Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen Bagian 15
akupun takkan mundur !"
Pengemis sakti Cong To memandang lekat ke wajah ketua marga Ca itu sampai
beberapa saat. Pikirnya : "Orang ini seorang manusia ganas. Setiap orang persilatan tahu
semua. Tetapi tak kira kalau dia begitu sayang kepada putranya."
Pengemis sakti Cong To seorang tokoh yang berhati emas. Melihat seri wajah Ca Cu
Jing, tergeraklah hatinya. Ia menghela napas perlahan, berkata : "Saudara Ca begitu
sayang kepada putra, sudah tentu pengemis tua ini akan berusaha memenuhi harapan
saudara . . . ."
Seketika tertawalah Ca Cu Jing dengan gembira : "Dunia persilatan menyebarkan
saudara Cong itu seorang yang aneh dan herhati dingin. Apa yang dikatakan tentu
dilaksanakan. Hari ini, Ca Cu Jing, benar-benar mempercayai kata-kata orang persilatan itu
!" Beberapa titik airmata menetes dari mata jago tua itu. Sukar orang meraba adakah dia
sedang diliputi kesedihan atau kegirangan.
Tiba-tiba Pengemis sakti Cong To berpaling ke arah Han Ping, serunya : "Sarung
pedang Pemutus asmara itu mengandung peta rahasia dari tempat harta karun yang
bernilai sebanyak gudang kas negara. Aku pengemis tua ini sudah biasa makan sisa-sisa
nasi dan ampas teh jika mendadak harus menjadi hartawan besar, mungkin tak dapat
menikmati. Benda itu harus kembali pada tuannya. Lebih baik engkau simpan lagi sendiri .
. . ." Sejenak berhenti ia berkata pula : "Turut yang diketahui pengemis tua, Ca sau pohcu
sudah berada jauh dari wilayah Tionggoan. Pengemis tua sudah mengirim pengemis kecil
untuk mengejar jejaknya. Mungkin sudah ada laporan. Karena pengemis tua sudah
berjanji kepada saudara Ca untuk mencari jejak putranya, tentu akan melaksanakan. Jika
tak salah, Ca sau pohcu memang berada dalam bahaya. Seorang diri saja, saudara Ca
tentu kewalahan maka pengemis tua akan membantunya. Nah, kita berpisah sampai di sini
dulu . . . ."
"Tunggu dulu locianpwe," seru Han Ping, "aku dan saudara Ca Giok walaupun hanya
bergaul sebentar tetapi dia amat memperhatikan kepentinganku. Sekarang karena dia
berada dalam kesulitan, masakan aku dapat berpeluk tangan saja ?"
Cong To tertawa nyaring : "Memang Ca Giok baik sekali kepadamu. Jika engkau
berkeras hendak ikut, pengemis tua pun tak mencegah. Sarung pedang Pemutus asmara
itu sudah jatuh ke tangan Ih Thian Heng. Untuk cepat-cepat merebutnya kembali,
bukanlah hal yang mudah. Mengandal tenagamu seorang diri, sukar untuk terlaksana."
"Jika putraku tak kurang suatu apa, aku tentu akan mengerahkan seluruh anak buah
Ca-ke-poh untuk membantu saudara Cong."
"Nah, kita sudah saling berjanji !" kata pengemis sakti terus berputar tubuh dan pergi.
Han Ping menghela napas, katanya : "Silahkan locianpwe berdua pergi lebih dahulu.
Kita tentukan tempat bertemu lagi. Aku hendak mencarikan tempat beristirahat untuk
saudara Ih ini, baru nanti menyusul."
Kata Ca Cu Jing : "Racun pada tubuhnya itu tak sembarangan obat dapat
menyembuhkan ."
Sambil memandang Ih Seng, Han Ping berseru : "Masakan racun itu benar-benar tiada
obatnya ?"
Kata Ca Cu Jing pula : "It-kiong, Ji-koh dan Sam-poh, semua tahu tentang ilmu racun.
Tetapi di antara mereka hanyalah orang Lembah Raja setan dan Lembah Seribu racun
yang paling mahir. Lembah Raja setan khusus mengumpulkan segala jenis obat bius.
Sedang lembah Seribu racun rajin menyelidiki beracun jenis racun di dunia. Turut
pendapatku, kecuali tiga tokoh tua dari lembah Seribu racun, mungkin di dunia ini sukar
mendapatkan orang yang mampu mengobati racun dalam tubuh saudara Ih itu"
"Mati atau hidup, bukan soal bagiku !" seru Ih Seng dengan gagah.
Cong Topun menghela napas, ujarnya : "Pengemis tua memang tak mengerti ilmu itu.
Harap saudara Ca suka menolongnya."
"Aku hanya membekal sebotol obat penawar racun. Sakalipun tak dapat
menyembuhkan luka saudara Ih, tetapi obat itu juga hebat khasiatnya. Di dalamnya
mengandung ramuan obat yang istimewa sekali. Untuk mendapatkannya, aku telah
menjelajahi gunung-gunung ternama di seluruh negeri dan menghabiskan waktu selama
tiga tahun. Selama ini aku pelit sekali menggunakan obat itu. Sebotol obat ini akan dapat
menahan luka beracun saudara Ih itu selama tiga bulan. Nanti setelah menemukan
putraku, aku bersedia bersama saudara Cong mendapatkan tiga Manusia racun dari
lembah Seribu racun untuk memintakan obat. Dengan memandang muka kami berdua
orang tua ini, rasanya ketiga Manusia racun itu tentu takkan menolak !"
"Bagus !" seru Cong To, "Sekarang kita tetapkan janji. Lebih dulu mencari jejak putra
saudara Ca, lalu menemui ketiga Manusia racun dari lembah Seribu racun kemudian
mencari Ih Thian Heng !"
"Ah, untuk jiwa Ih Seng yang tak berharga ini, mengapa sampai merepotkan locianpwe
berdua ?" kata Ih Seng.
Cmg To deliki mata : "Jika engkau memang ingin mati, silahkan saja ! Pengemis tua tak
senang mendengar mulut manis begitu begituan !"
Ca Cu Jingpun membujuk Ih Seng supaya usah memikirkan apa-apa. Hanya ketiga
Manusia racun dari lembah Seribu racun itulah yang mampu mengobati lukanya.
Ih Seng memandang Han Ping tanpa bicara.
Bertanya Cong To kepada Ca Cu Jing : "Apakah setelah minum pil itu, dia masih dapat
melakukan kepandaiannya ?"
"Asal jangan kelewat menggunakan tenaga, rasanya tiada halangan," jawab Ca Cu Jing.
Pengemis sakti tak mau bicara lagi terus lari ke arah timur. Han Ping, Ca Cu Jing dan Ih
Seng mengikutinya.
Kurang lebih 8 li, tibalah mereka di bawah sebatang pohon. Cong To hentikan larinya
dan menghampiri sebuah kuil kecil. Ia mengambil secarik kertas dari kuil kecil itu lalu
dibuka. Tiba-tiba ia kerutkan alis.
"Apakah putraku dalam bahaya ?" seru Ca Cu Jing cemas.
Sambil mengangsurkan kertas itu ia suruh Ca Cu Jing membacanya sendiri.
Pada kertas itu Ca Cu Jing melihat beberapa deret tulisan yang berbunyi :
"Kedua nona Ting itu sudah ditawan oleh anak buah Bik-lo-san. Ca Giok yang hendak
memberi pertolongan, pun tertangkap di situ. Murid dengan menyamar telah
mengikutinya. Beruntung tiada diketahui orang . . . ."
Huruf berikutnya tak jelas. Seperti melihat sesuatu lalu tak menulis lebih lanjut.
Ia mengulang beberapa kali namun tetap tak tahu dimanakah letak gunung Bik-lo-san
itu. Kemudian ia monghela napas dan serahkan surat itu kepada pengemis sakti lagi.
"Aku benar-benar sudah tua. Ombak bengawan Tiang-kiang, yang belakang mendorong
yang muka. Setiap jaman tentu muncul tunas baru yang lebih hebat dari angkatan tua . . .
." - perlahan-lahan ia memandang Han Ping, ujarnya lebih lanjut : "Saudara Cong, desa
Bik-lo-san-cung itu tentu muncul belakangan setelah timbulnya It-kiong, Ji-koh dan Sampoh,
Desa itu tentu merupakan sarang harimau dan naga !"
"Wanita siluman dari Lam-hay-bun muncul ke mari. Sekalian kaum persilatan
berbondong-bondong menuju ke Tionggoan untuk merebut kitab pusaka dari perkumpulan
Lam-hay-bun itu. Sejak itulah nama desa Bik-lo-san-cung menjadi terkenal. Pengemis
tuapun baru beberapa hari mengetahui nama itu !" kata Cong To.
"Kalau begitu saudara pernah kesana. Berapa jauhkah tempat itu dari sini ?" tanya Ca
Cu Jing. "Dekat saja tak sampai 100 li . . ."
"Saudara Cong, jika sudah tak ada lain urusan penting lagi, mari kita berangkat ke sana
! Anak ku belum ketahuan nasibnya. Pun yang menulis surat itu juga perlu dicemaskan . .
. ." Pengemis sakti mengamati surat itu dengan tajam, katanya : "Walaupun guratannya
memang berasal dari tangan pengemis kecil, tetapi nadanya agak beda."
Dimana bedanya ?" tanya Ca Cu Jing.
"Jika tulis surat kepada pengemis tua, pengemis kecil itu tak pernah menggunakan
huruf cakar ayam begitu. Surat itu ditulis dengan gaya mentereng, rupanya berbeda
dengan biasanya !"
"Memang cara locianpwe mengadakan hubungan berita, aku sendiri merasa heran.
Masakan ada orang yang berani menirunya ?" Han Ping menyelutuk.
Belum Cong To menjawab, Ca Cu Jing sudah mendahului : "Untunglah desa itu tak jauh
dari sini. Maka baiklah kita menyelidiki ke sana"
Tidak menjawab tetapi Pengemis sakti tampak tengadahkan kepala merenung.
Beberapa saat kemudian, ia berkata : "Baik mari kita ke sana . . ." - tiba-tiba terdengar
suara anjing menggonggong dari kejauhan.
Ketika berpaling, mereka melihat seekor anjing hitam yang amat besar, lari
mendatangi. Cepat sekali anjing hitam itu sudah tiba di muka sekalian orang.
Cong To memandang anjing itu. Tiba-tiba ia mendengus lalu berjongkok mengusapusap
kaki belakang binatang itu dengan penuh rasa kasihan. Ternyata kaki belakang
anjing itu mengucur beberapa tetes darah. Cong To mengeluarkan sebuah kotak besi yang
berisi bubuk putih. Bubuk putih itu segera dilumurkan ke kaki anjing yang terluka itu lalu
menegurnya : "Kemanakah pengemis kecil ?"
Anjing besar berbulu hitam itu menyalak lalu lari ke muka. Cong To segera mengajak
Han Ping menyusul binatang itu. Walaupun terluka tetapi anjing itu masih cepat larinya.
Dalam sekejap saja sudah mencapai 5-6 li.
Tiba-tiba Cong To membelok ke sebelah kanan dan menyambar tubuh Ih Seng untuk
dikepit lalu loncat mendahului Ca Cu Jing. Serunya kepada anjing hitam : "Hitam, Hitam,
jika lukamu tak berat, hayo larilah lebih cepat lagi"
Rupanya anjing itu mengerti akan kata-kata pengemis sakti. Setelah meraung keras, ia
pesatkan larinya.
Melihat itu Han Ping terkejut. Tak terasa ia terseru memuji : "Hebat sekali larinya . . . ."
Bermula Ca Cu Jing mengira bahwa hanya nenggunakan 4- 5 bagian ilmunya lari cepat,
ia tentu dapat mengejar anjing itu. Tetapi di luar dugaan, makin lama anjing itu makin lari
lebih kencang. Terpaksa Ca Cu Jing tambahkan tenaga dalamnya.
Ih Seng yang dikepit Cong To, hanya mendengar angin tajam memekak telinga. Diamdiam
ia kagum sekali atas kesaktian pengemis tua itu. Walaupun mengepit orang tetapi
mampu lari secepat angin diam-diam ia malu hati.
"Saudara Cong, biarlah aku lepas. Kuyakin aku masih dapat berlari sendiri !" serunya.
Bagian 34 Tugas pertama. "Racun dalam tubuhmu masih belum sembuh, tak boleh terlalu letih. Biarlah kubawamu
lari" sahut Pengemis sakti.
Kira-kira berlari sepenanak nasi lamanya, mereka melihat pemandangan di sebelah
muka mulai berganti. Tanahnya datar tiada berujung. Puncak gunung berderet tinggi
rendah. Tiba-tiba anjing hitam itu berhenti dan berpaling ke arah tuannya. setelah menyalak,
binatang itu segera lanjutkan larinya menuju ke sebuah puncak.
"Harap berikan saudara Ih kepada adik kecil (Han Ping) saja !" seru Ca Cu Jing.
Cong To tertawa : "Tak apa, pengemis tua masih kuat !" - Sekali loncat ia mendahului
lari di muka. Hampir sejam lamanya mereka mengikuti anjing itu mendaki ke puncak. Akhimya
tibalah mereka di muka sebuah halaman yang luas, dikelilingi pohon bambu dan pohon
siong. Memandang ke muka tampak sebuah gedung besar berdinding merah, menonjol megah
di antara lingkungan puncak gunung.
Karena bambu dua pohon siong yang mengelilingi gedung itu amat lebat, maka sukar
dilihat bagaimana keadaan gedung itu.
Anjing itu berhenti di luar halaman dan memandang Cong To. Seolah-olah hendak
menunggu perintah tuannya.
Setelah meletakkan Ih Seng, pengemis sakti itu tertawa : "Saudara Ca, inilah yang
disebut Bik-lo-san-cung ! Kita secara terang minta pintu atau masuk dengan paksa ?"
Ca Cu Jing merenung sejenak lalu menjawab : "Terserah bagaimana pendapat saudara
!" Cong To tertawa : "Selama ini pengemis tua tak pandai merangkai kata-kata indah. Kita
masuk saja secara setengah sopan setengah paksa !"
Habis berkata pengemis sakti itu terus mengitari pagar pohon bambu lalu menyusup ke
muka. Pada pintu yang luar biasa besarnya, tergantung sebuah papan bertulis empat huruf
emas : "Gedung Bik-lo-san."
Pintu gerbang itu tertutup rapat.
Sejenak Ca Cu Jing kerutkan alis lalu berkata : "Saudara Cong, sehebat ini gedung Biklosan, tetapi mengapa tiada penjaganya sama sekali ?"
Cong To tertawa : "Menurut hemat pengemis tua, mereka tentu sudah tahu tetapi
pura-pura diam agar kita tak dapat menduga-duga keadaan mereka . . . ." - katanya
seraya melangkah maju lalu mendebur pintu : "Hai, apakah di dalam tak ada orang ?"
Sekonyong-konyong pintu gerbang terbuka dan empat orang berpakaian hitam berjajar
menghadang jalan. Cong To memandang mereka.
"Beritahukan kepada majikan gedung ini bahwa pengemis tua datang hendak
mengemis nasi !"
Tanpa mempedulikan keempat penjaga Itu, pengemis sakti Cong To terus menerjang
masuk. Keempat penjaga itu buru-buru menyisih ke samping. Setelah keempat tetamu masuk,
mereka segera menutup pintu lagi.
Cong To tertegun. Berpaling ke belakang, dilihatnya keempat penjaga itu tak
mempedulikannya. Habis menutup pintu mereka segera masuk ke sebuah rumah kecil di
belakang pintu gerbang.
"Saudara Cong, apakah mereka orang gagu !" tanya Ca Cu Jing,
"Bertemu keanehan jangan merasa aneh. Keanehan itu pasti akan kalah sendiri. Tak
usah pedulikan mereka !" sahut Cong To. Ia terus melangkah maju.
Halaman gedung yang amat luas itu penuh ditumbuhi bermacam-macam pohon bunga
dan rumput hijau. Angin halus menyerbak bau harum. Di sepanjang tepi halaman, dibuat
pagar bertingkat.
Cong To minta kepada Ca Cu Jing supaya mengamati pohon-pohon bunga itu : "Adakah
sesuatu yang aneh pada batang-batang bunga itu ?"
Ca Cu Jing mahir dalam ilmu barisan. Khusus ia mempunyai peyakinan istimewa dalam
ilmu barisan Pat-kwa-kiu-kiong-tin dan Ngo-heng-tin.
Setelah memandang beberapa jenak pada barisan bunga, ia berkata : "Aku yang jalan
di muka dan saudara-saudara mengikuti di belakang !"
Setelah melintasi halaman kebun bunga itu mereka memasuki sebuah ruang gedung
yang besar. Di tengah ruang tersedia meja, penuh dengan makanan dan minuman. Empat
cawan dan empat mangkuk tersedia disitu. Tetapi di dalam ruang tak tampak seorang pun
juga. Seketika timbullah selera Cong To untuk minum arak : "Mereka tentu akan menjamu
kita berempat. Hayo, kita lalap dulu hidangan itul" Tetapi Ca Cu Jing mencegahnya. "Ah,
biarlah pengemis tua yang mencicipi dulu. Jika hidangan itu tak mengandung racun, kalian
akan kuundang !" - Sekali loncat pengemis sakti itu terus menerobos masuk.
Di meja hidangan terdapat secarik kertas berbunyi : "Karena dari jauh, tentulah
saudara-saudara lapar dan haus maka khusus disediakan hidangan dan arak istimewa
sebagai tanda penyambutan dari tuan rumah."
Han Ping melangkah masuk, katanya : "Cong locianpwe, apa yang ditulis dalam kertas
itu " Bolehkah aku melihatnya ?"
Gong To angsurkan kertas itu : "Dengan adanya surat pengantar itu, hidangan dan
minuman ini tentu tak diberi racun !"
Han Ping menyambuti dan membacanya bersama Ca Cu Jing. Ketua marga Ca itu
geleng-geleng kepala berseru : "Ini menandakan bakwa makanan itu tak boleh kita
makan. Karena saudara Cong sudah lama berkelana di dunia persilatan, tentulah
mengetahui tentang tipu muslihat kaum persilatan. Dengan meninggalkan surat itu, tak
dapat disangsikan lagi mereka tentu sudah mencampuri racun . . . ."
Tepat pada taat itu terdengarlah suara tertawa dari luar ruang. Empat orang berbaju
hitam menerobos masuk dan tanpa menghiraukan Cong To, mereka terus duduk di kursi.
Salah seorang mengambil poci arak dan menuang pada cawan kawan-kawannya seraya
tertawa : "Kami memang mempunyai paru tembaga usus besi. Tak takut keracunan. Hayo,
minumlah sepuas-puasnya !"
Keempat orang itu makan dan minum dengan lahap sekali. Makanan dan minuman
habis dilahapnya. Setelah mengusap mulut, mereka terus melangkah keluar lagi.
Memandang ke arah meja yang hanya tinggal terdapat tetesan arak, pengemis sakti
Cong To bersungut-sungut menyesali Ca Cu Jing : "Ah, pengemis tua mengatakan
hidangan itu tidak mengandung racun, kalian tak percaya. Sekarang bagaimana ?"
Ca Cu Jing tertawa : "Harap saudara Cong jangan kuatir. Begitu putraku sudah bebas,
akan kuundang saudara ke Ca-ke-poh. Bukan aku hendak menyombongkan diri tetapi
memang kami memelihara tukang masak yang istimewa. Selama satu bulan tiap hari
makanan tentu berbeda-beda !"
Namun Cong To masih bersungut mengatakan rasa sayangnya karena hidangan yang
lezat dan arak yang wangi telah dihabiskan keempat orang tadi. Kemudian ia keluar
ruangan dan menuju ke belakang.
Disitu merupakan sebuah halaman yang penuh dihias dengan pot-pot bunga. Empat
orang budak perempuan berbaju hijau, sudah siap menunggu. Begitu melihat kedatangan
keempat tetamu itu, dengan langkah lemah gemulai mereka segera menyambut. Mereka
masing-masing membawa sebuah penampan kumala, berisi cawan teh yang masih panas,
jelas tentu baru saja dituang.
Memandang ke arah keempat buyang perempuan itu, Ca Cu Jing menolak : "Tak
usahlah !"
Keempat gadis pelayan itu saling memandang lalu tertawa. Mereka mengambil cawan
teh terus diteguknya habis. Kemudian mereka memberi hormat kepada rombongan Cong
To, lalu masuk ke belakang.
"Huh, penyambutan busuk ini hebat juga !" dengus Pengemis sakti Cong To.
Sahut Ca Cu Jing : "Walaupun mereka hendak mengunjukkan cara apa saja, lebih baik
Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kita tak pedulikan dan tak minum !"
Cong To tertawa gelak-gelak : "Kecuali arak, tiada lain benda di dunia yang pengemis
tua senangi. Uh, sungguh mengerikan. . . ." - tiba-tiba ia lari ke muka.
Setelah melintasi sebuah halaman itu, mereka tiba pula di sebuah ruang besar yang
mewah sekali. Pintu terentang lebar, di tengah ruang tampaklah si dara baju ungu sedang
duduk. Seorang wanita cantik berbaju hijau, duduk di sebelah kirinya. Di belakang wanita baju
hijau itu berdiri seorang pemuda berpakaian indah.
Ketika mengamati, tahulah Han Ping bahwa wanita berbaju itu adalah yang melukai
Ting Ling tempo hari. Sedang pemuda berpakaian indah itu adalah Ho Heng Ciu.
Tetapi lain halnya dengan Pengemis sakti Cong To. Begitu melihat wanita baju hijau itu,
seketika lenyaplah kegarangannya. Ia tertegun seperti patung.
Melihat sikap Cong To, heranlah Ca Cu Jing.
"Saudara Cong, mengapa engkau berhenti ?" serunya.
Pengemis sakti Cong To hanya batuk-batuk dua kali tetapi tak menyahut.
Han Ping menyelinap dari samping Cong To lalu melangkah ke tengah ruang. Ca Cu
Jingpun segera menggandeng tangan Cong To diajak masuk. Ih Seng mengikuti dari
belakang. Sekeliling ruang besar itu ditutup dengan kain berudu hijau. Hanya meja persegi
delapan yang dipasang di tengah ruang itu berwarna merah. Di atas meja terdapat sebuah
Giok-ting sehingga seluruh ruangan berbau harum.
Kecuali si dara baju ungu, wanita baju hijau dan Ho Heng Ciu bertiga, tiada lain orang
lagi dalam ruang besar itu. Juga tiada lain perabot lagi kecuali meja merah dan dua buah
kursi besar. Ca Cu Jing rasanya pernah melihat wanita baju hijau itu. Tetapi melihat sikapnya yang
begitu tak mengacuhkan tetamu, marahlah ketua marga Ca itu.
Ia mendengus : "Aku Ca Cu Jing, memerlukan datang kemari untuk menghadap pemilik
gedung. Apakah dapat mengundangnya keluar ?"
Dara baju ungu itu perlahan-lahan berpaling muka lalu tertawa tawar : "Apakah engkau
ketua marga Ca yang bernama Ca Cu Jing itu ?"
"Benar . . . ." sahut Ca Cu Jing. Tiba-tiba ia merasa omongan dara itu congkak sekali.
Seketika ia berseru marah : "Ya, Ca Cu Jing memang aku ini. Mengapa engkau seorang
anak perempuan bicara begitu tak sopan " Jika tak memandang engkau ini seorang anak
perempuan, kekasaranmu itu pantas dihukum mati !"
Sebagai tokoh terkemuka dari dunia persilatan wilayah Hopak, selama ini tiada orang
yang berani meremehkan Ca Cu Jing. Ca Cu Jing angot lagi kebiasaannya dihormati orang.
Dara baju ungu itu memandang ke atas langit wuwungan seraya berkata tenang sekali:
"Dari ketiga marga, aku telah bertemu dengan Siang Kwan Ko. Dan sekarang dengan
engkau !" Ca Cu Jing terbeliak . . . .
Jilid 19 : Keluar dari desa Bik lo san
Bagian 35 Jinak-jinak merpati.
Ca Cu Jing, ketua marga Ca, heran mengapa dara baju ungu itu bertemu dengan
Siangkwan Ko. Padahal jago tua Siangkwan Ko yang merajai dunia persilatan Se-pak itu,
jarang sekali datang ke Tionggoan.
Adalah karena tak sabar lagi mendengar percakapan yang kurang perlu maka Han Ping
segera menyelutuk dengan hormat : "Maafkan kedatangan kami kemari hendak mohon
keterangan nona. Kita tak saling bermusuhan dan hendaknya jangan sampai menimbulkan
hal-hal yang tak menyenangkan."
Tanpa menunggu jawaban si dara, Han Ping meminta surat dari Pengemis sakti, lalu
diberikan kepada dara itu : "Harap nona suka membaca surat ini . . . ."
Sejenak memandang surat itu, si dara terus berpaling muka dan berkata dengan dingin
: "Bagaimana engkau tahu kalau aku tentu mau membaca surat itu ?"
"Surat itu menyebut bahwa saudara Ca Giok dan murid dari Cong locianpwe, tertawan
dalam gedung ini. Kami datang untuk keperluan itu dan lebih dulu menunjukkan surat ini
agar nona suka memberi keterangan."
Perlahan-lahan dara itu berpaling ke muka. Dengan wajah marah, ia ulurkan tangan
menyambuti, terus merobek-robeknya lalu dilempar ke lantai.
Pucat seketika wajah Ca Cu Jing. Serentak ia maju mencengkeram dara itu. Tetapi
cepat-cepat Han Ping mencegahnya.
"Engkau berani mencegah !" bentak Ca Cu Jing dengan deliki mata.
Han Ping terkejut bingung. Buru-buru ia menjelaskan : "Ca pohcu seorang tokoh
ternama, bagaimana mungkin hendak menghajar seorang anak perempuan."
Melihat Han Ping melerai, dara itu berseri riang wajahnya. Tetapi setelah mendengar
kata-kata Han Ping, tiba-tiba wajahnya membeku dingin lagi. Lalu deliki mata dan
mendamprat pemuda itu : "Siapa suruh engkau menolong aku " Huh, tak malu !"
Bermula Ca Cu Jing tak puas atas tindakan Han Ping. Tetapi pada lain saat ia mengatai
kata-kata pemuda itu memang benar. Sambil tersenyum ia berkata : "Engkau benar.
saudara. Memang orang semacam Ca Cu Jing ini tak pantas melayani seorang anak
perempuan . . . ."
Tiba-tiba dara baju ungu itu mengangkat tangan dan kain layar warna ungu perlahan
melambung ke atas.
Sekalian orang berpaling ke samping. Tampak pengemis kecil diikat tubuhnya, mulut
disumbat kain sutra. Dua orang lelaki baju hitam berdiri di kanan kirinya sambil memegang
kedua bahu pengemis kecil itu. Pada bahu kanan kiri pengemis kecil itu dilekati dengan
tiga batang pedang. Sekali digerakkan, bahu pengemis kecil pasti akan terbelah.
Melihat muridnya dalam keadaan begitu rupa, marahlah Pengemis sakti Cong To. Tetapi
ia tak berani bertindak.
Dara baju ungu tertawa dingin. Sekarang ia mengacungkan tangan kirinya. Layar di
sebelah kanan pun perlahan tersingkat ke atas.
Sebenarnya Han Ping sudah hampir tak dapat menahan kemarahannya melihat
keadaan pengemis kecil itu. Serentak ia sudah akan menyerbu untuk menolong. Tetapi
karena kuatir jika kalah cepat kebalikannya malah akan mencelakakan jiwa pengemis kecil
itu, terpaksa ia termangu di tempatnya.
Dan ketika berpaling ke sebelah kanan, ia tersirap kaget. Seorang lelaki yang kedua
matanya menutup, wajah pucat lesi dan lengan kutung sebelah, diikat pada sebilah papan
kayu. Dua lelaki baju hitam dengan bersenjata tombak, berdiri pada jarak dua meter.
Ujung tombak, yang berkilat-kilat tajam, dilekatkan pada bahu orang itu. Sekali mereka
gerakkan tangan, tubuh orang itu pasti akan tersusup tombak.
Kejut Han Ping bukan kepalang. Jelas orang yang diikat itu adalah pamannya Kim Loji.
Seketika meluaplah darahnya, mata berkunang-kunang dan tubuhnya terhuyung mau
jatuh. Tiba-tiba terdengar Ca Cu Jing berseru lantang : "Lekas angkatlah layar di belakang itu.
Aku hendak melihat adakah putraku masih hidup atau sudah mati . . . ."
Ketua marga Ca itu amat tegang sekali hatinya. Setelah menyaksikan kedua orang
tawanan itu, ia duga layar di belakang itu tentu berisi Ca Giok.
Tenang-tenang saja dara baju ungu itu memandang Ca Cu Jing. Tiba-tiba ia
mengangkat kedua tangannya dan layar di belakangnya itupun segera menyingkap ke atas
. . . . Ca Cu Jing memandang dengan tegang sekali. Wahai . . . . ternyata di balik layar itu
bukan berisi Ca Giok tetapi hanya tiga buah kursi besar.
Kursi di sebelah kiri diduduki seorang nenek berambut putih, mencekal sebatang
tongkat. Kursi di tengah, duduk seorang lelaki bertubuh gagah perkasa, mengenakan
pakaian Kim-ih atau pakaian yang biasa dipakai oleh pengawal istana. Sedang kursi
sebelah kanan, ditempati oleh seorang lelaki baju merah. Lelaki itu buntung sebelah
kakinya. Begitu layar tersingkap, mereka serentak berbangkit dan melangkah ke dalam ruangan.
Tiba-tiba Pengemis sakti Cong To tertawa nyaring, serunya : "Cara penyambutan yang
saudara berikan ini, sungguh membuat pengemis tua sungkan setengah mati !" - tiba-tiba
ia melesat ke samping si dara baju ungu.
Tetapi secepat itu juga, nenek rambut putih tertawa dingin dan loncat ke samping si
dara seraya hadangkan tongkatnya ke arah Cong To.
"Hai, kemanakah putraku !" teriak Ca Cu Jing kalap. Karena tak melihat Ca Giok, ia
duga anak itu tentu sudah tertimpa bahaya.
Dara baju ungu tersenyum dan bertanya dengan lembut : "Adakah putramu itu yang
bernama Ca Giok ?"
Sekalipun marah tak karuan, tetapi Ca Cu Jing tak berani bertindak sembarangan.
Karena selama belum mengetahui pasti nasib putranya, kalau turun tangan ia kuatir
bahkan akan mencelakai anak itu.
Dan ketika mendengar pertanyaan si dara, hatinya serasa longgar. Bergegas ia
menyahut : "Benar, benar, anakku itu bernama Ca Giok. Adakah nona mengetahuinya ?"
Dara itu tersenyum : "Sekalipun dia tak berada di sini tetapi kutahu dia masih hidup.
Harap jangan gelisah !"
Ucapan dara itu dirasakan Ca Cu Jing bagaikan hujan sejuk di musim panas. Ketua
marga Ca itu mengerang lalu berkata pula : "Jika nona suka memberitahukan dimana
anakku berada, aku segera tinggalkan tempat ini !"
"Tak perlu terburu-buru. Karena sudah datang kemari, mengapa tergesa-gesa hendak
pergi." kata si dara yang kemudian berpaling ke arah Cong To, serunya : "Pengemis tua,
apakah engkau kenal pada orang yang duduk disana itu ?"
"Hm, kalau kenal lalu bagaimana ?" dengus Pengemis sakti.
Si dara tertawa : "Kalian berdua kakak dan adik seperguruan sebenarnya sejak kecil
sudah menjadi kawan sepermainan. Tetapi mengapa lantas tak mau campur seperti
minyak dengan air " bagaimana kalau kudamaikan kalian ini ?"
Kata-kata si dara itu bagaikan halilintar menyambar di tengah hari sehingga Cong To
termangu tak dapat menjawab apa-apa.
Si dara lalu berpaling ke arah Ih Seng, ujarnya dengan tertawa : "Karena sudah terkena
racun ganas dari Ih Thian Heng, mungkin engkau tak dapat hidup lama. Tetapi tak apalah.
Aku mempunyai daya untuk mengobatimu. Dalam tiga hari saja, racun dalam lukamu itu
pasti sembuh !"
Lalu ia melambai pada wanita cantik baju hijau. Ia tertawa : "Kemarilah !"
Wanita cantik baju hijau itu mengiakan lalu menghampiri. Pengemis sakti Cong To
memandang wanita itu dengan sikap agak gelisah.
Berkatalah wanita cantik itu dengan lemah lembut : "Kita sama belajar dalam
seperguruan. Sejak kecil mula sampai dewasa selalu bersama. Adakah suheng sungguhsungguh
bermaksud hendak memusuhi siaumoay ?"
Siaumoay artinya adik kecil. Sebuah sebutan untuk membahasakan diri sendiri terhadap
saudara yang lebih tua.
Cong To kerutkan alis tak menjawab. Biasanya ia selalu bersikap gagah dan periang.
Tetapi pada saat berhadapan dengan wanita cantik baju hijau itu, ia tak ubah seperti
anjing yang mengepit ekor karena takut digebuk.
Sampai beberapa saat, pengemis itu tak dapat berkata apa-apa . . . .
Suasana yang semula tegang regang, pada saat itu berubah amat sunyi rawan. Wanita
cantik baju hijau itu seolah-olah telah memberi angin segar pada sekalian orang.
Rombongan tamu itu masing-masing mempunyai harapan sendiri-sendiri. Ca Cu Jing
ingin lekas melihat putranya. Ih Seng merenungkan si dara baju ungu yang menjanjikan
akan mengobati lukanya. Pengemis sakti Cong To terbenam dalam kenangan kepada
wanita cantik baju hijau itu.
Han Ping dapat menyelami perasaan kawan-kawan serombongannya. Sesaat ia merasa
terpencil seorang diri . . . .
Terdengar wanita cantik baju hijau itu berkata pula : "Jika suheng mau menghapus
kesalahan yang lampau, siaumoay bersedia kembali ke dalam partai Kim-pay-bun. Ah
sejak bertemu di biara tua itu, aku segera teringat akan petuah mendiang suhu kita. Anak
tiang Kim-pay-bun, hanya suheng dan aku berdua. Jika kita berdua saling bermusuhan,
bukan saja akan ditertawakan kaum persilatan, pun kita berdosa kepada arwah suhu . . .
." Pengemis sakti Cong To menghela napas : "Apakah ucapan siaumoay itu keluar dari
hati siaumoay yang sungguh-sungguh ?"
"Setiap patah kata, adalah suara hatiku. Jika suheng tak percaya, apakah perlu aku
harus mengangkat sumpah ?"
Cong To menengadahkan kepala, merenung.
Tiba-tiba Ca Cu Jing tampil selangkah ke muka dan berkata kepada si dara baju ungu :
"Aku benar-benar ingin lekas bertemu dengan putraku. Sukalah nona memberi petunjuk.
Ca Cu Jing tentu takkan melupakan budi nona !"
Dara baju ungu itu berpaling kepada lelaki pincang : "Ji suheng, harap bawa Ca
lopohcu ke belakang dan kasih tahulah tentang diri Ca Giok itu . . . ."
Setelah itu ia berkata pula kepada Ca Cu Jing : "Karena di sini banyak orang, di
antaranya ada yang benci kepada putramu, maka aku tak leluasa mengatakannya."
Pikiran Ca Cu Jing hanya tertuju kepada putranya. Sejenak merenung. Ia bertanya :
"Entah siapakah kiranya yang benci kepada putraku itu " Aku ingin sekali berkenalan !"
Dara baju ungu itu keiiarkan biyi matanya. sejenak tiba pada Han Ping, ia tersenyum
tapi tak mengatakan apa-apa.
"Hm," Ca Cu Jing mendengus, "tahukah nona mengapa dia membenci putraku ?"
Dara itu agak mengangkat alis dan berkata perlahan-lahan : "Soal itu, sukar dijelaskan.
Jika lo pohcu bertemu dengan putramu, tentu akan tahu sendiri."
Bluk lelaki pincang itu menggentakkan tongkat besi penyanggah tubuhnya lalu berseru
: "Lo pohcu, silahkan ikut aku !" - ia terus melangkah keluar.
Sekalipun masih setengah percaya, tetapi Ca Cu Jing mau juga mengikuti. Ia percaya
pada kekuatan dirinya untuk mengatasi kemungkinan yang tak diduga.
Setelah itu si dara baju ungu melambai Ih Seng : "Kemarilah, biar kuperiksa lukamu itu
terkena racun apa ?"
Ih Seng menurut. Ia maju menghampiri ke tempat si dara.
Dengan penuh kelembutan, si dara memeriksa luka Ih Seng lalu berkata : "Ih Thian
Heng benar-benar bukan manusia sembarangan. Bukan saja racun itu amat ganas, pun
sekali meresap ke kulit terus bercampur darah dan masuk ke dalam jantung. Apabila
sudah sampai disitu, tak mungkin diobati lagi . . . ."
"Apakah tiada daya untuk menolongnya ?" di luar kesadarannya, Han Ping menyelutuk.
Tiba-tiba wajah dara itu berubah dingin. Tanpa mengacuhkan. Ia menggeram : "Siapa
bilang tak dapat ditolong " Huh, mulut iseng !"
Han Ping terkesiap lalu tundukkan kepala.
Wajah si dara ramah pula, katanya pada Ih Seng : "Jika tidak bertemu aku, mungkin di
dunia ini tiada orang yang sanggup menolongmu ! Tetapi cara pengobatannyapun
berlainan. Selain minum obat, juga harus diobati dengan tusuk jarum ! Pun pengobatan itu
tidak sehari dua hari selesai. Paling sedikit harus makan waktu sampai tujuh hari. Engkau
harus tinggal di sini. Setelah tujuh hari, barulah racun itu dapat disembuhkan sama sekali."
Ih Seng berpaling ke arah Han Ping. Tetapi sebelum ia buka suara, Han Ping sudah
mendahului : "Baiklah saudara Ih tinggal saja di sini selama tujuh hari !"
Tanpa memandang Han Ping, dara itu mendengus : "Huh, siapa yang mengajakmu
bicara " Mengapa engkau suka usil mulut saja ?"
Karena selalu disentil si dara, marahlah Han Ping. Tetapi pada lain saat ia menyadari
bahwa dara itu memang sedang bicara dengan Ih Seng dan ia campur mulut. Ah, lebih
baik ia tahan lagi kemarahannya itu.
Setelah berdiam beberapa saat, Cong To bertanya kepada wanita cantik baju Hijau :
"Adakah engkau yang menawan pengemis kecil itu ?"
Belum wanita baju hijau menyahut, si dara baju ungu sudah mendahului : "Jika
muridmu tak kami tawan lebih dulu, begitu kalian masuk kemari tentu akan terjadi
pertempuran hebat. Sekarang hatimu sudah agak tenang, sudah tentu tak perlu
memperlakukan dia begitu lagi !"
Habis berkata ia segera berseru memberi perintah supaya pengemis kecil itu
dibebaskan. Setelah dibebaskan, pengemis kecil itu menghela napas dan berjalan menghampiri
Cong To lalu berlutut : "Murid wajib menerima hukuman karena telah menghilang muka
suhu !" Tetapi Cong To menyuruhnya bangun : "Tak apa, memang tak dapat mempersalahkan
engkau !" Dara baju ungu berkata pula : "Setelah kalian berdua suheng dan siaumoay tiada
bermusuhan, urusan selanjutnya tentu mudah dibereskan. Telah kusuruh siapkan
hidangan untuk kalian, sekedar untuk merayakan bersatunya kembali kalian berdua !"
Terhadap siapapun, dara baju ungu itu tentu bersikap dan berkata dengan lemah
lembut. Hanya terhadap Han Ping seorang dia tentu selalu bersikap dingin dan ketus.
Terdengar pula wanita baju hijau itu tertawa melengking : "Sedikit kesalahan siaumoay
itu, apakah suheng sungguh-sungguh takkan melupakan seumur hidup . . . . ?"
"Ah, mana aku berani bersikap begitu," jawab Cong To, "Jika siaumoay memang
bersungguh hati hendak kembali ke dalam perguruan kita, harap tiga hari kemudian suka
berkunjung ke biara tua tempo hari. Aku akan menunggu disitu. Aku hendak membantu
orang untuk menyelesaikan urusan di Bik-lo-san . . . ."
"Ho, bagus, pengemis tua !" teriak si dara, "aku membantu mendamaikan kalian
berdua, tetapi engkau masih hendak memusuhi aku !"
"Selama hidup pengemis tua tentu akan melaksanakan apa yang telah kujanjikan ! Tak
pernah ingkar. Memang kedatanganku kemari adalah demi membantu orang
menyelesaikan urusan disini. Harap nona jangan mencampur baurkan soal pendamaian
kami berdua dengan siaumoay untuk memaksa pengemis tua melanggar janjinya kepada
orang !" Tiba-tiba wanita tua bertongkat tadi tertawa dingin sehingga rambutnya yang putih
bergetaran, serunya : "Kalau begitu kalian memang hendak cari perkara di sini !"
Sambil gentakkan tongkat, ia melangkah maju. Tetapi si dara cepat berseru
memanggilnya kembali.
Wanita baju hijau berpaling ke arah dara baju ungu lalu mengeluarkan sebuah Kim-pay
atau lencana emas dari dalam bajunya. Lencana itu diacungkan ke atas kepala dan
Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berserulah ia tertawa : "Suheng, harap memberi hormat kepada Kim-pay perguruan kita !"
Serta merta Pengemis sakti Cong To berlutut dan memberi hormat kepada Kim-pay itu.
"Atas nama pemegang Kim-pay dari Kim-pay-bun, kuperintahkan suheng supaya
meninggalkan desa Bik-lo-san dan jangan menanyakan sebabnya !"
Dara baju ungu itu serentak berbangkit lalu menghampiri Ih Seng dan berkata dengan
nada ramah : "Sudah engkau pikirkan matang atau belum " Jika engkau percaya padaku,
aku segera akan mulai mengobatimu !"
Setelah merenung beberapa saat, Ih Seng berkata tergugu : "Ini, ini . . . ."
Dara itu menukas tertawa : "Jangan ini itu ! Di seluruh Tionggoan, mungkin tiada
seorang pun yang mampu mengobati lukamu itu !"
Ih Seng berpaling memandang Han Ping. Tak tahu ia bagaimana harus mengambil
keputusan. "Silahkan saudara Ih berobat," kata Han Ping.
Dara baju ungu melambai Ih Seng lalu berjalan perlahan-lahan menuju ke balik layar.
Ih Seng segera mengikutinya.
Memandang ke arah paman Kim Loji yang masih terikat, tiba-tiba Han Ping berseru :
"Nona, harap berhenti dulu ! Aku hendak bicara."
Dari belakang layar terdengar dara baju ungu itu berkata kepada Bwe Nio : "Bwe Nio,
kalian, masuklah semua ! Jika dia hendak turun tangan bunuhlah Kim Loji lebih dulu !"
Nenek Bwe Nio memandang Han Ping, katanya "Anak muda, jika engkau tak ingin Kim
Loji mati, silahkan duduk yang baik !"
Habis berkata nenek itu terus melangkah ke dalam layar. Lelaki berpakaian baguspun
mengikuti di belakang nenek itu.
Berpaling ke samping, Han Ping melihat ruangan itu kosong melompong. Cong To dan
wanita baju hijau entah kemana perginya. Sedang Ih Seng telah dibawa masuk oleh si
dara baju ungu. Nenek berambut putih dan lelaki berpakaian indah, pun ikut masuk. Layar
kembali menurun, begitu pula pintu ruangpun menutup.
Dari balik layar itu masih terdengar suara orang bernada dingin memberi ancaman :
"Jika engkau berani bergerak sembarangan, Kim Loji tentu akan terpanggang tombak !"
Han Ping merenung sejenak lalu tertawa : "Apakah maksud kalian mengurung aku di
sini . . ."
Diulanginya sampai beberapa kali pertanyaan itu, namun tiada penyahutan.
Giok-ting atau bejana kumala yang terletak di atas meja delapan persegi itu, tetap
mengepulkan asap harum. Karena jendela dan pintu tertutup semua, asap itu tak dapat
keluar sehingga berkepul-kepul memenuhi ruangan.
Dalam beberapa bulan sejak mengalami beberapa peristiwa, hatinya sudah lebih
tenang. Menghadapi keadaan seperti saat itu, dia tak lekas gugup. Tenang-tenang saja ia
duduk pejamkan mata bersemedhi memusatkan pikiran.
Rupanya dara baju ungu itu memang sengaja memusuhi dirinya. Karena terhadap lain
orang, tetap bersikap ramah hanya kepada dirinya tentu ketus dan dingin. Mengingat
nasib paman Kim Loji, Han Ping tak berani bertindak sembarangan.
Dalam diam merenung itu, ia putar otak untuk mencari akal. Tetapi sampai sekian lama
belum juga ia berhasil mendapat akal. Ia mulai gelisah, menghela napas lalu berdiri dan
berjalan mondar mandir dalam ruangan.
Tiba-tiba terdengar derap langkah kaki yang halus. Datangnya dari belakang dinding.
Layar perlahan-lahan terbuka dun muncullah seorang gadis pelayan berpakaian merah
darah. Dia membawa penampan kumala dan menghampiri sambil tertawa.
Gadis pelayan itu baru berumur 14-15 tahun, berwajah bersih. Walaupun tidak amat
cantik tetapi cukup sedap dipandang.
Han Ping hentikan langkah, memandang bujang itu.
"Apakah engkau sudah lapar ?" tanya gadis pelayan itu ketika menghampiri Han Ping.
Han Ping gelengkan kepala : "Tidak !"
Sambil memandang ke penampan kumala yang dibawanya itu, gadis pelayan berkata :
"Kalau tak lapar, silahkan minum saja !" - Ia menuang teh ke sebuah cawan kumala lalu
diberikan kepada Han Ping.
Melihat teh berwarna biru kental, diam-diam timbullah kesangsian hati Han Ping. Tetapi
hidungnya segera mencium bau teh yang harum sekali.
"Ini !ah daun Bwe-cu-lo yang sengaja dibawa nona dari Lamhay. Enak sekali rasanya.
Tetapi kalau engkau curiga, biarlah kuminum dulu . . ." gadis pelayan itu terus meneguk
teh dalam cawan tersebut.
"Enak ?" Han Ping tersenyum.
"Terlalu enak sekali, kalau tak percaya cobalah cicipi sendiri," sahut pelayan.
"Kalau begitu, minumlah sendiri semua !"
"Tidak !" gadis pelayan itu terkesiap. "kalau nona tahu aku tentu digebuk !"
"Bukankah dalam ruangan ini hanya terdapat kita berdua. Asal engkau tak mengatakan,
akupun takkan bilang. Mana orang lain akan tahu ?" kata Han Ping.
Gadis itu mengangguk dan mengiakan. Ia meneguk habis cawan itu semua. Sambil
pejamkan mata ia menghela napas panjang : "Ah, enak sekali ! Sayang engkau tak mau
mencicipi . . ."
Diam-diam Han Ping memperhatikan. Gadis itu masih seperti kekanak-kanakan, jujur
dan menyenangkan.
"Engkau tak lapar dan tak haus, lalu bagaimana maumu ?" tanya gadis pelayan itu.
"Apanya yang bagaimana itu ?" tanya Han Ping.
"Minuman yang kubawa untukmu, engkau tak mau minum. Apakah harus kubawa
kembali ?"
Diam-diam Han Ping menimang. Dara bujang itu seperti kanak-kanak yang jujur.
Mungkin ia dapat menggali sedikit keterangan dari mulutnya.
"Bagaimana kalau engkau tinggal dulu main-main sebentar saja disini ?" tanyanya.
"Main apa ?" tanya si dara bujang. Tiba-tiba ia tertawa lalu mengambil 5 biji batu kerikil
sebesar biji buah tho, serunya : "Ya, ya, adalah. Kita bermain menangkap kerikil !"
Han Ping terkesiap, tegurnya : "Bagaimana caranya bermain " Ah, aku tak bisa !"
Memang sejak kecil ia tinggal di tempat yang terasing dan jarang mempunyai kawan
bermain. Lebih-lebih dengan permainan anak perempuan, tak pernah ia tahu.
Dara bujang itu cibirkan bibir tertawa : "Begitu besar tetapi bermain menangkap kerikil
saja engkau tak bisa ! Ai, benar-benar tolol . . . ."
Kemudian ia duduk bersila dan meletakkan kelima batu itu di lantai. Menjemput sebuah
dilemparkan ke atas lalu menjemput lagi sebuah dan dilemparkan ke atas. Setelah berturut
turut melempar dan menyambuti batu itu sampai empat kali, barulah ia berhenti.
"Sudah bisa atau belum ?" tanyanya.
Han Ping hanya ganda tersenyum, sahutnya : "Ah, gampang sekali !" - ia lalu meminta
kerikil dan mulai melempar - menyambuti seperti yang dilakukan bujang itu.
"Ih, ternyata engkau pintar sekali. Begitu melihat terus bisa," si dara memuji.
Walaupun dalam hati ingin lekas-lekas bertanya keterangan tetapi Han Ping masih
belum mendapat kesempatan untuk memulai. Setelah berpikir beberapa saat, barulah dia
berkata : "Apakah nonamu juga suka main lempar kerikil ?"
Seumur hidup baru pertama kali ia menyelidiki keadaan pribadi seseorang. Diam-diam
ia tak enak dalam hati sehingga nada ucapannya agak kemalu-maluan.
Dara bujang itu rentangkan kedua matanya lebar-lebar : "Siapakah yang engkau
tanyakan itu ?"
Han Ping terbeliak, serunya "Engkau mempunyai berapa orang nona majikan ?"
"Dua !"
"Yang kumaksud ialah dara baju ungu itu."
Bujang dara itu gelengkan kepala : "Kalau yang itu, aku tak tahu."
Han Ping terbeliak kaget : "Lalu siapakah yang suruh engkau mengantar hidangan ini ?"
"Cobalah engkau terka sendiri ?"
"Tuan majikanmu !"
"Bukan !" sahut dara bujang itu : "tetapi nona baju ungu itu !"
Han Ping curiga jangan-jangan teh itu diberi obat bius atau racun.
"Tahukah engkau, siapa yang paling lihay dalam gedung sini ?" tanya si dara bujang.
Han Ping gelengkan kepala.
"Sebenarnya majikan tua yang paling lihai. Tetapi sejak nona baju ungu itu datang,
majikan tua kalah lihai. Semua urusan harus menurut perintah nona itu !"
Han Ping mendesah. Belum ia menjawab, tiba-tiba bujang itu melonjak dan berteriak :
"Aya, aku harus kembali. Nona pesan kepadaku, setelah engkau makan hidangan itu, aku
harus lekas kembali tak boleh lama-lama tinggal di sini !"
Sambil membawa penampan kumala, dara itu bergegas-gegas tinggalkan ruangan. Han
Ping kecewa karena tak dapat mengorek keterangan apa-apa dari bujang itu. Ia
memutuskan untuk berhadapan muka dengan si dara baju ungu sendiri saja - "Tunggu
dulu, aku hendak bicara !" cepat ia meneriaki bujang dara itu.
"Mau bicara apa " Lekas katakanlah ! Aku betul-betul terburu-buru sekali !" sahut si
bujang. Han Ping menghampirinya : "Kalau engkau kembali, sampaikanlah kepada nona baju
ungu, bahwa aku perlu ketemu padanya hendak bicara !"
Bujang dara itu tertegun, kejapkan mata lalu ayunkan langkah seraya berkata perlahan
: "Baik, tetapi jika dia tak mau menemuimu, akupun tak dapat berbuat apa-apa !"
Han Ping tertawa : "Tak apa, asal engkau sudah menyampaikan kepada nonamu itu,
aku sudah berterima kasih !"
"Jika nona tak mau menemuimu, nanti diam-diam aku tentu akan datang kemari lagi
memberitahukan. Kalau tidak engkau tentu gelisah menunggu sia-sia !"
"Ah, tak usah engkau repot begitu !"
Dara bujang itu tertawa : "Kulihat engkau seorang yang baik hati. Entah mengapa nona
amat benci kepadamu ?"
"Mengapa dia membenci diriku ?" Han Ping terkesiap heran.
Dara itu gelengkan kepala dan mengatakan ia sendiri juga tak tahu sebabnya. Setelah
itu ia berputar tubuh dan melangkah masuk ke dalam layar.
Kini yang tinggal dalam ruang besar itu hanya Han Ping seorang. Empat penjuru
dinding tertutup layar sukar melihat keadaan luar. Tetapi karena dalam ruang sudah gelap,
tentulah hari sudah petang.
Ia menghampiri ke pintu dan merabanya. Ah, tangannya terasa dingin seperti es.
Terang kalau pintu itu terbuat daripada besi. Seketika timbullah dugaan Han Ping. Kalau
pintunya terbuat dari besi, tentulah dinding dan jendelanya juga terbuat daripada besi . . .
. Ia hendak menyelidiki hal itu tetapi takut kalau dianggap bertindak sembarangan
sehingga akan mengakibatkan hilangnya jiwa Kim Loji.
"Ah, di dunia ternyata banyak sekali hal-hal yang aneh. Bukan melainkan ilmu silat, pun
nasib orang memang sukar diketahui. Jika tak mengingat nasib paman Kim Loji, ia tentu
sudah lolos dari tempat situ.
Mengingat keadaan dirinya yang terkurung dalam ruang berdinding baja, meluaplah
seketika amarah Han Ping. Ia menggemertakkan geraham, mengepal tinju dan
mengucurkan air mata. Sejak kecil ia memang sudah banyak menerima hinaan sehingga
menggembleng dirinya menjadi seorang pemuda yang keras hati dan mudah naik darah.
Hampir saja ia tak kuat menahan nafsunya untuk mengobrak-abrik tempat itu.
Tiba-tiba di atas meja segi delapan muncul sebatang lilin yang menyala. Si nenek
rambut putih Bwe-nio, berdiri dengan tongkatnya di sisi meja.
Biasanya nenek itu selalu berwajah bengis tetapi entah bagaimana saat itu tampak
sikapnya ramah. Sambil gentakkan tongkat, ia berkata lembut : "Nak, kamariiah. Aku
hendak bertanya kepadamu !"
Nadanya ramah dan lembut seperti seorang ibu terhadap putranya.
Han Ping berbangkit dan perlahan-lahan menghampiri. Sambil mengusap airmata, ia
menjura di hadapan nenek itu : "Apakah locianpwe hendak memberi sesuatu pelajaran
kepadaku ?"
Sesungguhnya ia amat geram sekali. Tetapi karena nenek itu bicara dengan lemah
lembut, terpaksa iapun bicara sopan.
Nenek itu menghela napas perlahan, ujarnya : "Ah, anak-anak, perlu apa harus
menderita ?"
Han Ping terbeliak kaget, serunya : "Apakah yang locianpwe maksudkan ?"
Nenek itu rupanya menyadari bahwa ucapannya tadi memang sukar dimengerti. Yang
tidak bersangkutan tentulah tak dapat menangkap artinya. Ia tersenyum dan balas
bertanya : "Nak, mengapa engkau tadi kesal hatimu hingga menangis ?"
"Ini . . . ini . . . ." Han Ping tersekat tenggorokan tak dapat bicara lampias.
Nenek itu tertawa : "Ah, tak usah mengatakan, masakan aku si nenek tua ini tak
mengerti isi hati kalian !"
Han Ping menghela napas : "Mohon locianpwe suka membantu . . . ."
"Jika tak bermaksud membantumu, perlu apa aku muncul di sini ?" tukas nenek Bwenio.
Han Ping kembali memberi hormat : "Budi locianpwe tentu akan kubalas. Kelak jika
locianpwe hendak memerlukan tenagaku, aku tentu akan membantu dengan sepenuh
tenagaku !"
"Tetapi dalam soal itu, aku sendiripun tak dapat mengambil keputusan. Nak, tunggulah
sebentar, aku hendak memberitahu kepadanya. Nanti bicara sendirilah kepadanya !" kata
Bwe-nio terus melangkah masuk ke dalam layar.
Han Ping terlongong-longong memandang bayangan nenek itu. Pikirnya : "Yang
dimaksudkan nenek itu, tentulah dara baju ungu. Entah mengapa sebabnya, dia begitu
membenci diriku mati-matian. Kalau kuajukan permintaan kepadanya, entah dia mau atau
tidak meluluskan. Jika menolak, bagaimana aku harus bertindak . . . . dan jika berhadapan
muka nanti, bagaimana aku harus mulai merangkai kata-kata agar dapat mengambil
hatinya . . . ."
la memeras otak sampai beberapa saat namun tetap buntu. Tetap tak dapat
menemukan kata-kata apa yang akan dikatakan kepada si dara nanti.
Lebih kurang sepenanak nasi lamanya, muncullah nenek Bwe-nio bersama si dara
bujang baju merah lagi.
"Nak, ikutlah pada budak ini !" seru nenek Bwe sambil tertawa.
Han Ping mengiakan. Tetapi tatkala ia hendak berjalan, nenek Bwe mencegahnya :
"Tunggu sebentar !"
Atas pertanyaan Han Ping, Bwe-nio tertawa : "Sejak kecil ia selalu dimanjakan. Kalau
berhadapan nanti, sebaiknya engkau suka mengalah sajalah !"
Han Ping menghela napas panjang dan mengiakan. Kemudian ia mengikuti berjalan di
belakang dara bujang itu masuk ke dalam.
Ternyata dinding di balik layar itu mempunyai sebuah pintu berbentuk pesegi panjang.
Begitu melangkah ke dalam pintu, tiba-tiba bujang itu berpaling dan berkata kepada Han
Ping : "Jalannya gelap, ikut aku saja, jangan salah jalan !"
"Jangan kuatir, mataku cukup tajam untuk melihat dalam kegelapan," sahut Han Ping.
Bujang itu tertawa. Ia hendak berkata tetapi tak jadi dan terus lanjutkan langkahnya.
Kira-kira tiga empat tombak jauhnya dan membelok beberapa kali, akhirnya mereka tiba di
ujung gang. Melintasi sebuah pintu kecil, haripun sudah terang tanah.
Sambil menunyuk ke arah sebuah bangunan bertingkat, dara itu berkata : "Kami tinggal
di tingkat itulah !"
Pikiran Han Ping masih terpancang pada rencana kata-kata yang hendak ia ucapkan
apabila berhadapan dengan si dara nanti. Maka ia tak memperhatikan apa yang dikatakan
bujang itu dan hanya mengiakan saja.
Untunglah bujang itu masih murni hatinya. Ia tak menyadari penyambutan acuh tak
acuh dari Han Ping. Sambil tersenyum ia berkata pula. Kamar dari nona kami itu, tak pakai
lampu . . ."
"Eh, malam hari tanpa lampu apakah leluasa ?" tanya Han Ping.
"Mengapa engkau terburu-buru menukas " Omonganku kan belum selesai . . . ."
"Ya, ya, silahkan melanjutkan !" kata Han Ping, Pikirannya tertuju pada usaha
menolong paman Kim Loji. Terhadap siapa saja yang dipandang dapat memberi bantuan
ke arah usaha itu, ia tentu berlaku sungkan dan mengindahkan.
Bagian 36 Benci-benci cinta.
"Engkau seorang baik. Terhadap siapa saja engkau selalu ramah," dara bujang itu
tertawa. Han Ping menghela napas : "Benarkah begitu ?"
"Hm. benar," seru si dara bujang, "ah, sayang engkau jarang berada di Bik-lo-san sini.
Jika menetap lama di sini, tentu akah kulayani sebaik-baiknya."
Han Ping gelengkan kepala : "Tidak, seumur hidup aku tak pernah dilayani anak
perempuan !"
Seketika bujang itu menyadari bahwa ucapannya tadi terlalu kelepasan. Merahlah
mukanya lalu menunduk dan menutupi mukanya.
Melihat bujang itu diam saja, Han Ping menegur : "Eh, apa lagi yang hendak engkau
katakan ?"
Dalam hati, Han Ping hendak menanyakan apa sebab dara baju ungu itu tak mau
pasang lampu. Tetapi karena merasa pertanyaan itu terlalu tak sopan, maka ia terpaksa
memutar. Dara bujang itu berpaling. Mukanya masih kemerah-merahan. Memandang Han Ping ia
hendak berkata, tetapi tak jadi dan berpaling muka lagi.
Han Ping tertegun. Ia merasa salah omong maka tak berani membuka mulut lagi.
Setelah berjalan tiga tombak jauhnya lagi, dara bujang itu tak kuat berdiam diri lalu
berkata perlahan : "Tahukah engkau apa sebab kamar nona itu tak dipasangi lampu ?"
"Entahlah !"
Bujang itu gelengkan kepala : "Ah, lebih baik tak kuberitahukan sajalah ! Nanti engkau
kan tahu sendiri."
"Ha, engkau masih sekecil itu bisa juga mempermainkan orang !"
Dalam pada bicara itu mereka sudah masuk ke gerumbul pohon bunga. Dua buah
lentera, bersinar terang dari gerumbul bunga dan serentak terdengar orang membentak :
"Berhenti ! Lepaskan dulu senjatamu baru boleh jalan lagi !"
Han Ping terkesiap. Ia membawa pedang Pemutus Asmara. Jika pedang itu diberikan,
mungkin mereka tak mau mengembalikannya lagi.
Tetapi ia tak bisa berbohong mengatakan tak membawa senjata. Maka ia tegak terpaku
tak dapat menyahut.
Untunglah si dara bujang berseru : "Ah, dia tak membekal senjata apa-apa !"
Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Senjata rahasia ?" seru orang itu pula.
"Selamanya aku tak pernah membawa senjata rahasia !" serentak Han Ping menyahut.
Kedua lentera yang berkilau terang itupun lenyap. Dan terdengar pulalah orang tadi
berseru dingin : "Silahkan kalian berjalan !"
Dara bujang itu berpaling dan berbisik menerangkan kepada Han Ping bahwa tempat
itu sebenarnya ditempati majikannya. Tetapi sejak nona baju ungu datang, majikannya
mengalah pindah ke ruang lain.
Setelah melintasi beberapa gunduk pohon bunga, tibalah mereka di bawah gedung
bertingkat itu. Pintu yang bermula tertutup, tlba-tibapun terbuka. Di dalam ruangan
diterangi lilin. Si Bungkuk dan si Pendek menjaga di ambang pintu. Wajah kedua orang itu
sedingin es. Setelah sejenak memandang Han Ping, mereka berputar tubuh memberi
jalan. Dara bujang itu menuju ke tangga kayu di sebelah kiri. Sejenak berpaling ke arah si
Bungkuk dan si Pendek. Han Ping lalu mengikuti bujang itu naik ke atas tangga.
Di sebelah tingkat atas, merupakan sebuah ruangan besar yang luas. Empat buah
lentera Kiong-teng (lentera yang lazim dipasang di istana raja) , tergantung di empat
sudut. Di tengah ruangan, dipasang sebuah meja bundar dengan diberi alas kain warna
kuning. Di tengah meja bundar itu, ditaruh sebuah Giok-ting atau bejana kumala. Entah
apa isinya. Memang ruangan itu semerbak berbau harum, tetapi tak tampak suatu asap
apapun. Dura bujang itu menyeringai seperti mengejek Han Ping, katanya : "Nona tinggal di
tingkat ketiga !" - Habis berkata, ia terus menuju ke sudut ruangan.
Tiba-tiba Han Ping rasakan dadanya sesak dan ingin keluar dari ruangan itu. Tetapi
karena mengingat nasib paman Kim Loji, terpaksa ia menahan kemarahannya. Diam-diam
ia menghela napas lalu bergegas menyusul bujang tadi.
Bujang tadi ulurkan tangan menjamah bagian bawah dari sebuah lukisan yang
tergantung di ujung dinding. Tiba-tiba dinding merekah sebuah pintu. Ternyata di balik
pintu rahasia itu terdapat tangga penyambung ke tingkat ketiga.
Setelah mendaki 15 titian tangga, tibalah mereka di sebuah ruangan yang keempat
dindingnya tertutup sutra putih. Si dara baju ungu duduk bersandar pada jendela.
Meskipun dia tengah membelakangi tubuh, namun dari warna pakaian dan potongan
tubuhnya yang cantik, Han Ping cepat dapat mengenalinya.
Bujang baju merah tadi tiba-tiba menggamit lengan baju Han Ping seraya menunjuk
pada sebutir mutiara yang tergantung di tengah ruangan. Walaupun tak memakai lilin dan
penerangan apa-apa, tetapi mutiara yang sebesar buah kelengkeng itu cukup
memancarkan sinar yang terang.
"Mungkin itu yang dinamakan mutiara Ya-beng-cu . . . ." pikir Han Ping.
Tiba-tiba terdengar bujang itu berseru dengan suara bergemerincing : " Nona, nona . .
. . dia sudah datang . . . ."
Karena tak tahu nama Han Ping, dara bujang itu hanya melaporkan 'dia sudah datang'
saja. Tanpa berpaling muka, dara baju ungu itu menyahut dingin : "Sudah tahu " Turunlah
engkau ke bawah !"
Rupanya bujang itu masih hijau sehingga tak mengerti tentang hubungan pria-wanita.
Sejenak ia bersangsi, serunya : "Apakah nona tak memerlukan pelayan ?"
"Tak perlu !"
Mendengar jawaban itu barulah si dara bujang turun ke bawah. Setelah bujang itu
lenyap, Han Ping hendak mulai membuka mulut. Tetapi ia tak tahu bagaimana harus
memulai. Setiap kali bibir bergetar hendak berkata, selalu ditelannya kembali.
Dan sampai beberapa saatpun, dara baju ungu itu tak mau berpaling ke belakang.
Akhirnya Han Ping menimang. Jika terus menerus bersikap main-main, tentu kurang
baik - ia batuk-batuk lalu paksakan mulutnya berseru : "Apakah nona hendak mempunyai
keperluan ?"
Sahut data baju ungu itu dengan dingin : "Engkau sendiri yang hendak menjumpai aku.
Masakan aku yang mempunyai keperluan."
Kembali Han Ping batuk-batuk lalu berkata lagi : "Benar, benar, memang akulah yang
hendak menjumpai nona."
"Engkau hendak menjumpai aku, apakah ada keperluan ?" si dara balas bertanya
dengan meminjam kata-kata Han Ping tadi.
"Aku hendak mohon sesuatu kepada nona, entah apakah nona suka meluluskannya ?"
Tiba-tiba nada si dara berubah ramah juga, ujarnya : "Silahkan engkau bilang saja ! Di
ruang tingkat atas ini, hanya kita berdua. Sekalipun engkau salah omong, juga tak
mengapa !"
Han Ping menghela napas panjang, katanya : "Pertama, Han Ping menghaturkan terima
kasih atas penyambutan nona yang begini hebat . . . ."
"Ah, tak perlu sungkan . . . ." tukas si dara.
Sambil menyeka peluh di mukanya, Han Ping berkata lagi : "Aku hendak mohon nona .
. . ." - entah bagaimana, berkata sampai disitu, Han Ping merasa kikuk sekali sehingga tak
dapat melanjutkan.
Tiba-tiba terdengar dara itu tertawa : "Ah, mengapa engkau tak berkata lagi. Malu "
Bukankah telah kukatakan bahwa di ruang tingkat ini hanya kita berdua saja " Apapun
yang hendak engkau katakan, lain orang pasti tak dapat mendengar."
Han Ping menghela napas panjang, kemudian membuka mulut pula : "Sejak kecil aku
sudah ditinggal mati kedua orang tua . . . ."
"Ah, sungguh kasihan," tukas dara itu, "aku pun senasib juga. Sejak kecil sudah
kehilangan ibu. Walaupun ayah amat mencintai aku tetapi tetap tak dapat menghibur
kerinduanku akan kasih ibu."
"Semasa hidupnya, ayah mempunyai dua orang sahabat baik. Salah seorang sahabat
ayah itulah yang memelihara aku sampai besar. Dia menganggap aku sebagai putranya
sendiri dan bahkan memberi pelajaran silat. Beliau adalah ayah angkat dan guruku . . . ."
Si dara saat itu masih tetap membelakangi tubuh. Tanpa menunggu Han Ping bicara
lebih lanjut, dara itu cepat menukas : "Sungguh baik sekali budi orang itu. Engkau harus
berbakti dan menghormatnya. Apakah dia mempunyai anak perempuan ?"
"Tidak punya," kata Han Ping, "hanya punya seorang putra tunggal"
"Anak itu tentu sudah seperti saudaramu sendiri. Entah dimanakah dia sekarang ?"
tanya dara baju ungu.
Ucapan dara itu amat menyinggung perasaan Han Ping. Seketika berderai-derailah
airmata pemuda itu : "Adik itu . . . telah meninggal . . . ."
Rupanya si dara tergerak hatinya dan ikut pilu. Ia segera menghibur dengan lembut :
"Sudahlah, jangan berduka. Orang yang sudah mati takkan hidup lagi. Berdukapun lagi
tiada berguna."
Han Ping menggigit gigi untuk mengeraskan hatinya : "Guru dan putranya itu telah mati
demi aku. Selama hayat masih dikandung badan, aku tentu akan membalaskan sakti hati
itu . . . ."
"Apakah engkau hendak minta bantuanku membalaskan sakit hati itu ?" tanya si dara.
"Tidak . . ."
Tiba-tiba dara jelita itu berputar tubuh menghadap ke arah Han Ping. Matanya yang
bening tampak berlinang-linang namun sepasang bibirnya tetap merekah senyum.
Sepasang pipinya merah jambu dan dengan mimik yang tegang-tegang sedap, berserulah
ia kepada Han Ping : "Asal engkau yang minta, apa saja tentu kululuskan . . . ."
Han Ping menghela napas, ujarnya : "Meminta pada orang, sungguh malu untuk
mengucapkan. Tetapi . . . tetapi . . . ."
Karena sampai beberapa jenak Han Ping hanya berkata 'tetapi . . . tetapi . . .' tanpa ada
kelanjutannya, dara jelita itu tak sabar lagi lalu berseru : "Bicaralah dengan perlahan ! Aku
tetap bersabar menunggumu . . ."
"Guruku, adikku, semua mati karena aku. Ayah kandungku, mati sejak aku masih kecil.
Sedang ibuku entah mati entah masih hidup, belum jelas. Tetapi rasanya kemungkinan
besar tentu sudah meninggal dunia. Dalam dunia yang begini luas, aku hanya mempunyai
seoarang sanak . . ."
"Ah . . ." si jelita mendesis pilu, "nasibmu sungguh tak beruntung sekali. Orang tentu
akan ikut bersedih dan iba !"
Tiba-tiba sepasang alis Han Ping mengerut ke atas, serunya : "0leh karena itu dengan
melenyapkan segala rasa malu, aku hendak mohon kepada nona . . . ." sampai disitu,
merahlah mukanya dan tak melanjutkan kata-katanya lagi.
Dengan wajah berseri cerah laksana bunga menunggu kumbang, berkatalah si jelita
dengan mesra : "Mengapa engkau tak melanjutkan kata katamu " Sejak ibuku meninggal,
ayah amat memanjakan aku sekali. Asal aku setuju . . . ."
Berkata sampai disitu si jelita memejamkan mata. Dua butir airmata menitik dari
pelapuk matanya. Dan dengan suara yang lemah lembut, ia berkata pula : "Ayah takkan
menentang kehendakku. Ya . . . katakanlah lekas, apa yang hendak engkau minta . . . ."
Sejenak Han Ping mengatur napas. Setelah memusatkan nyali, barulah ia berkata :
"Yang hendak kumohon kepada nona hanyalah tentang seorang tua yang menjadi saudara
angkat ayahku atau orang satu-satunya yang menjadi sanakku itu"
Seketika si jelita membuka mata dan menatap Han Ping lekat-lekat. Kemudian bertanya
tenang : "Apakah yang engkau maksudkan Kim Loji itu ?"
Han Ping mengiakan : "Benar, dengan memandang mukaku, harap nona suka
melepasnya !"
Si dara jelita mengusap airmatanya lalu mengangguk perlahan : "baiklah . . . ."
Serta merta Han Ping menjura di hadapan si jelita : "Budi nona sedalam lautan, seumur
hidup Han Ping takkan melupakan."
Kembali jelita itu berputar tubuh seraya bertanya : "Apakah engkau masih ada lain
pertanyaan lagi ?"
"Tidak ada."
Tiba-tiba dara jelita itu berbangkit dan menegas lagi : "Benar tidak ada lagi ?"
Setelah merenung sejenak Han Ping mengatakan bahwa ia sudah tak punya permintaan
apa-apa lagi. "Kalau begitu silahkan pergi !" kata si jelita.
Han Ping mengiakan lalu ayunkan langkah. Tiba di tangga, tiba-tiba ia teringat sesuatu.
Cepat ia berputar tubuh. Hai . . . . entah kapan ternyata dara jelita itupun sudah
menghadap ke arah Han Ping dan seketika beradulah pandang . . . . mata mereka !
Dua pasang mata saling beradu dan tergetarlah hati kedua insan remaja itu . . . .
Han Ping cepat-cepat tundukkan kepala sedang si jelitapun buru-buru berpaling muka
seraya berkata : "Mengapa engkau tak pergi ?"
"Ada sebuah hai lagi yang hendak kumohonkan keterangan kepada nona," kata Han
Ping. "Untuk diri Kim Loji itu lagi ?"
"Nona dapat menduga seperti seoraan dewa !"
Dara jelita itu tertawa dingin : "Sekali sudah kululuskan untuk melepaskannya, masakan
aku hendak menipumu, hm . . . ."
"Tetapi nona belum menyebutkan waktunya akan melepaskan dia . . . ."
Tiba-tiba dara itu berdiri dan gerakkan tangan : "Malam ini juga akan kulepas.
Tunggulah di luar desa . . . ."
Kembali Han Ping menjura menghaturkan terima kasih : "Terima kasih atas budi nona.
Kelak apabila ada jodoh tentu akan kubalas budi nona !"
"Mengapa engkau tak lekas pergi dan masih ini itu lagi " Hatiku membencimu setengah
mati !" seru dara itu.
Han Ping tercengang. Kemudian ia berputar tubuh dan turun dari tangga. Di ruang
tingkat kedua, si dara bujang sudah menantinya. Begitu melihat Han Ping dara bujang
yang masih kekanak-kanakan itu segera menyongsong dengan tertawa : "Apa yang nona
katakan kepadamu ?"
"Tak apa-apa," Han Ping gelengkan kepala.
"Apakah sebelumnya engkau sudah kenal pada nona ?" tanya bujang itu tanpa mau
memperhatikan kerut wajah Han Ping.
"Tidak kenal !" sahut pemuda itu seraya terus turun ke tangga bawah.
"Aneh," kata si bujang sembari mengikuti berjalan di sampingnya.
"Apanya yang aneh ?"
"Selain aku dan Bwe-nio, tak pernah lain orang diperbolehkan masuk ke kamar nona."
kata bujang itu, "sekalipun dengan tuan majikanku, nonapun akan menemuinya di tingkat
kedua. Tetapi mengapa dia mau menerima engkau di kamar pribadinya ?"
Tiba-tiba Han Ping berhenti. Ia tengadahkan kepala merenung, seperti menyadari
sesuatu Sesaat kemudian ia melanjutkan turun ke bawah lagi.
Saat itu hari sudah makin malam. Rembulan tanggal satu, tampil di angkasa. Setelah
keluar dari halaman pohon bunga, Han Ping minta supaya bujang itu kembali, tak usah
mengantarkan lebih lanjut.
Buyang itu agak terkejut dan bertanya : "Hendak kemana " Apakah tak kembali ke
ruang besar ?"
"Tidak !" Aku hendak tinggalkan desa ini !"
"Tetapi di sekitar tempat ini, setiap tempat dijaga orang. Bagaimana engkau dapat
keluar ?" tanya bujang itu.
Diam-diam Han Ping membenarkan. Sekalipun ia dapat mengatasi perkakas rahasia di
sekitar tempat itu, tetapi tentu akan timbul pertempuran. Suatu hal yang akan
membahayakan jiwa Kim Loji apabila dara baju ungu itu marah dan menarik pulang
janjinya. Melihat Han Ping diam saja, dara itu tertawa : "Beginilah ! Biar kuantarkan engkau
keluar dari halaman gedung. Semua penjaga tahu bahwa aku ini pelayannya nona. Mereka
tentu takkan merintangi.
Setelah berpikir sejenak Han Ping menyetujui : "Baiklah, tetapi apakah engkau leluasa
?" "Apanya yang tidak leluasa ?" bujang itu heran, "selekas kuantar sampai diluar desa,
aku terus kembali lagi. Hayolah !"
Demikianlah Han Ping segera mengikuti bujang dara itu. Rupanya dia paham jalanan
disitu sehingga dapat mengambil jalan singkat. Tak berapa lama mereka sudah tiba di tepi
hutan. "Sekeluar dari hutan ini, sudah berada di luar desa. Tetapi dalam hutan penuh dengan
rintangan-rintangan yang tersembunyi. Mari kugandeng tanganmu !" Tanpa menunggu
persetujuan Han Ping, bujang itu terus mencekal tangan Han Ping dan diajak masuk ke
dalam hutan. Han Ping terpaksa menurut saja.
Sekeluarnya dari hutan, mereka tiba di sebuah lapangan rumput yang luas. Si dara
bujang lepaskan cekalan : "Pada waktu hendak mengantar engkau, aku tak takut. Tetapi
sekarang mendadak aku takut. Lekas saja engkau pergi, akupun hendak kembali . . . ."
Tanpa menunggu jawaban Han Ping, bujang itu terus lari masuk ke dalam hutan lagi.
Diam-diam Han Ping merasa cemas. Jika karena mengantar itu si dara bujang sampai
menerima hukuman, bukankah berarti dia yang mencelakai bujang itu "
Tengah dia termenung tiba-tiba serangkum angin melanda dari arah belakang. Han
Ping cepat berpaling ke belakang dan ah . . . . ternyata nenek Bwe-nio tegak berdiri
dengan tongkatnya. Dengan wajah berseri nenek berambut putih itu menegur : "Nak,
bagaimana dengan pembicaraan kalian ?"
"Lancar sekali, dia mau meluluskan . . . ."
Sepasang mata nenek itu memancar sinar kegembiraan : "Ah, begitu mudahnya !
Engkau benar-benar manusia yang paling beruntung di dunia. Aku harus memberi selamat
kepadamu . . . ."
Han Ping terkesiap. Pada saat ia hendak membuka mulut, Nenek Bwe-nio sudah
mendahului : "Rupanya sepasang mataku ini belum kabur" ia bicara sendiri dengan
gembira. Kemudian memandang rembulan, ia berkata pula : "Persoalan itulah yang paling
makan hatiku. Namun sekarang bebaslah beban hatiku . . . ."
Han Ping menghela napas, serunya : "Locianpwe . . . ."
Nenek Bwe-nio memandang lekat-lekat pada Han Ping. Tiba-tiba ia berseru marah :
"Mengapa engkau menghela napas " Engkau telah dapat mempersunting seorang bidadari,
apakah hatimu masih belum puas ?"
"Ah, locianpwe salah paham . . ."
Bwe-nio gentakkan tongkatnya dan berseru gusar : "Lam-hay Sin-soh hanya
mempunyai seorang putri tunggal. Jika engkau tak memperlakukannya baik-baik, sedikit
saja ia menderita, jangan harap engkau hidup lagi !"
Han Ping bingung sekali. Cepat ia berseru lantang : "Locianpwe, maukah locianpwe
mendengarkan keteranganku ?"
Tiba-tiba dari arah hutan terdengar derap langkah orang dan muncullah si Bungkuk
memanggul sesosok tubuh orang. Begitu berbadapan dengan Han Ping, si Bungkuk terus
meletakkan orang itu : "Terimalah orang ini !"
Melihat orang yang diletakkan di tanah itu bukan lain Kim Loji, Han Ping cepat lari
menghampiri. Ia tak menghiraukan pembicaraannya dengan Bwe-nio lagi.
"Paman . . ." katanya sambil mengangkat tubuh Kim Loji.
Kim Loji mengucurkan beberapa titik air mata serunya : "Anak Ping, aku menyebabkan
engkau menderita . . . ."
"Tak apa," kata Han Ping sambil mengusap airmatanya, "Jika sampai tak dapat
menolong paman, matipun aku tak dapat meram !"
Nenek Bwe-nio menghampiri tanyanya : "Nak engkau mengatakan bahwa dia mau
meluluskan. Apakah yang diluluskannya itu ?"
"Dia meluluskan permintaanku untuk melepaskan paman Kim ini. Dan ternyata dia
memang pegang janji. Tolong locianpwe sampaikan terima kasihku kepadanya. Dan
akupun minta diri kepada locianpwe," kata Han Ping seraya memberi hormat lalu
memanggul Kim Loji dan terus hendak pergi.
"Tunggu !" bentak Bwe-nio.
Han Ping berhenti. Ia menanyakan nenek itu hendak memberi pesan apa.
Bwe-nio menghela napas panjang. Lebih dulu ia suruh si Bungkuk kembali ke gedung.
Kemudian ia maju menghampiri Han Ping : "Nak apakah dalam pertemuan tadi kalian tak
membicarakan soal-soal lain ?"
"Tidak," sahut Han Ping, "aku hanya minta kepadanya supaya suka melepas pamanku
ini. Karena dia sudah meluluskan, akupun tak berani meminta lain-lain lagi !"
Habis berkata Han Ping terus ayunkan langkah tinggalkan tempat itu.
Memandang bayangan anak muda itu, timbullah perasaan rawan dalam hati Bwe-nio.
Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba-tiba terlintas dalam pikiannya. Dara jelita itu amat manja sekali. Menerima sikap Han
Ping yang tolol dan keras kepala itu, si jelita tentu menderita siksaan batin.
Seketika meluaplah amarah nenek itu. Tiba-tiba ia gentakkan tongkatnya dan berteriak
sekeras-kerasnya : "Hai, berhenti dulu"
Tetapi ketika memandang ke muka ternyata Han Pmg sudah tak kelihatan
bayangannya. Bwe-nio tegak terlongong-longong. Mendadak ia ingat akan diri si dara. Cepat-cepat ia
lari kembali ke dalam gedung lagi.
Cepat sekali ia sudah tiba di gedung bawah lalu bergegas-gegas naik ke tingkat tiga.
Tampak si jelita baju ungu tengah berdiri di muka jendela, memandang rembulan
dengan terlongong-longong . . . ."
Sekalipun Bwe-nio sudah tiba setengah meter di belakangnya, tetap si jelita itu tak
merasa. Rupanya seluruh pikiran dan semangatnya sedang melayang jauh ke angkasa . . .
Bwe-nio mengelus-elus rambut dara ayu itu seraya menghiburnya dengan suara mesra
: "Nak, apakah yang sedang engkau pikirkan ?"
Dara jelita itu berpaling. Wajahnya penuh diliputi perasaan yang sedih dan berkatalah ia
dengan nada lemah : "Bwe-nio, berapakah umurku sekarang ?"
Bwe-nio terkejut. Diam-diam ia mengeluh bahwa dara itu kelewat bermanja diri.
Sahutnya : "Eh, mengapa umurmu sendiri engkau tak dapat ingat " Bukankah tahun ini
engkau berumur 18 tahun ?"
Sambil lekatkan tangannya ke daun jendela, dara itu berkata : "Ah, sudah 18 tahun,
sudah seharusnya menikah !"
"Apa ?" nenek Bwe-nio terbeliak.
Jelita itu tersenyum simpul : "Mengapa engkau terkejut " Bukankah kelak aku pasti
akan menjadi menantu orang ?"
Nenek Bwe-nio menghela napas. Dua butir airmata menitik dari pelapuk matanya. Ia
geleng-geleng kepala : "Nak, engkau ini mengapa . . . ."
"Aku tak kurang suatu apa, Bwe-nio. Jangan kuatir !"
"Di dunia yang begini luas, siapakah yang sepadan menjadi pasangan seorang bidadari
seperti dirimu ?" ujar nenek itu.
Dara itu gelengkan kepala tertawa : "Tetapi aku sendiri sudah mendapatkannya. Tak
perlu engkau susah payah memikirkan."
"Siapa " Mengapa aku tak tahu ?" nenek itu makin terkejut.
"Bukankah ayah sudah mengatakan," kata dara jelita itu, "aku boleh menikah menurut
pilihan hatiku. Ayah tak mau mempedulikan masakan engkau berani mengurus aku !"
"Ah, nak, aku bukan hendak mengurus melainkan ingin tahu siapa yang mempunyai
rezeki besar itu ?"
Si dara tertawa mengikik : "Ah, rezeki apa " Siapa yang memperistrikan aku, dialah
manusia yang paling tak berbahagia. Karena setiap hari paling tidak dua kali tentu aku
mengajaknya setori !"
Diam-diam nenek Bwe-nio terkejut. Ia duga pikiran dara itu tentu sudah kacau. Lebih
baik lekas-lekas membawanya pulang ke Lamhay.
"Ah, nak, tampaknya engkau sudah lelah. Lebih baik tidurlah," katanya.
Tetapi dara itu menoiak : "Aku masih ingin menggadangi rembulan. Engkau tidurlah
sendiri !"
"Tidak, aku akan menemanimu !"
"Perlu apa ?" dara itu tertawa.
"Pada saat dan tempat seperti ini, bagaimana aku dapat membiarkan engkau pergi
seorang diri " Segenap tokoh-tokoh persilatan dari wilayah Tionggoan sudah sama
berkumpul di Lok yang. Setiap saat mereka menunggu kesempatan untuk mendapat kitab
pusaka Lam-hay. Siapa tahu diluar desa ini, mereka sudah bersembunyi menunggu saat.
Jika sampai terjadi sesuatu yang tak diinginkan bagaimana engkau dapat mengatasi ?"
kata nenek Bwe.
"Empat penjuru keliling desa Bik-lo-san, sudah dijaga ketat. Setiap ada orang yang
berani menyelundup, tentu akan kepergok. Dan lagi akupun takkan keluar dari lingkungan
gedung ini, mengapa takut ?" bantah si dara.
Nenek Bwe gelengkan kepala : "Nak, engkau tak tahu bagaimana ketika engkau lenyap
tempo hari, aku dan suhengmu kelabakan setengah mati ! Jika sampai terulang peristiwa
semacam itu lagi, tentu celakalah . . . ."
Nenek Bwe menghela napas, melanjutkan pula : "Ayahmu telah mengutus Ji suhengmu
mengejar kemari, bukan lain karena takut kami tak mampu melindungi dirimu. Ah,
sekalipun lahirnya ayahmu itu tak memperhatikan dirimu tetapi sesungguhnya dalam batin
ia menyintaimu sekali. Nak, jika terjadi apa-apa pada dirimu, sukar dilukiskan betapa
derita hati ayahmu nanti !"
"Ayah sedang terbenam dalam ilmu kesaktian dan kebatinan. Dia sudah memandang
tawar terhadap urusan dunia, masakan dia masih mengingat diriku lagi " Jika aku tertimpa
bahaya, mungkin hanya beberapa waktu saja ayah akan menderita batin, tetapi lewat
beberapa hari, tentu sudah melupakannya !"
Bwe-nio menghela napas. Pada saat ia hendak berkata, tiba-tiba terdengar derap
langkah kaki mendatangi dan muncullah si dara bujang baju merah memberi hormat di
hadapan si dara jelita : "Nona, tuan majikan mempunyai urusan penting hendak bertemu
dengan nona. Tetapi lebih dulu dia mengutus aku, jika nona sedang tidur, tak boleh
diganggu."
"Dimana dia sekarang ?" tanya si jelita.
"Menunggu di tingkat bawah."
"Suruh dia naik ke tingkat kedua !"
Setelah si bujang pergi, dara jelita itu tertawa kepada Bwe-nio : "Apakah engkau masih
ingin ikut aku ?"
Nenek Bwe menghela napas : "Ai, anak nakal, makin besar engkau makin menjadi
pikiranku"
Hati nenek itu tiba-tiba pilu, airmatanya meluap. Tetapi cepat-cepat ia katupkan
pelapuknya untuk mencegah turunnya airmata.
Walaupun Bwe-nio itu hanya sebagai inang pengasuh, tetapi hubungannya dengan dara
jelita itu tak ubah seperti ibu dan putrinya. Sejak kecil dara itu selalu menurut kata. Maka
kalau pada saat itu, Bwe-nio mendapat tantangan dari si dara, hatinya benar-benar
tersinggung . . . .
Perlahan-lahan dara jelita itu berpaling lalu lari memeluk dada inang pengasuhnya itu :
"Bwe-nio, apa engkau marah ?"
Nenek itu gelengkan kepala : "Ah, babu tua mana berani memarahi nonanya . . ." nadanya rawan disusul dengan titikan airmata.
Jelita itu segera mengusap airmata Bwe-nio seraya menghiburnya : "Ah, dalam
beberapa hari ini, hatiku selalu murung-murung saja. Kata-kata kuucapkan sekenanya saja
sehingga menyinggung perasaanmu . . . ."
Dara itu makin menyusupkan kepalanya ke dada Bwe-nio dan menangis tersedu-sedu.
Kedudukan segera berubah. Kini nenek Bwe yang sibuk menghibur si jelita.
Setelah menangis beberapa saat, longgarlah perasaan si jelita. Ia menghapus
airmatanya dan rebahkan kepala pada babu nenek Bwe, ujarnya : "Mari kita turun ke
bawah. Mungkin toa suheng sudah menunggu lama !"
Di ruang bawah yang luas, tegak seorang lelaki berpakaian Kim-ih. Rupanya cukup
lama sudah menunggu di situ tetapi tetap bersikap sabar.
"Ah, maafkan, suheng tentu sudah lama menunggu," seru si dara jelita sambil
tersenyum. Dengan sikap menghormat, lelaki berpakaian indah itu menyahut : "Ah, akulah yang
seharusnya minta maaf karena masih mengganggu sumoay yang sudah lelah . . . ."
"Tidak, aku tidak lelah," kata si dara, "silahkan toa suheng mengatakan maksud toa
suheng . . . ."
Lelaki yang bertubuh tinggi besar itu menghela napas : "Kunjungan sumoay ke daerah
Tionggoan ini, bertujuan hendak melihat alam pemandangan daerah ini. Sudah selayaknya
kalau menghindarkan diri dari pergolakan dunia persilatan Tionggoan. Berdasarkan hal itu,
maka aku memberanikan diri mewakili sumoay untuk menghapus janji pertemuan dengan
Sin-ciu-it-kun Ih Thian Heng . . . ."
"Apakah Ih Thian Heng sudah datang ?" dara itu kerutkan dahi.
"Sudah," kata orang itu, "tetapi dengan halus sudah kutolak."
Dara itu tak bicara apa-apa lagi. Perlahan-lahan ia putar tubuh lalu menghampiri ke
muka jendela dan memandang rembulan.
Sejenak memandang Bwe-nio, lelaki itu segera menyusul si dara, ujarnya : "Pribadi Ih
Thian Heng Itu, sikapnya memang ramah manis budi bahasa. Tetapi sesungguhnya
hatinya amat ganas. Sepintas kesan, dia seolah-olah menempatkan diri sebagai pemimpin
dunia persilatan Tionggoan, namun sebenarnya dia seorang manusia yang julig licin,
hatinya amat temaha sekali.
Dalam beberapa hari terakhir ini terbetik berita bahwa seorang murid sebuah partai
yang telah menjadi anak buah Ih Thian Heng dan ditugaskan untuk memata-matai partai
itu, telah diketahui oleh partai-partai yang bersangkutan. Peristiwa itu telah menimbulkan
para pimpinan partai-partai persilatan. Segera mereka mengadakan pembersihan ke dalam
partai masing-masing. Mengusut asal usul dan riwayat muridnya. Jika desas desus itu
benar, maka nyatalah Ih Thian Heng benar telah menanam orang pada setiap partai
persilatan dengan tugas untuk memata-matai partai tersebut.
Dengan tindakan para pimpinan partai untuk mengadakan penyaringan ke dalam partai
nya masing-masing itu, mungkin akan bermunculanlah bukti-bukti tentang kelicikan Ih
Thian Heng menggunakan mata-mata itu. Dengan demikian tentu akan menimbulkan
peristiwa yang menggemparkan. Sekalipun Ih Thian Heng mempunyai kesaktian untuk
menembus ke langit, tetap tak mungkin dapat menghadapi kekuatan dari persatuan para
tokoh-tokoh partai-partai itu . . . .
Berpuluh tahun sepintas pandang Ih Thian Heng seolah-olah menyekap diri tak sering
berhubungan dengan orang luar. Dia berkelana di dunia persilatan untuk melakukan amal
perbuatan yang baik dan luhur. Tetapi ternyata hal itu hanya untuk mengelabui anggapan
golongan Putih maupun Hitam agar mereka menaruh perindahan dan kepercayaan
kepadanya. Tetapi karena jarang bergaul dengan orang dan sedikit sekali mempunyai
sahabat karib, sekali kedoknya terbuka, tentu akan dikecam dan ditentang oleh segenap
lapisan persilatan.
Dia bersikap begitu ramah dan rendah hati terhadap sumoay, kukuatir tentu
mempunyai maksud tersembunyi. Rupanya dia mempunyai rencana untuk melibatkan
perguruan Lam-hay-bun kita ke dalam pergolakan dunia persilatan Tionggoan. Hendak
digunakan sebagai perisai untuk menghadapi ancaman partai-partai itu . . . ."
Demikian panjang lebar suheng dari si dara itu memberi penjelasan.
Tenang-tenang si dara jelita berpaling, ujarnya : "Orang itu memang lahirnya baik dan
berbudi tetapi hatinya licik dan kejam. Sekali lihat, aku sudah tahu. Masakan dia mampu
mengelabui kita ?"
Lelaki itu memuji : "Ah, sumoay memang amat cerdas sekali. Aku merasa tak mampu
menandingi . . . ."
Tiba-tiba dara ayu itu menghela napas : "Ah, setiap orang yang berjumpa denganku
tentu tak ada yang tak memuji aku cerdik, cantik. Tetapi apakah sebenarnya kegunaan
kepintaran dan kecantikan itu ?"
Pertanyaan itu membuat lelaki tmggi besar itu tertegun. Sampai beberapa saat ia belum
dapat mengungkap maksud apa yang tersembunyi dalam ucapan dara itu. Tetapi karena
sungkan kalau tak menjawab, terpaksa ia mengulur waktu sambil batuk-batuk.
Si dara tertawa mengikik : "Toa suheng, cobalah engkau lihat sungguh-sungguh,
apakah aku ini benar-benar cantik atau tidak ?"
Lelaki tinggi besar itu menghela napas, ujarnya : "Kecantikan sumoay membuat bunga
dan rembulan menyurut malu. Keagungan wajah sumoay memaksa burung dan ikan
menunduk. Sumoay laksana bidadari menjelma di dunia !"
Tiba-tiba dara itu menutup muka dengan lengan bajunya, berputar tubuh dan berkata
dengan perlahan : "Ah, sudah menjadi takdir, bahwa wanita cantik itu tentu pendek umur
! Mengapa bunga dan rembulan harus malu karena kalah cantik " Akan kubikin jadi rusak
wajahku yang cantik ini, mungkin terhindarlah aku dari segala kesulitan . . . ."
Lelaki baju Kim-ih itu menyurut mundur karena terkejut sekali : "Sumoay, apakah yang
membuat sumoay menderita ?"
Dara itu turunkan lengan baju dan berputar menghadap suhengnya lagi : "Aku tak
kurang suatu apa !"
Lelaki baju Kim-ih itu merenung. Beberapa saat barulah ia mulai berkata : "Jika sumoay
merasa ada sesuatu yang tak menyenangkan hati sumoay, harap katakan kepadaku. Demi
membalas budi suhu yang sebesar lautan, siang malam aku berusaha untuk mencari jalan
agar dapat membalas budi perguruan. Tetapi selama ini belum terdapat kesempatan."
Dara itu tersenyum : "Ayah telah mengusirmu dari perguruan, cukuplah sudah asal
engkau tak mendendam. Mengapa barus susah payah memikirkan membalas budi ?"
Dengan wajah serius, lelaki tinggi besar berkata : "Budi suhu laksana laut dalamnya.
Bagaimana aku dapat melupakannya ! Jangankan hanya diusir, sekalipun dibunuh atau
dihukum supaya mencebur ke dalam lautan api, akupun tetap akan melakukan !"
Dara itu tertawa : "Ah, ayah tak pernah merusak nama orang. Apa yang dilakukan,
tentu ditanggung sendiri. Di dunia tiada hal yang dapat membuatnya takut. Suheng adalah
murid pertama dari ayah. Mengapa tindakan suheng lain sekali dengan ayah ?"
Lelaki itu kerurkan dahi, sahutnya : "Adalah karena kekhilafan, aku telah melanggar
pantangan suhu, sehingga diusir. Tetapi kuyakin, selama ini aku belum pernah berbuat
sesuatu yang merugikan nama perguruan kita."
"Lalu mengapa engkau begitu ketakutan tak mau membantu Ih Thian Heng untuk
menggempur partai-partai persilatan Tionggoan ?"
"Ini . . . ."
Dara itu menghela napas, menukasnya : "Sudahlah jangan mengatakan ! Jika kalian tak
mau membantuku, aku tetap akan mencari Ih Thian Heng sendiri !"
Lelaki tinggi besar itu alihkan mata memandang nenek Bwe, ujarnya : "Selama ini Ih
Thian Heng tiada mempunyai hubungan apa-apa dengan perguruan Lam-hay-bun.
Mengapa sumoay hendak membantunya ?"
Waktu si dara hendak menjawab, tiba-tiba di udara tampak meluncur sebuah bunga api
dan meledak berhamburan memancarkan bunga api.
Lelaki itu kerutkan sepasang alisnya : "Hm, ada orang yang menyelundup ke dalam
desa kita."
Bunga api itu merupakan pertandaan apabila ada orang yang menyelundup masuk ke
daerah terlarang dari desa Bik-lo-san.
Rupanya si dara tak mengerti apa artinya bunga api itu. Ia meminta keterangan.
Lelaki tinggi besar itu sesungguhnya hendak cepat-cepat keluar tetapi ia sungkan kalau
tak memberi keterangan. Maka sambil melongok keluar jendela, ia menerangkan : "Orang
itu telah menyelundup ke tempat yang terlarang. Harap sumoay tunggu dulu, aku hendak
memeriksa keluar."
Dara cantik itu tertawa : "Ih, tak usah sibuk-sibuk menyelidiki, Sin-ciu-it-kun datang !"
Dari luar jendela serentak terdengar suara orang tertawa nyaring : "Ah, nona benarbenar
hebat, dapat menduga tepat seperti dewa !"
Serangkum angin berhembus dan muncullah seorang sastrawan setengah umur dalam
pakaian jubah panjang, mengenakan ikat kepala. Jenggotnya yang hitam memanjang
menutupi dada. Lelaki tinggi besar atau suheng dari si dara segera menyambut dengan tertawa dingin :
"Hm, saudara Ih, benar-benar dapat muncul dan hanya seperti hantu . . . ."
Ih Thian Heng buru-buru memberi hormat, katanya dengan tertawa : "Harap saudara
Ong suka maafkan kelancanganku masuk ke gedung saudara. Tetapi apa boleh buat.
Kalau tak bertindak begitu tentu sukar berjumpa dengan nona ini."
Ternyata lelaki tinggi besar itu bernama Ong Koan. Pada saat ia hendak menjawab, si
dara sudah mendahului : "Harap toa suheng jangan marah dulu. Memang aku yang
menjanjikan kedatangannya."
Dengan wajah berseri ramah, Ih Thian Heng pun memberi penjelasan : "Adalah
sumoay saudara yang mengirim surat mengundang aku supaya mengirimkan orang yang
kutawan kemari untuk diberi hukuman. Dan perintah itupun telah kulaksanakan . . . ."
"Suruh mengirim orang memang benar, tetapi masakan juga mengundang engkau
untuk bicara ?"
"Jikalau sumoay saudara tak mengundang, masakan tengah malam buta begini aku
berani masuk kemari . . . ."
Ong Kuan mendengus : "Hm, ditinjau dari peraturan dunia persilatan, cara saudara
masuk ke daerah kami ini, jelas tak memandang mata kepadaku."
Ih Thian Heng tak mau menyahut melainkan berpaling ke arah si dara jelita dan
tersenyum. "Jika suheng hendak meminta pertanggungan jawab, harap kepadaku saja. Jika aku tak
mengirimkan undangan, masakan dia berani melanggar peraturan begitu !"
Ong Kuan kerutkan sepasang alisnya : "Sumoay memegang Panji Burung Hong putih,
ibarat suhu yang datang sendiri. Bagaimana aku berani menyesali ?"
"Kalau begitu, harap suheng jangan mengganggu dulu. Aku hendak bicara beberapa
patah kata dengan saudara Ih ini," kata si dara.
Ong Kuan tertegun. Tetapi terpaksa mengiakan lalu tinggalkan ruangan.
Nenek Bwe hanya geleng kepala. Diam-diam ia heran dan ingin tahu apa yang hendak
dipercakapkan dara itu dengan Ih Thian Heng.
Setelah Ong Kuan lenyap, barulah si dara berpaling dan menyuruh bujang baju merah
supaya keluar juga.
Bujang dara itupun mengiakan dan pergi.
Yang terakhir, si dara berpaling ke arah nenek Bwe. Tetapi belum membuka mulut,
nenek itu sudah mendahului : "Pembicaraan apakah itu sehingga akupun juga tak boleh
hadir juga !"
"Kiranya locianpwe ini tak perlu pergi," Ih Thian Heng menyelutuk.
Si dara menghampiri ke tempat nenek Bwe, sandarkan tubuh ke bahu nenek itu, ia
tertawa : "Bolehlah engkau hadir mendengarkan pembicaraanku. Tetapi jangan
memberitahu kepada suheng, maukah ?"
"Pembicaraan apakah sehingga tak boleh diberitahukan kepada toa suhengmu."
"Bukan sama sekali tak boleh melainkan nanti setelah beberapa hari barulah boleh
memberitahu kepadanya."
Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Baiklah," akhirnya nenek Bwe mengiakan.
Si dara tersenyum lalu berpaling kepada Ih Thian Heng : "Engkau mengatakan bahwa
makam tua itu berisi harta karun yang tak ternilai jumlahnya. Sungguhkah itu ?"
"Hal itu merupakan rahasia besar di kalangan persilatan Tionggoan. Sekalipun yang
tahu hanya sedikit, tetapi memang hal itu sungguh-sungguh nyata !" kata Ih Thian Heng.
"Lalu bagaimana kau mengetahui ?" tanya si dara.
"Jika diceritakan amat panjang. Pendek kata, kutanggung hal itu memang sungguhsungguh
ada !" "Kalau makam itu mengandung harta karun dan terdapat Kupu-kupu Emas serta
Tenggoret Kumala, dua buah pusaka yang jarang terdapat di dunia, mengapa tak engkau
ambil sendiri tetapi perlu mencari aku ?"
"Alat-alat rahasia dalam makam itu kelewat hebat. Hanya seorang yang memiliki
kecerdasan luar biasa seperti nona, baru dapat memecahkan kesulitan itu !"
Si dara tersenyum : "Bagaimana engkau tahu aku tentu dapat memecahkan rahasia
alat-alat itu ?"
Berkata Ih Thian Heng dengan nada bersungguh : "Ih Thian Heng sudah menjelajah
seluruh pelosok dunia. Walaupun tak mempunyai ilmu kepandaian meramal, tetapi
sepasang mata tua dari Ih Thian Heng ini, belumlah kabur. Sejak bertemu nona, segera
kutahu bahwa nona memiliki kecerdasan yang luar biasa. Apalagi nonapun berasal dari
keluarga yang menjadi sumber ilmu kepandaian. Maka kuyakin, hanya nonalah satusatunya
orang yang mampu memecahkan rahasia alat-alat itu . . . ."
Si dara merenung beberapa jenak. Kemudian berkata : "Kedatanganmu kemari tentulah
hendak merundingkan soal itu dengan sungguh hati. Aku mempunyai sebuah pertanyaan
tapi entah layak atau tidak kuajukan kepadamu ?"
Ih Thian Heng tertawa : "Kalau nona hendak bertanya, silahkanlah. Asal tahu saja,
tentulah akan kuberitahukan !"
Dara itu mengangguk, ujarnya : "Tadi engkau mengatakan bahwa dalam makam tua itu
terdapat berbagai alat-alat rahasia. Hal itu engkau mendengar cerita orang atau engkau
sendiri pernah menyelidiki ?"
Rupanya Ih Thian Heng tak pernah menduga kalau ia bakal menerima pertanyaan
semacam itu. Ia alihkan pandang matanya kepada nenek Bwe dan batuk-batuk.
Melihat itu si dara cepat menerangkan : "Dia adalah pengasuhku sejak kecil. Segala hal
tentu kuberitahukan kepadanya. Katakanlah, tak jadi apa."
Ih Thian Heng tertawa menyeringai : "Alat-alat rahasia dalam makam itu, sekalipun aku
tak menyelidiki sendiri, tapi menurut pendapatku, tidaklah jauh bedanya dengan kalau aku
menyelidiki sendiri . . . ." - habis berkata ia terus mengeluarkan kotak pedang Pemutus
Asmara, diserahkan kepada si dara : "Lukisan pada kotak ini, merupakan peta dari makam
itu. Silahkan nona memeriksa, tentulah keteranganku tadi benar . . . ."
Dara itu segera mengamati peta pada kotak pedang, dengan teliti. Beberapa saat
ruangan hening lelap.
Kira-kira sepeminum teh lamanya, barulah dara itu menganggukkan kepala :
"Perlengkapan dalam makam itu, diatur dengan tepat sekali dan disusun dengan
sempurna. Benar-benar sebuah karya yang hebat. Patut mendapat penghargaan . . . ."
Dalam pada berkata-kata itu, tetap si dara masih mengamati peta itu. Kemudian
berkata pula : "Konon kabarnya alat-alat dalam gedung marga Nyo di Kimleng merupakan
suatu ciptaan yang luar biasa hebatnya. Tetapi menurut hematku, masih kalah jauh
dengan perlengkapan di Lam-hay. Dan menilik ciptaan perlengkapan makam tua itu,
rasanya tak kalah dengan Lam-hay-bun. Bahkan ada beberapa bagian yang benar-benar
memusingkan. Melihat si dara tertarik, Ih Thian Heng segera menukas : "Tokoh sakti dari Lamhay,
memang memiliki ilmu pengetahuan yang amat luas. Bahwa nona berasal dari turunan
keluarga yang berilmu, memang dapat diketahui . . . ."
Saat itu seluruh perhatian si dara tertumpah pada gurat-gurat kotak pedang. Ia tak
mengacuhkan kata-kata pujian Ih Thian Heng. Tiba-tiba dara jelita itu kerutkan sepasang
alis dan mendesis perlahan. Ia membawa kotak pedang ke dekat lentera dan mengamati
dengan teliti. Jarinya menyusur dan meraba-raba kotak lalu berkata seorang diri.
"Aneh, guratan peta pada kotak ini walaupun halus dan lembut sekali. tetapi garis2
jalannya cukup jelas. Tetapi mengapa pada bagian di sini menjadi kacau balau ?"
Mendengar pernyataan si dara, Ih Thian Heng terkejut. Matanya membelalak
memandang kotak itu.
Dara itu pejamkan mata. setelah merenung beberapa jenak ia letakkan kotak itu di atas
meja lalu berkata : "Telah kuperiksanya. Karena garis-garis jalannya ada satu dua yang
tak jelas, untuk sementara masih belum ketemu lingkarannya. Jika engkau percaya,
tinggalkan kotak ini barang tiga hari kepadaku. Akan kuperiksa dengan teliti. Tetapi jika
engkau kuatir, silahkan membawa pulang . . . ." - habis berkata si dara tertawa.
"Ah, mengapa nona mengucap begitu ?" buru-buru Ih Thian Heng menanggapi,
"Jangankan hanya tiga hari, sekalipun 10 hari sampai setengah bulan, pun tiada halangan
!" "Apakah engkau tak kuatir kotak itu akan kukangkangi sendiri ?" tanya si dara.
"Jika aku kuatir, masakan kukeluarkan kotak itu," sahut Ih Thian Heng.
"Menilik gambaran peta itu, jelas bahwa makam tua itu memang penuh dengan alatalat
perlengkapan yang hebat sekali. Adakah alat-alat rahasia itu masih lancar, saat ini
belum dapat kuketemukan pada kotak itu. Pun adakah aku dapat berhasil menyelidiki peta
itu, juga sukar dikatakan. Tetapi tiada jeleknya jika sebelumnya kita rundingkan dulu
tentang cara pembagian dari hasil dalam makam tua itu. Ini untuk menyaga agar jangan
sampai timbul pertikaian mengenai pembagiannya !"
Serentak Ih Thian Heng menyahut : "Harta pusaka dalam makam itu, tak terhitung
nilainya. Maksudku, kita bagi sama rata, masing-masing mendapat separuh bagian . . . ."
"Nak !" tiba-tiba nenek Bwe menyeletuk kepada si dara, "tempat kediaman kita di Lamhay,
harta permata dan benda-benda berharga, sudah tak kekurangan. Mengapa engkau
hendak menempuh bahaya ke dalam makam itu hanya karena memburu harta benda saja
?" Si dara tertawa : "Tetapi Kupu-Kupu Emas dan Tenggoret Kumala itu, di dunia tak ada
keduanya lagi ! Baru kedua benda pusaka itu saja kiranya sudah berharga untuk kita
masuki makam."
"Kupu-kupu Emas dan Tenggoret Kumala, kita masing-masing mendapat satu. Dan
nona yang memilih lebih dulu !"
"Tetapi kedua-duanya aku menghendaki semua !" sahut si dara.
Ih Thian Heng tertawa : "Ikan mau, telapak beruangpun menghendaki juga. Ah,
apakah nona tak merasa temaha ?"
Telapak beruang merupakan hidangan yang lezat. demikianpun ikan. Jika ikan dan
telapak beruang dua-duanya mau, menunjukkan tamsil seorang yang angkara murka alias
tamak. Enak saja si dara menjawab : "Jika tak mempunyai hati temaha, masakan aku mau
menyelidiki ke dalam makam itu. Beginilah, kedua benda Kupu kupu Emas dan Tenggoret
Kumala itu menjadi bagianku. Sedang harta karun semuanya boleh engkau ambil."
Di luar dugaan Ih Thian Heng menyetujui : "Kupu-Kupu Emas merupakan benda yang
memancarkan racun yang amat ganas. Sedang Tenggoret Kumala itu khusus untuk
membasmi segala jenis racun ganas. Jika dibagi pada dua orang, memang tak leluasa
menggunakannya. Karena nona menghasratkan, biarlah kedua benda itu nona ambil . . . ."
Berhenti sejenak, ia berkata pula : "Tetapi harta lain-lainnya, semua harus diserahkan
kepadaku."
Sebentar merenung, dara itu tertawa : "Apakah maksudmu mengenai alat mainan dari
batu pualam yang aneh serta mutiara yang memancarkan sinar emas dan perak itu . . ."
Sambil mengurut jenggot, Ih Thian Heng tertawa : "Dalam makam tua itu tersimpan
banyak sekali harta permata. Tetapi kedua pusaka Kupu-Kupu Emas dan Tenggoret
Kumala itulah yang paling terkenal sendiri. Kedua benda itu sudah nona kehendaki,
adakah nona masih kurang puas ?"
Si dara tertawa melengking : "Turut hematku dalam makam tua itu tentu masih
tersimpan banyak sekali benda pusaka yang tak kalah dengan Kupu-Kupu Emas dan
Tenggoret Kumala."
Ih Thian Heng tertawa : "Soal itu tak dapat kuketahui lebih dulu. Tetapi karena nona
mengatakan tentulah sudah mengetahui benda-benda itu."
"Mengapa makam tua itu disebut sebagai makam terpencil ?" tidak menyahut
pertanyaan, si dara malah mengalihkan pembicaraan.
"Karena orang yang dikubur dalam makam itu menyebut dirinya sebagai Ko Tok Lojin.
Sesuai nama Ko Tok (sendirian) maka makam itu disebut makam Tunggal."
"Itulah !" seru si dara, jika Ko Tok Lojin menumpahkan seluruh kepandaiannya dalam
makam iiu, bukankah berarti lebih berharga dari segala harta permata termasuk KupuKupu Emas dan Tenggoret Kumala itu ?"
Diam-diam Ih Thian Heng terkejut. Tetapi ia tetap berlaku tenang. Dengan tersenyum
tawar, ia mengelus-elus jenggot : "Nona benar-benar amat cerdik sekali. Aku merasa tak
dapat menyamai !"
"Yang kusebutkan baru satu hal itu, lain-lainnya masih banyak lagi !"
"Silahkan nona mengatakan agar dapat menambah luas pengetahuanku !"
Si dara tertawa : "Sesuai dengan namanya Ko Tok, dalam hidupnya dia tentu kesepian
seorang diri. Ia tentu menganggap dalam dunia yang begini luas, tiada terdapat seorang
yang layak menjadi sahabatnya . . . ?"
"Walaupun nama Ko Tok itu tentu sesuai dengan wataknya, tetapi hal itu tiada
sangkutnya dengan alat-alat rahasia yang diciptakan dalam makam itu !"
"Karena dapat menciptakan suatu ciptaan alat-alat rahasia, dia tentu seorang yang luar
biasa cerdasnya. Dengan kepandaiannya itu amat mudahlah jika ia hendak
menghancurkan makam itu. Tetapi dengan berbuat begitu, segala rahasia dalam makam
tentu ikut lenyap. Oleh karenanya, dia telah membuang waktu, tenaga dan pikiran untuk
melengkapi makam tua itu. Jangankan alat-alat rahasia yang berada dalam makam,
bahkan cukup melihat bangunan makam itu saja, sudah dapat dibayangkan tentu tak
selesai 10 tahun pembuatannya.
Membuat makam lebih dulu sebelum meninggal memang dilakukan oleh orang-orang
berada. Tetapi anehnya walaupun semasa hidupnya dia suka menyendiri mengasingkan
diri dari pergaulan, tetapi mengapa setelah meninggal dia masih penasaran dan
menciptakan bangunan makam yang sehebat itu. Mengapa dia hendak meninggalkan teka
teki bagi angkatan kemudian hari "
Karena sikapnya yang dingin, maka dia tak punya barang seorang sahabatpun jua.
Namanya saja Ko Tok, tetapi sesungguhnya tingkah lakunya mempunyai maksud untuk
mengejek orang di dunia. Sudah tentu tidak seorangpun dapat sesuai sebagai sahabatnya.
Ah, seharusnya kalian jago-jago persilatan Tionggoan malu karena ejekan Ko Tok Lojin itu.
Tetapi kalian malah gembira hati dan berlomba-lomba hendak mengambili harta
peninggalannya dalam makam itu . . . ."
Ih Thian Heng terbeliak, ujarnya : "Penjelasan nona itu benar-benar suatu hal baru
yang membuka mataku !"
Si dara tertawa hambar : "Dengan membangun makam itu Ko Tok Lojin hendak
menonjolkan kepandaiannya yang hebat. Ia hendak mempermainkan orang-orang di
dunia. Kalau hanya terbatas begitu saja, sih tak mengapa. Tetapi rupanya ia sengaja
membuat peta pada kotak pedang Pemutus Asmara. Pedang Pemutus Asmara, sebuah
pedang pusaka yang tajamnya luar biasa. Dapat memangkas kutung semua jenis logam
seperti mengiris tanah liat. Sudah tentu setiap orang persilatan mengiler akan pedang itu.
Dan itu justru termakan siasat Ko Tok Lojin yang hendak mengejek orang-orang
Tionggoan. Ah, tetapi sayang, ternyata memang orang Tionggoan itu hanya terpikat oleh
pedang tetapi tak mengerti maknanya . . . ."
"Ucapan nona, setiap patah bagaikan emas, setiap rangkaian kata laksana untaian
mutiara yang tak ternilai harganya . . . ."
Tanpa mempedulikan pujian orang, dara itu melanjutkan lagi : "Walaupun aku tak
mengerti mengapa Kupu-kupu Emas dan Tenggoret Kumala dapat tersiar di dunia
persilatan, tetapi hal itu tentulah sengaja diatur oleh Ko Tok Lojin untuk menambah
keangkeran dan kekeramatan makam itu. Padahal sesungguhnya hal itu hanya suatu
pancingan untuk memikat perhatian orang-orang di belakang hari. Sampai dimanakah
kecerdasan otak orang-orang itu !"
"Bercakap-cakap dengan nona satu malam saja, sudah melebihi membaca buku 10
tahun !" "Walaupun sudah meninggal, tetapi Ko Tok Lojin tetap hendak mengadu kepandaian
dengan orang-orang angkatan kemudian hari. Dia tak rela kalau kecerdasannya sampai
terpendam dalam makam itu. Dengan kesimpulan itu, jelas bahwa makam itu berisikan
buah karya dari kecerdasan otaknya yang gilang gemilang . . . ."
"Apakah nona maksudkan dia tentu meninggalkan sebuah kitab yang berisi seluruh
kepandaiannya ?" tanya Ih Thian Heng.
Dara jelita itu tersenyum.
"Aku tak mengatakan begitu. Dia meninggalkan kitab, atau . . ."
Dara itu berhenti dan merenung . . . .
Jilid 20 : Han Ping bertempur dengan ketua dari It Kiong
Bagian 37 Telur di ujung tanduk.
Dara jelita baju ungu merenung sejenak lalu berkata pula dengan perlahan : "Atau
menggunakan lain cara apa saja. Tetapi pokoknya, dalam makam tua itu kecuali KupuKupu Emas dan Tenggoret Kumala, tentu masih ada lain benda yang lebih berharga dari
kedua benda itu. Jika aku hanya mengambil kedua benda itu, apakah takkan rugi besar ?"
"Lalu bagaimana maksud nona ?" tanya Ih Thian Heng.
"Kalau menurut kemauanku, dikuatirkan engkau tentu tak setuju !"
"Harta permata merupakan benda keduniaan yang dalam hidup orang sukar membawa,
matipun tak dapat membawanya. Silahkan nona mengatakan saja. Asal dipertimbangkan
sedikit untukku, aku tentu setuju !"
Si dara tertawa : "Mungkin pendirianku, tidak terlalu adil ! Tetapi sesungguhnya di
dunia ini tak ada barang yang adil seratus persen. Yang besar menghendaki pembagian
besar, yang kecil dapat kecil. Hanya karena terpaksalah maka orang mau menerima
keadilan itu secara main mengalah di sana sini !"
Ih Thian Heng tertawa ; "Harap nona suka mengatakan apa yang nona kehendaki itu
lebih dulu. Soal lain-lainnya nanti kita bicarakan lagi. Besar meminta bagian besar, yang
kecil hanya diberi sedikit, sesungguhnya hanya merupakan hukum alam. Sekalipun bagiku
hal itu memang berguna tetapi bagi nona tak berarti apa-apa."
"Siapa bilang tak berguna " Hanya tak berlaku sajalah," seru si dara tertawa.
"Uraian nona benar merupakan pembicaraan yang bermutu. Aku senang sekali
mendengarkan !"
"Kami dari perguruan Lam-hay-bun sesungguhnya tiada mempunyai dendam
permusuhan suatu apa dengan dunia persilatan Tionggoan. Sekalipun kenyataan memang
ada beberapa orang dari Tionggoan yang mengilerkan kitab pusaka Lam-hay-bun dan
berusaha untuk mendapatkan bahkan mencurinya. Tetapi hal itu tak sampai menimbulkan
permusuhan besar-besaran. Mungkin mereka menyadari bahwa mengadakan persekutuan
untuk menghadapi Lam-hay-bun, bukanlah tindakan yang menguntungkan . . . ."
Tergetar hati Ih Thian Heng. Namun ia tetap bersikap setenang mungkin, serunya :
"Apakah nona mengatakan bahwa aku bakal menderita serangan serempak dari seluruh
kaum persilatan Tionggoan yang bersatu ?"
Dingin-dingin saja si dara menjawab : "Kecuali Lam-hay-bun yang mungkin mau
membantumu menghadapi serangan bersama dari seluruh kaum persilatan Tionggoan itu,
rasanya di dunia tiada lagi orang yang mau membantumu . . . ."
Si dara berhenti sejenak lalu menyusuli kata-kata : "Mungkin ada juga yang
membantumu, tetapi mereka tak punya kemampuan !"
Ih Thian Heng mengurut jenggot dan tertawa : "Jangankan dugaan itu tipis sekali
kemungkinannya. Andaikata benar ada, aku Ih Thian Hengpun takkan tunduk kepada
mereka !" "Sebuah tangan sukar untuk bertepuk," kata si dara, "sekalipun engkau mempunyai
kepandaian setinggi langit, pun tetap sukar untuk melawan tenaga persatuan dari seluruh
kaum persilatan di Tionggoan itu !"
Kata Ih Thian Heng : "Dalam dunia persilatan Tionggoan, dendam permusuhan amat
berliku-liku coraknya. Siau-lim-pay, Bu-tong-pay dan beberapa partai yang menamakan
diri sebagai partai aliran Putih, mereka tak suka berhubuugan dengan pihak It-kiong, Jikoh
dan ketiga Marga besar. Mengatakan mereka akan berserikat untuk menggempur aku,
sukarlah terlaksananya. Apalagi jika aku menggunakan siasat untuk mengadu domba,
mereka tentu akan saling bunuh sendiri !"
Si dara tertawa : "Andaikata akupun turut memusuhi engkau, apakah engkau yakin
dapat menang ?"
"Nona adalah satu-satunya lawan yang kupandang paling berat bagiku. Oleh karena itu
aku segera bergegas datang kemari memenuhi undangan nona. Dengan membawa usul
membagi rata harta pusaka dalam makam tua itu, aka hendak mengajak perguruan Lamhaybun dalam persekutuan bersama."
"Jika engkau datang dengan hati sungguh-sungguh, soal itu bukan mustahil terjadi.
Tetapi tubuh tak dapat mempunyai dua kepala. Lalu siapakah yang akan menjadi
kepalanya ?"
"Ini . . . sebaiknya merupakan pimpinan bersama. Sebelum persoalan besar itu selesai,
masing-masing baik mencurahkan segala kemampuannya sendiri."
"Masing-masing mencurahkan kepandaiannya ?" ulang si dara.
"Benar," sahut Ih Thian Heng, "Dalam mempersiapkan dan menyusun barisan serta
perbekalan, aku menurut perintah nona. Tetapi dalam soal menghadapi dan
memenangkan pertempuran, memilih orang, harap nona menurut perintahku. Setelah
pergolakan dunia persilatan dapat ditenangkan, baru kita tetapkan pembagian daerah.
Masing-masing menguasai sebuah wilayah, tak saling ganggu dan saling menghormati
kedaulatan !"
Dara jelita itu tertawa : "Kita berdua, tentu tak mudah diperintah orang. Jika di dunia
persilatan terdapat dua pemimpin, sukar terjadi ketenteraman. Kalau bukan aku yang
menelanmu, tentu engkau yang menelanku !"
"Tetapi kalau nona benar-benar mentaati kedaulatan masing-masing wilayah, sudah
tentu aku tak berani mengganggu nona," Ih Thian Heng tertawa.
Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ah, itukan ibarat orang menggambar kue untuk menghibur perut lapar. Tetapi
kenyataannya tak berguna," jawab si dara, "sekarang lebih baik kita rundingkan lagi
tentang cara pembagian harta pusaka dalam makam tua itu dulu. Baru nanti kita bicara
lain-lainnya."
Ih Thian Heng tertawa : "Silahkan nona mengusulkan saran. Jika aku tak dapat
menyetujui, kita perdebatkan lagi."
"Kupu-Kupu Emas dan Tenggoret Kumala menjadi bagianku. Emas permata, bagainmu.
Lain-lain benda, kita bagi berdua !"
"Jika benda itu tak sama nilainya dan kedua pihak saling menginginkan, bukankah akan
timbul perselisihan lagi ?"
"Kita nanti putuskan dengan bertaruh adu kepandaian. Siapa menang boleh memilih
dulu !" "Bertaruh banyak sekali caranya," kata Ih Thian Heng, "kita masing-masing mempunyai
kepandaian sendiri-sendiri. Walaupun nona memiliki kecerdikan yang luar biasa, tetapipun
tidak dalam semua hal dapat mengalahkan aku. Lebih baik kita bicarakan acaranya agar
jangan pada waktunya nanti timbul perdebatan lagi !"
Kisah Si Rase Terbang 12 Duel 2 Jago Pedang Pendekar 4 Alis Buku 3 Karya Khulung Pendekar Sakti 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama