Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl Bagian 1
" ~Tiga Mutiara Mustika ~
Karya : Gan KL Puncak kejayaan ilmu silat di Tiongkok ialah antara seabad
sesudah pendudukan Boan-djing, kala itu ilmu silat dari
berbagai cabang dan golongan sudah banyak mengalami
perubahan dan perbaikan-perbaikan, di daerah Yuyan (kini
Beijing) dan Kanglam (daerah selatan sungai Yang Tse) tidak
sedikit Kiam-khek (pendekar silat) yang muncul dari dunia
persilatan, mereka secara diam-diam bergerak di bawah tanah
dengan tujuan untuk menggulingkan pemerintahan Boandjing,
tetapi di samping itu juga ada perebutan pengaruh dan
pertempuran di antara berbagai cabang dan golongan ilmu
silat itu. Cerita ini dimulai pada zaman dua atau tiga belas tahun
setelah Kaisar Khong-hi naik takhta, ketika itu Ping se ong Go
Sam-kui dan Tjing lam ong Kheng Tjin-tiong, dua orang raja
muda bentukan pemerintah Boan-djing sendiri beruntun telah
angkat senjata memberontak, Kaisar Khong-hi sendiri telah
mengatur siasat untuk menggempur pemberontakan itu, ia
mengangkat Pangeran Lirkim sebagai Ping lam tjing go
tjiangkun atau Panglima besar penggempur ke selatan dan
pengamanan terhadap pemberontak (kira-kira seperti
komandan operasi militer pada zaman sekarang).
Di samping itu, ia juga mengirim berbagai pasukan dalam
jumlah besar yang dipimpin oleh Panglima-panglima
kepercayaannya yang lain untuk menduduki Hingtjiu dan
Gaktjiu. Demikian juga Jenderal-jenderal lainnya memasuki
Hantiong dan Hokkian sehingga merupakan garis
pengepungan. Di sisi lain, ia mengambil tindakan hukuman
mati terhadap semua bawahan dan sanak famili dua raja
muda pemberontak itu yang tinggal di kotaraja. Karena
tindakan Khong-hi tersebut, seketika seluruh negeri menjadi
gempar. Sesudah mengalami pertempuran selama setahun, gerakan
tentara Boan ternyata berhasil dengan baik, karena tak tahan
oleh berbagai pukulan yang dialaminya, tak lama kemudian Go
Sam-kui meninggal. Cucunya, Go Se-bwan, kemudian diangkat
oleh bekas bawahannya untuk menggantikan kedudukan sang
kakek, dan terus bertahan melawan tentara Boan di daerah
Ouw-lam. Di pihak lain, Kheng Tjin-tiong yang berkedudukan
di Hokkian telah bekerja-sama dengan The King yang pada
waktu itu berkedudukan di Taiwan, mereka merongrong
pemerintahan Boan dari berbagai penjuru pantai, tetapi tak
urung mereka pun terkepung hingga terpaksa bertahan di
suatu daerah yang sempit dan terpencil.
Karena pengaruh kerusuhan di tahun-tahun itu, di propinsi
Kangsay, Ouwlam, Ouwpak dan lain-lain, maka banyak kaum
gagah perkasa dari Kangouw (pengembara), pahlawan dari
berbagai perkumpulan gelap dan tidak terkecuali pula
golongan agama dan partai-partai liar yang mengambil
kesempatan itu untuk memperkeruh suasana. Mereka
menghadang dan merampas bahan-bahan makanan serta
menggempur pasukan pemerintah secara mendadak, bahkan
banyak pula yang berkeliaran merampok sini dan menggarong
sana. Panglima besar pasukan Boan-djing, Pangeran Lirkim,
mengetahui bahwa sisa-sisa pasukan pemberontak belum
dapat dibersihkan seluruhnya, maka ia menggunakan
kesempatan itu untuk menarik sebagian tentaranya guna
menyapu gerakan melawan Boan-djing di berbagai daerah itu.
Siapa saja asal dicurigai, tanpa ampun lagi segera ditangkap,
lalu dipenjarakan atau dibunuh.
Pejabat-pejabat militer bangsa Boan-tjiu memang
mempunyai pedoman: Daripada musuh lolos, lebih baik salah
membunuh atau bunuh dahulu perkara belakangan. Secara
kejam tidak sedikit rakyat bangsa Han yang sudah terbunuh,
dan mereka mati penasaran, jiwa manusia dipandang seperti
jiwa binatang belaka.
Di daerah selatan Kangsay, sekitar kabupaten Hinkok dan
Itoh, terkenal dengan pegunungannya yang bertanah tandus
dan miskin. Karena hari-hari yang dilewati dalam suasana
kacau dan musim paceklik pula, maka tak tahan lagi oleh
siksaan kelaparan dan kedinginan, rakyat dipaksa ke jalan
yang sesat, mereka menghimpun dan memperkuat
pengaruhnya sendiri-sendiri, di antaranya termasuk
gerombolan dari golongan agama dan partai-partai liar yang
paling kuat. Waktu itu justru yang berkedudukan di Kantjiu
(ibukota propinsi Kangsay) ialah Bok-tjan, terkenal sebagai
manusia yang kejam dan suka membunuh, sampai-sampai
bawahannya pun ikut-ikutan ketularan kesukaan atasannya
itu. Tiap hari pasti ada tawanan-tawanan dalam jumlah besar
yang dibunuh di atas bukit, di jalan raya pun sering kali
terlihat mayat tawanan yang dibuang dalam jumlah banyak.
Pada suatu hari. di jalan raya Itoh, ada sepasukan kecil
tentara dengan menggiring serombongan tawanan sedang
menuju ke Po-hong-nia (bukit Po-hong). Di antara rombongan
tawanan itu terdapat laki-laki dan wanita, bahkan diikuti juga
dengan anak-anak, jumlah seluruhnya ada kira-kira belasan
orang. Dari jauh terlihat bagaikan mayat hidup yang berjalan
lewat dengan menyeret langkahnya yang berat.
Kebanyakan dari tawanan laki-laki itu tanpa mengenakan
baju atau setengah telanjang hingga deretan tulang-tulang iga
mereka tertampak dengan jelas, sedang tawanan wanita
bermata cekung saking kurusnya, pakaian mereka pun begitu
kotor melebihi pengemis yang paling kotor sekalipun. Dengan
kaki telanjang tanpa sepatu, mereka berjalan di atas jalanan
pasir tandus yang tak berumput itu, karena panggangan sinar
matahari yang panas terik, kaki mereka menjadi lecet berair,
lidah mereka melelet dengan napas memburu seperti anjing
kehausan, tetapi di-mana mereka lewat tak ada sebatang
rumput pun yang tumbuh saking keringnya, apalagi untuk
mencari mata air.
Pengiring tawanan ini adalah sebarisan kecil serdadu Boantjiu,
mereka tidak paham bahasa Han. Pemimpinnya seorang
opsir rendahan yang berkumis hitam tebal, tiada hentinya dia
mengusap keringatnya yang bercucuran sambil duduk di atas
kudanya, meskipun dia bertopi lebar untuk mengalingi sinar
matahari, tetapi dia masih merasa seperti berjalan di tepi
gunung berapi saja, beberapa kali dia harus mengambil
gendul berisi air dan ditegukkan ke mulutnya.
Tiba-tiba di antara rombongan tawanan itu terdengar suara
jeritan, beberapa orang serdadu yang membawa golok besar
dan berjalan di depan segera berian ke bagian belakang.
Ternyata seorang wanita setengah umur yang berkaki kecil
di antara para tawanan itu mendadak jatuh pingsan, di
sampingnya seorang bocah perempuan berumur sekitar tujuh
atau delapan tahun sambil berlutut sedang berteriak-teriak
memanggil ibunya dan kedua tangannya tiada hentinya
menggoyang-goyang tubuh wanita tadi. Dalam pada itu, dari
rombongan itu seorang laki-laki yang kakinya masih menyeret
borgol yang kuat dan berat datang menghampirinya, waktu
menyaksikan wanita yang pingsan tadi, tak tahan lagi
beberapa tetes air matanya mengalir.
"Eng-ma (ibu Eng), mengapakah kau?" tanyanya.
Tetapi sudah tentu tak mungkin terdengar oleh wanita itu.
"Tarr!" tiba-tiba suara pecut kulit berbunyi, punggung si
lelaki tadi telah kena sekali cambukan, serdadu Boan-tjiu yang
menggiring di samping mereka sedang mencaci-maki dengan
bahasa mereka. Karena terkena cambukan itu, lelaki tadi tersungkur di
pinggir jalan, beberapa kawan setawanan yang berusia lebih
muda lekas maju membangunkan laki-laki itu, bagaikan srigala
menyalak, lelaki tadi sesambatan tanpa bisa mengeluarkan air
mata lagi, tiada hentinya ia menoleh memandang wanita yang
sedang pingsan itu.
Opsir bangsa Boan-tjiu itu segera memerintahkan
bawahannya untuk menyeret bangun wanita tadi dan matanya
dijelikan untuk diperiksa, serdadu yang diperintah itu terlihat
menggeleng kepala dan entah apa yang dikatakannya, setelah
mendapat perintah sekali lagi, segera ia mengangkat goloknya
dan memenggal kepala wanita itu, seketika tubuh wanita
itupun terguling. Bocah perempuan tadi menangis melolong
sambil berjingkrakan, sedang lelaki yang di depan tadi
mendadak berhenti sesambatan, ia mendongak memandang
dengan sepasang matanya yang merah berapi karena
gusarnya kepada opsir berkumis itu.
Setelah dekat magrib, rombongan 'mayat berjalan' yang
kehilangan kemerdekaan itu baru sampai di suatu sungai kecil
di bawah bukit, opsir berkumis segera memberi komando,
semua orang lantas berhenti di situ.
Serdadu-serdadu Boan-tjiu begitu melihat air sungai
langsung berlarian saling mendahului untuk minum
sekenyang-kenyangnya. Seorang tawanan juga seperti
kesetanan berlari hendak minum, tetapi segera ia dipapaki
dengan sebuah cambukan hingga jatuh menggelongsor, batok
kepalanya tertumbuk batu besar di pinggir jalan hingga pecah
dan otaknya berantakan, sebaliknya serdadu-serdadu Boantjiu
tertawa terbahak-bahak dan menendang ke samping
mayat tawanan itu, kemudian mereka membentak
memerintahkan semua tawanan untuk berjongkok. Setelah
opsir berkumis tebal itu sudah cukup mengaso, barulah ia
memperkenankan beberapa anak dari rombongan tawanan itu
untuk minum di tepi sungai.
Di tepi sungai penuh dengan tumpukan batu yang sudah
berlumut dan licin, seorang anak mencoba merangkak ke atas
sebuah baru, dengan tengkurap ia meraup air dengan
tangannya, karena kurang hati-hati, tiba-tiba ia terjungkal ke
bawah. Sungai kecil di pegunungan itu walaupun dangkal,
tetapi anak kecil yang terjerumus masuk bisa tenggelam juga.
Bocah yang terjerumus tadi muncul dua kali ke atas
permukaan air dan kemudian kerupukan di dalam air. Serdadu
Boan yang berdiri di tepi sungai bukan saja mereka tidak
lantas menolong, sebaliknya mereka malah merasa geli dan
tertawa terpingkal-pingkal.
Tiba-tiba terdengar suara "Plung," ada orang telah terjun
ke dalam sungai, dengan sekali gerakan orang itu berhasil
menolong bocah yang terjungkal ke sungai tadi dan terus
merangkak naik ke atas sebuah batu.
Waktu semua orang menegasi, penolong itu ternyata bukan
lain ialah bocah perempuan yang kehilangan ibunya itu,
rambutnya yang basah kuyup makin menunjukkan sepasang
matanya yang hitam bundar dan tampak menarik.
Melihat kejadian tadi, si opsir berkumis hitam tebal hanya
tertawa cekikikan, entah tertawanya ini sebagai pujian
terhadap keberanian bocah perempuan tadi atau mungkin
tertawa tanda setuju dengan bawahannya yang tadi hanya
berpeluk tangan saja melihat bahaya yang menimpa sang
bocah. Kemudian ia maju menarik bangun kedua tawanan cilik
tadi, sesudah itu ia memberi tanda memperbolehkan para
tawanannya yang sudah hampir mampus kehausan itu untuk
minum. Sudah tentu bukan main girangnya para tawanan itu,
seakan-akan ikan mendapatkan air. Mereka merendam kepala
ke dalam air sungai dan minum sepuasnya.
Pada waktu itu juga, beberapa serdadu di antaranya seperti
telah menemukan sesuatu, mereka berteriak-teriak menuju ke
atas bukit. Kiranya dari jalanan kecil di atas bukit itu ada dua
orang dusun sedang berjalan mendatangi, waktu mereka
melihat ada serdadu Boan, segera mereka mengkerut
menyembunyikan diri ke belakang batu-batu besar
pegunungan yang banyak terdapat di situ.
Dengan sebuah bentakan, si opsir berkumis itu memburu
dengan golok terhunus, dalam sekejap saja ia telah dapat
meringkus kedua orang tadi, ternyata kesemuanya adalah
kakek-kakek yang sudah berusia lebih dari setengah abad,
kepala mereka memakai caping, berbaju kain kasar dan
bercelana pendek biru yang sudah compang-camping penuh
tambalan di sana-sini. Tangan mereka menjinjing bakul dari
bambu yang sudah bobrok berisikan penganan berbentuk
bundar terbuat dari jagung, dan ada pula tempurung yang
berisi madu tawon. Waktu opsir itu memerintahkan
menggeledah tubuh mereka, namun sudah tidak menemukan
sesuatu barang lain lagi.
Sementara itu kedua kakek telah berlutut memohon
ampun. Opsir berkumis mengambil penganan dari jagung itu,
ia meremas beberapa di antaranya untuk diperiksa dan segera
dibuangnya ke tanah. Seperti kuatir kehilangan sesuatu, si
kakek menjemput penganan yang dibuang itu. Si opsir
mengamati mereka, tetapi tiada sesuatu yang mencurigakan,
ia memandang pula madu tawon yang ada di dalam bakul, tak
tahan lagi ia mengulur tangannya dan merebutnya, kemudian
ia menendang mereka agar pergi.
Kena ditendang dan roboh, dengan menahan sakit kedua
orang tua itu kemudian merangkak bangun dan setindak demi
setindak lantas berlalu.
Melihat mereka sudah pergi, si kumis mengulur jarinya dan
dicelupkan ke dalam madu tawon yang berada dalam
tempurung itu, kemudian dimasukkan ke dalam mulutnya,
agaknya rasanya manis enak, lantas ia perintahkan juga pada
serdadunya agar mengambil air bening dengan wadah
semacam tempurung, lalu ia mencampurkan sedikit madu
terus diminum. Serdadu-serdadu Boan-tjiu itu melihat opsirnya minum
dengan bernapsu dan terlihat nikmat sekali, mereka menjadi
mengiler, memang saat itu suhu udara terlalu panas, mereka
tentu ingin membasahi sedikit tenggorokan mereka dengan
madu tawon itu juga. Susah payah mereka menanti dengan
tidak sabar, baru sejenak kemudian tertampak si kumis
melambaikan tangannya, maksudnya tentu akan diberikan
kepada mereka untuk dibagi rata, maka tanpa perintah untuk
yang kedua kalinya secara beramai-ramai para serdadu itu
segera menyerbu tempurung madu dan saling berebutan,
keruan saja dalam sekejap madu tawon itu sudah tak tersisa
setetes pun. Sang surya telah tenggelam ke barat, rombongan orangorang
itu pun tiba di suatu tempat yang agak tinggi, dari jauh
mereka melihat ada asap mengepul, ternyata di depan mereka
terdapat sebuah dusun yang disebut Bho thau tjun.
Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Si kumis tadi mengeprak kudanya mendahului berjalan,
tetapi sekonyong-konyong terdengar kudanya meringkik, dan
si kumis terguling jatuh. Waktu serdadu bawahannya
bermaksud mendukungnya bangun dan memeriksa, terlihat
matanya mendelik dan dari mulurnya keluar busa. Keruan saja
seluruh rombongan menjadi gempar oleh kejadian yang
mendadak itu. Wakil pimpinan rombongan segera memerintahkan
mengawasi semua tawanan, tetapi dalam sekejap itupun ia
sendiri merasa kepalanya pening dan tak tertahankan lagi. Ia
masih sempat memandang bawahannya, namun serupa saja,
serdadu-serdadu itupun pada roboh terguling bergelimpangan,
terang mereka sudah terkena obat tidur.
Dalam pada itu dari belakang tanah tinggi itu terdengar ada
suara tertawaan orang yang terbahak-bahak, menyusul mana
lima atau enam orang laki-laki muncul, dua orang kakek yang
tadi didupak pergi termasuk di antara mereka, yang berjalan
di depan adalah seorang laki-laki tegap setengah umur,
tangannya mencekal golok, kepalanya memakai ikat kain
hitam, kedua lengannya telanjang, secarik angkin merah
mengikat di pinggangnya dan kakinya memakai 'tjhau-eh'
(semacam sepatu sandal terbuat dari rumput, dipakai oleh
rakyat petani di musim panas).
Setelah berhadapan dengan rombongan tawanan itu, lakilaki
tegap tadi memandang ke arah rombongan tawanan itu,
agaknya seperti hendak mencari seseorang di antara mereka.
Melihat lelaki tegap itu, si bocah perempuan tadi segera berlari
mendekat sambil berseru, "Teng-sioksiok, tia (ayah) berada di
sana!" Lalu tangannya yang kecil menunjuk ke arah tawanan yang
diborgol dan bermata merah berapi tadi. Laki-laki tegap itupun
segera menghampirinya sambil menyelipkan goloknya ke ikat
pinggang, ia merangkul orang itu sambil mencucurkan air
mata. "Oh, Pek-djiko, kau telah disiksa sampai begini rupa, hingga
aku hampir tak mengenalimu lagi!" katanya kemudian dan
terus saja ia melolos goloknya lagi untuk merusak borgol dan
rantai yang berada di rubuh orang itu.
Sementara itu, kawan-kawan yang datang bersamanya
dapat merebut semua toato atau golok besar dari para
serdadu Boan-tjiu, bagaikan memotong semangka dan
merajang sayur, dalam sekejap saja mereka sudah
membereskan semua serdadu musuh.
"Hai, saudara-saudara!" tiba-tiba orang yang dipanggil Pekdjiko
tadi berseru. "Ringkus dulu si anjing berkumis itu, jangan
biarkan ia mampus secara begitu mudah!"
Lelaki tegap itu segera menjawab dan ia maju sendiri untuk
meringkus si opsir berkumis tebal itu. Dalam pada itu jalan
besar itu tertampak telah didatangi pula serombongan orang.
"Djiko, jangan kaget, mereka adalah saudara-saudara
sekampung," seru lelaki tegap she Teng itu sambil berpaling
waktu melihat ada serombongan orang lain yang datang lagi.
Tidak berselang lama, rombongan yang baru datang itu
telah tiba pula, mereka semua membawa arit, pacul dan
kampak sebagai senjata, di samping itu mereka membeka!
pula sedikit makanan. Dari rombongan yang baru datang itu,
sekonyong-konyong seorang anak laki-laki kurus jangkung
berlari-lari ke depan si bocah perempuan tadi sambil
memegang kencang kedua tangannya.
"Eng-koh, kau tentu telah menderita," kata anak laki-laki
itu. "Tadi aku akan datang terlebih dahulu bersama mereka,
tetapi tia tidak mengizinkan."
Kemudian tanpa menghiraukan lagi pandangan mata orang
banyak, ia menarik bocah perempuan itu ke samping bakul
yang berisikan makanan, melihat itu dia terus bungkam tanpa
berkata kata, setelah ia mengamat-amati, barulah ia tahu
bahwa mukanya telah basah dengan air mata.
"He, apakah kau tidak enak badan?" tanya si bocah laki-laki
itu dengan heran.
Eng-koh menggeleng kepala.
"Ibuku telah meninggal!" jawabnya dengan singkat.
Karena perkataannya ini, lelaki tegap yang berada di
sampingnya pun sampai ikut terkejut.
"Bagaimana dengan Dji-ma" Betulkah dia telah meninggal?"
ia menoleh dan bertanya pada orang she Pek tadi. Baru kini ia
teringat bahwa di antara para tawanan itu memang betul tidak
terdapat ibu Eng-dji.
Saat itu juga di belakangnya timbul suara gedebukan,
ternyata orang yang dipanggil sebagai Pek-djiko itu telah jatuh
pingsan saking berdukanya. Dalam keadaan ribut itu, lekas
mereka berusaha menyadarkannya kembali.
Sementara itu hari sudah gelap, lelaki she Teng tadi
memberi perintah kepada kawan-kawannya, mereka melucuti
semua rantai dan borgol para tawanan dan memberikan
mereka masing-masing sedikit makanan, kemudian ia
memerintahkan pula mencopoti semua pakaian para serdadu
Boan-tjiu yang sudah mereka bunuh semua, mayatnya mereka
gotong dan dibuang di tempat sepi. Dengan hasil rampasan
senjata dan pakaian seragam yang tidak sedikit itu, barulah
kemudian mereka kembali ke kampung halaman dalam
keadaan gelap. Kiranya di dalam rombongan tawanan buangan itu, orang
yang dipanggil Pek-djiko tadi bernama Pek Ting-djoan,
seorang guru sekolah di Tjiok ge tjun, di tepi sungai Bwekang,
selatan Kangsay. Dalam ilmu sastra, Pek Ting-djoan
cukup mempunyai dasar yang baik, ia paham pula sedikit ilmu
silat. Di I jiok ge tjun atau kampung Tjiok-ge, ia cukup
terkenal dan disanjung oleh penduduk sekampung.
Dalam kampung Tjiok-ge itu terdapat pula seorang guru
silat yang bernama Teng Ling, tidak sedikit dari kalangan
muda yang menjadi muridnya. Dengan Pek Ting-djoan, dia
merupakan satu bun dan satu bu yang membuka sekolah di
satu tempat yang sama, oleh karena itu hubungan mereka
berdua sangat baik dan rapat. Mareka sama-sama mempunyai
jiwa patriot dan darah panas, di waktu senggang bila mereka
berkumpul, tentu yang mereka percakapkan ialah soal cara
bagaimana menghimpun semua pahlawan dan orang-orang
gagah dari seluruh negeri untuk bersama-sama bergerak
dalam pekerjaan yang maha besar itu.
Tiada sesuatu yang tak terkabul asal ada kemauan.
demikian kata peribahasa. Maka selang tidak lama mereka pun
sudah mendapatkan banyak kawan-kawan seperjuangan
setempat dan bergerak secara gelap.
Teng Ling mempunyai seorang putra bernama Hong-ko
atau lengkapnya Teng Hong-ko, ia terlahir dengan otak tajam
dan roman muka cakap. Istri Pek Ting-djoan, Pek Dji-ma. juga
melahirkan seorang putri dan diberi nama Eng-dji atau Pek
Eng-dji, usianya tiga tahun lebih tua dari Teng Hong-ko.
Kedua bocah itu masing-masing mengikuti orang tua mereka
belajar bun dan bu (ilmu sastra dan ilmu silat), di kala
senggang mereka selalu bermain bersama sebagaiman
umumnya di kalangan anak-anak.
Eng-dji berayah cendekiawan, sudah tentu soal membaca
ia jauh lebih banyak daripada Hong-ko, sebaliknya dalam hal
bermain silat, sudah tentu pula ia tak bisa menyamai Hong-ko,
oleh karena itu kalau sewaktu mereka berkumpul, tentu
mereka saling menukar pelajaran apa yang sudah mereka
dapat, dua sejoli cilik ini meskipun belum mengerti arti cinta
asmara, tetapi kalau sehari tak bertemu saja, mereka lantas
merasa kesal. Tahun itu, di daerah selatan Kangsay berjangkit suatu
penyakit dan bahaya kelaparan, kaum miskin banyak yang
menyingkir ke tempat lain untuk mencari nafkah, akibat dari
itu, di sekolah Teng Ling dan Pek Ting-djoan pun tinggal
tersisa dua-tiga orang murid saja, keruan ongkos penghidupan
mereka menjadi persoalan juga, dan justru pada saat itu ada
seorang hartawan dari kampung Tiang-sing-su yang berjarak
ratusan li (satu li kurang lebih seperempat kilometer) dari
kampung Tjiok-ge, telah menyuruh orang untuk mencari Pek
Ting-djoan agar ke rumahnya untuk memberi pelajaran
beberapa anak muridnya dengan uang jasa yang sangat
besar, sudah tentu Pek Ting-djoan menerima tawaran itu dan
ia segera berangkat ke tempat yang baru beserta anak
istrinya. Istri Teng Ling sudah lama meninggal, maka pada waktu
hendak berpisah, ia hanya membawa putranya, Hong-ko,
mereka mengantar hingga jauh. Kedua orang tua itu melihat
sepasang putra-putri cilik merasa berat untuk berpisah, secara
lisan mereka pun berjanji untuk mengikat tali perbesanan.
"Laute, menurut penglihatanku, sekolahmu pun tak
mungkin diteruskan lagi, lalu apa rencanamu selanjutnya?"
tanya Pek Ting-djoan.
"Memangnya Siaute justru hendak mengemukakan kepada
Hengtiang," sahut Teng Ling. "Beberapa hari berselang,
pahlawan dari He-ho-tje, Hoa Dji-tjun, telah mengajak Siaute
ke sana untuk memberi pelajaran silat kepada para
bawahannya, aku merasa bisa mendapat kemajuan juga di
sana, maka aku telah menerima ajakannya."
"Apakah yang kau maksudkan Hoa-djitjetju?" tanya Pek
Ting-djoan pula. "Orang ini walaupun betul seorang gagah,
tetapi kalau Laute ikut masuk ke dalam gerombolan mereka,
kelak kalau pembesar negeri mencium, waktu itu tak mungkin
kau bisa kembali lagi tinggal di Tjiok-ge-tjun."
"Djiko," sahut Teng Ling dengan tertawa. "Keadaan kini
kacau-balau, jiwa manusia tidak lebih berharga dari jiwa
binatang, seumpama kau hendak menjadi rakyat yang
prihatin, toh tidak jarang menjadi korban kaum pembesar
negeri yang sewenang-wenang, ditangkap atau dibunuh
sesukanya. Kabarnya belakangan ini tidak sedikit yang sudah
masuk ke dalam perkumpulan Thian te hwe dan Pek-lian-kau,
kita hendak bercokol di sini, sedikitnya kita harus
mendapatkan sandaran yang mempunyai pengaruh."
Pek Ting-djoan tidak menjawab, ia hanya manggut-manggut
saja tanda setuju dengan perkataannya, sambil bercakapcakap
sepanjang perjalanan, tidak terasa mereka sudah
berjalan lebih dari belasan li.
"Jauh-jauh mengantar, akhirnya harus berpisah juga,
biarlah Siaute kembali saja, harap Djiko dan Titli (keponakan
perempuan) bisa menjaga diri baik-baik!" ujar Teng Ling
akhirnya. Kemudian mereka berpisah dalam suasana haru.
Sesudah sampai di Tiang-sing-su, Pek Ting-djoan
memangku pekerjaannya yang baru sebagai guru pengajar
dari hartawan Ong Bing. Setelah agak lama ia tinggal di situ,
barulah ia mengetahui bahwa Ong Bing sebenarnya ialah
pemimpin Pek-lian-kau atau agama Teratai Putih, sebuah
perkumpulan rahasia dengan ajaran ilmu hitam, oleh anggotaanggota
dari perkumpulan itu di Kang-say dan daerah selatan,
Ong Bing disebut sebagai 'Thong-thian-kiu-tju' atau Dewa
penolong seluruh jagad.
Ong Bing sebenarnya adalah seorang hartawan yang kaya
raya di tempat itu, kekuasaan setempat tergenggam di dalam
tangannya, keh-ting (centeng) bawahannya saja sudah lebih
dari ratusan orang, oleh karena itu pihak pemerintah tidak
pernah menyangka dan mencurigai dia sebagai pemimpin
besar agama liar itu.
Tahun itu kebetulan juga Djing-ting (kerajaan Boan-djing)
menggerakkan tentaranya untuk menggempur pemberontakan
dua raja muda di daerah barat daya, justru daerah-daerah itu
sedang diamuk oleh paceklik dan bahaya kelaparan, maka
penderitaan rakyat jelata susah untuk dilukiskan, banyak
sekali rakyat yang telah diseret oleh tentara Boan dan
dijadikan Thian-hu (semacam romusa).
Di daerah selatan Kangsay, kaum Liok-lim-ho-kiat atau
orang-orang gagah dari golongan begal besar (Liok-lim adalah
nama lain dari kaum perampok dan begal) telah bersekongkol
dengan orang-orang agama dan partai-partai liar untuk
menghasut kaum miskin merampok dimana-mana sehingga
menerbitkan kekacauan setempat, dengan cara demikian
mereka memberi pukulan pada pasukan Boan secara tidak
langsung. Sementara itu di He-ho-tje, gerombolan bajak dari
Hoa Dji-tjun, sejak Teng Ling ikut masuk gerombolan mereka
dan melatih pengikut-pe-ngikutnya, mereka juga telah
mementang sayap dengan cepat dan giat, sampai kini
gerombolan ini sudah lebih dari dua ribu jiwa banyaknya,
meliputi pasukan sungai dan darat serta tersebar di sekitar
sungai Bwe-kang, mereka hanya menanti kesempatan untuk
bergerak. Setelah Teng Ling berada di He ho tje, tidak pernah ia
melupakan Pek Ting-djoan. Sang tempo lewat dengan cepat,
dan sudah tiba masa 'ikatan dinas' Pek Ting-djoan berakhir,
namun masih belum tampak yang tersebut belakangan ini
bersurat padanya. Sementara itu putranya, Teng Hong-ko, kini
sudah menginjak usia sebelas tahun, dalam hal ilmu silat
sudah banyak mendapat kemajuan.
Menunggu sesudah lewat tahun, Teng Ling lantas
membawa Hong-ko diam-diam kembali ke kampung mereka
yang dulu, Tjiok-ge-tjun, tetapi yang mereka dapatkan di
pedusunan itu hanyalah keadaan yang sepi-senyap, tiap pintu
rumah tertutup rapat. Waktu mereka mencari tahu, barulah
mengerti bahwa beberapa bulan ini sudah sering kedatangan
alat-alat negara untuk menangkap orang, banyak kaum muda
yang kuat telah berlari menyingkir ke tempat lain, yang masih
tertinggal hanyalah sedikit, itupun mereka yang sudah tua
reyot. Menyaksikan keadaan itu, perasaan Teng Ling tertusuk,
keesokan paginya ia lantas meninggalkan tempat itu bersama
putranya, mereka menuju ke Tiang-sing-su untuk mencari
kabar sahabat lamanya, Pek Ting-djoan.
Begitu memasuki kampung tujuan mereka, segera mereka
melihat keramaian yang luar biasa dalam kampung itu, orang
berjalan simpang-siur dan kian-kemari, di rumah-rumah
makan dan penginapan pun penuh berjubel dengan para
tetamu, ternyata banyak kaum hartawan dari tempat-tempat
di sekitar situ telah mengungsi semua kemari. Begitu Teng
Ling bertanya, segera ada orang membawa mereka ke rumah
keluarga Ong, di depan pintu mereka melihat penjagaan
bagitu keras, tidak berapa lama kemudian tertampak Pek
Ting-djoan mendatangi untuk menyambut mereka dan
menyilakan masuk dan duduk di suatu kamar baca.
Keadaan Pek Ting-djoan ternyata sudah banyak berlainan,
Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kalau dulu berkain kasar dan berbau miskin, maka kini
wajahnya gemuk dan bercahaya, kain pakaiannya sebangsa
sutra yang halus.
Di samping kamar baca itu, bergandengan dengan sebuah
paviliun yang berkamar susun, waktu Pek Dji-ma dan Eng-dji
mendapat kabar, mereka pun lantas datang menjumpainya.
Baru setelah itu Teng Ling mengetahui bahwa sesudah Pek
Ting-djoan mengajar di keluarga Ong, soal makan, tempat
tinggal dan pakaian semuanya terpenuhi secukupnya, maka
tak heran kalau ia tidak ingin kembali ke tempat asalnya lagi.
Di pihak lain, Eng-dji bisa bertemu dengan Hong-ko, ia pun
masih tetap serupa seperti sedia-kala, dengan menggandeng
tangan kawan ciliknya ini, ia bertanya panjang lebar.
"Semula setelah sampai di sini, aku hanya mengira sebagai
guru sekolah biasa saja," demikian tutur Pek Ting-djoan waktu
ditanya oleh Teng Ling tentang keadaannya setelah berpisah.
"Tetapi majikanku, Ong Bing, meladeni aku dengan sangat
menghormat dan serba kecukupan, malah telah
mengangkatku merangkap sebagai sekretarisnya, bisa
memperoleh kecocokan paham, hal ini sungguh di luar
dugaanku. Hiante, harap kau mau berdiam barang satu-dua
hari di sini, biar kita bisa mengobrol lebih banyak lagi tentang
keadaan kita sesudah berpisah."
Dan begitulah dua saudara yang berlainan she tetapi cocok
dan sepaham itu bercakap-cakap sepanjang malam di kamar
baca dalam kamar tidur itu.
"Hiante denganku adalah sahabat sehidup-semati, tiada
halangannya aku berterus-terang," Pek Ting-djoan berkata.
"Majikanku Ong Bing itu sebenarnya bukan lain ialah Thongthiankiu-tju dari Pek-lian-kau di daerah selatan Kangsay ini,
kini anggotanya sudah ada beberapa puluh ribu orang.
Terhadap diriku, majikan pun sangat menjunjung dan
menganggapku sebagai orang kepercayaannya, banyak
urusan besar yang ditanganinya selalu mengajakku untuk
dirundingkan, hakikatnya selangkah pun kami tidak pernah
berpisah, oleh karena itu sesudah masa dinasku berakhir
dalam tahun ini, aku masih ditahan terus untuk tinggal di sini."
Teng Ling terkejut oleh keterangan ini, ia tidak menduga
bahwa Thong-thian-kiu-tju yang tersohor di kalangan
Kangouw itu adalah Ong Bing, majikan sahabatnya ini, di
luaran orang ini terkenal pandai ilmu gaib dan ilmu hitam
(black magic). Kemudian ia pun menceritakan kepada Pek
Ting-djoan keadaan yang menyedihkan di kampung halaman
mereka dimana ia telah menyaksikan sendiri.
Sudah setahun lamanya mereka berpisah, maka asyik sekali
mereka bercakap-cakap sampai hampir mendekati pagi
mereka masih belum tidur.
"Djiko, apakah kau sudah masuk menjadi anggota Pek-liankau?"
tanya Teng Ling.
"Sebenarnya," jawab Pek Ting-djoan setelah berdiam
sejenak, "Setengah tahun yang lalu aku sudah bersumpah
darah di hadapan Tjo-su (pendiri agama mereka yang sudah
wafat) dan telah masuk menjadi anggota, kini jabatanku ialah
kim-su (kepala staf) kedudukanku hanya di bawah ketua dan
wakil ketua saja, peraturan dalam agama kami sebenarnya
sangat keras, menurut aturan tidak boleh dikatakan kepada
siapa pun maka harap Hiante suka menutup rahasia ini?"
Habis itu ganti ia yang bertanya tentang bagaimana
keadaan di pihak Hoa Dji-tjun di He-ho-tje, secara singkat
Teng Ling pun memberi keterangan seperlunya. Tiba-tiba
suara ayam jago berkokok di waktu subuh telah terdengar,
kuatir kalau didengar oleh orang di luar jendela, lalu Teng Ling
tidak meneruskan lagi ceritanya.
Esok paginya Pek Ting djoan mengajak Teng Ling
menjumpai Ong Bing di taman belakang rumah itu, di taman
itu penuh tumbuh-tumbuhan dengan tanaman yang rindang
dan terdapat panggung bertingkat. Usia Ong Bing sudah lebih
setengah abad. Ia mengenakan dandanan sebagai imam,
tubuhnya besar, kekar dan berjenggot cabang tiga, sinar
matanya tajam, di sampingnya berdiri empat orang kacung
yang memegangi hio-lo (tempat dupa) dan kipas bulu, serta
pengebut dan alat-alat seban gsanya.
Berhadapan dengan Teng Ling, Ong Bing ternyata sudah
tahu bahwa dia adalah tangan kanan Hoa Dji-tjun, agaknya
terhadap seluk-beluk keadaan di He-ho-tje ia banyak
mengetahui. "Kalau Teng-enghiong adalah sahabat baik Pek-heng,
urusan di sini harap suka menolong sedikit, sekembalinya
hendaklah lantas saling berhubungan," kata Ong Bing pada
Teng Ling. Teng Ling menjawab baik, dalam hati ia pun memuji
kecepatan kabar yang telah Ong Bing peroleh.
Sesudah tinggal beberapa hari, lalu ia berpamitan pada Pek
Ting-djoan, sementara itu, Hong-ko dan Eng-dji pun merasa
sayang harus berpisah kembali.
"Hong-ko, kau telah berjanji padaku Tian-ngo (bulan lima
tanggal lima) akan datang ke sini menonton pek-tjun, harap
jangan kau mendustai aku!" pesan wanti-wanti bocah
perempuan itu sambil mengusap air matanya yang meleleh, ia
mengantar sampai di luar kampung.
Sang tempo lewat dengan cepat, dalam sekejap saja musim
kering atau musim panas sudah tiba, sejak menginjak musim
semi, lepas dari biasa, tidak pernah setetes air hujan pun yang
turun, tanah sawah sudah retak pecah saking keringnya, di
daerah sekitar Hinkok, Lingtoh, dan Suikim, gerombolan
pengacau merajalela, bahkan rangsum militer pemerintah saja
kadang-kadang dicegat di tengah jalan. Oleh karena itu, dua
pejabat militer Boan-tjiu, Bok-tjiam dan Tju-boan oleh atasan
mereka telah diperintahkan mengadakan operasi terhadap
gerombolan pengacau itu di dusun-dusun tadi.
Dalam pada itu pembesar-pembesar Boan-djing sudah
mulai menaruh curiga terhadap gerak-gerik hartawan yang
kaya raya di Tiang-sing-su itu, soalnya karena semua kota
distrik maupun kampung-kampung di sekitar situ mengalami
perampokan dan pengacauan yang habis-habisan, hanya
melulu Tiang-sing-su yang tidak mengalami petaka itu,
sebaliknya malah tertampak makin hari makin subur dan
makmur. Diperoleh kabar pula bahwa Ong Bing telah
memerintahkan orang-orangnya membeli dan mengumpulkan
bahan makanan kemana-mana untuk ditimbun, karenanya
harga bahan makanan jadi memuncak.
Gubernur Kangsay akhirnya ikut campur, ia perintahkan
Tju-boan To-thong (kapten) menyelidiki keadaan itu, Tju-boan
mengirim beberapa penyelidiknya ke Lingtoh, tetapi seperti
batu tenggelam di lautan, begitu pergi utusan-utusan itu tak
pernah kembali lagi. Tju-boan menjadi murka, ia
mengerahkan pasukannya dan mengepung sekitar tepi sungai
Bwe-kang, ratusan kampung di situ telah mengalami gerakan
pembersihan, ia melarang orang untuk pergi datang, kalau
sudah terang adalah rakyat yang prihatin, tiap orang itu
segera diberikan secarik surat penduduk sebagai bukti, tetapi
yang tidak memiliki surat penduduk itu, semuanya ditangkap
dan dituduh sebagai kaum pengacau atau perampok.
Hoa Dji-tjun Tjetju di He-ho-tje waktu mendapat laporan
bahwa pasukan besar pemerintah hendak datang mengepung,
siang-siang ia sudah memencarkan pengikutnya dalam
kelompok-kelompok kecil, akhirnya mereka pun bisa
menyelusup sampai di belakang daerah pendudukan tentara
Boan itu. Di pihak Tiang-sing-su, Ong Bing mengerahkan beberapa
ribu pengikutnya dengan menyamar sebagai kaum petani
untuk menduduki bukit-bukit di luar kampung mereka, di
samping itu ia bermaksud berhubungan dengan Hoa Dji-tjun
agar mengirim orangnya buat merundingkan cara bagaimana
memberi pukulan yang dahsyat apabila pasukan tentara Boan
menyerbu ke Tiang-sing-su.
Untuk utusan itu, selain Pek Ting-djoan agaknya tiada
orang lain yang cocok, maka ia lantas menulis sepucuk surat
dan memberikan pula emas murni lima puluh tail. Dengan
membawa isterinya, Pek Ting-djoan lantas menyamar sebagai
kaum pengungsi menuju ke He-ho-tje.
Dengan cara begitu Pek Ting-djoan sekeluarga tiga jiwa
terlebih dulu menyambangi kampung asal mereka, Tjiok-geTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
tjun. tetapi kenalan-kenalan lama dan tetangga-tetangga yang
dulu ternyata sudah buron semua, ada beberapa kaum tua
yang jatuh sakit tak sempat lari telah menasehati mereka agar
lekas meninggalkan tempat itu. Pek Ting-djoan pun merasa
tiada yang harus dibuat sayang untuk tinggal lebih lama di
situ, maka esok harinya mereka lantas berangkat lagi.
Tidak disangka-sangka, orang-orang yang tadinya terkenal
sebagai bajingan di kampung itu, kini sudah mengekor pada
pihak tentara pemerintah, waktu melihat Pek Ting-djoan
kembali ke kampung dengan pakaian compang-camping,
mereka menjadi curiga, karena mereka tahu bahwa Pek Tingdjoan
bekerja pada Ong Bing yang terkenal kaya raya, tidak
mungkin tampak begitu rudin, tentu di dalamnya ada sesuatu
yang tidak betul, hal itu diam-diam telah dilaporkan pada
pihak tentara Boan.
Sementara itu Pek Ting-djoan melanjutkan perjalanannya
ke He-ho-tje, ia masih belum mengetahui bahwa Hoa Dji-tjun
dan Teng Ling serta kawan-kawan yang lain sudah
meninggalkan benteng air mereka semula, sebelumnya ia
tidak memperoleh sesuatu tanda rahasia pula untuk
berhubungan dengan orang Hoa Dji-tjun yang menyamar
sebagai orang biasa. Begitu mereka bertiga memasuki garis
terlarang yang sudah terkepung oleh pasukan pemerintah dan
nampak keadaan Tjui-tje atau benteng air di situ sudah
berlainan, sedang di permukaan sungai sebuah perahu saja
tak tampak, ia segera tahu tentu ada sesuatu yang telah
terjadi, dengan cepat ia hendak mundur, namun sudah
terlambat, tentara Boan sudah datang mengepung dari empat
penjuru dan berhasil menangkap mereka.
Masih terhitung cukup cerdik Pek Ting-djoan, begitu
gelagat jelek, segera ia merogoh surat yang ia bawa dan
diremas terus dilemparkan ke dalam sungai.
Waktu digeledah tentara Boan, di atas bungkusan Pek Tingdjoan
diketemukan lima puluh tail emas murni, tetapi kalau
melihat pakaian ketiga orang yang compang-camping dan
dekil, maka segera mereka digusur ke markas untuk diperiksa.
Pek Ting-djoan hanya mengaku sebagai pengungsi biasa
karena takut di perjalanan bertemu dengan gerombolan
perampok, maka emas murni itu disimpan rapi di tubuh
mereka. Tetapi pengakuan itu tak dipercaya oleh pejabat
militer itu, sebaliknya ia dicurigai komplotan perusuh dari Hehotje, beberapa kali Pek Ting-djoan telah disiksa dan dianiaya
namun ia tetap pada keterangannya, Peh Dji-ma pun
merasakan siksaan yang tidak enteng, dengan sengaja pejabat
pemeriksa membiarkan Eng-dji menyaksikan penderitaan
siksaan ibunya dengan tujuan barangkali bisa mendapatkan
sedikit keterangan darinya, tidak tahunya meskipun Eng-dji
masih kecil, namun ia sudah memiliki pikiran orang dewasa,
dengan menangis ia pun mengatakan emas itu didapat
ayahnya dari Ong Bing untuk dibelikan bahan makanan,
karena pengakuannya inilah, jiwa kedua orang tuanya telah
tertolong. Tetapi pihak pejabat negeri itu masih berusaha agar Pek
Ting-djoan mengaku apakah Ong Bing bersekongkol dengan
pihak pengacau, Pek Ting-djoan menjawab bahwa ia hanya
mengajar dalam rumah saja, selamanya ia tak pernah melihat
ada hubungan apa-apa dengan kaum pengacau dari luar.
Terpaksa, pembesar negeri menggusur mereka ke dalam
penjara. Sudah lewat dua bulan, tetapi sesuatu bukti masih belum
ditemukan, bahkan malah mendapat tahu bahwa Pek Tingdjoan
adalah guru sekolah yang sudah belasan tahun di
tempat itu, akhirnya mereka bertiga lantas dibuang ke kamar
tentara Pat-ki (delapan bendera, pemerintah Boan-djing
membagi tentaranya dari berbagai suku bangsa itu menjadi
delapan macam tanda bendera, maka disebut Pat-ki) di
Sutjwan, karena Pek Ting-djoan tergolong terpelajar, maka ia
akan dijadikan juru tulis di sana.
Dalam perjalanan penggiringan tawanan buangan itu masih
terdapat pula belasan orang lain yang juga dibuang ke
Sutjwan, sedang opsir pengiring adalah seorang bangsa Boantjiu
yang berpangkat Thongtay kecil atau setingkat sersan,
ialah opsir yang berkumis tebal itu, sepanjang jalan mereka
mencambuk dan menggebuki tawanan-tawanan, mereka
berlaku secara kejam seperti apa yang telah diuraikan pada
permulaan cerita ini.
Dan begitulah akhirnya Pek Ting-djoan ditolong oleh
sahabatnya, Teng Ling, setelah menjebak terlebih dahulu
serdadu-serdadu Boan itu dengan madu tawon yang telah
dicampurkan obat tidur.
Malam itu sesudah Teng Ling kembali ke dalam kampung
dan sedang menjamu Pek Ting-djoan ayah dan anak untuk
menghilangkan rasa ketakutan mereka. Tiba-tiba ada laporan
kilat yang mengatakan bahwa ada sepasukan besar orang
berkuda sedang mendatangi menuju ke kampung mereka.
Teng Ling mengira pasukan tentara yang hendak datang
mengepung, segera ia perintahkan semua sinar api
dipadamkan di seluruh kampung dan memerintahkan pula
bawahannya bersiap sedia, sedang ia sendiri bersama Pek
Ting-Djoan kemudian berjalan ke mulut kampung, setiba di
sana mereka dapat melihat barisan orang yang datang itu
telah menyalakan obor, dan di depan mereka berjalan lebih
dulu belasan penunggang kuda dengan bendera kebesaran
dan berdandan berlainan dengan kaum pembesar negeri.
Begitu sampai di mulut kampung, barisan orang itu lantas
berjajar panjang, dan di antara mereka ada seorang yang
maju ke depan sambil berseru.
"Saudara-saudara dari Pho-tau-tjun, kami sengaja datang
dari Tiang-sing-su, kabarnya sahabat she Pek itu telah
tertolong oleh kalian, maka silakan pemimpin kalian maju
berbicara!"
Sudah sejak tadi Pek Ting-djoan mengenali tanda-tanda
bendera itu, kini mendengar pula bahwa mereka datang dari
Tiang-sing-su, maka tidak menunggu Teng Ling menjawab ia
sudah mendahului maju.
"Pek Ting-djoan ada di sini! Apakah Kiu-tju yang telah
Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
datang?" serunya kemudian.
Belum habis suara perkataannya, dari rombongan pihak
lawan pun sudah maju seorang penunggang kuda yang
berdandan sebagai imam dengan kain ikat kepala kaum
cendekiawan, siapa lagi kalau bukan 'Thong-thian-kiu-tju' Ong
Bing, bukan main girang Pek Ting-djoan, segera dengan
berlari-lari ia pun me-mapakinya dengan cepat.
Kemudian Ong Bing memerintahkan semua pengikutnya
tinggal di tempat, ia sendiri dengan membawa beberapa
pengiring lantas menjumpai Teng ling.
"Hari itu aku mendapat laporan bahwa Pek-heng telah
ditolong oleh segerombolan orang, malah telah membunuh
habis semua serdadu musuh, aku menduga tentu perbuatan
orang-orang Hoa djiko, tidak nyana malah Hengtiang sendiri
yang telah memimpinnya," kata Ong Bing dengan
menggenggam tangan Leng Ling.
"Siaute sudah lama menunggu di sini, bagaimana Ong-laupan
sendiri pun telah datang kemari?" sahut Teng Ling.
(Siaute = adik, Hengtiang = kakak, sebutan kepada
sahabat, Laupan = juragan).
"Susah diceritakan dengan singkat, Tiang-sing-su tak dapat
dibuat menancapkan kaki lagi!" kata Ong Bing pula dengan
menghela napas.
"Marilah kita masuk untuk bicara lagi!" ajak Pek Ting-djoan
dengan menggandeng tangan mereka. Kemudian mereka
dijamu dan menceritakan pengalamannya masing-masing.
Kiranya Ong Bing sejak ditinggalkan Pek Ting-djoan ke Hehotje, tak lama kemudian ia mendapat laporan bahwa He-hotje
sudah dikosongkan, lekas ia mengirim orang untuk
menyusul Pek Ting-djoan, tak tahunya lebih dulu Pek Tingdjoan
datang ke Tjiok-ge-tjoan, oleh karena itu mereka telah
bersimpang jalan. Kemudian Pek Ting-djoan bertiga jatuh di
tangan tentara pemerintah, Ong Bing meski mendapat tahu
pun tidak berdaya untuk segera menolongnya, karena waktu
itu ia sendiri sedang menghadapi kepungan pihak musuh,
tentara Boan memberi batas waktu tiga hari agar
menyerahkan daftar nama pemuda-pemuda dalam kampung
agar memudahkan tentara Boan memeriksa keluarga demi
sekeluarga. Ong Bing tahu bahwa akhirnya pasti akan tiba saatnya
meletuskan api pertempuran, maka siang-siang ia sudah
membagi anggotanya menjadi lima barisan, masing-masing
antara lima ratus orang dan menyelundup menduduki bukitbukit
di sekitar kampung untuk menanti saat yang baik. Ia
perintahkan pula semua wanita dan anak-anak dalam sehari
harus keluar seluruhnya dari kampung mereka melalui jalanan
kecil, tinggal sedikit orang-orang tua dan lemah, mereka
disuruh setiap hari membakar api dalam kampung agar
dipandang dari jauh seperti asap memasak seperti biasa. Di
tempat-tempat yang penting ia pendam pula dinamit dan
memilih dua ratus orang yang gagah kuat untuk ditugaskan
menjaga dan bersembunyi di dalam kampung. Sesudah beres
ia mengatur, lalu ia menyelusup keluar ke bukit untuk
memimpin pergerakan.
Pagi itu, tentara Boan sebagian menjaga di luar kampung
dan sebagian menyerbu masuk ke Tiang-sing-su, tetapi yang
mereka lihat hanya pintu-pintu rumah yang tertutup dan sepi
senyap tiada manusia, sampai di tengah kampung keadaan
masih serupa saja, mulailah mereka merasa curiga. Selagi
mereka hendak mundur, namun sudah terlambat, dalam
sekejap dibarengi dengan suara ledakan yang gemuruh,
banyak laskar rakyat menerjang keluar dengan ganas hingga
banyak serdadu yang bergelimpangan, sementara itu
terdengar pula ledakan yang seru, dari atas bukit muncul pula
beberapa pasukan laskar rakyat. Karena siasat yang teratur
rapi, maka pertempuran itu dimenangkan oleh Ong Bing
dengan barang rampasan yang tiada terhitung banyaknya.
Ia mengerti dengan kekalahan itu, pasukan pemerintah
tentu akan mengerahkan tentaranya secara besar-besaran,
maka ia perintahkan mundur pasukannya malam itu juga, ia
membagi pula sebagian laskarnya buat mengawal kaum
wanita dan anak-anak agar berjalan terlebih dahulu menuju ke
Hong-hong-san di perbatasan Hokkian sebagai tempat
kedudukannya yang baru. Belakangan karena hendak
menolong Pek Ting-djoan, ia lantas membawa sepasukan kecil
laskar pilihannya untuk bersembunyi di pegunungan menanti
kesempatan baik. Kemudian waktu mendapat kabar bahwa
rombongan tawanan Pek Ting-djoan akan lewat di tempat
persembunyiannya, tetapi belakangan baru diketahuinya
bahwa di tengah jalan telah didahului orang lain yang bukan
lain ialah Teng Ling, maka ia lalu menyusulnya sampai di Photauijun. Sementara itu Pek Ting-djoan berulang-ulang
mengucapkan rasa terima kasihnya kepada Ong Bing yang
jauh-jauh sengaja datang menyambut padanya, melihat
caranya terhadap Ong Bing begitu rapat dan baik sekali
daripada dirinya, diam-diam Teng Ling menjadi kurang
senang. Apalagi ia telah tahu pula bahwa Pek Ting-djoan
sudah masuk menjadi anggota Pek-lian-kau, dan menjabat
kedudukan yang penting, kini Ong Bing sengaja datang ke
sini, tentu akan membawa Pek Ting-djoan pergi bersamanya.
Malam itu, kembali Teng Ling dan Pek Ting-djoan tidur satu
tempat lagi. "Djiko," tanya Teng Ling. "Dengan menghadapi bahaya kali
ini Siaute menolongmu, meskipun dibilang karena
persahabatan kita yang sehidup semati selama dua puluh
tahun ini, tetapi juga bertujuan untuk hari kelak bagi
Hengtiang, kalau Hengtiang tidak menolak, di tempat Hoadjitjetju
sana kini sedang mencari orang dari kaum cerdik
pandai dan semua pahlawan, kalau Hengtiang suka ke sana,
tentu akan mendapat penghargaan yang tinggi."
"Maksud baik Laute terpaksa baru bisa aku penuhi pada
jelmaan hidup yang akan datang," sahut Pek Ting-djoan
dengan menyesal. "Aku, Pek Ting-djoan, berkat Kiu-tju punya
pandangan yang lain terhadapku selama beberapa tahun ini
dan diberi kedudukan sebagai Kunsu yang bertugas berat, kini
ia sendiri telah sudi datang pula, sesungguhnya aku tidak
dapat meninggalkannya di tengah jalan, malah tadi ia
berpesan padaku, ia mengharap Laute bisa membawa orangorangmu
ikut padanya ke Hong-hong-san."
"Kalau ternyata Djiko sudah berkeras akan mengikuti Ongheng,
Siaute pun tak berani memaksa," ujar Teng Ling setelah
mengetahui lak mungkin merubah pendiriannya lagi karena
kesetiaannya terhadap Pek-lian-kau. "Tetapi kini Siaute pun
sudah menjabat sebagai Thaubak kecil di Hoa-djitjetju, sudah
tentu tiada alasan untuk menyingkir ke tempat lain, kita samasama
mengabdi untuk pemimpin sendiri-sendiri, cukup apabila
bersatu dalam menghadapi pasukan Boan, biarpun kita tidak
bertempur di tempat yang sama, tetapi tujuan kita adalah
satu." Sesudah berbicara pula ke sana-kemari dengan mengadaada,
tiba-tiba Pek Ting-djoan berkata, "Laute, aku tiada
sesuatu untuk membalas budi padamu, aku pikir Siauli
(sebutan untuk puterjnya sendiri) dengan puteramu Hong-ko
sejak kecil sudah kumpul bersama, pergaulan mereka begitu
baik laksana sepasang suami isteri cilik, pada kesempatan kita
berdua masih belum berpisah, tidakkah lebih baik ditetapkan
sekarang perjodohan mereka, agar harapan kita yang sudah
lama jadi terlunaskan."
Sudah tentu Teng Ling setuju, maka pada esok paginya
mereka memberitahukan perangkapan jodoh itu kepada kedua
sejoH cilik tersebut, meskipun Eng-dji masih muda hanya
berusia delapan tahun, tetapi ia sudah mengerti jengah,
dengan menundukkan kepala ia lantas pergi menyingkir.
Sang waktu lewat dengan cepat, dalam sekejap saja sudah
sepuluh tahun berselang. Putera Teng Ling, Teng Hong-ko
kini-pun sudah merupakan pemuda berusia dua puluh satu
tahun. Sudah lama ia meninggalkan ayahnya, semula ia berdiam
dan belajar silat pada Lak-hap-kun Li Tjin, Suheng dari
ayahnya yang berdiam di Lam-khong-hu di Kangsay, Li Tjin
adalah seorang guru silat turun-temurun, dalam beberapa
tahun saja ia sudah banyak menurunkan kepandaiannya
kepada Hong-ko, belakangan ia melihat anak ini mempunyai
perawakan serta bakat ilmu silat, kelak tentu akan hijau
melebihi yang biru atau yang muda akan di atas golongan tua,
maka sesungguhnya ia tidak ingin menghalangi hari depan
Hong-ko. Setelah Hong-ko menginjak umur lima belas tahun, Li Tjin
sendiri lantas membawanya ke Liong-hou-san (gunung Lionghou)
untuk memohon imam tua dari Siang-djing-kiong di
gunung itu agar mau menerima Hong-ko sebagai murid dan
mengajarkan kiam-hoat atau ilmu pedang padanya.
Imam tua itu bernama Oei-bai Todjin, asal keluaran dari
Go-bi-pay, adalah sahabat kental Li Tjin di dunia persilatan.
Mendapat kesempatan baik untuk berguru pandai, Teng Hongko
tidak menyia-siakan temponya, tiap hari ia melatih diri
dengan giat dan bersemangat.
Melihat kemajuan yang dicapai pemuda ini dalam ilmu
pedang, sudah tentu Oei-bai Todjin ikut girang, hanya
mengenai soal memelihara muda dan latihan tenaga serta
impas yang sangat diperhatikan oleh golongan To-kch atau
golongan Toi-kau, masih jauh daripada cukup. Oei-bai Todjin
ingin menjadikan pemuda ini gagah perkasa dengan cita-cita
tinggi, maka sengaja menggembleng pemuda ini lebih banyak
pengalaman dan mengenal orang-orang kosen dan berilmu,
maka belum sampai tiga tahun, Oei-bai Todjin telah mengajak
Hong-ko ke Sutjwan pula dan naik ke Go-bi-san untuk
menemui Supeknya (paman guru), Bu-tun Todjin di Sam-tjingkoan
(nama rumah berhala) dan menceritakan asal-usul
pemuda ini, bisa makin dipupuk kelak tentu akan menjadi
seorang Kiam-khek atau pendekar yang luar biasa dari Go bipay.
Bu-tun Todjin adalah ahli silat nomor satu dari golongan
Go-bi-pay. namanya cukup terkenal di dalam Bu-lim atau
dunia persilatan, maka lantas ia mengamat-amati diri Hongko.
Karena Go-bi pay kalau menerima murid, yang pertamatama
dilihat ialah orang harus mempunyai cita-cita luhur,
kemudian bentuk kaki tangan dan perawakannya harus
diperiksa pula, baru setelah itu dapat ditentukan cocok untuk
belajar silat macam yang mana.
Berkat kemauan keras dari Hong-ko, empat tahun
kemudian ia berguru pada Bu-tun Todjin, kepandaiannya
sudah maju sangat pesat, oleh karena sejak kecil ia sudah
belajar silat pada ayahnya, maka kemajuan yang dicapai ini
dapat dimengerti.
Pada tahun itu, Bu-tun Todjin telah menitahkan dia turun
gunung, sebelum berangkat ia diberi sebatang po-kiam atau
pedang pusaka yang disebut 'Go-bi-tjin-kang-kiam', kecuali itu
diberinya pula sebuah peti kecil terbuat dari kayu cendana
yang mungil dengan pesan agar disampaikan pada 'Im-yangpatkik-djiu' Giam Tje-tjwan di kampung Kak-tau-tjun di luar
kota Tje-lam, Soatang. Ditambahi pula pesan agar berhati-hati
dalam perjalanan, jangan suka ikut campur soal-soal yang
bukan urusannya.
Hong-ko menerima semua pesan itu, kemudian ia berlutut
memberi hormat kepada Bu-tun Todjin dan terus berangkat
turun gunung. Dengan tanpa sesuatu gangguan ia sampai di Lamte,
kemudian ia ganti kendaraan air terus ke Soatang, tak
tahunya waktu itu justru Hong-ho (sungai Huang, sungai
kuning) sedang banjir, kapalnya sampai di Khay-hong dan
harus berganti melalui daratan lagi.
Terpaksa Hong-ko menunggang kuda meneruskan
perjalanannya, tetapi sepanjang jalan seperti dikuntit orang
karena ia hanya membawa peti kayu wangi itu dalam
buntalannya, barang-barang lain yang berharga sudah tiada
lagi, maka ia pun tidak menaruh sesuatu curiga.
Hari itu sesudah lewat kota Khay-hong, perjalanan di depan
kini semua hanya hutan belukar yang sunyi sepi menyusur
sepanjang jalanan di tepi Hong-ho. Sekonyong-konyong di
belakangnya terdengar ada suara derapan kuda yang ramai,
dua penunggang kuda secepat terbang telah menyusulnya,
yang di depan mukanya terdapat dua guratan bekas luka,
kepalanya memakai ikat kain hitam, ketika mereka
menyerobot lewat dengan cepat, mendadak ia angkat pecut
kudanya lantas menyabet ke bokong kuda Hong-ko.
Nampak orang itu menyabet dengan pecutnya, dengan
sendirinya Teng Hong-ko mendekam di atas kudanya,
menyusul segera terdengar suara "tarrr", pecut orang telah
mengenai peti yang berada di belakang kudanya, kemudian
secepat angin orang itu sudah lewat, waktu Hong-ko
memandang lagi, dalam sekejap itu pula kedua orang tadi
sudah pergi jauh.
Selagi ia merasa heran tak mengerti, tiba-tiba ia
mendengar suara kelenengan yang riuh, waktu ia menoleh, di
antara debu yang mengepul terdapat seorang yang berdandan
sebagai Bu-su atau jago silat sedang mendatangi dengan
cepat. Orang ini berdandan gagah dan sangat perlente, celana
bajunya menurut dandanan Bu-su dengan warna kuning
gading, ikat pinggangnya hijau muda dan terselip sebatang
pedang, ikal kepalanya pun tersunting sebuah batu giok putih,
umurnya lebih kurang baru tiga puluhan. Sesudah dekat baru
kelihatan pada leher kudanya tergantung tiga kelenengan
warna emas, orang itu mengincar peti Hong-ko, bahkan
berpaling dan sekilas memandang padanya dan tak lama
kemudian ia pun sudah pergi jauh mengikuti suara derapan
kudanya. Baru kini Hong-ko menaruh curiga, pada malam ia tiba di
suatu kota kecil, ia memilih sebuah hotel untuk bermalam, peti
kayu cendana itu ia bawa ke atas pembaringan digunakan
sebagai bantal, sebuah meja kecil di depan pembaringannya
terletak buntalan bersama pedang pusakanya, karena hatinya
agak kurang tenteram, ia tak berani terus tidur, ia hanya
rebahan dengan penuh kewaspadaan.
Setelah kentongan ketiga (tengah malam), tiba-tiba ia
mendengar ada suatu suara yang lembut, suaranya begitu
halus, tetapi sebagai orang yang mahir ilmu silat, dengan
segera ia mengerti siapakah yang datang dalam kegelapan itu.
Ia pura-pura memejamkan mata, ia hendak mengetahui siapa
Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang yang ingin mendapatkan senjata dan kudanya yang
bakal datang ini.
Tak lama kemudian kembali ia mendengar suara pintu
kamarnya dicukil oleh golok tajam, makin jelaslah baginya
bahwa tentu tidak salah lagi adalah orang yang telah bertemu
dengannya siang tadi. selagi ia hendak berbangkit, mendadak
lampu kamarnya yang remang-remang dengan cepat telah
ter-sirap dan tiba-tiba di depan pembaringannya sudah berdiri
sesosok bayangan orang.
Terperanjat juga Hong-ko, ia menyesal tidak mendekatkan
pedangnya ke samping bantal, terpaksa ia terus berpura-pura
tidur nyenyak, dengan tenang ia menanti apa yang bakal
terjadi, tetapi ia masih sempat meraba beberapa pisau 'Liuyaphui-to" yakni semacam pisau kecil berbentuk daun Liu
yang panjang kecil, yang terselip di ikat pinggangnya, senjata
ini telah dilatihnya sejak ia berada di Go-bi-san. diam-diam ia
menyiapkan dua pisau itu, ia telah mengambil keputusan,
begitu orang itu coba menyingkap kelambu pembaringannya,
segera pisaunya akan ia sambi tkan.
Tetapi waktu ia melirik lagi, maka tak tahan ia menjadi
ternganga, orang yang telah masuk itu ternyata adalah
seorang wanita dengan pakaian ringkas peranti jalan malam,
sebuah pedang pendek menyelip di pinggangnya, tetapi dalam
kegelapan tidak bisa melihat jelas raut mukanya, hanya
tertampak ia mengambil pedang yang terletak di atas meja
dan diperiksa dengan cermat.
Hong-ko mengerti wanita ini tentu pernah berlatih 'ya-si'
atau melihat di waktu malam, melihat gerak-geriknya agaknya
tidak mengandung maksud jahat, maka batinnya makin
tenteram, ia hanya menanti perubahan selanjurnya.
Dalam pada itu, tiba-tiba di atas atap rumah berkerisik satu
suara pula, lembut halus suara itu laksana jatuhnya daun
kering di atas genteng. Dengan sekali melesat, sekonyongkonyong
wanita tadi sudah menghilang, pedang di atas meja
ternyata ikut hilang tak berbekas.
Hong-ko mengetahui bahwa kembali ada 'ya-heng-djin'
atau orang jalan malam, telah datang lagi, dalam batinnya ia
makin merasa heran, bagaimana di kota sekecil ini bisa ada
begini banyak orang dari kalangan persilatan. Dalam pada itu
pintu kamarnya telah terbuka pula, menyusul mana dua
bayangan hitam segera melompat masuk.
Dalam kegelapan, Hong-ko masih bisa melihat dari sinar
terang yang remang-remang menembus dari luar itu, lapatlapat
orang yang datang ini seperti dapat dikenali ialah dua
laki-laki yang bertemu siang tadi, seorang di antaranya telah
menyalakan api dari segebung dupa, dengan sinar api itu
segera mereka tahu di atas pembaringan ada orang tidur,
segera ia mengangkat goloknya dan membacok.
Dengan gesit Hong-ko berguling ke belakang
pembaringannya dan hui-to atau pisau terbang yang sejak tadi
sudah ia siapkan itu hendak ia timpukkan, dalam sekejap itu,
dari belakang tempat tidurnya mendadak melompat keluar
seorang, dan terdengar suara "trang" yang nyaring, senjata
musuh tadi telah ditangkis, saking kerasnya hingga laki-laki
pembacok itu tergetar mundur.
Orang yang melompat keluar ini dikenal Hong-ko sebagai
wanita yang datang lebih dulu tadi, dengan pedang melintang
di dada segera terdengar ia berseru, "Liok-tjetju, jangan
sembrono!"
Lelaki yang mukanya terdapat dua guratan bekas luka itu
merandek, ia angkat api obornya untuk melihat.
"Siapa kau perempuan ini" Apa datang kemari untuk main
gila dengan anak busuk ini!" damprat lelaki itu dengan gusar,
karena sebenarnya ia tidak kenal wanita yang bisa mengenali
namanya ini. Muka wanita itu berubah kemerah-merahan, tetapi segera
ia pun menjadi gusar, alisnya berdiri.
"Kurang ajar! Dengan baik-baik aku berkata, tapi kau
berani sembarangan mencaci orang!" ia balas mendamprat
sambil menuding dengan pedangnya.
Lelaki itu tidak menanti sampai si wanita habis berkata,
dengan satu gertakan keras, mendadak ia menyerang dengan
gerak tipu 'Hui-sing-kui-wi' atau bintang kemukus kembali ke
tempatnya, goloknya dengan cepat telah menikam dari depan.
"Dengan apa dirimu ada harganya bergebrak denganku!"
wanita itu menjengek dengan tertawa dingin, sembari pedang
di tangannya menempel golok lawan dan terus disurung ke
samping. Teng Hong-ko yang bersembunyi di belakang kelambu
tempat tidur, sebenarnya berpikir hendak keluar membantu si
wanita, tetapi teringat bahwa pedangnya yang diletakkan di
atas meja sudah diambil wanita itu, maka lebih penting
menjaga petinya saja di atas pembaringan.
Dalam pada itu, tiba-tiba ia mendengar suara benturan
benda keras, waktu ia memandang, pedang si wanita sudah
berhasil menyelip di dekat gagang golok lawannya, ia puntir
dengan kuat dan terus disurung, keruan golok lelaki itu
seketika terlepas dari tangannya dan terbang keluar pintu
kamar. Dengan cepat sekali golok laki-laki itu dipukul terpental oleh
gadis tadi yang memegang pedang 'Go-bi-tjin-kong-kiam'.
Menampak senjata kawannya terpental, lelaki yang satunya
tidak ayal lagi, segera ia menerjang maju dan terus
membacok. Tetapi wanita tadi mendelik dan pedangnya
mengayun ke depan sambil membentak dengan suara yang
nyaring, "Jangan bergerak! Pentanglah dulu mata anjingmu
yang lebar, coba lihat pedang yang ada di tangan nyonyamu
ini, baru nanti kamu boleh antar jiwamu dan masih belum
terlambat!"
Sesudah itu, ia bergerak mengunjuk satu gerakan, 'Lau-sobokhim' atau orang tua membopong khim (semacam alat
musik), ia bopong pedangnya di depan dada.
Karena wanita itu melayani lawannya dengan cepat dan
hanya tertampak sinar pedang yang berkilauan, kini Hong-ko
ada kesempatan buat melihat dengan jelas, namun lantas ia
tercengang, karena pedang yang berada di tangan wanita itu
justru adalah pedang 'Go-bi-tjin-kong-kiam'.
Sesaat itu keadaan di dalam kamar itu menjadi sunyi,
kiranya dua Liok-lim-ho-han atau orang gagah dari kalangan
penjahat itupun sedang mengamati pedang yang ada di
tangan si wanita. Orang yang dipanggil Liok-tjetju tadi
kelihatan wajahnya mengunjuk rasa kaget dan heran,
mulutnya malah kemak-kemik, "Ini bukan pedang sasaran dari
Go-bi-pay, apa kami yang telah salah meraba?"
Sementara itu lelaki yang lainpun sudah menurunkan
goloknya, jauh berlainan sekali dengan lagak mereka semula
sangat sembrono.
"Liok Ing, tadi aku sudah bilang jangan kau turun tangan,
tetapi kau laksana anjing gila terus merangsek aku," kata si
wanita dengan tertawa dingin sambil menggerakkan
pedangnya. "Sebenarnya aku pun sudah salah terka, hanya
beruntung aku tidak ngawur seperti kamu, kalau tidak tentu
sudah sejak tadi terjadi keonaran."
Ia berhenti sebentar, sesudah itu ia menoleh dan berteriak,
"Hai kawan, keluarlah sini, kami hendak bertanya padamu!"
Mendengar itu baru dengan pelahan Teng Hong-ko
mengunjukkan dirinya.
"Para kawan dari Bu-lim," katanya kemudian. "Aku Teng
Hong-ko lewat di sini, di perjalanan toh tidak pernah berselisih
dengan sahabat dari Kangouw, entah saudara-saudara ada
petunjuk apa?"
Sementara itu si wanita tadi sudah menyalakan api lilin
hingga dalam kamar kini menjadi terang.
"Marilah kita semua duduk." ia mengajak. "Sungguh kalau
tidak berkelahi tidak berkenalan, saudara Teng, kami sebentar
masih hendak bertanya padamu!"
"Apa Lihiap datang ke sini sejalan dengan 'Pat-pi-long-kun'
Yan-toako?" tanya kedua lelaki tadi kepada si wanita sesudah
mereka memandang sejenak.
"Penglihatan Liok-tjetju memang tidak meleset," dengan
tersenyum si wanita membenarkan pertanyaan orang. "Aku
bukan lain ialah puteri 'Kang-lam-sin-djiu Ang-eng-djio' Hoa
Djing-hun, Yan le-lam ialah suamiku, kali ini kedatangan kami
juga disebabkan mengikuti jejak 'Tjin-tju-goan' itu. Liok-tjetju,
kawan-kawan dari Thay-heng-san yang ikut datang kali ini
entah seluruhnya berjumlah berapa?"
"Hoa-lihiap, tadi kami tidak tahu kalau kau orang tua yang
datang, malah kami mengira kau adalah popio (pengawal) dari
saudara ini," kata Liok Ing berdua sembari berdiri memberi
hormat setelah mengetahui siapa yang berhadapan dengan
dia ini. "Harap dimaafkan kecerobohan kami tadi, terus terang
kawan-kawan Thay-heng-san yang datang kali ini, kecuali
kami berdua masih ada 'Hoa-bin-long To Dju-hai dan Oei-moatju
Kwan Dji-hou."
"Kita betul-betul seperti tawon saja," ujar si wanita pula.
"Karena sebuah 'Tjin-tju-goan' saja, semua enghiong dari
beberapa propinsi di sini sudah dipermainkan hingga
berkumpul semua ke Soatang laksana semut, kurangajar betul
Soatang Sunbu (residen) Tam Ting-siang bisa membikin benda
berharga itu begitu ajaib, sampai kini sedikit tanda rahasia
saja masih belum dapat diketemukan."
"Kalau begitu, apalagi yang dibawa saudara muda ini?"
tanya Liok Ing setelah ia memandang sejenak pada Teng
Hong-ko. Pendekar wanita itu tidak menjawab, tetapi ia lantas
membalikkan tubuhnya terus menyambar peti kayu wangi
yang berada di pembaringan.
Peti itu sebenarnya tergembok rapat, tetapi sesudah
dipegang berulang kali oleh tangan Lihiap itu, gembok itu
lantas rusak dan tutup peti segera terbuka. Liok Ing segera
memimpin kawannya untuk melongok barang apakah yang
terisi dalam peti itu.
Di antara orang banyak itu agaknya yang paling tercengang
hanya Teng Hong-ko seorang, sebab sebagaimana telah
dipesan gurunya, Bu-tun Todjin, sebelum ia berangkat bahwa
hendaknya berhati-hati di perjalanan dan sekali-kali peti itu
jangan dihilangkan. Tetapi untuk mencegah ia sudah
terlambat, terpaksa ia juga ikut-ikutan melihat benda apakah
sebenarnya yang tersimpan dalam peti.
Rupanya pendekar wanita itu menginginkan agar semua
orang bisa melihatnya lebih jelas, maka ia tumplekkan isi peti
itu, dan benar apakah yang terserak kemudian" Ternyata
bukan lain hanya beberapa 'Sam-ling-tju-bo-piau', senjata
rahasia piau berbentuk segitiga dan beberapa butir pelor besi
bundar, kecuali itu terdapat pula segebung entah barang apa
yang terbungkus dengan kain kuning.
"Liok-tjetju, betul tidak penglihatanku," kata Lihiap itu
dengan tertawa, "Mana ada Tjin-tju-goan' segala di sini,
hampir saja bikin kaget kawan dari Go-bi-san ini, marilah kita
seharusnya meminta maaf pada saudara Teng!"
"Memang betul seperti kucing keselomot kumisnya," ujar
Liok Ing, agaknya ia pun menyesal. "Tetapi bagaimana Lihiap
sendiri malam ini bisa datang juga ke sini?"
Sebenarnya wanita itu sedang akan memberi hormat dan
minta maaf pada Teng Hong-ko karena kecerobohan mereka,
tetapi mendengar pertanyaan orang, tiba-tiba paras mukanya
menjadi merah. "Ini memang harus menyesalkan Tang-keh (suami) yang
agak gegabah," sahutnya kemudian. "Ketika ia kembali hari ini
dari perjalanan, ia memberitahu bahwa utusan itu sudah tiba,
melihat dengan mata kepala sendiri, saudara Teng ini
menempuh perjalanan seorang diri, kalau bukan orang yang
berkepandaian tinggi, mana bisa begitu berani."
Mendengar cerita itu barulah Hong-ko ingat pada lelaki
berdandan perlente warna kuning gading siang hari tadi, yang
dijumpainya di perjalanan, ternyata adalah suami pendekar
wanita ini. Sedang ia termenung, si wanita bersama Liok Ing dan
kawannya sudah berbangkit dan memberi hormat di
hadapannya sambil meminta maaf telah membikin ribut
padanya. Lekas Hong-ko balas menghormat dan merendah.
Saat itu sudah hampir jam empat pagi.
"Saudara Teng," kata pula si wanita itu. "Malam ini telah
banyak mengganggu, besok sore kau sudah bisa sampai di
Liu-ho dan seterusnya ialah perbatasan dengan Soatang,
apabila perjalananmu tidak mengalami gangguan, baiklah kita
berjumpa kembali di tepi sungai Pek-hoa."
Setelah itu ia masukkan 'Go-bi-tjin-kong-kiam' ke dalam
sarungnya dan kemudian diangsurkan kembali pada
pemiliknya. "Tadi belum sempat mendapat tahu nama yang mulia,
kalau nanti sampai di Pek-hoa-ho, entah harus bagaimana
menyebutnya?" tanya Teng Hong-ko sambil menyambut
pedangnya. "Saudara Teng, namaku di kalangan Kangouw dipanggil
"Sian-bu Kongtju', kau memiliki 'pedang perjalanan' ini, kalau
sampai di Pek-hoa-ho, tentu akan ada orang menyambutmu,"
sahut Lihiap itu dengan sikap tanpa kikuk lagi.
Setelah memberi salam sampai bertemu pula, kemudian
ketiga orang itu lantas melompat naik ke atas atap rumah pula
dan terus menghilang.
Teng Hong-ko menggembok kembali petinya, sementara itu
ia sudah agak letih, waktu ia mengambil pedangnya dan
dilihat, baru ia ketahui bahwa pada kedua samping sarung
pedang penuh terukir huruf-huruf jampi-mantera dari kaum
To-kauw, ia mengerti Bu-tun Todjin menghendaki ia
membawa pedang ini, tentu banyak gunanya, dalam keadaan
letih pelahan-Iahan ia pun tertidur.
Ketiga orang yang memasuki kamar pondokan Teng Hongko
malam ini, Liok Ing adalah seorang begal besar dari
gerombolan Soasay atau Soa-say-pang yang bercokol di Thayhengsan, yang datang bersamanya itu adalah wakil
pimpinannya. Sedang si wanita itu mempunyai asal-usul yang
luar biasa, ia adalah putri Hoa Djing-hun, Tjong-totju dari Angdjiohui atau ketua perkumpulan tombak merah di Kanglam, ia
menamakan dirinya sendiri Sian-bu Kongtju, si Kongtju yang
suka main silat.
Sejak masih kecil ia sudah berguru silat pada Oei-bwe Kisu,
pemimpin ketiga dari Tjeng-long-hui, perkumpulan naga
hijau, belakangan ia bersuamikan Suhengnya sendiri, Yan Ielam,
Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pendekar muda ini berjuluk 'Pat-pi-long-kun', kedua
suami isteri itu kini sampai di Soatang, tujuannya ialah
menguntit 'Tjin-tju-goan', topi bertabur mutiara mestika, yang
menggemparkan seluruh Liok-lim.
Menurut cerita, topi bertabur mutiara itu adalah barang
milik Tan Wan-wan, selir kesayangan Go Sam-kui. Di atas topi
itu penuh bertaburan batu-batu permata dan masih ada pula
tiga butir mutiara yang merupakan benda yang susah dicari di
jagad ini. Ketiga mutiara itu masing-masing ialah: 'Ting-hongtju',
mutiara anti angin, yakni bisa membikin reda serangan
angin. Kedua ialah 'Pi-hwe-tju' atau mutiara anti api dan yang
ketiga ialah 'Gi-han-tju', mutiara anti dingin.
Pada waktu Tan Wan-wan memasuki pintu kesucian
(memeluk agama), yang dibawa melulu barang mestika ini
saja yang harganya tak ternilai.
Kiranya sesudah Go Sam-kui takluk pada kerajaan Boandjing
dan berkedudukan di Kunbing daerah Hunlam,
sepanjang masa itu ia telah mengumpulkan aneka barangbarang
mestika yang paling berharga dari seluruh jagad. di
antaranya terdapat tiga mutiara yang harganya tak ternilai itu.
Akhirnya setelah kedudukannya terancam, Go Sam-kui
telah angkat senjata memberontak, Tan Wan-wan dapat
menduga gerakan suaminya akhirnya tentu akan gagal, maka
ia memilih jalan memeluk agama, yakni dengan menjadi Nikoh
tetapi piara rambut. Meskipun harta benda Go Sam-kui
bertumpuk-tumpuk berasal dari mengeduk darah keringat
rakyat, tetapi ia mengambil tidak seberapa, ia hanya membikin
sebuah topi imam wanita yang penuh bertabur mutiara dan
diam-diam menyelipkan ketiga mutiara mestika itu diatas
topinya itu, hal ini hanya diketahui beberapa pelayan Tan
Wan-wan saja. Ketika kemudian Go Sam-kui dimusnahkan, Panglima besar
Pangeran Lirkim telah memasuki Hunlam dengan pasukannya,
kala itu Tan Wan-wan sudah mengasingkan diri di sebuah kuil
suci, tak tahunya ia telah 'dijual' oleh Nikoh rekannya. Dan
akhirnya Tjin-tju-goan itu jatuh di tangan seorang bernama
Tam Ting-siang, salah seorang anggota staf dari Pangeran
Lirkim dan menjadi orang kepercayaan bangsawan Nilan Mingtju.
Tam Ting-siang ini memang dasarnya cerdik tetapi keji, ia
telah membunuh habis semua orang-orangnya yang
mengetahui asal-usul Tjin-tju-goan, hanya seorang pengawal
yang berhasil lolos dari lubang jarum dan berkecimpung di
kalangan Kang-ouw, keruan saja akhirnya rahasia itu tersiar.
Dan sudah sejak lama tidak sedikit begal dan perampok yang
mengincar topi mestika itu, namun hasilnya nihil meskipun
sudah dicari kema-na-mana.
Sementara itu Tam Ting-siang yang mengandalkan
dukungan Nilan Ming-tju, ia telah naik pangkat berturut-turut
hingga menjadi Soatang Sun-bu, gubernur Soatang, dengan
diikuti seorang pengawalnya, Tjhi Djin-ho, seorang yang
tergolong tokoh juga dari Bu-lim atau dunia persilatan. Dan
baru pada akhir-akhir ini tersiar kabar bahwa topi mestika itu
oleh Tam Ting-siang telah dipendam dalam sebuah pagoda
kuil di Se-an (Sian).
Ketika itu keadaan dalam negeri sudah agak aman, tiga
raja muda pemberontak sudah ditumpas bersih, dan Kaisar
Khong-hi berniat untuk bersembahyang ke Thay-san. Maka
siang-siang Nilan Ming-tju telah memberitahukan kepada Tam
Ting-siang bahwa ia sendiri pun akan turut datang.
Oleh karena kuatir tindak-tanduknya yang korup dan
kacau-balau di daerahnya, Tam Ting-siang teringat pada topi
mestika itu dan akan digunakan sebagai barang suapan
kepada Nilan Ming-tju agar mengaling-alingi perbuatannya itu
di hadapan Sri Baginda. Oleh karena itu lantas ia mengirim
Tjhi Djin-ho dengan beberapa Po-thau (polisi) ternama ke Sean
untuk mengambil kembali topi mestika itu.
Kebetulan sekali Hwesio-hwesio dalam kuil dimana Tjin-tjugoan
itu dipendam, kini ternyata banyak berhubungan dengan
kaum gagah perkasa di daerah itu, waktu Tjhi Djin-ho
merusak pagoda untuk mengambil mestika itu, ternyata
banyak tulang-tulang manusia yang terkeduk keluar, tulangtulang
ini ialah orang-orang yang mati penasaran sewaktu ikut
memendam barang mestika itu, dan oleh sebab itu lantas
menarik perhatian para Hwesio dalam kuil tadi. Dan
kesudahannya rahasia itu pun terbongkar.
Tetapi sewaktu kabar itu sampai di telinga para orang
gagah, sementara itu Tjhi Djin-ho malam-malam sudah
meninggalkan Se-an dengan membawa Tjin-tju-goan, para
Hwesio di kuil itu hanya nampak mereka membawa sebuah
peti kayu wangi berukir bagus, tetapi mereka tak berani
menguntit terus. Sampai akhirnya para pemimpin gerombolan
memburu datang, namun Tjhi Djin-ho dan kawan-kawannya
sudah sehari lebih dulu berangkat.
Beberapa pemimpin dari perserikatan gerombolan itu
segera mengirim dan menyebarkan kabar berita itu, agar
sepanjang jalan kawan-kawan Kangouw menguntit jejak Tjhi
Djin-ho dan kawan-kawan dengan ketentuan harus berhasil,
ditetapkan pula siapa saja yang ikut menguntit kelak masingTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
masing akan mendapat satu bagian, dan siapa yang berani
turun tangan merampas barang mestika itu akan lebih banyak
mendapat dua bagian, keruan saja seketika itu di sepanjang
Lokyang segera dipenuhi oleh kaum gagah perkasa dari
Kangouw. Dan memang sangat kebetulan juga, pada waktu itu pula
Teng Hong-ko seorang diri dengan kudanya menempuh
jalanan ini, ditambah karena ia baru saja muncul dan tak
dikenali orang, berbareng itu yang dibawanya berupa sebuah
peti kayu cendana yang sama pula. Keruan ia menjadi sasaran
para pendekar. Begitulah, setelah Hong-ko berpisah dengan pendekar
wanita Hoa Sian-bu dan Liok Ing serta kawan-kawannya, ia
ber-girang sendiri, dengan nama baik golongan Go-bi-pay
yang tersohor telah bisa bersahabat dengan tokoh-tokoh
ternama dari Kangouw, ia teringat pula apa yang Hoa Sian-bu
pesankan sewaktu hendak berangkat, bahwa dirinya memiliki
'pedang perjalanan' dari Go-bi-pay itu, perjalanan selanjutnya
sudah boleh tidak usah kuatir terganggu pula.
Maka ia meneruskan perjalanannya, dua hari kemudian ia
sudah memasuki daerah propinsi Soatang, dan Pek-hoa-ho
sudah berada di depan matanya.
Daerah ini ialah tapal batas sebelah barat daya Soatang, di
utara ada Hui-sia-koan, karesidenan Hui-sia, dan sebelah
selatan dekat dengan Lau-ke-tjip, ialah tempat dimana dulu
tersohor sebagai markas besar orang-orang gagah dari Liangsanpik. Waktu Teng Hong-ko memandang, yang tertampak di
depannya hanya lereng-lereng bukit dengan hutan belukar
yang lebat, rumput alang-alang pun melebihi tinggi dengkul,
seorang manusia pun tak tertampak. Tetapi karena
kepandaiannya tinggi maka nyalinya pun besar, apalagi ia
telah berjanji pula dengan Hoa-lihiap, keadaan sepi senyap itu
tidak membikin kecil hatinya, bahkan ia mengayun pecut
kudanya, menyabet dan terus maju ke depan secepat kilat.
Tidak lama kemudian tiba-tiba dari jauh tertampak debu
mengepul tinggi dan menyusul itu dua orang penunggang
kuda mendatangi dari depan. Teng Hong-ko menyangka
mereka adalah orang-orang Hoa Sian-bu buat menyambut
padanya, maka lantas ia pecut kudanya memapaki ke depan.
Baru sesudah dekat ia dapat melihat jelas kedua lelaki
penunggang kuda itu berperawakan pendek kecil, dengan ikat
kepala hitam dan berdandan ringkas kencang, kesemuanya
menggendong golok.
Mereka memandang ke arah Hong-ko dan segera juga
menarik kudanya minggir di kedua samping dan lantas
kiongtjiu (menjura) memberi hormat.
"Yang datang ini apakah saudara Teng?" tanya mereka
berbareng. "Aku yang rendah betul she Teng," jawab Hong-ko sambil
sedikit membungkuk membalas hormat orang di atas kudanya.
"Saudara berdua she apa dan bagaimana tahu nama Siaute?"
Kedua orang itu menarik tali kendali kuda mereka dan maju
lebih dekat. Kemudian barulah mereka menjawab.
"Kami dikirim oleh Giam-laupan dari Tjelam, karena kuatir
Hengtiang kurang paham jalanan di sini, maka sengaja beliau
mengirim kami datang menyambut."
Tetapi waktu Hong-ko menegasi, maka tertampak olehnya
di geger kuda mereka ada bekas hangus tanda cap milik
negeri, maka timbul rasa curiganya. Kala itu semua kuda
pemerintah diberi tanda cap, oleh karena itu Hong-ko merasa
sangsi. "Tjuwi-tjinheng jauh-jauh menyambut Siaute, tetapi entah
cara bagaimana Giam-laupan bisa tahu Siaute hendak datang
di Soatang, bahkan tahu aku menempuh jalan ini?" tanya
Hong-ko. Karena pertanyaan itu, kedua lelaki itu menjadi tertegun.
Memang keberangkatan Teng Hong-ko dengan membawa peti
untuk Giam Tje-tjwan, sebelumnya tidak pernah dikabarkan,
tidak heran kalau kedua lelaki itu jadi gelagapan.
"Kami datang atas perintah saja, sesudah Teng-heng
bertemu Giam-laupan tentu lantas tahu,'" sahut mereka
akhirnya. Sesudah itu dengan mengapit Hong-ko di tengah, segera
mereka mengeprak kuda dan pelahan-lahan membelok ke
sebelah selatan.
Begitu mengetahui gelagat agak ganjil, secara tiba-tiba
Hong-ko menahan kudanya.
"Tjuwi silakan jalan dahulu, Siaute masih harus menunggu
seorang kawan," katanya memberi alasan.
"Kalau Teng-heng masih ada keperluan, baiklah silakan
petimu itu kami bawa lebih dahulu, agar mengurangi beban
kudamu!" jawab seorang di antaranya sambil memepetkan
kudanya ke samping Hong-ko.
Habis berkata, tidak menunggu Hong-ko menyatakan
setuju atau tidak, lantas ia turun tangan sendiri hendak
mengambil peti yang ada di punggung kuda Hong-ko.
Mengetahui gelagat jelek, tak ayal lagi segera Hong-ko
mengempit kencang kudanya terus dilarikan, berbareng ia
mengayun pecut kudanya menyabet ke belakang. Dalam
sekejap saja kuda itu telah terlepas dari apitan kedua orang
itu dan lelaki yang hendak mencoba mengambil peti itupun
kena cambuk sekali. Sementara itu Hong-ko membelokkan
kudanya, ia melarikan kembali ke jalan dimana tadi ia datang.
Kedua penjahat itu tidak membiarkan sasaran mereka
kabur begitu saja, mereka keprak kudanya dan segera
mengejar. Kuda yang ditunggangi Hong-ko hanyalah kuda
yang dibelinya mendadak waktu mau berangkat, maka tak
heran kalau dalam sekejap saja ia sudah kecandak oleh
pengejarnya. "Hai, bocah she Teng, lekas tinggalkan peti kayu wangi
itu!" bentak mereka dari belakang.
Tetapi Hong-ko mengerjakan pecutnya mempercepat lari
kudanya. "Jangan kamu salah lihat, barang petiku itu bukan barang
yang kalian cari," jawabnya kemudian setengah menoleh.
"Tinggalkan Sam-ling-piau dan Thi-wan dalam petimu itu,
aku nanti akan mengampuni jiwamu," terdengar suara di
belakangnya membentak pula.
"Aneh, sudah tahu bahwa barang dalam petiku bukan Tjintjugoan, tetapi mereka masih menginginkannya?" begitulah
pikir Hong-ko dengan heran.
Selagi ia berpikir, tiba-tiba di belakang kepalanya terasa
ada angin tajam menyambar datang, lekas ia mendekam di
atas kudanya, dan sebuah senjata rahasia telah lewat di atas
kepalanya. Sementara itu suara derapan kuda di belakang
makin mendekat, Hong-ko insyaf apabila tidak mengalami
suatu pertarungan sengit, tak mungkin ia akan lolos begitu
saja. Maka segera ia melolos pedangnya dan sekonyongkonyong
membaliki kudanya terus memapaki kedua
pengejarnya dengan membabatkan pedangnya ke kiri dan ke
kanan, secara mendadak ia bermaksud menusuk roboh kedua
pengejar itu. Tak terduga kedua orang itu siang-siang pun sudah siap
sedia, begitu Hong-ko membaliki kudanya dan menusuk,
secara cepat mereka telah berbagi minggir di kedua samping,
sesudah itu dua golok mereka menyambut pedang lawan. Di
antara suara nyaring terbenturnya pedang dan golok, Hong-ko
telah membarengi merubah pula serangannya, ia mainkan
ilmu pedang dari Go-bi-pay yang lihai, dengan beberapa kali
serangannya ia telah membikin lawannya terpaksa berputarputar.
Melihat Hong-ko memainkan pedangnya begitu rapat tanpa
lubang, seorang di antara dua laki-laki yang beralis tebal
mendadak pura-pura menyerang, kemudian melarikan
kudanya dengan cepat sekali, ia sudah memutar kudanya
sampai ke belakang Hong-ko terus membacok. Dengan satu
gerakan 'Hong-bwe-tiauw-yang' atau ekor burung hong
menghadap matahari, Hong-ko membaliki pedangnya
menangkis, tetapi lawan satunya yang di depan sementara itu
telah membabat juga, seketika itu Hong-ko mengkerut
mendekam di atas kudanya untuk menghindarkan serangan,
berbareng pula ia mengeprak kudanya menerjang ke depan,
dan begitulah, waktu kedua laki-laki sempat memutar kudanya
pula, namun Hong-ko sudah kabur pergi sejauh beberapa
tombak. Dalam beberapa jurus singkat tadi, mereka bertarung di
atas kuda semua, maka tak bisa leluasa memainkan senjata
masing-masing, namun begitu Hong-ko sudah dapat menjajal
bahwa lawannya bukan tandingan yang lemah, tenaga mereka
besar berat, golok mereka membawa sambaran angin yang
santar, apabila pertempuran dilakukan di daratan, dirinya
tentu akan dipecundangi, oleh sebab itu jalan satu-satunya
yang paling selamat ialah kabur!
Ketika ketiga kuda saling kejar-mengejar dengan cepat
hingga debu mengepul bergulung-gulung, dan makin lama
kedua pengejar sudah makin mendekat, saat itu dari depan
tiba-tiba muncul seorang penunggang kuda mendatangi pula,
suara kele-nengan kudanya nyaring menggema terbawa
desiran angin. "Celaka!" keluh Hong-ko. "Apabila yang datang dari
komplotan penjahat juga, maka susahlah untuk meloloskan
Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diri." Selagi ia berkuatir, sementara itu si penunggang kuda dari
depan itu makin mendekat dan ternyata adalah seorang lakilaki
setengah umur dengan dandanan sebagai Bu-su atau jago
silat yang pakaiannya berwarna kuning gading, di leher
kudanya yang putih mulus tergantung tiga buah kelenengan
hingga menerbitkan suara nyaring.
Nampak siapa gerangan yang datang ini, dari merasa kuatir
Hong-ko berubah menjadi girang. Ia mengenali lelaki ini ialah
orang yang pernah ia jumpai beberapa hari berselang, malah
Hoa-Iihiap bilang dia ini adalah suaminya, 'Pat-pi-long-kun'
Yan Ie-lam. Selagi ia hendak memanggil, secepat angin lelaki
itu sudah menyerempet lewat di sampingnya.
Seketika itu juga Hong-ko menahan kudanya dan berpaling,
ia lihat Yan Ie-lam sedang memapaki kedua 'Eng-djiau' atau
dua cakar alap-alap (maksudnya anjing penjilat musuh) yang
sedang mengejar itu, sekali ia mengayun laksana segulungan
sinar perak, dua golok cakar alap-alap itu terpental semua,
saking ketakutannya kedua orang itu mendekam di atas
kudanya terus lari ke depan untuk menyelamatkan jiwa
mereka. Sementara itu di antara suara derapan kuda yang ramai,
Yan Ie-lam telah memutar kudanya pula dan mengejar
menuju ke jurusan Hong-ko, kedua cakar alap-alap berbaju
hitam itu mengayun tangannya membalik, beberapa bintik
terang segera menyambar.
"Awas senjata rahasia!" seru Hong-ko memperingatkan.
Tetapi segera ia mendengar suara gemerincing nyaring,
beberapa senjata piau yang ditimpukkan kedua laki-laki itu
sudah disam-puk jatuh oleh Yan Ie-lam.
Sesaat itu, Yan Ie-lam terus memburu, secepat kilat ia
menerjang ke tengah kedua musuh itu, ketika kemudian
pedangnya bekerja lagi, maka kedua musuh itu sudah
terguling berbareng, pundak mereka sudah terluka semua,
dengan merintih kesakitan mereka terkulai di antara rumput
alang-alang yang lebat.
Selagi Yan Ie-lam hendak menambahi pula masing-masing
satu bacokan, tiba-tiba dari jauh terdengar ada suara
bentakan yang ramai, sepasukan penunggang kuda dengan
cepat sedang mengejar datang.
Agaknya Yan Ie-lam terkejut oleh kedatangan pasukan itu,
dengan mengayunkan pecutnya segera ia meneriaki Hong-ko,
"Saudara Teng, lekas lari ikut aku!"
Setelah itu mereka melarikan kuda secepat mungkin, tak
lama kemudian mereka membelok ke sebuah jalanan kecil, dimana
terdapat hutan lebat, sebuah sungai menyusup lewat di
antara hutan itu.
Yan Ie-lam membawa Hong-ko menyeberangi sungai di
tempat yang cetek, setelah agak jauh dari tempat
pertempuran tadi, baru ia berhenti dan turun dari kudanya.
"Kedatanganku agak telat, hingga saudara Teng hampir
terjatuh ketangan musuh!" katanya kemudian pada Hong ko.
Lekas Hong-ko maju memberi hormat.
"Apakah tuan adalah Yan-tayhiap?" tanyanya. "Sudah lama
kudengar nama Yan-tayhiap yang tersohor, terimalah
hormatku ini, entah mengapa Yan-tayhiap juga bisa menyusul
datang ke sini?"
"Kami sudah tahu saudara hari ini akan datang," jawab Yan
le-lam sambil membalas hormat orang. "Cuma tidak menduga
si jahanam Tam Ting-Siang ini bisa begini licin, ia telah
mengirim bawahannya mempedayakan aku, dua anjing tadi
bukan lain adalah Po-thau yang dikirim dari gubemuran, dan
pasukan yang datang belakangan itu ialah bantuan untuk
melindungi kedua anjing tadi."
"Mereka tadi menghendaki aku meninggalkan senjata
rahasia yang berada dalam peti, entah apa maksud tujuan
mereka?" tanya Hong-ko.
"Saudara cilik, menurut penglihatanku tentu mereka
mempunyai alasannya. Lebih baik dibicarakan kelak saja,"
sahut Yan Ie-lam.
Kemudian mereka mencemplak kuda masing-masing dan
melanjutkan perjalanan, kini perjalanan mereka ditempuh di
antara bukit-bukit, tidak lama kemudian mereka sudah sampai
di suatu perkampungan, di luar pintu terlihat sudah menanti
beberapa orang, di antaranya seorang wanita bukan lain ialah
Hoa-Iihiap yang Hong-ko ketemukan malam-malam di rumah
penginapan itu.
Sesudah Hong-ko dipersilakan masuk ke ruangan tengah,
lalu para hadirin diperkenalkan kepadanya, ternyata
kesemuanya adalah para pahlawan dari berbagai perkumpulan
dan golongan, bahkan banyak yang jauh-jauh datang dari
sekitar Siamsay dan Sutjwan. Hong-ko memberi hormat pada
setiap orang yang diperkenalkan padanya, dan ia
menceritakan kisah pengalamannya di perjalanan tadi.
Dalam pada itu, dari luar dilaporkan bahwa Si-siansing
telah kembali. Menyusul mana dari luar masuk seorang dan
lantas memberi hormat kepada para tamu yang ada di situ.
Hong-ko coba mengamati orang itu, ia beroman putih
cakap, berjenggot pendek cabang tiga, pakai ikat kepala
seperti cendekiawan, jubah longgar dengan lengan baju lebar,
usianya baru lebih dari tiga puluhan tahun.
Orang ini bernama Si Liang, seorang Kiam-khek atau
pendekar dari Tiang-kang-pang, gerombolan di sepanjang tepi
sungai Tiang-kang atau Yang-tse, ia sebenarnya seorang
imam dengan nama agama It-tun, ilmu silatnya tinggi dan
banyak tipu akalnya, biasanya ia menganggap dirinya secerdik
Tju-kat Liang atau Khong Beng, kali ini ia pun ikut berkumpul
di Soatang untuk urusan perampasan Tjin-tju-goan itu.
Sesudah ia masuk tadi, lantas ia menutur, "Saudarasaudara
sekalian, Tjhi Djin-ho memang cukup licin, kita siang
malam tiada hentinya menguntit topi mestika itu, kini baru
mendapat berita bahwa tiga mutiara mestika yang tak ternilai
itu siang-siang sudah dicopot dari topinya dan diam-diam telah
diangkut ke Soatang, pantas siang malam kita menanti,
akhirnya tiada sesuatu hasil yang kita dapatkan."
Atas keterangan itu, seketika para pahlawan hanya bisa
saling pandang saja.
"Apakah topi mestika itu pun diangkut kemari?" terdengar
ada orang bertanya.
Oleh karena itu seketika tiada yang menjawab, pandangan
semua orang hanya menatap pada si penanya tadi.
Si Liang ikut melihat penanya itu ialah Tju-kat Beng,
pemimpin Liong-bun-pang di Soasay, tergolong tokoh nomor
dua di antara orang-orang gagah di sekitar Sutjwan dan
Siamsay. "Tju-kat Totju," jawabnya kemudian. "Mungkin karena Tjhi
Djin-ho sudah mengetahui bahwa para pahlawan dari segala
penjuru sedang mengincar padanya, maka ia telah berhasil
mengundang sahabat dari Khong-tong-pay tampil ke muka
untuk bermusuhan dengan kita."
Mendapat jawaban itu, semua orang jadi terkejut, karena
Kiam-khek Khong-tong-pay pada kala itu sangat disegani oleh
orang-orang Kangouw di barat-laut umumnya.
"Si Liang-heng, Khong-tong-san jauh-jauh berada di Kamsiok,
apakah Tjhi Djin-ho bisa mengirim orang mengundang ke
sana?" Yan le-Jam ikut bertanya.
"Mungkin Yan-tayhiap belum mengetahui bahwa di dalam
Khong-tong-pay itu ada beberapa tokoh, paling akhir ini ada
yang telah bertapa di istana Tjhui-hun-kiong di atas Hoa-san,"
It-tun Ki-su Si Liang menerangkan. "Konon kabarnya Tjhi Djinho
banyak kenal Tosu-tosu dari Tjhui-hun-kiong itu, dan
karena itulah ia telah dihubungkan dengan tokoh-tokoh
Khong-tong-pay itu. Tjhi Djin-ho mengetahui bahwa
sepanjang jalan ia sudah ditunggu oleh pahlawan-pahlawan
dari segala penjuru, maka diam-diam ia telah melucuti ketiga
butir mutiara mestika itu dan dikirim dahulu oleh bawahannya,
sedang topi mutiara itu sementara masih dititipkan di Tjhuihunkiong. ia menunggu bila ketiga mutiara mestika itu sudah
tiba dengan selamat di Soatang, baru ia sendiri berangkat
kembali." Di antara pahlawan-pahlawan itu, agaknya Hoa-lihiap
sudah mulai mendongkol.
"Cara begitu Tjhi Djin-ho mengaturnya, justru kita
menempuh yang sulit dan tidak yang gampang," katanya
kemudian. "Cuma ketiga mestika itu entah cara bagaimana
diangkutnya ke Soatang sini?"
"Itulah yang tak bisa kuketahui," sahut Si Liang. "Ada
kemungkinan kini sudah sampai di Soatang dan mungkin pula
masih di tengah jalan."
Walaupun Teng Hong-ko masih hijau dan baru unjuk muka
di kalangan Kangouw, tetapi ia mempunyai otak tajam. Sejak
siangnya ia dicegat dua orang alap-alap pemerintah di Pekhoaho, dalam pikirannya lantas tiada hentinya berpikir
dengan penuh pertanyaan. Mengapa menguber-uber peti yang
tak berharga itu" Katanya kalau ia meninggalkan 'Sam-lingtjubo-piau* dan 'Thi-wan', ia boleh dibebaskan.
"Tjuwi-enghiong Tjianpwe," sekonyong-konyong ia berdiri
dan angkat bicara, "Hari ini Siaute telah bentrok dengan
bawahan Tam Ting-siang di perjalanan, mereka ternyata
berkeras hendak merebut petiku ini, rupanya tindakan mereka
ada hubungannya dengan soal Tjin-tju-goan itu."
Si Liang mengamati pemuda itu sejenak, kemudian ia
bertanya, "Siapakah saudara muda ini?"
"Ya, aku telah lupa memperkenalkannya kepadamu, ia
adalah saudara Teng Hong-ko yang kita sangka bawahan Tjhi
Djin-ho yang mengirim barang pusaka itu, padahal di dalam
petinya hanya contoh piau yang ia bawa untuk Giamlothautju!"
Hoa-lihiap mewakilkan Hong-ko menjawab.
Lalu mereka saling memberi hormat.
"Kita datang di Soatang sini, menurut aturan seharusnya
menjumpai Giam Tje-tjwan sebagai tuan rumah di sini," ujar Si
Liang, sesudah itu ia menoleh dan berkata pada Hong-ko,
"Saudara Teng, bolehkah kami melihat barang dalam petimu
itu?" "Sudah tentu boleh!" sahut Hong-ko tanpa ragu-ragu.
Setelah ia mengambil petinya yang terbuat dari kayu
cendana wangi itu, lalu ia membuka tutupnya dan terus
diletakkan di atas meja.
"Eh, peti ini mirip sekali dengan peti penyimpan Tjin-tjugoan
itu!" kata Si Liang begitu melihatnya, sambil ia
menjemput 'Sam-ling-piau' dan 'Thi-wan' dengan tangannya,
ia meneliti bolak-balik.
Pada akhirnya, sekonyong-konyong It-tun Ki-su Si Liang
berseru kaget, karena mendadak ia mengenali senjata rahasia
di tangannya itu adalah 'Sam-ling-tju-bo-piau" yang sangat
lihai dari Go-bi-pay, di tengah piau itu kosong dan terpasang
dengan pegas, di atas piau ada lubang rahasia dimana
tersembunyi tiga buah piau kecil beracun sebesar paku,
apabila musuh menyambut piau itu dan menjeplakkan alat
rahasia yang terpasang, maka pegasnya bekerja dan piau kecil
yang ada di dalam pipa piau luar itu segera menyambar
keluar, begitu senjata rahasia menjeplak jangan harap musuh
dapat menghindarinya.
Sebab itu senjata tersebut disebut 'Sam-ling-tju-bo-piau'
atau piau induk beranak berbentuk segitiga.
"Yan-tayhiap," kata Si Liang kemudian. "Apakah kau masih
ingat dulu kita membakar Siong-yang-koan di Hun-bong-san
tanpa sengaja, sebabnya ialah karena hendak mencuri obat
pemunah racun dari piau ini, oleh karenanya begitu berada di
tanganku, aku menjadi kaget."
"Penglihatan Si-heng memang tidak salah, orang yang bisa
membikin piau seperti ini, dewasa ini mungkin sudah tidak
banyak lagi," sahut Yan Ie-lam. "Cuma maksud saudara Teng
mengunjukkan barang ini ialah untuk mengetahui mengapa
Tam Ting-siang bisa mengirim orang buat merampasnya,
apakah barang ini ada hubungannya dengan Tjin-tju-goan?"
Si Liang tidak iekas menjawab, ia masih meneliti beberapa
'Sam-ling-piau' itu bolak-balik di bawah sinar lampu, sesudah
itu ia mengambil 'Thi-wan* atau gotri besi dari dalam peti,
kemudian ia letakkan di atas tutup peti agar tidak
menggelundung jatuh.
Thi-wan, gotri atau peluru dari besi itu adalah semacam
senjata rahasia juga dari Go-bi-pay yang terbuat dari baja,
tiap-tiap butir sebesar buah kelengkeng, belasan peluru yang
terletak di atas tutup peti itu berkelap-kelip terkena sinar
lampu. Si Liang mengambil dua butir dan diperiksa, lalu ia taruh
kembali ke atas tutup peti dan pulang-pergi digelundungkan,
namun scdikitpun tiada tanda-tanda yang mencurigakan.
Akhirnya ia lepaskan gebungan yang terbungkus dengan kain
kuning, di dalamnya ada dua botol obat pemunah racun,
selain itu hanya terdapat contoh pembuatan 'Sam-ling-piau'
itu. Setelah semua orang memeriksanya juga dan tak terlihat
sesuatu tanda-tanda, mereka lantas mengembalikan bendabenda
itu ke dalam peti.
"Saudara Teng, baiklah kau simpan petimu itu, kami telah
banyak mengganggu!" kata Yan Ie-lam akhirnya pada Hongko.
"Bagaimana bisa dikatakan mengganggu, hari ini kalau
bukan Yan-tayhiap yang menolong, peti itu sudah lama jatuh
di tangan alap-alap pembesar itu!" sahut Hong-ko dengan
tertawa. "Aku ada satu usul, entah saudara Teng suka
melaksanakan tidak?" sementara terdengar Si Liang berkata
pula dengan mengelus-elus jenggotnya.
"Ki-su ada kepentingan apa, asal Siaute bisa menjalankan,
pasti tidak menampik," sahut Hong-ko.
"Urusan ini adalah bersangkutan dengan kepentingan
bersama," Si Liang mulai menerangkan, "Aku pikir kali ini Tam
Ting-siang secara diam-diam telah mengangkut ketiga mutiara
itu ke Soatang, tentu ia sudah mengatur dengan baik sekali,
jangan-jangan masih menggunakan tipu muslihat untuk
menghindarkan incaran orang-orang Kangouw, hari ini ia
mengirim cakar alap-alapnya buat mencegat peti saudara
Teng. Hal ini mungkin erat hubungannya dengan
perbuatannya itu, kita boieh juga menghadapinya dengan
akal, dengan cara 'Kim-sian-toat-kak' (mengelabui seperti
tonggeret emas bertukar kulit), kita bisa mencoba mereka."
Tertarik oleh usul Si Liang, para pahlawan lantas bertanya
apakah akalnya itu.
"Kali ini barang yang saudara Teng bawa untuk Giam Tjetjwan
Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lotjianpwe tidak lebih hanya beberapa buah senjata
rahasia ini, tetapi Tam Ting-siang telah menaruh perhatian
cukup besar, bahkan ia mengirim orang untuk mencegat di
tengah jalan. Ini suatu tanda di dalamnya tentu ada sesuatu
yang istimewa," Si Liang menerangkan. "Maka kita mengambil
kesempatan ini untuk menukar senjata rahasia di dalam peti
dan biar dibawa terus oleh saudara Teng, sedang beberapa
orang di antara kita diam-diam menguntit, pertama kita boleh
sekalian melihat tindakan apa dari cakar alap-alap nanti,
kedua seandainya senjata rahasia itu tersembunyi sesuatu
rahasia, juga tak akan merembet ke diri Giam-lotjianpwe,
bagaimana pendapat kalian atas usul ini?"
Sudah tentu semua orang memuji akal baik itu dan
menyatakan akur. Teng Hong-ko sendiri pun menyatakan
sanggup melaksanakan tugas itu. Tetapi lantas ia teringat cara
bagaimana mereka bisa mendapatkan barang yang serupa
untuk menukarnya"
"Siaute masih agak ragu-ragu, ialah peluru baja itu masih
gampang didapatkan, tetapi beberapa Sam-ling-piau itu
darima-na bisa mendapatkannya" Lagipula bagaimana harus
menjawab nanti di hadapan Giam Tje-tjwan Tjianpwe?" tanya
Hong-ko mengutarakan pikirannya.
"Saudara Teng tak usah kuatir," sahut Hoa-lihiap dengan
tertawa waktu mendengar pertanyaan Hong-ko, "Dulu waktu
Yan-toako membakar Siong-yang-koan, ia pernah mencuri tiga
buah Sam-ling-piau si imam tua she Kim yang serupa dengan
ini dan kini masih tersimpan baik-baik. Sedang di hadapan
Giam Tje-tjwan nanti, diam-diam kau boleh memberitahu
padanya, tidak lama kita pasti mengembalikan yang asli
padanya." Mendapat janji itu, baru Teng Hong-ko merasa lega.
Dalam pada itu dari luar ruangan itu mendadak angin
kencang mendesir, waktu Hoa-lihiap mendongak, segera ia
berteriak, "Awas, ada mata-mata!"
Segera ia menarik diri Hong-ko terus mengumpet ke
belakang rumah, sementara itu tertampak sesosok bayangan
orang telah menerobos masuk dan segera ia memadamkan api
lilin. Dalam kegelapan itu bayangan hitam telah melompat
sampai di tengah ruangan, gerak tubuhnya begitu cepat
laksana angin dan lantas menubruk ke tempat dimana Hongko
tadi berduduk. Saat itu Hoa-lihiap sudah menarik Hong-ko melompat ke
pintu pojok, melihat di tangannya masih terkempit peti kayu
wangi itu, maka segera ia mendorong Hong-ko masuk ke
ruang samping dari pintu pojok itu, sedang ia sendiri segera
melolos pedangnya dan menjaga di ambang pintu.
Begitu bayangan orang itu menubruk ke tengah, Yan le-lam
dan beberapa jago lainnya sudah menarik senjata dan
menjaga di ambang pintu.
Karena menubruk tempat kosong, bayangan orang itu telah
mengangkat kursi di tempat itu dan terus dilemparkan. Di
antara suara gedubrakan, kursi itu sudah hancur menjadi
beberapa potong. Dengan menggunakan kesempatan ketika
ribut menyambut kursi yang dilemparkan itu, bayangan hitam
itu dengan sekali lompatan sudah menerobos keluar pintu lagi.
Waktu para pahlawan maju memburu, segera mereka
disambut dengan beberapa bintik sinar mengkilap.
Laron Pengisap Darah 6 Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long Bentrok Rimba Persilatan 12
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama