menjadi kaget dan tak bisa bicara lagi.
Kiranya kedua ekor kuda yang tadinya diumbar di tepi
hutan untuk makan rumput, sekarang sedang berlari-lari
menahan sakit, pada bokong kuda-kuda itu menancap sebilah
belati yang mengkilap.
Kejut dan gusar pula Peng Ki-yong berdua, serentak
mereka membentak, "Bangsat darimana, berani mengganggu
kudaku!" Tanpa menghiraukan Ho Djay-hong lagi mereka
terus mengejar ke sana.
Sesudah menyambitkan dua buah belati sehingga kudakuda
itu terluka, lalu Kongsun Yan sengaja tertawa mengikik
di tengah hutan. Segera Peng Ki-yong dan Lian Sing-hou
membagi tugas, yang seorang pergi mengudak kuda-kuda
yang lari kesakitan itu, yang lain mencari di dalam hutan.
Kongsun Yan sadar kepandaiannya kalah kuat daripada
Peng Ki-yong, tapi Ginkangnya lebih unggul, apalagi Peng Kiyong
tidak mengetahui tempat persembunyiannya, di tengah
hutan yang rimbun itu sukar pula mencari jejaknya, maka
Kongsun Yan lantas main kucing-kucingan untuk
menggodanya. Setelah berputar-putar di dalam hutan untuk memancing
pergi Peng Ki-yong, lalu Kongsun Yan menyusup keluar lagi
dari jurusan lain.
Karena tidak menemukan jejak musuh, bahkan bayangan
pun tidak nampak, keruan Peng Ki-yong menjadi jeri,
disangkanya kepandaian musuh jauh di atasnya, janganjangan
akan masuk perangkap di tengah hutan lebat itu, maka
cepat ia berlari keluar menggabungkan diri dengan l.ian Singhou.
Sementara itu Lian Sing-hou sudah berhasil menyusul
kuda-kudanya, tapi karena keluar darah terlalu banyak, meski
tidak mati juga kuda-kuda itu tidak bisa dipakai lagi. Setelah
berunding, Lian Sing-hou juga merasa ngeri, katanya,
"Ginkang orang itu sedemikian tinggi, entah keparat Kim Tiokliu
atau bukan?"
"Asalkan kita selalu bergabung dengan rapat, betapapun
bocah she Kim itu tak bisa mengapa-apakan kita," ujar Peng
Ki-yong. "Entah dia membawa teman tidak, kukira lebih baik kita
lekas berangkat ke Sedjiang saja," kata Lian Sing-hou.
"Karena perempuan tadi toh juga akan menuju ke Sedjiang,
biar dia berangkat sendiri saja. Setiba di sana masakah kita
tak bisa menyelidikinya dia?"
Maklumlah mereka sekarang sudah kehilangan kuda
tunggangan, jika membawa serta orang perempuan, akan
berarti menambah beban perjalanan, maka terpaksa mereka
mambatalkan niat membawa Ho Djay-hong.
Menunggu sesudah Peng Ki-yong berdua pergi jauh.
barulah Kongsun Yan keluar menemui Ho Djay-hong.
"Kongsun-moaytju," seru Djay-hong terkejut bercampur
girang. "Kiranya kau yang bersembunyi di dalam hutan dan
menolong aku. Mengapa engkau berada di sini pula?"
"Ceritaku sangat panjang, coba ceritakan dulu kisahmu,"
sahut Kongsun Yan.
"Bukankah kau sudah mendengar tadi, aku hendak
mengamen ke Sedjiang," sahut Djay-hong tertawa
"Aku tidak percaya kau sudi ikut meramaikan perkawinan
Swe Beng-hiong, katakanlah hal yang sesungguhnya!"
"Ya memang kami hanya pura-pura menjadi pengamen,
yang benar kami hendak melakukan serangan gelap padanya"
Kongsun Yan terkejut, katanya, "Betapa tinggi ilmu silat
Swe Beng-hiong, jangan kalian anggap enteng!"
"Justru itulah maka diperlukan tenaga gotong-royong kita
bersama" ujar Djay-hong, lalu ia memberi penjelasan lebih
jauh. "Menurut rencana Li Tua. tidak sedikit jago-jago yang
akan ikut meramaikan pesta kawin Swe Beng-hiong, ada yang
datang secara terang, ada yang secara gelap, cara yang
dipakai juga berbeda-beda, aku biasa mengamen, maka
menyaru sebagai pemain sandiwara kelilingan."
"Ya, kabarnya kau sudah menikah dengan Li Tun, dimanakah
Tjihu?" "Dia sudfJh berangkat lebih dulu. Rombongan ini terdiri dari
kaum wanita semua kecuali pemimpin rombongan, ia merasa
kikuk berada bersama rombongan ini."
"Tadinya kukira pimpinan rombongan inipun penyamaran
ayahmu, kepandaian menyamar kalian sungguh pintar. Tadi
kalau bukan tusuk kundai yang ditanyakan kedua bangsat itu,
sungguh aku pun tidak akan kenal kau lagi."
Kiranya dahulu Ho Djay-hong ikut ayahnya berkunjung ke
Ang-eng-hwe, tusuk kundai itu justru adalah hadiah
pemberian ibu Kongsun Yan kepada Djay-hong.
"Sudahlah, sekarang giliranmu menceritakan urusanmu,"
kata Djay-hong.
"Aku juga bermaksud minta bantuanmu untuk mengubah
sedikit wajahku agar aku dapat ikut rombongan kalian ini ke
Sedjiang," sahut Kongsun Yan.
"He, jadi kau juga mau pergi ke sana?" Djay-hong
menegas. "Benar," segera Kongsun Yan menceritakan secara ringkas
pengalamannya selama ini.
"Baiklah, akan kubantu kau bersolek, tanggung nanti tiada
orang yang dapat mengenal kau lagi," kata Djay-hong.
"Padahal jika kau tidak tergesa-gesa, besok lusa kau juga
dapat ikut menggempur Sedjiang bersama pasukan
pergerakan Thay-liang-san."
"Darimana kau mengetahui lusa pasukan Thay-liang-san
akan menggempur kota Sedjiang?" tanya Kongsun Yan heran.
"Aku sendiri baru datang dari sana dan tidak mengetahui
berita ini."
"Pihak Siau-kim-djwan yang dipimpin Leng Tiat-djiau
merencanakan serangan pada malam lusa, dia sudah
membawa pasukannya menuju ke Thay-liang-san untuk
bergabung dengan Tiok Siang-hu, ayahku adalah penghubung
dari Siau-kim-djwan dan Thay-liang-san, diduga petang hari ini
beliau sudah bisa sampai di Thay-liang-san."
"Tapi lusa siang Swe Beng-hiong akan menikah, sedangkan
pasukan pergerakan baru akan sampai di sana pada malam
harinya, keramaian pesta perkawinannya sudah tidak keburu
diikuti lagi, maka dipikir lebih baik berangkat lebih dulu
bersama kalian," kata Kongsun Yan tertawa.
"Jangan kau anggap mainan, katahuilah bahwa tugas
rombongan kami ini cukup berat, bahaya yang kami hadapi
juga cukup besar. Pasukan musuh yang menjaga Sedjiang
sangat kuat, maka dikuatirkan serangan dari luar sukar
membobol benteng kota, sebab itulah bantuan kita dari dalam
kota sangat diperlukan."
"Ya, aku tahu tugas kita yang tidak ringan itu, setiba di
dalam kota aku pun akan berhati-hati agar tidak dicurigai
musuh," sahut Kongsun Yan.
Begitulah setelah menyamar, Kongsun Yan merasa dirinya
telah berubah sama sekali, ia bertepuk tangan memuji,
"Bagus, sungguh bagus! Sampai aku hampir tidak mengenali
diriku sendiri."
"Wah, runyam!" mendadak Djay-hong berseru karena
teringat sesuatu.
"Ada apa?" tanya Kongsun Yan.
"Rombongan kita ini seluruhnya berdelapan orang, terdiri
dari tujuh perempuan dan satu laki-laki, tadi kedua jahanam
sudah menanyai kami, mungkin mereka masih ingat jumlah
kita Jika nanti diketahui mendadak bertambah satu orang,
tentu akan menimbulkan curiga mereka."
Kongsun Yan juga tercengang, hal ini memang perlu
dipertimbangkan, tapi ia pun tidak ingin melepaskan
kesempatan ikut masuk ke Sedjiang. Setelah berpikir ia
berkata, "Betapapun aku meski ke sana jika sekiranya kurang
leluasa biarlah aku memisahkan diri saja toh sekarang
wajahku sudah berubah, rasanya musuh takkan mengenali
diriku." "Jangan, jangan!" kata Djay-hong. "Jika kau berangkat
sendiri juga tidak baik. Begini saja boleh kau pura-pura
menjadi orang sakit dalam rombongan kami, bila Peng Ki-yong
dan Lian Sing-hou memeriksa kita waktu memasuki kota,
maka akan kukatakan kau selalu berbaring di dalam kereta
dan sudah sakit sekian hari, sudah tentu kita harus menempuh
sedikit bahaya mungkin dapat mengelabui musuh."
Kongsun Yan pikir asalkan bisa bertemu dengan Le-toako,
bahaya apapun juga aku sanggup menghadapinya Begitulah
mereka lantas melaksanakan rencana tadi.
Kembali bercerita tentang Le Lam-sing yang berangkat
sendirian ke Sedjiang. Saat itu ia pun sedang menghadapi
persoalan sulit karena tidak dapat masuk ke dalam kota.
Sebenarnya ia hendak menggunakan Ginkangnya yang
tinggi untuk melintasi benteng kota di tengah malam buta tapi
setiba di atas bukit tepi benteng, sekali pandang ia menjadi
tercengang. Ternyata di atas tembok benteng dipasang lampu terang
benderang, senjata prajurit penjaga gemilapan bersiap di
tempatnya. Dalam keadaan demikian sudah tentu Le Lam-sing
tidak dapat menyusup ke dalam kota.
Terpikir juga olehnya akan masuk kota di waktu siang
dengan menyamar sebagai orang desa, tapi pertama, dia tidak
mahir omong logat daerah, yang kedua, dia membawa
pedang, orang desa mana yang pernah membawa senjata ke
dalam kota" Sebaliknya kalau Hian-tiat-pokiam tak dibawa
serta, lalu kema-na harus ditaruh"
Sebegitu jauh Lam-sing belum memperoleh akal yang baik,
tanpa terasa sang dewi malam sudah condong ke barat, sudah
dekat subuh, turun salju pula sehingga lereng bukit sekitarnya
laksana berlapiskan perak.
Ketika Lam-sing mendongak, tanpa sengaja tiba-tiba
dilihatnya di atas bukit di depan sana muncul dua orang
berpakaian perwira. Lam-sing terkejut, lekas ia mencari
tempat sembunyi.
Terdengar ada orang bertepuk tangan tiga kali, maka
kedua perwira itupun bertepuk tangan tiga kali. Sesudah itu
dari semak-semak belukar sana mendadak melompat keluar
seorang. Lam-sing menjadi heran, "Kiranya kedua perwira itu
ada janji dengan orang. Aneh, mengapa mereka mengadakan
pertemuan dengan seorang kampungan di tengah pagi buta
begini?" Belum lenyap pikirannya, tiba-tiba salah seorang perwira
tadi membentak, "Hah, Li Tim, kiranya kau! Lihatlah siapakah
aku ini?" Habis berkata orang itu lantas membuka kopyahnya
sehingga tampak kepalanya yang gundul. Kiranya laki-laki
gundul ini adalah Peng Ki-yong dan perwira yang lain adalah
Lian Sing-hou. Mereka berdua telah dibikin kaget oleh
Kongsun Yan di tengah jalan sehingga buru-buru menunju ke
Sedjiang di tengah malam buta. Tak terduga setiba di bukit di
luar kota Sedjiang ini mereka mendengar tiga kali suara
tepukan tangan Li Tun tadi.
Sebagai orang Kangouw yang ulung, begitu mendengar
suara tepukan tangan Li Tun itu, mereka lantas tahu ada
orang memberi kode pertemuan. Sebab itulah mereka lantas
membalas tepuk tangan tiga kali sehingga Li Tun terpancing
keluar. Sebenarnya Li Tun berjanji dengan dua orang lain, yaitu
dua perwira rendahan di dalam kota yang menjadi mata-mata
bagi pasukan pergerakan. Karena malam gelap gulita. Di
tempat persembunyiannya, Li Tun melihat yang datang itu
adalah dua orang, maka disangkanya adalah orang-orang
yang telah berjanji dengannya itu, ketika mendengar jawaban
tepukan tangan segera ia melompat keluar.
Yang ditakuti Peng Ki-yong dan Lian Sing-hou hanya Kim
Tiok-liu saja, Li Tun bagi mereka adalah terlalu sepele. Maka
begitu mengenali Li Tun, segera Lian Sing-hou menubruk
maju lebih dulu.
Li Tun mengeluh, dalam pada itu dengan cepat sekali Lian
Sing-hou sudah menubruk tiba. "Lihat serangan!" bentak Li
Tun sambil mengayun tangannya.
"Blang", sebuah benda bundar yang dilemparkan Li Tun
lantas meledak, di tengah sinar api disertai kabut tebal itu
terdengar pula suara mencicit nyaring.
Cepat Lian Sing-hou dan Peng Ki-yong melompat mundur
sambil memukul, angin pukulan mereka dapat memadamkan
api senjata rahasia Li Tun, kabut juga lantas buyar, jarum
yang bercampur di tengah asap tebal tadi juga tersampuk
jatuh semua. Akan tetapi sesudah asap buyar dan keadaan
tenang, bayangan Li Tun pun sudah menghilang.
"Ingin kulihat kau dapat bersembunyi dimana?" jengek
Peng Ki-yong. "Lian-heng mari kita mencarinya dari dua
jurusan." Lian Sing-hou lebih licik, katanya dengan tertawa, "Kita
tidak perlu buang-buang tenaga percuma gunakan saja cara
memanggang tikus untuk memaksa keparat itu keluar dari
tempat persembunyiannya."
Baru saja Lian Sing-hou bermaksud menyalakan api untuk
memaksa Li Tun keluar, sekonyong-konyong ada orang
membentak, "Kawanan bangsat kurangajar!" Tiba-tiba Le
Lam-sing melompat keluar terus menahas dengan pedang.
Semula Lam-sing tidak ingin mencari perkara, kemudian ia
menjadi heran ketika mengenali senjata rahasia yang
digunakan Li Tun itu adalah senjata rahasia khas Thian-mokau,
maka barulah ia ingat nama Li Tun itu seperti sudah
dikenalnya, kiranya dia inilah Li Tun yang pernah mencuri Pektoktjin-keng di Tji-lay-san dahulu sebagaimana diceritakan
oleh Kim Tiok-liu. Begitulah ia menjadi tidak dapat berpeluk
tangan setelah ingat Li Tun adalah sahabat Tiok-liu.
Melihat pendatang baru itu bukan Kim Tiok-liu, Peng Kiyong
tidak gentar, ia balas membentak, "Bocah darimana
berani kau ikut campur urusan orang lain?" Berbareng ia
sambut kedatangan Lam-sing dengan pukulan dari jauh.
Tenaga pukulan Peng Ki-yong sangat dahsyat, kalau
senjata biasa saja tentu akan terpental terkena goncangan
angin pukulannya, tapi yang dipakai Lam-sing sekarang adalah
Hian-tiat-pokiam yang beratnya ratusan kati, betapapun
tenaga pukulan Peng Ki-yong tidak dapat membuatnya
tergetar melenceng. Ta-hu-talhu Lam-sing tetap menubruk
maju dan tebasan Hian-tiat-pokiam tetap menyambar tiba.
Karena Peng Ki-yong terperanjat, hendak menghindar pun
Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sudah kasip, tanpa ampun lagi tebasan Lam-sing itu membikin
tubuh Peng Ki-yong terbelah menjadi dua.
Namun dada Le Lam-sing juga seperti kena godam karena
tenaga pukulan Peng Ki-yong tadi. Baru sekarang ia sadar
bahwa yang terbunuh olehnya sesungguhnya adalah jago silat
kelas berat. Mula-mula Lian Sing-hou juga memandang enteng Lamsing,
disangkanya Peng Ki-yong lebih dari cukup untuk
membereskan seorang bocah ingusan begitu. Tak terduga
hanya sekali gebrak saja Peng Ki-yong yang berbalik
dibereskan oleh 'bocah ingusan'. Keruan tidak kepalang kaget
Lian Sing-hou, dengan murka ia membentak, "Anak jadah!
Biarlah aku mengadu jiwa dengan kau!" Sepasang Boan-koanpitnya
lantas bekerja dengan cepat dan menghujani Le Lamsing
dengan tutukan maut.
Lekas Le Lam-sing memutar balik pedangnya untuk
menahas, tapi luput. "Bret", lengan bajunya berbalik tembus
kena tutukan ujung potlot baja lawan. Segera ia berganti cara
bertempur, la memutar Hian-liat-pokiam dengan rapat terus
mendesak maju. Ilmu tutukan Lian Sing-hou sebenarnya adalah kepandaian
khas dalam dunia persilatan, lincah dan gesit, jitu dan keji,
tapi menghadapi Hian-tiat-pokiam ia benar-benar mati kutu,
sedikit-pun tak berdaya
Di tengah pertarungan sengit itu, mendadak sinar pedang
Le Lam-sing memancar, satu jurus 'Hing-in-toan-hong' (awan
melintang memotong puncak gunung) dilontarkan, sinar
pedangnya menyambar ke pinggang lawan.
Karena terpaksa, mau tak mau Lian Sing-hou menangkis
dengan kedua Boan koan-pit. la yakin kedua potlot bajanya itu
masih cukup kuat dan takkan terkurung meski ketemu pedang
wasiat. Siapa tahu begitu terbentur Hian-tiat-pokiam, "krek",
bukan cuma kedua potlot bajanya terkurung semua, bahkan
tangannya juga tergetar lecet.
"Tawan dia hidup-hidup!" seru Li Tun.
"Baik akan kukerjakan dia seperti cara dia mengerjakan
orang lain!" kata Lam-sing sembari mendorong pelanan ujung
pedangnya ke depan, kontan Hiat-to Lian Sing-hou tertutuk.
Dengan girang luar biasa Li Tun lantas bertanya pada Le
Lam-sing, "Apakah benar saudara ini adalah saudara angkat
Kim Tiok-liu?"
"Benar," sahut Lam-sing. "Kau mahir menggunakan Tokbukim-tjiam-ten, tentunya Li Tun, Li-toako. Tapi darimana
engkau mengetahui Siaute adalah Le Lam-sing?"
"Aku mengenali pedangmu ini," sahut Li Tun. "Pada malam
kalian membikin geger Liok-hap-pang di Yangtjiu, aku pun
berada di sana, aku berjumpa dengan Kim Tiok-liu dan
mengetahui kau terserang senjata rahasia nenek siluman she
Ho itu, maka kami sangat menguatirkan dirimu. Syukur kau
sudah sembuh sekarang."
"Kau berjumpa dengan Kim Tiok-liu" Jika demikian
sekarang kau tentunya akan pergi ke Sedjiang untuk
menemuinya lagi, bukan?"
"Betul, memang begitulah maksudku."
"Tapi penjagaan di Sedjiang ini teramat rapat, mungkin
lalat pun sukar memasukinya."
"Jangan kuatir, aku ada akal baik," ujar Li Tun.
Belum lenyap ucapannya, tiba-tiba terdengar suara tepukan
tangan tiga kali, dari pengkolan sana muncul dua sosok
bayangan. Le Lam-sing mengira musuh lagi yang datang, baru
saja ia bersiap hendak melabrak musuh, ternyata Li Tun sudah
mendahului memapak ke sana sembari membalas tepuk
tangan tiga kali.
Kedua orang berlari-lari mendatangi dengan napas
tersengal-sengal, begitu berhadapan lantas berkata, "Wah,
celaka, Li-toako. Ai, apa daya kita?"
Mereka menjadi terkejut ketika mengetahui mayat yang
menggeletak di situ serta melihat Le Lam-sing yang tidak
mereka kenal. "Le-toako ini adalah kawan baik kita," tutur Li Tun tertawa.
"Kedua orang yang sudah menjadi mayat dan terluka ini
adalah begundal Perdana Menteri dorna Tjo Tjin-yong, tadi
aku salah mengenali mereka dan hampir terjebak muslihat
mereka, untung Le-toako ini membantu aku."
"He, bukankah mereka ini adalah Peng Ki-yong dan Lian
Sing-hou?" seru kedua orang itu berbareng.
"Kalian tidak mengira bukan?" uajr Li Tun. "Kedua tokoh
kenamaan dari Hek-to ini hanya satu gebrakan saja sudah
dibinasakan dan dilukai oleh Le-toako."
Mendengar itu, seketika kedua orang itu menaruh penilaian
lain dan amat kagum terhadap Le Lam-sing. Sebaliknya di
dalam hati Le Lam-sing merasa kikuk, sebab kalau tidak
memakai Hian-tiat-pokiam mungkin yang terluka bukanlah
lawan, tapi adalah dirinya.
Menyusul itu, Li Tun lantas memperkenalkan kedua orang
ilu, "Ini adalah Lau-toako dan yang itu Kwan-toako, semuanya
icman kita yang dipasang di dalam kota Sedjiang, untuk
masuk ke sana justru kita minta bantuan mereka ini."
"Tapi kami mungkin tak bisa membantu lagi," sahut orang
she Kwan itu dengan tersenyum kecut.
"Kalian masing-masing membawa serta seorang teman
juga tidak bisa?" tanya Li Tun.
Orang she Lau menjawab, "Besok lusa adalah hari nikah
Swe Beng-hiong, dia kuatir orang-orang Kangouw juga akan
menyusup ke dalam kota untuk mengganggu hari baiknya,
sebab itu dalam dua hari ini penjagaan diperkeras, hanya
boleh keluar dan dari luar dilarang masuk. Sekalipun perwira
bawahannya juga perlu minta izin lebih dulu jika ingin
membawa anggota keluarga masuk ke kota. Apalagi kalian
berdua berlogat daerah lain, rasanya sukar sekali untuk masuk
ke sana." Li Tun tersenyum, katanya, "Aku punya akal." Lalu dia
menggeledah tubuh Lian Sing-hou dan mendapatkan sebuah
kotak kado. Waktu kotak itu dibuka, ternyata berisi sepasang perhiasan
kecil semangka jamrud.
"Sepasang semangka jamrud ini sedikitnya berharga
sepuluh ribu tail perak," kata Li Tun dengan tertawa.
"Maklumlah, kado pemberian Perdana Menteri memang lain
daripada yang lain. Tapi entah betapa banyak darah keringat
rakyat jelata yang telah dihisap olehnya."
"Apakah Li-toako punya maksud hendak menyaru sebagai
orang suruhan dari istana Perdana Menteri dengan membawa
ha-dian perkawinan ini?" tanya Le Lam-sing. "Tapi Su Pek-to
dan Swe Beng-hiong sudah kenal semua pada Siaute."
Ketika Li Tun menggeledah lagi mayat Peng Ki-yong, ia
tidak menemukan surat atau benda lain. Surat pengantar kado
itupun cuma dibubuhi nama Tjo Tjin-yong tanpa menyebut
siapa pengantarnya.
Rupanya Tjo Tjin-yong merasa malu jika sampai asal usul
Peng Ki-yong dan Lian Sing-hou sebagai bekas penjahat
diketahui, kemudian dilindungi oleh seorang Perdana Menteri,
padahal Peng Ki-Yong berdua toh sudah dikenal oleh wali
pihak pengantin perempuan, yaitu Su Pek-to, maka tidak perlu
menegaskan siapa pengantarnya dalam surat pengantar
kadonya itu. Dengan tertawa Li Tun berkata, "Tjo Tjin-yong tidak
menjelaskan siapa dan berapa orang pengantar kadonya ini,
maka di sinilah letak akal kita. Dengan menyamar kita dapat
berpura-pura menjadi pengiring Lian Sing-hou."
Lau dan Kwan berdua bersorak akur, kata mereka, "Akal ini
sangat bagus. Pada waktu hendak menikah, tentu Swe Benghiong
terlalu sibuk. Urusan dari Perdana Menteri tentu akan
dia sambut sebagai tamu terhormat, sedangkan pengiring
utusan tentunya akan dilayani tersendiri oleh bawahannya dan
diberi tempat tinggal lain."
"Apakah Lian Sing-hou mau kita dalangi sesuka kita?" ujar
Lam-sing. "Le-toako mahir ilmu racun, tentu pernah mendengar cara
menyerang racun dengan racun," kata Li Tun.
Baru sekarang Lam-sing paham, katanya, "Ya, cuma
sayang aku sendiri tidak suka memakai racun, maka tidak
membawa sesuatu bahan racun."
"Racun juga mirip senjata sebangsa pedang dan golok, asal
penggunaannya tepat, apa halangannya?" kata Li Tun. "Letoako,
harap kau membukakan Hiat-to keparat itu."
Dari ucapan Li Tun ini, Le Lam-sing tahu tentu dia
membawa bahan racun yang diperlukan. Benar juga, begitu
Lam-sing membuka Hiat-to Lian Sing-hou, begitu pula Li Tun
menusukkan sebatang jarum kecil ke dalam tubuh Lian Singhou.
Lian Sing-hou meraba dadanya yang kesemutan, tapi hanya
sekejap saja lantas lenyap. Sebagai seorang bekas bandit,
pengalamannya cukup luas. Ia tahu semakin hebat racun yang
digunakan, semakin tiada terasa sakit. Dengan gusar ia
lantas berkata, "Jika mau bunuh boleh lekas bunuh saja,
kenapa kalian sengaja menyiksa diriku?"
"Kau membawa kami masuk kota, selesai urusan ini tentu
tikan kuberi obat pemunahnya, kalau tidak jiwamu hanya
tinggal tiga hari saja," kata Li Tun.
Terkejut juga Lian Sing-hou, tapi setengah sangsi, maka ia
termenung diam saja.
"Setiap orang kami selalu memegang janji apa yang
diucapkannya, kau sendiri mengenal orang-orang pergerakan
kami, tentu kau cukup tahu," kata Li Tun pula.
Bingung juga Lian Sing-hou, ia masih bungkam tak bisa
memberi jawaban.
Li Tun dapat meraba pikirannya, katanya kemudian, "Ya,
sudah tentu sehabis urusan ini kau pun tak bisa pulang lagi
pada Perdana Menterimu itu. tapi kau sendiri adalah
keturunan keluarga persilataa, buat apa mesti menjadi budak
orang" Bahkan setiap saat harus kuati' akan melayangnya
jiwamu. Jika selanjutnya kau mau kembali ke jalan yang
benar, biarpun hidup sederhana, namun dapat tidur dengan
nyenyak." Muka Lian Sing-hou sebentar merah sebentar pucat,
malunya tak terkatakan. Maklumlah asal-usul Lian Sing-hou
tidak sama dengan Peng Ki-yong. Karena kemaruk harta dan
kedudukan, Peng Ki-yong berani mengkhianati perguruan dan
mengekor menjadi antek kerajaan. Lian Sing-hou sendiri
adalah keturunan keluarga persilatan, dia telah salah bergaul
dan tersesat, di waktu iseng sering juga ia menyesali
perbuatannya yang menodai nama baik leluhur.
Bujukan Li Tun benar-benar kena pada lubuk hatinya,
pikirnya "Paling-paling hanya mati saja, daripada mati menjadi
kaki tangan orang, lebih baik mati berjasa bagi kaum patriot
daripada mati konyol tanpa arti." Berpikir demikian pikirannya
menjadi terbuka, ia menyeka keringatnya dan berkata, "Baik,
aku akan menurut kepada Li-toako."
Li Tun mahir merias muka, segera dia sendiri dan Le Lamsing
menjadi pengiring Lian Sing-hou dan benar juga dapatlah
mereka masuk Sedjiang dengan lancar.
Sesudah masuk kota mestinya mereka menuju ke rumah
penginapan resmi untuk istirahat, lalu Lian Sing-hou sebagai
utusan mengantar kado ke istana panglima. Menurut
perhitungan Li Tun, dalam kesibukannya tentunya Swe Benghiong
akan menyambut utusan Perdana Menteri sebagaimana
layaknya dan tidak mungkin menjenguknya ke tempat
penginapannya. Siapa tahu dugaan Li Tun ternyata hanya tepat separoh,
Swe Beng-hiong memang tidak datang menjenguk, tapi dia
mengutus Su Pek-to sebagai wakilnya untuk datang
menyambut utusan Perdana Menteri. Sebelum mereka sampai
di rumah penginapan resmi itu, tahu-tahu Su Pek-to sudah
menunggu di sana.
Su Pek-to memang sudah kenal Lian Sing-hou, maka begitu
bertemu ia lantas bergelak tertawa dan berkata, "Aha, kiranya
kau adanya. Tapi biasanya kau tidak pernah berpisah dengan
Lau Peng, kenapa sekali ini dia tidak muncul?"
Terpaksa Lian Sing-hou berbohong, "Tjo-kongrju ingin ke
kotaraja, maka tuan besar mengirim Lau Peng ke Tjelam
sebagai pengawai pribadi Tjo-kongtju."
"O, kiranya demikian," kata Su Pek-to. "Lian-heng, kau
harus tinggal beberapa hari lebih lama di sini. Engkau adalah
jago Tiam-hiat nomor satu di dunia ini, kesempatan berkumpul
kita ini akan kugunakan untuk meminta belajar beberapa jurus
ilmu tutukan darimu."
Pertemuan di antara jago-jago silat memang biasa saling
memuji akan kepandaian khas pihak lain, dalam hal ini Su Pekto
bicara sebagai wakil tuan rumah yang menghormati
tamunya dan bukan sungguh-sungguh ingin belajar segala
Tapi bagi pendengaran Lian Sing-hou, ucapan Su Pek-to itu
kena benar di lubuk hatinya, mukanya menjadi merah.
Sepasang Boan-koan-pitnya sudah ditebas kutung oleh
pedang wasiat Le Lam-sing, cara bagaimana dia dapat
memainkan ilmu tutukan segala" Ia pikir keganjilan demikian
harus dijaga jangan sampai diketahui. Dengan tertawa yang
dibuat-buat lalu ia menjawab, "Wah, sedikit kepandaianku
yang tak berarti, mana berani ku-perlihatkan kepada jago
nomor satu di dunia ini?"
Sebagai seorang ahli silat, sedikit memperhatikan saja Su
Pek-to lantas tahu bahwa Lian Sing-hou tidak membawa
sesuatu senjata, keruan ia menjadi heran, katanya dengan
tertawa, "Eh, mengapa ahli Tiam-hiat termashur seperti kau
sampai ketinggalan senjata" Ini kan seperti juru tulis tidak
membawa pena?"
"Di kota ini berkumpul jago-jago sebanyak ini, masakah aku
kuatir tidak aman sehingga perlu membawa senjata segala?"
sahut Lian Sing-hou dengan tertawa kikuk.
Sudah tentu jawaban ini tidak masuk akal, apakah di
tengah jalan juga kau tidak perlu membawa senjata untuk
menjaga diri" demikian pikir Su Pek-to. Tapi Lian Sing-hou
adalah jago pengawal Tji Tjin-yong, hal ini tidak bisa
dipalsukan. Meski Su Pek-to menduga di balik hal ini tentu ada
sesuatu yang tidak beres, tapi ia tidak berani membayangkan
bahwa kedatangan Lian Sing-hou ini ternyata tidak
menguntungkan Swe Beng-hiong.
Su Pek-to pikir tidak enak terlalu banyak bertanya, nanti
kalau sudah berada di istana panglima tentu dapat dimintai
keterangan lebih lanjut.
Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lian Sing-hou juga kuatir dicurigai, cepat ia berkata, "Supangtju,
engkau tentu sibuk karena besok adalah hari bahagia
adik perempuanmu. Jika perlu silakan saja kembali, nanti
setelah selesai mengatur tempat pondokan segera akan
kukunjungi Swe-tjiangkun."
Sekilas pandangan Su Pek-to berpindah dari Li Tun kepada
Le lam-sing pula. Ia tambah heran karena kedua orang itu
seperti sudah pernah dilihatnya entah diroana, segera ia
menjawab, "O, tidak apa-apa, kedua saudara ini....."
"Mereka adalah pengiringku," sela Lian Sing-hou. "He,
kenapa kalian tidak tahu sopan santun. Su-Pangtju tanya pada
kalian, kenapa kalian tidak lekas memberi hormat."
Li Tun dan Le Lam-Sing terpaksa melangkah maju dan
memberi hormat, masing-masing memperkenalkan suatu
nama palsu. "Bahana, kalian tidak perlu banyak adat, mungkin kelak kita
masih harus bantu-membantu, marilah kita bersahabat," kata
Su Pek-to sembari mengulurkan tangannya. Rupanya Hiantiatpokiam yang dibawa Le Lam-sing itu tidak terhindar dari
perhatian Su Pek-to, maka lebih dulu ia hendak menjabat
tangan Lam-sing untuk menjajal kepandaiannya.
Detik itu Le Lam-sing benar-benar menghadapi antara mati
dan hidup, menghadapi ujian berat yang menentukan. Ia tidak
tahu apakah Su Pek-to sudah mengenalnya atau belum, jika
tidak melawan dengan tenaga dalam, jangan-jangan Su Pek-to
lantas menyerangnya. Sebaliknya kalau menggunakan tenaga
dalam tentu seketika asal-usulnya akan kenangan. Ia pernah
bergebrak beberapa kali dengan Su Pek-to, Lwekangnya yang
khas sukar mengelabui Su Pek-to.
Sesaat itu pikiran Le Lam-sing berubah beberapa kali,
akhirnya ia bertekad mengambil resiko dengan pura-pura tidak
paham Lwekang, ia pura-pura menjerit kesakitan, "Aduh,
hebat benar tenaga Su-pangtju!"
Walaupun sudah timbul rasa curiga tapi Su Pek-to juga
kuatir membikin celaka kaum hamba Perdana Menteri. Maka
ketika melihat orang memang tidak paham Lwekang, dengan
tertawa ia lantas mengendurkan tangannya, katanya,
"Watakku memang kasar, harap kau jangan marah. Eeh,
tampaknya saudara mahir main pedang, bolehkah kulihat
senjatamu?"
Le Lam-sing mana berani memperlihatkan Hian-tiat-pokiam,
sedapat mungkin ia bersikap tenang dan menjawab,
"Ah, hanya pedang biasa yang baru kubeli dari toko senjata
besi tua, tidak ada harganya bagi Su-pangtju." Diam-diam ia
sudah mengambil keputusan bilamana Su Pek-to berkeras
ingin melihat, terpaksa ia harus bertindak dan mengadu jiwa
di tempat ini juga.
Syukurlah pada saat itu tiba-tiba tampak Wan-hay Hwesio
berlari datang dan berkata, "Pangtju, Tang Tjap-sah-nio minta
engkau lekas pulang!"
"Ada urusan apa?" tanya Su Pek-to.
Melihat cara bicara Wan-hay yang serba susah itu, Su Peklo
menduga tentu ada apa-apa yang tidak beres, ia pikir
apakah terjadi sesuatu atas diri Su Ang-ing"
Melihat ada kesempatan, segera Le Lam-sing berkata
"Rupanya Pangtju ada urusan, biarlah sebentar nanti akan
kukunjungi engkau untuk minta belajar beberapa jurus ilmu
pedang." Su Pek-to pikir andaikan mereka adalah penyamaran
musuh, sekali sudah masuk kota Sedjiang juga sukar lolos
keluar lagi, maka ia lantas menjawab, "Ah, tidak perlu, silakan
kalian tunggu saja di sini, sebentar lagi aku akan kembali."
Begitulah Su Pek-to kembali ke kediamannya dengan
tergesa-gesa. Setelah bertemu Tang Tjap-sah-nio, ia lantas
bertanya "Terjadi apa lagi?"
"Hmm, bimyak juga tingkahnya tanya saja sendiri padanya"
jengek Tang Tjap-sah-nio dengan mulut berjengkit ke kamar
Ang-ing. Waktu Su Pek-to ke kamar Su Ang-ing, dilihat adik
perempuannya sedang berhias, tampaknya tenang-tenang
saja legalah hati Su Pek-to, tanyanya "Moaytju, lusa adalah
hari bahagiamu, janganlah kau membikin onar."
"Siapa bikin onar?" sahut Ang-ing. "Tapi kau juga harus
melaksanakan beberapa permintaanku jika kau ingin
mendapat kedudukan dan kemewahan."
"Kau jangan mengemukakan macam-macam soal sulit,
ndikku," sahut Su Pek-to dengan mengiring tawa.
"Aku kira juga bukan soal sulit, sebaliknya kuyakin sangat
mudah bila kau memang mau menuruti permintaanku," kata
Ang-ing. "Kalau tak dapat kulaksanakan bagaimana?" tanya Pek-to.
"Jika soal-soal segampang ini juga tak bisa kau laksanakan,
maka jangan kau harap lagi aku mau menikah dengan Swe
Beng-hiong."
"Baiklah, coba kaujelaskan apa permintaanmu?"
"Liok-hap-pang kita adalah organisasi besar, maka
pernikahan ini harus dirayakan secara besar-besaran dan
semeriah-meriahnya"
"Sudah tentu, untuk ini kau tidak perlu kuatir. Orang-orang
Swe-tjiangkun tentu akan mengatur dan dirayakan besarbesaran. "Tapi mengapa pintu gerbang kota Sedjiang tertutup rapat,
rakyat dilarang masuk kota?"
"Eh, darimana kau tahu" Siapa yang mengatakan hal ini
padamu?" "Kau tidak perlu tanya darimana aku mendapat tahu, yang
penting betul tidak hal ini?"
Dalam hati Su Pek-to menggerutu, orang terlalu usil mulut
memberitahukan adik perempuannya ini, terpaksa ia
menjawab, "Ah, hendaklah adik jangan salah paham, justru
Swe-tjiangkun kuatir terjadi kerusuhan pada hari bahagiamu
lusa, makanya dia harus berlaku hati-hati. Terutama harus
dijaga agar kawanan bandit Tiok Siang-hu di Thay-liang-san
itu jangan sampai menyusup ke dalam kota."
"Merayakan pernikahan dengan menutup pintu kota, lalu
dimana letak keramaiannya" Di kota ini bercokol berpuluhpuluh
ribu prajurit pimpinan Swe Beng-hiong, ditambah lagi
seorang Pangtju besar memangku sebagai jago nomor satu di
dunia seperti kau, masakah masih takut akan dikacau orang"
Hah, kalau hal ini tersiar, mustahil takkan dibuat tertawaan
orang Kang-ouw" Mereka mungkin takkan menertawai
kelicikan Swe Beng-hiong, tapi akan menertawai kalian yang
berhati penakut seperti tikus."
"Kau tidak perlu membikin panas padaku," sahut Su Pek-to.
"Tapi katakan saja apa sebenarnya kehendakmu?"
"Aku menghendaki setiap rakyat di bawah kekuasaan Swe
Beng-hiong ikut bergembira ria, mulai besok pagi pintu kota
harus dibuka secara bebas bagi keluar-masuknya penduduk.
Mulai lusa, setiap rumah makan dan warung minum di dalam
kota harus melayani rakyat jelata secara gratis, Swe Benghiong
yang harus membayar."
"Wah, tak nyana kau juga gemar akan kemewahan."
"Kalau tidak, buat apa aku menjadi istri seorang Tjiangkun"
Dengan demikian baru dapat dikatakan meriah. Mungkin
korupsi Swe Beng-hiong sebulan dan uang gaji prajuritprajuritnya
sudah lebih dari cukup untuk kerajaan ini."
"Ini bukan soal uang, tapi kalau kau berkeras harus
demikian, biarlah nanti aku rundingkan dengan Swetjiangkun."
"Katakan padanya, jika tak sanggup melaksanakan, jangan
harap bisa menikahi aku."
"Lalu ada syarat apalagi darimu?"
"Syarat kedua adalah urusan pribadiku, kau tahu Km Yok
adalah pelayanku yang setia dia sudah mengikat janji dengan
kakak, misalnya dia tidak ingin ikut aku ke rumah mertua
maka aku pun tidak ingin memaksa dia Sebab itulah aku minta
kau membiarkan dia pulang kampung saja."
"Syarat ini dapat kupenuhi, selesai pesta besar ini, akan
kuantar dia pulang."
"Tidak, besok juga dia ingin pulang."
"Kenapa mesti terburu-buru" Seorang gadis juga kurang
aman berangkat sendiri."
"Kutahu kau diperlukan Swe Beng-hiong untuk membantu
dia mempertahankan kota ini, kukira dalam waktu sebulan dua
bulan kau tidak mungkin pulang. Rupanya budak ini sudah
terlalu merindukan rumah, pula aku sudah meluluskan
permintaannya lebih baik dia pulang saja dulu. Sedikit banyak
dia juga sudah belajar silat dariku, asal kau minta Swe Benghiong
memberikan surat jalan padanya kukira takkan terjadi
sesuatu dalam perjalanannya."
"Baiklah, kuterima permintaanmu ini. Lalu syarat ketiga?"
"Senjataku harus kau kembalikan padaku."
Kiranya senjata yang digunakan Su Ang-ing adalah cambuk
lemas serta pedang pendek, keduanya telah dirampas Su Pekto
waktu tertawan tempo hari.
"Sebagai pengantin baru, buat apa menghendaki senjata
segala?" ujar Su Pek-to.
"Kutahu pikiranmu, kau kuatir aku mencelakai Swe Benghiong
bukan" Hm, jika aku tidak suka menjadi isterinya,
andaikan tiada senjata juga dapat kubunuh dia kalau mau.
Dengan merampas senjataku, sama saja aku diperlakukan
sebagai tawanan, aku tidak bisa menerima hinaan untuk
kepentinganmu pula Besok kau suruh Tang Tjap-sah-nio saja
yang kawin dengan dia."
Su Pek-to garuk-garuk kepala yang tidak gatal, sahutnya
dengan tersenyum kecut, "Apa-apaan kau ini, yang
dikehendaki Swe-Tjiangkun adalah dirimu dan bukan Tjapsahnio. Baiklah, cmbukmu akan kukembalikan, tapi pada hari
upacara kau tidak boleh membawa senjata. Kan aneh jika
pengantin baru membawa senjata segala."
"Yang penting kembalikan dulu senjataku, padahal dengan
kepandaian Swe Beng-hiong yang tinggi itu masakah takut
padaku. Kau melarang aku membawa senjata aku justru akan
bawa, peduli amat."
Su Pek-to geleng-geleng kepala, katanya, "Dasar budak
kepala batu. Sudahlah terserah padamu."
"Dan masih ada satu syarat lagi, aku tidak suka pada cecongor
Tjap-sah-nio. Mulai sekarang dia dilarang menginjak
kamarku." Kiranya sejak berada di Sedjiang, Su Ang-ing selalu
didampingi Tang Tjap-sah-nio. Bo-tan dan Kin-yok adalah dua
dayang kepercayaan Ang-ing, tapi kedua budak itu sengaja
disingkirkan keluar kamar oleh Tjap-sah-nio.
Su Pek-to pikir jika Tjap-sah-nio ditarik pergi, janganjangan
budak ini akan membikin gara-gara lagi. Tapi kalau
tidak dituruti, mungkin juga akan timbul onar pula. Terpaksa
ia berkata "Baiklah, jika kau suka pada Bo-Tan, akan kusuruh
dia melayani kau."
"Dan bagaimana dengan membuka pintu gerbang kota
serta surat jalan bagi Kin Yok?" tanya Ang-ing.
"Saat ini juga akan kupergi bicara dengan Swe-tjiangkun,"
sahut Pek-to. "Eh, Tjap-sah-nio, ambilkan senjata Ang-ing."
Tjap-sah-nio berjaga di luar kamar, sudah tentu apa yang
dibicarakan Ang-ing tadi didengarnya semua. Segera ia
mengangsurkan cambuk dan pedang ke dalam kamar dengan
mendongkol, Su Pek-to sendiri yang menyerahkan kepada
Ang-ing. Seperginya Su Pek-to, Ang-ing lantas memanggil kedua
pelayannya yaitu Bo-tan dan Kin-yok, pintu kamar lantas
ditutup dari dalam, la tahu Tang Tjap-sah-nio pasti ingin
mendengarkan di luar, sebab itulah mereka sengaja bicara
hal-hal yang tidak penting dengan suara keras. Namun tangan
Ang-ing juga bekerja jarirya mencelup air teh buat menulis di
atas meja dengan cara demikianlah mereka berunding dan
mengatur siasat
Kembali mengenai Su Pek-to, buru-buru ia menuju ke
istana Tjiangkun hendak bicara dengan Swe Beng-hiong. Tapi
ia diberitahu oleh penjaga bahwa Tjiangkun sedang menerima
utusan Perdana Menteri.
Tergerak hati Su Pek-to, kiranya Lian Sing-hou sudah
datang menemui Swe Beng-hiong, bukan saja kedua
pengiringnya itu mencurigakan, bahkan Lian Sing-hou sendiri
juga rada aneh. Segera ia berkata kepada penjaga, "Harap
panggilkan Ho-toa-nio."
Ho-toanio adalah mak inang Tjiok Hek-koh yang mahir
menggunakan racun itu, kali ini ia pun ikut Su Pek-to ke
Sedjiang. Swe Beng-hiong telah mengenal kemahirannya
maka diundangnya tinggal di istana sebagai tamu agung,
diminta bantuannya mengatasi pengantin perempuan yang
kepala batu itu dengan racun pada malam pertama nanti.
Waktu bertemu Su Pek-to, dengan tertawa Ho-toanio lantas
berkata "Su-pangtju begitu sibuk, kenapa masih ada tempo
buat bertemu dengan aku?"
"Tjo-taydjin mengirim seorang utusan, aku menaruh curiga
padanya," kata Su Pek-to.
"Bukankah utusannya itu adalah Lian Sing-hou" Sudah
cukup lama dia mengabdi kepada Tjo Taydjin, masakah kau
mencurigai dia?"
"Keluarga Lian terkenal dengan ilmu Tiam-hiat yang tiada
bandingnya, tapi Lian Sing-hou ternyata tidak membawa
Boan-koan-pit, coba aneh atau tidak?"
"Ya ini memang aneh, cuma Lian Sing-hou agaknya tidak
berani mempunyai sesuatu pikiran jahat. Jika dia hendak
berbuat apa-apa yang merugikan Swe-tjiangkun tentu
senjatanya takkan ditinggal."
"Terhadap Lian Sing-hou sendiri aku memang tidak curiga,
yang kucurigai adalah kemungkinan dia berada di bawah
ancaman orang. Aku seperti pernah melihat kedua
pengiringnya cuma tidak ingat dimana."
Ho-toanio baru paham maksud Su Pek-to, katanya "O,
barangkali kau ingin bantuanku untuk memeriksa keadaan
Lian Sing-hou, apakah dia keracunan?"
"Benar, ilmu silat Lian Sing-hou tidak rendah, jika dia
sampai diancam orang, tentu dia telah terjebak oleh racun.
Sebagai seorang ahli, sekali pandang saja tentu dapat kau
ketahui." "Tapi sekarang dia sedang bicara dengan Swe-tjiangkun,
mana boleh aku menerobos ke sana untuk melihatnya."
"Apa susahnya" ujar Su Pek-to tertawa lalu ia
mengemukakan tipu dayanya.
Berulang-ulang Ho-toanio memuji tipu bagus itu, segera ia
Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melakukan apa yang direncanakan itu.
Saat itu memang Lian Sing-hou sedang berbicara dengan
Swe Beng-hiong, tiba-tiba seorang nenek datang membawa
teh. Swe Beng-hiong tampak terheran-heran, katanya "He, Hotoanio,
kenapa kau....."
Tapi Ho-toanio keburu mengedipinya dan memotong,
"Budak-budak cilik itu sama keluar entah kemana tiada orang
yang melayani, terpaksa aku yang membawakan teh."
Lian Sing-hou mengira Ho-toanio adalah kaum hamba tua
yiuig punya derajat lebih tinggi, maka ia pun tidak sangsi dan
menyatakan terima kasih. Baru saja ia hendak menerima teh
itu, mendadak tangan Ho-toanio gemetar, cangkir teh yang
dipegangnya tertumpah ke tubuh Lian Sing-hou. Ho-toanio
pura-pura kaget dan gugup, cepat ia mengusap-usap baju
Lian Sing-hou. "Tidak apa-apa silakan kembali saja kau," kata Lian Singhou
dengan serba runyam. Tengah bicara, seperti tidak
sengaja jari Ho-toanio mengusap tangan Lian Sing-hou.
Menurut kebiasaan kalangan pembesar, jika tuan rumah
menyuguhkan teh untuk kedua kalinya berarti sudah waktunya
sang tamu harus mohon diri. Maka setelah Ho-toanio masuk,
segera Lian Sing-hou berbangkit lantas pamit.
Tak terduga belum lagi Lian Sing-hou keluar ruang tamu,
tampak Su Pek-to datang tergesa-gesa sambil berseru, "Nanti
dulu, Lian-heng!"
Lian Sing-hou tertegun, katanya kemudian, "Adakah
sesuatu petunjuk Su-pangtju?"
"Mohon Lian-heng memberi pelajaran beberapa jurus ilmu
Tiam-hiat!" kata Su Pek-to sambil mencengkeram ke arah Lian
Sing-hou. Keruan Lian Sing-hou terkejut, cepat ia menangkis sambil
menutuk, dengan tepat tangan Su Pek-to terhiruk, tapi sekali
berputar, berbalik pergelangan tangan Lian Sing-hou lantas
terpegang oleh Su Pek-to.
"He, ada apakah ini, Su-toako?" seru Swe Beng-hiong
bingung, ia tidak tahu mengapa kedua orang yang sudah
kenal baik itu hendak saling gebrak.
Mendadak Su Pek-to bergelak tertawa sembari melepaskan
pegangannya katanya "Maaf Lian-heng, bukan maksud Siaute
berbuat kurang ajar, soalnya Lian-heng sendiri ada penyakit,
tapi pantang diobati, demi untuk menolong Lian-heng
terpaksa Siau-te berbuat kasar padamu." Ucapan ini membuat
wajah Lian Sing-hou berubah menjadi pucat seketika.
Sekarang Swe Beng-hiong juga tahu, di balik gebrakan
mereka tadi tentu ada sesuatu yang tidak beres, segera ia
bertanya, "O, kiranya Lian-taydjin menderita sakit apa?"
"Bukan sakit, tapi kena jebakan orang," kata Su Pek-to.
"Namun Lian-heng juga tidak perlu kualir, nenek yang
mengantarkan teh tadi adalah tokoh Thian-mo-kau yang mahir
menggunakan racun, dia juga mahir memunahkan racun."
"He, jadi Lian-taydjin keracunan?" Swe Beng-hiong
menegas dengan terkejut.
Lian Sing-hou tergagap tidak berani menjawab.
Su Pek-to lantas berkata, "Menurut Ho-toanio, racun yang
dideritanya kalau tidak diobati, dalam tiga hari tentu dia akan
binasa, tadi waktu tutukannya mengenai aku, juga merasa
tidak bertenaga, tampaknya apa yang dikatakan Ho-toanio
bukan cuma untuk menakuti saja."
Baru sekarang Swe Beng-hiong sadar bahwa tindakan Su
Pek-to tadi hanya untuk menjajal tenaga dalam Lian Sing-hou.
"Lian-heng, kita adalah sahabat lama, kau ada kesukaran
apa marilah dirundingkan bersama," kata Pek-to pula dengan
tertawa. "Benar, supaya Ho-toanio leluasa mengobati kau, silakan
kau tinggal saja di sini agar kita pun dapat berbicara lebih
leluasa," kata Swe Beng-hiong.
Begitulah dengan setengah bujuk dan setengah paksa, Swe
Beng-hiong dan Su Pek-to lantas menggusur Lian Sing-hou ke
dalam sebuah kamar rahasia, di situ Su Pek-to lantas
bertanya, "Lian-heng, tidak perlu kau mendustai aku lagi,
kedua pengi-ringmu itu adalah palsu bukan" Apakah kau
masuk perangkap mereka sehingga terpaksa diperalat
mereka?" Walaupun Lian Sing-hou ada pikiran buat kembali ke jalan
yang benar, tapi tekadnya belum bulat. Sekarang tahu
rahasianya sudah tersingkap, ia pikir Ho-toanio dapat
menyembuhkan racunnya sehingga tidak perlu mengandalkan
Li Tun lagi, tanpa pikir segera ia mengaku terus terang apa
yang telah dialaminya.
Kejut dan gusar pula Su Pek-to mendengar cerita itu, "Hm,
kiranya kedua bocah itu yang main gila."
"Hahaha, sungguh kebetulan mereka yang mau masuk
jaring sendiri, sekali ini biar tumbuh sayap juga mereka takkan
lolos lagi," seru Swe Beng-hiong tertawa. "Lian-heng, silakan
istirahat saja di sini, nanti kalau kedua bocah itu sudah
tertangkap, lantas kusuruh Ho-toanio mengobati kau."
Di balik kata-kata Swe Beng-hiong itu, seakan Lian Singhou
hendak dijadikan sandera, keruan diam-diam Lian Singhou
mengeluh, tapi apa daya, menyesal juga sudah terlambat.
Swe Beng-hiong dan Su Pek To lantas meninggalkan Lian
Sing-hou, setiba di ruangan lain, Swe Beng-hiong berkata,
"Su-toako, syukurlah engkau telah memecahkan tipu muslihat
musuh. Kedatangan Le Lam-sing tentu ada hubungannya
dengan adik perempuanmu. Hm, dia berani mengacau di
tempatku ini, jika aku tidak membikin dia menjadi abu, tidak
terlampiaskan dendamku."
"Bocah she Le itu telah mencuri aku punya Hian Tiat-pokiam,
aku juga ingin membinasakan dia," ujar Su Pek-to. "Li
tun yang telah mengkhianati aku, dia juga pantas
dimampuskan, biarlah sebentar aku sendiri pergi menangkap
mereka." "Kenapa tidak sekarang saja?" ujar Swe Beng-hiong.
"Kedua bocah itu tentu belum tahu tipu muslihat mereka
sudah terbongkar, di kota ini masakah mereka mampu lolos?"
ujar Su Pek-to.
"Apa barangkali Su-toako ada urusan penting lain?" tanya
Beng-hiong. "Ah, sebenarnya juga bukan urusan penting, hanya saja, ai,
rada rikuh untuk dikatakan. Benar-benar sifat anak kecil adik
perempuanku itu."
Swe Beng-hiong terkejut, cepat ia bertanya, "Apakah.....
Apakah ada perubahan urusan nikah ini?"
"Perubahan sih tidak ada, hanya dia ada beberapa
permohonan kepadamu."
Lega sekali hati Swe Beng-hiong, katanya dengan terbahak,
"Hahaha, asalkan pernikahan ini berjalan lancar, antara suamiistri sendiri, permohonan apa yang tidak bisa kupenuhi?"
"Dia mohon Tjiangkun membuka pintu kota agar rakyat
juga bisa ikut merayakan hari gembira kalian. Selain itu dia
minta sebatang panah kebesaran sebagai ijin jalan untuk
seorang pelayannya yang ingin pulang kampung. Justru
permohonannya yang pertama kukuatirkan akan memberi
kesempatan kepada kaum pengacau untuk menyusup masuk
kota." "Hahaha, hanya urusan kecil begini saja, boleh kau katakan
kepada adik perempuanmu bahwa aku meluluskan semua
permintaannya," kata Swe Beng-hiong dengan tertawa "Soal
keamanan akan kuperintahkan penjagaan diperkeras. Apalagi
setiap saat bila perlu kita dapat menutup lagi pintu gerbang
kota. Hanya saja pelayan yang hendak dipulangkan oleh
adikmu itu kukira perlu diawasi."
"Pertimbangan Tjiangkun memang tepat," kata Su Pek-to.
"Budak itu sejak kecil sudah dijual kepada keluarga kami,
biasanya tiada sesuatu tingkah-lakunya yang mencurigakan.
Sekarang mendadak dia minta pulang kampung, untuk
amannya kita dapat mengirim seorang mengikuti jejaknya."
Begitulah setelah disepakati, Su Pek-to lantas mohon diri,
langsung ia menuju ke tempat pondokan Le Lam-sing dan Li
tun. Tak terduga setiba di sana kedua orang yang dicari itu
sudah keluar. Menurut pengurus pondokan, katanya habis
makan malam kedua orang itu lantas keluar hendak jalanjalan.
"Aku akan menunggu di sini, lekas kau mengirim orang
pergi mencari mereka," kata Su Pek-to.
Tak terduga meski sudah ditunggu sampai sekian lamanya
tetap tidak nampak Le Lam-sing dan Li Tun pulang ke
pondokan. Orang yang disuruh mencari juga pulang dengan
tangan hampa, katanya tidak menemukan jejak mereka.
Rupanya Su Pek-to mengira Li Tun berdua tidak ada
persiapan apa-apa, padahal mereka sudah memperhitungkan
segala kemungkinan. Saat itu mereka bersembunyi di rumah
seorang teman Li Tun yang sengaja ditanam di kota Sedjiang
sebagai mata-mata.
Hampir tengah malam tetap Li Tun berdua tidak nampak
kembali, tahulah Su Pek-to dirinya sudah tertipu. Tapi apa
boleh buat, terpaksa ia berpesan pada pegawai rumah
pondokan itu untuk mencari lagi ke segenap pelosok kota
Besok paginya Su Ang-ing minta Lengtji (panah kebesaran
tanda ijin jalan) kepada Su Pek-to serta minta disediakan dua
ekor kuda. "Dua ekor kuda untuk apa?" tanya Pek-to.
"Akan kuantar Kin-Yok keluar kota" sahut Ang-ing.
Pek-to mengerut kening, katanya "Besok juga kau akan
menjadi pengantin, mana boleh berkeliaran lagi di luar?"
"Setiap orang tahu aku adalah wanita Kangouw, kenapa
mesti takut keluar rumah?" sahut Ang-ing. "Menurut kau, Swe
Beng-hiong sudah menyanggupi membuka lebar pintu kota
maka aku pun sengaja hendak memeriksa sekeliling kota ingin
kulihat apakah janjinya terlaksana tidak?"
Karena tak bisa mengelak, terpaksa Su Pek-to berkata,
"Baiklah, akan kutemani kau."
"Hm, apakah kau kuatir aku lari" Jika mau lari, juga aku
tidak perlu ikut ke sini," jengek Ang-ing.
Munculnya Su Ang-ing di tengah kota seketika membikin
geger segenap penduduk yang berduyun-duyun keluar hendak
melihat pengantin perempuan. Meski di sekeliling Ang-ing
dijaga oleh pengawal-pengawal, tapi dimana Ang-ing lewat
selalu dikerumuni orang, hanya saja mereka tak dapat
mendekati Su Ang-ing.
Sampai di pintu gerbang timur, benar juga tampak pintu
gerbang terbuka lebar, meski orang yang keluar-masuk tidak
banyak, tapi cukup lancar, kebetulan pada saat itu ada sebuah
kereta kuda hendak masuk kota, di atas kereta menumpang
seorang kakek dan beberapa wanita muda. Prajurit penjaga
segera hendak memeriksa kereta itu, tapi cepat mereka
memberi hormat ketika melihat kedatangan Su Ang-ing.
"Siapakah orang-orang di atas kereta itu?" tanya Ang-ing.
"Satu rombongan pemain sandiwara yang diundang panitia
perayaan," lapor komandan jaga.
"Jika rombongan seniman yang diundang panitia perayaan,
kenapa mesti diperiksa segala" Dari sini dapat dibayangkan
betapa peliknya kalian memeriksa rakyat jelata yang akan
masuk ke kota, lalu apa artinya membuka pintu kota, lebih
baik ditutup saja," omel Ang-ing.
Keruan penjaga-penjaga itu menjadi ketakutan dan mengiakan
berulang-ulang, kesempatan itu segera digunakan
oleh kakek di atas kereta itu untuk melarikan kudanya ke
dalam kota. Wanita-wanita yang bergabung di atas kereta itu
termasuk Ho Djay-hong dan Kongsun Yan, mereka merasa
lega dan bersyukur Peng Ki-yong dan Lian Sing-hou tidak
datang memeriksa sendiri. Sudah tentu mereka tidak tahu
bahwa saat itu Peng Ki-yong sudah binasa dan Lian Sing-hou
sendiri lagi terkurung.
"Kudengar adik perempuan Pangtju Liok-hap-pang ini jauh
berbeda daripada kakaknya, mengapa dia rela kawin dengan
Swe Beng-hiong?" ujar Kongsun Yan dengan suara tertahan.
"Tak perlu mengurus dia, yang akan kita hadapi hanyalah
Swe Beng-hiong," ujar Djay-hong.
"Tapi juga kalau dia mengekor ke pihak sana, besok akan
kupersen dia sebilah pisau terbang," kata Kongsun Yan.
Dalam pada itu di tengah hiruk-pikuk keramaian itu, tibatiba
telinga Su Ang-ing mendengar suara orang berbisik,
"Tangkap ini!"
Kejut dan girang Ang-ing, terasa mendesirnya angin, cepat
ia menangkap sesuatu yang menyambar ke arahnya. Ketika
diremas, kiranya adalah satu gulung kecil kertas.
Kuatir diketahui orang, lekas Ang-ing memasukkan
gulungan kertas itu ke dalam saku. Waktu ia memandang
sekelilingnya, dilihatnya sang kakak sedang bicara dengan
komandan jaga tadi dengan membelakanginya Prajurit-prajurit
yang mengawalnya tetap siap siaga melihat gelagatnya
ternyata tiada seorang pun yang mengetahui kejadian itu.
Tapi Ang-ing sendiri juga tidak menemukan orang yang
menyambitkan gulungan kertas padanya itu.
"Cara menyambit senjata rahasia orang ini benar-benar
maha sakti, jika dia tidak memperingatkan aku lebih dulu,
sungguh sedikitpun aku tidak mengetahui pada zaman ini
siapakah yang memiliki kepandaian setinggi ini?" demikian
Ang-ing membatin. Lebih-lebih cara mengirimkan suara
bisikan tadi, jika tidak memiliki Lwekang yang sempurna,
rasanya tidak mampu mengirimkan gelombang suara yang
khas dari tempat jauh. Seketika perasaan Ang-ing menjadi
bimbang, "Jangan-jangan dia sudah datang?"
Sekeluamya dari pintu kota, Ang-ing lantas menyerahkan
panah kepada Kin-yok, katanya "Perpisahan hari ini sukar
dibayangkan kapan dapat bertemu lagi. Selamat jalan, semoga
cita-citamu tercapai, bahagialah pasangan kalian."
"Harap Siotjita menjadi diri baik-baik, aku pun mendoakan
cita-cita pasangan kalian akan tercapai dan hidup bahagia"
ujar Kin-yok. "Mungkin aku tidak punya rezeki seperti kau," sahut Anging
tersenyum getir.
"Sudahlah, boleh pulang sekarang," sela Su Pek-to yang
mengintil di belakang.
Begitulah Su Ang-ing dan Kin-yok berpisah dengan
mengucurkan air mata. Setiba kembali di kediamannya, Su
Ang-ing menutup pintu kamar dan memeriksa gulungan kertas
itu. Ternyata kertas itu membungkus sebatang jarum perak,
ujung jarum itu tampak kehitam-hitaman. Ketika diteliti, di
atas kertas itu tertulis pula tulisan-tulisan kecil yang berbunyi:
Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku sudah datang, jangan kualir, simpanlah jarum berbisa ini,
mungkin berguna".
Ang-ing mengenali tulisan itu adalah tulisan tangan Kim
Tiok-liu, keruan girangnya tak terkatakan, pikirnya, "Ternyata
benar dia sudah datang, tapi biasanya dia tidak memakai
senjata rahasia berbisa, darimana dia memperoleh jarum
beracun ini" Apa barangkali Le Lam-sing juga sudah datang"
Mungkin mereka berdua sudah bertemu dan jarum ini adalah
pemberian Lam-sing?"
Dugaan Ang-ing hanya betul separoh, Kim Tiok-liu dan Le
Lam-sing memang sudah datang semua, cuma mereka berdua
belum saling bertemu. Jarum itu diperoleh Kim Tiok-liu ketika
dia diserang oleh Ho-toanio di markas Liok-hap-pang di Yang
tjiu. Maksud Kim Tiok-liu dengan menyimpan jarum berbisa itu
adalah hendak membalas dendam kepada Ho-toanio, sekarang
jarum itu kebetulan ada gunanya.
Kembali bercerita tentang Kin-yok. Sekeluamya dari kota, ia
melarikan kudanya dengan cepat, tapi aneh, makin lama
makin lambat lari kuda itu, tidak lama kemudian malahan
mulut kuda berbusa, lalu tidak sanggup melangkah lagi.
Kiranya kuda pemberian Su Pek-to ini memang sengaja
telah diberi obat tertentu. Celakanya saat itu dia berada di
tanah pegunungan sunyi, Kin-yok tidak punya pengalaman
Kangouw, tapi melihat kudanya roboh binasa ia pun sadar
gelagat tidak baik.
Tengah ia bingung, terdengar suara derapan lari kuda
mendatangi, tahu-tahu Tang Tjap-sah-nio menyusul tiba,
cepat Kin-yok berlari ke dalam hutan.
Tapi Tjap-sah-nio lantas membentaknya, "Tidak perlu kau
lari, lekas berhenti!"
"Eh, kiranya Tang-hiangtju adanya, kukira orang jahat
tadi!" ujar Kin-yok dengan lagak takut-takut. "Kebetulan
kedatangan Tang-hiangtju, tolonglah hamba, entah mengapa
mendadak kudaku ini mati."
Selagi Tang Tjap-sah-nio menyiksa Kin-yok untuk
mendapatkan pengakuan isi surat Su Ang-ing, tiba-tiba Kim
Tiok-liu muncul
"Jika kau menurut perintahku, nanti kuberi seekor kuda
padamu," sahut Tang Tjap-sah-nio.
"Tang-hiangtju ada perintah apa?" tanya Kin-yok.
"Serahkan barang yang kau terima dari Siotjia," pinta Tang
Tjap-sah-nio. Segera Kin-yok merogoh keluar segenggam pecahan perak,
katanya, "Ini adalah sangu yang kuterima dari Siotjia. Tidak
jadi soal kalau Tang Tjap-sah-nio mau mengambilnya, tapi aku
akan kapiran di tengah jalan."
"Siapa ingin mengambil uangmu" Ada barang lain tidak,
umpamanya surat?" kata Tang Tjap-sah-nio dengan gusar.
"Surat darimana" Engkau tahu sendiri, di kamar Siotjia toh
tiada alat tulis segala"
"Adakah pesan pribadi Siotjia kepadamu" Lekas katakan!"
Muka Kin-yok menjadi merah, sahutnya dengan tergagap
"Ini.....ini....."
"Ini itu apa" Lekas katakan!" bentak Tang Tjap-sah-nio.
Kin-yok memperlihatkan rasa malu-malu dan berkata
terpaksa, "Siotjia tahu akan pertunanganku dengan kakakmisan,
maka beliau memberi pesan....."
"Hus, siapa tanya urusan pribadimu" Yang kutanya adalah
urusan pribadi Siotjia" bentak Tang Tjap-sah-nio. "Lekas
mengaku, dia menyuruh kau menyampaikan berita kepada
siapa?" "Berita apa" Tidak ada!" sahut Kin-yok.
"Hm, jika tidak, kuhajar kau, tentu kau belum kenal
kelihaianku," jengek Tang Tjap-sah-nio. Segera ia melompat
turun dari kudanya kontan ia menampar tiga-empat kali pipi
Kin-yok. Namun sekuatnya Kin-yok menahan sakit dan tetap tidak
mengaku. "Keras juga tulangmu ya" Sebentar kalau kugeledah dan
ada buktinya tentu akan kusiksa kau," ancam Tang Tjap-sahnio.
Menyusul ia terus menutuk Kin-yok hingga tak bisa
berkutik, lalu menggeledah badannya
Tapi selain uang perak tadi, Kin-yok tidak membawa
barang-barang lain.
"Jika tidak mengaku segera aku membelejeti bajumu
sampai telanjang bulat," jengek Tang Tjap-sah-nio pula.
"Breet," ia trrus menarik baju Kin-yok hingga robek.
"Kau bunuh aku saja, buat apa kau menyiksa diriku?" teriak
Kin-yok. Ia tetap tidak mengaku, tapi sikapnya kelihatan i.ikut.
"Enak saja permintaanmu!" jengek Tjap-sah-nio. "Bret,"
kembali baju rangkap Kin-yok dirobeknya.
Maka menjeritlah Kin-yok, terus jatuh pingsan. Dari dalam
bajunya mendadak terjatuh keluar sehelai saputangan yang
terlipat rajin.
Cepat Tjap-sah-nio menjemput sapu tangan itu, baru saja
hendak dibuka, tiba-tiba terdengar suara mendengingnya
senjata i.ihasia cepat luar biasa senjata rahasia itu menyambar
tiba sehingga Tjap-sah-nio tidak sempat menghindar,
pergelangan tandannya tepat tertimpuk oleh sebutir batu
kecil, saputangan tadi kembali jatuh ke tanah. Dalam pada itu
secepat angin sesosok tayangan orang menubruk tiba.
Sungguh kejut Tjap-sah-nio tak terkatakan, waktu ia
mengungkai kepak, tahu-tahu bayangan orang itu sudah
berada di depannya siapa lagi kalau bukan musuh
kebuyutannya, Kim 1 iok-liu.
Kiranya Kim Tiok-liu sudah menyusup ke Sedjiang, setelah
melemparkan gulungan kertas ke Ang-ing, mestinya
bermaksud kembali ke pondokannya tapi tiba-tiba terpikir
olehnya "Sedemikian serius Ang-ing mengantar keberangkatan
seorang l>el
rdikit terlambat, tapi masih keburu.
Tjap-sah-nio sudah mengenal kepandaian Kim Tiok-liu mg
lebih tinggi dari dia, tiada pilihan lain, terpaksa ia nekad
bertempur mati-matian.
Di tengah berkebatnya sinar pedang dan bayangan
cambuk, sekonyong-konyong terdengar suara "sret" pelahan,
ikat pinggang Tjap-sah-nio putus terpotong pedang Kim Tiokliu.
"Anak jadah, berani kau menggoda aku!" maki Tjap-sah-nio
dengan muka merah.
"Hehe, jangan kau salah paham," sahut Kim Tiok-liu
dengan tertawa. "Biarpun aku laki-laki, juga tidak sudi
mengincar perempuan setengah tua macam kau. Soalnya kau
ahli membe-lejeti pakaian orang lain, maka hanya dengan
menggunakan caramu untuk dikerjakan atas dirimu saja, lain
tidak!" Sungguh murka Tjap-sah-nio tidak kepalang, tapi sebelum
dia mencaci-maki, tahu-tahu Kim Tiok-liu sudah menubruk
maju lagi, jarinya sebagai kaitan tajam terus mencengkeram
tulang pundaknya.
Lekas Tjap-sah-nio mengegos, cambuknya lantas
menyabet. Tapi dengan cepat luar biasa, pada saat itulah jari
Kim Tiok-liu sempat menjepit leher baju lawannya terus
ditarik, "bret" tanpa ampun baju luar Tjap-sah-nio tertanggal.
Tjap-sah-nio juga cukup lihai, sikutnya menyodok, tapi Kim
Tiok-liu keburu meloncat ke atas sehingga cambuk lawan
menyambar lewat di bawah kakinya.
"Kau telah merobek pakaian orang dan tidak mau memberi
ganti rugi, aku hanya menuntut keadilan saja, jangan
menyeleweng pikiranmu," seru Kim Tiok-liu dengan tertawa
sesudah berdiri tegak kembali. Berbareng itu ia terus berlari ke
samping Kin-yok, ia membuka Hiat-to yang tertutuk dan
berkata padanya, "Perawakan Tjap-sah-nio hampir sama
dengan kau, bajunya ini mungkin cocok bagimu."
Tanpa pikir lagi Kin-yok lantas memakai baju luar yang
ditarik Kim Tiok-liu dari badan Tjap-sah-nio tadi. Dengan
gembira ia berkata, "Kim-tayhiap, harap kau persen dia
beberapa kali tamparan!"
Tjap-sah-nio menjadi gusar, "Kurangajar! Biar kubinasakan
budak ini!" berbareng ia terus menghamburkan senjata
rahasia Tapi sekali memutar pedangnya Kim Tiok-liu menyampuk
lemua senjata rahasia yang disambitkan Tang Tjap-sah-nio itu.
"Ilahaha apakah tidak malu seorang Hiangtju hanya berani
kepada kaum lemah" Aku berada di sini, kau bisa berbuat
apa?" katanya Habis berkata ia terus menubruk maju lagi
dengan pedangnya.
Cepat Tjap-sah-nio-memutar cambuknya untuk membela
diri, namun baru dua-tiga kali gebrakan, tahu-tahu sebagian
cambuknya tertabas putus oleh pedang Kim Tiok-liu.
Di bawah kurungan sinar pedang Kim Tiok-liu, hendak
mengadu jiwa juga sukar bagi Tjap-sah-nio. Mendadak rasa
ngeri dirasakan oleh Tang Tjap-sah-nio, dia berharap bisa
lekas mati saja Sekonyong-konyong ia mengacung ujung
pedang pendek ke ulu hati sendiri. Tak terduga hendak
membunuh diripun tidak bisa. Dengan cepat luar biasa Kim
Tiok-liu menubruk maju terus merampas senjatanya
"Aku ingin mati juga kau intangi?" teriak Tjap-sah-nio.
"Tidak perlu mati!" sahut Tiok-liu tertawa. Sekali jarinya
mcnyentik, dengan tepat Koan-goan-hiat di tengah telapak
tangan tertutuk, cambuk terlepas dari cekalan, sekujur badan
Tjap-sah-nio terasa lemas dan tidak bisa berkutik lagi.
"Kau bukan biangnya penjahat, maka dosamu tidak sampai
dihukum mati," ujar Kim Tiok-liu. "Tapi kau ikut berbuat
sewenang-wenang, hukuman badan tak bisa diampuni."
Begitulah ia terus menampar muka Tjap-sah-nio beberapa
kali, lalu ia berpaling dan bertanya pada Kin-yok, "Nah, apa
sudah cukup?"
Kin-yok tertawa gembira katanya kemudian, "Sudahlah
cukup, Kim-tayhiap. Siotjia ada pesan suruh aku
menyampaikan padamu."
Lebih dulu Kim Tiok-liu melemparkan Tjap-sah-nio ke
tengah semak-semak rumput. Hiat-to yang ditanaknya itu baru
bisa terbuka sendiri dalam 12 jam kemudian. Ketika ia
berpaling, dilihatnya Kin-yok menjemput saputangan tadi.
"Apakah Siotjia yang menyuruh kau keluar kota mencari
aku?" tanya Tiok-liu.
"Benar," sahut Kin-yok. "Siotjia menyuruh aku mencari kau
dengan minta bantuan Kay-pang, tak terduga di sini sudah
lantas bertemu engkau."
"Di dalam kota tadi aku sudah melihat dia, malahan aku
sempat melempar secarik surat kepadanya cuma sayang tidak
sempat bicara," kata Tiok-liu.
"Wah, sangat kebetulan jika demikian, aku pun
membawakan surat Siotjia untukmu," tutur Kin-yok.
"O, dimanakah suratnya?" tanya Tiok-liu.
Kin-yok mengangsurkan saputangan tadi kepada Tiok-liu
katanya "Tertulis di atas saputangan ini. Siotjia memang
menduga engkau mungkin sudah berada di Sedjiang, maka
hari ini beliau sengaja memakai alasan mengantar diriku,
tujuannya hendak keliling kota Cuma beliau juga kuatir
engkau tidak datang, maka telah disiapkan surat di atas
saputangan ini."
Tiok-liu sangat terharu akan cara mengatur Su Ang-ing
yang rapi itu. Segera ia membentang saputangan itu, ternyata
penuh tertulis huruf kecil merah, agaknya ditulis dengan
menggunakan kuku dicelup pada gincu. Saputangan itu masih
berbau harum. Isi surat terbagi dua bagian, yang pertama Su Ang-ing
mengutarakan isi hatinya lebih dulu ia menjelaskan apa
sebabnya 'menikah' dengan Swe Beng-hiong, tujuannya tiada
lain hanya ingin membunuh panglima kerajaan yang lalim itu
dan bukan rela menjual diri padanya akhirnya dirinya sudah
bertekad untuk mati. Bagian kedua Ang-ing menyatakan rasa
cintanya kepada Kim Tiok-liu, meski masing-masing belum
mengemukakan perasaan, tapi ia percaya kedua orang
mempunyai pikiran yang sama Hanya dikuatirkan tekadnya
membunuh Swe Beng-hiong, maka perjodohan mereka hanya
akan buyar seperti cermin rembulan di permukaan air saja.
Surat itu tertulis dengan penuh mesra dan penuh perasaan,
terutama pada bagian-bagian yang pernah menimbulkan salah
paham Kim Tiok-liu dahulu. Saking terharu, Kim Tiok-liu
menyesali diri sendiri pula yang tolol karena tidak memahami
perasaan si nona tak tertahan lagi air mata Tiok-liu berlinang.
Dalam keadaan biasa rasanya Ang-ing tidak mungkin
mengutarakan isi perasaannya secara begitu berani dan blakblakan
kepada Kim Tiok-liu, hanya pada saat ia sudah
bertekad akan mati barulah berani ditulisnya.
"Kim-tayhiap, kenapa kau menangis" Apa gunanya
menangis" Kau harus berdaya menolong Siotjia itulah jalan
satu-satunya yang tepat!" seru Kin-yok.
Tiok-liu tersadar, katanya, "Benar, aku harus cepat kembali
ke sana dan berdaya menolong Siotjiamu, kau pun harus lekas
berangkat!"
Kuda Kin-yok sudah mati, untung masih ada kuda
tunggangan Tjap-sah-nio tadi, maka Kin-yok lantas berangkat
dengan kuda baru itu.
Kim Tiok-liu menyimpan baik-baik saputangan yang penuh
arti itu. Di dalam kegirangannya tiba-tiba timbul suatu pikiran,
"Sedemikian cinta Ang-ing padaku, tapi belum tentu Le Lamsing
Toako mengetahui hal ini. Dalam pikiran Le Lam-sing
Toako mungkin menganggap persahabatan Ang-ing sebagai
curahan perasaan cinta."
Dari tulisan di saputangan tadi salah paham Kim Tiok-liu di
waktu lampau menjadi lenyap semua Ia tahu perasaan Anging
terhadap Le Lam-sing adalah persahabatan murni, maka
tentang 'perkawinan' tempo hari, tanpa penjelasan juga Kim
Tiok-liu paham isi hati Ang-ing.
Teringat kepada 'pernikahan' itu, betapapun hal mana
masih mengganjal di dalam hati Kim Tiok-liu. Bukti sudah
menunjukkan bahwa kejadian itu hanya jebakan Su Pek-to
untuk menipu Le Lam-sing, sebabnya Ang-ing pura-pura
menyanggupi pernikahan itu juga karena nona itu
menganggap Le Lam-sing Toako adalah sahabatku, tujuannya
agar punya bala bantuan untuk menghadapi kakaknya. Tapi
malam itu baru saja mereka masuk kamar pengantin, serentak
juga terjadi pertempuran, entah Ang-ing sempat menjelaskan
duduknya perkara kepada Le-toako atau belum. Le-toako
sudah menjalankan upacara nikah, resminya Ang-ing adalah
Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
istrinya, mana boleh aku merebutnya lagi. Seumpama nanti
dapat memberi penjelasan kepada Le-toako, tapi cara
bagaimana aku harus bicara" Ai, hal ini tidak hanya akan
membikin malu Le-toako, bahkan akan melukai hatinya.
Begitulah Kim Tiok-liu berpikir. Ia tidak tahu bahwa yang
melakukan upacara nikah tempo hari bukanlah Ang-ing sendiri
melainkan seorang pelayannya, ha) itu telah diketahui semua
oleh Le Lam-sing, bahkan karena merasa malu mencintai
kekasih saudara angkatnya, maka saat itu Lam-sing menyusul
ke Se-djiang dan ingin mencari Kim Tiok-liu untuk menjelaskan
urusan ini. Cuma sayang, meski diketahui Kim Tiok-liu sudah
berada di Sedjiang, tapi sukar untuk mencarinya.
Malam itu, Le Lam-sing dan Li Tun sengaja meninggalkan
pondoknya dan tinggal di rumah seorang teman Li Tun. Orang
itu bernama Kwan Tay-Iun, dia bekerja dalam istana Swe
Beng-hiong dan melakukan tugas mata-mata bagi pihak
pemberontak. Lantaran dia punya jabatan tertentu di dalam
istana Tjiangkun, maka penggeledahan besar-besaran pada
malam harinya itu dapat terhindar, Le Lam-sing dan Li Tun
dapat bersembunyi dengan aman di rumahnya.
Tentang pengantin perempuan memperlihatkan diri di
tengah kota telah membikin gempar seluruh kota, hal ini juga
didengar Le Lam-sing dan Li Tun. Menurut dugaan Le Lamsing,
mungkin sekali Kim Tiok-liu akan muncul di tempat yang
dilalui Ang-ing, cuma sayang ia sendiri tidak dapat keluar.
Menjelang lohor K wan Tay-lun kembali dengan membawa
suatu berita, katanya, "Li-toako, kau jangan kuatir lagi, Toaso
(ipar, maksudnya Ho Djay-hong, istri Li Tun) sudah masuk
kota dengan selamat. Dia masuk kota dengan mencampurkan
diri bersama rombongan pengamen. Waktu masuk kota,
kebetulan bertemu dengan Su Ang-ing sehingga mereka
terhindar dari pemeriksaan. Selain dia ada lagi seorang yang
ikut menyusup masuk kota. Coba Li-toako terka dia" Kukira
kau tak akan bisa menerkanya!"
Li Tun sangat senang mendengar kabar istrinya telah
masuk kota dengan selamat, katanya dengan tertawa, "Orang
yang ikut datang bersama dia tentu juga kaum wanita apakah
Tiok Djing-hoa, puteri Tiok Siang-hu."
"Bukan, tapi Kongsun Yan, puteri Kongsung Hong,
gembong Ang-eng-hwe," tutur Kwan Tay-lun. "Hahaha, di luar
dugaan bukan?"
"Sungguh di luar dugaan," sahut Li Tun terkejut girang.
"Apakah Kongsun Hong juga datang ke Thay-liang-san sini?"
"Kurang jelas," sahut Tay-lun. "Tapi kedatangan anak
perempuannya ke sini tentu akan membikin Su Pek-to berpikir
dua kali."
Maklumlah bahwa Ang-eng-hwe adalah organisasi besar
yang pengaruhnya tidak di bawah Liok-hap-pang, kalau putri
Kongsun Hong sampai ikut tampil ke muka membantu pihak
pemberontak, mau tak mau Su Pek-to mesti hati-hati pada
setiap langkahnya.
"Orang kita sudah mengadakan kontak dengan rombongan
pengamen, Toaso juga tahu engkau berada di sini," tutun
Kwan I ay-tun pula. "Cuma untuk keamanan, kuminta dia
jangan dalang ke sini menjenguk engkau. Tentunya kau tidak
marah bu-kun?"
"Ah, sudah seharusnya begitu, jangan Kwan-toako
menggoda aku," sahut Li Tun tertawa.
"Entah mengapa mereka pun mengetahui kedatangan Leloako
ini," kata Kwan Tay-lun. "Tapi orang kita yang kontak
dengan mereka tidak tahu kalau Le-toako tinggal di sini, maka
mereka malah meminta bantuan orang kita mencarikan kabar
di-mana beradanya Le-toako."
"Aneh, istriku belum pernah kenal Le-toako, darimana dia
mengetahui akan dirinya?" ujar Li Tim heran.
"Kongsun Yan datang dari Thay-Jiang-san, mungkin dia
yang memberitahu," kata Lam-sing.
"Katanya Kongsun-siotjia itu berulang-ulang menanyakan
dirimu, apakah perlu diberitahu bahwa kau berada di sini?"
tanya Tay-lun dengan tertawa.
"Kukira tidak perlulah," ujar Lam-sing.
"Ya, rombongan mereka tentunya juga di bawah
pengawasan, sebaiknya orang kita jangan terlalu sering
berhubungan dengan mereka," ujar Li Tun.
Setelah mengetahui Kongsun Yan juga datang ke Sedjiang,
perasaan Lam-sing menjadi tidak tenteram, semalaman itu ia
tidak dapat pulas, pikirnya, "Kedatangannya ini tentu di luar
tahu Tiok Siang-hu dan tujuannya hendak mencari aku. Ai,
tidak disangka sedemikian perhatiannya padaku dan rela
menghadapi bahaya. Cuma sayang, mungkin aku harus
mengecewakan maksud baiknya."
Walaupun begitu pikirannya, tapi begitu Lam-sing
mengatupkan mata, seketika bayangan Kongsun Yan yang
menyenangkan itu lantas timbul dalam benaknya
Esok paginya tiba 'hari bahagia' Swe Beng-hiong yang akan
kawin, upacara ditetapkan berlangsung siang hari. Li Tun dan
Lam-sing menyamar sebagai pengiring Kwan Tay-lun dan ikut
masuk ke dalam istana Tjiangkun.
Di dalam istana Tjiangkun sudah penuh dengan tamu, di
luar ruangan upacara adalah pekarangan yang luas, di sebelah
sana ada sebuah panggung sandiwara, sebelah lain ada
pemain musik, ada lagi sebuah panggung pemain akrobat dan
tontonan lain-lain. Di taman bunga sana juga ada macammacam
tontonan. Orang-orang yang merasa tidak diundang,
masuk ruangan upacara terpaksa berjubel di pekarangan luar
untuk menonton keramaian di situ.
Setelah berdesakan sampai di pekarangan situ, Kwan Taylun
melihat banyak sekali pengawal berpakaian preman
tersebar mengawasi orang-orang yang berlalu-lalang, yang
lebih mengejutkan adalah di pintu masuk ruangan upacara
dijaga oleh para Hiangtju dari Liok-hap-pang. Jelas kelihatan
Tang Tjap-sah-nio, dan di sampingnya berdiri Djing-hu Todjin
serta Wan-hay Hwe-sio. Dengan tatapan tajam mereka sedang
mengawasi gerak-gerik tamu yang masuk keluar.
Le Lam-sing ikut berdesakan dengan orang banyak dan
sampai di samping undak-undakan, didengarnya Wan-hay
Hwe-sio sedang berkata "Mana itu keparat Kim Tiok-liu,
biarpun menjadi abu juga kukenal dia. Kalau dia berani
datang, jiwaku melayang juga akan kubalaskan sakit hatimu
kemarin." "Apa yang kau teriakkan?" omel Tang Tjap-sah-nio.
"Apakah kau sengaja hendak membikin malu diriku" Hm,
kukuatir keparat itu takkan datang."
Seperti diketahui, kemarin Tjap-sah-nio terhiruk oleh Kim
Tiok-liu dan dilemparkan ke tengah semak-semak, mestinya
12 jam kemudian baru Hiat-to yang terhiruk akan terbuka
sendiri. Untung Su Pek-to lantas mengirim Djing-hu Todjin dan
Wan-hay untuk mencarinya lantaran sampai lama sekali Tjapsahnio masih belum kembali, di semak belukar itulah Tjapsahnio di-ketemukan, tentu saja Tjap-sah-nio sangat dendam
kepada Kim Tiok-liu. Swe Beng-hiong juga terkejut ketika
mendapat laporan kedatangan Kim Tiok-liu, makanya ia
memperketat penjagaan istananya.
Karena penjagaan Tjap-sah-nio dan teman-temannya yang
ketat itu, Li Tun dan Lam-sing tidak berani mendekat.
Terpaksa mereka mengurungkan maksud untuk masuk ke
ruangan upacara dan mencampurkan diri di antara orang
banyak, pura-pura menonton keramaian.
Diam-diam Le Lam-sing bergirang mengetahui Kim Tiok-liu
sudah datang, ia menduga Tiok-liu juga berada di pelataran
luar situ, maka cincin kemala pemberian Kim Tiok-liu itu lantas
dipakainya dengan harapan Kim Tiok-liu akan mengenalinya.
Ia mencoba mengawasi orang-orang di sekitarnya, tapi
sebegitu jauh tiada seorang pun yang dirasa mirip Kim Tiokliu.
Kecewalah Lam-sing, ia heran mengapa saudara
angkatnya itu tidak kelihatan.
Sementara itu rombongan sandiwara mulai main, Ho Djayhong
sedang menembang membawakan perannya di atas
panggung. Li Tun mendesak ke depan panggung. Karena tidak
menemukan Kim Tiok-liu, terpaksa Lam-sing juga ikut
mendengarkan lakon sandiwara itu. Dilihatnya Kongsun Yan
juga menyamar sebagai anggota rombongan sandiwara itu,
cuma sepasang matanya yang besar itu mudah untuk dikenal.
Baru saja Lam-sing memikirkan suatu akal untuk menyapa
Kongsun Yan, tiba-tiba terdengar suara musik bergema disusul
letusan mercon yang riuh. Kiranya joli pengantin perempuan
sudah tiba. Su Pek-to tampak mengantar joli adik perempuannya
dengan berjalan di belakang, para tamu di pekarangan luar
lantas memberi jalan. Ketika joli diturunkan, Su Pek-to
menuntun adik perempuannya keluar, lalu pengantin
perempuan disongsong ke dalam ruangan upacara oleh
seorang pengiring dan seorang budak, yaitu Bo-tan yang setia.
Di waktu Su Ang-ing melangkah ke atas undak-undakan
pendopo dan mau masuk ruangan upacara, baik Kongsun Yan
dan Ho Djay-hong, maupun Le Lam-sing dan Li Tun,
semuanya menjadi gelisah. Mereka bermaksud membantu
Ang-ing membunuh Swe Beng-hiong, tapi hakikatnya mereka
tidak diberi kesempatan mendekati sasarannya, terpaksa
hanya menyaksikan Su Ang-ing memasuki ruangan dalam.
Sudah tentu yang paling gelisah adalah Le Lam-sing,
kedatangannya itu sudah bertekad akan mengorbankan jiwa
sendiri untuk menolong Su Ang-ing sekadar menebus
kesalahannya. Tapi apa daya, Tjap-sah-nio dan kawankawannya
menjaga ketat di depan pintu, Su Ang-ing diawasi
pula oleh Su Pek-to, tanpa Kim Tiok-liu, seorang diri tentu tak
mampu berbuat banyak.
Dalam pada itu terdengar musik upacara sudah bergema.
Lam-sing bertambah gelisah, menuruti wataknya, sungguh ia
ingin menyerbu ke dalam dengan segala akibatnya. Syukur Li
Tun lantas menahannya dan berkata, "Sabarlah, bertindak
menurut gelagat saja nanti."
Pada saat itu tiba-tiba ada tiga orang mendatangi
panggung sandiwara itu. Saat mana Ho Djay-hong masih
menembang di atas panggung, ketiga orang itu masingmasing
adalah An Tjun-ting, kepala rumah tangga istana
Tjiangkun, yang kedua Lian Sing-hou dan yang ketiga ialah
Ho-toanio. Kejut Li Tun tak terkatakan melihat kedatangan mereka,
Lian Sing-hou mestinya sudah berada dalam cengkeramannya,
tapi sekarang datang bersama An Tjun-ting tentu saja
gelagatnya tidak enak. Cepat Li Tun menjawil Lam-sing,
mereka lantas menguntit di belakang Lian Sing-hou bertiga.
Belum Ho Djay-hong menghabiskan tembangnya mendadak
An Tjun-ting membentak, "Berhenti!"
Keruan pemimpin rombongan pengamen itu terkejut dan
cepat maju minta ampun, sebab disangkanya tembang Ho
Djay-hong itu tidak memenuhi selera pendengarnya.
Kiranya Lian Sing-hou itu takut mati, di bawah desakan Su
Pek-to dan An Tjun-ting, terpaksa ia mengaku terus terang
apa yang terjadi atas dirinya serta tentang Li Tun dan Le Lamsing,
B melaporkan pula rombongan sandiwara yang
mencurigakan dan dijumpainya tempo hari itu. Memangnya An
Tjun-ting sedang mencari jejak musuh, mendapat keterangan
itu, segera mereka mendatangi rombongan Ho Djay-hong.
Karena bentakan tadi, Ho Djay-hong pura-pura malu dan
berhenti menabuh kendang, katanya "Barangkali tembangku
tidak baik, mohon Taydjin memaafkan." Sekarang ia pun
sudah melihat Li Tun dan Le Lam-sing di tengah orang
banyak, maka ia harus bersikap tenang dan mengulur waktu
agar Lam-sing berdua dapat mendekat.
Namun Lian Sing-hou sudah lantas berkata dengan
tertawa, "Nona Ho, kau tidak perlu main sandiwara lagi,
kedokmu sudah terbuka. Hehe, lebih baik kau ikut kami masuk
ke sana untuk menerima persen saja"
"Eh, Lok-lothau," kata An Tjun-ting kepada pemimpin
rombongan sandiwara tadi. "Anggota rombongan tampaknya
banyak juga nona-nona cantik, terutama yang itu. Suruhlah
dia ikut kemari untuk menerima hadiah!" Berbareng ia
menuding, ternyata yang dimaksudkan adalah Kongsun Yan.
Kiranya An Tjun-ting juga seorang jago silat ulung, bahwa
di tubuh Kongsun Yan tersimpan senjata tajam, sekali
pandang saja diketahui olehnya.
Dasar watak Kongsun Yan memang tidak sabaran, seketika
ia lantas melolos senjata terus menubruk ke bawah. Terpaksa
Ho Djay-hong juga ikut turun tangan, katanya dengan
mendengus, "Lian Sing-hou Taydjin, kau ingin hadiah, biarlah
aku yang memberi!" Berbareng ia terus menyambitkan
pemukul kendang kecil itu. Pemukul kendang ini tampaknya
terbuat dari kayu, tapi sebenarnya adalah baja yang dicat, ini
adalah senjata rahasia khas milik Ho Djay-hong.
Sebelum Kongsun Yan menginjak tanah, di pihak lain Hotoanio
juga sudah bertindak, sekaligus ia menyambitkan tiga
buah Tok-tjit-le, pelor berduri dan berbisa senjata rahasia ini
cukup berat bobotnya. Ho-toanio menduga betapa tinggi
Ginkang si nona juga sukar menghindari serangan tiga pelor
berduri itu, paling tidak satu di antaranya pasti kena
sasarannya. Tak terduga belalang menangkap tonggeret, dia sendiri
diincar oleh burung gelatik. Pada saat senjata rahasianya
menyambar ke arah musuh, mendadak terdengar suara
gertakan orang yang menggelegar. Menyusul cahaya putih
berkelebat, Le Lam-sing tahu-tahu melayang tiba sambil
memutar Hian-tiat-po-kiam. Maka terdengarlah suara
mendering nyaring memekak telinga tiga buah Tok-tjh-le yang
disarnbitkan Ho-toanio tadi tertabas pecah menjadi enam
buah dan mucrat ke segala penjuru, keruan para tamu sama
menjerit kaget dan beramai-ramai lari menyingkir.
"Le-toako, kau kiranya" seru Kongsun Yan demi mengenali
Lam-sing. Di sebelah sini Lam-sing berhasil menggagalkan serangan
Ho-toanio, di sebelah sana alat pemukul kendang yang ditimpukkan
Ho Djay-hong tadi juga disampuk jatuh oleh An Tjunting.
Sebagai kepala rumah tangga istana Swe Beng-hiong,
sudah tentu ilmu silatnya tidak lemah. Habis mencambuk jatuh
alat pemukul kendang Ho Djay-hong, menyusul ia terus
mencengkeram, yang dia mainkan ternyata Tay-lik-eng-djiaukang,
cengkeraman cakar elang bertenaga raksasa yang lihai.
"Robohlah kau!" tiba-tiba terdengar bentakan Li Tun.
Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebelum cengkeraman An Tjun-ting mencapai sasarannya,
tiba-tiba angin bersiur dari belakang disertai bau amis,
ternyata jarum berbisa yang disarnbitkan Li Tun sudah
menyebar di dekat punggungnya.
Keruan An Tjun-ting terkejut, cepat ia menggunakan
gerakan 'Hui-go-tjiong-siau' atau burung dara terbang ke
langit, ia meloncat sekuatnya sehingga tiga buah jarum
berbisa menyambar lewat di bawah kakinya, karena itu pula ia
pun tidak berhasil mencengkeram Ho Djay-hong.
Ginkang Ho Djay-hong juga lumayan, ia terus melompat ke
sebelah sana, pedang dilolos, Lian Sing-hou lantas ditusuk.
Karena sudah dua hari terkena racun, percuma saja Lian
Sing-hou memiliki ilmu silat tinggi, tapi tak bisa digunakan
karena tak bertenaga lagi. Ia menghela napas putus asa
menghadapi serangan Ho Djay-hong itu, katanya,
"Memangnya aku tidak ingin hidup lagi, bolehlah kau bunuh
aku!" Begitulah tanpa melawan ia menerima ajalnya.
Tetapi sebelum Ho Djay-hong menamatkan riwayat Lian
Sing-hou, tiba-tiba An Tjun-ting sudah menyusul tiba goloknya
membacok dari belakang. Terpaksa Ho Djay-hong memutar
balik pedangnya untuk menangkis.
Li Tun lantas mendekati Lian Sing-hou dan menepuk
bahunya, ejeknya, "Lian Sing-hou Taydjin, baik benar kau
terhadap kawan. Karena kau lebih mengutamakan kedudukan,
terpaksa aku tak bisa memberikan obat pemunahnya. Tapi
aku pun tidak ingin membunuh kau, boleh kau pergi untuk
menyesali dosamu saja."
Lalu Li Tun melolos pedang, bersama Ho Djay-hong mereka
bertempur bahu membahu, dengan rasa malu dan menyesal
pula terpaksa Lian Sing-hou menyingkir pergi.
"Bagus, bocah she Le!" terdengar Ho-toanio berteriak pula.
"Kiranya kau belum mampus, baiklah sekarang akan
kusempurnakan kalian untuk menjadi pasangan sehidup
semati." "Awas, cakar perempuan siluman ini berbisa!" seru Lamsing.
Dalam pada itu dengan cepat sekali cengkeraman Hotoanio
sudah menyambar ke punggung Kongsun Yan. Tapi
dengan amat gesit dapatlah nona itu mengegos ke samping.
"Hari ini harus kupotong cakarmu yang jahat itu!" kata
Lam-sing dengan gusar, segera ia memutar kencang Hian-tiatpokiam.
Tahu akan lihainya pedang wasiat itu, maka Hotoanio
tak berani sembrono. Segera juga pengawal-pengawal
berpakaian preman yang bercampur di antara tamu-tamu tadi
lantas melolos senjata dan merubung maju membantu Hotoanio.
"Ini, agar kalian kenal kelihaian nonamu," bentak Kongsun
Yan, sekonyong-konyong bayangan orang berkelebat kian
kemari disertai gemerlap sinar pedang. Ia mengeluarkan
Ginkangnya yang khas sehingga mirip kupu-kupu menari, ia
menyusur ke sana kemari di antara orang banyak, suara
nyaring benturan senjata berjangkit berulang-ulang diseling
suara jeritan dan mengaduh. Hanya sekejap saja senjata para
pengawal bertebaran di lantai. Kiranya dengan ilmu pedang
kilat, urat nadi pergelangan tangan setiap pengawal itu kena
tusukan Kongsun Yan, sedi-kitpun mereka tidak sempat
menangkis. Saking semangatnya bertempur, Kongsun Yan terus
membentak pula "Perempuan siluman, kau pun rasakan
pedangku!" berbareng Ho-toanio lantas ditusuknya
Tapi tiba-tiba angin kuat menyambar, seorang laki-laki
tegap tahu-tahu menyelinap di tengah-tengah mereka, sekali
pegang, tahu-tahu pedang Kongsun Yan kena dirampas
olehnya. Orang ini adalah The Hiong-toh, bandit besar daerah utara
yang terkenal, semula ia dibeli oleh Sat Hok-ting, waktu Swe
Beng-hiong menghadiri pesta ulang tahun Sat Hok-ting,
melihat ilmu silat The Hiong-toh cukup tinggi, maka dia
diundang pula ke Sedjiang untuk diangkat menjadi pelatih
pasukan pengawal.
Walaupun berhasil merampas pedang Kongsun Yan, namun
pergelangan tangan The Hiong-toh tidak urung tertusuk
pedang si nona, hanya tidak kena urat nadinya, maka tidak
berbahaya. Melihat ada kesempatan baik, segera dua pengawal
menubruk maju dan menusuk berbareng ke tubuh Kongsun
Yan, melihat keadaan bahaya si nona Lam-sing sampai
menjerit kuati r. Tapi dia terhalang oleh Ho-toanio sehingga
tidak mampu menerjang ke sara.
"Jangan kuatir, biar mereka pun kenal kepandaianku
merebut pedang!"seru Kongsun Yan tertawa. Dua pengawal
yang sedang menusuk tadi mendadak merasa tangan mereka
menjadi enteng, pedang mereka terlepas dari cekalan
berbareng. Dengan kepandaian khas, Kongsun Yan benarbenar
telah merampas pedang kedua lawan, bahkan caranya
lebih cekatan daripada cara The Hiong-toh merebut
pedangnya tadi.
"Satu tukar dua aku lebih untung malah?" kata Kongsun
Yan dengan tertawa sambil mengacungkan kedua pedang
rampasannya Menyusui ia bergerak lagi, cepat ia mencegat di
hadapan The Hiong-toh.
"Lepas pedang!" The Hiong-toh bermaksud menggunakan
cara tadi buat merebut pedang. Akan tetapi mendadak pedang
di tangan kiri Kongsun Yan membalik ke belakang secepat
kilat, maka terdengarlah suara mengaduh dan jeritan dua kali,
dua pengawal di belakang Kongsun Yan tertusuk roboh.
Serangan kilat yang disebut 'Seng-tong-kik-se' atau suara di
timur yang diserang barat, benar-benar tak terduga oleh siapa
pun, bahkan cara bagaimana Kongsun Yan merobohkan kedua
pengawal itu tidak diketahui orang.
Keruan The Hiong-toh terkesiap, pukulannya tadi luput,
sebaliknya dua teman sendiri yang roboh, baru sekarang ia
tahu ilmu pedang si nona ternyata jauh di atas penilaiannya ia
tidak berani memandang enteng lawan lagi.
"Nah, sekarang giliranmu, jika mampu boleh coba rebut lagi
pedang ini!" demikian Kongsun Yan mengejek. Sedikit
menggeser, pedang lantas bergerak. Sebelum The Hiong-toh
sempat melancarkan pukulan Thi-sah-tjiang yang dahsyat,
tahu-tahu pundaknya terasa sakit, ternyata sudah terkena
pedang Kongsun Yan.
Sebenarnya ilmu pedang Kongsun Yan memang tak bisa di
atasi oleh The Hiong-toh, soalnya tadi si nona tidak mau
banyak menimbulkan korban jiwa maka yang ditusuk adalah
perge-langan tangan, tak terduga kepandaian The Hiong-toh
jauh lebih tinggi daripada para pengawal biasa lantaran salah
perhitungan itulah pedang Kongsun Yan kena direbut oleh The
Hiong-toh. Sekarang si nona sudah bersiap-siap, serangannya
cepat dan ganas pula tentu saja The Hiong-toh mati kutu,
bukan saja tidak mampu merebut pedang lagi, sebaliknya
hendak menyelamatkan diri saja sukar.
Setelah terluka The Hiong-toh menjadi nekat "Budak liar,
biarlah aku mengadu jiwa padamu!" teriaknya murka Dengan
pukulan 'pasir besi' yang dahsyat ia pikir biarpun tertusuk
pedang lagi juga akan menghantam mati si nona
Tak terduga gerak tubuh Kongsun Yan ternyata sangat
aneh, ketika pukulan The Hiong-toh dilontarkan, ia berbalik
memutar tubuh membelakangi musuh. Selamanya The Hiongtoh
tidak pernah melihat cara berkelahi demikian, ia menjadi
tercengang. Sekejap saja lantas terdengar bentakan Kongsun Yan,
"Kena!"
"Plok-plok" dua kali, menyusul kemudian terdengar suara
"trang" yang nyaring. Telapak tangan kiri The Hiong-toh
tembus tertusuk, telapak tangan kanan tergores luka lantaran
pukulan tangan kanannya lebih dahsyat, maka sebelah pedang
Kongsun Yan juga kena dipukul jatuh.
Kongsun Yan hanya kehilangan sebuah pedang, tapi kedua
telapak tangan The Hiong-toh terluka semua bahkan lebih
parah daripada luka pundaknya tadi. Keruan sakitnya tidak
kepalang, The Hiong-toh mengerang sambil melompat
mundur, tapi terus roboh ke belakang.
Waktu itu Ho-toanio berdiri membelakangi The Hiong-toh,
ketika merasa diseruduk oleh sesosok tubuh, entah kawan
entah lawan, terpaksa Ho-toanio harus membela diri, ia
mencengkeram ke belakang terus ditolak ke samping sambil
membentak, "Pergi!" kontan tubuh The Hiong-toh yang gede
itu terlempar beberapa meter jauhnya
Betapa cepatnya Kongsun Yan, seperti bayangan saja ia
sudah menyusul tiba, "Sret", ia menambahi pula sekali
tusukan, The Hiong-toh masih ingin melawan, kedua
tangannya mengepal, tapi sebelum memukul, tahu-tahu
tangannya menjadi lemas, rubuhnya terkulai binasa.
Kongsun Yan menjadi heran, padahal tusukannya tadi tidak
mengenai tempat yang mematikan, mengapa The Hiong-toh
binasa begitu saja. la tidak tahu cakar Ho-toanio itu berbisa
cengkeramannya tadi tepat mengenai luka di pundak The
Hiong-toh, jadi kematiannya itu adalah lantaran serangan
racun. Di lain pihak, karena cengkeraman dan tolakannya kepada
The Hiong-toh, mau tak mau hal ini rada mengganggu
perhatian Ho-toanio, sedikit merandek itu sudah cukup
memberi kesempatan kepada Le Lam-sing untuk
menyerangnya. Sekali pukul ia membikin Ho-toanio tergentak
mundur, menyusul pedangnya lantas menahas.
Yang diandalkan Ho-toanio adalah cakarnya yang lihai,
mana ia sanggup menahan tebasan Hian-tiat-pokiam. Kedua
tangannya bermaksud memukul, tapi berbalik tertabas kutung.
Segera Kongsun Yan menambahkan satu tusukan lalu tak
mempe-dulikan mati-hidupnya.
"Lekas pergi membantu Li-toako!" seru Lam-sing.
Kongsun Yan mengiakan. Pada saat itulah mendadak
terdengar suara gedebukan yang keras disertai jerit kaget
orang. Kiranya Lian Sing-hou menjadi putus asa melihat Hotoanio
sudah mati, ia membunuh diri dengan membenturkan
kepalanya pada batu.
Para tamu yang berjubel tadi sudah sama ketakutan oleh
pertarungan sengit itu, dalam sekejap saja mereka sudah
berlari pergi semua Maka sekarang pekarangan itu menjadi
luang. Dua jago undangan Su Pek-to, yaitu Ko Tay-sing dari
Djing-liong-pang dan Toh Tay-giap dari Pek-hou-pang, yang
seorang memakai gada bergigi dan yang lain menggunakan
gaetan, berbareng mereka menghadapi Le Lam-sing dan
Kongsun Yan. Pedang Lam-sing lantas menabas, Ko Tay-sing
menganggap tenaga pembawaannya memang luar biasa
kuatnya tanpa pikir ia terus menangkis dengan gadanya. Tak
tersangka "erat", tahu-tahu gadanya terkurung sebagian oleh
Hian-tiat-pokiam, tangan Ko Tay-sing sampai lecet oleh
getaran kedua senjata itu, cepat ia berkelit ke samping,
gadanya masih tetap terpegang kencang olehnya.
Le Lam-sing juga merasa tangannya kesemutan, ia tidak
sempat menyerang lagi, segera ia menyelinap lewat di
samping Ko Tay-sing. Sementara itu Kongsun Yan sempat
juga menusukkan pedangnya.
"Kau juga berani main gila padaku!" teriak Ko Tay-sing
dengan murka. Gadanya terus saja menangkis sekuatnya
dengan maksud membentur jatuh pedang si nona.
Tak tahunya pedang Kongsun Yan seperti melengkung saja
"erat", tahu-tahu bahu kiri Ko Tay-sing tertusuk.
Lekas Toh Tay-giap menubruk maju dengan kedua
gaetannya yang khusus digunakan merebut senjata. Berulangulang
Kongsun Yan menyerang, meski pedangnya tidak
sampai terkunci oleh gaetan Toh Tay-giap, tapi sukar juga
mematahkan lipu serangan lawan.
Sesudah terluka, Ko Tay-sing menjadi semakin kalap,
gadanya diputar sekencang kitiran sehingga membawa deru
angin yang keras. Untuk melukainya lagi terang sulit bagi
Kongsun Yan. Jelek-jelek Ko Tay-sing dan Toh Tay-giap adalah
kepala dari suatu gerombolan ternama, ilmu silat mereka tidak
lemah, dengan gabungan tenaga mereka lambat-laun
Kongsun Yan menjadi kewalahan dan terdesak mundur.
Yang paling tinggi ilmu silatnya di tengah pekarangan itu
adalah An Tjun-ting. Meski Li Tun mengerubutnya bersama Ho
Djay-hong masih terasa kewalahan. Untung Le Lam-sing
keburu datang, kontan Hian-tiat-pokiam menabas dalam
gerakan 'Lik-bik-hou-san' atau membelah Hoa-san sekuat
tenaga. An Tjun-ting terkejut mendengar sambaran senjata tajam
yang kuat, pikirnya "Hebat benar bocah ini, mungkin sukar
melawan dengan tenaga!"
Gesit juga caranya menyambut serangan lawan, lebih dulu
ia menggeser ke samping untuk menghindari serangan Li Tun
dan Ho Djay-hong, berbareng senjatanya Tjhit-tjiat-pian
(ruyung tujuh ruas) berputar pelahan sehingga Hian-tiatpokiam
Le Lam-sing terseret melenceng ke samping. Namun
Hian-tiat-pokiam teramat tajam, meski An Tjun-ting dapat
mematahkan serangan Le Lam-sing itu, tidak urung satu ruas
ruyungnya tertabas putus.
Kini di tengah pekarangan itu sebagian besar jagoan
pengawal sudah terluka yang tidak terluka juga sukar ikut
serta dalam pertempuran. Ketika Le Lam-sing menabas dan
membabat tiga kali lagi, kembali ruyung An Tjun-ting
terkurung dua ruas, ruyung tujuh ruas sekarang tinggal empat
ruas saja. Keruan An Tjun-ting mulai gugup, anehnya pertempuran
sedemikian dahsyatnya di luar situ ternyata tidak
mendapatkan bantuan sedikitpun dari jagoan-jagoan di dalam
ruangan upacara. Melihat gelagat jelek, terpaksa An Tjun-ting
berteriak minta bala bantuan.
Tak terduga pada saat yang sama di ruangan upacara juga
terjadi hiruk-pikuk, berbareng ada orang juga berteriak minta
bala bantuan dari luar, menyusul orang-orang sama berlari
keluar dari dalam ruangan upacara, kiranya adalah para tamu
yang menyelamatkan diri. Jelas di dalam ruangan upacara
juga terjadi kegegeran, bahkan lebih hebat.
Tadi dengan didukung Bo-tan, pelahan-lahan Su Ang-ing
melangkah ke dalam ruangan upacara. Dari balik kerudung
muka dapatlah Su Ang-ing melihat hadirin yang berada di situ,
antara lain Bun To-tjeng, Bun Seng-tiong, Soa Djian-hong dan
lain-lain, bahkan Yang Go, jago Siu-lo-im-sat-kang yang lihai
juga tampak hadir, ditambah lagi kakaknya, yaitu Su Pek-to
beserta ketiga Hiangtjunya. Boleh dikata ruangan upacara
Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penuh dengan tokoh-tokoh ternama.
Diam-diam Su Ang-ing kuatir juga melihat suasana
demikian. Ia tidak menguatirkan dirinya sendiri, sebab ia
sendiri sudah bertekad untuk mati. Yang dia kuatirkan adalah
Kim Tiok-liu. Pemuda itu belum kelihatan, tapi ia yakin Kim
Tiok-liu pasti akan datang. Namun menghadapi jago-jago
sebanyak itu, mungkin sukar bagi Kim Tiok-liu untuk
menyelamatkan diri bila mendadak ia muncul di situ.
Dalam pada itu terdengar pembaca upacara sedang
berteriak, "Upacara dimulai! silakan pengantin laki-laki keluar!"
Maka muncullah Swe Beng-hiong dengan berseri-seri,
tangannya membawa kipas lempit. Menurut adat kebiasaan
setempat, pengantin laki-laki harus menyingkap kerudung
muka pengantin perempuan dengan kipasnya, habis itu
sepasang mempelai lantas sembahyang.
Munculnya pengantin laki-laki, dengan sendirinya Su Pek-to
yang mengantar pengantin perempuan harus menyingkir ke
pinggir, pengantin perempuan hanya diiringi oleh pelayannya
saja. Ketika pengantin laki-laki menjulurkan kipasnya, tiba-tiba
terdengar pengantin perempuan mendengus, menyusul
pengantin laki-laki berseru, "Kau....." Sekonyong-konyong
pengantin perempuan menyingkap kerudungnya sendiri,
tangan kanan sudah memegang sebilah pedang pendek,
tangan kiri memegang cambuk panjang, cambuk menyabet ke
samping, pedang pendek terus menikam ke dada pengantin
laki-laki. Kiranya pada saat Swe Beng-l.iong hendak menyingkap
kerudung mukanya tadi, mendadak Su Ang-ing menancapkan
jarum berbisa yang telah disisipkan di jarinya itu ke bahu Swe
Beng-hiong. Cambuk dan pedang pendek Su Ang-ing itu disembunyikan
di tubuh pelayannya, yaitu Bo-tan. Swe Beng-hiong dan Su
Pek-to hanya memperhatikan Su Ang-ing saja dan tidak
mencurigai pelayan yang ikut di belakangnya itu. Sama sekali
mereka tidak menduga bahwa budak itu berani berkomplot
dengan Su Ang-ing tanpa menghiraukan nyawanya sendiri.
Gerakan Su Ang-ing menyambitkan jarum berbisa,
mengambil cambuk dan pedang dilakukan serentak secepat
kilat. Di tengah jeritan orang banyak, tiba-tiba pedang pendek
Su Ang-ing sudah menikam ke dada Swe Beng-hiong.
Sekalipun di tengah ruangan itu penuh jago terkemuka juga
susah menolongnya.
Sesaat itu semua orang sama menahan napas, mereka
menduga Swe Beng-hiong pasti akan binasa tertikam. Tapi
lantas terdengar suara "Jret" pelahan, Swe Beng-hiong
tampak melompat mundur dan tidak roboh, bahkan dadanya
tidak nampak berdarah.
Rupanya Swe Beng-hiong yang sudah berpengalaman luas,
ilmu silatnya juga tinggi meski sudah terkena jarum berbisa
lebih dulu ia tidak menjadi gugup. Pada detik yang gawat itu
ia tidak sempat melolos senjata untuk menangkis, segera ia
menggunakan kipasnya, kipas itu dibentangkan,
menggunakan tenaga dalam yang tinggi ketika tikaman Su
Ang-ing sampai, kipas itulah yang tertembus, sehingga
tikaman meleset mengenai dadanya.
Hampir berbareng dengan tembusnya kipas Swe Benghiong
itu, terdengarlah suara jeritan dan jatuhnya tubuh
beberapa kali. Kiranya Su Ang-ing menyerang sekaligus
dengan pedang dan cambuk berbareng. Ketika pedang
menikam ke depan, cambuknya juga menyabet ke samping
sehingga beberapa tamu jatuh terkapar dan menjadi
penghalang di tengah Swe Beng-hiong dan Su Ang-ing.
Tamu-tamu yang mendapat kehormatan mengikuti upacara
perkawinan Swe Beng-hiong itu sudah tentu terdiri dari orangorang
kalangan atas, namun Swe Beng-hiong tidak
mempeduli-kan lagi, siapa saja yang merintangi di depannya
terus didorong ke samping.
Dalam pada itu dengan cepat sekali Su Ang-ing sudah
menyapu lagi dua-tiga kali, keruan tamu-tamu yang menjadi
korban bertambah banyak dan bergelimpangan memenuhi
ruangan. Kejut dai gusar Su Pek-to, ia membentak, "Budak liar! Apa
kau mau memberontak, apa kau sudah bosan hidup?"
"Benar, memang aku mau memberontak, aku sudah bosan
hidup!' jengek Su Ang-ing. "Tapi kematianku harus disertai
salah seorang di sini, ialah Swe Beng-hiong yang kau jilat itu."
Swe Beng-hiong berlagak tenang, serunya dengan tertawa,
"Haha, hanya sebuah jarum kecil saja mana mampu membikin
jiwaku melayang, nona Su, lebih baik taruh senjatamu dan
lekas minta maaf kepada para tamuku, segala urusan masih
dapat kita rundingkan."
Yakin pada Lwekangnya sendiri yang tinggi, semula Swe
Beng-hiong memang tidak kuati r terhadap sebuah jarum
berbisa sekecil itu. Tak terduga belum lenyap suaranya, tibatiba
setengah badan terasa kaku, baru sekarang ia sadar
jarum berbisa itu tidak boleh dianggap sepele, cepat ia
mengatur napas dan mengerahkan tenaga untuk melawan
serangan racun, ia tidak berani sembarangan bergerak lagi.
"Swe-tjiangkun, silakan kau masuk dan mengaso dulu,
budak hina ini serahkan kepadaku saja," kata Su Pek-to.
Sambil memutar cambuknya yang tidak pernah berhenti Su
Ang-ing membentak, "Kau berani maju" Jika maju, maka yang
mati bersamaku tidak cuma seorang saja!"
"Hm, kepandaianmu adalah ajaranku, masakah kau berani
main gila padaku?" jengek Pek-to. Berbareng ia terus
memukul dari jauh, angin pukulannya yang dahsyat membikin
cambuk Su Ang-ing tergoncang ke samping, menyusul Su Pekto
lantas menubruk maju.
"Eb, jangan sembrono, Su-pangtju!" teriak seorang ajudan
Swe Beng-hiong.
Rupanya di lantai banyak bergelimpangan tamu-tamu yang
berkedudukan tinggi, jika Su Pek-to jadi berkelahi dengan adik
perempuannya, terang tubuh tamu-tamu tingkat tinggi itulah
yang akan menjadi korban karena terinjak-injak.
"Jangan kuatir!" sahut Su Pek-to. Ia terus melangkah maju,
mendepak berulang-ulang, para tamu yang menggeletak di
lantai itu ditendangnya ke ambang pintu satu persatu.
Anehnya orang-orang yang ditendang itu jatuhnya lantas
berdiri tegak seperti bukan ditendang, tapi diangkat orang
untuk kemudian didirikan secara halus.
Kiranya cara Su Pek-to melontarkan tenaga tendangan
sedemikian bagusnya sehingga tamu-tamu itu sedikitpun tidak
kesakitan. Sebaliknya cambuk Su Ang-ing tergoncang pergi
oleh angin pukulan Su Pek-to, sehingga tidak mampu berbuat
apa-apa. Begitulah para tamu yang diselamatkan itu cepat lari
terbirit-birit, ada beberapa di antaranya saking ketakutan
menjadi lemas dan jatuh terkulai lagi, cepat ajudan Swe Benghiong
tadi memerintahkan pengawal-pengawal memayang
mereka keluar. Dalam sekejap saja ruangan itu sudah bersih
dari tamu-tamu yang mengganggu. Hanya tinggal Bo-tan saja
yang masih berada di sebelah Su Ang-ing.
Gemas sekali Su Pek-to kepada pelayan yang berani
bersekongkol dengan Ang-ing itu, ia membentak, sebelah
kakinya lerus menendang Bo-tan. Cepat Su Ang-ing mengayun
cambuk sekuatnya untuk memaksa Su Pek-to menarik kembali
tendangannya tapi mendadak Su Pek-to menyambut cambuk
itu dengan tangkapan, sedangkan kakinya tetap melayang ke
arah Bo-tan. Tampaknya jiwa si budak tentu akan melayang, Su Ang-ing
tentu juga akan celaka jika cambuknya sampai terpegang,
pada detik yang gawat itulah mendadak terdengar suara
gemuruh yang keras, sesosok tubuh turun dari atas. Siapa lagi
dia kalau bukan Kim Tiok-liu.
Kiranya semalam sesudah Kim Tiok-liu menyusup ke dalam
kota di luar tahu siapa pun juga ia berhasil menyusup ke
dalam istana Swe Beng-hiong dan bersembunyi di balik pigura
besar di tengah ruangan pendopo itu.
Begitulah mendadak Su Pek-to merasa kakinya kesemutan,
rupanya telapak kakinya kena tertimpuk sebuah mata uang
oleh Kim Tiok-liu. Ie memakai sepatu tebal, pula sedang
menendang sekuatnya, jelas sebuah mata uang saja tak bisa
melukainya. Tapi munculnya Kim Tiok-liu secara tiba-tiba mau
tak mau membuat kaget Su Pek-to. Ia tidak tahu serangan
susulan lihai apalagi yang akan dilontarkan Kim Tiok-liu, maka
terpaksa Su Pek-to menarik kembali semua serangannya dan
mengegos ke samping.
Pigura besar tempat sembunyi Kim Tiok-liu tadi juga telah
dihantam jatuh olehnya, keruan pengawal-pengawal yang
berdekatan lekas melompat menyingkir. Ada dua orang yang
rada lamban, kepala mereka menjadi benjol terkena pecahan
kayu pigura itu.
Pada saat Su Pek-to kaget mendadak dan berkelit ke sana,
secepat kilat Kim Tiok-liu melompat maju, Bo-tan dirangkulnya
sambil dibisikinya "Lekas pergi! Aku yang akan membela Siotjiamu!"
Berbareng ia melemparkan dayang itu keluar pintu.
"Bocah keparat, besar amat nyalimu!" bentak Su Pek-to
dengan murka. "Hahaha, aku memang sedang mencari kau untuk
melemaskan otot!" sahut Tiok-liu tertawa. Hanya sekejap saja
mereka sudah bergebrak dua-tiga jurus, pedang lawan pedang
dan pukulan tanding pukulan.
Suatu ketika kepalan Kim Tiok-liu menonjok ke depan
dengan ruas jari tengah menonjol, tampaknya dia menjotos,
tapi sebenarnya yang lihai adalah tonjokan jari tengah ke
bawah telinga yang lemah itu.
Sudah tentu Su Pek-to tidak gampang kecundang, cepat ia
membalas dengan gerakan "rhian-ong-thok-tah' atau Raja
langit mengangkat menara, tangannya memutar ke atas untuk
menangkis, turunnya segera digunakan untuk menangkap
lawan, dari bertahan berbalik Su Pek-to balas menyerang.
Tak terduga serangan Kim Tiok-liu itu hanya pancingan
belaka, tangkapan Su Pek-to ternyata mengenai tempat
kosong, menyusul terdengar jeritan orang kesakitan, sesosok
tubuh tampak mencelat ke sana dengan muka berlumuran
darah. "Su-pangtju, bagaimana dengan kepandaianku mencabut
gigi?" kata Kim Tiok-liu dengan tertawa. Mendadak secomot
benda merah amis menyambar ke arah Su Pek-to.
Semula Su Pek-to mengira senjata rahasaia apa, ia tidak
berani menangkapnya karena kuatir berbisa, ia hanya
mengebas dengan lengan baju, benda itu digulung dan
diperiksa, kiranya adalah dua buah gigi depan yang masih
berdarah. Orang yang rontok giginya kena pukulan Kim Tiok-liu
kiranya adalah Soa Djian-hong, gembong Hay-soa-pang yang
sial. Ketika pertempuran bertambah sengit antara Su Pek-to
dan Kim Tiok-liu, Soa Djian-hong mengira Kim Tiok-liu sudah
terdesak, ia pun ingin menarik keuntungan dengan menyergap
dari samping. Tak tahunya panca indera Kim Tiok-liu teramat
tajam, ia pura-pura tidak tahu dan tetap menempur Su Pek-to,
tapi begitu Soa Djian-hong mendekat, mendadak ia pura-pura
menyerang ke arah Su Pek-to, tapi sebenarnya terus
menonjok ke belakang, keruan rontoklah gigi Soa Djian-hong
tanpa ampun. "Jangan mentang-mentang kau, Kim Tiok-liu!" bentak Bun
To-tjeng, secepat terbang ia lantas menyerbu maju.
Pada saat itulah dengan tiba-tiba cambuk Su Ang-ing
menyambar, tepat pinggang Soa Djian-hong terlibat, sebelum
sempat Soa Diian-hong berdiri tegak, ia menjadi tidak mampu
berkelit, tulang iganya kesemutan oleh lilitan cambuk Su Anging
dan tahu-tahu tubuhnya terangkat. Kebetulan Bun Totjeng
sedang memburu maju, segera Su Ang-ing mengayun
cambuk, Soa Djian-hong dilemparkan ke arah Bun To-tjeng
laksana bola. Sudah tentu Bun To-tjeng tidak dapat membiarkan Soa
Djian-hong terluka, terpaksa ia mengangsurkan kedua tangan
untuk menangkap tubuh Soa Djian-hong dengan lunak, lalu
dilepaskan lagi. Keruan Soa Djian-hong berkaok-kaok karena
berulang-ulang kecundang.
Kekuatan Su Pek-to sebenarnya di atas Kim Tiok-liu, tapi ia
terkesiap juga melihat kepandaian Kim Tiok-liu yang sukar
diukur itu. "Su-pangtju, apa kau s-akit gigi, akan kucabut gigimu kalau
perlu!" kata Tiok-liu dengan tertawa.
"Kurangajar!" damprat Su Pek-to, namun begitu ia pun
kuatir Kim Tiok-liu benar-benar menggunakan cara yang aneh
untuk menggodanya.
Keadaan sebenarnya tidak menguntungkan Kim Tiok-liu,
karena dia harus melawan jumlah musuh yang banyak. Su
Pek-to menduga lawan sukar meloloskan diri, maka dia tidak
perlu tergesa-gesa, yang penting harus menjaga diri jangan
sampai kecundang. Maka ketika Kim Tiok-liu menubruk maju
cepat ia mengegos ke samping.
Tak terduga, kembali Kim Tiok-liu menggunakan gerakan
palsu, pada detik itulah terdengar ia bersuit panjang,
mendadak ia melompat ke atas, laksana burung melayang ia
menyambar ke ttmping Swe Beng-hiong.
Sama sekali Swe Beng-hiong tidak menduga akan tubrukan
Kim Tiok-liu itu, ia menjadi kaget. Dalam pada itu dengan
cepat luar biasa Kim Tiok-liu sudah berhasil mencengkeram
pergelangan tangannya.
Namun Swe Beng-hiong juga amat lihai, meski pergelangan
tangan terpegang musuh, ia tidak menjadi gugup, ia masih
berusaha mengembalikan kekalahannya, dengan gerakan
'Toat-sin-kay-kah' atau menanggalkan baju melepaskan diri,
tubuhnya mengkerut ke bawah, tenaga dikerahkan ke lengan,
pergelangan tangan menarik ke bawah, sekali putar badan
Kim Tiok-liu terpaksa melepaskan cengkeramannya karena
tidak tahan kekuatan lawan, mestinya kalau pegangan Kim
Tiok-liu itu ditambahi serangan pedang, tanpa ampun jiwa
Swe Beng-hiong pasti sudah melayang.
Pada saat itulah dua sosok bayangan menubruk ke arah
Kim Tiok-liu, mereka adalah Yang Go dan Bun To-tjeng. 'Siuloim-sat-kang' yang diyakinkan Yang Go sudah mencapai
tingkat kesembilan yang sempurna, belum mendekat
orangnya, dia sudah melancarkan pukulan dari jauh. Meski
Kim Tiok-liu memiliki 'Hou-deh-sin-kang' juga terasa menggigil
oleh pukulan maha dingin lawan itu.
Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hendak lari kemana kau!" bentak Bun To-tjeng sambil
melancarkan pukulan dahsyat Sam-siang-sin-kang ke
punggung Kim Tiok-liu.
Sungguh hebat Kim Tiok-liu, diserang dari muka dan
belakang, ia masih sempat meloncat ke atas dengan
Ginkangnya yang tinggi. Terbenturlah tenaga pukulan Siu-loimsat-kang dengan Sam-siang-sin-kang sehingga
mengeluarkan suara gemuruh yang dahsyat, kedua orang
sama-sama tergentak mundur dua-tiga tindak, sedangkan Kim
Tiok-liu sudah melayang lewat di atas kepala Bun To-tjeng
laksana burung terbang.
Meski sergapan Kim Tiok-liu terhadap Swe Beng-hiong tidak
berhasil, tapi sudah dapat memancing beberapa tokoh utama
yang terpaksa harus menyelamatkan Swe Beng-hiong lebih
dulu, sehingga mereka tidak sempat mengembut Su Ang-ing.
Tatkala itu yang bertempur dengan Su Ang-ing hanya Su
Pek-to sendiri, kepandaian Su Pek-to jauh di atas adik
perempuannya tapi sergapan mendadak Kim Tiok-liu terhadap
Swe Beng-hiong membuat Pek-to menjadi kuatir dan serba
susah. Ia ragu-ragu, apakah mesti menolong Swe Beng-hiong
atau membekuk adik perempuannya lebih dahulu"
Beberapa kejap ragu-ragunya itu, tahu-tahu secepat kilat
Kim Tiok-liu sudah memutar balik ke arahnya.
Dalam pada itu meski Swe Beng-hiong berhasil lolos dari
cengkeraman Kim Tiok-liu, tapi sekujur badannya lantas terasa
kaku, jelas racun di dalam tubuh sudah mulai meluas. Ia
menjadi kuatir, ia pikir sebaiknya lekas mencari Ho-toanio
untuk mengobati racunnya. Nyata ia tidak tahu bahwa saat itu
Ho-toanio sudah terbunuh oleh Le Lam-sing.
Saat itu para tamu sedang berlari tunggang-langgang
menyelamatkan diri. Dari ambang pintu memandang keluar,
Swe Beng-hiong tidak mendapatkan orang yang dicarinya
cepat ia berseru, "Lekas panggil Ho-toanio ke sini!"
Belum lenyap suaranya "sreng", mendadak sejalur api biru
melayang tinggi ke angkasa. Dalam sekejap saja dari
beberapa arah juga gemerlapan dengan kembang api yang
memenuhi angkasa.
"Ada mata-mata musuh!" teriak para pengawal dengan
panik. Sayup-sayup mulai terdengar suara meriam kuno yang
sedang menembaki benteng kota.
Kembang api yang bertebaran di angkasa itu jelas adalah
tanda rahasia terang di dalam kota sudah tersembunyi matamata
Pendekar Pemetik Harpa 28 Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl Rahasia Mo-kau Kaucu 3