Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen Bagian 18
barat. Margasatwa sibuk berkemas pulang ke sarang masing-masing.
Ting Ling tahu kalau Ca Giok bermaksud hendak mengejeknya tetapi ia tak
mempedulikannya. Dengan tenang ia melanjutkan kata-katanya, "Benar, sebatang tusuk
kundai kumala. Tetapi yang menjadi pertanyaan, sampai dimanakah nilai tusuk kundai
kumala itu sehingga menjadi barang pusaka perguruan Lam-hay-bun?"
Nona itu merenung beberapa jenak lalu bertanya kepada Han Ping, "Ji siangkong,
entah apakah maksud orang itu mengatakan Tusuk Kundai Kumala dingin kepadamu"
Awal perkataannya dan akhir penutupnya jika dapat dirangkai tentulah akan banyak
membantu untuk memecahkan persoalan itu. Di tempat mana benda itu ditaruhnya?"
"Ucapan selanjutnya telah kukerat!" sahut Han Ping.
"Apakah ditaruh di dalam peti mati jenazahmu itu?"
"Hai! Mungkin begitulah," seru Han Ping, "memang ia suruh orang menyediakan peti
mati untuk menaruh mayat itu."
"Benar!" Ting Ling tertawa, "ia telah menaruh pusaka perguruan Lam-hay-bun ke dalam
peti mayat itu."
"Apa gunanya?" tanya Han Ping.
Ting Ling tertawa tawar, "Dia telah keliru menyangka kalau mayat itu adalah mayatmu.
Maka diberinya tusuk kundai kumala itu. Kalau benda itu merupakan pusaka perguruan
Lam-hay-bun tentu mempunyai khasiat istimewa. Kalau tidak demikian tentulah berarti
tusuk kundai itu sebagai wakil pribadi, untuk menemani sang kekasih. Ai, dara itu benarbenar
sudah terbenam dalam lautan asmara!"
Han Ping tercengang. Ia kerutkan dahi, ujarnya, "Adakah sungguh begitu?"
"Mudah-mudahan dugaanku tepat," sahut Ting Ling.
Han Ping tundukkan kepala duduk bersandar pohon. Wajah si dara baju ungu yang
cantik segar laksana bunga mekar dipagi hari, mulai terbayang pelapuknya".
Setelah termenung beberapa saat, berkata pula Han Ping, "Dia mengatakan kalau dara
baju ungu itu telah menaruh Tusuk Kundai Kumala dingin pusaka perguruan Lam-haybun"."
Kembali ia diam merenung sampai beberapa saat. Rupanya Ca Giok kesal, bisiknya
kepada Cong To, "Entah masih berapa jauhkah makam tua itu dari sini?"
Tiba-tiba Han Ping berbangkit bangun, "Sudah tak berapa jauh lagi, mari kita lanjutkan
jalan!" ia terus berjalan lebih dulu.
Cong To, Ting Ling dan kawan-kawannya terpaksa mengikuti anak muda itu. Dalam
pada itu diam-diam Ting Ling memperhatikan kerut wajah Han Ping. Dihtiatnya wajah
pemuda itu menampil suatu tanda keresahan hati. Diam-diam Ting Ling menghela napas,
pikirnya, "Menilik gelagatnya, dia juga menaruh hati pada dara baju ungu itu. Ah, kasihan
adik Hong ia mati-matian mencintainya tetapi yang dicinta sudah menaruh hati pada lain
orang"."
Oleh karena ingin tahu bagaimana kelanjutannya, maka Ting Ling tak mau mengatakan
akan pulang ke lembah lagi.
Ca Giok tetap merisaukan keadaan ayahnya. Sedang Cong To dan Kim Lojipun ingin
lekas-lekas mencapai makam tua itu. Mereka berjalan pesat. Bahkan pada malam haripun
tetap melakukan perjalanan. Menjelang fajar tibalah mereka di tempat yang dituju.
Sambil menunjuk ke arah gunduk-gunduk batu yang tinggi rendah menonjol tak
keruan, Han Ping berkata, "Nah, itulah makam tua yang hendak kita cari!"
Ca Giok memandang ke arah yang ditunjuk Han Ping. Tak tampak bayangan
seorangpun jua. Begitu pula dengan suara pertempuran.
"Aneh, mengapa tiada seorangpun juga?" kata Ca Giok.
"Dikuatirkan kita terlambat datang kemari. Yang mati sudah mati, yang luka tetap
terluka. Sedang yang hidup sudah pergi!" kata Ting Ling.
Ca Giok tertegun, serunya, "Biarlah aku yang masuk lebih dulu!" ia terus lari. Cong To
dan rombongannya mengikuti.
Melintasi pohon jati tua, tampak makam itu tak terdapat sesuatu jejak apa-apa. Ca Giok
makin gelisah memikirkan keselamatan ayahnya. Setelah memutari makam itu satu kali, ia
berjalan dengan kepala menunduk, serunya, "Cong locianpwe yang luas pengalaman tentu
dapat menemukan sesuatu jejak"."
Sahut Ting Ling dengan dingin, "Baik pihak mana yang menang, juga takkan
meninggalkan mayat disini". Sekalipun tak diurus orang, mayat itu tentu sudah habis
dimakan binatang buas!"
Wajah Ca Giok berubah. Namun ia masih berusaha menenangkan diri, "Menurut
hematku mungkin kita datang terlalu pagi. Jika tempat ini benar telah dijadikan tempat
pertempuran, tentu sekurang-kurangnya terdapat bekas-bekas senjata rahasia atau pun
jenis senjata tajam"
Sahut Ting Ling, "Tanah tertutup rumput dan rumput tertimbun salju jika engkau tak
menyingkap rumput-rumput itu, mana engkau dapat menemukan jejak?"
Sebenarnya Ting Ling hendak mengolok-oloknya. Tetapi karena amat gelisah
memikirkan ayahnya maka Ca Giok kacau pikirannya. Ia anggap kata-kata Ting Ling itu
benar maka segera ia mematahkan sebatang dahan jati lalu mencongkel gerumbul
rumput. Makam tua itu penuh ditumbuhi rumput setinggi lutut. Pada akhlr musim rontok, embun
tebal bertumpuk mirip salju. Karena dibongkar oleh Ca Giok, lapisan embun tebal
berhamburan ke pakaian pemuda itu.
Melihat itu tertawalah Ting Ling. Ca Giok berpaling dan tersadarlah ia kalau dirinya
sedang dipermainkan sinona. Seketika marahlah ia. Ia berjalan menghampiri seraya
menegur tajam, "Apa artinya ini?"
Wajah Ting Ling berubah bengis, balasnya, "Apa" Bukankah engkau sendiri yang
menurut kata-kataku" Siapa yang engkau salahkan?"
"Dalam saat dan tempat begini, masakan nona masih mempunyai selera untuk
mengolok-olok diriku! Apakah engkau tak mempedulikan sama sekali nasib pamanmu?"
"Huh, siapa bilang tak peduli!" jawab Ting Ling, "engkau sediri yang tak tenang. Engkau
tak dapat memikir panjang. Jika benar mereka sudah tiba kemari dan bertempur, baik
pihak manapun yang menang tentu akan masuk ke dalam makam. Dan di luar makam
tentu diberi orang yang jaga. Jika keadaan makam ini begini tenang, masakan ada orang
yang sudah memasuki makam itu?"
Mendengar uraian Ting Ling, Ca Giok terpaksa menelan kemengkalan hatinya. Dalam
pada itu diam-diam ia girang karena Nyo Bun Giau dan rombongannya belum datang ke
makam situ. "Kalau begitu, mereka belum datang kemari?" Han Ping ikut bicara.
"Sudah datang atau belum, sukar dikata. Tetapi jelas disini belum terjadi pertempuran.
Harta pusaka dalam makam tua itu masih tetap belum terganggu!"
Setelah memandang ke sekeliling makam itu, berkatalah Ca Giok, "Jika dalam makam
tua ini benar-benar terdapat harta pusaka, sekalipun tanpa peta, tetap dapat
mengambilnya!"
Mendengar itu tak tahan lagi Cong To, serunya, "Bagus, angkatan muda akan
menyisihkan angkatan tua. Kalian ternyata jauh lebih pintar dari pengemis tua. Tetapi
pengemis tua benar-benar ingin mendengar, dengan cara apakah harta pusaka dalam
makam itu dapat diambil tanpa menggunakan peta petunjuk!"
"Soal itu sederhana sekali," sahut Ca Giok, "asal kita gunakan pekerja yang bertenaga
kuat untuk menggali makam ini, masakan tak dapat menemukan harta pusaka itu!"
Tetapi Han Ping membantah dengan mengatakan bahwa makam itu dibuat dengan
bangunan yang amat kokoh sekali dan dilengkapi dengan bermacam-macam perkakas
rahasia. Cara penggalian seperti yang dikatakan Ca Giok itu tentu akan makan banyak
korban jiwa. Setelah merenung sejenak, Ca Giok menjawab lagi, "Segala rasa milik, tentu
membangkitkan keberanian. Mereka begitu ngiler hendak mencari harta pusaka, matipun
tentu rela!"
Han Ping menghela napas. Ia tak mau berbantah lebih lanjut.
Kebalikannya Kim Loji mulai buka mulut, "Pendapat Ca sau pohcu tadi meskipun bagus,
tetapi Ca sau pohcu tak tahu ciptaan bangunan makam yang luar biasa itu. Tanpa
menggunakan peta petunjuk, sekalipun menggunakan seribu tenaga, tetap tak mungkin
dapat membobolkan bangunan makam itu. Apalagi perkakas rahasianya, wah, hebatnya
bukan kepalang jika tak tahu cara bagaimana menggerakkan perkakas rahasia itu, jangan
harap dapat keluar"."
"Lekas bersembunyi" sekonyong-konyong Ting Ling melengking tegang sehingga
sekalian orang tak sempat memandang ke muka lagi, terus menyusup ke dalam gerumbul.
Ting Ling sendiri mengikuti di belakang Han Ping bersembunyi di dalam semak.
Ketika sudah bersembunyi, Han Ping melongok ke empat penjuru. Ia heran karena tak
melihat suatu apa. Segera ia berpaling ke belakang, menegur Ting Ling, "Apakah sungguh
ada orang datang?"
Ting Ling gelengkan kepala, "Tak ada!"
Han Ping marah, "Engkau ini bagaimana" Bicara dan bekerja tanpa menyesuaikan
suasana. Mengapa pada saat begini masih suka bengurau!" " habis berkata ia terus berdiri
lalu melangkah keluar.
"Tunggu dulu sebentar, maukah engkau?" seru Ting Ling perlahan, "aku hendak bicara
dengan engkau!" " ia jambret ujung baju pemuda itu.
Karena nada nona itu amat rawan, tanpa terasa Han Pingpun berhenti. Ketika berpaling
dilihatnya mata nona itu berlinang-linang airmata. Sudah tentu Han Ping terkejut.
"Kalau hendak bicara, silahkan mengatakan. Asal tenagaku mampu saja, aku tentu
akan melaksanakannya," kata Han Ping.
Nona yang biasanya keras kepala itu, tiba-tiba saat itu berubah lemah lembut. Dua
tetes airmata menitik turun.
"Aku tak lama lagi tentu mati," katanya, "sekalipun aku mengatakan beberapa patah
kata yang tak pantas, engkaupun tentu takkan menganggap dalam hati."
Han Ping terkesiap. Ia mendesak supaya nona itu segera mengatakan apa yang
dikehendaki. Ting Ling tertawa hambar, "Tahukah engkau mengapa aku menipu kalian ini?"
"Entahlah," sahut Han Ping.
"Tadi tiba-tiba kurasa lukaku timbul suatu perubahan. Mungkin aku akan mati lebih
cepat!" Han Ping terbeliak, "Apa" Mengapa bisa begitu?"
"Ah, masakan aku hendak membohongimu!" sahut Ting Ling.
Han Ping berjongkok lalu lekatkan telapak tangannya ke punggung si nona seraya
menyuruhnya melakukan pernapasan untuk menyambut tenaga murni yang hendak ia
salurkan. Saat itu tenaga dalam Han Ping sudah mencapai tataran tinggi. Begitu menyalurkan
tenaga murni, seketika Ting Ling rasakan tubuhnya dialiri serangkum hawa panas.
"Percuma," Ting Ling gelengkan kepala, "lukaku ini sudah tak mungkin disembuhkan
lagi. Sedangkan Thian Hian totiang saja sudah angkat tangan, perlu apa engkau
membuang tenaga sia-sia!"
Berkata Han Ping dengan nada bersungguh, "Tak peduli bermanfaat atau tidak,
pokoknya aku akan berusaha sekuat tenaga. Lekaslah nona melakukan pernapasan!"
Ting Ling tertawa, "Ah, apakah engkau benar-benar tak merelakan aku mati?"
"Masakan perlu bertanya?" jawab Han Ping.
Ting Ling tertawa terhibur lalu perlahan-lahan pejamkan mata dan melakukan
pernapasan untuk menyambut penyaluran hawa murm itu.
Pada permulaan, Ting Ling hanya rasakan aliran hawa panas itu menyalur ke seluruh
urat nadinya sehingga tubuh terasa nyaman. Tetapi pada saat aliran hawa panas itu
melanda ke bagian dada, tiba-tiba ia rasakan uluhatinya amat sakit sekali. Ia tak tahan
dan condongkan tubuh ke muka, menghindari tangan Han Ping.
Kepala pemuda itu basah dengan keringat. Jelas dia sudah mengerahkan seluruh
tenaga dalam untuk memberi penyaluran. Ting Ling tersenyum, serunya, "Sakitku
kambuh"." " ia mengambil sapu tangan lalu mengusap kepala Han Ping seraya berkata,
"Ah, keringatmu begini banyak"."
Han Ping menghela napas, "Jika engkau mau menahan sakit sedikit waktu saja,
mungkin aku dapat menembus jalan darah yang menyebabkan perubahan pada lukamu
itu!" "Jangan sesalkan aku. Aku benar-benar tak tahan menderita sakit yang begitu hebat.
Lebih baik biarkan aku mati saja"." " kata Ting Ling seraya perlahan-lahan sandarkan
kepalanya ke bahu Han Ping.
Melihat keadaan nona itu, timbullah rasa kasihan Han Ping. Sambil menepuk perlahan
bahu nona itu ia menghiburnya "Tak apalah. Nanti setelah kututuk jalan darahmu supaya
engkau pingsan, barulah kusalurkan tenaga murni untuk menembus jalan darah tempat
luka itu. Saat itu engkau tak merasa sakit dan dapat bertahan beberapa waktu."
Tiba-tiba Ting Ling mengangkat kepala dan menatap iba pada wajah Han Ping, "Apakah
engkau kira aku sungguh-sungguh tak tahan menderita kesakitan itu?"
Han Ping terkesiap, "Bukankah engkau sendiri yang bilang tadi" Bagaimana aku dapat
mengetahui?"
Ting Ling menghela napas. Ia merentang sepasang mata memandang wajah Han Ping.
Seolah-olah ia hendak mencari sesuatu miliknya yang hilang".
Dua pasang mata beradu!
Saat itu barulah Han Ping mengetahui pandang mata nona itu memancar rasa kasih.
Tergetarlah perasaan Han Ping. Buru-buru ia berpaling muka dan berbisik, "Harap jangan
memandang aku begitu rupa."
Belum Ting Ling membuka mulut, tiba-tiba di sebelah luar terdengar suara orang
berseru nyaring, "Apakah Tusuk Kundai Kumala Dingin itu dapat menyamai khasiat dari
Tenggoret Kumala?"
Jelas suara itu dari lain orang, bukan salah seorang dari rombongan Cong To.
Ting Ling menarik lengan baju Han Ping dan membisikinya, "Tuh, aku tak menipumu.
Memang ada orang yang datang"
Kuatir didengar pendatang itu, Han Ping tak berani bicara dan melainkan berpaling
seraya tertawa. Ia beringsut mengisar diri untuk melongok keluar dari celah semak. Tetapi
batu makam yang berjajar-jajar itu menghalang pandang matanya. Ia tak dapat melihat
pendatang itu. Rupanya yang datang itu bukan hanya seorang. Karena saat itu juga terdengar suara
lain orang berkata, "Bukan hanya menyamai, pun bahkan melebihi Tenggoret Kumala.
Kecuali itu ada pula kegunaannya yang besar sekali!"
"Apa?" seru suara lantang tadi.
Orang yang nadanya bening menyahut, "Apakah saudara suka akan kitab pusaka
perguruan Lam-hay-bun?"
Orang bernada nyaring tadi tertawa keras, "Setiap hidung orang persilatan tentu
menyukai kitab pusaka Lam-hay-bun. Akupun tak terkecuali dari mereka!"
Han Ping membisiki Ting Ling, "Rupanya salah seorang dari mereka itu Ih Thian Heng!"
Ting Ling tertegun, "Pernahkah engkau melihat Ih Thian Heng?"
"Pernah bertemu sampai tiga kali. Nadanya mirip dengan dia tetapi entah benar entah
tidak!" Ting Ling goyangkan tangan beberapa kali lalu membisiki ke dekat telinga Han Ping,
"Dia amat sakti sekali. Jika kita terus bicara tentu akan diketahuinya!"
Han Ping mengangguk dan tak berani bicara lagi. diam-diam Ting Ling merasa pemuda
itu mendadak menurut perintahnya. Dengan tersenyum ia lekatkan lehernya ke bahu
pemuda itu dan memasang telinga untuk menangkap pembicaraan kedua pendatang itu.
Berkata pula orang yang bernada bening itu, ?". percayalah omonganku. Selain Tusuk
Kundai Kumala dan kitab pusaka dari Lam-hay-bun akan dapat kita peroleh, pun masih
akan mendapat seorang istri yang luar biasa kecantikannya"."
Nada suara orang itu makin lama makin lemah sehingga tak dapat didengar lagi.
Rupanya mereka tiba-tiba berganti arah, membelok ke arah lain.
Han Ping tajamkan pendengarannya tetapi tetap tak mendengar suara apa-apa.
Rupanya mereka sudah pergi. Ia menghela napas untuk melonggarkan ketegangan
hatinya. Tiba-tiba daun telinganya terbaur angin lembut yang harum baunya.
Ketika berpaling, dilihatnya Ting Ling sedang sandarkan muka ke bahunya. Bau harum
itu berasal dari tubuh gadis itu.
Han Ping kerutkan alis, "Karena mereka sudah pergi, mari kita keluar juga!"
"Jangan," Ting Ling tertawa, "mereka segera akan kembali lagi!"
Han Ping sudah menaruh kepercayaan penuh atas kecerdasan Ting Ling menduga
sesuatu. Maka ia menurut dan duduk kembali.
Ting Ling tertawa seraya menariknya bangun, "Ah, aku hanya membohongimu,
mengapa engkau percaya?"
Dipermainkan begitu rupa, Han Ping tak dapat berkata apa-apa.
Sambil masih mencekal tangan Han Ping, Ting Ling mengajaknya loncat keluar.
"Ha, ha, ha, kalian sungguh mesra benar!" tiba-tiba terdengar orang tertawa gelakgelak.
Merahlah wajah Ting Ling. Buru-buru ia lepaskan tangan Han Ping lalu berputar diri.
Tampak Ca Giok berdiri beberapa meter di sebelah muka sambil menggendong kedua
tangannya di punggung. Dengan tersenyum senyum, pemuda itu berseru pula, "Ah, rejeki
saudara Ji sungguh besar sekali!"
"Ini, ini, ini"." Han Ping tergagap tak dapat bicara.
Adalah Ting Ling yang cepat menegur Ca Giok, "Apa" Apakah engkau sakit
melihatnya?"
"Ah, mana aku merasa begitu?" Ca Giok tertawa, "aku toh belum sempat menghaturkan
selamat pada kalian?"
Ting Ling maju dua langkah ke samping Han Ping lalu menantang, "Kalau engkau
belum puas melihat, pandanglah sampai puas!" " ia terus menggandeng lengan Han Ping.
Sudah tentu Han Ping terkesiap dan menyurut mundur untuk menghindar, "Ah, harap
nona jangan bergurau!"
Ca Giok tertawa, "Sikap saudara Ji menolak orang yang datang dari ribuan li jauhnya,
sungguh kelewat"." " baru ia berkata begitu tiba-tiba ia merasa dilanda oleh serangkum
angin keras. Cepat ia menyingkir ke samping. Dan ketika berpaling, tampak Cong To
sudah berdiri di tempat sebelum Ca Giok menyingkir tadi.
"Ih Thian Heng dan seorang lelaki pertengahan umur serta seorang berpakaian
sastrawan, menuju ke arah tenggara. Dalam beberapa saat ini pengemis tua melihat
belasan tokoh persilatan menuju ke sana. Tentu bukan sewajarnya"." kata Pengemis sakti
Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cong To, "Tadi ketika bersembunyi dalam semak, akupun mendengar Ih Thian Heng bicara
dengan seseorang tentang Tusuk Kundai Kumala. Rupanya soal itu ada hubungannya. Kita
meninjau ke sana atau tidak!"
Cong To merenung sejenak, katanya "Ya, kita lihat saja kesana!" " ia terus mendahului
lari ke arah tenggara.
"Karena mereka berjumlah banyak kemungkinan ayah tentu ke sana juga," kata Ca
Giok terus menyusul lari.
Han Ping memandang kian kemari tetapi tak melihat Kim Loji. Baru ia hendak
menanyakan, tiba-tiba dari balik pohon jati tua, terdengar suara Kim Loji berseru, "Ping Ji,
kemarilah. Aku hendak bicara!"
Han Ping segera menghampiri. Dilihatnya Kim Loji berada di atas dahan pohon. Segera
Han Ping memberi hormat serta menanyakan apa yang akan dikatakan pamannya itu.
"Ping-ji, kelak apabila bertemu dengan padri Siau-lim-si, jangan berkelahi dengan
mereka," kata Kim Loji.
Han Ping mengiakan.
"Silahkan kalian pergi, biarlah kutunggu di sini. Apabila urusan sudah selesai, harap
lekas kembali lagi," kata Kim Loji.
"Mengapa paman tak ikut?"
Kim Loji merenung sejenak lalu berkata, "Pertama, karena makam tua Ini sudah
termahsyur di dunia persilatan kalau menyimpan harta pusaka yang tak ternilai jumlahnya.
Maka aku hendak menunggu di sini saja. Nanti akan kuperhatikan tokoh-tokoh siapa yang
datang kemari mencari harta pusaka itu. Dan kedua kalinya, Ih Thian Heng muncul di
sana. Kalau sampai kepergok, sungguh tak enak bagiku!"
Bermula Han Ping hendak mendesak Kim Loji supaya ikut sekali. Tetapi pada lain kilas,
ia teringat, nyali pamannya tentu sudah kuncup karena kewibawaan Ih Thian Heng. Jika
memaksa pergi, tentulah tak baik. Lebih baik tinggalkan paman itu di situ, seakan untuk
menjaga makam. "Baiklah, jika paman hendak menjaga di sini," Han Ping memberi hormat, "asal jangan
pergi kemana-mana agar kita jangan bingung mencari."
Kim Loji tertawa, "Jangan kuatir, aku tentu dapat menjaga diri"
Setelah itu Han Ping segera ajak Ting Ling pergi. Tetapi nona itu menolak, "Silahkan
engkau pergi sendiri, maaf, aku tak dapat menemani."
"Mengapa?" Han Ping heran.
"Lukaku segera terasa sakit. Mengapa engkau ajak aku ke sana untuk menerima
hukuman?" "Tetapi kalau engkau seorang diri di sini, sungguh menguatirkan."
"Tak perlu banyak pikiran. Sebelum kita berkenalan, bukankah aku sudah sebesar ini?"
Kata-kata nona itu membuat Han Ping tak dapat bicara. Ia hanya tergagap, "lni, ini
aku"."
"Sudahlah, jangan ini itu," seru Ting Ling, "lekaslah ke sana! Aku bersama Kim
locianpwe menunggu kalian di sini. Dalam dua tiga hari ini kemungkinan aku belum mati.
Mungkin masih dapat bertemu muka lagi"." " nada nona itu berubah rawan. Ia berputar
tubuh terus melangkah perlahan- lahan.
"Nona Ting, harap kembali"." buru-buru Han Ping memanggil. Tetapi sampai diulang
beberapa kali, tetap Ting Ling tak mau kembali. Ia terus berjalan ke muka, menyusup ke
dalam salah sebuah batu nisan yang menonjol.
Han Ping menghela napas. Ia minta kepada Kim Loji supaya suka melindungi Ting Ling.
Setelah meninjau ke tempat tokoh-tokoh persilatan itu, segera ia akan kembali.
"Ah, nona Ting tak perlu dilindungi. Ia cerdik dan kaya dengan akal. Mungkin ia dapat
membantu aku di sini." Kim Loji tertawa.
Han Ping tegak sampai beberapa jenak. Tak tahu apa yang harus dikatakan lagi. Tibatiba
ia berputar diri lalu loncat tiga tombak jauhnya. Dengan gunakan ilmu meringankan
tubuh, cepat sekali ia sudah lenyap dari pandangan.
Melihat gerakan pemuda itu diam-diam Kim Loji tersenyum gembira. Dalam sebulan tak
berkumpul, ternyata Han Ping sudah maju pesat sekali dalam ilmu silatnya.
Kepergian Han Ping itu membawa hati yang gundah. Tampaknya ia setengah tahu
setengah tidak, akan gerak gerik Ting Ling yang penuh dengan curahan Asmara itu. Tetapi
ia tak tahu bagaimana cara menghibur hati nona yang sedang dimabuk Asmara itu agar
jangan sampai menderita putus asa dan tersinggung perasaannya. Hal itulah yang
membuat hati Han Ping serasa tertindih oleh batu besar sehingga dadanya seperti
terhimpit tak dapat bernapas".
Dalam cengkaman keresahan dan kekacauan pikiran itu, larilah Han Ping sepembawa
kakinya. Ia lari asal lari, entah sudah berapa lama, entah sudah tiba dimana. Baru setelah
terkejut mendengar suara orang memanggil namanya, iapun berhenti.
Ketika berpaling, dilihatnya Cong To berlari menghampiri diikuti dari belakang oleh Ca
Giok. Ternyata pada waktu lari tadi, Han Ping tundukkan kepala sehingga ia tak merasa kalau
sudah mendahului Cong To dan Ca Giok.
"Ho, lari saudara Ji sungguh cepat sekali!" seru Ca Giok seraya mengusap keringat di
kepala. Karena lari secepat-cepatnya itu, kepala Han Ping pun basah dengan keringat. Ia
mengatakan hendak menyusul kedua orang itu.
Cong To tertawa, "Tadi pada jarak 10 li, engkau sudah mendahului kami berdua.
Mengapa engkau masih lari seperti diuber setan?"
"Aku hanya menumpahkan perhatian untuk lari, tidak memperhatikan orang di jalanan"
"Andaikata tak kupanggil, sampai kapankah saudara Ji akan berhenti!" tanya Ca Giok.
Han Ping terkesiap, "lni sukar dikata. Jika sudah letih tentu berhenti!"
Pengemis sakti Cong To kerutkan dahi, tegurnya, "Eh, mengapa budak setan yang
besar itu tak ikut serta?"
Han Ping mengatakan nona itu hendak beristirahat merawat luka. Demikianpun dengan
pamannya Kim Loji.
"Ah, seharusnya engkau bawa budak setan itu kemari. Siapa tahu kita memerlukan
bantuannya," kata Cong To.
"Ya, memang nona Ting Ling seorang gadis cantik lagi cerdas. Dan saudara Han Ping
gagah perkasa dan berilmu tinggi. Benar-benar merupakan sepasang mustika yang amat
sepadan. Dalam hal menjodohkan mereka, Cong locianpwe harus turun tangan"." Ca Giok
menggoda. Cong To tertawa, "Terus terang selama ini pengemis tua tak mempunyai kesan baik
terhadap orang kedua Lembah dan ketiga Marga itu. Dan yang paling menjemukan sendiri
adalah orang dari kedua lembah itu. Tak kira beberapa hari bergaul saja, aku benar-benar
amat berkesan kepada budak perempuan besar dari Lembah Raja Setan itu. Rupanya
pekerjaan pengemis tua sebagai comblang nanti, tentu ada harapan!"
Ca Giok tertawa, "Sayang nona Ting Ling tak dapat menikmati rezeki sebesar itu karena
mengidap luka yang tak dapat disembuhkan!"
Cong To tertegun lalu mendamprat pemuda itu, "Bagus! Ho, nyalimu sungguh besar.
Berani juga engkau mempermainkan pengemis tua, ya!"
"Tetapi bicaraku belum selesai dan locianpwe sudah menukas. Bagaimana hendak
menyalahkan aku!" bantah Ca Giok.
Han Ping memandang Ca Giok dan berkata dengan serius, "Senda gurau semacam itu
tadi, harap saudara jangan mengatakan lagi. Soal yang menyangkut nama baik seseorang,
hendaknya jangan dibuat main-main!"
Masih Ca Giok membela diri, "Putra putri persilatan, kebanyakan tak terlalu
memusingkan soal adat istiadat yang tak berarti. Janganlah hendaknya saudara Ji
memakai ukuran orang biasa untuk mengukur diriku."
Melihat kedua pemuda itu saling tarik urat tegang, tiba-tiba Cong To tertawa, "Ho,
pengemis tua paling tak senang melihat orang mengerut dahi. Hayo kita lanjutkan
perjalanan lagi!"
Han Ping melirik ke samping lalu berseru, "Cong locianpwe"."
"Bukankah engkau hendak menanyakan pengemis kecil!" tukas Cong To,
"Benar, kemanakah dia?"
"Selamanya pengemis tua dan pengemis kecil itu selalu berjalan sendiri-sendiri. Kami
tak perlu mengurus satu sama lain," sahut Cong To seraya lari.
Terpaksa kedua pemuda itu mengikuti lari. Kira kira berlari 10 li jauhnya, tibalah
mereka di sebuah lereng gunung. Tampak Pengemis sakti bersembunyi di balik pohon
yang tumbuh di atas puncak lereng dan mengacungkan tangan memanggil.
Han Ping terkesiap. Ia yakin kalau tidak bertemu dengan musuh yang tangguh tentulah
pengemis sakti itu melihat sesuatu hal luar biasa yang belum pernah dialami seumur
hidup. Karena menilik tingkatan pengemis tua itu, tak mungkin akan bersembunyi jika tak
menghadapi kedua kemungkinan tersebut.
Han Ping lepaskan tangannya dari cekalan Ca Giok, katanya, "Saudara Ca, Cong
locianpwe tentu menghadapi musuh tangguh. Hendaknya jangan kita sampai mengejutkan
mereka!" dengan perlahan-lahan ia terus mendaki ke atas.
Ca Giokpun sependapat dengan dugaan Han Ping. Ia mengikut di belakang Han Ping
dan merangkak ke atas dengan hati-hati.
Ketika tiba di belakang pengemis sakti, kedua pemuda itu melongok ke bawah dan
serempak tergetarlah hati keduanya!
Di muka sebuah gunduk makam yang rupanya baru saja ditimbuni tanah dan taburan
bunga serta sesaji buah-buahan segar, seorang dara baju ungu dan kepala terbungkus
sutra hitam, sedang duduk bersila di hadapan makam itu. Tangannya tak henti hentinya
menabur bunga dan kertas.
?"?" Hal 70 " 71 hilang ?"?"?""
lahi. Mereka sedang melakukan upacara penguburan. Tentu hatinya berduka cita.
Kurang layak kalau membuat onar." sahut Han Ping.
"Baiklah, pengemis tua tak pernah mau memaksa orang. Kalau engkau tak suka pergi,
tunggulah di sini saja!" kata Cong To seraya mulai menuruni lereng gunung.
Sekalipun dalam hati Han Ping menduga bahwa yang dikubur itu tentulah orang yang
dianggap sebagai dirinya, tetapi diam-diam Han Ping masih ragu-ragu. Ia masih tak
percaya masakan dara baju ungu yang begitu cantik dan begitu angkuh, mau mencintai
dirinya"."
Diam-diam ia kepingin mengetahui juga. Cepat ia melambung, bersembunyi di atas
sebatang pohon yang rindang daunnya.
Sementara setelah tiba di lembah tempat upacara penguburan, tiada seorangpun yang
memperhatikan kedatangan Cong To dan Ca Giok.
Setelah batuk-batuk, Pengemis sakti Cong To Iangsung menghampiri kuburan itu".
Jilid 23. Si Penampar Bunga.
Ca Giok pun segera menyusup dan berdiri di sebelah ayahnya. Ketua marga Ca itu
berpaling memandang puteranya.
"Mengapa engkau ke sini" Lekas pergi!" bentaknya lirih.
Ca Giok tertegun, tanyanya, "Kemana aku harus pergi?"
"Pulang ke rumah!"
Nyo Bun-giau yang berdiri tak jauh dari Ca Cu-jing segera tersenyum, "Tak usah kuatir,
saudara Ca. Puteramu cukup cerdas dan dapat menjaga diri. Bukankah sayang kalau tak
suruh dia ikut menyaksikan pengalaman yang jarang terdapat seperti ini?"
Ca Cu-jing serentak palingkan muka, dia membisiki puteranya, "Giok-ji, nanti apabila
terjadi apa pun juga, jangan sekali-kali engkau gegabah ikut campur dan lekas engkau lari
sembunyi di lereng puncak itu."
Ca Giok mengiakan.
Saat itu Pengemis-sakti Cong To sudah makin dekat di muka makam. Hanya terpisah
satu dua meter dari tempat si dara baju ungu.
Tiba-tiba Ih Thian-heng berpaling dan berkata kepada pemuda baju putih itu, "Saudara
Siong, orang yang berpakaian compang camping itu adalah Pengemis-sakti Cong To yang
termasyhur di dunia persilatan!"
Pemuda baju putih itu hanya tertawa hambar, sahutnya, "Nanti aku hendak minta
pelajaran!"
Mendengar itu Leng Kong-siau melirik sejenak ke arah pemuda baju putih itu.
Lelaki berjubah kuning yang berdiri di sisi pemuda baju putih tertawa dingin dan
membentak Leng Kong-siau, "Lihat apa engkau jahanam busuk!"
Rupanya ia baru kenal akan kata-kata makian itu maka waktu mengucapkan pun agak
masih kaku. Ong Kwan-tiong, tokoh Lam-hay-bun yang berpakaian indah, berpaling dan
menyelutuk, "Eh, mengapa saudara ribut2 saja" Bukankah nanti banyak waktu untuk
bertengkar?"
Berobahlah wajah lelaki jubah kuning tadi. Ketika ia hendak balas mendamprat,
pemuda baju putih cepat mencegahnya, "Jangan bicara lagi!"
Tampak orang berjubah kuning itu amat garang perawakan dan sikapnya, tetapi
terhadap pemuda baju putih ia amat mengindahkan dan takut.
Leng Kong-siau yang dimaki tadi sudah tentu tak terima. Sambil diam-diam kerahkan
tenaga-dalam, ia berkata kepada Nyo Bun-giau dan Ting Yan-san, "Tahukah saudara,
siapakah orang berjubah kuning itu?"
Nyo Bun-giau berpaling memandang sejenak lalu mengatakan bahwa orang itu adalah
orang undangan dari Ih Thian-heng.
"Dia bermulut kasar, aku hendak memberinya sedikit pengajaran," kata Leng Kong-siau.
Nyo Bun-giau tertawa hambar, "Harap bersabar dulu, saudara. Kalau tak kebetulan, kita
akan berhadapan dengan orang Lam-hay-bun."
Dengan ucapan itu Nyo Bun-giau hendak memberitahukan siasatnya. Kalau fihaknya tak
dapat mengekang diri dan turun tangan, tentu akan bentrok dengan Ih Thian-heng. Tetapi
kalau dapat bersabar dan tunggu sampai fihak lain yang bentrok dulu, tentulan fihaknya
akan mendapat keuntungan. Setelah fihak yang bertempur ada yang bonyok, barulah ia
dapat menyelesaikan mereka semua.
Ting Yan-san membenarkan Nyo Bun-giau, "Ya, memang saudara Nyo benar. Menilik
gelagatnya, suasana hari ini tentu takkan selesai secara baik-baik. Walaupun yang datang
amat banyak tetapi menurut kesimpulanku, hanya tiga kekuatan yang benar-benar harus
diperhitungkan. Kesatu, Lam-hay-bun. Kedua rombongan Ih Thian-heng yang
mengundang beberapa tokoh dan yang ketiga adalah kita sendiri. Jika kita yang habis dulu
bentrok dengan Lam-hay-bun, tentu kita akan rugi dan Ih Thian-henglah yang untung.
Nyo Bun-giau pun cepat beringsut maju ke samping Leng Kong-siau. Ia tahu orang she
Leng itu licin sekali. Nasehatnya yang didukung Ting Yan-san belum tentu dapat
mencegah tindakannya.
Jika dalam urusan kecil tak dapat menahan diri, urusan besar tentu akan terbengkalai.
Jangan hendaknya saudara Leng terlalu dipengaruhi oleh emosi. Siapa yang dapat
menahan diri, dialah yang akan memperoleh keuntungan," katanya menandaskan sekali
lagi kepada Leng Kong-siau.
Leng Kong-siau menyanggupkan diri untuk menuruti permintaan kedua orang itu.
Pembicaraan ketiga orang itu dilakukan dengan ilmu Menyusup-suara. Oleh karena itu,
lain orang tiada yang dapat mendengarkannya.
Saat itu Cong To yang sudah hampir dekat dengan tempat si dara baju ungu, tiba-tiba
merasa dilanda oleh serangan angin yang kuat. Ia terkejut dan buru-buru loncat
menghindar ke belakang.
Ternyata nenek Bwe-nio memandang pengemis itu dengan rambut bergetaran dan
wajah murka. Tetapi nenek itu tak berkata apa-apa.
Dan ketika berpaling ke kanan kiri, Cong To melihat tokoh-tokoh Lam-hay-bun lainnya
seperti lelaki pincang, si Bungkuk dan si Pendek, sama memandangnya dengan marah
tetapi mereka pun tak berkata apa-apa.
Setelah memandang ke arah punggung si dara, barulah Cong To menyadari mengapa
orang-orang Lam-hay-bun begitu memandangnya dengan marah.
Kiranya saat itu si dara baju ungu tengah menangis. Tetapi karena amat pelahan sekali
sehingga tak kedengaran.
Nenek Bwe-nio dan lelaki kaki buntung itu, rupanya mengetahui keadaan si dara. Maka
mereka tak berani membentak Cong To karena kuatir mengejutkan si dara baju ungu.
Semula Cong To mengira bahwa dugaannya benar. Tetapi pada lain saat timbullah
pertanyaan dalam hatinya, "Jika benar dara itu sedang menangis, bukankah mereka dapat
menggunakan kesempatan membentak aku supaya menghentikan tangisnya" Mengapa
mereka malah membiarkan saja?""
Cong To pasang telinga. Didengarnya tangis data itu seperti orang yang sedang
meratapi nasib dan mencurahkan isi hatinya. Tetapi karena suaranya amat pelahan sekali
sehingga sukar ditangkap dengan jelas.
Dan ada sesuatu yang istimewa. Tangis dara itu begitu memilukan sekali sehingga
orang-orang yang mendengarnya pun ikut bersedih. Beberapa saat kemudian, Cong To
sendiri pun ikut merasa rawan dan ingin menangis juga.
Lama kelamaan, samar2 dapat terdengar juga kata-kata tangis dara itu. "Engkau sudah
mati meninggalkan diriku seorang diri. Untuk siapakah sang bunga mekar itu" Kepada
siapakah kerinduan itu akan tercurah" Mempersembahkan hati duka kepada nisan"."
Tangis itu walaupun pelahan tetapi setiap patah kata dapat didengar jelas dan
mengandung daya kuat mengikat hati orang.
Tanpa disadari, Cong To pun menitikkan beberapa airmata. Diam-diam ia menghela
napas. "Entah kepada siapakah ia sedemikian menumpahkan hatinya!"
Tiba-tiba dari arah belakang terdengar derap langkah orang. Dan ketika ia berpaling,
ternyata si pemuda baju putih tadi berjalan menghampiri ke tempat pengemis itu sambil
kebut-kebutkan kipas batu kumalanya.
Rupanya pemuda itu sengaja suruh orang mendengar jalannya maka langkahnyapun
terdengar berat.
Nenek Bwe Nio segera berpaling dan deliki mata kepada pemuda baju putih itu. Tetapi
pemuda itu tak menghiraukan. Dengan langkah bergoyang gontai, Ia tetap menghampiri
ke belakang si dara.
Bwe Nio hendak bergerak menghalanginya. Tetapi ia kuatir akan mengganggu si dara
yang tengah meratap itu. Sesaat ia tak tahu apa yang harus dilakukan.
Pemuda baju putih percepat langkahnya dan cepat sekali ia sudah lewat di sisi Cong To.
Melihat tingkah laku pemuda itu, Cong To segera ulurkan tangan hendak
Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mencengkeramnya. Ia gunakan kim Toa-kin-jiu. Ilmu untuk merebut senjata. Ia pikir,
sekali pun pemuda itu memiliki ilmu kepandaian silat, tetapi tentu tak dapat menghindar
karena tak menduga-duga.
Di luar dugaan, ujung baju si pemuda itupun tak kena dicengkeramnya. Cong To
terkejut bukan kepalang. Pikirnya, "Seorang budak yang tak ternama, mengapa mampu
menghindari cengkeramanku" Hm, dia tentu sakti!"
Dalam pada Cong To tertegun itu, si pemuda baju putih pun sudah tiba di belakang si
dara baju ungu. Saat itu asal menjamahkan tangan, tentulah pemuda itu dapat
menyingkap kain kerudung si dara.
Entah bagaimana tiba-tiba timbullah rasa iba Cong To terhadap dara itu. Ia anggap
dara yang begitu halus perasaannya, barulah orang yang pantas dihormati. Melihat
pemuda baju putih itu menghampiri ke belakang si dara, Cong To marah sekali.
"Berhentil"teriaknya marah,"berani bergerak, tentu pengemis tua akan membeset
kulitmu!" Ia loncat menerkam pemuda baju putih itu. Tetapi tepat pada saat itu, si pemuda baju
putih pun mengisar diri dua langkah ke samping lalu berputar tubuh.
Ternyata pemuda baju putih itu menghindari beberapa taburan benda bersinar emas
yang mengarah dirinya. Tetapi entah siapa yang melepaskan senjata rahasia itu.
Dara baju ungu itu tetap tenang sekali. Sekalipun sudah hentikan ratapannya tetapi
tampaknya tak mengetahui apa yang terjadi di belakangnya. Ia tetap diam tak bergerak.
Ternyata nenek Bwe Nio sudah mendahului Cong To melesat ke belakang si dara. Yang
penting melindungi dara itu baru kemudian menggerakkan tongkatnya untuk menutuk si
pemuda baju putih.
Loncat-lesat dan pukul-tutuk itu, berlangsung hampir serempak cepat dan temponya.
Secepat berputar diri, pemuda baju putih itu hendak menegur siapa yang menyerang
dengan senjara gelap tadi. Tetapi belum sempat membuka mulut, tongkat Bwe Nio sudah
tiba. Dan saat itu, pukulan Cong To pun menyusul datang.
Pemuda baju putih itu tebarkan kipasnya lalu menghindar tiga langkah ke samping.
Gesitnya bukan kepalang. Sekaligus ia menghindari tutukan tongkat Bwe Nio serta pukulan
Cong To. Dan saat itu dari empat penjuru hadirin serentak menyerbu mengepung makam.
Si Bungkuk, si Pendek dan si Kaki Buntung berturut-turut melesat ke samping Bwe Nio.
Mereka berempat tegak berjajar melingkari si dara.
Setelah tutukannya luput, Bwe Nio menarik pulang tongkatnya. Matanya menatap
lekat2 pada pemuda baju putih itu tetapi tak mau menyerangnya lagi.
Begitu pula Cong To. Sehabis memukul, ia tak mau menyerang lagi. Keadaan tenang
kembali tetapi hanya suatu penundaan dari suatu bentrokan yang akan meledak.
Ih Thian-heng berpaling ke arah pemuda baju putih, lalu kerutkan alis. Rupanya ia tak
senang akan tindakan pemuda itu mencari gara2. Tetapi tak enak hati untuk menegurnya.
Kemudian ia berpaling kepada Cong To, katanya, "Apakah maksud saudara Cong
mengganggu kekhidmatan suasana saat ini?"
Dengan licik, Ih Thian-heng memindahkan kesalahan itu kepada Cong To.
Pengemis-sakti Cong To juga seorang yang aneh dan keras kepala. Sesungguhnya ia
dapat menyangkal tuduhan itu. Tetapi kebalikannya dengan tertawa dingin ia menyahut,
"Pengemis tua mengacau di sini, engkau mau apa?"
Ih Thian-heng tersenyum, "Itu nanti orang Lam-hay-bun yang akan minta
pertanggungan jawab kepada saudara. Aku sih tak punya hak apa-apa, hanya
menyayangkan tindakan saudara itu."
Tiba-tiba Nyo Bun giau menyelutuk, "Apabila saudara Ih kenal pada pemuda baju putih
itu, harap saudara suka memperkenalkan kepada kami. Rasanya dalam dunia persilatan
Tiong-goan belum pernah tampak tokoh muda semacam dia."
Memang sesuai dengan tata kesopanan, ucapan Nyo Bun-giau yang minta dikenalkan
dengan pemuda baju putih itu. Tetapi sesungguhnya diam-diam ia telah membantu Cong
To. Seluruh hadirin tahu jelas bahwa pemuda baju putih itu telah gegabah menghampiri ke
tempat si dara. Tetapi sengaja Nyo Bun-giau bertanya lagi dengan melibatkan Ih Thianheng
sebagai kawan pemuda itu.
Pelahan-lahan Ih Thian-heng beralih memandang Nyo Bun-giau. Ia
tersenyum;"Rupanya saudara Nyo lebih banyak menikmati kebahagiaan tinggal di rumah
raja sehingga jarang keluar ke dunia persilatan. Maka tak heran kalau saudara tak banyak
kenal orang!"
Jawaban menyindir itu diterima dengan tertawa oleh Nyo Bun-giau, serunya, "Aku
memang sebagai katak dalam tempurung, mana bisa dibandingkan dengan saudara!"
Keduanya adalah rase tua yang licin dan licik. Sekalipun adu lidah tajam tetapi wajah
mereka tetap mengulum senyum. Sedikitpun tak menampilkan kemarahan.
Saat itu Ong Kwan-tiong dengan membawa 12 pengawal bersenjata, menghampiri Ih
Thian-heng, ditatapnya dingin2 jago dari Sin ciu itu, tegurnya, "Kenalkah saudara Ih
kepada pemuda baju putih itu?"
Pertanyaan yang langsung dan terus terang itu membuat Ih Thian-heng sesaat tak
dapat menjawab.
Ia tersenyum menyahut, "Tokoh-tokoh persilatan, aku memang banyak yang kenal"."
Ong Kwan-tiong melanjutkan dengan nada tawar, "Aku bertanya adakah saudara Ih
kenal dengan pemuda itu?"
Ia alihkan pandangan ke arah pemuda baju putih.
Rupanya pemuda baju putih itu memang bermaksud supaya Ih Thian-heng mendapat
kesulitan. Dia mengangkat kepala memandang ke langit tanpa berkata apa-apa. Seolaholah
tak mendengarkan tanya jawab Ong Kwan-tiong dengan Ih Tnian-heng.
Karena terpojok, Ih Thian-heng sukar untuk menghindar. Sambil mengelus jenggot, ia
tertawa, "Kalau kenal lalu bagaimana?"
"Kalau saudara Ih sudah kenal padanya, lebih dulu aku harus minta maaf baru akan
memberinya pelajaran. Tetapi jlka saudara Ih tak kenal, terpaksa hari ini aku membuka
pantangan membunuh!"kata Ong Kwan-tiong dengan tandas.
Ih Thian-heng tersenyum, "Aku kenal"."ia berpaling ke arah pemuda baju putih itu dan
tertawa nyaring, "Saudara Siong, silahkan kemari. Akan kuperkenalkan beberapa tokoh
terkemuka dunia persilatan Tiong-goan pada saudara!"
Sambil berkipas-kipas, pemuda baju putih menghampiri dengan langkah bergoyang
gontai. Memang pemuda itu, kecuali Ih Thian-heng, tak ada yang kenal. Walaupun dadanya
dihimpit kemarahan, tetapi Ong Kwan-tong tetap tenang, Hanya sinar matanya memang
tak terhindar dari sinar kemarahan. Ia memandang lekat2 pada pemuda tak dikenal itu.
Sambil menunjuk kepada Ong Kwan-tiong, berkatalah Ih Thian heng;"Saudara Ong
Kwan-tiong ini adalah murid pertama dari perguruan Lam-hay-bun"."
Walaupun mendendam kemarahan namun Ong Kwan-tiong tak mau meninggalkan
kesopanan. Ia membungkukkan tubuh seraya memberi hormat. Tetapi di luar dugaan
pemuda baju putih sombongnya bukan kepalang. Ia tetap menggoyang-goyangkan
kipasnya tanpa berkata kata sepatah kata pun.
Ih Thian-heng kerutkan dahi. Menunjuk pemuda baju putih itu ia berkata, "Dan saudara
adalah Hud Hua kongcu dari Kwan-gwa (luar perbatasan). Saudara berdua yang satu dari
ujung utara dan yang satu dari ujung selatan. Sungguh tepat seperti yang dikata oleh
pepatah, "Delapan penjuru dunia itu, satu adanya."
Ong Kwan-tiong tertawa dingin, "Sudah belasan tahun aku tinggal di daerah Tionggoan,
tetapi selama ini belum pernah aku mendengar nama saudara."
Selain sombong, pemuda baju putih itu amat tebal mukanya. Sindiran tajam dari Ong
Kwan-tiong itu tak dapat memancing kemarahannya. Sambil berkipas-kipas, ia berkata
pelahan-lahan, "Aku memang jarang keluar ke Tiong-goan. Maka sedikit sekali yang kenal
padaku." Ong Kwan-tiong tiba-tiba maju selangkah, tegurnya dingin, "Tahukah Hud Hua kongcu,
tempat apa disini ini?"
"Hutan belantara di puncak bukit. Sebuah tempat yang gersang. Apakah masih
mempunyai lain nama lagi?"sahut pemuda itu.
"Aku tak kenal pada saudara, perlu apa saudara datang kemari!"bentak Ong Kwantiong
dengan keras. "Kudengar Lam-hay Ki-soh mempunyai seorang puteri yang teramat cantik jelita,
bagaikan bidadari menjelma di dunia. Maka sengaja kuperlukan datang untuk
membuktikan, yang mana lebih cantik dia atau isteriku?"sabut pemuda baju putih itu.
Saking marahnya gemetarlah tubuh Ong Kwan-tiong, "Sungguh seorang manusia yang
tak punya mata! Masakan engkau berani mengucapkan kata-kata yang seliar itu!"
Hud Hua kongcu tertawa nyaring, "Di kalangan Air hitam dan Gunung putih, siapakah
yang tak kenal akan namaku yang romantis. Bahwa aku sampai memerlukan datang,
seharusnya dia berusaha untuk memikat, barulah tepat!"
Diam-diam Ong Kwan tiong sudah kerahkan tenaga dalam lalu berkata, "Manusia
semacam engkau ini, hidup di dunia tiada guna apa-apa"."pelahan-lahan ia mengangkat
tangan, siap hendak memukul.
Sekalipun gerakan mengangkat tangan itu amat pelahan, tetapi sekalian hadirin tahu
bahwa pengerahan tenaga dalam itu benar-benar penuh sekali. Sekali dihantamkan, tentu
bukan kepalang tanggung hasilnya.
"Harap saudara Ong berhenti dulu. Sukalah saudara mendengar sedikit kata-kata
keteranganku,"tiba-tiba terdengar seseorang berkata. Dan ketika Ong Kwan-tiong
berpaling ternyata yang berbicara itu adalah Ca Cu-jing, ketua marga Ca atau ayah dari Ca
Cu-giok. "Saudara hendak mewakilinya bicara?"tegur Ong Kwan-tiong.
Jago tua dari marga Ca itu batuk-batuk dua kali baru menyahut, "Nama dari Hud Hua
kongcu ini, bukan saja saudara Ong sendiri, pun aku dan semua hadirin yang berada di
sini memang belum pernah mendengar"."
Ia berhenti sejenak lalu berkata, "Orang yang sombOng, memang patut dibunuh.
Masakan aku mau berbicara untuk membelanya. Hanya sebelum turun tangan apakah
saudara Ong tak lebih baik menanyakan lebih dahulu, mengapa dia kenal bahwa sumoay
saudara teramat cantik sekali?"
Diam-diam Ong Kwan-tiong membenarkan, "Ya, sumoay selama ini tinggal di luar
lautan, jarang bertemu orang apalagi berkelana ke Tiong-goan pun baru yang pertama kali
ini. Tetapi mengapa pemuda itu tahu kalau sumoay cantik jelita?"
Pada saat ia hendak menanyakan hal itu, tiba-tiba pemuda baju putih itu tertawa gelakgelak,
"Tak ada yang tak kuketahui, tak ada yang tak kudengar. Hal ini"."
Tiba-tiba terdengar seseorang menukas dengan tertawa dingin, "Tigabelas propinsi
telah pengemis tua jelajahi, tak sedikit menjumpai manusia2 yang aneh dan sombong.
Tetapi belum pernah selama ini pengemis tua malihat seorang manusia yang bermuka
tebal. Baru hari ini pengemis tua mendapat pengalaman baru!"
Yang bicara itu bukan lain Pengemis-sakti Cong To. Dan ucapannya yang tajam benar
tak dapat diterima oleh Hud Hoa kongcu. Sekonyong-konyong ia menggembor lalu
menampar Cong To dengan kipas.
Gerakan pemuda itu hebat sekali. Ilmu kepandaiannya tak kalah dengan tokoh kelas
satu Tiong-goan.
Cong To menghindar ke samping lalu balas menyerang sampai 8 kali. Suatu gerak
serangan-berantai yang benar-benar mempesonakan. Memang sejak sama mempelajari isi
kitab Tat-mo-cin-keng bersama Han Ping sewaktu terjeblus dalam lubang penjara air
tempo hari, baik dalam ilmu pukulan maupun tenaga dalam, Cong To telah mempeloleh
kemajuan yang mengejutkan orang.
Melihat gaya serangan Hud Hua kongcu sedemikian hebatnya, tahulah Cong To kalau
pemuda itu mendasarkan kesombongannya karena kepandaian sakti. Tiba-tiba ia teringat
akan seseorang. Maka ia segera melakukan serangan sekaligus 8 jurus. Dengan serangan
kilat itu ia hendak memaksa lawan supaya mengunjukkan aliran ilmunya. Adakah pemuda
ini benar-benar ajaran dari tokoh yang diduganya.
Tetapi pemuda itu melakukan gerakan yang aneh. Tubuhnya berputar-putar sangat
cepat sambil beralih kedudukan kaki. Dan ternyata ia dapat menghindari ke 8 jurus
serangan Cong To yang tak kalah derasnya dengan hujan mencurah itu.
Mereka bergerak dengan sebat dan terlalu cepat sekali sehingga tokoh-tokoh yang
hadir tak sampai mengetahui jurus dan aliran kepandaian keduanya.
Diam-diam Ih Thian-heng kerutkan kening, membatin, "Rupanya beberapa tokoh
terkemuka dalam dunia persilatan, masih belum padam ambisinya untuk merebut nama.
Selain tidak bertambah loyo karena unsur tua, pengemis Cong To itu bahkan malah
bertambah maju ilmu kepandaiannya Menilik kesimpulannya, tokoh dari It-kiong, Jikoh dan
ketiga Marga itu tentu juga berusaha keras untuk meningkatkan ilmu kepandaiannya."
Dalam pada itu, tampak Hud Hoa kongcu sudah melancarkan serangan pembalasan.
Kipasnya menari-nari laksana sayap burung garuda yang menyambar lawan.
Sekalian hadirin tertegun. Mereka tak menyangka bahwa pemuda baju putih yang
sombong itu ternyata memiliki kepandaian yang sakti.
Sambil menghindar dan balas menghantam, pikiran Cong To pun menimang-nimang,
"Gerakan tubuh dan pukulannya tampaknya dari partai Tiang-pak-pay. Tetapi ada
beberapa bagian yang lain. Jurusnya yang sama, kebanyakan sukar ditangkis. jika tempo
hari aku tak mempelajari ilmu kitab Tat-mo-ih-kin-keng, hari ini aku pasti kalah."
Memikir sampai di situ, diam-diam ia berterima kasih kepada Han Ping.
Cepat sekali kedua orang itu sudah bertempur sampai empat lima puluh jurus. Tetapi
keadaannya masih tetap berimbang.
Perhatian seluruh hadirin mulai mencurah kepada pemuda baju putih itu. Mereka
terkejut dan kagum akan kepandaiannya.
Sesungguhnya kerut wajah pemuda itu juga agak berobah. Rupanya ia pun terkejut
karena pengemis tua dapat melayaninya sampai sekian lama.
Demikianlah pertempuran berjalan makin seru dan cepat. Masing-masing hendak
merebut kesempatan untuk menguasai lawan. Dalam hati kecil kedua lawan itu, masingmasing
mengakui bahwa baru pertama kali itu benar-benar bertemu dengan musuh yang
setanding. Padahal menang kalahnya pertempuran saat itu, mempunyai akibat besar
sekali. Maka keduanya pun makin ngotot sekali.
Tiba-tiba pemuda baju putih itu berseru, "Pengemis tua, engkau benar-benar tak
bernama kosong. Sekarang cobalah engkau nikmati ilmu Tiga-kipas-pencabut nyawa ini!"
Cong To menjawab tertawa, "Apa yang engkau punyai, silahkan keluarkan semua!"
Tetapi walaupun mulut mengatakan begitu, diam-diam ia tak berani memandang
rendah lawan. Dan ternyata serangan ilmu Tiga kipas-pencabut-nyawa itu memang bukan
olah-olah hebatnya.
Cong To harus menghadapi dengan gerakan yang istimewa juga. Cepat ia merobah
gaya gerakannya. Tangan kiri melancarkan pukulan Bintang-berputar-pindah, salah
sebuah jurus istimewa dari perguruan Kim pay-bun. Tangan kanan bergerak menghantam
dalam jurus Halilintar memancar-Se thian. Ilmu pukulan dalam pelajaran Tat mo-cin-keng.
kedua pukulan itu, yang satu bersifat keras dan penuh perobahan yang sukar diduga.
Yang satu pelahan gerakannya tetapi mengandung tenaga-dalam yang hebat.
Sebelum Hud Hoa kongcu sempat mulai mengembangkan jurus Tiga-kipas-pencabutnyawa,
Cong To sudah hantamkan tangan kirinya ke kepala pemuda itu. Hud Hua Kongcu
terpaksa menangkis dulu setelah itu baru memutar kipas untuk menutup dengan serangan
Bintang-pindah alih dari Cong To. Dan serempak dengan itu, Hud Hua gunakan dua buah
jarinya untuk menutuk jalandarah pergelangan tangan kanan si pengemis tua.
Hud-Hua kongcu memang hebat. Ia tahu bahwa jurus Halilintar memecah-langit-barat
mengandung tenaga-dalam yang hebat. Bahkan mungkin jurus itu pun masih ada
perobahan2 yang tak dapat diduga. Maka timbullah rencananya untuk mendahului
menghindar gerakan lawan. Cepat ia gunakan jurus Melukis-naga-menutuk-mata, untuk
mendahului menutuk pergelangan tangan lawan. Ia perhitungkan ancaman itu tentu akan
memaksa pengemis tua menarik pulang pukulannya.
Memang perhitungan pemuda dari Kwan-gwa itu tepat sekali. Tetapi ia lupa bahwa
pengemis Cong To yang dihadapinya itu sudah jauh berlainan dan beberapa bulan yang
lalu. Sejak meyakinkan ilmu pelajaran dalam kitab Tat- mo-ih-kin-keng pengemis itu telah
memperoleh kemajuan yang mengejutkan. Hud Hua kongcu kecele menilai kesaktian
pengemis Cong To!"
Saat tutukan jari Hud Hua kongcu, Cong To hanya menekuk lengannya ke bawah
sehingga pukulannya pun hanya menyurut mundur sedikit. Tetapi ia menyerempaki
tekukan tangan itu dengan menghamburkan tenaga-dalam. Serangkum tenaga dalam
yang tak mengeluarkan suara, segera melanda tubuh pemuda itu.
Hud Hua kongcu semula gembira karena tutukannya itu ia kira dapat memaksa lawan
menarik tangannya mundur. Segera ia hendak melancarkan serangan jurus Tiga-kipas
pencabut-nyawa. Tetapi belum sempat ia bergerak, tiba-tiba rasanya tubuhnya dilanda
angin keras. Dalam terkejutnya, cepat-cepat ia kerahkan tenaga-dalam untuk bertahan.
Tetapi terlambat. Seketika itu juga ia merasakan tubuhnya menggigil dan tanpa dapat
dikuasainya lagi, ia terdorong mundur sampai tiga langkah.
Sekalian hadirin terbeliak kaget. Mereka benar-benar tak tahu jurus apakah yang
digunakan Pengemis-sakti itu. Padahal jelas pengemis itu sama sekali tak bergerak
memukul lawan. Mengapa pemuda lawannya tahu-tahu terpental ke belakang!
Kekalahan itu seketika menghapus kesombongan Hud Hua kongcu. Sambil melakukan
pernapasan, ia menatap Pengemis-sakti Cong To, serunya, "Kepandaian saudara, benarbenar
hebat. Kalau saudara mampu melayani Tiga-kipas pencabut-nyawa, aku segera
mengajak anakbuahku pulang ke Kwan-gwa. Dalam tiga tahun takkan menginjak tanah
Tiong-goan lagi!"
Cong To tertawa lepas, "Jangankan Tiga kipas, Sembilan kipas pun pengemis tua
takkan mundur!"
Hud Hua kongcu tak mau berbantah. Selekas tebarkan kipas ia terus melangkah maju.
Belum orangnya merapat, kipas sudah berputar-putar cepat sehingga tubuh pemuda itu
seolah-olah terbungkus oleh bayangan sinar perak. Delapan penjuru empat kiblat,
berhamburan sinar putih dengan deru angin keras, melanda Cong To.
Tiba-tiba terdengar pemuda baju putih itu menggembor keras. Gulungan sinar kipas
itupun tiba-tiba menjadi satu, terus meluncur ke dada Cong To.
Perobahan itu bukan saja tak terduga-duga, pun merupakan suatu pengerahan tenaga
untuk menutuk dada Cong To. Suatu serangan kilat dan mendadak yang sukar ditahan
musuh. Cong To terkejut sekali. Capat ia robah tangan kanannya dalam jurus Sungai-es-mulaimeleleh.
Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pukulannya dilancarkan dengan miring, menebas lengan kanan lawan.
Dia mendengar suara tertawa dingin dari Hud Hua kongcu. Tutukan kipasnya tiba-tiba
berganti ditebarkan dan menghamburkan gulungan sinar perak lagi dari samping
memapas dan atas menampar dan dari bawah menyapu. Gerakan yang penuh variasi dan
sukar diduga-duga.
Cong To kembali terkejut dan cepat-cepat meloncat mundur. Tetapi betapapun
cepatnya ia menghindar namun masih tetap terlambat. Kipas menampar bajunya dan baju
pengemis yang sudah butut itu bertambah dengan sebuah hiasan lubang robekan yang
memanjang. Cong To menundukkan kepala memandang bajunya yang robek itu. Seketika
berobahlah wajahnya. Ia mundur tiga langkah.
Tiba-tiba Nyo Bun-giau menyelutuk, "Ah, saudara Cong sudah menang lebih dulu.
Menurut peraturan pertandingan dalam dunia persilatan, Hud Hua kongcu sudah harus
kalah. Tetapi kalau dalam pertempuran mati-matian, itu lain lagi penilaiannya. Kalau sekali
dua kali sampai lengah, itu sudah jamak."
"Saudara Nyo memang benar,"Ca Cu-jing ikut berseru,"setiap orang memang
mempunyai kekurangan dan kelebihan sendiri-sendiri. Kalau kebetulan kelebihan lawan itu
justeru merupakan kelemahan kita, kita menderita sedikit kerugian, adalah sudah biasa.
Memang sukar dihindari. Sedikit kesalahan itu, rasanya takkan sampai menghilangkan
muka!" Cong To tersenyum, "Ucapan kalian berdua memang bukan tak beralasan. Tetapi
pengemis tua"."
Tiba-tiba Ih Thian-heng menyelutuk, "Ah, saudara Cong seorang ksatrya yang berjiwa
besar. Selamanya tentu dapat membedakan mana budi mana dendam. Tak perlu kita
kuatir apa-apa."
Cong To tertegun, ujarnya, "Ah, soal itu pengemis tua benar-benar tak berani
menerima"."
Nama Ih Thian-heng memang jauh lebih termasyhur dari tokoh-tokoh kedua lembah
dan ketiga Marga. Di hadapan sekian banyak tokoh-tokoh persilatan jago she Ih itu sampai
memberi pujian tentulah mengandung maksud tertentu. Tetapi Cong To menganggap hal
itu, tak ada apa-apanya.
Tiba-tiba Nyo Bun-giau batuk-batuk, serunya, "Ah, apakah ucapan saudara Ih itu tak
terlalu menyolok" setiap orang dalam dunia persilatan, siapakah yang tak tahu bahwa
saudara Cong To itu satu satunya orang yang menentang padamu."
Berhenti sejenak, ia melanjutkan pula, "Adalah karena saudara dapat menutupi hal itu
dengan baik maka tak sampailah teruwar keluar. Seluruh mata dan telinga umum dunia
persilatan, termasuk kami dari Dua Lembah dan Tiga Marga, dapat terkelabui dan
menaruh perindahan yang tinggi kepadamu"."
Ih Thian-heng tertawa gelak-gelak, "Bagaimana" Apakah sekarang kalian tak
mengindahkan lagi kepadaku?"
"Engkau sendiri tak mau mempertimbangkan segala tingkah perbuatanmu. Apakah hal
itu layak mendapat penghargaan orang?"sahut Nyo Bun-giau.
Seketika wajah Ih Thian-heng yang selalu berhias senyum itu tiba-tiba berobah dingin.
Ditatapnya Nyo Bun-giau tajam2."Kalau tak mau mengindahkan, lalu dapat berbuat apa
terhadap diriku?"
Nyo Bun-giau tersenyum, "Hal itu, sukar dikata. Saudara telah menanam orang dalan
setiap partai persilatan dan Dua Lembah serta Tiga Marga. Terhadap segala gerak gerik
dunia persilatan, saudara tentu tahu jelas dan dapat memperhitungkan dengan tepat.
Tetapi saudara pura-pura berlaku perwira dan budiman. Mengatur dan menyelesaikan
kesukaran2 orang. Duduk bergoyang kaki menikmati sanjungan orang?"
Ih Thian-heng tertawa dingin, "Nyo Bun-giau, apakah engkau pernah melihat seorang
Eng-hiong (orang gagah) marah?"
Dan sambil berkata itu, Ih Thian-heng melangkah ke tempat Nyo Bun-giau. Melihat
sikap Ih Thian-heng yang penuh memancar sinar pembunuhan itu, mau tak mau gentarlah
hati Nyo Bun-giau. Tiada seorang persilatan yang tahu sampai dimana kepandaian tingkat
yang sesungguhnya dari Ih Thian-heng. Berpuluh tahun ini tak pernah ada orang yang
bertempur mati-matian dengannya. Ih Thian-heng benar-benar merupakan seorang tokoh
yang misterius. Baik ilmu kesaktiannya maupun sepak terjangnya!
Satu-satunya ciri khas yang termasyhur dari Ih Thian-heng itu ialah bahwa ia selalu
berwajah seri dan mengulum tawa. Maka pada saat itu ketika Ih Thian-heng menarik seri
tawanya dan memancarkan sinar pembunuhan, sikapnya memang mengerikan sekali.
Nyo Bun-giau pun diam-diam mengerahkan tenaga-dalam dan berpaling memandang
Ca Cu-jing dan Leng Kong-siau di kanan kirinya.
Ca Cu jing dan Leng Kong-siau tahu apa maksud Nyo Bun-giau. Tentulah hendak minta
bantuan. Entah bagaimana, saat itu timbul suatu perasaan aneh dalam hati Leng Kong-siau
maupun Ca Cu-jing. Semula mereka tak gentar kepada Ih Thian-heng. Tetapi entah
bagaimana sesaat melihat wajah Ih Thian-heng yang memancar kemarahan, diam-diam
kedua tokoh itupun tergetar hatinya.
Saat itu Ih Thian-heng melangkah pelahan-lahan dan berhenti di muka ketiga orang itu,
serunya nyaring, "Nyo Bun-giau, majulah 3 langkah ke muka."
Kata-kata itu amat berwibawa sekali. Seolah-olah mengandung suatu kekuatan yang
tak dapat ditentang. Tanpa disadari Nyo Bun-giau pun menurut dan maju tiga langkah.
Tetapi orang she Nyo itu seorang tokoh yang banyak pengalaman. Selekas berdiri
tegak. ia segera menyadari tindakannya yang keliru. Segera ia melambaikan tangan dan
majulah Ca Cu-jing serta Leng Kong-siau. Kini ketiga tokoh itu tegak berjajar. Apabila Ih
Thian-heng tetap hendak mengganas, mereka akan melawan bertiga. Setelah mengetahui
sampai dimana kesaktian Ih Thianheng, barulah mereka akan menentukan siasat
perlawanan. Tampak Ih Thian-heng kerutkan alis dan berkatalah ia dengan nada berat, "Nyo Bungiau,
kusuruh engkau seorang maju tiga langkah. Dengar atau tidak" Mengapa engkau
mengajak lain orang?"
Ditantang secara begitu sinis, seorang persilatan yang tak ternama sekalipun tentu tak
dapat menahan kemarahannya. Apalagi seorang tokoh ternama seperti Nyo Bun-giau.
Tetapi ternyata orang she Nyo yang licik dan licin itu, pada waktu menghadapi
ancaman maut, telah mengesampingkan gengsi dan nama. Sejenak merenung, ia berkata,
"Saudara Ih tak perlu malu atau marah2. Sekalipun mau berkelahi, tetapi aku harus
menyelesaikan kata-kataku tadi."
Tiba-tiba Bwe Nio gentakkan tongkatnya dan berseru nyaring, "Dunia begini luas, kalau
kalian hendak berkelahi, silahkan cari tempat dimana saja. Mengapa harus memilih tempat
ini?" Saat itu sebenarnya keadaan sudah gawat sekali. Ih Thian-heng sudah tak dapat
dicegah lagi, kecuali terus berkelahi. Sedang Nyo Bun-giau walaupun tak mau, tetapi ia
sudah terpojok. tak mungkin dapat mundur lagi.
Mendengar seruan nenek Bwe Nio itu, kedua tokoh itu seperti tersiram air dingin.
Seketika tersadarlah mereka akan tujuan datang ke situ. Ialah hendak merebut Tusuk
Kundai Kumala dan kotak pedang Pemutus Asmara. Barang siapa yang dapat menahan
diri, tentu akan mendapat keuntungan.
Yang hadir dalam upacara pemakaman di situ, terbagi dalam tiga golongan Perguruan
Lam-hay bun, Ih Thian-heng dan Nyo Bun-giau. Ketiga fihak, mempunyai kekuatan besar.
Tetapi fihak Ih Thian-heng dan Nyo Bun-giau, masing-masing mempunyai perhitungan
yang sama. Mereka memperhitungkan untung ruginya kalau bertempur lebih dulu. Siapa
yang bertempur lebih dulu, dia yang rugi. Oleh karenanya, kedua fihak itu sama
mempertahankan diri dan berusaha untuk mengadu pihak yang lain dengan Lam-hay-bun
lebih dulu. Tetapi tadi cara Nyo Bun-giau membakar hati Ih Thian-heng tajam sekali sehingga
menimbulkan kemarahan orang she Ih itu. Akibatnya, Nyo Bun-giau harus bentrok dengan
Ih Thian-heng. Andaikata nenek Bwe Nio tak campur mulut, pastilah kedua tokoh itu sukar untuk
mundur. Teriakan nenek itu telah menolong mereka. Seketika Ih Thian-heng tersadar dan reda
amarahnya. Diam-diam ia menimang, "Sebenarnya aku harus dapat memenangkan
suasana hari ini. Sayang dikacau Hud Hua kongcu. Tetapi memang kesediaan pemuda itu
untuk membantu fihakku karena hendak menyaksikan kecantikan wajah dara baju ungu.
Menilik gelagat, tempat ini sudah tak menguntungkan lagi. Lebih baik kuundurkan diri,
kelak cari kesempatan untuk bergerak lagi!"
Maka berkatalah ia kepada Nyo Bun-giau, "Nyo Bun-giau, seumur hidup belum pernah
aku marah kepada orang. Maka hatiku tak enak karena tadi aku tak dapat mengendalikan
kemarahanku kepadamu?"
"Ah, akulah yang menyalahi saudara Ih karena bicara sembarangan saja .."buru-buru
Nyo Bun-giau menyambut.
Ih Thian-heng tertawa tawar, "Di dunia ini tiada seorang yang pernah menyalahi aku.
Adakah saudara Nyo merasa kalau menyalahi aku?"
Nyo Bun giau tertegun. Sesaat ia tak dapat meraba kata-kata Ih Thian-heng yang sukar
diraba maksudnya itu. Pada lain saat ia meminta penjelasan, "Apalah maksud saudara Ih?"
Ih Thian-heng tersenyum, "Dewasa ini belum pernah ada orang yang berani menyalahi
aku".?" ia berputar tubuh lalu melambai kepada pemuda baju putih, "Saudara Siong,
mari kita pergi!"katanya terus ayunkan langkah.
Setelah bertempur beberapa jurus dengan Cong To, barulah Hud Hua kongcu itu
menyadari bahwa dunia persilatan Tiong-goan tak boleh dibuat main-main. Sikapnya yang
congkak, menurun seketika. Tetapi dalam hati ia masih berat untuk meninggalkan si dara
baju ungu. Maka ia hanya tegak termangu-mangu saja.
Sekonyong-koayong terdengar sebuah suara yang halus merdu, "Ih Thian-heng, jangan
pergi. Aku hendak bertanya kepadamu!"
Karena Hud Hua kongcu tak mau diajak pergi, sebenarnya Ih Thian-heng marah. Tetapi
ia tak dapat memaksa pemuda itu. Tetapi kalau meninggalkannya, ia merasa kehilangan
seorang pembantu yang tangguh.
Panggilan si dara baju ungu itu dapat menyelamatkan kesukarannya. Segera ia berhenti
dan berseru, "Apakah yang hendak nona pesan kepadaku?"
"Engkau berdiri terlalu jauh, datanglah lebih dekat. Aku hendak bertanya
kepadamu!"seru si dara.
Ih Thian-heng kerutkan dahi. Terpaksa ia menurut perintah si dara. Ia berjalan di
samping Hud Hua kongcu dan pemuda itu segera mengikuti di belakangnya. Ih Thianheng
berpaling dan deliki mata kepada pemuda itu tetapi tak dapat berbuat apa-apa.
Kira2 3 meter dari tempat si dara, barulah Ih Thian-heng berhenti Kemudian ia
menanyakan pula apa maksud dara itu.
Dara baju ungu itu menghela napas, "Apakah engkau lupa akau perjanjian kita itu?"
Ih Thian-heng tertegun, pikirnya, "Mengapa ia hendak membicarakan rahasia itu di
hadapan orang banyak?"
Cepat ia menyahut, "Nonalah yang lebih dulu tidak memenuhi janji, mengapa sekarang
hendak mendamprat aku?"
"Dalam beberapa hari ini hatiku memang resah sehingga tak sempat memikirkan soal
itu,"kata si dara.
"Adakah sekarang nona sudah tenang?"
"Sudah,"sahut si dara,"bahkan dalam sepanjang hidupku nanti takkan kacau lagi!"
"Ah, nona armat cerdas sekali. Segala tindakan nona memang sukar diduga orang."
"Sudahlah, tak perlu omong yang tak berarti. Mari kita bicarakan soal2 yang
penting,"kata si dara.
Tergetar hati Ih Thian-heng, pikirnya, "Huh apakah maksudmu" Hendak merundingkan
siasat untuk menghadapi tokoh-tokoh dunia persilatan pada hal mereka sudah berada di
hadapan situ. Bukankah itu sama artinya dengah memberitahu kepada mereka. Bukankah
suruh meraka berjaga-jaga lebih dulu?"
Diam-diam Ih Thian-heng marah dan mendamprat dara baju ungu itu. Ia anggap dara
itu hendak membuka rahasianya agar sekalian tokoh persilatan mengetahui siapa
sesungguhnya Ih Thian-heng itu.
Namun dengan sikap setenang mungkin, Ih Thian-heng tetap tertawa, "Silahkan nona
bicara, aku pasti mendengarkan dengan hormat!"
Karena wajah si dara itu tertutup oleh kain sutera warna hitam, maka tak dapatlah
diketahui jelas bagaimana mimik wajah Hanya setelah sutera hitam itu bergetaran,
terdengarlah dara itu berseru, "Dalam perjanjian kita itu, pertama ialah akan mengambil
barang pusaka dalam makam tua. Pusaka2, Kupu2 Emas dan Tonggeret Kumala aku yang
ambil, sedang emas permata menjadi bagianmu. Jika masih ada benda lainnya, kita nanti
rundingkan lagi. Benar tidak?"
Ih Thian-heng batuk perlahan-lahan, sahutnya, "Apakah nona tak salah ingat?"
"Aku adalah manusia yang dapat mengingat paling tepat di dunia ini. Masakan salah?"
"Aku sudah tak ingat lagi,"kata Ih Thian-heng,"kalau nona dapat mengingat, tentulah
takkan salah."
Dari balik kerudung hitam terdengar gemerincing tertawa si dara."Perjanjian yang
kedua, entah engkau ingat atau tidak" Apakah perlu kuulangi juga?"
"Tak usahlah,"sahut Ih Thian-heng,"Perjanjian yang kedua itu dapat kuingat jelas!"
"Saudara Ih, apakah perjanjian kedua yang kalian adakan itu" Bolehkah kuikut
mendengarkan?"tiba-tiba Hud Hua kongcu menyelutuk.
"Soal itu panjang sekali. Nanti saja akan kuceritakan semua kepada saudara,"sahut Ih
Thian-heng. Tiba-tiba dara baju ungu berbangkit dan menghampiri nenek Bwe Nio. Sandarkan
kepala ke bahu nenek tua itu, si dara berkata, "Ih Thian-heng, siapakah pemuda baju
putih itu?"
Sebelum Ih Thian-heng menyahut, pemuda baju putih ini pun sudah mendahului, "Aku
tinggal di gunung Tiang-pek san. Ayahku terkenal di kalangan gunung hitam dan air
putih"."
"Sudahlah, jangan bicara lagi!"tukas si dara,"apakah engkau hendak menghafalkan
nama kakek moyangmu?"
Hud Hua kongcu terkesiap, serunya."Lalu bagaimana aku harus mengatakan?"
Terdengar dara itu tertawa bergemerincing. Nadanya amat aneh. Tiada seorang pun
yang tak terpikat hatinya. Hud Hua kongcu tak dapat mengendalikan diri lagi. Ia lupa diri
dan terus melangkah maju.
Tiba-tiba Ih Thian-heng maju mencekal lengan kanan pemuda itu, "Saudara Siong, mau
kemana?" "Nada suara ketawanya saja sudah cukup membuat orang kesengsem. Wajah dan
warna kulitnya tentu lebih hebat lagi. Jika tak melihat wajahnya, bukankah aku akan
kecewa seumur hidup?"
Wajah Ih Thian-heng agak berobah, katanya berbisik, "Saudara juga seorang keturunan
keluarga tokoh silat yang ternama. Siapakah yang tak kenal akan nama ayah saudara
sebagai datuk persilatan daerah Kwan-gwa" Adakah sedikit sikap untuk mengendalikan
diri, saudara Siong tak tahu sama sekali?"
Melihat Ih Thian-heng mencengkeram lengan Hud Hua kongcu, lelaki jubah kuning
cepat menghampiri dan membentaknya, "Lepaskan kongcu, apakah tak dapat engkau
bicara dengan baik-baik!"
Saat itu si dara baju ungu sudah tak tertawa lagi. Perasaan sekalian hadirin serasa
longgar lagi. Dalam pada itu diam-diam Nyo Bun-giau girang."Bagus, bagus, si jubah
kuning itu kasar dan berangasan sedang Hud Hua kongcu congkak dank tak tahu malu.
Rasanya akan terjadi pertunjukan yang menarik."
Ternyata cengkeraman Ih Thian-heng itu bukan sembarangan cengkeraman melainkan
diserempaki dengan memijat jalandarah. Seketika itu Hud Hua kongcu baru tersadar dan
cepat-cepat kerahkan tenaga-dalam. Tetapi secepat itu Ih Thian-heng sudah pindahkan
tangannya ke jalan Beng-bun (belakang pusar). Dan kerahkan tenaga-dalam untuk
menekan. Hal itu dimaksud sebagai suatu peringatan, kalau Hud Hua kongcu berani
bertindak semaunya sendiri, Ih Thian-heng akan menghancurkan alat2 dalam tubuh
pemuda itu. Sesungguhnya, Hud Hua kongcu bukan orang jahat. Tetapi dia memang sudah terlanjur
bermanja kecongkakan. Dengan mengandalkan pengaruh-ayahnya, ia malang melintang di
daerah Kwantang. Ditambah pula karena ia sendiri memiliki kepandaian yang tinggi dan
selama itu belum pernah ketemu lawan maka tingkah lakunya pun makin liar dan
sombong. Saat itu setelah dicengkeram Ih Thian-heng, barulah ia terkejut dan hendak memberi
perlawanan. Namun sudah terlambat. Apa boleh buat, ia terpaksa menyerah dan purapura
sikit. Ih Thian-heng mengeluarkan sebutir pil, katanya tertawa, "Harap saudara Siong minum
pil ini. Walaupun bukan obat dewa, tetapi pil ini dapat menyembuhkan segala penyakit."
Tetapi Hud Hua kongcu sudah waspada. Ia gelengkan kepala, "Hanya sedikit tak enak
badan, setelah beristirahat sebentar, tentu akan sembuh. Tak perlu minum obat."
"Kita sebagai orang yang belajar silat, sebenarnya tahan akan perobahan hawa dingin
maupun panas. Tetapi karena merasa sakit, tentulah agak berat. Baiklah saudara minum
saja,"kata Ih Thian-heng sembari memperkeras cengkeramannya. Seketika Hud Hua
kongcu rasakan jantungnya bergetar keras. Terpaksa ia menyambuti pil itu terus
menelannya, "Terima kasih atas budi kebaikan, saudara!"
Ih Thian- heng tertawa hambar dan berpaling kepada si jubah kuning, "Kongcu-mu tak
enak badan. Lekas bawalah ia beristirahat.?" diam-diam ia kerahkan tenaga-dalam lalu
tutukkan jarinya ke jalandarah darah Jiok-ti-hiat di lengan pemuda itu.
Tiba-tiba wajah Hud Hua kongcu berobah. Dua butir keringat menitik dari dahinya.
Si jubah kuning memang seorang yang jujur dan kasar. Mendengar Ih Thian-heng, ia
anggap sungguh-sungguh. Dipandangnya wajah Hud Hua kongcu. Memang wajah kongcu
itu mengucurkan keringat. Buru-buru ia berseru, "Kongcu, apakah engkau tak enak
badan?" Hud Hua kongcu hanya mendengus pelahan. Belum menyahut, Ih Thian-heng sudah
cepat lepaskan cengkeramannya dan dipindahkan ke pinggang pemuda itu.
"Ah, karena tak enak badan, silahkan saudara Siong beristirahat dulu!?" diam-diam Ih
Thian-heng pancarkan tenaga dalam. Seketika Hud Hua kongcu tergetar hatinya dan buruburu
menyahut, "Ah, memang aku merasa panas, mungkin terserang angin dingin!"
Ih Thian-heng tahu bahwa kepandaian pemuda itu amat tinggi. Pada waktu menutuk
Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lengannya tadi, ia gunakan enam bagian tenaga-dalam. Dalam keadaan tak siap, sudah
tentu Hud Hua kongcu tak dapat bertahan. Ia rasakan lengannya kesemutan, tulang2
berkisar, sakitnya bukan kepalang. Itulah sebabnya maka ia sampai mengucurkan
keringat. Ih Thian-heng tertawa, "Harap saudara Siong lekas jalankan pernapasan. Asal obat itu
bekerja, tentu akan sembuh."
"Terima kasih. Seumur hidup, aku pasti ingat dalam hati,"sahut Hud Hua kongcu.
"Ah, jangan sungkan dan harap saudara Siong lekas menyalurkan pernapasan,"Ih
Thian-heng tertawa.
Hud Hua kongcu menurut. Ia segera duduk bersila dan mulai menyalurkan napas.
Tiba-tiba dari balik kain kerudung hitam, terdengar si dara baju ungu berseru, "Ih
Thian-heng, engkau tertipu!"
"Apa?"Ih Thian-heng terbeliak.
"Hud Hua kongcu tak menelan pil pemberianmu tadi!"seru si dara.
"Tak mungkin!"Ih Thian-heng berpaling. Dilihatnya Hud Hua kongcu masih pejamkan
mata. "Jika tak percaya, suruh dia mengangakan mulut!"seru si dara pula.
Sahut Ih Thian-heng, "Selamanya aku selalu menaruh kepercayaan pada kawan.
Bagaimana nona tahu kalau saudara Siong tidak menelan pil itu?"
"Kudengar dari ucapannya," sahut si dara. "Dia tak sebodoh yang engkau kira. Dia
memang sudah terbiasa bersikap congkak sehingga memandang rendah semua orang.
Dan karenanya dia juga lengah. Setelah menderita dari engkau, dia sudah makin berlaku
hati-hati!"
Sebagai seorang yang cerdik, cepat Ih Thian-heng menaruh kecurigaan. Ia berpaling ke
arah Hud Hua kongcu, serunya, "Benarkah saudara Siong tak percaya kepadaku?"
Dengan tenang Hud Hua membuka mata, tertawa, "Aku sungguh kagum sekali kepada
nona itu," tiba-tiba ia berbangkit dan terus ludahkan pil tadi keluar.
Sekalipun amat marah tetapi wajah Ih Thian-heng tetap tenang. Ia menghela napas
pelahan, "Mengapa saudara Siong tak percaya kepadaku"."
Hud Hua kongcu tertawa dingin, "Pada waktu meninggalkan rumah, ayah telah
memberi dua buah pesan."
"Apakah itu?" tanya Ih Thian-heng.
"Pertama, ayah mengatakan bahwa setiap tokoh persilatan Tiong-goan itu berhati licik,
tidak dapat dipercaya!"
Ih Thian-heng mengelus jenggot, tertawa. "Ayah saudara memang amat mencintai
puteranya. Ucapannya itu memang tak salah. Kaum persilatan memang susah diraba
hatinya. Lalu bagaimana pesan yang kedua?"
"Pada waktu menderita luka, jangan sekali-kali mau menerima pemberian obat orang.
Ayah bilang dalam dunia persilatan Tiong-goan terdapat gerombolan Lembah Setan yang
pandai menggunakan obat bius. Sekali minum obat mereka seumur hidup tentu akan
menjadi budak mereka."
"Ah, hal itu tak boleh disama-ratakan," bantah Ih Thian-heng, "pil yang kuberikan
kepada saudara tadi, benar-benar obat yang mujarab sekali," tiba-tiba ia maju dan
menjemput pil yang disemburkan keluar oleh Hud Hua kongcu tadi, terus ditelannya.
Sekalian hadirin terbeliak. Pengemis-sakti Cong To menghela napas pelahan, serunya,
"Apakah saudara Ih menelan pil itu?"
Ih Thian-heng hanya terseyum, tak menyahut.
Kembali si dara baju ungu berseru, "Ih Thian-heng, Hud Hua kongcu sudah
membencimu."
Sambil mengurut jenggot, Ih Thian-heng menyahut, "Apa yang kulakukan, adalah demi
menjaga keselamatan diriku. Tentang orang suka atau tidak, itu bukan hakku untuk
mengatasinya."
Hud Hua kongcu tiba-tiba melangkah maju menghampiri si dara baju ungu. Kali ini Ih
Thian heng tak mau merintangi lagi.
"Berhenti!"tiba-tiba Ong Kwan-tiong maju menghadang.
"Toa-suheng biarkanlah," seru si dara.
Ong Kwan-tiong terkesiap, "Dia tak tahu aturan, mana boleh dekat pada sumoay?"
"Tak apa, harap toa suheng suka memberi jalan," kata si dara.
Setelah bersangsi sejenak, Ong Kwan-tiong segera menyisih ke samping. Ia menghela
napas pelahan, hendak bicara tetapi tak jadi. Namun dari kerut wajahnya dapatlah
diketahui bahwa ia tak puas atas tindakan sumoaynya tetapi tak dapat berbuat apa-apa.
Setelah Hud Hua kongcu kurang dua meter dari tempat si dara, tiba-tiba nenek Bwe Nio
gerakkan tongkatnya untuk menggurat tanah. Debu berhamburan menghalangi jalan Hud
Hua kongcu. "Berhenti di situ, lekas katakan apa yang engkau kehendaki!" bentak nenek itu.
Memandang ke muka, Hud Hua kongcu melihat dara itu dikawal oleh tiga orang yang
bersikap bengis. Ketiga pengawal itu memandang berapi-api kepadanya. Jika ia berani
berbuat sembarangan, mereka tentu akan menyerangnya.
"Engkau datang kemari, apa keperluan apa?" tegur si dara kepada Hud Hua kongcu.
Nadanya lunak dan merdu, penuh keramahan.
Hud Hua kongcu serasa melayang semangatnya. Sikapnya yang congkak, lenyap
seketika dan serta merta ia menjura memberi hormat, serunya, "Apakah dalam hidupku ini
aku mempunyai keberuntungan untuk memandang wajah nona?"
Dari balik kain kerudung, terdengar suara tertawa gemerincing, "Hanya karena hendak
melihat wajahku?"
"Selain itu, memang masih ada sebuah permohonan kepada nona," kata Hud Hua
kongcu. "Bolehkah aku bertanya kepadamu dulu?" sahut si dara.
Hud Hua kongcu tertegun, serunya, "Baiklah, silahkan nona bertanya!"
"Selain hendak melihat wajahku. apa sajakah persetujuanmu dengan Ih Thian-heng
datang kemari ini?" tanya si dara.
Tanpa banyak pikir menjawablah Hud Hoa kongcu, "Selain melihat wajah nona, aku
akan membantunya mengambil pedang Pemutus-asmara dan Tusus Kundai Kumala dari
nona." Pengakuan yang terus terang itu mau tak mau membuat Ih Tnian-heng meringis.
Sekalipun dia seorang tokoh yang telah mengenyam pengalaman dari peristiwa2 besar,
namun tak urung merah juga wajahnya saat itu.
Dalam keadaan tersudut di pojok, ia hanya batuk-batuk pelahan dan berkata, "Mungkin
yang datang ke sini ini, kebanyakan tentu mempunyai tujuan."
"Tak usah diterangkan!" tukas si dara, "sekalipun Hud Hua kongcu tak bilang, masakan
aku tak dapat menduga!"
"Karena nonalah yang lebih dulu membocorkan perjanjian kita itu maka maafkanlah
kalau aku bicara melanggar kepercayaan," kata Ih Thian-heng.
Tiba-tiba Hud Hoa kongcu maju selangkah, serunya, "Sudah selesaikah pertanyaan
nona?" "Sudah!"
"Kedatanganku kemari, tujuan yang pertama-tama ialah hendak melihat wajah nona"."
Si dara tertawa, "Di hadapan sekian banyak orang sekalipun aku tak keberatan untuk
mengunjukkan mukaku, tetapi tak sampai mukaku setebal itu!"
"Lalu maksud nona?" Hud Hua kongcu menegas.
"Nanti tengah malam, kita bertemu di puncak gunung sebelah muka itu. Kita nanti
bercakap-cakap di bawah sinar rembulan, barulah menimbulkan suasana yang
menggairahkan. Jika saat ini kubuka kain kerudungku, bukan hanya engkau seorang yang
melihat. Bukankah akan merusak suasana?" kata si dara.
Kata-kata itu diucapkan dengan nada yang mesra serta merdu. Seketika perasaan Hud
Hua kongcu melayang-layang. Berpaling memandang sekalian hadirin, ia berkata, "Baiklah,
aku minta diri dulu sampai jumpa nanti tengah" " ia berputar tubuh terus angkat kaki.
Lelaki jubah kuning mengikuti di belakangnya.
Setelah Hud Hua kongcu pergi, nenek Bwe geleng-geleng kepala dan berbisik kepada si
dara, "Nak, engkau bermain-main apa lagi" Mataku si nenek tua ini telah engkau tutupi!"
si dara sandarkan tubuhnya ke tubuh nenek Bwe dan membisiki ke dekat telinganya,
"Bwe Nio, aku tertipu."
"Siapa menipumu?" Bwe Nio terkesiap.
"Sudahlah tak perla kukatakan. Tiada gunanya. Sekalipun dia tak mati, akupun tak mau
bertemu lagi," kata si dara.
Sekalipun pelahan sekali si dara bicara, tetapi yang hadir di tempat situ adalah tokohtokoh
persilatan sakti. Pendengaran mereka amat tajam sekali. Apalagi mereka memang
mempunyai maksud untuk mencuri dengar. Maka pada saat si dara membisiki nenek Bwe,
sekalian orang sama pasang telinga.
Ong Kwan-tiong mendengus. Tiba-tiba ia gerakkan kedua tangannya untuk menampar
kian kemari. Tamparan itu dimaksud untuk menghapus gelombang suara si dara. Dan
memang orange itu tak berhasil mencuri dengar pembicaraan si dara.
Rupanya nenek Bwe menyadari apa yang dimaksud si dara, "Nak, lebih baik kita lekas
pulang ke Lam hay! Ayahmu serba bisa, mungkin dapat menyembuhkan"."
Tiba-tiba si dara tegakkan tubuh, tukasnya, "Tidak! aku tak mau pulang. Engkau pulang
sendiri!" Nenek Bwe terbentur batu. Ia menghela napas, "Hm, anak manja, apakah engkau
benar-benar hendak menyiksa aku sampai mati?"
Dara itu tak menggubris nenek Bwe. Ia menghampiri Ih Thian-heng. Tetapi secepat itu
Ong Kwan-tiong menghadangnya, "Kalau hendak bicara, baiklah sumoay menyampaikan
dari sini saja".."
Dara itu menghela napas, "Apakah engkau hendak mengurus aku" Apakah engkau
merasa belum cukup mencelakai diriku" Lekas menyingkirlah!" Ong Kwan-tiong terkesiap.
Dengan wajah merah terpaksa ia menyisih ke samping. Di hadapan Ih Thian-heng, dara
itu berhenti, mengeluarkan kotak pedang Pemutus-asmara dan sejilid kitab.
"Kitab ini berisi petunjuk masuk ke dalam makam tua itu. Asal engkau menurut catatan
yang kubuat dalam buku ini, tentu dapat masuk" katanya.
Ih Thian-heng terbeliak. Cepat ia menyambut terus memasukkannya ke dalam baju.
"Dengan begitu engkau tentu sudah lega bukan?"
Ih Thian-heng meringis. Tetapi ia tetap bersikap tenang dan paksakan diri tertawa,
"Terima kasih atas budi kebaikan nona!"
Tiba-tiba dara itu berseru lantang, "Pusaka Tusuk Kundai Kumala dari Lam-hay-bun,
kutaruh dalam makam baru ini. Siapa yang hendak mengambil, silahkanlah!"
Saat itu mata Nyo Bun-giau, Leng Kong-siau Ting Yan-san, Ca Cu-jing dan sekalian
orang mencurah perhatian kepada Ih Thian-heng. Mereka tak tahu apa isi kitab itu. Tetapi
yang jelas, kotak pedang Pemutus Asmara itu memang asli. Seketika timbul keinginan
para hadirin untuk merebut benda itu.
Ih Thian-heng sejenak memandang ke sekeliling penjuru. Diam-diam ia berpikir, "Budak
perempuan itu telah menyiarkan semua rahasia. Jika aku menyangkal, tentu akan
ditertawakan orang."
Secepat mendapat pikiran, iapun berkata, "Sudah tentu aku merasa amat bersyukur
karena nona mau kembali menepati perjanjian itu. Entah kapankah kita akan berjumpa
lagi?" "Eh, engkau mau pergi?"
"Kupikir hendak minta diri dulu," kata Ih Thian-heng.
"Apa engkau tak takut kalau orang lain akan merebut kotak pedang Pemutus Asmara
itu".?"
"Seumur hidup, jarang aku berebutan dengan kaum persilatan. Tetapi bukan berarti
aku seorang penakut. Tokoh persilatan yang menimbulkan rasa perindahanku, tidak
banyak jumlahnya"."
Suatu ucapan yang congkak dan tekebur!
Ssi dara ganda tertawa, "Perlukah kusuruh orang mengawalmu?"
"Tak usah," kata Ih Thian-heng terus berputar tubuh dan ayunkan langkah.
Nyo Bun-giau berpaling membisiki Ca Cu-jing lalu berseru nyaring, "Saudara Ih, harap
berhenti dulu. Bagaimana kalau kita menjadi kawan?"
Ih Thian-heng, berpaling tertawa, "Saudara Nyo seorang, apakah tidak merasa lemah"
Suruh mereka maju sekalian!"
Nyo Bun-giau tahu bahwa Ih Thian-heng hendak membikin panas hatinya agar Ca Cujing
dan Leng Kong-siau ikut maju. Tetapi orang she Nyo itu juga seorang rase yang licin.
Ia pura-pura tak mendengar. Bahkan malah tertawa meloroh, "Ho, baiklah, aku tentu
menurut perintah saudara Ih"." " ia terpaling dan memanggil, "Saudara Ca, saudara
Leng dan Saudara Ting, mari kita maju bersama."
"Karena saudara Nyo mengundang, sudah tentu kami tak berani menolak!" Ca Cu-jing
dan Leng Kong-siau serentak menyahut dan serempak maju.
Setelah beberapa tokoh itu tinggalkan tanah lapang, beberapa hadirin pun hendak ikut
menyusup. Mereka berunding dengan berisik dan tampak hendak berangkat.
"Hai, kalian juga hendak pergi?" teriak si dara.
Di antara hadirin ada seorang lelaki yang bertubuh tinggi besar. Mendengar kata-kata si
dara itu, si tinggi besarpun berpaling menyahut, "Hai, apakah kami tak boleh pergi?"
Si dara tertawa melengking dan berseru, "Engkau benar. Kalian memang tak boleh
pergi .." " tiba-tiba ia mengangkat tangan dan berseru, "Tahanlah mereka!"
Rombongan penjaga baju hitam yang berdiri beberapa tombak dari tempat itu segera
mengepung rombongan orang yang hendak pergi itu.
Diam-diam Cong To kerutkan kening, rupanya budak perempuan itu mempunyai
maksud lain. Menilik gelagatnya, mungkin akan terjadi suatu pertempuran berdarah."
Terdengar pula dara itu berkata kepada Ong Kwan-tiong, "Toa-suheng, harap
menghitung mereka itu berjumlah berapa orang?"
Walaupun tak mengerti apa maksudnya, namun Ong Kwan-tiong melakukan perintah
itu juga. Lalu melapor, "Semua masih 31 orang!"
"Pengemis tua itu sudah masuk dalam hitungan atau belum?" tanya si dara.
"Sudah!"
"Engkau, keluarlah!" seru si dara.
Cong To bersangsi sejenak lalu melangkah keluar dari kepungan, serunya, "Apakah
maksud nona suruh pengemis tua keluar?"
"Cobalah engkau perintahkan orang-orang itu. Berapakah yang engkau kenal dan siapasiapakah
yang ilmu kepandaiannya paling baik sendri?"
"Tak peduli dia baik atau jahat, yang penting kukehendaki yang tinggi kepandaiannya!"
kata dara itu pula.
Sejenak Cong To memandang ke sekalian orang-orang yang terkepung itu lalu berkata,
"Mau apakah nona?"
"Engkau tak perlu tanya," sahut si dara, "dan pilihkan buat aku 12 orang yang
berkepandaian tinggi. Jika engkau tak dapat memilih, pilih saja beberapa orang!"
"Kalau nona tak mau menerangkan, maaf pengemis terpaksa tak dapat melakukan
perintah!"
Tiba-tiba dara itu tertawa mengikik, "Engkau tak mau memilih, masakan aku tak punya
akal" Hari ini akan kuperlihatan kepadamu sedikit ilmu kepandaian Lam-hay bun yang
istimewa!"
"Apakah nona hendak membunuh semua tokoh-tokoh persilatan yang berada disini".."
"Turun tangan membunuh orang, apanya yang harus dikagumi. Mana dapat
menandingi ilmu istimewa dari Lam-hay-bun?"
Walaupun mulut tak berkata tetapi dalam hati, Cong To mendengus, "Huh, itu yang
hendak kulihat!"
Tiba-tiba si dara mengambil tongkat nenek Bwe nio lalu meng-orat-oret di tanah.
Berapa kejab kemudian, tampak sebuah lukisan yang indah sekali.
Sekalian hadirin kebanyakan pernah mendengar. Dalam pertempuran besar di gunung
Hengsan dahulu, tokoh Lam-hay Ki-soh telah mendebat ilmu silat dari dunia persilatan
Tiong-goan. Maka mendengar si dara hendak mempertunjukkan ilmu kepandaian istimewa
Lam hay-bun, sekalian orang pun segera mencurahkan seluruh perhatian. Tetapi ketika
melihat dara itu hanya menggurat sebuah lukisan, mereka heran dan memandang dara
itu. Dara itu tertawa pula, "Pengemis tua, di antara yang berada di sini, tentu engkaulah
yang paling tinggi ilmu kepandaiannya. Cobalah engkau kemari melihat-lihat gambar ini."
Cong To melihat goresan ujung tongkat di tanah itu dengan seksama. Tetapi benarbenar
ia tak tahu apa maksudnya. Mendengar perintah si dara, cepat ia melangkah maju
seraya berkata, "Ho, memang sudah lama pengemis tua ingin menyaksilian ilmu
kepandaian yang istimewa dari perguruan Lam-hay-bun!"
Ia berhenti lebih kurang satu setengah meter dari guratan di tanah itu lalu
memandangnya lekat2.
"Tempatmu salah. Mungkin sukar untuk mengetahui dengan jelas!" seru si dara.
Cong To mendengus, "Huh, apakah melihat gam bar saja harus berdiri di tempat yang
tertentu?"
"Benar" sahut si dara, "kalau tak percaya cobalah engkau melihat dari sebelah selatan!"
Walaupun hati enggan tetapi Cong To terpaksa menurut juga. si dara pun mengisar
tubuh lalu gerakkan tongkat membuat sebuah lingkaran, katanya, "Engkau berdiri dalam
lingkaran ini dan lihatlah!"
Wajah Cong To agak berobah, ujarnya, "Seumur hidup, baru kali ini pengemis tua
diatur orang"." namun ia menurut perintah dan masuk ke dalam lingkaran.
Begitu memandang guratan di tanah itu, seketika perhatiannya melekat. Pengemis itu
tampak terkesiap tercengang.
Cong To dikenal sebagai tokah sakti. Sudah tentu sikap Cong To itu menimbulkan
keheranan sekalian orang. Merekapun segera mengisar langkah beralih ke samping
gambar itu. Si dara pun membuat belasan lingkaran di sekeliling gambar di tanah tadi. Serunya,
"Menilik kepandaian kaian, tak mungkin kalian dapat menyelami rahasia gambar itu. Jika
mau melihat, lihatlah dari dalam lingkaran ini!"
Memang sekalian orang tak percaya bahwa guratan di tanah itu mengandung hal yang
istimewa. Tetapi kenyataan membuktikan bahwa seorang tokoh macam Cong To pun
terpesona melihatnya.
Keinginan tahu mereka tak dapat dicegah lagi. Mendengar perintah si dara, mereka
segera berhamburan melihat ke dalam lingkaran2 itu.
Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dari dalam lingkaran itu mereka melihat bahwa di tengah guratan di tanah itu terdapat
tulisan berbunyi, "Ilmu istimewa dari Lam-hay, menjentikkan jari menutuk jalandarah.
Pikiran dan serangan bersatu, besar sekalilah kegunaannya!"
Memang corak daripada huruf2 itu melingkar-lingkar seperti kuntum bunga Teratai. Jika
dilihat dari sudut yang salah, tentu sukar membacanya. Maka setelah masuk ke dalam
lingkaran, barulah sekalian orang-orang itu dapat membaca jelas.
Kemudian mata sekalian orang itu menurun. Di bawah tulisan itu terdapat lukisan
sebuah telapaktangan besar yang jari2nya separoh dijulurkan, separoh ditekuk. di sisi
telapak tangan itu terdapat hurup. Ujung jari memancar tenaga-dalam.
Di bawah tulisan itu, tampak lukisan sebuah lengan dengan urat2 yang menonjol. Di sisi
lengan itu terdapat beberapa huruf, berbunyi, "HAWA menyusup ke dalam Thay-yangkeng."
Seperti orang bermimpi, tanpa disadari sekalian orang itupun segera mengerahkan
hawa murni dalam tubuh mantle. Hawa itu dikerahkao masuk kedalam jalandatah Thay
yang keng. Ah, tenaga murni mereka dapat dikerahkan masuk ke dalam ujung jari.
Mereka menyusur ke bawah lagi dan di situ tampak sebuah lukisan kepalan tangan di
sisinya bertulis, "Kepalkan kelima jari pelahan-lahan."
Karena kesengsem dengan ilmu yang aneh itu, tanpa sadar mereka menurut petunjuk
gambar. Perlahan-lahan mereka sama mengepalkan tinju. Dan memandang ke bawah lagi,
tanganpun menjulurkan dua buah jari, jari tengah dan jari telunjuk. Jari tengah ditindihkan
ke jari telunjuk, dan di samping gambaran itu terdapat tulisan berbunyi, "Kerahkan
semangat dan tenaga murni, tutup pernapasan, salurkan tenaga ke jari tengah dan
telunjuk."
Sekalian orang sudah terpikat oleh ilmu pelajaran dalam gambar itu. Maka tanpa
disadari mereka pun segera menurut petunjuk itu. Menutup pernapasan lalu diam-diam
kerahkan tenaga-murni.
Kemudian mereka menurutkan pandang mata ke bawah. Dan mereka hanya melihat 4
buah huruf, "Tutup rapat pernapasan".
Lalu di bawahnya terdapat gambar sekuntum bunga Bwe-hoa dengan sampingnya
terdapat tulisan. "Hitunglah kelopak bunga".
Walaupun merasa bahwa menghitung kelopak bunga Bwe-hoa itu tiada gunanya,
namun karena sudah menyadari bahwa apa yang ditunjukkan pada lukisan itu ternyata
merupakan suatu ilmu kesaktian yang hebat, merekapun tak mau banyak berpikir lagi
terus saja menurut untuk menghitung kelopak bunga.
Kelopak bunga itu dilukis amat ruwet. Walaupun tampaknya sederhana tetapi sukar
juga untuk menghitungnya. Selesai menghitung, mereka rasakan dadanya sesak sekali.
Ingin lekas2 menghembus napas.
Tetapi di bawah lukisan bunga itu terdapat tulisan: "Jangan mengeluarkan napas, atau
sia2 latihan tadi."
Orang yang berlatih, memang lebih tahan lama untuk menutup pernapasan. Melihat
tulisan itu, terpaksa mereka paksakan diri untuk menahan napas. Lalu mereka
memandang ke sebelahbawah lagi terdapat pula tulisan berbunyi: "Ulurkan pelahan-lahan
lengan kiri."
Sekalian orangpun menurut lagi. Mereka sama ulurkan lengan kiri ke sebelah kiri.
Dan memandang ke sebelah bawah lagi, terdapat sebuah lukisan, jari telunjuk dan jari
tengah menjulur ke muka. Di sampingnya terdapat tulisan, "Setelah tenaga-murni
terkumpul, pancarkanlah ke kiri."
Saat itu dada sekalian orang sudah amat sesak sekali, hampir tak kuat menahan lebih
lama. Bahkan kepalanya agak pening. Tetapi semangat dan perhatian mereka benar-benar
terpikat oleh petunjuk itu sehingga lupa daratan. Mereka serempak menurut petunjuk dan
jentikkan jari telunjuk dan jari tengah.
Garis lingkaran yang dibuat si dara itu, telah diatur menurut jarak yang tertentu.
Sekalian orang yang menjulurkan lengan kiri, tepat seketika tiba di samping orang yang di
sabelahnya. Dan gerakan tangan itu menggunakan sepenuh tenaga. Serentak terdengar
suara bergedebukan dan tubuh2 yang rubuh. Dalam 34 orang itu, yang rubuh ada 32
orang. Hanya Pengemis-sakti Cong To dan seorang yang berdiri paling kanan, tidak rubuh.
Cong To tersenyum melihat lukisan2 itu. Baru setelah orang di sebelah rubuh ke
arahnya, ia tersadar. Saat itu baru ia mengetahui kalau sekalian hadirin sama rubuh. Oleh
karena seluruh semangat dan pikiran terpikat oleh gambar-gambar itu, sampai ia tak
menyadari apa yang telah terjadi di sekelilingnya. Pengemis-sakti Cong To terlongonglongong"..
Begitu pula orang kedua yang tak rubuh itu, seorang lelaki pertengahan umur yang
bertubuh tinggi besar, juga tercengang-cengang menyaksikan pemandangan saat itu.
Tiba-tiba terdengar si dara melengking tertawa, "Pengemis tua. bagaimana
pendapatmu tentang ilmusilat perguruan Lam hay-bun?"
Pengemis tua itu menghela napas, serunya, "Nona memang seorang berbakat yang luar
biasa. Pengemis tua sungguh kagum sekali!"
Si dara perlahan-lahan menghampiri, ujarnya, "Kaum imam dalam dunia persilatan
Tionggoan, engkau termasuk seorang baik. Aku takkan menyulitkan engkau. Lekaslah
engkau pergi!"
Sambil memandang kepada 32 jago2 silat yang rubuh di tanah itu, bertanyalah Cong
To, "Entah hendak nona pengapakan mereka itu?"
"Engkau sendiri selamat, apakah belum cukup".?" si dara berhenti sejenak, lalu,
"mereka datang kemari dengan membawa nafsu serakah. Ingin memperoleh kitab pusaka
Lam-hay bun dan Tusuk Kundai Kumala Hendak kuberi sedikit hukuman. Biarlah mereka
menjaga di sini selama tiga bulan!"
Tiba-tiba dara itu berpaling ke arah lelaki gagah yang tidak rubuh tadi, serunya, "Kuberi
hukuman kepada mereka supaya menjaga makam ini selama tiga bulan, engkau menerima
atau tidak?"
Rupanya lelaki itu gentar terhadap kecerdikan si nona, sahutnya tersipu, "Ini " ini"."
Dara baju ungu tertawa dingin, "Apa ini itu! Sekarang hanya tinggal dua pilihan.
Silahkan engkau pilih. Menilik maksudmu yang mujur karena berdiri dalam garis lingkaran
yang terdepan, maka kuanggap engkau sebagai pemimpin mereka. Jika ada yang tidak
menurut perintah, bunuh sajalah. Sekarang silahkan engkau bicara selaku wakil mereka!"
"Dua pilihan yang mana?" tanya lelaki itu.
"Pertama, segera kuberi perintah untuk mencincang ke 32 orang itu. Sekalipun cara itu
memang ganas, lebih rapi."
"Yang kedua9"
"Yang kedua, akan kuikat kalian 33 orang ini dengan tali dari ulat sutera pada keliling
makam ini. Karena dalam makam ini tersimpan mustika Tusuk Kundai Kumala dari Lamhaybun. tentulah banyak orang yang menginginkan. Kalau menjaga makam ini tetapi tak
boleh mendekati makam. Tiga bulan kemudian aku akan melepaskan tali ikatan itu dan
membebaskan kalian."
Lelaki gagah itu tersenyum, serunya, "Ini, mungkin tiada orang yang akan menentang.
Saat ini jiwa dari tiga puluhan orang itu berada dalam tangan nona"."
"Jangan memikirkan yang tidak2!" tiba-tiba dara itu menukas, "sampai tiba pada
saatnya, menyesalpun tiada guna!"
Ia berpaling kepada nenek Bwe Nio, " Pinjam tali ulat Thian-jan selama tiga bulan saja!"
Nenek Bwe agak meragu tetapi akhirnya ia mengambil sebuah kantong bersulam emas,
diberikan pada si dara.
Cong To dan lelaki tinggi besar itu memandang lekat kepada si dara. Dara itu tengah
mengambil segulung tali warna putih salju lalu diurai.
Cepat sekali gerakan tangan dara itu sehingga Cong To belum sempat melihat jelas,
gulungan tali itu sudah terurai lalu dibuat menjadi 33 buah lingkaran. Setelah itu berpaling
menyuruh si Bungkuk dan si Pendek, "Ikatlah leher mereka dengan Lingkaran tali ini"."
Si Bungkuk dan si Pendek segera melaksanakan perintah. Lingkaran tali ulat sutera itu
diikat pada tubur ke 32 orang.
Tiba-tiba dara itu berseru nyaring, "Tariklah dari dua samping sekuat-kuatnya. Paling
tidak harus menggunakan tenaga 100 kati!"
"Jangan nona!" tiba-tiba Cong To berseru gugup, "Bukankah dengan cara itu ke 32
orang itu akan mati semua?"
Si dara tertawa, "Jangan kuatir! Lingkaran tali kubuat sedemikan rupa sehingga tak
sampai menjirat leher mereka. Pun tenaga tarikannya sudah kuperhitungkan. Kalau
menggunakan 80 sampa 100 kati saja, barulah lingkaran itu akan menjadi ikatan mati.
Dengan Leher diberi ikatan rantai tali, mereka tentu tak dapat bergerak leluasa. Sekalipun
mempunyai ilmu menyurut tulang, pu tak mungkin mampu lolos. Tetapi kalau
menggunakan tenaga 200 kati, lingkaran itu tentu akan menyurut kecil!"
Cong to menghela napas, "Mati hidup itu peristiwa besar, bukan mainan kanak-kanak.
Sekali-kali nona tak boleh"."
"Tak apa!" tukas si dara, "kalau mereka sampai mati, akan kuganti jiwa!"
Tanpa banyak bicara si Bungkuk dan si Pendek terus melakukan perintah. Ketiganya
memencar di kanan kiri lalu menarik tali dengan menggunakan tenaga 100 kati. Terdengar
suara mendesis pelahan dan lingkaran tali itupun sama menyurut pada leher ke 32 orang
itu. Si dara berpaling kepada lelaki tinggi besar tadi dan berseru, "Lingkaran tali yang
terakhir engkau boleh mengikatkan pada lehermu sendiri!"
Sejenak lelaki tinggi itu bersangsi tetapi akhirnya ia ulurkan tangan menyambuti tali
terus dipasang di lehernya. Tanpa ditarik si Bungkuk dan si Pendek, ia terus mencarik
lingkaran tali itu sendiri.
"Bagus, engkau benar-benar mengenal gelagat. Tali ulat sutera itu adalah salah satu
Benda pusaka dari perguruan Lam-hay-bun. Jangan memandang rendah bahwa tali itu
hanya sebesar dupa tetapi uletnya bukan alang kepalang. Tak mudah dipotong dengan
sembarang pedang pusaka. Karena tali ini masih sisa panjang sekali maka sisanya itu akan
kusuruh ikat pada tubuh mereka."
Ia berpaling ke arah Ong Kwan-tiong dan lelaki kaki buntung, serunya, "Tolong suheng
berdua membuka jalandarah mereka yang tertutuk itu!"
Kedua orang itu cepat loncat ke muka. Yang satu pakai tangan menampar, yang satu
pakai kaki menyepak. Dalam beberapa kejab saja, ke 32 orang itu serempak tersadar dari
pingsannya begitu merasakan lehernya terjirat tali, mereka terus hendak menariknya.
Sesunguhnya Pengemis-sakti Cong To itu memiliki hati nurani yang welas asih. Ia kuatir
tarikan orang-orang itu bahkan akan mempererat ikatan tali. Buru-buru ia berseru
menghentikan mereka.
Teriakan yang menggeledek dari pengemis tua itu mengejutkan sekalian orang.
Merekapun berhenti.
Si dara baju ungu berseru nyaring, "Leher saudara berkalung tali ulat sutera.
Kencangnya bukan kepalang. Tak mempan ditabas pedang. Kalau tak percaya. boleh
mencobanya!"
Seketika ada beberapa orang yang mencabut senjatanya lalu merampas tali itu.
Senjata dari kaum persilatan, tentulah bukan senjata sembarang senjata. Walaupun
bukan semua termasuk jenis pusaka, tetapi tentulah senjata mereka itu senjata pilihan
yang amat tajam. Mampu untuk menabas batang pohon sebesar mangkuk.
Tetapi ketika ditabaskan kepada tali yang besarnya hanya seperti dupa, ternyata macet.
Berpuluh-puluh tabasan pedang dan golok tajam, tak mampu memutuskan tali sutera itu!
Setelah orang-orang itu berhenti menabas, barulah si dara berseru, "Tali yang
mengalung pada leher saudara itu, hanya tahan tarikan tenaga 200 kati. Kalau lebih dari
itu, tali tentu akan menyurut kencang dan saudara-saudara pasti akan terjirat mati"."
Berhenti sejenak, ia berkata pula, "Ikatan yang kubuat itu, tiada orang ketiga di dunia
yang mampu membuka. Jika nekat hendak membuka, sama dengan mencari kematian diri
sendiri. Sekiranya tak percaya, silahkan mencobanya!"
Sekalian tokoh-tokoh persilatan itu sudah menyadari kelihaian si dara. Dan percobaan
untuk menabas tali tadi, telah memberi bukti. Maka mau tak mau mereka percaya akan
keterangan si dara.
Tampak kerudung hitam dara itu bergerak dan terdengarlah kata-katanya pula,
"Sekarang kalian ke 33 orang itu, merupakan kawan sehidup-semati. Jika tali itu sampai
tersambar orang lain dan orang itu menariknya dengan 200 kati, kalian beberapa orang
tentu ada yang terjirat mati dan pasti akan mengganggu sekalian orang. Kalian merupakan
sebuah kesatuan yang sehidup-semati. Dalam menghadapi gangguan orang luar, harus
bersatu bantu membantu. Dan kalian harus menghilangkan rasa dendam satu dengan
lain"."
Ucapannya itu lemah lembut nadanya dan dan penuh dengan perhatan. Sekalipun taruh
kata dara itu bohong, tetapi karena cara membawakan kata-katanya begitu lembut, orang
tentu sukar untuk tak percaya.
Kembali terdengar dara itu menghela napas panjang, katanya pula, "Saat ini ada
sebuah masalah yang hendak memintakan bantuan kalian. Ialah hendak minta tolong
kepada saudara-saudara untuk menjaga makam ini selama tiga bulan.
"Kalau dalam makam ini tersimpan Tusuk Kundai Kumla pusaka Lam-hay-bun. Sudah
tentu akau berdatangan tokoh-tokoh persilatan lihay untuk berusaha mendapatkannya.
Nah, saudara-saudara harus mengenyahkan mereka. Dan hendaknya saudara-saudara
menyadari bahwa saudara-saudara sudah tambah dengan sebuah ilmu baru. Kalian sudah
memiliki ilmu menutuk dengan jari dari jarak jauh. Cukup dengan ilmu itu saja, kalian
sudah dapat menghadapi musuh yang tangguh. Jika kalian sungguh-sungguh mau bersatu
dan serempak melakukan gerak tutukan jari itu, sekalipun tokoh-tokoh silat yang
bagaimana saktinya, tetap tak mampu hendak maju selangkahpun juga"."
Kembali ia berhenti sejenak untuk menghela napas pelahan, lalu berkata, "Masih ada
sebuah hal lagi. Aku hendak mengatakan dengan sejujurnya. Di antara kalian bila ada
seseorang yang menderita luka parah atau binasa, harus cepat-cepat menabas kutung
tubuhnya agar jangan sampai mengganggu kalian semua"."
Perintah yang kejam itu seolah-olah enak saja diucapkan si dara. Sehingga
kedengarannya tak mengerikan. Tetapi jika direnungkan sungguh, perintah itu tentu
menegakkan bulu roma.
Suasana hening lelap. Agaknya orang-orang itu tak tahu apa yang harus dikatakan.
Mereka hanya memandang si dara.
Baju ungu yang dikenakan data itu, melekat pada tubuhnya yang langsing, pinggang
ramping dan kulit yang putih seperti salju. Jari2nya runcing seperti duri landak, bahunya
yang lempang bagai teraju. Tak dapat tidak, potongan tubuh begitu itu tentu dimiliki oleh
seorang jelita yang amat rupawan sekali. Tetapi sayang, wajahnya tertutup oleh kain
hiram sehingga tak dapat dinikmati kecantikannya.
Sekalipun tak dapat melihat wajahnya, namun seluruh tokoh persilatan yang berjumlah
33 orang itu sama mempunyai kesan bahwa dara baju ungu itu tentu seorang cantik jelita.
Kembali terdengar suara helaan napas pelahan dari mulut si dara yang terbungkus
kerudung, "Waktu 3 bulan itu dalam kahidupan manusia tidaklah merupakan waktu yang
berarti. Hanya dalam sekejap mata saja, kalian harus melewatkan hari-hari menjaga
makam ini. Mungkin hal itu merupakan suatu istirahat pendek dalam kehidupan kalian.
Cepat sekali waktu itu segeta akan berlalu"."
Tiba-tiba sebuah suara yang kasar dan gagah, menukas kata-kata si dara, "Waktu 3
bulan walaupun tidak lama tetapi habislah sudah riwayat hidup kami. Leher dijirat tali dan
disuruh menjaga makam dari seorang yang tak terkenal sampai 3 bulan. Apabila peristiwa
itu tersiar di luar, kami tentu tiada muka menegakkan kaki di dunia persilatan."
Si dara tertawa melengking nyaring, "Kalau begitu, apakah nama dan peribadi itu
benar-benar lebih penting dari jiwa" Kalau saudara-saudara memang beranggapan begitu,
silahkan saja menempuh ajal kebinasaan."
Sekalian orang tergetar hatinya dan serempak berpaling ke arah orang yang buka suara
tadi. Mereka sama menyesali orang yang banyak mulut itu.
Si dara menghela napas rawan, ujarnya, "Aku tak mau memaksa kalian. Menjaga
kuburan ini atau mati, terserah kalian hendak memilih.
Ia berhenti sampai lama untuk memberi kesempatan sekalian tokoh itu mengambil
keputusan. Setelah itu baru ia berkata pula, "Jika memang tak mau menjaga makam ini,
akupun tak berani memaksa. Silahkan kalian berdirilah!"
Tiada seorangpun yang tahu apa akibat dari kata-kata dara itu. Tetapi mereka
menduga, kebanyakan tentu akan menyeramkan akibatnya.
Hanya orang yang buka suara itu, setelah memandang kian kemari lalu berbangkit
pelahan-lahan. Mata sekalian orang tercurah kepada orang itu. Wajah mereka tampak
tegang. Tetapi tak seorangpun tahu yang bakal terjadi.
Si dara baju ungu berbangkit lalu menghadap orang itu dan berdiri di mukanya,
"Apakah engkau benar-benar tak takut mati?"
Pada waktu si dara mengayun langkah, nenek Bwe mengikuti lekat2 di belakang si
dara. Walaupun kerut wajahnya cemas dan tampak tak setuju akan tindakan si dara,
tetapi ia tak berani buka suara mencegahnya.
Wajah orang itu pucat lesi. Rupanya kematian telah terbayang di wajahnya. Tiba-tiba ia
menghela napas panjang, serunya, "Berkelahi untuk menentukan siapa yang berhak hidup,
bukanlah suatu peristiwa yang besar. Tetapi karena leherku terikat dan tak mempunyai
kesempatan untuk melawan, maka akupun rela pejamkan mata menunggu ajal."
Memang umumnya orang persilatan amat menjunjung gengsi dan nama. Walaupun
jelas wajahnya menampilkan kecemasan maut namun mulut masih bersuara garang agar
rasa takutnya tak diketahui orang.
Si dara tertawa, "Apakah engkau mempunyai anak isteri?"
Pertanyaan itu benar-benar di luar dugaan sehingga sekalian orang terpukau.
"Kalau punya lalu bagaimana?" sahut orang kasar itu.
"Jika engkau memang punya anak isteri, segera akan kubebaskan pulang!"
"Sungguh?" orang itu heran.
"Kapankah aku pernah bicara bohong?" tetapi".."
"Tetapi bagaimana?"
"Engkau harus lebih dulu menjawab pertanyaanku tentang anak isterimu itu!"
Orang itu merenung sejenak. "Punya!"
"Berapa umur anak perempuanmu tahun ini?"
Sepintas pandang tanya jawab itu seperti dalam suasana kekeluargaan. Suatu hal yang
benar-benar membuat sekalian orang heran.
Orang itu bersangsi sejenak, lalu berseru, "Puteriku" Tahun ini berumur 13 tahun!"
Tiba-tiba dara itu mengangkat tangan kanannya sehingga tali yang mengikat leher
orang itu bergetar. Lalu berkata pelahan, "Lekas gunakan tenaga untuk membuka
lingkaran tali pada lehermu!"
Orang itu menduga si dara hendak mempermainkan dirinya. Sekonyong-konyong ia
Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menggembor keras, "Toh aku pasti"." " kata-kata itu diserempaki dengan menghantam
ke arah kepala si nona.
Terdengar suara tertawa dingin dan nenek Bwe Nio yang berdiri di belakang si dara,
secepat kilat segera julurkan tangan kananya menyongsong pukulan orang itu. Terdengar
Pendekar Kembar 2 Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung Kisah Pedang Di Sungai Es 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama