Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen Bagian 24
sebab pikirannya lagi kacau dan hatinya tawar. Bahkan
dengan melihat gunung itu ia menjadi teringat akan
penghidupannya di pulau terpencil dimana buat tiga tahun
lamanya ia hidup bersama Seng Lam, hidup rukun dan damai.
Di dalam bahayapun mereka sehidup semati. Tapi hari ini,
hubungan mereka terputus!
"Biarlah lewat apa yang sudah lewat!" katanya kemudian,
tawar. "Aku telah berbuat apa yang aku pikir baik terhadap
Seng Lam, dia yang menolak aku, aku tak harusnya bersusah
hati atau menyesal! Baiklah, baik aku bersikap terhadapnya
seperti juga aku belum pernah mengenalnya!"
Walaupun demikian rupa pikirannya, di mata Sie Ie masih
berpeta bayangan nona she Le itu. Biar bagaimana, Seng Lam
itu cantik dan manis, tertawanya dapat mendatangkan rasa
suka dan mengasihani. Hanya sekejab kemudian, tampang
manis itu lalu berubah menjadi wajah yang muram, bengis
dan dingin... "Ah!" seru Sie Ie, tubuhnya menggigil sendirinya. Ia ingat
apa-apa. Maka ia kata di dalam hatinya: "Perlu apa Seng Lam
datang ke Binsan ini" Mau apakah dia" Kenapa barusan dia
bersikap demikian rupa terhadap aku" Kenapa dia seperti
mengejek aku" Kenapa sinar matanya demikian jahat
bercampur kepuasan?"
Memikir demikian, Sie Ie lantas mendapat firasat tidak baik.
Karena itu ia ingin segera menemui Cie Hoa, buat melihat
orang sehat wala-fiat atau tidak! Maka tanpa bersang-si pula,
ia lompat naik, untuk berlari-lari ke arah kelenting!
Di depan kelenting Hianlie Koan ada orang-orang Binsan
Pay yang lagi melakukan penjagaan, mereka terkejut melihat
munculnya Sie le secara demikian tiba-tiba, bahkan Sie Ie
berlari-lari keras. Mereka lantas ingat peristiwa empat tahun
yang lampau ketika Tokciu Hongkay mengacau gunung
Binsan, sampai Co Kim Jie hampir runtuh kehormatannya.
Merekapun menjadi pecundang-pecundangnya si Pengemis
Edan. Maka juga Louw Too In, satu di antara delapan murid
kepala Binsan Pay, tak berayal memberikan isyarat tanda
bahaya, di lain pihak ia mengatur saudara-saudara
seperguruannya berbaris guna mencegah orang nerobos
masuk. "He, hantu, kau masih belum mati?" Too In menegur
sambil dia melintangi goloknya. "Mau apa kau datang ke sini"
Pihak kami tidak mengirim surat undangan kepadamu!"
Di dalam pikiran ruwet seperti itu, Sie Ie tidak mempunyai
kegembiraan untuk banyak omong atau mensia-siakan tempo.
Ia menolak Too In sambil ia berkata nyaring: "Aku datang
bukan untuk bertempur! Bagaimana dengan Kok Ciangbun
kamu" Aku hendak bertemu dengannya!"
"Hm! Kau masih hendak menemui ketua kami?" bentak
sekalian murid Binsan Pay itu. Mereka semua gusar sekali,
biarpun jeri, mereka lantas maju mengurung! Di mata mereka,
Sie Ie menjadi konconya Le Seng Lam. Pada waktu sebelum
berlayar, Sie Ie dan Seng Lam bisa dilihat bersama-sama,
sampai ada yang menyangka mereka satu pasangan, sekarang
baru saja Seng Lam pergi, muncul pengemis ini, pastilah dia
mencurigai dan disangka jelek.
Sie le tidak mau melayani, tetapi ia mesti membela diri,
maka ia menggunai ilmu silat Ciam-ie Sip-pat Tiat, dari itu
setiap orang Binsan Pay yang menyerang padanya, asal ia
tempel dan tolak tentu lantas terpental roboh, maka di dalam
tempo yang sangat singkat, pecahlah kurungan mereka itu,
hingga mereka menjadi kacau sendirinya.
Selagi begitu, Pek Eng Kiat dan Lou Eng Ho sudah lantas
muncul. Mereka mendapat isyarat, mereka mendengar suara
berisik dari dalam mereka lari keluar, dengan begitu mereka
sudah lantas melihat dan mengenali Kim Sie Ie. Akan tetapi
Tokciu Hongkay tidak memberikan ketika mereka membuka
mulut, ia sudah menyambar lengan mereka itu masing-masing
sambil ia berkata nyaring: "Saudara Lou! Saudara Pek! Lekas
antar aku masuk! Aku bukannya datang untuk mengacau!"
Eng Kiat dan Eng Ho heran hingga keduanya menjublak
saja. "Eh, eh!" kata Sie Ie heran, "mengapa kamu berdiam
mengawasi aku" Apakah kamu sudah tidak mengenali aku"
Ingatlah kamu akan kejadian di luar kota Pakkhia pada musim
semi yang baru lalu itu! Akulah orang yang mengusir muridmuridnya
Beng Sin Thong! Nah, kau ingat bukan" Sekarang
kau toh percaya bahwa aku datang tanpa niat jahat?"
Peristiwa yang disebut Sie Ie ini ialah ketika ia dengan
mengaku diri sebagai murid Siauwlim Sie, sudah menolong
Eng Kiat dan Eng Ho dari tangan jahatnya Hang Hong dan Cek
Ho. Sebenarnya waktu itu Eng Kiat berdua mencurigai Sie Ie
sebagai murid Siauwlim Sie, baru sekarang kecurigaannya itu
buyar. "Bagus!" Eng Ho berseru. "Kiranya kaulah tuan penolong
kami itu! Baik, mari kami antar kau masuk! Cuma... harap kau
suka ken-dorkan sedikit cekalanmu..."
Memang Sie Ie saking kesusu sudah menggunai tenaga
besar hingga dua orang itu merasakan lengannya sangat sakit.
Adalah di itu waktu, dari dalam terlihat munculnya Ek Tiong
Bouw beramai disebabkan suara sangat berisik itu. Mereka
heran ketika mereka melihat Sie Ie berlari-lari masuk dengan
romannya yang bingung.
Tong Keng Thian sudah lantas menghunus pedangnya.
"Kim Sie Ie!" dia menegur, "apa kau mau?"
Sie Ie tidak menghiraukan teguran itu.
"Mana Cie Hoa?" dia sebaliknya tanya. "Kenapa aku tidak
lihat dia?"
"Kau masih menanyakan dia?" tegur pula Keng Thian. "Dia
telah dicelakai sahabat baikmu!"
Sie Ie kaget sekali. Kekuatiran-nya terbukti. Karena
kagetnya itu, ia berdiri melengak.
Keng Thian tidak berdiam saja, ia terus menyerang dengan
pedangnya. "Jangan!" berteriak Pengcoan Thianlie, sang isteri yang
lantas mengulur tangan, buat menarik lengan suaminya.
Pedang Yuliong Kiam meluncur cepat dan mencoblos
bajunya Sie Ie. Syukur Peng Go telah menarik suaminya, maka
ujung pedang tidak sampai melukai kulit atau dagingnya
Tokciu Hongkay.
Keng Thian penasaran.
"Mengapa kau masih bicara untuknya?" ia tanya isterinya.
"Dia inilah yang menolong si wanita siluman dari ujung
pedangnya ibuku! Apakah kau tak tahu itu?"
Setelah Tong Siauw Lan, dan Phang Lim ketahui siapa
adanya Kim Sie Ie, mereka membocorkan rahasia kepada
Keng Thian dan Ciong Tian, cuma Lie Kim Bwee yang masih di
dalam kegelapan.
Pengcoan Thianlie berlaku sabar.
"Kau lihatlah sikapnya," katanya pada suaminya, "Apakah
kau masih menyangka dia berkonco dengan perempuan
siluman itu?"
Sie Ie tak menjublak lama. Begitu ia sadar, ia berteriak
keras sekali. Ia sudah lantas mengibaskan tangan bajunya
sampai Keng Thian hampir terpelanting jatuh. Setelah itu ia
mengulur tangannya, untuk menjambak Tiong Bouw.
"Dia dimana?" tanyanya keras. "Dia dimana" Lekas antar
aku kepadanya!"
Tiong Bouw berpengalaman, ia sudah lantas mendapat
perasaan Sie Ie memang tidak bermaksud jahat.
"Mari turut aku!" kata ia sabar. Iapun tidak mau berlaku
ayal-ayalan. "Dia sekarang tinggal dengan napasnya sekali
tarik dan sekali tarik saja..."
Sie Ie menurut tanpa berkata apa-apa lagi. Maka semua
orang lantas bertindak masuk.
Begitu tiba di dalam kamar, hati Sie Ie mencelos. Ia
mendapatkan murid-murid wanita dari Binsan Pay lagi
mengurus pakaian matinya Cie Hoa. Dengan lantas tubuhnya
menjadi bergemetar keras, dengan lantas matanya menjadi
kabur dan kepalanya pusing. Tak dapat dicegah lagi, kedua
kakinya menjadi lemas. Maka robohlah ia di depan
pembaringan di atas mana tubuh Nona Kok rebah tak
bergerak. "Inilah salahku!" berseru Tokciu Hongkay, hatinya remuk.
"Aku terlambat!"
"Sie Ie sabar!" kata Tiong Bouw. Ketua Kaypang ini
sependapat dengan Pengcoan Thianlie. "Cie Hoa masih belum
putus napasnya, kami telah memberikan dia obat teratai salju,
kami cuma belum dapat membuat darahnya mengalir lurus
hingga dia dapat bernapas pula seperti biasa..."
Sie Ie mendengar suara Tiong Bouw itu, mendadak dia
berlompat bangun. Lupa segala apa, ia lompat kepada Cie
Hoa, guna menaruh kepalanya di dada si nona. Ia memasang
telinganya, hingga ia dapat mendengar jalannya napas yang
lemah luar biasa. Ia terus memasang telinganya itu, sampai
kemudian ia bangkit berdiri, pada kedua matanya terlihat sinar
pengharapan. "Lekas siapkan sebuah kamar sepi," kata ia pada Tiong
Bouw. "Pindahkanlah Cie Hoa ke sana!"
Tiong Bouw pun memperoleh harapan, hingga ia menjadi
sangat girang. Ia lantas memberikan perintah untuk
melakukan permintaannya si Pengemis Edan.
Begitu Cie Hoa sudah dipindahkan, Sie Ie masuk ke dalam
kamarnya. Ia mengunci pintu setelah ia memberi pesan
supaya jangan ada orang yang masuk mengganggunya.
Louw Too In dan beberapa saudaranya tak tenang hati.
"Inilah tidak sempurna," kata mereka pada Tiong Bouw.
"Apakah kau percaya habis pada hantu itu?"
Kok Cie Hoa telah menjadi ketua Binsan Pay, iapun masih
seorang nona, maka itu adalah tidak tepat untuk Ek Tiong
Bouw membiarkan ia berada di dalam sebuah kamar berduaan
saja dengan seorang pria, bahkan pria itu adalah Tokciu
Hongkay yang harus dicurigai. Kalau Kim Sie Ie berhasil
menolong jiwa Cie Hoa masih mending, kalau gagal,
bagaimana" Tidakkah nama Binsan Pay bakal ternoda"
Tidakkah nama baik Cie Hoa pribadi turut tercemar juga"
Mendengar suara sekalian adik seperguruan itu, hati Tiong
Bouw pun gentar, akan tetapi ia dapat berpikir, ia bisa
menenteramkan hatinya. Ia mengangguk, dengan sikap
tenang dan wajar, ia kata kepada mereka itu: "Tak perduli apa
nanti kata orang luar, aku percaya dia!"
Kedudukan Ek Tiong Bouw di dalam Binsan Pay cuma di
bawahan Co Kim Jie, sebaliknya namanya berada di atasan
ketua Binsan Pay, maka itu, mendengar suaranya ini, semua
orang Binsan Pay lantas menutup mulutnya.
Sie Ie sendiri di dalam kamar sudah lantas bekerja. Paling
dulu ia membikin hatinya tenang, setelah itu ia memuji:
"Semoga Thian Yang Maha Kuasa membantu hamba-Mu ini
menolongi adik Cie Hoa!..." Kemudian ia duduk bersila di
samping Nona Kok, kedua tangannya diulur kepada dadanya
nona itu, untuk dengan perlahan-lahan mengurut di jalan
darah soankie. Tenaga dalam Cie Hoa tak lemah, sekarang dia mendapat
bantuan tenaga dalam dari luar, besar artinya bantuan itu.
Baru selang setengah jam, dari kerongkongannya sudah
terdengar suara jalannya napas, yang mana disusul dengan
dadanya bergerak naik dan turun, itu berarti napasnya sudah
lurus, tak ada gangguan lagi: Itu pula berarti darahnya, yang
beku, sudah lumer dan buyar.
Kim Sie le memasang mata, ia melihat hasil usahanya itu,
diam-diam ia menjadi sangat girang, maka dengan
bersemangat, dalam pemusatan pikirannya, ia melanjuti
menyalurkan tenaga dalamnya.
Lagi setengah jam maka napasnya Cie Hoa sudah hampir
kembali seperti sediakala.
Sebaliknya Sie Ie, dia letih bukan main. Pula semua racun
dari dalam tubuhnya Cie Hoa sudah berkumpul di telapakan
tangannya dan berbareng ia menyedotnya keluar. Karena ini,
dengan jalan menggigit jerijinya, ia membuat jeriji itu terluka,
dari luka itu ia mengucurkan keluar darahnya yang penuh
racun itu. Habis itu, ia menolongi pula Cie Hoa, yang ia totok
tiga puluh enam jalan darahnya. Ia menggunai totokan Itcie
Siankang. Begitu lekas jalan darah Cie Hoa tersalurkan sempurna
maka obat soatlian pun bekerja, memasuki segala bagian
tubuh yang membutuhkan khasiat obat teratai gunung
Thiansan itu. Akibatnya itu ialah dengan perlahan-lahan Nona
Kok mulai mendusin.
Sie Ie girang bukan main, hatinya tegang, hingga hatinya
itu memukul keras. Hampir ia tak sanggup mengendalikan diri.
Dengan erat ia mencekal kedua tangan si nona.
Dengan perlahan Cie Hoa membuka kedua matanya.
"Eh, tempat ini tempat apakah?" ia tanya, terperanjat
saking heran, melihat dirinya di dalam kamar yang asing itu.
"Apakah aku lagi bermimpi" Kau... kau... kau..."
"Aku Sie Ie," kata Sie Ie lekas. "Kau jangan takut."
Nona itu bingung.
"Kenapa kau berada disini?" ia tanya. Ia memejamkan
matanya, ia membukanya pula. Ia mengulanginya beberapa
kali, untuk mencoba mengingat-ingat. Kemudian ia mengawasi
Sie Ie, tangannyapun ditarik pulang. Kata ia keras: "Ini tidak
benar, tidak benar! Mana Nona Le" Eh mengapa kau dapat
duduk berhadapan berduaan saja denganku" Nona Le'mu itu
berada disini, kenapa kau tidak pergi menemani dia?"
Sie Ie mengerti nona itu bingung, ia berlaku sabar.
"Aku bukan sahabatnya nona itu," kata ia. "Sebaliknya
dialah yang telah membikin celaka padamu. Aku menyesal
yang datangku terlambat satu tindak! Dia sudah kabur, sejak
sekarang kita berdua boleh tak usah menggubrisnya lagi!"
"Apa katamu?" tanya Cie Hoa perlahan. "Jangan
mengubrisnya lagi" Bukankah kau datang kemari bersamasama
dia?" "Bukan!" sahut Sie Ie. "Aku tidak datang bersama dia!
Sudah semenjak beberapa bulan yang lalu aku telah
berpisahan dengannya! Oh sungguh aku tidak sangka hati dia
demikian busuk! Tapi, inilah urusan yang sudah lewat... Cie
Hoa, maukah kau selanjutnya menemani aku selama umur
kita?" Cie Hoa berdiam, tubuhnya bergemetar. Perlahan-lahan ia
menggeraki tubuhnya, untuk duduk.
Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sie Ie mengulur kedua tangannya membantui nona itu..
"Ah, tak dapat, tak dapat!" mendadak kata Cie Hoa. "Sie Ie,
aku menghaturkan banyak terima kasih yang kau telah tolongi
aku, tetapi paling baik kita selanjutnya jangan saling bertemu
pula!..." Agaknya Nona Kok bicara terlalu keras, napasnya sudah
lantas memburu, terus dia batuk beberapa kali. Diapun
merasakan tenaganya seperti habis, hingga dia jadi duduk
diam seperti membeku.
Kim Sie Ie mengucurkan air mata.
"Akulah yang membikin kau celaka..." katanya, berduka.
"Hampir karenanya aku membikin kau hilang jiwa! Pantaslah
kalau kau menjadi tidak suka memberi ampun padaku!"
"Tidak!" kata Cie Hoa cepat. "Sedikitpun aku tidak sesalkan
kau! Malah bicara terus terang, dengan Seng Lam meracuni
aku, aku girang bukan main!..."
Sie Ie heran hingga ia melengak.
Cie Hoa melihat orang melongo, dia bersenyum.
"Anak tolol!" katanya. "Mustahil kau tidak mengerti" Coba
kau pikir! Kenapa dia mau membikin mati padaku" Kalau...
kalau..." la batuk-batuk sampai tak dapat ia meneruskan
perkataannya. Sebaliknya mukanya menjadi merah karena
likat. Sie Ie cerdas, segera ia mengerti. Terang Seng Lam
mencelakai Cie Hoa sebab ia mencintai Nona Kok dan bukan
dianya itu, oleh karena itu, Cie Hoa suka mengalah. Cie Hoa
bersedia mengorbankan jiwanya untuk Seng Lam.
"Kau letih sekali," kata Sie Ie, berbisik di telinga si nona.
"Kau rebahkan dirimu, nanti aku yang mewakilkan
meneruskan apa yang kau hendak katakan dengan kalaumu
berulang-ulang. Kau toh hendak mengatakan 'Kalau... kalau...
kau membuatnya puas, mana dapat dia menurunkan tangan
jahat atas diriku"' Benar begitu, bukan?"
Cie Hoa meletaki kepalanya pada bantal, ia berdiam saja,
tetapi selagi mulutnya bungkam, mukanya yang pucat
memperlihatkan senyuman. Itulah jawabannya "jawaban tak
bersuara-untuk membenarkan perkataannya Sie Ie.
"Adikku, sekarang kau toh percaya aku, bukan?" kata pula
Sie Ie. "Karena itu mengapa kau masih tidak mau memberikan
jawaban yang mengiakan?"
"Aku telah menjadi seorang yang bercacad," sahut Cie Hoa
perlahan. "Soatlian cuma dapat memperpanjang usiaku.
Apakah kau tak melihat itu?"
Sie Ie mencekal pula tangan orang.
"Aku akan merawati kau seumur hidup!" katanya, sungguhsungguh.
Air mata Cie Hoa lantas mengembeng. Itulah air mata
kedukaan dan syukurnya hati. Hampir ia membuka mulutnya
untuk menerima baik permintaan Sie Ie untuk ia menikah
Tokciu Hongkay. Tapi ketika ia memberikan penyahutannya,
penyahutan itu tetap: "Tidak dapat!..."
"Kenapakah?" Sie Ie tanya, mendesak.
"Aku telah memberi janji kepada Co Suci bahwa dalam
hidupku ini aku tidak akan menikah," sahut Cie Hoa,
sebenarnya. Sie Ie penasaran.
"Kenapa kau membiarkan orang yang telah mati menyelak
di antara penghidupan kita?" ia tanya.
Cie Hoa menggigit bibirnya.
"Bukan begitu," katanya. "Aku memberikan janjiku sebelum
ia meninggal. Janji itu tak dapat dirubah! Sie Ie, sampai mati,
akan aku berterima kasih kepada kau, akan tetapi, tak dapat
aku menjadi isterimu! Kita telah bicara, maka silahkan kau
pergi, dan selanjutnya baiklah kau jangan datang pula
menjenguk aku!..."
Banyak si nona bicara, akhirnya suaranya menjadi sangat
perlahan, hingga hampir tak kedengaran. Walaupun demikian,
ia sesungguhnya suka sekali menerima tangannya Sie Ie.
Justeru karena cintanya kepada Sie Ie itu, tak suka ia
memberikan tubuhnya yang bercacad, ia tak ingin Sie Ie
berkorban untuk seumur hidup mereka. Dia menggunai alasan
janjinya kepada Co Kim Jie cuma sebagai tedeng aling saja.
Sie Ie duduk menjublak. Ia cerdas, dapat ia menyelami hati
Cie Hoa. Maka itu ia mengerti, kalau ia ingin mendapatkan
nona itu, mesti ia membikin kesehatan si nona pulih
seluruhnya, sehat seperti sediakala. Dengan begitu, dapat ia
menikah dengannya, Cie Hoa tak akan membikin ia berkorban.
Bagaimana caranya ia harus memulihkan kesehatan Cie Hoa"
Inilah sulit. Lantas Tokciu Hongkay menurunkan kelambu. Kata ia
perlahan: "Impian buruk yang sudah lewat baiklah jangan
dipikirkan pula, sebaiknya kau tidur dengan tenang, nanti aku
kembali untuk mengasih bangun padamu."
Cie Hoa bersenyum.
"Sekarang ini aku tenang sekali," sahutnya. "Kau jangan
buat kuatir. Sie Ie, kau biarkanlah aku dapat mimpi sampai
lama, jangan kau sibuk hendak mengasih bangun padaku! Aku
percaya di dalam mimpimu kau nanti dapat melihat aku,
dimana kita bakal bertemu bersama! Bukankah itu terlebih
baik?" Sie Ie girang berbareng berduka. Girang sebab lenyap
sudah salah mengerti di antara Cie Hoa dengannya. Berduka
karena ia kuatir penghidupannya ini benar-benar suatu impian.
Impian itu biarnya impian buruk menjadi impian baik, tetap
impian belaka. Ek Tiong Bouw semua lagi menantikan dengan hati mereka
kebat-kebit, di antara keragu-raguan dan kekuatiran, ketika
mereka melihat Sie Ie muncul dengan wajah pucat sekali dan
romannya sangat lesu. Semua mereka mengawasi dengan
mendelong. "Bagaimana?" tanya Tiong Bouw selang sekian lama.
Sie Ie menjatuhkan diri dengan lesu.
"Dia sudah mendusin," sahutnya, "tetapi sekarang dia lagi
tidur." "Asal jiwanya tidak terancam bahaya maut juga sudah
bagus," kata Tiong Bouw.
"Mungkin tak ada bahaya lagi untuk jiwanya," kata Sie Ie,
"hanya untuk mempulihkan kesehatannya seperti sediakala,
aku kuatir sulit sekali. Yap Sinshe, kau pandai, kau cobalah
berdaya mengobatinya!"
Semua orang mengerti silat, melihat keletihan Sie Ie itu,
orang dapat menduga bahwa dia baru saja mengorbankan
tenaga dalamnya.
Keng Thian menjadi bersyukur. Ia lantas menghampirkan,
untuk memberi hormat.
"Saudara Sie Ie, aku telah menyangka keliru terhadapmu,"
katanya, mengakui.
"Aku sendiri tidak dapat memaafkan diriku, mana dapat aku
mempersalahkan kau?" Sie Ie jawab. "Semua-semua adalah
karena salahku juga!..."
Pengcoan Thianlie dapat menduga duduknya hal enam atau
tujuh bagian, ia bersenyum.
"Sie Ie, kau letih sekali, kau beristirahatlah!" katanya. "Baik
kau jangan banyak bicara dan berpikir."
Ketika itu Yap Ya It sudah pergi ke dalam, ia telah keluar
pula. "Aku sudah periksa nadi nona itu," katanya. "Dia dapat
bebas dari bahaya dan tertolong jiwanya, tetapi untuk
memulihkan seluruh kesehatannya, aku berpendapat dia mesti
mendapatkan obatnya yang tepat, dengan begitu bisalah dia
dicegah dari bencana cacad seumur hidupnya. Racun Ngotok
San dari siluman perempuan itu sangat jahat, sekarang saja si
nona sudah mulai lumpuh..."
Ek Tiong Bouw sementara itu telah menuturkan kepada Sie
Ie hal sepak terjangnya Le Seng Lam yang datang mengacau,
kemudian sembari menghela napas dia menambahkan:
"Peristiwa ini hebat dan sukar diterkanya. Dapatlah kita
menganggap siluman itu benar-benar menghendaki jiwanya
Kok Sumoay" Kalau benar, sesudah sumoay keracunan, dia
dapat dengan mudah saja merampas jiwanya! Tapi dia sudah
tidak berbuat demikian! Aku percaya dia sengaja membikin
sumoay sakit dan menderita, supaya nanti ada orang yang
pergi untuk memohon obat kepadanya..."
"Apakah waktu itu kamu sudah coba minta obatnya?" Sie Ie
tanya. "Kenapa tidak?" sahut Tiong Bouw. "Dia telah menampik
dengan lagaknya yang temberang! Dia kata untuk meminta
obatnya, orang yang pergi minta itu musti orang yang
tepat!..."
Mendengar itu, hati Sie Ie menggetar. Dengan lantas ia
mengerti maksudnya Seng Lam. Orang yang tepat itu pasti
bukan lain daripada ia sendiri! Terang sudah segala apa telah
direncanakan nona itu. Seng Lam telah menerka ia bakal
datang ke Binsan, bahwa ia tentu bisa menolong jiwa si nona.
Bahwa guna mengobati nona itu sampai dia bebas dari bahaya
bercacad, ia tentu bakal mencari Seng Lam untuk memohon
obat pemunah racun. Hanya ia tidak tahu, gangguan apa lagi
Seng Lam bakal menyiapkan sebelum dia suka memberikan
obatnya itu... "Entah ada permusuhan apa di antara perempuan siluman
itu dengan Thiansan Pay maka dia berulang kali
menentangnya?" kata Tong Keng Thian heran. "Tadipun habis
mengacau dia masih membuka mulut besar, katanya pasti
bakal datang satu hari yang dia nanti datang ke Thiansan
guna mengadu silat dengan ayahku! Hm! Kalau benar-benar
dia datang ke gunungku, itulah bagus sekali! Itu berarti tak
usah kita susah-susah pergi mencarinya!"
"Ayahmu gagah, tak sukar untuk ia mengalahkan dia,"
berkata Ek Tiong Bouw, "hanya kalau kita menanti sampai dia
pergi ke Thiansan, sampai kapankah kita harus menantinya"
Meski benar bahaya jiwa untuk Sumoay sudah tidak ada tetapi
aku anggap ?" ak'u mengharapnya-lebih baik lagi kalau lebih
siang kita mendapatkan obatnya!" la menghela napas, lalu ia
menambahkan: "Perempuan siluman itu liehay sekali, sudah
dia berhasil mewariskan ilmu silat Kiauw Pak Beng seperti
tertera di dalam warisan kitab silatnya jago she Kiauw itu,
diapun telah mendapatkan kitab obat-obatan berbisa Pektok
Cinkeng warisannya perkumpulan agama sesat Cit-im Kauw
yang sekian lama telah lenyap dari peredaran. Maka itu di
jaman ini, orang yang dapat menaklukkan dia mungkin cuma
ayahmu seorang saja! Kalau lain orang umpama kata dia
dapat dicari ketemu, tanpa kepandaian yang melebihkan mana
dapat dia memaksanya menyerahkan obatnya" Buat meminta,
jangan harap! Siapakah orangnya" Kepada siapa dia suka
memberi muka?"
Sie Ie menyedot napas.
"Peristiwa ini terjadi gara-gara aku," kata ia, "maka itu,
tidak perduli dia suka memberi muka atau tidak padaku,
baiklah tugas mendapatkan obatnya itu diserahkan padaku!
Menolong orang mesti menolong dengan cepat seperti orang
menumpas bahaya api, dari itu harap kamu maafkan aku, tak
dapat aku menemani kamu lebih lama pula!" Ia menjura
dalam pada Ek Tiong Bouw untuk memesan: "Ek Pangcu,
selanjutnya aku mengandal kepada kau untuk kau berhatihati
merawat dia!" Ia memutar tubuh, untuk menjura juga pada
Pengcoan Thianlie seraya berkata: "Aku menyesal sudah
mensia-siakan pengharapan dari Tong Tayhiap, Phang Liehiap
serta kau, ketika aku sudah kembali dari pelayaran, aku juga
belum pernah pergi ke Thiansan guna menghaturkan maafku,
di dalam hal itu ada urusan yang menyulitkan aku, hingga
sukar aku mengatakannya. Enci Kui, kaulah seorang cerdas,
kau tentunya mengerti, dari itu tak usahlah aku
menjelaskannya..."
Habis berkata itu, Sie Ie lantas bertindak keluar.
Semua orang mengawasi dengan heran, kemudian
Pengcoan Thianlie kata sambil menghela napas dan perlahan:
"Ada kalanya Kim Sie le bertindak di luar garis, tetapi dia tetap
seorang manusia yang sadar."
Tong Keng Thian tidak berkesan baik terhadap Kim Sie Ie,
akan tetapi dialah seorang dengan dada lapang, maka itu,
mendengar suara isterinya, dia tertawa.
"Agaknya dia memandang kau seperti orang sendiri,"
katanya. "Aku tidak jemu terhadapnya, tetapi bicara terus
terang, aku tidak puas dengan sikapnya. Kau lihat, dia tak
senang bicara denganku!"
Pengcoan Thianlie tertawa.
"Habis, kau mendongkol, bukan?" tanyanya.
"Kalau ini terjadi beberapa tahun yang lalu, mungkin,"
sahut suami itu. "Sekarang, tidak! Bahkan sekarang aku
merasa kasihan terhadapnya. Aku harap saja dia berhasil
meminta obat, supaya dia lekas kembali dan melaksanakan
jodohnya yang sempurna!"
Selagi orang membicarakan dia dan ada yang heran dan
kagum, Kim Sie Ie sendiri sudah berjalan cepat turun gunung.
Sang malam sudah tiba, bahkan dengan cepat menjadi jauh
malam. Tapi malam itu malam tanggal lima belas bulan
delapan-- malaman Pee-gwee Tiong Ciu ?" si Puteri Malam
besar dan bundar sekali, cahayanya sangat terang dan
permai. Sinar rembulan itu tidak menyulitkan Sie Ie,
sebaliknya, membuatnya berpikir banyak.
"Rembulan begini indah, siapa tahu, hatinya sahabatku tak
sebundar si Puteri Malam..." pikirnya. "Kita justeru bercerai
berai! Seng Lam berubah demikian rupa, inilah sungguh di
luar dugaanku... Bagaimana andaikata Seng Lam tidak sudi
memberikan obatnya" Bagaimana aku mesti bersikap
terhadapnya?"
Tak dapat Sie Ie menjawab pelbagai pertanyaannya itu. Ia
jadi masgul, pikirannya menjadi pepat. Tapi ia mencari Nona
Le. Ia memutari gunung Binsan sejauh ratusan lie di
sekitarnya, bahkan ia memanggil dengan ilmu suara "Thiantun
Toan-im". Ia tetap tidak memperoleh hasil. Nama Seng Lam
dipanggil berulang-ulang, tidak ada jawaban sama sekali.
"Entah dia sembunyi dimana?" pikir Sie Ie.
Tokciu Hongkay yang biasa mempermainkan orang,
sekarang dia sendiri yang lagi diumbang-ambingkan seorang
nona... Akhirnya Sie Ie meninggalkan gunung Binsan. Selanjutnya
ia mesti merantau jauh dan lama. Ia mencari Seng Lam ke
segala tempat dimana ia menyangka Nona Le mungkin
berada. Musim semi pergi, musim semi datang, bunga mekar,
bunga rontok! Dengan lekas, kira-kira dua tahun sudah lewat.
Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seng Lam tak kedapatan meski ia sudah dicari di tempattempat
ramai dan di dusun-dusun. Ia telah mencari
keterangan, tidak ada orang yang tahu atau melihat nona
itu... Meski Seng Lam tak ketahuan dimana adanya tetapi
peristiwa pengacauannya di gunung Binsan telah tersiar
secara umum, peristiwa itu menggemparkan Rimba Persilatan,
maka orang menganggap dia sebagai Beng Sin Thong nomor
dua, hingga pelbagai partai besar, seperti Butong Pay,
Siauwlim Pay dan Cengshia Pay, semua bersikap waspada,
semua memasang mata, siap sedia untuk bekerja sama
menghadapi si nona andaikata nona itu mengancam
keselamatan mereka...
Juga halnya Kim Sie Ie muncul pula dalam dunia Kangouw
telah menjadi bahan pembicaraan umum.
Selagi banyak orang ketahui hal lelakon Seng Lam dan Sie
Ie itu, seseorang tetap gelap. Dialah Nona Lie Kim Bwee.
Terhadapnya, segalanya dirahasiakan. Keng Thian dan
isterinya sudah pulang ke Thiansan, dia sudah mengasih
laporan kepada ayahnya, tetapi Kim Bwee masih saja tak
diberitahukan sesuatu. Siauw Lan dan isteri serta Phang Lim
ingin merahasiakannya terus, sedikitnya untuk suatu waktu.
Kim Bwee dianggap tak perlu ketahui Sie Ie masih hidup dan
sudah kembali, bahwa Cie Hoa lagi sakit merojan. Telah
diputuskan setelah Kim Bwee menikah baru dia boleh
mendengar segala apa, kalau tidak dikuatirkan nanti buruk
akibatnya. Dengan lewatnya sang waktu, keadaannya Lie Kim Bwee
telah berubah sendirinya. Nona itu bergaul dengan Ciong Tian
makin lama makin erat. Bahkan setelah beberapa tahun itu, ia
menginsyafi bahwa Kim Sie Ie dan Kok Cie Hoa adalah
sepasang muda-mudi yang menyinta satu dengan lain. Kalau
umpama kata ia tahu halnya Sie Ie dan Cie Hoa, mungkin
baru-baru hatinya gelisah, tetapi akhirnya ia tentunya
bergirang, ia tidak nanti menyintai lain orang lagi.
Demikian hampir dua tahun dari peristiwa Kok Cie Hoa itu,
Tong Siauw Lan dan Phang Lim telah menetapkan dan
memilih hari atau malam Chitgwee Citsek sebagai saat yang
baik untuk pernikahan murid dan puteri mereka.
Gunung Thiansan berada jauh di barat, terpisahnya dengan
Tionggoan jauh sekali, karena itu Tong Siauw Lan tidak
melepas surat undangan yang luas, akan tetapi karena ia
dipandang sebagai pemimpin kaum Rimba Persilatan, siapa
yang mendengar berita girang itu, sudah lantas datang
memberi selamat. Demikian di antara para tetamu tampak Pun
Khong Sianjin dari Siauwlim Sie, Ceng Siong Toojin murid dan
wakil Kim Kong Taysu dari Ngobie San, Siauw Ceng Hong
suami isteri dari Cengshia Pay, Ouw Thian Long dari
Khongtong Pay dan lainnya lagi. Ek Tiong Bouw dari Binsan
Pay tak dapat datang sendiri, dia mengutus Pek Eng Kiat.
Eng Kiat itu cerdik, maka kepadanya Tiong Bouw memberi
pesan. Tiong Bouw ketahui dari Keng Thian lelakon Kim Bwee
dengan Sie Ie, bahwa hal itu dirahasiakan, bahwa Nona Lie
tak boleh mengetahui halnya Sie Ie menyintai Kok Cie Hoa,
maka itu Eng Kiat dilarang sembarang omong, agar Kim Bwee
tidak tahu peristiwa di Hianlie Koan. Maka itu ketika Kim Bwee
menanya kenapa Cie Hoa tidak datang, ia menerangkan Cie
Hoa terlalu repot sebagai ketua baru dari Binsan Pay.
Keterangan itu dipercaya si nona.
Ketika tiba harian nikah itu, hati Siauw Lan, Phang Lim dan
lainnya kebat-kebit. Masih mereka menguatirkan nanti terbit
sesuatu yang tak diingin. Baru setelah sepasang mempelai
selesai menjalankan upacara, hati mereka menjadi lega.
Ciong Tian girang bukan kepalang. Buat banyak tahun ia
meng-harap-harap menyambut tangan Kim Bwee baru
sekarang maksud hatinya kesampaian. Hanya sebagai seorang
polos, ia cuma girang di hati, tak dapat ia bicara banyak atau
beriang gembira seperti lain orang, bahkan waktu orang
banyak memberi selamat padanya, ia menjadi mirip si tolol,
karena mana banyak tetamu yang sengaja menggoda
padanya. Di antara tetamu ada terdapat Yo Liu Ceng ibu dan anak
serta Kang Lam dan Tan Thian Oe suami isteri. Kang Lam
telah menikah dengan Nona Cee Ciang Hee puterinya Yo Liu
Ceng, mereka menikah tahun yang lalu. Yu Liu Ceng hadir
bersama anak mantunya sebab dialah puterinya Yo Tiong Eng
dan Yo Tiong Eng itu gurunya Tong Siauw Lan. Tan Thian Oe
datang lantaran
Yu Peng, isterinya menjadi bekas pelayan berbareng
saudara angkat dari Pengcoan Thianlie. Karena itu, Kang Lam
dihormati tetamu-tetamu lainnya.
Ciang Hee menggodai Kim Bwee, katanya: "Sudah
beberapa kali aku datang ke Thiansan ini, belum pernah aku
melihat Ciong Suheng tertawa, tetapi hari ini dia tertawa tak
hentinya sampai mulutnya tak pernah tertutup rapat! Maka itu
aku percaya mempelai laki-laki pasti akan mendengar kata
terhadapmu!"
Kim Bwee balas menggoda, katanya tertawa: "Mungkinkah
Kang Lam tak tunduk pada kata-katamu" Aku lihat dia jinak
sekali mengekor di belakangmu, dia tak miripnya dengan Kang
Lam yang banyak aksinya di jaman dahulu! Maka itu aku
sangat kagum atas kepandaianmu mengendalikan suami!
Belum lewat satu tahun, kau telah membikin suamimu jinak
seperti kambing gembel!..."
"Memang!" kata Ciang Hee, "memang dia tak sepolos Ciong
Suheng-mu itu! Tadinyapun tak niatku mengajak dia,
kemudian aku mengubah putusan sebab aku pikir baiklah dia
diajak supaya dia dapat meniru kelakuannya lain-lain suami
orang!" Lantas Kim Bwee menggape pada Kang Lam. . ,
"Kang Lam!" tegurnya, "kenapa hari ini mulutmu rapat
sekali seperti buli-buli bermulut gergaji" Mari bicara
denganku!"
Kim Bwee tahu Kang Lam doyan bicara, ia mau membikin
orang membuka mulut supaya dia dapat dijadikan sasaran
berguraunya orang banyak.
Kang Lam sudah lantas menghampirkan.
"Baiklah, nanti aku bicara!" kata dia, tertawa haha-hihi.
"Paling dulu hendak aku mengucapkan kata-kata yang baik
untuk kau supaya lain tahun pada hari ini kau nanti dapat
tambah seorang anak bayi yang putih meletak dan montok
sekali!" "Fui!" Kim Bwee berludah. "Sekali kau membuka bacot,
lantas keluar kata-katamu di luar garis! Tadinya aku
menyangka kau sudah mengubah tabiatmu!"
Berkata begitu, Kim Bwee mengawasi muka orang. Ia
bermata tajam, maka ia melihat, meski suami Ciang Hee itu
tertawa, itulah tertawa yang dipaksakan. Ia menjadi heran.
"Kang Lam," ia tanya, "apakah yang kau pikirkan?"
"Yang aku pikirkan," sahut Kang Lam cepat, "yaitu aku
mengharapi siang-siang dapat memakan telur merah itu."
Telur merah ialah telur yang diperlukan setiap kelahiran
anak bayi. "Tapi di atas gunung Thiansan tak dapat orang memelihara
ayam!" ada orang yang nyeletuk.
"Kau cuma tahu satu tetapi tidak tahu dua!" berkata Kang
Lam pula. "Ayam salju dari Thiansan jauh ter-lebih lezad
daripada ayam lain tempat!"
"Sudahlah, jangan ngaco!" Kim Bwee menyela. "Kitalah
orang-orang yang pernah sama mendapatkan pengalaman
luar biasa, maka itu, apakah kau masih ingat pelbagai
peristiwa dulu hari selama kita berada di wilayah Kanglam"
Bukankah itu waktu kau bicarakan segala apa padaku"
Bukankah kau ingat ketika Nona Le mendustakan aku dan
kaulah orangnya yang membeber kedustaannya itu?"
Kim Bwee jujur dan polos, masih ia suka ingat Kim Sie Ie,
sekalipun di depan Ciong Tian, suaminya tak ia
menyembunyikannya, ia membicarakan secara terbuka.
Demikian kali ini, melihat Kang Lam, ia jadi ingat segala
peristiwa dulu itu ketika ia bersama Tan Thian Oe dan lainnya
mencari Kim Sie Ie. Di luar dugaannya, disebut-sebutnya Sie
Ie justeru menyinggung hati Kang Lam. Sebab Kang Lam
sangat berduka buat nasibnya sahabatnya itu. Sekarang Kim
Bwee telah bersuami, dia sudah mendapatkan tempatnya,
tidak demikian dengan Sie Ie dan Cie Hoa, mereka itu berdua
masih dirundung kemalangan...
Ciang Hee pernah memesan suaminya supaya si suami
jangan bicara, tapi sekarang Lie Kim Bwee menimbulkan
bahan omongan, tak dapat Kang Lam menahan hatinya.
"Ya, memang begitu!" berkata dia. "Memang aku telah
melihat dari siang-siang Nona Le itu bukan makhluk baik-baik!
Bukannya baru sekarang orang membenci dia. Aku
membencinya sejak dulu hari itu!"
Kim Bwee heran, ia melongo.
"Apa kau bilang?" ia tanya. "Apakah Le Seng Lam telah
muncul pula di muka umum?"
Begitu ditanya si mempelai, Kang Lam insyaf bahwa ia
sudah terpeleset bicara, maka lekas-lekas ia memutar haluan.
"Tentang itu..." katanya tak lancar, "tentang itu... aku tidak
dengar apa-apa..."
"Tapi," kata Kim Bwee mendesak, "bukankah barusan kau
bicara dari hal sekarang--bahwa sekarang orang membenci
dia?" "Selamanya dia bertindak licik dan busuk, sudah pasti sekali
banyak orang benci padanya," Kang Lam masih mengulangi.
"Bukan, bukan begitu!" Kim Bwee mendesak pula. "Kau
menyebutnya sekarang! Kau bicara dari hal sekarang, bukan
dari dulu! Dia pasti telah muncul pula! Entah dia telah
melakukan apa, yang membuatnya orang membencinya,
karenanya kau bicara begini rupa! Kau menyebut kejadian
sekarang!"
Seng Lam berlayar bersama Kim Sie Ie, kalau Seng Lam
sudah kembali, mungkin Kim Sie Ie masih hidup, atau kalau
tidak demikian, sedikitnya dari Seng Lam dapat diminta
keterangan mengenai Sie Ie itu, perihal kepastiannya dia
sudah mati atau masih hidup...
Demikianlah pikiran Kim Bwee.
Phang Lim, Tong Keng Thian dan lainnya, juga berpikir
sama seperti Kim Bwee itu, maka itu, ibu itu menjadi
mengerutkan alisnya. Selagi ibu itu mau campur bicara, guna
memutar jalan pembicaraan, anaknya sudah berkata pula.
"Kang Lam," katanya, "kau pasti ketahui perihal Nona Le
itu! Dimana adanya dia sekarang?"
Kang Lam si tukang ngoceh sekarang berubah menjadi
seorang lain. Dia terdesak. Dia menyesal sudah keliru bicara,
sampai sukar untuk membilukannya. Ditanya si nona
pengantin, ia menjadi bungkam.
Kim Bwee melihat orang berdiam. Ia masgul.
"Sayang hari ini enci Kok tidak datang..." katanya menyesal
dan lesu. Ia menarik napas. Ada dua rupa pikiran menyandingi
nona yang polos ini. Pertama-tama ia menyesal Cie Hoa tak
hadir. Kalau Cie Hoa ada, ada orang ia dapat ajak bicara.
Kedua ia percaya Cie Hoa, seperti ianya, belum tahu halnya
Seng Lam sudah kembali dari pelayaran, hal teka-teki mati
hidupnya Sie Ie itu. Maka ingin ia memberitahukan Cie Hoa hal
Seng Lam sudah kembali, supaya Seng Lam dicari buat
dimintai keterangannya.
Sebenarnya ketika Kim Bwee menyatakan ia suka menikah
dengan Ciong Tian, ia sudah mengambil putusan: Taruh kata
benar Kim Sie Ie kembali, suka ia menyerahkan Sie Ie kepada
Cie Hoa. Bahkan tadi di waktu menjalankan upacara nikahnya,
diam-diam ia telah memuji kepada Thie Kong dan mendoakan
agar Cie Hoa dan Sie Ie dapat menikah satu dengan lain,
supaya jodoh mereka itu terangkap dengan sempurna dan
memuaskan. Baru Kim Bwee berkata begitu, lantas telinganya
mendengar suara ini: "Kau baik sekali, bagus! Aku tadinya
menyangka kau melainkan ingat saja enci Kok-mu! Kiranya
kau masih ingat juga padaku. Sekarang aku ada disini!"
Kim Bwee terperanjat sampai ia berjingkrak bangun.
Justeru itu terdengar suaranya Siauw Lan: "tetamu dari
mana yang datang" Maaf kami tak dapat menyambut
sebagaimana selayaknya!"
Itulah suaranya Le Seng Lam yang telah bicara dengan
saluran ilmu Thiantun Toan-im. Dia bicara terhadap Kim Bwee.
Tong Siauw Lan tidak mengerti ilmu itu, akan tetapi tenaga
dalamnya yang mahir membuatnya dapat mendengar juga.
Di ambang pintu sudah lantas terlihat berkelebatnya
sesosok tubuh, waktu bayangan itu memperlihatkan diri tegastegas,
dialah Seng Lam adanya. Dia bertindak masuk dengan
wajahnya berseri-seri, terdengar tertawanya yang sedap bagi
telinga. Murid Thiansan Pay yang ditugaskan sebagai penyambut
tetamu kaget sekali. Tak tahu ia dari mana datangnya tetamu
yang tak dikenal ini, yang tahu-tahu sudah berada di antara
mereka. Karenanya ia menjadi berdiri mematung.
Ketika itu Phang Lim sudah mengebutkan tangan bajunya
sedang Tong Keng Thian segera menghunus pedangnya,
untuk dipakai menabas.
Berbareng dengan itu Ciang Hee dan Kim Bwee kaget
sampai mereka menjerit keras. Kang Lam tampak
berjumpalitan begitu keras ke arah tembok, syukur dia dapat
dipegat Siauw Ceng Hong, kalau tidak pastilah dia bakal
menerjang tembok hingga dia bisa sedikitnya babak belur.
Kang Lam sangat cerdik dan gesit. Begitu dia melihat
datangnya Seng Lam, dia menduga orang akan berbuat
sesuatu yang tak menguntungkan dia, maka juga guna
menjaga diri, segera dia berlompat menyingkir. Dia
menggunai ilmu lompat yang aneh yang diajarkan dia oleh
Kim Sie Ie. Syukur untuknya, belum sampai dia kena disentil
Seng Lam, Phang Lim dan Keng Thian juga sudah lantas turun
tangan. Meski demikian Seng Lam masih dapat menggunai
Pekkhong Ciang, pukulan Udara Kosong, menolak tubuhnya
hingga dia tertolak mental, membikin dia berjumpalitan lebih
keras daripada biasanya. Bagus Siauw Ceng Hong
menolongnya. Phang Lim yang mengebut itu tidak memperoleh hasil,
bahkan ujung bajunya kena dibikin robek, sedang Keng Thian,
yang pedangnya seperti mengenakan tubuh Seng Lam, nyata
tikamannya tera-rahkan ke tempat kosong, karena mana
Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tubuhnya menjadi terjerunuk ke depan beberapa tindak.
Karena itu, pedangnya kena menghajar meja kecil di dekat
Kim Bwee, sampai air teh muncrat membasahkan pengantin
perempuan itu! "He, semua ini aturan dari mana?"tanya Seng Lam, yang
mengasih dengar tertawa dingin. "Walaupun aku tidak terima
surat undangan, akan tetapi aku toh datang ke mari untuk
kondangan dan memberi selamat! Bukankah itu tidak
melanggar hukum hingga aku mesti mendapatkan dosa tak
berampun" Kenapa kamu menghendaki jiwaku?"
"Adik Lim, tahan!" Tong Siauw Lan berkata. "Mari kita
dengar dulu maksud kedatangannya!" Ia lantas menoleh
kepada Seng Lam, untuk bicara terus, katanya: "Nona Le,
kalau benar kau datang untuk memberi selamat kepada
sepasang mempelai, akan aku si orang she Tong menyambut
dan melayani kau sebagai tetamu yang dihormati, tidak nanti
aku mengambil mumat segala perbuatanmu yang sudahsudah,
hari ini kami tidak bakal mengganggu kau! Jikalau kau
datang untuk mengacau-Hm! " kau harus mengerti Thiansan
bukanlah tempat di mana kau dapat main gila!"
Seng Lam tertawa tawar.
"Oh, kiranya Thiansan adalah satu tempat demikian suci?"
kata dia. "Baru sekarang aku ketahui! Dengan adanya Tong
Ciangbun disini, mana aku yang muda berani main gila."
Nona ini datang dengan tahu-tahu sudah berada di ruang
dalam, perbuatan itu membikin- muka terang orang-orang
Thiansan Pay menjadi guram, akan tetapi sebab ketua mereka
tidak menunjuki kemurkaan, mereka terpaksa berdiam saja.
"Kau hendak menanyakan maksud kedatanganku?"
berkata Seng Lam habis berhenti sejenak. Ia bersikap tenang,
suaranyapun sabar. "Bukankah barusan aku telah
membilangnya" Aku datang guna menghaturkan selamat!" Ia
menoleh kepada Kim Bwee, guna meneruskan: "Enci Kim
Bwee, kita bukanlah sahahat-sahabat lawas, akan tetapi
selama kita berada di rumahnya Beng Sin Thong baru-baru ini,
kita toh pernah berkenalan. Ketika itu kita sama-sama dalam
kurungan, maka itu enci, hari ini aku datang sebagai tetamu
yang tidak diundang. Bukankah kau tidak akan menolak aku?"
"Terima kasih!" kata Kim Bwee, yang tetap heran dan
masih bingung, hingga ia cuma mengucap sangat ringkas itu.
Ia lantas mengawasi Siauw Lan dan ibunya.
"Tapi," Seng Lam segera menambahkan, "aku datang
bukan melulu untuk menghaturkan selamat..."
"Habis mau apakah kau?" Phang Lim menyela membentak.
Nyonya ini telah menjadi sangat tak sabaran. "Kau memikir
apa lagi?"
"Aku tidak memikir apa-apa, aku cuma tahu bahwa anak
perempuanmu ingin bertemu denganku," sahut Seng Lam.
Lagi-lagi dia tertawa dingin. "Aku toh telah mendapat dengar
apa yang diucapkan puterimu itu! Coba aku tidak ingat
perkenalan di antara anakmu denganku, tidak nanti aku
memikir buat datang kemari!" Ia kembali menoleh pada Kim
Bwee, untuk meneruskan bertanya: "Enci Kim Bwee, bukankah
kau hendak menanya aku halnya seorang orang?"
Kim Bwee tertarik hati hingga mau tak mau, ia bicara juga.
"Aku dengar ketika beberapa tahun dulu kau berlayar, kau
berlayar bersama-sama dia bukan?" demikian tanyanya.
Dengan "dia" ia maksudkan Sie Ie. "Sekarang kau sudah
kembali dari pelayaranmu itu. Sebenarnya kau pulang sendiri
atau berdua dengan dia?"
Seng Lam tertawa geli.
"Apa?" dia mengulangi bertanya. "Dia" Dia" Kau telah
menjadi pengantin, apakah kau masih tak enak hatimu"
Apakah tak dapat kau bicara" Baiklah, nanti aku wakilkan kau!
Bukankah kau hendak menanyakan hal ikhwalnya Kim Sie Ie?"
Mendengar itu, semua hadirin menjadi pucat mukanya!
Seng Lam sebaliknya tertawa riang.
"Hatimu benar-benar baik," katanya. Sekarang suaranya
dingin sekali. "Kau masih memikirkan dia! Sayang dia sendiri,
sudah tidak memikirkan kau lagi! Kau tak lagi ditaruh di dalam
hatinya! Justeru karena itu, maka aku hendak memberi
selamat padamu! Sama sekali bukan aku hendak mengumpakumpak
suamimu! Dengan menikah dengan suamimu ini, kau
akan mendapatkan lebih banyak daripada kau menikah
dengan Kim Sie Ie yang tak berbudi itu!"
"Perempuan siluman!" Phang Lim membentak. "Kau
mengeluarkan angin busuk, apakah itu tak habisnya" Lekas
kau pergi!"
"Eh, apakah aku omong salah?" Seng Lam tegasi, tertawa
mengejek. "Apakah kau si ibu mertua masih menganggap Kim
Sie Ie masih terlebih baik daripada baba mantumu yang
sekarang ini?"
Mendongkolnya Phang Lim bukan kepalang. Hebat dia
dikocok si nona.
"Ibu..." berkata Ciong Tian perlahan, membujuk mertuanya
itu, "adik Kim Bwee ingin mendengar warta halnya Kim Sie Ie,
kau biarkan ini Nona Le memberitahukannya. Perihal
ocehannya orang-orang jail tidak aku hiraukan!"
Seng Lam dengar suaranya Ciong Tian itu, dia tertawa.
"Nyatalah penglihatanku tidak salah barang sedikit!" kata
dia gembira. "Dasar ini engko pengantin yang cerdas dan luas
pandangannya! Enci Kim Bwee, mari dengar, mau aku omong
terus terang padamu! Sekarang ini Kim Sie Ie masih hidup,
hanya apa yang sekarang berada di dalam hatinya cuma satu
nona Kok Cie Hoa! Karenanya dia sudah melupakan kau!"
Mendengar itu, Lie Kim Bwee menjadi sangat girang.
"Bagus! Bagus!" katanya seperti pada dirinya sendiri,
suaranya tak tedas. "Hanya, apakah enci Cie Hoa ketahui ini
atau tidak?"
"Kau kata bagus?" Seng Lam tanya. "Kau benar! Sie Ie juga
mengatakannya bagus! Cuma sayang, sayang sekali!...
Dikuatirkan sangat perjodohan mereka yang sempurna dan
manis mungkin di luar harapan lagi..."
Kim Bwee heran, dia terkejut.
"Kenapakah?" dia tanya cepat, hatinya bergelisah.
Seng Lam berlaku ayal-ayalan ketika ia memberikan
jawabannya. "Kok Cie Hoa sekarang ini," demikian sahutnya, "dia lebih
baik mati daripada terus tinggal hidup... Dia tidak dapat
menjadi isterinya Kim Sie Ie, dia juga tidak dapat datang
menjenguk kau!"
Kim Bwee menjadi sangat kaget, akan tetapi sebelum ia
menanya tegas, ia sudah didului Pek Eng Kiat dan Tong Keng
Thian yang dua-duanya telah menjadi habis sabar.
"Adik Kim, sudah!" teriak Eng Kiat itu. "Jangan tanya lagi
padanya! Celakanya Kok Cie Hoa disebabkan dialah yang
mencelakainya!" Dia lantas berpaling kepada Seng Lam, untuk
mendamprat: "Siluman perempuan yang harus dieingcang!
Sudah kau membikin celaka ketua kami, sekarang kau berani
datang kemari mengacau."
Keng Thian pun mendamprat, hingga dia diturut beberapa
orang Thiansan Pay lainnya.
Seng Lam tidak menghiraukan mereka itu semua. Dia
hanya berpaling kepada Tong Siauw Lan.
"Tong Ciangbunjin, apa katamu?" dia tanya. "Apakah katakatamu
sudah tidak berarti lagi?"
Paras Tong Siauw Lan menjadi suram. Ia mengulapkan
tangan. "Semua sabar!" katanya. Kemudian ia memandang Seng
Lam, untuk berkata: "Nona Le, hari ini kau menjadi tetamuku,
tak mau aku membikin susah padamu! Tapi ketua Binsan Pay
itu menjadi keponakanku, urusan dianya tak dapat aku tidak
mengambil tahu! Kabarnya kau berniat menguji pihak
Thiansan Pay kami, baiklah, suka aku melayani kau!
Bagaimana kalau selewatnya hari ini lantas menjadi hari
perjanjian di antara kita?"
Mendengar kata-kata itu, para hadirin berbareng heran.
Heran sebab Siauw Lan ketua Thiansan Pay merangkap tertua
Rimba Persilatan bersedia melayani segala bocah, apapula
Seng Lam seorang bocah wanita. Girang sebab mereka
percaya satu kali Tong Siauw Lan turun tangan, pasti tak
dapat Seng Lam lolos meski dia kabur ke ujung langit. Dengan
begitu juga jadi sakit hati Cie Hoa akan terbalaskan.
Seluruh ruang menjadi sunyi senyap. Semua orang menanti
jawaban Nona Le. Semua orang ingin ketahui, apa jawaban
itu. Seng Lam tidak takut, dia bahkan tertawa girang.
"Terima kasih Tong Ciangbun!" katanya gembira. "Terima
kasih yang Ciangbun sudah menghargai aku! Tapi tunggulah
sebentar! Aku mempunyai bingkisan, yang aku hendak
haturkan!"
Benar-benar ia mengeluarkan bingkisannya, melihat mana,
semua orang menjadi heran sekali!
Orang tahu bagaimana Seng Lam telah menggunakan
kepalanya Beng Sin Thong sebagai bingkisan hingga Kok Cie
Hoa keracunan, karena itu, sekarang ini, siang-siang orang
telah mencurigainya Semua orang menerka-nerka, apa
bingkisan itu. Untuk bersiap sedia, Phang Lim menggeser
tubuh ke depan puterinya, sedang Tong Keng Thian dan
Pengcoan Thianlie berdiri di depan Ciong Tian.
Seng Lam mengawasi lagak orang, dia tertawa. Dia
berkata: "Bingkisanku ini bingkisan tidak berarti, walaupun
demikian harganya mahal seperti harganya sebuah kota!
Inilah barang yang Tong Ciangbun memintanyapun tak
dapat!" Nona Le sudah lantas mengeluarkan bingkisannya itu ialah
sebuah peles kecil terbuat dari batu kemala, tingginya lima
dim, di dalamnya terlihat tiga butir pil yang warnanya merah
dadu. "Inilah obat pemunah racun Ngotok San!" berkata Seng
Lam pula selagi semua orang berdiam mengawasi saja. la
mengulapkan obatnya itu. Ia tertawa. Segera ia
menyambungi: "Siapa makan habis tiga butir obat ini dia bakal
sembuh seluruhnya! Tong Ciangbun, jikalau obat ini kau
hadiahkan kepada Kok Cie Hoa, pihak Binsan Pay pasti akan
menerima budimu yang besar dan bakal menjadi sangat
bersyukur terhadapmu!"
Kembali semua orang menjadi heran. Buat mendapatkan
obat itu, orang telah mencari dan menyusul nona ini kemanamana,
siapa sangka sekarang dengan sukanya sendiri hendak
dia menyerahkannya pada Tong Siauw Lan.
Ketua Thiansan Pay menjadi heran juga hingga ia
melengak. "Siapa berhati baik, Thian akan memberkahinya," kata
ketua ini kemudian setelah ia mendusin, "maka itu Nona Le,
lebih dulu hendak aku menghaturkan terima kasihku untuk
kebaikan kau ini! Dengan begini maka selanjutnya
permusuhan di antara kau dan Binsan Pay dapat disudahi,
hingga akupun tak usah membuat perhitungan lagi
denganmu!"
Seng Lam menyambut kata-kata tuan rumah dengan
tertawanya yang manis. Setelah itu ia kata: "Sebenarnya aku
bersungguh-sungguh hati hendak menghaturkan obat ini
kepada kamu, maka sayang sekali, kamu sebaliknya sudah
tidak melayani aku sebagaimana selayaknya seorang tetamu,
buktinya, begitu aku muncul, lantas kamu mencaci aku
sebagai siluman perempuan tak hentinya! Maka itu sekarang,
jikalau kamu hendak mendapatkan obat ini, kamu lebih dahulu
harus menukarnya dengan serupa barang lain..."
"Barang apa yang kau kehendaki?" tanya Siauw Lan habis
berpikir sebentar.
"Mudah saja!" Seng Lam menjawab tawar sekali: "Ialah kau
mengangguk hingga membentur tanah sampai tiga kali!
Kemudian, mulai hari ini kemana saja aku pergi, maka orang
atau orang-orang Thiansan Pay mesti siang-siang menyingkir
dulu jauhnya tiga puluh lie!..."
Mendengar itu, semua orang menjadi sangat murka. Siauw
Lan sendiri, mau atau tidak, menjadi sangat mendongkol.
"Hm!" ia mengasih dengar suara dari kemurkaannya,
matanya dipentang, alisnya bangun berdiri. "Nona Le, kau
terlalu menghina."
Seng Lam tertawa.
"Tidak apa jikalau kau tidak mau mengangguk kepadaku!"
katanya, tetap tawar. "Jikalau kau memangnya menghendaki
obat ini, kau boleh mengambilnya dengan kau keluarkan
semua kepandaianmu!"
"Oh, begitu?" kata Siauw Lan. "Jadinya sekarang kau
datang untuk menguji aku?"
"Tidak salah!" sahut si nona. "Jikalau kau dapat
mengalahkan aku, akan aku persembahkan obat ini,
sebaliknya, jikalau aku yang beruntung memperoleh
kemenangan, maka kau mesti serahkan nama besarmu
sebagai orang gagah nomor satu di kolong langit ini padaku!
Inilah namanya menukar guling! Adil bukan" Sudah terang
bukan, kau tak usah kuatir bahwa kau nanti tak dapat
mengalahkan aku" Ini pula sebabnya mengapa aku pilih ini
hari baik, supaya kau mempertunjuki kepandaianmu di
hadapannya sekalian orang gagah dari kolong langit ini!
Dengan kau berhasil mendapatkan obatku ini bukankah
kegirangan kamu menjadi dua kali lipat?"
"Nona Le, tak sanggup aku mengadu lidah denganmu!"
Tong Siauw Lan memotong. "Baik kita jangan bicara lebih
jauh! Silahkan kau tunjuki cara dan syaratmu!"
"Inilah ruang upacara pesta!" kata Seng Lam, "sayang
tempat indah ini mesti dijadikan medan pertempuran, maka
jikalau Tong Ciangbun setuju, mari kita pergi ke depan sana,
di atas puncak gunung yang penuh es itu. Disana aku nanti
minta pengajaran kepandaianmu, satu macam demi satu
macam!" "Baik, terserah kepada kau!" Siauw Lan memberikan
jawabannya. Meski ia sangat gusar, jago tua ini tak melupai
tata sopan santun. Begitulah setelah melarang semua murid
membikin berisik, ia lantas berjalan di muka, buat pergi ke
puncak es yang ditunjuk si nona.
Di luar dugaan, sebuah pesta yang riang gembira sekarang
berubah menjadi saat pertempuran, yang mestinya dahsyat
sekali. Semua tetamu, tanpa diundang lagi, sudah lantas turut
tuan rumah dan si nona tetamu bertindak keluar bahkan
sepasang pengantinnya, turut keluar juga.
Kang Lam tak melupai tabiatnya.
Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Inilah upacara nikah yang semenjak dahulu tidak ada
keduanya!" katanya sambil tertawa. Dia menyebut dahulu
seperti juga dialah seorang kakek-kakek.
"Kau masih bergurau!" tegur Ciang Hee, si isteri. "Lihatlah
kepalamu itu!"
"Ya, masih terasa sedikit nyeri!" sahut suami itu. "Hanya
menghadapi pertempuran ini, yang selama seratus tahun
sukar dicari timpalannya, rasa nyeriku ini menjadi tak sakit
lagi! Hahaha! Kau lihat itu sepasang mempelai! Mereka berlarilari
dengan pakaian pengantin mereka! Bukankah itu lucu"
Mereka menjadi tidak keruan macam! Lihatlah nanti, setelah
mereka memperoleh anak, hendak aku menggodai mereka!"
Ciang Hee menjadi mendongkol berbareng gembira.
Kewalahan dia terhadap suami yang jenaka ini. Mau atau
tidak, dia turut tertawa juga.
Mendengar kata-kata isterinya itu, Kang Lam bertepuktepuk
tangan, dia lompat berjingkrakan.
"Benar!" serunya tertawa. "Benarkah" Haha! Kau sudah
mulai mengandung" Haha!"
Ciang Hee jengah.
"Kau gila!" katanya seraya mencubit, tapi suaranya
perlahan. "Kenapa kau bikin banyak berisik" Apakah kau ingin
membikin dunia tahu" Sudah tiga bulan, kau tahu" Semuanya
karena kau! Kau puas, bukan" Kaulah si biang bencana!"
"Kau yang mengandung, kenapa kau salahkan aku?" tanya
suami itu. Baru sekarang dia bicara perlahan sekali. "Aku jadi
biang bencana apa?"
Muka isteri itu menjadi merah.
"Memang kaulah si biang gara-gara!" kata dia likat.
Kang Lam berdiam. Bersama isterinya itu, ia berjalan terus.
Syukur orang lagi memikir satu hal " pertempuran-jikalau
tidak, mereka pasti menerbitkan tertawa banyak orang.
Semua orang mengikuti Siauw Lan naik ke puncak es. Tiba
disana, disana sudah menanti delapan anak perempuan
dengan pakaian serba putih. Melihat Seng Lam, mereka itu
menyambut dengan hormat seraya menyapa: "Nona!"
Rupanya merekalah hamba-hambanya Nona Le itu. Menampak
demikian, semua orang heran, sebab tidak sembarang orang
dapat mendaki puncak gunung Thiansan. Heran Seng Lam, di
dalam tempo dua tahun itu, dia telah berhasil mendapatkan
dan mendidik pelayan-pelayannya itu!
Seng Lam tertawa.
"Hari ini aku menyambut tantangan Tong Ciangbun untuk
bertempur satu lawan satu!" kata dia pada delapan orangnya
itu. "Kamu semua berdiri di pinggiran menonton saja, tak usah
kamu turut turun tangan!" Setelah itu dia berpaling pada
Siauw Lan untuk menambahkan: "Tong Ciangbun, apakah kau
mempunyai sesuatu untuk dikatakan kepada anakmu?"
Perkataan nona ini dapat diartikan: "Kau bakal bertempur
denganku, kau harus bersiap sedia buat sesuatu yang di luardugaan,
maka itu baiklah kau meninggalkan pesan terakhir
kepada anakmu!"
Tong Siauw Lan mengerti itu, ia mendongkol bukan main.
"Kalau begitu, Nona Le," kata dia bengis, "jadinya di dalam
pertempuran ini kau rupanya berniat mengadu jiwa dengan
aku si orang tua?"
"Bukan begitu Tong Ciangbun, itulah aku tidak berani,"
sahut Seng Lam merendah, "akan tetapi kita harus ingat juga
kepalan atau senjata tajam tidak ada matanya, dari itu lebih
baik kita menjelaskannya terlebih dahulu! Aku sendiri seorang
kecil yang tidak ternama, jikalau aku terbinasa di tangan Tong
Ciangbun, aku akan mati tanpa penyesalan atau penasaran!"
"Baik!" kata Siauw Lan, yang menahan sabar sebisanya.
"Aku telah berusia enam puluh lebih, jikalau dapat tulangtulangku
dikubur di gunung Thiansan ini, aku juga tidak
penasaran! Nona Le, kau bersemangat baik sekali, maka
beberapa potong tulang-tulangku, suka aku serahkan kepada
kau!" Siauw Lan dapat mengandalkan diri, tidak demikian dengan
banyak tetamunya. Sikap Seng Lam membangkitkan amarah
mereka. Maka juga lantas ada dua orang yang lompat ke
depan mereka. Dari dua orang tetamu itu, seorang telah lanjut usianya,
alis dan rambutnya sudah ubanan, sedang yang lainnya
seorang imam usia pertengahan yang tangannya mencekal
sebatang pedang panjang. Mereka bukan lain daripada Ouw
Thian Long, tertua dari Khongtong Pay, serta Ceng Siong
Toojin, muridnya Kim Kong Taysu dari Ngobie Pay.
Ceng Siong dalam murkanya berseru: "Untuk menyembelih
ayam buat apa memakai golok peranti memotong kerbau"
Tong Tayhiap, silahkan kau mengalah untuk aku yang
mewakilkanmu!"
Ouw Thian Long sebaliknya kata ragu-ragu: "Tong Tayhiap,
kau telah kena ditipu! Siluman cilik ini main gila, kau melayani
dia, kamu bertempur satu lawan satu, taruh kata tayhiap yang
menang, kaupun mengangkat martabatnya! Aku si tua paling
benci anak muda tak tahu diri, maka itu biarlah aku yang
mengajar adat padanya!"
Seng Lam menjadi tidak senang.
"Eh, tua bangka telur campuran!" dia kata tertawa dingin,
"usiamu sudah begini lanjut, mengapa kau masih tidak tahu
langit tinggi dan bumi tebal! Bagaimana dengan lukamu bekas
dihajar Beng Sin Thong baru-baru ini, sudah sembuh atau
belum" Cara bagaimana sekarang kau berani menerbitkan
yang tidak-tidak" Aku juga paling benci pada si tua bangka
yang gila dengan ketua bangkaannya! Baiklah, karena kataTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
katamu yang terkebur ini, hendak aku memberi pengajaran
kepadamu supaya semua orang gagah di kolong langit tertawa
karenanya!"
Ouw Thian Long memang orang tua berkenamaan dalam
dunia Rimba Persilatan, ketika dulu hari ia dihajar Beng Sin
Thong, ia anggap suatu kehinaan besar untuk dirinya,
sekarang ia diperhina seorang anak perempuan seperti Seng
Lam ini, inilah lebih hebat seratus lipat daripada
penghinaannya Beng Sin Thong. Maka itu tanpa berkata-kata
lagi ia lompat maju, untuk segera menyerang.
"Tunggu dulu!" Seng Lam berseru sambil ia berkelit, untuk
terus menepuk dengan perlahan kepada Ceng Siong Toojin
sambil ia berkata: "Masih ada kau, imam bau! Akupun tak
sedap melihat kepadamu! Aku tidak sempat melayani kamu
satu demi satu, maka kau majulah bersama si tua bangka
bangkotan itu!"
Ceng Siong Toojin telah berhasil mewariskan kepandaian
gurunya, dia sudah termasuk dalam golongan kelas satu, akan
tetapi waktu ditepuk si nona itu, dia tak berhasil berkelit,
bukan main kaget dan mendongkolnya. Kalau ditepuk saja
secara perlahan masih kena, bagaimana kalau dia ditikam
dengan pedang"
Tong Siauw Lan menyaksikan semua itu, tak sempat ia
mencegah. Maka ia membanting kaki dan mengeluh di dalam
hatinya. Seng Lam sudah menghadapi pula Ouw Thian Long.
"Telur tua bangka!" kata dia, tertawa bergurau, "kau mau
bertingkah dengan ketua bangkaanmu" Baiklah, lebih dahulu,
akan aku mencabut kumismu!"
Ouw Thian Long tidak melayani bicara, dengan menggeraki
kedua tangannya, ia menutup diri dengan ilmu "Kimhoan
Ciang", tangan "Gelang Emas". Itulah satu ilmu pusaka
Khongtong Pay. Biasanya ilmu itu tak dapat diserang masuk
apapula sekarang yang menggunai-nya jago dengan latihan
beberapa puluh tahun. Akan tetapi Seng Lam tidak
menghiraukan orang jago tua dan liehay, dia merangsak maju
begitu dia berkata itu, sebelah tangannya diluncurkan!
Thian Long melihat orang benar-benar mau menyambar
kumisnya, ia merangkap kedua tangannya, guna menjepit
tangan si nona. Sayang ia gagal. Jepitannya tidak
mendatangkan hasil. Tak ampun lagi, kumisnya kena dicabut
seraup banyaknya, hingga bekas cabutan itu mengeluarkan
darah, sedang rasa nyerinya membuatnya ber-jengit!
Menyusuli itu, terdengar tertawa nyaring Nona Le. Habis
mencabut kumis orang, tubuhnya nona ini berputar pesat.
Tahu-tahu pedangnya Ceng Siong Toojin telah pindah ke
tangannya, terus dengan suara membeletek pedang itu
ditekuk patah menjadi dua potong!
"Telur busuk tua! Imam busuk!" kata nona itu kemudian.
Dia tertawa bergelak. "Apakah kamu masih hendak memberi
pengajaran kepadaku!"
Semua hadirin menjadi kaget dan berdiam. Hebat kejadian
itu. Siauw Lan pun kaget tanpa terkecuali. Ia sudah merasa
bahwa Seng Lam liehay luar biasa, bahwa Ouw Thian Long
dan Ceng Siong Toojin tak nanti sanggup melawan dia, hanya
ia tidak menyangka sekali-kali, kedua mereka itu dapat
dipecundangi secara dengan cepat dan mudah! Mereka hampir
tak bergebrak lagi...
Ketika Ouw Thian Long menempur Beng Sin Thong, ia
dapat bertahan sampai beberapa puluh jurus, sedang
sekarang ia dibantu Ceng Siong Toojin, satu tenaga tak lemah,
menurut pantas, ia mesti bisa melawan dalam lebih banyak
jurus lagi, tak tahunya, ia bahkan roboh secara lebih
menyedihkan... Dalam hal ini bukannya Le Seng Lam jauh terlebih liehay
daripada Beng Sin Thong. Soalnya terletak pada kecerdasan si
nona. Setelah dia memahamkan kitab warisannya Kiauw Pak
Beng, lantas dia mengerti bagian dalam dari ilmu silat pelbagai
partai. Pak Beng sudah mencatat jelas segala apa:
kebaikannya dan juga cacad atau kekurangannya ilmu
pelbagai partai itu. Lantas si nona mengandalkan kegesitan
tubuhnya. Ia melihat Thian Long tua dan pasti kurang sebat,
ia menyerang lawan di bagian yang lemah itu. Benar-benar ia
berhasil. Merampas pedang Ceng Siong, ia menggunai
kesehatan dan kecerdasannya. Ia melakukannya selagi ia
mengganggu orang dengan keli-cinannya, hingga si imam
menjadi rada alpa.
Menyaksikan kepandaian nona itu, Siauw Lan mengerti
Seng Lam tak ada di bawahan Beng Sin Thong.
"Nona Le, kau liehay sekali!" ia memuji. "Maka itu baiklah
aku sendiri yang menemani kau main-main! Semua sahabatku,
aku berterima kasih kepada kamu, aku minta, sukalah kamu
bersabar!"
Permintaan tuan rumah ini diterima baik. Sekarang ini para
tetamu tidak bernapsu lagi seperti tadi berniat menghajar
Seng Lam. Contoh Thian Long dan Ceng Siong membuat
mereka meraba iganya masing-masing.
Ceng Siong mundur dengan terpaksa, sedang Ouw Thian
Long, yang roboh saking pepat pikirannya, lantas digotong
oleh beberapa murid Khongtong Pay yang mengiringinya.
Dalam sekejab gelanggang dan sekitarnya menjadi sunyi
sekali. Sekarang perhatian semua orang diarahkan ke tengah
gelanggang, guna menyaksikan pertempuran di antara Siauw
Lan dan Seng Lam. Semua orang ingin sekali melihat
bagaimana jago Thiansan itu merobohkan si nona.
"Nona, kaulah tetamu," kata Siauw Lan, "maka itu
bagaimana caranya kita harus bertindak silahkan kau saja
yang menyebutkannya!"
Seng Lam mengangguk.
"Ketika dulu hari Tong Ciangbun melawan Beng Sin Thong
telah ditetapkan tiga babak sebagai batas menang atau
kalah," kata dia sabar, "maka itu aku pikir baiklah kita
membataskan tiga babak juga, untuk kita menentukan
keputusan mati atau hidup!"
Hebat kata-kata "mati atau hidup" itu. Juga sikap si nona
dan suaranya, tak kalah hebatnya dengan suara dan sikap Sin
Thong. Tiga babaknya Sin Thong tak semuanya merupakan
pertandingan ilmu silat, entah tiga babaknya nona ini. Pastilah
itu cara yang aneh, atau luar biasa. Maka itu, sebelum orang
mengutarakannya, Siauw Lan ragu-ragu. Tak usah disangsikan
kekuatiran dan bingungnya para hadirin lainnya...
Siauw Lan tidak takut tetapi ia toh berpikir keras. Ia
menduga orang tentu berniat merobohkan, atau sedikitnya,
dengan tipu daya atau akal muslihat yang licik.
Seng Lam membiarkan semua mata diarahkan kepadanya.
"Aku bukan hendak meniru Beng Sin Thong," berkata dia,
sabar sekali, "dengan tiga babak itu, aku hendak menguji
kepandaian yang paling istimewa dari Tong Ciangbun, supaya
Ciangbun menjadi puas! Pertama-tama aku hendak mengadu
pedang! Habis itu, yang kedua, kita mengadu tenaga dalam!
Dan yang ketiga, yang terakhir, ingin aku melihat senjata
rahasia Thiansan yaitu Thiansan Sinbong yang sangat
kesohor! Ingin aku menyaksikan sendiri bagaimana liehaynya
itu!" Semua orang terperanjat berbareng gembira mendengar
tiga cara bertanding yang disebutkan Seng Lam itu. Tiga
macam ilmu yang ditantang itu justeru semuanya ilmu
Thiansan Pay yang menindih kepandaiannya sekalian partai
lainnya. Ilmu pedang Thiansan Pay adalah ciptaan hasil gabungan
sarinya ilmu pedang banyak partai lainnya, selama beberapa
ratus tahun, itulah ilmu pedang yang dianggap sebagai ilmu
pedang yang nomor satu, sedang Tong Siauw Lan sangat
terkenal buat tenaga dalamnya yang mahir, sebagaimana
tenaga dalam itu tak tergempur hawa dingin Siulo Imsat Kang
dari Beng Sin Thong. Sekarang jago Thiansan itu justeru
ditantang seorang nona usia baru dua puluh lebih sedikit,
taruh kata ilmu silat si nona mahir, tak nanti dia dapat
melebihkan kemahiran tenaga dalam Beng Sin Thong, maka
itu, dapatkah dia bertahan" Bagaimana berani dia menantang
jago Thiansan"
"Perempuan siluman ini mencari matinya sendiri..."
demikian orang banyak mengambil kesimpulan. Taruh kata dia
dapat melawan Yuliong Kiam, pedang Thiansan itu, tak nanti
dia dapat bertahan dari tenaga dalam Siauw Lan, apapula dari
Thiansan Sinbong.
Kemudian ada orang yang bertanya, dapat dilarang atau
tidak kalau si nona menggunai senjata rahasia yang beracun.
Atas itu, Pun Khong dari Siauwlim Sie mengatakan: "Menurut
pandangan loolap, kalau si nona menggunai senjata beracun
atau lainnya senjata rahasia, nona itu belum melewatkan
batas pertandingan, baru setelah dia menggunai racun
Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
istimewa, dia dapat dicegah. Tapi, entahlah bagaimana
anggapan Nona Le sendiri!"
Perkataannya pendeta Siauwlim ini sederhana sekali, tetapi
di balik itu, dia mengandung arti dalam. Terdengarnya seperti
si pendeta bicara menguntungi Seng Lam, yang dibenarkan
menggunai senjata rahasia, di lain pihak, itulah bantuan diamdiam
untuk Siauw Lan. Siauw Lan jadi disadarkan terhadap
kelicikan Seng Lam.
Mendengar kata-kata si pendeta, Nona Le tertawa dingin.
"Pun Khong Taysu, kau memandang aku terlalu enteng!"
tegurnya. Pun Khong merangkap kedua tangannya.
"Kalau begitu, nona tidak memikir menggunai racun?" dia
tanya. "Kalau benar begitu, loolap sudah bicara tak
selayaknya, loolap jadi sudah berlaku hina menuduh sembarangan!
Maaf, nona, maaf!"
Seng Lam tertawa dingin. Dia kata: "Di hadapan orangorang
gagah dari seluruh kolong langit ini, kau boleh lihat,
apabila aku menggunai obat beracun, kamu boleh
menghukum mati sesukanya kepadaku! Bahkan dapat aku
jelaskan, senjataku, juga senjata rahasiaku, sedikitpun tak
akan dipakaikan racun"
Hati semua orang menjadi lega. Mereka mau percaya nona
itu. Siauw Lan heran hingga ia kata di dalam hatinya: "Besar
sekali mulutnya perempuan ini! Tanpa menggunai racun, habis
apakah yang dia andalkan buat melawan aku" Mungkinkah
dalam dua tahun ini dia telah berhasil mempelajari ilmu silat
yang luar biasa sekali?"
Le Seng Lam sudah lantas menghunus pedangnya. Ia
berdiri di sebelah bawah.
"Tong Ciangbun, silahkan kau mulai memberikan
pengajaranmu!" Ia mengundang, sebenarnya ia menantang.
Begitu pedang si nona dihunus, orang banyak menjadi
terperanjat. Pedangnya itu istimewa sekali, sudah tipis nampaknya,
sinarnya pun hijau muda berkilauan. Jadi itulah pedang
mustika, yang mestinya tak kalah daripada pedang Yuliong
Kiam. Tong Keng Thian kuatir, ayahnya nanti berlaku kurang
waspada, lekas-lekas ia menghampirkan buat menyerahkan
pedang Yuliong Kiam. Kata ia: "Ayah, pakailah pedang ini!"
"Baiklah!" sahut si ayah yang menyambuti pedang pusaka
itu. Kemudian dengan menyeringai ia kata: "Tidak kusangka di
dalam dua tahun ini aku telah mesti menggunai pedang ini
sampai dua kali! " " Nona Le, kau datang dari tempat jauh,
kaulah tetamuku, silahkan kau yang mulai!"
Kalau tadinya Seng Lam membawa sikap jumawa, tiba
saatnya bertanding, dia tak melupai membawa diri sebagai
orang yang terlebih muda tingkat derajatnya, la berlaku
hormat, habis menjura baru ia menyerang, pedangnya
bersinar berkilauan.
Tong Siauw Lan memasang mata. Ia melihat serangan
tidak luar biasa, tetapi ialah jago tua, ia dapat menebak si
nona rupanya ingin memapas kutung pedangnya. Ia tahu
bagaimana harus mengambil sikap. Ia tidak menyingkirkan
pedangnya, sebaliknya, ia lantas merapatkan, untuk
menempel. Dan ia berhasil dalam gebrakan yang pertama itu!
Memang juga Cay-in Kiam menang seurat daripada Yuliong
Kiam, apabila kedua senjata bentrok secara wajar, mestinya
Yuliong Kiam kena terbabat kutung. Tapi keadaan sekarang
tidak demikian. Kedua pedang menempel hingga sukar buat
dipisahkan. Dengan begitu gagallah Nona Le. Itulah bukti dari
kalahnya ia dari tenaga dalam, sia-sia ia mencoba guna
meloloskan diri...
Siauw Lan sudah lantas mengerahkan lebih jauh tenaga
dalamnya. Kali ini dia berniat menggempur membikin pedang
si nona lepas dari cekalannya.
Justeru itu mendadak tubuh si nona bergerak, tubuh itu
mendak dan pedangnya ditolakkan ke depan secara mendadak
juga. Itulah tipu untuk meminjam tenaga lawan. Nyata dia
liehay, dia berhasil dengan percobaannya itu. Maka ia lantas
berlompat minggir, tubuhnya terhuyung berputar dua kali.
"Nona, kau berdirilah biar tegak!"kata Siauw Lan.
"Sekarang aku hendak melakukan penyerangan membalas!"
Siauw Lan telah menguji tenaga dalam si nona, ia
mendapat kenyataan ia menang unggul, tetapi di sebelah itu,
nona itu cerdik sekali, dia dapat membebaskan pedangnya
dari tempelan. Terang si nona berimbang tangguhnya dengan
Beng Sin Thong.
Untuk memegang derajatnya, ketua Thiansan Pay itu tidak
mau mendesak selagi tubuh si nona terhuyung, maka juga ia
telah mengucapkan kata-katanya itu.
"Jangan sungkan!"kata Seng Lam tertawa tawar. "Aku tak
dapat menerima kebaikan budimu!"
Tak puas Siauw Lan mendengar itu, tetapi ia tidak
menunjuki kegusaran. Ia mulai dengan penyerangannya
dengan satu jurus dari ilmu pedang "Gunung Sumeru Besar"
yang dinamakan "Angin dan hujan di delapan penjuru". Jurus
itu dapat mengurung lawan sampai lawan sukar meloloskan
diri. Seng Lam liehay. Ia lantas bertindak dengan tindakan
"Thianlo Pouhoat". Ia jadi bergerak gesit dan lincah sekali.
Bagaikan seekor ikan, ia meloloskan diri secara licin. Dengan
begitu juga, ia lantas dapat melakukan penyerangan
membalas dan ujung pedangnya mencari sembilan jalan darah
lawannya... "Bagus!" Siauw Lan memuji sambil tertawa. "Ilmu pedang
ini dapat dibilang sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri!" Ia
terus bersilat untuk meruntuhkan setiap tikaman si nona.
Diam-diam Seng Lam menyedot napasnya. Benar hebat
jago tua ini. Kata ia di dalam hati: "Kiauw Couwsu
memahamkan ilmu pedang istimewa guna mengalahkan ilmu
pedang Thiansan Pay, tapi sekarang aku lihat, jangan kata
aku, walaupun Couwsu sendiri menitis pula, sulit untuknya
dapat merebut kemenangan!..."
Meski ia tidak bisa memecahkan lawan, Seng Lam dapat
bertahan. Ia terus menggunai ilmu silat Kiauw Pak Beng. Maka
itu pedang bergerak terus dengan cepat dan sinarnya berkilau
terus menerus, menyilaukan tetapi bagus dipandang!
Para penonton menjadi kagum.
"Pantas Tong Tayhiap muncul sendiri, ilmu pedang si nona
memang liehay sekali," demikian banyak orang berpikir.
Walaupun pertempuran berjalan seru itu, orang umumnya
tak menguatirkan Siauw Lan, orang hanya ingin melihat
sampai di mana kegagahan Nona Le. Terhadap Siauw Lan
orang justeru kagum sekali. Orang percaya Seng Lam tak
bakal bertahan terlalu lama...
Hebat pertempuran itu. Seng Lam kalah tenaga dalam tapi
dia cerdik dan tubuhnya sangat ringan, dia terus dapat
bertahan. Maka ber-tempurlah mereka hampir seratus jurus.
Segera datang pula saatnya Siauw Lan merapat pula. Ia
bersilat dengan jurus "Gelombang dari Liongbun", dia nampak
sukar bergerak.
"Tong Tayhiap menang!" Seng Lam terdesak, sampai
beberapa anak muda berseru kegirangan.
Tengah orang bergembira itu, tiba-tiba terlihat tubuh Seng
Lam berputar membelakangi Siauw Lan hingga dia seperti
menyerahkan punggungnya untuk ditikam. Orang heran
hingga rata-rata mereka menjadi melengak.
Siauw Lan juga turut menjadi heran. Ia mengenal ilmu silat
banyak partai, tapi belum pernah mendapatkan ilmu semacam
yang dimiliki Seng Lam ini. Tapi ia sedang bergerak, tak dapat
ia menahan pedangnya, lantas pedangnya itu meluncur terus
ke punggung lawannya dan mengenakan dengan jitu!
Disinilah terjadi hal di luar sangkaan. Pedang Yuliong Kiam,
pedang mustika dan yang menggunakan Tong Siauw Lan,
dapat dimengerti bahayanya tikaman itu, mestinya punggung
si nona tertusuk bolong atau punggungnya tertusuk
terpanggang, akan tetapi kenyataannya tidaklah demikian!
Tepat ujung Yuliong Kiam bekerja, tepat Seng Lam tertawa
nyaring, tepat juga tubuhnya berbalik dan pedang Cay-in Kiam
meluncur ke tenggorokan ketua Thiansan Pay!
Orang heran si nona tak mempan pedang mustika, orang
tak tahu bahwa dia telah memakai tameng, satu di antara tiga
warisannya Kiauw Pak Beng. Itulah tameng Joan-giok-kah,
yang Pak Beng catat dalam kitab warisannya, yang ia wariskan
pada muridnya sebab dikuatirkan murid itu nanti tak sanggup
melawan muridnya Thio Tan Hong.
Menurut Kiauw Pak Beng, sang murid mesti lebih dulu
menggunai Cay-in Kiam menabas putus senjata lawan, baru
lawan dirobohkan. Atau kalau pedang tak dapat dipakai
dengan berhasil, barulah tipunya itu mesti digunakan.
Sekarang Seng Lam telah menggunai tipu itu secara berhasil,
Siauw Lan kena dibikin menjadi heran karenanya, bahkan jago
Thiansan itu menjadi terancam bahaya. Atau kalau tidak,
busur kemala yang harus digunai.
Beng Sin Thong mengerti segala tipu daya tetapi ia tidak
dapat menggunakan itu, sebabnya ialah ketiga-tiganya benda
mustika warisan Kiauw Pak Beng sudah terjatuh ke dalam
tangan Seng Lam. Maka sekarang si nonalah yang menggunainya.
Para hadirin menjadi kaget sekali, semua berdiam, mata
mereka melongo, hati mereka goncang.
Tepat di saat mengancam itu, terdengar seruan Siauw Lan:
"Pedang yang telengas!"
Sebelum lain-lain orang melihatnya, Pun Khong Taysu
sudah menyaksikan Siauw Lan lolos dari bahaya maut,
menyusul mana, jago Thiansan itu terus membalas
menyerang, untuk lantas mengurung pula!
Siauw Lan mengulangi jurusnya "Pathong Hong-ie", atau
"Angin dan hujan di delapan penjuru". Seng Lam kena dibikin
repot pula, tak keburu dia menggunai tindakan Thianlo
Pouhoat. Selagi Seng Lam terkurung itu, mendadak Siauw Lan
menghentikan penyerangannya, sembari tertawa ia kata:
'Terima kasih yang kau suka mengalah! Baiklah pertandingan
babak pertama tak usah dilanjuti lebih jauh!" Belum lagi si
nona menjawab, ia sudah menambahkan: "Nona Le, kau
menghendaki pertempuran yang memutuskan hidup atau
mati, aku sebaliknya cuma ingin ada keputusan siapa menang
dan siapa kalah di antara kita!"
Le Seng Lam melengak, tubuhnya mengeluarkan keringat
dingin. "Sebenarnya kau dapat mengambil jiwaku," kata ia. "Kau
tidak mau melakukan itu, itulah urusanmu sendiri. Masih ada
dua babak lagi, dua-duanya itu nanti harus dilakukan terus!"
Siauw Lan mengangguk.
"Kau benar!" sahutnya. "Kita bicara dari hal tiga macam
pertandingan, semua itu harus dilakukan menurut perjanjian.
Mengenai babak pertama ini, kau tak usah menganggap telah
menerima baik budiku. Jikalau kau mempunyai kepandaian,
kau keluarkanlah semua, aku si orang she Tong, aku
melainkan hendak membuka mataku, perkara hidup atau mati
ada di luar pemikiranku!"
Menyaksikan keadaan itu, para hadirin merasa sangat tidak
puas. Mereka anggap Siauw Lan bermurah hati tidak keruan.
Meski begitu, mereka tidak memikir menggunai kekerasan,
sebaliknya mereka kata di dalam hati: "Biarlah dia dapat
ampun! Masih ada dua babak lagi. Mereka bakal mengadu
tenaga dalam. Kalau dia kena dikalahkan pula, mustahil dia
tidak akan menyerah saja"..."
Di dekat mereka ada tanah tinggi dan lebar yang penuh es,
tingginya kira-kira tiga tombak, Seng Lam menunjuk itu seraya
menanya: "Bagaimana kalau kita naik ke atas sana" Disana
kita mengadu tenaga dalam, siapa tak dapat bertahan, dia
tentu bakal jatuh terlebih dulu, maka dialah yang kalah!"
"Tuan rumah mengikuti tetamu saja," sahut Siauw Lan.
"Nona Le, silahkan kau naik terlebih dahulu!"
Seng Lam tidak kata apa-apa lagi, lantas lompat naik,
diturut oleh tuan rumahnya. Di atas itu, yang rata dan licin,
mereka lantas duduk bersila dengan berhadapan serta tangan
mereka ditempel satu dengan lain. Pula dengan lantas mereka
mulai mengadu kepandaian mereka.
Dengan cepat sekali Siauw Lan merasa hawa dingin
tersalurkan dari tangan lawannya, mulanya ia terkejut, lalu ia
bersenyum. Ia kata di dalam hatinya: "Nyata dia telah
memahamkan Siulo Imsat Kang dan telah mencapai tingkat ke
sembilan! Pantaslah dia mau mengadu tenaga dalam di atas
es, rupanya dia mengharap hawa es nanti membantu
kepadanya!"
Selang sekian lama bukan es menjadi bertambah beku,
sebaliknya, di tempat yang mereka duduki, es menjadi lumer.
Itulah bocahnya perlawanan dari Siauw Lan. Di samping
bertahan untuk serangan Siulo Imsat Kang, tenaganya yang
lebih itu tersalurkan kepada es, dengan begitu, es menjadi
lumer perlahan-lahan.
Lewat lagi sekian lama, pakaian Seng Lam mulai demak
dan napasnya memburu. Orang semua melihat itu. Mereka
kebanyakan lantas menyangka Siauw Lan bakal menang. Tapi
mereka yang liehay, melihat lain. Wajah Siauw Lan dari
tenang menjadi sungguh-sungguh. Sedang es di sekitarnya
Seng Lam mulai membeku pula.
Sebelumnya bertempur, Seng Lam sudah siap sedia. Ia
telah makan banyak bunga asura. Bunga itu harum baunya,
siapa dapat mencium itu, dia bisa menjadi pusing seperti
mabuk arak, sedang yang tenaga dalamnya masih rendah dia
dapat roboh tak sadarkan diri. Seng Lam dapat makan bunga
itu tanpa terancam bahaya karena dari dalam kitab Pektok
Cinkeng ia memperoleh pelajaran cara makannya, bahkan ia
pelajarkan juga ilmu mengeluarkan bau bunga untuk
menyerang lawan. Sekarang ia gunakan itu terhadap Siauw
Lan. Itulah andalannya kenapa ia berani menantang seorang
yang ia tahu tenaga dalamnya sangat mahir dan jauh
melebihkan ianya. Makin ia bernapas memburu, makin banyak
hawa bunganya itu keluar menyerang lawannya.
Demikianlah, meskipun Siauw Lan liehay sekali, karena ia
mesti memecah perhatian atau cara bertahannya, ia menjadi
repot. Kalau tadinya ia sudah menang di atas angin, keadaan
mereka lalu menjadi berimbang. Jarak sangat dekat dari
mereka memudahkan serangan bau bunga si nona.
Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebagai seorang cerdas, Siauw Lan lantas dapat menebak
lawannya itu mesti telah menggunai salah satu akal. Seng Lam
berjanji tidak mau menggunai racun, ia percaya itu. Sekarang
ia dapat menyedot bau harum, tidaklah itu bakal dipandang
sebagai bau biasa. Sekali pun Seng Lam menggunai racun, ia
tidak takut, untuk itu ia sudah bersedia menangkisnya, guna
melawan dan memunahkannya.
Untuk membela diri, Siauw Lan lantas berhenti bernapas. Ia
menahan sambil bersemedhi. Ia tak usah lama mengempos
semangat, lantas ia menjadi terlebih unggul pula. Bahkan
dengan lekas Seng Lam terancam bahaya. Mulanya dia pucat
mukanya, menyusul itu dari pinggiran mulutnya mengalir
darah! Siauw Lan melihat itu, lantas timbul perasaan kasihannya,
hatinya menjadi tidak tega, maka ingin ia mengurangi
desakannya, supaya nona itu tak terbinasa di tangannya,
tetapi baru ia memikir begitu, mendadak Seng Lam tertawa
dingin, mendadak tenaga si nona bertambah seketika,
bertambah besar sekali. Tentu sekali ia menjadi kaget, lekaslekas
ia mempertahankan diri. Hebat desakan itu, dua kali
tubuhnya bergoyang limbung!
Itulah kejadian sangat mengherankan! Bukankah sudah
terang si nona telah terdesak hebat, sampai mukanya pucat
dan darahnya keluar" Kenapa secara tiba-tiba ia menjadi
dapat menyerang balik demikian dahsyat" Sekalipun Siauw
Lan sendiri ia heran bukan main. Syukur ia tabah dan tenaga
dalamnya mahir, ia dapat lekas mempertahankan diri, hingga
tenaga mereka menjadi berimbang pula. Setelah ini, ia hendak
membalas menyerang lagi.
Luar biasa Seng Lam. Kalau tadi ia menyerang bagaikan
badai, lantas ia menjadi anteng pula. Tepat Siauw Lan hendak
mendesak, sekonyong-konyong ia tertawa mengejek kembali,
hanya kali ini suara tertawanya itu disusul dengan muncrat
darahnya! Ketua Thiansan Pay menjadi kaget. Ia merasakan hawa
dingin masuk ke dalam tubuhnya, hingga kulitnya menjadi
beku dan darahnya sukar tersalurkan.
Siapa pun tak ketahui Seng Lam sudah menyerang dengan
ilmunya yang baru, yang diberi nama "Thianmo Kaytee
Tayhoat", yaitu ilmu urai tubuh "Hantu Langit". Itulah ilmu
buat mati bersama dengan musuh. Ilmu itu membutuhkan
tenaga terakhir. Ini dia ilmu yang Beng Sin Thong pakai
membinasakan Congkoan Ko Hong Kauw dari istana kaisar, di
saat ia sudah terluka parah dan hampir binasa. Itulah salah
satu ilmunya Kiauw Pak Beng dan Seng Lam mendapatkannya
dari kitab warisannnya jago itu, bahkan ia dapat mengumpul
tenaga, lebih besar daripada tenaganya Sin Thong itu. Tenaga
si nona bertambah tiga lipat, sedang tenaga Siauw Lan cuma
cukup buat melawan yang dua lipat ganda.
Pun Khong Taysu melihat Siauw Lan tak dapat bertahan,
dia menjadi sangat kaget.
"Celaka!" teriaknya. Lalu dengan lupa segala apa, dia
berlompat masuk ke dalam gelanggang, berniat menolong
ketua Thiansan Pay itu.
Justeru itu Seng Lam tertawa nyaring, kedua tangannya
segera ditarik pulang, atas mana nampak tubuhnya Siauw Lan
bergerak, kepalanya turun ke bawah kakinya naik ke atas,
terus tubuhnya itu terguling dari atas batu!
Kembali terdengar suaranya si nona yang berkata nyaring:
"Satu dibalas dengan satu. Kita sama-sama tidak menerima
budi! Bagaimana aku bersikap terhadap kau Tong Ciangbun,
kau pasti mengerti sendiri!"
Pun Khong maju terus, tepat ia menyambuti tubuhnya
Siauw Lan. Tapi mendadak ia menjadi sangat kaget. Ketika ia
memegang tubuh Siauw Lan, hawa sangat dingin menyerang
padanya, tak dapat ia bertahan dari hawa itu, tidak ampun
lagi tubuhnya terpental setumbak lebih!
Siauw Lan benar-benar luar biasa. Di saat ia mau roboh
dapat ia mempertahankan diri, bahkan ia berlompat, maka di
lain saat ialah yang memegangi tubuh Pun Khong hingga
pendeta ini tak usah roboh memegang tanah!
Di dalam hati Pun Khong mengeluh malu. la insyaf akan
bahayanya andaikata ia lompat naik ke atas untuk
memisahkan kedua orang yang lagi mengadu kepandaian itu.
Dengan tak langsung saja ia sudah terhajar hebat hawa dingin
yang istimewa itu.
Habis menolongi Pun Khong, Siauw Lan berpaling pada
Seng Lam, untuk memberi hormat sambil berkata: "Nona,
terima kasih untuk kebaikan hatimu! Tenaga dalammu liehay
sekali, aku si orang she Tong menyerah kepadamu!"
Mendengar suaranya ketua Thiansan Pay itu, semua orang
terperanjat. Perkataannya Siauw Lan berarti selainnya Seng
Lam menang tenaga dalam juga barusan kalau dia mau, dia
dapat merampas jiwa orang. Jadi si nona telah menaruh belas
kasihan. Mereka yang tadi menyangka si nona cuma
mengepul, sekarang menjadi bungkam mulutnya, mereka
saling mengawasi dengan bengong!
Siauw Lan tidak ketahui ilmu Thianmo Kaytee, ia
menyangka si nona benar-benar tangguh dan ulat sekali.
Karena itu iapun tak ketahui, siapa mengeluarkan tenaga
berlebihan dalam ilmu itu, dia dapat roboh binasa sendirinya.
Seng Lam lompat turun dari atas buat ia terus berkata
tawar; "Ketika tadi kita mengadu pedang, kau telah memberi
ampun padaku, maka itu sekarang aku memberi ampun
padamu. Kita menjadi seri. Hal ini baik jangan diomongkan
terlebih jauh. Sekarang aku ingin menerima pelajaran
Thiansan Sinbong dari Tong Ciangbun!"
Ketika itu Keng Thian telah menghampirkan ayahnya. Ia
telah melihat sinar matanya si ayah sayup-sayup ia menjadi
berkuatir. Itulah bukti yang si ayah terganggu tenaga
dalamnya. Tak biasanya mata ayah itu guram demikian
macam. "Ayah," katanya perlahan, "Baiklah pertandingan
diundurkan sampai besok saja..."
Anak itu bicara sangat perlahan, tetapi Seng Lam dapat
dengar itu, maka si nona sudah lantas tertawa lebar dan kata:
"Tong Siauwciangbun, apakah kau hendak meminta
penundaan untuk ayahmu?" Tanpa menanti jawaban, ia
meneruskan berkata pada Siauw Lam: "Tong Toaciangbun,
apabila benar tenagamu sudah habis, aku tidak sudi berlaku
keterlaluan, dapat aku membiarkan kau hidup satu hari lebih
lama!" Bukan main hebat kata-kata itu. Mendadak kedua mata
Siauw Lan menjadi seperti menyala. Iapun lantas menjadi
segar luar biasa.
"Sudah diterangkan hari ini kita bertempur dalam tiga
babak!" katanya nyaring, "biar bagaimana, aku mesti
menetapkan janji melayani kau, nona! Pula kali ini kita jangan
saling menaruh belas kasihan lagi, jikalau kau mempunyai
kepandaian, kau boleh ambil jiwa aku si orang tua!"
Parasnya Seng Lam pucat seperti kertas, akan tetapi ia
dapat tertawa bergelak.
"Bagus!" dia berseru. "Taklah kecewa Tong Ciangbun
menjadi seorang guru besar!" Ia terus meng-gape kepada
delapan orangnya, antara siapa empat sudah lantas datang
sambil mengggotong sebuah busur besar, busur mana
berkilau seluruhnya. Sebab itulah satu di antara warisannya
Kiauw Pak Beng--itulah busur kemala yang dibuat dari kemala
Han-giok dari dasar laut.
Para hadirin termasuk orang-orang yang banyak
pendengarannya dan luas pengetahuannya akan tetapi busur
sebesar itu, yang terbuatnya dari kemala, mereka baru pernah
lihat, maka itu, mereka menjadi heran, semua menjadi kagum.
"Apakah ada sesuatu yang aneh pada busur itu?" dia tanya
seorang diri, suaranyapun sebagai orang mendumal.
Seng Lam menyapu kepada semua orang.
"Aku tak tahu diri," berkata dia dingin, "dari itu hendak aku
menggunai busur ini untuk melawan Thiansan Sinbong senjata
rahasia dari Tong Ciangbun yang tak ada keduanya di kolong
langit ini! Sekarang aku minta siapa saja di antara para hadirin
yang suka datang kemari memeriksanya!"
Siauw Lan heran.
"Apakah yang mesti diperiksa?" ia tanya.
"Mungkin ada orang yang mencurigai busurku ini," kata
Seng Lam. "Tanpa diperiksa lagi, mana dapat aku membikin
hati mereka itu tenang?"
Ketua Thiansan Pay mengerutkan alis.
"Buat apakah sampai begitu?" kata ia.
"Baik juga kalau orang banyak melihatnya!" Kang Lam kata
nyaring. Sin In Long lantas maju.
"Perkataannya engko kecil ini benar!" dia kata. "Aku si
orang tua tidak mencurigai apa-apa akan tetapi panah ini
memang benar benda yang langka!"
Orang tua she In ini menjadi wakil ketua Cengshia Pay, dia
memiliki tenaga dalam melebihkan Pun Khong Taysu serta dia
mengerti banyak macam alat senjata, dia juga luas
pemandangannya, karena dia bersahabat erat dengan Tong
Siauw Lan, tak mau dia berlaku sembrono. Karena curiga, tak
mau dia sahabatnya kena tertipu musuh yang cerdik itu, dari
itu, dia ingin memeriksa.
Seng Lam berpaling kepada Tong Keng Thian, ia melihat
wajah orang rada bergelisah, ia lantas bersenyum dan
berkata: "Tak apa lebih banyak orang memeriksa dan juga tak
usahlah mesti seorang yang telah berusia lanjut! Tong
Siauwciangbun, silahkan kau maju tak usah malu-malu! Kau
juga, Kang Lam, kau boleh maju memeriksa bersama! Kau
harus melihatnya biar terang, agar kemudian kau tak usah
menyebutkan sesuatu yang aneh!"
"Baiklah!" berseru Kang Lam, menjawab. "Aku juga hendak
membuka, membikin luas pandangan mataku!"
Karena itu, Keng Thian turut maju.
Kang Lam meraba busur itu, ia merasakan dingin. Lain dari
itu, tidak ada apa-apa yang luar biasa, yang dapat
mendatangkan kecurigaan.
Justeru orang memegang, ke empat nona baju putih
mendadak berseru: "Sambutlah!" Mereka berbareng
melepaskan cekalannya.
Kang Lam kaget sekali, dia roboh.
"Celaka aku!" dia berseru. Dia takut nanti ketindihan busur
ini. Keng Thian berada di samping orang, lekas-lekas ia
menyambuti. Atas itu Kang Lam meneruskan menggulingkan
diri, buat menyingkir sampai tiga tombak. Tapi ia kaget betulbetul,
waktu ia bangun berdiri, mukanya pucat dan pinggiran
mulutnya mengalirkan darah!
Yo Liu Ceng ibu dan anak sudah lantas menghampirkan itu
baba mantu dan suami. Ciang Hee, si isteri, lantas menyesali,
katanya: "Dasar kau usilan! Nah lihat, bagaimana sekarang?"
"Syukur, syukur!" kata suami jenaka itu. "Syukur aku tidak
ketindihan. Kalau tidak tubuhku bisa menjadi gepeng remuk!"
Keng Thian jauh terlebih kuat daripada Kang Lam, ketika ia
menahan busur, ia juga mesti mengeluarkan tenaga banyak
sekali. Sebab busur itu berat luar biasa, beratnya mirip dengan
berat besi atau baja.
Sie Ie pun dulu cuma kuat mengangkat, tak sanggup dia
menggunakannya.
Demikian Keng Thian, dia kuat mengangkat hanya tidak
lama, keringat lantas keluar di jidatnya dan napasnya
memburu. Sin In Long melihat itu, ia menjadi heran sekali.
"Biarlah loohu pun melihatnya!" katanya cepat. Ia
menyambuti busur itu. Di dalam halnya tenaga dalam, ia cuma
menang sedikit daripada Keng Thian, maka itu, ia pun
merasakan beratnya busur itu. Ia memeriksa, ia tidak
mendapatkan apa-apa yang mencurigai kecuali beratnya yang
luar biasa itu. Ia melihat batu kemala tulen, maka kalau
kemala itu terkena racun, mesti ada cacadnya berwarna hitam
atau abu-abu. Sekarang ini seluruh busur mulus, maka legalah
hatinya. Seng Lam mengawasi orang memeriksa, dia tertawa.
"Sekarang kasihlah lihat tiga bocah jemparingnya!" ia
memerintahkan orang-orangnya. "Kasih lihat kepada Sin
Toaciangbun untuk diperiksa!"
Sin In Long periksa tiga bocah jemparing yang disebutkan
itu, yang pun terbuat dari kemala, kemudian ia pasang itu
pada busur, ketika dieoba menarik ia gagal, tak dapat ia
menariknya habis, sedang sebenarnya ia bertenaga besar.
Karena ini lekas-lekas ia menurunkan busur itu.
"Nona Le, tenagamu tenaga luar biasaP'ia memuji. "Hebat
kau dapat menggunai panah ini! Aku si tua, aku takluk
padamu!" Seng Lam tidak mengambil mumat suara orang.
"Apakah kamu sudah memeriksa jelas?"ia tanya tertawa
dingin. "Bukankah panahku ini tidak ada racun atau senjata
rahasianya?"
Sin In Long terdesak, dengan terpaksa dia tertawa.
"Nona bergurau!"katanya. "Kami cuma ingin menambah
pengetahuan kami, bukannya kami tidak percaya kau!..."
Keng Thian sendiri, di dalam hatinya, tetap ia bersangsi.
"Meski panah ini tidak ada racunnya," demikian pikirnya,
"tetapi beratnya luar biasa, untuk melepaskan ini, orang mesti
menggunai tenaga luar biasa juga, jauh lebih besar daripada
menggunai sinbong. Ayahku baru saja mengadu tenaga
dalam, ia masih letih sekali, aku kuatir ia tidak dapat... Ah,
sudah terlanjur, biarlah terserah kepada berkah perlindungan
Thian saja! Biarlah bahaya berubah menjadi keselamatan!..."
Bukan melainkan Keng Thian yang berkuatir, juga hadirin
lainnya. Tadinya mereka menyangka Siauw Lan akan
memperoleh kemenangan dengan mudah. Maka sekarang
mata orang ditujukan bergantian kepada si jago tua dan si
nona. Seng Lam berlaku tenang, ketika ia menyingkap naik
rambutnya serta merapikan pakaiannya. Ketika ia berkata,
suaranya pun sabar sekali.
"Tong Ciangbun, kita sudah menang, masing-masing satu
kali," katanya, "maka itu babak ini, babak yang terakhir, babak
yang memutuskan menang atau kalah. Di dalam dua babak
terdahulu itu selalu kau yang mengalah membiarkan aku yang
mulai, dari itu sekarang sudahlah selayaknya apabila aku
Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mempersilahkan kau yang mulai! Caranya kita atur begini
saja: Lebih dulu kau melepaskan tiga biji Thiansan Sinbong,
habis itu aku dengan tiga batang jemparingku ini! Jikalau aku
tidak sanggup bertahan dari sinbong hingga aku mesti mati
terlebih dulu, itu artinya sudah nasibku, aku tidak bakal
menyesal!"
Para hadirin heran. Mereka tidak sangka di dalam babak
terakhir ini Seng Lam sudi mengalah. Memangnya mereka
berkuatir Siauw Lan tak dapat bertahan. Siauw Lan masih letih
sekali. Tapi sekarang Siauw Lan yang bakal turun tangan
terlebih dulu, hati mereka menjadi lega, timbullah harapan
mereka ketua Thiansan Pay ini bakal menang.
Sekarang tinggal kekuatiran lain. Yaitu mereka kuatir Siauw
Lan nanti menampik untuk turun tangan terlebih dulu.
"Nona Le benar!" Pun Khong Taysu lantas berkata
mendahului Siauw Lan menjawab si nona. "Sudah
sepantasnya kalau Tong Tayhiap menerima baik pengaturan
kau ini!" "Benar!" Siauw Ceng Hong turut bicara. "Nona Le
bermaksud baik, Tong Tayhiap harus menerima baik, kalau
tayhiap menolak, bisa jadi orang salah paham dan menyangka
tayhiap memandang tak mata kepada si nona!"
Siauw Lan sendiri merasa sangat tak enak hati. Ia malu
akan melayani lawan muda, bahkan seorang nona. Mana
dapat ia turun tangan terlebih dulu" Tapi Siauw Lan menurut
saja! Keng Thian berlaku sebat melayani ayahnya, la memilihkan
tiga biji Thiansan Sinbong.
Siauw Lan menyedot napas.
"Nona Le, maafkan aku si orang tua!" kata ia selagi bersiap,
lantas terus ia menyentilkan dua bocah jerijinya, atas mana
sebuah sinar merah, terang mengkilat meluncur pesat. Senjata
rahasia itupun menerbitkan suara angin yang keras.
Semua hadirin kagum. Tidak disangka, sesudah letih
demikian, Siauw Lan masih dapat menggunai senjata
rahasianya demikian baik.
Seng Lam tidak berdiam saja, dia juga sudah lantas
bekerja. Dia menggunai pedangnya. Maka terdengarlah satu
suara bentrokan yang nyaring. Sinbong kena terta-bas pedang
Cay-in Kiam dan putus menjadi dua potong!
Thiansan Sinbong keras dan kuat seperti emas atau batu,
inilah yang pertama kali ada orang yang dapat menangkis
sambil menyerangnya hingga terbelah dua.
Semua orang menjadi terperanjat. Orangpun melihat Seng
Lam terhuyung mundur tujuh atau delapan tindak, hingga ia
mesti menyender pada sebuah pohon cemara, napasnya
bekerja keras, mukanya menjadi bertambah pucat!
"Nona Le, apakah kau ingin beristirahat?" Siauw Lan tanya.
Belum berhenti suaranya jago ini, tubuh Seng Lam sudah
mencelat kembali ke dalam gelanggang, dengan suara tawar,
dia berkata: "Tenaga Thiansan Sinbong besar tak ada
keduanya! Meski begitu, Tong Ciangbun, tak nanti aku bakal
kena terhajar hingga mati! Tong Ciangbun, jangan berkuatir
untukku! Kau masih mempunyai dua biji, silahkan kau
menyerang pula..."
Habis mengucap begitu si nona batuk satu kali, kembali dia
mun-tahkan darah!
Akan tetapi, mengawasi si nona, Siauw Lan menjadi heran.
Habis muntah darah, nona itu nampak tambah segar, dia
bukannya menjadi bertambah lemah...
"Itulah tenaga dalam kaum sesat!" pikirnya. "Benar-benar
tenaga dalam yang aku belum pernah lihat atau dengar!"
Sampai disitu, jago Thiansan ini tidak dapat memikir pula
berkasihan terhadap lawannya. Diam-diam ia mengerahkan
tenaganya pada jeriji tangannya, untuk melepaskan sinbong
yang kedua. Maka bisalah dimengerti kalau senjata rahasia ini
melesat lebih cepat dan kuat daripada yang pertama.
Seng Lam bersedia atas datangnya serangan itu. Ia
menanti sampai sinbong sampai, mendadak ia lompat berkelit
seperti burung walet menyambar, lalu terdengar suara cita
pecah, sebab bagian bawah dari kun-nya kena terobek
sinbong, menyusul mana tubuhnya jatuh terbanting!
Orang tidak melihat tegas kecuali menduga Seng Lam
terluka dan roboh, mereka berseru kaget. Pikiran mereka itu
menjadi bertentangan sendirinya. Mulanya semua mengharapi
Siauw Lan menang, supaya si nona yang dianggap jahat dapat
disingkirkan. Sekarang melihat si nona roboh, mereka semua
terkejut, mereka merasa kasihan. Sebab biar bagaimana, si
nona tetap seorang wanita muda remaja, dia demikian liehay,
sayang dia bercelaka...
Selagi orang banyak itu berseru, mendadak terlihat Seng
Lam berlompat bangun, terus terdengar suaranya yang dingin:
"Masih ada satu biji lagi yang terakhir! Kalau itu tidak mau
digunai sekarang juga, mau tunggu apa lagi?"
Nona ini telah berkelit dengan menggunai tindakan Thianlo
Pou-hoat yang digabung dengan keringanan tubuhnya, ia
berhasil membebaskan diri dari Thiansan Sinbong, yang
mengenai kunnya. Karena tenaganya habis, lantas ia roboh.
Karena ia tidak kurang suatu apa, begitu ia memegang tanah,
dapat ia mencelat bangun.
Siauw Lan seorang jago, melihat keadaan si nona, timbul
pula rasa kasihannya, maka ia tidak melanjuti menyerang
dengan sinbong yang terakhir, tetapi setelah berpikir sejenak,
ia lantas mengambil keputusannya, ia mengeraskan hati. Ia
insyaf, ia sendiri belum tentu nanti dikasihani nona yang luar
biasa itu, yang mestinya berhati telengas. Demikian ia
mengertak gigi, hatinya memuji: "Semoga dia cuma terluka
saja!..." Ketika ia menyerang, ia menggunai seluruh tenaganya.
Kali ini Seng Lam berlaku aneh luar biasa. Ia tidak
menangkis atau berkelit seperti dua kali tadi. Sebaliknya ketika
serangan tiba, ia memutar tubuh, untuk menyambut dengan
punggungnya, maka dengan menerbitkan suara keras, ia
terhajar hebat. Sudah suara sinbong nyaring, iapun menjerit,
tubuhnya terhuyung ke depan sampai beberapa tindak. Selagi
ia mau roboh, beberapa budaknya lari menyambar, untuk
mempepayang! Semua hadirin menahan napas, semua mengawasi
melongo. Begitu ia sudah berdiri tegak, Seng Lam memutar tubuh. Ia
menggeraki kedua tangannya mengasih mundur budakbudaknya,
terus ia membawakan sebelah tangannya ke
belakang buat mencabut sinbong yang nancap di
punggungnya itu. Anehnya senjata rahasia itu tidak berlepotan
darah sedikit juga. Ia melemparkan senjata itu sambil ia kata
tawar: "Tong Ciangbun, sekarang tibalah giliranku!"
Seng Lam mengandal pula tamengnya. Ia terhajar keras
sekali, ia terluka di dalam, tetapi ia tidak roboh, ia masih
sanggup mempertahankan diri. Ketika orang mendengar
suaranya itu, semuanya berdiam, hingga gelanggang dan
sekitarnya menjadi sangat sunyi, hingga orang mendengar
jantungnya yang memukul...
Tong Siauw Lan bersikap tenang.
"Nona Le, aku si orang she Tong sudah mempertontonkan
kejelekannya," kata ia, "dengan begitu aku membikin orang
mentertawakan aku saja. Sekarang silahkan nona melepaskan
anak panahmu!"
Seng Lam tidak menyahuti, ia hanya melihat empat
budaknya menggotong busur ke hadapannya. Sepasang
alisnya berkerut rapat. Kemudian nampak ia tertawa meringis.
Melihat keadaan si nona, hati orang sedikit lega. Mereka
pikir: "Tenaga dalam Tong Tayhiap terganggu, tetapi
perempuan siluman ini mestinya terluka lebih parah. Mustahil
dia dapat menggunai panahnya yang berat seperti masanya
dia sehat?"
Tengah orang mengawasi dia sambil semua berdiam, Seng
Lam sudah mulai beraksi. Mendadak ia menggigit luka ujung
lidahnya terus ia menyemburkan darah hidup. Begitu ia
menyembur, dengan mendadak ia terlihat menjadi segar.
Dengan sebat ia menyambuti busurnya, dengan cepat ia
memasang sebatang anak panahnya, terus ia berseru: "Tong
Tayhiap, sambut panah!"
Hanya dengan satu suara nyaring maka anak panah kemala
itu meluncur ke arah Tong Siauw Lan, yang terarah dadanya.
Jago Thiansan itu melihat tibanya anak panah, ia lantas
menangkis dengan pedangnya. Tepat tang-kisannya itu, kedua
senjata bentrok, terus anak panah mental jatuh, sedang
pedang nancap di es.
Mengikuti itu riuhlah tampik sorak para hadirin!
Pun Khong Taysu bersama-sama Sin In Long, Siauw Ceng
Hong dan beberapa guru besar lainnya tidak turut bertepuk
tangan atau berseru-seru. Sebaliknya mereka memperlihatkan
wajah yang lebih suram. Sebabnya itu ialah karena mereka
lihat, meski tangkisan Siauw Lan sempurna, tenaganya itu jika
dibanding dengan tenaganya Seng Lam tatkala si nona
menangkis Thiansan Sinbong. Tak sama, dengan
kebiasaannya Siauw Lan menangkis tanpa menanti anak
panah datang sangat dekat hanya masih cukup jauh, ia sudah
menimpuk hingga pedangnya itu nancap di es!
Kalau Pun Khong semua berkuatir, Seng Lam juga tak
tenang hatinya. Ia menyangka jago Thiansan itu sudah sangat
letih, dia tentunya tak dapat menangkis panahnya, tak
tahunya, anak panahnya yang pertama itu kena dihalau. Maka
ia kata di dalam hatinya: "Kalau begini, sia-sia saja aku
menggunai Thianmo Kaytee. Dia begini tangguh, meski aku
berlatih sepuluh tahun, sulit untuk aku menyamai dia..."
Tong Siauw Lan menyedot napas dalam-dalam, lalu
mendadak dia menjatuhkan diri untuk bersila di tanah. Dia
mengawasi si nona, untuk berkata: "Nona Le, panahmu benar
liehay, di dalam dunia ini tak ada keduanya, maka kalau aku
terbinasa di tanganmu, aku puas! Sekarang, nona, silahkan
kau menyerang pula!"
Seng Lam tidak menjawab, dia hanya menggigit giginya,
habis itu barulah ia menarik panahnya. Ia menarik hingga
busurnya menjadi bundar. Begitu ia melepaskan tangannya
yang kanan, maka anak panahnya yang kedua lantas
meluncur dengan sangat pesat.
Sekarang ini Siauw Lan sudah tidak mempunyai pedang
untuk dipakai sebagai gegaman membela diri. Ketika ia
dipanah itu, ia duduk tak bergeming. Cuma matanya terus
diarahkan tajam ke depan.
Orang banyak menjadi kaget, semua berkuatir bukan main.
Antaranya ada yang berteriak. Tapi Siauw Lan tetap berdiam,
hanya sekarang ia mengulur lempang kedua tangannya.
Maka satu hal luar biasa lantas terjadi. Ketika anak panah
tiba, bagaikan ada tenaga yang menahan, senjata itu tak
menyambar terus ke tubuh Siauw Lan, hanya tertahan di
depan tangan, lantas kena terjepit kedua tangan itu!
Kalau tadi orang menjerit kaget, sekarang mereka
bertampik sorak. Mereka girang dan kagum. Kagum sebab
beda sekali cara jago Thiansan itu menyambut anak panah
pertama dengan anak panah yang nomor dua ini. Kalau yang
pertama dengan kekerasan, pedang lawan anak panah,
sekarang dengan kelunakan, dengan tenaga dalam yang mahir
sekali. Toh telah nampak nyata, jago itu telah terluka di dalam
atau tenaga dalamnya telah berkurang.
Kembali orang luar tidak mendapat tahu. Walaupun Siauw
Lan berhasil, di dalam hatinya dia mengeluh. Sebab
menyambut anak panah itu, bukan main besarnya tenaga
yang ia empos dan korbankan. Ia sudah menggunai tenaga
hingga tenaga dalamnya hampir kosong sama sekali...
Maka sekarang ia mirip dengan pelita kekeringan minyak!
Diam-diam Seng Lam mengagumi jago tua itu. Ia tanya
dirinya sendiri: "Apakah harus aku membinasakan ini guru
besar yang nomor satu di kolong langit ini?" Mengingat itu,
hatinya mendadak menja-di lemah. Hanya sejenak kemudian
ia ingat pesan Kiauw Pak Beng dan lalu di depan matanya
seperti berkelebat bayangannya Kim Sie Ie. Maka ia kata pula
di dalam hatinya: "Dengan panahku ini aku bukannya
memanah Tong Siauw Lan!" Segera ia mengertak giginya,
terus ia memasang anak panah yang ketiga, untuk mulai
menarik perlahan-lahan, setelah mana ia melepaskan anak
panahnya yang terakhir itu!
Tong Siauw Lan tetap duduk bersila, telinganya mendengar
suara panah melesat. Ia berputus asa hingga ia kata di dalam
hatinya: "Aku tidak sangka bahwa aku dapat terbinasakan
seorang anak perempuan..."
Hampir berbareng dengan bunyinya panah, disana
terdengar satu orang berteriak: "Tahan!" Akan tetapi sia-sia
saja cegahan itu, anak panah sudah melesat. Hanya,
mendengar suara itu, tangannya Seng Lam menggetar.
Menyusuli bentakan itu, satu tubuh yang merupakan
bayangan putih lompat melesat bagaikan kilat cepatnya,
memapaki anak panah, yang dapat disambut selagi anak
panah itu mendekati Siauw Lan kira-kira sepuluh tindak. Maka
dengan satu suara nyaring, anak panah itu terpental,
menyambar ke batu es!
Berbareng dengan itu, robohlah tubuh yang menyambut
anak panah! Hampir berbareng dengan itu beberapa orang berseru:
"Kim Sie Ie!"
Kang Lam, dengan kegirangan luar biasa, sudah lantas
berseru-seru: "Memang aku sudah tahu! Memang aku sudah
tahu! Pasti Kim Tayhiap bakal datang kemari!-Kim Tayhiap,
aku disini!"
Suara orang berisik sekali, Kim Sie Ie tak dengar suara si
jenaka itu. Lie Kim Bwee kaget dan girang dengan berbareng, hendak
dia berlompat lari, guna menghampirkan Tokciu Hongkay, apa
mau kedua kakinya seperti tak mau menuruti kehendaknya
itu, karenanya ia cuma bisa berkata-kata tak tegas: "Dia sudah
kembali! Dia sudah kembali! Ah, kiranya dia telah pergi
kepadaku!"
Nyatalah senjata yang Kim Sie Ie gunai untuk mencegah
panah kemalanya Seng Lam ialah tongkat besi warisannya
Tokliong Cuncia untuk Kim Sie Ie. Tongkat besi itu didapatkan
Rahasia Peti Wasiat 5 Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Elang Terbang Di Dataran Luas 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama