Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen Bagian 8
"Dua Liok-suhu apa tidak sudi memberi pengajaran?"
terdengar pula suara aneh Hui-hong. Suaranya tajam
menusuk. Liok Bing dan Liok Liang tak sabar lagi, dari kanan dan kiri
segera mereka menyergap berbareng.
"Hari ini biarlah kami menangkapmu manusia siluman ini!"
bentak mereka. "Belum tentu!" kata Hui-hong tertawa sambil menerobos
pergi di bawah telapak tangan kedua lawannya secara licin
dan cepat, kemudian ia pun balas menyerang, dan ketiga
orang ini segera bertarung dengan seru pula.
Dengan kipas bajanya, ternyata Hui-hong juga mahir
menotok, ilmu menotoknya ternyata lebih lihai daripada Beng
Kian, ditambah gerakannya gesit dan enteng, kipasnya selalu
mengincar tempat berbahaya, sedang tangan lain pun tidak
menganggur, bila kipas di tangan kanan menyerang, maka
tangan kiri berbareng juga memukul dengan lihai. Beruntung
Eng-jiau-kang dan Kim-na-jiu kedua bersaudara Liok cukup
sempurna, lagi pula mereka bisa bekerja sama secara rapat
sehingga Hui-hong pun tak berani terlalu mendesak.
Pertarungan hebat ini berlangsung sampai ratusan jurus,
berulang-ulang dengan pukulan yang mematikan, kedua
bersaudara Liok bertahan mati-matian, mereka terdesak
hingga hanya bisa bertahan dan tak mampu balas menyerang.
"Kedua orang ini bisa celaka," ujar Tiong-bing setelah
sekian lama. "Eng-jiau-kang dan Kim-na-jiu itu hanya
bermanfaat untuk menyerang tetapi tidak menguntungkan
untuk bertahan, mereka terdesak oleh musuh hingga beruntun
harus menjaga diri, tidak lama lagi mereka tentu akan
kecundang."
Betul saja tidak lama kemudian kedua saudara Liok
sekonyong-konyong terpekik terus berlari pergi, tetapi gerakan
Hui-hong lebih cepat dari mereka, sekali mengenjot tubuh
kembali ia sudah mencegat di depan mereka.
Sambil berteriak, Soa Bu-ting dan Liu Tai-hiong segera
memimpin gerombolannya menerjang maju.
"Hanya orangnya dan tidak mau barangnya, hitung-hitung
memberi sedikit muka pada si tua bangka she Beng,"
terdengar pula suara tajam Hui-hong.
Paras muka Beng Kian merah padam saking gusarnya, ia
mengangkat huncwenya menyerang mati-matian dan
mencoba mencegah keinginan orang, tetapi dalam
pertarungan yang gaduh itu huncwenya kena dibikin terbang
oleh tombak Soa Bu-ting, sedang kawanan berandal di
samping sana telah melemparkan tali pengikat kuda, ia
berhasil dibikin terjungkal oleh tali tersebut dan diringkus Liu
Tai-hiong terus diikat pada sebatang pohon di tepi jalan.
Para pengawal kereta lainnya walaupun berbadan kekar
dan paham ilmu silat juga, tetapi mana bisa menahan
kawanan berandal yang berjumlah lebih banyak, dalam
sekejap saja mereka sudah terdesak sampai suatu pojok,
mereka hanya bisa menyaksikan Soa Bu-ting dan Liu Tai-hiong
memimpin orang-orangnya menerjang kereta tanpa berdaya.
Tiong-bing dan Wan-lian menyaksikan kejadian itu dengan
menyembunyikan diri di tepi jalan, jarak mereka dengan
kereta-kereta itu hanya belasan tombak jauhnya. Sebenarnya
sudah berkali-kali Wan-lian melarang Tiong-bing ikut campur
tangan, tapi kini menyaksikan kawanan berandal mulai
menggerayangi kereta-kereta itu dan menarik tirainya, wanitawanita
yang berada di dalam berteriak-teriak dan menangis.
Tak tahan lagi timbul kegusaran Kui Tiong-bing.
"Kawanan penyamun ini berani menghina wanita, mari kita
hajar mereka!" ajak Tiong-bing.
"Baik," sahut Wan-lian sambil melompat keluar. "Kau-pergi
melayani kedua pimpinan mereka, aku pergi mengusir
kawanan berandal yang lain."
Segera Tiong-bing melolos pedang pusaka Theng-kau-pokiam,
ia meloncat bagai burung menubruk ke tengah
kalangan, belasan berandal yang mencoba maju merintangi,
dengan sekali gertak, Tiong-bing memutar pedangnya, maka
dalam sekejap saja tombak dan golok musuh yang merintangi
itu sudah kena tertabas semua. Melihat itu, Soa Bu-ting
terkejut, dari samping dengan cepat tombaknya menusuk,
tetapi Tiong-bing telah memutar tubuhnya kembali dan segera
ia menggertak, pedangnya bergerak, menyusul terdengar
suara "Kraak", tombak Soa Bu-ting yang mempunyai berat
lebih empat puluh kati sudah terkuning sampai tangannya
tergetar sakit, lekas ia menyeret kuningan tombaknya dan
mengambil langkah seribu.
Di saat Tiong-bing mengunjuk kegagahannya, di ssbelah
sana Wan-lian juga sudah memburu sampai di dekat kereta,
kawanan berandal itu tengah menarik dan menyobek tirai
sutra dan merusak pintu kereta. Segera Wan-lian mengayun
tangannya memberi hadiah berupa pasir sakti. Kawanan
berandal itu agaknya sudah berpengalaman, begitu terkena
senjata pasir dan merasa gatal pegal, segera ada yang
berteriak, "Ini adalah pasir beracun!"
"Kalau tidak beracun, mana kamu kenal kelihaiannya!"
bentak Wan-lian tertawa dingin sambil tangannya masih terus
menghamburkan pasirnya itu.
Keruan saja kawanan berandal itu berteriak-teriak terus lari
tunggang-langgang.
Sekilas Wan-lian melihat pada kereta ketiga masih ada
kaum berandal itu, mereka sudah dapat merampas beberapa
gadis untuk dibuat tameng.
Wan-lian menjadi gusar, ia tak menggunakan pasirnya lagi,
segera ia melolos pedang dan memburu maju, pedangnya
menusuk dengan cepat luar biasa sambil dibarengi dengan
bentakan nyaring, dua orang berandal segera dibikin roboh,
waktu Wan-lian menyapu dengan kakinya lagi, kawan
berandal itu pun terjungkal ke bawah kereta. Tanpa ayal lagi
segera Wan-lian memburu berandal ketiga, tiba-tiba berandal
itu mendorong ke depan gadis yang ia kempit untuk
menyambut tusukan pedang Wan-lian, tetapi Wan-lian sudah
membalikkan tangan, ujung pedangnya mendadak berbelok ke
kiri, gerakannya sangat cepat, menurut dugaannya dengan
gampang sekali berandal itu akan bisa segera dibereskannya,
siapa tahu waktu pedangnya mengenai sasarannya, segera
terdengar suara nyaring, pedangnya malah membalik,
ternyata pedangnya menusuk sebuah perisai.
Berandal itu ternyata Liu Tai-hiong adanya, ia telah
mendahului menerjang kereta sebelah tengah, waktu pintu
kereta dirusak, ia terpesona oleh enam orang gadis cantik
jelita yang berada di dalamnya, ia memilih seorang di
antaranya yang paling manis terus dikempit keluar, waktu
itulah Wan-lian memburu datang. Karena sayang melepaskan
mangsanya, ia lantas melawan di atas kereta itu.
Berulang-ulang Wan-lian mengirimkan beberapa tusukan,
tetapi dengan gesit berhasil ditangkis Liu Tai-hiong. Karena
orang menggunakan gadis yang dikempitnya sebagai tameng,
walaupun Wan-lian jauh lebih tangguh, tetapi dalam sekejap
susah juga untuk mengalahkannya.
Karena serangan makin gencar, Liu Tai-hiong menjadi
kewalahan, tiba-tiba ia mengangkat gadis yang ia kempit itu
dan diayunkan ke depan, ia memancing pedang Wan-lian ke
samping, habis itu segera ia melompat turun dari kereta
sambil ber-gelak tertawa.
Tak tahunya, belum habis ia tertawa, sekonyong-konyong
ia merasakan punggungnya kesakitan, bagai layang-layang
putus benangnya ia terguling ke bawah.
Kiranya pada waktu Tiong-bing memburu Soa Bu-ting
dalam seribu kerepotannya ia berpaling, dilihatnya Wan-lian
sedang bertarung di atas kereta, segera ia menyambitkan
sebuah anting-anting emas dan tepat dapat mengenai jalan
darah di punggung Liu Tai-hiong.
Sementara itu Wan-lian sudah menyusul melompat ke
bawah kereta, tiba-tiba Liu Tai-hiong melemparkan gadis di
tangannya ke jurusannya, lekas ia memasukkan pedang ke
sarungnya dan menyambut gadis itu dengan kedua
tangannya. "Cici, jangan takut!" demikian katanya sambil menepuk
pelahan gadis yang berada di pangkuannya itu.
Gadis itu baru saja kaget, ketika tiba-tiba merasa berada
dalam pelukan seorang 'pemuda', ia meronta dan mendorong.
Tak terduga tempat di mana tangannya menyentuh, ternyata
mengenai tempat yang lunak empuk.
Dalam pertempuran seru itu, Wan-lian ternyata lupa bahwa
dirinya telah menyamar sebagai seorang laki-laki, kini kena
tersentuh oleh gadis itu, barulah mendadak ia sadar.
"Cici, harap jangan bersuara, aku serupa denganmu, juga
seorang perempuan," ia membisiki telinga gadis itu sambil
melepaskan pelukannya.
"Terima kasih atas budi pertolongan Cici," kata si gadis.
"Jangan kaupanggil aku Cici, aku sudah senang," ujar Wanlian.
Gadis itupun tergolong cerdik, betul saja segera ia berganti
panggilan, "Terima kasih Kongcu!"
"Siapa namamu?" tanya Wan-lian. "Mengapa sampai di
sini" Apakah nona-nona ini semua keluargamu?"
"Aku bernama Ci-kiok," sahut gadis itu. "Aku adalah biduan
dari Sohciu yang dibeli, nona-nona ini tidak kukenal, kabarnya
juga dibeli."
Selagi Wan-lian bertanya, mendadak dilihatnya keadaan
sekitarnya kalang-kabut, kawanan berandal berlari simpangsiur
dan terdengar Kui Tiong-bing sedang meneriakinya.
Sesudah Kui Tiong-bing merobohkan Liu Tai-hiong dengan
Kim-goannya, ia mengejar maju pula. Kawanan berandal sama
ketakutan dengan pedang pusakanya dan semuanya kabur,
lekas Hek Hui-hong meninggalkan kedua saudara Liok untuk
mencegatnya, tetapi tak berhasil menenteramkan orangorangnya.
Dan belum sempat Hui-hong melihat musuh dengan
jelas, ia sudah merasa silau oleh sinar dingin pedang yang
menyambar ke mukanya, ia terkejut sekali.
Untung gerak tubuhnya enteng dan gesit, beruntun ia
menghindarkan tiga serangan, tetapi segera ia mengerti kalau
tidak sanggup menandingi Tiong-bing, sambil menunggu
serangan keempat lawan datang, cepat sekali ia mencelat ke
belakang, setelah itu kipas bajanya mendadak ia lepaskan
untuk menyambut ujung pedang musuh.
Mendadak Tiong-bing mendengar ujung pedangnya
berbunyi nyaring riuh dan lelatu api meletik, belasan anak
panah kecil telah menyambar, cepat ia menurutkan kedua
kakinya dan meloncat tinggi, berbareng pedangnya diputar
hingga anak-anak panah itu terkurung, habis itu dengan
enteng ia menancapkan kakinya kembali ke tanah.
Tapi kesempatan itu telah digunakan Hek Hui-hong untuk
lari ke tepi sungai dan segera ia menceburkan diri ke dalam
sungai terus buron.
Kiranya serangan tadi adalah gerak serangan yang paling
lihai dari Hek Hui-hong bila jiwanya terancam. Kipas bajanya
itu dibuat sedemikian rupa, sehingga begitu kipas terkurung,
belasan ruji kipasnya segera beruban menjadi senjata tajam
dan membidik ke arah musuh.
Untung Kui Tiong-bing memiliki ilmu silat yang tinggi, bila
tidak, pastilah ia tak bisa menghindarkan serangan yang
mendadak itu. Sementara Soa Bu-ting yang berlari lebih dulu ternyata
tidak secepat Hek Hui-hong, baru saja ia sampai di tepi
sungai, Kui Tiong-bing sudah mengayun tangannya lagi,
sebuah anting-anting emas membuat batok kepalanya pecah
berantakan. Keruan kawanan berandal itu berteriak ketakutan dan lari
tunggang-langgang, Tiong-bing tidak sempat mengejar lagi, ia
membalik tubuh untuk mencari Wan-lian.
Dalam pada itu Wan-lian sudah melompat turun dari
kereta, ia memutus tali ikatan Beng Kian. Dengan wajah
guram, Beng Kian menjemput huncwenya yang tergeletak di
tepi jalan, ia menghaturkan terima kasih dengan pelahan,
kemudian ia menyalakan api terus menyedot pipa
tembakaunya keras-keras guna menutupi perasaannya yang
serba susah itu.
Sementara itu kedua saudara Liok sudah memeriksa
keadaan mereka, hanya dua buah kereta yang dirusak pintu
dan tirainya, selebihnya tidak mengalami kerusakan. Mereka
merangkap kedua tangannya sambil menghaturkan terima
kasih pula pada Kui Tiong-bing dan Wan-lian serta
menanyakan nama mereka.
Dalam hati mereka sangat heran, terutama terhadap ilmu
silat Tiong-bing yang tinggi, mereka sangat kagum. Melihat
usia Kui Tiong-bing yang baru dua puluhan tahun, tetapi ilmu
pedang dan senjata rahasianya sudah matang dan jitu, boleh
dikata belum pernah mereka dengar apalagi menyaksikan.
Dan belum Kui Tiong-bing dan Wan-lian menjawab
pertanyaan orang, terdengar Beng Kian sudah mendahului
membuka suara. "Liok-toaya berdua," katanya dengan dingin. "Perlindungan
piau-kiok ini kami kembalikan. Dari sini ke Pakkhia tinggal
jalan lapang saja, maka tidak usah dan tidak perlu
perlindunganku lagi."
"Beng-piauthau, mengapa kau berkata begitu?" sahut Liok
Bing cepat sambil menarik tangan orang. "Berkat nama
piaukiok kalian yang tersohor, barulah kami bisa selamat
sepanjang jalan sampai di sini, meski sekarang ini menghadapi
sedikit kekecewaan, namun kalah menang adalah soal biasa.
Ya, mungkin kami ada apa-apa yang salah, biarlah kau suka
memberi maaf."
Setelah itu, mereka lantas memberi hormat.
Beng Kian sangat tidak enak dan serba salah, tetapi
terpaksa tidak bisa mengomel lagi. Dalam pada itu Kui Tiongbing
pun ikut menghiburnya.
"Liok-toaya berdua mempunyai ilmu silat sungguh tinggi,
sedang kedua tuan tamu ini lebih tinggi lagi," kata Beng Kian
memuji sambil menghela napas. "Bu-wi-piau-kiok dapat
mempertahankan namanya, semua adalah berkat kalian,
sekembalinya dari mengantar barang, segera akan
kuberitahukan pada ayahku, agar segera menutup perusahaan
kami, setelah itu barulah kami akan membalas budi kalian."
Apa yang ia katakan memang sungguh-sungguh, dengan
mata kepala sendiri ia menyaksikan orang-orang di depannya
ini, seorang lebih mahir dari yang lain, tak tahan lagi ia
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjadi putus asa dan dingin harapan, ia tak ingin mencari
makan lagi dari pekerjaan Kangouw ini.
Kedua bersaudara Liok itu hanya tersenyum mendengar
kata-kata orang, mereka mencoba menyimpangkan urusan ini.
Wan-lian dan Kui Tiong-bing berdua pun memperkenalkan diri
mereka dengan nama samaran sekenanya, habis itu mereka
lantas mohon diri untuk berlalu, tetapi kedua bersaudara Liok
itu menahan mereka, dengan sungguh-sungguh mereka
meminta untuk jalan bersama.
Karena ajakan ini, Tiong-bing memandang Wan-lian raguragu.
"Ternyata kalian begitu baik hati, terpaksa kami membikin
repot kalian," kata Wan-lian tiba-tiba tanpa berpikir lagi.
Kedua bersaudara Liok menjadi girang mendengar orang
bersedia menerima tawaran mereka. Segera mereka
menyediakan dua ekor kuda, dan setelah membetulkan
kerusakan kereta, mereka segera melanjutkan perjalanan.
Sepanjang jalan kedua bersaudara Liok berkali-kali
bertanya dan memancing jawaban orang, tetapi Wan-lian
sangat cerdik, secara samar-samar ia menjawabnya. Begitu
pula sebaliknya bila Wan-lian bertanya kepada mereka, secara
samar-samar mereka juga menghindarkan pertanyaanpertanyaan.
Jika ditanya lebih pelit, mereka hanya menjawab
dengan tertawa, "Setelah sampai di ibu-kota, kami bersaudara
tentu akan mengajak kalian ke tempat majikan kami untuk
meminta maaf dan menghaturkan terima kasih."
Wan-lian sudah berpengalaman, ia tahu pantangan orang
Kangouw untuk berbicara terus terang, maka ia pun tidak
bertanya lebih lanjut. Sedang mengenai Beng Kian, sepanjang
jalan ia hanya bungkam saja dan semangatnya lesu, walaupun
dalam hati penuh rasa heran dan ingin tahu, namun ia tidak
mau membuka mulut.
Setelah berjalan belasan hari lagi, sampailah mereka di
Pakkhia. Kui Tiong-bing melihat tembok benteng kota-raja itu
tinggi-tinggi, istana berjajar dengan megahnya, rumah
bersusun-susun, sungguh indah dan menakjubkan. Ia sudah
lama berdiam di pegunungan sunyi, kapan pernah melihat
pemandangan yang permai ini" Tengah ia terpesona sambil
memandang ke kiri dan ke kanan, tiba-tiba terdengar Beng
Kian berkata, "Liok-toaya, piau kini sudah diantar sampai di
kota-raja, mohon tanya harus diserahkan kemana?"
"Istana Perdana Menteri Nilan!" jawab Liok Bing tertawa
sambil mencambuk kudanya.
Mendengar nama tempat itu, Beng Kian terperanjat.
"Istana Perdana Menteri Nilan?" ia mengulangi.
"Ya, betul, istana Perdana Menteri Nilan!" Liok Bing
menegaskan sambil tersenyum.
Dalam hati Beng Kian gusar sekali, hanya di mulut tak
berani dilontarkan, tetapi Liok Bing sudah berpengalaman, ia
sudah dapat menangkap perasaan orang.
"Bukan kami sengaja mempermainkan Lauko (saudara)," ia
mencoba menerangkan. "Tapi itu adalah usul Suya (penasehat)
Perdana Menteri kami, dan kami hanya menjalankan
tugas menurut perintah saja."
"Kalau begitu, ketiga puluh enam gadis ini juga Perdana
Menteri yang membeli?" tanya Wan-lian menimbrung.
"Betul," sahut Liok Bing. "Suya menyuruh kami tampil ke
muka meminta perantaraan Tong-piau-kau dari Lamkhia agar
dikawal piau-kiok kalian karena kuatir terjadi sesuatu di
tengah jalan, maka telah meminjam bendera kalian untuk
menghindari gangguan berandal-berandal yang tak senonoh."
"Hm, kiranya kauanggap kami sebagai 'macan gadungan'
saja, dapat dilihat tetapi tidak berguna untuk dipakai, hanya
untuk menakut-nakuti berandal saja," pikir Beng Kian gemas.
"Tetapi kalau menemukan musuh tangguh masih perlu kalian
berdua maju sendiri, makanya diam-diam kalian ikut terus di
samping kereta. Ketika menemukan lawan keras, nyatanya
kalian berdua juga tak sanggup melawannya."
Lalu ia memutar kudanya, ia memberi hormat. "Menurut
aturan," katanya menyambung, "Seharusnya kami
menyerahkan barang kawalan kami ke tempat pemiliknya,
tetapi pintu istana Perdana Menteri terlalu lebar, rakyat kecil
sepertiku ini tak berani sembarangan masuk, maka harap
Kausuya (tuan guru) mewakilkan kami membawanya kembali
sendiri, biarlah aku Beng Kian menerima budimu."
Habis berkata, ia menjura juga pada Kui Tiong-bing dan
Boh Wan-lian berdua menyatakan terima kasihnya. Lalu ia
keprak kudanya dan pergi. Nyata ia sangat mendongkol dan
penasaran terhadap kedua orang she Liok dan Tong-piauthau
yang menjadi perantara, hanya terhadap Kui Tiong-bing dan
Boh Wan-lian berdua saja ia merasa berhutang budi.
"Orang ini terhitung lelaki tulus juga," kata Tiong-bing
dalam hati demi melihat orang pergi dengan rasa penasaran.
Kemudian ia menarik Wan-lian dan bermaksud mohon diri
juga, tetapi kembali Liok Bing mencegahnya.
"Kali ini berkat bantuan kalian," katanya. "Maka jika
Hingtay (saudara) berdua belum ada tempat menetap,
bagaimana kalau dipersilakan datang di istana Perdana
Menteri untuk mencari sesuatu jabatan?"
Tiong-bing kurang senang mendengar perkataan orang,
dan ketika ia hendak mengumbar perasaannya, sebaliknya
dengan girang Boh Wan-lian telah menyahut, "Terima kasih
atas bantuan tuan-tuan, bila kami bisa mendapatkan tempat di
Siang-hu itu, betul-betul di luar harapan kami!"
Mendadak Tiong-bing mengerti juga maksud perkataan
kawannya, segera ia tersenyum, berulang-ulang ia pun
menghaturkan terima kasih.
Lalu mereka mengiring kereta-kereta besar itu ke Sianghu
atau istana Perdana Menteri. Sepanjang jalan Boh Wan-lian
bertanya pula untuk apakah ketiga puluh enam gadis ini
dibeli" Kini kedua saudara Liok itu sudah menganggap mereka
sebagai orang sendiri maka tanpa tedeng aling-aling lagi
kemudian mereka bercerita.
"Ketiga puluh enam gadis ini dibeli atas perintah Siangya
secara diam-diam dari Sohciu dan Hangciu, sebagian adalah
biduan-biduan terkenal tetapi sebagian besar adalah anak
gadis kaum miskin yang rupawan. Sungguh harus dipuji orang
yang ditugaskan itu, ternyata pintar memilih. Mengenai untuk
apa dibeli, itulah kami tidak tahu."
Kiranya soal pembelian tiga puluh enam gadis ini memang
ada latar belakangnya.
Nilan Yong-yo, keponakan Nilan Ming-hui itu meski adalah
pujangga pada zamannya dan terkenal karena sajaknya tetapi
ayahnya, Nilan Ming-cu (saudara sepupu Nilan Ming-hui)
sebaliknya adalah seorang yang kosong otaknya, sama sekali
tak mengenal ilmu sastra. Hanya mengandalkan dirinya
keturunan bangsawan dan termasuk sanak keluarga Kaisar,
ditambah pula pandai menjilat, maka dari pangkatnya yang
rendah, pelahan-lahan ia memanjat ke atas hingga diangkat
menjadi Perdana Menteri.
la lihat Kaisar Sun-ti dan Khong-hi keduanya sangat
memperhatikan soal sastra, maka diam-diam ia
mengumpulkan banyak sastrawan-sastrawan di rumahnya dan
membuat banyak tulisan yang bernilai, lalu ia memalsukannya
sebagai buah karyanya sendiri dan dipersembahkan ke istana
untuk memelet hati Kaisar.
Sejak kecil Nilan Yong-yo sudah berkecimpung di antara
sastrawan-sastrawan dalam rumahnya itu, ditambah bakatnya
yang memang pandai, dalam dalam usianya yang masih
muda, ia sudah dapat menonjol ke depan sebagai pujangga di
zamannya. Kaisar Khong-hi berusia sepadan dengan Yong-yo
melihat ilmu sastranya yang begitu baik, ia sangat sayang
padanya, maka ada orang berkata Ming-cu bisa naik pangkat
hingga Perdana Menteri, tak sedikit karena jasa putranya itu.
Suatu hari Nilan Ming-cu mendampingi Kaisar Khong-hi
mengobrol di kamar bacanya dan maharaja itu mengeluh
bahwa meski dirinya kaya raya dan agung setinggi langit,
tetapi kalah jauh dibanding raja Li-houcu dari Lam Tong yang
dikelilingi dengan istri dan selir-selir yang cerdik pandai,
paham sajak dan mengerti tulis, pandai menyanyi dan bisa
menari- soal kesenangan hidup betul-betul tak bisa
menandinginya. Mendengar, itu, Nilan Ming-cu tidak berkata apa-apa, tetapi
dalam hati ia sudah mempunyai perhitungan sendiri. Sesudah
kembali ke rumah ia teringat akan Sohciu dan Hangciu yang
terkenal indah permai dan banyak wanita cantik, segera ia
memerintahkan orangnya pergi kedua tempat itu untuk
mencari wanita berpotongan tubuh langsing dan berparas
elok. Ia bermaksud mengumpulkannya dan diberi pelajaran
bermacam ilmu kepandaian tentang membaca dan bersajak,
menyanyi dan menari, setelah dilatih dan menjadi pintar akan
dipersembahkan pada Kaisar secara diam-diam.
Cuma Ming-cu kuatir juga namanya tercemar karena
perbuatannya itu, ia tak berani terang-terangan menggunakan
nama Sianghu untuk meminta perlindungan pembesarpembesar
negeri selama di perjalanan, maka ia menuruti usul
Suya dari Sianghu dan menyuruh Liok Liang dan Liok Bing
tampil ke muka meminta pengawalan dari Bu-wi-piaukiok ke
ibu-kota. Setelah Liok Bing dan Liok Liang berhasil mendatangkan
ketiga puluh enam gadis jelita itu sampai di istana Perdana
Menteri, sudah tentu Nilan Ming-cu girang sekali. Tetapi
karena harus memikirkan pula cara bagaimana melatih gadisgadis
itu, maka terhadap usul Liok Bing dan Liok Liang
mengenai Kui Tiong-bing dan Boh Wan-lian tidak begitu
mendapat perhatiannya.
"Kalau ada dua kawanmu hendak mengabdi di sini,
suruhlah mereka menjaga kebun saja," kata Ming-cu
sekenanya sambil melambaikan tangannya.
Tugas penjaga kebun sama saja dengan pesuruh, waktu
kedua bersaudara Liok itu memberitahu pada Kui Tiong-bing
dan Boh Wan-lian, mereka menjadi tidak enak. Tak terduga,
tanpa banyak cingcong kedua orang itu lantas menerimanya
dengan baik. Setelah Tiong-bing dan Wan-lian dapat masuk Sianghu,
segera mereka berusaha supaya bisa bertemu dengan Nilan
Yong-yo untuk mendapat kabar Thio Hua-ciau. Tak terduga,
beruntun dua-tiga bulan sama sekali tidak bisa menjumpainya,
sebagai penjaga kebun juga tidak bisa keluar masuk
sesukanya, sehingga membikin Kui Tiong-bing merasa sangat
kesal. Sekalipun Boh Wan-lian tiap kali menghiburnya, tetapi bila
teringat Go Sam-kui sudah menggerakkan pemberontakannya
dan keadaan di luar entah bagaimana jadinya, tak tahan lagi
ia sendiri pun merasa tidak sabar.
Musim panas tiba dan musim semi berlalu, sekejap saja
sudah bulan kelima. Suatu pagi Tiong-bing diperintahkan memandori
perbaikan kebun, Boh Wan-lian seorang diri berjalanjalan
dalam kebun itu, tak terasa ia telah melewati banyak
gunung-gunungan dan goa-goa batu, ia telah sampai di suatu
tempat yang lebat dari taman itu, pohon-pohon rindang,
bunga mekar aneka warnanya, sebuah pancuran air yang
jernih memancur menyirami pepohonan rimbun itu terus
mengalir ke sela-sela batu di bawahnya, di kedua samping
taman gedung bertingkat berjajar dengan megahnya, ukiran
dan pahatan indah menghiasi gedung-gedung itu yang samarsamar
tertutup oleh pepohonan yang rindang, keadaan
pemandangan itu sungguh permai sekali.
Tengah ia termenung oleh keadaan di sekitarnya itu, tibatiba
didengarnya suara alat tetabuhan sayup-sayup terbawa
angin. Tidak tertahan ia mengikuti tempat datangnya suara
nyanyian itu. Setelah lewat beberapa gunung-gunungan lagi,
terlihatlah di depan melapang terang, sebuah telaga teratai
dengan airnya yang tenang jernih bagai cermin mengadang di
depannya, bunga teratai aneka warna di permukaan air
tampak sedang mekar. Dikitari bunga-bunga teratai itu, di
tengah telaga mekar pula belasan bunga teratai putih yang
lebar besar bagai bidadari berdiri di atas air. Sekitar telaga
dikelilingi pula dengan pagar batu putih, dan di atas telaga
ada sebuah jembatan 'tikung sembilan' yang melingkar-lingkar
menghubungkan sebuah gardu kecil di tengah telaga. Di gardu
itu ada beberapa penari yang sedang menari diiringi suara
khim (rebab) yang disentil seorang pemuda dengan
merdunya. Boh Wan-lian adalah keturunan seniman ternama. Ia
paham akan seni suara itu, dari jauh ia mendengar suara khim
yang merayu kalbu, ia merasakan lagu itu begitu sedih dan
mengharukan, tak tahan ia terpesona.
"Nilan Yong-yo hidup mewah dan kejayaannya sudah
sampai pada puncaknya, usianya masih muda pula, tapi
namanya sudah berkumandang, apa yang masih ia rasakan
kekurangannya," demikian pikirnya.
Tak terasa ia naik ke jembatan kecil dan berjalan menuju
ke gardu di tengah telaga itu. Sampai di tengah jembatan,
suara nyanyian di gardu itu mendadak berhenti.
"Lagu ini tidak tepat dinyanyikan bersama, lebih tepat
dinyanyikan seorang saja, Ci-kiok, coba kaulah yang
menyanyikan menurut syair ini," terdengar Nilan Yong-yo
berkata. Sesudah itu ia menabuh pula alat musiknya,
sedikitpun ia tak merasa kalau ada orang telah berjalan di
jembatan itu. Mendengar nama panggilan 'Ci-kiok', Boh Wan-lian merasa
seperti telah mengenal nama itu. Selagi berpikir, terdengar
pula suara rebab berbunyi, suaranya kini begitu sedih
mengharukan melebihi yang tadi, bagai sesambatan kera di
hutan sunyi dan tangisan manusia di malam hari. Seorang
gadis remaja dengan muka menghadap Nilan Yong-yo dan
membelakangi Boh Wan-lian sedang menyanyi solo.
Lagu itu ternyata menyanyikan tentang keberuntungan
sepasang merpati muda yang baru menikah yang penuh
kenikmatan kehidupan, akan tetapi tak terduga hanya dalam
waktu setahun menikah, sang istri telah meninggalkan sang
suami ke alam baka, lebih jauh lagu itu mengenangkan betapa
cinta kasih waktu mereka menikah dan bagaimana
penderitaan sang suami dan kenangan yang tak terlupakan
sesudah sang istri mangkat.
Begitulah setelah suara nyanyian berakhir, terdengar
serentetan suara nyaring, beberapa senar alat musik itu sudah
putus, Nilan Yong-yo mendorong rebabnya sambil berdiri, ia
menghela napas panjang.
"Pantas begitu aku datang di kebun ini lantas terdengar
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang berkata Nilan-kongcu adalah seorang yang sedang kelelap
oleh cinta asmara, istrinya sudah setahun meninggal dan
ia masih begini sedih, sajaknya yang mengenangkan kematian
istrinya ini sungguh adalah tulisan yang penuh rasa kasih
sayang!" demikian pikir Wan-lian.
Rupanya ia pun mabuk oleh rayuan nyanyian tadi, di
mulutnya masih kemak-kemik menyebut beberapa kata syair
lagu tadi yang antara lain berbunyi : "Impian muluk-muluk tak
bisa tinggal lama". Ia jadi berpikir, "Apakah betul suami istri
yang saling cinta kasih mudah mendapat cemburu dari Thian?"
Berpikir sampai di sini, mendadak ia tertawa sendiri,
"Mengapa aku begitu gampang menjadi perasa, aku dan
Tiong-bing justru adalah pasangan yang ditakdirkan."
Karena pikiran ini, lalu ia merasa dirinya banyak lebih
beruntung daripada Nilan Yong-yo.
Dalam pada itu, gadis penyanyi tadi tiba-tiba berpaling ke
belakang, demi dilihatnya Boh Wan-lian berdiri di muka gardu,
mendadak ia bersuara heran dan memanggil pelahan.
Waktu Boh Wan-lian menegas, ternyata ia adalah gadis
yang tempo hari tertolong di atas kereta itu, pantas namanya
seperti telah dikenalnya, maka lekas ia memberi tanda kedipan
mata sambil melangkah masuk ke dalam gardu.
Waktu Nilan Yong-yo mendengar Ci-kiok memanggil
pelahan, ia pun mengangkat kepalanya, ia lihat seorang
pemuda cakap dengan dandanan pengawal, ia pun menjadi
heran. "Siapa kau?" tanyanya. "Apa kau juga suka mendengarkan
rebab?" "Aku adalah penjaga taman," sahut Wan-lian. "Kongcu, kau
punya sajak 'Jim-wan-jun' tadi sungguh bagus sekali, hanya
terlalu mengharukan."
"He, kau juga paham bersajak?" tanya Yong-yo heran.
"Hanya sedikit," sahut Wan-lian tersenyum.
Kemudian Yong-yo menyilakannya duduk.
"Kaupuji kebagusan sajak tadi, tapi aku sendiri merasa
masih banyak kekurangannya, di beberapa tempat aku merasa
masih kaku dan tidak cocok dengan irama nada," katanya
kemudian. "Kongcu orang pintar," kata Wan-lian, "Tentu tidak melulu
memikirkan itu saja. Sejak dulu kala, ada nada nyanyian,
setelah itu baru menurut iramanya untuk mengisi sajaknya,
seperti seniman-seniman Ciu Kiang-sing dan Kiang Peh-ciok.
Tetapi penyakitnya justru terletak di sini, mereka puas dengan
keadaan itu dan tidak memperbaiki lebih jauh sehingga
sifatnya kurang hidup. Maka kemudian setelah Soh Tong-pok
dan lain-lain muncul, mereka bersajak secara bebas dan
banyak memancarkan cahaya kebudayaan, tetapi terkadang
juga terasa agak kasar. Sebaliknya sajak Kongcu bergaya
hidup dan baru, bersih dan terang. Buat apa harus
mempersoalkan sehuruf atau sesuatu nada?"
Cerita panjang lebar Wan-lian ini membuat Nilan Yong-yo
terpesona, pendapatnya dalam hal bersajak ternyata sepaham
dengannya, tetapi yang mengherankan Nilan Yong-yo ialah
dengan kedudukan Boh Wan-lian sebagai 'penjaga taman',
ternyata bisa bercerita seperti tadi.
Dalam gembiranya, tak tertahan ia lantas menarik tangan
Wan-1 ian dan berkata, "Kau jauh di atas bangsa orang-orang
sekolahan yang lemah. Mengapa sebaliknya bisa terpendam di
sini?" Karena tangannya dipegang orang, wajah Wan-lian menjadi
merah, di samping itu ia mendengar pula suara tertawa Cikiok,
tak terasa Wan-lian mengibaskan tangannya, segera
Nilan Yong-yo merasa seperti didorong suatu kekuatan besar,
ia terhuyung-huyung mundur, lekas ia memegang pagar gardu
untuk menahan diri.
"Eh, kiranya kau masih mempunyai kepandaian sebagus ini
juga!" kata Yong-yo tertawa.
Nyata ia menyangka Wan-lian penasaran karena memiliki
kepandaian tinggi tapi tidak ditempatkan yang betul, maka
sengaja mengunjukkan kepadanya halus maupun kasar, ilmu
surat maupun ilmu silat.
Setelah Wan-lian menggerakkan tangannya, baru ia
teringat bahwa dirinya sedang menyamar sebagai lelaki, tetapi
tanpa sadar ia telah mengunjukkan sifat perempuannya.
"Aku mempunyai seorang kacung," terdengar Nilan Yongyo
berkata pula, "Juga sepertimu mengerti bersajak, juga
mahir bersilat. Apakah kau ada tempo, sungguh kuingin kalian
berdua bisa bertemu."
Mendengar itu, Wan-lian menjadi girang, cepat ia
menyatakan setuju.
Setelah itu, lepas dari biasanya, Yong-yo menggandeng
tangan Wan-lian dan diajak pergi melalui jembatan kecil itu.
Nyata ia telah memandang Wan-lian sebagai sahabatnya.
Namun seorang putra Perdana Menteri berjalan berendeng
dan bergandengan tangan dengan 'penjaga taman' sudah
tentu sangat mengherankan dayang-dayang yang lain.
Melihat kelakuan orang timbul secara wajar, Wan-lian pun
tidak ambil perhatian, ia membiarkan tangannya digandeng
dan mengikuti langkahnya.
Setelah keluar dari gardu dan memutar beberapa bukitbukitan,
menerobos di antara tanaman dan semak-semak,
tiba-tiba di depan tertampak pemandangan indah permai tak
kalah dengan keadaan tempat tadi.
"Tempat sebagus ini hanya Kongcu saja yang setimpal
tinggal di sini," kata Wan-lian memuji.
Nilan Yong-yo tiba-tiba menemukan orang yang bisa
memahami jiwanya, keruan hatinya menjadi gembira. Tak
lama kemudian mereka lantas memasuki sebuah gedung
bagus dengan pajangan yang sangat menarik.
"Menabuh khim sambil minum teh dan menyalakan dupa
dan main catur di sini, sungguh suatu kesenangan hidup
pula," kata Yong-yo tersenyum.
Habis itu, ia menepuk tangan beberapa kali, segera
keluarlah beberapa kacung. "Panggil Ciau-long (tuan Ciau)
datang ke sini," katanya pada salah seorang kacungnya.
Tak lama kemudian dari loteng turunlah seorang pemuda
tampan. Begitu melihatnya, segera Wan-lian mengenalinya
bukan lain adalah Thio Hua-ciau yang pernah bertemu di N^otaisan dulu, hanya kelihatan sedikit kurus, sinar matanya
guram, tampaknya seperti tersembunyi sesuatu pikiran dalam
hatinya. Waktu Hua-ciau melihat Wan-lian, ia pun tercengang.
"Paras orang ini sudah kukenal, cuma seketika tidak ingat,"
demikian pikirnya.
Kemudian ketiga orang itupun duduk mengitari sebuah
meja marmer di tengah ruangan itu, di samping suara air
gemericik mengalir keluar dari sebuah goa batu, dinaungi
pepohonan yang melambai ke bawah, bunga mekar wangi
semerbak, di luar ruangan itu segerombol pohon bambu
tumbuh melampaui pagar tembok yang tak seberapa tinggi,
suara 4onggeret ramai bersahutan, bagai selingan nyanyian
yang merdu. "Sungguh indah dan nyaman sekali," kata Wan-lian.
Tiba-tiba Yong-yo melihat papan catur di atas meja hingga
timbul hasratnya untuk bermain catur. "Bagaimana kalau
kalian bermain catur?" katanya pada Wan-lian. "Dan aku yang
menjadi juri."
"Kalau Kongcu ada hasrat tioki (main catur), silakan
berhadapan dengan Hingtay (saudara) ini, agar bisa
menambah pengetahuanku," ujar Thio Hua-ciau.
"Menonton tioki lebih memuaskan selera," ujar Yong-yo
tertawa. Setelah itu ia pun menata biji catur itu.
Thio Hua-ciau mencoba memandang Boh Wan-lian
beberapa kali, makin memandang makin merasa kenal.
Hatinya tergerak, segera ia mengangkat biji catur sambil
berkata, "Baiklah, kalau aku kalah, harap Kongcu yang
membalaskan."
Segera ia menjalankan biji caturnya dan membuka
serangan lebih dulu, sedang Nilan Yong-yo menonton di
samping sambil tersenyum.
Ternyata begitu catur dimulai, Thio Hua-ciau segera
membuka serangan, ia pusatkan serangan ke jurusan tengah
lawan. Boh Wan-lian melayani dengan tenang, ia bertahan
dengan siasat macam-macam perubahan sehingga tidak lama
kemudian dari pihak yang diserang, ia sudah bisa berbalik
menjaga sambil menyerang.
"Ciau-long, caramu ini seperti cara pertempuran Go Samkui!"
kata Yong-yo tiba-tiba pada Thio Hua-ciau sambil
tertawa. "Kenapa?" tanya Hua-ciau tak mengerti.
"Pemberontakan Go Sam-kui kali ini," kata Yong-yo
menerangkan, "Suara dan perbawanya begitu hebat, Ong Husin
bergerak di barat-laut, sedang Siang dan Kheng berdua
raja muda pun menyodok di selatan, Go Sam-kui sendiri
dengan pasukan induknya memasuki Ouwpak, ia berniat
memukul jantung negeri dengan menyusur sepanjang
Tiangkang. Serangannya memang sangat hebat, tetapi
menurut penglihatanku, ia pasti akan kalah."
"Jika begitu, kaumaksudkan permainan caturku ini juga
akan mengalami nasib kekalahan?" tanya Hua-ciau.
"Tak disangsikan lagi," sahut Yong-yo tertawa.
Betul saja, belum lama berbicara, Boh Wan-lian sudah
melancarkan serangan melewati garis pertahanannya,
kekuatan Thio Hua-ciau terpencar sehingga pertahanannya
sendiri bobol, betul juga sudah tampak bakal kalah.
"Sebenarnya kami bangsa Boanciu menjajah negerimu, aku
pun sangat tidak setuju," kata Yong-yo pula tiba-tiba dengan
sikap sungguh-sungguh. "Hanya bila Go Sam-kui yang hendak
mengusir Boan dan menegakkan Beng, itupun tidak sesuai!"
"Perkataanmu ini seharusnya bukan keluar dari mulut
seorang bangsawan kerajaan!" kata Wan-lian dingin.
"Tampaknya kalian ini bukan orang-orang biasa, tapi
nyatanya juga suka membeda-bedakan kebangsaan," kata
Yong-yo berkerut kening. "Bangsa Boan dan Han, darah
mereka sama-sama merahnya, mereka seharusnya adalah
saudara. Kaum bangsawan Boanciu dengan sendirinya ada
yang berdosa, tetapi itu tidak berarti di antara mereka tiada
orang yang berotak sadar dan terang?"
"Ayahnya begitu rendah dan kotor, tetapi ia sendiri ternyata
lain daripada yang lain, agaknya peribahasa 'Ayah burik
beranak bintik' tak berlaku bagi mereka," kata Wan-lian dalam
hati sambil menghela napas.
"Sebenarnya," kata Yong-yo pula, "Yang ditakuti
pemerintah bukan Go Sam-kui, tetapi Li Lay-hing yang
bersembunyi di gunung-gunung itu, walaupun kekuatan
tentaranya kecil, tetapi tenaga tekanannya berat. Kali ini
perintah mengirim pasukan negeri pergi menyerang Go Samkui
dan membagi pasukan pergi memukul Li Lay-hing pula.
Tetapi di Sam-kiat, suatu tempat yang berbahaya, telah
terjebak oleh laskar Li Lay-hing, hingga seluruh pasukan
musnah!" "Ah, kiranya mereka menang!" tanpa terasa Wan-lian
berseru girang demi mendengar kabar yang tak terduga itu.
Dan karena meleng itu, sebiji kudanya kena dicaplok mentahmentah
oleh Thio Hua-ciau.
Dalam pada itu dengan terheran-heran Yong-yo lagi
memandang Wan-lian, maka sadarlah Wan-lian telah
kelepasan mulut, lekas ia menundukkan kepala dan
memperhatikan papan catur. Tapi karena kehilangan biji
kudanya tadi, akhirnya ia harus bermain remis dengan Thio
Hua-ciau yang sebenarnya sudah kalah.
"Kepandaianmu bermain catur ini sungguh bagus," puji
Yong-yo. "Kini giliranku minta petunjukmu."
Dan selagi ia hendak menata biji catur, tiba-tiba pelayan
memberitahu bahwa ibunya memanggil, bahkan Ciau-long
diminta ikut juga. Dan sesudah Yong-yo bertanya nama Wanlian,
ia berjanji lain hari akan mencarinya lagi, habis itu ia pun
bertindak pergi diikuti Hua-ciau dari belakang. Wan-lian
bangkit paling belakang, mendadak dilihatnya Hua-ciau
mengayun tangannya membalik, waktu ia menangkapnya,
ternyata segeliting kertas, lalu kertas itu dibukanya, ia
mencium bau wangi dari kertas itu dan kelihatan beberapa
huruf di atasnya terbaca : "Malam ini datanglah ke Thianhonglau". Warna tulisan itu merah dan di atas kertas masih
terdapat remukan daun bunga.
"Kiranya Hua-ciau menggunakan kuku jarinya sebagai pena
dan getah bunga sebagai tinta untuk menulis dan mengirim
berita padaku," diam-diam Wan-lian tertawa. Ia pun kagum
terhadap kecerdikan pemuda itu waktu bermain catur tadi,
rontokan bunga yang jatuh dari atas telah diambilnya guna
bahan menulis. Sungguh kecepatan bekerjanya harus dipuji,
bukan saja Nilan Yong-yo kena dikelabui, bahkan ia sendiri
pun tidak tahu kapan tulisan itu dilakukan.
Dan sesudah orang-orang pergi, kemudian Wan-lian
kembali ke tempatnya sendiri untuk mencari Kui Tiong-bing.
Tapi ia menjadi heran karena sepanjang jalan semua orang
memandang dengan sinar mata kagum.
Tak lama dilihatnya Tiong-bing lagi mendatangi ke
jurusannya bersama seorang tukang kebun. Segera Wan-lian
memanggilnya, siapa tahu Tiong-bing malah melengos tak
menggubrisnya. Tukang kebun itu tak kenal gelagat, masih menerocos,
"Nah, kawanmu ini sungguh beruntung sekali. Pembesar saja
tidak sembarangan Kongcu kami mau menjumpainya, tapi
kawanmu ini ternyata sangat mendapat perhatiannya, bahkan
bergandengan tangan dan diajak jalan-jalan. Lauko,
tampaknya bintangmu segera akan naik, kalau ada untung
harap jangan lupa pada sobat lama lho!"
Karena omongan itu, hati Tiong-bing semakin panas.
Tatkala itu tangan si tukang kebun itu justru lagi memegang
pundaknya ketika mendadak Tiong-bing menjengek sambil
mengangkat pundak, maka tanpa ampun lagi tukang kebun itu
kena disengkelit jatuh tersungkur, segera Tiong-bing pun
berlari pergi. Wan-lian bingung melihat kelakuan pemuda itu, ia
memburu dan meneriakinya, tiba-tiba Tiong-bing berhenti
sambil menghela napas. "Buat apa kaususul aku?" katanya
sambil menoleh ke belakang.
Geli bercampur mendongkol Wan-lian oleh sikap orang.
"Tabiat ini sungguh seperti kerbau dan mirip ayahmu. Apa
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kaulupa bahwa aku dalam penyamaran sebagai lelaki?"
katanya sambil menarik tangan orang. "Bila tanganku hendak
digandengnya, apakah aku harus menyengkelit dia setengah
mampus seperti si tukang kebun yang kaubanting tadi?"
Mendengar si gadis bilang "mirip ayahmu", seketika Tiongbing
merasa seakan-akan kepalanya kena dikemplang. Ia
menjadi teringat kisah ayahnya yang cemburu hingga
mengakibatkan kematian ayah angkatnya dan rumah tangga
hancur berantakan. Karena itu hati panasnya tadi seketika
dingin kembali dan lenyap.
"Aku justru tak suka bergaul dengan Siauya (tuan muda)
seperti dia itu," kata Tiong-bing masih ngambek.
Wan-lian tertawa oleh sikap orang. "Siauya macam apa kau
kira atas dirinya?" tanyanya. "Siauya seperti dia berbeda
dengan segala Siauya yang lain."
Habis itu ia pun menceritakan jiwa pribadi Nilan Yong-yo
yang dikenalnya hingga Tiong-bing menjadi bungkam.
"Apakah kau sedang mencariku?" tanya Wan-lian
kemudian. "Ya," sahut Kui Tiong-bing, "Tadi Liok Bing dan Liok Liang
datang padaku, katanya semalam waktu mereka dinas
meronda, sekonyong-konyong dilihatnya bayangan tokoh silat
kelas tinggi telah melayang lewat dari loteng di sebelah barat,
melihat ilmu mengentengkan tubuh yang gesit dan cepat itu
dapat diduga berpuluh kali lebih hebat dari mereka. Maka
mereka tidak berani mengejar. Mereka bermaksud minta
bantuan kita agar beberapa malam ini membantu mereka
berjaga segala kemungkinan. Karena kau tidak ada, aku belum
mengambil keputusan. Dan bagaimana pendapatmu, apakah
kita benar-benar harus menjadi penjaga mereka?"
"Terima saja permintaan mereka," sahut Wan-lian setelah
berpikir sejurus. "Meski kita tiada maksud menjadi penjaga
Sianghu, tapi tiada jeleknya mencoba berkenalan dengan jago
dunia persilatan di sini."
Tengah mereka berbicara, si tukang kebun yang dibanting
jatuh tadi telah mendatangi mereka. "Apakah Thian-hong-lau
adalah gedung sebelah barat itu?" tanya Wan-lian segera.
"Ya, di situlah letak kamar baca Nilan-kongcu," sahut si
tukang kebun sambil memandang orang dengan heran.
"Apakah kau ditugaskan Kongcu ke sana" Wah, sungguh suatu
tugas yang bagus!"
Wan-lian tak menjawab kata-kata orang, ia hanya
tersenyum dan menghaturkan terima kasih, lalu tangan Tiongbing
ditariknya pergi kembali ke kamar mereka.
Sesudah tidur siang, waktu mereka keluar lagi, ternyata
suasana taman itu sudah banyak berubah, asap dupa
kelihatan mengepul tebal, seluruh taman terpajang indah.
Heran sekali melihat keadaan itu, Wan-lian mencoba
bertanya seorang kacung cilik.
"Apa kau tidak ciu tadi siang Sam-kiongcu telah datang?"
kata kacung itu. "Lihatlah keluar sana, kereta kencana dan
pengiringnya yang berbaris begitu panjang. Sam-kiongcu
(putri raja ketiga) sering mengunjungi majikan putri kami dan
sekali tinggal sampai beberapa hari. Hanya sekali ini sudah
lama barulah datang lagi."
Wan-lian jadi teringat pagi tadi Nilan Yong-yo dipanggil
ibundanya, mungkin ada hubungannya dengan kedatangan
Samkiongcu. Malamnya keadaan taman bertambah indah karena
lampion-lampion yang beraneka warna. Namun Tiong-bing
dan Wan-lian tiada pikiran buat menikmatinya, sesudah tiba
tengah malam mereka lantas bertukar pakaian hitam piranti
jalan malam, dengan ilmu mengentengkan tubuh mereka yang
tinggi segera menuju ke gedung bersusun di sebelah barat itu.
Sesudah dicari, akhirnya mereka menemukan sebuah loteng
dengan papan yang tertulis tiga huruf Thian-hong-lau'.
Amat girang Wan-lian setelah tempat tujuan diketemukan.
"Kau meronda ke sini, biarlah aku masuk menyelidiki keadaan
Thio-kongcu," pesannya pada Tiong-bing.
Habis itu, segera ia melayang ke atas gedung bersusun itu,
tiap tingkat ia longok ke dalam, tapi aneh, tiada seorang pun
yang dilihatnya. Ia melompat ke atas terus hingga tingkat
teratas, di sini barulah ia mendengar ada suara percakapan
kaum wanita dengan lagu suara yang penasaran. Ia coba
menempelkan telinga ke jendela mendengarkan terlebih jelas.
"Semua orang kagum akan kemewahan dan keagungan
keluarga kerajaan," demikian terdengar seorang wanita
berkata. "Tapi apa yang kualami, terpingit di dalam kerajaan
seperti terkurung dalam sarang momok. Sehari rasanya
setahun. Aku masih terhitung mendingan, sejak kecil Yong-yo
cocok dan suka bermain denganku, belakangan ini aku
berkenalan pula denganmu. Bagai angin sejuk kau telah
menyingkap tirai pingitanku dalam kerajaan dan sedikit dapat
melihat sinar terang dari luar. Tetapi nasib saudara-saudara
perempuanku yang lain lebih menyedihkan lagi. Namanya saja
Kiongcu, tetapi nasib mereka tergenggam dalam tangan mak
inang, jangan kata tak gampang hendak bertemu ayah
baginda, sekalipun sudah menikah mungkin selama hidup tak
pernah bertemu dengan Hun-ma (menantu raja), bukankah
persoalan yang aneh. Coba, Thio-kongcu, apa sedikitpun kau
tak kasihan padaku?"
Terperanjat sekali Wan-lian mendengar cerita itu. Pelahan
ia korek sebuah lubang kecil di jendela dan mengintip ke
dalam, ia lihat di dalam duduk seorang gadis cantik dengan
dandanan orang Boanciu, parasnya cantik molek, sikapnya
agung. Dan di depannya duduk seorang pemuda ganteng,
ialah Thio Hua-ciau adanya yang dijumpainya siang tadi.
"Wanita inikah yang disebut Sam-kiongcu itu?" pikir Wanlian.
"Mengapa ia bisa mengenal dengan baik Thio Hua-ciau
dan sudah jauh malam masih bercakap-cakap di loteng sunyi
ini berduaan?"
Ketika ia sedang keheranan, didengarnya Hua-ciau
menghela napas dan berkata, "Ya, apa yang bisa kulakukan?"
Habis itu keadaan menjadi sunyi. Tiba-tiba pemuda itu
mengayun tangannya, segelintir kertas tahu-tahu menerobos
keluar melalui lubang jendela yang dikorek Wan-lian tadi.
Ketika kertas dibuka, isinya dapat dibaca Wan-lian :
"Tunggulah sebentar!".
Pada saat itu juga sekonyong-konyong terdengar suitan
panjang nyaring.
Kiranya Tiong-bing yang meronda di bawah sana melihat
sesosok bayangan orang berkelebat di antara gununggunungan
dan dengan cepat menghilang di antara semaksemak
yang lebat. Tiong-bing terkejut oleh kecepatan
bayangan itu. Tapi mengandalkan ilmu silatnya yang tinggi, nyali pemuda
inipun besar, tanpa memikirkan resiko lagi segera ia mengejar
dan menyusul masuk ke semak-semak lebat itu. Siapa tahu
segera ia disambut sebuah tawa dingin, berbareng angin
tajam lantas menyambar. Namun Tiong-bing sudah siap, cepat
ia menggeser tubuh terus balas menghantam dari samping.
Karena serangan orang itu luput, segera pedang diputar
dan memotong pula dari atas.
Sebenarnya pukulan Tiong-bing bisa mengenai sasarannya,
tapi pedang orang itupun amat cepatnya, kalau tidak berkelit,
pasti tangannya akan tertabas meski dapat memukul musuh.
Maka terpaksa ia mengangkat tangannya sambil melangkah
pergi, namun tidak urung terdengar suara "bret", ternyata
lengan bajunya masih kena tertusuk robek oleh pedang orang.
Tiong-bing menjadi gusar, Tay-lik-eng-jiau-kang segera
dikeluarkannya, kesepuluh jarinya bagai cakar terpentang
lebar terus mencengkeram ke atas kepala musuh beruntun
tiga kali dengan lihainya. Namun lawan cukup gesit, dengan
enteng setiap serangan dapat dielakkan, malahan dalam
sekejap saja ia pun balas menusuk sampai lima kali ke tempat
berbahaya. Nyata sedikitpun Tiong-bing tidak lebih unggul
menempur pedang orang dengan tangan kosong.
Agaknya orang itu tak ingin terlibat pertempuran lebih
lama, belum ada sepuluh jurus, segera ia melompat keluar
dari semak-semak dan melayang naik ke atas suatu gununggunungan
batu. Tiong-bing tidak membiarkan orang lari, segera ia
mengejar. Setelah sampai di depan Thian-hong-lau, mendadak
orang itu membalik tubuh dengan pedang terhunus. Di bawah
sorot lampu yang remang-remang, Tiong-bing dapat melihat
lawan itu berperawakan kurus dan memakai kedok, hanya
kedua matanya tertampak mengerling tajam, agaknya seperti
seorang wanita.
Selagi Tiong-bing ragu, tiba-tiba didengarnya orang itu
membentak dengan suara tertahan, "Percuma saja kau
memiliki kepandaian setinggi ini, siapa tahu terima menjadi
anak cucu cakar alap-alap."
Habis berkata, sinar pedang berkelebat, kembali ia merangsek
Tiong-bing bertubi-tubi.
Mendengar suara orang nyaring mirip wanita, Tiong-bing
hendak bertanya tetapi ia sudah dicecar dengan seranganserangan
berbahaya, la tak berani melawan orang dengan
tangan kosong lagi, segera ia menarik pedang pusaka Thengkaukiam yang terlilit di pinggangnya dan mendadak menjulur
panjang. Ketika tiba-tiba nampak sinar tajam menyambar, orang itu
bersuara heran, ia memutar tubuh dengan cepat tanpa mengendorkan
senjatanya terus menyerang pula dengan tipu
yang hebat dan aneh, selalu kedua bahu Tiong-bing yang
diincarnya. Ngo-kim-kiam-hoat kemahiran Kui Tiong-bing terkenal
karena cepatnya, siapa duga ilmu pedang lawan kini terlebih
cepat lagi, dalam sekejap saja mereka sudah saling gebrak
puluhan jurus dan masing-masing sama berhati-hati sampai
kedua senjata saling beradu.
Makin lama Tiong-bing makin heran, ia lihat ilmu pedang
orang mirip sekali dengan Thian-san-kiam-hoat Leng Bwehong,
banyak perubahan yang ruwet dari berbagai aliran ilmu
pedang. Baiknya ia sudah pernah menyaksikan ilmu pedang
itu dimainkan Bwe-hong, kalau tidak sejak tadi boleh jadi ia
sudah kecundang.
la menjadi heran, ia pernah mendengar cerita Leng Bwehong
bahwa gurunya, Hui-bing Siansu hanya menurunkan
Thian-san-kiam-hoat pada tiga orang, seorang adalah Nyo
Hun-cong yang dua puluh tahun yang lampau pernah
mengguncangkan kalangan Kangouw, delapan belas tahun
yang lalu orang ini tewas secara aneh di tepi Ci-tong-kang di
Hangciu. Dan masih ada dua orang, seorang adalah Coh Ciaulam
yang kini menjadi anjing alap-alap pemerintah Boanjing,
dan seorang lagi adalah Leng Bwe-hong sendiri. Kalau begitu,
siapakah orang kurus ini dan darimana ia mempelajari Thiansankiam-hoat" Demikian pikirnya tidak habis mengerti.
Ilmu pedang orang itu memang hebat, hanya tenaganya
kalah dari Tiong-bing, maka setelah tidak lama lagi, kelihatan
jidatnya mulai berkeringat. Pada suatu kesempatan, Tiongbing
mendadak memutar pedangnya membentur senjata
orang begitu keras hingga terdengarlah suara "trang" yang
nyaring, tahu-tahu pedang orang itu terpental ke udara. Lekas
orang itu meloncat ke atas untuk menangkap kembali
senjatanya. Tiong-bing tidak merangsek orang lebih lanjut, ia
menggulung pedangnya yang lemas itu, dilihatnya orang itu
dapat menangkap kembali pedangnya yang terpental dan
memeriksanya di bawah sorot lampu yang remang-remang,
mendadak wajahnya mengunjuk rasa heran dan bingung.
Kiranya pedang orang itupun suatu Pokiam atau pedang
pusaka, tapi kini ternyata sedikit gumpil oleh beradunya
dengan pedang Tiong-bing, tentu saja ia terkejut.
Sebaliknya Kui Tiong-bing juga terperanjat karena pedang
lawan tak berhasil dikuningi seperti senjata-senjata lain yang
entah sudah berapa banyak kena ditebas putus. "Siapa kau
sebenarnya" Apa kaukenal Leng Bwe-hong?" tanyanya segera
dengan ragu-ragu.
Mendengar nama Leng Bwe-hong disebut, tampaknya
orang itupun heran. "Kaukenal Leng Bwe-hong?"
Belum ia berkata lebih lanjut, tiba-tiba dari balik gununggunungan
sana telah melompat datang dua sosok bayangan
dengan cepat, orang yang di depan menghunus pedang
dengan sinar kemilauan, begitu muncul segera terdengar
suara tertawa dinginnya yang seram. "Aha, penyamun wanita,
besar amat nyalimu, istana Perdana Menteri kau pun masuki!"
demikian ia membentak.
"Betul, dia seorang wanita," batin Tiong-bing diam-diam.
Sementara itu pendatang itu sudah mencegat di depan
'penyamun wanita' dengan pedang terhunus, sedang seorang
lagi melompat ke samping sambil menyapa Kui Tiong-bing,
"Apakah kau pengawal Sianghu" Bagus sekali kepandaianmu,
tidak kecil jasamu bila kaubantu kami menangkap penjahat
wanita ini."
Tetapi Kui Tiong-bing tidak menggubris orang, ia sedang
tertarik 'penyamun wanita' itu yang sementara sudah saling
gebrak dengan orang tadi, suara nyaring beradunya senjata
terdengar, lalu kedua orang itu sama tergetar mundur.
"Kau penyamun wanita ini darimana dapat mencuri pedang
pusaka warisan Suhengku ini?" terdengar orang tadi
membentak. "Hm, masih kaukenal Suhengmu?" jengek 'penyamun
wanita' itu sambil mengayun pedangnya, pertarungan seru
segera terjadi lagi.
Berulang kali pedang orang itu tergetar karena beradunya
senjata, beruntung Lwekangnya teramat lihai, tiap kali kedua
senjata saling menempel, segera ia menggunakan gaya
'melengket' dari Thian-san-kiam-hoat untuk mematahkan daya
memotong pedang pusaka musuh. Bila tidak, tentu sejak tadi
senjatanya sudah patah. Begitulah, maka pertarungan mereka
menjadi seru luar biasa.
"Kau memakai Pokiam juga tidak mampu mengenaiku,"
ejek orang tadi takabur.
Habis itu, segera ia pun mengeluarkan Kiam-hoatnya yang
hebat, meski dari aliran yang sama ilmu pedangnya dengan
'penyamun wanita' ini, namun dalam sepuluh jurus saja ia
sudah mendesak orang mundur terus.
Tiong-bing terperanjat, ia heran malam ini mengapa bisa
begitu banyak orang kosen yang diketemukan. Ia lihat ilmu
pedang orang ini bukan saja mirip Leng Bwe-hong, bahkan
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keuletannya tampaknya juga selisih tidak banyak.
Sementara itu ketika mendengar suara suitan Tiong-bing,
dengan cepat Wan-lian menyusul datang, dan waktu ia
menyaksikan kejadian itu, ia pun terkejut.
"Lekas kau maju menolong wanita itu, dia adalah Ie-cici,"
katanya cepat pada Tiong-bing.
Ya memang benar 'penyamun wanita itu adalah Ie Lan-cu.
Dan orang yang hendak menangkapnya adalah Coh Ciau-lam.
Pedang Ie Lan-cu yang bernama Toan-giok-kiam dengan Yuliongkiam milik Coh Ciau-lam sama-sama adalah pedang
pusaka Hui-bing Siansu yang diwariskan kepada Njo Hun-cong
dan Coh Ciau-lam.
Sebelum ajalnya Njo Hun-cong menulis sepucuk surat
darah dan bersama pedang pusakanya itu ia serahkan kepada
seorang pemuda agar membawa putrinya pergi ke Thian-san
dan minta diterima sebagai murid Hui-bing Siansu dengan
bukti pedang pusaka itu. Pemuda yang diserahi tugas itu ialah
Leng Bwe-hong dan putrinya ialah Ie Lan-cu yang kini sudah
gadis remaja. Waktu Lan-cu dibawa ke Thian-san oleh Leng Bwe-hong
usianya baru tiga tahun. Semua ilmu silatnya boleh dikata
diperoleh dari Leng Bwe-hong yang mewakilkan Hui-bing
Siansu, maka sejak kecil ia sudah mewariskan ilmu pedang
nomor wahid itu dan dengan sendirinya tidak lemah
kepandaiannya. Hanya dibandingkan Coh Ciau-lam dan Kui
Tiong-bing tentunya keuletannya masih selisih banyak.
Begitulah, meski Ie Lan-cu memakai Pokiam, tapi masih tak
tahan oleh rangsekan Ciau-lam yang bertubi-tubi. Dalam
keadaan terdesak itu, mendadak ia mendengar Ciau-lam
terpekik, menyusul terasa olehnya dari belakang kepalanya
menyambar angin tajam, segera sebuah sinar mengkilap
menyambar ke arah Coh Ciau-lam hingga orang berseru dan
melompat ke samping. Lan-cu merandek bingung, ia tak tahu
apa yang terjadi, tiba-tiba dilihatnya Ciau-lam mengayun
tangan dan menyampuk dengan pedang, maka terdengarlah
suara nyaring, benda itupun jatuh, waktu ia menegasi kiranya
sepotong pedang patah.
Beberapa gebrakan itu berlangsung cepat sekali hingga
Lan-cu sendiri tidak melihat jelas, ketika ia mengangkat kepala
tertampak Coh Ciau-lam dengan tangan kosong sudah mulai
bergebrak dengan seorang pemuda berbaju kuning bersenjata
pedang, pemuda ini bukan lain daripada pemuda yang
mengalahkan dirinya tadi.
Kiranya karena buru-buru hendak menolong orang, maka
tanpa pikir Tiong-bing menggunakan ilmu mengentengkan
tubuhnya yang tinggi, mendadak ia melambung ke atas terus
menukik secepat kilat, pedangnya terus menebas ke atas
kepala Ciau-lam dari belakang Ie Lan-cu, maka gadis ini ikut
merasakan menyambarnya angin dingin tadi.
Tapi Ciau-lam bertelinga tajam dan mata jeli, ketika
mendadak dilihatnya seorang bagai anak panah menubruk ke
arahnya sambil tangannya mengepal tanpa senjata, meski
ilmu mengentengkan tubuh orang kelihatan hebat namun ia
pun tidak gentar, ia pikir Thian-san-kiam-hoat yang sedang
dimainkannya ini hebat luar biasa, maka caranya menubruk
begini apakah bukan hanya mengantar nyawa belaka"
Tak ia duga pedang Kui Tiong-bing Theng-kau-pokiam
adalah mestika aneh, bila tak terpakai bisa digulung bagai
sabuk, tetapi waktu dipergunakan bisa mendadak menjeplak
mulur. Tatkala Tiong-bing menubruk ke arah Coh Ciau-lam
dengan mengepal, justru pedangnya ia genggam di tangan,
maka demi nampak datangnya, lebih dulu Ciau-lam
menyampuk pergi senjata le Lan-cu, habis itu secepat kilat ia
pun menusuk ke atas memapak tubuh Kui Tiong-bing. Dan
pada saat itulah tiba-tiba Tiong-bing membuka tangannya dan
pedangnya terus mulur menyambar hingga terdengar suara
"krak", tahu-tahu pedang Ciau-lam sendiri sudah terkuning,
dalam kagetnya ia lantas melompat pergi, sedang Tiong-bing
dengan manisnya telah menancapkan kaki kembali ke tanah.
Namun Ciau-lam sudah banyak pengalaman, pedangnya
yang patah itu mendadak ia timpukkan sebagai senjata
rahasia ke arah Ie Lan-cu dan sepotong lainnya mengincar Kui
Tiong-bing, dengan cara ini ia pun sempat bersiap menanti
serangan Tiong-bing yang lain.
Betul saja, cepat sekali Tiong-bing telah menusuk pula
dada orang, tapi sedikit Ciau-lam berkelit, berbareng tangan
kanannya memotong pergelangan tangan Kui Tiong-bing.
Nampak lawan mengeluarkan Kim-na-jiu yang lihai, Tiongbing
terperanjat. Ia pun tak berani ayal, segera ia
mengeluarkan Ngo-kim-kiam-hoat yang hebat, dengan gerak
tipu 'Soan-hong-san-yap' atau angin lesus menyapu daun, ia
sabet bagian bawah musuh.
Akhirnya Ciau-lam kewalahan juga melayani pedang pusaka
orang dengan kiam-hoat lihai itu, beberapa kali ia harus
menghindarkan diri dari serangan berbahaya.
Dalam pada itu kawan Coh Ciau-lam sangat terkejut demi
melihat Tiong-bing berbal ik membela si 'penyamun wanita'
itu. Lekas ia ikut menghadang maju hendak membantu Ciaulam.
"Berikan pedangmu itu padaku!" teriak Ciau-lam.
Dan begitu pedang kawannya itu sudah disambarnya,
segera saja ia memberondong dengan serangan balasan pada
Kui Tiong-bing. Ketika mendadak kedua pedang saling
menempel, tergetar tangan Tiong-bing, ternyata senjatanya
bagai melekat di pedang lawan hingga terseret ke samping.
Namun ia pun membarengi dengan mendorong ke depan, ia
hindarkan tarikan tenaga dalam Ciau-lam yang hebat itu,
menyusul ia memutar pedang dan mendesak Ciau-lam pula ke
belakang. Sementara itu Boh Wan-lian sudah mendekati Ie Lan-cu,
tapi belum sempat mereka berbicara, mendadak seluruh
taman sudah riuh ramai dengan suara manusia.
"Boh-cici," kata Lan-cu sambil memberi hormat, "Biar aku
pergi. Bila bertemu Thio-kongcu, sampaikanlah pesanku agar
selekasnya ia berdaya meninggalkan Sianghu."
Habis itu sekali melesat, cepat sekali ia sudah menghilang
di antara semak-semak lebat dalam taman.
Kawan Coh Ciau-lam tadi hendak mengudak, tetapi belum
beberapa tindak ia sudah kena dipersen beberapa Thi-lian-ci
(biji teratai besi) oleh Boh Wan-lian hingga roboh terguling.
Bingung juga Wan-lian oleh kelakuan Ie Lan-cu yang pergi
datang begitu saja.
"Pernah Pho-pepek bilang gadis ini tampaknya menderita
batin yang susah dituturkan," demikian Wan-lian berpikir. "Kini
seorang diri jauh-jauh ia datang ke kota-raja, entah apa
tujuannya" Jika melulu karena Thio Hua-ciau, sayang agaknya
Hua-ciau sudah penujui orang lain. Pula melihat kejadian
malam ini, sampai Coh Ciau-lam datang sendiri hendak
menangkapnya, entah dosa apakah yang telah dilakukannya"
Sungguh sayang, karena buru-buru tadi hingga belum berjanji
untuk bertemu lagi dengan dia."
Dalam pada itu taman istana Perdana Menteri itu sudah
dibanjiri penjaga-penjaga dan di sebelah sana Kui Tiong-bing
masih asyik menempur Coh Ciau-lam dengan sengitnya.
Wan-lian tidak sempat memikirkan Ie Lan-cu lagi, ia
genggam seraupan pasir beracun untuk menjaga segala
kemungkinan. Waktu ia memandang lagi, dilihatnya makin
lama daya tekanan Coh Ciau-lam semakin hebat, meski ia
hanya memakai pedang biasa saja, tapi tiap serangannya
selalu sangat berbahaya. Sebaliknya meski Tiong-bing
tampaknya terdesak, namun berkat Theng-kau-pokiam,
pemuda ini masih bisa bertahan, bila ada kesempatan ia pun
balas menyerang.
Kalau membandingkan kiam-hoat dan keuletan, tentu saja
Coh Ciau-lam lebih tinggi setingkat, namun Tiong-bing
memakai Pokiam dan bertenaga muda yang lebih besar, napas
lebih panjang. Mula-mula ia berusaha mengurungi pedang Coh Ciau-lam
dengan daya tekanan berat dari Ngo-kim-kiam-hoat yang lihai.
Tak terduga Ciau-lam juga tidak kalah pintarnya, ia memakai
gaya menempel untuk menyambut pedang pusaka orang, ia
menghindari setiap benturan senjata dari depan dan selalu
menempel pedang sama pedang dengan enteng. Tiong-bing
menjadi mati kutu, ia merasa ilmu pedang orang begitu halus
dan lemas hingga bila ia sedikit meleng, bisa-bisa Pokiamnya
kena direbut musuh.
Barulah kemudian Tiong-bing sadar, tiba-tiba ia ingat apa
yang Leng Bwe-hong pernah katakan padanya bahwa 'Soal
kiam-hoat, meski tanpa pedang, Ngo-kim-kiam-hoat yang
hebat ini jarang ada tokoh Kangouw yang bisa menandingimu,
apalagi kini kau mendapatkan pedang pusaka, tentu saja
bagai harimau tumbuh sayap, makin lihai, menurut
perhitunganku, kecuali Bu-kek-kiam-hoat Pho-locianpwe dan
Thian-san-kiam-hoat milikku mungkin tiada orang lain lagi
yang bisa mengalahkanmu. Hanya seorang saja yang perlu
kau jaga yaitu Suhengku Coh Ciau-lam, ilmu pedangnya tidak
di bawahku hanya keuletan mungkin selisih sedikit. Jika kau
bertemu dia jangan sekali-kali kau tempur dia secara keras
tapi harus menggunakan keuntungan pedangmu yang bagus
ini. Bila diserang harus kaubalas dengan rangsekan Ngo-kimTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
kiam-hoat yang mempunyai 36 jurus yang hebat itu, dengan
keras lawan keras terpaksa ia harus menarik pedang untuk
menjaga diri. Dan dengan keuletannya agaknya susah juga
kau hendak mengalahkannya, sedangkan ia pun tidak berani
merebut pedangmu, dengan demikian kau bisa menem-purnya
sama kuat. Teringat oleh cerita Leng Bwe-hong, meski Tiong-bing
belum pernah mengenal Ciau-lam tapi melihat ilmu pedangnya
yang persis Leng Bwe-hong dapat diduga siapa lagi kalau
bukan Coh Ciau-lam.
Karena itu ia menempur orang dengan hati-hati sekali, ia
menuruti pesan Leng Bwe-hong itu. Dan betul saja Ciau-lam
tak berdaya terhadapnya. Bila Ciau-lam menyerang sedikit
gencar, segera ia dirangsek kembali oleh Tiong-bing hingga
sedikit meleng saja mungkin Ciau-lam sendiri bisa celaka.
"Darimanakah pemuda begini lihai ini" Belum pernah
terdengar di kalangan Kangouw," demikian diam-diam Ciaulam
berpikir. "Memakai Pokiam tidak mengherankan, yang
aneh ialah ilmu pedangnya seperti ajaran guru kosen. Sudah
hampir 30 tahun aku turun gunung, kecuali Suheng Njo Huncong
dan Sute Leng Bwe-hong, belum pernah aku
terkalahkan, sekalipun tokoh Bu-kek-pay terkemuka Pho Jingcu
juga sebanding saja bila menempurku. Tetapi dengan
seorang pemuda ini saja aku tak berdaya, inilah yang betulbetul
aneh!" Namun Coh Ciau-lam yang tinggi hati itu tidak gampang
menyerah, tiba-tiba ia merubah permainan pedangnya
menjadi begitu lemas, ia berusaha mencari kelemahan Kui
Tiong-bing untuk merebut pedangnya.
Tapi beratus jurus telah berlalu masih belum tahu siapa
yang unggul atau asor. Dalam pada itu pasukan pengawal
Sianghu sudah mengepung, Boh Wan-lian mulai kuatir, ia lihat
pertarungan kedua orang masih tetap sama kuatnya dan
untuk melepaskan diri agaknya tidak mudah juga.
Wan-lian menjadi nekad, ia pikir menghamburkan dulu
pasir beracun yang sudah disiapkan itu pada pengepung.
Namun tiba-tiba keadaan taman itu menjadi terang benderang
oleh beratus lampu yang muncul di atas Thian-hong-lau. Di
bawah sorot lampu yang terang itulah tertampak ada seorang
Kongcu (putra bangsawan) muda dengan tangan memegang
kipas bulu dan berdandan sederhana tapi agung muncul di
loteng tingkat tiga gedung itu.
"Kongcu ada di sini, siapa berani membikin rusuh taman
hingga mengejutkan beliau?" segera seorang dayang
membentak. Waktu semua orang mendongak dan melihat Nilan-kongcu
berdiri di atas sana, keruan mereka ketakutan dan menunduk
kembali tak berani bergerak.
Ciau-lam masih menyerang pula beberapa kali, ia
mendesak mundur dulu lawannya, habis itu ia pun melesat
pergi ke depan Thian-hong-lau dan memberi hormat. "Hamba
Coh Ciau-lam, Thongling (komandan) dari pasukan pengawal
ke-rajaan memberi hormat," demikian katanya. "Adapun
sebabnya karena malam ini masih ada tertinggal dua orang
begundal penjahat di sini, mohon perintah Kongcu untuk
menangkap mereka!".
"Mana begundalnya?"tanya Nilan Yong-yo.
Ciau-lam menuding Tiong-bing dulu, lalu ia melompat pergi
mencari Boh Wan-lian, dan selagi ia hendak menuding lagi,
sekonyong-konyong Wan-lian mengangkat lengan bajunya
mengalingi mukanya dan berlari menyingkir.
"Kongcu, tolong aku!" seru Wan-lian pura-pura. "Orang ini
memfitnah orang baik-baik, aku dianggapnya komplotan
penjahat" "Kau naik ke sini!" panggil Yong-yo.
Dan dengan bebasnya Wan-lian naik ke atas Thian-honglau
serta berdiri di samping Nilan Yong-yo.
Seperti diketahui waktu di Ngo-tai-san dulu, pernah Boh
Wan-lian berhadapan dengan Coh Ciau-lam, ia kuatir dikenali,
maka lekas menutupi mukanya dengan lengan baju untuk
menghindarinya.
"Agaknya Thongling salah lihat," kata Yong-yo kemudian
bergelak tertawa. "Orang-orang ini adalah pengawalku yang
kukenal dengan baik, mengapa kauhilang mereka orang jahat.
Lekas kau kembali saja!"
Ciau-lam tahu Nilan Yong-yo adalah kesayangan Kaisar,
apalagi ada Sam-kiongcu pula di dalam, betapapun
mendongkolnya terpaksa ia mengundurkan diri sesudah
memberi hormat Begitu pula dengan pasukan pengawal
Sianghu diam-diam me-ngeloyor bubar juga, hanya tinggal Kui
Tiong-bing sendiri yang masih berdiri terpaku di depan Thianhonglau. "Bagus sekali ilmu silatmu sampai Coh Ciau-lam tidak bisa
mengalahkanmu, siapakah kau?" tanya Yong-yo kemudian.
"Aku hanya penjaga taman ini saja," sahut Tiong-bing
dengan muka bersungut.
Yong-yo terheran-heran oleh jawaban itu, sungguh tak bisa
dimengertinya mengapa dalam sehari saja sudah ada dua
orang penjaga taman luar biasa yang dijumpainya. Dengan
kepandaian Wan-lian yang paham sastra dan seni suara sudah
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
amat dikaguminya, kini ilmu silat Kui Tiong-bing lebih
mengejutkannya dibanding ilmu sastra Boh Wan-lian.
Ya, meski Yong-yo sendiri tidak paham silat, tapi sering ia
mendengar cerita Kaisar Khong-hi bahwa kepandaian Coh
Ciau-lam terhitung nomor satu di antara jago-jago pengawal
di kota-raja, tapi penjaga taman ini ternyata sanggup
menempurnya sama kuat, maka ilmu silat orang ini dapatlah
dibayangkan! Dalam kagumnya tanpa terasa Nilan Yong-yo turun ke
bawah loteng. "Siapa namamu" Marilah, marilah masuk,
omong-omong dulu," katanya sesudah mendekati Kui Tiongbing.
"Aku tiada tempo," sahut Tiong-bing ketus sambil
mengecas lengan bajunya yang hendak ditarik Nilan Yong-yo.
Keruan tangan Yong-yo tergetar pedas oleh kebasan itu.
"He, mengapa kau serupa kawanmu itu?" katanya tertawa.
Tapi ketika ia memandang orang lagi dan nampak wajah
Kui Tiong-bing bersungut gusar, ia menjadi terperanjat.
Walaupun Nilan Yong-yo adalah seorang luar biasa namun
betapapun juga ia adalah putra Perdana Menteri, kapan
pernah ia diperlakukan kasar dan dingin oleh orang lain"
Dengan sendirinya ia pun merasa kurang senang.
"Jika Congsu (tuan) tak sudi berkenalan, terserahlah kau
bila hendak pergi," katanya kemudian.
Siapa tahu Tiong-bing belum juga angkat kaki, ia melirik
orang dan bertanya, "Dan mana kawanmu itu?"
"Nanti kupanggilkan," sahut Yong-yo.
"Tak perlu kaupanggil, aku sendiri sanggup mencarinya,"
kata Tiong-bing ketus sambil menggeleng kepala.
Habis itu sekali mengenjot tubuh segera ia meloncat ke
atas loteng. Dengan tercengang Nilan Yong-yo terpaku di
tempatnya, sungguh tidak dimengertinya dimanakah letak
kesalahannya hingga membuat orang marah"
Tak lama kemudian, ia melihat Tiong-bing melompat keluar
dari Thian-hong-lau dengan marah-marah terus bertanya,
"Dimana kau sembunyikan kawanku?"
Yong-yo menjadi tambah heran oleh pertanyaan itu. "Apa
mungkin Thio Hua-ciau mengajaknya masuk ke kamar
rahasia" Tapi Kiongcu juga berada di dalam, mana bisa Thio
Hua-ciau mengajak seorang pemuda asing ke dalam?"
demikian pikirnya.
Dalam herannya ia melihat Tiong-bing sedang memandang
padanya dengan mata melotot, mau tak mau ia pun
mendongkol, maka ia menjawab dengan ketus, "Kawanmu toh
bukan anak kecil, masakah ia bisa disembunyikan" Kau sendiri
menyaksikan waktu ia naik ke atas tadi, aku sedang berbicara
dengan Coh Ciau-lam. Kemudian aku turun mengajak
kaubicara, kenapa kauhilang aku menyembunyikannya?"
"Betul juga jawaban orang," pikir Tiong-bing. Dan selagi ia
hendak bertanya pula, namun Nilan Yong-yo sudah pergi
tanpa pamit lagi.
Dugaan Nilan Yong-yo memang tidak salah. Memang betul
Boh Wan-lian telah diajak masuk ke dalam oleh Thio Hua-ciau.
Tadi waktu ia naik ke loteng tingkat tiga, tiba-tiba dilihatnya
Hua-ciau muncul dari belakang sebuah cermin besar sambil
tertawa dan memanggil, "Nona Boh, mari ikut aku, urusan di
luar ada Nilan-kongcu, tentunya segalanya akan beres."
Wan-lian tersenyum, tanpa bicara ia mengikuti di belakang
orang, ia lihat Hua-ciau memutar sedikit cermin besar itu,
mendadak di belakang cermin terpentang sebuah pintu hidup,
ketika berada di dalam ternyata jalannya berliku-liku berbeda
dengan keadaan di luar. Kiranya Thian-hong-lau ini dibangun
sedemikian rupa dengan lapisan dalam dan luar tapi dari
sebelah luar sama sekali tidak kentara kalau di dalam masih
ada tempat rahasia.
"Bagaimana kau bisa mengenaliku?" tanya Wan-lian sambil
berjalan. "Begitu aku melihat ilmu silatmu menempur musuh tadi,
segera aku mengenalimu dari Bu-kek-pay, dan aku pun ingat
saat dulu aku pernah menumbuk dirimu di atas Ngo-tai-san
ketika kau ikut Pho Jing-cu ke sana," sahut Hua-ciau.
Sembari bicara, kemudian mereka pun masuk sebuah
kamar yang terpajang sangat indah. Di dalam ternyata sudah
duduk seorang gadis berdandan bangsa Boanciu dengan
agungnya. Paras gadis ini cantik hanya tampaknya berhati lara. Waktu
melihat Hua-ciau mengajak seorang 'pemuda' asing, gadis ini
terkejut. Dan selagi hendak menegur cepat Wan-lian sudah
mendahului membuka suara dengan senyum simpul.
"Aku pun seorang wanita, Kiongcu," demikian katanya
sambil membuka tudung kepalanya hingga rambutnya yang
panjang terurai.
Kiongcu itu terheran-heran memandang Wan-lian. "He,
mirip betul kau dengan Tang-okhui," katanya tiba-tiba dengan
tersenyum. "Waktu kecil aku suka bermain dengannya,
malahan aku diajarinya menggubah syair dan bersajak."
"Ya, memang dialah ibuku," sahut Wan-lian dengan sua-ra
rendah. "Waktu usiaku tiga tahun, ia telah dirampas ke kerajaan
oleh ayahmu."
Karena cerita itu, seketika wajah Kiongcu yang terse-nyum
tadi lenyap. "Cici, harap kau maafkan kami," katanya
kemudian. "Urusan sudah berlalu, tak perlu lagi diungkit," kata Wanlian
menghela napas.
Untuk pertama kali Thio Hua-ciau mengenal asal usul diri
Boh Wan-lian, maka ia pun sangat heran. "Kiongcu," katanya,
"la adalah kawan kita, apa saja dapat kau berbicara
dengannya."
Kiongcu membetulkan rambutnya yang hitam gombyok dan
halus mengkilap itu dengan pelahan, kemudian barulah ia
beTkata dengan rasa hampa, "Nona, Boh, sungguh aku sangat
menyesalkan diriku yang terlahir di keluarga kerajaan yang
entah berapa banyak bibit dosa telah ditanamkan. Seperti
keluargamu yang bahagia telah dibikin hancur berantakan,
tentunya kau sangat membenci kami. Tapi ketahuilah, nona,
aku sendiri-pun menyesalkan kejadian itu. Di dalam kerajaan
aku tak mempunyai barang seorang kawan wanita. Cici, bila
kau suka mendengarkan, biarlah aku ceritakan terus terang
padamu betapa sulit penghidupan yang kami lewatkan sebagai
putri di dalam kerajaan."
Wan-lian melihat putri raja itu bermata redup sayu, alisnya
lentik cantik bagai bunga tanjung mekar di lembah sunyi yang
menarik dan harus dikasihani. Maka ia menggeser tempat
duduknya lebih dekat dan menjawabnya, "Baiklah Kiongcu,
ceritakanlah."
Sambil memainkan ujung bajunya pelahan-lahan, lalu
berceritalah putri kerajaan itu kisah kehidupan di dalam
kerajaan. "Jangan kaukira hidup kami sebagai Putri yang mewah dan
agung tiada bandingannya, padahal kalah jauh kalau
dibandingkan keluarga biasa," demikian ia memulai. "Begitu
kami dilahirkan, segera ada 20 Kiongli (pelayan, dayang) dan
8 mak inang yang merawat kami, dengan para Kiongli itu
kadang-kadang masih bisa diajak bicara, tetapi kedelapan mak
inang itulah sungguh bengis tidak kepalang. Sedikit-sedikit
ajaran leluhur dan peraturan keluarga, segala tata krama
keluarga raja ditonjolkan dan menutup kami di kerajaan yang
sunyi." "Menurut peraturan kerajaan kami, begitu, Kiongcu
dilahirkan segera berpisah dengan ayah bunda, kalau tiada
kejadian luar biasa, kesempatan sedikit sekali untuk bersua
dengan para anggota keluarga. Bila bisa mendapat
kesayangan ayah Baginda masih baikan, kalau tidak,
segalanya harus tergantung mak inang untuk menentukan."
"Seperti Enciku tertua, dengan susah payah menunggu
sampai menikah dan sesudah upacara pernikahan, segera ia
dipingit lagi di dalam kamar oleh mak inang dan tidak
diperkenankan bertemu dengan Hu-ma, lewat setengah tahun
Toa-kiongcu tidak tahan lagi, ia menyuruh Kiongli pergi
memanggil Hu-ma ke kamarnya, siapa tahu dirintangi mak
inang, katanya, 'Ini tidak boleh, kalau ada orang tahu bahkan
Kiongcu bisa dikatakan tidak kenal malu.' Tanpa berdaya
terpaksa Toa-kiong-cu bersabar. Selang beberapa bulan
kemudian, kembali Toa-kiongcu hendak memanggil Hu-ma
pula dan lagi-lagi dirintangi mak inang, ia bilang, 'Kalau
Kiongcu berkeras hendak memasukkan Hu-ma, harus
mengeluarkan sedikit uang tutup mulut.' Terpaksa Toakiongcu
membagikan 100 tail emas, mak inang bilang kurang,
ia menambah 100 tail emas pula dan bilang kurang lagi, sudah
ditambah sampai 500 tail masih bilang kurang juga, akhirnya
Toa-kiongcu menjadi jengkel, ia membatalkan niatnya
memanggil Hu-ma"
"Dan pada waktu Sincia, Toa-kiongcu masuk kerajaan
memberi selamat pada ayah Baginda sekalian bertanya,
'Sebenarnya ayah Baginda menikahkan hamba Putri dengan
siapa"' Ayah sangat heran dengan pertanyaan itu, katanya,
'Bukankah Ki Cing adalah suamimu"' Jawab Toa-kiongcu,
'Macam apakah Ki Cing itu" Sudah setahun hamba Putri
menikah, tetapi belum sekalipun juga bertemu dengannya!'
Ayah Baginda bertanya lagi, 'Kenapa kalian berdua tidak
bertemu"' 'Dilarang mak inang!' jawab Toa-kiongcu. Ayah
tertawa mendengar penuturan itu, katanya, 'Soal diri kalian
suami istri, mengapa harus mak inang yang mengurusi"'
Karena itu, kontan saja Toa-kiongcu kembali ke istana terus
memanggil mak inang dan didamperat habis-habisan, lalu Huma
dipanggil ke istana tanpa halangan lagi."
"Ya, Enciku yang tertua itu paling besar nyalinya, maka ia
berani bertindak seperti itu. Padahal Kiongcu yang lain,
termasuk tiga keturunan yang bertakhta di daerah Kwanlwe
juga tak terhindar dari hinaan mak inang!"
Cerita yang tak pernah didengarnya ini membikin Boh Wanlian
merasa serba baru dan sangat aneh.
"Menurut peraturan kerajaan kami," demikian Kiongcu
melanjutkan, "Kalau Kiongcu sudah mati, segala pakaian dan
perhiasan lantas menjadi milik mak inang yang bersangkutan.
Sebab itu mak inang makin keras mengawasi para Kiongcu,
melarang ini, tak boleh itu, sampai kebebasan bergerak pun
tidak ada, dan banyak Kiongcu justru karena siksaan itu telah
mati mengenaskan di istana sunyi. Kalau dipikir, aku sendiri
masih mendingan."
Diam-diam Wan-lian berpikir, "Kalau begitu tampaknya cara
mak inang menghadapi Kiongcu dengan bengis tidak berbeda
banyak seperti induk semang terhadap pelacurnya."
"Dan apakah Putri keluarga biasa juga terikat oleh
peraturan-peraturan semacam itu?" tanya Kiongcu tiba-tiba.
Hua-ciau tersenyum. "Putri-putri bangsa kami dari apa yang
disebut kaum ningrat juga serupa saja diawasi dengan keras,"
sahurnya. "Bedanya cuma tidak di bawah perintah mak inang
saja. Mungkin bangsawan kerajaan kalian adalah kaum
ningrat, maka sekalipun Kaisar betapa kotor perbuatannya,
tapi Kiongcu harus tunduk pada adat keturunan keluarga."
"Aku adalah putri ketiga ayah, waktu umur 5-6 tahun, ayah
Baginda wafat (yang benar menjadi Hwesio di Ngo-tai-san)
dan digantikan kakak Baginda," demikian tutur Kiongcu lagi.
"Kalau dibanding Kiongcu lain, aku terhitung paling bebas dari
siksaan mak inang. Tapi tinggal dalam kerajaan sunyi, sehari
rasanya setahun, seperti hidup dalam penjara. Belakangan
Yong-yo telah datang, ia adalah sanak keluarga terdekat kami
dan Kakak Baginda memandangnya bagai saudara, maka ia
sering berkunjung ke kerajaan, ia melihatku masgul setiap hari
dan lantas membawaku berkunjung ke rumahnya, ibunya juga
sangat suka padaku, maka seterusnya sering kugunakan
alasan pergi ke Sianghu dan mengeluyur keluar kerajaan."
"Sampai suatu hari di musim panas tahun lalu, tiba-tiba
Yong-yo mencariku dan bertanya apakah aku menyimpan obat
luka dalam yang mustajab dari kerajaan. Aku bertanya untuk
apa dan kenapa tidak pergi minta pada Kaisar saja. Tapi ia
hanya tertawa dan tak menjawab. Aku lantas ngambek, kalau
ia tidak menerangkan, aku pun tidak akan memberikan
obatnya. Karena kewalahan, akhirnya ia menerangkan obat itu
untuk menyembuhkan luka seorang begal Kangouw. Aku
tertarik oleh kejadian serba baru ini, kuminta dia agar
diperbolehkan melihat, sesudah aku berjanji pegang rahasia,
kemudian aku diajak pergi melihat. Semula kusangka begal
besar itu entah betapa bengis wajahnya, siapa tahu ternyata
adalah seorang pemuda."
"Ya, bahkan pemuda yang cakap," sambung Wan-lian
sambil tersenyum.
"Boh-cici, jangan bergurau," kata Hua-ciau jengah.
"Sesudah aku kena pisau di Ngo-tai-san dan kemudian terluka
pula dalam kepungan pasukan pengawal di Jing-liang-si,
lukaku yang parah itu terlalu banyak mengeluarkan darah
hingga cukup berat. Bila tak ada obat yang diberi Kiongcu,
mungkin nyawaku siang-siang sudah melayang."
Mendengar cerita itu, pahamlah Wan-lian, diam-diam ia
berpikir, "Orang kesepian seperti Kiongcu ini tentu mempunyai
berbagai pikiran khayal. Ketika tiba-tiba bertemu seorang
'begal besar' yang muda dan gagah, tentu saja ia tertarik dan
sering mengeluyur keluar kerajaan. Dan lama-lama tentu
timbul bibit cintanya. Hanya entah bagaimana pikiran Hua-ciau
terhadapnya?"
"Watakku yang kepala batu, sesuatu yang aku kehendaki
selalu berusaha kuperolehnya," kata Kiongcu pula dengan
mulut menjengit mungil. "Sungguh aku bisa mati konyol di
dalam kerajaan. Kini Yong-yo bilang Ciau-long selekasnya
akan pergi dari sini, Boh-cici apakah kedatanganmu ini hendak
membawanya pergi" Maukah kalian bawa serta diriku" Ya,
mungkin kalian tak tahu, kadang-kadang aku pun melamun
ingin tumbuh sepasang sayap dan terbang dari pingitan!"
"Cintamu bagai si cebol ingin menggapai rembulan saja,
mana mungkin terjadi," pikir Wan-lian diam-diam.
Dan selagi mereka terdiam, tiba-tiba di luar terdengar suara
tindakan orang. Lekas Wan-lian membetulkan ikat kepalanya
dan ketika berpaling ia lihat Nilan Yong-yo yang mendatangi.
Nampak Kiongcu tengah duduk asyik mengobrol dengan
Boh Wan-lian, Yong-yo terheran-heran. "Sam-kiongcu, waktu
sudah larut malam, bolehlah kau kembali ke kamar untuk
mengaso saja," katanya kemudian.
"Ah, Yong-yo Koko, apakah kau pun bengis seperti mak
inang terhadapku?" sahut Sam-kiongcu mengomel.
Wan-lian ikut tertawa oleh kata-kata itu. "Ya, aku pun
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sudah harus pergi," katanya juga.
"Apa sudah lama kaukenal Ciau-long" Sejak kapankah kau
datang ke Sianghu sini?" tanya Yong-yo pada Wan-lian tibatiba
dengan agak curiga.
"Sama-sama orang asing di tanah perantauan, sekali
bertemu tiada halangan buat bersahabat," sahut Wan-lian
tertawa. Dengan jawaban orang bagai bersajak yang mengandung
arti tiada jeleknya bersahabat meski baru berkenalan dan
mungkin maksudnya semua orang yang berada dalam kamar
termasuk dirinya, mau tak mau Yong-yo berkerut kening juga
tetapi ia pun tidak menahan lebih jauh, ia membiarkan Boh
Wan-lian pergi.
Dara ini melihat Tiong-bing lagi mondar-mandir sendirian di
bawah, sesudah keluar dari Thian-hong-lau, ia lihat semangat
pemuda ini lesu, lekas ia mendekatinya dan memegang
tangannya, siapa duga mendadak Tiong-bing mengebas
tangan orang. "Buat apa kau kembali, bukankah lebih senang menemani
Kongcu ganteng itu?" katanya cemburu.
"Kembali kau mengunjuk sifatmu seperti kerbau," sahut
Wan-lian. "Aku pergi bicara dengan Thio Hua-ciau, ada
sangkut-paut apa dengan Nilan-kongcu?"
"Apa betul?" Tiong-bing menegas. "Kulihat kau sangat
disukai Nilan-kongcu itu. Kau pun bilang dia sangat baik,
tetapi terhadapku kenapa dia begitu dingin sikapnya?"
"Coba ceritakan, dingin bagaimana?" tanya Wan-lian.
Lalu berceritalah Kui Tiong-bing tentang kejadian tadi,
Wan-lian terpingkal-pingkal geli oleh penuturan orang. "Pantas
saja," demikian katanya, "Kau begitu kasar, datang-datang
minta orang padanya, mengapa kau malah menyalahkan dia"
Coba kaupikir, bila seorang putra Perdana Menteri lain
kauperlakukan begitu kasar, kalau kau tak ditangkap masuk
penjara itulah baru aneh."
Karena kata-kata Wan-lian, Tiong-bing menjadi bungkam.
"Namun," sambung si gadis, "Tampaknya Nilan-kongcu
sudah timbul rasa curiga juga. Meski ia seorang luar biasa,
tapi apapun juga ia bukan orang pihak kita, aku kuatir kita tak
akan lama lagi berdiam di sini. Umpama ia tidak curiga, tetapi
malam ini kau telah unjuk kepandaianmu mengutungi pedang
Coh Ciau-lam dan bertempur sama kuatnya, tentu saja semua
orang menaruh curiga asal paham sedikit ilmu silat saja di
Sianghu ini."
"Bukankah di tengah jalan kita juga sudah mengunjuk
kepandaian hebat mengalahkan Kang-pak-sam-moh, mengapa
kedua bersaudara Liok masih membawa kita ke sini?" ujar
Tiong-bing. "Kau betul-betul masih hijau," kata Wan-lian. "Mana boleh
kaubandingkan Kang-pak-sam-moh dengan Coh Ciau-lam. Di
kota-raja ini siapa orangnya yang mampu menerima tiga
gebrakan Ciau-lam tentu seketika akan membuat geger."
"Lalu, apa kita harus segera angkat kaki?" tanya si pemuda.
"Meski aku tadi sudah berjumpa dengan Thio Hua-ciau, tapi
belum sempat memberitahukan maksud kedatangan kita,"
sahut Wan-lian. "Kita harus segera pergi atau tidak, tunggulah
sampai malam nanti biar aku berpikir dulu."
"Begitu lama kau berada di dalam loteng, lalu apa yang kau
percakapkan dengannya?" tanya Tiong-bing sangsi.
Namun si dara tak menjawabnya, ia tersenyum dan
mendorong orang agar pergi tidur saja.
Besok pagi-pagi sekali Boh Wan-lian sudah membangunkan
Tiong-bing. "Hari ini kita minta cuti, mari kita jalan-jalan keluar
mencari seorang sobat," ajaknya segera.
Heran sekali Tiong-bing, belum pernah ia mendengar si
gadis mempunyai sahabat di kota-raja.
"Bukan sahabatku, tapi kenalan lama Pho-pepek," kata
Wan-lian pula. "Ia adalah Piauthau tua terkenal di lima
propinsi utara ini, namanya Ciok Cin-hui, tersohor karena ilmu
pedangnya Liap-hun-sip-sam-kiam. Jago tua ini sangat
berbudi, sudah lebih 30 tahun ia malang melintang belum
pernah gagal dalam pengawalannya. Menurut Pho-pepek,
meski bagus ilmu pedangnya, tapi tersohornya justru bukan
karena ilmu silatnya, melainkan budi bahasanya yang halus,
maka sahabat dari segala lapisan suka memberi muka
padanya." "Kenapa tak kaukatakan sejak dulu," ujar Tiong-bing,
"Sudah seharusnya kita pergi menemui Locianpwe yang hebat
ini." "Waktu kecil aku sudah pernah bertemu dia," tutur Wanlian,
"Tetapi beberapa tahun terakhir ini kabarnya ia sudah
menutup Piaukiok dan menganggur di rumah melewatkan hari
tua yang tenteram, urusan di luar sudah malas untuk ikutikutan
lagi. Namun mengingat hubungan baiknya dengan Phopepek,
terhadap urusan kita rasanya tidak nanti ia berpeluk
tangan, kelak bila Thio-kongcu hendak keluar, kukira tidak
mungkin tanpa bantuannya."
Begitulah lantas mereka minta cuti sehari kepada kepala
pengurus Sianghu dan dengan sendirinya diluluskan
mengingat kepandaian yang mereka tunjukkan kemarin.
"Rumahnya kuingat di sekitar gang Hongsing, tetapi
letaknya yang betul aku sudah lupa," demikian kata Wan-lian
di tengah jalan, "Tapi rasanya tidak susah menemukannya bila
bertanya."
Kemudian sampailah mereka di mulut suatu gang, dan
selagi mereka hendak bertanya penduduk di situ, tiba-tiba
dilihatnya beberapa orang beramai-ramai memikul masakan
perjamuan terus masuk ke gang itu. Malahan terdengar
seorang di antaranya sedang berkata, "Beberapa hari ini Cioklopiauthau
menjamu tamu terus, hari ini entah kedatangan
tamu darimana lagi?"
Girang sekali Boh Wan-lian mendengar pembicaraan itu.
"Apakah Ciok-lopiauthau yang menjamu tamu?" tanyanya
tiba-tiba menimbrung.
Orang itu melirik sekejap ke arah Wan-lian. "Tentunya
bukan menjamu kau," sahutnya kemudian dengan dingin.
Namun si gadis tidak ambil pusing, ia tersenyum dan
mengikuti di belakang pemikul-pemikul itu. Setiba di depan
sebuah gedung besar, segera barang daharan itu dibawa
masuk pelayan. Lekas Wan-lian maju memberi hormat dan
menerangkan maksud kedatangannya pada salah seorang
centing itu. "Kalian membawa kartu nama tidak?" tanya penjaga pintu
itu setelah mengamat-amati kedua muda-mudi itu.
"Karena terburu-buru, maka kami tidak membawa," sahut
Wan-lian, "Tapi cukup bila kausampaikan bahwa Kanglam Pho
Jing-cu minta bertemu."
Akhirnya sambil setengah menggerundel centing itu
melaporkan juga ke dalam.
"Kauhilang Piauthau tua ini berbudi, agaknya belum pasti,"
ujar Tiong-bing. "Ia bukan pembesar negeri dan juga bukan
kaum ningrat, mengapa harus pakai kartu nama baru mau
bertemu?" Wan-lian berkerut kening tak menjawab. Selang tak lama
centing tadi kelihatan keluar lagi. "Loyacu (tuan besar) kami
tidak ada di rumah," demikian ia memberitahu.
Tiong-bing menjadi gusar oleh keterangan itu. "Terangterangan
aku melihat sedang menjamu tamu, mengapa kalian
bilang tidak ada di rumah?" damperatnya segera. "Hm, kalau
tidak mau menerima tamu mengapa harus berbohong, macam
tokoh Kangouw apakah ini?"
Dan karena ribut-ribut itulah mendadak pintu terpentang,
seorang Thauto (Hwesio piara rambut) yang kasar telah
melompat keluar, sekaligus Tiong-bing lantas didorongnya
sambil membentak, "Ada apakah bocah ini membikin ribut di
sini?" Tiong-bing menjadi gusar, kontan ia menyambut orang
dengan Kim-na-jiu-hoat dari Eng-jiau-kang yang hebat,
telapak tangannya tiba-tiba balas menahan pundak orang.
Sebenarnya tiada maksud jahat pada Thauto itu, ia hanya
coba menggertak saja, siapa duga Tiong-bing tak bisa ditakuttakuti
bahkah balas merangsek dengan tenaganya yang besar
hingga Thauto itu hampir ditekan mendeprok ke bawah.
Thauto itu terkejut sekali, lekas ia menggeser sedikit samhil
merangkap kedua tangannya mengangkat sekuatnya ke atas
untuk melepaskan diri dari pegangan Kui Tiong-bing yang
kuat, bahkan berbareng itu ia terus menjotos pula ke muka
orang. Siapa duga pukulan ini justru dimanfaatkan Kui Tiong-bing,
sekali cekal kepalanya kena dibetot terus ditelikung ke bawah.
Untung Thauto itupun cukup tangkas, ia menggeram sekali
dan kepalanya malah menyodok maju.
Nampak Kim-na-jiu-hoat yang hebat tak bisa merobohkan
lawannya, Tiong-bing terperanjat juga. Nyata ia tak kenal
bahwa Thauto ini sesungguhnya tokoh ternama di Kangouw,
tapi karena tak ungkulan menahan seorang muda, Thauto
itupun serba sulit, kepalan kena dipegang dan terasa sakit
pedas, hanya ia menahan sekuatnya hingga tidak sampai
menjerit. Tiong-bing insyaf telah menemukan lawan tangguh, segera
ia bermaksud melontarkan serangan yang lebih lihai kalau
tidak keburu Boh Wan-lian maju memisah di tengah.
"He, apakah kau bukan Thong-bing Susiok?" seru gadis itu.
Thauto itu bersuara heran oleh panggilan itu, ia menarik
tangan sekuatnya yang dibarengi Tiong-bing mendorong ke
depan, keruan ia terhuyung-huyung dan lekas menenangkan
diri, sambil menggenggam kencang kedua kepalannya itu ia
memandang Tiong-bing dengan mata masih melotot.
"Sungguh lucu, orang sendiri tidak saling kenal," kata Boh
Wan-lian tersenyum. "Tiong-bing, lekas kau minta maaf, ia
adalah kawan Leng Bwe-hong, orang Kangouw menyebutnya
Kuai-thau-to Thong-bing Hwesio!"
Karena perkenalan itu, mendadak Thong-bing Hwesio bergelak
tertawa terus merangkul Kui Tiong-bing. "Benar-benar
orang muda yang perkasa, kami golongan tua bangka ini
selekasnya tentu tiada gunanya lagi," demikian katanya.
Nyata meski tabiat Thong-bing kasar, tapi orangnya sangat
jujur, seketika ia menyatakan rasa kagumnya pada ilmu silat
Kui Tiong-bing.
Dalam pada itu dari dalam telah keluar pula beberapa
orang, dua orang di depan yang seorang tinggi kurus dan
bermata mendelik, yang seorang lagi pendek gemuk, kepala
botak, mirip tong paku. Heran dan terkejut Tiong-bing oleh
rupa mereka yang jelek itu.
"Eh, Siang-sioksiok dan Thia-sioksiok, kiranya kalian juga
ada di sini," segera Wan-lian menyapa girang.
Kiranya mereka adalah Song-bun-sin Siang Ing dan Thi-tah
Thia Tong yang sudah dikenalnya di Ngo-tai-san dulu.
"Haha, kau menyamar sebagai pemuda cakap, keruan saja
wajahmu bertambah jelek," kata mereka tertawa demi
mengenali Boh Wan-lian dalam penyamarannya sebagai
jejaka. Dan selagi Wan-lian hendak memperkenalkan Tiong-bing
pada mereka, tiba-tiba dari belakang Siang Ing menyelinap
maju seorang dengan cepat terus menarik tangan Boh Wanlian.
"Ai, para paman saja yang kau urus sampai aku tak kaulihat
lagi!" seru orang itu.
Girang luar biasa Boh Wan-lian begitu mengenali orang.
Tadi karena ia bisa menemukan Thong-bing Hwesio dan
kawan-kawan serta perawakan Siang Ing yang tinggi besar,
maka orang di belakangnya tidak diperhatikan olehnya.
"He, le-cici, kau juga di sini," seru Wan-lian kemudian.
Orang itu memang Ie Lan-cu adanya.
"Di sini bukan tempatnya bicara, marilah masuk saja
bertemu dengan Ciok-locianpwe," ajak Thong-bing. Lalu ia
pun mendahului masuk sambil berteriak, "Ciok-loji, ada tamu
yang kau telantarkan, kau harus didenda minum banyak!"
Ketika Wan-lian memandang, ia lihat dalam ruangan situ
sudah duduk belasan orang, ia mengenali orang tua kurus
yang duduk di tengah itu adalah tuan rumah, Ciok Cin-hui,
sedang yang lain-lain hanya seorang saja yang dikenalnya,
ialah Thio Jing-goan, perwira bawahan Li Lay-hing.
Maka cepat Ciok Cin-hui bangkit menyambut kedatangan
orang, ia memberi hormat pada Boh Wan-lian dan Kui Tiongbing
sambil minta maaf. "Siapakah mereka ini, mengapa tak
kau perkenalkan padaku?" tegurnya kemudian pada Thongbing.
"Inilah nona Boh Wan-lian, dan yang bernama bernama"
Thong-bing garuk-garuk kepala tak bisa melanjutkan.
"He, nona Boh, siapa namanya waktu kaupanggil tadi, coba
kau memanggilnya sekali lagi."
Nampak kelakuan Thong-bing Hwesio, Ciok Cin-hui tertawa,
lalu Wan-lian dan Tiong-bing pun memberi hormat pada jago
tua itu. "Apakah Ciok-lopek masih ingat diriku?" tanya si gadis.
"Aku adalah anak perempuan yang pernah ke sini bersama
Pho-pepek."
"Ya, ya, ternyata kau sudah begini besarnya," sahut Ciok
Cin-hui sesudah ingat. "Dan bagaimana dengan Pho-pepek"
Eh, dan ini"
"Ia bernama Kui Tiong-bing," kata Wan-lian
memperkenalkan mereka. "Ia disuruh Pho-pepek mengiringiku
menemui kau orang tua."
"Ehm, bagus, bagus!" ujar Ciok Cin-hui berulang-ulang
sambil mengelus jenggot.
Wan-lian menjadi jengah, parasnya bersemu merah.
"Bagus apa kauhilang?" seru Thong-bing tiba-tiba.
"Kepandaiannya luar biasa, aku si Hwesio ini hampir saja
mewa-ki Ikanmu tangan dipatahkannya."
Kiranya Ciok Cin-hui sangat suka bersahabat, cuma dalam
beberapa hari ini ia banyak kedatangan kawan-kawan dari
kalangan Hek-to atau lapisan gelap, maka segalanya harus
berlaku hati-hati. Dan karena tadi penjaga melaporkan bahwa
Pho Jing-cu minta bertemu, mula-mula ia bergirang, tetapi
kemudian setelah bertanya rupa orang yang datang ternyata
dua orang pemuda, ia menjadi curiga juga, sebab ia mengenal
Pho Jing-cu sama sekali tak mempunyai murid.
"Siapakah yang berani memakai nama Pho Jing-cu, biarlah
aku melihatnya," kata Thong-bing Hwesio. Lalu ia pun
memapak keluar hingga terjadilah peristiwa tadi dan hampir
saja tangannya dipuntir patah Kui Tiong-bing.
Begitulah, maka Ciok Cin-hui tertawa oleh perkataan
Thong-bing tadi. Segera ia mempersilakan Wan-lian dan
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiong-bing duduk dalam perjamuannya dan diperkenalkan
pada hadirin yang lain. Ternyata di antara tamu-tamu itu lebih
separoh adalah gembong Thian-te-hwe.
Kiranya sesudah para pahlawan membikin rusuh di Ngo-taisan,
Thong-bing Hwesio, Thia Tong dan Siang Ing bertiga
telah diperintahkan ke Kwitang untuk mengawasi gerak-gerik
Ping-lam-ong Siang Ci-sin dan sekalian menghubungi kawankawan
seperjuangan di sana. Tak terduga baru saja mereka
sampai di Kwitang, Go Sam-kui sudah mengumumkan
pemberontakannya dan disambut dengan gerakan militer
Siang Ci-sin. Kemudian mereka pun berhasil menghubungi
kawan-kawan Thian-te-hwe dan bekas pengikut Loh-ong.
Siapa tahu Siang Ci-sin ternyata bolak-balik tidak bisa
dipercaya, belum setahun memberontak, ia sudah menyerah
lagi pada pemerintah Boan. Tentu saja kesempatan itu
digunakan pemerintah Boan untuk menggerebek dan
menangkap tokoh-tokoh gerakan bawah tanah di daerah
selatan itu. Karena tidak bisa tinggal lebih lama lagi di sana,
Thong-bing dan kawan-kawan lantas kembali ke utara dan
sekalian menyelundup ke kota-raja, berkat bantuan Ciok Cinhui,
mereka aman. Sedang Thio Jing-goan datang ke kota-raja
karena ada perintah Li Lay-hing.
Mengenai Ie Lan-cu, ia lebih menggemparkan lagi. Ia
paling dulu datang di kota-raja, sudah dua kali ia memasuki
istana To Tok, malahan satu kali pernah bertarung sengit
melawan To Tok sendiri. Belakangan karena jago-jago
pengawal lantas membanjir datang, syukur gadis ini bisa
meloloskan diri berkat Gin-kangnya yang bagus, karena
peristiwa itu ia pun diuber-uber hendak ditangkap, kebetulan
pada suatu hari bertemu Thong-bing Hwesio dan berbicara
tentang Ciok Cin-hui yang baik budi itu, lalu mereka pun
bernaung di tempat jago tua itu.
Dan sudah hampir dua bulan Ie Lan-cu tinggal di rumah
jago she Ciok ini tanpa keluar pintu, ia terus memperdalam
ilmu pedangnya. Beberapa hari yang lalu karena memperoleh
kabar tentang diri Thio Hua-ciau, barulah ia menyelidik ke
istana Perdana Menteri. Pertama kali ia dipergoki kedua
bersaudara Liok yang sedang meronda, tapi ia dapat
melayang cepat lewat tanpa rintangan. Tapi pada kedua
kalinya ia kepergok Coh Ciau-lam dan hampir saja ia
tertangkap olehnya.
Begitulah, maka semua orang merasa senang karena bisa
bersua lagi. Dalam perjamuan itu Ngo-kim-kiam-hoat Kui
Tiong-bing telah menjadi buah tutur karena berasal dari
ajaran mendiang Cwan-tiong Tayhiap Yap Hun-sun yang
tersohor, maka Ciok Cin-hui sangat tertarik.
"Liap-hun-sip-sam-kiam milikku menurut kawan Bu-liir mirip
dengan Ngo-kim-kiam-hoat," demikian ia berkata. "Cuma
tempat Yap-tayhiap terlalu jauh hingga aku tak sempat
menemuinya. Tapi 30 tahun lalu aku pernah bertemu
muridnya yang bernama Kui Thian-lan dan aku pun minta
belajar kenal dengan ilmu pedangnya itu, namun karena sibuk
dalam dinas pergerakan, ia tidak suka mengunjukkan. Kini
Kui-hiantit adalah cucu luar Yap-tayhiap dan beruntung bisa
bertemu, sekali ini jangan lagi dilewatkan kesempatan ini."
Lalu ia meminta Kui Tiong-bing suka mempertontonkan
ilmu pedangnya. Dan karena pengaruh air kata-kata, darah
muda pula, Tiong-bing pun tidak menolak, segera ia melolos
pedang hingga bersinar gemilapan menyilaukan mata.
"Pedang bagus!" puji Ciok Cin-hui.
"Maafkan bila ada kekurangan," kata Tiong-bing merendah
sembari memberi hormat pada para tamu. Habis itu, begitu
tubuh berputar sinar pedangnya menyambar cepat hingga
orangnya tertutup rapat oleh selapis sinar putih, begitu keras,
angin tajam menderu-deru hingga daun jendela ikut tergetar.
"Bagus!" seru Cin-hui memuji pula. Kemudian ia menuang
secawan arak. Sekonyong-konyong ia menyiramkan arak itu
ke arah Kui Tiong-bing. Semula Thong-bing Hwesio terkejut
oleh perbuatan jago tua itu, tetapi segera ia pun paham akan
maksud orang, maka bersama yang lain mereka pun
menyiram arak beramai-ramai ke tengah.
Tapi baru habis sekali arak mereka disiramkan, mendadak
terdengar suitan nyaring, angin tajam tadi pun berhenti,
keadaan kembali sepi, Tiong-bing mengembalikan pedangnya
ke sarung, ia berdiri tegak di tengah kalangan dan di
sekitarnya kelihatan basah di lingkungi sebuah bundaran
karena tetesan arak yang disiramkan orang banyak tadi.
Seketika itu juga semua orang bertepuk tangan memuji.
"Tak bisa masuk disiram air, sungguh kiam-hoat yang
hebat!" kata Ciok Cin-hui.
"Masih harus minta petunjuk dari Locianpwe," sahut Kui
Tiong-bing merendah sambil memberi hormat lagi.
Ciok Cin-hui orangnya ternyata suka berterus terang, tanpa
menolak ia pun menjinjing pedangnya dan maju ke tengah
menggantikan Kui Tiong-bing. Sinar matanya memandang
tajam ke ujung pedangnya sendiri, ketika mendadak ia
bergerak, seketika sebuah sinar perak seakan-akan
menyambar jatuh. Mula-mula tidak begitu cepat, maka Tiongbing
dapat melihat jelas, memang gerak-geriknya hampir mirip
Ngo-kim-kiam-hoat, maka diam-diam ia pun memperhatikan
setiap gerak tipu orang.
Mendadak kelihatan Ciok Cin-hui mempercepat pedangnya,
hingga akhirnya seluruh ruangan seakan-akan penuh dengan
sinar pedangnya yang bergulung-gulung ke sana kemari.
"Kecepatannya belum mengherankan, marilah saksikan
tenaga saudara tua kita ini," kata seorang Piauthau tua.
Sambil berkata ia terus meraup segenggam kwaci, mendadak
dengan gerak tipu 'Boan-thian-uh' atau hujan gerimis
memenuhi langit, dengan cara menghamburkan am-gi,
Piauthau tua itu menyam-bitkan kwaci ke tengah kalangan.
Perbuatannya ini segera diikuti pula yang lain.
"Kwaci sekecil ini bila disambitkan dengan kuat mungkin
lebih susah ditahan daripada siraman air," demikian pikir Wanlian.
Tak ia duga, barang kecil itupun tergetar oleh angin pedang
yang menyambar cepat itu, kwaci yang dihamburkan ternyata
terpental balik, ada dua biji kwaci malahan mengenai muka
Wan-lian hingga rasanya pedas bagai digigit nyamuk, keruan
ia pun terkejut.
Sejenak kemudian, diiringi suara tertawanya, mendadak
Ciok Cin-hui menghentikan permainan pedangnya, ia memberi
hormat berkeliling sambil berkata, "Sudah tua rasanya tak
berguna lagi."
Dan waktu semua orang memandang lantai, seperti Kui
Tiong-bing menolak siraman arak tadi, kwaci itu terserak di
lantai berwujud satu lingkaran. Seketika semua orang
bersorak-sorai memuji. Diam-diam Tiong-bing mengakui
tenaga dalam Ciok Cin-hui yang memang masih lebih tinggi
darinya, usianya ternyata tidak mengurangi kepandaian orang,
jahe memang selalu pedas yang tua.
"Terima kasih atas petunjuk Ciok-locianpwe tadi," kata
Tiong-bing kemudian sesudah kembali duduk.
"Hadiah perkenalan ini sungguh berharga," ujar Wan-lian.
"Ya, cita-cita selama 30 tahun barulah terkabul hari ini,"
sahut Ciok Cin-hui. "Kita sama-sama mendapat faedah dari
pertukaran pengetahuan tadi, mana berani kubilang memberi
petunjuk."
Kiranya Ngo-kim-kiam-hoat dan Liap-hun-sip-sam-kiam
sama-sama mengutamakan kecepatan, yang satu cepat ganas
dan yang lain gesit cekatan. Dengan saling tukar pertunjukan
tadi tentu saja banyak menambah faedah kiam-hoat masingmasing.
Dalam girangnya Cin-hui mengajak para tamunya ke taman
di belakang rumah, ke lapangan berlatih, ia ingin tetamu lain
pun mengunjuk ilmu silat masing-masing. Ia ternyata sangat
suka pada Boh Wan-lian, berulang kali ia menyuruh gadis ini
pindah tinggal di rumahnya bersama Kui Tiong-bing.
Karena permintaan itu, ketika Wan-lian hendak bicara, tibatiba
Ie Lan-cu mendahului buka suara.
"Boh-cici masih ada sedikit keperluan, ia bilang satu dua
hari lagi baru bisa pindah ke sini," katanya.
Wan-lian heran, kapan dirinya pernah berkata demikian
padanya" Tetapi Ie Lan-cu telah mencubit pelahan tangannya,
berbareng sebuah lintingan kertas kecil telah berpindah ke
tangannya. "Ya, Ciok-pepek, lewat dua hari lagi kami akan pindah ke
sini," demikian Wan-lian menyambung.
Ciok Cin-hui sudah kawakan di Kangouw, tentu saja ia tahu
apa artinya itu, walaupun agak kecewa, tetapi juga tidak
dapat memaksa. Setelah Kui Tiong-bing dan Boh Wan-lian kembali ke
Sianghu, mereka melihat pajangan-pajangan di taman sudah
lenyap, keadaan menjadi sepi. Waktu mereka mencari tahu,
kiranya Sam-kiongcu sudah kembali ke istana bahkan Nilan
Yong-yo sendiri menghadap Kaisar.
Karena itu perasaan Wan-lian menjadi tak enak seperti
bakal ada alamat buruk. Sesudah sampai di kamarnya, cepat
ia membuka lintingan kertas yang disodorkan Ie Lan-cu tadi,
ia lihat kertas itu tertulis : 'Malam ini lekas lari keluar Sianghu
bersama Thio-kongcu, kalau terlambat dikuatirkan ada
perubahan hebat!', la terkejut. Apakah yang bakal terjadi"
Waktu itu hari sudah gelap, sinar bulan purnama menambah
keindahan taman bunga itu, tetapi Boh Wan-lian tiada pikiran
untuk menikmati keindahan pemandangan lagi. "Kita istirahat
buat mengumpulkan semangat," katanya pada Tiong-bing.
"Tengah malam nanti segera kita naik ke Thian-hong-lau
memanggil keluar Thio-kongcu."
Tapi di luar dugaan, belum sampai tengah malam, keadaan
sudah berubah. Selagi Boh Wan-lian dan Kui Tiong-bing
hendak bebenah dan asyik berbisik-bisik merundingkan cara
bagaimana pergi mengeluarkan Thio-kongcu, tiba-tiba mereka
mendengar di luar ada beberapa suara petasan yang keras.
Waktu mereka melongok dari jendela, tertampak di luar
banyak orang melepaskan sebangsa mercon.
"Bukan malam Capgomeh, juga tiada sesuatu perayaan,
mengapa main petasan?" pikir Wan-lian. Sekonyong-konyong
dari belakang gunung-gunungan pinggir jembatan, dalam
semak-semak dan tempat-tempat gelap di taman itu muncul
banyak orang, ada sepasukan pengawal kerajaan, juga ada
pengawal dari Sianghu sendiri. Sungguh Wan-lian sangat
terkejut. "Kita sudah dikepung, lekas menerjang keluar!" katanya
gugup sambil menarik Kui Tiong-bing.
Cepat Tiong-bing melolos pedang pusakanya, ia
menggeram sekali, sambil memutar pedang ia menjebol daun
jendela dan segera membawa Boh Wan-lian menerjang keluar.
Kiranya tadi malam, sesudah penggerebekan Coh Ciau-lam
gagal karena dirintangi Nilan Yong-yo, ia sangat mendongkol.
Dulu sewaktu Ie Lan-cu hendak membunuh To Tok di Ngotaisan, ia pun menyaksikan sendiri, maka begitu bertemu
segera Ciau-lam dapat mengenali Lan-cu. Belakangan setelah
bergebrak, melihat pedang si gadis adalah barang peninggalan
Suhengnya, Njo Hun-cong, dan yang dimainkan juga Thiansankiam-hoat, keruan ia bertambah terkejut dan heran.
Malam itu juga ia kembali ke istana dan segera minta
menghadap Kaisar Khong-hi, ia menceritakan cara bagaimana
Yong-yo melindungi 'penyamun wanita' itu. Tapi Khong-hi
tertawa dan berkata, "Sifat Nilan Yong-yo masih anak-anak,
kukuh pada pendirian, tetapi melindungi kiranya juga tidak
sampai. Menurutku, ia tidak mengetahui ada penjahat
menyelundup ke dalam rumahnya, maka tidak senang
kaubikin ribut di rumahnya. Begini saja, besok biar kupanggil
dia menemaniku membaca, Kiongcu juga kupanggil kembali ke
istana. Malamnya boleh kaubawa pasukan pengawal, sesudah
memberi tahu Nilan-siang-ya lalu bersama-sama mengepung
dan menangkapnya."
Karena janji Khong-hi itu, Ciau-lam menjadi girang, segera
ia pergi mengatur seperlunya. Dan malamnya ia membawa
300 serdadu, di antaranya ada pula beberapa Thongling yang
terhitung jagoan.
Kembali pada Tiong-bing yang tadi menerjang keluar,
pedangnya menyambar cepat, segera banyak senjata yang
terkurung. Dalam pada itu Boh Wan-lian pun telah
membuntuti di belakangnya.
"Ikut aku," kata si gadis pelahan. Habis itu ia
menghamburkan dulu pasir beracunnya, lalu ia mencari jalanjalan
sepi di depan, sambil bertempur sambil berlari. Tiongbing
menjaga bagian belakang, ia mengurungi semua senjata
yang menyerang dari samping.
Jalanan di taman Sianghu itu berliku-liku sedemikian rupa,
orang yang sudah lama tinggal di situ pun kadang-kadang bisa
kesasar. Tapi Boh Wan-lian yang cerdik dan berpikir panjang,
begitu ia datang ke sini, ia lantas menghafalkan jalanan itu,
malahan tempat-tempat yang banyak simpang jalan dan ruwet
sudah ia siapkan petanya untuk setiap waktu digunakan.
Sudah 3 - 4 bulan ia masuk ke Sianghu, jalanan di taman itu
kini sudah cukup dipahami, kini walaupun di taman itu penuh
dengan pasukan pengawal, tetapi kena dibikin bingung juga
oleh cara Boh Wan-lian menikung ke kanan dan berbelok ke
kiri, ia selalu mencari jalan kecil untuk menghindarkan
kejaran, maka dalam sekejap saja mereka sudah bisa
meninggalkan kejaran pasukan pengawal.
Tak lama kemudian mereka telah sampai di dekat Thianhonglau, mereka mendekam bersembunyi di belakang sebuah
gunung-gunungan yang gelap, waktu mereka mendongak
memandang, kembali mereka terkejut.
Mereka melihat Thian-hong-lau yang bertingkat tujuh itu
pada pojok atas serambi tingkat ketiga ada dua orang yang
Jodoh Si Mata Keranjang 10 Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok Pukulan Naga Sakti 16
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama