Ceritasilat Novel Online

Perjodohan Busur Kumala 3

Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen Bagian 3


Kedua senjata sama-sama barang logam, keras suara
benterokannya, kumandangnya mendengung di lembahlembah,
kuping terasa ketulian.
Habis itu Chong Leng Siangjin mundur dua tiga tindak,
ketika ia maju pula, tubuhnya berlompat, sepasang cecernya
turun berkilauan seperti hendak menungkrap lawannya.
Kim Sie le menyaksikan gerakan orang itu, ia tertawa
dingin. "Apakah kau hendak mengadu jiwa benar-benar
denganku?" ia tanya. Ia menarik tongkatnya, maka di tangan
kanannya segera tampak sebatang pedang besi dan tangan
kirinya tetap memegangi tongkatnya, yang nyatanya adalah
sarung pedangnya itu. Maka dengan kedua senjata di tangan
itu, dengan sarung pedang ia menangkis, dengan pedangnya
ia menyerang, atau ia menyerang bergantian atau berbareng
dengan kedua senjatanya itu, hingga sebentar kemudian, ia
membuatnya Chong Leng repot, suara cecernya pun menjadi
seperti parau. Hebat bentroknya senjata kedua pihak,
berisiknya bagaikan gunung ambruk dan bumi gempa.
Kim Sie Ie benar-benar mengasih lihat kepandaiannya. Ia
mendesak tidak hentinya. Maka satu kali kembali dalang
gempurannya yang dahsyat. Tidak dapat jalan lain, Chong
Leng menangkis. Lagi-lagi kedua senjata bentrok, lagi-lagi
terdengar suara nyaring tetapi parau, lak sedap didengarnya.
Kali ini tongpoat atau cecer si pendeta pecah menjadi empat
potong dan terbang berhamburan. Yang paling hebat ialah
keluarnya darah dari mulutnya, hidungnya, mata dan
kupingnya! Itulah kesudahannya kedua pihak mengadu
kepandaian mereka.
Chong Leng hebat, meski telah luka di dalam, ia masih
dapat bergerak dengan gesit dan cepat, kali ini ia terus kabur,
sembari lari, ia mengasih dengar caciannya: "Kim Sie Ie,
makhluk aneh yang tidak tahu gelagat! Bahaya mampus sudah
mengancam di atasan kepalamu, kenapa kau masih belum
insyaf" Tak usahlah aku datang sendiri menuntut balas
terhadapmu, sebentar lagi itu beberapa kepala iblis bakal
datang untuk membikin tulang-tulangmu hangus menjadi
abu!" Kim Sie Ie tertawa bergelak-gelak.
"Baiklah kau simpan sehem-busan lagi napasmu!" ujarnya.
"Jikalau kau bergusar satu kali lagi, kau bakal pergi terlebih
dulu mendaftarkan diri ke kantornya Raja Akherat, hingga
tidaklah keburu lagi aku membikin tulang-tulangmu berubah
menjadi abu!"
Chong Leng Siangjin rupanya menginsyafi dirinya, dia tidak
berani membuka mulut terlebih jauh, dia lantas juga
menghilang. Kim Sie Ie tertawa terbahak, sampai mendadak ia ingat
perkataan si pendeta tentang warisan Kiauw Pak Beng itu.
Karena ini, dengan lantas ia berlari keras, akan mengejar
pendeta itu. *** Sia-sia belaka Kang Lam gentayangan setengah malaman,
tidak berhasil ia mencari Kim Sie Ie. Ia melihat bintangbintang
seperti sisa berkelak-kelik dan di ufuk timur, langit
mulai bersinar terang samar-samar, tandanya sang matahari
bakal lekas memunculkan diri.
"Jikalau Kim Sie Ie suka menemui kau, dia pasti sudah
datang!" berkata Ciang Hee, yang terus menemani anak muda
ini. "Langit bakal lekas terang, mari kita lekas pulang!"
Kang Lam belum putus asa.
"Mungkin Kim Tayhiap lagi menguji kesungguhan hatiku,"
katanya. "Kita menanti lagi sebentar, kalau sampai terang
tanah terus Kim Tayhiap tidak kembali, baru kita pulang."
"Ah, kau benar-benar rada tolol!" kata si nona kewalahan.
Kang Lam tertawa.
"Apakah kau takut dieomeli ibumu?" ia tanya. "Kalau begitu
pergilah kau pulang terlebih dulu."
Tapi Ciang Hee kata: "Dengan membiarkan kau seorang diri
berdiam disini, siapa tahu kau bakal terbitkan onar macam apa
lagi" Tidak bisa lain, mari aku terus menemani kau. Nah,
jalanlah, kita pergi cari Kim Sie le-mu itu!"
"Enci-ku yang baik," kata Kang Lam, tertawa, "aku memang
ketahui kau pasti akan menemani terus padaku, seperti juga
aku merasa pasti Kim Tayhiap bakal menemui aku!"
Mukanya si nona merah, ia jengah.
"Tidak tahu malu!" katanya. "Siapa si enci-mu yang baik?"
Kang Lam mengulur lidahnya panjang-panjang, ia
menggodai pula nona itu sampai ia terperanjat sebab
mendadak ia merasa pundaknya ada yang tepuk. Ia menjadi
girang, hingga ia berteriak: "Kim Tayhiap, benar-benar kau
datang! Aku menghaturkan banyak terima kasih kepada kau!
Kau..." Sembari berkata begitu, ia berpaling, atau tak dapat ia
meneruskan kata-katanya yang niat dikeluarkan, hanya sambil
berlompat mundur, ia berteriak: "Oh, ibuku! Siapakah kau?"
Orang yang menepuk pundak itu, yang datangnya tanpa
ketahuan, bukannya Kim Sie le. Dialah seorang dengan muka
berlumuran darah, dari mata dan hidungnya, darah masih
mengucur keluar. Masih selang sekian lama baru Kang Lam
mengenali orang adalah si pendeta jubah merah.
Ciang Hee pun turut tercengang, ketika ia sadar dan
hendak menghunus pedangnya, tangan si pendeta asing
sudah menyambar tulang selangka dari Kang Lam dan dia
berkata dengan suara dalam dan seram: "Simpan pedangmu!
Asal kau berani bergerak, aku akan lantas mengambil jiwa dia
ini!" Kang Lam berdaya. Hebat si pendeta, gerakannya sangat
cepat, cekalannya pun keras. Tadi saja dia mendekati mereka
itu tanpa bersuara.
"Aku, aku toh tidak bersalah kepadamu"..." ia lantas
berkata. "Aku tidak berani piebu sama kau. Apakah tidak
dapat aku mengaku kalah saja?"
"Hm!" bersuara Chong Leng Siangjin. "Tidak dapat!"
"Tadi aku telah mengalahkan beberapa sahabatmu, semua
itu disebabkan bantuannya Kim Sie Ie," kata Kang Lam pula.
"Maka itu tidak boleh kau mencari balas atas diriku. Menurut
aturan kangouw, kau mesti mencari Kim Sie le." Chong Leng
Siangjin gusar hingga ia membentak: "Siapa bicara tentang
aturan kangouw denganmu" Masih kau banyak bacot, nanti
aku remas tulang selangkamu ini, nanti aku korek biji
matamu!" Kang Lam berdiam. Ia benar-ibenar berkuatir.
Ciang Hee, yang mencoba menenangkan diri, lantas bicara.
"Chong Leng Siangjin." kata-mya. "Turut katanya ayahku
kaulah salah satu guru silat terbesar di jjaman ini, karena itu
mengapa kau hendak membikin susah pada seorang dari
tingkat lebih muda?"
"Karena kau telah ketahui tingkat derajatku, kau mesti
dengar perkataanku!" ada jawaban dari si pendeta.
"Kau menghendaki apa?" Kang Lam tanya.
"Kau turut aku!" menyahut Chong Leng, menitah. Dan dia
menolak tubuh si anak muda ke arah sebuah gua di dekat
situ. Ciang Hee berdiam, tetapi ia mengikuti, tangannya
mencekal erat-erat gagang pedangnya. Sembari jalan ia
mendengar si pendeta sengal-sengal napasnya, suatu tanda
bahwa dia telah terluka parah.
Ketika akhirnya mereka masuk ke dalam gua, langit mulai
putih, maka itu di dalam gua itu tampak juga sedikit cahaya
terang. Chong Leng Siangjin kelihatan jadi sangat bengis dan
menakuti. Beberapa kali dia bernapas keras. Kalau tadinya dia
berdiam saja, sekarang dia mendadak mengasih dengar
suaranya yang bengis: "Keluarkan obat Pekleng Tan!"
Kang Lam melengak.
"Apa?" ia menegaskan.
"Kau berani berlagak pilon, binatang cilik?" bentak Chong
Leng. "Tadi Kim Sie Ie memberikan kau peles. Bukankah isinya
itu pel Pekleng Tan?"
"Tidak!" Kang Lam menjerit. "Pekleng Tan itu tidak dapat
diberikan kepada kau!"
Chong Leng mengerahkan tenaga di lima jari tangannya.
"Jikalau kau tidak menyerahkan Pekleng Tan, kau mesti
menyerahkan jiwamu!" ancamnya. "Kau pilihlah, kau
menghendaki yang mana?"
Kang Lam tercengkeram keras tulang piepee-nya, ia
merasakan sakit bukan main hingga ia meringis-ringis. Tapi ia
berhati keras. "Jikalau kau paksa aku, akan aku hancurkan peles obat
itu!" ia berseru. "Satu kali Pekleng Tan terkena angin, dia akan
buyar sendirinya, meskipun kau bunuh aku, kau tidak bakal
mendapatkan obat!"
Kang Lam masih dapat menggeraki tangannya yang
sebelah lagi, selagi Chong Leng membuka mulut barusan, ia
telah mengambil keluar peles obat itu, untuk digenggam di
tangannya yang masih bebas itu.
Si pendeta dari Tibet terkejut. Ia tidak menyangka bocah
ini berani mengadu jiwa. Orang nekat, apa ia bisa bikin" Maka
ia melengak, lalu ia memandang bengis pada bocah itu. Tanpa
kehendaknya, cengkeramannya pun menjadi kendor
sendirinya. "Obat ini obat untuk enso-ku," Kang Lam mengasih
keterangan, "maka itu terpaksa aku tidak dapat memberikan
kepada siapa juga! Ah, aku lihat, kau rupanya telah mendapat
luka parah dan kau sangat membutuhkan Pekleng Tan guna
menolong jiwamu! Jikalau kau tidak bengis tidak keruan, kita
sebenarnya masih dapat berdamai..."
"'Kau serahkan Pekleng Tan padaku, nanti aku mewariskan
semua kepandaianku padamu," berkata Chong Leng.
"Aku tidak menghendaki ilmu silatmu itu!" kata Kang Lam.
"Habis kau menghendaki apa?"
"Aku tidak menghendaki apa juga!" sahut Kang Lam.
"Hanya aku berkasihan melihat lukamu."
Inilah di luar dugaan si pendeta.
"Kau mengasihani aku?" ia tanya.
"Ya. Aku mendengar kaulah orang gagah nomor satu di
Tibet, tetapi sekarang orang telah melukakan kau begini rupa,
hingga kau bakal mati tunggal di kampung lain orang " "
mati menderita dan mereras, tanpa yang merawati, melainkan
aku si Kang Lam sendiri yang bakal menggalikan liang
kuburmu, untuk mengubur mayatmu! Coba pikir, apakah kau
tidak harus dikasihani?"
Memang benar-benar Kang Lam merasa berkasihan, maka
itu, suaranya sungguh-sungguh dan sedih nadanya.
"Sudahlah, jangan omong lebih jauh!" kala Chong Leng,
yang hati nuraninya terpukul telak.
"Tidak, kau dengar aku," berkata Kang Lam, membelar.
"Aku mengasihani kau, dari itu aku berniat menolongi kau..."
"Jikalau benar begitu, buat apa kau omong banyak lagi?"
kata si pendeta asing. "Kau serahkan peles obatmu itu!"
"Tidak! Kau baiklah dengar terus perkataanku..."
Chong Leng terdesak.
"Baik, kau bicaralah!" katanya.
"Lekas!".
"Kau bicara keras-keras, kau membikin aku takut!" kata
Kang Lam. "Aku tidak dapat bicara."
Chong Long kewalahan.
"Tuan mudaku, kau bicaralah," katanya, perlahan.
"Pernah aku mendengar penjelasan dari Tong Tayhiap,"
berkata .Kang Lam. "Siapa terluka parah di bagian dalam, asal
dia dapat menyingkirkan kesesatannya, dengan tiga butir
Pekleng Tan, jiwanya bakal ketolongan. Tenaga dalam dari
enso-ku sudah mahir, dia cukup disembuhkan dengan dua
butir Pekleng Tan. Kau sendiri, tenaga dalammu jauh terlebih
mahir daripada tenaga dalam enso-ku itu, rnaka untuk kau,
dengan sebutir Pekleng Tan saja jiwamu dapat dilindungi..."
"Baiklah," memotong Chong Leng, "satu butir pun boleh, itu
ada lerlebih baik daripada tidak sama sekali. Nah, kasihkan
peles obatmu kepadaku, aku akan makan satu butir saja."
"Semenjak tadi kau berlaku sangat bengis padaku, aku
tidak dapat mempercayai kau," kata Kang Lam terus terang.
"Enci Hee, mari, kau pegang peles ini, kau keluarkan satu
butir, tetapi kau mesti lekas mengasih masuk ke dalam
mulutnya."
Chong Leng diam mendengar perkataan si anak muda. Di
dalam hatinya ia sudah pikir, asal ada kesempatannya, hendak
ia merampas semua, setelah mana, dua bocah itu ingin ia
membinasakannya.
Ciang Hee menghampirkan Kang Lam, tepat selagi ia
mengangsurkan tangannya, untuk menyambuti peles obat dari
tangan si pemuda, kupingnya mendengar seruan tajam dan
nyaring yang terbawa angin. Ia terkejut. Untuknya, hebat
seruan itu. Kang Lam sebaliknya mengerti seruan itu, yang dikeluarkan
dalam bahasa Tibet. Itulah panggilan untuk Chong Leng.
Seruan itu membuktikan tenaga dalam yang mahir.
Chong Leng, yang mendengar suara itu, agaknya terkejut,
lalu sinar matanya menunjuki hatinya berkuatir. Mendadak dia
menyambar si pemuda sambil dia berseru: "Aku menghendaki
jiwamu!" Kang Lam telah bersiap sedia. Ia telah menggunai
kecerdikannya. Di saat Chong Leng memperhatikan seruan
yang membuatnya jeri itu, hingga perhatian orang menjadi
terpecah, mendadak ia menciutkan pundaknya dan mendak
untuk terus berlompat, ketika si pendeta menyambar, ia
menjatuhkan dirinya. Pendeta itu menjerit dalam murkanya
sebab orang meloloskan diri. Sebagai kesudahan
sambarannya, yang dahsyat itu, batulah yang kena
dieengkeram hingga batu itu pecah!
"Binatang!" Chong Leng mendamprat. "Kemana kau hendak
lari" Hm'"
Kang Lam takut bukan main. la menggelinding cukup jauh,
hingga ia dapat lantas menyembunyikan diri di satu pojokan.
Si pendeta tidak melihatnya, dia menyambar-nyambar seperti
orang buta rapa-repe.
Pendeta ini terlukakan parah oleh Kim Sie Ie, darah keluar
dari mata, hidung, mulut dan kupingnya, setelah itu berjalan
sekian lama, sekarang biji matanya rusak, ia benar-benar tidak
bisa melihat benda lagi. Sudah begitu, ia juga jeri kepada
orang yang berseru tadi, sebab orang itu adalah orang yang ia


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jerikan selama beberapa tahun, dari siapa ia terus berjagajaga
diri. Ia menjadi takut sebab sekarang justeru ilmu
silatnya dapat dikatakan sudah ludas...
"Bruk!" demikian terdengar suara nyaring.
Itulah Chong Leng, yang menubruk dinding gua batu itu,
dan lantas saja tubuhnya roboh.
"Binatang cilik, kau menganiaya jiwaku!" ia kata tajam.
Itulah mirip jeritannya binatang yang terlukakan.
Kang Lam kaget berbareng heran.
"Aku hendak menolongi kau, kenapa kau bilang aku justeru
mencelakai?"
Saking takut, ia terus berdiam.
Chong Leng bersuara pula berulang-ulang, dia menjeritjerit,
hanya makin lama suaranya makin lemah. Dia tidak
bangun berdiri, bahkan terasa dia bergulingan di tanah, kedua
tangannya merobek-robek jubahnya, lagaknya seperti orang
edan kalap. Lagi sekian lama, berhentilah suaranya, lalu dia
rebah tak bergeming.
Ciang Hee berdiam terus, ia menyaksikan segala apa
dengan hati berdebaran. Tadi Kang Lam menghadapi bencana
besar. Sampai disitu, ia menghampirkan si anak muda Ia
dapat melihat segala apa.
"Apakah dia telah mati?" ia berbisik.
"Chong Leng Siangjin!" Kang Lam memanggil keras,
membesarkan hatinya.
Chong Leng tidak menyahuti.
"Chong Leng Siangjin!" ia memanggil pula.
Tetap si pendeta tidak memberikan penyahutan.
Si anak muda mengeluarkan napas lega.
"Dia benar telah mati," katanya akhirnya.
"Aku takut," berkata Ciang Hee. "Mari kita lekas berlalu dari
sini, mari kita pulang..."
"Tunggu sebentar," berkata Kang Lam. "Aku telah berjanji
hendak mengubur dia, sebagai seorang budiman, tidak dapat
aku menyalahi janjiku itu."
Dengan tindakan berindap, ia menghampirkan Chong Leng.
.Dengan berhati-hati ia meraba hidung si pendeta. Ia tidak
merasakan hembusan napas, sebaliknya, ia memegang hidung
yang dingin. Maka benarlah, jago Tibet itu telah menutup
mata. , Selanjutnya, beranilah Kang Lam menyentuh tubuh
orang untuk dibaliki.
"Eh, apakah ini?" Ciang Hee berseru tiba-tiba
Kang Lam melihat si pemudi lagi menjumput serupa barang
yang tergulung.
Ketika barang itu-sehelai kertas-dibeber, maka itu nyata
ada selembar gambar lukisan. Mereka lantas membawanya ke
tempat lebih terang, untuk dilihat terlebih jauh.
Itulah lukisan sebuah pulau mencil di tengah laut, di atas
pulau ada gunung apinya, gunung mana tengah mengepulkan
asap tebal. "Heran, gunung dapat mengeluarkan api!" kata Ciang Hee.
"Memang ada gunung api," kata Kang Lam. "Selama di
Turfan aku pernah melihat sendiri gunung api. Apakah kau
belum pernah baca buku cerita See Yu" Kauw Cee Thian telah
meminjam kipas mustika Pa-ciauw-sie dari Thie Sie Kongcu,
dengan itu barulah ia dapat memadamkan gunung api
Hweeyam San yang panjangnya delapan ratus lie."
"Ayah dan ibuku melarang aku membaca buku cerita
demikian," kata si pemudi.
"Kau tolol!" kata si pemuda. "Buku itu sangat menarik hati,
kau dapat bacanya dengan mencuri!"
"Ah, mari kita periksa gambar ini," berkata Ciang Hee.
"Lihat, disini ada orangnya, dia memegang busur dan anak
panahnya. Apakah artinya" Dia mengenakan pakaian cara
orang jaman Beng, dia memegang busur yang besar sekali,
dia berdiri di kaki gunung, dengan sebatang anak panah yang
panjang, dia mengancam ke arah atas gunung itu..."
"Aku pun heran," berkata Kang Lam. "Mungkin dia benci
gunung api dan hendak memanahnya!"
"Ngaco belo, ini toh gambar lukisan belaka!" kata si nona.
"Ini gambar kuno!"
"Aku tidak sangka pendeta ini mempunyai rasa seni, dia
membawa-bawa gambar kuno di tubuhnya," berkata si
pemuda. "Pernah aku dengar dari kakak angkatku, kalau
gambar ada gambar karyanya seorang pelukis ternama,
gambar itu berharga besar sekali. Tapi kita tidak berhak
merampas gambar ini, biarlah kita kubur bersama, supaya
gambar tetap dapat menemani dia."
Ciang Hee mengawasi.
"Gambar ini belum terlalu tua," katanya pula kertas hitam
ini bekas digarang ke api hingga menjadi mehongan. Kertas
semacam ini, kakek luarku pun mempunyai. Mungkin ini
barang baru tiga ratus tahun yang lampau.'"
''Tidak perduli dia barang kuno atau bukan," berkata Kang
Lam, "dia barang dari tubuhnya Chong Leng Siangjin, aku
anggap ada bau apesnya, aku tidak menghendaki itu."
"Aku juga tidak memikir untuk mempunyainya," kata Ciang
Hee, "hanya gambarnya yang aneh sekali. Ada orang bertubuh
besar memegang busur dan panah, bersiap untuk memanah
gunung api! Apakah artinya itu" Aku tidak mengerti. Tidak
puas aku sebelum aku mengerti maksudnya..."
"Perkataanmu ini membangkitkan rasa anehku! Baiklah,
nanti aku bawa pulang, untuk diperlihatkan kepada kakak
angkatku. Kakakku itu telah membaca banyak sekali kitab dan
menyimpan juga banyak gambar tulisan dan lukisan, mungkin
dia mengerti. Kalau nanti dia sudah menjelaskan padaku, aku
akan menjelaskan pula kepada kau." Lantas ia mengoceh
seorang diri: "Chong Leng Siangjin, Chong Leng Siangjin,
sekarang aku hendak menggali liang untuk mengubur
tubuhmu, sebagai upahnya aku menghendaki gambaran ini.
Kau tidak keberatan, bukan?"
Ciang Hee tertawa geli.
"Kau hati-hati, kau hati-hati!" katanya. "Mungkin dari tanah
baka dia menjumpai kau! Ah, Kang Lam, Kang Lam, dasar kau
tolol, kata-katamu pun aneh! Hayolah kita kubur dia, lalu
lekas-lekas kita pulang! Berdiam di dalam gua ini menghadapi
mayat orang, sungguh aku takut!"
"Aku juga takut!" berkata si pemuda. "Marilah, kau bantui
aku menggali!"
Maka keduanya lantas bekerja, mereka menggali dengan
menggunai pedang.
Tengah mereka bekerja, lagi-lagi mereka mendengar suara
aneh tadi, bahkan sekarang semakin dekat, rasanya di sebelah
belakang mereka. Kemudian terdengar tegas suara satu
orang: "Mungkin Chong Leng Siangjin telah dicelakai orang!'
Lihatlah darah segar di sepanjang jalan ini!" Kata-kata itu
disusul oleh seorang lain: "Entah gambarnya, orang dapat
mengambilnya atau tidak! Tapi, tidak perduli siapa, kita
bertiga, mesti kita hajar dia, kita keset kulitnya dan patahkan
tulang-tulangnya!"
Kedua orang ilu bicara dalam bahasa Tibet, Ciang Hee tidak
mengerti, tetapi lagu suaranya hebat sekali, menusuk telinga,
membuatnya hati tidak tenang. Kang Lam, yang hidup lama di
Tibet, mengerti itu dengan baik.
"Hebat, hebat," pikirnya. "Mereka sangat galak dan kejam,
kalau mereka memergoki kita, kita boleh belaka, mungkin
sebelum main tanya lagi, kulit kita sudah dibeset dan tulang
kita dipatahkan..." Maka ia lantas membisiki Ciang Hee Lntuk
jangan mengasih dengar suara apa-apa, terus ia ajak si nona
menggulingkan sebuah batu besar ke mulut gua, untuk
menutup mulut gua itu, benar tidak tertutup anteronya, tetapi
mungkin orang di sebelah luar kurang memperhatikan...
Tidak selang lama, terdengarlah tindakan kaki orang, terus
berhenti. Kang Lam menaruh tubuhnya di batu besar itu, untuk
mengintai keluar. Maka ia melihat tiga orang, yang luar biasa.
Orang yang satu jangkung dan kurus, bajunya baju Tibet,
rambutnya merah marong, kidungnya menjulang ke langit.
Orang yang kedua, yang tubuhnya kekar, mirip orang gembala
HuiiKiang, kedua tangannya lebih panjang daripada orang
yang kebanyakan sebab melewati dengkul. Yang ketiga ialah
seorang wanita tua yang kurus kering dan kedua kupingnya
digantungi anting-anting yang dapat bersuara tingtang. Dia
pun dandan sebagai wanita Tibet.
Mereka itu bertindak depan gua, mata mereka celingukan.
"Ah, kemana sembunyinya Chong Leng Siangjin?" kata si
rambut merah, agaknya heran dan penasaran.
"Kau lihat, tanda darahnya telah lenyap di pinggiran
gunung," kata si orang Hui. "Mungkinkah dia merayap naik ke
atas." "Hm!" bersuara si wanita, yang terus berseru: "Disini!
Mengapa kamu tidak dapat mencium bau?"
Kang Lam terkejut.
"Hebat hidungnya siluman wanita ini!" pikirnya.
"Aku dapat mencium baunya Chong Leng Siangjin," kata
lagi si wanita. "Dia pasti bersembunyi di dekat-dekat sini!"
Si orang Tibet berambut merah, dalam bahasa Tibet,
berkata dengan nyaring: "Chong Leng Siangjin, kami tidak
bermaksud jahat! Silahkan kau keluar untuk menemui kami!"
Kata-kata itu tidak memperoleh jawaban, maka itu si
rambut merah mengulanginya hingga beberapa kali. Tentu
sekali, ia tetap tidak mendapat penyahutan.
"Disini tidak ada gua, dimana dia bersembunyinya?" kata si
orang Hui yang tangannya panjang dan kakinya panjang juga,
yang mirip cengeorang.
"Chong Leng Siangjin!" berseru si wanita tua, "jikalau kau
tetap tidak mau keluar, kami terpaksa nanti melakukan apaapa
yang di luar garis!" Dia tidak menanti jawaban, yang
tidak kunjung tiba, sambil menoleh pada kedua kawannya, dia
lanjutkan: "Dia tentu sembunyi di sela-sela batu gunung ini,
mari kita menjambak dia keluar!" Dia tidak menunggu
penyahutan kawan-kawannya itu, sebelah tangannya lantas
menyambar, hingga sepotong balu pecah hancur.
Kang Lam kaget.
"Celaka kalau orang terjambak olehnya!" pikirnya.
Sedang begitu, pemuda ini merasa tubuh Ciang Hee
nempel rapat padanya, tubuh itu sedikit menggigil, suatu
tanda si nona pun merasakan hebatnya si wanita tua itu. Ia
lantas mencekal erat tangan orang.
"Jangan takut!" ia menghibur. "Dengan mereka membuat
berisik begini maka pastilah Kim Tayhiap bakal datang ke
mari!" Tangan si nona dingin, mengeluarkan keringat.
"Kalau nanti Kim Tayhiap sudah datang, kita sudah
tercekuk di tangan mereka..." katanya, perlahan.
"Hm..."
"Baiklah, mari kita bekerja sama!" menyambut si
cengeorang la lantas menyerang, dengan satu pukulan dari
Pekkhong ciang, Menyerang Udara Kosong.
Dengan satu kali suara berisik maka sepotong batu besar
bergerak jatuh menggelinding ke bawah gunung.
"Dia tidak ada disini!" berkata si orang Tibet rambut merah.
Meski ia mengatakan demikian, tangannya toh menyampok,
membuatnya sepotong batu bergoyang-goyang mau jatuh
Si orang Hui membantu kawannya itu, satu kali lagi
serangannya membuat batu itu, yang besar, roboh juga
hingga suaranya menjadi sangat nyaring dan berisik.
Kang Lam dan Ciang Hee terkesiap hatinya. Suara robohan
itu membikin mereka seperti tidak dapat berdiri tetap.
"Bukankah kau mendapat luka parah?" si orang Hui tanya.
Dia menanya Chong Leng Siangjin. "Lekas kau keluar, jangan
nanti terlambat!"
"Eh, aku pun mendapat cium baunya orang hidup!" kata si
wanita tiba-tiba. "Apa mungkin, selelah dia terluka, dia kena
dipengaruhi orang?" Ia lantas berkata terus, dalam bahasa
Tionghoa: "Kim Sie Ie, jikalau kau mempunyai nyali, kau
keluarlah!"
Tiga orang ini sama pendapatnya: Orang yang dapat
melukakan Chong Leng Siangjin, kecuali Kim Sie le, sudah
tidak ada lainnya lagi. Maka itu, Kim Sie le lantas ditantang.
Diam-diam Kang Lam memuji agar Kim Sie le mendapat
dengar tantangan tiga orang itu. Ia kata dalam hatinya,
"Semakin hebat kamu pentang bacot, itu semakin bagus!"
Bergantian tiga orang itu menantang, bahkan mencaci Kim
Sie le, tapi ternyata mereka tetap tidak ada yang melayani,
mereka kasak-kusuk berdamai, setelah mana mereka
menyerang pula dengan pukulan-pukulan Pekkhong ciang.
Maka terdengarlah suara batu yang sangat berisik, dengan
ada batu-batu yang hancur berhamburan!
Selagi Kang Lam goncang hatinya, mendadak ia merasakan
ada tenaga besar yang menggempur besar penghalang mulut
gua, hingga batu itu bergoncang. la menjadi sangat kaget,
hingga ia lantas menarik tangannya Ciang Hee untuk dibawa
berlompat ke samping. Sedang ia berkelit, kembali ia
mendengar suara yang myaring. Kali ini disebabkan batu itu,
yang bergerak keluar, tergempur pula masuk ke dalam gua,
hingga tubuh Chong Leng Siangjin kena tertindih.
Si wanita tua lantas tertawa bergelak-gelak.
"Disini! Disini!" teriaknya berkilang kali. "Chong Leng
Siangjin, apakah kau masih tidak mau keluar?"
Kedua muda-mudi itu berkuatir bukan main, mereka takut.
Mereka mielihat tiga orang itu bertindak untuk mendekati
mereka. Si orang Hui sangat celi matanya. Segera ia melihat
sepasang muda-mudi itu. Ia menjadi heran.
"Siapa kamu?" dia menegur. Mendadak tubuhnya
berlompat melesat tinggi setombak lebih.
Berbareng dengan itu, si wanita tua mendamprat: "Kim Sie
Ie bermuka tebal, apakah tetap kau tidak mau muncul" Kau
main sembunyi di dalam gua yang gelap gulita, adakah kau
satu enghiong atau hoohan?"
Kang Lam girang luar biasa, lenyap kaget dan takutnya.
Ciang Hee pun terpengaruh karenanya. Pemuda ini mau
menyerukan: "Kim Tayhiap!" Hanya, belum lagi ia keburu
membuka mulutnya, telinganya sudah mendengar suara
tertawa yang nyaring mirip suara kelenengan yang terbawa
angin, menyusul mana pun ada suara tajam tetapi merdu:
"Kamu sendiri yang mata kamu picak! Terang-terang aku
berada disini! Siapakah yang bersembunyi di dalam gua untuk
membokong kamu?"


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kang Lam heran tidak terkirakan. Yang muncul itu
bukannya Kim Sie Ie hanya seorang wanita muda, seorang
nona, yang nampak berdiri di batu gunung di sebelah depan
mereka. Ujung bajunya nona itu berdebiran tertiup angin,
bagaikan ia hendak terbang melayang...
Ketiga orang itu pun kaget melebihkan kagetnya Kang Lam.
Merekalah orang-orang liehay, inilah mereka percaya betul,
akan tetapi mereka tidak mendengar sesuatu suara mengenai
datangnya nona itu, mereka pun tidak dapal melihatnya.
Hanya tahu-tahu telah terdengar suara tertawanya, terdengar
juga kata-katanya, yang seperti berbareng dengan munculnya.
Si cengeorang menjadi sangat mendongkol, sambil
membentak ia mengayun sebelah tangannya, hingga
semacam benda mirip anak panah melesat menyambar ke
arah si nona. Inilah sebab tadi si nona sudah menimpuk
kepadanya dengan sebatang cabang kering, disusul sama
serangan Pekkhong ciang dari si orang Tibet rambut merah
dan si wanita tua. Si nona, yang ternyata sangat enteng
tubuhnya, telah memperlihatkan kepandaiannya,
membebaskan diri dari serangan itu, setelah mana, dia
berlompat ke depan hingga sekarang dia menempati
kedudukannya itu.
Nona ini yang mengenakan pakaian di atas hijau dan di
bawah merah, menyapu dengan matanya yang celi ke arah
ketiga orang itu, habis itu dia tertawa.
"Apakah kamu hendak menurunkan tangan?" tanyanya,
manis. "Baiklah, aku bersedia untuk melayani!"
Si orang Tibet rambut merah agaknya sangsi.
"Siapakah gurumu?" ia tanya. "Apakah kau datang dengan
maksud sengaja untuk menyaterukan kami?"
"Eh, Kunlun Sanjin!" berkata si nona, yang tidak menjawab
pertanyaan orang. "Suka aku memberi nasihat kepada kamu,
kamu bertiga baiklah pulang saja! Apakah kau telah melupai
janjimu pada tiga puluh tahun yang lalu dengan seorang
tingkat tua dari Rimba Persilatan" Dan kau, Siang Bok Loo,
kau telah berusia begini tinggi, perlu apa kau masih mau
datang ke Tionggoan untuk mengadu biru" Dan kau juga, Kim
Jit Sian, dengan kepandaian kau, kau dapat membangun
suatu partai persilatan baru, maka itu kenapa kau masih
mengarah kepandaian lain orang yang tersimpan di dalam peti
mati?" Lagi-lagi ketiga orang itu kaget sekali. Kenapa tidak"
Bukankah si nona kenal mereka semua selagi mereka sendiri
tidak tahu nona ini siapa adanya" Lebih-lebih herannya Kunlun
Sanjin, si orang Tibet berambut merah itu. Memang, pada tiga
puluh tahun yang lampau itu ia telah datang ke Tionggoan,
guna mengacau, akan tetapi ia bertemu sama Lu Su Nio dan
dalam pertempuran ilmu pedang, ia kena dipecundangi dan Lu
Su Nio memaksa ia mengangkat sumpah bahwa selama
hidupnya tidak dapat ia melangkahkan kakinya ke bagian
selatan dari gunung Kun-lun San. Tapi ia telah mendengar
kabar, bahwa Lu Su Nio telah meninggal dunia, maka
sekarang ia melanggar sumpahnya itu.
Si wanita tua, yang hidungnya tajam sekali itu, ialah Siang
Bok Loo, enci atau kakak perempuan dari Siang Ceng Nio,
isteri dari In Leng Cu, tiangloo atau ketua dari Lengsan Pay.
Dia muncul bersama Kunlun Sanjin dan Kim Jit Sian ini sebab
dia gagal mengajak adik perempuannya serta ln Leng Cu, si
ipar, disebabkan suami isteri tengah mengeram diri
meyakinkan semacam ilmu silat yang katanya liehay sekali.
Dan si orang Hui, yang tangan dan kakinya panjang itu,
ialah Kim Jit Sian, ialah seorang luar biasa, yang dengan
sendirinya dapat memahamkan pelbagai macam ilmu silat See
Hek, atau Wilayah Barat, hingga ia benar-benar mempunyai
hak untuk membangun suatu partai tersendiri.
"Kau pernah apa dengan Lu Su Nio?" menanya Kunlun
Sanjin sambil ia mementang lebar kedua matanya, mengawasi
dengan tajam. "Apakah kau dapat menyebut nama guruku secara
sembarangan sebagai caramu ini?" si nona menegur.
Mendengar itu, Siang Bok Loo tertawa.
"Sama sekali aku tidak pernah mendengar kabar Lu Su Nio
mengambil seorang murid wanita!" katanya, mengejek.
"Apakah kau kira, dengan memakai nama Lu Su Nio, dapat
kau menggertak kita" Hm! Hm! Biarnya Lu Su Nio hidup
kembali, aku masih tidak takut!"
Apa yang dibilang Siang Bok Loo bahwa Lu Su Nio tidak
mempunyai murid wanita adalah hal umum yang diketahui
kaum Rimba Persilatan, jadi pembilangannya wanita tua ini
tidaklah heran, meskipun demikian, Kunlun Sanjin toh
bersangsi. Jago Tibet ini kata di dalam hatinya: "Kenapa dia
ketahui yang tiga puluh tahun dulu itu aku telah mengangkat
sumpah di depannya Lu Su Nio" Mungkinkah benar dia ini
murid penutup dan Lu Su Nio itu?"
Di antara tiga jago itu, Kim Jit Sian adalah yang usianya
paling muda dan ia pun yang paling meng-aguli diri, ia pernah
mendengar halnya Lu Su Nio dan Moh Coan Seng adalah jagojago
Rimba Persilatan di dalam jamannya itu, ia tidak percaya,
ia menyesalkan diri tidak mendapat ketika akan bertemu sama
mereka itu untuk menguji kepandaian mereka, karena keburu
mati. Sekarang ia mendengar suaranya bocah wanita ini, ia
lantas memasang mata terhadap si nona, kemudian tanpa
memperdulikan Kunlun Sanjin yang lagi ragu-ragu itu, ia kata
kepada kawannya ini: "Kau tentunya mengenali ilmu silatnya
Lu Su Nio, kau lihat, hendak aku mencoba bocah ini!"
Belum berhenti mendengungnya suara orang Hui ini atau
Kang Lam mendengar satu suara menyambar disusuli
berkelebatnya sinar bagaikan halilintar, sinar mana melesat
dari tangannya orang itu. Ia kaget sekali hingga ia tanya
dirinya sendiri: "Ilmu siluman apakah itu" Mungkinkah itu
Ciangsim lui, Guntur Telapakan Tangan?"
Sinar itu menyambar ke arah si nona, tubuh siapa sudah
lantas mencelat tinggi. Sembari mencelat, ia menggeraki
pedangnya yang berkilauan. Maka itu segera terdengar suara
benteroknya dua rupa senjata, terdengarnya seperti lagu.
"Bagus!" memuji Kim Jit Sian sambil ia menggeraki pula
tangannya. Kang Lam telah memasang mata, ia melihat senjatanya
orang Hui itu, ialah sebatang tongkat panjang, entah terbuat
dari logam apa, ketika digeraki, senjata itu mengeluarkan tiga
rupa sinar berkilauan merah, putih dan kuning. Saking
cepatnya bergeraknya, maka terlihatlah sambaran seperti kilat
berkelebat. Kim Jit Sian telah paham pelbagai ilmu silat See Hek,
setelah itu ia menciptakan ilmu tongkat
"Thianlui Panghoat", atau "Halilintar dan guntur". Adalah
maksudnya untuk menjagoi di Tionggoan. Inilah yang pertama
kali ia muncul, justeru pertama kali ia bertemu sama si nona
tidak dikenal ini.
Kang Lam mementang matanya. Ia lantas menyaksikan
satu pertempuran yang dahsyat sekali. Kim Jit Sian hebat, si
nona sebat. Dengan cepat tiga puluh jurus telah berlalu.
Selama itu jago Hui itu tidak bisa berbuat apa-apa, menang di
atas angin pun dia tidak dapat. Hal ini membuatnya terkejut,
hingga dia berkuatir nanti hilang muka di hadapan kedua
kawannya. Kalau mulanya dia cuma ingin coba kepandaian si
nona, sekarang dia memikir lain. Mendadak dia berseru, lantas
dia menyerang dengan satu sodokan "Biang guntur berkaca".
Dengan berkelebat, ujung toya meluncur ke dada lawannya,
mencari jalan darah soankie hiat.
Lagi-lagi Kang Lam terkejut. Hebat sekali serangan ini.
"Lihat! Lihat!" tiba-tiba Ciang Hee berseru-seru. "Bagus!
Bagus!" Itulah sebab si nona telah menggeraki pedangnya
menangkis tongkat, bukan menangkis dengan menyampok,
hanya terus diputar, tongkat itu seperti dililit, maka kedua
senjata jadi bentrok dan berkutat, akan akhirnya si nona
mengibas. Kim Jit Sian mengasih dengar seruan, tubuhnya terhuyung
mundur beberapa tindak. Kedua senjata mereka juga
menerbitkan suara nyaring hingga menulikan telinga.
Kunlun Sanjin terkejut. Ia mengenali si nona bersilat
dengan ilmu pedangnya Lu Su Nio, ialah yang dinamakan ilmu
pedang "Hian Lie Kiamhoat". Nampaknya nona itu telah
mewariskan sempurna ilmu silatnya Lu Su Nio itu. Ia menjadi
berpikir: "Kalau dia berlatih lagi sepuluh tahun, bukankah
bakal muncul Lu Su Nio yang kedua" Kalau begitu, mana kami
mendapat ketika untuk menjagoi?"
Setelah berpikir demikian, jago Tibet ini lantas terpengaruh
niatnya turut turun tangan, karena mana ia sampai lupa
bahwa ialah satu orang kenamaan. Dengan sekonyongkonyong
ia lompat mencelat ke arah si nona, sebelah
tangannya diangkat, terus dikasih turun, guna menghajar
batok kepala nona itu!
Jago tua ini pandai ilmu silat golongan Agama Merah dari
Tibet, yaitu yang dinamakan "Tay Ciu In", atau "Tapak Tangan
Besar". Ilmu ini, yang ada ilmu "kasar", lebih hebat daripada
ilmu Kimkong Ijiang atau "Sutpay Ciu". Maka itu bisa
dimengerti bahwa ia menaruh kepercayaan besar sekali bahwa
serangannya ini, yang seperti bokongan, akan memberikan
hasil seperti yang ia harapkan. Tapi kesudahannya adalah lain.
Si nona bagaikan mempunyai mata di belakang kepalanya.
Tepat ia dihajar, tepat ia berkelit sambil bertunduk ke depan.
Lalu, sambil berkelit, ia memutar balik tangannya yang
memegang pedang itu, untuk membalas menyerang dengan
berkilauan, ujung pedangnya meluncur ke telapakan tangan Si
jago Tibet. Inilah jurus "Songhoa Kiam", atau jurus pedang
"Inti Salju" dari Lu Su Nio. Serangan ini memungkinkan
pedang memapas kutung senjata lawan.
Mau atau tidak, Kunlun Sanjin mesti menarik pulang
tangannya, guna membatalkan serangannya itu, kalau tidak,
tangannya tentu bakal menjadi korban pedang. Ia boleh kebal,
tidak mempan senjata tajam, tetapi pedang si nona tidak
mengenal kekebalan. Ketika ia menarik pulang serangannya
itu, tangannya menyambar batu penutup mulut gua, hingga
dengan suara nyaring keras, batu itu berkisar lebih jauh ke
sebelah dalam gua. Hingga sekarang mulut gua jadi terbuka
seluruhnya! Kang Lam kaget hingga ia mencekal keras tangan Ciang
Hee, yang pun membalas mencekalnya. Mereka merasakan
tangan mereka masing-masing mengeluarkan keringat dingin.
Meski begitu, si pemuda tidak takut, bahkan dia merasakan
hangat... Setelah itu, Kunlun Sanjin seperti mengamuk. Berulang kali
serangannya menyebabkan batu-batu gunung terbang
berhamburan, hingga antaranya ada yang mental ke dalam
gua, jatuh di belakang si anak muda, mengenakan dinding
gua itu. Dua kali Kunlun Sanjin mendesak si nona, dua-dua kalinya
ia gagal. Dengan secara gampang, dengan kelincahan, si nona
menyingkir dari dua serangannya itu. Ia menjadi sangat
mendongkol hingga ia memikir untuk membinasakan nona ini.
Ia merasa ia bagai dipermainkan. Demikian setelah
mengerahkan tenaganya di tangan, ia menyerang pula untuk
ketiga kalinya. Ia tetap menggunai pukulan Tay In Ciu.
Selama itu, Kim Jit Sian juga tidak berdiam saja. Tepat
kawannya menghajar, ia turut menurunkan tangan,
tongkatnya bergerak dalam jurus "Pathong hong-ie" atau
"Hujan angin di delapan penjuru". Dengan itu ia seperti
mengurung si nona dengan tongkatnya itu.
Menampak itu Kunlun Sanjin tertawa terbahak. Ia sampai
lupa bahwa mereka, sebagai orang-orang kenamaan, sudah
mengepung seorang nona. Ia percaya benar si nona tidak
bakal lolos lagi.
Nona itu, kecuali sangat enteng tubuhnya, sangat gesit
gerakannya, ia pun cerdik sekali, ringan tangan dan kakinya.
Di saat menghadapi ancaman bahaya itu, ia mendapat
memikir jurus yang indah. Berkelit dari ujung tongkatnya Kim
Jit Sian, ia justeru lompat menyingkir ke belakang lawan ini.
Gerakannya ini tepat ketika serangannya Kunlun Sanjin tiba.
Kim Jit Sian dengan sendirinya menjadi tamengnya, maka
tidak tempo lagi, serangannya Kunlun Sanjin membuat
kawannya itu terhajar mundur tiga tindak. Tapi ia sendiri juga
terhuyung akibat pembelaan diri dari Kim Jit Sian itu, yang
telah memainkan tongkatnya guna terhindar dari serangan
seperti nyasar dari kawannya itu.
Inilah saat yang digunai si nona. Pedangnya telah
berkelebat hebat! Kunlun Sanjin mencoba untuk menghalau
diri, tidak urung rambutnya kena dipapas hingga putuslah
segumpal. Syukur untuknya, Kim Jit Sian pun dapat
menangkis pedang nona itu, hingga pedangnya mental.
Sekarang ternyata jelas. Kalau mereka bertempur satu
lawan satu, terang sudah, baik terhadap Kim Jit Sian maupun
terhadap Kunlun Sanjin, si nona menang seurat, akan tetapi
dia dikepung berdua, ia cuma dapat bertahan sampai lima
atau enam puluh jurus, hanyalah berkat kelincahannya, ia
dapat mencegah dirinya terdesak hebat, hingga kesudahannya
mereka seimbang saja.
Kang Lam tetap bersembunyi di dalam gua, sambil
bersembunyi ia menonton. Ia melihat suatu pertempuran
dahsyat sekali.
Gerak-gerik ketiga orang itu membuatnya angin saling
sambar, bagaikan berombaknya gelombang lautan. Ia pun
melihat sinar-sinar merah dan hijau saling membulang-baling.
Itulah sinarnya pedang si nona dan tongkat aneh Kim Jit Sian
si orang Hui yang liehay. Tubuh mereka seperti terkurung
sinar senjata mereka itu.
Sampai sekian lama, Kang Lam masih belum bisa
membedakan siapa terlebih tangguh di antara kedua belah
pihak yang bertempur pula. Ia masih terus menonton dengan
hati kebat-kebit ketika mendadak ia mendengar suaranya
Ciang Hee. "Ada orang bagaikan bayangan mendatangi kemari!"
demikian si nona mengisiki. "Lihat, siapa dia!"
Mata Kang Lam silau tetapi dia masih lebih menang
daripada si nona, lantas dia mengawasi ke arah yang ditunjuk
Ciang Hee, guna melihat bayang itu, di dalam hatinya, dia
berkata: "Bagus kalau Kim Sie Ie yang datang!..." Tapi dia
kecewa. Orang itu bukannya Kim Sie Ie hanya Siang Bok Loo,
si wanita tua. Dia menjadi berkuatir. pikirnya: "Nenek-nenek


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini pasti kejam! Entah dia akan berbuat apa terhadap kita..."
Ciang Hee heran mendengar giginya Kang Lam
bercatrukan, apapula ketika ia merasakan sebelah tangan
pemuda itu merangkul padanya. Dengan sendirinya menjadi
mukanya merah. Ingin ia menolak tubuh orang akan tetapi ia
merasakan seperti tidak mempunyai tenaga. Pula aneh, ia
seperti lupa bahwa ia lagi berada di tempat yang berbahaya...
Siang Bok Loo mempunyai maksudnya sendiri kenapa ia
tidak membantui Kunlun Sanjin dan Kim Jit Sian. Ia tidak
memperdulikan mereka itu tidak berhasil merobohkan si nona.
Ia berpikir: "Biarlah mereka berdua pihak bertempur terus,
sampai mereka mampus dua-duanya! Aku boleh duduk diam
saja, seperti si nelayan yang menantikan hasil. Sekarang lebih
baik aku masuk dulu ke dalam gua, untuk mengambil peta
dari Chong Leng Siangjin..." Maka ia berindap-indap ke arah
dalam gua. Tapi ia terlihat Ciang Hee. Ia belum tiba di dalam
gua ketika ia mendengar suaranya Kim Jit Sian keras: "Akur!
Mari kita berkelahi bergantian untuk membikin mampus wanita
siluman ini! Kunlun Sanjin, apakah kau yang berniat
beristirahat terlebih dulu?"
Kim Jit Sian berkata begitu karena ia melihat Siang Bok Loo
mendatangi, ia menyangka nyonya itu hendak membantui
mereka. Tanpa merasa, ia telah membikin terkesiap hatinya si
nyonya. Kunlun Sanjin sebaliknya menyangka nyonya itu bermaksud
kurang baik, menggunai ketikanya itu, ia memberikan
penyahutannya: "Baiklah, aku akan mengaso terlebih dulu!"
Sambil berkata begitu, ia berlompat mundur, untuk terus
mendahului menghampirkan mulut gua.
Beruntung bagi si nona muda yang Kim Jit Sian berkata
demikian rupa dan Kunlun Sanjin menyambutinya, kalau tidak,
ada kemungkinan ia dibokong Siang Bok Loo. Nyonya itu
merandak untuk memasuki gua begitu lekas dia mendengar
suaranya Kim Jit Sian, yang menyangka salah maksudnya tadi.
Nona itu lantas menggunai kesempatannya. Selagi Kunlun
Sanjin mundur dan Siang Bok Loo belum maju, untuk
menggantikannya, hingga ia jadi senggang, ia lantas bergerak
sebat dan keras. Dengan satu sabatan ia membikin Kim Jit
Sian mundur, lalu mendadak ia berlompat maju seraya sambil
menikam dengan jurusnya: "Unggun tunggal di gurun pasir".
Ia memapaki Siang Bok Loo dengan menikam ke dadanya!
Siang Bok Loo menjadi mendongkol sekali. Ia tidak
menangkis, hanya ia berkelit, sambil berkelit, ia meloloskan
kedua bocah anting-antingnya, untuk dengan itu menyerang si
nona. Anting-anting itu adalah senjata rahasianya yang
istimewa. Itulah anting-anting yang berenceng, setiap
rencengnya terdiri dari sepuluh biji. Di waktu digu-nai, antinganting
itu dapat bersuara. Digunainya pun, yang satu
ditimpuki lebih dulu, yang satu yang lainnya menyusul. Yang
belakangan ini menyerang yang pertama, begitu beradu,
keduanya dapat melesat sendiri. Demikian ketika telah beradu,
kedua anting-anting itu mental ke depan mulut gua, hingga
dengan sendirinya kedua senjata rahasia luar biasa itu
mencegah majunya si nona dan menghalangi Kunlun Sanjin
memasuki gua. Nona itu menyelamatkan dirinya dengan satu lompatan
berjumpalitan, pedangnya pun dikasih bekerja, maka ia
berhasil menyampok jatuh empat biji anting-anting.
Kunlun Sanjin menolong diri dengan satu pukulan
berbareng dengan kedua tangannya, yang menggunai jurusjurus
dari "Tay In Ciu". Ia berhasil menghancurkan empat biji
anting-anting hingga pecahannya berhamburan jauhnya
beberapa tombak.
Hanyalah, karena rintangannya Siang Bok Loo ini, si nyonya
berhasil mendahului tiba di mulut gua.
Ketika itu terdengar suara nyaring tetapi halus dari si nona.
Katanya: "Kalau ada kunjungan tidak dibalas, itulah tidak
pantas. Maka kau juga, kau sambutlah kepunyaanku ini!"
Tangan si nona bergerak sangat cepat menyusuli katakatanya
itu, lantas satu sinar perak meluncur ke arah si wanita
tua yang liehay itu.
Siang Bok Loo bersenjatakan sebatang tongkat, dengan itu
ia lantas mengibas. Ia menggunai "Tiat-siu Kanghu", yaitu
ilmu silat Ujung Baju Besi, niatnya untuk menggulung senjata
rahasia si nona. Akan tetapi senjata rahasia nona itu hebat.
Dengan mengasih dengar satu suara, senjata itu menembusi
ujung baju, lewat terus, menyambar ke kuping, merusak liang
peranti anting-anting!
Luka itu tidak membahayakan jiwa, hanya semenjak itu, tak
dapat diharap si nyonya tua memakai pula sebelah antingantingnya
yang liehay itu!
Bukan kepalang gusarnya nyonya tua ini. Ialah orang yang
merasa kepandaiannya sangat liehay, yang kedudukannya
tinggi, sekarang ia dipermainkan seorang bocah, inilah ia tidak
mau mengerti, la merasa kehormatannya sangat tersinggung.
Maka ia segera meloloskan ikat pinggangnya, dengan itu ia
lantas menyerang si nona. Itulah ikat pinggang, yang digunai
sebagai joanpian atau cambuk lemas.
Di dalam gusarnya, si nyonya pun kata dengan nyaring:
"Siluman perempuan ini sangat kurang ajar, mari kita hajar
padanya! Terhadapnya kita jangan pakai lagi segala aturan
kangouw! Ya, tidak usah kita main berkelahi bergilir! Setelah
memampuskan dia, baru kita masuk ke dalam gua untuk
menggeledah!"
Di antara tiga orang itu, Kim Jit Sian yang lebih jujur, tetapi
itu artinya ia bukannya tolol. Lantas ia dapat menduga
maksudnya Siang Bok Loo dan Kunlun Sanjin, yang pada mau
meluruk memasuki gua. Maka, ia lantas berpikir: "Dengan
bertiga mengepung budak ini, perbuatan itu bukan perbuatan
bagus, tetapi tidak apalah asal dengan begini dapat dicegah
salah satu masuk terlebih dulu ke dalam gua..." Maka, ialah
yang paling dulu menyambuti seruan si wanita, terus ia
menyerang dengan tongkatnya yang luar biasa itu. Ia juga
menyahuti: "Benar! Benar! Mari kita bekerja sama, ada rejeki
sama mengecapnya, ada bahaya sama menderitanya! Setelah
membinasakan dia baru kita cari mustika berharga!"
Mendengar orang telah omong dengan terus terang,
Kunlun Sanjin menjadi isin rasa, ia malu hati untuk melanjuti
niatnya nelusup terlebih dulu ke dalam gua.
"Ya, marilah!" ia berkata, terus ia menyerang.
Demikian tiga jago, dengan menebali muka, mengepung si
nona, nona yang mereka tidak kenal, nona yang sangat muda
yang baru pernah muncul dalam Sungai Telaga.
Kepandaiannya Siang Bok Loo adalah "Jiu Kang" atau ilmu
lunak dari silat Biteong Pay dari Tibet. Itulah kepandaian
dengan apa Siang Ceng Nio, adiknya, melawan Pengcoan
Thianlie dan kena dikalahkan dengan pedangnya si Bidadari
dari Sungai Es, " " dikalahkan setelah seratus jurus lebih.
Dan kepandaiannya Siang Bok Loo ini lebih liehay daripada
adiknya itu, maka bisa dimengerti bagaimana hebatnya ikat
pinggangnya itu, yang bisa dibikin keras dan lunak menurut
kehendak hati. Keras dapat dipakai menghajar, lunak dapat
dipakai melibat!
Dengan lekas si nona kena terdesak. Melayani dua musuh,
ia masih bisa bertahan, tetapi menghadapi tiga lawan, satu
antaranya wanita tua ini, itulah hebat. Dengan cepat terlihat ia
cuma bisa membela diri, tidak lagi ia dapat membalas
menyerang seperti semula tadi. Syukur ia gesit sekali, dapat ia
senantiasa menghalau diri dari bahaya.
Kunlun Sanjin dengan Tay Ciu In saban-saban menyampok
mental pedang si nona, Siang Bok Loo dengan ikat
pinggangnya selalu mencoba melibat lengan nona itu. Sedang
Kim Jit Sian, dengan tongkatnya, hendak mempengaruhi
pedang orang. Selagi mereka bertempur dahsyat itu, mendadak terdengar
tertawa aneh dari Kunlun Sanjin, yang tangannya-secara
mendadak menepuk ke jidat si nona!
Sambil berkelit tunduk dengan gerakan "Hong tiamtauw"
atau "Burung hong mengangguk", si nona menolong dirinya,
berbareng dengan itu, tusuk konde di rambutnya lantas
melesat menyambar!
Kunlun Sanjin mengenal baik liehaynya tusuk konde perak
itu, karena memang ia selalu waspada, ia bisa lantas
melayaninya. Dengan tangan kiri, dengan satu gerakan lunak,
ia menghalau senjata rahasia itu, di lain pihak, dengan tangan
kanan, dengan tenaga keras dari Tay Ciu In, ia membarengi
menyerang ke kepala si nona. Dengan tenaga lunaknya,
dengan kepandaiannya yang tinggi, Kunlun Sanjin percaya ia
dapat mengawasi tusuk konde perak si nona, bisa ia
menangkapnya. Tapi di luar dugaannya, justeru ia
menangkap, justeru ia merasakan sakit di lengan kirinya itu,
seperti tusukan jarum. Karena kagetnya, serangan tangan
kanannya menjadi ayal sendirinya, tenaganya yang dikerahkan
menjadi berkurang. Ini kelambatan
Berarti memberi ketika kepada tusuk konde, yang melesat
ke atas, tepat nancap di telapakan tangan, hingga gagallah
tepukan itu! Si nona sangat cerdik. Melihat ia telah berhasil, ia berlaku
sebat luar biasa. Ia bergerak lincah dengan tindakan "Ular
naga melingkar bertindak mutar", sambil memutar diri,
pedangnya menyontek maka tidak ampun pula, ikat pinggang
kiri dari Siang Bok Loo kena diputuskan. Tapi ia tidak berhenti
sampai disitu. Pedangnya itu, dengan jurus "Menolak jendela
memandang si puteri malam", dipakai menyampok tongkatnya
Kim Jit Sian! Siang Bok Loo dan Kim Jit Sian masih belum tahu yang
Kunlun Sanjin telah kena dilukai si nona, mereka bahkan
heran kenapa mereka, yang mengepung, masih belum dapat
merobohkannya. Adalah si orang Tibet sendiri, yang
tangannya mengucurkan darah, berseru dalam kegusarannya:
"Perempuan siluman, kau menggunai senjata rahasia jahat
apa" Hari ini tidak dapat tidak, aku mesti menghendaki
jiwamu!" Sehabis mengatakan demikian, ia mengertak gigi,
untuk menahan sakit, guna mencabut senjata yang nancap di
tangannya "itu, hingga sekarang ia mengetahui, bahwa
senjata si nona itu ialah tusuk konde perak. Dalam murkanya
ia mengeluarkan sepasang poankoan pit, senjata semacam
alat tulis, sembari maju ia memutar yang kanan, guna
menjaga dadanya, sedang dengan yang kiri, terus ia
menyerang. Di saat kalapnya Kunlun Sanjin ini, di lereng gunung
terdengar suara orang tertawa terbahak-bahak seraya terus
berkata dengan nyaring: "Siluman tua bangka yang picak
matanya! Tadi bukannya aku yang menghajar kau, kau
menuduh aku! Sekarang terang-terang akulah yang
menghajar, kau sebaliknya menuduh lain orang! Sungguh
lucu! Orang tua dungu sebagai kau, yang ada matanya tetapi
tidak ada bijinya, cara bagaimana kau masih berani muncul
disini untuk mencari malu saja?"
Kang Lam mendengar suara itu, ia menjadi demikian girang
hingga ia lupa pada takutnya, ia lantas menarik tangannya
Ciang Hee sambil berkata: "Aku telah bilang dia pasti datang!
Nah, kau lihat, apakah itu bukan dianya?" Terus ia merayap
keluar dengan niat melihat orang yang tertawa dan berbicara
itu. Justeru itu serangannya Kim Jit Sian mengenai batu di
mulut gua, hingga batu itu pecah dan meletik ke segala
penjuru, maka lekas-lekas ia mundur pula untuk melindungi
diri. "Kau sabarlah!" kata Ciang Hee tertawa. "Kau tunggu
sampai Kim Tayhiap-mu itu menang, baru kau keluar untuk
menemuinya!"
Kang Lam berdiam.
Di luar lantas terdengar pula suaranya orang tadi, ialah Kim
Sie le. Katanya: "Kang Lam, hatimu baik sekali! Kau nyata
masih mengingat aku! Baiklah dengan memandang kau,
hendak aku membikin ketiga telur busuk ini menggelinding
pergi!" Ciang Hee tertawa mendengar perkataan orang itu. Ia kata
di dalam hatinya: "Ayah dan ibu menyebut-nyebut Kim Sie le
dengan cara yang sangat menakuti, siapa kira dia justeru
orang begini jenaka dan menarik hati."
Kang Lam pun girang sekali, ia mengawasi si nona sambil
menunjuk hidungnya, maksudnya hendak mengatakan: "Kau
lihat, bukankah aku tidak meniup kerbau" Kim Sie Ie telah
datang karena dia memandang mukaku!"
Akan tetapi sebenarnya, Kim Sie Ie datang untuk si nona
kecil yang liehay itu. Ketika dia dimaki-maki rombongan dari
tiga orang liehay itu, dia sudah datang sekian lama, dia dari
itu mengetahui itu, bahkan dia mengetahui juga si nona
bersembunyi di dekat mereka. Dia lantas bersembunyi di
belakang nona itu, terus dia mengintai.
Siang Bok Loo bertiga tidak mendapat tahu yang si nona
lagi mengintai mereka. Si nona juga, karena dia sangat
memperhatikan tiga orang itu, tidak menginsyafi dirinya
diawasi orang lain. Maka itu, mereka jadi saling mengintai.
Kim Sie Ie terus bersembunyi karena ia ingin menyaksikan
kepandaiannya si nona, yang kelihatannya bernyali besar itu.
Ia heran akan mendapat kenyataan si nona liehay, dari itu di
saat nona itu menghadapi ancaman bencana, ia lantas keluar
dari tempatnya sembunyi, untuk memperlihatkan diri.
Tiga orang itu heran atas munculnya Kim Sie Ie, hanya
sejenak, mereka lantas bersiap sedia. Akan tetapi mereka
menanti dengan sia-sia belaka. Kim Sie le cuma mengejek,
terus dia berdiam saja, tidak ngoceh terus, pula tidak datang
menghampiri, dia hanya berbicara dengan Kang Lam. Mereka
menjadi mendongkol. Terang mereka tidak dipandang mata.
Akhirnya Kim Jit Sian menjadi gusar. Hanyalah, di saat ia
hendak mengajukan tantangan, tiba-tiba Kim Sie le berlompat
maju, dia tertawa dingin dan berkata secara jenaka: "Ha!
Apakah kau berniat berkelahi?" Habis menanya, tanpa
menunggu jawaban, dia menyerang dengan tongkat besinya,
kelihatannya serangannya itu tidak memakai aturan ilmu silat,
tetapi sebenarnya dengan lantas dia mengarah jalan darah.
Si orang Hui terkejut, dengan lantas ia membela diri.
Karena serangan Kim Sie Ie lantas saling susul, ia menggunai
Thianlui Panghoat untuk mengimbangi. Dengan lantas mereka
bertempur seru, yang satu mendesak, yang lain melayani,
agaknya yang melayani ini repot.
Segera juga terdengar satu bentrokan keras, atas mana
Kim Jit Sian lompat melesat jauhnya sekira satu tombak.


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mari, Mari!" Kim Sie Ie menantang. "Jurusmu ini liehay
sekali!" Bentrokan barusan menunjuki keliehayannya Kim Jit Sian
meskipun benar karena itu, telapakan tangannya terluka
melekah dan mengeluarkan darah, sebaliknya Kim Sie le,
tubuhnya sedikit terhuyung. Kim Sie le menyerang hebat, Kim
Jit Sian dapat mengelakkannya. Kim Sie le merasai
ketangguhan orang, dari itu ia menjadi kagum. Tapi ia segera
menantang pula.
Menyaksikan aksinya Kim Sie Ie itu, Kunlun Sanjin dan
Siang Bok Loo maju serentak, untuk menyerang. Mereka
membantui Kim Jit Sian tanpa memikir-mikir lagi. Tadipun,
melawan si nona, mereka main mengeroyok.
Kunlun Sanjin adalah yang maju paling dulu, terus ia
menyerang dengan ilmu silatnya Tay Ciu In.
"Aduh, celaka!" menjerit Kim Sie le, ketika ia diserang
dengan tepukan, tubuhnya juga lantas roboh jumpalitan.
Jago Tibet itu heran bukan main, ia kaget. Belum pernah ia
menyaksikan orang bersilat secara aneh seperti Kim Sie Ie ini.
Tengah ia memikir, Kim Sie Ie sembari jatuh telah
mengulurkan tongkatnya, yang ujungnya tepat mengenai betis
lawan. Maka tanpa ampun lagi, lawannya yang garang itu
lantas roboh terguling. Justeru itu Siang Bok Loo sudah datang
dekat, segera dia menyerang dengan ikat pinggangnya,
dengan niat melilit tangan orang. Tidak tahunya, karena
robohnya kawannya, ia telah kena melibat tubuh kawannya
itu, yang roboh tak berdaya!
Kim Sie Ie tertawa lebar, tanpa menghiraukan Kim Jit Sian,
yang maju ke depan Siang Bok Loo, ia kata dengan tertawa:
"Jangan kuatir! Tidak biasanya aku menghajar lawan yang
sudah habis tenaga perlawanannya!"
Ketika itu Siang Bok Loo telah berhasil meloloskan ikat
pinggangnya dari kawannya dan si kawan, Kunlun Sanjin,
lantas berlompat bangun. Orang Tibet ini gusar bukan main,
dengan poankoan pit-nya, ia lantas menyerang. Ia agaknya
hendak mengadu jiwa.
Di dalam tongkatnya Kim Sie Ie ada pedang pendeknya,
pedang itu ia keluarkan, untuk dipakai melayani sepasang
senjata model alat tulis dari lawannya itu. Dengan tongkatnya
ia menangkis mental tongkatnya Kim Jit Sian, dengan
pedangnya ia menghalau ancaman bahaya dari Kunlun Sanjin.
Siang Bok Loo melihat orang menggunai dua senjata,
pedang dan tongkat, ia memasang mata, kapan telah datang
ketikanya, ia menyerang dengan ikat pinggangnya. Ia
membuat ujung ikat pinggang itu kaku, guna menusuk mata
musuh. Kalau ini gagal, ikat pinggang itu dapat diteruskan
guna melilit leher.
"Hai, nenek kejam!" membentak Kim Sie Ie, yang bisa
menerka maksud wanita kurus kering itu. Belum lagi serangan
datang, ia sudah menjatuhkan diri. Tapi justeru ia berkelit,
justeru Kunlun Sanjin berlompat maju untuk menikam
punggungnya dengan sepasang poankoan pit-nya.
Si nona, yang seperti diwakilkan Kim Sie Ie, memperhatikan
jalannya pertempuran itu. Begitu juga Kang Lam dan Ciang
Hee. Sepasang muda-mudi ini berseru bahna kaget
menyaksikan Kim Sie Ie terancam bahaya itu. Tapi si nona
adalah lain. Ia berlompat maju, pedangnya dikerjakan, dipakai
menggagalkan bokongannya Kunlun Sanjin itu, hingga
sepasang poankoan pit mental ke samping.
Kim Sie Ie berlompat bangun begitu bahaya lewat, ia
berdiri dan tertawa.
"Bagus ilmu pedangmu!" katanya memuji.
Nona itu heran atau segera ia mengerti, orang ini lagi mainmain
dengannya. Itu artinya, tanpa ia membantui, Kunlun
Sanjin tidak nanti dapat melukai orang yang dibokong itu.
Kim Sie Ie maju pula, ke depannya Siang Bok Loo. Ia maju
sambil jumpalitan.
"Kang Lam, Kang Lam!" katanya. "Kau lihat, aku mengajari
kau sejurus ilmu yang aneh!"
Nyonya itu tidak menggubris kelakar orang itu, ia segera
menyerang dengan ikat pinggangnya. Seperti biasa, ia
memegang ikat pinggang di tengah-tengah, hingga ujungnya
menjadi sepasang. Ia mencoba melibat tongkat musuhnya.
Kim Sie Ie berjingkrak, mengelil tongkatnya dari sambaran,
dengan tangannya yang lain, ia mengusap mukanya wanita
tua kurus kering itu, sembari tertawa dia menggoda: "Ha,
mukamu penuh keriputan! Orang tua sebagai kau mestinya
berdiam di dalam rumah untuk mengicipi kebahagiaan, kenapa
kau justeru masuk ke dalam dunia kangouw menciptakan
yang tidak-tidak?"
Mukanya Siang Bok Loo menjadi merah padam, hatinya
bukan main panasnya. Ia menyerang dengan ikat
pinggangnya, mendahului mana, Kim Sie Ie lompat mundur,
sembari lompat dia tertawa hihi-hihi.
Kang Lam merasa sangat lucu hingga ia tertawa terpingkalpingkal
hingga ia lupa pada keadaannya yang sebenarnya.
Dengan nyaring ia kata: "Eh, eh, aku masih belum melihat
tegas!" "Jurusku yang aneh ini cuma dapat dilakukan satu kali,
kalau hampai dua kali, cade!" berkata Kim Sie Ie. "Siapa suruh
kau tidak memperhatikan betul-betul?" Kali ini Kim Sie Ie tidak
lagi bergurau. Memang, orang segagah Siang Bok Loo tidak
dapat dipermainkan terus menerus. Tadi pun dia diserang di
saat dia tidak pnenyangka, tidak mengira, k "Lekas minta dia
membereskan ketiga siluman itu," Ciang Hee berbisik pada si
pemuda. "Tidak ingin aku mendengar ocehan mereka itu lebih
lama pula!" Nona ini bicara dengan perlahan tetapi Kim Sie le
rupanya dapat mendengar, karena dia lantas berkata: "Benar!
Aku juga tidak memikir untuk mendengari ocehan mereka!
Baik, baiklah, untukmu aku tidak mau bekerja kepalang
tanggung, supaya seperti mengantar Budha, mesti
mengantarnya sampai di Tanah Barat! Sekarang hayolah kau
bantui aku bertempur, jikalau tidak, sendiri saja tidak sanggup
aku menghajar mereka!"
Kata-kata yang belakangan ini ditujukan kepada si nona,
sebab semenjak tadi nona itu seperti berdiam saja. Si nona
mendelu karena orang main-main dengannya, sudah begitu ia
juga ingin menyaksikan kepandaian orang"ia hendak melihat,
Kim Sie Ie dapat melayani tiga jago itu atau tidak. Ia tidak
menduga, Kim Sie Ie dapat menebak pikirannya itu.
Kang Lam mengerti, ia lantas berkata: "Di dalam kalangan
kangouw, budi itu yang utama! Nona, tadi Kim Tayhiap
membantui kau, maka itu apa boleh kau tidak membantu dia?"
Bukannya gusar, nona itu justeru tertawa. Ia tahu, dua
orang itu lagi mengolok padanya. Justeru ia tertawa, justeru
Kim Jit Sian menyerang Kim Sie Ie. Kim Jit Sian telah
menggunai jurusnya "Guntur dan halilintar saling
mendengung".
Kim Sie Ie melihat serangan itu, ia menangkis. Dengan
begitu, senjata mereka jadi bentrok keras. Kemudian dengan
perlahan Kim Sie Ie kata pada si nona: "Nona, kau
berkelahilah dengan sungguh-sungguh. Ini ada permainan
jiwa, kita tidak boleh main-main!"
Mendongkol nona itu, mukanya menjadi merah. Kim Sie Ie
yang main-main, sekarang ialah yang dituduh, bahkan ia
dikatakan berkelahi kurang sungguh hati. Untuk sejenak itu ia
bersangsi. Ingin ia meninggalkan pergi tetapi ia melihat ilmu
silat orang luar biasa, ia ketarik hati.
Kim Sie Ie mengambil kedudukan begitu rupa hingga ia
seperti mau menghalangi kepergiannya si nona. Ia pun seperti
sengaja supaya ketiga lawan itu menyerang juga nona itu.
Inilah si nona dapat melihatnya Di samping itu, ketiga musuh
itu memang liehay sekali, mereka tidak dapat dilayani secara
main-main. Maka akhirnya, saking terdesak suasana, si nona
terpaksa berkelahi dengan sungguh-sungguh. Dengan begitu,
beberapa kali ia mesti melayani desakan mereka itu.
Kim Sie le membantu si nona dari samping. Ia bukan
seperti lagi berkelahi, hanya bagaikan tengah menggerecok.
Dengan caranya ini ia memperhatikan terlebih jauh ilmu
silatnya itu tiga orang yang liehay. Ia merasa, kalau ia mesti
bersendirian saja melawan mereka, itulah hebat, mungkin ia
keteter. Dengan caranya ini pun ia bisa mencari ketika untuk
menyerang secara benar-benar.
Demikian mereka bertempur terus.
"Kena!" mendadak Kim Sie Ie berseru. Dengan tongkat
besinya, dengan gerakan "Mengangkat obor membakar
langit", ia menyerang Kunlun Sanjin, justeru orang Tibet itu
hendak menyerang padanya dengan pukulan Tay Ciu In.
Tepat serangan itu mengenai sasarannya, sampai Kunlun
Sanjin merasakan nyeri hingga di uluhati, hingga sebelah
tangannya tak dapat digunai lagi.
Kim Sie Ie tertawa lebar. Mendadak ia memutar tubuh ke
samping. "Fui!" ia meludah, ke arah Siang Bok Loo, si wanita
tua kurus kering.
Nyonya ini tahu liehaynya ludah orang, dia berkelit sambil
lompat berjumpalitan. Justeru dia menyingkir, justeru Kim Sie
le berlompat mengejar, dengan ujung tongkatnya, Kim Sie Ie,
menusuk kempolannya. Dia menjerit keras, tubuhnya roboh
terbanting terus menggelinding. Ketika dia berlompat bangun,
dia melihat Kunlun Sanjin mendahului dia lari kabur bagaikan
terbang disebabkan tangannya luka parah, mungkin sebelum
berobat dan berlatih pula tiga tahun, tidak dapat tangan itu
dipakai pula bersilat dengan ilmu silatnya Tay Ciu In itu.
Seumurnya belum pernah Siang Bok Loo terhina secara
begini, maka bisa dimengerti yang kegusarannya telah
memuncak, akan tetapi, kendati begitu, ialah seorang yang
insyaf, yang dapat menggunai otaknya, dari itu ia tahu baik
sekali, dengan Kunlun Sanjin sudah kabur, percuma ia ngotot,
bukannya ia akan mendapat kepuasan, sebaliknya mungkin
dia bakal perhinakan terlebih jauh. Demikian di akhirnya, ia
menyontoh kawan-fciya, ia juga lantas mengangkat langkah
seribu! Ia kabur tanpa memperdulikan Kim Jit Sian.
Si orang Hui lantas melihat bahwa ia berada sendirian,
tetapi ia tengah didesak si nona, ia repot Kekali.
Kim Sie Ie menunda penyerangannya, ia kata pada orang
Hui Itu: "Bocah, kau mempunyai tulang, maka itu, dengan
memandang tulang tulangmu, aku tidak tega hati menghajar
padamu! Nah, kau pergilah, jangan kau tunggu waktu lagi!"
Kim Jit Sian menghela napas. Ia menyimpan tongkatnya. Ia
lantas kata dengan sengit saking penasarannya: "Jikalau aku
tidak dapat membangun suatu partai persilatan baru,
selanjutnya tidak dapat aku datang pula ke Tionggoan!" Kim
Sie le tertawa. "Janganlah bersumpah berat, sahabat!" ia
berkata. "Lebih baik karilah kita bersahabat!" Dan ia mengulur
tangannya. Kim Jit Sian mengulur tangannya. Ia pikir: "Jikalau dia
hendak membinasakan aku, aku toh tidak bakal dapat lari..."
Begitu mereka iberpegangan tangan, ia merasakan tenaga
menolak dari Kim Sie Ie. Lekas-lekas ia mengerahkan
tenaganya, untuk melawan. Justeru ia menggunai tenaga,
justeru tenaganya Kim Sie Ie lenyap, tangan dia itu menjadi
seperti lilin dan terlepas. Ia sendiri, karena ia berkuat-kuat,
tubuhnya menjadi terhuyung ke depan.
Kim Sie Ie tertawa.
"Bagus kau tidak roboh!" katanya. "Baiklah, dengan pokok
dasarmu ini, kau dapat membangun satu partai persilatan!
Sekarang kau pulanglah, baik-baik kau jaga dirimu!"
Kim Jit Sian tercengang, sekarang baru ia tahu bahwa
orang lagi menguji padanya. Dengan muka merah, tak tahu
mesti tertawa atau menangis, ia membuka langkah lebar!
Kang Lam lompat keluar dari dalam gua.
"Bagus! Bagus!" serunya girang. "Hebat kempolannya si
wanita bangkotan!"
Kim Sie Ie tidak tertawa, ia tidak menganggap orang
jenaka. Sebaliknya, ia mengasih lihat roman bengis.
"Kang Lam, lekas kau kembali sembunyi ke dalam gua!"
bentaknya. "Kau mesti lagi sekali menjadi si tikus tua!
Sebentar saja! Aku belum puas berkelahi!"
Kang Lam heran dan hendak menanya: "Kau hendak
bertempur sama siapa lagi?" atau mendadak ia melihat Kim
Sie Ie,-dengan cara sekonyong-konyong,--menyerang ke
pinggang si nona! Bukan main kagetnya ia. Lantas ia
berteriak-teriak: "Celaka! Celaka! Kim Tayhiap tersesat!"
Si nona juga kaget bukan kepalang. Itulah serangan di luar
dugaannya. Akan tetapi ia bermata celi, gesit dan enteng
tubuhnya. Dengan menjejak tanah, ia berkelit mencelat. Ia
hendak membuka mulutnya, untuk menanya, atau serangan
yang kedua kali telah menyusul. Bahkan inilah serangan liehay
dua kali lipat, saking cepatnya.
Lagi sekali si nona berkelit, sekarang dengan mengapungi
tubuh seraya kedua kakinya diangkat tertekuk. Karena
serangan itu menuju ke bawah. Dengan begitu, tongkat besi
lewat di bawahan kakinya. Berbareng dengan itu, pedang besi
menyambar ke arah perut.
Serangan ini juga dapat dihindarkan si nona, yang
berbareng membabat dari samping, maka dengan begitu
kedua pedang bentrok sambil memperdengarkan suara
nyaring. "Eh, apakah artinya ini?" menegur si nona selagi menaruh
kaki. Belum berhenti pertanyaan nona ini atau kembali datang
serangan tongkat besi Kim Sie Ie, yang menggunai jurus
"Taypeng tiancie" atau "Burung garuda mementang sayap".
Ujung tongkat umpama kata menuju ke timur tetapi arahnya
yang benar ialah barat!
Kang Lam kaget, kembali ia berteriak. Ketika ada peletikan
batu, yang mengenai jidatnya, ia ngelepot ke dalam.
Ciang Hee menarik si anak muda.
"Syukur, syukur, kau tidak terluka!" katanya. "Ah, Kim Sie
Ie aneh sekali..."
"Pasti sekali dia sesat!" kata Kang Lam. "Aku ingin
memberikan dia obat Pekleng Tan, supaya pikirannya tidak
terganggu pula, tetapi mereka lagi bertarung dahsyat sekali,
dia tidak dapat di dekati. Kecuali salah satu terhajar roboh,
baru mereka itu dapat dipisahkan..."
Ciang Hee memegang tangan Kang Lam erat sekali. Ia
berkuatir untuk si nona, yang diserang hebat oleh Kim Sie le.
Nona itu merasakan desakannya Kim Sie Ie, ia terpaksa
menggunai ilmu pedangnya untuk melayani dengan sungguhsungguh.
Ia heran. Sembari berkelahi, ia perhatikan


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penyerangnya itu. Ia merasa orang bukannya lagi bergurau
dengannya, juga orang bukan terganggu asabatnya. Pula, di
waktu demikian, tidak dapat ia memecah perhatiannya, untuk
berbicara. Oleh karena Kim Sie Ie mendesak hebat, dalam waktu yang
pendek, mereka sudah bertempur kira-kira lima puluh jurus.
Selama itu, keadaan mereka berimbang saja. Masih Kim Sie Ie
menyerang hebat, sampai mendadak ia berseru membarengi
serangannya yang sangat dahsyat, yang seperti datangnya
dari empat penjuru Kang Lam terus mengintai, lagi-lagi ia
terkejut. Ia berkuatir sangat si nona, yang muda belia dan
cantik Itu, nanti terbinasakan di bawah tongkat besi yang
seperti tidak mengenal kasihan itu. Di saat yang sangat
mengancam itu, Kang Lam lantas melihat sesuatu yang
membuatnya sangat kagum. Ia hampir tidak percaya pada
matanya sendiri. Si nona telah menempel ujung tongkat besi
dengan ujung pedangnya mengikuti gerakan tongkat Kim Sie
Ie, rubuhnya turut naik, selagi tubuhnya itu terangkat, dengan
menekan tongkat, ia terus melesat berjumpalitan, hingga
dapat ia memisahkan diri beberapa tombak jauhnya dari si
pengemis "edan" itu!
Berbareng sama menyingkirnya si nona, Kim Sie le tertawa
terbahak-bahak.
"Benar! Benar!" serunya, gem->bira. "Kau benarlah
muridnya Lu 'Su Nio!"
Mendengar itu, bukan main leganya hati Kang Lam.
Sekaranglah baru ternyata, Kim Sie Ie benar-benar lagi
bergurau, bahwa si nona sedang diuji.
Di antara gurunya Kim Sie Ie ini, yaitu Tokliong Cuncia, dan
Lu Su Nio, ada hubungan yang erat pertaliannya. Tokliong
Cuncia, yang sesat, telah ditolong Lu Su Nio hingga dia bebas
dari kesesatannya itu. Tokliong Cuncia tidak menghargai siapa
juga, tetapi terhadap Lu Su Nio adalah lain, karena itu sering
ia omong sama muridnya tentang jago wanita itu, hingga
semenjak dia kecil, di otak Kim Sie Ie sudah berpeta tentang
kegagahannya Lu Su Nio. Ia mendapat kesan baik terhadap
nona ini, yang ilmu pedangnya sempurna dan mengaku
sebagai muridnya Lu Su Nio itu. Ia sering mendengar tentang
Lu Su Nio dan ilmu pedangnya, tetapi ilmu pedang itu ia
belum pernah lihat, maka juga, melihat ilmu silat si nona,
yang ia duga ilmu pedang Hian Lie Kiam-hoat adanya, timbul
niatnya untuk mencoba-coba. Demikian ia membawa lagak
edannya itu, untuk memaksa si nona mengeluarkan semua
kepandaiannya. Dulu hari itu, Tokliong Cuncia dibikin kagum
dengan Hian Lie Kiamhoat dan untuk beberapa puluh tahun
dia mengaguminya terus.
Sekarang Kang Lam melihat Kim Sie Ie, sehabisnya
memasuki pedang pendeknya ke dalam sarungnya, yang
berupa tongkat besi itu, menghampirkan si nona dengan
tindakan perlahan. Si nona sebaliknya, dengan pedangnya di
dada, mengawasi dia dengan tajam, siap sedia untuk sesuatu
penyerangan. "Apakah Lu Su Nio cuma mempunyai kau satu murid?" Kim
Sie Ie menanya si nona.
"Benar!" menjawab nona itu.
"Apa perlunya kau menanya begini?"
Kim Sie Ie mengawasi, ia menunjuki roman sungguhsungguh.
Mendadak ia menjura kepada nona itu, kedua
tangannya dikasih turun hingga ke dengkulnya. Itulah
pemberian hormat istimewa, jarang dilakukannya kecuali
terhadap gurunya.
Nona itu terkejut, segera ia menyingkir.
"Aku menghormati gurumu, jangan kau menyingkirkan
diri," berkata Kim Sie Ie. "Juga jangan kau membalas hormat.
Kalau tidak, itu artinya kau tidak memandang aku."
Habis memberi hormat, tiba-tiba dia menangis
menggerung-gerung.
"Heran!" kata Kang Lam di dalam hatinya. "Dia tahu orang
muridnya Lu Su Nio, sudah cukup dia menghaturkan maaf,
kenapa sekarang dia menangis begini sedih" Ah, apakah
benar-benar dia telah terkena gangguan kesesatan?"
Oleh karena memikir demikian, pemuda ini ingin keluar
untuk menghiburkan. Akan tetapi begitu ia ingat perkataan
Kim Sie Ie barusan, yang mengharuskan ia menjadi si "tikus
tua", ia batal, kakinya yang sudah diangkat, untuk dipakai
bertindak, lantas ditarik pulang.
Si nona agaknya bingung.
"Kiranya kau telah mengetahui guruku telah berpulang ke
lain dunia," katanya kemudian.
"Gurumu itu dikubur di mana?" Kim Sie Ie tanya. Ia tidak
menyahuti. "Di atas gunung Binsan, di sisi kuburan kakek guruku."
"Sayang, seumur hidupku, tidak dapat aku menemui
gurumu," kata pula Kim Sie Ie.
Air matanya si nona mengem-beng. la tahu hal ikhwalnya
Tokliong Cuncia, yang ditakluki dan ditolong gurunya. Ia
mengagumi Kim Sie Ie ini. Pikirnya: "Orang menyebutnya
murid Tokliong Cuncia sebagai seorang Rimba Persilatan yang
aneh, sebenarnya dia berbudi pekerti halus." Maka ia lantas
menghiburkan: "Sebenarnya telah dua kali guruku melihat
kau, hanyalah kau sendiri tidak mengetahui itu."
"Di manakah itu terjadinya?" Kim Sie Ie tanya, heran.
"Yang pertama kali di atas gunung Ngobie San, di waktu
Mo Locianpwee mengadakan khotbah tahunan yang
dinamakan kiatyan.
Mukanya Kim Sie Ie menjadi merah. Ia ingat itu hari ia
justeru terkena racunnya Tong Beng Cu si siluman, hingga ia
mesti kabur turun gunung.
"Yang kedua?" ia tanya pula.
"Yang kedua kali ialah di atas gunung Himalaya. Guruku
melihat kau mendaki puncak Cholmo Lungma tetapi kau tidak
melihatnya. Bukankah benar kau telah mendaki puncak
gunung itu?"
Cuma dua hal yang mendukakan Kim Sie Ie, pertama
kekalahannya di tangan Tong Beng Cu, dan kedua
kegagalannya di gunung Himalaya itu, siapa tahu, dua-duanya
itu justeru diketahui Lu Su Nio.
"Guruku mengagumi ilmu silat-jmu," berkata si nona.
Kim Sie Ie malu berbareng girang.
"Ada apa lagi yang gurumu bilang tentang aku?" ia tanya.
Nona itu menatap muka orang.
"Tidak ada apa-apa lagi," sahutnya. "Guruku melainkan
mengatakan, mengharap kau nanti membikin tersiar dan
harum ilmu silat ciptaannya Tokliong Cuncia."
Kim Sie Ie melihat sinar mata orang. Sebagai seorang
cerdik, ia menduga si nona masih hendak mengatakan
sesuatu, tetapi ia tidak berani membilang apa-apa. Coba
terhadap lain orang, tentulah ia [sudah mengejek. Ia sekarang
melainkan bisa berduka sendirinya. "Kim Tayhiap-mu ini
menarik hati," Ciang Hee berbisik pada Kang Lam. Seperti si
anak muda, ia pun mengintai dan menonton gerak-geriknya
itu dua orang, terutama tindak-tanduknya si pengemis kusta.
"Tadi tidak keruan-keruan dia menyerang orang, habis dia
memberi hormat dia memasang omong. Ah, dia mirip kau
ketika pertama kali kita bertemu!"
"Begitu?" kata Kang Lam. "Kalau benar, Kim Tayhiap dan
dia pasti akan mengikat tali persahabatan..."
Ciang Hee likat sendirinya. Di dalam hatinya, ia kata:
"Jadinya kau, begitu kau bertemu dengan aku, ingin kau
mengikat persahabatan"..."
Mereka tidak sempat bicara banyak-banyak, atau berpikir.
Terlihat pula Kim Sie Ie menjura lagi kepada si nona, siapa
tetap menyingkirkan diri, hanya sekarang cuma sambil
memiringkan tubuh.
"Untuk apakah ini?" si nona tanya, tertawa. Ia tidak gusar
atau kurang senang mengenai kelakuan orang itu.
"Sebenarnya ketiga siluman tadi hendak mempersulit aku,
aku menghaturkan terima kasih yang kau telah mendahului
menalangi aku melayani mereka," menyahut Kim Sie Ie. "Di
samping itu, barusan aku bersikap kurang ajar terhadap kau,
untuk itu aku belum sempat menghaturkan maafku."
"Itulah tidak ada artinya!" berkata si nona tertawa. "Jikalau
kau tidak menguji aku, aku justeru hendak menguji kau.
Sekarang aku mendapat bukti bahwa kau benarlah muridnya
Tokliong Cuncia. Bukan saja kau gagah, pula sifatmu mirip
sama sifat gurumu itu."
Kim Sie Ie tertawa.
"Kapannya kau bertemu guruku?" dia tanya.
"Guruku yang membilanginya. Suhu membilang, separuh
dari penghidupan gurumu itu ada penghidupan yang luar
biasa, baru kemudian, yang separuh lagi menjadi mendingan.
Benarkah itu?"
Kim Sie Ie nampaknya masgul, ia mengangguk perlahan.
"Benar," ia menyahut. Di dalam hatinya, ia berkata:
"Guruku bertemu sama Lu Su Nio, yang mengetahui sifatnya,
dia dapat mengubah tabiatnya. Tapi aku, aku tidak demikian
beruntung..."
"Ya, tadi kau telah membantui aku, untuk itu aku harus
menghaturkan terima kasihku!" kata si nona kemudian. Tanpa
menanti lagi, ia memberi hormat dengan merangkap kedua
tangannya. Kim Sie Ie tertawa terbahak. "Aku ialah orang yang paling
tidak gemar banyak tingkah!" katanya.
"Tadinya dua kali aku memberi hormat padamu, itulah
karena hatiku yang sungguh-sungguh, untuk itu aku tidak
mengharap pembalasan budimu." Ia melirik si nona, terus ia
menambahkan: "Tapi, aku pun melihat, hormatmu ini, hormat
sungguh-sungguh, maka aku tidak mau sungkan-sungkan lagi,
aku terima hormatmu ini."
Kang Lam ketarik menyaksikan kelakuan dua orang itu.
"Lihatlah mereka saling memberi hormat!" katanya pada
Ciang Hee, perlahan tetapi sambil tertawa. "Mereka mirip
tetamu-tetamu yang saling menghormati satu pada lain!"
Kata-kata ini Kang Lam me-nyangkoknya dari Tan Thian
Oe, majikannya yang muda.
Ciang Hee tertawa.
"Kau tahu apa tentang saling menghormat bagaikan tetamu
itu?" katanya. "Sudah, jangan kau ngaco belo!"
"Tentu aku tahu artinya itu!" menyahut Kang Lam.
"Begitulah aku terhadap kau, aku menghormati kau sebagai
tetamu!" Nona Ciang tertawa terpingkal-pingkal.
"Sudahlah!" katanya.
"Kau ketahui namaku, aku belum ketahui nama kau,"
demikian mereka mendengar pula suaranya Kim Sie le, hingga
mereka berhenti bergurau.
"Aku bernama Kok Cie Hoa," menyahut si nona. "Kok
artinya lembah dan Hoa ialah keindahan."
"Bagus, itulah nama yang batas!" Kim Sie le memuji. Ia
berkelakuan mirip anak-anak.
Si nona tertawa dan lalu mengadakan: "Namamu itu aku
justeru Kurang menyukainya!" Kim Sie ie mementang matanya
lebar-lebar. "Kenapa?" ia tanya.
Si nona tertawa. "Namamu itu, kalau didengar," katanya,
"seperti mengandung maksud bahwa di masa hidupmu
sekarang ini kau sebagai juga orang mensia-siakannya!" Tepat
tafsiran si nona. Kim Sie ia memakai namanya itu memang
dengan maksud demikian. She-nya, Kim, berarti "emas", dan
namanya, Sie le, artinya, dibuang atau disia-siakan dunia.
Habis tertawa dan berkata itu, si nona berkata pula, perlahan:
"Sebenarnya, kenyataannya, manusia itu tak ada demikian
menakuti seperti yang kau pikir..." Kim Sie le tertawa sambil
berlenggak. "Kata-katamu ini pernah diutamakan oleh beberapa orang
lain," tatanya. "Baiklah, mungkin untuk separuh dari
selebihnya hidupku ini, namaku akan aku ubah..." Si nona
tertawa pula. "Kau tahu adat kebiasaan di kampung halamanku" katanya.
"Kalau di sana ada satu orang yang singgah di rumah orang,
untuk minta bermalam, lalu kebetulan yang empunya rumah
melahirkan anak, maka dia harus memberikan sesuatu
hadiah..."
Kim Sie le tercengang. Ia heran. Kenapa si nona boleh
mendadak omong tentang kebiasaan yang langka dari
kampung halamannya itu"
Si nona, dengan perlahan, menambahkan: "Hari ini kau
telah mengutarakan niatmu untuk merubah namamu itu,
sikapmu ini mirip sama si bayi yang baru dilahirkan itu, yang
belum mempunyai nama, yang bakal diberikan namanya. Biar
bagaimana, setelah ada kata-katamu ini, kau lain dari Kim Sie
Ie yang dulu, kau seperti ada dua macam Kim Sie Ie..."
Si nona bicara dengan polos sekali, tetapi kata-katanya itu
mengandung arti. Dan Kim Sie Ie, yang cerdas, dapat
mengerti itu. Maka dia lantas tertawa terbahak. Dia kata: "Aku
sendiri juga tidak tahu kapan aku bakal jadi manusia lagi.
Baiklah! Kau hendak memberi hadiah padaku. Barang apakah
itu" Mari kasih aku lihat!"
"Aku hendak meminjam bunga untuk dihaturkan kepada
Sang Budha," menyahut si nona.
"Bunga" Mana bunganya?"
"Aku telah minta sahabat kecilmu untuk menyampaikannya
kepada kau," menjawab si nona, yang terus berpaling seraya
melanjuti: "Hai, sahabat, kaukah yang dipanggil Kang Lam"
Aku minta sukalah kau menyerahkan kepada Kim Sie Ie yang
sekarang ini!"
Kang Lam menjadi heran.
"Eh, eh!" katanya, gugup, "kapan aku pernah menerima
hadiahmu"..."
Belum habis kata-katanya Kang Lam itu atau si nona, yang
telah tertawa nyaring tetapi halus bagaikan kelenengan, sudah
berlalu dengan cepat.
Dan selagi Kang Lam keheran-heranan, Kim Sie Ie sendiri
terbengong mengawasi sang mega, hatinya bekerja, di dalam
hatinya itu berulang kali ia mengatakan: "Kok Cie Hoa! Kok Cie
Hoa! Di dalam lembah, ada si nona cantik manis... Ah,
namanya itu serta namaku, kalau dihubungi, seperti ada
artinya..."
Pertemuan mereka ada pertemuan sebentaran akan tetapi
nama si nona, dan gerak-geriknya itu, telah meninggalkan


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kesan yang dalam di dalam hatinya Kim Sie Ie. Si nona tidak
sama dengan Lie Kim Bwee, dia juga beda dari Pengcoan
Thianlie. Sampai sebegitu jauh, ia menganggapnya Pengcoan
Thianlie sebagai nona satu-satunya yang mengenalnya, akan
tetapi sekarang, setelah ia memikirinya, ia mendapat
kenyataan Pengcoan Thianlie melainkan menaruh simpati
terhadapnya dan mengasihaninya, akan tetapi nona kecil ini,
dia memandang ia bagaikan sesamanya... Ketika itu Kang Lam
tertawa geli. "Eh, setan cilik, kau mentertawakan apa?" Kim Sie Ie
menegur. "Kau mengatakan aku tikus tua," menyahut si anak muda.
"Tikus tua itu mesti bersembunyi mendekam di dalam
liangnya, tidak keluar-keluar..."
"Jadinya kau mendongkol" Kau tidak ketahui, di dalam ilmu
silat juga ada yang dinamakan ilmu silat tikus tua, yang liehay
sekali. Baiklah, jikalau kau tidak senang, mari aku menemani
kau menjadi tikus tua!"
Dengan mendadak Kim Sie Ie mencelat ke dalam, mencekal
anak muda itu. "Nah, inilah jurus 'Kucing menangkap tikus'!" katanya. "Aku
akan melepaskan kau sebentar setelah matahari berada di
tengah-tengah langit!"
Entah disengaja atau tidak, Kim Sie Ie melirik kepada Ciang
Hee. Nona itu dapat melihat sinar mata orang, ia lantas
berpikir: "Mungkinkah dia hendak mengajari sesuatu ilmu
kepada Kang Lam?" Ia lantas tertawa dan kata: "Aku sendiri,
aku tidak sudi menjadi tikus, aku hendak pergi!"
Kang Lam hendak menyusul nona itu tetapi Kim Sie Ie
menahannya, hingga ia tidak dapat berkutik. Ia lantas kata
perlahan: "Benar-benar aku tidak menerima hadiah dari nona
itu. Jikalau aku mendustai kau, biarlah aku menjadi tikus tua."
Kim Sie Ie tertawa.
"Saudara kecil, aku bukannya hendak menerima hadiah,"
katanya. "Aku justeru hendak mengantar hadiah kepadamu!"
Kang Lam heran tetapi ia girang.
"Benarkah?" ia menanya.
"Kau baik terhadap aku, aku senang padamu," Kim Sie Ie
berkata pula. "Kau jauh terlebih baik daripada Tan Kongcu-mu
itu." Di antara begitu banyak orang yang mengenal ia, Kim Sie
Ie mendapatkan cuma Kang Lam seorang yang menghargai ia,
ia tidak dipandang sebagai "makhluk luar biasa". Adalah Kang
Lam, yang masih kekanak-kanakan, tidak menginsyafi gerakgerik
Kim Sie Ie, yang disebabkan kesepiannya.
Kang Lam berpikir, lantas dia berkata: "Kau telah
memberikan aku hadiah yang paling berharga, habis apa lagi
kau hendak berikan padaku" Aku tidak berani menerima pula.
Kongcu telah membilangi aku bahwa orang tidak boleh
temaha!" "Kau sangat mendengar kata terhadap kongcu-mu!" kata
Kim Sie Ie tertawa lebar. "Pekleng Tan yang kuberikan
padamu, asalnya ialah miliknya Tong Keng Thian. Laginya, aku
cuma meminjam tanganmu untuk menyampaikan itu kepada
Tan Thian Oe. Hadiah itu tidak masuk hitungan. Aku
mempunyai hadiah lain yang lebih baik daripada Pekleng Tan
itu, dan ini sengaja dihadiahkan kepada kau! Kau mau atau
tidak mempelajari ilmu silat yang liehay?"
Kim Sie Ie menduga Kang Lam bakal jadi girang luar biasa,
akan tetapi ternyata dugaannya ini meleset. Kang Lam justeru
mengasih lihat roman bingung, seorang diri dia mengoceh:
"Hadiah... hadiah... hadiah..." Atau mendadak dia berjingkrak
dan berseru: "Ya, aku ingat sekarang! Justeru nona itu ada
hadiahnya untuk kau! Sekarang juga aku hendak
menyampaikannya kepadamu!..."
Kim Sie Ie heran.
"Benarkah dia mempunyai hadiah untukku?" ia bertanya.
"Apakah kau... kau lagi bergurau?"
"Terhadap lain orang aku suka bergurau, terhadap kau
tidak," menjawab Kang Lam.
Kim Sie Ie menjadi ketarik hati.
"Sebenarnya, bagaimanakah duduknya hal?" ia tanya.
Kang Lam mengasih lihat roman sungguh-sungguh.
"Pada tubuhnya Chong Leng Siangjin ada sehelai gambar
atau peta yang luar biasa," ia menyahut.
"Dan tadi aku dengar ketiga iblis itu ngoceh tidak hentinya,
mereka mau merampas gambarnya Chong Leng Siangjin itu.
Mereka bicara dalam bahasa Tibet. Aku pernah tinggal di Tibet
sepuluh tahun lamanya, maka aku mengerti setiap
perkataannya itu." Ia berhenti sebentar, lantas ia meneruskan:
"Kalau bukan disebabkan datangnya si nona tadi dan kedua
pihak bertarung, mungkin mereka bertiga sudah masuk ke
dalam gua ini dan mungkin juga gambar itu sudah terjatuh ke
dalam tangan mereka itu. Karena itu, aku menganggap
gambar itu gambarnya si nona. Jadi hadiah yang si nona
hendak memberikannya kepada kau ialah gambar itu adanya!"
Kim Sie Ie menjadi tambah ketarik hati. Ia lantas menolak
batu besar, yang menindih tubuhnya Chong Leng Siangjin.
Segera ia mendapatkan gambar atau peta yang disebutkan
Kang Lam itu. la pungut itu, untuk dibeber.
"Kau lihat, apakah itu bukannya aneh?" berkata Kang Lam,
yang turut melihat. "Satu raksasa memanah gunung api.
Apakah artinya itu" Mustika apakah yang diartikan, hingga
ketiga siluman tadi sangat mengarahnya?"
Kim Sie le mengasih dengar suara heran, sekian lama ia
berdiam saja. Ia seperti tengah memikirkan sesuatu. Kang
Lam heran melihat sikap orang itu, karenanya, ia tidak berani
mengoceh lebih jauh.
Melihat pulau beserta gunung apinya, sebagaimana itu
terlukis di dalam gambar, Kim Sie Ie menjadi ingat sesuatu. Ia
mengenalinya dengan baik Ketika untuk pertama kali Tokliong
Cuncia membawa ia ke Coato, Pulau Ular, di tengah
pelayaran, ialah di tengah laut, ia pernah melihat pulau itu,
yang dilewatinya. Ketika itu baru beberapa tahun usianya, ia
heran dan ketarik hati menyaksikan gunung api di atas pulau,
gunung yang menyemburkan api. Pernah ia menanyakan
keterangan kepada Tokliong Cuncia dan gurunya mengatakan
itulah sebuah pulau tanpa penduduknya. Pulau itu terletak di
selatan Coato. Kalau angin baik, di dalam tempo tiga hari,
orang akan tiba di pulau itu. Hanyalah Tokliong Cuncia pernah
memberi ingat, kalau Kim Sie Ie sudah besar, jangan sekalikali
muridnya ini pergi main-main ke pulau itu, seperti juga di
sana ada ancaman bahaya hebat. Belum pernah ia pergi
kesana. Ketika kemudian dari Coato ia pergi ke daratan Tionggoan,
di tengah jalan ia tidak mendapat lihat pulau itu atau
pulau bergunung api yang lainnya. Sekarang, melihat gambar
ini, ia ingat pulau itu. Ia tidak bisa menerka maksudnya
gambar itu tetapi ia merasa pasti, itulah pulau yang gurunya
melarang ia mengunjunginya.
"Mungkinkah benar apa yang dibilang Chong Leng
Siangjin?" kemudian Kim Sie Ie berpikir. "Ialah bahwa pada
tiga ratus tahun dulu itu pernah hidup seorang yang bernama
Kiauw Pak Beng, yang dapat memahami dan mengatasi ilmu
silat dari kalangan sesat dan sejati, tetapi kemudian dia hidup
dan mati menyendiri di pulau terpencil itu?"
Kim Sie Ie tertarik hatinya. Ia bukan tertarik karena
liehaynya ilmu itu, yang menggabung dua menjadi satu, hanya
ia ketarik sama khasiatnya, yaitu dapat menyingkirkan
kesesatan dan mengubahnya menjadi kebaikan. Kalau ia pun
bisa memahami itu, alangkah baiknya untuk kaum persilatan
sesat seperti ia di belakang hari...
Tidak lama Kim Sie Ie memandangi gambar itu, ia lantas
menggulungnya. "Hadiah ini aku terima baik," katanya pada Kang Lam. Ia
tertawa. "Aku menghaturkan terimakasih padamu yang telah
mengingat ini dan menyerahkannya padaku. Untuk membalas
budimu, aku juga hendak menghadiahkan sesuatu
kepadamu."
Kang Lam tidak lantas menghaturkan terima kasih.
"Eh, eh," katanya, "apa yang kau bilang tadi, aku masih
kurang mengerti. Bukankah kau membilangnya hendak
menunjuki aku suatu ilmu silat yang liehay?"
"Tidak salah!" menjawab Kim Sie Ie.
Kang Lam menjadi sangat girang. Sekarang, tidak sangsisangsi
pula, ia berlutut untuk paykui, guna mengangkat guru
pada orang aneh itu.
Kim Sie Ie tertawa dan berkata: "Bedanya usia kita berdua
tidak terlalu jauh, lebih baik kita menjadi sahabat-sahabat saja
supaya dapat kita bicara dengan merdeka, tanpa likat-likat!
Apakah artinya begitu lekas kita menjadi guru dan murid Lain
daripada itu, sekarang ini aku belum memikir untuk menerima
murid." "Aku dapat menebak pikiran kau," berkata Kang Lam
tertawa. "Kau tentu kuatir, dengan menjadi muridmu, aku
bakal membikin kau hilang muka. Baiklah, tidak apa kau tidak
suka menjadi guruku, asal kau mengajari aku ilmu silat. Aku
berjanji akan belajar sungguh-sungguh, supaya aku tidak
sampai memalukan kau!"
"Ilmu silat itu tidak dapat dipelajari sempurna dalam tempo
satu pagi atau setengah hari," berkata Kim Sie Ie, "lagi pula,
kalau baru satu jurus saja, faedahnya tidak besar. Maka
sekarang aku hendak mengajarkan dulu pokoknya kepada
kau, kau mesti apalkan itu, setelah kau dapat mengingatnya
dengan baik, aku ingin melihat kesadaran kau. Setelah kau
insyaf, segala apa selanjutnya bakal jadi gampang, segala
pelajaran akan tak sukarnya dipahamkan. Di dalam ilmu
lweekang, tenaga dalam, kau dapat meyakinkan terus seorang
diri dengan rajin, jadi aku tidak usah mengajarkannya pula."
Kim Sie Ie tidak mensia-siakan tempo, habis berkata, ia
mulai memberikan pelajarannya itu, ialah kouwkoat atau
teorinya ilmu silat, yang terdiri dari beberapa puluh kata-kata.
Kang Lam berbakat baik sekali, baru beberapa kali diajari,
ia lantas dapat mengingat baik-baik dan membacanya di luar
kepala tanpa salah, bahkan ia pun segera dapat menangkap
arti atau sarinya, maka juga Kim Sie le lantas terus mengajari
juga rahasia tiamhiat hoat, ilmu menotok jalan darah atau otot
utama. Maka itu, di dalam tempo yang pendek, bocah ini telah
memperoleh hasil yang bagus sekali, yang oleh lain orang tak
dapat dipahamkan dalam tempo satu atau dua tahun.
Ciang Hee dan Kang Lam berada berduaan, bahkan Kang
Lam memperoleh kepandaian, akan tetapi di lain pihak, ayah
dan ibu si nona bingung sekali, sebab mereka telah
menantikan satu malam, anak mereka tidak juga kembali.
Tentu saja mereka berkuatir anak mereka itu nampak bahaya
apa-apa. Maka juga setelah terang tanah, mereka lantas pergi
ke gunung belakang, untuk mencari. Lama mereka mencaricari,
akhirnya tiba mereka di gua di mana mereka berhasil
menemui si nona. Hanya, untuk herannya mereka, Ciang Hee
memberi tanda untuk mereka jangan bicara. Dengan paksa
menahan hati, mereka terus berdiam. Adalah kira-kira tengah
hari, dari dalam gua terdengar tertawa nyaring dari Kim Sie Ie,
lalu terlihat orang muncul sambil berpegangan tangan dengan
Kang Lam. Matanya Yo Liu Ceng tajam sekali, dengan lantas ia melihat
sinar muka terang dari si bocah, dari itu ia lantas menduga,
tentulah bocah itu telah memperoleh pengajaran apa-apa dari
Kim Sie le. Sebenarnya ia tidak puas terhadap Sie Ie tetapi
mengingat tadi malam orang telah memberikan
pertolongannya, ia menemuinya, ia menghaturkan terima
kasih. Ciang Hee suka sekali kepada Kim Sie le, dari itu ia minta
orang suka tinggal lebih lama di rumahnya, sedikitnya untuk
dua hari lamanya.
"Apakah maksudmu hendak menahan aku disini?" kata Kim
Sie Ie pada si nona. Ia telah menduga, dan lantas
mengatakannya terus terang. "Apakah kau kuatir nanti datang
pula beberapa iblis untuk mengganggu padamu?"
Yo Liu Ceng tidak berniat mengundang orang tersebut
berdiam di rumahnya, maka itu, mendengar perkataan itu, ia
mengerutkan alis. la lantas berpikir untuk mengatakan
sesuatu, guna memberi selamat jalan. Tapi belum sempat ia
membuka mulut, ia sudah mendengar tertawanya orang luar
biasa itu, yang terus bersenandung sendirian:
"Dengan tongkat besi malang melintang, pergi dan
kembali! Mengangkat kepala di luar langit, bernyanyi tinggi
seorang diri!"
Suara itu dibarengi dengan kibasan kedua tangan serta
gerakan tubuhnya yang pesat, maka di lain detik dia telah
melesat, lenyap, di dalam rimba di samping mereka. Dia
lenyap sebelum suara kumandangnya itu hilang.
"Sungguh seorang makhluk aneh!" kala Yo Liu Ceng.
"Bukannya makhluk aneh!" Ciang Hee, menyangkal ibunya.
"Turut penglihatanku, dia tentu tengah dipengaruhi sesuatu
yang mendukakan hatinya. Dia liehay sekali, sayang dia terlalu
hidup menyendiri..."
Kim Sie le tidak mendengar apa yang orang omong tentang
dirinya. Dengan cepat ia telah menjauhkan diri dan dengan
pikiran yang pepat. Ia telah bersudi gawe membantui Kang
Lam, maksudnya yang utama ialah untuk merangkap jodoh
bocah itu dengan Ciang Hee. Kesudahannya membuatnya
menjadi puas. Hanya, apabila ia memikirkan dirinya sendiri,
yang hidup sebatang kara, ia menjadi masgul. Tanpa merasa,
ia pun menjadi ingat si nona muda belia tadi, bayangannya
lantas berpeta di depan matanya.
"Guruku pernah menerima budi Lu Su Nio," kemudian ia
berpikir, "aku pun paling menghargai dia, dan sekarang aku
mendengar berita kematiannya, dapatkah aku tidak pergi
menyambangi kuburannya, untuk mengunjuk hormatku?"
Di dalam hatinya, Kim Sie Ie mengatakan demikian, dan
dalam hatinya itu juga ia teringat si nona, ialah Kok Cie Hoa
dengan siapa ia sangat ingin bertemu...
Gunung Binsan berada di wilayah propinsi Hoolam, maka
itu Kim Sie le lantas meninggalkan kecamatan Tongpeng di
propinsi Shoa-tang ini untuk menuju ke propinsi itu. Dia
berangkat dari Shoatang Selatan. Setelah hampir satu bulan di
perjalanan, ia mulai memasuki propinsi itu. Ia telah
menyeberangi sungai Honghoo, lalu jalan di sepanjang bagian
barat dari gunung Thayheng San. Pada suatu hari tibalah ia di
Sin-an, sebuah kota kecil, dari mana, lagi tiga ratus lie, ia akan
sampai di gunung yang dituju itu. Adalah niat Kim Sie Ie,


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk tidak singgah di dusun ini, meski ketika itu hari sudah
mulai magrib. Ia tengah berdiri di depan sebuah rumah
penginapan tatkala sinar matanya kebentrok dengan dua ekor
kuda yang mestinya binatang-binatang pilihan. Kedua kuda itu
panjang lehernya, pendek ke empat kakinya, dan bagian
paling bawah bulu kakinya berwarna putih seperti salju. Ia
tahu itulah kuda, atau kuda turunan Ferghana, maka ia
menjadi heran. "Pemilik kedua ekor kuda ini mungkin sekali dari daerah
perbatasan," pikirnya. "Baiklah aku lihat, siapa mereka itu..."
Maka ia lantas masuk ke dalam rumah penginapan itu,
untuk meminta kamar. Habis bersantap malam, ia segera
duduk bersame-dhi. Dengan begitu iapun menantikan waktu.
Tepat kira-kira jam tiga, ia keluar dari kamarnya, untuk
mengintai ke lain-lain kamar. Ia tidak melihat sesuatu yang
mencurigai sampai ia tiba di kamar paling timur. Ia baru saja
mendekati jendela, kupingnya lantas mendengar suara dari
dalam kamar itu: "Kim Sie Ie si makhluk siluman itu, sampai
mati barulah dia menjadi bersih!" Tentu sekali, ia menjadi
heran. "Siapakah orang ini?" pikirnya. "Kenapa ia boleh mencaci
aku?" Ia mau percaya, dengan kepandaian meringankan tubuh
seperti ia, tidak nanti orang dapat mempergokinya. Pula
malam itu gelap sekali. "Mungkinkah dia lebih gagah
daripadaku?"
"Bu Loojie," terdengar suara seorang lain, "mengapa tidak
keruan-keruan kau mencaci orang" Ini namanya mencaci di
belakang orang..."
"Jikalau aku tidak mencaci dia, habis aku mesti mencaci
siapa?" tanya orang yang bicara terlebih dahulu itu. "Kau
ketahui sendiri, kita membuat perjalanan ini, apakah itu bukan
untuknya" Juga urusan kau, bukankah itu belum dapat
dilakukan karena dia" Hm! Yang paling menyukarkan sekarang
ialah tidak ketahuan dia sudah mati atau masih hidup!..."
Mendengar itu, hatinya Kim Sie Ie lega juga. la bukannya
diketahui orang atau orang telah mengintainya, hanya orang
tengah mencari padanya. Ia sekarang memikir lain. Ia tidak
kenal dua orang itu. Mendengar suaranya orang yang
pertama, yang rupanya masgul atau mendongkol, mungkin
mereka itu mendendam sakit hati terhadapnya. Siapakah
mereka itu"
"Aku mengharap-harap Kim Sie Ie masih hidup," berkata
orang yang kedua, yang lagu suaranya mirip kekanakkanakan.
"Jikalau tidak, aku kuatir adik seperguruanku yang
kecil itu nanti berduka untuk seumur hidupnya..."
Dengan "adik", orang itu menyebut sumoay-nya, ialah adik
seperguruan yang wanita.
Orang yang pertama kali bicara itu lantas berkata: "Paman
kecil, harap kau tidak mengatai aku, bilang kau mirip kanakkanak!
Umpama kata benar Kim Sie Ie itu mati, mungkinkah
siauwkouw, bibiku yang kecil itu, nanti hidup menjadi janda"
Ah, paman kecil, tahukah apa yang gurumu telah pikir" Dia
justeru penuju padamu! Pernah dengan telingaku sendiri aku
mendengar gurumu itu bicara sama ibunya Kim Bwee
mengenai perjodohan kamu itu!"
Kim Sie le terperanjat mendengar disebutnya nama Kim
Bwee itu. Segera di depan matanya berbayang romannya
seorang nona yang mungil dan polos tetapi lincah. Ia lantas
ingat pertemuannya pertama kali dengan nona itu di gunung
Ngobie San, bagaimana bersama ibunya si nona serta si nona
sendiri, ia berjalan bersama di padang rumput di perbatasan.
Ia ingat pula bagaimana gerak gerik si nona selama di atas
gunung Himalaya. Ia tidak memikir untuk mengganggu nona
itu, yang usianya masih terlalu muda, ia justeru mengagumi
kebersihan hatinya. Maka itu, biar bagaimana, tidak dapat ia
melupakannya! Sekarang Kim Sie Ie dapat menduga siapa dua orang di
dalam kamar itu. Yang dipanggil Bu Loo-jie itu mestinya Bu
Teng Kiu, ialah puteranya kakak misan dari Lie Kim Bwee.
Dengan si nona, dia menjadi bertingkat lebih rendah. Sebab
mertua perempuan dari Phang Lim adalah Bu Keng Yauw,
salah satu dari Thiansan Citkiam " " tujuh ahli pedang dari
Thiansan. Bu Keng Yauw itu ada mempunyai adik laki-laki
ialah Bu Seng Hoa dan Bu Seng Hoa ini mempunyai dua cucu
buyut ialah Bu Teng Ciu dan Bu Teng Kiu, kakak dan adik.
Persanakan sudah jauh akan tetapi Thiansan Citkiam
mempunyai kebiasaan turun temurun ialah setiap lima tahun
sekali mengadakan pertemuan kekeluargaan, maka itu,
walaupun turunan yang muda sekali, sering dapat dilihat atau
ditemui satu dengan lain, dari itu Lie Kim Bwee dengan dua
saudara Bu itu kenal satu pada lain dan ketahui juga urusan
keluarga masing-masing.
Pemuda yang suaranya kekanak-kanakan itu adalah Ciong
Tian, murid satu-satunya dari Tong Siauw Lan. Pengcoan
Thianlie pernah bentrok sama pemuda she Ciong ini, yaitu
ketika untuk pertama kali si nona mendaki To Hong atau
Puncak Unta di muka pertemuannya sama suami isteri Tong
Siauw Lan. Hal ini Kim Sie Ie ketahui dari ceritanya Pengcoan
Thianlie sendiri.
Maka itu, setelah mengetahui siapa adanya kedua pemuda
itu, Kim Sie Ie menjadi berpikir keras. Tengah ia berpikir itu,
kedua orang di dalam kamar berbicara terus.
Berkata Bu Teng Kiu: "Itu hari aku bersama Kim Bwee
tengah meyakinkan ilmu pedang tempo Tong Keng Thian
datang dan bicara sama ibunya Kim Bwee, membicarakan
halnya Kim Sie Ie. Tong Tayhiap bilang bahwa Kim Sie Ie telah
lenyap untuk banyak tahun, bahwa ia telah mengirim orang
mencari kemana-mana tanpa hasil, hingga ia berkuatir Kim Sie
Ie lebih banyak mengalami bahaya daripada keselamatan.
Habis itu, mereka membicarakan urusan jodohnya Kim Bwee.
Nah, kau terkalah, siapakah yang disebut-sebut Tong Tayhiap"
Itulah kau! Maka itu kecuali telah didapat kepastian hal
kematiannya Kim Sie Ie, sukar untuk mengubah pikirannya
Kim Bwee itu. Ibunya Kim Bwee juga menguatirkan sangat
jodoh puterinya. Kim Bwee mendengar jelas pembicaraan itu.
Mungkin sengaja ibunya berbuat demikian supaya anaknya
dapat mendengarnya. Aku melihat wajahnya Kim Bwee
berubah, tetapi aku tidak memperhatikannya. Maka adalah di
luar dugaan malam itu, tanpa menanti ibunya mencari dia,
untuk diajak bicara, dia telah pergi dengan diam-diam!"
Ciong Tian menghela napas.
"Kiranya itulah sebabnya kenapa adik Kim Bwee minggat!"
katanya, masgul.
"Paman kecil, jangan kau bersu-sah hati," kata Teng Kiu
tertawa. "Dia minggat untuk mencari kepastian perihal Kim Sie
Ie, kalau nanti dia sudah kewalahan mencari, mustahil dia
tidak akan menikah untuk seumur hidupnya?"
Ciong Tian berdiam, air mukanya guram.
"Aku paling mendongkol terhadap Kim Sie Ie si makhluk
aneh itu!" kata pula Bu Teng Kiu, 'Dia satu pengemis gila,
kenapa Kim Bwee justeru menyintai dia hingga ia sekarang
membuat sulit ibunya sendiri serta gurumu juga" Untukku,
kematian Kim Sie Ie tidak ada artinya, hanya adik Kim Bwee,
dia membikin kita pusing dan cape mencarinya! Kemana kita
mesti pergi?"
"Ya, sudah lebih dari setengah tahun kita mencarinya, dia
tidak ada kabar ceritanya," kata Ciong Tian. "Dia masih muda,
dia pun seorang wanita, harap saja dia tidak mengalami
sesuatu bencana..."
"Sayang suaramu ini tidak terdengar dia!" kata Bu Teng Kiu
tertawa. "Sebenarnya tidak usahlah kau berkuatir. Gurumu
adalah orang pandai nomor satu di kolong langit ini, dan ilmu
silatnya adik Kim Bwee juga tidak ada di bawahan kita, siapa
berani mengganggu dia" Ada berapa orang yang bisa
mengalahkan padanya" Umpama kata benar ada orang yang
menem-pur dia, asal mereka bergerak, siapa tidak akan
mengenali dialah dari Thiansan Pay" Coba pikir, siapa berani
main gila terhadap partai itu?"
Kim Sie Ie di luar jendela mendengari dengan hatinya
berpikir keras.
"Aku tidak menyangka Lie Kim Bwee menyintai aku dan
selama empat atau lima tahun, hatinya tidak berubah... Orang
she Ciong ini tidak buruk, yang menjemukan adalah si orang
she Bu!" Di dalam kamar, Bu Teng Kiu masih saja mengoceh,
mencaci Kim Sie Ie dan menggoda Ciong Tian, maka akhirnya
Kim Sie Ie menjadi mendongkol. Ia pergi mencari tanah
basah, setelah merobek kertas jendela, ia menimpuk ke
dalam, tepat di saat Teng Kiu membuka mulutnya, hingga dia
gelagapan, karena mulutnya tersumpal tanah. Tentu sekali dia
menjadi sangat kaget, demikian juga kawannya.
Ciong Tian menyambar pedangnya, pedang Cengkong
kiam, yang digantung di tembok, dengan membawa itu ia
buka jendela, untuk berlompat keluar. Bu Teng Kiu menyusul
dengan lantas selekasnya dia membuang tanah sumbatan
pada mulutnya itu. Ia mendongkol bukan buatan, dari itu ia
memburu sambil mencaci. Ia belum sempat menutup
mulutnya, atau kembali ada gumpalan tanah yang menyambar
ke arah mulutnya itu, hingga ia menjadi kaget. Hanya kali ini
ia dapat berkelit. Tapi tidak urung mukanya terkena juga,
hingga ia tetap gelagapan, murkanya bukan main.
Kim Sie Ie tidak pergi menghilang. Ia sengaja mengasih
lihat tubuhnya, supaya dua orang itu mengubernya.
Bu Teng Kiu mengejar. Ciong Tian terpaksa menyusul
meski ia dapat menduga, orang di depannya itu mestinya
liehay. Kim Sie Ie memancing orang hingga di luar kota. Dengan
tim-pukannya, dengan batu kecil atau tanah, ia membikin
Teng Kiu mengejar terus-terusan. Dengan begitu juga ia
mempermainkan mereka itu. Dengan Iiehaynya
kepandaiannya ringan tubuh, ia senantiasa membikin
tubuhnya terlihat bagaikan bayangan, dan kapan orang
agaknya tidak ingin menyusul terus, ia menyambit mereka itu
hingga mereka mendongkol dan penasaran, hingga mereka
mengejar pula, mengejar terus. Sia-sia belaka mereka
mencaci. Kesudahannya mereka menjadi letih dan cape mulut.
"Mungkinkah dia Kim Sie Ie?" akhirnya berpikir Ciong Tian,
yang terlebih cerdik. Justeru ia menduga demikian, justeru
bayangan di depan mereka lenyap dibarengi sama satu siulan
panjang yang nyaring, yang rasanya tajam masuk ke dalam
telinga. Dengan caranya itu Kim Sie Ie meninggalkan dua orang itu,
dengan mengambil jalan kecil, ia pulang terlebih dahulu ke
rumah penginapan. Ia merasa puas telah mempermainkan
mereka, ia tertawa di dalam hati. Hanya, ketika ia sampai di
kamarnya ia menghadapi suatu kejadian di luar dugaannya,
hingga tidak dapat ia tertawa terlebih jauh. Itulah sebuah
tusuk konde! Begitu lekas Kim Sie Ie bertindak masuk ke dalam
kamarnya itu, di atas mejanya ia menampak tusuk konde
tersebut, yang memperlihatkan cahaya berkeredepan. Ia
heran sampai hampir tak mempercayai matanya.
Itulah sebuah tusuk konde kumala model kupu-kupu,
model yang istimewa. Itu juga tusuk kondenya Lie Kim Bwee.
Ia lantas mengenali karena ia telah melihat tusuk konde itu
dipakai si nona, baik di permulaan perkenalan mereka maupun
di pertemuan yang paling belakang di kaki Puncak Mutiara.
"Bagaimana datangnya tusuk konde ini?" ia kata di dalam
hatinya. "Apa mungkin Lie Kim Bwee sendiri telah mencari
aku?" Keras ia menduga-duga, tidak ia berhasil mendapati
jawabannya. Ketika ia meneliti, ia menampak sedikit tanda
darah pada tusuk konde itu, hingga ia menjadi heran
berbareng berkuatir. Ia menjadi berpikir pula: "Adakah dia
terluka ataukah dengan ini dia mau menunjuki hatinya?"
Melihat tusuk konde itu Kim Sie le merasa ia seperti melihat
Lie Kim Bwee sendiri. Ia lantas membayangi tertawa manis
dari nona itu. Ia seperti menampak pula sinar mata si nona,
yang seperti menyesalinya... Mendadak ia menjadi berduka.
"Adakah ini sang cinta dari mana orang tak dapat
menyingkir?" pikirnya akhirnya.
Di waktu malam yang sunyi seperti itu, tiba-tiba Kim Sie Ie
mendapat dengar satu suara yang perlahan sekali di atas
genting. Demikian perlahan suara itu hingga cuma ialah yang
dapat mendengarnya. Ia terkejut.
"Siapakah yang tubuhnya begini ringan?" tanya ia dalam
hatinya. "Tidak salah, dia mestinya Lie Kim Bwee!"
Maka lantas ia lari keluar dari kamarnya, untuk terus
Pendekar Riang 15 Pendekar Setia Pendekar Kembar Bagian Ii Karya Gan K L Rahasia Peti Wasiat 4

Cari Blog Ini