Ceritasilat Novel Online

Pendekar Sakti 6

Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 6


Ong Kiat memandang takjub. Melihat keadaan kakek ini, dia teringat akan seorang tokoh hek-to (jalan hitam, dunia orang jahat) yang di juluki orang Toat-beng Hui-houw (Harimau Terbang Pencabut Nyawa). Akan tetapi, Toat-beng Hui-houw kabarnya sudah lenyap dari dunia dan sudah puluhan tahun tak pernah memperlihatkan diri. Ong Kiat cepat-cepat memberi hormat. "Siauwte bermata buta, tidak mengenal siapa adanya Locianpwe yang terhormat."
Toat-beng Hui-houw semenjak mudanya berwatak keras dan sombong sekali, maka
mendengar orang tidak mengenal namanya, dia menjadi makin marah. "Buka telingamu dan matamu lebar-lebar, Ong-piauwsu! Aku adalah Toat-beng Hui-houw, dan kau tentu sudah tahu bahwa siapapun juga yang tidak mentaati perintah Toat-beng Hui-houw, berarti harus mati!" Setelah berkata demikian, secepat kilat tangannya yang berkuku panjang itu menyambar ke arah kepala Ong Kiat!
Piauwsu muda ini terkejut sekali, tidak hanya karena nama itu, akan tetapi juga karena serangan yang datangnya tiba-tiba dan hebat bukan main ini. Cepat dia menggerakkan goloknya menangkis sekuat tenaga, bermaksud membabat putus kuku-kuku panjang dari lawannya itu. "Traaang".!" Ong Kiat berseru kaget dan cepat melompat ke belakang karena merasa betapa goloknya beradu dengan benda yang luar biasa keras dan kuatnya sehingga kalau dia tidak buru-buru menarik kembali goloknya dan melompat mundur, tentu golok itu akan terlepas dari pegangannya! Baiknya golok pusaka yang ampuh dan kuat, kalau tidak demikian, agaknya golok itu sudah menjadi rusak ketika bertemu dengan kuku-kuku yang demikian kerasnya! "Ha, ha, ha! Kau harus mampus! Kau juga!" kata-kata ini diulangi terus dan tubuhnya bergerak maju sambil menyerang dengan sepasang tangannya yang berkuku runcing dan panjang.
Terdengar suara "traaang! traaang!!" beberapa kali dan golok di tangan ketujuh orang kawan Ong Kiat itu terbang terlepas dari tangan, ada yang retak dan ada pula yang terpotong menjadi dua! Lalu disusul jeritan-jeritan ngeri ketika kuku-kuku yang panjang itu mengenai tubuh Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
156 mereka. Ada yang lehernya hampir putus, kulit perutnya robek dan sebentar saja tujuh orang piauwsu itu tergeletak tumpang tindih dalam keadaan yang amat mengerikan! Keadaan mereka ini tiada bedanya dengan orang-orang yang telah diserang oleh seekor harimau yang ganas. Akan tetapi, Toat-beng Hui-houw sengaja hanya melukai pundak seorang diantara tujuh kawan Ong Kiat itu yang kini duduk merintih-rintih dan memegangi pundak kanannya yang berlumur darah. Ong Kiat menjadi marah sekali. Dengan nekat dia lalu menyerang dengan goloknya. Serangannya tidak boleh dibuat permainan, karena dia mempergunakan ilmu golok Thian-san-pai yang lihai.
Toat-beng Hui-houw maklum akan hal ini maka dia pun tidak berani sembarangan
menangkis, melainkan mempergunakan ginkangnya yang istimewa untuk mengelak kesana kemari. Orang sudah tahu akan kegesitan seekor harimau, akan tetapi Toat-beng Hui-houw (Harimau Terbang) karena gerakannya itu seolah-olah seekor harimau yang bersayap! Tidak saja dia pandai dan cepat sekali mengelak ke sana ke mari, bahkan kadang-kadang dia melompat tinggi seperti terbang saja. Selain mengelak atau menangkis serangan Ong Kiat yang mengamuk seperti gila karena sudah nekat sekali, juga Toat-beng Hui-houw membalas dengan serangan-serangan kukunya yang berbahaya. Betapapun pandainya Ong Kiat mainkan goloknya, namun menghadapi kakek yang luar biasa sekali ini dia hanya dapat betahan sampai tiga puluh jurus saja. Agaknya kalau Toat-beng Hui-houw menghndaki kematiannya, dalam sepuluh jurus juga Ong Kiat akan roboh binasa. Namun kakek ini hendak menawannya hidup-hidup, maka dia hanya berusaha merampas golok. Akhirnya, ketika golok itu diputar dan menyerang lehernya, kakek itu berseru keras sekali dan kedua tangannya bergerak.
Tangan kanan mendahului golok mencengkeram ke arah lambung lawan dan tangan kiri menyusul untuk merampas golok! Ong Kiat tak berdaya. Kalau dia membiarkan lambungnya dicengkeram, tentu dia akan binasa dan goloknya yang datangnya kalah cepat belum tentu akan mengenai lawan. Terpaksa dia melompat ke belakang dan menarik pulang goloknya, namun terlambat. Golok itu telah kena dicengkeram dan sekali renggut saja sudah pindah tangan! Toat-beng Hui-houw mendesak terus dan akhirnya jalan darah di pundak Ong Kiat telah kena dicengkeram oleh jari-jari itu. Kulit pundaknya pecah dan Ong Kiat roboh dalam keadaan lumpuh tak berdaya lagi!
"Ha, ha, ha, ha, ha! Baru kalian tahu betapa lihainya Toat-beng Hui-houw!" Ia lalu menggunakan kakinya yang telanjang itu untuk menendang bangun anggauta piauwsu yang terluka pundaknya tadi. "Hei, kau!" Aku sengaja tidak membikin mampus padamu agar kau dapat memanggil Pek-cilan, datang kesini! Katakan bahwa selambat-lambatnya besok pagi ia harus datang di sini, kalau tidak, suaminya akan kucekik mampus dan dia pun akan kucari ke rumahnya. Pakai kuda itu!"
Piauwsu itu tak berdaya. Terpaksa dia menangkap kembali kudanya dan mengaburkan kuda itu kembali ke Hak-keng. Ia melakukan perjalanan cepat sekali tanpa berhenti, sedangkan luka dipundaknya tidak dirawat, maka ketika dia tiba di depan Thio Loan Eng, dia roboh pingsan! Dapat diduga betapa hebat kemarahan dan kekagetan hati Loan Eng mendengar tentang keadaan suaminya. Tanpa banyak cakap lagi, ia lalu cepat melarikan kuda menuju ke tempat itu, diikuti oleh semua anggauta piauwkok, yakni piauwsu-piauwsu yang kebetulan berada di kota yang jumlahnya ada sepuluh orang. Begitu tiba di tempat yang dituju, Loan Eng mencabut pedangnya dan berseru dengan suara keras, "Toat-beng Hui-houw siluman buas, kau keluarlah untuk terima binasa!"
Tiba-tiba terdengar suara ketawa dari Toat-beng Hui-houw, lalu tubuhnya berkelebat dan tahu-tahu dia telah berdiri di hadapan Loan Eng. Pendekar wanita ini pun belum pernah bertemu dengan kakek ini, maka seperti juga Ong Kiat, ia terkejut sekali menyaksikan Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
157 keseraman kakek ini. Akan tetapi ia tidak pernah mengenal takut dan sambil menudingkan pedangnya ke muka orang, ia berkata, "Toat-beng Hui-houw, antara kita tidak pernah terjadi permusuhan, mengapa kau berlaku begitu kejam, membunuh kawan-kawan kami dan bahkan menawan suamiku?"
Kakek yang menyeramkan itu tertawa bergelak dengan suara mengejek lalu berkata, "Pek-cilan, kau terlalu mengandalkan kegagahan sendiri dan sama sekali tidak melihat orang! Kau telah membunuh suteku Tauw-cai-houw, maka sekarang aku datang untuk menagih hutang!"
Terkejut hati Loan Eng mendengar ini, ah, tidak tahunya kakek mengerikan ini adalah suheng (kakak seperguruan) dari Tauw-cai-houw, manusia gila yang dulu menculik dan hendak memanggang Kwan Cu hidup-hidup dan yang telah terbunuh olehnya dalam pertempuran.
Tauw-cai-houw saja sudah amat lihai, apalagi suhengnya ini! Namun Loan Eng tidak menjadi jerih. Ia tersenyum mengejek dan berkata, "Toat-beng Hui-houw, kau mau menang sendiri saja. Sutemu (adik seperguruanmu) Tauw-cai-houw itu adalah orang gila. Aku melihat dia menangkap seorang anak kecil yang hendak dipanggang dan dimakan dagingnya. Apakah aku harus berpeluk tangan saja dan tidak mencegahnya" Kau pun tentu maklum bahwa kejahatan seperti itu tak dapat diampunkan lagi. Sutemu bertempur dengan aku dan dia binasa, mengapa hal ini kau jadikan alasan untuk membunuh orang-orangku dan menawan suamiku?"
"Bodoh! Suteku sedang meyakinkan Ilmu Hoat-lek Kim-ciong-ko (Ilmu Kebal Berdasakan Ilmu Gaib) dan untuk itu dia membutuhkan daging dan darah seorang anak sin-tong (anak ajaib)! Kau datang mengganggu dan bahkan membunuhnya. Sekarang aku yang akan
mengambil darahmu untuk dijadikan obat panjang usia, ha-ha-ha!" Setelah berkata demikian, Toat-beng Hui-houw menubruk dengan kuku-kuku tangannya yang panjang dan runcing.
Loan Eng maklum bahwa dia menghadapi seorang kakek yang selain lihai sekali, juga agaknya pun miring otaknya, maka ia lalu berlaku hati-hati sekali.
Pedangnya diputar cepat sehingga berubah menjadi gulungan sinar putih yang menyilaukan mata. Kalau dibandingkan dengan ilmu golok Ong Kiat, ilmu pedang Loan Eng ini ternyata lebih ganas dan berbahaya, akan tetapi kini Toat-beng Hui-houw bergerak cepat sekali dan kakek ini mengerahkan seluruh kepandaiannya. Pandangan mata Loan Eng menjadi kabur dan gelap saking cepatnya gerakan kakek itu, apalagi kini dari kedua tangan kakek itu menyambar hawa dingin yang berbau amis sekali. Diam-diam Loan Eng bergidik. Ia pernah mendengar akan kehebatan kakek ini, dan mendengar pula bahwa kuku-kuku yang panjang itu sewaktu-waktu apabila mengahadapi lawan tangguh, direndam dalam air obat terisi bisa yang amat jahat. Ia tahu bahwa sekali saja ia terkena kuku yang runcing seperti pisau itu, tentu ia akan terkena bisa dan celaka. Namun Loan Eng memang terkenal seorang keras hati yang tidak mau menyerah dan pantang mundur. Ia menyerang terus, mengerahkan tenaga dan
kepandaiannya, menggerakkan pedangnya dalam tipu-tipu yang paling diandalkan.
Pertandingan terjadi luar biasa hebatnya, jauh lebih hebat daripada ketika Toat-beng Hui-houw menghadapi Ong Kiat. Sepuluh orang piauwsu yang ikut datang bersama Loan Eng, menjadi bingung karena tidak tahu harus berbuat apa. Ingin membantu, namun maklum akan kekurangan sendiri dan baru melihat pertandingan itu saja mereka telah menjadi pening dan tidak dapat membedakan mana kawan dan lawan karena gerakan kedua orang yang bertempur luar biasa cepatnya. Baru kali ini Loan Eng merasa mendapat lawan yang amat tangguh. Toat-beng Hui-houw benar-benar jauh lebih tangguh
daripada Tauw-cai-houw dan setelah melawan sampai empat puluh jurus lebih, akhirnya ia pun harus menyerah kalah. Sepuluh buah kuku yang runcing itu berhasil mencengkeram Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
158 pedangnya dan tanpa dapat ditahan lagi, pedangnya terlepas dari tangannya. Kemudian Toat-beng Hui-houw menubruk maju, disambut oleh tendangan kaki Loan Eng yang menggunakan ilmu tendang Soan-hong-twi. Namun, alangkah kagetnya ketika kaki kirinya dapat tertangkap pula! Sebelum ia sempat memukul, pundaknya dapat dicengkeram dan matanya menjadi gelap. Loan Eng roboh pingsan!
Melihat hal ini, sepuluh orang piauwsu yang berada di situ menjadi kaget dan marah sekali.
Dengan golok di tangan, mereka menyerbu Toat-beng Hui-houw. Kakek yang mengerikan ini hanya tertawa bergelak dan begitu tubuhnya bergerak didahului oleh kedua tangannya yang berkuku panjang, tiga orang piauwsu roboh tak bernyawa pula! Melihat kehebatan ini, tujuh orang piauwsu yang lain lalu melompat ke atas kuda mereka dan melarikan diri dari situ!
Kemudian mereka mengadakan perundingan dalam restoran untuk mencari jalan guna menolong Ong Kiat dan Loan Eng dan kemudian datang rombongan anggauta Sin-to-pang sehingga terjadi pertempuran sebagaimana yang telah dituturkan di bagian depan.
Adapun orang-orang Sin-to-pang lalu menuturkan bahwa mereka mendengar pula tentang bencana yang menimpa Loan Eng. Mereka menjadi marah sekali. Semenjak mendengar bahwa Loan Eng menikah dengan Ong Kiat, para anggauta Sin-to-pang ini sudah merasa sakit hati dan tidak senang kepada Hui-to-piauwkiok. Kini mendengar bahwa Loan Eng mendapat bencana, mereka menganggap bahwa itu adalah kesalahan Ong Kiat, mereka sama sekali tidak tahu bahwa justeru Toat-beng Hui-houw turun gunung mengganggu Ong Kiat karena Ong Kiat memperisteri Loan Eng dan karena Loan Eng telah membinasakan Tauw-cai-houw, sute dari Toat-beng Hui-houw!
Demikianlah, dua rombongan dari Sin-to-pang dan Hui-to-piauwkiok itu saling menuturkan apa yang mereka ketahui kepada Sui Ceng dan baru sekarang rombongan Sin-to-pang mengetahui duduk perkaranya yang sesungguhnya.
"Hanya ada dua jalan," kata para piauwsu itu menutup penuturan mereka. "Pertama, kita minta bantuan Bin Kong Siansu dari Kim-san-pai, dan ke dua, kita minta bantuan Thian-san-pai untuk menghadapi Toat-beng Hui-houw yang lihai."
Sementara itu, untuk beberapa lama Sui Ceng tak dapat berkata-kata saking marahnya mendengar penuturan tentang bencana yang menimpa diri ibunya. Kini ia berseru keras dan mencela kata-kata mereka itu.
"Banyak yang cakap tanpa kerja tiada gunanya. Hayo kalian tunjukkan padaku di mana Ibu di tawan. Menghadapi siluman tua itu saja, mengapa ribut-ribut minta bantuan orang lain?"
"Siauw-pangcu berkata benar! Sin-to-pang tidak boleh memperlihatkan kelemahan. Hayo, kawan-kawan dari Hui-to-piauwkiok, kita mengantar Pangcu ke tempat itu dan kita keroyok siluman itu!" kata orang-orang Sin-to-pang.
Akan tetapi, para piauwsu yang telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri akan kelihaian Toat-beng Hui-houw, menjadi geli melihat sikap Sui Ceng dan para anggauta Sin-to-pang.
Ong Kiat dan Loan Eng sendiri dibantu oleh beberapa orang piauwsu yang tangguh, masih tidak berdaya menghadapi siluman tua itu, apalagi anak kecil ini?"
Melihat keraguan orang-orang Hui-to-piauwkiok, Sui Ceng membentak,
"Apakah kalian takut" Hm, kalau aku berhasil menolong ayah tiriku, akan kuceritakan kepadanya bagaimana sikap kalian yang pengecut ini!"
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
159 Naik darah para piauwsuitu mendengar ejekan anak kecil ini.
"Siapa bilang kami takut" Hayo kita berangkat sekarang juga!" kata mereka. Diam-diam Sui Ceng tersenyum karena ia telah berhasil membangunkan semangat mereka. Orang-orang ini masih belum percaya kepadanya dan perlu ia memperlihatkan kepandaian agar mereka itu menjadi tenang dan bersemangat.
"Kalian boleh naik kuda dan maju secepatnya. Aku sendiri akan berlari cepat."
Kembali diam-diam para piauwsu itu mentertawakan Sui Ceng, "Hm, anak ini benar-benar sombong dan keras seperti ibunya," pikir mereka, akan tetapi, karena rombongan Sin-to-pang yang datang berkuda itu pun telah mengaburkan kuda mereka, para piauwsu itu juga cepat naik ke atas kuda dan menjalankan kuda mereka cepat sekali.
Ketika mereka telah keluar darikota Cin-leng, bukan main heran hati mereka ketika melihat seorang anak perempuan telah berlari-lari di depan kuda mereka. Ketika mereka memandang dengan penuh perhatian, tak salah lagi, anak kecil itu adalah Bun Sui Ceng adanya! Melihat kehebatan ilmu lari cepat dari ketua mereka, orang-orang Sin-to-pang bersorak,
"Hidup Siauw-pangcu!"
Adapun orang-orang Hui-to-piauwkiok amat kagum dan diam-diam mereka pun menaruh harapan mudah-mudahan ketua mereka dan isterinya akan tertolong dari tangan siluman tua itu oleh anak perempuan yang ajaib ini. Adapun Sui Ceng yang di depan, segera memberi tanda kepada orang-orang Hui-to-piauwkiok untuk menjadi penunjuk jalan karena dia sendiri belum tahu di mana adanya sarang Toat-beng Hui-houw.
Diam-diam Sui Ceng agak khawatir juga, bukan khawatir atau takut menghadapi Toat-beng Hui-houw, ah sama sekali tidak. Anak ini keberaniannya malah melebihi ibunya! Yang ia khawatirkan adalah gurunya. Ia tadi pergi tidak memberitahukan kepada Kiu-bwe Coa-li, dan takut kalau-kalau gurunya kelak akan menegur dan memarahinya.
Ketika tiba di tempat di mana kemarin harinya Loan Eng bertempur melawan Toat-beng Hui-houw , mereka semua berhenti dan turun dari kuda. Di situ masih nampak bekas-bekas pertempuran, bahkan mayat para piauwsu yang tak keburu diambil oleh kawan-kawannya masih bergelimpangan di situ.
Kemudian Sui Ceng berseru menantang, "Toat-beng Hui-houw, lekas keluar! Mari kita bertempur seribu jurus!" Akan tetapi, biarpun berkali-kali berteriak, bahkan dibantu oleh para piauwsu dan anggauta Sin-to-pang yang memaki-maki, tidak terdengar jawaban dari iblis tua itu. Hanya gema suara mereka saja terdengar dari kanan kiri dan membuat burung-burung hutan beterbangan dan binatang-binatang kecil melarikan diri bersembunyi di dalam semak-semak.
Ke mana perginya Toat-beng Hui-houw" Dan bagaimana nasib Loan Eng dan Ong Kiat" Tak jauh dari tempat Sui Ceng dan kawan-kawannya berseru menantang, terdapat sebuah gua besar sekali di bukit batu karang. Gua inilah tempat sembunyi atau sarang Toat-beng Hui-houw dan ke dalam gua ini pula dia membawa Loan Eng dan Ong Kiat.
Pada saat itu, bukan dia tidak mendengar seruan-seruan yang ramai dari hutan itu, akan tetapi dia lagi asyik dengan perbuatannya yang amat terkutuk dan bukan merupakan perbuatan Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
160 manusia lagi. Di dalam ruangan sebelah kiri gua itu, Loan Eng rebah di atas pembaringan batu dalam keadaan lumpuh dan tak dapat menggerakkan kaki tangannya karena jalan darahnya sudah dipukul dengan tiam-hoat (ilmu menotok) oleh iblis tua itu. Biarpun ia tak dapat menggerakkan kaki tangannya, namun Loan Eng masih sadar dan tahu bahwa dia berada dalam cengkeraman seorang iblis yang jahat sekali. Beberapa kali ia melirik ke dalam ruangan yang suram-suram itu karena mendapat penerangan cahaya matahari yang masuk melalui mulut gua. Akan tetapi ia tidak melihat suaminya, dan dia diam-diam mengeluh.
Tiba-tiba terdengar suara terkekeh-kekeh dan masuklah tubuh Toat-beng Hui-houw di dalam ruangan itu. Loan Eng mengerahkan seluruh tenaga untuk membebaskan diri dari pengaruh totokan, namun sia-sia belaka, bahkan usahanya ini melemaskan seluruh tubuhnya dan membuat luka di pundaknya terasa sakit sekali, hampir tak tertahankan.
"Ha-ha-ha! He-he-he! Pek-cilan, kau telah membunuh suteku dan sekarang kau sudah terjatuh ke dalam tanganku! Ha-ha-ha, kau benar-benar seperti bunga cilan putih. Cantik dan bersih.
He-he-he! Darahmu tentu segar dan bersih pula, dan dapat membikin aku muda kembali!"
Sambil tertawa-tawa, kakek botak berkuku panjang ini menghampiri pembaringan batu dimana Loan Eng terlentang tak berdaya. Lebih dulu kakek ini meraba kaki tangan Loan Eng, untuk melihat bahwa benar-benar korbannya ini masih berada dalam keadaan lumpuh tertotok sehingga tidak akan dapat melakukan serangan yang tiba-tiba.
Kemudian, dia mendekatkan mukanya pada muka Loan Eng yang tentu saja merasa jijik sekali. Akan tetapi apa dayanya" Ia menahan tekanan hatinya dan ingin melihat apa yang akan diperbuat oleh manusia iblis ini terhadap dirinya. Masih banyak waktu untuk membalas dendam, pikirnya. Tunggu saja kalau aku sampai terbebas.
Akan tetapi, perbuatan yang dilakukan oleh Toat-beng Hui-houw benar-benar di luar dugaannya. Belum pernah ada seorang manusia, betapa gilanya pun, melakukan perbuatan keji seperti itu. Ketika dia telah mendekatkan mukanya dengan muka Loan Eng, ternyata dia tidak berbuat kurang ajar, bahkan kini mukanya diarahkan ke leher Loan Eng yang berkulit halus. Tiba-tiba Loan Eng merasa betapa mulut kakek itu menempel pada lehernya, membuat ia merasa ngeri dan membuat bulu tengkuknya berdiri. Ia mengira bahwa kakek ini hanya ingin mencium lehernya. Akan tetapi, tidak tahunya, kakek ini tidak mau melepaskan lehernya lagi dan sampai lama, mulut kakek itu masih menempel pada lehernya. Perlahan-lahan, Loan Eng merasa betapa kakek itu menggunakan giginya untuk menggigit lehernya yang terasa perih, kemudian ia merasa betapa mulut kakek itu menghisap darah dari luka di leher bekas gigitan! Bukan main ngerinya hati Loan Eng menghadapi perbuatan kakek seluman ini dan kepalanya menjadi makin pening, tubuhnya makin lemas dan tak lama kemudian, nyonya muda ini menjadi pingsan!
Toat-beng Hui-houw ternyata membuktikan ancamannya. Ia hendak menghisap darah
pembunuh sutenya ini, bukan saja dengan maksud membalas dendam, akan tetapi juga untuk suatu maksud, yakni dia hendak "mengoper" darah wanita muda yang cantik jelita itu agar supaya dia awet muda! Pikiran dari seorang yang telah lenyap perikemanusiaannya, seorang yang telah berubah menjadi iblis jahat!
Setelah kenyang menghisap darah Loan Eng, Toat-beng Hui-houw tertawa-tawa dan
melompat-lompat keluar, ia merasa telah menjadi muda kembali! Sebetulnya bukan karena isapan darah itu yang dilakukan seperti seorang iblis keji, melainkan karena perasaan dan Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
161 pikirannya yang sudah tidak normal lagi itulah yang membuat dia merasa seakan-akan menjadi muda kembali! Ia keluar dari gua dan kini dia mendengar suara tantangan yang keluar dari hutan.
"Ha, ha, ha, segala tikus busuk! Toat-beng Hui-houw berada disini, kalian mau apa?"
Suara ini dikeluarkan dengan pengerahan tenaga khikang sepenuhnya sehinga terdengar sampai jauh. Seperti tokoh-tokoh persilatan yang berkepandaian tinggi, Toat-beng Hui-houw juga pandai Ilmu Coan-im-jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh), maka tentu saja suaranya ini bergema jauh dan terdengar baik-baik oleh Sui Ceng dan kawan-kawannya.
Mendengar suara ini, Sui Ceng lalu melompat dan berlari cepat menuju ke arah suara itu, diikuti oleh kawan-kawannya yang tertinggal jauh. Dengan berkuda saja piauwsu dan anggauta Sin-to-pang masih tidak dapat menandingi ilmu lari cepat Sui Ceng, apalagi sekarang mereka berlari biasa!
Ketika tiba di depan gua, Sui Ceng melihat seorang kakek yang mengerikan sedang menari-nari, berlompat-lompatan dan bernyanyi!
"Aku menjadi muda kembali, muda kembali"..! Ha, ha, ha, Toat-beng Hui-houw menjadi muda kembali!"
Untuk sesaat, Sui Ceng tertegun. Yang berada di depannya itu seperti bukan manusia lagi, melainkan seorang iblis yang mengerikan. Namun, Sui Ceng yang baru berusia delapan tahun itu tidak merasa takut sedikit pun juga. Ia bahkan melangkah maju dan menghadapi iblis tua itu dengan sikap tenang dan tabah.
"Eh, kakek tua miring otak!"
Toat-beng Hui-houw menghentikan tariannya dan memandang heran. Bagaimana ada seorang anak perempuan kecil berani memakinya"
"Kaukah Toat-beng Hui-houw yang berani menangkap ibuku dan ayah tiriku" Lekas lepaskan mereka, barangkali nona kecilmu masih dapat mengampuni dosa-dosamu!"
Toat-beng Hui-houw menggosok-gosok kedua matanya dengan belakang tangan. Mimpikah dia" Atau benar-benar ada seorang gadis cilik yang manis dan elok berdiri dengan gagah dan berani serta mengeluarkan ucapan semacam itu kepadanya" Kemudian ia tertawa bergelak.
"Jadi kau memang puteri Pek-cilan" Ha-ha-ha! Memang bunga cantik berbiji manis pula!
Agaknya darahmu lebih segar daripada darah ibumu. Ha, ha, ha! Mari, mari! Kau hendak bertemu dengan ibumu bukan?" Sambil berkata demikian, dia menubruk hendak menangkap Sui Ceng, seperti laku seorang kecil menubruk seekor burung yang indah.
Akan tetapi, alangkah heran hati iblis ini ketika tiba-tiba tubuh kecil itu lenyap dan tahu-tahu sebuah kaki yang kecil mungil dalam sepatu merah bersulam bunga, menendang mukanya!
Toat-beng Hui-houw terkejut dan heran, cepat dia miringkan kepalanya, akan tetapi ternyata bahwa tendangan ini adalah tendangan pancingan belaka dan sebelum Toat-beng Hui-houw sempat mengelak, perutnya telah kena ditendang oleh lain kaki yang sama mungilnya!
"Buk!" kaki Sui Ceng tepat mengenai perut, akan tetapi bukan Toat-beng Hui-houw yang roboh, melainkan tubuh Sui Ceng sendiri yang terlempar ke belakang! Akan tetapi, bagaikan seekor burung walet, gadis cilik ini dapat berpoksai (membuat salto) di udara dan turun dengan ringan sekali.
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
162 Kalau tadi Toat-beng Hui-houw sampai terkena tendangan Sui Ceng, bukan karena dia kurang lihai melainkan karena kakek ini memandang rendah rendah dan tidak mengira sama sekali bahwa bocah ini akan dapat melakukan gerakan sehebat itu! Sui Ceng ketika ditubruk tadi, secepat kilat melakukan gerakan melompat Can-liong-seng-thian (Naga Terbang Naik ke Langit), kemudian ia melakukan tendangan Ji-liong-twi (Tendangan Sepasang Naga) yang bertubi-tubi sehingga berhasil menendang perut lawannya.
Akan tetapi, yang ditendangnya tertawa saja sedangkan dia sendiri terpental jauh. Bukan main kagetnya Sui Ceng dan anak ini maklum bahwa tenaga dan kepadaian lawannya benar-benar hebat sekali. Sebaliknya Toat-beng Hui-houw juga kagum menyaksikan kegesitan anak perempuan ini, dan kalau saja dia tahu bahwa anak ini adalah murid Kiu-bwe Coa-li, tentu akan lenyap keheranannya dan terganti oleh kekagetan hebat.
"Anak manis, aku harus mendapatkan darahmu!" katanya berkali-kali dan dia menubruk lagi.
Namun berkat kegesitan dan ginkangnya yang luar biasa, Sui Ceng lagi-lagi dapat menghindarkan diri. Pada waktu itu, rombongan piauwsu dan anak buah Sin-to-pang telah datang di situ dan mereka menonton pertempuran dengan mata terbelalak kagum. Anggauta-anggauta Sin-to-pang merasa bangga melihat "siauw-pangcu" mereka itu berani menghadapi Toat-beng Hui-houw dengan tangan kosong. Melihat betapa kakek itu seperti seekor harimau buas menubruk ke sana-sini, sedangkan tubuh Sui Ceng bagaikan seekor burung walet beterbangan dan berkelit cepat sekali, mereka itu tak terasa pula meleletkan lidah saking kagum dan tegangnya.
Kalau Toat-beng Hui-houw bermaksud membunuh Sui Ceng, tentu takkan sukar baginya.
Biarpun untuk menjamah tubuh anak ini sukar sekali karena memang kegesitan Sui Ceng dapat mengimbangi kegesitan lawannya yang berjuluk Harimau Terbang, namun kalau dia mau, dengan hawa pukulan tangannya, dia dapat merobohkan gadis cilik ini. Akan tetapi pada saat itu, Toat-beng Hui-houw mendapat pikiran lain. Ia menghisap darah Loan Eng hanya karena ingin membalas sakit hati atas kematian sutenya dan ingin awet muda. Kini melihat Sui Ceng yang masih terhitung anak-anak, dia takut kalau-kalau dia berubah menjadi anak-anak pula jika dia menghisap darah anak ini! Memang bodoh, gila, dan jahat adalah sekeluarga, dan kakek ini telah memiliki ketiga-tiganya.
"Aku tidak mau isap darahmu! Aku akan menangkapmu, memlihara dalam sangkar, kau burung cantik!" katanya berkali-kali dan kini dia menyerang dengan kedua tangannya.
Alangkah herannya hati Sui Ceng ketika melihat betapa kini sepuluh jari tangan iblis tua itu seperti tidak berkuku lagi. Ternyata bahwa kuku-kuku jarinya terlah dapat digulung ke dalam!
Berkali-kali dia mendesak hendak menangkap tanpa melukai tubuh Sui Ceng, namun hal ini benar-benar tidak mudah. Sui Ceng telah mendapat gemblengan dari Kiu-bwe Coa-li, dan dalam hal ginkang dan kegesitan, memang semenjak kecil gadis cilik yang lincah ini berbakat baik.
Para piauwsu dan anak buah Sin-to-pang ketika melihat betapa Sui Ceng terdesak, sambil berteriak-teriak nekat mereka lalu menyerbu dengan golok di tangan. Baik anggauta Sin-to-pang (Perkumpulan Golok Sakti), maupun para piauwsu dari Hui-to-piauwkiok (Expedisi Golok Terbang) adalah ahli-ahli senjata golok, maka kini belasan batang golok berkilauan dan bergerak-gerak mengurung Toat-beng Hui-houw. Otomatis Sui Ceng juga terkurung karena dua orang ini bertempur sedemikian cepatnya sehingga mereka seakan-akan menjadi satu bayangan besar!
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
163 Para pengeroyok itu menjadi bingung. Mereka hanya berteriak-teriak saja dan tidak berani sembarangan turun tangan, karena baru sedetik mereka melihat bayangan lawan, tiba-tiba bayangan itu lenyap dan berganti oleh bayangan Sui Ceng! Kedua orang ini berputaran, melompat ke sana ke mari, bagaimana mereka dapat membantu Sui Ceng"
"Jangan Bantu aku! Jangan datang dekat!" Sui Ceng berseru, akan tetapi terlambat. Ketika tubuh Toat-beng Hui-houw tiba-tiba menerjang ke arah para pengeroyok sambil
meninggalkan Sui Ceng terdengar jeritan berturut-turut dan empat orang pengeroyok roboh tak bernyawa lagi!
"Siluman tua, kau kejam sekali!" teriak Sui Ceng. Anak ini secepat kilat menyambar sebatang golok dari seorang piauwsu yang roboh, lalu ia menerjang lagi ke depan dengan nekat, memutar golok sehingga merupakan segunduk sinar yang menyilaukan.
"Ha, ha, ha, burung cantik, kau harus menjadi peliharaanku!" kata Toat-beng Hui-houw sambil menghadapi serangan-serangan Sui Ceng dengan tenang. Adapun para pengeroyok, ketika melihat betapa empat orang kawan mereka terbunuh dengan demikian mudahnya, serta mendengar perintah Sui Ceng, lalu mengundurkan diri dan menonton dari jauh saja. Mereka bukan merasa takut atau tidak mau membantu, akan tetapi mereka maklum sepenuhnya bahwa bantuan mereka itu sia-sia belaka dan tidak akan dapat menolong, bahkan mereka pasti akan mengantarkan nyawa dengan cuma-cuma saja.
Gerakan Sui Ceng sekarang tidak secepat dan segesit tadi. Hal ini karena sekarang gadis cilik ini memegang sebatang golok yang besar dan berat. Tadinya Sui Ceng sengaja mengambil golok karena ia hendak bertempur mati-matian mengadu jiwa, akan tetapi sebaliknya, dengan golok di tangan ia mendatangkan kerugian pada dirinya sendiri. Golok itu terhadap Toat-beng Hui-houw tidak ada artinya sama sekali, sebaliknya menghambat gerakan sendiri. Dalam beberapa jurus saja, sambil tertawa-tawa, Toat-beng Hui-houw telah berhasil menangkap pinggangnya dan sekali dia menotok jalan darah thian-hu-hiat, lemaslah tubuh Sui Ceng dan golok itu terlepas dari pegangan!
Pada saat itu, menyambarlah beberapa sinar halus sekali. Sinar ini adalah bulu-bulu halus dan panjang yang sekaligus menyerang Toat-beng Hui-houw di beberapa bagian tubuhnya.
Sebagian dari bulu-bulu halus ini melibat tubuh Sui Ceng dan sekali renggut, tubuh Sui Ceng telah terlepas dari pegangan Toat-beng Hui-houw dan melayang ke depan!
Toat-beng Hui-houw terkejut bukan main menghadapi serangan ini. Ia telah terkejut dan jerih melihat macam senjata yang menyerangnya, karena dari senjata ini saja tahulah dia bahwa yang datang menyerangnya adalah Kiu-bwe Coa-li! Kalau ada rasa takut dalam dada Toat-beng Hui-houw manusia siluman ini, maka rasa takut itu mungkin hanya di tujukan kepada lima orang tokoh besar di kalangan kang-ouw, di antaranya ialah Kiu-bwe Coa-li ini!
"Kiu-bwe Coa-li, mengapa kau mencampuri urusanku, sedangkan aku selamanya belum pernah mengganggumu?"katanya penasaran sambil melompat ke belakang, jerih menghadapi pecut sembilan bulu dari Kiu-bwe Coa-li yang kini sudah berdiri di hadapannya dan menggandeng tangan Sui Ceng yang sudah dibebaskan dari totokan pula.
Diam-diam Kiu-bwe Coa-li mengerti mengapa muridnya sampai kalah oleh Toat-beng Hui-houw. Tadi datang-datang melihat muridnya berada dalam pelukan kakek siluman itu, ia lalu melakukan serangan pecutnya yang paling dan jarang sekali ada orang mampu
menghindarkan diri, yakni ilmu serangan Kiu-seng-kan-goat (Sembilan Bintang Mengejar Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
164 Bulan). Sembilan helai bulu pecutnya menyerang dari berbagai jurusan. Akan tetapi ia hanya berhasil merampas kembali muridnya dan sama sekali tidak berhasil melukai kakek itu. Dari sini saja ia ketahui bahwa kepandaian kakek itu jauh lebih tinggi daripada kepandaian muridnya.
"Siluman jahat, apa matamu sudah menjadi buta?" jawab Kiu-bwe Coa-li dan sepasang matanya mengeluarkan sinar membakar. "Kau berani mengganggu murid pinni (muridku), maka sekarang kau harus mati!"
Bukan main kagetnya, Toat-beng Hui-houw. "Dia ini muridmu?"" Ah, Kiu-bwe Coa-li, sungguh mati aku tidak tahu bahwa dia muridmu. Akan tetapi, bukankah aku tidak mengganggunya" Kalau aku bermaksud mengganggunya apakah sekarang ia masih dapat bernapas?"
"Kau memang tidak melukainya, akan tetapi kau telah menghinanya, berarti kau menghinaku pula. Bersiaplah untuk mati!" Kembali Kiu-bwe Coa-li menggerakkan pecutnya, melakukan serangan dengan cara ganas dan tidak mengenal ampun sama sekali. Memang watak Kiu-bwe Coa-li luar biasa ganasnya. Sekali ia turun tangan, ia takkan merasa puas kalau lawannya belum roboh binasa!
Toat-beng Hui-houw bukannya orang lemah. Bangkit rasa penasarannya. Ia memang segan bertempur melawan Kiu-bwe Coa-li dan tentu dia bersedia mengalah jika berurusan dengan orang yang dia anggap memiliki kedudukan lebih tinggi itu. Akan tetapi kalau dia didesak, dia terpaksa melawan.
"Kiu-bwe Coa-li, kau terlalu sekali. Kaukira aku Toat-beng Hui-houw takut menghadapi Kiubwe-joan-pianmu (Pecut Berbulu Sembilan)?"
"Siapa peduli takut atau tidak" Aku hanya ingin kau mampus, habis perkara!" Kiu-bwe Coa-li mendesak terus.
Toat-beng Hui-houw mengeluarkan suara keras dan kini sepuluh kuku jari tangannya telah mulur kembali, panjang-panjang, tajam dan runcing mengerikan! Ia cepat mengelak dari serangan lawannya dan membalas dengan serangan pukulan yang mendatangkan hawa dingin dan berbau amis. Ternyata bahwa siluman tua ini telah mengeluarkan pukulan-pukulan maut disertai bisa yang keluar dari hawa pukulan kukunya ini! Kalau tadi dia mengeluarkan ilmu ini, dalam beberapa jurus saja Sui Ceng tentu telah roboh binasa.
Menghadapi pukulan-pukulan hebat ini, Kiu-bwe Coa-li pertama-tama mendorong tubuh muridnya sehingga Sui Ceng terpental dan terpaksa melompat jauh ke pinggir, kemudian wanita sakti ini lalu memutar pecutnya sampai berbunyi mengaung dan kadang-kadang diselingi suara "tar! tar!" dan dari pecutnya yang berekor sembilan ini keluar hawa yang menyambar-nyambar dan yang menolak hawa pukulan berbisa dari Toat-beng Hui-houw.
Para piauwsu dan anggauta Sin-to-pang, semenjak tadi berdiri seperti patung. Munculnya seorang tokouw yang memegang pecut ini saja sudah membuat mereka heran sekali, karena tak seorang pun di antara mereka melihat kedatangannya. Kemudian cara pecut tokouw itu merampas Sui Ceng dan kemudian mendengar bahwa tokouw ini adalah Kiu-bwe Coa-li yang tersohor dan menjadi guru Sui Ceng, mereka makin terbelalak. Sekarang, setelah pertandingan antara Toat-beng Hui-houw dan Kiu-bwe Coa-li berlangsung, mereka menjadi bengong dan melongo. Pertandingan ini menurut pendapat mereka bukanlah pertempuran Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
165 orang-orang pandai, karena keduanya berdiri tidak pernah berpindah dari tempat masing-masing dan hanya kedua tangan mereka saja yang bergerak-gerak cepat sekali ke depan.
Hampir saja ada yang tertawa menyaksikan pertandingan ini, karena gerakan kedua orang tua itu seakan-akan mereka sedang membadut.
Akan tetapi, Sui Ceng menonton dengan wajah penuh ketegangan. Ia maklum bahwa
permainan cambuk dari gurunya sedang dihadapi oleh lawan dengan ilmu pukulan lweekang yang tinggi sekali tingkatnya. Ketika orang tua itu sedang bertempur mengandalkan hawa pukulan lweekang, maka mereka hanya berdiri berhadapan dan saling memukul dari jauh, sama sekali tidak mengubah kedudukan kaki.
Akan tetapi, beberapa lama kemudian, Toat-beng Hui-houw terpaksa harus mengakui keunggulan lawannya, karena bulu-bulu pecut Kiu-bwe Coa-li makin lama makin
mendesaknya, makin lama makin dekat serangan ujung cambuk itu, terus mendesak hawa pukulannya yang hendak menentangnya. Ia maklum bahwa kalau sampai ujung cambuk itu mengenai tubuhnya, sukarlah baginya untuk menyelamatkan diri lagi. Ia cukup kenal akan kelihaian totokan ujung cambuk di tangan Kiu-bwe Coa-li, seorang di antara tokoh besar dunia persilatan.
"Cukup, siluman betina! Kali ini aku mengaku kalah, akan tetapi lain kali aku akan mengalahkanmu!" kata Toat-beng Hui-houw sambil melompat mundur.
"Keparat pengecut! Kau belum mampus, bagaimana bisa bilang cukup?" seru Kiu-bwe Coa-li sambil mengejar dan melakukan serangan kilat.
"Ibu?"", Ibu?"..!" Sui Ceng menangis, kemudian dengan mata beringas ia bangkit berdiri dan berdongak ke atas sambil berkata,
"Toat-beng Hui-houw, manusia iblis. Tunggulah, akan tiba saatnya aku Bun Sui Ceng menghancurkan kepalamu!"
"Tenanglah, Sui Ceng. Apa sih sukarnya membikin mampus manusia seperti Toat-beng Hui-houw itu" Sekarang juga aku dapat mengejarnya dan membikin tamat riwayatnya," kata Kiubwe Coa-li yang merasa kasihan kepada muridnya yang tersayang itu.
"Tidak, Suthai, dia tidak boleh mati di tanganmu atau di tangan siapa juga. Teecu sendiri yang akan membalaskan sakit hati ini."
Kiu-bwe Coa-li mengangguk-angguk. "Boleh saja, Sui Ceng. Asal kau belajar dengan rajin, tak lama lagi kau akan dapat melaksanakan cita-citamu ini. Juga baik-baik saja kau menjadi ketua Sin-to-pang. Hanya aku agak menyesal mengapa Ibumu begitu tergesa-gesa
mejodohkan kau dengan murid Pak-lo-sian Siangkoan Hai."
Sui Ceng tidak menjawab karena di dalam hati gadis cilik ini sama sekali belum ada pikiran tentang jodoh, bahkan ia menganggap ibunya tadi bersenda gurau saja. Ia lalu melanjutkan pemeriksaan di dalam gua. Di kamar lain, mereka mendapatkan tubuh Ong Kiat, juga telah tewas dengan tubuh penuh luka-luka. Biarpun ketika Ong Kiat masih hidup, Sui Ceng tidak suka kepada piauwsu ini karena telah mengawini ibunya, namun kini melihat piauwsu muda itu yang telah menjadi suami ibunya tewas dalam keadaan mengerikan dan menyedihkan, ia berlutut pula dan berkata perlahan dengan janji bahwa dia akan membalaskan sakit hati mendiang ayah tirinya ini.
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
166 Kemudian Sui Ceng dan gurunya keluar dari gua, disambut oleh para anggauta Sin-to-pang dan para piauwsu yang memandang penuh hormat.
"Saudara-saudara sekalian, Ibu dan Ayah telah tewas di tangan iblis itu. Kelak aku sendiri yang akan membalas sakit hati dan membunuh iblis keparat itu, supaya kalian semua bertenang hati. Sekarang, lakukanlah tugas kewajiban masing-masing, dan tunggu sampai aku datang untuk memimpin Sin-to-pang. Adapun para piauwsu, terserah, hendak menjadi anggauta Sin-to-pang baik saja, mau melanjutkan pekerjaan sebagai piauwsu pun boleh.
Hanya pesanku, baik Hui-to-piauwkiok maupun Sin-to-pang, harus bekerja sama dalam segala hal. Ingat bahwa akulah yang mewarisi keduanya dan aku pula yang bertanggung jawab atas segala sepak terjang kalian!"
Para anggauta Sin-to-pang dan anggauta Hui-to-piauwkiok, menjadi sedih sekali mendengar betapa ketua mereka telah tewas, namun melihat sikap dan mendengar ucapan Sui Ceng yang benar-benar gagah dan bersemangat, yang sesungguhnya mengherankan sekali keluar dari mulut anak masih demikian hijau, terbangunlah semangat mereka dan serentak menyatakan setuju.
Jenazah Loan Eng dan Ong Kiat diurus dan dirawat baik-baik. Setelah memberi hormat terakhir kepada makam ibu dan ayah tirinya, Sui Ceng lalu melanjutkan perjalanannya mengikuti gurunya. Semenjak saat itu, Sui Ceng makin tekun belajar dan semua ilmu kepandaian dari Kiu-bwe Coa-li direnggut dan diteguknya seperti seorang kehausan minum air segar. Juga ia dan gurunya tekun mempelajari ilmu silat aneh yang mereka dengar dari Tu Fu yang membacakan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng.
Sebagaimana diketahui, isi kitab ini sebenarnya palsu dan di dalamnya terkandung pelajaran ilmu silat dan latihan tenaga dalam secara terbalik. Kalau sekiranya Sui Ceng sendiri yang melatih diri menurut bunyi kitab ini, tentu ia akan mendapatkan kepandaian palsu yang membahayakan tubuhnya seperti halnya Kwan Cu. Akan tetapi, ia berada di bawah asuhan Kiu-bwe Coa-li, seorang tokoh kang-ouw yang sudah amat tinggi kepandaiannya. Maka tentu saja Kiu-bwe Coa-li tidak dapat tertipu dan nenek yang sakti ini tahu bagaimana harus melatih ilmu silat aneh ini tanpa merusak tenaga sendiri. Cara melatihnya bukan seperti yang dilakukan oleh Lu Kwan Cu, yang menjiplak begitu saja dan menelan semua pelajaran tanpa dipilih lagi. Kiu-bwe Coa-li tidak berlaku sembrono dan sebagai seorang ahli silat tinggi, ia tahu mana yang tidak betul dan mana yang berguna. Oleh karena itu, di antara pelajaran-pelajaran yang masih ia ingat bersama muridnya, ia saring dan pilih lagi, memilih mana yang sekiranya berguna dan dapat di pakai untuk mempertinggi kepandaaiannya.
Melihat ketekunan muridnya, Kiu-bwe Coa-li girang sekali dan nenek sakti ini membatalkan niatnya hendak mencoba ilmu silat barunya kepada seorang di antara tokoh-tokoh besar, bahkan ia lalu mengajak muridnya tinggal di puncak Bukit Wu-yi-san yang berada di Tiongkok Selatan, perbatasan Propinsi Hok-kian dan Kiang-si. Kiu-bwe Coa-li memang berasal dari Hok-kian, maka ia disebut tokoh besar selatan yang ke dua. Sebagaimana di ketahui, tokoh besar selatan pertama adalah Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, yang merantau di seluruh propinsi selatan dan tidak tentu tempat tinggalnya.
*** Sementara itu, Hek-i Hui-mo dengan cepat membawa lari Lai Siang Pok yang menjadi ketakutan dan kaget setengah mati itu. Anak ini menangis dan minta dengan suara menyedihkan agar supaya dia dilepaskan kembali, namun Hek-i Hui-mo menjawab,
"Kau ingat baik-baik semua isi kitab yang di baca oleh Tu-siucai tadi, baru kau ada harapan Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
167 untuk hidup terus!"
Mendengar ini Siang Pok mengerti bahwa kakek yang menyeramkan ini benar-benar
membutuhkan bantuan untuk mengingat bunyi isi kitab tadi, maka karena maklum bahwa hal itulah satu-satunya jalan baginya untuk dapat menolong diri sendiri dari bahaya, dia lalu mengumpulkan seluruh ingatan dan perhatiannya kepada bunyi isi kitab yang aneh itu.
Lai Siang Pok adalah seorang anak yang amat cerdik luar biasa dan semenjak kecil dia telah digembleng oleh ayah bundanya dalam ilmu kesusastraan. Oleh karena itu, dia sudah biasa menghafal, dan biarpun tadi dia mendengarkan isi kitab yang dibaca oleh Tu Fu dengan setengah hati saja, namun dia telah hampir dapat mengingat semuanya!
Setelah jauh dari kota Kai-feng, Hek-i Hui-mo menurunkan Lai Siang Pok dan berkata,
"Coba kau sekarang mengulang kembali isi kitab itu, hendak kudengar apakah kau ada gunanya bagiku atau tidak!"
Siang Pok mengumpulkan ingatannya lalu mengulang apa yang tadi didengarnya. Mendengar ini, Hek-i Hui-mo menjadi girang sekali karena apa yang diingat olehnya sendiri dari isi kitab itu, ternyata tidak ada seperempatnya dari apa yang dapat diingat oleh Siang Pok!
"Anak baik".! Kau patut menjadi muridku!" katanya girang sambil menepuk-nepuk pundak anak itu. Tepukan ini bukanlah tepukan biasa, melainkan tepukan hendak memeriksa keadaan tubuh dan tulang dari anak laki-laki ini, akan tetapi dia mempunyai watak yang tabah dan keras hati, maka digigitnya bibir untuk menahan rasa sakit.
"Bagus, tidak jelek!" kata Hek-i Hui-mo yang kemudian tertawa bergelak. "Hendak kulihat kelak, siapa yang paling pandai memilih dan mengajar muridnya. Ha, ha, ha, Siang Pok, kau menjadi muridku dan kelak kaulah yang akan menjagoi di antara semua murid orang-orang gila itu. Ha, ha, ha!"
Siang Pok tidak mengerti apa yang dimaksud oleh kakek hitam ini, akan tetapi diam-diam dia menjadi girang juga. Sering kali anak ini membaca cerita-cerita kuno tentang pendekar dan pahlawan dan diam-diam dia mengagumi sepak terjang dan kegagahan para pendekar itu. Kini mendengar bahwa dia hendak diambil murid oleh kakek yang dia sudah saksikan sendiri kelihaiannya, tentu saja dia menjadi girang. Cepat dia menjatuhkan diri berlutut di depan Hek-i Hui-mo sambil berkata,
"Segala petunjuk dari Suhu akan teecu pelajari dengan rajin."
"Bagus, mari kita cepat pulang agar kau bisa segera berlatih. Kau sudah tertinggal jauh oleh murid-murid mereka itu."
"Pulang" Ke mana, Suhu?"
"Ha, ha, ha, tentu saja ke Tibet, ke barat! Hayo!" Sambil berkata demikian, Hek-i Hui-mo menyambar tubuh muridnya dan sekejap kemudian terpaksa Siang Pok meramkan kedua matanya karena angin bertiup kencang sekali membuat kedua matanya pedas ketika suhunya membawanya lari luar biasa cepatnya seakan-akan terbang!
Biarpun Hek-i Hui-mo melakukan perjalanan cepat sekali dan jarang berhenti di jalan, namun dia harus menggunakan waktu sebulan lebih baru tiba di Tibet, daerah barat yang jauh itu.
Siang Pok diterima dengan penuh penghormatan dan juga iri hati oleh orang-orang di barat, Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
168 karena menjadi murid Hek-i Hui-mo, selain dianggap mendapat kehormatan tinggi, juga dianggap sebagai yang menerima kurnia besar.
Namun Siang Pok tidak mempedulikan semua itu dan mulai saat gurunya menurunkan pelajaran ilmu silat kepadanya, dia belajar dengan amat rajin dan tekun sehingga boleh di bilang lupa makan lupa tidur! Melihat ini, Hek-i Hui-mo makin sayang kepadanya, karena makin besar harapan hatinya, murid ini kelak akan menjunjung tinggi namanya dan akan mengalahkan semua murid tokoh-tokoh besar yang berlatih lebih dulu.
Seperti juga Kiu-bwe Coa-li, Hek-i Hui-mo yang bernama Thian Seng Hwesio ini, jarang sekali keluar dan bersembunyi saja di kelentengnya, memberi latihan-latihan kepada Lai Siang Pok, karena seperti juga Kiu-bwe Coa-li, dia ingin mempelajari isi kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang didengarnya dari Tu Fu, kemudian kalau sudah mempelajarinya dengan sempurna, bersama muridnya dia hendak mencari tokoh-tokoh lain untuk ditantang pibu!
Seperti telah kita ketahui, kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang terjatuh ke dalam tangan Hek-i Hui-mo dan yang kemudian isinya dibaca oleh pujangga besar Tu Fu dan didengarkan oleh Kiu-bwe Coa-li dan Hek-i Hui-mo bersama murid-murid mereka, adalah kitab palsu. Akan tetapi biarpun palsu, kitab ini ditulis di jaman dahulu oleh orang yang pandai dan hafal akan isi kitab aselinya, maka biarpun palsu, isi kitab ini merupakan pelajaran yang aneh dan luar biasa sekali. Bagi orang yang tidak memiliki ilmu silat tinggi, tentu saja kitab ini tidak ada artinya sama sekali dan kalau orang biasa melatih diri meniru pelajaran isi kitab ini, bukannya mendapat kemajuan dan kepandaian tinggi, bahkan tubuh orang itu akan rusak. Akan tetapi sebaliknya kalau yang mendengarnya adalah orang-orang berilmu tinggi seperti Hek-i Hui-mo dan Kiu-bwe Coa-li, mereka dapat menangkap dan menerima isi kitab untuk disaring kembali dan untuk dijadikan bahan menyempurnakan kepandaian silat mereka. Oleh karena inilah, maka hasil daripada mendengarkan isi kitab itu bagi Hek-i Hui-mo dan Kiu-bwe Coa-li amat jauh berlainan. Pelajaran yang mereka dengar itu, lalu diolah dan disaring sesuai dengan ilmu kepandaian yang sudah ada pada mereka, maka tentu saja tidak sama.
Bagi Kiu-bwe Coa-li, pelajaran dari Im-yang Bu-tek Cin-keng yang didengarnya dari pujangga Tu Fu itu, mendatangkan kemajuan yang hebat sekali dalam hal ilmu lweekang, yakni penggunaan tenaga dalam. Biarpun pelajaran lweekang di dalam kitab itu tidak karuan dan sengaja dibolak-balikkan oleh penulis kitab palsu, namun kebetulan sekali perhatian Kiubwe Coa-li dan muridnya, Sui Ceng, justeru dikerahkan ke jurusan ini. Dengan kecerdikannya yang luar biasa, Kiu-bwe Coa-li bertekun mengupas pelajaran ini dan akhirnya ia dapat menemukan ilmu aselinya dengan jalan meraba-raba dan menduga-duga. Ia lalu memperbaiki dalam caranya sendiri, sesuai dengan kepandaian yang telah dimilikinya, dan akhirnya ia mendapatkan ilmu silat berdasarkan pelajaran Im-yang Bu-tek Cin-keng yang seluruhnya dipergunakan tenaga lweekang yang luar biasa hebatnya!
Sebaliknya, setelah mendengar dan mempelajari isi kitab itu, Hek-i Hui-mo mendapatkan gerakan-gerakan istimewa yang sesuai benar untuk menyempurnakan ilmu tongkatnya. Ilmu tongkat dari Hek-i Hui-mo, yakni permainan tongkat Liong-thouw-tung (Tongkat Kepala Naga), memang telah terkenal dan lihai sekali. Kini, setelah dia mempelajari isi kitab itu, dia mendapatkan sesuatu yang cocok sekali dan yang dapat dia olah sedemikian rupa sehingga ilmu tongkatnya menjadi maju dengan pesat dan kini merupakan ilmu tongkat yang aneh dan luar biasa! Kalau biasanya dia mainkan dua senjata, yakni tongkat Ling-thouw-tung di tangan kanan dan tasbih di tangan kiri, di mana tongkat menjadi alat penyerang dan tasbih alat penangkis, kini dengan mainkan tongkatnya saja kelihaiannya sudah berlipat kali melebihi sepasang senjatanya itu. Maka dia lalu tekun memperdalam kepandaiannya bermain tongkat yang kelak akan diturunkan kepada murid tunggalnya, yakni Lai Siang Pok.
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
169 Sebetulnya kalau orang mengetahui isi daripada kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang aseli, orang takkan merasa heran mengapa isi kitab yang dibaca Tu Fu itu mendatangkan dua macam ilmu jauh berlainan bagi Hek-i Hui-mo dan Kiu-bwe Coa-li. Kitab aseli Im-yang Bu-tek Cin-keng memang merupakan raja kitab ilmu silat di dunia ini! Di situ terdapat pelajaran pokok dan dasar daripada segala macam gerakan ilmu silat di atas dunia. Ilmu silat dengan tangan kosong maupun dengan senjata yang bagaimanapun juga, kesemuanya berpokok dan berdasar sama, yakni berdasarkan menyerang dan bertahan. Adapun inti sari daripada dua gerakan ini memang menjadi isi daripada Im-yang Bu-tek Cin-keng yang aseli!
Baiklah kita tinggalkan dulu Siang Pok yang digembleng oleh suhunya yakni Hek-i Hui-mo di Pegunungan Tibet, juga kita biarkan dulu Sui Ceng yang tekun menerima latihan-latihan dari gurunya, Kiu-bwe Coa-li di Pegunungan Wu-yi-san di daerah selatan. Sekarang lebih baik kita menengok keadaan Lu Kwan Cu yang melakukan perantauan bersama gurunya, Ang-bin Sin-kai.
Kekalahannya yang berturut-turut menghadapi The Kun Beng dan Gouw Swi Kiat murid-murid Pak-lo-sian Siangkoan Hai, kemudian kekalahannya pula dari Lu Tong murid Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, tidak mengecewakan hati Kwan Cu, bahkan merupakan dorongan kepadanya untuk berlatih makin giat dan tekun. Juga dia melanjutkan perjalanan menuju ke Bukit Liang-san untuk mencari gua tempat mendiang Gui Tin menyimpan buku-bukunya.
Ang-bin Sin-kai menuruti saja kehendak muridnya yang hendak mencari gunung itu.
"Kitab-kitab macam apakah yang dapat ditinggalkan oleh seorang sastrawan kepadamu?"
hanya demikian kata-katanya mencemoohkan. "Paling hebat hanya kitab-kitab Susi Ngokeng dan kitab-kitab kuno penuh oleh tulisan kosong tentang adat-istiadat, tentang prikebajikan dan prikemanusiaan yang kosong melompong!"
Mendengar omongan gurunya ini, Kwan Cu menyatakan tidak setujunya.
"Suhu, mengapa soal-soal tentang prikebajikan dan prikemanusiaan Suhu anggap pelajaran yang kosong melompong" Bukankah manusia di dunia ini perlu sekali akan pelajaran serupa itu agar hidupnya tidak terlalu tersesat dan jahat?"
Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak mendengar ucapan muridnya ini.
"Kwan Cu, pelajaran tentang prikebajikan memang kosong melompong dan hanya pekerjaan orang-orang malas yang mengaku diri suci dan berjasa terhadap manusia. Siapakah orangnya yang tidak tahu bahwa mencuri dianggap jahat" Namun tetap saja mereka mengambil barang lain orang. Siapa yang tidak tahu bahwa membunuh dianggap jahat" Namun tetap saja mereka membunuh sesama hidup dengan hati enak saja. Apakah dengan munculnya pelajaran-pelajaran tentang prikebajikan itu dunia menjadi makin bersih" Lihat saja, makin kotorlah batin manusia. Kalau kitab-kitab itu tidak memberi pelajaran tentang jahatnya mencuri, manusia takkan mengenal kata-kata mencuri dan tidak akan ada pencuri di muka bumi ini.
Kalau orang tidak membaca dan mendengar tentang pelajaran prikebajikan yang menyatakan bahwa membunuh itu tidak baik, orang tidak akan mengenal kata-kata membunuh dan tidak akan ada pembunuh. Kalau orang tidak mendengar sebutan kejahatan dari dalam kitab, orang takkan mengenal pula kata-kata kejahatan dan tidak akan ada kejahatan di dalam dunia ini!"
Kepala Kwan Cu yang gundul itu menjadi makin kelimis karena dia mempergunakan otaknya untuk membuka arti ucapan gurunya yang sukar dimengerti itu. "Kalau begitu, dunia akan kacau, Suhu. Tanpa ada pengertian tentang kejahatan, orang tidak akan takut berbuat sekehendak hatinya!"
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
170 "Bodoh, berbuat sekehendak hati adalah perbuatan yang tidak jahat! Kaukira dengan pelajaran yang memenuhi otak-otak tentang kejahatan dan segala macam omong kosong itu, akan membuat dunia menjadi baik dan aman" Tengok saja, di mana terjadinya kejahatan-kejahatan besar" Bukan di dusun-dusun yang ditempati oleh orang-orang yang masih sederhana pikiran dan hatinya, yang belum banyak mengenal tentang pelajaran prikebajikan yang dalam pandangan orang-orang kota masih dianggap bodoh! Di dalam ketidakmengertian mereka tentang kejahatan itu, mereka bersih!"
"Suhu terpengaruh oleh filsafat Lo Cu!" tiba-tiba Kwan Cu berseru karena anak yang cerdik ini memang sudah hafal akan semua isi kitab kuno dan pelajaran tentang filsafat dan kebatinan.
Bukan terpengaruh, hanya aku setuju dengan pendirian Lo Cu tentang itu. Orang-orang besar yang membuat kitab-kitab itu telah berlaku terlalu sombong, hendak mendahului kehendak alam, hendak menggantikan kedudukan alam mengadakan perubahan besar dalam watak manusia. Padahal watak manusia itu memang baik seperti watak seluruh isi alam yang suci.
Watak manusia seperti air telaga yang tenang, sekali dikacau, akan bergelombanglah air itu dan menjadi kacau dan tidak aman lagi. Pengertian tentang apa yang disebut baik dan jahat, menimbulkan nafsu dalam diri manusia dan pada sekarang ini, dunia kemanusiaan dirajai oleh maha raja nafsu, manusianya sendiri hanya menjadi hamba sahaya dan hulubalang yang taat dan setia kepadanya!
Nafsulah yang menggerakkan manusia mencuri, membunuh, menipu, dan melakukan
kejahatan-kejahatan lain, dan nafsu ini dipupuk dan diperkuat oleh pengertian tentang baik dan buruknya yang diajarkan oleh kitab-kitabmu itu! Anggap emas seperti batu karang, siapa yang sudi mencuri emas" Dengan pengertian tentang baik buruk, tentang dosa dan suci, manusia telah dibentuk menjadi makhluk yang paling kotor dan jahat di dunia ini."
Kwan Cu mengerutkan keningnya. "Akan tetapi, Suhu, bukankah itu sebaliknya" Manusia adalah makhluk yang paling pandai dan baik. Bukan hanya di antara manusia terjadi saling bunuh, bukankah binatang juga sering kali membunuh sesamanya?"
Ang-bin Sin-kai memandang kepada muridnya dengan mata terbelalak lebar. "Anak bodoh, kau tahu apa" Binatang-binatang membunuh bukan seperti manusia membunuh! Manusia membunuh sesama manusia hanya terdorong oleh iblis, terdorong oleh dendam, benci, marah, dan sakit hati karena dirugikan, baik nama maupun hartanya. Pernahkah kau mendengar binatang membunuh karena perasaan-perasaan jahat ini" Harimau boleh jadi setiap hari membunuh binatang lain, akan tetapi itu adalah kehendak alam yang telah memastikan bahwa harimau tidak bisa makan rumput, melainkan harus makan daging atau darah."
"Akan tetapi, Suhu. Kalau semua manusia menurutkan ajaran Lo Cu semenjak dahulu, teecu kira dunia akan menjadi sunyi, dan tidak akan terdapat kemajuan seperti sekarang ini.
Manusia mungkin masih akan menjadi makhluk-makhluk telanjang yang hidup di gua-gua, tiada lain kerjanya hanya makan dan tidur!"
"Kau sombong!" Ang-bin Sin-kai berteriak dengan muka yang merah itu menjadi makin merah. "Berani kau mendahului pertumbuhan alam" Memang mungkin sekali tidak akan ada kemajuan duniawi seperti sekarang, akan tetapi juga tidak akan ada kejahatan seperti sekarang! Tentang kemajuan, hanya setelah kata-kata itu diciptakan orang maka
mengenalnya. Coba kau tengok pohon siong itu. Ribuan tahun yang lalu keadaannya masih sama saja seperti sekarang, akan tetapi, katakan, hai bocah gundul sombong, siapakah yang Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
171 dapat menyatakan bahwa pohon itu tidak mempunyai kemajuan" Lihat burung yang terbang itu. Seribu tahun yang lalu bangsanya pun berbuat seperti itu. Apakah sekarang dia kelihatan sudah terlalu kuno dan tidak menarik lagi" Kwan Cu, kau hanya memandang kulit saja, tidak melihat isi. Kemajuan lahir saja tiada artinya tanpa dibarengi kemajuan batin, karena lahir itu tidak kekal adanya."
Sekarang Kwan Cu benar-benar kelihatan pusing dan teringatlah Ang-bin Sin-kai bahwa Kwan Cu hanyalah seorang kanak-kanak yang masih belum dapat menerima semua filsafat hidup ini. Ang-bin Sin-kai menarik napas panjang dan dia seakan-akan baru kembali ke atas bumi dari perantauannya di awang-awang yang membuatnya lupa akan segala itu.
"Sudahlah, Kwan Cu. Mari kita melanjutkan perjalanan. Kalau dipikir-pikir, aku sendiri pun ingin sekali tahu buku-bulu apa yang disimpan oleh mendiang Gui Tin di atas Bukit Liang-san itu."
"Buku-buku yang lainnya, teecu pun tidak menghendakinya, Suhu. Hanya sebuah buku yang perlu sekali bagi teecu karena sudah dipesankan oleh Gui-sianseng kepada teecu. Yakni buku sejarah kuno di mana teecu akan membaca tentang kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang aseli!
Dari buku itulah teecu akan mendapat petunjuk di mana teecu dapat mencari kitab rahasia itu."
Ang-bin Sin-kai tertegun dan mukanya berubah.
"Kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng?" Ia mengulang setengah tidak percaya.
Kwan Cu mengangguk. "Memang kitab yang dahulu itu kitab tiruan yang sengaja di palsukan, Suhu. Aselinya masih disimpan baik-baik, kata Gui-sianseng, kitab itu berada di atas sebuah pulau kosong yang sukar dicari. Hanya bisa didapatkan dengan pertolongan kitab sejarah yang disimpan oleh Gui-sianseng."
"Kwan Cu, kalau begitu kau benar-benar berjodoh dengan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng!
Hayo kita percepat jalan agar segera dapat menemukan kitab itu, muridku!" Ketika Ang-bin Sin-kai memandang kepada muridnya dan bertemu pandang, mukanya yang merah berubah pucat karena dia marah.
"Kwan Cu! Kaukira aku mempunyai pikiran buruk" Aku sudah bersumpah takkan
mempelajari Im-yang Bu-tek Cin-keng dan aku Lu Sin selamanya akan memegang teguh sumpahku!"
Kwan Cu terkejut sekali dan buru-buru dia berlutut minta maaf. Pandangan mata suhunya benar-benar tajam sekali, karena memang tadi dia memandang dengan curiga kepada suhunya yang disangkanya menginginkan kitab itu.
"Sudahlah, tiada salahnya kau mencurigaiku, karena kalau tidak ingat akan sumpahku, memang aku ingin sekali melihat dan mempelajari Im-yang Bu-tek Cin-keng. Siapa orangnya yang tidak ingin" Sudah berpuluh tahun aku merindukan kitab itu, seperti juga tokoh-tokoh persilatan yang lain. Akan tetapi, aku sudah tua dan tiada gunanya aku mempelajari ilmu silat lain lagi. Kaulah yang perlu mempelajarinya, maka kerinduanku sekarang bukan untuk aku sendiri, melainkan melihat kau dapat mempelajari kitab aneh itu."
"Terima kasih atas budi kebaikanmu, Suhu."
"Phuah, budi kebaikan macam manakah" Hayo kita lekas pergi. Aku tahu dimana kau akan Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
172 dapat melatih gwakang dan memperdalam Sam-hoan-ciang dan Pai-bun-tui-pek-to yang sedang kau pelajari."
Guru dan murid ini lalu berangkat dan berlari cepat menuju ke Liang-san. Tiga hari kemudian tibalah mereka di sebuah hutan besar dan Ang-bin Sin-kai menghentikan larinya dan berkata,
"Nah, di sini kita dapat beristirahat sambil mencari lawan untuk melatih ilmu silatmu."
Hutan itu besar dan sunyi sekali. Di mana ada lawan untuk melatih ilmu silat" Kwan Cu memandang ke sana ke mari, akan tetapi keadaan sunyi saja, hanya bergeraknya daun pohon tertiup angin menimbulkan suara gemerisik. Pohon-pohon besar menimbulkan bayangan yang amat teduh dan silir angin membuat mata mengantuk. Lapat-lapat terdengar suara binatang hutan, dan Kwan Cu merasa heran mengapa suara binatang hutan, kecuali burung dan ayam, yang terdengar hanya geraman harimau belaka.
"Heran sekali, ke manakah perginya keluarga raja hutan?" Ang-bin Sin-kai berkata perlahan.
"Biasanya setiap kali aku datang, mereka itu telah beramai-ramai menyambut dengan gigi dan kuku yang runcing!"
Tiba-tiba, seakan-akan menjadi jawaban dari kata-katanya, terdengar bunyi lengkingan suling bambu yang aneh sekali suaranya. Lengking ini amat tinggi dan panjang, kemudian mendadak berubah menjadi irama rendah dengan irama terputus-putus seperti geraman harimau marah.
Berubah wajah Ang-bin Sin-kai mendengar ini.
"Ah, kiranya dia berada di sini. Pantas saja harimau-harimau itu tidak nampak di sini."
"Suhu, siapakah peniup suling yang aneh bunyinya itu?"
"Orang aneh?". orang aneh, dan sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan kita. Dia itulah Hang-houw-siauw Yok-ong (Raja Obat dengan Suling Penakluk Harimau)!"
Akan tetapi Kwan Cu belum pernah mendengar julukan orang yang terdengar aneh ini.
Julukan Yok-ong (Raja Obat) saja sudah hebat, apalagi mengerti julukan kedua ini.
Bagaimana bisa orang menaklukan harimau dengan suling" Atau, bagaimana suling bisa dipergunakan menjadi penakluk harimau"
Jawabannya segera terlihat olehnya. Dari jurusan barat, kelihatan seorang laki-laki tua berpakaian jubah panjang menutupi kedua kakinya dan sebagian jubah itu terseret di belakangnya, sedang berjalan dengan tindakan perlahan. Ia memegang sebatang suling bambu yang ditiupnya sambil berjalan, matanya memandang lurus ke depan tidak mempedulikan kanan kiri. Juga sama sekali tidak dia mempedulikan apa yang terjadi dibelakangnya, kejadian yang membuat Kwan Cu membuka mata selebar-lebarnya! Ternyata olehnya bahwa di
belakang kakek itu, berbaris belasan ekor harimau besar dan buas. Mereka berjalan merupakan barisan di belakang kakek ini dan sebentar-sebentar mengeluarkan geraman.
Melihat keadaan ini, tahulah Kwan Cu bahwa binatang-binatang buas itu ternyata telah tertarik dan berada di bawah pengaruh suara suling yang aneh itu. Pantas saja di sebut Hang-houw-siauw (Suling Penakluk Harimau). Kwan Cu benar-benar merasa aneh sekali. Dia sudah sering kali mendengar tentang suling yang suaranya dapat mempengaruhi ular, akan tetapi harimau"
"Ha, ha, ha, Hang-houw-siauw Yok-ong benar-benar tabah sekali!" Ang-bin Sin-kai memuji.
"Hanya dengan suara suling dapat menundukkan belasan raja hutan, benar-benar aku Ang-bin Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
173 Sin-kai tidak mampu melakukannya!"
Melihat munculnya seorang anak laki-laki gundul bersama Ang-bin Sin-kai, untuk sesaat kakek berjubah panjang itu lupa meniup sulingnya dan dia memandang kepada kakek pengemis itu.
"Aha, kiranya Ang-bin Sin-kai si manusia sadar!" Memang Yok-ong ini amat mengagumi Ang-bin Sin-kai dan selalu menyebutnya manusia sadar. "Selagi jalan halus sempat dan dapat dipergunakan, mengapa memakai jalan kasar?"
Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak. "Ha, ha, ha, Hang-houw-siauw Yok-ong! Enak saja kau bicara begitu! Dengan sulingmu, tentu saja kau dapat menundukkan harimau dengan jalan halus, akan tetapi aku yang tidak mengerti caranya, bagaimana harus menundukkan harimau"
Aku takkan dapat membujuk mereka dengan kata-kata halus. Lihat, bagaimana aku harus menghadapi mereka ini?"
Berkata demikian, Ang-bin Sin-kai menunjuk ke arah belakang Hang-houw-siauw Yok-ong.
Kakek ini menengok dan melihat betapa belasan ekor harimau buas itu mulai gelisah dan kini mereka memperlihatkan gigi runcing dan muka buas, siap untuk menyerang! Harimau-harimau itu kini sudah tidak berada di bawah pengaruh suara suling lagi dan mereka mengeluarkan geraman hebat lalu menubruk maju, menyerang Ang-bin Sin-kai, Yok-ong dan Kwan Cu!
Lu Kwan Cu terkejut sekali, akan tetapi dia telah memiliki ketabahan dan ketenangan, maka ketika seekor harimau menubruk kepadanya, dia cepat melompat ke pinggir. Lain harimau menerkamnya, akan tetapi kembali dengan menggeser kaki menurutkan gerakan Pai-bun-tui-pek-to, dia dapat menyelamatkan diri.
Adapun Hang-houw-siauw Yok-ong, juga berbuat seperti Kwan Cu. Kakek ini berkepandaian tinggi, akan tetapi hatinya amat lemah dan tidak tega melukai siapa pun juga. Ia adalah seorang ahli pengobatan dan hatinya sudah tercurah kepada watak menyayang dan
memelihara sesuatu yang sakit, mana bisa dia melukai harimau-harimau itu" Ia bergerak ke sana ke mari dan sungguh mengagumkan, biarpun gerakannya nampak lambat saja, namun tak pernah ada kuku harimau yang dapat menyentuh jubahnya yang panjang itu.
Hebat adalah sepak terjang Ang-bin Sin-kai. Berbeda dengan Kwan Cu yang mengelak terus karena tidak mampu membalas serangan harimau dan Yok-ong yang sengaja tidak mau mengganggu bintang-binatang itu, Ang-bin Sin-kai tidak mandah saja dirinya di serang. Tiap kali kaki dan tangannya bergerak, terdengar harimau yang terpukul atau tertendang mengeluarkan gerengan kesakitan, dan tubuh harimau bergulingan di atas tanah saking kerasnya serangan Ang-bin Sin-kai.


Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melihat ini, Hang-houw-siauw Yok-ong berteriak-teriak,
"Ang-bin Sin-kai, jangan berlaku kejam! Ampunkan nyawa harimau-harimau ini!"
Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak. "Aku memandang mukamu dan tidak akan mengganggu mereka lagi," katanya dan sekali tubuhnya berkelebat, dia telah melompat ke atas dan tahu-tahu dia telah duduk di atas sebatang ranting pohon yang tinggi!
Ada pun Kwan Cu yang melihat perbuatan suhunya, lalu melompat pula, akan tetapi dia tidak melompat ke atas pohon, melainkan melompat ke belakang Hang-houw-siauw Yok-ong Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
174 mencari perlindungan! Raja obat itu lalu meniup sulingnya dan "..benar mengherankan sekali, tiba-tiba binatang-binatang yang buas dan marah itu menghentikan serangan mereka, lalu berdiri berkumpul di depan Yok-ong dengan kepala tunduk dan telinga digerak-gerakkan seakan-akan senang sekali medengar suara suling yang bagi telinga Kwan Cu terdengar menyakitkan anak telinga!
Makin lama makin meninggi suara suling yang ditiup oleh Yok-ong, dan makin sakitlah telinga Kwan Cu sehingga anak ini tidak dapat tahan lagi lalu menggunakan ibu jari untuk menyumpal lubang telinganya. Dan benar-benar hebat! Harimau-harimau itu seakan-akan mendengar bunyi perintah yang tak dapat dibantah lagi. Serentak mereka membalikkan tubuh dan berlari cepat meninggalkan tempat itu!
Masih agak lama Yok-ong meniup sulingnya, kemudian setelah tidak terdengar lagi geraman harimau, dia menghentikan tiupannya dan menoleh kepada Ang-bin Sin-kai yang masih duduk di atas pohon.
"Ang-bin Sin-kai, terima kasih atas kemurahan hatimu terhadap harimau-harimau itu. Kalau diteruskan tadi, tentu aku menjadi sibuk memelihara dan mengobati luka-luka mereka. Untuk kebaikan hatimu itu, kau patut diberi hadiah. Aku adalah seorang miskin yang hanya mempunyai sebatang suling. Nah, terimalah barang pusakaku ini." Ia melempar suling yang tadi ditiupnya ke arah Ang-bin Sin-kai yang cepat mengulur tangan menerimanya.
Hang-houw-siauw Yok-ong lalu berpaling kepada Kwan Cu. Untuk beberapa lamanya dia memandang anak itu dengan tajam.
"Hebat!" tiba-tiba dia berkata. "Darimana kau memperoleh anak seperti ini?" Ia lalu mendekati Kwan Cu. "Coba ulur tangamu, anak yang baik."
Kwan Cu segera mengulur tangan kanannya dan Yok-ong segera memegang pergelangan tangan Kwan Cu. Untuk beberapa lama dia mengangguk-angguk dan berkatalah dan dengan suara keras.
"Benar-benar hebat! Darah yang luar biasa kuatnya, yang ditambah oleh semacam darah liar yang mempunyai kekuatan tekanan tiga kali lipat daripada tekanan darah manusia, membuat seluruh urat di tubuhmu dipenuhi oleh aliran darah yang kuat dan cepat sekali. Berkat tulang dan dagingmu yang kuat dan bersih, hal itu menguntungkan dalam usahamu mempelajari bu (ilmu silat). Akan tetapi, urat halus dalam otak dapat terganggu karenanya. Anak baik, aku kasihan kepadamu, maka biarlah aku memberimu Liong-kak-hian-tan (Pil Darah Tanduk Naga) yang jarang kupergunakan." Ia merogoh saku jubahnya yang lebar sekali dan mengeluarkan bungkusan dari kain kuning yang bersih. Ketika bungkusan dibuka, di dalamnya terdapat beberapa butir pil merah yang berbau amis.
"Untuk ketabahan dan kemurahan hatimu ketika menghadapi harimau-harimau tadi, kau kuberi hadiah tiga butir Liong-kak-hian-tan. Telanlah sehari sebutir, dan dalam tiga hari kau akan merasakan khasiatnya."
Kwan Cu merasa ragu-ragu untuk menerima, dan tiba-tiba terdengar suara dari atas pohon,
"Murid goblok! Tidak lekas diterima dan menghaturkan terima kasih, mau tunggu kapan lagi?"
Sebenarnya bukan karena Kwan Cu merasa kurang percaya terhadap kakek Raja Obat itu, melainkan karena dia menjadi murid Ang-bin Sin-kai, maka dia merasa tidak patut tanpa ijin gurunya kalau dia menerima pemberian orang lain. Sekarang mendengar ucapan suhunya, dia menjadi girang sekali, dan setelah menerima tiga butir pil itu, dia lalu berlutut di depan Hang-houw-siauw Yok-ong dan menghaturkan terima kasihnya.
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
175 Yok-ong tertawa bergelak dan menengok ke atas pohon. "Ang-bin Sin-kai, muridmu ini benar-benar tahu menghargai guru dan orang-orang tua. Bagus sekali! Nah, sampai bertemu kembali!"
Setelah berkata demikian, Hang-houw-siauw Yok-ong lalu menyimpan bungkusan obatnya dan seperti main sulap saja, ketika dia merogoh saku di tangannya telah memegang sebatang suling lagi! Ia lalu berjalan pergi sambil meniup sulingnya!
Kwan Cu dan gurunya mendengarkan suara suling itu makin melenyap, kemudian terdengar suara suling lain. Ketika Kwan Cu menengok, ternyata suhunya sedang meniup suling pemberian Yok-ong tadi! Tercenganglah Kwan Cu ketika mendengar tiupan suling suhunya amat merdu dan gurunya itu ternyata pandai sekali meniup suling melagukan lagu kuno!
"Bagus, Suhu pandai sekali bersuling!" Kwan Cu memuji.
Gurunya menghentikan tiupannya dan tertawa girang.
"Tidak sepandai Hang-houw-siauw Yok-ong. Kautelanlah sebutir Liong-kak-hian-tan itu seperti yang dipesan oleh Yok-ong. Aku mau mencoba memanggil harimau dengan suling ini!"
Kwan Cu segera menelan sebutir pil yang terasa masam dan amis sekali, kemudian menyimpan yang dua butir di dalam saku bajunya. Pada saat itu, gurunya sedang mencoba untuk meniru tiupan suling Yok-ong ketika menundukkan harimau tadi. Akan tetapi tiupan sulingnya tidak karuan bunyinya sehingga mengusir burung-burung di atas pohon yang menjadi kaget ketakutan mendengar suara melengking yang aneh luar biasa itu!
Sampai capai bibir meniup suling, harimau-harimau itu tidak juga datang! Kwan Cu tertawa geli melihat usaha suhunya tidak mendatangkan hasil itu.
"Jangan tertawa, lihat belakangmu!" tiba-tiba Ang-bin Sin-kai berseru.
Kwan Cu terkejut dan cepat menengok. Benar saja di belakangnya telah berdiri seekor harimau muda yang nampaknya juga terpesona dan bingung mendengar suara suling yang lucu dan aneh tadi. Kini, menghadapi Kwan Cu, dia mulai merendahkan tubuhnya dan menggaruk-garukkan kakinya, siap untuk menerkam.
"Kwan Cu, hadapi dia dengan Pai-bun-tui-pek-to! Jangan hanya mengelak saja, lawan dia dan kalahkan dia. Sekarang waktunya untuk menguji kepandaian. Dia ahli gwakang (tenaga luar), awaslah!" kata Ang-bin Sin-kai dengan gembira sekali.
Harimau itu mengaum lalu menubruk dengan kuat sekali. Kwan Cu sudah siap sedia. Dengan lincahnya dia melangkah ke kiri, membiarkan tubuh harimau itu menyambar lewat, lalu memberi pukulan keras ke arah lambung harimau itu. Harimau terjatuh tunggang-langgang sambil menggereng, akan tetapi tubuh harimau muda itu terlampau kuat sehingga pukulan Kwan Cu tadi baginya hanya merupakan dorongan kuat belaka, sama sekali tidak melukainya.
Ia menubruk lagi dan seperti juga tadi, Kwan Cu menghadapi dengan mengelak sambil memukul atau menendang.
Pertempuran seperti ini berjalan lama dan Ang-bin Sin-kai hanya meniup suling seakan-akan mengiringi pertempuran itu dengan lagu perang, akan tetapi matanya memandang penuh perhatian. Akhirnya, setelah berpuluh kali menubruk tanpa hasil bahkan menerima tendangan atau pukulan, harimau itu menjadi lelah. Demikian pula Kwan Cu. Ia telah mengerahkan benar tenaga untuk memukul dan menendang, akan tetapi sedikit pun tak dapat merobohkan Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
176 lawannya. "Kau harus dapat mengalahkan dia!" seru Ang-bin Sin-kai berkali-kali dengan suara tidak puas. Masa muridnya, murid Ang-bin Sin-kai tidak dapat mengalahkan seekor harimau yang masih muda"
Kwan Cu mengerti bahwa kalau dia melanjutkan perkelahian secara ini, tak mungkin dapat mengalahkan harimau itu. Maka dia mencari akal dan ketika harimau itu untuk ke sekian kalinya menubruknya, dia lalu mengelak dan menyambar ekor harimau. Sekuat tenaga dia lalu mengayun tubuh harimau itu dan membantingnya. Akan tetapi karena tubuh harimau itu berat sekali dan dia telah lelah, maka dia terbawa oleh bantingan ini sehingga terpelanting di atas tanah!
Harimau itu nanar seketika, akan tetapi segera berdiri kembali dan melihat tubuh Kwan Cu di dekatnya, dia lalu menubruk! Kwan Cu telah siap dan cepat menggulingkan tubuhnya mengelak, kemudian dia mendahului menerkam dan mencekik leher harimau itu dalam kempitan lengannya yang kecil akan tetapi kuat!
Harimau itu meronta-ronta, akan tetapi Kwan Cu memutar lehernya sehingga kaki harimau tidak dapat mencakarnya. Makin lama harimau itu mejadi makin lemah dan sebentar lagi dia tentu takkan berdaya.
Tiba-tiba terdengar auman keras sekali dan seekor harimau yang besar sekali keluar dari semak-semak, merunduk dan siap menerkam Kwan Cu yang mencekik anaknya! Ang-bin Sin-kai yang sedang enak-enak meniup sulingnya saking girang melihat kecerdikan Kwan Cu mengalahkan lawannya, melihat harimau besar itu, lalu berseru keras dan tubuhnya melayang turun.
Pada saat itu, harimau besar telah melompat menubruk Kwan Cu, akan tetapi, tiba-tiba tubuhnya terjengkang kembali ke belakang karena dorongan Ang-bin Sin-kai yang
memapakinya di tengah udara! Kini pertempuran terpecah menjadi dua. Kwan Cu dengan cepat dapat membuat harimau muda itu pingsan karena tak dapat bernapas, kemudian anak ini menonton pertempuran antara suhunya dan harimau besar.
Bukan main kagumnya hati Kwan Cu ketika melihat betapa suhunya menghadapi harimau itu dengan senjata suling. Ternyata suling yang ditiupnya dengan merdu tadi kini disulap menjadi sebatang senjata yang lihai sekali. Kemana juapun harimau itu menubruk, selalu dia tertotok oleh suling di bentulan lehernya. Setelah empat lima kali tertotok suling, harimau itu merasa kesakitan luar biasa dan segera membalikkan tubuh dan berlari cepat sambil menggereng kesakitan! Sementara itu, harimau muda yang tadi pingsan, juga telah siuman kembali dan kini berlari menyusul harimau besar!
"Suhu, indah sekali permainan suling tadi. Teecu ingin belajar bersilat dengan suling."
Ang-bin Sin-kai tertawa. "Memang indah dan mudah saja dilihat, akan tetapi jangan kira mudah dipelajarinya. Ketahuilah bahwa makin sederhana bentuk senjata, makin sukar dipelajarinya dan makin lihai permainannya. Kelak akan tiba saatnya kau belajar ilmu silat dengan suling."
Guru dan murid ini lalu melanjutkan perjalanan ke Liang-san. Semenjak mengalahkan harimau muda itu, semangat Kwan Cu menjadi makin besar saja. Dan tiga hari kemudian setelah dia menghabiskan tiga butir pil merah pemberian Hang-houw-siauw Yok-ong, dia merasa kepalanya dingin dan dadanya tenang. Pikirannya makin kuat saja dan kini dia tidak Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
177 terganggu oleh rasa pening yang seringkali datang di kala dia melatih diri dengan pengendalian napas dalam samadhinya. Ia merasa girang dan Ang-bin Sin-kai berkata sambil menarik napas panjang.
"Karena itulah ketika dulu aku melihat dia memberi pil ini kepadamu, aku cepat menyuruh kau menerimanya. Hang-houw-siauw Yok-ong dahulunya adalah seorang tabib istana yang amat terkenal, bukan saja karena ilmu pengobatannya, akan tetapi terutama karena ilmu silatnya yang tinggi dan pribadinya yang luhur. Mungkin sekali tingkat kepandaiannya tidak akan menang dari tokoh-tokoh persilatan dari empat penjuru, akan tetapi tentang ilmu pengobatan dan pribadi mulia, kiraku di dunia ini sukar mencari keduanya!"
"Yang diberikan kepada teecu itu, disebut olehnya Liong-kak-hian-tan (Pil Darah Tanduk Naga), apakah benar-benar terbuat daripada darah yang berada di tanduk naga, Suhu?"
Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak. "Orang-orang pembuat obat dan masakan sama saja, keduanya seperti orang gila! Untuk memudahkan mereka mengingat namanya dan untuk membuat obat atau masakannya terkenal, mereka itu suka memberi nama yang aneh-aneh!
nama liong (naga) dan burung hong (burung dewata) selalu dibawa-bawa dalam pemberian nama pada obat. Siapa percaya tentang liong kalau belum melihat sendiri?"
"Apakah liong itu tidak ada, Suhu?"
"Aku sendiri percaya bahwa naga itu memang ada, hanya terus terang saja aku belum pernah melihat dengan mataku sendiri. Memang kulihat banyak ular-ular besar sekali, bahkan ada pernah kulihat ular bertanduk lunak di kepalanya, akan tetapi, ular itu tidak berkaki seperti naga yang sering kali disebut-sebut! Betapapun juga, aku percaya bahwa naga itu memang ada. Kalau tidak ada, mengapa rakyat di empat penjuru dapat melukiskan rupa dan bentuk tubuhnya" Pasti ada, seperti adanya pula burung hong!"
"Kalau begitu, obat Liong-kak-hian-tan itu benar-benar terbuat daripada darah tanduk naga, Suhu?" kata Kwan Cu dengan suara tetap.
Ang-bin Sin-kai kembali tertawa lagi. "Hal inilah yang meragukan, karena kepandaian yang dimiliki oleh Hang-houw-siauw Yok-ong itu, biarpun cukup lihai, mana bisa dia pergunakan untuk menangkap seekor liong dan mengambil darah dari tanduknya" Sudahlah, hal ini tidak penting, muridku. Yang paling penting adalah kenyataan bahwa obat itu memang kupercaya amat baik bagimu."
Setelah tiba di lereng bukit Liang-san di sebelah barat, mereka mulai bertanya-tanya kepada orang kampung tentang Gui Tin yang di tempat itu dahulu mengaku bernama Gui-lokai.
Beberapa orang sudah ditanya oleh Kwan Cu, akan tetapi tak seorang pun mengaku telah kenal dengan Gui-lokai (pengemis tua Gui).
"Anak bodoh, mengapa kautanya hanya orang-orang muda saja" Tanyalah kau kepada orang tua, dan wanita pula, karena yang biasa menderma kepada para pengemis, kebanyakan hanya orang-orang wanita," kata Ang-bin Sin-kai mencela muridnya.
Kwan Cu menganggap kata-kata suhunya benar, maka dia lalu bertanya pada seorang wanita dusun yang sudah agak tua akan tetapi masih rajin sekali bekerja. Wanita ini tengah memikul Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
178 air bersama beberapa wanita lain.
Kwan Cu merasa tidak enak kalau langsung menghentikan orang yang sedang bekerja, dan nampaknya wanita-wanita itu tergesa-gesa. Maka dia lalu ulurkan tangannya ke arah pundak wanita yang berada di depan dan dalam sekejap mata saja pikulan itu telah berpindah ke atas pundaknya sendiri! Tantu saja wanita itu terkejut dan heran sekali, akan tetapi bocah gundul itu tersenyum kepadanya sambil berkata,
"Bibi, aku kasihan melihat kau bersusah payah memikul air yang berat ini. Biar aku bawakan ke rumahmu."
Tentu saja wanita itu girang sekali dan tertawalah dia, memperlihatkan deretan gigi yang jarang dan kecil-kecil.
"Anak baik, terima kasih," katanya sambil melanjutkan perjalanan di sebelah Kwan Cu. Dua orang wanita di belakangnya juga memandang heran kepada Kwan Cu, bocah gundul yang baik hati tu.
Setelah menurunkan pikulan di depan rumah wanita itu, barulah Kwan Cu mengajukan pertanyaan, "Bibi, pernahkah kau mengenal seorang pengemis tua di daerah ini yang dipanggil Gui-lokai?"
"Gui-lokai?".?" Wanita itu mengerutkan keningnya yang sudah mulai keriputan, "Ah, kakek yang gila itu" Siapa yang tidak mengenalnya" Dia adalah seorang tua yang malas dan gila, tidak mau bekerja, hanya menulis dan membaca saja kerjanya. Baiknya dia masih suka memberi pelajaran kepada beberapa orang anak, akan tetapi pelajaran membaca dan menulis, untuk apakah di dusun ini" Lebih baik belajar mencangkul tanah daripada menggerakkan pit menulis!"
Bukan main girangnya hati Kwan Cu.
"Tahukah kau di mana adanya dia" Dan di mana tempat tinggalnya ketika dia berada di daerah ini?"
"Tempat tinggalnya" Di mana saja orang mau menerimanya. Kadang-kadang dia bahkan tidur di pinggir sawah, di tempat terbuka. Benar-benar orang aneh. Eh, anak baik, kau pernah apakah dengan Gui-lokai maka kau mencarinya?"
Pada saat itu, seorang kakek tua yang mendatangi tempat itu mendengar kata-kata ini lalu menyambung, "Aneh sekali! Baru kemarin sore ada juga dua orang yang menanyakan tentang Gui-lokai!"
Mendengar ini, Kwan Cu terheran. "Lopek, siapakah mereka yang bertanya tentang Gui-lokai?"
"Seorang hwesio gemuk sekali dan seorang muridnya. Mereka pergi ke batu karang berbentuk menara yang berada di lereng barat, mencari gua yang dulu ditinggali oleh Gui-lokai," jawab kakek itu.
"Dimana batu karang itu, Lopek" Aku pun ingin sekali pergi ke gua tempat tinggal Gui-lokai!" Kwan Cu bertanya cepat-cepat.
Kakek itu ragu-ragu, akan tetapi wanita yang ditolongnya membawa air tadi segera menudingkan jari telunjuknya ke arah puncak bukit yang tak jauh dari situ. "Di sanalah Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
179 tempatnya. Di sana terdapat sebuah batu karang yang menjulang tinggi, bentuknya seperti menara. Di sekitar tempat itulah adanya gua tempat tinggal Gui-lokai ketika dia masih berada di daerah ini."
"Terima kasih!" jawab Kwan Cu dan dua orang dusun itu menjadi bengong dan saling pandang ketika tiba-tiba Kwan Cu melompat dan lenyap dari depan mereka.
"Suhu, cepat, Suhu! Ada orang mendahului kita!" kata Kwan Cu ketika dia kembali ke tempat di mana Ang-bin Sin-kai menantinya.
"Siapa orangnya yang mendahului kita?" tanya Ang-bin Sin-kai dengan muka terheran.
"Entahlah, kata orang dusun itu, ada seorang hwesio gemuk dan muridnya juga mencari gua tempat tinggal Gui-siu-cai!"
Berubah wajah Ang-bin Sin-kai mendengar ini.
"Hm, jangan-jangan Jeng-kin-jiu dan Lu Thong yang mendahului kita."
"Mari cepat, Suhu. Guanya berada di puncak itu," kata Kwan Cu dan bocah gundul ini mendahului suhunya berlari ke arah puncak itu. Ang-bin Sin-kai menyusul dan guru ini pun merasa gelisah kalau-kalau kitab yang dikehendaki oleh muridnya itu telah dicuri orang lain.
Sebentar saja mereka telah tiba di puncak bukit di mana terdapat batu karang berbentuk menara. Mudah saja mendapatkan gua bekas tempat tinggal Gui Tin, karena gua ini besar dan panjang. Kwan Cu segera membuat obor dan bersama gurunya dia memasuki gua itu. Tak salah lagi, inilah bekas tempat tinggal Gui-lokai, karena dindingnya banyak terdapat pahatan dan ukiran, tentu Gui Tin mempergunakan waktunya untuk membuat sajak-sajak ini. Kwan Cu mencari terus dan akhirnya dia mendapatkan lubang di mana tersimpan sebuah peti.
Dengan hati berdebar girang, Kwan Cu mengeluarkan peti itu dan segera membawanya keluar. Setelah tiba di luar, dia membuka peti tadi, akan tetapi tiba-tiba pundaknya di tarik orang dan ternyata suhunya yang menarik tadi.
"Hati-hati, Kwan Cu. Keliru sekali berlaku tergesa-gesa seperti itu menghilangkan kewaspadaan. Aku masih bersangsi mengapa Gui-siucai semudah ini menyimpan petinya terisi kitab-kitab yang lebih disayangnya daripada harta benda lain. Aku sangsi kalau-kalau ada orang yang telah mendahului kita dan sengaja memasang perangkap. Biarkan aku yang membuka peti ini!" Sambil berkata demikian, Ang-bin Sin-kai mempergunakan sulingnya untuk mencokel tutup peti dan benar saja dugaannya, begitu tutup peti terbuka, dari dalam menyambar keluar kepala seekor ular kehijauan yang mendesis dan menjulurkan lidahnya.
Kwan Cu tertawa.
"Ah, ular kecil seperti itu saja, apa sih bahayanya?"
Ang-bin Sin-kai mengerutkan keningnya dan memandang tajam kepada Kwan Cu.
"Salah, salah! Sama sekali salah kalau kau memandang rendah soal-soal kecil. Kau mau tahu tentang ular ini" Inilah yang di sebut Jeng-tok-coa (Ular Racun Hijau) yang bisanya jauh lebih berbahaya daripada seekor ular sendok. Sekali pagut saja, tidak ada obat di dunia ini yang akan menyembuhkan dan menolong orang yang dipagutnya! Biarpun kau sendiri yang telah memiliki darah penolak racun di tubuhmu, agaknya akan bergulat dengan maut apabila tadi kau membuka peti dan kena digigit oleh ular ini!"
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
180 Mendengar ini, Kwan Cu meleletkan lidahnya saking kaget dan ngerinya. Ular itu bergerak-gerak dan gerakannya benar-benar cepat sekali sehingga dapat dibayangkan kalau ular ini menyerang orang. Ang-bin Sin-kai menggerakkan sulingnya dan sekali terbentur suling, pecahlah kepala ular itu, mengeluarkan lendir berwarna hijau yang berbau amis keharum-haruman dan yang membuat kepala menjadi pening ketika hidung mencium bau itu.
Ang-bin Sin-kai segera mengangkat peti itu menjauhi bangkai ular, kemudian barulah dia memperkenankan Kwan Cu memeriksa isi peti. Peti itu ternyata terisi banyak buku-buku tebal dan kuno. Dengan jari-jari tangan gemetar saking menahan gelora hatinya, Kwan Cu memeriksa buku-buku itu satu demi satu. Buku-buku sajak, buku-buku tentang bintang-bintang dan kitab-kitab kebatinan yang amat kuno. Namun tidak sebuah pun kitab sejarah tentang Im-yang Bu-tek Cin-keng!
"Heran sekali?".., kitab yang di maksudkan Gui-sianseng itu tidak ada?".. !" kata Kwan Cu setelah untuk kelima kalinya dia membuka dan memeriksa lagi buku-buku itu satu demi satu.
"Hm, benar ada orang yang mendahului kita," kata Ang-bin Sin-kai, "kau lihat di sana itu!"
Kwan Cu memandang dan melihat bayangan dua orang berlari cepat sekali menuruni gunung.
Bayangan seorang berkepala gundul yang gemuk bundar bersama seorang anak laki-laki yang sebaya dengan dia!
"Keparat!" Kwan Cu memaki dan hendak mengejar. Akan tetapi Ang-bin Sin-kai menahan dan memegang pundaknya. Tiba-tiba Kwan Cu membalikkan tubuhnya dan memandang
kepada suhunya dengan mata basah dan muka pucat.
"Suhu, kau benar-benar tidak adil dan berat sebelah!" katanya dengan tangan terkepal.
"Ketika Suhu memberi pelajaran Ilmu Silat Kong-jiu-toat-beng (Dengan Tangan Kosong Merenggut Nyawa) kepada Lu Thong, teecu sudah tahu bahwa betapapun juga, Suhu lebih memberatkan keluarga sendiri! Sekarang terbuktilah dugaan teecu. Sudah terang yang mencuri kitab dari Gui-siucai adalah Lu Thong dan gurunya, akan tetapi Suhu tidak mengejar mereka, bahkan melarang teecu mengejar. Suhu, sebetulnya Suhu hendak berlaku
bagaimanakah terhadap murid?"
Mendengar ucapan Kwan Cu yang sifatnya menegur dan menuntut ini, sepasang mata Ang-bin Sin-kai mengeluarkan cahaya berkilat.
"Tutup mulutmu! Sekali lagi kau berkata demikian terhadapku, betapapun besar rasa sayangku kepadamu dan betapapun baiknya bakatmu menjadi muridku, kau akan
kutinggalkan! Tuduhanmu hanya terdorong oleh rasa iri hati dan putus asa. Iri hati melihat aku menurunkan Kong-jiu-toat-beng kepada Lu Thong, perasaan iri hati yang tidak berdasar.
Dia adalah cucu luarku, mengapa aku tidak boleh memberi sesuatu kepadanya. Dan kau putus asa melihat kitab peninggalan Gui-siucai dicuri orang. Juga perasaan putus asa ini bodoh sekali. Kau tadi melihat sendiri betapa ilmu lari cepat hwesio gundul itu hebat sekali, tidak kalah olehku" Dikejar pun tidak akan ada gunanya, karena mereka telah meninggalkan kita.
Aku masih ragu-ragu?".apakah betul Jeng-kin-jiu yang mencuri kitab itu, Si Gundul dari selatan itu tidak demikian hebat lari cepatnya. Aku lebih condong menduga kepada Hek-i Hui-mo!"
Kwan Cu menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya. "Ampunkan kelancangan mulut teecu, Suhu. Sesungguhnya, teecu bingung sekali melihat kitab itu sudah tidak ada lagi. Bagaimana kita harus berbuat sekarang, Suhu?"
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
181 "Tenanglah dan kita perlahan-lahan menyelidiki siapa orangnya yang sudah mencuri kitab itu.
Bukankah kau dulu bilang bahwa kitab itu ditulis dalam bahasa kuno yang sukar dimengerti dan yang hanya diajarkan mendiang Gui-siucai kepadamu?"
"Memang benar, Suhu. Akan tetapi siapa tahu kalau orang lain yang dapat membacanya.
Menurut mendiang Gui-sianseng, pujangga-pujangga besar seperti Tu Fu dan Li Po pasti bisa membacanya. Hwesio gundul tadi terlalu jauh dari kita sehingga sukar untuk mengenalnya mukanya, akan tetapi teecu yakin bahwa dia tentulah Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu."
"Bagaimana kau bisa memastikannya?"
"Karena hanya Jeng-kin-jiu yang mempunyai seorang murid laki-laki sebesar teecu. Setahu kita, Hek-i Hui-mo tidak mempunyai murid."
Ang-bin Sin-kai mengangguk-anggukkan kepalanya. "Aku pun berpikir demikian. Akan tetapi, masih terlalu pagi untuk menuduh tanpa bukti. Baiknya kita menyusul ke kota raja dan bertanya terang-terangan kepada Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu!"
Kwan Cu girang sekali karena ternyata bahwa suhunya benar-benar mau membantunya merampas kembali kitab itu. Mereka lalu berangkat dengan cepat, turun dari Liang-san menuju ke kota raja untuk mencari Jeng-kin-jiu yang disangka mencuri kitab sejarah peninggalan Gui Tin.
Di dalam perjalanan menuju ke kota raja, mereka melalui kota Po-keng yang ramai dan terkenal sebagai tempat berkumpulnya para sastrawan dan orang-orang gagah.
"Kita mampir dulu di rumah Kwa-pangcu (Ketua she Kwa), seorang sahabatku yang baik,"
kata Ang-bin Sin-kai kepada Kwan Cu.
Yang disebut Kwa-pangcu oleh Ang-bin Sin-kai adalah Kwa Ok Sin, seorang ahli silat Bu-tong-pai yang selain memiliki ilmu pedang yang lihai, juga terkenal sebagai seorang ahli sastra terkemuka. Kwa Ok Sin atau Kwa-pangcu adalah ketua dari perkumpulan Bun-bu-pang (Perkumpulan Ahli Silat dan Sastrawan) yang didirikan oleh para ahli sastra dan ahli silat di seluruh daerah Po-keng. Kwa Ok Sin dipilih karena memang dia memenuhi syarat, tidak saja ahli dalam bun (sastra), akan tetapi juga tinggi ilmu kepandaiannya dalam bu (silat).
Kwa Ok Sin yang memang keturunan kaya raya, amat besar rumahnya dan gedung ini selain dijadikan tempat tinggalnya, juga menjadi rumah perkumpulan Bun-bu-pai. Papan nama yang tergantung di depan rumahnya, benar-benar amat indah. Papan itu berukir dan besar sekali, ditulis dengan huruf-huruf yang amat indah dan gagah "RUMAH PERKUMPULAN BUN
BU PAI". Hal ini tidak mengherankan, karena sebagai perkumpulan ahli sastra, tentu saja tulisannya juga hebat!
Tak seorangpun di kota Po-keng yang tidak mengenal rumah ini, karena perkumpulan Bun-bu-pai memang dihormati oleh setiap orang. Bahkan, dengan adanya perkumpulan ini, di daerah Po-keng bersih daripada semua penjahat. Penjahat manakah berani main gila di kedung naga dan gua harimau"
Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila nama Bun-bu-pai di Po-keng ini amat terkenal dan namanya dipuji sampai jauh di luar daerah Po-keng. Bahkan, pujangga-pujangga besar dan ternama seperti Lo Pin dan Tu Fu sendiri tidak jarang datang mengunjungi Bun-bu-pai untuk bercakap-cakap dengan Kwa Ok Sin dan para anggauta lain. Juga para locianpwe, ahli-Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
182 ahli silat tinggi dari seluruh Tiongkok apabila lewat Po-keng selalu memerlukan untuk mampir.
Sungguh kebetulan sekali, ketika Ang-bin Sin-kai dan Kwan Cu tiba di Po-keng, Bun-bu-pai penuh dengan anggautanya. Hari itu mereka datang dari berbagai tempat sengaja datang berkumpul karena ada beberapa hal yang amat penting yang harus mereka rundingkan.
Bahkan, banyak tokoh-tokoh dari jauh datang mengunjungi pertemuan itu.
Kwan Cu dan gurunya berdiri di depan geduang Bun-bu-pai, dan Kwan Cu amat kagum melihat papan nama yang ditulis amat indah itu.
"Alangkah indahnya tulisan itu, Suhu," kata bocah gundul itu dengan kagum.
Ang-bin Sin-kai tersenyum. "Apa sih indahnya tulisan macam itu" Mari kita masuk dan kau akan melihat tulisan yang jauh lebih indah daripada ini."
Mereka masuk melalui pintu gerbang dan ketika tiba di ruang depan, benar saja. Di situ tergantung tulisan-tulisan dan lian-lian (tulisan berpaangan yang merupakan sajak indah) yang ditulis dengan indah sekali dalam berbagai-bagai bentuk. Belum pernah selama hidupnya Kwan Cu menyaksikan sekumpulan tulisan demikian indah baik gaya maupun isinya, maka tiada bosannya dia membaca dan menikmati tulisan itu satu demi satu. Hal ini memang tidak mengherankan oleh karena yang tergantung di situ adalah hasil karya pujangga-pujangga terkemuka. Bahkan Tu Fu dan Li Po sendiri pun menyumbang ruangan ini dengan tulisan-tulisan dan sajak-sajak mereka!
Tidak seperti rumah perkumpulan lainnya, di situ tidak ada penjaga. Memang, siapakah orangnya yang akan berani mencuri atau membikin ribut di tempat ini" Maka tidak perlulah diadakan penjagaan. Ketika Kwan Cu sedang enak-enak dan asyiknya membaca tulisa-tulisan itu, tiba-tiba terdengar suara halus,
"Anak baik, sekecil ini sudah dapat menghargai tulisan baik!" Ketika Kwan Cu menengok, dia melihat seorang laki-laki tinggi tegap berusia kurang lebih empat puluh tahun dan sungguhpun pakaiannya seperti seorang ahli silat, namun gerak-geriknya amat halus dan sopan. Orang itu kini menghadapi Ang-bin Sin-kai, lalu menjura dan berkata, "Sungguh kebetulan sekali Ang-bin Sin-kai locianpwe datang berkunjung. Memang kami sedang berkumpul dan ada sesuatu yang hendak disampaikan kepada Locianpwe."
Ang-bin Sin-kai tertegun. Orang yang menyambutnya ini adalah Kwa Ok Sin sendiri, ketua dari Bun-bu-pai. Biasanya, tidak beginilah sambutan Kwa-pangcu yang sudah lama menjadi sahabat baiknya. Sambutan kali ini mengapa begini dingin dan pada wajah ketua ini seakan-akan terbayang kekurangsenangan dan juga kegelisahan"
"Selamat bertemu, Kwa-pangcu! Apakah gerangan yang telah terjadi?"
"Silakan masuk saja dan kau orang tua akan mendengarnya sendiri nanti," jawab Kwa-pangcu dengan muka masih tetap dingin dan beberapa kali dia melirik ke arah Kwan Cu seakan-akan ia pernah mendengar tentang sesuatu tentang bocah gundul yang pandai membaca sajak itu.
Ang-bin Sin-kai lalu memberi tanda kepada muridnya untuk masuk ke dalam. Di ruang ke dua, Kwan Cu kembali kagum sekali melihat lukisan-lukisan indah tergantung di dinding dan di bawah terdapat tempat senjata penuh dengan senjata-senjata persilatan yang delapan belas macam banyaknya. Senjata-senjata yang ada di situ kesemuanya terdiri dari senjata-senjata pilihan belaka, sehingga bukan hanya Kwan Cu, bahkan Ang-bin Sin-kai sendiri memandang sambil mengeluarkan suara pujian.
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
183 Akhirnya tibalah mereka di dalam ruang tengah. Ruang ini luas sekali, dan di situ telah berkumpul lebih dari dua puluh orang.melihat orang-orang ini Kwan Cu tertegun.
Sesungguhnya memang aneh karena tempat itu penuh orang-orang yang berpakaian beraneka macam. Ada yang seperti seorang sastrawan dan bersikap lemah lembut sekali, ada yang berpakaian seperti ahli silat atau guru silat, ada pula pendeta-pendeta dan hwesio kepala gundul atau tosu-tsou yang rambutnya digelung di atas kepala. Pendeknya, di tempat ini berkumpul ahli-ahli sastra dan ahli-ahli silat yang agaknya tidak memiliki kepandaian kepalang tanggung. Sikap mereka saja sudah menjelaskan bahwa baik ahli sastra maupun ahli silat yang berkumpul di situ rata-rata memiliki kepandaian yang sudah tinggi tingkatnya di bidangnya masing-masing.
Baik nama maupun orangnya, Ang-bin Sin-kai sudah sangat terkenal di antara tokoh-tokoh persilatan dan sastrawan itu. Akan tetapi, kalau biasanya mereka menyambut kedatangan Ang-bin Sin-kai dengan muka girang dan kata-kata ramah, adalah pada saat itu tak seorangpun berdiri dari tempat duduknya dan hanya memandang dengan sinar mata dingin.
Tentu saja Ang-bin Sin-kai menjadi heran dan tidak enak hati sekali., akan tetapi dia bersikap tenang dan mengambil tempat duduk di atas sebuah bangku, lalu memandang ke kanan kiri menentang pandang mata semua orang yang duduk di situ. Pandang mata Ang-bin Sin-kai amat tajam dan berpengaruh, maka siapapun juga yang bertemu pandang dengan dia, lalu menundukkan muka atau mengalihkan pandang matanya.
Kwa-pangcu duduk kembali ke bangkunya yang berada di kepala meja. Di kanan kirinya duduk dua orang tokoh besar yang sudah amat terkenal, yakni sebelah kiri adalah Pouw Hong Taisu, ketua dari Thian-san-pai yang berilmu tinggi. Adapun di sebelah kanannya duduk Bin Kong Siansu, seorang tokoh besar ketua Kim-pan-sai. Diam-diam Ang-bin Sin-kai sudah merasa heran melihat dua orang tokoh besar ini, karena tidak biasanya ketua-ketua dari Thian-pan-sai dan Kim-pan-sai duduk di tempat ini. Tidak mungkin kehadiran mereka hanya hal yang kebetulan saja, karena kalau memang demikian, tentu dua orang kakek itu telah menyambutnya dengan ramah sebagai orang-orang segolongan yang bertemu jauh dari tempat kediaman masing-masing.
"Cu-wi sekalian, karena ada saudara yang baru datang, maka kuharap soal-soal penting yang tadi telah dibicarakan, diulangi lagi laporannya," kata Kwa Ok Sin dengan suara keren.
Semua orang menyatakan setuju dan dari ujung kiri berdirilah seorang muda yang nampaknya gagah. Dia adalah Lie Seng, anak murid Go-bi-pai yang berkepandaian cukup tinggi dan sudah terkenal sebagai seorang pendekar muda yang banyak menolong rakyat.
Karena semua orang telah mendengar penuturannya, kini Lie Sieng memandang kepada Ang-bin Sin-kai dan berkata, "Tadi telah siauwte ceritakan bahwa kemarin hari ketika siauwte bersama pujanggan Tu Fu, tiba-tiba seorang tinggi gemuk yang berkepala gundul, malam-malam datang dan menculik Tu-siucai. Gerakan orang itu cepat sekali dan ketika siauwte berusaha menolong Tu-siucai, dengan sekali dorong saja siauwte roboh tak sadarkan diri.
Karena cepatnya gerakan orang itu, siauwte tidak sempat mengenal mukanya, hanya tahu bahwa kepalanya gundul dan pakaiannya seperti pakain pendeta. Tubuhnya gemuk sekali."
"Apakah bajunya hitam semua?" tiba-tiba Ang-bin Sin-kai bertanya.
Lie Seng menggeleng kepala. "Entahlah, karena sebelum menyerang, orang itu melambaikan tangan ke arah lampu yang menjadi padam seketika."
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
184 Kwa Ok Sin berdiri lalu berkata, "Demikianlah persoalan pertama yang kita hadapi. Ternyata bahwa Tu-siucai telah diculik orang jahat yang lihai, entah dengan maksud apa. Oleh karena kita semua sudah mengenal Tu-siucai sebagai seorang sastrawan yang berjiwa gagah, maka sudah menjadi kewajiban kita untuk mempergunakan kepandaian dan mencoba menolong Tu-siucai dari tangan orang jahat."
Warta ini menggirangkan hati Kwan Cu. Tanpa dapat di tahan lagi dia berkata dengan suaranya yang kecil nyaring.
"Penculiknya pasti Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu!"
Semua orang terkejut.
"Eh, anak gundul, bagaimana kau berani menuduh Kak Thong Taisu?" terdengar suara keras dan yang membentak iniadalah Pouw Hong Taisu ketua dari Thian-san-pai yang semenjak tadi memandang kepada Ang-bin Sin-kai dengan mata membenci.
Tak senang hati Kwan Cu mendengar suara yang galak ini, maka dia menjawab dengan suara kasar juga. "Karena hanya si gundul itulah yang mempunyai alasan untuk menculik seorang sastrawan besar!"
"Diam kau, Kwan Cu!" Ang-bin Sin-kai menegur dan ketika guru dan murid ini bertemu pandang, tahulah Kwan Cu akan kesalahannya sendiri. Ia maklum bahwa urusan Im-yang Bu-tek Cin-keng ini tidak perlu diketahui oleh orang lain, maka dia lalu menundukkan muka dan menutup mulut.
Duri Bunga Ju 8 Golok Halilintar Karya Khu Lung Neraka Hitam 4

Cari Blog Ini