Ceritasilat Novel Online

Memanah Burung Rajawali 32

Memanah Burung Rajawali Karya Jin Yong Bagian 32


Kwee Ceng bengong. Inilah ia tidak sangka. Ia juga heran.
"Kau takut apa Yong-jie?" ia tanya.
Si nona tidak menjawab, ia hanya menangis terus.
Kwee Ceng menjadi semakin heran. Semenjak mengenal si nona, biar bagaimana berat beban pengalaman mereka, belum pernah nona itu menangis, ia lebih banyak tertawa, tetapi sekarang, sepulangnya ke pulau ini" Inilah kampung halamannya. Apakah yang dia buat takut" Bukankah dia justru bakal bertemu sama ayahnya"
"Apakah kau mengkhawatirkan keselamatan ayahmu?" ia tanya akhirnya.
Oey Yong menggoyangi kepalanya.
"Apakah kau takut, kalau aku meninggalkan Tho Hoa To, lantas aku tidak kembali?"
Oey Yong menggeleng kepala pula. Dan ini dilakukannya terus meski si anak muda menanya pula ia hingga empat atau lima kali.
Maka berdiamlah mereka sekian lama.
"Engko Ceng," kata si nona kemudian seraya mengangkat kepalanya mengawasi si anak muda. "Aku takut tetapi tidak dapat aku mengatakan apa sebabnya" Kalau aku ingat sikap dan romannya gurumu tempo dia hendak membinasakan aku, aku jadi bingung sekali. Aku menjadi khawatir, akan ada suatu harinya kau nanti mendengar perintah gurumu itu hingga kau membunuh aku" Maka itu aku minta kau jangan meninggalkan lagi pulau ini. Kau berjanjilah!"
Kwee Ceng tertawa.
"Aku kira urusan besar bagaimana, tak tahunya urusan begini!" katany. "Ingatkah kau kejadian dulu hari di Pakhia, ketika keenam guruku mengatai kau sebagai silumana" Ketika itu aku ikut kau pergi, lalu akhirnya tidak terjadi apa-apa. Memang roman keenam gurku itu bengis tetapi hatinya mereka sangat baik, maka kalau nanti kau sudah mengenal mereka, mereka tentulah akan menyukai kau" Jiesuhu lihay ilmunya merabai saku orang, nanti kau boleh belajar padanya. Tentang Citsuhu, ia sangat halus dan sabar?"
Tapi si nona memotong: "Dengan begitu, artinya kau mau meninggalkan pulau ini?"
"Kita meninggalkannya bersama-sama," berkata si anak muda. "Kita sama-sama pergi ke Mongolia untuk menyambut ibuku. Kita bersama-sama membunuh Wanyen Lieh. Lalu bersama-sama juga kita pulang! Bukankah itu bagus?"
Si nona melongo.
"Kalau begitu, tidak dapat untuk selamanya kita bersama dan tidak dapat juga untuk selamanya berada bersama," katanya selang sesaat.
Kwee Ceng menjadi heran.
"Kenapa begitu?" ia tanya.
"Aku tidak tahu," si nona menggeleng kepala. "Jikalau aku melihat romannya toasuhumu, aku dapat menerka sesuatu. Untuk dia, tidak cukup dia mengutungi kepalaku! Dia membenci aku sampai ke tulang-tulangnya!"
Kwee Ceng melihat orang berbicara secara sungguh-sungguh, non aitu jadi sangat berduka. Ia jadi memikirkan. Tanpa merasa, ia pun berkhawatir. Ia ingat pula sikap gurunya yang kesatu yang sangat bengis itu.
"Dia biasa pandai berpikir," katanya dalam hati. "Kalau sekarang aku tidak turuti dia dan kemudian kekhawatirannya itu terbukti, bagaimana nanti jadinya?" Ia jadi sangat berduka. Tapi ia pun dapat mengambil keputusannya. Maka ia kata: "Baiklah, aku tidak akan berlalu dari sini!"
Mendengar itu, Oey Yong bengong mengawasi pemuda itu, air matanya meleleh dari kedua belah pipinya.
"Yong-jie, kau menhendaki apa lagi?" tanya si anak muda perlahan.
"Aku menghendaki apalagi?" menyahut si nona. "Apa juga aku tidak menghendaki pula." Lantas sepasang alisnya yang bagus bergerak, lantas ia tertawa. Ia kata pula: "Kalau aku menghendaki apa-apa lgai, Thian juga tidak bakal meluluskannya!"
Saking gembiranya, lantas di situ ia menari-nari, tangan bajunya yang panjang berseliweran, gelang emasnya berkilauan. Kadang-kadang ia menyambar-nyambar pohon bunga dengan bunganya warna merah, putih, kuning dan ungu. Tiba-tiba ia berlompat naik ke atas pohon, ke pohon yang lain, kembali lagi. Dalam kegembiraannya itu ia bersilat dengan Yang Siang Hui dan Lok Eng Ciang.
Menyaksikan di nona, Kwee Ceng seperti ngelamun. "Dulu ibu mendongeng kepadaku, bahwa di laut Tang Hay ada sebuah gunung dewi, bahwa atas gunung itu ada sejumlah dewinya. Mustahilkah di dunia ini ada gunung dewi yang lebih indah daripada pulau Tho Hoa To ini" Mungkinkah benar ada dewi yang melebihkan cantiknya Yong-jie ini?" Ia sadar ketika mendadak Oey Yong berseru seraya terus melompat turun, tangannya menggapai padanya seraya dia terus lari ke depan, menerobos di antara rimba.
Kwee Ceng menyusul. Ia pun khawatir nanti kesasar.
Oey Yong lari berliku-liku sampai ia berhenti dengan mendadak.
"Apakah itu?" tanyanya seraya tangannya menunjuk ke depan di mana ada benda bertumpuk.
Kwee Ceng mendahului maju. Itulah seekor kuda yang lagi rebah. Bahkan ia lantas mengenali itulah kudanya Han Po Kie, samsuhu atau gurunya yang nomor tiga. Ia mengulur tangannya memegang perutnya kuda itu. Dingin rasanya. Terang sudah, kuda itu telah lama mati. Berbareng heran, Kwee Ceng berduka. Kuda ini pernah turut pergi ke gurun pasir dan dengannya Kwee Ceng kenal sejak dia masih kecil.
"Boleh dibilang inilah kuda luar biasa dan kuat, kenapa dia mati disini?" si anak muda berpikir. "Tentu sekali samsuhu sangat berduka?"
Mengawasi lebih jauh, Kwee Ceng dapat memperhatikan, kuda itu bukan mati rebah melonjor hanya keempat kakinya bertekuk meringkuk. Ia terkejut. Ia lantas ingat kudanya Gochin Baki, yang terbinasa dihajar Oey Yok Su. Kuda putri itu mati melingkar mirip dengan kuda ini. Maka dengan tangan kirinya ia mengangkat lehernya kuda itu dan dengan tangan kanannya meraba dua kaki kuda itu. Untuk kagetnya ia mendapatkan tulang-tulangnya kuda itu remuk. Ia lantas meraba punggung kuda itu. Tulang punggungnya itu juga patah! Ketika ia mengangkat tangannya, ia melihat tangannya itu berlepotan darah - darah yang sudah berubah menjadi hitam tetapi bau amisnya masih ada. Mungkin sudah tiga empat hari kuda ini mati.
Oleh karena penasaran, Kwee Ceng membaliki tubuhnya binatang itu, untuk memeriksa. Ia tidak mendapatkan luka di luar. Saking heran, ia duduk dengan menjatuhkan diri di tanah, hatinya bekerja, "Mungkinkah ini darahnya samsuhu" Habis dimana adanya guruku itu?"
Sekian lama Oey Yong berdiam di samping menyaksikan kelakukannya Kwee Ceng, ia pun heran, tetapi ia dapat menenangkan diri. Maka kemudian ia kata: "Kau jangan bergelisah. Mari kita memeriksanya perlahan-lahan?"
Nona ini maju, ia mementang kedua tangannya membiak pohon-pohon bunga, sembari berjalan ia memperhatikan tanah. Kwee Ceng mengikuti, ia juga mengawasi ke tanah, maka terlihatlah olehnya titik-titik yang disebabkan bercecerannya darah. Saking ketarik dan tegang hatinya, ia sampai melupai jalan yang sesat, ia mendahului si nona, dari jalan perlahan, ia menjadi membuka tindakan lebar. Tidak heran kalau beberapa kali ia kesasar.
Oey Yong berlaku teliti, ia berjalan hingga di gombalan rumput, di pinggir batu karang. Di situ tanda darah itu sebentar kedapatan sebentar lenyap. Ia memeriksa dan melihat tapak serta bulu kuda.
Tanpa mengenal capai, mereka berjalan terus hingga beberapa lie, sampai di depan sekumpulan pohon bunga dan pepohonan lain di mana ada sebuah kuburan. Melihat itu Oey Yong lari menghampirkan.
Ketika dia pertama kali datang ke Tho Hoa To, Kwee Ceng pernah melihat kuburan itu, yang ia masih mengenalnya. Itulah kuburan dari ibunya si nona. Hanya kali ini, kuburan itu tidak utuh seperti dulu hari itu. Batu nisannya telah roboh. Ia maju untuk mengangkat itu. Ia membaca tulisan di batu peringatan itu. Ibunya Oey Yong ada orang she Phang. Terang tulisan itu ada tulisan Oey Yok Su - tulisannya bagus dan tegak.
Oey Yong melihat pintu perkuburan telah terpentang lebar-lebar. Ia merasa pasti bahwa di pulaunya ini sudah terjadi sesuatu. Tadi pun ketika dari atas pohon ia melihat melingkarnya kuda, hatinya sudah tercekat. ia tidak lantas bertindak masuk. Lebih dulu ia memasang mata ke sekitar kuburan. Di kiri kuburan, rumput hijaunya bekas terinjak-injak. Di muka pintu terlihat bekas-bekas senjata beradu. Ia memasang kuping. Ia tidak mendengar suara apa-apa. Maka dengan membungkuk, ia masuk di pintu.
Kwee Ceng berkhawatir, ia mengikuti masuk.
Begitu berada di dalam, muda-mudi itu merasakan hati mereka tegang, lebih-lebih si pemudi. Bukankah ini kuburannya ibunya" Tembokan pada gugur atau gugus, bekas terhajar senjata tajam akibat suatu pertempuran dahsyat.
Oey Yong memungut suatu barang ketika ia mulai bertindak masuk. Kwee Ceng mengenali itulah timbangan atau dacin, yang menjadi senjata gurunya keenam, Coan Kim Hoat. Timbangan itu terbuat dari besi, ukurannya sebesar lengan, tetapi toh orang dapat mematahkannya menjadi dua. Maka mereka berdua saling mengawasi, mulut mereka bungkam, mereka seperti tidak berani membuka mulut. Mereka tahu, cuma ada beberapa gelintir orang yang tenaganya kuat istimewa dan untuk Tho Hoa To, orang itu melainkan Oey Yok Su seorang".
Kwee Ceng menyambut dari tangan Oey Yong potongan dacin itu, ia lantas mencari potongan yang lain, sembari mencari ia merasakan hatinya tertindih berat sekali, ingin ia mencari dapat, ingin ia tidak dapat mencarinya"
Lebih jauh ke dalam, tempat kuburan itu menjadi terlebih suram. Kwee Ceng lantas membungkuk, tangannya meraba-raba ke tanah. Mendadak tangannya membentur sesuatu yang keras, yang ternyata adalah batu timbangan, batu yang mana dipakai Kim Hoat sebagai senjata rahasia untuk menimpuk. Hatinya berdebaran. Ia masuki gandulan itu ke sakunya, ia maju lebih jauh.
Untuk terkesiapnya hatinya, Kwee Ceng kena meraba benda yang dingin tetapi lunak. Ia meraba-raba. Akhirnya ia kaget hingga ia lompat bangun, ia kena pegang muka orang. Justru ia lompat, justru - duk"! Kepalanya membentur langit kuburan itu. Tapi di saat seperti itu, ia melupakan nyeri. Maka ia lantas mengeluarkan bahan apinya dan menyalakan itu. Begitu dapat melihat, ia menjerit dan langsung ia roboh pingsan!
Api di tangannya pemuda itu tidak padam, dengan cahaya api, Oey Yong bisa melihat tegas.
Coan Kim Hoat rebah terterlantag sebagai mayat, kedua matanya terbuka besar. Di dadanya nancap potongan lain dari dacinnya itu. Maka sekarang duduknya hal menjadi terang.
Oey Yong kaget tetapi ia mencoba menentramkan diri. Dari tangannya Kwee Ceng ia mengambil api, dengan itu ia mengasapi hidungnya si anak muda. Itulah daya untuk menyadarkan orang pingsan.
Tidak lama, anak muda itu berbangkis dua kali, lantas ia mendusin. Ia membuka matanya mengawasi si pemudi. Kemudian ia bangun, untuk berdiri. Tanpa membilang suatu apa, ia masuk lebih jauh. Oey Yong mengikuti.
Di ruang dalam yang merupakan liang kubur asli, segala apa kacau. Meja sembahyang pecah ujungnya, Pikulan besi dari Lam Hie Jin nancap di lantai. Di pinggir kiri kamar itu, rebah melintang tubuh satu orang, ikat kepalanya robek, sepatunya copot. Dengan melihat dari punggung saja sudah dapat dikenali dialah Biauw Ciu Sie-seng Cu Cong si Mahasiswa Tangan Lihay.
Dengan tindakan perlahan, Kwee Ceng menghampirkan. Ia membalik tubuhnya jiesuhu itu, gurunya yang nomor dua. Ia melihat bibir yang tersenyum, tapi yang sudah dingin, seperti dinginnya seluruh tubuhnya. Maka anehnya senyumannya Kanglam Cit Koay yang kedua ini.
"Jiesuhu, teecu Kwee Ceng datang!" kata si anak muda perlahan. Setelah itu dengan berhati-hati ia mengangkat tubuhnya gurunya itu, atau - ting-tang! Ia mendengar suara barang jatuh saling susul. Itulah jatuhnya dari sakunya banyak barang permata, seperti batu kumala, yang berserakan di lantai.
Oey Yong menjumput beberapa potong barang permata itu, untuk ditelitikan. Segera ia melemparkannya pula, dengan dingin, ia berkata: Ini permata mulia yang dikumpul ayah yang sengaja dipakai untuk menemani ibuku!"
Kwee Ceng terkejut. Ia menoleh kepada kekasihnya itu. Ia menjadi terlebih kaget pula. Disamping suara dingin dan tak sedap dari si nona, ia melihat sinar matanya mencorong tajam dan bengis, dari mata yang merah bagaikan darah.
"Apakah kau maksudkan guruku datang ke mari mencuri permata ini?" ia menanya perlahan.
Mata si pemudi menatap si pemuda akan tetapi di tidak dapat mundur, dia bahkan mengawasi, hanya sekarang sinarnya berubah. Itulah sinar mata dari putus asa, dari kedukaan.
"Guruku yang kedua adalah seorang laki-laki sejati," kata Kwee Ceng. "Mana mungkin ia mencuri harta ayahmu" Lebih-lebih tidak mungkin dia mencuri barang permata di dalam kuburan ibumu ini!"
Oey Yong mendengar nada orang, dari gusar menjadi berduka.
Memang juga pikiran Kwee Ceng berubah dengan perlahan-lahan. Ia menyangka si nona menuduh gurunya itu, seorang kesatria, ia menjadi tidak senang, ia menjadi gusar. Segera setelah itu, ia memikir kepada kenyataan. Bukankah gurunya itu terkenal sebagai si tangan lihay, yang sangat pandai mencopet" Bukankah semua permata itu meluruk dari saku gurunya itu" Bukankah mereka justru berada di dalam liang kubur di mana harta itu di simpan" Tapi, benarkah gurunya itu datang ke situ untuk mencuri" Bukankah gurunya itu seorang laki-laki sejati" Ia menyangsikan gurunya berbuat demikian busuk dan hina. Maka ia menduga kepada suatu yang di luar dugaannya. Dalam kesangsian itu, antara kegusaran dan kedukaan dan keragu-raguan, ia mengepal keras tangannya hingga terdengar suara meretek.
Oey Yong masih mengawasi lalu ia berkata dengan perlahan: "Ketika itu hari aku melihat air mukanya gurumu yang nomor satu, aku merasa aneh sekali, aku lantas seperti dapat firasat bahwa di antara kita berdua sulit ada akhir yang baik, yang membahagiakan. Jikalau keu hendak membunuh aku, sekarang kau boleh turun tangan. Ibuku ada di sini, maka kau tolong saja mengubur aku di sisinya. Lekas kau angkat kaki dari sini supaya jangan sampai kau bertemu dengan ayahku?"
Kwee Ceng tidak menyahuti, ia jalan mondar-mandir, tindakannya lebar dan cepat, napasnya memburu.
Oey Yong berdiam. Ia mengawasi ke gambar lukisan dari ibunya. Ia melihat suatu benda di situ, ia lantas menghampirkannya. Nyata itulah senjata rahasia yang nancap. Ia menurunkan itu.
Kwee Ceng melihat itu, ia mengenali tok-leng atau lengkak rahasia dari Kwa Tin Ok.
Oey Yong terus berdiam, tangannya menyingkap toh-wie di belakang meja sembahyang . Di situ ada peti mati dari ibunya. Ketika ia menghampirkan, mendadak ia menghela napas panjang. Di belakang peti mati ibunya itu rebah dua mayat dari kakak-beradik, atau engko beradik, Han Po Kie dan Han Siauw Eng. Siauw Eng itu terang telah membunuh diri, sebab tangannya masih memegang gagang pedang. Tubuh Po Kie sendiri menindih peti mati. Hanya yang hebat, batok kepalanya telah meninggalkan liang bekas lima jari.
Kwee Ceng telah melihat kedua mayat itu. Ia sekarang bisa berlaku tenang. Ia memondong turun tubuh gurunya yang ketiga itu, seorang diri ia berkata: Aku melihat sendiri kematiannya Bwee Tiauw Hong. Di kolong langit ini, orang yang pandai Kui Im Pek-kut Jiauw, siapa lagi kecuali Oey Yok Su?" Ia mengambil pedangnya Siauw Eng, terus ia bertindak ke luar, ketika ia melewati Oey Yong, ia tidak berpaling lagi pada si nona.
Oey Yong merasa hatinya dingin secara tiba-tiba, ia berdiam. Justru itu, ruang itu menjadi gelap, sebab apinya padam. Ia kaget, hatinya berdebaran. Itulah kuburan yang ia kenal baik, tetapi di situ sekarang rebah empat mayat dalam caranya yang berlainan, yang mengerikan, maka ia lantas lari keluar. Satu kali ia terpeleset, hampir ia roboh. Setibanya di luar baru ia ingat bahwa ia telah kesandung tubuhnya Coa Kim Hoat. Sekarang ia melihat batu nisan yang roboh. Ia hendak menutup kuburan itu ketika ia ingat satu hal. Ia lantas kata kepada dirinya sendiri: "Kalau ayah yang membunuh keempat anggota Kanglam Cit Koay ini, kenapa pintu tidak di kunci" Ayah sangat mencintai ibu, biarnya ia sangat kesusu, tidak nanti ia membiarkan pintu tinggal terpentang?" Maka ia menjadi ragu-ragu. Ia menjadi ingat pula: "Cara bagaimana ayah dapat membiarkan mayat keempat orang ini menemani ibu" Tidak mungkin! Mungkinkah ayah sendiri yang nampak sesuatu yang tidak dinyana?"
Lantas Oey Yong membetulkan batu nisan itu, ia menguncu pintunya, ialah dengan mendorong batu nisan itu ke kanan tiga kali dan ke kiri tiga kali juga, habis itu ia lari ke rumahnya. Ia dapat menyusul Kwee Ceng meskipun anak muda itu telah keluar lebih dahulu beberapa puluh tindak. Anak itu berputaran karena kesasar, kapan ia melihat si nona, dia lantas mengikuti. Mereka berjalan tanpa membuka suara, mereka melintasi pengempang, sampai di rumah peranti bersemedi dari Oey Yok Su.Hanya sekarang rumah itu roboh tidak karuan, di bagian depan terlihat tiang-tiang dan penglari yang patah.
Oey Yong menjadi kaget sampai ia menjerit-jerit: "Ayah! Ayah!" Dia lari ke dalam rumahnya. Di situ kursi dan meja pada terbalik dan segala perabot tulis, buku semua berserakan di lantai. Di situ tidak ada sekalipun bayangan Oey Yok Su.
Nona ini berotak tajam, dia cerdas dan lekas berpikir, tetapi kali ini pikirannya kacau. Ia memegang meja tulis ayahnya, tubuhnya bergoyang-goyang mau jatuh. Sampai sekian lama, baru ia bisa menetapkan hati. Ia lari ke samping, ke kamarnya budak-budaknya yang gagu, sia-sia belaka ia mencari, dia tidak dapat menemukan seorang budak juga. Di dapur sunyi semua. Rupany, meski orang tidak mati, semua telah pergi entah ke mana. Rupanya di pulau itu, kecuali mereka berdua, tidak ada orang lainnya lagi"..
Dengan tindakan perlahan Oey Yong menuju ke kamar tulis, di situ Kwee Ceng berdiri menublak, matanya mengawasi lempang ke depan.
"Engko Ceng, lekas kau menangis!" berkata si nonoa. "Kau menangis dulu, baru kita bicara!"
Kwee Ceng tidak menyahuti, hanya dengan matanya mendelik ia mengawasi si nona itu, Ia sangat mencintai keenam gurunya, sekarang ia mendapat pukulan begini hebat, kedukaannya sampai di puncaknya hingga tak dapat ia menangis.
Oey Yong kaget.
"Engko Ceng!" katanya. Cuma sebegitu ia bisa bilang lantas ia berdiam.
Keduanya berdiri saling mengawasi.
Akhirnya si anak muda mengoceh sendiri: "Tidak dapat aku membunuh Yong-jie, tidak dapat aku membunuh Yong-jie!"
Oey Yong lantas berkata: "Gurumu telah mati, kau menangislah!"
"Tidak, aku tidak menangis!" kata Kwee Ceng seorang diri.
Kembali keduanya berdiam. Sunyi kamar tulis itu. Cuma di kejauhan terdengar samar-samar suara berdeburnya gelombang.
Oey Yong berpikir keras, ia mengingat segala apa, tetapi tetap dia diam.
"Aku mesti mengubur dulu guru-guruku?" Kemudian etrdengar Kwee Ceng mengoceh pula.
"Benar, semua guru mesti dikubur lebih dulu!" menimpali Oey Yong. Bahkan ia mendahului berjalan kembali ke kuburan ibunya.
Tanpa bersuara, Kwee Ceng mengikuti. Selagi si nona hendak mendorong batu nisan, mendadak ia lompat melewati, terus ia menendang batu nisan itu. Ia menggunai tenaga besar tetapi batu itu besar dan berat, ia tidak dapat menggempur roboh, sebaliknya, kakinya yang berdarah, hanya ia tidak merasakan. Bagaikan kalap, ia menyerang kalang-kabutan dengan pedangny, menikam dan menebas, dan tangan kirinya juga menghajar, hingga batu gugur dan gugusannya terbang berhamburan. Pedangnya tak tahan, pedang itu patah. Ia menjadi panas, maka ia terus menyerang dengan tangannya. Kali ini ia berhasil membikin batu patah, hingga terlihat sebatang besi. Ia pegang besi itu, ia menggoyang-goyang keras. Dengan satu suara nyaring, besi itu membuatnya pintu kuburan terbuka sendirinya. Ia melengak, ia kata seorang diri: "Kecuali Oey Yok Su, siapa dapat membikin pintu rahasia ini dan siapa dapat memancing semua guruku masuk ke dalam kuburan hantu ini?" Lalu ia berdongak dan berseru nyaring, terus ia melemparkan pedang buntungnya, untuk lari masuk ke dalam kuburan itu!
Oey Yong mengawasi pedang buntung dan batu nisan yang patah, yang terkena darahnya si anak muda, ia bengong, hatinya bekerja. Ia melihat kebencian hebat dari Kwee Ceng itu. Ia pikir: "Jikalau ia melampiaskan amarahnya dengan merusak peti mati ibuku, lebih dulu aku akan membunuh diri dengan membenturkan kepalaku ke peti?" Lantas ia menyusul pemuda itu itu atau ia melihat Kwee Ceng berjalan keluar dengan memondong tubuhnya Coan Kim Hoat, setelah meletaki tubuh itu, dia masuk pula, akan mengambil mayatnya Cu Cong. Perbuatan itu dilanjutkan kepada mayat Han PO Kie dan Han Siauw Eng.
Dengan mata mendelong, Oey Yong mengawasi si anaj muda pada muka siapa kentara sekali cintanya pada guru-gurunya itu. Hatinya menjadi dingin. Ia kata di dalam hatinya: "Nyatalah ia mencintai gurunya melebihkan cintanya padaku. Ah, mesti aku mencari ayah, mesti aku mencari ayah"."
Kwee Ceng membawa keempat mayat gurunya ke dalam rimba, terpisah dari kuburan ibunya Oey Yong beberapa ratus tindak, di situ barulah ia menggali lubang. Ia menggali dengan patahan pedang, hebat ia menggunai tenaganya. Sekian lama ia bekerja, mendadak pedangnya bersuara keras, pedang itu patah dua!
Justru itu ia merasakan dadanya sesak, hawa panas naik, kerika ia mementang mulutnya, ia memuntahkan darah hidup dua kali, tetapi ia bekerja terus, dengan kedua tangannya ia membongkar tanah, yang ia saban-saban melemparkannya.
Melihat demikian, Oey Yong lari mengambil dua buah sekop peranti bujang gagunya, yang satu ia kasihkan pada si anak muda, yang lain ia pakai sendiri, untuk membantui menyingkirkan tanah.
Kwee Ceng merampas sekop di tangan si nona, ia sendiri patahkan itu, kemudian dengan sekop yang satunya lagi ia bekerja sendiri, ia menggali terus lubang.
Oey Yonng tahu artinya perbuatan anak muda itu, ia merasakan hatinya sakit, tetapi ia tidak menangis, ia hanya duduk mengawasi saja.
Kwee Ceng bekerja luar biasa. Ia berhasil menggali dua buah lubang yang besar dan satu kecil. Ke lubang yang kecil itu ia pondong tubuh Siauw Eng, untuk diletaki dengan hati-hati. Ia lantas berlutut, ia paykui beberapa kali. Ia mengawasi muka guru wanita itu, guru yang ketujuh, sesudah itu baru ia menguruknya. Setelah itu ia mengangkat tubuhnya Cu Cong dimasuki ke dalam liang kubur yang besar. Mendadak ia berpikir: "Permata mulia kotor dari Oey Yok Su mana dapat menemani jiesuhu?" Maka itu, ia merogoh saku gurunya, ia mengluarkan sisa baru permata, paling akhir ia menarik keluar sehelai kertas putih, yang ada suratnya. Ia membeber itu dan membaca:
"Yang rendah dari Kanglam, Kwa Tin Ok, Cu Cong, Han Po Kie, Lam Hie Jin, Han Po Kie dan Han Siauw Eng, dengan ini menghanturkan beritahu kepada cianpwee pemilik Tho Hoa To bahwa mereka telah mendengar kabar yang Coan Cin Cit Cu, dengan tidak menaksir tenaganya sendiri, hendak melakukan sesuatu terhadap Tho Hoa To. Mengenai itu, menyesal kami tidak dapat berbuat apa-apa untuk mengakurkannya, hanya mengingat cianpwee adalah pantarannya Ong Tiong Yang Cinjin, kami memikir mana dapat cianpwee melayani anak-anak muda. Di jaman dahulu Liang Siang Jie telah mengalah terhadap Liam Po, peristiwa itu menjadi buah tutur yang berupa pujian. Karena siapa gagah, dadanya lapang bagaikan lautan, dia tentu tidak menghiraukan segala perbuatan di antara ayam dan kutu. Kalau nanti kejadian Coan Cin Cit Cu datang ke depan Tho Hoa To, untuk mengakui kesalahannya sendiri, pastilah semua orang gagah di kolong langit ini akan mengagumi kepribadian cianpwee. Bukankah itu bagus?"
Habis membaca itu, Kwee Ceng berpikir: "Dulu hari Coan Cin Cit Cu bertempur sama Oey Yok Su di Gu-kee-cun, lantas Auwyang Hong secara diam-diam menggunakan akal jahatnya dan membinasakan Tiang Cun CU Tam Cie Toan, kesalahan digeser kepada Oey Yok Su. Oey Yok Su berkepala besar, ia tidak menghiraukan urusan itu, dia tidak mau membersihkan diri, maka kejadian Coan Cin Cit Cu jadi semakin membenci padanya. Rupanya sekarang guruku mendapat dengar Coan Cin Cit Cu datang untuk melakukan pembalasan, karena ia khawatir kedua pihak itu rusak bersama, guruku itu menulis suratnya ini menganjurkan Oey Yok Su menyingkirkan diri untuk sementara waktu, supaya kemudian di dapat jalan guna membeber duduknya hal. Dengan begitu, guruku ini bermaksud baik, maka Oey Yok Su si tua sesat, kenapa dia telah menurunkan tangan jahatnya kepada guruku semua?" Baru ia berpikir begitu, atau lantas ia berpikir pula: "Jiesuhu sudah menulis surat ini, kepada ia tidak menyampaikannya kepada Oey Yok Su melainkan dibiarkan berada di dalam sakunya" Ah, mungkin waktu terlalu mendesak, Coan Cin Cit Cu telah keburu datang, dia jadi tidak mendapat tempo lagi untuk menyerahkannya, maka mereka lantas datang sendiri, guna maju sama tengah di antara kedua pihak yang bertempur itu. Oey Lao Shia, Oey Lao Shia, mungkin kau menyangka guru adalah kawan-kawan undangan dari Coan Cin Cit Cu, yang bakal membantui pihak sana, maka dengan semberono kau taleh menurunkan tangan jahatmu itu"."
Kembali pemuda ini berdiam. Surat itu ia lipat, hendak di masuki ke dalam sakunya. Selagi ia melipat, tiba-tiba di belakang itu ia melihat coretan beberapa huruf, yang membikin ia kaget hingga hatinya berdebaran. Tulisan itu, yang suratnya tidak karuan, berbunyi: "Segera bakal terjadi hal yang tidak diduga-duga, maka semua bersiaplah berjaga-jaga?" Masih ada tulisan lainnya, yang belum tertulis lengkap, mungkin disebabkan bencana sudah lantas tiba.
"Inilah terang huruf 'Tong' yang hendak ditulisnya. Jiesuhu memperingati untuk bersiaga untuk 'Tong Shia', sayang sudah terlambat?"
Maka ia kepal-kepal surat itu menjadi gulungan kecil, dengan menggertak gigi, ia kata dengan sengit: "Jiesuhu, jiesuhu, maksudmu yang baik telah dipandang sebagai maksud jahat oleh Oey Lao Shia?"
Setelah itu, surat itu jatuh ke tanah, ia sendiri lantas mengangkat tubuh Cu Cong.
Oey Yong mengawasi terus pemuda itu, ia melihat muka orang yang seperti berubah-ubah. Ia menduga surat itu mesti penting sekali, maka perlahan-lahan ia bertindak. Ia pungut surat itu untuk segera dibaca dua-duanya, yang di depan dan yang di belakang. ia pikir: "Keenam gurunya datang ke Tho Hoa To dengan maksud baik, maka sayang Baiuw Ciu Sie-seng hatinya tidak lurus, sudah biasa ia menjadi pencopet, melihat hartanya ibuku hatinya terpincuk, hingga ia melanggar pantangan besar dari ayahku?"
Ketika itu Kwee Ceng telah meletaki tubuhnya Cu Cong, lalu ia membuka tangan kiri orang yang terkepal, mengambil dari situ serupa barang.
Oey Yong melihat itulah sebuah sepatu wanita, yang panjangnya satu dim lebih. Terang itu ada sepatu mainan yang terbuat dari batu hijau tetapi buatannya indah sekali. Itulah benda yang berharga mahal. Belum pernah ia ingat ibunya mempunyai barang mainan semacam itu, maka entah di mana Cu Cong mendapatkannya.
Kwee Ceng membulak-balik sepatu-sepatuan itu, di bagian bawahnya ia mleihat ukuran huruf "ciauw" sedang di dasar sebelah dalam, ada ukiran huruf "pie". Ia sengit, ia banting sepatu itu, syukur tidak pecah. Kemudian ia bergantian mengangkat tubuhnya Coan Kim Hoat dan Han Po Kie, dikasih masuk ke dalam liang kuburan yang besar itu, diletaki dengan rapi. Ketika ia hendak menguruk, ia melihat muka ketiga gurunya, ia tidak tega hatinya. Maka ia mengawasi batu permata itu. Tiba-tiba timbul pula hawa amarahnya. Ia pungut semua itu dengan kedua tangannya, ia lari ke kuburan ibunya Oey Yong.
Si nona khawatir orang nanti merusak peti mati ibunya, ia pun ikut lari. Ia lari, untuk mendahului. Ia bisa memotong jalan, maka ia tiba lebih dulu. Lantas ia menghadang di depan pintu kuburan, kedua tangannya dipentang.
"Kau mau apa?" ia tanya si pemuda.
Kwee Ceng tidak menjawab, dengan tangan kirinya, ia menolak tubuh si nona, lalu kedua tangannya disempar ke depan,maka terdengarlah suara nyaring, dari meluruk jatuhnya barang-barang permata, di antaranya itu sepatu mainan dari batu hijau yang jatuh di kaki nona.
Oey Yong membungkuk, ia memungutnya.
"Ini bukannya barang ibuku," ia kata, dan ia membayarnya pulang.
Kwee Ceng menyambut, ia awasi itu, terus ia masuki ke dalam sakunya. Setelah itu ia memutar tubuhnya. Kali ini ia ,ulai menguruk tanah, hingga menutup rapat mayat keempat gurunya itu.
Lama sang waktu lewat, hari mulai sore.
Oey Yong menyaksikan, Kwee Ceng terus tidak menangis, ia merasa sangat berduka. Maka ia pikir, kalau dibiarkan sendiri, mungkin hati pemuda itu lega. Dari itu, ia pergi pulang, untuk memasak nasi serta lauk-pauknya. Apabila semua itu sudah matang, ia membawanya keluar.
Kwee Ceng terlihat berdiri menjublak di depan kuburan gurunya. Dia berdiri tetap di tempat dia berdiri semula, tubuhnya juga tidak berkisar atau berubah. Ia berdiam setengah jam lebih selama si nona masuk, hingga dia mirip patung. Maka si nona kaget sekali.
"Engko Ceng, keu kenapa?" ia tanya.
Kwee Ceng tidak menyahuti, tubuhnya tetap tidak bergerak.
"Engko ceng, mari dahar," kata si nona pula. "Sudah satu harian kau belum dahar?"
"Meski aku mati kelaparan, tidak nanti aku makan barang dari Tho Hoa To!" berkata si anak muda.
Mendengar itu, meskipun tidak sedap, hati Oey Yong lega sedikit. Ia mengerti adat orang, tentu Kwee Ceng pegang perkataannya itu. Dari itu ia meletaki naya, ia duduk di tanah.
Demikian, yang satu tegak berdiri, yang lainnya berduduk, keduanya berdiam menghabiskan waktu, hingga rembulan mulai muncul dari permukaan laut. Si Putri Malam naik terus, sampai dia berada di atasan kepalanya dua orang itu, sedang sayur di dalam naya telah menjadi dingin sendirinya. Hati mereka seperti sama dinginnya. Dalam kesunyian itu, suara gelombang terdengar semakin nyata. Dari kejauhan terdengar beberapa kali seperti suara serigala dan harimau, suara mirip dengan jeritan. Sang angin juga yang membikin suara itu lenyap sendirinya.
Oey Yong memasang kupingnya, ia menyangsikan itu suara manusia atau suara binatang yang sedang menderita, karena perhatiannya tertarik, ia berbangkit, untuk lari menuju ke sana. Sebenarnya ia berniat mengajak si anak muda atau ia membatalkan pikirannya itu setelah ia berpikir pula: "Kebanyakan ini adalah urusan tidak bagus., aku akan cuma-cuma menambah keruwetan pikirannya?" Ia sebenarnya sedikit jeri untuk suasana seperti itu, tetapi karena ia kenal baik pulaunya itu, ia maju terus.
Selagi si nona berlari-lari, ia merasakan angin menyambar di sampingnya. Segara ia mendapat kenyataan, Kwee Ceng lagi mencoba mendahului dia. Pemuda ini tidak kenal jalanan, maka itu ia maju dengan tangan dan kakinya saban-saban menghajar pohon-pohon yang menghadang di depannya. Dilihat dari romannya, pemuda itu seperti telah kehilangan pikirannya yang sehat.
"Kau ikut aku!" kata si nona.
Kwee Ceng tidak menyahuti, hanya ia berteriak-teriak "Soe-suhu! Soe-suhu!" Ia telah mengenali suara gurunya yang keempat, Lam Hie Jin.
Hati Oey Yong terkesiap. Ia tahu, kalau Kwee Ceng bertemu sama gurunya itu, entah bakal terjadi apa pula atas dirinya. Tapi ia tidak takut, maka ia lari terus, akan menunjuki jalan. Ia lari ke timur, di mana ada banyak pepohonan. Tiba di situ ia melihat seorang berada di bawah pohon, tubuhnya bergulingan, tubuh itu melingkar. Itulah Lam Hie Jin.
Kwee Ceng menjerit, ia berlompat menuburuk gurunya itu, untuk diponodng. Ia melihat mulut gurunya terbuka, tertawa, tetapi suaranya bukan tertawa wajar. Ia kaget dan girang, hingga ia menangis.
"Soe-suhu! Soe-suhu!" ia memanggil.
Lam Hie Jin tidak menyahut, hanya sebelah tangannya melayang.
Kwee Ceng tidak menyangka tetapi ia sempat berkelit. Hanya habis menggaplok dan gagal, Hie Jin terus meninju dengan tangan kirinya. kali ini si anak muda tidak berkelit, ia tidak menangkis. Ia menyangka guru itu menyesalkan atau mempersalahkan padanya. Hebat serangan guru yang nomor empat ini, Kwee Ceng terpental jumpaliatn. Ia tidak menduga gurunya bertenaga demikian besar. Dulu-dulu, diwaktu berlatih dengannya, tenaga gurunya ini tidak demikian besar. Ia baru bangun atau Hie Jin, yang sudah maju, menyerang pula dengan kepalannya. Masih si murid tidak berkelit, ia mandah. Hajaran ini terlebih hebat pula, Kwee Ceng merasa matanya berkunang-kunang, hampir ia roboh pingsan.
Setelah itu Hie Jin memungut batu besar, lagi-lagi ia menyerang. Kalau Kwee Ceng terhajar batu ini, mesti ia pecah batok kepalanya. Ia memang masih pusing kepalanya.
Melihat demikian, Oey Yong berlompat maju, dengan tangan kirinya ia menolak lengan Kanglam Cit Koay nomor empat ini, atas mana, bersama-sama batunya Hie Jin roboh ke tanah, mulutnya masih mengasih dengar suaranya tertawa seperti tadi, habis itu dia tidak merayap bangun lagi?".
Adalah maksud si nona untuk menolongi Kwee Ceng, maka diluar sangkaannya, Hie Jin ada demikian tidak bertenaga, dia roboh hanya karena tolakan tangan yang enteng. Dengan lantas si nona mengulur tangannya untuk mengasih bangun. Atau ia melihat muka orang yang tertawa, tertawanya yang dipaksakan, hingga menjadi menyeringai, nampaknya sangat menakutkan. Ia menjerit, ia menarik pulang tangannya, untuk membikin tangan itu tidak mengenai tubu orang. Sebaliknya tangan kiri Hie Jin menyambar pundak si nona. Atas itu, dua-duanya, si nona dan si penyerang, mengasih dengar suara seruan bahna sakit dan kaget.
Oey Yong mengenakan baju lapisnya, meski begitu ia merasakan sakit sampai ia terhuyung beberapa tindak.
Hie Jin merasa sakit karena ia menghajar baju yang ada durinya, karena mana tangannya lantas mengucurkan darah.
"Soe-suhu!" Kwee Ceng berteriak saking kagetnya.
Hie Jin meboleh mengawasi si anak muda, suara siapa ia rupanya mengenalinya, hanya ketika ia hendak membuka mulutnya cuma bibirnya bergerak sedikit, suaranya tidak kedengaran. Ia masih mengasih lihat senyuman hanya itulah senyum dari putus asa. Sinar matanya pun guram.
"Soe-suhu, baik kau beristirahat," kata Kwee Ceng, "Sebentar lagi kita bicara."
Hie Jin mencoba mengangkat kepalanya, ia seperti memaksa mau bicara, lagi ia gagal, mulutnya tidak dapat dibuka. Ia cuma dapat bertahan sebentar segera kepalanya teklok, terus tubuhnya roboh terjenkang, lalu berbalik.
"Soe-suhu!" Kwee Ceng berseru, ia berlompat maju, guna mengasih bangun.
"Jangan!" berkata si nona. "Gurumu mau menulis surat?"
Tajam matanya si nona.
Kwee Ceng mengawasi. Benar, dengan tangan kanannya, Hie Jin lagi mencoret ke tanah. Di antara sinar rembulan, segera terlihat ia menulis: "Yang"membunuh"aku"ialah?"
Oey Yong mengawasi, ia mendapatkan Hie Jin menulis dengan susah sekali, ia lantas goncang hatinya. Ia lantas ingat: "Dia berada di Tho Hoa To, sekalipun orang yang paling tolol tentulah tahu ayahku yang membunuh dia, maka kenapa dia begini susah menulis nama ayahku" Apakah si pembunuh lain orang sebenarnya?""
Semakin lama ia menulis, tenaganya Hie Jin makin habis. Maka si nona menjadi tegang, hingga ia memuji: "Kalau kau mau menulis nama lain orang, lekaslah!"
Ketika Hie Jin menulis huruf yang kelima, yang mesti menjadi she atau nama orang yang membunuh dia, baru dia menulis dua coret, yang menjadi huruf "sip" - "sepuluh", mendadak tangannya berhneti bergerak.
Kwee Ceng melihat tubuh orang tidak bergerak, tanda dari pengerahan tenaga yang terakhir, habis itu berhentilah napasnya sang guru. Ia sendiri menahan napas. Ketika ia melihat huruf "sip" itu, ia berteriak: Soe-suhu, aku tahu kau hendak menulis huruf oey - huruf oey!" Terus ia menubruk tubuh gurunya itu, terus ia menangis keras, kedua tangannya menumbuki dadanya. Dengan demikian meledaklah amarah dan kedukaannya yang sangat, yang sekian lama terbenam di dalam hatinya. Ia menangis menggerung-gerung tidak lama atau ia pingsan di atas tubuh gurunya itu.
Berapa lama anak muda itu tak sadarkan diri, ia tidak tahu. Ketika kemudian ia mendusin, ia melihat sinar matahari, langit telah menjadi terang. Ia bangun, untuk melihat ke sekitarnya. Ia tidak melihat Oey Yong, entah ke mana pergi si nona. Ia mendapatkan tubuh Hie Jin yang kedua matanya terbuka besar. Ia lantas ingat pembilang, "mati tidak meram", maka ia lantas menangis pula, air matanya turun deras. Ia mengulurkan kedua tangannya., guna merapatkan mata gurunya itu.
Mengingat gurunya begitu sengsara hendak melepaskan napasnya yang terakhir, Kwee Ceng menjadi heran, maka ia membukai baju gurunya itu, untuk memeriksa tubuhnya. Aneh, seluruh tubuh itu tidak kurang suatu apa, dari kepala sampai di kaki, tidak ada yang terluka, kecuali luka di tangan bekas terkena duri baju lapisnya Oey Yong. Pula tidak ada luka di dalam, kulitnya tidak hitam atau hangus.
Sesudah memeriksa dengan sia-sia, Kwee Ceng memodong tubuh gurunya, niatnya untuk dikuburkan bersama-sama dengan ketiga gurunya yang lain. Ketika ia sudah jalan beberapa puluh tindak, ke tempat darimana tadi ia datang, ia kehilangan jalanannya. Terpaksa ia menggali sebuah lubang lainnya di bawah pohon, guna mengubur di situ mayat gurunya itu.
Habis itu ia menjadi bingung. Ia juga merasai sangat lapar. Sia-sia ia berjalan, untuk mencari jalan keluar. Ia duduk di bawah sebuah pohon, guna beristirahat, guna menetramkan pikirannya. Ketika ia berjalan pula, ia mengambil putusan tidak peduli aoa juga, ia mengambil satu tujuan, ialah ke arah timur, terus menghadap matahari. Dengan begini, ia masih mengalami kesukaran, dari pepohonan yang sangat lebat. Sekarang di setiap pohon ia melihat adanya rotan panjang dan duri tajam. Umpama kata ia jalan di atas pohon, di situ tidak ada tempat untuk menaruh kaki?".
"Tapi hari ini, cuma ada maju, tidak ada mundur!" ia pikir. Ia paksa melompat ke atas pohon. Ia baru bertindak atau "Bret!" maka celananya robek kesangkut duri, hingga kulitnya lecet dan darahnya mengalir. Rotan pun ada yang melilit kakinya. Maka dengan pisau belatinya, ia memotong putus pohon oyot itu.
Memandang jauh ke depan, Kwee Ceng melihat hanya oyot belaka.
"Biar habis daging betisku, aku mesti keluar dari pulau iblis ini!" kata di dalam hati. Dengan itu ia mengambil keputusannya. Ia mau bertindak pula, lalu mendadak ia mendengar suaranya Oey Yong: "Kau turun! Nanti aku mengantarkan kau!" Ia lantas tunduk, maka ia melihat si nona, dengan pakaian putih seluruhnya, lagi berdiri di bawah pohon. Tanpa membilang apa-apa, ia lompat turun. Ia melihat muka Oey Yong pucat sekali, seperti tidak ada darahnya. Ia terkejut. Hendak ia menanya, tetapi segera ia dapat menguatkan hatinya.
Oey Yong melihat orang hendak bicara tetapi gagal. Ia menanti sekian lama, tetap ia tidak mendengar suara orang, ia menghela napas.
"Jalanlah!" katanya.
Dengan berliku-liku, mereka menuju ke timur. Oey Yong lesu dan berduka. Ia baru sembuh, ia perlu beristirahat dan ketenangan hati, siapa tahu ia telah mesti membuat perjalanan jauh dan menghadapi peristiwa hebat dan gelap ini. Ia pikir ia tidak dapat menyesalkan Kwee Ceng atau mempersalahkan ayahnya, ia juga tidak bisa menyalahkan Kanglam Liok Koay. Ia hanya menyesalkan diri sendiri. Kenapa Thian berbuat begini macam terhadapnya" Apa Thian membenci orang yang hidup terlalu senang"
Tanpa berkata-kata si nona ini menunjuk jalan kepada Kwee Ceng menuju ke tepian laut. Ia mau percaya dengan kepergiaannya ini, anak muda itu bakal tidak kembali. Maka itu setiap satu tindaknya, ia merasa hatinya pecah satu potong.
Ketika akhirnya mereka keluar dari rimba lebat dengan rotan dan duri itu, pesisir terlihat di depan mata.
Oey Yong merasa dirinya sangat letih, ia mencoba menguati hatinya tetapi tubuhnya terhuyng juga, lekas-lekas ia menggunai tongkatnya, untuk menekan ke tanah, guna menunjang, hanya sekarang ia merasakan tangannya juga tidak bertenaga, tongkatnya itu miring, hingga tubuhnya turut berguling.
Kwee Ceng melihat itu, segera ia mengulur tangan kanannya, guna memegangi si nona, atau mendadak ia ingat sakit hati hebat dari guru-gurunya itu, segera dengan tangan kirinya ia menghajar tangan kanannya. Itulah ilmu pukulan ajarannya Ciu Pek Thong, yang dapat memecah pikiran, hingga kedua tangannya dapat bergerak sendiri-sendiri. Karena dihajar, tangan kananya itu segera membalas. Habis itu, ia melompat mundur.
Dengan begitu, sendirinya robohlah tubuh Oey Yong.
Oleh karena jatuhnya tanpa pertolongan ini, hatinya si nona pepat sekali. Ia menyesal, ia penasaran dan ia berduka.
Juga Kwee Ceng kaget, juga pemuda ini menyesal, penasaran dan berduka. Ia berlompat maju, untuk mengangkat tubuh si nona. Ia melihat kelilingan, untuk membawa si nona ke tempat di mana dia bisa beristirahat.
Juga Oey Yong turut melihat ke sekitar mereka.
Di arah timur laut, di mana ada sebuah batu besar, terlihat sepotong kain hijau tertiup angin. Ketika melihat itu Oey Yong lantas berteriak: "Ayah!" Ia lantas saja mendapat tenaga, ia lari.
Kwee Ceng juga lari bersama, maka itu mereka saling berpegangan tangan.
Sampai di batu, di situ pun kedapatan sepotong kulit muka orang.
Oey Yong kenal baik topeng kulit kepunyaan ayahnya itu, dengan kebingungan ia membungkuk akan memungutnya, begitupun baju hijau itu di mana ada tapak tangan dari darah, tegas nampak bekas telunjuk.
Melihat itu Kwee Ceng berpikir: "Pasti ini tapak Kiu Im Pek-ku Jiauw dari Oey Yok Su, habis ia mencelakai Sam-suhu, ia menyusut tangannya di sini?" Ia tengah memegang tangan si nona ketika mendadak ia melepaskannya sambil menyempar terus ia merampas baju hijau itu dan merobeknya. Ketika ia melihat ujung baju itu pecah sedikit, maka ia ingat, juiran itu pastilah yang telah dibawa burung rajawali tempo si nona minta ikan emas istimewanya.
Kwee Ceng berdiam diam kapan ia telah mengawasi tapak jari tangan itu, kemudian ia lekas menggulung itu mengasih masuk ke dalam sakunya, habis itu tanpa membilang apa-apa, ia lari ke pinggir laut sekali di mana ada sebuah perahu layar, yang tidak ada anak kapalnya. Entah kemana perginya semua busak gagu itu. Ia tidak berpaling pula kepada Oey Yong ketika ia memotong putus dadungnya perahu itu. Ia mengangkat jangkarbya dan memasang layarnya, terus ia berlayar?"..
Oey Yong dengan bengong mengawasi perahu menuju ke barat. Mulanya ia masih mengharap si anak muda berbalik pikir dan akan kembali, untuk mengajak ia pergi, maka ternyata habislah pengharapannya. Dengan lekas perahu layar itu seperti terbenam di dalam lautan. Sekarang merasalah ia yang ia berada sebatang kara di pulaunya itu. Engko Cengnya pergi, ayahnya entah dimana, entah masih hidup atau telah mati?""!
"Yong-jie, Yong-jie!" akhirnya ia kata pada dirinya sendiri. "Siang hari masih panjang! Kau tidak dapat berdiri diam saja di pesisir ini! Ingat Yong-jie, tidak dapat kau memikir pendek!!
Bab 70. Kumpul semua!
Bab ke-70 cersil Memanah Burung Rajawali, karya Jin Yong.
Kwee Ceng berlayar terus menuju ke barat sesudah melalui beberapa puluh lie, mendadak ia mendengar suar burung terbang di atasannya. Ia mengenali sepasang burungnya, yang terbang menyusul padanya. Dengan cepat kedua burung itu menclok di atas layar.
"Burung ini mengikuti aku, Yong-jie berada sendirian di pulau, ia bakal menjadi tambah kesepian," pikirnya, maka timbullah rasa kasihannya.
Di hari ketiga, pemuda ini mendarat. Ia membenci segala benda dari Tho Hoa To, dari itu ia mengangkat jangkar, ia menghajar perahunya, maka tenggelamlah kenderaan air itu. Ia sendiri melompat ke darat sebelum air memenuhi perahu itu, maka ia melihat perahu perahu perlahan-lahan masuk ke dalam air dan lenyap. Ia berjalan tanpa tujuan. Ia mampir di rumah seorang petani dimana ia membeli beras untuk masak nasi guna menangsal perut. Habid dahar, setelah menanya jalanan untuk ke Kee-hin, ia berangkat menuju ke kota itu.
Malam itu pemuda ini bermalam di tepi sungai Cian Tong Kang, ketika ia tengah mengawasi permukaan air, tiba-tiba ia melihat bayangan rembulan. Ia terkejut. Ia memang telah lupa tanggal. Tentu sekali ia khawatir nanti melewati jani pertemuan di Yang Ie Lauw. Lantas ia menanya tuan rumah. Lega sedikit hatinya ketika ia diberitahukan hari itu tanggal tigabelas. Karena ini, malam ini juga ia menyeberangi sungai, terus ia menyewa keledai guna melanjuti perjalanannya. Untuk lega hatinya, ia tiba di kota Kee-hin selewatnya tengah hari. Di sini ia segera menanya orang dimana letaknya Cui Sian Lauw, rumah makan Dewa Mabuk. Itulah rumah makan yang paling berkesan untuknya. Semenjak ia masih kecil, guru-gurunya telah menuturkan kepadanya tentang pertempuran mereka dengan Khu Cie Kee di rumah makan itu. Ia tidak diberitahukan sebab musababnya tetapi ia ketarik dengan caranya bertempuran, mengadu minum arak memakai jambangan perunggu. Kemudian lagi ia ketahui tentang asal-usul dirinya, maka tahulah ia, rumah makan itu ada hubungannya sama kehidupannya. Ketika orang menunjuki dia bahwa rumah makan itu berada di tepi telaga Law Ouw, segera ia pergi ke sana. Setibanya, ia mengangkat kepala, mengawasi rumah makan itu. Ia mendapat cocok apa yang dijelaskan Han Siauw Eng. Setelah sepuluh tahun lebih mengingat- ingat rumah makan itu, baru sekarang ia dapat melihatnya dengan matanya sendiri. Memang rumah makan itu indah dengan lauwtengnya yang berukiran, sedang di tengah-tengah itu ada verdiri sepotong bokpay, atau papan yang bertuliskan empat huruf besar "Tay Pek Ie Hong", artinya peninggalan kebiasaan dari Lie Thay Pek si sastrawan yang dijuluki Dewa Mabuk, sedang nama "Cui Sian Lauw" yang memakai leter emas, ada tulisannya "Souw Tong Po". Bersih dan berkilat tiga huruf emas itu.
Dengan hati berdebaran Kwee Ceng naik dengan tindakan cepat ke atas lauwteng. Segera ia dipapaki seorang pelayan, yang memberitahukan bahwa hari itu sudah ada yang memborong rumah makannya itu. Ia heran, hendak ia meminta keterangan, atas segara ia mendengar panggilan: "Anak Ceng! Kau sudah datang?" Ia lantas mengangkat kepalanya. Ia terkejut akan mengenali orang yang memanggilnya itu, sebab ialah Khu Cie Kee, yang lagi duduk bersila. Ia lari menghampirkan, ia lantas berlutut dengan cuma dapat memanggil: "Khu Totiang"!"
Khu Cie Kee mengasih orang bangun.
"Apakah keenam gurumz juga sudah sampai?" ia tanya. "Aku telah memesan barang santapan untuk kita"." Ia menunjuk ke kanan di mana Kwee Ceng melihat telah disipakan sembilan buah meja yang diperlengkapi dengan sumpit dan cangkirnya. Ia berkata pula: "Ketika delapanbelas tahun yang lalu untuk pertama kalinya aku bertemu di sini dengan ketujuh gurumu, mereka mengatur meja begini rupa. Ini satu meja kepunyaan Ciauw Bok Taysu, maka sayang ia dan gurumu yang nomor lima sudah tidak dapat berkumpul di sini?"
Kelihatannya si imam sangat berduka.
Kwee Ceng berpaling ke arah lain, tidak berani ia mengawasi langsung imam itu.
Khu Cie Kee tidak melihat sikap orang, ia berkata lagi: "Jambangan perunggu yang dulu hari itu kita pakai untuk minum arak, hari ini aku telah mengambilnya dari kuil, maka kalau sebentar semua gurumu datang, kita boleh minum arak pula."
Kwee Ceng melihat jambangan itu di samping sekosol. Karena usianya yang sudah tua, warnya jambangan itu sudah berubah menjadi hijau gelap. Pula jambangan itu sudah di muati arak hingga dari arah sana tersiar baunya minuman itu. Ia terus mengawasi dengan mata mendelong. Kemudian ia mengawasi kedelapan meja yang kosong itu. Ia pikir, kecuali gurunya yang nomor satu, tidak ada orang lainnya yang dapat duduk di situ untuk minum arak. Ia menjadi melamun: "Asal aku bisa memandang satu kali saja tujuh guruku duduk pula di sini dan minum arak dengan gembira, mati pun aku puas?"
Kembali terdengar suaranya Khu Cie Kee: "Tadinya telah dijanjikan untuk tahun ini bulan tiga tanggal duapuluh empat, kau berdua dengan Yo Kang mengadu kepandaian di sini. Aku mengagumi gurumu semua yang hatinya mulia itu, mengharap-harap kaulah yang nanti menang, supaya dengan begitu nama Kanglam Ciok Koay menjadi bertambha kesohor. Aku sendiri senantiasa merantau, tidak dapat aku mencurahkan perhatianku sepenuhnya kepada Yo Kang, tidak dapat aku mengajari ia ilmu silat dengan baik. Sudah begitu, aku jug atidak berhasil mendidik sifatnya agar dia menjadi seorang gagah. Berhubung dengan ini aku menyesal terhadap pamanmu, Yo Tiat Sim. Benar Yo Kang membilang dia sudah menyesal akan tetpai untuknya sangat sukar untuk merubah sifatnya itu?"
Sebenarnya Kwee Ceng hendak memberitahukan halnya Yo Kang telah mati tetapi ia tidak tahu bagaimana harus mulai bicara, dari itu si imam kembali melanjutkan kata-katanya: "Dalam hidupny manusia, kepandaian ilmu surat dan ilmu silat untuknya ialah soal yang terakhir, yang paling utama ialah Tong Gie - kesetiaan dan kejujuran. Boleh dianggap Yo Kang lebih kosen seratus kali daripada kau akan tetapi dalam prilaku, gurumulah yang menang. Kau tahu, aku kalah dengan puas."
Habis berkata, saking puasnya itu Khu Cie Kee tertawa lebar.
Sebaliknya Kwee Ceng, anak muda ini lantas mencucurkan air mata deras.
"Eh, kenapa kau berduka?" tanya si imam heran.
Anak muda ini maju lebih dekat, lantas ia menjatuhkan dirinya, untuk berlutut, ia menangis.
"Kelima guruku sudah meninggal dunia?" katanya sukar.
Khu Cie Kee terkejut, "Apa"!" ia tanya keras.
"Kecuali guruku yang nomor satu, yang lainnya yang lima lagi, semua sudah meninggal dunia," kata pula Kwee Ceng.
Khu Cie Kee melengak, ia bagaikan di sambar guntur yang ia tidak sangka, sedang ia mengharap sangat pertemuan ini. Sebagai seorang jujur, ia sangat menghargai Kanglam Cit Koay, yang ia anggap sebagai sahabat-sahabat sejati. Ia telah tak melupai mereka selama delapanbelas tahun, meskipun benar mereka sangat jarang bertemu. Maka ia pergi ke loneng, matanya mengawasi telaga, kemudian ia mendongak dan mengeluarkan napas panjang. Segera terbayang romannya Cit Koay, kemudian ia menoleh, ia pergi mengangkat jambangan perunggu untuk berkata: "Sahabat-sahabatku telah menutup mata, kau ini untuk apa?" dengan mengerahkan tenaganya, ia melemparkannya.
Hebat ketika jambangan itu tercebur ke telaga, suaranya nyaring, airnya muncrat tingggi. Kemudian ia dekati Kwee Ceng, untuk mencekal keras sekali tangan anak muda itu.
"Bagaimana meninggalnya mereka itu?" ia tanya. "Lekas tuturkan!"
Kwee Ceng mau memberikan keterangan, hanya belum sempat ia membuka mulutnya, mendadak ia melihat tubuh seorang berkelebat, di antara mereka lantas tertampak seorang lain, yang bajunya hijau, yang sikapnya tenang. Ia jadi kaget ketika ia mengenalinya. Ia mengawasi, ia tidak salah mata. Orang itu adalah Oey Yok Su si tocu atau pemilik dari Tho Hoa To. Juga Oey Yok Suk melengak melihat anak muda ini. Selagi ia berdiam mengaawasi, dengan mendadak datang serangan untuknya. Sebab Kwee Ceng, dengan melompati meja menerjang dengan jurusnya "Hang liong yoe hui", itulah serangan yang sangat hebat. Tapi ia tabah dan awas, dengan sebat ia berkelit, tangan kirinya dipakai menolak.
Hebat serangannya si anak muda, hebat perlawanannya majikan dari Tho Hoa To itu, hebat juga kesudahannya. Anak muda itu terjerunuk ke depan, ia menerjang papan lauwteng yang menjadi ruang di situ, terus tubuhnya jatuh ke bawah lauwteng, sedang di bawah ia menimpa para-para cangkir, maka dengan suara sangat berisik hancurlah perabotan itu - cangkir, piring, mangkok dan lainnya.
Pemilik rumah makan lantas saja mengeluh. Ingatlah ia akan kejadian delapanbelas tahun yang lalu. Tadi juga, melihat Khu Cie Kee membawa jambangan, hatinya sudah berkhawatir, sekarang kekhawatirannya itu terbukti.
Kwee Ceng takut ia terlukakan pecahan cangkir itu, dengan lantas ia berlompat naik pula ke lauwteng. Di lain pihak, Oey Yok Su dan Khu Cie Kee telah berbareng melompat turun, hanya mereka mengambil jalan dari jendela. Dengan terpaksa anak muda ini melompat dari jendela untuk menyusul mereka, hanya kali ini ia menyiapkan senjatanya, ia pikir "Si tua itu lihay, tidak dapat aku melawan dia dengan tangan kosong." Maka ia mengeluarkan tiga macam senjata: Dengan mulutnya ia menggigit pedang pendek dari Khu Cie Kee, tangan kanannya mencokol kim-too - golok emas, pemberian Jenghiz Khan, dan tangan kirinya memegang tombak pendek peninggalan ayahnya. Ia pikir juga: "Biar bagaimana, mesti dapat aku menikam dia dua lubang?"
Ketika itu lagi banyak orang, maka kagetlah mereka itu menampak si anak muda lompat turun dari jendela dengan menghunus senjata, sedang tadinya mereka berkumpul untuk menonton karena mendengar suara ribut disusul dengan melompatnya turun dua orang.
Kwee Ceng, setibanya di bawah tidak melihat Oey Yok Su dan Khu Cie Kee. Ia melepaskan pedang pendek, ia menanya seorang tua di dekatnya ke mana perginya itu dua orang yang barusan turun dari lauwteng.
Orang tua itu kaget dan ketakutan. Ia salah menduga.
"Ampun, hoohan," katanya. "Aku tidak tahu urusan mereka itu"."
"Sebenarnya mereka pergi ke mana?" Kwee Ceng tanya pula.
Orang tua itu makin ketakutan, ia minta-minta ampun. Sudah lama si anak muda tinggal di gurun pasir, sekarang hatinya lagi tegang, maka itu suaranya menjadi keras luar biasa. Saking sebal, si anak muda menolak si empeh, ia pergi mencari, tapi tanpa hasilnya, maka ia naik ke lauwteng rumah makan. Dari sini ia memandang ke telaga, maka terlihatlah olehnya sebuah perahu kecil, yang memuat Cie Kee dan Oey Yok Su, yang tengah menuju ke Yan Ie Lauw. Khu Cie Kee duduk di buntut perahu, di mana dia mengayuh.
"Tentu sekali mereka pergi ke Yan Ie Lauw untuk bertempur mati hidup," pikir Kwee Ceng. "Meskipun Khu Totiang lihay, mana dia sanggup melawan itu bangsat tua?" Maka ia lantas mengambil keputusan. Ia lari turun dari lauwteng, lari ke tepi telaga, untuk menyambar sebuah perahu kecil, yang ia terus kayuh ke arah Yan Ie Lauw juga, menyusul dua orang itu.
Adalah maksudnya si anak muda untuk dapat menyandak, di luar tahunya lantaran ia menggunakan tenaga terlalu besar, pengayuhnya itu patah sendirinya. Terpaksa ia memakai selembar papan sebagai pengganti pengayuh itu, maka sekarang perahunya laju ayal sekali. Dengan lantas ia ketinggalan jauh, lalu ia kehilangan mereka. Ia mengayuh terus. Ketika ia akhirnya tiba di darat, ia menyesal. Di saat seperti itu ia dapat mengendalikan diri.
"Aku mesti sabar," demikian pikirnya. Ia bertindak ke arah lauwteng. Ketika ia sudah datang dekat, ia mendengar di belakang situ ada suara senjata beradu, suara sambar menyambar angin serta bentakan berulang-ulang. Kalau orang bertempur itu mestinya bukan lain dari Khu Cie Kee dan Oey Yok Su.
Sesudah melihat ke sekitarnya dengan berindap-indap si anak muda bertindak masuk ke lauwteng. Di bagian bawah ia tidak melihat seorang juga, maka ia lantas naik di tangga. Segera ia melihat seorang lagi menyender di jendela, mulutnya menggayam hingga terdengar suaranya mengayamnya itu. Ia menjadi heran.
"Suhu!" ia memanggil seraya menghampirkan.
Orang itu benar Ang Cit Kong adanya. Ia mengasih lihat roman sungguh-sungguh, tangannya menunjuk ke bawah jendela. Dengan lain tangannya ia mengangkat sepotong paha kambing untuk digerogoti.
Kwee Ceng lari ke tepi jendela, untuk melongok. Ia lantas melihat satu pemandangan yang mengherankan itu.
Oey Yok Su lagi bertempur, dia dikurung oleh enam anggota dari Coan Cin pay. Menyaksikan pemilik dari Tho Hoa To itu dikepung, pemuda ini merasa lega juga. Ia hanya kaget ketika ia melihat di situ pun ada gurunya yang nomor satu, guru itu lagi menyerang dengan tongkatnya, di belakangnya ada In Cie Peng. Dia ini berdiri membelakangi, tangannya memegang pedang, dia tidak turut berkelahi.
"Heran kenapa toasuhu ada di sini?"
Kwee Ceng tidak usah menanti lama, lantas ia mengetahui Coan Cin Liok Cu lagi berkelahi dengan mengatur barisannya yang istimewa, yaitu Thian Kong Pak Tauw Tin. Hanya karena Tam Cie Toan telah meninggal dunia, dia digantikan Kwa Tin Ok, yang mengambil kedudukan thian-soan. Seba ketua Kanglam Cit Koay ini cacat matanya, dia ditunjang oleh In Cie Peng, supaya ia tidak usah mengkhawatirkan serangan dari belakang.
Demikian Oey Yok Su diserang. Ketika pertempuran di Gu-kee-cun, cuma dua orang dari Coan Cit Cin Cu yang menggunai pedang, yang lainnya bertangan kosong, tapi sekarang mereka, bertujuh bersama Kwa Tin Ok dan berdelapan sama In Cie Peng, semuanya bersenjatakan pedang. Oey Yok Su tetap bertangan kosong, hebat dia diserang sehingga nampaknya ia tidak bisa melakukan penyerangan membalas, bahkan membela diri pun kewalahan. Melihat demikian, Kwee Ceng berkata dalam hatinya: "Biar kau sangat lihay, hari ini kau tidak bakal dapat lolos lagi!"
Disaat ia terdesak, mendadak terlihat Oey Yok Su menekuk kaki kiri dan kaki kanan menyambar menyapu kaki lawan semua. Rengkasan itu sangat berbahaya. Dengan serentak delapan lawan itu berlompat mundur tig atindak.
"Bagus!" Kwee Ceng berseru dengan pujiannya. Rengkasan itu dilakukan sambil berputar, maka itu semua musuh mesti menyingkir dengan hampir berbareng.
Habis menyerang, Oey Yok Su mengangkat kepalanya, sambil mengulapkan tangannya ke atas lauwteng kepada Ang Cit Kong dan Kwee Ceng, tandanya ia senang dengan pujian si anak muda.
Menyaksikan sikap orang itu, Kwee Ceng kagum. Walaupun terdesak, tocu dari Tho Hao To itu tetap tenang dan napasnya tidak memburu. Ia pun heran. Dari heran, ia menjadi bercuriga. Bukankah Oey Yok Su tengah berakal muslihat"
Selang sekian lama, datanglah ketika yang mendebarkan hati. Mendadak tangannya tocu dari Tho Hoa To itu menyambar ke ubun-ubunnya Tiang Seng Cu Lauw Cie Hian. Kalau serangan itu mengenai sasarannya pecahlah batok kepalanya si imam yang nomor tiga itu. Dengan itu ternaglah Oey Yok Su sudah memulai dengan serangan membalasnya.
Oey Yok Su menyerang dengan dua tangan berbareng. Seharusnya Lauw Cie Hien tidak boleh membalas, ia mestinya ditolongi oleh Khu Cie Kee di kedudukan Thian-koan dan Kwa Tin Ok di kedudukan thian-soan di pinggir. Apa mau, Hui Thian Pian-hok tidak dapat melihat, dia cuma mengandalkan kupingnya, maka ketika ia menyerang dari kiri, ia terlambat, ia kena didului Khu Cie Kee. Dengan begitu Oey Yok Su jadi tidak terancam bahaya. Cie Hian melihat ancaman datang, terpaksa ia menjatuhkan diri dengan bergulingan. Ma Giok dan Ong Cie It melihat saudaranya terancam, mereka maju bersama, menyerang lawannya itu.
Semua gerakan berlaku sangat cepat, Lauw Cie Hian lolos dari bahaya, tetapi dengan begitu, Pak Tauw menjadi kacau. Oey Yok Su tertawa terbahak, lantas ia menyerang kepada Ceng Ceng Sangjin Sun Put Jie, imam yang termuda, hanya begitu ia maju begitu lekas juga ia berlompat mundur, guna balik menyerang Kong Leng Cu Cek Tay Thong.
Serangan itu luar biasa, Sun Put Jie heran, Cek Tay Thong melengak. Ketika Ceng Ceng Sanjin menangkis, untuk terus menyerang, Oey Yok Su sudah keluar dari kepungan dan berdiri diam di tempat dua tombak jaraknya.
"Hebat Oey Yok Su," Ang Cit Kong memuji.
"Biar aku pergi!" berkata Kwee Ceng, yang terus memutar tubuh, untuk lari turun di tangga.
"Sabar, sabar!" mencegah Ang Cit Kong. "Semenjak tadi mertuamu itu tidak melakukan perlawanan, aku sebenarnya berkhawatir untuk gurumu yang nomor satu, tetapi sekarang aku melihat dia tidak ada niatnya untuk mencelakai orang."
Kwee Ceng kembali ke jendela.
"Kenapa begitu, suhu?" ia tanya.
"Kalau ia hendak mencelakai orang, barusan itu si imam kurus seperti kera tidak bakal ketolongan jiwanya," menyahut sang guru. "Semua imam itu bukan tandingan dari Oey Lao Shia, bukan tandingannya!" Ia menggigit daging kambingnya dan mengganyam, lalu menambahkan, "Ketika mertuamu dan Kim Coa Long-kun belum datang, aku melihat beberapa imam itu dan gurumu mengatur barisan, agaknya mereka masih menantikan satu orang guna membantui gurumu itu, agar tiga orang bersama menjaga garis thia-soan. Entah kenapa, sampai sekarang orang itu tidak muncul. Sekarang garis thian-soan dijaga hanya dua orang, tak cukup itu guna bertahan dari mertuamu itu?"
"Dia bukan mertuaku!" kata Kwee Ceng sengit.
"Eh!" Cit Kong heran. "Kenapa bukan mertuamu?"
"Dia! Dia! Hm!"
"Bagaimana dengan Yong-jie" Apakah kau dua bercedera?"
"Inilah tidak ada hubungannya dengan dia, dia telah membikin mati kelima guruku! Aku bermusuh dengannya dalamnya bagaikan lautan!"
Cit Kong kaget hingga berjingkrak.
"Benarkah?" ia menegasi.
Kwee Ceng tidak mendengar pertanyaan itu, dia lagi menumpleki perhatiannya kepada pertempuran di bawah.
Oey Yok Su menggunai Pek Khong Ciang, ilmu silat Menyerang Udara Kosong, anginnya itu seperti menderu-deru, ia membuat semuanya musuhnya tak bisa datang dekat. Tapi Pak Tauw Tin telah di atur rapi pula, ia tidak bisa lantas membebaskan diri seanteronya. Hanya terpisahnya mereka sedikit jauh. Dengan begitu, selagi pedang Coan Cin Cit Cu tidak sampai kepada lawan, sebaliknya pihak lawan, kalau ia menghendaki, dia dapat berlompat mendekati.
"Ah, kiranya begitu?" kata Cit Kong tiba-tiba.
"Apa suhu?"
"Oey Yok Su sengaja memancing Cit Cu menggunai barisannya itu, untuk ia memahami sifatnya," menyahut sang guru. "Itulah sebabnya kenapa ia berayal menurunkan tangan. Ia hendak memperkecil garis."
Ang Cit Kong telah kehilangan ilmu silatnya, tetapi tidak pikiran atau pandangannya yang tajam. Benarlah, makin lama kalangannya Coan Cin Cit Cu makin rapat, makin rapat, hingga ada membahayakan mereka sendiri kalau mereka menggeraki pedangnya masing-masing. Pernah Lauw Cie Hian, Khu Cie Kee, Ong Cit It dan Cek Tay Thong menyerang berbareng, tempo Oey Yok Su berkelit, hampir mereka saling menikam sendiri.
Hatinya Kwee Ceng menjadi tegang pula, ia cemas, ia mengerti, begitu lekas Oey Yok Su turun tangan, gurunya yang nomor satu itu bisa menjadi korban yang pertama. Ia berada jauh, mana bisa ia menolong"
"Biarlah teecu turun," katanya seraya ia terus lari turun pula. Hanya ketika ia mulai mendekati kalangan pertempuran itu, di antara mereka itu terlihat pula perubahan.
Oey Yok Su maju dengan tetap ke arah kiri dari Ma Giok, dia seperti memisahkan diri nampaknya hendak ia mengangkat kaki.
Menampak demikian, Kwee Ceng lantas bersiap sedia, asal tocu dari Tho oa To itu berlompat menyingkir, hendak ia menyerang dengan pedang pendeknya.
Tiba-tiba terdengar siutannya Ong Cie It, lalu bersama Cek Tay Thong dan Sun Put Jie, dia bergerak dari kiri, dengan begitu, mereka tetap mengurung musuhnya yang tangguh dan lihay itu.
Oey Yok Su mencoba hingga tiga kali, tidak bisa ia mendekati Ma Giok. Ada saja, Khu Cie Kee atau Ong Cie It atau Cek Tay Thong berempat yang mengganggu padanya, yang melindungi Ma Giok, ketua dari Coan Cin Pay itu.
Setelah percobaan Oey Yok Su yang keempat kali, Kwee Ceng pun sadar, hingga ia berseru di dalam hatinya, "Ah, benar! Dia hendak merampas kedudukan bintang utara Pak-ke-chee!"
Bintang Pak-kee-chee berada di utara di tengah sekali, sedang barisan Pak Tauw Tin itu berpokok ?ada bintang utara itu (Pak Tauw). Setelah Oey Yok Su menginsyafi sifatnya tin atau barisan lawan itu, ia memusatkan perhatiannya kepada garis tengah itu, ia memusatkan perhatiannya kepad garis tengah itu. Ia mengerti, asal ia bisa merangsak tengah, tin akan pecah, atau kalau tidak, ia akan bertahan di situ, hingga ia tidak dapat dikalahkan.


Memanah Burung Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Juga Ma Giok semua dapat menerka maksud lawan, mereka menjadi bercemas hati. Coba Tam Cie Toan masih hidup, mereka tak usah terlalu berkhawatir, mereka tak nanti membiarkan musuh merangsak ke utara itu, sekarang tidaklah demikian, disebabkan lemahnya Kwa Tin Ok meskipun Tin Ok dibantu oleh In Cie Peng. Tin Ok bercacad dan Cie Peng lemah, sudah begitu, keduanya masih asing dengan tin ini.
Juga kawanan Coan Cin Pay ini telah melihat Kwee Ceng. Mereka mendugas setiap waktu Kwee Ceng bakal membantui mertuanya itu. Maka itu, mereka bingung. Mereka menantikan saat orang, guna mengambil tempatnya Tin Ok di garis thian-soan itu akan tetapi orang yang ditunggu-tunggu belum juga kunjung tiba. Mereka percaya, asal orang itu datang, garus thian-soan bakal menjadi kuat sekali.
Sembari berkelahi, Oey Yok Su kata sambil tertawa: "Sungguh aku tidak menyangka, murid-muridnya Ong Tiong Yang ada begitu tidak tahu selatan!" Kata-kata ini dibarengi dengan rangsakan kepada Sun Put Jie, yang diserang saling susul hingga tiga kali, hingga imam repot. Ma Giok bersama Cek Tay Thong segera maju membantu, guna menolongi.
Oey Yok Su berkelit, setelah pedang kedua orang itu lolos, ia maju pula. Lagi tiga kali beruntun ia menyerang Sun Put Jie. Hebat serangannya itu, sekalipun Ong Tiong Yang atau Cit Kong sembuh, sulit untuk melayani itu. Karena itu, Sun Put Jie terpaksa hanya membela diri. Atas itu Oey Yok Su mengubah siasatnya, ialah lantas ia menyerang di bawah, kedua kakinya kerja bergantian enam kali menyapu kaki lawannya itu. Jadi beruntun tocu Tho Hoa To itu sudah menggunai ilmu silatnya tangan kosong "Lok Eng Ciang" dan tendangan "Sauw Yap Twie"
Ma Giok beramai menjadi bingung. Serangan-serangan itu membahayakan Sun Put Jie. Pula, dengan Kwa Tin Ok tidak dapat melihat, mereka jadi bergerka lambat. Hebat akibatnya kalau Pak Tauw Tin kacau. Sebaliknya Oey Yok Su, ia tidak mengambil mumat apa yang dipikir lawan, ia merangsak maju terus. Mendadak ia tertawa panjang dan tubuhnya melesat, terus terdengar jeritan yang keras dari satu orang yang tubuhnya terlempar ke ujung Yan Ie Lauw.
Itulah In Cie Peng yang punggungnya kena disambar, hingga tanpa berdayam tubuhnya kena dilemparkan Oey Yok Su. Setelah itu, tanpa menanti ketika, jago Tho Hoa To ini maju ke arah Ma Giok. Ia percaya ia bakal berhasil. Tidak tahunya, imam itu tidak berkisar dari kedudukannya, malah dengan pedangnya ia membalas menikam ke alis.
"Bagus!" berseru Oey Yok Su dengan pujiannya sambil ia berkelit. "Tidak kecewa kau menjadi murid kepala dari Coan Cin Pay!"
Meski ia memuji, Oey Yok Su tidak menghentikan gerakannya. Mendadak ia menendang Cek Tay Thong hingga imam itu terguling, pedangnya terlepas, maka ia menubruk pedang itu, untuk dipakai menikam lawannya yang roboh itu.
Lauw Cie Hian kaget, ia lantas menangkis guna menolongi saudaranya itu.
Oey Yok Su melihat datangnya bantuan untuk Tay Thong, ia tertawa, sembari tertawa pedangnya dipakai menangkis Cie Hian. Dengan begitu bentroklah kedua senjata itu. Yang hebat ialah kedua-duanya pedang sambil mengasih dengan suara keras.
Bagaikan bayangan berkelebat gesit sekali toco dari Tho Hoa To merangsak ke arak Pak-kee-chee.
Sejenak itu, kacaulah Pak Tauw Tin. Coan Cin Cit Cu mengeluh saking berdukanya. Ma Giok menghela napas panjang, hendak ia melemparkan pedangnya, guna menyerah kalah, justru itu satu bayangan berkelebat di antara mereka, lanats garis diutara itu tambah satu orang - itulah Kwee Ceng.
Khu Cie Kee menjadi girang sekali. Ia telah menyaksikan di Cui Sian Lauw, di mana mertua dan menantu itu bertempur mati-matian.
Ma Giok dan Ong Cie It juga lantas mengenali si anak muda, yang merek tahu ada seorang yang jujur, maka mereka percaya, anak muda itu tentunya bakal membantu mertuanya itu. Habislah Coan Cin Cit Cu - atau Coan Cit Liok Cu. Kalau mertua dan menantu itu bekerjasama. Tentang Kwa Tin Ok tidak dikhawatirkan, sebab tidak nanti Kwee Ceng mencelakai gurunya itu. Tapi selagi mereka berkhawatir dan berputus asa, lantas mereka menampak kenyataan yang luar biasa, Kwee Ceng bukannya membantui mertuanya, ia justru menempur mertuanya itu!
Oey Yok Su percaya ia bakal dapat mengacau Pak Tuaw Tin ini dan memecahnya, supaya dengan begitu Caon Cin Pay menyerah kalah dan minta-minta ampun, maka heran dia atas datangnya bala bantuan kepada musuhnya itu, tidak menanti sampai ia memutar tubuh, segera ia menyerang ke belakang, ke arah dada, dengan pukulan Pek Khong Ciang. Serangan ini dihalau orang tanpa orang itu berkelit, cuma tangan kirinya dipakai menangkis. Ia terkejut.
"Cuma beberapa orang saja yang dapat menangkis seranganku macam ini," pikirnya. "Siapakah dia?" Maka ia segera menoleh, akan mengenali Kwee Ceng, hingga ia menjadi dongkol berbareng menyesal. Dengan penasaran, ia menyerang pula, beruntun tiga kali. Ia tahu tanpa dapat mengundurkan si anak muda, ia terancam bahaya terkepung. Ia menyerang dengan tiap pukulannya bertambah hebat, tetapi tiga-tiga kalinya, serangannya itu dapat dihindarkan. Untuk keempat kalinya, ia menyerang pula, dengan siasat berpura-pura dan benar-benar. Siasat ini dapat membingungkan lawan.
Kwee Ceng tidak kena diakali, ia menjaga diri, ia tidak menyerang - pedangnya menjaga dada, tangan kirinya melindungi perut.
Oey Yok Su menjadi heran.
"Terang bocah ini mengenal baik sifat Pak Tauw Tin," pikirnya. "Dia tahu bagaimana harus membela atau memukul pecah".Lihatlah dan tidak berkisar dari Pak-kee-chee! Rupanya ia telah diminta bantuannya untuk menentang aku?"
Dugaanya pemilik Tho Hoa To ini benar separuh, salah separuh. Benar ialah karena Kwee Ceng memang mengerti baik barisan Pak Tauw Tin itu, hanya itu didapatkan bukan dari pengajarannya Coan Cin Cit Cu tetapi dari kitab Kiu Im Cin-keng. Dia salah menduga, sebab Kwee Ceng bukannya diminta bantuannya oleh Coan Cin Cit Cu, hanya ia bertindak atas kehendaknya sendiri. Tidak saja di situ ada Kwa Tin Ok, dia pun telah dianggap si anak muda sebagai musuhnya, karena dipercaya dialah yang membinasakan Cu Cong berlima. Hanya karena mengetahui lawannya lihay, Kwee Ceng mengambil sikap membela diri, sama sekali si anak muda tidak mengambil mumat orang menyerang benar-benar atau gertak saja.
Akhirnya Oey Yok Su mengeluh sendirinya.
"Anak ini tak tahu maju atau mundur," pikirnya. "Hm! Biarlah aku disesalkan Yong-jie, mesti aku hajar dia, sebab kalau tidak, tidak nanti aku dapat lolos dari tin ini!" Ia pun lantas bergerak, tenaganya dikerahkan di kedua tangannya. Tepat disaat ia hendak menyerang, ia berpikir: "Kalau dia tetap berdiri diam dan tidak menyingkir, dia bakal terluka parah, kalau dia sampai kenapa-napa, mana Yong-jie mau mengerti?"
Kwee Ceng telah melihat gerakan lawannya yang tangguh itu, akan tetapi ia tidak mau berkisar dari tempat jagaannya itu. Ia menggertak gigi, ia menangkis dengan jurus "Kian Liong Cay Thian" atau "Melihat naga di sawah" Dengan Hang Liong Sip-pat Ciang hendak ia bertahan, agar Pak Tauw Tin dapat dilindungi.
Dengan mendadak Oey Yok Su menunda serangannya itu.
"Bocah tolol, lekas menyingkir!" ia membentak. "Mengapa kau menantang aku"!"
Kwee Ceng bersiap dengan pedangnya, ia mengawasi dengan tajam. Ia takit jago itu menggunai akal. Ia tidak menyahuti.
Pihak Khu Cie Kee lantas memperkokoh lagi barisannya.
"Di mana Yong-jie?" Oey Yok Su tanya.
Kwee Ceng berdiam, matanya merah bagaikan api, romannya bengis.
Oey Yok Su heran. Ia lantas mau menduga telah terjadi sesuatu dengan putrinya.
"Kau perbuat apa atas Yong-jie"!" ia membentak. Ia mulau berkhawatir . "Lekas bilang!"
Masih si anak muda berdiam, hanya tangannya, yang mencekal pedang, bergemetar.
Oey Yok Su terus mengawasi dengan tajam, maka heranlah dia. Ia menjadi curiga.
"Kenapa tanganmu bergemetar?" ia tanya. "Kenapa kau tidak mau bicara"!"
Kwee Ceng tengah mengingat kebinasaan hebat dari kelima gurunya di pulau Tho Hoa To, ia lagi menahan hawa amarahnya, getaran hatinya, maka ia bergemetar.
Oey Yok Su bercuriga berbareng berkhawatir sekali. Hanya ia berkhawatir, mungkin sebab perebutan di antara putrinya itu dan putri Mongolia, si anak muda telah membunuh Yong-jie, anaknya. Dengan menjejak kaki, ia melompat maju.
Khu Cie Kee melihat gerakan pemilik dari Tho Hoa To itu, ia segera menggeraki barisannnya. Ong Cie It bersama Cek Tay Thong menyerang dari kiri dan kanan.
Kwee Ceng tidak menyingkir, ia cuma berkelit, pedangnya terus ditikamkan. Oey Yok Su pun tidak menyingkir, bahkan dengan satu tekukan tangan, ia menangkap tangan si anak muda, guna merampas pedangnya. Tapi ia gagal, kecuali pedangnya Ong Cie It mengancam punggungnya, pedang Kwee Ceng pun bisa dipakai menikam pula.
Setelah gerakan itu, pertempuran terulang pula, jauh terlebih hebat daripada semula. Selagi Kwee Ceng panas hatinya, Khu Cie Kee semua tidak kurang gusarnya. Mereka ini hendak menuntut balas untuk Ciu Pek Thong dan Tam Cie Toan.
Oey Yok Su merasa di sini telah terbit salah mengerti tetapi ia beradat keras dan jumawa, ia tidak suka mengalah, sedang juga, ai berderajat lebih tua, lebih tinggi. Ia menghajar mereka itu, supaya mereka menyerah kalah, sampai itu waktu barulah ia mau memberi keterangan, untuk sekalian memberi tegurannya. Begitulah, kedua-dua pihak sama kerasnya.
Oey Yok Su ingin mendesak Kwee Ceng, yang ia berniat untuk membekuknya, guna didengar keterangannya. Kalau benar dugaannya, Oey Yong terbinasa di tangan pemuda ini, hendak ia menghukum picis. Tapi Kwee Ceng berjaga diri di garis utara, teguh kedudukannya.
Ketika itu In Cie Peng, yang dilemparkan ke atas lauwteng Yan Ie Lauw, masih belum dapat merayap bangun, tapi tanpa dia, Kwee Ceng tidak menjadi lemah.
Oey Yok Su menghadapi kesulitan. Kalau ia mendesak Kwee Ceng, Khu Cie Kee beramai mendesak padanya. Ingin ia menggempur Khu Cie Kee semua tetapi malang dengan si anak muda.
Kapan pertempuran telah berlangsung lima puluh jurus, maka terlihatlah Oey Yok Su kena terdesak. Kepungan nampak menjadi ciut.
"Tahan!" seru Ma Giok disaat tegang itu.
Seruan ditaati, lima saudaranya lantas berhenti menyerang.
"Oey Tocu!" berkata tertua dari Coan Cin Cit Cu. "Kaulah seorang kenamaan dan juga dari golongan tua, maka itu kami orang-orang dari kalangan muda tidak berani berlaku kurang ajar padamu, kalau toh sekarang, kami mengurung padamu, itulah saking terpaksa. Sekarang aku hendak menanya kau, apa katamu berhubung dengan hutang darah dari paman kami Ciu Pek Thong dan sutee kami Tam Cie Toan?"
Orang yang ditanya tertawa dingin.
"Apalagi yang hendak dikatakan?" katanya. "Lekas kau bunuh Oey Yok Su untuk melindungi namanya Coan Cin Pay! Tidakkah itu bagus" Lihatlah!"
Tahu-tahu tangan kanannya majikan Tho Hoa To ini melayang ke muka Ma Giok!
Inilah satu jurus dari Lok Eng Ciang, yang Oey Yok Su sudah melatihnya belasan tahun, gerak-geriknya sangat gesit, seperti juga tidak terlihat.
Dalam kagetnya, Ma Giok berkelit ke kanan. Justru ia berkelit, justru itu kehndaknya Oey Yok Su, yang serangannya mempunyai dua maksud berbareng benar-benar dan berpura-pura. Maka ia bukannya kena ditinju hanya terjambak dadanya. Asal Oey Yok Su mengerahkan tenaganya, gempurlah dadanya itu!
Semua orang terkejut, semua maju menolongi, tetapi mereka terlambat.
Hanya disaat Ma Giok itu bakal menerima nasibnya, Oey Yok Su tertawa dan jambakannya dilepaskan. Ia pun berkata: "Jikalau dengan caraku ini aku memukul barisan kamu, tentulah kamu tidak puas! Oey Lao Shia boleh mati tetapi tidak nanti dia mau menyebabkan tertawanya semua orang gagah di kolong langit ini. Kawanan imam yang baik, kamu majulah semua!"
Lauw Cie Hian mendongkol, tinjunya melayang disusul sama pedangnya Ong Cie It. Maka itu, bergerak pula Thian Kong Pak Tauw Tin. Kali ini yang digeraki ialah rintasan yang ketujuhbelas, setelah Ong Cie It, serangan mesti disusul Ma Giok. Hanya setelah Ong Cit It menikam ia melompat mundur, Ma Giok bukannya menggantikan menyerang, ia malah lompat mundur juga.
"Tahan!" serunya.
Lagi sekali semua orang berhenti bergerak.
"Oey Tocu, aku menghanturkan terima kasih untuk kebaikanmu," berkata Ma Giok.
"Itulah kata-kata yang bagus dari kau," jawab Oey Yok Su.
"Sebenarnya disaat ini jiwaku yang rendah sudah tidak ada," kata Ma Giok, "Sedang barisan warisan guru kami ini telah tepecahkan olehmu, dengan begitu sudah seharusnya saja kami menyerah kalah, kami mesti menyerah terhadap keputusan tocu. Tapi sakit hati kami tidak dapat tidak dibalaskan! Oey Tocu, aku yang rendah, aku bersedia akan menggorok leherku sendiri untuk menghanturkan terima kasih padamu?"
"Sudahlah!" berseru Oey Yok Su, wajahnya guram. "Tak usah kita banyak omong lagi! Kau boleh turun tangan! Memang juga, perkara sakit hati ini sukar sekali dijelaskan?"
Kwee Ceng telah mendengar semua itu, ia menjadi berpikir: "Ma Totiang membilang ia bertempir guna membalas sakit hati paman guru dan saudara seperguruannya. Apakah artinya itu" Bukankah Toako Ciu Pek Thong masih hidup" Pula kematiannya Tam Cie Toan, bukankah itu tidak ada hubungannya dengan Oey Yok Su" Hanya kalau aku menjelaskan itu semua, apa Coan Cin Liok Cu mengundurkan diri, hingga tinggal aku berdua dengan guruku, mana sanggup aku melawan dia" Jangan kata soal sakit hati, buat melindungi diri sendiri pun sukar?" Baru ia berpikir demikian atau segera ia berpikir lain: "Jikalau aku menutup mulut, apakah aku bukannya menjadi si hina dina" Bukankah semua guruku sering mengajari, kepala boleh kutung tetapi kejujuran tidak?" Karena ini ia segera mengasih dengar suaranya yang nyaring: "Ma Totiang, paman gurmu tidak mai#ti! Tam Totiang pun dibinasakan oleh Auwyang Hong!"
Belum lagi Oey Yok Su membilang apa-apa, Khu Cie Kee telah mendahuluinya.
"Apakah kau bilang?" imam itu tanya.
"Toako Ciu pek Thong tidak mati dan Tam Totiang dibinasakan oleh Auwyang Hong," Kwee Ceng menjawab seraya terus menjelaskan apa yang ia dengar selama ia sembunyi sembari merawat diri di kamar rahasia, bagaimana Khiu Cian Jin melepas cerita burung dan fitnahnya Auwyang Hong.
Cerita itu luar biasa.
"Apakah kau omong sebenar-benarnya?" Khu Cie Kee menegaskan.
"Teecu sangat membenci dia, ingin teecu menelannya, maka itu apa perlunya teecu membantui dia?" kata Kwee Ceng, dengan sengit sambil menuding Oey Yok Su. "Kenyataan ada demikian rupa maka teecu tidak dapat tidak bicara hal yang benar."
Oey Yok Su menjadi heran. Sungguh ia tidak Kwee Ceng mau membelai dia.
"Kenapa kau membenci aku sampai begini?" ia tanya pemuda itu. "Mana Yong-jie?"
Tapi Kwa Tin Ok yang panas hatinya.
"Apakah kau tidak tahu perbuatanmu sendiri?" ia membentak. "Anak Ceng, biarnya kita kalah mari kita mengadu jiwa!" Ia terus menyerang.
Kwee Ceng lantas mengucurkan air matanya. Ia mengerti, dengan perkataannya itu, sikapnya Oey Yok Su sudah berubah sedikit. Tapi di situ ada gurunya yang bergusar tak kepalang itu.
"Toasuhu, jiesuhu semua mati secara sangat menyedihkan?" katanya.
Oey Yok Su menyambar tongkatnya Kwa Tin Ok yang dihajarkan kepadanya.
"Apa kau bilang?" ia tanya Kwee Ceng, suaranya keras. "Cu cong berlima baik-baik berada di pulauku, menjadi tetamu, kenapa mereka pada mati"!"
Kwa Tin Ok tidak menanti jawaban muridnya, ia membetot tongkatnya. Tetapi tongkat itu tidak bergeming.
"Kau kurang ajar sekali, di depanmu seperti tidak ada orang yang terlebih tua, kau juga ngoceh tidak karuan, bahkan kau menggeraki tangan dan kakimu, adakah itu untuk Cu Cong semua?" Oey Yok Su tanya pula Kwee Ceng.
Matanya si anak muda seperti mau mencelos, mata itu merah.
"Dengan tanganmu sendiri kau membinasakan kelima guruku, kau masuh hendak berpura-pura tidak tahu?" membentak dia. Dia mengangkat pedang pendeknya dan menikam.
Oey Yok Su menangkis dengna tongkatnya Kwa Tin Ok, maka pedang dan tongkat beradu nyaring, ujung tombak somplak.
"Siapakah yang menyaksikan itu"!" ia tanya.
"Kelima guruku itu aku yang menguburnya dengan tanganku sendiri, apakah dengan begini aku masih memnfitnah padamu?" Kwee Ceng balik menanya.
Oey Yok Su tertawa dingin. Kelakukan anak muda itu membangkitkan hawa amarahnya. Ia memang besar kepala, tidak pernah ia suka mengalah.
"Fitnah atau bukan, masa bodoh!" kata pemilk Tho Hoa To itu. "Seumur hidup Oey Lao Shia suka orang npandang keliru maka itu hanya dengan membunuh beberapa jiwa, mungkinkah aku menyangkal" Tidak salah, semua gurumu akulah yang membunuhnya!"
Tepat disaat habis ucapan Tong Shia, di situ terdengar suaranya seorang perempuan: "Bukan, ayah, bukannya kau yang membunuh mereka! Jangan kau sembarang bertanggung jawab!"
Semua orang terkejut, semua lantas berpaling.
Di sana muncul Oey Yong, ynag orag tidak ketahui datangnya sebab mereka terlalu repot bertarung dan mengadu mulut.
Kwee Ceng melongo. Ia tidak tahu mesti bergirang atau berduka.
Oey Yok Su kaget sebentaran, lantas dia sadar. Bukan main girangnya ia menyaksikan putri tunggalnya itu tidak kurang suatu apa. Dengan begitu lenyap juga semua kemendongkolannya kepada Kwee Ceng. Ia tertawa berkakakan.
"Anak yang baik, ke mari!" ia kata. "Ayah sangat menyayangi kau!"
Sudah banyak hari Oey Yong berduka, sekarang ia mendengar suara demikian manis, lantas ia lari kepada ayahnya, untuk menubruk, melepaskan diri dalam rangkulan orang tua itu. Ia menangis.
"Ayah?" katanya, "Anak tolol itu membikin kau penasaran, dia pun menghina aku"."
Oey Yok Su merangkul putrinya itu, ia tidak gusar, malah ia tertawa.
"Oey Lao Shia pergi, dia pergi ke mana dia suka, dia bikin apa yang dia!" katanya. "Untukku, selama beberapa puluh tahun, pengalamanku luar biasa! mereka yang tidak ketahui apa-apa, semuanya menimpahkan kesalahan di atas kepala ayahmu, maka itu kalau ditambahkan lagi sama beberapa fitnah, apakah artinya itu" Lima anggota Kanglam Cit Koay itu musuh besar dari kakak seperguruanmu, memang aku yang telah membinasakan mereka!"
"Bukan, bukan!" berteriak Oey Yong cepat. "Aku tahu betul, bukannya ayah yang membunuh mereka itu!"
Oey Yok Su tersenyum.
"Si tolol itu sangat besar nyalinya, dia berani menghina anakku yang baik!" ia berkata. "Kau lihat ayahmu membereskan dia!"
Benar seperti perkataannya, pemilik Tho Hoa To itu lantas bekerja, sebat seperti tadi ia mencekuk Ma Giok.
Kwee Ceng tengah memikirkan pembicaraan itu ayah dan anak, tahu-tahu pipinya yang kiri kena ditampar, nyaring hingga ia merasakan pipinya itu panas. Ia mau mengangkat tangannya, guna menangkis, atau orang telah menarik pulang tangannya itu, untuk dipakai mengusap-usap rambut indah dari putrinya. Ia menjadi bingung, tidak tahu ia mesti menyerang terus atau bagaimana. Tamparan itu keras suaranya tetapi tidak terlalu sakit.
Kwa Tin Ok kaget. Ia tahu muridnya dihajar tetapi ia tidak melihat itu.
"Anak Ceng, bagaimana?" ia lantas menanya.
"Tidak apa-apa," sahut si murid.
"Kau jangan dengari ocehannya itu silumanan serta anak silumannya!" kata pula Tin Ok. "Aku telah mendengarnya sendiri bangsat tua itu membunuh jiesuhumu dan memaksakan kematiannya Cit...."
Kwee Ceng tidak menanti habisnya perkataan gurunya itu, ia menerjang kepada Oey Yok Su, sedang Tin Ok turut menyerang dengan tongkatnya.
Oey Yok Su melihat datangnya serangan, ia melepaskan anaknya, sambil berkelit dari serangan Kwee Ceng, ia maju untuk menggapai tongkat si jago yang buta itu.
Kali ini Kwa Tin Ok sudah bersedia, tongkatnya itu tidak kena dirampas, maka itu berdua dengan muridnya itu, ia menyerang terus, hingga mereka jadi berkelahi bertiga.
Kwee Ceng telah menemui banyak orang lihay, yang memberikan ia pelajaran, akan tetapi untuk melayani Oey Yok Su, ia masih kalah jauh, meski ia dibantu oleh Kwa Tin Ok, ia masih tidak bisa berbuat banyak. Baru tigapuluh jurus, ia dan gurunya itu sudah terdesak. khu Cie Kee semua berdiam sejak tadi. Mereka dibikin bingung dengan keterangannya Kwee Ceng itu. Belum bisa mereka berpikir, mereka melihat orang bertempur, maka yang pertama mereka pikir ialah: "Tadi Coan Cin Pay terancam bahaya, mereka guru dan murid membantui, maka sekarang sekali mereka terdesak apa kami mesti berdiam saja" Biar urusan Cui Susiok, dia benar masih hidup atau sudah mati, baiklah Oey Yok Su ini dibikin tunduk dulu!" Maka ia mengangkat pedangnya dan berseru: "Kwa Tayhiap, kembalilah ke kedudukanmu!"
Baru itu waktu, In Cie Peng merayap bangun untuk turun dari lauwteng. Ia kaget terbanting keras tetapi tidak terluka parah, cuma mukanya bengap dan matanya biru. Ia lantas kembali ke belakang Tin Ok dengan pedang terhunus.
Lagi sekali Oey Yok Su terkurung, hingga ia menjadi sangat gusar.
"Tadinya orang cuma salah mengerti, masih ada alasan kenapa orang menyerang aku," pikirnya. "Sekarang setelah si bocah bicara, kawanan bulu campur aduk ini masih mengepung aku! Apakah mereka kira Oey Lao Shia takut membunuh orang?"
Maka ia lantas merangsak ke arah Kwa Tin Ok.
Oey Yong berkhawatir melihat air muka ayahnya. Ia tahu kalau ayahnya itu sudha gusar, dia benar-benar tidak mengenal kasihan.
Ong Cit It dan Ma Giok, lantas menghadang di depan tertuanya Kanglam Cit Koay itu.
Kwa Tin Ok mendongkol sekali, ia menyerang si nona sambil mendamprat: "Manusia hina jahat yang tidak berampun, siluman perempuan!"
Oey Yong menjdai sangat gusar.
"Hey, tua bangka, beranikah kau mencaci pula padaku"!" ia berseru.
Untuk Kanglam Cit Kaoy, mencaci bukan pekerjaan sukar, maka itu Tin Ok mulai nmengulang dampratannnya. Untuk Oey Yong, itulah hal yang langka. Ia tidak bisa mencaci orang, maka sambil meludah, ia berkata: "Cis! Tak malukah kau menjadi guru orang sedang mulutmu begini kotor?"
Tapi Kwa Tin Ok kata: "Aku bicara baik-baik sama orang baik, aku bicara kotor sama manusia hina dina!"
Oey Yong habis sabar, segera ia menyerang.
Tin Ok mengetahui datangnya serangan, ia menangkis, tetapi ia belum kenal Lek-tiok-thung yang luar biasa itu, begitu kedua tongkat beradu, tongkatnya lantas seperti ditempel, tongkat itu kena diputar sekehndak si nona, ia seperti kehilangan kendali. Ia berdiam di garis thian-soan, dengan ia kena dipengaruhi si nona, Pak Tauw Tin menjadi macet.
Khu Cie kee lantas menyerang si nona, punggung siapa dia arah, dengan begitu dia hendak membebaskan Tin Ok. Si nona tidak menghiraukan serangan itu. Ia mengandal pada baju lapisnya.
Ketika ujung pedangnya hampir mengenai sasarannya, imam dari Coan Cin Pay itu berpikir, ia ingat kepada derajatnya yang tinggi, maka mana dapat ia melayani seorang bocah. Karena ini, pedangnya tidak diteruskan menikam. Justru ketika yang baik itu digunai Oey Yong, maka dengan satu sontekan, ia membuatnya tongkat Tin Ok terlepas dari cekalan, mental tinggi, nyemplung ke Lam Ouw, Telaga Selatan!
Khu Cie Kee khawatir nanti si nona menyerang terus kepada tertua Kanglam Cit Koay itu, ia lompat menghalang. Sementara itu heran atas lihaynya si nona, ilmu tongkat siapa dia tidak kenal.
Kwee Ceng juga melihat gurunya terancam, ia berseru: "Suhu, silahkan mengaso, aku nanti menggantikan kau!" Dan ia lompat ke garis thian-soan itu. Begitu ia bertindak, begitu tin menjadi hidup pula, bahkan kedudukan thian-soan ini lantas menggantikan kedudukan thian-kie.
Oey Yok Su menjadi kembali terdesak. Biar dia dibantu gaisnya, ia tidak bisa berbuat banyak. Ia belum bisa menyelami arti atau sifatnya Thian Kong Pak Tauw Tin itu. Syukur untuknya, di antara lawannya itu cuma Kwee Ceng yang paling hebat, hingga ia seperti harus melayani satu orang saja. Hanya sulit untuknya, ia tidak berniat mencelakai anak muda itu.
Oey Yong mendapat lihat Kwee Ceng berkelahi hebat sekali dan air muka orang juga guram, pemuda itu seperti dikurung sinar pembunuhan, ia terkejut. Belum pernah ia menyaksikan perubahan air muka semacam itu. Karena ini ia maju ke dapan ayahnya, ia kata pada itu anak muda: "Kau bunuhlah aku dulu!"
"Minggir!" membentak si anak muda, bentakannya keras dan romannya bengis.
Oey Yong heran hingga ia tercengang. Pikirnya: "Kenapa kau bicara begitu rupa terhadapku?"
Kwee Ceng maju terus, ia menolak tubuh si nona untuk dikepinggirkan, habis mana, ia terus merangsak Oey Yok Su.
Disaat tegang itu, di belakang mereka yang lagi bertarung itu terdengar suara tertawa berbahak disususl kata-kata nyaring: "Saudara Yok, jangan berduka, mari saudaramu membantu padamu!"
Suara orang itu tajam untuk kuping dan tak sedap terdengarnya.
Orang semua heran, tetapi mereka tidak lantas menoleh, sesudah Oey Yok Su terdorong, Cie Kee semua baru berpaling. Maka mereka melihat di tepian telaga ada lima atau enam orang dengan satu diantaranya panjang kaki dan tangannya, sebab dialah See Tok Auwyang Hong, si Bisa dari Barat.
Caon Cin Cit Cu lantas bertindak, sedang Khu Cie Kee kata kepada Kwee Ceng, "Anak Ceng, mari kita bikin perhitungan dengan See Tok dulu!" Ia mengulapkan pedangnya, terus ia melompat, guna mencoba mengurung Auwyang Hong.
Ketika itu Kwee Ceng tengah memperhatikan Oey Yok Su, ia sampai mendengar suaranya Khu Cie Kee, ia terus menerjang ayahnya Oey Yong itu, bahkan sebentar saja, mereka sudah bertempur lima enam jurus, hebat pertempuran mereka. Beberapa kali mereka sama-sama maju, kembali mereka mundur lagi.
Khu Cie Kee berenam sudah mengatur barisannya, ketika ia melihat ke arah Kwa Tin Ok, orang buta itu lagi memasang kuping, guna mendengar suara pertempurannya Kwee Ceng. Tin Ok bersedia akan melompat menubrk Oey Yok Su, guna memeluk erat-erat, agar muridnya bisa membinasakan musuh ini, untuk itu dia bersedia mengorbankan dirinya.
Menampak demikian, Khu Cie Kee memerintahkan In Cie Peng menggantikan Tin Ok mengambil kedududkan thian-soan.
Auwyang Hong juga telah bersedia. Ia berjonngkok dengan sikap ilmu kodoknya, tangan kanannya memegang tongkatnya. Sebagaimana biasanya, ia berlaku tenang, tidak mau ia lancang bergerak. Ia memangnya pula jeri untuk barisan Pak Tauw Tin dari Coan Cin Pay itu. Adalah setelah Khu Cie Kee bergerak, terpaksa ia melayani. Ia bermata jeli, segera ia merasa kelemahan tin itu berada di pihak In Cie Peng, maka ia memasang mata ke garis thian-soan itu.
Oey Yong menaruh diri di antara Kwa Tin Ok dan ayahnya serta Kwee Ceng yang lagi bertempur itu, ia masgul.
"Tahan dulu!" ia berseru, "Dengar perkataanku!"
Kwee Ceng tidak memperdulikan itu, ia menyerang terus, tetap hebat. Sikapnya ini membikin hilangnya sabar dari Oey Yok Su, dari bergerak dengan setengah hati, ia mulai menggunai tenaganya.
Di pihak Auwyang Hong, si Bisa dari Barat itu lagi mencoba mendesak Coan Cin Cit Cu, saban-saban ia mengasih dengar suaranya berkerak-kerok mirip kodok. Itu artinya bahaya tengah mengancam.
Si nona menjadi bingung. Kalau dua-dua ayahnya dan Auwyang Hong sudah turun tangan benar-benar, itulah hebat akibatnya. Ketika ia berpaling ke Yan Ie Lauw, di sana Ang Cit Kong masih duduk meloneng menonton pertempuran itu.
"Suhu, suhu!" ia lantas memanggil. "Suhu, tolong kau bicara!"
Sebenarnya Ang Cit Kong pun berkhawatir. Kalau ia masih gagah, ia tentu telah maju sama tengah. Maka ia menonton saja, sampai ia mendengar suara si nona. Ia lantas berpikir: "Asal Oey Lao Shia masih sukar mendengar aku, inilah gampang."
Dengan menekan lonceng, Pak Kay lantas menurunkan diri. Ia terus berseru: "Tuan-tuan, tahan! Aku si pengemis tua hendak bicara!"
Kiu Cie Sin Kay kesohor sekali, melihat datangnya itu, orang lantas berhenti berkelahi. Tapi yang paling berkhawatir sekali ialah Auwyang Hong, hingga ia berkata di dalam hatinya: "Kenapa kepandaiannya si pengemis tua dapat pulih kembali?"
See Tok tidak ketahui, dengan mendapat bantuan dari Kiu Im Cin-keng menurut keterangan Kwee Ceng, Ang Cit Kong memperoleh sedikit kefaedahannya, jalan darahnya mulai lurus sendirinya, di dalam ilmu ringan tubuh, kepandaiannya itu sudah pulih lima atau enam bagian. Cuma dengan ilmu silat, semau kepandaiannya itu masih terhilang, ia mirip orang yang tidak mengerti ilmu silat sama sekali.
Bab 71. Si Buta Membuka Jalan
Bab ke-71 cersil Memanah Burung Rajawali, karya Jin Yong.
Melihat orang bersikap memandang kepadanya, Ang Cit Kong pikir bahwa ia harus sedikit beraksi, hanya ia belum pikir, apa yang mesti ia katakan agar Auwyang Hong suka mengundurkan diri. Karena lagi memikir, ia dongak, terus ia tertawa terbahak. Ia melihat rembulan mulai muncul, lantas ia mendapat pikiran, maka ia kata dengan nyaring: "Yang di depan mata ini, semuany orang-orang pandai dari Rimba Persilatan, tidak disangka lagaknya mirip buaya darat, kata-katanya seperti angin busuk!"
Mendengar itu, semua orang melengak. Memang orang tahu Cit Kong suka bilang apa yang ia pikir.
Ma Giok lantas memberi hormat.
"Tolong cianpwee memberikan pengajaran," katanya.
Ang Cit Kong berpura-pura gusar, ia kata dengan nyaring: "Aku si pengemis tua telah mendengar dari siang-siang bahwa pada Pee-gwee Tiong Ciu bakal ada orang yang bertaruh di pinggir lauwteng Yan Ie Lauw ini, maka itu hendak aku menyaksikannya. Tapi aku adalah seorang yang kupingnya paling tidak suka mendengar suara berisik, maka itu justru waktunya masih siang, hendak aku tidur pulas nyenyak di sini, siapa tahu pagi ini lantas saja aku mendengar suara berisik anjing mau mampus, orang ribut mengatur rombongan kuda atau tahang air kencing, juga ada suami memukul istri, ada menantu menyerang mertuanya, ada yang memotong ayam dan menyembelih anjing, ributnya bukan buatan, sampai aku si pengemis tua tidak dapat tidur tenang! Coba kamu angkat kepala kamu dan lihat, hari ini tanggal berapa?"
Mendengar itu, orang lantas ingat bahwa hari itu ada Pwee-gwee Capsie, ialah bulan delapan tanggal empatbelas, jadi hari pibu, harian mengadu kepandaian adalah besok. Jadi tidaklah tepat akan bertempur mendahului hari yang dijanjikan.
"Locianpwee benar," kata Khu Cie Kee kemudian. "Memang tidak selayaknya hari ini kami membuat keributan di sini." Ia menoleh pada Auwyang ong, untuk berkata. "Orang she Auwyang, mari kita mencari tempat lain, di mana kita kita bertempur terus mati-matian!"
"Bagus, bagus!" Auwyang Hong tertawa. "Memang harus aku menemani kau!"
Mendengar itu Ang Cit Kong mengasih lihat roman bengis, ia kata: "Satu kali Ong Tiong Yang menutup mata, kawanan bulu campur aduk dari Caon Cin Kauw lantas main gila tidak karuan! Aku bilang terus-terang kepada kamu, enam imam pria ditambah satu imam wanita, kau masih bukan tandingannya si bisa bangkotan! Ong Tiong Yang tidak mewariskan apa-apa kepadaku, aku pun tidak perlu memikirkan kamu, hanya sekarang aku hendak tanya kamu: 'kamu telah membuat janji, habis bagaimana kamu akan memenuhkan janji kamu itu" Apakah kamu yang bakal memenuhkan janji ada imam-imam yang mati"'"
Kata-kata itu merupakan teguran atau dampratan tetapi di balik itu adalah pemberian ingat untuk menyadarkan kawanan imam itu bahwa dengan melawan Auwyang Hong, mereka adalah bagian mati, bukannya bagian hidup. Liok Cu menginsyafi itu tetapi mereka lagi menghadapi musuh besar, tidak dapat mereka memikir jauh".
Selagi orang berdiam, Cit Kong melirik kepada Kwee Ceng dan Oey Yok Su. Si anak muda tetap mengawasi dengan kemurkaannya yang hebat. Oey Yong mau menangis, air matanya mengembang, tandanya ia sangat berduka. Ia lantas berpikir, setelah itu ia berkata pula dengan keras: "Sekarang aku si pengemis tua hendak pergi tidur! Siapa yang bertempur pula, itu artinya dia tidak memandang lagi padaku, maka kalau besok malam kamu mengamuk hingga langit ambruk dan bumi gempa, aku tidak akan membantu dia juga! Ma Giok, hayo, kau ajak kawanan bulu campur aduk dari kamu naik ke lauwteng, di sana tinggallah kamu dengan tenang! Anak Ceng, anak Yong, mari turut aku, aku tumbuki pahaku!"
Auwyang Hong jeri. Ia tahu kalau pengemis tua itu membantu pihak Coan Cin Pay, sulit ia melawannya, maka ia pun berkata: "Eh, pengemis tua, saudara Yok bersama aku bentrok sama Coan Cin Kauw, kalau kata-katamu bukan angin busuk belaka, baiklah hari ini aku memberi muka padamu, tapi ingat, besok tidak dapat kau membantu siapa juga!"
Di dalam hatinya Ang Cit Kong tertawa. Ternyata orang telah kena digertak. Pikirnya: "Kalau sekarang kau menolak aku dengan jari kelingkingmu, tentu aku roboh, siapa nyana kau takut!" Maka ia kata dengan nyaring: "Kalau aku si pengemis tua melepaskan angin busuk, bila itu dibandingkan dengan kata-katamu, masih terlebih harum! Aku telah bilang, aku tidak akan membantu! Apakah kau merasa pasti bahwa kau bakal menang"!" Ia tertawa terbahak dan melengak, kepalanya sampai mengenai tanah, tempat araknya dijadikan bantal. Ia kata pula: "Anak-anak, mari kau memukuli pahaku!"
Paha kambing Cit Kong tinggal tulangnya saja tetapi ia sayang untuk membuangnya itu, ia masih menggerogotinya, baru kemudian, ia masuki tulang itu ke dalam sakunya. Ia mengawasi ke langit di mana mega putih melayang-layang. Katamya perlahan: "Jangan-jangan bakal terjadi perubahan cuaca?" Ia terus menoleh pada Oey Yok Su, untuk berkata: "Saudara Yok, dapatkah kau meminjamkan putrimu supaya ia menumbuki pahaku?"
Ditanya begitu, Tong Shia tersenyum.
Oey Yong lantas menghampirkan, ia duduk di sisi orang, terus ia menggebuki perlahan paha pengemis tua itu.
"Ah," kata Cit Kong sambil menghela napas: "Beberapa tulang tuaku ini masih belum pernah mendapat rejeki seperti kali ini?" Ia terus memandang Kwee Ceng, untuk mengatakan: "Ah, anak tolol, apakah tanganmu tidak dibikin patah oleh Oey Lao Shia?"
"Ya," menyahut si anak muda itu. Ia juga duduk di sisi pengemis, untuk menumbuki pahanya.
Kwa Tin Ok pergi ke menyenderkan tubuhnya di sebuah pohon yangliu di tepi telaga, sepasang matanya yang tidak ada bijinya diarahkan kepada Oey Yok Su. Ia menggunai kupingnya sebagai mata.
Oey Yok Su berjalan mondar-mandir di tepi telaga itu, ia pergi ke timur atau ke barat, matanya Tin Ok terus mengikuti padanya. Ia ketahui itu, cuma ia tidak mengambil mumat, ia cuma tertawa mewah.
Khu Cie Kee berenam, bertujuh sama In Cie Peng numpruk di tanah dengan kedudukannya tetap seperti barisan rahasia itu. Kepala mereka tunduk, alis mereka turun. Mereka bersemadhi sambil berlatih dengan diam-diam.
Budak-budaknya Auwyang Hong telah lantas bekerja. Dari perahu, merka mengeluarkan meja dan kursi, mengatur itu di bawah Yan Ie Lauw, mereka terus menyajikan barang hidangan serta arakanya. Seorang diri See Tok bersantap dan minum, matanya memandang ke telaga. Ia duduk dengan membelakangi orang banyak.
Ang Cit Kong dengan diam-diam memperhatikan Kwee Ceng dan Oey Yong. Keduanya saling menghindarkan pandangan mata mereka. Selama hampir satu jam, Pak Kay belum pernah melihat mereka memandang atau melirik satu sama lain. Ia heran. ia telah menanyakan sebabnya, senantiasa kedua orang itu menjawab dengan mengalihkan pertanyaan.
"Eh, saudara Yok," akhirnya Cit Kong tanya Tong Shia, "Apa nama lainnya dari telaga Lam Ouw ini?"
"Dipanggil juga Wan Yo Ouw," kata Oey Yok Su menjawab. Itu artinya "Telaga burung wanyoh".
"Kalau begitu, kau lihatlah!" kata si Pengemis dari Utara ini, "Di telaga burung wanyoh ini anakmu dan menantumu sudah main berdiam-diam, kenapa kau yang menjadi orang tua atau mertua, tidak hendak membujuki mereka?"
Mendengar itu belum lagi Oey Yok Su menjawab, Kwee Ceng sudah mendahului. Ia berlompat bangun, ia menuding Tong Shia seraya berkata dengan keras: "Dia".dia telah membinasakan kelima guruku, cara bagaimana dapat aku memanggil dia mertua"!"
"Toh tidak aneh bukan?" kata Tong Shia tertawa dingin. "Kanglam Cit Koay belum mati habis, masih ketinggalan satu si buta! Dan dia ini, aku akan membikin dia hidup tidak sampai besok!"
Kwa Tin Ok bertabiat keras, ia menjadi gusar sekali, maka ia berlompat akan menyerang si Sesat dari Timur itu, tetapi Kwee Ceng telah mendahului, sebab biarnya ia bergerak belakangan, murid ini gesit sekali, serangannnya sampai terlebih dulu.
Oey Yok Su menangkis serangan itu, hingga si anak muda mundur setindak.
"Telah aku bilang jangan menggeraki tangan!" Ang Cit Kong berseru. "Apakah kau kira perkataanku si pengemis tua angin busuk belaka"!"
Kwee Ceng tidak berani maju lebih jauh, cuma dengan sorot bengis ia mengawasi Oey Yok Su.
"Oey Lao Shia," berkata Ang Cit Kong. "Kanglam Cit Koay itu laki-laki semunya, mengapa kau bolehnya membinasakan mereka" Aku si pengemis tua melihatmu, aku merasa tidak puas!"
"Siapa aku suka, dapat aku membunuhnya!" Oey Yok Su menyahuti. "Dapatkah kau menguasai aku?"
"Ayah!" Oey Yong menyalak. "Lima guru dari dia ini bukannya kau yang membinasaknnya! Inilah aku tahu betul! Ayah, bilanglah bahwa bukannya kau yang membinasakan mereka!"
Oey Yok Su mengawasi anaknya, yang mukanya kucal, ia merasa kasihan sekali. Ia pun lantas mengawasi Kwee Ceng, atas mana hatinya yang barusan lunak lantas menjadi keras pula.
"Memang aku yang membunuh mereka!" kata ia keras.
Oey Yong lantas menangis.
"Ayah?" katanya. "Ayah"mengapa kau membunuh orang?"
"Di dalam dunia ini orang mengatakan ayahmu sesat, kau tahu itu?" si ayah tanya. "Kalau seorang jahat, dapatkah ia berbuat baik" Semua perbuatan jahat di kolong langit ini, semua itu perbuatan ayahmu! Kanglam Cit Koay menganggap diri mereka orang-orang gagah yang mulia tetapi aku, melihat lagak gagah perkasa dari mereka, tak senang hatiku!"
Auwyang Hong mendengar pembicaraan itu, dia tertawa terbahak.
"Saudara Yok, mari aku menghadiahkan suatu tanda padamu!" katanya. Ia lantas melemparkan satu bungkusan.
Jarak diantara Auwyang Hong dan Oey Yok Su ada duapuluh tombak lebih akan tetapi hebat gerakan tangan dari si Bisa dari Barat, cepat melesetnya bungkusan itu, segera sampai kepada si Sesat dari Timur, yang menyambutinya dengan gampang.
Tong Shia memegang barang yang keras, ia menduga kepada kepala manusa. Ia lantas membuka itu, maka tepatlah dugaannya. Itulah kepala satu orang, yang baru dikutungi dari lehernya. Kepala itu memakai kopiah persegi, ada kumisnya, hanya mukanya tidak dikenali.
Selagi Tong Shia memandang kepala orang itu, See Tok tertawa dan berkata. "Pagi ini aku datang dari Barat, aku singgah di sebuah kamar buku, di sana aku mendengar dia lagi berceremah di hadapan sekumpulan pelajar, ia mengajar orang untuk menjadi menteri yang setia atau anak yang berbakti. Aku sebal mendengarnya, aku menghunus senjataku dan aku mengutungi kepalanya. Maka itu kamu Tong Shia dan aku See Tok, kita berdua cocok satu sama lain!" Lantas ia tertawa bergelak-gelak.
Mendengar itu air muka si Sesat dari Timur berubah. Ia kata: "Aku justru paling menghormati menteri setia dan anak berbakti!" Maka ia membungkuk, ia menggali tanah, di situ ia mengubur kepala orang itu, lantas ia menjura dengan dalam tiga kali.
See Tok kecele, hilang kegembiraannya barusan, tetapi ia tertawa.
"Nama besar dari Oey Lao Shia kosong belaka!" katanya. "Kiranya kau juga orang yang dikekang adat sopan santun!"
"Kesetiaan dan kebaktian itu adalah kesucian hati, kehormatan besar, itu bukannya adat-istiadat!" berkata Tong Shia, suaranya berpengaruh.
Baru Tong Shia menutup mulut atau di udara terdengar guntur hebat, kapan orang banyak berdongak, mereka melihat mega tebal seperti menutup langit tandanya hujan besar bakal segera turun. Pada waktu itu juga dari arah telaga terdengar suara tetabuhan nyaring yang datangnya dari tujuh atau delapan buah perahu yang mendatang ke tepian. Di atas semua perahu itu ada lentera merahnya. Itulah tanda dari perahunya orang berpangkat.
Begitu lekas perahu-perahu berlabuh di pinggiran, dari sana lompat ke darat kira-kira tigapuluh orang antara siapa nampak Pheng Lian Houw dan kawan-kawannya. Yang paling belakang mendarat ialah dua orang, satu jangkung dan satu kate. Yang jangkung ialah Chao Wang Wanyen Lieh, pangeran dari negeri Kim dan yang kate ialah Pangcu Khiu Cian Jin dari Tiat Ciang Pang, partai Tangan Besi.
Kisah Pedang Bersatu Padu 20 Kisah Si Bangau Putih Bu Kek Sian Su 14 Karya Kho Ping Hoo Lencana Pembunuh Naga 2

Cari Blog Ini