Ceritasilat Novel Online

Riwayat Lie Bouw Pek 3

Riwayat Lie Bouw Pek Karya Wang Du Lu Bagian 3


peti mau digali, se-gala2 nya mudah," kata si orang suci.
Bouw Pek setuju, tetapi buat ambil putusan,dia cari Siu Lian
buat diajak ber damai.
"Nona akan pergi ke Soanhoa, setahu sampai kapan nona
bisa kembali kemari, maka itu jalan paling sempurna adalah
tunda layonnya ayahmu," dia memberi pikiran. Sukur apabila
dibelakang hari nona bisa datang kemari jauh lebih cepat."
"Begitupun baik," sahut Siu Lian sambil menangis. "Tentang
ongkosnya koko boleh putuskan sendiri, nanti aku bayar."
"Ongkosnya tidak seberapa," kata Bouw Pek, yang merasa
senang bahwa usulnya di terima baik. Demikian putusan
diambil. Dihari kedua, pagi2 tukang2 gali lobang kuburan
sudah datang dan lantas bekerja, maka tidak lama berselang
layonnya Jie Hiong Wan telah digotong untuk dimasuki
kedalam lobang itu. Siu Lian dan ibunya telah saksikan
bagaimana layon ayah dan suaminya dikebumikan.
Demikian Tiat-cie-tauw atau Lauw Tiauw, piauwsu ketua Jie
Hiong Wan, telah sampai pada akhir penghidupannya yang
banyak pengalaman nya.
Siu Lian dan ibunya telah bakar kertas, mereka telah
menangis, kemudian ber-sama2 Bouw Pek mereka kembali
kerumah penginapan, untuk ambil putusan hal keberangkatan
mereka dan lakukan segala pembayaran.
"Lie Toako, sukur ada kau yang telah bantu kami," kata Siu
Lian, "kalau tidak ada kau, entah bagaimana kesukaran kami
urus layonnya ayah. Kami juga bersukur untuk bantuan kau
selagi kami dikepung oleh anak nya Ho Hui Liong, waktu ayah
mesti mendekam dalam penyara. Sekarang ini bisa dibilang
sukur yang ayah telah menemui hari akhirnya dalam keadaan
selamat." Diwaktu mengucap demikian, nona ini menangis sedih
sekali. "Toako," kemudian dia kata seterusnya, "apabila kau punya
urusan penting di Pak-khia, kau tidak usah antar kami ke
Soanhoa-hu. Kami tidak bisa merasa lega hati, apa bila untuk
urusan kami lebih jauh, urusan kau sendiri menjadi gagal."
"Jangan kau mengucap demikian, nona." berkata Bouw
Pek, yang sangat terharu. "Dalam hal ini tidak ada soal budi
atau kebaikan Lauwsiok sobatnya guru-ku, dengan begitu dia
sama saja sebagai guruku sendiri, maka adalah suatu
keharusan belaka apabila aku berikan bantuanku yang tidak
berharga. Nona niat pergi sendiri ke Soanhoa-hu kau memang
bisa lakukan. Dengan kegagahan kau, aku percaya tidak nanti
ada orang yang bisa hinakan kau. Tapi kau dan ibumu orang2
perempuan semua, aku anggap kurang leluasa kau lakukan
perjalanan ini. Tentang aku. kepergian ke Pakkhia bukannya
untuk urusan penting, aku melulu hendak sambangi sanak,
maka lambat atau cepat kedatanganku disana, tidak ada
urusannya. Diwaktu hendak hembuskan napasnya. lauwsiok,
telah pesan aku supaya aku antar kau dan encim ke Soanhoa
dan aku telah berikan janjiku, maka sekarang tidak bisa lain,
perlu aku antar kau sampai di tempat tujuan. Aku baru merasa
lega, sesudah nanti aku ketemu dengan Beng Loopeh dan
Beng Jie-siauwya. Maka itu, adikku, harap kau jangan pusingi
lagi tentang urusanku."
Siu Lian tidak mau memaksa, dia susut air mata, hatinya
bukan main bersukur.
,,Memang lebih baik apabila Lie Siauwya bisa ikut kita,"
berkata Jie Thaythay. ,,Jikalau ada orang lelaki yang kawani
kita, ditengah jalan tentulah tidak akan terbit onar pula."
"Baiklah kalau begitu !" kata Siu Lian akhirnya. Toako, baik
kita berangkat besok saja!"
Kemudian Siu Lian memberi tahu, oleh karena kuda
ayahnya sudah tidak ada yang tunggang, kuda itu baik dijual
saja. "Begitupun baik," kata Bauw Pek.
Anak muda ini lantas ajak jongos menuntun kuda pergi
kepasar buat jual kuda itu. Binatang itu bagus, dulu dibeli oleh
Jie Hiong Wan dengan harga dua ratus tail perak, akan tetapi
sekarang, karena hendak dijual lantas, orang hanya berani beli
buat seratus enampuluh tail.
"Uangnya toako saja yang pegang, untuk ongkos
perjalanan kita ini," kata Siu Lian waktu si anak muda hendak
serahkan uang itu padanya. Bouw Pek tidak menolak, maka
uang itu dia lantas simpan. Masih setengah hari lagi
rombongan ini berdiam di Jie-sie-tin, sesudah itu, esoknya
pagi2 mereka berangkat akan lanjut kan perjalanan menuju ke
Soanhoa. Siu Lian naik kereta bersama ibunya dan Bouw Pek
tetap menunggang kudanya. Tuan rumah penginapan telah
dibayar baik dan padanya dihaturkan terima kasih buat segala
bantuanya. Perjalanan ditujukan kejurusan barat-laut. Setelah melalui
kira2 tiga-puluh lie, mereka sampai di Bongtouw-koan, disini
Bouw Pek ajak ibu dan gadisnya itu singgah buat bersantap
tengah-hari, kemudian perjalanan di lanjutkan, melewati Wankoan
dan Ngo Ciong Nia, melalui Cie-keng-kwan. Setelah ini,
perjalanan lempang langsung ke Soanhoa-hu.
Adalah harapannya Lie Bouw Pek akan lekas-lekas sampai
di Soanhoa-hu, supaya dia bisa tempatkan dia punya "bunga
yang berharga laksana mutiara" ditempat yang aman. Dia
tahu dia harus berbuat demikian, karena dia tidak boleh
mengharap lebih, tidak perduli bagaimana berat rasa hatinya
akan berbuat demikian itu. Dia anak muda yang terhormat,
yang berhati mulia, dia tidak boleh lakukan apa-apa yang
sesat. Dia mesti korbankan diri, asal nama baiknya bisa
dijunjung tinggi.
Disepanjang jalan jarang Bouw Pek bicara dengan Siu Lian,
begitupun si nona terhadapnya. Setiap malam, diwaktu
singgah dihotel, Bouw Pek tentu minta dua kamar, sebuah
untuk ibu dan anak itu, sebuah untuk dia sendiri.
Biar bagaimana juga, Jie Thaythay tidak tenteram hati
melibat perbuatan orang terhadap mereka. Bukankah pemuda
itu bukan sanak dan bukan kadang " Tapi bagaimana besar
pertolongannya terhadap mereka.
Nyonya janda ini pernah tanya pemuda itu, dirumahnya dia
masih punya anggota keluarga siapa dan dia sudah menikah
atau belum, tetapi orang yang ditanya menyawab dengan
sembarangan saja.
Bouw Pek tidak mau omong banyak. Dia anggap, bila dia
sudah antar ibu dan anak itu, sudah cukup. Dia telah pikir,
seberlalunya dari Soanhoa dia hendak mengembara, dia niat
merantau dengan tidak ada tujuan-nya. Dia anggap, tidak ada
sebab kenapa dia mesti ketemu pula dengan ibu dan anak itu.
Demikian, perjalanan dilakukan lagi delapan hari lamanya,
diwaktu mana kira-kira jam tiga lohor barulah rombongan ini
memasuki kota Soanhoa-hu.
Selama di tengah perjalanan Lie Bouw Pek sudah dapat
keterangan dari Jie Thaythay tentang keluarga Beng. Bakal
mertua lelaki dari Siu Lian yalah Beng Eng Siang, yang
bergelar Kauw-pak-Him, Biruang dari Kauwpak. Dia punya
piauw-kiok, pakai merk Eng Siang Piauw-tiam, tiga atau empat
puluh tahun lamanya dia bisa mengantar barang-barang ke
Thio-kee-kauw. Anak lelaki pertama dari Beng Piauwtauw
adalah Su Ciang, kabarnya sudah menikah. Anak lelaki kedua,
yalah tunangan Siu Lian, adalah Su Ciauw. Dua-dua anak itu
mengerti silat dan telah bantu ayah mereka urus piauw. Oleh
karena telah ketahui hal ayah dan anak-anaknya itu dan
piauwtiam mereka, Bouw Pek dengan mudah bisa cari rumah
atau kantor perusahaannya.
Eng Siang Piauw-tiam adalah sebuah rumah yang besar
dengan pekarangan luas, begitu masuk dipintu segera
tertampak pekarangan, dimana biasa ditempatkan keretakereta
dan kuda, ketika itu terdapat dua-puluh ekor kuda lebih
serta beberapa ekor onta. Dimuka pintu, diatas bangku
panjang, duduk beberapa pegawai. Begitu lekas lihat si anak
muda turun dari kudanya, seorang pegawai, yang berumur
tiga-puluh lebih, yang berkumis pendek, segera berbangkit
menghampirkan. "Cari siapa, tuan ?" tanya pegawai itu. Bouw Pek angkat
kedua tangannya.
"Aku utusan dari Jie Loo-piauw-tauw dari Kielok,"dia
menyawab. "Aku datang kemari mengantarkan Jie Loothaythay
dan anaknya perempuan."
Mendengar itu, pegawai itu nampaknya terkejut berbareng
girang. "Oh, loothaythay dan si nona datang '"dia berseru. "Marilah
kita minta loo thay-thay dan si nona turun dari keretanya !"
Ia berlari-lari menghampirkan kereta, yang sudah berhenti.
"Thay-ma baik ?"dia menegor nyonya Jie. "Sudah enam
tahun kau tidak lihat aku, kau tentu sudah tidak kenali aku."
Ah, nona, kau juga sudah jadi begini besar ?"
Nyonya Jie dan gadisnya awasi orang itu akan akhirnya
mereka dapat mengenalinya
"Lauw Keng ! mereka kata hampir berbareng.
"Ya, thay-ma," sahut pegawai itu, yang benar adalah Toankimkong Lauw Keng, si Kimkong Kate atau si kumis pendek.
Dulu dia pegawainya Jie Hiong Wan, setelah Hiong Wan Piauw
- tiam ditutup, Lauw Tiauw telah pujikan dia pada Beng Eng
Siang, dimana dia bekerja pada Eng Siang Piauw-tiam, hingga
waktu itu. Dia bingung ketika dia tampak orang berkabung.
"Dan lauwtee ini siapa?"dia tanya seraya menoleh pada
anak muda kita.
"Aku Lie Bouw Pek," sahut pemuda itu.
"Oh, Lie Lauwtee," kata pegawai ini. Kemudian dia tanya
dengan pelahan. "Apa Jie Loopeh baik ?"
"Jie Lauwsiok telah menutup mata," Bouw Pek jawab
dengan pelahan.
Lauw Keng kaget, air mukanya lantas berobah menjadi
lesu, tanda dia berduka. Tapi setelah itu dia tidak banyak
omong lagi, dia hanya pimpin nyonya dan nona tamu masuk
kedalam, dengan diam-diam dia susut air matanya.
Sementara itu tuan rumah telah diberitahukan oleh
pegawai lain tentang kedatangannya nyonya dan nona tamu
dari Kie-lok. Beng Eng Siang bersama isterinya sudah lantas
keluar untuk menyambut, dengan begitu kedua pihak telah
saling ketemu di depan rumah.
Melihat Beng Loo-thaythay Jie Loo-thaythay segera samber
tangan orang. "Adikku!." dia berseru seraya menangis.
Nyonya rumah sambut tangan orang dengan keras, iapun
turut menangis, sedang kemudian dia jabat tangannya, Siu
Lian. Beng Eng Siang keluar dari dalam dengan perasaan girang,
dia sudah tahu yang Jie Hong Wan tidak turut datang, sobat
dari tiga-puluh tahun, siapa tahu, dia tampak tamunya pada
berkabung dan mereka datang2 menangis, hatinya jadi
mencelos, karena dia ketahui apa artinya itu.
"Ajaklah enso kedalam,"dia kata pada isterinya. "Siapa yang
antar enso?"
"Pengantarnya Lie Lauwtee ini," Lauw Keng mendahului
menyawab. Dengan air muka tersungging, senyum, Eng Siang hadapi
tamunya. "Kau banyak cape, hiantit. Sudikah kau perkenalkan dirimu
padaku?" Lie Bouw Pek unjuk hormatnya, yang mana dibalas oleh
tuan rumah. Dia memberi tahu she dan namanya.
"Menurut Lie Lauwtee ini, Jie Loopeh telah meninggal
duuia," Lauw Keng memberi tahu majikannya. Eng Siang
banting2 kaki. "Ah !."dia berseru dengan tertahan.
Air matanya lantas saja turun, hingga Lauw Keng kembali
turut mewek. Pengawal ini ternyata sangat cinta bekas
majikannya. Lie Bouw Pek lantas diundang duduk di thia,
dimana disuguhkan teh. Beng Eng Siang susut air matanya.
"Aku tahu Jie Toako biasa pandai rawat diri dan dia belum
berumur tujuh puluh tahun, kenapa dia meninggal dunia?" dia
tanya. "Ia dapat penyakit apakah?"
"Ia menutup mata karena kedukaan dan kejadian ditengah
jalan," sahut anak muda kita yang se-bisa2 tahan kesedihannya.
Eng Siang dan Lauw Keng merasa heran.
"Ia meninggal dunia ditengah jalan ?" piauwsu itu
ulangkan, "Kalau suka, hiautit, tolong kau tuturkan aku satu
dan lain tentang Jie Toako."
Lie Bouw Pek bersedia berikan penuturannya, mulai
terbitnya permusuhan diantara Jie Hiong Wan dan Ho Hui
Liong, sampai anak2nya orang sbe Ho itu datang mencari
balas, sampai Lauw Tiauw terpaksa sekap diri dan mau
menyingkir, apa mau, sang nasib tidak bisa dilawan, maka
kejadian jago tua itu menutup mata ditengah perjalanan. Dia
terangkan tentang dua kali pengepungan pada Hong Wan,
sampai yang paling belakang jago tua itu kena ditahan dalam
penyara, rupanya musuh gunai pengaruh uang.
"Semua itu adalah kejadian hebat yang bikin Jie Looenghiong
sangat mendongkol dan berduka, hingga dia tidak
tahan akan derita itu lebih jauh. Oleh karena terpaksa,
layonnya loo-eng-hiong telah dikubur di Jie-sie-tin."
Lebih jauh Bouw Pek beritahukan, yang dia muridnya Kie
Kong Kiat, dari itu dengan Jie Hiong Wan dia pernah paman
dan keponakan. "Menurut pesanan Jie Loo-enghiong, aku telah antar encim
dan anak Siu Lian sampai disini," kemudian anak muda kita
bicara lebih jauh. "Adalah keinginan loo-enghiong buat
anaknya nanti dinikahkan, apabila perkabungannya sudah
cukup tiga tahun, sesudah itu, dia harap anaknya nanti angkut
pulang layonnya. Aku punya urusan di Pakkhia aku pikir buat
berangkat besok." Beng Eng Siang menghela napas.
"Aku tidak pernah sangka, bahwa saudara Jie bisa
mengalami nasib demikian hebat." Dia kata. "Ketika aku masih
muda, bersama Jie Toako aku bekerja di Tay Hin Piauw-tiam
di Pakkhia, sebagian dari ilmu silatku adalah toako yang
ajarkan. Dua tahun sejak dia pulang kekampungnya dan buka
piauw-tiam sendiri, aku juga pulang kemari akan berusaha
sendiri juga, selama itu setiap setengah atau satu tahun aku
tentu kunjungi toako di Kielok, adalah perhubungan kekal ini
yang menyebabkan kami ikat perjodohan anak2 kami.
Tentang permusuhan antara toako dan Ho Hui Liong aku tidak
ketahui, sampai Lauw Keng datang kemari dan bekerja
padaku, katanya toako telah tutup perusahaan karena hatinya
jadi tawar. Aku kenal Ho Hui Liong, karena dia juga sobatku,
malah dalam hal persobatan, persobatannya dengan toako


Riwayat Lie Bouw Pek Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jauh lebih kekal dari pada aku. Maka aku tidak sangka sama
sekali, bahwa diantara mereka sudah terbit bentrokan hebat,
yang sekarang merupakan permusuhan besar, malah
permusuhan turun menurun. Aku tidak nyana, yang Hui Liong
begitu sesat, sesudah sama2 berusia meningkat mereka
bermusuh satu pada lain. Hiantit ketahui, karena urusan
mereka itu hatiku juga sudah mulai menjadi tawar, hingga aku
sungkan pergi Jauh2. Begitulah waktu itu aku hanya tulis surat pada
toako, buat hiburkan dia, yang sering2 aku lakukan. Selama
itu, aku selalu dapat balasan yang mengatakan toako sehat
walafiat. Kemudian aku juga lupai hal anak2nya Ho Hui Liong,
aku tidak pernah pikir, bahwa mereka sekarang telah datang
memaksa, sehingga toako mesti menutup mata secara begini
kecewa. Benar benar ini musuh turunan."
Eng Siang menghela napas, alisnya mengkerut.
,,Selama dua tahun ini, juga pikiranku kusut' kemudian dia
bicara tentang dirinya sendiri. "Anakku yang kedua, Su Ciauw,
sejak musim pertama meninggal kan rumah, dia pergi setahu
kemana, sampai sekarang tidak ada kabar ceritanya, jikalau
tidak pastilah siang2 aku sudah sambut nona Jie, buat rayakan
pernikahan mereka."
Lie Bouw Pek heran mendengar keterangan itu.
"Kenapakah lenglong meninggalkan rumah ?" tanyanya.
Eng Siang bersangsi beberapa saat sebelum dia
memberikan penyahutan, iapun kembali menghela napas
sebelum buka mulutnya.
"Anakku yang kedua itu anak yang pintar, sayang adatnya
tinggi dan keras," berkata orang tua ini. "Sedari masih kecil,
Su Ciauw tidak suka dengar suara orang tua
hingga kejadian diwaktu umur sembilan tahun dia telah
lenyap, sampai beberapa tahun lamanya. Aku tadinya sangka
anakku itu telah menutup mata, ketika beberapa tahun
kemudian dia kembali dengan sudah menjadi anak tanggung
umur tigabelas tahun. Menurut ceritanya, dia telah
menghilang dari rumah karena dia telah ikuti serombongan
orang jahat. diasudah merantau sampai di Bong-kouw, sudah
lintasi Ho-to, malah dia pernah ikut2 pasukan tentara. Tidak
heran dalam usia muda itu dia telah mengerti ilmu silat, malah
juga kenal mata surat. Sepulangnya, aku sekolahkan ia,
supaya dia bisa lanjutkan pelajaran surat. Dia bisa belajar
surat dengan tenang. pelajaran silatnya dia tidak sia2-kan.
Aku dapat kenyataan dia bisa mainkan golok dan pedang
dengan baik. Begitulah maka kemudian aku telah jodohkan dia
dengan nona Jie. Aku sudah pikir, lewat lagi lima arau enam
tahun, aku akan raya kan pernikahan mereka. Dalam umur
lima belas tahun dia sudah bisa bantu aku didalam piauw
tiam." ,Itulah bagus," Bouw Pek bilang.
,,Tetapi diluar dugaanku, kemudian adat nya telah berobah
pula." Beng Eng Siang lanjutkan keterangannya "Ia suka
keluar,dia suka berkelahi dia usilan sekali, gemar campur
urusan orang lain, sedang dalam hal uang. Dia pakai itu
secara dihamburkan. Diluaran hiantit tahu, dia campur segala
ragam orang. Bersama engkonya, aku coba bikin penilikan
keras. Dia ternyata tidak suka dikendalikan, dia jadi tidak
betah ber diam dirumah. Adalah pada tahun yang baru lewat
dia telah terbitkan suatu Onar besar."
"Apakah adanya itu, loopeh ?" tanya Bouw Pek. Dia tertarik
dengan penuturan itu, dia tertarik oleh sifatnya Su Ciauw. Eng
Siang menghela napas, dia batuk2.
"Di Soanhoa ini ada hartawan besar bernama Thio Ban
Teng."dia menutur "selain berharta diapun berpengaruh luar
biasa." Itu disebabkan dia punya encek, yang didalam Istana
Terlarang menjadi toa-cong koan, yang pengaruhnya umpama
kata melebihi pengaruhnya kun-kee tay-sin. Begitulah
sekalipun hu-tay disini tidak berani main gila terhadap
hartawan ini. Thio Ban Teng punya batin buruk, dia sudah
punya belasan gundik, tetapi dia masih tetap kemaruk paras
elok, sedang diluaran dia masih punya beberapa sobat
perempuan lagi. Didalam kota ada seorang tukang sayur
bernama Gouw Loo Toa, dia punya isteri yang elok romannya.
Setahu kapan, nyonya Gouw dapat dilihat oleh Thio Ban Teng
dan hartawan ini lantas gunai pengaruhnya, akan kang-kangi
isteri orang. Ketika Gouw Loo Toa ketahui perbuatan isterinya,
dia tidak dapat lihat jalan lain daripada hajar isterinya itu,
Karena kejadian ini, nyonya Gouw menjadi sangat malu, dia
ambil putusan nekat dengan gantung diri hingga mata Gouw
Loo Toa ketakutan, tahu pasti yang hartawan Thio akan tidak
mau sudah, dia buron dari kota, entah kemana dia pergi,
boleh jadi dia sudah mati. Itulah hal yang hebat, tetapi
dengan kami tidak ada sangkutannya, tetapi kapan Su Ciauw
dengar kejadian itu, dia sangat gusar, dengan bawa pedang
dia satroni Thio Ban Teng, dia serang hartawan itu pada duadua
kakinya, setelah ini anakku buron, malah dia pergi dengan
tidak bawa uang. Thio Ban Teng tidak mati, dia dan
orang2nya tidak mau mengerti, pengaduan segera dimajukan
pada pembesar negeri. Karena pengaduan ini, hampir2 aku
dijebluskan dalam penjara, aku telah gunai lima-ratus tail
perak, baru perkara itu bisa dibikin sirap. Sejak itu, anakku
yang put-hauw itu telah tidak pernah pulang ke Soan-hoa ini
!" Eng Siang lagi2 menghela napas.
"Kasihan nona Jie,"dia menutur terus. "Ia telah kehilangan
ayahnya, hingga dia kehilangan juga orang yang dibuat
andelan. Dia telah datang kemari, coba Su Ciauw ada
dirumah, pasti aku akan nikahkan mereka. Aku telah berusia
tinggi, bagaimana aku tidak girang akan lihat anak menikah"
Apa celaka, anak itu tidak berbakti, dia tinggalkan rumah dan
orang-tua! Sekarang tidak ketahuan dia masih hidup atau
mati. Sekarang anaknya Jie Toako jadi ter-sia2, sungguh aku
malu terhadap rohnya toako."
Piauwsu tua ini kucurkan air mata. Bouw Pek merasa
kasihan buat nasibnya Siu Lian yang malang, dipihak lain dia
pun kagum terhadap Su ciauw, kegagahan siapa menarik
perhatian. ,Ia terang pemuda gagah", dia pikir. "Ia tentu punya
kepandaian tinggi, maka dia bernyali begitu besar. Dengan
dapatkan suami sebagai Su Ciauw, Siu Lian tidak kecewa,
maka sayang, anak muda itu sekarang tidak ketahuan kemana
parannya!"
"Baiklah kau jangan bersusah hati, lauwsiok," dia coba
hiburkan tuan rumah. "Aku niat lakukan perjalanan, andai-kata
suatu waktu aku beruntung ketemu saudara Su Ciauw, aku
tentu akan anjurkan dia pulang, atau sedikitnya dia sambut
nona Jie, agar mereka bisa menikah, kendati juga ditempat
lain." "Menikah ditempat ini" Itulah bukan daya yang baik," Eng
Siang menghela napas. "Cara itu pun masih tidak setimpal
bagi kehormatannya nona Jie. Sekarang si nona sudah datang,
biarlah dia tinggal sama aku, aku nanti pandang dia sebagai
anak sendiri. Dia masih muda, dia bisa tinggal disini sedikitnya
dua tahun lagi. umpama kata Su Ciauw sudah menutup mata,
atau adatnya tetap tidak bisa dirobah, terpaksa aku nanti
angkat nona Jie menjadi anak-angkatku dan carikan dia
pasangan lain!"
Tapi Bouw Pek tidak setuju pikirannya orang tua itu
tentang Siu Lian hendak dinikahkan dengan orang lain. Cuma
karena baru kenal satu sama lain, dia tidak berani
sembarangan bicara. Tuan rumah juga sudah lantas
berbangkit. ,Ijinkan aku masuk kedalam, aku perlu hiburkan ibu dan
anak itu," katanya, yang terus undurkan diri. Bouw Pek jadi
terus ditemani oleh Toan-Kim kong.
Kebetulan waktu itu datang dua piauw, mereka lantas
diajar kenal. "Lie Tauwte ini adalah Lie Bouw Pek muridnya Kie Kiong
Kiat Loo-suhu," kata si kumis pendek, "ia datang kemari
mengantarkan keluarga perempuan dari Jie Lauw Tauw. Dan
ini," dia bicara pada Bouw Pek, "toa-piauwsu kami Tong Cin
Kai dan Khouw Giok Teng."
Kedua fihak segera saling unjuk hormat, kemudian mereka
pada berduduk akan pasang omong.
Bouw Pek tidak kesepian, malah dia tertarik hatinya waktu
pembicaraan lalu menjurus pada Su Ciauw, putera kedua dari
Kauw-pak Hin Beng Eng Siang.
Menimbang pembicaraannya orang2 dari Eng Siang Piauwtiam,
Bouw Pek dapat anggapan yang Beng Su Ciauw punya
ilmu tinggi dan berambekan, hingga bisa dibilang Beng Jie
siauwya itu pemuda gagah-mulia, melainkan sedikit kukoay,
hingga dia sukar dapat kecocokan dengan sembarang orang.
"Satu kali aku ingin cari jie-siauwya," Bouw Pek nyatakan
kemudian. "Jie-siauwya seorang dengan potongan tubuh biasa saja,"
Khouw Giok Teng lalu terangkan. "Ia tidak bertubuh tinggi,
mukanya kuning dan kurus, tetapi matanya
besar. Dia bisa bicara beberapa rupa bahasa daerah, malah
dia mengerti juga bahasa Bongkouw."
"Didalam usia muda dia pernah merantau ke Bongkouw,
disana mestinya dia punya sobat atau kenalan," Bouw Pek
nyatakan. "Apa tidak bisa jadi yang dia telah buron kesana ?"
"Tidak," Lauw Keng geleng kepala. "Di Bongkouw dia seorang
yang ternama, akan tetapi aku pernah minta pertolongan
beberapa saudagar yang berniaga kesana, mereka semua
pulang dengan tangan kosong, sia-sia saja mereka mencari
keterangan tentang jie-siauwya."
Sampai disitu, pembicaraan menjurus pada Beng Su Ciang,
anak sulung dari Beng Loo-piauwsu.
"Ia sekarang tidak ada dirumah," Lauw Keng memberi
tahu. "Ia telah pergi mengantar piauw ke Kui-hoa. Dalam hal
sifat dan ilmu,dia kalah jauh daripada adiknya !"
Bouw Pek tidak menanyakan lebih jauh, sedang Lauw Keng
kemudian memberi tahu, bahwa kamar telah sedia buat
tamunya ini, maka dia lalu diantarkan kekamarnya itu, di
mana dia lalu beristirahat.
Setelah bersantap malam, seorang diri Bouw Pek berdiam
dalam kamarnya, terutama akan pikirkan halnya Siu Lian. Dia
sangat terharu mengingat nasibnya sinona,
Yang cantik dan gagah, yang halus budi pekertinya, tetapi
peruntungannya begitu malang, sudah kehilangan ayah,
punya musuh2 yang liehay, sekarangpun "kehilangan"
tunangan. "Dan aku, bagaimana dengan hari kemudian diriku
"." kemudian dia lamuni
dirinya sendiri. Memang juga belum ada ketentuan tentang
dirinya, dia seperti perahu hanyut, yang tidak ketahuan
tujuannya. Mengingat yang besok dia mau berangkat pagi2, Bouw Pek
coba berhenti memikir segala apa, dia naik atas
pembaringannya supaya bisa tidur, agar dia bisa lupai
semuanya. Api telah dia padamkan. Tapi, selagi tidur,
pikirannya tetap bekerja, sekarang dalam rupa impian.
Sananya dia telah ketemu dengan nona Jie, akan pandang
tampang muka orang yang elok dan potongan tubuh yang
bagus. Sananya, disuatu tempat dia ketemu seorang anak
muda, ialah Beng Su Ciauw, tunangan Siu Lian. Anak muda itu
memegang golok yang berlumuran darah, dia disamperi
hendak diserang, hingga dia mesti bicara kerak-keruk buat
terangkan kebersihan dirinya, bahwa sejak dia ketahui si nona
telah bertunangan, dia sudah bunuh pikirannya terhadap nona
itu. dia unjuk, selama berjalan sampai beberapa ratus lie
kedua pihak berlaku sopan satu pada lain, kelakuan dan
onongan selamanya rapi.
"Tentang ini aku berani sumpah," begitulah Bouw Pek kata
akhirnya. "Kalau kau tetap tidak percaya, silahkan kau gunai
golokmu akan belek perutku, akan lihat hatiku !"
Dalam impian itu, Beng Su Ciauw sananya suka percaya
keterangan itu. Dia lempar kan goloknya dan sebaliknya
pegang keras tangannya, bahkan terharu dia sampai
menangis Adalah selagi dengarkan tangisannya Beng Su Ciauw, Bouw
Pek seperti dengar orang panggil2 dia pada kupingnya, hingga
dia buka matanya, hingga samar2 dia lihat bayangan orang
berdiri didepannya. Kamarnya masih gelap, itulah sebabnya
kenapa dia tidak bisa lantas dapat lihat bayangan itu dengan
nyata. "Lie Toako, Lie Toako," demikian suaranya bajangan itu.
Bouw Pek terperanjat, karena dia kenali suara itu, yang halus
dan merdu. Dia segera merayap bangun, pikirannya buat
pasang lampu. Tetapi bayangan itu cegah dia.
"Tidak usah, Lie Toako, tidak usah nyalakan api. Aku Siu
Lian, aku hendak ucapkan dua patah kata, lantas aku hendak
pergi pula."
Baru sekarang Bouw Pek ketahui benar2, siapa yang bicara
dengan dia itu. Tentu saja dia heran, hingga dia lantas bangun
berdiri. "Apa yang kau hendak bicarakan, nona?" dia kata.
"Bilanglah !"
Tapi si nona nampaknya bersangsi, setelah beberapa saat,
baru dengan suara yang tidak lampias dia kata :
"Putera kedua dari loo-piauwtauw disini sudah pergi satu
tahun lebih, sampai sekarang tentang dia itu tidak ada kabarceritanya,
apa toako dapat tahu ?" demikian pertanyaannya.
"Ya, aku sudah tahu," Bouw Pek jawab. "Putera ke-dua loopiauwtauw bernama Su Ciauw, dia berkepandaian silat tinggi,
nyalinya besar, semangatnya baik, begitulah dia telah lukai
hartawan Thio Ban Teng di sini, hingga dia mesti buron."
"Tetapi itu bukannya semua," kata Siu Lian. "Turut
pendengaranku, memangnya loo-piauw-tauw tidak terlalu
sukai anaknya yang kedua itu, sedang puteranya sulung, Su
Ciang, adalah saudara yang buruk hati nya. Engko ini berniat
kangkangi sendiri harta-benda orang tuanya, maka dia telah
dayakan sehingga adiknya menyingkir."
Ucapan itu ditutup dengan tangisan sesenggukan pelahan.
"Inilah aku tidak dengar," kata Bouw Pek, yang menghela
napas." "Baiklah nona jangan berduka hati,"dia kata kemudian.
"Besok pagi aku hendak berangkat pergi, nanti diluaran aku
berdaya akan cari saudara Su Ciauw, biar bagaimana juga,
aku nanti bujuki dia supaya dia sambut kau, nona."
Agaknya Siu Lian bertetap hati dan ber bareng likat kapan


Riwayat Lie Bouw Pek Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dia dengar perkataannya anak muda itu, sedang Bouw Pek
samar2 lihat orang menyusut air mata.
"Sekarang ini aku tidak bisa andalkan siapa juga kecuali
kau, toako," kata si nona kemudian lagi.
"Jangan mengucap demikian, nona," Bouw Pek mencegah.
"Aku sudah bilang, aku pandang kau sebagai adik kandung
maka itu pasti sekali aku akan lakukan segala apa buat bisa
cari sampai dapat saudara Su Ciauw."
Siu Lian terharu bukan main, hampir2 dia menangis menggerung2.
Juga air matanya si anak muda mau keluar, dia berdaya
buat cegah itu, dan berdaya juga akan tidak bikin si nona
mendapat lihat itu. Sukur mereka sedang berada didalam
kamar yang gelap-petang.
"Aku mau pergi, toako, silahkan kau tidur," kata si nona
kemudian. Dia bertindak keluar, pintunya dia rapatkan pula.
Bouw Pek terpekur sampai suara tindakan kaki si nona
sudah lenyap dipedalaman, dia duduk seorang diri dalam
kegelapan, hatinya berduka, air matanya meleleh, pikirannya
tidak tenteram. Beberapa kali dia menghela napas.
"Impianku, pengalamanku barusan, semua lucu, " akhir2nja
dia pikir. "Kenapa aku mesti bingung tidak karuan " Aku satu
laki2, kenapa aku mesti memberi diriku terlibat urusan
perempuan " Sudah, aku mesti ambil putusan, aku tidak boleh
berdiam disini lebih lama pula ! Ya, besok aku mesti berangkat
!" Anak muda ini berbangkit, menghampirkan pintu, yang dia
segera tutup rapi, dibantu dengan sebuah kursi, yang dia
pakai mengganjel Ketika dia balik kepembaringannya dia
rebahkan diri dengan tidak buka pakaian lagi. Dikejauhan, dia
dengar suara kentongan empat kali.
Sekarang ini anak muda kita tidak bisa lagi lantas tidur
pulas seperti tadi,dia gulak gulik tidak berhentinya hingga
tahu2 kentongan dipalu lima kali dan dari jendela dia tampak
remeng cuaca fajar. Perobahan cuaca itu lalu disusul dengan
kokok sang ayam jago, yang lakukan kewajibannya seperti
biasa tiap pagi, yalah berkokok hampir tidak mau berhentinya.
Justeru itu, Bouw Fek mendadak merasa kepalanya sedikit
pusing, sedang pagi itu dia mesti lakukan perjalanan.
Begitulah dengan malas2an, dia berbangkit. Dia dapat dengar
suara ber-gerak2nya beberapa kaki dipekarangan luar dari
kamarnya itu, disusul dengan suara beradunya alat senjata,
golok dengan tumbak. Dia lalu singkirkan kursi, dia pentang
daun pintu, maka segera dia dapat lihat Toan Kim-kong Lauw
Keng bersama Tong Cin Hui sedang berlatih, dengan masing2
memegang golok, dua piauwsu itu lakukan pertempuran.
Menyaksikan permainan silat itu, Bouw Pek tertawa didalam
hatinya. ,,Kalau orang2 bangsa mereka ini kebentrok dengan Jie Siu
Lian baru dua tiga jurus saja, mereka pasti akan sudah ada
rebah ditanah !" demikian dia pikir.
Lauw Keng dan Tong Cin Hui tahu tamunya bangun,
mereka sengaja saling menyerang dengan lebih seru lagi, buat
banggakan diri.
"Lie Siauwya, harap kau tidak tertawakan kami !" kata Cin
Hui akhirnya, apabila dia hentikan gerakannya. Lauw Keng
juga tertawa. "Bagus, saudara Tong, " Bouw Pek memuji sambil
bersenyum. "Harap kau jangan berlaku sungkan2. "
Ketika itu jongos telah datang bawa air cuci muka, maka
Bouw Pek kembali kekamarnya akan bersihkan diri, akan
kemudian tukar pakaian.
Dengan pakai ma-koa, Beng Eng Siang bertindak keluar
dari pedalaman, maka
Kebetulan dia sudah selesai dandan, Bauw Pek hampirkan
tuan rumah itu.
"Beng Lauwsiok, sekarang juga aku hendak berangkat,"
berkata anak muda kita. Jie Siokbo tentunya belum bangun,
biarlah aku tidak usah ketemui dia lagi, sebentar tolong
lauwsiok saja yang mengasih tahu padanya. Aku haturkan
terima kasih buat kebaikan lauwsiok."
"Lie hiantit, apakah kau tidak bisa berdiam disini satu-dua
hari lagi?" tanya tuan rumah.
"Menyesal, lauwsiok. Dengan sebenarnya di Pakkhia aku
ada urusan, Aku harap lagi dua bulan aku bisa datang pula
menyambangi lauwsiok."
Baiklah bila begitu, hiantit," kata tuan rumah yang lalu
perintah orangnya lekas sediakan kuda tamunya.
Mereka lalu bertindak keluar, Lauw Keng bersama Tong Cin
Hui ikut mengantar.
Bouw Pek gantungkan buntalan dan pedangnya diatas sela
kuda, dia lalu lompat naik keatas binatang tunggangannya itu,
kemudian dari atas kuda dia unjuk hormat pada fihak tuan
rumah dan dua piauwsu-nya.
"Lauwsiok sekalian, sampai ketemu pula!"dia kata.
"Sampai ketemu pula hiantit!" kata Eng Siang "Urusan
kami, aku serahkan kepada kau seorang!" "Aku tahu,
lauwsiok, harap kau tidak pikirkan!"
Lantas juga Bouw Pek memberi lari kudanya menuju
ketimur keluar dari kota Soanhoa. Dia lihat ladang gandum
dikiri dan kanan dengan jalan besar dan rata. Matahari
bersinar terang, angin pagi meniup menyegarkan tubuh.
Dijalan besar itu, kecuali mereka yang berlalu-lintas dengan
jalan kaki, ada juga yang berkendaraan kereta. Orang2
dagang kecil ada yang memikul keranjang dan memanggul
bungkusan. Dalam keadaan seperti itu, Bouw Pek rasai pikirannya
sedikit terbuka, dia lakukan perjalanan dengan hati tenteram,
kecuali diwaktu menanyakan jalanan pada orang yang
berpapasan dia tidak pernah buka mulut. Memang dia jalan
seorang diri. la tidak memberi kudanya lari keras.
Sesudah melalui perjalanan dua hari, Bouw Pek sampai di
Hoalay. Di depannya tertampak pemandangan gunung,
ditempat jauh ada tanda2 putih yang sebentar kelihatan
sebentar tidak, yang berupa seperti ular merajap.
Itulah tembok besar dan panjang: Ban Lie Tiang Shia !
"Apakah namanya kota disebelah depan?" dia tanya orang.
"Itu kota Kieyong-kwan," dia dapat jaawaban.
Hatinya anak muda ini jadi tertarik. Didalam buku dia
pernah baca tentang kota Kie yong-kwan ini, yang menjadi
kota yang terkenal, sebab kota ini dicatat sebagai salah satu
dari Yan-khia iapun girang, karena dengan Kie-yong kwan
dihadapannya itu berarti dia sudah mendekati Pakkhia.
Buat tangsel perutnya, Bouw Pek lantas cari dusun dimana
dia lalu singgah. Waktu itu sedang tengah hari. Tapi dia tidak
singgah lama, setelah dahar cukup dia tunggang pula kudanya
dan lanjutkan perjalanannya. Tapi sekarang dia lantas saja
mandi keringat, karena hawa udara sedang panasnya. Buat
melalui enam atau tujuh lie, perjalanan adalah berat. Maka itu,
terpaksa dia memberi kudanya jalan pelahan2.
Sesudah melalui beberapa dusun, Bauw Pek lihat gunung
makin lama makin dekat.
Disini orang yang bikin perjalanan telah menjadi kurang
sekali. Dia menjadi heran.
,Ini jalanan kekota raja, kenapa begini sepi?" dia berpikir.
Apakah bisa jadi ini disebabkan waktu tengah hari dan hawa
udara panas luar biasa, hingga orang pada cari tempat buat
mengaso ?"
Selagi dia men-duga2, kupingnya lantas dengar suara
kelenengan ramai. Dia ingin tahu. Dia larikan kudanya
kedepan sampai dimutut tikungan. Jalanan teraling oleh
ladang gandum. Memandang keudara, dia tampak rombongan
dari beberapa kereta kaldai dan suara kelenengan adalah dari
kelenengan yang digantungkan pada tiap binatang penarik
kereta itu. Diatas tiap kereta dipancar bendera piauw datar kuning
dengan pinggiran merah, diatas bendera juga diikatkan
kelenengan, jaig berbunyi seperti kelenengan kaldai. Maka itu,
makin dekat rombongan itu mendatangi, suaranya makin riuh.
Mengetahui rombongan itu dari kalangan piauwtiam, Bouw
Pek tahan kudanya akan memandang, dia bisa baca huruf2
dikain bendera begitu lekas kereta2 sudah datang lebih dekat.
Sesuatu bendera disulam dengan enam huruf, yang berarti :
Coan Hin Piauw-tiam dari Yan-keng.
Sehelai bendera lain, yang besar dan panjang, yang
terbikin dari kain putih mulus, dilukiskan huruf2 ,,sin-chio Yo
Kian Tong", yang mana berarti rombongan kereta itu berada
dibawah pimpinannya Yo Kiang Tong, ahli silat tombak.
Dikereta pertama duduk dua orang. Dikereta kedua duduk
seorang yang berusia empat puluh tahun lebih, tubuhnya
kekar. Dijalan kereta iti duduk seorang kurus dengan dua baris
kumis kecil. Dua2 mereka pakai baju hitam dengan celana
pendek, berkopiah rumput, tandan memegang kipas. Dikereta
kedua duduk beberapa orang, yang dari dandanannya
rupanya sekawan saudagar.
,Kelihatannya, rombongan ini adalah dari perusahaan piauw
yang ternama", pikir anak muda kita. "entah yang mana Sinchio
Yo Kian Tong, si Malaikat Tumbak."
Ia lantas memberi kudanya jalan dan rombongan kereta
piauw berjalan dibelakangnya. Terang rombongan itu juga
hendak melalui Kieyong.
Bouw Pek jalan belum seberapa jauh ketika dari belakang
dia dengar orang memanggil : ,,Eh, tuan yang jalan didepan,
kau hendak pergi kemana ?"
Ia menoleh dan lihat orang yang menegornya adalah orang
yang berusia kira2 Empat puluh tahun. ia lalu tahan kudanya
menunggu, kemudian dia pinggirkan kudanya, hingga kuda
dan kereta jadi jalan berendeng.
"Aku hendak pergi ke Pakkhia, diamemberi tahu. "Diantara
kau yang mana Toa-piauw-tauw ?"
"Piauwtauw kami tidak turut," kata orang yang menegor
itu. "Jalanan ini jalanan yang kami kenal baik, wakil kami tidak
turut barang satu orang, cukup dengan tukang-tukang kereta
saja, asal dikereta ditancapkan bendera piauw, sekalipun
diwaktu malam kami berani lewat disini, kami tanggung tidak
akan terjadi onar apa juga ! Kau bernyali besar, tuan, seorang
diri kau berani lakukan perjalanan ke Pakkhia dengan melalui
kota Kieyong ini."
Jilid 5 ,,KENAPA aku tidak berani lewat disini?" dia tanya. "Ini
jalan besar yang rata dan setiap hari entah berapa banyak
orang berlalu-lintas disini"."
Si kurus yang berkipas tertawa.
"Memang juga banyak orang yang tiap hari lewat disini "
dia kata. "Kendati demikian, kaum saudagar mesti lewat disini
dengan dapat bantuan pihak piauwtiam, sedang orang
pelancongan biasa mesti jalan sesudah dia menunggu kawan
hingga merupakan rombongan empat atau lima-puluh orang.
Siapa tak berombongan, dia tidak nanti berani ambil jalan ini.
Kau beruntung, tuan, kau ketemu rombongan piauw kami,
jikalau tidak, kuda kau, buntalan kau, sudah pasti akan kena
dirampas habis, malah jiwamu jangan2 tidak akan tertolong !."
"Dengan sesungguhnya, jalan seorang diri kau terancam
bahaya besar," berkata orang yang pertama bicara "Sekarang,
dengan jalan sama kami, kau boleh mengaku saja sebagai
pegawai kami !"
Bagaimana juga. Bouw Pek mendongkol mendengar
ucapan2 itu. dia bisa mengerti yang rombongan piauw ini
bermaksud baik, tetapi caranya mereka bicara dia rasakan
sebagai suatu hinaan bagi dirinya.
"Sebenarnya Sin-chio Yo Kian Tong orang macam
bagaimana sih ?" pikir dia. "Mustahil aku Lie Bouw Pek mesti
mengandal pada pengaruhnya ?"
Oleh karena mendongkol, lalu dia kata:
"Tidak usah aku mengandal pada kau, tuan ! Seorang diri
aku berani jalan disini, itu sudah terang menyatakan yang aku
tidak takut ! Kenapa aku mesti takuti segala begal atau
berandal " Sukur jikalau kawanan penjahat itu tidak keluar
dan mengganggu aku, andai kata mereka berani main gila,
tidak bisa tidak aku tentu akan basmi mereka sampai habis !"
Bouw Pek tutup perkataannya sambil bersenyum dan
tangannya menepok-nepok pedangnya seraya dia tambahkan:
"Ini adalah pelindungku !"
Dua orang diatas kereta, yang menjadi piauwsu,
tercengang atas perkataan itu.
"Sobat, kau she dan nama apa ?" tanya orang yang usianya
empat puluh tahun "Kau bekerja dipiauwtiam mana ?"
"Aku Lie Bouw Pek, aku bukannya piauwsu," sahut Bouw
Pek dengan terus terang "Aku hanya mengerti sedikit ilmu
menggunai pedang."
Nama itu belum pernah masuk dikuping dua piauwsu itu,
maka, mendengar nama orang mereka lantas saja
memandang enteng.
"Sobat, aku kasi ingat pada kau, baik kau jangan bersikap
galak!" berkata satu diantaranya. "Kau baik dengar2 dulu,
siapa yang menjadi cee cu diatas gunung Kieyong-kwan,
jangan kata baru kau, kendatipun piauwtauw kami, Sin-Chio
Yo Samya, dia masih tidak berani lakukan kesalahan terhadap
ceecu itu!"
Lie Bouw Pek tidak gubris nasehat itu.
"Coba kasi tahu padaku, siapa namanya kepala berandal
dari atas Kieyong-kwan ?" dia tanya.
,,Disini, tuan, janganlah kau main sebut sebut berandal,
barandal saja !" mengasi ingat orang yang berumur kira2
empat puluh. ,,Jikalau perkataan kau ini sampai terdengar
oleh ceecu dari Kieyong-kwan San, kami sendiri akan turut
terembet-rembet! ceecu itu Say Lu Pou Gui Hong Siang,
asalnya piauwsu yang tersohor dikota Pak-khia Sebatang
pedangnya sebatang hoakek nya, yaitu tumbak cagak sudah
terkenal tidak ada tandingannya Gui Ceecu telah pindah
tinggal digunung sebab suatu kejadian. Didalam kota Pakkhia.
Gui Ceecu telah berbentrok dengan Siu-Bie-To Oey Su-ya.
Sudah tiga kali mereka berdua bertempur, tiga tiga kalinya
berkesudahan seri. Belakangan Oey Su-ya telah undang Ginchio
Ciangkun Khu Kong Ciauw, yang punya gelaran raja
muda turun menurun An-teng-houw, maka setelah dikepung
ber dua baru Gui Ceecu kena dikalahkan. Oleh karena dia
gusar dan mendongkol, dia lantas saja pergi ke Kieyong-kwan
San dan lantas duduki gunung ini. Oleh karena dia asal
piauwsu, Gui Ceecu tidak mau ganggu kalangan perusahaan
piauw, sedang maksudnya terutama menjadi berandal adalah


Riwayat Lie Bouw Pek Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

buat satrukan Oey Su-ya, buat rampas barang barangnya.
Orang2nya Oey Su-ya atau barangnya, asal lewat di Kieyongkwan
San, tentu diganggu !"
Bouw Pek tertawa besar mendengar keterangan itu.
"Sungguh suatu adat yang liehay !" dia kata. "Kalah piebu
dan tidak sayang buat masuk menjadi berandal, sungguh luar
biasa ! Coba sekarang kasih tahu aku, Oey Su-ya itu orang
macam apa " Dan siorang she Ku, seorang raja muda, kenapa
dia sudi membantu orang she Oey itu ?"
,,Rupa-rupanya kau baru pertama kali ini datang ke Pakkhia
?" kata si orang berumur empat puluh tahun. "Kalau bukannya
orang asing, bagaimana kau tidak kenal namanya dua hoohan
terkenal dari kota Pakkhia " Baiklah, aku nanti kasi keterangan
pada kau, Oey Su-ya beri nama Ke Pok, dia biasa berdagang
ke Bongkouw Di Thio-kee-kauw, di Kui-hoa, dia punya toko
besar. Maka itu dia hartawan besar. ilmunya juga liehay,
senjatanya sepasang gaetan Hok-chiu Siang kauw. Kecuali Gui
Hong Siang, dia sebenarnya belum pernah ketemui tandingan.
dia pemuja Budha, dari itu dia sering keluarkan uang untuk
mengamal, terutama untuk perbaiki rumah2 berhala. Ia bisa
menderma bubur, uang dan pakaian musim dingin. Oleh
karena ini, orang kasihkan julukan Siu Bie To Khu Kong Ciauw
benar turunan raja muda An teng-houw Khu Lip Tek.
Rumahnya berada di Pakkauw-yan, disebelah barat kota. dia
putera bangsawan, akan tetapi sedari masih kecil dia sudah
gemar ilmu silat, ilmu tumbaknya melebihi kepandaiannya Tio
Cu Liong dijaman Han. Orang bilang, dia lebih liehay daripada
Oey Su-ya, tetapi mereka berdua belum pernah piebu, sebab
mereka adalah sobat-sobat kekal. Bila nanti kau sudah sampai
di Pakkhia, baru kau ketahui baik tentang dua sobat itu.
Dengar2 sesungguhnya mereka berdua orang2 tersohor dari
kelas nomor satu di Pakkhia !" Bagaimana juga, Lie Bouw Pek
senang mendengar keterangan itu.
"Sesampainya di Pakkhia, apabila aku punya waktu
senggang, aku akan temui dua orang itu, pikirnya. Tentu
sekali aku mesti ketahui jelas mereka orang2 golongan mana"
"Jiewie," kemudian dia kata, "Sudah sekian lama kita
bicara, tetapi aku belum belajar kenal dengan kau Jiewie she
apa?" "Terima kasih " kata yang satu. "Aku Sun Cit, orang juluki
aku Thi-lauw-tay si Polo Besi. Dan ini saudara angkatku, Say
Gouw Kong Lauw Go. Kami semua asal Chong-ciu, sudah lama
juga kami tinggal di Yang-keng membantu Sin-chio Yo Sam ya
mengurus piauwkiok." "Rupanya ilmu silat Yo Sam-ya tidak
bisa dicela?" Bouw Pek tanya.
"Ha, sampaipun Yo Sam-ya kau tidak ketahui ?" berseru
Sun Cit. ,,Aku tanya kau, kau sebenarnya orang asal mana ?"
Bouw Pek tertawa.
"Aku asal Titlee Selatan," dia jawab.
"Sekalipun kau asal Titlee Selatan, seharusnya kau kenal
baik namanya Yo Sam-ya !" Sun Cit kata pula. "Yo Sam-ya
adalah piauwtauw paling terkenal di Sunthian-hu. kota utama
propinsi Titlee. Ilmu tumbak-nya tersohor bukan main! Kau
tahu, juga ilmu tumbak dari Gin Chio Cangkun Khu Kong
Ciauw kebanyakan adalah buah pelajarannya Yo Sam-ya itu."
Bouw Pek manggut2.
"Heran, kenapa semua orang pada jakinkan ilmu tumbak?"
pikirnya. "Coba disini ada ahli2 pedang, seperti sin-kiam atau
gin-kiam, bukankah aku pun boleh coba2 mereka itu.
Demikian mereka pasang omong, selagi kereta dan kuda jalan
terus. Sun Cit dan Lauw Go agaknya berlaku sangat baik hati.
"Sobat, lekas juga kita akan sampai di Kieyong-kwan, aku
minta kau suka berlaku hati2," demikian kata Thie-lauw tay.
"Kapan sebentar kita umpama-kata ketemu Say Lu-Pou Gui
Hong Siang dan kau lakukan suatu kesalahan terhadapnya,
kau harus tanggung jawab sendiri, karena kami berdua pasti
tidak mampu berbuat apa2"
Bouw Pek tertawa pada dua orang itu.
"Aku minta jiwie jangan kuatir apa2," dia bilang. "Umpama
kata sampai mesti terbit perkara, pasti sekali aku tidak akan
rembet2 kau berdua!"
Mereka sekarang sudah sampai dimulut gunung. Dari situ
orang bisa melihat nyata tembok besar dan panjang. Menarik
akan pandang tembok yang beriwayat itu, orang jadi ingat
jaman pembuatannya, banyak pengorbanan uang, tenaga dan
jiwa diminta oleh tembok itu !
Apabila mereka sudah jalan sekian lama lagi, kereta2
disebelah belakang mendadak berhenti, maka Sun Cit lantas
perintah yang didepan berhenti juga.
Bouw Pek tahan kudanya, dia menoleh ke belakang. dia
lantas dapat lihat datangnya lima orang, yang berpakaian baju
pendek dan dada terbuka, yang dua pakai tudung rumput,
yang tiga pakai pelangi yang dilibat dikepala mereka. Dan
mereka semua membawa golok. "Tentu mereka orang2nya
Gui Hong Siang," dia pikir.
Sun Cit dan Lauw Go sudah lompat turun dari kereta
mereka, hampirkan lima orang itu dengan air muka ber-seri2,
mereka angkat tangan buat unjuk hormat.
"Apakah tuan2 dari pihaknya Gui Jie-ya?" Sun Cit tanya.
"Benar," sahut satu diantara lima orang itu "Kau dari
piauwtiam mana?"
"Kami dari Sin-chio Yo Sam-ya dari Yankeng," Sun Cit
menyahut "Aku Thie lauw-say Sun Cit." Lima berandal itu
lantas saja tekapi tangan mereka.
"Kiranya jiewie dari Sin-chio Yo Sam ya," kata mereka
"Nah, tolonglah jiewie kasikan kami kartu nama jiewie." Sun
Cit pergi kekeretanya buat ambil karcis nama.
"Tolong tuan sampaikan ini pada Gui Jie-ya," kata dia
seraya serahkan karcis itu pada berandal yang menjadi
pemimpin "akupun minta tuan2 sukalah sampai kan
hormatnya Yo Sam-ya". Berandal itu menyambut karcis nama
itu. .,Baiklah ," dia kata. "Silahkan jiewie berangkat."
Selagi kata begitu, dia menoleh pada Bouw Pek, tapi dia
sangka anak muda itu orangnya Yo Kian Tong, maka dia tidak
tanya apa lagi, dengan angkat kedua tangan dia mengasi
hormat. Perbuatannya ini diturut oleh empat kawannya.
Kemudian dengan putar tubuh mereka, mereka bertindak
pergi. Baru saja Sun Cit dan Lauw Ga hendak naik atas kereta
mereka, atau Lie Bouw Pek mendadak turun dari kudanya
sambil bawa pedangnya yang terhunus anak muda ini teriaki
lima orang itu "Tahan!" Lima orang itu heran, mereka
berpaling dengan segera.
Sun Cit dan kawannya terkejut, hingga mereka melongo.
"Kau belum minta kartu namaku, tuan2!" kata Bouw Pek
sambil kasi senyuman tawar "Kenapa kau sudah lantas
berangkat saja?"
Lima orang itu mengawasi satu pada lain dalam keheranan.
"Apakah kau bukan orangnya Yo Sam-ya ?" tanya yang jadi
kepala. Bouw Pek geleng kepalanya.
"Aku tidak kenal Yo Sam-ya !" dia jawab. "Aku orang she
Lie, orang biasa panggil aku Lie Toaya!"
Sun Cit dan Lauw Go kaget, tetapi mereka lantas mengerti
yang orang hendak terbitkan gara2, maka dengan hampir
berbareng, mereka kata dengan keras :
"Kami tidak kenal anak muda ini ! Kami bertemu baru saja
tadi, ditengah jalan! dia bukannya orang dari piauwtiam
kami!" "Itu betul !" Bouw Pek benarkan dua piauwsu itu, yang
nyalinya kecil "Aku Lie Bouw Pek, aku laki2 sejati, aku tidak
mau pakai namanya Yo Sam-ya, aku tidak mau dikasi lewat
oleh berandal sebab pakai nama orang lain! Sekarang sudah
menjadi terang, maka, kawanan berandal, terserah pada kau !
Jikalau kau niat begal aku, silahkan maju, asal kau mampu
layani pedang ini !"
Lima berandal itu menjadi gusar dengan mendadak.
"Kalau benar kau bukan orangnya Yo Sam-ya, kami
memang tidak bisa kasi kau lewat!" berteriak mereka. "Lekas,
lepaskan pedangmu, lantas serahkan pauwhok dan kudamu"
Sembari ber-kata2 demikian, mereka angkat golok mereka
dan maju pada si anak muda.
Lie Bouw Pek tidak takut, sebaliknya dia tersenyum sindir.
dia tunggu sampai orang sudah datang dekat padanya, secara
mendadak dia serang orang yang menjadi kepala.
"He, kau berani geraki tangan akan cari mampus ?"
menegor si kepala berandal, yang telah menangkis dengan
goloknya. Tidak tempo lagi, dia terus menyerang.
Perbuatannya sudah lantas ditelat oleh empat kawannya,
dengan begitu pemuda kita jadi kena dikepung berlima.
Bouw Pek layani kelima musuhnya dengan sedikitpun tidak
takut, sebentar saja dua musuh telah rubuh karena tusukan
pedangnya, sedang tiga yang lain dia bikin kewalahan, hati
mereka jadi ciut, dengan tidak membuang tempo, dengan
tinggalkan dua kawan mereka, mereka putar tubuh seraya
terus buka langkah seribu ! Dalam mendongkolnya, Bouw Pek
memburu, maka lagi satu berandal dia bikin terguling !
"Pergilah kau cari Say Lu Pou Gui Hong Siang !" dia teriaki
dua pecundangnya, yang dia tidak mau kejar lebih jauh. "Kasi
tahu, bahwa aku akan tunggui dia dimulut Kieyong-kwan,
andai-kata dia tidak puas, dia boleh cari aku disana "
Karena musuh kabur terus, dia samperi tiga korbannya.
seorang Korban terluka hebat, rebah dengan tidak ingat apa.
Dua orang yang lari, sangat kesakitan, sedang merintih dan
ber-aduh2. "Ampun, ampuni kami, begitu mereka memohon, karena
mereka kuatir nanti dibunuh apabila mereka lihat si anak
muda menghampirkan mereka dengan pedang masih
terhunus. "Aku tidak inginkan jiwa kau" Bouw Pek bilang. "Kau orang
jahat, hari ini sudah seharusnya kau dapatkan penderitaan ini
! Kau dengar atau tidak " Aku Lie Bouw Pek, aku tidak punya
hubungan apa juga dengan Sin chio Yo Kian Tong. Sekarang
aku hendak pergi kemulut Kieyong-kwan, disana aku akan
singgah buat menanti sebentaran, maka anda-kata Say Lu Pou
berpikir buat membalas sakit hati, dia boleh susul aku disana!
dia mesti datang dengan lekas, apabila dia ayalan aku nanti
keburu pergi, karena aku tidak punya banyak tempo akan
menunggu lama !"
Setelah kata begitu, anak muda ini bersihkan pedangnya
dan memasukkannya kedalam serangkanya, kemudian lompat
naik atas kudanya, dia kasi binatang itu kabur menuruti tujuan
yang dia ambil.
Sun Cit dan Lauw Go lihat pemuda itu terbitkan onar,
mereka ketakutan, siang2 mereka telah titahkan kereta2
berangkat dengan segera, dengan cepat, maka bisa
dimengerti yang semua kelenengan telah terbitkan suara
sangat riuh, semua keledai lari seperti terbang cepatnya !.
Bouw Pek lanjutkan perjalanan dengan anteng, sebentar
kemudian dia sampai di-mulut Kieyong-kwan, disitu dia cari
dusun dimana dia bisa singgah. Benar seperti dia sudah
janjikan, dia hendak tunggui datangnya Gui Hong Siang. dia
mampir pesan teh buat minum sambil mengaso.
"Jalanan ini jalanan penting, bagaimana kawanan penjahat
itu bisa diantap mengganas orang2 pelancongan ?" pikir anak
muda ini, "Aku tidak mengerti, kenapa pembesar negeri dan
tentara disini membiarkan saja bersarangnya kawanan
berandal itu "'
Sekian lama Bouw Pek duduk, dia tidak lihat Gui Hong
Siang datang atau konco-nya yang tadi dia telah hajar sampai
kabur, maka dia lalu pikir.
"Boleh jadi Gui Hong Siang ketahui aku tidak boleh dibuat
pemainan, ia jadi tidak berani datang menyusul, Ia tidak
berani datang, apa perlunya aku menunggu lama2 " Tidakkah
aku jadi sia2-kan tempo saja ?"
Begitulah dia bayar uang teh dan lantas lanjutkan
perjalanannya. Hawa udara panas sekali, malah makin panas. Tapi
dijalanan, dibagian ini orang yang lalu-lintas banyak. Hawa
udara panas dan mengkedus, karena mega2 hitam tetapi
melayang menutupi sang langit. Kemudian lagi suara guntur
terdengar ber-ulang2.
,,Mau hujan, mari hujan! kata beberapa orang, yang terus
saja cepatkan tindakan, sedang beberapa yang lain sudah
mulai lari. Bouw Pek tidak bawa baju minyak buat lawan hujan, iapun
kasi kudanya lari. Baru melalui sepuluh lie, langit telah jadi
gelap betul dan suara guntur makin hebat Selama itu, dijalan
sudah tidak kelihatan orang lagi atau kereta, karena mereka
semua telah pada cari tempat untuk berlindung. Hujan besar
segera turun. Bouw Pek nampak kesukaran ketika air hujan serang dia,
tudungnya yang lebar tidak menolong, la mesti jalan terus,
karena didekatnya tidak ada rumah orang atau kampung.
Tatkala itu dibulan kelima, maka sang hujan asal turun
tentu turun secara besar2an. Air hujan lebat luar biasa.
Sebentar saja Bouw Pek sudah kuyup sekujur badan,
topinya telah merupakan air mancur. la memandang
kesekelilingnya, dia lihat ladang gandum ber-gerak", karena
pohon2 gandum telah memain diantara serangan hujan dan
angin. Keadaan disekitarnya juga tidak tertampak tegas,
lantaran sang hujan seperti halimun saja.
Selokan ditepi jalan telah kebanjiran hingga air mengalir
kejalan besar, tidak heran apabila jalan itu telah menjadi
becek sekali, lumpur dalamnya dua cun lebih. Keadaan jalanan
ini mendatangkan kesukaran bagi sang kuda, yang empat
kakinya telah melesak didalam lumpur.
Sambil sebelah tangan gunai saputangan menyapu air
dimukanya, Bouw Pek terpaksa gunai tangan yang lain akan
cambuk kudanya, buat bikin kudanya itu jalan dengan cepat.
Dalam hujan besar itu dia ingin dapatkan tempat berhenti,
akan melindungi diri terhadap air langit itu.
Apa mau, kuda yang ditunggangi tua dan kurus,
dibelinyapun dengan harga hanya emput puluh tail, sedang
perjalanan dari Kie-cu ke Soanhoa jauh, sekarang perjalanan
selainnya jauh pun sangat sukar, maka bisa dimengerti
binatang yang lemah itu jadi setengah mati.
Bagaimana juga, Bouw Pek bisa lihat penderitaan binatang
itu, maka, kuatir kuda itu rubuh dan terluka, hingga dia tidak


Riwayat Lie Bouw Pek Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bisa andalkan lagi, akhirnya dia biarkan binatang itu jalan
pelahan, dia tidak lagi gunakan cambuknya.
Sekarang anak muda ini telah kuyup sekujur badan, hujan
masih saja turun, akan tetapi dia tidak menjadi kedinginan
sebaliknya, karena tadi hawa sangat panas, dia merasa segar
sekali. dia sudah jalan jauh juga, barulah air langit berhenti
turun. Cuma sekarang, sebagai gantinya sang siang, cuaca
telah mulai gelap. Beruntung disebelah depan lantas
tertampak tembok kota.
Dengan hati merasa tetap, sebab tidak usah kuatirkan lagi
tempat mondok, dengan jalan pelahan2 Bouw Pek menuju ketembok
kota, selagi mendekatkan tembok, dia berhenti
ditempat dimana ada rumah2 dan rumah penginapan.
Tindakan yang pertama adalah singgah, minta kudanya
diurus, dia sendiri lalu cari kamar. dia buka seluruh
pakaiannya buat diperas, lalu salin pakaian yang kering, dia
minta teh panas buat hangatkan tubuh. Cepat sekali dia
merasa sehat betul.
Sebentar kemudian jongos datang dengan lampu sambil
tanya tamunya hendak dahar nasi atau lainnya.
"Bawakan aku sepiring tauwhu dan beberapa biji
bahpauw," kata Bouw Pek minta. "Tapi eh, tempatmu ini apa
namanya dan dari sini kekota raja masih terpisah berapa jauh
?" "Tempat kami dipanggil Seeho," sahut jongos itu. "Buat
sampai ke Pakkhia, asal kudanya bisa lari keras, dalam tempo
satu harian sudah sampai."
Keterangan ini bikin hatinya si anak muda menjadi
tenteram. Satu hari itulah perjalanan tidak jauh.
"Tapi aku telah gunai terlalu banyak tempo ditengah jalan,
jangan-jangan sesampainya dikota raja, piauwcek sudah tidak
sabar menantikan aku pikirnya. ,,Ia pasti sekali tidak ketahui,
bahwa aku usilan ditengah jalan dan telah terlalu banyak
campur tahu urusan orang lain.
Ingat hal itu, Bouw Pek jadi ingat Siu Lian, malah tampang
mukanya si nona yang manis menarik sudah lantas terbayang
dihadapannya. Lebih menarik adalah tampangnya sinona yang
sedang menangis, yang datangkan rasa kasihan. dia jadi
duduk menjublek, hingga tidak ketahui jongos datang dengan
tauwhu dan bahpauw, dia baru sadar kapan jongos itu tanya
dia perlu apa lagi.
"Tidak, ini sudah cukup !" dia menyahut separoh
gelagapan. Dengan gunai sepasang sumpitnya, anak muda ini
sudah lantas mulai makan. "Kelihatannya aku sudah jadi
angot" pikirnya seraya mulutnya menggayem. Kenapa aku
mesti pikirkan Siu Lian " Aku suka dia, malah mencinta, tetapi
jodoh kita tidak ada ! Kenapa aku mesti sering-sering
kehilangan semangat dengan tak ada perlunya " Dengan
angot seperti ini, tidak saja aku berlaku bodoh, malah aku
seperti bikin turun darajat sendiri, malah semangatku jadi bisa
mengasi akibat tidak baik ! Maka gangguan semacam ini
baiklah aku babat putus !
Sebentar kemudian, sehabis bersantap, Bouw Pek kunci
pintu kamarnya dan naik dipembaringan akan rebahkan diri.
Diluar jendela dia dengar suara menetes dari sang hujan, yang
kembali turun menambahkan beceknya jalanan, seperti juga
disengaja buat bikin orang mengaso lebih lama.
"Ah, sudahlah !" pikir anak muda ini. dia padamkan api dan
rebah pula, akan coba dapat tidur dengan segera.
Adalah esoknya pagi, kapan anak muda ini mendusin,
kupingnya segera dengar suara ramai diluar hotel, suara mana
rupanya menyebabkan dia sadar dari tidurnya yang nyenyak.
Bab 8 MENOLEH KE JENDELA, Bouw Pek dapat kenyataan langit
telah memperlihatkan cahaya putih bersih. Suara hujan sudah
tidak terdengar pula. Sekarang nyata kedengaran suara riuh
diterbitkan oleh beberapa orang dan suara itu masih belum
mau berhenti. Seorang, dengan suara ditenggorokan yang
menyalakan kemurkaan besar menanya :
"Aku tanya kau, kemarin kau ada kedatangan seorang she
Lie atau tidak?"
"Kami buka rumah penginapan, kami tiap hari kedatangan
banyak tamu yang datang dan pergi, mana kami ingat si orang
she Thio atau si orang she Lie ?" kedengaran suaranya jongos,
yang menyahut dengan penuh rasa mendongkol.
"Telor busuk !" membentak orang dengan suara
ditenggorokan itu. "Bukankah tadi aku sudah terangkan, si
orang she Lie itu pemuda umur kurang lebih dua puluh tahun,
dia menunggang kuda dan membawa bawa pedang !"
"Kalau disini tidak ada tamu yang dicari itu, baiklah kau
pergi cari dirumah penginapan lain," kata suaranya beberapa
orang lain. "Di-rumah2 penginapan lain tidak ada orang yang aku cari
itu," orang itu kasi tahu. "Sebenarnya umpama kata didalam
rumah penginapan ini tidak ada orang itu, tidak apa, tetapi
kau sebagai jongos hotel tidak seharusnya bicara dengan
sikap begini macam ! Sekarang pagi-pagi hari, aku tidak ingin
umbar napsu amarahku, jikalau tidak, pastilah aku sudah
bacok kau ! Jongos itu ternyata seorang yang berani,
sebagaimana terdengar suaranya tertawa menyindir.
"Alasan apa kau punya, maka kau hendak bacok aku?"
demikian katanya secara menantang. "Sekalipun kau berandal,
kau masih tidak boleh berlaku demikian tidak tahu aturan !".
Mendengar sampai disitu, Bouw Pek menduga pada Say-LuPou atau Gui Hong Siang si Melebihi Lu Pou yang lagi
mencarinya. "Nyalinya berandal itu benar2 besar pikir ia. Bagaimana dia
berani cari aku sampai disini ?" Ia lantas buka pintu kamarnya
dan bertindak keluar, jalannya sambil angkat dada. "Ada apa,
he" dia menegor. Apakah kau cari aku ?" '
Tatkala itu didalam pekarangan berdiri empat jongos
bersama belasan tamu lainnya, menghadapi mereka ada tiga
orang. Mereka ini pada menoleh dan semua nampaknya
merasa heran, karena ada orang yang muncul dengan sikap
berani itu! Semua mata ditujukan pada anak muda kita, siapa
sebaliknya memandang tiga tamu itu. Orang yang berdiri
didepan rupanya yang menjadi kepala, dia pakai thungsha
warna hijau, kuncirnya besar dan longgar. dia berusia dua
puluh tujuh atau dua puluh delapan tahun, dia punya tubuh
yang tinggi serta muka yang hitam dia mestinya Gui Hong
Siang kepala berandal dari Kie-yong kwan San. Dua yang lain
berbaju biru, mereka berlepotan lumpur, kuncir mereka
digelung dikepala, terang mereka merupakan bangsa begal.
Berdua mereka mecekal golok dan pedang masing2.
Orang yang pakai thungsha awasi anak muda kita, lantas
dia menghampirkan.
"Apakah kau siorang she Lie ?" dia menegor.
"Benar," sahut Bouw Pek dengan sedikit juga tidak merasa
takut. "Aku orang she Lie bernama Bouw Pek. Aku adalah
orang yang dijalanan Kieyong kwan telah rubuhkan dan lukai
tiga berandal !'
"Kau jadinya Lie Bouw Pek, bagus !" kata orang itu sambil
manggut. "Tentang kau lukai orang, itulah bukan urusan yang
aku perlu campur tahu. Tapi aku dengar kau sangat jumawa,
dari itu sekarang aku datang mencari kau, buat minta
pengajaran dari kau !"
Bouw Pek jawab ucapan itu sambil tertawa secara terbuka :
"Kau bilang aku jumawa, tetapi aku tidak merasakan yang
aku sombong !" dia kata dengan tingkah sewajarnya. "Tapi
kalau kau sebut2 perkara piebu, itulah lain, buat itu aku
bersedia akan temani kau buat itu. aku ingin kau beritahukan
dulu she dan namamu, sebab aku tidak mau piebu dengan
segala bu beng siauw-pwee !"
Ditegor begitu, orang itu menjadi terguguh, kendati terang
dari romannya dia sangat mendongkol atau gusar. Rupanya
dia dalam kesangsian !
Tapi juga Lie Bouw Pek bisa mengetahui hati orang, dia
segera tambahkan :
"Kau jangan kuatir! Aku bukan orang memakan gaji dari
negeri, tidak nanti aku bekerja untuk pembesar negeri dengan
menangkap segala bajingan ! Aku hendak tanya, kau betul
siorang she Gui atau bukan ?" Gui Hong Siang bersenyum
ewah. "Betul, aku siorang she Gui ! dia jawab. iapun tidak kurang
beraninya. "Bagus !" tertawa Bouw Pek. Tentu saja dia tertawa secara
menantang, "Kau boleh keluarkan hong-thian hoa-kek kau,
aku mau ambil pedangku, yang aku taruh didalam kamarku !
Pekarangan ini luas, baiklah kita main2 disini saja !"
Gui Hong Sang masih punyakan dua kawan lain, yang
menunggu diluar menjagai kuda mereka dan tumbak cagaknya,
maka itu disatu pihak dia perintah salah satu orang ambil
senjatanya itu dipihak lain dia kiongchiu pada orang
disekitarnya. "Sobat2, aku adalah si orang she Gui" dia berkata. "Hari ini
aku cari Lie Bouw Pek bukan karena permusuhan, hanya itu
disebabkan dia orang yang sangat jumawa, yang diluaran
telah buka mulut terlalu besar, hingga aku merasa tidak puas,
maka sekarang aku datang buat adu kepandaian !"
Dari belasan tamu hotel itu tidak ada satu orang yang
menyahut, mereka tadinya niat pergi karena urusan tidak
mengenai mereka, tetapi kapan ketahui orang hendak piebu,
mereka jadi ketarik hati, maka mereka lantas berdiri diam,
buat nonton. Adalah beberapa jongos, bersama tuan rumah, yang sudah
lantas menghampirkan
"Aku minta jangan kau orang piebu di dalam rumah
penginapan kami ini," kata pengurus hotel, "Diluar, didepan
pintu, ada pekarangan luas, jikalau kau hendak bertanding,
baiklah kau pergi kesana saja ! Disana kau boleh piebu
sesukanya !"
Mendengar perkataan itu, Gui Hong Siang tolak tubuhnya si
pengurus hotel, seraya tangannya yang lain dikasi melayang
pada muka orang.
"Kau jangan takut, tidak nanti terbit perkara jiwa!" dia kata
dengan tenang, tetapi romannya sangat bengis, sedang tuan
rumah terpelanting dan meringis, karena tangannya Gui Hong
Siang keras dan panas !
Bouw Pek sementara itu sudah keluar pula, dia telah
dandan dengan ringkas dan tangannya memegang pedang.
Hong Siang sudah lantas singsatkan pakaiannya, dia
sambuti dia punya tumbak hong thian hoakek dari orangnya
yang dia perintah ambil.
"Orang she Gui, sekarang aku ingin kau lebih dulu memberi
penyelasan," berkata Lie Bouw Pek seraya maju mendekatkan.
"Aku ingin kau terangkan, sekarang ini kita bertanding buat
adu jiwa atau piebu biasa saja ! Umpama kau ingin kan
pertandingan yang meminta jiwa, marilah kita pergi keluar,
kita jangan nanti bikin orang kerembet rembet dan mendapat
susah karenanya!"
,Benar, benar, Lie Toaya omong benar !" berseru seorang
jongos. "Baiklah kau main2 diluar saja!.'
Tapi Gui Hong Siang goyang2 kepala.
"Tidak, tidak usah pergi keluar !" dia kata dengan
penolakannya. "Diluar tanah becek, tidak leluasa buat bersilat
ditanah penuh lumpur !' Lalu dia kata pada anak muda kita :
"Diantara kita tidak ada permusuhan besar, tidak usah kita
adu jiwa, maka lebih baik kita piebu secara biasa saja.
Umpama kata aku bisa menangkan kau dihadapannya orang
banyak ini kau mesti menjalankan kehormatan padaku dengan
manggut2, atau kau mesti ikut aku, nanti aku berikan
putusanku lebih jauh !"
"Jikalau aku menangkan kau, kaupun mesti berbuat padaku
seperti barusan kau inginkan aku berbuat terhadap kau !" Lie
Bouw Pek balas berkata.
"Sudah tentu !" sahut Gui Hong Siang muka siapa tapinya
menjadi merah padam, bahna mendongkol dan jengah. dia
terpaksa mesti berikan pernyataannya itu, apabila dia tidak
mau mendapat malu! Kemudian, dengan tidak kata apa apa
lagi, dengan tombaknya dia menikam dada orang. Tentu sekali
itu adalah suatu serangan mendadak yang sangat berbahaya!
Anak muda kita tidak menjadi kaget atau gugup,
sebaliknya, dia sangat tenang. dia angkat pedangnya dengan
sebat dan sampok ujung tombak, setelah mana dia lompat
maju seraya teruskan menusuk dengan ujung pedangnya !
Gui Hong Siang lompat kesamping berkelit, tusukannya
dimajukan ber-ulang2 begitu lekas yang kedua kali tidak
mengasi hasil. Lie Bouw Pek berlaku gesit juga, dia sampok sesuatu
serangan, hingga dia bikin musuh tidak mampu wujudkan
niatannya akan bikin dia rubuh dan celaka.
Terang Gui Hong Siang penasaran yang tumbaknya tidak
mampu mengenai musuh, dia telah robah caranya bersilat,
satu kali ujung tumbak mendadakan menyambar
ketenggorokan musuh.
Bouw Pek bisa lihat perobahan sikap orang, dia bergerak
mengimbangi, kapan ujungnya hoakek menyambar kelehernya
dia segera berkelit, berbareng dengan mana pedangnya
dipakai menyabat akan tabas kutung ujung tumbak musuh !
Kepala berandal dari Kieyong kwan San mau tolong
tombaknya, dia mundur sambil tarik pulang senjatanya itu. ini
justeru maksudnya Bouw Pek, maka begitu lekas musuh
mundur, dia balik merangsak, menusuk kekiri dan kekanan,
membikin Gui Hong Siang mesti egos sana dan egos sini untuk
tolong diri dari bahaya! dia menjadi repot karena rangsakan
itu. sedang tadi Bouw Pek tidak bingung lantaran desakannya.
Penonton sudah lantas bisa lihat yang si anak muda akan
dapat kemenangan, mereka lantas bersorak , tetapi hampir
berbareng dengan itu Hong Siang dengan tumbaknya
menahan pedang orang seraya berseru: "Tahan!"
"Apa kau mau?" tanya Bouw Pek, yang tarik pulang
pedangnya. "Apa kau nyerah?"
"Putusan belum terdapat, kenapa aku mesti menyerah?"
sahut Gui Hong Siang, tapi dia telah bernapas sengal2 "Aku
lihat pekarangan ini terlalu kecil, sedang penonton banyak,
hingga aku kuatir nanti kena bikin mereka terlukai dimana
tumbak panjang tidak leluasa digunainya, aku ingin tukar itu
dengan pedang. Apa kau berani layani aku, dengan aku


Riwayat Lie Bouw Pek Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggunai pedang juga?" Lie Bouw Pek tertawa geli buat
tantangan itu. "Kau tergelar Say-Lu Pou, dengan gunai bongthian hoakek
aku tidak takuti kau, apa pula kau gunai pedang, itu berarti
bahwa segera aku akan menang!" dia kata. "Baiklah kau
timbang2 dulu sebelumnya kau ambil pedang! Atau kau pilih
saja senjata sesukamu!"
Hong Siang sangat mendongkol, tetapi dia tidak bisa bilang
suatu apa, dia lemparkan tombak nya dan tukar itu dengan
pedang, yang orangnya sudah lantas sodorkan padanya. Dia
tidak mau banyak omong lagi, malah waktu maju menerjang
dia pun tidak mengasi tanda apa juga.
Bouw Pek sudah siap, dia tangkis serangan musuh, karena
musuh berlaku kasar juga segera balas menyerang, dengan
begitu keduanya jadi bertempur dengan seru. Menarik buat
dilihat adalah mereka sekarang gunai senjata yang serupa.
Hong Siang berkelahi dengan sengit, dia penasaran, dia
telah keluarkan antero kepandaiannya, oleh karena
keinginannya adalah untuk rubuhkan musuhnya yang dia
benci. dia malu yang musuh telah hinakan dia, karena tiga
orangnya luka atau binasa, dan sekarang dimuka orang
banyak dia di-ejek2,
Bouw Pek ladeni kesengitan orang dengan ketenangan
istimewa, tetapi disebelah itu dia tidak berlaku alpa, sedang
serangan pembalasannya tidak kurang hebatnya ! dia
dirangsak, tapi dia tidak kasi dirinya terdesak mundur.
Dengan cepat tiga-puluh jurus telah lewat, kedua pihak
kelihatan masih sama tangguhnya. Kejadian ini membikin
kuatir pihak tuan rumah dan tamu2nya. Bagaimana juga,
mereka ini kuatir si orang she Lie nanti kalah.
Bertempur lebih jauh, kelihatannya kedua pihak merangsak
lebih rapat satu sama lain. Tentu saja karena ini, orang tidak
bisa lihat tegas jalannya pedang mereka, sedang kebanyakan
penonton itu bukan ahli silat.
Lagi beberapa jurus telah dikasi lewat, ketika Gui Hong
Siang tertampak lompat nyamping, dari lengan nya yang kiri
ada darah hidup yang ngucur keluar, sedang dua orangnya
segera memburu buat pegangi dia!
Bouw Pek telah berhenti bersiku, dia awaskan lawannya
sambil bersenyum, dengan unjuk roman sangat sombong dan
katak. "Apakah kau masih belum mau menyerah?" dia tanya
dengan sengaja. dia memang bawa sikapnya itu buat kocok
musuh. Hong Siang malu berbareng murka dan mendongkol,
mukanya menjadi pucat dan merah padam dengan berbareng
juga, se-konyong2 dia menyerit keras, pedangnya terlepas,
tubuhnya rubuh, karena dengan mendadak dia pingsan. Sukur
buat ia, dua orangnya telah pegangi dia, dengan begitu
tubuhnya tidak sampai jatuh ketanah.
"Sudahlah, kau jangan ber-pura2 mampus!" Bouw Pek
masih saja mengocok. "Aku kasi tahu kau, tidak usah kau kasi
hormat padaku dengan manggut2kan kepalamu, sebab orang
dengan kepandaian semacam kau sebenarnya masih mesti
cari guru lagi akan belajar pula!"
Sudah tentu hinaan itu hebat, tetapi Gui Hong Siang tidak
dapat dengar. Si tuan rumah dan orang2nya sedari tadi telah tutup mulut,
karena mereka lihat orang she Gui itu Sangat galak, sedang si
tuan rumah juga telah rasai tangan orang, hingga dia ketahui
tenaganya, tetapi sekarang, setelah dapatkan si galak itu mati
kutunya, mereka rubah sikap.
"Kenapa kau tidak mau lekas bawa dia pergi?" demikian
mereka tegor dua berandal itu. "Apakah kau hendak tunggu
sampai dia betul2 mampus disini"'
Tegoran itu belum dapat jawaban, atau salah seorang tamu
telah berkata. "Lukanya tidak hebat dia rupanya takut manggut2kan
kepala, maka dia ber-pura2 mampus!" Tapi ini belum semua,
seorang jongos pun kata: "Dengan kepandaian seperti ini,
kenapa sih mau banyak lagak?"
Tapi semua jengekan itu percuma saja, kedua berandal
hanya lebih perlu pepayang tay ong mereka buat dibawa
keluar, sedang satu berandal dari luar segera masuk buat
ambil tumbak dan pedang orang, buat dibawa pergi. Sebelum
berlalu dia tanya Bouw Pek: "Kau kerja apa, dimana kau
tinggal?" Sebelum sianak muda menyahut, beberapa jongos, malah
beberapa tamu juga sudah beraksi.
"Lekas pergi, lekas!" demikian mereka menghina, tangan
dan kaki mereka dikasi bekerja atas tubuh orang. "Lekas
pergi, buat apa tanya2 !"
Dengan begitu berandal ini mesti ngeloyor pergi dengan
mendongkol dan malu. Tapi, malu atau gusar, dia toh mesti
lekas angkat kaki kalau tidak mau terima hinaan lebih jauh.
Bouw Pek pandang semua itu sambil tersenyum, kemudian
dia kasi hormat pada tuan rumah serta sekalian tamu lainnya.
"Maafkan aku, pagi2 aku telah ganggu kau," kata dia
dengan manis dan merendah kemudian dia kembali
kekamarnya. Bouw Pek tadinya pikir mau berangkat pagi supaya bisa
sampai dikota Pakkhia pada hari itu juga diwaktu masih siang,
tetapi karena ada urusan ini, dia robah putusannya, dia pikir
baik dia dahar dulu. andaikata dari pihaknya Gui Hong Siang
ada lagi orang yang datang, dia boleh bikin penyambutan,
dengan begitu dia jadi tidak usah bikin susah tuan rumah.
iapun sudah pikir akan kasi uang sewa kamar dan makanan
lebih dari biasanya, supaya tuan rumah puas. Tapi disaat dia
mau berduduk akan mengaso, diluar kamarnya dia dengar
satu suara lagu Pakkhia yang menanya:
"Apakah tuan Lie ada didalam kamar?"
"Siapa?" dia segera menyawab. Iapun ber bangkit, buat
buka pintu. Orang diluar itu seorang dengan usianya kira2 tigapuluh
tahun, tubuhnya kate tetapi bajunya gerombongan, dia
ternyata salah satu tamu hotel, yang tadi jadi penonton
seperti yang lain2, malah yang bersorak paling gembira.
"Silahkan masuk," Bouw Pek mengundang. "Duduklah."
Tamu itu bersikap merendah dan manis budi, dia
perkenalkan diri, katanya :
"Tuan Lie, aku Tek Siauw Hong. Aku seorang Boan dari
golongan Pek Ke, Bendera Putih, dan sekarang aku bekerja
didalam kantor Lwee-bu-hu. Bicara sebenarnya aku gemar
ilmu silat, kusuka sekali bergaul dengan saudara2 dari
kalangan piauw kiok, dengan mereka yang biasa menjadi
pahlawan. Begitulah, karena kegemaran pergaulanku, orang
telah julukan aku Thie-ciang Tek Ngoya."
Bouw Pek lekas2 angkat tangannya membalas hormat.
"Itulah nama yang telah lama aku dengar," dia kata. Lalu
dia sambungi "Rupanya Tek Ngoya meyakinkan tenaga kiekang,
terutama ditangan?"
"Apa sih yang dibilang kiekang dan tenaga ditangan?" Tek
Siauw Hong tertawa. "Apa yang aku pelajarkan adalah hanya
beberapa jurus pukulan. Tapi, Lie Lauw hia apa kau sudi
beritahukan padaku namamu yang besar di Titlee dimana kau
tinggal " Apa lauwhia suka juga kasi tahu, apa keperluan kau
berangkat ke-Pakkhia?"
Bouw Pek beritahukan namanya seraya tambahkan:
"Aku asal Lam kiong di Kie-ciu, aku mau pergi ke Pakkhia
akan tengok paman misanku, yang bekerja menjadi cusu di
dalam Heng-pou." Agaknya Tek Siauw Hong tidak mengerti.
"Lauwhia asal Lamkiong, tetapi sekarang kau datang dari
jurusan Kieyong?" dia menegasi.
"Itulah sebab aku telah lebih dulu pergi pada sobatku di
Soan-hoa," menerangkan anak muda kita.
"Itulah lain," berkata orang Boan itu, yang lalu tuturkan hal
dirinya. dia kata "Aku punya tanah disini, tanah itu dikasi
sewa, oleh karena ada sedikit keruwetan, aku sengaja datang
sendiri kemari buat membereskan. Boleh jadi lagi satu dua
hari aku sudah akan bisa kembali ke Pakkhia Aku tinggal di
Samtiauw Hoo-tong di Su pay-lauw, rumahku letaknya
disebelah utara, yang pintu gerbangnya besar. Lauw-hia, bila
nanti kau sudah sampai di Pakkhia dimana kau punya tempo
senggang, aku girang sekali apabila kau suka datang
berkunjung kerumahku itu."
"Kalau nanti aku sudah sampai di Pakkhia, pasti sekali aku
akan bikin kunjungan," sahut Lie Bouw Pek, yang terima
undangan itu "Aku menghaturkan terima kasih buat kebaikan
Tek Ngo-ya."
"Terima kasih, aku girang sekali," Tek Siauw Hong kata.
Kemudian dia tanyakan duduknya hal mengenai piebu tadi.
Bouw Pek lihat orang Boan ini jujur, oleh karena dia
percaya, dia jelaskan lebih jauh tentang dirinya dan kemudian
ceritakan bagaimana dia saksikan sikapnya berandal, maka
dengan maksud men-coba2 Say Lu Pou, dia sengaja sudah
ganggu berandal itu, Gui Hong Siang benar bernyali besar, dia
telah susul aku kemari dan mencoba bikin pembalasan atas
diriku." Tek Siauw Hong kagum bukan main apa bila telah dengar
keterangan itu "Terang sekali, Lie Liauwhia, kau pemuda bun bu coan
cay!" kata dia dengan pujiannya, "maka tidaklah kecewa akan
panggil kau Jie-hiap, seorang terpelajar yang gagah perkasa!"
"Yang benar adalah Tek Toako yang terlalu puji aku !" kata
anak muda itu sambil tertawa. "Mana aku bisa dipanggil Jie
hiap" Memang aku telah pelajarkan kitab dan silat dengan
berbareng, akan tetapi tidak ada satu yang aku akhirkan
hingga sempurna. Ini juga sebabnya kenapa aku hendak cari
sanak dikota raja, untuk bekerja. Tapi aku telah dengar dikota
raja ada sejumlah enghiong, apabila ada ketikanya, aku ingin
sekali berkunjung buat berkenalan dengan mereka itu."
"Bicara tentang kepandaian, memang kami dikota raja
punya beberapa orang yang bisa dibilang mengerti itu" Siauw
Hong kata. "Salah satu diantaranya, yang paling ternama,
adalah Siauw-houwya Gin-chio Ciangkun Khu Kong Ciauw,
tidak ada seorang yang tidak ketahui. Disebelah siauw houwya
ini ada keluarga Oey yang dipanggil Gwa kun Oey-kee, yaitu
Siu Bie-To Oey Kie Pok, si Bie-To Kurus! Mereka budiman.
Hiapsu lainnya, yang sama terkenalnya, adalah Tiat Pweelekhu
punya pweelek muda Tiat Jie ya, yang orang gelarkan SiauwHong-jiam, si Hong-jiam-kek Kecil. Aku kenal mereka secara
seliwatan saja, sebab kami tidak punya hubungan yang
menyebabkan adanya pergaulan kekal. Sebabnya yang utama
adalah mereka itu orang2 bangsawan dan hartawan besar"
,,Mereka yang banyak hartanya memang gampang
mengundang guru, juga punya banyak tempo senggang, tidak
heran bugee mereka bagus, "berkata Bouw Pek, "cuma lah,
jikalau mereka pergi mengembara, masih belum bisa diketahui
apa kepandaiannya itu bisa digunai atau tidak?"
"Tetapi Khu Siauwhouwya pernah ikut ayahnya pergi
kemedan perang," Tek Siauw Hong kasi tahu, Dia pernah
dirikan jasa, cuma dia tak suka pangku pangkat, kalau dia
mau, sedikitnya dia sudah jadi congpeng. Siu-Bie-To Oey Suya
pernah pergi keluar Thio-kee-kauw, disana sekalian penjahat,
apabila dengar namanya, tiada-satu yang tidak singkirkan diri
jauh2. Dari sini, Lie Lauwhia, sudah bisa dinyatakan tentang
ilmu silat mereka, yang bukan kosong belaka dan hanya
namanya saja!"
Mendengar begitu, Pouw Pek jadi makin ketarik dengar dua
orang ternama dari Pakkhia itu.
"Kalau besok-lusa aku sampai di Pakkhia, tak bisa tidak,
aku mesti ketemukan dua orang itu," dia pikir. Tek Siauw
Hong masih bicara pula, kemudian baru dia pamitan akan
kembali ke kamarnya.
Lie Bouw Pek lalu dandan buat teruskan perjalanan, tetapi
lebih dulu dia minta makanan untuk bersantap pagi, apabila
sudah dahar cukup, dia sediakan pauwhok dan pedangnya.
Pada jongos dia minta supaya kudanya disiapkan. Sebelum
keluar dari hotel, dia pergi kekamarnya Tek Siauw Hong, buat
pamitan dari sobat baru itu.
"Jangan salah, mampirlah padaku nanti," Siauw Hong kata.
"Pasti, Ngo-ya" kata anak muda ini. Tek Siauw Hong antar
sobatnya sampai diluar hotel.
"Biarlah sampai nanti dikota raja kita bertemu pula!" kata si
orang Boan, dengan sikapnya yang sungguh2.
"Sampai nanti, Ngo-ya!"
Mereka unjuk hormat satu pada lain, kemudian Bouw Pek
lompat naik atas kudanya, yang dia terus kasi lari
meninggalkan rumah penginapan, malahpun meninggalkan
See-ho menuju ke Pakkhia.
Hujan sudah berhenti, akan tetapi jalanan masih becek,
maka Bouw Pek tidak bisa kasi kudanya lari, sedang kemudian
dengan sang pagi menjadi siang dan tengah hari, hawa udara
berubah dari sejuk menjadi panas, panas sekali, hingga
lumpur jadi legit hingga jalanan tetap sukar ditempuh. Oleh
karena ini, hari itu anak muda ini tidak bisa sampai dikota raja,
sebagaimana tadinya dia inginkan. Ketika sudah sore, dia baru
sampai di Ceng-ho. terpaksa didusun ini dia singgah buat liwat
kan sang malam didalam hotel. Adalah esoknya pagi2 dia
berangkat pula menuju keselatan.
Baru kira2 jam sembilan, Bouw Pek telah lihat tembok kota
Pakkhia jauh didepannya dia dapat kenyataan, tembok kota
benar kelihatannya angker seperti ceritanya banyak orang. Itu
sebuah kota tua dan banyak riwayat, karena disitu telah
bertahta beberapa kerajaan. dia juga dengar hal penduduk
Pakkhia paling suka senda-gurau dengan omongan, bahwa
ada beberapa tempat dimana orang dilarang lewat dengan
menunggang kuda, dari itu begitu lekas dia telah sampai
dipinlu Tek-seng-mui, dia lantas lompat turun dari kudanya,
buat jalan kaki sambil tuntun binatang tunggangan itu. dia
sekarang pakai baju luarnya, merapikan tudungnya.
"Encek Kie Thian Sin tinggalnya di Poan-cay Hootong
disebelah selatan, aku pasti mesti menuju kejurusan itu,"Dia
berpikir sembari jalan. Tapi dia tahu, Pakkhia kota besar dan
luas, mencari gang itu seorang diri dia tentunya tidak mampu,
maka ditengah jalan, bila dia ketemu orang, dia lantas tanya
dimana letaknya Poancay Hootong selatan.
"Itu jalan besar dari Tek-seng-mui," kata seorang yang
ditanya, yang manis budi bahasanya "Poan-cay Hootong
selatan adanya diluar Sun-tie-mui, terpisahnya dari sini masih


Riwayat Lie Bouw Pek Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jauh. Sebenarnya sukar buat terangkan pada kau, karena pasti
kurang jelas dan kau sukar cari jalanan itu. Kau jalan terus
saja kesana, keselatan, nanti kau ketemu gang Chio-yangpong.
Dari gang itu kau maju terus, begitu lekas kau keluar
dari mulut jalanan sebelah barat, kau telah sampai dimulutnya
jalan baru, Sin-kay-kauw. Dari sini menuju terus keselatan,
kau akan sampai di Sun-mui. Perjalanan ini, kira2 sepuluh lie
jauhnya." Bouw Pek benar2 merasa dia tidak dapat mengerti
penyelasan orang itu, maka setelah haturkan terima kasih, dia
jalan terus menuruti pengunjukan orang, dia terus tanya
orang disepanjang jalan. Masih saja dia tuntun kudanya,
saban2 dia tanya orang dia dikasihkan keterangan. dia telah
sampai dijembatan Tek Seng Kio. disini dia tanya orang,
kemudian dia sampai di Chio yang-pong. Sekeluarnya dari
jalanan ini, dia tampak perhubungan lalu lintas lebih ramai,
dikiri kanan terdapat banyak warung dan toko. Tapi disini ada
orang jalan sambil menunggang kuda, maka menurut contoh
dia juga lompat naik atas kudanya. Dengan ikuti jalan besar
dia menuju keselatan.
Akhir2nya Bouw Pek bisa lewatkan Su pay-lauw barat, dari
sini didepannya, dia tampak rangon tembok kota yang besar
dan kelihatannya angker.
"Ini tentu pintu Sun-tie-mui dia men-duga2. Kemudian
dengan langsung dia menuju kepintu kota dia mesti gunai
banyak tempo buat bisa masuk ke dalam pintu kota itu dia
turun dari kudanya, yang dia tuntun, sembari jalan, dia coba
minta keterangan lebih jauh dari orang-orang yang dia temui
dijalanan. Nyata Toan cay hoo-tong selatan sudah tak jauh lagi
letaknya. Dengan roman dan dandanan bekas korban angin dan es,
Lie Bouw Pek anggap dia tidak pantas lantas temui paman
misannya, maka itu dia tanya orang apa di-dekat2 situ ada
hotel atau rumah penginapan.
"Gang ini dipanggil Kan-louw-sie," terangkan seorang,
"kalau kau jalan terus kesana, ketimur, kau akan sampai di
See-ho-yan, disana ada beberapa puluh hotel."
Bouw Pek mengucap terima kasih, dia lantas menuju
ketempat yang ditunjuk. Benar saja, dijalanan ini dia tampak
banyak rumah, malah rumah2 yang besar dan tinggi, Yang
beda daripada rumah2 di-kota2 kecil. Merek, dengan huruf
besar, juga tertulis dengan air emas, antaranya ada yang
diperuntukkan pembesar2 negeri.
"Aku bukan orang berpangkat, aku tidak perlu dengan
pondokan2 istimewa seperti ini," pikir anak muda kita. "Juga,
kalau piauw-cek ketahui aku sewa kamar dirumah rumah
penginapan besar ini, dia nanti kata kan aku royal tidak
keruan." Begitulah dia cari hotel yang kecil merek Goan Hong. dia
serahkan kudanya pada jongos buat dirawat, dia masuk
kedalam akan cari sebuah kamar yang kecil. dia cuci muka
dan ganti pakaian, sebagai baju luar dia pakai thungsha hijau,
kepalanya ditutup dengan kopiah kecil dan tangannya
memegang kipas. Begitu lekas sudah tanya tegas pada jongos
dimana letaknya Poan-cay Hoo-tong selatan, dia lantas pergi
cari rumah encek misannya.
Sampai waktu itu tidak sukar buat Bouw Pek cari Poan-cay
Hoo tong selatan, begitu lekas dia masuk kedalam gang dan
tanya orang yang pertama diketemukan, dia segera
ditunjukkan rumahnya Kie Cu-su. Di muka lauwteng dipasang
merek "Sian Tek Tong Kie", hurufnya dari air emas. Merek itu
memastikan dia bahwa dia tidak salah kenalkan. dia segera
samperkan rumah itu, yang daun pintunya tertutup separoh,
dia lalu mengetok.
Dari dalam ada suara orang menyahuti, lantas keluar
seorang umur kira2 dua puluh tahun, yang pakai baju warna
gwee peh. Menduga orang itu bujang atau pengikut pamannya, Bouw
Pek perkenalkan diri.
"Aku orang she Lie dari Lam-kiong " demikian dia kasi tahu.
"Kie Looya disini ada lah piauw-cekku. Mendengar itu hamba
itu lantas saja bersenyum.
"Kiranya Lie Sauwya." dia kata. "Selama beberapa hari ini,
looya dan thaythay memang selalu harap datangnya siauwya,
Silahkan masuk!"
la mundur akan mengasi jalan, kemudian sembari jalan dia
kata dengan sedikit keras : ,Lie Siauwya dari Lamkiong telah
datang !" Ucapan ini ditujukan pada orang dipedalaman.
Sesampainya dithia untuk terima tamu, Lie Bouw Pek dapat
kenyataan yang rumahnya pamannya, dari perabotannya,
tidak menandakan rumah orang hartawan. Kursi meja dan
gambar2 tapinya cukup banyak. Dari sini dia dapat perasaan,
yang pamannya sebagai pembesar adalah putih bersih.
Si pengikut minta anak muda ini duduk, dia lalu masuk
kedalam, kesebelah utara, tetapi belum lama dia sudah
kembali seraya terus berkata :
,Lie Siauwya, looya dan thaythay minta kau suka masuk
kedalam saja."
Bouw Pek berbangkit, dia rapikan pakaiannya, lantas dia
ikut pelayan itu masuk keruangan sebelah utara. Disini
perabotan tertampak jauh lebih mentereng.
Kie Cu su, sang paman, sedang duduk disebuah kursi
hitam. Bouw Pek menghampirkan buat unjuk hormatnya
seraya sampaikan pengharapan encek dan encim nya atas
kesehatan paman ini sekeluarga. Justru itu Kie Thaythay atau
Yo sie baru keluar, lantas saja dia menegor:
"Keponakanku, kenapa baru sekarang kau sampai" Kapan
kau berangkat dari rumah?"
Di tanya begitu air mukanya Bouw Pek berubah, tetapi dia
lekas2 kasi hormat pada bibi itu seraya sahuti pertanyaan itu.
Katanya. "Aku berangkat bulan yang lalu, karena dapat sakit dijalan,
aku jadi terlambat
"Ya, aku pun lihat tampangmu sedikit pucat," kata Kie Cusu.
"Kau duduklah."
Dengan minta berkenan, Bouw Pek lalu duduk dibangku
dipinggiran. dia dapat kenyataan yang pamannya tidak
gembira, boleh jadi sedikit kurang senang.
"Empat tahun yang lalu aku pernah pulang dan lihat kau,"
kata paman itu seraya goyang2 kipasnya, "sekarang kau
ternyata lebih tinggi daripada duluan, cuma tubuh mu lebih
kurus. Boleh jadi ini disebabkan kau jarang keluar rumah.
Sudah sejak tahun yang lalu aku terima surat, minta aku
carikan kerjaan untuk kau, sayang waktu itu aku tak bisa
berdaya. Kau harus ketahui, benar aku pangku pangkat dalam
Heng pou, tetapi pangkatku rendah dan aku tidak bisa bekerja
seperti orang lain yang pandai mengumpul uang. Maka itu,
namanya aku jadi cu-su, sebenarnya aku miskin. Sekarang ini
dengan semua pembesar diistana, asal yang melek, aku tidak
punya perhubungan kekal, maka itu buat cari pekerjaan untuk
kau sukainya terlebihi, sedang kau sendiri bukannya sengwan
dan kau belum pernah lulus sebagai kiejin !"
Bouw Pek menyahut "Ya?" atas perkataan paman itu, dia
merasa tidak enak hati.
Sang paman sudah lantas sambungkan perkataannya :
,Baru-baru ini seorang juru tulis telah meninggal dunia, aku
anggap kau sanggup ambil lowongannya itu, begitulah aku
kirim surat pada pamanmu. Pembawa surat itu kebetulan mau
pergi ke Taybeng. Adalah harapanku supaya kau segera
datang begitu lekas kau terima suratku, apa mau sampai
setengah bulan ia nanya, kau masih belum muncul, maka
kemarin ini lowongan itu sudah diisi oleh orang lain, Dasar
peruntunganmu masih belum terbuka, ketika yang baik itu
telah lewat !"
Bouw Pek kerutkan alis. Tidak dapat pekerjaan itu, buat dia
tidak berarti banyak. Tapi kesukaran adalah bagaimana dia
bisa berdiam lama lama dikota raja ini, sedang buat pulang
dengan tangan kosong dia merasa malu. Pasti dia tidak bisa
menumpang lama lama pada pamannya ini, yang bukannya
seorang senang.
,,Apakah kau bawa pauwhok ?" Kie Cu-su tanya.
"Ya, satu bungkusan dan seekor kuda, sekarang
dipondokan," dia jawab.
"Pondokan mana itu?" sang paman tanya.
"Hotel Goan Hong di Seehoyan," dia kasi tahu.
"Buat sementara waktu baiklah kau tetap tinggal dihotel,"
kata Kie Cu-su kemudian, sesudahnya dia berpikir sebentar.
"Disini aku tidak punya kamar kosong, sedang adanya dua
adik perempuan kau pasti akan bikin kau kurang leluasa.
Kalau kau senggang, coba kau menulis karangan, aku ingin
lihat tulisan dan hurufmu, supaya aku bisa pikir jabatan apa
yang kau bisa kerjakan. Andaikata kau tidak punya uang, kau
boleh kasi tahu padaku."
"Terima kasih, piauwcek," kata Bouw Pek sambil
tersenyum, sedang hatinya melainkan Thian yang ketahui.
Kemudian Bouw Pek, tuan dan nyonya rumah lalu
bicarakan urusan2 lain, sampai Bouw Pek lihat pamannya
menguap beberapa kali.
"Hawa udara begini panas, piauwcek tentunya mau tidur
tengah-hari," pikirnya. Lantas dia minta ijin buat undurkan diri.
"Baiklah," kata sang paman, yang tidak mencegah. "Besok kau
boleh datang pula, lebih baik pada kira-kira jam tiga atau
empat lohor, waktu itu aku pasti ada dirumah."
Bouw Pek berikan janjinya, dia mengasi hormat dan lantas
berlalu. Si pengikut antar ia, malah sesampainya diluar, dia itu
kata : "Siauw-ya, harap besok datang pula."
Ia manggut. dia keluar dari rumah dengan tindakan berat,
dia menuju keutara. Sembari jalan, otaknya bekerja.
"Kenapa sih peruntunganku begini malang" Tentu sekali,
kendatipun dikasi aku pekerjaan juru tulis di Hengpou itu aku
tidak sudi terima. Sekarang aku sudah berada dikota raja, apa
aku mesti kerjakan " Tidak selajaknya aku berdiam saja
dengan nganggur. Piauwcek bilang, kalau aku perlu uang aku
boleh minta padanya, tetapi apakah dengan sesungguhnya
aku bisa sodorkan tangan. akan minta uang ?"
Ketika itu dia sampai di Cay-sie-kauw, dia masuk disatu
toko kertas buat beli kertas tulis dan pit, tempo dia angkat dua
rupa barang itu, dia rasai kertas dan pit itu lebih berat
daripada pedangnya .
"Kertas dan pit ini benar benar bikin aku celaka !" dia
berkata didalam hatinya. "Coba aku seperti ayah, yang dengan
sebatang pedangnya telah rantaukan dunia, tidakkah itu jauh
lebih menggembirakan " Kalau aku bekerja, tidak lebih tidak
kurang aku akan mendekam didalam kantor, kerjaanku tak
lain daripada menulis dan menulis saja! Dengan menulis surat
melulu, dalam beberapa tahun saja tidakkah semangatku akan
menjadi gempur dan musnah ?"
Maka itu waktu dia sampai dikamarnya didalam hotel, pit
dan kertas itu dia lemparkan keatas meja. Dia duduk menulis,
hanya dia teriaki jongos buat minta barang makanan, setelah
bersantap tengah hari dia lempar tubuhnya keatas
pembaringan. Dalam kekeruhan pikiran anak muda ini bisa tidur pulas,
tatkala dia mendusin sudah magrib, maka itu tidak lama lagi
dia sudah duduk pula menghadapi barang makanan untuk
bersantap malam. Sehabis makan dia pergi keluar akan jalanjalan
di jalanan2 yang berdekatan dimana ada banyak toko
dan orang yang berlalu lintas seperti bikin sesak jalanan.
Pemandangan ini membuka juga sedikit hatinya. Tapi ketika
kemudian dia balik kehotel, duduk sendirian menghadapi
lampu, pikirannya pepat pula, hingga ia berduka berbareng
mendongkol. Matanya sudah lantas kebentrok dengan pit dan
kertas. "Tidak bisa tidak aku toh mesti menulis," pikir dia akhirnya.
"Piauwcek ingin lihat tulisanku, jikalau aku tidak iringi
kehendaknya, mana aku punya muka buat ketemui dia pula ?"
Ia menghela napas, dia berbangkit buat hampirkan
pauwhoknya, buka itu dan keluarkan bak dan bakhie, yang
mana dia letakkan diatas meja, apabila kemudian dia telah
gosok bak itu, dengan paksakan diri dia beber kertas akan
mulai menulis. Baru saja angkat pit atau diluar kamarnya ia
dengar suara riuh dari tamu2 lain, ada yang suaranya besar,
ada yang tertawanya nyaring. Ada juga orang yang telah
nyanyikan lagu "Jie Hong."
"Benar-benar gila!." pikir anak muda ini, yang menjadi
uring-uringan. Mana hawa udara sangat panas, dia kegerahan,
keringatnya menggobyos. Akhir-akhirnya dia berbangkit.
"Biarlah aku menulis besok saja !" kata dia dalam hatinya.
dia ambil kipas, dia padamkan api, kemudian sambil rebahan,
dia kipaskan tubuhnya Segera juga dihadapan matanya
terbayang Siu Lian, si Nona Jie yang manis.
"Entah bagaimana dengan si nona sekarang." demikian dia
ngelamun. Justru itu terdengar suara orang menyanyi dengan
nyata sekali. "Tuan rumah penginapan telah bawa kuda Oey-piauw-ma,
hingga Cin Siok Po menangis dengan air mata bercucuran ."
Suara itu mengharukan, hatinya Bouw Pek tergerak, hingga
anak muda ini jadi bersedih
"Baik aku berdiam beberapa hari disini," pikir dia akhirnya.
"Apabila selama itu aku tetap tidak peroleh pekerjaan, aku
nanti jual kudaku dan merantau dengan sebatang pedangku !
Aku merdeka, aku boleh pergi kemana aku suka !"
Lama-lama Bouw Pek menjadi lelah sendirinya, karena
rupa-rupa pikiran tidak keruan juntrungan telah hinggapi ia,
maka akhirnya dia bisa juga jatuh pulas. Sekali tidur, dia bisa
tidur dengan nyenyak, sampai esok pagi dia baru mendusin.
Sekarang dia mesti paksakan diri duduk menghadapi meja
akan menulis, karena sebentar lohor dia mesti pergi pada
pamannya akan serahkan tulisannya yang sang paman minta.
Tapi dia merasa puas, apabila dia sudah pandang tulisannya
begitu lekas dia sudah menulis selesai.
"Tapi, selama sepuluh tahun, pit ini telah bikin gagal aku."
demikian ia ngelamun pula dengan masgul. dia berduka bukan
main. Berat buat dia menunggui sang waktu. Maka ketika
sang lohor tiba, lekas-lekas dia dandan, dengan bawa
tulisannya dia bertindak ke Poan-cay Hootong selatan
kerumah pamannya.
Diluar dugaan, Kie Cu su telah penuhi suatu undangan,
maka tempo Bouw Pek sampai paman itu tidak ada dirumah,


Riwayat Lie Bouw Pek Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari itu dia telah diterima oleh encimnya. Nyonya ini suka
bicara. dia telah omong perihal kesukaran suaminya yang
berpangkat kecil, hingga sukar untuk melewati hari dengan
leluasa. Cu-su berniat cari lowongan lain, atau pindah
ketempat lain, dalam hal ini dia terhalang oleh kantong
kosong. Buat dapat perubahan nasib, dia membutuhkan uang
untuk membuka jalan.
"Paman dan bibi kau tidak bisa urus kau," kata encim ini
kemudian, bicara tentang Lie Hong Keng dan isteri. "Kau
sudah berusia cukup, kenapa soal pernikahanmu masih
dialpakan " Apa mereka mau antap kau terus hidup sebatang
kara ?" Mukanya Bouw Pek menjadi merah. dia tidak berani kasi
tahu, bahwa encek dan encimnya bukan tidak pikir tentang
perjodohannya, hanya adalah dia sendiri yang menyebabkan
itu terlambat. dia tidak lulus dalam ujian, dia jadi tidak niat
beristeri, demikian dia kasi alasan.
"Jikalau begitu, kau punya semangat," kata piauwcim ini
lebih jauh. "Sekarang kau boleh sabar saja, tunggu sampai
encekmu telah dapatkan pekerjaan untuk kau, nanti baru kita
pikir tentang perjodohanmu. Tentang jodoh, kau boleh
serahkan padaku. Aku tahu satu nona, yang terhitung orang
asal satu kampung dengan kita.
Bouw Pek tidak puas mendengar dibicarakan urusan
perjodohannya, tetapi supaya tidak rewel dia simpangkan soal
itu. Sampai mau sore, Kie Cusu masih belum pulang, maka
supaya tidak usah menunggu lebih lama Bouw Pek pamitan
dari piauwcimnya, pada siapa dia tinggalkan tulisannya. dia
mau ditahan buat bersantap malam, dia menampik sambil
haturkan terima kasih.
Sesampainya didalam kamarnya, Bouw Pek jadi bertambah
masgul. Karena sang bibi sebut2 perkara jodoh, dia ingat Siu
Lian. la jadi serba salah, dia coba tenggak arak guna legakan
pikiran. Arak mendatangkan hawa panas luar biasa, selagi
hawa udara mengkedus, sangat beringsang untuk berdiam
terus didalam kamar Maka dengan pakai tung-sha, anak muda
ini keluar dari hotel akan jalan2. dia lewat, beberapa gang dan
dapatkan tempat ramai dan makin ramai, hingga tanpa
merasa dia jalan lebih jauh, sampai berada disuatu gang
dimana ada beberapa rumah dengan pintu pekarangan yang
kecil tetapi banyak tengloleng, yang apinya telah dinyalakan.
Didepan pintu juga terdapat beberapa buah kereta, yang
kudanya bagus, keretanya indah. Digang itu juga banyak
orang mundar mandir, pakaiannya kebanyakan mentereng,
tampangnya berseri, terang mereka orang berpangkat atau
saudagar hartawan. Rumah2 itu berhadap2an dengan yang
lain, yang pun sama macamnya.
Menampak orang lain begitu gembira sedang dia sendiri
berduka, mau tidak mau anak muda ini menghela napas.
Kendati begitu dia terus perhatikan rumah-rumah itu, sampai
matanya kebentrok dengan huruf-huruf yang tertulis
ditengloleng. dia baca "Hok Sian Pan", "Lee Cun Koan", "Peh
Bie Pan" dan lain-lain. Tiba-tiba dia seperti tersadar.
"Mestinya ini gang yang tersohor di Pakkhia yang dipanggil
gang Peng-kong, gang dimana terdapat rumah-rumah
pelesiran," pikir ia. "Aku seorang miskin dan aku telah datang
kegang ini yang penuh dengan impian, apakah ini lucu ?"
Oleh karena tidak cocok dengan hatinya, lekas-lekas Bouw
Pek buka tindakan-nya menyingkir dari gang itu, tetapi baru
saja dia jalan beberapa tindak, dari sebuah rumah hina keluar
dua tamu, yang rupanya baru habis bersenang-senang.
Mereka ini mau naik atas sebuah kereta, ketika satu
diantaranya dapat lihat anak muda kita, lantas saja dia
memburu buat menghampirkan seraya berseru.
"Saudara Bouw Pek ! Ha ha-ha-ha, siapa nyana kita bisa
bertemu disini ! Jangan kau menyingkir, saudara !"
Bab 9 Sekalipun dia terkejut, Bouw Pek toh menoleh. Orang itu
ialah Tek Siauw Hong, si orang Boan yang dia ketemu di Seeho.
Bahna jengah, mukanya menjadi merah. Pakaiannya
Siauw Hong berwarna biru, dari kain mahal dan indah, sedang
ma-kwanya dari cita hijau. Iapun lihat kuncir orang, yang
disisir licin sampai mengkilap sedang tangannya memegang
kipas yang bagus.
"Saudara Bouw Pek," kata pula Tek Siauw Hong sambil
tertawa. "Ketika hari itu aku ketemu kau, aku anggap kau
seorang Jie-hiap maka aku sungguh tidak sangka, bahwa
sekarang kaupun seorang hongliu hiapkek l"
Hongliu hiapkek berarti orang gagah yang romantis, maka
itu, mendengar demikian anak muda kita menjadi bertambah
jengah. dia tidak tahu, bahwa dia telah masuk kegang tempat
pelesiran, siapa tahu, disini dia justeru bertemu dengan sobat
baru, yang belum kenal sifat dan adat tabiatnya, hingga
mudah saja dia dicap sebagai tukang mogor. celakanya buat
ia, dia tidak bisa buka mulut akan bersihkan diri. Tapi dia
paksakan diri akan berlaku sabar dan sambil tertawa dia tanya
: "Tek Toako, kapan kau pulang ?"
"Ketika hari itu kau pulang, kebetulan urusanku juga
selesai, maka dengan tidak ayal-ayalan lagi aku berangkat
pulang," sahut Tek Siauw Hong. "Kau tahu, aku menyesal
yang hari itu aku tidak beritahukan alamatku yang lengkap,
hingga aku kuatir kau akan tidak dapat cari rumahku.
Sekarang kita bertemu disini, sungguh kebetulan !"
JILID 6 KEMUDIAN dia ajar kenal kawannya seorang berumur
kurang lebih tiga-puluh tahun, tubuhnya gemuk dan besar. dia
kata : "Ini Yo Jieko, seorang yang terkenal buat kota Pakkhia,
namanya Yo Cun Jie. Kau boleh panggil saja Poan-siauw-cu."
"Poan-siauw-cu" berarti si Gemuk Kecil.
Bouw Pek memberi hormat pada orang she Yo itu, yang
pun unjuk hormat padanya.
Tek Siauw Hong kata pada sobatnya, seraya tunjuk anak
muda kita : "Yo Jieko, ini saudara Lie Bouw Pek, yang tadi aku tuturkan
pada dapat salah dari dia, hati-hati, dia hiapkek jaman
se?karang, maka kau mesti jaga jangan sampai dapat salah
dari dia, hati-hati, dia nanti hajar kau !"
Yo Cun Jie tertawa karena sobatnya yang doyan
membanyol itu. "Saudara," kata Tek Siauw Hong kemudian, "yang mana
sobat kau, mari ajak aku pergi menemui dia !" Bouw Pek
jengah hingga mukanya jadi merah sekali.
"Tidak, tidak, aku tidak punya," kata dia dengan cepat
"Barusan sehabis bersantap aku keluar jalan tidak tahunya aku
telah jalan sampai disini."
"Aku tidak percaya," Tek Siauw Hong' geleng kepala. "Mana
bisa demikian kebetulan. jalan2 justeru sampai di gang Ciotauw
Hootong !"
"Aku bicara dengan sebenarnya, Ngo-ya," Bouw Pek tetap
menyangkal. "Aku pun tidak ketahui gang ini dipanggil Ciotauw
Hootong !"
"Cukup, saudaraku," kata pula kenalan baru ini. "Tapi
sudahlah, sekarang hayo ikut aku keluar, disana kita nanti cari
kenalan baik, ditempat siapa kita bisa duduk pa?sang
omong." "Baiklah," sahut Bouw Pek, yang dengan "kenalan baik"
menyangka sobat itu hendak pergi kerumah sobatnya.
Tek Siauw Hong lantas saja jalan duluan, dibelakangnya Yo
Cun Jie jalan berendeng dengan anak muda kita. Mereka
menuju keutara, sembari jalan mereka bicara pula. Karena
mereka mengikuti dibelakang.
Jalan belum berapa jauh, mereka sampai didepan rumah
pelesiran yang pelesiran yang pakai merk "In Hian Pan, yang
berarti "Awan Wangi." Melihat begitu, anak muda kila lalu
merandek. Kedua kereta pun segera berhenti didepan rumah
itu. Tek Siauw Hong bertindak masuk secara agung.
"Silahkan, saudara Lie," kata Yo Cun Jie pada kenalan baru
itu. Mau atau tidak, Bouw Pek mesti iringi dua sobat baru itu,
kalau tidak dia tentu akan dapat pandangan jelek. Ketika
bertindak, tindakannya dia rasakan berat, hati nya pun kusut
dan berdebaran.
Ruangan didalam terang sekali. Pekarangan bersih, banyak
rupa pohon kembangnya. Beberapa orang kelihatan mundarmandir,
lelaki dan perempuan. Suara tertawa yang ramai
terdengar dari beberapa kamar, agaknya semua orang itu
sedang sangat bergembira. Juga kelihatan beberapa bunga
raya, dengan pakaian rebo dan dandanan mentereng, sedang
antar keluar tamunya yang mau pulang, mereka itu bicara
satu sama lain secara manis sekali.
"Oh, Tek Ngo Looya dan Yo JieLooya datang!" berseru
seorang pelayan, apabila dapat lihat dua orang itu. dia
menghampirkan buat unjuk hormat. Kemudian : "Silahkan
jiewie masuk !" dengan dia jadi pengunjuk jalan.
Dari sebuah kamar sebelah barat, dengan singkap kere,
muncul seorang nyonya.
"Ngo Looya, Yo Jie Looya, silahkan masuk!" dia
mengundang dengan hormat dan manis.
Tek Siauw Hong bertindak masuk dengan diturut oleh dua
kawannya. Baru saja mereka bertindak masuk, seorang nona sudah
lantas menyambut, tetapi ketika dia ini buka mulutnya,
suaranya pelahan sekali dan separoh menyesalkan dia kata:
"Oh, Ngo Looya, kemana saja kau pergi, maka dalam
beberapa hari ini kami ti?dak pernah lihat kau ! Hari ini angin
apa sudah tiup kau sampai kemari ?"
Si nyonya pun menyambungi berkata :
"Dengan sebenarnya, sudah enam atau tujuh hari Ngo
Looya tidak pernah datang kemari ! Looya tahu, nona kita
setiap hari harap2 kau !"
Nyonya itu bicara sambil tertawa. "Kau mana tahu !"
berkata Yo Cun Jie, yang dului sobatnya. "Kau punya Ngo
Looya telah diangkat jadi Wat Haytoo, dia sedang repot
bersiap buat lakukan perjalanannya memangku jabatannya itu
! dia mana punya kelebihan tempo buat datang kemari "
Nyonya dan nona itu agaknya terperanjat, bahna girang.
"Kalau begitu, kami mesti memberi selamat pada Ngo
Looya!" mereka bilang.
"Jangan kau percaya segala obrolan!" Tek Siauw Hong kata
sambil tertawa "Ini si gemuk memang doyan ngaco-belo!
Sebenarnya aku telah pergi ke See-ho buat urus tanahku dan
baru kemarin aku pulang!"
Cun Jie sudah duduk dikursi sembari tertawa dia
memperlihatkan perutnya yang gendut.
Bouw Pek mengawasi kesekitarnya. dia te?lah masuk
ketempat sangat asing. dia lihat segala apa indah dan
mentereng, malah ditembok ada beberapa pasang lian,
antaranya ada yang ditanda tangani oleh "Bie Hie".
"Tentulah itu namanya sobat perempuan dari Tek Siauw
Hong ini," pikir ia. Maka dia segera awasi sinona itu, yang
ternyata beda sekali dari namanya.
Dipandangan mata anak muda kita, bu?kan saja Bie Hie
tidak cantik, sebaliknya dia punya roman yang menyebalkan.
dia berusia duapuluhlima atau enam, sepasang matanya kecil,
hidungnya pesek, tetapi mukanya medok, yancienya merah
sekali, apapula yang dibibir. Rambutnya, yang dikonde sebagai
"konde mega", seperti ditabur barang2 perhiasan dari mutiara
dan batu rupa2. dia pakai baju merah dengan tangan
gerombongan, pinggirannya disulam, celananya hijau.
Sepatunya juga disulam berwarna dadu. Sepasang kakinya
kecil sekali. Sambil bawa huncwee, si nona menghampirkan.
,Siapakah tuan ini?" dia tanya sambil bersenyum, seraya
tunjuk pemuda kita. "Aku orang she Lie." Bouw Pek jawab.
"Oh, Lie Looya," kata si nona. dia mau sediakan huncwee,
tetapi Bauw Pek menampik.
"Aku tidak isap huncwee," dia kata.
"Lie Looya ini seorang yang put-iet, jangan kau sembarang
main2 sama dia." Tek Siauw Hong memberi tahu bunga
berjiwa itu. "Tentu saja kami tidak berani," kata si nona sambil tertawa.
"Lie Looya, harap kau memberi maaf padaku." Tek Siauw
Hong sambuti huncwee dari tangan sinona, dengan cepat dia
mulai menyedot.
Cun jie bersenda-gurau sekian lama dengan Bie Hie,
sampai muncul nona sobatnya, Siauw Sian siapa menurut
penglihatannya Bouw Pek cukup elok dan menarik. Nona ini
bicara sebentaran, lantas dia ajak Cun Jie pergi kekamarnya
sendiri. Sehabis isap huncwee, Tek Siauw Hong minum teh, Bie Hie
mengipasi. "Saudara Bouw Pek, sekarang ini kau berdiam dimana?"
"Aku menumpang dihotel Goan Hong di Seeho-yan."
"Baiklah, nanti aku mengunjungi !"
"Kau sendiri, toako, dimana letaknya gedung kau?"
"Seperti aku sudah terangkan, aku tinggal di Sam-tiauw
Hootong di Su-pay-lauw. Tunggu lagi dua hari, aku nanti siap
dirumahku, aku akan undang kau datang berkunjung, buat
kita bersantap sama2!"
"Jangan repot2, toako. Akupun hen?dak mengunjungi
besok atau lusa."
"Terima kasih, saudara. Aku harap kau tidak belaku seejie,
mari kita bergaul seperti sobat2 lama. Tunggu nanti sesudah
kita bergaul rapat dan lama, kau akan ketahui aku sebenarnya
orang macam apa! Aku bilang terus-terang, aku seorang jujur,
aku paling gemar bersobat, aku tidak biasa berlaku seejie atau
sungkan, inilah sebabnya kalau bicara aku sering
menyebabkan orang kurang senang. Aku perlu terangkan ini
pada kau, saudara, agar kau mendapat tahu, umpama lain
waktu aku salah bicara, tolong kau memberi maaf padaku."
,,Aku juga biasa berlaku jujur dan terus-terang," Bouw Pek
bilang : "Dikampungku aku melainkan tahu belajar surat, aku
belum pernah melancong, hingga aku tak punya pengalaman
dan pergaulan. De?mikianlah hari ini aku telah datang ke
Bentrok Rimba Persilatan 16 Pendekar Riang Karya Khu Lung Pedang Pembunuh Naga 11

Cari Blog Ini