnya kalah terhadap barat dan utara!" Dengan ucapan ini, Hok Peng Taisu hendak menyatakan bahwa dia dan Bu Pun Su takkan kalah menghadapi Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu, tokoh-tokoh besar dari barat dan utara itu!
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
618 Ma Hoa dan Kwee An lalu turun dari Bukit Hong-lun-san dan karena mereka telah
mendengar dari Cin Hai di mana letak Gua Tengkorak itu, maka mereka langsung menuju ke sana.
Ketika mereka tiba di depan Gua Tengkorak, mereka melihat Lin Lin sedang duduk dengan bengong seperti orang melamun dengan muka nampak sedih. Melihat kedatangan mereka, gadis ini tidak merasa girang, bahkan lalu memeluk kakaknya menangis sedih.
Kwee An yang sudah lama sekali tidak bertemu dengan adiknya yang terkasih itu, mengusap-usap rambut Lin Lin dan bertanya, "Adikku sayang, mengapa kau bersedih" Di manakah Cin Hai dan di mana pula Suhumu?"
Setelah tangisnya mereda, Lin Lin lalu berkata, "Mereka berada di dalam. Suhu sedang menderita sakit keras. Hai-ko dan Enci Im Giok menjaganya. Aku" aku tak dapat menahan kegelisahan dan kesedihanku maka aku lalu keluar, karena di depan Suhu aku tidak berani memperlihatkan kesedihanku."
Bukan main kagetnya hati Ma Hoa dan Kwee An mendengar hal ini. Segera Ma Hoa
bertanya, "Suhumu adalah seorang yang sakti, mengapa ia bisa menderita sakit" Dan bilakah Ang I Niocu tiba di sini?"
Kemudian, dengan suara perlahan agar jangan sampai suara mereka terdengar dari dalam dan mengganggu Bu Pun Su, Lin Lin lalu menceritakan bahwa setelah ia dan Cin Hai, juga bersama Lie Kong Sian, tiba di tempat itu, mereka mendapatkan Bu Pun Su sudah berbaring di dalam gua tak sadarkan diri, di jaga oleh tiga ekor burung sakti yang diam tak bergerak seperti sedang merasa bingung dan berduka pula. Lie Kong Sian yang paham akan ilmu pengobatan, lalu memeriksa nadi kakek jembel itu dan menyatakan bahwa Bu Pun Su
menderita kelemahan usia tua dan agaknya kesedihan hati membuat jantungnya terserang hebat dan penderitaan batin membuat kakek itu tidak kuat menahan dan jatuh pingsan.
Pemuda itu lalu mengatakan kepada Cin Hai dan Lin Lin agar supaya menjaga Bu Pun Su dan membantu kesempurnaan jalan darahnya dengan tenaga lweekang, sedangkan ia sendiri hendak pergi ke pulaunya mencari semacam rumput darah yang mungkin akan
menyembuhkan Bu Pun Su.
Semenjak masuk Gua Tengkorak, Cin Hai lalu memegang tangan kanan suhunya dan
mengerahkan tenaganya membantu aliran hawa ke dalam tubuh suhu itu. Telah sepekan lamanya Cin Hai duduk bersila tak bergerak dari dekat suhunya dan hanya makan sedikit sekali, itu pun kalau dipaksa-paksa oleh Lin Lin.
Baru tiga hari yang lalu Ang I Niocu tiba di situ dan gadis ini pun menjaga susiok-couwnya siang malam bersama mereka.
"Apakah selama ini Suhumu tidak siuman?" tanya Kwee An dengan terharu.
"Pernah satu kali, dan setelah siuman ia hanya mengucapkan tiga perkataan, yaitu bahwa ia sudah tua, lalu jatuh pingsan lagi." Kembali air mata mengalir turun dari kedua mata Lin Lin.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
619 Tiga orang muda itu lalu masuk ke dalam Gua Tengkorak dengan tindakan kaki perlahan dan hati-hati sekali. Benar saja, mereka melihat Bu Pun Su berbaring di atas lantai di dalam kamar hio-louw, berbaring diam tak bergerak seperti sudah mati. Cin Hai duduk di sebelah kanannya dan memegang tangan kanan kakek itu sambil bersamadhi mengerahkan tenaga lweekangnya untuk membantu aliran hawa ke dalam tubuh suhunya, sedangkan Ang I Niocu duduk di sebelah kirinya, juga bersila tak bergerak bagaikan patung. Biarpun ilmu lweekangnya belum setinggi Cin Hai, namun kadang-kadang ia menggantikan Cin Hai untuk memegang tangan kiri kakek itu dan membantunya dengan tenaga lweekangnya agar Cin Hai tidak merasa terlalu lelah.
Melihat hal ini Ma Hoa teringat akan kepandaian suhunya, yaitu Hok Peng Taisu, tentang ilmu pengobatan, maka ia lalu memberi tanda kepada Kwee An dan Lin Lin untuk keluar dari tempat itu. Cin Hai dan Ang I Niocu agaknya tidak melihat atau tidak mempedulikan kedatangan mereka.
Ketika Kwee An dan Ma Hoa melihat tiga ekor burung sakti berdiri di ruang tengkorak tanpa bergerak dan dengan muka seolah-olah sedang berduka sekali, mereka merasa amat terharu.
Burung-burung itu benar-benar luar biasa hingga memiliki perasaan seperti manusia biasa.
Setelah tiba di luar gua, Kwee An bertanya mengapa Ma Hoa memanggil mereka keluar.
"An-ko, harap kau suka pergi dengan cepat kepada Suhu di Hong-lun-san untuk
mengabarkan hal ini kepada Suhu. Suhu adalah seorang ahli pengobatan dan dia tentu akan sanggup menolong Bu Pun Su Locianpwe."
Lin Lin menyatakan kegirangannya mendengar ini, maka ia pun mendesak kepada kakaknya untuk segera minta petolongan orang berilmu itu. Kwee An menyatakan persetujuannya dan ia berpesan kepada kekasihnya dan adiknya supaya mereka berdua menjaga di luar gua, agar jangan sampai ada musuh yang datang membuat kekacauan pada saat Bu Pun Su menderita sakit keras. Kemudian ia mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk berlari secepat mungkin ke Hong-lun-san.
Dengan adanya Ma Hoa yang mengawaninya, Lin Lin menjaga di depan gua dan duduk di atas batu karang sambil bercakap-cakap dan tidak melamun seperti tadi. Mereka saling menuturkan pengalaman masing-masing dan Ma Hoa merasa girang mendengar tentang
ditewaskannya Thai Kek Losu, Sian Kek Losio dan Bo Lang Hwesio. Sebaliknya, ketika mendengar tentang tantangan Hai Kong Hosiang yang ditujukan kepada Hok Peng Taisu dan Bu Pun Su, Lin Lin merasa berkuatir sekali. Dalam keadaan seperti itu, bagaimana suhunya akan dapat memenuhi tantangan itu"
Ketika mereka sedang duduk bercakap-cakap dengan asyiknya, tiba-tiba berkelebat bayangan orang yang cepat sekali gerakannya dan tahu-tahu seorang wanita tua telah berdiri di hadapan mereka. Dengan terkejut Lin Lin dan Ma Hoa bangkit berdiri dan memandang dengan tajam kepada Wi Wi Toanio yang datang itu!
Melihat nenek ini, Lin Lin menjadi marah sekali karena teringat betapa bekas kekasih Bu Pun Su ini telah menjalankan kecurangan untuk mencelakai suhunya itu. Maka sambil mencabut Han-le-kiam dari pinggangnya, ia membentak,
"Mau apa kau datang ke sini?"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
620 Wi Wi Toanio memandang dengan mata mengejek lalu jawabnya,
"Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian anak-anak kecil. Minggirlah, dan biarkan aku bertemu dengan Lu Kwan Cu!"
"Tidak! Tak seorang pun boleh masuk ke dalam gua ini mengganggu Suhu! Pergilah kau sebelum pedangku bicara!"
"Anak kecil kurang ajar! Kau berani menghina dan mengusirku?" Wi Wi Toanio menjadi marah sekali.
Ma Hoa juga mencabut sepasang bambu runcingnya dan berkata, "Nenek jahat, kau pergilah dengan baik-baik dan jangan mencari mati."
Makin marahlah Wi Wi Toanio mendengar ini. Dengan seruan keras ia melompat dan
menerjang ke arah Lin Lin dan Ma Hoa dengan limu Silat Cakar Garuda yang lihai dan berbahaya itu. Akan tetapi Lin Lin dan Ma Hoa sudah siap dan menghadapinya dengan mengirim serangan-serangan mematikan. Ternyata Wi Wi Toanio memang lihai sekali. Ilmu kepandaiannya lebih tinggi daripada kepandaian Hai Kong Hosiang, maka biarpun Lin Lin dan Ma Hoa mengeroyok dua dan mainkan senjata mereka dengan cara hebat, namun nenek itu tidak menjadi gentar dan membalas dengan cengkeraman-cengkeraman yang dahsyat.
Sambil bertempur Wi Wi Toanio mengeluarkan pekik-pekik menyeramkan dan tubuhnya
menyambar-nyambar bagaikan seekor burung garuda. Ginkangnya ternyata sudah mencapai tingkat tinggi sekali hingga tubuhnya itu melayang-layang seolah-olah ia dapat terbang saja.
Namun Lin Lin dan Ma Hoa yang berlaku hati-hati tidak mau kalah dan bekerja sama dengan mati-matian untuk merobohkan pengacau ini.
Pada saat pertempuran terjadi, Cin Hai sedang membantu suhunya dengan mengalirkan hawa melalui telapak tangan, sedangkan Ang I Niocu hanya bersila dan bersamadhi untuk mengumpulkan tenaga yang telah banyak dikerahkan membantu susiok-couwnya itu. Kini ia mendengar suara-suara orang berkelahi di luar, maka tahulah ia bahwa Lin Lin dan Ma Hoa sedang menghadapi lawan tangguh. Tanpa mengeluarkan suara, ia lalu mengambil sebatang pedang Liong-cu-kiam yang diletakkan di dekat Cin Hai, lalu ia bertindak keluar.
Pada saat itu, sambil memekik keras, Wi Wi Toanio melompat ke atas dan kedua tangannya terulur ke depan dengan maksud merampas senjata kedua lawannya, akan tetapi, tiba-tiba berkelebat bayangan merah dan dua batang pedang yang bercahaya berkilauan
menyambutnya dengan serangan hebat! Wi Wi Toanio sedang melayang bagaikan seekor burung garuda yang ganas, sedangkan Ang I Niocu pun melayang menyambutnya dengan pedang Liong-cu-kiam, bagaikan seekor burung hong yang indah dan gesit! Wi Wi Toanio terkejut melihat serangan ini, maka ia lalu berseru keras dan tahu-tahu tubuhnya telah terputar dan berjungkir balik beberapa kali ke belakang!
Melihat Ang I Niocu datang membantu, Lin Lin dan Ma Hoa menjadi gembira dan mereka lalu mainkan senjata mereka dengan seru dan hebat mendesak Wi Wi Toanio yang kini merasa sibuk juga menghadapi tiga orang gadis jelita yang mengamuk bagaikan tiga ekor naga betina itu! Ang I Niocu memang lihai dan dengan sepasang pedang Liong-cu-siang-kiam di kedua tangan, ia merupakan seekor harimau yang tumbuh sayap. Lin Lin dengan Han-lekiam-hwatnya merupakan lawan yang amat berbahaya karena ilmu pedangnya ini boleh Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
621 dianggap menduduki tingkat tinggi sekali di antara segala macam ilmu pedang, sedangkan Ma Hoa dengan Ilmu Silat Bambu Runcingnya juga merupakan lawan yang tak mudah dilawan!
Tentu saja setelah ketiga orang dara ini maju mengeroyok, biarpun ilmu kepandaian Wi Wi Toanio tinggi dan pengalamannya banyak, namun tetap saja ia merasa kewalahan dan sebentar saja ia terdesak mundur dan jiwanya berada dalam bahaya!
Wi Wi Toanio mengeluarkan jarum-jarum rahasianya dan kedua tangannya diayun menyebar puluhan batang jarum ke arah tiga dara itu, akan tetapi Ma Hoa memutar-mutar sepasang bambu rucingnya dan Ang I Niocu juga memutar sepasang pedangnya, hingga semua jarum kena terpukul runtuh. Sementara itu melihat kesempatan baik, Lin Lin maju mengirim serangan hebat ke arah dada lawannya dengan tusukan cepat. Wi Wi Toanio mencoba
mengelak akan tetapi ketika ia merendahkan diri, Lin Lin merobah gerakannya dan
pedangnya meluncur ke bawah! Wi Wi Toanio ketika itu terancam pula oleh sabetan pedang Ang I Niocu dari kiri dan tusukan bambu runcing yang menotok iganya, maka dengan bingung ia membanting diri ke belakang! Namun gerakannya biarpun sudah cepat sekali ujung pedang pendek Han-le-kiam di tangan Lin Lin masih lebih cepat dan ujung pedang ini berhasil melukai pundak Wi Wi Toanio yang lalu berguling ke belakang untuk
menghindarkan diri dari serangan-serangan selanjutnya.
Tiga orang gadis itu hendak mengejar dan mengirim serangan maut, akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara dari dalam gua,
"Jangan bunuh dia!"
Ang I Niocu, Lin Lin, dan Ma Hoa tercengang dan mereka menahan senjata masing-masing, sedangkan Wi Wi Toanio yang merasa jerih menghadapi tiga orang gadis kosen itu, lalu melarikan diri turun dari bukit itu secepatnya!
Ang I Niocu merasa girang sekali mendengar suara tadi, karena suara yang mencegah mereka tadi adalah suara Bu Pun Su. Juga Lin Lin mengenal suara suhunya, maka cepat-cepat ia lalu mengajak Ma Hoa dan Ang I Niocu untuk masuk ke dalam gua.
Mereka melihat bahwa Bu Pun Su telah siuman kembali akan tetapi masih rebah dengan tubuh lemah, sedangkan Cin Hai duduk bersila di dekatnya dengan wajah muram. Bu Pun Su memang hebat sekali, karena biarpun ia berada dalam keadaan sedemikian rupa, namun pendengarannya masih amat tajam sehingga ia dapat mendengar pertempuran yang terjadi di luar dan seruan-seruan Wi Wi Toanio itu dikenalnya baik-baik maka ia lalu mengerahkan khikangnya dan mencegah ketiga orang gadis itu membunuh Wi Wi Toanio. Tanpa
menyaksikan dengan mata sendiri, dari pendengaran dan dugaan saja ia maklum bahwa Wi Wi Toanio takkan dapat menang menghadapi tiga dara yang gagah perkasa itu!
Ang I Niocu, Lin Lin, dan Ma Hoa lalu menjatuhkan diri berlutut dan memberi hormat. Bu Pun Su tersenyum dengan lemah dan bibirnya bergerak, mengeluarkan bisikan perlahan,
"Kalian lihat, betapapun tinggi kepandaian orang, ia harus tunduk terhadap usia tua!"
Kemudian Bu Pun Su memandang kepada Ma Hoa dan berkata. "Nona Ma Hoa, kau datang ke sini tentu mempunyai maksud tertentu. Katakanlah!"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
622 Ma Hoa tadinya segan untuk menceritakan tentang pesanan suhunya, dan tadinya ia berniat untuk menahan saja pesanan itu karena Bu Pun Su sedang sakit. Tidak tahunya kakek ini bermata awas hingga tahu bahwa kedatangannya mempunyai maksud tertentu, maka sambil berlutut ia lalu berkata,
"Maafkan teecu, Locianpwe. Sebetulnya teecu tidak berani mengganggu Locianpwe yang sedang menderita sakit."
Terdengar suara tertawa Bu Pun Su yang seperti biasa, gembira dan terlepas, hanya kali ini suara ketawanya tidak sekeras dulu. "Anak yang baik, tubuhku sakit, akan tetapi semangatku masih seperti biasa. Ceritakanlah."
"Sebetulnya teecu diperintahkan oleh Suhu Hok Peng Taisu untuk menyampaikan tantangan Hai Kong Hosiang yang ditujukan kepada Suhu dan Locianpwe."
"Hm, Hai Kong menantang aku dan Hok Peng?"
"Benar, Locianpwe. Hwesio itu menantang untuk mengadu kepandaian pada bulan tiga di Puncak Hoa-san, dan mereka hendak mengajukan Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat sebagai jago untuk menghadapi Locianpwe dan Suhu. Suhu berpesan agar teecu menyampaikan kepada Locianpwe bahwa selatan dan timur tidak seharusnya kalah terhadap barat dan utara!"
Bu Pun Su tertawa lagi, akan tetapi suara ketawanya makin lemah.
"Hok Peng ternyata lebih muda semangatnya daripada aku! Alangkah senangnya kalau bersama Hok Peng aku dapat menghadapi Pok Pok dan Swi Kiat!" Akan tetapi ia lalu menarik napas panjang dan berbisik,
"Tak mungkin, bulan tiga masih lama, aku takkan dapat bertahan selama itu..."
Mendengar ucapan ini, tak dapat dicegah lagi Lin Lin lalu menangis terisak-isak.
"Eh, eh, Lin Lin muridku yang nakal! Mengapa kau menangis" Suhumu sebentar lagi
terbebas daripada kesengsaraan, mengapa kau malah menangis" Kau seharusnya bersyukur dan bergembira!"
Akan tetapi, mendengar ini, Lin Lin makin hebat tangisnya, bahkan kini Ang I Niocu dan Ma Hoa juga ikut menangis. Bu Pun Su menarik napas panjang,
"Hm-hm... perempuan, perempuan... kalau tidak menangis, kau bukan perempuan lagi namanya..."
Setelah tangisnya mereda, Lin Lin lalu berkata kepada suhunya, "Suhu, perkenankan pada teecu untuk mengajukan sebuah permohonan."
"Nah, nah, sesudah menangis mengajukan permohonan, cocok sekali ucapan orang jaman dahulu bahwa di balik air mata wanita itu tersembunyi maksud-maksud tertentu!"
"Teecu mohon perkenan dari Suhu untuk mengijinkan Enci Im Giok melangsungkan
perjodohannya dengan Lie Kong Sian Suheng!"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
623 Mendengar ini Ang I Niocu cepat-cepat menundukkan kepalanya, menyembunyikan
mukanya yang menjadi kemerah-merahan.
Bu Pun Su menjawab dan suaranya makin melemah seperti bisikan.
"Aku tahu... semenjak mereka datang aku sudah tahu... Im Giok dan Kong Sian memang cocok, aku setuju..." tiba-tiba ia mengeluh panjang dan kembali Bu Pun Su jatuh pingsan, tak sadarkan diri seperti orang tidur pulas!
Cin Hai cepat menyambar nadi tangan suhunya dan berbisik, "Suhu terlalu banyak
menggunakan tenaga untuk bercakap-cakap."
Tiba-tiba masuk seorang laki-laki ke dalam Gua Tengkorak dan ketika semua orang
memandang, ternyata yang datang ini adalah Lie Kong Sian. Pemuda ini dengan cepat sekali lalu menghancurkan daun darah yang ia ambil dari pulaunya, memeras daun itu dan
meminumkannya ke dalam mulut Bu Pun Su. Setelah itu, pemuda ini lalu duduk di sebelah Bu Pun Su untuk menggantikan Cin Hai membantu peredaran hawa dalam tubuh supeknya.
Tak lama kemudian, bagaikan api lilin yang hampir padam kini bernyala kembali, Bu Pun Su menggerakkan tubuhnya dan membuka matanya. Ternyata khasiat daun darah telah bekerja dan ia merasa tubuhnya enak sekali. Kakek sakti itu lalu bangun dan duduk.
"Im Giok, kuulangi kata-kataku tadi. Kau memang berjodoh dengan Kong Sian dan aku merasa girang sekali bahwa kau mendapatkan jodoh dengan murid Han Le sendiri!" Ang I Niocu dan Lie Kong Sian menundukkan kepala dan tak berani bergerak karena jengahnya.
Kemudian Bu Pun Su berkata sambil menuding keluar gua,
"Ada orang datang!"
Semua orang memandang karena mereka tidak mendengar sesuatu, kecuali Cin Hai yang dapat mendengar tindakan kaki yang halus sekali. Benar saja, tak lama kemudian, masuklah Kwee An bersama Hok Peng Taisu yang datang-datang tertawa bergelak lalu menghampiri Bu Pun Su.
Bu Pun Su juga tertawa girang. "Hok Peng, apakah kau datang hendak memeriksa tubuhku yang sudah bobrok ini?"
"Bu Pun Su, benar-benarkah kau hendak mendahului aku" Kau hanya lebih tua beberapa tahun saja dariku, dan menurut patut, kau harus lebih kuat menolak cengkeraman maut!"
Setelah berkata demikian, Hok Peng Taisu lalu duduk di dekat Bu Pun Su dan mengulurkan tangan untuk memeriksa nadi dan detik jantung kakek jembel itu. Setelah memeriksa sambil memejamkan mata beberapa lama, kakek jembel itu bertanya,
"Bagaimana, Hok Peng, masih berapa lama lagikah?"
Kakek botak itu memandang wajah Bu Pun Su dengan tajam. "Bu Pun Su, aku tidak ingin mengetahui urusan pribadimu, akan tetapi orang seperti kau ini tidak layak menerima luka di jantung karena tekanan batin! Jantungmu terluka hebat sekali karena kau agaknya teringat Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
624 akan hal-hal yang telah lampau yang membuat kau merasa malu, marah, dan berduka. Melihat keadaanmu, paling lama kau hanya akan dapat bertahan selama sepekan saja!"
"Bagus, kalau begitu masih ada waktu beberapa hari lagi," kata Bu Pun Su.
"Sayang sekali Bu Pun Su. Benar-benar sayang, karena sebetulnya aku ingin sekali melihat kau menikmati adu kepandaian di Puncak Hoa-san dan main-main sebentar dengan Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu sebelum kau pergi! Pergi seorang diri saja ke Hoa-san kurang menggembirakan!"
Bu Pun Su tertawa, "Apa dayaku" Aku pun sudah mendengar dari muridmu tentang
tantangan itu, akan tetapi kepergianku tak dapat ditunda-tunda lagi!"
Mendengar bahwa usia Bu Pun Su tinggal sepekan lagi dan mendengar pula betapa dua orang kakek yang aneh itu membicarakan kematian Bu Pun Su sebagai orang yang hendak pergi melancong saja, Ang I Niocu, Lin Lin dan Ma Hoa tak dapat menahan keharuan hati lagi dan terdengarlah isak tangis mereka. Lin Lin bahkan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki suhunya dan menangis sedih.
"Eh, eh, kembali kau memperlihatkan sikapmu yang nakal, Lin Lin!" kata Bu Pun Su.
Kemudian, kakek jembel itu berkata kepada kakek botak,
"Hok Peng, jangan kau kecewa, karena betapapun juga, tantangan Hai Kong Hosiang itu harus kita hadapi! Aku tak dapat datang sendiri, akan tetapi aku hendak mewakilkan kepada Cin Hai untuk menghadapi mereka."
"Suhu, teecu masih terlalu lemah untuk menghadapi mereka, terutama Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu yang sakti itu," kata Cin Hai.
"Jangan kuatir, mereka itu sudah tua bangka dan tubuh mereka sudah bobrok seperti aku!
Kita masih mempunyai waktu sepekan dan selama itu, aku akan menurunkan sisa-sisa kepandaianku kepadamu. Pula, setelah aku pergi, kau boleh minta bimbingan Hok Peng untuk memperdalam kepandaianmu hingga tidak akan mengecewakan kelak apabila kau mewakili daerah selatan dan timur bersama Hok Peng!"
"Bagus!" kata Hok Peng. "Aku setuju sekali kalau anak muda ini mewakilimu, karena ia mempunyai bahan cukup baik. Nah, aku tidak akan mengganggu lebih jauh, Bu Pun Su.
Pergunakanlah sisa waktu yang tak lama itu dengan sebaiknya dan selamat berpisah sampai berjumpa kembali."
Bu Pun Su mengangguk-angguk dan tersenyum. "Terima kasih paling lama lima tahun lagi kita bertemu!"
Hok Peng tertawa bergelak-gelak. Mungkin sekali sebelum lima tahun aku akan
menyusulmu!" Kemudian kakek ini berkelebat keluar dan lenyap dari pandangan mata.
Bu Pun Su menarik napas panjang. "Lie Kong Sian, obatmu itu benar baik sekali karena aku merasa sehat kembali. Sekarang kalian dengarlah pesanku terakhir. Im Giok telah kuberi persetujuan menjadi jodoh Lie Kong Sian dan semoga kalian berdua hidup berbahagia.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
625 Pedang Liong-cu-kiam kuberikan kepada Cin Hai dan Im Giok, yang panjang untuk Cin Hai dan yang pendek untuk Im Giok karena kalian berdualah yang mendapatkannya."
Cin Hai, Ang I Niocu dan Lie Kong Sian menghaturkan terima kasih.
"Masih ada lagi," kata Bu Pun Su, "Kelak, apabila kalian memperoleh turunan, juga bagi Nona Ma Hoa kuanjurkan menurut nasihat ini, kalian harus menggunduli putera-puteramu."
Semua orang memandang heran dan menganggap bahwa kakek itu telah mulai bicara tidak karuan seperti biasanya orang-orang tua yang sudah mendekati saat kematiannya.
"Hal ini jangan kalian pandang rendah," kata Bu Pun Su. "Dan kau, Cin Hai, jangan kauanggap Gurumu berkelekar dan menyindir kau yang ketika kecil bergundul kepala, karena sesungguhnya bagi seorang anak laki-laki lebih baik digunduli rambutnya ketika masih kecil agar hawa yang sehat dan sejuk tidak tertolak oleh rambut dan membuat kepala anak itu menjadi segar dan baik perjalanan darahnya hingga selain memperkuat, juga menambah kecerdikan anak itu. Pesanku yang lain ialah kalau aku sudah pergi, tubuhku yang bobrok ini supaya dibakar di dalam gua ini dan abunya kalian masukkan ke dalam hiolouw besar, kemudian kalian tinggalkan gua ini dan menutupnya dengan batu besar rapat-rapat, lalu tutuplah gua ini dengan pohon-pohon agar tak sampai ditemukan orang lain. Aku ingin mengaso dengan tenteram di tempat ini."
Semua orang mendengarkan pesan ini dengan hati terharu sekali.
"Nah, sekarang kalian keluarlah semua, kecuali Cin Hai karena aku hendak menggunakan sisa waktuku untuk melatihnya sebagai persiapan menghadapi adu kepandaian di Puncak Hoa-san kelak."
Dengan hati sedih dan wajah muram, Ang I Niocu, Lie Kong Sian, Lin Lin, Ma Hoa dan Kwee An lalu mengundurkan diri dan keluar dari gua itu. Mereka menjaga di luar sambil bercakap-cakap menuturkan pengalaman masing-masing dan tidak berani mengganggu ke dalam di mana Bu Pun Su menggunakan kesempatan terakhir untuk melatih Cin Hai dengan ilmu-ilmu kepandaian yang belum dipelajarinya. Tentu saja dalam waktu yang hanya beberapa hari itu, Cin Hai tak mungkin mempelajari semua ilmu itu berikut prakteknya, dan hanya mempelajari pokok-pokok teorinya saja, untuk kemudian dipelajari prakteknya. Akan tetapi ia telah mencatat dalam otaknya segala pelajaran itu dengan teliti hingga Bu Pun Su menjadi puas.
Lima hari kemudian, Cin Hai keluar dari dalam gua dengan wajah muram dan ia memberi tanda kepada kawan-kawannya untuk masuk ke dalam. Lin Lin berlari mendahului dan ketika melihat tubuh suhunya berbaring dengan wajah pucat dan napas lemah, ia lalu menubruknya sambil menangis.
Bu Pun Su menggerakkan tangannya yang sudah amat lemah itu untuk membelai rambut Lin Lin.
"Jangan menangis, jangan menangis" bisiknya, "jangan antarkan kepergianku dengan air mata... aku tidak suka...!" Lin Lin lalu menahan tangisnya dan terisak-isak dengan hati hancur.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
626 "Anak-anak... pesanku terakhir... setelah selesai pertandingan pibu di Hoa-san... pulanglah dan langsungkan perjodohan... hiduplah dengan aman dan tenteram bahagia, jauhi segala permusuhan...!" ia terengah-engah karena sebenarnya waktu lima hari yang ia pergunakan siang malam untuk memberi gemblengan terakhir kepada Cin Hai itu terlampau
melelahkannya dan membuatnya cepat lemah. "Sekarang... antarkan kepergianku dengan cita-cita tinggi dan luhur... selamat... tinggal!" lemaslah lehernya dan pada saat itu Bu Pun Su, tokoh persilatan yang amat tinggi ilmu kepandaiannya itu, terpaksa menyerah kalah terhadap maut yang merenggut nyawanya.
Lin Lin, Ang I Niocu, dan Ma Hoa menahan tangis mereka karena mereka hendak mentaati pesan terakhir dari Bu Pun Su. Kemudian mereka berenam mengadakan persiapan untuk menyempurnakan jenazah kakek itu dan membakarnya di dalam gua dengan penuh khidmat.
Setelah selesai dan mayat itu telah menjadi abu seluruhnya, abunya lalu disimpan di dalam hiolouw besar yang berdiri di tengah kamar.
Untuk beberapa hari lamanya mereka mengadakan perkabungan di tempat itu dan
mengadakan persembahyangan untuk memberi penghormatan terakhir, kemudian beramairamai mereka lalu menutup Gua Tengkorak dengan batu-batu besar dan menimbunnya dengan pohon-pohon kecil, hingga gua itu tertutup sama sekali dan tidak tampak dari luar.
Setelah itu, atas anjuran Ma Hoa, mereka berenam lalu pergi ke Hong-lun-san untuk memberi kabar kepada Hok Peng Taisu tentang kematian Bu Pun Su. Kakek botak itu menerima warta ini sambil tersenyum dan menarik napas panjang.
"Ah, dia lebih beruntung daripada aku. Sekarang ia sudah enak-enak sedangkan aku masih harus menderita."
Oleh karena waktu untuk menerima tantangan tinggal sebulan lebih lagi, maka Hok Peng Taisu lalu melatih Cin Hai dengan berbagai kepandaian yang belum pernah dipelajari oleh anak muda itu sampai hampir sepuluh hari lamanya. Orang-orang muda yang lain merasa suka tinggal di bukit yang indah itu dan mereka juga berlatih silat di bawah pengawasan Hok Peng Taisu.
Setelah menganggap bahwa ilmu kepandaian Cin Hai cukup kuat, Hok Peng Taisu lalu mengajak mereka mulai melakukan perjalanan menuju ke Puncak Hoa-san.
Untuk memperkuat rombongan mereka, Ma Hoa minta perkenan kepada Hok Peng Taisu
untuk singgah di tempat kediaman Nelayan Cengeng yaitu di Sungai Liong-ho. Ternyata kakek nelayan itu sedang enak-enak di atas sebuah perahu kecil, bersenang-senang seorang diri mencari ikan sambil bernyanyi-nyanyi.
Melihat kedatangan mereka, Nelayan Cengeng merasa girang sekali, dan ia segera
menyatakan keinginannya untuk ikut ke Hoa-san! Tentang kematian Bu Pun Su, ia
menyambungnya dengan ucapan yang hampir sama dengan ucapan Hok Peng Taisu, karena ia berkata,
"Aku harap akan dapat segera menyusulnya!"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
627 Hok Peng Taisu lalu menyerahkan pimpinan rombongan itu kepada Nelayan Cengeng karena ia hendak melakukan perjalanan dari lain jurusan untuk singgah di tempat tinggal beberapa orang kenalannya.
"Kalau sudah tiba di kaki Bukit Hoosan, kalian tunggulah kedatanganku, dan kalau aku yang datang lebih dulu, aku pun akan menanti kalian," kata kakek botak itu yang lalu berkelebat pergi. Seperti juga Bu Pun Su, Kakek aneh ini tidak suka melakukan perjalanan dengan orang lain, dan lebih suka berjalan seorang diri saja.
Ternyata bahwa pihak Hai Kong siang telah berkumpul di Puncak Hoa-san menanti
kedatangan dua orang musuh besar, yaitu Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu. Wi Wi Toanio berhasil mengundang datang Pok Pok Sianjin, supeknya yang tinggal di Puncak Go-bi-san daerah barat yang telah berpuluh tahun mengasingkan diri itu. Wi Wi Toanio tidak berani menceritakan tentang hal yang sebenarnya, maka dengan cerdik nenek itu hanya menceritakan bahwa ia hendak mengadakan pibu dengan Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu dan karena merasa tak kuasa menghadapi, mereka minta bantuan supek ini. Sebenarnya Pok Pok Sianjin tidak mau mempedulikan segala urusan dunia, akan tetapi mendengar nama Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu sebagai tokoh-tokoh tertinggi dari daerah selatan dan timur, tergeraklah hatinya hingga timbul kegembiraannya untuk mengukur kepandaian mereka. Apakah salahnya
mengukur tenaga dalam sebuah pibu yang adil dan dilakukan dalam suasana persahabatan"
Oleh karena inilah maka Pok Pok Sianjin menyanggupi dan tepat pada waktunya.
Sementara itu, Swi Kiat Siansu, guru Thai Kek Losu, ketika dibujuk oleh Hai Kong Hosiang yang menceritakan betapa kedua orang muridnya, yaitu Thai Kek Losu, tewas dalam tangan Cin Hai, Lin Lin dan Lie Kong Sian, tergerak pula hatinya ketika mendengar betapa pembunuh-pembunuh muridnya itu, dibela pula oleh Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu. Kalau saja kedua tokoh besar itu tidak muncul untuk membela pembunuh-pembunuh muridnya, tentu ia tidak akan sudi turun gunung karena ia pun telah mendengar tentang kesesatan murid-muridnya itu, akan tetapi ia tergerak untuk mencoba pula kepandaian Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu yang amat terkenal.
Rombongan Hai Kong Hosiang terdiri dari dua belas orang, yaitu Pok Pok Sianjin, Swi Kiat Siansu, Hai Kong Hosiang, Wi Wi Toanio, Siok Kwat Mo-li, Lok Kun Tojin, Kam Hong Sin, Ceng Tek Hosiang, Ceng To Tosu, Giok Im Cu, Giok Keng Cu, dan Giok Yang Cu. Selain dua belas orang-orang lihai ini, masih terdapat ratusan perwira yang sengaja menjaga di sekitar tempat itu.
Melihat keadaan rombongan yang banyak ini, terutama melihat para perwira, Pok Pok Sianjin merasa heran dan bertanya kepada Wi Wi Toanio, "Wi Wi, mengapa begini banyak orang berada di sini" Apakah kalian hendak mengadakan perang besar?"
"Tidak, Supek. Mereka itu adalah kawan-kawan teecu, dan perwira-perwira itu hanya untuk penjagaan kalau-kalau pihak lawan membawa pula bantuan besar untuk sengaja mencari permusuhan."
Juga Swi Kiat Siansu merasa heran melihat banyaknya orang menjaga di situ, maka ia berkata kepada Hai Kong Hosiang, "Aku tidak menghendaki adanya pertempuran besar.
Kalian boleh bertempur dan bermusuhan, akan tetapi jangan harap untuk melibatkan diriku dalam keadaan semacam itu!"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
628 Hai Kong Hosiang menyatakan kesanggupannya untuk mencegah para perwira itu membuat kacau dan hanya minta agar supaya Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu menghadapi Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu di dalam pibu yang hendak diadakan.
Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu merasa girang dapat saling bertemu dan mereka segera bermain catur di bawah sebatang pohon dan tidak mempedulikan lagi keadaan di sekitarnya.
Pada saat itu dua orang kakek yang sudah amat tua itu asyik bermain catur, maka datanglah rombongan Hok Peng Taisu yang terdiri dari delapan orang, yaitu Hok Peng Taisu sendiri, Cin Hai, Lin Lin, Kwee An, Ma Hoa, Ang I Niocu, Lie Kong Sian dan Nelayan Cengeng.
Dengan sikap tenang dan gagah Hok Peng Taisu berjalan memimpin kawan-kawannya naik ke bukit dan sama sekali tidak gentar melihat para perwira yang berderet-deret menyambut kedatangan mereka itu.


Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika Hai Kong Hosiang dan yang lain-lain menyambut, Hok Peng Taisu berlaku seakan-akan tidak melihat mereka, akan tetapi langsung menghampiri kedua orang kakek yang tengah bermain catur itu sambil tertawa dan berkata,
"Kalau Bu Pun Su belum meninggalkan kita, kalian tentu akan dipukul hancur dalam permainan catur ini. Sayang aku tidak pandai bermain catur!"
Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu yang juga telah melihat kedatangannya, segera berdiri sambil tertawa.
"Hok Peng, kau nyata masih nampak sehat-sehat saja sungguhpun kepalamu sudah menjadi botak dan hampir habis semua rambutmu!" kata Pok Pok Sianjin, sedangkan Swi Kiat Siansu berkata dengan kecewa.
"Kau bilang tadi bahwa Bu Pun Su sudah meninggalkan kita" Ah, sayang sekali...! Dari tempat jauh, aku datang karena ingin merasakan pula kelihaiannya, ternyata ia telah mendahuluiku pergi... sungguh sayang."
Hok Peng Taisu tertawa pula. "Jangan kau kecewa, Swi Kiat Siansu! Sungguhpun Bu Pun Su telah berpulang ke asalnya, akan tetapi dia telah mengirim salamnya dan bahkan mengirim seorang wakil yang cukup akan menggembirakan hatimu."
Swi Kiat Siansu memandang tajam. "Apa" Apakah kau mewakili dia pula?"
Hok Peng Taisu menggeleng-geleng kepala. "Apa kaukira aku demikian serakah untuk memborong semua kehormatan" Bukan, bukan aku, akan tetapi muridnya." Kakek botak ini lalu melambaikan tangan ke arah Cin Hai yang segera menghampiri mereka.
"Inilah wakil Bu Pun Su, ia disebut Pendekar Bodoh!"
Cin Hai lalu menjura dengan penuh penghormatan kepada Swi Kiat Siansu dan Pok Pok Sianjin sambil berkata, "Teecu Sie Cin Hai yang bodoh merasa mendapat kehormatan besar dapat bertemu dengan Ji-wi Locianpwe."
Pok Pok Sianjin bertubuh jangkung kurus, dan agak bongkok. Rambut dan kumisnya telah putih semua dan terurai ke bawah tidak terawat sama sekali. Tangan kanannya membawa Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
629 sebatang tongkat panjang yang bengkok-bengkok dan tangan kirinya selalu mengelus-elus jenggotnya yang panjang. Ia mengangguk-angguk senang melihat sikap Cin Hai yang sopan santun dan melihat sikap serta pandang mata pemuda itu, maklumlah ia bahwa pemuda ini adalah seorang yang "berisi".
Swi Kiat Siansu bertubuh gemuk bundar seperti patung Jilaihud, jubahnya kuning dan hanya merupakan sehelai kain yang dibelit-belitkan pada tubuhnya. Tangan kanannya memegang sebatang kipas dan agaknya ia selalu merasa gerah karena kipas itu tiada hentinya digunakan untuk mengipasi tubuhnya. Kakek yang juga sudah tua sekali ini ketika mendengar bahwa julukan pemuda itu Pendekar Bodoh, segera menaruh hormat dan tahu bahwa orang yang menggunakan julukan serendah itu pasti memiliki kepandaian yang berarti.
"Bagus sekali," kata Swi Kiat Siansu. "Bu Pun Su, ternyata pandai memilih murid-murid, tidak seperti aku yang selalu salah pilih. Pendekar Bodoh, tentu kau pula yang telah membantuku memberi hajaran kepada kedua muridku Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu?"
Cin Hai menjawab dengan tenang.
"Locianpwe, mana teecu berani memberi hajaran kepada orang lain" Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu sengaja hendak membunuh teecu dan kawan-kawan, terpaksa kami membela diri."
Swi Kiat Siansu mengangguk-angguk, lalu ia berkata kepada Hai Kong Hosiang, "Hai Kong Bengyu, kau telah berhasil mengundang aku untuk mengadakan pibu dengan Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu dan kini mereka berdua telah datang, biarpun Bu Pun Su sendiri hanya diwakili oleh muridnya. Akan tetapi, kau harus ingat bahwa pibu ini adalah urusan kami sendiri dan kau serta kawan-kawanmu yang banyak jumlahnya itu tidak boleh mencampuri urusan kami. Urusan pribadi terhadap para tamu tidak ada hubungannya dengan pibu ini!"
Pok Pok Sianjin juga berkata kepada Wi Wi Toanio, "Aku telah bertemu dengan jago-jago dari selatan dan timur, jangan mengganggu pibu ini."
Hai Kong Hosiang dan Wi Wi Toanio biarpun merasa kecewa, akan tetapi mereka tidak berani membantah, hanya mereka mengharap agar dalam pibu ini, Cin Hai dan Hok Peng Taisu kena dikalahkan, karena dengan demikian, akan mudah bagi mereka untuk menyerang Ang I Niocu dan kawan-kawannya. Mereka memang merasa gentar terhadap Hok Peng Taisu dan Bu Pun Su dan biarpun mereka tahu akan kelihaian Cin Hai yang mewakili Bu Pun Su, namun mereka tidak begitu jerih terhadap Cin Hai.
Sementara itu, Hok Peng Taisu lalu menghadapi kedua kakek sakti dari barat dan utara itu dan berkata,
"Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu, kita ini seperti anak-anak kecil yang bodoh hingga dapat dibujuk oleh orang-orang muda untuk datang ke sini hingga saling berhadapan! Akan tetapi setelah kita bertemu di sini, maka kita tak perlu merasa sungkan lagi karena aku dapat menduga isi hati kalian yang tentu tak jauh bedanya dengan isi hatiku. Bukankah kalian datang karena ingin menguji kepandaianku dan kepandaian Bu Pun Su?"
Swi Kiat Siansu tertawa. "Benar, benar! Memang orang-orang yang sudah terlalu tua seperti kita memang kembali menjadi bocah-bocah lagi. Sayang sekali Bu Pun Su tidak dapat hadir, kalau dia ada alangkah senangnya!"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
630 "Locianpwe," kata Cin Hai dengan masih menghormat, "mendiang Suhu pernah menyatakan kekecewaannya karena tidak dapat menerima penghormatan ini sendiri akan tetapi Suhu telah menitahkan teecu untuk mewakilinya. Oleh karena taat kepada perintah Suhu, maka teecu melupakan kebodohan sendiri dan berani berlaku lancang menghadapi Ji-wi Locianpwe untuk melayani Locianpwe berdua bermain-main!"
Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu saling pandang, lalu tertawa terbahak-bahak. "Pendekar Bodoh," kata Pok Pok Sianjin. "Kau terlalu merendahkan diri sendiri dan dapat menyesuaikan dirimu, bagus sekali!"
"Locianpwe," kata Cin Hai, "teecu teringat akan ujar-ujar Nabi Khong Cu yang pernah menyatakan bahwa jika orang bodoh suka menggunakan cara sendiri dan orang rendah berlaku agung, maka orang tak dapat menyesuaikan diri dengan keadaan yang dihadapinya dan berkukuh memegang aturan kuno yang sudah tidak sesuai lagi, maka orang demikian itu tentu akan mengalami bencana yang menimpa dirinya!"
"Itulah ujar-ujar dalam kitab Tiong-yong!" seru Pok Pok Sianjin dengan kagum. "Eh, anak muda, kau benar-benar mengherankan! Ucapan-ucapanmu tak pantas keluar dari mulut seorang semuda engkau! Tahukah kau bahwa usiamu ini membuat kau lebih pantas menjadi cucuku" Dan kau hendak melayani kami bermain-main?"
"Locianpwe, para bijak jaman dahulu pernah menyatakan bahwa kepandaian dan pribudi orang tidak diukur dari tinggi rendah usianya, seperti juga kebersihan lahir batin seseorang tak dapat dilihat dari pakaiannya! Oleh karena itu, apakah salahnya perbedaan usia di antara kita"
Apakah artinya muda dan tua" Buah yang sudah terlalu tua akan membusuk dan kemudian jatuh ke atas tanah untuk bersemi lagi menjadi pohon muda akhirnya pun akan menjadi tualah akhirnya! Lagi pula, Locianpwe hanya bermaksud untuk main-main, maka biarlah teecu menerima pengajaran dan agar bertambah pengalaman teecu dari main-main ini!"
"Ha, ha, ha! Kau memang pandai sekali, Pendekar Bodoh!" kata Pok Pok Sianjin. "Hok Peng Taisu, tidak salah kau membawa anak muda ini! Sekarang biarlah aku bermain dengan anak muda ini lebih dulu dan Swi Kiat Siansu bermain-main dengan kau kemudian kita bertukar lawan!"
Hok Peng Taisu hanya mengangguk sambil tersenyum, "Baiklah Pok Pok Sianjin. Kalian berdua pada saat ini boleh kuanggap sebagai tuan rumah, maka biarlah ketentuan-ketentuannya terserah kepadamu saja."
Pok Pok Sianjin lalu menancapkan tongkatnya di atas tanah, kemudian ia mengambil dua biji catur dan menyerahkannya sebuah kepada Cin Hai sambil berkata, "Pendekar Bodoh, kita masing-masing memegang sebuah biji catur dan marilah kita menaruh biji catur ini di kepala.
Kemudian kita saling serang dan berusaha menjatuhkan biji catur itu diri atas kepala. Siapa yang biji caturnya terjatuh, harus berani mengaku kalah!"
Cin Hai diam-diam merasa terkejut oleh karena biarpun "main-main" ini nampaknya tidak berbahaya, namun karena biji catur itu ditaruh di atas kepala, maka untuk menjaga agar jangan sampai biji catur itu terpukul jatuh, sama halnya dengan menjaga kepala sendiri, kana kepala itu tidak akan terluput dari pada bahaya pukulan! Akan tetapi, dengan tenang ia Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
631 mengangguk dan lalu menaruh biji catur itu di atas kepalanya setelah menyingkap rambutnya hingga biji catur itu menyentuh kulit kepala.
"Teecu telah siap, Locianpwe!" katanya.
"Bagus, mari kita mulai!" Kakek tua yang tinggi kurus dan bongkok itu lalu melangkah maju dan mengebutkan tangannya ke arah biji catur di atas kepala Cin Hai dan pemuda ini merasa betapa sambaran angin yang keluar dari kibasan tangan ini sungguh dahsyat dan keras hingga ia merasa betapa rambut kepalanya tertiup keras! Ia segera menggerakkah kedua lengannya dan mainkan gerak Pek-in-hoatsut lalu menolak sambaran angin itu dengan angin pukulannya, bahkan lalu membalas dengan pukulan Mega Putih Menutup Matahari ke arah biji catur di atas kepala Pok Pok Sianjin.
Pok Pok Sianjin melihat betapa sampokannya tadi terpental kembali oleh uap putih yang keluar dari kedua lengan Cin Hai, tertawa dan berkata, "Bagus, Pekin-hoat-sut yang kaumainkan ini mengingatkan aku kepada Bu Pun Su! Ha, ha, kau benar-benar merupakan Bu Pun muda!!" Lalu ia menyerang kembali dengan kebutan tangan atau tamparan yang
dilakukan dengan cepat dan mendatangkan angin pukulan yang hebat. Cin Hai berlaku waspada dan hati-hati sekali. Ia mempergunakan kelincahannya dan mengelak sambil balas menyerang.
Demikianlah, kedua orang itu saling serang dengan hebatnya dan biarpun tubuh mereka berkelebatan ke sana ke mari, akan tetapi belum pernah kedua lengan tangan mereka beradu karena mereka mempergunakan lweekang dan ginkang untuk menyerang lawan dengan angin pukulan saja! Nelayan Cengeng dan kawan-kawan lainnya yang menonton pertempuran ini merasa berdebar penuh ketegangan karena biarpun mereka berdua itu hanya "main-main"
belaka, namun kehebatan pertandingan itu lebih mendebarkan hati daripada pertempuran dua ekor naga yang saling terkam! Juga Hok Peng Taisu memandang tajam dan diam-diam ia mengagumi kelincahan dan ketenangan Cin Hai.
Harus diketahui bahwa pertandingan adu kepandaian macam ini lebih berat daripada pertandingan dalam pertempuran biasa karena dalam pertandingan bersyarat ini orang harus membagi dua perhatiannya, yaitu selain menjaga pukulan lawan juga harus menjaga agar biji catur di atas kepala itu jangan tergelincir jatuh di waktu tubuh mereka bergerak. Dengan tenaga khikang, dapat menyedot biji catur itu hingga seakan-akan menempel di kulit kepala, akan tetapi sebentar saja perhatian mereka terlepas, biji catur itu ada kemungkinan terguling ke bawah yang berarti kekalahan bagi mereka!
Untuk dapat melakukan hal ini di butuhkan kepandaian tinggi dan khikang yang sudah sempurna, maka Pok Pok Sianjin sengaja memilih cara ini karena kalau anak muda itu tidak sanggup melakukannya berarti bahwa kepandaiannya belum cukup tinggi untuk melayaninya!
Akan tetapi, alangkah kagum hatinya ketika melihat bahwa bukan saja Cin Hai sanggup melakukan permainan ini dengan baik, bahkan dapat juga melancarkan serangan balasan yang cukup mengejutkannya! Ia tidak tahu bahwa Cin Hai telah mempelajari pokok-pokok
pergerakan silat dengan sempurna hingga dapat menduga ke mana arah serangan lawannya, hingga sungguhpun ia harus mengakui bahwa lweekang dari Pok Pok Sianjin lebih tinggi daripada lweekangnya sendiri, akan tetapi oleh karena ia telah mengetahui lebih dulu arah serangan lawan, ia dapat menjaga diri lebih cepat dari pada lawannya.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
632 Tipu berganti tipu dan ilmu bertukar ilmu, akan tetapi setelah bertempur lima puluh jurus, belum juga Pok Pok Sianjin berhasil mengalahkan Cin Hai. Ia makin menjadi kagum dan juga penasaran, dan ketika Cin Hai mainkan ilmu serangan yang baru-baru ini ia terima dari Bu Pun Su, yaitu Ilmu Serangan Halilintar Menyambar Hujan, pukulan-pukulannya telah berhasil membuat biji catur di atas kepala Pok Pok Sianjin menjadi miring.
Bukan main kagum dan terkejutnya hati Pok Pok Sianjin melihat hebatnya serangan pemuda itu, hingga ia berseru keras memuji.
"Kau benar-benar murid Bu Pun Su tulen!" katanya sambil menyambar tongkatnya yang tadi ditancapkan di atas tanah. "Keluarkan senjatamu, Pendekar Bodoh, dan mari kita bermain-main dengan senjata agar lebih menyenangkan!" Cin Hai dengan hati gelisah terpaksa mengeluarkan pedangnya Liong-cu-kiam, akan tetapi oleh karena suara kakek itu diliputi oleh kegembiraan, ia menenteramkan hatinya dan menggerakkan pedang itu dengan cepat.
"Pedang bagus!" Pok, Pok Sianjin memuji pula dan tongkatnya lalu berkelebat dengan hebatnya, hingga Cin Hai merasa amat kagum. Belum pernah ia menyaksikan ilmu tongkat sehebat ini. Biarpun ilmu pedangnya sudah mencapai tingkat tinggi sekali hingga tidak mudah orang melawannya, akan tetapi menghadapi ilmu tongkat Pok Pok Sianjin, ia benar-benar tidak berdaya. Tentang kecepatan bergerak dan lihainya perubahan gerakan, mungkin ilmu pedangnya tidak kalah karena beberapa kali Pok Pok Sianjin mengeluarkan seruan kaget karena tidak menduga perubahan yang tiba-tiba terjadi pada pedang Cin Hai, akan tetapi permainan tongkat kakek ini mengandung tenaga-tenaga yang mujijat. Tongkat di tangannya itu seakan-akan hidup hingga dapat digunakan untuk menempel, memutar membetot,
mendorong dengan tenaga yang cocok sekali hingga beberapa kali hampir saja pedang Cin Hai kena dirampas.
Cin Hai lalu mengerahkan seluruh kepandaiannya dan oleh karena ilmu pedangnya Daun Bambu memang hebat dan dapat disesuaikan dengan kepandaian lawan yang bagaimanapun juga, maka ia dapat melakukan perlawanan cukup seru. Namun ia kalah pengalaman dan juga ilmu tongkat Pok Pok Sianjin memang lain daripada yang lain hingga lagi-lagi ketika ia menusuk, pedangnya kena ditempel oleh tongkat itu. Kakek itu memutar-mutar tongkatnya dan ternyata tenaga putaran itu luar biasa kuatnya, pedang Cin Hai ikut terputar dan tiba-tiba tongkat itu meluncur ke atas kepalanya, menyabet biji catur itu dengan kecepatan yang tak tersangka-sangka.
Cin Hai terkejut sekali akan tetapi anak muda ini memang mempunyai ketenangan yang sempurna dan kecerdikan luar biasa. Melihat bahwa ia tak dapat mengelak lagi, apa pula menangkis, ia lalu berseru keras dan mengerahkan khikangnya hingga tiba-tiba biji catur di atas kepalanya mumbul setengah kaki lebih dan setelah tongkat kakek itu lewat di atas kepalanya, biji catur itu turun kembali di atas kepalanya seperti tadi.
Hal ini membuat semua orang yang menonton berseru kagum dan juga Pok Pok Sianjin tertawa bergelak-gelak sambil menancapkan tongkatnya di atas tanah lagi.
"Ha, ha, ha! Dasar kau murid Bu Pun Su selain lihai juga cerdik dan licin sekali. Kau pantas sekali disebut Pendekar Bodoh! Hebat, hebat!" Seru Pok Pok Sianjin dengan gembira sekali sambil menepuk-nepuk pundak Cin Hai. Pemuda ini merasa betapa tangan kakek yang
menepuk pundaknya seperti orang memuji itu berat sekali, maka cepat-cepat ia lalu mengerahkan tenaganya dan tiba-tiba Pok Pok Sianjin merasa betapa pundak pemuda itu Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
633 lemas bagaikan kapuk! Ia memperhebat suara ketawanya dan Cin Hai, menyimpan pedang sambil menjura dan berkata,
"Locianpwe kalau teecu bisa mempelajari ilmu tongkatmu, teecu akan merasa berbahagia sekali!"
Bukan main senangnya hati Pok Pok Sianjin mendengar ucapan ini karena ucapan ini saja menunjukkan betapa pemuda itu menghargainya, maka ia tertawa lagi dan berkata, "Kalau ada jodoh dan usiaku masih panjang, aku akan senang sekali mewariskan ilmu tongkat ini kepada seorang keturunanmu!" Biarpun ucapan ini dikeluarkan sebagai main-main belaka dan sambil lalu akan tetapi Cin Hai mencatat di dalam hati dengan baik-baik.
Swi Kiat Siansu dan Hok Peng Taisu juga memuji kepandaian mereka yang baru saja
mengadu kepandaian dan kini kedua orang itu saling pandang. "Sekarang tiba giliran kita, Hok Peng Taisu. Telah lama aku mengagumi Ilmu Silat Bambu Runcingmu, marilah kita main-main sebentar."
Hok Peng Taisu tersenyum dan tidak mau berlaku sungkun-sungkan lagi. Ia lalu memegang sepasang tongkat bambunya di kedua tangan dan setelah menjura lalu berkata, "Mana sepasang tongkat bambuku dapat dibandingkan dengan kipas mautmu?"
Memang senjata Swi Kiat Siansu adalah kipas yang selalu dipakai mengebut-ngebut
tubuhnya itu. Kipas ini lebar dan gagangnya terbuat daripada gading gajah yang ujungnya runcing sedangkan permukaannya terbuat daripada kulit harimau yang telah direndam obat hingga menjadi kuat dan keras. Kini ia memegang kipas itu di tangan kanan dan siap menanti datangnya serangan lawan.
"Karena pibu ini harus dilakukan dengan kepala dingin, maka lebih baik kita menggunakan syarat seperti yang dilakukan oleh Pok Pok Sianjin tadi," kata Swi Kiat Siansu.
"Terserah kepadamu, Sahabat, karena seperti telah kukatakan tadi, sebagai tuan rumah kau berhak mengambil penentuan," jawab Hok Peng Taisu.
"Baiknya diatur begini saja. Kalau seorang diantara kita sampai kena diserang ujung baju atau ujung lengan bajunya hingga robek, maka ia dianggap kalah." Hok Peng Taisu
mengangguk dan tertawa girang karena mendapat kenyataan bahwa pihak lawan benar-benar tidak menghendaki pertempuran mati-matian.
"Baik, baik. Mari kita mulai!"
Kedua orang kakek tua itu segera bergerak dan sebentar saja mereka berdua lenyap dalam sebuah pertempuran yang memusingkan pandangan mata orang yang kurang tinggi ilmu kepandaiannya. Gerakan mereka sama cepat dan gerakan senjata mereka sama lihai, hingga bayangan mereka terkurung oleh gulungan sinar senjata yang berkelebatan hebat sekali.
Semua orang yang menonton pertempuran ini merasa kagum dan juga kuatir karena agaknya dalam pertempuran macam ini tak mungkin dapat menang apabila tidak merobohkan lawan dengan serangan maut!
Akan tetapi bagi Hok Peng Taisu dan Swi Kiat Siansu yang sedang bertempur, mereka berdua maklum akan tingkat kepandaian lawan yang seimbang, akan tetapi betapapun juga Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
634 Swi Kiat Siansu diam-diam mengakui bahwa Ilmu silat Bambu Runcing dari Hok Peng Taisu benar-benar lihai sekali dan masih dapat menekan permainan kipasnya sendiri! Ia harus mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menjaga diri dan demikianiah, mereka bertempur dengan hebat sampai puluhan jurus lamanya.
Tiba-tiba terdengar Swi Kiat Siansu berseru, "Aku mengaku kalah!" sedangkan Hok Peng Taisu juga berseru, "Kau lihai sekali!" dan kedua-duanya melompat ke belakang dan menahan senjata masing-masing dan menjura sebagai penghormatan kepada lawan. Ternyata bahwa sepasang bambu runcing Hok Peng Taisu telah berhasil melobangi jubah Swi Kiat Siansu di kanan kiri sedangkan ujung lengan baju Hok Peng Taisu pada saat yang sama juga kena terobek oleh gagang kipas kakek gemuk itu! Melihat hal ini mudah diputuskan bahwa Hok Peng Taisu masih menang setingkat.
Swi Kiat Siansu berkata kepada Pok Pok Sianjin sambil tertawa, "Memang orang-orang selatan dan timur lebih rajin melatih diri dari pada kita." Kemudian ia menghadapi Cin Hai dan berkata,
"Pendekar Bodoh, marilah kita main-main sebentar, ingin aku merasakan lihainya
pedangmu!"
Cin Hai lalu mencabut Liong-cu-kiamnya dan bersiap sedia. Suhunya pernah berpesan agar supaya berhati-hati menghadapi kakek gemuk ini oleh karena biarpun tabiatnya jujur dan baik, akan tetapi Swi Kiat Siansu memiliki dasar watak yang enggan mengaku kalah. Lain halnya dengan Pok Pok Sianjin yang lebih berani mengaku kalah dan juga berani pula mengaku salah. Kini menghadapi kakek gemuk ini, Cin Hai berlaku hati-hati sekali.
"Locianpwe, sebelumnya terima kasih atas pengajaranmu ini. Apakah syaratnya masih sama dengan tadi, yaitu saling berusaha menyerang pakaian?"
"Ya, dan kau berhati-hatilah menjaga kipasku agar jangan sampai salah tangan!" Sambil berkata demikian, Swi Kiat Siansu lalu maju menyerang kepada Cin Hai. Kakek gemuk ini biarpun tadi mengakui keunggulan Hok Peng Taisu, namun diam-diam ia merasa jengkel dan penasaran juga, maka kini menghadapi Cin Hai, ia mengambil keputusan untuk mencari kemenangan untuk menebus kekalahannya yang tadi. Tak heran apabila kipasnya bergerak dengan kecepatan yang sukar untuk dapat diikuti dengan pandangan mata, merupakan gulungan sinar kuning yang menggulung dengan dahsyatnya ke arah tubuh Cin Hai! Cin Hai terkejut dan cepat mainkan pedangnya untuk melindungi dirinya dan tiap kali pedangnya bertemu dengan gagang kipas ia merasa betapa telapak tangannya tergetar! Dari bentrokan ini saja ia dapat mengukur sampai di mana kehebatan tenaga lawannya, maka dengan penuh ketekunan dan hati-hati sekali ia lalu mainkan ilmu pedangnya, Daun Bambu dengan tangan kanan, sedangkan untuk menjaga diri, tangan kirinya melakukan gerakan-gerakan Pek-in-hoat-sut.
Sementara itu Pok Pok Sianjin berkata kepada Hok Peng Taisu, "Hok Peng Taisu marilah kita main-main sebentar agar aku mengenal lebih baik bambu runcingmu!"
"Mari!" jawab Hok Peng Taisu sambil tersenyum dan bersiap sedia dengan sepasang bambu runcingnya. Keduanya lalu menggerakkan senjata masing-masing dan bertempur seru.
Sungguhpun di antara keduanya tidak menggunakan syarat apa-apa, akan tetapi sebagai tokoh-tokoh berilmu tinggi, mereka dapat menjaga diri dan serangan-serangan mereka Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
635 biarpun merupakan pukulan maut, akan tetapi di dalam hati sama sekali tidak ada niat atau nafsu untuk membunuh atau melukai lawan.
Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya melihat betapa empat orang itu mengadu
kepandaian secara persahabatan, merasa kecewa sekali oleh karena kini lenyaplah harapan mereka untuk mengalahkan Hok Peng Taisu maupun Cin Hai, karena biarpun mereka
andaikata kalah terhadap Swi Kiat Siansu dan Pok Pok Sianjin, namun kekalahan itu belum tentu membuat mereka mundur untuk membela kawan-kawan lain yang hendak mereka
basmi. Kini melihat betapa keempat orang itu sedang bertempur seru, diam-diam ia mengeluarkan jarum-jarumnya yang mengandung racun Ular Hijau yang berbahaya itu dan tiba-tiba ia mengayun tangannya menyerang dengan jarum-jarumnya ke arah Cin Hai dan Hok Peng Taisu!
Ketika itu, pertempuran antara Cin Hai dan Swi Kiat Siansu sedang berjalan dengan ramai-ramainya. Biarpun Cin Hai sudah mengeluarkan ilmu kepandaiannya, namun pada suatu saat, kipas di tangan Swi Kiat Siansu menyambar sedemikian hebatnya sambil mengibas dengan tenaga sepenuhnya hingga pedang Cin Hai kena disampok dan terlepas dari pegangan! Akan tetapi, dalam kagetnya, Cin Hai lalu menggunakan tangan kiri melancarkan pukulan Halilintar Menyambar Hujan yang mengandung daya pukulan luar biasa sekali. Pukulan ini ditujukan kepada kipas di tangan Swi Kiat Siansu dengan tenaga sepenuhnya dan "brak!!" permukaan kipas yang terbuat dari pada kulit harimau itu menjadi robek dan hancur berkeping-keping sedangkan pedang Liong-cu-kiam yang terpental dari tangan Cin Hai, menancap di atas lantai!
Pada saat itulah datangnya jarum-jarum dari Hai Kong Hosiang secara tiba-tiba. Cin Hai yang masih tergetar oleh pukulan kipas tadi mendengar datangnya angin senjata rahasia yang lembut itu. Ia cepat mengelak, akan tetapi tetap saja sebatang jarum Ular Hijau menancap pada pundaknya hingga ia terhuyung-huyung lalu roboh dengan tubuh terasa panas sekali.
Akan tetapi ia cepat dapat mengerahkan lweekangnya untuk menolak pengaruh racun itu hingga ia masih dapat menguasai dirinya dan tidak menjadi pingsan. Sambil bersila ia lalu mengatur napas dan memelihara jalan darahnya. Sementara itu, Swi Kiat Siansu yang merasa terkejut sekali karena senjata kipasnya kena dipukul hancur oleh Cin Hai, kini melihat betapa pemuda itu terkena serangan senjata rahasia yang dilepas oleh Hai Kong Hosiang, menjadi marah sekali.
"Bangsat gundul curang!" bentaknya marah. "Kau membikin malu saja kepadaku!" Sambil berkata demikian, ia lalu menyambit dengan gagang kipasnya yang masih terpegang di dalam tangannya. Gagang kipas itu meluncur cepat menuju ke arah tenggorokan Hai Kong Hosiang yang cepat mengelak hingga mengenai tempat kosong. Swi Kiat Siansu masih penasaran dan cepat tubuhnya berkelebat ke arah Hai Kong Hosiang dan menyerangnya dengan pukulan tangan terbuka.
Hai Kong Hosiang bukanlah seorang yang lemah dan ilmu kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi, maka tentu saja ia dapat mengelak dan membalas dengan pukulan nekat. Ia maklum bahwa ia telah gagal mengharapkan bantuan kakek ini yang sekarang bahkan
menyerangnya karena marah melihat kecurangannya tadi, maka sambil berseru keras ia melawan sekuat tenaga, berkali-kali ia berjungkir balik, kepala di bawah dan kaki di atas sambil menggerak-gerakkan kedua kakinya untuk menyerang Swi Kiat Siansu secara hebat sekali. Tentu saja Swi Kiat Siansu makin marah dan dengan seruan keras ketika kaki Hai Kong Hosiang menendang ke arah kedua pundaknya, ia menangkap kaki itu dan cepat
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
636 membanting tubuh Hai Kong Hosiang yang tinggi besar itu ke atas batu karang! Terdengar pekik keras dan kepala hwesio jahat itu pecah berantakan ketika dibenturkan kepada batu karang!
Sementara itu Lin Lin lalu, berlari menghampiri Cin Hai dan memeluk kekasihnya dengan hati bingung. Adapun Hok Peng Taisu yang sedang bertempur mengadu kepandaian dengan Pok Pok Sianjin, lalu melompat mundur dan menghampiri Swi Kiat Siansu yang masih marah sekali itu.
Melihat kesedihan Lin Lin, Swi Kiat Siansu lalu mengeluarkan sebotol obat warna merah.
Sebagai seorang pertapa di daerah Mongolia ia maklum akan berbahayanya jarum-jarum Ular Hijau dan ia tahu pula obatnya, karena ia pun adalah seorang ahli pengobatan. Untuk menjaga diri, ia selalu membawa obat-obat anti racun dan obat Semut Merah tersedia pula dalam saku bajunya.
Dengan amat berterima kasih, Lin Lin lalu meminumkan obat itu kepada Cin Hai dan seketika itu juga sembuhlah Cin Hai. Akan tetapi, seperti Lin Lin dulu, begitu ia sembuh, perang tanding antara Racun Ular Hijau dan Obat Semut Merah itu mempengaruhi otaknya dan tiba-tiba ia menjadi marah sekali. Hanya karena kekuatan batinnya sudah jauh lebih kuat daripada Lin Lin, maka ia masih dapat membedakan mana kawan mana lawan.
Pada suatu saat, Wi Wi Toanio dan kawan-kawannya datang menyerbu, diikuti oleh perwira-perwira di bawah perintah Kam Hong Sin. Cin Hai lalu melompat ke atas, memungut
pedangnya yang menancap di tanah, lalu mengamuk hebat sekali. Juga Lin Lin, Ang I Niocu, Lie Kong Sian, Ma Hoa, Kwee An, dan Nelayan Cengeng tidak mau tinggal diam dan
menyambut serbuan musuh yang besar jumlahnya itu. Perang tanding terjadi amat hebatnya, sedangkan Swi Kiat Siansu, Pok Pok Sianjin, dan Hok Peng Taisu merasa segan untuk ikut mencampuri pertempuran itu, sungguhpun mereka merasa penasaran melihat betapa Cin Hai dan kawan-kawannya dikeroyok oleh sekian banyak orang.
Dalam kemarahannya yang bukan sewajarnya, Cin Hai mendesak Wi Wi Toanio, Siok Kwat Mo-li, dan Lok Kun Tojin mengeroyoknya. Pedang Liong-cu-kiam di tangannya menyambar-nyambar dengan dahsyatnya hingga ketiga orang pengeroyoknya yang berilmu tinggi itu merasa kewalahan karena belum pernah mereka menyaksikan sepak terjang yang demikian hebatnya! Dalam jurus ke dua puluh lebih, Wi Wi Toanio kena terbabat pinggangnya oleh pedang Liong-cu-kiam hingga sambil menjerit wanita itu roboh mandi darah dan tewas seketika itu juga! Siok Kwat Moli dan Lok Kun Tojin terkejut dan gentar hingga gerakan mereka menjadi lambat karenanya. Cin Hai tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Dua kali ia membuat gerakan tangan kanan menusuk dan tangan kiri melancarkan pukulan Halilintar Menyambar Hujan ke arah Lok Kun Tojin. Terdengar pekik mengerikan ketika pedang itu menembus dada Siok Kwat Mo-li dan pukulan tangan kirinya yang dahsyat memecahkan kepala Lok Kun Tojin.
Setelah membunuh tiga orang lawannya, tiba-tiba Cin Hai merasa pening dan mengantuk sekali dan tanpa dapat dicegah lagi tubuhnya terguling dan telah tidur mendengkur sambil memegang pedang Liong-cu-kiam yang telah menjadi merah karena darah.
Sementara itu, pertempuran masih berjalan hebat dan Ang I Niocu dan kawan-kawannya mengamuk hebat dan menjatuhkan banyak korban di pihak lawan, akan tetapi musuh
terlampau banyak hingga mereka terdesak hebat.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
637 Tiba-tiba berkelebat tiga bayangan orang dan di mana saja tubuh mereka menyambar, senjata-senjata para perwira terpental ke atas. Mereka ini ternyata adalah tiga orang kakek sakti yang tidak tahan pula melihat pertempuran itu karena merasa ngeri melihat banyaknya darah berhamburan. Sambil bergerak mereka berseru,
"Tahan pertempuran, tahan!"
Orang-orang merasa jerih juga melihat mereka turun tangan maka semua lalu mengundurkan diri.
Dengan marah Swi Kiat Siansu lalu menghadapi Kam Hong Sin dan kawan-kawannya sambil berkata, "Kalau aku tidak ingat bahwa kau adalah panglima kerajaan, tentu sekarang juga kuhancurkan kepalamu! Kau telah bersekutu dengan Hai Kong yang jahat, dan kalian dengan tipu muslihat berhasil mengundang aku dan Pok Pok Sianjin hingga terpaksa kami turun gunung membuat dosa baru. Tidak tahunya kalian hendak mempergunakan kami untuk
memusuhi orang-orang baik dan membela Hai Kong yang jahat. Lihatlah bukti kekuasaan dan keadilan Tuhan Yang Agung. Mereka yang jahat menemui kematian mengerikan!" Ia
menuding ke arah mayat Hai Kong Hosiang, Wi Wi Toanio, dan Siok Kwat Mo-li. "Biarlah kali ini menjadi pelajaran bagimu agar lain kali dalam menjalankan tugas, kau akan berlaku hati-hati dan dapat mempertimbangkan orang yang baik dan yang jahat!"
Kam Hong Sin memberi hormat dan berkata dengan tegas, "Locianpwe, siauwte adalah seorang petugas yang hanya menjalankan kewajiban siauwte sebagai seorang panglima. Anak murid Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu ini telah merampas harta pusaka dan mereka
membagikan harta pusaka kepada mereka yang tidak berhak. Padahal harta pusaka adalah hak milik kerajaan. Bagi siauwte, lebih baik mati sebagai seorang perwira yang menjalankan tugasnya daripada mati sebagai seorang pengkhianat."
Mendengar ucapan yang gagah dan patut dihargai ini, Hok Peng Taisu melangkah maju dan berkata, "Kam-ciangkun, aku telah lama mendengar bahwa kau adalah seorang perwira yang gagah, dan ternyata bahwa hal ini ada betulnya. Akan tetapi, agaknya kau masih terlampau muda untuk memegang jabatan tinggi itu hingga pertimbanganmu belum masak benar.
Ketahuilah bahwa harta pusaka itu adalah hasil rampokan di jaman dahulu, dan rakyat yang dirampok. Maka aku dan kawan-kawan lain mengembalikan harta itu dan membagi-bagikan kepada para rakyat miskin, bukankah ini sudah adil namanya" Apakah artinya harta sekian banyak itu bagi Kaisar yang telah kaya" Akan tetapi besar sekali artinya bagi rakyat yang hampir tak dapat makan karena miskinnya!"
Kam Hong Sin merasa terpukul oleh ucapan ini dan ia lalu menjura dan bertanya, "Kalau betul siauwte telah salah jalan, habis apakah yang sekarang harus kulakukan?"
"Tariklah mundur anak buahmu dan bawalah semua orang yang tewas untuk diurus
sebaiknya. Kemudian, setiap langkahmu harus kau perhatikan baik-baik agar kau jangan menanam bibit permusuhan dengan orang-orang gagah. Hendaknya kau dapat memperhatikan dan membedakan antara orang-orang gagah dan penjahat-penjahat seperti Hai Kong Hosiang itu!" kata Hok Peng Taisu.
Kam Hong Sin lalu memerintahkan anak buahnya untuk mengangkat semua korban, dibawa turun gunung, sedangkan kawan-kawannya pun ikut turun gunung pula. Ceng Tek Tosu Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
638 menghampiri Cin Hai yang sementara itu telah didekati oleh Lin Lin dan telah sadar kembali, sembuh seperti sediakala. Bahkan anak muda ini telah lupa bahwa ia telah membunuh Siok Kwat Mo-li, Wi Wi Toanio, dan Lok Kun Tojin.
Ceng To Tosu yang selalu mewek itu menjura kepada Cin Hai dan berkata, "Sie-taihiap, kau maafkan pinto yang telah lancang tangan hingga terbawa-bawa dalam urusan ini, karena pinto hanya memenuhi tugas sebagai pembantu kerajaan Kaisar."
Cin Hai tersenyum. "Tidak apa, Totiang, dan maaf sama-sama. Kita semua menunaikan tugas masing-masing, hanya sayangnya dalam bidang lain hingga timbul kesalahan paham ini."
Ceng To Tosu mengangguk-angguk dan mulutnya makin mewek seperti benar-benar hendak menangis.
"Aku juga minta maaf, Taihiap," kata Ceng Tek Hwesio sambil tertawa-tawa gembira, seakan-akan baru saja tadi bukan terjadi perang hebat, akan tetapi pesta minum arak yang menggirangkan hatinya!
"Kau adalah orang yang paling berbahagia, Ceng Tek Hwesio, semoga kau masih panjang usia dan kelak kita dapat bertemu kembali," jawab Cin Hai. Keduanya lalu mehgundurkan diri, berlari-lari menyusul rombongan Kam Hong Sin turun gunung.
Cin Hai dan kawan-kawannya lalu menghampiri Swi Kiat Siansu dan Pok Pok Sianjin dan pemuda itu menjatuhkan diri berlutut lalu berkata,
"Ji-wi Locianpwe yang mulia, teecu menghaturkan banyak terima kasih atas budi kebaikan Locianpwe berdua yang dapat menyelesaikan persoalan ini dengan penuh kebijaksanaan.
Terutama sekali kepada Swi Kiat Siansu Locianpwe, terima kasih atas pertolongan kepada teecu." Cin Hai tadi telah mendengar dari Lin Lin akan pertolongan yang diberikan oleh kakek itu kepadanya.
Bukan main kagum dan senangnya hati kedua tokoh dari barat dan utara itu melihat sikap Cin Hai yang biarpun tidak lebih rendah tingkat ilmu kepandaiannya daripada mereka, akan tetapi telah berani bersikap sedemikian sopan santun dan merendah. Swi Kiat Siansu mengangkat bangun kepadanya dan berkata,
"Sikapmu ini telah menjatuhkan hati kami, Pendekar Bodoh. Bukan kepandaian saja yang dapat menjatuhkan seseorang, akan tetapi sikap yang baik lebih berpengaruh. Melihat sikapmu saja, kami dapat mengetahui bahwa permusuhan antara pihakmu dengan pihak Hai Kong, pihakmu yang berada di pihak benar. Sekarang maafkan kami. Tentang ilmu
kepandaian, terus terang kunyatakan bahwa orang-orang selatan dan timur benar-benar pandai, tidak seperti kami yang menyembunyikan diri dan lupa untuk berlatih diri."
"Janganlah kalian terlalu merendah," jawab Hok Peng Taisu. "Ilmu kipas dari Swi Kiat Siansu sungguh mengagumkan sedangkan ilmu tongkat Pok Pok Sianjin benar-benar
membuat aku merasa tunduk."
Setelah mengeluarkan ucapan-ucapan merendah, kedua kakek dari barat dan utara itu lalu berkelebat pergi, sedangkan Hok Peng Taisu lalu berkata,
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
639 "Untung sekali bahwa persoalan dapat diselesaikan dengan mudah. Sekarang kalian
pulanglah dan jauhkan diri dari segala persengketaan yang tidak perlu. Ma Hoa kalau kelak kau melangsungkan pernikahanmu, jangan lupa mengundang aku untuk minum arak!" Setelah berkata demikian, kakek botak ini pun lalu berkelebat pergi dengan cepat sekali.
Nelayan Cengeng tertawa bergelak karena girangnya dan air matanya mengalir keluar "Ha, ha, ha! Memang yang benar selalu pasti menang! Sekarang segala hal telah beres, dan aku pun ingin sekali segera menyaksikan kalian semua melangsungkan pernikahan dan membangun rumah tangga yang bahagia!"
Cin Hai menyatakan bahwa ia bersama Lin Lin hendak bersembahyang dulu di depan Gua Tengkorak sebagai penghormatan terakhir dan sebagai laporan kepada mendiang suhunya bahwa tugas telah diselesaikan dengan baik. Setelah berjanji akan bertemu di Tiang-an dengan kawan-kawannya sepasang teruna remaja ini dengan cepat lalu turun gunung.
Nelayan Cengeng tertawa girang. "Lebih cepat dilangsungkan pernikahan mereka dan pernikahan Ma Hoa, lebih baik lagi. Marilah kita langsung menuju ke Tiang-an. Dan Niocu hendak pergi ke manakah?" tanyanya kepada Ang I Niocu. Dara Baju Merah itu tak dapat menjawab dan Ma Hoa tersenyum lalu menggoda sambil mengerling ke arah Lie Kong Sian.
"Syarat-syarat telah dipenuhi semua mau tunggu apa lagi" Lie-tathiap, mengapa kau diam saja?"
Lie Kong Sian maklum akan maksud kata-kata ini, biarpun ia merasa malu dan mukanya menjadi merah, akan tetapi karena ia berhati jujur dan polos, ia lalu berkata kepada Ang I Niocu,
"Moi-moi, di depan kawan-kawan baik yang menjadi saksi biarlah kuulangi lagi pinanganku yang dulu. Benar sebagaimana kata Nona Ma Hoa tadi, semua syarat-syaratmu telah
terpenuhi. Sie-sute dan Nona Lin Lin telah bertemu kembali, Suteku Song Kun juga telah tewas, dan kita telah mendapat persetujuan dari mendiang Supek Bu Pun Su."
Merahlah muka Ang I Niocu, melebihi merahnya warna bajunya! Sambil menundukkan
kepalanya, ia berkata, "Dulu pernah kukatakan bahwa selain yang tiga itu, masih ada sebuah syarat lagi."
"Apakah itu" Biarlah kawan-kawan menjadi saksi, aku akan memenuhi syarat ke empat ini, betapa pun beratnya!"
Ang I Niocu mengerling tajam. "Pantaskah diucapkan di sini?"
Nelayan Cengeng tertawa terbahak-bahak dan berkata, "Niocu, di antara kawan sendiri, mengapa harus malu-malu" Atau, haruskah kami bertiga pergi dulu dari sini?"
Makin malulah Ang I Niocu mendengar ini. Ia menjadi serba salah, kemudian ia berkata perlahan, "Syarat yang ke empat adalah cita-citaku sejak dulu, yaitu orang yang patut menjadi suamiku harus terlebih dulu dapat menjatuhkan aku dalam sebuah pertandingan!"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
640 Tercenganglah semua orang mendengar syarat ini, tidak terkecuali Lie Kong Sian. Akan tetapi, Lie Kong Sian dengan tenang-tenang saja lalu berkata, "Baiklah kalau demikian kehendakmu, terpaksa aku akan berusaha menjatuhkanmu!"
Ang I Niocu mencabut Liong-cu-kiamnya dan bersiap menghadapi tunangannya. Ma Hoa, Kwee An, dan Nelayan Cengeng lalu mengundurkan diri dan berdiri agak jauh dari tempat yang akan dijadikan gelanggang pertempuran antara kedua orang itu.
"Cobalah kalau bisa!" kata Ang I-Niocu dengan mata bersinar gembira dan bibir tersenyum manis. Sikapnya menantang sekali, karena ia merasa telah dapat mempermainkan Lie Kong Sian dan karena ia merasa bahwa nilai dirinya telah naik!
"Jagalah!" seru Lie Kong Sian sambil mencabut pedangnya pula lalu maju menyerang dengan hebat. Sebentar saja kedua orang itu bertempur hebat sekali hingga tubuh mereka seakan-akan menjad satu gulungan warna merah dari baju Ang I Niocu dan warna biru dari baju Lie Kong Sian!
Diam-diam Lie Kong Sian menggunakan tangan kirinya melepaskan dua helai tali sutera warna hijau dan menggenggam tali itu di tangannya. Kemudian, ketika pedang Ang I Niocu menyambar, ia sengaja memasang pundaknya untuk menerima tusukan itu! Ang I Niocu terkejut sekali dan sambil menjerit ngeri ia miringkan pedangnya agar jangan sampai menusuk pundak Lie Kong Sian, akan tetapi terlambat! Pedangnya masih menggores bahu kanan Lie Kong Sian, hingga bajunya robek dan mengalirlah darah dari bajunya.
Akan tetapi Lie Kong Sian yang memang sengaja melakukan hal ini, mempergunakan
kesempatan selagi Ang I Niocu terkejut dan menyesal, tangan kirinya bergerak cepat dan tahu-tahu sutera hijau itu telah melayang dan melibat kedua tangan Ang I Niocu yang terus dibetotnya dan sekali ia menggerakkan tangan kiri lagi, tali sutera ke dua lalu melayang dan membelit pergelangan kaki gadis itu! Beberapa kali ia menggerakan tangan dan tali-tali itu telah mengikat kedua kaki dan kedua tangan Ang I Niocu dengan kencang sedangkan pedang Liong-cu-kiam telah terampas oleh Lie Kong Sian! Tubuh Ang I Niocu terguling dan kini ia rebah setengah duduk di atas tanah dengan kaki tangan terbelenggu!
Ia menjadi bingung sekali dan berkata, "Lepaskan aku, lepaskan!"
Akan tetapi Lie Kong Sian hanya berdiri bertolak pinggang dan memandang dengan
tersenyum! "Lepaskan... lepaskan aku...!" Ang I Niocu berkata lagi dan ia hampir saja menangis, sambil meronta-ronta dan mengerahkan tenaga lweekangnya untuk melepaskan diri daripada
belenggu itu, akan tetapi tali sutera itu terbuat dari pada bahan yang tidak saja kuat dan ulet sekali, akan tetapi juga mempunyai sifat lunak dan dapat mulur hingga tenaga lweekangnya tiada berguna!
Terdengar suara tertawa bergelak-gelak dari Nelayan Cengeng yang segera menghampiri Ang I Niocu. Juga Kwee An dan Ma Hoa menghampirinya sambil tertawa-tawa.
"Lo-enghiong, Kwee An, Ma Hoa! Lepaskan aku...!" kata Ang I Niocu dengan suara
memohon karena Dara Baju Merah ini merasa malu sekali.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
641 "Ha, ha, ha!" Nelayan Cengeng tertawa geli hingga air matanya mengalir keluar di sepanjang pipinya. "Mempelai wanita telah tertawan...! Ha, ha, ha!" Kakek ini dengan gelinya tertawa gembira dan sama sekali tak mau menolong Ang I Niocu.
"Kwee An, tolonglah aku!" kata Ang I Niocu.
Sambil mengangkat jari telujuknya, Kwee An berkata, "Niocu, sekarang kau telah mendapat bukti akan kelihaian calon suamimu! Tak boleh seorang calon isteri menantang suami, inilah jadinya!" Dia menggoda sambil tersenyum.
"Ma Hoa, benar-benarkah kau tidak mau menolongku membuka belenggu ini?" Ang I Niocu menengok kepada Ma Hoa, akan tetapi gadis itu yang kini telah menyanggul rambutnya atas permintaan Kwee An sebagai "Pembayaran kaul!" karena musuh-musuh telah dapat
ditewaskan dan dikalahkan semua, hanya tertawa, bahkan lalu bertepuk tangan gembira sambil bernyanyi menggoda,
"Mempelai perempuan telah tertawan! Masuk perangkap mempelai pria!"
Berkali-kali Ma Hoa bernyanyi sambil bertepuk tangan hingga Ang I Niocu menjadi makin jengah dan malu.
"Adik Hoa, awas! Kalau sampai terbuka ikatan tanganku, akan kucubit bibirmu yang nakal.
Hayo lepaskan aku!" kata Ang I Niocu, akan tetapi dengan sikap nakal dan menggoda, Ma Hoa berkata,
"Enci Im Giok, yang mengikat kaki tanganmu bukanlah aku. Mengapa aku yang harus
membukanya" Mintalah kepada orang yang melakukannya!"
Lie Kong Sian menghampiri Ang I Niocu dengan senyum di bibir.
"Bagaimana, Moi-moi, sudah takluk kau kepadaku kini?"
Ang I Niocu tak dapat menjawab, hanya meronta-ronta sambil berkata,
"Lepaskan... lepaskan!"
Lie Kong Sian menjura kepada Nelayan Cengeng dan kepada Kwee An dan Ma Hoa sambil berkata, "Maafkan, kami hendak pergi dulu, kembali ke pulau tempat kediaman kami. Kelak, apabila dilangsungkan pernikahan antara Saudara Kwee An dan Nona Ma Hoa, juga antara Sie-sute dan Sumoi Lin Lin, kami tentu akan hadir!" Setelah berkata demikian, tanpa melepaskan ikatan kaki tangan Ang I Niocu, pemuda itu lalu membungkuk dan memondong tubuh kekasihnya itu dan membawanya berlari cepat bagaikan terbang, menuju ke pulaunya yang indah yang merupakan sarang bahagia bagi dia dan calon isterinya.
Nelayan Cengeng, Kwee An, dan Ma Hoa merasa girang dan juga terharu sekali
menyaksikan kebahagiaan orang muda itu. Bahkan Ma Hoa sampai menitikkan air mata sambil berkata,
"Syukurlah, kalau Enci Im Giok berbahagia. Dia orang berbudi mulia..."
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
642 Kemudian mereka bertiga lalu melanjutkan perjalanan menuju Tiang-an untuk menanti datangnya Cin Hai dan Lin Lin di Tiang-an.
Tak lama kemudian, datanglah Cin Hai dan Lin Lin membawa tiga ekor burung sakti, dan sebulan kemudian dilangsungkanlah perkawinan yang meriah antara Kwee An dengan Ma Hoa, dan Cin Hai dengan Lin Lin. Selain Ang I Niocu dan Lie Kong Sian yang sudah menjadi suami isteri, hadir juga tokoh-tokoh persilatan dari seluruh penjuru dunia, di antaranya yang hadir adalah Swi Kiat Siansu, Pok Pok Sianjin, Hok Peng Taisu, Eng Yang Cu, Giok Gan Kui-bo, Sie Lok dan Sie Kiong kedua paman Cin Hai, dan banyak orang lagi.
Yousuf juga datang dan orang Turki ini selanjutnya tinggal bersama Cin Hai dan Lin Lin, menikmati kebahagiaan hidup sebagai ayah angkat yang dikasihi dan dihormat.
Perkawinan diberkahi oleh Kwee Tiong sebagai seorang hwesio yang mengucapkan doa sambil mengalirkan air mata karena bahagia melihat kedua adiknya, Kwee An dan Lin Lin, melangsungkan upacara pernikahan dengan bahagia.
Yang amat menggembirakan hati dua pasang mempelai itu ialah datangnya Sanoko, kepala suku Haimi itu, bersama Meilani dan suaminya Manoko, juga Kam Hong Sin, panglima yang dulu menjadi lawan, datang menghadiri pesta pernikahan itu dan melupakan segala
permusuhan yang telah lalu.
Setelah upacara pernikahan selesai Ang I Niocu bersama suaminya kembali ke Pulau Pek-le-to di mana mereka hidup penuh kebahagiaan, jauh dari dunia ramai, dikawani oleh Rajawali Sakti yang diberikan oleh Lin Lin kepada mereka.
Juga Kwee An bersama isterinya dan Cin Hai bersama Lin Lin, hidup penuh kebahagiaan, masing-masing didampingi oleh Nelayan Cengeng dan Yousuf yang merupakan ayah angkat bagi Ma Hoa dan Lin Lin.
Demikianlah, cerita "Pendekar Bodoh" ini berakhir sampai di sini, dan kami harap pembaca suka bersabar menanti munculnya cerita"PENDEKAR REMAJA" atauSin-kiam Siauw-hiai yang akan menjadi lanjutan cerita"PENDEKAR BODOH" , di mana pembaca akan menjumpai kembali tokoh-tokoh seperti Cin Hai, Lin Lin, Kwee An, Ma Hoa, Ang I Niocu, dan Lie Kong Sian oleh karena cerita itu akan menuturkan kisah dari putera-puteri mereka!
Sengaja dikarang oleh Asmaraman S. Kho Ping Hoo untuk melanjutkan cerita "Pendekar Bodoh". Nama pengarangnya menjadi jaminan bahwa ceritaSin-kiam Siauw-hiap akan membuat para pembaca terpesona oleh jaminan isinya yang indah menarik dan penuh
ketegangan! T A M A T Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
643 Pendekar Naga Mas 10 Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko Kisah Sepasang Rajawali 9

Cari Blog Ini