Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung Bagian 2
Hong Hoang To. Nah, bukankah engkau akan bertemu dia?"
"Ayah!" Siang Koan Goat Nio tertawa geli. "Siapa tahu anak
mereka perempuan, Ayah dan Ibu pasti jatuh terduduk di
pul?u Hong Hoang To!"
"Kami yakin...," ujar Kwan Gwa Siang Koay mendadak.
"Mereka pasti mempunyai anak laki-laki. Sebab suling pualam
akan berjodoh dengan suling emas, dan itu tidak akan salah."
"Betu!." Kou Hun Bijin tertawa. "Hi hi hi! Tio Cie Hiong
memiliki sebatang suling pualam, pasti diberikan kepada
anaknya." "Heran?" Siang Koan Goat Nio menggeleng-gelengkan
kepala. "Kenapa Ayah, Ibu dan Paman semua terus mendesak
Goat Nio?"
"Kami senang apabila jodohmu adalah anak Tio Cie Hiong,"
sahut Kwan Gwa Siang Koay sambil tertawa. "Ha ha ha...."
-oo0dw0oo- Siang Koan Goat Nio terus ber1atih ginkang, yang diajarkan
Kwan Gwa Siang Koay dan Lak Kui. Tampak bayangannya
berkelebat kesana-kemari laksana kilat. Itu sangat
mengejutkan burung-burung, yang bertengger di dahan, dan
seketika juga burung-burUng itu berterbangan ke udara. Gadis
itu berhenti berlatih, lalu memandang burung-burung itu
sambil berseru.
"Jangan takut, aku cuma berlatih ginkang! Tidak
mengganggU kalian sama sekali! Kalian tidak usah takut!"
Setelah berseru begitu, ia lalu duduk di bawah pohon.
Mendadak ia teringat akan apa yang dikatakan kedua orang
tuanya, dan seketika wajahnya tampak agak kemerahmerahan.
"Aku masih kecil, namun Ayah dan Ibu malah terus
membicarakan perjodohanku serta agak mendesak pula,"
gumam Siang Koan Goat Nio. "Mungkinkah Paman Cie Hiong
mempunyai anak laki-laki?"
Siang Koan Goat Nio kelihatan sedang berpikir, lama sekali
baru mulai bergumam lagi. "Kalau anak laki-laki, benarkah
tampan dan berhati bajik, luhur serta mulia" Apakah jodohku
benar dia?"
Siang Koan Goat Nio mengge1eng~gelengkan kepala,
kemudian tersenyum sambil menepuk keningnya.
"Usiaku baru sembilan tahun, kenapa harus memikirkan
anak laki-laki" Sungguh menggelikan!"
Siang Koan Goat Nio mengeluarkan suling emasnya, lalu
ditiupnya. Begitu lembut dan menggetarkan kalbu alunan
suara suling itu, sehingga burung-burung yang berterbangan
tadi mulai bertengger lagi di dahan, lalu berkicau-kicau
mengiringi alunan suara suling itu.
Berselang beberapa saat, barulah ia berhenti meniup suling
itu, lalu memandang burung-burung yang bertengger di
dahan. "Bagaimana" Sedap didengarkan suara sulingku?"
"Memang sedap didengar." Terdengar suara sahutan, yang
disusul oleh suara tawa yang cekikikan. Kemudian muncullah
Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin.
"Ayah, Ibu!" panggil Siang Koan Goat Nio.
"Hi hi hi!" Kou Hun Bijin tertawa nyaring. "Nak, engkau
memikirkan apa tadi?"
Wajah gadis itu kemerah-merahan. "Goat Nio tidak
memikirkan apa-apa," katanya.
"Jangan bohong!" Kou Hun Bijin menatapnya sambil
tersenyum lembut. "Kami telah mendengar apa yang engkau
gumamkan."
"Itu..." Wajah Siang Koan Goat Nio bertambah merah.
"Ha ha ha! Hi hi hi!" Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin
tertawa. "Mulai berpikir, kan?"
"Gara-gara Ayah dan Ibu sih!" Siang Koan Goat Nio
cemberut. "Pikiran Goat Nio menjadi terganggu!"
"Tidak apa-apa, tidak apa-apa." sahut Kou Hun Bijin sambil
tertawa, "Wajar bagi seorang anak gadis memikirkan anak
laki-laki."
"Bijin!" Kim Siauw Suseng meng-geleng2kan kepala,
"Usianya baru sembilan tahun, belum waktunya dia
memikirkan anak laki-laki."
"Sekarang ayah bisa omong begitu, tapi kenapa tempo hari
terus membicarakan jodoh Goat Nio?" tegur gadis itu.
"Eh" Itu. . . itu. . . ." Kim Siauw Suseng tergagap sambil
melirik Kou Hun Bijin.
"Hi hi!" Kou Hun Bijin tertawa, "Nak, kami hanya
membicarakan, namun tidak menyuruhmu berpikir lho!"
"Ayah dan Ibu terus membicarakan itu, sudah barang tentu
membuat Goat Nio memikirkannya."
"Benar, benar," Kou Hun Bijin manggut-manggut. "Memang
ada baiknya engkau memikirkannya, jadi ibu dan ayahmu pun
punya harapan."
"Harapan apa?" Siang Koan Goat Nio cemberut.
"Itu tuh!" Kou Hun Bijin tertawa nyaring. "Hi hi hi. . . ."
-oo0dw0oo- Bagian Kelima Partai Keadilan
Bagaimana Yo Suan Hiang yang telah meninggalkan pulau
Hong Hoang To menuju ke Tionggoan" Ternyata setibanya di
Tionggoan, ?a langsung ke markas pusat Kay Pang menemui
Lim Peng Hang, ketua partai Pengemis.
Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong menyambut
kedatangannya dengan penuh kegembiraan dan kehangatan.
"Silakan duduk, Suan Hiang!" ucap Lim Peng Hang ramah.
"Terima kasih, Lim Pangcu!" Yo Suan Hiang duduk.
"Bagaimana kabar mereka, yang berada dipulau Hong
Hoang To?" tanya Lim Peng Hang sambil tersenyum.
"Semua baik-baik saja.
"Suan Hiang!" Lim Peng Hang memandangnya. "Bagaimana
keadaan ayahku, apakah baik-baik saja?"
"Beliau baik-baik saja." Yo Suan Hiang tersenyum. "Setiap
hari pasti bermain catur dengan guruku.
"Oooh?" Lim Peng Hang manggut-manggut gembira.
"Suan Hiang," tanya Gouw Han Tiong. "Bagaimana Tio Bun
Yang" Apakah kepandaiannya telah maju pesat?"
"Anak itu memang cerdas sekali" Yo Suan Hiang
memberitahukan "Dia telah menguasai Semua kepandaian
ayahnya." "Oh?" GouW Han Tiong tertawa. "Ayahnya begitu cerdas,
tentunYa dia pasti cerdas pula."
"Kakak Cie Hiong mernang luar biasa," ujar Yo Suan Hiang.
"Sebelum aku berangkat ke mari, dia telah menciptakan ilmu
pedang Cit Loan Kiam Hiat, yang sangat lihay sekali.
"Oh?" Lim Peng Hang tertegUn. "Ilmu Pedang Pusing Tujuh
Keliling?"
"Ya." Yo Suan Hiang mengangguk. "Dia mengajarkan ilmU
pedang tersebut dan Kiu Kiong San Tian Pou.
"Kalau begitu...." Gouw Han Tiong tertawa. "Kepandaianmu
pasti sudah tinggi sekali."
"Tinggi sekali sih tidak, namun dapat menjaga diri," ujar Yo
Suan Hiang merendah.
"Oh ya!" Lim Peng Hang tersenyum seraya berkata, "Suan
Hiang, maukah engkau perlihatkan ilmu pedang Cit Loan Kiam
bat itu?" "TentU mau." Yo Suan Hiang mengangguk sambil bangkit
berdiri. Ia berjalan ketengah-tengah ruangan itu, lalu
menghunus pedangnya dan mulai mempertunjukkan ilmu
pedang tersebut.
Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong menyaksikannya
dengan penuh perhatian, namun kemudian merasa
berkunang~kunang dan pusing. Mereka saling memandang
dengan mata terbelalak.
Berselang sesaat, Yo Suan Hiang berhenti dan kembali ke
tempat duduknya seraya bertanya,
"Bagaimana ilmu pedang Cit Loan Kiam Hoat itu?"
"Sungguh luar biasa!" sabut Lim Peng Hang sambil
menggeleng-gelengkan kepala. "Aku tidak menyangka, kalau
Tio Cie Hiong mampu menciptakan ilmu pedang, yang begitu
dahsyat dan lihay."
"Bukan main itu!" Gouw Han Tiong menghela nafas
panjang, kemudian menambahkan, "Aku yakin Tio Bun Yang
pasti seperti ayahnya."
"Menurut Kakak Cie Hiong, anak itu malah lebih cerdas dan
dirinya" Yo Suan Hiang memberitahukan, "Ceng Im pun bilang
begitu." "Oh?" Lim Peng Hang tertawa. "Benarkah cucuku itu lebib
cerdas dan Cie Hiong?""
"itu memang benar." Yo Suan Hiang mengangguk. "Kaiau
tidak, bagaimana mungkin dia dapat menguasai semua
kepandaian ayahnya" Padahal usianya baru sepuluh tahun."
"Ha ha ha!" Lim Peng Hang tertawa gembira. "Kelak dalam
rimba persilatan akan muncul Seorang pendekar yang gagah
dan berhati bajik lagi!"
"Tidak salah." Gouw Han Tiong manggut-manggut. "Entah
bagaimana dengan cucuku, yang di Tayli?"
"Tentunya berkepandaiannya tinggi juga," sahut Lim Peng
Hang. "Yaah, sayang sekali!" Gouw Han Tiong menghela nafas
panjang. "Seandainya cucuku itu perempuan...."
"Engkau akan menjodohkannya pada cucuku?"
"Benar." Gouw Han Tiong mengangguk. "Tapi... dia adalah
cucu laki-laki, mau bilang apa?"
"Lim Pangcu," tanya Yo Suan Hiang mendadak. "Bagaimana
keadaan rimba persilatan sekarang?"
"Hiat Ih Hwe (Perkumpulan Baju Berdarah) mulai unjuk gigi
terhadap kaum golongan putih, bahkan ada pula yang
dibunuh," jawab Lim Peng Hang memberitahukan sambil
menggeleng-gelengkan kepala. "Setelah Bu Lim Sam Mo mati,
kita semua mengira bahwa rimba persilatan akan aman,
tenang dan damai. Tidak tahunya malah muncul Hiat Ih Hwe!"
"Hingga saat ini tiada seorang pun tahu siapa ketua
perkumpulan itu," ujar Gouw Han Tiong dengan kening
berkerut. "Suan Hiang, menurutmu siapa ketua Hiat Ih Hwe
itu?" "Pasti Lu Thay Kam."
"Lu Thay Kam?" Kening Gouw Han Tiong berkerut lagi.
"Apakah dia memiliki kepandaian tinggi?"
"Kepandaiannya memang tinggi sekali." Yo Suan Hiang
memberitahukan. Kalau tidak salah, dia telah menguasai ilmu
Ie Hoa Ciap Bok (Memindahkan Bunga Menyambung Pohon)."
"Ilmu apa itu?" Gouw Han hong dan Lim Peng Hang
tertegun "Kami belum pernah mendengar tentang ilmu
tersebut."
"Kitab Ie Hoa Ciap Bok disimpan di perpustakaan istana,
dan siapa pun tidak tahu bahwa kitab itu merupakan pelajaran
ilmu silat yang sangat tinggi Pada suatu hari, Lu Thay Kam
memeriksa perpustakaan itu. Ia melihat kitab tersebut, dan
karena tertarik maka dibacanya. Setelah itu, ia pun mengambil
kitab itu dan terus mempelajarinya."
"Tahukah engkau berasal dan mana kitab itu?" tanya Lim
Peng Hang. "Tidak tahu." Yo Suan Hiang menggelengkan kepala dan
melanjutkan, "Setelah berhasil menguasai ilmu itu, mungkin
Lu Thay Kam mendirikan Hiat Ih Hwe guna membunuh para
pembesar, yang setia dan jujur."
"Itu memang mungkin." Lim Peng Hang manggut-manggut,
kemudian menatapnya dalam-dalam seraya bertanya, "Suan
Hiang, apa rencanamu sekarang?"
"Rencanaku adalah membunuh Lu Thay Kam," jawab Yo
Suan Hiang dengan jujur "Tapi sebelumnya aku harus pergi ke
kota Hay Hong menemui para kenalan ayahku untuk
berunding. Karena aku tidak mau berlaku ceroboh."
"Ngmm!" Lim Peng Hang mengangguk. "Suatu tindakan
memang harus diperhitungkan matang-matang. Kalau tidak,
malah akan mencelakai diri sendiri"
"Terima kasih atas nasihat Lim Pangcu!" ucap Yo Suan
Hiang lalu bangkit berdiri. "Maaf, aku mau mohon diri!"
"Suan Hiang," pesan Lim Peng Hang. "Apabila engkau
membutuhkan bantuan, beritahukanlah kepada kami!"
"Terima kasih, Lim Pangcu! Sampai jumpa!" ucap Yo Suan
Hiang lalu meninggalkan markas pusat Kay Pang, dan
langsung menuju kota Hay Hong.
-oo0dw0oo- Beberapa hari kemudian, ketika Yo Suan Hiang mampir di
sebuah kedai teh untuk melepaskan dahaga, muncul beberapa
orang berpakaian merah, dan mereka langsung mendekati Yo
Suan Hiang sambil tertawa-tawa.
"Nona, sendirian nih?" tanya salah seorang dan pemuda
sambil menatapnya kurang ajar "Bagaimana kalau kami
menemanimu?"
"Siapa kalian?" bentak Yo Suan Hiang dingin.
"Ha ha ha!" Orang-orang berpakaian merah itu tertawa
gelak. "Nona belum kenal kami?"
"Aku memang tidak kenal kalian!"
"Kalau begitu...." Salah seorang tadi membusungkan dada
seraya berkata, "Aku memberitahukan, kami adalab anggota
Hiat Ih Hwe."
"Oh?" Yo Suan Hiang tertawa dingin. "Bagus, bagus!"
"Memang bagus! Nah, biar kami menemanimu! Ha-ha-ha!"
"Jangan di sini!" ujar Yo Suan Hiang. "Lebih baik kita ke
tempat yang sepi."
"Ke tempat yang sepi?" tanya orang itu sambil tertawa
gembira. "Ya." Yo Suan Hiang mengangguk.
"Bagus!" Orang itu memandang kawan-kawannya.
"Bagaimana" Kalian mau ikut aku ketempat yang sepi
menemani nona ini?"
"Tentu," sahut kawan-kawannya sambit tertawa gelak.
"Ayo!ah! Mari kita segera ke tempat yang sepi itu!"
"Kalau begitu...." Yo Suan Hiang bangkit berdiri, sekaligus
membayar minumannya lalu melangkah pergi.
Orang-orang berpakaian merah segera mengikutinya dan
belakang sambil berbisik-bisik, dan wajah mereka tampak
berseri. "Karena aku maka dia mau ke tempat yang sepi, jadi aku
yang harus lebih dulu bersenang-senang dengan dia."
"Tidak apa-apa. Yang penting kami dapat bagian. Tapi...
apakah dia kuat melayani kita semua?"
"Kuat atau tidak, pokoknya dia harus melayani kita. Ha ha
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ha!" Tak seberapa lama kemudian, mereka sudah sampai di
tempat yang sepi. Yo Suan Hiang membalikkan badannya, lalu
menatap mereka dengan dingin sekali.
Tempat ini memang cocok sekali untuk kalian," ujarnya
sambil menghitung, "Satu, dua tiga, empat, lima! Kalian
berlima boleh maju serentak!"
"Apa"!" Kelima orang itu tertegun. "Kami maju serentak"
Apakah Nona kuat melayani kami?"
"Hm!" dengus Yo Suan Hiang dingin sekaligus menghunus
pedangnya. "Kalian semua harus mampus di sini!"
"Eh?" Mereka terperanjat. "Siapa kau?"
"Kalian tidak perlu tahu!" bentak Yo Suan Hiang. "Cepatlah
kalian keluarkan senjata masing-masing!"
Kelima orang itu saling memandang, kemudian
mengeluarkan senjata masing~maSing.
"Lihat serangan!" bentak Yo Suan Hiang sekaligus
menyerang mereka. Ia mengeluarkan ilmu pedang Cit Loan
Kiam Hoat dengan jurus Ban Kiam Hui Thian (Selaksa Pedang
Terbang Ke Langit). Tampak pedangnya berkelebatan laksana
kilat, dan seketika juga terdengar suara jeritan yang menyayat
hati. "Aaakh! Aaaakh! Aaaakh...!"
Kelima orang itu berlumuran darah. Mereka memandang Yo
Suan Hiang dengan mata terbelalak, kemudian roboh dan
nyawa mereka pun melayang seketika.
Setelah kelima orang itu roboh, Yo Suan Hiang melesat
pergi, dan mayat-mayat itu dibiarkannya tergeletak begitu
saja. -oo0dw0ooTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
Yo Suan Hiang memasuki kota Hay Hong disaat hari sudah
mulai sore. Ketika ia sedang berjalan, tiba-tiba seseorang
menghampirinya seraya berbisik.
"Engkau adalah Nona Yo Suan Hiang, putri almarhum Yo
Huai An?" "Anda. . .?" Yo Suan Hiang tersentak.
"Aku kenalan ayahmu. Mari ikut aku!" bisik orang itu sambil
melangkah pergi.
Yo Suan Hiang mengerutkan kening, namun tetap
mengikuti orang tersebut dengan was-was.
Berselang beberapa saat, orang itu memasuki sebuah
bangunan tua, dan Yo Suan Hiang terus mengikutinya.
Setelah berada di dalam bangunan tersebut, orang itu
mendekati dinding lalu menekan sebuah tombol kecil. Seketika
dinding itu terbuka, ternyata sebuah pintu rahasia.
"Nona Yo, mari ikut aku ke dalam!" ajak orang itu dan
melangkah ke dalam.
Yo Suan Hiang mengikutinya, dan kemudian pintu rahasia
itu pun tertutup kembali. Di saat bersamaan, muncullah
belasan orang. "Paman Tan!" seru Yo Suan Hiang girang.
Ternyata ia mengenali salah seorang tua berusia lima
puluhan. Orang itu bernama Tan Ju Liang, bekas pengawal
ayahnya. "Nona Yo!" Tan Ju Liang memberi hormat. "Silakan duduk!"
"Terima kasih, Paman Tan!" ucap Yo Suan Hiang sambil
duduk. "Oh ya, orang itu...."
"Dia muridku, yang kuutus jemput Nona." Tan Ju Liang
memberitahukan.
"Kok Paman Tan tahu kehadiranku di kota ini?" tanya Yo
Suan Hiang heran.
"Salah seorang anak buahku melihatmu, lalu segera ke
mari melapor kepadaku, maka kusuruh muridku itu pergi
menjemputmu ke mari." Tan Ju Liang memberitahukan,
kemudian memandangnYa seraya bertanya, "Engkau ke mana
setelah ayahmu meninggal?"
"Aku pergi ke markas pusat Kay Pang, lalu ke pulau Hong
Hoang To belajar ilmu silat, tujuanku untuk membalas
dendam," jawab Yo Suan Hiang dan menambahkan, "Aku
datang di kota ini justru ingin menemui para kenalan ayahku
untuk berunding. Sungguh kebetulan aku bertemu Paman di
sini!" "Oooh!" Tan Ju Liang manggut-manggut. "Para kenalan
ayahmu tersebar di mana-mana. Kini engkau telah ke mari,
maka akan kusuruh munidku pergi menghubungi mereka."
"Terima kasih, Paman Tan!" ucap Yo Suan Hiang.
"Tiang Him," ujar Tan Ju Liang kepada muridnya. "Cepatlah
engkau pergi menghubungi mereka, malam ini mereka harus
sampai di sini!"
"Ya, Guru." Cu Tiang Him memberi hormat lalu
meninggalkan ruang itu.
"Nona Yo!" Tan Ju Liang menatapnya seraya bertanya,
"Bagaimana kepandaianmu sekarang, apakah sudah tinggi
sekali?" "Cukup tinggi," jawab Yo Suan Hiang.
"Karena menyangkut urusan yang sangat penting, maka
aku akan menguji kepandaianmu. Eng- kau tidak
berkeberatan, kan?"
"Tentu tidak."
"Kalau begitu, mari ketengah-tengah ruangan!" Tan Ju
Liang melangkah ke sana, dan Yo Suan Hiang mengikutinya.
Mereka berdua berdiri berhadapan. Tan Ju Liang
menatapnya sambil tersenyum dan berkata, "Nona Yo,
sebelumnya aku mohon maaf, Sebab aku terpaksa harus
menguji kepandaianmu!"
"Tidak apa-apa." Yo Suan Hiang tersenyum. "Jadi begini
saja, aku berdiri di sini, Paman Tan boleh menyerangku."
"Oh?" Tan Ju Liang tertegun.
"Paman Tan, silakan mengeluarkan senjata, aku akan
melayani Paman dengan tangan kosong!" ujar Yo Suan Hiang.
"Nona Yo!" Tan Ju Liang menggeleng~gelengkan kepala.
"Jangan dianggap main-main lho!"
"Aku tidak main-main."
"Kalau begitu...." Tan Ju Liang mengerutkan kening sambil
menghunuS pedangnya. "Nona Yo, hati-hati!"
Yo Suan Hiang tersenyum-SenyUm~ dan tetap berdiri
tegak di tempat. Itu membuat terbelalak yang lain, sebab
kepandaian Tan Ju Liang cukup tinggi.
"Paman Tan, jangan ragu! Seranglah aku!" ujar Yo Suan
Hiang karena melihat Tan Ju Liang ragu menyerangnya.
"Baiklah?" Tan Ju Liang mengangguk, lalu mendadak
menyerang Yo Suan Hiang dengan pedangnYa.
"Paman Tan," ujar Yo Suan Hiang sambil berkelit.
"Pergunakan ilmu pedang andalan Paman, jangan
menggunakan jurus-jurus biasa!"
"Tapi...." Tan Ju Liang tampak masih ragu.
"Percayalah kepadaku!" ujar Yo Suan Hiang mendesaknya.
"Paman Tan harus menyerangku dengan sungguh~sunggu~
bahkan harus pula mengeluarkan ilmu pedang andalan!"
Tan Ju Liang berpikir sejenak, kemudian manggut.manggut
seraya berkata serius, "Baiklah! Kalau begitu, engkau barus
berhati-hati!"
"Ya." Yo Suan Hiang tersenyum. "Seranglah!"
Tan Ju Liang mulai mengerahkan lweekangnya, lalu
mendadak menyerang Yo Suan Hiang dengan Soan-long Kiam
Hoat (Ilmu Pedang Angin Puyuh), mengeluarkan Jurus Soan
Hong Soh Te (Angin Puyuh Menyapu Bumi)
Pedang itu berkelebatan dan mengarah ke Yo Suan Hiang,
dan menimbulkan suara gemuruh. Sungguh dahsyat dan lihay
ilmu pedang tersebut, sahingga yang menyaksikan menjadi
tegang Seketika.
Akan tetapi, tiba-tjba Yo Suan Hiang lenyap dan pandangan
Tan Ju Liang, itu membuatnya terheran-heran
"Paman Tan!" Terdengar suara Yo Suan Hiang di
belakangnya. "Aku berada di sini!"
Kini sadarlah Tan Ju Liang, bahwa Yo Suan Hiang
berkepandaian tinggi. Maka, ia segera membalikkan
badannya, sekaligus menyerang Yo Suan Hiang dengan jurus
Soan Hong Loan Hai (Angin Puyuh Mengaduk Laut).
Mendadak badan Yo Suan Hiang berputar-putar
melambung ke atas, sehingga Tan Ju Liang menyerang
tempat kosong. Jago tua itu penasaran, kemudian bersiul
panjang sambil menyerang Yo Suan Hiang. Kali ini ia
mengeluarkan jurus yang paling dahsyat dan lihay, yaitu jurus
Soan Hong Cien San (Angin Puyuh Memindahkan Gunung).
Terdengarlah suara gemuruh, pedang itu berkelebatan
mengurung sekujur badan Yo Suan Hiang.
Pada saat bersamaan, terdengar pula suara tawa yang
amat nyaring, dan tampak badan Yo Suan Hiang berkelebat
laksana kilat. Setelah itu kembali diam di tempat semula,
sedangkan Tan Ju Liang berdiri terperangah dengan mulut
ternganga lebar. Ternyata pedangnya telah berpindah ke
tangan Yo Suan Hiang.
"Nona Yo! Bukan main...," ujarnya kagum. Terdengar pula
tepuk sorak yang riuh gemuruh.
"Maaf, Paman Tan!" Ucap Yo Suan Hiang sambil
mengembalikan pedang itu.
"Nona Yo!" Tan Ju Liang menatapnya terbelalak. "Aku tidak
menyangka, kalau kepandaianmu begitu tinggi. Kini legalah
hatiku." "Paman Tan...." Yo Suan Hiang merendahkan diri.
"Kepandaianku tidak begitu tinggi, tetapi Paman yang
mengalah kepadaku."
"Ha ha ha!" Tan Ju Liang tertawa gembira. "Nona Yo,
kepandaianmu memang tinggi sekali. Aku kagum kepadamu."
"Paman Tan...." Wajah Yo Suan Hiang kemerah-merahan.
"Nona Yo, mari kita duduk!" ajak Tan Ju Liang. Kemudian ia
pun memperkenalkan kawan-kawannya.
"Nona Yo!" seru kawan-kawan Tan Ju Liang. "Kami semua
pasti setia kepadamu, kita harus menumpas Hiat Ih Hwe!"
"Terima kasih! Terima kasih..." ucap Yo Suan Hiang
terharu. "Kita semua harus bersatu demi menumpas Hiat Ih
Hwe." "Setuju!" seru mereka semua dengan penuh semangat.
"Kita harus menumpas Hiat Ih Hwe!"
-oo0dw0oo- Setelah larut malam, Cu Tiang Him pulang bersama belasan
orang, yang terdiri dari orang tua, anak muda dan beberapa
wanita berusia empat puluhan.
"Kami memberi hormat pada Nona Yo!" ucap mereka
serentak sambil memberi hormat.
"Jangan sungkan-sungkan!" sabut Yo Suan Hiang sambil
tersenyum. "Silakan duduk!"
"Terima kasih!" Mereka segera duduk. Ternyata di antara
mereka terdapat mantan pengawal almarhum calon mertua Yo
Suan Hiang. "Kawan-kawan!" Tan Ju Liang mulai membuka mulut.
"Perlu kalian ketahui, bahwa kini Nona Yo sudah
berkepandaian tinggi. Terus terang, aku telah menguji
kepandaiannya. Aku menyerangnya dengan ilmu pedang Soan
Hong Kiam Hoat, tapi dengan mudah sekali dia merebut
pedangku."
Belasan orang itu saling memandang, kelihatannya mereka
tidak begitu percaya. Tan Ju Liang tertawa, kemudian ujarnya
sungguh-sungguh.
"Aku tahu saudara Lim berkepandaian tinggi, maka kurang
percaya akan apa yang kukatakan barusan. Namun saudara
Lim boleh mengujinya."
"Paman Tan...." Yo Suan Hiang mengerutkan kening.
"Nona Yo," ujar Tan Ju Liang. "Biar bagaimana pun engkau
harus memperlihatkan kepandaianmu, agar mereka yakin dan
mempercayaimu. Yo Suan Hiang berpikir lama sekali, kemudian dalam hati ia
mengakui akan kebenaran ucapan Tan Ju Liang, karena itu ia
segera berjalan ke tengah-tengah ruangan."Paman-paman,"
ujarnya tanpa memperlihatkan keangkuhan. "Aku bersedia
diuji." "Ha ha ha! Bagus!" Lim Cin An menghampiri Yo Suan
Hiang. "Maaf, Nona Yo, aku terpaksa harus menguji
kepandaianmu!"
"Silakan Paman Lim!" sahut Yo Suan Hiang.
"Baik." Lim Cin An menghunus pedangnya."Nona Yo,
engkau menggunakan senjata apa?"
"Pedang," ujar Yo Suan Hiang sambil menghunus
pedangnya. Apabila ia melayani Lim Cin An dengan tangan
kosong, tentu akan menyinggung perasaan orang tua itu.
"Paman Lim, silakan menyerang!"
"Hati-hati!" Lim Cin An mengingatkannya,lalu mulai
menyerang Yo Suan Hiang dengan ilmu pedang biasa.Yo Suan
Hiang berkelit tanpa balas menyerang, sedangkan Tan Ju
Liang tersenyum-senyum.
"Saudara Lim! Serang dia dengan ilmu pedang andalanmu,
jangan ragu!" seru Tan Ju Liang.
Lim Cin An mengerutkan kening, kemudian mulai
menyerang Yo Suan Hiang dengan ilmu pedang andalannya,
yakni Hui Yun Kiam Hoat (Ilmu Pedang Lawan Terbang)
dengan mengeluarkan jurus Pek Yun Phiau-Phiau (Awan Putih
Berterbangan).Pedang Lim Cin An terus berputar bagaikan
gulungan awan mengarah ke pinggang Yo Suan Hiang jurus
itu memang dabsyat dan lihay. Akan tetapi, mendadak badan
Yo Suan Hiang berkelebat laksana kilat, tahu-tahu sudah
berada dibelakang mantan pengawal istana berusia lima
puluhan itu. Betapa terkejutnya Lim Cin An! Tanpa melihat ia Iangsung
menyerang ke belakang dengan jurus lui Yun Kai Goat (Awan
Terbang Menutupi Bulan), menyusul lagi jurus Pek Yun Te
(Awan Putih Menutupi Bumi). Perlu diketahui, kedua jurus itu
merupakan jurus-jurus simpanannya, yang jarang sekali
dikeluarkan, kecuali menghadapi lawan tangguh.
Tentu saja sangat mengejutkan Tan Ju Liang, Cu Tiang Him
dan penonton lainnya.
Namun mendadak Yo Suan Hiang bersiul panjang,
kemudian pedangnya bergerak cepat sekali dan aneh pula. Itu
membuat mata Lim Cin An berkunang-kunang dan merasa
pusing. Ternyata Yo Suan Hiang mengeluarkan Cit Loan Kiam
Hoat dengan jurus Ouw Thian Am Te (Langit Hitam Bumi
Gelap). Serrt! Serrt! Serrrrrt...! Terdengar suara sobekan.
"Haaah...!" Seru Lim Cin An kaget dan termundur-mundur.
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wajahnya pucat pias dan menatap Yo Suan Hiang dengan
mata terbelalak. Suasana diruang itu pun menjadi hening
sekali. Memang mengejutkan, sebab pakaian Lim Cin An terdapat
belasan lubang. Dapat dibayangkan, betapa dahsyat dan
lihaynya ilmu pedang yang digunakan Yo Suan Hiang.
"Maaf, Paman Lim!" ucap Yo Suan Hiang.
"Ha ha ha!" Lim Cin An tertawa gelak setelah hilang rasa
kagetnya. "Nona Yo, kepandaianmu memang tinggi sekali, aku
tunduk kepadamu."
"Paman Lim terlampau mengalah" ujar Yo Suan Hiang
sambil tersenyum.Bukan main kagumnya Cu Tiang Him
terhadap Yo Suan Hiang, Ia sama sekali tidak menduga bahwa
wanita muda itu berkepandaian begitu tinggi, sehingga
membuatnya menatap Yo Suan Hiang dengan mata berbinarbinar.
"Ha ha ha!" Tan Ju Liang tertawa. "Mari kita duduk semua,
karena Nona Yo ingin berunding dengan kita"
"Semuanya duduk sekaligus memandang Yo Suan Hiang
dengan penuh kekaguman, dan mereka tampak tunduk
kepadanya. "Nona Yo, kira-kira apa yang akan dirundingkan?" tanya
Lim Cin An. "Maaf, aku ingin bertanya! Kegiatan apa yang kalian
lakukan selama ini?" Yo Suan Hiang balik bertanya.
"Terus terang, kami melakukan pemberontakan" Lim Cin An
memberitahukan dengan jujur, "Tapi. . . pihak Hiat Ih Hwe
selalu berusaha membunuh kami."
"Oooh!" Yo Suan Hiang manggut-manggut. "Kalian semua
berjumlah berapa orang?"
"Cuma dua puluh lima orang."
"Paman Lim, aku mempunyai suatu ide."
"Ide apa?" tanya Lim Cin An dan Tan Ju Liang serentak.
"Bagaimana kalau kita mendirikan sebuah partai?" Yo Suan
Hiang menatap mereka. "Kalian setuju?"
"Tentu setuju." Lim Cin An mengangguk.
"Tapi. kita cuma berjumlah dua puluh lima orang.
"Tidak jadi masalah." Yo Suan Hiang tersenyum. "Sebab
kelak pasti ada pesilat golongan putih bergabung dengan
kita." "Benar." Tan Ju Liang manggut.manggut.
"Nona Yo ingin mendirikan partai apa?"
"Tiong Ngie Pay (Partai Keadilan)," jawab Yo Suan Hiang
sungguh-sungguh dan menambahkan, "Khususnya menumpas
Hiat Ih Hwe, sebab kalau perkumpulan ini tidak ditumpas,
nyawa para pejuang pun terancam?"
"Tidak salah." Lim Cin An mengangguk. "Kita tidak berniat
menumbangkan Dinasti Beng, hanya membasmi para Thay
Kam jahat dan para menteri, yang bersekongkol dengan
bangsa Boan (Manchuria)."
"Benar." Tan Ju Liang manggut-manggut. "Biar bagaimana
pun, kita harus mempertahankan Dinasti Beng, jangan sampai
Tionggoan dijajah oleb bangsa Boan."
"Oleh karena itu...," ujar Yo Suan Hiang melanjutkan, "Kita
harus memilih seorang ketua dan wakil, aku memilih Paman
Lim dan Paman Tan...."
"Tidak bisa," sahut Lim Cin An dan Tan Ju Liang.
"Kenapa?" tanya Yo Suan Hiang heran.
"Kepandaian kami jauh di bawah kepandaianmu, maka
alangkah baiknya..." Lim Cin An menatap Yo Suan Hiang.
"Nona Yo yang harus menjadi ketua."
"Benar," sambung Tan Ju Liang.
"Itu tidak boleh." Yo Suan Hiang menggelengkan kepala.
"Justru boleb," sahut Lim Cin An sambil tertawa. "Karena
Nona Yo putri mantan menteri, yang amat setia, maka pantas
menjadi ketua?"
"Tapi "Yo Suan Hiang tampak ragu.
"Kawan-kawan" seru Tan Ju Liang bertanya. "Bagaimana
menurut kalian, setuju atau tidak kalau Nona Yo menjadi
ketua Tiong Ngie Pay?"
"Setuju," sahut mereka semua, dan suara Cu Tiang Him
yang paling kencang "Kami semua mendukung."
"Nah!" Tan Ju Liang tertawa. "Nona Yo, jangan menolak
lagi!" "Baiklah" Yo Suan Hiang mengangguk "Malam ini
k?resmikan berdirinya Tiong Ngie Pay!"
"Hidup Tiong Ngie Pay! Hidup Tiong Ngie Pay!" seru semua
orang dengan penuh semangat.
Setel?h suara seruan itu sirna, barulah Yo Suan Hiang
membuka mul?t dengan wajah serius. "Kalian semua harus
bersumpah setia kepada Tiong Ngie Pay, dan senang susah
harus kita pikul bersama!"
"Ya." Mereka mengangguk lalu mengangkat sumpah "Kami
semua bersumpah setia kepada Tiong Ngie Pay, hidup dan
mati demi Tiong Ngie Pay! Apabila kami berkhianat, pasti mati
secara mengenaskan!"
"Bagus!" Yo Suan Hiang manggut.manggut gembira.
"Kalian semua harus ingat! Para anggota Tiong Ngie Pay
dilarang melakukan kejahatan. Siapa yang melakukan
kejahatan harus dihukum."
"Ya," sahut mereka semua "Apabila kami melakukan
kejahatan, kami bersedia dihukum mati!"
"Terima kasih" ucap Yo Suan Hiang lalu bertanya kepada
Tan Ju Liang. "Paman Tan, apakah tempat ini aman dan
rahasia?" "Sangat aman dan rahasia," jawab Tan Ju Liang dan
me?ambahkan, "Bahkan di luar pun telah dipasang berbagai
macam jebakan."
"Bagus!" Yo Suan Hiang manggut-manggut. "Oh ya, ada
berapa ruangan dalam bangunan ini?"
"Lebih dari sepuluh ruangan." Tan Ju Liang
memberitahukan, "Dan setiap ruangan telah dipasang pintu
rahasia dan jebakan."
"Luar biasa!" Yo Suan Hiang kagum sekali. "Paman Tan,
siapa yang~ membikin itu semua?"
"Saudara Kim,"sahut Tan Ju Liang.
"Paman Kim!" seru Yo Suan Hiang.
Seketika juga seorang tua berusia enam puluhan, tampil
dan memberi hormat kepada Yo Suan Hiang.
"Ada perintah apa, Ketua?" tanyanya hormat.
Mulai saat ini engkau kuangkat sebagai pelindung markas!"
sahut Yo S?an Hiang. "Sebab bangunan ini akan dijadikan
markas Tiong Ngie Pay."
"Terima kasih, Ketua!" ucap Kim Han Siong.
"Paman Kim,si1akan duduk kembali!" ujar Yo Suan Hiang.
"Terima kasih, Ketua!" Kim Han Siong duduk kembali.
"Mulai sekarang...," ujar Yo Suan Hiang lantang. Paman
Tan kuangkat sebagai wakil ketua, sedangkan Paman Lim
sebagai pelaksana hukum."
"Terima kasih, Ketua!" ucap kedua orang itu serentak.
"Paman Kim," pesan Yo Suan Hiang. "Mulai besok harus
memperhatikan tempat-tempat di sekitar bangunan ini."
"Ya, Ket?a." Kim Han Siong mengangguk. "Aku pasti
memasang berbagai macam jebakan disekitar bangunan ini,
agar tidak gampang diserbu musuh."
"Bagus!" Yo Suan Hiang manggut~manggut, kemudian
berkata dengan serius. "Terus terang, kepandaian kalian
masih rendah. Oleh karena itu, mulai besok kalian harus giat
berlatih. Untuk sementara ini jangan berurusan dengan pihak
"Hiat Ih Hwe, sebab kalian harus memperdalam ilmu silat
masing-masing!"
"Terima kasih, Ketua!" sahut para anggot? itu serentak.
"Paman Tan, Paman Lim dan Saudara Cu," ujar Yo Suan
Hiang. "Mulai besok aku akan mengajar kalian ilmu silat
tingkat tinggi"
"Terima kasih, Ketua!" ucap mereka bertiga, dan yang
paling gembira adalah Cu Tiang Him.
"Cu Tiang Him!" panggil Yo Suan Hiang mendadak.
"Ya," sahut Cu Tiang Him sambil memberi hormat. "Ada
perintah apa, Ketua?"
"Engkau kuangkat sebagai kepala regu, maka engkau harus
mengajar mereka ilmu silat yang kuajarkan kepadamu,"sahut
Yo Suan Hiang. "Ya, Ketua." Cu Tiang Him memberi hormat.
"Paman Tan," ujar "Yo Suan Hiang. "Harus diatur beberapa
ruangan untuk mereka, sebab sementara ini mereka harus
tinggal di sini untuk memperdalam ilmu silat masing-masing."
"Baik, Ketua." Tan Ju Liang mengangguk. "Akan kuatur itu,
dan harus ada kamar khusus untuk Ketua."
"Terima kasih, Paman Tan!" ucap Yo Suan Hiang sambil
tersenyum. "Tiang Him," pesan Tan Ju Liang. "Aturlah mereka ke ruang
tengah!" "Ya, Guru." Cu Tiang Him rnengangguk.
"Ketua," ujar Tan Ju Liang hormat. "Mari ikut aku ke
dalam!" "Terima kasih, Paman Tan!" ucap Yo Suan Hiang dan
kemudian mengikuti Tan Ju Liang kedalam. Sejak malam itu,
lahirlah Tiong Ngie Pay (Partai Keadilan) dalam rimba
persilatan. -oo0w0oo- Jilid 2 Bagian Ke Enam Mengabdi pada Lu Thay Kam.
Lie Man Chiu, yang meninggalkan anak isteri itu terus
melakukan perjalanan. Ia telah melupakan anak isterinya yang
di Pulau Hong Hoang To, juga melupakan wejangan-wejangan
Tayli Lo Ceng, gurunya.
Sejak Bu Lim Sam Mo mati di tangan Tio Cie Hiong, hati Lie
Man Chiu terganjel sesuatu. Ternyata ia merasa dengki
terhadap Tio Cie Hiong, yang disanjung-sanjung kaum rimba
persilatan. Namun karena pada waktu itu ?a sangat mencintai
Tio Hong Hoa, maka ikut ke Pulau Hong Hoang To, sekaligus
melangsungkan pernikahan di pulau tersebut.
Akan tetapi, rasa dengkinya terhadap Tio Cie Hiong
semakin menjadi, karena semua orang sangat menghormati
Ti? Cie Hiong. Padahal ?a sudah mempunyai seorang putri,
namun dengkinya justru membangkitkan ambisinya, yakni
harus menyamai Tio Cie Hiong. Karena itulah ?a mengambil
keputusan harus meninggalkan anak isteri, demi mengorbitkan
namanya agar tenar dalam rimba persilatan.
Lie Man Chiu melakukan perjalanan dari desa ke desa, dan
kota ke kota, akhirnya tiba di kota, yang indah dan penuh
dengan bangunan mewah. Menyaksikan keadaan itu, ?a sangat
tertarik akan kemewahan dan kesenangan hidup.
Ketika ia berjalan santai di pinggir jalan, tiba-tiba para
penduduk ibu kota minggir semua.
Ternyata muncul pasukan pengawal istana, dan tampak
empat pengawal menggotong sebuah tandu mewah.
Seketika para penduduk ibu kota memberi hormat ke arah
tandu itu, tentunya membuat Lie Man Chiu terheran-heran.
Namun ?a yakin, bahwa yang duduk di dalam tandu itu pasti
pejabat tinggi. Timbullah suatu perasaan aneh dalam hatinya,
yakni ingin rasanya duduk di dalam tandu mewah itu dan
dihormati semua orang.
Di saat bersamaan, mendadak muncul tiga orang berusaha
mendekati tandu mewah itu. Sudah barang tentu mereka
dihadang oleh para pengawal istana itu, sehingga terjadilah
pertempuran sengit.
"Kami adalah anggota Tiong Ngie Pay, harus menumpas
Thay Kam jahat!" teriak ketiga orang itu sambil menyerang
para pengawal istana.
Ketiga orang itu memang berkepandaian tinggi. Terbukti
para pengawa! istana itu mulai kewalahan melawan mereka,
bahkan sudah ada yang mati pula.
Sementara Lie Man Chiu manggut-manggut sambil
menyaksikan pertempuran itu, sekaigus membatin. "Inilah
kesempatanku untuk berkenalan dengan para pejabat tinggi
itu, siapa tahu kelak aku Juga akan menjadi pejabat tinggi!"
Seusai membatin, ?a tersenyum sambil melesat ke arah
ketiga orang itu. "Sungguh berani kalian ingin membunuh
pejabat kerajaan!" bentaknya.
"Siapa Anda?" tanya salah seorang dan mereka sambil
mengerutkan kening.
"Kalian tidak perlu tahu aku siapa!" bentak Lie Man Chiu
dingin, "Anda harus tahu, kami adalah anggota Tiong Ngie Pay!"
orang itu memberitahukan.
"Aku tidak perduli!" sahut Lie Man Chiu dan menambahkan
sambil menghunus Thian Liong Po Kiam (Pedang Pusaka Naga
Kahyangan). "Kalian bertiga harus mampus!"
Ketiga orang itu saling memandang, kemudian menyerang
Lie Man Chiu serentak. Lie Man Chiu tertawa dingin. Ia
menangkis sekaligus balas menyerang dengan pedang
pusakanya. Sementara gordyn tandu mewah itu terbuka sedikit, dan
tampak sepasang mata menyorot tajam ke arah Lie Man Chiu.
"Aaaakh! Aaakh! Aaaakh...!" Terdengar suara jeritan.
Ternyata ketiga orang itu telah roboh bermandi darah, dan
nafas mereka pun putus seketika.
"Terima kasih, hiapsu (Pendekar)!" ucap komandan
pengawal istana sambil memberi hormat.
"Sama-sama," sahut Lie Man Chiu dan balas memberi
hormat. "Hiapsu, Anda harus menemui majikan kami," ujar
komandan pengawal istana sambil tersenyum.
"Terima kasih!" ucap Lie Man Chiu kemudian mengikutinya.
"Lu Kong Kong!" lapor komandan pengawal istana sambil
memberi hormat ke arah t?ndu itu.
"Hiapsu ini tetah membantu kita membunuh tiga orang
Tiong Ngie Pay."
Lie Man Chiu tersentak ketika mendengar komandan
pengawal istana memanggil Lu Kong Kong kepada orang yang
di dalam tandu. Karena ia telah mengetahui Lu Thay Kam,
yang sangat berkuasa itu, maka segeralah ia memberi bormat.
"Hamba memberi hormat kepada Lu Kong Kong!"
"Ha ha ha!" Terdengar suara tawa gelak didalam tandu.
"Bagus, bagus! Engkau telah berjasa, maka engkau boleh ikut
ke tempat tinggalku! Berangkat!"
Para pengawal istana langsung berjalan, dan Lie Man Chiu
berjalan di sisi tandu dengan wajah berseri. Ia sama sekali
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak menyangka bahwa akan bertemu Lu Thay Kam tersebut,
dan timbul pula suatu harapan dalam hatinya.
-oo0dw0oo- Mereka telah sampai di tempat tinggal Lu Thay Kam, yakni
istana bagian barat. Tempat tinggal Lu Thay Kam itu sangat
megah. Di hal?mannya tampak taman bunga yang indah,
sehingga Lie Man Chiu terpesona begitu melihatnya.
Lu Thay Kam melangkah turun dan tandu, kemudian
menatap tajam ke arah Lie Man Chiu. Setelah itu, barulah ia
melangkah memasuki istana seraya berkata, "Mari ikut aku!"
"Ya, Lu Kong Kong." Lie Man Chiu memberi hormat
kemudian mengikutinya, dan para pengawal langsung
memberi hormat kepada mereka.
Lu Thay Kam mengajak Lie Man Chiu ke sebuah ruangan
yang sangat besar, kemudian setelah duduk barulah
menyuruh Lie Man Chiu duduk.
"Terima kasih!" ucap Lie Man Chiu sambil duduk.
"Siapa namamu?" tanya Lu Thay Kam sambil menatapnya
tajam. "Nama hamba Lie Man Chiu," jawabnya memberitahukan.
"Hamba sudah yatim piatu."
"Kenapa engkau mau membantu para pengawal istana
membunuh para anggota Tiong Ngie Pay itu?"
"Karena mereka berniat coba-coba membunuh Lu Kong
Kong, maka hamba harus turun tangan membunuh mereka.
"Bagus, bagus! Ha ha ha!" Lu Thay Kam tertawa gelak.
"Hatimu cukup kejam, sungguh mengagumkan!"
"Terima kasih atas pujian Lu Kong Kong!" ucap Lie Man
Chiu sambil memberi hormat.
"Lie Man Chiu!" panggil Lu Kong Kong berwibawa.
"Ya, Lu Kong Kong," sahut Lie Man Chiu cepat.
"Tentunya engkau ingin hidup senang dan mewah, bukan?"
Lu Thay Kam menatapnya dalam-dalam.
"Hamba berterima kasih sekali, apabila Lu Kong Kong
bersedia mengatur itu untuk bamba."
"Ha ha ha!" Lu Thay Kam tertawa gelak. "Jadi engkau ingin
mengabdi kepadaku" Terus teranglah!"
"Ya, Lu Kong Kong."
"Ngmm!" Lu Thay Kam manggut~manggut.
"Kepandaianmu cukup tinggi, kebetulan aku memang
membutuhkan seorang pembantu."
"Terima kasih, Lu Kong Kong!" Lie Man Chiu girang bukan
main. "Engkau jangan bergirang dulu!" tandas Lu Thay Kam dan
melanjutkan, "Sebab tidak gampang engkau menjadi
pembantuku."
"Kenapa?"
"Kalau engkau mampu menyambut tiga jurus seranganku,
barulah kuterima sebagai pembantu?"
"Lu Kong Kong, hamba bersedia menerima tiga jurus
serangan Lu Kong Kong."
"Ha ha ha!" Lu Thay Kam .tertawa gelak. "Berhati-hatilah!"
"Ya, Lu Kong Kong." Lie Man Chiu mengangguk, lalu
berjalan ke tengah-tengah ruangan itu.
Lu Thay Kam bangkit berdiri, kemudian berjalan perlahanlahan
mendekati Lie Man Chiu. "Aku akan menyerangmu
dengan pukulan, engkau boleh berkelit maupun menangkis."
Lu Thay Kam memberitahukan. "Apabila engkau sanggup
menerima tiga jurus pukulanku, maka kuterima engkau
sebagai pembantu."
"Ya, Lu Kong Kong."
"Hati-hati!" Lu Thay Kam mengingatkannya sambil
menyerang. "Jurus pertama!"
Lie Man Chiu segera mengerahkan Hud Bun Pan Yok Sin
Kang, sekaligus berkelit. Akan tetapi, Lu Thay Kam pun
menyerangnya lagi.
Kali ini Lie Man Chiu tidak sempat berkelit, maka terpaksa
menangkis pukulan yang dilancarkan Lu Thay Kam.
"Daaar..." Terdengar suara benturan keras.
Lu Thay Kam tetap berdiri di tempat, sedangkan Lie Man
Chiu terhuyung~hUyUng ke belakang beberapa langkah.
"Bagus!" Lu Thay Kam tertawa. "LweekangmU cukup
dalam! Coba sambut jurus terakhir ini!"
Betapa terkejutnya Lie Man Chiu ketika menangkis pukutan
Lu Thay Kam, karena ia merasa dadanya sesak Kim Lu Thay
Kam menyerangnya lagi, Lie Man Chiu segera mengerahkan
Hud Bun Pan Yok Sin Kang hingga ke puncaknya, lalu
menangkis dan terdengarlah suara benturan keras.
Daaar...! Lu Thay Kam terhuyung-huyung selangkah ke belakang,
tapi sebaliknya Lie Man Chiu malah terpental beberapa depa,
namun tidak mengalami luka dalam.
"Ha ha ha!" Lu Thay Kam tertawa gelak. "Bagus, bagus!
Ternyata engkau sanggup menerima tiga jurus pukulanku,
maka kuterima engkau sebagai pembantu."
"Terima kasih, Lu Kong Kong!" ucap Lie Man Chiu dengan
wajah berseri, tapi terkejut bukan main dalam hati, karena
tidak menyangka kalau Lu Thay Kam berkepandaian begitu
tinggi. "Duduk!ah!" ujar Lu Thay Kam setelah duduk di kursi
kebesarannya. "Terima kasih, Lu Kong Kong!" Lie Man Chiu segera duduk.
"Lweekangmu cukup dalam," ujar Lu Thay Kam sambil
menatapnya tajam. "Tapi engkau harus tahu, bahwa aku
cuma mengerahkan tujuh bagian lweekangku, Apabila
kukerahkan seluruhnya, engkau pasti sudah jadi mayat."
"Ya." Lie Man Chiu mengangguk.
"Engkau sebagai pembantuku, tentunya juga harus
berkepandalan tinggi," ujar Lu Thay Kam sungguh-sungguh.
"Oleh karena itu, mulai besok aku akan mengajarmu Ie Hoa
Ciap Bok Sin Kang, Ciang Hoat dan Kiam Hoat. Setelah engkau
menguasai ilmu tersebut, mungkin aku akan mengangktmu
sebagai wakilku."
"Terima k?sih, Lu Kong Kong! Terima kasih...." Dapat
dibayangkan, betapa girangnya Lie Man Chiu, karena memang
ini yang diharapkannya
"Tapi engkau harus ingat!" Lu Thay Kam menatapnya
tajam. "Apabila engkau berani berkhianat, engkau pasti mati
di tanganku!"
"Lu Kong Kong," ujar Lie Man Chiu cep?t. "Hamba pasti
setia kepada Lu Kong Kong."
"Bagus!" Lu Thay Kam tertawa. "Tahukah engkau, bahwa di
dalam rimba persilatan terdapat Hiat Ih Hwe?"
"Hamba pernah mendengar tentang itu, namun hamba
tidak tahu siapa ketuanya," sahut Lie Man Chiu dengan jujur.
"Akulah ketua Hiat Ih Hwe." Lu Thay Kam
memberitahUkan, "Karena itu, engkau harus menjadi wakilku."
"Terima kasih, Lu Kong Kong!"
"Engkau juga harus ingat, tidak boleh berkeluyuran di
dalam istana ini!" pesan Lu Thay Kam. "Engkau boleh jalanjalan
di halaman ruangan ini dan kamarmu. Tetapi tidak boleh
ke dalam."
"Hamba pasti ingat akan pes?n Lu Kong Kong." Lie Man
Chiu berjanji. "Bagus!" Lu Thay Kam tertawa gelak, kemudian bertepuk
tangan tiga kali.
Tak lama kemudian muncullah seorang dayang yang cantik
manis, lalu memberi hormat kepada Lu Thay Kam dan Lie Man
Chiu, "Ada perintah apa, Lu Kong Kong?" tanya dayang itu.
"Mulai sekarang, engkau dan para dayang lainnya harus
memanggil Lie Man Chiu, tuan muda." Lu Kong Kong
memberitahukan.
"Ya, Lu Kong Kong." Dayang itu mengangguk.
"Tuan muda, terimalah hormatku!"
"Ini. . ." Lie Man Chiu tampak salah tingkah,
"Ha ha ha!" Lu Thay Kam tertawa terbahak-bahak. "Man
Chiu, mulai sekarang engkau adalah tUan muda disini. Maka
engkau boleb bersenang-senang dengan dayang, yang mana
pun.!" "Ya, Lu Kong Kong." Lie Man Chiu mengangguk.
"Bwee-ji, antar tuan muda ini kekamar." ujar Lu Thay Kam.
"Ya, Lu Kong Kong." Dayang yang dipanggil Bwee-ji itu
mengangguk. "Tuan muda silakan ikut aku."
"Lu konng Kong, hamba mohon diri!" ucap Lie Man Chiu
lalu mengikuti dayang itu menuju kamar.
Lu Thay Kam memandang punggung Lie Man Chiu
kemudian manggut-manggut sambil tersenyum, Setelah itu, ia
pun meninggaikan ruangan itu menuju dalam.
0oo0dw0oo0 Seorang gadis cantik manis sedang berlatih ilmu pukutan di
halaman tengah. Anak gadis itu berusia sembi1an tahunan,
namun pukuIan.pukulannya yang dilancarkannya sungguh
hebat, bahkan menimbulkan suara menderu-deru.
Siapa anak gadis itu" Ternyata putri angkat Lu Thay Kam,
yang bernama Lu Hui San. Ketika gadis kecil itu berusia tiga
tahun, Lu Thay Kam membawanya ke istana ini.
"San San!" panggil Lu Thay Kam sambil mendekatinya.
"Ayah!" sahut Lu Hui San dan langsung mendekap di dada
Lu Thay Kam. "Ayah dari mana" Kok tadi tidak kelihatan sih?"
"Tadi ayah pergi karena dda sedikit urusan."
"Ayah...." Lu Hui San menatapnya. "Ayah pergi membunuh
orang ya?"
"San San!" Lu Thay Kam menggeleng-gelengkan kepala.
"Ayah bukan seorang pembunuh, bagaimana mungkin selalu
membunuh orang?"
"Ayah," ujar Lu Hiu San. "Tidak baik membunuh orang,
Thian (Tuhan) akan marah lho!"
"Ha ha ha!" Lu Thay Kam tertawa gelak sambil
memmbe1ainya. "Ayah tidak sembarangan membunuh orang,
yang ayah bunuh itu adalah para penjahat."
"Oh?" Lu Hui San. tersenyum. "Ayah...."
"Ada apa?" tanya Lu Thay Kam lembut..
"Kenapa San San tidak boleh pergi jalan-jalan" San San
merasa bosan sekali terus diam didalam istana, setiap hari
cuma melatih ilmu silat."
"San San!" Lu Thay Kam tersenyum. "Setelah engkau
dewasa kelak, tentunya engkau boleh pergi jalan-jalan. Tapi
sekarang engkau masih kecil, maka tidak boleh pergi ke
mana-mana. Ayah mengajarmu ilmu silat, agar engkau
memiliki kepandaian tinggi, mungkin bisa membantu ayah
kelak." "San San mau pergi berkelana, tidak mau terus diam di
dalam istana ini. San San sudah bosan..."
"San San!" Lu Thay Kam membelainya. "Setelah engkau
dewasa, tentunya engkau boleh pergi berkelana. Tapi
sekarang engkau harus giat benlatih."
"Ya, Ayah." Lu Hui San mengangguk.
"San San, engkau terus berlatih di sini, ayah mau pergi
menghadap Kaisar," ujar Lu Thay Kam menambahkan, "Oh ya,
kini ayah sudah punya seorang pembantu, namanya Lie Man
Chiu!" "Ayah!" Wajah Lu Hui San tampak berseri "San San boleh
pergi menemuinya?"
"Tunggu ayah kembali, ayah akan memperkenalkan kalian,"
sahut Lu Thay Kam lalu melangkah pergi, sedangkan Lu Hui
San mulai berlatih lagi.
Bwee-ji, dayang yang cantik manis itu mengantar Lie Man
Chiu ke sebuah kamar yang sangat indah dan mewah,
tentunya menggirangkan Lie Man Chiu. Ia menengok ke sana
ke mari setelah memasuki kamar itu, kemudian duduk dengan
c?rah ceria. "Bagaimana?" tanya Bwee-ji sambit tersenyUm. Tuan muda
suka kamar ini?"
"Suka sekali." Lie Man Chiu mengangguk.
"Oh ya." Bwee ji menatapnya, "Mulai sekarang semua
dayang yang ada di sini pasti mentaati perintah Tuan muda,
jadi Tuan muda mau makan dan minum apa, cukup memesan
kepada kami saja, Apabila Tuan muda mau mendengarkan
musik dan menyaksikan tarian, beritahukan kepadaku!"
"Terima kaSih?" ucap Lie Man Chiu sambil tertawa gembira.
Ia tidak menyangka nasibnya begitu beruntung, hidup senang
dan mewah setelah bertemu Lu Thay Kam.
"Tuan muda!" Bwee-ji memberitahUkan dengan wajah kemerah2an.
"Di istana barat ini terdapat puluhan dayang muda
yang cantik-cantik. Tadi Lu Kong Kong sudah bilang,kalau
Tuan muda menyukai yang mana, boleh bersenang~senang
dengan dia."
"Artinya bersenang-senang itu?" tanya Lie Man Chiu.
"Artinya...." Wajah Bwee-ji bertambah merah.
"Masa Tuan muda tidak tahu, jangan berpura-pura ah!"
"Aku sungguh tidak tahu," sahut Lie Man Chui, "Jadi bukan
ber-pura2."
"Arti ber-senang2 itu. . ." ujar Bwee-ji sambil menundukkan
kepala, "Tuan muda menunjuk dayang yang mana, dia pasti
akan menemani Tuan muda."
"Oooh!' Lie Man Chui manggut-manggut. "Bukankah saat
ini engkau sedang menemaniku?"
"Tuan muda. . ." Bwee-ji menatapnya sambil tertawa geli,
"Kok tidak tahu maksudku sih?"
"Apa maksudmu?"
"Maksudku. . . dayang-dayang disini siap menemani Tuan
muda tidur. Tuan muda sudah mengerti?"
"Menemaniku tidur?" Lie Man Chui terbelalak.
"Ya." Bwee-ji mengangguk.
"Jadi boleh. . .boleh berbuat itu pula?" tanya Lie Man Chiu
agak tergagap, "Maksudnya berhubungan intim dengan
dayang manapun."
"Karena tadi Lu Kong Kong telah berpesan begitu, maka. .
.boleh." sahut Bwee-ji dengan malu-malu.
"Oooh!" Lie Man Chiu manggut-manggut, namun ia sama
sekali tidak bernafsu untuk itu, sebab ia hanya berambisi
mengangkat tinggi namanya.
Disaat bersamaan, muncul seorang dayang menatap Lie
Man Chiu sambil tersenyum manis dan memberitahukan. "Lu
Kong Kong memanggil Tuan muda keruang khusus."
"Ruang khusus?" Lie Man Chiu tercengang.
"Ruang tadi itu." Bwee-ji memberitahukan.
"Mari kuantar Tuan muda kesana."
"Terima kasih!" ucap Lie Man Chiu.
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bwee-ji mengantarnya keruang khusus itu, lalu
meninggalkannya. Lie Man Chiu melangkah kedalam. Ia
melihat Lu Kong Kong duduk disitu, dan disisinya berdiri
seorang gadis kecil.
Ketika melihat gadis kecil itu, Lie Man Chiu teringat pada
putrinya, namun hanya sekilas.
"Hamba memberi hormat kepada Lu Kong Kong!" ucap Lie
Man Chiu sambil memberi hormat.
"Duduklah!" sahut Lu Thay Kam.
"Terima kasih!" Lie Man Chiu duduk.
Sementara gadis kecil itu terus memandangnya, kemudian
ter-senyum2 seraya bertanya kepada Lu Thay Kam.
"Ayah! Dia adalah Paman Lie?"
"Ng?" Lu Thay Kam mengangguk dan memperkenalkan
putri angkatnya, "Man Chiu, gadis kecil ini adalah putriku."
"Nona kecil, terimalah hormat paman!" Lie Man Chiu
memberi hormat kepada Lu Hui San.
"Hi hi!" Gadis kecil itu tertawa, "Kenapa Paman Lie
memberi hormat pada San San" San San masih kecil lho?"
"Nona kecil adalah putri Lu Kong Kong," sahut Lie Man Chiu
sambil tersenyum. "Maka paman harus memberi hormat
kepada Nona kecil."
"Paman Lie!" Lu Hui San tertawa kecil. "Mulai sekarang,
paman tidak usah panggil San San nona kecil, cukup panggil
San San saja."
"Itu...." Lie Man Chiu memandang Lu Thay Kam.
"Itu kemauan putriku, turuti saja!" ujar Lu Thay Kam.
"Ya, Lu Kong Kong." Lie Man Chiu mengangguk.
"Baiklah." Lu Thay Kam bangkit berdiri. "AkU mau ke
kamar, engkau temani putriku!"
"Ya, Lu Kong Kong," sahut Lie Man Chiu sambil berdiri, dan
setelah Lu Thay Kam meninggalkan ruang itu, barulah Ia
duduk kembali. "Paman Lie...." Lu Hui San menatapnya.
"Ada apa, San San?" tanya Lie. Man chiu lembut.
"Berapa sih usia Paman?"
"Tiga pulub lebih."
"Kalau begitu...." Lu Hui San tersenyum. "Paman Lie pasti
sudah punya anak isteri. Ya, kan?"
"Ya."
"Anak laki laki atau anak perempuan?"
"Anak perempuan." .
"Berapa usianya?"
"Sembilan tahun."
"Oh?" Lu Hui San tersenyum. "Sama dengan San San, dia
pasti cantik, kan?"
"Ya."
"Paman Lie tinggal di mana?"
"Di pulau Hong Hoang To."
"Pulau Hong Hoang To?" Lu Hui San tampak berpikir.
"Tentu jauh sekali dan sini."
"Memang jauh sekali." Lie Man Chiu mengangguk dan
menambahkan, "Pulau itu indah sekali, terdapat burung
phoenix, yang langka."
"Oh?" Wajah Lu Hui San berseri. "Kalau Paman sempat,
bolehkah ajak San San ke sana?"
"San San masih kecil, belum boleh bepergian jauh."
"Setelah San San dewasa kelak, maukah Paman ajak San
San ke pulau Hong Hoang To itu?"
"Itu adalah urusan kelak, tidak usah dibicarakan sekarang,"
sahut Lie Man Chiu sambil tersenyum.
"Paman Lie...." Mendadak Lu Hui San menatapnya dengan
mata tak berkedip. "Isteni Paman masih hidup?"
Lie Man Chiu manggut~manggUt.
"Kalau begitu...." Lu Hui San mengerutkan kening. "Kenapa
Paman tega meninggalkan mereka?"
"Aku ingin mencani nama di ibu kota, maka terpaksa harus
meninggalkan mereka. Namun kelak... aku akan kembaljike
pulau itu."
"Paman Lie " Lu Hui San menatapnya lagi, "Tidak rindu
pada anak isteri"
"Aku...." Pertanyaan itu sudah barang tentu membuat Lie
Man Chiu rindu kepada anak isterinya! Akan tetapi, itu pun
hanya sekilas. "San San yakin... putri Paman pasti rindu sekali kepada
Paman," ujar Lu Hui San.
"Entahlah. . . ."
"Kelihatannya...." Lu Hui San menatapnya dalam-dalam
"Paman berhati kejam."
"Kenapa San San berkata begitu?" Lie Man Chiu
mengerutkan kening.
"Karena... Pama~ cuma ingin cari nama, tapi tega
meninggalkan anak isteri. Bukankah itu kejam sekali" Jadi
nama yang lebih penting daripada anak isteri?"
"San San...." Air muka Lie Man Chiu berubah, namun
kemudian menghela nafas panjang. "Engkau masih kecil, tidak
tahu urusan orang."
"Tentu tahu," sahut Lu Hui San. "Sebab San San sering
membaca buku, orang yang paling kejam di dunia adalah
lelaki yang tega meninggalkan anak isteri. Itu adalah lelaki
yang tak punya perasaan, tak punya nurani dan tak punya...
kasih sayang."
"San San!" Lie Man Chiu terbelalak. Ia tak menyangka anak
sekecil itu dapat mencetuskan ucapan seperti itu. "Engkau
harus tahu, pendirian orang tidak sama. Lagi pula setiap orang
pasti mempunyai ambisi, begitu pula Paman."
"Sungguh kasihan anak isteri Paman!" ujar Lu Hui San
sambil bangkit berdiri, kemudian menatapnya dingin seraya
berkata, "San San mau kedalam, San San tidak mau
mengobrol dengan paman yang telah melupakan anak isteri"
Lu Hui San meninggalkan ruang itu. Lie Man Chiu
termangu-mangu, akhirnya ia kembali ke kamarnya. Bwee-ji,
dayang yang cantik manis itu menyambutnya dengan senyum
lembut, lalu menyug?hkan minuman dan berbagai macam
hidangan lezat.
-oo0dw0oo- Di ruang tengah markas Tiong Ngie Pay, tampak Yo Suan
Hiang duduk dengan wajah serius. Di sisi kiri kanannya duduk
Tan Ju Liang, Lim Cin An dan Cu Tiang Him. Para anggota
berdiri diam dengan kepala tertunduk, begitu pula tiga
anggota yang berdiri di hadapan Yo Suan Hiang, wajah
mereka bertiga tampak berduka.
"Kenapa kalian tidak mencegah mereka bertiga itu?" tanya
Yo Suan Hiang sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Kami telah berusaha mencegah, tapi... mereka bertiga
bilang itu adalah kesempatan untuk membunuh Lu Thay
Kam," sahut salah seorang anggota dan menghela nafas
panjang. Ternyata mereka melapor tentang kejadian k?tiga
teman yang dibunuh Lie Man Chiu.
"Kalian tidak kenal siapa lelaki itu?" tanya Yo Suan Hiang
dengan kening berkerut.
"Tidak kenal sama sekali. Kami hanya tahu lelaki itu masih
muda berusia tiga puluhan, kepandaiannya tinggi sekali!"
"Kalian memang ceroboh." Yo Suan Hiang mengge1enggelengkan
kepala. "Aku telah berpesan, jangan coba-coba
mencari Lu Thay Kam. Sebab kepandaiannya sangat tinggi
sekali, akupun tidak sanggup melawannya."
"Kami mengaku salah, mohon Ketua menghukum kami!"
"Sudahlah" Lain kali kalian harus hati-hati. Kali ini aku
memaafkan kesalahan kalian. Ingat jangan mati sia-sia!" sahut
Yo Suan Hiang. "Terima kasih, Ketua!" ucap mereka bertiga sambil
memberi hormat.
"Kalian bertiga boleh kembali ke tempat."
"Terima kasih, Ketua!" Mereka bertiga memberi hormat lalu
kembali ke tempat masing-masing
"Ketua," tanya Tan Ju Liang. "Betulkah Ketua tidak sanggup
melawan Lu Thay Kam?"
"Betul" Yo Suan Hiang mengangguk.
"Ketua," tanya Lim Cin An. "Kira-kira siapa yang dapat
melawannya?"
"Hanya ada dua orang yang dapat melawannya," jawab Yo
Suan Hiang memberitahukan. "Yaitu Tio Cie Hiong dan Tayli
Lo Ceng." "Tio Cie Hiong?" Lim Cin An agak terbelalak, "Bukankah dia
Pek Ih Sin hap yang sangat kesohor itu?"
"Benar. Memang dia. Tapi... dia tidak mau mencampuri
urusan rimba persilatan lagi, melainkan hidup tenang dan
bahagia di Pulau Hong Hoang To bersama anak isterinya."
"Lalu bagaimana dengan Tayli Lo Ceng?" tanya Tan Ju
Liang. "Padri tua itU pun tidak mau lagi mencampuri urusan
persilatan," sahut Yo Suan Hiang. "Begitu pula guruku."
"Bagaimana kepandaian gurumu dibandingkan dengan Lu
Thay Kam?" tanya Lim Cin An mendadak.
"Mungkin...," pikir Yo Suan Hiang sejenak. "Mungkin...
setanding, karena guruku memiliki Kiu Yang Sin Kang."
"Kala? Tio Cie Hiong melawan Lu Thay K?m" tanya Tan Ju
Liang. "Tio Cie Hiong pasti menang," sahut Yo Suan Hiang. "Sebab
kepandaiannya sulit diukur berapa tinggi. Terus terang, Cit
Loan Kiam Hoat adalah ilmu pedang ciptaannya."
"Oh?" Tan Ju Liang terbelalak. "Berarti dia telah menjadi
maha guru, padahal dia masih muda."
"Dia mempunyai anak?" tanya Lim Cin An.
"Cuma mempunyai anak satu, namanya Tio Bun Yang." Yo
Suan Hiang memberitahukan dengan nada kagum. "Anak itu
sungguh cerdas, bahkan melebihi ayahnya."
"Oh?" Lim Cin An menatap Yo Suan Hiang.
"Alangkah baiknya dia bersedia membantu kita kelak!"
"Aku pun telah berpikir begitu," ujar Yo Suan Hiang.
"Mudah-mudahan dia bersedia membantu kita kelak!"
"Tapi kapan dia akan berkecimpung dalam rimba
persilatan?" tanya Lim Cin An seakan bergumam.
"Masih lama, sebab kini usianya baru sepuluh tahun."
Yo Suan Hiang tersenyum. "Sepuluh tahun lagi, aku yakin
kepandaiannya boleh dikatakan tiada tanding?"
Kalau begitu...," ujar Tan Ju Liang. "Dia pasti dapat
mengalahkan Lu Thay Kam."
"Aku yakin itu." Yo Suan Hiang manggut-manggut. "Oh ya,
Paman Tan harus memberi pesan kepada para anggota."
"Pesan apa?"
"Apabila mereka tidak sanggup melawan pihakk Hiat Ih
Hwe, harus berusaba meloloskan diri jangan mati sia-sia."
"Ketua!" Tan Ju Liang menggeleng~gelengkan kepala,
"Apabila mereka tidak sanggup melawan, tentunya sulit pula
untuk meloloskan diri."
"Itu. . ." Yo Suan Hiang mengerutkan kening, kemudian
mendadak teringat sesuatu, yang membuat wajahnya berseri.
"Aku akan mengajar Paman Tan, Paman Lim dan Saudara Cu
ilmu Kiu Kiong San Tian Pou."
"Ilmu apa itu?" tanya Tan Ju Liang.
"Itu ilmu langkah kilat," jawab Yo Suan Hiang
memberitahukan. "Tio Cie Hiong menurunkan ilmu tersebut
kepadaku, dan mulai besok akan kuajarkan kepada kalian!"
"Terima kasih, Ketua!" ucap mereka bertiga serentak.
"Setelah kalian menguasai Kiu Kiong San Tian Pou, kalian
pun harus mengajarkan kepada para anggota kita," pesan Yo
Suan Hiang dan menambahkan, "Itu merupakan ilmu untuk
meloloskan diri."
"Ya, Ketua" Mereka bertiga mengangguk
"Oh ya?" Yo Suan Hiang menatap Tan Ju Liang seraya
berkata. "Apabila ada kaum pesilat yang ingin bergabung jadi
anggota kita, Paman Tan harus menyeleksi dengan cermat,
jangan sembarangan menenima mereka!"
"Ya, Ketua." Tan Ju Liang mengangguk.
"Mulai besok aku akan mengajar kalian Kiu Kiong San Tian
Pou, bahkan juga akan mengajar kalian ilmu pedang Hong
Hoang Kiam Hoat," ujar Yo Suan Hiang memberitahukan.
"Setelah itu, kalian pun harus mengajarkan kepada para
anggota kita."
"Ya, Ketua." sahut mereka bertiga dengan wajah berseri.
"Terima kasih atas kebaijaksanaan Ketua!"
"Tidak usah mengucapkan terima kasih," sahut Yo Suan
Hiang sambil tersenyum lembut. "Kita semua harus bersatu
demi Tiong Ngie Pay."
-oo0dw0oo- Bagian Ke Tujuh
Goa bekas markas Bu Tek Pay
Seorang wanita berusia tiga puluhan duduk termenung
dihalaman rumah yang sangat luas. Tampak pula taman
bunga yang sangat indah di situ. Wanita itu kelihatan sedang
mengenang sesuatu, kemudian menghela nafas panjang dan
air matanya mulai meleleh.
Wanita itu bernama Lie Siu Sien, suaminya bernama Kam
Pek Kian, namun sudah almarhum.
"Ibu! Ibu....!" Seorang anak lelaki berusia sebelas tahun
menghampirinya. "Kenapa Ibu melamun lagi?"
"Nak!" Lie Siu Sien menggeleng~gelengkan kepala dengan
air mata berderai-derai. "Ibu teringat akan ayahmu."
"Ibu!" Anak lelaki itu duduk di sisi ibunya. Ia bernama Kam
Hay Thian. "Ibu jangan terus mengingat, sebab akan
membuat Ibu sedih."
"Nak!" Lie Siu Sien terisak-isak. "Bagaimana mungkin ibu
tidak ingat, sebab ayahmu dibunuh orang."
"Aku masih ingat akan kejadian itu." Mendadak sepasang
mata anak itu membara. "Orang itu membunuh ayah dengan
sadis sekali."
"Pada waktu itu, untung kita bersembunyi dikolong meja.
Kalau tidak, kita pun pasti mati ditangan orang itu."
"Ibu...." Kam Hay Thian menatapnya. "Kenapa orang itu
membunuh ayah?"
"Aa?kh...!" keluh Lie Siu Sien. "Tanpa sengaja ayahmu
menolong seseorang, kemudian orang itu memberikan
ayahmu sebuah kitab. Tapi akhirnya orang itu mati, karena
lukanya terlampau parah."
"Ibu, kitab apa itu?"
"Kitab Seng Hwee Cin Keng (Kitab Pusaka Api Suci) yang
berisi pelajaran ilmu silat tingkat tinggi."
"Kenapa ayah tidak mempelajari kitab itu?"
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak sempat, karena beberapa hari kemudian, muncullah
penjahat itu merebut kitab tersebut, Ayahmu berusaha
mempertahankannya tapi malah dibunuh dan kitab itu dibawa
pergi oleb penjahat itu."
"ibu bukankah ayah berkepandaian tinggi" Kenapa tidak
mampu melawan penjahat itu?"
"Nak!" Lie Siu Sien tersenyum getir. "Kepandaian penjabat
itu lebih tinggi dari ayahmu Kalau tidak, bagaimana mungkin
pejahat itu mampu membunuh ayahmu?"
"Ibu" ujar Kam Hay Thian Sungguh..sungguh, "Hay Thian
harus membalas dendam."
"Tidak mungkin, Nak" Lie Siu Sien menggeleng-gelengkan
kepala. "Sebab engkau tidak mengerti ilmu silat, lagi pula
kepandaian penjahat itu tinggi sekali."
"Ibu biar bagaimana pun aku harus balas dendam," ujar
anak itu telah membulatkan tekad.
"Aaakh..." keluh Lie Siu Sien. "Tidak disangka sama sekali,
beberapa tahun lalu ayahmu mati dibunuh!"
"ibu Pokoknya aku harus balas dendam." tegas Kam Hay
Thian. "Aku akan belajar ilmu silat."
"Sayang sekali...." Lie Siu Sien menggeleng-gelengkan
kepala "Ibu tidak tahu Tio Cie Hiong berada dimana Kalau
tahu, engkau boleh berguru kepadanya."
"Ibu!" Kam Hay Thian tercengang. "Siapa dia" Bagaimana
kepandaiannya?"
"Dia boleh dikatakan saudara angkat ibu, kepandaiannya
sangat tinggi sekali." Lie Siu Sien memberitatukan. "Dia
pernah menolong kakekmu, dan setetah itu bersama caton
isterinya pun pernah menolong ibu dan ayabmu ketika
ditangkap Muh San Ngo Kui (Lima Setan Gunung Muh San).
NamUn mereka lalu pergi, dan hingga kini ibu tidak pernah
bertemU mereka."
"Ibu!" Kam Hay Thian menatapnya. "Bolehkah aku pergi
mencari Paman Cie Hiong?"
"Engkau masih kecil, lagi pula belum tentu engkau dapat
mencarinya" Lie Siu Sien meng-geleng2kan kepala.
"Ibu, usiaku sudah sebelas tahun! Aku sudah tidak kecil
lagi, maka ibu harus mengijinkan aku untuk pergi mencari
Paman Cie Hiong."
"Tionggoan sangat luas, tak mungkin engkau dapat
mencarinya." Lie Siu Sien menggeleng-gelengkan kepala lagi.
"Kalau begitu, aku akan berguru kepada orang l?in. Setelah
berkepandaian tinggi, aku pasti pulang."
"Nak...." Lie Siu Sien menghela nafas. "Benarkah engkau
begitu bertekad untuk belajar ilmu silat?"
"Benar." Kam Hay Thian mengangguk, "Sebab ak? baruS
balas dendam. Karena itu, ibu harus mengijinkan aku untuk
pergi belajar ilmu silat."
"Aaakh...!" keluh Lie Siu Sien. "Engkau ingin meninggalkan
ibu?" "Hanya sementara waktu, beberapa tahun kemudian aku
pasti pulang," sahut Kam Hay Thian
Lie Sw Sien diam, kelihatannya ia sedang berpikir.
"Ibu," desak Kam Hay Thian "Kalau Ibu tidak mengijinkan
aku untuk pergi belajar ilmu silat, bagaimana mungkin aku
bisa tenang di rumah?"
"Nak Lie Siu Sien menatapnya dengan m?ta basah. "Kalau
memang engkau bertekad begitu, baiklah, Ibu mengijinkan
engkau untuk pergi belajar ilmu silat."
"Terima kasih, Ibu!" ucap Kam Hay Thian girang.
"Nak!" Lie Siu Sien tersenyum. "Mudah-mudahan engkau
berhasil mencari Tio Cie Hiong!"
"Kalau aku tidak berhasil mencari Paman Cie Hiong, aku
akan berguru kepada orang lain, yang berkepandaian tinggi."
"Ngmmm!" Lie Siu Sien manggut-manggut.
"Nak, kapan engkau akan berangkat?" tanyanya.
"Besok pagi."
"Nak...." Wajah Lie Siu Sien berubah murung. "Kenapa
harus begitu cepat berangkat?"
"Lebih cepat Iebih baik," ujar Kam Hay Thian. "Karena aku
akan bisa cepat pulang pula."
"Nak...." Lie Siu Sien menatapnya dengan lembut sekali.
"Baiklah! Engkau boleh berangkat besok pagi, namun harus
cepat pulang."
"Ya, Ibu!" Kam Hay Thian mengangguk.
-oo0dw0oo- Kam Hay Thian telah berangkat. Sebuah buntalan
bergantung di punggungnya, berisi pakaian dan ratusan tael
perak pemberian ibunya.
Beberapa hari kemudian, ia telah tiba di kota Leng An yang
cukup besar. Tampak sebuah bagunan megah, yang di atas
pintunya bergantung sebuah papan bertulisan "Liong San Bu
Koan" (Perguruan Silat Aliran Liong San).
Begitu membaca tulisan itu, giranglah hati Kam Hay Thian
dan Ia langsung menuju bangunan tersebut.
"Anak kecil!" Dua penjaga menghadangnya. "Mau apa
engkau ke mari?"
"Aku mau belajar ilmu silat," sahut Kam Hay Thian.
"Oh?" Salah satu penjaga itu tersenyum. "Kalau begitu,
mari ikut aku ke dalam menemUi guru silat Lie!"
"Terima kasih!" ucap Kam Hay Thian sekaligus mengikuti
penjaga itu ke dalam.
Begitu sampai di halaman, Ia melihat belasan pemuda
sedang berlatih dengan penuh semangat. Penjaga itu
mengajak Kam Hay Thian kesebuah ruangan. Seorang lelaki
berusia lima puluhan duduk di kursi sambil menghirup teh.
"Guru!" Penjaga itu memberi hormat dan memberitahukan,
"Anak in mau belajar ilmu silat."
"Oh?" Guru silat Lie menatap Kam Hay Thian, lalu
manggut-manggut seraya bertanya, "Namamu siapa dan di
mana tempat tinggalmu?"
"Namaku Kam Hay Thian, aku berasal dari kota lain," jawab
anak itu jujur.
"Engkau ingin belajar ilmu silat di sini?" tanya guru silat Lie
sambil tersenyum.
"Ya." Kam Hay Thian mengangguk.
"Engkau boleh belajar di sini, namun...." Guru silat Lie
memberitahukan. "Setiap bulan engkau harus bayar dua puluh
tael perak" "
"Ya!" Kam Hay Thian mengangguk lagi, kemudian
membuka buntalannya. Dikeluark?nnya dua ratus tael perak,
lalu diserahkannya kepada guru silat Lie. "Inilah uangku untuk
belajar ilmu silat."
"Dua ratus tael perak?" guru silat Lie terbelalak. "Dan mana
engkau memperoleh uang sebanyak itu?"
"Dari ibuku."
"Engkau tidak merasa sayang memberikan semua uang itu
kepadaku?"
"Tentu tidak, sebab aku ingin belajar ilmu silat di sini.
"Kalau begitu...." Guru silat Lie mengangguk. "Baiklah!
Engkau boleh belajar ilmu silat di sini, bahkan boleh tinggal di
sini." "Terima kasih, Guru!" ucap Kam Hay Thian dan sekaligus
berlutut di hadapan guru silat Lie.
"Hay Thian!" Guru silat Lie menatapnya. "Berdirilah!"
"Ya, Guru!" Kam Hay Thian bangkit berdiri.
"Hay Thian," ujar guru silat Lie sungguh-sungguh. "Engkau
tidak usah memanggil aku guru, cukup memanggil paman
saja." "Kenapa?" tanya Kam Hay Thian dengan rasa heran.
"Karena...." Guru silat Lie menghela nafas panjang. "Aku
cuma merupakan guru silat biasa, jadi tidak dapat
mengajarmu ilmu silat tingkat tinggi Sedangkan engkau
berbakat untuk belajar ilmu silat tingkat tinggi Karena itu, aku
merasa malu kau panggil guru."
"Kalau begitu, aku memanggil paman saja?"
"Ya."
Di saat bersamaan, muncul seorang gadis kedil berusia
sekitar sepuluh tahun sambil berseru-seru.
"Ayah! Ayah..." gadis kecil itu terbelalak ketika melihat Kam
Hay Thian. "Ayah, siapa dia?"
"Dia bernama Kam Hay Thian, ingin belajar ilmu silat pada
ayah," sahut guru silat Lie sambil tersenyum.
"Hay Thian, dia putriku bernama Lie Beng Cu."
Kam Hay Thian memandang gadis kecil itu sambil
mengangguk, dan Lie Beng Cu pun mengangguk sambil
tersenyum. "Berapa usiamu7" tanya gadis kecil itu kepada Kam Hay
Thian. "Sebelas," jawab Kam Hay Thian.
"Usiaku sepuluh, jadi aku barus memanggilmu kakak, dan
engkau barus memanggilku adik," ujar Lie Beng Cu sambil
tertawa. "Ya!" Kam Hay Thian manggut-manggut.
"Hay Thian," ujar guru silat Lie. "Hari ini engkau boleh
beristirabat dulu, besok aku akan mulai mengajarmu ilmu
silat." "Terima kasih, Paman!" ucap Kam Hay Thian girang.
"Beng Cu, antar dia kekamar kosong itu!" ujar guru silat Lie
memberitahukan. "Dia berasal dan kota lain, maka harus
tinggai disini."
"Ya, Ayah." Wajah Lie Beng Cu berseni. "Kakak Hay Thian,
mari ikut aku ke dalam!"
"Tenima kasih, Adik Beng Cu!" ucap Kam Hay Thian lalu
mengikuti gadis kecil itu ke dalam.
Lie Beng Cu mengajaknya ke sebuah kamar kosong, dan
begitu sampai di dalam, gadis kecil itu langsung duduk di
kursi. "Bagaimana" Engkau suka kamar ini?"
"Suka." Kam Hay Thian mengangguk, sekaligus duduk di
pinggir tempat tidur.
"Kakak Hay Thian!" Lie Beng Cu menatapnya. "Kenapa
engkau ingin belajar ilmu silat?"
"Karena ingin balas dendam."
"Balas dendam?" Lie Beng Cu terbelalak. "Balas dendam
siapa?" "Ayahku dibunuh penjahat, maka aku harus belajar ilmu
silat untuk membalas dendam itu." Kam Hay Thian
memberitahukan.
"Oh?"" Lie Beng Cu menatapnya dalam-dalam. "Kenapa
penjahat itu membunuh ayahmu"
"Karena sebuah kitab...." Kam Hay Thian memberitahukan
secara jujur. "Maka ayahku terbunuh.
"Kalau begitu, kepandaian penjahat itu tinggi sekali."
"Ya." Kam Hay Thian mengangguk. "Kalau tidak,
bagaimana mungkin penjahat itu dapat membunuh ayahku"
Sebab ayahku pun berkepandaian tinggi.
"Ayahmu pernah mengajarmU ilmu silat?" tanya Lie Beng
Cu mendadak. "Hanya mengajarku dasar-dasar ilmu lweekang saja," sahut
Kam Hay Thian dan melanjutkan, "Kata ayahku, lweekang
merupakan pokok bagi orang yang ingin belajar ilmu silat
tingkat tinggi.
"Benar." Lie Beng Cu manggut~manggut.
"Ayahku pun berkata begitu, maka aku terus berlatih
lweekang."
"Oh ya, ayahmu bilang kepandaiannya tidak begitu tinggi.
Benarkah itu?" tanya Kam Hay Thian mendadak.
"Entahtah." Lie ~eng Cu menggelengkan kepala. "Aku tidak
begitu jelas te?tang itu."
"Adik Beng Cu!" Kam Hay Thian menatapnya. "Pernahkah
engkau mendengar tentang Tio Cie Hiong?"
"Tidak pernah," jawab Lie Beng Cu. "Mungkin ayahku tahu.
Lebih baik engkau bertanya kepada ayahku saja."
"Ya." Kam Hay Thian mengangguk.
"Kakak Hay Thian," tanya Lie Beng Cu. "Siapa Tio Cie Hiong
itu?" "Dia saudara angkat ibuku. Kata ibuku kepandaiannya
sangat tinggi sekali. Maka aku harus mencari dia, namun tidak
tahu dia berada dimana."
"Begini saja," usul Lie Beng Cu. "Untuk sementara engkau
tinggal di sini sekalian belajar ilmu silat kepada ayahku,
setelah itu barulah engkau pergi mencari orang tersebut."
"Ya." Kam Hay Thian mengangguk.
"Kakak Hay Thian!" Lie Beng Cu memandangnya sambil
tersenyum. "Aku mau pergi sebentar, nanti malam kita makan
bersama." "Terima kasih!" ucap Kam Hay Thian.
Lie Beng Cu meninggalkan kamar itu, lalu pergi menemui
ayahnya yang masih duduk diruang itu.
"Ayah!" panggilnya.
"Beng Cu di mana Hay Thian?" tanya guru silat Lie.
"Di dalam kamar." Lie Beng Cu duduk disisinya. "Oh ya,
Ayah! Kakak Hay Thian ingin belajar ilmu silat karena ingin
balas dendam."
"Oh?" Guru silat Lie mengerutkan kening. "Dia yang
memberitahukan kepadamu?"
"Ya." Lie Beng Cu mengangguk. "Cukup lama kami
mengobrol, dan dia memberitahukan secara jujur"
"Ngmm!" Guru silat Lie manggut-manggut dan bertanya,
"Apakah kedua orang tuanya dibunuh orang?"
"Ayahnya dibunuh penjahat."
"Dia memberitahukan sebab musababnya?"
"Ayahnya dibunuh karena sebuah kitab. Padahal ayahnya
berkepandaian tinggi, namun masih tidak sanggup melawan
penjahat itu."
"Kalau begitu...." Kening guru silat Lie berkerut.
"Kepandaian penjahat itu pasti tinggi sekali"
"Benar, Ayah." Lie Beng Cu mengangguk. "Dia mengatakan
begitu" "Ayahnya tidak pernah mengajarnya ilmu silat?" tanya guru
silat Lie mendadak.
"Hanya mengajarnya ilmu lweekang, tidak pernah
mengajarnya ilm? silat," jawab Lie Beng Cu.
"Kalau begitu...," ujar guru silat Lie setelah berpikir
sejenak. "Ayah akan mengajarnya Liong
San Kun Hoat (Ilmu Silat Aliran Liong San), agar dia bisa
menjaga diri dan memperkuat daya tahan tubuhnya."
"Ayah...." Lie Beng Cu menatapnya seraya bertanya,
"Pernahkah Ayah mendengar tentang Tio Cie Hiong?"
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tio Cie Hiong"!" Guru silat Lie tertegun. "Pernah.
Memangnya kenapa?"
"Dia ingin mencari orang itu, yang katanya adalah saudara
angkat ibunya." Lie Beng Cu memberitahukan
"Beng Cu," ujar guru silat Lie. "Kaum rimba persilatan pasti
tahu mengenai Pek Ih Sin Hiap Tio Cie Hiong. Ayah pun
pernah mendengar tentang pendekar, yang gagah dan berhati
bajik itu."
"Oh?" Giranglah hati Lie Beng Cu. "Ayah tahu orang itu
berada di mana?"
"Ayah tidak tahu." Guru silat Lie menggelengkan kepala
dan menambahkan, "Sejak Bu Lim Sam Mo mati di tangannya,
dia pun menghilang entah ke mana."
"Kalau begitu, tentunya Kakak Hay Thian tidak akan
berhasil mencarinya," ujar Lie Beng Cu dengan wajah muram.
"Beng Cu!" Guru silat Lie tersenyum "Itu tergantung dari
peruntungannya"
"Ayah!" Lie Beng Cu tersenyUm. "Benarkah Ayah ingin
mengajar Kakak Hay Thian Liong San Kun Hoat?"
"Benar." Guru silat Lie tertawa. "Besok ayah akan mulai
mengajarnya. "Oh ya, kenapa engkau begitu menaruh
perhatian kepadanya?"
"Ayah...." Wajah Lie Beng Cu tampak kemerah-mer?han.
"Dia anak baik."
"Ayah tahu itu. Ayah tahu itu." Guru silat Lie tertawa lagi.
"Maka ayah bersedia mengajarnya Liong San Kun Hoat."
-oo0dw0oo- Guru silat Lie mulai mengajar Kam Hay Thian Liong San
Kun Hoat, tujuannya agar anak itu bisa menjaga diri, sekaligus
memperkuat daya tahan tubuhnya, karena guru silat Lie tahu,
bahwa anak itu masih akan melanjutkan perjalanan.
Kam Hay Thian belajar dengan tekun sekali, dan terus
melatih ilmu lweekang yang diajarkan almarhUm ayahnya.
Pagi ini, Kam Hay Thian berlatih bersama Lie Beng Cu.
Seusai ber1atih, mereka duduk untuk beristirahat
"Kakak Hay Thian," ujar Lie Beng Cu dengan wajah berseri.
"Engkau memang cerdas, begitu gampang menerjma
pelajaran ilmu silat itu."
"Engkau lebih cerdas," sahut Kam Hay Thian sambil
tersenyum. "Usiamu masih kecil tapi sudah menguasai seluruh
ilmu silat ayahmu."
"Tentu." Lie Beng Cu tertawa kecil "Sebab sejak aku
berusia lima tahun, ayah sudab mulai mengajarku ilmu silat."
"Oooh!" Kam Hay Thian manggut-manggut.
"Kakak Hay Thian!" Lie Beng Cu memberitahukan. "Ayahku
tahu tentang paman Tio Cie Hiongmu itu."
"Oh?" Kam hay Thian girang sekali.
"Paman Cie Hiongmu adalah Pek Ih Sin Hiap, yang sangat
terkenal. Kepandaiannya memang tinggi sekali, bahkan Bu Lim
Sam Mo mati ditangannya."
"Kalau begitu, ayahmu pasti tahu Paman Cie Hiong berada
di mana." "Ayahku tidak tahu." Lie Beng Cu menggelengkan kepala
dan melanjutkan, "Setejah Bu Lim Sam Mo mati di tangannya,
Paman Cie Hiongmu menghilang entah ke mana."
"Yaah!" Kam Hay Thian tampak kecewa.
"Kakak Hay Thian?" Lie Beng Cu tersenyum engkau tidak
usah putus harapan. Paman Cie Hiongmu sangat terkenal,
mungkin ada yang tahu dia tinggal di mana."
"Kalau begitu, aku harus bertanya kepada kaum rimba
persilatan!" ujar Kam Hay Thian.
"Jangan sembarangan bertanya kepada kaum rimba
persi1atan." pesan Lie Beng Cu serius.
"Lho" Kenapa?" tanya Kam Hay Thian dengan rasa heran.
"Seandainya yang engkau tanya itu adalah musuh Paman
Cie Hiongmu, tentu engkau akan celaka." Lie Beng Cu
menjelaskan. "Benar. Lalu aku harus bagaimana?" Kam Hay Thian
menghela nafas.
"Tenang saja!" Lie Beng Cu tersenyum. "Bukankah engkau
bisa bertanya pada ayahku?"
"Betul, betul." Kam Hay Thian rnanggut-manggut. "Kenapa
aku melupakan itu?"
"Kakak Hay Thian!" Lie Beng Cu menatapnya. "Setelah
berhasil menguasai Liong San Kun Hoat,apakah engkau akan
pergi?" "Ya. Karena aku harus berusaha mencari Paman Cie
Hiong." "Kakak Hay Thian...." Wajah Lie Beng Cu berubah muram.
"Setelah engkau pergi, engkau akan ke mari lagi?"
"Tentu." Kam Hay Thian mengangguk. "Aku pasti ke mari
lagi mengunjungimu dan ayahmu."
"Engkau tidak boleh melupakan aku lho!" pesan Lie Beng
Cu. "Sebab aku selalu ingat kepadamu."
"Adik Beng Cu!" Kam Hay Thap tersenyum. n"Aku tidak
akan melupakanmu, karena engkau baik sekali kepadaku,
begitu pula ayahmu."
"Terima kasih Kakak Hay Thian." ucap Lie Beng Cu sambil
tersenyum "Ayoh, mari kita berlatih lagi!"
"Baik." Kam Hay Thian mengangguk.
Mereka berdua mulai berlatih. Apabila Kam Hay Thian
melakukan gerakan salah, Lie Beng Cu pasti memberi
petunjuk kepadanya, maka Kam Hay Thian sangat girang dan
sangat berterima kasih kepadanya.
-oo0dw0oo- Beberapa bulan kemudian, Kam Hay Thian telah berhasil
menguasai Liong San Kun Hoat. Maka guru silat Lie menyuruh
putrinya memanggil Kam Hay Than
"Paman memanggiku?" tanya anak itu setelah berada
dihadapan guru silat Lie
"Hay Thian!" Guru silat Lie tersenyum lembut "Kini engkau
telah menguasai Liong San Kun Hoat, maka sudah waktunya
engkau pergi mencari Paman Cie Hiongmu."
"Oh?" Kam Hay Thian terbelalak. "Paman tahu dia berada
di mana?" "Aku tidak tahu, tapi engkau boleh ke markas Kay Pang,"
sahut guru silat Lie memberi petunjuk. "Mungkin ketua Kay
Pang tahu dia berada di mana?"
"Jadi aku harus bertanya kepada ketua Kay Pang?"
"Ya." GUrU silat Lie mengangguk. "Kalau tidak salah, Pek th
Sin Hiap Tio Cie Hiong mempunyai hubungan erat dengan Kay
Pang. Tentunya ketua Kay Pang tahu dia berada di mana."
"Dimana markas pusat Kay Pang?"
"Dan sini engkau terus berjalan ke arah timur. Setelah
melewati sebuah lembah, engkau akan sampai di sebuah
desa. Tanyalah kepada penduduk desa itu, mereka akan
membenitahukan kepadamu."
"Terima kasih, Paman!" ucap Kam Hay Thian dan bertanya.
"Kapan aku berangkat?"
"Engkau boleh berangkat sekarang," sahut guru silat Lie.
"Ayah...." Lie Beng Cu tersentak. "Kakak Hay Thian
berangkat besok saja!"
"Baiklah." Guru silat Lie mengangguk sambil tersenyum.
"Hay Thian, kalau begitu, berangkatlah engkau besok pagi."
"Ya, Paman." Kam Hay Thian mengangguk.
"Oh ya!" ujar guru silat Lie. "Engkau pernah menitip dua
ratus tael perak kepadaku, besok pagi uang itu akan
kukembalikan kepadamu."
"Paman, bukankah..."
"Ha ha ha!" Guru silat Lie tertawa "Aku tidak akan
menerima pembayaranmu, sebab aku mengajarmu ilmu silat
dengan setulus hati Lagi pula engkau membutuhkan uang
dalam perjalananmu"
"Terima kasih, Paman?" ucap Kam Hay Thian dengan rasa
haru. "Ha ha ha!" Guru silat Lie tertawa gelak, kemudian
memandang putrinya seraya berkata, "Beng Cu, temanilah
Hay Thian!"
"Ya, Ayah." Lie Beng Cu mengangguk, kemudian mengajak
Kam Hay Thian ke halaman belakang.
"Adik Beng Cu," ujar Kam Hay Thian begitu berada di
halaman belakang. "Bagaimana kalau kita berlatih?"
Lie Beng Cu menggelengkan kepala, lalu memandangnya
dengan wajah agak muram seraya berkata,
"Kakak Hay Thian, besok pagi kita akan berpisah."
"Ya." Kam Hay Thian mengangguk. "Aku harus pergi
mencari Paman Cie Hiong"
"Engkau harus hati-hati dalam perjalananmu, sebab banyak
orang jahat di rimba persilatan," pesan Lie Beng Cu, "Aku aku
mengkhawatirkanmu,"
"Adik Beng Cu!" Kam Hay Thian tersenyum, "Engkau
jangan mengkhawatirkanku, aku bisa menjaga diri"
"Kakak Hay Thian...." Lie Beng Cu menundukkan kepala.
"Engkau tidak akan melupakan aku, bukan?"
"Adik Beng Cu," sahut Kam Hay Thian sungguh-sungguh.
"Aku tidak akan melupakanmu, percayalah!"
"Terima kasih, Kakak Hay Thian!" ucap Lie Beng Cu sambil
tersenyum, kemudian mengeluarkan sebuah benda, yang
ternyata sebuah cincin giok. Diberikannya cincin itu kepada
Kam Hay Thian seraya berkata, "Cincin giok ini hadiah dari
almarhumah, kini kuberikan kepadamu"
"Adik Beng Cu...." Kam Hay Thian tidak berani
menenimanya. "K?kak Hay Thian," desak Lie Beng Cu. "Biar bagaimana
pun engkau hanus menerima. Kalau tidak, aku... aku akan
marah." "Adik Beng Cu...." Akhirnya Kam Hay Thian menerima
cincin itu, lalu dipakal dijari tengahnya.
"Kelak akan kupindahkan ke jari manis. Terima kasih, Adik
Beng Cu!" "Kakak Hay Thian!" Lie Beng Cu tersenyum."Legalah hatiku
engkau mau memakai cincin giok itu, pertanda engkau tidak
akan melupakanku!"
"Adik Beng Cu," ujar Kam Hay Thian sungguh-sungguh.
"Selama-lamanya aku tidak akan melupakanmu"
"Terimakasih, Kakak Hay Thianl" ucap Lie Beng Cu dan
menambahkan, "Aku selalu menanti kedatanganmu."
"Aku pasti ke mari kelak," ujar Kam Hay Thian berjanji.
"Pasti ke mari."
-oo0dw0oo- Lie Beng Cu mengantar kepergian Kam Hay Thian dengan
air mata bercucunan bahkan setelah Kam Hay Thian lenyap
dan pandangannya tangisnya pun meledak seketika. Guru silat
Lie segera membelainya.
"Jangan menangis Nak! Dia pasti ke mari kelak." ujar guru
silat Lie sambil tersenyum. "Ayah tahu, engkau sangat
menyukainya."
"Ayah...."
"Kalau engkau tidak menyukainya bagaimana mungkin
cincin giok pemberian almarhumah berada di jari tangannya?"
"Ayah tidak marah?"
"Kenapa ayah harus marah?" Guru silat Lie tersenyum
lembut. "Kam Hay Thian memang anak baik, maka ayah pun
sangat menyukainya. Kalau tidak, bagaimana mungkin ayah
membiarkanmu menghadiahkan cincin giok itu kepadanya?"
"Ayah...." Lie Beng Cu menundukkan kepala.
"Engkau tidak usah berduka, dia pasti ke mari kelak," ujar
guru silat Lie dan menambahkan.
"Ayah tahu, dia pun menyukaimu."
"Ayah," Wajah Lie Beng Cu langsung berubah kemerahmerahan,
lalu berlari ke dalam.
Sementara Kam Hay Thian terus melakukan perjalanan
menuju markas pusat Kay Pang sesuai dengan petunjuk guru
silat Lie. Beberapa hari kemudian ta telah tiba di sebuah
lembah. Karena merasa lelah sekali, ia langsung duduk di atas
sebuah batu. Begitu duduk wajahnya tampak berubah
seketika, dan cepat-cepat ia meloncat bangun.
Ternyata batu itu merosot ke bawah, kemudian terdengar
pula suara "Kreeek" dan dinding tebing di tempat terbuka.
Betapa terkejutnya Kam Hay Thian, dan ia lalu berdiri
termangu-mangu di tempat. Berselang beberapa saat, barulah
ia memberanikan diri mendekati goa itu sambil memandang ke
dalam, yang keadaannya gelap gulita, tak tampak apa pun.
"Goa apa itu?" gumamnya sambil mengerutkan kening
Akhirnya ia melangkah ke dalam, dan setelah ia berada di
dalam, pintu goa itu tertutup kembali.
"Haaah...!" Kam Hay Thian terkejut bukan main, namun
tidak merasa takut lalu berkeluh.
"Celaka, aku akan terkurung di dalam goa ini!"
Kam Hay Thian berdiri di tempat sambil memandang ke
dalam, tapi tidak tampak apa pun karena gelap sekali.
Beberapa saat kemudian, ?a memberanikan diri melangkah
ke dalam sambi! meraba-raba, Ternyata goa itu merupakan
sebuah terowongan, yang sangat panjang. Entah berapa lama
kemudian tangannya meraba dinding yang sangat dingin,
yang ternyata pintu baja.
"Kok ada pintu di sini?" gumam Kam Hay Thian sambil
meraba ke sana ke mari, dan t?npa sengaja menekan sesuatu.
"Kreeeek! Pintu baja itu terbuka dan cahaya yang cukup
terang menyorot ke luar.
Kam Hay Thian girang bukan main dan segera masuk.
Setelah ia sampai di dalam, pintu baja itu pun tertutup
kembali. "Tempat apa mi?" gumam Kam Hay Thian sambil
menengok ke sana ke mari. Ternyata ia berada di sebuah
ruangan, yang sangat indah dan agak terang, bahkan terdapat
kursi, meja dan perabotan lainnya.
Di dinding ruangan itu juga terdapat beberapa buah pintu
Karena tertarik ia pun memasuki salah satu pintu tersebut.
Betapa girang hatinya, sebab di ruangan kecil itu tersimpan
makanan kering dan lain sebagainya.
Setelah memeriksa ruang kecil itu, ia pun memasuki pintupintu
lainnya. Ternyata semuanya merupakan ruangan, dan
salah satunya menyimpan berbagai macam alat musik.
Sesudah memasuki semua ruangan tersebut, Kam Hay Thian
kembali ke ruang depan, yang sangat besar itu.
Saking girangnya, ia terus meraba-raba Seluruh dinding
ruang depan tersebut. Kemudian bersamaan dengan
terdengarnya suara "krek", muncullah sebuah lubang di bagian
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dinding itu. Kam Hay Thian terbelalak, karena melihat sebuah
kotak yang sangat indah tersimpan di dalamnya.
Ia menjulurkan tangannya mengambil kotak tersebut,
kemudian ditaruhkannya di atas meja.
"Kotak apa ini?" ujarnya sambil memperhatikan kotak
tersebut. Kemudian dengan hati-hati sekali dibukanya kotak
itu. Ternyata di dalamnya berisi dua buah kitab, yang tentunya
membuat Kam Hay Thian tercengang.
Berselang beberapa saat kemudian, barulah ia mengambil
kedua kitab itu, sekaligus dibacanya.
Ternyata kitab itu adalah kitab peninggalan Pak Kek Sian
Ong dan kitab Hian Bun Kui Goan Kang Khi (Kitab Pelajaran
Menghimpun Dan Menyatukan Tenaga Murni).
Setelah membacanya, dapat dibayangkan betapa girangnya
hati Kam Hay Thian, karena tahu bahwa kedua kitab itu
merupakan kitab pelajaran ilmu silat tingkat tinggi. Tidak
salah, kedua kitab itu memang milik Bu Lim Sam Mo. Kam Hay
Thian tidak tahu, tanpa sengaja ?a memasuki tempat tersebut,
yang merupakan bekas markas Bu Tek Pay.
Karena ayahnya pernah mengajarnya dasar-dasar ilmu
lweekang, maka terlebih dahulu ?a mempelajari kitab Hian Bun
Kui Goan Kang Khi.
-oo0dw0oo- Bagian Ke Delapan
Sumber penyakit aneh
Kini Tio Bun Yang telah berusia lima belas tahun. Ia
bertambah tampan dan gagah. Kepandaiannya pun bertambah
tinggi, bahkan telah menguasai Ilmu Penakiuk Iblis dan ilmu
pengobatan pula.
Tentunya sangat menggirangkan Tio Cie Hiong dan Lim
Ceng Im. Namun kedua orang tuanya masih tercekam rasa
cemas, karena Tio Bun Yang mengidap semacam penyakit
aneh. Yakni tidak boleh marah, apabila marah maka Tio Bun
Yang akan kehilangan kesadarannya, sehingga membuatnya
membunuh apa pun yang ada di hadapannya.
Hingga saat ini, Tio Cie Hiong masih tidak tahu sumber
penyakit aneh tersebut. Padahal ia terus menerus mengobati
putranya itu dengan berbagai macam obat, namun tetap tidak
dapat menyembuhkannya.
Pagi ini, Tio Bun Yang duduk bersemedi dibawah sebuah
pohon melatih lweekangnya. Ia menghimpun Pan Yok Hian
Thian Sin Kang, lalu Kan Kun Taylo Sin Kang setelah itu Giok
Li Sin Kang. Di saat menghimpun hawa murni Giok Li Sin Kang, wajah
Tio Bun Yang berubah menjadi pucat. Berselang sesaat,
mulailah Ia menghimpun Kiu Yang Sin Kang. Wajahnya yang
pucat pias itu mulai berubah merah padam, dan keringatnya
mulai merembes ke luar dan keningnya.
Makin lama wajahnya makin bertambah merah, kemudian
mendadak ia berteriak keras sambil meloncat bangun,
sekaligus membuka sepasang matanya. Sungguh
mengejutkan, karena sepasang mat?nya tampak membara.
Ia memukul kesana kemari seperti orang gila, dan banyak
pohon yang hancur terkena pukulannya. kelihatannya Ia telah
kehilangan kesadarannya, dan terus mengamuk memukul
kesana kemari. Lama sekali barulah ia berhenti, lalu terkulai dan pingsan.
Di saat bersamaan, muncullah Lie Ai Ling dan monyet bulu
putih. "Kakak Bun Yang! Kakak Bun Yang!" panggil Lie Ai Ling,
sambjl menggoyang~goyangkan bahunya. Monyet bulu putih
pun segera memeriksanya, dan setejah itu bercuit-cuit.
"Kauw heng," tanya Lie Ai Ling. Kini gadis itu telah berusia
empat belas tahun. "Bagaimana keadaan Kakak Bun Yang, dia
tidak apa-apa?"
Monyet bulu putih mengangguk, dan karena itu Lie Ai Ling
menarik nafas lega.
Berselang beberapa saat kemudian, badan Tio Bun Yang
mulai bergerak, Lie Ai Ling segera memanggilnya.
"Kakak Bun Yang! Kakak Bun Yang!"
Tio Bun Yang membuka matanya, lalu menghela nafas
panjang sambil duduk dan kelihatan lelah sekali.
"Kakak Bun Yang, kenapa engkau?" tanya Lie Ai Ling penuh
perhatian. "Kok engkau pingSan di Sini?"
"Aku" Tio Bun Yang menggelengkan kepala.
"Engkau sakit?" Lie Ai Ling menatapnya.
"Aku tidak sakit, hanya saja...." Tio Bun Yang mengerutkan
kening, "Berat sekali rasanya kepalaku."
"Kenapa begitu?"
"Entahlah. Aku pun tidak mengerti," sahut Tio Bun Yang
dan bergumam. "Aku sedang melatih lweekang...."
"Lalu?"
"Lalu...." Tio Bun Yang terus berpikir sambil bergumam.
"Aku menghimpun Pak Yok Han Thian Sin Kang, kemudian
Kan Kun Taylo Sin Kang Setelah itu, ketika aku menghimpun
Giok Li Sin Kang, aku merasa peredaran darahku mulai
bergejolak. Lebih-lebih ketika aku menghimpun Kiu Yang Sin
Kang, dadaku terasa mau meledak, sehingga membuatku
berteriak keras dan kehilangan kesadaran."
"Oh?" Lie Ai Ling terbelalak, kemudian menengok ke sana
ke mari. "Engkau memukul hancur pohon-pohon itu?"
"Entahlah." Tio Bun Yang menggelengkan kepala. "Aku
tidak mengetahuinya?"
"Kakak Bun Yang!" Lie Ai Ling menatapnya. "Aku melihat
engkau tergeletak pingsan disini, maka segera memanggilmu
sambil menggoyang-goyangkan bahumu."
"Oh?" Tio Bun Yang mengerutkan kening. Tampaknya ia
sedang berpikir lagi. Namun mendadak ia tersentak,
kelihatannya telah menyadari satu hal. "Apakah dikarenakan
itu?" "Dikarenakan apa?" tanya Lie Ai Ling.
"Adik Ai Ling, Kauw-heng, mari kita pulang!" Tio Bun Yang
bangkit berdiri. "Aku harus memberitahukan kepada ayah."
-oo0dw0oo- Tio Cie Hiong, Lim Ceng im, Tio Tay Seng dan Sam Gan Sin
Kay di ruang depan dengan wajah serius. Ternyata Tio Bun
Yang membertahukan tentang kejadian itu, bahkan Lie Ai Ling
pun menambahkan.
"Aku melihat kakak Bun Yang pingsan, dan pohon-pohon di
sekitar tempat itu h?ncur berantakan."
"Ngmm!" Tio Cie Hiong manggut-manggut. "Tidak salah
lagi, itu pasti sumber penyakit Bun Yang!"
"Maksudmu Cie Hiong?" tanya Tio Tay Seng.
"Pan Yok Han Thian Sin Kang dan Kan Kun Taylo Sin Kang
berhubungan erat sekali, boleh dikatakan merupakan saudara
kandung," jawab Tio Cie Hiong menjelaskan "Giok Li Sin Kang
bersifat lembut mengandung hawa im (dingin), sedangkan Kiu
Yang Sin Kang bersifat keras mengandung hawa Yang
(panas). Oleb karena itu, terjadilah gejojak hawa murni yang
bertentangan di dalam tubuh Bun Yang, sehingga
menyebabkan tekanan darahnya tidak normal, sekaligus
menyerang syaraf otaknya, maka menimbulkan penyakit aneh
itu." "Kalau begitu harus bagaimanana tanya Lim Ceng im
cemas. "Tidak apa-apa." Tio Cie Hiong tersenyum. "Kini aku sudab
tahu s?mber penyakit itu, dan aku dapat menyembuhkannya."
"Bagaimana caranya?" tanya Tio Tay Seng.
"Aku harus membantunya mengeluarkan hawa murni Giok
Li Sin Kang dan Kiu Yang Sin Kang," jawab Tio Cie Hiong
sungguh-sungguh. "Kalau tidak, tidak lama lagi dia pasti gila."
"Haaah...?" Lim Ceng Im dan Tio Tay Seng terkejut bukan
main, begitu pula Sam Gan Sin Kay.
"Untung cepat mengetahuinya, kalau tidak Bun Yang pasti
cetaka." Tio Cie Hiong menghela nafas lega.
"Itu kesalahanku," ujar Lim Ceng Im menyesal. "Karena
aku mengajarkannya Giok Li Sin Kang."
"Aku pun bersalah." Tio Tay Seng menggeleng-gelengkan
kepala. "Karena menginginkan Bun Yang menjadi pendekar
tanpa tanding, maka aku pun mengajarnya Kiu Yang Sin Kang.
Akhirnya malah jadi begini."
"Adik Im dan Paman tidak bersalah." Tio Cie Hiong
tersenyum. "Itu pertanda sangat sayang pada Bun Yang. Pada
waktu itu aku pun tidak tahu akan menjadi begini. Namun
masih tidak terlambat, aku mampu mengeluarkan hawa-hawa
murni itu dan tubuh Bun Yang."
"Syukurlah!" ucap Tio Tay Seng sambil menarik nafas lega.
"Bun Yang, duduklah bersila di lantai!" ujar Tio Cie Hiong
dan menambahkan, "Ayah suruh apa, engkau harus menurut."
"Ya, Ayah." Tio Bun Yang mengangguk, lalu duduk bersila
di lantai. Tio Cie Hiong duduk bersila di belakangnya, kemudian
sepasang telapak tangannya ditempelkan pada punggung Tio
Bun Yang. "Bun Yang, himpunlah hawa murni Giok Li Sin Kang!" ujar
Tio Cie Hiong. Tio Bun Yang mengangguk, kemudian menghimpun hawa
murni Giok Li Sin Kang. Tak lama wajahnya mulai memucat,
Tio Cie Hiong segera mengerahkan Pak Yok Han Thian Sin
Kang ke dalam tubuh Tio Bun Yang, dan berselang sesaat ia
berkata. "Buka mulutmu!"
Tio Bun Yang membuka mulutnya. Sesaat kemudian
tampak uap putih mulai keluar dari mulutnya.
"Terus himpun Giok Li Sin Kang, jangan berhenti!" pesan
Tio Cie Hiong dengan suara rendah.
Tio Bun Yang mengangguk perlahan dan terus
menghimpun Giok Li Sin Kang. Berselang beberapa saat, tidak
tampak lagi uap putih ke luar dan mulut Tio Bun Yang.
"Himpun hawa murni Kiu Yang Sin Kang!" ujar Tio Cie
Hiong sambil berhenti mengerahkan Pak Yok Han Thian Sin
Kang. Tio Bun Yang mulai menghimpun hawa murni Kiu Yang Sin
Kang, dan tak lama kemudian wajahnya mulai memerah.
Tio Cie Hiong segera mengerahkan Pan Yok Han Thian Sin
Kang ke dalam tubuhnya. "Buka mulutmu!" ujarnya kemudian.
Tio Bun Yang membuka mulutnya, tampak pula uap putih
ke luar dan mulutnya, yang mengandung hawa panas.
"Jangan berhenti menghimpun hawa murni Kiu Yang Sin
Kang!" pesan Tio Cie Hiong, keningnya mulai berkeringat.
Tio Bun Yang terus menghimpun hawa murni Kiu Yang Sin
Kang, sedangkan Tio Cie Hiong pun terus mengerahkan Pan
Yok Han Thian Sin Kang ke dalam tubuhnya untuk mendesak
ke luar hawa murni Kiu Yang Sin Kang itu.
Berselang beberapa saat kemudian, mulut Tio Bun Yang
tidak mengeluarkan uap lagi, dan wajahnya pun telah normal
kembali. Sebaliknya Wajah Tio Cie Hiong menjadi pucat pias.
Ia segera berhenti mengerahkan Pan Yok Han Thian Sin Kang,
sekaligus menarik kembali tangannya dari punggung Tio Bun
Yang. Tio Bun Yang bangkit berdiri, sedangkan Tio Cie Hiong
masih duduk bersemedi. Berselang sesaat, barulah ia bangkit
berdiri sambil menghela nafas panjang dan berkata,
"Untung aku memiliki lweekang tinggi dan dua kali makan
buah Kiu Yap Ling Che! Kalau tidak, aku pasti sudah t?rluka
dalam!" "Ayah...." Tio Bun Yang segera bersujud dihadapan
ayahnya. "Maafkan Bun Yang telah menyusahkan Ayah!"
"Nak!" Tio Cie Hiong tersenyum lembut sambil
membangunkannya "Kini ayah, ibu dan lainnya telah berlega
hati, karena engkau telah sembuh."
"Terima kasih Ayah!" ucap Tio Bun Yang.
"Nak, duduklah!" Tio Cie Hiong tersenyum lagi sambil
duduk. "Ya, Ayah." Tio Bun Yang duduk di sisi Lim Ceng Im. "Ibu,
mulai sekarang Ibu tidak perlu cemas lagi."
"Nak...." Lim Ceng Im membelainya dengan penuh kasih
sayang. "Ha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa gelak.
"Tio Tocu, urusan in sudah beres. Maka kita pergi main
catur!" "Baik." Tio Tay Seng mengangguk Mereka berdua lalu pergi
main catur. "Adik Im," ujar Tio Cie Hiong sungguh-sungguh. "ini
merupakan pengalaman bagiku. Seseorang memang tidak
boleb belajar bermacam-macam ilmu lweekang, sebab akan
mencelakai diri sendiri."
"Benar." Lim Ceng Im mengangguk "Untung Bun Yang
cepat menyadani hal itu, kalau tidak...."
"Dia pasti gila." Tio Cie Hiong menghela nafas Panjang.
"Oh ya!" Lim Ceng Im teringat sesuatu. "Kini dia telah
memiliki Ilmu Penakiuk Iblis, itu tidak akan
mempengaruhinya?"
"Tentu tidak." Tio Cie Hiong tersenyum. "Karena Ilmu
Penakluk Iblis merupakan semacam ilmu kebatinan tingkat
tinggi, jadi dapat memperkuat batinnya.~"
"Oooh!" Lim Ceng Im manggut-manggut. "Kakak Hiong,
sungguh kasihan Kakak Hong Hoa! Selama lima tahun ini, dia
hidup dengan hati tersiksa."
"Itu karena ulah Lie Man Chiu." Tio Cie Hiong menggelenggelengkan
kepala. "Selama lima tahun ini, dia sama sekali
tidak pulang. Entah dia menjadi apa di rimba persilatan?"
"Kakak Hiong...." Lim Ceng Im menatapnya sambil
tersenyum. "Untung engkau tidak seperti Lie Man Chiu!"
"Adik Im...." Tio Cie Hiong menatapnya mesra dengan
penuh cinta kasih. "Bagaimana mungkin aku akan seperti Lie
Man Chiu?"
"Paman, Bibi," sela Lie Ai Ling mendadak. "Ayahku memang
jahat, tega meninggalkan kami. Aku pun tidak mau
mengakunya sebagai ayah lagi, sebab dia... dia membuat ibu
menderita!"
"Ai Ling...." Tio Cie Hiong terkejut. Ia lupa akan keberadaan
Lie Ai Ling di situ.
"Paman adalah lelaki yang paling baik didunia, juga sebagai
ayah yang paling baik. Sebaliknya ayahku merupakan lelaki
yang paling jahat di dunia. Demi mengangkat namanya
dirimba persilatan, dia begitu tega meninggalkan kami."
"Ai Ling...," ujar Lim Ceng Im dengan suara rendah.
"Engkau tidak boleh berkata demikian dihadapan ibumu,
sebab akan membuat ibumu sedih lho!"
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya, Bibi!" Lie Ai Ling mengangguk.
"Adik Ai Ling!" Mendadak Tio Bun Yang menarik tangannya.
"Mari kita pergi berlatih!"
"Ya, Kakak Bun Yang." Lie Ai Ling mengangguk. Mereka
berdua lalu meninggalkan ruangan itu.
Tio Cie Hiong dan Lim Ceng Im menghela nafas panjang,
sementara monyet bulu putih itu duduk diam saja di kursi.
"Adik Im!" Tio Cie Hbong tersenyum. "Kini legalah hati kita,
karena Bun Yang telah sembuh."
"Ya." Lim Ceng Im mengangguk dengan wajah berseri,
kemudian berkata, "Kakak Hiong, bagaimana menurutmu
mengenai Bun Yang dengan Ai Ling?"
"Maksudmu?" Tio Cie Hiong agak terbelalak.
"Mereka berdua begitu akrab dan cocok, mungkinkah
mereka berjodoh menjadi suami isteri?" sahut Lini Ceng Im.
"Adik Im!" Tio Cie Hiong tertawa. "Mereka berdua memang
akrab dan sangat cocok sekali. Bahkan juga saling mengasihi
dan saling mencinta pula."
"Kalau begitu...." Wajah Lim Ceng Im berseri. "Aku sangat
menyukai Ai Ling."
"Adik Im!" Mendadak Tio Cie Hiong tampak serius. "Engkau
jangan salah paham. Mereka saling mencinta bagaikan kakak
adik kandung, bukan merupakan sepasang kekasih lho!"
"Oh?" Lim Ceng Im tertegun.
"Menurutku..." ujar Tio Cie Hiong. "Mengenai perjodohan
Bun Yang, terserah padanya. Kita sebagai orang tua hanya
merestui saja, jangan bantu dia memilih. Sebab dia bisa pilih
sendiri, jadi terserah dia saja."
"Ya." Lim Ceng Im mengangguk, kemudian tersenyum geli.
"Kakak Hiong...."
"Ada apa" Kenapa engkau mendadak tertawa geli?"
"Aku teringat pertemuan kita pertama kali. Engkau
bertelanjang bulat mandi di kali," sahut
Lim Ceng Im yang masih tertawa geli. "Mungkinkah Bun
Yang akan mengalami hal seperti itu?"
"Mudah-mudahan!" ucap Tio Cie Hiong samtertawa gelak.
"Itu yang kuharapkan."
"Dasar...!" Lim Ceng Im mencubit paha suaminya, dan
kemudian Tio Cie Hiong memeluknya erat-erat dengan mesra
sekali. -oo0w0oo- Tio Hong Hoa duduk melamun di dekat taman bunga.
Matanya terus memandang bulan purnama, yang bersinar
terang, lalu menggeleng-gelengkan kepala sambil menghela
nafas panjang. "Sudah lima tahun! Sudah lima tahun..." gumamnya
dengan mata basah. "Kakak Chiu, kenapa engkau belum
pulang" Aku... aku rindu sekali kepadamu, begitu pula Ai Ling
putri kita itu. Kakak Chiu, apakah engkau telah melupakan
kami" Aaakh..!"
"Ibu! Ibu...." Muncul Ai Ling menghampirinya.
"Al Ling!" Tio Hong Hoa menatapnya sambil tersenyum
getir. "Kenapa engkau belum tidur?"
"Ibu belum tidur, bagaimana mungkin Ai Ling bisa tidur?"
Lie Ai Ling duduk di sisi ibunya.
"Nak...." Tio Hong Hoa membelainya lembut. "Sungguh
kasihan engkau...."
"Yang harus dikasihani adalah Ibu." Lie Ai Ling menatapnya
iba. "Karena Ibu tampak agak tua dan rambut ibu pun mulai
memutih. Ibu, sungguh kejam ayah, Ai Ling benci kepadanya!"
"Nak...." Tio Hong Hoa menghela nafas panjang. "Tidak
baik engkau membencinya, sebab biar bagaimana pun dia
adalah ayahmu. "Hmm!" dengus Lie Ai Ling dingin. "Percuma punya ayah
begitu macam, iebih baik anggap dia sudah mati."
"Nak!" Wajah Tio Hong Hoa berubah pucat. "Engkau...."
"Hanya demi mengangkat nama, dia tega meninggalkan
kita," ujar Lie Ai Ling sengit. "Lihatlah Paman Cie Hiong, dia
hidup tenang dan bahagia bersama anak isterinya di pulau ini,
tidak seperti ayah, yang mementingkan dirinya sendiri."
"Sifat manusia berbeda...." Tio Hong Hoa menggelenggelengkan
kepala. "Nak, walau ayahmu begitu tega
meninggalkan kita, namun ibu tetap mencintainya, dan
merindukannya pula!"
"Ibu...." Lie Ai Ling terbelalak. "Ayah begitu jahat, tapi
kenapa ibu masih mencintai dan merindukannya?"
"Nak, sebetulnya ayahmu tidak jahat." Tio Hong Hoa
menjelaskan. "Dia cuma terlampau berambisi, lagi pula
mungkin sudah merupakan nasib ibu. Maka... engkau jangan
mempersalahkannya."
"Ibu...." Lie Ai Ling menghela nafas. "Sungguh besar jiwa
Ibu, tapi, sebaliknya ayah...."
"Yaah!" Tio Hong Hoa tersenyum getir. "Mungkin juga
merupakan takdir, ibu harus menerima itu dan memaafkan
ayahmu." "Ibu," sahut Lie Ai Ling sungguh-sungguh. "Pokoknya Ai
Ling tidak akan memaafkan ayah."
"Nak, engkau tidak boleh begitu."
"Tidak boleh begitu" Jadi dia boleh meninggalkan kita
sesuka hatinya" Lelaki macam itu lebih baik kita lupakan saja!"
"Nak, dia ayahmu. Jangan lupa itu...."
"Ibu, di saat ayah meninggalkan kita, di saat itu pula Ai
Ling sudah tidak punya ayah."
"Adik Ai Ling...." Mendadak muncul Tio Bun Yang. Apa yang
dikatakan Lie Ai Ling masuk kedalam telinganya. "Engkau
tidak boleh berkata begitu. Ayahmu memang bers?lah, namun
tetap ayahmu, maka engkau harus memaafkannya. Aku yakin
suatu hari nanti, ayahmu pasti menyesal akan perbuatannya
itu." "Kakak Bun Yang...." Sungguh mengherankan, gadis itu
tidak berani berdebat dengannya.
"Bagaimana mungkin ayahku akan menyesal" Itu...tidak
mungkin." "Adik Ai Ling!" Tio Bun Yang menatapnya lembut. "Engkau
harus tahu, Paman Chiu meninggalkan kalian lantaran suatu
ambisi. Itu bukan berarti dia tidak mencintai kalian. Dia tega
meninggalkan kalian karena nuraninya telah tertutup oleh
ambisinya itu. Akan tetapi, suatu hari nanti pintu nuraninya
pasti terbuka kembali, yang akan membuatnya menyesal dan
pasti berlutut dihadapan ibumu untuk memohon
pengampunan. Oleh karena itu, engkau harus memaafkannya
agar pintu nuraninya terbuka. Mengerti?"
"Mengerti, Kakak Bun Yang." Lie Ai Ling mengangguk. "Aku
pasti menuruti nasihatmu."
"Bagus!" Tio Bun Yang tersenyum lembut sambil
membelainya. "Aku sangat bersyukur dan legalah hatiku,
karena engkau sudah mengerti dan mau menuruti nasihatku."
"Kakak Bun Yang!" Lie Ai Ling menatapnya seraya berkata.
"Engkau adalah kakakku yang paling baik di dunia!"
"Terima kasih, adik Ai Ling!" Tio Bun Yang tersenyum lagi.
"Nah, mulai sekarang engkau tidak boleh berdebat dengan
ibumu lagi. Kasihan ibu yang dirundung duka dan sangat
menderita."
"Ya." Lie Ai Ling mengangguk, kemudian merangkul Tio
Hong Hoa sambil menangis terisak-isak. "Ibu, maafkan Ai
Ling!" "Nak...." Tio Hong Hoa membelainya dengan air mata
berderai-derai, kemudian berkata kepada Tio Bun Yang.
"Terima kasih Bun Yang, engkau dapat menasihati Ai Ling!"
"Bibi, Bun Yang menyayanginya, maka harus
menasihatinya," ujar Tio Bun Yang. "Lagi pula Ai Ling boleh
dikatakan sebagai adikku."
"Bun Yang...." Tio Hong Hoa terharu bukan main. "Sifatmu
sungguh baik sekali, seperti sifat ayahmu.
"Bibi!" Tio Bun Yang menatapnya dalam-dalam. "Bun Yang
harap mulai sekarang, Bibi jangan berduka lagi! Bun Yang
yakin suatu hari nanti, Paman Chiu pasti pulang."
"Mudah-mudahan!" sahut Tio Hong Hoa. "Memang itu yang
bibi harapkan."
-oo0dw0ooTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
Tio Cie Hiong dan Lim Ceng Im duduk santai di ruang
depan sambil bercakap-cakap, Wajah mereka tampak ceria
dan bahagia. "Adik Im," ujar Tio Cie Hiong. "Bun Yang telah menguasai
seluruh kepandaianku, hanya saja lweekangnya masih
dangkal" "Jadi harus bagaimana agar lweekangnya mencapai ke
tingkatmu?" tanya Lim ceng Im.
"Itu agak sulit." Tio Cie Hiong menggeleng-gelengkan
kepala. "Sebab aku pernah makan buah Kiu Yap Ling Che,
maka lweekangku menjadi tinggi"
"Kalau begitu...."
"Adik Im!" Tio Cie Hiong tersenyum. "Itu adalah buah ajaib
dan langka, yang lima ratus tahun berbuah sekali, jadi tidak
gampang orang memperoleh buah ajaib itu."
"Oooh!" Lim Ceng Im manggut.manggut "Kalau begitu, Bun
Yang harus terus melatib lweekangnya, bukan?"
"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk.
"Harus melatih berapa lama?"
"Mungkin sepuluh tahun, bahkan juga dua puluh tahun.
Aku tidak begitu jelas."
"Yaah!" Lim Ceng Im menghela nafas panjang.
Di saat bersamaan, tampak sosok bayangan putih melesat
ke dalam, lalu duduk di hadapan mereka.
"Kauw-heng!" Tio Cie Hiong tersenyum. "Dari mana
engkau?" Monyet bulu putih langsung manggut-manggut, kemudian
bercuit-cuit tampak gembira sekali.
"Kalau begitu, pergilah panggil Bun Yang kemari!" ujar Tio
Cie Hiong kepada monyet bulu putih.
Monyet bulu putih itu bercuit-cuit sambil menggerakgerakkan
tangannya Tio Cie Hiong manggut-mangggut dan
berkata. "Barusan engkau menyaksikan latihan Tio Bun Yang?"
Monyet bulu putih itu manggut-manggut, kemudian
sepasang tangannya bergerak sekaligus menarik nafas
"Maksudmu lweekangnya masih dangkal?"
Monyet bulu putih manggut-manggut lagi, lalu menunjuk ke
atas, menunjuk dirinya sendiri dan menunjuk ke sana ke mari
"Apa?" Tio Cie Hiong terbelalak
"Kakak Hiong," tanya Lim Ceng Im. "Kauw-heng bilang
apa?" "Dia bilang ingin mengajak Bun Yang pergi ke Gunung
Thian San," jawab Tio Cie Hiong memberitahUkan "Bun Yang
harus berlatih disana, agar lweekangnya bisa mencapai tingkat
tinggi." "Oh?" Lim Ceng Im tertegun "Kakak Hiong, bagaimana
menurutmu?"
"Harus kita rundingkan dengan paman dan kakekmu,"
sahut Tio Cie Hiong. "Aku tidak berani mengambil keputusan
sekarang" "Ada apa?" Mendadak muncul Tio Tay Seng bersama Sam
Gan Sin Kay. "Paman, Kakek pengemis!" panggil Tio Cie Hiong.
"Cie Hiong!" Tio Tay Seng menatapnya. "Kelihatannya
engkau sedang merundingkan sesuatu dengan kauw heng.
Apa yang kalian rundingkan?"
"Paman!" Tio Cie thong memberjtahukan. "Kauw-heng
mengajukan suatu usul."
"Oh?" Tio Tay Seng tersenyum, "Kauw-heng mengajukan
usul apa?"
"Dia ingin mengajak Bun Yang pergi ke Gunung Thian San."
"Maksudnya Bun Yang berlati di tempat tinggalnya, di
Gunung Thian San?" tanya Tio Tay Seng.
"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk, "Bagaimana menurut
Paman?" "Ha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa mendadak. "Itu
merupakan suatu kesempatan bagi Bun Yang, maka kalian
harus mengijinkan kauw-heng mengajaknya ke sana."
"Cie Hiong," ujar Tio Tay Seng sungguh-sungguh. "Terus
terang, Paman tidak keberatan"
"Tapi "Tio Cie Hiong melirik Lim Ceng Im.
"Kakak Hiong!" Lim Ceng Im tersenyum. "Aku pun tidak
berkeberatan, itu memang merupakan suatu kesempatan bagi
Pendekar Sadis 13 Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L Dendam Iblis Seribu Wajah 14
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama