Ceritasilat Novel Online

Sepasang Golok Mustika 1

Sepasang Golok Mustika Karya Chin Yung Bagian 1


Sepasang Golok Mustika
Karya: Chin Yung
Empat laki2 dengan dan-danan ringkas berbaris memotong djalan didepan mereka!
Siapa empat orang itu" Kalau Kawanan perampok besar, masakah hanja empat
orang" Apakah dalam hutan siong itu bersembunji kawan2 Mereka"
Pendjahat ketjil sudah pasti tak akan berani mengganggu kereta2 piauw itu jang dilindungi begitu banjak orang. Apakah keempat orang itu djago2 Rimba Persilatan jang sengadja datang untuk me-rampas piau"*)
Dengan matanja jang tadjam, pemimpin rombo-ngan piauw mengawasi ke-empat
pentjegat itu. Jang berdiri diudjung kiri adalah seorang jang bertubuh kurus-ketjil dan berdjanggut runtjing, kedua tangan meng-genggam Go-bie Kong-tjek (pusut
jang terbuat dari badja). Jang kedua berbadan tinggi-besar, seolah-olah sebuah pagoda besi. Didepannja ber-dirilah sebuah papan batu jang sangat besar dengan huruf-huruf: "Kuburan men-diang Oey Seng Poen." Batu nisan!
Perlu apa batu nisan itu disitu" Oey Seng Poen" Dalam dunia Kang-ouw, nama itu belum pernah terdengar!
Orang jang ketiga bertubuh sedang, tak besar dan tak ketjil, kulit mukanja putih dan djika tidak bergigi tonggos, ia dapat dikatakan seorang pria jang tampan.
Ditangannja, terdapat sepasang Lioe-seng-toei (bandringan). Jang keempat adalah seorang setengah tua jang matjamnja seperti orang sakit dan sedang berdiri
bersandar pada sebuah pohon, disebelah kanan. Pakaiannja tjompang-tjam-ping,
tenang2 ia meng-hisap sebatang pipa pan-djang sambil menitjap-itjapkan mata, ia menge-pulkan asap dari mulutnya. Dengan sikapnja jang atjuh tak atjuh ia seakan-akan tak meman-dang sebelah mata kepada tudjuhpuluh orang lebih jang
mengawal piauw itu.
Jang tiga masih tak mengapa, tetapi si penjakitan benar2 tak boleh dibuat
gegabah. Tak bisa salah lagi, ia tentu berkepandaian tinggi dan akan merupakan lawan terberat. Si-pemimpin piauw lantas sadja ingat akan banjak tjerita jang
tersiar dalam dunia Kang-ouw: Bagaimana seorang nenek tua dengan tangan
kosong membinasakan lima pendjahat besar, bagaimana seorang pengemis muda
mengatjau dikota Thay-goan, bagaimana seorang gadis tjantik merobohkan
seorang ahli silat kenamaan di Thay-tong&hel ip; Memang benar, dalam Rimba Persilatan, orang harus berhati-hati ter- hadap lawan jang kelihatan lemah atau ketolol-tololan.
Si-pemimpin piauw jang sedang menaksir-naksir ke-empat lelaki itu –
adalah Tjong-piauw-tauw (pemimpin umum) dari Wie Sin Piauw-kiok dikota Seean., propinsi Siamsay. Ia she Tjioe, bernama Wie Sin dan ber-gelar Tiat-pian Tin-pat- hong (si-Petjut-besi jang berkuasa didelapan pendjuru). Semakin ia
menimbang-nimbang, semakin bimbang hatinja.
Piauw jang sedang dilindunginja adalah milik Ong Tek Eng, seorang saudagar diSee-an, sebesar duapuluh laksa tahil perak. Tak usah dikatakan lagi, piauw itu bukannja ketjil, tapi bagi Wie Sin Piauw-kiok djumlah itu tidak terlalu besar, karena piauw-kiok tersebut pernah melindungi piauw jang lebih besar djumlahnja, parnah me-lindungi empatpuluh laksa dan delapan puluh laksa tahil perak.
Apa jang paling di-kuatirkannja sedari ia me-ninggalkan See-an adalah
keselamatan golok dalam bungkusan dipunggungnja. Ia menerima kedua golok itu
dalam gedung Tjoan-siam Tjongtok (Tjongtok dari pro-pinsi Soe-tjoan dan Siamsay), dari tangan Tjoan-siam Tjongtok sendiri. Ia ingat ba-gaimana dengan hati ber-debar2, ia mendengarkan pesan pembesar tersebut.
"Tjioe Piauw-tauw," kata Lau Taydjin, si-Tjongtok. "Sepa-sang golok itu, jang diberi nama Wan-yo-to, harganja bukan main. Djagalah baik2. Golok ini dulu disimpan
dalam istana kaizar. Pada djaman kaizar almarhum, mendiang Kaizar Kong-hie,
entah bagaimana, sepasang golok ini telah ditjuri orang. Begitu lekas kaizar jang sekarang naik ketahta, beliau segera mengeluarkan perin-tah rahasia supaja para pem-besar di-delapanbelas propinsi berusaha mentjarinja. Se-lama tigabelas
tahun, usaha itu tidak berhasil. Achirnja, berkat redjeki Hong-siang (kaizar), akulah jang berhasil. Huh2! Aku mengenal Wie Sin Piauw-kiok sebagai perusa-haan piauw jang paling boleh diandalkan. Oleh sebab itu, sekarang aku mempertja-jakan tugas ini kepadamu, tugas membawa Wan-yo-to ke-Pakkhia. Supaja kau bisa tiba dikota
radja dengan selamat, sedikitpun kau tak boleh membotjorkan rahasia ini.
Sekembalimu sesudah menunaikan tugas ini dengan berhasil, aku pasti akan
memberi hadiah jang setimpal kepadamu." Demikian pesan Lauw Tay-djin, Tjoan-siam Tjongtok.
*) Piauw adalah barang berharga jang dilindungi oleh perusahaan pengawal jang
anggauta2nya terdiri dari orang2 jang pandai silat. Piau-kiok adalah nama
perusahaan sematjam itu. Didjaman dulu, di Tiongkok, barang2 jang tidak dikawal oleh pengawal tangguh, sering diganggu perampok ditengah djalan.
Nama Wan-yo-to jang sa-ngat tersohor, ia memang pernah mendengar dari gurunja. Dalam sepasang golok itu, jang satu pendek dan jang lain pandjang,
tersembunji rahasia terbesar dari Rimba Persilatan. Sepandjang tjeri-ta, orang jang mendapat-kannja akan "tak punja tan-dingan lagi dikolong langit," suatu hal jang paling iidam-idamkan setiap orang jang pandai silat. Ketika mendengar tjerita itu, ia menganggapnja sebagai dongengan belaka. Tapi siapa njana, Tjoan-siam Tjongtok
benar2 sudah men-dapatkan sepasang golok itu dan diluar dugaan; ia sen-dirilah jang telah ditugaskan membawanja ke-kota radja untuk dipersembahkan ke-pada
kaizar. Sepasang golok itu di-bungkus rapi dengan sutera kuning dan diberi tjap Tjong-tok.
Ia sebenarnja kepingin sekali melihat sendjata mustika itu, tapi siapa berani
membuka bungkusan itu" Disamping itu, Lau Tjong-tok djuga memerintahkan
empat orang Wie-soe (pe-ngawal pribadi) jang diper-tjaja untuk turut dalam rombongan piauw dengan me-njamar sebagai piauw-soe dan pegawai. Tjioe Wie Sin
insjaf, bahwa serta mereka bukan sadja untuk memban-tu, tapi sekalian untuk
meni-lik segala gerak-gerik-nja.
Pada suatu hari, sebelum rombongan piauw berangkat, Wie-soe-thio (pemimpin
Wie-soe) dari gedung Tjongtok telah mengirim orang untuk memindahkan seantero
ke-luarga Tjioe – semuanja dua-belas orang – kegedung Wie-soe-thio. Sebagai alasan dikemukakan, bahwa pemin-dahan itu dilakukan karena kuatir keluarga Tjioe Tjong-piauw- tauw tak ada jang melindungi, sesudah ia
meninggalkan See-an. Teta-pi, sebagai seorang ber-pengalaman, Tjioe Wie Sin
tentu sadja mengerti maksud tindakan itu. Semua itu berarti, bahwa Lauw tjongtok telah menahan ibu, isteri, gundik dan anak-anaknja sebagai tanggungan. Djika
terjadi sesuatu jang tak di nginkan dengan sepa-sang golok mustika itu,
maka bukan sadja ia sendiri akan mendapat hukuman mati, tapi seluruh keluarganja pun tak usah berharap bisa hidup terus.
Selama hidupnja, Tjioe Wie Sin mengalami banjak taufan dan gelombang besar.
Tapi baru kali ini ia meninggalkan keluarganja dengan hati berdebar-debar begitu keras, dengan kekuatiran dan ke-girangan tertjampur men-djadi satu.
Djika ia selamat berhasil mengantar sepa-sang golok itu sampai dikota radja, maka bukan sadja Lau Tjongtok akan memberi-kannja hadiah besar, tapi sang kaizar
pun, dalam kegirangannja, mungkin akan menganugerahkan satu atau lain pangkat
kepadanja. Dengan demikian, ia akan bisa mengangkat deradjat leluhurnja dan
boleh tak usah melakukan lagi peker-djaan jang penuh bahaja sebagai piauw-tauw itu.
Perdjalanan dari See-an ke-Pakkhia bukannja dekat dan sedikitnja harus melalui tigapuluh gunung besar-ketjil dengan sarang2 perampok-nja. Terhadap pendjahat
biasa sedikitpun ia tak kuatir, karena kepandaiannja me-mang tjukup tinggi dan nama Tiat-pian Tin-pat-hong tjukup dikenal orang. Tapi Wan-yo-to mempunjai daja penarik jang sangat hebat. Djika rahasia itu botjor, entah berapa banjak djago akan turun tangan tjoba memi-likinja. Demikianlah menga-pa dalam usaha menunaikan
tugasnja jang sangat berat, ia sengadja menerima peker-djaan mengawal duapuluh laksa tahil perak itu untuk digunakan sebagai tedeng tugasnja jang utama. Andai-kata piauw tersebut dirampas orang dan Wan-yo-to bisa diantar dengan selamat
sam-pai dikota radja, ia sudah boleh merasa beruntung.
Demikianlah kedudukan Tjioe Wie Sin, ketika ia mengawasi empat pentjegat-nja
dengan hati bimbang.
Sambil memegang Tiat-pian jang dilibatkan dipinggangnja, ia batuk-batuk
beberapa kali, kemudian berkata sambil memberi hormat: "Aku jang rendah
bernama Tjioe Wie Sin. Aku mengakui kesa-lahanku, karena diwaktu lewat tempat
sahabat2, aku tidak memberi hormat kepada ka-lian. Untuk itu, aku memohon
maaf." Dengan berkata be-gitu, ia berusaha untuk meng-elakkan suatu
pertempuran. Si-penjakitan memegang dadanja dan batuk2 beberapa kali.
Si-kurus mengangkat pusut-nja dan berkata dengan per-lahan: "memberi hormat kepa-da kami boleh tak usah. Eh, mustika apakah itu, jang kau lindungi"
Tinggalkanlah disini." Bukan main kagetnja Tjioe Wie Sin. Soal Wan-yo-to tak pernah diberitahukannja ke-pada siapapun djuga, bah-kan orang-orangnja jang
paling dipertjaja djuga meng-anggap, bahwa dalam per-djalanan ini mereka hanja mengawal duapuluh laksa tahil perak tersebut. Bagai-mana keempat orang itu bisa mengetahui rahasianja"
Sesudah menetapkan hati-nja, ia mengangkat kedua tangannja seraja berkata
pula: "Harap supaja kalian sudi memaafkan kedua ma-taku jang tiada bidjinja. Bolehkah aku mengetahui na-ma besar sahabat-sahabat?"
"Perkenalkan dirimu dulu," kata si-kurus. "Aku jang rendah she Tjioe, bernama Wie Sin," katanja. "Sahabat2 didunia Kang-ouw telah menghadiahkan gelar "Tiat-pian Tin-pat-hong ke-padaku." Si-penjakitan tertawa di-ngin dan mengedjek:
"Hm! Perkataan Tin (menguasai) sebaiknja ditukar dengan Pay (memberi hormat dengan berlutut)." "Ditukar dengan Pay?" si kurus menegas. "Ha! Orang she Tjioe!
Toako-ku telah menghadiahkan kau suatu gelar lain: Tiat-pian Pay-pat- hong (si-Petjut-besi jang berlutut kedelapan pen-djuru)." Hampir berbareng dengan edjekan itu, mereka berempat
terbahak-bahak.
Sebisa-bisanja Tjioe Wie Sin menekan napsu amarah-nja. "Bagus!" katanja dengan suara menjeramkan. "Boleh-kah aku menanja: Dari djalan mana kalian datang"
Siapa-kah pemimpin kalian?"
"Baiklah," kata si-kurus sambil menundjuk si-penja-kitan. "Tapi awas, djangan-lah djatuh mampus karena kaget. Toako kami adalah Hoen-hee Sin-liong Siauw Yauw
Tjoe (si-naga-malaikat), Djieko jalah Tan-tjiang Po-pay Siang Tiang Hong (dengan satu tangan membelah pay batu), Shako adalah Lioe-seng Kan-goat Hoa Kiam
Eng (si-Bintang-sapu mengedjar bulan), sedang aku sendiri jalah Pat-po Kan-sian Say-Tjoan–tjoe Tah-soat-boe-heng Tok-kak-soei-siang-hoei Song-tjek-kay-tjit-seng *) Kay It Beng!"
Tjioe Wie Sin heran bukan main. "Mengapa gelar orang itu begitu pandjang?"
tanja-nja didalam hati.
Sesudah memperkenalkan diri, si-kurus Kay It Beng berkata pula: "Kami ber-empat telah bersumpah untuk mendjadi saudara dan selalu melakukan perbuatan-perbuatan mulia, meng-hantam jang kuat, menolong jang lemah, merampas milik
jang kaja untuk membantu jang miskin. Oleh sebab itu, sahabat-sahabat dalam
kalangan Kang-ouw mem-beri nama Thay-Gak Soe-hiap (Empat-pendekar Thaygak) kepada kami."
Mendengar keterangan itu, Tjioe Wie Sin berkata dalam hatinja: "Ditilik dari mereka, si-kurus tentunja mempunjai ilmu mengentengkan badan jang sangat
tinggi, si-tinggi-besar tentu hebat tenaga tangannja, sedang si-muka-putih tentu liehay dalam menggunakan Lioe-seng-toei. Hanja nama Hoen-hee Sin-liong Siauw
Yauw Tjoe jang agak luar biasa. Nama itu seperti djuga nama seorang berilmu
tinggi, seorang terkemuka dari Rimba Persilatan. Tetapi mengapa aku belum
pernah mendengar nama Thay-gak Soe-hiap disebut-sebut orang" Biar bagaimana
djuga, hari ini aku harus berhati-hati." Dengan pikiran demikian, ia lantas sadja memberi hormat sekali lagi seraja berkata: "Nama besar kalian aku sudah mendengar lama sekali. Sungguh beruntung, bahwa hari ini aku bisa bertemu dengan
kalian. Mengingat, bahwa piauw-kiokku belum pernah mem-punjai gandjelan
dengan Soe-hiap, maka aku mengharap, supaja kalian sudi membuka djalan.
Dikemudian hari, aku tentu akan mengundjungi sahabat2 untuk menghatur-kan
banjak2 terima kasih."
"Membuka djalan adalah soal mudah sekali dan kami-pun tak sudi merampas
piauw-mu." Kata Kay It Beng.
"Kedatangan kami hanjalah untuk memindjam satu-dua mustika."
"Mustika apa?" tanja Wie Sin.
"Huh-huh!" Kay It Beng mengeluarkan suara di-hidung.
"Sungguh aneh! Mengapa kau menanjakan kepadaku" Apakah kau sendiri tak
tahu?" Tjioe Wie Sin mengerti, bahwa soal itu tak akan bisa dibereskan dengan perdamaian. Ia sekarang jakin, bahwa keempat orang itu memang menginginkan Wanyo-to. Sambil membuka sepasang pian jang di-telibatkan dipinggangnja, tenang2 ia berkata: "Kalau begitu, tiada djalan lain daripada meminta penga-djaran dari Thay-gak Soe-hiap. Siapa jang akan madju lebih dulu?" Sehabis berkata begitu, ia menoleh kebela-kang dan menggapai. Lima piauwsoe dan empat Wie-soe dari
gedong Tjongtok, lantas sadja mendekat. "Dalam menghadapi pen-djahat2 itu, kita tak usah memegang peraturan."
Bisik-nja. "Kepung sadja mereka!" Dengan memberi perintah begitu, didalam hatinja ia mengandung maksud ter-tentu.
Selagi kawan-kawannja bertempur dengan empat pendjahat itu, ia hendak kabur
seorang diri dengan membawa golok mustika itu.
*) Pat-po Kan-sian= Delapan-tindak-mengedjar-tonggeret, sematjam ilmu
mengentengkan badan.
"Toa-piauw-tauw," kata Kay It Beng.
"Biarlah lebih dulu aku tjoba2 mengadu pusutku dengan petjutmu." Sehabis berkata begitu, ia segera menerdjang.
Tanpa turun dari tunggangannja, Tjioe Wie Sin menjabat Kong-tjek musuh dengan
pukulan Tho-wan-to-so (Di-taman-tho- merampas tombak) sambil mendjepit perut
kuda dengan kedua lututnja, sehingga hewan itu lantas sadja melompat kedepan.
"Bagus!" Toa-piauw-tauw hendak kabur!" teriak It Beng.
"Aku hendak menjelidiki apakah kau menjembunjikan kontjo diluar hutan!" kata pemimpin piauw itu sambil mentjambuk kuda. Melihat musuh kabur terus, buru-buru Hoa Kiam Eng melontarkan Lioe-seng-toei-nja jang menjambar pung-gung
Wie Sin. Tanpa me-nengok, Tin-pat-hong me-ngebaskan tjambuknja jang tangan
kiri kebelakang dengan menggunakan pu-kulan Ya-tjong-sam-tjee (Diwaktumalam-menjerang-tiga-benteng). Dengan ber-bunji "trang!", bandringan itu terpukul kembali.
Sesudah berkenalan de-ngan sendjata Kay it Beng dan Hoa Kiam Eng, ia meras,
bahwa ilmu silat kedua pendjahat itu tidak seberapa tinggi. Ia me-nengok dan
melihat Siauw Yauw Tjoe masih tetap bersandar pada pohon dengan memegang
pipanja jang pandjang, tengah mengawasi tiga saudaranja jang sedang dikepung
oleh para piauw-soe.
Sikapnja tetap tenang, tanpa mem-perlihatkan sikap takut sedikit djua.
Wie Sin kaget dan berkata didalam hatinja: "Djika si-penjakitan turun tangan, mungkin aku sukar me-loloskan diri lagi." Ia mematju tunggangannja jang terus kabur sekeras-kerasnja. Mendadak Siauw Yauw Tjoe mengajun tangan kanannja
seraja berteriak: "Awas piauw!" Dengan disertai bunji njaring, serupa benda hitam menjambar kearah Wie Sin. Kepala
piauwsoe ini menangkis dengan tjambuknja dan "plak!", benda itu menempel pada sendjatanja!
Terperandjatlah Wie Sin dan penuh ketakutan, ia segera membedal tunggangannja
tanpa menengok lagi.
Sesudah berada diluar hutan dan melihat tiada jang mengubar, ia menahan
kudanja dan memeriksa sendjata rahasia jang menempel pada tjam-buknja. Ia
merasa malu ber-bareng geli ketika ternjata, bahwa "sendjata rahasia" itu hanja sebuah sepatu rusak. Dengan perasaan sangsi, untuk beberapa saat ia duduk
bengonng diatas punggung kudanja. Apakah ia sebaiknja kabur terus atau
haruslah ia menunggu disitu untuk me-lihat perkembangan selan-djutnja"
Sekonjong-konjong dari da-lam hutan terdengar djeritan manusia jang sangat
njaring, seperti babi disembelih. Djeritan itu hanja terdengar satu kali, kemudian suasana sunji-senjap pula, malah bunji beradunja sendjata djuga tidak terdengar lagi. Tjioe Wie Sin djadi semakin bimbang. "Apakah dalam waktu se-singkat itu, semua orang-orangku sudah dibasmi oleh Thay-gak Soe-hiap?" tanja-nja didalam hati.
Tiba2 ia mendengar te-riakan seorang: "Tjioe Tjong-piauw-tauw!… Tjioe Tjong-piauw-tauw!…" Suara itu adalah suara salah seorang piauw-soe. Ia tak mendja-wab, tangannja meraba bungkusannja dimana ter-simpan sepasang Wan-yo-to itu. Sesaat kemudian, ter-dengar pula teriakan lain: "Tjioe Tjong-piauw-tauw.
Pendjahat sudah lari!
Di-pukul mundur oleh kami!"
Wie Sin terkesiap. "mung-kinkah itu?" tanjanja didalam hati sambil memu-tarkan tunggangannja. Di lain saat, dari dalam hutan keluarlah salah-seorang pegawai
piauw-kiok jang begitu melihat pemimpinnja lantas sadja berseru dengan suara
girang: "Tjong-piauw-tauw. Semua pendjahat sudah kabur! Mereka tak punja
guna." "Benarkah begitu?" tanja Wie Sin.
"Si-penjakitan dibatjok Thio Piauw-soe sampai darahnja muntjrat," djawabnja. "Semua lantas kabur lari tunggang- langgang." Tjioe Wie Sin girang bukan main, tjepat2 ia kembali kedalam hutan. Begitu ber-temu dengan orang-orang-nja, ia
berkata" "Belasan pendjahat jang bersembunji diluar hutan djuga sudah ku-usir."
Seketika itu mukanja mendjadi
merah karena malu dustanja sendiri.
Sambil mengajun golok, Thio Piauw-soe berkata de-ngan bangga: "Huh! Pendekar apa" Tak lebih tak kurang segala gentong kosong!" Semua orang tertawa, tertawa riang-gembira, men-dadak dibelakang hutan ter-dengar rintihan manusia
"Aduh! "Bangsat!" bentak Tjioe Wie Sin. "Keluar kau!" Suara merintah itu terdengar njata.
Thio Piauw-soe mengajun-kan tangannja dan sebatang panah tangan menjambar
kearah suara itu. "Aduh!" ter-dengar djeritan seseorang. Dengan golok terhunus, dua pengawal piauw-kiok segera masuk kegombolan pohon dan menjeret keluar
orang itu. Semua orang ter-perandjat, karena jang diseret itu ternjata siorang she Ong jang turut mengantar piauw. Pakaiannja tjabik2 sedang sebatang anak panah
menantjap di-pantatnja.
Sesudah rombongan Wie Sin Piauw-kiok tak kelihatan bajangannja lagi, barulah
Thay-gak Soe-hiap keluar dari tempat mereka bersem-bunji. Hoa Kiam Eng
merobek udjung badjunja untuk mem-balut luka Siauw Yauw Tjoe. "Toako, apakah lukamu berat?" tanja Siang Tiang Hong.
"Tak apa2!" djawabnja. "Hm! Mana mungkin kita me-lawan musuh jang begitu besar djumlahnja."
Hoa Kiam Eng menghela napas. "Sedari semula aku sudah tak setudju, tapi Shako tetap berkeras," kata-nja dengan nada menjesal. "dan akhibatnja, kini Toako mendapat luka." "Mereka seperti kawanan kerbau gila," kata Kay It Beng.
"Kalau sesudah mendengar nama besar Thay-gak Soe-hiap mereka masih
sungkan mundur, bisa apa kita?" "Sudahlah, kita tak boleh menjalahkan Shatee,"
kata Siauw Yauw Tjoe.
"Bagaimana baiknja seka-rang?" tanja Siang Tiang Hong. "Dengan tangan hampa, kita malu menemui manusia."
Ketiga saudaranja mem-bungkam. Berselang bebe-rapa saat, berkatalah Kay It
Beng: "Menurut pendapatku &hel ip;&hel ip;.." Baru sedemikian dapat diutjapkannja, ketika diluar hutan men-dadak terdengar orang berlari-lari dari utara ke-selatan. "Aha!" kata Kay It Beng pula. "Dua orang! Sekarang dua melawan satu.
Kambing gemuk ini tentu tak akan terlolos lagi!"
"Bagus!" kata Siang Tiang Hong. "Biar bagaimana djuga, kita harus merampas beberapa puluh tahil perak." Keempat saudara itu segera berpentjar dan bersembunji dibelakang pohon2 besar. Beberapa saat kemudian, seorang jang dikedjar seorang lain masuk kehutan. Jang berlari didepan ada-lah seorang pemuda, usianja
kurang-lebih duapuluhtudjuh tahun dan tangannja me-megang sebatang golok.
Tiba2 dia berbalik dan berteriak: "Perempuan bangsat! Apakah benar2 kau
mendjadi pembunuh?"
Thay-gak Soe-hiap ter-kedjut. Si-pengedjar adalah seorang wanita muda jang
menggendong baji dipung-gungnja. Tanpa mendjawab ia mementang gendewa
dan melepaskan sedjumlah pe-luru. Laki2 itu menangkis dengan goloknja, tetapi ia tak berani membalas me-njerang.
"Siapa kau" " bentak Siauw Yauw Tjoe.
Kay It Beng bersiul njaring dan Thay-gak Soe-hiap melompat keluar dari tempat
sembunji. "Berhenti!" seru Kay It Beng.
Laki2 itu kabur lekas2 dan sambil lari, ia menengok kebelakang serta mentjatji:
"Perempuan bangsat! Ganas benar kau" Djangan me-njalahkan aku, djika aku
kelak turun tangan!. "Andjing! " wanita itu balas memaki. "Djika hari ini aku tak bisa memampuskanmu, aku, Djim Hoei Yan, ber-sumpah tak mau mendjadi manusia
lagi." Sesaat itu, Siauw Yauw Tjoe dan tiga saudaranja sudah menghadang didepan silelaki. "Lim Giok Liong!" teriak Djim Hoei Yan. "Kau masih belum mau berhenti" ".
"Minggir!" bentak Lim Giok Liong kepada Siang Tiang Hong jang berdiri di-depannja. Tiba2 ia menun-duk dan sebutir peluru tepat sekali mengenai hidung
Siang Tiang Hong. "Perempuan bangsat!" teriak si-orang she Siang dengan gusar sekali. "Mengapa kau menjerang aku" "
"Habis mau apa kau?" djawab perempuan itu sam-bil melepaskan pula dua butir peluru, jang satu me-ngenai dada Siang Tiang Hong, sedang jang lain menghadjar lengannja, se-hingga batu nisan jang di-pegangnja djatuh ketanah.
Melihat Djieko mereka dihadjar, Kay It Beng dan Hoa Kiam Eng menerdjang
dengan berbareng. Dengan tenang Djim Hoei Yan melepaskan lagi dua butir
peluru, jang satu berkenalan dengan alis Kay It Beng, jang lain mampir dimulut Hoa Kiam Eng, sehingga sebuah giginja terlepas. Selagi Djim Hoei Yan di-rintangi oleh keempat orang itu, Lim Giok Liong sudah kabur keluar hutan. Bukan main gusarnja wanita itu. Dengan gergetan ia mele-paskan sebutir peluru jang menjambar tangan Lauw Yauw Tjoe, sehingga pipa pandjangnja djatuh ditanah.
Ia kelihatan puas. Sambil bersenjumn, berteriaklah ia: "Lim Giok Liong! Djangan kabur kau!". "Hei, perempuan bangsat!"
sajup-sajup terdengar dja-wabnja. "Djika kau mem-punjai njali, hajo berkelahilah dengan menggunakan sen-djata!
Mengubar orang dengan peluru bukan per-buatan ksatria.". "Andjing!" geram Djim Hoei Yan jang lalu mengedjar lagi.
"Toako, siapakah mereka?" tanja Hoa Kiam Eng. "Lim Giok Liong adalah se-orang gagah jang pandai menggunakan golok, sedang Djim Hoei Yan jalah seorang
djago betina jang mahir me-lepaskan. peluru," djawab-nja. Kay It Beng tertawa didalam hatinja. Djawab sang kakak adalah djawab jang tak perlu diberikan. "Wanita berwadjah tjantik," kata
Hoa Kiam Eng. "Mungkin si-orang she Lim telah tertarik dan tjoba melakukan perbuatan tak pantas."
"Benar," kata Siauw Yauw Tjoe, "Thay-gak Soe-hiap terkenal sebagai pembela keadilan. Dibelakang hari, djika bertemu lagi dengan orang she Lim itu, kita harus menghadjarnja." "Tapi, mungkin diantara mereka terdapat sakit hati jang hebat, misalnja si-orang she Lim telah membunuh orang tua Djim Hoei Yan," kata Kay It Beng.
"Menurut pendapatku, kita tak boleh turun tangan sebe-lum menjelidikinja tjukup djelas." "Dari romannja, aku men-dapat kesan, bahwa laki2 itu baik-baik," kata Siauw Yauw Tjoe dengan sungguh2 "Wanita itu benar ganas, tapi dilihat dari ilmu silatnja, ia bukan sembarangan orang."
Baru sadja Kay It Beng mau membuka mulut lagi, ketika diluar hutan tiba-tiba
terde-ngar suara njanjian dan tak lama kemudian, seorang Soe-seng (sasterawan) berdjalan masuk kedalam hutan sambil menggojang-gojang kipas-nja. Dibelakang
pemu-da itu berdjalanlah seorang katjung jang memikul barang.
Melihat datangnja orang itu, Hoa Kiam Eng jang memang sudah mendongkol
dansedang memegang gigi-nja jang barusan tjopot, djadi lebih mendongkol lagi. Ia melirik Kay It Beng dan me-lompat ketengah djalan, mentjegat si-sasterawan.
"Siapa kau?" bentaknja. "Mengapa kau ribut" Mem-bisingkan telinga disini, sehingga tuan besarmu sakit kepala" Lekas bajar kerugian!"
Pemuda itu tampak kaget. "Bagaimana membajarnja?" tanjanja. "Kau harus membajar ke-rugian karena, dengan njanjianmu, kami berempat sakit kepala," kata Kay It Beng. "Kepada setiap orang kau harus memberikan seratus tahil perak, djadi seharusnja empatratus tahil!".
Si-sasterawan meletletkan lidahnja. "Mengapa begitu mahal?" tanjanja. "Sedang Hong-siang (kaizar) sendiri tidak memerlukan uang be-gitu banjak untuk mengobati sakit kepala." "Huh! Hong-tee (kaizar)?" bentak Kay It Beng.
"Kau menjamakan kami dengan kaizar" Sungguh besar njalimu! Sekarang,
karena kurang-adjarmu, kau harus membajar empatratus dikali dua djadi
delapanratus tahil." "Aha! Djin-heng (saudara jang mulia) lebih berharga daripada Hong-siang?" tanja si-pemuda. "Bolehkah ku-tahu she dan nama Djin-heng jang besar?"
"Boleh, tentu sadja boleh. Aku bernama Kay It Beng dan dalam kalangan Kang-ouw aku dikenal dengan gelar Pat-po Kan-sian, Say-Tjoan-tjoe Tah-soat-boe-heng Tok-kak-soei-siang-hoei Song-tjek-kay-tjit-seng. Dalam Thay-gak Soe-hiap aku
menduduki kedudukan ke-empat." Si-sasterawan mengangkat kedua tangannja
seraja berkata: "Sungguh ber-untung, sungguh beruntung bahwa hari ini aku bisa bertemu dengan Djin-heng jang bernama begitu besar." Ia berpaling kearah Hoa Kiam Eng dan berkata pula: "Dan Djin-heng ini?"
Alis Hoa Kiam Eng ber-kerut. "Siapa punja tempo melajani kebawelanmu?"
bentaknja seraja mengang-kat salah sebuah kerandjang jang dipikul si-katjung. Ia mendjadi girang karena ke-randjang itu dirasakannja berat. Lekas2 ia membuka
tutupnja, tetapi segera djuga ia mendjadi ketjewa karena kerandjang itu hanja berisikan buku2 tua. "Fui!" ia meludah. "Segala barang rosokan."
"Djin-heng keliru," kata si-sasterawan. "Itulah kitab2 dari para nabi dan pu-djangga.
Mengapa Djin-heng mengatakan barang itu rosokan?". Sementara itu, Kay It Beng sudah membuka tutup ke-randjang jang lain, jang ter-njata hanja berisikan pakaian tua. Tak sepotong barang-pun jang berharga.Thay-gak Soe-hiap saling
memandang dengan putus harapan. "Aku jang rendah kini se-dang merantau untuk me-ngedjar ilmu dan mentjari ibu," kata si-sasterawan. "Bahwa hari ini aku bisa ber-temu dengan keempat Djin-heng, hatiku bersjukur bukan. main. Dengan mendapat djulukan sebagai Thay-gak Soe-hiap, para Djin-heng tentulah djuga
pendekar2 mu-lia jang selalu bersedia untuk me-nolong sesame manusia."
"Kata-katamu memang tak salah," kata Siauw Yauw Tjoe.
"Ja! Dasar nasib baik, hari ini aku bisa bertemu dengan empat pendekar besar," kata pula si-sasterawan. "Setjara kebetulan, sedang mengha-dapi sebuah teka-teki sulit dan kini aku hendak mem-beranikan diri memohon pertolongan keempat Tay-hiap
(pendekar besar)." "Gampang," djawab Siauw Yauw Tjoe. "Sebagai pen-dekar, kami tak boleh me-nonton penderitaan orang sambil berpeluk tangan." Pemuda itu menjodja dan menghaturkan terima kasih berulang-ulang.
"Siapa jang telah meng-hinamu?" tanja Kay It Beng.
"Hal ini sungguh memalu-kan," djawabnja. "Aku kuatir, bahwa keempat Djin-heng akan mentertawakan diriku."
"Aha!"
Seru Hoa Kiam Eng seperti baru tersedar dari mimpi. "Kau mempunjai adik
perempuan jang tjantik dan adik itu dirampas orang, bukan?". Si-pemuda
menggelengkan kepala beberapa kali. "Tidak, bukan itu. Aku tak punja adik,"
djawabnja. "Hm! Kalau begitu, tentulah isterimu direbut hartawan djahat atau pembesar busuk," kata Kay It Beng. "Djuga bukan," djawabnja. "Aku belum beristeri."
Siang Tiang Hong tak dapat bersabar lagi. "Habis apa?" teriaknja. "Lekas sebutkan!"
"Tentu.........


Sepasang Golok Mustika Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku tentu akan memberitahukan kesukaran-ku itu," katanja. "Hanja aku kuatir, djika keempat Tay-hiap mendjadi gusar."Walaupun mengaku ber-gelar "Soe-hiap,"
keempat orang itu hanjalah orang2 rendah jang berkepandaian rendah pula, dan
tjara2 mereka jang aneh sering ditertawakan orang. Belum pernah mereka
diangkat tinggi dan dipudji-pudji begitu muluk seperti seka-rang. Oleh sebab itu, dengan
hati riang mereka menepuk dada seraja berkata: "Lekas! Lekas sebutkan!
Segala matjam kesulitan akan ditanggung oleh Thay-gak Soe-hiap."
Pemuda itu kembali menjodja. "Baiklah," katanja. "Dalam berkelana dalam dunia Kang-ouw, aku jang rendah kebetulan lewat di-tempat Soe-hiap. Apa mau,
sekarang djusteru bekalku habis dan didalam sakuku tidak terdapat sepeser buta.
Sungguh beruntung, bahwa dalam keadaan terdjepit itu, aku bertemu dengan Soewie Tay-hiap. Maka, seka-rang aku memberanikan diri memohon bantuan
beberapa puluh tahil perak. Untuk budi Soe-hiap jang sangat besar itu, lebih dulu aku mengha-turkan banjak-banjak terima kasih."
Mendengar perkataan itu, alis mereka berkerut dan mereka saling memandang
tanpa mengeluarkan sepatah kata. Mereka sebenarnja ingin merampok milik
pemu-da itu, tapi diluar dugaan, dengan kata-kata litjin, saku merekalah jang
berbalik mau dirogo. Lebih tjelaka lagi, mereka tak mungkin mundur pula karena sudah kepalang berbitjara temberang. Tiba-tiba Siang Tiang Hong menepuk dada
seraja ber-teriak: "Untuk menolong sahabat, djangankan hanja beberapa puluh tahil perak, sedangkan djiwapun masih boleh dikurbankan. Toako, Shatee, Sietee, keluarkan uangmu! Aku sendiri masih punja....." Sebelah tangan-nja merogo saku, tapi tangan itu tidak dikeluarkan lagi, karena dalam sakunja tidak terdapat uang.
Untung djuga, Hoa Kiam Eng dan Kay
It Beng masih punja beberapa tahil perak jang lalu dikeluarkan dan diserahkan
kepada pemuda itu. Si-sasterawan menjodja dan berulang-ulang mengha-turkan
terima kasih lagi seraja berkata: "Untuk budi jang besar ini, aku jang ren-dah tak akan melupa-kannja. Dikemudian hari, djika kita bisa bertemu pula, aku tentu akan membalas budi ke-empat Djin-heng." Sehabis berkata begitu, sambil me-nuntun si-katjung, ia ber-djalan keluar dari hutan itu.
Setibanja diluar hutan, se-konjong-konjong ia tertawa terbahak-bahak. "Aku menghadiahkan beberapa tahil perak ini kepada-mu," kata-nja kepada si-katjung.
Si-katjung segera membe-reskan buku-buku. dan pa-kaian madjikannja jang tadi
diaduk-aduk, kemudian mengambil sedjilid buku tua jang segera dibukanja. Disoroti sinar matahari, diantara lembaran-lembaran buku itu terlihat sinar emas jang
berkeredep. Ternjata, hampir pada setiap halaman terselip daun-daun emas!
Sementara itu, walaupun "kehilangan gabah karena gagal dalam usaha menangkap itik", didalam hati Thay-gak Soe-hiap merasa senang, karena jakin sudah melaku-kan suatu perbuatan mulia. Kata Kay It Beng: "Si-sasterawan berkelana keseluruh peloksok negeri, dan ia pasti akan menjiarkan nama Thay-gak Soe-hiap jang harum....." Ia baru sadja men-jelesaikan perkataannja, ketika diluar hutan terdengar bunji kelenengan diantara derap kaki kuda jang datang dari arah selatan.
"Saudara-saudara," kata Siauw Yauw Tjoe. "Didengar djalannja, kuda itu pasti bukan sembarang kuda. Biar apapun jang akan terdjadi, kuda itu mesti dirampas.
Meskipun tak ada mustika, tunggangan itu dapat di-gunakan sebagai antaran guna memperkenalkan diri." "Benar," djawab Kay It Beng sambil membuka ikat pinggangnja. "Buka semua ikat pinggang untuk digu-nakan sebagai tali pen-djerat."
Empat ikat pinggang lalu disambung mendjadi satu, tapi sebelum mereka selesai
memasang djerat diantara dua .pohon besar, si-penunggang kuda sudah masuk
kedalam hutan. Melihat keempat orang itu jang sedang berdjongkok ditanah sambil memasang tali, ia menahan kudanja seraja menanja: "Lagi mem-buat apa kalian?"
Tanpa menengok Kay It Beng mendjawab: "Memasang djerat............" Perkataannja mati ditengah djalan dan ia kaget sendiri karena insjaf sudah kelapasan kata.Ia menoleh kebelakang dan melihat, bahwa si-penunggang kuda adalah
seorang wanita muda jang berparas tjantik, sehingga rasa kuatirnja segera
berkurang banjak.
"Perlu apa memasang djerat?" tanja si-nona pula.
Kay It Beng berbangkit dan menepuk-nepukan kedua tangannja untuk membersihkan debu. "Baiklah," katanja. "Karena kau sudah tabu, kami tak usah menggunakan tali itu lagi. Djika kau tahu diri, segeralah turun dan serahkan kudamu kepa-da kami. Thay-gak Soe-hiap pasti tak akan mengganggu seorang wanita jang
ber-djalan seorang diri, kami pasti tak akan. merusak nama kami sendiri."
Si-nona tertawa dan ber-kata: "Dengan merampas kudaku, bukankah kalian sudah ganggu seorang wanita?"
Kay It Beng termangu-mangu, tak dapat ia men-djawab pertanjaan itu. Un-tung
djuga kakaknja buru2 menolong. "Bukan begitu," kata Siauw Yauw Tjoe.
"Kami tidak mau meng-ganggumu. Kami hanja mengganggu seekor binatang."
Sambil memandang kuda itu jang tinggi-besar lagi garang, dengan pelana indah
dan lontjeng peraknja, semakin mengilar hati Siauw Yauw Tjoe.
"Tak salah," Kay It Beng menjambung perkataan kakaknja. "Djika kau menjerahkan tungganganmu, Thay-gak Soe-hiap pasti, tak akan mengganggu
selembar rambutmu. Orang seperti aku jang bergelar Pat-po Kan-sian Say-Tjoantjoe Tah-soat boe-heng............" "Sudah!" teriak si-nona sambil menutup telinganja dengan kedua tangannja. "Kalian tak mengenal aku siapa dan aku pun tak usah mengenal kalian. Bukankah begitu?"
"Mengapa?" tanja Kay It Beng dengan heran.
Si-nona bersenjum dan mendjawab: "Karena kita tidak saling mengenal, maka djika aku melakukan kesalahan apa2, Thia-thia (ajah) tak bisa mengomel. Hei! Bangsat ketjil jang bernjali besar! Madju semua!". Dengan suatu gerakan kilat, tahu-tahu kedua tangan si-nona sudah menggeng-gam sepasang golok. Ia menendang perut
kudanja dan selagi tunggangannja melompat kedepan, ia men-dekam diatas
punggung kuda. Kedua tangannja bekerdja, golok ditangan kanan membabat,
memu-tuskan tali pendjerat itu, sedang golok jang sebelah lagi menjambar kepala Kay It Beng.
"Tjelaka!" teriak It Beng sambil menangkis dengan pusutnja.
"Tjring!", pusut itu terbang dan menantjap di-dahan pohon. Hoa Kiam Eng dan Siang Tiang Hong segera menerdjang untuk menolong saudara mereka. Dengan
tenang, sinona memutar sepasang goloknja dan dalam sekedjap, kedua
"pendekar" itu sudah terdesak. Buru-buru Siauw Yauw Tjoe madju membantu dengan menggu-nakan pipa pandjangnja jang terbuat dari badja. Pipa itu
digunakan seperti Poan-koan-pit untuk menotok djalan darah musuh, tetapi karena Siauw Yauw Tjoe belum mahir, totokannja sering meleset.
Si-nona djadi merasa geli didalam hati dan sengadja membiarkan lututnja kiri
ditotok. "Setan penjakitan! Hiat (djalan-darah) apa jang kau totok?" tanjanja.
"Tiong-koei-hiat," djawab Siauw Yauw Tjoe. "Apakah kaki-tanganmu sudah lemas.
Lekas menjerah!"
"Huh! Tiong-koei-hiat bukan disitu!" edjek si-nona sambil tertawa geli, "Pukulanmu meleset dua dim kekiri."
"Tak mungkin!" kata Siauw Yauw Tjoe dengan kaget dan segera ia tjoba menotok lagi.
Sekali ini, si-nona tak berlaku sungkan. Dengan sekali menabas, pipa badja Siauw Yauw Tjoe dibuatnja djatuh ketanah. Sesudah itu, dengan tangan kanan
menggenggam kedua golok-nja, tangan kirinja menjam-bar leher badju Siauw
Yauw Tjoe, sedang kakinja menendang perut kuda, jang, sambil berpekik njaring, lalu melompat dan kabur keluar hutan. Badan Siauw Yauw Tjoe, jang ditjeng-keram belakang lehernja lemas seluruhnja dan ia tak dapat bergerak lagi. Melihat kakak mereka dibawa kabur, Kay It Beng bertiga segera mengedjar sambil berteriak-teriak.
Dalam sekedjap kuda itu sudah lari lebih dari satu li dan tubuh Siauw Yauw Tjoe sudah berlumuran darah akibat diseret-seret. "Kau menjengkeram Hong-tie-hiat, tentu sadja aku tak dapat melawan," katanja. Si-nona tertawa. Serentak
dihentikannja kudanja, ke-mudian ia melontarkan tawanannja. "Kau ternjata mengenal baik djalan-darahmu sendiri," katanja. Ia tertawa dingin kemudian, sambil menempelkan golok-nja dileher tawanannja ia membentak: "Kau sangat kurang adjar terhadap nona-mu, maka tak bisa tidak, kau harus dibunuh!"
Siauw Yauw Tjoe menghela napas. "Baiklah," katanja. "Aku hanja memo-hon supaja kau membatjok di Thian-tjoe-hiat, supaja aku tak usah merasakan sakit!".
Si-nona kembali merasa geli. Ia mengambil keputus-an untuk menggertak pula.
Goloknja diletakkan diantara Thian-tjoe-hiat dan Hong-tie-hiat, dibelakang leher,
"Disini?" tanjanja. "Salah! Nona salah!" teriak Siauw Yauw Tjoe. Keatas sedikit!
Satu tjoen dua hoen............"
Sesaat itu, Kay It Beng bertiga tiba disitu. "Nona!" teriak salah seorang. "Bunuhlah djuga kami ber-tiga.................."
"Mengapa kamu mengan-tarkan djiwa sendiri?" tanja nona itu.
Kay It Beng madju bebe-rapa tindak dan berkata dengan tenang: "Diwaktu Thay-gak Soe-hiap meng-angkat saudara, kepada Langit dan Bumi kami telah
mengatakan, bahwa biarpun kami bukan dilahirkan pada hari dan bulan jang sama, kami ingin mati bersama dalam sehari. Djika sekarang nona membunuh Toako,
kami bertiga tidak berani hidup terus. Oleh sebab itu, kami minta, supaja nona suka sekalian membunuh kami bertiga."
Sehabis It Beng mengutjapkan kata-katanja, mereka mendekati sang toako dan
meman-djangkan leher supaja si-nona lebih mudah me-nurunkan goloknja.
Si-nona mengangkat golok-nja dan bergerak seakan-akan hendak menabas. Kay It
Beng bersenjum dan tetap berdiri tegak. Golok jang sudah terangkat itu, perlahan2
diturunkan kem-bali. "Baiklah," kata nona itu. "Ilmu silat kalian tak seberapa tinggi, tapi kalian me-miliki pribadi jang sangat luhur. Kalian adalah laki2 sedjati dan aku tak dapat membunuh seorang gagah." Sehabis berkata begitu, ia memasukkan
kedua goloknja kedalam sarung.
Bukan main girangnja Thay-gak Soe-hiap. "Bolehkah aku mengetahui she dan
nama nona jang mulia?" tanja Kay It Beng. "Nama itu akan di ngat selama-lamanja oleh Thay-gak Soe-hiap, supaja dibe-lakang hari kami bisa mem-balas budi nona
jang sudah mengampuni djiwa kami."
Mendengar mereka tanpa malu-malu terus menamakan diri sebagai "Thay-gak
Soe-hiap," si-nona tak bisa mena-han rasa gelinja lagi dan ter-tawa terbahak-bahak. "She dan namaku tak perlu dike-tahui kalian," djawabnja. "Se-baliknja, akulah jang ingin bertanja: "Mengapa kalian menghendaki tunggangan-ku?"
Djawab Kay It Beng: "Tahun ini, Shagwee Tjee-tjap (tgl. 10 Bulan Tiga) adalah hari ulang-tahun ke-limapuluh dari Tjin-yang Tay-hiap Siauw Poan Thian........."
"Kalian kenal Siauw Looeng-hiong?" si-nona me-mutuskan perkataan orang dengan nada terperandjat.
"Kami belum mengenalnja, tapi merasa kagum akan namanja jang termashur,"
djawabnja. "Kami telah mengambil keputusan untuk memberi selamat pandjang umur, tapi... sungguh mema-lukan.... kami tak punja apa2 untuk didjadikan barang antaran...... maka ........"
"Hm! Djadi, kamu ingin merampas tungganganku untuk didjadikan barang antaran, bukan?" kata si-nona sambil tertawa. "Gampang!" Ia mentjabut sebatang tusuk konde emas dari rambutnja dan berkata pula: "Ambil ah ini! Inilah hadiahku kepada kalian. Mutiara ditusuk konde ini berharga tjukup besar. Kau boleh
menggunakannja sebagai barang antaran dan Siauw Loo-enghiong pasti akan
merasa girang." Begitu tusuk konde itu disambuti Kay It Beng, ia mengedut kendali kudanja dan tung-gangannja itu segera kabur bagaikan terbang.
Mutiara itu ternjata bundar, besar dan bersinar terang. Sekalipun seorang jang tak mengenal batu permata pasti bisa menduga, bahwa mutiara itu berharga besar
sekali. Thay-gak Soe-hiap mengawasi tusuk konde itu dengan mendelong, tanpa
mengeluarkan sepatah kata.
Nona itu duduk dalam sebuah kamar di-hotel Hoen An dikota Kam-teng-tin. Diatas medja terdapat se-buah potji ketjil berisikan arak Hoen-tjioe jang tersohor diseluruh Tiongkok. Kam-teng-tin terletak diantara Leng-hoen-koan dan Ang-tong-koan,
pusat pembuatan arak Hoen-tjioe jang terkenal sedap. Ia menghirup dua kali.
Pedas dan pedih dilidah terasanja. Mana boleh enak"
Mengapa Thia-thia begitu dojan arak itu"
Thia-thia sering berkata: "Anak perem-puan tak boleh minum arak." Sekarang, selagi berkelana sendiri, tak boleh tidak, sedikitnja, ia harus meng-habiskan sepotji penuh. Tetapi sungguh tak mudah baginja untuk menghabiskan sepotji penuh.
Baru dua hirupan, mukanja sudah terasa panas. Dikamar sebelah, para piauw-soe
sedang minum dengan gembira sambil berbitjara keras-keras, kadang2 diseling
dengan teriakan atau tertawa njaring.
"Pelajan! Ambil lagi tiga kati!" teriak seorang.
"Thio Toako, kita sekarang harus berhati-hati," kata se-orang lain. "Djangan minum terlalu banjak. Sesudah tiba di-Pakkhia, baru kita boleh mabuk-mabukan.
Tertawalah orang jang pertama. "Tjioe Tjong-piauw-tauw, kau terlalu hati2,"
katanja. "Lihatlah, empat gentong kosong itu. Hm!
Thay-gak Soe-hiap! Tapi kau sudah ketakutan setengah mati............
Pelajan! Lekas! Ambil lagi tiga kati."
Mendengar "Thay-gak Soe-hiap", si-nona tertawa geli. Rupanja, rombongan piauw itu djuga sudah berpapasan dengan "Empat-pendekar Thay-gak". "Aku takut apa?"
kata si-Tjong-piauw-tauw dengan nada kemalu-maluan. "Mana kau tahu, aku
memikul tanggung-djawab jang luar biasa besarnja. Piauw duapuluh laksa
tahil perak tiada artinja, sedikitpun aku tak memikirkan uang se-begitu. Hm!
Sekarang aku tak dapat memberitahukan-nja kepadamu. Biarlah kelak, setiba kita di-Pakkhia, aku akan membuka rahasia."
"Tak salah," kata kawannja dengan nada mengedjek.
"Aku mana tahu. Mana kutahu. Huh-huh! Wan-yo-to! ...... Wan-yo-to!......"
Mendengar "Wan-yo-to", si-nona terkedjut dan lekas2 menempelkan kupingnja di dinding supaja bisa mendengarkan lebih djelas lagi. Tapi dalam kamar sebelah itu sudah tak terdengar suara apa2 pula. perlahan-lahan ia membuka pintu dan
mende-kati djendela kamar para piauw-soe itu.
"Bagaimana kau tahu?" bisik Tjioe Tjong-piauw-tauw. "Sia-pa jang membotjorkan rahasia" Saudara Thio, urusan ini bukan urusan ketjil." Ia ber-bitjara bisik2 dengan nada sungguh-sungguh. "Semua saudara jang berada disini sudah tahu
seluruhnja," djawab jang ditanja dengan suara tawar.
"Rahasiamu adalah rahasia umum. Hanja kau sendiri jang meng-anggapnja
sebagai rahasia besar."
"Siapa jang membotjorkannja?" tanja Tjioe Tjong-piauw-tauw dengan suara gemetar.
"Ha-ha-ha!" Thio Piauw-soe tertawa njaring. "Siapa" Siapa lagi, kalau bukan kau sendiri?"
Tjioe Tjong-piauw-tauw mendjadi semakin bingung. "Kapan" Kapan aku mem-buka rahasia itu?" tanjanja. "Djika kau tak mau mentjeritakan seterang-terangnja, aku tak mau mengerti. Saudara Thio, aku selama-nja belum pernah memper-lakukanmu
setjara kurang pantas..............."
"Tjioe Tjong-piauw-tauw," tjeletuk seorang lain."Kau tak usah bingung. Thio Toako tidak berdjusta. Kau sendi-rilah jang membotjorkan rahasiamu."
"Aku?" tegasnja dengan mata membelalak. "Aku" Mana mungkin?"
"Sedari kita meninggalkan See-an, setiap malam Tjong-piauw-tauw mengigau,"
kata orang itu. "Saban. malam kau selalu menjebut-njebut Wan-yo-to jang katanja harus diantar ke-Pakkhia............"
Semangat Tjioe Wie Sin terbang, ia berdiri terpaku dengan mulut terbuka lebar2.
Rahasia jang begitu besar telah dipetjahkan olehnja sendiri! Ia jakin, bahwa hal itu sudah terdjadi karena otaknja terlalu memikirkan Wan-yo-to, se-hingga didalam
pulas, tanpa sadar pikirannja bekerdja terus dan ia djadi mengigau. Sesudah
menetapkan hatinja jang berdebar keras", ia menjodja kepada rekan-rekannja dan berkata dengan suara rendah: "Aku memohon. supaja saudara2 tidak menjebut-njebut lagi Wan-yo-to. Malam ini, aku akan mengikat mulutku dengan sepotong
kain." Mendengar semua itu, bu-kan main girangnja si-nona jang memasang kuping didjendela. "Ditjari sampai sepatu besi rusak, masih tak akan bisa ditemukan, tapi didapatkannja tanpa mengeluarkan tenaga," katanja di-dalam hati. "Dalam mimpi-pun orang tak akan men-duga, bahwa Wan-yo-to ber-ada ditangan piauw-soe itu.
Hm! Aku ingin sekali me-ngetahui apa jang akan dika-takan ajah, djika aku membawa pulang golok mustika itu."
Nona itu she Siauw, namanja Tiong Hoei. Ajahnja bukan lain daripada Tjin-Yang
Tay-hiap Siauw Poan Thian jang namainja sangat terkenal dan mempunjai pergaulan luas dalam dunia Kang-ouw. Sebulan sebe-lumnja, ia telah mendengar,
bahwa Wan-yo-to jang sudah lama hilang telah di-temukan kembali oleh Tjoansiam Tjongtok Lauw Ie Gie. Ia tahu, bahwa dalam se-pasang golok mustika itu tersembunji suatu rahasia besar dan katanja, siapa jang memilikinjabisa men-djadi seorang gagah jang tiada tandingannja dikolong langit.
Pada djaman itu, Tiongkok sedang didjadjah oleh bang-sa Boan dan segenap
penjinta negeri berangan-angan merobohkan peme-rintah Tjeng danmengembalikan tanah-air kepada bangsa Han. Siauw Poan Thian berpendapat bahwa djika
rahasia Wan-yo-to dja-tuh kedalam tangan kaizar Tjeng, maka kaisar itu akan
mendjadi ibarat harimau jang bertambah sajap dan dapat berbuat lebih sewenangwenang terhadap rakjat.
Sebagai pemimpin Rimba Persilatan wilajah Siamsay dan Shoasay dan sebagai
seorang jang masih mem-punjai sangkut-paut sangat rapat dengan golok mus-tika
itu, segera djuga ia me-ngambil keputusan untuk merebutnja.
Ia menaksir, bahwa Lauw Ie Gie akan mengirim golok itu kekota radja untuk
diserahkan kepada kaizar. Menurut peda-patnja, daripada tjoba meram-pasnja
digedung Tjongtok di See-an jang terdjaga kuat, lebih baik mentjegatnja di-tengah djalan. Tapi Lauw Ie Gie adalah se-orang pintar lagi litjik. Sesu-dah mendapatkan golok itu, berulang-ulang ia mengirimutusan atau rombongan utus-an kekota radja, dan me-njiarkan berita, bahwa mereka dikirim untuk membawa ba-rang antaran
kepada kaizar. Dengan demikian, para orang gagah jang tjoba mentjegatnja berkali-kali djadi
ketjele. Untuk mewudjudkan keingi-nannja, Siauw Poan Thian segera menggunakan siasat
lain. Ia mengirim Eng-hiong-thiap (surat undangan) ke-pada orang2 gagah
dipropinsi Siamsay, Shoa-say, Hopak dan Shoatang untuk meng-undang mereka
menghadiri perajaan dari ulang tahunnja jang ke-limapuluh. Pada surat unda-ngan itu dilampirkan surat tambahan jang me-minta supaja sahabat2nja berusaha untuk menjelidiki dan merebut Wan-yo-to. Tak usah dikatakan lagi, bahwa tambahan itu hanja dilam-pirkan kepada surat undang-an untuk sahabat2nja jang kedjudjurannja sudah dike-nalnja baik2. Ia jakin, bahwa djika rahasia itu botjor, bukan sadja Wan-yo-to tak bisa direbut, tapi djiwa orang jang menerima Eng-hiong-thiap pun bisa melajang.
Begitu mengetahui niat ajahnja, Siauw Tiong Hoei segera mengadjukan permohonan mentjoba2 peruntungannja. Ketika Siauw Poan Thian memerintahkan
murid2nja membawa surat undangan keperbagai tem-pat, si-nona mau mengikut.
Ketika sang ajah mengirim orang untuk mentjegat golok itu ditengah djalan
Samsay, ia pun mau mengikut. Tapi Siauw Poan Thian selalu menggelengkan
kepala dan berkata: "Tidak boleh!" Djika ia mendesak terlalu keras, ajahnja lantas sadja berkata: "Tanja Toa-ma, tanja sadja Mama."
Siauw Poan Thian mem-punjai dua isteri, jang per-tama she Wan, jang kedua she
Yo. Biarpun Tiong Hoei dilahirkan oleh Yo Hoedjin, tapi Wan Hoedjin menja-jangnja bukan main dan memperlakukannja seperti anak kandung sendiri. Djika ibunja
sendiri jang melarang, ia masih berani membantah. Tapi kalau larangan itu datangnja dari Wan Hoedjin, jang dipanggilnja Toa-ma, ia tak berani banjak bitjara lagi. Wan Hoedjin memperlaku-kannja dengan. Penuh tjinta, tetapi tegas, sehingga sedari ketjil ia tak berani mem-bantah perkataan Toa-ma.
Sesungguhnja demikian, soal merebut Wan-yo-to mempunjai daja penarik jang
sangat hebat. Setiap hari ia membajangkannja. Usaha itu penuh bahaja dan
djusteru karena besarja bahaja itu, daja penariknja djadi sema-kin besar. Achirnja ia tak dapat me-nahan kehendak hatinja lagi. Pada suatu malam, ia me-nulis surat untuk ajahnja, Toa-ma dan Mama. Kemu-dian ia meninggalkan Tjin-yang dengan
diam2 me-nunggang seekor kuda. Di-tengah djalan ia bertemu dengan Thay-gak
Soe-hiap dan dirumah penginapan, setjara kebetulan ia men-dengar pembitjaraan
antara para piauw-soe itu.
Sesudah berdiri beberapa lama dimuka djendela itu, dan tak bisa mendapat keterangan lain jang penting, Siauw Tiong Hoei segera hendak kembali kekamarnja
sendiri. Tetapi, ketika baru dua langkah ia berdjalan, dari dalam kamar seberang jang dipisahikan sebuah tjim-tjhe, mendadak terdengar bunji sendjata beradu.
"Benar-benar kau mau ber-kelahi?" demikian terdengar teriakan seorang lelaki.
"Kau kira aku main2?" ter-dengar suara seorang wani-ta. Bunji sendjata beradu itu menghebat dan didjendela kamar itu terlihat dua ba-jangan hitam, bajang2 seorang laki2 dan seorang pe-rempuan, jang sedang ber-tempur dan sama2 menggunakan golok. Serentak rumah penginap-an itu mendjadi katjau balau. Para tamu jang njalinja
ketjil menutup pintu rapat-rapat dan tidak berani keluar. "Semua orang tetap pada tempat pendjagaannja!" seru Tjioe Wie Sin. "Siap-sedia mendjaga semua kereta piauw. Djangan terpedajakan tipu memantjing harimau keluar dari
gunung."Mendengar komando Tjioe Wie Sin, Siauw Tiong Hoei bersenjum. "Tolol benar piauw-soe itu," pikirnja. "Apa-kah dia tak bisa men-dengar, bahwa kedua orang itu tengah berkelahi mati-mati-an" Sajang dia tidak keluar dari kamarnja.
Kalau dia ke-luar, aku bisa menggunakan kesempatan ini untuk mentjuri Wan-yoto." Kelika berpaling lagike-djendela itu, si-nona melihat wanita itu sudah terdesak dan harus berkelahi sambil mun-dur, didesak terus oleh lawan-nja. Darah ksatria Tiong Hoei lantas sadja meluap. "Hm! Pendjahat itu tentu mau. Ber-buat kurang adjar,"
pikirnja. "Aku tak dapat tak tjampur-tangan." Tetapi, ketika baru sadja akan.
bergerak, ia sudah mendapat pikiran lain. "Takbisa! Djika aku turun-tangan, kawanan piauw-soe itu tentu akan bertjuriga dan aku tak bisa lagi mentjuri Wan-yo-to," katanja didalam hati.
Karena berpikir begitu, maka sedapat mungkin ia menahan napsu amarahnja.
Sementara itu, pertem-puran sudah djadi semakin seru dan kedua orang itu saling mentjatji dengan menggunakan bahasa da-erah Shoatang selatan jang tidak
dimengerti si-nona."Fui! Perempuan bawel!" seru Lim Giok Long. Siauw Tiong Hoei tak kuat mendengar pertjektjokan itu lebih lama lagi. Sambil menutup kedua
kupingnja, ia berlari-lari.
Si-nona kabur bagaikan kalap. Dunia jang berusan sadja indah dan terang luar
biasa, sekarang berubah mendjadi sempit dan gelap. Selagi kabur sekeraskerasnja, tiba2 ia bertubrukan dengan seorang lain, jang lantas terguling. "Tjelaka!
Mungkin dia terluka hebat," katanja didalam hati sambil tjoba membangunkan orang jang djatuh itu.
Mendadak ia merasakan lengan kirinja kesemutan karena nadinja ditjengkeram
orang. Ia mengawasi dan setjara wadjar tangan kanannja menghantam orang itu.
Tapi dengan suatu gerakan Kin-na-tjhioe (ilmu menangkap dan menjengkeram),
orang itu sudah menjengkeram djuga nadi tangan kanannja.
Sekarang si-nona tahu, bahwa orang itu bukan lain daripada Toh Thian Hiong.
Sambil tertawa terbahak-bahak, ia berseru: "Wie Sin, ambil dulu jang satu!". Tjioe Wie Sin segera menghampiri dan merampas Wan-yo-to pendek jang tergantung
dipinggang si-nona.
"Nama Siauw Poan Thian menggetarkan seluruh dunia Kang-ouw dan hari ini
adalah hari ulang-tahunnja jang kelimapuluh, sehingga didalam gedungnja tentu
berkumpul banjak sekali orang jang berkepandaian tinggi," kata Toh Thian Hong.
"Wie Sin! Apakah kau berani menjateroni gedung keluarga Siauw untuk merebut pulang Wan-yo-to pandjang?".
"Dengan mengandalkan keangkeran Soesiok, biarpun mesti masuk kedalam
sarang harimau, teetjoe pasti tak akan menolaknja," djawab si-keponakan murid.
Toh Thian Hiong mengeluarkan suara dihidung dan mengedjek: "Hm! Anak tolol!
Segala apa harus mengandalkan Soesiok!" Pada hakekatnja, Toh Thian Hong
adalah seorang jang sangat sombong dan selama hidup, ia djarang sekali bertemu dengan tandingan. Tapi sesudah dikalahkan oleh Wan Koan Lam dan Siauw Tiong
Hoei dengan ilmu golok Hoe-tjee To-hoat, njalinja mendjadi tjiut. Sekarang setjara tidak terduga, ia berpapasan dengan Siauw Tiong Hoei dan diluar dugaan pula, ia sudah berhasil menawannja. Ia mendjadi girang bukan main, karena bukan sadja
ia boleh tak usah takut lagi kepada Wan Koan Lam, tapi dengan si-nona berada
dalam tangannja, biarpun dalam gedung keluarga Siauw terdapat banjak orang
pandai, Siauw Poan Thian pasti tak akan berani melawan dan akan segera
menjerahkan Wan-yo-to jang sebilah lagi.
Demikianlah, dengan paras ber-seri2, ia menggiring tawanannja menudju
kegedung keluarga Siauw dengan sepasukan polisi dari kantor Tiekoan dan
rombongan piauw-soe dari Wie Sin Piauwkiok. Begitu membatja kartjis nama
dengan huruf2 "Toh Thian Hong", Siauw Poan Thian terkesiap dan berkata:
"Undang ia masuk!"
Beberapa saat kemudian, sambil membusungkan dada dengan sikap angkuh, Toh
Thian Hiong masuk kedalam ruangan tengah. Siauw Poan Thian madju beberapa
tindak untuk menjambut tamunja. Tiba2 sadja ia mengawasinja dengan mata
membelalak. Dibelakang tamu itu berdjalanlah puterinja sendiri dengan kedua
tangannja ditelikung kebelakang, sedang seorang jang bertubuh tinggi-besar
membuntutinja sambil menempelkan udjung Wan-yo-to pendek dipunggung Siauw
Tiong Hoei. Tapi Siauw Poan Thian adalah djago kelas berat jang sudah kenjang selulup-timbul dalam gelombang dan badai hebat. Biarpun djantungnja berdebar keras, mukanja
sedikitpun tidak berubah. "Aku sungguh merasa malu, bahwa pada hari ulang-tahunku, seorang dusun, Sie-wie Taydjin sudah memerlukan untuk datang
berkundjung," katanja sambil membungkuk. Selama berada di-istana kaizar, sudah lama Toh Thian Hiong mendengar nama-besar Siauw Poan Thian. Melihat tuan
rumah jang berparas angker, bertubuh kekar, berkumis dan berdjenggot, diam2 ia mengakui, bahwa Siauw Poan Thian memang bukan sembarang orang.
Sambil mengangkat tangan kanannja, ia berkata: "Berhubung dengan hari shedjit Siauw Tayhiap, aku sengadja datang kemari untuk memberi selamat. Untuk
kelantjangan itu, aku memohon supaja Tayhiap sudi memberi maaf."
"Bagus! Bagus!" kata Siau Poan Thian sambil tertawa. Sehabis berkata begitu, ia mengangsurkan tangannja untuk mendjabat tangan tamunja. Dengan berbareng
mereka mengerahkan Lweekang mereka dan dengan berbareng pula, lengan
mereka terasa sakit dan separuh badan mereka kesemutan. Dari pertandingan
tenaga itu, masing2 pihak mengetahui, bahwa Lweekang mereka kira2 setanding.
Mereka sama2 mereasa heran, tapi keheranan Toh Thian Hiong adalah lebih besar
dari keheranan Siauw Poan Thian. Dalam kedudukannja jang sangat tinggi dalam


Sepasang Golok Mustika Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rimba Persilatan, ia mempunjai dua gelar, jaitu Tin-thian Sam-sip-tjiang (Tigapuluh pukulan tangan jang menggetarkan langit) dan Ouw-yan Sip-pat-pian (ilmu bersilat pian jang mempunjai delapan-belas djalan dari Ouw-yan Tjan)..
Tin-thian Sam-sip-tjiang hanja dapat ditandingi dengan ilmu Hoen-goan-boe (ilmu jang meliputi seluruh alam). Dan ilmu jang barusan digunakan Siauw Poan Thian
bukan lain daripada Hoe-goan-boe. Jang paling mengedjutkan dan mengherankan
jalah: Ilmu Hoen-goan-boe hanja bisa dijakinkan oleh seorang jang mempunjai
tubuh Tong-tjoe-sin (tubuh djedjaka, belumpernah menikah). Seseorang jang
memilikinja – tak perduli laki2 atau perempuan – akan kehilangan ilmunja begitu lekas ia menikah.
Dipeladjarinja sukar bukan main, hilangnja mudah sekali. Itulah sebabnja,
mengapa dalam Rimba Persilatan, djarang sekali orang mau mempeladjari ilmu
tersebut. Bagaimana Toh Thian Hiong tak mendjadi heran" Ia tahu, bahwa Siauw Poan
Thian mempunjai dua isteri, isteri tua dan bini muda, sedang puterinja sudah
remadja. Bagaimana tjaranja, sehingga ia mampu mempertahankan ilmu Hoen-goan-boe"
Inilah sungguh2 satu keanehan dalam dunia persilatan. Melihat keadaan si-nona, bukan
main kagetnja Wan Koan Lam. Sesudah dapat menenteramkan hati, dengan
berindap-indap ia mengambil djalan berputar dan muntjul dibelakang rombongan
piauw-soe. Baru sadja ia berpikir untuk menerdjang guna menolong, tiba2 Toh
Thian Hiong jang ternjata mempunjai mata sangat awas, membentak dengan suara
keras: "Orang she Wan! Djangan bergerak kau!" Ia menengok kepada keponakan muridnja seraja berkata pula: "Wie Sin! Djika ada jang bergerak, tikamkan golok itu kepunggung si-botjah."
Diantjam begitu, tentu sadja Wan Koan Lam tak berani bergerak pula. "Siauw Tayhiap," kata Toh Thian Hiong, "orang terang tidak bisa main gelap2an.
Kedatanganku hari ini mempunjai dua maksud, pertama adalah untuk memberi
selamat pandjang umur kepada Tayhiap dan kedua untuk menukarkan mustika
jang tak ternilai harganja dengan mestika lain jang sama harganja." "Aku seorang bodoh dan aku tak mengerti maksud Taydjin," kata tuan rumah. Kedua mata Toh Thian Hiong jang putih terbalik dan ia mengawasi Siauw Poan Thian dengan
matanja jang wadjar. Ia tertawa seraja berkata: "Mustika ditanganku jang tak ternilai harganja adalah puterimu. Mustika jang ditanganmu dan berharga sama
tingginja jalah Wan-yo-to.
Dengan Siauw Tay-hiap, aku sama-sekali tidak bermusuh. Pengharapanku satusatunja adalah supaja kami bisa menjerahkan sepasang golok itu kepada Hongsiang, guna menolong djiwa sedjumlah keluarga. Aku mengharapkan, aku
memohon, agar Tayhiap suka bermurah hati dan sudi menolong djiwaku." Sehabis berkata begitu, ia menekuk sebelah lututnja sebagai suatu pemberian hormat. Ia berbitjara dengan kata2 merendah, tapi siapapun bisa mendengar bahwa nadanja
penuh kesombongan. Dengan sebelah tangannja, Siauw Poan Thian menekan
belakang kursi. "Brak!", kursi itu berantakan!
"Mengapa Toh Taydjin jang namanja menggetarkan Rimba Persilatan, hari ini djadi begitu tolol?" katanja seraja tertawa. "Wan-yo-to tidak berada dalam tanganku dan nona itu pun bukan puteriku. Apakah soerang jang mejakinkan Tiong-tjoe-kang
Hoen-goan-boe bisa mempunja anak?"
(Tiong-tjoe-kang berarti ilmu silat jang hanja bisa dinakinkan oleh seorang jang tidak pernah menikah). Sambil berkata begitu, ia mengebaskan lengan badjunja
dan kesiuran angin jang dashjat lantas sadja menjambar, sehingga Toh Thian
Hiong buru2 berkelit. "Tak salah! Pukulan ini memang benar pukulan Tong-tjoe-kang Hoen-goan-boe," katanja didalam hati.
Orang jang terpukul paling hebat karena perkataan Siauw Poan Thian, adalah
nona Siauw sendiri. Sesudah mengetahui, bahwa Wan Koan Lam adalah kakaknja
sendiri, hatinja hantjur-luluh. Sekarang guna menolong djiwanja, sang ajah sudah tak mengakui dirinja sebagai anak. Maka itu, dengan hati seperti di-iris2, tanpa merasa ia berteriak: "Thia-thia!". Pada saat itulah diluar gedung terdengar teriakan2, sorak-sorai dan pekik kuda. "Djangan sampai pemberontak Siauw-Gie lari! Kurung! Djangan kasih dia lari!" demikian terdengar teriakan ber-ulang2.
Dilain saat, beberapa budjang dari gedung keluarga Siauw masuk dengan ter-birit2
dan berteriak: "tentara negeri mengurung gedung ini!"
Mendengar perkataan "pemberontak Siauw Gie", Toh Thian Hiong lantas sadja berteriak: "Bagus! Kalau begitu kau adalah pemberontak Siauw Gie jang sudah sedjak enambelas tahun ditjari Hong-siang!". Beberapa bajangan berkelebat dan empat Sie-wie melompat kedalam. "Toh Toako!" seru salah seorang, "Dialah pemberontak Siauw Gie. Mengapa Toako belum turun tangan?". Siauw Poan Thian tertawa ter-bahak2. "Sudahlah!" teriaknja.
"Enambelas tahun aku menjamar dan hari ini biarlah kamu melihat wadjahku jang aseli." Ia mengusap mukanja dan semua orang memandangnja dengan mata
membelalak. Keadaan dalam ruangan itu sebenarnja sudah katjau-balau. Tapi sekarang, pada
saat semua mata ditudjukan kepada Siauw Poan Thian tanpa berkesip, seluruh
ruangan djadi sunji-senjap. Muka Siauw Poan Thian jang tadi penuh dengan
brewok, sekarang berubah litjin lagi bersih. Tiba2 kesunjian dipetjahkan oleh
teriakan katjung Wan Koan Lam jang ber-lari2 masuk sambil menenteng dua
kerandjang buku: "Kongtjoe! Lekas lari!"
Melihat si-katjung dan kerandjang buku itu, mendadak Wan Koan Lam mendapat
serupa ingatan. Dengan tjepat ia mendjemput sedjilid buku tua jang lalu
dikebaskan. Berbareng dengan kebasan itu, dalam ruangan terbang me-lajang2 puluhan
lembaran emas jang tipis. Emas mempunjai daja penarik jang sangat besar.
Melihat emas, apapula lembaran2 emas itu terbang mendekat sendiri, hati semua
piauw-soe dan tentara Tjeng lantas sadja terpikat dan mereka melupakan
kewadjiban masing2 sekedjap, mereka berebut emas itu.
Wan Koan Lam terus mengebaskan buku tua itu, mengebas kearah Tjioe Wie Sin.
Tapi daja penarik lembaran2 emas itu ternjata tak tjukup kuat untuk menggerakkan hati Tjioe Wie Sin jang berat sekali kepada tanggung-djawabnja. Ia tahu, bahwa djika Wan-yo-to hilang, bukan sadja dia sendiri, tapi seluruh keluarganja akan mendapat hukuman berat. Melihat si Tjong-piauw-tauw tak tergerak hatinja, Wan
Koan Lam segera menimpukkan buku tua itu jang tepat mengenai muka Tjioe Wie
Sin. "Aduh!" teriak Tjioe Wie Sin, badannja bergojang2, Wan Koan Lam mengendjot tubuhnja dan menubruk. Melihat keponakan muridnja diserang, Toh Thian Hiong
melompat untuk menangkis serangan itu. Tapi baru bergerak, tiba2 ia merasa
iganja disambar dengan pukulan Hoen-goan-boe, sehingga ia terpaksa
mengurungkan niatnja untuk membantu Tjioe Wie Sin dan menangkis pukulan itu.
Begitu dua tangan itu kebentrok, tubuh Toh Thian Hiong dan Siauw Poan Thian
sama2 terhujung beberapa tindak. Sementara itu, dengan goloknja jang ditangan
kiri, Wan Koan Lam sudah berhasil memukul mundur Tjioe Wie Sin, sehingga
dengan tangan kanannja ia dapat membuka djalan darah Siauw Tiong Hoei jang
tertotok. Antara tamu2, sebagian ketjil jang njalinja tjiut sudah lari kabur, tapi sebagian besar jang terdiri dari sahabat2 Siauw Poan Thian, dengan serentak menghunus sendjata dan menjerang tentara Tjeng, sehingga suatu pertempuran hebat lantas sadja
terdjadi. Begitu lekas djalan darahnja terbuka, dengan sekali melompat Siauw
Tiong Hoei sudah berhadapan dengan Tjioe Wie Sin. Bagaikan kilat telapakan
tangan kanannja menjambar dan "plak!", kuping Tjong-piauw-tauw itu kena digampar.
Hampir berbareng, tangan kiri si-nona menjambar pergelangan tangan si-orang
she Tjioe dan dengan sekali menggentak, ia sudah berhasil merebut pulang Wanyo-to jang pendek.
Wan Koan Lam girang tak kepalang. "Hoei-moay!" teriaknja. "Tjeng-hong-in-pwee Hee-yauw-tay!".
Mata nona Siauw tampak merah, hampir2 air matanja mengutjur. "Apakah kita masih bisa menggunakan Hoe-tjee To-hoat?" tanjanja didalam hati.
Ia berdiam sedjenak dan matanja mengawasi keadaan disekitar situ. Ajahnja
sedang bertempur hebat melawan Toh Thian Hiong, semua kawan masing2 sudah
mempunjai lawan dan diantara begitu banjak orang, hanjalah Wan dan Yo Hoedjin
jang keteter dan sedang didesak keras oleh dua Sie-wie.
"Hoei-moay, lekas tolong ibu!" seru Wan Koan Lam.
Si-nona mengangguk dan mereka menerdjang dengan berbareng. Dalam satu
djurus dengan pukulan Pek-siauw-seng-lie Song-hong-beng ; salah seorang Siewie sudah terbatjok pundaknja dan roboh dengan menderita luka hebat. Dalam
djurus kedua, dengan menggunakan pukulan Keng-siauw-yoe-djin Gan-djie-giok
(Malam ini ada orang jang mukanja tampan bagaikan batu giok). Sie-wie jang satu lagi terguling sambil berteriak keras, karena terpukul gagang golok Siauw Tiong Hoei.
Bukan main hebatnja Hoe-tjee To-hoat! Kemanapun mereka menerdjang, disitu
pasti djatuh korban2, baik Sie-wie, maupun piauw-soe. Hoe-tjee To-hoat
mempunjai enampuluh pukulan, tapi baru mereka menggunakan separuhnja,
ketjuali Toh Thian Hiong, ruangan itu sudah bebas dari antjaman musuh, jang
ketinggalan hanjalah musuh2 jang menggeletak dilantai dengan terluka, sedang
jang lainnja sudah pada kabur.
Selain lihay, Hoe-tjee To-hoat mempunjai sifat lain jang sangat aneh. Ilmu golok itu mudah sekali melukakan orang, tapi sukar membinasakan musuh.
Setiap batjokan atau tikaman selalu mengarah bagian tubuh musuh jang tidak
berbahaja. Tafsiran satu2nja dari sifat aneh ini jalah: Kedua suami-isteri jang dulu menggubah Hoe-tjee To-hoat adalah pendekar2 jang berhati mulia, jang sungkan
mengambil djiwa manusia setjara serampangan.
Melihat Toh Thian Hiong masih berkutet terus dengan ajah mereka, dengan
serentak Wan Koan Lam dan Siauw Tiong Hoei lompat menerdjang. Dua batang
golong menjambar dengan berbareng, jang satu kearah pundak, jang lain kearah
lutut musuh. Dalam keadaan berbahaja, dengan tjepat Toh Thian Hiong mentjabut
pian badja jang dilibatkan dipinggangnja. "Trang!", udjung golok Wan-yo-to pendek jang ditjekal si-nona, somplak!
Dalam serangan itu, Wan Koan Lam dan Siauw Tiong Hoei telah menggunakan
pukulan Hie-kiat-siebong Tjay-kiauw-bok (Impian beruntung dipohon jang tinggi), salah-satu pukulan terlihay dalam Hoe-tjee To-hoat. Maka, biarpun golok si-nona tertangkis, tapi Wan-yo-to pandjang meluntjur terus dan tepat mengenai betis Toh Thian Hiong. Njali si-orang she Toh mendjadi tjiut. Sambil mengempos semangat, ia menghantam nona Siauw dengan telapakan tangannja dan selagi sinona
berkelit, ia mendjedjak kakinja dan badannja lantas sadja melesat keluar dari
djendela. Tanpa menengok lagi, ia kabur dengan mengambil djalan diatas genteng.
Sebenarnja pada waktu Toh Thian Hiong melompat, Wan Koan Lam dan Siauw
Tiong Hoei masih dapat merintanginja dengan pukulan Eng-hiong-boe-song Honglioe-say (Orang gagah jang tiada keduanja mendjadi menantu jang romantis), tapi karena udjung golok si-nona sudah patah, maka pukulan itu tak dapat digunakan
lagi. Melihat musuh sudah disapu bersih, sedang dipihaknja hanja tudjuh-delapan orang terluka enteng, Siauw Poan Thian lantas sadja berkata dengan suara njaring:
"Sahabat2! Tentara negeri sudah kabur, tapi kupertjaja tak lama lagi mereka akan menjateroni pula dengan kekuatan jang lebih besar. Tempat ini sudah tak dapat
didiami lagi dan djika sahabat2 setudju, marilah sekarang djuga kita mundur
kegunung Tiong-tiauw-san, guna berunding lebih djauh. Usul itu lantas sadja
disetudjui oleh semua orang.
Baru sadja Siauw Poan Thian merajakan pesta besar digedungnja jang indah,
sekarang ia mendjadi seorang buronan digunung belukar. Mereka – Siauw Poan Thian, Wan dan Yoe Hoedjin, Wan Koan Lam, Siauw Tiong Hoei, suami-isteri
Lim Giok Liong dan kurang-lebih duapuluh keluarga lain bersama murid2 mereka;
berkumpul didepan sebuah guha besar, mengitari api-unggun sambil membakar
daging binatang2 hutan.
Sambil mengawasi keluarganja dan kawan-kawannja, tangan kanan Siauw Poan
Thian membuat gerakan mengurut djenggot. Gerakan itu sudah mendjadi
kebiasaan selama
belasan tahun – setiap kali ia akan berbitjara, ia selalu mengurut
djenggotnja. Tapi sekarang, pada dagunja tidak terdapat lagi selembar djenggot. Ia tertawa dan kemudian berkata dengan suara terharu:
"Sahabat2, lebih dulu aku ingin menghaturkan banjak2 terima kasih atas setia-kawan kalian. Karena gara-garaku, kalian bersengsara ditempat ini. Sahabat2!
Siauw Gie sebenarnja adalah manusia biasa sadja. Tapi atas ketjintaan para
sahabat, aku telah diberi djulukan sebagai Siauw Poan Thian (Siauw si-Setengah Langit).
Sahabat2 sudah mengenal aku lama sekali, tapi kukira tiada jang tahu, bahwa aku sebenarnja seorang thay-kam!" Suasana ditempat itu, dimalam jang dingin itu, se-olah2 terkena pengaruh sihir. Semua orang terkesiap dan menatap wadjah
djagoan itu dengan mata membelalak. Thay-kam" Mereka hampir tak pertjaja
kuping mereka. Tapi paras Siauw Poan Thian kelihatan sungguh2, dedikitpun tidak memperlihatkan gujon atau main2. Wan dan Yo Hoedjin saling mengawasi dan
kemudian menunduk.
Sesudah berhenti sedjenak Siauw Poan Thian berkata pula: "Tak salah, sahabat2
djangan bersangsi. Aku, Siauw Gie, adalah seorang thaykam. Dalam usia enambelas tahun aku sudah mendjadi thaykam dan masuk keistana kaizar dengan
tudjuan membunuh kaizar Boan, guna membalas sakit hati mendiang ajahku.
Ajahku adalah seorang jang semasa hidupnja selalu memusuhi pendjadjah bangsa
Boan, tapi achirnja ia telah dibunuh mati. Sesudah ajah meninggal dunia setjara mengenaskan, tudjuh orang saudara angkatnja, dengan minum arak jang
tertjampur darah, telah bersumpah untuk membalaskan sakit hati itu.
"Tapi pengaruh dan kekuasaan kaizar Boan bukan main besarnja, sehingga
ketudjuh paman itu semuanja kena dibinasakan oleh kaki-tangannja. Dengan
demikian, sakit hati itu djadi semakin mendalam. "Kedjadian jang menjedihkan itu telah mendjadi bahan pertimbanganku. Aku insjaf, bahwa biarpun kubeladjar ilmu silat seumur hidupku, belum tentu aku bisa menjusul kepandaian ajah dan para
paman. Andai-kata kubisa menjusul, djuga masih belum tentu aku mampu
membalaskan sakit hati ajah. Oleh sebab itu, sesudah berpikir beberapa lama, aku mengambil keputusan untuk mendjadi thaykam guna mewudjudkan
pengharapanku jang satu2nja dalam dunia ini. Aku rela mendjadi manusia hinadina, asal sadja kudapat membalas sakit hati itu jang dalam bagaikan lautan."
Berkata sampai disitu, suara Siauw Poan Thian kedenganran parau dan semua
orang jang mendengarnja merasa kagum tertjampur terharu.
Sesaat kemudian, ia berkata pula: "Akan tetapi diluar semua perhitungan,
pendjagaan di stana kaizar bukan main kerasnja. Djangankan membunuh hongtee
(kaizar), sedangkan melihat muka hongtee sadja sudah bukan kedjadian gampang.
Belasan tahun, siang dan malam aku menunggu kesempatan, tapi kesempatan itu
tak kundjung tiba.
"Enambelas tahun jang lalu, pada suatu malam, setjara kebetulan aku mendengar pembitjaraan antara dua orang Sie-wie. Mereka mengatakan, bahwa kaizar telah
mengetahui, bahwa dalam dunia ini terdapat sepasang golok Wan-yo-to jang
mempunjai kasiat luar biasa, jaitu, siapa sadja jang bisa memilikinja, dia akan mendjadi manusia jang tiada tandingannja dikolong langit. Kedua golok itu berada dalam tangan dua orang gagah, jang satu she Wan, sedang jang lain she Yo.
Mendengar tjeritera itu, kaizar Boan lantas sadja menangkap seluruh keluarga Wan dan Yo untuk memaksa mereka menjerahkan sepasang golok tersebut. Tapi
mereka itu adalah orang2 gagah jang tulen dan mereka menghadapi kebinasaan
tanpa gentar sedikit djua. Sesudah membinasakan suami mereka, kaizar jang
kedjam itu terus menahan Wan dan Yo Hoedjin didalam pendjara istana." Waktu Siauw Poan Thian bertjerita sampai disitu, Wan dan Yo Hoedjin mengutjurkan air mata dengan derasnja dan mereka saling memeluk sambil menangis sedu-sedan.
Wan Koan Lam dan Siauw Tiong Hoei saling memandang, dengan perasaan duka
tertjampur girang.
Siauw Poan Thian menghela napas beberapa kali dan kemudian berkata pula:
"Dengan darah meluap-luap, aku mengasah otak. Achirnja aku menarik
kesimpulan, bahwa menolong kedua njonja itu adalah djauh lebih baik daripada
membalas sakit hati. Demikianlah, aku sudah berhasil membunuh empat orang
Sie-wie jang mendjaga kedua njonja itu dan achirnja berhasil pula menolong
mereka keluar dari istana kaizar. Aku sudah berhasil, karena keempat pendjaga
tersebut sedikitpun tak menduga, bahwa mereka akan diserang oleh seorang thaykam. "Tapi istana kaizar adalah sarang harimau dan dapat dimengerti, bahwa kami telah dikedjar sehebat-hebatnja. Dalam kekatjauan, kongtjoe dari Wan Hoedjin telah
hilang. Kedjadian ini sangat mendukakan hatinja dan selama belasan tahun, aku
terus-menerus berusaha untuk mentjarinja. Tak dinjana, berkat Belas-kasihan
Tuhan Jang Maha Esa, hari ini ibu dan anak bisa bertemu kembali. Apa jang lebih menggirangkan, jalah Wan Kongtjoe telah memiliki kepandaian jang sangat tinggi."
Ia berhenti sedjenak dan mengawasi si-nona. "Tiong Hoei," katanja dengan suara terharu. "Sekarang kau sudah berusia delapanbelas tahun. Waktu kita baru
bertemu, kau baru berusia dua tahun. Kau harus mengetahui, bahwa ajahmu
adalah Sam-siang Tay-hiap Yo Pek Tiong jang namanja menggetarkan seluruh
Rimba Persilatan."
Kedua orang muda itu segera menubruk dan memeluk masing2 ibunja. Hati
mereka penuh dengan perasaan duka dan terima kasih. Mereka berduka akan
nasib ajah mereka, berterima kasih untuk budi Siauw Poan Thian.
Dengan air mata berlinang-linang, Siauw Poan Thian mengawasi dua pasang ibu
dan anak itu jang sedang menangis sambil berpeluk-pelukan. Berselang beberapa
saat, sesudah dapat menenteramkan hatinja jang terharu, barulah ia melandjutkan penuturannja. "Sesudah kami kabur dari Pakkhia, kaisar Boan segera mengirim kaki-tangannja untuk menjelidiki dan membekuk kami. Untuk mengelabui kuping
dan mata kaki-tangan kaizar Tjeng, aku memakai kumis dan djenggot palsu,
sedang Djie-wie hoedjin tak merasa keberatan untuk menjamar sebagai isteriku.
Untung djuga, aku adalah seorang thaykam, sehingga sandiwara tidak sampai
menodakan nama Wan Enghiong dan Yo Enghiong jang harum." Bitjara sampai
disitu, Siauw Poan Thian ingat pula akan kegagahan kedua pendekar itu, sehingga air matanja kembali mengutjur deras dan semua orang jang melihat dan
mendengarnja, djadi turut merasa sedih.
"Kaizar Tjeng benar2 lihay," katanja pula. "Achirnja, dia berhasil djuga membongkar rahasiaku. Keadaan sudah mendjadi begini, tak perlu kita menjesal.
Apa jang kusesalkan jalah, bahwa kita hanja bisa merebut pulang sebilah Wan-yo-to. Wan-yo-to pendek, jang digunakan Hoei-djie, sudah pasti bukan jang tulen.
Golok mustika sebagai Wan-yo-to mana bisa dipatahkan dengan pian Toh Thian
Hiong" Sajang, sungguh sajang, kaki-tangan bangsa Boan itu berhasil melarikan
diri." Demikianlah penuturan Siauw Gie jang didengar dengan penuh perhatian oleh
semua orang. Sementara itu, daging jang sedang dibakar djadi semakin wangi.
Djim Hoei Yan jang perutnja sudah kerontjongan, tak bisa bersabar lagi. Ia
mentjabut pisaunja dan menusuk sepotong daging. Tiba2 sebelum daging itu
masuk kemulutnja, Lim Giok Liong menengok kearah si-nona – jang
sekarang harus disebut sebagai Yo Tiong Hoei – dan berkata dengan suara njaring: "Apa kukata" Kau pernah memberitahukan , bahwa ajah dan ibumu belum pernah bertjektjok dan aku mengatakan, bahwa suami-isteri jang tak pernah
bertengkar, bukan suami-isteri tulen, suami-isteri jang agak meragu-ragukan. Apa kukata" Dugaan Lim Toakomu ternjata tepat sekali."
Mendengar suaminja mulai membatjot, dengan mendadak Djim Hoei Yan
memasukkan daging jang tertusuk pisau itu, kedalam mulutnja. "Selamat gegares!"
bentaknja, "Tak perlu kau mengatjo belo!" Lim Giok Liong mau membalas, tapi mulutnja penuh. Selagi semua orang menangsal perut sambil merundingkan
tindakan jang harus diambil selandjutnja, tiba2 seorang murid jang mendjaga
disebelah luar, membentak: "Siapa?"
"Thay-gak Soe-hiap!" terdengar djawab dari luar itu. Yo Tiong Hoei tertawa geli.
Beberapa saat kemudian, muntjul ah Thay-gak Soehiap jang, dengan
menggunakan sekerat kaju, menggotong djala ikan jang sangat besar dan jang
berisikan serupa benda jang besar pula. "Thay-gak Soe-hiap, mustika apa jang digotong kalian itu?" tanja Yo Tiong Hoei sambil tertawa terpingkal-pingkal.
Dengan wadjah berseri-seri, Kay It Beng mendjawab: "Wan Kongtjoe, Siauw
Kouwnio, barusan kami telah pergi ke-Sungai Ouw-nie-ho untuk menangkap Pekhiat Kim-sian guna dipersembahkan kepada kalian sebagai hadiah pernikahan. Tak dinjana sebelum berhasil menangkap kodok mustika itu, seorang manusia, jang
lututnja terluka, masuk kedalam djala. Keadaannja pajah sekali dan begitu
melihatnja, Thay-gak Soe-hiap segera dapat mengenali, bahwa dia itu bukan lain daripada musuh umum kita, si-buta Toh Thian Hiong!
Maka itu, kami lalu membekuknja dan membawanja kemari untuk dipersembahkan
kepada Siauw Loo-eng-hiong."
Semua orang djadi sangat girang. Sesudah si-orang she Toh dikeluarkan dari
dalam djala, Wan Koan Lam meraba pinggangnja dan mengeluarkan sebatang
golok pendek, jang ketika ditjabut, mementjarkan sinar jang menjilaukan mata.
Golok itu adalah Wan-yo-to pendek jang tulen!. Wan Hoedjin memegang sepasang
Wan-yo-to itu, jang satu pandjang dan jang lain pendek, dengan air mata
bertjutjuran. Kedjadian2 dimasa lampau kembali terbajang didepan matanja.
Semua orang berhenti makan dan mengawasi njonja itu dengan terharu.
Sesudah kenjang memeras air mata, ia menghela napas seraja berkata: "Kaizar Tjeng mendengar, bahwa dalam kedua golok ini tersembunji rahasia besar dan
siapa sadja jang memilikinja akan mendjagoi dikolong langit, tanpa tandingan. Apa jang didengarnja memang tak salah. Tapi, andai-kata dia tahu rahasia itu, belum tentu dia bisa mendjalankannja. Sahabat-sahabat, lihatlah!". Semua orang segera mendekat dan mengawasi kedua golok mustika itu. Ternjata, diatas badan golok
Wan-to terukir dua huruf "Djin-tjia" (orang jang mulia) sedang diatas Yo-to terdapat dua huruf lain jang berarti "Boe-tek", (Tiada tandingan). "Djin-tjia Boe-tek"! Orang jang mulia tiada tandingannja! Tak salah!. Empat huruf itu memang merupakan
rahasia terbesar dikolong langit."
- TAMAT - Pendekar Laknat 5 Senyuman Dewa Pedang Karya Khu Lung Pendekar Super Sakti 20

Cari Blog Ini