Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen Bagian 4
ruang perjamuan itu menjadi panik dan gempar. Sungguh tak
pernah mereka duga bahwa Coh Ciau-lam telah berkhianat.
Namun Bwe-hong tak banyak bicara lagi, ia mengeluarkan
sepucuk surat dan menyerahkan pada Po Tiau sambil berkata,
"Tolong serahkan pada Ongya!"
Waktu surat itu diterima Go Sam-kui dan dibaca, seketika
keringat dingin membasahi tubuhnya.
Kiranya surat yang Leng Bwe-hong rampas dari begundal
Khu Tong-lok itu adalah sepucuk surat perintah sangat rahasia
pemerintah Boan-jing kepada An-se-ciangkun Li Pun-tian agar
pembesar ini selekasnya menghubungi Cu Kok-ti, Sunbu atau
Komisaris di Hun-lam dan berusaha membasmi Go Sam-kui.
Begitulah, maka sehabis membaca, surat itu diremasnya. Ia
mencoba menenangkan diri dan tertawa dingin. Kemudian ia
memberi pesan pada ajudannya serta memerintahkan anak
buahnya keluar dahulu, maka dalam ruangan itu menjadi sepi,
yang masih tertinggal hanya beberapa orang kepercayaan Go
Sam-kui ditambah rombongan Leng Bwe-hong serta Kim Khe.
Go Sam-kui memerintahkan pula perjamuan diperbarui.
Habis itu, lalu Go Sam-kui mengangkat cawan araknya
mengajak minum pemuda sastrawan tadi dan mulai bercakap.
"Engkong Li-kongcu gagah perkasa, jasanya setinggi langit,
hanya dahulu aku telah menuruti napsu mudaku dan kurang
berpikir hingga telah salah bertindak, maksud kami bukan
hendak menumpas kakek Li-kongcu, tetapi tujuan kami
hendak membasmi dorna seperti Lauw Cong-bing, Gu Kimsing
dan lain-lain, siapa tahu lantas berakhir seperti sekarang
ini. Kini tiga puluh tahun sudah berlalu, tiap kali aku teringat
semua peristiwa itu, sungguh hatiku menjadi pedih. Maka
belum lama ini aku telah menyurati kakekmu dan syukurlah
sekarang mendapat kunjungan Li-kongcu sendiri yang sengaja
datang dari jauh, maka harap suka mengeringkan secawan
arak ini sebagai tanda berakhirnya saling dendam kedua belah
pihak!" Luar biasa terkejutnya Leng Bwe-hong demi mendengar
pidato Go Sam-kui itu, sungguh tak pernah diduganya bahwa
pemuda sastrawan itu adalah cucu Li Cu-sing.
Di sebelah sana Kim Khe juga baru insyaf bahwa
kedudukan dirinya memang masih jauh dibandingkan dengan
pemuda itu. Hanya saja ia tak habis mengerti, mengapa Go
Sam-kui yang diketahui semua orang sebagai pengkhianat
yang mengundang masuk pasukan Boan hingga menyebabkan
gagalnya pemberontakan Li Cu-sing cara bagaimana
permusuhan yang begitu mendalam itu bisa dihilangkan"
Lebih-lebih ia tak mengerti cucu Li Cu-sing malahan berani
datang ke Kun-bing dan Go Sam-kui melayaninya sebagai
tamu agung"
Tentang pertemuan aneh yang diadakan Go Sam-kui ini
memang harus kita ikuti sejarah tiga puluh tahun yang
lampau. Waktu itu adalah masa berakhirnya kaisar Cong-cing
dari dinasti Beng, laskar rakyat yang dipimpin Li Cu-sing dari
Se-an (selatan) telah menyerbu sampai ibukota Pakkhia atau
Beijing sekarang hingga kaisar Cong-cing bunuh diri.
Tatkala itu Go Sam-kui menjabat Cong-ping (komandan
militer setingkat kolonel sekarang) di daerah Liautang dan
berkedudukan di San-hay-koan, benteng pertahanan yang
tersohor dan sangat penting dari Tembok Besar di ujung
timur, dengan kekuatan meliputi beratus ribu tentara.
Waktu Li Cu-sing melancarkan serangan total dan
mengancam ibukota, kerajaan Beng telah menaikkan pangkat
Go Sam-kui sebagai 'Ping-se-pek' (gelar bangsawan setingkat
jenderal) dan memerintahkannya lekas menolong ibukota
yang sedang genting itu. Tak terduga, sampai di tengah jalan
Go Sam-kui sudah mendapat kabar ibukota telah jatuh, karena
itu pasukannya ia tarik kembali ke pangkalan semula.
Setelah Li Cu-sing menduduki Pakkhia, kekuatan kerajaan
Beng waktu itu boleh dikata sudah lumpuh, hanya Go Sam-kui
saja yang masih ada sedikit pengaruh.
Karena ingin lekas seluruh negeri pulih dalam keadaan
aman sentosa, Li Cu-sing memerintahkan ayah Go Sam-kui,
Go Yang, agar menyurati puteranya supaya takluk saja.
Karena kekuatannya terpencil dan berdiri sendiri. Go Samkui
tahu bukan tandingan Li Cu-sing, maka akhirnya ia
bersedia untuk menyerahkan diri.
Tak terduga, sebelum tiba di Pakkhia, ia menerima kabar
bahwa seorang selirnya yang paling ia sayangi, Tan Wan-wan,
telah direbut oleh panglima Li Cu-sing yang bernama Lauw
Cong-bin. Ia menjadi gusar, pikirnya kalau dirinya menyerah
pada Li Cu-sing, kedudukannya nanti pasti akan di bawah
Lauw Cong-bin dan Gu Kim-sing yang waktu itu menjabat
sebagai menteri.
Karena sakit hati selir kesayangan direbut orang dan sebab
angkara murkanya akan kedudukan dan pangkat, tiba-tiba ia
pun berubah pikiran, ia tidak jadi takluk kepada >Li Cu-sing,
sebaliknya ia bersekongkol dengan bangsa Boan-jing dengan
perjanjian 'meminjam' pasukan Boan-jing untuk melawan Li
Cu-sing. Betul juga, akhirnya ia berhasil membasmi kekuatan
Li Cu-sing dan kerajaan Beng yang masih ada di daerah
selatan. Akan tetapi pasukan Boan-jing sudah melintasi
Tembok Besar, untuk selamanya mereka tak mau pergi lagi.
Begitulah meski akhirnya Go Sam-kui bisa mendapatkan
kembali selirnya yang ia sayangi, namun sebab itu juga ia pun
merupakan orang berdosa pada nusa dan bangsa.
Kemudian dalam kepungan dan gencatan antara pasukan
Boan-jing dan Go Sam-kui, akhirnya Li Cu-sing tewas dalam
pertempuran seru di gunung Kiu-kiong-san di daerah Oupak.
Tetapi Li Cu-sing masih meninggalkan laskarnya yang
berjumlah lebih empat ratus ribu orang dan tersebar di
beberapa tempat di bawah pimpinan puteranya, Li Kim.
Dan untuk menghadapi musuh dari luar, maka laskar rakyat
di bawah pimpinan Li Kim itu memutuskan kerja-sama dengan
sisa-sisa kekuatan pasukan Beng di daerah selatan, hanya Li
Kim tetap bebas bertindak dan mempertahankannya, ia tetap
memakai tanda pengenal 'Tay Sun' atau Sun raja, sebutan
kerajaan yang didirikan Li Cu-sing.
Belakangan Li Kim tewas juga dalam pertempuran di
Oupak, puteranya yang bernama Li Jiak-sim waktu itu masih
terlalu kecil, maka laskarnya lalu dipimpin oleh anak
angkatnya bernama Li Lay-hing.
Pertempuran melawan pemerintah Boan kemudian beralih
ke daerah perbatasan antara propinsi Su-cwan dan Hun-lam,
di-mana beratus ribu laskar rakyat itu bersembunyi di bukitbukit
dan menggunakan siasat gerilya.
Kemudian pemerintah Boan mengangkat Go Sam-kui
sebagai Ping-se-ong, gelar raja muda yang turun temurun dan
diserahi pemerintahan dua propinsi Su-cwan dan Hun-lam.
Tetapi maksud tujuan yang sebenarnya ialah menggunakan
Go Sam-kui sebagai tameng untuk menghadapi bekas laskar Li
Cusing itu. Setelah Go Sam-kui bersinggasana di Kun-bing, ibukota
propinsi Hun-Iam, ia pun berkali-kali mengadakah gerakan
pembersihan, akan tetapi di daerah perbatasan propinsi Hunlam
dan Su-cwan penuh dengan bukit dan sungai, tempatnya
sangat strategis. Sedang pasukan gerilya Li Lay-hing pergi
datang tiada juntrungannya, maka walaupun kerajaan Beng
sudah runtuh, pasukannya masih tetap merupakan suatu
ancaman besar bagi kerajaan Boan-jing.
Keadaan itu terus berlangsung hingga lebih dua puluh
tahun, walaupun Li Lay-hing terbatas oleh kekuatannya yang
tidak begitu besar dan tak dapat mengadakan pukulan hebat
bagi musuhnya, namun Go Sam-kui juga tak berani gegabah
memasuki daerah gerilya mereka.
Dalam pada itu, putera Li Kim atau cucu Li Cu-sing, Li Jiaksim
sudah dewasa, ia cukup mempunyai kecerdasan, pandai
ilmu silat dan surat, pemuda ini disegani kawan maupun
lawan, walaupun bukan ia yang menjadi pemimpin, tapi
namanya tersohor malahan di atas kakaknya, Li Lay-hing.
Setelah tahun ketiga belas Khong-hi naik takhta, karena
desakan pemerintah Boan, diam-diam Go Sam-kui hendak
memberontak. Teringat olehnya sisa pengikut Li Cu-sing yang
justru merupakan ancaman belati di belakang punggungnya,
apabila ia tidak memperoleh pengertian mereka dan gegabah
menggerakkan pemberontakan, begitu mereka keluar dari
bukit-bukit, ia sendiri pasti akan diserang dari depan-belakang,
hal inilah yang sangat ia kuatirkan.
Situasi di Hun-lam waktu itu ibarat malam sebelum ada
angin badai, orang-orang kepercayaan pemerintah Boan, para
Gubernur propinsi-propinsi di barat-daya, Ping-lam-ong,
utusan Cing-lam-ong dan pengikut Li Lay-hing, kesemuanya
mengadakan gerakan 'perang dingin' di Kun-bing.
Karena keadaan yang ruwet itu, sampai lama Go Sam-kui
tidak mendapatkan jalan keluar, akhirnya menuruti usul
seorang stafnya, tanpa malu-malu lagi ia mengirim utusan
membawa surat rahasia kepada Li Lay-hing yang ada di
perbatasan Hun-lam dan Su-cwan, dengan maksud
memperbaharui persahabatan.
Karena ajakan Go Sam-kui, L i Lay-hing berunding dengan
stafnya, akan tetapi masing-masing berlainan pendapat, ada
yang bilang Ge Sam-kui adalah orang yang menyebabkan
tewasnya 'almarhum Kaisar' Li Cu-sing, mana bisa bekerjasama
dengan musuh besar iri" Tetapi ada pula yang setuju
bekerja-sama, dengan alasan kalau hendak melawan musuh
'bangsa asing' ke dalam harus mempersatukan segala
kekuatan dahulu.
Akhirnya Li Jiak-sim memutuskan dengan satu perkataan,
ia mengemukakan delapan huruf sebagai dasar siasat : Thngowi-cu, sian-gwe-hou-lwe', artinya apabila kerja-sama
dengan Go Sam-kui, harus pihak kita sendiri yang memegang
peranan pokok, dan untuk melayani Boan-jing, tidak
berhalangan mengesampingkan dahulu dendam lama pada Go
Sam-kui. Karena usulnya itu, Li Jiak-sim bahkan berani menghadapi
bahaya besar, dengan seorang diri ia datang ke Kun-bing.
Begitulah, maka sewaktu Go Sam-kui bertemu dengan Li
Jiak-sim yang ia sebut Li-kongcu, berulang-ulang ia memberi
penjelasan dengan tertawa. Tetapi dengan dingin Li Jiak-sim
berkata, "Ongya tak usah banyak omong lagi, kalau kami
masih dendam, hari ini tak nanti kami datang di sini!"
"Itulah tepat, maka kami mengagumi Li-kongcu yang
sangat bijaksana," kata Go Sam-kui memuji. "Pokoknya hari
ini, kita harus mengusir pergi penjajah dahulu."
Mendengar perkataan itu, tiba-tiba Leng Bwe-hong
berpantun, ia menyindir, mula-mula yang mendatangkan
pasukan Boan adalah Go Sam-kui, kini yang akan mengusir
pergi penjajah itu juga Go Sam-kui.
Po Tiau menjadi gusar, matanya berapi karena mendengar
pantun sindiran orang.
"Apa yang kaukatakan?" bentaknya pada Bwe-hong.
"Ah, tidak, hanya iseng, maka aku berpantun," sahut Leng
Bwe-hong tertawa.
Go Sam-kui kuatir urusan menjadi runyam, lekas ia berkata
dengan tertawa, "Congsu (orang gagah) ini sungguh suka
iseng, tetapi hendaklah kita bicarakan urusan pokok saja.
Ping-lam-ong Siang Go-hi dan Cing-lam-ong Kheng Cin-tiong
sudah berjanji memberi sokongan di daerah selatan, menurut
pandangariku sekali bergerak, pasti kita akan berhasil. Lihat,
apakah ini bukan utusan dari Ping-lam-ong?" katanya sembari
menuding ke arah Kim Khe.
"Ya, kami semua menurut apa yang menjadi kehendak
Ping-se-ong," kata Kim Khe membungkuk.
Mendengar sebutan "Ping-se-ong" orang, tiba-tiba Go Samkui
mendelik, katanya, "Selanjutnya jangan menyebut aku
Ping-se-ong lagi, kini jabatanku adalah 'Thian-he-cui-liok-taygoanswe,
Hin-beng-tho-lo-tay-ciangkun!"
Habis itu, dengan tersenyum ia berkata lagi pada Li Jiaksim,
"Li-kongcu biasanya pandang mengusir penjajah sebagai
kewajiban utama, kini tentunya tiada alasan lagi bukan?"
Dengan jabatan yang Go Sam-kui sebut tadi ia artikan,
'Panglima tertinggi angkatan darat dan laut, jendral penegak
kerajaan Beng dan pengusir bangsa asing'.
Akan tetapi Li Jiak-sim menyambut dengan tersenyum
dingin, katanya, "Soal pemberontakan adalah mudah, hanya
teks proklamasi yang susah ditulis!"
"Mohon tanya, jabatan Thian-he-cui-liok-tay-goanswe dan
Hin-beng-tho-lo-tay-ciangkun, siapakah yang
menganugerahi?" tiba-tiba Leng Bwe-hong menyela, "Kalau
ada orang menanyakan nasib Eng-bing-ong, bagaimana pula
jawaban Tay-ciang-kun?"
Eng-bing-ong adalah keturunan lurus dari kerajaan Beng,
juga adalah kekuatan Beng terakhir yang melawan Boan-jing
di selatan. Eng-bing-ong telah dikejar oleh Go Sam-kui sendiri
sampai di Birma, kemudian dapat ditangkap dan dihukum
gantung olehnya.
Dengan pertanyaan Leng Bwe-hong itu terang lebih mirip ia
mencaci-maki di hadapan orang, tetapi belum Go Sam-kui
bersuara, dengan cepat Po Tiau telah mencabut pedangnya
dan ditusukkannya ke arah Leng Bwe-hong, namun Jiak-sim
telah mengebas lengan bajunya terus menghadang di tengah
kedua orang. "Berhenti!" teriak Go Sam-kui juga. Dengan muka merah Po
Tiau menarik kembali pedangnya, akan tetapi ia masih
memandang Leng Bwe-hong dengan melotot.
"Harap Tay-ciangkun jangan gusar," ujar Jiak-sim
kemudian. "Perkataan Leng-tayhiap walaupun menyinggung,
tetapi bukannya tanpa alasan!"
"Alasan apa" Harap terangkan!" kataGo Sam-kui dingin.
"Baiklah, karena Tay-ciangkun mengadakan pertemuan ini
dengan sungguh hati, maka tentu tak akan mencela
perkataanku yang terus terang," kata Li Jiak-sim. Dan
sambungnya, "Dengan kedudukan Tay-ciangkun kini, kalau
masih pakai semboyan 'Hwan-jing-hok-beng' sebagai daya
tarik, itu mungkin tidak cocok. Kerajaan Beng hancur di
tangan Tay-ciangkun, hal itu seluruh rakyat cukup
mengetahui, kini kalau Ciangkun masih menyebut diri sendiri
Hin-beng-biat-lo, aku kuatir susah untuk dipercayai rakyat!"
Karena kata-kata ini, Go Sam-kui menyeringai, ia menjadi
malu, tetapi di dalam hati luar biasa marahnya, ia coba
menahan perasaan dan bertanya, "Kalau begitu, menurut Likongcu
jalan apa yang lebih sempurna?"
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Daripada memakai istilah Hwan-jing-hok-beng adalah lebih
baik pakai semboyan Ki-lo-bin-han, dan pula daripada
menggunakan nama Tay-ciangkun, adalah lebih baik memakai
nama kakakku sebagai penggerak," kata Li Jiak-sim dengan
terus terang. "Bolak-balik hanya akan menguntungkan pihakmu saja dan
menyuruh kami berjuang untuk kamu," kata Po Tiau dengan
gusar. "Aku hanya pilih jalan menguntungkan semua pihak dan
mengharap bisa mengusir bangsa asing, lain tidak. Tetapi
kami pun tidak nanti merendah pada orang lain," sahut Li Jiaksim
mendongkol. "Li-kongcu betul-betul lelaki sejati," kata Go Sam-kui
tertawa sambil bangkit. "Urusan ini sementara susah
diputuskan, biarlah lain hari dirundingkan lagi!"
Habis itu, katanya pula pada Po Tiau, "Sementara kau
tineaal di sini melavani nara tetamu, aku mengundurkan diri
dahulu." Sementara bicara, dengan pelahan ia pun mencolek dan
memberi tanda pada Po Tiau.
Diiringi para perwira dan orang-orang kepercayaannya, Go
Sam-kui tertindak pergi, sampai di depan pintu tiba-tiba ia
memberi pesan lagi, "Po Tiau, selesai kau mengantar tamu,
lekas kembali!"
Dan sesudah Go Sam-kui pergi, tanpa berkata lalu Po Tiau
mengantar pergi para tamu yang lain. Dalam ruangan kini
hanya Li Jiak-sim, Lauw Yu-hong dan Leng Bwe-hong serta Po
Tiau saja, sesudah mengantar tamu yang lain, Po Tiau terus
duduk di tempatnya semula, ia tidak mengantar Leng Bwehong
bertiga. Li Jiak-sim mengira tentu karena bentrokan tadi, maka
orang sengaja dingin kepada mereka, maka dalam hati ia
menertawai Go Sam-kui dan Po Tiau terlalu sempit pikiran,
maka ia pun tidak ambil perhatian akan hal itu.
Tetapi Leng Bwe-hong yang sudah kawakan berkelana di
dunia Kangouw, ia menjadi curiga. Sesudah berjalan beberapa
tindak, waktu berpaling ia lihat Po Tiau sedang tertawa sinis.
"Awas, Li-kongcu!" seru Bwe-hong dengan tiba-tiba.
Akan tetapi sudah terlambat, mendadak Po Tiau menekan
dinding di sebelahnya, lalu terdengar suara gemuruh, lantai
tengah ruangan besar itu tiba-tiba ambles ke bawah.
Lekas Bwe-hong menggunakan ilmu meringankan tubuh
yang hebat, tiba-tiba ia mengenjot tubuhnya meluncur
menubruk ke arah Po Tiau. Cepat juga Po Tiau segera
menyambitkan sebuah cawan emas, namun Leng Bwe-hong
sempat berkelit mengelakkan serangan orang, dan bagai elang
ia masih menubruk Po Tiau.
Datangnya Leng Bwe-hong terlalu cepat, Po Tiau tertegun
sejenak dan tahu-tahu Bwe-hong sudah menerjang sampai di
depannya. Dalam gugupnya, Po Tiau memukul cepat dengan kedua
tinjunya. Bwe-hong tidak mencoba berkelit, dengan menahan
sakit kena pukulan orang, ia dapat merangkul tubuh Po Tiau.
Waktu itu jebakan lantai yang ambles itu masih belum
kembali, dengan masih merangkul Po Tiau sambil sekali
membentak Leng Bwe-hong melompat ke dalam lubang lantai
yang beberapa tombak dalamnya itu.
Di bawah lubang itu gelap gulita, Bwe-hong menunggu
setelah menancapkan kakinya dengan baik, barulah ia
berteriak memanggil, "Lanw-toaci, kalian adadimana?"
"Leng-toako, kami ada di sini," suara nyaring menjawab di
suatu pojok. Lantas Bwe-hong melepaskan rangkulannya pada tubuh Po
Tiau dan ia melangkah hendak mencari kawannya, tak
tahunya begitu tubuhnya terlepas, kembali Po Tiau memukul
lagi dengan cepat, Leng Bwe-hong tidak tinggal diam, ia
tangkis pukulan itu.
"Kaucari mampus"' bentak Bwe-hong.
Tapi Po Tiau tak menghiraukan, dengan gusar beruntun ia
memukul lagi, tiap pukulan mengarah tempat berbahaya.
Tadi Leng Bwe-hong telah merasakan beberapa kali
pukulan Po Tiau, ia tahu kekuatan lawan tidak lemah dan tak
bisa dibuat gegabah, maka dalam kegelapan itu segera ia
keluarkan gerakan 'Pat-kwa-yu-sin-cio-hoat' (semacam gerak
menggeser tubuh terus menerus), ia mengitari Po Tiau dan
balas menyerang kalau ada kesempatan yang baik.
Tapi Po Tiau juga bukan sembarang orang, dalam keadaan
gelap, ia dapat mendengarkan angin membedakan tempat,
pukulannya tidak pernah kendor, selalu mengarah dimana
Leng Bwe-hong menancapkan kaki.
Bwe-hong mengenali gerak yang dimainkan orang adalah
Lo-han-kun dari golongan Siau-lim-si, yang mengutamakan
serangan cepat dan tenaga besar, begitu hebat pukulannya,
hingga susah dilawan begitu saja. Mendadak ia menggertak,
kedua telapak tangannya bergerak cepat, telapak kanan
membabat bagaikan pedang, telapak kiri membelah dan jari
menotok bagaikan golok dan belati.
Dalam keadaan gelap, Po Tiau hanya mendengar sambaran
angin pukulan yang menderu keras, tiap serangan lawan
selalu mencari jalan darah di tubuhnya. Ia terkejut sekali, ia
pikir nama Leng Bwe-hong yang tersohor nyata bukan omong
kosong belaka, di tempat gelap begini ternyata dapat
mengincar tempat totokan dengan jitu.
Di tempat gelap itu, Li Jiak-sim dan Lauw Yu-hong sudah
mendengar juga suara pukulan, mereka tidak tahu Leng Bwehong
sedang bertarung dengan siapa, hanya suara pukulan
kedua belah pihak kedengarannya hebat dan luar biasa,
mereka menjadi terheran-heran.
"Nona Lauw, apakah kau membawa ketikan api?" tanya
Jiak-sim. Ketikan api memang selalu dibawa orang yang berkelana di
Kangouw, maka Yu-hong menyahut dan lantas menyalakan
api, mereka mendekati kedua orang yang sedang bergebrak
itu. Melihat Yu-hong dengan pelahan mendekat, Bwe-hong
tambah bersemangat, mendadak ia menggertak, sekali pukul
ia membuat Po Tiau terpelanting, tapi begitu jatuh segera Po
Tiau terus bangkit kembali, ia lolos goloknya dan membacok.
Cepat Leng Bwe-hong berkelit dan mengirim tendangan
yang mengenai pergelangan tangan Po Tiau, hingga goloknya
terpental, dengan sebat Bwe-hong memburu maju dan
menyusul hantamannya telah membikin Po Tiau terguling lagi,
terus diinjaknya dan membentak, "Apakah kau masih bisa
berkelahi lagi?"
Karena kena diinjak 'Yong-cwan-hiat' di punggungnya, Po
Tiau merasakan seluruh tubuhnya seakan-akan hancur,
sakitnya meresap ke dalam tulang.
"Kaubunuhlah aku!" teriak Po Tiau serak. "Kalau aku mati,
kau pun tak akan dapat hidup."
Mendengar itu, Leng Bwe-hong mengkerutkan kening, tibatiba
ia angkat injakan kakinya dan menendang Po Tiau ke
pojok. "Siapa sudi membunuhmu!" Bwe-hong membentak.
Dan selagi Bwe-hong hendak bertemu dengan Lauw Yuhong,
tiba-tiba terdengar ada suara gemericiknya air.
"Ah, kiranya ini adalah penjara air!" kata Bwe-hong dengan
tertawa getir. Sementara itu Po Tiau yang meringkuk di pojokan sana
dalam keadaan tertotok, terdengar tertawa terkekeh-kekeh.
Li Jiak-sim menjadi gusar, ia angkat tubuh Po Tiau dan
direndam ke kolam air penjara. Selamanya Po Tiau hidup di
dataran tinggi daerah barat-daya, ia tak pernah turun ke
dalam air, kini kena direndam begitu, ia terkejut dan berteriakteriak
seperti babi. Setelah merendamnya berkali-kali, Jiak-sim mengangkatnya
pula, dengan tertawa ia berkata mengejek, "Coba, sekarang
kau bisa tertawa lagi tidak.....?"
Dalam pada itu, suara air di luar mendadak berhenti lalu
ada suara orang berteriak, "Minta Li-kongcu berbicara!"
Dari sinar api Bwe-hong dapat melihat penjara air ini hanya
terbikin dari papan kayu saja, bangunannya tidak begitu kuat,
walaupun jendela dipagari dengan ruji-ruji besi, tetapi tidak
susah untuk membobolnya, hanya saja di luar penjara itu
penuh dikelilingi air di bawah tanah, sekalipun dapat merusak
rumah penjara ini, toh tidak mungkin bisa buron.
Lalu ia mendekati jendela, dengan memegangi ruji besi ia
membentak, "Siapa" Ada apa?"
Orang di luar itu seperti dapat membedakan suara orang, ia
balas membentak, "Tidak perlu denganmu, suruh Li-kong-cu
keluar!" Dengan pelahan Li Jiak-sim mendekati jendela, lalu berkata
dingin tetapi lantang, "Kamu punya Ongya pintar juga
menggunakan tipu muslihat, cuma sayang kamu paling
banyak hanya bisa mampuskan kami beberapa orang saja,
tapi tidak mungkin menghabiskan saudara-saudara kami yang
beratus ribu itu!"
"Ongya mana berani sembrono pada Kongcu," kata orang
itu, suaranya berubah halus, "Hanya saja Kongcu yang terlalu
bandel, maksud Ongya ialah ingin Kongcu membuat satu surat
kepada kakak Kongcu dan minta supaya ia angkat senjata
memasuki Oupak, dan kita kedua belah pihak terus berserikat!
Jika Kongcu setuju, segera dapat keluar!"
Mendengar itu, Jiak-sim tahu bahwa Go Sam-kui hendak
menggunakan dirinya sebagai jaminan dan berharap laskarnya
bertempur dahulu dan merekalah yang mengeduk
keuntungannya. "Tak perlu lagi tawar menawar," katanya kemudian dengan
tertawa dingin. "Jika kau memang sungguh-sungguh hendak
memberontak pada pemerintah Boan-jing, maka seharusnya
segera mengganti nama kesatuanmu, mengganti dandanan
pakaianmu dan mengakui sebutan kerajaan Tay Sun, soal
jahanam Go Sam-kui ini, andaikata tidak bunuh diri buat
menebus dosanya, ia karus menyerahkan mandat dan
mengundurkan diri selamanya!"
Tiba-tiba di luar menjadi sepi, suara air kembali berbunyi
dengan kerasnya, dengan cepat air hampir menggenangi
jendela. Li Jiak-sim tertawa dingin lagi berulang-ulang, ia tak ambil
perhatian air yang hampir masuk jendela itu. Mendadak suara
air kembali berhenti, di atas penjara itu tiba-tiba terbuka
sebuah lubang, lalu ada orang mengerek turun keranjang
yang penuh berisikan makanan.
"Harap Li-kongcu dahar," kata seseorang di atas.
Yu-hong memandang makanan itu, tetapi ia tak berani
menyentuh. Sebaliknya Leng Bwe-hong lantas saja mengambil
makanan itu dan dimakan dengan lahapnya.
"Saat ini mereka masih belum berani meracuni kita,"
katanya tertawa sambil terus melangsir makanan ke dalam
perutnya. Waktu berkata ia melirik Po Tiau, lalu ia lemparkan
sebagian makanan padanya. Tetapi Po Tiau menjadi tergerak
pikirannya, ia mendapatkan akal.
"Jangan turunkan makanan lagi, aku dapat menahan
lapar!" demikian teriaknya keras pada orang di atas.
Dengan gusar Li Jiak-sim menendang orang pula hingga Po
Tiau lagi-lagi terjungkal namun ia masih tetap tertawa
terkekeh-kekeh.
Kiranya Po Tiau menduga dalam keadaan begitu mereka
bisa saling bertahan, Go Sam-kui tak berani membunuh
mereka, mereka pun tak berani membunuh dirinya, biar
semua menderita kelaparan, kalau sudah terlalu lapar, tentu
mereka akan menyerah dengan sendirinya. Malahan ia telah
menghitung, jika semua sudah kelaparan, lemas dan tak
bertenaga, orang-orang di luar tentu bisa menerjang masuk
dan ia sendiri bisa terlepas dari genggaman mereka.
Dan karena teriakan Po Tiau itulah, betul saja bagian atas
telah menghentikan pemberian makanan.
Beruntun empat hari telah berlalu, mereka menjadi kuatir
karena kelaparan, bahkan tiba-tiba Leng Bwe-hong jatuh sakit
pula, seluruh tubuhnya gemetaran tak hentinya. Yu-hong
sendiri sudah lemas tak bertenaga, namun dengan pelahanlahan
ia mendekati Leng Bwe-hong, ia pegang tangan orang
dan memandangnya sedih.
Walaupun dalam penjara air yang gelap, namun Leng Bwehong
dapat merasakan betapa sedih orang lewat kedipan
mata Lauw Yu-hong, hatinya terasa bergetar. Sungguh sakit
kejang yang ia rasakan sekarang ini boleh dikata bukan apaapa
kalau dibandingkan penderitaan batinnya selama ini.
"Bwe-hong, aku kuatir kita tak dapat keluar lagi dengan
hidup," demikian kata Lauw Yu-hong setengah meratap. Dan
sambungnya, "Maukah kaukatakan apa yang sebenarnya
kepadaku?"
Maka Bwe-hong melepaskan tangan orang, seperti biasa ia
menekuk-nekuk jarinya.
"Apabila aku tahu pasti sudah sampai pada ajalku, sebelum
mangkat akan kukatakan semuanya padamu," sahutnya
sambil menghela napas.
Nampak Leng Bwe-hong menekuk-nekuk jari, Lauw Yuhong
memegang lagi kedua tangan Bwe-hong, dengan suara
cepat seperti letusan ia berkata, "Selama hidupmu pernahkah
kau berbuat sesuatu yang paling kejam" Kalau pernah, pasti
kau tahu bahwa penderitaan batin itu lebih sukar dirasakan
daripada mati! Sahabatku yang kubunuh itu, kalau betul-betul
ia sudah tewas, sungguh aku akan menyesali diriku selama
hidup ini. Tetapi apabila ia sepertimu, ia tidak tewas
melainkan pergi ke tempat yang jauh sekali dan selama
hidupnya ia terus mendendam padaku, maka itu tidak saja
membuatku menyesal seumur hidup, bahkan akan
menempatkan diriku dalam impian buruk setiap saat, dalam
mimoi tentunva keadaan gelap gulita seperti dalam menara air
ini...!." "Apa yang kaukatakan cukup kejam," sahut Leng Bwe-hong
dengan perasaan getir. "Aku harap sahabatmu itu lebih baik
sudah tewas saja, kalau ia masih hidup, tragedi ini mungkin
akan lebih kejam lagi. Ah, aku belum pernah menceritakan
padamu keadaan sewaktu aku masih anak-anak, kini kita
sudah dewasa, tetapi ada kalanya kita akan terkenang pada
cara berpikir masa anak-anak, bukankah begitu?"
"Ya. ceritakanlah!" kata Yu-hong pelahan dengan sinar
mata menanti. Bwe-hong melepaskan dulu tangannya yang dipegang Yuhong.
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ibuku sangat mengasihiku, tetapi kadang kala juga sangat
bengis," tutur Leng Bwe-hong sambil menekuk-nekuk jari lagi.
"Ada suatu kali seorang anak lain mengakaliku dan aku
telah memukulnya tetapi ibuku malahan memarahiku. Aku
sangat penasaran, segera aku meninggalkan rumah secara
diam-diam dan rebah di atas suatu bukit dan berpikir,
'Sekarang ia tentu mengira aku telah mati, saat ini ia tentu
sedang menangis sedih.
Dengan pikiran itu, hatiku seperti terhibur, tetapi juga
menderita Hai, Yu-hong, kau sedang tertawa atau menangis"
Kau bilang pikiran anak-anak itu sangat lucu bukan?"
"Ya, mengapa kau ingin menyiksa orang yang kaukasihi?"
tanya Yu-hong dengan tersedu-sedan.
"Aku sendiri tidak tahu," sahut Bwe-hong. "Waktu itu
mungkin aku berpendapat kalau ibu begitu sayang padaku,
seharusnya ia tidak memarahiku tanpa membedakan benar
atau salah. Bukankah pikiran anak-anak memang begitu?"
Napas Yu-hong menjadi cepat, untuk ketiga kalinya ia
genggam tangan Leng Bwe-hong.
"Tetapi kini kau bukan anak-anak lagi," katanya kemudian.
"Aku tidak membicarakan urusan kita, tentu aku bukan pula
sahabatmu itu," kata Leng Bwe-hong dengan menahan perasaandan
sengaja memperdengarkan suara tertawa.
"Tetapi aku yakin ia pernah berpikir sepertiku," katanya
melanjutkan. "Dan lagi kalau ia sepertiku, dan masih muda
sekali sudah pergi ke tempat yang jauh dan dingin, eh, aku
lupa mengatakan padamu tadi, aku sering sakit kejang-kaku,
penyakit ini justru didapat di tempat yang jauh dan dingin itu."
"Dan apakah sedikitpun kau tak bisa memaafkan dia?"
tanya Lauw Yu-hong cepat sembari menggenggam kencang
tangan orang, suaranya terharu tapi penuh harapan akan
jawaban orang yang pasti.
Tiba-tiba Bwe-hong berbisik, "Kukira masih bisa "
Belum selesai ia bicara, tiba-tiba dari atas penjara itu telah
dikerek turun saru orang.
Meski sudah kelaparan beberapa hari, namun Li Jiak-sim
masih cukup kuat untuk bergerak.
"Siapa!?" segera ia menegur dan memapak maju ketika
dilihatnya dari atas dikerek turun orang itu.
Tetapi orang itu tidak menjawab, wajah mukanya hampir
tertutup semua oleh mantelnya dan pelahan-lahan ia
mendekat. Waktu berhadapan mendadak Li Jiak-sim pegang
pergelangan tangan orang dan sekuat tenaga ia pun
memencet urat nadi 'Koan-goan-hiat' dengan kedua jarinya.
Meski dalam keadaan kelaparan dan tenaganya banyak
berkurang, namun ilmu menotok Li Jiak-sim masih cukup jitu
dan hebat, pula 'Koan-goan-hiat' merupakan urat nadi yang
sangat berbahaya di badan orang, asal dipencet keras, pasti
orangnya akan kaku kesemutan dan lumpuh seketika.
Tak terduga oleh serangan Li Jiak-sim yang mendadak,
orang itu hanya bersuara heran, dan tiba-tiba Jiak-sim
merasakan tangannya seakan-akan meremas kapas lunak,
keruan ia terkejut, ia tahu itu adalah ilmu menutup jalan darah
yang hebat dari kaum Lwekeh, sekalipun ia sendiri baru
memahami sedikit dasarnya saja, ia menjadi heran darimana
Go Sam-kui mendapatkan seorang tokoh silat yang begini
lihai" Tak tahunya orang tadi lantas tersenyum, malahan ia
membisiki telinga Li Jiak-sim dan menghiburnya, "Li-kongcu
jangan kuatir, kita adalah kawan sendiri. Hendaklah
kaukatakan padaku, apakah Leng Bwe-hong berada di sini?"
Jiak-sim menjadi jengah oleh sapaan orang, lekas ia
lepaskan tangannya terus menunjukkan tempat dimana Leng
Bwe-hong rebah. Sinar mata orang itu menyorot tajam, cepat
saja ia mendekati Leng Bwe-hong.
Dalam pada itu Lauw Yu-hong sedang terombang-ambing
bagai orang mabuk dan tak sadar kalau ada orang sedang
mendatangi, ia masih memegang kencang tangan Bwe-hong
dan menegasi lagi, "Apa katamu" Katakanlah sekali lagi. Kau
bilang bisa dimaafkan bukan" Jika begitu, jadi kau memang
orang itu?"
Bwe-hong tidak menjawab, tetapi mendadak ia kipatkan
tangannya dan mendorong pergi Yu-hong sembari
membisikinya, "Ada orang datang!"
Yu-hong jatuh terduduk di lantai karena dorongan Bwehong
itu, dan barulah ia sadar kembali seperti mendusin dari
impian buruk. Tetapi tiba-tiba ia melompat bangun, entah
tenaganya timbul darimana, mendadak ia hantam orang yang
datang tadi dengan gusar.
Namun sedikit berkelit orang itu telah menghindarkan
pukulan Lauw Yu-hong itu hingga karena terlalu besar
mengeluarkan tenaga, maka Yu-hong sendiri terpelanting ke
depan dengan sempoyongan, syukur dengan cepat ia telah
ditahan oleh orang yang baru datang ini dan kembali ia
dengan bisik-bisik berkata di telinga Yu-hong, "Sadarlah, Titli
(keponakan perempuan) yang baik! Akulah yang datang buat
mengobati kalian."
Dan setelah orang itu mengulangi bisikannya dua kali,
barulah Yu-hong mengenali suara itu, sekonyong-konyong ia
menangis tergerung-gerung.
Orang yang datang itu ternyata tinggi sekali kepandaiannya
dan matanya sudah terlatih, dalam kegelapan ia telah
memeriksa muka Yu-hong lalu ia memandang Leng Bwe-hong
yang masih rebah itu.
"Jangan kuatir, biar kuobati Leng Bwe-hong dahulu," kata
orang itu kemudian sembari menepuk-nepuk pundak Yu-hong.
Agaknya ia menyangka Yu-hong menangis karena tak tahan
derita dalam penjara itu, tak tahunya soal lain.
Mendengar orang menyebut Leng Bwe-hong barulah Yuhong
ingat kembali, dengan masih terguguk segera ia pun
menjawab, "Aku tak apa-apa, Siok-siok (paman), lekas
kauperiksa keadaannya, aku kuatir"
Tetapi ia tidak melanjutkan ucapannya. Orang itu menjadi
heran dan memandang Yu-hong sekejap, ia geleng-geleng
kepala dan lantas berjongkok untuk memeriksa denyut nadi
Leng Bwe-hong. Sementara itu Bwe-hong sudah dapat melihat jelas siapa
adanya pendatang itu, dan ketika ia hendak menyapa orang,
tiba-tiba dia malah memberi tanda supaya jangan bersuara.
Dan setelah selesai memeriksa urat nadinya, kemudian orang
itu mengeluarkan sebatang jarum perak yang hanya beberapa
inci panjangnya dan tampak putih mengkilat. Dengan cepat
pula ia membuka baju Leng Bwe-hong dan tiba-tiba ia
tusukkan jarum perak itu ke tubuhnya.
Dalam pada itu Li Jiak-sim juga sudah berada dekat mereka
dan demi melihat kekuatan orang itu, dalam terkejutnya
segera ia membentak, "Apa yang kaulakukan?"
"Jangan kuatir, ia sedang mengobati Bwe-hong, ia adalah
tabib sakti," kata Lauw Yu-hong cepat sambil berpaling ke
jurusan lain ketika orang itu mencopoti baju Leng Bwe-hong.
Melihat jarum orang yang panjang itu tertusuk hampir
setengahnya ke dalam tubuh Leng Bwe-hong dan tampaknya
seperti tidak terasa apa-apa, dalam terkejutnya tadi, Li Jiaksim
menjadi heran juga.
Setelah ditusuk-tusuk sampai lama, akhirnya terdengarlah
Leng Bwe-hong merintih pelahan. Dan barulah orang itu
mencabut jarum peraknya.
"Sudahlah, kini telah baik," demikian kata orang itu dengan
tertawa. Dan betul saja, dengan cepat Bwe-hong telah melompat
bangun dan terus memberi hormat pada orang itu sambil
memuji, "Pengobatan sakti dengan jarum. Sungguh sangat
mengagumkan!"
Dalam pada itu, Li Jiak-sim mendengar dari belakangnya
seperti ada suara tindakan, ketika ia berpaling, ia lihat Po Tiau
sedang mendekati mereka. Mendadak, begitu Po Tiau dekat,
cepat sekali Leng Bwe-hong mengulur jarinya dan dengan
tepat kena menotok 'Hun-hin-hiat' di pinggang Po Tiau hingga
terguling tanpa dapat lagi berkutik.
Orang tadi memandang sekejap pada Po Tiau yang
menggeletak itu, kemudian ia menuding ke atas. Waktu Li
Jiak-sim mendongak, lapat-lapat dapat dilihatnya di atas
penjara itu seperti ada bayangan orang.
"Li-kongcu " tiba-tiba orang itu berkata dengan suara keras,
dan lanjutnya, "Dengan maksud baik Ongya mengirim diriku
untuk menyembuhkanmu, tujuannya memang tiada lain
kecuali ingin bersekutu dengan pihakmu, tetapi mengapa
Kongcu masih begitu kukuh?"
Habis itu, ia membisiki Li Jiak-sim, "Lekas Li-kongcu
jawab!" Jiak-sim sangat cerdik, dengan segera ia dapat menangkap
maksud orang. "Tutup mulutmu, tabib," demikian ia pura-pura
membentak. "Aku menghargai jasamu mengobatiku, tapi
urusan negara yang besar kau tidak berhak ikut campur
bicara." Orang itu pura-pura menghela napas, lalu ia sengaja
mengomel kalang kabut, dan karena itu kemudian Li Jiak-sim
berkata lagi dengan suara yang lebih halus, "Aku bersedia
bersahabat denganmu, tetapi kalau kau mau jadi suruhan Go
Sam-kui, pasti usahamu ini akan sia-sia belaka!"
Orang itu menghela napas lagi, lalu ia tarik tali kerekan
untuk kemudian ia pun dikerek ke atas.
Seperginya orang itu, Leng Bwe-hong tertawa saling pandane
dengan Li Diiak-sim. Segera ia pun melepaskan totokan
Po Tiau. "Kau hendak membikin kami mati kelaparan, tetapi Ongyamu
justru tidak mau menuruti pikiranmu itu!" dengan
tersenyum Bwe-hong mengejek orang.
Betul saja, belum habis ia bicara, tiba-tiba dari atas telah
dikerek turun makanan. Segera Li Jiak-sim dan kawannya
melalap makanan itu sekenyang-kenyangnya dan sisa
makanan serta tulang-tulang dilemparkan kepada Po Tiau.
Keruan saja Po Tiau mendongkol setengah mati, percuma
saja ia ikut menderita lapar beberapa hari, akhirnya orang di
atas ternyata tak mau menuruti rencananya.
Dan sejak itulah, tiap dua hari sekali tabib itu pasti
mengunjungi mereka, dan selalu tabib itu membawakan obat
kuat untuk menambah tenaga Leng Bwe-hong bertiga,
malahan tiap kali datang ia sengaja bersenda gurau dengan Li
Jiak-sim hingga lambat laun bayangan orang di atas penjara
itu mulai berkurang daripada tadinya.
Setelah sepuluh hari, kesehatan Leng Bwe-hong dan
kawannya sudah pulih kembali. Suatu hari, tiba-tiba tabib itu
melompat turun dari atas dan terus saja meneriaki mereka,
"Hayo, lekas ikut aku pergi!"
Di sebelah sana Po Tiau sedang bingung entah apa yang
terjadi, tahu-tahu ia telah dipukul roboh oleh orang itu dengan
Hun-kin-co-kut-hoat atau ilmu bikin tulang meleset dan bagian
urat keseleo, hingga seketika Po Tiau jadi lemas tak dapat
berkutik. "Coba pinjam kau punya Kim-hun-tau," dengan cepat tabib
itu berkata pula pada Yu-hong sembari mengeluarkan sebuah
belati. Li Jiak-sim mengerti maksud orang, maka cepat ia pun
melepaskan senjata Liu-sing-tui dan disodorkan pada orang.
"Pakai saja ini mungkin lebih cocok," demikian katanya.
"Sungguh cepat Li-kongcu memahami maksud orang," puji
tabib itu. Mendadak belatinya tadi ditimpukkan dan menancap di
dinding lubang penjara itu setinggi beberapa tombak, waktu ia
enjot tubuh sekuatnya, bagai seekor burung yang menjulang
ke angkasa, tangan kanannya memegang erat belati yang
menancap itu, sedang sebelah tangan lain melepas Liu-sing-tui
ke bawah. Waktu Yu-hong ikut melompat ke atas setinggi
mungkin, cepat sekali ujung bandul itu dapat dicekalnya dan
ketika tabib tadi menarik dan diayun cepat, dengan enteng
sekali Yu-hong telah melayang ke atas penjara air itu.
Ternyata tinggi penjara itu ada berpuluh tombak, dengan
kepandaian tabib itu sudah tentu tidak susah untuk melompat
keluar, tetapi ia menduga Yu-hong masih belum mampu sekali
lompat keluar dari penjara, maka sengaja ia menggunakan
belati yang menancap dinding itu sebagai tangga, lalu dengan
gerak tali bandulan itu Yu-hong pun keluar.
Dan habis itu, menyusul Li Jiak-sim juga melompat keluar
dengan cara yang sama. Ketika sampai giliran Leng Bwe-hong,
tiba-tiba ia kempit Po Tiau sekencangnya, ia tidak menyambut
bandulan tali si tabib yang sedang diulurkan ke bawah, tetapi
dengan sekali lompat setinggi beberapa tombak dengan
sebelah kakinya ia mengenjot pada sisi dinding menyusul ia
melompat naik terus menahan lagi dengan sebelah kaki ke sisi
dinding yang lain, dan begitulah seterusnya hanya beberapa
kali berganti gerakan, akhirnya ia pun melompat keluar dari
penjara air. "Ilmu meringankan tubuh yang hebat!" puji tabib tadi
sambil menarik bandulannya, lalu ia pun menyusul melompat
keluar. Di atas lubang pintu penjara itu ternyata sudah
menggeletak beberapa tubuh orang tanpa dapat berkutik, tak
usah ditanya lagi tentu itulah perbuatan si tabib yang telah
menotok roboh semua penjaga itu. Tetapi dalam penjara
sedikitpun Leng Bwe-hong tidak mendengar suatu suara,
maka dapat dibayangkan betapa cepat gerak tangan si tabib
itu. Menotok tidak sulit, yang sulit ialah dalam sekejap bisa
merobohkan beberapa orang sekaligus tanpa dapat berkutik.
Keruan saja Li Jiak-sim sangat kagum, dan baru sekarang
ia dapat melihat jelas wajah tabib itu yang merah bercahaya,
rambutnya sudah kelihatan penuh uban dengan jenggot
bercabang tiga.
"Di dalam penjara belum sempat aku memperkenalkan
padamu, maka kini biarlah kukatakan, ia adalah aku punya
Sustok (paman guru) Pho Jing-cu!" demikian kata Yu-hong
sebelum orang bertanya.
"O, kiranya Pho-locianpwe adanya, pantas kepandaiannya
begitu tinggi!" ujar Li Jiak-sim girang.
Habis itu ia hendak memberi hormat, namun Pho Jing-cu
sudah keburu menarik badannya sembari berseru, "Tempat ini
bukanlah tempat saling memberi hormat, lekas ikut aku pergi
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saja." Jalanan dalam istana itu agaknya sudah hapal bagi Pho
Jing-cu, ia meloncat ke atas genting terus menuju ke taman di
belakang istana.
Tengah mereka berlari, tiba-tiba Po Tiau yang dikempit
Leng Bwe-hong telah berteriak nyaring. "Hayo kawan, kenapa
belum keluar!"
Menyusul, mana, tiba-tiba mereka dihujani senjata rahasia
dari berbagai penjuru.
"Kaucari mampus?" bentak Bwe-hong gusar sambil
mengempit lebih kencang, keruan saja Po Tiau tak tahan, ia
pingsan. Habis itu, cepat sekali Leng Bwe-hong sudah melolos
pedang 'Yu-liong-kiarn', begitu bergerak, senjata rahasia
musuh telah tersampuk jatuh oleh sinar putih yang kemilauan.
Namun begitu dari bawah senjata-senjata rahasia masih terus
membanjir. Sementara Jiak-sim sudah memutar juga senjata Liu-singtui
hingga banyak senjata rahasia yang terbentur jatuh.
Cara Pho Jing-cu lebih hebat lagi, ia hanya mengebas
lengan bajunya, dan hujan senjata rahasia musuh itu ternyata
tiada satupun yang bisa menyentuh tubuhnya.
Dalam pada itu, Leng Bwe-hong sempat mengeluarkan
beberapa 'Sin-bong', senjata rahasianya yang tunggal itu.
"Kalau menerima tanpa memberi itu kurang hormat!"
bentaknya tiba-tiba sambil mengayun tangannya, beberapa
sinar hitam keemas-emasan bagai kilat telah menyambar ke
bawah, menyusul terdengarlah jeritan ngeri, beberapa orang
Go Sam-kui sudah terbinasa ditembus oleh Sin-bong. Dan
ketika di bawah ribut oleh serangan balasan itu, cepat sekali
Jing-cu membawa kawan-kawannya melayang ke taman
belakang. Tatkala itu Po Tiau masih tetap dikempit Leng Bwe-hong
dan lambat laun sudah sadar kembali. Dari belakang Li Jiaksim
dapat melihat wajah Po Tiau mengunjuk senyum
mengejek. Pikirannya tergerak mendadak, dan betul saja
tahu-tahu terdengar suara "fung", dari depan mereka telah
disemprot dengan api belerang yang lihai, lekas mereka
menyingkir ke samping.
Akan tetapi dari empat penjuru, tiba-tiba api sudah
menyemprot lagi dan semuanya mengincar diri Leng Bwehong
bagai naga berapi yang hendak menelannya mentahmentah.
Bwe-hong menjadi gusar, dengan sekali geraman ia
melompat ke atas api yang berkobar itu dan mendadak
menubruk ke bawah taman, ia menggelundung untuk
memadamkan api yang sementara itu sudah menjilat
tabuhnya, dan karena itulah Po Tiau terlempar pergi sejauh
beberapa tombak dari kempitannya dengan muka dan kepala
ikut terbakar juga.
Tetapi begitu terlempar segera Po Tiau melompat bangun
terus menyambar sebatang toya dari bawahannya dan bagai
kerbau mengamuk ia memimpin orang-orangnya mengembut
maju, sungguh ketangkasan Po Tiau tidak menghilangkan
pamornya sebagai jago utama Go Sam-kui.
Sementara itu Pho Jing-cu dan lain-lain terpaksa ikut
melompat ke bawah, segera mereka terkepung dalam taman
yang penuh manusia itu, beberapa orang di antaranya
membawa alat semprot berdiri paling depan dan segera
menyemburkan api hingga seketika seluruh taman itu
berkobar dengan hebatnya.
Bwe-hong berempat berusaha meloloskan diri dengan
menerjang ke sana kemari, celakanya di antara api yang
berkobar hebat itu, mereka masih dihujani pula dengan
senjata rahasia. Lambat laun karena semburan api itu, mereka
berempat terpaksa berpencar, dengan ilmu mengentengkan
tubuh yang gesit mereka mencoba bertahan, tetapi kemana
mereka menyingkir, selalu api menyambar ke arah mereka.
Bwe-hong menjadi sengit, tiba-tiba dilepasnya baju luarnya,
ia mengeluarkan ilmu 'Tiat-poh-san' atau baju kain baja, ia
kebas ke sana dan kebut ke sini dengan kuat hingga
membawa sambaran angin yang keras. Ketika seorang
penyembur api itu menyemprotkan apinya ke arah Bwe-hong,
karena kebasan bajunya, tahu-tahu api itu membalik hingga
senjata makan tuan, berbareng itu Bwe-hong menubruk maju,
ia menutup tubuhnya dengan baju untuk menjaga semprotan
api lainnya, berbareng itu segenggam Sin-bong yang sudah
disiapkan lantas dihamburkan.
Dalam kesimanya karena ketangkasan Bwe-hong itu, para
penyembur api itu tak sempat menghindarkan diri ketika
mendadak dilihatnya sinar hitam keemasan menyambar
datang, terpaksa mereka angkat bumbung semprotan untuk
menangkis, dan sebab itulah berturut-turut terdengarlah
letusan, bumbung semprot itu meledak dan belerang
membakar balik, tanpa ampun lagi parapenyemprot itu
terbakar hidup-hidup bagai babi panggang.
Dan karena semburan api yang membalik itu, serdaduserdadu
di sekitarnya lari tunggang-langgang. Sementara itu
dengan kain bajunya yang sudah terbakar juga Bwe-hong
lantas menguber, ia mengayun sekuatnya baju berapi itu ke
tempat bergerom-bolnya orang banyak, sedang sebelah
tangan yang lain segera melolos pedangnya, ia merangsek
musuh dengan sengit. Semprotan api itu guna mencapai jarak
jauh, bila musuh sudah dekat tidak berguna lagi, maka
terpaksa para penyemprot lain melemparkan bumbung
semprot mereka terus melawan dengan mencabut golok.
Karena diterjang Bwe-hong, jurusan ini segera menjadi
bobol, kesempatan itu digunakan dengan baik oleh Pho Jingcu
dan segera diikuti oleh kawan-kawannya, bagaikan banteng
luka yang tak tertahankan mereka berempat menerjang
musuh. Namun serdadu-serdadu penjaga taman itu terlalu banyak,
waktu melihat mereka menerjang keluar, dengan segera garis
pengepungan dilakukan dari segala jurusan hingga seluruh
taman seketika berwujud lautan senjata.
Mereka mencoba ganti siasat, Bwe-hong membuka jalan di
depan. Jing-cu sendiri menjaga di belakang Jiak-sim dan Yuhong
diapit di tengah. Jiak-sim memutar Liu-sing-tui dengan
kencang hingga musuh terpaksa tak berani mendekat, sedang
Yu-hong mencari kesempatan untuk membantu Leng Bwehong
membuka jalan. Meski Yu-liong-kiam bisa memotong besi seperti merajang
sayur, namun jumlah musuh terlalu banyak, pula kalau
terbentur senjata berat juga tak mempan, maka meski Bwehong
berusaha sekuat mungkin dibantu kawan-kawannya
hingga pertempuran itu berlangsung sangat dahsyat, akhirnya
mereka masih tetap terkurung rapat tak berdaya.
Pada saat yang genting itulah, mendadak Jing-cu bersuit
aneh berkali-kali, menyusul terdengar suara tiupan terompet
yang panjang, tentu saja para serdadu penjaga taman istana
itu kaget dan tertegun. Mendadak pula suara gemuruh
terdengar, tembok benteng sebelah barat taman itu meledak
hingga batu pasir beterbangan dan serdadu-serdadu yang
dekat dengan tembok itu banyak yang ikut hancur lebur.
Pengepung Bwe-hong dan lain-lainnya meski sudah terlatih,
namun menghadapi suasana panik itu terpaksa mereka pun
mendekam di tanah hingga kesempatan itu digunakan oleh
Leng Bwe-hong dan kawan-kawan untuk menerjang keluar
kepungan. Menyusul suara ledakan itu, dari luar taman telah
menerjang masuk dua-tiga puluh orang laki-laki tegap di
bawah pimpinan seorang gadis berbaju hijau dan seorang
pemuda berbaju kuning.
Begitu menerjang masuk rombongan orang ini segera
membidikkan anak panah yang membawa batu dan botolbotol
berisi obat peledak ke tempat musuh bergerombdl,
karena itulah api kembali berkobar dan debu berhamburan
hingga musuh kini yang menjadi kacau balau.
Sebaliknya Jiak-sim tidak mengenal sepasang muda-mudi
ini, tetapi selebihnya yang lain dikenal semua sebagai
bawahannya. Kiranya sebelum ia masuk ke kota Kun-bing,
lebih dulu ia sudah menyelundupkan bawahannya ke dalam
kota untuk menjaga segala kemungkinan. Hanya ia tidak
mengerti cara bagaimana bawahannya itu bisa berada di
bawah pimpinan muda-mudi yang tak dikenalnya itu"
Dalam pada itu makin bertempur rombongan orang itu
semakin gagah, lebih-lebih si pemuda baju kuning dengan
sepasang pedangnya yang bersinar mengkilat dan membawa
suara gemuruh sewaktu senjatanya diayun, siapa berani
merintangi pasti mati.
Di sebelah sana, Po Tiau menjadi murka juga, ia mengincar
Li Jiak-sim dan mendadak menubruk pemuda ini, ia
mengemplang kepala orang dengan toyanya tadi.
Lekas Jiak-sim mengayun Liu-sing-tui untuk menangkis
hingga toya orang kena dilihat tali bandulnya, waktu ia
menarik sekuatnya tak terduga ia sendiri yang terseret maju,
keruan saja ia sangat terkejut. Nampak kawannya dalam
bahaya, dengan cepat Bwe-hong memburu maju.
Namun sebelum dekat, tiba-tiba dilihatnya pemuda baju
kuning tadi telah menggeram sekali terus menubruk maju
secepat terbang, tanpa bertanya lagi sepasang pedangnya
tahu-tahu memotong ke tengah, karena itulah tali Liu-sing-tui
kena terta-bas putus hingga bola bandulan itu mencelat ke
udara sedang ujung toya juga tertabas sebagian.
Tentu saja Po Tiau dan Jiak-sim sama-sama terkejut, cepat
mereka melompat mundur beberapa tindak.
"Dia adalah orang sendiri," kata pemudi baju hijau yang
ternyata adalah Boh Wan-lian pada pemuda itu sembari
menunjuk Li Jiak-sim.
Dan tanpa berkata pula pemuda itu lantas menguber Po
Tiau terus membacok lagi. Lekas Po Tiau menggeser langkah
dan memiringkan tubuhnya, toya yang terkurung itu tiba-tiba
dipakai menjojoh dengan tipu 'Tiang-coa-jip-tong' atau ular
panjang masuk goa. Tetapi bacokan pemuda tadi hanya
memakai sebelah pedangnya, pedang tangan kiri masih belum
digunakan, maka dengan cepat dipakainya menangkis dan
terdengarlah suara nyaring, tahu-tahu toya Po Tiau terkurung
lagi sebagian. Dalam pada itu pedang yang membacok tadi
sudah ditarik kembali dan telah menusuk pula secepat kilat,
maka menjeritlah Po Tiau, pundaknya telah kena tertusuk
tembus, beruntung baginya masih bisa melompat kabur sambil
menahan sakit. Demi melihat kawannya terluka, Hwan Cing, satu di antara
tiga perkasa dari istana, dengan cepat menggantikan maju,
ilmu pedangnya 'Mo-hun-kiam-hoat' mengutamakan cepat dan
gesit, mendadak ia melompat naik, dari atas ia menusuk muka
orang, berbareng itu sebelah kakinya yang mengenjot ke atas
terus memancal ke dada pemuda baju kuning.
Karena tusukannya itu, cepat si pemuda mengangkat
pedangnya dengan gerakan 'Ki-hwe-liu-thian' atau
mengangkat obor menerangi langit, dengan sekali 'mengobor'
tahu-tahu senjata Hwan Cing terpental ke udara, namun
demikian dada si pemuda telah kena dipancal kaki Hwan Cing
dengan antap. Nampak pemuda itu kena ditendang, lekas Leng Bwe-hong
melayang maju hendak menolong, siapa tahu belum sempat ia
mendekat mendadak tertampak Hwan Cing sendiri telah
terpental pergi beberapa tombak jauhnya dan menggeletak
terluka parah oleh getaran tenaga dalam orang. Nyata si
pemuda baju kuning itu memiliki Lwekang dan Gwakang yang
sempurna. Sungguh Bwe-hong terkejut sekali, usia pemuda itu belum
ada tiga puluh tahun tetapi kepandaiannya sudah begitu
tinggi, hanya dua-tiga gebrakan saja Po Tiau dan Hwan Cing
sudah dibikin keok, tampaknya ilmu silat orang tidak di bawah
dirinya. Di lain pihak demi menyaksikan pemimpin mereka telah
dikalahkan, para serdadu itu lari kocar-kacir. Waktu Wan-lian
bersuit sekali, maka dengan bebas ia membawa semua orang
menerjang keluar melalui lubang tembok yang meledak tadi.
Di luar ternyata sudah menanti lebih dua puluh ekor kuda.
"Dua orang setunegansan. lekas mundur!" seru pula Boh
Wan-lian. "Mari kita bersama-sama satu kuda!" ajak Bwe-hong sambil
menarik si pemuda baju kuning tadi.
Pemuda itu tidak buka suara, ia pun tidak menolak. Dan
ketika sudah mencemplak ke atas kuda, serta merta ia
mengempit perut binatang itu sekuatnya, karena kesakitan
kuda itu berlari kesetanan hingga sekejap saja kawan-kawan
mereka sudah tertinggal jauh.
Bwe-hong sedang heran akan diri orang, maka pelahan ia
tekan nundak si DO muda sambil berkata. "Sukalah kau oc
lahan sedikit!"
"Hei, bagus kau!" jengek pemuda itu tiba-tiba dan
tubuhnya sedikit tergetar. Mendadak ia pun melompat turun
dari kuda dan berkata lagi, "Kauhilang terlalu cepat" Baiklah
kau menunggang sendiri saja!"
Habis itu ia terus berlari dengan cepat, begitu cepat
sehingga terpaksa Bwe-hong mengeprak kudanya baru bisa
menyusul. Tak lama kemudian pemuda itu berhenti di bawah sebatang
pohon Liu, lalu seenaknya saja ia bernyanyi-nyanyi tanpa
menghiraukan orang lain. Waktu Bwe-hong mendekat, ia pun
tidak menggubris padanya.
Lagu yang dinyanyikan pemuda itu juga aneh, nadanya
gembira tidak, sedih pun bukan, diam-diam Bwe-hong
berpikir, "Jangan-jangan sepertiku, dalam usia semuda ini ia
telah mengalami macam-macam penderitaan?"
Maka ia mendekatinya. Dengan sopan ia menyapa lagi,
"Aku bernama Leng Bwe-hong dan datang dari Sinkiang. Dan
dapatkah aku mengetahui nama dan she Hengtay (saudara
yang terhormat) dan berasal darimanakah?"
Dengan memperkenalkan diri yang namanya sudah
tersohor, Leng Bwe-hong berharap orang tergerak hatinya.
Siapa sangka pemuda ini seolah-olah tak pernah mendengar
nama Leng Bwe-hong, ia hanya mengangguk-angguk, sorot
matanya guram dan menjawab, "Aku sendiri tidak tahu siapa
she dan namaku dan berasal darimana, aku justru ingin
mencari seseorang yang bisa memberitahu padaku!"
Terkejut bercampur heran Bwe-hong oleh sahutan orang,
pikirnya lagi, "Apakah ada rahasianya dan sedang bersedih,
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
maka namanya tidak mau diperkenalkan pada orang lain?"
Karena pikiran itu ia lantas berkata lagi, "Kita sama-sama
orang pengelana dan tak perlu harus kenal nama, tidaklah
menjadi soal jika Hengtay tak mau katakan. Cuma saja atas
bantuanmu tadi, sungguh aku sangat berterima kasih dan
sebagai kawan maukah kita omong-omong?"
"Apa yang aku bisa omongkan?" sahut pemuda itu dengan
tak acuh. "Aku benar-benar seoerti bavi baru lahir, seeala aoa
aku tidak tahu."
Dan bila dilihatnya wajah Bwe-hong mengunjuk rasa
kurang senang karena jawabannya, ia telah membanting
tangan dan berkata lagi, "Apa yang kukatakan adalah
sebenarnya, jika kau tidak percaya, aku bisa apa?"
Belum pernah Bwe-hong bertemu dengan orang seaneh ini,
lama-lama ia mendongkol juga, maka waktu pemuda itu
membanting tangannya, diam-diam ia mengumpulkan tenaga
dan mendadak menggenggam tangan orang dengan kuat.
Kejadian cepat ini membuat pemuda itu bersuara kaget, tetapi
segera pula ia tahan tangannya ke bawah dan meronta
sedikit, maka tangannya terlepas pula dari genggaman Bwehong.
"He, kenapa kau begitu tidak tahu aturan?" serunya kurang
senang. Dan karena rontaannya tadi Leng Bwe-hong tak kuat lagi
menggenggam terus, ia pun bersuara heran. Ilmu kepandaian
mereka ternyata seimbang alias sama kuat. Melihat orang
rada gusar, ia menduga pasti orang akan pakai kepalan, siapa
tahu pemuda itu malah menyingkir pergi dan bersandar pada
pohon lain sambil kedua tangannya memegang kepala sendiri
seakan-akan sedang memeras otak.
"Siapa saja asal bertemu pasti bertanya namaku, tetapi
kepada siapa aku harus minta keterangan, siapakah aku ini?"
teriak pemuda itu tiba-tiba dan air matanya terus menetes.
Bwe-hong bingung melihat kelakuan orang. Waktu ia
berpaling, ia lihat debu mengepul tinggi. Pho Jing-cu, Boh
Wanliari dan Li Jiak-sim serta yang lain bagai terbang
cepatnya sedang mendatangi.
"Pho-pepek, aku bilang dia pasti di sini, nah, bukankah itu
dia*" Ia masih ingat baik-baik tempat yang kita janjikan,
kenapa tidak bisa menyembuhkannya?" demikian Wan-lian
lantas berkata kepada Pho Jing-cu begitu mereka sampai di
bawah pohon itu.
"Ya, tetapi menurut pandanganku tetap sangat sulit," sahut
Jing-cu sambil menggeleng kepala.
"Sulit bukan berarti putus harapan bukan?" kata Wan-lian.
Habis itu ia mendekati pemuda baju kuning itu dan berkata
padanya dengan suara lemah lembut, "Marilah ikut kami pergi
mengaso dulu. Banyak sekali kawan-kawan kami dan juga
kawan-kawanmu, rumah kawanku adalah rumahmu juga.
Marilah turut pada kataku, beberapa hari lagi pasti
kuberitahukan padamu, siapa kau ini dan pasti akan
ketemukan kembali 'kau' yang hilang itu."
Habis itu ia pun memperkenalkan Li Jiak-sim padanya, "Ini
dia cucu Li Jwan-ong!"
"Li Jwan-ong, Li Jwan-ong!" tiba-tiba pemuda itu
menggumam. "Ya, pernahkah kau mendengar nama itu" Li Jwan-ong!"
tanya Wan-lian cepat.
"Sudah lupa, entah pernah mendengar atau tidak, cuma
nama itu aku seperti hapal daripada nama orang lain," sahut
pemuda itu sambil memegangi kepalanya lagi dan berpikir
keras. Melihat kelakuan orang, Wan-lian tertawa, "Sudahlah, kalau
lupa, untuk sementara jangan dipikir dulu. Hayolah, kita
berangkat saja!" katanya kemudian.
Si pemuda ternyata sangat menurut pada kata-kata Boh
Wan-lian, ia menarik-narik tangan Leng Bwe-hong dan berkata
kepadanya, "Kau adalah kawannya dan dengan sendirinya
adalah juga kawanku, kini aku mau lagi bersama satu kuda
denganmu!"
Jing-cu tersenyum, dipandangnya Wan-lian hingga si gadis
merah jengah, lekas Wan-lian mendesak Yu-hong dan lainnya
supaya lekas berangkat.
Tempat yang mereka tuju adalah kediaman seorang bekas
bawahan Li Kim. Waktu sampai di tempat tujuan, hari pun
sudah magrib. Siang-siang tuan rumah sudah mempersiapkan
segala yang perlu, maka para tetamu lantas dijamu dengan
meriah. Pekarangan depan rumah yang mereka tinggali ini terdapat
dua batang pohon Kui yang sedang berbunga hingga baunya
semerbak memabukkan. Waktu pemuda baju kuning itu lewat
pekarangan itu, tiba-tiba ia mengerutkan alisnya rapat-rapat
dan mendadak seperti kesal. Wan-lian melihat kelakuan orang,
tetapi ia tinggal diam saja.
Habis bersantap, oleh tuan rumah para tetamu disuguhi
manisan yang terbuat dari bunga Kui. Tiba-tiba pemuda baju
kuning mengamuk, ia sampuk semua manisan itu hingga
berceceran memenuhi lantai, keruan saja tuan rumah terkejut.
Maka cepat Pho Jing-cu membisikinya, sedangkan pemuda itu
lantas minta maaf juga.
"Entahlah, bila nampak Kui-hoa (bunga Kui) lantas aku
seperti teringat sesuatu, tetapi meski aku berpikir lagi pergi
datang, tetap saja tidak bisa aku mengingatnya dan hati
lantas merasa kesal, maka harap tuan rumah sudi
memaafkan," demikian kata pemuda itu.
Meski semua orang menganggap kelakuan si pemuda agak
aneh dan kurang sopan, tetapi mengingat jasanya siang tadi
yang menerjang musuh paling gagah berani, semua orang pun
dapat memaafkannya.
Dalam hati Li Jiak-sim dan Leng Bwe-hong berdua samasama
penuh pertanyaan. Jiak-sim heran darimana
bawahannya bisa berkumpul bersama dengan pemuda baju
kuning itu. Sedang Bwe-hong ingin tahu juga mengapa Pho
Jing-cu tiba-tiba sudah berada di Kun-bing, bahkan bisa
menyelundup ke dalam istana dan menjadi tabib Go Sam-kui"
Pho Jing-cu seperti tahu isi hati mereka, maka sehabis
perjamuan itu lantas dikatakannya pada mereka, "Hari ini kita
sudah terlalu lelah, biarlah besok saja kuceritakan dari awal
sampai akhir."
Pho Jing-cu adalah Locianpwe atau kaum angkatan tua,
kata-katanya terpaksa harus dituruti Li Jiak-sim dan Leng
Bwe-hong, maka dengan penuh tanda tanya mereka pun
pergilah mengaso.
Semalaman itu pikiran Leng Bwe-hong bergolak, ia tak bisa
pulas, sebentar-sebentar terbayang olehnya wajah Lauw Yuhong
yang menggoncangkan tatkala masih dalam penjara itu,
lain saat ia teringat juga kelakuan aneh si pemuda baju kuning
ini. Akhirnya ia bangun lagi dan memakai bajunya, ia
bermaksud jalan-jalan di tanah pekarangan di bawah sinar
sang dewi malam yang indah untuk menghibur hati yang lara.
Di luar kamar Bwe-hong adalah ruangan tengah, dan
karena keluarnya itu, suatu kejadian aneh telah disaksikannya.
Di ruangan tamu ternyata Pho Jing-cu sedang duduk
sendirian sambil membaca buku di bawah sinar lilin, waktu
dilihatnya Bwe-hong keluar, segera ia menyapanya, "Lengtayhiap,
baiknya kau masuk saja, sebentar lagi jika melihat
apa yang terjadi, harap kautinggal diam dan jangan ikut
campur tangan!"
Melihat orang berkata dengan sungguh-sungguh, Bwe-hong
menurut dan segera kembali ke kamarnya, akan tetapi ia
mengintip juga dari sela-sela pintu untuk mengetahui apa
yang bakal terjadi di luar.
Keadaan yang sunyi berlalu dengan cepat, kini sudah lewat
tengah malam, tetapi Bwe-hong belum melihat sesuatu di
luar. Pho Jing-cu juga masih tetap duduk anteng,
pandangannya tak pernah meninggalkan bukunya. Bwe-hong
menjadi kesal, ia mengantuk dan hendak pergi tidur.
Tiba-tiba ia mendengar tangga loteng berbunyi, ada orang
setindak demi setindak sedang turun ke bawah. Waktu Bwehong
mengintip lagi, ia lihat si pemuda baju kuning dengan
sepasang pedang terhunus di tangan, badan tegak bagai
mayat hidup, matanya terpaku dan parasnya lapat-lapat
mengunjuk napsu membunuh, dan setindak demi setindak
sedang mendekati Pho Jing-cu.
Sungguh terkejut Bwe-hong bukan main, ia pikir hendak
mencegah, tetapi teringat olehnya pesan Pho Jing-cu tadi.
Waktu ia menegasi lagi, ia lihat Pho Jing-cu seperti tak
mengetahui apa-apa dan masih asyik membaca bukunya.
Bwe-hong sudah berpengalaman di Kangouw dan sudah
banyak menghadapi segala rupa bahaya, boleh dikata kejadian
yang betapa tegangnya sudah pernah dialaminya, musuh yang
betapa ganasnya tak dipandangnya sebelah mata. Akan tetapi
aneh, kini nampak si pemuda baju kuning yang berjalan tegak
bagai mayat dengan biji matanya terpaku tak bergerak, tanpa
terasa bulu ramanya berdiri mengkirik.
Sementara pemuda itu sudah semakin dekat dan hampir
berada di depan Pho Jing-cu, napsu membunuh di mukanya
juga semakin nyata, saking kuatirnya hampir saja Bwe-hong
menjerit. Namun ia tahu Pho Jing-cu tentu sudah siap sedia
sebelumnya, melihat sikapnya yang begitu tenang, akhirnya ia
menjadi lega dan tak kuatir lagi. Pikirnya, pemuda baju kuning
ini betapapun tinggi ilmu silatnya, namun Pho Jing-cu adalah
tokoh ternama dalam dunia persilatan, pasti tidak nanti bisa
di-bokong pemuda itu, andaikan terjadi sesuatu ia masih bisa
maju membantu, dan dengan kekuatan dua orang, mustahil
tidak dapat mengatasinya.
Dalam pada itu Jing-cu menunggu sampai pemuda baju
kuning itu sudah dekat, baru pelahan-lahan ia bangkit, dengan
sikap biasa ia bertanya, "Nyenyakkah tidurmu?"
Dengan mata terpaku pemuda itu memandang Pho Jing-cu
tanpa menjawab, Jing-cu tersenyum dan kemudian ia
mengangkat secangkir teh dan disodorkan padanya sambil
berkata lagi, "Minumlah ini!"
Tiba-tiba tangan kanan pemuda itu menjadi kendor dan
pedangnya terjatuh, ia terima cangkir teh itu dan diminumnya.
"Nah, sekarang bolehlah tidur lagi!" kata Jing-cu tertawa
sambil bertepuk tangan. Betul saja pemuda itu lantas roboh
lemas dan tak seberapa lama sudah menggeros pulas.
Dan selagi Leng Bwe-hong hendak keluar, tiba-tiba
terdengar derapan kaki yang turun dengan cepat dari atas
loteng, ia heran dan pikirnya, "Apakah ada seorang linglung
lain yang turun pula?"
Sementara tindakan kaki itu ternyata makin cepat dan
kemudian tertampaklah seorang gadis turun dengan tergopohgopoh,
ternyata gadis itu adalah Boh Wan-lian.
Nampak pemuda itu sudah menggeletak di lantai dan
pedangnya jatuh di samping, dengan rasa kuatir Wan-lian
bertanya, "Apakah ia melukaimu?"
"Tidak, sama sekali ia tak bergebrak denganku," jawab
Jing-cu. Lalu dengan tersenyum ia menyambung pula, "Nona,
biarlah kumusnahkan dia saja, bagaimana pendapatmu?"
"Ha, jangan!" seru Wan-lian kaget.
"Maksudku bukan membunuh dia," kata Jing-cu, "Juga aku
tidak bermaksud membuat cacad dia, yang kumaksudkan ialah
memusnahkan ilmu silatnya, cukup kukeluarkan sedikit ilmu,
segera kubikin dia tak bertenaga walaupun ilmu silatnya
begitu baik."
"Kenapa kau begitu tega?" kata Boh Wan-lian dengan rasa
sayang. "Selamanya kausuka mengobati orang sakit, kini tidak
kausembuhkan dan mengapa malahan hendak
mempermainkannya?"
"Ya, sebab aku tidak dapat mengobati penyakit ini," ujar
Pho Jing-cu. "Ia punya penyakit 'Li-hun-cin' (penyakit mimpi
berjalan) ini tentu disebabkan sesuatu peristiwa yang sangat
menggoncangkan pikirannya, dan justru ia telah melupakan
segala sesuatu sehingga tiada jalan untuk menyelidiki sumber
penyakitnya ini, dengan demikian cara bagaimana aku bisa
sembuhkan dia" Yang paling menguatirkan ialah di waktu
penyakitnya kumat, meski di siang hari ia orang baik-baik,
tetapi di waktu malam kalau kumat penyakitnya, sangat
mungkin membunuh orang pun tak disadarinya, sedangkan
ilmu silatnya begitu tinggi, kalau aku tidak memusnahkannya,
siapa lagi yang dapat mengatasinya?"
"Tadi apakah ia hendak membunuhmu?" kata Wan-lian.
"Tanda itu masih belum terlihat, hanya wajahnya penuh
mengunjuk napsu membunuh," jawab Jing-cu.
"Aku jadi teringat cerita Pepek dulu tentang penyakit 'Lihuncin', bahwa bila ada sesuatu pikiran yang terpendam
dalam hati seseorang, biasanya ia sendiri pun tidak
mengetahui, tetapi dalam mimpi di kala ingatan sehatnya tak
bekerja lagi, lantas timbul sesuatu pikiran yang terpendam itu
untuk sekedar dipuaskan dalam mimpinya dan hal-hal jahat
tidak sampai diperbuatnya. Dalam keadaan begitu meski ia
sudah seorang 'dia' yang lain, tetapi toh tidak membahayakan
keselamatan orang lain, dan penyakit ini disebut 'Sian-seng-lihuncin' (penyakit mimpi bawaan), bukankah begitu?"
Mendengar sampai di sini, tiba-tiba Jing-cu menggoyanggoyang
tangannya dan cepat berdiri.
"Pho-pepek, apa yang hendak kaulakukan?" tanya Wan-lian
terkejut. "Dalam keadaan demikian ini ternyata kau masih sempat
bicara tentang ilmu tabib," ujar Pho Jing-cu. "Apakah ia
membahayakan orang atau tidak, siapa pun tak
mengetahuinya aku pun tak dapat menghadapi resiko ini, dan
membiarkan ilmu silatnya yang begini tinggi buat keluyuran di
waktu malam."
Habis berkata dengan pelahan ia mendekati pemuda baju
kuning yang masih menggeros itu. Karena gugup dan
cemasnya hampir-hampir Wan-lian menangis.
"Pho-pepek. apakah kau tak sayang lagi padaku?" katanya
tak lancar. Dan belum Pho Jing-cu menjawab, sekonyong-konyong
sesosok bayangan melesat tiba.
"Haha, memang aku tahu kau tak tahan dan akan keluar,
kenapa kau tidak turut pesanku?" seru Jing-cu tertawa.
Bayangan orang itu ternyata Leng Bwe-hong adanya.
"Aku menurut pesanmu, tapi kalau kau hendak
memusnahkan ilmu silatnya, itulah aku tidak setuju," sahut
Bwe-hong cepat. "Coba pikir, ilmu silatnya yang begitu tinggi
apa gampang dilatihnya" Jika penyakitnya ini bisa
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
disembuhkan, entah betapa besar manfaatnya bagi kita!
Sungguh aku tak tahan melihat orang demikian ini akan
kaumusnahkan!"
"Pho-pepek, coba lihat, Leng-tayhiap juga berkata
demikian, aoakah kau masih iuea teaa untuk turun tanean?"
uiar Wan-lian. Mendengar itu Pho Jing-cu tertawa terbahak-bahak dan
tiba-tiba ia duduk kembali di tempatnya semula.
"Aku sudah pikirkan sebisanya cara bagaimana
menyembuhkan penyakit anak muda ini, dan kini telah dapat
kukete-mukan," demikian katanya kemudian.
"Ha, sungguh?" tanya Wan-lian terheran-heran.
"Apa kaukira benar-benar aku hendak musnahkan dia" Ha,
aku hanya ingin mencoba saja bagaimana pikiranmu padanya
dan kini boleh dikata telah kena dicoba!" sahut Jing-cu
tertawa. "Ah, lagi-lagi Pepek telah mempermainkanku." kata Wanlian
dengan mulut menjengkit.
"Sedikitpun aku tidak main-main!" kata Jing-cu sungguhsungguh.
"Kau tahu, penyakit hati harus disembuhkan dengan
obat hati, kini ia memerlukan seorang gadis yang dapat
mendampinginya dengan penuh kasih sayang dan gadis ini
harus dapat mempercayainya, dengan begitu baru ia mau
menuruti perkataannya, dan gadis inilah nantinya yang bisa
menyelidiki sumber penyakitnya. Namun ia adalah orang sakit
yang berbahaya, kalau gadis itu tidak bersedia berkorban dan
tidak simpati padanya, tentu tidak bersedia mengawani orang
sakit yang demikian ini, andaikan bersedia juga tak akan
menghasilkan sesuatu. Penderita serupa ini perasaannya
paling tajam, siapa yang sungguh-sungguh atau pura-pura
simpatik padanya, ia dapat menyelaminya. Maka ia
memerlukan seorang ibu, seorang saudara, seorang sahabat,
ya, pendeknya seorang yang bisa dia ajak bicara dari hati ke
hati. Dan kaulah orang yang paling sesuai buat melayaninya.
Akan tetapi sebelum kejadian tadi aku masih belum tahu
perasaanmu terhadapnya, maka dengan sengaja aku mencoba
dan menyelami hatimu." Habis Jing-cu menutur, Wan-lian
termangu-mangu tak berkata.
"Coba bukankah Pho-pepek sangat sayang padamu?" kata
Jing-cu pula tiba-tiba menggoda.
Leng Bwe-hong ikut tertawa oleh perkataan itu.
"Ya, malam ini tidak saja aku telah berhasil mencoba Wanlian,
bahkan sekalian telah menjajal Leng-tayhiap," kata Pho
Jing-cu pula dengan tertawa lebar sambil memandang Leng
Bwe-hong. "Untuk apa kau mencoba diriku?" tanya Leng Bwe-hong
heran. "Ya, hanya ksatria yang dapat menghargai ksatria," sahut
Jing-cu. "Kau termasuk tokoh silat yang disegani, tentu
lebihlebih tahu menghargai kepandaian orang. Dan karena
percobaan malam ini. betul juga kau sangat suka padanya
malahan hampir bertengkar denganku! Terus terang saja
meski aku sudah mencoba dan tahu Wan-lian bersedia
mendampinginya, tapi aku masih kuatir seumpama dia kumat
dan benar-benar hendak melakukan keganasan, lalu tiada
orang yang dapat mengatasinya. Kini jika ada kau bersama
Wan-lian di sampingnya, pasti usaha ini tidak akan gagal.
Tentu saja pada waktu mendampinginya sedapat mungkin kau
biarkan Wan-lian lebih berdekatan dengannya, kau hanya
melindungi dari samping saja."
Habis berkata Jing-cu bergelak tertawa lagi.
"Ilmu tabib Pho-losiansing sungguh sangat mengagumkan,
kalau ada tugas pasti aku tak akan menolak," ujar Leng Bwehong.
"Hanya saja dapatkah Pho-losiansing menceritakan
sedikit padaku asal-usul penderita sakit ini" Umpamanya
menceritakan kisah pertemuan kalian dengan dia?"
Pho Jing-cu tidak menolak, maka mulailah ia menceritakan
pengalamannya yang sangat menarik dan tegang.
Hari itu setelah Pho Jing-cu dan Boh Wan-lian berpisah
dengan para pahlawan di Bu-keh-ceng. melalui Soa-say dan
Siam-say, mereka terus menuju ke Su-cwan. Lewat beberapa
hari mereka telah sampai di Kiam-kok. suatu tempat yang
tersohor karena bahaya dan curamnya jurang yang harus
dilalui jika hendak memasuki daerah Su-cwan.
Pada hari itu melalui benteng 'Kiam-bun-kwan' di antara
bukit-bukit yang menjulang tinggi, mereka berada di jalanan
'Can-to' yang terkenal dalam sejarah.
Yang disebut 'Can-to' adalah jalanan kecil yang berliku-liku
bagai usus kambing di antara tebing-tebing jurang yang
curam, malahan ada bagian-bagian yang sebenarnya adalah
jalanan buntu, lalu dipasang dengan batang kayu di antara
tebing curam itu sehingga berupa jembatan terapung di
udara, ada pula bagian jalanan di tebing terjal yang dibikin
seperti tangga dengan beribu undakan.
Berada di jalan Can-to yang hebat itu, bilamana Jing-cu dan
Wan-lian mendongak, yang tampak hanya bukit-bukit tinggi
yang mengaling-alingi sinar matahari dan langit, sebaliknya
kalau memandang ke bawah yang terdengar hanya suara
meng-gerujuknya air yang jatuh ke jurang yang dalamnya
susah dilukiskan. Berada di jalanan seperti itu, Pho Jing-cu
masih tak mengapa, tetapi Wan-lian sudah keder dan kuatir.
Meski tatkala itu sudah permulaan musim panas, tetapi di
dataran tinggi Can-to angin pegunungan yang santar terasa
sangat dingin. Dan kisah perjalanan Jing-cu dan Wan-lian dimulailah di
sini. "Hari itu, kami berjalan di Can-to. Sungguh memalukan,
kami termasuk orang yang ada sedikit kepandaian, tetapi
sudah satu hari penuh berjalan ternyata masih belum bisa
melintasi pegunungan itu, waktu itu cuaca sudah remangremang
dan hari hampir magrib, aku mulai kuatir. Kalau
bermalam di pegunungan semacam ini bukanlah menjadi soal
bagiku, tetapi Wan-lian adalah seorang gadis bahkan melihat
wajahnya seperti sedang menderita sakit, sehingga aku
menjadi kuatir pula."
"Ah, kau anggap aku masih anak-anak saja," sela Wan-lian
tiba-tiba. "Sebenarnya waktu itu aku tidak sakit, hanya sejak
malam menyelidiki Ngo-tai-san selama setengah bulan hatiku
selalu merasa kesal!"
Mendengar itu diam-diam Bwe-hong menghela napas.
Malam di Ngo-tai-san itu, Wan-lian hendak mencari ibunya,
siapa tabu hanya menemukan baju kudung sang ibu yang
sudah meninggal. Adegan yang menyedihkan pada malam itu
diam-diam ia pun menyaksikan sendiri, maka ia memahami
mengapa hati Wan-lian menjadi kesal.
"Kenapa kau tidak tahu hatimu kesal" Justru aku kuatir dari
kesal kau menjadi sakit!" demikian kata Pho Jing-cu kemudian
dengan agak muram.
Wan-lian menjadi berduka, matanya merah, mendadak ia
pandang pemuda baju kuning yang masih menggeros di lantai
itu dan meneteskan air mata.
Leng Bwe-hong berpikir, "Pantas ia mencintai pemuda baju
kuning ini, kedua muda-mudi ini sama-sama anak piatu, yang
seorang malahan tidak mengetahui asal usul dirinya sendiri,
rupanya nasib yang sama bagaikan seutas benang merah
telah menggandengkan mereka."
Sementara itu Ph(c) Jing-cu lantas meneruskan ceritanya,
"Selagi aku berkuatir, tiba-tiba kami melihat di belokan jalanan
gunung sana ada seoTang gadis yang sedang mengumpulkan
rotan hutan, ia membetot dan menarik sekenanya, dengan
gampang saja ia sudah mendapatkannya. Rotan semacam itu
sangat kuat dan ulet, dipotong dengan pisau saja cukup
memakan waktu, tetapi ia ternyata sedikit pun seakan-akan
tidak membuang tenaga, tentu saja aku menjadi heran. Wanlian
segera menyapa padanya, nona itu sangat senang melihat
Wan-lian, ia mendekati dan menarik tangan Wan-lian, ia
bertanya kepadanya apakah bukan bidadari yang tiba-tiba
jatuh ke pegunungan karena tertiup angin" Sebab sudah lama
sekali ia tidak pernah bertemu orang luar di pegunungan yang
curam itu."
"Sebenarnya ia yang sungguh cantik bagaikan mawar hutan
yang mekar di pegunungan!" sela Wan-lian. "Aku
memberitahu kepadanya bahwa kami adalah pelancong biasa.
Lantas ia mengajak kami menginap di rumahnya. Pikirku,
tanah curam dan puncak berbahaya begitu siapa tahu masih
ada rumah tinggal, pasti keluarga ini bukan orang biasa!"
"Rumah tinggal nona itu tidak begitu jauh, tetapi dipandang
dari jauh sedikit pun tak nampak," sambung Jing-cu.
"Ternyata rumahnya terbikin di atas tebing curam di antara
dua puncak, di atas tebing itu tumbuh dua batang pohon
cemara yang persis menutupi rumah itu dari pandangan
orang. Kami memasuki rumah itu, penghuninya hanya seorang
kakek berusia antara enam puluhan, mukanya hitam kurus,
jarinya mirip cakar burung, kukunya panjang sekali tetapi
penuh semangat. Begitu bertemu, kami menjadi heran, ia pun
heran melihat kami. Kami memberitahu padanya kalau kami
orang yang tersesat jalan, tetapi ia seperti tak ambil
perhatian. Aku menyangka ia tidak senang karena kedatangan
kami, atau sekiranya kami adalah orang-orang jahat, akan
tetapi pelayanannya cukup memuaskan juga"
"Habis bersantap malam, ia berpesan pada kami, 'Khekkoan
(tuan tamu), kelihatannya kalian bukan tamu biasa dan
tentunya memiliki sedikit ilmu silat, cuma malam ini kalau ada
sesuatu kejadian, kalian jangan sekali-kali bersuara dan ikut
campur tangan. Kalau kalian ikut campur tangan, tidak saja
akan membikin susah diri sendiri, bahkan juga akan
mencelakai aku, dapatkah kalian berjanji"!' Demikian ia
berpesan pada kami dengan muka serius."
"Ha, persis seperti yang kaupesankan padaku tadi bukan?"
sela Bwe-hong dengan tertawa.
"Aku hanya bergurau denganmu, tetapi ia sungguhsungguh
dan kereng sekali, sikapnya betul-betul sangat
menakutkan!" kata Jing-cu.
"Tatkala itu nona tadi telah bertanya pada ayahnya, 'Ayah,
ibu belum kembali! Apakah orang jahat yang dulu itu telah
datang lagi" Kini aku sudah besar, biar aku membantu ayah.'.
Mendengar itu wajah si orang tua berubah," demikian tutur
Wan-lian menambah cerita Jing-cu. "Kemudian orang tua itu
mengomeli anak gadisnya, 'Tidak, tak boleh kau ikut campur,
jika kau ikut campur, aku tidak akan mengakuimu sebagai
anak lagi, seumpama aku kena dibunuh, kau pun tidak boleh
bergebrak dengan orang itu, jika ia hendak membawamu
pergi, malahan kau harus turut dia dan sekali-kali tak boleh
membalas sakit hatiku!' Dengan menangis gadis itu berkata,
'Ayah kenapa kau berkata begitu"' Akan tetapi dengan suara
kereng kakek itu membentak, 'Kalau kaubantah pesanku, mati
pun aku tidak meram!' Mendengar percakapan mereka, aku
pun merasa keadaan orang itu agak luar biasa, aku
memandang Pho-pepek tetapi separah kata pun ia tak
bersuara, aku bermaksud mengatakan bersedia membantu,
tetapi kepandaianku belum cukup, agaknya nona itu saja lebih
kuat daripadaku. Suasana sedih dan mengharukan memenuhi
rumah kecil itu, hatiku pun ikut terasa berat."
"Ya, sudah berpuluh tahun aku merantau di Kangouw,
tetapi belum pernah ketemukan kejadian aneh semacam itu,"
sambung Pho Jing-cu. "Kakek itu seperti meyakinkan 'Tay-likengjiau-kang', ilmu cakar elang bertenaga raksasa, kedua
matanya bersinar, sekilas saja orang akan tahu dia adalah ahli
Lwe-kang, namun sama sekali aku tidak mengenali siapakah
dia ini, diam-diam aku merasa aneh, dan aku belum tahu juga
apakah dia orang baik-baik atau orang jahat. Aku menduga
bisa jadi karena urusan balas-membalas di kalangan Kangouw,
dan kebetulan dapat diketahui kami, tetapi kalau soal balas
membalas di kalangan Kangouw, orang yang berkepentingan
pasti tiada alasan buat menolak bantuan orang lain, sebaliknya
kakek itu tidak mau menerima bahkan oleh anak gadisnya
sendiri, hal ini betul-betul membuatku menjadi bingung dan
tak mengerti."
Sampai di situ, angin malam di luar jendela tiba-tiba menderuderu diselingi suara burung malam yang tajam
melengking seram. Sekonyong-konyong Leng Bwe-hong
menepuk tangan dan berkata, "Aku dapat menerka siapakah
gerangan orang tua itu!"
Dan belum lenyap suara perkataannya, tiba-tiba di luar
jendela ada suara orang menyambung, "Aku pun dapat
menerka siapa kakek itu!"
Leng Bwe-hong melompat bangun, ia lihat sesosok
bayangan hitam dengan cepat telah menerobos masuk dari
jendela. Ternyata orang ini adalah Li Jiak-sim. Karena hati pemuda
ini penuh dengan pertanyaan sehingga ia pun tak dapat tidur
pulas, tiba-tiba ia dibikin kaget oleh suara tindakan Wan-lian
waktu turun dari tangga tadi, maka ia pun ikut turun. Bwehong
sedang terpesona oleh cerita Pho Jing-cu, sehingga tidak
merasa ada orang mendekam di luar jendela.
Sementara itu mendengar bahwa Bwe-hong dan Jiak-sim
kenal siapa adanya kakek itu, Pho Jing-cu menjadi terheranheran.
"Aku pernah mendengar dari Suhu mengenai jago-jago silat
dari berbagai aliran dan tokoh-tokoh ternama," demikian Bwehong
menutur, "Katanya di atas puncak Can-to di Kiam-kok
ada seorang tua yang mengasingkan diri, namanya Kui Thianlan
yang mahir menggunakan 'Tay-lik-eng-jiau-kang' dan 'Micio'
(pukulan lunak), ilmunya sudah mencapai puncaknya.
Eng-jiau-kang adalah ilmu yang hebat dari kaum Lwekeh,
sedang Mi-cio adalah semacam ilmu yang paling susah
dipelajari dari kaum Lwekeh, orang ini bisa meyakinkan ilmu
dari dua golongan sekaligus, sungguh boleh dikata adalah
tokoh sakti dari kalangan persilatan."
"Orang tua itu she Kui?" tanya Wan-lian mendadak dengan
heran. Bwe-hong mengangguk. Dan Wan-lian kelihatan termangumangu, matanya berputar, tangannya menunjang janggut
seperti sedang memikirkan sesuatu.
"Aku pun pernah mendengar dari ayahku almarhum," kata
Li Jiak-sim, "Bahwa ada seorang yang bernama Kui Thian-lan,
ilmu silatnya sangat tinggi, tatkala Thio Hian-tiong memerintah
daerah Su-cwan, pernah dia mengabdi pada Panglima Thio
Hian-tiong yang bernama Li Ting-kok. Tidak lama setelah Thio
Hian-tiong dan Li Ting-kok berturut-turut gugur, orang ini
lantas tak diketahui jejaknya. Belakangan ada orang bilang ia
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengasingkan diri di Kiam-kok, dan ayahku memerintahkan
orang pergi mencarinya, tetapi tak bisa diketemukan. Pholocianpwe
bilang ada orang mencari dia buat membalas
dendam, kukira bukan musuh perseorangan, tapi adalah jago
pemerintah Boan yang telah menemukan jejaknya."
"Dugaanmu hanya betul separoh," kata Jing-cu dengan
menggelengkan kepala, lalu ia melanjutkan, "Semula orang
yang datang mencari balas padanya itu bukan jagoan
pemerintah, pada waktu si kakek lagi bicara dengan gadisnya,
di atas rumah mendadak menyambar tiga panah bersuara
susul menyusul, suaranya aneh dan menyeramkan. Aku tahu
itu adalah tanda peringatan pada pihak lawan yang biasa
dipakai di kalangan Kangouw. Umumnya kalau belum yakin
bahwa ilmu silatnya lebih tinggi dari lawan, tidak nanti
memberi tanda peringatan lebih dulu. Dan tentu saja aku
terheran-heran, kedua ayah dan gadisnya itu sudah jarang
diketemukan di kalangan persilatan, masakah masih ada orang
pandai lagi yang berani begitu takabur" Dan setelah panah
bersuara tadi lewat, betul saja di luar lantas terdengar suara
bentakan orang bagai halilintar, 'Hayo, kenapa kau masih
belum keluar"' Wajah kakek itu pun terlihat sedih."
"la kemudian berdiri dan berkata pada gadisnya, 'Sekali-kali
jangan kaulupakan pesanku tadi.', lalu ia berkata pula kepada
kami, 'Sekali-kali kalian juga jangan ikut campur.'. Setelah itu,
ia lantas menerjang keluar rumah, tanpa bisa menahan diri
lagi aku pun ikut keluar. Waktu aku berpaling, kulihat nona
cilik itu pun sudah keluar bersama Wan-lian."
"Ternyata yang berdiri di luar adalah seorang tua bermuka
merah dan brewokan, waktu nampak aku ikut keluar, ia
melotot memandang beberapa kali padaku dan kemudian
dengan tertawa dingin ia berkata, 'Ha, ternyata kau begini
rendah, masih pakai pembantu!'. Lekas aku bilang, 'Aku hanya
tetamu yang kebetulan lewat saja.'. Aku tahu urusan balas
membalas dendam di kalangan Kangouw semacam ini, kalau
hanya seorang yang maju, pasti itu sudah ada perjanjian
untuk bertempur satu lawan satu. Siapa yang kebetulan
menyaksikan juga harus menyingkir, kecuali kalau yakin tidak
dapat menandingi pihak lawan dan sebelumnya sudah minta
bantuan sobat-handai, itu adalah soal lain lagi."
"Namun begitu, juga harus membiarkan orang yang
bersangkutan turun tangan lebih dahulu. Aku seharusnya
menyingkir, tapi tidak tahan oleh rasa ingin tahu, aku masih
terus mengawasi dari jauh cara mereka bertanding. Saat itu
juga tiba-tiba aku melihat di bawah jalanan Can-to sana di
tengah-tengah bukit seperti ada bayangan-bayangan hitam
yang sedang merayap.
Dan ketika aku menegasi lagi, tahu-tahu kakek paras
merah itu sudah membentak, 'Sekalipun kau memakai
pembantu, aku pun tak gentar!'. Dan tanpa banyak bicara lagi
ia memukul si kakek hitam kurus itu dengan gemas. Aku
berdiri sejauh puluhan tombak toh masih mendengar juga
menyambarnya angin pukulan yang keras itu"
Sebagai seorang ahli silat, tentu saja Leng Bwe-hong
sangat tertarik oleh cerita Pho Jing-cu ini, kemudian ia pun
berkata, "Dengan kepandaian Kui Thian-lan ternyata masih
ada orang yang berani mengeluruk ke rumahnya, maka orang
itu pasti bukan sembarangan, sayang aku tidak bisa
menyaksikan pertandingan hebat itu." Kemudian ia
melanjutkan dengan ge-getun, "Menurut dugaanku, kakek
hitam kurus di Kiam-kok itu adalah Kui Thian-lan. Bukankah
kemudian ge^ak serangannya berdasar Mi-cio bercampur
dengan Eng-jiau-kang" Kalau betul, lebih-lebih pasti adalah
dia." "Baiklah, biar kuanggap kakek hitam kurus itu adalah Kui
Thian-lan, agar lebih gampang diingat," kata Pho Jing-cu
sambil manggut. "Tadi aku bercerita sampai pada waktu kakek
paras merah itu menubruk Kui Thian-lan dengan pukulan
kedua telapak tangan. Ternyata Kui Thian-lan tidak lantas
bergerak, dengan enjotan kuat, ia melompat pergi dua-tiga
tombak jauhnya sambil berulang-ulang berteriak, 'Jangan
buru-buru kau bergebrak denganku! Semestinya kau memberi
kesempatan pada orang agar bisa bicara.'. Tetapi kakek paras
merah itu tidak menggubris padanya, ia mengikuti jejak orang
dan mendesak tiap tindakan lawan. Setelah Thian-lan mundur
beberapa kali, ia sudah mundur sampai di tepi jurang dan
tidak mungkin ia mundur lagi. Tapi si kakek paras merah itu
malah menyerang lebih hebat lagi, kedua telapak tangannya ia
hantamkan ke depan sekuatnya. Cepat Thian-lan pentang
tangannya, ia melangkah maju sambil mengegos, tangan
kanan menangkis, telapak tangan kiri berbalik memotong
pergelangan tangan lawan, menyusul pula jari tangan kanan
dengan cepat menotok ke bawah iga orang. Buru-buru kakek
paras merah itu menarik kembali tangannya, tetapi segera
tangan kiri membelah ke bawah dan kakinya lantas menyapu."
Leng Bwe-hong mendengarkan cerita itu dengan mata
meram melek, sampai di sini ia menyela, "Gerak kakek paras
merah itu salah, Kui Thian-lan telah menggunakan gerak tipu
'Khong-jiok-tau-uh' dari Mi-cio, sebelum berubah di tengah
jalan lantas dibarengi dengan ilmu menotok. Cara kakek paras
merah itu menghindari serangan hanya bisa mengelakkan
serangan telapak tangan lawan, tetapi tidak mungkin
menghindarkan totokannya. Kakinya tadi hanya gerakan purapura
saja yang menyerang untuk menjaga diri. Tetapi cukup
kalau Kui Thian-lan memiringkan tubuhnya dan melangkah ke
kiri, kakek paras merah itu segera dapat dirobohkan. Agaknya
kakek paras merah yang kelihatan ganas itu, kalau
mempersoalkan ilmu silat sejati, masih selisih setingkat
dibanding Kui Thian-lan."
"Pengetahjan Cio-hoat (ilmu pukulan) Laute (saudara)
memang tinggi, kata Jing-cu, "Betul juga, Kui Thian-lan lantas
mengegos ke kiri dan melangkah maju berbareng menotok.
Tetapi aneh, Thian-lan seperti sengaja mengalah, gaya menotoknya
itu ternyata pura-pura saja dan sewaktu kakek paras
merah berkelit, ia sendiri malah meloncat pergi menjauhkan
diri dari jurang yang berada di belakangnya itu."
"Ah, kakek paras merah itu sudah kalah sejurus, pantasnya
ia mundur teratur," ujar Bwe-hong.
"Ha, justru ia tak mau berhenti begitu saja," sahut Jing-cu.
"Di bawah sinar bulan kulihat wajahnya yang merah seakanakan
berubah menjadi ungu, mendadak ia menubruk maju lagi
dengan kalap seperti orang hendak diterkamnya, tampaknya
ia pun tidak lemah, ia kemudian melontarkan lagi serangan
dengan hebat dan cepat mengitari Thian-lan bagai roda,
makin lama makin cepat dan langkahnya menurut Pat-kwa
tanpa keliru sedi-kitpun."
"Ah, yang dimainkannya itu adalah 'Kiu-kiong-sin-hingkun',"
ujar Bwe-hong. "Ilmu pukulan ini seluruhnya meliputi
tujuh puluh dua jurus dengan perubahan-perubahan cara
menotok dan menangkap yang hebat, tepat sekali untuk
melawan seorang ahli Gwakeh dan Lwekeh. Eh, kalau begitu
kakek paras merah ini memang tidak lemah. Tadi ia kalah satu
gebrakan, mungkin karena terlalu memandang rendah
lawannya. Kiu-kiong-sin-hing-kun yang dimainkannya itu
adalah ilmu warisan dari golongan Bu-tong-pay."
"Ya, tetapi Kui Thian-lan juga lihai luar biasa," kata Pho
Jing-cu. "Meski si kakek paras merah sudah berputar begitu
cepat, namun ia pun bisa mengikuti gerak orang dengan sama
cepatnya, gerak-geriknya begitu lunak dan lemas hingga
setiap pukulan musuh dapat dipatahkan semuanya."
"Pertandingan itu pasti sangat menarik," ujar Bwe-hong
gegetun. "Tentu saja hebat," sela Wan-lian tiba-tiba. "Gerak kedua
orang tua itu cepat bagai kiliran hingga akhirnya tampak
melulu dua bayangan hitam yang bergulung-gulung kian
kemari, jangan kata hendak membedakan tipu serangan
mereka, sedang untuk mengenali saja tidak jelas."
"Cara bergebrak mereka memang sungguh cepat sekali,"
kata Jing-cu pula dengan tertawa. "Tetapi kalau ditegasi masih
dapat juga dibedakan siapa yang lebih unggul dan siapa yang
asor. Kakek paras merah itu merangsek terus bagai kerbau
mengamuk, tetapi Thian-lan terlalu gesit dan memakai
perhitungan. Tiap pukulan kakek paras merah sangat keji dan
berbahaya, tetapi Thian-lan selalu berkelit seperlunya saja,
malahan beberapa kali aku sendiri tidak tahu cara bagaimana
ia menghindarkan serangan lawan. Sebenarnya dengan
kepandaiannya tidak susah baginya untuk melontarkan
serangan balasan, tetapi anehnya, ia selalu hanya sekedar
menjaga diri saja tanpa balas menyerang, bahkan terangterangan
ada kesempatan, namun ia pun pura-pura bergerak
saja tanpa memukul sungguhan."
"Kalau begitu, pasti akan merugikan dirinya sendiri," ujar
Bwe-hong. "Keuletan dan kebagusan Cio-hoat si kakek muka
merah itu hanya sedikit di bawah Thian-lan, dan karena
kesempatan balas menyerang selalu diabaikan, maka mudah
sekali didahului oleh lawannya."
"Memang tepat kata-katamu," sahut Jing-cu, "Aku sendiri
pun ikut merasa tegang oleh ramainya pertarungan itu. Suatu
ketika, tiba-tiba si kakek muka merah menendang ke iga Kui
Thian-lan dan dengan tepat Thian-lan dapat menahan tungkak
kaki orang dengan telapak tangannya, dalam keadaan begitu,
asal sedikit mendorong ke depan, dapat dipastikan lawannya
akan terlempar ke jurang. Siapa tahu tangannya melulu
menahan sedikit ke bawah saja, mungkin maksudnya supaya
kaki orang berdiri kembali ke tanah, tak terduga, sedikit
terlambat itu saja telah memberi kesempatan pada kakek
muka merah untuk menggunakan gerakan 'Wan-yang-liangoantui' (tendangan berantai susul menyusul), kedua kakinya
beruntun melayang. Maka terdengar Thian-lan menjerit, gerak
tangannya menjadi kendor dan si kakek muka merah
melompat sejauh beberapa tombak, berbareng ia pun
mengayun tangan pula dan tiga anak panah lantas
menyambar. Tatkala itu Thian-lan kelihatan pucat pasi, gerakgeriknya
sangat berat, ia masih dapat menghindarkan anak
panah pertama dan kedua, tapi panah ketiga dengan tepat
menancap di perutnya."
"Sebenarnya nona cilik itu berada di sampingku," sambung
Wan-lian tiba-tiba dengan tegangnya, "Dan mendadak ia pun
melayang maju, ketika tangannya mengayun, cepat sekali ia
timpukkan seutas rotan panjang ke arah kakek muka merah
itu, menyusul tangan yang lain bergerak pula, tiga buah piau
ia sambitkan juga secepat kilat. Tetapi kakek paras merah itu
pun '.u ngat aneh. Waktu dilihatnya nona cilik ini menerjang
ke arah= nya, sama sekali ia tak menghindarinya, sebaliknya
ia malah memapak maju sembari berseru, 'O, mestikaku,
orang jahat sudah terbunuh, marilah kau ikut aku pergi!'. Dan
tatkala itulah si nona mengayun tangannya pula, namun orang
tua itu tetap tak menghiraukan, keruan saja celaka baginya,
kedua kakinya lantas ter-gubet oleh rotan panjang dan pundak
kirinya pun terkena sebuah piau. Saat itu juga, sekonyongkonyong
Kui Thian-lan berseru, 'Tahan, Tiok-kun, ia adalah
ayahmu!'. Lalu si kakek muka merah itu tertampak tertawa
pedih, sedang si nona cilik bagai tersambar petir di siang hari
bolong, tubuhnya gemetar. Dan saat itu juga, tiba-tiba terasa
olehku ada sambaran angin di belakangku, mendadak aku
didorong pergi oleh Pho-pepek hingga terpental tiga tombak
lebih. Waktu aku berpaling, terlihat ada empat orang
berseragam hitam bagai burung cepatnya telah menubruk
tiba. Satu di antaranya tahu-tahu sudah dekat si nona cilik
tadi, karena itulah, si kakek muka merah menggeram sekali,
tiba-tiba kedua kakinya terpentang hingga rotan yang
menggubet itu putus, orangnya cepat sekali melayang maju,
saat itulah orang tegap berseragam hitam itu sedang
mengulur tangan hendak mencengkeram si nona, tapi ia telah
ditubruk si kakek paras merah hingga keduanya saling
bergumul di atas tanah dan segera pula tergelincir masuk
jurang yang dalamnya tak terkirakan itu."
"Ah," seru Bwe-hong ikut menjadi tegang oleh cerita itu.
"Kakek paras merah itu ternyata mengorbankan jiwanya
bersama musuh. Sayang, sungguh sayang!"
Wan-lian tak menghiraukan kata-kata orang, ia meneruskan
ceritanya, "Dan demi nampak orang tua itu terjerumus ke
dalam jurang bersama musuh, si nona cilik itu tertegun
sejenak, tetapi segera ia seperti linglung dan berlari ke tepi
jurang terus ikut terjun ke bawah sambil berteriak. Dengan
cepat aku bermaksud menolongnya, tetapi sudah terlambat.
Dalam pada itu aku mendengar juga jeritan ngeri Kui Thianlan,
menyusul terdengar lagi suara beradunya senjata diselingi
suara Pho-pepek menyuruh aku kembali. Ai, nona itu sungguh
cantik, tapi wajahnya sewaktu hendak terjun ke dalam jurang
menjadi sangat menaliitkan sekali!'"
Bercerita tentang kejadian sedih ini, paras Wan-lian ikut
pucat dan berduka, suaranya berat tak lancar, suasana dalam
ruangan seketika berubah seperti sedang berkabung, sepi dan
sunyi sekali sampai denyutan jantung dapat terdengar.
"Ternyata orang-orang berseragam hitam itu adalah jagoan
pengawal kerajaan," sambung Jing-cu setelah lewat agak
lama, "Orang yang kena dirangkul masuk ke dalam jurang
bersama kakek paras merah itu dapat kukenali bernama Jiau
Pa, di kalangan Kangouw terkenal dengan julukan 'Pat-pi Lo
Cia' (Lo Cia bertangan delapan), dia adalah seorang begal
ulung yang malang melintang di kalangan Kangouw dan
sesudah bangsa Boan bertakhta, bersama begundalnya ia
telah menyerah dan terima menjadi anjing alap-alap
pemerintah, belakangan konon ia menjadi 'pengawal baju
hitam' dari kerajaan. Tatkala mereka berempat muncul, dari
dandanan mereka segera aku sudah bisa merabanya. Tetapi
tak sempat lagi aku buka suara, maka terpaksa Wan-lian
kudorong pergi. Kecuali Jiau Pa, tiga orang lainnya aku tak
kenal, tetapi melihat gerakan mereka terang bukan orang
sembarangan. Karena begitu muncul yang mereka tuju
bersama adalah Kui Thian-lan, aku tak tahan lagi, dengan
cepat aku melolos pedang dan mewakilkan Thian-lan
menghadapi datangnya jago-jago pengawal itu. Syukurlah Jiau
Pa yang ilmu silatnya paling kuat, pertama-tama sudah kena
dirangkul si kakek paras merah dan masuk ke jurang, kalau
tidak, malam itu tak dapat dihindarkan lagi mungkin kami
akan ikut mengalirkan darah juga di tanah pegunungan itu."
"Musuh juga keterlaluan," sela Jiak-sim, "Sudah lewat
sekian tahun masih belum mau melepaskan orang, rupanya
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bekas bawahan Engkongku dan Thio Hian-tiong serta
pahlawan-pahlawan ternama lainnya pasti akan dibabat bersih
sampai ke akar-akarnya. Kui Thian-lan juga terlalu bandel,
beberapa kali mendiang ayanku pernah mencari dia, kalau dia
mau berkumpul bersama kami, rasanya tidak sampai terjadi
sesuatu atas dirinya, tetapi ia justru berkeras ingin
mengasingkan diri. Zaman demikian ini, negara saja tak dapat
dipertahankan, masakah bisa tirakat seenaknya?"
"Ya, justru karena musuh terlalu keji, maka aku lantas
mengadu jiwa dengan mereka," sambung Jing-cu pula. "Tetapi
ketiga pengawal yang lain memang lihai, aku sendiri pun tak
mampu melawan mereka hingga akhirnya satu di antara
mereka berhasil melewati rintanganku terus menyerang Kui
Thian-lan, aku tak dapat melepaskan diri karena dikerubut dua
musuh lain, bahkan melirik saja aku tak sempat. Dan setelah
bertempur lagi, tiba-tiba aku mendengar seruan Wan-lian
bahwa musuh yang menyerang Thian-lan sudah berhasil
dibereskan."
"Sungguh memalukan, waktu Thian-lan diterjang jago
pengawal itu, aku lantas maju hendak membantunya, siapa
tahu sebaliknya dialah yang kemudian menolong jiwaku,"
demikian ganti Wan-lian yang menutur. "Pengawal itu
memakai golok dan lihai sekali, tangannya besar hingga aku
tak mampu mendekatinya. Tetapi aku tidak gentar, aku
tunggu apabila ia menyerang Thian-lan, segera aku
menusuknya dari samping. Kui Thian-lan memang nyata
sangat hebat, meski wajahnya pucat pasi dan tubuhnya juga
sempoyongan hendak roboh, namun sembari menutup luka
perutnya dengan sebelah tangan, ia masih melawan musuh
dengan sebelah tangan lainnya. Meski golok jago pengawal itu
gemilapan dan diputar cepat, namun tak berani ia mendekat,
mungkin keder terhadap Thian-lan dengan ilmunya Tay-likengjiau-kang yang lihai itu. Akhirnya jago pengawal itu
menjadi tak sabar lagi, dengan gerak tipu 'Hun-liong-samthian'
atau ular naga muncul di awan, tiga kali beruntun ia
mengincar diriku dengan tiga kali bacokan sembari
membentak, 'Biar ku-mampuskan kau budak cilik ini lebih
dulu!'. Dan pada bacok-annya yang kedua kali, pedangku
sudah terbentur mencelat oleh goloknya yang antap itu."
Tanpa terasa mendengar sampai di sini Li Jiak-sim bersuara
kuatir, tetapi Bwe-hong malah menarik napas lega, dengan
tenang ia berkata, "Ha, pengawal baju hitam ini pasti celaka!"
"Kenapa kau seperti menyaksikan sendiri pertarungan itu,
Leng-tayhiap?" tanya Wan-lian heran. "Memang jago
pengawal itu akhirnya terbinasa sendiri, karena sasarannya
dialihkan padaku. Waktu ia membacok pertama kalinya, aku
telah dipaksa mundur dan bacokan kedua pedangku terbentur
terbang, ketika serangan ketiga tiba, aku tak sanggup
menghindarkan diri lagi, tiada jalan lain aku hanya
memejamkan mata terima nasib. Siapa duga, nada. saat itulah
jago pengawal itu tahu-tahu malah menjerit ngeri, dan waktu
aku membuka mata, aku lihat pengawal itu telan kena
dijambret oleh sebelah tangan Kui Thian-lan, namun pengawal
itu memang hebat juga, mendadak ia menumbukkan
kepalanya ke belakang, berbareng tangannya membalik terus
menjojoh pinggang orang, maka terdengarlah suara geraman
Thian-lan, sekonyong-konyong tangannya yang menutupi luka
di perut diangkat sekalian dan ia mencekal kedua bahu musuh
terus dibeset sekuat tenaganya hingga tubuh jago pengawal
itu terbeset menjadi dua keping, darah muncrat jauh dan aku
hampir kaku terkejut. Lalu Thian-lan melempar kedua potong
mayat itu ke dalam jurang, aku didorongnya sambil menunjuk
Pho-pepek sepertinya minta aku pergi membantunya. Waktu
aku periksa keadaan, aku lihat darah mancur dari perutnya
bagai mata air, cepat aku merobek ikat kepalanya hendak
membalut lukanya, sementara itu ia sudah terduduk di tanah
tak bisa buka suara lagi, hanya tangannya masih menunjuknunjuk
Pho-pepek dengan sikap seperti mendongkol dan aku
didesaknya lekas pergi membantu."
Sampai di sini Boh Wan-lian berhenti sambil menghela
napas. "Sungguh Tay-lik-eng-jiau-kang yang hebat!" puji Bwehong.
"Musuh sedikit lengah saja segera kena dibereskannya.
Sayang ia telah terluka sebelumnya dan sesudah berhasil
memegang tubuh musuh, masih kena dibokong sekali lagi."
"Tatkala itu aku sudah kepayahan seorang diri melawan
dua jago pengawal," demikian Pho Jing-cu melanjutkan. "Tibatiba
aku mendengar seruan Wan-lian, 'Kami telah
membinasakan seorang!'. Nyata ia sangat cerdik, dari samping
segera ia menghamburkan Thi-lian-ci, ia tahu aku mahir
menangkap senjata rahasia dengan kedua lengan baju, maka
tidak kuatir mengenai kawan sendiri dan sudah tentu kedua
pengawal itu menjadi kalang kabut oleh hujan Thi-lian-ci itu
meski tak bisa mengenai mereka, namun sudah cukup
membuat mereka kelabakan, dalam sibuknya berkelit, kedua
pengawal itu masih mcn coba melirik ke samping, mungkin
mengetahui kawan mereka benar-benar sudah terbinasa,
maka mereka berseru kaget berbareng. Kesempatan itu tidak
kubuang percuma, cepat sekali aku melayang maju, waktu
pedangku menyambar ke kanan dan ke kiri, tak ampun lagi
aku dapat membereskan mereka. Sungguh tidak nyana kedua
musuh yang begitu kuat bisa kubereskan secara begitu
mudah!" Dan sesudah meneguk sekali tehnya, kemudian ia
melanjutkan dengan suara berat dan muka muram, "Ya,
musuh sudah dapat dibinasakan semua, tetapi keadaan Kui
Thian-lan juga sudah kempas-kempis menunggu ajalnya saja.
Lekas aku memeriksanya dan membubuhi obat pencegah
darah yang mengalir makin deras itu serta mencucinya, kulihat
bajunya sudah robek, dadanya terdapat tanda bekas
tendangan yang gosong, mungkin inilah akibat tendangan si
kakek paras merah yang kecil itu, tetapi Thian-lan bisa
bertahan begitu lama, bahkan sesudah terluka parah masih
sanggup membinasakan seorang musuh, sungguh keuletannya
harus dipuji dan jarang ada bandingannya. Selain luka di
dadanya itu, perutnya juga terkena anak panah hingga
ususnya menjulur keluar. Malahan pinggang tempat 'Ih-gi-hiat'
kena ditotok pula oleh jago pengawal yang dia beset itu, aku
lihat sekuat mungkin ia menutup jalan darah yang ditotok itu,
maka cepat aku memunahkan totokannya, cuma waktunya
sudah agak lama, meski totokan sudah terlepas, namun ia
hanya gemetar saja dan tak bisa membuka suara pula. Aku
memondongnya ke dalam rumah dan memeriksanya lagi lebih
teliti, dengan ilmu tabibku, aku yakin bukan tabib sembarang
tabib, tetapi orang mati mana bisa dihidupkan kembali" la
sudah terlalu parah, tenaganya sudah habis, cara bagaimana
aku bisa menolongnya! Dengan tak berdaya aku memandang
dia dengan air mata meleleh. Tiba-tiba ia berusaha
menggoreskan jarinya di tanah, dengan tak teratur ia korekkorek
beberapa huruf yang berbunyi : 'Harap datang ke timur
Hun-lam, di Ngo-liong-pang ada seorang.....'. Mula-mula tanah
bertebaran karena korekan jarinya itu, tetapi makin lama
makin lembut hingga akhirnya huruf-huruf lain tak jelas, dan
belum selesai ia menulis sudah menghembuskan napasnya
yang penghabisan."
Terharu sekali semua orang oleh cerita Pho Jing-cu ini.
"Dan darimana datangnya pemuda baju kuning ini" Ada
hubungan apakah antara dia dengan Kui Thian-lan?" tanya
Bwe-hong kemudian.
"Hal ini aku pun tidak tahu," sahut Jing-cu. "Waktu itu
bahkan nama Kui Thian-lan saja aku tidak kenal, huruf-huruf
yang dia tulis di atas tanah juga tak terang. Cuma aku berpikir
tokoh silat yang mengasingkan diri ini, pada saat terakhirnya
ia masih bisa berpesan begitu wanti-wanti, rasanya tentu ada
persoalan yang berhubungan dengan Ngo-liong-pang. Dan
kalau kau tidak menyelesaikan pesannya itu, dalam alam baka
mungkin ia pun tidak bisa meram."
Habis itu, lalu ia bercerita lagi pengalaman selanjutnya.
Kiranya esok harinya setelah Kui Thian-lan meninggal, Jingcu
dan Wan-lian meneruskan perjalanan ke selatan, sepanjang
jalan banyak dilihatnya pasukan tentara hilir mudik, mereka
menduga tentu itulah persiapan Go Sam-kui yang setiap waktu
akan memberontak itu.
Mereka dapat bertemu dengan pemimpin Thian-te-hwe di
Su-cwan menurut alamat yang diberikan Han Ci-pang, dan
sesudah menyampaikan pesan Congthocu Thian-te-hwe itu,
mereka memberitahu juga tentang tanda-tanda segera akan
memberontaknya Go Sam-kui dan hendaklah kawan-kawan
Thian-te-hwe di Su-cwan siap sedia mengikuti setiap
perubahan. Habis itu, dari Su-cwan mereka lantas masuk Hunlam.
Setelah lebih dua puluh hari mereka lalui, sepanjang jalan
mereka berusaha bertanya tentang Ngo-liong-pang menurut
apa yang dipesan Kui Thian-lan itu, tetapi d i mana letak Ngoliongpang dan bahkan macam perkumpulan apakah Ngoliongpang itu, tiada orang yang tahu.
Suatu hari, tibalah mereka di satu kota kecil di daerah
Ciam-ek, kira-kira seratus li sebelum Kun-bing, tiba-tiba dilihat
oleh mereka ada belasan orang lelaki gagah tegap susul
menyusul masuk ke dalam satu kedai arak (pada umumnya
kedai arak merangkap membuka losmen). Dari tindakan lakilaki
yang gesit dan kuat itu segera orang bisa meraba pastilah
orang dari kalangan kangouw.
Dan karena ingin tahu, Jing-cu dan Wan-lian ikut juga
masuk ke dalam kedai arak itu. Ternyata di lantai ruangan
dalam merebah seseorang dengan muka pucat tanpa berkutik,
belasan lelaki itu beramai-ramai mengerumuninya dan ada
yang sedang memijat, namun orang itu masih belum sadarkan
diri, pertolongan orang banyak itu ternyata nihil hasilnya.
Pho Jing-cu memang berdandan tabib pengembara dan
selalu membawa peti obat. Melihat ada orang sakit, tanpa
sungkan lagi ia mendesak maju hendak memeriksanya.
"Apa yang hendak kau lihat," kata seorang di antaranya
sembari mengerutkan kening karena didesak-desak Jing-cu
yang menerobos maju.
Namun begitu Pho Jing-cu memeriksa, segera ia tahu orang
itu terkena totokan ilmu 'Tiat-soa-cio' (ilmu pukulan telapak
tangan pasir besi) dan memang benar tidak bisa disembuhkan
oleh sembarang tabib. Namun bagi Pho Jing-cu sedikit luka ini
tidak sukar untuk disembuhkannya.
"Lukanya aku masih mampu mengobatinya," demikian
katanya kemudian. "Lukanya sampai kini bukankah belum ada
dua puluh empat jam?"
Semua orang itu terkejut mendengar kata-kata Pho Jing-cu
yang jitu ini, keruan saja mereka memberi hormat dan minta
Jing-cu suka mengobati kawan mereka.
Jing-cu tidak menolak, segera ia mengurut tubuh penderita
itu hingga sekejap saja ia sudah melancarkan jalan darah
orang yang tertotok. Tidak lama pula, mendadak orang itu
memuntahkan darah hitam kental sembari mencaci maki
kalang kabut, "Bangsat keparat, pasti sarangmu Ngo-liongpang
ini akan aku pereteli hingga rata dengan bumi!"
Girang sekali Jing-cu demi mendengar caci maki orang itu,
susah payah dicari, tahu-tahu ketemu tanpa membuang
tenaga, Ngo-liong-pang yang mereka cari itu ternyata bisa
didengarnya dari orang luka ini.
Pelahan orang itu pun sadar kembali, ia menjadi heran
ketika melihat kawan-kawannya berkerumun, dan di antaranya
terdapat seorang tua asing yang sedang memijat dirinya.
"Sudahlah, kini sudah, baik, istirahatlah dua hari, tanggung
akan pulih seperti semula," kata Jing-cu dengan tertawa.
Melihat ilmu tabib Jing-cu yang begitu tinggi, keruan semua
orang heran dan kagum luar biasa.
"Banyak terima kasih, tuan telah menolong jiwa saudaraku
ini, dapatkah kami mengetahui nama dan she tuan yang
terhormat?" tanya salah seorang di antaranya yang setengah
umur, berperawakan kecil, agaknya seperti pemimpin orangorang
itu. Habis ini, ia pun mengeluarkan beberapa potong
emas dan disodorkan pada Pho Jing-cu. "Sedikit benda ini
bukan sebagai hadiah, tetapi anggaplah sekedar penghargaan
kami atas budi tuan."
"Kau hendak balas budi, itulah yang kuharapkan, tetapi
emas aku tak mau," sahut Jing-cu tersenyum.
"Lalu tuan menginginkan apa?" tanya orang tadi heran.
"Aku ingin tahu Ngo-liong-pang," sahut Jing-cu. "Harap
kausudi memberitahu padaku dimana tempat Ngo-liong-pang
dan ada hubungan apa antara kalian dengan mereka?"
Dan karena pertanyaan Jing-cu ini, seketika keadaan
menjadi berisik, semua orang menjadi ribut. Namun orang
yang seperti pemimpin itu telah menenangkan mereka.
"Pantasnya kami beritahukan padamu karena kau telah
menolong saudara kami," demikian kata orang itu kemudian.
"Tetapi karena soal ini besar sangkut pautnya, maka kami
harus mengetahui dahulu asal-usulmu."
"Aku she Pho bernama Jing-cu," sahut Jing-cu. "Dengan
Ngo-liong-pang kami ada sedikit keperluan."
Mendengar nama Pho Jing-cu, orang itu bersuara kaget
Peristiwa Merah Salju 5 Kait Perpisahan Serial 7 Senjata Karya Gu Long Kitab Pusaka 14
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama