Ceritasilat Novel Online

Tujuh Pedang Tiga Ruyung 5

Tujuh Pedang Tiga Ruyung Karya Gan K L Bagian 5


urusan apa kau kemari" Memangnya kau berani berbuat sesuatu terhadap ku?"
Dengan perkataannya ini, jelas terlihat dia merasa jeri terhadap lawannya.
Co-jiu-sin-kiam Ting Ih mendengus, katanya dengan angkuh, "Orang she Siau, pentanglah
matamu lebar-lebar dan lihatlah sendiri, apakah hari ini kau dapat meninggalkan ruang ini
dengan hidup" Apakah kau masih mengharapkan bantuan Kim-kiam-hiap si keparat itu?"
Meledak hawa amarah Kim-li Siau Peng, segera ia membentak," Kalian hendak main kerubut
terhadap kami" Apakah kau kira dunia persilatan sudah tiada keadilan lagi?"
Ia lantas menjura kepada kawanan jago yang hadir dan berkata lagi, "Sobat sekalian,
hendaknya kalian tampil sebagai saksi. Bila bertarung satu lawan satu, sekalipun aku Siau
Peng akan mati juga tak menyesal, tapi kalau main kerubut, aku . . . aku . . . ."
Mendadak ia mengentak kaki dan tak sanggup melanjutkan kata-katanya.
Leng-coa Mao Kau mendongak dan tertawa latah.
"Hahaha, bagus, bagus sekali!" serunya, "Satu lawan satu, matipun tak menyesal. Bagus,
bagus!" Sambil menggulung lengan baju ia berkata lebih lanjut dengan suara dingin, "Kalau begitu,
silakan kemari. Aku Mao-toaya akan menemanimu bermain beberapa gebrakan. Asal mampu
bertahan lima puluh gebrakan ku, dengan hormat aku orang she Mao akan mengantarmu pergi,
tentunya ini cukup adil."
"Orang she Mao," bentak Hwe-gan-kim-tiau dengan suara keras, "kalau ingin menantang,
jangan menantang kaum muda. Bila kau memang jagoan, sebulan kemudian di tempat lain
boleh kita menentukan siapa lebih unggul. Sekarang kau tipu kami berdua untuk datang kemari
dengan akal busuk kinipun ingin mengandalkan jumlah banyak untuk mencari kemenangan.
Wahai Mao Kau, apakah kau tidak takut pada karma" Apakah kau tidak kuatir akan
pembalasan?"
Si ular sakti Mao Kau menyeringai seram.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
"Tua bangka she Siau," jengeknya, "sekalipun lidahmu bicara sampai keringpun jangan
harap akan hidup. Keadilan macam apakah yang kau bicarakan di depanku" Terus terang
kuberitahukan kepadamu, aku orang she Mao inilah keadilan."
"Bagus, bagus sekali!" seru Hwe-gan-kim-tiau sambil menggertak gigi dan menahan gusar,
"bila aku si tua bisa mati hingga semua kawan persilatan mengenali wajah sebenarnya dari
manusia munafik macam dirimu ini, sekalipun mati aku tidak menyesal."
Kakek yang sudah berambut putih ini berseru dengan sedih, kemudian sambil merentangkan
senjata cundrik membentak pula, "Nah, maju saja semua. Hari ini biar kuadu jiwa dengan
manusia laknat seperti kalian itu!"
Co-jiu-sin-kiam tertawa dingin tiada hentinya.
"Huh, untuk memberi pelajaran kepada tua bangka celaka macam kau, masa mesti
menyuruh orang lain?" jengeknya.
Dia lantas mempersiapkan pedangnya dan hendak turun tangan.
Mendadak terdengar suara langkah kaki bergema dari mulut loteng. Lalu tampak dua orang
berlari ke atas dengan napas tersengal dan wajah pucat.
Kedua orang itu mengenakan baju berwarna emas, tapi mungkin lantaran menempuh
perjalanan jauh baju emas mereka sudah penuh lumpur.
Sebenarnya kedua orang ini berwajah tampan, namun wajahnya kini penuh debu, matanya
buram tak bersinar, seperti sudah sekian malam tak tidur, lemah nan lesu, keadaannya
mengenaskan sekali.
Begitu sampai di atas loteng, mereka celingukan kesana kemari. Begitu melihat Mao Kau,
buru-buru mereka lari ke depannya dan menjatuhkan diri berlutut.
Air muka Mao Kau berubah, serunya cepat, "Tang-san, In-tay, cepat bangun! Apa yang
terjadi" Dimana Ki-jisiok" Mana Lam-siong" Ai, mengapa kalian masih berlutut, cepat bangun
dan bicara!"
Leng-coa Mao Kau seorang yang cerdas, saat ini selain ucapannya gugup, wajahpun hijau
kelam. Air muka Pat-bin-ling-long pun berubah seketika. Segera ia ambil dua cawan arak dan
diangsurkan kepada kedua pemuda berbaju emas itu seraya berkata, "Minumlah dan
beristirahat dulu!"
Lalu ia berpaling ke arah Mao Kau, ujarnya, "Toako, jangan gelisah. Ki-jiko tak mungkin
tertimpa musibah."
Meski dia berkata demikian, padahal hati sendiri juga gugup. Dia tak tahu peristiwa apa yang
telah terjadi"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Agaknya Ko Bun tak tertarik menyaksikan sandiwara itu. Dia menguap panjang dan
mendekap di meja seperti ingin tidur.
Bun-ki yang berada di sisinya segera berbisik, "Ya, kau boleh istirahat sebentar. Jika kami
akan pergi nanti akan kubangunkan dirimu."
Ko Bun mendekap di meja seakan-akan betul sudah tertidur.
Sementara itu kedua pemuda berbaju emas tadi telah menenggak arak dan siap berbicara.
Mendadak Mao kau berkerut kening, lalu berkata kepada Ho Lim, "Losi, kau benar-benar
kebangetan, masa menahan teman sebanyak ini semalaman disini" Cepat persilakan mereka
pergi beristirahat."
Seraya berkata, dia lantas menjura ke empat penjuru sambil menambahkan, "Sobat sekalian,
silakan! Bila pelayanan Mao Kau kurang sempurna, lain hari pasti akan kulayani kalian terlebih
baik." Semua orang tahu tuan rumah telah mengusir tamu secara halus, maka setelah saling
pandang sekejap merekapun mengucapkan kata-kata merendah dan berlalu dari situ.
Mendadak Co-jiu-sin-kiam mengadang jalan pergi Hwe-gan-kim-tiau dan anaknya. Dengan
pedang tersilang di depan dada katanya dingin, "Orang she Siau, bagimu belum tiba waktunya
untuk pergi."
Siau Lo-tiau tertawa seram, "Hahaha, kau suruh aku pergi saja belum tentu aku mau pergi.
Aku ingin turut mendengarkan cerita tentang kalian dipecundangi orang."
Dia sengaja mengucapkan perkataan itu dengan suara nyaring dengan harapan para jago
lain mendengarnya.
Padahal sekalipun dia tidak berkata demikian, hati semua orang juga sudah mengerti bahwa
Ki Mo yang diam-diam pergi mengambil harta karun itu telah dipecundangi orang, bahkan
nyawapun sukar dipertahankan. Hanya saja semua orang belagak bodoh dan tak mau
mengutarakannya.
Kedua pemuda berbaju warna emas tadi tak lain adalah dua diantara enam belas murid
Leng-coa Mao Kau yang turut Thi-soan-cu Ki Mo pergi mengambil harta karun, yakni Tui-insucia
(duta pengejar awan) Utti Tang-san dan Siu-Kiam-sucia (duta pedang sakti) Bwe In-tay.
Tak heran kalau Mao Kau terperanjat melihat kemunculan kedua orang ini dalam keadaan
mengenaskan, bahkan terhadap sindiran Hwe-gan-kim-tiau pun tidak dihiraukan lagi.
Begitu para jago turun loteng, dengan cemas dia lantas bertanya, "Apa yang telah menimpa
Ki-jisiokmu" Apakah tugas yang dibebankan kepada kalian sudah beres" Cepat ceritakan!"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Setelah minum arak dan menenangkan hati, Sin-kiam-sucia baru bangkit berdiri dan
menjawab dengan gelisah, "Setibanya di pintu air yang memisahkan danau Hongtik dengan Koyuoh, kami mulai melakukan pencarian seperti apa yang tertera pada peta. Diantara kami, Utti
suheng dua bersaudara memiliki ilmu menyelam yang paling lihai, maka Ki-jisiokpun menyuruh
mereka terjun ke dalam danau untuk melakukan pencarian."
Leng-coa Mao Kau mengalihkan sorot matanya ke wajah orang yang lain, yaitu Utti Tangsan.
Pemuda Utti Tang-san menghela napas, lalu berkata dengan sedih, "Tecu dan adik Lamsiong
turun ke dalam air. Betul juga di dasar telaga dekat pantai kami temui tanda seperti yang
tercantum dalam peta. Tentu saja kami gembira. Setelah berganti napas kamipun menuju ke
arah tanda tersebut dan menemukan perahu yang tenggelam. Tecu segera mengikat perahu itu.
Lalu bersama Ki-jisiok dan Bwe sute menariknya. Betul juga di bawah perahu tampak sepotong
lempengan besi berkarat."
Waktu itu, bukan hanya Mao Kau saja yang memperhatikan cerita Tui-in-sucia, yang lainpun
dengan mata terbelalak dan wajah kuatir asyik mendengarkan.
Tiba-tiba terdengar Hwe-gan-kim-tiau memaki, "Keparat, masa para penjaga disana mampus
semua?" Utti Tiang-san meliriknya sekejap, kemudian melanjutkan, "Melihat lempengan besi itu tentu
saja tecu berdua amat girang. Kami segera naik ke permukaan air untuk berganti napas dan
memberi laporan kepada Ki-jisiok. Siapa tahu pada saat itulah mendadak terjadi hujan panah.
Tecu sekalian segera tahu jejak kami ketahuan kawan dari benteng perairan."
Siau Lo-tiau segera mendengus pula.
Utti Tiang-san kembali melirik sekejap ke arahnya, kemudian melanjutkan dengan suara
dingin, "Siapa tahu kawanan keroco perairan sama sekali tak becus, dalam sekejap saja
mereka sudah dibikin keok semua."
Berbicara sampai disini, kembali ia melirik sekejap ke arah Siau Ti yang air mukanya
berubah berulang kali karena gusar, lalu sambungnya, "Setelah itu tecu sekalian menyelam lagi
dan menggeser papan besi itu. Di bawah papan besi terdapat sebuah liang besar dan di dalam
liang benar-benar terdapat puluhan buah peti.."
Baru saja ia berhenti sebentar, Mao Kau lantas menimbrung dengan tak sabar, "Cepat
lanjutkan!"
"Tecu girang setengah mati, serta merta semua peti itu kami angkat ke darat. Adik Lam-siong
tak tahan dan segera membuka peti tersebut untuk mengetahui apa isinya."
Sewaktu bicara sampai disini, Leng-coa Mao Kau segera mendengus sebagai tanda tidak
senang. Utti Tang-san menarik napas beberapa kali, rasa sedih menyelimuti wajahnya.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Bwe In-tay segera menyambung, "Ki-jisiok berpikir sebentar untuk mempertimbangkan
keinginan Saudara Lam-siong dan kemudian mengabulkan. Semua peti itu sudah berkarat. Utti
jiko harus membantingnya beberapa kali sebelum peti berhasil dibuka. Siapa tahu, begitu peti
terbuka, menyambarlah panah kecil yang berhamburan. Dalam keadaan tidak siap, Utti-jiko
tersambar tujuh batang panah dan tembus sampai ke dalam tulang, tak sempat mengucapkan
sepatah katapun dia . . . dia menghembuskan napas penghabisan."
Semua orang terkesiap. Utti Tang-san menunduk sedih mengenang nasib adiknya yang
malang itu, sedang Bwe In-tay berkata lagi setelah menghela napas panjang, "Siapa tahu
setelah peti itu dibuka, isinya cuma setumpuk batu karang. Tecu sekalian merasa sedih, terkejut
dan marah. Beruntun Ki-jisiok membongkar pula belasan peti yang lain, ternyata setiap peti
dilengkapi alat pembidik rahasia dan berisikan bongkahan batu karang belaka."
Bicara sampai disini, air muka Leng-coa Mao Kau sekalian segera berubah hebat.
Sedangkan Hwe-gan-kim-tiau bergelak tertawa, namun semua orang sedang kaget, gusar,
kecewa dan berpikiran kalut. Tak seorangpun menggubris suara tertawanya.
Terdengar Sin-kiam-sucia Bwe In-tay melanjutkan ceritanya, "Peristiwa ini membuat tecu
sekalian bertambah kaget. Ki-jisiok lantas memeriksa peralatan rahasia dalam peti itu dengan
seksama, tiba-tiba saja wajahnya berubah menjadi tak sedap dipandang. Ia menghela napas
berulang kali, lalu memberitahukan kepada tecu sekalian bahwa sistem pemasangan alat
pembidik panah dalam peti itu ternyata mirip sekali dengan cara yang dipergunakan Seng-jiususeng,
seorang tokoh sakti dunia persilatan pada puluhan tahun yang lalu."
Mendengar nama "Seng-jiu-suseng" atau si pelajar bertangan sakti, semua orang tambah
terkejut. Rupanya Seng-jiu-suseng Tan Tok-siu selain lihai dalam ilmu silat juga mahir dalam ilmu alat
perangkap. Hanya saja semenjak puluhan tahun lalu jejaknya mendadak lenyap dan tak
terdengar apakah dia mempunyai ahli waris.
Walaupun semua orang merasa terkejut dan sangsi, tapi merekapun tahu si suipoa baja Ki
Mo adalah seorang jago Kangouw kawakan. Sudah barang tentu pandangannya tidak keliru.
"Bagaimana mungkin tua bangka itu bisa muncul kembali dalam dunia persilatan" Cepat
teruskan!"
Banyak kejadian di dunia ini tampaknya seperti tak berhubungan satu sama lain dan tak
masuk di akal, padahal semua ini disebabkan kebodohan manusianya sendiri yang tidak
mengetahui keadaan yang sebenarnya.
Tokoh macam apakah Seng-jiu-suseng itu " Kenapa usaha Mao Kau mencuri harta karun
gagal dan berantakan "
Sesungguhnya siapa Kim kiam-hiap atau si pendekar pedang emas "
- Bacalah jilid ke 7 TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Jilid 07 Seperti sekarang, semua orang merasa kaget bercampur tercengang oleh peristiwa tersebut.
Tapi jika mereka tahu Seng-jiu-suseng pernah berada bersama satu pulau dengan Hay-thiankoyan dan Hay-thian-ko-yan pun memiliki selembar peta rahasia Sam-cai-po-cong, ditambah
lagi hubungan antara satu masalah dengan masalah yang lain, maka kejadian yang misterius itu
takkan misterius lagi.
Bwe In-tay mengembus napas, lalu melanjutkan, "Ki-jisiok berkata pula, menurut
penilaiannya ketika itu, sudah pasti harta karun itu telah diambil oleh Seng-jiu-suseng atau
muridnya. Mendengar itu tecu sekalian merasa mendongkol bercampur gusar, apalagi
menyaksikan kematian Utti-jiko yang mengenaskan. Kami merasa sedih. Siapa tahu bencana
tidak berjalan sendirian. Baru saja Ki-jisiok berkata begitu kepada kami, mendadak tecu
sekalian melihat dari belakang beliau telah bertambah lagi dengan sesosok bayangan orang."
Wajah Bwe In-tay mengejang, ia masih ngeri bila teringat keadaan waktu itu, lalu ia
melanjutkan, "Waktu itu langit gelap, angin berembus kencang, bayangan hitam seperti setan
itu justru berdiri di belakang Ki-jisiok. Sebaliknya Ki-jisiok tetap berbicara tanpa merasakannya."
Mao Bun-ki meremas telapak tangan sendiri yang telah basah oleh keringat dingin. Tiba-tiba
hatinya tergerak, ia teringat pada bayangan hitam yang pernah bergebrak dengan dia tempo
hari. Tapi mungkinkah si baju hitam itu adalah orang berbaju hitam yang berdiri di belakang Ki
Mo" Untuk ini Bun-ki tak berani memastikannya.
Dilihatnya air muka semua orang sama cemas dan gugup. Lebih-lebih Bwe In-tay. Berulangulang
ia mengusap keringat dingin yang telah membasahi seluruh tubuhnya. Sekuatnya ia
masih bertutur pula, "Kemudian, waktu Ki-jisiok melihat air muka tecu sekalian sama berubah,
baru beliau berpaling. Tecu sekalian hanya melihat orang berbaju hitam itu tertawa dingin,
kedua tangannya segera diayun ke depan. Beberapa titik cahaya emas segera terpancar.
Waktu itu tecu dan Utti-toako berdiri di belakang peti, buru-buru kami bersembunyi, tapi . . . "
Bercerita sampai disitu, suaranya berubah menjadi gemetar, peluh dinginpun bercucuran
pula. Dia menyeka keringat dengan ujung bajunya, lalu melanjutkan ceritanya, "Tapi ketika tecu
berdua bangkit kembali, kelima orang Saudara dari Sin-pian-tui yang berangkat bersama tecu
telah menjerit ngeri dan roboh ke tanah. Di atas dada masing-masing menancap sebatang
senjata rahasia berwarna emas. Ki-jisiok yang berdiri disitu juga sempoyongan dan lantas
roboh. Sebaliknya manusia berbaju hitam macam sukma gentayangan itu lenyap tak berbekas."
"Waktu tecu dan Utti-suko memberanikan diri menengok keluar, ternyata di atas dada para
Saudara pasukan Sin-pian-tui sama tertancap sebilah pedang kecil berwarna emas. Di atas
dada Ki-jisiok sendiri meski menancap pula sebilah pedang, namun batok kepalanya sudah
hancur terkena pukulan."
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
"Tecu sekalian melihat pula kedua peti yang mengadang di depan itu telah berlubang,
padahal peti itu terbuat dari lempengan baja yang tebal, di alasnya menancap dua bilah pedang
emas yang menembus ke tutup peti yang lain. Kekuatan sedahsyat ini, jangankan melihatnya,
mendengarnyapun belum pernah. Tapi nyatanya orang berbaju hitam itu sanggup melepaskan
sepuluh macam senjata rahasia dengan kekuatan yang hampir sama, pada . . . pada hakikatnya
hal ini sungguh . . . sungguh sangat mengerikan!"
Bicara sampai disini, dia lantas jatuh terduduk di tanah. Meski lantai kotor oleh sayur dan
arak yang berceceran hingga mengotori jubah panjangnya, namun dia seperti tidak
merasakannya. Mereka yang mendengarkan kisah tersebut juga sama merasakan anggota badan menjadi
lemas. Hanya Leng-coa Mao Kau meski air muka turut berubah, namun dia masih berdiri tegak.
Mendadak ia melemparkan pedang emas yang dipegangnya ke depan Sin-kiam-sucia Bwe Intay,
kemudian bertanya dengan suara berat, "Samakah pedang emas yang kalian lihat di tepi
danau itu dengan pedang emas ini?"
Kemudian sambil melototi Bwe In-tay kembali dia menghardik, "Mengapa duduk melulu di
lantai" Ayo berdiri! Tak kusangka baru satu urusan saja kalian sudah tak becus!"
Air muka Bwe In-tay berubah menjadi hijau pucat. Cepat ia memungut pedang emas itu, lalu
mengeluarkan pula sebilah pedang emas dari sakunya dan dibandingkan satu sama lain, lalu
diserahkan kepada Mao Kau dan berkata, "Pedang emas ini tecu cabut dari dada anggota Sinpiantui yang tewas, keduanya persis sama."
Mao Kau mendengus. Diterimanya kedua pedang kecil itu dan diperhatikan sekejap, lalu
dengan kening berkerut ia termenung berapa saat lamanya.
Suasana dalam rumah makan itu menjadi sunyi senyap, yang terdengar hanya suara napas.
Mao Bun-ki melirik sekejap Ko Bun yang tertidur di meja, lalu dia menghampiri ayahnya dan
turut mengawasi kedua bilah pedang emas itu.
Sebaliknya Pat-bin-ling-long Oh Ci-hui menghampiri Bwe In-tay, bisiknya, "Setelah terjadi
peristiwa disana, apakah kalian segera balik kemari?"
Bwe In-tay mengangguk, "Setelah mengangkut jenasah Ki-jisiok ke dalam kereta, tecu
serahkan jenasah itu kepada kusir. Malam itu juga kupulang kemari, sepanjang jalan tecu sudah
dua kali berganti kuda, sedetik pun tidak berhenti."
Mendengar laporan itu, Pat-bin-ling-long Oh Ci-hui berkerut kening, pikirnya, "Kalau dihitung
waktunya, kedatangan In-tay memang termasuk cepat. Apakah Kim-kiam-hiap mempunyai
sayap dan bisa terbang mendahului mereka" Kalau tidak, siapa pula yang melepaskan pedang
emas barusan" Ditinjau dari kemampuan orang itu melepaskan senjata rahasia, jelas tenaga
dalamnya telah mencapai puncaknya. Masa Kim-kiam-hiap memiliki ilmu memisahkan badan
dan sekaligus berada di dua tempat?"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Ternyata apa yang sedang direnungkan Leng-coa Mao Kau pada waktu itupun persis seperti
apa yang dipikirkan Oh Ci-hui.
Diantara sekian banyak orang hanya Hwe-gan-kim-tiau Siau Ti seorang yang tertawa dingin
tiada hentinya sambil menunjukkan sikap seakan-akan senang dengan adanya bencana yang
menimpa orang. Suasana kemurungan menyelimuti seluruh ruangan rumah makan itu dan mencekam


Tujuh Pedang Tiga Ruyung Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perasaan setiap orang.
Tiba-tiba terdengar Mao Bun-ki menjerit kaget, lalu berseru dengan gugup, "Ayah! Coba lihat,
tulisan yang tertera pada tangkai pedang itu tidak sama!"
Cepat Mao Kau mengamati pedang emas itu. Air mukanya kontan berubah hebat. Alis
matanya bekernyit erat, sinar matanya memancarkan rasa kaget bercampur ngeri. Sikap
semacam ini belum pernah terjadi sebelumnya.
Sementara itu orang-orang yang agak rapat hubungannya dengan dia seperti Cu-bo-sianghui,
Pat-bin-ling-long dan lain-lain segera maju mendekat dan sama-sama memperhatikan
kedua bilah pedang dengan seksama.
Kalau pada pedang yang pertama terukir tulisan "Kong-to-ci-kiam" atau pedang keadilan,
maka pada pedang yang lain terukir kata yang berbunyi "Ih-hiat-hoan-hiat" atau dengan darah
membayar darah, empat huruf yang mengerikan.
Air muka Leng-coa Mao Kau pucat pasi, segera ia menyerahkan kedua pedang kecil itu
kepada Oh Ci-hui yang berada di sisinya, lalu mendongakkan kepala dan termenung.
Kembali Oh Ci-hui menimang kedua pedang emas itu sambil mengamatinya lagi, kemudian
katanya, "Walaupun bentuk dan potongan kedua pedang ini sama, namun warna emasnya
berbeda. Ai, urusan ini makin lama semakin aneh, sungguh membuat orang tidak habis
mengerti."
Leng-coa Mao Kau yang berdiri di depan jendela sambil termangu-mangu itu mendadak
tertawa seram, suaranya tak sedap didengar.
Dengan tercengang semua orang berpaling dan mengawasi pentolan dunia persilatan itu.
Kembali Mao Kau tertawa seram, katanya kemudian, "Peristiwa ini memang aneh, sungguh
tak kusangka keparat she Siu itu betul-betul mempunyai keturunan yang akan membalaskan
dendam baginya. Bagus, bagus sekali! Bagaimanapun setiap masalah pada saatnya memang
harus diselesaikan. Aku juga ingin menghadapinya!"
Lalu ia mengibaskan lengan baju dan berjalan ke mulut tangga sambil berkata lagi, "Tinglote,
nona Lim, Oh-losam, kalian ikut aku pergi. Ho-losu urus persoalan disini, jagalah
keponakan perempuanmu baik-baik dan mengantarnya sampai di Hopak."
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Ia berhenti di mulut tangga, lalu berpaling ke arah putrinya seraya menambahkan, "Anak Ki,
segera kau pulang ke tempat gurumu. Sepanjang jalan jangan buang-buang waktu lagi."
Baru saja Bun-ki mengangguk, ayahnya lantas berpaling ke arah Bwe In-tay sekalian
sembari berkata, "In-tay, Tang-san, kalian berdua beristirahat dulu disini, kemudian ikut Hosusiok
menuju ke Hang-ciu. Sepanjang jalan sekalian memberitahukan kepada semua saudara
di daerah agar jangan mencampuri urusan apapun selama tiga bulan ini. Pelihara tenaga baikbaik
sambil menantikan perintahku selanjutnya."
Gembong dunia persilatan ini memang tak malu sebagai seorang pemimpin. Walaupun saat
ini dia rada gugup, namun pikirannya tak sampai kacau. Setiap patah katanya merupakan
perintah yang tegas.
Tiba-tiba ia maju selangkah lagi, kemudian katanya pada Hwe-gan-kim-tiau berdua dengan
suara dingin, "Hari ini aku orang she Mao takkan menyusahkan kalian lagi. Selama gunung
tetap hijau dan air tetap mengalir, selanjutnya apakah kita akan bermusuhan atau berteman
terserah kepada keputusanmu sendiri."
Selesai berkata, tanpa menggubris Siau Ti lagi, segera dia turun dari loteng itu.
Siau Ti tertegun sejenak, lalu menghela napas panjang.
Sementara itu, Cu-bo-siang-hui melirik sekejap ke arahnya dengan pandangan dingin, lalu
turun ke bawah loteng. Pek-poh-hui-hoa Lim Ki-cing tertawa dingin. Setelah melirik sekejap ke
arah Ko Bun yang masih tidur mendekap meja, segera iapun berlalu.
Perasaan Hwe-gan-kim-tiau waktu itu sangat kusut. Selain mendongkol iapun agak putus
asa. Dia tak mengira perjalanannya kali ini hampir saja mengantarnya ke liang kubur, apalagi
bila terbayang kembali kilasan pedang yang nyaris menembus dadanya, mau tak mau jago tua
yang sudah puluhan tahun tersohor dalam dunia persilatan ini merasa ngeri.
Akhirnya dia menghela napas panjang. Sambil mengelus jenggot dia turun dari loteng.
Langkahnya nampak jauh bertambah tua.
Dalam waktu singkat, di atas loteng rumah makan itu tinggal beberapa orang saja.
Mao Bun-ki mendepak sebuah mangkok pecah, mangkok itu menggelinding ke bawah dan
hancur berantakan.
Iapun menghela napas, lalu berkata kepada Thi-jiu-sian-wan, "Susiok, kutinggal di
penginapan Khing-hok, sebelah kanan jalan. Setelah beristirahat setengah hari lagi segera
kuberangkat. Bila engkau ada urusan penting yang harus diselesaikan, akupun tak perlu
merepotkan dirimu lagi."
Waktu itu pikiran Thi-jiu-sian-wan sendiripun agak kacau. Mendengar perkataan itu dia lantas
manggut-manggut, "Sepanjang jalan mesti hati-hati. Kalau memerlukan sesuatu, katakan saja
kepadaku," pesannya.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Bun-ki geleng kepala. Dia menghampiri Ko Bun, ia tepuk bahunya perlahan sambil berbisik,
"Engkoh Bun, ayo bangun!"
Ko Bun mendongakkan kepalanya dan memandang sekejap ke sekeliling tempat itu dengan
bimbang, lalu menggeliat dan menguap lebar-lebar. Perlahan dia bangkit berdiri, tertawa
kepada Thi-jiu-sian-wan dan turut turun dari loteng.
Sin-kiam-sucia memandangi bayangan punggung kedua orang itu menjauh, diam-diam ia
meludah dan menyumpah, "Sialan! Betul-betul kutu buku tak berguna!"
Rupanya anak muda inipun jatuh cinta terhadap Mao Bun-ki, tak heran kalau hatinya
cemburu menyaksikan kemesraan kedua orang itu.
Baru saja Thi-jiu-sian-wan berkerut kening, terdengar suara langkah kaki menaiki anak
tangga. Ternyata Pat-bin-ling-long Oh Ci-hui telah balik kembali.
Dengan terburu-buru dia naik ke atas loteng dan serahkan sebilah pedang emas kepada Ho
Lim sambil memberi pesan dengan suara tertahan, "Toako suruh kau mengirim beberapa orang
saudara yang dapat dipercaya untuk melakukan penyelidikan ke setiap toko emas di kota
sekitar Tin-kang. Selidiki beberapa bulan belakangan ini apakah ada orang yang memesan
pedang kecil dari emas seperti ini. Kalau ada, ingat baik-baik bentuk wajah orang itu dan berapa
usianya. Tugas ini harus dilaksanakan cepat dan jangan sampai bocor."
Setelah berhenti sejenak, agaknya sedang mempertimbangkan sesuatu, akhirnya dia
berbisik lagi di telinga Ho Lim, "Masih ada satu lagi. Harap sute mengutus beberapa Saudara
dari Thi-ki-tui agar secepatnya menuju ke Oh-tang dan selidiki orang-orang kaya disitu apakah
ada yang she Ko. Selidiki asal-usul dan keadaan keluarganya, lalu cepat laporkan kepadaku."
Thi-jiu-sian-wan Ho Lim mengiakan berulang kali.
Saat itulah Pat-bin-ling-long baru mengendurkan wajahnya yang tegang dan memperlihatkan
senyuman. "Selama beberapa hari ini, aku selalu melakukan perjalanan tiada hentinya. Benar-benar
letih sekali. Sute, cepat siapkan santapan dan arak bagiku. Hahaha, lebih baik lagi bila panggil
beberapa orang perempuan. Aku harus bersenang-senang dulu disini setengah harian. Malam
ini aku mesti berangkat lagi ke Hang-ciu. Ai, kalau orang sudah jadi gemuk betul-betul semakin
malas bergerak, tapi urusan makin lama semakin runyam dan terpaksa aku harus banyak
bergerak."
Thi-jiu-sian-wan tersenyum, dia mengalihkan sorot matanya ke luar jendela. Sang surya
sudah tinggi di tengah langit, tampaknya sudah dekat lohor lagi.
--- ooo0ooo --TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Sambil menguap berulang kali Ko Bun mengikuti Mao Bun-ki turun dari loteng. Baru saja
berbelok ke sebelah kanan, sekilas dilihatnya bayangan Pat-bin-ling-long Oh Ci-hui sedang
mendekat secara bersembunyi-sembunyi.
Tergerak hati Ko Bun, tapi ia belagak tidak melihatnya. Ia mengikuti Mao Bun-ki dan
menyeberangi jalan yang banyak dengan lelaki berbaju emas secara berkelompok.
Tiba-tiba Bun-ki menyikutnya sambil mengomel, "Coba lihat tampangmu, baru sehari tidak
tidur, berjalan saja bergontai!"
Ko Bun tertawa, "Nona, aku tak bisa dibandingkan dengan dirimu. Engkau adalah seorang
pendekar wanita yang pandai bermain golok, sedang aku tak becus. Apalagi setelah bergadang
semalam suntuk, sekarang kakiku seperti tidak mau turut perintah lagi."
Mendengar itu Bun-ki tertawa cekikikan, "Coba lihat tampangmu yang rudin ini, kapan-kapan
pasti akan kupaksa kau belajar silat. Kalau tidak, melihat keadaanmu yang begini lemah,
dibandingkan seorang nona pun kalah. Sekali ditonjok orang pasti segera roboh."
Ko Bun tertawa, mendadak ia berhenti dan bertanya, "Hal lain saja aku tidak heran, ilmu
silatpun aku tak ingin berlatih. Tapi ingin kutanya padamu, sebetulnya keanehan apa yang
terdapat dalam pedangmu itu" Mengapa semua orang yang menyentuhnya seketika
berloncatan macam monyet keselomot" Eh, apakah gurumu adalah seorang ahli main sulap?"
Bun-ki tertawa terpingkal-pingkal mendengar perkataan itu. Sembari menggeleng ia berkata,
"Pertanyaanmu itu tak dapat kujawab."
Setelah berhenti sejenak, lalu dia melanjutkan, "Sekalipun pedang ini bukan pedang dewa,
tapi kesaktiannya tak perlu diragukan. Sejak kecil guruku memang menggemari segala macam
benda yang aneh. Beliau banyak mengorbankan pikiran dan tenaga, akhirnya baru berhasil
membuat pedang ini. Sering kudengar ia bilang banyak pedang jaman kuno yang tersohor,
tetap tak bisa melebihi kelihaian pedang ini. Hehehe . . . pantas dia tak tahan, coba kau lihat si
gemuk semalam, dia . . . "
Gadis yang cantik dan polos itu lantas tertawa cekikikan pula.
Mendadak dilihatnya wajah Ko Bun sama sekali tidak dihiasi senyuman, cepat ia hentikan
gelak tertawanya dan mengalihkan pokok pembicaraan ke masalah lain.
"Ai, salahku sendiri. Apa gunanya kubicarakan hal ini denganmu?" demikian dia berkata
dengan lembut. "Hei, aku ingin tanya padamu, setibanya di Hopak aku akan mencari guruku,
dan kau, hendak kemana kau?"
"Soal ini . . . "Ko Bun termenung sampai lama.
Mendadak dilihatnya dari depan muncul seorang berjubah panjang warna biru yang sudah
memutih. Perawakannya jangkung. Meski pakaiannya jelek, namun wajahnya bercahaya, sama
sekali tidak memperlihatkan tanda orang rudin.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Orang itu langsung menghampiri Ko Bun, kebetulan Ko Bun memandangnya. Ketika empat
mata bertemu, orang berbaju biru lantas tersenyum kepada Ko Bun.
Raut wajah orang ini kelihatan keras hati, diantara kerut alisnya tampak tiga garis kerutan
yang dalam. Dengan cepat orang berbaju biru itu lewat di samping Ko Bun. Ketika Ko Bun berpaling,
kebetulan orang itu pun menoleh hingga empat mata kembali beradu pandang.
Merah wajah Ko Bun, buru-buru ia berpaling kembali, namun hatinya betul-betul terpesona
oleh kegagahan orang berbaju biru tadi.
Mao Bun-ki segera mencibir dan mengomel pula, "Huh, orang bertanya padamu, kenapa kau
tidak menjawab" Memangnya kau bisu atau tuli?"
Ko Bun memandang sekejap nona yang polos tapi agak binal itu, mendadak hatinya
tersentuh, buru-buru dia berpaling ke arah lain. Sambil menuding rumah penginapan Khing-hok
di depan sana, katanya sambil tertawa, "Bagaimana kalau kita pulang dulu ke rumah
penginapan" Coba lihat, banyak orang di tepi jalan sedang mengawasi kita."
Bun-ki segera melirik sekejap ke sekeliling tempat itu. Benar juga, puluhan pasang mata
sedang mengawasi mereka. Kontan saja pipinya berubah merah jengah.
"Aku tak takut dilihat orang. Mau lihat biarlah lihat, apa ruginya?" omelnya pula sambil
melanjutkan perjalanan mengikuti Ko Bun kembali ke rumah penginapan.
Bun-ki binal dan cerdik. Dia pura2 marah dan berusaha merebut perhatian sang kekasih.
Tapi selama ini Ko Bun hanya tersenyum belaka, sedikitpun tidak tertarik hatinya.
Tapi sikap Ko Bun ini tidak terlihat oleh Mao Bun-ki yang sedang mabok kepayang. Dia
mengira hatinya sudah ada yang punya, maka segala cinta kasihnya hanya dilimpahkan kepada
Ko Bun seorang.
Kalau dibilang Ko Bun berhati sekeras baja, jelas tidak. Hal ini terbukti sorot matanya
maupun senyumannya terkadang juga menampilkan perasaan sayang. Tapi entah mengapa
pemuda itu dapat mengendalikan perasaannya itu. Tiap kali timbul perasaan mesra seperti ini,
dia selalu menutupinya dengan senyuman yang sukar diraba artinya.
Sekembalinya di rumah penginapan, Bun-ki segera bertanya macam-macam, termasuk
maksud tujuan Ko Bun dan asal-usulnya. Sebab makin mendekati wilayah Hopak, berarti saat
mereka untuk berpisah juga semakin dekat.
Sekalipun Bun-ki merasa berat hati, namun iapun tak berani tidak pergi ke tempat suhunya.
Sebab itulah dia berusaha mencari tahu seluk beluk Ko Bun agar anak muda itu mau
menyatakan hasrat akan menantikan dia.
Akan tetapi Ko Bun selalu menghindari pertanyaannya. Menyuruh pemuda itu bicara setulus
hati rasanya lebih sukar daripada mendaki langit.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Maka Bun-ki menjadi marah, dengan cemberut ia kembali ke kamarnya.
Ko Bun sendiri cuma tersenyum. Ia tidak menyusulnya, tapi seorang diri berdiam di dalam
kamarnya sambil berjalan mondar-mandir. Kemudian ia minta alat tulis pada pelayan dan
ditaruh di meja saja tanpa bermaksud menulis apa-apa.
Betul juga, selang tak lama, Mao Bun-ki muncul kembali di dalam kamarnya dan menemani
Ko Bun berbincang-bincang dengan segala kelembutan hatinya. Ko Bun sendiri hanya
tersenyum dan mendengarkan saja, ia tidak marah juga tidak gembira.
Berbincang dan berbincang, langitpun menjadi gelap. Bun-ki merasakan matanya semakin
berat hingga akhirnya dia menguap dan menggeliat.
Maka Ko Bun pun menemaninya pulang ke kamarnya untuk tidur. Ia duduk di kursi tepi
pembaringan. Dilihatnya gadis itu mulai pulas, sekulum senyuman tampak menghiasi bibirnya.
Hati Ko Bun tidak tahan, pelahan dia menjulurkan tangannya hendak membelai tangan si nona
yang berada di luar selimut.
Tapi baru saja tangannya terjulur ke depan, dengan cepat dia menariknya kembali.
Kemudian berdiri dan diam-diam balik ke dalam kamar sendiri.
Setelah duduk termenung sejenak, dia ambil pinsil dan menulis sepucuk surat yang berbunyi
: "Orang berbaju biru, tiga puluh tahunan, berwajah kurus, diantara alis ada kerutan, mata
bersinar tajam. Perhatikan gerak-gerik orang ini dan arah kepergiannya. Bila ada kabar segera
laporkan."
Setelah berhenti dan termenung, ia berjalan bolak-balik di dalam kamar, lalu duduk kembali
dan menulis lagi.
"Orang she Mao sudah kembali ke Hang-ciu, awasi gerak-geriknya. Ho Lim yang berada
disini bila melakukan suatu gerakan harus segera laporkan kepadaku. Hati-hati dengan jejak
kalian. Ingat! Ingat!"
Selesai menulis, dia membaca surat itu sekali lagi, kemudian melipatnya menjadi lipatan
kecil, digenggam dalam tangan dl keluar dari rumah penginapan.
Dia mengawasi sekejap sekitar situ. Seorang lelaki berdandan sebagai calo muncul dari
sudut jalan sana. Ko Bun segera menjentikkan jari tangannya. Lipatan kertas tadi segera
melayang ke tangan orang itu.
Setelah menerima surat tadi, bagaikan tak pernah terjadi sesuatu dia lantas berlalu dari situ.
Ko Bun tetap berdiri di depan pintu sambil memandang kian kemari. Mendadak dia melihat
sesuatu yang membuat hatinya bergetar keras.
Ternyata entah sejak kapan orang berbaju biru itu telah muncul disitu dan sedang
memandang ke arah Ko Bun sambil tersenyum dan segera berlalu.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Hal ini semakin mengherankan Ko Bun. Ia menunduk kepala dan tak berani lagi
memperhatikan orang itu. Ia masuk ke dalam rumah penginapan. Ketika ia melirik lagi, ternyata
orang berbaju biru itu sudah menghilang entah kemana.
Tidur Mao Bun-ki macam orang mati saja, tidur sejak sore sudah lewat tengah malam masih
sangat nyenyak.
Bagaimana dengan Ko Bun sendiri" Dia sama sekali tidak kelihatan lelah atau mengantuk
lagi. Malah dipesannya santapan dan arak, ia makan minum sendiri dengan lahap. Setelah
makan minum, ia bersandar di pembaringan sambil memikirkan persoalan yang dihadapinya.
Sebetulnya apa yang sedang ia pikirkan" Tentu saja tak ada yang tahu, hanya saja wajahnya
kini diliputi rasa sedih. Sebentar marah dan tiba-tiba tersenyum sendiri, seperti bangga akan
sesuatu perbuatannya, tapi kemudian lantas berkerut kening lagi.
Menjelang tengah malam pelayan menutup pintu, memadamkan lampu dan tak lama
kemudian segala macam suarapun hilang. Yang terdengar cuma suara kucing liar sedang
mengeong tiada hentinya di atas rumah.
Tapi Ko Bun belum lagi tidur. Makin sunyi keheningan malam, pikirannya juga tambah
bergolak. Suara kucing di luar sana semakin keras, bahkan kebetulan sekali berada di atas
kamar Ko Bun. Dengan kening berkerut pemuda itu melompat turun dari pembaringan,
membuka jendela dan melongok keluar.
Di depan sana adalah sebuah halaman panjang. Di halaman itu tumbuh pelbagai macam
bunga yang sedang mekar. Diembus angin malam semilir dan sinar bulan yang lembut, bunga
mekar itu ibarat gadis cantik yang sedang menari.
Di sebelah sana adalah dinding pekarangan yang tinggi. Waktu itu dalam halaman tak
nampak sesosok bayanganpun, tapi suara kucing mengeong di atas atap rumah semakin keras.
Ko Bun memperhatikan sekejap ke sekeliling tempat itu, setelah yakin di sekitar situ tak ada
orang, 'sastrawan yang lemah tak bertenaga' ini segera menyingsing jubah panjangnya dan
melompat keluar melalui jendela.
Bagaikan segulung asap tubuhnya melayang keluar dan melambung di udara, kemudian
dengan enteng dia hinggap di atap rumah.
Tanpa menimbulkan suara, Ko Bun berjalan di atas atap dan mengebaskan lengan bajunya
ke arah kucing yang menjemukan itu. Sambil mengeong kucing tadi segera kabur jauh-jauh.
Ko Bun tersenyum, mendadak dari arah wuwungan rumah sebelah depan terdengar seorang
berseru memuji, "Sungguh hebat kepandaianmu!"
Ko Bun terperanjat, sambil merentangkan tangan ia siap siaga, ia membentak dengan suara
tertahan, "Siapa di situ?"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Dari wuwungan rumah sebelah depan sana kembali terdengar suara tertawa dingin. Sesosok
bayangan hitam melompat sejauh empat tombak bagaikan anak panah yang terlepas dari
busurnya. Kemudian dengan beberapa kali lompatan lagi ia hendak kabur ke tempat kegelapan.
Setelah jejaknya ketahuan, sudah barang tentu Ko Bun takkan membiarkan orang itu kabur
dengan begitu saja. Baru saja orang berbaju hitam itu melejit pergi, segera ia menerjang ke
depan seraya membentak tertahan, "Sobat, tunggu sebentar!"
Tapi gerak tubuh orang berbaju hitam itu cepat sekali, baru saja Ko Bun menerjang ke
depan, orang itu sudah kabur jauh. Tanpa ragu lagi Ko Bun segera mengejar, sekali melompat
iapun melesat sejauh empat tombak lebih.


Tujuh Pedang Tiga Ruyung Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ilmu meringankan tubuh kedua orang sama-sama telah mencapai puncaknya. Hanya dalam
beberapa kali lompatan saja, mereka telah melewati puluhan wuwungan rumah.
Ko Bun terkesiap, pikirnya, "Jika orang ini sekomplotan dengan Mao Kau, sungguh akan
mendatangkan bahaya."
Berpikir demikian dia percepat larinya dengan harapan bisa menyusul orang itu.
Tapi orang berbaju hitam itu melompat pergi lebih dulu, selisih jarak mereka sudah tujuhdelapan
tombak. Tapi setelah Ko Bun 'tancap gas', jarak mereka makin lama semakin pendek
dan tinggal empat-lima tombak saja.
Diam-diam Ko Bun terkejut oleh kecepatan orang berbaju hitam itu, sebaliknya orang berbaju
hitam itupun terkejut oleh kelihaian ilmu meringankan tubuh Ko Bun. Dia tak menyangka
seorang pemuda lemah lembut ternyata memiliki tenaga dalam sedemikian hebatnya. Kalau
tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri, siapapun takkan percaya.
Dalam sekejap mereka telah berada di luar kota. Di depan adalah tanah datar dan kelihatan
hutan yang lebat.
Ko Bun makin gelisah. Dia tahu bila orang menyusup masuk ke dalam hutan niscaya dia
akan mengalami kesulitan untuk membekuknya.
Tempat itu sunyi senyap, segera Ko Bun mempercepat pengejarannya sambil membentak,
"Sobat, buat apa main sembunyi" Kita sama-sama lelaki, ada urusan apa boleh dibicarakan
berhadapan, kenapa kau kabur terus" Jika kau tetap lari, jangan menyesal bila aku takkan
sungkan-sungkan lagi."
Orang berbaju hitam itu tertawa terbahak-bahak, dia malah percepat larinya ke depan.
"Hahaha, saudara tak perlu sungkan, "katanya, "kalau bicara soal main sembunyi, mungkin
kau lebih pandai daripadaku."
Diam-diam Ko Bun menggerutu di dalam hati.
Sementara pembicaraan berlangsung, orang berbaju hitam itu sudah makin mendekati hutan
itu. Dalam keadaan begini, Ko Bun merogoh saku dan mengambil semacam senjata rahasia,
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
bentaknya, "Sobat, jika kau tidak berhenti segera orang she Ko akan melepaskan senjata
rahasia." Dia tak ingin melukai orang dengan cara menyergap, maka terlebih dahulu memberi
peringatan kepada lawan.
"Hahaha, bagus sekali! Bagus sekali!" seru orang itu bergelak, "memang ingin kucoba
kelihaian saudara. Kutahu Saudara orang ahli senjata rahasia, silakan melancarkan
seranganmu."
Dengan kening berkerut Ko Bun bergerak maju ke depan, tangan kanan segera diayunkan.
Desing angin tajam secepat kilat menyambar punggung orang berbaju hitam itu.
Serangan ini sangat lihai, tampaknya senjata rahasia itu segera akan bersarang di tubuh
orang itu. Siapa tahu orang itu mendadak tertawa mengejek. Tanpa berpaling telapak
tangannya diayunkan membalik, iapun melepaskan senjata rahasia.
"Trang!" kedua macam senjata rahasia itu saling beradu di udara lalu rontok ke tanah.
Kembali orang berbaju hitam itu tertawa, segera dia berhenti dan berpaling. Dengan
tersenyum aneh dia awasi Ko Bun yang sedang mendekat.
Waktu itu bintang dan rembulan menghiasi angkasa, angin berembus sepoi-sepoi mengiringi
bunyi serangga bagaikan paduan suara di malam sunyi.
Ketika Ko Bun melepaskan serangannya tadi, dia melihat orang berbaju hitam di depan
membalikkan tangannya dan melepaskan selarik cahaya keemasan yang tepat sekali
menghantam senjata rahasia sendiri hingga sama-sama rontok ke tanah.
Hal ini membuat Ko Bun tertegun, cepat iapun menghentikan gerakan tubuhnya sambil
berpikir, "Tanpa berpaling orang ini sanggup merontokkan senjata rahasiaku, kepandaiannya
sungguh hebat sekali. Sedang senjata rahasia yang digunakanpun memancarkan sinar emas,
jangan-jangan orang ini memang dia?"
Perlu diketahui, meski usianya masih sangat muda, namun sejak dilahirkan ia telah belajar
silat. Orang-orang yang mengajarkan ilmu silat kepadanya juga semuanya tokoh sakti dunia
persilatan. Kalau bicara soal 'mendengarkan suara menentukan arah' untuk merontokkan sambitan
senjata rahasia orang bukanlah sesuatu yang mengejutkan, tapi Ko Bun tahu tenaga sendiri
yang disertakan dalam sambitan senjata rahasia tadi disertai kekuatan yang tak mungkin bisa
ditahan oleh jago silat biasa.
Tapi kenyataannya sekarang orang itu sanggup merontokkan senjatanya dengan mudah.
Tak heran Ko Bun terkesiap dan menduga-duga siapa gerangan jago lihai ini.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Ketika ia mendongakkan kepalanya, tertampak orang itu sedang memandang ke arahnya
sambil tersenyum. Diantara kerut alis matanya terlihat ada kerutan dalam, mukanya seperti
sudah dikenalnya. Ternyata dia adalah si sastrawan berbaju biru yang dijumpainya siang tadi.
Dia masih tetap mengenakan pakaian berwarna biru, cuma karena keadaan agak gelap
sehingga sulit membedakan apakah pakaian itu berwarna biru atau hitam.
Dengan sorot mata yang tajam sastrawan berbaju biru itu memandang sekejap ke arah Ko
Bun, mendadak ia menjura dan tertawa terbahak-bahak.
"Bilamana aku mengganggumu di tengah malam, harap Saudara suka memaafkan!" katanya.
"Hahaha, kata 'mengganggu' tak berani kuterima, "sahut Ko Bun sambil tertawa pula. "Meski
aku orang bodoh, tapi sejak berjumpa dengan Saudara pagi tadi segera kutahu engkau adalah
seorang kosen, cuma saja . . . "
Dia berhenti sambil berkerut kening lalu melanjutkan, "Malam2 Saudara berkunjung, entah
ada urusan apa?"
Sastrawan berbaju biru itu tersenyum, "Saudara adalah naga diantara manusia, sudah lama
kuingin berkenalan denganmu, sayang tak ada kesempatan. Maka terpaksa kugunakan cara ini
untuk berjumpa denganmu."
Perlahan dia berjongkok dan memungut sesuatu dari tanah.
Ko Bun berkerut kening, cepat ia meraih ke depan, berusaha merampasnya lebih dulu.
Siapa tahu di tengah gelak tertawa sastrawan berbaju biru itu sudah menyurut mundur,
sementara di tangannya telah bertambah dengan dua bilah pedang kecil berwarna emas yang
bentuknya serupa.
Ko Bun agak terlambat turun tangan sehingga benda miliknya keburu dipungut lawan, dia
menjadi terkesiap.
"Cepat betul gerak tubuh orang ini . . . "demikian pikirnya.
Ketika ia angkat kepalanya, tertampak olehnya sastrawan berbaju biru itu sedang
mempermainkan kedua bilah pedang emas tadi, sambil tersenyum lalu berkata, "Ehm, ternyata
serupa benar . . . "
Tapi segera sastrawan itu berseru tertahan lagi sambil membaca dengan lirih, "Dengan
darah membayar darah, dengan darah membayar darah . . . ."
Salah satu diantara kedua bilah pedang emas tersebut lantas diangsurkan ke hadapan Ko
Bun, katanya, "Pedang ini milik Saudara. Hahaha, kalau di atasnya tak ada tulisan, niscaya sulit
bagiku untuk membedakan!"
Di bawah sinar rembulan tampak wajah Ko Bun yang dingin kaku tanpa emosi. Dengan
termangu dia mengawasi pedang emas di tangan orang, sampai lama ia baru mendongakkan
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
kepala dan tertawa nyaring, "Hahaha, Saudara ini Kim-kiam-tayhiap yang sudah lama
termashur di dunia persilatan itu. Sudah lama kudengar nama besarmu, tak nyana hari ini bisa
berjumpa . . . "
Perlahan dia menjepit gagang pedang itu dengan dua jari.
Meski senyuman masih menghiasi wajah mereka berdua, tapi kedua pihak tampaknya
berniat mengadu kekuatan. Masing-masing pihak telah menghimpun segenap tenaga dalam
pada jari tangan.
Dalam waktu singkat, pedang kecil berwarna emas yang panjangnya cuma belasan senti itu
tertarik oleh jari tangan mereka sehingga mulur, makin lama semakin panjang.
Tiba-tiba sastrawan berbaju biru itu bergelak tertawa sambil menarik kembali tangannya.
Dengan tersenyum katanya, "Tak heran dalam dunia persilatan tersiar berita yang mengatakan
ilmu silat Kim-kiam-tayhiap makin lama semakin hebat. Cara kerjanyapun makin lama semakin
misterius. Rupanya semua itu adalah buah karya Saudara. Meski aku tak ada niat membonceng
jasamu itu, tapi lantaran orang bilang begitu, terpaksa akupun menerimanya."
Dengan pandangan hambar, Ko Bun memandang sekejap pedang emas yang telah berubah
menjadi sepotong tongkat pendek itu. Lalu katanya dingin, "Sebenarnya aku lagi heran
mengapa di kota kecil ini bisa muncul seorang jago selihai ini. Sekarang baru kuketahui engkau
inilah Kim-kiam-tayhiap. Mungkin lantaran anda dengar bahwa di dunia persilatan telah beredar
barang palsu, maka kau datang kemari untuk melakukan penyelidikan."
Tangannya mendadak diayunkan ke depan, 'pedang' yang dipegangnya segera meluncur
dan menancap di atas tanah. Yang tertinggal hanya 'gagang pedang' yang masih bergetar tiada
hentinya di permukaan tanah.
Sastrawan berbaju biru itu hanya melirik sekejap tanpa berubah senyuman yang menghiasi
bibirnya, katanya, "Ucapan Saudara keliru besar. Bahwasanya dengan pedang emas anda telah
melakukan kebajikan dan kemuliaan dalam dunia Kangouw, semua yang kau lakukan
merupakan apa yang sanggup kulakukan selama ini. Justru aku malah berharap bisa muncul
beberapa 'barang palsu' lagi seperti Saudara. Dengan begitu keadilan dan kebenaran dalam
dunia persilatan dapat semakin ditegakkan . . . ."
Agak merah wajah Ko Bun, pikirnya, "Orang bilang Kim-kiam-tayhiap adalah seorang gagah
dan berjiwa luhur. Setelah berjumpa hari ini dapat diketahui nama besarnya memang bukan
nama kosong belaka. Bukan saja aku telah mencatut namanya, sekarangpun mengejeknya, tapi
kenyataannya dia tidak marah. Sebaliknya malahan bersikap sebaik ini kepadaku. . . ."
Berpikir sampai disini, tanpa terasa timbul perasaan simpatiknya terhadap sastrawan berbaju
biru itu. Perlu diketahui, sejak kecil ia sudah hidup sengsara dengan beban dalam hati. Sedang
musuh besarnya rata-rata adalah jagoan pedang yang paling top di dunia persilatan dewasa ini
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
dengan kaki tangan yang tersebar luas dimana-mana. Dia tahu meski dirinya secara kebetulan
mendapatkan penemuan aneh yang sukar diperoleh orang lain, namun bila hendak digunakan
untuk membalas dendam tetap bukan sesuatu yang gampang.
Oleh karena itu cara kerjanya sehari-hari selalu berhati-hati, kuatir jejaknya ketahuan orang
hingga persoalannya terbongkar. Padahal dia seorang yang peramah, tapi karena pelbagai
alasan membuat dia mesti waspada terhadap setiap orang. Tak heran kalau sikapnya terhadap
sastrawan berbaju biru inipun kurang simpatik.
Sastrawan berbaju biru itu terus menerus mengawasi wajahnya dengan sorot mata yang
tajam, di bawah sinar rembulan wajahnya kelihatan tanpa emosi, tapi sebenarnya hatinya tidak
tenang. Ketika sorot mata mereka kembali bertemu, diam-diam Ko Bun menghela napas panjang,
katanya kemudian, "Aku mempunyai asal-usul yang menyedihkan, banyak hal tak bisa
kuceritakan. Bila kuganggu dirimu, harap sudi memaafkan . . . ."
Setelah berhenti sebentar, katanya lagi, "Saudara adalah seorang lelaki sejati, seorang
kesatria tulen, bila engkau tidak menolak untuk berkenalan denganku, hal ini merupakan
penghormatan bagiku, di kemudian hari bila ada jodoh, masih ingin kumohon petunjukmu."
Maksud perkataannya cukup jelas, yakni dia hendak mohon diri.
Tapi sastrawan berbaju biru itu seakan-akan sama sekali tidak paham maksud
perkataannya, dia malah tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, namaku Hong-ceng, she Toan-bok, sampai sekarang akupun belum tanya nama
anda yang terhormat."
Ko Bun menarik muka dan siap berlalu dari situ, sepatah katapun tidak menjawab.
Karuan air muka sastrawan berbaju biru itu agak berubah, pikirnya, "Dengan maksud baik
aku ingin berkenalan, mengapa jual mahal?"
Sudah barang tentu dia tak tahu asal-usul Ko Bun merupakan suatu rahasia besar, bila ada
orang bertanya namanya hal itu justru merupakan pantangan yang paling besar.
Berpikir demikian, ia lantas mendengus, mendadak ia melompat ke depan Ko Bun,
tangannya terentang mengalangi jalan perginya.
Kembali Ko Bun menarik muka seraya berkata dengan dingin, "Saudara, apa maksud
tujuanmu?"
Si sastrawan berbaju biru alias Toan-bok Hong-ceng berkerut kening, kemudian tertawa
terbahak-bahak.
"Hahaha, katakan siapa nama Saudara" Mengapa kau bersikap begini kepadaku" Apakah
diriku tidak memadai menjadi sahabatmu?"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Meskipun senyuman masih menghiasi ujung bibirnya, namun nada suaranya jelas tidak
sungkan lagi. Pucat wajah Ko Bun, sebentar lagi wajahnya berubah menjadi merah lalu dari merah
berubah pucat pula. Agaknya dia sedang berusaha keras mengendalikan hawa amarahnya.
"Dengan Saudara, aku bukan sanak bukan kadang, kitapun tidak terikat oleh perselisihan
apapun, boleh dibilang kita tak pernah saling mengenal. Mengapa Saudara mesti menyelidiki
nama dan asal-usulku?"
Setelah berhenti sebentar dan tertawa dingin, lalu Ko Bun menyambung, "Apalagi meski aku
mempergunakan pedang emas sebagai senjata rahasia, tapi belum pernah mencatut nama
Kim-kiam-tayhiap. Apakah di kolong langit hanya kau saja yang boleh mempergunakan pedang
emas sebagai senjata rahasia?"
Toan-bok Hong-ceng tertegun, kemudian tertawa dan menjawab, "Benar, benar, setiap orang
memang berhak mempergunakan pedang emas. Benda itu bukan monopoli Toan-bok Hongceng
seorang, hanya saja . . . "
Senyum yang semula menghias bibirnya kini lenyap tak berbekas, lanjutnya pula, "Istilah
'barang palsu' tadi juga muncul dari mulut saudara sendiri, aku tidak pernah menyebut
demikian."
Ucapan orang membuat Ko Bun tertegun, untuk sesaat lamanya ia tak sanggup bicara.
Terdengar Kim-kiam-hiap Toan-bok Hong-ceng itu menyambung lebih jauh, "Bila kubilang
tiada hubungan apa-apa denganku, hal inipun tidak kusetujui sepenuhnya."
"Memang ada hubungan apa antara kau dan aku?" bentak Ko Bun, "apakah kau . . . ."
Belum lanjut perkataannya, Toan-bok Hong-ceng telah menukas dengan tertawa, "Saudara,
tahukah kau bahwa harta karun Sam-cai-po-cong yang telah kau angkat dari dasar telaga itu
sesungguhnya adalah harta benda milikku?"
Air muka Ko Bun berubah hebat, dia menyurut mundur tiga langkah, kemudian sambil
menuding serunya, "Sebenarnya siapa kau, kenapa bisa tahu . . . "
Tiba-tiba ia berganti nada dan berseru, "Siapa yang telah mengambil Sam-cai-po-cong,
apakah kau menyaksikan sendiri aku yang mengambilnya?"
"Tentu saja, "sahut Toan-bok Hong-ceng dengan tertawa, "dengan mata kepala sendiri
kusaksikan Saudara mengambil harta karun Sam-cai-po-cong tersebut."
Dia lantas merogoh saku dan mengeluarkan secarik kertas tipis terbuat dari kulit kambing.
Mungkin lantaran usianya sudah kelewat tua maka warnanya telah berubah menjadi kuning.
Toan-bok Hong-ceng membentangkan kertas kulit kambing itu dan diangsurkan ke hadapan
Ko Bun, kemudian katanya lagi, "Benda apakah ini, tentunya Saudara pernah melihatnya
bukan?" TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Melihat benda yang dibentangkan di depan matanya itu, air muka Ko Bun berubah hebat.
Lama sekali dia termenung tanpa menjawab.
Toan-bok Hong-ceng tersenyum. Sambil melipat kembali kertas kulit itu, ujarnya lagi, "Inilah
peta rahasia harta karun Sam-cai. Sewaktu aku mendapatkannya mungkin jauh sebelum
Saudara memperolehnya. Cuma sayang waktu itu aku sedang tekun belajar silat sehingga tak
mungkin memencarkan perhatian mengurus hal tersebut. Kurang lebih setahun yang lalu, waktu
itu ilmu silatku telah berhasil, maka harta karun yang sudah berusia ratusan tahun itu mulai
kucari dengan mengikuti petunjuk peta rahasia ini."
Ko Bun menundukkan kepala sambil termenung, lalu gumamnya lirih, "Lebih setahun yang
lalu . . . ."
Mendadak ia melotot dan berkata, "Mengapa pada waktu itu Saudara tidak mengambilnya?"
Toan-bok Hong-ceng tertawa terbahak-bahak, "Hahaha, waktu itu aku hanya seorang diri,
meskipun ada niat mengambil harta karun itu, namun kurang tenaga. Walau telah kumasuki
tempat harta karun, terpaksa pulang dengan tangan hampa. Mestinya ingin kucari beberapa
orang pembantu untuk menyelam dan megambil harta, tapi selama ini aku sudah terbiasa hidup
malang melingtang seorang diri, untuk mencari pembantu memang gampang, tapi sulit untuk
kulaksanakan."
Bicara sampai disini, perlahan dia masukkan kertas kulit itu ke saku dan melanjutkan,
"Lagipula harta Sam-cai-po-cong tersebut berada di dasar telaga. Bukan saja orang yang akan
mengambilnya harus mahir menyelam dan lagi harus memiliki jiwa pendekar. Selain itu harus
tak ada sangkut pautnya dengan keluarga Siau. Bila salah satu saja dari ketiga hal ini tak
terpenuhi, tidak nanti kuminta bantuannya untuk mengambil harta karun itu."
Diam-diam Ko Bun mengangguk.
Perlahan Toan-bok Hong-ceng mengacungkan tiga jari tangannya dan melanjutkan, "Setelah
kupikirkan pulang pergi akhirnya kuputuskan di dunia saat ini hanya Ngo-oh-sam-liong (tiga
naga dari lima telaga) yang merupakan keturunan Ngo-oh-liong-ong (raja naga lima telaga)
Liong Cai-thian saja yang selain mahir menyelam juga lihai ilmu silatnya. Semua berjiwa
pendekar, tidak kemaruk harta dan merupakan tiga jagoan yang betul-betul jujur. Bila aku bisa
minta bantuan ketiga orang ini untuk mengambil harta barulah segala sesuatu akan berjalan
lancar." Air muka Ko Bun kembali berubah hebat, katanya dengan suara tertahan, "Sayangnya ketiga
orang itu belum tentu ada waktu luang."
"Pendapatmu memang betul, "kata Toan-bok Hong-ceng dengan tertawa, "Sudah dua puluh
tahun Ngo-oh-liong-ong lenyap dari keramaian dunia. Secara beruntun Ngo-oh-sam-liong pun
turut mengasingkan diri, padahal aku tiada hubungan apa-apa dengan mereka, mana mungkin
mereka mau meluluskan permintaanku" Tapi penyakit ingin coba-coba selalu menghinggapi
setiap orang, meski tahu tiada harapan toh hal ini ingin kucoba juga."
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Ko Bun tertawa dingin, sambil bergendong tangan dia memandang bintang yang bertaburan
di langit. Sebaliknya dengan senyum tak senyum Toan-bok Hong-ceng sedang memandangnya,
kemudian melanjutkan, "Setelah bersusah payah, akhirnya aku mendengar bahwa setelah
mengasingkan diri, Ngo-oh-sam-liong tinggal di Tiong-heng-to, sebuah pulau di muara sungai
Tiangkang. Tanpa pikir lagi aku berangkat kesana. Siapa tahu setiba di pulau Tiong-beng, Ngoohsam-liong telah pergi meninggalkan pulau itu. Hanya dua orang bocah saja yang menunggui
pulau itu."


Tujuh Pedang Tiga Ruyung Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Waktu itu aku merasa heran, kalau Ngo-oh-sam-liong sudah mengasingkan diri, mengapa
tiba-tiba meninggalkan pulaunya. Waktu kutanyakan kepada kedua bocah penunggu itu, mulamula
kedua bocah itu tidak mau menjawab. Tapi setelah kudesak lebih lanjut, akhirnya mereka
menerangkan apa yang sesungguhnya terjadi . . . "
Sesudah berhenti sebentar, dia melanjutkan, "Menurut ceritanya beberapa hari sebelumnya
telah datang seorang pemuda tampan mengajak suhunya berbicara semalam suntuk. Malam itu
suhunya lantas pergi bersama pemuda itu. Kutanya mereka apakah sebelum suhu kalian
meninggalkan pesan dia pergi kemana" Kedua bocah itu saling pandang. Tampaknya enggan
bicara, maka akupun berkata bahwa aku sudah bersahabat puluhan tahun dengan gurunya.
Kedatanganku ini lantaran ada urusan penting. Bila dia bicara terus terang pasti suhunya tak
akan marah."
Mendengar sampai disini, Ko Bun tertawa dingin, "Hm, tak kusangka, selain lihai dalam ilmu
silat, kaupun pandai bersilat lidah. Coba orang lain, mungkin kedua bocah itu tak mau bicara
apa-apa." Selesai berkata dia mendengus pula dan memandang ke langit.
Toan-bok Hong-ceng sebaliknya seakan-akan tidak tahu sindirannya, katanya sambil
tertawa, "Terimakasih atas pujianmu."
Ko Bun mendengus dan tidak menggubrisnya.
Terdengar Toan-bok Hong-ceng berkata lagi, "Waktu itu kedua bocah itu mengamati diriku
beberapa kejap kemudian baru berkata, 'sebelum pergi suhu membawa serta pakaian
menyelam yang sudah lama tak pernah dijamah, katanya hendak ke Hongtik-oh, paling cepat
satu bulan dan paling lambat tiga bulan pasti akan kembali. Bila tuan ada urusan penting
hendak menunggu kedatangannya, silakan tunggu saja disini.' Mendengar perkataan itu, aku
terperanjat. Kupikir jangan-jangan mereka telah diundang orang untuk mencari harta karun itu.
Tapi aku pura-pura menolak, 'tidak, tidak usah . . .' Aku lantas meninggalkan mereka. Kudengar
kedua bocah itu berteriak dari belakang, 'Mengapa tuan tidak minum teh dulu?" Meski aku suka
pada kedua bocah itu, tapi lantaran buru-buru harus mengurus harta karun Sam-cai-po-cong
terpaksa aku tidak menghiraukan mereka lagi dan segera pergi."
Ko Bun masih saja memandang awan di angkasa, lalu tertawa mengejek, "Tentu saja, kedua
bocah itu orang macam apa" Mana mereka setimpal bicara dengan Kim-kiam-tayhiap?"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
"Apapun juga sesungguhnya aku tak bermaksud jahat terhadap dirimu, mengapa Saudara
menyindirku berulang kali?" seru Toan-bok Hong-ceng sambil tertawa.
Ko Bun mendengus dan tidak bicara lagi.
Toan-bok Hong-ceng lantas melanjutkan ceritanya," Siang dan malam tanpa berhenti aku
menuju ke Hongtik-oh, tempat harta karun itu terpendam. Waktu itu sehari sebelum Tiong-ciu,
semua rumah merayakannya dengan gembira. Di tepi telagapun diliputi suasana musim gugur.
Di tengah keheningan malam, tertampak ada tiga-lima bayangan sedang kasak-kusuk di tepi
telaga yang sepi itu."
Air muka Ko Bun berubah, sorot matanya mendadak beralih ke wajah Toan-bok Hong-ceng.
Toan-bok Hong-ceng tidak mengacuhkannya, kembali ceritanya, "Aku bersembunyi di balik
semak-semak yang rimbun lebih kurang tujuh tombak dari tepi telaga. Kulihat diantara mereka
ada tiga orang berpakaian selam. Ada lagi seorang pemuda tampan dan seorang meski tak
kukenal, tapi dilihat dari tubuhnya yang kekar dan sinar matanya yang tajam, bisa diketahui dia
adalah seorang jago lihai yang bertenaga dalam sempurna."
"Dalam hati aku berpikir, tiga orang yang berpakaian selam itu pastilah Ngo-oh-sam-liong.
Tapi siapakah pemuda lembut itu" Aku tambah heran setelah menyaksikan sikap orang-orang
itu terhadap pemuda tersebut sangat menghormat. Aku tidak tahu siapa dan berasal dari
manakah pemuda itu?"
Sambil berbicara dengan senyum dikulum dia melirik ke arah Ko Bun berulang kali.
Air muka Ko Bun juga berubah beberapa kali, katanya, "Jika pemuda itu mengetahui tempat
penyimpanan harta karun, sudah barang tentu iapun memiliki peta rahasia. Padahal Ciangbuncosu
Siau-lim-pai telah membagi peta itu menjadi tiga bagian dan tidak ditegaskan harta karun
akan dimiliki siapa. Itu berarti barang siapa mendapatkannya lebih dulu, dialah yang berhak.
Kau sendiri terlambat selangkah, mengapa menyalahkan orang lain" Sedang pemuda itu itu
bisa memiliki peta rahasia, jelas iapun mempunyai asal-usul tertentu, kenapa kau mesti
menyelidikinya terus menerus?"
Toan-bok Hong-ceng tertawa terbahak-bahak. "Hahaha, ucapanmu sungguh cocok dengan
pikiranku. Waktu itu akupun sudah berpendapat demikian. Kalau pemuda itu memiliki peta
rahasia, itu berarti kalau dia bukan murid Siau-lim-pai pastilah ahli waris Hay-thian-ko-yan,
tokoh sakti yang termashur itu . . . ."
"Kalau begitu Saudara berasal dari Bu-tong-pai?" tukas Ko Bun dengan kening berkerut.
Segera pula ia menyadari duduknya perkara, pikirnya, "Pantas Cing-hong-kiam Cu Pek-ih
dari Bu-tong-pai tadi tidak menunjukkan reaksi apapun ketika para jago lain sama panik, pasti
dia diberitahu oleh Kim-kiam-hiap bahwa harta karun itu telah diambil. Maka Bak-it Siangjin dari
Siau-lim-pai pun tanpa banyak bicara segera angkat kaki."
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Dalam pada itu, Toan-bok Hong-ceng lantas tertawa terbahak-bahak, "Saudara memang
bermata tajam. Betul, aku memang berasal dari Bu-tong-pai."
Tergerak lagi hati Ko Bun, ia berpikir pula, "Sejak Pek-locongsu mati, Bu-tong-pai
kekurangan orang pintar. Setahuku, kungfu jago paling tangguh dari Bu-tong-pai dewasa ini,
Cing-hong-kiam Cu Pek-ih pun tidak terlalu tinggi. Aneh juga, kenapa Toan-bok Hong-ceng ini
memiliki ilmu kepandaian sedemikian lihainya?"
Sementara dia memikirkan persoalan itu, Toan-bok Hong-ceng telah melanjutkan kisahnya.
"Walaupun pikiranku terus bekerja, mataku mengawasi pula kelima orang itu. Kudengar
mereka sedang berbicara dengan suara lirih."
"Kudengar pemuda lembut itu lagi tertawa, 'Kalau begitu, aku mesti merepotkan Saudara
Liang!"'. Ketiga orang berpakaian selam itu menjawab, 'Tidak berani, Saudara membawa
perintah dari ayah kami, sekalipun mengharuskan kami bertiga terjun ke lautan apipun kami tak
akan membantah.'"
"Seraya berkata dia menerima beberapa utas tali dari rekannya dan terjun ke dalam air.
Rupanya ketiga orang itu benar-benar adalah Ngo-oh-sam-liong yang termashur itu.
Sedemikian lihainya mereka, sampai waktu terjunpun air tidak nampak berbuih."
Setelah berhenti sebentar, dia melanjutkan, "Disamping kagum atas kelihaian ilmu
menyelam ketiga bersaudara keluarga Liong, akupun merasa heran Ngo-oh-liong-ong Liong
Cai-thian, Liong-loyacu yang sudah lenyap dari dunia persilatan semenjak dua puluh tahun
yang lalu dan tak seorangpun tahu dimana dia berada, tapi pemuda yang masih muda belia itu
mengapa bisa tahu orang tua itu, bahkan membawa pula tanda pengenalnya sehingga ketiga
Liong bersaudara bersedia mengikutinya" Dengan segera aku sadar jangan-jangan apa yang
dibicarakan pemuda itu dengan Ngo-oh-sam-liong seperti apa yang dituturkan kedua bocah
penunggu pulau adalah urusan keadaan Liong-locianpwe belakangan ini sehingga membuat
ketiga Liong bersaudara itu sebentar tertawa sebentar menangis."
"Hm!" Ko Bun mendengus. "Tak heran Saudara dapat menjagoi dunia persilatan. Setelah
berjumpa hari ini baru kuketahui engkau memang amat cerdik. Segala persolan apapun tak
dapat lolos dari pengamatanmu."
"Tidak berani... tidak berani, "seru Toan-bok Hong-ceng sambil tertawa. "Saudara terlalu
memuji diriku, padahal waktu itu aku juga merasa bingung. Kulihat pemuda dan lelaki itu
masing-masing memegang ujung seutas tali dan berdiri di tepi telaga kemudian tangan mereka
terangkat sambil mundur belasan tombak ke belakang. Aku terkejut, kuatir tempat
persembunyianku ketahuan. Siapa tahu sebelum tiba di bawah pohon, tangan mereka terangkat
lagi ke atas. Air terpercik kemana-mana dan muncul empat buah peti. Cepat mereka melompat
maju. Dengan cekatan mereka menarik ke empat peti tersebut dan diseret ke atas tanah."
"Saat itulah baru kutahu, si lelaki itu meski nampaknya berilmu tinggi, sesungguhnya
kepandaian anak muda itu jauh melebihi kepandaiannya."
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Kembali sorot matanya beralih ke wajah Ko Bun, lalu tersenyum penuh arti, "Tak seberapa
lama, mereka telah menaikkan belasan buah peti yang nampaknya berat. Ngo-oh-sam-liong
pun melompat ke permukaan air. Dari lelaki kekar itu mereka menerima sebotol arak dan cepat
diminum beberapa ceguk, kemudian sambil tertawa mereka berkata, 'Sungguh beruntung kami
dapat menyelesaikan tugas.' Sedang si pemuda pun buru-buru menjura dan mengucapkan
terima kasih."
"Kemudian dia membuka peti dan memandangnya sekejap. Waktu itu meski aku berada
lebih kurang sepuluh tombak jauhnya dari tempat mereka, namun lamat-lamat dapat kulihat
mimik wajahnya. Meski tersembul senyumannya namun bukan senyuman kegirangan. Tanpa
terasa kukagumi pemuda itu. Nyata dia bukan sembarangan orang."
Ia memandang sekejap ke wajah Ko Bun, kemudian melanjutkan, "Setelah melirik sekejap,
pemuda itu membisikkan sesuatu kepada lelaki rekannya. Meski aku sudah memasang telinga
tetap tak dapat kudengar apapun. Tiba-tiba lelaki itu bersuit nyaring. Dari empat penjuru
sekeliling tepi telaga segera bermunculan tujuh-delapan lelaki kekar yang masing-masing
membawa sebuah karung goni. Diam-diam aku bersyukur. Coba kalau aku kurang hati-hati,
niscaya jejakku sudah ketahuan orang."
Ko Bun tersenyum, tukasnya, "Bicara tentang kepandaian silat, sekalipun kepandaian lelaki
itu sepuluh kali lipatpun jangan harap akan bisa menemukan jejakmu."
Toan-bok Hong-ceng tertawa, kembali mereka beradu pandang dan masing-masing sama
menunjukkan pengertian yang mendalam. Hanya saja Ko Bun juga was-was dalam pandangan
itu seakan-akan kuatir rahasianya akan diketahui oleh Kim-kiam-hiap.
Sambil tersenyum Toan-bok Hong-ceng berkata pula, "Setelah melompat keluar, kawanan
lelaki berpakaian ringkas itu berdiri dengan tangan lurus ke bawah. Pemuda itu memberi tanda,
segera mereka membongkar seluruh isi peti itu ke dalam karung. Dari jauh kulihat isi peti itu
gemerlapan, ternyata semuanya berisikan emas intan dan mutu manikam yang tak ternilai
harganya."
"Dalam waktu singkat, belasan peti itu sudah tinggal peti kosong saja dan segera diserahkan
kepada lelaki setengah umur yang cekatan itu. Pemuda itu tersenyum, lamat-lamat kudengar
dia seperti berkata begini, 'Saudara Liong, . . . simpan di tempatmu . . . . pasti kudatang . . . .
semua ini berkat bantuanmu.'"
"Lelaki itu memberi hormat, lalu mengajak kawanan lelaki lain berlalu. Meski semua lelaki
kekar itu membawa sekarung barang yang berat, namun langkah mereka sangat gesit, jelas
kepandaian mereka tidak rendah."
"Kemudian, apakah diam-diam kau menguntitnya?" sela Ko Bun dengan kening berkerut.
Toan-bok Hong-ceng tersenyum, "Sebetulnya aku ingin mengikuti mereka, tapi ketika
kualihkan kembali sorot mataku, kulihat entah darimana pemuda tadi sudah mendapatkan
sebuah peti kecil lagi. Kemudian kulihat dia memasang sesuatu benda di dalam belasan peti
kosong tadi. Dari tempat jauh aku tak bisa melihat jelas, tapi kutahu benda itu sebangsa alat
jebakan dan sebagainya. Dia bekerja tiada hentinya. Tak lama kemudian dia berbangkit dan
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
bergelak tertawa, 'Dengan darah membayar darah! Kini kalianpun boleh merasakan bagaimana
rasanya disergap orang secara licik . . .' Setelah berhenti sejenak, dia menambahkan 'Cuma,
aku mesti merepotkan Saudara Liong lagi."
Setelah mengambil napas panjang, dia menyambung pula, "Beberapa patah kata itu
diutarakan dengan nyaring, maka aku bisa mendengarnya dengan jelas. Kulihat Ngo-oh-samliong
tertawa bersama seraya berkata, 'Kenapa engkau sungkan-sungkan, bila dibutuhkan
tenaga kami katakan saja secara langsung.' Selesai berkata, seorang membawa sebuah peti
dan mencebur lagi ke dalam air, sedang pemuda itu sambil menggendong tangan memandang
angkasa seraya bergumam, cuma sekali ini dia bergumam lirih hingga tak sepatah katapun
kudengar."
Ko Bun tertawa dingin. Dia berjongkok dan mencabut pedang emas yang menancap di
tanah. Pedang tersebut masih berbentuk lempengan yang panjang.
Toan-bok Hong-ceng melirik sekejap pemuda itu kemudian melanjutkan, "Tak seberapa lama
kemudian, Ngo-oh-sam-liong telah menceburkan kembali belasan peti besi itu ke dalam air.
Kukira urusan bakal selesai sampai disitu, siapa tahu pemuda itu lantas mengeluarkan
selembar kertas kulit. Sekilas pandang saja kutahu itulah peta rahasia harta karun. Aku heran
dan tak tahu hendak diapakan peta tersebut dibuat jadi lipatan kecil, kemudian dimasukkan ke
dalam sebuah peti kecil berwarna emas, lalu katanya kepada Ngo-oh-sam-liong, 'Jangan kalian
kira kertas ini benda tak berguna. Ini merupakan umpan yang amat berharga, apalagi jika tulang
ini sampai ditemukan anjing-anjing yang sedang kelaparan . . . Hehehe, waktu itu kita akan
mendapat tontonan menarik . . . ."
Mencorong sinar mata Ko Bun, katanya sambil tertawa dingin, "Rupanya segala sesuatunya
dapat kau dengar dengan amat jelas."
Toan-bok Hong-ceng terbahak-bahak, "Hahaha, bukan cuma kudengar jelas, bahkan
kusaksikan pula dengan jelas."
Ko Bun mendelik, dengusnya, "Dulu terdapat seorang yang amat pintar, persoalan apapun di
dunia tak bisa mengelabuhi dia. Ia sendiri amat bangga, siapa tahu malaikat menganggap apa
yang didengarnya dan apa yang dilihatnya sudah kelewat banyak, apa yang dipikirnyapun
kelewat banyak, maka dia dijadikan seorang yang bodoh, tuli dan bisu. Sebaliknya orang yang
lebih pintar daripadanya meski apa yang didengar dan dililhatnya lebih banyak, namun tidak
banyak bicara. Akhirnya orang itu malah bisa hidup aman sentosa sampai akhir hayat."
Sorot matanya beralih ke wajah Toan-bok Hong-ceng, lanjutnya dengan suara dingin,
"Saudara, tahukah kau kiasan cerita tersebut?"
Toan-bok Hong-ceng mendongakkan kepala dan tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, cerita itu memang menarik sekali, umpama diriku, walaupun kutahu pemuda itu
menjadikan peta rahasia harta karun itu sebagai umpan dan jatuh ke tangan anggota Kai-pang,
tapi entah apa yang dilakukan kemudian ternyata Thi-jiu-sian-wan pun mengetahui berita ini
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
sehingga dia membunuh murid Kai-pang itu, lalu secara diam-diam ia mengabarkan kepada
keluarga Siau, pihak Siau-lim-pai dan Kiong-sin Leng Liong dari Kai-pang dengan mengatakan
peta rahasia itu telah jatuh ke tangan Thi-jiu-sian-wan . . . ."
Setelah berhenti sebentar dan mengawasi ke sekeliling tempat itu, dia melanjutkan, "Selain
itu akupun tahu sebabnya pemuda tersebut berbuat demikian adalah karena dia dendam pada
Leng-coa Mao Kau, maka sengaja dia menghasut umat persilatan agar bersama-sama
memusuhinya. Sehebat-hebatnya Mao Kau dengan komplotannya jangan harap sanggup
menghadapi kekuatan umum dunia persilatan!"
Ko Bun mendengus dan berkata, "Tentunya kaupun tahu bahwa pemuda tersebut ialah
diriku." "Benar!"
Belum lenyap suara orang serentak Ko Bun membentak sambil menerjang maju, cahaya
emas berkelebat, langsung dia menusuk dada Toan-bok Hong-ceng.
"Siapakah sebenarnya kau" Apa sangkut pautmu dengan orang she Mao itu?" bentak Ko
Bun. Walaupun ancaman itu sudah berada di atas jalan darah Ji-soan-hiat di dadanya, namun
Toan-bok Hong-ceng tidak berkelit. Dia malah mendongakkan kepala sambil tertawa keras.
Ko Bun tertegun, mendadak ia tarik kembali serangannya sambil tetap menggetarkan
pedangnya. Cahaya emas segera menyelimuti sekitar jalan darah penting di tubuh orang,
namun tidak melukainya.
"Persoalan ini sedikitpun tidak lucu, "bentak Ko Bun, "Bila kau berani tertawa lagi. . . ."
Belum habis ucapannya, Toan-bok Hong-ceng telah menghentikan suara tertawanya dan
mendengus, "Aku tertawa karena melihat wajahmu mirip orang pintar, tak tahunya pertanyaan
yang kau ajukan ternyata sangat bodoh!"
Baru saja Ko Bun tertegun, segera orang itu menyambung pula, "Apakah kau tahu musuh
Leng-coa Mao Kau yang paling besar saat ini adalah diriku" Apakah kau tahu Thi-soan-cu Ki
Mo mampus di tangan siapa" Jika aku mempunyai hubungan dengan Leng-coa Mao Kau,
apakah saat ini kau bisa bermesraan dengan putri kesayangannya yang cantik jelita bak
bidadari kayangan itu?"
Selesai berkata, kembali ia tertawa terbahak-bahak.
Seketika berkecamuk pelbagai pikiran dalam benak Ko Bun, pelahan pedang emaspun
diturunkan ke bawah.
Kembali Toan-bok Hong-ceng berhenti tertawa, ia menatap wajah Ko Bun lekat-lekat, lalu
berkata pula, "Sejak mengintip Saudara dari tepi telaga tempo hari, diam-diam aku merasa
kagum bercampur heran terhadap kemampuan Saudara, maka beberapa hari belakangan ini
setiap saat aku selalu memperhatikan gerak-gerikmu. Kulihat meski usia Saudara masih muda,
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
namun cara kerjamu amat cermat, bahkan manusia licik macam Leng-coa Mao Kau pun kena
kau kibuli. Bahkan kulihat kaupun amat dendam kepadanya, sehingga apa yang kau gunakan
hampir semuanya menirukan apa yang pernah dia lakukan, meski dalam beberapa hal kau lebih
kejam. Akupun melihat semua perbuatan dan tindakan yang kau lakukan tak ada yang
menyimpang dari keadilan. Meski aku jarang bergaul, tapi terhadap Saudara, aku ingin
bersahabat dengan sesungguh hati. Maka bila kau sangka aku mempunyai maksud lain,
sungguh hal ini membuat aku kecewa sekali."
Ko Bun mendongakkan kepala dan menatapnya, ia lihat sorot mata Toan-bok Hong-ceng
menampilkan kegagahan yang mengagumkan, ini membuat hatinya menyesal. Setelah
menghela napas, katanya kemudian, "Aku memang mempunyai dendam kesumat sedalam
lautan pada Mao Kau, sekalipun kucincang dia juga belum bisa melampiaskan rasa benciku.
Oleh karena itu seperti apa yang kau katakan, dalam banyak hal mungkin tindakanku agak licik
dan kejam . . . ."
Ia berhenti sebentar, sinar matanya memancarkan rasa benci yang tebal. Kejadian tragis
masa lampau seakan-akan terbayang kembali dalam benaknya.
Setelah termenung sejenak, kembali dia berkata, "Bukannya aku tak ingin berterus terang
kepadamu, sesungguhnya berhubung masalah ini menyangkut sebab dan akibat yang luas,
masalahnya sendiripun amat ruwet, kuharap keu memaklumi dan tidak menyalahkan diriku."
"Malam ini kudatang mengganggu, sebetulnya dikarenakan suatu persoalan, "Toan-bok
Hong-ceng dengan tertawa.
"Asal kutahu, tentu akan kukatakan."
"Meski selama beberapa hari ini aku telah banyak memahami Saudara, namun masih ada
satu hal yang membuat aku tidak mengerti. Kumohon suka kau jelaskan kepadaku."
Sesudah berhenti sejenak, dia melanjutkan, "Kuduga peta rahasia milikmu pasti hasil
pemberian Hay-thian-ko-yan. Kulihat kaupun mempunyai hubungan yang luar biasa dengan
Ngo-oh-liong-ong Liong-locainpwe. Bahkan kulihat sistem senjata rahasia yang Saudara
pasang dalam peti besi itu, jelas mirip sekali dengan sistem alat jebakan yang sering
dipergunakan oleh Seng-jiu-sianseng pada puluhan tahun lampau. Padahal kedua orang
Locianpwe itu sudah lama lenyap. Entah cara bagaimana Saudara bisa mendapatkan warisan
ketiga orang Locianpwe itu sekaligus?"


Tujuh Pedang Tiga Ruyung Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ko Bun tersenyum, "Ketiga orang Locianpwe itu sama-sama mengasingkan diri di sebuah
pulau terpencil di luar lautan. Berkat jerih payah ketiga cianpwe itulah aku dapat tumbuh
menjadi manusia."
"Aha, pantas semuda ini anda sudah menguasai ilmu silat begini lihai, rupanya engkau
adalah murid ketiga orang locianpwe tersebut, "ucap Toan-bok Hong-ceng sambil tertawa.
"Akupun ingin mengajukan suatu pertanyaan kepada Saudara, "kata Ko Bun dengan tertawa.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
"Hahaha, asal aku tahu, pasti akan kukatakan, "sahut Hong-ceng.
"Tolong tanya, Saudara ini murid Totiang yang mana dalam Bu-tong-pai?"
"Sebenarnya aku hanya seorang pelajar yang gemar mengumpulkan buku kuno. Bahkan
risalah-risalah yang tak lengkappun suku kukumpulkan. Suatu ketika aku menemukan kitab
pusaka peninggalan seorang locianpwe perguruan Bu-tong-pai. Peta rahasia itu kutemukan
terselip dalam kitab tadi."
"Hahaha, pantas kau hebat, "Ko Bun tergelak.
Ketika ia mendongakkan kepala, dilihatnya Toan-bok Hong-ceng sedang termenung seperti
lagi mengenang sesuatu, dia lantas berpikir, "Jangan-jangan orang inipun mempunyai
kenangan masa lalu yang getir?"
Tiba-tiba terdengar Toan-bok Hong-ceng menghela napas panjang, lalu berkata, "Tujuh
belas tahun yang lalu aku terhitung seorang sastrawan rudin. Suatu waktu aku berpesiar dan
kebetulan memergoki sekawanan penyamun mengadang suatu rombongan pengawal barang
dari Ceng-wi-piaukiok yang berasal sekota denganku. Tanpa bicara mereka merampok barang
kawalan tersebut dan melemparkan uang rampokan ke jalan raya. Selagi aku tercengang tibatiba
muncul seorang tojin berpedang dan bertanya kepadaku apakah ingin belajar ilmu dan
beliau mau menerimaku sebagai murid. Kulihat tojin itu berasal serombongan dengan kawanan
penyamun itu. Dengan sendirinya permintaannya kutolak."
Setelah berhenti sejenak, dia melanjutkan, "Kemudian aku baru tahu kawanan bandit itu
dipimpin oleh Leng-coa Mao Kau. Maka setelah tamat belajar kungfu, akupun mulai turun
tangan membegal setiap barang kawalan perusahaan pengangkutan yang ada hubungannya
dengan orang she Mao itu."
Ia mendongakkan kepala dan tergelak, lalu menyambung, "Ini namanya dengan cara yang
sama kita bayar kembali kepada mereka."
Kedua orang itu saling bertatap pandang lalu bertepuk tangan dan tertawa terbahak-bahak.
Rasa curiga yang semula menyelimuti benak Ko Bun terhadap Kim-kiam-hiap pun kini
tersapu bersih.
Sejak kecil hingga dewasa, waktu paling gembira yang pernah dialaminya sebagian besar
dilewatkan di pulau terpencil yang luasnya hanya beberapa ratus li saja. Orang yang bergaul
dengannya kalau bukan guru tentu angkatan tuanya. Meski semua tokoh persilatan yang
berdiam di pulau itu menyayanginya, tapi oleh karena perbedaan usia yang menyolok, apalagi
mereka sudah bosan dengan urusan duniawi, kehidupan selama berpuluh tahun di pulau
terpencil itu membuat mereka hidup hambar. Maka walaupun mereka sayang kepada Ko Bun,
tak pernah rasa sayang tersebut diperlihatkan pada wajahnya.
Oleh karena itulah sejak kecil boleh dibilang Ko Bun belum pernah merasakan hangatnya
persahabatan. Ditambah lagi cita-citanya adalah untuk membalas dendam, hal ini membuat
jiwanya serba terkekang.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Tapi sekarang, setelah dapat berbincang-bincang dengan Toan-bok Hong-ceng secara
santai dan riang, lambat laun dia mulai merasakan makna sesungguhnya dari kata
'persahabatan' tersebut. Perasaan semacam ini belum pernah dirasakan sebelumnya.
Di tengah embusan angin yang menggoyangkan dedaunan, kedua orang itu berjalan
berdampingan dengan riangnya.
Tiba-tiba Toan-bok Hong-ceng berkata, "Kini fajar telah menyingsing. Walaupun aku ingin
berbincang lebih lama lagi dengan Saudara, tapi sayang kutahu Saudara pun tak dapat berdiam
lama disini. Untung waktu selanjutnya masih panjang. Kesempatan buat bersuapun masih
banyak. Asal Saudara tidak keberatan, setiap waktu aku dapat mengunjungimu, cuma . . . "
Setelah menghela napas, dia melanjutkan, "Bila Saudara bercita-cita membalas dendam,
kau harus lebih waspada lagi. Ketahuilah, Leng-coa Mao Kau adalah seorang licik dan licin.
Meski di luar dia seperti tidak menaruh curiga kepadamu, tapi belum tentu demikian halnya di
dalam hati. Saudara gagah dan tampan, namun sejak dulu hingga sekarang, banyak kesatria
yang terjerumus karena cinta. Maka akupun berharap Saudara dapat menimbang secara
bijaksana dalam hal bercinta."
Terkesiap Ko Bun mendengar ucapan itu, serunya kemudian dengan sungguh-sungguh,
"Nasihat Saudara takkan kulupakan."
Tanpa terasa ia terbayang akan nasib ayahnya dan Sik Ling, bukankah merekapun korban
'cinta'" akibatnya yang satu mati muda dan yang lain hidup sengsara.
Diam-diam ia menghela napas panjang, dilihatnya sorot mata Toan-bok Hong-ceng
memancarkan sinar kejujuran. Tanpa terasa digenggamnya tangan pemuda itu erat-erat
sebelum berpisah.
--- ooo0ooo --Rembulan sudah terbenam, cahaya bintang semakin pudar, berdiri di tengah embusan angin
pagi, dengan termangu-mangu Ko Bun mengawasi bayangan punggung Toan-bok Hong-ceng.
Ia merasa orang itu bagaikan seekor naga sakti yang pergi datang sukar diraba, terutama apa
yang diucapkannya sebelum pergi itu telah menggugah perasaannya.
Sambil mendongakkan kepala memandang angkasa, ia bergumam sedih, "Siu Su . . , wahai
Siu Su . . . walaupun namamu Siu Su (permusuhan disudahi), namun sakit hati ayah tak boleh
diabaikan. Akan tetapi dapatkah kaulupakan ibumu yang telah memeliharamu serta tujuannya
memberi nama tersebut kepadamu" Bila kaubunuh musuhmu, apakah hal ini tak akan
menyedihkan ibu" Dan bila tidak kaubalas dendam, apakah kau punya muka untuk bertemu
dengan arwah ayahmu di alam baka?"
Setelah menghela napas panjang, gumamnya pula dengan sedih, "O Thian, berilah petunjuk
apa yang mesti kulakukan" O ayah . . . kutahu betapa dalamnya cintamu kedada ibu, tapi demi
engkau, terpaksa kubikin ibu bersedih hati . . . ."
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Ia mengentak kaki beberapa kali, lalu melanjutkan, "Aku tak peduli manusia macam apakah
dirimu, tapi kutahu engkau seorang tua yang jujur dan lurus. Engkau tak mungkin melakukan
perbuatan rendah. Siapapun yang membunuh engkau, tetap akan kubalaskan dendam bagimu,
sekalipun . . . sekalipun orang itu adalah saudara kandung ibu sendiri."
Fajar sudah menyingsing, buru-buru dia balik ke kota. Sudah bulat tekadnya, persoalan
macam apapun tak kan mempengaruhi dan mengubah tekadnya yang diucapkan sebelum
meninggalkan pulau Hay-thian-ko-to, yakni membalas dendam.
Mungkin dia tak akan membunuh Leng-coa Mao Kau dengan tangan sendiri, akan tetapi dia
akan membuat gembong dunia persilatan yang termashur itu mati dalam perangkap yang akan
diaturnya. Siu Su, inilah nama asli pemuda "Ko Bun", dia putra Siu Tok yang menjadi korban
keganasan Mao Kao, cara bagaimana dia akan menuntut balas "
Siapa pula sesungguhnya pemuda Toan-bok Hong-ceng "
- Bacalah jilid ke 8
Jilid 08 Gerak tubuhnya enteng dan cepat, meskipun waktu itu sudah saatnya matahari terbit,,
namun orang lain sukar melihat jelas gerakan tubuhnya, sekalipun dapat melihatnya juga akan
sangsi mata sendiri yang kabur, karena sukar dipercaya manusia bisa bergerak secepat ini.
Dia mengerahkan segenap tenaganya untuk lari, ia berharap sebelum Mao Bun-ki bangun tidur
ia sudah berada kembali disana.
Apa yang dibicarakannya semalam dengan Toan-bok Hong-ceng masih menggelora dalam
hatinya, sebab pembicaraan itu telah membangkitkan kenangan masa lalu dan membangkitkan
kemurungannya selama berapa hari belakangan ini.
Udara pagi sejuk bagaikan baru diguyur air, kota pada waktu pagi pun tampak semarak,
inilah udara cerah yang sering dijumpai didaerah kanglam.
Setelah melewati beberapa wuwungan rumah, dia kembali kerumah penginapan, ia
memperhatikan sekeliling tempat itu, lalu melompat turun kebawah, jendela kamarnya masih
terbuka seperti waktu keluar tadi, segala sesuatunya tiada perubahan.
Empat penjuru amat hening, siapa pun tak akan mengira dia pernah meninggalkan tempat itu
semalam. Ia tersenyum puas dan menyilanap masuk melalui jendela.
Tapi setelah melihat keadaan didalam ruangan, seketika ia terkesiap, cepat ia pegang kusen
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
jendela dan melompat keluar pula.
Kiranya terlihat olehnya ada sepasang kaki yang bersepatu terangkat tinggi-tinggi pada
pembaringannya. Kusen jendela yang lama tak dibetulkan itu mengeluarkan bunyi gemercit
ketika tertekan oleh tangannya.
"Oh, kau telah kembali?" suara teguran diiringi tertawa ringan bergema dalam kamar.
Tiba-tiba jantung Ko Bun berdebar keras, dengan cepat dia melayang turun. Tertampak
bayangan orang berkelebat, sesosok tubuh muncul didepan jendela, dengan senyum dikulum
orang itu berkata, "Cepat masuk, disini tiada orang lain."
Debaran jantung Ko Bun mereda kembali, sebab bayangan tubuh itu bukan orang yang
dikuatirkannya melainkan Sik Ling yang tiada kabar beritanya sejak berpisah dikota Hang-ciu
dulu. "O, rupanya saudara Sik juga datang?" sapanya kemudian sambil tersenyum.
Dia segera melompat masuk kedalam kamar, kemudian merapatkan jendela, keadaan dalam
kamar menjadi gelap, rupanya lilin yang dibiarkan menyala waktu pagi tadi kini sudah padam.
Ia berpaling dan memandang sekejap kearah Sik Ling, pikirnya, "Ketika ia datang tadi, lilin pasti
masih terang, jelas pasti dia yang memadamkan. Anehnya dari mana dia tahu aku tinggal
disini" Apa pula maksudnya datang kemari mencariku?"
Berpikir sampai disini, dia lantas berkaya, "Baru saja aku bepergian hingga membuat saudara
Sik menunggu lama, harap suka dimaafkan?"
Dia lantas mempersilahkan tamunya duduk, kemudian ia pun berduduk, terdengar suasana
dikamar sebelah hening sekali, tampaknya Mao Bun-ki tertidur nyenyak.
Sambil tersenyum Sik Ling duduk dikursi, lalu berkata, "Orang kangouw ada yang biasa
berpesiar ditengah malam, sungguh tak kusangka saudara Siu mempunyai minat berbuat
demikian. Sayang kudatang terlambat dan tak dapat menemani saudara Siu."
Air muka Ko Bun berubah hebat, mendadak ia melompat bangun sambil menatap Sik Ling
lekat-lekat. Tapi setelah melihat sorot mata Sik Ling yang tenang, sedikitpun tidak bermaksud jahat, dia
menghela napas panjang dan duduk kembali.
"Benar, aku she Siu sudah kuketahui hal ini takkan bisa mengelabui saudara Sik."
"Ai, padahal saudara tak perlu mengelabuiku, tujuh belas tahun yang lalu. . . ." Ia berhenti
sebentar untuk menghela napas, kemudian melanjutkan, "Sebetulnya aku adalah teman karib
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
ibumu, selama tujuh belas tahun aku mengembara, tujuanku pun tak lain ingin mengetahui
kabar berita tentang kalian, ingin kuketahui apakah kalian selamat. Kini senang sekali dapat
bertemu dengan dirimu yang sudah dewasa, mana tampan lagi, aku amat girang, Ai, tujuh belas
tahun berlalu tanpa terasa, kupikir ibumu juga tambah tua, bukan?"
Sinar matahari menembus lewat jendela, menyinari wajah jago pedang yang dulu termashur
dalam dunia persilatan itu, usia yang tak kenal ampun, kenangan lama yang terlintas kembali,
senyuman yang selalu menghiasi ujung bibirnya kini pun lenyap.
Ko Bun turut berguman, "Rambut telah memutih. . . . ." Ia mendongakkan kepala, lalu
melanjutkan, "Ya, ibu memang sudah bertambah tua, sebagian besar rambutnya memutih, pada
hakikatnya hampir semuanya berubah, Ai, waktu yang penuh kemurungan dan kesedihan, satu
tahun serasa sepuluh tahun, ucapan ini sering dikatakan oleh ibuku, Sik. . . . paman Sik, benar
juga ucapan itu?"
Pelahan Sik Ling mengangguk, "Lebih baik kau sebut saudara Sik saja kepadaku. . . . selama ini
hidupku seolah-olah sudah melupakan kenangan lama yang takkan kembali, namun mau-takmau
aku harus memikirkannya kembali, Saudara cilik, baik2kah ibumu" Bagaimanakah
penghidupanmu selama ini?"
Ko Bun tertunduk sambil termenung, tapi akhirnya dia mengatakan juga tempat dia meningkat
dewasa, kemudian tambahnya, "Meski rambut ibuku telah putih, tapi badannya tetap sehat, ada
kalanya beliau teringat pada teman lama dan ingin kemari menengoknya, tapi. . . . ."
"Aku tahu, aku tahu. . . . ." bisik Sik Ling sambil menghela napas, "Seandainya aku jadi dia,
akupun takkan kembali." Kemudian setelah berhenti sejenak, dia melanjutkan, "Tak heran
dengan usiamu yang begini muda ternyata menguasai ilmu silat begitu lihay, rupanya kau
mendapat pendidikan beberapa Cianpwe yang termashur namanya pada seratus tahun yang
lalu, Ai, tujuh belas tahun sudah lampau, waktu itu aku masih muda dan menganggap ilmu
pedangku sangat hebat, siapa tahu tiga gebrakan pun aku tak mampu bertahan dibawah
serangannya."
Ia mendongakkan kepala dan menatap wajah "Ko Bun", lalu melanjutkan, "Waktu itu bila kutahu
kedua orang itu bermaksud baik kepada ibumu, tentu aku takkan turun tangan merintanginya."
Ko Bun tertawa pedih, "Ibu pernah menceritakan kisah tersebut kepadaku."
"Selalu kau sebut dirimu sebagai Ko Bun, apakah. . . . ."
"Namaku yang sebenarnya adalah Siu Su, ibu yang memberikan nama itu kepadaku, sedang
nama Ko Bun tak lain cuma nama samaran saja."
Sik Ling menunduk dan berguman, "Siu Su, Siu Su. . . . ." Mendadak ia menengadah dan
berkata lagi dengan suara lantang, "Tahukah kau apa yang dimaksudkan ibumu waktu
memberikan nama itu kepadamu?"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Mata Siu Su terbelalak lebar, memancarkan sinar setajam sembilu.
"Adik cilik." Sik Ling melanjutkan kata2nya, "Kau masih muda dan gagah, inilah masa jayamu,
dengan kecerdasan dan ilmu silatmu sekarang tidak sulit untuk melakukan pekerjaan yang
menggemparkan kolong langit, tapi bila kau lebih menitik beratkan soal dendam kesumat, maka
kau telah salah langkah."
Siu Su berkerut kening, kemudian berkata dengan lantang, "Sakit hati ayah lebih dalam dari
pada samudra, kalau tidak kubalas, apa artinya hidupku ini sebagai putranya?"
Sik Ling menghela napas, "Ai, tapi tahukah kau bahwa musuhmu adalah pamanmu sendiri"
Jika kau berbuat demikian apakah tindakan ini takkan menyedihkan hati ibumu?"
Siu Su menghela napas, ia menunduk, sahutnya dengan suara rendah, "Paman Sik, ibu bilang
di kolong langit hanya engkau seorang merupakan sahabatnya yang paling memahami
perasaannya, sekarang aku baru tahu bahwa perkataan ibu memang betul, dia selalu
merahasiakan peristiwa yang menimpa ayah, tujuannya adalah agar aku jangan membalas
dendam. Tapi. . . .ai, tiada rahasia yang bisa selalu tersimpan dengan rapat, akhirnya aku tahu
juga tentang kematian mengenaskan yang menimpa mendiang ayahku, setelah mengetahui hal
ini, apakah aku dapat tinggal diam" Sekalipun aku tahu tindakanku ini akan melukai hati ibu,
tapi. . . . dendam ayah tetap harus kutuntut balas."
Tiba-tiba Sik Ling tertawa dingin, ejeknya, "Sungguh seorang anak yang berbakti, betul-betul
anak yang berbakti. . . . . ."
Setelah berhenti sebentar, tiba-tiba dia berbangkit dan menambahkan, "Dengan tersiksa ibumu
memelihara dan membesarkan kau, siapa sangka kau hanya tahu berbakti pada ayah kau
bicara soal hidup sebagai anak manusia, padahal ayahmu itu. . . . hmm, hmm!"
"Kenapa dengan ayahku?" tanya Siu Su dengan marah.
"Ayahmu itu. . . .hmm, lebih baik tak kubicarakan." jengek Sik Ling.
Sejak kecil dia dibesarkan bersama dengan Mao Ping, cinta kasihnya begitu mendalam
sehingga boleh dibilang merasuk tulang sumsum, tapi akhirnya semua khayalan indahnya
lenyap, tentu saja hal ini membuatnya dendam pada Siu Tok.
Cuma saja dia adalah seorang lelaki sejati dan berjiwa besar, kendatipun rasa cemburu
membakar hatinya, perasaan tersebut tak pernah dia perlihatkan pada wajahnya. Sampai kini,
rasa cemburu yang telah menumpuk selama belasan tahun baru bisa diutarakan keluar.
Mendengar ucapannya, tentu saja Siu Su gusar,
"Kenapa dengan ayahku?" teriak Siu Su sambil menggebrak meja , "dia adalah seorang
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
pendekar gagah yang tewas ditangan manusia licik. Paman Sik, meski kau teman akrab ibu dan
aku Siu Su menghormat padamu, tapi jika kau berani kurang hormat kepada ayahku, hmm,
jangan menyesal jika aku akan bertindak kasar."
"Bagus sekali, bagus sekali," seru Sik Ling sambil tertawa dingin, "ingin kulihat apa yang
hendak kau lakukan. . . . ."
Tapi sewaktu dia mendongak kepala dan melihat sinar mata Siu Su yang penuh rasa benci dan
kejam itu, tergerak hatinya, Mendadak teringat kembali pada sepak terjang "Siu-sianseng" masa
hidupnya dahulu.
Diam-diam dia menghela napas dan urung bicara lagi, pikirnya, "Jangan2 dunia persilatan akan
muncul seorang gembong iblis lagi?"
Pelahan dia berjalan kepintu, tapi lantas membalik badan dan katanya lagi, "Kalau
keputusanmu sudah bulat, aku pun tak akan banyak omong lagi, cukup asal kau tetap ingat
pada budi kebaikan ibumu yang telah memelihara dan mendidikmu."
"Hal ini sudah tentu," jawab Siu Su dingin.
Dilihatnya diatas meja ada cawan air teh, dia segera mengambilnya.
Sik Ling menjengek pula, "Kau tak perlu mengambil air teh lagi, aku hendak pergi, Cuma aku
ingin memberitahukan kepadamu, lain kali jika ingin bepergian malam, padamkan dulu lampu
dan tutuplah jendela, coba kalau tadi aku tidak tidur diranjangmu dan ber-pura2 mendengkur,
nona Mao yang berada dikamar sebelah mungkin sudah masuk kesini melakukan
pemeriksaan."
Diam-diam Siu Su malu hati, tapi diluar dia tetap bersikap dingin, "Terima kasih atas
perhatianmu."
Kembali Sik Ling tertawa dingin, katanya lebih jauh, "Aku tidak membutuhkan rasa terima
kasihmu, kaupun tak perlu berterima kasih padaku."
"Hanya berapa patah kata itukah yang hendak kau sampaikan?"
"Masih ada satu hal lagi, lain kali jika ingin merahasiakan asal-usul sendiri, gunakanlah cara
yang lebih baik, kalau hanya mengaku sebagai anak saudagar kaya dari selatan, jelas jalan ini
sukar ditempuh." Sambil mengebaskan lengan baju pelahan dia berjalan menuju kepintu kamar.
Tiba-tiba bayangan orang berkelebat, dengan wajah dingin Siu Su mengadang dihadapannya
sambil menegur dengan suara tertahan, "Kalau bicara hendaknya bicaralah dengan jelas,
jangan se-tengah2 dan lantas mau tinggal pergi. . . . ."
"Hehe, kalau kukatakan seluruhnya mungkin kau harus berterima kasih kepadaku," kata Sik
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Ling. Siu Su hanya mendengus.


Tujuh Pedang Tiga Ruyung Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Meski kau seorang yang pandai." kembali Sik Ling menyambung. "orang lain pun tidak bodoh,
Leng-coa Mau Kau bisa mempunyai kedudukan seperti sekarang bukan diperoleh secara
kebetulan, dengan usiamu yang masih muda, dan lagi baru kenal dengan Pat-bin-long-kun Oh
Ci-hui tapi segera memberi uang puluhan laksa tahil, mustahil orang tidak curiga. . . .Hm,
memangnya mereka orang goblok semua."
Diam-diam Siu Su mali hati pula, tapi diluar dia tetap berkata dengan ketus, "Kalau curiga lantas
kenapa?" Sik Ling tertawa geli, pikirnya, kekerasan kepala orang ini betul-betul persis bapaknya. Ia lantas
menjawab, "Kalau sudah curiga, tentu diselidiki, anggota Thi-ki-sin-pian-tui mereka tersebar
disepanjang sungai besar dan hampir diseluruh negeri, asal mereka mengirim orang untuk
melakukan penyelidikan, niscaya akan segera diketahui kalau pengakuanmu sebagai anak
saudagar kaya hanya bualan belaka."
Jantung Siu Su berdebar keras, keningnya berkerut dan termenung.
Terdengar Sik Ling berkata lagi, "Cuma sebelum anggota Sin-pian-ki-su mereka sampai
ditempat tujuan, lebih dulu mereka sudah mampus semua ditanganku, jadi kau pun tak perlu
kuatir." Setelah berhenti sejenak dan mendengus, lalu lanjutnya, "Aku berbuat demikian hanya demi
ibumu, kau pun tak perlu berterima kasih kepadaku. . . . Hmm, bila mengingat ayahmu itu. . .
biarpun tidak kukatakan juga kau tahu sendiri."
Mendadak Siu Su membentak dengan gusar, "Sudah tiga kali kau bantu diriku, dikemudian hari
aku pasti membalas lima kali padamu, tapi bila perkataanmu masih tetap tidak menghormati
ayahku, itu lain soalnya dan jangan salahkan aku. . . . ."
Belum habis dia berkata, tiba-tiba diluar pintu terdengar suara seorang tertawa genit dan
berkata, "Hei ada apa" Kenapa sepagi ini sudah marah-marah pada orang?"
Siu Su dan Sik Ling terperanjat.
Ketukan pintu segera terdengar, kemudian suara merdu itu berkumandang lagi, "Bolehkah aku
masuk?" Buru-buru Siu Su menyingkir kesamping, sedangkan Sik Ling memburu kedepan pintu dan
membukanya, katanya sambil tertawa, "Apakah nona Bun-ki yang datang" Pagi benar sudah
bangun!" TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
"Sudah siang, tidak pagi lagi!" jawab orang diluar pintu itu. Menyusul tertawa merdu, sesosok
bayangan berkelebat masuk kedalam.
Begitu Sik Ling melihat siapa yang muncul, tanpa terasa ia menyurut mundur tiga langkah
kebelakang dan memandangi perempuan yang tinggi semampai dihadapannya dengan
tertegun. Siu Su juga heran, pikirnya, "Aneh, kenapa dia bisa datang kemari?"
Sementara itu perempuan tadi masih tertawa cekikikan, ia mengerling sekejap kearah Sik Ling
lalu ia memandang Siu Su, katanya dengan tertawa, "Kau heran bukan yang muncul kenapa
diriku dan bukan adik Bun-kimu?"
Sambil tertawa ia menghampiri Siu Su, lalu menambahkan, "Coba kau lihat, mukamu sampai
pucat karena marah, ada apa sih" Katakan padaku, siapa yang mempermainkanmu" Biar Taci
menghajarnya."
Sedapatnya Siu Su menenangkan diri, setelah berpikir sebentar, dengan tersenyum dia
memberi hormat dan berkata, "Kukira siapa yang datang, tak tahunya Pek-poh-hui-hoa Limsiancu
(dewi Lim), setelah bertemu dengan wajah dewi semalam, sungguh sukar kulupakan,
aku merasa gembira sekali."
Pek-poh-hui-hoa Lim Ki-cing tertawa merdu bagaikan suara keleningan, dia segera mencolek
dahi "Ko Bun" dengan jarinya yang putih bersih. "Saudara cilik, mulutmu sungguh manis sekali,
begitu manisnya sampai Taci hampir tak tahan."
Ucapan yang terakhir sengaja ditarik panjang se-akan2 terlengket permen karet saja.
Siu Su tersenyum, ucapnya, "Hanya mereka yan bermata buta saja tidak mengenal kecantikan
Dewi Lim, ucapanku ini benar-benar keluar dari lubuk hatiku, bila Lim-siancu mengatakan aku
hanya manis dibibir saja, sungguh membuat orang penasaran."
Pek-poh-hui-hoa Lim Ki-cing mengerling genit, kemudian tertawa cekikik, "Taci sudah tua, gigi
pun hampir ompong, masa masih kau katakan cantik, cuma. . . . ."
Setelah membereskan rambutnya yang kusut dan menggoyang pinggul, dia melanjutkan,
"Dalam dunia persilatan memang tak sedikit yang mengatakan encimu ini cantik, aku selalu
mengira mereka cuma menyanjung belaka, namun setelah mendengar ucapanmu sekarang. . . .
." Ia mencolek lagi pipi Siu Su, kemudian mengakhiri, "aku sekarang baru rada percaya."
Tiba-tiba Sik Ling mendengus, tanpa berbicara dia berjalan keluar.
Mendadak terendus bau harum berkelebat lewat, tahu-tahu Pek-poh-hui-hoa sudah mengadang
dihadapannya, dengan tangan kanan menuding, serunya dengan suara merdu, "Mengapa kau
mendengus" Apa merasa jemu padaku?"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com
Sorot matanya melewati wajah Sik Ling dan mengerling kearah Siu Su, lalu katanya lagi,
"Saudara cilik, beritahukan padaku apakah barusan kau sedang marah-marah padanya?"
Tergerak pikiran Siu Su, cepat ia memburu kedepan sembari berkata, "Aha, kulupa
memperkenalkan dirimu kepada Lim-siancu, dia adalah. . . ."
"Hihihi, tak perlu kau perkenalkan lagi, aku sudah tahu siapa dia," seru Lim Ki-cing, "sudah lama
kudengar orang membicarakan seorang Liu-long-kiam-kek (jago pedang petualang) yang
berasal dari Bu-tong-pai dan bernama Sik Ling, kerjanya cuma luntang-lantung kesana kemari,
pekerjaan apa pun tak dilakukan dan merupakan seorang manusia aneh. Begitu mendengar
nama Sik Ling segera kurasakan seperti sudah kenal, tapi tak ingat siapakah gerangannya. . . ."
Setelah berhenti sebentar, ia melanjutkan, "Tapi setelah perjumpaan hari ini. . . . Hahaha, baru
kutahu pada belasan tahun berselang sudah pernah saling berjumpa dirumah Mao-toako, waktu
itu sepanjang hari dia selalu mengintil dibelakang adik Mao, tadi aku mengira kalian sedang
bertengkar, rupanya kalian adalah sahabat."
Cepat dia mundur selangkah dan tambahnya, "Kalau begitu, aku tak akan mengalangi dirimu
lagi." Selama berbicara, Pek-poh-hui-hoa selalu main mata dengan genit, setiap akhir katanya selalu
ditarik panjang-panjang dengan nada agak gemetar, membuat orang yang mendengarnya jadi
kesemsem. Tapi bagi pendengaran Siu Su, ucapannya itu membuat jantungnya berdetak pula, pikirnya,
"Kiranya antara dia (Sik Ling) dengan ibu. . . . ."
Waktu dia memandang kearah Sik Ling, kebetulan orang pun sedang memandangnya,
keduanya sama timbul semacam perasaan yang hangat"
Kembali Sik Ling menghela napas dan pelahan berjalan keluar.
"Sepanjang hari luntang-lantung kian kemari. . . . pekerjaan apa pun tidak dilakukan. . . . selalu
mengintil dibelakang. . . " semua perkataan ini tiada hentinya mengiang ditelinganya.
Ia merasakan darah dalam tubuhnya bergolak, pikirnya, "Benarkah aku seorang manusia
aneh?" Dengan termangu Siu Su menyaksikan bayangan punggung Sik Ling yang kurus itu lenyap
Pendekar Laknat 5 Pendekar Satu Jurus Karya Gan K L Anak Harimau 14

Cari Blog Ini