Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 1
_________________________________________________________________
Sungai Huang-ho atau Sungai Kuning yang amat terkenal di Tiongkok itu menumpahkan airnya di laut Pohai, termasuk di Propinsi San-tung sebelah utara. Berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus kerajaan boleh ganti-berganti, jutaan manusia mati dan hidup lagi, namun Sungai Kuning tetap mengalirkan airnya ke dalam laut.
Ketika itu, Kerajaan Tang yang semenjak abad ke tujuh hidup subur dan makmur, dalam permulaan abad ke delapan mulai mengalami perubahan besar. Korupsi besar-besaran yang dilakukan oleh semua pembesar dan pegawai negeri dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi kedudukannya, membuat negara menjadi lemah, rakyat menjadi sengsara, dan kekacauan timbul di mana-mana. Juga bangsa-bangsa lain, seperti Tibet yang tadinya telah menjadi sahabat baik semenjak Sron-can Gam-po, kepala suku bangsa Tibet, menikah dengan Puteri Wan Ceng, kini mulai kelihatan mengambil sikap kurang baik. Suku bangsa Tibet yang menjadi kuat sekali itu, seringkali memperlihatkan sikap bermusuhan dan menghina kepada bala tentara Tang yang menjaga di tapal batas utara. Juga suku bangsa Nam-cow
memperlihatkan sikap tidak bersahabat.
Semua ini timbul karena Kerajaan Tang nampak kacau di sebelah dalam. Kekuatan pasukan menjadi rusak, penuh oleh kutu busuk yang berupa panglima-panglima tukang korup besar-besaran.
Dalam keadaan seperti itulah cerita ini terjadi! Di tepi Laut Po-hai di mana air Sungai Kuning itu tumpah, sunyi sekali karena di situ memang merupakan tempat yang liar dan tidak didiami orang. Siapakah berani mendiami lembah Sungai Kuning di dekat laut" Sama halnya dengan hidup di dekat mulut seekor naga yang liar, yang sewaktu-waktu dapat bangkit dan mencaplok orang yang berada di dekatnya. Tiap kali datang musim hujan, lembah yang nampak kehijau-hijauan dan amat subur itu, berubah menjadi lautan ganas!
Akan tetapi, pada waktu itu, musim hujan telah lama lewat. Lembah Sungai Kuning itu merupakan tanah yang subur dan penuh dengan rumput-rumput hijau. Pemandangan indah sekali, dan suara air laut bergelombang memukuli batu-batu karang di pinggir laut, merupakan dendang yang tak kunjung habis.
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
1 Biarpun di tempat itu belum pernah ada manusia yang datang, namun pada saat itu, sesosok bayangan orang berdiri tegak di atas puncak batu karang yang menghitam. Orang ini sudah tua, pakaiannya penuh tambalan seperti pakaian pengemis, rambutnya panjang tak terpelihara, tubuhnya tinggi kurus akan tetapi melihat wajahnya, nampak agung dan berpengaruh seperti wajah seorang kaisar saja! Usianya sebetulnya baru empat puluh lima tahun, akan tetapi dia sudah tampak tua karena tidak merawat dirinya.
Kakek ini berdiri tegak sambil kadang-kadang memandang ke arah gelombang laut membuas, kadang-kadang melihat air Sungai Kuning yang menggabungkan diri dengan saudara tuanya, yaitu air laut. Ia mengembangkan kedua lengan tangannya yang kurus, lalu terdengar dia bicara seorang diri.
"Air Huang-ho berasal dari hujan, lihat mendung bergulung-gulung dari atas laut, bukankah ini namanya kembali ke asal" Alam begini besar, kuasa, dan adil, mana bisa dibandingkan dengan kekuasaan kaisar" Alam bersifat memberi, selalu memberi, tidak seperti kaisar yang selain minta! Ah, alangkah bodohnya adik Pin, mana aku mau mengikuti jejaknya" Hari ini dia diangkat menjadi menteri, bercanda dengan kedudukan dan kemewahan, mana dia tahu kebahagiaan sejati" Biarlah aku bercanda dengan kekayaan alam!?"
Setelah berkata demikian, kakek ini lalu berlenggang-lenggang turun dari gunung karang itu.
Batu karang besar itu licin sekali karena selalu tersiram air laut, juga ujungnya runcing-runcing dan tajam, ditambah lagi dengan bentuknya yang amat terjal. Akan tetapi benar-benar mengherankan sekali, kakek itu dapat berjalan turun dari batu itu seakan-akan batu itu datar saja. Ia tidak kelihatan mempergunakan keseimbangan tubuh, hanya berjalan biasa saja tanpa melihat batu karang yang diinjaknya.
Yang lebih hebat lagi, sambil berjalan turun, kakek ini membuka mulutnya dan bernyanyi!
Suaranya keras sekali, mengimbangi suara air laut yang membentur karang, sehingga kalau didengar-dengar, suara air laut itu seakan-akan menimbulkan irama musik mengiringi nyanyian kakek itu. Dengan suara makin lama makin keras seakan-akan dia tidak mau kalah oleh suara ombak yang makin menderu, dia bernyanyi berulang-ulang:
Kalau kau menarik gendewa,
sampai sepenuh-penuh lengkungnya,
kau akan menyesal mengapa
tak kau hentikan pada waktunya.
Kalau kau mengasah pedangmu
seruncing-runcingnya,
ujung pedang itu takkan
dapat bertahan lama.
Kalau emas permata memenuhi rumahmu,
kau akan repot dan bingung
untuk menjaga semua itu.
Menyombongkan harta dan
mengagulkan kedudukan,
berarti menyebar benih keruntuhan.
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
2 Mengasolah setelah tugas selesai,
sesuai dengan jalan Thian-to
(Hukum Alam)!"
Kata-kata yang keluar dari mulut kakek itu sesungguhnya bukanlah nyanyian sembarangan saja, melainkan kata-kata bersajak dari pujangga atau ada kalanya disebut Nabi Besar Lo-cu!
Kakek itu kini sudah tiba di atas tanah berpasir, kemudian dia lalu berjalan menuju ke laut!
Apakah yang hendak diperbuatnya" Sungguh aneh. Ia berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua tangan bertolak pinggang menghadapi laut. Ia berdiri di sebelah batu karang itu, menantikan datangnya gelombang ombak yang sebesar bukit!
Ketika itu angin bertiup keras dan ombak yang datang benar-benar dahsyat dan mengerikan.
Ombak ini makin dekat dengan pantai menjadi makin bergelombang, sikap ombak ini benar-benar merupakan ancaman maut. Akan tetapi, di antara suara ombak menderu, terdengar suara kakek itu tertawa bergelak-gelak. Ombak datang dengan hebatnya, membawa tenaga yang ribuan kati beratnya, menghantam batu karang dan juga kakek yang berdiri itu, menimbulkan suara hiruk-pikuk menggelegar yang terdengar sampai belasan li jauhnya. Akan tetapi, di antara suara menggelegar ini, masih terdengar suara ketawa dari kakek aneh tadi. Ketika ombak datang, dia mementang kedua lengannya lalu mendorong ke depan, tubuhnya tidak tegak lagi, melainkan agak membungkuk ke depan.
Ombak memecah pada batu karang dan lenyap menjadi air yang mengalir kembali ke tengah laut. Batu karang tadi bergoyang-goyang terpukul ombak, dan setelah ombak lenyap, batu itu masih berdiri tegak, memperlambangkan kekuatan yang luar biasa. Dan kakek tadi" Masih nampak berdiri, agak terengah-engah, akan tetapi masih ketawa-tawa senang!
"Ha-ha-ha, kakek batu karang, bukankah sang ombak tadi mempergunakan
ilmu pukulan Tin-san-ciang (Pukulan Menggetarkan Gunung)" Ha-ha-ha, pukulan itu terhadap kau dan aku sama halnya dengan pukulan seorang bocah saja?" Setelah berkata-kata kepada batu dan berseru, "Kakek ombak, hayo kau datanglah, pergunakan segala tenagamu, hendak kulihat apakah kau mampu menggulingkan kakek batu karang!"
Ombak datang memukul dan pergi lagi, namun batu karang dan kakek itu tetap berdiri teguh.
Benar-benar seperti kata-katanya tadi, kakek ini sedang bercanda dengan ombak dan batu karang, sedang bercanda dengan alam!
Setelah menahan pukulan ombak sampai lima kali, angin mereda dan ombak yang datang hanya ombak kecil saja, kakek itu menjadi bosan dan ketika dia hendak mendarat, tiba-tiba dari atas batu karang itu melompat turun sesosok bayangan orang dengan gesitnya. Tahu-tahu seorang hwesio gundul yang tubuhnya seperti bola karet, bundar segala-galanya, berdiri di depannya dan tertawa. Kemudian dia membungkuk, lalu mendorong batu karang itu.
Benar-benar hebat sekali. Batu karang yang tadi tertimpa gelombang berkali-kali bahkan yang entah sudah berapa ribu kali terdorong ombak tanpa bergeming, hanya bergoyang-goyang sedikit saja, kini terkena dorongan hwesio bundar ini, menjadi miring dan akhirnya roboh!
Hwesio itu terengah-engah sedikit, lalu menghadapi kakek tadi sambil tertawa-tawa.
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
3 "Heh, heh, heh, Ang-bin Sin-kai (pengemis Sakti Muka Merah), biarpun kakek ombak amat kuat, namun dia tidak memiliki akal budi seperti kita. Mana bisa dia mendorong roboh batu karang ini?"
Kakek pengemis itu pun tertawa sambil memandang ke langit. "Di tempat ini bertemu dengan Jeng-kin-jiu (Si Tangan Seribu Kati), sungguh amat menggembirakan. Ada sahabat datang dari tempat jauh, bukankah itu amat menggirangkan hati?" Kalimat terakhir ini pun adalah ujar-ujar kuno yang diucapkan Nabi Khong Cu. "Eh, Kak Thong Taisu, kau jauh-jauh datang dari selatan ke sini, apakah hanya untuk merobohkan batu karang ini?"
"Pengemis bangkotan! Merobohkan batu karang benda mati ini, apanya sih yang aneh" Kalau kakek ombak yang mampu mendorong roboh kakek batu karang, barulah boleh dibuat kagum.
Sebaliknya kalau pinceng mampu mendorong roboh pengemis bangkotan, batu karang hidup, itu baru namanya cukup berharga!"
Kakek yang dipanggil Ang-bin Sin-kai atau Pengemis Sakti Muka Merah itu tertawa. "Kepala gundul, jadi kau ingin mencoba kepandaianku! Itukah maksud kunjunganmu?"
"Ayam jago dari selatan bertemu ayam jago dari timur, mengapa banyak berkeruyuk lagi"
Masih tanya-tanya maksud kedatangan?" setelah berkata demikian, hwesio gundul yang bertubuh bundar itu lalu menubruk maju dengan kedua tangan dipentang seperti hendak menubruk dan menangkap seekor katak.
Ang-bin Sin-kai maklum bahwa biarpun kelihatannya serangan ini seperti main-main, namun hebatnya bukan main. Ketika dia mengelak sambil melompat ke kiri, pasir dibelakangnya terkena angin terkaman ini berhamburan ke atas dan batu karang di belakangnya bergoyang-goyang!
"Lihai sekali kau punya ilmu pukulan Yu-coan-swe-jiu (Pukulan Menembus Air)!" Kata Ang-bin Sin-kai sambil membalas serangan lawannya dengan tak kalah hebatnya.
Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu adalah seorang tokoh yang terbesar namanya di wilayah selatan. Di kalangan ahli-ahli silat dan perantau yang gagah perkasa, Si Tangan Seribu Kati ini dianggap sebagai jago tua yang paling lihai dan disegani. Orang-orang takut dan segan kepadanya karena selain ilmu silatnya lihai sekali, juga tabiatnya aneh dan sukar dilayani.
Oleh karena itu, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu ini hidupnya seakan-akan terasing. Ia tinggal di sebuah pulau kosong yang kecil di sebelah selatan Propinsi Kwang-tung dan tak seorang pun manusia berani mendatangi pulau ini. Orang-orang hanya dapat melihat whesio gemuk ini kalau dia menyeberang dan mengadakan perantauan di daratan Tiongkok. Ilmu
kepandaiannya amat tinggi, dan dia terkenal sebagai seorang ahli gwa-kang (tenaga luar) yang sudah memiliki kepandaian sempurna sekali sehingga tenaganya sukar untuk diukur bagaimana besarnya. Oleh karena tenaga gwakangnya inilah maka dia disebut Jeng-kin-jiu.
Sebaliknya, kakek pengemis yang tinggi kurus itupun bukanlah orang sembarangan. Namanya tidak ada orang mengetahui, bahkan Kak Thong Taisu sendiri tidak tahu siapa nama asli pengemis tua bangka ini. Dan hanya tokoh-tokoh besar seperti Kak Thong Taisu saja yang tahu bahwa kakek pengemis ini berdarah bangsawan! Dia jarang memperlihatkan
kepandaiannya dan kalau berada di tempat ramai, orang hanya menganggapnya sebagai seorang pengemis biasa saja. Tentu saja tidak ada orang yang mengetahui bahwa dia biarpun disebut pengemis dan keadaannya seperti pengemis, namun selama hidupnya belum pernah mengemis! Nama julukannya Ang-bin Sin-kai atau Penegemis Sakti Muka Merah, karena Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
4 kulit mukanya memang selalu kemerah-merahan seperti kulit seorang bayi yang sehat.
Berbeda dengan Jeng-kin-jiu yang tadi sudah mendemonstrasikan tenaga gwakangnya yang hebat ketika mendorong roboh batu karang, Ang-bin Sin-kai ini adalah seorang ahli lweekang yang juga sudah mendemonstrasikan tenaganya ketika dia menyambut serangan gelombang ombak tadi.
Dengan demikian, pertempuran yang terjadi di dekat laut ini adalah pertempuran antara seorang ahli gwakang dan seorang ahli lweekang! Bagi orang-orang yang tingkat ilmu silatnya masih rendah, memang dengan mudah akan dikatakan bahwa pertempuran antara ahli gwakang dan ahli lweekang tentu akan dimenangkan oleh ahli lweekang itu. Namun, hal ini tidak demikian kalau si ahli gwakang sudah memiliki kepandaian yang sempurna. Pada hakekatnya, sumber atau dasar kepandaian mereka adalah sama, hanya Jeng-kin-jiu lebih mengandalkan tenaga kasar, sedangkan Ang-bin Sin-kai mengandalkan tenaga lemas.
Bukan main hebatnya pertempuran itu. Keduanya berlompat-lompatan, saling serang dan saling mengelak. Kadang-kadang saling tangkis sehingga keduanya terhuyung-huyung.
Beberapa kali mereka melompat dengan menggunakan ginkang yang sudah sempurna
sehingga seakan-akan mereka merupakan dua ekor burung raksasa yang saling terkam.
Bahkan pernah Ang-bin Sin-kai terlempar masuk ke laut dan terpaksa berenang minggir lagi dan pada lain saat si teromok gundul itu terlempar menabrak batu karang, akan tetapi agaknya bukan kepalanya yang pecah, melainkan batu karang itu yang hancur pinggirnya!
Ketika mereka bertempur tadi, matahari masih berada di atas kepala mereka, akan tetapi kini matahari telah lenyap dibalik gunung sehingga cuaca telah menjadi remang-remang. Namun pertempuran masih dilanjutkan dengan ramainya dan ternyata keadaan mereka benar-benar berimbang. Dari pertempuran yang mengandalkan kecepatan gerak kaki tangan, keduanya sampai bertempur dengan lambat sekali, seperti sedang berlatih silat, namun sebenarnya serangan-serangan yang lambat ini mengandung tenaga yang akan mengirim nyawa salah seorang kehadapan Giam-lo-ong (Malaikat Maut) kalau saja sampai terkena pukulan!
Berhubung dengan datangnya sang malam, angin mulai menyerang lagi dan suara
bergemuruh dibarengi getaran-getaran pada tanah pesisir itu menandakan bahwa gelombang ombak membesar menghantami batu-batu karang di pantai. Kedua orang kakek yang aneh itu masih saja melanjutkan pertandingan mereka.
Makin lama mereka merasa makin gembira karena setelah berpisah bertahun-tahun, kini ternyata kepandaian masing-masing menjadi makin maju dan hebat. Oleh karena air laut telah pasang, mereka kini terpaksa pindah dan lanjutkan pertempuran di tempat yang agak tinggi.
Angin mengamuk, langit tertutup mendung tebal sekali sehingga keadaan menjadi gelap gulita. Hanya orang berkepandaian tinggi sekali dapat melanjutkan pertempuran dalam keadaan seperti itu. Mereka tak dapat melihat lawan masing-masing, karena tidak mungkin melihat ke depan. Tangan sendiri pun tak tampak, apalagi orang lain. Akan tetapi dg alat pendengaran mereka yang terlatih baik, mereka dapat mendengarkan sambaran angin pukulan lawan!
Menjelang tengah malam, keduanya sudah lelah sekali. Beberapa kali mereka telah dapat saling pukul, akan tetapi pukulan-pukulan itu tidak terlalu keras bagi tubuh mereka yang sudah kebal sehingga keduanya masih dapat bertahan. Akhirnya usia lanjut yang menang, tubuh mereka menjadi makin lemas dan lelah.
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
5 Pada saat mereka sedang mengadu tenaga dan kedua tangan saling tempel dan saling mendorong lawan agar jatuh ke dalam laut dari batu karang yang tinggi, tiba-tiba batu karang itu terpukul ombak yang maha kuat sehingga miring! Keduanya cepat melompat turun karena khawatir terbawa jatuh dan tergencet batu karang. Setelah tiba di bawah, kembali mereka berhadapan! Tiba-tiba di dalam gelap itu, nampak cahaya hijau menjulang tinggi dari tengah laut. Kembali nampak cahaya kehijauan melayang ke atas dan setelah sampai di atas lalu padam.
"Ah, itulah tanda kapal dalam bahaya!" seru Ang-bin Sin-kai.
"Benar kauperhatikan, bukankah di tengah-tengah laut itu nampak lampu merah sebentar ada sebentar hilang?" ujar Jeng-kin-jiu
Keduanya memperhatikan dan benar saja. Sebentar-sebentar, kalau ombak yang setinggi gunung telah turun, nampak lampu merah berkelip-kelip jauh sekali dan berkali-kali api hijau itu melayang ke atas.
"Nasib mereka sudah pasti!" kata Ang-bin Sin-kai perlahan.
"Ikan-ikan hiu akan berpesta pora setelah badai mereda. Dalam badai seperti ini, bagaimana mereka dapat meloloskan diri?" kata whesio itu.
"Kita pun tidak berdaya menolong mereka," kata kakek pengemis.
"Benar, sungguh sayang. Melihat sesama manusia dipermainkan oleh maut tak dapat turun tangan menolong, alangkah menyedihkan!" kata si whesio dan suaranya benar-benar terdengar sedih. Mendengar suara ini, si kakek pengemis juga menjadi sedih. Keduanya kini duduk di atas batu karang yang tinggi dan sambil duduk berdampingan, dua orang yag tadi bertempur mati-matian itu memandang ke tengah laut. Kadang-kadang mereka berseru girang kalau melihat api merah itu, akan tetapi berdebar-debar gelisah kalau api itu tidak kelihatan lagi.
"Mereka masih ada!" seru hwesio itu kegirangan kalau melihat sinar hijau melayang ke atas.
"Moga-moga mereka selamat!" si pengemis berdoa.
Sampai setengah malam badai mengamuk dan dua orang kakek aneh itu masih saja duduk di situ, melepaskan lelah akan tetapi dengan hati tidak karuan rasanya melihat betapa sebuah perahu besar diombang-ambingkan oleh gelombang dan menjadi permainan badai.
Menjelang fajar, badai mereda dan ombak menghilang. Aneh sekali kalau dilihat, akan tetapi air laut yg tadinya mengganas bagaikan semua penghuni laut melakukan perang besar itu, kini menjadi tenang dan diam, bening bagaikan kaca hijau yang besar sekali. Bahkan matahari yang timbul dari permukaan laut dan yang bayangannya tercermin di dalam air, nampak diam tak bergerak sedikit pun juga, tanda bahwa air itu benar-benar diam tak bergerak! Seakan-akan raksasa besar itu kini tertidur melepaskan lelah setelah setengah malam lamanya memperlihatkan kehebatan tenaga mereka yang dahsyat.
Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu dan Ang-bin Sin-kai masih duduk bersanding dan mata mereka tak pernah berkejap memandang ke tengah laut. Keduanya nampak lesu dan muram seperti orang menyedihkan sesuatu. Hal ini tidak aneh, karena semenjak badai mereda lampu merah itu tidak kelihatan lagi!
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
6 "Kita seperti pengkhianat-pengkhianat yang melihat bangsanya terbunuh tanpa dapat menolong," kakek pengemis itu berkata lambat.
"Apa daya kita menghadapi kekuasaan alam?" Jeng-kin-jiu menghiburnya. "Giam-lo sudah merenggut nyawa orang-orang itu, siapa yang dapat menghalangi pekerjaannya" Dari pada kita menyedihi sesuatu yang sudah lalu, mengapa kita tidak melanjutkan pibu kita?"
Pengemis itu tersadar, lalu menoleh kepada hwesio itu sambil tersenyum. "Kau benar, di antara kita belum ada yang kalah atau menang. Mari!" ia lalu meloncat turun dari batu karang, diikuti oleh hwesio gemuk itu dengan wajah gembira dan sebentar kemudian kedua musuh gerotan ini sudah berhadapan lagi sambil memasang kuda-kuda!
Tiba-tiba dua orang itu mendengar sesuatu dan mereka saling pandang, kemudian keduanya tetawa bergelak-gelak, yang mereka dengar tadi adalah suara isi perut masing-masing yang tak dapat ditahan lagi telah berkeruyuk saking laparnya. Isi perut pengemis itu mengeluarkan suara nyaring dan tinggi, sedangkan isi perut hwesio itu berkeruyuk dengan suara rendah.
Perkelahian malam tadi telah membuat mereka menjadi lapar sekali.
"Gundul busuk, apakah tidak baik kalau kita menyuruh mereka ini tutup mulut dulu dan menyumbat mulut mereka dengan makanan-makanan?" tanya Ang-bin Sin-kai.
"Akur! Memang menjemukan sekali kalau mereka berkeruyuk dan merengek seperti
perempuan-perempuan cengeng," jawab hwesio itu.
"Eh, hwesio murtad! Bagaimana kau si kepala gundul ini dapat bicara tentang perempuan"
Apakah di luarnya kau bersujud kepada Buddha dan mencucikan diri akan tetapi hatimu selalu mengenangkan perempuan cantik?" tanya pengemis itu sambil matanya mencereng memandang penuh kecurigaan.
Jeng-kin-jiu hanya tertawa. "Di tempat seperti ini, dari manakah kita bisa mendapat makanan?"
Si pengemis tua tersenyum dan menunjuk ke arah laut. "Ada samudera luas di depan mata kita, takut apakah" Perutmu yang gendut itu kukira takkan dapat menghabiskan isi laut."
Setelah berkata demikian, kakek pengemis itu lalu terjun ke dalam laut dan berenang ke tengah untuk menangkap ikan.
"He, kantong nasi gundul, apakah kali ini kau tetap hendak ciakjai (pantang makan daging) dan membiarkan perut gendutmu kosong dipenuhi angin busuk?" pengemis itu masih sempat berteriak.
Hwesio itu tertawa bergelak, "Siapa sudi mulutnya pantang makan daging dan selalu dijejali sayuran akan tetapi hati dan pikirannya mengenangkan ekor ikan lee yang lezat?" setelah berkata demikian, hwesio ini pun lalu terjun ke air dan berlumba dengan pengemis itu untuk mencari ikan yang sebesar-besarnya.
Setelah hwesio gundul itu yang mempergunakan kepandaiannya untuk bergerak di atas daratan dasar laut, akhirnya dia dapat menangkap seekor ikan yang gemuk seperti dia. Ikan itu meronta-ronta, dan biarpun kalau di darat Jeng-kin-jiu adalah seorang ahli gwakang yang tenaganya tidak kalah oleh seekor gajah, namun di dalam air ia tidak dapat melawan ikan ini.
Hampir saja ikan itu terlepas lagi kalau dia tidak dapat cepat menusuk kepala ikan itu dengan Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
7 kedua jari tangannya sehingga pecahlah kepala ikan itu!
Setelah Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu mumbul ke permukaan air, dia melihat Ang-bin Sin-kai juga berenang dari tengah. Juga pengemis itu, memondong sesuatu yang kelihatannya dari jauh seperti ikan, akan tetapi setelah mereka keduanya mendarat di pantai, hwesio itu dengan mata terbelalak memandang ke arah "ikan" yang di pondong oleh pengemis itu.
"Omitohud!" hwesio itu menyebut nama Buddha. "Benar-benarkah kau sudah berhasil menangkap seekor ikan duyung?"
"Tutup mulutmu, Gundul! Lebih baik lekas kautolong anak ini. Kalau aku tidak tahu bahwa kau mengerti ilmu pengobatan, untuk apa aku membawanya ke pantai?" Pengemis itu lalu meletakkan tubuh anak kecil yang dipondongnya tadi di atas pasir. Anak itu pingsan dan mukanya biru, perutnya gembung penuh dengan air asin. Kepala anak itu gundul dan melihat pakaiannya, dia tentu anak dari keluarga cukup. Hanya pakaian ini sekarang compang-camping dan sepatunya tinggal sebelah kiri saja! Usianya kurang lebih limat tahun.
"Omitohud! Akhirnya dapat juga kita menolong seorang di antara para penumpang perahu yang tenggelam itu," kata hwesio gemuk sambil berjongkok memeriksa anak tadi. Ia suka sekali melihat anak ini karena anak ini memiliki wajah yang tampan dan ketika dia memeriksa tubuh anak itu, dengan girang sekali dia mendapat kenyataan bahwa anak itu mempunyai tulang-tulang yang baik sekali, tulang seorang calon ahli silat yang pandai! Yang terutama sekali membuat hwesio ini suka adalah kepala anak ini yang gundul pelontos dan licin seperti kepalanya sendiri!
"Anak baik".anak baik"." Berkali-kali dia berkata sambil mengelus-elus kepala yang gundul licin itu. Si pengemis menjadi dongkol sekali melihat ini.
"Kau hendak mengobatinya atau hendak mengelus-elus kepalanya?" tanyanya marah.
Tiba-tiba hwesio itu berdoa dan dia mengucapkan sebuah syair dari pelajaran Buddha Gautama,
"Tidak ada perbedaan antara
Nirwana dan Sengsara
Tidak ada perbedaan antara
Sengsara dan Nirwana
"Banyak mulut tidak bekerja adalah watak seorang siauw-jin (orang rendah). Banyak kerja tutup mulut barulah seorang kuncu (orang budiman)!" Pengemis itu berteriak marah.
Akhirnya Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu mulai mengobati anak itu. Ia memegang jedua kaki anak itu dalam tangan kiri menjungkir-balikkan anak itu dengan kaki di atas dan kepala di bawah, lalu tangan kanannya menepuk-nepuk perut anak yang gembung penuh air.
"Buang air itu, untuk apa memenuhi perut?" Katanya dan seketika itu juga air laut mengalir keluar dari mulut anak itu sehingga perutnya menjadi kempis kembali. Lalu ia meletakkan anak itu di atas tanah, telentang dan menggerak-gerakkan kedua tangan anak itu sehingga dada itu terangkat beberapa kali. Akan tetapi tetap saja anak itu tidak dapat bernapas lagi. Si hwesio menjadi gemas.
"Anak bandel, bandel dan tolol!" makinya. Akan tetapi biarpun dia memaki demikian, namun dia lalu mendekatkan mulutnya pada bibir anak itu lalu menempelkan mulutnya yang besar Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
8 memenuhi bibir kecil anak tadi dan meniup menyedot beberapa kali!
Si pengemis tua hanya memandang saja dan diam-diam dia merasa iri hati terhadap kepandaian hwesio gemuk ini, karena dia sendiri sama sekali tidak mengerti tentang cara-cara penyembuhan. Tak lama kemudian, terdengar anak itu mengeluh dan pernapasannya jalan kembali. Hanya sebentar dia mengeluh dan menggeliat-geliat, kemudian setelah membuka matanya, anak itu melompat berdiri. Dua orang kakek itu diam-diam memandang kagum.
Anak ini benar-benar memiliki tulang yang baik dan juga daya tahan luar biasa sehingga baru saja terhindar dari bahaya maut, sekarang telah bergerak dengan tangkas pula.
"Anak baik, siapa kau?" pengemis tua itu bertanya.
"Bagaimana dengan nasib penumpang-penumpang lain?" hwesio itu pun bertanya.
Untuk sejenak anak itu memandang bingung dan biarpun dia telah mrngingat-ingat, namun dia benar-benar telah kehilangan ingatannya.
"Siapa aku" Di mana aku" Ah".aku tidak tahu. Siapakah lopek dan losuhu ini?"
Anak ini mempunyai suara yg nyaring dan sepasang matanya bersinar-sinar tajam sekali.
Ang-bin Sin-kai dan Jeng-kin-jiu Ka Thong Taisu saling pandang, kemudian mereka berdua tertawa besar.
"Aku dipanggil Ang-Bin Sin-kai," pengemis itu memperkenalkan diri.
"Dan pinceng adalah Kak Thong Taisu," menyambung hwesio gemuk.
"Mengapa aku berada di sini?" anak itu bertanya.
"Kalau tidak ada Hai-liong-ong (Raja Naga Laut) ngamuk, mana bisa kau ditelan ombak"
Dan kalau tidak ada kami dua orang tua bangkotan, mana bisa kau berada di sini?" kata kakek pengemis itu yang memang sudah biasa mempergunakan kata-kata yang sukar dimengerti.
Akan tetapi ternyata anak itu cerdik sekali. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan dua orang kakek itu sambil berkata,
"Aku sungguh tidak mengerti mengapa aku tenggelam di laut, akan tetapi atas pertolongan Ji-wi losuhu, sungguh aku berterimakasih sekali. Semoga Kwan Im Pouwsat memberkahi Ji-wi yang mulia." Ia lalu berlutut dan mengangguk-anggukkan kepalanya berkali-kali.
Dua orang kakek itu saling pandang dengan mata terbuka lebar-lebar. Mereka merasa girang sekali melihat sikap anak ini.
"Eh, anak baik, agaknya orangtuamu pemuja Kwan Im Pouwsat. Bagus sekali!" Kata Kak Thong Taisu. "Siapakah orang tuamu dan siapa pula namamu" Dari mana kau datang?"
Anak itu menggeleng-gelengkan kepalanya dengan muka sedih. "aku tidak tahu siapa orang tuaku, siapa pula namaku aku sudah lupa lagi. Darimana aku datang" Entahlah, yang terang dari laut, karena bukankah Ji-wi mengeluarkan aku dari laut?" ia menudingkan jarinya yang kecil itu ke arah laut.
Kembali dua orang kakek itu saling pandang.
"Hemmm, dia telah kehilangan ingatannya karena mengalami hal yang amat dahsyat di Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
9 tengah laut. Kasihan!" kata Kak Thong Taisu.
"Anak, kalau begitu, aku hendak memberi nama kepadamu, maukah kau?"
Anak itu mengangguk. Ang-bin sin-kai menjadi girang sekali.
"Kalau begitu, mulai sekarang kau she (bernama keturunan) Lu!"
Terdengar Kak Thong Taisu tertawa bergelak-gelak. Suara ketawanya ini keras sekali sehingga anak itu terkejut. Ia merasa telinganya sakit sekali mendengar suara ketawa ini, maka cepat-cepat dia menutup telinganya dengan kedua tangannya.
"Mengapa kau tertawa, setan gundul?" Ang-bin Sin-kai membentak marah.
"Ha-ha-ha, kau jembel tua bangka ini biarpun di luarnya seperti jembel, ternyata masih belum dapat melupakan asal keturunan bangsawanmu! Biarlah, anak ini kauberi she. Bagiku, apakah artinya nama keturunan" Merepotkan saja! Anak baik, kau sekarang she Lu seperti she pengemis tua bangka ini. Akan tetapi namamu adalah aku yang akan memilihkan. Kau sekarang memakai nama Kwan Cu."
"Lu Kwan Cu?" anak itu berkata perlahan seperti kepada diri sendiri. Tadi melihat hwesio itu berhenti tertawa, dia telah menurunkan tangan yang dipakai menutupi telinganya.
"Ya, Lu Kwan Cu, nama baik, bukan?" si pengemis berkata girang. "Dan mulai sekarang kau menjadi muridku!"
"Eh, eh, eh, Ang-bin Sin-kai, kau melantur apa lagi" Siapa bilang dia menjadi muridmu" Di adalah muridku, tahu?"
"Tidak, hwesio gundul terlalu banyak makan! Dia adalah muridku. Lu Kwan Cu adalah murid Ang-bin Sin-kai!"
"Gila! dia muridku!"
Aku yang datang menolongnya dari gelombang laut!"
"Dan aku yang mengalirkan kembali nyawa ke dalam tubuhnya!"
Dua orang kakek ini kembali berhadapan dengan mata mencereng, siap untuk memperebutkan anak itu. Keduanya bersitegang dan akhirnya tanpa dapat dicegah lagi keduanya lalu bertanding pula! Mereka mengeluarkan ilmu pukulan yang paling dahsyat sehingga pasir berhamburan terkena angin pukulan mereka. Bahkan ketika anak yang sekarang bernama Lu Kwan Cu itu terdorong oleh angin pukulan, anak itu terguling-guling bagaikan sehelai daun tertiup angin keras. Tentu saja dia menjadi terkejut sekali dan anak ini lalu mencari tempat perlindungan di belakang sebuah batu karang besar. Ia mengintai dan menonton pertempuran itu dengan kedua matanya yang lebar dan tajam itu terbuka lebar-lebar.
Kini pertempuran yang terjadi jauh lebih hebat daripada malam tadi, karena kalau malam tadi mereka bertempur hanya mengandalkan pendengarannya, sekarang mereka dapat
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
10 mengerahkan seluruh kepandaian dan ketajaman mata mereka. Rasa lapar terlupa dan adanya hanya nafsu untuk menang!
Tiba-tiba terdengar suara yang nyaring dari anak itu,
"Aneh, aneh! Aku kesunyian mencari kawan. Dua orang ini di tempat yang begini sunyi saling bertemu dan mendapat kawan, mengapa bahkan saling pukul seperti kerbau gila" Ah, celaka, tentu mereka berdua ini miring otaknya!"
Mendengar omongan ini, biarpun sedang berkelahi, kedua orang kakek itu saling pandang sambil membelalakkan mata, akan tetapi mereka melanjutkan perkelahian itu.
Ketika anak kecil tadi melihat betapa dua orang kakek itu masih saja berkelahi, agaknya dia menjadi bosan. Diam-diam dia lalu pergi meninggalkan tempat itu.
Jeng-kin-jiu dan Ang-bin Sin-kai tentu saja tahu akan hal ini, akan tetapi mereka sedang mengerahkan kepandaian untuk merobohkan lawan yang amat tangguh, sehingga mereka kurang memperhatikan anak yang pergi itu. Setelah matahari naik tingi, kelelahan dan rasa lapar membuat kedua-duanya menjadi lemas dan dengan sendirinya perkelahian itu berhenti pula! Mereka duduk di atas pasir terengah-engah sambil saling pandang.
"Kau tua bangka gundul benar-benar hebat kepandaianmu!" Ang-bin Sin-kai berkata memuji.
"Dan kau pengemis kurus kering ternyata lebih hebat daripada dahulu. Kalau saja pinceng berhasil mendapatkan kitab IM YANG BU TEK CIN KENG, tentu kau takkan dapat bertahan begitu lama." Kata Keng-kin-jiu Kak Thong Taisu sambil menarik napas panjang.
"Im-yang Bu-tek Cin-keng takkan terjatuh ke tanganmu, gundul. Kitab itu pasti akan menjadi milikku. Kau lihat saja!"
"Hem, belum tentu. Semua tergantung atas keputusan Thian. Siapa yang terpilih untuk menjadi ahli silat nomor satu di dunia, barulah akan berhasil mendapatkan kitab rahasia itu."
"Baik-baik, mari kita berlomba mendapatkan kitab itu. Sekarang lebih baik kita menunda pertempuran kita sampai salah seorang berhasil mendapatkan kitab, baru bertempur pula.
Bagaimana pikiranmu?"
"Baik, Ang-bin Sin-kai. Memang perutku sudah lapar sekali. Eh, di mana Lu Kwan Cu?"
Hwesio itu bertanya sambil memandang ke kanan kiri.
"Biar saja, dia sudah pergi, karena kita tidak dapat disebut mana yang kalah, mana yang menang, siapa yang akan menjadi gurunya" Biarlah, biar dia sendiri yang menentukan siapa yang hendak dijadikan guru. Antara guru dan murid harus ada jodoh, bukan?"
Hwesio itu mengangguk, kemudian keduanya lalu memanggang ikan yang mereka tangkap dari laut, lalu makan bersama. Kalau dilihat memang aneh dan menggelikan sekali. Dua orang kakek tua bangka ini, karena sedikit urusan saja telah saling gempur mati-matian. Mereka telah bertempur sampai berjam-jam sampai kehabisan tenaga dan biarpun mereka tidak menderita luka-luka parah, namun setidaknya tentu ada kulit-kulit pecah dan biru-biru.
Sekarang mereka duduk makan-makan berdua seperti dua orang kawan baik yang sedang berpelesir di pinggir laut!
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
11 Sehabis makan, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu berkata, "Ang-bin Sin-kai, sekarang pinceng hendak pergi. Dua orang sahabat telah bertemu dan telah mengalami banyak kesenangan.
Setiap pertemuan tentu berakhir, maka mengapa menyusahkan perpisahan" Hanya satu hal pinceng hendak berpesan. Dalam hal diri Lu Kwan Cu, di antara kita siapa yang berhak mendapatkannya lebih dulu, berhak mengajar lebih dulu selama lima tahun. Setelah itu harus mengoperkannya kepada orang lain, jangan mau dimonopoli sendiri saja."
Pengemis itu mengangguk, "Kecuali kalau orang lain itu mampu merebutnya bukan?"
"Tentu saja! Anak itu bertulang baik, dia pantas diperebutkan." Setelah berkata demikian Kak Thong Taisu lalu melompat dan amat mengagumkan ginkang dari hwesio gendut ini. Biarpun tubuhnya seperti bola gendutnya, sehingga kalau berjalan nampak seperti menggelundung, akan tetapi dalam sekali berkelebat saja, tubuhnya telah lenyap dari hadapan Ang-bin Sin-kai!
Kakek pengemis ini seperti kawan atau juga boleh disebut lawannya, lalu berdiri di pinggir pantai dan memandang ke laut seperti orang melamun. Bibirnya bergerak-gerak perlahan dan terdengar dia berbisik,
"Im-yang Bu-tek Cin-keng, kitab rahasia yang dirindukan oleh semua tokoh kang-ouw, dan Lu Kwan Cu, anak kecil aneh itu pula"..ah, aku seakan-akan melihat pertalian antara keduanya ini!" Sampai berjam-jam kakek ini berdiri bagaikan patung di pinggir laut, pikirannya terbawa ombak yang bergerak-gerak tiada hentinya.
Kakek pengemis yang aneh, hwesio gendut yang ganjil, anak kecil yang penuh rahasia, kemudian kitab yang disebut-sebut itu pun kitab yang aneh pula. Semua ini terjadi di pantau laut Po-hai yang penuh rahasia alam. Memang di dunia ini banyak sekali terjadi hal-hal yang aneh, aneh bagi pandangan mata manusia. Siapakah berani bilang bahwa alam tidak berkuasa" Siapa pula dapat mengikuti sifat daripada To" Kekuasaan Thian nampak di mana-mana!
"Lu Kwan Cu, nama yang baik! Aku suka nama ini. Aku Lu Kwan Cu, ya, aku bernama Lu Kwan Cu, siapa lagi kalau bukan ini namaku?" berkali-kali kata-kata ini keluar dari mulut anak kecil yang berjalan seorang diri di jalan raya yang sunyi dan lebar. Ia sudah kehilangan ingatannya, tidak ingat sama sekali tentang apa yang telah terjadi padanya. Ia tidak ingat lagi akan orang tuanya yang lenyap bersama dengan kapal di mana tadinya dia berada. Semua telah lenyap ditelan ombak samudera, dan kalau anak ini merupakan orang satu-satunya yang selamat, lalu dia kehilangan ingatannya, siapa lagi orangnya di dunia ini yang dapat menceritakan siapa adanya anak ini dan siapa pula orang tuanya"
Oleh karena tidak mungkin menyelidiki siapa adanya keluarga anak ini, maka biarlah kita mulai sekarang menganggap saja bahwa dia bernama Lu Kwan Cu, anak kecil berusia lima tahun yang seakan-akan dilemparkan oleh ombak laut
Po-hai ke dalam dunia, seorang diri tak berteman, hanya berkawan perutnya yang memiliki nafsu makan besar sekali dan baju compang-camping yang kantongnya kosong sama sekali!
Oleh karena desakan perutnya, maka tak lama kemudian anak ini kelihatan mengemis di sana-sini untuk dapat mencari makan bagi perutnya yang bernafsu besar!
Kwan Cu memang tidak seperti anak-anak lain. Sikapnya, wataknya, dan cara dia mengemis pun menjadi bukti bahwa dia adalah seorang yang aneh. Pengemis-pengemis kecil lainnya Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
12 apabila mengemis tentu akan merengek-rengek, menceritakan kesusahan mereka untuk menarik belas kasihan daripada pendengarnya. Anak-anak seperti ini biasanya amat rendah harti, dimaki, dipukul, hanya menerima dengan tangis saja. Berbeda jauh dengan Kwan Cu. Ia tidak pernah merengek, tidak pernah mengeluh, agaknya anak ini memang tidak mengenal keluh-kesah.
Pada suatu hari, dalam perantauannya yang tanpa tujuan itu, tibalah dia di kota Lung-to di tepi Sungai Kuning. Memang Kwan Cu setelah meninggalkan laut, lalu mengikuti jalan sepanjang sungai besar dan tak pernah jauh meninggalkan Suangai Huang-ho. Ia memasuki kota Lung-to dalam keadaan letih dan lapar. Ia telah melakukan perjalanan sehari semalam lamanya.
Daerah ini memang kurang penduduknya dan dari satu kota ke kota yang lain amat jauh jaraknya. Semenjak kemarin, Kwan Cu belum makan apa-apa, dan selama sehari semalam itu dia terus-menerus berjalan kaki. Tidak ada sesuatu yang bisa dimakan dalam perjalanan melalui hutan-hutan itu, kecuali air yang memenuhi perutnya. Akan tetapi Kwan Cu tidak berani minum banyak-banyak karena hal ini mengingatkan dia akan air laut. Anak ini mempunyai perasaan takut terhadap air laut yang bergelombang besar.
Dengan langkah tersaruk-saruk Kwan Cu memasuki pintu gerabang kota Lung-to. Kota ini besar dan ramai, banyak terdapat toko-toko dan restoran besar. Maka sebentar saja Kwan Cu dapat menerima sisa makanan dari sebuah restoran. Biarpun perutnya sudah lapar sekali, namun Kwan Cu tidak nampak tergesa-gesa ketika dia membawa makanan itu ke bawah sebatang pohon besar di pinggir jalan. Kemudian dia makan sisa makanan yang dia dapat dari pelayan restoran. Cara makannya juga tidak tergesa-gesa, bahkan dengan teliti dia memilih makanan itu.
Ia sama sekali tidak tahu bahwa semenjak dia memasuki kota, dia telah diawasi oleh seorang gemuk yang berwajah menakutkan sekali dan yang gerakan-gerakannya seperti seekor kucing ringannya.
"Daging baik, tulang murni"." Beberapa kali orang tinggi besar itu berbisik dan nampak puas sekali.
Tingkah laku orang tinggi besar ini benar-benar amat megherankan dan mencurigakan.
Biarpun tubuhnya besar, namun dia bergerak cepat dan gesit sekali. Anehnya, tiap kali bertemu dengan orang, dia lalu menyelinap dan bersembunyi, dan karena dia memang memiliki gerakan yang ringan dan cepat sekali, tidak ada orang yang melihat dia mengikuti Kwan Cu. Orang ini tubuhnya besar dan nampak kuat, mukanya bundar dengan mulut lebar seperti mulut barongsai. Jenggotnya pendek dan kaku seperti jarum, sudah putih sebagian.
Yang menyolok adalah pakaiannya, karena bajunya berwarna merah darah sedangkan celananya berwarna biru! Melihat sesuatu mengganjal di dalam punggung bajunya, dapat diduga bahwa orang ini membawa sebuah senjata tajam.
Pada masa itu banyak timbul kekacauan, maka soal membawa-bawa senjata tajam bukanlah pemadangan baru. Bukan hanya ahli-ahli silat yang membawa-bawa senjata pedang atau golok, bahkan orang-orang yang tidak mengerti ilmu silat pun sebagian besar membawa senjata pelindung diri.
Ketika Kwan Cu tengah makan, orang tinggi besar itu datang mendekati dengan muka menyeringai. Kwan Cu mengangkat mukanya memandang. Wajah orang itu tidak membuat dia takut, bahkan anak kecil ini lalu mengerutkan kening. Ia telah memilih tempat di bawah pohon di mana tidak ada orang dan sunyi. Dari situ terlihat orang-orang mondar-mandir di jalan raya, akan tetapi tak seorangpun menaruh perhatian kepada anak kecil jembel yang sedang makan di bawah pohon. Mengapa orang ini datang dan memandangnya dengan muka Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
13 menyeringai"
"Orang tua, apakah kau lapar?" tanya Kwan Cu menunda makannya
Orang itu melengak, lalu tertawa. "Aku memang lapar sekali!" Nampak sikap orang itu benar-benar seperti kelaparan dan mengilar. Kwan Cu melihat makanan yang masih ada sisanya dan terpegang di tangan kirinya dalam sebuah mangkok butut. Sebetulnya dia belum kenyang betul akan tetapi perutnya sudah tidak perih lagi seperti tadi. Tiba-tiba dia angsurkan mangkoknya kepada kakek itu dan berkata,
"Nah kauambil dan makanlah ini!"
Kembali orang itu tertegun. Diam-diam dia merasa geli melihat sikap anak kecil ini.
"Kau tidak tahu siapa aku," pikirnya, "maka kau berani menghina"
Sebetulnya siapakah kakek yang berwajah menyeramkan ini" Kalau orang-orang yang berjalan di jalan raya itu tahu siapa dia, tentu akan terjadi geger. Telah beberapa hari ini, timbul kegemparan di kota Lung-to karena beberapa orang anak kecil lenyap terculik orang.
Telah payah orang-orang pergi menyelidik, akan tetapi percuma saja karena penculik itu dalam melakukan pekerjaannya, tidak meninggalkan bekas sama sekali. Orang-orang hanya mengira bahwa penculik itu tentu menculik anak-anak dengan maksud untuk menjual anak-anak itu sebagai budak belian, karena selalu yang dipilih adalah anak-anak yang manis dan sehat. Kalau saja orang tahu bahwa penculik anak-anak itu adalah Tauw-cai-houw, seorang setengah gila yang melakukan perbuatan-perbuatan ganas dan amat menyeramkan, tentu orang-orang akan menjadi gempar! Tauw-cai-houw (Harimau Menagih Hutang) adalah seorang tokoh berkepandaian tinggi yang mempunyai kebiasaan aneh dan mengerikan sekali.
Ia menangkap anak-anak kecil bukan sekali-kali untuk dijual belikan, melainkan untuk di?".makan!
Dan kini Tauw-cai-houw berada di kota Lung-to dan telah menculik beberapa orang anak kecil. Lebih dari itu, pada hari itu Touw-cai-houw bahkan sedang mendekati Kwan Cu dan ditawari sisa makanan oleh anak ini!
"Anak manis, kau makanlah biar kenyang," kata Tauw-cai-houw dengan kedua matanya berputar-putar. Memang muka yang bundar dari orang ini mirip dengan muka harimau.
"Kalau kau masih kurang, bilang saja, aku akan menyediakan untukmu." Kemudian, kakek ini melihat mangkok di tangan Kwan Cu yang butut serta isinya yang terdiri dari makanan sisa.
Ia cepat menyambar dan tahu-tahu mangkok itu telah dirampasnya dan dibanting hancur.
Kwan Cu memandang heran dan juga marah, akan tetapi Tauw-cai-houw berkata,
"Tunggulah sebentar. Makanan seperti itu tidak seharusnya kaumakan. Tunggu sebentar, aku akan mencarikan makanan yang baik untukmu." Ia lalu melangkah lebar ke arah restoran dan tak lama kemudian, betul saja dia kembali dengan langkah lebar menghampiri Kwan Cu sambil membawa dua mangkok penuh terisi makanan-makanan yang hangat mengebul!
Ketika dua mangkok masakan itu diletakkan di depannya, Kwan Cu menjadi mengilar sekali.
Bau makanan yang sedap itu telah membuat perutnya yang belum kenyang tiba-tiba menjadi lapar lagi. Kalau menurutkan nafsunya, ingin dia segera menyikat dua mangkok masakan itu, akan tetapi anak ini memang aneh. Ia bahkan menggerakkan kepalanya menoleh kepada Tauw-cai-houw, lalu berkata, "Orang tua, aku tidak bisa makan masakan ini."
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
14 Untuk ketiga kalinya Tauw-cai-houw melengak. "He" Mengapa?"
"Kita tidak saling mengenl, juga tidak ada hubungan sesuatu antara kita. Mengapa kau datang-datang menghadiahkan dua mangkok masakan" Tentu ada udang dibalik batu. Apakah sebenarnya kehendakmu?"
Kini Tauw-cai-hauw benar-benar tercengang. Belum pernah dia bertemu dengan seorang anak kecil seaneh ini. Kata-kata itu tidak patut keluar dari mulut seorang anak-anak, pantasnya diucapkan oleh seorang dewasa yang sudah banyak pengalaman hidup!
"Anak, siapa namamu" Kau benar-benar cerdik, suka hatiku melihatmu."
"Aku Lu Kwan Cu, dan siapakah kau, Lopek" Dan apa sebabnya kau datang-datang berlaku manis kepadaku" Aku tidak mempunyai sesuatu sebagai penukar dua mangkok masakan yang mahal ini."
Tauw-cai-houw tertawa bergelak, sehingga beberapa orang yang lewat didekat tempat itu berhenti lalu memandang. Akan tetapi begitu Tauw-cai-houw itu memelototkan matanya, orang-orang itu merasa takut dan buru-buru pergi lagi.
"Anak bodoh, mengapa ribut-ribut tentang penukaran" Aku pun mengambil masakanmasakan itu tanpa bayar!"
"Apa" Kau merampas dengan kekerasan?" tanya Kwan Cu dengan mata terbelalak.
"Tidak bisa disebut perampasan karena pemiliknya tidak tahu makanannya kuambil."
"Kalau begitu kau mencuri!" dengan kata-kata ini, Kwan Cu lalu mendorong dua mangkok masakan itu sehingga terguling dan semua masakan yang masih mengebul panas itu tumpah di atas tanah yang kotor. "Aku tidak sudi makan barang curian dan kau pencuri tua ini lekas pergi jangan mengganggu aku lagi!"
Dari perasaan heran, kakek itu kini menjadi marah. "Tolol, disuruh makan biar gemuk dan sehat, kau banyak membantah. Kaukira dapat membantah di depan Tauw-cai-houw?" Setelah berkata demikian, tangannya menyambar dan tahu-tahu Kwan Cu telah ditangkap lehernya seperti harimau menangkap kelinci. Lalu orang tinggi besar yang mengerikan ini melangkah lebar, membawa Kwan Cu yang tak dapat berkutik lagi.
Orang-orang yang melihat ini, menjadi ribut. Ketika mereka mengejar dan melihat betapa kakek bermuka harimau itu berlari cepat sekali, mereka berteriak-teriak,
"Ah, tentu dia penculik anak-anak itu! Kejar!"
"Tangkap penculik anak-anak!"
"Bunuh dia!"
Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Teriakan-teriakan susul-menyusul dan para pengejar makin banyak, akan tetapi kakek itu benar-benar lihai karena dalam sekejap mata saja dia sudah hilang dari pandangan mata orang banyak, tidak tahu kemana menghilangnya.
Sebentar saja, gegerlah seluruh kota Lung-to dan semua orang membicarakan tentang penculik itu. Banyak orang memberi bumbu sehingga tak lama kemudian, orang
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
15 menggambarkan penculik itu sebagai seorang siluman yang bermuka singa dan yang mengerikan sekali! Para penjaga keamanan kota menjadi sibuk karena mereka berusaha untuk mencari dan menangkap penculik yang telah beberapa hari mengacau kota itu. Akan tetapi tetap saja tidak ada seorang pun tahu kemana perginya si penculik.
Pada saat orang-orang sedang kebingungan dan geger, muncullah seorang wanita yang amat cantik dan juga bersikap gagah sekali. Wanita ini masih muda, usianya takkan lebih dari dua puluh lima tahun, pakaiannya sederhana berwarna putih, akan tetapi kesederhanaan pakaiannya ini yang menambah kecantikan wajah dan potongan tubuhnya yang langsing dan padat itu makin nampak nyata. Di pinggangnya tergantung sebatang pedang yang gagangnya beronce benang-benang sutera merah. Rambutnya yang panjang terurai ke belakang itu diikat dengan pengikat rambut dari sutera merah pula. Pinggiran bajunya yang putih bersih itu berwarna biru, menambah kepantasan. Siapakah wanita ini" Melihat dari sikapnya, tak dapat diragukan lagi bahwa dia tentulah seorang wanita perkasa yang pandai ilmu silat. Dugaan ini tidak salah karena sesungguhnya dia dalah pendekar wanita yang terkenal dengan sebutan Pek-cilan (Bunga Cilan Putih). Sebetulnya nama sebutan ini lebih berdasarkan kecantikannya dan baju putihnya daripada kegagahannya. Namanya Thio Loan Eng, dan semenjak dewasa memang telah banyak merantau dan melakukan perbuatan-perbuatan besar, sehingga dapat mengangkat tinggi nama sendiri. Ilmu pedangnya amat terkenal di kalangan kang-ouw, karena Loan Eng adalah putreri dari Thio Keng In, tokoh terkenal dari barat yang memiliki ilmu pedang turunan dari keluarga Thio. Menurut kepercayaan orang, ilmu pedang keluarga Thio ini masih warisan dari ilmu pedang Thio Hui, tokoh besar dari jaman Sam Kok!
Ketika itu Loan Eng sedang berada di Lung-to. Ia mendengar suara ribut-ribut ini dan keluar dari kamar di hotelnya. Dengan cepat ia mendengar tentang penculikan seorang anak kecil oleh seorang saikong yang bermuka harimau, maka cepat pendekar wanita ini lalu mengadakan penyelidikan.
Sambil tertawa-tawa, Tauw-cai-houw membawa Kwan Cu ke dalam sebuah hutan yang amat liar di sebelah selatan kota Lung-to, terpisah kurang lebih lima belas li. Di tengah hutan ini memang menjadi tempat sembunyinya selama dia melakukan penculikan-penculikan terhadap anak-anak kecil di kota Lung-to.
Setelah tiba di tempat tinggalnya, yakni sebuah lapangan yang dikelilingi oleh pohon-pohon besar, dia melemparkan Kwan Cu ke atas tanah. Anak ini terguling, akan tetapi cepat melompat berdiri lagi dengan mata terbelalak. Kini dia benar-benar merasa seram ketika melihat betapa di atas tanah menggeletak tulang-tulang manusia dan tengkorak-tengkorak berserakan. Melihat ukuran tulang-tulang dan tengkorak-tengkorak itu, dapat di duga bahwa itu adalah tengkorak dan tulang anak-anak kecil seperti dia!
Tauw-cai-houw mengambil sebuah kantong yang tadinya dia gantungkan di cabang pohon. Ia membuka kantong itu dan mengeluarkan sebutir buah yang kulitnya bersisik seperti kulit ular.
"Kaumakanlah ini!" katanya kepada Kwan Cu sambil mengangsurkan buah itu. Akan tetapi Kwan Cu tidak mau menerimanya, hanya menggelengkan kepala. Sinar mata anak ini sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut terhadap saikong yang setengah gila itu.
"Hayo makan!" kembali Tauw-cai-houw membentak, akan tetapi dengan bandel sekali Kwan Cu menggeleng kepala.
Tauw-cai-houw menjadi marah. Dipegangnya leher Kwan Cu dan sekali tekan saja mulut Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
16 anak itu terbuka. Buah ular itu diremas dalam tangan kanan dan dijejalkan ke dalam mulut Kwan Cu! Rasanya asam dan pahit, akan tetapi karena dijejalkan terus, terpaksa Kwan Cu menelannya! Sungguh aneh, biarpun rasanya asam dan pahit, setelah memasuki perutnya, terasa perutnya hangat dan enak sekali! Ia tidak tahu bahwa buah ular itu adalah semacam buah yang langka dan merupakan obat yang amat mujijat khasiatnya terhadap aliran darah.
Selain pembersih darah, juga dapat menguatkan tubuhnya. Ternyata Tauw-cai-houw memaksa anak itu makan buah obat ini agar tubuh anak ini menjadi kuat dan dagingnya, darah, serta sumsumnya akan merupakan hidangan yang amat baik untuknya!
Setelah Kwan Cu menelan obat itu, Tauw-cai-houw tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, selama bertahun-tahun ini belum pernah aku mendapatkan seorang anak seperti engkau! Sekali ini aku pasti akan berhasil. Kau adalah seorang anak sin-tong (anak ajaib), jantung dan otakmu pasti akan menghasilkan semua usahaku selama ini. Ah, kau mengingatkan betapa semua anak-anak ini hanyalah sebangsa boan-tong (anak nakal) belaka. Hm, sungguh menyebalkan!"
Kwan Cu tidak mengerti maksud kata-kata ini, hanya sepasang matanya yang lebar dan bersinar-sinar itu memandang tajam.
"Mengapa matamu mendelik terus kepadaku?" Tauw-cai-houw membentak marah.
"Tenanglah, matamu yang tajam itu takkan memasuki perutku, hanya akan membikin muak saja!"
Setelah berkata demikian, saikong ini lalu menyalakan api unggun yang besar, dan memasang tempat pemanggang dari kayu seperti yang bisa dipergunakan untuk memanggang binatang buruan. Kwan Cu masih juga tidak mengerti, hanya memandang segala tingkah laku orang tua yang aneh itu. Diam-diam dia membuat perbandingan, mana yang lebih aneh, kakek ini ataukan dua orang kakek yang saling hantam di tepi laut itu.
"Di dunia ini benar-benar banyak sekali orang-orang aneh. Dia ini tentu juga miring otaknya!" katanya dan karena kata-kata ini tanpa disengaja diucapkan keras-keras, maka didengar oleh Tauw-cai-houw.
"Apa katamu" Kau berani memaki aku gila?"
"Kalau kau tidak gila, mengapa kau menangkapku dan membawaku kesini" Kemudian kau memaksaku makan buah yang pahit dan tidak enak, perbuatan ini kalau tidak dilakukan oleh seorang gila, habis oleh siapa lagi!" Kwan Cu membantah berani.
"Benar, benar! Kau sin-tong (anak ajaib), kalau tidak demikian tak nanti kau berani mengeluarkan ucapan-ucapan seperti itu! Ha, ha, ha, hendak kudengar apa yang akan kaukatakan setelah kau kupanggang di atas api itu!" ia menuding ke arah api unggun yang sudah menyala besar.
"Celaka, memang kau benar-benar gila!" Kwan Cu mnearik napas panjang.
Sambil tertawa dengan suaranya yang serak, Tauw-cai-houw menubruk dan dalam sekejap mata saja kedua tangan Kwan Cu sudah ditelikung ke belakang dan diikat dengan tambang kulit pohon. Ia seperti seekor babi kecil yang sudah diikat keempat kakinya dan hendak dipanggang hidup-hidup. Kemudian, lebihan tambang pengikat tangan Kwan Cu, yang masih Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
17 panjang, diikatkan di atas cabang pohon oleh kakek itu, tepat di atas api yang bernyala-nyala!
Kalau lain orang anak yang dipanggang seperti itu, tentu akan menjerit-jerit, akan tetapi Kwan Cu lain lagi wataknya. Anak ini benar-benar berhati baja dan biarpun dia sudah mulai merasa hawa panas dari bawah menyambarnya, dia tetap menggigit bibir tidak mau menangis atau berteriak.
"Benar-benar sin-tong! Sin-tong!" melihat hal ini Tauw-cai-houw menjadi makin girang.
Akan tetapi tiba-tiba dia menjadi pucat dan memaki-maki api di bawah tubuh Kwan Cu yang mengeluarkan suara "ces, ces!" lalu padam! Apa yang terjadi" Tadi sehabis dijejali buah ular yang asam dan pahit, Kwan Cu ingin sekali membuang air kecil, akan tetapi karena dia tidak sempat dan telah diikat tangannya, tentu saja dia tidak dapat membuang air kecil. Kini setelah digantung di atas, rasa panas membuat dia tidak dapat menahan lagi, dan kencinglah dia begitu saja. Sungguh kebetulan sekali, air kencing yang banyak itu menimpa api unggun dan memadamkan api itu karena kayu bakarnya menjadi basah semua!
Kwan Cu berotak cerdik. Kini dia dapat menduga bahwa kakek gila di bawah ini adalah seorang pemakan daging anak-anak! Diam-diam dia bergidik juga, akan tetapi takut dia tidak!
Agaknya anak ini memang telah lenyap perasaan takutnya setelah terlepas dari bahaya maut di tengah samudera.
"Lopek, apakah kau tidak mendengar suara tengkorak-tengkorak itu bicara?" tanya Kwan Cu kepada Tauw-cai-houw yang sedang mengumpulkan lagi kayu bakar yang kering sambil mengomel panjang pendek.
Mendengar ini, Tauw-cai-houw menjadi terkejut sekali.
"Bohong, bocah nakal! Mana ada tengkorak bicara" Tutup mulutmu, kau sudah kenyang, akan tetapi aku sudah lapar sekali!"
"Siapa membohong" Aku mendengar dengan jelas tengkorak-tengkorak di bawah itu berkata-kata."
Kini Tauw-cai-houw menghentikan pekerjaannya dan dia memandang ke atas di mana Kwan Cu tergantung dengan muka di bawah.
Kwan Cu mengeluarkan suara mengejek. "Mana bisa kau mendengarnya" Aku adalah seorang anak sin-tong (anak ajaib), ingatkah kau?"
Wajah Saikong itu berubah, agak pucat. "Apa kata mereka?" tanyanya, suaranya tidak begitu keras seperti tadi.
"Turunkanlah dulu aku dari sini, nanti kuceritakan apa yang kudengar tentang mereka, " kata Kwan Cu.
Tauw-cai-houw memang otaknya tidak begitu beres, maka mendengar ini, dia lalu
menurumkan Kwan Cu.
"Lepaskan dulu ikatan tanganku, ikatanmu kuat sekali sehingga kau membikin tanganku sakit," kata pula anak ini, suaranya tetap tenang seperti tidak terjadi sesuatu yang hebat dan yang mengancam nyawanya.
Mendengar ini Tauw-cai-houw ragu-ragu, akan tetapi dia lalu menggerutu, "Dibuka juga, apa Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
18 kaukira bisa pergi lari?" ia lalu membuka ikatan kedua tangan Kwan Cu. Anak ini menggosok-gosok pergelangan kedua tangannya yang terasa sakit dan kelihatan kulitnya matang biru.
"Hayo lekas ceritakan, apa yang kau dengar dari tengkorak-tengkorak itu?"
Kwan Cu melirik ke kanan kiri dan diam-diam dia merasa seram melihat rangka manusia ini.
Selama hidupnya belum pernah menyaksikan pemandangan seperti ini, maka diam-diam dia merasa betapa kepalanya yang gundul itu menjadi dingin sekali. Tanpa di sengaja dia meraba kepalanya. Dan setelah meraba, dia mengeluarkan seruan tertahan. Ternyata bahwa kepalanya kini menjadi pelontos dan licin sekali, semua rambut yang tadinya masih ada sedikit-sedikit telah lenyap sama sekali, menjadi licin!
Melihat air muka anak itu terkejut dan terheran-heran, Tauw-cai-houw tertawa bergelak.
"Rambutmu, baik yang di kepala maupun yang di tubuh, telah rontok semua oleh daya coa-ko (buah ular) tadi. Apa kaukira aku doyan makan daging berbulu dan berambut?"
Kwan Cu mendongkol sekali. Jadi buah yang pahit tadi gunanya untuk membikin rambut dan bulu-bulunya rontok sehingga dia seperti seekor ayam yang dicabut bulu-bulunya sebelum dimasak" Terlalu sekali!
"Nah, hayo ceritakan, tengkorak-tengkorak itu berkata apa?" Tauw-cai-houw berkata tidak sabar lagi.
"Mereka saling bercaka-cakap membicarakan kau," Kwan Cu mulai memberi keterangan.
"Katanya bahwa hari ini adalah hari kematianmu, karena sebagai seorang anak sin-tong, dagingku panas dan sumsumku beracun, hingga begitu kau makan aku, kau akan mampus!"
Kini Tauw-cai-houw benar-benar menjadi pucat dan tanpa terasa lagi dia melangkah mundur sampai tiga tindak. Ia memandang kepada Kwan Cu dengan mata terbelalak, dan diam saja ketika melihat anak itu berjalan pergi sambil berkata, "Karena itu demi keselamatanmu sendiri, jangan kau makan aku!"
Kwan Cu berjalan pergi dan dia tidak berani menengok lagi. Hatinya berdebar karena dia tidak mendengar orang itu mengejar. Benar-benar dia dapat mengakalinya demikian mudah"
Akan tetapi, tiba-tiba dia mendengar angin menyambar dan tahu-tahu dia telah ditangkap lagi!
Seperti tadi, kedua tangannya telah diikat kembali dan Tauw-cai-houw berkata dengan suara mengancam,
"Sin-tong, betapapun juga, tetap saja kau akan kupanggang! Kau kira aku akan begitu bodoh"
Aku akan mengambil sekerat dagingmu dan sedikit sumsummu, kuberikan kepada harimau lebih dulu! Kalau harimau yang makan dagingmu dan sumsummu tidak mati, mengapa aku akan takut makan kau?" Sambil tertawa terbahak-bahak Tauw-cai-houw membawa kembali Kwan Cu ke tempat tadi dan kali ini benar-benar Kwan Cu putus harapan. Akan tetapi, anak ini tetap tidak mau menangis atau menjerit minta tolong. Ia menghadapi dengan mata terbuka, bahkan matanya makin besar cahayanya.
Tiba-tiba berkelebat bayangan putih, dibarengi bentakan nyaring.
"Siluman jahat, lepaskan anak itu!" Bentakan ini dibarengi menyambarnya pedang yang bercahaya ke arah dada saikong itu. Tauw-cai-houw terkejut sekali karena gerakan serangan pedang ini bukan main cepatnya. Ia terpaksa melepaskan tubuh Kwan Cu yang jatuh Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
19 membelakang. Kwan Cu merasa jidatnya sakit terbentur batu, akan tetapi anak ini tidak mengeluh dan cepat-cepat miringkan kepala untuk melihat apa yang terjadi.
Ternyata olehnya bahwa yang menyerang penculik itu adalah seorang wanita baju putih yang cantik sekali. Ketika penyerang yang bukan lain adalah Thio Loan Eng ini menemukan jejak penculik yang membawa lari anak kecil, ia lalu menyusul terus sampai ke dalam hutan dan kebetulan sekali ia melihat Tauw-cai-houw hendak memegang seorang anak kecil. Ia terkejut sekali ketika mengenal saikong ini, juga berbareng marah sekali, maka langsung ia lalu menyerangnya dengan tusukan Sin-liong-jut-tong (Naga Sakti Keluar Gua).
Tauw-cai-houw adalah seorang yang tinggi ilmu silatnya, maka biarpun diserang dengan tiba-tiba secara hebat ini, masih dapat dia melepaskan Kwan Cu. Kemudian sekali saja tangannya bergerak, dia telah mencabut sebatang golok yang amat besar dan tajam.
"Bangsat kecil, siapa kau berani sekali menyerangku?" bentak Tauw-cai-houw sambil memalangkan goloknya di depan dada dengan sikap mengancam.
Loan Eng berdiri tegak dengan menudingkan pedangnya kepada Tauw-cai-houw. "Siluman keji! Sudah lama nonamu mendengar tentang kejahatanmu dan kebetulan sekali kita bertemu di sini. Inilah tandanya bahwa Tauw-cai-houw akan segera tamat riwayatnya. Orang jahat, kau telah kehilangan anakmu sendiri, mengapa kau sekarang berlaku kejam kepada anak-anak orang lain" Apakah kau sudah tidak mempunya perasaan lagi sehingga kau membuat anak-anak menjadi seperti ini?" Dengan tangan kirinya Loan Eng menunjuk kearah tengkorak-tengkorak yang menggeletak di kanan kiri Kwan Cu.
Semenjak tadi Tauw-cai-houw berdiri bengong dan takjub. Belum pernah dia melihat seorang wanita yang dalam pandangan matanya demikian cantik jelitanya, yang mengingatkan dia kepada istrinya dahulu! Kemudian mendengarkan ucapan Loan Eng dia seperti tersadar dan untuk beberapa lama dia tak dapat berkata-kata!
"Tauw-cai-houw, bersedialah untuk mampus!" Loan Eng membentak ketika melihat orang itu hanya berdiri memandangnya dengan mata terbelalak kagum. Dengan seruan ini, wanita perkasa itu kembali menyerang dengan pedangnya dan kali ini ia menggerakkan pedangnya secara lihai sekali. Inilah ilmu pedang keturunan dari keluarganya dan biarpun Tauw-cai-houw amat lihai, namun dia segera menjadi repot sekali menghadapi serangan pedang ini.
"Nona, tahan, Nona"..aku tak dapat melawanmu"." Loan Eng membelalakkan matanya yang bagus. Ia merasa heran sekali mendengar suara lawannya dan ketika ia memandang, ternyata bahwa saikong yang bertubuh besar dan bermuka seperti harimau itu telah menangis tersedu-sedu!
"Nona, jangan serang aku"..kalau kau kehendaki aku akan melepaskan anak ini, aku akan melakukan apa saja yang kau kehendaki, akan tetapi".jangan kau tinggalkan aku
selamanya".."
Loan Eng sudah mendengar tentang Tauw-cai-houw, dan sudah mendengar pula tentang riwayat orang aneh ini, juga tahu bahwa orang ini otaknya miring. Akan tetapi mendengar kata-kata permintaan itu, mau tidak mau ia merasa jengah dan merahlah mukanya.
"Keparat!" serunya marah dan kembali pedangnya membacok dengan gerak tipu Batu Karang Menimpa Jurang. Bacokan ini hebat sekali dan demikian cepatnya sehingga tak mungkin Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
20 dielakkan pula. Terpaksa Tauw-cai-houw menangkis dengan goloknya.
"Traaang".!" Bunga-bunga api berpijar dan Loan Eng merasa tangannya tergetar hebat.
"Nona, jangan serang aku ?"jangan tinggalkan aku?" berkali-kali Tauw-cai-houw berkata dengan suara dengan penuh permohonan. Akan tetapi Loan Eng menjadi makin penasaran dan marah. Ia menyerang terus bertubi-tubi dan lawannya hanya menangkis atau mengelak cepat, sama sekali tidak mau membalas, hanya minta-minta dengan suara pilu. Sesungguhnya , Loan Eng sendiri merasa bahwa kepandaian saikong ini masih lebih lihai dari padanya. Kalau Tauw-cai-houw membalas, tentu akan terdesak wanita perkasa ini. Akan tetapi, saikong itu tidak mau membalas sedikitpun juga dan betapapun lihainya, ilmu pedang yang dimainkan oleh Loan Eng adalah ilmu pedang yang baik sekali dan juga kepandaian Loan Eng sudah mencapai tingkat yang cukup tinggi. Maka bagaimana dia dapat mempertahankan diri terus tanpa membalas"
Setelah melakukan perlawanan selama lima puluh jurus lebih, akhirnya sebuah bacokan pedang Loan Eng menyerempet lengan kanannya sehingga segumpal daging dekat sikunya terbabat pedang dan goloknya lepas dari pegangan.
"Aduh, nona ".jangan lukai aku"." Saikong itu berseru akan tetapi Loan Eng mendesak terus.
"Cep! Cep!" dua kali ujung pedangnya berhasil menusuk pundak dan paha lawannya.
Tauw-cai-houw mengaduh-aduh dan terhuyung-huyung mundur. "Nona"..Nona"jangan
lukai aku"." Ia masih berseru dan mengangkat kedua tangannya ke atas sambil memandang kepada Loan Eng dengan sinar mata mengasih. Loan Eng diam-diam merasa kasihan juga kepada orang ini, akan tetapi mengingat kejahatan-kejahatannya yang sudah melampaui batas prikemanusiaan, Loan Eng menggigit bibirnya yang merah lalu melompat maju dengan sebuah tusukan hebat sekali.
"Aduh, istriku"..mengapa kau berhati sekejam itu?" Tauw-cai-houw menjerit dan setelah memanggil-manggil istrinya, tubuhnya berkelojotan dan tak lama kemudian dia
menghembuskan nafas terakhir. Dadanya telah tertembus oleh pedang Loan Eng yang cepat membersihkan pedangnya dan sekali tebas saja ia telah memutuskan tali yang mengikat kedua tangan Kwan Cu.
Loan Eng mengira bahwa anak ini akan berlutut menghaturkan terima kasih kepadanya, akan tetapi dia kecelik besar. Kwan Cu bahkan berdiri tegak didepannya dengan sinar mata bernyala-nyala dia mencela, "Kau kejam sekali!"
Loan Eng benar-benar tertegun .
"Apa" Aku kejam" Kalau aku kejam, habis bagaimana kau menganggap dia itu?" Dengan pedangnya ia menunjuk kearah mayat Tauw-cai-houw.
"Dia" Dia jahat ." Jawab Kwan Cu tanpa ragu-ragu lagi.
"Hem, anak bodoh. Kalau aku tidak berlaku seperti yang kau sebut kejam tadi, apa kau kira sekarang kau masih dapat bernafas lagi" Mungkin kau sudah masuk kedalam perutnya yang gendut itu."
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
21 "Akan tetapi tidak perlu dibunuh." Bantah Kwan Cu dan mendengar kata-kata ini, diam-diam Loan Eng terheran. Ia tadi sudah merasa heran mengapa anak ini tidak merasa mengeluh atau menangis, tadinya ia mengira bahwa anak ini tentu ditotok jalan darah bagian Ahhiat sehingga membuatnya menjadi gagu, akan tetapi ternyata anak ini tidak apa-apa. Mengapa ada anak demikian bandel dan kuat" Jidat anak itu masih berdarah bekas terbentur ketika jatuh tadi, akan tetapi sedikitpun tidak pernah mengeluh. Dan sekarang, kata-kata itu lagi. Sungguh-sungguh tak pantas keluar dari mulut seorang anak kecil!
Ia merasa tidak seharusnya berbantah dengan seorang anak berusia liam tahun, akan tetapi anak ini lain lagi. Kata-katanya membuatnya merasa penasaran. Ia telah menolong nyawa anak ini dan apa balasannya" Celaan! Sungguh membuat penasaran dan gemas.
"Bocah ingusan! Kau tahu apa" Kau lihat rangka-rangka itu" Kalau si jahat itu tidak kubunuh, kau pun akan menjadi rangka, dan bukan kau saja, masih banyak anak-anak kecil akan ditangkapnya, dibunuhnya secara keji. Aku telah membunuh seorang jahat dan melenyapkan bencana demi keselamatan banyak orang anak-anak seperti engkau. Dan engkau menganggap aku kejam?"
Setelah mendengar pembelaan ini, baru agaknya Kwan Cu mau mengerti, dia mengangguk-anggukkan kepalanya yang gundul dan berkata, "Toanio, kau benar aku yang salah. Terima kasih banyak atas pertolonganmu tadi."
Loan Eng mau tidak mau harus tersenyum biarpun hatinya mendongkol sekali. Alangkah mahalnya ucapan "terima kasih" dari anak jembel ini. Akan tetapi diam-diam ia tertarik .
Anak ini bukan anak biasa, dan cara anak ini mengaku kesalahan sendiri, benar-benar mengherankan dan mengagumkan hatinya.
"Anak, siapakah namamu?"
"Namaku Lu Kwan Cu."
"Sebatangkara?" Kwan Cu menganguk sunyi.
"Tidak ada tempat tinggal?" Kwan Cu menggeleng, juga tanpa berkata sesuatu.
Loan Eng menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang. Alangkah banyaknya anak-anak terlantar seperti Kwan Cu ini. Banyak sudah ia bertemu dengan anak-anak seperti ini, sebatang kara, berkeliaran menjadi pengemis, tidak jarang mati kelaparan. Akan tetapi, belum pernah ia bertemu dengan jembel kecil seperti Kwan Cu ini. Juga wajah anak ini berbeda sekali dengan lain-lain jembel.
"Kwan Cu, maukah kau ikut dengan aku?"
"Ke mana?"
"Kemana saja aku membawamu pergi."
"Mengapa" Untuk apa?"
"Anak bodoh, apa kau lebih suka berkeliaran seorang diri di dunia yang penuh kejahatan ini"
Baru saja kau mengalami peristiwa yang mengancam nyawamu, apakah kau tidak ingin ikut dengan aku, menjadi muridku?"
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
22 "Menjadi muridmu, Toanio" Belajar apa?"
"Benar-benar pepat pikiranmu. Tentu saja belajar ilmu silat!"
"Untuk apa belar silat?"
"Bodoh! Kalau kau memiliki kepandaian silat, apakah segala macam orang jahat seperti Tauw-cai-houw itu dapat mengganggumu?"
"Tidak, Toanio," Anak itu menggeleng kepalanya yang gundul. "Aku tidak suka belajar silat."
"He" Kenapa?" Wanita cantik itu bertanya heran.
"Aku tidak mau belajar menjadi orang kejam." Kwan Cu teringat akan dua orang aneh di pantai laut. "Ilmu silat hanya dapat dipergunakan untuk memukul orang, bahkan untuk membunuh orang. Aku tidak suka pukul orang, juga tidak suka bunuh orang!" Mendengar filsafat kanak-kanak ini, hati nyonya itu tertegun. Benar-benar anak ini luar biasa sekali, Loan Eng bermata tajam dan sebagai seorang ahli silat tinggi, ia dapat pula melihat bahwa anak ini bertulang baik sekali untuk belajar silat.
"Kalau aku mendapat kesempatan belajar, aku ingin belajar, membaca dan menulis, bukan belajar menggerakkan senjata tajam yang mengerikan," jawab Kwan Cu dengan suara tetap.
"Hm, kaukira aku hanya dapat menggerakkan pedang saja" Akupun pernah mempelajari ilmu surat."
Kwan Cu sangat girang sekali. "Kalau begitu aku mau menjadi muridmu, Toanio!" Setelah berkata demikian, serta merta anak ini lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Loan Eng yang kembali melengak, kemudian ia tertawa. Ketika Kwan Cu memandang, anak ini heran juga.
Setelah tertawa nyonya ini tampak cantuk sekali bagaikan matahari yang bersinar terang, sedangkan tadinya ada bayangan kemuraman pada wajah manis itu, seakan-akan matahari yang tertutup mendung.
"Toanio, bolehkah teecu (murid) mengetahui namamu yang mulia?"
"Aku disebut orang Pek-cilan, namaku Thio Loan Eng."
Kwan Cu mencatat nama ini di dalam otaknya, kemudian setelah Loan Eng mengajaknya pergi, dia mengikuti wanita perkasa ini tanpa banyak cakap lagi. Loan Eng merasa kasihan pada Kwan Cu, maka ia ingin menolong anak ini.
"Kau ikut aku ke rumahku didusun Tun-hang, di sana kau boleh belajar membaca dan menulis, akan tetapi kau harus membantu pekerjaan di rumah," katanya.
Kwan Cu mengangguk-angguk. "Tentu saja, Toanio. Aku pun tidak suka menganggur saja."
Diam-diam Loan Eng berpikir. Anak ini bukanlah anak sembarangan, pikirnya. Sudah terang anak ini punya keberanian luar biasa, juga keuletan menderita yang amat mengagumkan.
Selain itu, pandangan dan pikirannya mendalam dan luas, kini ucapan ini membayangkan bahwa ia mempunyai kengkuhan pula.
"Dimana orang tuamu" Siapakah mereka?" tanyanya sambil berjalan perlahan karena kalau ia menggunakan ilmu berjalan cepat, tentu anak ini kan tertinggal jauh.
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
23 "Aku tidak tahu. Aku hanya tahu bahwa namaku Lu Kwan cu, yang lain-lain aku tidak tahu sama sekali,"
Loan Eng makin merasa heran. Sungguh kasihan, mungkin semenjak kecil sudah hidup merantau seorang diri, pikirnya.
"Toanio, mengapa orang gila tadi menyebut kau sebagai istrinya" Dan mengapa ada orang makan anak kecil?" Kwan Cu bertanya.
Loan Eng lalu menceritakan keadaan Tauw-cai-houw. Ia telah mendengar riwayat orang itu dari mendiang ayahnya.
"Dia mempunyai riwayat yang amat menyedihkan. Isterinya yang masih muda dan cantik telah lari dengan laki-laki lain, meninggalkan seorang anak kecil. Kemudian dia merantau seperti orang gila mencari-cari isterinya, menggendong anaknya yang masih kecil itu. Ketika dia tiba di dalam sebuah hutan dan menurunkan anaknya dari gendongan, anaknya itu diterkam harimau! Ketika itu dia sedang mencari buah-buahan untuk anaknya, dan ketika dia datang menolong ternyata sudah terlambat. Anaknya telah menjadi mangsa harimau yang kelaparan. Ia mengamuk dan seperti orang gila dia membunuh seluruh harimau yang berada di dalam hutan itu. Pukulan batin ini terlampau berat baginya sehingga selain benci kepada harimau, juga timbul iri hatinya setiap kali dia melihat anak kecil. Akhirnya, kegilaannya memuncak dan dia membunuh serta makan daging setiap anak kecil yang diculiknya. Kau masih beruntung hanya menderita luka di jidatmu setelah tertangkap olehnya, sedikit saja aku terlambat kaupun akan akan menjadi mangsanya. Entah bagaimana, dia telah berubah seperti seekor harimau dan menganggap diri sendiri sebagai harimau yang suka makan anak kecil.
Oleh karena itu maka di kalangan kang-ouw dia dikenal sebagai Tauw-cai-houw atau Harimau Menagih Hutang, yaitu hutang nyawa anaknya!"
"Aduh kasihan sekali. Kalau begitu memang lebih baik dia mati," kata Kwan Cu.
Akan tetapi, pada saat itu Loan Eng memandang kepadanya. Pendekar wanita ini teringat akan luka dijidat Kwan Cu dan kini ketika ia melirik ke arah jidat anak itu, ia menjadi heran sekali. Jidat yang tadinya matang biru dan agak terluka di tengah-tengah benjol itu, kini lukanya telah lenyap sama sekali.
"Coba aku melihat luka di jidatmu!" katanya dan cepat ia memegang kepala anak itu. Benar-benar mengherankan sekali karena luka itu sekarang sama sekali tidak berbekas lagi. Kulit itu halus saja dan sama sekali tidak ada tanda-tanda bekas terluka. Sungguh tak mungkin sekali!
Menurut kebiasaan, luka dan benjol seperti itu takkan lenyap dalam waktu satu dua hari, akan tetapi baru beberapa jam saja luka di jidat anak ini telah lenyap.
Melihat air muka nyonya perkasa itu terheran-heran, Kwan Cu bertanya, "Ada apakah yang aneh pada jidatku, Toanio?"
"Kau tadi diberi makan apakah oleh Tauw-ci-houw?" tanya Loan Eng tanpa mempedulikan pertanyaan Kwan Cu.
"Sebelum dia memanggangku, dia menjejalkan sebutir buah yang pahit dan masam ke dalam mulutku sehingga terpaksa aku menelannya."
"Buah yang kulitnya bersisik seperti ular?"
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
24 Ketika Kwan Cu mengangguk membenarkan, Loan Eng menjadi terkejut dan girang sekali sehingga dia memegang kedua pundak Kwan Cu dengan keras. Anak itu menyeringai
kesakitan sehingga Loan Eng cepat melepaskan pegangannya.
"Apanya yang hebat, Toanio" Buah itu tidak enak sekali."
"Kau tahu apa" Buah itu khasiatnya hebat sekali. Ratusan orang kang-ouw berani mempertaruhkan nyawanya untuk mendapatkan buah yang hanya terdapat di puncak Hoa-san dan yang pohonnya hanya berbuah setiap lima puluh tahun sekali! Kau mau tahu
kehebatannya?" Loan Eng mencabut pedangnya dan secepat kilat ia menggoreskan ujung pedangnya pada lengan kiri Kwan Cu. Anak itu terkejut, akan tetapi biarpun merasa sakit dan perih, dia tidak mengeluh, hanya memandang kepada Loan Eng dengan keheranan. Kulit lengannya terbuka dan darah mengalir keluar. Akan tetapi hanya sebentar saja karena darah itu menutup kulit dan cepat mengering. Sebentar saja lenyaplah rasa sakit dan ketika Loan Eng menggosok-gosok darah kering itu, ternyata bahwa luka pada kulitnya telah tertutup kembali, hanya ada bekas guratan yang halus sekali, hampir tidak kelihatan!
"Kaulihat, hebat bukan" Kecuali terputus uratmu, kulit dan dagingmu menjadi kebal dan biarpun dapat terluka, kau akan segera sembuh kembali. Kalau kau sudah mempelajari lweekang, bahkan kau takkan dapat terluka oleh senjata tajam! Kau benar-benar beruntung sekali, Kwan Cu!"
Kwan Cu kurang mengerti, akan tetapi melihat khasiat buah itu, dia mengeluarkan lidahnya saking kagumnya.
"Semua ini berkat pertolonganmu, Toanio. Kalau kau tidak datang menolong, apa artinya buah itu bagiku?"
Besar juga hati Loan Eng. Betapapun juga, anak ini ternyata tahu akan terima kasih. "Baiknya Tauw-cai-houw telah gila. Kalau dia sendiri yang makan buah itu, apakah aku dapat menang dalam pertempuran melawan dia tadi?" Biarpun mulutnya bilang begitu, namun di dalam hatinya Loan Eng tahu bahwa kalau saja Tauw-ci-houw tidak tertarik oleh kecantikannya dan teringat akan isterinya, ia takkan dapat menang menghadapi orang gila itu yang kepandaiannya lebih tinggi tingkatnya.
"Kwan Cu, berjalan seperti ini, dalam sebulan belum tentu kita akan sampai di Tun-hang.
Hayo kugendong kau!"
Kwan Cu memandang ragu. "Toanio pakaianku kotor."
"Habis mengapa?" Wanita perkasa itu memandang sambil tersenyum.
"Pakaianmu begitu bersih, aku takut akan mengotorkan pakaianmu saja."
"Anak bodoh!" seru nyonya itu dan sebelum Kwan Cu sempat menjawab, ia telah dipondong.
Sebentar kemudian Kwan Cu merasa kepalanya pening karena nyonya itu berlari cepat sekali bagaikan seekor burung sedang terbang.
"Aduh cepatnya!" serunya girang setelah dia menjadi biasa dengan kelajuan ini
"Kau mau mempelajarinya?"
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
25 "Tentu saja, Toanio. Kepandaian ini amat besar gunanya. Aku suka mempelajarinya."
Loan Eng tetap berlari cepat dan kembali nyonya perkasa ini tersenyum. Anak ini baik sekali, cocok untuk menjadi kawan anakku, pikirnya.
"Bukankah tadi kau bilang tidak suka belajar ilmu silat?"
"Eh apakah lari cepat termasuk ilmu silat, Toanio" Yang aku tidak suka adalah ilmu memukul dan membunuh orang. Ilmu berlari cepat seperti ini tidak dapat melukai orang. Aku suka mempelajarinya!"
Dengan berlari cepat sekali, dalam beberapa hari saja Loan Eng sudah tiba di dusun Tun-hang, sebuah dusun kecil di kaki gunung Fu-niu akan tetapi yang mempunyai daerah dan tanah subur sekali. Kehidupan penduduk di situ hanya bercocok tanam, akan tetapi biarpun hidupnya amat sederhana, namun mereka cukup makan dan sehat, boleh dibilang makmur.
Rumah keluarga Thio cukup terkenal, karena selain rumah ini paling besar diantara semua rumah di Tun-hang, juga siapakah yang tidak mengenal Bun-pangcu, mending suami Loan Eng" Dahulu Loan Eng tinggal di situ dengan ayahnya dan kemudian setelah ia menikah dan ayahnya sudah meninggal dunia, ia tinggal berdua dengan suaminya, seorang gagah perkasa bernama Bun Liok Si, ketua dari Sin-to-pang (Perkumpulan Golok Sakti) yang berpusat di kota Cin-an. Sin-to-pang terkenal sebagai perkumpulan orang gagah, dan seperti dapat diduga dari nama perkumpulannya, perkumpulan ini terkenal karena ilmu goloknya yang lihai. Tentu ilmu golok yang amat hebat. Setelah dia menikah dengan Thio Loan Eng, nama perkumpulan ini menjadi makin terkenal karena Loan Eng merupakan seorang tokoh yang diindahkan dari dunia kang-ouw.
Pernikahan itu amat berbahagia dan Loan Eng beserta suaminya dikaruniai seorang putri yang mungil dan yang diberi nama Bun Sui Ceng. Akan tetapi ketika Sui Ceng berusia tiga tahun, terjadi peristiwa yang hebat sekali. Untuk mengurus perkumpulannya yang menjadi pekerjaannya sehari-hari, Bun Liok Si sering kali pergi ke kota Cin-an. Akhir-akhir ini makin sering Liok Si pergi ke Cin-an dan makin lama saja dia berada di kota itu meninggalkan anak isterinya. Loan Eng tidak bercuriga, karena sebagai seorang isteri yang bijaksana, ia mencintai dan juga percaya penuh kepada suaminya.
Akan tetapi di antara pembantu-pembantu suaminya, terdapat seorang pemuda yang diam-diam menaruh hati cinta kepada Loan Eng yang cantik jelita. Pada suatu hari, pemuda ini menjumpai Loan Eng dan menceritakan bahwa kini Bun Liok Si mempunyai seorang kekasih di kota Cin-an, dan bahwa kekasihnya itu telah dijadikan isteri kedua. Oleh karena itulah maka Bun Liok Si jarang sekali pulang ke dusun dan betah sekali tinggal di Cin-an.
Thio Loan Eng adalah seorang wanita yang berhati keras sekali, seperti mendiang ayahnya. Ia mencinta dan percaya pada suaminya, akan tetapi kalau ia dipermainkan, ia menjadi seorang iblis wanita! Dengan marah sekali ia lalu membawa pedangnya dan menyusul ke Cin-an.
Benar saja, ia mendapatkan suaminya berada dalam rumah seorang nona cantik yang menjadi penyanyi terkenal di kota itu. Meluaplah kemarahannya dan ia membunuh perempuan itu.
Juga ia menyerang suaminya kalang kabut dengan pedangnya. Bun Liok Si merasa bersalah dan minta ampun, akan tetapi Loan Eng tidak mau memberi ampun dan meyerang terus.
Kalau saja Bun Liok Si mau melawan dengan goloknya yang lihai, agaknya isterinya takkan menang. Akan tetapi pada waktu itu, Bun Liok Si yang sudah merasa bersalah itu berlaku mengalah dan tidak mau membalas. Ilmu pedang Loan Eng sepat dan ganas sekali, maka Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
26 akhirnya pedang di tangan nyonya muda yang marah besar ini menembus dada suaminya sendiri! Di dalam saat terakhir Bun Liok Si masih memaafkan isterinya dan berpesan agar isterinya itu merawat Sui Ceng baik-baik!
Setelah melihat suaminya menggeletak tak bernyawa di depan kakinya, barulah Loan Eng merasa menyesal sekali. Kemudian ia mendengar bahwa memang sudah lama suaminya itu dibujuk-bujuk dan dirayu-rayu oleh nona penyanyi ini dan ketika ia menyelidiki, ternyata bahwa nona penyanyi ini bersekutu dengan pemuda yang melaporkan kepadanya tentang ketidaksetiaan suaminya! Loan Eng menjadi sadar dan pada hari itu juga ia mencari pemuda yang menjadi pembantu suaminya dan tanpa ampun lagi ia membunuh pemuda ini!
Perkumpulan Sin-to-pang menjadi gempar, akan tetapi tak seorang pun berani menentang Loan Eng atau Pek-cilan yang ilmu pedangnya hebat itu. Bun Liok Si amat dicinta oleh semua anggautanya, maka para anak buah Sin-to-pang menaruh dendam pada Loan Eng,
sesungguhpun mereka tidak berani menyatakan secara berterang. Loan Eng juga tidak mau mempedulikan lagi kepada perkumpulan mendiang suaminya, dan ia hidup berdua dengan puterinya di rumah besar warisan orang tuanya sendiri di dusun Tun-hang.
Pada saat Loan Eng memondong Kwan Cu tiba dipinggir dusun Tun-hang, tiba-tiba ia menghentikan larinya ketika melihat tiga orang laki-laki yang kepalanya diikat saputangan putih berdiri di pinggir jalan dan memandangnya dengan tajam.
"Mengapa kalian memandang saja kepadaku?" tanya nyonya cantik ini dengan ketus.
Tiga orang itu berubah air mukanya dan mereka cepat memberi hormat sambil menjura.
"Tidak, Thio-toanio, kami tidak bermaksud apa-apa, hanya merasa heran melihat toanio menggendong seorang anak laki-laki yang tidak kami kenal," kata seorang di antara mereka.
"Bukan urusanmu, jangan ambil pusing! Eh, siapakah sekarang yang menjadi pangcu (ketua) dari Sin-to-pang?" tiba-tiba ia bertanya.
"Belum ada, Toanio, kebetulan sekali Toanio bertanya tentang hal ini. Sesungguhnya kami bertiga untuk sementara ini mengurus perkumpulan, sementara menanti adanya seorang ketua.
Karena kita sudah membicarakan perkumpulan, biarlah kami bertiga mengulangi lagi permohonan kami kepada Thio-toanio. Harap Toanio sudi mengingat akan usaha dan jerih payah Bun-pangcu dan suka memimpin perkumpulan kami yang".."
"Cukup! Aku sampai bosan mendengarkannya. Berapa kali sudah kukatakan bahwa aku tidak peduli lagi dengan perkumpulan busuk itu" Perkumpulan yang hanya mengutamakan nafsu dan pelanggaran susila?"
"Toanio terlalu tidak adil!" Seorang diantara mereka berseru. "Hanya seorang yang melanggar, akan tetapi Toanio mengutuk kami semua. Apakah kematian Bun-pangcu masih belum cukup merupakan tebusan dosa" Apakah".."
Belum habis orang itu bicara, tangan Loan Eng menyambar dan terdengar orang itu berseru kesakitan dan tubuhnya terlempar kebelakang sampai lima langkah. Ternyata bahwa tangan Loan Eng tadi telah memukul pundaknya dan sambungan tulang pundaknya terlepas!
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
27 Loan Eng memandang dengan mata penuh ancaman. "Biarlah sedikit hajaran ini membikin kalian kapok dan tidak akan mengganggu aku lagi!" Setelah berkata demikian, Loan Eng melompat pergi dan sebentar saja nyonya yang keras hati ini telah masuk ke dalam dusun, langsung menuju kerumahnya.
Kwan Cu senang tinggal di rumah keluarga Thio. Tidak saja Loan Eng amat suka dan bersikap baik sekali padanya, juga Bun Sui Ceng, putri dari Loan Eng ternyata adalah seorang anak yang manis dan lincah. Sui Ceng suka kepada Kwan Cu karena anak ini jauh lebih cerdik dari padanya, dan dalam banyak hal selalu Kwan Cu menjadi penasihatnya. Sui Ceng menganggap Kwan Cu sebagai kakaknya sendiri dan demikian Kwan Cu merasa
mendapatkan seorang adik yang manis. Terhadap Loan Eng, Kwan Cu berlaku penuh hormat dan dia pun amat rajin membantu pekerjaan rumah sehingga nyonya janda ini amat suka padanya.
Akan tetapi, kalau semenjak kecil Sui Ceng amat gemar belajar ilmu silat, sebaliknya Kwan Cu tidak pernah mau belajar ilmu pukulan, dan lebih tekun mempelajari ilmu surat dan juga ilmu ginkang! Sebentar saja Kwan Cu telah memiliki ilmu meringankan tubuh mengagumkan Loan Eng. Benar sebagaimana dugaannya, Kwan Cu amat baik bakatnya, bahkan dalam usia enam tahun anak ini sudah tahu cara melatih diri dalam hal siulian atau samadhi! Di luar kesadaran anak itu sendiri, diam-diam Loan Eng melatih ginkang dan lweekang kepada Kwan Cu.
Dua tahun lewat tanpa terasa dan usia Kwan Cu suda tujuh tahun. Di dalam waktu dua tahun itu, dia telah dapat mempelajari ilmu surat dan kini dia telah lancar dan pandai membaca kitab-kitab tebal, bahkan dengan lancarnya dia dapat membaca kitab-kitab berat yang berisi ujar-ujar para nabi! Benar-benar dalam hal ini pun Loan Eng merasa terkejut dan terheran sekali atas kecerdasan otak anak yang pendiam itu.
Keluarga Thio adalah keluarga yang kaya, maka selain gedung yang besar itu, Loan Eng juga menerima warisan berupa barang-barang berharga. Akan tetapi nyonya janda ini hidup secara sederhana, hanya dibantu oleh dua orang pelayan yang sekalian bekerja sebagai pengasuh Sui Ceng. Semenjak suaminya meninggal, nyonya ini sering kali pergi merantau dan
meninggalkan anaknya di dalam asuhan pelayan itu.
Pada suatu pagi Kwan Cu dan Sui Ceng bermain-main di depan rumah. Thio Loan Eng sedang pergi ke kota, membeli barang-barang keperluan yang tak dapat dibeli di dusun mereka, Sui Ceng sedang memamerkan kepandaian silatnya kepada Kwan Cu. Anak
perempuan yang berusia lima tahun ini memang mempunya gerakan yang lincah dan gesit, maka Kwan Cu memandang dengan hati gembira. Dalam pandangannya, Sui Ceng bergerak-gerak seperti orang menari-nari hingga tak terasa pula dia bertepuk tangan memuji.
"Bagus, adik Ceng. Sayang gerakanmu kurang cepat."
"Apa" Kurang cepat" Kwan Cu, kau tidak pernah belajar silat, bagaimana kau berani lancang mengatakan kurang cepat?" Sui Ceng bertanya penasaran.
"Memang aku tak pernah belajar karena aku tidak suka dengan ilmu pukul orang, akan tetapi kalau aku melihat ibumu mengajarmu, ternyata gerakan ibumu jauh lebih cepat dari padamu.
Oleh karena itu maka aku bilang gerakanmu kurang cepat."
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
28 Sui Ceng tidak jadi marah. Kalau demikian halnya kata-kata tadi bukan merupakan celaan.
"Mana bisa aku dibandingkan dengan ibu" Tentu saja aku kalah cepat. Ibu adalah seorang yang paling cepat gerakannya di dunia ini." Kwan Cu diam saja, akan tetapi diam-diam dia berpikir bahwa kalau dibandingkan dengan dua orang kakek yang dulu dilihatnya di dekat pantai, ibu anak ini jauh sekali.
Kedua anak ini tidak tahu bahwa semenjak tadi, tiga orang laki-laki berdiri agak jauh di luar rumah itu dan memandang ke arah mereka. Tiga orang itu muncul tak lama setelah Loan Eng pergi ke Cin-an dan mereka kini bicara kasak-kusuk, lalu dengan langkah lebar mereka memasuki pekarangan gedung itu.
Kwan Cu memandang dan dia melihat tiga orang yang telah dikenalnya dua tahun lalu.
Mereka itu adalah orang-orang yang pernah membujuk kepada Loan Eng untuk menjadi pangcu dari Sin-to-pang dan kemudian ditolak oleh Loan Eng, bahkan seorang di antaranya telah dipukul jatuh. Diam-diam Kwan Cu berkhawatir dan tanpa terasa lagi dia lalu berjalan menghadang di depan Sui Ceng.
"Toanio tidak ada di rumah, harap Sam-wi datang lain kali saja," kata Kwan Cu kepada mereka.
"Ha-ha-ha, kau bukankah budak pengemis dulu itu" Aku sudah tahu kalau Toanio tidak ada, tak usah kau banyak buka mulut!" Seorang di antara mereka membentak dan sekali lagi mengulur tangan, dia telah memegang tangan Kwan Cu dan mendorong anak itu roboh terguling.
"Kau manusia busuk!" Sui Ceng dengan marah sekali memaki. "Kau berani menjatuhkan Kwan Cu" Kupukul kepalamu!" Sambil berkata demikian Sui Ceng menyerang dengan
kepalan tangannya yang kecil!
Akan tetapi, dengan mudah saja orang itu menangkap tangan dan sekali tarik, Sui Ceng telah berada dalam gendongannya dan kedua tangan anak itu dipegang dalam sebuah tangan tanpa dapat bergerak lagi.
"Lepaskan dia! Lepaskan adik Ceng!"
Kini Kwan Cu sudah melompat bangun, menerjang dalam usaha hendak merampas kembali Sui Ceng.
Akan tetapi, kembali sebuah dorongan membuat dia jatuh jungkir-balik. Sungguh heran tiga orang itu, karena begitu di dorong jatuh, begitu anak gundul itu melompat berdiri lagi dan mencoba untuk merampas Sui Ceng!
"Lepaskan adik Ceng!" serunya berulang-ulang dan dengan nekat dia mencoba untuk merebut anak itu, Sui Ceng juga berseru-seru,
"Kwan Cu, tolonglah aku"!"
Sebuah tendangan mengenai kaki Kwan Cu dan membuat anak itu terlempar jauh, lalu jatuh mengeluarkan suara berdebuk. Akan tetapi, seperti tidak merasakan sesuatu, anak gundul itu telah bangun kembail dan mengejar!
Orang tertua di antara ketiga orang itu, yang berjenggot kasar, memukul kepala Kwan Cu.
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
29 Anak ini tidak pernah belajar silat, akan tetapi perasaannnya memperingatkan bahwa kalau sampai kepalanya sampai terpukul, mungkin dia akan binasa. Maka dia cepat miringkan kepalanya dan sebaliknya yang terkena pukulan adalah pundaknya.
"Buk!" Orang itu terkejut sekali karena seperti memukul bantal kapok saja, dan biarpun Kwan Cu kembali jatuh berguling-guling seperti bola ditendang, namun dia segera melompat kembali dan berteriak-teriak menuntut supaya Sui Ceng dilepaskan!
"Twako, kita tinggalkan anak setan itu!" kata orang yang memondong Sui Ceng sambil melompat pergi, diikuti oleh dua orang kawannya.
"Lepaskan adik Ceng".!" Kwan Cu mengejar dan kembali ketiga orang itu terkejut bukan main karena melihat betapa anak gundul itu dapat berlari cepat! Memang selama dua tahun ini, yang dengan tekun dipelajari oleh Kwan Cu selain ilmu membaca dan menulis, adalah berlari cepat dan tanpa disadarinya dia melatih ginkang dan lweekang! Oleh karena dia telah memiliki tenaga lweekang, dibantu daya luar biasa dari buah ular yang dulu dia makan dengan terpaksa oleh Tauw-cai-houw, maka semua tendangan, pukulan, dan dorongan itu biarpun membuat dia jatuh bangun, namun tidak melukainya!
Tiga orang pemimpin Sin-to-pang yang menculik Sui Ceng berlari terus memasuki hutan dan ketika mereka menengok, mereka tidak melihat Kwan Cu lagi. Mereka tertawa girang dan melanjutkan perjalanan mereka menuju ketengah hutan. Tiga orang ini tidak mengira bahwa diam-diam Kwan Cu mengikuti mereka. Tadi ketika dia mengejar, dia sendiri merasa heran karena ternyata dalam hal berlari cepat, dia tidak kalah oleh ketiga oran itu! Bahkan kalau dia mau, agaknya dia akan dapat berlari lebih cepat lagi! Kemudian, ketiga orang itu memasuki hutan, Kwan Cu mendapat pikiran yang amat baik. Kalau dia terus menerus mengejar, seandainya dia dapat menyusul mereka, apa gunanya" Ia takkan dapat menolong Sui Ceng, dan ini tidak berarti apa-apa. Lebih baik dia mengejar dan mengintai dengan diam-diam agar dia tahu kemana Sui Ceng dibawa sehingga kemudian dia bisa memberitahukan kepada Loan Eng, ibu dari anak itu. Ini lebih tepat karena kalau sampai dia dapat membawa Loang Eng datang menyusul mereka, apa sih sukarnya merebut kembali Sui Ceng"
Demikianlah, ketika tiga orang itu sudah tiba di tempat persembunyian mereka, yakni di dalam sebuah rumah bambu di tengah hutan, dan ketika Kwan Cu melihat Sui Ceng masuk di situ anak itu cepat berlari keluar dari hutan, kembali ke dusun Tun-hang. Tak seorangpun di dusun itu tahu tentang penculikan ini, dan keadaan di dalam dusun tetap aman seperti biasa.
Kwan Cu masuk kedalam gedung dan ketika pelayan-pelayan bertanya di mana adanya Sui Ceng, dengan tenang Kwan Cu menjawab,
"Adik Ceng dibawa lari oleh tiga orang Sin-to-pang akan tetapi harap kalian jangan ribut-ribut, kita menunggu saja sampai Toanio pulang."
Akan tetapi, dua orang wanita pelayan itu tentu saja tidak mau diam dan mereka segera mewek-mewek dan sesambatan memanggil-manggil Sui Ceng. Dengan sebal sekali lalu Kwan Cu keluar dan duduk di halaman depan menanti kembalinya Loan Eng.
Siang hari itu juga Loan Eng datang membawa bungkusan besar terisi barang-barang belanjaan dari kota. Dua orang pelayan wanita itu berlari-lari dari dalam sambil menangis.
"Toanio".Toanio.." kata mereka megap-megap menahan tangis.
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
30 "Diam kalian!" Kwan Cu membentak marah sehingga dua orang pelayan itu terkejut.
"Kau"..kau setan cilik!" Pelayan itu memaki. "Nona majikan diculik orang, kau tidak bersusah sedikit juga pun!"
Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akan tetapi, ketika mendengar ini, Loan Eng seketika menjadi pucat dan memegang pundak Kwan Cu. "Apa yang terjadi?" tanyanya dan biarpun mukanya pucat, wanita gagah ini masih bersuara tenang.
"Teecu baru bermain-main dengan adik Ceng di halaman depan ketika tiga orang pengurus Sin-to-pang yang dulu pernah menjumpai Toanio di jalan dua tahun lalu itu datang. Tanpa banyak bicara lagi mereka lalu membawa pergi adik Ceng dan teecu mencoba untuk merebut kembali, akan tetapi teecu dipukul jatuh bangun."
"Bohong dia! Anak ini tidak susah sedikit pun, mana dia berani mencoba menolong?"
Pelayan yang seorang berkata.
"Tutup mulutmu dan pergi kebelakang!" Loan Eng membentak dan dua orang pelayan itu dengan ketakutan dan menyusut air mata pergi kebelakang.
"Lanjutkan ceritamu, Kwan Cu," kata Loan Eng
"Ketiga orang itu membawa adik Ceng keluar dusun dan teecu terus mengikuti mereka."
"Bagus! Kemana mereka membawa Ceng-ji?" Loan Eng percaya penuh atas keterangan ini karena maklum bahwa anak ini memiliki ginkang yang cukup tinggi dan tanpa disadari oleh anak itu sendiri, dia telah memberi pelajaran ilmu lari cepat Chou-sang-hui (Terbang Di Atas Rumput)
"Mereka membawa adik Ceng ke dalam hutan di sebelah timur dusun dan di tengah-tengah hutan itu terdapat sebuah gubug. Di sanalah adik Ceng di bawa masuk lalu teecu cepat berlari pulang untuk memberi tahu kabar kepada Toanio."
"Bagus, Kwan Cu. Mari kita kejar mereka!" Sambil berkata demikian, nyonya ini lalu memegang tangan Kwan Cu dan berlarilah ia cepat sekali. Baiknya Kwan Cu telah
mempelajari ilmu ginkang sehingga biarpun masih juga ia terseret, namun dia juga masih dapat menggunakan dua kakinya untuk ditotolkan pada tanah dan membantu tenaga tarikan itu hingga mereka maju pesat sekali. Beberapa penduduk dusun ketika melihat Loan Eng berlari-lari cepat sambil menarik tangan Kwan Cu, menjadi terheran-heran dan bertanyalah mereka kepada kedua orang pelayan yang menceritakan sambil menangis tentang diculiknya Sui Ceng. Maka gemparlah dusun itu.
Ketika melihat bahwa Kwan Cu dapat mengimbangi larinya dengan menotolkan kakinya pada tanah, diam-diam Loan Eng menjadi kagum dan senang melihat kemajuan anak ini. Akan tetapi pada saat itu ia sedang merasa gelisah dan marah karena terculiknya Sui Ceng, maka ia tidak berkata sesuatu. Karena Loan Eng berlari cepat sekali, sebentar saja mereka telah tiba di dalam hutan itu dan Kwan Cu lalu menunjuk ke arah gubug yang berada di tengah hutan.
Ketika Loan Eng tiba di tempat itu, ia terkejut sekali karena gubug itu telah dijaga oleh sedikitnya lima puluh orang yang semuanya diikat saputangan putih kepalanya. Ia tahu bahwa mereka ini adalah anggauta-anggauta dari Sin-to-pang, karena memang semenjak suaminya Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
31 tewas, semua orang itu mengikat kepalanya dengan kain putih tanda berkabung!
Akan tetapi Loan Eng tidak merasa gentar dan cepat maju menghampiri. Tiga orang pemimpin Sin-to-pang yang menculik Sui Ceng cepat berlari maju, menyambut dengan penuh penghormatan
"Thio-toanio telah datang untuk menyambut Bun-siocia. Harap menerima penghormatan kami," berkata orang yang berjenggot kasar kepada Loan Eng sambil menjura . Kemudian dia memberi aba-aba dan ketika Loan Eng memandang, ia melihat puluhan orang anggauta itu mencabut golok dan dipalingkan di depan dada. Diam-diam nyonya janda ini terharu juga karena ia tahu karena inilah penghormatan dari Sin-to-pang seperti yang biasa dilakukan mereka kepada mendiang suaminya!
"Aku bukan apa-apa, bukan pengurus bukan anggauta Sin-to-pang untuk apa segala penghormatan itu" Aku datang mengambil kembali Ceng-ji dan hendak bertanya kenapa kalian berani mati sekali menculiknya?"
"Toanio, kami sedang melakukan upacara pengangkatan ketua, dan Bun-siocia telah menjadi pilihan kami untuk menggantikan ayahnya sendiri, mengapa kami dianggap menculik?"
"Apa katamu?" Mata Loan Eng terbelalak kaget. "Ceng-ji kalian angkat menjadi ketua?"
"Benar, Toanio. Di dalam dunia ini selain Toanio dan Bun-siocia, tidak ada yang lebih berhak menjadi ketua Sin-to-pang. Dan oleh karena Toanio menolak, maka pilihan kami jatuh pada Bun-siocia."
"Kalian gila! Lepaskan anakku Ceng-ji kalau kalian tidak ingin melihat aku mengamuk. Anak baru berusia enam tahun bagaimana bisa menjadi ketua Sin-to-pang ?"
"Tidak bisa dibawa sekarang, Toanio. Kau sendiri tahu bahwa dalam upacara pengangkatan kepala perkumpulan kami, tidak boleh diganggu, adapun tentang usia, kami cukup bersabar untuk mendidik Bun-siocia dan sementara ini kami sanggup mewakilinya."
"Kurang ajar!" Loan Eng menggerak-gerakkan pedangnya dengan sikap mengancam, sekali.
"Kau mau membebaskan dia atau tidak?"
"Toanio, kau lihat sendiri. Bun-siocia sedang melakukan sembahyang untuk pengangkatan itu," kata seoarang di antara tiga orang pemimpin sin-to-pang itu.
Loan Eng memandang ke arah rumah gubuk itu dan benar saja, ia melihat beberapa orang hwesio sedang melakukan upacara sembahyang untuk mengambil sumpah kepada Sui Ceng yang diangkat menjadi ketua Sin-to-pang.
Loan Eng meloncat ke depan pintu dan di situ ia melihat Sui Ceng sedang berlutut di depan meja sembahyang di mana dipasang gambar mendiang suaminya, Bun Liok Si yang tewas dalam tangannya sendiri! Ia tertegun dan berdiri bagaikan patung. Sementara itu, Sui Ceng telah mendengar suara ibunya tadi, maka kini ia menengok. Ketika ia melihat ibunya, ia berseru girang.
"Ibu, aku telah berada di antara kawan-kawan ayah!" Ia menunjuk ke arah gambar ayahnya."Lihat, itu dia ayah dan aku diangkat menjadi pengganti ayah!"
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
32 Hati Loan Eng tergetar. Memang ia selalu membohongi anaknya itu tentang ayah anak itu.
Dikatakan selalu bahwa ayahnya telah pergi jauh sekali, naik perahu menyeberangi laut.
"Ceng-ji?" katanya perlahan dan ia hendak menyerbu ke dalam gubuk, akan tetapi tiba-tiba tiga batang golok menghadang di depannya.
"Toanio, puterimu telah memilih jalannya. Dia telah diambil sumpahnya maka sekarang dia telah menjadi Bun-siauw-pangcu (ketua Bun cilik), harap kau jangan menggangu Pangcu kami!"
"Bangsat, aku adalah ibunya!" seru Loang Eng sambil meloncat kembali ke halaman depan gubuk itu yang lebar. Ia maklum kalau terjadi pertempuran, ia akan dikeroyok oleh banyak orang, maka ia harus mencari tempat yang lebar dan luas agar pergerakannya lebih leluasa.
"Thio-toanio, mendiang Bun-pangcu adalah ayahnya! Dan dia sekarang adalah Pangcu kami, tak seorang pun boleh mengganggu!"
"Pengangkatan ketua secara paksa, ah, orang-orang ini tak salah lagi tentu miring otaknya!
Sungguh banyak sekali orang gila di dalam dunia ini!"
Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan semua orang, juga Loan Eng , menengok ke arah suara itu. Ternyata yang bicara tadi adalah Kwan Cu yang kini sudah nongkrong di bawah pohon, semenjak tadi memperhatikan peristiwa yang terjadi di depan matanya.
Tiga orang pemimpin Sin-to-pang itu memandang kepada Kwan Cu dengan mata mendelik.
Mereka mendongkol sekali karena dimaki gila, juga dapat menduga bahwa Loan Eng dapat menemukan tempat mereka tentu atas petunjuk bocah gundul itu. Akan tetapi pada saat seperti itu mereka tidak sempat melayani bocah gundul itu.
Pedang Berkarat Pena Beraksara 10 Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Pukulan Naga Sakti 15
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama