Ceritasilat Novel Online

Pendekar Remaja 3

Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo Bagian 3


Anak laki-laki ini berlari turun dengan muka mengandung kemarahan. Ia melihat dua orang anak yang berada di taman bunga itu dan melihat seorang anak perempuan memetiki kembang yang menjadi kesayangan gurunya, ia menjadi marah sekali.
"Hai! Jangan sembarangan memetik dan merusak kembang!" tegurnya dari jauh sambil berlari cepat menghampiri Lili dan Kam Seng.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
67 Lili dan Kam Seng terkejut, lalu memandang. Kam Seng diam saja karena merasa bahwa kalau taman bunga ini kepunyaan seseorang, memang mereka berdua telah berlaku salah.
Akan tetapi Lili yang berwatak keras tentu saja tidak mau mengaku salah begitu saja. Ia memutar tubuh menanti kedatangan anak laki-laki itu dan berteriak,
"Turunlah! Apa kaukira aku takut kepadamu" Kembang indah memang sudah seharusnya dipetik, mengapa kaubilang merusak?"
Anak laki-laki yang berlari turun itu ketika mendengar suara Lili dan setelah berada lebih dekat, berubah menjadi girang sekali dan ketika itu juga lenyaplah kemarahannya.
"Lili...!" serunya girang dan ia mempercepat larinya.
Lili tertegun mendengar suara ini. Tadi ia memang tak dapat melihat jelas, karena senjakala telah mulai tiba dan udara menjadi kurang terang. Kini mendengar suara panggilan itu, ia tertegun dan akhirnya berlari menyambut anak laki-laki itu sambil berseru,
"Hong Beng...!!" Lili memang semenjak kecil menyebut kakaknya dengan memanggil
namanya begitu saja, tanpa diberi tambahan kakak atau engko. Sungguhpun berkali-kali ayah-bundanya menyuruh ia menyebut Hong Beng kakak, namun anak yang bandel ini tetap saja tidak pernah mentaatinya dan tetap menyebut kakaknya Hong Beng saja!
Segera kedua orang anak itu berhadapan dan dengan girang Hong Beng memegang kedua tangan adiknya.
"Lili... dengan siapa kau datang" Mana Ayah dan Ibu" Dan siapakah Siauwko (Engko Kecil) itu?"
"Aku datang bersama Supek. Ayah dan Ibu tentunya berada di rumah, dan dia ini adalah Kam Seng, anak yatim piatu yang diambil murid oleh Suhu."
Hong Beng tercengang mendengar keterangan singkat ini. "Eh, siapakah Supekmu dan siapa pula Suhumu" Mengapa kau meninggalkan rumah?"
Memang sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Hong Beng dibawa oleh ayahnya ke puncak Beng-san untuk berguru kepada Pok Pok Sianjin, seorang tua berilmu tinggi yang menjadi tokoh besar di barat. Ketika ia pergi, adiknya berada di rumah dan tidak mempunyai guru karena seperti juga dia sendiri, adiknya pun belajar silat dari ayah ibu mereka. Mengapa tiba-tiba saja adiknya itu mempunyai seorang suhu dan supek dan meninggalkan rumah"
Lili hendak menuturkan pengalamannya, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara suling yang amat nyaring dari atas puncak.
"Ah, Suhu sedang berlatih. Mari kau kubawa menghadap Suhu. Kau juga ikutlah Saudara Kam Seng. O ya, mana itu Supekmu yang kaukatakan datang bersamamu?"
"Supek sedang tergila-gila kepada pohon dan kembang, maka tertinggal di belakang." Lili menerangkan sambit tertawa. Ia telah memungut kembangnya kembali dan memegangnya dengan sayang. Akan tetapi Hong Beng minta kembang itu dan berkata,
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
68 "Lili, Suhu akan marah kalau melihat kembangnya dipetik orang."
"Mengapa?" tanya Lili dengan heran.
"Menurut penuturan Suhu, kembang mempunyai semangat seperti orang pula, maka memetik kembang yang sedang mekar berarti sama dengan membunuh seorang muda seperti kita!"
Lili memandang kakaknya dengan mata terbelalak penuh rasa sesal, akan tetapi sambil tertawa Hong Beng lalu menggandeng tangannya dan mengajaknya berlari naik ke puncak dari mana terdengar suara tiupan suling yang aneh itu.
"Hayo, Kam Seng. Larilah yang cepat!" ajak Lili sambil menoleh ke belakang, dan merahlah muka Kam Seng karena mana bisa ia berlari cepat di jalan menanjak yang sukar itu" Terpaksa ia menguatkan kaki dan tubuhnya yang sudah lelah untuk mengikuti mereka, akan tetapi tertinggal jauh!
Setelah suara suling itu makin terdengar jelas karena sudah dekat, tiba-tiba Hong Beng menahan langkah kakinya dan berkata, "Ah, orang yang tak tahu diri itu datang lagi rupanya!"
Lili tak sempat bertanya karena kakaknya menggandeng tangannya dan diajak berlari cepat menuju ke puncak dari mana terdengar suara suling yang makin nyaring menusuk telinga itu.
Ketika mereka tiba di tempat itu, Lili memandang dengan penuh keheranan ke depan. Di atas tanah yang rata nampak dua orang sedang bergerak cepat dan aneh.
Yang seorang adalah seorang kakek berambut dan berjenggot putih yang bergerak-gerak sambil meniup suling, sedangkan yang seorang lagi adalah seorang setengah tua yang bergerak menyambar-nyambar laksana seekor burung garuda menyambar kelinci.
Lili menutup telinganya karena suara suling yang nyaring itu benar-benar membuat telinganya terasa sakit. Adapun Kam Seng yang datang sambil terengah-engah kelelahan, memandang pula dengan terheran-heran dan melongo, akan tetapi Hong Beng berdiri diam dan matanya memandang tajam ke arah dua orang yang sedang bertempur itu.
Kakek tua itu bukan lain adalah Pok Pok Sianjin sendiri. Memang aneh sekali kelihatannya, sungguhpun kakek itu meniup suling dengan enaknya dan lagu yang tertiup dari sulingnya terdengar merdu, akan tetapi suara suling itu amat nyaring dan seakan-akan mengandung tenaga gaib yang mengeluarkan hawa pukulan. Buktinya, biarpun orang yang meloncat-loncat menyerang itu menggunakan seluruh kepandaiannya untuk menendang atau memukul, ia selalu terpental kembali sebelum dapat menyentuh tubuh Pok Pok Sianjin. Hawa yang keluar dari tiupan suling itu mengandung kekuatan lwee-kang dan khi-kang yang membuatnya tertangkis dan terdorong oleh tenaga yang tidak kelihatan!
"Orang itu adalah seorang jago silat dan mahir ilmu silat Pek-eng-kun-hoat (Ilmu Silat Garuda Putih). Telah beberapa kali ia datang minta berpibu (mengadu ilmu silat) dengan Suhu, akan tetapi Suhu tidak mau meladeninya. Ternyata sekarang dia datang lagi, benar-benar orang tak tahu diri!"
Baru saja Hong Beng berkata demikian, tiba-tiba terdengar suara tertawa bergelak dan tahu-tahu tubuh orang yang menyerang Pok Pok Sianjin itu terlempar ke belakang, jatuh Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
69 bergulingan. Akan tetapi ia cepat melompat bangun kembali dan memandang ke arah orang yang tertawa tadi. Ternyata bahwa yang tertawa itu adalah Mo-kai Nyo Tiang Le yang entah kapan telah berada di tempat itu pula! Tentu saja Lili merasa heran karena tadi supeknya tertinggal di belakang mengapa sekarang telah mendahuluinya berada di tempat itu"
Orang yang terguling tadi setelah memandang kepada Mo-kai Nyo Tiang Le, lalu menjura dan berkata, "Mo-kai (Pengemis Setan), aku telah menerima pengajaran, lain kali bertemu pula!" Setelah berkata demikian, ia lalu melompat jauh dan menghilang di bawah gunung!
Nyo Tiang Le bergelak-gelak dan Pok Pok Sianjin lalu menyimpan kembali sulingnya. "Mo-kai, kau masih saja bertangan jail, pukulanmu Soan-hong-jiu (Pukulan Kitiran Angin) telah membuat ia menjadi gentar dan pergi dengan hati mendendam kepadamu!"
Nyo Tiang Le memang tadi telah melancarkan dorongan dari jauh dan hanya dengan angin pukulannya saja telah berhasil mendorong roboh orang tadi, sungguh dapat dibayangkan betapa hebatnya kepandaian Pengemis Setan ini! Ia tersenyum dan berkata sambil menghela napas,
"Pok Pok Sianjin, mengapa kau suka melayani segala macam orang seperti dia" Bukankah dia itu sute dari Ban Sai Cinjin" Aku pernah melihat orang tadi maka aku berani mendorongnya agar ia jangan mengganggu kau orang tua lebih lanjut."
Pok Pok Sianjin mengangguk-angguk, "Memang, dia adalah adik seperguruan Ban Sai Cinjin dan namanya Lu Tong Kui. Ia menjagoi di Lok-yang dan telah beberapa hari ini ia merengek-rengek dan mendesakku untuk mengadakan pibu. Tentu saja aku menolaknya, akan tetapi ia mendesak terus dan menyatakan bahwa jauh-jauh dari Lok-yang ia datang untuk menguji kepandaianku. Aku tidak tega dan terpaksa melayaninya bermain-main sebentar."
Nyo Tiang Le tertawa kembali makin keras. "Ha-ha-ha, kau orang tua benar-benar
keterlaluan! Kaubilang tidak tega akan tetapi kau telah mainkan Seng-im-khi-kang, kalau aku tidak keburu mendorongnya roboh dengan Soan-hong-jiu, apakah ia tidak akan menderita luka-luka hebat di dalam tubuhnya terkena serangan hawa dari sulingmu" Ha-ha-ha!"
Pok Pok Sianjin juga tertawa. "Kaukira aku sekejam itu" Aku baru mempergunakan Seng-im-khi-kang setelah yakin bahwa ia cukup kuat untuk menghadapi itu! Eh, Setan Tua, kau baik sekali. Telah lama aku merasa rindu kepadamu, apakah kau datang hendak menantangku main catur?"
Mo-kai Nyo Tiang Le tertawa bergelak. "Asal bertaruh minum arak baik, siapa takut kepandaian caturmu?"
Pada saat itu, Hong Beng menarik lengan tangan adiknya dan diajak berlutut di depan Pok Pok Sianjin. "Suhu, ini adalah adik teecu yang bernama Lili!"
Pok Pok Sianjin memandang kepada Lili, mengangguk-anggukkan kepalanya dan berkata,
"Seperti ibunya... seperti ibunya...!"
Sementara itu, Nyo Tiang Le memandang kepada Hong Beng dan berkata, "Inikah putera Pendekar Bodoh" Pantas sekali! Jadi kau orang tua telah menerima kehormatan mendidik putera Pendekar Bodoh" Satu kehormatan besar dan kau beruntung sekali Pok Pok Sianjin!"
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
70 Mendengar ini, Hong Beng cepat membantah, "Bukan Suhu yang mendapat kehormatan
besar dan keberuntungan, Locianpwe, akan tetapi adalah teecu yang mendapat karunia besar!"
Nyo Tiang Le mengangkat alisnya dengan heran dan kemudian tertawa dengan senang.
"Anak ini pandai membawa diri seperti ayahnya!"
Kemudian, Pengemis Setan itu menuturkan kepada Pok Pok Sianjin tentang pertemuannya dengan sutenya Lo Sian dan menceritakan pula pengalaman Lili yang terculik oleh Bouw Hun Ti. "Suteku sedang menuju ke timur untuk memberi kabar kepada Pendekar Bodoh.
Sementara itu, aku akan menanti di sini dan melatih anak ini, sambil menanti datangnya orang tuanya yang tentu akan menjemputnya."
Bukan main girangnya hati Hong Beng mendengar bahwa adiknya akan tinggal di situ untuk beberapa lama dan ayah ibunya akan datang pula di situ. Ketika Nyo Tiang Le menceritakan pula tentang riwayat Kam Seng, Pok Pok Sianjin merasa kasihan juga. "Biarpun bakatnya kurang, namun ia cocok menjadi murid Suteku," kata Nyo Tiang Le.
Kemudian dua orang tua itu lalu masuk ke dalam pondok dan bermain catur, sedangkan Hong Beng bersama Lili dan Kam Seng lalu bermain-main di sekitar puncak Beng-san itu.
Kam Seng merasa kagum dan tunduk kepada Hong Beng yang selain berkepandaian tinggi juga amat ramah kepadanya.
Semenjak hari itu, Lili tinggal di puncak Beng-san dan mendapat latihan ilmu silat dari Nyo Tiang Le. Dasar otaknya terang dan ia memang telah memiliki dasar kepandaian yang diajarkan oleh ayah ibunya semenjak ia masih kecil, maka sebentar saja ia telah mendapat kemajuan yang amat cepat. Juga Kam Seng mulai menerima latihan-latihan atas petunjuk Lili dan Hong Beng, karena Nyo Tiang Le hanya memberi petunjuk-petunjuk teorinya saja sehingga anak yatim piatu itu berlatih di bawah pengawasan Hong Beng dan Lili! Hong Beng sendiri dengan amat tekun dan rajinnya mempelajari ilmu silat dari Pok Pok Sianjin terutama sekali ilmu silat tongkat yang menjadi keahlian Pok Pok Sianjin dan yang telah menjunjung tinggi namanya sebagai ahli silat kelas satu dan tokoh terbesar dari dunia persilatan sebelah barat!
Oleh karena mendapat didikan ilmu silat dari seorang ahli dan pula karena tinggal bersama kakaknya, Lili sampai lupa bahwa ayah ibunya yang dinanti-nanti ternyata belum juga datang, sungguhpun ia telah berada di atas puncak Beng-san sampai berbulan lamanya!
Mengapa sampai demikian lama Cin Hai dan Lin Lin tidak menyusul anaknya di Beng-san, padahal sebagaimana telah diceritakan di bagian depan, sepasang suami isteri pendekar ini dalam perjalanannya kembali dari Kansu, hendak mampir dan menengok putera mereka di puncak bukit itu"
Sesungguhnya, Pendekar Bodoh dan isterinya menemui peristiwa yang hebat dan yang membuat mereka belum juga tiba di Beng-san!
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Cin Hai dan Lin Lin telah mendapat keterangan dari orang-orang Turki kawan-kawan mendiang Yousuf, bahwa menurut dugaan mereka, tak salah lagi pembunuh Yousuf dan penculik Lili adalah seorang peranakan Tionghoa Turki yang bernama Bouw Hun Ti. Maka mereka lalu kembali ke timur, mengambil Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
71 jalan sebelah utara di sepanjang tapal batas Propinsi Kansu dan Mongolia dalam. Mereka mengambil keputusan untuk sekalian mampir di Beng-san dan menengok putera mereka yang berlatih silat dibawah pimpinan Pok Pok Sianjin.
Puncak Beng-san terletak di Pegunungan Lu-liang-san yang panjang maka kalau mereka mengambil jalan di utara, mereka akan melewati Lu-tiang-san.
Pada suatu hari mereka tiba di sebuah kota yang bernama Po-kwan, dan kota ini berada di tapal batas Mongolia dalam, di lembah Sungai Huang-ho yang belum begitu besar airnya.
Kota Po-kwan cukup ramai dan suami isteri ini selain melihat-lihat kota yang belum pernah dikunjunginya ini, juga mereka bertanya-tanya kalau-kalau ada Bouw Hun Ti di daerah itu.
Akan tetapi, tak seorang pun melihat orang she Bouw yang dicari-carinya itu, maka dua hari kemudian, Cin Hai dan Lin Lin keluar dari kota Po-kwan dan hendak melanjutkan perjalanan melalui Sungai Huang-ho menuju ke Pegunungan Lu-liang-san. Akan tetapi, baru saja mereka keluar dari kota Po-kwan, mereka bertemu dengan orang-orang yang tak pernah mereka sangka-sangka akan bertemu di situ. Mereka sedang berjalan keluar dari kota untuk menuju ke sungai yang berada di sebelah timur kota, dan tiba-tiba dari sebuah tikungan mereka melihat seorang laki-laki berusia empat puluhan tahun berjalan cepat sekali di depan mereka.
Lin Lin memandang tajam, karena dari belakang ia serasa sudah mengenal orang itu, akan tetapi baru saja ia hendak bertanya kepada suaminya, Cin Hai telah mendahuluinya dan berseru girang, "Lie-suheng!" Laki-laki itu terkejut mendengar seruan ini dan segera menghentikan tindakan kakinya dan cepat membalikkan tubuh. Wajahnya nampak tua dan muram sekali, sungguhpun ia masih kelihatan tampan dan gagah. Kumisnya sudah mulai putih tak terurus dan jenggotnya juga panjang tak terpelihara. Pakaiannya tidak karuan, bahkan ada beberapa bagian yang sudah robek-robek didiamkannya saja. Akan tetapi ketika melihat Cin Hai dan Lin Lin, untuk sekejap matanya bersinar-sinar, dan Cin Hai bersama isterinya yang berlari menghampiri orang itu hanya melihat betapa kegembiraan itu berlangsung sebentar saja. Orang itu segera menundukkan muka dan menjadi muram kembali, seakan-akan merasakan kesedihan yang luar biasa besarnya. "Sie-sute, kaukah" Dari manakah kau dan Sumoi, kau juga baik-baik saja, bukan?" Suaranya rata dan tak berirama, tanda bahwa ia sedang menderita kesedihan besar sekali. Cin Hai segera memegang tangan orang itu setelah memberi hormat. "Lie-suheng, kau kenapakah?" "Lie-suheng, agaknya kau amat bersedih" Dimanakah Enci Im Giok?" tanya pula Lin Lin. Orang itu memandang kepada mereka ganti berganti kemudian tiba-tiba dari sepasang matanya keluarlah air mata yang membanjir turun membasahi kedua pipinya. Bukan main kagetnya Cin Hai dan Lin Lin melihat keadaan orang itu. Cin Hai segera menariknya dan mengajaknya duduk di bawah pohon di pinggir jalan dan segera mendesak kepada orang itu untuk menceritakan apakah sebenarnya yang menyusahkan hatinya. Siapakah orang ini" Para pembaca yang sudah membaca cerita Pendekar Bodoh, tentu masih ingat bahwa orang ini bukan lain adalah Lie Kong Sian, murid mendiang Bu Pun Su, guru Cin Hai dan Lin Lin. Karena ada hubungan perguruan ini, maka Lie Kong Sian masih terhitung suheng (kakak seperguruan) dari Cin Hai dan Lin Lin. Di dalam cerita Pendekar Bodoh diceritakan bahwa Lie Kong Sian ini telah berjodoh dengan seorang pendekar wanita baju merah yang amat lihai dan yang bernama Kiang Im Giok atau lebih terkenal lagi dengan nama julukannya Ang I Niocu (Nona Baju Merah). Lie Kong Sian tinggal bersama isterinya di sebuah pulau, yaitu Pulau Pek-lek-to yang terletak di dekat pantai laut Tiongkok sebelah timur. Semenjak Lie Kong Sian dan isterinya mengunjungi Cin Hai dan Lin Lin untuk menyaksikan upacara pernikahan kedua adik seperguruannya itu, sehingga kini baru sekali mereka saling bertemu. Hal itu terjadi kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, yaitu baru saja setahun mereka saling berpisah. Akan tetapi semenjak itu, mereka tak pernah saling bertemu kembali. Bahkan ketika Cin Hai dan Lin Lin Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
72 mengunjungi Pulau Pek-le-to pada lima tahun yang lalu sambil mengajak kedua anak mereka, pulau itu ternyata kosong dan tidak diketahui ke mana perginya Lie Kong Sian dan isterinya.
Agar lebih jelas bagi para pembaca yang belum membaca buku Pendekar Bodoh, baiknya diterangkan kembali bahwa Ang I Niocu adalah seorang wanita yang luar biasa cantiknya, dan boleh disamakan dengan kecantikan seorang bidadari dari kahyangan. Dalam usia tiga puluh tahun lebih, yaitu pada saat ia menikah dengan Lie Kong Sian, ia masih nampak cantik jelita dan muda seperti seorang dara berusia tujuh belas tahun saja. Hal ini bukan saja memang pada dasarnya ia cantik jelita, akan tetapi sebagian besar adalah pengaruh semacam telur mujijat, yakni telur Pek-tiauw (Rajawali Putih). Nona Baju Merah ini amat sayang akan kecantikannya dan untuk menjaga ini ia tidak segan-segan untuk mencari telur burung rajawali putih yang amat sukar didapatkannya. Karena khasiat telur inilah, maka ia selalu nampak cantik dan muda selalu. Kecantikannya ini ditambah lagi dengan keahliannya bermain silat yang luar biasa, yaitu ilmu sliat yang disebut juga Ilmu Silat Tari Bidadari, sehingga kalau ia sudah mainkan ilmu pedangnya dengan ilmu silat ini, maka ia benar-benar merupakan seorang bidadari yang sedang menari dengan indahnya! Tidak heran bahwa banyak sekali hati pemuda-pemuda runtuh karena kecantikannya ini bahkan Cin Hai sendiri pernah tergila-gila kepada Ang I Niocu (dituturkan dengan menarik sekali dalam
ceritaPendekar Bodoh ). Akan tetapi Ang I Niocu mempunyai watak yang amat keras dan angkuh. Semua pinangan pemuda-pemuda yang gagah dan tampan ditolaknya belaka bahkan diejeknya pemuda-pemuda itu sehingga banyak yang patah hati.
Kemudian ia bertemu dengan Lie Kong Sian yang menjatuhkan hatinya karena budi kebaikan pemuda ini dan pula karena pemuda ini memiliki ilmu silat tinggi yang sanggup
mengalahkannya. Akhirnya mereka menikah dan hidup penuh kebahagiaan di atas Pulau Pek-lek-to yang merupakan sorga bagi mereka. Pulau ini amat subur dan juga indah sekali pemandangannya. Dua tahun setelah mereka menikah, Ang I Niocu mengandung. Semenjak mengandung, pendekar wanita ini merasa tak enak sekali tubuhnya dan sifatnya yang keras itu kini timbul kembali, bahkan makin menghebat. Seringkali ia marah-marah besar kepada suaminya hanya karena urusan kecil saja. Akan tetapi Lie Kong Sian yang amat mencinta isterinya dan amat sabar itu, dapat menghiburnya dan selalu mengalah dalam segala hal.
Akhirnya terlahirlah seorang bayi laki-laki dan keduanya merasa amat berbahagia kembali.
Bersama dengan kelahiran itu lenyaplah semua sifat pemarah, akan tetapi tubuh pendekar wanita itu masih saja seringkali merasa tidak enak sekali dan kepalanya pening. Perubahan besar nampak terjadi pada dirinya, sungguhpun terjadi amat lambat dan perlahan, akan tetapi tiga tahun kemudian, perubahan ini sudah menjadi sedemikian hebatnya. Rambut Ang I Niocu yang tadinya hitam dan panjang berombak itu lambat laun menjadi putih dan penuh uban!
Kulit mukanya yang tadinya halus dan kemerah-merahan itu lambat laun menjadi keriputan dan menghitam! Bukan main penderitaan batin yang dirasakannya, kini melihat
kecantikannva melenyap dengan perlahan akan tetapi tentu, bagaikan penyakit yang memakan habis kecantikannya itu sekerat demi sekerat, hampir tak tertahankan olehnya. Tiap kali ia melihat wajahnya pada bayangannya di dalam air, ia menangis tersedu-sedu dengan hati hancur. Lie Kong Sian berdaya upaya menghiburnya, juga mengobatinya, akan tetapi percuma belaka. "Isteriku," katanya menghibur ketika isterinya menangis tersedu-sedu sambil menarik-narik rambutnya yang telah menjadi putih dan banyak yang terlepas dari kulit kepalanya, "betapapun juga, dan apa pun yang akan terjadi dengan kau, aku tetap mencintamu dengan tulus ikhlas dan suci. Jangan kau bersedih, isteriku..." Akan tetapi kata-kata ini bahkan menghancurkan hati Ang I Niocu. Dengan suara terputus-putus ia berkata, "Ah...
bagaimanakah ini..." Mengapa Thian mengutuk diriku begini hebat..." Aku baru berusia hampir empat puluh, mengapa rambutku telah putih semua, kulitku menjadi rusak seperti ini"
Mana kecantikanku yang dulu..." Ah, aku malu, aku malu...!" Ia lalu menangis dengan amat Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
73 sedihnya. "Im Giok, jangan kau berkata demikian. Kecantikan hanya keindahan lahir belaka dan kau tahu bahwa cintaku kepadamu bukan hanya berdasarkan kecantikanmu." Akan tetapi segala macam hiburan tak dapat memuaskan hati Ang I Niocu. Ia dan suaminya maklum bahwa kecantikannya yang dipengaruhi oleh obat telur rajawali putih itu memang mempunyai batas dan syarat yang berat. Syarat itu ialah apabila seorang yang menjadi cantik karena telur itu melahirkan seorang anak, maka kecantikannya tidak saja akan lenyap, bahkan usianya akan bertambah dengan cepat dan lipat ganda, sehingga dalam usia empat puluh tahun, ia menjadi seorang yang usianya hampir delapan puluh tahun! Akhirnya, setelah tersiksa oleh kesedihan sendiri sampai hampir gila, pada suatu pagi Lie Kong Sian mendapatkan isterinya telah minggat dari pulau itu menggunakan sebuah sampan dan membawa serta anaknya!
"Suamiku yang baik," demikian bunyi surat yang ditinggalkan oleh Ang I Niocu untuk Lie Kong Siang "ampunilah dosaku yang amat besar kepadamu. Aku tidak kuat lagi menahan derita sehebat ini, maka lebih baik aku keluar dari kehidupanmu, agar aku tidak menyeret kau yang berbudi ke dalam jurang kehinaan. Biarlah aku pergi mengasingkan diri. Anak kita kubawa dan sisa hidupku akan kugunakan untuk mendidik dan menurunkan ilmu silat kepadanya agar ia menjadi seorang yang berbudi dan gagah. Selamat tinggal suamiku! Kalau aku sudah mati, anak kita tentu akan mencari ayahnya untuk berbakti!" Bukan main kagetnya hati Lie Kong Sian membaca surat peninggalan isterinya yang tercinta itu. Ia cepat menyusul dan mengejar akan tetapi karena air tak meninggalkan bekas isterinya, ia mengejar ke lain jurusan dan tidak dapat menemukan isteri dan anaknya. Ketika itu anaknya baru berusia tiga tahun lebih. Hancurlah penghidupan Lie Kong Sian. Dunia terasa kosong dan hidup terasa merupakan penderitaan dalam neraka. Ia lalu merantau dan mencari-cari jejak isterinya sampai bertahun-tahun. Kalau dulu ia merupakan seorang yang amat tampan dan biarpun sederhana akan tetapi selalu berpakaian pantas, sekarang ia telah berubah sama sekali. Ia menjadi seorang pendiam, kadang-kadang seperti orang gila. Demikianlah keadaan Lie Kong Sian yang secara kebetulan berjumpa dengan Cin Hai dan Lin Lin. Tadinya Lie Kong Sian merasa segan untuk menceritakan penderitaannya, akan tetapi karena tidak ada orang lain di dunia ini yang lebih pantas mendengar tentang penderitaannya itu kecuali Cin Hai, ia lalu menceritakan semua itu sambil bercucuran air mata. Cin Hai dan Lin Lin merasa terharu sekali mendengar hal ini. Dengan air mata berlinang Cin Hai menegur suhengnya, "Suheng, ada terjadi hal seperti itu, mengapa Suheng tidak cepat-cepat datang ke Shaning dan memberi tahu kepada kami agar kami dapat ikut mencari ke mana perginya Ang I Niocu?" Di dalam lubuk hatinya, Cin Hai merasa amat sayang dan mencinta Ang I Niocu, sungguhpun cintanya itu telah berubah menjadi cinta seorang adik kepada kakaknya, atau lebih dari itu hampir seperti cinta seorang anak kepada ibunya.
Lin Lin merasa lebih terharu lagi. Ia amat mencinta Ang I Niocu yang pernah membelanya tanpa mempedulikan keselamatan jiwa sendiri (baca Pendekar Bodoh), maka kini mendengar malapetaka yang menimpa diri Ang I Niocu ia menangis terisak-isak tanpa dapat
mengeluarkan kata-kata sedikit pun!
Setelah puas menangis dan menumpahkan rasa sedih di dalam dada di tempat pertemuan itu, Lie Kong Sian lalu bertanya mengapa kedua suami isteri itu berada di tempat itu.
Cin Hai lalu menuturkan tentang penculikan atas diri Lili puteri mereka dan pembunuhan yang dilakukan oleh Bouw Hun Ti kepada Yousuf.
Mendengar ini, bukan main marahnya Lie Kong Sian dan sambil menghela napas berat ia berkata, "Ah, mengapa selalu orang-orang yang tak berdosa menerima siksaan hidup"
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
74 Mengapa bahkan orang-orang yang selalu menjunjung kebaikan dan keadilan yang harus menderita banyak susah?"
"Suheng, biarlah aku dan isteriku membantu usahamu mencari tempat sembunyinya Niocu dan anakmu, dan aku akan membujuknya agar suka kembali kepadamu."
Lie Kong Sian menghela napas. "Agaknya sukar sekali. Selain ia pandai menyembunyikan diri, juga hatinya amat keras dan sekali ia telah mengambil keputusan, sukarlah untuk mengubahnya. Akan tetapi, biarlah kita mengambil jalan masing-masing, Sute. Kau membantuku mencari isteriku, dan kau percayalah, kalau sampai aku bertemu dengan orang she Bouw itu, pasti kubalaskan sakit hati Yo-pekhu dan kurampas kembali puterimu."
Cin Hai yang maklum akan adat dan sifat Ang I Niocu yang keras, diam-diam merasa bahwa apabila dia yang membujuk, agaknya masih ada harapan, akan tetapi terhadap Lie Kong Sian ia diam saja.
Mereka lalu berpisah dan suami isteri itu memandang Lie Kong Sian yang berjalan pergi dengan muka tunduk itu. Bukan main terharu hati mereka dan Lin Lin menggunakan
saputangan untuk menahan isaknya ketika ia melihat suhengnya itu berjalan bagaikan mayat hidup, lemah tak bertenaga dan limbung.
"Kasihan sekali Suheng..." kata Cin Hai sambil menghapus air mata yang berlinang di pelupuk matanya.
Karena Cin Hai pernah mengadakan perjalanan di daerah utara bersama Ang I Niocu, yaitu pada waktu terjadi perebutan Pulau Emas antara kerajaan pihak Turki dan pihak Mongol (baca Pendekar Bodoh), maka Cin Hai mendapat dugaan bahwa Ang I Niocu tentu
menyembunyikan diri di Pegunungan Im-san atau Go-bi-san di utara. Oleh karena itu, ia menunda maksudnya menuju ke Beng-san menengok puterinya dan sebaliknya ia bersama isterinya lalu membelok ke utara dan menrari Ang I Niocu di daerah Mongol! Inilah sebabnya maka sampai berbulan-bulan ia dan isterinya belum juga tiba di Beng-san di mana Lili dengan aman telah belajar silat di bawah asuhan Mo-kai Nyo Tiang Le si Pengemis Setan yang lihai!
*** Lo Sian Sin-kai atau Si Pengemis Sakti dengan cepat melakukan perjalanan seorang diri menuju ke Shaning di Propinsi An-hui untuk mencari Cin Hai dan mengabarkan tentang Lili yang kini berada di puncak Gunung Beng-san.
Seperti biasa tiap kali mengadakan perantauan, Pengemis Sakti ini tiada hentinya mengulur tangan memberi pertolongan kepada orang-orang yang melarat dan tertindas sehingga namanya makin terkenal sebagai seorang pendekar budiman.
Setelah tiba di Shaning, dengan amat mudahnya ia mendapatkan rumah Ciri Hai siapakah orangnya di Shaning yang tidak mengenal nama Pendekar Bodoh" Akan tetapi, alangkah kecewa dan kagetnya ketika melihat bahwa rumah dari Pendekar Bodoh itu tertutup, bahkan masih ada kain putih tergantung di depan pintu, tanda bahwa rumah belum lama ini menderita kematian seorang keluarga dekat. Lo Sian segera mencari keterangan kepada orang-orang di situ dan bukan main marah dan kecewanya ketika mendengar bahwa ayah angkat Nyonya Sie Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
75 telah terbunuh oleh seorang peranakan Turki, dan bahwa selain melakukan pembunuhan yang kejam, penjahat itu pun menculik puteri dari Pendekar Bodoh.
Sampai lama Lo Sian tertegun mendengar ini. Tak disangkanya bahwa orang brewok yang menculik Lili bahkan telah membunuh pula ayah angkat dari ibu anak itu!
"Bangsat besar Bouw Hun Ti," bisiknya gemas sambil mengertakkan giginya, "kau benar-benar mencari mampus berani memusuhi keluarga Pendekar Bodoh!"
Lo Sian lalu bertanya kepada orang yang memberi keterangan kepadanya ke mana perginya Pendekar Bodoh dan isterinya. Ketika mendapat jawaban bahwa kedua suami isteri pendekar itu pergi mengejar dan mencari si penculik dan pembunuh, Lo Sian lalu cepat-cepat meninggalkan kota Shaning setelah memberi sesampul surat kepada tetangga dekat rumah Cin Hal itu dengan pesanan bahwa apabila pendekar besar itu pulang, suratnya agar supaya diberikannya. Di dalam surat itu ia menulis bahwa Lili telah tertolong dan kini berada di puncak Beng-san bersama Mo-kai Nyo Tiang Le yang hendak mengunjungi Pok Pok Sianjin.
Kemudian ia lalu pergi keluar dari kota dan menuju ke Bukit Beng-san untuk memberi laporan kepada suhengnya, dan juga untuk melanjutkan melatih kedua orang muridnya yaitu Lili dan Kam Seng. Tentu saja ia tidak berani lagi menganggap Lili sebagai muridnya, karena setelah kedua orang tua anak itu menjemput dan membawanya pulang, sudah tentu jauh lebih baik kalau Lili mendapat pelajaran dari ayah ibunya sendiri yang memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi dari padanya.
Pada suatu hari, dalam perjalanannya menuju ke Beng-san, ia tiba di kota Li-coan dan ketika ia lewat di depan sebuah rumah makan, bau arak yang amat sedap menarik hatinya dan menimbulkan seleranya yang amat kuat akan arak wangi. Ia lalu masuk ke dalam rumah makan itu dan memesan seguci arak yang paling baik. Pada pelayan yang memandangnya dengan mata curiga, ia memperlihatkan sepotong uang emas yang kiranya cukup untuk membayar harga lima guci arak!
Pelayan itu memandang dengan mata terbelalak dan sambil pergi untuk mengambilkan arak pesanan Lo Sian, ia menggerutu,
"Sungguh aneh sekali dunia ini! Aku yang bekerja keras siang malam tak kenal lelah, belum pernah mempunyai sekeping emas murni! Akan tetapi, hari ini aku melihat seorang setengah gila mempunyai banyak uang emas dan seorang pengemis berbaju tambalan memperlihatkan sepotong emas besar! Aneh, aneh... dunia memang tidak adil!"
Lo Sian tersenyum seorang diri. Biarpun pelayan itu bicara dengan perlahan akan tetapi telinga Lo Sian yang tajam dapat mendengar ucapan ini dan diam-diam ia membenarkan keluh kesah pelayan itu. Memang kalau dipikir-pikir sungguh mengherankan. Orang-orang yang bekerja, makin berat pekerjaannya, makin kecillah penghasilannya. Lihat saja para pembesar tinggi yang kerjanya hanya naik turun kereta, naik turun kursi kebesaran, menjual lagak di mana-mana, membentak-bentak rakyat dan cukup memberi cap kebesarannya saja, hidupnya mewah dan penghasilannya berlebihan sungguhpun penghasilannya itu didapat dengan jalan yang tidak halal!
Ketika pelayan itu datang mengantar arak yang dipesannya, tiba-tiba terdengar suara dari sudut ruang rumah makan itu yang membentak si pelayan.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
76 "Hai, kau boleh menggerutu seorang diri, akan tetapi, jangan kaubawa-bawa aku pula! Aku mempunyai banyak emas bukan dengan jalan mencuri atau merampok, maka tutuplah
mulutmu!" Lo Sian terkejut. Orang itu duduknya cukup jauh dari tempat pelayan tadi menggerutu, maka kalau orang dapat mendengar gerutuan si pelayan, dapat diduga bahwa orang itu memiliki pendengaran yang luar biasa tajamnya! Ia menengok dan memperhatikan orang itu. Ternyata bahwa orang itu bertubuh tegap, berwajah gagah sekali dan sepasang matanya berpengaruh, membuat orang tidak berani bertemu pandang terlalu lama dengan dia. Akan tetapi, keadaannya memang patut disebut kurang beres ingatan karena selain pakaiannya tidak karuan macamnya, juga orang itu membiarkan rambut kepalanya bergantungan di depan matanya. Kumis dan jenggotnya menjungat ke sana kemari tanpa terpelihara sedikit pun juga dan wajahnya muram dan gelap. Juga orang ini telah memesan arak wangi serta meminumnya bukan melalui cawan seperti orang biasa, melainkan menenggaknya langsung dari mulut guci yang besar! Bahkan di atas mejanya telah ada sebuah guci yang kosong dan guci ke dua telah diminum setengahnya.
Sekali pandang saja, tahulah Lo Sian bahwa orang itu tentu seorang yang pandai, akan tetapi ia belum pernah melihat orang ini sungguhpun pengalaman Lo Sian cukup banyak di kalangan kang-ouw. Ia tidak tahu apakah orang ini termasuk golongan pendekar perantau seperti dia sendiri ataukah termasuk tokoh dari golongan hek-to (golongan hitam dan penjahat), maka ia tidak berani sembarangan menegur dan berkenalan. Melihat pula sikap yang keras dan pemarah dari orang itu dan wajahnya yang muram, Lo Sian mengira bahwa orang itu tentulah seorang tokoh liok-lim (jago rimba hijau) yang ganas dan kejam. Maka setelah menghabiskan araknya, ia lalu membayar dan hendak keluar dari rumah makan itu.
Akan tetapi, baru saja ia berdiri dan hendak keluar, tiba-tiba ia menjadi pucat karena dari luar masuk dua orang yang bukan lain adalah Bouw Hun Ti dan seorang setengah tua yang memakai ikat kepala lebar! Sebaliknya, ketika Bouw Hun Ti melihat Lo Sian, ia tertawa bergelak dan berkata kepada kawannya itu,
"Ha-ha-ha, Susiok. Lihatlah, dicari ke ujung langit tak bersua, kalau tidak dicari si anjing she Lo menyerahkan diri!"
Sementara itu, Lo Sian maklum orang she Bouw tentu takkan melepaskannya dan terpaksa ia harus melawan mati-matian maka ia lalu mencabut pedangnya dan berkata,
"Bouw Hun Ti, kau manusia kejam dan hina-dina! Baru sekarang aku tahu bahwa selain menculik puteri Pendekar Bodoh secara pengecut sekali, kau pun membunuh Yousuf dengan kejam dan tak kenal malu!"
"Ha-ha-ha, Lo Sian pengemis jembel! Bagaimana orang macam kau bisa mengatakan bahwa aku pengecut dan tak kenal malu" Coba terangkan apa sebabnya kau berani berkata demikian."
"Hemm, kau melakukan kekejaman itu sewaktu Pendekar Bodoh dan isterinya tidak berada di rumah! Apakah itu boleh disebut kelakuan seorang yang gagah" Kau pengecut!"
Merahlah wajah Bouw Hun Ti dan dengan amat marah ia membentak,
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
77 "Manusia jembel yang akan mampus! Kau telah merampas anak perempuan itu dengan cara yang lebih pengecut lagi. Tempo hari kalau kau tidak mengandalkan bantuan Mo-kai Nyo Tiang Le suhengmu yang gila itu, kau telah mampus di tanganku! Nah, bersedialah untuk mampus!" Sambil berkata demikian, Bouw Hun Ti mencabut goloknya dan bagaikan seekor harimau kelaparan ia menyerang dengan hebat sambil menendang meja yang menghadang di depannya sehingga meja itu terbang dan menimpa meja-meja lain.
Lo Sian berlaku waspada dan cepat menangkis, sehingga sebentar saja kedua orang itu bertempur hebat sambil menendang meja bangku untuk mencari ruang luas. Kali ini Lo Sian berlaku hati-hati sekali. Ia tahu bahwa kepandaian orang she Bouw ini lebih tinggi daripada kepandaiannya sendiri dan bahwa akhirnya ia takkan dapat menang apabila pertempuran itu dilanjutkan. Apalagi menurut pendengarannya tadi, Bouw Hun Ti menyebut susiok (paman guru) kepada orang yang berikat kepala lebar itu, maka dapat dibayangkan pula betapa tinggi kepandaian orang itu. Jalan keluar tidak ada, maka tidak ada lain jalan bagi Lo Sian melainkan melawan mati-matian dan takkan menyerah kalah begitu saja.
"He, pengemis jembel!" tiba-tiba orang yang disebut susiok oleh Bouw Hun Ti itu berkata.
"Katakan saja di mana adanya anak yang kauculik itu. Bouw Hun Ti, biar dia memberi pengakuan, baru kita ampunkan jiwa anjingnya!"
Akan tetapi, sebagai seorang gagah, tentu saja Lo Sian tidak sudi bersikap lemah. Lebih baik mati daripada menyerah dan membuat pengakuan yang berarti merendahkan nama
kehormatan sendiri, demikianlah pendirian tiap orang gagah.
"Keparat!" serunya sambil menangkis serangan golok Bouw Hun Ti yang menyambar cepat.
"Kalau hendak mengeroyok, majulah saja. Aku Sin-kai Lo Sian bukanlah orang yang takut mati!"
"Bedebah!" kawan Bouw Hun Ti itu berseru marah, "Hun Ti, jangan memberi hati kepada manusia rendah ini!" Sambil berkata demikian, ia pun melangkah maju hendak mengirim serangan dengan tangan kosong.
Akan tetapi, pada saat itu, dari ujung ruangan itu menyambar sebatang tali sutera hitam yang meluncur bagaikan seekor ular hidup dan tahu-tahu golok Bouw Hun Ti kena dilibat oleh tali itu. Ketika tali itu dibetot keras, Bouw Hun Ti berteriak kaget karena tenaga betotan tali itu luar biasa sekali kuatnya sehingga terpaksa ia melepaskan goloknya!
Pada saat itu, susiok dari Bouw Hun Ti yang bukan lain adalah Lu Tong Kui atau sute Ban Sai Cinjin yang pernah menyerbu ke Beng-san untuk mencoba kepandaian Pok Pok Sianjin kemudian dikalahkan oleh Nyo Tiang Le, telah melepaskan pukulan ke arah Lo Sian.
Sungguhpun pukulan itu dilakukan dari tempat yang jauhnya lebih dari setombak, akan tetapi Lo Sian sampai terhuyung ke belakang, terdorong oleh sambaran angin yang luar biasa kuatnya! Lo Sian terkejut sekali dan cepat mengerahkan tenaga pada kedua kakinya untuk menahan keseimbangan tubuhnya.
Melihat betapa golok Bouw Hun Ti dapat terlepas dengan amat mudah oleh tali sutera yang kecil, Lu Tong Kui menjadi terkejut dan juga marah. Ia cepat menengok dan ternyata yang melepas tali sutera itu adalah seorang yang pakaiannya tidak karuan dan yang kini berdiri dengan mata memancarkan cahaya berapi. Adapun Lo Sian yang melihat penolongnya, Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
78 menjadi terkejut dan juga girang karena yang menolongnya itu adalah orang yang disangka gila tadi!
"Bouw Hun Ti!" terdengar orang itu berkata, suaranya tenang akan tetapi seperti juga pandang matanya, suara itu amat berpengaruh, "kebetulan sekali kita bertemu di sini.
Memang aku sedang mencari-cari kau dan hendak membunuhmu!" Setelah berkata demikian, kembali ia menggerakkan tangan kanannya dan sutera hitam yang panjang itu meluncur bagaikan cambuk dan mengirim serangan totokan hebat ke arah jalan darah di leher Bouw Hun Ti. Orang she Bouw ini cepat mengelak, akan tetapi bagaikan bermata dan hidup, ujung sutera hitam itu meluncur dan mengejar dan masih saja mengancam jalan darahnya. Bouw Hun Ti menjadi pucat, terpaksa menangkis dengan tangannya dan ia berteriak kaget ketika merasa betapa tangannya seakan-akan beradu dengan mata pedang yang taiam. Ia cepat menarik kembali tangannya dan sutera hitam itu meluncur terus ke arah lehernya!
Pada saat yang amat berbahaya bagi Bouw Hun Ti itu, Lu Tong Kui tidak tinggal diam. Ia berseru keras dan sambil mencabut pedangnya ia melompat dan membabat ke arah sutera hitam itu. Sutera hitam itu bergerak mengelak dan tidak sampai terbabat oleh pedangnya, akan tetapi Bouw Hun Ti terbebas dari bahaya maut. Sesungguhnya kalau sampai sutera hitam itu menotok jalan darah pada lehernya, maka lehernya akan pecah dan ia akan binasa pada saat itu juga!
"Eh, sahabat, siapakah kau" Mengapa kau memusuhi Bouw Hun Ti!" Lo Tong Kui bertanya sambil melintangkan pedangnya pada dada.
Orang itu tersenyum mengejek. "Lu Tong Kui, kau tentu tidak mengenalku, akan tetapi aku tahu bahwa kau dan murid keponakanmu ini adalah orang-orang jahat yang patut dikirim ke neraka!"
"Bangsat!" Lu Tong Kui memaki marah. "Apa kaukira aku takut kepadamu?"
"Majulah," orang itu berkata dengan suara yang masih tenang, "setelah berhadapan dengan Lie Kong Sian, tak perlu menjual banyak lagak lagi!"
Mendengar nama ini, tidak saja Lu Tong Kui dan Bouw Hun Ti yang merasa akan tetapi Lo Sian juga tertegun dan memandang dengan penuh perhatian dan kagum. Akan tetapi ia merasa ragu-ragu karena sepanjang pendengarannya, pendekar yang bernama Lie Kong Sian dan yang menjadi suami dari pendekar wanita Ang I Niocu yang amat terkenal, kabarnya berwajah tampan dan gagah. Mengapa orang ini seperti orang gila dan berwajah muram"
Nama Ang I Niocu sudah amat terkenal dan tak seorang pun di kalangan kang-ouw yang belum mendengar namanya sungguhpun jarang yang pernah bertemu dengan pendekar wanita itu. Kalau Ang I Niocu yang tersohor gagah perkasa itu kabarnya masih kalah oleh suaminya yang bernama Lie Kong Sian, maka tentu saja nama ini menggetarkan hati Lu Tong Kui dan Bouw Hun Ti! Apalagi Bouw Hun Ti, karena sebagai suheng dari Pendekar Bodoh yang telah diganggunya, dibunuh mertuanya dan diculik puterinya, tentu saja Lie Kong Sian takkan memberi ampun kepadanya! Lo Sian menjadi girang sekali.
"Hemm, kaukah yang bernama Lie Kong Sian, pendekar dari Pulau Pek-le-to itu" Tak kusangka bahwa orangnya hanya sebegini saja!" Lu Tong Kui mengejek untuk memperbesar semangat sendiri, kemudian tanpa menanti jawaban ia menyerang dengan pedangnya.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
79 Lie Kong Sian cepat mengelak sambil mencabut keluar pedangnya pula. Pedang ini bersinar gemilang dan amat tajam, karena ini adalah pedang Cian-hong-kiam yang dulu ia terima dari isterinya sebagai tanda perjodohan ketika belum menikah. Dengan gerakan yang luar biasa cepat dan kuatnya, Lie Kong Sian membalas dengan serangah hebat sehingga Lu Tong Kui harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian agar jangan sampai dirobohkan dengan mudah.
Bouw Hun Ti yang melihat susioknya terdesak, lalu mengambil kembali goloknya yang tadi terlepas dari pegangan, lalu membantu susioknya itu mengeroyok Lie Kong Sian.
Lo Sian tentu saja tidak mau mendiamkan hal ini dan ia pun bergerak maju sambil berseru,
"Bangsat pengecut, jangan main keroyokan!"
Akan tetapi Lie Kong Sian lalu berkata kepadanya,
"Sahabat, jangan kau turut campur! Biarkan aku sendiri memberi hajaran kepada penculik rendah ini. Yang diculik adalah keponakanku, maka aku yang berhak menghajar!"
Mendengar suara ini, Lo Sian melangkah mundur lagi karena ia tidak mau menyinggung perasaan pendekar gagah itu. Pula, ia melihat betapa Lie Kong Sian biarpun dikeroyok dua, tetapi masih dapat mendesak kedua lawannya, dan maklum pula bahwa kepandaiannya sendiri masih kurang cukup kuat sehingga bantuannya bahkan hanya merupakah gangguan saja bagi pergerakan Lie Kong Sian.
Memang ilmu pedang dari Lie Kong Sian bukan main hebatnya. Pendekar ini adalah murid dari mendiang Han Le Sianjin yang menjadi sute dari Bu Pun Su, maka tentu saja ilmu kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi sekali. Biarpun Lu Tong Kui dan Bouw Hun Ti juga bukan sembarang orang dan kepandaian mereka sudah termasuk tinggi dan lihai, namun menghadapi Lie Kong Sian, mereka tidak banyak berdaya dan setelah bertempur kurang lebih tiga puluh jurus, maklumlah mereka bahwa kalau dilanjutkan mereka tentu akan roboh di tangan pendekar besar dari Pulau Pek-le-to ini!
Lu Tong Kui adalah seorang yang licik dan juga pandai melihat gelagat. Daripada roboh di tangan Lie Kong Sian, lebih baik melarikan diri saja, pikirnya. Ia tak usah merasa malu melakukan hal ini, karena kalah dalam pertandingan melawan seorang gagah perkasa seperti Lie Kong Sian, bukanlah merupakan hal yang amat memalukan.
"Mari kita pergi!" katanya dengan cepat sambil menyerang hebat ke arah kedua kaki Lie Kong Sian.
Bouw Hun Ti memang sudah mengeluarkan keringat dingin karena takut dan gelisahnya, kini mendengar susioknya yang dibarengi dengan serangan hebat sehingga Lie Kong Sian tidak dapat menekannya, ia lalu melompat dari rumah makan.
"Bouw Hun Ti, jangan lari sebelum lehermu kupatahkan!" seru Lie Kong Sian menyampok pedang Lu Tong Kui dan tubuhnya berkelebat keluar mengejar Bouw Hun Ti.
Karena gerak Lie Kong Sian gesit sekali dan gin-kangnya sudah mencapai tingkat tinggi, maka dengan dua kali lompatan saja ia telah dapat menyusul dan mengirim bacokan dengan pedangnya dari belakang. Bouw Hun Ti bukanlah orang lemah dan mendengar suara angin Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
80 pedang dari belakang, ia cepat membalikkan tubuh dan menangkis pedang itu dengan goloknya sambil mengerahkan seluruh tenaga lwee-kangnya.
"Trang!!" Goloknya beradu dengan pedang sedemikian kerasnya sehingga telapak tangannya serasa akan pecah kulitnya. Ketika ia melihat, ternyata bahwa goloknya telah terbabat putus menjadi dua oleh pedang lawannya! Dan pada saat itu, pedang Lie Kong Sian menyambar dengan cepatnya menusuk dadanya. Bouw Hun Ti dengan suara kaget melempar tubuh ke belakang, akan tetapi ujung pedang itu masih menyerempet pundaknya dan melukai kulit pundak sehingga pecah dan darah membasahi pakaiannya! Ia terhuyung ke belakang dan tak tertahan lagi tubuhnya jatuh terjengkang!
Untung baginya, ketika Lie Kong Sian hendak menambahkan dengan tusukan maut datang Lu Tong Kui yang menyerang Lie Kong Sian dari belakang sehingga pendekar Pulau Pek-le-to itu terpaksa membalikkan tubuh untuk menghadapi Lu Tong Kui.
Bouw Hun Ti merangkak bangun dan melihat musuh tangguh itu telah ditahan oleh
susioknya, ia lalu melarikan diri secepatnya pergi dari tempat itu!
"Bouw Huii Ti, bangsat rendah, jangan lari!" seru Lie Kong Sian yang hendak mengejar kembali, akan tetapi Lu Tong Kui menyerangnya sedemikian rupa sehingga ia tak dapat melanjutkan niatnya mengejar musuh itu.
"Orang she Lu, jangan kau terlalu mendesak!" kata Lie Kong Sian. "Aku tidak mempunyai permusuhan denganmu dan tidak bermaksud membunuhmu. Yang hendak kubikin mampus
hanya bangsat rendah Bouw Hun Ti itu. Minggirlah!"
Akan tetapi Lu Tong Kui tidak menurut, bahkan mendesak makin hebat.
"Kalau begitu, agaknya kau pun telah bosan hidup!" teriak Lie Kong Sian marah dan pedangnya segera diputar cepat sekali. Gerakannya berubah dan kini pedangnya merupakan seekor naga yang ganas sekali, menyambar-nyambar tak mengenal ampun. Beberapa belas jurus Lu Tong Kui masih dapat mempertahankan diri, akan tetapi akhirnya ia berteriak ngeri dan roboh tak bernyawa pula karena dadanya telah tertembus oleh pedang di tangan Lie Kong Sian! Pendekar dari Pulau Pek-le-to ini untuk sesaat berdiri kesima dan merasa sedikit menyesal telah membunuh orang ini yang sesungguhnya di luar kehendaknya semula.
Kemudian ia teringat kepada Bouw Hun Ti, lalu mengejar secepatnya ke arah orang she Bouw itu tadi melarikan diri.
Lo Sian yang mengejar sampai di situ merasa kagum sekali dan berseru,
"Lie Kong Sian, Tai-hiap...! Tunggu dulu! Lili sudah berada di tangan yang aman sentausa!"
Akan tetapi Lie Kong Sian telah pergi jauh dan Lo Sian tidak dapat menyusul kecepatan lari pendekar itu sehingga Si Pengemis Sakti ini hanya menggeleng-geleng kepala dan kemudian pergi dari situ, tidak mengalami kesibukan karena terjadinya pembunuhan ini.
"Bouw Hun Ti telah berada di tempat ini dengan susioknya, maka tentu ia melarikan diri menuju ke tempat tinggal gurunya yang tak jauh dari sini," pikir Lo Sian dan ia lalu berlari cepat menuju ke dusun Tong-si-bun, tempat tinggal Ban Sai Cinjin.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
81 Hari telah sore ketika ia tiba di dusun itu dan melihat betapa rumah Ban Sai Cinjin sunyi saja, ia lalu menuju ke hutan di mana ia bersama Lili menolong Thio Kam Seng anak yatim piatu itu dari siksaan seorang hwesio kecil yang mendiami kuil megah dari Ban Sai Cinjin.
Dugaannya memang tepat sekali. Ketika ia tiba di dekat kuil itu, ia menyaksikan pertempuran yang hebat sekali tengah berlangsung antara Lie Kong Sian dan Ban Sai Cinjin sendiri!
Seperti juga dulu ia mengintai dari balik tetumbuhan yang rindang, menonton pertempuran luar biasa dahsyatnya itu. Hwesio kecil yang kejam dulu itu berdiri tak jauh dari tempat pertempuran dan di dekatnya berdiri pula Bouw Hun Ti yang bertolak pinggang. Tak jauh dari tempat itu berdiri pula seorang yang melihat dari keadaan pakaiannya, adalah seorang dusun yang kebetulan lewat di situ telah menonton pertempuran dengan mata terbelalak penuh kegelisahan dan ketakutan. Orang dusun ini rupanya masih muda.
Lie Kong Sian memang telah mendapatkan jejak musuhnya dan mengejar terus sampai ke tempat itu. Ia masih melihat berkelebatnya bayangan Bouw Hun Ti memasuki kuil yang amat mentereng di dalam hutan itu. Lie Kong Sian ragu-ragu untuk masuk ke dalam kuil, karena ia adalah seorang yang menghargai peraturan dan kesopanan. Tak berani ia secara sembarangan memasuki kuil tanpa seijin kepala hwesio yang menguasai kelenteng. Maka ia lalu berseru keras,
"Bouw Hun Ti manusia jahat! Jangan kau mengotori kelenteng suci dengan telapak kakimu yang hitam! Keluarlah untuk menerima kematian secara laki-laki!"
Beberapa kali Lie Kong Sian berteriak-teriak dari luar kuil dan tak lama kemudian, dari dalam kuil itu keluarlah seorang gemuk pendek yang sudah tua akan tetapi wajahnya masih kemerah-merahan tanda bahwa ia sehat sekali. Pakaiannya amat mengherankan karena mewahnya dan rambutnya yang sudah putih itu disisir rapi dan dikuncir ke belakang. Di luar pakaiannya yang terbuat daripada sutera halus dan mahal itu, ia mengenakan sebuah baju luar terbuat daripada bulu yang amat halus dan mahal. Sepatunya juga baru dan mengkilat dan pada tangan kanannya ia memegang sebatang huncwe (pipa tembakau) yang panjang. Kepala huncwe itu masih mengepulkan asap tembakau yang berbau harum, tanda bahwa tembakau yang diisapnya adalah tembakau yang mahal.
Lie Kong Sian tertegun. Ia belum pernah bertemu dengan orang ini, dan melihat potongan tubuhnya dan huncwe yang luar biasa itu, ia menduga bahwa orang ini tentulah Si Huncwe Maut yang terkenal pula dengan sebutan Ban Sai Cinjin. Akan tetapi mengapa Ban Sai Cinjin yang disohotkan sebagai seorang pemeluk kebatinan kelihatan begini pesolek" Maka Lie Kong Sian merasa ragu-ragu dan hanya memandang dengan mata menyinarkan cahaya tajam.
Sebaliknya, kakek yang sebenarnya memang Ban Sai Cinjin dengan tenang keluar dari kuil diikuti oleh seorang hwesio kecil berkepala gundul dan bermata liar, lalu ia menjura kepada Lie Kong Sian dan berkata,
"Selamat datang di kuilku, Pek-le-to Tai-hiap (Pendekar Besar dari Pulau Pek-le.-to)!
Sungguh satu kehormatan besar sekali mendapat kunjungan seorang gagah seperti kau. Hanya anehnya, sepanjang pendengaranku, Lie Kong Sian adalah pendekar besar yang penyabar dan tenang, akan tetapi mengapa sekarang ia mengunjungi sebuah kuil dengan pedang di tangan dan iblis maut membayang pada mukanya?"
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
82 Ucapan ini sungguhpun cukup pantas dan merendah, akan tetapi mengandung ejekan, terutama sekali tekanan kata-katanya.
Lie Kong Sian juga menjura sebagai balas penghormatan, lalu bertanya,
"Kalau tidak salah dugaanku, Lo-enghiong (Orang Tua Gagah) tentu yang disebut Ban Sai Cinjin si Huncwe Maut. Betulkah dugaanku ini?"
Ban Sai Cinjin tertawa dengan suara ketawanya yang aneh.
"Hehe, hehe, hehe, he-he-he, ha-ha-ha!" Akan tetapi ia tidak berkata sesuatu, hanya dengan amat tenangnya lalu mengetuk-ngetuk keluar abu tembakau dari kepala pipanya kemudian dengan masih tenang seakan-akan sedang menikmati waktu senggang seorang diri, ia membuka kantong tembakau yang tergantung pada pipa itu, mengeluarkan tembakau warna hitam yang dijemputnya dengan ibu jari, menutup kantong itu kembali dan
menggantungkannya lagi pada pipanya. Dengan mata meram-melek ia menggelintir-gelintir tembakau itu di ibu jari dan telunjuk tangan kiri, lalu dimasukkannya ke dalam mulut huncwe tempat tembakau.
Setelah itu, barulah ia memandang kepada Lie Kong Sian yang menjadi gemas juga melihat sikap yang angkuh dan memandang rendah ini. "Kau menduga tepat. Aku telah kenal dengan mendiang gurumu, Han Le Sianjin! Lie Kong Sian, apakah keperluanmu maka datang
mengunjungi kuilku dengan pedang di tangan?"
Lie Kong Sian adalah seorang pendekar yang jujur, tabah dan tidak suka menyembunyikan perbuatannya sendiri. Ia tahu bahwa Lu Tong Kui yang terbunuh olehnya tadi adalah sute dari Ban Sai Cinjin, maka tak perlu kiranya ia menyembunyikan permusuhannya dengan Bouw Hun Ti dan pembunuhannya terhadap Lu Tong Kui tadi, katanya,
"Ban Sai Cinjin, ketahuilah aku mengejar muridmu Bouw Hun Ti dan tadi kulihat ia bersembunyi di tempat ini."
"Hemm, memang ada muridku Bouw Hun Ti di ruang dalam, akan tetapi mengapakah kau mengejar-ngeiarnya dengan pedang di tangan?"
"Muridmu telah melakukan perbuatan yang jahat! Dia tidak saja membunuh Yousuf yang menjadi ayah angkat Nyonya Sie Cin Hai, akan tetapi juga ia telah menculik puteri dari Pendekar Bodoh itu. Kau tahu bahwa aku adalah Suheng dari Pendekar Bodoh, maka
mendengar kekejaman ini, tentu saja aku tidak tinggal diam dan berusaha membalas dendam.
Oleh karena itu, perlu pula kau ketahui untuk kaupertimbangkan, bahwa ketika aku mengejar muridmu tadi, sutemu Lu Tong Kui menghalangiku. Sudah kukatakan bahwa aku tidak memusuhinya, akan tetapi ia mendesak dan menyerang sehingga akhirnya ia tewas di ujung pedangku!"
Hampir meledak rasa dada Ban Sai Cinjin mendengar ini, akan tetapi perasaannya ini sama sekali tidak nampak pada wajahnya yang masih saja tersenyum-senyum mengejek. Akan tetapi, jari-jari tangannya yang masih memasuk-masukkan tembakau pada kepala pipa itu gemetar sedikit tanda bahwa dadanya bergelora karena marah.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
83 "Hemm, hemm, jadi kau telah membunuh Suteku pula" Lie Kong Sian! Agaknya kau
mengandalkan kepandaianmu untuk berbuat sesukamu terhadap murid dan Suteku. Kau berlaku sebagai hakim sendiri untuk menghukum mereka. Apakah kau sama sekali sudah tak memandang mukaku lagi?"
"Ban Sai Cinjin, harap kau orang tua suka mempertimbangkan baik-baik dan menggunakan cengli (aturan). Muridmu telah melakukan pembunuhan terhadap diri Yousuf dan menculik pula puteri Suteku, berarti bahwa ia sengaja memusuhi Pendekar Bodoh. Adapun sutemu Lu Tong Kui itu, dia mencari kematian sendiri karena dialah yang mendesakku dan menghalang-halangiku mengejar muridmu yang jahat."
"Enak saja kau bicara!" tiba-tiba Ban Sai Cinjin tak dapat menahan sabarnya lagi, matanya bersinar-sinar, dadanya berombak, akan tetapi ia masih sempat menyalakan api untuk membakar tembakau di kepala pipanya. "Bouw Hun Ti membunuh Yousuf adalah urusannya sendiri. Mereka sama-sama dari Turki dan urusan antara mereka tidak ada hubungannya dengan kita! Adapun tentang penculikan puteri Pendekar Bodoh, belum tentu kalau muridku bermaksud buruk. Buktinya, manakah anak yang diculiknya" Kau hanya menuduh secara membuta saja. Sekarang tak perlu kau banyak cakap, paling perlu kau harus membayar hutangmu dan membalas kematian Suteku!" Sambil berkata demikian, Ban Sai Cinjin menyedot pipanya dan terciumlah bau asap yang amat keras memusingkan kepala.
"Bagus!" Lie Kong Sian berseru marah. "Kau hendak membela yang jahat" Majulah, jangan kira aku takut kepadamu!" Lie Kong Sian yang sedang menderita kesedihan hati karena perginya isteri dan anaknya itu memang berubah adatnya menjadi keras dan mudah marah.
Keberaniannya bertambah-tambah karena ia tidak takut mati lagi setelah hidupnya mengalami kegagalan dan kepahitan.
"Manusia sombong! Gurumu sendiri belum tentu berani bersikap sesombong ini di
hadapanku. Nah, kau mampuslah!"
Sambil berkata demikian, Ban Sai Cinjin menyemburkan asap hitam dari mulutnya.
Semburan ini bukanlah semburan biasa akan tetapi yang dilakukan dengan tenaga khi-kang sepenuhnya sehingga asap hitam itu menyambar cepat ke arah muka Lie Kong Sian! Pendekar ini mengelak cepat karena tahu akan lihainya asap ini.
"Iblis tua, kau tak malu menggunakan kecurangan?" Lie Kong Sian membentak marah dan menyerang dengan pedangnya, akan tetapi ketika Ban Sai Cinjin dengan huncwenya, diam-diam ia merasa terkejut sekali karena ternyata bahwa tenaga lwee-kang dari orang tua pendek itu benar-benar hebat sekali dan masih lebih tinggi daripada tenaganya sendiri!
Maka bertempurlah kedua orang berilmu itu dengan hebat. Pedang di tangan Lie Kong Sian bergerak cepat dan sebentar saja tubuhnya telah lenyap di dalam gulungan pedangnya sendiri, sedangkan huncwe di tangan Ban Sai Cinjin benar-benar luar biasa. Saking cepatnya gerakan huncwe, maka yang terlihat hanyalah sinar kehitaman yang tebal dan kuat, merupakan benteng baja yang diliputi asap hitam seperti kabut, yaitu asap yang keluar dari tembakaunya yang beracun!
Setelah pertempuran berjalan seru, barulah kelihatan Bouw Hun Ti keluar dari sembunyinya dan dengan bertolak pinggang ia menonton pertempuran itu, bersama pendeta cilik gundul yang dulu hendak membedah perut Thio Kam Seng. Kebetulan sekali pada saat itu di tempat Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
84 itu terdapat seorang penduduk kampung muda yang datang mencari kayu kering. Ketika ia mendengar suara senjata beradu, ia tertarik dan datang pula ke depan kelenteng. Kini ia berdiri dengan mulut melongo, ketika menyaksikan pertempuran yang luar biasa dan yang selama hidupnya belum pernah disaksikannya itu. Ia tidak dapat melihat orang yang sedang bertempur, hanya melihat gulungan sinar putih keemasan dari pedang Lie Kong Sian, dan gulungan sinar hitam dari huncwe Ban Sai Cinjin!
Dan pada saat pertempuran telah berjalan lima puluh jurus lebih, datanglah Lo Sian yang mengintai dari balik gerombolan pohon. Biarpun Lo Sian bukan seorang biasa dan telah memiliki kepandaian tinggi, namun menyaksikan pertempuran ini, ia menjadi tertegun dan kagum sekali. Belum pernah selama hidupnya ia menyaksikan pertandingan yang demikian seru dan hebatnya. Lo Sian selama ini mengagumi kepandaian suhengnya, Mo-kai Nyo Tiang Le yang telah mewarisi seluruh kepandaian mendiang suhunya, akan tetapi melihat gerakan kedua orang yang sedang bertempur, ia merasa ragu-ragu apakah kepandaian suhengnya itu dapat menandingi kepandaian Ban Sai Cinjin.
Sebetulnya, dalam hal gerakan ilmu silat, Lie Kong Sian tak usah merasa kalah terhadap Ban Sai Cinjin. Kalau saja kakek pesolek itu mempergunakan ilmu silat biasa, agaknya tak mungkin ia akan dapat melawan Lie Kong Sian sampai sekian lamanya. Akan tetapi, Ban Sai Cinjin bukan seorang ahli silat biasa. Selain ilmu silat ia telah mempelajari ilmu hoat-sut (sihir) dari bangsa Mongol, di dalam gerakan huncwenya banyak terdapat gerakan-gerakan aneh yang mempengaruhi pandangan mata lawan, seringkali huncwe itu membuat gerakan rahasia sehingga tiba-tiba Lie Kong Sian merasa matanya kabur dan pikirannya bingung.
Hanya berkat lwee-kangnya yang sudah tinggi dan permainan pedangnya yang memang sudah mendekati kesempurnaan sajalah yang masih menyelamatkan nyawanya karena lawannya tak dapat mudah membobolkan pertahanan pedangnya. Selain ini juga dalam tenaga dalam Lie Kong Sian harus mengaku kalah. Tenaga dalam yang dimiliki oleh Ban Sai Cinjin bukanlah tenaga biasa, akan tetapi tenaga yang diperkuat oleh ilmu hitam dan mantera.
Sebaliknya, Ban Sai Cinjin merasa kagum dan diam-diam merasa amat penasaran sekali. Dia adalah seseorang yang belum pernah merasa dikalahkan orang, dan huncwenya telah dikenal oleh seluruh orang gagah di kalangan kang-ouw sebagai senjata yang tak terlawan sehingga ia dijuluki Huncwe Maut. Akan tetapi, menghadapi seorang jago muda saja sampai puluhan jurus belum juga ia dapat merobohkannya! Jangankan merobohkan, bahkan mendesak saja ia pun tidak mampu. Maka, dengan penuh kemarahan Ban Sai Cinjin membentak,
"Siauw-koai, Lo-koai, semua tunduk kepadaku! Lie Kong Sian, ayahmu, kakekmu, gurumu, semua tunduk kepadaku. Kau juga takut kepadaku!" Ini adalah ucapan yang mengandung mantera dan merupakan sihir yang luar biasa, karena tiba-tiba Lie Kong Sian merasa berdebar-debar dan dalam pandang matanya, Ban Sai Cinjin nampak amat menakutkan dan mengerikan hati! Kalau orang lain yang menghadapi pengaruh ilmu hitam ini tentu akan lemas seluruh tubuhnya sehingga akan mudah sekali dirobohkan. Namun Lie Kong Sian bukanlah orang sembarangan. Telah bertahun-tahun tinggal menyepi seorang diri di pulau kosong di tengah laut. Telah bertahun-tahun ia melakukan tapa dan samadhi untuk memperkuat batin dan membersihkan pikiran. Banyak sekali godaan-godaan setan yang dialaminya di waktu ia menyepi di atas pulau itu, dan semua rintangan dan godaan itu telah dapat dihadapinya dengan baik. Kini, mendapat serangan luar biasa dari Ban Sai Cinjin dengan ilmu hitamnya, biarpun hatinya berdebar dan rasa takut dan ngeri meliputi hatinya, namun ia dapat memperteguh imannya dan permainan pedangnya tidak menjadi kacau.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
85 "Lie Kong Sian, lihat! Api neraka membakarmu!" teriak lagi Ban Sai Cinjin sambil tiba-tiba menepuk pipa tembakaunya dengan tangan kiri sehingga api tembakau memancar keluar dari kepala pipanya itu, menyambar ke arah Lie Kong Sian. Pengaruh ilmu sihir membuat api itu nampak besar sekali yang menyambar ke arah kepalanya. Akan tetapi Lie Kong Sian masih dapat berlaku gesit dan tidak terpengaruh oleh teriakan yang mengandung hawa hitam itu. Ia cepat mengelak ke kiri dan sungguhpun ia merasa terkejut sekali, namun ia masih dapat menyelamatkan diri daripada serangan api tembakau beracun itu.
Tak terduga sama sekali olehnya, bahwa diam-diam Bouw Hun Ti yang berwatak curang dan palsu itu, melakukan kecurangan yang amat memalukan. Ketika Bouw Hun Ti melihat suhunya amat sukar mengalahkan Lie Kong Sian, orang ini lalu mengeluarkan gendewanya yang kecil akan tetapi kuat sekali. Melihat bentuknya, gendewa ini berbeda dengan gendewa yang biasa digunakan orang Tiongkok, karena sesungguhnya gendewa ini adalah gendewa model Turki. Sambil memegang gendewa dengan tangan kiri dan tiga batang anak panah pendek di tangan kanan, Bouw Hun Ti bersiap-siap mencari kesempatan untuk membokong musuhnya yang sedang bertanding melawan gurunya itu. Kesempatan itu tiba ketika Lie Kong Sian diserang oleh api dari kepala huncwe Ban Sai Cinjin. Bouw Hun Ti melihat betapa Lie Kong Sian mengelak ke kiri dengan muka memperlihatkan kekagetan, maka ia cepat
menggerakkan kedua tangannya dan "sr! sr! sr!" tiga batang anak panahnya yang pendek dan kecil warnanya hitam itu meluncur cepat sekali ke arah Lie Kong Sian. Tiga batang senjata itu menyerang ke arah leher, ulu hati, dan bawah pusar!
Bukan main kagetnya hati Lie Kong Sian melihat serangan yang tiba-tiba datangnya dan tak tersangka-sangka ini!
"Bangsat curang!!" serunya marah dan berusaha menyelamatkan diri dengan mengelak cepat ke kanan dengan miringan tubuhnya. Memang kecepatan gerakannya dapat menolong dirinya dari ancaman tiga batang anak panah beracun itu, akan tetapi gerakannya ini disambut dengan serangan maut oleh Ban Sai Cinjin yang tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Selagi tubuh Lie Kong Sian miring dan dalam posisi yang amat lemah, huncwenya menyambar dan...
"tak!" huncwe itu dengan tepat sekali mengetuk kepala Lie Kong Sian di bagian ubun-ubunnya.


Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lie Kong Sian menjerit ngeri, tubuhnya terhuyung-huyung, terputar-putar dan pedangnya terlepas dari tangan. Kemudian setelah berputar beberapa kali, tubuh Lie Kong Sian terjungkal dan roboh tertelungkup tak bergerrak lag!! Ubun-ubunnya telah pecah terkena pukulan huncwe yang hebat itu dan nyawanya melayang pada saat itu juga! Lie Kong Sian, suami Ang I Niocu, pendekar besar dari Pulau Pek-le-to, telah tewas dalam keadaan yang amat mengecewakan!
Lo Sian yang mengintai dari balik pohon, mengerutkan kening dan meramkan matanya dengan hati perih dan ngeri. Tak terasa pula dua titik air mata melompat keluar dari sepasang matanya, turun di atas pipinya. Apakah dayanya" Kepandaiannya masih tak cukup kuat untuk menghadapi Bouw Hun Ti, apalagi menghadapi gurunya, Ban Sai Cinjin yang amat tangguh dan kejam itu.
Sementara itu, Ban Sai Cinjin juga tercengang melihat kecurangan muridnya. Ia menegur perlahan,
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
86 "Hun Ti, mengapa kau lancang membantuku" Kau merendahkan derajatku dengan bantuan tadi dan hatiku tidak merasa puas biarpun aku telah menang dan berhasil merobohkan Lie Kong Sian. Biarpun kau tidak membantu, akhirnya Lie Kong Sian pasti akan roboh juga di tanganku. Mengapa kau membantu dengan jalan curang?"
"Teecu tidak tahan lebih lama lagi melihat orang yang telah membunuh Susiok ini!" jawab Bouw Hun Ti, dan Ban Sai Cinjin terhibur juga mendengar ini.
Tiba-tiba ia melihat pemuda kampung itu dan membentak, "Siapa dia itu?"
"Entah, teecu juga tidak mengenalnya," jawab Bouw Hun Ti.
"Dia adalah seorang kampung yang mencari kayu, Suhu," kata hwesio cilik yang ternyata murid merangkap pelayan dari Ban Sai Cinjin.
"Celaka, dia telah melihat perbuatanku terhadap Lie Kong Sian tadi, dan kalau hal ini sampai diketahui orang luar, aku akan mendapat malu!" kata Ban Sai Cinjin. Tiba-tiba tubuhnya melompat dan tahu-tahu ia telah berada di depan orang kampung muda yang masih berdiri terbelalak ngeri melihat pembunuhan tadi. Kini ia menjadi ketakutan ketika melihat Ban Sai Cinjin telah berada di depannya dan sebelum ia dapat melarikan diri, Ban Sai Cinjin menyemburkan asap hitam ke arah mukanya. Orang itu mendekap muka dengan tangannya, terbatuk-batuk beberapa kali seakan-akan tak dapat bernapas, kemudian tubuhnya terhuyung-huyung dan jatuh telentang tak bernapas lagi. Mukanya menjadi hitam karena racun yang disemburkan melalul asap tembakau itu! Dengan amat kejamnya, untuk menolong
kehormatan dan namanya agar jangan sampai ada lain orang tahu akan kecurangannya terhadapi Lie Kong Sian tadi, Ban Sai Cinjin telah membunuh pemuda kampung itu begitu saja!
"Ha-ha!" Bouw Hun Ti tertawa girang. "Suhu telah membuat penyelesaian yang amat cepat dan tepat!"
"Sudahlah, kaukubur dua mayat itu agar jangan sampai ada orang melihatnya," kata Ban Sai Cinjin.
"Suhu, mengapa menyia-nyiakan kesempatan baik ini?" tiba-tiba hwesio cilik itu berkata kepada gurunya. "Jantung kedua orang ini masih segar dan mudah sekali diambil!"
Ban Sai Cinjin tertawa dan berkata kepada Bouw Hun Ti, "Lihat Sutemu benar-benar ingin mempelajari dengan sempurna ilmu kebal itu!" Bouw Hun Ti hanya tersenyum menyeringai.
Ia maklum bahwa suhunya mempunyai ilmu kekebalan yang dapat diturunkan kepada
muridnya dengan jalan memakan obat yang dicampur dengan tiga buah jantung manusia!
"Jantung orang kampung ini tidak bersih, telah terkena racun, maka tidak dapat digunakan,"
kata Ban Sai Cinjin. "Kalau jantung dia itu," dia menunjuk ke arah tubuh Lie Kong Sian yang masih menelungkup di atas tanah, "masih baik, akan tetapi, dia seorang pendekar besar, aku tak sampai hati untuk membelek dada mengambil jantungnya."
"Biar murid sendiri yang melakukan hal itu, Suhu," kata hwesio cilik itu dengan suara memohon, "setelah itu barulah teecu akan menguburkannya baik-baik."
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
87 "Sesukamulah!" akhirnya Ban Sai Cinjin berkata sambil tersenyum, dan masuklah ia ke dalam kuilnya.
"Sute, biar aku yang mengubur orang kampung ini. Setelah kau selesai dengan yang itu, kau harus menguburkannya sendiri baik-baik."
Hwesio cilik itu mengangguk kepada suhengnya, lalu ia menghampiri mayat Lie Kong Sian dan diangkatnya menuju ke belakang kuil. Sedangkan Bouw Hun Ti lalu mengubur mayat pemuda kampung itu secara sembarangan di tempat yang agak jauh dari kuil, seperti orang mengubur bangkai anjing saja.
Hari telah menjadi gelap dan malam itu bertambah seram dengan terjadinya dua pembunuhan itu. Di dalam kamar dekat dapur, hwesio kecil telah menelanjangi mayat Lie Kong Sian dan telah menyediakan sebilah pisau tajam dan sebuah mangkok putih tempat jantung yang hendak diambilnya dari dalam dada Lie Kong Sian.
Kemudian, hwesio cilik ini menggunakan pisaunya untuk memotong sedikit rambut dari kepala Lie Kong Sian lalu mengikatkan rambut itu pada sebatang sumpit gading yang telah disediakan. Ia meletakkan sumpit itu di atas mangkok putih tadi, lalu ia menyalakan tiga batang hio. Kemudian ia bersembahyang di depan mayat itu dan berkata,
"Arwah orang she Lie! Aku, Hok Ti Hwesio, dengan sungguh hati mengundangmu untuk mengajukan beberapa pertanyaan!" Ia lalu membawa hio bernyala itu dan berjalan mengitari mayat Lie Kong Sian tiga kali, kemudian ia menancapkan tiga batang hio itu ke dalam mulut mayat Lie Kong Sian. Setelah itu, ia mengambil sumpit yang telah diikat ujungnya oleh rambut Lie Kong Sian tadi, diputar-putarkan di atas hio agar terkena asap hio sambil mulutnya berkemak-kemik membaca mantera. Lalu ia menaruh sumpit itu di atas mangkok lagi dan berkata,
"Arwah orang she Lie! Kalau kau sudah masuk ke dalam sumpit ini, berputarlah!"
Sungguh aneh sekali dan sukarlah untuk diselidiki mengapa dapat terjadi demikian, akan tetapi benar saja sumpit di atas mangkok itu lalu terputar-putar bagaikan digerakkan oleh tangan yang tidak kelihatan!
Hwesio cilik yang bernama Hok Ti Hwesio itu tersenyum girang.
"Arwah orang she Lie! Perkenankanlah aku meminjam jantung dari tubuhmu yang sudah tidak ada gunanya lagi untuk campuran obat membuat kebal tubuhku. Kalau kau setuju, berputarlah satu kali, kalau tidak setuju, berputarlah tiga kali!"
Hwesio itu dengan penuh gairah memandang ke arah mangkok dan sumpit. Dan sumpit itu mulai bergerak memutar satu kali, lalu diam, akan tetapi lalu memutar sekali lagi dan sekali lagi baru diam tak bergerak! Ternyata bahwa kalau memang benar yang menjawab itu adalah arwah Lie Kong Sian, maka arwah pendekar itu tidak menyetujui jantung dari tubuhnya diambil oleh hwesio cilik ini!
Hok Ti Hwesio mengerutkan kening dan wajahnya menjadi muram. Ia mencabut tiga batang hio itu dengan kasar dari mulut mayat Lie Kong Sian, lalu mengangkat hio itu tinggi di atas kepalanya sambil berkata,
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
88 "Arwah orang she Lie! Ketahuilah bahwa aku, Hok Ti Hwesio, akan merawat dan mengubur jenazahmu baik-baik! Dengan demikian, aku telah melepas budi kepadamu, maka apakah kau tidak mau membalas budi itu untuk bekal naik ke sorga" Nah, sekali lagi kupinta, arwah orang she Lie, berikanlah jantungmu dengan rela!" Setelah berkata demikian, ia lalu menancapkan kembali hio itu ke dalam mulut mayat itu. Ia menghampiri sumpit di atas mangkok dan berkata lagi,
"Nah, sekarang jawablah! Berikan jantung tubuhmu kepadaku, setuju atau tidak?" Kembali sumpit itu berputar-putar dan masih tetap... tiga kali!
Hok Ti Hwesio membanting-banting kakinya dengan gemas sekali. Ia mengambil pisau tajam dari atas meja dan menghampiri mayat Lie Kong Sian yang bertelanjang bulat dan telentang di atas meja panjang.
"Baik, kau tidak setuju" Aku tetap akan mengarnbil jantung tubuhmu, hendak kulihat kau bisa berbuat apa! Sudah mampus kau masih saja jahat dan memusuhi kami, orang she Lie!"
Hwesio cilik ini dengan muka kejam lalu mengangkat tangan hendak menusuk dada mayat Lie Kong Sian, akan tetapi pada saat itu, tiba-tiba meniup angin besar dari jendela dan api lilin menjadi padam! Hok Ti Hwesio terkejut sekali dan menoleh ke jendela. Wajahnya menjadi pucat karena ia melihat sebuah kepala tersembul di jendela dan karena penerangan lilin telah padam, maka kepala itu nampak hitam dan besar mengerikan! Hok Ti Hwesio biarpun masih kecil, akan tetapi karena telah menerima latihan ilmu-ilmu hitam, tidak merasa takut terhadap segala setan dan iblis, akan tetapi oleh karena tadi ia hendak memaksa dan membedah dada mayat itu biarpun arwah si mayat tidak menyetujuinya, tentu saja kini menyangka bahwa itu adalah setan penasaran dari Lie Kong Sian yang datang mengganggu!
Ia melemparkan pisaunya ke bawah dan berlari berteriak-teriak.
"Tolong... setan... tolong, Suhu... ada setan"!"
Kepala yang tersembul di jendela itu ternyata bertubuh dan kini tubuhnya bergerak melompat ke dalam kamar, memondong mayat Lie Kong Sian dan cepat dibawa lagi keluar! Bayangan yang disangka setan ini ternyata adalah Lo Sian! Sebagaimana diketahui, Pengemis Sakti ini mengintai dan menyaksikan betapa Lie Kong Sian terbunuh dan betapa orang muda kampung yang tanpa disengaja menyaksikan pula pembunuhan itu, telah dibunuh secara kejam oleh Ban Sai Cinjin. Kemudian ia mendengar tentang permintaan Hok Ti Hwesio yang hendak mengambil jantung dari mayat Lie Kong Sian. Di depan Bouw Hun Ti dan Ban Sai Cinjin Lo Sian tidak berani bergerak, akan ketika melihat hwesio cilik itu membawa mayat Lie Kong Sian ke belakang, ia lalu mengikuti dan mengintai dari jendela. Sesungguhnya, perbuatan Lo Sian juga yang memutarkan sumpit gading tadi, dengan mengerahkan khi-kang dan meniup dari jendela, dan dia pula yang meniup padam api lilin!
Ban Sai Cinjin dan Bouw Hun Ti ketika mendengar teriakan Hok Ti Hwesio, cepat memburu dan mereka masih melihat bayangan Lo Sian membawa lari mayat Lie Kong Sian. Mereka cepat mengejar, akan tetapi Lo Sian telah menghilang di dalam gelap, sebentar saja Lo Sian telah dapat meninggalkan kedua orang pengejarnya.
"Celaka, bangsat Lo Sian telah mengetahui peristiwa itu, bahkan telah membawa lari mayat Lie Kong Sian. Hal ini pasti akan berekor panjang sekali," kata Ban Sai Cinjin sambil menghela napas.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
89 "Biarlah, apakah Suhu takut menghadapi kawan-kawannya?" kata Bouw Hun Ti. "Kalau Pendekar Bodoh dan yang lain-lain datang, kita gempur mereka!"
"Takut sih tidak, akan tetapi aku segan untuk bermusuhan dengan orang-orang kang-ouw.
Hidupku biasanya senang dan aman, kini pasti akan menemui gangguan dan semua ini gara-gara kau, Hun Ti! Karena itu, kau harus memperdalam kepandaianmu. Aku sendiri sudah malas untuk mengajar dan jalan satu-satunya bagimu ialah pergi ke tempat pertapaan Supekmu."
"Wi Kong Siansu di Hek-kwi-san?" tanya Bouw Hun Ti sambil membelalakkan kedua
matanya. Ban Sai Cinjin mengangguk. "Ya, siapa lagi selain supekmu yang dapat memperkuat kedudukan kita dan dapat memberi pendidikan ilmu silat lebih jauh kepadamu?"
"Akan tetapi, bukankah Suhu pernah menceritakan bahwa Supek itu telah mencuci tangan dan mengasingkan diri di puncak Hek-kwi-san, tidak mau mencampuri urusan dunia lagi?"
"Benar, akan, tetapi aku telah tahu akan tabiat Supekmu itu. Ia amat sayang kepada mendiang Lu Tong Kui yang biarpun menjadi Sute, akan tetapi masih iparnya sendiri. Ketahuilah rahasianya dahulu, bahwa Enci dari Lu Tong Kui pernah mengadakan hubungan dengan Supekmu itu! Nah, kalau kau membawa suratku, dan menceritakan tentang tewasnya Lu Tong Kui, tentu dia akan turun gunung dan memperkuat kedudukan kita."
"Akan tetapi, Suhu. Pembunuh Lu Tong Kui adalah Lie Kong Sian dan Lie Kong Sian telah terbalas oleh Suhu."
"Bodoh! Jangan kauberitahukan bahwa pembunuh susiokmu itu Lie Kong Sian. Beritahukan saja bahwa pembunuhnya adalah Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya, dan bahwa matinya dikeroyok sehingga tidak saja Suheng akan mendendam kepada Pendekar Bodoh, akan tetapi juga kepada yang lain. Pendeknya, kalau Suheng dapat dibujuk turun gunung dan tinggal di sini bersama kita, jangankan baru Pendekar Bodoh, andaikata Bu Pun Su bangkit lagi dari kuburan, kita tak usah takut menghadapinya!"
Bouw Hun Ti merasa girang sekali. "Dan bagaimana dengan Lo Sian yang membawa lari mayat Lie Kong Sian itu, Suhu?"
"Serahkan dia kepadaku. Aku yang akan mencarinya dan menghajarnya. Kau berangkatlah besok pagi-pagi ke Hek-kwi-san jangan ditunda-tunda lagi dan aku akan membuat surat untuk Suheng."
Demikianlah pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Bouw Hun Ti berangkat ke tempat pertapaan Wi Kong Siansu, suheng dari Ban Sai Cinjin dengan membawa surat dari suhunya itu. Pendeta tua yang disebut Wi Kong Siansu dan yang menjadi suheng dari Ban Sai Cinjin ini adalah seorang pertapa yang sakti. Dulu di waktu mudanya ia terkenal sebagal seorang yang malang melintang di dunia kang-ouw, dan yang belum pernah menderita kekalahan dalam setiap pertempuran. Bahkan orang-orang ternama dan yang termasuk tokoh-tokoh terbesar di dunia persilatan seperti Bu Pun Su, Hok Peng Taisu, Pok Pok Sianjin, dan Swi Kiat Siansu yang terkenal sebagai empat tokoh terbesar dari empat penjuru, merasa segan Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
90 untuk bentrok dengan Wi Kon Siansu. Bukan karena empat tokoh besar ini merasa jerih dari takut, akan tetapi oleh karena Wi Kong Siansu terkenal memiliki kepandaian silat yang amat ganas dan dahsyat sehingga setiap kali dia bertanding ilmu kepandaian dengan seorang lawan, lawan itu tentu akan tewas di dalam tangannya! Bagi Wi Kong Siansu, hanya ada dua keputusan dalam tiap pertandingan, yaitu menang atau kalah dan mati! Oleh karena inilah, maka ia mendapat julukan Toat-beng Lo-mo atau Iblis Tua Pencabut Nyawa!
Adapun Ban Sai Cinjin lalu mengadakan perjalanan pula untuk mencari dan menyusul Lo Sian yang telah mengetahui rahasianya. Sebetulnya Ban Sai Cinjin tidak takut orang mengetahui bahwa ia telah membunuh Lie Kong Sian, kalau saja pembunuhan ltu dilakukan dalam sebuah pertempuran yang adil. Yang membuatnya merasa kuatir kalau sampai
diketahui orang adalah bahwa kekalahan Lie Kong Sian sesungguhnya karena kecurangan yang dilakukan oleh Bouw Hun Ti!
Ban Sai Cinjin adalah seorang tokoh kang-ouw yang terkenal dan mempunyai banyak sahabat hampir di seluruh daerah, maka dengan mudah ia dapat menyusul dan mengetahui di mana adanya Lo Sian yang juga banyak dikenal orang.
Kita mengikuti perjalanan Lo Sian yang membawa lari jenazah Lie Kong Sian. Setelah dapat melepaskan diri dari pengejaran Ban Sai Cinjin dan Bouw Hun Ti, Lo Sian lalu masuk ke dalam hutan pohon pek yang bersambung dengan hutan di mana terdapat kelenteng tempat tinggal Ban Sai Cinjin. Ia memilih tempat yang baik, yaitu sebuah bukit kecil di tengah hutan yang amat baik hongsuinya (kedudukan tanahnya). Kemudian dengan penuh khidmat ia lalu mengubur jenazah pendekar besar Lie Kong Sian. Sampai lama Lo Sian bersila, di depan gundukan tanah itu untuk mengheningkan cipta. Di dalam hatinya ia menyatakan terima kasihnya kepada mendiang Lie Kong Sian, dan juga menyatakan penyesalannya bahwa karena membela dia, pendekar besar itu sampai menemui maut di tangan Ban Sai Cinjin.
Kemudian Lo Sian lalu menanam sebatang kembang mawar hutan di depan gundukan tanah itu untuk menjadi tanda.
Setelah itu, Pengemis Sakti ini lalu melanjutkan perjalanan menuju ke Beng-san untuk menyusul suhengnya yang membawa Lili dan Kam Seng ke puncak bukit itu. Sama sekali ia tak pernah mengira bahwa bahaya besar sedang mengancam dan mengejarnya. Siapakah yang menyangka bahwa Ban Sai Cinjin hendak menyusul dan mencarinya" Ia hanya mencuri mayat Lie Kong Sian dan hal ini bukanlah hal yang terlalu penting bagi Ban Sai Cinjin. Lo Sian tidak tahu bahwa Ban Sai Cinjin mengejarnya karena ia dianggap satu-satunya orang yang telah mengetahui akan rahasia pembunuhan curang atas diri Lie Kong Sian.
Beberapa hari kemudian, baru saja Lo Sian keluar dari dusun, tiba-tiba di depannya berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu Ban Sai Cinjin telah berdiri di depannya sambil tersenyum-senyum dan huncwe mautnya mengebulkan asap hitam! Ternyata bahwa kakek pesolek yang amat lihai ini telah dapat menyusulnya.
"Ha-ha, pengemis jembel!" kata Ban Sai Cinjin. "Apa kaukira kau dapat melarikan, diri begitu saja dariku setelah kau mencuri tubuh yang dibutuhkan oleh muridku?"
"Ban Sai Cinjin," kata Lo Sian dengan gelisah, "aku tidak mengganggu muridmu dan tentang jenazah Lie Kong Sian itu, memang aku yang mengambil untuk dikubur sepatutnya. Dia Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
91 adalah seorang pendekar besar dan sudah sepatutnya kalau jenazahnya dikebumikan dengan baik. Apakah perbuatanku itu kauanggap salah?"
"Hemm, Lo Sian, kau pandai memutar lidah! Kau telah berkali-kali mengganggu Bouw Hun Ti mencampuri urusannya. Sekarang kau membawa pergi mayat Lie Kong Sian. Dimanakah mayat itu sekarang?"
"Sudah dikubur dengan baik." jawab Lo Sian.
"Bagus, dan jantungnya tentu sudah rusak. Kalau begitu, kaugantilah dengan jantungmu sendiri. Hayo pengemis jembel, kauserahkan jantungmu kepadaku, baru aku mau memberi ampun!"
Lo Sian tahu bahwa kakek ini sengaja mencari perkara. Bagaimana orang bisa hidup kalau jantungnya diambil" Ia lalu mencabut pedangnya dan berkata keras, "Kau inginkan jantung"
Inilah dia!" Sambil berkata demikian, Lo Sian lalu menyerang dengan sebuah tusukan pedangnya yang dilakukan dengan nekad dan cepat, karena ia maklum bahwa ilmu
kepandaian Ban Sai Cinjin jauh berada di atas tingkatnya.
Si Huncwe Maut tertawa geli, huncwe di tangannya bergerak didahului oleh semburan asap hitam dari mulutnya ke arah muka Lo Sian. Pengemis Sakti tahu akan berbahayanya asap ini, maka ia cepat melompat ke kiri dan memutar pedangnya untuk melindungi tubuhnya dari serangan lawan. Akan tetapi tiba-tiba pedangnya berhenti berputar karena telah tertempel oleh huncwe di tangan Ban Sai Cinjin dan tak dapat digerakkan lagi.
"Lepas!" Ban Sai Cinjin membentak sambil memutar huncwenya sedemikian rupa sehingga pedang di tangan Lo Sian ikut terputar, kemudian dengan tenaga tiba-tiba ia membetot dan terlepaslah pedang itu dari tangan Lo Sian tanpa dapat dicegah lagi. Kemudian huncwenya meluncur dengan sebuah totokan hebat dan robohlah Lo Sian tanpa dapat berdaya lagi karena jalan darahnya telah kena tertotok oleh huncwe yang lihai itu.
Ban Sai Cinjin mengempit tubuh Lo Sian yang menjadi lemas itu dan membawanya lari secepat terbang kembali ke kelentengnya! Setelah tiba di kelenteng yang mewah itu, ia melemparkan tubuh Lo Sian ke atas lantai, lalu mengambil semangkok obat yang biru kehitaman warnanya.
"Minum ini!" katanya dan hwesio kecil muridnya itu memandang sambil menyeringai. Lo Sian biarpun telah lemas dan tidak bertenaga lagi, namun hatinya masih cukup tabah dan keras, maka ia diam saja, biarpun mangkok itu telah ditempelkan pada bibirnya, namun ia tidak mau meneguk obat itu.
"Eh, pengemis jembel!" Hok Ti Hwesio si hwesio kecil itu mengeiek. "Kau kelaparan dan kehausan, minuman seenak ini mengapa tidak mau minum?" Sambil berkata demikian, hwesio kecil ini menampar mulut Lo Sian yang tak dapat mengelak atau mengerahkan tenaga sehingga ketika terdengar suara "plak!" bibirnya pecah dan berdarah!
"Buka mulut anjing ini!" kata Ban Sai Cinjin kepada muridnya. Hok Ti Hwesio yang memang semenjak kecil mendapat pendidikan kekejaman itu sambil tertawa-tawa lalu menggunakan kedua tangannya membuka mulut Lo Sian dengan paksa, lalu mengganjal mulut itu dengan kakinya yang bersepatu kotor, sehingga mulut Lo Sian kini ternganga Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
92 diganjal sepatu dari Ban Sai Cinjin lalu menuangkan obat mangkok itu ke dalam mulut Lo Sian. Si Pengemis Sakti mencoba untuk menutup kerongkongannya, akan tetapi Hok Ti Hwesio, si hwesio kecil yang kejam dan penuh akal itu lalu memencet hidung Lo Sian dengan kedua jari tangannya. Lo Sian terengah-engah dan terpaksa harus bernapas dari mulut dan masuklah obat itu ke dalam perutnya! Obat itu terasa amat getir dan masam dan setelah masuk ke dalam perut terasa amat dingin sehingga ia menggigil. Lo Sian berpikir bahwa obat itu tentulah racun dan ia tentu akan mati, maka sambil meramkan mata ia menanti datangnya maut. Tak lama kemudian pikirannya menjadi lemah dan tak dapat digunakan lagi, lalu la menjadi pingsan tak sadarkan dirinya!
Setelah ia membuka mata kembali, ternyata ia telah berada di dalam sebuah hutan seorang diri. Tak nampak lain orang di situ dan pikiran Lo Sian masih tidak karuan. Segala benda di depannya nampak berputar-putar dan sebentar lagi ia berteriak-teriak,
"Pemakan jantung...! Tolong... pemakan jantung...!" Kemudian, dengan beringas ia melompat bangun dan berlari terhuyung-huyung tidak karuan seperti orang mabok. Terdengar ia berteriak-teriak, sebentar menangis seperti orang ketakutan setengah mati, kemudian ia tertawa dengan geli seakan-akan melihat sesuatu yang amat lucu. Ternyata Lo Sian telah menjadi gila! Obat yang dipaksakan memasuki perutnya itu adalah semacam obat mujijat yang merampas ingatannya dan membuat ia menjadi gila! Alangkah kejamnya Ban Sai Cinjin dan muridnya Hok Ti Hwesio. Ban Sai Cinjin merasa tak ada gunanya membunuh Lo Sian, maka timbul pikiran yang amat keji dan juga cerdik. Ia mernbiarkan Lo Sian hidup, akan tetapi memberinya minum racun yang membuatnya menjadi gila sehingga tak mungkin lagi Lo Sian membuka rahasia pembunuhan atas diri Lie Kong Sian! Jangankan mengingat akan hal itu semua, bahkan kepada diri sendiri pun Lo Sian tak ingat lagi. Ia tidak tahu lagi siapa adanya dirinya sendiri dan tidak ingat lagi segala kejadian yang lalu, yang terbayang di depan matanya hanyalah jantung manusia yang dimakan orang!
Memang, kasihan sekali nasib Lo Sian yang terjatuh ke dalam tangan orang-orang berhati iblis! Ia merantau tak tentu arah tujuan sebagai seorang gila.
*** Pegunungan Ho-lan-san memanjang dan menjadi tapal batas antara Mongolia dan daratan Tiongkok Propinsi Kansu. Sungguhpun pegunungan ini di kanan kirinya, terutama sekali di bagian utara, merupakan padang pasir yang amat luas, namun pegunungan ini cukup kaya akan hutan-hutan dan pepohonan. Hal ini adalah berkat mengalirnya Sungai Kuning, yang membuat lembah di sepanjang alirannya menjadi subur.
Oleh karena itu, tak heran apabila di tempat yang jauh dari dunia ramai ini telah banyak orang datang dan desa-desa yang cukup ramai terdapat di sepanjang sungai besar itu. Dengan adanya Sungai Huang-ho yang tak pernah mengering ini, lapangan pencarian nafkah hidup bagi mereka tidak kurang. Selain bercocok tanam di lembah yang subur, para penduduk dapat pula bekerja sebagai nelayan, karena air sungai mengandung cukup banyak ikan. Selain ini, mereka dapat pula mengambil hasil hutan terutama kayu-kayu yang keras dan baik untuk pembangunan. Pekerjaan ini makin lama makin ramai dan bahkan ada beberapa orang yang cukup bermodal lalu mendirikan perusahaan kayu bangunan. Tukang-tukang kayu disebar ke hutan-hutan untuk menebang pohon yang baik kayunya, kemudian kayu yang telah menjadi balok-balok besar itu lalu ditumpuk di pinggir sungai, siap dikirim ke mana saja datangnya Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
93 pesanan. Untuk mengangkut kayu-kayu balok itu, air Sungai Huang-ho telah siap
melakukannya tanpa menuntut bayaran sepotong uang pun!
Pada suatu hari, tiga orang laki-laki yang berusia tiga puluhan tahun, bertubuh tinggi tegap dan nampaknya kuat, berjalan mendaki sebuah puncak di Pegunungan Ho-lan-san. Mereka ini membawa alat-alat penebang kayu, yaitu tambang besar yang digulung dan digantungkan di pinggang, sebuah golok dan sebuah kapak besar yang berat dan tajam.
Ketika mereka tiba di luar sebuah hutan yang kecil akan tetapi liar dan gelap, mereka berhenti mengaso dan duduk di atas rumput. Sambil bercakap-cakap, mereka memandang ke arah hutan yang angker itu. Pohon-pohon besar dan tinggi menjulang dari hutan itu, membuat bagian tanah di gunung ini nampak paling tinggi menonjol.
"Sute, aku masih saja merasa sangsi untuk memasuki hutan ini," terdengar orang yang tertua berkata. "Bukankah Suhu sudah berpesan agar kita lebih baik jangan mengganggu hutan ini"
Suhu sendiri katanya kalau melakukan perjalanan lewat di sini mengambil jalan memutar.
Menurut Suhu, bukan karena dia takut, akan tetapi sungkan menghadapi permusuhan dengan sepasang setan itu."
"Ah, Twa-suheng," kata yang termuda, mengapa kita harus percaya akan segala tahyul bodoh dari orang-orang dusun" Mereka itu hanya menyiarkan kabar bohong yang belum pernah mereka buktikan sendiri. Siapakah orangnya yang pernah melihat sepasang iblis itu" Aku tidak percaya. Kalau Suhu lain lagi, karena Suhu adalah seorang pendeta yang menghormati kepercayaan orang lain. Kita adalah orang-orang muda yang datang dari kota memiliki kepandaian, mengapa kita harus takut terhadap segala tahyul bohong?"
Orang ke dua menyambung. "Ucapan Sute memang ada benarnya, akan tetapi melihat
keadaan hutan yang demikian liar dan angker, timbul juga perasaan tak enak di dalam hatiku.
Dunia ini memang aneh dan banyak hal-hal yang belum kita mengerti. Bagaimana kalau kabar itu ternyata tidak bohong" Bagaimana kalau benar-benar muncul setan di tengah hari dan menyerang kita?"
"Mengapa takut?" kata pula yang termuda. "Percuma saja kita mempelajari ilmu silat sampai beberapa tahun lamanya, dan percuma pula kita menjadi murid Pek I Hosiang yang telah terkenal namanya di dunia kang-ouw! Lagi pula, kita bukan bermaksud buruk. Kita memasuki hutan untuk menebang pohon dan mencari kayu besi yang amat dibutuhkan. Kui-loya (Tuan Kui) akan membayar tiga kali lebih banyak daripada kayu-kayu biasa."
Tiga orang yang nampak kuat dan gagah ini adalah tiga orang di antara banyak penebang pohon yang banyak bekerja di daerah ini. Mereka adalah murid-murid dari Pek I Hosiang, seorang hwesio yang menjadi ketua dari sebuah kelenteng di dalam dusun tempat tinggal mereka. Hwesio ini memang berkepandaian tinggi dan ia mempunyai banyak sekali murid.
Boleh dibilang, lebih tiga puluh orang penebang kayu yang muda-muda dan kuat-kuat menjadi muridnya! Para penebang pohon ini menjual kayu yang mereka tebang pada
perusahaan-perusahaan kayu yang banyak didirikan orang di tempat itu, di antaranya yang terbesar adalah perusahaan kayu milik orang she Kui yang berasal dari kota besar di daerah timur.
Sudah menjadi semacam dongeng yang amat dipercaya selama bertahun-tahun oleh
penduduk di daerah Pegunungan Ho-lan-san, bahwa puncak yang penuh dengan pohon-pohon Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
94 tinggi, jurang-jurang dalam dan gua-gua yang angker itu menjadi tempat tinggal sepasang siluman atau iblis yang amat jahat. Sesungguhnya, belum pernah terjadi pembunuhan atau penganiayaan terhadap manusia yang dilakukan oleh sepasang iblis itu, akan tetapi karena perasaan takut mereka, maka orang-orang lalu bercerita bahwa iblis-iblis yang meniadi penghuni hutan itu amat jahat dan mengerikan!
Hanya satu kali terjadi peristiwa yang membuktikan bahwa di hutan itu memang terdapat mahluk yang sakti, sungguhpun orang tak dapat membuktikan dengan nyata bahwa mahluk itu adalah iblis atau siluman. Terjadinya peristiwa itu telah dua tahun lebih, yaitu ketika serombongan piauwsu mengantar seorang hartawan bersama keluarganya yang melakukan perjalanan. Ketika rombongan ini tiba di tengah hutan, tiba-tiba, entah dari mana datangnya, terdengar suara bergema di empat penjuru dan suara ini berkata tegas,
"Lekas keluar dari hutan ini!"
Para piauwsu yang mengawal rombongan ini adalah orang-orang gagah yang sudah banyak pengalaman. Mereka tidak gentar menghadapi perampok-perampok dan bahkan jarang ada perampok berani mengganggu mereka. Akan tetapi, peristiwa ini baru sekali mereka alami, yaitu suara yang melarang mereka melalui sebuah hutan. Kepala rombongan itu lalu menjura ke empat penjuru dan menjawab,
"Mohon maaf sebanyaknya dari Tai-ong kalau kami berani berlaku kurang ajar dan melalui wilayah Tai-ong (Raja Besar, sebutan untuk kepala rampok) tanpa mendapat ijin lebih dulu.
Kami bersedia membayar uang sewa jalan apabila Tai-ong kehendaki, akan tetapi harap Tai-ong perkenankan kami melalui jalan ini"
Untuk beberapa lama tak terdengar suara sesuatu, akan tetapi tiba-tiba terdengar lagi suara yang berlainan dengan suara pertama. Kalau suara pertama yang mengusir mereka keluar dari hutan tadi terdengar halus dan nyaring seperti suara wanita, sekarang terdengar suara yang juga halus dan nyaring, akan tetapi lebih besar seperti suara seorang pemuda.
"Jangan banyak cakap! Kami tidak butuh segala uang sewa jalan! Pergilah lekas dari hutan ini!"
Para piauwsu yang jumlahnya tujuh orang itu menjadi penasaran sekali. Mereka mencabut senjata masing-masing dan memandang ke sekeliling dengan sikap menantang.
"Kalau kami tidak mau pergi dan hendak melanjutkan perjalanan kami melalui hutan ini, kau mau apakah?" tanya kepala piauwsu itu dengan marah.
Kini yang menjawabnya adalah suara pertama yang masih terdengar halus akan tetapi amat berpengaruh.
"Terpaksa kami akan menggunakan kekerasan! Kami memberi waktu sampai ada ayam hutan berkokok, itulah tanda bahwa kami akan bergerak apabila kalian belum keluar dari sini!"
Seorang di antara para piauwsu itu yang terkenal sebagai ahli senjata rahasia, diam-diam mengeluarkan beberapa batang senjata piauw, dan tiba-tiba ia menyambitkan tiga batang piauw ke arah daun-daun pohon besar dari mana suara itu datang. Akan tetapi hanya terdengar berkereseknya daun terbabat senjata-senjata piauw itu, dan selain itu tidak nampak tanda-Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
95 tanda bahwa di pohon itu terdapat manusianya! Yang mengherankan, tiga batang piauw tadi tidak turun lagi ke bawah, seakan-akan lenyap ditelan oleh daun-daun yang lebat itu.
Para piauwsu itu saling pandang dengan heran, sedangkan keluarga hartawan itu duduk berkumpul di dekat kereta dengan muka pucat.
"Tidaklah lebih baik kita mengambil jalan memutar saja?" tanya hartawan itu kepada kepala piauwsu. Akan tetapi yang ditanya menggeleng kepala.
"Wan-gwe (sebutan hartawan) tidak tahu. Hal ini adalah soal kehormatan bagi piauwsu-piauwsu seperti kami. Kalau kami mengalah terhadap segala penggertak, bagaimana kami dapat menjadi piauwsu?"
Mereka menanti dengan hati penuh ketegangan dan tiba-tiba mereka terkejut ketika mendengar suara yang mereka nanti-nanti, yakni kokok seekor ayam hutan dari jauh.
"Waktunya sudah habis, kalian harus pergi!" tiba-tiba seru suara tadi dan entah dari mana datangnya, bagaikan meluncur dari atas awang nampak dua bayangan berkelebat cepat menubruk tujuh orang piauwsu tadi. Para piauwsu itu terkejut sekali dan cepat memutar senjata untuk menyerang dua bayangan itu, akan tetapi alangkah terkejut mereka ketika bayangan itu lalu bergerak dengan amat cepatnya, merupakan sinar putih dan merah dan tahu-tahu senjata di tangan para piauwsu itu terlempar jauh! Sebelum tujuh orang piauwsu itu sempat memandang, tahu-tahu mereka merasa sakit sekali pada pundak mereka, terdengar jerit mereka susul-menyusul dan tubuh mereka roboh tak dapat bangun kembali karena mereka telah terkena tiam-hwat (ilmu totok) yang lihai. Setelah itu, hanya nampak bayangan dua sosok tubuh berpakaian merah dan putih berkelebat lenyap di balik serumpun alang-alang!
"Itulah hukuman bagi tujuh orang piauwsu sombong!" tiba-tiba terdengar suara yang halus itu dari atas pohon. "Naikkan tujuh tikus itu ke atas kereta dan kembalilah kalian keluar dari hutan ini!"
Rombongan itu dengan amat ketakutan lalu menolong para piauwsu menaikkan dan
menumpuk tubuh mereka yang lemas itu ke atas kereta lalu rombongan itu membalap keluar dari hutan!
Maka tersiarlah berita ini sehingga nama kedua iblis penghuni hutan amat terkenal dan semenjak itu, tak seorang pun berani melangkahkan kaki memasuki hutan. Siapa orangnya yang takkan merasa takut dan ngeri mendengar betapa tujuh orang piauwsu ternama dibikin tak berdaya oleh sepasang siluman yang lihai itu"
Berita tentang sepasang iblis itu tentu saja tidak begitu dipercaya oleh pendatang-pendatang baru dari kota-kota besar, terutama sekali oleh orang-orang yang pandai ilmu silat. Betapapun juga, karena mereka pun tahu bahwa di dunia ini banyak terjadi hal-hal aneh dan banyak sekali terdapat orang-orang pandai tidak berani mencoba untuk melanggar pantangan penduduk dan tidak mau memasuki hutan itu. Bahkan Pek I Hosiang, seorang tokoh kangouw yang sudah ulung dan berkepandaian tinggi, juga menasehatkan murid-muridnya yang banyak jumlahnya agar supaya jangan mengganggu hutan itu.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
96 "Siapa tahu," kata hwesio itu kepada muridnya yang membantah, "kalau-kalau di tempat itu terdapat seorang pertapa yang mengasingkan diri dan tidak mau diganggu pertapaannya."
Akan tetapi, sebagaimana telah dituturkan di depan, tiga orang penebang kayu yang bertubuh kuat itu duduk di luar hutan, merundingkan tentang kehendak mereka menebang kayu besi yang terdapat di hutan itu. Mereka ini adalah murid-murid Pek I Hosiang yang terhitung pandai, dan sungguhpun tadinya yang tertua di antara rnereka masih merasa ragu-ragu untuk memasuki hutan itu, namun berkat desakan kedua orang sutenya (adik seperguruannya), akhirnya mereka masuk juga ke dalam hutan itu!
"Bagaimanapun juga, Sute, kita harus berhati-hati dan lebih baik bekerja diam-diam jangan banyak berisik," kata orang tertua di antara ketiga orang penebang pohon itu. Kedua sutenya menurut, karena memang keadaan hutan yang masih liar dan tak pernah dimasuki orang itu sangat menyeramkan.
Ketika mereka bertiga berjalan lambat sambil melihat ke kanan kiri untuk mencari pohon besi yang hendak mereka tebang, tiba-tiba orang tertua itu melihat sesuatu dan ia cepat memegang tangan kedua sutenya dan ditariknya mereka untuk bersembunyi di belakang sebatang pohon yang besar.
"Lihat, apakah itu?" katanya kepada kedua orang sutenya yang memandang heran. Dua orang kawannya memandang ke arah yang ditunjuknya dan mereka masih sempat melihat bayangan putih berkelebat cepat sekali.
"Orangkah dia?" seorang berbisik.
"Entahlah, akan tetapi gerakannya sungguh cepat!" memuji orang termuda yang paling tabah hatinya. "Mari kita mendekat, dia masuk ke dalam gua itu!"
Kedua orang kawannya ragu-ragu, akan tetapi karena tidak melihat bayangan tadi muncul kembali, sedangkan sute mereka dengan berani sudah keluar dari balik pohon dan menuju ke tempat bayangan tadi menghilang, mereka juga mengikuti sute mereka.
Benar saja, di tempat yang meninggi, terdapat sebuah gua yang lebar. Gua ini amat gelap sehingga tidak kelihatan apakah gua itu merupakan terowongan atau bukan.
Tiba-tiba terdengar bentakan dari dalam, "He! Kalian mau apa datang ke sini" Hayo cepat pergi!" Berbareng dengan ucapan itu, terlihat berkelebat bayangan putih keluar dari gua yang gelap itu dan tahu-tahu di depan mereka berdiri seorang pemuda yang luar biasa eloknya!
Muka pemuda ini berkulit halus dan putih, matanya tajam berpengaruh dan mulutnya yang kuat dan membayangkan kehendak yang teguh dan kemauan yang membaja. Tubuhnya
sedang dengan pinggang langsing, pakaiannva sederhana akan tetapi rapi, seperti pakaian seorang pelajar, berwarna putih. Ia mengenakan mantel panjang yang putih pula, dan di antara semua pakaian yang menutup tubuhnya, hanya leher baju yang menurun terus ke pinggang dan kopyahnya saja yang berwarna biru. Juga sepatunya berwarna hitam. Memang janggal sekali melihat seorang penghuni gua yang berpakaian sedemikian putih bersih.
Melihat pemuda ini hanya seorang manusia biasa, bukan seorang iblis, ketiga orang penebang pohon itu bernapas lega.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
97 "Kami adalah penebang-penebang kayu dan hendak mencari pohon besi yang banyak tumbuh di hutan ini," jawab penebang tertua.
Pemuda itu menggerakkan tangan kanannya, digoyang beberapa kali lalu berkata, "jangan kalian melakukan hal itu. Lebih baik lekas kalian pergi dari sini!"
Penebang kayu yang termuda melangkah maju dan berkata marah,
"Orang muda, dengan alasan apakah kau melarang kami melakukan penebangan pohon besi di hutan ini" Dan hak apakah yang kauandalkan untuk mengusir kami?"
"Alasannya, kalau kau melakukan penebangan pohon, berarti kau melanggar laranganku dan ini berbahaya sekali bagi keselamatanmu. Adapun tentang hak, aku menggunakan hak sebagai seorang yang lebih dulu datang di tempat ini daripada kalian bertiga!"
Marahlah penebang muda itu. "Kau anak kecil sombong amat! Kalau kami bertiga
melanjutkan kehendak kami, kau mau apakah" Apakah kau ini siluman yang menguasai hutan ini seperti yang dikabarkan orang?"
"Tutup mulut dan pergilah!" seru pemuda itu dan biarpun sikapnya masih setenang tadi, namun sepasang aslinya yang indah bentuknya itu mulai bergerak-gerak.
Akan tetapi, biarpun sinar mata pemuda ini tajam dan berpengaruh, namun ia hanya merupakan seorang pemuda yang halus dan tidak nampak berbahaya. Tentu saja tiga orang penebang kayu yang bertubuh kuat dan memiliki kepandaian silat itu tidak takut
menghadapinya. Mereka bertiga lalu mengeluarkan senjata mereka yang menyeramkan, yaitu tangan kanan memegang golok lebar yang tajam sedangkan tangan kiri memegang sebatang kapak yang tidak kalah hebatnya.
"Ha-ha, anak muda! Betapapun galaknya mulutmu, kami tidak takut. Kami hendak menebang pohon dengan kapak dan golok ini, kau mau apa" Ha-ha-ha!" Akan tetapi baru saja ia menutup mulutnya, pemuda itu telah lenyap. Tubuhnya berkelebat merupakan bayangan putih dan penebang pohon yang termuda ini memekik keras ketika merasa betapa kapak dan goloknya bagaikan bisa terbang sendiri meninggalkan kedua tangannya tanpa dapat dicegah pula! Ternyata bahwa dengan sekali gerakan saja, pemuda baju putih itu telah berhasil merampas kapak dan goloknya yang kini dilempar di atas tanah!
Dua orang penebang yang lain menjadi marah dan terkejut sekali. Sambil berseru marah, mereka lalu maju menyerang dan pada saat itu, dua batang golok dan dua batang kapak telah menyambar ganas menuju ke tubuh pemuda baju putih itu! Akan tetapi kembali mereka dibikin bengong oleh pemuda aneh itu. Agaknya tubuh pemuda itu tidak bergerak sama sekali, buktinya kedua kakinya tidak berpindah tempat. Hanya kedua lengan tangannya saja bergerak cepat dan tubuhnya bergoyang-goyang menghindari sambaran keempat senjata itu dan... "aduh...! aduh...!" dua orang itu merasa kedua lengan mereka tiba-tiba menjadi lemas dan sakit sekali karena entah dengan gerakan bagaimana, jari-jari tangan pemuda itu telah berhasil menotok pergelangan kedua tangan penebang pohon itu! Kembali senjata-senjata mereka terpaksa mereka lepaskan dan jatuh bertumpuk di atas tanah!
Sudah tentu saja mereka bertiga hampir tak dapat percaya akan kejadian yang baru saja mereka alami itu. Bagaimanakah mereka yang memegang senjata dan memiliki kepandaian Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
98 tinggi, kini dipaksa melepaskan senjata dengan cara yang demikian mudahnya oleh pemuda ini" Ilmu silat apakah yang dipergunakan oleh pemuda baju putih itu untuk menghadapi mereka" Mereka hanya memandang dan berdiri bagaikan patung. Silumankah pemuda ini, demikian mereka berpikir dan memandang dengan hati merasa seram.
Pendekar Super Sakti 19 Kuda Putih Karya Okt Pukulan Naga Sakti 23

Cari Blog Ini