Ceritasilat Novel Online

Bu Kek Kang Sinkang 1

Bu Kek Kang Sinkang Karya Kkabeh Bagian 1


Bu Kek Kang Sinkang
Udara siang hari cerah.
Langit biru bersih dari awan berpadu warna daun kuning kecoklatan yang
berhamburan disekitar kuil siaulimsi. Pemandangan indah awal musim gugur,
sejuknya angin lembut yang menghempas, biasanya mengandung kekuatan
aneh, yang bisa menghanyutkan perasaan seseorang hingga lupa dari masalah.
Sayangnya, Pek Bin Siansu Hongtiang siaulimsi generasi kini, sedang
berkonsentrasi terhadap urusan lain. Urusan yang dapat menimbulkan
keangkeran ketua siaulimsi beserta 108 anggota LoHanTin yang melangkah
perlahan dibelakangnya. Tidak seorangpun menghiraukan pemandangan indah
disekelilingnya. Mereka seperti menanggung beban berat.
Ditilik dari usia mereka yang diatas 50 tahun, tentu berbekal kekuatan batin paling tidak hasil latihan puluhan tahun, namun mereka tetap tidak berhasil menghilangkan rasa kuatir, malu, geram yang jelas tertera di wajah mereka.
Jumlah mereka tidak sedikit, namun mereka berjalan tanpa menimbulkan suara, bergerak kearah belakang kuil dan berhenti didepan pondok mungil tapi terawat.
Pondok itu terbuat dari bambu, dengan sebuah pintu ditengah yang tertutup
rapat. Sangat menyolok bedanya dengan bangunan siaulimsi yang lain yang
dibuat dari batu yang kokoh.
Walau terawat, bagaimanapun juga pondok itu kelihatan sudah tua sekali, terlihat lapuknya batang bambu disana sini. Siapapun penghuninya, tentu usianya sudah tidak muda.
Sekitar sepuluh kaki dari pondok itu, Pek Bin Siansu menghentikan langkahnya.
"Siautit mohon maaf yang telah menganggu supek dari ketenanganya" lirih Pek Bin Siansu perlahan.
Hanya satu kali Pek Bin Siansu berseru.
Nampaknya tidak berminat untuk mengulangi ucapannya. Ia hanya diam
mematung. Tidak seorangpun bergerak maupun bersuara. Hanya gerak jubah
dan suara pakaian yang tertiup angin mengisi kekosongan yang mencekam.
Waktu seakan berhenti, toh tetap tidak dapat mencegah turunnya matahari ke
arah barat. Sudahlimakentungan berbunyi, sore hari telah tiba. Pemandangan ratusan orang berdiri bagaikan patung tidak juga berubah. Seekor burung gagak hitam hinggap di pundak Pek Bin Siansu. Bertengger dengan tenang sambil menguak suaranya
yang khas. Apakah bayangan kematian mulai menghantui siaulimsi" Timbul perasaan yang
sukar dijelaskan di hati kecil Pek Bin Siansu. Apakah ia mengambil keputusan yang tepat"
Burung gagak terbang terlonjak kaget ketika pintu pondok berderit terbuka dan sesosok tubuh berkelabat cepat didepan Pek Bin Siansu. Tubuh kurus dibungkus baju biru lusuh duduk bersila diatas sehelai ikat pinggang yang panjang
menegak lurus kebawah menusuk batu keras di pelantaran siaulimsi. Tubuh
kakek tua itu yang hanya ditopang kain yang mengeras, mengambang dan
bergoyang mengikuti geraknya angin gunung. Sungguh mengagumkan
kesempurnaan tenaga dalam kakek tua itu.
"Selamat atas keberhasilan supek yang telah melatih Siau Thian sinkang
ketingkat yang sempurna" kata Pek Bin Siansu sambil menjura.
Goan Kim Taysu, supek Pek Bin Siansu, menghela nafas,
"Aaai... masih jauh dari berhasil, puluhan tahun kucoba, baru menyelesaikan tingkat tiga, setelah mencapai tingkat delapan baru ilmu ini sempurna. Sayang aku kurang berbakat".
Pek Bin Siansu mengangkat kepalanya dengan kaget. Goan Kim Taysu terkenal
sebagai manusia yang paling berbakat di siaulimsi selama seratus tahun
terakhir. Sepengetahuannya, sepanjang sejarah, dia lah satu satunya yang dapat menguasai 72 macam ilmu kepandaian siaulimsi sekaligus.
"Maaf supek, bukankah suhu dapat menyempurnakan Siau Thian Sinkang hanya
dalam sepuluh tahun?".
Goan Kim Taysu tersenyum," Suhumu memang memerlukan sepuluh tahun
untuk melatih Siau Thian sinkang, hanya bukan ilmu itu yang sedang aku latih."
Setelah terdiam sejenak ia melanjutkan, " ilmu yang sedang kulatih bernama Bu Kek Kang sinkang, ilmu ke-73 yang diciptakan Tatmo cowsu".
Pek Bin Siansu terkesima, dari kecil ia tinggal di siaulimsi, dia yakin betul pendiri sialimsi menciptakan 72 macam kepandaian. Dari mana datangnya Bu Kek Kang
sinkang, ilmu ke tujuhpuluh tiga"
Seperti memaklumi kebingungan sutitnya, Goan Kim Taysu menjelaskan
"Kecuali Tatmo Cowsu belum pernah ada yang berhasil menguasi ilmu ini. Tidak heran kau walau sebagai ketua pun tidak pernah mendengarnya. Nampaknya
ilmu ini akan ikut terkubur bersamaku".
Goan Kim Taysu nampak murung, kecewa, seperti dirudung persoalan pelik, tapi dengan cepat ia menarik napas panjang dan senyumnya pulih kembali.
Sungguh tinggi kekuatan batin kakek tua ini, satu tarik nafas telah mengusir kegalauan hatinya.
"Kau mencariku tentu sebagai langkah akhir untuk menghadapi situasi sulit".
Dengan perasaan berat, Pek Bin Siansu mengiakan.
Goan Kim Taysu telah menutup diri selama tiga puluh tahun dan ia telah
merusak ketenangan supeknya. Ia harus menganggunya karena dia tidak
melihat jalan lain.
Tiga bulan yang lalu terjadi suatu peristiwa yang luar biasa di kuil siaulimsi.
Mereka kedatangan tamu.
Enam orang tamu yang mempunyai status cukup istimewa. Mereka merupakan
ketua perkumpulan besar dari Bu tong pay, Kho tong pay, Hoa san pay, Thian
san pay, Kun lun pay, dan kaypang saat ini.
Walau hubungan mereka cukup baik dan suka berkunjung satu sama lain, belum
pernah enam ketua perkumpulan berkunjung bersamaan sekaligus.
Kecuali...yaaa, kecuali terjadi satu urusan yang janggal yang memaksa mereka berkumpul.
Pek Bin Siansu mengajak mereka duduk menikmati minum teh di pendopo
'selaksa daun bambu' sambil menikmati pemandangan lembah gunung Siong
San yang terkenal akan keindahannya.
"Braaakkkk....!" meja kayu setebal empat jari patah dipukul Ouw Hek Tong, ketua Kho Tong Pay yang memang berangasan. Cangkir kemala antik tanpa dapat
dicegah lagi, berhamburan pecah, air teh menciprat kemana mana.
Sambil menghel nafas Pek Bin Siansu berkata, "Kutahu kedatangan kalian jelas bukan untuk menikmati pemandangan Siong san, hanya tidak kusangka,
perabotan yang tidak bersalah menjadi sasaran".
"Hayo, kembalikan!" tuntut Ouw Hek Tong sambil melotot.
Ouw Hek Tong berperawakan sedang tapi kekar. Berangasan, tapi mempunyai
keberanian yang luar biasa. Pernah seorang diri dia melawan enam puluh
penjahat yang telah membunuh muridnya. Komplotan penjahat yang rata rata
berkepandaian tinggi itu toh tidak ada satupun yang hidup, walau dirinya pun mengalami luka luka berat. Selama bisa maju, kenapa mesti mundur...prinsip
sederhana ini membuat Ouw Hek Tong terkenal akan nekadnya berkelahi.
Sekarang ia telah berdiri siap melabrak ketua Siaulimsi yang ia tahu memilki kepandaian yang luar biasa.
"Boleh pinceng tahu, apa yang mesti dikembalikan?" tanya Pek Bin Siansu
dengan sabar. Tanpa banyak bicara, Ouw Hek Tong menggerakan tanganya melancarkan
serangan dengan telapak tangan terbuka. Angin menderu mengandung
kekuatan merusak kearah Pek Bin Siansu yang tubuhnya melayang mengikuti
derunya angin. Bagai sehelai daun, kaki Pek Bin Siansu menyentuh tanah
sekitar enam kaki dari mereka.
"Jika Ouw-heng ingin berkelahi tanpa tanya jawab, sungguh membuat orang
penasaran" ujar Pek Bin Siansu sambil menatap Ow Hek Tong dengan tajam.
"Tahan!" seru Thian Ki Hwesio, ketua Bu Tong Pay sambil berdiri diantara
mereka. "Tampaknya kalian telah sepakat untuk melabrak Siaulimsi, jika kalian
menganggap kami telah berhutang, kalianpun berhutang penjelasan" Kata Peik
Bin Siansu perlahan.
Thian Ki Totiang mengambil sebuah kotak dari saku bajunya, kemudian
melontarkannya ke arah Pek Bin Siansu. Kotak itu melayang dengan perlahan
seperti ada tangan yang sedang menyuguh. Pek Bin Siansu mengerut alisnya,
agak terkejut juga ia akan kehebatan tenaga dalam Thian Ki Totiang. Ia meraup kotak tersebut, "Blaaang...!" tubuhnya tergetar keras dimana tubuh Thian Ki Totiang mundur selangkah ketika terjadi bentrokan tenaga dalam.
"Omitohud, jika kalian memaksa main kekerasan, bukankah ini akan menyangkut keselamatan ribuan murid tujuh perguruan" ujar Pek Bin Siansu dengan sedih.
Berenam mereka saling melirik. Muka mereka berubah hebat. Sukar
dibayangkan jika terjadi bentrokan antar mereka yang jelas akan
menggoncangkan dunia persilatan. Murid murid mereka yang banyak merantau
tentu tidak tinggal diam, entah bencana apa yang bakal terjadi.
"Kupinta, Siansu memperhatikan dengan cermat, symbol yang tertera di dalam
kotak itu" pinta Thian Ki Toting setelah berpikir sejenak.
Pek Bin Siansu melirik kotak tersebut dan membukanya dengan perlahan. Isinya ternyata hanya beberapa helai daun siong yang kering. Enam helai daun itu
memiliki simbol sama yang tertera jelas. Bukan diatas daun, simbol itu tergores kedalam seperti dipahat tanpa merusak dasar sisi bawah permukaan daun.
Berubah hebat muka Pek Bin Siansu.
"Bukankah goresan semacam itu hanya bisa ditimbulkan oleh tenaga jari Kim
Kong Ci?" desak Thian Ki Totiang.
Memang hanya tenaga jari Kim Kong Ci yang mampu melakukan hal ini.
"Betul, memang mirip dengan tenaga jari Kim Kong Ci" jawab Pek Bin Siansu
"Hanya mirip atau memang tenaga jari Kim Kong Ci?" desak Thian Ki Totiang.
"Sukar untuk dikatakan" kata Pek Bin Siansu setelah termenung sejenak.
Tiba tiba jari telunjuknya melentik kearah tembok batu bangunan berjarak sekitar sepuluh kaki dari tempat berdirinya.
"Blaaar....!" dinding batu itu bolong sebesar jari sedalam tiga inci.
Desah kagum terdengar dari mereka yang menyaksikan. Muka mereka berubah
tenggelam. Sungguh hebat demonstrasi tenaga jari Kim Kong Ci, ketua Siaulimsi ini.
Sambil tersenyum Pek Bin Siansu berkata: "Dapat kujamin, goresan daun ini
walau mirip dengan tenaga jari Kim Kong Ci, jelas bukan dibuat oleh orang
Siaulimsi".
"Berdasarkan apa Siansu berani menjamin?" tanya Thian Ki Totiang.
Pek Bin Siansu berpikir sejenak, kemudian katanya, "Selain Goan Kim Supek,
boleh dibilang diriku yang berhasil melatih tenaga jari Kim Kong Ci ketingkat yang paling tinggi. Walau sudah cukup sempurna, akupun tidak sanggup
menggores dengan cara seperti ini".
"Siansu tidak sanggup?" jerit Ong Pek Than ketua kaypang.
Setelah termenung sejenak, Pek Bin Siansu menerangkan,
"Tenaga yang tidak merusak jauh lebih sulit dibanding tenaga yang bersifat
menghancur. Simbol yang tertera di daun ini, jelas dicukil dengan hawa tenaga jari. Goresannya mempunyai kedalaman yang sama, licin dan rata. Dasar
daunpun pun tidak robek. Hanya orang yang mempunyai tenaga dalam telah
menyatu dengan kehendak hati yang mampu melakukan hal ini".
Thian Ki Totiang terdiam. Dari bentrokan barusan, ia dapat mengukur tenaga
dalam Pek Bin Siansu walau lebih tinggi paling hanya setengah atau satu tingkat darinya. Memang tinggi kepandaian Pek Bin Siansu, tapi belum mencapai
tingkatan 'menyatu dengan kehendak hati'.
Ia yakin Pek Bin Siansu berkata dengan jujur.
"Kalian sudah banyak bertanya, akupun sudah banyak menjawab. Sebetulnya
apa gerangan yang telah terjadi?" tanya Pek Bin Siansu dengan serius.
Ternyata, kitab kitab pusaka enam partai besar yang disimpan diruang rahasia, siang malam dijaga ketat telah hilang begitu saja. Si pencuri tidak menganggu benda benda pusaka lainnya, hanya semua kitab silat lenyap tanpa ketahuan
rimbanya. Sehelai daun siong kering ditinggalkan di rak buku yang kosong di tiap ruang kitab keenam partai.
"apakah...?" Pek Bin Siansu kemudian terdiam membatalkan pertanyaanya.
Thian Ki Totiang ketua Butongpay menangkap masuknya.
"Apakah mungkin dilakukan oleh orang dalam?"
"Dalam pengusutan kami, hal ini yang pertama kali kami pikirkan
kemungkinannya. Sulit dipercaya orang lain dapat memasuki ruang kitab tanpa sepengetahuan kami. Setelah penyelidikan yang teliti berbulan bulan, kami
berkesimpulan satu hal yang mustahil pencurian dilakukan oleh orang dalam".
"Jadi dapat dipastikan oleh orang luar" tegas Pek Bin Siansu.
Thian Ki Totiang berpikir sejenak sebelum menjawab, "Mustahil pencurian
dilakukan oleh orang lain. Karena kami benar benar tidak dapat menerka, selain Siaulimsi, siapa di dunia persilatan jaman ini yang mempunyai tenaga jari
sedahsyat ini!".
Pek Bin Siansu menatap Thian Ki Totiang dengan tenang. Dengan perlahan
Thian Ki Totiang menerangkan bahwa ruang kitab di Bu tong pay dijaga ketat
oleh sam go beng yang pernah mengalahkan Kiu tok sin mo, raja iblis yang
mengobrak abrik dunia persilatan tiga puluh tahun yang lalu.
Perasaan Pek Bin Siansu tenggelam, sutenya Ang lee Siansu pernah bertarung
melawan murid Kiu tok sin mo dan kalah. Bisa dibayangkan betapa
sempurnanya kepandaian sam go beng yang berhasil menaklukan Kiu tok sin
mo dalamlimaratus jurus.
"Sebaiknya kita bicara di ruang dalam" ajak Pek Bin Siansu yang kemudian
membimbing mereka masuk ke ruang pertemuan.
Setelah duduk dan minuman teh disediakn, Thian Ki Totiang melanjutkan
ceritanya, "Ruang kitab dipusat perkumpulan kaypang dijaga oleh kay ong".
Tanpa terasa dahi Pek Bin Siansu berkerenyit. Sembilan tangan raja pengemis adalah rajanya pencuri. Berkepandaian tinggi walau tidak sehebat sam go beng, keahlian kay ong dalam mencuri tiada bandingannya. Di propinsi Kang Lam,
kemarau yang berkepanjangan menyebabkan berulang kali panen gagal. Rakyat
kelaparan, kay ong berhasil mencuci habis sembilan gudang persedian beras
yang dijaga ketat oleh pasukan pemerintah.
Rajanya pencuri yang bertanggung jawab atas ruang kitab ternyata kebobolan.
Sungguh berita ini sukar dipercaya.
Ang lee Siansu, wakil ketua siaulimsi, tiba tiba muncul diruang pertemuan.
"Mo Tiang sute, penjaga ruang kitab, mendesak untuk menghadap ciangbujin
suheng" katanya singkat.
Berubah hebat muka para ketua yang hadir, Pek Bin Siansu menutup matanya
sambil menarik nafas,
"Bawa dia masuk".
"sute nampaknya ingin berjumpa dengan suheng secara pribadi" kata Ang lee
Siansu agak ragu melihat begitu ramainya yang hadir.
"Apakah ditangan Mo Tiang sute memegang secarik daun?" duga Pek Bin
Siansu dengan jantung berdebar.
Ang lee siansu agak heran dengan tebakan jitu suhengnya, iapun mengangguk,
"Diangan sute memang memegang sehelai daun, nampaknya hendak
diserahkan langsung ke suheng".
"Bawa dia segera kemari!" gumam Pek Bin Siansu.
Tidak lama kemudian, Mo tiang Siansu muncul kemudian bersimpuh dengan air
mata yang bercucuran.
"Suheng..."
"Kukira kutahu apa yang telah terjadi, kesalahan bukan terletak padamu". Potong Pek Bin Siansu sambil mengambil helaian daun dari sutenya. Potongan daun
siong kering dengan simbol persis sama dengan helaian daun di dalam kotak
yang telah dikembalikan olehnya kepada Thian Ki Totiang.
"Suheng, hanya ini yang bisa kulakukan" jerit Mo Tian siansu yang tubuhnya
melenting dengan kepala mengarah tembok.
Perhatian Pek Bin Siansu yang terpusat pada helain daun tersebut membuatnya lengah dengan perbuatan nekad sutenya. Tidak ada satu orangpun yang hadir
yang menduga atau sempat mencegah perbuatan bunuh diri Mo Tian Siansu.
Goan Kim Taysu yang tidak melihat kehadiran keponakan muridnya,
memejamkan mata. "Apakah Mo Tian sutit telah tewas?" tanyanya perlahan.
Pek Bin Siansu mengeluarkan sehelai daun dari sakunya dan menyerahkan
kepada Goan Kim supek.
Dengan pandangan bertanya, Goan Kim menerima daun tersebut. Ia tidak dapat
melihat keistimewaan daun siong kering yang memang banyak tumbuh disekitar
siaulimsi. "Perbuatan sute dicegah oleh daun ini".
Ketika semua yang hadir di ruang pertemuan termangu tanpa dapat melakukan
sesuatu, sesuatu melayang dari luar dengan cepat meliuk menghantam ubun
ubun Mo Tiang Siansu. Anehnya, tubuh Mo Tiang siansu seperti tertahan tangan yang tak tampak, perlahan menahan laju tubuhnya.sekitar tiga hun dari tembok, tubuhnya berhenti beberapa detik, kemudian jatuh tegak lurus ke lantai. Dengan ringan Pek Bin Siansu melayang menangkap tubuh sutenya. Setelah diperiksa,
dengan lega dia mendapatkan sutenya lepas dari bencana. Wajah lega Pek Bin
Siansu tiba tiba berubah hebat.
"Aneh... tiga puluh enam pembuluh darah sutenya telah tertotok. Siapa yang
melakukannya" Apakah sehelai daun segar yang menempel dikepala sutenya
dapat digunakan untuk menotok orang?"
Terjadi perubahan hebat di muka Goan Kim Taysu, "Ilmu menitip daun" jeritnya pelan.
Pek Bin Siansu termangu. Dia pernah mendengar, seseorang dinilai
berkepandaian sempurna bila sudah mencapai tingkatan 'memetik daun'. Setahu Pek Bin Siansu, hanya beberapa orang yang mencapai tingkatan ini. Sam Go
beng dari Bu tong pay, mendiang suhu, dan Goan Kim supek. Bahkan
kepandaian Kay Ong atau Kui thian sin mo masih satu tingkat lebih rendah.
Walau tidak mengerti tingkatan 'menitip daun' dari jeritan kaget supeknya, Pek Bin Siansu berkesimpulan ilmu itu bertataran lebih tinggi dibanding tingkatan
'memetik daun'.
"Lanjutkan ceritamu" seru Goan Kim Taysu setelah termenung sejenak.
Ternayata Jalan darah tidur atau Sui hiat Mo tiang siansu juga tertotok. Suara dengkur tidur sutenya justru melegakan Pek Bin Siansu, ia yakin sutenya tidak terluka.
Thian Ki Totiang beserta ketua perkumpulan lainnya berusaha membantu Pek
Bin Siansu yang berkutet mencoba membuka totokan sutenya. Ternyata tidak
satu pun yang berhasil mengenal apalagi mampu membebaskan pengaruh
totokan itu. "Hentikan usaha sia sia kalian. Biarkania tidur. Dua belas jam kemudian, dia akan bebas dengan sendirinya". Suara lirih tapi jelas terdengar berbisik ditelinga mereka.
Sulit menentukan sumber suara itu. Suara itu jelas bukan berasal dari luar atau dari dalam ruangan. Sepertinya suara tersebut dibisikkan orang dari sisi tubuh mereka. Bahkan sulit diduga, apakah suara lelaki atau perempuan, tua atau
muda. Siapa sih yang bisa membedakan suara bisikan"
"Sebaiknya kalian pulang saja. Tiada gunanya kalian berkumpul. Selain Kitab Siaulimsi, kitab lainnya telah kembali ke tempat asalnya". Bisikan misterius kembali berkumandang ditelinga mereka.
"Bila kitab kami dikembalikan" seru Pek Bin Siansu dengan kuatir.
"Paling lama seratus hari lagi".Kali ini suara misterius itu terdengar seperti jauh dari bawah bukit siong san. Sungguh sukar dibayangkan, seseorang mampu
berbisik dari jarak sejauh itu dan tetap terdengar jelas.
"Dapatkah ucapannya dipercaya?" tanya Thian Ki totiang dengan getir.
Tujuh tokoh utama persilatan masa kini, ternyata seperti bayi yang tak berdaya di depan orang ini. Sungguh sukar dipercaya. Peristiwa ini sungguh memukul
kepercayaan diri mereka.
"Ucapannya dapat dipercaya" seseorang melesat masuk ke ruang pertemuan.
Go sam beng menjura ke hadirin sekalian, kemudian berkata kepada ketuanya.
"Kitab kitab Bu tong pay telah kembali ke tempatnya masing masing".
"Tiada penjagaankah ruang kitab bu tong pay, sehingga orang dapat bebas
keluar masuk seperti rumah makan umum?" Tegur Thian Ki totiang dengan
muka masam. Go sam beng menunduk malu, "Siautee berjaga di depan pintu sedangkan
puluhan anggota tay kek ngo hen tin bersiaga ditempat tersembunyi. Kami
berkeyakinan, seekor lalatpun tidak dapat keluar atau masuk ruang kitab tanpa seijin kami".
"Bagaimana orang itu yang jelas lebih besar dari seekor lalat bisa
mengembalikan kitab tanpa sepengetahuan kalian" tanya Thian Ki totiang
dengan penasaran.
Dengan perasaan tertekan, Go sam beng menjawab, " sebab kami semua
tertidur".
Sungguh kejadian yang luar biasa, Go sam beng yang berkepandaian paling
tinggi di Bu tong pay beserta puluhan pasukan pilihan tay kek ngo hen tin
tertotok tidur tanpa sepengetahuan mereka. Dia yang tersadar duluan, merasa angin dingin bertiup dari belakangnya. Ketika ia menoleh, pintu ruang kitab terbuka lebar. Secepat kilat ia melayang masuk dan tertegun ketika menyaksikan puluhan kitab yang hilang telah tersusun rapi seperti semula.
"Apakah kitab kitab itu benar benar asli" tanya Thian Ki totiang.


Bu Kek Kang Sinkang Karya Kkabeh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"pinto sudah mengecek satu persatu, semuanya asli".
Thian Ki totiang tahu betul akan hobi sutenya yang gila baca. Jika dia bilang asli, maka tidak perlu diragukan lagi.
"Kuyakin orang yang berkepandaian luar biasa itu tidak akan mau berbohong.
Letak Bu tong pay dekat dengan siaulimsi maka mendapat berita lebih awal.
Memang tiada gunanya kita berkumpul. Jika kalian pulang tentu akan mendapat kabar yang sama".
"Walau kitab yang hilang sudah kembali, kenyataannya kita sudah dipecundangi.
Perasaan ini yang sulit dihilangkan" kata Thian Ki totiang dengan sedih.
Ia tidak malu menyatakan kekalahannya. Toh semua mengalami nasib yang
sama termasuk siaulimsi yang terkenal gudangnya orang pandai.
Thian Ki totiang bersama Go sam beng berpamit pulang.
"Totiang, tidak maukah kau mengurus persoalan ini lagi?" seru ketua kaypang.
"Bukannya tidak mau, hanya sukar diurus" jawab Thian Ki totiang sambil
melangkah keluar.
"Masakkan kita biarkan berlalu begitu saja?" teriak Ouw Hek Tong penasaran.
"Ku akui kepandaian Bu tong pay masih terlampau rendah, masih banyak yang
harus kami benahi" ujarnya dengan pahit.
Dengan perasaan tertekan, mereka mengakui kebenaran pernyataan itu. Tujuh
perkumpulan terkemuka di masa ini mengalami kekalahan tragis ditangan
seseorang tanpa melakukan pertarungan. Satu persatu mereka meninggalkan
ruangan, tinggal Pek Bin Siansu yang termenung sambil memegang ke dua helai daun itu. Satu helai daun segar, dan satu helai daun kering.
**********************
Setelah terdiam sejenak, Goan Kim berkata "Coba kau gunakan Kim Kong Ci
menghajar tembok itu".
Jarak tembok dari Pek Bin Siansu berdiri sekitarlimabelas kaki. Dengan
mengerahkan tenaga sembilan bagian, ia melentikkan jari telunjuknya.
Terdengar suara keras disertai sebuah lobang sebesar jari sedalam tiga inci.
Goan Kim tersenyum, "Nampaknya cukup banyak kau mendapat kemajuan".
"Berkat restu supek" jawab Pek Bin Siansu merendah.
"Coba kau serang pohon diluar temboksana" sambil menunjuk pohon yang
dimaksudkan. Pek Bin Siansu menatap pohon yang lebih dari tiga puluh kaki dari dia berdiri.
"Terlampau jauh, supek. Teecu belum mampu".
Terdengar suara lirih mendesir ketika Goan Kim Taysu menggerakkan jarinya,
pohon tersebut seperti ditabrak gajah, bergoyang dengan kencang.
Suara berdecak kagum dari barisan lo han tin mengagumi kehebatan tetua
mereka. "Di mata kalian kepandaian ini sudah hebat, padahal bukan terhebat".
Ratusan mata menatap Goan Kim Taysu dengan heran.
"Kebanyakan daya serang bersifat lurus atau menyebar hingga mencapai
sasaran yang terlihat atau bagian yang tidak kuat terlindungi ". ujar Goan Kim Taysu perlahan.
"Dapatkah kau melubangi tembok bagian luar yang tidak terlihat yang dilndungi dengan enam kaki tebal tembok itu sendiri?"
"Tidak dapat".
Goan Kim mengangguk, "Daya serangmu harus meliuk, berubah dari daya lurus
dan harus mempunyai sisa tenaga yang cukup untuk menghancurkan".
Setelah berpikir sejenak, Goan Kim melanjutkan,"Orang yang telah
menyelamatkan sutemu, jelas memetik daun ini dari pekarangan luar, kemudian melemparnya melampaui puluhan kaki dengan ruangan yang berbelok belok dan
mempunyai cukup sisa tenaga untuk menahan daya luncur dan menotok jalan
darah sutemu".
Ucapan Goan Kim agak sulit dipercaya Pek Bin Siansu. Dia tahu betul jarak
pekarangan luar hingga ruang pertemuan mencapai lebih dari seratus kaki
dengan kelak kelok yang rumit. Tapi teringat olehnya, dari getah yang menetes keluar, daun siong itu memang seperti baru saja dipetik, bahkan masih
mengeluarkan getaran aneh yang menyebabkan tangannya kesemutan ketika
memegangnya. "Siapapun dia, apapun maksudnya, kita wajib berterima kasih atas upayanya
yang telah menyelamatan Mo tiang sutit".
Suara Goan Kim Taysu menyadarkan Pek Bin Siansu dari renungannya.
"Sutit berharap dapat menyampaikan terima kasih malam ini kepadanya".
"Hari keseratus jatuh pada hari ini?" tanya Goan Kim memastikan.
Pek Bin Siansu mengangguk.
"Coba kau perlihatkan padaku lembaran kedua" pinta Goan Kim setelah berpikir sejenak.
Pek Bin Siansu mengeluarkan kotak berisi lembaran daun yang mempunyai
simbol dipermukaannya. Tiga bulan lebih ia mencoba menafsirkan arti simbol
itu....Mirip huruf sansekerta tapi ia tidak mengenalnya.
Goan Kim Hwesio menatap daun itu lama sekali. Terdengar tarikan nafasnya
yang panjang. "Sungguh sempurna kepandaian orang ini" gumamnya perlahan.
"maksud susiok?"
Goan Kim Taysu menggerakkan tangannya, seperti sulap sehelai daun segar
dari pohon siong berjarak puluhan kaki, terpetik dan melayang ketangannya.
Dengan perlahan, Goan Kim Taysu mengukir jari tangannya diatas daun segar
tersebut mengikuti bentuk simbol itu. Dengan hasil, persis sama.
Rasa kagum muncul dihati Pek Bin Siansu atas kemampuan supeknya.
Berbareng dihati kecil timbul rasa kuatir. Apa supeknya yang melakukan
pencurian besar besaran ini" Sungguh sukar dipercaya!
Goan Kim Taysu tersenyum seperti dapat membaca renungan hati sutitnya.
"Jangan kuatir, bukan aku yang melakukan pencurian itu"
Merah muka Pek Bin Siansu mendengar ucapan supeknya.
"Aku hanya mampu menulis simbol ini diatas daun yang masih segar" tutur Goan Kim Taysu menjelaskan.
"Daun kering mudah tersepih hancur, aku masih belum mempunyai kemampuan
untuk menulis diatas daun kering tanpa menganggu keutuhan daun".
Hati Goan Kim Taysu berdesir, daun segar yang baru ditulisnya, jika mengering sedikit banyak akan ikut mengubah bentuk dan ukuran simbol tulisannya.Dari
simbol yang licin dan rata, jelas si pencuri ini menulis diatas daun yang memang sudah kering!
Goan Kim Taysu merenung, .ia seperti mengenal ilmu yang digunakan orang ini, tapi tidak dapat mengingatnya.
Pek Bin Siansu memberanikan diri untuk bertanya, "Simbol itu, entah apa
artinya?" Baru Goan Kim Taysu teringat, ia sibuk memperhatikan hal yang lain, simbol
tulisan itu malah belum ia perhatikan dengan benar.
Muka Goan Kim Taysu berubah serius, tangannya sedikit gemetar, lama ia
termangu. Tergetar hati Pek Bin Siansu melihat keadaan susioknya, "Mohon maaf atas
kebodohan sutit yang tidak mengenal..."
"Tulisan ini menggunakan huruf Ardhmagadhi, tulisan kuno yang menjadi dasar bahasa sansekerta. Tidak heran kau tidak mengenalnya" potong Goan Kim
Taysu. "Budhidharma" baca Goan Kim Taysu cukup keras.
"Omitohud, Tat Mo Cowsu" seru Pek Bin Siansu
Tat Mo Cowsu dilahirkan dengan nama Budhidharma. Berasal dari India, beliau merantau ke Cina untuk menyebarkan ajaran Budha. Akhirnya menetap di bukit
siong san dan mendirikan kuil siaulimsi, Tat Mo Cowsu berhasil menjadikan
siaulimsi menjadi pusat ajaran Budha untuk seluruh daratan Cina.
Goan Kim Hwesio tidak dapat menebak apa maksud pencuri itu menulis nama
cikal bakal siaulimsi dengan bahasa kuno. Setahunya, tinggal dirinya seorang yang menguasai bahasa Ardhmagadhi. Itu pun dikarenakan Bu Keng Kang
sinkang ditulis dengan bahasa....
"Tingkat terakhir!" Jerit Goan Kim Taysu tanpa terasa.
Pek Bin Siansu menatap susioknya dengan pandangan tidak mengerti.
"Orang itu menulis dengan Bu Kek Kang sinkang tingkat ke delapan" kata Goan Kim Hwesio dengan seruan tidak percaya.
Hanya dirinya yang menguasai Bu Kek kang sinkang itupun baru sampai tingkat tiga. Goan Kim Taysu menggeleng kepala "tidak mungkin" gumamnya.
Tiba tiba terdengar suara kalem berkumandang dari dalam pondok kecil.
"Memang tidak mungkin dari tingkat ke delapan, harus dilakukan dari tingkat sebelas".
"Tingkat sebelas?" seru Goan Kim Taysu tidak mengerti.
Bu Keng Kang sinkang terbagi atas delapan tingkat, darimana muncul tingkat
sebelas" Jelas jelas pondoknya tiada penghuni lain, siapa yang bisa masuk ke dalam
tanpa sepengetahuannya"
"Tio sam, tentu banyak yang kau ingin tanyakan, sebaiknya kau masuk kemari"
seru suara dari dalam pondok.
Yang tahu dirinya bernama Tio Sam, sepuluh tahun ini, setahu Goan Kim Hwesio tinggal dua orang. Satu dirinya, yang satu lagi sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu. Toh orang ini mampu menyebut nama aslinya. Nama sebelum ia
menjadi pendeta.
Pek Bin Siansu tidak berani melanggar perintah supeknya. Secara isyarat, ia memerintahkan pasukan Lo Han Tin untuk mengepung pondok kecil tersebut.
Hatinya rada lega ketika ia memastikan tiada suara pertarungan terdengar dari dalam pondok.
Dari uraian susioknya, Pek Bin Siansu berkesimpulan kepandaian si pencuri
kitab berkali kali lipat lebih tinggi dari Goan Kim Taysu, tidak heran mampu menggerayangi ruang kitab tujuh perkumpulan besar semudah keluar masuk
rumah makan. "Ciangbun-suheng".
Panggilan ini menyadarkan Pek Bin Siansu dari renungannya.
Berdiri di depannya, Mo Tian Sute dengan wajah serius.
"Apa kauingin melapor bahwa kitab kitab yang dicuri sudah dikembalikan?" tanya Pek Bin Siansu.
"Ya, kitab kitab itu lengkap sudah kembali ketempatnya semula, Keasliannya pun tidak diragukan., hanya...?"
Melihat keraguan sutenya, Pek Bin Siansu segera bertanya "apa ada urusan
yang janggal?"
Mo thian Siansu menyodorkan sebuah kitab ke suhengnya, "Selain kitab kita,
kutemukan juga kitab ini".
Jantung Pek Bin Siansu berdebar kencang ketika membaca sampul kitab itu.
"Tat Mo ih kin keng" desisnya kaget.
Menurut catatan, kitab ini hilang tidak ketahuan rimbanya, sejak angkatan Hui memegang jabatan ketua siaulimsi, seratus tahun yang lalu. Segala macam
usaha dicoba untuk menemukan kembali kitab yang tak ternilai ini. Hasilnya, nihil.
Lama sudah proses pencarian kitab dihentikan. Tiba tiba, tanpa mengeluarkan keringat, kitab itu berada ditangannya. Hati Pek Bin Siansu girangnya bukan main, berbareng bingung dengan perilaku aneh si pencuri kitab itu. Betul Ruang kitabnya kecurian, tapi bukannya kurang, malah bertambah!
Pek Bin Siansu tidak dapat menerka maksud atau tujuan si pencuri itu. Bahkan sulit baginya mengambil sikap, haruskah ia marah atau malah berterima kasih"
Apapun juga ia berharap segala sesuatu akan jelas dengan sendirinya. Ia yakin, orang yang sedang bercakap dengan susioknya di dalam pondok itu adalah si
Pencuri misterius itu.
Tidak terlalu lama ia menunggu, terdengar suara Goan Kim Taysu menyuruhnya
masuk ke dalam.
Pek Bin Siansu mendapati susioknya duduk bersila di atas dipan dengan wajah serius. Entah kemana orang itu, yang bagaikan naga sakti tidak terlihat ekornya.
Hati Pek Bin Siansu agak penasaran mengetahui siaulimsi yang terkenal banyak orang pandainya dianggap tempat umum oleh si pencuri misterius yang bisa
keluar masuk seenak udel tanpa diketahui jejaknya.
Pek Bin Siansu memberi hormat kepada susioknya yang mempersilahkan duduk.
"Tentu banyak yang ingin kau tanyakan mengenai Pencuri kitab itu, sayang tidak banyak yang boleh kujelaskan padamu" kata Goan Kim Taysu perlahan.
Pek Bin Siansu tertegun. Siapa yang dapat melarang susioknya berbicara"
Goan Kim Taysu tersenyum, ia memahami pikiran sutitnya,
"Dia bukan orang luar, walau bukan dari siaulimpay, dia termasuk angkatan
tuaku" Agak heran Pek Bin Siansu, susioknya hampir berusia seratus tahun, jika si
Pencuri sakti itu angkatan tua susioknya, tentu usianya tua sekali.
"Walau dari angkatan tua sekalipun, tidak dapat dibenarkan tindakannya yang main curi itu" kata Pek Bin Siansu dengan penasaran.
"Tindakkannya memang gegabah, tapi tidak juga dapat dipersalahkan"
"Maksud susiok?"
Goan Kim Taysu menarik napas hendak menerangkan, tapi tidak jadi.
"Memandang wajahku, maukah kau melupakan kejadian ini" Toh kitab yang
dicuri sudah dikembalikan bahkan disertai Tat mo Ih Kin Keng"
"Darimana susiok..?" Pek Bin Siansu tidak jadi meneruskan pertanyaannya.
Tentu saja si Pencuri yang memberitahu susioknya.
"Sebentar lagi, dunia persilatan akan digegerkan dengan kedatangan orang dari partai Lam Hay Bun. Sebaiknya, jika tidak ada keperluan mendesak, anggota
siaulimsi tidak usah berkelana."
Kening Pek Bin Siansu berkerut. Lam Hay Bun adalah sebuah perguruan silat
dari pantai selatan yang terkenal sekali atas kesaktiannya. Tidak banyak yang diketahui Pek Bin Siansu mengenai perguruan misterius ini. Cuma ia tahu,
mereka jarang sekali berkelana ke daerah tionggoan.
"Kalau mereka datang untuk mengacau, bukankah kewajiban kita untuk maju
membela?" "Kalau mereka berbuat busuk, tentu wajib kita mencegah. Tapi mereka berniat untuk merebut gelar nomor wahid dengan mengalahkan orang orang persilatan.
Apa kau mau ribut memperebutkan gelar kosong?" bantah Goan Kim Taysu.
Pek Bin Siansu terdiam.
"Sungguh hebat rencana mereka" gumam Goan Kim Taysu dengan perlahan.
Wajahnya makin kelihatan tua, sesuatu nampaknya mengganjal hatinya.
"Apa rencana mereka, susiok" tanya Pek Bin Siansu tak tahan.
Goan Kim Taysu merenung sejenak, kemudian berkata:
"Ratusan tahun sejarah telah membuktikan. Walau banyak yang telah mencoba,
baik itu dari wakil pemerintah, peorangan atau satu perguruan, tapi tidak pernah ada satupun yang benar benar berhasil menguasai rimba persilatan".
Pek Bian Siansu mengangguk membenarkan. Dia tahu perguruan Mo-Kauw,
Ceng Liong Hwee, istana kelabang emas dari luar tembok besar dan yang lain, pernah mencoba...mereka gagal!
"Mereka tidak berhasil disebabkan usaha mereka menggunakan cara yang licik, curang dan memaksa, hingga mengundang kemarahan orang banyak. Karena
tidak tahan, anggota persilatan bergabung menjadi satu, menentang kezaliman mereka" kata Pek Bin Siansu tanpa terasa.
"Jangan kau lupa, sejarah juga membuktikan setiap zaman kezaliman, selalu
muncul seorang enghiong yang berkepandaian tinggi menentang mereka".
Kembali Pek Bin Siansu mengangguk. Kisah suka duka para enghiong itu, sudah menjadi dongeng yang beredar di kalangan liok lim.
"Rencana Lam Hay Bun kali ini berbeda. Mereka bertekad menguasai rimba
persilatan dengan cara yang jujur, menggunakan kemurnian ilmu silat sehingga tidak beralasan orang rimba persilatan untuk menentang mereka".
Sudah menjadi pengetahuan umum, seseorang jika kalah dalam pi-bu, kalah
atau tewas dalam pertandingan yang jujur, hal ini merupakan suatu hal yang
jamak. Tidak ada alasan bagi yang kalah untuk mengeroyok yang menang. Jika yang
kalah mengeroyok yang menang, maka ia akan dianggap seorang pengecut.
Seorang yang berlaku perbuatan curang yang dapat merugikan nama baiknya.
Pihak yang kalah harus berusaha dengan kemurnian silat untuk mencapai
kemenangan. Dengan cara ini, baru dia diakui kehebatannya.
"Dengan cara seperti ini, paling banter mereka hanya keluar sebagai pemenang, bagaimana mereka dapat dianggap menguasai rimba persilatan?"
"Sebab mereka menawarkan yang kalah untuk mempelajari silat Lam Hay Bun"
Pek Bin Siansu memandang susioknya dengan kaget. Cara ini memang cara
yang luar biasa!
Siapa yang tidak tertarik untuk mempelajari ilmu silat yang mengalahkan
mereka" Untuk mempelajari ilmu tersebut, mereka harus bergabung dengan
pihak Lam Hay Bun. Otomatis harus mengikuti tata cara satu perguruan.
Tanpa paksaan atau penggunaan racun, secara suka rela dan bersih, mereka
dapat menundukkan orang orang di rimba persilatan tanpa dapat ditentang oleh perguruan besar di tionggoan.
"Kuyakin, masih banyak pendekar sejati, yang belum tentu tertarik bergabung dengan pihak Lam Hay Bun" kata Pek Bin Siansu setelah berpikir sejenak.
"Betul perkataanmu. Tapi jumlah pendekar sejati semacam ini sangat sedikit.
Pendirian merekapun terkenal teguh. Pihak Lam Hay Bun tentu saja menyadari, mereka tidak mungkin dapat merangkul pendekar sejati sejenis ini. Kuyakin,
pihak Lam Hay Bun tentu akan membunuh mereka dalam pertandingan yang
adil" Pek Bin Siansu mau tidak mau harus mengakui kebenaran ucapan susioknya,
"Walau mereka berkepandaian hebat, belum tentu mereka berhasil mengalahkan
semua orang rimba persilatan" seru Pek Bin Siansu agak penasaran.
"Berhasil atau tidak, yang jelas banjir darah akan terjadi. Dan sulit sekali untuk dicegah" kata Goan Kim Taysu dengan sedih.
"Sungguh rencana yang hebat!" gumam Pek Bin siansu perlahan.
"Apa susiok sudah mempunyai cara untuk menghadapi mereka?" tanya Pek Bin
Siansu. Setelah termenung sejenak, Goan Kim Taysun berkata:
"Kuminta kau mengutus Mo Tian sutit pergi ke kota Lok Yang, bilang pada Khu Pek Sim, aku berkenan untuk mengangkat cucunya, Khu Han Beng, menjadi ahli
warisku" Goan Kim Taysu, mengulap tangannya, mengakhiri pembicaraan.
Pek Bin Siansu meninggalkan susioknya sambil merenung. Kecuali persoalan
Lam Hay Bun yang luar biasa, hal yang lain yang dibicarakan Gon Kim Taysu
kepadanya, boleh dibilang tidak ada satupun yang istimewa.
Hal hal yang ingin ia ketahui terutama mengenai si pencuri kitab itu, justru tidak dibicarakan, dan iapun tidak berani mendesak susioknya.
Diam diam ia ikut bersyukur bagi Khu Pek Sim, murid preman sialimsi yang
bukan dari kalangan pendeta. Bagaimanapun juga Goan Kim Taysu akan
mempunyai ahli waris hingga Bu Kek Kang sinkang tidak ikut terkubur
bersamanya. Yang ia heran, susioknya yang tidak pernah keluar pondok puluhan tahun
lamanya, darimana mengetahui nama cucu Khu Pek Sim" Dirinya malah tidak
tahu. Khu Pek Sim memiliki Lok Yang Piaukiok, perusahan pengawal barang di kota
Lok Yang. Terakhir Khu Pek Sim berkunjung ke siaulimsi terjadi sekitar lima belas tahun yang lalu, setelah selesai mengantar barang ke kotaraja. Walau
jarang bertemu, hubungan mereka tidak jelek.
Pek Bin Siansu sempat mengetahui Khu Pek Sim hanya mempunyai seorang
putri remaja. Tentu sekarang ia sudah menjadi seorang ibu, ibunya Khu Han
Beng. Setelah berpikir sejenak, Pek Bin Siansu merasa kejanggalan. Sebagai murid
swasta siaulimsi, sudah tentu Khu Pek Sim mengirim undangan kepada ketua
siaulimsi, ketika putrinya menikah. Tapi seingatnya, ia tidak pernah menerima undangan tersebut.
****************************
Lok Yang piaukok terletak di pinggir kota Lok Yang dan menempati daerah yang
cukup luas dikelilingi sebuah tembok yang cukup tebal. Rumah bergenting merah bederet deret puluhan banyaknya.
Sebagai Congpiautau, Khu pek sim temasuk seorang pemimpin yang sangat
memperhatikan kesejahteraan anak buahnya. Selain memberi pesangon yang
cukup, dia juga memberikan sarana tempat tinggal bagi pegawainya.
Disebuah kamar dirumah yang paling besar, seorang anak berumur sekitar
empat belas tahun sedang menggoreskan penanya diatas sehelai kertas.
Tampaknya ia tidak berniat untuk berhenti, dilihat dari tumpukan kertas yang cukup tebal diatas mejanya, tentu sudah lama ia menulis.
Sinar matahari pagi menyoroti sebagian wajah bocah itu. Wajah yang tampan
dihiasi alis yang tebal, dan hidung yang mancung, jelas mencerminkan
kekerasan dan keteguhan hati.
Matanya agak istimewa, bukan karena mencorong sinar tajam, seperti biasanya ahli silat...Mata itu agak istimewa karena mengikuti tarian pena lebih dari sepenanakan nasi.... tanpa berkedip.


Bu Kek Kang Sinkang Karya Kkabeh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hanya seorang kutu buku yang bisa mempunyai otot mata yang demikian
kuatnya. Hanya kebiasaan membaca berjam jam setiap harinya, yang dapat
melatih otot mata yang kuat sekaligus melatih kebiasaan memusatkan perhatian.
Membaca adalah suatu kebiasaan yang baik.Suatu kebiasaan yang membuat
kamar Khu Han Beng yang luas menjadi sempit penuh dengan rak berisi buku.
Pintu kamarnya dibuka oleh Lo Tong yang tanpa basa basi langsung berkata:
"Beng sau-ya, kau dipanggil oleh yaya-mu"
Lo Tong ditugaskan yaya-nya untuk melayani keperluannya. Sebetulnya, dia
yang meminta dan memilih Lo Tong untuk melayaninya. Lucunya, walau sudah
berusia enam puluh tahun lebih, dan lebih dari tujuh tahun bekerja sebagai
kacung bukunya, Lo Tong buta huruf.
Entah apa sebabnya, Han Beng tidak pernah mengajar cara membaca atau
menulis kepada Lo Tong, kakek tua itupun juga nampaknya tidak tertarik untuk belajar membaca.
Tugas sehari harinya, hanya menyiapkan tinta, membersihkan alat tulis, dan
menyusun kertas kertas hasil tulis sau-ya kecilnya. Tugas yang sangat ringan, cocok dengan kondisinya yang memiliki tulang tua, yang mudah mengilu bila
melakukan kerja berat
Setahu Lo Tong, siau sau-ya, tuan kecil satu ini memang sedikit aneh. Umumnya anak kecil gemar bermain, Khu Han Beng lebih gemar mengurung dirinya
didalam kamar, membaca buku buku tebal dan menulis puluhan lembar tiap
harinya. Kecuali dirinya, bocah ini melarang orang lain memasuki kamarnya.
Bahkan Khu Pek Sim pun, hampir tidak pernah datang ke kamar ini. Ia selalu
menyuruh Lo Tong meminta Han Beng untuk menghadapnya.
Khu Han Beng meletakkan penanya, sambil berkata: "Kau masukkan kertas
kertas ini kedalam tasku, siapkan kuda, kita pergi mengunjungi Gu-Suko"
Han Beng menarik laci mejanya, mengambil beberapa tahil perak.
"Kupergi menemui yaya. Tunggu aku di pintu gerbang".
Lo Tong menghela napasnya, dia tidak begitu menyukai mengunjungi tempat
Gu-Suko, pemilik toko buku terbesar di kota Lok Yang. Baginya bau arak wangi, jauh lebih sedap dibanding bau buku tua yang memiliki ciri yang khas. Ciri yang membuatnya sesak napas.
Khu Han Beng sangat akrab dengan Gu-Suko. Boleh dibilang hubungan mereka
sudah seperti adik-kakak angkat. Hampir seminggu sekali Han Beng
menyempatkan diri untuk mengunjungi Gu-Suko.
Aneh juga, baru terpikir oleh Lo Tong, selama tujuh tahun ini, seingatnya belum pernah, Gu-Suko mengunjungi Lok Yang Piaukok, walau satu kali.
************************
Khu Pek Sim sedang duduk termenung diruang meja kerjanya. Tangannya
memegang sebuah kotak terbuat dari batu kemala, yang mempunyai bentuk
kubus. Setiap sisi kotak itu, terdapat 9 kotak bujursangkar kecil yang dihiasi enam macam warna.
Setiap kotak dipenuhi oleh sebuah warna, ada yang merah, ada yang biru,
kuning, hijau, hitam, dan putih...sayangnya tidak mengikuti citra seni, hingga berkesan tidak beraturan dan tidak karuan.
Kerutan di kening Khu Pek Sim makin bertambah, ketika tanpa sengaja
tangannya dapat memutar setiap sisi kotak tersebut. Pegas di dalam kotak
kemala tersebut, dibuat sedemikian rupa hingga setiap sisi kota itu dapat
digerakkan secara tegak lurus atau mendatar.
Sudah menjadi kebiasaan banyak orang, jika sedang asyik berpikir, tangan tidak jauh dari memegang jenggot. Walau usia sudah mendekati enam puluh tahun,
Khu Pek Sim masih nampak gagah.
Dia memelihara jenggot yang pendek yang terawat rapi, mungkin untuk menutupi codet luka pedang yang tergaris dari bibir sebelah kiri turun mencapai dagu.
Setiap kali jari tangannya menyentuh bekas luka diujung bibir, tubuh Khu Pek Sim masih bergidik.Tidak sedikit manusia yang menemui ajal di dunia persilatan waktu berselang, karena tidak berhasil menghindari jurus pedang Bwe Hoa
kiamsut, dirinya pun tidak.
Jurus yang selalu mengarah ke bagian yang mematikan sedang mengancam ke
arah mulutnya ketika pedang itu terpukul dari atas, meninggalkan codet luka yang cukup dalam. Untung dia berhasil ditolong oleh....
"Yaya!" panggilan Khu Han Beng menyentakkan Khu Pek Sim dari pikirannya.
Khu Pek Sim mengangkat wajahnya kemudian tersenyum haru. Relung hatinya
selalu terenyuh setiap kali melihat cucu ini. Anak satu satunya dari mendiang putrinya yang juga satu satunya.
"Kau semakin besar, wajahmu makin mirip ibumu" kata Khu Pek Sim sambil
meletakkan kotak kemala itu, dan kemudian memegang bahu cucunya.
Tak tahan, Khu Han Beng melirik sekejap pada kotak kemala itu.
"Kotak apa itu, yaya?" tanyanya.
"Barang pelanggan yang harus kuhantarkan. Warnanya cukup menarik bukan"
kata Khu Pek Sim sambil tersenyum.
Khu Han Beng termenung sejenak sebelum berkata:
"Entah ada urusan apa, yaya memanggilku?"
"Siang ini, aku akan pergi mengawal barang ini. Perjalanan kali ini cukup jauh, mungkin akan menyita sekitar dua bulan. Kuminta kau mengatur dan mengurus
sesuatunya dipiaukiok ini".
"Baik akan kulakukan. Hanya kuperlu menemui Gu-suko sebentar. Siang hari,
kuyakin sudah kembali".
Khu Pek Sim cukup tahu hubungan akrab cucunya dengan Gu Cin Long, pemilik
toko buku, walau belum pernah berjumpa dengan orangnya.
"Apa kau perlu uang" Kutahu buku yang hendak kau beli tentu tidak sedikit"
Khu Han Beng menggeleng, ujarnya perlahan:
"Aku memang memerlukan sesuatu, cuma bukan uang"
Agak berubah muka Khu Pek Sim, ia seperti tahu apa yang dikehendaki bocah
ini. Dia memang jarang di rumah, tugasnya menuntut kehidupan yang lebih
banyak dihabiskan di jalan.
Tapi setiap kali ada kesempatan, dia berusaha memanjakan cucu luarnya ini.
Hanya maunya bocah ini sangat sedikit.
Begitu memasuki usia membaca, hobinya mengurung diri di kamar, tenggelam
oleh buku bukunya. Kadang kadang suka juga ia bermain dibukit belakang,
sendirian. Tapi belakangan ini, setiap ada kesempatan, cucunya selalu menanyakan soal
yang itu itu juga. Soal yang Khu Pek Sim enggan membicarakannya.
Bergetar bibi Khu Han Beng ketika bertanya:
"Bukankah yaya pernah bilang, jika aku sudah besar, yaya akan menceritakan
mengenai ayah-ibu?"
Khu Pek Sim menghela napas:
"Kau memang sudah sebesar dan setinggi yayamu, hanya kau tetap belum
dewasa" "Bukankah seorang dianggap dewasa, jika sudah berani bertanggung jawab?"
"Yaa, kira kira begitu."
Khu Han Beng dengan cepat mendesak kakeknya:
"Untuk yang kedua kali, aku memimpin Liok Yang Piaukok selama kepergian
yaya, bukankah hal ini bisa dianggap aku bertanggung jawab dan mampu
melakukannya?"
Khu Pek Sim terdiam, katanya dengan perlahan:
"Kenapa kau selalu ingin tahu urusan ini?"
Melihat kali ini yaya-nya tidak berang, dengan cepat Khu Han Beng menjawab:
"Ku tahu she-ku mestinya mengikuti she ayahku, yang jelas bukan she Khu
seperti she yaya. Aku juga tahu riwayat hidup orang tuaku tentu mempunyai liku liku sehingga yaya enggan menceritakannya padaku.Tapi bukankah seorang
anak mempunyai hak untuk mengetahui perihal orang tuanya?"
Khu Pek Sim menarik napas dalam dalam.
"Ai ih....Inilah akibatnya kalau seorang anak gemar baca buku. Ucapan dan
usianya benar benar tidak sebanding" gumamnya perlahan.
Dia tahu, cepat atau lambat, dia harus memberitahu persoalan ini kepada Khu Han Beng. Tapi apa sekarang" Dia agak ragu.
"Urusan ini akan jauh lebih mudah, jika kau sudah menguasai ilmu silat" ujarnya sedih.
Khu Han Beng membuka mulutnya, seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak jadi.
Khu Pek Sim termenung. Cucunya tidak suka berlatih silat, setiap kali dia
mendesak, Khu Han Beng hanya tersenyum sambil menggeleng. Dia tidak tega
untuk memaksa cucu kesayangannya ini.
Bagaimanapun juga, sudah cukup bocah ini dilahirkan dari suasana yang tidak menyenangkan.
Tapi pernah terjadi suatu kejadian lucu. Ketika bocah ini berusia 9 tahun, Khu Han Beng pernah mengomentari jurus kebanggaannya, jurus toya penghancur
iblis, jurus yang ia peroleh langsung dari siaulimpay...salah gerakannya!
Pek Bin Siansu sendiripun kagum atas kesempurnaan permainan toyanya.
Masakkan bocah yang tidak suka silat, berani berkata, gerakkan toyanya kurang tepat. Tersungging senyum dibibir Khu Pek Sim setiap mengingat kejadian ini.
Melihat senyuman yaya-nya, terlintas rasa girang di muka Khu Han Beng.
"Baik! Begitu kembali dari perjalananku ini, akan kuceritakan perihal orangtuamu.
Dengan satu syarat, kau harus mulai belajar silat. Walau sudah agak telat, tapi belum terlambat".
Mendengar dia harus menunggu dua bulan lagi, Khu Han Beng agak kecewa,
tapi dia yakin dia sanggup menunggu. Hanya soal harus belajar silat agak
mengganggunya. "Baik! Aku akan mulai belajar silat dari Tan toako" katanya setelah berpikir sejenak.
***********************
Dengan jadwal usahanya yang padat, sudah tentu Khu Pek Sim tidak sempat
menurunkan kepandaiannya kepada anak buahnya.
Tan Leng Ko, Tan kausu, merupakan guru silat yang melatih para piasu di Lok Yang Piaukok. Kepandaian Tan leng ko khusus dibidang golok. Konon katanya
ia menguasai enam jurus dari 13 jurus Ouw Yang Ci To yang sudah lenyap dari dunia persilatan. Enam jurus tersebut sudah cukup untuk mengangkat namanya, sebagai ahli golok di dua propinsi.
Tan Leng Ko selalu menganggap setiap orang mempunyai nasib masing masing.
Kebanyakkan orang mempunyai garis hidup yang sial, dia tidak.
Sekitar tujuh tahun yang lalu, dia pernah hampir mati dikeroyok oleh enam
manusia buas dari gurun. Khu Pek Simlah yang menolong dirinya lolos dari
lubang jarum. Toya Khu Pek Sim menghajar mampus mereka dalam seratus
jurus. Merasa hutang budi, dia ikut Khu Pek Sim dan mulai bekerja di Lok Yang Piaukok.
Baru tiga hari menetap, karena suatu keperluan, dia pergi ke kota Lok Yang.
Kembali dirinya mengalami nasib yang mujur.
Secara tidak sengaja, dia memperoleh enam jurus Ouw Yang Ci To!
Dia ingat betul, waktu itu perutnya sangat mules, maklum, pagi hari dan
santapan pedas, merupakan kombinasi yang kurang baik terhadap kondisi perut.
Dia kebetulan baru selesai makan di rumah makan Se Chuan Koan yang
terkenal menyajikan makanan yang pedas pedas.
Untuk kembali ke rumah makan sudah tidak sempat. Sekenanya, diambilnya
gumpalan kertas dari dalam tempat sampah, yang terletak tidak jauh dari tempat berdirinya. Dan bagaikan dikejar setan, dia berlomba lari menuju sebuah gang yang gelap dan sempit
Sambil berjongkok di pojok memenuhi tugas panggilan alam, iseng Tan Leng Ko melirik gumpalan kertas yang diperlukannya untuk memoles bagian tertentu.
Kertas itu jelas lecak diremas orang, untung masih kelihatan bersih dan baru.
Dari tulisan yang mencong sana sini, Tan Leng Ko sadar bahwa tulisan ini dibuat oleh anak kecil yang sedang belajar menulis.
Tulisan anak anak biasanya memang mempunyai ciri khas yang berbeda dengan
tulisan orang dewasa. Tanpa terasa Tan Leng Ko membaca tulisan tersebut.
Setelah membaca beberapa baris, muka Tan Leng Ko berubah hebat.
Tulisan cakar ayam itu ternyata mencatat jurus Ouw Yang Ci To yang ia dengar sangat terkenal seratus tahun yang lalu. Salinan ilmu golok yang hebat ini, ternyata dibuang orang begitu saja ke keranjang sampah!
Selesai melakukan hajat, bergegas Tan Leng Ko kembali ke keranjang sampah
tersebut. Ia tidak peduli, orang yang kebetulan lewat keheranan melihat
kelakuannya yang seperti orang gila menumpahkan isi sampah dan mengorek
sana sini. Tan Leng Ko tidak sayang baju dan tangannya berlempotan sampah. Yang ia
sayangkan, banyak gumpalan kertas itu yang sudah ternoda lumpur dan kotoran hingga rusak tidak tertolong.
Dari puluhan gumpalan kertas yang berhasil ia selamatkan, dengan susah
payah, Tan Leng Ko berhasil juga melatih jurus golok yang tidak lengkap itu.
***************
Matahari yang condong ke barat menerpa debu debu yang masih menempel
ditubuh Khu Han Beng. Jelas bocah ini baru kembali dari kota Lok Yang. Dia
tidak sempat berganti baju. Ia menepati janjinya untuk menemui Tan toako sore hari di ruang melatih silat.
Tanpa banyak cakap, Tan Leng Ko begitu muncul, langsung menyodorkan golok
yang terbuat dari kayu kepada Khu Han Beng. Seperti piasu yang lainnya, Tan Leng Ko tidak begitu akrab dengan bocah yang suka menyendiri ini.
Tapi bagaimanapun, bocah ini cucu kesayangan Khu Pek Sim, orang yang
paling dihormatinya. Tan Leng Ko memutuskan untuk memberikan ilmu yang
menjadi andalannya kepada Khu Han Beng.
"Banyak orang persilatan menganggap bahwa pedang adalah rajanya senjata.
Yang kulatih adalah ilmu golok. Bagiku, golok adalah kaisarnya senjata" ujar Tan Leng Ko menerangkan.
"Ukuran sebilah golok biasanya lebih pendek dari sebatang pedang, hingga lebih memudahkan untuk menguasai gerakkannya. Inti jurus golokku adalah cepat.
Kau harus dapat menguasai lawan digebrakkan awal. Misalnya, jika lawanmu
menggunakan tangan kanan dan menyerang dengan pedang, kalau tidak
melakukan gerakkan menusuk tentu menebas. Jurus pertama Ouw Yang Ci To,
mengharuskan kau untuk melompat dan memutar badanmu ke arah bahu kiri
lawan, mengayun golok dengan tangan kanan, kemudian melepasnya melayang
di udara. Tangan kiri mencekeram, menyambut golok tersebut dan kemudian
menabas ke arah leher lawan".
Dengan sabar dan perlahan, Tan Leng Ko menerangkan jurus goloknya yang
sulit untuk dilakukan. Untuk Jurus pertama Ouw Yang Ci To, Tan Leng Ko
memerlukan waktu sekitar delapan bulan untuk dapat melakukannya. Ia
berharap Khu Han Beng dapat menguasainya dalam waktu satu tahun.
Tan Leng Ko mengulang sampai tiga kali, kemudian menyuruh Khu Han Beng
untuk meniru gerakkannya.
Khu Han Beng menggerakkan golok kayunya, memutar tubuhnya dan
melakukan persis seperti apa yang diperbuat oleh Tan toakonya.
Mata Tan Leng Ko terbelalak, mulut terbuka menganga, dia tidak mempercayai
apa yang barusan dilihatnya. Masakkan bocah yang dia tidak pernah lihat
berlatih silat, dapat melakukan jurus yang dia tahu sulit sekali untuk dilakukan!
"Coba kau ulangi lagi!" perintahnya
Sampai tiga kali, Khu Han Beng mengulang, walau masih kelihatan kaku tapi
jelas dia mampu melakukannya dengan baik.
"Coba kau tiru gerakkan ini!"
Berturut turut Tan Leng Ko menggerakkan tubuh dan goloknya melakukan jurus
kedua hingga jurus keenam dari Ouw Yang Ci To, yang kemudian dapat ditiru
oleh Khu Han Beng dengan persis, hanya berbeda keluwesannya.
Tanpa terasa, Tan Leng Ko menelan air ludahnya,
"Coba yang ini!" jeritnya tak terasa.
Tubuhnya bergerak, inilah gerakkan ke tujuh dari Ouw Yang Ci To!
Hasil gubahannya bertahun tahun. Jurus Ouw Yang Ci To, memerlukan
kecepatan, mirip dengan deburan ombak.
Jurus kedua akan mempunyai daya serang yang lebih hebat dari jurus pertama.
Jurus ke tiga lebih dahsyat dari jurus kedua, begitu seterusnya.
Setelah berpikir keras sekian lama, walau agak dipaksakan, akhirnya Tan Leng Ko berhasil menciptakan jurus ketujuh.
Baru setengah jurus ketujuh Khu Han Beng lakukan, tiba tiba ia berhenti. Alisnya yang tebal berkerenyit.
"Kenapa berhenti?" tanya Tan Leng Ko.
Agak ragu Khu Han Beng menjawab:
Jurus satu hingga enam enak dilakukan, satu jurus berkait dengan jurus
berikutnya. Hanya jurus yang ini...?"
Bagi seorang ahli silat, walau jurus ketujuh ini cukup dahsyat tapi jelas
mempunyai lobang kelemahan yang banyak disana sini.
Dengan tegang, Tan Leng Ko menjawab:
"Kenapa dengan jurus ini?"
"Seperti berdiri sendiri....terpisah!" ujar Khu Han Beng dengan perlahan.
Tan Lengko menarik napas dalam dalam, jantungnya agak berdebar keras.
Tujuh tahun sudah dia bekerja di Liok Yang piaukok, dia tahu dengan pasti Khu Han Beng bukan seorang ahli silat.
Golok kayu ditangan Khu Han Beng mendadak digerakkan secara aneh
"Mungkin, kalau begini....?"
Tubuh Khu Han Beng bergerak dengan lambat. Setiap gerakkan nampak Khu
Han Beng berhenti sejenak seperti sedang mengingat gerakkan selanjutnya.
Tapi jelas gerakkan Khu Han Beng jauh berbeda dengan gerakkan Tan Leng Ko.
Lapat lapat Tan Leng Ko merasa, gerakkan ini sangat serasi dengan jurus
keenam dari Ouw Yang Ci To. Apa ini jurus ketujuh yang asli"
Tanpa terasa Tan Leng Ko mengikuti gerakkan Khu Han Beng. Setelah sekian
lama mengulang, baru ia melakukan gerakkan itu dengan cepat.
"Braaakk....!" puluhan tombak yang berderet di rak senjata dekat Tan Leng Ko putus berserakkan terkena sabetan goloknya.
Seorang piasu berlari masuk dengan napas terengah engah.
"Khu siau-sauya, Tan Toako! Ada orang diluar mengamuk melukai orang!"
"Siapa?" tanya Tan Leng Ko.
"Mereka mengaku dari Bwe Hoa Pang, mereka mencari Khu Congpiautau.
Mereka tidak percaya, Khu Congpiautau sedang dinas keluar, malah kemudian
mereka mulai melukai para piausu".
Tan Leng Ko bergegas keluar di kuti oleh Khu Han Beng dan piasu yang
melapor. Betul Khu Han Beng yang memimpin Liok Yang Piaukok jika Khu Pek
Sim berhalangan, tapi lebih banyak bersifat administratif. Jelas untuk
menghadapi urusan semacam ini, Tan Leng Ko jauh lebih tepat dan handal.
Mendidih darah Tan Leng Ko begitu melihat lebih dari enam orang anak buahnya menggeletak berlimpangan darah, jelas dilukai oleh mereka bertiga.
Seorang gadis muda belia, didampingi seorang pemuda bersenjata pedang yang
bernoda darah yang masih menetes, dan seorang kakek beralis putih.
"Apapun urusan kalian datang kesini, melukai banyak orang, bukankah
menyalahi aturan kangouw?" bentaknya dengan geram.
"Jika pertanyaan kami tidak kau jawab dengan tepat, kaupun akan kami lukai"
kata gadis muda itu sambil tertawa.
"Siapa kalian" Apa yang kalian maui?"
"Seharusnya kau tahu, kami dari Bwe Hoa Pang".
Tiga tamu ini, masing masing menyematkan bunga bwe di dada atas sebelah
kiri.Bunga bwe terbuat dari besi, berwarna hitam.
Tan Leng Ko pernah mendengar ketenaran Bwe Hoa Kiamsut, yang dikuasai
seorang jago pedang berwajah dingin, Ma Koan Tek.
Tapi baru pertama kali ia mendengar Bwe Hoa Pang. Apa dua hal ini
berhubungan"
Menurut penuturan Khu Pek Sim, kepandaian Ma Koan Tek tinggi sekali. Ia
hampir tewas dibawah serangan Bwe Hoa Kiamsut, jika tidak ditolong oleh
seorang pemuda, yang kemudian melukai Ma Koan Tek dalam dua puluh jurus.
Semenjak kejadian itu, Bwe Hoa Kiam Ma Koan Tek tidak pernah kedengaran
lagi beritanya. Ketika Tan Leng Ko bertanya siapakah pemuda yang mampu
mengalahkan Ma Koan Tek itu, Khu Pek Sim menolak untuk menjawab.


Bu Kek Kang Sinkang Karya Kkabeh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kedatangan kami memang mencari Khu Pek Sim" perkataan gadis itu
menyentakkan Tan Leng Ko dari lamunannya.
Tanpa banyak bicara, Tan Leng Ko langsung mencabut goloknya.
Dengan agak heran, gadis itu bertanya:
"Bukan menjawab, kau malah mau mengajak berkelahi?"
"Jika kujawab Khu Congpiautau sedang pergi dinas keluar, kalian toh tetap tidak percaya, daripada buang tenaga ribut mulut, toh dengan melukai anggota kami, urusan ini hanya bisa diselesaikan dengan ujung senjata. Kenapa tidak kita mulai sekarang?" tantang Tan Leng Ko.
Gadis muda itu manggut manggut setuju.
"Memang urusan ini jika makin cepat selesai, main baik" tangannya membuat
gerakkan perlahan, pemuda yang kelihatan angkuh itu, meloncat maju.
"Semestinya menghadapi cecurut kelas tiga, bukan aku yang maju" keluhnya
dengan sombong.
Tanpa banyak cing cong, Tan Leng Ko menggerakkan goloknya mengeluarkan
jurus andalannya.
Terkesirap darah pemuda itu menghadapi sabetan golok yang hebat itu. Dengan cepat iapun menggerakkan pedangnya. Sinar pedang dan golok berkelebatan
di ringi suara yang menggiriskan.
"Traaangg...!" terdengar suara benturan golok dengan pedang. Pemuda itu
melejit menjauhi Tan Leng Ko.
"Tak kusangka, dikalangan piausu terhadap seorang jago golok yang hebat"
gumamnya perlahan.
"Coba kau tahan jurus ini!" Bentak Tan Leng Ko, tubuhnya melambung
melakukan jurus serangan kedua.
Hawa dingin yang keluar dari golok, menyambar kearah pemuda itu. Tubuhnya
terada ditindih oleh sesuatu yang berat dan tak tampak. Pemuda itu menggeliat menggerakan jurus bwe hoa kiam sut yang menjadi andalannya. Terlambat!
Pemuda itu mendengus, bahu kanannya tersabet golok, darah mengalir cukup
deras. "Tahan!" seru kakek beralis putih sambil melesat menarik pemuda itu dari
gelanggang pertarungan. Tanganya dengan cepat menotok memberhentikan
aliran darah. Selesai menolong, kakek itu menoleh ke arah Tan Leng Ko sambil berkata
dengan dingin: "Jurus serangan golokmu, apakah jurus golok Ouw Yang Ci To yang sudah lama
punah?" "Kau pernah melihat jurus itu" jawab Tan Leng Ko balik bertanya.
Kakek alis putih itu termenung,
"Tidak banyak jurus golok yang mampu menekan Bwe Hoa Kiamsut. Jurus golok
yang dapat melakukan itu, pernah kulihat semua" ia berhenti sejenak.
"Jurus yang baru saja kau gunakan, sama sekali tidak kukenal! Hanya....?".
"Hanya apa...?"
"Kukira, hanya jurus golok Ouw Yang Ci To yang mampu melukai pemuda ini".
"Mampukah kau menyambut jurus itu" tanya Tan Leng Ko.
Diam diam hatinya kagum dengan pengetahuan kakek ini.
"Belum tentu, tapi aku ingin mencobanya" kata kakek beralis putih dengan
dingin. Tangan Tan Leng Ko memegang golok dengan kencang. Dari sikap si kakek alis
putih yang dia tidak kenal ini, dia tahu, dia akan menghadapi musuh tangguh.
Kakek alis putih itu berdiri miring menghadap Tan Leng Ko dengan kaki kiri
ditekuk kedepan. Mereka saling mengukur mencoba menerka gerakkan lawan.
Tan Leng Ko mulai menyerang, kakek alis putih menggerakkan lengan bajunya
menepas pergi hawa golok yang mengiris tajam. Tubuh Tan Leng Ko lenyap
terbungkus gulungan selimut golok, tanpa terasa ia telah mengeluarkan enam
jurus Ouw Yang Ci To.
Tegopoh gopoh kakek alis putih itu menyambut gelombang serangan dahsyat
itu, tapi dengan memaksakan diri dia mampu lolos dari maut.
Tanpa terasa, mereka sudah bertukar posisi. Tan Leng Ko menatap tajam
lawannya yang paling tangguh yang ia pernah jumpai.
Dengan pandangan dingin, kakek alis putih berkata:
"Tampaknya jurus serangamu memang dari Ouw Yang Ci To, sayang..."
"Apanya yang sayang?" tanya Tan Leng Ko dengan muka berubah.
"Yang kuketahui, 13 jurus Ouw Yang Ci To harus dimainkan sekaligus. Jelas
seranganmu baru enam jurus, dan kau sudah berhenti. Kau menghentikan
seranganmu karena jurus yang kau miliki tidak lengkap!"
Berdesir hati Tan LengKo, kakek sakti ini mengetahui kelemahannya.
"Jika kau menguasai satu jurus lagi, tentu aku tidak tahan. Sayang, ilmu yang langka ini harus kembali punah" gumam kakek itu perlahan.
"Kenapa harus punah?" tanya Tan Leng Ko kurang mengerti.
"Jika kau tidak mampu mengalahkanku, maka kau harus mati!" jengek kakek itu.
Selesai berkata, kakek itu menyerang, menggunakan tapak tangan. Tanpa pikir panjang, terpaksa Tan Leng Ko menggerakkan goloknya dengan enteng. Tidak
seperti gerakkan sebelumnya, kali ini gerakannya kaku, dan lambat. Kelihatan betul ia belum begitu mahir.
Dengan nekat, ia mengeluarkan gerakkan yang baru saja dilatihnya dengan Khu Han Beng....jurus ketujuh dari Ouw Yang Ci To!
"hiyaatttt...!" kakek alis putih itu membentak.Tangannya menyambut serangan golok itu
"Bruaaakkk...!" Tan Leng Ko mendengus, darah keluar dari mulutnya. Perutnya terserempet ujung lengan baju kakek itu. Ia jatuh dengan goloknya terhujam
ditanah, menopang tubuhnya yang gemetaran.
Senuyman yang menghiasi bibir mungil gadis cantik itu membeku. Dengan cepat ia menghampiri kakek alis putih yang menggeletak diam ditanah. Dada sebelah kanannya terluka sedalam tujuh inci. Darah yang membasahi baju kakek itu
berhenti mengalir... dia sudah tewas!
"Benar benar tak kusangka, seseorang dari kalangan piasu, mampu membunuh
Kiu Tok Sin Mo" serunya perlahan.
Kaget sekali Tan Leng Ko mendengar ucapan gadis itu, dia telah membunuh raja iblis yang terkenal puluhan tahun yang lalu itu!
"Siapa yang akan maju menghadapiku?" tantang gadis itu dengan lantang.
Hati Tan Leng Ko tenggelam, dia sudah luka parah. Para piasu yang
berkepandaian tinggi, ikut pergi bersama Khu Congpiautau.
"Aku yang akan menghadapi dirimu" gumam Tan Leng Ko tidak jelas. Mulutnya
penuh dengan darah...darah getir dan lengket.
"Jika kau masih sanggup berdiri, aku akan pergi dari sini!" ujar gadis itu dengan sinis.
Tan Leng Ko menggeliat badannya berusaha untuk berdiri, tapi tubuhnya malah rubuh. Khu Han Beng bergegas memegang tubuh Tan Leng Ko.
"Bagaimana keadaanmu, Tan toako?" tanyanya kuatir.
"Jangan kuatir, aku tak bakal mati. Kau tahu, kenapa aku tak bakal mati?" tanya Tan Leng Ko sambil memuntahkan darah segar.
Khu Han Beng menatapnya haru.
"Sebab nasibku mujur!" selesai berkata Tan Leng Ko terkulai pingsan ditangan Khu Han Beng.
Melihat rubuhnya Tan Kausu, para piasu lain tidak dapat menahan amarahnya.
Terdengar desingan pedang dicabut, ayunan golok, dan ancaman tombak
menyerang gadis muda itu. Dengan ringan, gadis itu menggerakkan kaki
tangannya, tanpa menghadapi kesulitan yang berarti.
Puluhan piasu berterbangan seperti serangga menabrak api. Hanya dalam waktu sebentar, lebih banyak yang berbaring dibanding yang berdiri.
Dengan keras Khu Han Beng membentak para piasu itu, agar mengundurkan
diri. Ia menoleh ke gadis itu,
"Sebaiknya kalian lekas pergi dari sini" ucapnya dengan dingin.
"Bocah kecil, siapa kau" kata gadis itu sambil tertawa.
Khu Han Beng membaringkan tubuh Tan Leng Ko, kemudian menghampiri gadis
itu dengan memegang golok kayunya.
"Apa kau akan menghadapi diriku dengan senjata mainan itu?" tanya gadis itu tak dapat menahan gelinya.
Khu Han Beng termenung sejenak, kemudian katanya:
"Apa yang harus kulakukan, agar kau lekas pergi" katanya hambar.
"Kau harus mampu mengutungi tanganku dengan golok kayu itu" gurau gadis itu.
"Baik!"
Golok kayu itu membuat gerakkan mendorong, perlahan. Tidak ada yang luar
biasa dari gerakkan Khu Han Beng. Golok kayu itu hanya menunding ke arah
tubuh gadis itu.
"Iii hhh....!" tubuh gadis itu bergeser mundur lima langkah dengan cepat.
Begitu kakinya menempel tanah, dia merasa dua belas jalan darah pentingnya
masih terancam hawa tak nampak yang keluar dari ujung golok kayu itu.
Cepat ia mencabut pedangnya. Tapi sudah terlambat. Semacam hawa hangat,
halus tapi kuat menyusup ke lengan kanannya yang memegang pedang. Otot
lengan kanannya mengejang keras, tanpa dapat ia kuasai, pedangnya membuat
gerakkan memutar, mengayun kuat kearah....siku kirinya!
"Croottt!!!...." darah berhamburan dengan dibarengi sebuah tangan yang jatuh ke tanah.
Muka gadis itu berubah pucat, dengan rasa takut yang hebat dia melirik Khu Han Beng dengan pandangan tak percaya!
Wajah Khu Han Beng dingin membatu. Tidak ada satupun dari tubuhnya yang
bergerak. Tiupan angin malam yang kencang bahkan tidak dapat menggerakkan
rambutnya. Lapat lapat, tubuhnya seperti memancar hawa yang menggiris.
Keadaan Khu Han Beng sungguh menyeramkan.
Dengan menggigit bibir menahan isak tangis, gadis itu memungut kuntungan
tangannya, kemudia tanpa berbicara, ia melesat dan menghilang di kegelapan
malam. Pemuda yang terluka yang datang bersama gadis itu, memandang bingung tidak
mengerti. Apalagi para piasu yang tidak pernah melihat Khu Han Beng berlatih silat. Sebenarnya apa gerangan yang terjadi"
"Ilmu iblis apa yang kau gunakan?" bentak pemuda itu menutupi rasa gentarnya.
"Bukankah kau saksikan sendiri perbuatan gadis itu" Menyentuh dirinyapun
tidak" Apa sangkut pautnya dengan aku?" Khu Han Beng balik bertanya.
Pemuda itu yakin, gadis itu tak akan suka rela menguntungi lengannya sendiri, tapi ia juga melihat, selain menuding golok kayu, Khu Han Beng tidak melakukan yang lain.
Apa ilmu sihir" Pemuda itu bergidik. Dengan menggunakan tangan kirinya, ia
memanggul rekannya yang tewas, dan mengikuti jejak gadis itu menghilang
dikegelapan malam.
Khu Han Beng menghela napas, kemudian mengisyaratkan para piasu yang
masih bisa berdiri untuk menggotong masuk tubuh Tan Leng Ko yang terluka
dan merawat para piasu yang terluka.
Malam mulai menyelimuti tanah yang bernoda darah. Konon katanya, dibawah
sinar rembulan, darah akan nampak berwarna jingga. Warna ini jauh lebih
menarik...jauh lebih indah dari warna aslinya. Tidak heran, banyak kisah
pembunuhan terjadi di bulan purnama.
***************************
Dua minggu telah lewat dengan cepatnya. Luka Tan Leng Ko sudah sembuh.
Tubuhnya yang penuh otot gempal, ditambah dengan usianya yang mendekati
tiga puluh tahun, sangat membantu kecepatan sembuhnya.
Umumnya manusia dikala bayi atau menjelang tua, sering sakit sakitan. Dikala umur seseorang mencapai bilangan sepuluh dikali dua hingga empat, jarang
sekali sakit, maklum daya tahan tubuh sedang bekerja paling aktif.
Luka Tan Leng Ko cepat sembuh berkat obat luka dari tabib Liok Yang Piaukiok yang manjur. Juga dibantu dengan jinsom yang diminumnya setiap hari.
Tapi Tan Leng Ko berpendapat, obat yang membuat lukanya lekas sembuh,
adalah bubur ayam Hong naynay yang paling digemarinya.
Masakan yang cocok dengan perut, tentu membuat hati seseorang menjadi
riang. Konon katanya, kondisi hati seseorang sangat menentukan kesehatannya.
Hong naynay, berbadan gemuk, dan berusia diatas lima puluh tahun. Ia
memimpin satu daerah kekuasaan, dapur umum Lok Yang Piaukok. Begitu ia
masuk dapur, yang merasa pintar masak, dengan sendirinya akan menyingkir
keluar, kehilangan kepercayaan diri.
Kepandaian Hong naynay mengolah masakan, membuat banyak piausu tunduk
padanya...berbareng takut.
Soalnya, Hong naynay galaknya bukan main. Sedikit berbuat salah padanya,
dijamin sendok kayu besar akan melayang. Sedikit sekali, penghuni Lok Yang
Piaukok, yang belum pernah benjol kepalanya.
Tan Leng Ko menarik napas dalam dalam. Kembali ia merasa nasibnya mujur.
Selama ia sakit, ternyata pihak Bwe Hoa Pang tidak melakukan penyerangan,
bahkan tidak terdengar kabarnya. Mereka telah melepaskan kesempatan yang
baik. Sambil menggeliatkan badan, Tan Leng Ko merasa, ia sudah siap melakukan
tugas. Yang pertama ia lakukan, beranjak dari tempat tidur, dan membuka
jendela kamarnya.
Angin malam meniup, membuat segar wajahnya. Tanpa terasa ia melamun.
Cukup sering Khu Han Beng menjenguk dirinya, sayang selama ini Tan Leng Ko
belum mendapat kesempatan untuk mengajukan pertanyaan yang banyak
berkecamuk dibenaknya.
Hubungan mereka menjadi akrab, walau Khu Han Beng juga seperti menghindari
dirinya. Ia selalu datang ketika kamarnya ramai dikunjungi orang. Dan tidak pernah muncul ketika ia sedang sendirian.
Dari piasu yang menjaga pintu kamarnya, Tan Leng Ko mendapat tahu peristiwa yang terjadi setelah ia jatuh pingsan. Dengan menunding sebilah golok kayu, Khu Han Beng telah mengusir pengacau Bwe Hoa Pang. Jelas itu bukan sejenis
ilmu silat. Mana ada ilmu silat yang tanpa bergerak dapat menjatuhkan lawan"
Ketika mereka berlatih, walau cepat menangkap, jelas gerakkan Khu Han Beng
sangat kaku. Kekakuan yang tidak dibuat buat. Kekakuan yang timbul karena
tidak pernah berlatih gerakkan silat. Jika bukan silat, apa ilmu sihir"
Pusing kepala Tan Leng Ko memikirkan hal ini.
Akhirnya ia memutuskan, paling baik bertanya langsung pada yang
bersangkutan. Diraih goloknya, kemudian ia melangkah keluar.
************************
Kamar Khu Han Beng terletak dibagian belakang rumah yang paling besar.
Tujuh tahun ia telah bekerja disini, boleh dibilang baru pertama kali, ia berdiri didepan kamar Khu Han Beng.
Ketukan pintunya dijawab oleh Lo Tong yang berdiri dengan badan bergoyang,
jelas dalam keadaan mabuk.
Walau dalam keadaan mabuk, Lo Tong tidak lupa dengan tugasnya. Tubuhnya
berdiri menutupi pintu yang terbuka, dengan tangannya sibuk menyapu.
"Kenapa banyak daun kering di dalam kamar?" tanya Tan Leng Ko heran.
Setiap rumah pasti mempunyai dedaunan sampah. Tapi biasanya
diperkarangan, bukan di dalam kamar.
"Akupun tidak tahu, setiap hari, bertahun tahun lamanya, selalu kutemukan
tumpukan daun dikamar Beng Siauya. Entah masuk dari mana" Gerutu Lo Tong.
"Dimana siauya?"
"Beng-siauya, pergi mencari kunang kunang".
Sedari kecil Khu Han Beng mempunyai kegemaran mencari kunang kunang
dimalam hari. Memang dibelakang perumahan Liok Yang Piaukok terdapat
sebuah bukit kecil yang masih banyak ditumbuhi bunga bunga, walau dimusim
gugur ini. "Aku akan menyusul Beng sauya" kata Tan Leng Ko sambil melangkah pergi.
Lo Tong menggumam tidak jelas, lalu menutup pintu.
Baru empat lima langkah, sekelebat bayangan memenuhi benak Tan Leng Ko.
Cepat ia memutar balik ke kamar.
Lo Tong membuka pintu dengan pandangan bertanya. Tan Leng Ko mencoba
melirik dalam kamar dari pintu yang terbuka. Tapi Lo Tong menjepit badannya dengan pintu hingga sukar melihat keadaan didalam kamar.
Sambil tertawa, Tan Leng Ko berkata:
"Badanku belum terlalu sehat, tiba tiba aku ingin berisitirahat sejenak, kau ijinkan aku tidak, untuk masuk kedalam".
"Kau kan tahu, Beng sauya tidak menyukai orang untuk memasuki kamarnya"
jawab Lo Tong menolak.
Dengan berbisik, Tan Leng Ko, kemudian berkata:
"Ketika sedang sakit, kuperoleh seguci arak wangi Tiok Yap Jing dari Hong
naynay, tapi dilarang olehnya untuk kuminum, kecuali sudah sembuh benar.
Guci arak itu hanya dapat kupandang, tak berani kulanggar pesan Hong naynay.
Sungguh runyam keadaanku".
Mendengar arak Tiok Yap Jing yang terkenal mahal dan harum, mata Lo Tong
berbinar. "Konon katanya orang yang sakit, tidak lekas baik kalau minum arak. Supaya
Tan Kausu cepat sembuh, dan tidak susah, bagaimana kalau arak itu diberikan saja padaku".
Tan Leng Ko menepuk pundak Lo Tong, sambil berkata:
"Sungguh engkau seorang sahabat sejati, yang mau menolong teman dalam
kesusahan. Lekas kau ambil arak itu dari kamarku".
Dengan sempoyongan, bergegas Lo Tong berlari meninggalkan Tan Leng Ko
sendirian, dengan pintu kamar Khu Han Beng yang terbuka.
Sekilas tadi, ketika Lo Tong membuka pintu pertama kali, ia seperti mengenal tulisan tangan yang terdapat di rak buku. Tan Leng Ko melangkah masuk ke
kamar. Buku buku yang terdapat di kamar ini, sungguh banyak sekali. Bahkan terdapat buku buku yang ditulis huruf keriting yang dia tidak kenal. Disalah satu rak tersebut, terdapat kumpulan buku buku hasil tulisan Khu Han Beng.
Buku buku ini tidak berjudul, hanya bulan dan tahun pembuatan tercatat
dipunggung buku. Gaya tulisan tanganyapun macam macam, dari tulisan cakar
ayam sampai tulisan tangan yang indah.
Tan Leng Ko menarik satu buku yang menarik perhatiannya tadi. Setelah ia
hitung, tulisan cakar ayam ini ditulis oleh Khu Han Beng ketika ia berusia tujuh tahun.
Muka Tan Leng Ko berubah hebat ketika ia membaca buku itu. Tulisan cakar
ayam itu menguraikan jurus tangan kosong yang begitu hebat! Tidak disebut
nama jurus tersebut, tapi untuk menghindari serangan jurus pertama tangan
kosong ini, dirinyapun tidak sanggup. Sukar dipercaya tulisan ini ditulis oleh bocah kecil bahkan ditulis pada saat ia berumur tujuh tahun!
Tan Leng Ko menaruh kembali buku itu ketempat semula, kemudian menarik
satu buku yang bertulisan indah yang dibuat beberapa bulan yang lalu.
"Hui Liong Cap Sa Cik!" pekiknya tertahan.
Hui Liong Cap Sa Cik merupakan ilmu pedang andalan Kun Lun Pay yang jelas
tidak diajarkan sembarang orang. Bahkan hanya Kun Lun Ciangbujin yang boleh mempelajari ilmu pedang rahasia ini.
Darimana bocah ini memperoleh catatan yang rahasia ini" Bahkan buku berisi
ilmu yang luar biasa ini, ternyata hanya ditaruh begitu saja disebuah rak buku, seperti menaruh buku syair yang tidak terlalu bernilai!
Pening kepala Tang Leng Ko memikirkan hal ini. Cepat dikembalikan buku
tersebut. Dengan perlahan ditutupnya kamar Khu Han Beng.
Sambil melangkah Tan Leng Ko merenung.
Apa yang harus ia lakukan" Mencari Khu Han Beng, kemudian bertanya
mengenai catatan ilmu silat itu" Tentu ia bakal ditanya, darimana dia tahu, kecuali dia, secara lancang telah menyelonong masuk ke dalam kamar, tanpa
ijin! Sedikit banyak,hatinya menjadi malu atas perbuatan usilnya mencuri rahasia
orang. Tapi ia benar benar tidak tahan, selimut misteri yang membungkus bocah ini sungguh memancing rasa ingin tahu!
Akhirnya Tan Leng Ko memutuskan untuk kembali kekamarnya.
Dahinya berkerut, ketika ia melihat Lo Tong terkapar ditempat tidurnya, dalam keadaan mabuk. Guci arak Tiok Yap Jing pecah dilantai, sisa arak tumpah


Bu Kek Kang Sinkang Karya Kkabeh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemana mana. Orang yang sedang mabuk memang sukar menghargai arak
mahal. Tiba tiba ia ingin minum arak. Arak memang dapat mengusir kepusingan pikiran, sekaligus dapat pula mengundang kepusingan kepala.
Untung ia masih mempunyai persedian arak. Diambilnya seguci, kemudian
melangkah keluar. Tubuhnya meloncat keatas genting rumah, menghadap
kamar Khu Han Beng.
Dengan perlahan Tan Leng Ko meminum arak sendirian. Tanpa terasa,
pikirannya melayang, ia membandingkan tulisan tangan di gumpalan kertas Ouw Yang Ci To yang diketemukannya dengan tulisan di dalam kamar Khu Han Beng.
Tulisan cakar ayam itu sangat dikenalnya. Tulisan cakar ayam itu terlalu mirip dengan tulisan gumpalan kertas yang diketemuinya dikeranjang sampah, tujuh
tahun yang lalu!
Dia yakin, ilmu Ouw Yang Ci To yang dipelajarinya berasal dari tulisan tangan Khu Han Beng!
Bocah itu tentu telah menyalin dari kitab aslinya. Bertahun tahun bocah ini mengurung diri di dalam kamar, rupanya mempunyai kesibukkan.
Menyalin kitab pusaka yang langka, bahkan ada kitab yang dianggap sudah
punah. Entah berapa banyak kitab yang sudah disalinnya. Dilihat dari deretan catatan di rak bukunya, tentu jumlahnya tidak sedikit!
Tan Leng Ko dapat memastikan, walau hanya melihat dua buah buku. Ia
mengerti, yang disalin oleh Khu Han Beng bukan jenis kitab syair atau kitab agama, melainkan salinan dari kitab kitab ilmu silat yang luar biasa hebatnya.
Yang Tan Leng Ko tidak paham, kenapa kitab yang tak ternilai harganya itu
ditaruh begitu saja di rak buku, seperti kitab umum yang biasa" Apa karena Khu Han Beng masih terlampau muda, kurang pengalaman, untuk mengerti nilai kitab kitab pusaka tersebut"
Tan Leng Ko menenggak sisa araknya yang tinggal sedikit. Satu soal lagi yang mengganggu pikirannya. Ditilik dari gaya tulisan cakar ayam dan tahun catatan, tentu Khu Han Beng mulai menyalin kitab kitab sakti itu sedari kecil, bahkan digunakan sebagai latihan belajar menulis!
Tidak mungkin seorang anak kecil mempunyai kemampuan untuk
mengumpulkan kitab kitab sakti tersebut, apalagi sebanyak itu. Seseorang mesti memberi dan menyuruhnya menyalin. Tentu saja seorang anak kecil yang tidak
tahu apa apa, akan melakukannya tanpa banyak pertanyaan.
Yang Tan Leng Ko tak habis berpikir, kenapa urusan yang penting ini
dipercayakan kepada seorang bocah"
Tan Leng Ko menghela napas, tanpa terasa ia mengangkat guci arak yang
sudah kosong itu. Tiba tiba guci arak itu terlepas dari tangannya, hatinya bergidik ketika ia menyadari sesuatu.
Sudah menjadi pengetahuan umum, kitab pusaka ilmu silat sering menjadi
barang rebutan di rimba persilatan. Satu kitab saja, dapat membuat kehebohan yang menimbulkan ribuan orang tewas, dalam usaha memperebutkan.
Bayangkan jika mereka mengetahui, puluhan kitab sakti yang langka, ternyata terdapat di dalam kamar seorang bocah di perumahan Lok Yang Piaukok.
Akibatnya sukar untuk dibayangkan!
Sambil memandang guci araknya yang hancur dipelataran, Tan Leng Ko
memutuskan untuk menyelidiki perkara ini sampai tuntas. Ia tidak akan
mengijinkan jika terjadi sesuatu bencana di Lok Yang Piaukok ini.
Suara langkah kaki, menyadarkan Tan Leng Ko dari lamunannya. Dilihatnya,
Khu Han Beng sedang berjalan menghampiri kamarnya.
Tangan kanannya memegang kantong kain yang memancarkan cahaya kelap
kelip bergantian.
Sekitar tiga langkah dari kamar, Khu Han Beng menghentikan langkahnya.
Badannya memutar perlahan. Matanya langsung menatap kearah Tan Leng Ko
yang duduk diatas wuwungan rumah dalam kegelapan.
Jantung Tan Leng Ko berdetak lebih cepat.
"Apa bocah ini mengetahui kehadiranku?" pikirnya.
Kebetulan ia mengenakan pakaian berwarna gelap. Jarak dari tempat ia duduk
mencapai puluhan kaki ke kamar Khu Han Beng. Awan gelappun menutupi sinar
bulan. Tapi bocah ini seperti mengetahui kehadirannya.
"Apa Tan toako yang berada disana?" tanya Khu Han Beng perlahan.
Setelah menghela napas, Tan Leng Ko meloncat turun persis di depan Khu Han
Beng. "Apa kau mepunyai mata malam?" tanya Tan Leng Ko dengan cepat.
Khu Han Beng tersenyum.
"Kulihat guci yang pecah itu, mengeluarkan bau harum arak Tiok Yap Jing.
Kutahu hanya beberapa orang saja yang mampu meminum arak mahal itu.
Lagipula dari kelebatan kilat tadi, kulihat seperti ada orang yang sedang duduk di atas genteng."
"Darimana kau tahu itu aku" "
Yang dapat meloncat setinggi itu, tentu Tan toako adanya".
Tan Leng Ko ikut tersenyum:
"Pengetahuanmu mengenai arak, ternyata tidak sedikit"
Sambil tertawa, Khu Han Beng berkata:
"Sayang kesempatanku untuk minum, sangat sedikit"
"Jika kau tidak melapor pada yaya-mu, tentu kuundang kau minum barang
secawan" bisik Tan Leng Ko.
Sambil menengok kekanan kekiri, Khu Han Beng ikut berbisik:
"Kalau cuma secawan, aku tidak mau minum"
Tanpa dapat dicegah, Tan Leng Ko tertawa keras:
"Benar! Kalau hanya secawan, akupun tidak mau minum"
Diam diam Khu Han Beng merasa geli, melihat kelakuan Tan toakonya yang
setengah mabok.
"Kau habis dari mana?" tanya Tan Leng Ko setelah tertawa.
Khu Han Beng mengangkat tangan kanannya,
"Hari ini banyak sekali kudapat. Bukankah mereka sangat indah?"
Dari celah kantung kain, Tan Leng Ko dapat melihat puluhan kunang kunang
yang berterbangan.
"Bukan niatku melarang kau untuk bermain, aku kuatir pihak Bwe Hoa Pang tidak tinggal diam. jika kau berniat keluar, sebaiknya membawa beberapa piasu untuk melindungimu"
Khu Han Beng mengiakan, kemudian menguap:
"Aku mengantuk sekali Tan toako, aku sebaiknya tidur dulu"
Melihat sikap bocah itu, Tan Leng Ko merasa saat ini bukan yang tepat. Ia
mengurungkan niatnya bertanya.
"Kau tidurlah yang nyenyak. Aku akan meronda sebentar"
"Selamat malam, Tan toako" setelah berkata Khu Han Beng berjalan ke
kamarnya, "Tunggu sebentar!"
Khu Han Beng menoleh dan menatap Tan Leng Ko dengan mata penuh
pertanyaan. "Banyak helaian daun menempel dipunggungmu" kata Tan Leng Ko sambil
membersihkan. Khu Han Beng mengucapkan terima kasih kemudian menutup kamarnya.
Tan Leng Ko menatap helaian daun ditangannya yang mirip dengan helaian
daun yang tadi baru saja disapu. Diam diam ia merasa geli.
Sumber kekesalan Lo Tong secara tidak sengaja ia telah temukan. Bocah ini
tentu menyusup kesana kesini diantara pepohonan, mengejar kunang kunang.
Kentongan terdengar berbunyi sebanyak sembilan kali. Tan Leng Ko segera
bergerak melakukan tugasnya, mengelilingi perumahan Lok Yang Piaukok
memeriksa penjagaan dan keamanan.
Posisi matahari sudah agak tinggi ketika Tan Leng Ko bangun dari tidurnya.
Tanpa berganti baju, ia berjalan menuju pelataran depan.
Dilihatnya, Khu Han Beng duduk diatas kuda sambil memasukkan bekal
makanan dari Hong naynay ke dalam tasnya.
Semua orang di Lok Yang Piaukok cukup mengetahui besarnya kasih sayang
Hong naynay kepada Khu Han Beng.
Setiap kali berjumpa dengan Beng-sauyanya, Hong naynay selalu mengerjakan
suatu perbuatan, suatu perbuatan yang sia sia... Hong naynay mencoba
tersenyum ramah.
Setiap wajah perempuan, konon katanya mempunyai dua sudut pandang. Yang
satu, mebuatnya terlihat cantik jelita, dan yang satu lagi membuatnya tidak sedap untuk dipandang.
Raut muka Hong naynaypun memiliki dua sudut pandang. Yang satu
membuatnya kelihatan galak. Dan yang satu lagi, membuatnya kelihatan...
galaknya bukan main!
Seperti seorang ahli pedang, Hong naynay mempunyai kebiasaan menyelipkan
sendok kayu panjang di tali pinggang bagian depan tubuhnya. Gagang sendok
kayu itu menyerong ke kanan, siap untuk ditarik ketika dibutuhkan. Kuku
jarinyapun digunting pendek pendek. Hong naynay tidak akan membiarkan
sesuatu menghalangi gerakkannya. Gerakkan ketika ia mencabut senjata
pusakanya. ketika Tan Leng Ko mendekati mereka, debu dari kuda Khu Han Beng yang
berlari, menerpa wajahnya.
"Pergi kemana, Beng-sauya?"
Tanpa menjawab, dengan sigap, Hong naynay mencabut sendok kayunya yang
kemudian melayang mengetok kepala Tan Leng Ko dengan keras.
"Auuww!....Apa kesalahanku kali ini?" jerit Tan Leng Ko memprotes.
"Arak yang kubeli mahal mahal, kenapa kau berikan kepada Lo Tong?"
"Tookkkk!..." kepala Tan Leng Ko benjol untuk kedua kalinya.
"Bukankah arak itu sudah kau berikan padaku" Terserah aku, hendak kuapakan"
protes Tan Leng Ko sambil mengelus kepalanya.
Ayunan senjata pusaka Hong naynay terhenti diudara. Sambil melotot ia berkata:
"Semestinya tidak kau berikan kepada Lo Tong"
Hubungan Hong naynay dengan Lo tong tidak akur, seperti kucing dan anjing.
Keduanya keras kepala. Jika sudah bertengkar, tidak ada satupun yang mau
mengalah. Jika mereka sudah bertengkar, yang lain tidak pernah mencoba
melerai, malah lari bersembunyi.
Tan Leng Ko yakin, setiap persoalan selalu ada jawabannya. Kecuali,
pertengkaran Hong naynay dengan Lo Tong, yang pemecahannya tidak mungkin
ada. Dengan cepat Tan Leng Ko berkata:
"Kulihat tadi, Lo Tong menyelinap ke dapur, ia mendengar tidak hanya seguci Tiok Yap Jing yang kau beli"
Rona merah menyebar muka Hong naynay, giginya begemeretuk kencang.
Dengan gopoh, ia bergegas ke dapur.
Tan Leng Ko menarik napas lega. Untung ia dapat membebaskan diri dari Hong
naynay dengan cepat. Ia harus secepatnya menyusul Khu Han Beng.
*****************
Hari sudah siang ketika Tan Leng Ko tiba di persimpangan jalan ditengah kota
Lok Yang. Ia tidak berhasil menyusul Khu Han Beng. Ia yakin Khu Han Beng
mengunjungi Gu-sukonya. Tapi ia tidak tahu letak toko buku terbesar di kota Lok Yang.
Ia telah bertanya kesana kesini, jawabannya semua sama....tidak tahu! Ia tidak dapat menyalahkan mereka. Dirinya sendiri telah tinggal tujuh tahun dikota ini, iapun tidak tahu.
Rupanya orang yang gemar membaca, tidak sebanyak orang yang gemar minum
arak. Dengan rasa apa boleh buat, Tan Leng Ko berjalan menuju Se Chuan Koan,
rumah makan kegemarannya, untuk makan siang.
Kota Lok Yang memang cukup ramai, tapi kali ini nampak lebih ramai dari
biasanya. Banyak pendatang berdandanan orang kang-ouw lalu lalang
disepanjang jalan. Ada yang berpakaian rapih, banyak juga yang kusam. Ada
yang bertangan kosong, banyak pula yang membawa pedang atau golok. Ada
juga yang sendiri, tapi tidak sedikit yang berkelompok.
Rata rata air muka mereka bersifat serius. Dari sorot mata mereka yang tajam dan keningnya yang menonjol, Tan Leng Ko tahu, mereka berkepandaian tinggi.
Kening Tan Leng Ko berkerut, ia menduga suatu urusan besar telah memancing
minat para jago persilatan untuk datang ke kota Lok Yang. Dengan
menundukkan kepala, Tan Leng Ko berjalan perlahan, ia tidak ingin menarik
perhatian mereka. Hatinya bersyukur, ia masih menggunakan pakaian tadi
malam yang berbeda dengan seragam piausu yang biasa ia kenakan.
Tan Leng Ko memasuki Se Chuan Koan yang lebih ramai dari biasanya. Untung
ia masih kebagian meja, diloteng atas, menghadap jalanan luar.
Pelayan yang sudah hafal dengan selera Tan Leng Ko, meletakkan seguci arak
Tiok yap Jing, kemudian langsung berteriak ke dapur, memesan makanan.
Derap lari kuda menarik perhatian Tan Leng Ko. Matanya melayang kepada
seekor kuda yang dilarikan cukup kencang, dan hampir menabrak orang yang
berpakaian perlente.
Orang itu dengan sigap meloncat kesamping, pedangnya dengan cepat sudah
berada ditangannya. dengan bergusar ia membentak:
"Kurang ajar!...Apa matamu buta?"
Arak yang baru diminum Tan Leng Ko tersendak keluar. Yang mengendarai kuda
itu ternyata Khu Han Beng!
Orang yang marah itu tidak jadi menyerang, ketika melihat yang hampir
menabraknya ternyata hanya seorang bocah. Sambil mendengus, orang itu
memasukkan pedangnya. Kemudian, diambilnya tas Khu Han Beng yang
terlempar jatuh didekatnya.
Urat syaraf Tan Leng Ko menegang kencang. Ia tahu betul apa isi tas itu. Sudah cukup sering, ia menyaksikan Khu Han Beng membawa tumpukan kertas hasil
salinan setiap mengunjungi Gu-sukonya. Hanya saat itu, ia tidak terlalu peduli, kecuali sekarang.
Dari cepatnya orang itu meloloskan pedang, orang berbaju kuning emas ini,
tentu seorang ahli pedang. Untuk mencapai tingkatan ahli, orang yang berlatih pedang harus berpandangan tajam.
Di depan banyaknya jago persilatan, jika orang itu mengetahui isi tas itu...." tak berani Tan Leng Ko membayangkan.
Ketegangan Tan Leng Ko mulai mengendur ketika orang itu menyerahkan
kembali tas itu kepada Khu Han Beng sambil menasehatinya untuk berhati hati.
Tan Leng Ko menghembuskan napas ketika ia menyaksikan orang itu berjalan
pergi. Dengan rasa lega, Tan Leng Ko mengulurkan tangan, meraih guci arak.
Mendadak air mukanya berubah secara aneh. Cahaya cemerlang seperti keluar
dari mata Tan Leng Ko.
Tiba tiba ia paham! Kenapa kitab kitab sakti itu diberikan kepada seorang anak kecil, karena... karena memang cara ini termasuk yang aman!
Kapan sih, seorang jago silat, memperhatikan anak kecil" Apalagi tertarik
kepada isi tas milik seorang bocah yang dianggapnya kalau bukan isi gula gula tentu mainan.
Tulisan tangan seorang bocah juga tidak akan mengundang rasa ingin tahu
seorang jago silat. Kecuali, ia tanpa sengaja membaca tulisan itu.
Dia saja yang tinggal bersama Khu Han Beng bertahun tahun, tidak pernah acuh dengan tumpukkan kertas ditangannya.
Hanya orang tua kandung yang tertarik, terhadap tulisan seorang anak, apalagi tulisan seorang anak kecil yang sedang belajar menulis.
Khu Han Beng besar bersama kakeknya yang sering bepergian. Tentu saja Khu
Pek Sim merasa bersalah, dan mencoba mengabulkan permintaan cucunya,
setiap kali ada kesempatan.
Seperti larangan masuk ke kamar yang tentu dimintanya setelah bocah ini
pandai menulis. Jelas Khu Pek Sim tidak keberatan, toh kelakuan aneh bukan
suatu perbuatan buruk.
Kecuali Lo Tong yang buta huruf, tiada orang di Lok Yang Piaukok yang
memperhatikan tulisan Khu Han Beng. Siapa yang bakal tertarik dengan karya
tulis seorang anak kecil" Kakeknya saja tidak. Apalagi orang lain"!
Hasil karya tulis ini kemudian dibukukan tanpa diberi judul dan ditaruh begitu saja di rak buku. Ditaruh seperti jenis buku lainnya. Tidak ada yang aneh atau luar biasa dengan perbuatan ini.
Justru sesuatu yang jamak, tidak janggal dan bersifat terlalu umum, bukankah tidak akan mengundang perhatian orang lain"
Bertahun tahun orang di Lok Yang Piaukok terbiasa dengan prilaku Khu Han
Beng. Sifat Khu Han Beng yang menyendiri sudah dianggap hal yang jamak..
Tidak satupun yang curiga. Dirinya juga tidak.
Bukankah salinan kitab sakti itu dengan sendirinya tersimpan dengan aman"
Tan Leng Ko mengangkat guci araknya dan meminum seteguk. Mau tidak mau
timbul juga rasa kagum dihati Tan Leng Ko terhadap si Pemberi Kitab yang tentu telah memikirkan urusan itu.
Kelemahan dari cara ini adalah jika salinan kitab sakti di kamar Khu Han Beng diketemukan secara tidak sengaja oleh orang lain. Tapi misalnya, salinan kitab sakti itu disembunyikan di dalam sebuah gua rahasia atau di dasar jurang
sekalipun, toh tetap ada kemungkinan diketemukan orang secara kebetulan.
Dan kemungkinan itupun juga kecil. Untuk menemui urusan ini secara kebetulan, orang itu harus bernasib mujur... seperti dirinya.
Renungannya terganggu ketika kursi didepannya ditarik. Seorang pemuda
bermuka cemong duduk didepannya.
"kau tidak dapat mengusirku, kursi ini satu satunya yang kosong" katanya
dengan cengar cengir.
Memang rumah makan itu penuh sekali. Meja yang paling sedikit orangnya,
terletak cukup jauh dari meja Tan Leng Ko. Meja itu di si oleh seorang pemuda berpakaian hijau dengan seorang gadis duduk disebelahnya.
Keduanya menyoreng pedang dipunggung mereka. Pemuda itu berwajah
tampan, gadis itupun cantik sekali. Muka mereka tidak menakutkan sama sekali.
Tapi entah kenapa, orang menghindar untuk duduk bersama mereka. Mungkin
sikap mereka yang telampau tenang dan pancaran hawa pedang yang seperti
keluar dari sarungnya.
Tan Leng Ko memandang mereka hanya sekejab, ia juga tidak acuh dengan
pemuda didepannya. Perhatiannya kembali terpusat kepada Khu Han Beng yang
tubuhnya menghilang di tikungan sebuah jalan kecil.
"Hey! Apakah aku setan yang tidak kelihatan?" tanya pemuda yang duduk
didepannya. Tan Leng Ko menatap mata yang melotot itu. Mata yang indah, yang tidak
sebanding dengan dandanannya yang mengenakan pakaian kusam berlapis
lapis. Mukanya juga penuh debu. Debu yang seperti sengaja ditempel
kemukanya, mungkin agar tidak terlalu nampak kecantikkannya.
Usianya jelas masih muda sekali, sebaya Khu Han Beng, tapi lagaknya seperti yang punya tempat.
Dalam hati ia tertawa geli. Kenapa seorang gadis cantik gemar sekali menyamar menjadi seorang pemuda jembel" Yang cemong hanya mukanya. Pakaiannya
walaupun kusam, tapi terlalu bersih. Bahkan tersiar bau harum dari tubuhnya.
Yaa, bagaimanapun juga, tidak ada seorang gadis yang mau dibilang badannya
berbau busuk. "Orang ini nampaknya cukup sehat, sayang telinganya tuli" gumam gadis itu
sambil seenaknya meraih guci arak Tan Leng Ko dan meminumnya tanpa
permisi. Tan Leng Ko segan ribut mulut, ia harus menyusul Khu Han Beng. Ia segera
berdiri. "Hey! Kau tidak boleh pergi!" perintah gadis itu.
"Kenapa aku tidak boleh pergi" tanya Tan Leng Ko tak tahan. Sebetulnya malas ia meladeni gadis edan ini.
"Jika kau pergi, aku akan berteriak, kau mencoba memperkosaku" ancam gadis
itu. "Bukankah kau seorang pemuda?" tanya Tan Leng Ko yang mulai kesal dengan
kelakuan gadis itu.


Bu Kek Kang Sinkang Karya Kkabeh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Semua juga tahu, aku seorang gadis yang menyamar. Jika mereka tidak
percaya, kubuka bajuku untuk membuktikan" jawab gadis itu sambil mengikik.
Tan Leng Ko tak percaya gadis itu berani melakukannya, ia berjalan pergi.
Gadis itu kemudian berdiri, memulai membuka baju luarnya.
Orang yang sedang makan menatap mereka dengan heran. Dilihat dari
gerakkannya, nampaknya gadis itu tidak berniat berhenti. Bajunya yang berlapis lapis, dibukanya satu persatu.
Sambil menghela napas, Tan Leng Ko kembali duduk dimejanya. Ia tahu ia telah berhadapan dengan gadis jenis Hong naynay. Berani berkata, berani berbuat.
Sambil mengikik, gadis itu berkata:
"Sudah kuperhitungkan, kau akan kembali. Silahkan minum, sudah kusiapkan
arak untukmu"
Tangannya mendorong guci arak yang tadi direbutnya dari Tan Leng Ko.
Tanpa bicara, Tan Leng Ko langsung meminum arak itu hingga habis.
Gadis itu bertepuk tangan:
"Sungguh seorang laki laki sejati. Kukagum dengan lelaki yang mempunyai
takaran arak sepertimu"
"Apakah kau sedang mengajakku untuk kawin?" tanya Tan Leng Ko dengan
hambar. Entah apa maksud gadis yang tidak dikenalnya ini, dengan pebuatan dan
ucapan yang mengejutkan. Tan Leng Ko tidak mepunyai pilihan lain, kecuali
melakukan hal yang sama.
Rona merah memenuhi wajah gadis itu, tapi dalam sebentar marahnya hilang.
"Bukan tak mungkin bagiku untuk menikahimu, tapi kau harus mempunyai
kemampuan untuk melindungiku"
Tan Leng Ko terdiam. Gadis belia yang pantas menjadi anaknya, berbicara soal menikah segala. Bakal repot jika ia terus meladeninya..
"Apa yang sebenarnya kau inginkan dariku?" tanyanya perlahan.
Dengan wajah serius, gadis itu berkata:
"Kulihat kau sangat memperhatikan Pek Kian Si, apa dia musuhmu?"
"Pek Kian Si?" tanya Tan Leng Ko agak heran, ia merasa tidak kenal.
Walau bekerja di Lok Yang Piaukok, Tan Leng Ko jarang sekali bepergian.
Tugasnya melatih silat para piasu. Tentu saja tidak perlu pergi jauh jauh.
"Pek Kian Si, pedang kilat dari Kang Lam, yang barusan hampir ditabrak....?"
Gadis itu menghentikan perkataannya, dia paham sekarang.
"Rupanya yang kau perhatikan adalah bocah yang naik kuda itu. Apa dia
anakmu?" Tan Leng Ko terkejut juga. Rupanya ketegangannya tadi menarik perhatian
orang. "Jika kau tak lekas katakan apa maumu, sebaiknya aku pergi saja." kata Tan
Leng Ko mulai kesal.
Ia benar benar tidak mengerti apa maunya gadis ini dengan dirinya. Tapi dia juga tidak ingin mengundang keributan yang tidak perlu.
"Baik kukatakan!" kata gadis itu sambil mengambil sebuah kantung dari kain dari jubah luar yang ditanggalkannya tadi. Kantung kain dibuka dan ditunjukkan
isinya pada Tan Leng Ko yang tentu saja tidak paham.
Isi kantung itu ternyata benang sulaman bewarna warni.
"Apa kau ingin aku untuk menjahit" tanyanya dengan muka kelam. Gurauan
gadis ini sudah keterlaluan.
Gadis itu mengikik ketawa,
"Tentu saja tidak. Walaupun kumau, belum tentu kau bisa. Yang kuingin..."
Gadis itu menoleh kepada kedua pemuda pemudi yang duduk disana.
Dengan agak heran, Tan Leng Ko ikut melirik. Sekarang dia baru mengerti.
Pedang si Pemuda dihiasi ronce berwarna hijau, sedangkan pedang si pemudi
dihiasi oleh ronce warna merah.
Benang sulaman di dalam kantung kain itu ternyata ronce pedang yang
umumnya menempel disarung pedang. Tentu saja hanya pedang kenamaan
yang biasanya mempunyai ciri khas ini.
"Sekali lihat langsung paham. Kutahu kau orang pintar" kata gadis itu sambil tertawa girang.
"Kau ingin aku untuk mengambil ronce pedang Pek Kian Si"
Dengan menghela napas, gadis itu berkata:
"Baru saja kau pintar, kenapa jadi bodoh kembali?"
Gadis itu kembali membuka kantong kainnya.
"Kau lihat yang berwarna kuning emas"
Hati Tan Leng Ko tenggelam. Warna itu memang cocok sekali dengan baju
perlente yang dikenakan oleh Pek Kian Si. Dia tahu,kepandaian Pek Kian Si
termasuk golongan kelas satu, entah bagaimana cara mencuri gadis ini.
"Kau mau yang hijau atau yang merah?" tanyanya.
"Aku tertarik dengan yang hijau" jawab gadis itu sambil menggigit tangannya.
"Kenapa tidak kau ambil sendiri, malah minta bantuanku?"
"Karena aku hanya mampu menghadapi satu orang saja. Kau tahu siapa
mereka?" "Siapa mereka?"
"Mereka kakak beradik, bermarga Kwee, dari Siong Yang. Sang kakak bernama
Kwee Tiong sedangkan adik perempuannya bernama Kwee Li"
Hati Tan Leng Ko tenggelam.
Keluarga Kwee dari Siong Yang merupakan keluarga ahli pedang yang sudah
terkenal ratusan tahun lamanya. Selain Kehebatan ilmu pedangnya, mereka juga terkenal akan kegagahan dan keringanan tangan untuk menolong orang susah.
Tentu saja ia tidak ingin mencari gara gara.
"Kutahu kau berkepandaian tinggi. Dua lawan dua, bukankah pertarungan yang
adil" jawab gadis itu sambil tertawa.
"Darimana kau tahu, aku mampu menghadapi mereka?"
Sambil memicingkan mata, gadis itu menjawab:
"Kujarang salah menilai orang, apalagi kutahu sesungguhnya kau berhati baik.
Tentu tidak tega melihat seorang gadis belia yang dirundung kesusahan"
Jelas jelas gadis ini hendak merampas, bahkan tidak segan mencuri, masakkan ia bisa susah segala. Keberaniannya untuk mencari perkara dengan keluarga
Kwee menunjukkan, gadis setan ini mempunyai asal usul yang tidak
sembarangan. Tan Leng Ko berpikir sejenak.
"Hanya yang hijau kau maui, tidak ada lagi yang lain?"
"yaa, hanya itu yang kumaui"
"Setelah kau peroleh, apakah kau akan mencari perkara yang lain?"
Sambil tertawa gadis itu menjawab:
"Apa kau kira aku gemar mencari perkara" Yang kusukai hanya mengumpulkan
ronce pedang".
"Kau akan membiarkanku pergi, dan tidak akan mengganggu atau mencari diriku lagi?"
Tan Leng Ko tidak punya pilihan lain, ia harus bertanya bertele tele, soalnya jenis gadis yang berani, biasanya juga memegang teguh ucapannya.
"Yang kumaui adalah itu, bukan dirimu. Semoga kau tidak patah hati" kata gadis itu sambil menangis sedih.
Watak gadis ini sungguh luar biasa, dapat berubah dalam sekejab. Walau
suasana dalam rumah makan sangat ribut, toh orang mulai kembali
memperhatikan mereka.
Cepat Tan Leng Ko berkata:
"Apalagi yang kau ratapi, bukankah sebentar lagi kau akan memperoleh apa
yang kau maui?"
Sambil tetawa girang, gadis itu meloncat sambil memegang tangan Tan Leng
Ko. "Kau benar benar pahlawan pujaanku, ayoh kita labrak mereka"
"Jika kau ingin berhasil, sebaiknya kau tunggu disini saja" bujuk Tan Leng Ko Dia tahu, jika gadis itu yang maju, urusan malah menjadi runyam.
Gadis itu mengangkat jempolnya,
"Kau benar benar hebat! Sendirian melawan mereka berdua. Hanya ciciku dan.."
ia menghentikan ucapannya seperti telah kelepasan bicara.
Tan Leng Ko menghela napas, dia tidak ingin kenal dengan cici atau keluarga gadis ini....Ia hanya ingin selekasnya dapat pergi.
Disemat goloknya dipinggang, kemudian berjalan menghampiri kakak beradik
keluarga Kwee yang baru saja selesai bersantap.
Dilihat dari kemantapan mereka, Tan Leng Ko paham, bukan urusan yang
mudah untuk mengalahkan mereka.
Tan Leng Ko mengangkat tangannya memberi hormat pada mereka.
Pandangan pemuda itu menatap dirinya dengan pertanyaan.
"Kuhargai keluarga Kwee yang terkenal kegagahannya. Entah apakah kalian
sudi menolong orang yang tidak dikenal yang sedang kesusahan?"
Pemuda itu tersenyum. Tanpa berkata, tangannya bergerak melepaskan ikatan
ronce pedangnya yang berwarna hijau.
Tan Leng Ko menyengir. Rupanya percakapan mereka ditengah bisingnya
rumah makan, dapat didengar oleh pemuda hebat ini.
Kwee Li, gadis dari keluarga Kwee itu tersenyum padanya sambil berkata:
"Gadis nakal itu benar. Kau memang orang baik"
Secepatnya Tan Leng Ko mengucapkan terima kasih, kemudian kembali ke
mejanya yang kini penuh dengan makanan yang tadi dipesannya.
Makanan yang sedang asyik disantap oleh gadis setan itu.
Gadis itu girangnya bukan main ketika menerima ronce idamannya. Seperti
sebuah benda pusaka, secara perlahan ia menaruh ronce hijau itu ke dalam
kantung kainnya.
Seperti baru dilepas dari kurungan penjara, Tan Leng Ko bergegas
meninggalkan gadis itu.
"Tunggu Sebentar!"
Tan Leng Ko menghela napas sambil memutar badannya.
"Kau ada perlu apa lagi?" tanyanya sabar.
"Kau yang memesan makanan ini, semestinya kau pula yang membayar" kata
gadis itu sambil mengunyah makanan itu.
Tanpa menghitung lagi, Tan Leng Ko mengambil uang sekenanya dan
memberikan kepada pelayan.
Cepat ia kabur dari situ.
Begitu berada diluar, Tan leng Ko bergegas menghampiri tempat dimana Khu
Panji Wulung 9 Balada Pendekar Kelana Karya Tabib Gila Pendekar Sadis 4

Cari Blog Ini