Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung Bagian 3
Bun Yang. Lagi pula kauw heng sangat sakti, siapa tahu dia
akan memetik buah ajaib Kiu Yap Ling Che untuk Bun Yang."
Monyet bulu putih bercuit sekali, lalu melesat pergi. Tak
lama kemudian hewan itu telah kembali bersama Tio Bun
Yang. "Ayah memanggil Bun Yang?"
"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk. "Bun Yang, kauw-heng
ingin mengajakmu pergi ke Gunung Thian San. Apakah
engkau setuju?"
"Mau apa kauw heng mengajak aku ke sana?" tanya Tio
Bun Yang dengan rasa heran.
Monyet bulu putth segera bercuit-cuit, Sekaligus
menggerak-gerakkan tangannya.
"Oooh!" Tio Bun Yang manggut-manggut sambil
tersenyum. "Ternyata kauw-heng menghendaki agar aku
berlatih di sana!"
"Bagaimana?" Tio Cie Hiong menatapnya. "Engkau setuju?"
"Tentu setuju." Tio Bun Yang mengangguk. "Karena itu
merupakan kesempatan bagiku, maka aku tidak mau
mengecewakan maksud baik kauw-heng."
"Kalau begitu, kapan engkau dan Kauw heng akan
berangkat?" tanya Lim ceng Im.
"Besok pagi," sahut Tio Bun Yang. "Ibu tidak berkeberatan,
bukan?" "Tentu tidak, namun engkau harus berhati-hati..." Ucapan
Lim Ceng Im terputus, karena mendadak monyet bulu putih
bercuit-cuit. Lim Ceng Im tersenyum "Kauw-heng bisa menjaganya,
bukan?" Monyet bulu putih manggut-manggut, dan Tio Bun Yang
tersenyum. "Ibu, aku pun bisa menjaga diri," katanya sungguhsungguh.
"Ngmm!" Lim Ceng Im manggut-manggut.
"Bun Yang!" Tio Cie Hiong menatapnya dalam-dalam.
"Engkau dan kauw-heng boleh berangkat besok pagi, tapi
begitu usai berlatih dsana engkau dan kauw-heng harus
segera pulang. Jangan berkelana dulu, engkau harus ingat"
"Ya, Ayah." Tio Bun Yang mengangguk, "Bun Yang pasti
mematuhi pesan Ayah."
"Bagus!" Tio Cie Hiong manggut-manggut.
"Oh ya!" Tio Bun Yang teringat sesuatu "Bun Yang harus
memberitahu bibi dan adik Ai Ling"
"Mereka berada di ruang belakang, pergilah menemui
mereka!" ujar Tio Cie Hiong.
"Ya, Ayah." Tio Bun Yang berjalan ke ruang belakang.
Tampak Tio Hong Hoa sedang menyulam, dan Lie Ai Ling
duduk di situ menemaninya.
"Kakak Bun Yang?" panggil Lie Ai Ling ketika melihatnya
muncul. "Adik Ai Ling, Bibi!" Tio Bun Yang mendekati mereka.
"Oh, Bun Yang!" Tio Hong Hoa tersenyum. "Duduklah!"
"Ya." Tio Bun Yang duduk lalu berkata, "Bibi, Adik Ai Ling!
Bun Yang ingin menyampaikan sesuatu."
"Mau menyampaikan apa?" tanya Tio Hong Hoa.
"Besok pagi Bun Yang akan berangkat ke Gunung Thian
San bersama kauw-heng." Tio Bun Yang memberitahukan.
"Oh?" Tio Hong Hoa tertegun.
"Kakak Bun Yang...." Lie Ai Ling tersentak. "Besok Kakak
Bun Yang akan berangkat ke Gunung Thian San bersama
kauw~heng?"
"Ya" Tio Bun Yang mengangguk.
"Mau apa ke Gunung Thian San?" tanya Tio Hong Hoa
dengan rasa heran.
"Kauw-heng..." Tio Bun Yang menjelaskan tentang maksud
tujuan monyet bulu putih.
"Oooh!" Tio Hong Hoa manggut-manggut. "Itu memang
merupakan kesempatanmu, ada baiknya engkau ke sana."
"Kakak Bun Yang...." Mata Lie Ai Ling mulai basah. "Kapan
engkau pulang?"
"Entahlah." Tio Bun Yang menggelengkan kepala.
"Mungkin... dua tiga tahun kemudian."
"Kakak Bun Yang harus hati-hati, sebab Gunung Thian San
sangat jauh dan sini." ujar Lie Ai Ling.
"Adik Ai Ling!" Tio Bun Yang tersenyum. "Aku pasti hatihati,
engkau tidak usah mencemaskanku."
"Kakak Bun Yang...." Air mata Lie Ai Ling mulal meleleh.
"Jangan menangis, Adik Ai Ling!" Tio Bun Yang
membelainya. "Aku pasti pulang. Engkau harus menjaga
ibumu baik-baik."
"Ya, Kakak Bun Yang." Lie Ai Ling manggut-manggut.
Keesokan harinya, berangkatlah Tio Bun Yang bersama
monyet bulu putih ke Tionggoan menuju Gunung Thian San.
-oo0dw0oo- Bagian ke Sembilan
13 Jurus Pukulan Cahaya Emas
Di Gunung Thay San, tampak Toan Beng Kiat dan Lam
Kiong Soat Lan sedang berlatih Thian Liong Ciang Hoat (Ilmu
Pukulan Naga Khayangan) dengan sungguh-sungguh Setelah
itu, mereka juga berlatih Thian Liong Kiam Hoat (Ilmu Pedang
Naga Kahyangan) menggunakan ranting.
Di saat mereka berhenti berlatih, terdengar suara pujian
dan muncul Tayli Lo Ceng dengan wajah berseri-seri.
"Omitohud! Kalian berdua telah berhasil menguasai Thian
Liong Ciang Hoat dan Than Liong Kiam Hoat! Bagus, bagus!"
"Guru!" seru mereka sambil memberi hormat.
"Ha-ha-ha!" Tayli Lo Ceng tertawa gembira, kemudian
bertanya, "Sudah berapa lama kalian berada di sini?"
"Kalau tidak salah...," jawab Toan Beng Kiat. "Sudah
hampir lima tahun, bukan?"
"Betul." Tayli Lo Ceng manggut-manggut. "Memang tak
terasa, tahu-tahu sudah lima tahun."
"Guru, bagaimana kepandaian kami?" tanya Lam Kiong
Soat Lan mendadak sambil tersenyum.
"Maju pesat," sahut Tayli Lo Ceng. "Guru tidak menyangka,
kalian begitu cerdas."
"Itu berkat bimbingan Guru," ujar Toan Beng Kiat. "Padahal
kami sangat bodoh."
"Omitohud!" Tayli Lo Ceng manggut-manggut. "Merendah
diri merupakan sifat yang baik, angkuh dan sombong justru
akan meruntuhkan diri sendiri."
"Terima kasih atas wejangan Guru." Ucap mereka berdua
serentak. "Omitohud!" Tayli Lo Ceng menatap mereka sambil
tersenyum. "Kini usia kalian sudah belasan, sudah remaja
lho!" "Guru," tanya Toan Beng Kiat. "Kapan kami boleh pulang
ke Tayli?"
"Dua tahun lagi," sahut Tayli Lo Ceng dan menambahkan,
"Hari ini guru akan menurunkan kepada kalian semacam ilmu,
tapi kalian harus belajar dengan sungguh.sungguh!"
"Ilmu apa itu?" tanya Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat
Lan serentak dengan wajah berseri.
"Kim Kong Sin Kang (Tenaga Sakti CahayaEmas), Kim Kong
Ciang Hoat (Ilmu Pukulan Cahaya Emas) dan Kim Kong Kiam
Hoat (limu Pedang Cahaya Emas)!" Tayli Lo Ceng
memberitahukan.
"Terima kasih, Guru!" ucap mereka.
"Kalian berdua harus tahu,bahwa guru tidak mewariskan
ilmu tersebut kepada Lie Man Chiu," ujar Tayli Lo Ceng.
"Kenapa?" tanya Toan Beng Kiat heran.
"Omitohud...." Tayli Lo Ceng menghela nafas panjang.
"Karena guru tahu bagaimana wataknya. Lagi pula masih ada
suatu takdir dan karma pada dirinya, maka guru tidak
mewariskan ilmu tersebut kepadanya.!"
"Guru, bagaimana wataknya?" tanya Lam Kiong Soat Lan.
"Takdir dan karma apa pula untuk dirinya?"
"Watakny? agak ingin menang sendiri dan sangat
berambisi," jawab Tayli Lo Ceng memberitahukan "Mengenai
takdir dan karmanya, lebih baik kalian tidak usah tahu. Yang
penting kalian harus banyak melakukan kebaikan, sebab siapa
yang melakukan kebaikan, pasti akan menerima takdir dan
karma yang baik pula. Mengerti kalian?"
"Mengerti Guru," sahut Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat
Lan serentak. "Omitohud!" ucap Tayli Lo Ceng dan menambahkan,
"Setiap manusia juga tidak akan terlepas dari suatu cobaan. Di
saat menghadapi cobaan, kita harus t?bah dan jangan sampai
tergoyahkan."
Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan mengangguk, dan
Tayli Lo Ceng memandang mereka sambil tersenyum.
"Kalian pun harus ingat," ujar padri tua itu dan
melanjutkan, "Nasib, peruntungan, perjodohan dan musibah
setiap manusia berkaitan dengan takdir. Oleh karena itu,
janganlah kalian terlampau memaksa diri.
"Ya." Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan mengangguk
lagi. Tayli Lo Ceng terus memberikan berbagai wejangan k?pada
Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan, mereka berdua
mendengar dengan penuh perhatian.
Setelah itu, barulah Tayli Lo Ceng mengajar mereka Kim
Kong Sin Kang (Tenaga Sakti Cahaya Emas).
Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan telah memiliki
lweekang Hud Bun Pan Yak Sin Kang dari Tayli Lo Ceng, maka
tidak begitu sulit bagi mereka untuk belajar Kim Kong Sin
Kang. -oo0dw0oo- Sementara Itu, Siang Koan Goat Nio terus melatih Giok Li
Sin Kang, maka tidak mengherankan kalau lweekangnya
bertambah tinggi. Hal Itu tentu sangat menggirangkan Kim
Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin. Bahkan Siang Koan Goat Nio
pun semakin mahir meniup suling, dan ginkangnya juga sudah
maju pesat. Kini Siang Koan Goat Nio sudah berusia empat belas tahun.
Gadis itu bertambah cantik dan lemah lembut.
Hari ini ia berlatih Giok Li Kiam Hoat, Giok Li Ciang Hoat
dan ginkang. Setelah Itu, Ia duduk beristirahat di bawah
sebuah pobon sambil meniup suling.
Berselang beberapa saat kemudian, barulah ia berhenti dan
tiba-tiba mendengar suara tawa.
"Ha ha ha! Bagus!" Muncul Kim Siauw Suseng dan Kou HUn
Bijin sambil tertawa gembira.
"Ayah, Ibu!" panggil Siang Koan Goat Nio.
"Goat Nio," ujar Kou Hun Bijin sambil tertawa nyaring.
"Kepandaianmu makin maju. Sungguh mengagumkan!"
"Oh?" Siang Koan Goat Nio tersenyum.
"Benar" Kim Siauw Suseng manggut-manggut dan
menambahkan, "Lweekangmu pun bertambah tinggi, itu
sungguh di luar dugaan!"
"Semua itu...." Siang Koan Goat Nio tersenyum lagi. "Atas
bimbingan Ayah dan Ibu."
"Ha ha ha!" Kim Siauw Suseng tertawa gelak.
"Sesungguhnya itU berkat latihanmu sendiri."
"Oh ya!" Kou Hun Bijin menatapnya dalam-dalam,
kernudian tertawa cekikikan seraya berkata, "Nak, engkau
bertambah cantik lho!"
"Ibu " Wajah Siang Koan Goat Nio kemerah-merahan.
"Goat Nio," ujar Kim Siauw Suseng sungguh-sungguh "Kini
engkau sudah remaja, maka harus berhati-hati bergaul
dengan kaum lelaki. Jangan sampai engkau terjerumus."
Harus pilih yang tepat pula," sambung Kou Hun Bijin "Oh
ya, entah bagaimana keadaan Tio Cie Hiong dan lainnya, yang
berada di Pulau Hong Hoang To!"
"Bijin!" kim Siauw Suseng menatap isterinya dan berkata,
"Mungkin kini sudah waktunya kita pergi ke sana."
"Ke pulau itu?"
"Benar." Kou Hun Bijin tertawa gembira. "Kapan kita
berangkat ke sana?"
"Bagaimana kalau besok pagi?"
"Itu...." Kou Hun Bijin berpikir sejenak, lalu mengangguk
dengan wajah berseri. "Baiklah."
"Goat Nio!" Kim Siauw Suseng menatap putrinya sambil
tersenyum. "Bagaimana engkau, merasa gembira akan
berangkat ke Pulau Hong Hoang To?"
"Sungguh gembira sekali, Ayah," jawab Siang Koan Goat
Nio dengan wajah cerah ceria.
Di saat bersamaan, muncul Kwan Gwa Siang Koay dan Lak
Kui, yang kemudian memberi hormat kepada Kim Siauw
Suseng dan Kou Hun Bijin.
"Bagus!" Kou Hun Bijin tertawa. "Kebetulan kalian kemari,
aku ingin bertanya kepada kalian."
"Bijin ingin bertanya apa?" tanya Kwan Gwa Siang Koay.
"Kami bertiga akan berangkat ke Pulau Hong Hoang To,
apakah kalian mau ikut?" tanya Kou Hun Bijin.
"Itu...." Kwan Gwa Siang Koay memandang Lak Kui.
"Bijin," ujar Tiau Am Kui. "Lebih baik kami menjaga lembah
ini, karena kami sudah merasa bosan bepergian jauh."
"Baiklah." Kou Hun Bijin manggut-manggut. "Kalian jaga
baik-baik lembah ini! Kami akan berangkat besok!"
"Ya, Bijin." Kwan Gwa Siang Koay dan Lak Kui
mengangguk. "Kami pasti menjaga baik-baik lembah ini."
"Hi hi hi!" Kou Hun Bijin tertawa cekikikan. "Kalian memang
setia sekali kepada kami, kuucapkan terima kasih kepada
kalian!" "Sama-sama," sahut Kwan Gwa Siang Koay dan Lak Kui
sambil tertawa.
Keesokan harinya, berangkatlah Kim Siauw Suseng, Kou
Hun Bijin dan Siang Koan Goat Nio ke Pak Hai (Laut Utara).
-oo0dw0oo- Belasan hari kemudian, mereka bertiga telah tiba di Pulau
Hong Hoang To. Betapa girangnya Tio Cie Hiong, Lim Ceng
Im, Tio Tay Seng dan Sam Gan Sin Kay ketika melihat
kedatangan mereka.
"Ha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa gelak. "Sastrawan
sialan, terima kasih atas kedatangan kalian!"
"Ha ha ha!" Kim Siauw Suseng juga tertawa gelak.
"Pengemis bau, kukira engkau sudah mampus! Tidak tahunya
masih segar bugar!"
"Kakak!" panggil Tio Cie Hiong dengan wajah berseri.
"Bibi!" panggil Lim Ceng Im sambil tertawa gembira.
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hi hi hi! Hi hi hi!" Kou Hun Bijin tertawa nyaring saking
gembiranya. "Kalian berdua pasti bahagia sekali!"
"Kakak dan Paman sastrawan pasti hidup bahagia juga,"
sahut Tio Cie Hiong sambil memandang Siang Koan Goat Nio.
Kakak, gadis ini...."
"Dia putri kami, namanya Siang Koan Goat Nio." Kou Hun
Bijin memberitahukan.
"Oh?" Tio Cie Hiong terbelalak. "Sungguh cantik sekali putri
kalian!" "Hi hi hi! Siapa dulu?" sahut Kou Hun Bijin sambil tertawa
cekikikan "Tentu ayahnya," ujar Kim Siauw Suseng.
"Ha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa terbahak-bahak
"Sastrawan sialan, engkau begitu jelek, tapi kenapa bisa
mempunyam putri yang sedemikian cantik" Sungguh di luar
dugaan!" "Hi hi hi!" Kou Hun Bijin tertawa. "Pengemis bau, aku
sangat cantik, maka anakku juga pasti cantik."
"Tidak salah, tidak salah." Sam Gan Sin Kay terus tertawa.
"Kim Siauw Suseng, Bijin! Silakan duduk!" ucap Tio Tay
Seng ramah, kemudian menyuruh pembantu menyuguhkan
minuman. Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin duduk, tak lama
kemudian muncullah Tio Hong Hoa bersama Lie Ai Ling.
Tio Hong Hoa segera memberi hormat kepada mereka,
sedangkan Lie Ai Ling bersujud.
"Ai Ling memberi hormat kepada Paman dan Bibi," ucap
gadis itu. "Ha ha ha!" Kim Siauw Suseng tertawa. "Bangunlah!"
"Adik Cie Hiong!" tanya Kou Hun Bijin. "Siapa gadis itu?"
"Putri Kakak Hong Hoa." Tio Cie Hiong memberitahukan.
"Oooh!" Kou Hun Bijin manggut-manggut, kemudian
mengerutkan kening. "Eh, di mana Lie Man Chiu" Kenapa dia
tidak kelihatan?"
"Dia... dia...." Tio Cie Hiong memandang Tio Tay Seng,
agar pamannya yang menjelaskan.
"Mantuku itu memang binatang," ujar Tio Tay Seng
mencaci. "Tak punya perasaan, tak punya nurani dan...."
"Ayah!" Tio Hong Hoa menatapnya dengan wajah muram.
"Jangan mencacinya...."
"Aaaakh...!" keluh Tio Tay Seng.
Itu membuat Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin saling
memandang. "Apa gerangan yang telah terjadi?" tanya Kou Hun Bijin.
"Dia telah meninggalkan kami," sahut Tio Hong Hoa
memberitahukan sambil tersenyum getir.
"Apa"!" Kou Hun Bijin dan Kim Siauw Suseng terbelalak.
"Lie Man Chiu sudah mati?"
"Dia memang telah mampus!" sahut Tio Tay Seng dengan
wajah dingin. "Ayah...." Tio Hong Hoa menggeleng-gelengkan kepala
kemudian memberitahukan, "Dia tidak mati, melainkan
meninggalkan pulau ini."
"Oh?" Kim Siauw Suseng tertegun. "Kenapa dia
meninggalkan pulau ini?"
"Dia...." Tio Hong Hoa menghela nafas panjang. "Dia ingin
mengangkat namanya di rimba persilatan."
"Apa?" Kim Siauw Suseng mengerutkan kening. "Kenapa
dia jadi begitu?"
"Itu sungguh di luar dugaan!" Kou Hun Bijin
mengge1eng~ge1engkan kepala. "Padahal dia murid Tayli Lo
Ceng, namun bersifat begitu."
"Tayli Lo Ceng memang ke mari sete!ah mantu sialan itu
pergi." Tio Tay Seng memberitahukan.
"Kepala gundul itu bilang apa?" tanya Kou Hun Bijin.
"Padri tua itu bilang bahwa semuanya itu ad?lah takdir dan
suatu karma" sahut Tio Tay seng sambil menggelenggelengkan
kepala. "Ayahku pernah meninggalkan ibu, maka putriku harus
menerima karma perbuatan itu."
"Kepala gundul berkata begitu?" tanya Kou Hun Bijin
dengan kening berkerut-kerut.
"Ya." Tio Tay Seng mengangguk.
"Hm!" dengus Kou Hun Bijin. "Kalau aku bertemu kepala
gundul itu, pasti menggetok kepalanya!"
"Bijin...." kim Siauw Suseng menggeleng-gelengkan kepala.
"Jangan omong sembarangan!"
"Kepala gundul itu selalu mengatakan takdir dan karma!
Padahal Lie Man Chiu tak punya perasaan dan nurani, namun
kepala gundul itu masih membela murid sialannya dengan
alasan takdir dan karma! Dasar kepala gundul...," sahut Kou
Hun Bijin sengit.
"Oh ya!" tanya Kim Siauw Suseng. "Sudah berapa lama dia
meninggalkan kalian?"
"Sudah lima tahun," jawab Tio Hong Hoa dengan wajah
murung. "Dia pernah pulang?" tanya Kim Siauw Suseng lagi.
"Tidak pernah." Tio Hong Hoa menggeleng-gelengkan
kepalanya. "Dasar lelaki sialan!" caci Kou Hun Bijin. "Kalau aku
bertemu dia, pasti kuhajar dia sambil merangkak-rangkak!"
"Bijin...." Kim Siauw Suseng mengerutkan kening. "Jangan
bicara sembarangan tidak baik"
"Eh?" Kou Hun Bijin melotot.
"Bijin, kita adalah tamu. Jangan lupa lho!" Kim Siauw
Suseng mengingatkannya "Harus tahu diri dikit."
"Huaha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa gelak. "Sungguh
tak disangka, Kim Siauw Suseng berubah begitu sungkan! Ha
ha ha.!" "Pengemis bau!" Wajah Kim Siauw Suseng kemerahmerahan
"Oh ya, di mana It Sim Sin Ni?"
"ibuku telah meninggal," sahut Tio Tay Seng
memberitahukan dengan wajah murung.
"Hah" Apa?" Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin tertegun.
"It Sim Sin Ni sudab meninggal?"
"Ya." Tio Tay Seng mengangguk.
"Yaaah!" Kou Hun Bijin mengheja napas panjang. "Tak
disangka sama sekali."
Hening seketika suasana, berselang beberapa saat
kemudian, Kou Hun Bijin memandang Tio Cie Hiong seraya
bertanya, "Cie Hiong, engkau tidak punya anak?"
"Punya." Tio Cie Hiong memberitahukan "Anak laki-laki,
namanya Tio Bun Yang."
"Oh?" Wajah Kou Hun Bijin berseri. "Dimana dia" Cepat
panggil dia kemari, aku ingin melihatnya!"
"Dia tidak berada disini," sahut Lim Ceng Im. "Sudah
sebulan dia berangkat ke Gunung Thian San bersama kauwheng."
"Mau apa putra kalian ke Gunung Thian San?" tanya kim
Siauw Suseng heran.
"Berlatih lweekang di sana," sahut Tio Cie Hiong
memberitahukan. "Kauw-heng yang mengusulkan."
"Oooh!" Kim Siauw Sus?ng manggut-manggut.
"Sayang sekali" Kou Hun Bijin menggeleng-gelengkan
kepala, "Oh ya, sudah berapa usianya?"
"Lima betas tahun" Lim Ceng Im memberitahukan dan
bertanya "Memangnya kenapa dan ada apa, Bibi?"
"Bagus!" Kou Hun Bijin tertawa "Putriku berusi? empat
belas tahun"
"Bagus!" sahut Sam Gan Sin Kay sambil tertawa, "Bijin, Bun
Yang tampan sekali, bahkan lemah lembut dan sudah
menguasai seluruh kepandaian Cie Hiong, dia pun sangat
cerdas." "Pengemis bau!" Kim Siauw Suseng tertawa "Mulai
mempromosi ya?"
"Kira-kira begitulah," sahut Sam Gan Sin Kay lalu
memandang Siang Koan Goat Nio "Sastrawan siatan! Putrimu
cantik sekali"
"Betul" Kim Siauw Suseng mengangguk dan menambahkan,
"Bahkan lemah lembut"
"Dia pun telah menguasai seluruh kepandaian kami,"
sambung Kon Hun Bijin melanjutkan, "juga pandai meniup
suling" "Bun Yang pun pandai sekali meniup suling, Cie Hiong
menghadiahkan suling pualam kepadanya," ujar Sam Gan Sin
Kay. "Suara sulingnya sungguh m?nggetarkan kalbu," sela Tio
Tay Seng. "Siapa yang mendengarnya pasti terlena."
"Ha ha ha!" Kim Siauw Suseng tertawa gelak. "Aku pun
telah menghadiahkan suling emas kepada putriku"
"Siapa yang mendengar suaranya, sukmanya pasti terbetot
keluar," sambung Kou Hun Bijin sambil tertawa nyaring
"Ibu..." Wajah Siang Koan Goat Nio tampak kemerahmerahan
"Wuah! Untung...," ujar Sam Gan Sin Kay dengan wajah
serius. "Apa maksudmu, pengemis bau?" tanya Kim Siauw Suseng
sambil men?tapnya tajam. "Untung apa?"
"Putrimu itu...." Sam Gan Sin Kay tersenyum.
"Kenapa dia?"" tanya Kim Siauw Suseng.
"Untung tidak memiliki kebiasaan buruk ibunya," sahut Sam
Gan Sin Kay memberitahukan. "Ibunya sering tertawa nyaring
dan cekikikan, bukankah itu merupakan kebiasaan buruk?"
"Hi hi his" Kou Hun Bijin tertawa cekikikan, "Pengemis bau!
Kalau engkau berani nyerocos yang bukan-bukan, pipimu pasti
bengkak!" "Maaf! Maaf!" Ucap Sam Gan Sin Kay, lalu diam tak
bersuara lagi. "Oh ya, Adik kecil!" Kou Hun Bijin memandang Tio Cie
Hiong. "Engkau harus mewariskan sedikit kepandiaanmu
kepada putriku, jangan pelit lho!"
"Kakak!" Tio Cie Hiong tersenyum. "Aku memang berniat
demikian."
"Oh?" Kou Hun Bijin tertawa gembira. "Goat Nio cepatlah
mengucapkan terima kasih kepada Paman Cie Hiong!"
"Terima kasih, Paman!" Ucap Siang Koan Goat Nio.
"Cie Hiong!" Kim Siauw Suseng tertawa. "Engkau ingin
mewariskan kepandaian kepada putriku?"
"Tujuh jurus Bit Ciat Kang Khi (Ilmu Pemusnah
Kepandaian)." Tio Cie Hiong memberitahukan. "Dan Cit Loan
Kiam Hoat (ilmu Pedang Pusing Tujuh Keliling)."
"Apa?" Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin terbelalak. "Cit
Loan Kiam Hoat?"
"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk. "Ilmu ciptaanku, yang
kalau tidak dalam keadaan bahaya, tidak boleh dikeluarkan."
"Kenapa?" tanya Kou Hun Bijin.
"Sebab ilmu tersebut sangat lihay dan ganas, yang setiap
jurusnya pasti mematikan lawan," jawab Tio Cie Hiong
sungguh-sungguh.
"Cie Hiong, maukah engkau memperlihatkan ilmu itu" Kami
ingin menyaksikannya," ujar Kim Siauw Suseng.
"Tentu mau." Tio Cie Hiong tersenyum sambil bangkit
berdiri. "Goat Nio, mana suling emasmu" Pinjamkan
kepadaku!"
"Ya, Paman." Siang Koan Goat Nio segera menyerahkan
suling emasnya. Hatinya girang bukan main sebab kedua
orang tuanya selalu memuji kepandaian Tio Cie Hiong, dan
kini ia mempunyai kesempatan untuk menyaksikannya.
Tio Cie Hiong melangkah ke tengah-tengah ruangan,
mempertunjukkan Cit Loan Kiam Hoat, ilmu ciptaannya.
Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin menyaksikannya
dengan mata terbelalak, kemudian merasa berkunang-kunang
dan pusing. Begitu pula Siang Koan Goat Nio. Bahkan gadis itu
memejamkan matanya, tidak berani terus menyaksikannya
karena merasa pusing sekali.
Berselang beberapa saat, barulah Tio Cie Hiong
menghentikan gerakannya. Dikembalikannya suling emas itu
kepada Siang Koan Goat Nio, lalu kembali ke tempat
duduknya. "Adik kecil..." Kou Hun Bijin menatapnya dengan mata
terbeliak. "Betulkah engkau yang menciptakan Cit Loan Kiam
Hoat itu?"
"Betul." Tio Cie Hiong mengangguk kemudian
memberitahukan, "Itu berdasarkan ilmu pedang Im Sie Hong
Mo dan Pek Ih Hong Li."
"Bukan main hebatnya ilmu pedang itu!" Kou Hun Bijin
menggeleng-gelengkan kepala dan bertanya. "Adik kecil,
betulkah engkau akan mengajarkannya kepada Goat Nio?"
"Tentu." Tio Cie Hiong tersenyum. "Bagaimana mungkin
aku bohong" Bahkan aku juga akan mengajarkan kepada Ai
Ling, jadi mereka berdua bisa berlatih bersama-sama."
"Terima kasih, Paman!" Ucap Lie Ai Ling cepat.
"Ha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa mendadak sambil
menatap Kim Siauw Suseng.
"Sastrawan sialan! Kenapa engkau diam saja."
"Pengemis bau!" Sahut Kim Siauw Suseng sambil menghela
nafas panjang. "Aku m?sih merasa pusing gara-gara
menyaksikan Ilmu Pedang Cit Loan Kiam Hoat itu."
"Oh?" Sam Gan Sin Kay tertawa lagi. "Sastrawan sialan, kita
adalah Bu Lim Ji Khie, namun sudah ketinggalan jauh."
"Benar." Kim Siauw Suseng manggut-manggut. "O!eh
karena itu, lebih baik kita hidup tenang saja."
"Ha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa. "Aku memang hidup
tenang di pulau ini, setiap hari cuma main catur dengan Tio
Tocu." "Oh?" Kim Siauw Suseng merasa tertarik.
"Aku mau bergabung untuk main catur, kalian tidak
berkeberatan, bukan?"
"Tentu tidak," sahut Sam Gan Sin Kay. "Pasti kami terima
dengan dada terbuka."
"Hi hi hi!" Mendadak Kou Hun Bijin tertawa geli.
"Eh?" Sam Gan Sin Kay heran. "Bijin, kenapa engkau
tertawa geli" Apa yang menggelikan?"
"Barusan engkau bilang apa, pengemis bau?" sahut Kou
Hun Bijin. "Aku bilang... pasti kami terima dengan dada terbuka," ujar
Sam Gan Sin Kay. "Kenapa?"
"Dada terbuka" Jadi kalian ingin terima suamiku dengan
dada terbuka?" Kou Hun Bijin tertawa cekikikan.
"Eh" Itu..." Wajah Sam Gan Sin Kay langsung memerah.
"Itu cuma arti kiasan lho!"
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hi hi hi..." Kou Hun Bijin masih tertawa cekikikan.
"Oh ya!" Tio Tay Seng teringat sesuatu. "Karena Goat Nio
akan belajar di sini, maka kalianpun harus tinggal di sini."
"Itu sudah pasti," sahut Kou Hun Bijin. "Pulau Hong Hoang
To ini sangat indah dan tenang, aku ingin menikmatinya."
"Bagus, bagus!" Sambung Kim Siauw Suseng. "Jadi aku
juga bisa main catur dengan pengemis bau dan Tio Tocu! Ha
ha ha...!"
-oo0dw0oo- Siang Koan Goat Nio berlatih bersama Lie Ai Ling.
Kelihatannya mereka sangat cocok, karena rnerek? selalu
bercanda ria di saat beristirahat.
"Goat Nio!" ujar Lie Ai Ling. "Aku tidak menyangk?, ibumu
s?dah berusia seratus tahun lebih. Pada hal kelihatan baru
berusia empat puluh?n, lagi pula ibumu cantik sekali."
"Al Ling!" Siang Koan Goat Nio tersenyum. "Kedua orang
tuaku awet muda, maka tampak masih muda."
"Engkau juga awet muda?"
"T?ntu tidak, karena aku tidak pernah makan buah ajaib,
yang membuat diriku awet muda" sahut Siang Koan Goat Nio.
"Oh ya, usia ibumu bar? empat puluhan, namun...."
"Tampak tua dan rambutnya pun mulai memutih, bukan?"
"Aaaah!" Lie Ai Ling menghela nafas panjang. "Ibuku
sungguh menderita, dia hidup dengan batin tertekan."
"Ai Ling?" Siang Koan Goat Nio menatapnya lemb?t. "Terus
terang, aku tidak menyangka ayahmu..."
"Tak punya perasaan dan nurani, bukan?"
"Ya" Siang Koan Goat Nio menggeleng-gelengkan kepala
dan melanjutkan, "Aku jadi takut kepada kaum lelaki.
Daripada punya suami seperti ayahmu, lebih balk tidak
menikah." "Benar." Lie Ai Ling mengangguk. ."Aku sependapat
denganmu, tapi... tidak semua lelaki seperti ayahku. Misalnya
paman Cie Hiong, dia begitu mencintai dan menyayangi anak
isterinya."
"Oh ya!" Mendadak wajab Siang Koan Goat Nio tampak
agak memerah. "Bagaimana sifat Tio Bun Yang?"
"Dia adalah pemuda yang paling baik di dunia," sahut Lie Ai
Ling memberitahukan. "Lemah lembut, penuh pengertian dan
berhati bajik pula."
"Oh?" Wajah Siang Koan Goat Nio berseri. "Ai Ling, kalian
berdua besar bersama, tentunya saling... mencintai, kan?"
"Memang." Lie Ai Ling mengaugguk. "Dia sangat
menyayangi dan mencintaiku, begitu pula aku terhadapnya."
"Oh, ya?" Wajah Siang Koan Goat Nio langsung berubah
muram. "Kalian kalian akan menikah kelak."
"Apa"!" Lie Ai Ling terbelalak. "Kami akan menikah kelak?"
"Lho" Bukankah kalian sudah saling mencinta" Tentunya
akan menikah kelak. Ya, kan?"
"Tidak mungkin." Lie Ai Ling tertawa geli.
"Kenapa?" Siang Koan Goat Nio tercengang.
"Karena..." Lie Ai Ling memberitahukan. "Hubungan kami
bagaikan saudara kandung, tentunya tidak akan menikah
kelak. Eeeh" Kelihatannya engkau sangat memperhatikan
Kakak Bun Yang, jangan2. . ."
"Aku...." Siang Koan Goat Nio menundukkan kepala.
"Oooh!" Lie Ai Ling tersenyum, "Ternyata engkau tertarik
kepadanya. Terus terang, Kakak Bun Yang tampan sekali.
kalau engkau melihatnya, pasti akan jatuh cinta."
"Ai Ling Wajah Siang Koan Goat Nio memerah lagi. "Jangan
bicara yang bukan-bukan!"
"Aku bicara sesungguhnya." Lie Ai Ling tampak serius.
"Sejak kecil kami selalu bersama, jadi aku tahu jelas
bagaimana sifat, watak dan prilakunya. Engkau cantik sekali,
juga lemah lembut. Maka... kalian merupakan pasangan yang
serasi "Ai Ling!" Siang Koan Goat Nio tertawa kecil "Aku belum
bertemu dia, dia pun belum bertemu aku...."
"Namun begitu bertemu, kalian pasti saling jatuh cinta,"
sahut Lie Ai Ling. "Aku yakin itu."
"Ai Ling," tanya Siang Koan Goat Nio setengah berbisik.
"Betulkah dia pandai sekali meniup suling?"
"Betul" Lie Ai Ling mengangguk dan menambahkan,
"Bahkan kepandaiannya pun sudah tinggi sekali"
"Tapi" Siang Koan Goat Nio menggeleng-gelengkan kepala.
"Belum tentu dia ?k?n menaruh perhatian kepadaku."
"Goat Nio!" Lie Al Ling tersenyum. "Pokoknya aku siap
membantu dalam hal ini. Terus terang, aku tidak menghendaki
dia jatuh cinta kepada gadis yang tak kusukai."
"Kenapa begitu?" tanya Siang Koan Goat Nio.
"Sebab dia kakakku," sahut Lie Ai Ling sambil menatapnya.
"Aku menyukaimu, maka dia boleh jatuh cinta kepadamu."
"Ai Ling!" Siang Koan Goat Nio tersenyum. "Engkau harus
ingat satu hal, itu ada baiknya bagimu."
"Mengenai hal apa?" tanya Lie Ai Ling heran.
"Cinta jangan dipaksa, lagi pula harus tumbuh di kedua
pihak." Siang Koan Goat Nio memberitahukan. "Kalau cuma
tumbuh sepihak, itu percuma."
"Oooh!" Lie Ai Ling manggut-manggut. "AkU mengerti,
terima kasih atas petunjukmu!"
"Ha ha ba!" Terdengar suara tawa, kemudian muncul Kim
Siauw Suseng, Kou Hun Bijin, TIo Cie Hiong dan Lim Ceng Im.
"Kenapa kalian tidak berlatih, malah terus mengobrol tak
henti-hentinya?"
"Ayah, Ibu, Paman, Bibi!" panggil Siang Koan Goat Nio. Lie
Ai Ling juga memanggil mereka sambil tertawa.
"Kami berdua sedang membicarakan sesuatu." Lie Ai Ling
memberitahukan.
"Oh?" Tio Cie Hiong tersenyum. "Kalian mem- bicarakan
apa" Bolehkah aku tahu?"
"Itu... mengenai kakak Bun Yang." Lie Ai Ling
memberitahukan, Lalu menunjuk Siang Koan Goat Nio. "Dia
terus bertanya tentang Kakak Bun Yang."
"Eh" Ai Ling!" Wajah gadis itu langsung memerah. "Aku...."
"Hi hi hi!" Kou Hun Bijin tertawa cekikikan. "Bagus, bagus
sekali! Goat Nio memang harus tahu jelas mengenal Bun
Yang. Hi hi hi...!"
"Ibu!" Siang Koan Goat Nio menundukkan wajahnya dalamdalam.
"Ai Ling," ujar Tio Cie Hiong. "Engkau boleh
memberitahukannya mengenai Bun Yang, tapi... tidak boleh
menambah bumbu.
"Paman!" Lie Ai Ling tersenyum. "Ai Ling memberitahukan
apa adanya, tidak dikurangi maupun ditambah. Itu juga sudah
cukup membuat Goat Nio tertarik. Padahal Goat Nio belum
melihat Kakak Bun Yang, apa lagi melihatnya...."
"Ai Ling!" Siang Koan Goat Nio mencubit lengan gadis itu.
"Aduh!" jerit Lie Ai Ling sambil tertawa. "Engkau jangan
galak-galak terhadapku! Nanti aku tidak mau membantumu,
baru tahu rasa!"
"Ha ha ha!" Kim Siauw Suseng tertawa gelak. "Ai Ling, biar
bagaimana pun engkau harus membantunya. Sebab... dia
sudah tertarik kepada Bun Yang."
"Ayah!" Siang Koan Goat Nio cemberut.
"Eeeeh?" Kou Hun Bijin terbelalak. "Tak kusangka anakku
sudah bisa cemberut, itu pertanda ada kemajuan! Hi hi hi!"
"Ibu...." Slang Koan Goat Nio membanting-banting kaki.
"Wuah!" Kim Slauw Suseng tertawa terbahak-bahak.
"Bertambah maju lagi sekarang, karena sudah bisa
membanting-banting kaki!"
"Ayah...." Siang Koan Goat Nio betut-betul salah tingkah
digoda kedua orang tuanya.
"Goat Nio!" Lim Ceng Im tersenyum lembut sambil
mendekatinya, kemudian tanyanya berbisik, "Betulkah engkau
tertarik kepada Bun Yang?"
"Maaf, Bibi!" jawab Siang Koan Goat Nio dengan suara
rendah. "Goat Nio tidak berani memastikan, sebab... belum
bertemu dia."
"Menurut bibi...." Lim Ceng Im tersenyum lagi. "Kalian
berdua memang merupakan pasangan yang serasi."
"Bibi...." Wajah Siang Koan Goat Nio memerah.
"Jangan bisik-bisik!" ujar Kou Hun Bijin. "Kami tidak dengar
nih." "Itu tidak apa-apa," sahut Kim Siauw Suseng sambil
tertawa. "Mereka memang harus ada pendekatan."
"Adik kecil!" Kou Hun Bijin menatapnya. "Bagaimana
menurutmu, putriku cocok dengan putramu?"
"Menurutku, mereka memang cocok," ujar Tio Cie Hiong
sambil tersenyum. "Tapi itu juga tergantung pada mereka,
sebab mereka belum bertatap muka."
"Hi hi hi!" Kou Hun Bijin tertawa. "Aku senang sekali,
apabila putriku berjodoh dengan putramu." katanya blakblakan.
"Aku pun senang sekali," sambung Kim Siauw Suseng.
"Sama," ujar Tio Cie Hiong sungguh-sungguh. "Mereka
memiliki sifat yang sesuai, lemah lembut dan serasi pula."
"Ngmm!" Kou Hun Bijin manggut-manggut. "Oh ya, kapan
putramu pulang?"
"Entahlah." Tio Cie Hiong menggelengkan kepala.
"Mungkin... dua tahun lagi, sebab dia berlatih lweekang di
Gunung Thian San!"
"Kalau begitu...," ujar Kou Hun Bijin sungguh-sungguh.
"Kami akan tinggal di sini dua tahun."
"Asyiiik!" seru Kim Siauw Suseng girang.
"Lho?" Kou Hun Bijin mengerutkan kening. "Kok engkau
yang asyik?"
"Karena aku bisa terus main catur dengan pengemis bau
dan Tio Tocu. Nah, bukankah itu asyik sekali?" sahut Kim
Siauw Suseng sambil tertawa. "Ha ha ha!"
-oo0dw0oo- Bagian Ke Sepuluh
Dibunuh orang misterius
Sudah lima tahun lebih Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat
Lan ikut Tayli Lo Ceng. Maka tidak heran kalau Toan Wie Kie
dan Gouw Sian Eng rindu sekali kepada putra mereka. Begitu
pula Lam Kiong Bie Liong dan Toan Pit Lian, mereka pun rindu
sekali kepada Lam Kiong Soat Lan, putri mereka itu.
"Sudah lima tahun lebih, kenapa mereka masih belum
pulang?" keluh Toan Wie Kie sambil menggeleng~ge1engkan
kepala. Mereka berempat duduk dekat taman bunga. Wajah
mereka tampak muram memikirkan Toan Beng Kiat dan Lam
Kiong Soat Lan.
"Mungkin mereka belum berhasil menguasai ilmu-ilmu yang
diwariskan Tayli Lo Ceng," tukas Gouw Sian Eng.
"Itu memang mungkin." Toan Wie Kie manggut-manggut.
"Biar bagaimana pun...," ujar Lam Kiong Bie Liong. "Kita
harus tetap bersabar, mungkin tidak lama lagi mereka akan
pulang." "Bagaimana kalau kita ke Gunung Thay San menemui
mereka?" tanya Toan Pit Lian mendadak seakan mengusulkan.
"Tidak mungkin." Toan Wie Kie menggelengkan kepala.
"Lagi pula ayah tidak akan mengijinkan kita pergi ke sana."
"Benar." Lam Kiong Bie Liong manggut-manggut. "Lebih
baik terus bersabar menunggu saja."
"Tapi...." Toan Pit Lian menghela nafas panjang. "Aku
sudah rindu sekali kepada Soat Lan."
"Kami pun rindu sekali kepada Beng Kiat," ujar Gouw Sian
Eng. "Namun kita tidak boleh kesana menemui mereka,
karena ayah pasti gusar."
"Betul." Toan Wie Kie mengangguk. "Memang lebih baik
kita bersabar saja, jangan menimbulkan hal-hal yang tak
diinginkan."
Di saat bersamaan, tampak Tui Hun Lojin dan Lam Kiong
hujin menghampiri mereka sambil tersenyum.
"Ternyata kalian berada di sini!" ujar Tui Hun Lojin. "Kalian
sedang membicarakan apa?"
"Membicarakan Beng Kiat dan Soat Lan," jawab Toan Wie
Kie. "Sudah lima tahun lebih mereka berdua ikut Tayli Lo
Ceng, namun masih belum pulang."
"Jadi kalian rindu kepada mereka?" tanya Lam Kiong hujin.
"Ya, Ibu." Lam Kiong Bie Liong mengangguk.
"Kami pun sangat merindukan mereka, tapi kita harus tetap
sabar menunggu," ujar Lam Kiong hujin.
"Tadi Pit Lian mengusulkan...." Lam Kiong Bie Liong
memberitahukan. "Ke Gunung Thay San menemui mereka.
"Tidak mungkin." Tui Hun Lojin menggelengkan kepala.
"Sebab akan menggusarkan Hong Ya."
"Karena itu, usul Pit Lian kami tolak," ujar Toan Wie Kie.
"Lebih baik tetap bersabar menunggu mereka pulang."
"Begini...," ujar Tui Hun Lojin. "Biar aku yang ke Gunung
Thay San menemui mereka, sebab aku pun ingin ke markas
pusat Kay Pang menemui Han Tiong."
"Kalau begitu...," sela Lam Kiong hujin. "Aku ikut, karena
aku memang sudah rindu sekali kepada Soat Lan."
"Baik." Tui Hun Lojin mengangguk. "Setelah itu, kita ke
mari bersama Beng Kiat dan Soat Lan."
"Tapi Ibu harus berunding dulu dengan Hong Ya," ujar Lam
Kiong Bie Liong.
"Tentu." Lam Kiong hujin manggut-manggut sambil
tersenyum. "Tidak mungkin kami akan pergi secara diamdiam."
"Kalau begitu, mari kita pergi menemui Hong Ya!" ajak Tui
Hun Lojin sekaligus melangkah kedalam.
Lam Kiong hujin segera mengikutinya, sedangkan Lam
Kiong Bie Liong, Toan Pit Lian, Toan Wie Kie dan Gouw Sian
Eng cuma saling memandang.
Sementara Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin sud?h
sampai di ruang tengah, kebetulan Toan Hong Ya sedang
duduk di situ. "Hong Ya!" Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin memberi
hormat. "Oh!" Toan Hong Ya tersenyum. "Silakan duduk!"
Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin duduk. Toan Hong Ya
memandang mereka seraya bertanya,
"Ada sesuatu penting?"
"Hong Ya!" Tui Hun Lojin memberitahukan. "Kami sangat
rindu kepada Beng Kiat dan Soat Lan, maka... kami ingin ke
Gunung Thay San menemui mereka."
"Oooh!" Toang Hong Ya manggut-manggut. "Baiklah!
Tolong sampaikan salamku kepada Tayli Lo Ceng!"
"Ya, Hong Ya." Tui Hun Lojin mengangguk.
"Kapan kalian mau berangkat ke Tionggoan?" tanya Toan
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hong Ya. "Besok" jawab Lam Kiong hujin.
"Kalau begitu..." ujar Toang Hong Ya. "Aku akan menyuruh
pengawal menyediakan dua ekor kuda jempolan untuk kalian."
"Terima kasih, Hong Ya!" ucap Lam Kiong hujin dan Tui
Hun Lojin serentak, lalu meninggalkan ruangan itu dan
kembali ketaman bunga.
"Bagaimana Ibu?" tanya Lam Kiong Bie Liong.
"Hong Ya memperbolehkan ibu ke Gunung Thay San?"
"Ya." Lam Kiong hujin tersenyum.
"Kapan Kakek berangkat?" tanya Gouw Sian Eng.
"Besok," Sahut Tui Hun Lojin. "Kakek juga ingin ke markas
pusat Kay Pang menemui ayahmu, karena sudah lama kakek
tidak bertemu ayahmu."
"Hati-hati Kakek!" pesan Gouw Sian Eng.
"Hati-hati Ibu!" pesan Lam Kiong Bie Liong.
Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin tersenyum sambil
manggut-manggut, kemudian Tui Hun Lojin berkata,
"Kalian tidak usah mencemaskan kami, kami pasti kembali
bersama Beng Kiat dan Soat Lan."
Siapa pun tidak akan menyangka, bahwa kepergian Tui
Hun Lojin dan Lam Kiong hujin justru untuk selama-lamanya.
-oo0dw0oo- Tampak dua ekor kuda berlari kencang meninggalkan Tayli.
Penunggangnya adalah Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin,
yang keduanya tampak berseri-seri.
"Lam Kiong hujin," ujar Tui Hun Lojin. "Kita mampir dulu ke
markas pusat Kay Pang, setelah itu barulah ke Gu?ung Thay
San. Bagaimana?"
"Tidak apa-apa," Sahut Lam Kiong hujin. "Sebab harus
melewati daerah markas pusat Kay Pang, tidak ada salahnya
kalau kita mampir dulu ke sana."
"Lam Kiong hujin!" Tui Hun Lojin tertawa. "Sudah lima
tahun lebih kita tidak bertemu Beng Kiat dan Soat Lan, mereka
pasti sudah besar."
"Tentu." Lam Kiong hujin tersenyum. "Kini mereka sudah
remaja. Jangan-jangan kita tidak akan mengenali mereka
lagi." "Mungkin." Tui Hun Lojin tertawa gelak. "Ha ha ha...!"
Beberapa hari kemudian, mereka sudah memasuki daerah
Tionggoan, maka kedua-duanya merasa gembira.
Ketika hari mulai sore, sampailah mereka disebuah lembah.
Tiba-tiba Tui Hun Lojin mengerutkan kening seraya berkata,
"Lam Kiong hujin, kenapa perasaanku tidak enak"
Mungkinkah akan terjadi sesuatu?"
"Oh?" Lam Kiong hujin juga mengerutkan kening, dan
kemudian mereka menghentikan kuda masing-masing.
"Heran!" gumam Tui Hun Lojin. "Kenapa mendadak muncul
perasaan yang tidak enak?"
Pada waktu bersamaan, terdengarlah suara tawa yang
sangat menyeramkan lalu melayang turun sosok bayangan
kebijau.hjjauan.
"Siapa! bentak Tui Hun Lojin sambil meloncat turun dan
punggung kudanya. Begitu pula Lam Kiong hujin.
"Hmm!" dengus orang yang baru muncul itu. Orang itu
mengenakan jubah bijau, mukanya berbentuk segi empat,
bermata besar dan memancarkan sinar kehijau~hijauan.
"Engkau pasti Tui Hun Lojin!" Orang itu menunjuknya
kemudian menunjuk Lam Kiong hujin. "Dan engkau pasti Lam
Kiong hujin!"
"Benar!" Tui Hun Lojin mengangguk. "Siapa engkau,
kenapa menghadang perjalanan kami?"
"He he he!" Orang itu tertawa terkekeh-kekeh. "Hari ini
kalian berdua harus mampus! Setelah kalian mampus, aku
akan ke Kwan Gwa Siang Koay mencani Siang Koay dan Lak
Kui!" "Beritahukan!" desak Tui Hun Lojin. "Siapa engkau" Ada
permusuhan apa di antara kita?"
"Aku adalah Seng Hwee Sin Kun (Si Malaikat Api Suci), adik
seperguruan Ang Bin Sat Sin (Algojo Muka Merah)!" Orang itu
memberitahukan. "Maka hari ini kalian harus mampus!"
Tui Hun Lojin dan Lam Kiong bujin saling memandang,
kelihatannya mereka berdua sudah siap bertarung dengan
Seng Hwee Sin Kun.
"He he be?" Seng Hwee Sin Kun tertawa terkekeh-kekeh
dan mendadak sepasang telapak tangannya berubah kehijauhijauan,
bahkan mengeluarkan hawa yang sangat panas.
"Lam Kiong hujin!" pesan Tui Hun Lojin. "Kita harus
berhati-hati! Kita tidak membawa senjata, terpaksa
melawannya dengan tangan kosong!"
"He he he!" Seng Hwee Sin Kun tertawa terkekeh-kekeh
lagi, lalu mulai menyerang Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin.
Mereka berdua segera berkelit dan balas menyerang
dengan ilmu andalan masing-masing.
Terjadilah pertarungan sengit. Kira-kira dua puluh jurus
kemudian, Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin mulai berada di
bawah angin. Betapa terkejutnya mereka berdua. Sebab hawa
pukulan pihak lawan membuat mereka terasa seperti terbakar,
dan mereka sama sekali tidak tahu ilmu pukulan apa itu.
"He he he! He he he!" Seng Hwee Sin Kun tertawa seram.
"Kini sudah waktunya kalian mampus!"
Mendadak sepasang telapak tangan Seng Hwee Sin Kun
tampak membara, dan ia langsung menyerang Tui Hun Lojin
dan Lam Kiong hujin. Mereka berdua terpaksa menangkis,
karena tiada kesempatan untuk berkelit.
"Aaaakh! Aaakh!" Terdengar suara jeritan yang sangat
menyayat hati. Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin terhuyung-huyung
kemudian roboh dan nyawa mereka melayang seketika.
Sungguh mengerikan kematian mereka, sekujur badan mereka
hangus seperti terbakar.
"He he he!" Seng Hwee Sin Kun tertawa gelak, lalu melesat
pergi dan masih tertawa. Mayat Tui Hun Lojin dan Lam Kiong
hujin dibiarkan tergeletak di situ.
-oo0dw0oo0 Hening sekali suasana dimarkas pusat Kay Pang, para
anggota semuanya diam dan tampak berduka pula.
Di ruang depan, tampak Lim Peng Hang, Gouw Hang Tiong
dan empat pelindung hukum duduk di situ dengan kening
berkerut-kerut.
Wajah Gouw Han Tiong pucat pias dan matanya agak
membengkak. "Saudara Gouw, jangan terlampau berduka! Yang penting
kita harus menyelidiki siapa pembunuh ayahmu dan Lam
Kiong hujin." kata Lim Peng Hang sambil menatapnya.
"Aku yakin ayahku dan Lam Kiong hujin menuju kemari dan
Tayli, tapi mereka berdua terbunuh di lembah itu. Siapa
pembunuh itu?" gumam Gouw Han Tiong
"Sekujur badan mereka hangus, terkena semacam
pukulan," ujar Lim Peng Hang. "Kita tidak pernah mendengar
ada ilmu pukulan seperti itu dalam rimba persilatan."
"Itu adalah ilmu pukulan yang mengandung api," ujar salah
seorang pelindung hukum. "Dapat dibayangkan, betapa
tingginya lweekang pembunuh itu!"
"Benar." Lim Peng Hang manggut.-manggut. "Mungkin aku
juga tidak akan sanggup menyambut pukulan itu. Heran"
Kenapa bisa muncul ilmu pukulan seperti itu dalam rimba
persilatan?"
"Aaaah!" Gouw Han Tiong menghela nafas panjang. "Aku
tidak menyangka kalau ayahku dan Lam Kiong hujin akan mati
begitu mengenaskan. Kenapa mereka kemari.,.?"
"Saudara Gouw," ujar Lim Peng Hang sungguh-sungguh.
"Kita harus menyuruh beberapa orang pergi menyelidiki
pembunuh itu."
"Kami berempat siap melaksanakan tugas itu, ketua," ujar
salah seorang pelindung hukum.
"Kalian berempat tidak boleh meninggalkan markas pusat
ini," sahut Lim Peng Hang. "Lebih baik suruh beberapa orang
anggota peringkat ketujuh untuk menyelidikinya!"
"Ya, Ketua."
"Saudara Gouw!" Lim Peng Hang menatapnya. "Engkau
punya rencana?"
Gouw Han Tiong menggelengkan kepala.
"Bagaimana kalau begini...," usul Lim Peng Hang. "Saudara
berangkat ke Tayli memberitahukan kepada Siang Eng dan
Lam Kiong Bie Liong, sedangkan aku berangkat ke Pulau Hong
Hoang To memberitahukan kepada ayahku dan Tio Cie
Hiong?" "Ngmm!" Gouw Han Tiong manggut-manggut. "Aku
memang harus ke Tayli memberitahukan kepada mereka."
"Kalau begitu, kita berangkat besok pagi," ujar Lim Peng
Hang. "Baik." Gouw Han Tiong mengangguk.
"Si Hu Huat (Empat Pelindung Hukum)!" Lim Peng Hang
memberi perintah. "Kalian berempat tidak boleh meninggalkan
markas, suruh beberapa anggota peringkat ketujub
menyelidiki pembunuh itu!"
"Kami terima perintah, Ketua," sahut keempat pelindung
hukurn serentak sambil memberi hormat.
Keesokan harinya, Gouw Han Tiong berangkat ke Tayli
dengan menunggang kuda, sedangkan Lim Peng Hang
berangkat ke pulau Hong Hoang To. Belasan hari kemudian,
Lim Peng Hang sudah tiba di pulau tersebut.
Kedatangannya membuat Sam Gan Sin Kay, Tio Tay Seng
dan lainnya terheran-heran, sebab wajah Lim Peng Hang
tampak murung. "Ayah! panggil Lim Ceng Im cemas.
"Ceng Im!" Lim Peng Hang tersenyum getir Tio Cie Thong
segera memberi hormat, namun tidak bertanya apa pun.
Sedangkan Sam Gan Sin kay terus menatapnya dengan
perasaan tegang, berselang sesaat barulah membuka mulut.
"Peng Hang," Telah terjadi sesuatu di Kay Pang?"
"Tidak," jawab Lim Peng Hang.
"kalau tidak, kenapa wajahrm begitu murung?" Sam Gan
Sin Kay mengerutkan kening.
Ketika Lim Peng Hang b?ru mau menjawab, mendadak
muncul Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin.
Lim Peng Hang segera memberi hormat, Kim Siauw Suseng
dan Kou Hun Bijin memandangnya dengan penuh rasa heran,
sebab wajah ketua Kay Pang itu tampak murung sekali
"Lim Pangcu, kenapa wajahmu..." Kim Siauw Suseng terus
memandangnya. "Aaaah ~" Lim Peng Hang menghela nafas panJang "Tui
Hun Lojin dan Lam Kiong hujin terbunuh di sebuah lembah"
"Apa" Semua orang terkejut, bahkan Sam Ga? Sin Kay
sampai meloncat bangun saking kagetnya
"Peng Hang! Engkau bilang apa?" tanya Sam Gan Sin Kay
dengan wajah pucat pias.
"Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin terbunuh di sebuah
lembah!" jawab Lim Peng Hang mengulanginya.
"Setan tua itu...." Mata Sam Gan Sin Kay dan Kim Siauw
Suseng tampak basah.
"Siapa pembunuh itu?" tanya Tio Tay Seng.
"Entahlah." Lim Peng Hang menggelengkan kepala sambil
memberitahukan. "Sekujur badan mereka hangus seperti
terbakar."
"Apa?" Sam Gan Sin Kay Lerkejut. "Apakah mereka
dibakar?" "Bukan," sahut Lim Peng Hang. "Kelihatannya mereka
terkena semacam ilmu pukulan."
"Ilmu pukulan apa itu?" Kim Siauw Suseng mengerutkan
kening. "Itu adalah ilmu pukulan yang mengandung api," ujar Kou
Hun Bijin. "Tergolong ilmu sesat."
"Bijin tahu tentang ilmu pukulan itu?" tanya Sam Gan Sin
Kay. "Tidak begitu jelas." sahut Kou Hun Bijin.
"Kalau tidak salah, ilmu itu berasal dari Persia. Tapi...
selama dua ratus tahun ini, tiada seorang pun berhasil
mempelajarinya, Namun sungguh mengherankan, kenapa kini
ilmu pukulan itu malah muncul?"
"Kakak," tanya Tio Cie Hiong mendadak. "Bagaimana
kedahsyatan pukulan tersebut?"
"Sangat dahsyat sekali," jawab Kou Hun Bijin. "Siapa yang
terkena pukulan itu, pasti mati hangus."
"Aaaah...!" Sam Gan Sin Kay menghela nafas panjang.
"Setelah Bu Lim Sam Mo mati, kukira rimba persilatan akan
aman, tidak tahunya kini malah muncul bencana lagi, bahkan
Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin yang terbunuh!"
"Oh ya!" Tio Tay Seng memandang Lim Peng Hang seraya
bertanya. "Bagaimana Gouw Han Tiong?"
"Dia berangkat ke Tayli untuk memberitahukan kepada Sian
Eng dan Lam Kiong Bie Liong," jawab Lim Peng Hang sambil
menggeleng-gelengkan kepala. "Lam Kiong Bie Liong pasti
berduka sekali.
"Heran?" gumam Sam Gan Sin Kay. "Padahal Tui Hun Lojin
dan Lam Kiong hujin hidup tenang di Tayli, tapi kenapa
mereka masih ke Tionggoa??"
"Mungkin ingin menengok Gouw Han Tiong," sahut Lim
Peng Hang. "Itu memang masuk akal" Sam Gan Sin Kay manggutmanggut.
"Lalu untuk apa Lam Kiong hujin juga ikut ke
Tionggoan?"
"Entahlah." Lim Peng Hang menggelengkan kepala. "Oh ya!
Di mana Bun Yang?"
"Bun Yang dan kauw-heng pergi ke Gunung Thian San." Tio
Cie Hiong memberitahukan.
"Oh?" Lim Peng Hang tercengang. "Untuk apa Bun Yang
dan kauw-heng pergi kesana?"
"Itu adalah usul kauw-heng," ujar Lim Ceng Im. Bun Yang
berlatih lweekang disana."
"Oooh!" Lim Peng Hang manggut~manggut.
Di saat bersamaan, tampak Lie Ai Ling dan Siang Koan
Goat Nio berjalan ke dalam. Begitu melihat Lim Peng Hang,
Lie Ai Ling langsung memberi hormat. Begitu pula Siang Koan
Goat Nio. "Ai Ling!" Lim Peng Hang tersenyum. "Engkau sudah besar!
Eh" Siapa gadis itu" Sungguh cantik sekali!"
"Hi hi hi!" Kou Hun Bijin tertawa cekikikan. "Dia puteriku."
"Oh?" Lim Peng Hang terbelalak. "Bijin masih bisa
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mempunyai anak?"
"Eeeh?" Kou Hun Bijin melotot. "Itu putri kandungku lho!
Berarti aku bisa mempunyai anak."
"Maaf, maaf!" ucap Lim Peng Hang cepat. "Oh ya! Di mana
Lie Man Chiu" Kenapa dia tidak kelihatan?"
"Dia binatang!" sahut Tio Tay Seng dengan wajah merah
padam. "Haah?" Lim Peng Hang tertegun. "Dia...."
"Dia telah meninggalkan anak isterinya." Sam Gan Sin Kay
memberitahukan "Dia ingin mengangkat namanya di rimba
persilatan."
"Oh?" Lim Peng Hang tefbelalak.
"Lim Pangcu!" Tio Tay Seng menatapnya. "Engkau pernah
mendengar tentang dirinya dirimba persilatan?"
"Tidak pernah,"jawab Lim Peng dan bertanya. "Tio Tocu!
Sudah berapa lama dia meninggalkan pulau ini?"
"Sudah lima tahun lebih," jawab Tio Tay Seng kemudian
mencaci lagi. "Dia memang binatang, membuat anak isteri
menderita!"
"Padahal..." Lim Peng Hang menggeleng-gelengkan kepala.
"Dia murid Tayli Lo Ceng."
"Sudahlah!" tandas Tio Tay Seng. "Jangan membicarakan
binatang itu, sebab akan merusak suasana!"
"Ayah...." Lim Peng Hang memandang Sam Gan Sin Kay.
"Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin dibunuh orang misterius,
bagaimana rencana Ayah?"
"Ayah sudah tua, lagi pula sudah jemu akan urusan rimba
persilatan. Oleh karena itu, ayah tidak mau turut campur
mengenai kejadian ini," sahut Sam Gan Sin Kay.
"Tapi..." Lim Peng Hang mengerutkan kening. "Tui Hun
Lojin adalah kawan baik Ayah, kenapa Ayah tidak mau turut
campur?" "Peng Hang, ayah ingin hidup tenang di pulau ini. Engkau
ingin memaksa ayah mencampuri urusan rimba persiiatan
lagi?" tegur Sam Gan Sin Kay.
"Lim Pangcu," ujar Kim Siauw Suseng. "Tui Hun Lojin
memang kawan baik kami, tapi kami sudah tidak mau
mencampuri urusan rimba persilatan. Lebih baik engkau saja
yang menanganinya."
"Lim Pangcu," sela Tio Tay Seng. "Kami semua sudah tua,
maka ingin hidup tenang."
"Aku mengerti." Lim Peng Hang manggut-manggut. "Tapi
kematian Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin...."
"Peng Hang!" bentak Sam Gan Sin Kay. "Engkau sebagai
ketua Kay Pang, tapi kenapa jadi begini?"
"Ayah!" Lim Peng Hang menghela nafas panjang.
"Kepandaian orang misterius itu sangat tinggi."
"Sudahlah! Engkau diam saja!" Sam Gan Sin Kay
mengerutkan kening. "Jangan mengusik ketenangan di sini!"
"Ayah...," ujar Lim Ceng Im. "Kakek memang sudah tahu,
dan harus hidup tenang disini. Ayah jangan terus mendesak
kakek, lebih baik kita cari jalan lain saja."
"Ayah tahu." Lim Peng Hang menghela nafas lagi. "Engkau
dan Cie Hiong juga sudah tidak mau mencampuri urusan
rimba persilatan. Tapi kini di rimba persilatan mulai timbul
badai. Hiat Ih Hwe dan Tiong Ngie Pay saling membunub."
"Tiong Ngie Pay?" Tio Cie Hiong tertegun. "Partai baru
dalam rimba persilatan?"
"Ya." Lim Peng Hang mengangguk. "Menurut dugaanku,
ketua perkumpulan itu Yo Suan Hiang."
"Oh, ya?" Lim Ceng Im tersenyum. "Hebat juga dia, mampu
mendirikan Tiong Ngie Pay! Ayah, bagaimana kekuatan partai
itu?" "Kini sudah kuat sekali." Lim Peng Hang memberitahukan.
"Banyak pesilat golongan putih bergabung dengan Tiong Ngie
Pay, sebab Tiong Ngie Pay selalu membela rakyat, sekaligus
melawan Hiat Ih Hwe."
"Siapa ketua Hiat Ih Hwe?" tanya Lim Ceng Im.
"Kalau tidak salah, ketua Hiat Ih Hwe adalah Lu Thay kam,"
jawab Lim Peng Hang. "Ayah memperoleh informasi, bahwa
Lu Thay Kam berkepandaian tinggi sekali."
"Pusing!" ujar Sam Gan Sin Kay. "Rimba persilatan bakal
diterjang badai, sedangkan kerajaan pun akan disapu topan."
"Kini muncul pemberontakan dimana-mana." Lim Peng
Hang memberitahukan. "Yang memimpin pemberontakan
adalah Lie Tsu Seng."
"Peng Hang!" Sam Gan Sin kay menatapnya tajam.
"Pokoknya Kay Pang jangan terseret kearus pemberontakan,
engkau harus ingat itu!"
"Ya, Ayah." Lim Peng Hang mengangguk dan
menambahkan, "Mengenai kematian Tui Hun Lojin, akan
kutangani bersama Gouw Han Tiong."
"Bagus!" Sam Gan Sin Kay manggut-manggut. "Memang
harus begitu. Engkau harus tahu, bahwa ayah sudah tahu.
Masih kuat hidup berapa lama lagi, tentunya engkau tidak
menghendaki ayah cepat-cepat mati, bukan?"
"Ayah, maafkan karena aku tadi mendesak Ayah!" ucap Lim
Peng Hang sambil menundukkan kepala.
Sementara Lim Ceng Im berbisik-bisik kepada Tio Cie
Hiong, dan kemudian mereka pun manggut-manggut.
"Eeh?" Sam Gan Sin Kay memandang mereka. "Kok kalian
berdua malah berbisik-bisik" Mencaci kakek ya?"
"Mana berani kami mencaci kakek?" sahut Lim Ceng Im
sambil tersenyum. "Kami merundingkan sesuatu."
"Apa yang kalian rundingkan" Bolehkah dibeberkan untuk
kami dengar" tanya Sam Gan Sin Kay sambil tertawa.
"Tentu boleh." Lim ceng Im mengangguk. "Sebelum Bun
Yang berangkat ke Gunung Thian San, kami telah berpesan
kepadanya."
"Kalian berpesan apa kepadanya?" tanya Sam Gan Sin Kay,
yang tidak sabaran.
"Seusai berlatih lweekang di Gunung Thian San, dia harus
ke Gunung Hong Lay San menemui Tan Li Cu. "Setelah Itu, dia
pun harus ke markas pusat Kay Pang menemui kakeknya." Lim
Ceng Im memberitahukan. "Berhubung Tui Hun Lojin dan Lam
Kiong hujin mati terbunuh, maka kami menghendaki Bun Yang
membantu kakeknya."
"Bagus, bagus!" Sam Gan Sin Kay manggut-manggut.
"Memang sudah waktunya Bun Yang berkecimpung dalam
rimba persilatan."
"Tunggu dulu!" potong Kou Hun Bijin. "Kalau begitu,
putriku akan sia-sia menanti di pulau ini?"
"Ha ha ha!" Tio Tay Seng tertawa gelak. "Setelah Goat Nio
menguasaj ilmu-ilmu yang diajarkan Cie Hiong, bukankah dia
boleh pergi mencari Bun Yang?"
"Ngmm!" Kou Hun Bijin manggut-manggut. "Betul juga.
Tapi... ayahnya setuju atau tidak, harus bertanya kepadanya."
"Aku tidak berkeberatan," sahut Kim Siauw Suseng cepat.
"Sebab Goat Nio pun harus pergi mengembara mencari
pengalaman."
"Sastrawan sialan," sela Sam Gan Sin Kay, "Goat Nio akan
pergi mencari Bun Yang mencari pengalaman?"
"Itu...." Kim Siauw Suseng tergagap.
"Mencari Bun Yang sekaligus mencari pengalaman," jawab
Kou Hun Bijin sambil tertawa nyaring. "Hi hi hi! Tidak lama lagi
rimba persilatan akan muncul seorang gadis yang cantik
jelita!" "Ayah," ujar Lim Ceng Im. "Kalau Bun Yang ke markas
pusat Kay Pang, beritahukan kepadanya bahwa ayah sudah ke
mari!" "Itu pasti." Lim Peng Hang tersenyum.
"Oh ya, Ayah," pesan Lim Ceng Im. "Kauw heng harus
terus mendampingi Bun Yang, sebab kauw heng memiliki
panca indera keenam, jadi ada baiknya kauw heng
mendampingi Bun Yang."
"Benar." Lim Feng Hang mengangguk sambil tertawa.
"Tidak lama lagi di rimba persilatan akan muncul seorang
pendekar muda yang tampan dan berhati bajik. Ha ha ha...!"
"Yaaah!" Mendadak Tio Cie Hiong menghela nafas panjang
sambjl mengge1eng-gelengkan kepala.
"Kakak Hiong!" Lim Ceng Im tercengang. "Kenapa engkau
menghela nafas panjang" Apakah ada sesuatu terganjel dalam
hatimu?" "Kita di sini tertawa~tawa, namun di Tayli sana...." Tio Cie
Hiong menghela nafas lagi.
"Jadi keputusan kita yaitu Bun Yang membantu Lim
Pangcu" Begitu kan?" ujar Kou Hun Bijin mendadak.
"Ya." Tio Cie Hiong dan Lim Ceng Im mengangguk.
"Sedangkan keputusanku. . . ." Kou Hun Bijin melirik
putrinya. "Setelah dia menguasai semua ilmu itu, dia harus
pergi mencari Bun Yang."
"Tidak salah," sahut Kim Siauw Suseng. "Kita berdua tetap
tinggal di sini, tidak usah pulang ke Kwan Gwa. Sebab pulau
ini sungguh indah, udaranya pun segar.dan sejuk."
"Yang lebih nyaman lagi yakni bisa main catur dengan Sam
Gan Sin Kay dan Tio Tocu. Ya, kan?" sambung Kou Hun Bijin.
"Betul, betul." Kim Siauw Suseng tertawa gelak. "Engkau
memang isteriku yang baik, tahu hobi suami."
"Merayu nih ye?" goda Sam Gan Sin Kay.
"Hi hi hi!" Kou Hun Bijin tertawa. "Dia suamiku, dia senang
aku gembira. Dia gembira aku senang, bahkan aku pun harus
menuruti perkataannya."
"Yah, ampun!" Sam Gan Sin Kay tertawa gelak. "Begitu
mesranya, itu sungguh tak disangka! Ha ha ha...!"
-oo0dw0oo- Di dalam sebuah kamar, tampak Tio Hong Hoa duduk di
pinggir tempat tidur dengan kening berkerut-kerut, dan Lie Ai
Ling duduk di sisinya.
"Bagaimana" Ibu setuju kan?" tanya Lie Ai Ling.
"Nak!" Tio Hong Hoa menghela nafas panjang. "Itu urusan
nanti, maka lebih baik dibicarakan nanti saja."
"Setelah menguasai ilmu-ilmu yang diajarkan Paman Cie
Hiong, Goat Nio akan pergi mencari Kakak Bun Yang. Ai Ling
ingin ikut dia ke Tionggoan mencari ayah?"
"Nak!" Tio Hong Hoa tersenyum getir. "Tentang ini akan ibu
rundingkan dengan kakekmu. Ibu tidak berani mengambil
keputusan sekarang?"
"Kalau begitu, lebih baik Ai Ling beritahukan kepada
kakek," ujar Lie Ai Ling.
"Jangan!" Tio Hong Hoa menggelengkan kepala. "Kalau
engkau singgung ayahmu, kakekmu pasti marah besar. Lebih
baik engkau berunding dengan Paman Cie hong saja. Biar dia
yang memberitahukan kepada kakekmu."
"Kalau begitu...." Wajah Lie Ai Ling berseri. "Ibu setuju kau
ikut Goat Nio pergi ke Tionggoan?"
"Bagaimana mungkin ibu melarangmu," Tio Hong Hoa
menghela nafas. "Sebab engkau berhak pergi mencari
ayahmu. Hanya saja engkau harus berhati-hati."
"Terim kasih, Ibu!" ucap Lie Ai Ling, lalu berlari ke kamar
Tio Cie Hiong, dan kebetulan Lim Ceng Im mau melangkah ke
luar. "Ai Ling?" Lim Ceng Im tercengang karena melihat gadis itu
begitu tergesa-gesa ke kamarnya. "Ada apa?" tanyanya.
"Bibi, Ai Ling ingin bicara dengan Paman," jawab Lie Ai
Ling. "Baik." Lim Ceng Im mengangguk, lalu mengajak gadis itu
ke dalam kamar. Tio Cie Hiong belum tidur, hanya sedang
duduk bersemedi.
"Paman!" panggil Lie Ai Ling sambil mendekatinya.
Tio Cie Hiong membuka matanya, dan begitu melihat gadis
itu ?a pun terheran-heran.
"Ada apa, Lie Ai Ling?"
"Paman!" Lie Ai Ling duduk di hadapan Tio Cie Hiong. "Ai
Ling ingin bicara dengan Paman."
"Oh?" Tio Cie Hiong tersenyum. "Mau bicara apa?"
"Setelah berhasil menguasai ilmu-ilmu yang Paman ajarkan
itu, Goat Nio akan pergi mencari Kakak Bun Yang, kan?"
"Benar. Lalu kenapa?" tanya Tio Cie Hiong sambil
menatapnya sementara Lim Ceng Im sudah duduk di sisi
suaminya. "Tadi Ai Ling sudah berunding dengan Ibu, maksud, Ai Ling
ingin ikut Goat Nio ke Tiong-goan mencari ayah. Ibu setuju,
tapi ibu bilang harus berunding dengan Paman, setelah itu,
barulah Paman memberitahukan kepada kakek. Kalau ibu atau
Ai Ling yang memberitahukan, kakek pasti marah besar,"
jawab Lie Ai Ling memberitahukan.
"Tentang ini...." Tio Cie Hiong mengerutkan kening. "Belum
tentu kakekmu mengijinkanmu pergi mencari ayahmu."
"Kalau Paman bersedia membantu bicara, kakek pasti
mengijinkan," ujar Lie Ai Ling. "Sebab kakek Ai Ling sangat
sayang kepada Paman"
"Itu...." Tio Cie Hiong berpikir sejenak, kemudian berkata
dengan sungguh-sungguh sambil menatap gadis itu. "Sebagai
anak, engkau memang berhak pergi mencari ayahmu. Baiklah.
Kelak akan kuberitahukan kepada kakekmu. Tapi...."
"Ada apa, Paman?"
"Mulai besok engkau harus lebih tekun berlatih, agar
kepandaianmu bertambah tinggi. Jadi kakekmu tidak akan
mencemaskanmu. Mengerti?"
"Ai Ling mengerti, Paman."
"Bagus!" Tio Cie Hiong manggut-manggut. "Sekarang
kembalilah ke kamar menemani ibumu! Ingat, jangan
menyinggung ayahmu di hadapan kakekmu!"
"Ya, Paman." Lie Ai Ling mengangguk, lalu meninggalkan
kamar Tio Cie Hiong.
Setelah Lie Ai Ling pergi, Tio Cie Hiong menggelenggelengkan
kepala seraya berkata, "Sungguh kasihan Ai Ling!"
"Kakak Hiong," bisik Lim Ceng Im. "Betulkah kelak engkau
akan memberitahukan kepada pamanmu?"
"Itu harus," sahut Tio Cie Hiong.
"Apakah pamanmu akan mengijinkan Ai Ling pergi mencari
ayahnya?" "Kalau aku yang membicarakannya, mungkin pamanku
akan mengijinkannya. Biar bagaimana pun, Lie Man Chiu tetap
mantunya."
"Kakak Hiong!" Lim Ceng Im menggeleng-gelengkan
kepala. "Sudah sekian tahun tiada kabar beritanya tentang Lie
Man Chiu, entah bagaimana keadaannya sekarang?"
"Adik Im!" Tio Cie Hiong menghela nafas. "Aku yakin dia
sudah hidup senang di ibu kota."
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Oh?"
"Aku yakin dia berada di ibu kota," ujar Tio Cie Hiong. "Kita
tidak perlu memikirkannya."
"Huh!" dengus Lim Ceng Im. "Siapa yang memikirkannya?"
"Adik Im!" Tio Cie Hiong tersenyum. "Barusan engkau
menyinggung dirinya, tapi kenapa sekarang malah bilang
siapa yang memikirkannya?"
"Itu dikarenakan aku merasa kasihan kepada kakak Hong
Hoa dan Ai Ling, bukan berarti aku memikirkan Lie Man Chiu,
yang tak punya perasaan itu."
"Adik Im...." Wajab Tio Cie Hiong berubah serius. "Terus
terang, yang harus kita pikirkan justru adalah Lam Kiong Bie
Liong. Entah bagaimana dia setelah mengetahui kematian
ibunya?" -oo0dw0oo- Sementara itu, Gouw Han Tiong pun telah tiba di Tayli.
Begitu mendengar tentang kematian Lam Kiong hujin dan Tui
Hun Lojin, Lam Kiong Bie Liong nyaris pingsan seketika,
sedangkan Gouw Sian Eng menangis terisak-isak.
Toan Hong Ya dan isterinya hanya duduk diam dengan
wajah murung. Toan Pit Lian terus menerus menghibur
suaminya, dan Gouw Han Tiong menghibur putrinya. Suasana
di ruangan itu menjadi hening, kecuali terdengar suara isak
tangis. "Siapa pembunuh ibuku" Siapa pembunuh ibuku?" teriak
Lam Kiong Bie Liong dengan wajah pucat pias.
"Tenang, kakak Bie Liong!" Toan Pit Lian memegang
bahunya. "Jangan terlampau berduka! Nanti engkau akan
sakit." "Ibu! Ibu..." teriak Lam Kiong Bie Liong.
"Bie Liong," ujar Gouw Han Tiong. "Engkau harus tenang,
jangan begitu! Aku pun kehilangan ayah."
"Aaaah...!" keluh Lam Kiong Bie Liong.
"Tak terduga sama sekali," ujar Toan Hong Ya sambil
menghela nafas panjang dan menggeleng-gelengkan kepala.
"Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin berangkat ke Tionggoan
karena rindu kepada Beng Kiat dan Soat Lan...."
"Hong Ya!" Gouw Han Tiong tertegun. "Bagaimana Kiat
Beng dan Soat Lan bisa berada di Tionggoan?"
"Tayli Lo Ceng menerima mereka berdua sebagai murid,
maka Tayli Lo Ceng membawa mereka ke Gunung Thay San."
Toan Hong Ya memberitahukan.
"Sudah berapa lama Kiat Beng dan Soat Lan ikut Tayli Lo
Ceng?" tanya Gouw Han Tiong.
"Sudah lima tahun lebih, Ayah," jawab Gouw Sian Eng
memberitahukan. "Karena itu, kakek dan Lam Kiong hujin
sangat rindu kepada mereka, maka berangkat ke Tionggoan
menuju Gunung Thay San."
"Tidak disangka...." Lam Kiong Bie Liong terisak-isak "Ibu
pergi selama-lamanya Aaaah... !"
"Siapa yang membunuh Tui Hun Lojin dan Lam Kiong
hujin?" gumam Toan Hong Ya. "Apakah mereka punya
musuh?" "Hong Ya," ujar Lam Kiong Bie Liong. "Setahuku ibu tidak
mempunyai musuh. Musuh kami adalah Bu Lim Sam Mo,
tapi.... Bu Lim Sam Mo sudah mati."
"Ayahku pun tidak mempunyai musuh, namun malah mati
dibunuh," ujar Gouw Han Tiong sambil
menggeleng~gelengkan kepala.
"Jadi... tiada seorang pun yang tahu siapa pembunuh itu?"
tanya Toan Wie Kie.
"Memang tiada seorang pun yang tahu." Gouw Han Tiong
mengbela nafas. "Ayahku dan Lam Kiong hujin terkena
pukulan yang mengandung api, karena sekujur badan mereka
hangus." "Pukulan apa itu?" tanya Toan Wie Kie.
"Entahtah." Gouw Han Tiong menggelengkan kepala. "Kami
sama sekali tidak tahu ilmu pukulan apa itu, sebab kami tidak
pernah mendengar tentang ilmu pukulan itu.
"Oh ya, kenapa Paman Lim tidak ikut kemari?" Tanya Lam
Kiong Bie Liong mendadak.
"Lim Peng Hang pergi ke Hong Hoang To, aku berangkat ke
mari." Gouw Han Tiong memberitahukan dan menambahkan,
"Mungkin pihak Hong Hoang To tahu tentang ilmu pukulan
itu." "Aku harus berangkat ke Tionggoan," ujar Lam Kiong Bie
Liong. "Aku harus balas dendam."
"Engkau tidak boleh pergi," sahut Toan Pit Lian. "Pokoknya
engkau tidak boleh pergi."
"Adik Pit Lian...."
"Bie Liong!" tegas Toan Hong Ya. "Engkau tidak boleh ke
Tionggoan. Harus menunggu Beng Kiat dan Soat Lan pulang.
"Tapi...."
"Kalau engkau berani pergi secara diam-diam, selamalamanya
engkau tidak boleh ke mari lagi," ujar Toan Hong Ya
berwibawa. Lam Kiong Bie Liong diam.
"Kita tidak tahu siapa pembunuh itu, lalu bagaimana
engkau mau balas dendam" Lebih baik engkau tunggu Beng
Kiat dan Soat Lan pulang, setelah itu barulah berunding
dengan Hong Ya." ujar Gouw Han Tiong sambil menatapnya.
"Ya." Lam Kiong Bie Liong mengangguk.
"Lagi pula Lim Peng Hang sudah ke pulau Hong Hoang To,
aku yakin pihak Hong Hoang pasti membantu dalam hal ini."
tambah Gouw Han Tiong. "Jadi engkau harus tetap bersabar
menunggu putrimu pulang. Mungkin Tayli Lo Ceng juga akan
ke mari. Bukankah engkau boleh mohon petunjuk
kepadanya?"
"Benar." Lam Kiong Bie Liong manggut-manggut.
"Bie Liong," tegas Toan Hong Ya. "Engkau tidak boleh pergi
secara diam-diam, sebab akan membuat Pit Lian menderita.
Engkau harus ingat itu!"
"Ya." Lam Kiong Bie Liong mengangguk, kemudian berjanji
kepada isterinya. "Adik Pit Lian, aku tidak akan pergi secara
diam-diam. Engkau tidak usah khawatir."
"Terima kasih atas pengertianmu!" Toan Pit Lian tersenyum
dan menambahkan, "Setelah Beng Kiat dan Soat San pulang,
barulah kita semua berunding bersama."
"Ya." Lam Kiong Bie Liong mengangguk, kemudian
berkeluh. "Ibu...."
-oo0dw0oo- Jilid 3 Bagian Ke Sebelas
Meninggalkan Gunung Thian San
Di puncak Gunung Thian terdapat sebuah goa, yaitu tempat
tinggal monyet bulu putih. Tio Bun Yang tinggal di dalam goa
tersebut, dan setiap hari duduk di atas batu dingin berlatih
lweekangnya. Tugas monyet bulu putih adalah mencari buah, justru
memberikan Tio Bun Yang buah aneh yang mengandung
cairan kental. Tio Bun Yang tidak tahu sama sekali, bahwa
buah aneh itu berkhasiat menambah Iweekangnya.
Tanpa terasa sudah dua tahun Tio Bun Yang tinggal di
dalam goa itu, dan kini usianya sudah tujuh belas, bertambah
tampan dan tinggi.
Hari ini ia duduk bersemedi di atas batu dingin melatih
lweekangnya, dan monyet bulu putih duduk tak jauh dan situ
memperhatikannya.
Berselang beberapa saat kemudian, mendadak badan Tio
Bun Yang melambung ke atas, ternyata lweekangnya telah
mencapai ke tingkat tinggi.
Setelah itu, perlahan-lahan melayang turun di atas batu
dingin itu. Ketika badannya menyentuh batu dingin, terdengar
suara "Kraak! Kreeek!"
Monyet bulu putih itu terbelalak, sedangkan Tio Bun Yang
tetap duduk. bersemedi dengan mata terpejam. Ternyata ia
sedang mengerahkan Pak Yok Han Thian Sin Kang dan Kan
Kun Taylo Sin Kang.
Kraaaak! Terdengar suara meretak.
Bukan main! Yang meretak itu ternyata batu dingin yang
didudukinya. Hal itu membuat monyet bulu putih bercuit-cuit.
Tio Bun Yang membuka matanya, lalu meloncat turun. Di
saat bersamaan terdengar pula suara "Braaak!"
Batu dingin itu telah hancur. Dapat dibayangkan, betapa
tingginya lweekang Tio Bun Yang sekarang. Setelah batu
dingin itu hancur, tampak sebuah benda bulat di situ
memancarkan cahaya.
"Eh?" Tio Bun Yang tercengang. "Benda apa itu?"
Tio Bun Yang mendekati benda itu dengan mata terbelalak.
Sebetulnya benda apa itu" Ternyata benda itu adalah batu inti
es, yang amat dingin, yang berada di dalam batu dingin itu.
Perlahan-lahan Tio Bun Yang menjulurkan tangannya untuk
menjamah batu inti es itu. Namun ia tampak terkejut karena
batu inti es itu dingin bukan main. Kalau ?a tidak memiliki Pan
Yok Han Thian Sin Kang dan Kan Kun Taylo Sin Kang, pasti
tidak dapat memegang batu inti es tersebut.
"Ini tergolong benda pusaka," gumamnya sambil
tersenyum. "Sangat bermanfaat bagi orang yang berlatih Im
Kang (Lweekang yang mengandung hawa dingin). Benda ini
harus kusimpan. Kalau bertemu orang baik yang berlatih Im
Kang, akan kuhadiahkan kepadanya."
Sementara monyet bulu putih terus menatap Tio Bun Yang
dengan mata tak berkedip, kemudian bercuit-cuit.
"Kauw-heng!" Tio Bun Yang tersenyum. "Engkau bilang
lweekangku sudah tinggi sekali?"
Monyet bulu putih manggut-manggut, lalu menunjuk batu
dingin itu sambil bercuit-cuit lagi.
"Oh?" Tio Bun Yang tersenyum lagi. "Engkau bilang ayahku
masih tidak mampu menghancurkan batu dingin itu dalam
keadaan bersemedi?"
Monyet bulu putih manggut-manggut sambil bertepuk
tangan, kelihatannya gembira sekali.
"Kauw-heng," ujar Tio Bun Yang. "Kalau begitu, kita boleh
meninggalkan Gunung Thian San?"
Monyet bulu putih mengangguk, kemudian menunjuk batu
inti es itu sambil bercuit-cuit.
"Oooh!" Tio Bun Yang manggut-manggut.
"Maksudmu benda ini harus disimpan di dalam kantong?"
Monyet bulu putih menuju sudut goa. Ternyata ?a
mengambil sebuah kantong kulit, lalu diberikan kepada Tio
Bun Yang. "Terima kasih, kauw-heng!" ucap Tio Bun Yang sambil
menerima kantong kulit itu. Dimasukkannya batu inti es itu ke
dalam kantong kulit tersebut, setelah itu barulah disimpan ke
dalam bajunya. "Kauw-heng! Ayah dan ibuku telah berpesan, aku harus
pergi ke Gunung Hong Lay San. Engkau tahu dimana gunung
itu, bukan?"
Monyet bulu putih mengangguk, kemudian menarik tangan
Tio Bun Yang. "Mau berangkat sekarang?"
Monyet bulu putih bercuit tiga kali.
"Baiklah." Tio Bun Yang manggut-manggut. "Mari kita
berangkat, sebab aku harus segera menemui Bibi Tan Li Cu!"
-oo0dw0ooTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
Beberapa hari kemudian, Tio Bun Yang dan monyet bulu
putih telah tiba di Gunung Hong Lay San. Betapa girangnya
Tan Li Cu, ia membelai Tio Bun Yang dengan penuh kasih
sayang. "Bun Yang!" Tan Li Cu memandangnya dengan mata
basah. "Kini engkau sudah besar. Engkau dari pulau Hong
Hoang To ya?"
"Bibi Li Cu, aku dan Gunung Thian San." Tio Bun Yang
memberitahukan.
"Oh?" Tan Li Cu tertegun. "Bagaimana engkau dan kauwheng
bisa datang dan Gunung Thian San?"
"Begini Bibi Li Cu...." Tio Bun Yang menjelaskan dan
menambahkan, "Ayah dan ibuku berpesan aku harus ke mari
mengunjungi Bibi."
"Oooh!" Tan Li Cu manggut-manggut. "Kalau begitu,
lweekangmu pasti sudah tinggi sekali!"
"Maaf, Bibi Li Cu, aku sendiri tidak mengetahuinya," sahut
Tio Bun Yang jujur.
Di saat mereka sedang bercakap-cakap, mendadak muncul
seorang gadis cantik berusia enam belasan.
"Guru..." panggil gadis itu, yang kemudian terbelalak
karena melihat Tio Bun Yang dan seekor monyet bulu putih
duduk di atas bahunya.
"Siok Loan!" Tan Li Cu tersenyum. "Mari guru perkenalkan!
Dia adalah Tio Bun Yang, putra kesayangan Tio Cie Hiong."
"Oooh!" Ma Siok Loan memandang Tio Bun Yang dengan
mata berbinar-binar, lalu memberi hormat seraya berkata,
"Kakak Bun Yang, selamat bertemu!"
"Terima kasih!" sahut Tio Bun Yang kemudian balas
memberi hormat.
"Bun Yang!" Tan Li Cu tersenyum. "Engkau harus
memanggil dia adik."
"Ya, Bibi." Tio Bun Yang mengangguk lalu memanggil gadis
itu. "Adik Siok Loan!"
"Hi hi hi!" Ma Siok Loan tertawa geli.
"Siok Loan!" tegur Tan Li Cu halus. "Tidak boleh bersikap
begitu. Engkau sudah berusia enam belas, bukan anak kecil
lagi." "Guru!" Ma Siok Loan masih tertawa geli. "Aku tertawa geli
karena melihat monyet bulu putih itu, sungguh lucu!"
"Oooh!" Tan Li Cu tersenyum dan memberitahukan,
"Engkau harus tahu, bahwa itu monyet sakti."
"Oh?" Ma Siok Loan menatap monyet bulu putih. "Janganjangan
monyet itu mempunyai hubungan dengan Sun Ngo
Kong (Siluman Monyet Sakti Dalam Dongeng See Yu)!"
"Benar," sahut Tio Bun Yang sambil tersenyum. "Monyet
bulu putih ini adalah saudara seperguruan dengan Sun Ngo
Kong. "Bohong ah!"
"Tentu bohong." Tio Bun Yang tertawa kecil. Sedangkan
monyet bulu putih itu menyengir.
"Hi hi hi!" Ma Siok Loan tertawa geli lagi. "Guru, monyet
bulu putih itu bisa menyengir, lucu sekali deh!"
"Siok Loan!" Tan Li Cu tersenyum. "Tahukah engkau
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berapa usia monyet bulu putih itu?"
"Entahlah." Ma Siok Loan menggele?gkan kepala.
"Usianya sudah tiga ratus tahun lebih lho!" Tan Li Cu
memberitahukan.
"Apa?" Ma Siok Loan terbelalak. "Guru jangan bohong!
Bagaimana mungkin monyet bulu putih itu berusia setua itu?"
"Adik Siok Loan," ujar Tio Bun Yang sungguh-sungguh.
"G?rumu tidak bohong, memang benar monyet bulu putih ini
sudah berusia, tiga ratus tahun lebih!"
"Wuah, bukan main!" Ma Siok Loan menggeleng-gelengkan
kepala. "Jangan-jangan benar monyet bulu putih itu saudara
seperguruan Sun Ngo Kong!"
Tan Li Cu tersenyum lembut. Kini ia sudah berusia empat
puluhan. Beberapa tahun yang lalu, tanpa sengaja ia
menolong seorang gadis kecil, yang kedua orang tuanya
dibunuh perampok, lalu dibawanya ke gunung Hong Lay San,
sekaligus diangkat jadi muridnya.
"Bun Yang!" Tan Li Cu menatapnya. "Kepandaianmu pasti
sudah tinggi sekali, dan tentu engkau tidak akan pelit
mengajar Siok Loan semacam ilmu, bukan?"
"Bibi..." Tio Bun Yang tampak ragu.
"Kakak Bun Yang," desak Ma Siok Loan. "Guruku
memberitahukan kepadaku, bahwa ayahmu berkepandaian
sangat tinggi, maka aku yakin engkau juga berkepandaian
tinggi. Namun kenapa engkau tidak bersedia mengajarku
semacam ilmu?"
"Itu..." Tio Bun Yang berpikir sejenak lalu mengangguk.
"Baiklah. Aku akan ajarimu Cit Loan Kiam Hoat."
"Apa"!" Tan Li Cu tertegun. "Ilmu Pedang Pusing Tujuh
Keliling?"
"Ya." Tio Bun Yang mengangguk.
"Engkau belajar dan man? ilmu pedang itu?" tanya Tan Li
Cu. "Ilmu pedang ciptaan ayahku." Tio Bun Yang
memberitahukan. "Ilmu pedang tersebut lihay sekali, maka
akan kuajarkan kepada adik Siok Loan."
"Ngmm!" Tan Li Cu manggut-manggut.
"Kakak Bun Yang!" Ma Siok Loan menatapnya. "Kalau aku
belajar ilmu pedang itu, apakah aku tidak akan pusing tujuh
keliling?"
"Tidak, sebab ilmu pedang itu hanya akan membuat pusing
lawan." Tio Bun Yang memberitahukan dan berpesan. "Tapi
engkau harus ingat, bahwa kalau tidak dalam keadaan
bahaya, ilmu pedang itu tidak.boleh dikeluarkan."
"Kenapa?"
"Karena setiap jurusnya akan mematikan pihak lawan."
"Ya. Aku pasti ingat pesanmu, kakak Bun Yang."
"Bun Yang," Tan Li Cu tampak tertarik. "Bolehkah engkau
memperlihatkan ilmu pedang itu?" tanyanya.
"Boleh." Tio Bun Yang mengangguk, dan kemudian Tan Li
Cu menyerahkan sebilah pedang kepadanya.
Tio Bun Yang berdiri di tengah-tengah ruangan, kemudian
mulai mempertunjukkan ilmu pedang Cit Loan Kiam Hoat.
Bukan main kagumnya Tan Li Cu, namun kemudian ia merasa
berkunang"kunang dan pusing. Sementara Ma Siok Loan
sudah berteriak-teriak tidak karuan.
"Aduuh! Mataku berkunang-kunang! Aaaah! Pusing! Pusing
sekali!" "Siok Loan, cepat pejamkan matamu!" seru Tan Li Cu.
Gadis itu segera memejamkan matanya, sedangkan Tan Li
Cu terus memperhatikan ilmu pedang itu walau ?a sudah
merasa pusing sekali.
Berselang beberapa saat kemudian, barulah Tio Bun Yang
menghentikan gerakannya. Tan Li Cu memandangnya dengan
wajah pucat pias karena menahan pusing, dan Ma Siok Loan
pun sudah membuka matanya.
"Bun Yang, sungguh lihay dan hebat ilmu pedang itu!" ujar
Tan Li Cu sambil menghela nafas panjang. "Ayahmu memang
luar biasa sekali!"
"Kakak Bun Yang!" Ma Siok Loan tertawa. "Aku tidak berani
menyaksikan ilmu pedang itu, sebab mataku lalu berkunangkunang
dan merasa pusing."
"Jadi engkau sudah tahu akan kelihayan ilmu pedang itu,
kan?" Tio Bun Yang memandangnya.
"Ya." Ma Siok Loan mengangguk.
"Oh ya!" Tio Bun Yang memandang Tan Li Cu. "Ilmu
pedang itu akan kuajarkan kepada Bibi juga!"
"Oh?" Tan Li Cu tampak girang. "Memangnya kenapa?"
"Bibi dan Adik Siok Loan bisa berlatih bersama, sebab aku
tidak bisa lama-lama di sini, harus ke markas pusat Kay Pang
menemui kakekku." Tio Bun Yang memberitahukan.
"Oooh!" Tan Li Cu manggut-manggut.
Tio Bun Yang mulai mengajar mereka ilmu pedang Cit Loan
Kiam Hoat. Belasan hari kemudian, barulah mereka dapat
menguasai ilmu pedang tersebut, namun gerakannya masih
lamban. Setelah itu, Tio Bun Yang berpamit. Dengan air mata
berderai-derai Ma Siok Loan memandang kepergian Tio Bun
Yang, bahkan kemudian menangis terisak-isak.
"Siok Loan!" Tan Li Cu memegang bahunya. "Jangan sedih,
kalian pasti berjumpa lagi kelak!"
"Guru...." Ma Siok Loan langsung mendekap di dada Tan Li
Cu, dan tangisnya pun semakin menjadi. Tan Li Cu
membelainya, dan menghiburnya pula.
-oo0dw0oo- Tio Bun Yang melanjutkan perjalanannya menuju markas
pusat Kay Pang. Dalam perjalanan ia selalu menolong orang,
sehingga dirinya menjadi terkenal dan dijuluki Giok Siauw Sin
Hiap (Pendekar Sakti Suling Pualam).
Ketika hari mulai senja Tio Bun Yang memasuki sebuah
rimba. Tiba-tiba keningnya berkerut, ternyata ia mendengar
suara bentrokan senjata tajam.
Segeralah ia melesat ke tempat itu, kemudian dilihatnya
belasan orang sedang bertarung mati-matian melawan
beberapa orang berpakaian merah.
"Ha ha ha!" Salah seorang berpakaian merah tertawa gelak.
"Kalian anggota-anggota Tiong Ngie Pay, lebih baik menyerah
saja!" "Hm!" sahut salah seorang dan pihak Tiong Ngie Pay.
"Lebih baik kami mati dan pada menyerah!
Tio Bun Yang mengerutkan kening karena melihat
beberapa mayat menggeletak di tempat itu. Sementara
pertarungan semakin sengit. Belasan anggota Tiong Ngie Pay
tampak tak sanggup melawan lagi, bahkan diantaranya sudah
ada yang terluka lagi.
"Ha ha ha!" Salah seorang berpakaian merah tertawa gelak.
"Hari ini kalian harus mampus!"
"Berhenti!" Terdengar suara bentakan keras.
Betapa terkejutnya orang-orang berpakaian merah itu, dan
langsung berhenti menyerang. Disaat itulah melayang turun
sosok bayangan, yang tidak lain Tio Bun Yang bersama
monyet hulu putih.
"Hei!' bentak salah seorang berpakaian merah, "Siapa
engkau" Sungguh berani engkau mencampuri urusan kami!"
"Aku mendengar suara bentrokan senjata tajam, maka aku
kemari," sahut Tio Bun Yang sambil tersenyum.
"Sesungguhnya aku tidak benmaksud mencampuni urusan
kalian." "Hmm!" dengus orang berpakaian merah itu. "Siapa berani
melawan Hiat Ih Hwe harus mampus!"
"Saudara," ujar salah seorang anggota Tiong Ngie Pay.
"cepatlah engkau pergi! Kalau tidak, mereka pasti
membunuhmu."
"Terima kasih atas perhatian Anda!" ucap Tio Bun Yang dan
menambahkan sambil tersenyum. "Mereka tidak mampu
membunuhku, percayalah!"
"Saudara...." Anggota-anggota Tiong Ngie Pay
menggeleng-gelengkan kepala.
"Hei!" bentak orang berpakaian merah. "Engkau bilang
kami tidak mampu membunuhmu?"
"Benar!" Tio Bun Yang mengangguk. "Sudahlah! Lebih balk
kalian cepat enyah dan sini!"
"Hm!" dengus orang berpakaian merah. "Engkau memang
ingin cari mampus disini! Baik! Kami terpaksa membunuhmu!"
"Kauw-heng, naiklah ke pohon dulu!" ujar Tio Bun Yang
kepada monyet bulu putih sambil mengeluarkan suling
pualamnya. Monyet bulu putih itu bercuit, lalu meloncat ke dahan
pohon dan duduk di situ sambil menggoyang-goyangkan
kakinya. "Mari kita serang dia!" seru orang berpakaian merah.
Seketika juga beberapa bilah pedang mengarah ke Tio Bun
Yang, sehingga membuat para anggota Tiong Ngie Pay
terkejut bukan main.
"Hati-hati Saudara!" seru mereka serentak dengan cemas.
"Jangan khawatir saudara-saudara!" sahut Tio Bun Yang
sambil berkelit, sekaligus menggerakkan suling pualamnya.
"Aaakh! Aaaakh! Aaaakh... !" Terdengar suara jeritan.
Tampak lima orang berpakalan merah telah terkapar dengan
mulut mengeluarkan darah.
Betapa terkejutnya para anggota Tiong Ngie Pay, dan
mereka memandang Tio Bun Yang dengan mata terbelalak.
Ternyata tadi Tio Bun Yang berkelit menggunakan Kiu
Kiong San Tian Pou, sekaligus menggerakkan suling
pualamnya dengan jurus San Pang Te Liak (Gunung Runtuh
Bumi Retak), itu adalah ilmu Giok Siauw Bit Ciat Kang Khi
(Ilmu Suling Kumala Pemusnah Kepandaian).
"Engkau... engkau...." Kelima orang berpakaian merah
menunjuk Tio Bun Yang dengan wajah pucat pias.
Salah seorang anggota Tiong Ngie Pay mendekati mereka,
maksudnya ingin membunuh orang-orang Hiat Ih Hwe itu.
"Jangan bunuh mereka!" cegah Tio Bun Yang.
"Kenapa?" tanya anggota Tiong Ngie Pay itu dengan rasa
heran. "Mereka... mereka sering membunuh orang."
"Tapi kini mereka sudah tidak bisa membunuh orang lagi."
Tio Bun Yang memberitahukan sambil tersenyum. "Karena aku
telab memusnahkan kepandaian mereka."
"Oooh!" Anggota Tiong Ngie Pay itu memandang Tio Bun
Yang dengan kagum, kemudian mereka semua memberi
hormat. "Atas nama Tiong Ngie Pay, kami mengucapkan
banyak-banyak terima kasih kepada Saudara, karena Saudara
telah menyelamatkan nyawa kami."
"Kalian tidak usah mengucapkan terima kasih." Tio Bun
Yang tersenyum ramah, lalu melesat pergi. "Kauw-heng, cepat
ikut aku!"
"Saudara...." Para anggota Tiong Ngie Pay terperangah
dengan mulut ternganga lebar, sebab dalam sekejap mata Tio
Bun Yang telah hilang dari pandangan mereka.
"Sayang sekali kita tidak tahu namanya!"
"Kalau tidak salah...," ujar salah seorang anggota Tiong
Ngie Pay. "Dia adalah Giok Siauw Sin Hiap yang baru muncul
di rimba persilatan."
"Benar. Dia pasti Giok Siauw Sin Hiap. Ayoh, kita harus
segera kembali ke markas!"
-ooo0dw0ooo- Beberapa hari kemudian, Tio Bun Yang sudah sampai di
markas pusat Kay Pang. Betapa gembiranya Lim Peng Hang
dan Gouw Han Tiong, mereka menatapnya dengan mata tak
berkedip. "Kakek, Kakek Gouw!" panggil Tio Bun Yang sambil
bersujud. "Bun Yang cucuku...." Lim Peng Hang tertawa gembira.
"Engkau sudah sedemikian besar, bahkan sangat tampan
pula." Tio Bun Yang hanya tersenyum. Sedangkan monyet bulu
putih bercuit-cuit tampak gembira sekali.
"Bun Yang...." Gouw Han Tiong masih terus menatapnya.
"Engkau memang tampan sekali, kemungkinan kepandaianmu
pun sudah tinggi."
"Biasa-biasa saja, Kakek Gouw," ujar Tio Bun Yang
merendah. "Ha-ha-ha!" Gouw Han Tiong tertawa gelak. "Engkau
bersifat seperti Cie Hiong, selalu merendah diri."
"Bun Yang, duduklah!" ucap Lim Peng Hang.
"Terima kasih, Kakek!" Tio Bun Yang duduk dan bertanya,
"Bagaimana keadaan Kakek dan Kakek Gouw selama ini?"
"Kakek baik-baik saja," sahut Lim Peng Hang sambil
tersenyum. "Yaaah!" Sebaliknya Gouw Han Tiong malah menghela
nafas panjang. "Aku malah telah kehilangan ayah."
"Apa"!" Tio Bun Yang terperanjat. "Kakek tua Tui Hun Lojin
telah meninggal?"
"Kalau meninggal itu masih wajar, tapi...." Gouw Han Tiong
menggeleng~gelengkan kepala.
"Kakek tua kenapa?" Tio Bun Yang mengerutkan kening.
"Apakah...."
"Dua tahun lalu...." Gouw Han Tiong memberitahukan.
"Ayahku dan Lam Kiong hujin dibunuh orang."
"Oh?" Tio Bun Yang tersentak. "Siapa yang membunuh
kakek tua dan Lam Kiong hujin?"
"Hingga saat ini kami tidak mengetahuinya." Gouw Han
Tiong menghela nafas panjang. "Tiada jejak pembunuh itu."
"Padahal kakek tua dan Lam Kiong hujin berkepandaian
tinggi, tapi kenapa mati terbunuh?"
"Itu membuktikan kepandaian pembunuh itu sangat tinggi."
Lim Peng Hang memberitahukan. "Tui Hun Lojin dan Lam
Kiong hujin mati dengan sekujur badan hangus!"
"Sekujur badan hangus?" Tio Bun Yang kaget. "Apakah
kakek tua dan Lam Kiong hujin dibakar?"
"Bukan." Lim Peng Hang menggelengkan kepala.
"Melainkan terkena semacam pukulan yang mengandung api."
"Oh?" Tio Bun Yang terkejut. "Siapa yang memiliki ilmu
pukulan seperti itu?"
Menurut Kou Hun Bijin, ilmu pukulan itu berasal dan
Persia," ujar Lim Peng Hang. "Namun selama dua ratus tahun
in, tiada seorang pun yang berhasil mempelajarinya."
"Oh?" Tio Bun Yang terbelalak. "Oh ya, Kakek bertemu Kou
Hun Bijin di mana?"
"Di Pulau Hong Hoang To," jawab Lim P?ng Hang. "Kim
Siauw Suseng juga berada di sana."
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jadi,... Kakek sudah ke Pulau Hong Hoang To?"
"Dua tahun lalu, kakek pergi ke sana untuk
memberitahukan tentang kematian Tui Hun Lojin dan Lam
Kiong hujin."
"Kakek tidak ke Tayli?"
"Aku sudah ke Tayli dua tahun lalu." Gouw Han Tiong
memberitahukan. "Pihak Tayli sudah tahu tentang itu, dan aku
juga yang memberitahukan."
"Yaaah...!" Tio Bun Yang menghela nafas panjang.
"Bun Yang!" Gouw Han Tiong memberitahukan. "Lam Kiong
Bie Liong dan Toan Wie Kie sudah mempunyai anak bernama
Lam Kiong Soat Lan dan Toan Beng Kiat, mereka berdua
seusia denganmu!"
"Oh?" Tio Bun Yang tersenyum. "Kalau ada kesempatan
aku ingin ke Tayli menemui mereka."
"Mereka berada di Gunung Thay San belajar ilmu silat
kepada Tayli Lo Ceng, dan mereka menjadi murid padri tua
itu." "Syukurlah!" ucap Tio Bun Yang berseri. "Ayahku pernah
bilang, bahwa kepandaian Tayli Lo Ceng tinggi sekali. Mereka
berdua menjadi murid padri tua itu, tentunya akan memiliki
kepandaian tinggi pula"
"Bun Yang," ujar Lim Peng Hang sambil
mengge1eng~gelengkan kepala. "Rimba persilatan tampak
akan dilanda badai, sedangkan kerajaan dalam keadaan kacau
balau. Banyak jenderal dan menteri setia mati dibunuh orangorang
Hiat Ih Hwe."
"Hiat Ih Hwe?" Tio Bun Yang mengerutkan kening.
"Bun Yang...." Lim Peng Hang menatapnya heran. "Dalam
perjalanan ke mari, apakah engkau bertemu orang-orang Hiat
Ih Hwe?" "Ya" Tio Bun Yang mengangguk dan menutur tentang
kejadian itu. "Aku memusnahkan kepandaian orang-orang Hiat
Ih Hwe itu."
"Oh?" Lim Peng Hang tersenyum. "Bagus engkau
menyelamatkan nyawa para anggota Tiong Ngie Pay."
"Kenapa?" tanya Tio Bun Yang.
"Kalau dugaan kakek tidak meleset, ketua Tiong Ngie Pay
itu adalah Yo Suan Hiang."
"Apa"!" Tio Bun Yang tertegun. "Ketua Tiong Ngie Pay
adalah Bibi Suan Hiang?"
"Itu cuma dugaan kakek saja. Sebab selama ini kakek tidak
pernah bertemu ketua Tiong Ngie Pay itu."
"Menurutku...," ujar Gouw Han Tiong. "Kemungkinan besar
memang Yo Suan Hiang."
"Kalau benar Bibi Suan Hiang, sungguh menggembirakan."
Wajah Tio Bun Yang berseri-seri. "Aku rindu sekali
kepadanya."
"Oh ya!" Mendadak wajah Lim Peng Hang juga berseri.
"Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin juga sudah mempunyal
seorang putri, usianya enam belas dan cantik sekali."
"Oh?" Tio Bun Yang terbelalak. "Kim Siauw Suseng berusia
hampir seratus, sedangkan Kou Hun Bijin berusia seratus
lebih. Kok mereka masih bisa mempunyai anak?"
"Bun Yang!" Lim Peng Hang tertawa. "Itu dikarenakan
mereka awet muda, maka bisa mempunyai anak."
"Oooh!" Tio Bun Yang manggut-manggut. "Kakek, siapa
nama gadis itu?"
"Siang Koan Goat Nio," sahut Lim Peng Hang. "Bun Yang,
gadis itu sungguh cantik sekali, dan lemah lembut. Dia juga
menggunakan suling emas sebagai senjata."
"Kalau begitu, dia pandai meniup suling?"
"Betul. Gadis itu memang pandai meniup suling. Kalau
kalian bertemu pasti akan cocok," ujar Lim Peng Hang sambil
tertawa gelak. "Engkau memiliki Giok Siauw, dia memiliki Kim
Siauw." "Kalian berdua memang serasi," sela Gouw Han Tiong
sambil tersenyum."Eeeh...." Wajah Tio Bun Yang kemerahmerahan.
"Oh ya!" Lim Peng Hang teringat sesuatu, dan segera
memberitahukan kepada Tio Bun Yang. "Ayah dan ibumu
berpesan, engkau tidak usah kembali ke Pulau Hong Hoang
To." "Oh?" Tio Bun Yang tercengang. "Memangnya kenapa,
Kakek?" "Karena engkau harus membantu Kakek menyelidiki
pembunuh Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin." Lim Peng
Hang memberitahukan. "Jadi engkau boleh berkecimpung
dalam rimba persilatan untuk membela kebenaran, sekaligus
mencari pengalaman."
"Oooh!" Tio Bun Yang manggut-manggut.
"Tapi.." Lim Peng Hang menambahkan, "Kauw-heng harus
mendampingimu, ini adalah pesan dari ayah dan ibumu."
"Tentu." Tio Bun Yang tersenyum. "Kauw heng memang
harus ikut aku."Monyet bulu putih itu bercuit-cuit, kemudian
menepuk dadanya sendiri sekaligus mengangkat dadanya.
"Bun Yang!" Gouw Han Tiong bingung. "Kauw-heng bilang
apa?" "Dia harus melindungi diriku. Itu adalah tugasnya." Tio Bun
Yang memberitahukan.
"Oooh!" Gouw Han Tiong tertawa.
"Kauw heng," ucap Lim Peng Hang. "Terima-kasih atas
kesediaanmu melindungi cucuku!"
Monyet bulu putih itu menggoyang-goyangkan sepasang
tangannya, itu membuat Lim Peng Hang terheran-heran.
"Bun Yang, kauw-heng bilang apa?"
"Dia bilang, Kakek tidak usah berterima kasih kepadanya,"
sahut Tio Bun Yang sambil membelai
monyet bulu putih itu, lalu melanjutkan, "Kalau begitu, aku
akan tinggal di sini beberapa hari. Setelah itu, aku akan pergi
menyelidiki pembunuh itu."
"Bun Yang, biar bagaimana pun engkau harus berhati-hati,"
pesan Lim Peng Hang "Jangan menyombongkan diri
menghadapi segala apa pun harus tenang dan bersabar."
"Aku pasti menuruti nasihat Kakek."
"Bagus, bagus!" Lim Peng Hang tertawa gembira.
Beberapa hari kemudian, mulailah Tio Bun Yang
berkecimpung di dalam rimba persilatan, dan ditemani monyet
bulu putih. -oo0dw0oo- Bagian Ke Dua belas
Menolong pembesar yang bijaksana
Tio Cie Hiong dan Lim Ceng Im duduk berhadapan didalam
kamar. Mereka tampak serius membicarakan sesuatu.
"Besok Goat Nio akan pergi mengembara, sekalian mencari
Bun Yang," ujar Tio Cie Hiong. "Aku pernah berjanji kepada Ai
Ling akan berunding dengan paman, ini entah bagaimana
baiknya?" "Kakak Hiong!" Lim Ceng Im tersenyum. "Berundinglah
dengan pamanmu, aku yakin pamanmu pasti
memperbolehkan Ai Ling pergi mencari ayahnya."
"Ngmmm!" Tio Cie Hiong manggut-manggut. "Kalau begitu,
aku akan pergi menemui paman."
Tio Cie Hiong meninggalkan kamar itu, dan langsung pergi
menemui Tio Tay Seng, yang sedang bermain catur dengan
Sam Gan Sin Kay.
"Tio Tocu," ujar Sam Gan Sin Kay sambil menghela nafas
panjang. "Begitu cepat sang waktu berlalu, tak terasa sudah
dua tahun."
"Ya." Tio Tay Seng manggut-manggut. "Kita bertambah
tua, entah bisa bertahan berapa lama?"
"Ha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa gelak. "Aku justru
ingin cepat-cepat mati, rasanya sudah bosan hidup di dunia."
"Eeeh?" Tio Tay Seng menatapnya, kemudian tertawa.
"Kalau engkau mati, aku celaka."
"Kenapa?"
"Karena tidak ada orang yang menemani aku main catur.
Bukankah aku akan celaka saking kesepian?"
"Kalau begitu...." Sam Gan Sin Kay tertawa lagi. "Aku tidak
mau cepat-cepat mati, karena masih harus menemanimu main
catur." "Ha ha ha!" Tio Tay Seng tertawa gelak. "Memangnya
engkau bisa mengatur hidup matimu" Hidup matinya orang
berada di tangan Thian (Tuhan) lho!"
"Benar. Tapi kalau kita bisa menjaga diri agar selalu sehat,
tentunya tidak akan cepat mati," sahut Sam Gan Sin Kay.
"Tidak salah." Tio Tay Seng manggut-manggut. "Oh ya!
Putri kesayangan Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin telah
menguasai semua ilmu yang diajarkan Cie Hiong, dan besok
gadis itu mau pergi mengembara mencari pengalaman."
"Sekaligus mencari Bun Yang! Ha-ha-ha...!" Sam Gan Sin
Kay tertawa dan menambahkan, "Menurutku, Goat Nio dan
Bun Yang memang merupakan pasangan yang serasi."
"Itu bagaimana mereka berdua saja," ujar Tio Tay Seng.,
"Oh ya, entah bagaimana keadaan dimarkas pusat Kay
Pang,dan di Tayli" Mungkinkah pihak Kay Pang sudah berhasil
menyelidiki pembunuh itu?"
"Sudahlah, jangan membicarakan yang memusingkan itu!
Kita sudah tidak mau mencampuri urusan rimba persilatan,
jadi tidak usah membicarakan itU." tandas Sam Gan Sin Kay.
"Benar." Tio Tay Seng mengangguk. Disaat itulah muncul
Tio Cie Hiong sambil tersenyum-senyum.
"Cie Hiong." Sam Gan Sin Kay tertawa "Engkau ke mari
mau ikut main catur?"
"Aku ingin membicarakan sesuatu dengan Paman," sahut
Tio Cie Hiong jujur.
"Bolehkah aku ikut mendengar?" tanya Sam Gan Sin Kay
"Kalau tidak boleh, aku akan segera meninggalkan tempat ini."
"Tentu boleh." Tio Cie Hiong duduk.
"Cie Hiong!" Tio Tay Seng menatapnya seraya bertanya,
"Engkau ingin bicara apa dengan Paman?"
"Mengenai Ai Ling"
"Kenapa dia?"
"Kakak Hong Hoa telah setuju, namun dia dan Ai Ling tidak
berani memberitahukan kepada Paman."
"Lho" Ada apa" Tio Tay Seng mengerutkan kening "Hong
Hoa menyetujui apa" Beritahukanlah!"
"Besok Goat Nio mau pergi mengembara Ai Ling ingin ikut
dan kakak Hong Hoa telah menyetujui."
"Apa?" Wajah Tio Tay Seng tampak berubah.
"Maksud Ai Ling ingin pergi mencari ayahnya?"
"Ya" Tio Cie Hiong mengangguk
"Tidak boleh!" bentak Tio Tay Seng gusar. "Pokoknya dia
tidak boleh pergi mencari binatang itu!"
"Tio Tocu," ujar Sam Gan Sin Kay sambil tersenyum.
"Jangan emosi, dengar dulu apa yang akan dikatakan Cie
Hiong!" Tio Tay Seng diam, lalu memandang Tio Cie Hiong dengan
kening berkerut-kerut "Lanjutkanlah!" katanya.
"Paman," ujar Tio Cie Hiong sambil menghela nafas. "Biar
bagaimana pun, Man Chiu tetap ayah Ai Ling, maka Ai Ling
berhak pergi mencarinya."
"Tidak bisa!" Tio Tay Seng tetap berkeras.
"Paman!" Tio Cie Hiong menggeleng-gelengkan kepala.
"Kini Ai Ling sudah remaja, kalau paman melarangnya pergi
mencari ayahnya, itu akan membuat batinnya tertekan sekali.
Paman harus memikirkan itu, jangan membuatnya menderita.
Ibunya sudah cukup menderita, jangan sampai Ai Ling
menderita pula."
"Tio Tocu," sela Sam Gan Sin Kay. "Memang benar apa
yang dikatakan Cie Hiong, engkau jangan berkeras hati lagi."
"Aaaaah...!" Tio Tay Seng menghela nafas panjang.
"Sesungguhnya aku sangat kasihan kepada Hong Hoa dan
cucuku itu, sehingga membuatku terus berpikir setiap malam."
"Apa yang kau pikirkan, Tio Tocu?" tanya Sam Gan Sin Kay.
"Aku memikirkan Lie Man Chiu," sahut Tio Tay Seng jujur.
"Rasanya ingin sekali aku pergi mencarinya."
"Oh?" Sam Gan Sin Kay dan Tio Cie Hiong terbelalak.
"Tapi...." Tio Tay Seng menggeleng-gelengkan kepala. "Aku
tidak mau meninggalkan pulau ini."
"Kalau begitu...." Wajah Tio Cie Hiong tampak berseri.
"Paman, ijinkanlah Ai Ling pergi mencari ayahnya!"
"Cie Hiong, dia masih remaja, belum berpengalaman dalam
rimba persilatan," ujar Tio Tay Seng. "Itu membuatku tidak
bisa tenang."
"Paman boleh berlega hati, sebab kepandaian Ai Ling sudah
cukup tinggi. Lagi pula aku sering memberitahukannya
tentang rimba persilatan, jadi dia sudah mengerti."
"Dia pun pergi bersama Goat Nio, maka kita tidak perlu
khawatir," sambung Sam Gan Sin Kay.
"Menurut kalian, aku harus mengijinkannya pergi mencari
ayahnya?" tanya Tio Tay Seng.
"Ya." Sam Gan Sin Kay dan Tio Cie Hiong mengangguk.
"Kalau begitu...." Tio Tay Seng manggut-manggut.
"Baiklah. Aku mengijinkannya pergi mencari ayahnya, mudahmudahan
dia berhasil menemukan ayahnya!"
"Terima kasih Paman." ucap Tio Cie Hiong.
"Kenapa engkau yang mengucapkan terima kasih?" Tio Tay
Seng tersenyum "Engkau memang sela1u memikirkan
kepentingan orang lain, paman yakin Bun Yang pun begitu."
"Paman!" Tio Cie Hiong tertawa gembira. "Aku merasa
gembira sekali. Maaf, aku harus segera pergi memberitahukan
Ai Ling." Tio Cie Hiong langsung melesat pergi menuju tempat Siang
Koan Goat Nio sedang berlatih dengan Lie Ai Ling. Ia melihat
Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin duduk di situ dengan
wajah berseri memperhatikan Siang Koan Goat Nio yang
sedang berlatih bersama Lie Ai Ling.
"Paman sastrawan, Bibi" panggil Tio Cie Hiong sambil
menghampiri mereka.
"Oh, Cie Hiong~" Kim Siauw Suseng tersenyum.
"Duduklah!"
Tio Cie Hiong duduk, lalu menyaksikan latihan itu dengan
penuh perhatian sambil manggut-manggut.
"Bagaimana, adik kecil" Kepandaian mereka berdua sudah
tinggi kan?" tanya Kou Hun Bijin.
"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk.
"Besok Goat Nio akan pergi mengembara mencari
pengalaman, sekalian mencari Bun Yang putramu," ujar Kou
Hun Bijin sambil tersenyum.
"Barusan aku justru berunding dengan pamanku." Tio Cie
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hiong memberitahukan.
"Berunding mengenai apa?" tanya Kim Siauw Suseng
heran. "Mengenal Ai Ling. Karena dia ingin ikut Goat Nio pergi
mencari ayahnya," sahut Tio Cie Hiong.
"Hi hi hi!" Kou Hun Bijin tertawa nyaring.Aku yakin
pamanmu tidak mengijinkannya."
"Semula pamanku memang tidak setuju, namun kemudian
mengijinkannya." Tio Cie Hiong memberitahukan.
"Syukurlah!" ucap Kou Hun Bijin. "Jadi Goat Nio punya
teman dalam pengembaraan."
"Cie Hiong...." Kim Siauw Suseng tampak serius.
"Menurutku, Lie Man Chiu tidak akan sejahat itu. Aku yakin dia
akan sadar dari kekeliruannya itu"
"Aku sependapat dengan Paman Sastrawan." Tio Cie Hiong
manggut-manggut "Aku memang berharap Ai Ling dapat
menyadarkannya dan mau ikut Ai Ling pulang ke Hong Hoang
To." "Benar." Kim Siauw Suseng manggut-manggut.
"Oh ya, adik kecil!" Kou Hun Bijin memandang Tio Cie
Hiong sambil tersenyum-senyum. "Terus terang, kami merasa
cocok dengan pulau ini. Maka kami mengambil keputusan
untuk terus tinggal disini."
"Oh?" Tio Cie Hiong gembira sekali. "Bagus, bagus!"
"Tapi..." Kim Siauw Suseng menggeleng-gelengkan kepala.
"Tentunya akan merepotkan pamanmu.
"Tidak akan merepotkan pamanku, sebaliknya pamanku
pasti girang sekali," ujar Tio Cie Hiong.
Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling sudah berhenti
berlatih. Ketika melihat Tio Cie Hiong, berserilah wajah kedua
gadis itu. "Paman!" seru mereka serentak.
"Goat Nio, Ai Ling!" Tio Cie Hiong tertawa. "Kepandaian
kalian sudah maju pesat sekali."
"Itu atas bimbingan Paman," ujar kedua gadis itu.
"Ai Ling...." Tio Cie Hiong menatapnya sambil tersenyum.
"Ada kabar gembira untukmu."
"Oh?" Lie Ai Ling tertegun. "Kabar gembira apa?"
"Besok Goat Nio mau pergi mengembara. Tentunya engkau
ingin ikut, karena... engkau harus mencari ayahmu," sahut Tio
Cie Hiong. "Betul. Tapi...." Lie Ai Ling menghela nafas. "Belum tentu
kakek mengijinkan.
"Ai Ling!" Tio Cie Hiong tersenyum. "Tadi aku sudah
membicarakannya dengan kakekmu."
"Oh?" Wajah Lie Ai Ling berseri. "Kakekku setuju aku pergi
mencari ayah?"
"Setuju." Tio Cie hong mengangguk.
"Horeee!" Lie Ai Ling berjingkrak-jingkrak saking girangnya.
"Besok aku akan pergi mencari ayah!"
"Bagus, bagus!" Kou Hun Bijin tertawa. "Jadi Goat Nio
mempunyai teman dalam pengembaraan."
"Syukurlah!" ucap Kim Siauw Suseng dengan wajah berseri.
"Mereka berdua akan saling melindungi."
"Ai Ling!" Siang Koan Goat Nio menggenggam tangannya.
"Aku pasti membantumu mencari ayahmu."
"Terima kasih, Goat Nio!" ucap Lie Ai Ling. Aku pun pasti
membantumu dalam hal...."
"Dalam hal apa?" tanya Siang Koan Goat Nio heran.
"Mencari Kakak Bun Yang," sahut Lie Ai Ling sambil tertawa
kecil. "Bukankah engkau ingin sekali bertemu Kakak Bun
Yang?" "Ai Ling...." Wajah Siang Koan Goat Nio memerah.
"Engkau...."
"Ha ha-ha! Hi hi-hi!" Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin
tertawa. Sedangkan Tio Cie Hiong tersenyum-senyum.
"Kalian berdua harus ingat, jangan sembarangan
mengeluarkan ilmu pedang Cit Loan Kiam Hoat!" pesan Tio Cie
Hiong. "Kami pasti ingat, Paman." Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai
Ling mengangguk pasti. "Kamipun tidak akan sembarangan
membunuh orang, cukup memusnahkan kepandaian mereka
saja." "Bagus!" Tio Cie Hiong manggut-rnanggut dan
melanjutkan, "Akupun akan membekali kalian obat pemunah
racun." "Terima kasih, Paman!" ucap kedua gadis itu. "Terima
kasih...."
-oo0dw0oo- Kota Keng Ciu merupakan kota yang cukup besar, makmur
dan ramai dikunjungi para pedagang dan daerah lain.
Pada suatu hari, kota tersebut menjadi lebih ramai dari
pada biasanya, bahkan wajah para penduduk kota itu pun
tampak berseri-seri, Seakan menghadapi hari besar atau hari
raya. Kenapa begitu" Ternyata para penduduk kota itu turut
merayakan hari ulang tahun Tan Tayjin (Pembesar Tan),
gubernur kota tersebut. Beliau setia pada kerajaan, adil dan
bijaksana terhadap para penduduk kota Keng Ciu itu, dan
tidak pernah melakukan tindak korupsi. Oleh karena itu, para
penduduk kota tersebut sangat menghormatinya.
Entah sudah berapakali Lu Thay Kam mengutus orang
kepercayaannya pergi menemui Tan Tayjin untuk
menyampaikan perintahnya, bahwa Tan Tayjin harus
menaikkan pajak para pedagang dan lain sebagainya di kota
itu. Akan tetapi, Tan Tayjin sama sekali tidak mengacuh
perintah itu, sudah barang tentu membuat Lu Thay Kam gusar
bukan main. Karena itu, Tan Tayjin pun menjadi sasaran Hiat
Ih Hwe. Pada hari itu, di kota Keng Ciu tersebut muncul dua gadis
remaja yang sangat cantik sekali, yang ternyata Siang Koan
Goat Nio dan Lie Ai Ling. Kedua gadis itu telah meninggalkan
Pulau Hong Hoang To, mulai mengembara dalam rimba
persilatan. Mereka berdua berjalan perlahan, memandang ke kiri dan
ke kanan sambil mengagumi keindahan gedung-gedung yang
beraneka warna. Kemunculan kedua gadis itu sangat menanik
perhatian penduduk kota itu, karena mereka berdua memiliki
kecantikan yang mempesona
"Ai Ling," ujar Siang Koan Goat Nio sambil tersenyum.
"Sungguh indah dan ramai kota ini!"
"Benar," sahut Lie Ai Ling dan tertawa riang gembira.
"Mudah-mudahan kita akan bertemu Kakak Bun Yang di sini!"
"Al Ling...." Siang Koan Goat Nio menggelengkan kepala.
"Dia belum tentu sudah meninggalkan Gunung Thian San."
"Menurut paman, Kakak Bun Yang pasti sudah
meninggalkan Gunung Thian San," ujar Lie Ai Ling dan
menambahkan "Maka kita disuruh ke markas pusat Kay Pang,
mungkin kakak Bun Yang berada di sana."
"Ai Ling!" Siang Koan Goat Nio tertawa kecil, "Kalau
dipikir~pikir memang menggelikan."
"Apa yang menggelikan?"
"Kita boleh dikatakan buta akan Tionggoan ini, namun kita
Justru berani mengembara."
"Kalau kita tidak berani mengembara, bagaimana mungkin
pengalaman kita akan bertambah" Yang penting kita tidak
boleh malu bertanya, sebab kalau kita malu bertanya akan
sesat dijalan."
"Benar." Siang Koan Goat Nio manggut-manggut. "Eeeeh"
Kenapa penduduk kota ini terus menerus memandang kita"
Apakah dandanan kita tidak wajar?"
"Bukan." Lie Ai Ling tersenyum. "Mereka terus menerus
memandang kita, karena kita berdua sangat cantik, maka
menarik perhatian mereka."
"Oooh!" Siang Koan Goat Nio tertawa geli, "Kaum lelaki
memang begitu, kalau melihat gadis cantik, mata mereka
langsung melotot."
"Tapi...," ujar Lie Ai Ling sungguh-sungguh, "Kakak Bun
Yang tidak begitu. Aku tahu jelas itu."
"Oh, ya?" Siang Koan Goat Nio tersenyum dengan wajah
agak kemerah-merahan. "Ai Ling, kota ini tampak ramai sekali.
Apakah penduduk ini sedang merayakan sesuatu?"
"Mungkin" Lie Ai Ling mengangguk "Kalau ada keramaian,
kita pun boleh menonton. Asyikkan?"
"Memang asyik, tapi... jangan menimbulkan masalah."
Siang Koan Goat Nio mengingatkan.
"Goat Nio!" Lie Ai Ling tertawa kecil. "Memangnya kita
adalah gadis yang akan menimbulkan masalah?"
"Tentunya bukan. Namun kita harus tetap menjaga agar
tidak emosi," ujar Siang Koan Goat nio sungguh-sungguh.
"Karena pasti akan ada kaum lelaki menggoda kita."
"Kita tampar saja," sahut Lie Ai Ling. "Bereskan?"
"Nah!" Siang Koan Goat Nio menggeleng-gelengkan kepala.
"Kalau begitu, pasti akan menimbulkan masalah."
"Jadi... kita harus diam saja kalau dig?da!"
"Apabila mereka tidak teriampau kurang ajar, diamkan
saja." Mendadak Siang Koan Goat Nio memandang ke depan
dengan mata agak terbelalak. Ternyata ?a melihat begitu
banyak orang berkumpul di depan pintu sebuah rumah yang
cukup besar. "Eh" Ada apa di sana?"
"Mungkin ada keramaian. Mari kita kesana melihat-lihat!"
ajak Lie Ai Ling.
Siang Koan Goat Nio mengangguk. Kemudian kedua gadis
itu menuju ke sana. Tampak kaum lelaki berdesak-desakan
seakan ingin menyaksikan sesuatu.
"Heran" Ada apa sih" gumam Ai Ling sambil memandang
ke halaman rumah itu. Di dalam halaman itu tampak beberapa
pengawal, sepasang suami isteri berusia lima puluhan dan
seorang gadis cantik berusia dua puluhan.
"Lebih baik bertanya kepada salah seorang yang berkumpul
disini," sahut Siang Koan Goat Nio.
Lie Ai Ling mengangguk, lalu mendekati seorang tua dan
bertanya dengan sopan. "Paman, ada keramaian apa di rumah
itu?" "Eeeh?" Orang tua itu terbelalak ketika melihat Lie Ai Ling
dan Siang Koan Goat Nio. "Bukan main, bukan main!"
"Apa yang bukan main, Paman?" tanya Lie Ai Ling dengan
rasa heran. "Kalian berdua sungguh cantik!" sahut orang tua itu.
"Bahkan lebih cantik dan Tan siocia (Nona Tan)"
"Oh?" Lie Ai Ling tersenyum "Paman, siapa Nona Tan itu?"
"Kalian berdua bukan penduduk kota ini?"
"Bukan."
"Pantas kalian tidak tahu. Rumah ini adalah tempat tinggal
Tan Tayjin. Beliau mempunyai seorang putri bernama Tan
Giok Lan, yang cantik jelita." Orang tua itu memberitahukan.
"Oooh!" Lie Ai Ling manggut-manggut. "Lalu kenapa begitu
banyak orang berkumpul di sini?"
"Hari ini Tan Tayjin merayakan ulang tahunnya, jadi orangorang
berkumpul di sini... untuk melihat Nona Tan, yang
cantik jelita itu," sahut orang tua itu sambil memandang
mereka berdua. "Namun kalian berdua lebih cantik dari Nona
Tan. "Oh?" Lie Ai Ling tersenyum, kemudian berkata kepada
Siang Koan Goat Nio. "Mari kita mendekati pintu rumah, aku
ingin lihat berapa cantik Nona Tan itu!"
"Baik" Siang Koan Goat Nio mengangguk.
Mereka berdua menuju pintu rumah itu, namun tidak bisa
maju lagi, karena terhalang oleh orang-orang yang berkumpul
di situ. "Permisi! Permisi...," ucap Lie Ai Ling.
Suaranya begitu merdu, sehingga membuat orang orang itu
berpaling Begitu melihat Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling
yang cantik bagaikan bidadari, seketika juga mereka terbelak
dengan mulut ternganga lebar, bahkan d~antaranya ada pula
yang menelan air liur.
"Hi-hi-hi!" Lie Ai Ling tertawa geli menyaksikan sikap
mereka itu "Goat Nio, lucu sekali mereka itu!" bisiknya.
Siang Koan Goat Nio tersenyum. Sementara Tan Giok Lan
yang berada di dalam merasa heran, karena semua orangorang
itu terus mengarah kepadanya, namun mendadak
Panji Wulung 15 Bahagia Pendekar Binal Karya Khu Lung Peristiwa Burung Kenari 8
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama