Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen Bagian 13
nona itu beberapa jenak. Setelah merenung, wajahnya berobah, "Beritahukan kepada
majikanmu bahwa aku tak senang arak"."
Habis berkata ia berpaling lagi ke arah Nyo Bun-giau.
Dengan langkah berat nona yang bernama Giok-lan itu menghampiri Nyo Bun-giau lagi
seraya berkata pelahan, "Tuan Leng mengatakan bahwa seumur hidup dia tak suka minum
arak "."
"Hm, engkau juga tak berguna!" dengus Nyo Bun-giau seraya gerakkan tangan ke
pinggang nona itu. Tanpa dapat berteriak lagi, Giok-lan rubuh ke dalam kolam.
Melihat peristiwa yang ngeri itu, Ting Yan-san dan Ca Giok serempak memandang ke
arah Leng Kong-siau. Tampak wajah tokoh itu dingin saja memandang ke arah rombongan
gadis penari yang berada di atas jembatan.
"Giok-ho, kemarilah!" kembali Nyo Bun-giau bertepuk tangan. Sesosok tubuh
berpakaian putih, segera tampil menghampiri sambil tundukkan kepala.
"Tetamu terhormat berkunjung tatapi tak becus menghantarkan arak. Bukankah berarti
akan membikin malu diriku" Giok-ho, persembahkan arak kehormatan kepada tuan Leng
itu!" Nona baju putih itu rupanya hendak bicara, tetapi Nyo Bun-giau cepat menghalaunya,
"Lekas, kalau arak terlanjur dingin tentu tak enak!"
Terpaksa Giok-ho atau Teratai Kumala si nona baju putih itu menghampiri ke tetapat
Leng Kongsiau. Namun tokoh dari Lembah Seribu-racun itu tetap menolak minum.
Ketika Teratai Putih menghadap Nyo Bun-giau, sebelum bicara apa-apa, Nyo Bun-giau
sudah menampar sehingga nona itu pecah batok kepalanya dan terjebur ke dalam kolam.
"Giok-kiok, lekas kemari persembahkan arak kehormatan kepada tuan Leng!" kembali
Nyo Bun-giau berseru.
Seorang nona baju kuning muncul. Seorang dara yang umurnya baru 16-an tahun.
Ketika menghampiri Leng Kong-siau, dara itu sudah bercucuran airmata. Ia
mempersembahkan cawan arak ke hadapan Leng Kong-siau tanpa berkata apa-apa.
Hanya sepasang matanya berlinang-linang memandang Leng Kong-siau dengan mohon
belas kasihan. Ketika Leng Kong-siau memandang dara itu, hatinya tak tega. Dengan mendengus ia
menyambuti cawan terus diminumnya habis.
Melihat itu Nyo Bun-giau tertawa gelak-gelak, serunya, "Seumur hidup saudara Leng
tak minum arak. Karena saudara telah melanggar pantangan, aku benar-benar merasa
bahagia mendapat kehormatan itu!"
Jawab Leng Kong-siau, "Dunia persilatan mengatakan Lembah Seribu-racun itu amat
ganas. Tetapi tindakan saudara Nyo hari ini, benar-benar menegakkan bulu roma. Aku
Leng Loji kecewa sekali digelari orang sebagai Manusia beracun!"
Nyo Bun-giau hanya tersenyum, ujarnya, "Jangan merendah diri. Saudara Leng
memang sengaja hendak memberi muka kepadaku "."
Tiba-tiba wajah Leng Kong-siau berobah dan berbangkitlah ia dengan serentak, "Leng
Kong siau memang gemar membunuh, membakar dan lain-lain kejahatan. Tetapi seumur
hidup aku tak mau bergaul dengan paras cantik dan tak pernah menghilangkan
kepercayaan!"
Tetapi Nyo Bun-giau tak mengacuhkan kemarahan tetamunya. Dengan tersenyum
gembira ia memanggil Giok-kiok atau Seruni Kumala. Kemudian ia merogoh keluar mutiara
sebesar buah kelengkeng dan diserahkan kepada dara itu, "Aku selalu tegas memberi
hukuman dan hadiah. Yang melanggar, dihukum. Yang berjasa tentu kuhadiahi, Karena
engkau berhasil mempersembahkan arak kepada tuan Leng, maka kuhadiahkan
segenggam mutiara itu kepadamu."
Sambil menyambuti mutiara, Seruni Kumala berlutut memberi hormat dan
menghaturkan terima kasih. Nyo Bun-giau suruh nona itu menyingkir.
Nyo Bun-giau menghampiri pagar batu. Sekali mengguncangkan. terdergarlah suara
bergemuruh dan jembatan itupun meluncur ke muka terus lenyap ke dalam hutan.
Kemudian ia berpaling ke arah ketiga tetamunya dan tersenyum simpul, "Arak yang
saudara-saudara minim tadi, adalah arak obat yang kubuat dengan susah payah. Tiada
mengunjuk warna apa-apa dan tak berbau tetapi hebat sekali racunnya
." Leng Kong-siau tertawa dingin lalu berbangkit, serunya, "Ah, sayang untuk
melaksanakan maksud itu saudara harus mengorbankan tiga jiwa nona yang tak berdosa
.." Ia menutup kata-katanya dengan sebuah gerakan melambung ke udara dan melayang
di tepi pagan batu lalu semburkan arak ke kolam bunga teratai.
Cepat Nyo Bun-giau kebutkan tangannya ke arah semburan arak Leng Kong- siau.
Semburan arak itu melengkung ke samping dan mencurah ke arah segerumbul bunga
teratai yang tumbuh di tepi kolam.
Juga Ting Yan-san mengambil sebuah cawan lalu muntahkan kembali arak yang
diminumnya tadi. Cawan itu berisi lagi sampai penuh seperti di saat dihidangkan
kepadanya tadi.
Setelah muntahkan semua arak yang diminumnya itu, diam-diam hati Ting Yan-san
lega. Hanya Ca Giok sendiri yang gelisah. Pikirnya, "Kedua tua bangka itu sudah tahu kalau
arak dari Nyo Bun-giau itu berisi racun. Tetapi mereka tak mau memberi peringatan
kepadaku. Kini mereka sudah muntahkan arak yang diminumnva, hanya aku sendiri yang
tak dapat memuntahkan arak .."
Dengan sikap tenang, Leng Kong-siau menatap tuan rumah dan tertawa. "Perhitungan
saudara Nyo memang lihay sekali tetapi sayang ada kalanya meleset juga. Engkau tentu
sudah memperlengkapi pagoda bunga ini dengan alat rahasia. Engkau siapkan barisan
gadis-gadis cantik untuk menari. Kemudian tuan perintahkan nona2 cantik untuk
mempersembahkan arak kepada kami bertiga. Oh, hebat, benar-benar hebat. Tetapi
sayang engkau tak memperhitungkan bahwa aku Leng Loji dan Ting lo-sam, juga sudah
mempersiapkan rencana. Telah kumuntahkan semua arak yang kuminum tadi.
Demikianpun dengan saudara Ting. Bahkan saudara Ting lebih hebat lagi. Dia telah
mengembalikan arak secawan penuh. Dengan begitu jerih payah saudara Nyo tadi
hanyalah berhasil mencelakai seorang Ca Giok saja. Tetapi tak berguna terhadap kami dari
Lembah Raja-setan dan Lembah Seribu-racun "."
Berhenti sejenak. Leng Kong-siau melanjutkan lagi, "Dan masih ada sebuah hal yang
tak masuk dalam perhitungan saudara. Dalam pagoda ini, dari kita berempat ada tiga
orang yang bersumpah tak mau hidup di bawah satu matahari dengan saudara. Memang
kuakui aku seorang diri tentu tak mampu menandingi engkau. Tetapi apabila di sampingku
terdapat Ting Lo-sam dan Ca Giok, keadaannya tentu berlainan. Cobalah saudara
perhitungkan apakah saudara mampu menghadapi kami bertiga?"
Nyo Bun-giau tak segera menjawab melainkan berkeliaran memandang keempat
penjuru. Tampak Ca Giok dan Leng KOng-siau berpencar menjaga sebuah tetapat dan
merupakan pengepungan. Jago she Nyo itu mengurut jenggot sambil tertawa keras.
"Jangankan saudara bertiga sudah meminum arak buatanku yang amat beracun.
Sekalipun tidak minum, Nyo Bun-giau masih mampu melayani keroyokan kalian bertiga.
Kalau tak percaya, silahkan turun tangan!"
Ting Yan-san maju dua langkah dan berdiri pada jarak satu meter di depan Nyo Bungiau,
lalu berkata dengan dingin, "Kegagahan saudara Nyo sunggah mengagumkan sekali.
Ting Losam memang paling tak kenal diri, hendak coba-coba mengadu tenaga dengan
saudara barang 10-an jurus saja, tetapi . "
Ia tak melanjutkan kata-katanya.
"Jika saudara Ting mempunyai kegembiraan, jangankan lagi 1O jurus, bahkan seratus
sampai seribu jurus, aku tentu suka melayani. Tetapi apakah yang hendak saudara
katakan lagi" Harap mengatakan lebih dulu. Soal hidup atau mati, tak perlu harus terburuburu!"
"Dimanakah kedua gadis kemenakanku yang saudara tahan dalam gedung ini?" tegur
Ting Yansan. Percobaan tertawa nyaring tadi, menambah keyakinannya bahwa tenagadalamnya
sudah pulih kembali. Nyalinyapun bertambah besar.
"Pertanyaan saudara itu sungguh tepat. Kedua gadis kemanakan saudara itu berada di
gedung belakang dan kusuruh isteriku memperlakukan mereka sebaik-baiknya. Harap
saudara jangan kuatir!"
Ting Yan-san gontaikan kebut hud-tim, tegurnya "Dalam kedudukan sebagai seorang
ketua marga yang terhormat, apakah maksud saudara menawan kedua gadis
kemanakanku itu?"
"Memang heuar kedua nona kemanakan saudara itu berada di gedung sini. Tetapi kalau
saudara menuduh aku menawan, sungguh tak dapat kuakui. Tetapi jika saudara memang
mempunyai lain tujuan, sukarlah kudapat menjawab!"
"Tak peduli menawan atau memikat tetapi tindakan itu benar-benar menghina sekali!"
Ting Yan-san terus ayunkan kebutannya ke arah kepala orang.
Nyo Bun-giau kebutkan lengan bajunya untuk menangkis, serunya, "Jika saudara Ting
memang sungguh-sungguh hendak berkelahi, harap menggunakan senjata yang terselip di
punggung saudara itu."
"Tak perlu!" seru Ting Yan-san seraya sapukan hud-tim ke pinggang orang.
"Saudara Ting seorang tetamu, aku sebagai tuan rumah akan mengalah sampai tiga
jurus!" seru Nyo Bun-giau seraya berputar tubuh loncat ke samping.
Tetapi Leng Kong-siau segera menyambut dengan sebuah hantaman, serunya,
"Bertetapur adu kesaktian, harus mengeluarkan kepandaian sesungguhnya. Harap saudara
Nyo jangan banyak tingkah!"
Saat itu Nyo Bun-giau masih melayang di atas. Terpaksa ia menangkis dengan tangan
kanan. Dan menggunakan pukulan itu, ia melambung lebih tinagi, berputar-putar di udara
dan melayang ke luar dari pagoda. Tepat pada saat itu terdengarlah suara menggemuruh.
Dari empat penjuru pagoda meluncur jaring emas.
Kiranya dalam saat melambung ke udara tadi, Nyo Bun-giau gerakkan alat rahasia.
Dengan memperhitungkan waktu yang tepat untuk menantang Ting Yan-san dan Leng
Kong-siau, ia melayang keluar dari pagoda.
Ketua marga Nyo itu melayang turun di atas selembar daun teratai dalam kolam.
Sambil mengurut jenggot ia tertawa mengejek, "Harap saudara bertiga beristirahat
beberapa hari dalam pagoda bunga. Memang pagoda itu sepintas pandang merupakan
pagoda bunga yang indah tetapi di dalamnya penuh dengan alat2 rahasia. Jika kalian taat
tinggal di dalam dengan tenang, tiap hari tentu kusuruh orang mengantar hidangan dan
minuman. Tak nanti mengecewakan penghormatanku terhadap tetamu. Tetapi jika
saudara berusaha hendak memboholkan jaring emas itu, jika terjadi sesuatu akibat, harap
jangan sesalkan aku karena sebelumnya sudah kuberi peringatan!"
Dalam pada itu, jarak antara pagoda dengan tetapat Nyo Bun-giau makin jauh. Entah
kapan dan bagaimana halnya, tahu-tahu pagoda itu sudah meluncur ke tengah kolam.
Ketika Leng Kong-siau menjamah jaring, ia dapatkan jaring itu lemas itu ulet sekali.
Entah terbuat dari bahan apa. Syukurlah mereka bertiga sudah banyak pengalaman.
Walaupun berada dalam bahaya namun mereka masih tenang dan memandang lekat2 ke
arah Nyo Bun-giau.
Habis bicara, Nyo Bun-giau loncat ke tepi daratan terus lenyap ke dalam gerumbul
bunga. Leng Kong siau duduk kembali, ia tertawa, "Apa maksudnya mengurung kita dalam
pagoda ini" Kalau dia benar-benar hendak mencelakai kita rasanya sukar dipercaya.
Karena din tentu tak berani mengikat permusuhan dengan kedua Lembah ditambah marga
Ca!" Setelah mondar-mandir sejenak, Ting Yan-san berkata, "Kemasyhuran Nyo Bun-giau
memang bukan desas desus kosong. Pagoda ini sudah berada di tengah kolam tetapi aku
Ting Losam tetap belum menemukan jalan keluar."
Dalam pada itu diam-diam Ca Giok gelisah, pikirnya kedua orang itu sih tak mengapa
tinggal beberapa hari di sini. Karena mereka sudah muntahkan arak beracun. Tetapi aku
tentu mati karena arak beracun itu. Ah, aku harus mencari akal keluar dari sini."
ooo000ooo Kini kita tinggalkan dulu ketiga orang yang ditawan dalam pagoda itu. Mari kita ikuti
lagi Han Ping. Di sebuah ruang yang diterangi dengan 4 batang lilin, Sin-ciu-it-kun Ih Thian-heng
berdiri di sudut ruangan sambil berseri-seri memandang si dara baju ungu.
Tampak dara itu membuka kain yang menutup mulutnya kemudian mengatur lagi
perhiasan rambutnya. Sepasang matanya yang indah, berkeliaran memandang ke
sekeliling ruang. Tiba-tiba bibirnya merekah senyum. Senyum itu berbeda dengan
hamburan tertawa dari mulutnya yang ditutupi kain tadi. Raut wajahnya yang cantik makin
bertambah cantik dengan seri senyuman sehingga sekalian orang yang berada dalam
ruang itu kesima.
Di saat sekalian orang terpesona melibat senyuman si dara ayu itu, tiba-tiba terdengar
Han Ping muntah darah.
Dara itu melirik ke arah Han Ping. Tiba-tiba ia hentikan senyumannya, lalu menghampiri
ke tetapat pemuda itu. Tegurnya dengan nada dingin, "Eh, mengapa engkau ini."
Saat itu Han Ping baru saja ditolong dari pingsan. Darahnya masih belum lancar.
Karena saat itu pengemis-sakti Cong To masih bergerak untuk merebut obat dari si dara
Singkwan Wan Ceng, ia tak sempat memapah Han Ping. Pemuda itu berhangkit dan berdiri
tetapi jatuh lagi. Darah dalam tubuhnya yang masih belum lancar itu, pun bergolaklagi. Ia
berusaha untuk menekan tetapi gagal dan akhirnya muntahkan segumpal darah segar.
Pemuda itu mengusap darah di mulutnya dengan lengan baju lalu berusaha untuk
bangun. Sejenak memandang ke sekeliling ruang, ia memberi hormat kepada Cong To,
"Atas budi pertolongan lo-cianpwe kelak Han Ping tentu akan membalas!"
Habis berkata dengan terhuyung-huyung ia melangkah keluar.
Sikap Han Ping yang keras kepala itu menarik perhatian sekalian orang. Semua mata
mencurah ke arah pemuda itu. Mereka tahu bahwa pemuda itu terluka berat. Apabila tak
mendapat pertolongan yang tepat, tentu jiwanya berbahaya.
Sesungguhnya Pengemis-sakti Cong To hendak membuka mulut tetapi tak jadi. Ia
mengambil buli-buli arak dan meneguknya sampai tiga kali.
Dara baju ungu itu kisarkan kaki mundur setengah meter untuk memberi jalan.
Siangkwan Wan Ceng memutar ke samping ayahnya dan membentak pemuda itu,
"Berhenti! Hendak kemana engkau!"
Mendengar bentakan itu, Han Ping berpaling. Seluruh sisa tenaganya sedang digunakan
untuk menahan tubuhnya. Karena berpaling dengan tibatiba itu, tubuhnya kehilangan
keseimbangan. Ia jatuh lagi.
Sin-ciu-it-kun Ih Thian-heng cepat maju dan menyanggapi tubuh pemuda itu. Han Ping
yang masih tetap memandang lekat ke arah Siangkwan Wan Ceng, balas membentak,
"Peduli apa engkau aku hendak pergi kemana saja?"
"Hm, siapa yang akan mempedulikanmu".." nona itu mendengus, lalu berkata pula,
"Pertetapuran kita belum selesai. Kalau engkau pergi, habis kemana aku harus
mencarimu?"
Han Ping tertegun lalu menjawab dengan garang, "Jika aku mati sudah tentu tak dapat
melanjutkan pertetapuran ini. Tetapi selama aku masih bernapas, tentu akan mencarimu
untuk menyelesaikan pertandingan kita!"
"Bagus! Apabila engkau sembuh, pergilah ke marga Siangkwan di Kanglam. Asal tak
mendengar berita kematianmu, aku tentu selalu"." tiba-tiba gadis itu tak melanjutkan
kata-katanya karena merasa kelepasan omong.
Sambil menunjukkan tiga buah jari tangannya, berkatalah Han Ping. "Tiga tahun lagi!
Jika belum datang mencarimu berarti aku sudah mati!"
Tiba tiba Siangkwan Wan Ceng menghela napas dan berkata dengan rawan, "Jika
engkau sampai mati ah, seumur hidup aku tentu kehilangan seorang lawan yang sanggup
menandingi aku. Sungguh sayang sekali!"
Memang sejak menyelesaikan pelajarannya, selama making melintang di wilayah
Kanglam dan Kangpak, belum pernah ia mendapat tandingan. Bahwa malam itu ia
bertetapur seru dan berakhir sama-sama terluka, benar-benar baru pertama kaki itu ia
alami. Kalau pemuda itu sampai meninggal, kemanakah ia akan mencarinya lagi" Di luar
kesadarannya, timbullah rasa sayang akan kehilangan itu.
Siangkwan Ko tabu bahwa puterinya itu telah mendapat pelajaran dari seorang sakti.
Dalam hal kepandaian dan kesaktian, ia kalah dengan puterinya itu. Namun mendengar
ucagan gadisnya yang agak tekebur, buru-buru ia membentak, "Jangan ngaco belo! Kalau
tak mendapat pertolongan Ih lo-cianpwe, masakan engkau dapat hidup!"
"Ah, saudara Siangkwan keliwat sungkan. Jika bukan karena puteri saudara itu memiliki
lwekang yang tinggi, mungkin aku tak dapat memberi pertolongan," seru Ih Thian-heng.
Mendengar ucapan itu, tiba-tiba Han Ping berpaling dan meronta dari pegangan Ih
Thian-heng, lalu lari dan bersandar pada pintu. Serunya, "Ih Thian-heng, jika aku sembuh,
tahukah engkau siapa orang pertama yang akan kubunuh?"
Sambil mengurut-urut jenggot, Ih Thian-heng tertawa, "Agaknya saudara banyak
mengikat permusuhan. Hendak membunuh siapa, sukar diduga!"
Han Ping deliki mata dan berseru dengan nyaring, "Engkau!"
Ih Thian-heng tersenyum dan menyahut apa yang tak ditanyakan. "Lukamu amat
parah. Engkau hendak membunuh siapa, kelak urusan besok saja. Sekarang yang penting
engkau harus beristirahat merawat lukamu!"
Dara baju ungu itu tiba-tiba menghampiri Han Ping. Kemudian dengan sikap ramah dan
suara lembut ia berkata, "Dalam dunia ini tiada seorangpun yang mampu mengobati
lukamu. Engkau bakal kehilangan ilmu kesaktian dan menjadi orang biasa?"
Lembut dan merdu sekali ucapan dara itu, namun di telinga Han Ping tak ubah seperti
halilintar berbunyi di siang hari. Pemuda itu gemetar lalu bertanya dengan nada sarat,
"Apakah omonganmu itu benar?"
Dara ayu itu kedipkan matanya yang mempesonakan kemudin tersenyum rawan,
"Mengapa aku harus membohongimu" Engkau memang benar-benar terluka parah!"
Di kala tertawa, wajah dara itu tampak laksana bunga mekar di hari pagi. Cerah dan
menyengsamkan orang. tetapi di waktu berduka, pun wajahnya berobah sedemikian
menghibakan sekali sehingga membuat hati orang ikut tersayat.
"Celaka!" diam-diam Han Ping mengeluh dalam hati, "jerih payahku menyelundup ke
gereja Siau-lim-si dan berhasil bertemu dengan Hui Gong taysu yang telah memberi ilmu
sakti ajaran kitab Tatmo-ih-king-keng, betapa pengorbanan paderi sakti itu yang telah
menyalurkan lwekangnya hiagga dirinya sendiri sampai binasa, akhirnya hanya begini
jadinya. Cita-citaku untuk membalas sakit hati orangtuaku, hanya lamunan belaka."
Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Penderitaan itu telah menggoncangkan hati sanubarinya. Darah meluap lagi dan
dengan tengadahkan kepala ia memekik sekuat-kuatnya untuk mengantar darah yang
muntah keluar. Dara baju ungu itu dua kali mengedipkan ekor matanya. Tiba-tiba wajahnya berobah
cerah, dan berserulah ia serentak, "Ada harapan!"
Setelah muntah darah, rongga dada Han Ping terasa longgar. Ia tertegun dan berseru
kaget, "Apa katamu?"
"Jika engkau tak muntahkan darah kental, kalau darah itu mengendap di perut tentu
akan lebih parah lagi lukamu. Sekalipun tabib sakti Hoa Toa hidup lagi, tak mungkin dapat
mengobatimu."
"Hm, apa macam bicaramu itu!" Han Ping marah, berputar tubuh dan melangkah ke
muka. Dara baju ungu itu terkesiap lalu balas mendamprat, "Hm, manusia yang tak tahu diri!"
Dari jauh terdengar penyahutan Han Ping, "Seorang lelaki takkan berkelahi dengan
wanita. Aku Ji Han Ping seorang anak lelaki, tak sudi berpandangan sempit seperti
engkau!" Lelaki baju benang emas yang menjaga di ambang pintu, setelah melihat Han Ping
sudah jauh, baru masuk ke dalam ruangan dan berkata kepada si dara baju ungu,
"Sumoay, sudah beberapa hari engkau mengalami penderitaan, harap lekas
beristirahat?".."
Kemudian lelaki itu berpaling kepada nenek berambut putih dan berkata dengan
hormat, "Harap antarkan nona beristirahat pulang. Urusan di sini, aku dan kedua saudara
Au serta Oh yang mengurus. Kiranya sudah cukup!"
Lelaki itu bertubuh tinggi tegap. Wajahnya penuh wibawa dan nada suaranya
melantang nyaring. Apalagi dalam pakaian sebagai pengawal istana, tambah garanglah
tampaknya. Nenek berambut putih itu dingin sekali wajahnya. Seolah-olah ia menganggap sepi
dunia ini. Sejak tadi ia berdiri tegak seperti patung. Baru setelah lelaki tinggi besar itu
berkata kepadanya, nenek itu sejenak memandang ke sekeliling lalu berkata dengan
segan, "Orang-orang itu adalah tokoh-tokoh persilatan Tiong-goan yang ternama. Apakah
kalian bertiga sanggup menghadapi?"
Dengan hormat lelaki berbaju indah itu menyahut, "Harap ibu Bwe jangan kuatir.
Sekalipun sudah lama tinggalkan perguruan tetapi sedetikpun tak pernah aku malas
berlatih"."
Tampak wanita tua berambut putih itu kerutkan alis. Tampaknya ia tak mempedulikan
ucapan lelaki tinggi itu. Waktu ia hendak membuka mulut, tiba-tiba dari lain ruangan
terdengar suara orang yang bernada kasar, "Au Bungkuk dan Oh Pendek, apa perlumu
datang ke tetapat yang begini sunyi" Dimanakah sumoayku?"
Tepat dengan kumandangnya ucapan itu, tahu-tahu muncullah seorang lelaki aneh ke
dalam ruangan situ. Rambutnya kusut masai, mengenakan jubah panjang warna merah,
mukanya penuh dengan brewok. Punggungnya menyelip sebatang pedang dan lengan
kanannya mengepit sebatang tongkat besi.
Melihat orang aneh itu, si dara baju ungu tiba-tiba tertawa kecil, "Ih, ji-suheng,
mengapa engkau datang kemari?"
Orang aneh itu tertawa gelak-gelak. "Seorang diri engkau pergi ke tanah Tiong-goan,
masakan aku tak kuatir. Maka buru-buru aku menyusul."
Tiba-tiba ia memandang ke sebelah kanan dan ketika melihat lelaki tinggi besar tadi,
seketika wajahnya berobah. Ia menyurut mundur dua langkah. Kiranya dia hanya memiliki
sebuah kaki. Tongkat besi yang dikepit di bawah ketiak itu, untuk pengganti kakinya yang
hilang. Tampak ia memberi hormat kepada lelaki tinggi besar tadi, serunya, "Adakah selama ini
toa-suheng tak kurang suatu apa" Sudah hampir 20 tahun kita tak berjumpa! Tadi siaute
terlambat memberi hormat, harap toa-suheng suka maafkan!"
"Bagaimana suhu" Apakah selama ini tak kurang suatu apa?" tanya lelaki tinggi besar
itu dengan nada serius.
Lelaki kaki-buntung itu menyahut, "Beberapa tahun terakhir ini suhu memang suka
menyepi tak senang bertemu orang luar. Siaute pun sudah hampir tiga tahun tak pernah
menghadap beliau."
Lelaki berpakaian indah itu menghela napas, dan suruh si Buntung berdiri. Dengan
hormat lelaki buntung itu berdiri di samping. Sepatahpun ia tak berani bersuara, lain sekali
dengan sikapnya yang garang ketika baru masuk ke dalam ruangan.
Si dara baju ungu menggodanya, "Eh, ji-suheng, engkau biasanya selalu tertawa riang
gembira. Mengapa sekarang mendadak pura-pura seperti orang gagu?"
Si Kaki-satu tersenyum tak menjawab.
Lelaki tinggi besar itu maju selangkah, berkata, "Beberapa hari ini sumoay telah
menderita kelelahan, lebih baik lekas beristirahatlah!"
Tetapi dengan wajah kurang senang, dara baju ungu itu membantah, "Toa-suheng,
mengapa engkau hendak menyuruh aku pulang?"
Lelaki tinggi besar itu berkata dengan serius, "Saat ini yang kita hadapi adalah tokohtokoh
ternama dari dunia persilatan Tiong-goan. Sekali turun tangan, tentu akan
berbahaya. Tidaklah tepat apabila sumoay berada di sini. Apabila aku tak dapat melindungi
sumoay, bagaimanakah tanggung jawabku?"
"Dalam beberapa hari ini, aku telah ditawan orang. Jika mereka telah membunuhku,
lalu bagaimana akibatnya!" sahut si dara.
Ucapan tajam dari dara itu membuat si lelaki tinggi besar tak dapat menjawab dan
tertegun. Beberapa saat kemudian baru ia menghela napas, "Memang aku menyesal
karena tak dapat melindungi sumoay. Hanya karena mengandalkan rejeki besar maka
sumoay tak sampai kurang suatu apa. Aku berjanji akan lebih menjaga sumoay dengan
hati-hati agar jangan sampai terulang peristiwa semacam itu lagi. Maka kuminta sumoay
pulang agar perhatianku jangan sampai terpecah di dalam menghadapi suasana saat ini!"
"Bagaimana kalian hendak menjagaku" Mau pergi setiap saat aku segera pergi!"
berkata sampai di sini tiba-tiba dara itu merasa ucapannya keliwat tajam, maka segera ia
menyusuli lagi, "Sesungguhnya, jika bertemu musuh, juga sama saja."
Dara itu berputar tubuh lalu melangkah ke luar pintu.
Ih Thian-heng tetap berseri tawa. Tetapi Pengemis-sakti Cong To dan Siangkwan Ko
marah. "Pengemis tua ini lama benar mendengar kemashyuran ilmu kepandaian Lam-hay-bun
yang luar biasa. Sungguh beruntung sekali kalau hari bisa menyaksikan!" seru si pengemis
Cong To yang tak dapat menahan luapan hatinya lagi.
Ih Thian-heng berpaling memandang Siangkwan Ko dan tertawa, "Beribu aliran asalnya
dari satu sumber. Daun gugur kembali kepada akarnya. Demikianlah dengan ilmu silat.
Sekali ada jenis ilmusilat yang tampaknya bercorak aneka ragam dan penuh perobahan,
tetapi apabila direnungkan dengan seksama. Tak lain tak bukan hanya tergantung dari
latihan, memelihara kondisi tenaga dalam tubuh dan berpusat pada Memberi dan
Meminta. Dahulu kaum persilatan Tiong-goan telah bertemu di gunung Lam-gak. Setiap
partai telah mengirim jago yang sakti. Dengan harapan dalam pertemuan itu akan dapat
menyelesaikan persengketaan dunia persilatan Tiong-goan yang selalu keruh selama ini.
Tetapi sayang dalam pertemuan itu telah dikacau oleh Manusia-aneh dari Lamgak "."
Habis berkata tiba-tiba ia melambaikan tangan. Keenam anak baju putih itu serempak
loncat berhamburan menghadang si dara baju ungu. Masing-masing membolang-balingkan
pedangnya. Melihat itu terkejutlah Pengemis-sakti Cong To. Diam-diam ia menimang dalam hati. "Ih
Thianheng benar-benar hebat sekali. Keenam budak kecil itu saja sudah dapat
digolongkan sebagai tokoh kelas satu kepandaiannya!"
Juga lelaki tinggi besar dan nenek berambut putih itupun terperanjat melihat gerakan
keenam anak kecil itu Mereka kerutkan dahi.
Ih Thian-heng tersenyum, serunya lebih lanjut, "Si tua Lam-gak Ki-soh (Manusia aneh
dari Lam-gak) itu, di hadapan 13 orang tokoh-tokoh sakti dari Tiong-goan telah mendebat
Imusilat dari Tiong goan. Dan saat itu ia mengeluarkan sebuah kitab bersampul kuning.
Dia menyatakan kitab itu sebagai kitab pusaka Lam-hay-bun. Dengan pengacauan itu,
bubarlah pertemuan di Lam-gak!"
"Tetapi karena peristiwa itu, nama Lam-gak Ki-soh menggemparkan dunia persilatan,"
kata Ih Thian-heng, partai Lam-hay-bun dan kitab pusaka Lam-hay-bun telah menjadi
buah bibir dunia persilatan. Begitu meluas kabar2 itu hingga menimbulkan suatu dongeng
seolah-olah kitab itu sebuah pusaka yang ajaib. Sehingga sampai saat ini, ilmusilat. Lamhaybun itu, menjadi idamidaman kaum persilatan Tiong-goan "."
Si Kaki-buntung yang sejak tadi berdiam diri, tiba-tiba menyelutuk, "Ilmu kepandaian
dari Lamhay-bun memang meliputi segala ilmu kepandaian sejak dahulu sampai sekarang,
merajai semua partai dan perguruan persilatan. Sudah tentu merupakan sumber ilmusilat
yang paling hebat. Masakan hal itu perlu disangsikan lagi?"
Sin-ciu-it-kun Ih Thian-heng tetap tenang-tenang dan tersenyum, "Sesungguhnya
ilmusilat Tionggoan itu amat dalam dan tinggi sekali. Lam-haybun tak mungkin dapat
menyamai. Misalnya, ke 72 buah ilmu pusaka dari Siau-lim-si, setiap macam cukup untuk
menghabiskan tenaga dan pikiran orang sampai seumur hidupnya. Terutama ilmu
pelajaran dalam kitab Tat-mo-ih-kin-keng. Kitab itu benar-benar merupakan sumber ilmu
kesaktian yang tiada taranya di dunia. Asal mendapatkan separoh bagian saja, sudah
cukuplah tak habis digunakan seumur hidup. Dan kalau berbicara soal ilmusilat yang aneh
dan galas, Lam-hay-bun pun tak menang dengan wanita pambenci dunia Hengthiam It Ki."
Pengemis-sakti Cong To mengambil buli-buli arak dan meneguknya beberapa kali.
"Apakah saudara Cong tak percaya pada keteranganku?" tanya Ih Thian-heng sambil
tertawa. Sesungguhnya Cong To hendak mendebat. Tetapi mengingat saat itu ia masih harus
menghadapi orang Lam-hay-bun, jika sampai bentrok dengan Ih Thian-heng, tentu akan
lebih runyam. Maka ia terpaksa menekan perasaannya dan minum arak. Tetapi didesak
oleh pertanyaan Ih Thian heng, pengemis itu mengkal juga. Sahutnya sambil tertawa
dingin, "Hampir setengah umur, pengemis tua berkelana dalam dunia persilatan, tak
pernah mendengar tentang nama wanita Pembenci dunia Heng-thian It Ki. Harap saudara
Ih bicara sedikit genah."
Tetapi Ih Thian-heng tetap tertawa berseri dan menyahut dengan tenang. "Memang
wanita Heng-thian It Ki itu tak pernah muncul di dunia persilatan. Jangankan saudara
Cong, sedang tokoh-tokoh dalam dunia persilatan dewasa ini, hanya berapa gelintir orang
yang mengetahuinya!"
"Kalau begitu hanya saudara Ih sendiri yang tahu?" Cong To berseru dingin.
Ih Thian-heng tertawa, "Ah, bukan begitu, yang tahu hanya dua orang saja!"
"Siapa?"
Ih Thian-heng alihkan pandang matanya ke arah Siangkwan Ko dan gadisnya, "Harap
saudara Siangkwan jangan pegang rahasia agar aku jangan berdebat dengan saudara
Cong. tetapat kediamannya di toan-jong-ki itu dekat dengan tetapat saudara. saudara
pasti tahu tentang wanita itu."
Siangkwan Ko kerutkan dahi dan menyahut tersekat-sekat, "Ini". ini"."
Tampaknya ia sukar mengatakan sehingga sampai beberapa saat tak dapat
menjelaskan. Tiba-tiba Siangkwan Wan Ceng menyelutuk, "Guruku itu tak pernah berhubungan
dengan orang persilatan. Bagaimana engkau dapat mengetahuinya?"
"Ah, bukankah itu berarti engkau memberi tahu orang?" tukas Siangkwan Ko.
Gadis itu tertegun. Sesaat kemudian ia tertawa. "Ah, tak sengaja. Sekalipun suhu tahu,
tentu takkan memarahi aku."
"Begitulah!" seru Ih Thian-heng, "jika saudara Cong tak percaya kepadaku, seharusnya
juga percaya akan kata-kata saudara Siangkwan dengan puterinya!"
Cong To batuk-batuk dan menyahut seenaknya. "Takkan suatu hal yang memalukan
apabila aku tak tahu orang itu."
"Kecuali Heng-thian It Ki, di dunia persilatan dewasa inipun terdapat ilmu kepandaian
dari yang disebut It-kiong, Ji-koh dan Sam-poh. Mereka masing-masing mempunyai
keistimewaan sendiri. Mengembangkan ilmu barisan Ngo-heng, Ki- bun Pat-kwa, ilmu
pengobatan, perbintangan dan lain-lain?"
Dara baju ungu itu tiba-tiba berpaling dan menyelutuk, "Baik Heng thian It Ki maupun
It-kiong, Jikoh, Sam-poh dan lain-lain, hanya memiliki ilmu kepandaian yang terbatas saja.
Dan ilmu barisan Ngoheng-tin, Pat-kwa-tin, ilmu pengobatan serta perbintangan dan lainlain
ilmu menciptakan alat rahasia bukanlah suatu kepandaian yang mengagumkan.
Cobalah misalnya kitab Ho-tho dan Lok-sut, siapakah tokoh persilatan yang mengerti
isinya." Suara besar dari nona itu telah membuat seorang Ih Thian-heng yang penuh toleransi
menjadi berobah wajahnya.
"Seorang nona yang masih remaja, mengapa berani bicara begitu besar" Dalam dunia
yang luas ini, semua keanehan tentu ada. Berapa banyakkah pengalamanmu sehingga
engkau berani memandang rendah pada seluruh orang gagah dalam dunia persilatan?"
Dara baju ungu itu maju dua langkah dan berseru lantang, "Siapakah di antara kalian
jago2 dunia persilatan yang paling diindahkan orang?"
Pertanyaan itu datangnya amat mendadak sekali sehingga Pengemis-sakti Cong To,
Siangkwan Ko dan Ih Thian heng saling berpandangan satu sama lain tanpa dapat bicara
sepatah kata. Memang hal itu sukar dijawab. It-kiong, Ji-koh dan Sam-poh selama ini terkenal sekali
dalam dunia persilatan, Pengemis-sakti Cong To dan Ih Thian-hengpun harum sekali
namanya. Masih ada pula gereja Siau-lim-si yang sejak ratusan tahun dianggap sebagai
pemimpin dunia persilatan. Juga partai Bu-tong-pay tiada yang menandingi dalam ilmu
pedang. Sejak munculnya It-kiong, Ji-koh dan Sam-poh dalam dunia persilatan, dari golongan
Hitam dan Putih muncul beberapa tokoh-tokoh yang hebat, Suasana dunia persilatan
makin acak-acakan tak keruan.
Pengemis-sakti Cong To, Ih Thian-heng dan Siangkwan Ko, merupakan tokoh-tokoh
sakti yang ternama. Untuk mengatakan siapakah tokoh dunia persilatan yang paling
disegani sendiri, memang amat sukar bagi mereka.
Setelah terdiam lebih kurang sepeminuman teh lamanya, barulah Ih Thian-heng
membuka suara, "Dari pertanyaanmu itu, jelas mengunjukkan kehijauanmu dan kurangnya
pengalamanmu!"
"Apa salahnya pertanyaanku itu?" bantah si dara.
"Ilmu silat itu, luas dan amat dalam sekali. Seorang yang bagaimana pintar dan
saktinya, tak mungkin dapat merangkum seluruh ilmu kepandian silat itu. Tentang ilmu
pengobatan dan perbintangan, ilmu barisan dan lain-lain, juga suatu ilmu yang
menghabiskan umur dan tiada seorangpun yang dapat dikata sempuma sama sekali.
Tentang siapakah tokoh yang paling disegani sendiri, tentulah karena dia memiliki
kepandaian yang luar biasa hebatnya dan diakui oleh umum. Oleh karena ilmusilat itu
tiada batasnya dan tak ada seorangpun yang mampu menguasai keseluruhannya maka
tiada seorang tokoh yang patut dianggap sebagai jago nomor satu dalam dunia! Jika ada,
pun hanya karena sempurna dalam sebuah jenis kepandaian saja. Maka pertanyaan nona
tadi, sukar untuk kujawab. Tetapi dapatlah kuberitahukan kepadamu. Bahwa yang
dihadapanmu saat ini, adalah tokoh-tokoh dunia persilatan yang sedikitnya mempunyai
nama juga. Jika engkau mampu menundukkan kami beberapa orang ini, mungkin ilmu
kepandaian dari Lam-hay bun itu akan termasyhur dalam dunia persilatan Tiong-goan!"
Dara itu memandang lekat kepada Ih Thianheng, sahutnya pelahan, "Kalau begitu,
kalian bertiga itu merupakan tokoh kelas satu dalam dunia persilatan Tiong-goan?"
"Anggap sa-a satu bagianlah!" Pengemis-sakti Cong To mendengus.
Dara itu pelahan-lahan mengemasi rambutnya, kemudian berkata, "Ah, maaf, maaf,
aku telah berlaku kurang hormat untuk menanyakan nama kalian bertiga yang terhormat
ini?" Ih Thian-heng kerutkan alis, diam-diam ia mambatin bahwa dara itu memang suka
menyulitkan orang. Tetapi sebagai seorang tokoh yang licin, ia tetap tenang-tenang
menjawab, "Apakah nona benar-benar tak tahu ataukah hanya pura-pura saja?"
"Setelah tahu nama kalian, bukankah tiada manfaatnya bagiku karena akupun takkan
tumbuh besar lagi tinggi badanku," sahut si dara.
Ih Thian-heng berpaling ke arah Cong To, ujarnya, "Yang punggungnya menyelip bulibuli
arak ini, adalah pendekar besar Pengemis-sakti Cong To yang pernah menggemparkan
dunia persilatan! Dahulu ketika nona bersama ayah nona mengacau pertemuan Lam -gak
itu, boleh dikata sudah mencampuri urusan dunia persilatan Tiong- goan. Tentulah nona
sudah mendengar hal itu dari ayahmu!"
Dara baju ungu itu keliarkan mata dan memandang ke arah Pengemis-sakti Cong To,
serunya, "Pengemis-sakti Cong To, ya, pernah juga kudengar tentang nama itu."
Ih Thian-heng tersenyum lalu menunjuk pada Siangkwan Ko, "Dan saudara Siangkwan
Ko, ini adalah kepala marga Siangkwan yang menggetarkan golongan Hitam dan Putih di
wilayah utara sampai selatan!"
Si dara condongkan kepala ke samping sambil kerutkan dahi. "Dalam dunia persilatan
terdapat It-kiong, Ji-koh dan Sam-poh. Dengan begitu Siangkwan pohcu ini tentulah
terwasuk salah satu dari Sam-poh itu!"
Siangkwan Ko mendengus dan palingkan kepala tetapi Siangkwan Wan Ceng balas
menatap dara itu dengan tajam. Diam-diam ia mengakui bahwa dara itu seorang jelita
yang jarang terdapat keduanya."
"Perlu apa engkau memandang aku?" tegur si dara baju ungu kepada Siangkwan Wan
Ceng. Melihat dara ungu itu tersenyum, diam-diam Siangkwan Wan Ceng tersengsam juga.
Buru-buru ia palingkan muka tak mau memandangnya lagi.
"Dan aku sendiri bernama Ih Thian-heng. Nah, nama kami bertiga telah kuberitahukan,
apakah nona masih ada pertanyaan lagi?" seru Ih Thian-heng.
Dara baju ungu itu mengangkat kepalanya pelahan-lahan, memandang ke tiang
penglari, ujarnya, "Memang kalian bertiga adalah tokoh-tokoh ternama dalam dunia
persilatan Tiong-goan, tetapi"."
"Tetapi bagaimana?" bentak Pengemis-sakti Cong To yang marah melihat sikap dara
itu, "memang pengemis tua ini sudah lama mendengar bahwa ilmu silat Lam-hay-bun
hebat sekali. Malam ini sungguh beruntung kalau dapat menyaksikannya!"
Dara baju ungu itu berpaling ke arah si Kaki satu, serunya, "Ji-suheng, orang ingin
melihat kepandaian ilmusilat Lam-hay-bun, tetapi sayang aku segan mengotorkan
Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tanganku dengan seorang pengemis tua yang busuk baunya. Cobalah engkau layaninya
beberapa jurus saja. Tetapi jangan terlalu lama, hanya terbatas 10 jurus sajalah!"
Si Kaki-satu itu berpaling memandang kepada si lelaki tinggi besar seperti hendak minta
ijin. "Sumoy membawa panji Burung Hong putih, harus diperlakukan sebagai suhu sendiri.
Mengapa engkau tak lekas melakukan perintahnya!" seru lelaki tinggi besar itu.
Dara baju ungu itu tertawa. "Uh, memang jisu-heng itu biasanya tak mau mendengar
perintahku. Harap toa-suheng menasehatinya!"
Si Kaki-satupun tertawa keras, "Toa suheng sudah lama tak mengajar padaku.
Sekalipun dimaki, akupun akan menerimanya."
Tiba-tiba kaki buntung itu loncat ke tengah gelanggang dan menuding Cong To, "Hai,
pengemis busuk, lekaslah engkau keluar sini "."
Ia tak melanjutkan kata-katanya karena saat itu ia teringat bahwa dirinyapun lebih
brengsek dari pengemis itu.
"Huh, pengemis busuk, apakah engkau tak memanggil dirimu sendiri!" seru Cong To
seraya menghantam dan loncat menerjang.
Kaki-satu itu tertawa dingin. Ia mendorongkan tangannya kiri ke muka untuk
menangkis. Ketika saling berbentur, diam-diam Cong To terkejut sekali. Tenaga pukulan yang
dilambari dengan lwekang keras, ternyata telah sirna lenyap.
"Dunia. persilatan Tiong-goan mengatakan bahwa kepandaian ilmu silat Lam-hay-bun
itu itu luar biasa dan sukar diduga tingginya. Merupakan suatu aliran tersendiri. Jika
malam ini aku sampai jatuh di tangan orang buntung ini, tentu akan ditertawakan oleh
seluruh kaum persilatan di dunia!" timang pengemis Cong To dalam hati.
Seketika ia mengempos semangat dan menarik pulang pukulannya. Dia telah mencapai
tataran yang tinggi dalam ilmu menggunakan lwekang. Dilancarkan dan ditarik dapat
dilakukan menurut sekehendak hatinya.
Di lain fihak, si Kaki-satu itupun tak kurang kejutnya ketika menerima pukulan dari
pengemis sakti. Ia rasakan hatinya mendebur keras sekali. Diam-diam ia membatin, "Ah,
pengemis tua ini benar-benar tak omong kosong. Pertetapuran kali ini, aku tak berani
memastikan bisa menang!"
Diapun segera berdiam diri untuk mengerahkan tenaga-dalam dan menunggu serangan
lawan. Ilmu lwekang kedua tokoh itu berlainan sifatnya. Pengemis-sakti Cong To
mengutamakan lwekang keras. Pukulannya dapat menghancur leburkan batu karang.
Sedang si Kaki-satu itu memiliki ilmu lwekang yang bersifat lunak. Dia mengutamakan
gerak ketangkasan yang ganas dun pukulan yang tak bersuara untuk mencelakai lawan.
Sepintas pandang memang tak ada tanda-tanda yang menonjol bahwa dia memiliki
kepandaian tinggi. Oleh karena itu ketika hatinya goncang karena menerima pukulan Biatgongciang dari Cong To. pengemis tua itu tak dapat melihat perobahan yang diderita
lawan. Setelah adu pukulan itu, keduanya menyadari kekuatan lawan dan tak berani
memandang rendah lagi.
Sejenak memandang ke arah Ih Thian-heng, Pengemis-sakti Cong To batuk-batuk, lalu
melangkah pelahan-lahan. Lantai yang dilaluinya, meninggalkan bekas telapak kaki.
Wajahnyapun tampak gelap.
Sekalian orang menyadari ketegangan suasana. Mereka menahan napas dan mengikuti
dengan penuh perhatian.
Setelah kira-kira satu setengah meter dari si Kakisatu, pengemis itu berhenti dan
berseru dengan dingin, "Mengingat engkau cacad kaki, maka aku bersedia mengalah
sampai 3 jurus!"
Si Kaki-satu itu menyadari bahwa kalau dapat menyerang lebih dulu tentu akan
memperoleh posisi yang baik. Maka segera ia berseru, "Engkau sudah lebih dulu
melepaskan Biat-gong-ciang, jika sekarang aku yang menyerang lebih dulu, bukanlah
dianggap mengalah!"
Ia menutup kata-katanya dengan ayunkan tangan ke muka. Sambil miringkan tubuh ke
samping, Pengemis-sakti Cong To balas mendorongkan tangan kirinya. Sedang tangan
kanan dilindungkan ke dada.
Tiba-tiba si Kaki-satu tekankan tongkatnya ke lantai dan tubuhnya melambung ke atas.
Kakinya berayun menendang perut prang.
Gerakan menghindar sambil menyerang secara tak terduga-duga itu dilakukan amat
cepat sekali. Tetapi Cong To tetap tak mau menghindar. Ia surutkan perutnya ke belakang. Tetapi si
Kaki-satu itu lihay sekali. Tubuhnya tetap masih melambung ke atas sehingga kakinyapun
ikut terangkat naik. Luput Mendupak perut, kainya menjejak dada orang.
Cong Topun tetap tak mau menghindar mundur. Ia menabas kaki orang dengan tangan
kanannya. Walaupun hanya berkaki satu dan sedang melambung di udara, tetapi si Kaki-satu itu
hebat sekali. Ia surutkan kakinya yang hendak ditabas lalu secepat kilat dijulurkan lagi
untuk menyepak dahi lawan. Dalam posisi melambung di udara, dia telah melancarkan 3
buah tendangan secara berturut-turut dan amat cepat sekali.
Menghadapi permainan yang luar biasa itu, mau tak mau, Cong To terpaksa harus
mundur dua langkah.
Tiba-tiba dara baju ungu itu melengking, "Ji-suheng, engkau sudah menendang 3 kali
dan memukul 2 kali jadi sudah 5 jurus, sudah separoh."
Si Kaki-satupun mendengus. Berjumpalitan udara, ia melayang turun ke belakang dan
berseru, "Berhenti dulu, aku hendak bicara!"
Sesungguhnya karena didesak sampai mundur dua langkah, hatinya pun sekali. Pada
saat ia hendak balas menyerang, tiba-tiba si Kaki-satu meluncur ke belakang beberapa
meter. "Engkau ,hendak bicara apa. lekas bilang! Pengemis tua masih hendak meminta
pelajaran lagi kepadamu!" sahutnya.
Si Kaki-satu mendengus lalu berpaling ke arah si dara, "Eh, bagaimana caramu
menghitung itu, sumoay" Walaupun kakiku menendang 3 kali tetapi posisiku tidak
berubab. Mengapa gerakan itu engkau anggap 3 jurus?"
Dara baju ungu itu tersenyum, "Tak peduli Tiga kali menendang kuhitung 3 jurus!"
"Tetapi itu kan hanya gerakan dalam sebuah jurus, bagaimana dihitung 3 jurus!" Kakisatu
itu makin gugup.
"Kubilang 3 jurus ya 3 jurus, Engkau tak dapat mengalahkan orang, walaupun 20 jurus
juga tak berguna. Jika memang menang, sejurus dua jurus saja tentu sudah menang. Jika
ayah bertanding dengan lawan, apakah pernah lebih dari 3 jurus?"
Si Kaki-satu terkesiap, serunya dengan sungguh-sungguh, "Tetapi suhu kan manusia
luar biasa. Walaupun aku belajar sampai 100 tahun, tak mungkin dapat menyamai beliau!"
"Nah, itu dia!" seru si dara, "kepandaianmu jelek, tak dapat mengalahkan orang.
Dilanjutkan sampai 1000 juruspun tak ada gunanya!"
Mendengar percakapan suheng dan sumoay itu, mau tak mau Ih Thian-heng dan
beberapa tokoh lainnya, terkejut sekali. Diam-diam mereka menilai pertetapuran tadi.
Walaupun hanya beberapa jurus tetapi nyatalah si Kaki satu itu haya terpaut sedikit
rendah dari Cong To. Jika pertetapuran itu dilanjutkan, sebelum seribu jurus tentu sukar
diketahui yang menang dan kalah. Kiranya, beralasan juga kalau dara itu begitu congkak
kata-katanya. Rupanya si Kaki satu tak berani berdebat lagi dengan si dara baju ungu. Ia berpaling ke
arah Cong To. "Kita mash mempunyai 5 jurus. Mati atau hidup terletak dalam 5 jurus itu!"
Sahut si Pengemis sakti dengan dingin, "Sekalipun dalam 5 jurus itu, pengemis tua
sukar untuk menang, tetapi pengemis tua tetap ingin mendapat pelajaran dari ilmu
kesaktian Lam-hay-bun yang luar biasa hebatnya itu!"
"Pengemis busuk, engkau benar-benar lapang dada"." tiba-tiba si Kaki-satu tak
melanjutkan kata-katanya. Setelah tertegun sejenak, baru ia berkata lagi, "Jurus yang
hendak kulancarkan ini disebut Ban-tianhance. Marilah kita bersama-sama menyerang!"
"Hm, pengemis tua akan gunakan jurus Hun-soh-ceng-tham untuk menghadapimu!"
seru Cong To. Kedua segera mundur selangkah dan bersiap-siap. Tetapi mereka tak lekas bergerak
melainkan saling berpandangan.
Melihat itu, si dara baju ungu memandang nenek berambut putih dengan tersenyum.
Tergetar hati si Kaki-satu mendengar senyum tertawa si dara. Ia melirik sejenak. Tepat
pada saat itu si darapun tengah memandangnya. Dia makin gelisah. Tetapi karena
menyadari yang dihadapinya itu seorang lawan berat, dia cepat tumpahkan perhatianya ke
muka lagi. Sepeminuman teh lamanya kedua tokoh itu saling berpandangan. Tampak tubuh
keduanya agak mengendap. Kaki kiri si Pengemis-sakti berkisar ke kiri. Sedang si Kakibuntung
agak berkisar ke kanan. Kemudian mereka bergerak pelahan-lahan. Sarat dan
lambat sekali mereka bergerak itu. Setiap inci, memakan waktu beberapa jenak.
Tongkat penyanggah tubuh si Kaki-buntung kedengaran berbunyi berderak-derak dan
meninggalkan bekas guratan pada lantai.
Pengemis sakti Cong To juga tak kurang hebatnya. Lantai yang dilaluinya,
meninggalkan bekas yang cukup dalam.
Suasana hening lelap. Tampaknya kedua tokoh itu bergerak lambat sekali. Tetapi Ih
Thian-heng dan Siangkwan Ko serta tokoh-tokoh yang menyaksikan hal itu, sama-sama
menahan napas. Mereka tahu bahwa kedua tokoh itu sedang adu lwekang dari jarak jauh
tampaknya tenang, tetapi scsungguhnya menghamburkan pancaran gelombang tenagasakti
yang dahsyat sekali.
Beberapa saat kemudian, wajah mereka mulai tenang, mata direntang lobar dan
langkah kakinya pun makin cepat, berputar melingkar-lingkar".
Setelah tiga lingkaran, kedua orang tiba-tiba berhenti dengan serentak dan berdiri
tegak. Tetapi tubuh mereka agak bergetar.
Dara baju ungu mendengus pelahan, serunya, "Bagus, satu juras!"
Si Kaki-satu mengangguk kepala dan bergerak lagi pelahan-lahan. Pengemis-sakti Cong
Topun mengikuti juga gerakan lawan. Makin lama makin cepat lagi.
Setelah kurang lebih 10 putaran, tiba-tiba si Kakisatu menggeram dan dorongkan
tangan kiri ke muka. Gerakan itu menggunakan tenaga-lwekang penuh tetapi pukulannya
tak menimbulkan angin deru yang dahsyat melainkan hembusan angin yang lunak.
Pengemis-sakti Cong To yang sudah kenal akan keanehan ilmu Lam-hay-bun, tak
berani berayal. Segera ia luruskan kedua tangan kemuka dada. Tenang sekali ia
menunggu. Setelah angin lunak menghembus tiba, barulah ia kebutkan kedua tangannya
itu, wut".! terdengar deru angin yang keras dan lenyaplah angin lunak itu!
Dengan kerahkan hampir seiuruh tenaga-sakti Im (lunak), si Kaki-satu yakin bahwa kali
itu tentu dapat menjatuhkan lawan.. Tetapi di luar dugaan, serangannya telah dilenyapkan
lawan dan masih pula tenaga-sakti keras dart Cong To itu dapat mementalkan kembali
serangan tenaga-sakti lunak itu kepada si Kaki-satu. Seketika si Kaki-satu rasakan
jantungnya berguncang keras!
Tetapi di hadapan si dara baju ungu, Kaki-satu makin kalap. Satelah menekan golak
jantungnya, tiba-tiba ia tekankan tongkatnya kelantai dan melayanghlah tubuhnya ke arah
lawan. Terjangan itu disertai gerakan menendang lambung orang sekuat-kuatnya.
Tetapi Pengemis-sakti, merupakan seorang pendekar aneh dalam dunia persilatan.
Pengalamannya luas sekali.
Pada permulaan pertetapuran ia sudah mengetahui bahwa sekalipun lawan hanya
mempunyai sebuah kaki, tetapi orang itu telah melatihnya dengan sungguh-sungguh
sehingga kakinya yang tinggal satu itu, amat berbahaya sekali. Cong To selalu
memperhatikan gerakan kaki lawan.
Begitu melihat orang melayang ke atas, cepat ia endapkan tubuh ke bawah. Dengan
gerak Menyingkap-awan-melihat-bulan, tangannya menyambar kaki lawan.
Kaki-buntung itu benar-benar hebat sekali. Melihat lawan siap menerkam kakinya, cepat
iapun menyurutkan kaki itu lalu ayunkan tongkatnya kearah kepala si pengemis.
Pengemis-saktipun tak kalah lihaynya. Ia telentang ke tanah kemudian kakinya
menekan lantai dan tangan kiri lepaskan pukulan.
Kaki-satu terperanjat. Dua buah gerak serangan dengan kaki kiri lalu tongkat, gagal
semua. Bahkan ketika belum orangnya melayang turun ke tanah, lawan sudah
membayangi dengan pukulan, ia terkejut sekali. Buru-buru ia gunakan ilmu Cian-kin-tui
(Tindihan seribu kati), untuk bertahan diri.
Tepat pada saat tongkatnya menyentuh lantai, si dara sudah kedengaran berseru,
"Sudahlah! Sudahlah! Ji-suheng, 10 jurus sudah berjalan. Apalagi yang hendak
diteruskan!"
Kaki-satu sebenarnya terus hendak menyerang lawan lagi. Tetapi demi mendengar
seruan dara itu, ia hentikan gerakannya dan berpaling, "Tetapi pertetapuran ini masih
belum selesai "."
"Tak peduli kalian sudah selesai atau belum, aku hanya membatasi engkau sampai 10
jurus. Karena 10 jurus sudah habis, sudah tentu tak boleh dilanjutkan lagi!" habis berkata
dara itu alihkan pandang matanya kepada Siangkwan Ko.
Lelaki tinggi besar cepat mendahului si Kaki-satu yang hendak membantah. "Hm,
ucapan sumoay, seperti suhu sendiri. Apa lagi yang hendak engkau katakan!"
Kaki-satu memandang kepada suheng itu dan berseru dengan hormat, "Balk, siaute
menurut!" terus mundur ke samping.
Pengemis-saktipun tak mau mendesak. Ia mundur ke samping juga.
Setelah memandang sejenak ke arah Siangkwan Ko, dara itu berpaling ke arah si lelaki
tinggi besar. "Sudah lama aku tak pernah melihat toa-suheng bertetapur. Sekarang
silahkan mengajaknya " ia menunjuk ke arah Siangkwan Ko " bermain beberapa jurus,
agar mereka dapat menyaksikan ilmu kepandaian perguruan kita. Tetapi kalian hanya
kubatasi sampai 5 jurus saja!"
ooo000ooo Dara baju ungu.
Setelah memperbaiki pakaian dan ikat kepala, lelaki tinggi besar itu segera maju
menghampiri Siangkwan Ko dan memberi hormat. "Ijinkan aku menemani Siangkwan
pohcu bermain barang beberapa jurus saja!"
Jago tua Siangkwan itu mengurut jenggot seraya mengangguk tertawa. "Baik, baiklah.
Memang aku si orang tua ini sudah lama mendengar tentang keistimewaan dari ilmu
kepandaian Lam-haybun. Bahwa hari ini aku dapat menambah pengalaman sungguh
menggembirakan sekali!" Kembali jago tua itu tertawa nyaring.
"Ah, Siangkwan pohcu termasyhur di seluruh dunia persilatan. Apalagi diantara ketiga
Marga itu, masing-masing mempunyai keistimewaan sendiri-sendiri. Akulah yang merasa
beruntung karena dapat menerima pelajaran dari Siangkwan pohcu."
Siangkwan Ko tertawa meloroh, "Ho, ho, masakan aku berani menerima sanjungan
yang sedemikian hebat itu. Ilmu silat itu sukar diukur dalamnya. Aku si orang tua ini hanya
dapat mengetahui beberapa bagian sajalah!"
Berhenti sejenak, jago tua itu berkata pula, "Malah kalian dari Lam-hay-bun yang telah
mendirikan sebuah cabang persilatan tersendiri itulah yang patut mendapat pujian.
Siapakah orang persilatan yang tak kepingin menyaksikan ilmu kesaktian Lam-hay-bun
yang luar biasa itu" Pertemuan hari ini, benar-benar suatu kesempatan yang sukar
didapat. Harap jangan menyimpan ilmu yang berharga itu!"
Lelaki tinggi besar itu hendak berkata lagi tetapi tiba-tiba ia mendengar suara tanah
didebur dua kali. Ia tergetar dan berpaling. Kiranya yang mendebur tanah itu adalah
nenek berambut putih yang berdiri di belakang dara baju ungu. Nenek itu gunakan
tongkatnya untuk menghunjam tanah.
Lelaki tinggi besar itu menyadari bahwa si nenek berambut tak sabar lagi mendengar
percakapan itu berlarut-larut panjang. Rupanya ia jeri terhadap nenek itu. Cepat ia
melangkah maju ke muka Siangkwan Ko.
"Harap Siangkwan pohcu segera mulai, aku yang rendah menanti dengan hormat!"
serunya. Ia tetap tegak berdiri. Sikapnya tenang sekali.
"Baiklah, tetapi seyogya engkau yang mulai lebih dulu!" seru Siangkwan Ko.
Melihat kedua orang itu saling mengalah, si dara baju lalu cepat menyelutuk, "Tidak,
tidak! Kaum persilatan menghormati kaum tua. Siang-kwan pohcu adalah tokoh angkatan
tua yang ternama dalam dunia persilatan, Sudah selayaknya kalau Siangkwan pohcu yang
mulai dulu!"
Siangkwan Ko melirik ke arah dara itu. Dilihatnya dara itu berkata dengan sungguhsungguh,
Maka ia terpaksa meluluskan "Kalau begitu, maafkanlah!"
Siangkwan melangkah dua tindak ke hadapan si lelaki tinggi besar. serunya, "Baiklah
kita menurut kata-kata nona itu, membatasi main-main ini dalam lima jurus saja. Entah
bagaimana maksud saudara mengenai cara bertanding ini?"
"Semua terserah kepada Siangkwan pohcu. Aku hanya menurut saja," sahut si lelaki
tinggi besar. Siangkwan Ko mendengus, "Menurut pendapatku, tiga jurus kita saling menguji
kepandaian tinju dan yang dua jurus dalam kepandaian tenaga-dalam. Bagaimana
pendapat saudara?"
Belum lelaki tinggi besar itu menyahut, si dara baju ungu sudah mendengus pelahan
dan berseru, "Usul lo-pohcu itu sungguh tepat sekali. Sudah tentu toa-suheng akan
menurut saja."
Sejak Siangkwan Ko menatap lelaki tinggi besar itu, memberi hormat lalu berseru
lantang, "Harap menerima seranganku yang pertama!"
Ia menutup kata-katanya dengan sebuah gerak loncatan ke udara. Tangan kanan
menghantam dengan jurus Kapak-sakti-membelah-gunung, ke arah bahu kiri orang itu.
Siangkwan Ko telah membenam diri selama berpuluh tahun dalam ilmu silat, Namanya
telah menggetarkan dunia persilatan kaum Hitam maupun Putih. Sudah tentu
kepandaiannya hebat sekali. Apalagi saat itu ia menghadapi seorang lawan yang berat.
Maka ia tak berani memandang rendah. Pukulannya itu dilancarkan dengan tenaga ribuan
kati dahsyatnya.
Lelaki tinggi besar itu tak gugup, tenang-tenang saja ia mengendap tubuh lalu condong
ke samping dan menyongsongkan tangan kiri menangkis serangan itu.
Dua buah tenaga pukulan saling beradu. Yang satu meluncur dari atas, yang satu
menyongsong ke atas. Angin keras segera menderu-deru.
Baik Siangkwan Ko maupun lelaki tinggi besar itu agak tergetar hatinya. Mereka saling
Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bertukar pandang dan diam-diam saling memuji tenaga kepandaian lawan.
Tampak kedua tokoh itu berloncatan dua langkah. Begitu menginjak lantai, lelaki tinggi
besar itu maju seraya dorongkan kedua tangannya ke arah lambung lawan.
Melihat hebatnya serangan itu, Siangkwan Ko pun tak berani lengah. Ia salurkan
tenaga-dalam ke lengannya untuk menjaga dada, pinggang dan perut. Kemudian ia
lepaskan pukulan tangan kanan untuk menghantam pukulan orang.
Serangan yang kedua itu, dilakukan dengan lebih hati-hati Keduanya tak berani
memandang rendah lawan dan tak mempunyai anggapan kalau dirinya bakal menang.
Keduanya bergerak sarat dan mantap sehingga langkah kaki mereka menimbulkan bunyi
menderak-derak. Begitu pula sampai beberapa saat, mereka tetap saling menanti, tak
berani bergerak lebih dulu. Beberapa saat kemudian, tampak kedua orang itu saling loncat
ke samping. "Toa-suheng engkau hanya tinggal mempunyai satu jurus lagi," seru si dara baju ungu
dengan suara lembut.
Belum kata-kata dara itu selesai, di gelanggang sudah berlangsung pertempuran lagi.
Dua buah jari Siangkwan Ko menusuk ke arah dada lawan. Tetapi orang tinggi besar itu
tamparkan tangannya kiri ke atas untuk melindungi dadanya.
Walaupun sepintas pandang mereka bergerak dengan sederhana dan tak ada sesuatu
gerakan yang biasa, tetapi karena masing-masing memiliki ilmu kepandaian yang berbeda
maka setiap gerakan mereka tentu mengandung tenaga-sakti yang dahsyat. Benar hanya
tiga jurus, tetapi cukuplah sudah untuk membuat sekalian hadirin menahan napas.
Siangkwan Ko luput menutuk jalan darah dan si orang tinggi besarpun gagal untuk
menampar. Dengan demikian pertempuran itu tetap seri alias tiada yang kalah dan
menang. "Siangkwan Ko benar-benar tak bernama kosong sebagai tokoh sakti dunia persilatan,"
si orang tinggi besar memuji.
Siangkwan Ko tertawa menyahut, "Ah, saudara benar seorang tokoh yang berilmu. Aku
siorang tua ini benar-benar mendapat pengalaman yang bermanfaat!"
"Setelah adu ketangkasan tangan dan kaki ini selesai, harap Siangkwan poh-cu suka
memberi pelajaran ilmu tenaga-dalam," seru si tinggi besar itu.
Siangkwan Ko mengurut jenggot seraya mengangguk.
Kata orang tinggi besar itu pula, "Rasanya adu tenaga-dalam itu tidak seperti adu
ketangkasan kaki dan tangan. Dalam sebuah gerakan saja, dapat diketahui menang
kalahnya. Pada hematku, bagaimana kalau kita saling menguji dengan cara berdiri dan
duduk?" "Boleh, boleh," sahut Siangkwan Ko.
Sambil berseru mempersilahkan, orang tinggi besar itu segera mengempos semangat
dan siap menunggu serangan lawan.
Siangkwan Ko pun tak man berayal lagi. Kedua mata agak dipicingkan dan kedua
keningnya pun tampak menonjol. Dia tegak berdiri laksana sebuah batu karang.
Hampir sepeminum teh lamanya kedua tokoh itu saling mengerahkan tenaga-dalam
masing-masing. Pada lain saat keduanya mengangkat tangan masingmasing. Tubuh agak
condong kemuka dan wajah mereka tampak memerah.
Sekonyong-konyong meledaklah dua buah suara bentakan menggeledek. Dan keduanya
segera gerakkan tangan masing-masing. Gerakan itu teramat cepat sehingga tampaknya
mereka bergerak dengan berbareng.
Seketika terdengar deru angin yang dahsyat. Dan tubuh merekapun tampak
berguncang. Cepat mereka salurkan napas untuk menenangkan darah yang bergolak
keras. Setelah saling merasa tiada terdapat suatu gangguan pada peredaran darahnya,
barulah mereka menghela napas longgar.
Berkata Siangkwan Ko lebih dulu, "Masih ada satu jurus lagi. Sebaiknya kita jangan
mengandung rasa dendam dan sungkan. Keluarkan saja seluruh kebiasaan agar aku
benar-benar dapat menikmati ilmu-ilmu kepandaian Lam hay-bun yang luar biasa itu"." "
jago tua itu terus duduk di tanah.
Seorang tinggi besar tertawa dingin lalu duduk juga herhadapan dengan Siangkwan Ko.
Setelah beberapa saat menyalurkan napas, mereka saling memberi anggukan kepala.
Kira-kira sepeminum teh lamanya, tiba-tiba napas mereka menderu keras, rambut
meregang tegak. Sampai beberapa saat, mereka masih duduk mematung di tempat
masing-masing dan belum kelihatan bergerak.
Si dara baju ungu pun termangu melihat mereka. Beberapa saat kemudian, tampak ia
tersenyum. Dan beberapa jenak kemudian baru ia berpaling ke arah nenek berambut putih
yang berdiri di belakangnya, "Eh, mengapa mereka duduk seperti patung saja dan belum
ketahuan siapa yang menang dan kalah!"
Sebelum nenek berambut putih itu membuka mulut, si dara sudah berkata pula,
"Dikuatirkan tenaga-dalam mereka itu berimbang hingga sukar ada yang menang dan
kalah. Kurasa, baiklah Bwenio berusaha untuk melerai mereka!"
Nenek berambut putih itu kerutkan alis, memandang sejenak kepada si dara lalu
dengan nada yang segan tetapi tak berani membantah perintah segera berkata, "Mereka
mungkin selama ini belum pernah mendapat lawan yang seimbang. Lebih baik biarkan
mereka beradu sampai ada yang kalah dan menang."
Tetapi dara baju ungu itu gelengkan kepala, "Aku tak sampai hati melihat mereka
sampai ada yang remuk bahu, putus kaki. Oleh karena itulah maka kubatasi jurus
pertempurannya."
Sejenak memandang ke arah toa-suheng dan Siangkwan Ko, dara itu berkata lagi, " Ih,
cukup lama mereka adu tenaga-dalam itu. Jika tak lekas dipisah, keduanya tentu samasama
terluka. Lekaslah pisahkan mereka!"
Perintah itu mengandung wibawa sekali sehingga si nenek berambut putih sambil
geleng-geleng kepala, terpaksa menghampiri ke tengah gelanggang.
Nenek Bwe berjalan beberapa langkah dan berhenti kira-kira satu setengah meter dari
kedua orang itu. Tangan kanan menggentak dan tongkatnya melambung, kemudian ia
cepat menyambar lagi ujung tangkai tongkat itu lalu tangannya dijungkirkan ke bawah
sehingga ujung tongkat melengkung ke bawah tepat menyambar ke arah kedua orang itu.
Kedua tokoh yang sedang beradu kesaktian tenaga-dalam itu, duduk membeku laksana
patung. Masing-masing tak berani pencarkan perhatiannya kelain sasaran. Pada saat ujung
tongkat nenek itu meluncur di tengah mereka, terdengar bunyi mendesis bagai gerumbul
pohon bambu tertiup angin. Desis getaran itu mengandung tenaga, yang hebat sehingga
debu bertebaran ke udara.
Setelah meluncurkan ujung tongkatnya, cepat nenek berambut putih itu menarik pulang
lagi. Tubuhnya agak berguncang dan berdiri lagi di samping dara baju ungu.
Dengan wajah agak cerah, dara itu menghibur sinenek dengan beberapa patah kata. Si
nenek hanya tertawa tak menyahut. Matanya memandang ke arah Siangkwan Ko dan
lelaki tinggi besar.
Tampak kedua tokoh itu berbangkit dan masing-masing loncat mundur 6 langkah,
berdiri tegak. "Pertandingan itu juga tiada yang menang dan kalah," seru si dara dengan nada
hambar. Kemudian ia berpaling ke arah Ih Thian-heng, serunya, "Telah lama kudengar bahwa
engkau Sinciu-it-kun Ih Thian-heng itu mempunyai kedudukan yang amat tinggi dalam
dunia persilatan Tionggoan. Tentulah kepandaiannya bukan olah-olah hebatnya.
Sebenarnya ingin kumencobamu sendiri. Tetapi seumur hidup aku tak suka dirangsang
oleh rasa kegagahan diri untuk mengadu jiwa dengan engkau. Karena apakah artinya
perbuatan begitu?"
Ia berhenti sejenak. Setelah merenung beberapa saat, ia berkata pula, "Hanya
kukhawatir hatimu tak puas. Maka baiknya begini sajalah. Akan kuminta Bwe-nio supaya
menemani engkau tukar kepandaian barang beberapa jurus saja!" ia berpaling ke arah si
nenek, "Bwe-nio, temanilah tokoh nomor satu dari Tiong-goan Sin-ciu It-kun Ih Thianheng
itu, bermain beberapa jurus. Cukuplah tiga jurus saja!"
Nenek berambut putih itu menghela napas seraya bersungut, "Anak nakal, masakan
akupun hendak engkau permainkan!"
Dara itu tersenyum, "Ah, mana aku hendak menggolokmu" Bukankah ayah sering
mengatakan bahwa dia tak pernah bertempur dengan orang sampai lebih dari tiga jurus?"
Nenek Bwe tertawa hambar, "Ih, jangan ayahmu dijadikan ukuran. Di dunia ini berapa
orangkah yang dapat menandinginya?"
Walaupun rambutnya putih tetapi wajah nenek itu berseri bersih, masih tampak segar
dan tiada keriput sama sekali. Pada saat tertawa, masih tampak baris giginya yang putih
rapih. Wajah dengan rambut putih itu memiliki ciri-ciri tersendiri yang sedap.
Ih Thian-heng melangkah maju dan memberi hormat, "Kepandaian nyonya tentu jauh
lebih tinggi dari diriku. Walaupun tiga jurus itu terlalu singkat untuk menyudahi suatu
pertandingan namun sekurang-kurangnya dapat memberi penilaian tentang tinggi
rendahnya kepandaian."
Wajah nenek itu mengerut serius. Sikapnya kembali dingin seperti semula. Sambil
mencekal tongkat bambu ia melangkah maju petahan-lahan.
"Walaupun mempunyai Batas tiga jurus tetapi tiada larangan untuk menggunakan
tangan atau senjata. Silahkan engkau mencabut senjatamu!" serunya dengan jelas. Ia
menghendaki suatu pertandingan dengan memakai senjata.
Ih Thian-heng yang berwajah ramah, pun saat itu hanya tersenyum, sahutnya,
"Silahkan nyonya memakai apa saja, aku tetap hendak menggunakan kedua tangan
kosong untuk menerima tiga jurus seranganmu "
"Ucapan yang congkak!" nenek itu tertawa dingin dan serentak gerakkan tongkat untuk
menutuk. Tampaknya serangan itu biasa sekali, dada suatu gerakan yang mengejutkan
serta tenaga yang keras, Sekalipun anak berumur tiga tahun saja, tentu dapat
menghindar. Tetapi wajah Ih Thian-heng tampak serius sekali. Dipandangnya serangan tongkat itu
dengan penuh perhatian lalu ia mengangkat kaki kanan dan melangkah setindak ke
samping. "Satu jurus!" tiba-tiba dara itu melengking.
Si nenek tertawa tawar. Setelah menarik pulang tongkatnya lalu ia membuat gerakan
menyapu. Juga gerakan itu tampak lamban sekali. Sama sekali tak tampak sesuatu yang
mengejutkan. Hanya yang berlainan adalah tongkat itu tampak agak bergetaran seperti
digerakkan oleh tangan yang lemah.
Tampak ubun-ubun kepala Ih Thian-heng mengepul uap keringat. Dua buah jari kiri,
dijulurkan miring ke arah tongkat. Bahunyapun bergetar bagai orang yang sedang
memanggul beban maha berat. Kemudian dengan pelahan ia mundur menghindar dari
serangan tongkat.
"Hm tinggal satu jurus lagi," seru si dara.
Si nenek menarik pulang tongkat, menarik napas agak terengah-engah lalu menatap Ih
Thian-heng. "Pada jurus yang terakhir aku hendak menguji ilmu silatmu".!"
Jilid 17 : Ilmu silat Lam Hay Bun
Ujian "Silahkan nyonya mulai!" sahut Ih Thian-heng.
Setelah menggeram pelahan, nenek Bwe berseru, "Awas, hati-hatilah!"
Pelahan saja ia menghunjamkan tongkatnya dan ujung tongkat itu menyusup beberapa
dim ke dalam lantai. Dan kemudian orangnyapun sudah melesat maju.
Gerakan nenek itu jauh berlainan dengan yang tadi. Terjangannya luar biasa cepat dan
gesit. Seluruh mata hadirin menumpah pada kedua tokoh itu. Hanya dalam berapa kejab
mata saja, keduanya serang menyerang dalam satu jurus dan pada lain kejab mereka
sudah sama lompat mundur lagi.
Pertempuran yang luar biasa cepatnya itu hampir tak danat diikuti oleh Pandang mata
sekalian yang terada di tempat itu.
Ih Thian-heng mengangkat kedua tangannya memberi selamat seraya tertawa. "Ah,
ilmusilat Lam-hay-bun benar-benar luar biasa!"
Nenek Bwe mencabut tongkatnya yang tertancap di lantai seraya menggerutu, "Sayang
pertandingan malam ini tak boleh dilanjutkan."
Kalau Ih Thian-heng diam saja adalah Pengemis-sakti Cong To yang penasaran
mendengar ucapan si nenek yang begitu angkuh.
"Itu kan mudah saja! Kalau memang hendak diselesaikan, boleh dilanjutkan!" serunya
menantang. Nenek Bwe kerutkan sepasang alis. Tetapi sebelum ia sempat membuka mulut, si dara
baju ungu sudah mendahului, "Hai, pengemis tua, Apakah engkau belum puas?"
"Hm, seumur hidup pengemis tua ini tak pernah tunduk kepada siapa pun juga!" sahut
Cong To. Dara itu melangkah pelahan-lahan, serunya seraya mengulum senyum, "Jika belum
terima, marilah kita main-main beberapa jurus!"
Pengemis tua itu tertegun, katanya sesaat ke-mudian, "Pengemis tua ini sudah hampir
masuk liang kubur, bagaimana disuruh berkelahi dengan seorarg anak perempuan" Kalau
menang, tetap akan ditertawai orang. Lebih baik suruh salah seorang dan kedua
suhengmu itu nanti melayani pengemis tua!"
Sahut si dara baju ungu. "Tumpukan jerami dan rumput setinggi gunung, tetap tak
mampu menindih mati seekor tikus. Apakah yang hendak engkau banggakan dengan
umurnya yang tua itu?"
Pengemis sakti Cong To marah sekali. Cepat ia loncat keluar dan membentaknya,
"Pengemis tua akan mengalah 3 pukulan dulu, baru nanti kita berhantam lagi!"
Tepat pada saat pengemis sakti itu loncat, lelaki tinggi besar dan nenek Bwepun
serempak loncat ke samping si dara. Tetapi data itu membentaknya, "Huh, siapakah yang
suruh engkau kemari!"
Lelaki tinggi besar itu gugup, "Tetapi mana boleh sumoay sembarangan bertempur
dengan orang. Apabila terjadi sesuatu"."
"Huh, sedang ayahpun tak dapat mengurus diriku, masakan engkau hendak mengatur
aku?" tukas dara itu.
"Ini".." belum si tinggi besar selesai mengucap, dara itu sudah mengerat, "Apa ini itu!
Apakah kepandaianku tak sehebat engkau!"
Lelaki tinggi itu memandang ke arah Nenek Bwe lalu menyurut mundur pelahan-lahan.
Kemudian si dara berpaling kepada Nenek Bwe, "Bwe-nio yang baik, kuminta engkau
jangan mengurus diriku!"
Nenek Bwe menghela napas pelahan, "Nak, bertempur adu pukulan itu, setiap saat
diintai maut, jangan dianggap seperti permainan kanak-kanak"."
Kata si dara, "Bukankah engkau pernah berkata kepadaku, bahwa dalam hal apa saja.
engkau mau menurut aku, bukan"
Bwe-nio tertegun lalu mundur tiga langkah.
Setelah dapat mengundurkan kedua orang itu, si dara menghampiri Cong To, ujarnya,
"Engkau suruh aku memukulmu tiga kali lebih itu, apakah sungguh-sungguh keluar dari
hatimu yang ikhlas?"
Sambil memandang ke puncak wuwungan, pengemis itu menyahut tawar, "Selama
hidup pengemis tua selalu tak pernah menarik ucapannya!"
Dara itu tersenyum, "Kalau kupukul, apakah engkau akan menghindar?"
"Pengemis tua ini sudah berpuluh-puluh tahun umurnya, masakan sudi adu mulut
dengan engkau. Lekas mulailah!"
Dara itu menyeringai, "Siapa akan sudi bergurau dengan engkau" Baik, hendak
kutampar pipimu tiga kali!"
"Apa?" pengemis Cong To terbeliak.
"Baumu busuk bukan main. Kalau kupukul tentu membikin kotor tanganku. Hanya
bagian mukamu yang agak bersih itu. Kalau memang engkau mau mengalah, apa bedanya
tiga pukulan dengan tiga tamparan itu?"
Cong To merenung diam. Akhirnya terpaksa ia menjawab, "Baiklah, pokoknya asal
pengemis mengalah sampai tiga kali saja!"
Pelahan-lahan sekali dara itu ulurkan tangannya. Rupanya ia sengaja memaksa
perhatian orang untuk ikut memperhatikan, berapa kalikah ia nanti akan menampar si
pengemis tua itu.
Cong To batuk-batuk pelahan. Tetapi jelas bahwa kepalanya telah bersimbah peluh
yang bercucuran menetes ke bawah. Ia tetap menengadah memandang ke puncak
wuwungan rumah. Wajahnya menampilkan kemurungan yang hebat.
Dia adalah seorang tokoh ternama yang amat diindahkan kaum persilatan. Dalam
kedudukan setinggi itulah ia harus membiarkan dirinya ditampar oleh seorang dara di
bawah kesaksian berapa tokoh ternama. Karena tak dapat menarik pulang ucapannya,
terpaksa ia menunggu dengan tenang.
"Plak!" tiba-tiba tangan dara itu berayun ke pipi Cong To. Pengemis tua itu sedikit pun
tak berguncang. Kebalikannya, si dara kerutkan sepasang alisnya, menunduk memandang
tangan kanannya lalu diangkatnya pelahan-lahan lagi.
Menurut perhitungan Cong To, meskipun tamparan dara itu tak mungkin membuatnya
rubuh terluka berat, tetapi juga tak boleh dipandang ringan. Maka diam-diam ia kerahkan
tenaga-dalam untuk berjaga-jaga.
Cong To adalah seorang tokoh utama. Sekali mengatakan akan mengalah untuk tiga
jurus, tetap ia akan melaksanakannya.
Tetapi sungguh di luar dugaannya sama sekali bahwa tamparan dara itu sama sekali
tak terasa sakit. Diam-diam ia malah curiga.
Berpaling ke samping, dilihatnya dara itu pelahan-lahan mulai mengangkat tangan lagi
untuk menampar. Diam-diam tergetarlah hati Cong To, keringat pun membasahi tubuhnya
lagi. Pada saat dara itu hendak ayunkan tangannya, tiba-tiba ia melihat kerut wajah si
pengemis yang menderita. Buru-buru ia menarik pulang tangannya. Kemudian tangan
kanan dan kiri susul menyusul ditamparkan ke udara kosong, serunya, "Selesai! Sekarang
engkau harus memukul aku!" katanya seraya mundur tiga langkah.
Perangai dara itu memang aneh dan sukar diduga. Setempo bengis dan
mempermainkan orang. Tetapi setempo tiba-tiba berobah baik dan ramah.
Karena disaksikan oleh beberapa tokoh persilatan, Cong To menerima tamparan dari si
dara, ia amat murka. Ia berpaling dan berseru, "Engkau sendirilah yang tak memenuhi tiga
kali pukulan itu. Sekarang jangan persalahkan pengemis tua!"
"Ih, aku kan sudah memukul tiga kali penuh! Sekarang akupun hendak membiarkan
engkau menampar mukaku sampai tiga kali. Asal engkau hanya memukul satu kali, berarti
Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
engkau kalah!"
Sahut Cong To dengan dingin, "Pengemis tua selamanya tak kenal kasihan terhadap
wanita. Aku tak percaya kalau tak dapat memukulmu sampai selesai!"
Dara itu menyeringai tawa, "Jika engkau tak dapat melanjutkan, kelak jika ketemu aku,
engkau harus menurut perintahku!"
"Jika sampai binasa, engkau sendirilah yang mencari penyakit itu. Jangan salahkan si
pengemis tua ini seorang ganas!"
Tiba-tiba dara itu jungkatkan sepasang alisnya.
Wajahnya yang segar berseri laksana bunga mekar itu, tiba-tiba mengerut rawan,
sedih. Dan entah bagaimana, suasana dalam ruang itu seolah-olah ikut tercekam kabut
kesedihan. Seketika sekalian orang yang berada di situ merasa bahwa dunia ini penuh
dengan kedukaan, kesedihan dan kehampaan".
Pada saat itu Pengemis-sakti Cong To sudah mengangkat tangannya, siap
dihunjamkan. Tetapi ketika pandang matanya beradu dengan sinar mata si dara, seketika
hatinya berguncang. Tangannya lemas lunglai dan tanpa disadari, tangannya itupun
diturunkan kembali.
Susana dalam ruang itu hening lelap. Keenam bocah berpakaian putih yang bersenjata
pedang itu pun turunkan senjatanya masing-masing. Wajah mereka tampak berduka,
mata berlinang-linang.
Tiba-tiba terdengar suara isak pelahan, makin lama makin terdengar jelas. Dalam
keadaan seperti suasana saat itu, suara isak tangis makin menghancurkan sanubari orang.
Setiap orang sukar untuk menahan turunnya air mata.
Yang pertama-tama adalah keenam bocah baju putih tadi. Airmata mereka membanjir
membasahi kedua belah pipi.
Mendengar suara isak tangis, Pengemis-sakti Cong To segera berpaling. Tampak si dara
baju ungu tengah memandang kepadanya dengan mata berkaca-kaca. Ketika beradu
pandang, Cong To merasakan hatinya seperti dihunjam benda keras. Hawa penasaran,
meluap ke atas dada. Matanya terasa panas, airmata hampir meluncur keluar.
Tetapi dia adalah seorang tokoh yang sudah mencapai tataran tinggi dalam ilmu
lwekang. Cepat-cepat ia dapat menyadari sesuatu yang tak wajar. Buru-buru ia palingkan
muka dan menekan airmatanya yang hendak turun itu. Kemudian menghela napas
panjang dan terus melangkah ke luar ruangan.
Karena keenam bocah baju putih itu sedang dirundung kesedihan maka mereka
membiarkan saja pengemis tua itu keluar.
Tepat pada saat Cong To hendak melangkah ke luar pintu, tiba-tiba dara baju ungu itu
melengking, "Tunggu! Apakah engkau hendak melarikan diri?"
Cong To tertegun dan berpaling. Dilihatnya dara baju ungu itu sudah kembali bersikap
seperti sediakala. Seketika pulihlah kesadaran Cong To. Sekalian orangpun sama
menghela napas. Mereka seperti tersadar dari mimpi yang sedih.
"Apakah engkau hendak ingkar janji?" seru si dara.
Cong To melangkah masuk ke dalam ruangan lagi, sahutnya, "Tak mungkin pengemis
tua akan ingkar!"
"Tadi sudah kukatakan, jika engkau mampu memukul aku satu kali saja, engkau
menang. Bukankah aku pernah mengatakan begitu?" tanya si dara.
"Ya," Pengemis-sakti Cong To mengiakan.
"Jika engkau tak mampu memukul, sudah tentu engkaulah yang kalah!"
"Benar!"
"Kukatakan apabila engkau kalah, kelak apabila bertemu aku lagi, engkau harus
menurut perintahku. Benar atau tidak?"
Pengemis-sakti Cong To mengangkat kepala memandang wuwungan rumah, sahutnya,
"Hal itu pengemis tua belum pernah menyetujui!"
Dara itu tersenyum, "Engkau tak setuju tetapi tidak menentang. Benar atau tidak?"
Pengemis-sakti Cong To mendengus tetapi tak menyahut.
"Nama Pengemis-sakti Cong To, termasyhur sekali dalam dunia persilatan. Apa yang
sudah diluluskan, kemudian merasa menyesal dan tak mengakui. Jika hal ini tersiar keluar,
bukankah akan merugikan namamu?" seru si dara pula.
Cong To menghela napas, serunya, "Bilanglah, apa maksudmu?"
Si dara tersenyum, "Kalau engkau tak mau menurut, bukankah sia2 saja aku
mengatakan?"
"Bilanglah," seru Cong To penasaran, "pengemis tua tak menarik kembali ucapannya.
Kalau memang pernah meluluskan, tentu akan melaksanakannya!"
"Sesungguhnya bukan hal yang sukar. Asal kelak kalau berjumpa lagi engkau mau
menurut perintahku, itulah sudah cukup!"
"Huh, orang apakah pengemis tua ini" Masa sudi menerima perintahmu?" Cong To
berkata murka. Tiba-tiba wajah data itu berobah serius. "Engkau kalah bertaruh, siapa yang hendak
engkau persalahkan" Jika pada saat itu engkau memukul aku sampai mati, bukankah aku
mengantar jiwa dengan sia-sia?"
Diam-diam pengemis itu mengakui. Memang benar dia tak melanjutkan memukul. Jadi
bukan salah si dara itu.
"Jangan kuatir berhubungan dengan aku, tak nanti engkau menderita kerugian!" seru si
dara. "Masakan pengemis tua ini hendak meminta kemurahan dari engkau!" seru Cong To.
Melihat ucapan pengemis itu tak sekeras yang tadi, si dara tertawa hambar. "Begini
sajalah. Jika engkau mau mengerjakan sesuatu untukku, setelah selesai, akupun bersedia
melakukan sesuatu menurut yang engkau kehendaki. Cara begitu, tentu takkan merugikan
engkau, bukan?"
Cong To seorang tokoh yang keras perangainya. Karena merasa kalah bertaruh,
sekalipun belum pernah berjanji tetapi menurut kepantasan, ia harus bersedia melakukan
perintah dara itu. Tetapi dara itu pun tak mau terlalu menghilangkan mukanya dan sedia
juga melakukan perintahnya juga.
"Ah, jika kutolak, tentu orang akan mencap aku sebagai tokoh yang mau menang
sendiri!" diam-diam Cong To menimang.
Setelah mengambil keputusan, ia menghela napas, ujarnya, "Sekalipun belum berjanji,
tetapi karena sudah kalah bertaruh, maka baiklah kita atur begini saja. Lima tahun sebagai
batas waktu. Selama dalam 5 tahun itu kalau engkau berjumpa dengan pengemis tun ini,
aku tentu akan mengerjakan sebuah perintahmu!"
"Kalau kusuruh engkau mati, apakah engkau juga mau?" si dara tersenyum.
Wajah Pengemis-sakti Cong To mengerut serius, "Apa yang pengemis tua telah
menyanggupi, adalah ibarat kuda lepas dari kendali. Soal mati hidup, tak kuhiraukan.
Hanya sayang dunia begini luas, dikuatirkan dalam waktu 5 tahun engkau tak sempat
ketemu dengan pengemis tua lagi!"
Si dara tertawa, "Soal yang akan datang siapakah yang dapat meramalkan. Kalau
memang benar tak dapat bertemu dengan engkau, itu berarti aku menaruh bertaruh
secara sia-sia."
Kemudian Cong To menyatakan hendak tinggalkan tempat itu. Sebelumnya ia
menanyakan kalau dara itu masih hendak mempunyai sesuatu keperluan lagi dengannya.
Tetapi rupanya dara itu tak menghiraukan pengemis itu karena sudah berpaling
menatap Ih Thian-heng dengan dingin, "Engkau memiliki gelar sebagai Ksatrya-utama-Sin
ciu. Kabarnya kaum persilatan golongan Putih maupun Hitam daerah Tionggoan, semua
menghormat kepadamu. Itu memang bukan salahmu tetapi salah mereka yang punya
mata tetapi tak bisa melihat sehingga tak dapat membedakan yang baik dengan yang
jahat!" Ih Thian-heng tertawa menyeringai, "Batas antara Kejahatan dan Kebaikan itu sukar
ditafsirkan dengan sepatah dua patah perkataan. Ah, soal yang nona kemukakan itu
terlalu berat!"
"Kalau begitu, kuganti saja dengan acara yang kecil. Di antara kalian bertiga, kecuali
Pengemis tua Cong To, siapakah yang paling sakti kepandaiannya?" seru si dara.
Siangkwan Ko amat berterima kasih kepada Ih Thian-heng yang telah menolong
puterinya. Maka sebelum tuan rumah membuka mulut, cepat ia menyelutuk, "Dalam soal
kewibawaan nama dan kepandaian silat, sudah tentu saudara Ih lebih tinggi dari diriku!"
Demi untuk menyatakan rasa terima kasihnya, ia rela mengakui kepandaiannya lebih
rendah. Habis berkata, jago tua itu tundukkan kepala. Sikapnya agak berduka.
Ih Thian-heng mengurut janggotnya pelahan-lahan dan tertawa, "Jika membicarakan
soal tokoh sakti dalam dunia persilatan Tiong-goan, sungguh tiada habis-habisnya. Setiap
angkatan tentu melahirkan orang-orang yang cemerlang. Tetapi pada umumnya orang
yang berilmu sakti itu tentu angkuh dan aneh perangainya. Kebanyakan mereka
mengasingkan diri tak mau berkeliaran di dunia persilatan! Kami bertiga ini, walaupun
mempunyai nama di dunia persilatan, tetapi belumlah memadai apabila disebut sebagai
tokoh cemerlang dunia persilatan!"
Dara baju ungu tersenyum, "Benar, memang dalam dunia persilatan Tiong-goan
dewasa ini, kecuali beberapa partai persilatan golongan Ceng-pay, masih terdapat Itkiong,
Ji-koh dan ketiga Marga. Karena It-kiong itu termasuk dalam urutan pertama,
tentulah para imam yang mengepalai It-kiong itu memiliki kepandaian yang hebat!"
Ih Thian-heng gelengkan kepala, "It-kiong, Ji-koh dan Sam-poh, sama-sama sejajar
namanya. Masing-masing mempunyai keistimewaan sendiri-sendiri. Ada yang dahsyat
ilmusilatnya, ada yang mengandalkan ilmu Racun, ada yang termasyhur kepandaiannya
merancang dan ada pula yang mahir dalam ilmu barisan. Belum terhitung tokoh-sakti yang
tak sering muncul. Merekapun memiliki kepandaian tersendiri. Tetapi kesemuanya itu
belumlah dapat digolongkan sebagai tokoh yang paling menonjol sendiri. Tentang diriku
dan saudara Cong, sekalipun mempunyai nama yang tak berarti tetapi hanya beginilah,
tiada mempunyai pangkalan perguruan suatu apa".."
Cong To tertawa dingin, "Akh" Jangan sungkan dan merendah diri. Memang kalau
pengemis tua bergelandangan kemana-mana seperti kelinci liar itu, suatu kenyataan.
Tetapi kalau saudara Ih, mana dapat dipersamakan dengan pengemis tua?"
Ih Thian-heng tetap ganda tertawa, "Ah, hanya desus desus yang tak nyata, mengapa
saudara Cong mau percaya!"
ooo000ooo Dendam dan Asmara.
Pada saat si dara hendak membuka mulut, Ih Thian-heng sudah mendahului, "Jika
berbicara tentang tokoh sakti yang tinggi ilmunya, kiranya paderi Hui Gong dari gereja
Siau-lim-si itu dapat dikemukakan. Di seluruh jagad, sukar mencari orang yang mampu
menandinginya"."
Sekonyong-konyong nenek Bwe gentakkan tongkatnya ke lantai pe-lahan2. "Entah
sampai dimanakah tingginya kepandaian paderi itu" Apakah aku dapat berhadapan
dengannya?"
"Ilmu silat sukar diukur tingginya. Sampai, mencapai batas yang bagaimana tingginya,
sukar dikatakan," seru Ih Thian-heng.
"Kalau ada yang digolongkan ilmu silat golongan Ceng-pay, tentulah ada ilmu silat yang
termasuk Pian-kek (ganas)?"" seru si dara.
"Nona pintar sekali. Jika mempunyai kepandaian meramal sesuatu yang belum
terjadi"." baru Ih Thian-heng berkata sampai di situ, si dara sudah berseru, "Tak perlu
jual pameran kosong, lekas lanjutkan keteranganmu!"
Ih Thian-heng benar-benar seorang yang penuh toleransi. Siapapun yang
merangsangnya dengan ucapan maupun sikap menantang, dia selalu dapat menghadapi
dengan sabar. Sedikit pun tak mengunjuk perubahan air muka, tetap tertawa-tawa.
Sambil mengurut jenggot, ia melanjutkan, "Pada umumnya orang mengambil jalan
samping sehingga sukar berhasil. Tetapi sesungguhnya di dunia persilatan Tiong-goan
dewasa ini terdapat seorang yang mengkhususkan diri dalam ilm usilat aliran Pian-kek dan
telah berhasil. Dia adalah seorang wanita ?"."
Belum habis Ih Thian-heng berkata, Siangkwan Wan-ceng cepat menyelutuk, "Apakah
yang engkau maksudkan itu suhuku?"
"Benar, memang suhu nona Hen-thian It-ki!" sahut Ih Thian-heng.
Dara baju ungu itu kerutkan alis dan berkata, "Jika orang mampu mengalahkan Hui
Gong taysu dan Hen-thian It-ki, barulah orang itu dapat dianggap sebagai tokoh nomor
satu di dunia?"
Sambut Ih Thian-heng, "Hui Gong taysu dan Hen-thian It-ki, memang dapat dianggap
sebagai tokoh luar biasa yang jarang terdapat dalam dunia persilatan sejak ratusan tahun
ini. Keduaya mempunyai keistimewaan sendiri-sendiri, dua datuk golongan Ceng-pay dan
Sia-pay!" Seru si dara baju ungu, "Kalau begitu, kalian beberapa orang ini hanya tergolong
orang-orang persilatan yang tak berarti?"
Sahut Ih Thian-heng, "Pada umumnya kaum persilatan Tiong-goan mengangkat nama
karena memiliki kepandaian bersilat dengan tangan kosong, menggunakan senjata dan
ilmu meringankan tubuh. Sekalipun tergolong pada aliran Pian-kek, paling2 orang hanya
memiliki kelebihan dalam gerakan tubuh dan kegesitan. Yang benar-benar tergolong ajaib
semisal ilmu Meraga-sukma dan lain-lain, selama ini belum pernah kudengar di Tiong-goan
terdapat tokoh yang mahir ilmu itu."
Siangkwan Ko menyambuti, "Saudara Ih memang benar. Dalam pertandingan adu
kesaktian, hanya adu pukulan dan adu tenaga yang diutamakan untuk merebut
kemenangan. Ilmu sihir yang tergolong aliran Sia-pay (Hitam), sekalipun menang tetapi
tak dapat digolongkan sebagai ilmu silat."
Dara baju ungu itu amat cerdas. Sudah tentu ia dapat menangkap tujuan kata-kata
kedua orang itu. Dengan tertawa tawar ia berseru, "Benarkah kalian menganggap caraku
memenangkan pengemis Cong To tadi sebagai ilmu sihir Aliran hitam, bukankah begitu?"
"Ah, pengalamanku sempit," kata Ih Thian-heng.
"Apa yang nona gunakan tadi benar-benar aku tak mengerti. Hanya para orang yang
hadir di ruangan ini menganggap bahwa ilmu nona tadi hampir mirip dengan ilmu sihir Ihhuntay-hwat (ilmu memindah nyawa) yang pernah terdengar dalam cerita."
Dara baju ungu itu tertawa melengking, "Walaupun memang banyak kemiripan antara
Ih hun-tay-hwat dengan ilmu yang kugunakan tadi. Tetapi ilmuku itu sama sekali bukan
Ih-hun-tay-hwat. Menilik engkau berpengalaman luas, tentulah sedikit2 dapat mengetahui
Jenis alirannya."
"Ah, nona keliwat memuji," seru Ih Thian-heng.
Tiba-tiba wajah dara itu mengerut serius, ujarnya, "Kalian selalu mengatakan bahwa
aku telah gunakan ilmu sihir dan tidak tergolong ilmusilat. Apakah kalian berniat hendak
adu kepandaian silat dengan aku?"
Diam-diam Siangkwan Ko menimang. Menilik umur dara itu lebih muda dari anaknya
(Siang-kwan Wan-ceng) sekalipun luar biasa cerdas dan taruh kata begitu lahir sudah
berlatih silat, pun hanya selama 17 tahun belajar silat. Betapapun cerdas dan berbakatnya,
tentu tak dapat mengalahkan dia dalam tiga jurus. Dan jika menilik kepandaian kedua
suhengnya tadi, kiranya kepandaian dara itu tentu takkan jauh terpautnya.
"Jika ingin mengadu ilmu pukulan, akulah yang pertama ingin menerima pelajaran
nona, "serunya sesaat kemudian.
Dara baju ungu itu tertawa dingin, "Apakah engkau yakin ilmu silatmu lebih tinggi dari
Sin-ciu-it-kun Ih Thian-heng?"
Siangkwan Ko tertegun, serunya, "Ini"."
"Jangan ini itu!" tukas si dara, "jika engkau merasa tak dapat melebihi Ih Thian-heng,
lebih baik engkau undurkan diri saja agar jangan membuang waktuku!"
Karena merasa berterima kasih atas pertolongan Ih Thian-heng kepada puterinya,
maka relalah jago tua Siangkwan itu mengalah. Ia diam saja.
Ih Thian-heng tersenyum, serunya Jika nona tetap menghendaki memberi pelajaran
kepadaku, terpaksa aku akan menurut. Tetapi apakah harus bertempur sampai ada yang
kalah dan menang atau hanya sekedar beberapa jurus saja?"
"Sudah tentu sampai ada yang kalah dan menang.
Ih Thian-heng terkesiap. Ia tak duga kalau nona itu menghendaki cara lain dari yang
tadi. Memandang ke muka, dilihatnya wajah nona itu bersemu merah, sepasang alisnya yang
melengkung bagai dalam lukisan. Setitik pun tak mengunjuk tanda-tanda bahwa nona itu
memiliki ilmu tenaga-sakti. Diam-diam Ih Thian-heng curiga apakah nona itu telah
mencapai tataran ilmu tenaga-dalam yang sedemikian rupa sehingga dapat
menyembunyikan ciri-ciri seorang yang memiliki tenaga-dalam tinggi"
Dia adalah seorang yang selalu bersikap hati-hati sekali. Jika merasa tak sanggup
menang, tentu tak mau sembarangan turun tangan. Setelah merenung sekian lama, ia
tertawa, "Baik, silahkan nona mulai!"
Tiba-tiba nona itu berseru dengan wajah tak senang, "Kalau aku sungguh-sungguh
bertempur dengan engkau, bukankah akan mengotorkan tanganku?"
Kembali Ih Thian-heng terkesiap, serunya, "Kalau tidak dengan adu pukulan lalu
dengan cara bagaimana?"
Dara itu kicupkan biji matanya sejenak lalu tertawa mengikik, "Mundurlah dua langkah!"
Walaupun heran tetapi Ih Thian-heng menurut.
"Sekarang hati-hatilah. Aku hendak melancarkan jurus Bintang-mengejar-bulan.
Melangkah maju dan gunakan dua buah jari kananku untuk menutuk jalan darah di
dadamu!" seru si dara.
Ih Thian-heng terdiam sejenak lalu tertawa, " Oh, apakah nona hendak mengadu
kepandaian secara lisan?"
"Engkau akan menghindar atau akan menangkis" Jariku sudah hampir mengenai jalan
darahmu!" tanpa menghiraukan si dara tetap berseru.
Terpaksa Ih Thian-heng menyahut, "Akan kugunakan jurus Merentang-busurmemanahalap2. Setelah menghindarkan jalandarah yang hendak engkau tutuk itu, tangan
kiriku balas memukul dada. Kemudian tangan kananku menyambar pergelangan tangan
nona!" Seru si dara, "Kugunakan gerak-langkah Berbalik-menginjak-tujuh-bintang untuk
menghindari:alik-ruenginjak-tujuh-bintang untuk menghindari tangan kirimu dan dengan
cepat kuturunkan kedua jariku menutuk jalandarah di perutmu. Tangan kiriku menampar
jalandarah pada bahumu! "
Ih Thian-heng tertawa, "Jurus kuganti dengan Bulan-berkisar-bunga-membayang!"
"Kugunakan jurus Kuda-melintas-pesat, sekaligus kuserang dua buah jalandarah pada
perut dan dadamu!" seru si dara.
Sejenak merenung Ih Thian-heng bertanya, "Apakah nona tak terlambat?"
Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sahut si dara, "Jurus Awan-menutup-lima-gunung yang engkau hendak tutukkan ke
kepalaku itu memakai tangan kiri atau tanganmu yang kanan?"
Kembali Ih Thian-heng merenung. Sejenak kemudian baru ia menjawab, "Kugunakan
tangan kanan."
"Itu benar," seru si dara, "jalandarah Thian-coan merupakan uratnadi saluran jantung.
Dengan jurus Kuda-melintas-pesat, tangan kiriku dari bawah menyerang ke atas. Jika
engkau tak menyurut tentu jalandarahmu itu dapat kulukai dulu. Jika tangan kananmu
terluka, apakah dapat digunakan?"
"Benar," sahut Ih Thian-heng, "tangan kiri dengan jurus Kuda-besi-muncul-keluar,
menyerang samping punggungmu. Cobalah saja, siapa yang lebih dulu terluka."
"Tangan kananku sudah menutuk ke arah jalandarah Hian-ki dan lenganmu yang kanan
sudah terluka. Meskipun tanganmu kiri dapat memukul punggungku tetapi engkau tak
mampu menolong lengan kananmu yang kututuk jalandarahnya itu!"
Kata Ih Thian-heng, "Jika kugunakan jurus Menyiak-awan-mengambil-bulan, kedua
tanganku kujulurkan ke muka untuk menyiak kedua tanganmu, apakah gerakan itu tak
dapat melukaimu?"
Si dara menjawab, "Bertempur dengan musuh, siapa yang menyerang lebih dulu tentu
dapat menguasai kesempatan. Jurus Menyiak-awan-mengambil-bulan walaupun agak
terlambat, tetapi tetap dapat dipergunakan untuk merebut kemenangan dalam kekalahan.
Dan jika pada saat itu aku segera menggunakan gerak Jembatan-gunung, menengadah
dan menekuk tubuh sampai menyentuh tanah, untuk menghindari seranganmu Menyiakawanmengambil-bulan."
Ih Thian-heng tertawa, "Saat itu nona sudah kehilangan kesempatan. Seluruh
jalandarah tubuh nona berada dalam ancaman jariku. Mungkin tokoh sakti yang manapun,
sukar menghindarkan diri."
"Belum tentu," si dara menyelutuk, "dengan meminjam tenaga pada saat punggungku
melekat di tanah, kuayunkan kedua kakiku untuk menendang jalandarah Yang-kwan pada
betis kananmu dan mendupak jalandarah Te-ki pada betismu kiri, engkau akan
menghindar atau tidak?"
Ih Thian-heng tertegun, serunya, "Nona cerdik luar biasa dan dapat berpikir dengan
tangkas. Memang gerakanmu itu tepat sekali. Tetapi dengan jurus apakah engkau
gerakkan kakimu itu?"
Si dara tersenyum, "Tendangan kakiku yang kiri menggunakan jurus Ksatrya-saktimelemparpena. Dan gerakan kaki yang kanan dengan jurus Pengemis-menggebukanjing."
"Jurus Ksatrya-sakti-melempar-pena itu, masih diterima," kata Ih Thian-heng, "tetapi
nama jurus Pengemis-menggebuk-anjing itu, mengingatkan aku akan sebuah jurus yang
mirip dengan jurus Pengemis-menggebuk-anjing itu!"
"Jurusmu itu mungkin jurus Dewi rase-menghadap-dewa."
"Gerakan, diciptakan oleh angan2 dan nama ditetapkan orang. Kurasa tendangan kaki
kanan nona itu seharusnya disebut jurus Siluman-rase-menyembur-bunga. Kiranya lebih
sedap didengar dari pada nama yang nona gunakan Pengemis-menggebuk-anjing."
Kata si dara, "Delapan jurus ilmu tendangan Menjelajah-dunia dari perguruan Lam-haybun,
khusus menggunakan kedua belah kaki untuk menundukkan lawan. Yang kugunakan
tadi baru dua jurus saja, masih ada enambelas jurus. Setiap jurus selalu mengarah pada
jalandarah berbahaya. Untuk kedua buah jurus tendanganku tadi, engkau merasa kalah
atau tidak?"
Diam-diam Ih Thian-heng menimang, "Dara itu tangkas sekali bicara,
kepandaiannyapun amat luas. Apakah nama jurus2 itu memang sengaja diganti untuk
memaki diriku tetapi memang gerakan kedua kakinya itu, memaksa aku menyurut
mundur." Sampai lama Ih Thian-heng tak dapat menemukan cara untuk memecahkan serangan
dara itu. Akhirnya terpaksa ia berkata, "Aku menggunakan gerakau Ikan-lehi-melentingmembalik,
untuk menghindari tendangan nona dan siap menunggu serangan berikutnya."
"Terima kasih".. begitu engkau mundur, tak ku-sia2kan kesempatan mengejar.
Tahukah akan jurus Bayangan-naga-mendatar-lurus?"
Wajah Ih Thian-heng berobah makin serius, serunya, "Akan kugunakan jurus Ayamemasmenebar-sayap yang terus kuganti dengan jurus Awan-musim semi-bertebaran
untuk mengurangi kesibukan!"
"Aku akan menggunakan jurus Memotong bunga bwe, yang kuganti dengan jurus
Burung hong-naik-naga-menjulang!" seru si dara.
Adu ilmu silat secara lisan itu ternyata meliputi ilmusilat dari berbagai partai persilatan.
Tampak wajah Ih Thian-heng makin lama makin gelap dan kepalanya mulai mengucur
keringat. Semisal orang yang bertempur sungguh-sungguh.
Tetapi si dara tetap bersenyum simpul. Mulutnya nyericis menyebutkan berbagai jurus
ilmusilat seperti air bah yang melanda sungai bengawan.
Sekalian yang hadir disitu adalah orang-orang persilatan ternama. Mereka mengerti
jurus2 yang diucapkan oleh kedua orang itu. Diam-diam mereka tegang mendengar si
dara makin lama makin gencar mengucapkan jurus2 untuk menyerang Ih Thian-heng.
Rasa kagum dan terkejut meliputi hati sekalian yang hadir.
Pengemis-sakti Cong To, Siangkwan Ko, lelaki tinggi besar atau suheng dari dara baju
ungu itu, si Kaki-satu, si Bungkuk, si Pendek dan lain-lain, semua ikut terpikat mengikuti
pertandingan secara lisan yang dahsyat itu. Di luar kesadaran, mereka pun ikut memikir
untuk memecahkan setiap jurus-lisan yang dilancarkan si dara.
Adu silat secara lisan itu makin lama makin hebat. Setiap kali menjawab, Ih Thian-heng
harus berpikir sampai beberapa jenak. Kebalikannya, si dara enak2 dan cepat sekali
mengucapkan jurusnya, Seolah-olah tanpa berpikir lagi.
Saat itu bukan Ih Thian-heng saja yang kepalanya basah kuyup dengan keringat dan
wajah makin mengerut gelap, Pun Pengemis-sakti Cong To, Siangkwan Ko dan beberapa
tokoh lain yang menyaksikan di pinggir, juga tampak tegang sekali seperti menghadapi
seorang lawan yang berat.
Tampak Ih Thian-heng mengusap peluh di kepalanya dan menghela napas, ujarnya,
"Nona benar-benar hebat sekali. Dapat mengetahui segala ilruu simpanan dari setiap
partai persilatan. Dapat pula menggunakannya secara cepat. Aku benar-benar merasa
kagum"."
Si dara agak kisarkan kepala dan bertanya, "Kalau begitu, apakah engkau sudah
mengaku kalah?"
Ih Thian-heng agak tertegun, sahutnya. "Walaupun nona lebih unggul dalam
pertempuran lisan tetapi hal itu karena nona dapat memahami pelajaran2 di luar kepala.
Sudah tentu berbeda dengan pertempuran secara sungguh-sungguh!"
Si dara hanya tersenyum simpul tak menyahut. Tetapi senyumnya itu mengandung
rahasia yang menyebabkan Ih Thian-heng dan sekalian tokoh-tokoh saling menduga-duga.
Kemudian Ih Thian-heng tertawa menyeringai, serunya, "Memang pelajaran ilmusilat itu
mengandalkan kecerdasan otak. Tetapi yang penting adalah kesempurnaannya berlatih.
Karena sama-sama menggunakan sebuah jurus, belum tentu serupa dahsyat dan
hebatnya .."
"Huh, kiranya karena menggandalkan tenagamu yang hebat, engkau masih belum puas
kalau belum bertempur sungguh-sungguh dengan aku. Jika aku mau melakukan
pertempuran itu, perlu apa aku membuang waktu untuk adu mulut begitu lama?" ia
menghela napas.
Sejenak kemudian ia mengisar tubuh dan berkata, "Sudahlah, Bwe-nio mari kita pergi!"
Dengan penuh kasih sayang, nenek berambut putih itu memandangnya sejenak. Tibatiba
ia hunjamkan tongkatnya ke lantai, lalu berpaling deliki mata ke arah Ih Thian-heng.
"Tidak!" serunya dengan suara sarat, "engkau telah ditawannya. Kalau hari ini tiada
penyelesaian, bukankah perguruan Lam-hay-bun kita akan ditertawakan orang?"
Saat itu wajah Ih Thian-heng tampak tenang kembali. Ia menyahut dengan tersenyum,
"Harap, nenek jangan salah mengerti. Walaupun orang sebawahanku membawa nona itu
kemari, tetapi mereka tak tahu sama sekali. Apalagi mereka membawanya dengan sopan
dan sekali-kali tak menggunakan kekerasan. Kalau tak percaya, boleh tanya pada nona"."
Cepat si dara menyambar lengan baju si nenek serunya, "Urusan yang lalu, sudahlah!
perlu apa diungkat lagi?"
Sambil berkata mata si dara melekat pada Pengemis-sakti, merenung sejenak lalu
berkata dengan berbisik, "Tadi engkau sudah meluluskan melakukan sebuah hal bagiku.
Sekarang aku hendak menagih janjimu!"
Pengemis-sakti Cong To merenung, serunya, "Pengemis tua sudah berjanji. Lima tahun
kemudian maupun hari ini, sama saja. Silahkan engkau mengatakan!"
Dara baju ungu itu berkata pelahan, "Kurasa"." berkata sampai di situ ia tundukkan
kepala, matanya tampak berkaca-kaca dan wajahnyapun bersemu merah.
Lewat beberapa saat kemudian baru ia melanjutkan lagi, "Soal, kelak kita bicara
lagilah!" Pengemis-sakti tertegun, serunya, "Sekali pengemis tua sudah berjanji, tetap takkan
menyesal. Betapapun sulitnya, harap nona mengatakan. Ke lautan maupun ke dalam api,
tetap kupergi!"
Dara baju ungu itu palingkan kepala. Dengan mata berkilat-kilat ia menghela napas
pelahan, "Sudahlah, aku tak peduli lagi kepadanya! Kita sudah berjanji bertaruh!"
"Nak, siapakah yang engkau maksudkan?" tanya si nenek dengan heran.
Dara itu gelengkan kepala. "Maukah engkau jangan bertanya kepadaku?"
Lelaki tinggi besar cepat menyelutuk, "Kalau sumoay tak ingin mengungkat lagi
peristiwa yang lampau, lebih baik kita lekas pulang!"
Sedang si Kaki-buntung deliki mata kepada Ih Thian-heng dan Siangkwan Ko lalu
berseru dingin, "Hm, terlalu murah bagi mereka itu!" dengusnya.
"Apa" Apa engkau kira kami takut kepadamu" " teriak Siangkwan Ko marah.
Sekali tekankan tongkatnya ke tanah, si Buntung terus loncat maju. Tetapi pada saat ia
hendak menyerang, si tinggi besar cepat meneriakinya, "Kembali!"
Juga Ih Thian-heng cepat melangkah mencegah Siangkwan Ko, "Harap saudara
Siangkwan memandang mukaku dan bersabar diri! "
Si Buntung patuh. Terpaksa ia kembali ke tempatnya semula.
Sedangkan saat itu tanpa berpaling lagi, si dara terus melangkah keluar dari pintu. Si
nenek berrambut putih tetap mengikutinya di belakang.
Keenam bocah bersenjata pedang yang menjaga di pintu tadi, bingung. Mereka belum
mendapat perintah Ih Thian-heng tetapi tahu kalau Ih Thian heng tak mau bertempur
dengan rombongan orang Lam-hay-bun. Keenam bocah itu tak mau menghadang orang
Lam-hay-bun tetapi pun tak berani melepaskan mereka.
Begitu pula si Bungkuk dan si Pendek yang menjaga di ambang pintu marah karena
melihat keenam bocah itu tak mau menyingkir. Segera ia melangkah masuk dan
membentak mereka, "Hai, apakah kalian buta dan tak mau menyisih?"
Sambil lintangkan pedang di muka dada untut melindungi diri, keenam bocah itu tak
mau menyambut perintah si Bungkuk dan si Pendek, tetap mereka tak mau menyingkir.
Melihat si Bungkuk dan si Pendek, Ih Thian-heng menegur dengan tertawa, "Saudara
Au dan saudara Oh, kapankah kalian menggabungkan diri dengan Lam-hay-bun?"
Kedua tokoh itu memandang Ih Thian-heng dengan dingin tetapi tak mau menyahut
apa-apa. Kembali Ih Thian-heng tertawa tawar lalu memberi perintah kepada keenam bocah itu
supaya menyingkir.
Karena Ih Thian-heng yang memberi perintah, barulah keenam bocah itu tunduk dan
menyisih. Si Bungkuk dan si Pendek pun mundur lagi untuk memberi jalan. Dengan memandang
lurus ke muka, si dara baju ungu pelahan2 melangkah keluar.
Memandang bayangan dara itu, timbullah rasa rawan dalam hati Ih Thian-heng. Diamdiam
ia menimang, "Dalam pertempuran malam ini, dia tampak berwibawa sekali.
Seharusnya dia merasa gembira. Tetapi aneh, mengapa dia malah tampak bersedih
hati".?"
Tak berapa lama rombongan dara baju ungu yang dikawal dari muka dan belakang oleh
si nenek berambut putih dan kedua tokoh Bungkuk dan Pendek, lenyap dalam kegelapan
malam. Lelaki tinggi besar yang berpakaian indah dan si Kaki-buntung, masih berdiri di luar
pintu. Lelaki tinggi besar mengangkat tangan memberi hormat, "Peristiwa malam ini,
sudah lewat. Kuharap saudara apabila kelak bertemu dengan sumoayku, suka mengalah."
Ih Thian-heng tersenyum, sahutnya. "Malam ini kami sekalian barulah terbuka mata
dan amat mengagumi sumoay saudara yang begitu tangkas dan faham tentang ilmusilat
dari setiap partai persilatan. Suatu hal yang benar-benar jarang terdapat mengingat
usianya yang masih begitu muda belia. Aku sendiri, secara peribadi, merasa kagum sekali.
Kelak apabila mempunyai rejeki bertemu lagi sudah tentu akan memperlakukannya
dengan hormat!"
Lelaki tinggi besar itu tertawa nyaring, "Saudara Ih seorang tokoh yang termasyhttr,
sudah tentu akan menepati ucapan. Lebih dulu kuhaturkan terima kasih," katanya
memberi hormat lalu berputar tubuh dan melangkah pergi.
Cepat Ih Thian-heng meluncur ke ambang pintu dan balas memberi hormat!
"Harap saudara suka berhenti sebentar. Sukalah saudara memberitahukan nama
saudara yang mulia."
Lelaki tinggi besar itu berpaling muka dan tertawa, "Aku yang rendah ini bernama Ong
Kwan-ting."
Habis berkata ia terus Iari dan menghilang dalam kegelapan malam. Si Kaki-buntung
pun segera menyusulnya.
Setelah itu barulah Ih Thian-heng berputar tubuh dan memberi hormat kepada Cong To
serta Siangkwan Ko, "Saudara Siangkwan yang menelap dan mengepalai kaum persilatan
daerah Se-pak, tentu jarang sekali datang ke Tiong-goan. Begitu pula saudara Cong To
yang selalu mengembara di dunia persilatan, juga suatu peristiwa yang suka terjadi dapat
bertemu di sini. Ijinkan aku sebagai tuan rumah hendak mengundang kedua saudara
untuk minum arak."
Pengemis-sakti Cong To tertawa dingin, "Pengemis tua ini sudah biasa makan sisa
makanan dan arak. Sungguh tak pantas menerima undangan saudara. Maaf, aku terpaksa
hendak minta diri," habis berkata ia terus berputar tubuh dan melangkah keluar.
Saat itu Ih Thian-heng sedang berdiri di ambang pintu. Terpaksa ia menyisih ke
samping untuk memberi jalan kepada pengemis tua.
Kebalikannya Siangkwan Ko marah karena melihat sikap Cong To yang begitu dingin
dan angkuh. Segera ia berseru memaki, "Hm, pengemis hina! Tak tahu diri! "
Cong To berpaling dan tertawa nyaring, sahutnya, "Sejak dahulu hingga kini, tiada
perjamuan yang baik dan tiada pertemuan yang bagus. Pengemis tua hendak
menasehatimu sepatah dua patah kata. Lebih baik jangan engkau rakus makan"."
Tanpa menunggu reaksi dari Siangkwan Ko dan Ih Thian-heng, pengemis sakti itu terus
loncat lari. Ih Thian-heng kerutkan alis. Kerutan itu menampilkan nafsu membunuh yang menyala.
Tetapi pada lain saat wajahnya tampak tenang kembali. Kemudian berpaling pada
Siangkwan Ko ia berkata, "Saudara Cong itu memang gemar ber-olok2. Terhadap siapa
pun juga dia tak pernah berlaku sungkan dan menghormat. Tetapi dia seorang ksatria
yang berhati polos dan suka berterus terang."
"Memang pernah kudengar bahwa Cong To itu seorang yang berwatak aneh dan
angkuh. Ternyata apa yang kulihat malam ini, memang benar. Jika kelak dia datang ke Sepak,
tentu akan kuberi sedikit ajaran!"
"Ah, tak perlu begitu," sahut Ih Thian-heng " menurut yang kudengar walaupun dia
memang agak ugal-ugalan tetapi dia selalu bersungguh-sungguh dam setia pada janjinya.
Gemar mencampuri urusan orang dan mendamaikan sehingga dia mendapat nama yang
harum." Sejenak merenung, Siangkwan Ko menghela napas, " Ah, saudara Ih. Sungguh
berlapang dada. Aku kagum kepada saudara. Cong To begitu congkak dan angkuh
memperlakukan engkau tetapi saudara tetap membelanya. Ah, tak heran kalau kedua
golongan Hitam dan Putih dalam dunia persilatan, selalu amat mengindahkan kepada
saudara. Nama Sin-ciu-it-kun benar-benar bukan suatu gelar yang kosong. Karena malam
ini tak berani lagi mengganggu, maka terpaksa aku tak berani menerima undangan
saudara dan hendak minta diri!"
Ia menutup kata-katanya dengan menjura memberi hormat kepada Ih Thian-heng. Ih
Thian-heng tersipu2 membalas hormat, " Ah, kalau saudara memang sudah memutuskan
hendak pergi, akupun tak berani menahan lebih lama. Maaf, aku tak dapat mengantar". "
Ketika melangkah sampai ke ambang pintu, terlihat Siangkwan Ko berpaling lagi,
serunya, "Atas budi kebaikan saudara Ih, aku merasa berterima kasih tak terhingga ?""
Ia berhenti sejenak lalu melanjutkan pula, "Ada sedikit perkataan yang kalau tak
kunyatakan tentu menyesakkan dada."
"Ah, silahkan saudara Siangkwan mengatakan," seru Ih Thian-heng.
"Adakah saudara Ih tahu maksud kedatanganku malam ini?" seru Siangkwan Ko.
"Apakah saudara Siangkwan tidak tertarik karena kitab pusaka Lam-hay-bun yang
termasyhur itu" " kata Ih Thian-heng.
Siangkwan Ko menghela napas, sahutnya, "Dugaan saudara tepat sekali. Saat ini di
sekeliling penjuru kota Lok-yang, penuh dengan tokoh-tokoh persilatan. Bukan saja dari
fihak It-kiong, Ji-koh, Sam-taypoh masing-masing telah mengutus wakilnya, pun juga
tokoh-tokoh dari Siau-lim-si, Bu-tong dan lain-lain partai juga telah mengirim jago2nya.
Oleh karena itu mudah didengar bahwa peristiwa penawanan si dara baju ungu oleh
Pedang Ular Mas 13 Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo Pendekar Cacad 11
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama