Ceritasilat Novel Online

Panji Wulung 15

Panji Wulung Karya Opa Bagian 15


"Lantaran ada sedikit urusan aku yang rendah terpaksa
harus pergi melakukan perjalanan ke kota Pak-khia."
"Dan sekarang?"
"Hendak ke kota Hang-chiu untuk mencari seorang
sahabat." Thian-ceng tertawa terbahak-bahak, kemudian berkata:
"Sungguh kebetulan! Pinto juga mau mengantar sutit ini
ke kota Hang-chiu. Kita justru seperjalanan! Mari,
silahkan Tayhiap duduk bersama-sama dan minum dengan
kita." Setelah mengucap demikian, tanpa memperdulikan
Touw Liong mau atau tidak, ia sudah mengajak Touw
Liong duduk bersama-sama.
Setelah mana imam tua itu memperkenalkan Touw
Liong kepada wanita cantik itu.
Sementara itu Touw Liong dalam hati berpikir sendiri:
"Kau hendak menarik aku berjalan bersamamu sebagai
alat untuk menggertak Lie Hu San, aku juga justru ingin
meminjam kau sebagai jembatan untuk berkenalan dengan
orang-orang golongan pengemis daerah selatan."
Oleh karena timbulnya pikiran demikian, maka Touw
Liong juga menerima baik ajakan imam tua tadi.
Kini tibalah gilirannya wanita muda cantik tadi. Dengan
wajah ramai dengan senyuman serta lirikan mata yang
tajam, ia dengan beruntun menyodorkan arak kepada Touw
Liong hingga tiga cawan besar.
Touw Liong juga tidak menolak pemberian orang, setiap
disodorkan, diminumnya sekaligus.
Thian-ceng Totiang agaknya juga seorang penggemar
arak, dengan Touw Liong minum sepuas-puasnya, sambil
mengobrol tentang keadaan rimba persilatan, imam itu juga
memuji-muji suhu Touw Liong, Kiu-hoa Lojin.
Ketika Thian-ceng Totiang menyebut-nyebut ayah bunda
Touw Liong, dalam hati Touw Liong merasa sedih.
Arak, merupakan satu-satunya barang untuk
menghilangkan rasa duka Touw Liong yang waktu itu
hatinya sedih. Mengingat musuh besar ayah bundanya
belum diketahui, maka ia telah melupakan keadaan diri
sendiri, ia minum sepuas-puasnya, seolah-olah penggemar
arak ulung. Secawan demi secawan arak itu masuk ke dalam
tenggorokan Touw Liong, sedangkan perempuan cantik
tadi juga mengawasi dengan kelakuannya yang sangat
manis, tanpa disadari olehnya, 20 cawan lebih sudah
ditenggak kering.
Ia sebetulnya tidak biasa minum arak, begitu 20 cawan
arak masuk ke dalam perutnya, meskipun ia memiliki
kekuatan tenaga dalam yang sangat tinggi, juga tidak
berhasil untuk menguasai dirinya sendiri dari pengaruh air
kata-kata tadi. Apalagi ia minum arak karena hendak
melipur lara, anggapnya tidak ada perlunya untuk
dipunahkan. Apa lacur, perempuan cantik tadi sudah
memberikan obat bius di dalam arak Touw Liong.
Dalam keadaan demikian, ia sudah lupa bahwa dengan
imam tua itu baru pertama kali kenal, juga belum jelas
baginya apa yang terkandung dalam hati imam itu.
Merasa pilu, ia terkenang kembali kepada ayah
bundanya yang sudah menutup mata pada 20 tahun
berselang secara mengenaskan.
Pikirannya masih jernih, tetapi karena hati pedihnya
terus menggoda, akhirnya pikirannya mulai kabur, mabuk.
Imam itu menyaksikan itu semua, memberi isyarat
pandangan mata kepada permpuan cantik tadi, lantas
bangkit untuk membayar uang makan dan minumnya,
kemudian bertanya kepada Touw Liong:
"Touw Tayhiap, marilah kita berjalan!"
Touw Liong yang sudah mabuk, hanya menganggukanggukkan
kepala, dengan terhuyung-huyung ia bangkit
dan hendak berjalan.
Perempuan cantik itu mengawasi Touw Liong sejenak
dan tersenyum kepadanya, kemudian dengan suara lemah
lembut berkata:
"Touw Tayhiap, perlukah aku bantu membimbing kau?"
Dengan mata merah Touw Liong menggeleng-gelengkan
kepala, kemudian berjalan keluar dengan langkah lebar.
Si imam tua kembali memberi isyarat dengan pandangan
mata kepada si perempuan cantik, perempuan cantik
tersebut lantas memburu dan berjalan berdampingan
dengan Touw Liong.
Di hadapan pintu rumah makan, sudah menunggu
sebuah kereta. Ketika kusir kereta membuka pintu kereta itu,
perempuan muda tadi mengeluarkan sapu tangannya yang
putih bersih, dikibaskan ke hadapan mata Touw Liong.
Bau harum keras sekali menusuk hidung Touw Liong, saat
itu Touw Liong mendapat firasat yang tidak baik,
kepalanya dirasakan pening, matanya seketika dirasakan
jadi begitu pedas, kantuknya datang secara tiba-tiba.
Dalam hati ia mengeluh, ia coba mengerahkan kekuatan
tenaga dalamnya, namun sekujur tubuhnya dirasakan
lemas. Sekarang mengertilah ia apa yang telah terjadi, tetapi
sudah terlanjur, menyesal juga tidak ada gunanya.
Si perempuan cantik begitu melihat Touw Liong dalam
keadaan tercengang, wajahnya segera berubah. Ia lantas
mengulurkan tangannya menotok jalan darah di belakang
kepala Touw Liong, tangan yang lain dipakai untuk
menarik tangan Touw Liong, telah diajaknya masuk ke
dalam kereta. Setelah semuanya selesai, perempuan cantik tadi
berpaling dan mengawasi imam tua yang masih berdiri di
dekat pintu sambil tersenyum.
Kereta itu dijalankan dan menuju ke telaga Tay-bengouw.
Di tepi telaga, kusir kereta lompat akan turun, ia
tidak membuka pintu kereta sebaliknya mengeluarkan
siulan nyaring dari mulutnya, dari bawah pohon rindang
lalu tampak meluncur sebuah perahu kecil.
Ketika perahu kecil itu menepi, kusir kereta baru
menghampiri keretanya dan membuka pintu kereta.
Perempuan muda tadi dengan cepat melompat turun, dan
memberikan isyarat dengan matanya kepada sang kusir.
Kusir tadi lalu menarik keluar Touw Liong yang sudah
tidur nyenyak tidak ingat diri, lalu dimasukkan ke dalam
perahu, secepat kilat perempuan cantik tadi meloncat ke
atas perahu dan memerintahkan tukang perahu untuk
meneruskan perjalanannya.
Ketika perahu itu didayung ke tengah-tengah telaga,
perempuan cantik tadi lalu menghunus pedang Hok-mokiam
yang berada di punggung Touw Liong, kemudian
melemparkan Touw Liong ke tengah telaga.
Tak lama kemudian, segala-galanya tenang kembali.
Perempuan cantik tadi memerintahkan tukang perahu
untuk mendayung kembali ke tepi telaga. Begitu tiba di
tepi, perempuan cantik tadi kembali naik ke atas keretanya
dan memerintahkan kusirnya balik ke dalam kota, hingga
sebentar kemudian sudah menghilang di tempat gelap.
Setelah si perempuan cantik berlalu, tukang perahu
masih berdiri di atas perahunya dengan hati termenung.
Tukang perahu itu lalu berkata sendiri sambil
menggeleng-gelengkan kepala: "Bocah itu seharusnya sudah
mati!" Tanpa disadari olehnya, pandangan matanya jadi tertuju
ke arah telaga.
Perahunya perlahan-lahan didayung kembali ke bawah
pohong Yang-liu, kemudian ia duduk sambil melonjorkan
kedua kakinya, dan tak lama kemudian tertidurlah ia.
Entah berapa lama waktu berlalu, samar-samar ia
dikejutkan oleh goncangan hebat dari perahunya. Dalam
terkejutnya, ia segera terjaga dari tidurnya dan lantas
mengawasi keadaan sekitarnya.
Belum lagi tahu apa sebabnya yang telah terjadi, di
pinggir perahunya tampak dua lengan orang, dan kemudian
disusul oleh munculnya sebuah kepala yang basah kuyup.
Begitu melihat kepala yang basah kuyup itu, tukang
perahu tadi hampir saja berteriak.
Kepala itu bukan lain daripada kepalanya pemuda yang
diceburkan ke dalam telaga oleh perempuan cantik tadi!
Dengan menggunakan kekuatan tenaganya, Touw Liong
sudah melompat naik ke dalam perahu.
Tukang perahu itu wajahnya pucat seketika. Sambil
menjerit: ya Allah, lantas lompat ke dalam air dan
menghilang menjauhkan diri dari Touw Liong.
Touw Liong mengibas-ngibaskan bajunya yang basah
kuyup, ia berdiri di atas perahu sambil mengawasi keadaan
di sekitarnya. Kecuali tukang perahu yang berenang untuk
melarikan diri, apa pun sudah tidak ada lagi.
Ia mengenangkan kembali apa yang telah terjadi di
dalam rumah makan. Untuk sesaat ia tidak mengerti apa
sebab perempuan cantik itu hendak mencelakakan dirinya.
Ada satu hal yang ia ingat-ingat betul, ialah ketika ia
keluar dari rumah makan, ia telah dilibas oleh sapu tangan
perempuan cantik tadi yang mengandung obat bius,
kemudian ditotok jalan darahnya setelah itu ia tidak raguragu
lagi apa yang telah terjadi atas dirinya.
Ia juga mengerti bahwa orang yang menceburkan dirinya
ke dalam telaga adalah perempuan cantik tadi.
Ia marah sekali, marah karena perempuan cantik itu
berbuat terlalu kejam terhadap dirinya. Ia juga benci
kepada imam tua itu yang tidak mempunyai
perikemanusiaan.
Lama ia memandang gelombang air telaga, pikirannya
terbenam dalam lamunannya sendiri, lama sekali, ia baru
menepuk kepalanya sendiri dan berkata seorang diri: "Yah,
benar! Kalau begitu aku telah tertipu oleh mereka. Imam
tua tadi... hem! Gereja Kian-goan-koan di gunung Tay-san
tidak ada seorang imam yang bernama Thian-ceng Tojin.
Di dalam rimba persilatan juga belum ada orang yang
pernah menyebut nama imam semacam itu, juga belum
pernah dengar bahwa pangcu golongan pengemis di daerah
selatan ada berhubungan dengan gereja Kian-goan-koan.
Apalagi Ceng-lam adalah daerah kekuasaan golongan
pengemis bagian utara. Perempuan cantik itu merupakan
teka-teki, dia merupakan orang golongan pengemis bagian
utarakah" Ataukah dari golongan selatan?"
Sudah tentu, jawabannya sangat mudah, perempuan itu
seharusnya orang dari golongan pengemis daerah utara.
Dengan hati panas Touw Liong telah lompat dari atas
perahunya, dan lari menuju ke kota Cee-lam.
Tiba di kota Cee-lam, Touw Liong langsung menuju ke
kelenteng Khong-bio. Di hadapan kelenteng itu terdapat
banyak pengemis yang sedang rebah-rebahan.
Touw Liong tidak berkata apa-apa, ia hanya berjongkok.
Di atas lantai ia lalu menggurat-gurat membuat beberapa
lingkaran yang tidak keruan macamnya dengan sebuah
batu. Di depan kelenteng itu kecuali orang-orang golongan
pengemis yang pada rebah-rebahan, juga terdapat banyak
tukang-tukang jualan. Di samping itu ada pula beberapa
orang wanita yang rupanya sedang berziarah atau
sembahyang, dan beberapa anak-anak kecil juga tampak lari
kian kemari bermain-main. Touw Liong yang berjongkok
sambil mencoret-coret di atas lantai, orang dengan
dandanannya juga kelihatan tidak sepadan, sehingga
dengan sendirinya lantas telah menarik perhatian banyak
orang. Seorang pengemis yang usianya sudah lanjut adalah
yang pertama-tama sekali memperhatikan perbuatan Touw
Liong itu. Pertama-tama, pengemis tua itu tidak menampak hal-hal
yang aneh, kemudian menampak bahwa gerakan Touw
Liong itu menunjukkan keganjilan, maka lalu bangkit dan
berjalan menghampiri padanya.
Ketika pengemis tua itu mengawasi apa yang sedang
dicoret-coret oleh Touw Liong, seketika itu semangatnya
tampak terbangun, sebab pemuda yang duduk berjongkok
itu sedang menggunakan jari tangannya, di atas lantai yang
keras itu menuliskan sebuah huruf Pak, kemudian melukis
sebuah lingkaran bundar, hingga huruf Pak jadi masuk di
tengah-tengah lingkaran.
Tanda atau kode semacam itu semacam itu, bagi orangorang
golongan pengemis daerah utara, tiada satu yang
tidak kenal, sebab huruf itu sebagai kode atau tanda diri
pangcu atau ketua mereka.
Untuk sesaat pengemis tua itu diliputi oleh berbagai
kecurigaan. Ia berdiri di samping Touw Liong, berjalan
salah tetap di situ juga salah, sehingga menjadi seorang
yang keadaannya serbasalah.
Touw Liong dengan acuh tak acuh bangkit berdiri,
kemudian mengangkat kepalanya dan mengawasi pengemis
tua itu, kemudian bertanya kepadanya:
"Tahukah kau siapa aku ini?"
"Pangcu," jawab pengemis tua itu dengan sikap sangat
hormat. "Kalau kau sudah tahu kedudukanku, mengapa tidak
memberi hormat kepadaku?"
"Tentang ini..." jawabnya gelagapan. Wajah pengemis
tua itu menunjukkan bagaimana kesulitan yang
dirasakannya saat itu.
"Aku tidak dapat menyalahkan kau, karena dalam
anggapanmu, pangcumu adalah Lie Hu San, bukan"
Mengapa mendadak diganti menjadi aku" Memang benar,
ketua yang sekarang masih tetap Lie Hu San, aku hanya
mendapat perintah dari Tiga Dewa golonganmu untuk
membersihkan dan membereskan golongan kaum pengemis
selatan dan utara. Aku akan menjadi pangcu kalian di
kemudian hari!"
Pengemis tua itu menarik napas lega, katanya:
"Kiranya kau bocah ini adalah seorang pembual."
Touw Liong sedikitpun tidak marah dikatakan begitu,


Panji Wulung Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebaliknya malah tertawa terbahak-bahak.
Pengemis tua itu meskipun marah, tetapi ia tidak berani
bertindak apa-apa, sebab sudah dikejutkan oleh ilmu jari
tangan yang diunjukkan oleh Touw Liong.
Sambil mengerutkan alisnya, ia berkata lagi kepada
Touw Liong: "Aku si pengemis tua ini adalah seorang anggota yang
khusus mengurus soal-soal pelanggaran hukum golongan
pengemis. Bocah, aku ada urusan apa, ceritakan saja
kepadaku!"
Touw Liong mengeluarkan suara dari hidung, dalam hati
agak marah. Ia marah karena ucapan yang kurang sopan
dari pengemis tua itu, tetapi ia masih coba mengendalikan
hawa amarahnya. Katanya dengan suara perlahan:
"Lie Hu San telah mengutus dua orang, yang satu adalah
seorang imam tua yang wajahnya agak aneh, bernama
Thian-ceng, yang lain adalah seorang wanita muda cantik
jelita. Mengenai gerak-gerik dua orang ini, aku minta
supaya saudara suka mengadakan penyelidikan sebentar, di
waktu lohor saudara harus beri kabar kepadaku!"
"Seandainya aku tidak mau, lalu bagaimana?" balas
bertanya pengemis tua itu sambil tertawa dingin.
Touw Liong mendongakkan kepala mengawasi awanawan
di langit, kemudian menghela napas. Ia tidak berkata
apa-apa, hanya dengan menggunakan kakinya, dengan enak
sekali sudah menghapus tulisan yang ia tinggalkan di atas
lantai tadi hingga huruf PAK yang berada di tengah
lingkaran tadi sudah terhapus oleh gosokan kakinya, setelah
itu ia baru berkata:
"Aku si orang she Touw selamanya tidak mau memaksa
orang lain. Tentang perintahku tadi, kau mau melakukan
atau tidak itu adalah urusanmu, hanya jikalau kau tidak
mau dengar perintahku, di kemudian hari aku tidak perlu
menghukum kau, sedangkan Lie Hu San juga tidak akan
melepaskan kau begitu saja!"
Digertak demikian, lagi pula menyaksikan kekuatan
tenaga dalam Touw Liong demikian hebat, pengemis tua itu
lalu bungkam tidak berani berkutik lagi.
"Menggunakan paksaan!" demikian pengemis tua itu
mengucapkan kata-kata yang ringkas sambil menghela
napas, setelah itu ia berkata pula sambil menunjuk puncak
gunung di daerah timur:
"Di tengah-tengah gunung itu, ada sebuah kelenteng
yang dinamakan kelenteng Tho-tee-bio. Nanti petang aku
di sana menantikan kedatanganmu."
Setelah berkata demikian, pengemis tua itu lantas
berlalu. Ketika ia berlalu, ia tidak mengajak kawan-kawannya,
juga tidak memberi isyarat apa-apa.
Setelah mendapat jawaban demikian, Touw Liong lalu
meninggalkan kelenteng Khong-bio.
Bab 60 GUNUNG itu tidak tinggi, di tengah-tengah gunung ada
sebuah kelenteng kuno yang sudah rusak keadaannya,
mungkin karena sudah lama tidak ada orang yang tinggal,
hingga debunya yang di lantai nampak demikian tebal.
Cuaca perlahan-lahan mulai gelap, Touw Liong berjalan
mondar-mandir di depan kelenteng, dia sudah mulai
kecewa, dianggapnya pengemis tua tadi tidak akan datang.
Tiba-tiba, dalam keadaan remang-remang, di atas jalan
raya yang menuju ke gunung itu, tampak beberapa
bayangan penunggang kuda.
Semakin lama nampak semakin nyata... penunggang
kuda itu semuanya berjumlah 3 orang yang terus mendaki
gunung. Touw Liong yang memiliki pandangan mata tajam,
ketika penunggang kuda itu berada sejarak 20 tombak lebih,
sudah tampak olehnya bahwa penunggang kuda itu terdiri
dari 12 orang pengemis.
Sebagai kepala, seorang pengemis berusia tiga puluhan
tahun yang berperawakan kurus kering. Penunggang kedua
adalah seorang pengemis tua yang tadi siang dijumpainya di
depan kelenteng Khong-bio.
Dua belas penunggang kuda itu ketika tiba di depan
kelenteng, semuanya lompat turun dari kudanya. Pengemis
setengah umur yang menjadi kepala rombongan, lebih dulu
menatap Touw Liong yang berdiri di tangga depan
kelenteng, seraya bertanya:
"Adakah tuan orang she Touw?"
"Benar, aku adalah Touw Liong," jawab Touw Liong
sambil menganggukkan kepala dan menjura kepada kepala
rombongan pengemis itu.
"Touw Tayhiap yang dahulu pernah tunjukkan
kepandaiannya di atas gunung Lu-san di danau Siao-thiantie?"
Touw Liong tidak menjawab, hanya menganggukkan
kepala. "Aku si pengemis tua ini adalah Tong Kun Khay,
pangcu cabang golongan pengemis di kota Cee-lam."
Touw Liong menunjukkan sikap terkejut, kemudian
memberi hormat kepadanya.
"Touw tayhiap kata, bahwa kau adalah pangcu golongan
kami untuk kemudian hari, ucapanmu ini aku kurang
paham. Kalau benar tiga sesepuh kami sudah menyerahkan
tugas ketua itu kepada tuan, setidak-tidaknya toh ada
memberikan barang kepercayaan. Cobalah tuan tunjukkan
barangnya."
"Ada," jawab Touw Liong tegas, "Sebuah tanda
kepercayaan yang berupa batu giok berukiran harimau
putih yang diberikan oleh Ciu-sian Locianpwe, dan di
samping itu juga sehelai surat yang ditulis olehnya sendiri."
Tong Kun Khay tertawa terbahak-bahak, kemudian
berkata: "Keterangan Touw tayhiap ini agak aneh, karena tanda
kepercayaan batu giok berukiran harimau putih milik Ciusian
Tianglo sudah lama diberikan kepada Lie Pangcu."
Wajah Touw Liong menjadi merah, tegas menunjukkan
perasaan terkejutnya, setelah berdiam sejenak, ia bertanya:
"Apakah Tong Pangcu pernah melihat dengan mata
kepala sendiri batu giok putih itu?"
"Tiga bukan berselang, Lie Pangcu telah mengundang
para ketua dari 72 cabang di daerah utara, di hadapan para
ketua itu Lie Pangcu memperlihatkan tanda kepercayaan
batu giok itu, juga di hadapan para ketua itu
mengumumkan perintah Ciu-sian Tianglo yang diberikan
kepadanya, yang minta supaya Lie Pangcu dengan tanda
kepercayaan itu mempersatukan golongan kami, 36 anak
cabang dari golongan selatan, harus digabungkan dengan
golongan utara," jawab Tong Kun Khay sambil
menganggukkan kepala.
"Benarkah?" tanya Touw Liong dengan wajah marah.
"Apa Touw Tayhiap anggap aku si orang she Tong suka
bicara main-main?"
"Bukan itu maksudku, aku sedang berpikir...."
"Touw Tayhiap tentunya berpikir barang sudah di
tangan orang lain! Betul tidak...?"
Ucapan ini mengandung maksud mengejek. Di luar
dugaannya Touw Liong menganggukkan kepala, katanya:
"Sedikitpun tidak salah, Lie Hui San dengan
menggunakan caranya yang sangat rendah, telah mencuri
tanda kepercayaan itu dariku!"
"Heh, heh! Siapa mau percaya barang yang berada di
tangan Touw Tayhiap bisa diambil oleh orang lain?"
Touw Liong naik darah karena diejek terus menerus.
Dengan sikap keren ia membentak:
"Tutup mulut!"
Bentakan itu bagaikan halilintar, hingga 12 orang itu
semua berubah wajahnya.
Itu masih belum cukup, 12 ekor kuda semuanya pada
berlompat berjingkrakan sambil meringkik-ringkik, hampir
saja lari serabutan.
Dua belas pengemis itu satu sama lain saling
berpandangan, untuk sesaat mereka digentarkan oleh
bentakan Touw Liong tadi.
"Tong Pangcu, dalam cabangmu di sini ada dua orang
yang kusebutkan tadi atau tidak?"
"Ada... ada... ada...."
"Orang dari golongan apa?"
"Seperti..." menjawab Tong Kun Khay sambil
mendongakkan kepala, "Seperti... orang dari golongan
kami daerah selatan."
"Di mana sekarang orangnya?"
"Sudah lama pergi!"
Touw Liong lalu menjura dan mengucapkan sampai
bertemu kembali kepadanya, kemudian cepat bagaikan kilat
lari turun gunung, dalam waktu sekejap mata sudah
menghilang ditelan kabut gelap.
Touw Liong yang mendengar keterangan bahwa
perempuan muda cantik jelita itu adalah orang golongan
pengemis daerah selatan, bahkan orangnya sudah berlalu
dari kota Cee-lam, dalam cemasnya ia juga tidak
menanyakan lebih jauh perempuan itu dari golongan mana,
orang she apa, dan bernama apa, sedang Thian-ceng Tojin
betul seperti apa yang diucapkan dan ada hubungannya
dengan gereja Kian-goan-koan atau tidak, lantas berlalu
begitu saja. Ia lari demikian pesat, sebentar saja sudah menghilang,
hinga 12 pengemis tua itu semua berdiri kesima di
tempatnya. Touw Liong teringat kejahatan Thian-ceng Tojin dan
perempuan cantik itu, dalam hati merasa mendongkol,
maka ia lari siang malam terus menerus selama dua hari.
Ia sudah melalui sungai Hway-ho, tapi masih belum
berhasil juga menyandak perempuan cantik yang dikejarnya
itu. Dari situ ke selatan adalah kota Yang-ciu, dan kota
Yang-ciu itu merupakan markas besarnya golongan
pengemis daerah selatan.
Di waktu petang, Touw Liong sudah tiba di kota Yangciu.
Begitu melalui jembatan, tiba-tiba teringat diri
seseorang. Orang itu di kota Yang-ciu mempunyai nama
baik, meskipun ia belum pernah mengadakan perhubungan
dengannya, tetapi orang itu kenal baik keadaan golongan
pengemis di daerah selatan. Karena kebetulan berada di
Yang-ciu, maka ia ingin berkunjung untuk menanyakan
keterangan sedikit darinya.
Tiba di mulut sebuah gang, tidak jauh di depan pintu
rumah no. 7 tampak terpancang dua buah lentera yang
bertulisan huruf-huruf yang besar-besar "Cu".
Ia langsung menuju ke rumah yang ada terpancang dua
lentera itu, lalu mengetok pintunya. Dari dalam keluar
seorang pelayan tua, setelah mengawasi Touw Liong dari
atas ke bawah sejenak, lalu bertanya:
"Tuan ada keperluan apa?"
"Aku datang dari kota Pak-khia, hendak menari Cu
Tayhiap Cu Keng Kian."
Pelayan tua itu menggeleng-gelengkan kepala seraya
berkata: "Kedatangan tuan sungguh tidak kebetulan, loya kami
baru saja keluar pintu."
"Pergi kemana?" tanya Touw Liong cemas.
Pelayan tua itu kembali menggelengkan kepala, dan
berkata: "Hal ini hamba sendiri juga kurang jelas, loya seperti
membawa bungkusan kecil, barangkali pergi ke tempat
jauh." "Seorang diri?"
"Tidak!" jawab orang tua itu tegas, "Berdua."
"Siapakah yang satu lagi?"
"Seorang imam."
Dalam hati Touw Liong bercekat, ia segera teringat diri
Thian-ceng Totiang, setelah berpikir sejenak ia lalu
bertanya: "Kemana mereka pergi" Apakah kongkong kiranya
dapat menduga-duga?"
Pelayan tua itu kembali mengamat-amati diri Touw
Liong, setelah itu ia berkata sambil menggelengkan kepala:
"Tentang ini, aku si orang tua tidak dapat
mengatakannya."
Tiba-tiba dia menunjukkan tertawanya misterius. Selagi
hendak menutup pintu, Touw Liong yang merasa curiga,
buru-buru menahannya dan menggambarkan kepadanya
dedak dan pakaian Thian-ceng Totiang.
Namun pelayan tua itu tetap menggeleng-gelengkan
kepala dan berkata sambil tertawa:
"Hamba seorang tua yang sudah lamur. Hamba hanya
tahu imam itu ada membawa pedang pusaka, wajahnya
kurus, mengenakan jubah warna hijau."
Jawaban itu kembali mengecewakan Touw Liong.
Oleh karenanya, maka ia meninggalkan gedung
Keluarga Cu dengan hati kesal.
Begitu Touw Liong berlalu, dari belakang pintu lompat
keluar tiga laki-laki berpakaian hijau, dari jauh menguntit
Touw Liong. Sementara itu pelayan tua tadi tiba-tiba menyeka
mukanya sendiri, dan membuka rambut putihnya yang
ternyata palsu. Saat itu tampaklah wajahnya yang asli.
Orang itu ternyata berusia tiga puluh tahunan.
"Sungguh berbahaya!" demikian lelaki tadi berkata
sendiri sambil meleletkan lidahnya.
Pada saat itu seorang tua berjalan keluar dari dalam
rumah dan bertanya dengan suara perlahan kepada lelaki
tadi. "Hong-kun, apakah bocah she Touw itu sudah pergi?"
"Sudah!" jawabnya singkat.
Dua orang itu berjalan masuk sambil mengobrol.
Di ruangan tamu terdapat tujuh buah kursi, dengan tujuh
orangnya. Di tengah-tengah duduk seorang tua berusia
lima puluh tahunan, di sebelah kiri duduk imam tua yang
mengaku Thian-ceng Tojin, sedang di sebelah kiri Thianceng
Tojin adalah perempuan muda yang cantik jelita itu.


Panji Wulung Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di barisan sebelah kanan duduk empat pengemis
pertengahan umur.
Pengemis tua bermuka merah dengan wajah cemas
mengawasi lelaki yang baru masuk. Dengan suara agak
gemetar bertanya:
"Hong-kun, apakah orang she Touw itu sudah pergi?"
"Pangcu, orang she Touw itu sudah berlalu. Hamba..."
menjawab Hong-kun sambil maju dua langkah dan
memberi hormat.
"Heng!" Pengemis tua bermuka merah itu mengulapkan
tangannya, dan memotong ucapan Hong-kun, "Kau lekas
pergi lihat, anak murid yang mengikuti dia itu ada berita
apa?" Hong-kun lantas undurkan diri.
Pengemis tua itu kembali berkata kepada orang tua yang
berjalan masuk bersama-sama Hong-kun:
"Lie hoat, kau lekas pergi mengundang Leng Congpiauwpiauw-thao dari Su-hay-piauw-kiok," orang tua tadi
juga lantas mengundurkan diri.
Setelah dua orang itu berlalu, orang tua bermuka merah
tadi berkata pula kepada Thian-ceng Tojin:
"Kow Hu Pangcu, tentang... batu giok itu, kamu masih
mempunyai usul apa?"
"Perhitungan Pangcu ternyata tepat, hamba merasa
sangat kagum," menjawab Thian-ceng Tojin sambil
membongkokkan badan.
Pengemis tua bermuka merah itu kembali bertanya
kepada perempuan muda:
"Ang Hok Hoat ada mempunyai usul apa lagi?"
Wanita muda itu memberi hormat seraya berkata:
"Pangcu mempunyai pandangan sangat luas, siaolie
kecuali setuju, terhadap tugas kali ini, merasa sangat puas."
"Perjalanan Ang Hok Hoat kali ini dengan Hu-pangcu ke
kota Pak-khia, telah berhasil membuat jasa besar, bukan
saja aku si orang she Kang merasa berterima kasih, tetapi
juga semua murid golongan pengemis, merasa berterima
kasih kepada kalian berdua. Kali ini apabila usaha kita
berhasil, Lie Hu San tidak perlu ditakuti lagi."
Ia berhenti sejenak, kemudian berkata pula sambil
menghela napas:
"Semoga kali ini atas kurnia Couwsu kita bertiga, dapat
mempersatukan golongan pengemis. Aku si orang she
Kang juga tidak mengecewakan Couwsu kita, juga tidak
mengecewakan murid-murid golongan pengemis generasi
kemudian."
Pengemis bermuka merah itu ternyata adalah pangcu
golongan pengemis daerah selatan, Kang Hao.
Kang Hao tampaknya sangat bangga. Di dalam otaknya
sudah terbayang kedudukannya sebagai ketua dan
pemimpin golongan pengemis, dan di hadapannya seolaholah
berlutut seratus delapan kepala cabang pengemis, yang
semuanya menundukkan kepala dan pandang ia sebagai
pemimpin yang mempersatukan golongan pengemis daerah
utara dan selatan.
Tanpa disadari olehnya, ia sudah tertawa dengan
bangganya. Dalam keadaan seolah-olah sudah melupakan diri,
matanya melirik kepada wanita cantik tadi. Sinar matanya
menunjukkan sikap aneh, sedang dalam hatinya memanggil
nama perempuan tadi:
"Ang Hok Hoat."
Panggilan dari dalam hatinya tadi mengandung maksud
lain. "Pangcu!" demikian empat pengemis tiba-tiba bangkit
dan memberi hormat kepadanya.
Bayangan dalam otaknya Kang Hao telah buyar oleh
suara tadi. Di wajah Kang Hao terlintas perasaan tidak
senang, perlahan-lahan berpaling dan mengawasi wanita
cantik itu. Hampir pada saat yang bersamaan, sepasang mata
perempuan cantik yang jeli dan bulat itu juga melirik
kepadanya, sehingga saling bertemu.
Hati Kang Hao tergoncang. Sungguh cantik dan
menarik paras perempuan itu. Perlahan-lahan ia berpaling
kembali dan memberi perintah kepada empat pengemis
tadi. "Kalian berempat, dengar, aku hanya mempunyai waktu
setengah bulan saja, dalam waktu setengah bulan ini harus
berhasil mendahului Lie Hu San tiba di gunung Hek-hongsan,
dengan tanda kepercayaan Naga Emasku ini, kauwcu
pasti akan memberikan kitab ilmu Thian-ceng-siu-lo
kepadaku, dengan demikian, golongan kita daerah selatan
dan utara ada harapan untuk digabung menjadi satu."
Setelah itu ia mengulapkan tangan kepada empat
pengemis tadi dan berkata pula:
"Besok pagi-pagi aku akan berangkat, segala sesuatu di
dalam perjalanan, terserah kepada kalian berempat yang
mengurus, silahkan kalian berangkat dahulu!"
Empat pengemis itu lantas undurkan diri.
Kang Hao kembali berkata kepada wakil ketua seorang
she Kow: "Kalau Leng Cong-piauw-tiauw dari Su-hay-piauw-kiok
nanti datang, sediakan upah besar, minta ia pergi ke kota
Tong-sian, diberikan kepada Lie Hu San... ha ha... sebagai
tanda ucapan terima kasih yang ia sudah menyerahkan
tanda kepercayaan pangcu kepada kita."
Ia tertawa demikian rupa, seolah-olah melupakan dirinya
sendiri, kemudian ia memberi isyarat dengan tangannya
kepada perempuan cantik tadi seraya berkata:
"Ang Hok Hoat, mari jalan kemari! Kita lekas naik
perahu. Malam ini bermalam di atas perahu supaya besok
pagi-pagi bisa melakukan perjalanan di darat."
Wakil ketua tadi mengantarkan ketuanya sambil
membungkukkan badan, sedang matanya terus mengawasi
berlalunya Kang Hao dengan perempuan cantik she Ang
tadi hingga keluar dari ruangan. Orang tua itu kumisnya
nampak bergoyang-goyang, wajahnya menunjukkan sikap
dengki. Di waktu malam, angin di atas sungai meniup kencang,
di atas langit hanya terdapat sinar bintang saja.
Di luar kota Yang-ciu, di tepi sungai Thiang-kang,
terpisah kira-kira 5 tombak dari tepi sungai, tampak
berlabuh dua buah perahu besar. Perahu itu di sebelah
kirinya ada lukisan burung garuda besar. Bagi orang-orang
yang sering melakukan perjalanan di sungai Thian-kang,
dapat segera mengenali milik siapa perahu besar itu.
Di atas perahu, tidak terdapat sinar pelita, juga tak
terdengar suara sedikitpun.
Dari jauh, sayup-sayup terdengar tiga kali bunyi
kentongan. Setelah mana, dari dalam perahu itu lalu
terdengar suara orang kemudian disusul dengan munculnya
seorang pengemis berambut pendek.
Pengemis itu mengeluarkan suara batuk-batuk sebentar,
lalu berjalan mengitari atas perahu besar. Ketika
menampak tidak ada tanda-tanda apa-apa yang aneh,
kembali menuju bawah dan tidur di ruangan bawah.
Tak lama kemudian, sebuah perahu kecil dengan diamdiam
dan perlahan-lahan didayung dan mendekati perahu
besar tadi. Dari dalam perahu kecil itu, tampak sesosok
bayangan orang. Dengan tidak mengeluarkan sedikit
suarapun juga bayangan orang itu sudah melayang turun ke
dalam perahu besar, dan berjalan menuju ke kamarnya
dengan indap-indap.
Di bawah sinar bintang, samar-samar tampak bayangan
orang yang melayang turun ke dalam perahu besar tadi
adalah seorang imam yang tangannya membawa sebilah
pedang yang berkilauan.
Pada saat itu, dari tempat setinggi 5 tombak di atas
perahu tiba-tiba terdengar suara seruan terkejut, seorang
berseru dengan suara serak:
"Thian-ceng Tojin...!"
Memang benar, imam itu adalah wakil ketua golongan
pengemis daerah selatan yang menyamar sebagai Thianceng
Tojin. Bab 61 MESKIPUN di waktu malam, sepasang mata Thianceng
Tojin yang buas dan penuh nafsu membunuh tampak
dengan nyata. Ia berjalan berindap-indap menuju ke kamar
sambil menenteng pedang, di tangan yang lain, memegang
sebuah bumbung warna kuning. Bagi orang Kang-ouw,
segera dapat mengenali bahwa bumbung warna kuning itu
pasti adalah sebuah alat untuk melepaskan senjata rahasia
yang sangat berbisa.
Di depan pintu kamar, Thian-ceng Tojin merendek,
pikirannya ragu-ragu.
Pada saat itu, di bagian lain dalam perahu itu, dari daun
jendela tampak berkelebat bayangan orang, lalu muncul dua
orang dari dalam kamar.
Dua orang itu adalah seorang laki-laki dan seorang
wanita. Yang laki-laki berdandan seperti pengemis, sedang
yang perempuan masih muda dan cantik rupanya.
Dari atas perahu, terdengar suara orang dengan nada
sangat perlahan sekali:
"Itulah dia, perempuannya!"
Thian-ceng Tojin, setelah ragu-ragu sejenak, akhirnya ia
memberanikan diri, kakinya menendang untuk membuka
pintu kamar. Begitu pintu kamar terbuka, Thian-ceng Tojin secepat
kilat melesat ke dalam, dengan pedang terhunus.
Di dalam kamar, kelambu diturunkan, sedang jendela
terbuka lebar, ketika angin sungai meniup, kelambu itu
tampak bergoyang-goyang, tempat tidur tampak awutawutan,
tetapi tidak terdapat bayangan seorangpun juga.
Thian-ceng Tojin sebagai seorang Kang-ouw kawakan,
begitu menyaksikan keadaan demikian segera mengetahui
gelagat tidak baik. Baru saja kakinya menginjak dalam
kamar, secepat kilat sudah membalikkan diri dan kaki
belakangnya juga memutar, begitupun pedangnya juga
bergerak. Gerakan tadi cukup cepat dan tepat. Begitu bergerak,
segera terdengar suara beradunya senjata tajam. Thianceng
Tojin terhuyung-huyung mundur tiga langkah. Begitu
Thian-ceng Totiang pasang mata, yang berdiri di
hadapannya bukan lain daripada Kang Hao.
Kang Hao perdengarkan suara tertawanya yang
menyeramkan, tongkat batu giok di tangannya menunjuk
Thian-ceng seraya berkata:
"Orang she Kow, aku si orang she Kang apa salahnya
terhadapmu" Dengan perbuatanmu seperti ini, nama
baikmu selama ini pasti akan hancur, dan kematianmu
masih akan membawa nama buruk sebagai orang yang
berkhianat terhadap ketuanya sendiri."
Orang she Kow itu hanya perdengarkan suara tertawa
dingin, bumbung di tangannya diacungkan, katanya:
"Mati" Bohong, hari ini kita lihat saja siapa yang akan
mati." Ucapannya itu seolah-olah sudah yakin benar asal
bumbung di tangannya itu bergerak, maka Kang Hao sudah
akan menggeletak di tanah.
Kang Hao masih tetap bersikap tenang, katanya dengan
sikap menghina:
"Orang lain takut senjata rahasiamu jarum berbisa, tetapi
aku si orang she Kang tidak, heh he! Dengan adanya
tongkat pusaka ini di tangan sudah cukup untuk
memunahkan senjata rahasiamu. Orang she Kow, kalau
kau tidak percaya boleh coba-coba saja!"
Orang she Kow itu tampaknya dikejutkan oleh ucapan
tadi, sesaat berada dalam keragu-raguan.
Ia agak gentar, dengan mengawasi tongkat batu giok
warna hijau di tangan Kang Hao, matanya terus berputaran
mencari daya upaya.
Keduanya saling berhadapan, perempuan cantik yang
berdiri di belakang Kang Hao, mulai melancarkan serangan
dengan lirikan matanya kepada Thian-ceng Tojin.
Jantung Thian-ceng Tojin berdebaran, tiba-tiba tertawa
terbahak-bahak dan berkata:
"Tongkat di tanganmu itu dapat menyedot jarum
berbisaku atau tidak, masih merupakan suatu teka-teki.
Mungkin kau sendiri yang terlalu banyak membual...."
"Membual atau tidak, kita boleh coba saja dahulu."
Keduanya kambali saling berhadapan, tiada satu yang
bertindak lebih dahulu. Perempuan cantik itu berjalan di
tengah-tengah antara mereka berdua, lalu berkata sambil
tersenyum manis:
"Ya! Kalian dua orang, janganlah mengadu kekuatan
sendiri, sehingga membikin kacau barisan dalam sendiri!
Bagaimanapun juga kita adalah orang-orang dalam satu
golongan. Ada urusan apa, toh bisa dirundingkan secara
baik-baik!"
"Perempuan hina!"
Dengan marah Kang Hao berseru dan menarik tangan
perempuan cantik itu, hingga mundur terhuyung-huyung
tiga langkah. Kang Hao berkata lagi dengan suara bengis:
"Kau perempuan hina ini apa benar sudah mau mencari
mampus?" Dengan wajah pucat pasi perempuan cantik itu undurkan
diri, kembali berdiri di belakang Kang Hao.
Ia dapat memahami maksud Kang Hao. Memang benar,
apabila tadi Thian-ceng Tojin turun tangan selagi
perempuan cantik itu sedang berdiri di tengah-tengah dua
orang, bukan saja perempuan cantik itu sendiri yang
pertama-tama menjadi sasaran senjata berbisanya,
sedangkan Kang Hao sendiri juga tidak dapat
mengeluarkan kepandaiannya, sudah tentu akan terkena
serangan juga. Kang Hao yang masih marah, bertanya pula kepada
perempuan cantik itu:
"Perempuan hina! Katakanlah dengan sejujurnya, kau
sebetulnya hendak ikut siapa?"
"Ikut siapa?" demikianlah perempuan cantik itu balas


Panji Wulung Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertanya, sedang matanya kembali melirik kepada Thianceng
Tojin. Katanya pula dengan suara lantang:
"Apa masih perlu penjelasan" Siapa yang memiliki
tanda kepercayaan Naga Emas, kepada dialah aku akan
mengikut."
Ucapan itu sudah jelas menyatakan isi hatinya. Ia sudah
bertekad hendak mengikut Kang Hao, akan tetapi Thianceng
Tojin yang menerima lirikan tajam darinya, tidak
berpikir demikian. Dalam alam pikiran wakil ketua
golongan pengemis itu, lirikan perempuan itu diartikan
sebagai isyarat yang suruh ia....
Memang benar, lirikan perempuan cantik itu
mengandung arti hendak mengadu domba.
Wakil ketua golongan pengemis itu menjadi nekad.
Pedang di tangan bergerak pura-pura menyerang ke dada
perempuan muda tadi, sedang mulutnya berteriak:
"Perempuan hina, kau cari mampus!"
Baru saja pedangnya bergerak, tampak berkelebat
bayangan hijau. Tongkat batu giok di tangan Kang Hao
sudah dilintangkan merintangi gerakan pedang Thian-ceng
Tojin. Perempuan cantik tadi menggunakan kesempatan itu,
lantas lompat melesat keluar dari dalam kamar.
Selagi dua senjata saling beradu, terdengar pula suara
ledakan dan disusul oleh suara ser-seran. Dari dalam
bumbung itu melesat beberapa ratus jarum berkilauan.
Kang Hao perdengarkan suara bentakan marah-marah
diseling oleh suara tertawanya Thian-ceng Tojin, setelah itu
terdengar pula dua kali suara jeritan mengerikan.
Pedang Thian-ceng Tojin sudah ditarik kembali, dan
dalam kesempatan itu ujung pedangnya untuk kedua
kalinya digerakkan, untuk menyambut tongkat batu giok
Kang Hao yang disodorkan kepadanya, setelah itu ujung
pedang menikam ketiak kiri Kang Hao yang saat itu masih
mengubat-abitkan tongkat di tangannya.
Darah mengucur dari kedua mata Kang Hao, sepasang
matanya sudah tidak dapat melihat lagi.
Dengan demikian, maka ujung pedang Thian-ceng Tojin
dengan sangat mudah dapat menembusi ketiak kiri Kang
Hao. Berbareng dengan keluarnya suara jeritan Kang Hao,
juga terdengar suara tertawanya Thian-ceng yang menusuk
telinga. Suara tertawa itu mungkin karena terlalu girang,
sehingga mirip dengan suara tertawanya orang kalap.
Belum hilang suara tertawanya, dengan tiba-tiba
terdengar suara jeritan mengertikan, menggantikan suara
tertawanya tadi.
Bersamaan dengan itu, di dalam ruangan kamar perahu
itu terdengar suara jatuhnya tubuh dua orang di atas lantai.
Malam itu, suasana balik sunyi kembali. Perempuan
muda tadi melongok ke dalam kamar. Di wajahnya
menunjukkan sikap girang, tetapi hanya sekilas lintas saja
perasaan terkejutnya lantas lenyap, agaknya apa yang
terjadi dalam kamar itu sudah ada dalam dugaannya.
Di atas lantai dalam kamar, rebah menggeletak dua
bangkai manusia.
Muka Kang Hao berlumuran darah. Kedua tangannya
masih menggenggam erat-erat tongkat batu giok hijaunya,
sedang ujung tongkat itu sudah menancap dalam dada
Thian-ceng Tojin. Dari luka itu darah menyembur
bagaikan air mancur. Meskipun orangnya sudah mati tetapi
darahnya masih mengalir terus.
Perempuan cantik itu benar-benar berhati kejam. Ia
mengawasi dua bangkai manusia itu tanpa menunjukkan
perubahan sikap apa-apa, bahkan masih mengulurkan
tangannya, meraba-raba dalam saku Kang Hao, dari situ ia
mengeluarkan sebuah batu giok berwarna kuning, yang
berukiran Naga Emas. Benda itu digenggam dalam
tangannya, lalu tertawa terbahak-bahak dan kemudian
berkata kepada diri sendiri: "Takdir! Takdir! Sudah
ditakdirkan aku si orang she Bu...."
Mendadak ia bungkam, matanya terbuka lebar,
wajahnya berubah pucat pasi. Di depan pintu kamar dalam
perahu, entah sejak kapan tahu-tahu seseorang sedang
berdiri. "Kau...?" demikian perempuan cantik itu berteriak kaget,
mungkin karena terlalu kagetnya, sehingga tidak dapat
mengeluarkan ucapan selanjutnya.
Sekujur badannya gemetaran, bagaikan orang sakit
demam. "Kau... manusia... ataukah setan?"
Kata-kata itu akhirnya tercetus juga dari mulutnya,
namun semangatnya seolah-olah masih belum kembali,
matanya terus menatap kepada orang yang sedang berdiri di
hadapannya. Orang yang berdiri di hadapannya itu adalah seorang
pemuda berbaju hijau, yang bukan lain daripada Touw
Liong adanya, yang pernah diceburkan olehnya ke tengahtengah
telaga. Wanita cantik itu menganggap Touw Liong sudah binasa
di dalam dasar telaga. Mengapa ia mendadak bisa muncul
di kota Yang-ciu" Kecuali rohnya, tidak mungkin kalau itu
adalah orangnya yang benar. Begitu pikir wanita cantik itu.
"Perempuan hina!" demikian Touw Liong membentak
dengan suara keras, "Tuan mudamu masih segar bugar,
kalau bukan manusia, apa kau anggap aku ini setan?"
Kini mengertilah sudah perempuan muda itu bahwa
Touw Liong benar-benar adalah manusia yang masih
hidup, bukanlah setan yang hendak mengejar dirinya. Oleh
karenanya, maka hatinya malah menjadi tenang, sesaat
kemudian kembali menunjukkan sikapnya yang genit,
pandangan matanya yang tajam bagaikan gunting, terus
menerus memain ke wajah Touw Liong, setelah itu, ia
unjukkan senyumnya yang menggiurkan, dan katanya
dengan suara lemah lembut yang penuh madu:
"Ayo! Touw tayhiap, kau benar-benar berumur panjang,
bisa lolos dari bahaya maut. Kau pasti akan mndapat rejeki
besar...."
"Tutup mulut!" bentak Touw Liong, "Di mana pedang
Hok-mo-kiam-ku?"
"Pedang?" balas tanya perempuan itu sambil tersenyum,
"Di dalam, nanti kuambil dulu!"
"Tunggu dulu!" Touw Liong takut perempuan itu kabur,
maka tidak mau membiarkan ia berlalu, "Tunggu sebentar,
aku bisa mencari sendiri."
Saat itu wajahnya diliputi oleh nafsu membunuh. Ia
pikir perempuan cantik berhati berbisa itu tidak boleh
dibiarkan hidup. Apabila perempuan berbisa ini tidak
disingkirkan, di kemudian hari entah berapa banyak jiwa
yang akan binasa di tangannya"
Melihat perubahan sikap Touw Liong, dalam hati
perempuan cantik itu ketakutan, namun ia masih belum
kehabisan akal, ia masih mencoba hendak memikat Touw
Liong dengan kecantikannya. Sambil unjukkan senyumnya
yang manis, ia memperlihatkan batu giok di tangannya
kepada Touw Liong, lalu maju menghampiri dua langkah
dan diberikan kepada Touw Liong seraya berkata:
"Nah, Touw tayhiap, dengan adanya batu giok ini, untuk
selanjutnya golongan pengemis daerah selatan dan utara
akan berada di dalam kekuasaanmu!"
Touw Liong terkejut dan mundur selangkah, ia takut
perempuan itu menggunakan akal muslihat kepada dirinya
lagi, maka lalu membentak, membuat perempuan cantik itu
merandek. "Lemparkan!" perintahnya Touw Liong dengan sikap
dingin. "Lemparkan?" berkata perempuan cantik itu dengan
wajah berubah, "Enak saja!"
Ia genggam erat-erat batu giok di tangannya, katanya
lambat-lambat: "Batu giok ini kudapatkan dengan mengorbankan waktu,
tenaga dan tubuhku. Meskipun milik golongan pengemis,
akan tetapi aku sudah bisa mendapatkan, tentu bisa juga
menghancurkan benda ini. Aku tahu maksud
kedatanganmu kemari ialah lantaran batu giok ini. Hari ini,
jikalau kau tidak dengar perkataan nonamu, hem! Hem!"
Ia perdengarkan suara tertawa dinginnya berulang-ulang.
Batu giok diacung-acungkan di depan mata Touw Liong,
kemudian berkata pula dengan suara tajam:
"Asal aku mengacungkan tanganku, kau harus dengar
ucapanku!"
"Baiklah! Katakan saja! Kau ingin aku berbuat
bagaimana?"
"Kau jadi pangcunya, aku yang pelindung hukum. Batu
giok ini terhitung milikmu, tetapi orang yang benar-benar
menguasainya ia adalah pelindung hukum," kata
perempuan cantik itu dengan sikap bangga.
Touw Liong tidak terlalu rakus dengan benda pusaka itu,
tetapi oleh karena nasib golongan pengemis tergantung
kepada benda itu, maka untuk sesaat ia juga merasa sulit.
Ia takut perempuan cantik itu nanti menggunakan batu giok
tersebut untuk memeras dirinya. Apalagi, perempuan
cantik itu berhati sangat berbisa, segala perbuatan jahat
pasti dapat dilakukan olehnya.
Ia berpikir bolak-balik, kecuali menurut, sesungguhnya
sudah tidak ada jalan lain lagi. Oleh karenanya, maka
terpaksa ia mengiringi kehendaknya.
"Baik, akan kuiringi segala kehendakmu, juga suka aku
ampuni jiwamu. Tapi ada satu hal kau harus ingat benarbenar,
bila ada satu hari kau mengandung maksud jahat,
dayung perahu ini adalah contohnya!"
Setelah berkata demikian, ia memutar tubuh, dari jauh
melakukan gerakan tangannya. Dayung perahu yang besar
dan kokoh itu mendadak patah menjadi dua potong.
"Baik! Begitu saja kita tetapkan," perempuan cantik itu
tersenyum manis.
Tiga hari kemudian, di atas sungai Thian-tang-kang
tampak sebuah perahu besar. Di atas perahu itu dikibarkan
bendera merah yang bertulisan huruf besar "TOUW" yang
tersulam dengan benang emas.
Munculnya perahu besar itu disambut oleh dua belas
perahu lain yang dihias dengan berbagai perhiasan, di
sepanjang sungai, arak-arakan perahu itu seperti mengarak
raja-raja, terus menuju ke kota Hang-ciu.
Di bawah sebuah bukit di sebelah barat kota Hang-ciu,
terdapat sebuah bangunan besar dengan pekarangannya
yang luas. Bangunan itu dihias dengan rupa-rupa dedaunan
dan bendera-bendera, tampaknya sangat ramai sekali.
Sesungguhnya bangunan itu luas dan cukup megah,
tetapi ada satu hal yang lain daripada yang lain, orangorang
yang keluar masuk di dalam bangunan yang
mempunyai pekarangan luas itu, semuanya adalah orangorang
dari golongan pengemis.
Bagi orang yang mengerti, sedikitpun tidak merasa
heran, sebab bangunan besar itu adalah markas besar
golongan pengemis daerah selatan.
Ketika iring-iringan perahu itu menepi semua, dari tepi
sungai sampai ke bangunan besar itu, sepanjang jalan
orang-orangnya diarak dengan tetabuhan dan bunyi-bunyi
petasan. Tiba di muka pintu gerbang, kedatangan rombongan itu
disambut oleh 36 pengemis tua yang masing-masing
tangannya menggenggam sebuah tongkat kebesaran.
Kemudian, kepala rombongan yang merupakan seorang
pemuda tampan, diiring masuk oleh 36 pengemis tua, dan
duduk di atas kursi upacara kebesaran di tengah-tengah
ruangan yang luas.
Ketika pemuda itu sudah duduk di atas kursi
kebesarannya, 36 pengemis tua satu persatu maju memberi
hormat seraya memperkenalkan diri masing-masing.
Mereka itu ternyata para ketua atau pemimpin 36 cabang
golongan pengemis yang tersebar di berbagai kota.
Pemuda tampan yang menduduki kursi kebesaran itu,
bukan lain daripada Touw Liong sendiri.
Tiga puluh enam ketua cabang itu setelah selesai
memperkenalkan diri dan unjuk hormat, disusul oleh 6
anggota yang ditugaskan untuk menjabat sebagai kepala
bagian dalam markas, terakhir adalah perempuan muda
cantik jelita yang tangannya menggenggam tanda
kepercayaan batu giok berukiran Naga Emas.
Selesai upacara pertemuan, Touw Liong memimpin ke36 ketua cabang dan kepala-kepala bagian, bersembahyang
kepada tiga Cowsu pendiri golongan pengemis, dengan
sembahyang kepada bumi dan langit, kemudian
memerintahkan kepada anak buahnya untuk menyediakan
perjamuan. Selesai perjamuan, Touw Liong mengajak enam kepala
bagian dan anggota pelindung hukum untuk mengadakan
perundingan. Pertama-tama Touw Liong menanyakan dasar hukum
yang digunakan oleh golongan pengemis bagian selatan
kepada kepala anggota bagian hukum. Menurut kepala
anggota bagian hukum, dasar hukum yang digunakan ialah
yang sudah ditentukan oleh ketiga Cowsu dahulu.
Touw Liong menganggukkan kepala, karena golongan
pengemis bagian utara juga menggunakan dasar hukum
tersebut. Dari kepala keanggotaan Touw Liong mendapat
keterangan bahwa golongan pengemis selatan dan utara
semuanya mempunyai 108 cabang.
Setelah itu Touw Liong memerintahkan kepada kepala
bagian itu mengeluarkan surat undangan kepada 108 kepala
cabang, supaya pada malaman Tiong-ciu pada tahun ini
juga, berkumpul di markas besar kota Tong-ciu.
Enam orang itu terkejut mendapat perintah demikian.
Kepala bagian keanggotaan itu lalu berkata:
"Urusan sebesar ini, mana dapat Pangcu memindahkan
markas besar ke kota Tong-ciu?"
"Kota Tong-ciu adalah tempat berdirinya golongan
pengemis dahulu yang dibentuk ketiga Cowsu kita, dan


Panji Wulung Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

waktu itu ketiga Cowsu kita juga sudah menetapkan kota
Tong-ciu sebagai markas besarnya."
Enam orang itu lalu bungkam, pada saat itu, dari luar
terdengar suara orang yang memberi laporan bahwa kepala
cabang kota Lam-ciu telah mengirim surat!
Semua orang di situ menunjukkan sikap terkejut, sebab
cabang kota Lam-ciu termasuk anak cabang dari golongan
utara, mengapa bisa mendadak datang memberi laporan ke
daerah selatan"
Touw Liong segera membuka surat yang diterimanya,
sesaat itu ia melengak:
Kiranya batu giok berukiran binatang Kie-lin yang
merupakan tanda kepercayaan salah satu dari Tiga Dewa
golongan pengemis, yang waktu itu hilang di tangan Kang
Hao, entah bagaimana bisa terjatuh di tangan kepala cabang
kota Lam-ciu, dan kepala cabang kota Lam-ciu itu dengan
menggunakan tanda kepercayaan tersebut, telah
membentuk sendiri golongan pengemis yang dinamakan
golongan pengemis bagian barat-utara, serta menyatakan
maksudnya hendak melepaskan diri dari golongan utara.
Dalam upacara berdirinya partai baru itu, ia sengaja
mengundang pangcu golongan selatan untuk turut
menghadiri. Dengan demikian, maka golongan pengemis kini telah
terpecah menjadi tiga.
Karena upacara berdirinya golongan pengemis bagian
barat-utara itu bertepatan harinya dengan hendak
diadakannya pertemuan besar oleh Touw Liong di kota
Tong-ciu, maka hal ini membuat Touw Liong serba salah,
hingga lama ia berdiam.
Tetapi kemudian ia mengambil keputusan, bahwa
pemindahan markas besar ke kota Tong-ciu itu akan
diundurkan sampai nanti tanggal sembilan bulan sembilan,
sedang pada malaman Tiong-ciu, ia akan ke kota Lam-ciu
seorang diri. Enam kepala bagian itu terkejut mendengar keputusan
Touw Liong. Sebab, bila Touw Liong hadir dengan
kedudukan sebagai pangcu golongan selatan, ini berarti
sudah mengakui dengan resmi berdirinya golongan baratutara.
Padahal yang sepantasnya ialah, ia tak boleh
menghiraukan undangan itu.
Kepala bagian keanggotaan lalu bertanya kepadanya:
"Apakah Pangcu hendak hadir untuk memberi selamat?"
"Bukan!" jawab Touw Liong dengan tegas, "Maksudku
ialah hendak mengambil kembali batu giok kepercayaan
itu." Semua orang dikejutkan oleh jawaban itu. Touw Liong
lalu berkata kepada kepala bagian urusan umum:
"Sekarang kau harus segera siapkan, besok pagi-pagi
sekali, aku akan berangkat ke sana."
Setelah itu Touw Liong perintahkan kepada anggota
pelindung hukum perempuan cantik itu.
"Aku besok pagi-pagi hendak berangkat, perlu dengan
batu giok itu, tolong Ang Hok-hoat pinjamkan batu giok itu
kepadaku untuk sementara. Nanti setelah aku kembali dari
kota Lam-ciu, akan kukembalikan lagi kepadamu."
Bab 62 "PANGCU, kau jangan lupa, di antara kita sudah ada
perjanjian lebih dahulu!" berkata perempuan cantik itu
sambil tertawa dingin.
"Habis bagaimana" Untuk menghadapi persoalan ini,
kalau aku tidak membawa batu giok tersebut, tidak
mungkin dapat menundukkan mereka."
"Kalau begitu biarlah aku ikut kepadamu saja."
"Kau...."
"Kenapa" Apa tidak baik" Apabila Pangcu takut akan
ditertawakan orang, silahkan pergi sendiri, sedang batu giok
itu toh berada di tanganku."
Touw Liong menghela napas, ia tidak menduga akan
terjadi hal demikian.
"Baiklah! Kita berangkat besok pagi-pagi!" demikian
akhirnya Touw Liong mengalah dan perempuan cantik itu
segera minta diri.
Hari kedua pagi-pagi, perahu yang ditumpangi oleh
Touw Liong dan perempuan cantik itu dengan melalui
sungai Hu-chung-kang terus berlayar menuju ke telaga
Thay-ouw. Touw Liong lalu memerintahkan untuk
berlayar menuju ke kota So-ciu.
Tiba di kota So-ciu, Touw Liong disambut oleh pangcu
cabang daerah Go-sian. Touw Liong memerintahkan
orang-orangnya menyediakan barang sembahyang dan
kertas-kertas sembahyang, untuk pergi ke Kow-so-thay,
untuk bersembahyang ke kuburan ayah bundanya.
Di hadapan makam ayah bundanya, Touw Liong
berjanji, bahwa pada harian Tiong-ciu di lain tahun, ia akan
datang bersama saudaranya Kang Kie dengan membawa
kepala musuh besar ayahnya, untuk bersembahyang ke
hadapan makam orang tuanya.
Ketika hendak berlalu dari situ, lebih dulu ia memberi
uang kepada ketua cabang daerah Go-sian, untuk
perongkosan merawat makam ayah bundanya. Dari situ ia
lalu melanjutkan perjalanannya ke propinsi Han-kow. Dari
propinsi Han-kow, langsung ke Han-tiong.
Di sungai Han-tiong airnya deras, jadi perahu tidak bisa
berlayar dengan laju. Dalam hati Touw Liong merasa
cemas, sebab bila di jalan saja sudah demikian lambat,
entah kapan baru bisa sampai ke tempat tujuan.
Dari Han-tiong ke kota Lam-ciu masih memerlukan
perjalanan kira-kira sehari. Touw Liong menghitung-hitung
waktunya, harian Tiong-ciu sudah dekat sekali, bila tidak
bisa mencapai kota Lam-ciu pada waktu yang tepat,
bukankah berarti akan tersia-sia saja segala jerih payahnya!"
Beberapa kali ia mengusulkan suruh ambil jalan darat,
apa mau kepala pelindung hukum perempuan cantik she
Ang itu tidak menyetujui. Tapi manakala perahu sampai di
kota Shiang-yang, Touw Liong merasa tak tahan lagi, maka
berkata kepada perempuan cantik itu:
"Kalau kau tetap tak mau jalan di darat kembalilah kau
ke Hang-ciu, biarlah aku pergi ke Lam-ciu sendiri!"
Perempuan cantik itu tampak berdiam diri, namun
dalam otaknya telah berkelebatan entah berupa-rupa pikiran
untuk mencari akal, sebagai orang yang banyak akal, lekas
sekali ia mendapatkan tipu daya, katanya:
"Baiklah, terserah bagaimana maumu saja! Namun,
masih hendak kuusulkan, malam ini kita berlabuh dulu di
pelabuhan Hoan-shia untuk menginap satu malam di atas
perahu, besok pagi-pagi baru kita berangkat lagi melalui
daratan." Untuk menunda satu malam Touw Liong anggap tidak
keberatan, maka ia menerima baik permintaan itu. Seperti
biasa, malam itu Touw Liong dan perempuan cantik she
Ang itu masing-masing makan di dalam kamarnya sendiri.
Di waktu makan, Touw Liong yang masih takut oleh akal
muslihat perempuan cantik itu, selalu menggunakan sumpit
gadingnya untuk memeriksa dahulu di dalam sayursayurnya,
apakah ada terdapat racun atau tidak.
Malam itu sehabis makan ia makan beberapa biji buah
keluaran kota Hang-ciu yang terkenal enaknya. Mungkin
karena jarang sekali makan buah seperti itu, Touw Liong
merasa kuras puas. Sambil memandang piringnya yang
sudah kosong, ia tertawa kecut. Dalam keadaan demikian,
telinganya tiba-tiba mendengar suara orang yang berkata
kepadanya: "Pangcu, apa masih mau makan buah itu?"
Touw Liong tertawa hambar dan menganggukkan
kepala. Buah yang baru disediakan anak buahnya sekaligus
dimakan habis olehnya. Ia merasa segar dan sekujur
tubuhnya lalu dirasakan nyaman. Sambil memandang
matahari terbenam ia coba memperhitungkan berapa lama
perjalanan ke kota Lam-ciu dia tempuh, dan dengan cara
bagaimana dapat menundukkan ketua-ketua cabang dari 3
kota itu. Tiba-tiba, suatu perasaan aneh yang belum pernah ia
alami telah timbul dalam dirinya pada saat itu timbul
semacam pikiran yang ia sendiri tidk mengerti perasaan apa
itu. Matanya terus ditujukan kepada sesosok tubuh yang
berdiri di atas perahu, sedang pikirannya melayang-layang
jauh sekali. Tubuh indah yang berdiri di bawah sinar rembulan
purnama itu, bukan lain dari perempuan cantik she Ang
yang mengenakan pakaian malam.
"Ang Hok-hoat!" Ia sebetulnya tak pernah memberikan
hati kepada perempuan cantik yang sifatnya jahat dan cabul
itu. Tetapi malam ini, entah apa sebabnya ia telah
memanggil pelindung hukumnya dengan suara lemah
lembut. Waktu itu, dalam pikirannya, dalam
pandangannya, perempuan yang jahat itu adalah jelmaan
bidadari dari kahyangan. Perempuan cantik itu membalas
dengan panggilannya "Pangcu..." lalu dengan langkah
lemah gemulai berjalan menghampiri Touw Liong.
Touw Liong mengawasi terus perempuan yang
tersenyum kepadanya, berkata sambil menunjuk rembulan
di atas langit: "Ang Hok-hoat, kalau kau tertawa, mirip
sekali dengan...."
"Kalau aku tertawa, mirip sekali dengan rembulan di
atas langit yang bulat indah itu, betul tidak?"
"He eh..." Touw Liong tertawa, dan menarik tangan
perempuan cantik yang putih dan halus itu. Dengan sinar
mata berapi-api berkata dengan suara sangat perlahan:
"Kau benar-benar manis sekali malam ini!" Lalu dieluslah
pipi si cantik itu olehnya. Sikap Touw Liong malam itu
nampaknya seperti pemuda bangor, seolah-olah sudah
mahir benar dalam permainan dengan perempuan cantik.
Perempuan cantik itu mengerlingkan matanya, tertawa lagi,
dan katanya dengan suara perlahan: "Pangcu!"
Tangan Touw Liong dari pipi turun ke dagu perempuan
itu, katanya perlahan: "Angkatlah mukamu, Ang Hok-hoat!
Biar aku menikmati sampai puas!"
"Cis!"
Nafsu birahi Touw Liong mendadak berkobar hebat,
mendekati dan mencium pipi perempuan cantik itu, tetapi si
perempuan pura-pura melengos dan katanya: "Pangcu,
jangan begitu ah!"
Waktu itu di atas sebuah pohon tampak seorang gadis
cantik berpakaian hijau, menyoren pedang di atas
punggungnya, gadis ini menunjukkan perasaan sedih, air
matanya turun membasahi pipinya sedang matanya
ditujukan ke dalam perahu, di mana Touw Liong sedang
tenggelam dalam air kata-kata dan paras cantik. "Touw
Liong! Touw Liong! Aku kira kau adalah seorang ksatria,
tidak tahunya kau juga ternyata merupakan seorang
pemabukan dan penggemar paras cantik...!" suara gerutuan
ini tercetus dari mulut si gadis cantik berpakaian hijau itu,
lalu dengan satu gerakan yang sangat ringan, melayang
turun ke bawah pohon dan menghilang ke dalam
kegelapan. Di dalam perahu, Touw Liong sudah berada dalam
keadaan mabuk, sinar matanya berapi-api memandang
gadis cantik di sampingnya.
"Pangcu!" perempuan cantik itu sikapnya makin
menggiurkan, "Kau sudah mabok! Mari, kuantar kau
tidur." "Baik! Baik!" Touw Liong bangkit dengan langkah
sempoyongan, satu tangannya digandeng oleh perempuan
cantik tadi, dengan berdampingan berjalan masuk ke kamar
Touw Liong. Selagi si perempuan cantik mendorong pintu kamar, tibatiba
terdengar suara serr, dan di daun pintu itu tertancap
sebilah belati tajam! Sepasang mata Touw Liong segera
terbelalak lebar mengawasi belati itu, pikirannya menjadi
jernih kembali.
Perempuan cantik itu secepat kilat berpaling. Di
belakang dirinya kira-kira sejarak tiga tombak, berdiri
seorang tua berpakaian warna perak, tangannya membawa
tongkat berkepala naga, sepasang matanya memancarkan
sinar tajam, dengan perasaan terheran-heran memandang
kepada Touw Liong. Di belakang orang itu, berdiri dua
orang wanita setengah umur yang masing-masing
mengenakan pakaian berwarna perak juga. "Siu-lo!" Touw
Liong tiba-tiba berseru, mabuknya lenyap seketika, lalu ia
menyongsong orang tua itu.
Orang tua itu juga menghampiri ke arahnya dan berkata
dengan suara gemetaran:
"Touw tayhiap!"
Tiga orang yang datang secara mendadak itu adalah
Anak Sakti dari Gunung Bu-san, bersama dua muridnya
Sepasang Burung Hong. Sepasang Burung Hong itu dengan
wajah dan sikap dingin, memandang perempuan cantik she
Ang itu. Merasa gagal dalam usahanya memikat Touw Liong,
dalam hati si perempuan cantik itu merasa sangat
mendongkol, memandang tiga orang yang baru datang itu
dengan sikap marah. Anak Sakti tidak menanyakan apaapa
kepada Touw Liong, sebaliknya bertanya sambil
menunjuk perempuan cantik itu, "Nona ini....."
Wajah Touw Liong jadi kemerah-merahan tidak tahu
apa yang harus diperbuatnya.
Na Lo, salah satu dari Sepasng Burung Hong berkata:
"Perempuan siluman ini sudah enam tujuh tahun tidak
terlihat, tidak kusangka kini muncul di daerah Tiong-goan!"
Touw Liong dan Anak Sakti dari gunung Bu-san dengan
sikap heran mengawasi Na Lo, smentara Ciauw Kun,
Burung Hong kedua sudah berkata:
"Dia adalah anak murid Bu-ci Sin-nie di kota Kui-yang
yang sudah diusir dari perguruannya."
Touw Liong diam-diam merasa bersyukur. Mendadak ia
ingat, memang di daerah Leng-lam ada seorang perempuan
cantik yang bernama Bu-cui-lian, yang terkenal cabul, suka
memikat anak-anak muda dengan obat bius.
Secepat kilat ia membalikkan diri dan bertanya dengan


Panji Wulung Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nada marah: "Kau adalah Bu...."
"Ng!" sahut perempuan cantik itu sambil mengangguk,
"Kau baru tahu, tapi sayang sudah terlambat. Sepuluh hari
lebih kita hidup dengan penuh cinta kasih dalam satu
perahu!" Anak Sakti dari gunung Bu-san lalu mengawasi Touw
Liong dengan perasaan kecewa.
Touw Liong tahu kata-kata Bu-cui-liong tadi ada
mengandung fitnahan, bila dibiarkan, Anak Sakti dari
Gunung Bu-san salah paham, besar ia akan tidak dapat
mencuci nama baiknya, lagi-lagi maka lantas membentak
dengan suara keras: "Ang Hok-hoat, hati-hatilah sedikit
kalau bicara, jangan memfitnah orang!"
"A...ya Tuhan!" Bu cui lian berseru, "Tak kusangka
demikian cepat sudah berubah hatimu! Betul kita baru
bertemu dan berkumpul secara mencuri tapi seperti orang
dahulu kata satu hari menjadi suami isteri, berarti
menanggung budi seratus hari. Kita sudah hidup bersamasama
lebih dari sepuluh hari, kau ini benar-benar seorang
yang tidak punya liangsim, demikian cepat kau sudah
berbalik tidak mau mengenal orang lagi."
"Aih!" Anak Sakti dari Gunung Bu-san cuma bisa
menghela napas perlahan.
"Kau mengecewaka harapan Pek Susiok!" Na Lo juga
ikut menyesali perbuatan Touw Liong.
Touw Liong terkejut mendengar kata-kata Na Lo.
Ucapan Bu-cui-lian tajam bagaikan sembilu, tapi kata-kata
Na Lo lebih menyakitkan hatinya. "Nona Pek kau kata...."
cepat tanyanya. "Dimana adanya dia sekarang?"
"Orangnya?" kata Ciauw Kun sambil pelototkan
matanya. "Ya, barusan juga ada di sini, tapi melihat
sandiwara barusan, Pek susiok yang tahu diri terpaksa
lantas mundur."
"Pek Giok Hoa! Pek Giok Hoa!" dalam hati Touw
Liong berseru sendiri.
"Ayo pergi!" Anak Sakti dari Gunung Bu-san mengajak
dua muridnya berlalu, hingga sesaat kemudian
menghilanglah mereka di tempat gelap.
Touw Liong marah sekali. Dengan suara rendah
berkata: "Golongan pengemis tidak bisa terima orang bermatabat
rendah semacam kau ini."
"Tapi golongan pengemis juga tak bisa berdiri tanpa aku!
Tidak ada aku, orang golongan pengemis tidak bakalan bisa
menemukan batu giok tanda kepercayaan Pangcu. Tanpa
aku, kau juga tidak bisa menduduki kursi Pangcu.
Pokoknya asal aku menggerakkan jariku sedikit saja, hmm!
Golongan pengemis atau mungkin juga semua orang-orang
persilatan, untuk selamanya jangan harap bisa menemui
batu giok tanda kepercayaan golongan pengemis. Benda itu
akan segera hancur lebur di tanganku ini!" kata Bu-cui-lian
dengan sikap suara dingin.
Touw Liong jadi khawatir, tapi ia tak dapat berbuat apaapa
selain menahan marah.
"Sebetulnya sudah sejak dulu waktu kita berada di kota
Cee-lam aku sudah memperhatikan dirimu. Tapi si tua
bangka itu rupanya cemburu. Ia memaksa aku suruh bunuh
kau. Waktu itu ia menjanjikan, akan mengangkatku
sebagai wakil begitu lekas ia dapat merebut kedudukan
pangcu. Dan, tentang penghidupan pribadi, juga bebas.
Yang satu tidak boleh ganggu yang lain." Berdiam antara
sejenak, Bu Cui Han melanjutkan lagi kata-katanya:
"Lantaran ingin sekali aku mendapatkan kedudukan wakil
ketua, maka dengan hati berat terpaksa aku bikin mabuk
kau waktu itu juga, dan lemparkan kau ke tengah telaga.
Tapi ternyata panjang umurmu.... Tapi, juga karena kau
tidak mati, dan kita bertemu lagi, aku jadi putar otak
sedapat mungkin untuk dapatkan dirimu. Selama dalam
perjalanan kita ini, aku berpikir keras, bagaimana hendak
mendapatkan dirimu. Dalam buah yang terakhir yang
kuberikan kepadamu tadi, ada obat biusnya. Sekarang,
segala-galanya kau sudah mengerti, bukan" Marilah kita
berbicara secara blak-blakan!"
"Lekas katakan, apa kehendakmu!"
"Mulai hari ini, aku menjabat kedudukan sebagai wakil
ketua, tapi masih tetap menguasai batu giok ini. Dalam
urusan pribadi kita sebagai suami isteri. Aku jamin,
selanjutnya dan untuk selama-lamanya, aku tidak akan
mencari laki-laki lain...."
"Phui! Siapa kesudian mempunyai isteri semacam kau!"
"Kau jangan berlaku gagah-gagahan! Kau kira cukup
begitu saja" Aku malah masih menghendaki kau
bersumpah di hadapanku!"
"Aku seorang laki-laki!" kata Touw Liong marah.
"Selama masih ada napasku, tidak mau aku diperas! Tanpa
batu giok akupun dapat menundukkan golongan
pengemis!"
Berbareng dengan kata-katanya yang terakhir ia
menyambar bungkusan dan pedang Hok-mo-kiamnya,
lompat melesat dan menghilang di kegelapan.
Di kota Lam-ciu adalah sebuah gunung tandus. Adapun
keistimewaan gunung itu adalah kecuali tandus, juga ada
banyak puncaknya yang menjulang tinggi. Di atas puncak
itu terdapat sebuah pagoda sembilan tingkat, dari jauh
tampak menyolok sekali.
Touw Liong yang sudah berada di kota Lam-ciu segera
menuju ke gunung itu.
Di belakang bangunan pagoda tinggi itu ada sebuah
kelenteng yang keadaannya sudah rusak sekali, di sekitar
kelenteng dikitari oleh beberapa anak bukit sehingga
keadaan keleneng tersebut jadi mirip sekali dengan sebuah
bangunan yang dikurung oleh tembok benteng, jadi disebut
pula bentengan kuno oleh orang-orang.
Orang yang hendak berkunjung ke kelenteng tua tadi,
harus memutari dulu pagoda tinggi itu, dan untuk bisa
sampai ke pagoda itu, masih harus melalui sebuah jembatan
panjang yang menghubungkan dunia luar dengan pagoda
dan kelenteng tua itu.
Di dalam bentengan kuno tersebut waktu itu ada
berkumpul banyak orang, di atas jembatan panjang, orang
berbondong-bondong menuju ke bentengan itu. Di muka
pintu gerbang benteng tampak empat orang golongan
pengemis yang memeriksa setiap tamu yang datang
berkunjung. Touw Liong disambut oleh salah seorang
pengemis penjaga tersebut.
"Tuan dari mana?" tanya pengemis tersebut.
"Hang-ciu."
"Tuan...."
Tanpa menunggu habis perkataan orang itu, dari dalam
sakunya Touw Liong lantas mengeluarkan sebuah surat
undangan. "Golongan pengemis daerah selatan...." dan pengemis
itu mundur selangkah. Touw Liong mengangguk,
pengemis itu lalu memberi hormat lagi dan bertanya dengan
sikap lebih menghormat:
"Bolehkah siaote mengetahui nama tuan?"
"Touw Liong!"
"Touw pangcu!" semua orang terkejut dengan berbareng
berseru kaget lalu maju selangkah dan berlutut di hadapan
Touw Liong. Touw Liong buru-buru memerintahkan mereka bangun.
Empat pengemis tadi segera bangkit, satu di antaranya
berkata dengan sikap menghormat sekali:
"Pangcu, ikutlah pada teecu!"
Touw Liong mengikuti pengemis tadi berjalan masuk ke
pendopo. Seorang lain lalu melapor dengan suara keras ke dalam
pendopo: "Touw pangcu tiba....!"
Suasana dalam pendopo antara sesaat menjadi gempar,
lalu hening kembali. Beberapa ratus pasang mata masih
tertuju ke arah Touw Liong.
Dari dalam pendopo, seorang pengemis bermuka merah
datang menyongsong. Touw Liong lantas menduga kepada
ketua cabang dari kota Lam-ciu yang bernama Su Bun Cun.
Benar saja, sesaat kemudian lalu terdengar kata-kata
pengemis bermuka merah itu:
"Su Bun Cun tidak keburu menyambut kunjungan
Pangcu ini dari jauh-jauh, harap suka dimaafkan."
Touw Liong menyambuti dengan kata-kata merendah,
lalu berjalan bersama-sama menuju ke tengah pendopo.
Begitu Touw Liong masuk, semua orang di dalam pendopo
lantas pada bangkit berdiri guna memberi hormat, dibalas
oleh Touw Liong, mengangguk-anggukkan kepala.
Duduk di kursi tamu agung, Touw Liong melihat bahwa
semua tokoh-tokoh golongan pengemis berbagai cabang
telah datang, hanya tidak tampak orang-orang dari daerah
utara. Namun ia tidak menunjukkan sikap apa-apa,
bersama-sama orang banyak turut dahar dan minum
sepuasnya. Belum berapa lama perjamuan berlangsung, Su Bun Cun
tiba-tiba bangkit dari tempat duduknya. Setelah memberi
hormat pada para hadirin, mulailah ia menyatakan
maksudnya mengundang dan mengadakan perjamuan ini,
ialah untuk memisahkan diri dari pusat perkumpulan
golongan pengemis di kota Tong-ciu. Pengumuman ini
disambut gemuruh oleh para hadirin, sebagian besar
menyatakan setuju.
Sun Bun Cun tampak gembira, mengawasi Touw Liong
dan bertanya perlahan:
"Bagaimana tanggapan Touw pangcu mengenai buah
pikiran siaote yang tak ada harganya ini?"
"Saudara Su hendak mendirikan golongan pengemis
buat daerah barat laut" Siapa yang akan menjadi
ketuanya?"
"Tentang ini," sahut Su Bun Cun ragu, "Siaote merasa
perlu lebih dulu diadakan pemilihan di antara 3 ketua
cabang." Touw Liong mengangguk-anggukkan kepala, setelah
berdiam sejenak, lalau berkata lagi:
"Cabang-cabang mempunyai tokoh cukup banyak,
mengapa saudara Su tidak memperluas pemilihan"
Misalnya juga buat anggota-anggota di luar ketua cabang,
agar mereka merasa pula diberikan hak yang sama untuk
turut ambil bagian dalam pemilihan ketua ini."
"Mengenai usul pangcu ini," buru-buru Su Bun Cun
memprotes, "Maaf, siaote tidak bisa menyetujui!"
]Touw Liong mengerti, pasti Su Bun Cun mengira
dirinya akan turut dalam memperebutkan kedudukan ketua,
maka saat itu ia tertawa nyaring, dan berkata sambil
menggeleng-gelengkan kepala:
"Siaote tidak akan turut ambil bagian dalam pemilihan
itu." "Bukan begitu maksud siaote," kata Su Bun Cun dengan
kemalu-maluan, "siaote pikir, tiga puluh enam ketua
cabang itu selain sudah tinggi kedudukan mereka, juga
masih memiliki lain-lain faktor, misalnya kecerdasan,
pahala dan moral yang umumnya masih di atas anggota
pengemis biasa. Jikalau kita mengadakan pemilihan tanpa
dibatasi, barangkali akan cendrung kepada kekuatan tenaga
atau kepandaian, jadi agak mengabaikan faktor-faktor
moral dan kecerdasan serta pahala."
Touw Liong mengangguk-angguk, ia anggap ada
benarnya juga kata-kata Su Bun Cun itu, namun dalam
hatinya sudah mengambil keputusan, bagaimanapun juga ia
hendak mencegah usaha mereka ini.
Tiba-tiba ia teringat kepada batu giok berukiran binatang
kie-lin yang oleh Ko Peng diberikan kepada Kang Hao,
maka bertanya kepada Su Bun Cun dengan nada suara
perlahan: "Su pangcu, kabarnya batu gioknya Kang Hao yang
berukiran Kie-lin terjatuh di cabang daerah. Benarkah itu?"
Wajah Su Bun Cun menunjukkan perubahan tidak
berhentinya, lama ia berdiam tak mampu membuka mulut,
akhirnya berkata juga sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya: "Memang benar, batu giok itu kini memang berada di
tangan siaopek."
"Kalau begitu dengan sendirinya cuma saudara Su saja
yang bisa memegang kedudukan Pangcu itu, bukan?"
Su Bun Cu menyeka peluh dingin yang mengalir di
jidatnya: "Kau datang kemari, rupanya juga lantaran batu
giok ini," begitu pikirnya.
"Dalam hal ini siaote mohon bantuan dari saudara
Touw," katanya.
"Sudah tentu! Sudah tentu!" kata Touw Liong lekas,
"tapi, golongan pengemis yang akan dipecah menjadi tiga
ini belum mendapat tunjangan atau persetujuan dari Lie Hu
San, rasanya tidak bisa bertahan lama. Apakah saudara Su
anggap, Lie Hu San akan mau tinggal diam begitu saja?"
Wajah Su Bun Cu mendadak berubah, katanya perlahan:
"Kalau begitu, kau Touw pangcu juga termasuk seorang
yang tidak setuju dengan berdirinya golongan barat laut
ini?" "Cabang golongan barat laut, merupakan salah satu
bagian dari golongan utara. Ditilik dari keadaan ini,
dengan kami golongan selatan tidak ada sangkut pautnya.
Aku hanya sekedar memberi nasihat saja pada saudara.
Saudara Su adalah seorang yang mengerti, sekarang ini Lie
Hu San sudah menggabungkan diri dengan Kauwcu dari
perkumpulan Hek-hong-kauw, ia mendapat tunjangan
orang kuat, tentunya tidak takut bertindak, maka itu
mengapa saudara Su tidak pikirkan dulu masak-masak?"
"Jadi, kalau menurut pikiranmu Touw tayhiap,
bagaimana sebaiknya siaote harus bertindak supaya tidak
menimbulkan bencana di kemudian hari?"
"Sekarang ini siaote sedang pikir hendak mengeluarkan
surat undangan buat mengundang keluar berbagai partai
dan semua ketua anak cabang golongan pengemis. Nanti,
pada tanggal sembilan bulan sembilan tahun ini, akan


Panji Wulung Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengadakan rapat besar di pusat kita di kota Tong-ciu. Di
dalam rapat besar itu, barulah akan diputuskan nasib
cabang daerah barat laut yang akan saudara bentuk ini.
Wajah Su Bun Cu tampak ditekuk, perdengarkan suara
tertawa dingin dua kali, baru berkata:
"Kalau begitu, rupanya Touw Pangcu juga sudah
sependapat dengan Liu Hu San, hendak menggencet aku si
orang she Su!"
"Haaa ...." Touw Liong perlahan-lahan bangkit. "Kota
Tong-ciu adalah pusat golongan pengemis yang sudah
ditetapkan oleh Cowsu kita, dengan sendirinya pertemuan
besar yang menyangkut nasib golongan pengemis, harus
diadakan di kota Tong-ciu. Mengenai nasibmu dan
nasibku, dalam pertemuan besar itu sudah tentu bisa
dibicarakan di antara orang banyak, lalu bisa diambil
keputusan sebagaimana baiknya."
"Siapakah yang ada hak mengundang rapat besar itu?"
"Tentu saja yang memegang tanda kepercayaan Naga
Mas, tanda kepercayaan sebagai ketua umum."
"Haaa...." Su Bun Cun tertawa dingin, "Di kolong langit
ini, siapa yang mempunyai tanda kepercayaan yang kau
sebutkan tadi?"
"Aku punya!" suara nyaring keluar dari mulut seorang
pelajar muda yang muncul secara tiba-tiba dari pintu
gerbang. Pemuda itu menyoren pedang panjang di punggungnya,
tangannya yang putih halus mengacungkan tinggi-tinggi
batu giok berukiran Naga Mas yang menjadi barang kejaran
semua orang rimba persilatan yang menggetarkan rimba
persilatan, dan yang bakal memutuskan nasib golongan
pengemis di kemudian hari!
Touw Liong terkejut mendengar suara itu, dengan penuh
perhatian mengawasi pemuda yang berjalan menghampiri,
ia bertanya-tanya pada dirinya sendiri: "Siapa orang ini?"
"Siapa orang itu?" tanya Su Bun Cun pada Touw Liong.
"Dia adalah ". " Touw Liong berhenti bicara sampai di
situ. Tiba-tiba seperti baru ingat sesuatu, lantas bangkit
mengawasi pemuda itu sambil tersenyum.
Tanpa diduga-duga sama sekali, Su Bun Cun tiba-tiba
bergerak, secepat kilat lompat melesat dan menikam
pemuda yang baru datang itu dengan pedangnya, sedang
tangan yang lain meraih batu giok tanda kepercayaan Naga
Mas di tangan pemuda tersebut.
Tindakan Su Bun cun itu mengejutkan semua orang yang
hadir di situ, tetapi Touw Liong sebaliknya malah berlaku
tenang dan sambil tersenyum ia membatalkan maksudnya
untuk menolong pemuda tadi, sedang dalam hatinya
berkata sendirian: "Su Bun Cun cari penyakit sendiri."
Su Bun Cun ternyata cuma menyerbu tempat kosong,
lima jari tangannya patah semua tanpa diketahui siapa
penyerangnya. Lalu, dibarengi dengan terdengarnya satu
suara jeritan mengerikan, orang she Su itu lompat mundur
tiga tombak jauhnya.
Keadaan kalut, tiga puluh lima ketua cabang golongan
pengemis satu persatu bangkit berdiri, masing-masing
menghunus senjatanya dan hendak menyerbu pemuda itu.
Mengapa mereka hendak menyerang pemuda itu"
Sebab, sejak menyaksikan batu giok itu sudah lantas
timbul pikiran tamak di hati mereka, pikiran hendak
memiliki batu tanda kepercayaan, tanda kebesaran itu.
Di luar dugaan, entah bagaimana si pemuda bergerak,
para ketua cabang golong pengemis satu persatu sudah
terlempar mundur, beberapa di antaranya malah lantas
rubuh di tanah sambil merintih-rintih.
Touw Liong masih tidak menunjukkan reaksi apapun,
berdiri di tempatnya tanpa bergerak.
Akhirnya, para ketua cabang golongan pengemis
mengetahui gelagat tidak baik, mundur sendirinya; yang
luka terpaksa harus mengobati dulu luka-lukanya. Tanpa
berdaya semua mata cuma bisa mengawasi batu giok di
tangan pemuda. Suasana cepat pulih seperti biasa. Pada saat itulah, si
pemuda sambil membusungkan dada berjalan menuju ke
pendopo. Ia terus berjalan, hingga terpisah tiga langkah di
depan Touw Liong baru berhenti, mengacungkan tinggitinggi
batu giok itu di atas kepalanya, sementara katanya:
"Hamba yang membawa dan melindungi pusaka datang
terlambat, harap Pangcu maafkan."
Setelah mana si pemuda lantas berjalan menuju ke meja
sembahyang, dengan sikap hormat sekali meletakkan benda
kepercayaan itu di atas meja sembahyang, kemudian berdiri
di samping meja dengan pedang terhunus di tangan.
Touw Liong lebih dulu menghampiri si pemuda,
mengucapkan: "Pek Hok-hoat, terima kasih," lalu berlutut
di hadapan meja sembahyang guna melakukan upacara
kebesaran terhadap barang kepercayaan tertinggi golonga
pengemis itu. Su Bun Cun melirik sebentar pemuda gagah itu, mau tak
mau berlutut juga untuk melakukan upacara penghormatan.
Tindakannya segera diikuti oleh semua anak murid
golongan pengemis yang ada di situ.
Setelah semua orang berlutut, terdengarlah suara Touw
Liong yang memimpin upacara besar itu, katanya:
"Mohon ..... (tulisannya dihapus, tak terbaca) yang
bersemayam di dalam ..., teecu Touw Liong, atas perintah
Dewa Pemabukan, hendak membangun dan
mempersatukan kembali golongan pengemis. Semoga
arwah Tiga Dewa di alam baka ...(tulisan dihapus) ....!"
Touw Liong menjura lagi empat kali, lalu mengambil
tanda kepercayaan batu giok, diacungkan tinggi melewati
kepalanya, dan memerintahkan semua orang bangkit.
Touw Liong menyerahkan batu Giok itu kepada si
pemuda gagah, lalu mengajak semua anak murid golongan
pengemis dan para tetamu kembali ke meja perjamuan,
untuk minum bersama.
Perjamuan lantas dinyatakan selesai.
Tiga puluh enam ketua cabang golongan pengemis
daerah barat laut, dengan laku yang sangat hormat sekali
lalu mengantar Touw Liong bersama Pek Hok-hoat sampai
ke tempat sejauh sepuluh pal di luar kota Lam-ciu. Touw
Liong di sepanjang jalan terus memberi nasihat pada
mereka dan minta pada tanggal sembilan bulan sembilan
nanti, biar bagaimana semua harus menghadiri pertemuan
besar di kota Tong-ciu.
Sampai di sini, para pembaca tentunya tahu siapa adanya
orang yang menyamar dan disebut sebagai Pek Hok-hoat
oleh Touw Liong. Memang, dia bukan lain daripada Pek
Giok Hoa adanya.
"Giok Hoa," panggil Touw Liong, "kali ini kau benarbenar
telah menolong aku dari kesulitan terbesar!"
"Kelakuan yang memalukan laki-laki itu yang kau
maksud kesulitanmu" Hmmm! Hmmm! Tak tahu malu!"
Disindir demikian jadi pucat wajah Touw Liong, dari
malu ia menjadi gusar, katanya:
"Jangan sebut urusan malam itu lagi! Kalau kau sebutsebut
lagi, aku malah akan menyesalkan dirimu!"
"Menyesalkan diriku?"
"Sudah tentu. Aku sesalkan kau karena sedikitpun kau
tak mengerti kedudukan dan keadaanku waktu itu. Kau
tahu aku sudah terpikat oleh akal muslihat Bu-cui-lian
karena pengaruh obat bius, bukan kau menolong, malah
kau tinggalkan aku begitu saja. Seandai waktu itu tidak
keburu muncul suhengmu, aih! Aku .... hampir saja masuk
ke pencomberan?"
"Itu bukankah lebih baik lagi?" Pek Giok Hoa
menjebikan bibir: "Bukankah lebih senang berdua-duaan
berkumpul dan ber .....?"
"Giok Hoa!" cepat Touw Liong memotong kata-kata
Pek Giok Hoa, "Aku sungguh malu kepadamu, tapi
kuminta janganlah kau ungkit-ungkit lagi urusan itu, kalau
tidak biarlah aku mati saja buat menebus dosaku!"
"Engko Liong!" Pek Giok Hoa merasa sedih, air
matanya mengalir bercucuran,"Jangan kau berpikiran
secupat itu!"
Touw Liong menatap penuh arti wajah kekasihnya,
dibalas oleh Pek Giok Hoa.
Touw Liong menatap penuh arti wajah Pek Giok Hoa,
memegang tangannya yang putih halus, dibalas pula
dengan tatapan berisi dan cekalan mesra oleh gadis itu.
Segalanya tak perlulah diucapkan dengan kata-kata, cukup
dengan saling pandang dan melumat bibir masing-masing.
Setelah berziarah ke makam ayah dan ibu Touw Liong di
Ko-so-tay di kota Hang-ciu mereka bertemu dengan Kang
Kie dan Lo Yu Im. Empat orang lantas melakukan
perjalanan bersama.
Sampai di kota Cee-lam, Touw Liong jadi teringat akan
kenangannya dua bulan berselang di mana dia pernah
diceburkan ke telaga Tay-beng-ouw oleh Bu-cui-lian, dalam
hati lalu merasa sedih. Menunggu sampai tiga kawannya
tidur nyenyak, diam-diam ia pergi ke telaga Tay-beng-ouw
guna merenungi kembali kejadian masa lampau.
Pemandangan di telaga itu ternyata biasa saja, ia
memandang ke tengah telaga di mana dahulu ia pernah
dilemparkan oleh perempuan jahat itu, diam-diam
menghela nafas panjang.
Mendadak, di tepi seberang sana tampak berkelebat
sesosok bayangan orang. Makin lama makin tegas tampak
bayangan itu, ternyata adalah adik seperguruan Touw
Liong, Kim Yan!
Di dalam otak Touw Liong saat itu tiba-tiba timbul
semacam pikiran, ia segera lari menyongsong dengan
menggunakan ilmu meringankan tubuh yang
didapatkannya dari Kang Kie.
Kedua pihak sama-sama lari dengan cepatnya, ketika
gadis itu mengenali bayangan orang yang menghampirinya,
ia sudah tidak keburu menyingkir lagi. Dua kali ia coba
buat mengelak dari tubrukan Touw Liong, tapi tidak
berhasil. Dalam cemas dan marahnya, Kim Yan lalu
menggerakkan tangannya memukul Touw Liong. Namun
Touw Liong sama sekali tidak mengelak, setelah
memanggil "Sumoy!" tangannya lalu menyambar tubuh
Kim Yan. Kim Yan tidak mau disambar begitu saja, mengelak
sedapat mungkin. Tapi Touw Liong menggunakan
kesempatan itu, menotok jalan darah Khie-hay-hiat di
tubuh Kim Yan. Kim Yan yang kehilangan keseimbangan tubuhnya,
terpaksa membiarkan dirinya dipeluk Touw Liong.
Touw Liong buru-buru memondongnya sampai ke
bawah sebuah pohon Yang-liu, meletakkan Kim Yan di
situ, disandarkan ke batang pohon, sedang ia sendiri juga
lantas duduk bersila, kemudian menggunakan ilmunya
Liang-gie-sim-hoat, menyalurkan tenaga baru ke tubuh Kim
Yan. Adapun jalan darah yang perlu ditembus untuk
menyalurkan tenaga buat mengusir ilmu Hek-hong-im-tok
yang mengeram dalam tubuhnya, letaknya justru di bagian
bawah perut. Jadi, dengan sendirinya Touw Liong harus
melucuti dulu semua pakaian dalam bagian bawah gadis
itu. Karena kecuali berbuat begitu, sudah tak ada cara lain
lagi, terpaksa Touw Liong lekas bertindak menuruti
rencananya. Selagi dalam keadaan sangat kritis begitu, di belakang
diri Touw Liong tiba-tiba berkelebat sesosok tubuh
manusia! Mengawasi perbuatan Touw Liong sekian lama,
mendadak meleleh air mata orang itu. Setelah mengalihkan
pandangannya ke arah Kim Yan sejenak, baliklah orang itu
dari tempat asal mana ia datang sambil mendekap
mukanya. Siapa dia"
Pek Giok Hoa tentunya!
Tapi sebegitu lekas Pek Giok Hoa berlalu, mendadak
muncul lagi seorang lain, seorang imam dengan sikap
menyeramkan berjalan lambat-lambat ke tempat di mana
Touw Liong sedang berusaha hendak memulihkan tenaga
asli Kim Yan. Imam itu bukan lain daripada murid murtad golongan
Ceng-shia-pay, Thian-sim Tojin!
Dengan gerakannya yang sangat hati-hati, Thian-sim
Tojin terus mendekati Touw Liong, dan berhenti di tempat
sejarak satu tombak dari pemuda itu, sepasang biji matanya
berputaran mengawasi keadaan di sekitarnya, setelah itu
tampak sunyi, barulah berani menghampiri lebih dekat lagi.
Tetapi kelakuannya kiranya telah diincar juga oleh orang
lain. Sebelum ia sempat berbuat apa-apa, di belakang
dirinya tiba-tiba terdengar suara siulan nyaring.
Thian-sim sebagai seorang imam yang sangat licik,
mendengar siulan itu segera mengetahui adanya bahaya,
lebih dulu lompat melesat sejauh tiga tombak untuk
mengelakkan serangan dari belakang itu.
Ternyata orang yang menyerang Thian-sim itu adalah
seorang muda yang mirip Touw Liong!
Thian-sim melihat orang itu jadi tidak berani bertindak
lebih jauh, malah lantas lari terbirit-birit bagai orang diburu
setan! Lari sejauh 20 tombak, imam itu rupanya baru teringat
sesuatu, buru-buru menghentikan gerakan kakinya, dan lari
balik! Pemuda tersebut yang memang benar adalah Kang Kie,
tidak mengejar Thian-sim, sebaliknya berdiri tetap di situ
guna melindungi Touw Liong yang sedang berusaha
menolong Kim Yan.
"Kurang ajar si bocah Kang Kie itu, hampir aku jadi
gila!" terdengar kata-kata Thian-sim yang mendumel
sendiri. Dalam marahnya seperti itu, ia segera menghampiri
Kang Kie dengan pedang terhunus.
Kang Kie juga sudah menghunus pedangnya, dan lompat


Panji Wulung Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyambut kedatangannya.
"Beritahukan namamu!" Kang Kie membentak sambil
menuding dengan pedangnya kearah Thian-sim Tojin.
"Thian-sim Tojin!"
"Serahkan nyawamu!" bentak Kang Kie pula, secepat
kilat lalu menikam dengan pedangnya.
Kang Kie sudah tahu dari Touw Liong bahwa Thian-sim
Tojin ini adalh pembunuh ayahnya Kang In Hui, kini
musuh besar sudah berada di depan mata, sudah tentu
Kang Kie tak mau memberi hati, lantas menyerang dengan
pedangnya Khun-ngo-kiam!
"Bangsat! Supaya kau bisa mati dengan mata meram,
ketahuilah olehmu bahwa tuan mudamu ini adalah anak
dari Kang In Hui tayhiap yang dulu kau bunuh!"
Muka Thian-sim Tojin nampak pucat, antara sesaat ia
tak dapat bergerak tapi selanjutnya lantas mengeluarkan
serangan-serangan yang mematikan buat melawan Kang
Kie. Kang Kie menyambut setiap serangan Thian-sim dengan
keras pula, rupanya sudah bulat sekali tekadnya hendak
membereskan musuh besarnya ini dalam waktu singkat.
Selagi pertempuran berlangsung sengit-sengitnya, dari
jauh mendadak terdengar suara siulan nyaring lalu muncul
Ngo-gak Lokoay di situ dengan rambut awut-awutan!
Pada waktu yang bersamaan, di belakang Touw Liong
juga muncul dua orang yang bukan lain dari Pek Giok Hoa
yang tadi pergi dan balik lagi, dan Lo Yu Im.
"Enci Pek," panggil Lo Yu Im, "kau yang maju ataukah
aku" Itu Ngo-gak Lokoay sudah datang!"
"Biar aku saja!" jawab Pek Giok Hoa yang masih
mendongkol. Lalu dengan pedang Hok-mo-kiam di tangan
maju menyambut kedatangan Ngo-gak Lokoay.
Sebelum mereka bertempur, kembali terdengar siulan
aneh, lalu muncul lagi dua orang! Satu adalah San-hong
tojin, dan yang lain Pek-bie Hweeshio!
Pek Giok Hoa merasa cemas sekali, di depannya kini
sekaligus muncul tiga tokoh kuat dan kenamaan. Mana
dapat ia seorang diri menghadapi mereka sekaligus"
Untunglah waktu itu Thian-sim tojin sudah jatuh dalam
tangan Kang Kie, kepalanya tertebas kutung terpisah dari
badannya! Pek Giok Hoa lalu menggapai dan berkata kepada Kang
Kie, "Kang toako, Ngo-gak Lokoay ini adalah pembunuh
suhumu, biarlah kuserahkan dia untukmu!"
Tanpa menunggu persetujuan Kang Kie ia sudah lantas
meninggalkan Ngo-gak Lokoay dan menyambut
kedatangan San-hong tojin dan Pek-bie Hweesio.
Di saat itu, mendadak terdengar lagi suara dua orang
yang memuji nama Budha, lalu muncul dua padri tua!
Pek-bie yang melihat kedatangan dua orang padri tua itu,
segera balik badan dan menghampiri mereka. Dengan
begitu, kini Pek Giok Hoa hanya tinggal lagi menghadapi
San-hong tojin seorang.
Ilmu pedang Hok-mo-kiam-hoat sebenarnya belum
sempurna betul dipelajari oleh Pek Giok Hoa, namun tidak
sampai tiga jurus, San-hong tojin sudah dapat dibereskan
olehnya. Dua padri tua itu ternyata adalah suhengnya Pek-bie
Hweeshio, Tam-sim dan Thina-koan totiang dari Ngo-bipay.
Rupanya mereka sedang membujuk supaya Pek-bie
Hweesio mau ikut mereka baling ke gunung.
Pek Giok Hoa tidak mau menghiraukan urusan Pek-bie,
buru-buru melihat ke arah Ngo-gak Lokoay yang sedang
berhadapan dengan Kang Kie. Tetapi Lokoay itu rupanya
bukanlah tandingan Kang Kie, sama sekali tidak ada
perlawanan yang berarti darinya.
Belum cukup sampai di situ, pada waktu itu mendadak
muncul seorang yang sangat menyeramkan wajahnya.
Tetapi kalau saja mau kita perhatikan dengan seksama
wajah orang itu, kita masih bisa melihat tanda bekas
terbakar, goresan-goresan itulah yang membuat wajahnya
tampak menakutkan. Orang ini menenteng pedang Cengkongkiam di tangannya, dari jauh sudah berteriak-teriak
memanggil nama Touw Liong tidak berhentinya.
Hati Pek Giok Hoa tergerak. Tak salah lagi, orang inilah
tentunya musuh besarnya..... Koo Hong yang pernah
menyamar sebagai Hian-kie-cu, pembunuh Pek Thian
Hiong. Dugaan Pek Giok Hoa itu sedikitpun tidak salah, orang
aneh itu memang benar adalah Koo Hong adanya, yang
kini sudah menjadi tangan Panji wulung Wanita. Maka
lekas ia memapakinya sambil berserunya,
"Koo Hong! Serahkan jiwa anjingmu!"
Pek Giok Hoa yang sekarang sudah tentu bukanlah Pek
Giok Hoa yang kita kenal beberapa waktu yang lalu. Ia kini
sudah berhasil mempelajari ilmu gaib dari daerah luar,
apalagi pedang di tangannya adalah pedang pusaka Hokmokiam, hingga menambah hebat kepandaiannya. Suara
bentakan tadi tiba bersamaan dengan orangnya, demikian
pun pedangnya, hingga Koo Hong yang mengetahui itu
diam-diam menjadi terkejut jugaa.
Namun, Koo Hong bukanlah seorang lemah, ia lantas
memapaki kedatangan Pek Giok Hoa dengan pedang Cengkongkiam dan ilmu Thay-it sin-jiauw dengan berbareng!
Koo Hong memang memiliki kepandaian sangat tinggi,
di antara anggota perkumpulan Hek-hong-kauw, dia cuma
di bawahan kauwcunya Panji Wulung Wanita. Pek GiokHoa dengan kepandaian yang dimilikinya waktu itu
ternyata dapat mengimbangi permainan Koo Hong, hingga
pertempuran jadi berlangsung sengit dan hebat sekali.
Kedua pihak tentunya hendak mengakhiri pertempuran
dengan lekas, maka begitu bergerak masing-masing sudah
mengerahkan kepandaian tingkat tinggi, dalam waktu
sekejap sudah berlangsung sepuluh jurus lebih.
Di lain pihak, Kang Kie yang menghadapi musuh
besarnya, bertempur secara nekad, pedang Khun-ngo-kiam
yang merupakan pedang pusaka sangat ampuh digerakkan
sedemikian rupa, sehingga Ngo-gak Lokoay mati kutu
benar-benar. "Serahkan nyawamu!" serangan Kang Kie dibarengi
dengan bergeraknya pedang pusaka di tangannya dengan
hebat, membuat Ngo-gak Lokoay terkurung dalam sinar
pedang. Makin lama makin ciut lingkaran pedang itu,
hingga akhirnya terdengar suara jeritan yang mengerikan!
Di antara berhamburannya darah segar, tampaklah
kemudian kepala Ngo-gak Lokoay bergelindingan sampai
hampir kecebur ke dalam telaga!
Baru saja Kang Kie dapat menyelesaikan pertandingan,
di ujung seberang sana tiba-tiba terdengar menggemuruh
suara orang. Lalu muncul tujuh delapan sosok bayangan
orang yang lari mendatangi dengan menyusuri tepian
telaga. Pada saat itulah Touw Liong perlahan-lahan
membuka matanya sambil menarik kembali tangannya
yang diletakkan di atas bibir kemaluan Kim Yan, sesaat ia
menyeka keringat yang mengucur deras di jidatnya sambil
menarik nafas panjang, lebih dulu melihat bangkai yang
berserakan di tanah, lalu Pek Giok Hoa yang sedang
bertempur sengit melawan Koo Hong. Ia segera teringat
kepada musuh besar yang membunuh suhunya, maka
secepat kilat ia menghunus pedang Hok-mo-kiam yang
jantan, terbang melesat ke arah Koo Hong. Sembari
kakinya bergerak, mulutnya tidak tinggal diam.
"Toako!" serunya, "Bertahanlah seberapa bisa supaya
mereka jangan sampai ke dekat sini!"
Di dekat Koo Hong ia berseru, "Giok Hoa, serahkan
bangsat ini padaku!" Namun terlambat, Pek Giok Hoa
sudah mengerahkan seluruh kepandaiannya, lebih dulu
sudah berhasil menikam tembus ketiak kiri Koo Hong
sampai ke belakang sehingga berakhirlah riwayat orang she
Koo itu sampai di situ.
Sunyi senyap keadaan di situ, Pek-bie Hweeshio sudah
dibawa menyingkir jauh oleh Thiat-koan totiang dan Tansim
totiang. Kang Kie lantas menyambut kedatangan tujuh delapan
orang tadi, disusul oleh Lo Yu Im, Touw Liong dan Pek
Giok Hoa. Pek Giok Hoa lebih dulu menoleh ke belakang ke tempat
di mana Kim Yan tadi direbahkan, tetapi gadis itu ternyata
sudah tidak tampak lagi bayang-bayangnya.
Touw Liong juga berpaling melihat ke tempat yang
sama, namun ia segera paham apa yang telah terjadi. Ia
mengerti perasaan hati adik seperguruannya, yang sudah
tentu tidak mau bertemu dengan Panji Wulung Wanita,
sedangkan kedudukan dan keadaannya di mata umum
sesungguhnya sangatlah menyulitkan dirinya, maka ia
mengambil keputusan untuk berlalu begitu saja.
Perginya Kim Yan kali ini, terus tak ada kabar beritanya.
Sampai sepuluh tahun lebih dicari oleh Touw Liong dan
Pek Giok Hoa, tetap tidak dapat diketemukan jejaknya.
Sebetulnya Kim Yan sudah tahu betapa besarnya cinta
kasih Pek Giok Hoa terhadap suhengnya, lalu setelah
dilenyapkan ilmu Hek-hong-im-tok di dalam tubuhnya oleh
Touw Liong, sudah tidak punya muka lagi buat bertemu
dengan orang maka pergilah ia jauh-jauh, sampai akhirnya
menetap di suatu rimba bambu di daerah lautan kidul, di
sana ia melewati sisa hidupnya sebagai orang suci.
Tentang Kim Yan, baik tidak kita bicarakan lagi. Orangorang
yang baru datang itu ternyata dipimpin oleh Panji
Wulung Wanita sendiri.
Terbinasanya empat pembantunya yang terkuat dan
lenyapnya Kim Yan sesungguhnya merupakan suatu
pukulan hebat baginya. Bagai orang yang linglung ia
mengawasi keadaan di sekitarnya. Di antara tujuh
pembantu terpentingnya sekarang, kecuali It-tiem totiang
dan ketua Swat-san-pay Hwan Kui berdua, sisanya ialah
Lie Hui San, chungcu dari perkampungan Hui-liong-chung
Lie Hui Hong, Lie Sam-kow, Sam-yang tojin dan anak lakilaki
yang belum cukup 1 tahun usianya Ca Thian Lok,
tiada seorangpun yang dapat diturunkan untuk menghadapi
musuh-musuh yang sedang dihadapinya sekarang ini. Ia
menghela nafas dalam berulang-ulang, sementara Touw
Liong sudah maju menghampiri dengan hormat katanya,
"Siaotit Touw Liong di sini menanyakan keselamatan
susiok." "Siapa susiokmu"!" Panji wulung Wanita mundur tiga
langkah, "Bocah, kau jangan main gila!"
Tetap dengan sikap menghormat Touw Liong berkata,
"Siaotit adalah muridnya Dewa Arak, jadi menurut
peraturan, siaotit wajib mengangkat susiok sebagai orang
tingkatan tua."
"Tidak bisa!" bentak Panji Wulung Wanita, tapi lalu
tanyanya, "Si gila itu apa Panji Wulung juga" Kalau ya,
mana buktinya?"
Dari dalam sakunya Touw Liong mengeluarkan tiga
sampul surat yang langsung diberikan kepada Panji Wulung
Wanita, adapun surat-surat itu sebuah adalah dari Panji
Wulung si gila, lainnya dari Hong-hong Lojin dan Liu
Kiam Hiong. Panji Wulung Wanita mulai membuka surat-surat itu
satu persatu, dibacanya di bawah sinar rembulan. Tampak
sebentar badannya gemetaran, pada akhirnya di sela-sela
matanya tampak menetes air bening, kepalanya
ditundukkan dalam-dalam.
Lama sekali tiba-tiba Panji Wulung Wanita itu
mengangkat kepalanya dan membentak bengis,
"Touw Liong! Beranikah kau bertanding denganku"
Kalau kau menang aku si orang tua akan mengasingkan diri
di gunung Hek-hong-san, tapi kalau aku bisa rebut
kemenangan tidak sudah, di bawah kekuasaanku sekarang
ini justeru kekurangan empat kepala bagian, dan kalian
berempat cocok sekali untuk mengisi lowongan yang masih
kosong itu."
Touw Liong tetap bersikap hormat, mundur selangkah
dan katanya, "Siaotit tak berani langgar aturan."
"Hm!" Panji Wulung mengibaskan lengan bajunya,
"Kuberikan waktu semalam untuk kau berpikir, besok jam
tiga malam di gunung Liok-san kita bertanding untuk
menentukan nasib rimba persilatang di kemudian hari!"
Touw Liong belum membuka mulut, sudah ditalangi
oleh Kang Kie, "Saudaraku pasti suka mengiringi kehendak
locianpwe, besok jam tiga malam akan memenuhi
perjanjian ini."
Panji Wulung mengebaskan bajunya lagi, "Baik,"
katanya dan lantas mengajak anak buahnya berlalu dari
situ. Touw Liong mengawasi berlalunya It-tim totiang
dengan penasaran, musuh besar sudah di depan mata, tapi
ia tidak bisa bertindak apa-apa. Sungguh sayang!
Besoknya jam tiga malam, Touw Liong berempat sudah
tiba di tempat yang dijanjikan. Lebih dulu Touw Liong
berlutut dan menjura empat kali menghadap ke langit,
setelah itu ia bangkit berdiri dan dengan meluruskan kedua
tangannya berdiri di hadapan Panji Wulung Wanita.
"Hunus pedangmu!"
Ucapan Panji Wulung wanita itu ditutup dengan
serangannya yang mengandung hawa Hek-hong-im-kang.
Touw Liong mundur satu tombak lebih.
Panji Wulung Wanita menyerang lagi dengan serangan
kedua, dan kali inipun dielakkan oleh Touw Liong dengan
baik sekali. Ketika serangan ketiga dari Panji wulung meluncur
keluar, juga belum dibalas oleh pemuda she Touw itu.
Tetapi begitu jurus keempat dimulai, dua orang bergerak
bersama-sama, pedang dan tongkat bergerak-gerak dengan
amat cepatnya, sebentar sudah dilalui beberap puluh jurus.
Kang Kie yang gatal tangannya, lantas mengajak It-tim
totiang turun ke gelanggang, dan terbentuklah lagi satu
arena pertempuran baru dengan demikian empat orang itu
jadi mengadu kekuatan dalam dua rombongan.


Panji Wulung Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Singkatnya ceritera, di jurus ke seratus lebih, It-tim
totiang tertembus dadanya oleh ujung pedang Kang Kie
hingga tamatlah riwayat imam tersebut saat itu juga.
Selanjutnya terdengarlah lagi satu seruan tertahan, dan
Touw Liong tampak buru-buru memisahkan diri dari Panji
Wulung Wanita. Panji Wulung Wanita tampak menundukkan kepala
melihat ke arah tongkatnya, ujung tongkat tersebut ternyata
sudah papas sepotong!
Baju Touw Liong tampak masih berkibar-kibar, di satu
bagian tertampak ada sebuah lobang.
Jelas keduanya memiliki ilmu yang berimbang, jadi
siapapun tak ada yang kalah. Tapi jikalau diteliti benarbenar,
Panji Wulung Wanita sudah terpapas senjatanya,
sesungguhnya dapat dikatakan lebih besar kekalahannya
dibanding dengan Touw Liong yang cuma sobek sedikit
bajunya. Hal mana membuat Panji Wulung Wanita gusar
benar-benar, baru ia akan bergerak menyerang lagi, tiba-tiba
melihat Touw Liong berlutut sambil memanggil, "Susiok,"
hatinya rupanya sudah tergerak juga, tongkat di tangan
yang sudah diangkat tinggi-tinggi diturunkan lagi lambatlambat
ke bawah. "Sudahlah!" katanya, "Dunia persilatan
untuk kemudian hari biarlah kalian dari angkatan muda
yang mengatur!"
Panji Wulung wanita lalu menuding ke arah Lie Hu San,
dan katanya, "Bawa kemari!"
Lie Hu San tanpa berani berayal lantas menyerahkan
tanda kepercayaan batu giok berukiran harimau putih
kepada Panji Wulung.
Panji Wulung Wanita membimbing bangun Touw
Liong, menyerahkan tanda kepercayaan harimau putih dan
tiga jilid kitab Tay-it Cin-keng kepadanya. Dengan begitu,
lengkaplah sudah kedua belas kitab Tay-it Cin-keng berada
di tangan Touw Liong, karena tiga jilid memang sudah
lama berada padanya, enam yang lain baru semalam
ditemukan di badan Koo Hong, sedang tiga sisanya baru
saja diterimanya dari Panji Wulung Wanita.
Setelah segala sesuatunya berlalu, bagaikan asap
cepatnya lebih dulu Panji Wulung Wanita menghilang dari
situ, diikuti satu-satu oleh para pengikutnya.
Kini yang masih tinggal di situ cuma ketua pengemis
golongan utara Lie Hu San, yang masih berlutut di tanah
sambil mengangguk-angguk.
Touw Liong yang menyaksikan keadaan demikian,
merasa tidak sampai hati Lie Hu San terus-menerus harus
berbuat demikian, maka lalu memerintahkan ketua
pengemis golongan utara itu bangun, sambil katanya,
"Mulai hari ini buatlah jasa sebesar-besarnya untuk
menebus dosamu. Ingat, persiapkanlah orang-orangmu
sebanyak mungkin untuk menyambut pertemuan besar
tanggal sembilan bulan sembilan yang akan datang!"
Lie Hu San lebih dulu mengucapkan terima kasih
berulang-ulang, setelah itu baru minta diri dari Touw Liong
dan yang lain-lain.
Touw Liong tiba-tiba menarik nafas panjang dan berkata
sambil memandang Kang Kie, "Kang toako, segala urusan
dalam dunia Kang-ouw ini sudah terlalu membosankan
buat siaote, kalau bisa untuk selanjutnya siaote tidak akan
pergi ke Tong-cui lagi."
"Tapi bagaimana dengan urusanmu yang belum kau
selesaikan itu?"
"Untuk itu biarlah toako saja yang tolong wakili siaote
mengurusnya, mintalah suhengmu, Kakek Seribu Muka
membantu kau mengurus segala sesuatunya."
"Lalu, kau sendiri?"
"Banyak hal yang masih perlu siaote urus, misalnya,
membawa kepala It-tim ke Ko So Tay untuk
bersembahyang di hadapan arwah ayah dan ibu, lalu aku
akan menjelajahi seluruh negeri untuk mencari jejak
sumoyku Kim Yan dan masih perlu siaote membangun
kembali partai Kiu-hoa untuk memperkembangkan ilmu
Tay-it sin-kang."
"Baik! Engkomu bersedia pergi ke kota Tong-cui. Di
depan makam ayah dan ibu, kau boleh bakar kertas lebihan,
sebegitu lekas urusan golongan pengemis di kota Tong-ciu
beres, engkomu juga akan pergi ke sana."
Touw Liong memberikan dua batu giok kepada Kang
Kie, dan berpencarlah mereka sepasang-sepasang.
T A M A T Istana Pulau Es 12 Balada Pendekar Kelana Karya Tabib Gila Cinta Bernoda Darah 18

Cari Blog Ini