Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen Bagian 7
baiknya, memang tiada jeleknya kita sedikit waspada!"
Han Hing mengangguk dingin, ia pun tak berkata lagi,
bersama Ho Ban-hong dan Tat-tusi segera mereka melompat
melewati tirai air terjun terus memasuki goa, Ho Ban-hong
paham cara bagaimana masuk, maka dengan mudah ia sudah
membawa kedua kawannya sampai di depan patung itu dan
ketika dilihatnya Tiong-bing lagi memegang patung itu dan
sedang menggo-yang-goyangnya, Han Hing terkejut disangka
rahasianya sudah terbongkar, tanpa pikir lagi ia menubruk
maju, ia angkat tangkarnya terus mengemplang kepala
pemuda itu. Tahu dirinya diserang, cepat Tiong-bing membalikkan
tangan, Theng-kau-pokiam tiba-tiba mulur dan dibuat
menangkis ke atas, maka terdengarlah suara nyaring, bonggol
tongkat Han Hing yang berukir seekor naga dan terbuat dari
besi baja itu telah terkutung sebagian.
Karena terkejut, Han Hing menjadi tertegun sejenak, lalu ia
menjadi gusar, segera potongan tongkatnya itu dibuat
menyabet pula dari samping dengan tenaga dalam penuh.
Tapi Tiong-bing amat tangkas, sekali gertak ia melompat
berbareng ia balas membacok dari atas dengan tipu 'Tian-yimohun' atau mementang sayap menggerayangi awan, suatu
tipu serangan lihai dari Ngo-khim-kiam-hoat.
Dan karena terpaksa, lekas Han Hing menarik tongkat
buntungnya untuk menangkis, maka lagi-lagi kedua senjata
beradu, kembali tongkatnya terpotong sebagian, Han Hing
semakin kalap hingga matanya merah membara, belum
sempat Tiong-bing menancapkan kaki ke bawah, cepat sekali
ia menggunakan tipu 'Pi-sing-kam-goat' atau menyongsong
bintang mengejar rembulan, ia melompat ke samping sambil
tongkat buntungnya menyodok perut Tiong-bing.
Belum sempat Tiong-bing menarik pedang buat menangkis
serangan berbahaya ini, terpaksa ia mengunjukkan Ginkangnya
yang tinggi, tiba-tiba ia tutulkan pedangnya ke batang
tongkat orang dan meminjam tenaga ini orangnya lantas
berjumpalitan ke belakang. Boh Wan-lian berseru kaget
namun Tiong-bing sudah menancapkan kaki di sebelah salah
satu patung, dan karena tak keburu memakan diri, pedang
pusaka tajam di tangannya telah menabas kutung sebelah
tangan patung itu.
Tiba-tiba Tiong-bing terbeliak oleh warna kuning tangan
patung yang putus itu, waktu diperiksanya dengan teliti,
ternyata itu adalah emas mumi yang berlapiskan baja.
"Ha, semuanya patung emas!" serunya tertahan.
Mendengar seruan itu, Han Hing tertawa terkekeh-kekeh.
"Ya, memang patung emas," katanya. "Ke-18 patung Lo-han
ini memang terbuat dari emas murni semua. Tetapi benda ini
ada pemiliknya, jangan kalian coba mengincarnya!"
"Siapa pemiliknya?" bentak Bwe-hong.
"Ialah aku sendiri," sahut Han Hing sambil menuding
hidungnya sendiri, "Maka lekas kalian enyah dari sini!"
Bwe-hong menjengek atas lagak orang, ia mendekatinya.
"Ha, rupanya kau orang bungkuk ini sudah butek pikiran
karena silau oleh harta ini," katanya kemudian. "Tapi biarlah
kami nanti bagi kau sedikit untuk persediaan peti matimu
kelak." Han Hing menjadi gusar tidak kepalang oleh kata-kata Leng
Bwe-hong itu, waktu orang sudah dekat, tiba-tiba ia mengulur
tangan mendorong patung di tengah itu hingga patung itu
bergoyang-goyang ke depan, maka terdengarlah suara
gemuruh, patung itu sudah roboh dengan kerasnya.
Kembali Han Hing terkejut, patung itu tadinya hendak
didorong roboh, siapa tahu tenaganya kurang hingga malah
kena disurung Leng Bwe-hong dan roboh ke depan, maka
tertampaklah di sini tenaga Leng Bwe-hong masih di atasnya.
Setelah patung roboh, dari bawah dudukannya tiba-tiba
terlihat ada sebuah kotak terbungkus sutera, cepat sekali Bwehong
menjambretnya terus dibuka, ia mendapatkan secarik
surat di dalamnya.
Sementara itu Tiong-bing sudah melompat maju dengan
pedang terhunus, ia berjaga di samping Leng Bwe-hong,
sedang Han Hing memegangi tongkat buntungnya mengawasi
dengan napas memburu, suatu tanda betapa gelisah
perasaannya waktu itu tapi ia tak berani maju, tampaknya ia
tidak berani ikut campur tangan.
Setelah surat tadi dibaca Leng Bwe-hong, ternyata di
dalantnya tertulis :
"Tahun It-sin, bulan Bin-chiu, pengkhianat menjual negara,
kerajaan beralih ke selatan dan buron ke Su-tfwan, sayang
sudah pergi tak bisa kembali, cita-cita menegakkan negara
terserah generasi lain. Ting-kok menerima pesan Tay-se-ong
dan titah Eng-lek-te, emas 18 ribu kati dibikin menjadi 18
Lohan dan disembunyikan dalam goa ini. Sengaja ditinggalkan
pada pahlawan bangsa untuk modal pemulihan negara. Siapa
yang mengambil untuk kepentingan sendiri terkutuklah dia!"
Kiranya harta terpendam itu memang disembunyikan Li TingTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
kok yang memberikan tugas kepada Kui Thian-lan sebelum ia
buron ke Birma.
Pengkhianat yang dimaksud dalam surat itu adalah Go
Sam-kui, sedang Tay-se-ong ialah gelar Thio Hian-tiong. Englekte (Kaisar Eng-lek), sebelumnya dikenal sebagai Kui Ong
yang nama kecilnya Yu Ling, ialah Kaisar yang kemudian
dikejar-kejar Go Sam-kui dan akhirnya terbunuh di Birma itu.
Asal Li Ting-kok adalah panglima Thio Hian-tiong,
belakangan ia dititahkan Kui Ong melawan pasukan Boan
untuk menyelamatkan dinasti Beng. Waktu Thio Hian-tiong
menghadapi kehancuran total, dalam jengkelnya ia telah
menenggelamkan semua harta timbunannya ke dalam sungai,
tapi masih ada sebagian emas yang berada di pasukan Li
Ting-kok, maka Thio Hian-tiong telah mengirim surat padanya
agar harta itu dibuang saja, namun Ting-kok tidak lantas
menuruti perintah itu, ia mengajukan permohonan agar boleh
mempertahankan harta itu. Tatkala mana Thio Hian-tiong
dalam keadaan luka dan sudah dekat ajalnya, karena surat Li
Ting-kok itu, ia bilang pada utusannya, "Sebenarnya aku
bermaksud menenggelamkan diri bersama dengan kekayaan
ini, siapa tahu Li Ting-kok, si bocah ini begitu memberatkan
sedikit emas, sudahlah, kau kembali dan bilang padanya, tak
dibuang juga boleh, asal sekali-kali jangan sampai jatuh ke
tangan musuh."
Harta benda yang ditenggelamkan Thio Hian-tiong entah
sudah berapa banyak, maka terhadap sedikit emas di tempat
Li Ting-kok yang tiada artinya itu lak hcfliUi di|";Mnli"w
"Minya, jika tidak, menuruti wataknya yang keras, titlult nanti
5,i Timy kok berani membangkang.
Dan kemudian setelah Eng-lek-te dinaikkan tahta oleh Li
Ting-kok, kembali ia sendiri digempur dan dikejar Go Sam-kui,
makin lama kekuatan induknya makin menipis. Kaisar Eng-lek
insyaf juga tiada harapan lagi, maka ia menyerahkan semua
emas simpanannya kepada Li Ting-kok untuk digunakan
seperlunya, kumpulan emas itu seluruhnya ada 18 ribu kati,
Ting-kok memilih 300 orang kepercayaannya yang disumpah
dan di bawah pimpinan Kui Thian-lan, emas-emas itu dibikin
menjadi 18 patung Buddha Lohan dan disimpan dalam goa itu.
Waktu pekerjaan menyimpan mendekati selesai, Thian-lan
telah mengirim orang-orangnya berangsur kembali ke pasukan
induk, paling akhir hanya tinggal 6-7 orang tenaga ahli saja
untuk menyelesaikan alat-alat perangkap rahasia yang
dipasang dalam goa untuk menjaga keselamatan harta ini, dan
di antaranya Ho Ban-hong termasuk tenaga ahli yang masih
tinggal itu. Han Hing adalah pembantu Thian-lan, waktu
hampir selesai pekerjaannya, Han Hing malahan disuruh
kembali dulu dan juga tidak diberitahu tentang rahasia-rahasia
dalam goa. Tentu saja Han Hing penasaran, cuma tak
diutarakannya. Rasa mendongkol itu sudah 20-an tahun
ditekannya. Setelah pekerjaan menyimpan emas selesai, bersama pembantupembantunya itu Thian-lan kembali ke pasukan
induknya lagi. Akhirnya mereka terdesak ke daerah Birma,
bersama tiga ratus orang kepercayaannya sudah banyak yang
mati dan tinggal beberapa orang saja. Kemudian tewasnya Li
Ting-kok pun membikin mereka saling berpencar lagi. Hanya
Kui Thian-lan yang menerima pesan rahasia Li Ting-kok, ia
mengasingkan diri ke Kiam-kok, di samping menghindari
pencarian musuh sebenarnya sambil menjaga simpanan emas
itu. Dan ia sudah bersumpah, maka sebelum meninggal tiada
seorang pun yang ia beritahu rahasia itu, sekalipun Cioktoanio.
Hanya secara diam-diam ia melukiskan tempat
penyimpanan itu di atas baju kuning, ia pikir bila Tiong-bing
sudah dewasa baru akan memberitahu semua rahasianya agar
pemuda ini kelak bisa l*i i linu) ;>> untuk misa dan ban^a
dungui modal harta terpendam ilw Hiapa duga hidupnya
diselingi dengan peristiwa sedih akan l>"-i'id iwlhan pahamnya
dengan Ciok Thian-sing hingga Tiong-liitijt lari dari rumah dan
Thian-lan sendiri tewas secara mengemiskan di gunung sunyi
itu. Mengenai diri Han Hing, sesudah Li Ting-kok tewas, ia pun
mengasingkan diri di timur Su-cwan, ia pun memperdalam i
intu silatnya hingga menjagoi kalangan Bulim di daerahnya.
Sebenarnya ia tiada nafsu lagi buat ikut mengurus pergerakan
ne-fiira yang besar, juga tiada pikiran buat mencuri simpanan
emas itu. Tak terduga salah seorang ahli bangunan yang ikut
membikin goa itu dalam keadaan kepepet, akhirnya ia
bernaung di tempat Lo Thay, seorang benggolan bandit yang
kemudian karena serakahnya telah membocorkan rahasia itu
pada benggolan ini serta menghasutnya agar pergi mengambil
emas-emas itu, ia pun memberitahukan bahwa Han Hing
termasuk salah seorang yang dulu ikut dalam pekerjaan
menyimpan harta emas itu.
Lo Thay menjadi girang karena laporan itu, segera saja ia
mendatangi Han Hing dan mengajak bekerja-sama. Ia cukup
pandai bicara, lebih dulu ia mengumpak kepandaian Han Hing
agar mengambil emas itu untuk menonjolkan namanya di
kalangan Lok-lim, di samping itu ia menghasut agar Han Hing
menantang Kui Thian-lan bertanding untuk menaikkan
derajatnya di dunia persilatan.
Memangnya Han Hing seorang yang tinggi hati dan
serakah, sudah tua masih gegabah, ia pikir emas itu kini
sudah tak bertuan lagi kalau dirinya bisa mengambil, dengan
segera menjadi kaya raya. Karena itu ia tertarik, ia lalu
bersekongkol dengan Lo Thay, di samping itu ia mengajak
pula beberapa jago lain dengan maksud untuk melawan Kui
Thian-lan. Meskipun urusan itu sangat dirahasiakan, tapi entah
bagaimana akhirnya telah bocor, beberapa jagoan terkemuka
di Su-cwan tanpa berjanji telah mendatangi Kiam-kok secara
bersama-sama. Orang-orang inipun seperti Lo Thay yang tak
punya jiwa besar, yang mereka inginkan melulu emas belaka.
Tentang pedang pusaka 'Theng-kau-pokiam' yang
ditemukan Kui Tiong-bing itu memang juga barang Li Ting-kok
yang diserahkan pada Thian-lan sebelum mangkat, ia
berpesan agar senjata itu disimpan baik-baik untuk diberikan
pahlawan lain. Kui Thian-lan sengaja mengikat senjata yang
bisa ditekuk itu di patung tengah yang ia bikin serupa wajah Li
Ting-kok sebagai peringatan, siapa duga akhirnya pedang itu
jatuh di tangan Tiong-bing juga secara kebetulan.
Begitulah, maka sesudah Leng Bwe-hong membaca surat
wasiat Li Ting-kok itu, ia menjadi jelas asal usul harta
terpendam itu. "O, maaf, maaf, kiranya kaulah tuannya emas ini," kata
Bwe-hong kemudian tertawa dingin. "Kalau begitu, tentunya
kau adalah Li Ting-kok Ciangkun" Padahal sudah lama aku
mendengar Li Ting-kok sudah gugur di tanah asing, siapa
nyana ia masih hidup sampai sekarang?"
Merah padam wajah Han Hing oleh sindiran orang. "Kalau
milik Li Ting-kok juga bukan milikmu," sahurnya gusar. "Aku
sedikitnya pernah berjuang mati hidup dengan Li Ting-kok,
waktu itu kau bocah ingusan ini mungkin masih menetek,
jelek-jelek aku ada hubungannya dengan harta ini, dan kau
terhitung manusia apa?"
"Kau pernah mati hidup ikut Li Ting-kok, itulah paling
bagus, tentunya kau pun paham akan maksud tujuannya,"
kata Bwe-hong tertawa.
Tapi Han Hing sudah amat gusar, mendadak ia sambitkan
tongkat buntungnya pada Leng Bwe-hong sambil membentak,
"Hanya macammu saja berani merintangi aku" Hm, jangan
kauharap!"
Namun Bwe-hong cukup waspada, cepat ia pun mengayun
tangannya, satu sinar hitam keemas-emasan telah menyambar
ke depan dan membentur tongkat buntung orang hingga
terpental balik, nyata itulah senjata rahasia Sin-bong yang
hebat. "Justru aku akan merintangimu!" balas Bwe-hong.
Dan karena menyambar balik senjatanya itu, lekas Han
Hing berkelit sambil mengulur tangan menangkap kembali
tongkatnya. Waktu ia periksa ternyata di atas tongkat
menancap sebuah benda kecil yang mirip anak panah, keruan
ia terkejut. Pikirnya, "Dengan senjata rahasia sekecil ini, ia
bisa memukul balik tongkatku yang kutung ini, sungguh
tenaganya tidak kecil, kalau sebentar bertanding dengannya,
rasanya sukar mengalahkannya."
Tapi Han Hing adalah jagoan yang disegani, tidak nanti ia
mau terima mentah-mentah hinaan itu.
"Jika kau menginginkan emas itu, nah, lekaslah maju," ia
dengar Bwe-hong menantang lagi sambil melempar
pedangnya ke udara, kerlingan matanya penuh rasa
menghina. Sedang Kui Tiong-bing, si pemuda baju kuning dengan
pedang 'Theng-kau-pokiam' sudah bersiap-siap juga di
samping Leng Bwe-hong.
Di sebelah sana, Ho Ban-hong, orang yang dulu ikut
menyimpan emas dalam goa ini dan memasang alat
perangkapnya, diam-diam menjadi kuatir demi menyaksikan
ketangkasan Leng Bwe-hong tadi yang bisa mendorong
kembali patung emas yang bergoyang-goyang kena disurung
Han Hing lebih dulu itu, dari sini saja sudah kelihatan orang
lebih unggul daripada Han Hing.
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Karena itu segera ia membuka suara, "Di sini banyak
terpasang alat perangkap rahasia, kalau mau bertanding lebih
baik di luar saja untuk mengukur dasar lautan dan
menentukan kepu-tusan."
'Mengukur dasar lautan' adalah istilah kaum begal yang
maksudnya berkata secara terang-terangan keinginan masingmasing
bila ada perselisihan. Dengan perkataan ini Ho Banhong
maksudkan berunding secara baik-baik dengan Leng
Bwe-hong. "Betul itu," sokong Tat-tusi segera. "Apa gunanya cekcok
karena sedikit emas ini, lebih baik dirundingkan saja di luar
sana, seteguk air biarlah kita minum bersama!"
Padahal tak pernah terlintas dalam pikiran Tat-tusi untuk
berbagi emas dengan Leng Bwe-hong dan kawan-kawan. Ia
hanya kuatir tak unggulan melawan Bwe-hong dan Tiong-bing
yang gagah itu, maka ia pikir pancing keluar dulu, di luar sana
jumlah mereka lebih banyak dan tak usah kuatir lagi.
"Baik juga," sahut Bwe-hong kemudian sambil memasukkan
pedang ke sarungnya. "Hendak berkelahi memang harus cari
suatu tempat yang baik. Marilah silakan keluar!"
Tanpa berkata lagi segera Han Hing mendahului keluar
dengan perhitungan 'Co-sam, yu-si, Tiong-capji' dan disusul
yang lain-lain.
Setelah keluar, segera para benggolan yang sedang
menunggu itu mengerumuni mereka dan menanyakan hasil
penyelidikan itu. "Kita betul-betul sedang ketumplek rejeki,"
demikian kata Ho Ban-hong, "Semua emas memang berada di
dalam." "Ya, emasnya sudah ketemu, hanya cara membaginya yang
harus dirundingkan," sambung Tat-tusi.
"Sejak mula kita bertujuh sudah tahu tempat penyimpanan
emas ini, makanya datang kemari," ujar Thio Goan-cing,
"Bagian kita sudahlah pasti. Tetapi, bagaimana mereka
bertiga?" "Leng-tayhiap bertiga sudah tentu masing-masing pun
dapat bagian," sela Loh-taylingcu. "Marilah kita bagi menjadi
sepuluh sero, dengan demikian tak perlu ribut-ribut lagi."
"Aku paling dulu masuk goa hingga terluka, tadi kalian
sudah berjanji, maka harus membagi aku sero tersendiri," kata
Lo Thay sambil menahan sakit.
"Bila kau berhasil, tentu bagianmu akan dua sero tetapi
begitu masuk kau sudah terpanah keluar!" kata Han Hing
menyindir, "Cuma cara pembagian emas itu tidak bisa
dilakukan begitu saja!"
"Lalu cara bagaimana?" tanya yang lain-lain curiga.
"Emas aku yang simpan, alat rahasia dia yang pendam,"
kata Han Hing sambil menuding Ho Ban-hong. "Maka kami
berdua masing-masing mendapat dua sero, kamu lima orang
masing-masing sebagian, selain itu, aku telah mengajak dua
orang kawan lagi bersama Ho-laute, walaupun belum muncul
orangnya tapi harus membagi mereka tiap orangnya satu
sero, sedang mengenai tiga tamu di sebelah sana itu"
Ia menuding Leng Bwe-hong bertiga dan melanjutkan,
"Menurut peraturan kalangan kita, hanya bisa digabung dan
terhitung satu sero. Mereka hanya kebetulan memergoki, tidak
bisa dibagi seperti kita."
Mendengar itu, Lo Thay menjadi sangat penasaran, ia
terluka dan hanya mendapat satu sero, tetapi dua kawan Han
Hing yang belum muncul, malahan masing-masing juga
mendapat satu sero. Meski mengkal, tetapi ia terluka parah,
seluruh tubuhnya tak bertenaga, terpaksa ia tak berani buka
suara. Sementara itu, Tat-tusi pun penasaran, dan ketika ia
hendak buka suara sudah didahului Loh-taylingcu. "Han-toako
dan Ho-toako masing-masing menghendaki dua sero, itu kita
tak bisa apa-apa," katanya. "Tetapi Leng-tayhiap, mereka
bertiga bergabung hanya mendapat satu sero. Itulah tidak
adil. Menurut aku, kalau ada air diminum bersama, maka
mereka seharusnya masing-masing pun mendapat satu sero.
Sedang mengenai dua orang kawan Han-toako, memang Hantoako
sudah mengajak datang mereka, kami bersedia
mengalah, biarlah mereka bergabung mendapat satu sero,
semua berjumlah tiga belas sero, dibagi rata. Bagaimana
pikiran kalian?"
Jiwa Lo Thay ditolong Loh-taylingcu, ia merasa berterima
kasih, maka ia yang paling dulu menyatakan akur.
Tat-tusi sekalipun tak ingin Leng Bwe-hong bertiga ikut
mendapat bagian, tetapi ia berniat memancing supaya Han
Hing bermusuhan, dengan begitu ia bisa 'menangkap ikan di
air keruh', maka ia pun menyatakan setuju.
Melihat sudah tiga orang yang menyetujui Leng Bwe-hong
bertiga mendapat bagian rata, Han Hing menjadi gugup dan
kuatir. Pikirnya kalau nanti mereka berserikat, pasti aku akan
kewalahan. "Baik, memang tidak berkelahi maka tidak saling kenal,"
katanya kemudian ganti haluan. "Harta soal kecil,
persahabatan lebih berharga, biarlah aku menurut perkataan
Loh-tohcu tadi dan dibagi rata, menjadi tiga belas sero."
Melihat siasatnya tak berhasil, Tat-tusi rada kecewa.
Sewaktu para benggolan ribut mengenai cara pembagian
emas, di sebelah sana, Leng Bwe-hong hanya tinggal diam
saja, ia tak menghiraukan mereka. Dan sesudah Han Hing
memutuskan menyetujui usul Loh-taylingcu, barulah
mendadak ia berdiri, kedua matanya mendelik. "Siapa sudi
berbagi cara begitu dengan kalian?" bentaknya segera. "Kamu
ini hanya ngaco-balo sendiri!"
"Habis kalau menurutmu, bagaimana caranya?" tanya Han
Hing heran. "Semua emas ini adalah milikku, siapa ingin emas itu boleh
terjang padaku!" kata Bwe-hong dingin.
Mendengar perkataan ini, tidak saja para benggolan itu
terkejut, bahkan Kui Tiong-bing dan Boh Wan-lian ikut merasa
heran. "Aneh, Leng-tayhiap telah berubah jiwanya dan
kemaruk emas?" demikian pikir mereka.
"Untuk apa emas begini banyak?" tanya Kui Tiong-bing pe
lahan sambil menjawil Leng Bwe-hong.
"Jangan urus," sahut Bwe-hong berbisik. "Dengan emas ini
akan kutaklukan iblis-iblis ini untuk suatu pekerjaan besar."
Leng Bwe-hong hendak mengangkangi emas tersebut,
itulah sungguh di luar dugaan benggolan-benggolan itu,
hingga sesaat mereka tak bisa berkata apa-apa, kemudian
waktu Bwe-hong berbisik-bisik dengan Kui Tiong-bing mereka
menyangka Bwe-hong berdua sedang berembuk cara
melayani mereka, maka mereka menjadi gusar, bahkan Lohtaylingcu
yang tadinya berterima kasih pada Leng Bwe-hong,
kinipun berubah pandangan. Pikirnya, "Nama 'Thian-san-sinbong'
ternyata palsu saja dan tak lain hanya manusia rendah,
asal nampak keuntungan lalu lupa persahabatan." Maka belum
Han Hing berkata, ia sudah mendahului ke depan.
"Leng-Tayhiap," katanya sambil memberi hormat. "Dengan
namamu 'Thian-san-sin-bong' yang besar, kau hendak
menelan seluruhnya, sepantasnya kami mundur. Tetapi
saudara-saudara ini jauh-jauh kemari dan Leng-tayhiap suruh
mereka kembali dengan tangan hampa, itulah tidak patut!"
"Betul," seru para benggolan itu beramai. "Peraturan darimanakah
ini?" "Ha, justru inilah peraturan golonganmu sendiri," sahut
Bwe-hong tertawa. "Emas kami yang menemukan dulu,
semangkuk air dibagi minum bersama atau tidak itulah
tergantung padaku!"
Menurut peraturan Lok-lim, waktu merampas sesuatu harta
benda, bila kebetulan ada kawan segolongan ikut tahu, maka
mereka boleh minta bagian, 'Kiau-cia-yu-hun' atau siapa yang
melihat mendapat bagian. Tetapi itu juga harus mendapat
persetujuan dari yang mendapatkan duluan, jika yang
menemukan tidak setuju dan yang minta bagian pun tidak
mau mengalah, maka terpaksa harus diputuskan secara
kekerasan. Dan dengan perkataan Leng Bwe-hong tadi,
terang-terangan ia telah menantang.
Loh-taylingcu menjadi serba sulit oleh perkataan Leng Bwehong,
meski ia penasaran karena Bwe-hong hendak menelan
sendiri dan mengangkangi seluruh emas, tetapi ia pun tidak
ingin bertarung dengan Bwe-hong. Akhirnya ia mundur ke
samping dan diam.
Sebaliknya Han Hing dan Tat-tusi menjadi gusar hingga
mata merah berapi.
"Kalau begitu, terpaksa kita putuskan secara lain, coba
katakanlah!" kata mereka tawar.
"Emas ini adalah milikku semua, maka siapa yang ingin
bagian boleh coba maju bertanding denganku," sahut Bwehong,
"Segala macam pertandingan aku siap melayani, kita
bertanding untuk merebut emas, maka tiap-tiap pertandingan
taruhannya adalah satu patung emas, siapa menang boleh
dipakai buat modal lagi. Kalau kalian setuju biar aku seorang
diri memborong semua pertandingan, tetapi kalau kamu ingin
secara keroyokan kami tiga orang pun bersedia melayani."
"Kami mempunyai keahlian sendiri-sendiri," pikir Han Hing.
"Betapa pun lihainya Leng Bwe-hong, tak mungkin juga
mengenal semua cabang keahlian, cara taruhan itu malahan
lebih baik daripada secara keroyokan, kalau keroyokan,
pedang Kui Tiong-bing itu saja sudah susah dilawan."
Di sebelah sana Loh-taylingcu juga sedang berpikir,
"Dengan cara pertandingan demikian, kalau bergilir sampai
diriku, aku bisa bertanding secara halus untuk menjaga
persahabatan."
Karena itu, segera ia pun menyatakan akur.
Melihat benggolan-benggolan semua sudah setuju, Leng
Bwe-hong tersenyum, ia melayang pergi ke satu tanah datar,
ia berdiri di atas sebuah batu besar.
"Nah, siapa di antara kalian yang maju dahulu?" tanyanya
dengan suara lantang.
Tat-tusi terima tantangan itu, ia meloncat maju, "Marilah
turun, biar aku bermain denganmu," katanya.
"Permainan apa?" tanya Bwe-hong.
Tat-tusi membuka bajunya, tampaklah tubuhnya yang
hitam, ia menggerakkan kedua tangannya hingga otot tulang
bersuara keretak-keretek.
"Kita bermain pinjam tiga bayar lima. Biar aku memukul
dulu tiga kali, nanti kubayar kau berikut rente lima kali,"
katanya lagi. "Waktu dipukul, masing-masing tidak boleh
berkelit, juga tidak boleh membalas, kalau ada yang luka atau
mampus, itulah takdir!"
Tat-tusi adalah ahli Gwakeh kelas satu, ia mempunyai kulit
tembaga tulang besi, ilmunya 'Tiat-poh-san' sudah mencapai
puncaknya, ia sudah kebal senjata biasa, apalagi hanya
kepalan tangan, pikirnya, "Kalau Leng Bwe-hong menerima
juga pukul-anku, andaikan tidak mati tentu akan luka parah.
Seumpama tidak luka, ia pukul aku lima kali, aku pun tak
takut." Sebaliknya Loh-taylingcu yang mendengar cara
pertandingan itu, ia menjadi geli, pikirnya, "Si Tat-tusi yang
kasar ini ternyata juga bisa berpikir ingin mencari keuntungan,
ia ingin memukul dulu tiga kali, tentu Leng Bwe-hong tidak
mau menurut."
Dan betul juga Leng Bwe-hong menolak. "Cara itu tidak
adil," katanya.
"Kalau begitu, kau pukul dulu tiga kali dan aku nanti pukul
kau lima kali," ujar Tat-tusi.
Siapa tahu, lain yang dimaksudkan Leng Bwe-hong.
"Itu pun tidak adil," katanya lagi. "Untuk apa aku
mengambil keuntungan memukul dua kali" Aku tidak
menginginkan rente, kau boleh pukul dulu tiga kali, nah,
setelah itu aku pun bayar kau tiga kali!"
Tat-tusi menjadi gusar, pikirnya, berani kaupandang rendah
padaku. "Kalau begitu, turunlah!" teriaknya segera.
Tapi dengan kaki tunggal Bwe-hong masih berdiri di atas
batu besar itu, ia mengulur kepalanya.
"Kau yang naik," serunya. "Di atas batu ini kita bisa
bertanding lebih baik, siapa yang jatuh dihitung kalah."
Tat-tusi coba memandang batu itu, ia lihat tempatnya
hanya cukup untuk berdiri dua orang, jangankan berkelit
sedang mengenjot tubuh saja sulit, pikirnya, "Inilah kaucari
mampus sendiri." Segera ia pentang tangan dan melompat ke
atas batu itu. Sementara itu Bwe-hong masih tetap berdiri dengan kaki
tunggal. "Kau berdirilah yang kuat, batu ini terlalu sempit!"
katanya tersenyum. "Nah, sekarang kau boleh memukul!"
Melihat Bwe-hong masih berdiri dengan satu kaki, terang
orang sengaja memberi kelonggaran tempat padanya di atas
batu, dan seakan-akan pandang sebelah mata padanya,
keruan rasa gusar Tat-tusi memuncak.
"Dan kau juga harus berdiri yang kuat!" bentaknya terus
memukul cepat. Tapi Leng Bwe-hong melambungkan dada menyambut
pukulan itu. "Plak!" terdengar suara keras seperti memukul
pada kayu balok, tubuh Leng Bwe-hong bergoyang-goyang
seperti hendak jatuh.
Kui Tiong-bing terperanjat, segera ia hendak maju
menolong, tapi Leng Bwe-hong sudah berdiri tegak lagi.
"Aha! Tidak apa!' seru Bwe-hong sambil tertawa.
Karena pukulannya seperti memukul pada lapisan baja,
kepalannya sampai terasa sakit, tubuh Tat-tusi pun
tergoncang hingga terhuyung-huyung, Kui Tiong-bing lagi
memperhatikan diri Leng Bwe-hong, maka tak diketahuinya
rupa Tat-tusi yang merah jengah, tetapi benggolan-benggolan
lain terkejut sekali.
Ternyata sengaja Leng Bwe-hong sambut pukulan keras itu
untuk mengukur kekuatan lawan. Alhasil walaupun Leng Bwehong
tidak terjatuh, namun dadanya pun dirasakan kesakitan.
Lekas ia mengumpulkan tenaga dan mengatur pernapasan,
sesudah merasa tidak berhalangan atau terluka dalam, baru ia
lega. "Pukulan pertama sudah, silakan yang kedua kalinya!"
katanya kemudian sambil tertawa.
Namun Tat-tusi tidak berkata, ia mengumpulkan
tenaganya, dengan cepat ia memukul pula dan kini yang ia
arah adalah bawah perut Leng Bwe-hong.
Sedikit Bwe-hong mengegos, maka kepalan Tat-tusi
menyerempet lewat, dengan gampang Leng Bwe-hong
menghindarkan lagi pukulan keras itu.
"Pukulan kedua pun sudah, masih ada pukulan terakhir,
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pukullah baik-baik!" kata Bwe-hong pula tertawa.
Tat-tusi menjadi sengit, dengan mata melotot ia mengerernas
dua kepalannya dan memukul berbareng. Mendadak
Bwe-hong mendoyongkan tubuh ke belakang, sebelah kakinya
menggantung, separoh tubuhnya sudah terapung. Tenaga
pukulan kedua tangan Tat-tusi itu tidak kurang dari ribuan
kati, karena Bwe-hong mendoyong tubuh ke belakang dan
hanya sebelah kakinya menancap di batu, sedang perutnya
mendadak legok ke dalam beberapa senti, maka dengan tepat
kedua kepalan Tat-tusi mengenai tempatnya, tapi tahu-tahu
telah kena tersedot oleh perut Leng Bwe-hong, tangan Tattusi
sudah diulur seluruhnya, ia tidak bisa mengeluarkan
tenaga lagi. Tiba-tiba Leng Bwe-hong melembungkan perut sambil
membentak, "Lepas!"
Maka terasalah oleh Tat-tusi ada satu kekuatan maha besar
yang memukul balik hingga tubuhnya terhuyung-huyung
hendak roboh, beruntung ia pun cukup ulet, ia menekan keras
kedua kakinya barulah bisa menahan diri.
Menyaksikan adegan yang berbeda-beda itu, para jagoan
tak tahan bersorak kagum.
Setelah Leng Bwe-hong menerima tiga kali pukulan, ia
masih bersikap tenang, ia berdiri tegak berhadapan dengan
Tat-tusi. "Dan kini giliranku yang memukul," katanya kemudian
dengan tertawa. "Sudahkah kau berdiri yang kuat."
"Tunggu dulu!" kata Tat-tusi tiba-tiba agak keder. Lalu ia
mengumpulkan tenaga dan mengatur napas, seluruh tulang
tubuhnya keretekan bersuara. Pikirnya, "Kau Leng Bwe-hong
meski berkepandaian tinggi, belum tentu bisa memecahkan
'Tiat-poh-san' milikku yang kebal terlatih ini!"
"Pukullah!" serunya kemudian setelah menancapkan
kakinya kuat-kuat.
Leng Bwe-hong tersenyum kecil, ia mengayun-ayunkan
tangan kiri, tapi tahu-tahu tangan kanan menerobos
menghantam dari bawah. "Awas pukulan pertama!" teriaknya.
Mendadak Tat-tusi sedikit menurunkan tubuh, ia benturkan
pundaknya ke atas, dan "Plak", tepat pukulan Leng Bwe-hong
mengenai pundaknya, tapi ia pun merasakan satu kekuatan
besar menghantam kembali padanya, lekas ia menggeser
badan waktu Leng Bwe-hong menarik kembali tangannya.
"Berdirilah yang kencang!" bentak Bwe-hong dengan tubuh
sedikit bergeser ke samping.
Keruan muka Tat-tusi merah padam, ia terpaksa menahan
tubuhnya dan bungkam seribu basa.
Sekali pukul tak dapat merobohkan lawannya, diam-diam
Bwe-hong pun merasa heran. "Kepandaian orang ini tidak
mengecewakan namanya, biar aku mencoba lagi ilmu Tiatpohsan yang hebat ini!" demikian pikirnya.
Kembali ia tersenyum, ia memutar kakinya, tiba-tiba ia
memukul dari samping ke dada Tat-tusi sambil berteriak,
"Awas, pukulan kedua datang pula!"
Sekali ini Tat-tusi tak berani gegabah lagi, ia
melembungkan dada menerima pukulan keras itu dari depan.
Waktu kepalan Leng Bwe-hong mengenai sasarannya, ia
merasakan seperti mengenai batu yang keras, ia coba
membarengi menekan ke bawah dengan kuat, segera Tat-tusi
merasakan seperti sebuah martil yang beratnya ribuan kati
telah memukul, kembali ia mengeluarkan suara tertahan,
tubuhnya bergoyang sedikit, ia paksakan diri berlaku tenang.
Pukulan Leng Bwe-hong tadi adalah secara Ngekang, atau
tenaga luar yang keras dan melihat Tat-tusi masih tidak
terluka sedikitpun, diam-diam ia pun memuji, "Ilmu Tiat-pohsan
orang ini di kalangan Kangouw sudah boleh menduduki
kursi pertama!"
Setelah bisa menyambut dua kali pukulan tanpa
menimbulkan kesulitan apa-apa, Tat-tusi menjadi
bersemangat, ia pun hendak pamer ketangkasannya di
hadapan orang banyak buat menutup kehilangan mukanya
tadi. "Meski aku sudah tua, namun rasanya tulangku masih
cukup keras, kan masih ada sekali pukulan lagi, maka pukullah
baik-baik!" demikian katanya ber-gelak tertawa.
Tapi belum berhenti ia tertawa, sekonyong-konyong kedua
kepalan Leng Bwe-hong telah memukul pula berbareng
menuju kedua belah lambungnya. Tat-tusi coba menyambut
pukulan itu sekuatnya. Tak disangka, begitu pukulan hampir
sampai Leng Bwe-hong telah merubah kepalannya menjadi
telapakan, ia menepuk keras kedua jalan darah 'Yong-cwanhiat'
orang. Tat-tusi walaupun kebal dan tidak takut totokan,
namun 'Yong-cwan-hiat' adalah salah satu urat nadi dari ke-60
jalan darah yang paling berbahaya di tubuh orang, ditambah
pula tenaga yang luar biasa dari Leng Bwe-hong, tentu saja ia
tak sanggup menahan, ia merasakan seluruh tubuhnya kaku
kesemutan, bagaikan layang-layang yang putus benangnya ia
terjungkir jatuh ke bawah.
Loh-taylingcu berdiri paling dekat, maka ia memburu maju
hendak menolongnya, tetapi Tat-tusi pun tidak lemah, dengan
satu gerakan 'Le-hi-pak-tim' atau ikan lele meletik tubuh, ia
telah bangkit kembali.
"Aku tidak menginginkan emas lagi," teriaknya dengan
muka merah padam, ia membalikkan tubuh terus hendak
pergi, ia hendak kembali ke kampung halamannya buat
berlatih ilmu silat yang lebih tinggi.
"Jangan buru-buru, masih ada Siaute di sini," kata Han
Hing mencegah. Ia berusaha menahan Tat-tusi bila nanti
terpaksa harus secara keroyokan agar bisa mempunyai konco
yang lebih banyak.
"Aku sudah mengaku kalah, buat apa tinggal di sini lebih
lama dibuat tontonan?" kata Tat-tusi.
"Tat-tusi!" seru Bwe-hong "Kau punya Tiat-poh-san
sebenarnya tak bisa kumenangkan, aku hanya mengandalkan
ilmu menotok dan menangkanmu dengan akal, nanti aku
masih akan minta petunjuk darimu."
Walau tahu Leng Bwe-hong sengaja memberi muka
padanya, terpaksa juga Tat-tusi tinggal di situ.
Dan orang kedua yang maju bertanding dengan Bwe-hong
ialah To Hong, ia mempunyai latihan ilmu sebelah bawah yang
kuat. Ia mengajak Leng Bwe-hong bergumul, tetapi
kekuatannya jauh di bawah Tat-tusi, ia tak bisa tahan karena
Bwe-hong punya tenaga yang luar biasa, maka tiada beberapa
jurus ia sudah kena dibanting roboh oleh Bwe-hong.
Orang ketiga yang maju ini mau tak mau membuat Leng
Bwe-hong agak ragu-ragu, yang maju kali ini ialah Lohtaylingcu.
"Orang ini termasuk seorang laki-laki jujur, kalau ia tak
tahu diri dan minta bertanding senjata hingga melukainya,
itulah sungguh tidak baik," demikian pikir Bwe-hong.
Tengah ia ragu-ragu, Loh-taylingcu dengan menghormat
sekali sudah mendahului buka suara. "Leng-tayhiap, aku ingin
minta pelajaran Guncang darimu," katanya. "Soal emas itu,
meski aku Loh-taylingcu rudin, masih ada sesuap nasi buat
makan, maka bila Leng-tayhiap menghendaki emas, tak berani
kubicara tentang berunding buat merebut emas, pendeknya
tak peduli menang atau kalah, emas bagianku itu, kau boleh
ambil sekalian."
Mendengar itu, diam-diam Leng Bwe-hong tertawa geli, ia
tahu Loh-taylingcu menyangka dirinya hendak mengangkangi
emas dan menganggapnya orang serakah. Pikirnya, "Biarlah
nanti kalau sudah kujelaskan baru kau akan mengerti, kini
boleh kau salah paham dahulu."
"Loh-thocu terlalu bersungguh-sungguh," sahutnya
kemudian sambil memberi hormat. "Soal emas, biar
dibicarakan nanti sesudah bertanding. Sekarang silakan
kaukatakan cara bagaimana kita bertanding ilmu
mengentengkan tubuh?"
"Kita berlari memanjat puncak gunung ini dan di tengah
jalan tak boleh berhenti," kata Loh-taylingcu menunjuk satu
puncak di depan sana. "Dengan sekali naik turun saja, segera
bisa kentara ilmu mengentengkan tubuh masing-masing. Yang
berada di sini semua adalah tokoh-tokoh ternama, tidak nanti
mereka mengatakan yang buruk yang menang."
"Baik!' kata Bwe-hong. "Loh-thocu, silakan kau duluan!"
Kiam-kok adalah tempat yang tersohor curam dan
berbahaya, tiap puncaknya melulu tebing yang gundul
mengkilap, kera saja susah memanjatnya, kalau kepandaian
sedikit rendah pasti akan terjatuh mampus.
Dalam hal ilmu mengentengkan tubuh, Loh-taylingcu
mempunyai latihan yang matang, tadi waktu ia menolong jiwa
Lo Thay sudah ia tunjukkan, kini dengan Bwe-hong
menyuruhnya duluan, segera ia mengenjot tubuh bagai anak
panah terlepas dari busurnya, ia meloncat naik hingga
beberapa tombak tingginya, kedua kakinya menutul tebing,
secara berputar dan bergantian ke kanan dan ke kiri, hanya
terlihat ia belok sana dan tikung sini di atas tebing gunung itu,
dalam sekejap saja ia sudah sampai di atas puncak.
Leng Bwe-hong mengetahui cara orang itu disebut 'Boanthokang', yakni secara huruf 'S' untuk mengimbangi badan,
yang susah ialah cara berkelok dan menikung di tebing yang
curam itu, tapi ia ternyata bisa bergerak sesukanya,
kepandaiannya itu boleh di kata sudah mencapai puncak
kematangan. Setelah sampai di atas, Loh-taylingcu tidak berhenti,
kembali ia turun ke bawah dengan cara tadi. Waktu tinggal 56 tombak dekat di atas tanah, mendadak ia pentang tangan
dan meloncat turun, dengan enteng sekali bagai burung ia
dapat melayang turun dengan gerakan yang manis hingga
para jagoan itu bersorak memuji.
"Aku dibesarkan di Kiam-kok sini, bicara tentang ilmu
mengentengkan tubuh, aku masih berada di bawahnya. Entah
dengan cara apa Leng-tayhiap akan mengatasinya," demikian
pikir Kui Tiong-bing diam-diam.
"Cianpwe punya gaya ternyata luar biasa," kata Bwe-hong
setelah Loh-taylingcu turun. "Wanpwe hanya bakal unjuk
keburukan saja, maka harap jangan dibuat bahan tertawaan!"
Habis itu, kakinya menutul pelahan, cepat sekali tubuhnya
mencelat ke atas, dengan gerakan 'It-ho-ciong-thian' atau
burung bangau menjulang ke langit, ia melayang naik hingga
belasan tombak tingginya, setelah berada di atas tebing,
tanpa kakinya menempel lagi, ia tepuk pelahan kedua
tangannya ke te-pian tebing, tubuhnya kembali melayang naik
lagi, dan begitulah seterusnya beberapa kali berganti tangan
dengan cepat, orang-orang di bawah hanya nampak ia seperti
burung terbang naik, sekejap saja sudah sampai di atas
puncak dan dengan sekali putar, ia menggunakan cara yang
sama untuk melayang turun, setelah 15-16 tombak di atas
tanah tiba-tiba ia menukikkan kepala ke bawah dan kaki di
atas, ia terjun bagai batu meteor jatuh, dibarengi suara jeritan
orang banyak, waktu hampir dekat tanah, ia berjumpalitan,
dengan tenang ia telah menancapkan kakinya dengan anteng.
Menyaksikan pertunjukan hebat itu, baik dia kawan
maupun lawan tak tertahan lagi mereka bersorak riuh memuji.
"Aku mengaku kalah!" kata Loh-taylingcu, lalu ia pun
mundur ke tempatnya tadi dengan membisu.
Melihat Leng Bwe-hong beruntun telah memenangkan tiga
babak, Han Hing tak tahan lagi. Tongkatnya yang sudah
terkurung itu ia selipkan di pinggangnya, lalu ia melangkah
maju. "Leng-tayhiap, mari kita juga bertanding!" serunya.
"Cara bagaimana kau ingin bertanding?" tanya Bwe-hong.
"Leng-tayhiap mempunyai ilmu mengentengkan tubuh dan
ilmu senjata rahasia sudah kusaksikan tadi," kata Han Hing.
"Kini kuingin belajar kenal Lwekang Leng-tayhiap."
"Menurut!" sahut Bwe-hong secara hormat.
Segera Han Hing mengumpulkan kayu dan rumput-rumput
kering yang terdapat di situ, lalu diikat menjadi lima gebung,
kemudian ia menyalakan api dan menyulutnya, ia tancapkan
kayu-kayu itu di atas tanah, lima gebung api itu segera
berkobar-kobar.
"Marilah kita bertanding ilmu 'Pi-khong-cio'," kata Han Hing
lagi. Habis berkata, ia menyingsing lengan bajunya, otot-otot
kedua tangannya terlihat menonjol, seluruh tulang tubuhnya
bersuara keretakan, begitu melihatnya segera orang akan tahu
ia adalah seorang ahli Lwekeh.
Han Hing mengumpulkan tenaga, setelah itu ia
menggerakkan kedua tangannya naik turun, ia berjalan pergi
datang beberapa kali mengitar, makin lama makin cepat.
Sekonyong-konyong kakinya menutul, tanpa kelihatan
bergerak tahu-tahu ia sudah berada di depan gebung api yang
tengah, dari jarak! urang dua meter, tiba-tiba dengan gerakan
'Tui-tang-bong-gwat' atau membuka jendela memandang
rembulan, sebelah tangannya memukul obor api itu, angin
pukulannya mendesir keras, api itu bergoyang-goyang ke
belakang, dan pada waktu api hampir padam, dengan cepat
Han Hing memukul pula dengan telapak tangan kanan, segera
tertampak lelatu api berhamburan dan api di tengah itu segera
sirap. Menyusul tubuhnya berputar, ia membalikkan tangannya,
tetap menggunakan cara tadi, serangan dan gerakan tangan
kiri memukul dulu, setelah sumbu api tertarik panjang baru
pukulan tangan kanan menindih pula buat memadamkan api.
Sesudah Han Hing memadamkan dua gebung obor, ia mengitar
cepat seperti pada permulaan tadi, ia mengelilingi
beberapa kali, sekali ini lebih lihai lagi, kedua telapak
tangannya memukul berbareng dengan gaya 'Siang-liong-cuthay'
atau sepasang naga keluar lautan, dua desiran angin
yang keras telah menyambar, gebung api yang ketiga
sekaligus kena terpadam, lelatu api muncrat jauh,
kekuatannya sungguh mengejutkan. Menyusul itu, tubuhnya
berbalik, dengan cara itu, ia memadamkan pula obor yang
keempat. Beruntun dengan cara yang berlainan Han Hing bisa
memadamkan empat obor, ia gembira sekali, ia menengadah
dara tertawa panjang.
Setelah itu, dengan langkah cepat ia memutar pula, ia
mengunjuk beberapa jurus ilmu pukulannya, baru setelah itu,
mendadak telapak tangannya mendorong ke depan, kali ini
dari jarak yang lebih jauh memadamkan pula obor yang
terakhir. Karena itu, para benggolan bertepuk tangan memuji.
"Nah, inilah sedikit kepandaianku yang tua b angka, sekarang
giliranmu boleh coba-coba," kata Han Hing sambil melirik Leng
Bwe-hong.
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ilmu 'Pi-khong-cio' atau pukulan telapak tangan kosong
yang ditunjukkan Han Hing ini memang hebat, tapi dalam
pandangan Leng Bwe-hong tenaganya masih kurang, sebab ia
harus dibantu mengitar kian kemari dahulu baru bisa
menyirapkan api, bahkan untuk memadamkan lima gebung
obor harus dibagi menjadi tiga kali, jelas kelihatan
Lwekangnya tak bisa bertahan lama.
Maka begitu selesai orang berkata, Bwe-hong tersenyum,
kemudian ia menyuruh Tiong-bing menyalakan kelima obor
itu, malahan ditancapkan rada terpencar, kemudian ia
melangkah maju pelahan, dalam jarak lebih dua tombak,
mendadak tangannya bergerak memukul ke obor yang kiri dan
sekaligus api itu sudah sirap.
Kecepatan Leng Bwe-hong membikin kawan-kawannya
terkejut. Dalam pada itu Bwe-hong telah memutar pula, ia
mengayun tangan kanan dan kembali obor terpadam. Selesai
dua obor disirapkan, Bwe-hong seperti acuh, mendadak ia
membalik sambil kedua tangannya memukul berbareng, tahutahu
obor ketiga dan keempat sirap semua.
Waktu Han Hing memadamkan tiga obor pertama, lebih
dulu ia harus menggunakan kedua tangannya bergantian, tapi
kini Bwe-hong sekaligus malah memadamkan dua obor,
melulu jurus ini saja sudah memutuskan siapa unggul atau
asor. Tinggal sebuah obor lagi, Bwe-hong tak mendekatinya, dari
jauh mendadak ia angkat kaki ke samping, dengan gerak tipu
'Yao-cu-hoan-sin' atau burung elang membalik tubuh, tiba-tiba
telapak tangannya membalik terus memukul ke depan dengan
tenaga dalam yang hebat, segera angin mendesir keras dan
api obor terakhir itupun segera sirap.
Kembali para penonton bersorak memuji, sebaliknya wajah
Han Hing merah padam.
"Kini apa yang akan kaukatakan lagi?" seru Bwe-hong.
Dari malu Han Hing menjadi gusar, matanya mendelik dan
alisnya berdiri, "Baik, Pi-khong-cio aku mengaku kalah,"
demikian katanya sengit. "Tapi kauhilang tadi bahwa setiap
pertandingan taruhannya sebuah patung emas, betul tidak?"
"Ya," sahut Bwe-hong.
"Maka dua patung emas bagianku kupertaruhkan lagi," kata
Han Hing. "Apa yang kau inginkan pula?" tanya Bwe-hong.
"Ilmu mengentengkan tubuh, Lwekang dan am-gi hanya
kepandaian yang tak berarti," kata Han Hing tertawa sinis.
"Kini marilah kita coba-coba dengan senjata."
"Selalu aku menurut, silakan keluarkan senjatamu," sahut
Bwe-hong menerima tantangan orang.
Segera Han Hing mencabut tongkatnya yang sudah terkutung
oleh 'Theng-kau-pokiam' Tiong-bing tadi, ia mendahului
mengambil tempat yang baik dan pasang kuda-kuda yang
kuat. "Silakan menyerang," katanya segera.
Tongkat Han Hing sebenarnya berpucuk kepala naga dan
dari Tibet, meski sudah terkutung tapi ia mahir Tiam-hiat
sehingga masih bisa dipakai peranti menotok, ia tidak menjadi
kuatir. Sebaliknya Leng Bwe-hong sedang berpikir, "Di antara
jago-jago Lok-lim ini, meski Tat-tusi orangnya kasar, tapi
cukup jujur tulus, berani berkelahi berani mengaku kalah,
sebaliknya Han Hing sombong dan tinggi hati, kalau belum
keok betul dia belum mau tunduk."
Dan ketika dilihatnya Han Hing mengerling tajam dengan
tongkatnya yang sudah siap, ia hanya tersenyum dingin dan
tidak lantas menyerang. "Tongkatmu sudah dikuningi orang,
mana bisa digunakan sebagai senjata lagi?" demikian ia
berkata. "Justru beginilah senjata," jawab Han Hing angkuh.
Segera Bwe-hong menyambar sekenanya seikat kayu sisa
obor api yang belum terbakar, dengan alat inilah ia pun
menirukan lagak Han Hing dan berkata, "Dan aku pun
memakai senjata begini."
Han Hing menjadi gusar oleh sikap Leng Bwe-hong yang
jumawa itu, lebih-lebih dua puluh tahun paling akhir ini ia
sangat disegani kawan maupun lawan di timur Su-cwan dan
belum pernah ia merendah pada orang lain. Mendadak ia
membentak, tengkarnya terus mengetok ke batok kepala Leng
Bwe-hong. Namun Bwe-hong tidak gugup, ia tunggu sampai tongkat
orang mendekat barulah secepat kilat ia melesat ke samping,
gebung kayu yang dia pegang itu disabetkan pelahan ke muka
Han Hing. Lekas Han Hing berkelit, namun segera Bwe-hong
menyusulkan serangan lain lebih gencar, terpaksa ia harus
melompat ke sana kemari. Dan setelah belasan jurus, barulah
Han Hing kenal akan kelihaian Leng Bwe-hong.
Terpaksa Han Hing bertahan sekuat tenaga, segera ia
keluarkan permainan tengkarnya, 'Thian-mo-theng-hoat' yang
berjumlah seratus delapan jurus, tapi meski hampir habis
dilontarkan ilmu tongkat itu, belum sedikitpun ia berada di
atas angin. Lekas ia merubah gaya ilmu tengkarnya lagi, tibatiba
ia selingi dengan ilmu menotok yang lihai.
"Ha, kiranya kau pun bisa menotok?" kata Bwe-hong
tersenyum sambil beruntun menghindarkan tiga kali serangan.
"Apa kauhilang" Jika takut lekas mundur!" sahut Han Hing
gusar. "Hm, ilmu menotok saja apa herannya?" kata Bwe-hong
pula sambil terus menghindarkan serangan lawan. "Nih,
gantian lihat punyaku ini."
Berbareng itu, dengan gerakan 'Han-te-pat-jong' atau
mencabut bawang di atas tandur, mendadak ia mencelat naik
hingga serangan Han Hing mengenai tempat kosong, pada
saat lain tahu-tahu gebung kayu Leng Bwe-hong sudah
menyabet ke mukanya, lekas Han Hing mundur ke belakang
tetapi sekali kena dibalas, segera Leng Bwe-hong merangsek
terlebih kencang.
Tatkala itu sudah dekat lohor, sinar matahari menyoroti air
terjun itu hingga menimbulkan sinar mengkilap yang
memantul, cepat sekali Leng Bwe-hong memberondong
lawannya dengan serangan-serangan berbahaya, terpaksa
Han Hing berdiri menghadap matahari, dengan demikian
kedudukan Leng Bwe-hong sudah lebih menguntungkan,
sebaliknya Han Hing menjadi silau hingga matanya
berkunang-kunang, sedangkan pukulan Bwe-hong semakin
gencar, jangan kata hendak menotok lagi, untuk menangkis
saja kini sudah sulit.
Ia insyaf bisa celaka, ia pikir paling selamat kabur. Tapi
selagi ia bertahan beberapa gebrak lagi untuk segera angkat
langkah seribu, namun sudah terlambat tiba-tiba terdengar
suara gertakan Leng Bwe-hong, kayunya telah menyambar
dengan gerak tipu 'Giok-li-joan-so' atau gadis ayu melempar
tali, pinggang Han Hing telah diarah, cepat Han Hing berkelit
dengan gerak tipu 'Boan-liong-jian-poh' atau ular naga
melingkar langkah, namun serangan Bwe-hong yang lain
sudah menyusul, tahu-tahu dadanya hendak disabet pula.
"Kekuatan seikat kayu ini tentu terbatas, meski kena
disabet, biar aku barengi menyerang untuk meloloskan diri,"
demikian pikir Han Hing akhirnya.
Siapa duga baru saja ia berpikir, segera dadanya sudah
terasa pegal kesemutan, sambil menjerit seluruh tubuhnya
lantas terasa lumpuh, ia terguling roboh.
Kiranya selain berilmu pedang yang tinggi Leng Bwe-hong
mewariskan pula kepandaian gurunya ilmu 'Hut-hiat* atau menotok
dengan cara menyabet.
Dan karena robohnya Han Hing itu, para benggolan beramai
menjerit, namun Leng Bwe-hong telah membuang ikat
kayunya tadi, ia mendahului Tat-tusi membangunkan Han
Hing, ia tepuk pelahan 'Hok-tho-hiat' di pinggang orang buat
melepaskan totokannya tadi, lalu ia melepaskannya kembali.
"Maafkan aku yang sembrono ini, Han-locianpwe," kata
Bwe-hong sambil memberi hormat.
Merah padam wajah Han Hing hingga ototnya yang hijau
kelihatan menonjol, ia malu bercampur mendongkol, ia pun
membisu dan membiarkan dirinya dipayang Tat-tusi terus
hendak pergi. "Nanti dulu, Han-locianpwe!" seru Bwe-hong tiba-tiba.
Han Hing merandek, dan ketika ia hendak mendamprat
orang, segera didengarnya Leng Bwe-hong telah berkata pada
kawan-kawannya, "Dan kalian ini masih akan bertanding
tidak?" Seperti diketahui yang masih belum bertanding ialah Lo
Thay, ia terluka parah dan dengan sendirinya tak sanggup,
sedang Ho Ban-hong, ia adalah seorang tukang meski berilmu
silat juga, tak nanti berani melawan Leng Bwe-hong.
Ada lagi Thio Goan-cing, tapi kepandaiannya di bawah
saudara angkatnya, To Hong, padahal To Hong saja dalam
dua tiga gebrak sudah dibanting roboh oleh Leng Bwe-hong,
sudah tentu ia lebih-lebih tak berani maju.
Dan karena pertanyaan Bwe-hong tadi, semua orang
menjadi bungkam.
"Mari kita pergi," ajak Han Hing gusar pada begundalnya.
"Biarlah emas kita tinggalkan untuk dia, kita ingin lihat berapa
lama ia bisa menikmati harta itu, emas sebanyak itu biarlah
dibawa masuk ke dalam peti matinya kelak." Habis berkata, ia
memberi tanda terus hendak berlalu.
"Nanti dulu," seru Bwe-hong lagi.
Tat-tusi menjadi gusar, ia berpaling dengan mata melotot.
"Leng Bwe-hong, apa kau hendak menahan kami?" tanyanya.
Tapi Leng Bwe-hong tertawa terbahak-bahak. "Simpanan
emas ini adalah milik kita bersama!" serunya kemudian.
Karena itu, semua orang menjadi heran. "Jangan kaupermainkan
kami, Leng Bwe-hong," kata Han Hing mendongkol.
"Ya, begitulah baru bisa dibilang ksatria sejati," ujar Lohtaylingcu
mengunjuk jempolnya. "Memangnya emas hanya
sampah, tapi budi dan setia kawan ialah emas!"
Hanya Tat-tusi yang masih ngambek, katanya, "Tidak,
meski kauberikan semua padaku, aku pun tak sudi, aku bukan
pengemis yang harus minta-minta padamu!"
Dalam pada itu, Kui Tiong-bing dan Boh Wan-lian berdua
juga terheran-heran oleh kelakuan Leng Bwe-hong yang aneh
ini, sungguh mereka tidak mengerti, kalau tidak mau
emasnya, buat apa tadi berkelahi mati-matian dengan orangorang
ini" Dan sesudah simpang-siur pendapat para benggolan itu,
kembali Leng Bwe-hong buka suara pula. "Saudara-saudara
sesama orang Bu-lim (dunia persilatan), harap dengarkan
sedikit pendapatku!" demikian serunya.
Dan ketika hendak dilanjutkan kata-katanya itu, tiba-tiba
dari jauh terdengar suara suitan panjang, waktu Bwe-hong
menegas ia lihat beberapa orang secepat terbang sedang
mendatangi dari lembah sana, ia terkejut. "Kenapa datang lagi
jago-jago begini banyak, tampaknya bisa berabe kalau
sekomplotan dengan orang-orang ini," demikian ia berpikir.
Tapi setelah dekat, dapat dikenalinya orang-orang itu
dikepalai Ciok-toanio dan diikuti dua orang yang bukan lain
ialah Pho Jing-cu dan Thio Jing-goan, perwira bawahan Li Layhing,
selain itu ada lagi dua orang yang tak dikenal. Dan
karena itu, Bwe-hong lantas menyapa kedatangan mereka.
Di lain pihak demi nampak orang-orang itu, Han Hing juga
bergirang. "Cu-samko, Jo-site, kenapa baru sekarang kalian
datang kemari?"
Dua orang yang tak dikenal itu kiranya adalah jago-jago
yang diundang Han Hing, yang satu bernama Cu Thian-bok
dan yang lain Jo Cing-po, mereka juga bekas bawahan Li Tingkok,
ilmu silat mereka pun tidak di bawah Han Hing.
Dalam pada itu Cu Thian-bok telah mendahului Han Hing,
segera ia berseru, "Tidak semestinya pendaman emas ini kita
miliki, yang empunya kini sudah datang!"
"Siapa yang empunya?" tanya Han Hing heran.
"Dia ini adalah orang yang disuruh memeriksa emas
simpanan itu oleh pemiliknya," kata Thian-bok pula sambil
menunjuk Pho Jing-cu. "Ia bukan lain adalah tabib sakti Pho
Jing-cu yang namanya tersohor, lekas kau berkenalan
dengannya!"
Semua orang terkejut demi mendengar nama Pho Jing-cu
yang mereka kenal sebagai seorang tabib sakti dan tokoh silat
yang disegani di dunia persilatan jauh melebihi Leng Bwehong.
Dalam pada itu Han Hing belum tahu ada hubungan di
antara Pho Jing-cu dan Leng Bwe-hong, ia menyangka Pho
Jing-cu juga sengaja datang hendak merebut emas itu,
pikirannya segera tergerak.
"Haha, jika demikian, tentu akan menjadi ramai," serunya
segera dengan tertawa. "Di sini sudah ada seorang Lengtayhiap
yang mengaku sebagai pemilik emas, kini datang lagi
seorang Pho-losiansing yang juga mewakili pemilik emas!"
Dengan kata-katanya ini jelas ia sengaja mengadu-domba
Pho Jing-cu dan Leng Bwe-hong, dengan demikian ia tinggal
mengeduk hasilnya nanti.
Siapa tahu, selesai ia bicara, berbareng Pho Jing-cu dan
Leng Bwe-hong telah tertawa terbahak-bahak.
"Bagaimana Leng-tayhiap" Patung emas itu sudah
kautemukan?" tanya Jing-cu masih dengan tertawa.
"Ya, berkat nona Boh, emas itu sudah diketemukan," sahut
Bwe-hong. "Dan darimana kautahu, jauh-jauh langsung
datang kemari?"
"Cerita ini agak panjang," kata Jing-cu, "Baiknya kauselesaikan
dulu urusan dengan sobat-sobat ini."
Karena itu, segera Bwe-hong mengeluarkan surat
temuannya tadi. "Kawan-kawan," katanya kemudian. "Emas ini
bukan milikku, juga bukan milik kalian, tapi adalah milik kita
bersama. Hal ini sudah dijelaskan oleh pemilik asalnya di
dalam surat ini."
"Dari siapakah surat yang kaupegang itu?" tanya Jing-cu.
"Surat tinggalan Li Ting-kok Ciangkun," sahut Bwe-hong.
Lalu dengan suara lantang ia pun membaca isi surat itu.
Ketika dibacanya sampai kata-kata "Ditinggalkan pada
pahlawan bangsa untuk pemulihan negara, siapa yang
mengambil untuk kepentingan sendiri, terkutuklah dia!" ia
diam sejenak, sinar matanya menyorot tajam, habis ini terus
disambungnya. "Han-locianpwe adalah bekas orang Li-ciangkun, tentunya
ingat juga pesan terakhir pahlawan itu bahwa emas ini harus
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
digunakan sebagai modal menegakkan kembali negeri kita!"
"Jika begitu, kenapa kauhilang juga milik kita bersama?"
tanya Tat-tusi.
Bwe-hong tersenyum oleh pertanyaan orang. "Apakah kau
tahu kedatangan Pho-locianpwe mewakili siapa?" sahurnya
kemudian "Yang diwakilinya tidak hanya seorang dua, tetapi
beratus ribu saudara-saudara bawahan Li Lay-hing Ciangkun!
Li Lay-hing Ciangkun adalah cucu Li Jwan-ong yang pernah
mengangkat saudara dengan Thio Han-tiong. Dan emas yang
ditinggalkan Thio Han-tiong dan Li Ting-kok ini, selain dia,
siapa lagi yang berhak memakainya?"
"Betul," sela Pho Jing-cu, "Tepat sekali apa yang dikatakan
Leng-tayhiap itu. Emas ini memang tidak pantas diincar siapa
pun juga, tapi siapa pun mempunyai bagian juga bilamana ia
bersedia ikut berjuang untuk menegakkan negara. Li Lay-hing
Ciangkun sendiri sudah lama mengagumi kalian dan sengaja
menyuruhku datang mengajak bekerja-sama dengan saudarasaudara."
"Han-toako," sambung Cu Thian-bok tiba-tiba sambil maju
menarik tangan Han Hing, "Apa yang dikatakan Pho-locianpwe
memang benar."
"Darimana kau tahu?" tanya Han Hing masih sangsi.
"Han-toako," jawab Thian-bok, "Berpuluh tahun kita
bersahabat, biar aku berterus terang saja dan jangan
kausesalkan aku, sebab akulah yang telah menghubungi Liciangkun,
maksud tujuannya untuk kebaikanmu juga, aku
ingin di hari tuamu bisa kembali dan mendapatkan tempat
yang wajar dalam pasukan Li-ciangkun yang tentu akan
menerimamu dengan suka hati, memangnya mereka sangat
merindukan nasib kalian dari angkatan tua ini."
Han Hing terbungkam oleh kata-kata orang, ia terharu
hingga matanya basah.
Kiranya dahulu tatkala masih dalam pasukan Li Ting-kok,
antara Cu Thian-bok, Jo Cing-po, Kui Thian-lan dan Han Hing
berempat disebut orang sebagai 'Su-kiat' atau empat ksatria
gagah, dan di antara mereka berempat, Kui Thian-lan yang
paling kuat, kemudian baru Cu Thian-bok.
Hubungan Cu Thian-bok dengan Han Hing paling rapat, tapi
di waktu Kui Thian-lan dan Han Hing diperintahkan
memendam emas oleh Li Ting-kok, kala mana Cu Thian-bok
dan Jo Cing-po ada tugas lain dan tidak ikut serta dalam
pekerjaan itu. Kemudian setelah Li Ting-kok gugur, mereka masingmasing
pun saling terpencar, Han Hing mengasingkan diri di
timur Su-cwan dan Cu Thian-bok di daerah barat Su-cwan.
Dari jauh pernah juga Thian-bok mendengar Han Hing banyak
bergaul dengan kaum Lok-lim dan melupakan perjuangan
yang dulu, ia menjadi kuatir kawannya ini tersesat Dan ketika
Han Hing kena dibujuk Lo Thay untuk merebut emas dan
datang minta bantuannya, ia pura-pura menyanggupinya, tapi
begitu Han Hing pergi, ia segera memberitahukan pada Li Layhing.
Mengenai Jo Cing-po, pandangannya tidak seluas Cu Thianbok,
ia pun menyanggupi membantu Han Hing, maka ia
datang ke Kiam-kok pada waktu yang dijanjikan, tapi lebih
dulu ia hendak pergi mencari Kui Thian-lan dengan maksud
membujuk bekas kawan seperjuangan ini agar membagi rata
emas itu. Siapa duga di sana ia telah bertemu Ciok-toanio,
nyonya tua ini menjadi gusar demi mendengar orang
menyebut tentang emas, kontan ia melabrak orang dengan
'Ngo-kim-kiam-hoat' yang hebat hingga Cing-po terdesak
kalang kabut. Beruntung pada saat yang berbahaya Cu Thianbok
keburu datang memisah dengan membawa Pho Jing-cu
dan Thio Jing-goan.
Mereka menjadi terharu ketika mendengar cerita bahwa
sudah lebih dua puluh tahun Thian-lan menjaga emas
pendaman itu dan akhirnya tewas secara menyedihkan,
mereka pun terkenang kembali pada masa silam tentang
hubungan persahabatan mereka dan gegetun akan nasib yang
menimpa sang kawan itu.
Begitulah sesudah Thian-bok menuturkan semua selukbeluk
itu, tangan Han Hing digenggamnya dengan kencang.
"Han-toako," katanya pe lahan. "Percayalah padaku, marilah
kita pergi bersama-sama dengan para pahlawan ini ke
pasukan Li Lay-hing."
"Kenapa tidak kaukatakan sejak tadi, Leng-tayhiap?" seru
Loh-taylingcu tiba-tiba mendahului. "Kalau kauterangkan sejak
tadi tak perlu lagi aku ikut merecoki emas ini!"
"Jika begitu," kata Bwe-hong girang, "Jadi kau "
"Aku ikut kembali ke pasukan bersama saudara-saudara
kami dari Cing-yang-pang," sambung Loh-taylingcu lantang.
Lalu ia pun berpaling pada Lo Thay dan bertanya, "Dan kau
bagaimana, Lo-toako?"
Lo Thay merasa berhutang budi karena pemberian obat
Leng Bwe-hong tadi, maka sesudah ragu-ragu sejenak,
kemudian ia pun mengambil keputusan. "Bersama saudarasaudara
kami dari Bi-san-ce, aku pun menurut pada perintah
Leng-tayhiap," sahutnya kemudian.
"Lo-cecu," kata Bwe-hong sambil merangkul orang.
"Janganlah kau merendah, selanjutnya kita adalah orang
sendiri!" Sementara itu Tat-tusi juga tak mau ketinggalan. "Aku
adalah orang lurus," katanya sambil bertepuk tangan, "Maka
biarlah kubicara terus terang, aku tak dapat menggabungkan
diri pada Li-ciangkun seperti mereka."
Pho Jing-cu memandang orang dengan tersenyum.
"Dia adalah Tat-tusi, Tat Sam-kong," kata Bwe-hong coba
memperkenalkan mereka.
"Ya, justru karena aku seorang 'Tusi', maka aku telah
terikat," kata Tat-tusi pula. "Aku tak mungkin meninggalkan
suku bangsaku. Tetapi aku berjanji di sini, aku orang she Tat
bagaimana terhadap Li Ting-kok dulu, selanjurnya dengan
cara yang sama juga aku lakukan terhadap Li Lay-hing."
Dengan janjinya ini, terang ia telah mengumumkan
bersedia bekerja-sama dengan Li Lay-hing.
"Bagus," seru Bwe-hong. "Sekali berkata, tetap pegang
janji!" Tiba-tiba Tat-tusi memotong ke samping dengan sebelah
tangannya hingga sebuah dahan pohon telah patah menjadi
dua. "Jika ingkar janji, biarlah serupa dahan pohon ini!"
demikian ia perkuat janji setianya.
Di sebelah sana mata Han Hing semakin basah, dengan
kencang Thian-bok masih menggenggam tangannya, ia
merasa hawa hangat sang kawan, di hadapannya berpasangpasang
sorot mata pun sedang menantikan jawabannya.
Mendadak ia tekuk tongkatnya yang sudah kutung itu
hingga patah lagi. "Aku pun pergi bersama kalian!" katanya
segera dengan tegas.
Dan karena Han Hing dan Loh-taylingcu yang merupakan
pentolan mereka sudah mengambil keputusan kembali masuk
ke pasukan Li Lay-hing, kini tinggal Thio Goan-cing dan To
Hong, dengan sendirinya tiada alasan lab kecuali menurut
juga. Girang amat hati Leng Bwe-hong sesudah usahanya
menaklukkan gembong-gembong Lok-lim berhasil.
Kemudian mereka beramai-ramai lantas mengikuti Cioktoanio
kembali ke rumah batu tadi.
"Kalau pagi tadi aku melarang kalian masuk, maka kini
sebaiknya aku minta kalian suka masuk," kata Ciok-toanio.
Thian-sing sangat girang bisa bertemu dengan para jago
yang pernah turun tangan membantunya di Kiam-kok tempo
hari, kemudian ia pun beramah-tamah dengan Loh-taylingcu
yang sudah lama berpisah itu dan menyatakan kagumnya pula
pada jago-jago yang lain.
Suasana gembira itu telah melenyapkan rasa masgul semua
orang tadi. "Sejak aku tahu kejadian yang sebenarnya, batinku selalu
tertekan," demikian kata Thian-sing. "Aku menyesal telah
menewaskan Suhengku sendiri, sebenarnya setelah bertemu
kembali dengan Tiong-bing, aku berniat bunuh diri untuk
menebus dosaku itu. Tapi demi nampak saudara-saudara yang
bersedia berjuang untuk negara tanpa kenal lelah, barulah aku
sadar sekarang kecuali menyebabkan kematian Suheng, masih
berbuat lagi sesuatu kesalahan yang lebih besar."
"Kesalahan apa lagi?" tanya Ciok-toanio heran.
"Ya, selama tiga puluhan tahun ini," demikian Thian-sing
menutur, "Yang kupikirkan selalu kepentingan pribadi belaka,
melawat ke timur dan mengembara ke barat, urusannya
melulu soal diri sendiri dan tiada sesuatu yang berfaedah,
sebaliknya tugas dan perjuangan kalian serta Thian-lan
Suheng sama sekali aku tidak ambil pusing, sungguh hidupku
ini dilewatkan dengan sia-sia saja, maka kalau kini aku mati
begini saja tentu akan mengecewakan harapan Suheng, lebih
berguna aku meneruskan perjuangannya. Biarlah sesudah
lukaku sembuh, segera aku pun menggabungkan diri ke laskar
Li Lay-hing. Tapi sebelum lukaku sembuh, aku pikir tinggal di
sini dulu bersamamu (yang dimaksud adalah sang istri) untuk
menjaga emas pendaman itu sampai kedatangan orang Liciangkun.
Emas itu sudah dijaga Suheng selama dua puluh
tahun, tugas ini biarlah kini serahkan padaku saja."
Teringat akan Thian-lan, kembali Ciok-toanio mengucurkan
air mata lagi. "Ya, memang, bagus kalau begitu," sahurnya
kemudian sambil menyeka air matanya.
Waktu itu memang Jing-cu lagi menguatirkan emas itu
tiada yang menjaga, kini mendengar Thian-sing siap
mengawasinya, keruan ia bergirang.
Dalam pada itu, Ie Tiong, murid Thian-sing telah maju ke
hadapan sang guru, "Suhu," katanya, "Masih ada satu urusan
yang lebih penting!"
"Soal apa, kenapa pakai main teka-teki?" tanya Thian-sing.
"SuhuA" sahut Ie Tiong tertawa, "Sudah sehari penuh
mereka belum bersantap. Sebagai tuan rumah kita hanya
mengajak mengobrol saja, tapi tak memikirkan perut mereka,
bukankah ini soal yang maha penting?"
"Kau hanya pintar berolok-olok saja kenapa tidak
kaukatakan sejak tadi?" sahut Thian-sing tertawa. "Tapi kau
tentu sudah menyediakannya sejak tadi, maka lekaslah
keluarkan santapannya, bila tidak, apa gunanya aku
mempunyai seorang murid?"
Semua orang ikut tertawa karena kelakar guru dan murid
itu. Suasana sedih tadi kini sudah tenggelam oleh suara
tertawa itu. Dan dalam suasana riang gembira itulah Tiok-kun telah
membawakan senampan kue terbuat dari tepung dan daging
kambing panggang asal buruan Ciok-toanio. Dan karena sudah
lapar para jago itu pun makan dengan lahapnya.
Di waktu bersantap, Pho Jing-cu terus mengawasi Kui
Tiong-bing, ia lihat pemuda ini sudah pulih kembali seperti
orang biasa, ia merasa bersyukur. "Kau sungguh hebat, nona,"
katanya pada Wan-lian diam-diam, "Hanya kau yang dapat
menyembuhkan nya."
"Ah, kembali Pepek bergurau lagi," sahut si gadis malumalu.
"Sama sekali aku tidak bergurau," kata Jing-cu berbisik,
"Biarlah nanti kuceritakan padamu."
Terhadap Boh Wan-lian rupanya Ciok-toanio sangat suka,
berulang kali ia telah menyumpitkan potongan daging
kambing. "Lihatlah, sesudah ada Boh-cici, ibu menjadi lupa pada
putrinya sendiri," kata Tiok-kun tertawa manja.
Dan karena itu, semua orang bergelak tertawa.
Habis dahar, sang surya sudah terbenam. Karena semalam
suntuk semua orang tidak tidur, rumah batu itupun kurang
luas untuk menampung orang begitu banyak, maka hanya Boh
Wan-lian yang tidur di dalam rumah bersama keluarga Ciok,
sedang lainnya mengaso di luar.
Namun Jing-cu tidak lantas tidur, bersama Wan-lian mereka
berjalan-jalan di lembah sunyi itu.
Tengah malam, tiba-tiba Tiong-bing terjaga dari tidurnya,
ia lihat sang ayah tidur nyenyak di sampingnya, perasaannya
menjadi bergolak, ia tak bisa pulas lagi. Terkenang olehnya
kisah hidupnya sendiri yang aneh, teringat ayah angkatnya Kui
Thian-lan yang membesarkannya itu. Dan sama sekali tak
terduga kini keluarganya telah bisa berkumpul kembali, la
mengenangkan segala suka duka itu, ia lihat ayahnya masih
tidur nyenyak dan tampaknya sangat harus dikasihani, tapi
bila ingat akan ayah angkatnya, ia merasa orang itu lebih-lebih
harus dikasihani.
Tiba-tiba ia teringat besok pagi-pagi sudah akan berangkat
bersama orang banyak ke tempat Li Lay-hing, pantasnya ia
berziarah dulu ke makam ayah angkat untuk mohon diri. Ia
pernah mendengar cerita Wan-lian bahwa mayat Kui Thian-lan
adalah si gadis dan Pho Jing-cu yang menguburnya, pada batu
nisannya malahan diukir pula nama Thian-lan, hanya letaknya
entah di mana. Begitulah perasaannya bergolak bagai gelombang yang
tnendampar, tanpa pikir lagi ia bangun pelahan-lahan, ia
mengintip ke kamar sebelah, ia lihat ibu dan adik
perempuannya sedang tidur dengan nyenyaknya, hanya Boh
Wan-lian yang tak kelihatan di tempatnya, la terperanjat,
cepat ia melesat keluar rumah, di bawah sinar bintang yang
berkelap-kelip remang-remang ia mencari gadis itu ke seluruh
penjuru lembah gunung itu.
Malam sunyi senyap, dari jauh terdengar suara binatang
buas dan burung malam yang bersahutan, ditambah suara air
terjun yang gemuruh, kesemuanya inilah suasana alam wajar.
Meski Tiong-bing dibesarkan di tanah Kiam-kok ini, tapi
suasana malam demikian tak pernah dialaminya, ia berjalan
sendirian di lembah sunyi itu dengan perasaan gelisah.
Sekonyong-konyong ia merasa pundaknya dipegang orang,
cepat ia melompat kaget.
"Kau mencari siapa?" demikian didengarnya pula suara
bisikan orang di tepi telinganya.
Cepat sekali Tiong-bing membalik tubuh, maka teranglah
orangnya bukan lain daripada Leng Bwe-hong.
"Leng-tayhiap sungguh hebat sekali," puji Kui Tiong-bing
amat kagum. "Aku melihatmu keluar, segera aku menguntit," kata Bwehong.
"Kulihat kau tengok ke kanan dan ke kiri seperti mencari
seorang dengan rasa gelisah hingga kau tidak merasa dikuntit
orang." "Apa kau melihat nona Boh?" tanya Tiong-bing.
"Ya, memang aku menduga kau lagi mencari dia," sahut
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bwe-hong. "Marilah ikut padaku!"
Lalu ia membawa pemuda ini melintasi lereng-lereng bukit,
tiba-tiba ia mendorong dan membisikinya, "Coba
kaudengarkan dengan mendekam di atas tanah."
Mendengarkan suara dengan mendekam di atas tanah bisa
mencapai jarak jauh, maka Tiong-bing menurut, ia
mendengarkan dengan cermat, maka terdengarlah ada dua
orang yang sedang bercakap-cakap.
"Wan-lian, jika kejernihan ingatannya sudah pulih kembali,
bagaimana pendapatmu, apa ia sanggup memikul tugas yang
maha besar ini?" terdengar kata orang tua.
"He, bukankah itu suara Pho-locianpwe?" tanya Tiong-bing
heran pada Leng Bwe-hong.
"Ya, malahan mereka lagi membicarakanmu," sahut Bwehong
tertawa. Dan belum selesai mereka bicara, sekonyong-konyong
terdengar suara tertawa Pho Jing-cu terbahak-bahak. "Tak
perlu lagi kalian mengintip, marilah lekas ke sini!" seru orang
tua itu. Segera Bwe-hong menarik Tiong-bing dan bersama-sama
melayang maju ke tempat orang. "Memang jahe selalu pedas
yang tua," ujar Bwe-hong. Maksudnya tua-tua kelapa, makin
tua makin hebat.
Kiranya Pho Jing-cu dan Boh Wan-lian sedang bercakapcakap
sambil bersandar pada sebuah batu besar. "Memang
aku sudah menduga kalian bakal datang," kata Jing-cu
menyapa. "Ada urusan penting apakah Pho-pepek dan Boh-cici,
kenapa harus dirundingkan pada malam-malam buta begini?"
tanya Tiong-bing.
"Sore tadi aku sudah membicarakan padanya hingga ia tak
bisa tidur nyenyak," kata Jing-cu menuding Wan-lian. "Maka
tengah malam ia membangunkan aku dan mengajak
berunding lagi."
"Soal apakah sebenarnya?" tanya Bwe-hong ikut heran.
"Kalian berada di lembah sunyi ini, tentu saja tidak tahu
perubahan-perubahan hebat yang sudah terjadi di dunia luar
sana," sahut Jing-cu.
"Apakah si keparat Go Sam kui sudah mulai bergerak"
Masakah begitu cepat?" tanya Bwe-hong.
"Ya," sahut Jing-cu. "Sehabis kita menyelamatkan Li
Kongcu, karena kuatir rahasianya bocor, ia telah mempercepat
pemberontakannya."
"Jadi ia tak menghubungi kita lagi?" tanya Bwe-hong pula.
"Lihat, inilah bunyi proklamasinya," kata Jing-cu sambil
menyodorkan secarik kertas.
"Memang aku ingin tahu cara bagaimana ia memakai
alasan," ujar Bwe-hong sambil membaca proklamasi
pemberontakan Go Sam-kui itu.
Ternyata bunyi maklumat itu lebih dulu menguraikan
kejadian-kejadian yang lampau. Li Cu-sing dinamakan sebagai
penjahat, katanya tiada seorang pun yang berani melawan
Li Cu-sing waktu pahlawan ini membobol kota-raja, ia sendiri
tatkala itu berada di Kwan-gwa, senjata kurang dan tentara
lemah serta terpaksa meminjam kekuatan asing. Tak terduga,
demikian katanya pasukan asing itu ingkar janji, sekali masuk
tak mau keluar lagi, setelah kota-raja diduduki terus dikangkangi
selamanya sembari merampok habis kekayaan negeri
kita serta merombak pakaian bangsa. Dan kemudian ia baru
menyesal, bahwa harimau kena diusirnya siapa tahu srigala
masuk dari pintu belakang hingga membuat kesalahan besar,
ibaratkan membawa kayu untuk menolong kebakaran yang tak
bisa ditarik kembali lagi. Akhirnya ia menyatakan sebab
kesalahan-kesalahan itu, kini ia angkat senjata lagi memberontak
hendak mengusir musuh.
"Sungguh tak tahu malu, seenaknya saja ia bicara, malahan
ia hendak mencuci bersih segala dosanya sendiri," kata Bwehong
gemas sambil melemparkan surat maklumat itu.
"Ya, makanya aku hendak menyuruh Tiong-bing dan Wanlian
melakukan sesuatu tugas besar," kata Jing-cu kemu-dian.
"Tapi cara bagaimanakah Li Lay-hing melawannya?" tanya
Bwe-hong pula. "Sebenarnya kalau ingat Go Sam-kui adalah musuh kita
yang terbesar, tidak nanti kita bisa antapi dia," kata Jing-cu.
"Tetapi pergerakannya sekali ini betapapun juga melemahkan
bangsa Boan, maka Li Jiak-sim bilang untuk sementara tidak
menguntungkan bila kita memusuhi dia. Garis politik menurut
gagasan Li-kongcu ialah : Gunakan kesempatan ini memperluas
front perlawanan kita terhadap pemerintah Boan-jing dan
bergerak sendiri-sendiri tak serang-menyerang dengan Go
Sam-kui. Di samping pertahanan daerah kita di Su-cwan dan
Hunlam menurut keadaan sekarang ini, berbareng kita
kerahkan seluruh tenaga rakyat bersenjata untuk
menggempur musuh."
"Pandangan jauh Li-kongcu benar-benar tidak bisa dicapai
orang lain," kata Bwe-hong memuji. "Dan apakah Li-ciangkun
menurut kata-kata adiknya ini?"
"Li-ciangkun telah menyerahkan kekuasaan dengan mandat
penuh pada adiknya, maka Li-kongcu bisa membuat keputusan
sesukanya," sahut Jing-cu.
"Kalau begitu kita siap untuk membantunya," ujar Bwehong.
"Tapi Tiong-bing Hiante meski gagah perkasa, namun ia
baru saja muncul dan jarang dikenal orang Kangouw, entah
Li-ciangkun akan mempercayakan tugas apa adanya?"
"Justru ia tidak dikenal di kalangan Kangouw, makanya ia
diberi tugas ini," kata Jing-cu tertawa. Dan sejenak kemudian
ia menyambung lagi dengan bertanya pada Boh Wan-lian,
"Masihkah kau ingat pada le Lan-cu, si gadis berkedok itu
serta Thio-kongcu?"
Bwe-hong tergetar hatinya mendengar nama Ie Lan-cu
disebut. "Ada apakah dengan Ie Lan-cu?" tanyanya cepat.
"Bukankah kau masih ingat Thio Hua-ciau tertawan musuh
di Ngo-tai-san tempo hari dan secara sukarela Ie Lan-cu
mengajukan diri pergi ke kota-raja dan berusaha
menolongnya?" kata Jing-cu. "Siapa tahu, sejak gadis itu
berangkat hingga kini bagai batu tenggelam di lautan tanpa
kabar sedikitpun. Tapi sebaliknya mengenai Thio-kongcu
malah sudah ada kabarnya:"
"Ia ada dimana?" tanya Wan-lian. Seperti diketahui di Ngotaisan dulu ia pernah ditumbuk Thio Hua-ciau, maka terhadap
pemuda itu cukup dalam kesannya.
"Menurut kabar, katanya ia malah tinggal di dalam istana
perdana menteri Nilan," tutur Jing-cu.
"Ditahan dimana?" tanya Wan-lian pula.
"Bukan," sahut Jing-cu. "Menurut kabar yang kita terima
dari seorang pembesar taklukan, katanya Nilan-kongcu
mempunyai seorang kacung yang wajahnya mirip sekali
dengan Thio-kongcu. Pembesar ini dahulu adalah teman
sejawat ayah Hua-ciau, Thio Kong-gian, maka rupa orang itu
ia cukup hafal."
"Dengan kepandaian silat Thio-kongcu yang tidak lemah,
jika bukan ditahan, mengapa tidak mau lari?" ujar Boh Wanlian
heran. "Itulah tiada orang tahu," kata Jing-cu. "Karena itu juga
kau dan Tiong-bing diminta pergi ke ibu-kota buat menyelidiki
mereka dengan pengikut-pengikut Thian-te-hwe serta bekas
pengikut Loh-ong yang ada di sana untuk menolongnya."
"Apakah itu usul Lauw Yu-hong?" tanya Bwe-hong.
Pho Jing-cu manggut membenarkan. "Li-ciangkun pun
menyetujui pendapatnya," katanya. "Di daerah selatan, tidak
sedikit bekas pengikut Loh-ong, sedang Thio Hong-gian adalah
pahlawan dinasti yang lalu, ialah yang mendukung Loh-ong
naik takhta Kini Yu-hong tak bisa ke sana, maka ia hanya
berikhtiar menolongnya dengan bantuan bekas bawahan
ayahnya. Dan sesudah kami berpikir, pilihan jatuh pada kamu
berdua yang paling cocok. Tiong-bing memiliki ilmu silat
tinggi, dan tiada orang yang mengenalnya, untuk
menyelundup ke ibu-kota, kiranya bukan soal sulit, sedang
Wan-lian sudah sekian lamanya ikut aku berkelana, urusan di
kalangan Kangouw sebagian besar ia sudah cukup paham,
boleh menjadi pembantunya."
Mendengar penuturan itu, Wan-lian membisu dan berpikir.
Lewat sebentar kemudian barulah ia bertanya pada Tiongbing.
"Dan bagaimana pendapatmu" Katakanlah!" suaranya
lembut dan muka bersemu merah.
Tiong-bing memandang si gadis sekejap. Habis itu baru ia
berkata, "Aku sedang berpikir"
"Jangan melamun, apa yang sedang kaupikirkan?" tanya
Wan-lian pura-pura mengomel.
"Aku pikir, mengadakan perjalanan jauh bersama Boh-cici
entah leluasa atau tidak?" sahut Tiong-bing.
Leng Bwe-hong dan Boh Wan-lian tertawa mendengar kata
orang, sedang paras Wan-lian berubah merah malu.
Jing-cu mendehem, kemudian ia berlaku sungguh-sungguh
dan berkata, "Memang betul, aku pun sedang berpikir"
Dan belum habis perkataannya, tiba-tiba dari atas pohon di
samping puncak itu telah melayang turun pelahan sesosok
bayangan orang.
"Kalian tak perlu berpikir lagi, biar aku yang memutuskan,"
kata orang itu dengan tertawa.
Ternyata yang datang ini adalah Ciok-toanio. Waktu Tiongbing
bangun tadi, ia pun sudah mendusin, dan mengandalkan
tempat yang sudah hafal dan Ginkangnya yang tinggi, dari
jauh ia menguntit mereka, Pho Jing-cu dan kawan-kawan
sedang mencurahkan perhatian membicarakan soal Go Samkui
hingga tidak mengetahui kedatangannya.
"Pho-losiansing," kata Ciok-toanio. "Kau dengan Boh-kohnio
bagai ayah dan anak, urusannya tentu kau bisa
memutuskannya. Menurutku, biarlah mereka bertunangan
dulu, dengan begitu dalam perjalanan mereka lebih leluasa."
"Soal ini harus tanya pikiran mereka," kata Jing-cu tertawa.
"Nah, berkatalah terus terang, kalian suka atau tidak?"
Kedua muda-mudi ini menundukkan kepala semua, tentu
saja mereka tak berani berkata.
"Sudahlah, jangan menggoda mereka, sang paman kenapa
begitu tak tahu diri," kata Bwe-hong tertawa lebar. "Mereka
masih anak-anak, kauminta berkata terus terang berhadapan,
sudah tentu mereka tak punya kulit muka begitu tebal!"
Habis berkata, sebelah tangannya menarik Kui Tiong-bing
dan tangan yang lain menarik Wan-lian, ia merapatkan
mereka ke sampingnya. "Yang menetapkan pertunangan ini
ialah Pho-pepek dan Ciok-toanio, sedang sebagai
perantaranya biarlah aku yang menjabatnya!" katanya lagi.
Lalu ia membisiki Tiong-bing, "Kau mempunyai barang apa
yang baik, lekas keluarkan untuk nona Boh!"
Tiong-bing masih bingung, tanpa pikir lagi ia mengambil
tiga buah Kim-goan atau anting-anting emas. Ia sodorkan
senjata rahasianya yang tunggal ini. "Kau mewakilkan aku
memberikan padanya, aku tak memiliki barang baik,
melainkan senjata rahasia yang ibu wariskan padaku ini,"
katanya kemudian malu-malu.
"Bagus," seru Leng Bwe-hong. "Barang pesalin ini baik
sekali, nona Wan-lian terimalah!"
Lalu ia menyerahkan ketiga anting-anting itu pada Wanlian,
dan dengan sendirinya diterima si gadis dengan baik.
"Dan kau juga harus membalas orang semacam barang!"
ujar Pho Jing-cu.
Wan-lian mengeluarkan seperangkat lukisan, ia berikan
pada Pho Jing-cu untuk kemudian membisu.
Pho Jing-cu coba membuka lukisan itu, ia lihat gambar itu
melukiskan pemandangan puncak Kiam-kok dengan dua
pohon cemara tua menutupi sepetak rumah gubuk. Itu adalah
lukisan yang sengaja Wan-lian gambar untuk menyadarkan
Kui Tiong-bing. Lukisan ini bagi Tiong-bing dapat dikata bukan
barang biasa, maka sebelum Jing-cu menyerahkan padanya, ia
sudah mengangsurkan tangan mengambilnya.
"Pertukaran barang pesalin kalian berdua cukup berarti,
seterusnya Kui-hiantit harus mengajarkan Boh-kohnio cara
menggunakan senjata rahasia Kim-goan untuk menotok, dan
Boh-kohnio juga harus mengajarkan dia ilmu sastra dan
melukis," kata Jing-cu tertawa gembira.
Walaupun Tiong-bing dan Wan-lian merasa malu-malu
namun dalam hati mereka terasa senang tak terhingga, jiwa
mereka yang selama ini terasa kosong itu kini telah terisi dan
hidup subur. Masing-masing merasa sudah mendapat
sandaran, mereka saling pandang, lembah sunyi kini sudah
berubah menjadi surga mereka.
Esok paginya, setelah Ciok Thian-sing mengetahui hal itu,
ia pun sangat girang, ia sendiri yang mengumumkan
pertunangan mereka, keruan para pahlawan ikut bergirang
dan menyampaikan selamat.
Kemudian Pho Jing-cu dan Ciok-toanio membawa semua
orang naik ke Kiam-kok berziarah ke makam Kui Thian-lan.
Han Hing dan kawan-kawan mengucapkan janji dan menyesali
perbuatan mereka di hadapan makam itu, mereka berjanji
selama hidup akan meneruskan perjuangan kawan yang
sudah di alam baka itu.
Habis berziarah Pho Jing-cu dan Leng Bwe-hong diiringi
para jagoan menggabungkan diri ke pasukan Li Lay-hing. Ciok
Thian-sing suami-isteri dan muridnya, Ie Tiong, putrinya Tiokkun
dan Thio Jing-goan sementara tinggal di pegunungan itu
untuk menjaga emas pendaman itu sampai diangkut pergi.
Sedang Kui Tiong-bing dan Boh Wan-lian sesudah keluar dari
Kiam-kok segera menuju ke kota-raja.
Waktu itu pasukan Go Sam-kui telah bergerak dari Hun-lam
ke Ouwpak, terpaksa mereka mengambil jalan memutar
melalui Kamsiok ke Siamsay dan memasuki Holam akhirnya
menuju Hopak. Dalam perjalanan Wan-lian menyaru pula sebagai jejaka,
dan saling sebut sebagai kakak dan adik dengan Kui Tiongbing.
Perjalanan yang puluhan ribu li jauhnya itu bagi Tiong-bing
yang baru pulih kembali kejernihan pikirannya, segala sesuatu
dirasakan serba baru dan segar, kerap kali secara ketololan ia
bertanya ini itu pada Boh Wan-lian, dan si gadis dengan sabar
memberi penerangan mirip kakak perempuan saja.
Perlawatan jauh telah mereka lewatkan sebagian demi
sebagian dalam suasana riang gembira- dan rasa kasih
sayang. Walaupun Tiong-bing tidak terbiasa dengan suka duka
di kalangan Kangouw tetapi ada Boh Wan-lian yang sabar dan
cermat mendampinginya, dengan aman mereka berjalan terus
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tanpa sesuatu halangan.
Sesudah melawat empat bulan lebih baru mereka
memasuki H opak. tatkala itu sudah permulaan musim semi
tahun berikutnya.
"Kira-kira belasan hari lagi, kita sudah bisa sampai di
ibukota," kata Wan-lian menarik napas lega.
"Menurut cerita, di daerah yang kita lalui ini banyak
terdapat orang-orang kosen dan manusia lihai, tetapi
mengapa sepanjang jalan seorang tokoh saja tidak kita
ketemukan?" kata Tiong-bing.
"Omitohud!" sahut Wan-lian sambil jari telunjuknya
menutupi pipi si pemuda. "Untuk keperluan apa kita datang
kemari" Mengapa kau malahan ingin bertemu tokoh lihai dari
Kangouw! Aku justru berharap bisa tiba di ibu-kota dengan
selamat, hanya tinggal bagian perjalanan ini, sekali-kali jangan
menerbitkan hal-hal yang tak diinginkan!"
"Coba, sedikit saja kau sudah memberi ceramah yang
panjang lebar! Aku toh bukan anak kecil, apa yang kautakuti?"
ujar Tiong-bing tertawa.
Begitulah sambil bercakap-cakap dan berkelakar sepanjang
jalan mereka melanjutkan perjalanan.
Suatu hari, sampailah mereka di Ki-lok, suatu kota
kabupaten yang cukup ramai. Baru mereka memasuki kota,
segera terlihat ada enam kereta keledai besar sedang berjalan
memenuhi jalanan kota, kedua samping jendela kereta
tertutup tirai kain, kusir dan pengawal kereta itu kesemuanya
gagah tegap. "Asal-usul orang ini tentu istimewa, lebih baik kita putar
jalan saja," kata Wan-lian setelah mengamati sejenak orangorang
itu. la sudah pernah dalang di Ki-lok ikut Pho Jing-cu, jalanan
kota sudah hafal, ia membawa kawannya memotong jalan dan
mendapatkan sebuah hotel untuk menginap.
Tak terduga, baru saja mereka hendak mengaso, terdengar
riuh ramai di luar hotel suara orang bercampur kelenengan
kuda, enam kereta besar itu ternyata juga menginap di hotel
ini. Tertarik oleh rasa ingin tahu, Tiong-bing mencoba keluar, ia
lihat enam kereta itu didorong masuk pekarangan dalam.
Waktu pintu kereta dibuka, dari tiap kereta tampak turun
enam orang wanita cantik, dan seluruhnya berjumlah tiga
puluh enam orang. Tiong-bing terkesima melihat wanita ayu
sebanyak itu. Tiba-tiba Wan-lian mencubit pelahan punggungnya dan
menyuruhnya masuk kamar. Beberapa lelaki tadi dengan sinar
mata tajam telah memandang mereka juga.
Sesudah berada dalam kamar, berulang-ulang Wan-lian
sendiri pun bilang aneh. Ketiga puluh enam wanita itu semua
memiliki paras muka yang tidak biasa. Wan-lian dibesarkan di
kota Soh-ciu yang terkenal kota indah permai dengan
wanitanya yang cantik molek, namun ia pun tak pernah
nampak begitu banyak wanita elok rupawan.
"Jangan-jangan bolehnya menculik," ujar Tiong-bing curiga.
"Tak mungkin," kata Wan-lian. "Barang culikan tak mungkin
berani melalui kota ramai seenaknya saja!"
"Apa bukan famili keluarga besar yang minta orang
mengantar ke suatu tempat?" kata Tiong-bing pula.
"Memang bisa jadi keluarga besar dan beberapa puluh
gadis bercampur di suatu tempat," kata Wan-lian gelenggeleng
kepala, "Tetapi tak mungkin juga tiba-tiba gadisnya
berumur muda dan berparas begitu cantik."
Sambil berkata, ia pun tertawa, ia towel pipi Kui Tiong-bing
dengan jari telunjuknya sambil berkata menggoda.
"Pantas, sampai tadi kau terkesima dan lupa daratan!"
"Jangan kau sembarangan omong, mereka tiga puluh enam
orang yang mana dapat menandingi kecantikanmu," Tiongbing
balas menggoda.
"Ha, kiranya kau juga bisa mencari muka?" omel Wan-lian.
Kemudian mereka bercakap-cakap lagi, terka sini dan tebak
sana sekenanya.
"Apa bukan gadis-gadis pilihan untuk Kaisar?" kata Tiongbing
pula. "Kau betul-betul masih hijau," sahut Wan-lian tersenyum.
"Jika putri-putri pilihan Kaisar, tiap daerah yang dilalui tentu
disambut ramai oleh pembesar negeri setempat, bagaimana
bisa menginap di hotel ini" Apakah kau tak dapat
membayangkan betapa keagungan Kaisar?"
"He, apa kau pernah melihat Kaisar, sehingga begitu
sungguh-sungguh perkiraanmu?" tanya Tiong-bing heran.
Karena itu tiba-tiba paras Wan-lian berubah muram. "Ya,
justru aku pernah melihat," katanya kemudian dengan suara
rendah. Nampak wajah si gadis yang tiba-tiba berubah itu. Tiongbing
menjadi gugup. "Sudahlah, peduli apa dengan Kaisar
atau bukan, kita bicara sesuka kita saja," katanya menghibur.
"Pengalaman hidupmu sudah cukup pahit, tetapi aku
terlebih pahit lagi," kata Wan-lian pula menghela napas.
"Sejelek-jeleknya kau masih punya ayah-bunda, tetapi aku,
aku hanya mempunyai seorang terdekat ialah Pho-pepek
saja." "Bukankah masih ada aku lagi!" kata Tiong-bing cepat
sambil menuding dirinya sendiri.
Karena banyolan itu Wan-lian tertawa manis. "Kau jangan
merepek," katanya sambil mendorong si pemuda. "Aku bilang
pernah bertemu Kaisar, itulah kejadian sungguh, biarlah
belakang hari kuceritakan padamu. Kini aku minta kau lekas
tidur, besok pagi-pagi segera kita lanjutkan perjalanan."
"Mengapa?" tanya Tiong-bing.
"Kita ada tugas yang maha besar, jangan mengurusi soal
tetek-bengek," ujar Wan-lian. "Rombongan orang ini agaknya
mencurigakan, kita jangan berkumpul dengan mereka. Terus
terang saja berada satu hotel bersama mereka, aku pun
merasa kuatir."
"Takut apa?" kata Tiong-bing sambil menepuk pedang yang
menggantung di pinggangnya.
"Sudahlah, lekas tidur, aku tidak hendak berdekatan lagi
denganmu," kata Wan-lian sambil mendorongnya rebah ke
lantai, sedang ia sendiri pun lantas berbaring.
Mereka melawat sejauh puluhan li, tiap kali menginap
selalu Tiong-bing tidur di lantai, dan membiarkan Wan-lian
mengangkangi pembaringan sendirian.
Tiong-bing anak penurut juga, betul saja ia lantas tidur.
Malam itu tidak terjadi apa-apa, besoknya pagi-pagi betul
Wan-lian sudah membangunkan Tiong-bing dan melanjutkan
perjalanan lagi.
Sesudah berjalan tiga puluh li, cuaca sudah terang
benderang, di depan mereka tiba-tiba tampak arus air
memutih, ternyata mereka telah sampai pada suatu muara
sungai yang berada di samping jalan besar, sedang sebelah
jalan yang lain adalah hutan belukar dan bukit yang tinggi.
"Keadaan tempat ini tidak jelek," ujar Tiong-bing.
"Eh, kiranya kita sudah sampai di Soh-cun," kata Wan-lian.
"Tempat berbahaya ini adalah perbatasan antara Hopak,
Holam dan Soasay. Pernah kudengar cerita Pho-pepek, bahwa
dulu ada kawanan berandal yang bercokol di sini merangkap
'pekerjaan' darat dan sungai, yang mengepalai ada tiga orang,
semua termasuk berandal ternama, hanya karena tingkahlakunya tidak baik, tamak dan suka paras elok, maka sangat
dipandang rendah oleh Lok-lim-enghiong, akhirnya kena
digerebek pasukan pemerintah, dan karena tiada yang sudi
membantunya, kabarnya lantas buron, entah kabar ini betul
atau tidak."
"Seumpama ada berandal, tak nanti kita takut!" ujar Tiongbing.
Tengah mereka bercakap, sekonyong-konyong dari
belakang suara kereta dan kelenengan kuda riuh ramai
mendatangi, waktu mereka berpaling, ternyata mereka telah
disusul oleh enam kereta besar, rombongan pengawal kereta
itupun segera lewat di samping mereka.
Boh Wan-lian punya pandangan tajam, dalam sekelebatan
ia lihat pada kereta pertama berkibar satu bendera kecil
tersulam dua huruf "Bu-wi" yang melambai-lambai tertiup
angin. Setelah kereta-kereta itu lewat, seorang pengawal paling
belakang kira-kira berumur empat puluhan tahun, dengan
tangan mencekal huncwe (pipa tembakau panjang) tengah
menge-bulkan asap tembakaunya, ia melirik Boh Wan-lian dan
Kui Tiong-bing berdua sekejap, agaknya seperti curiga dan
kaget, tetapi ia tidak berhenti, ia keprak kudanya terus kabur
ke depan. Tak lama sesudah kereta-kereta itu lewat, barulah Wan-lian
menceritakan pada Kui Tiong-bing mengenai pandangannya.
"Kau selalu berkata ingin bertemu barang satu dua orang
tokoh kalangan Kangouw, nah, itulah tadi adalah seorang
tokoh," katanya sambil tertawa. "Bu-wi-piau-kiok adalah
sebuah Piau-kiok (perusahaan pelindung) ternama,
pemimpinnya bernama Beng Bu-wi, usianya lebih tua dari Phopepek,
ia mahir me-notok dengan senjata huncwe yang
tunggal, sewaktu aku masih berumur belasan tahun, bersama
Pho-pepek pernah aku bertemu dengannya di Lamkhia.
Kabarnya ilmu silatnya yang lihai dan tunggal itu hanya
diwariskan pada putranya, Beng Kian dan orang tadi mungkin
adalah putranya itu."
"Mengapa kemarin tidak nampak bendera pertanda, juga
tidak kelihatan lelaki pengisap huncwe itu" " kata Tiong-bing
heran. "Kemarin mereka menginap di dalam kota, tentu tidak perlu
dengan bendera pertandanya," Boh Wan-lian menerangkan.
"Agaknya kau belum tahu, semua Piausu ternama mempunyai
suatu kebiasaan aneh. Misalnya Beng Bu-wi, bila ia tahu pada
suatu perjalanan berbahaya ada penjahat yang sedang
menunggu, segera ia mengisap keras huncwenya dan
mengepulkan bermacam-macam bundaran asap tembakau
yang aneh sebagai tanda bahwa ia sendirilah yang mengawal,
padahal biasanya ia malah tidak banyak menyiapkan
tembakau. Orang tadi agaknya sudah menirukan semua
caranya. Justru aku melihat huncwenya itu baru teringat akan
asal-usulnya, kemarin hakikatnya tidak pernah memperhatikan
siapakah dia adanya."
"Kau telah salah lihat," ujar Tiong-bing berlainan
pandangan. "Belum mengherankan kalau hanya bisa menotok.
Menurut penglihatanku, dua orang laki-laki kurus kecil di
samping kereta tadi, ilmu silatnya akan jauh lebih tinggi
daripada orang tadi."
Wan-lian mencoba mengamati dari jauh menurut petunjuk
Tiong-bing, tapi ia tidak nampak sesuatu yang luar biasa.
"Aku yang melatih Tay-lik-eng-jiau-kang, tentu lebih tahu
seluk-beluknya," kata Tiong-bing pula. "Coba lihat, dua orang
itu kurus kecil, tetapi kuda yang mereka tunggangi begitu
tinggi besar, dan kuda itu agaknya seperti mengangkut
muatan yang berat. Tadi waktu mereka lewat di sampingku,
aku mendengar tapak kuda itu cukup antap, segera aku tahu
kedua orang itu memiliki ilmu kaum Gwakeh sampai satu
tingkatan tertentu."
"Mengapa kauhilang sampai suatu tingkatan tertentu?"
tanya Wan-lian heran.
"Ya, siapa saja yang menyaksikan Eng-jiau-kang dan Kimkongjiu atau lainnya yang harus melatih luar dalam, tiap saat
dan tiap kali duduk atau berdiri, seluruh tubuhnya seakanakan
penuh tenaga, tapi bila belum bisa mengatasi dirinya.
Itulah baru mencapai ilmu Gwakang atau ilmu luar, tetapi
Lwekangnya masih jauh kurang. Jika ilmu Lwekangnya juga
sudah sempurna, tenaga tubuhnya itu dapat dikekang
menurut kemampuannya, bisa timbul dan dapat tersembunyi,
sedikitpun tidak kentara. Kedua orang tadi Gwakangnya sudah
cukup tetapi Lwekangnya masih belum mahir," demikianlah
Tiong-bing menerangkan.
"Aku tak dapat melihat mereka mahir Gwakang, bukankah
jauh lebih lemah lagi," ujar Wan-lian tertawa.
"Tidak," kata Tiong-bing sungguh-sungguh. "Menurut
pendapatku, kekuatanmu seimbang dengan kedua orang tadi,
tetapi lebih tinggi daripada Beng Kian. Bu-kek-kiam yang kaupelajari
adalah ilmu pedang kaum Lwekeh yang tinggi, kenapa
kau menilai rendah diri sendiri."
Waktu Wan-lian memandang lagi, kereta itu ternyata sudah
jauh setengah li meninggalkan mereka, tetapi laki-laki yang
mengisap pipa, saban-saban masih menengok ke belakang.
"Orang ini mencurigai kita," kata Wan-lian tertawa. "Cuma
aneh, Piausu kenamaan dari Lamkhia ini, mengapa bisa
mengawal tiga puluh enam wanita itu, sungguh inilah sangat
aneh. Apakah wanita-wanita ini betul sanak famili suatu
keluarga besar dan minta orang mengawal" Tapi kelihatannya
tidak benar!"
Selagi mereka berbicara, mendadak kereta-kereta di depan
itu berhenti. Menyusul di depan sana debu mengepul tinggi,
dua penunggang kuda melarikan kudanya dengan cepat dari
depan, mereka menyerempet melewati kereta, sesudah
hampir dekat Boh Wan-lian dan Kui Tiong-bing berdua,
barulah mereka menarik kuda kemudian berputar kembali ke
jurusan mereka datang tadi.
"Awas, telah datang apa yang kita omongkan tadi!" kata
Wan-lian menjawil Tiong-bing.
Tetapi pemuda ini tidak berhenti, ia terus maju ke depan.
Mendadak dari lereng bukit samping jalan terdengar
menyambar beberapa anak panah bersuara seram, menyusul
suara panah itu, dari hutan lebat muncul serombongan orang
yang berjumlah ratusan, dalam sekejap saja mereka
menghadang memenuhi jalanan besar, mereka mencegat
rombongan kereta tadi.
Beng Kian, Piausu dari Bu-wi-piau-kiok sebenarnya
mengawal di belakang, kinipun cepat mengeprak kuda maju
ke depan, berulang-ulang ia mengebulkan asap tembakau dari
pipanya dengan keras, semula asap itu bergulung bundarbundar,
kemudian ia menyembur pula asapnya dengan keras
hingga mirip satu panah menembus di antara bundaran asap
yang duluan. Bundaran asap itu lambat-laun buyar dan berupa
kabut. Cara menyemburkan asap pipa tembakau ini adalah tanda
pengenal keluarga Beng, asap bundar-bundar itu menandakan
ingin persahabatan, sedang asap yang lurus itu menunjukkan
kekuatannya. Maksudnya : "Kawan, berilah bantuan, kalau
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak, bila memakai kekerasan, sehingga keduanya sama-sama
rugi, itulah dapat merusak setia kawan di kalangan kangouw."
Sementara itu dari pihak gerombolan itu telah maju ke
tengah seorang laki-laki setengah umur, lengan bajunya lebar
melambai, sikapnya ganteng, rupanya cakap, mirip seorang
wanita, ia mengeluarkan sebuah kipas dan mengibaskan, asap
tembakau yang disemburkan Beng Kian itu segera buyar
lenyap kena kibasan kipasnya itu.
"Eh, kiranya tuan muda sendiri dari Bu-wi-piau-kiok yang
mengawal," kata orang itu dengan suara banci.
"Aku pun mengira siapa, tak tahunya adalah Hek-cecu yang
ada di sini," balas Beng-kian. "Karena kita kenalan lama harap
maafkan kekurangan adat kami, biarlah kemudian hari tentu
akan kuhaturkan kartu namaku!"
Habis berkata, berulang-ulang ia menyemburkan asap
tembakaunya lagi, ia menanti jawaban orang.
Selagi mereka berbicara, Wan-lian dan Tiong-bing sudah
datang dekat rombongan kereta ini.
"Ternyata betul, tiga benggolan itu telah kembali bercokol
ke singgasananya yang lama," ujar Wan-lian.
"Siapakah orang yang lenggak-lenggok seperti banci ini?"
tanya Tiong-bing.
"Menurut cerita Pho-pepek tentunya orang ini adalah
pemimpinnya, itu manusia terkutuk dari Kangouw belasan
tahun yang lalu, Hek Hui-hong namanya," Wan-lian
menerangkan. Dalam pada itu terlihat Hek Hui-hong dengan sikap sopan
mengangkat kipasnya mengibas pula berulang-ulang.
"Siau-piauthau tak perlu berlagak pakai menyemburkan
asap tembakau," demikian ia berkata dengan tertawa dingin.
"Baiknya kita berterus terang saja, kau diberi muka, itulah
gampang, tapi kau harus juga memberi muka pada kami."
Mula-mula waktu Beng Kian menerima pekerjaan mengawal
ini, melihat barang yang harus dikawalnya ternyata adalah
gadis-gadis muda jelita yang berjumlah tiga puluh enam orang
itu, ia pun merasa sangat heran, tetapi mengandalkan nama
ayahnya yang tersohor, ia menancapkan bendera pertanda
lantas mengambil resiko besar itu, ia mengawal dari Sohciu
hingga ke tempat ini, sepanjang jalan meski beberapa kali
menemukan kawanan begal, tapi cukup ia menyemburkan
asap tembakaunya yang bundar itu sudah menakutkan pihak
lawan. Tak ia duga begitu menginjak wilayah Hopak, segera ia
kebentur tiga lawan keras. Selagi ia ragu-ragu dan kuatir,
mendengar kata Hek Hui-hong tadi sepertinya masih bisa
dirunding, ia lantas bertanya, "Hek-cecu ada pesan apa, asal
aku Beng Kian bisa melakukan pasti akan menurut!"
"Baik, kami tidak hendak merampas barang kawalanmu,
yang kami kehendaki hanya sedikit barang yang tak berarti!"
kata Hek Hui-hong pula tertawa tawa aneh sambil menuding
kereta itu dengan kipasnya.
Mendengar Hek Hui-hong tidak hendak merampas barang
kawalannya, Beng Kian menjadi girang sampai perkataan Hek
Hui-hong yang terakhir tidak ia perhatikan lagi. "Terima kasih
Cecu suka memberi jalan," katanya cepat sambil memberi
hormat. Akan tetapi Hek Hui-hong lantas menjengek. "Benda kuning
dan putih di atas keretamu sedikitpun aku tidak mau, tetapi
ketiga puluh enam wanita itu harus kautinggalkan, kurang
satu saja tak boleh!" katanya kemudian dengan suara tajam.
Baru kini Beng Kian jelas maksud orang, ia coba menahan
amarahnya. "Hek-cecu, apa maksudmu itu?" tanyanya sambil
menggerakkan huncwenya.
"Selamanya Popiau (pengawal) hanya mengawal harta
benda, tapi belum pernah orang mengawal manusia," kata
Hek Hui-hong pula dengan dingin. "Aku tidak menghendaki
barangmu, aku hanya ingin manusianya, bagaimana, apa ini
bisa dianggap merampas piau (barang kawalan)?"
Karena perkataan orang itu, Beng Kian memuncak
gusarnya. "Hm, pantas kau dikutuk kalangan Kangouw
sebagai sampah dan siluman dari dunia persilatan," ia
memaki. "Kau hendak coba-coba bertingkah di hadapan
bendera pertanda Bu-wi-piau-kiok, itulah tidak boleh jadi!"
Hek Hui-hong mengebas kipasnya lagi. "Sekalipun bapakmu
yang muncul sendiri harus juga meninggalkan apa yang
kuinginkan ini," katanya tertawa. "Matamu hendaklah terbuka
sedikit, dengan kipas bajaku ini, mengambil ketiga puluh enam
perempuan ini masih belum berlebihan."
Beng Kian melirik kipas orang, ia lihat kipas itu hitam
mengkilap. "Eh, kiranya kau juga anggota komplotan 'Tiatsanpang', itulah lebih bagus lagi," ejeknya kemudian. "Dan
dengan huncweku ini juga aku menempur kipas bajamu itu."
'Tiat-san-pang' atau komplotan kipas baja, adalah suatu
perkumpulan rahasia di daerah selatan sungai Tiangkang.
Pang-cu atau ketua komplotan itu bernama Siang Hun-ting
memiliki ilmu silat yang tinggi, tindakannya kejam tak
pandang bulu, harta benda apa saja yang dipergokinya pasti
dirampas. Karena Hek Hui-hong sudah kapiran tidak ada tempat berteduh
sebab telah digerebek pasukan pemerintah, maka ia
bernaung di bawah Siang Hun-ting. Semula ia tidak hendak
diterima, tapi entah mengapa kemudian Hek Hui-hong
diterima juga sebagai anggota. Dan karena mendapat
sandaran Tiat-san-pang, barulah Hek Hui-hong bisa kembali
bercokol di tempatnya semula.
Meski Beng Kian sudah empat puluhan tahun berkelana di
dunia Kangouw, tetapi selamanya ia hanya mengandalkan
pengaruh ayahnya yang tersohor, sejak ia bekerja menjadi
Popiau (pengawal) belum pernah ia bergebrak dengan lawan
tangguh dan menggunakan senjata tajam secara sungguhan,
ilmu meno-toknya dengan huncwe atau pipa tembakau itu
memang sangat lihai dan ajaran tunggal, karena itu juga
lama-lama ia pun mengira sudah bisa menjagoi. Tapi hari ini ia
terbentur tiga gembong begal itu, meski agak bimbang juga,
tetapi karena terpaksa, ia pun merasa terhina, huncwenya
segera bergerak dan ia menubruk maju.
Hek Hui-hong pelahan berkelit, ia tidak memapaki tubrukan
orang. "Eh, kau hendak bergebrak denganku" Itulah masih
belum cakap," katanya tertawa. "Sahte, tangkap dia!"
Segera dari belakangnya maju seorang dengan tangan
kanan memegang golok dan tangan kiri perisai, terus
menghadang di depan Beng Kian.
"Biar kubelajar kenal ilmu totokan dari keluarga Beng!" kata
orang itu yang bukan lain adalah iblis ketiga bernama Liu Taihiong.
Beng Kian sudah gusar, tidak banyak omong lagi, pipa
tembakaunya segera menyodok dada lawan. Liu Tai-hiong
mengangkat perisainya untuk menangkis, maka terdengarlah
suara nyaring huncwe memukul tameng sehingga tembakau
yang belum habis terbakar muntah berhamburan, lelatu api
tembakau itu meletik balik. Dalam pada itu, golok Liu Taihiong
tidak tinggal diam, di bawah lindungan tameng, segera
ia membabat pergelangan tangan Beng Kian.
Namun Beng Kian bukan jago yang lemah, huncwenya
menangkis miring hingga golok lawan terpental ke samping,
berbareng ia membentak dan melangkah pergi, segera pula
Huncwenya memukul ke punggung Liu Tai-hiong di tempat
'Hun-bun-hiat', lekas Liu Tai-hiong menangkis, kembali
huncwe menghantam di atas tameng, segera pula goloknya
menyambar ke pinggang kawan, cepat Beng Kian melompat
pergi menghindarkan serangan berbahaya itu.
Dalam pada itu, Kui Tiong-bing dan Boh Wan-lian tengah
menonton pertempuran seru ini, dilihatnya Beng Kian
bertempur laksana banteng ngamuk, huncwenya menotok,
menghantam dan menyodok, tetapi tetap saja tak bisa
mengenai musuh. Sebaliknya Liu Tai-hiong menggunakan
tameng dan goloknya untuk menyerang sambil menjaga diri.
Lewat tak lama, lambat-laun Beng Kian mulai terdesak di
bawah angin. Sebenarnya kalau soal ilmu silat dan tenaga, ia
tidak di bawah Liu Tai-hiong, tetapi yang belakangan ini
adalah seorang begal besar yang berpengalaman,
dibandingkan Beng Kian tentunya berbeda pula.
Sampai suatu saat, tameng Liu Tai-hiong pura-pura
bergerak, tubuhnya menunduk dan goloknya menyapu ke
bawah dengan tiba-tiba. Cepat Beng Kian mundur, huncwenya
berbalik memukul punggung lawan, tak terduga mendadak Liu
Tai-hiong menggeram, ia menegakkan tamengnya dengan
keras menyam-puk huncwe yang menghantam itu, sedang
golok di tangan kanan terus memotong ke atas. Dalam
keadaan begitu, kalau Beng Kian tidak lekas menarik
tangannya, tentu jarinya pasti akan tertabas.
Nampak Beng Kian menghadapi bahaya, diam-diam Kui
Tiong-bing berkata kepada Wan-lian, "Biarlah aku
menolongnya!"
Dan belum sempat Wan-lian mencegah, dengan cepat
sekali Tiong-bing sudah menggerakkan tangannya, sebiji
anting-antingnya sudah menyambar.
Anting-anting itu datangnya tepat pada waktunya, ketika
Liu Tai-hiong melihat serangannya sudah akan berhasil, tibatiba
terdengar suara "trang" yang nyaring, goloknya tergetar,
lekas ia menarik senjata, ia lihat goloknya tergumpil.
Sementara itu Beng Kian tak tahu apa yang telah terjadi, ia
menarik huncwenya dan mundur dengan terhuyung-huyung
ke belakang. Cara melepas senjata rahasia Kui Tiong-bing sungguh
istimewa sekali, semua orang yang sedang memperhatikan
pertarungan seru itu, ternyata tiada seorang pun yang
mengetahui Kui Tiong-bing sedang main gila.
"Manusia rendah mana yang membokong Toaya, coba
majulah secara terang-terangan," teriak Liu Tai-hiong sengit
sambil mengangkat golok dan tamengnya.
Beng Kian beruntung dapat ditolong oleh anting-anting
emas tadi sehingga nama Bu-wi-piau-kiok bisa dipertahankan,
ia pun insyaf tak sanggup melawan musuh, lalu ia menyeret
Huncwenya dan cepat mundur ke belakang. Dalam pada itu
terdengar Hek Hui-hong telah bersuit, menyusul seorang
penunggang kuda lantas menerjang maju dengan cepat,
ketika melompat turun dari kudanya segera ia mencegat Beng
Kian. "Beng-siaupiauthau, jangan lari dulu!" katanya dengan
tertawa. Orang ini adalah gembong kedua 'Kang-pak-sam-mo' atau
tiga momok dari utara sungai, bernama Soa Bu-ting. Ia adalah
orang yang tadi melarikan kudanya memapak dan menyelidiki
mangsanya ini. Beng Kian menjadi gugup, baru saja ia terhindar dari
bahaya, kini sudah menemukan lawan tangguh pula.
Tiba-tiba dari rombongan kereta itu menerjang keluar dua
orang penunggang kuda. Ketika Beng Kian menegasi, ternyata
adalah dua orang laki-laki hitam kurus kecil itu.
"Beng-ya, silakan mundur dulu!" kata mereka sesudah
turun dari kudanya.
Seorang di antara mereka dengan tangan kosong segera
hendak merebut tombak dari tangan Soa Bu-ting, sedang
seorang lagi juga dengan tangan kosong segera memapak i
Liu Tai-hiong yang sudah menyusul datang juga.
Dalam kagetnya sampai Beng Kian hampir berteriak, sebab
kedua laki-laki ini justru adalah orang-orang yang datang
meminta barangnya dikawal itu, tatkala mana mereka
mengaku sebagai pengurus rumah tangga keluarga hartawan
dan bernama Liok Bing dan Liok Liang, mereka adalah kakak
beradik, dan karena perantara Cianpwe kalangan persilatan di
Lamkhia, mereka datang meminta Bu-wi-piau-kiok menjadi
Popiau. Melihat mereka berdua yang kurus kering, waktu itu diamdiam
Beng Kian malahan menertawai mereka sebagai setan
madat, hakikatnya tidak pernah ia duga bahwa mereka
memiliki ilmu silat yang tinggi.
Kini begitu maju segera mereka mengunjuk ilmu Eng-jiaukang
menempur Kim-na-jiu dari Pak-pay atau aliran utara,
setelah belasan jurus Beng Kian terkesima menyaksikan
kepandaian orang yang hebat itu. Ia lihat tombak Soa Bu-ting
yang panjang dengan cepat menusuk, tampaknya ilmu
silatnya masih jauh lebih kuat daripada Liu Tai-hiong, tetapi
telapak tangan Liok Bing juga tidak lemah. Walaupun Soa Buting
menyerang dengan cepat, tetapi masih belum bisa
mengenai sasarannya.
Di sebelah sana Liok Liang yang melawan Liu Tai-hiong
sendirian juga maju mendesak terus, dengan ilmu tangan
kosong merebut senjata, ia hendak merebut golok Liu Taihiong,
hanya sebentar saja ia pun sudah di atas angin.
Menyaksikan pertarungan seru itu, Beng Kian menjadi gegetun.
"Celaka, celaka! Kedua orang ini memiliki ilmu silat
yang tinggi, tetapi aku sedikit pun tidak tahu, malahan berani
menjadi Popiau orang, kalau kabar ini tersiar, apakah tidak
dibuat bahan tertawaan orang, kali ini meski piau-kiok ini
dapat dipertahankan, tetapi nama baikku pasti akan luntur
habis sama sekali!" katanya dalam hati.
Sementara itu, ia melihat kedua orang itu makin lama
makin hebat, tiap-tiap serangannya begitu aneh dan lihai serta
belum pernah disaksikannya.
"Ilmu silat kedua orang ini jauh di atasku, tetapi mengapa
malah memintaku menjadi Popiau, kalau bukan sengaja
hendak membikin malu padaku, di dalamnya tentu ada
maksud-maksud tersembunyi," demikian pikirnya pula.
Waktu itu, pertempuran seru sudah menampakkan
keunggulan masing-masing, Soa Bu-ting lebih tangguh, maka
ia masih bisa bertahan, tetapi Liu Tai-hiong sudah tak sanggup
lagi bertahan, ia tercecar hingga goloknya telah kena direbut
Liok Liang, kini tinggal tamengnya saja, sambil mencoba
bertahan sebisanya ia terus mundur.
Hek Hui-hong berparas seperti wanita, tetapi ilmu silatnya
tinggi, sekali melompat ia telah memotong di hadapan Liok
Liang, tiba-tiba kipas bajanya menutul muka orang, sedang
telapak tangan kiri menggablok pula dari samping, segera ia
menggantikan teman melawannya.
Karena serangan lawan yang mendadak itu, lekas Liok
Liang melompat pergi.
"Jite juga mundur sekalian!" perintah Hui-hong pada
kawannya yang lain setelah ia dapat menolong Liu Tai-hiong.
Soa Bu-ting menusuk cepat tiga kali, ia mendesak Liok Bing
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ke belakang, setelah itu ia menarik tombaknya dan mundur
dengan cepat, ia berdiri di samping Hek Hui-hong dengan
napas masih memburu.
Kini Liok Bing dan Liok Liang berdua saudara berdiri
berendeng menghadapi Hek Hui-hong seorang.
"Kepandaian dua bersaudara Liok sungguh tinggi," kata
Hui-hong tertawa aneh sambil mengebas kipasnya. "Aku tidak
tahu diri dan ingin belajar kenal juga!"
Mendengar orang memanggil namanya, Liok Bing dan Liok
Liang tergetar. Pikir mereka, "Iblis ini sungguh luar biasa, kami
berdua sudah lama mengundurkan diri dari Kangouw, ternyata
sekaligus ia sudah dapat mengenali kami."
Pendekar Pedang Kail Emas 10 Misteri Bayangan Setan Karya Khu Lung Pendekar Kidal 24
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama